SