ANALISIS TERHADAP PENAMBAHAN 1/3 HUKUMAN DAN PEMBERLAKUAN HUKUMAN MINIMAL DALAM PASAL 7 UU NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah
Disusun oleh: Musthofa NIM: 072211001
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI`AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp. Hal
: 4 (eksemplar) : Naskah skripsi A.n. Musthofa Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum wr.wb Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini saya kirimkan naskah saudara: Nama Nim Jurusan Judul
: : : :
Musthofa 072211001 Siyasah Jinayah ANALISIS TERHADAP PENAMBAHAN 1/3 HUKUMAN DAN PEMBERLAKUAN HUKUMAN MINIMAL DALAM PASAL 7 UU NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi tersebut dapat dimunaqasahkan. Demikian harap maklum adanya. Wassalamu’alaikum wr.wb Semarang, 28 November 2011
iii
ABSTRAK
Akhir-akhir ini, trafficking (tindak pidana perdagangan orang) merupakan isu yang aktual dan fundamental, terjadi bukan hanya di Indonesia saja melainkan diseluruh dunia. Munculnya berbagai kasus trafficking meliputi : tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, penjeratan hutang, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Maraknya perdagangan orang, terutama perempuan dan anak berawal dari masalah ekonomi. Selain itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi seperti sosial, politik dan budaya. Perdagangan orang bukan hanya mencederai harkat dan martabat manusia, tetapi juga melanggar ajaran agama. Dari pemaparan di atas munculah suatu permasalahan yang menarik untuk diteliti sebagai jalan untuk mendeskripsikan dan menganalisis aspek pidana trafficking dalam UU NO. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan hukum pidana Islam dalam memandang trafficking. Penulis melakukan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan aspek trafficking dan bagaimana Islam memandang trafficking yang mengakibatkan cacat fisik, mental, kehamilan dan yang mengakibatkan matinya korban. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini, yaitu menggunakan penelitian Library Research (penelitian pustaka), penelitian yang dilakukan berdasarkan pada data-data kepustakaan yang berkaitan dengan pokok persoalan yang dibahas. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa tindak pidana perdagangan orang menurut Pasal 7 UU NO. 21 Tahun 2007 menyebutkan bahwa: Aspek pidana tindak pidana perdagangan orang dapat dikategorikan sebagai pelaku tidak hanya orang namun juga dapat berupa instansi. Dalam aspek tindakan, yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang diatur dalam Pasal UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi pokok yakni sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu terdapat juga sanksi tambahan dan pemberat. Selain itu, dikarenakan trafficking merupakan salah satu tindak pidana khusus, maka hukuman yang digunakan adalah hukuman minimum khusus. Bila dipandang dari kaca mata hukum pidana Islam, untuk pasal 7 dapat dimasukkan dalam jarimah penganiayaan dapat dikenai hukuman qishash dikarenakan tidak dapat dilaksanakan maka hukumannya diganti dengan diyat. Untuk ayat 1 diyat kamilah (diyat sempurna) . Sedangkan dalam ayat 2 pelaku trafficking dapat dikenai sanksi Qishos diyat mughalladzah.
iv
MOTTO
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia hendaknya menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pelajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. (QS. An-Nisa’: 58).
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 9 Desember 2011 Deklarator,
MUSTHOFA NIM. 072211001
vi
PERSEMBAHAN
Tiada sesuatupun yang dapat memberikan rasa bahagia melainkan senyum manis penuh bangga dengan penuh rasa bakti, cinta dan kasih sayang dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsi ini untuk
Ayahanda Bapak Warno dan Ibunda Munik Tercinta yang telah mendidik dan membesarkanku serta mencurahkan kasih sayangnya.
Saudara-saudaraku (Yasin dan Fathurrohman) yang senantiasa memberi inspirasi untuk selalu semangat dalam hidupku.
Keluarga besar yang selalu memberikan motivasi dan doa yang tulus.
Keluarga besar HMI Cabang Semarang.
Sahabat-sahabat senasib seperjuangan yang telah memberikan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
Guru kehidupan yang Super.
Dan tak lupa pembaca budiman sekalian
Semoga amal dan Baik mereka mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Yang Maha Kuasa.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dengan hati yang tulus dan pikiran yang jernih, saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah, dan taufik serta inayah-Nya. Seandainya seluruh lautan di bumi dijadikan tinta dan pepohonan dijadikan pena tidak akan pernah cukup menuliskan rahmat yang diberikan kepada seluruh makhluk-Nya. Dan tidak lupa pula penulis panjatkan shalawat serta salam kepada sang revolusioner Muhammad Rasulullah SAW, Nabinya seluruh alam. Dengan keteladanan, keberanian dan kesabarannya membawa risalah Islamiyah yang sampai sekarang telah mengangkat derajat manusia dan bisa kita rasakan buahnya. Skripsi berjudul “Analisis Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman dan Pemberlakuan Hukuman Minimal dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”. Skripsi ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana (S.1) pada Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini dengan kerendahan hati dan rasa hormat yang dalam penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. DR. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang yang senantiasa menjadi suri tauladan bagi seluruh mahasiswa. 2. Bapak DR. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, yang selalu mencurahkan perhatiannya kepada setiap mahasiswa khususnya di Fakultas Syari’ah. 3. Bapak Drs. Mohamad Solek, M.A selaku Ketua Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syari’ah yang selalu memberikan mtivasi kepada penulis. 4. Bapak Agus Nurhadi, M.A selaku dosen pembimbing I dan bapak Moh. Khasan, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan viii
waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 5. Bapak Arif Junaidi, M.Ag sebagai wali studi penulis yang turut memberi masukan dan arahan selama belajar di kampus hijau. 6. Dosen, pegawai, dan seluruh civitas akademika di lingkungan Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. 7. Lembaga Swadaya Masyarakat Fahmina yang telah memberikan masukan dan sebagai tempat share penulis. 8. Saudari Eva Risan, MH dan Saudari Ani (LRC-KJHAM) yang selalu berkenan meminjamkan refrensi bagi penulis. 9. Ayahanda Bapak Warno dan Ibunda Munik tercinta yang rela ikhlas mendo’akan dan merestui penulis selama menuntut ilmu sehingga memudahkan dalam menjalaninya, serta telah memberikan materi yang tiada henti tanpa mengharap balasan. 10. Kakak dan adik penulis (Yasin dan Fathurrohman) yang selalu penulis hormati dan sayangi,
kalianlah yang selalu memberikan banyak inspirasi dan
membuat penulis terus tanpa henti untuk memberikan yang terbaik sebagai uswah kalian, kalianlah yang penulis banggakan, semoga kalian menjadi anak yang sholeh sehingga kelak mampu menjadi generasi bangsa yang berguna bagi keluarga, ummat, agama, negara dan bangsa. 11. Keluarga besar dari kakek Jasmani-Suminah. Almh, dan kakek KastuniSayem. Almh, paman, bibi dan yang lainnya tanpa bisa saya sebutkan satu persatu karena telah mengajarkan ilmu kehidupan pada penulis, untuk setia dan konsisten dalam menjalani hidup agar tetap tegar dan sabar. 12. Keponakan dan sepupu-sepupu penulis, Manda, Nita dan Bayu Adiyaksa . 13. Ikhwan-akhwat seperjuangan di HMI Cabang Semarang dan kader-kader HMI semuanya yang menggulirkan semangat untuk tetap pada konsistensi idealisme dalam perjuangan dan terima kasih atas segala bantuan dan motivasinya. 14. Sahabat-sahabatku dalam perjuangan Saudara Agus Tohir, Saudara Huda, Saudara Yusuf, Saudara Muhaz, Segenap Pengurus HMI Cabang Semarang ix
pereode 2011/2012 M , kawan-kawan Takmir HMI Cabang Semarang (Murtaqi Ali So’im, Firman Wahono, Tian Purwoyuono, Mustika Aslam Baehaq, Hasan Fu’adi, dan Miftahul Munir), Anak-Anak Ulil Albab, Anakanak Assalam dan lainnya yang selalu membantu banyak hal bahkan memberi motivasi dan tempat bertukar pikiran dalam proses penulisan skripsi ini. 15. Beserta semua kawan-kawan gerakan mahasiswa yang telah menggulirkan keteguhan dalam menyusuri dan menapaki jalan dialektika perjuangan dan berkorban mencapai kristalisasi diri menuju karakter ulul albab untuk mengabdikan diri dijalan-Nya membela kaum yang tertindas (Mustadh’afien) . Mereka semua dari PMII, IMM, LMND, GMNI, SMI, GMKI, KAMMI, PMKRI, HMI DIPO, HIKMAH BUDHI, LBH, KP2KKN, KNPI, PII beserta gerakan buruh, LSM, ORMAS dan kawan-kawan lain yang tidak saya sebutkan satu persatu dalam skripsi ini. 16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang mengajarkan arti kehidupan, kesederhanaan dan kerendahan hati untuk penulis agar mengikhlaskan segala yang telah diperjuangkan untuk menjadi insan paripurna. Dan yang selalu mengalirkan inner powernya ditiap gerak penulis. Penulis berdo’a semoga semua amal dan jasa baik dari semua pihak dapat pahala yang berlipat ganda. Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari kesempurnaan yang ideal, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dan kesempurnaan dalam berkarya dikemudian hari. Akhirnya, hanya kepada Allah penulis berdo’a, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca semuanya dan mendapat ridho dari-Nya. Amin. Amin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Semarang, 9 Desember 2011 Penulis
MUSTHOFA NIM. 072211001
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................ii ABSTRAK..........................................................................................................iii MOTTO...............................................................................................................iv PERNYATAAN.................................................................................................v PERSEMBAHAN..............................................................................................vi KATA PENGANTAR........................................................................................vii DAFTAR ISI......................................................................................................viii
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................1 B. Rumusan Masalah........................................................................10 C. Tujuan Penelitian..........................................................................10 D. Manfaat Penelitian.......................................................................11 E. Telaah Pustaka.............................................................................11 F. Metode Penelitian........................................................................14 G. Sistematika Penulisan...................................................................17
BAB II : KONSEP TRAFFICKING
(PERDAGANGAN ORANG) DAN
HUKUM PIDANA ISLAM A. Konsep Trafficking..................................................................... 19 1. Pengertian Trafficking dan Bentuk-Bentuk Trafficking.......19 2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Trafficking (Perdagangan Orang)...................................................................................22 3. Modus
Operandi
Maraknya
Trafficking
(Perdagangan
Orang)...................................................................................23
xi
B. Sistem Hukuman dalam Konsep Hukum Pidana Islam..............28 1. Jarimah Hudud .....................................................................28 2. Jarimah Qishosh Diyat..........................................................29 3. Ta'zir.....................................................................................33 C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam............................................39 1. Pengertian Qiyas..................................................................39 2. Rukun Qiyas........................................................................41 3. Syarat-Syarat Qiyas.............................................................42 4. Macam-Macam Qiyas..........................................................47 5. Qiyas dalam Menentukan Jarimah.......................................48
BAB III : ASPEK PIDANA TRAFFICKING DAN TRAFFICKING DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM A. Aspek Pidana Trafficking..........................................................51 B. Trafficking (Peradagangan Orang) dalam Pandangan Hukum Pidana Islam.............................................................................58
BAB IV : HUKUM
PIDANA
ISLAM
DAN
PENAMBAHAN
1/3
HUKUMAN DAN PEMBERLAKUAN HUKUMAN MINIMAL DALAM PASAL 7 UU NO. 21 TAHUN 2007 A. Unsur Pidana dan Pemberatan Sanksi dalam Pasal 7 UU No. 21 tahun 2007................................................................................73 B. Penambahan 1/3 Hukuman dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007..........................................................................................77 C. Pemberlakuan Hukuman Minimal dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007..........................................................................................89
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................97 B. Saran.............................................................................................98
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering didapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual atau biasa disebut dengan human trafficking. Terutama pada wanita untuk perzinaan atau dipekerjakan tanpa upah. Tentunya ini semua tidak sesuai dengan syari’ah dan norma-norma yang berlaku („urf). Kemudian bila kita tinjau ulang ternyata manusia-manusia tersebut berstatus hur (merdeka).1 Perdagangan manusia (trafficking in human) merupakan masalah yang sangat kompleks. Perdagangan manusia telah menjadi bisnis lintas negara, yang mempunyai jaringan sangat rapi, mulai dari tingkat lokal maupun internasional, yang sulit dipantau aparat. Berbagai upaya preventif telah dilakukan, namun hingga kini praktek kejahatan ini terus berjalan. Dengan lahirnya DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) penganiayaan secara fisik maupun mental, perbudakan, memperdagangkan orang dan mengeksploitasi orang lain, merupakan perbuatan yang disebut sadisme (kekejaman) dan pelanggaran terhadap nilai humanisme. Dalam hukum Islam, trafficking, meski dalam prakteknya jelas lebih kompleks, bisa di-qiyas-kan dengan perbudakan. Upaya penghapusan perbudakan telah ada sejak zaman Nabi Muhammad 1
Faqihuddin Abdul Qodir, dkk., Fiqh Anti Trafficking; Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, Cirebon: Fahmina Institut, 2006, hlm. 71.
2
saw. Semangat menghapus perbudakan terus menggelora dalam literatur hukum Islam.2 Salah satu bukti yang sangat nyata adalah pilihan hukuman bagi pelanggar ajaran Islam adalah memerdekakan budak. Kemudian Nabi Muhammad menguraikan banyak hal, termasuk begaimana seharusnya dalam membebaskan budak.3 Allah
menyuruh
kepada
pemilik
budak
agar
memberikan
kesempatan kepada budak mereka yang ingin membebaskan dirinya dari perbudakan dengan menebus dirinya dengan harta, bilamana budak itu bermaksud baik juga punya sifat jujur dan amanah. Baik pembayaranya secara berangsur atau kontan. Ini adalah suatu cara yang disyari`atkan Islam untuk melenyapkan perbudakan, sebab pada dasarnya Islam tidak mengakui perbudakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan bertentangan pula dengan harga diri seseorang yang dalam Islam sangat dihormati.4 Manusia adalah makhluk Allah Swt yang dimuliakan, sehingga anak Adam ini dibekali dengan sifat-sifat yang mendukung, seperti akal untuk berfikir, kemampuan berbicara, bentuk rupa yang baik serta hak kepemilikan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.5 Tatkala Islam memandang manusia sebagai pemilik, maka hukum asalnya ia tidak dapat dijadikan sebagai barang yang dapat dimiliki atau diperjualbelikan. 2
Ibid, hlm. 63. Asrori S. Karni, ed, Pesan-Pesan Taqwa Nurcholish Masjid; Kumpulan Khutbah Jum‟at di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 73. 4 Muhammad Rifai, al-Qur`an dan Tafsirnya 6, Semarang: CV. Wicaksana,1993, hlm. 629. 5 Thabathaba’i, al-Mizan fiy Tafsir al-Qur‟an, Juz XIII, Beirut: Mu’assasah al-Islamiy li al-Mathbu’at, tt, hlm. 152. 3
3
Hal ini berlaku jika manusia tersebut berstatus merdeka, tetapi di zaman modern ini tidak ada manusia yang tidak merdeka. Perbudakan, dalam arti zaman jahiliyah, disepakati ulama untuk diharamkan. Tidak berarti perbudakan kemudian lenyap. Perbudakan era jahiliyah kini menjelma dalam bentuk trafficking atau perdagangan manusia untuk kepentingan bisnis prostitusi yang dikelola sangat rapi oleh jaringan mafia internasional. Sebagaimana perbudakan berbau seks yang terjadi pada masa Nabi dilarang yang disebutkan dalam QS: al-Nûr: 336
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak (belum) mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah menganugerahinya kemampuan. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (untuk pembebasan dirinya) hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka menginginkan kesucian diri, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa memaksa mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa”. (Q.S. al-Nur:33).
6
hlm. 549.
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, 1989,
4
Dengan memperhatikan ayat di atas, trafficking harus diharamkan, dan semua yang terlibat didalamnya berdosa. Pengharaman trafficking tentu bukan tanpa alasan. Akan tetapi pengharaman saja belumlah cukup. Bagi pelaku yang melakukan trafficking juga harus diberi sanksi yang dapat mencegah terulanginya perbuatan ini. Hukuman yang diberikan adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana oleh pelaku, Sebab disamping dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan karena merampas dan menodai hak-hak dasar manusia, juga mengancam dan merusak tatanan nilai yang dibangun ajaran agama seperti keadilan, kesetaraan, kemaslahatan. Nilai-nilai yang sangat penting dan menjadi dasar pijakan dalam upaya membangun hubungan kemanusiaan ideal. Isu perdagangan anak dan perempuan mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tatkala ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lain pada peringkat ketiga atau terendah di dalam merespon isu ini.7 Secara rinci perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seks komersial di Indonesia menurut data Polri mencapai 173 kasus yang dilaporkan dan 134 kasus selesai pada tahun 1999, pada tahun 2000 sebanyak 24 kasus dan yang selesai 16 kasus dan pada tahun 2001 sebanyak 178 kasus dilaporkan dan 128 kasus bisa terselesaikan.8
7
Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2006. Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, hlm. 34. 8 M. Zaelani Tammaka. 2003. Menuju Jurnalisme Berperikemanusiaan Kasus Trafficking dalam Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY. Surakarta: Aji Surakarta, hlm. 3.
5
Trafficking atau perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak merupakan jenis perbudakan pada masa modern telah menjadi isu besar yang menjadi perhatian regional dan global. Diperkirakan tiap tahun ada dua juta manusia diperdagangkan di dunia ini dan sebagian besarnya adalah anak dan perempuan.9 Dalam kacamata hukum Islam, hukum diturunkan, pasti memiliki tujuan untuk kemaslahatan manusia. Hukum ada bukanlah untuk dirinya melainkan untuk kehidupan manusia di dunia. Maka dari itu, agama Islam membawa ajaran yang memiliki dinamika yang tinggi. Hukum-hukumnya berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas. Indonesia menjadi pemasok utama jaringan perdagangan perempuan dan anak dengan tujuan eksploitatif; pelacuran dan pornografi, pengemis, pekerja rumah tangga, perdagangan obat terlarang, pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan dan perkawinan trans -nasional.10 Menurut M. Ma’ruf ad-Dawaliby dalam Al-Madkhal Ila „Ilm AlUshul-nya, menjelaskan bahwa produk hukum apapun dalam Islam harus mempertimbangkan unsur maslahat yang tercakup dalam daruriyat alkhamsah.11 Sedangkan menurut Manna al-Qathan dalam Juhaya S. Praja menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan syari’ah adalah segala
9
Buletin Blakasuta Ruang Merayakan Keterbukaan, Perdagangan Perempuan dan Anak; Sebuah Praktek Neo-Slavery dan Pelanggaran HAM, ed. VII, Cirebon: Fahmina Institut, 2004, hlm. 4. 10 Ibid. 11 M. Ma’ruf ad-Dawaliby, Al-Madkhal Illa „Ilm Al-Ushul, Irak: Dar Al-Ilm, 1385/1965 M, hlm. 309.
6
ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.12 Jadi, dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa maqashid alsyari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia. Kemaslahatan ummat sama dengan istilah maqashid alsyari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :13 “Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam
mewujudkan kemaslahatan diniyah dan duniawiyah secara
bersama-sama”. Di dalam al-Quran salah satu ayat yang menyatakan bahwa hukum Islam itu diturunkan mempunyai tujuan kemaslahatan bagi manusia. . (Q.S. Al-Maidah : 15-16).14
Artinya: Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya.
12
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995,
hlm.10. 13
Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cet. I, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 64. 14 Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemahannya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1989, hlm 161.
7
Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan.15 Dengan kitab Itulah Allah menunjuk orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuk mereka ke jalan yang lurus. (Q.S. Al-Maidah : 15-16) Menurut Sajtipto Raharjo hukum tidak dapat dipisahkan dari hal lain dari hukum dan signifikansinya dalam formulasi hukum adalah kaitannya dengan “fungsi”. Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu yaitu keadilan.16 Hadirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2007 merupakan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan manusia. Kata “trafficking” dewasa ini sangat populer. Setelah UndangUndang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) diundangkan pada tanggal 19 April 2007, jelaslah sudah trafficking adalah perdagangan orang, yakni:17 “Serangkaian tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Pasal 1 Ayat 1).
15
Ibid, Cahaya Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dan kitab Maksudnya: Al Quran. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: alumni, 1988, hlm. 26-27. 17 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No.21 Tahun 2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 3. 16
8
Meskipun sanksi pidananya sangat jelas, penjara 3-15 tahun dan denda Rp. 120 - 600 juta (Pasal 2-6), namun angka trafficking tidak menunjukkan
penurunan.
Hal
yang
demikian
ini,
sangatlah
memprihatinkan. Dan dalam pasal 7 menyebutkan bahwa: Ayat (1) menyebutkan Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.18 Ayat (2) menyebutkan Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).19 Ada beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 yang menyebutkan mengenai sanksi tindak pidana perdagangan orang. Diantaranya terdapat pada: 1. Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 18
Diambil dari internet dalam http://gerakanantitrafficking.com, pada tanggal 21 Desember 2010 pukul 10.00 WIB. 19 Ibid.
9
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 2. Pasal 3 Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 3. Pasal 4 Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 4. Pasal 5 Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 5. Pasal 6 Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 6. Pasal 7 (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3
10
(sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Ada sebuah peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan pasal 2 dengan pasal 7 terkait masalah hukuman yang diberikan kepada pelaku trafficking. Namun, yang perlu dicermati dalam peningkatan itu adalah apakah sudah seimbang atau belum. Adapun permasalahan yang akan diangkat penulis dalam skripsi ini adalah bagaimana Islam memandang konsep penambahan 1/3 hukuman dan pemberlakuan hukuman minimal dalam pasal 7 Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebagai sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana trafficking yang mengakibatkan cacat fisik maupun mental dan mengakibatkan korban trafficking terbunuh. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis menangkap beberapa indikasi yang bersifat kontradiktif antara penambahan 1/3 hukuman dan pemberlakuan hukuman minimal dengan hukuman dalam cara pandang Islam, kaitannya dengan visi hukum yakni tercapainya keadilan dan kemaslahatan ummat.
11
Oleh karena itu untuk mempermudah dan memperjelas penentuan arah penelitian ini, maka penulis sistematiskan beberapa rumusan masalah yang dianggap masih dalam dataran debatable dalam bentuk questioner; 1. Bagaimana aspek pidana Trafficking (Perdagangan Orang) dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dan bagaimana hukum pidana Islam memandang trafficking? 2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap penambahan 1/3 hukuman dan pemberlakuan hukuman minimal dalam pasal 7 UndangUndang No. 21 tahun 2007? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah antara lain: 1. Untuk mengetahui bagaimana aspek pidana trafficking dalam UndangUndang No. 21 tahun 2007 dan trafficking perspektif hukum pidana Islam. 2. Menganalisis penambahan 1/3 hukuman dan pemberlakuan hukuman minimal dalam pasal 7 Undang-Undang no. 21 tahun 2007 menurut kaca mata sanksi hukum pidana Islam. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Adapun
manfaat
dari
penelitian
ini
adalah
untuk
mengembangkan pengetahuan tentang trafficking, yang mampu memperkaya khazanah keilmuan. Selain itu, manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperluas cakupan tidak pidana atau jarimah dalam keilmuan hukum pidana Islam.
12
2. Secara Praktis Mampu memberikan solusi alternatif dalam memberikan hukuman yang sesuai bagi pelaku trafficking yang mengakibatkan cacat mental maupun cacat fisik dan kematian korban trafficking. E. Telaah Pustaka Penelitian seputar hukum pidana terhadap tindak pidana trafficking dalam belantika fiqh jinayah belum begitu banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Namun, dalam khazanah klasik, trafficking yang terjadi di era modern ini dapat ditemukan dalam praktek perbudakan. Ketika trafficking ini mengakibatkan luka secara fisik dan mental maka bisa dikatakan perbudakan yang disertai dengan penganiayaan. Ketika trafficking ini mengakibatkan kematian korban, maka dapat dikatakan perbudakan yang disertai pembunuhan.
ada pendekatan yang berbeda dalam pengujian
datanya. Untuk itu, penulis akan menyebutkan beberapa literatur yang akan penulis jadikan sebagai previous finding (penelitian maupun penemuan sebelumnya). Penulis tidak menafikan keberadaan literatur lain dari karya-karya dokumenter yang ada dan akan penulis sebutkan dalam tela’ah kepustakaan ini: Skripsi M. Miftahul Khoir mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, yang berjudul “Restitusi dalam Pasal 48 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”. Skripsi ini merupakan karya tulis yang cukup memberikan gambaran mengenai trafficking, yang berisi mengenai
13
ganti rugi yang diperuntukkan untuk si korban.20 Namun, ada beberapa hal yang masih perlu dibicarakan lebih jauh, berkenaan dengan analisis terhadap perbandingan restitusi antara menurut Islam dan umum. Dalam memaparkan restitusi juga masih kurang mendalam. Dalam skripsi saudara Muhammad Rois Najahan salah satu mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berjudul “Tindak Pidana Perdagangan Anak dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”. Skripsi ini cukup memberikan informasi kepada penulis tentang perbandingan pemberian hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana perdagangan anak menurut hukum pidana Islam dan dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007.21 Namun, dalam menganalisis terkesan masih kurang dalam karena hanya memberikan simpulan hukumannya saja, tanpa diulas lebih dalam. Buku karya Faqihuddin Abdul Kodir, dkk. yang berjudul “Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam”. Ditulis oleh para aktivis dan pakar yang memiliki basis keilimuan Islam klasik, yakni Faqihuddin Abdul Kodir, Muqsith Ghazali, Imam Nakha’i, KH. Husein Muhammad dan Marzuki Wahid. Buku ini merupakan referensi yang representatif dalam membahas traffikicng dalam perpektif hukum Islam secara moral sosial. Buku “Fiqh Anti Trafiking” ini hadir sebagai ijtihad dalam upaya 20
M. Miftahul Khoir, Restitusi dalam Pasal 48 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2009. 21 Muhammad Rois Najahan, Tindak Pidana Perdagangan Anak dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010.
14
menjawab berbagai kasus kejahatan perdagangan manusia dengan perspektif hukum Islam. Buku ini menyajikan bahasan komprehensif kajian fiqh seputar kasus-kasus trafficking.22 Temuan di buku ini hanya memberikan pemahaman bahwa trafficking adalah haram, tapi hukuman yang tepat bagi pelaku tidak disebutkan secara gamblang. Selain itu, ada sebuah laporan penelitian kolektif menegenai “Aspek Hukum Perdagangan Perempuan dan Hubungannya dengan Pemberdayaan Perempuan di Kota Semarang”yang dilaksanakan oleh Tolkhah, M.A, Taufiq CH, dan Moh. Arifin.23 Penelitian ini dilaksanakan sebelum lahirnya UU No. 7 Tahun 2007 Tentang trafficking. Penelitian ini memberikan
pemahaman
tentang
aspek
hukum
trafficking
dan
memberikan informasi tentang pemberdayaan perempuan korban praktek trafficking. Buku ini hanya mencari aspek hukum yang berkaitan dengan trafficking. Hal ini dikarenakan hasil penelitian ini belum ada undangundang yang mengatur trafficking secara pasti. F. Metode Penelitian Penelitian ini dapat digolongkan dalam jenis penelitian kualitatif dengan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis dari orang-orang dan prilaku (subjek) yang diamati. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang genuine, akurat dalam menjawab
22
Faqihhudin Abdul Qadir. Dkk., Fiqh Anti Trafikin; Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, Cirebon: Fahmina Institut, 2006. 23 Tolhah. Dkk., Aspek Hukum Perdagangan Perempuan dan Hubungannya Dengan Pemberdayaan Perempuan di Kota Semarang, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2005.
15
beberapa persoalan yang diangkat dalam penulisan ini maka menggunakan metode: 1. Jenis penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu, penelitian ini hanya berupaya melakukan pengkajian ulang terhadap semua literatur yang terkait dalam masalah trafficking. 2. Sumber data a. Sumber data primer Karena persoalan yang diangkat oleh penulis berawal dari konsep trafficking maka sumber utama adalah Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selanjutnya trafficking ini dikontekskan dengan al -Qur’an mengenai perbudakan, penganiayaan dan pembunuhan, maka untuk melakukan studi terhadapnya sumber utama yang dijadikan pijakan awal oleh penulis adalah Undang-Undang No. 21 tahun 2007 dan al-Qur’an. Selain itu, penulis juga mengambil sumber dari kitab yang membahas tentang perbudakan, yaitu Bidayah alMujtahid dan Muwaffaqat. Hasil dari data ini hanya sampai pada dataran data deskriptif. b. Sumber data sekunder Sebagai kerangka teori untuk melakukan analisa terhadap konsep yang sudah ada sebagaimana dideskripsikan dalam
16
Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan al-Qur’an, penulis mencari dan memakai ide dari buku-buku yang mempunyai signifikansi dengan bidang kajian sebagaimana diangkat oleh penulis, baik buku atau kitab tersebut berupa literatur dari disiplin ilmu tafsir, ilmu ushul fiqh, kaidah fiqhiyah dan sosiologi. 3. Teknik pengumpulan data Karena penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kepustakaan, maka untuk mendapatkan data penulis melakukan pencarian
dan
mengumpulkan
melalui
perpustakaan
untuk
mendapatkan buku maupun literatur yang relevan dengan pokok bahasan. 4. Analisis data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis data deskriptif dengan menyampaikan kembali data yang sudah ada sebelumnya. Selanjutnya menganalisa data tersebut secara logis dan sistematis untuk menguji tingkat akurasi data yang sudah ada. Metode ini digunakan oleh penulis untuk mengeksplorasi data. Selanjutnya, untuk membaca dan menganalisis data deskriptif tersebut, penulis menggunakan nalar pikir induksi. Nalar pikir induksi dilakukan dengan cara menganalisa beberapa studi kasus
yang ada dan
peraturan perundang-undangan
yang
membahas mengenai hukuman bagi pelaku yang melakukan
17
trafficking.
Penulis
menggunakannya
untuk
melihat
dan
mendapatkan beberapa bukti, argumentasi melalui indikator. Sebagai landasan berpikir, penulis menggunakan paradigma rasionalistik yang bertolak pada filsafat rasionalisme dengan pandangan bahwa kebenaran adalah kebenaran yang sesuai dengan logika formal maupun material. Pendekatan yang dipakai oleh penulis sebagai pisau analisa adalah pendekatan qiyas, yakni “Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”.24 G. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan, skripsi ini secara sistematis terbagi menjadi lima bab: BAB I Berisi mengenai latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan, manfaat dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penelitian. BAB II Berisi tentang konsep trafficking dan hukum pidana islam. Meliputi Pengertian trafficking ( perdagangan orang) faktor-faktor penyebab terjadinya trafficking, modus operandi maraknya trafficking. konsep jarimah qishas, diyat dan ta‟zir dalam hukum pidana Islam. BAB III Dalam bab ini berisi mengenai Aspek Pidana trafficking dan Trafficking dalam Pandangan Islam. 24
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa fi Ilm al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyyah, hlm. 54.
18
BAB IV Berisi tentang analisis tinjauan hukum pidana Islam terhadap penambahan 1/3 hukuman dan pemberlakuan hukuman minimal dalam pasal 7 Undang-Undang no. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. BAB V Merupakan proses akhir dari semua bab sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai hipotesa penulis yang berkaitan dengan penambahan 1/3 hukuman dan hukuman minimal dalam pasal 7 UndangUndang no. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (Trafficking), dan dalam bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan di akhiri dengan penutup.
19
BAB II KONSEP TRAFFICKING (PERDAGANGAN ORANG), HUKUM PIDANA ISLAM DAN KONSEP QIYAS DALAM HUKUM PIDANA
A. Konsep Trafficking 1. Pengertian Trafficking dan Bentuk-Bentuk Trafficking. a) Pengertian Trafficking Trafficking diartikan semua tindakan dan tindakan tersebut meliputi perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan, bukti transfer, atau penampungan dari seorang dengan; 1. Melibatkan penggunaan penipuan, paksaan (termasuk penggunaan atau ancaman kekerasan atau penyalahgunaan wewenang). 2. Untuk tujuan menempatkan atau menahan orang tersebut, baik untuk membayar atau tidak, dalam perbudakan yang penuh pemaksaan (domestik, seksual atau reproduksi), yang berlaku atau tenaga kerja terikat, atau dalam kondisi seperti perbudakan, dalam acommunity lain dari satu di mana orang tersebut tinggal pada waktu penipuan asli, pemaksaan.1 Protokol Palermo2 juga mendefinisikan trafficking, bahwa:
1
Fondation Against Trafficking in Women, International Human Rights Law Group, Global Alliance Against Traffic in Women, Human Rights Standards for The Treament of Trafficked Persons, third edition, 2001, hal 5. 2 Unicef, Combating Child Trafficking Guid for Lawmakers,diterjemahkan Memerangi Perdagangan Anak Panduan Bagi Pembuat Undang-Undang, tt, hlm. 20.
20
“perdagangan manusia (traffiking) adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan wewenang atau posisi rentan atau memberikan atau menerima pembayaran sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi mencakup paling tidak, eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktekpraktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh”. b) Bentuk-Bentuk Trafficking Ada beberapa bentuk Trafficking manusia yang terjadi pada perempuan dan anak-anak:3 1. Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks – baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, PRT, pekerja restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja. 2. Pembantu Rumah Tangga (PRT) – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. PRT baik yang di luar negeri maupun yang di Indonesia di trafik ke dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang termasuk: jam 3
Bulletin Blakasuta, Memihak Korban Trafiking; Fenomena Perdagangan Perempuan di Wilayah III Cirebon,ed. 07, Cirebon: Fahmina, 2004, hlm. 1.
21
kerja wajib yang sangat panjang, penyekapan ilegal, upah yang tidak dibayar atau yang dikurangi, kerja karena jeratan hutang, penyiksaan fisik ataupun psikologis, penyerangan seksual, tidak diberi makan atau kurang makanan, dan tidak boleh menjalankan agamanya atau diperintah untuk melanggar agamanya. Beberapa majikan dan agen menyita paspor dan dokumen lain untuk memastikan para pembantu tersebut tidak mencoba melarikan diri. 3. Bentuk Lain dari Kerja Migran – baik di luar ataupun di wilayah Indonesia. Meskipun banyak orang Indonesia yang bermigrasi sebagai PRT, yang lainnnya dijanjikan mendapatkan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian di pabrik, restoran, industri cottage, atau toko kecil. Beberapa dari buruh migran ini dalam kondisi kerja yang sewenang-wenang dan berbahaya dengan bayaran sedikit atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Banyak juga yang dijebak di tempat kerja seperti itu melalui jeratan hutang, paksaan, atau kekerasan. 4. Pekerjaan di tempat konstruksi, perkebunan dan lainya dengan tanpa upah.4 5. Pengantin Pesanan – terutama di luar negeri. Beberapa perempuan dan anak perempuan yang bermigrasi sebagai istri dari orang berkebangsaan asing, telah ditipu dengan perkawinan. Dalam kasus semacam itu, para suami mereka memaksa istri-istri baru ini untuk
4
Women‟s Krisis Center dan Unied Nation Population Fund, Komik Trafiking;Jejak Langkah yang Lelah, Palembang: Tanpa Penerbit, 2008, hal. 24.
22
bekerja untuk keluarga mereka dengan kondisi mirip perbudakan atau menjual mereka ke industri seks. 6. Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak – terutama di Indonesia. Beberapa (tidak semua) anak yang berada di jalanan untuk mengemis, mencari ikan di lepas pantai seperti jermal, dan bekerja di perkebunan telah ditrafik ke dalam situasi yang mereka hadapi saat ini. 7. Trafficking/ penjualan Bayi – baik di luar negeri ataupun di Indonesia. Beberapa buruh migran Indonesia (TKI) ditipu dengan perkawinan palsu saat di luar negeri dan kemudian mereka dipaksa untuk menyerahkan bayinya untuk diadopsi ilegal. Dalam kasus yang lain, ibu rumah tangga Indonesia ditipu oleh PRT kepercayaannya yang melarikan bayi ibu tersebut dan kemudian menjual bayi tersebut ke pasar gelap. 2. Faktor-Faktor
Penyebab
Terjadinya
Trafficking
(Perdagangan
Orang) Adapun beberapa hal yang menjadi faktor terjadinya trafficking di antaranya adalah:5 a. Kurangnya Pendidikan Buta huruf dan pendidikan rendah merupakan salah satu faktor yang turut menyebabkan kerentanan terhadap perdagangan perempuan. Minusnya pengalaman menyulitkan para gadis muda 5
Tolkah, dkk., Aspek Hukum Perdagangan Perempuan dan Hubungannya dengan Pemberdayaan Perempuan di Kota Semarang, Semarang: Pusat Pengabdian Masyarakat IAIN Walisongo Semarang, 2005, hlm. 43-52.
23
untuk mendapatkan pekerjaan lain atau jalan lain agar dapat menghidupi keluarga mereka. Dengan pendidikan yang rendah dan tingkat melek huruf yang rendah menyulitkan mereka dalam menghadapi perempuan, ketika para gadis muda ini dieksploitasi dan dihadapkan kontrak kerja yang merugikan mereka.6 b. Kemiskinan Kemiskinan
telah
memaksa
banyak
keluarga
untuk
merencakanan strategi penopang kehidupan pada anak perempuan mereka, termasuk bermigrasi untuk bekerja. Pekerjaan sebagai buruh migran sangatlah rentan dengan trafficking. c. Perempuan Tulang Punggung Keluarga Suami yang merupakan kepala keluarga berkewajiban mencukupi kebutuhan keluarga. Terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menjadikan sesuatu berbalik arah, tidak jarang wanita yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Kejadian ini yang turut memicu terjadinya trafficking. d. Kehilangan Jati Diri Kehilangan jati diri dapat disebabkan beberapa hal, karena putus asa, diperlakukan tidak adil, diperkosa, korban asmara dan lain-lain. Dengan adanya kejadian ini kondisi psikis kaum perempuan maupun anak keadaan psikologinya tergoncang.
6
Dian Heryasyih, dkk., Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: USAID, Yayasan YJP, ICMC dan Solidarity Center, 2003, hlm. 25.
24
e. Kekerasan dalam Rumah Tangga Dalam keluarga, anak tidak hanya diharapkan untuk menghormati dan mematuhi orang tuanya, tetapi membantu mereka juga. Wujud bantuan itu beragam, mulai menjaga adik, membantu kerja di ladang sampai bekerja penuh waktu. Terdapat data yang mengatakan bahwa di Indonesia 8,3 % anak yang berumur antara 1014 tahun dan 38, 5 % anak yang berumur 15-19 tahun bekerja di luar rumah.7 Banyaknya bentuk perburuhan anak tersebut yang dapat disebut sebagai perdagangan diakibatkan adanya kekerasan dalam keluarga. f. Pernikahan Dini Gadis yang menikah hanya sedikit mengecap pendidikan, biasanya mereka akan berhenti sekolah setelah menikah. Pasangan muda ini, mengalami tingkat perceraian yang tinggi, sehingga para perempuan tersebut rentan terhadap perdagangan, karena mereka harus menanggung beban kehidupannya sendiri dan anak-anak mereka buah perkawinan yang sudah bercerai berai. 8 3. Modus Operandi Maraknya Trafficking (Perdagangan Orang) a. Modus Operandi yang Digunakan dengan Janji-janji Indah Kasus-kasus
perdagangan
manusia
dimana
perempuan
dewasa menjadi korbannya. Korbannya merupakan para pencari
7
Irwanto Nugroho F & Imelda, Perdagangan Anak di Indonesia, Jakarta: ILO, 2001, hlm. Hlm. 28 8 Oey-Gardiner M, Women and Men at Work in Indonesia, Jakarta: PT Insan Hitawasana Sejahtera, 1999, hlm. 28.
25
kerja yang tertipu oleh janji-janji indah dari biro pencari kerja. Malaysia merupakan tempat tujuan pelaku perdagangan manusia dimana korban perdagangan manusia ini kemudian dipekerjakan dengan gaji yang amat rendah dan jauh di bawah standar hidup serta janji dari lembaga yang mengirim mereka.9 Standar hidup yang 25 ringgit hanya dipenuhi dengan 8 ringgit karena gaji habis dipotong untuk biaya administrasi pengiriman mereka yang tidak jelas. Kisah korban penipuan ini diceritakan oleh istri korban, Nur Zakiah (28 tahun) TKI asal Malang. Ibu muda dengan dua putra ini masuk Malaysia sejak Juni 1997. Dengan uang pinjaman sebesar 1,2 juta ia pergi berdua dengan suaminya. Sebagai kuli bangunan ia dijanjikan mendapat gaji 25 ringgit setiap hari. Namun oleh mandornya, gaji mereka dipotong hingga tinggal sekitar 2 ringgit setiap harinya. Katanya oleh mandor dijanjikan akan dibayarkan jika kontrak habis.10 Dalam kasus penjualan remaja di Sumatera Utara, didapati adanya dua model pola rekrutmen: Pertama, para anggota sindikat mendatangi desa-desa dan menawarkan pekerjaan kepada orangtua anak bahwa ada lowongan pekerjaan di restoran atau pabrik, sementara nantinya anak-anak perempuan tersebut dijual ke lokasi prostitusi. Kedua; melakukan pendekatan personal dan bujuk rayu
9
Harkristuti Harkrisnowo, Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia, Jakarta: Sentra HAM UI, 2003, hlm. 72. 10 Ibid, hlm. 73.
26
para remaja yang berada di pusat-pusat perbelanjaan, namun setelah itu mereka dijual. Setiap anak atau remaja yang dibawa ketempat penampungan dipaksa untuk menanggung biaya sendiri atau dinyatakan sebagai hutang yang kadang tak terlunaskan meski mereka telah bekerja. Di Jakarta ditemukan model rekrutmen yang umumnya berupa tawaran kerja yang menggiurkan yang ditawarkan dengan cara simpatik oleh orang yang dipercaya. Korban ditawari bekerja di restoran, industri garmen, pabrik atau sebagai pembantu rumah tangga. Dalam hal perdagangan bayi terdapat satu model rekrutmen yang merupakan jenis modus operandi baru, dimana wanita muda yang tengah hamil dan mengalami kesulitan keuangan direkrut dengan janji untuk dipekerjakan sebagai pelayan restauran dan sebagainya. b. Modus yang Dilakukan dengan Kekerasan Para korban mengungkapkan bahwa sebelum diberangkatkan pun mereka ternyata sudah mengalami kondisi yang buruk di tempattempat penampungan. Di tempat-tempat tersebut, mereka bukan diberi ketrampilan, tetapi justru sebagian sudah dieksploitasi untuk bekerja tanpa upah dengan kondisi hidup yang sama-sekali tidak layak.11
11
Gatra, 10 Oktober 1998, Tenaga Kerja Wanita Bagai Romusha ke Malaysia; Republika, 10 Juni 1999 (Terungkap Penipuan 89 TKI Asal Lombok); Kompas, 29 Juni 1999 (Ditipu, ratusan calon TKI pun mengamuk); Pos Kota, 20 Desember 1999 (23 TKW asal SumBar terlantar di Bogor); Republika, 31 Oktober 1997 (TKW asal Jawa disekap di Medan).
27
Salah satu contoh kasus adalah Laila (22 th) bersama 16 orang temannya, korban perdagangan perempuan yang berhasil diselamatkan pihak berwajib dalam suatu operasi penangkapan jaringan perdagangan perempuan pada akhir bulan September 2001 di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Laila menuturkan kejadian itu bermula pada saat ia ingin pulang ke Cirebon. Di stasiun KA Senen dia diajak berbicara oleh seorang pria yang menawarinya untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Laila menolak tapi dipaksa naik ke sebuah taksi menuju Yayasan Karya Setiawan. Esoknya Laila dibawa ke Bar Cempaka, dibeli seharga Rp. 300.000 dan sejak saat itu dia dijadikan wanita penghibur. Laila mendesak minta dipulangkan, namun tidak pernah dipenuhi dengan alasan ia harus mengganti uang pembelian dirinya, serta utang atas pakaian yang diberikan padanya. Setelah dipaksa menandatangani kontrak menjadi wanita penghibur, Laila terpaksa harus melayani tamu yang datang dengan tarif Rp. 50.000/orang. Setengah dari tarif itu harus disetor, sedang uang yang menjadi haknya baru bisa diterima dua bulan sekali. Laila yang tidak tahan kemudian melarikan diri. Laila mengaku saat ini sedang mengalami penyakit kelamin dan sebelumnya sering mengalami
28
pendarahan kelamin akibat siksaan yang dialaminya jika menolak melayani tamu.12 Demikian juga halnya yang terjadi di Tawau. Sejumlah wanita yang diperdagangkan serta dieksploitasi secara seksual di sana dipaksa dengan kekerasan serta ancaman kekerasan oleh para body guard mucikari yang biasa dipanggil boy, jika tidak mau melayani tamu. Rata-rata mereka melayani 5-15 tamu per hari.13 Sepanjang hari mereka diawasi ketat oleh para penjaga itu, bahkan tidak dapat keluar dari tempat “kerjanya“. Selain contoh kasus di atas, modus operandi penggunaan kekerasan/paksaan dalam rangka perdagangan manusia pun dilakukan oleh para pelaku. B. Sistem Hukuman dalam Konsep Hukum Pidana Islam Sistem hukuman dalam Islam, dapat di bagi menjadi beberapa bagian tergantung dari sudut pandang mana. Macam-macam tindak pidana (Jarimah) dalam Islam dilihat dari berat ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qishash diyat dan ta'zir.14 a) Jarimah Hudud yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman hukumannya ditentukan oleh nas yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri). Para ulama' sepakat 12
Media Indonesia. 1 Oktober 2001. Pengakuan Laila dan Terselamatkannya Para
13
Gatra, Dagang Seks Ke Negeri Jiran. No. 47. Oktober 2002. Ahmad Hanafi , Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm.
Belia.. 14
262
29
bahwa yang menjadi kategori dalam jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qadzf), mencuri (sirq), perampok dan penyamun (hirabah), minum-mnuman keras (surbah), dan murtad (riddah).15 b) Jarimah Qishsh Diyat yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qishash dan diyat. Baik qishash maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishash diyat ada beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishash bisa berubah menjadi hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi hapus. Adapun hukum qishash sendiri dibagi menjadi dua macam: 1. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana membunuh. Adapun yang termasuk dalam kategori jarimah qishash diyat antara lain pembunuhan sengaja (qatl amd), pembunuhan semi sengaja (qatl sibh amd), pembunuhan keliru (qatl khotho'), penganiayaan sengaja (jarh amd) dan penganiayaan salah (jarh khatha').16
15
Syeh al-islam Abi Yahya Zakariya al-Anshory, Fath al-Wahab bi al-Syarhi Minhaj alThullab, Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M/1414, hlm. 185-203. 16 Abi Bakr Sayyid al-Bakri, Hasiyah I‟anah al-Thalibin, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, hlm. 124. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,Juz 10, Terjemahan, Bandung: PT alMa‟arif, 1987, hlm. 39-42
30
a. pembunuhan sengaja (qatl amd)17 pembunuhan penganiayaan
sengaja
terhadap
(qatl
seseorang
amd) dengan
yaitu
perbuatan
maksud
untuk
menghilangkan nyawanya. Pembunuhan jenis ini harus memenuhi unsure-unsur sebagai berikut: 1) Korban adalah orang hidup 2) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan si korban 3) Ada niat pelaku untuk menghilangkan nyawa si korban 4) Menggunakan alat yang mematikan b. Pembunuhan Semi Sengaja (qatl sibh amd)18 Pembunuhan semi sengaja (qatl sibh amd) yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud untuk membunuh, akan tetapi mengakibatkan kematian. Adapaun unsure-unsunya adalaha sebagai berikut: 1) Pelaku melakukan perbuatan yang melakukan perbuatan kematian 2) Ada maksud penganiayaan atau permusuhan 3) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian korban. c. Pembunuhan Karena Salah (qath khotho') dalam jenis ini ada tiga kemungkinan:19
17
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Jiil, Juz I, 1409 H/ 1989 M, hlm. 509 18 Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Terjemahan, M. Ali Nursyidi dan Hunainah M. Thahir Makmun, Jakarta: P.T Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 399.
31
1) Bila pelaku pembunuh sengaja melakukan perbuatan dengan tanpa
maksud
melakukan
suatu
kejahatan,
tetapi
mengakibatkan suatu kematian seseorang 2) Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan memilki niat, membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh dibunuh, misalnya menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tetapi kawan sendiri. 3) Bila si pelaku tidak melakukan kejahatan tapi akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya hingga mati. Menurut Abi Diya‟ pada diri si pembunuh melekat tiga hak, yaitu hak Allah, hak terbunuh dan hak wali terbunuh. Maka seseorang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqishash sebagaimana yang terjadi pada korban.20 2. Qishash pelukaan, untuk tindak pidana menghilangkan anggota badan. Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliyah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.21 Dalam al-Qur‟an, anggota badan semua
19
Ibnu Rusyd, Op.cit, hlm. 601. Abi Yahya Zakariyya al-Anshari, .pO .cit, hlm. 155 21 Ibnu Hajar al-Tsaqalani, Bulugh al-Maram, Terjemahan Mahrus Ali, Bulugul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995, hlm. 513 20
32
anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, dalam (QS. Al-Maidah : 45)22
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Maidah: 45). Menurut Imam Nawawi, perhitungan pelukaan sebagai berikut:23 1) Mudhinah (luka sampai tulang), diyatnya 5 ekor unta (50) dinar, jika muka menjadi cacat ditambah setengahnya menjadi 75 dinar; 2) Hasyimah (luka sampai pecah tulang), diyatnya 10 ekor unta (100 dinar); 3) Munaqillah (luka sampai tulangnya meleset), diyatnya 15 ekor unta (150 dinar);
22
Departemen Agama, al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989 hlm.
167. 23
Dalam skripsinya Imron, Qishas dan Upaya Pencapaian Maslahah dalam al-Qur‟an Surat al-Baqarah Ayat 178, Semarang: Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang, 2006, hlm. 44. Lihat juga Ibnu Ruysd, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid, hlm. 565
33
4) Mukmumah (luka sampai kulit, tengkorak), diyatnya 1/3 diyat; 5) Jaifah (pelukaan rongga badan), diyatnya 1/3 diyat. c) Ta'zir Ta‟zir sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jnisjenis hukuman yang lain.24 Secara bahasa ta'zir merupakan mashdar (kata dasar) dari 'azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu.25 Ta'zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta'zir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera.26 Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan (bahaya). Jarimah Ta'zir jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus
24
Abdul Aziz Amir, al-Ta‟zir fi al-Syari‟ah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al-„Arabi, 1396H/1976 M, hlm. 38. Lihat juga Ahmad Hasan, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 250. 25 Muhammad Sayyid Sabiq, Op.cit, hlm. 497 26 Ibid, hlm. 497
34
sesuai dengan prinsip syar'i (nas).27Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Abd Qodir Audah membagi jarimah ta'zir menjadi tiga, yaitu28: 1) Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiyat, seperti pencurian harta syirkah, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan pencurian yang bukan harta benda. 2) Jarimah ta'zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari'ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama. 3) Jarimah ta'zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya. Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama uang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharotan 27
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. Xii. Audah, Abdul Qodir, Tasyri' Jina'I Islami, Beirut: Al Muassasah Al Risalah, 2000 M/ 1421 H, hlm. 180. 28
35
(bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i. Hukuman hukuman ta'zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman hukuman ta'zir antara lain: a) Hukuman Mati Pada dasarnya menurut syari'ah Islam, hukuman ta'zir adalah untuk memberikan pengajaran (ta'dib) dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukum ta'zir tidak
boleh
penghilangan
ada
pemotongan
nyawa.
Akan
anggota
tetapi
badan
beberapa
atau
foqoha'
memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata mata, pembuat fitnah, residivis yang membahayakan. namun menurut sebagian fuqoha yang lain, di dalam jarimah ta'zir tidak ada hukuman mati.
36
b) Hukuman Jilid Dikalangan fuqoha terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama' Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta'zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imam Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta'zir adalah 39 kali, dan menurut Abu Yusuf adalah 75 kali. Sedangkan di kalangan madzhab Syafi'i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Sedangkan pendapat ketiga, hukuman jilid pada ta'zir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat bahwa jarimah ta'zir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud. Dalam madzhab Hambali ada lima pendapat. Tiga di antaranya sama dengan pendapat madzhab Syafi'i di atas. Pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat kelima mengatakan bahwa hukuman
37
ta'zir tidak boleh lebih dari 10 kali. Alasannya ialah hadits nabi dari Abu Darda sebagai berikut: "Seorang tidak boleh dijilid lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam salah satu hukuman hudud". c) Hukuman Kawalan (Penjara Kurungan) Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, Hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dai hukuman ini adalah satu hari, sedang batas tertinggi, ulama' berbeda pendapat. Ulama' Syafi'iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama' ulama'
lain
menyerahkan
semuanya
pada
penguasa
berdasarkan maslahat. Hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah jarimah yang berbahaya.
38
d) Hukuman Salib Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan untuk jarimah ini hukuman tersebut meruapakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah ta'zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalam menjalankan sholat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha' tidak lebih dari tiga hari. e) Hukuman
Ancaman
(Tahdid),
Teguran
(Tanbih)
dan
Peringatan Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta'zir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancama akan dijilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rosulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rosulullah saw berkata, "Wahai Abu Dzar, Engkau menghina dia dengan menjelek jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat sifat masa jahiliyah."
39
Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari'at Islam dengan jalan memberi nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al Qur'an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz. f) Hukuman Pengucilan (al-Hajru) Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta'zir yang disyari'atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rosulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka'ab bin Malik, Miroroh bin Rubai'ah, dan Hilal bin Umaiyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. g) Hukuman Denda (tahdid) Hukuman Denda ditetapkan juga oleh syari'at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. C. Qiyas dalam Hukum Pidana Islam 1.
Pengertian Qiyas Qiyas dalam bahasa Arab berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur, menyamakan dan ukuran. Secara etimologi
40
qiyas berarti pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya29. Qiyas menurut berarti, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. Sedangkan
menurut
ulama‟
ushul
fiqih,
qiyas
berarti
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan „illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.30 Jadi qiyas merupakan mashodirul ahkam yang keempat setelah Al-Qur‟an, As-Sunnah dan ijma‟. Yakni cara mengishtinbatkan suatu hukum dengan cara menganalogikan antara dua hal yang memiliki kesamaan „illat tetapi yang satu belum ada ketentuan hukumnya dalam nash. والقيبس هو هب طلت الدالئل الووافقة على خجر الوتقدم هن الكتبة والسنة “Qiyas adalah metode berfikir untuk menemukan petunjuk makna yang sesuai dengan khabar yang sudah ada dalam al-Qur‟an dan sunnah”.
29 30
Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm.172 Muin Umar, dkk. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Departemen Agama, 1986, hlm.107
41
Adapun cara mengoperasionalkan qiyas ini yakni dimulai dengan mengeluarkan hukum yang ada pada kasus yang disebutkan dalam nash, setelah itu kita teliti „illatnya. Selanjutnya kita cari dan teliti „illat yang ada pada kasus yang tidak disebutkan dalam nash, sama ataukah tidak. Jika sudah diyakini bahwa „illat yang ada dalam kedua kasus tersebut ternyata sama maka kita menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan „illat.31 2.
Rukun Qiyas Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut:32 a.
Ashal (asal); yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/ menqiyaskan. Dalam istilah ushul disebut ashal ( )االصلatau maqis „alaih ( )الوقيس عليهatau musyabbah bih ()هشجه ثه.
b.
Far‟u
(cabang); yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya
yang diserupakan atau yang diqiyaskan. Di dalam istilah ushul disebut al-far‟u ( )الفرعatau al-maqis ( )الوقيسatau al-musyabbah ()الوشجه. c.
Hukum ashal ( ;)حكن االصلyaitu hukum syara‟ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pula bagi cabang.
31
Ibid, hlm. 107 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, diterjemahkan oleh Saefullah Ma‟sum,dkk., cet. II., Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 351. Lihat juga Djazuli.dkk, Ushul Fiqih, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2000, hlm. 136-137 32
42
d.
„illat ( ;)العلةyaitu sebab yang menyambungkan pokok dengan cabangnya atau suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat yang dicari pada far‟. Syarat-syarat „illat antara lain adalah:
a. „illat itu adalah sifat yang jelas, yang dapat dicapai oleh panca indra. b. Merupaka sifat yang tegas dan tidak elastis yakani dapat dipastiakan berwujudnya pada furu‟ dan tidak mudah berubah. c. Merupakan sifat yang munasabah, yakni ada persesuian antara hukum da sifatnya. d. Merupakan sifat yang tidak terbatsas pada aslnya, tapi bisa juaga berwujud pada beberapa satuan hukum yang bukan ashal. 3.
Syarat-syarat qiyas Setelah diterangkan rukuk-rukun qiyas, berikut akan diterangkan syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut. a. Ashal Menurut Imam al-Ghozali dan Syaifuddin al-Amidi yang keduanya adalah ahli ushul fiqh Syafiiyyah syarat-syarat ashal itu adalah:33
Hukum ashl itu adalah hukum yang telah tetap dan tidak mengandung kemungkinan dinasakhkan
33
Hukum itu ditetapkan berdasarkan syara‟
Harun Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995, hlm. 73
43
Ashl itu bukan merupakan far‟u dari ashl lainnya
Dalil yang menetapkan „illat pada ashal itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum
Ashl itu tidak berubah setelah dilakukan qiyas
Hukum ashl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas far‟u.
b. Al-Far‟u Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh al-far‟u yaitu:34
„Illat yang ada pada far‟u harus sama dengan „illat yang ada pada ashal. Contoh „illat yang sama dzatnya adalah mengqiyaskan wisky pada khamr, karena keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum hukumnya haram. „illat yang ada pada wisky sama dengan zatnya/materinya dengan „illat yang ada pada khamr. Contoh „illat yang jenisnya sama adalah mengqiyaskan wajib qishas atau perbuatan sewenang-wenang terhadap anggota badan kepada qishas dalam pembunuhan, karena keduanya sama-sama perbuatan pidana.
Hukum ashl tidak berubah setelah dilakukan qiyas. Misalnya, tidak boleh mengqiyaskan hukum mendzihar wanita dzimmi kepada mendzihar wanita muslimah dalam keharaman melakukan hubungan suami istri. Karena kaharaman hubungan suami istri
34
Ibid, hlm. 75-76
44
dalam mendzihar suami istri yang bersifat muslimah bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kafarat. Sedangkan keharaman melakukan hubungan dengan istri yang berstatus dzimmi bersifat selamanya, karena orang kafir tidak dibebani membayar kafarat, dan kafarat merupkan ibadah, sedangkan mereka tidak dituntut untuk beribadah. Apabila qiyas ini ditetapkan, maka menurut ulama Hanafiyyah tidak sah. Akan tetapi menurut ulama Syafi‟iyyah hukumnya sah karena orang dzimmi dikenakan kafarat.
Tidak ada nash atau ijma‟ yang menjelaskan hukum far‟u itu. Artinya tidak ada nash atau ijma‟ yang menjelaskan hukum far‟u dan hukum itu bertentangan dengan qiyas, karena jika demikian, maka status qiyas ketika itu bisa bertentangan dengan nash atau ijma‟. Qiyas yang bertentangan dengan nash atau ijma‟, disebut para
ulama‟
ushul
fiqh
sebagai
qiyas
fasid.
Misalnya,
mengqiyaskan hukum meninggalkan shalat dalam perjalanan kepada hukum bolehnya musafir tidak berpuasa, karena qiyas seperti ini bertentangan dengan nash dan ijma‟. c. Hukum Ashal Syarat-syarat hukum ashal antara lain:35
Hukum syara‟ itu hendaknya hukum syara‟ yang amaly yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini
35
Muin Umar, dkk. Op.cit, hlm. 119-120
45
diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara‟, sedang sandaran hukum syara‟ itu adalah nash. Hukum ashl harus ma‟qul al-ma‟na, artinya pensyari‟atannya harus rasional
Hukum ashl itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk peristiwa atau kejadian tertentu.
d. „illat Secara etimologi „illat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya penyakit itu dikatakan „illat, karena dengan adanya penyakit tersebut tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Secara termenologi, terdapat beberapa definisi „illat yang dikemukakan ulama ushul fiqh. Akan tetapi pada makalah ini akan kami sebutkan definisi „illat menurut imam al-Ghozali, yaitu: ِالوُئَثِّرُ فِيْ حُكْنِ ثِجَعْلِهِ تَعَبلَى الَثِبلذَّات “Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena dzatnya, melainkan karena perbuatan syar‟i”. Menurutnya, „illat itu bukanlah hukum, tetapi merupakan penyebab munculnya hukum, dalam arti: adanya suatu „illat menyebabkan munculnya hukum.
46
Ada beberapa bentuk sifat yang munkin menjadi „illat bagi hukum bila telah memenuhi syarat-syarat tertentu36. Di antara bentuk sifat itu adalah: 1.
Sifat haqiqi, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa tergantung kepada „urf (kebiasaan) atau lainnya. Contohnya: sifat memabukkan pada minuman keras.
2.
Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indera. Contohnya: pembunuhan yang menjadi penyebab terhindarnya seseorang dari hak warisan, pencurian yang menyebabkan hukum potong tangan, atau sesuatu yang dapat dirasakan, seperti senang atau benci.
3.
Sifat „urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasakan bersama. Contohnya: buruk dan baik, mulia dan hina.
4.
Sifat lughowi, yaitu sifat yang dapat diketahui dalam penamaannya dalam artian bahasa. Contohnya: diharamkannya nabiz karena ia bernama khomr.
5.
Sifat syar‟i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar‟i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu hukum. Contohnya: menetapkan bolehnya mengagungkan barang milik bersama dengan alasan bolehnya barang itu dijual.
6.
Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan adanya suatu hukum. Contohnya: sifat
36
Amir Syarifuddin, Op.cit, hlm. 173
47
pembunuhan secara sengaja, dan dalam bentuk permusuhan, semuanya dijadikan alasan berlakunya hukum qishos. 4.
Macam-Macam Qiyas Dilihat dari segi kekuatan „illat yang terdapat pada far‟u dibandingkan yang terdapat pada ashal. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga segi yaitu:37 a. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far‟u lebih kuat daripada hukum ashl, karena „illat yang terdapat pada far‟u lebih kuat dari yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”. Dalam surat al-Isra‟:23 Allah berfirman:
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. (alIsra‟:23). b. Qiyas al-Musawi, yaitu hukum pada far‟u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada ashl, karena kualitas „illat pada keduanya juga sama. Misalnya Allah berfirman dalam Qs. al-Nisa‟:2:
37
Nasrun Haroen, Op.cit, hlm. 75-76
48
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.( al-Nisa‟:2).
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, para ulama ushul fiqh, mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim secara tidak wajar, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, karena kedua sikap itu samasama menghabiskan harta anak yatim dengan cara zalim. 5.
Qiyas al-adna, yaitu „illat yang ada pada far‟u lebih lemah dibandingkan dengan „illat yang ada pada ashl. Artinya ikatan „illat yang ada pada far‟u sangat lemah disbanding ikatan „illat yang ada pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhl, karena keduanya mengandung „illat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan.
6.
Penggunaan Qiyas dalam Menentukan Jarimah Dalam aspek pidana, semua pakar hukum fiqh ada yang sepakat menggunakan qiyas dan ada yang tidak sepakat menggunakan itu. Mereka yang membolehka pemakaian qiyas beralasan bahwa:38
38
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cet. V., 1993, hlm. 34.
49
a. Nabi membenarkan pemakaian qiyas, ketika ia bertanya pada sahabat Mu‟az. “Dengan apa engkau memutusi suatu perkara?” jawabnya, “Dengan kitab Tuhan; kalau tidak saya dapati, maka dengan sunnah rasul, dan kalau tidak saya dapati, maka saya “berijtihad” dengan fikiran saya”. Rosulallah membenarkan katakata Mu‟az yang mengenai ijtihad adalah mutlak yang tidak ditentukan macamnya. Sedang qiyas adalah salah satu cara ijtihad. b. Ketika sahabat-sahabat bermusyawarah tentang hukuman had bagi peminum minuman keras, disini sahabat Ali mengqiyaskan hukuman minum-minuman keras dengan memperbuat kebohongan (iftira). Adapun sebagian mereka yang menentang qiyas dalam aspek jinayat, memberi alasan dan argumentasi sebagai berikut :39 a. Hukuman hudud dan kifarat-kifarat sudah ditentukan batasbatasnya, tetapi tidak dapat diketahui alasan penentuan batas-batas tersebut sedang dasar qiyas ialah pengetahuan tentang „illat (sebab alasan) hukum peristiwa “asal”. Apa yang tidak dapat diketahui alasannya, maka qiyas tidak dapat diloakukan terhadapnya. b. Hukuman hudud adalah suatu tindakan penghukuman, dan pada kifarat-kifarat juga terdapat sifat hukuman. Qiyas itu sendiri bisa kemasukan salah, sedang hukuman menjadi hapus disebabkan adanya syubhat (ketidak tegasan), sedangkan hukuman-hukuman
39
Ibid, hlm. 35.
50
(hudud) menjadi hapus disebabkan , karena kata-kata nabi: “Hindarkan hukuman hudud karena adanya syubhat-syubhat. c. Syara‟ menjatuhkan hukuman potong tangan atas pencuri tetapi tidak menjatuhkannya atas pengirim surat kepada orang-orang kafir musuh, sedang hukuman terhadap perbuatan yang kedua tersebut lebih utama. Kalau hukuman terhadap perbuatan lebih berbahaya tidak ada maka hal ini tidak bolehnya pemakaian qiyas. Alasan-alasan tersebut boleh jadi lebih kuat dari pada alasan golongan pertama yang memperbolehkan pemakaian qiyas. Akan tetapi harus diketahui bahwa qiyas dalam hukuman harus diketahui qiyas dalam jarimah terlebih dahulu. Kebolehan memakai qiyas dalam jarimah tidak berarti membuat aturan-aturan baru atau jarimah-jarimah baru melainkan hanya berarti memperluas lingkungan berlakunya aturan yang telah ada. Jadi, penggunaan qiyas dalam soal-soal jarimah dan hukuman tidak merupakan sumber hukum, melainkan sekedar penafsiran yang dipakai untuk dapat menentukan perbuatan-perbuatan mana yang bisa dicakup oleh sesuatu aturan yang telah ada.
51
BAB III ASPEK PIDANA TRAFFICKING DAN TRAFFICKING DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Aspek Pidana Trafficking (Peradagangan Orang) Konsep mengenai trafficking (perdagangan orang) ada dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, disebutkan bahwa:
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.1 Pada pasal 2 ayat 1 dan 2 menyebutkan, (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia dipidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 1
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No.21 Tahun 2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 3.
52
Selain Undang-Undang No. 21 tahun 2007 yang berbicara khusus mengenai trafficking beserta sanksinya, ada beberapa undang-undang yang mengatur sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang. Dalam KUHP sendiri ada beberapa pasal yang mengatur perdagangan orang meskipun masih banyak kekurangan. Diantaranya yaitu,2 Pasal 297 dan pasal 328. Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur. Membawa pergi seorang dari tempat kediamannya sementara, dengan maksud untuk menempatkan orang tersebut secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada beberapa pasal yang menyebutkan mengenai perdagangan terhadap anak yaitu, 3Pasal 83, “setiap orang yang memperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, Pasal 85, “setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan beberapa pasal yang berhubungan dengan perdagangan orang yaitu,4 Pasal 74 (a) siapapun dilarang mepekerjakan dan
2
Muljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, 2001, hlm. 109 dan 119. 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 70-71. 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 33 dan 77.
53
melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk, (b) pekerjaanpekerjaan yang terburuk yang dimaksud ayat (a) meliputi: 1. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; 2. Segala
pekerjaan
yang
memanfaatkan,
menyediakan
atau
menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian; 3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya; 4. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. Tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 1 UU No. 21 tahun 2007 diatas, terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif, yakni sebagai berikut : 1. Unsur subjektif : - Orang yang mampu (bisa instansi maupun perorangan) yang melkukan kejahatan perdagangan orang. - Adanya kesalahan perbuatan. 2. Unsur objektif : - Adanya perbuatan orang/instansi. - Akibat dari tindak pidana perdagangan orang Human Trafficking (khusunya anak dan perempuan) secara konseptual adalah pemindahan dari dukungan sosial atau keluarganya melalui proses
54
direkrut, dikirim, dipindahkan, ditampung, dan diterima oleh perseorangan atau kelompok dengan menggunakan kekerasan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan seseorang untuk tujuan eksploitasi seksual, ponografi, kerja paksa, prostitusi dan bentuk-bentuk lain serupa perbudakan. Secara sederhana, trafficking adalah sebuah bentuk perbudakan modern. Dalam protokol PBB, Trafficking dapat didefinisikan, "perekrutan, pengangkutan, pengiriman, penampungan atau penerimaan orang, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau jenis paksaan lainnya, penculikan, pemalsuan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau tunjangan untuk mencapai kesepakatan seseorang memiliki kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi". Memang definisi yang diberikan dalam protokol PBB tahun 2000 tersebut terasa masih rumit bagi orang awam, karena menggunakan bahasa teknis hukum. Namun, dari definisi tersebut, setidaknya ada tiga tahap bagaimana kejahatan trafficking itu terjadi. Pertama, proses, meliputi perekrutan atau pengiriman atau pemindahan atau penampungan atau penerimaan. Kedua, jalan atau cara, meliputi ancaman atau pemaksaan atau penculikan atau penipuan atau kebohongan atau kecurangan atau penyalhagunaan kekuasaan. Ketiga, tujuan, yaitu prostitusi atau pornografi atau eksploitasi seksual atau kerja paksa dengan upah yang tidak layak atau perbudakan atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan. Jika
55
ketiga tahapan tersebut terpenuhi, maka satu kasus dapat dikatakan sebagai human trafficking atau perdagangan manusia. Persetujuan dari korban tidak lagi relevan bila salah satu dari tiga tahap yang tercantum tersebut digunakan. Eksploitasi yang dimaksudkan oleh undang-undang ini adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, penindasan pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentrasplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial. Ada hal yang masih perlu diperhatikan dalam UU No. 21 Tahun 2007 adalah masalah definisi yang tertuang dalam pasal 1 ayat 1, tidak tercantumnya “memberikan ijin”. Hal ini didasarkan pada kasus yang terjadi di kota Solo. Saat terjadi perdagangan manusia di kota itu, seorang Ibu memberikan izin pada anak pertamanya untuk menjual anak keduanya. Meskipun ada unsur pemaksaan dari anak pertama ke ibu. Tambahan memberikan ijin ini dimaksudkan untuk memperluas maksud dari konsep trafficking itu sendiri. Di tahun 2011 ini, kejadian trafficking in cildren yang terjadi di Srangkah, Pasar Kliwon, Solo, sangat tragis sekali. Anak yang berinisial MAP (16) dipaksa oleh kakaknya sendiri untuk melayani hidung belang
56
yang berinisial RAP (23). RAP, tega menjual adiknya sendiri lantaran keadaan ekonomi yang sulit. RAP dalam melakukan kejahatannya dibantu oleh pacarnya. RAP merengek-rengek pada ibunya yang berinisial (SS) agar memberikan ijin untuk menjual anaknya. Karena paksaan dari RAP dan dihimpit keadaan ekonomi yang sulit SS pun memberikan ijin kepada RAP untuk menjual MAP seharga 2 juta kepada pengusaha kaya.5 Ketika dalam konsep trafficking dalam pasal 1 ini tidak ada tambahan “memberikan izin” dikhawatirkan akan mengurangi ruang lingkup dari trafficking. Dan ketika ada kejadian nyata orang yang memberikan ijin tidak dapat diberi sanksi menurut undang-unang no. 21 tahun 2007 ini karena tidak dalam hal “memberikan ijin” tidak masuk dalam konsep trafficking. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana. dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua
5
Suara Merdeka. Sabtu 12 Maret 2011, hlm. 1
57
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Disini ada pemberatan hukuman bagi pelaku karena ada akibat yang sangat merugikan bagi korban. Ada sebuah perbedaan yang mendasar antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya, mengenai pemberian sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang. Sebelum Undang-Undang No.21 Tahun 2007 terbentuk, KUHP telah membahas sanksi bagi pelaku perdagangan orang. Akan tetapi, sanksi yang diberikan berdasarkan Pasal 297 yang berbunyi, “ Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Pasal 328 yang berbunyi, “ Barangsiapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya sementara, dengan maksud untuk menempatkan orang tersebut secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Sanksi yang diberikan pun dengan menggunakan batas maksimal, sehingga dimungkinkan hukuman yang diberikan hakim sangatlah ringan. Dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dapat dikategorikan sebagai pelaku tidak hanya orang, namun juga dapat berupa instansi. Dalam aspek tindakan, yang dimaksud dengan tindak pidana perdagangan orang adalah seluruh atau sebagian, langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan ketentuan perbuatan yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam aspek sanksi, terdapat dua jenis sanksi pokok
58
yakni sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Selain itu terdapat juga sanksi tambahan dan pemberat. B. Trafficking (Peradagangan Orang) dalam Hukum Pidana Islam Definisi trafficking (perdagangan orang) ada dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, disebutkan bahwa:
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.6 Jelas bahwa trafficking sangatlah kejahatan yang sangat kejam dan melanggar nilai-nilai kemerdekaan yang digariskan oleh Islam. Dalam kasus trafficking, Islam sejak awal telah meletakkan dasar-dasar bagi pembebasan dan penghapusan perbudakan, karena bertentangan dengan prinsip Tauhid (Keesaan Tuhan). Teologi ini selalu mengajarkan kepada manusia tentang makna kebebasan (kemerdekaan), kesetaraan, dan penghargaan manusia terhadap manusia yang lain, bahkan juga terhadap alam. Oleh karena itu, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa trafficking dalam segala bentuknya adalah bertentangan dengan dan melanggar nilai-nilai Islam dan melawan Tuhan.
6
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No.21 Tahun 2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 3.
59
Sebagai aturan keagamaan, fiqh tentu diarahkan dan ditetapkan untuk merealisasikan tujuan-tujuan agama secara eksplisit. Tidak dibenarkan bila fiqh hanya dijadikan alat pembenar dan menghilangkan sisi kadilan dan kemaslahatan. Ijtihad yang sungguh dan mendalam untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan adalah keniscayaan. Ditemukan sejumlah teks al-Qur‟an maupun hadits Nabi yang mengharuskan manusia untuk untuk berbuat dan menegakkan keadilan. Beberapa ayat al-Qur‟an diantaranya adalah: 1. QS. An-Nisa‟ : 58 Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila apabila menetapkan hokum di antara manusia hendaknya hendaknya menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat. (QS. An-Nisa‟: 58). 2. QS. An-Nahl: 90
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl: 90). Keadilan adalah prinsip dalam setiap perumusan hukum. Keadilan bukan saja milik Islam sebagai doktrin sentral. Ibnu al-Qayyim secara tegas
60
mengatakan bahwa “ Jika anda menemukan indikator dan bukti-bukti adanya keadilan dengan cara dan jalan apapun mendapatkannya, maka disanalah hukum Allah”.7 Disepakati oleh seluruh ulama ahli fiqh bahwa syari‟at islam dibuat dalam rangka mewujudkan keadilan dan kemaslahatan umat manusia. Izzuddin ibn Abd al-Salam, ahli fiqh madzhab Syafi‟I mengatakan, “setiap tindakan hukum dimaksudkan untuk kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun akhirat. Hukum tidak dimaksudkan untuk kepentingan Allah dan kejahatan manusia tidak mengurangi kebesaran-Nya.” Oleh karena itu menurutnya, “setiap tindakan hukum yang tidak memenuhi tujuan tersebut adalah salah”.8 Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah merumuskan tujuan syari‟at (maqashid asy-Syar‟iyyah) dengan lima prinsip perlindungan, yaitu perlindungan terhadap keyakinan agama (hifzh ad-din), perlindungan terhadap jiwa (hifz an-nafs), perlindungan terhadap pikiran (hifzh an-„aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda (hifzh al-mal). Setiap keputusan hukum yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan (maslahat) dan setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan (mafsadat). Menolak kemaslahatan adalah kemadharatan.9
7
Ibnu al-Qoyyim, ath-Turuq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar‟iyyah, Beirut: Dar alArqam, 1999, hlm. 39 8 Izzuddin Ibn Abd al-Slam, Qawa‟id al-Ahkam fi Mashalihu al-Anam, Cet. II, Juz II,Dar al-Jil, 1980, hlm. 73 9 Al-Gozali, al-Mustashfa min „ilm al-Ushul, Juz I, Beirut: Dar Ihya‟ at-turats al-„Arobi, hlm. 287
61
Mungkin, zaman dahulu Islam belum menganggap perbudakan sebagi sebuah perbuatan yang melawan hukum (tindak pidana), namun pada zaman sekarang, tidak menganggap perbudakan sebagai sebuah tindak pidana adalah melanggar
tujuan
Islam
yang
menginginkan
kemaslahatan.
Seiring
berjalannya waktu, dimanapun tempatnya, hukum suatu peristiwa pasti berubah-berubah, tak terkecuali perbudakan. Ada sebuah kaidah yang menyatakan bahwa taghayyiru al-ahkam bi taghayyiru al-azman wa alamkan (berubahnya sebuah hukum dipengaruhi adanya perubahan waktu dan tempat). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, harus ada kriminalisasi (proses memidanakan perbuatan yang sebelumnya tidak dianggap sebuah perbuatan pidana). Ada beberapa alasan kenapa ada sebuah kriminalisasi, diantaranya yaitu:10 1. Adanya korban; 2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan; 3. Harus berdasarkan asas ratio principle (hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir); 4. Adanya kesepakatan sosial. Ketika dilihat dengan kaca mata kaedah fiqh, maka trafficking harus dihilangkan karena membawa kemadharatan. Ada kaedah fiqh yang berbunyi adl-dlararu yuzalu (semua hal yang menderitakan orang harus dihilangkan).
10
Yenti Ganarsih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundring), Program Pasca Sarjana FH-UI: Jakarta, 2003. Dalam Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 51.
62
Seperti kenyataan yang telah diperlihatkan kepada kita, persoalan yang dialami para TKI masih terus berlangsung sampai hari ini. Mereka juga masih banyak yang terperangkap dalam benang kusut trafficking. Trafficking, sebuah nama lain bagi praktik perbudakan gaya baru. Ketika Islam datang, perbudakan merupakan lembaga yang telah membudaya, tidak saja di kawasan Arabia, tetapi juga merata di bagian-bagian dunia yang lain. Islam mengimbau kepada para pemilik budak untuk bersikap manusiawi terhadap budak-budak mereka, serta menjanjikan pahala yang besar kepada mereka yang memerdekakan budak mereka. Bahkan, hukum pidana Islam mengharuskan kepada pelaku tindakan pidana tertentu untuk memerdekakan budak (tahrîr raqabah) sebagai bagian dari pembayaran “denda”. Banyak di antara budak yang telah dimerdekakan itu menjadi sahabat-sahabat dekat Nabi. Salman al-Farisi dan Bilal bin Rabah yang dikenal sebagai muadzdzin ar-Rasul, adalah dua dari mereka. Prinsip penghormatan dan kasih sayang, ini secara logis kemudian menjadi dasar peletakan pondasi pembahasan hukum Islam dan bangunan etika dalam berelasi antarsesama. Seperti perlunya berbuat baik, pelarangan tindak kekerasan, dan pernyataan perang terhadap segala bentuk kezaliman. Bentuk-bentuk pelanggaran yang ada pada kejahatan trafficking bisa dikatagorikan sebagai tindakan kezaliman. Karena dalam perspektif Islam seperti kezaliman bisa berupa pengambilan hak orang lain, baik yang menyangkut harta benda, jiwa, maupun harga diri seseorang.
63
Prinsip ini juga menjadi basis dari relasi sosial dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya, seseorang tidak boleh bertindak zalim terhadap yang lain. Sebaliknya, setiap orang harus saling berbuat baik dan membantu satu sama lain, yang kuat, misalnya, membantu yang lemah. Dalam hubungan buruh dan majikan, misalnya, Nabi menganjurkan agar para majikan segera memberikan upah buruh sebelum keringatnya kering. Para buruh juga memiliki hak, terutama hak untuk diperlakukan secara manusiawi. Ajaran Islam menghargai kebebasan manusia dimanapun dan kapanpun. Dalam banyak sekali ayat-ayat al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa kita harus menghargai hak, mengasihi, menolong, membebaskan, dan berlaku adil kepada orang lain.11 Di samping itu, Allah memerintahkan kita untuk memerdekakan budak (fakku raqabah). Allah memerintahkan kita berjuang untuk merubah nasib agar lebih baik. Allah juga berjanji akan memberikan balasan terhadap apa yang dikerjakan oleh manusia. Berjihad untuk melawan penindasan adalah sebuah kewajiban bagi kaum muslimin.12 Allah berfirman bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik, tetapi akan turun ke derajat yang paling rendah apabila tidak beriman dan beraamal saleh. Nabi juga dalam khutbahnya menyatakan bahwa darah dan harta seseorang harus dilindungi, jangan sampai ada yang mengganngu. Jadi, semangat yang ada dalam khutbah Nabi itu ialah kita harus menegakkan
11
Zuhairi Misrowi dan Novriantoni, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam Sebagai Jalan Rahmat, Jakarta: LSIP, 2004, hlm. V. 12 Zuhairi Misrowi dan Noviantoni, Op.cit, hlm. 45
64
kebebasan.13 Kebebasan orang lain hanya bisa dibatasi oleh hak orang lain dan perjanjian-perjanjian yang dibuat secara sukarela ('an taradin minkum) di atas dasar keadilan dan persamaan, bukan atas dasar kepentingan orang yang lebih kaya.14 Demikian juga apa yang dilakukan oleh Nabi menunjukkan dengan jelas bahwa kebebasan adalah sesuatu yang harus ditegakkan karena disitulah letak harkat dan derajat seseorang. Nabi menegakkan tauhid di tengah-tengah masyarakat, karena syirik adalah belenggu bagi manusia. Nabi mengecam orang yang menumpuk-numpuk kekayaan karena sering kali itu harus ditempuh dengan jalan merugikan orang lain. Nabi berjuang untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan karena dua hal itu merupakan belenggu bagi kemanusiaan. Nabi memerintahkan kita menolong para fakir, miskin, yatim, orangorang terlantar, budak dan lain sebagainya. Semua itu diperjuangkan oleh Nabi untuk memberikan pemahaman sebenarnya Islam adalah agama yang turun untuk membebaskan.15 Kalau kita fahami secara teliti, sesungguhnya Islam adalah agama egaliter yang anti perbudakan karena tidak sesuai dengan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Qs: al-Isra‟ 70:
13
Asrori S. Karni, ed, Pesan-Pesan Taqwa Nurcholish Masjid; Kumpulan Khutbah Jum‟at di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 75. 14 Ashgar Ali Enginer, Islam dan teologi Pembebasan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 70 15 Ashgar Ali Enginer, Islam and Its Relevance to Our Age, Terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: LKiS, 1993, hlm. 9.
65
Artinya: Sungguh kami mulyakan seluruh ummat manusia. Kami angkut mereka di lautan dan di daratan. Kami beri rizki mereka yang baikbaik dan kami beri mereka keutamaan melebihi banyak makhluk lain yang telah kami ciptakan. (QS. Al-isra‟: 70).16 Manusia tidak boleh dijadikan komoditas perdagangan. Dalam jualbeli manusia, mengindikasikan tidak ada jaminan kebebasan. Seseorang bisa dijual oleh pemiliknya tanpa persetujuan dirinya sendiri, dan dia tidak punya hak untuk menolak jual beli itu. Ini sangat ditentang oleh Islam. Dalam gambaran masyarakat yang ideal tidak ada tempat bagi praktek perbudakan seperti itu, karena dalam masyarakat ideal menjungjung keadilan dan tidak ada kezaliman.17 Konon, di sebuah tempat bernama Ukaz, berdiri sebuah pasar bebas kalangan budak dalam berbagai ras dan suku bangsa. Disana terdapat orang berkulit hitam asal Habasyah (Ethiopia), orang kulit putih dari Romawi, budak India, Mesir, Parsi dan perempuan-perempuan Asia Tengah.18 Dalam kondisi seperti itulah Nabi Muhammad datang dengan semangat pembebasan Islam. Sungguh suatu misi sosial yang sangat berat. Maka tidak heran kalau Thaha Husein berpendapat, sekiranya Islam hanya seruan tauhid minus sistem sosial dan ekonomi, tanpa menyerukan prinsip persamaan antara manusia dan
16
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1988,
hlm. 435 17
Ali nurdin, Qur‟anic Society; Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur‟an, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 248. 18 Abdurrohman Asyrqawi, Muhammad Rasul Al-Hurriyah, Kairo: Dar al-Hilal, tt, hlm. 16-19.
66
budak, antara si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah, tidak melarang praktek rente, dan tidak menetapkan hak bagi kaum miskin di sebagian harta orang kaya, tentu akan banyak orang Quraisy yang menyambut seruan Muhammad dengan mudah.19 Sistem perbudakan yang terjadi di Arab waktu itu sangatlah rumit untuk dirubah.20 Islam tidak secara drastis dan serta-merta menghapuskan perbudakan karena akan berdampak negatif. Ini karena tradisi perbudakan telah berlangsung sejak berabad-abad lamanya, sehingga budak-budak itu belum siap untuk serta merta dimerdekakan. Mereka belum terbiasa mandiri dan tidak memiliki sumber kehidupan yang cukup untuk mandiri. Menurut Sayyed Hossen Nasr, dalam sejarah Islam terdapat dua sistem yang diterapkan dalam rangka menghapuskan sistem perbudakan yang amat menguasai sistem sosial ketika itu. pertama, mempersempit pintu rekruitmen budak-budak baru; kedua, membuka pintu seluas-luasnya bagi pemerdekaan budak.21 Islam sangat menghargai kemanusiaan setiap orang, dan karenanya Islam memiliki langkah-langkah untuk menghapus perbudakan sebagai berikut:22 a.) Memerdekakan budak, yang hal ini membawa pelakuknya
19
Thaha Husain, Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam, Terjemahan Moh. Thohir, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985, hlm. 22 20 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, Terjemahan M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm. 129 21 Sayyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, Terjemahan Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003, hlm. 218. 22 Lihat Qs. An-Nisa (4): 92 berbicara tentang pembebasan budak sebagai sanksi untuk tindak criminal pembunuhan yang keliru; Qs. Al-Mujadalah (58): 3 mewajibkan orang yang melakukan kesalahan zihar pada istrinya untuk membebaskan budak; Qs. Al-Baqarah (90);12-13 menyebutkan secara metaphor bahwa pembebasan budak itu sebagai bentuk pendakian yang sukar; Qs.Al-Baqaroh (2): 177 menginformasikan bahwa memerdekakan budak merupakan bagian dari
67
mendapat balasan kebaikan dari Tuhan; b). Menetapkan sanksi berbagai pelanggaran hukum dengan memerdekakan budak, seperti sanksi sumpah palsu, pembunuhan tidak sengaja, dan dzihar; c) Memerintahkan majikan agar memberikan kesempatan kepada budak untuk memerdekakan diri yang karenanya budak berhak mendapatkan zakat sebagai uasaha memerdekakan dirinya dan tidak memiliki ketergantungan ekonomis dengan tuannya; d). Melaksanakan nazar dengan memerdekakan budak. Dalam kaidah fikih disebutkan: “al-hurr la yadkhul tahta al Yad” (Orang merdeka tidak berada di bawah kekuasaan siapapun). Secara lebih spesifik kasus yang serupa dengan perdagangan perempuan pernah disinggung oleh al-Quran surat An-Nur Ayat 33 menyatakan.bahwa :
Artinya:“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budakbudak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari kebijakan yang utama dalam islam;Qs. At-Taubah (9): 60 menerangkan bahwa salah satu kegunaan zakat adalah untuk memerdekakan budak.
68
keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”. (Q.S. alNur:33). Ayat di atas secara singkat dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal. Pertama, kewajiban melakukan perlindungan terhadap mereka yang lemah. Ini lebih ditujukan kepada kaum perempuan, karena mereka adalah kelompok masyarakat yang dilemahkan dalam konteks masyarakat Arab ketika itu. Kedua, kewajiban membebaskan orang-orang yang terperangkap dalam perbudakan. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa kewajiban ini dibebankan ke pundak kaum muslimin. Sebagian lagi mewajibkan pembebasan tersebut kepada tuan/pemiliknya (al-sayyid). Dalam konteks perbudakaan lama, pembebasan tersebut dilakukan dengan cara membelinya untuk kemudian memerdekakannya, sebagaimana yang dilakukan, misalnya, oleh Abu Bakar terhadap Bilal bin Rabah. Ketiga, kewajiban menyerahkan hak-hak ekonomi mereka. Hak-hak mereka yang bekerja untuk majikannya harus diberikan. Dan ketiga, haramnya mengeksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan duniawi. Paragraf yang terakhir dari ayat tersebut sengaja diturunkan Tuhan untuk membatalkan praktik-praktik “trafficking in women” yang umum dilakukan masyarakat Arab ketika itu. Ayat ini diturunkan untuk merespon kasus Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh utama kaum munafik. Dia memaksa para budak perempuannya untuk melacur sebagai cara untuk memperoleh beberapa kepentingan pribadinya. Para ahli tafsir menyebut nama budak perempuan Ubay bin Salul, yaitu; Masikah dan Mu‟adzah.
69
Mereka juga menyebut kepentingan Ubay bin Salul melacurkan budaknya dengan paksa bahkan tidak jarang memukulnya, antara lain: demi uang (thalaban li kharajihinna), mendapat keturunan orang terhormat, berdarah Quraisy yang diharapkan akan menjadi pemimpin masyarakat (raghbah fi awladihinna wa riyasah), dan demi mendapat pahala dan kehormatan (iradah al tsawab wa al karamah) atau ”barokah/berkah” dalam tradisi Jawa. Kasus perdagangan perempuan tersebut memang terjadi pada perempuan budak belian. Kasus-kasus semacam ini tidak hanya dilakukan oleh Ubay bin Salul, tetapi populer dalam masyarakat Arab pada saat itu. Praktik rumah bordil juga berlaku di sana. Model eksploitasi tersebut hari ini berubah dalam bentuk yang lebih canggih. Modus operandinya juga beragam. Eskploitasi tersebut berganti nama menjadi Trafficking. Ini lebih jahat daripada perbudakan lama, karena justru dilakukan terhadap orang-orang yang sudah merdeka. Uraian serba singkat di atas telah dapat menggambarkan bagaimana Islam memandang kasus perdagangan tersebut. Islam mengharamkan praktik perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak, sekaligus menyatakannya sebagai menentang dan melanggar hak-hak Tuhan (hak-hak kemanusiaan). Islam juga menegaskan keharusan
penghapusannya,
melalui
tiga
cara,
yakni
pencegahan,
perlindungan terhadap korban, dan menghukum pelakunya dengan hukuman yang berat. Islam juga menyatakan secara eksplisit bahwa korban
70
perdagangan manusia bukanlah orang yang berdosa dan karena itu harus dibebaskan dan tidak boleh dikriminalisasi. Untuk melihat kasus trafficking merupakan jenis jarimah apa, maka dapat dilihat dalam firman Allah dalam QS: al-Nûr: 3323
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak (belum) mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya sehingga Allah menganugerahinya kemampuan. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian (untuk pembebasan dirinya) hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, padahal mereka menginginkan kesucian diri, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa memaksa mereka maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa”. (Q.S. al-Nur:33).
Bila dilihat dari sudut pandang ushul fiqh, maka trafficking dapat di dekati dengan qiyas (analogy hukum) sama dengan penganiayaan karena para korban dieksploitasi. Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal: 1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi. Dalam hukum asal ini, adalah yang dapat dijadikan 23
hlm. 549.
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, 1989,
71
sebagai dasar. Hukum memaksa untuk melakukan perzinaan adalah haram/ tidak boleh. 2. Fara‟ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs. Dalam hal ini Perdagangan orang (trafficking) dapat dimasukkan dalam kasus yang belum ada hukumnya. 3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar‟i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Adapun hukum dari trafficking adalah haram atau tidak diperbolehkan karena sama dengan menganiaya dengan mengeksploitasi korban. 4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya. Adapun illat dari aniaya dan trafficking adalah perusakan terhadap anggota badan. Trafficking dapat dikatakan telah menlanggar hak-hak kemanusiaan. Seperti
perlindungan
terhadap
keyakinan
agama
(hifzh
ad-din),
perlindungan terhadap jiwa (hifz an-nafs), perlindungan terhadap pikiran (hifzh an-„aql), perlindungan terhadap keturunan (hifzh an-nasl), dan perlindungan terhadap harta benda (hifzh al-mal). Setiap keputusan hukum yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan (maslahat) dan setiap yang mengabaikannya adalah kerusakan (mafsadat). Menolak kemaslahatan adalah kemadharatan. Jadi, dalam kacamata hukum pidana Islam, trafficking dapat dikategorikan sebagai jarimah penganiayaan yang disengaja (al-jinayah „ala maaduuna al-nafsi „amdan). Itu dikarenakan trafficking masuk dalam
72
jarimah inabah (perusakan) terhadap athraf (anggota badan) seperti hidung, lidah, zakar, biji pelir dan bibir kemaluan perempuan.
73
BAB IV PENAMBAHAN 1/3 HUKUMAN DAN PEMBERLAKUAN HUKUMAN MINIMAL DALAM PASAL 7 UU NO. 21 TAHUN 2007
A. Unsur Pidana Dan Pemberatan Sanksi Pidana dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007 1. Unsur Pidana Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007 Ada beberapa pasal yang menyebutkan beberapa aspek pidana dalam undang-undang tindak pidana perdagangan orang, yaitu dalam Pasal 3, pasal 4, pasal 5, pasal 6 dan pasal 7 (pemberatan).1 Sedangkan unsur-unsur pidana dalam Pasal 7 UU No. 21 tahun 2007, terdiri dari unsur subjektif dan
unsur objektif, yakni sebagai berikut : 1. Unsur subjektif : - Orang yang mampu (bisa instansi maupun perorangan) yang melkukan kejahatan perdagangan orang. - Adanya kesalahan perbuatan, artinya perbuatan trafficking telah melanggar aturan UU yaitu memindahkan dan mengangkat seseorang atau anak untuk dieksploitasi. 1
Pasal 3: Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain . Pasal 4: Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik. Pasal 5: Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi. Pasal 6: Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi. Semua sanksi pasal 2-6 adalah sama yaitu dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dan dalam pasal 7 ada pemberatan berupa penambahan 1/3 hukuman dari pasal 2-6 dan pemberlakuan hukuman minimal. Hal ini dikarenakan ada akibat serius yang diderita oleh korban akibat pelaku tindak pidana perdagangan orang.
74
2. Unsur objektif : - Adanya perbuatan orang/instansi. - Akibat dari tindak pidana perdagangan orang yaitu cacat fisik maupun mental dan meninggal. Dari mulai pasal 2 sampai pasal 7 cara melakukan delik yang dilakukan berbeda-beda akan tetapi hukuman yang diberikan sama kecuali pasal 7 ada pemberatan sanksi. 2. Pemberatan Sanksi Pidana dalam dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007 Indonesia sampai sekarang ini belum memiliki “ sistem pemidanaan yang bersifat nasional” yang di dalamnya mencakup “ pola pemidanaan” dan “ pedoman pemidanaan”, yaitu acuan atau pedoman bagi pembuat undang-undang dalam membuat atau menyusun peraturan perundang undangan yang mengandung sanksi pidana. Istilah pola pemidanaan ini sering juga disebut “pedoman legislatif” atau “pedoman formulatif”. Sedangkan “pedoman pemidanan” adalah pedoman penjatuhan atau penerapan pidana untuk hakim (“pedoman yudikatif” atau ”pedoman aplikatif”). Dilihat dari fungsi keberadaannya, maka pola pemidanaan ini seharusnya ada lebih dahulu sebelum perundang-undangan pidana dibuat, bahkan sebelum KUHP nasional dibuat.
75
Secara kualitatif, menurut doktrin Ilmu Pengetahuan hukum Pidana, delik-delik tertentu yang ditentukan pidana minimum khususnya adalah yang berkarakter berikut :2 a. Delik-delik yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan masyarakat. b. Delik-delik
yang
dikualifisir
atau
diperberat
oleh
akibatnya
(erfolgsqualifizierte delicte). Dari formulasi sistem pemidanaan yang diatur dalam beberapa undang-undang, utamanya yang menyangkut rumusan pidana minimum khusus, maka nampak hal-hal sebagai berikut : 1. Tidak ada keseragaman ukuran kuantitatif tentang kapan atau pada maksimum pidana (penjara, kurungan dan denda) berapa dapat dimulai dicantumkan minimum khususnya. Untuk pidana penjara, ada yang menggunakan ukuran tahun (dari 3 tahun hingga 15 tahun) dan ada pula yang menggunakan ukuran bulan. Demikian juga untuk pidana kurungan, ada yang menggunakan ukuran tahun dan ada juga yang menggunakan ukuran bulan. Untuk pidana denda, ada yang menggunakan ukuran jutaan rupiah, dan ada pula yang menggunakan ukuran milyaran rupiah. 2. Tidak ada keseragaman rentang-kisaran untuk pidana penjara minimum khususnya. Demikian juga dengan pidana kurungan minimum khususnya dan pidana denda minimum khusus. Selanjutnya 2
Di download pada http://www.situshukum.com.
hari
selasa
tanggal.
20
pukul
08.00
WIB
dalam
76
dari kisaran terendah, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda, dengan menggunakan ukuran kualitatif, ternyata tidak (semuanya) menunjukkan bahwa delik-delik tersebut merupakan delik-delik yang sangat membahayakan atau meresahkan masyarakat, dan atau delik-delik yang dikualifisir atau diperberat akibatnya (erfolgsqualifizierte delikte). 3. Tidak ada kesebandingan atau kesetaraan rasio, antara maksimum khusus dengan minimum khususnya, baik untuk pidana penjara, pidana kurungan maupun pidana denda. Beragamnya rumusan strafmaat dalam undang-undang yang mencantumkan pidana minimum khusus sebagaimana tersebut di atas, adalah bersumber pada belum adanya “pola pemidanaan” yang dapat dipedomani oleh pemegang kebijakan legislasi. Akibat yang sudah dapat dibayangkan adalah adanya inkonsistensi formulasi pidana minimum khusus pada beberapa undang-undang yang menjadi produk kebijakan legislasi tersebut, dan ini pada gilirannya potensial mempengaruhi efektivitas penegakan hukumnya di tingkat kebijakan aplikasi. Setiap pidana khusus sistem pemidanaannya menggunakan sistem minimal khusus.3 Trafficking merupakan termasuk kategori pidana khusus, maka hukuman yang dipakai adalah minimum khusus. Dengan minimum khusus ini, diharapkan delik-delik yang sangat membahayakan dapat dijerat dengan hukuman yang berat. 3
Di download tanggal 20 Desember 2011 dalam Barda Nawawi Arif, Tinjauan Terhadap Pengenaan Sanksi Pidana Minimal, di download dari www.djpp.depkumham.com
77
B. Penambahan 1/3 Hukuman dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007 Ada beberapa aturan yang berkaitan dengan permasalahan trafficking dan penyelesaiannya. Seperti halnya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hadirnya Undang-Undang No. 21 tahun 2007 merupakan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan manusia. Setelah Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) diundangkan pada tanggal 19 April 2007, jelaslah sudah, dalam pasal 1 menyebutkan trafficking adalah perdagangan orang, yakni:4 “Serangkaian tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi (Pasal 1 Ayat 1). Dan dalam pasal 7 ayat (1) juga menyebutkan bahwa: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”5 Adapun yang dimaksudkan dalam pasal 7 di atas adalah: 4
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No.21 Tahun 2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 3. 5 Diambil dari internet dalam http://gerakanantitrafficking.com, pada tanggal 21 Desember 2010 pukul 10.00 WIB.
78
a. Pasal 2 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. b. Pasal 3 menyebutkan, “Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). c. Pasal 4 menyebutkan “Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. d. Pasal 5 menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. e. Pasal 6 menyebutkan, “Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
79
Dari pasal 2 ayat 2 sampai pasal 6 hukuman yang diberikan adalah sama yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), meskipun cara pelaku yang melakukan brbeda. Pembicaraan mengenai penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait empat aspek: pertama, penetapan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; tiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seorang atau korporasi); keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana.6 Trafficking atau perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak merupakan jenis perbudakan pada masa modern telah menjadi isu besar yang menjadi perhatian regional dan global. Ada sebuah lompatan yang sangat tajam berkaitan dengan permasalahan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana trafficking. Jika melihat pasal 2 ayat 2 sampai pasal 6 di atas, ada pembedaan yang signifikan dalam hal pemberian sanksi pidana bila dibandingkan dengan pasal 7 ayat 1 dan 2. Dalam pasal 2 ayat 2 hingga pasal 6 merupakan hukuman bagi para pelaku yang melakukan tindak pidana perdagangan
6
Mudzakkir, Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana, “Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaruan Hukum di Indonesia”. Dalam Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 2
80
orang dalam tahapan proses terjadinya trafficking seperti adanya perekrutan, penampungan dan pemindahan. Agar pelaku bersedia, pelaku menggunakan cara-cara kekerasan, penculikan, ancaman dan penipuan terhadap si korban. Selanjutnya tujuan pelaku melakukan tindak pidana tersebut adalah untuk mengeruk keuntungan dengan melakukan kezaliman terhadap korban sehingga korban tereksploitasi. Kasus yang terjadi di Timika, kebnyakan korban trafficking yang dieksploitasi seksual menderita HIV/AIDS, PMS dan ada yang sedang hamil setelah dilakukan pemeriksaan.7 Awalnya, mereka tidak menyadari kalau mereka akan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka tergiur bekerja di bar dengan iming-iming gaji yang sangat tinggi. Setelah mulai bekerja baru disadari bahwa selain menemani minum, mereka juga harus memberikan pelayanan seks kepada para pelanggan. Perbudakan seksual juga terjadi terus-menerus di tanah Arab. Hal itu terkuakkan sejak berturut-turut dipenuhinya permintaan pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari Indonesia ke beberapa Negara di kawasan Timur Tengah. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat banyak terjadi terhadap TKW Indonesia di sana, dari mulai pelecehan seksual sampai bentuk perkosaan bahkan sampai mengandung dan dilakukan bukan oleh satu orang, bila para TKW berani menolak diancam akan dibunuh. Bahkan karena tidak tahan
7
L.M. Gandhi Lapian & Hetty A Geru, Trafficking Perempuan dan Anak; Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Jakarta: Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, UI dan NAZAID, 2006, hlm. 135
81
terhadap perlakuan para majikannya banyak TKW yang nekat melarikan diri dengan mengorbankan nyawa.8 Allah yang maha bijaksana tidak berlebihan dalam segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Adanya Qishash, diyat, dan ta’zir tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga kemaslahatan manusia di dunia. Dalam menciptakan hukum serapi-rapinya yang memberikan jaminan kebahagiaan bagi manusia dengan penuh kemaslahatan. Qishash-diyat merupakan sanksi yag diperuntukkan bagi pelaku pembunuhan. Oleh karena pembunuhan itu membuat dua sisi kerusakan, yaitu pertama, bagi keluarga orang yang terbunuh baik sengaja maupun tidak. Kedua, mereka (keluarga) merasa sedih dan susah karena kematiannya. Maka Allah yang maha bijaksana mewajibkan untuk membayar diyat agar dapat memperbaiki kerusakan orang yang menjadi tempat tumpuhan harapan keluarga, sehingga hati yang hancur itu bisa sembuh. Disinilah perlu adanya hukuman bagi pelaku trafficking yang mengakibatkan korban mengidap penyakit dan meninggal. Dalam Islam, hukuman merupakan bentuk kata jadian (mashdar) dari kata hukum. Secara bahasa, hukum (al-hukm) sepadan dengan kata al-man’u (cegahan) dan alfashl (pemisah dan keputusan) disamping itu hukum juga sering diartukan dengan al-qadha’ (ketetapan dan keputusan hakim di pengadilan.
8
Ibid, hlm. 71
82
Pembicaraan mengenai penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait empat aspek: pertama, penetapan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; tiga, tahap penjatuhan pidana pada subjek hukum (seorang atau korporasi); keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah sistem hukum pidana.9 sebenarnya dalam pasal 7 UU No. 21 tahun 2007 memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku trafficking. Indikasi yang dapat dilihat adalah adanya pemberatan
sanksi
pidana
yaitu
penmabahan
1/3
hukuman
dan
pemberlakuan hukuman minimal (5 tahun). Dalam hukum pidana Islam, ada beberapa unsur atau perbuatan itu disebut sebagai jinayah diantaranya adalah:pertama adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan pidana. Unsur ini dikenal dengan unsur formal (alRukn al-Syar’i). kedua, adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa meninggalkan perbuatan yang diharuskan atau melakukan perbuatan yang dilarang. Unsur ini dikenal dengan unsur material (al-Rukn al-Madi); ketiga, pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khitbah atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah
9
Mudzakkir, Sistem Pengancaman Pidana dalam Hukum Pidana, “Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kriminalisasi dan Dekriminalisasi dalam Pembaruan Hukum di Indonesia”. Dalam Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 2
83
mukallaf sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur moral (al-Rukn al-Adabi). Bagian terpenting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan sanksi. Keberadaannya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakkan berlakunya norma. Di sisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling kompleks dalam system peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda. Penentuan jenis ancaman pidana, penjatuhan dan pelaksanaan pidana berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan. Permasalahannya, apakah jenis-jenis pidana tersebut sudah menggambarkan tujuan yang hendak dicapai dalam pemidanaan. Secara istilah, hukum dalam pandangan pakar ushul fiqh adalah: Titah (perintah) Allah swt yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf (dewasa dan berakal) melalui iqtida’, pilihan, atau wad’i . Dari pengertian diatas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum adalah berasal dari Allah swt, yang kemudian diwahyukan kepada nabi (sunnah). Dan setelah meninggalnya nabi saw; dengan semakin berubah dan berkembangnya zaman maka ditemukan hal-hal baru yang belum terjadi pada masa kenabian maka ijma’ dan qias juga dapat dijadikan sumber hukum dalam mengatasi masalah. Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan dan mejaga mereka dari hal-hal yang mafsadah
84
(“jalbu al-mashalih wa daf’u al-mafasid”), karena Islam merupakan rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu
85
larangan larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir. Sebagian fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuanketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta. Hukuman ditetapkan demikian untuk memperbaiki individu menjaga masyarakat dalam interaksi sosial, hukuman harus mempunyai dasar, baik dari al-Qur’an, sunnah maupun lembaga legislatif yang mempunyai wewenang menetapkan hukum untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman harus bersifat pribadi, artinya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja, hal ini sesuai dengan prinsip bahwa; “seseorang tidak akan menanggung dosanya orang lain”. Adanya sanksi berupa pidana ditentukan oleh ada dan tidak adanya perbuatan yang dikehendaki (dilarang). Suatu perbuatan yang tidak dikehendaki (dilarang) oleh masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk peraturan. Perbuatan yang tidak dikehendaki adalah perbuatan negatif. Artinya, perbuatan yang tidak dikehendaki secara tegas dinyatakan dilarang.
86
Ketika melihat kasus trafficking yang terjadi, para trafficker mulai dari
perekrutan,
pengangkutan,
pemindahan,
penyembunyian,
atau
penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan, atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan penculikan, kecurangan, penipuan, penyalahgunaan wewenang atau posisi rentan atau memberikan atau menerima pembayaran sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk tujuan eksploitasi mencakup paling tidak, eksploitasi pelacuran oleh orang lain, atau bentuk lain eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek yang mirip dengan perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh, harus diberi sanksi yang tegas. Dalam pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”10 Adanya penambahan 1/3 hukuman dalam pasal 7 ayat 1 di atas, merupakan peraturan menurut kaca mata hukum yang telah dipositifkan (umum). Islam, tidak mengenal hukuman seperti itu bila menyangkut dengan tindak pidana badan maupun jiwa. Dalam QS. Al-maidah ayat 45 disebutkan bahwa:
10
Diambil dari internet dalam http://gerakanantitrafficking.com, pada tanggal 21 Desember 2010 pukul 10.00 WIB.
87
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Maidah: 45). Dari ayat diatas jelas bahwa trafficking merupakan termasuk jarimah penganiayaan. Trafficking inilah mengakibatkan cacat fisik, mental, hamil dan mengidap penyakit meular ada hukumannya. Hukuman yang ditetapkan oleh Islam adalah Qishash (balasan setimpal). Sebenarnnya secara tekstual tidak ada nah yang menyebutkan hukuman bagi trafficking dalam al-Qur’an. Namun, bila dedekati dengan qiyas, sebagai pisau analisa dalam menggali hukum, maka trafficking masuk dalam kategori jarimah penganiayaan yang disengaja. Berdasarkan pendekatan qiyas, penetapan sanksi harus diketahui dulu bentuk jarimahnya. Maka hukuman bagi pelaku trafficking yang mengakibatkan cacat fisik, cacat mental, hamil serta penyakit menular lainnya hukumannya adalah qishas karena trafficking masuk dalam kategori jarimah penganiayaan. Akan tetapi karena hukumannya dirasa tidak dapat dilaksanakan terhadap pelaku, maka hukuman yang tepat adalah diyat kamilah (diyat tidak penuh).
88
Ketika didekati dengan kaca mata sanksi menurut hukum pidana Islam, maka untuk pasal 7 ayat (1) yaitu yang berbunyi Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, pelakunya patut di hukum diyat kamilah oleh hakim atau penguasa. Ini disasarkan atas hukuman yang memang dapat dilaksanakan terhadap pelaku. Hukuman qishash terhalang karena hukumannya tidak dapat dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang. Hal ini logis ketika korban mengidap penyakit yang menular, hamil dan rusaknya alat vitalnya maka tidak mungkin dibalas setimpal. Selain itu, menurut Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa qishash tidak dapat dilaksanakan apabila tindak pidana ini dilakukan secara tidak langsung. Disamping terhalang oleh beberapa sebab yang telah dikemukakan di atas, hukuman qishash juga dapat gugur karena beberapa sebab. Diantaranya yaitu: 1. Tidak adanya tempat (obyek qishash). 2. Adanya pengampunan dari keluarga korban. 3. Adanya perdamaian (shulh). C. Pemberlakuan Hukuman Minimal dalam Pasal 7 UU No. 21 Tahun 2007
89
Menurut data International Labour Organization (ILO) tahun 20052008, 89% korban perdagangan manusia di Indonesia adalah perempuan. Jumlah tertinggi berasal dari Kalimantan Barat disusul dengan Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sekitar 80% di antaranya dijual ke Malaysia. Sebanyak 16% dijual sebagai pekerja seks.11 Angka-angka diatas, bagaikan gunung es. Masih banyak kasus-kasus yang tidak teridentifikasi. Bisa dibayangkan banyak korban yang mengidap penyakit menular hingga berujung kematian akibat trafficking. Selain itu, ada sebuah kemajuan yang signifikan dalam tata perundang-undangan antara KUHP dengan UU No 21 Tahun 2007 yaitu dalam KUHP subyek tindak pidana adalah manusia. Subjek tindak pidana perdagangan orang dalam KUHP yang hanya terdiri dari manusia, maka sifat sanksinya juga hanya dapat dikenakan kepada manusia saja, sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 2007 subjek tindak pidana perdagangan orang tidak hanya berupa manusia tetapi juga korporasi. Mengenai ancaman pidana hal mendasar yang membedakan antara KUHP dengan UU No. 21 Tahun 2007, yaitu ancaman hukuman atau sanksi pidananya dimana dalam UU No. 21 Tahun 2007 yang diancam kepada pelaku lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Dalam UU No. 21 Tahun 2007 dicantumkan pidana penjara minimal dan maksimal serta denda maksimal dan minimal terhadap pelakunya sesuai dengan penggolongan pelaku, sedangkan dalam KUHP hanya dicantumkan pidana penjara maksimalnya yaitu 6 tahun penjara dan tidak dicantumkan 11
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/12/16brk,20081216-15/303,id.htm./ Penanganan Perdagangan Manusia di Indonesia Masih Lemah. Senin, 5 Januari 2005. Download: Senin, 22 Desember 2008 Pukul 20:00.
90
pidana penjara minimalnya ataupun dendanya terhadap pelakunya, seperti yang disebutkan dalam Pasal 297 KUHP. Pembenahan yang telah dilakukan Pemerintah, terutama berkaitan dengan peraturan ketenagakerjaan sedikit banyak telah memberikan rasa optimis, Namun seiring dengan itu, siapa sangka perdagangan orang (human trafficking) tak henti mendominasi TKI. Trafficking di Indonesia terus meningkat, Modus yang dilakukan antara lain melalui pengiriman tenaga kerja keluar negeri. Di Cirebon sendiri sejak tahun 2001 sampai akhir tahun lalu, trafficking masih menempati peringkat pertama kasus tenaga kerja. Berdasarkan data yang dihimpun Jaringan Masyarakat Anti Trafficking (Jimat) Cirebon, penyebabnya karena tidak adanya perlindungan atau keselamatan bagi warga. Hal ini mengingatkan bahwa TKW yang menjadi korban women trafficking (perdagangan perempuan), pembantu rumah tangga yang masih disiksa majikan, serta mereka yang tidak dibayar gaji sesuai perjanjian. Belum lagi mereka yang sudah berbulan-bulan di penampungan dengan perlakuan tidak manusiawi, karena harus menunggu kasusnya selesai. Ketiadaan sistem perlindungan dan keselamatan bagi warga negara, angka ini dikhawatirkan akan jauh lebih tinggi. Dan ternyata benar, karena kurang
memperketat
perizinan
perusahaan
jasa
TKI
yang
akan
memberangkatkan pekerja keluar negeri, Pemerintah gagal memerangi trafficking. Terbukti trafficking meningkat, baru-baru ini sebanyak 14.848
91
TKI asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bekerja di luar negeri (khususnya Malaysia) menjadi korban trafficking. Khususnya TKI yang direkrut melalui jalur tidak resmi (ilegal) .12 Rata-rata TKI yang menjadi korban direkrut secara ilegal oleh para calo di desa-desa. Calo mengincar para calon TKI yang pendidikannya minim. Masalah pendidikan menjadi faktor utama maraknya TKI menjadi korban trafficking. Apalagi anak-anak usia kerja di desa tidak memiliki pengetahuan memadai. Rata-rata mereka hanya menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD) yang berasal dari keluarga miskin, dan ingin segera mendapatkan pekerjaan. Dengan keterbatasan pendidikan inilah, banyak TKI yang menjadi korban kekerasan majikannya di luar negeri. Karena itu Pemerintah perlu membekali pengetahuan yang memadai bagi calon TKI, untuk mengurangi potensi kekerasan fisik yang mereka alami di tempat kerja. Seharusnya TKI yang dikirim luar negeri minimal menamatkan pendidikan SMA. Sehingga yang dibutuhkan bukan hanya upaya penanggulangan kemiskinan, melainkan peningkatan pendidikan, serta perluasan lapangan kerja. Meskipun program pemberdayaan ekonomi menjadi kunci dalam mengatasi permasalahan perdagangan orang. Pemerintah jangan terlalu puas hanya dengan implementasi sejumlah program yang telah diluncurkan. Perdagangan terhadap manusia meskipun sebagai kasus sudah demikian akrab terjadi di masyarakat. Namun secara terminologis tampaknya 12
Sumber: Lembaga Advokasi, Eliminasi dan Pencegahan Pekerja Anak NTT hingga bulan Juni 2010.
92
belum banyak dipahami orang. Pemahaman di dalam masyarakat terhadap trafficking masih sangat terbatas, hal ini dikarenakan informasi yang diperoleh di dalam masyarakat mengenai trafficking masih rendah. Isu perdagangan anak dan perempuan mulai menarik perhatian banyak pihak di Indonesia tatkala ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Wilayah Asia-Pasifik) mengeluarkan pernyataan yang menempatkan Indonesia bersama 22 negara lain pada peringkat ketiga atau terendah di dalam merespon isu ini.13 Secara rinci perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seks komersial di Indonesia menurut data Polri mencapai 173 kasus yang dilaporkan dan 134 kasus selesai pada tahun 1999, pada tahun 2000 sebanyak 24 kasus dan yang selesai 16 kasus dan pada tahun 2001 sebanyak 178 kasus dilaporkan dan 128 kasus bisa terselesaikan.14 Dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan manusia dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban. Undangundang ini mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.
13
Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2006. Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, hlm. 34. 14 M. Zaelani Tammaka. 2003. Menuju Jurnalisme Berperikemanusiaan Kasus Trafficking dalam Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY. Surakarta: Aji Surakarta, hlm. 3.
93
Lebih parahnya lagi, kebanyakan hukuman yang diberikan oleh hakim kepada pelaku trafficking diambil hukuman minimal. Padahal kalau diteliti lebih jauh para pelaku menggunakan modus penawaran pekerjaan dan pmaksaan dengan mengancam para pelaku. Harusnya, para hakim jeli dalam melihat kasus tersebut, karena banyaknya pelanggaran. Selain melanggar UU tentang trafficking, para pelaku juga melanggar UU tentang ketenagakerjaan. Meskipun sanksi pidananya sangat jelas, penjara minimal 5 tahun dan maksimal seumur hidup, serta denda Rp. 120 - 600 juta (Pasal 2-6), namun angka trafficking tidak menunjukkan penurunan. Dalam sistem pemidanaan hukum pidana Islam, hanya mengenal sistem tiga hukuman, yaitu had, qishash-diyat, dan ta’zir. Sanksi-sanksi tersebut diberikan berdasarkan jarimah yang dilakukan oleh pembuat jarimah. Bila dipandang dari sudut pandang hukum pidana islam, trafficking merupakan jarimah penganiayaan yang disengaja. Dalam pasal 7 ayat (2), yang menyebutkan bahwa pelaku tindak pidana perdagangan orang yang mengakibatkan korban meninggal dunia dapat dijatuhi sanksi diyat mughalladzoh atau denda berat yang diberikan kepada pihak keluarga korban, karena trafficking yang mengakibatkan kematian, sebenarnya pelaku tidak memiliki niat untuk membunuh, akan tetapai karena akibat trafficking maka korban meninggal. Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (uqubah ashliyah) dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya.
94
Dalam al-Qur’an, anggota badan semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, dalam (QS. Al-Maidah : 45)
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(QS. Al-Maidah: 45).
Dikarenakan pembunuhan yang dilkakukan adalah termasuk pembunuhan semi sengaja, maka hukumannya bukanlah Qishash, akan tetapi karena tidak mungkin dilakukan maka hukumannya diganti dengan diyat mughalladzah (diyat berat). Jadi jelas menurut ayat al-Qur’an di atas, pelaku tindak pidana perdagangan orang yang mengakibatkan
korban
meninggal adalah diyat mughalladzah (denda berat). Tindak pidana ini disamakan dengan pembunuhan menyerupai sengaja.
96
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Aspek pidana dalam tindak pidana perdagangan orang a 2. dalah pelaku dapat berupa orang atau instansi. Perdagangan orang juga memenuhi unsur disebut sebagai tindak pidana. Sanksi bagi para pelaku trafficking (perdagangan manusia), ada kurungan dan denda. Dikarenakan trafficking merupakan tindak pidana khusus maka menggunakan pidana minimum khusus. 3. Trafficking, dalam kacamata hukum pidana Islam dapat dimasukkan dalam kategori jarimah penganiayaan, karena kejahatan ini ada beberapa unsur yang mirip dengan jarimah penganiaayaan yang berupa eksploitasi terhadap korban. 4. Para pelaku trafficking menurut pasal 7 ayat (1) UU No. 21 tahun 2007, yang menyebutkan bahwa, Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,
97
Pasal 5, dan Pasal 6, menurut hukum pidana Islam dapat dikenakan hukuman diyat kamilah (diyat sempurna). 5. Sedangkan dalam pasal 7 Ayat (2) menyebutkan Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Pelaku dapat dikenakan hukuman diyat mughalladzoh (denda berat). B. PENUTUP Segala puji bagi Allah sebagai dzat yang maha segalanya, sesungguhnya hanya kepada-Nya memohon pertolongan, ampunan dan petunjuk. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan perilaku. Shalawat serta salam penulis haturkan kepangkuan Nabi akhiru zaman Rosulullah Muahmmad SAW. Dengan mengucapkan rasa syukur alhamdulillah, peneliti dapat menyelesaikan naskah skripsi ini. Sungguh kecongkakan intelektual bilamana penulis menganggap skripsi yang penulis susun sempurna dan bersifat final. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Sebab, tiada gading yang tak retak dan tiada manusia yang tak pernah berbuat khilaf (salah). Oleh karenanya saran, kritik dan masukan yang bersifat konstruktif dari pembaca sangat saya harapkan demi tercapainya kesempurnaan skripsi ini di masa mendatang.
98
Akhirnya tak lupa peneliti sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga penulisan skripsi dapat terselesaikan. Semoga semua pihak tanpa disebut namanya, mendapatkan balasan yang baik dan setimpal. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan tentunya selalu mendapat Hidayah dan Maghfirah dari Allah Rabbul Izzaty, Amin Ya Robbal Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
ad-Dawaliby, M. Ma’ruf, Al-Madkhal Illa ‘Ilm Al-Ushul, Irak: Dar Al-Ilm, 1385/1965 M. al-Anshory, Syeh al-islam Abi Yahya Zakariya, Fath al-Wahab bi al-Syarhi Minhaj al-Thullab, Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M/1414. al-Bakri , Abi Bakr Sayyid, Hasiyah I’anah al-Thalibin, Juz IV, Beirut: Dar alFikr, 1993. al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustasyfa fi Ilm al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub alIlmiyyah. al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Cet. V, Beirut: Darul el-Fikri, 1997 M/ 1418 H. al-Qoyyim, Ibnu, ath-Turuq al-Hukmiyyah fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, Beirut: Dar al-Arqam, 1999. al-Slam, Izzuddin Ibn Abd, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalihu al-Anam, Cet. II, Juz II,Dar al-Jil, 1980. al-Tsaqalani, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram, Terjemahan Mahrus Ali, Bulugul Maram, Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995. Amir, Abdul Aziz, al-Ta’zir fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Fikr al‘Arabi, 1396H/1976 M. Asyrqawi, Abdurrohman, Muhammad Rasul Al-Hurriyah, Kairo: Dar al-Hilal, tt. Audah, Abdul Qodir, Tasyri' Jina'I Islami, Beirut: Al Muassasah Al Risalah, 2000 M/ 1421 H. Bakri, Asafari Jaya, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cetakan pertama Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996. Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, Terjemahan M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Daniastri, Rachmeilia, Rehabilitasi Korban Perdagangan Anak di Yayasan Kakak Surakarta Ditinjau Dari Aspek Viktimologi, Surakarta: Fakultas Hukum UNS, 2010.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: PT Kumudasmoro, 1994. , Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Thoha Putra, 1989. , al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1989. Enginer, Ashgar Ali, Islam and Its Relevance to Our Age, Terjemahan Hairus Salim dan Imam Baehaqi, Yogyakarta: LKiS, 1993. , Islam dan teologi Pembebasan, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Fondation Against Trafficking in Women, International Human Rights Law Group, Global Alliance Against Traffic in Women, Human Rights Standards for The Treament of Trafficked Persons, third edition. Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Akademika Presindo 1993. Guy, D.J., White Slavery, Citizentship and Nationality in Argentina, dalam Abdul Harits, Gelombang migrasi & Jaringan Perdagangan Manusia, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Harkrisnowo, Harkristuti, Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia, Jakarta: Sentra HAM UI, 2003. Heryasyih, Dian, dkk., Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, Jakarta: USAID, Yayasan YJP, ICMC dan Solidarity Center, 2003. Husain, Thaha, Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam, Terjemahan Moh. Thohir, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985. Imron, Qishas dan Upaya Pencapaian Maslahah dalam al-Qur’an Surat alBaqarah Ayat 178, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2006. IOM, Pedoman untuk Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Trafficking dan Perlindungan terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, Jakarta: International Organitation for Migration Mission in Indonesia, 2005. K. Susilo, Zumrotin, dkk., Perempuan Bergerak; Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-hak Perempuan, Sul Sel: Yayasan lembaga Konsumen-Ford Foundation, 2000.
Karni, Asrori S., ed, Pesan-Pesan Taqwa Nurcholish Masjid; Kumpulan Khutbah Jum’at di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2005. Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz III, Kairo: Dar al-Fikr, t.t. Keputusan WaliKota Semarang Nomor 463.05/ 112 tertanggal 04 Mei 2005. Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminaasi Terhadap Perempuan, Sidang XVIII, pada tanggal 19 Januari- 6 Februari 1998, LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untu Keadilan), Yogyakarta: Galang Printika. Lapian, L.M. Gandhi & Hetty A Geru, Trafficking Perempuan dan Anak; Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Jakarta: Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, UI dan NAZAID, 2006. Laporan Khusus Fahmina, Kisah Pilu 3 Perempuan Korban Trafiking Edisi 14, November Tahun 2008. M, Oey-Gardiner, Women and Men at Work in Indonesia, Jakarta: PT Insan Hitawasana Sejahtera, 1999. Mansyur, Didik M. Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: Rajawali Pers. 2007. Marcoes, Lies, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan; Upaya Pencegahan Perdagangan Orang (Trafficking), Cirebon: Lembaga Fahmina, 2009. Miftahul, M., Restitusi dalam Pasal 48 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Semarang: IAIN Walisongo Semarang, 2009. Misrowi, Zuhairi dan Novriantoni, Doktrin Islam Progresif; Memahami Islam Sebagai Jalan Rahmat, Jakarta: LSIP, 2004. Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama ,2005. Mulia, Siti Musdah, Muslimah Reformis, Bandung: Mizan Khazanah Ilmu Islam, 2005. Muljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, 2001.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. Xii. Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, Juz IV, Beirut: Dar Ihya at-Turats, tt, Najahan, Muhammad Rois, Tindak Pidana Perdagangan Anak dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2010. Nasr, Sayyed Hossein, The Heart of Islam, Terjemahan Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Pesan-pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2003. Nugroho, Irwanto F & Imelda, Perdagangan Anak di Indonesia, Jakarta: ILO, 2001. nurdin, Ali, Qur’anic Society; Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam AlQur’an, Jakarta: Erlangga, 2006. Organisasi Perburuhan Internasional, Perdagangan Anak untuk Tujuan Pelacuran di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur, Jakarta: ILO, 2004. Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam, Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995. Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Qodir, Faqihuddin Abdul, dkk., Fiqh Anti Trafiking; Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, Cirebon: Fahmina Institut, 2006. , Bergerak Menuju Keadilan; Pembelaan Nabi Terhadap Perempuan, Jakarta: Rahima, 2006. Rifai, Muhammad, al-Qur`an dan Tafsirnya , Semarang: CV. Wicaksana,1993. Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Jiil, Juz I, 1409 H/ 1989 M. Sabiq, Muhammad Sayyid, Fiqh Sunnah, Terjemahan, M. Ali Nursyidi dan Hunainah M. Thahir Makmun, Jakarta: P.T Pena Pundi Aksara, 2009. Sumbullah, Umi, Trfficking; Praktek Neo-Perbudakan dalam Perspektif Islam, Makalah ini pernah dipresentasikan dalam Forum Dialog Trafficking
Perempuan dan Anak oleh PC. Fatayat NU Kota Malang di Gedung Paripurna DPRD Kota Malang tanggal 8 Mei 2005. Thabathaba’I, al-Mizan fiy Tafsir al-Qur’an, Juz XIII, Beirut: Mu’assasah alIslamiy li al-Mathbu’at, tt. Tolhah. Dkk., Aspek Hukum Perdagangan Perempuan dan Hubungannya Dengan Pemberdayaan Perempuan di Kota Semarang, Semarang: Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2005. ‘Ulwan, Abdullah Nashi, Nizham al-Riqqi fi al-Islam, Yordania: Dar al-salam, 1984. Unicef, Combating Child Trafficking Guid for Lawmakers, diterjemahkan Memerangi Perdagangan Anak Panduan Bagi Pembuat Undang-Undang, tt. Wahid, Abdul, Islam dan Idealitas Manusia; Dilema Anak, Buruh dan Wanita Modern, Cet. I, Yogyakarta: SIPRES, 1997. Wijers. M dan Lap. Chew, L. Trafficking in Women Forced Labour Slavery Like Practices in Marriage, Domestic Labour and Prostitution, The Netherland: Fondation Against Trafficking in Women, 1999. Women’s Krisis Center dan Unied Nation Population Fund, Komik Trafiking;Jejak Langkah yang Lelah, Palembang: Tanpa Penerbit, 2008. Refrensi Undang-Undang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Amandemen I-IV, Surabaya: Pustaka Agung Harapan, 2009. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKLN). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No.21 Tahun 2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang No.21 Tahun 2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Refrensi dari Buletin dan Surat Kabar Buletin Blakasuta Risalah Kemanusiaan Untuk Komunitas, Berharap Membantu Orang Tua, Lima PerempuanAsal Indramayu Terjebak Trafficking, ed. VII, Cirebon: Fahmina Institut, 2004. Buletin Blakasuta Risalah Kemanusiaan untuk Komunitas, Berharap Membantu Orang Tua, Lima Perempuan asal Indramayu Terjebak Trafficking, Vol. 17, Cirebon: Fahmina Institut, 2009. Buletin Blakasuta Risalah Kemanusiaan Untuk Komunitas, Dijual Pacarnya Sendiri; Kisah Perempuan Korban Trafficking asal Kuningan, Vol. 20, Cirebon: Fahmina Institut, 2009, hlm. 8. Buletin Blakasuta Ruang Merayakan Keterbukaan, Fenomena Trafficking; Catatan dari Beberapa Kasus di Cirebon-Indramayu, ed. VII, Cirebon: Fahmina Institut, 2004. Buletin Blakasuta Ruang Merayakan Keterbukaan, Perdagangan Perempuan dan Anak; Sebuah Praktek Neo-Slavery dan Pelanggaran HAM, ed. VII, Cirebon: Fahmina Institut, 2004. Buletin Blakasuta Ruang Merayakan Keterbukaan, Perdagangan Perempuan dan Anak; Sebuah Praktek Neo-Slavery dan Pelanggaran HAM, ed. VII, Cirebon: Fahmina Institut, 2004. Bulletin Blakasuta, Memihak Korban Trafiking; Fenomena Perdagangan Perempuan di Wilayah III Cirebon,ed. 07, Cirebon: Fahmina, 2004. Gatra, 10 Oktober 1998, Tenaga Kerja Wanita Bagai Romusha ke Malaysia; Republika, 10 Juni 1999 (Terungkap Penipuan 89 TKI Asal Lombok); Kompas, 29 Juni 1999 (Ditipu, ratusan calon TKI pun mengamuk); Pos Kota, 20 Desember 1999 (23 TKW asal SumBar terlantar di Bogor); Republika, 31 Oktober 1997 (TKW asal Jawa disekap di Medan). Gatra, Dagang Seks Ke Negeri Jiran, Oktober 2002. Suara Merdeka, Anak dibawah Umur dijual Oleh Ibunya, Sabtu 12 Maret 2011. Refrensi dari Website http://yansosial.wordpress.com/2010/04/26/perdagangan-anak-child-trafficking/. http://gerakanantitrafficking.com,
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/. http://www.PBB.org/ documentspdf. http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/ documentspdf. http://www.unicef.org/ documentspdf. http://www.ykai.net/index. protokol-tambahan&catid. www.kontras.org/baru/sipol/pdf.
Daftar Riwayat Hidup
Nama
: Musthofa
Tempat tanggal lahir
: Kudus, 10 Oktober 1988
Alamat
: Desa Kalirejo RT/RW: 02/03 Kec. Undaan Kab. Kudus
Pendidikan formal
Pengalaman Organisasi
: -
MI Darul Hikam MTs Darul Hikam MAN 2 Kudus
-
Ketua HMI Komisariat Syari’ah IAIN Walisongo pereode 2009/2010 M. Staff Wacana HMI Cabang Semarang pereode 2010/2011 M. Ketua Umum HMI Cabang Semarang pereode 2011/2012 M. Ketua Presidium Pergerakan Organisasi Semarang pereode 2011/2012 M.
:
-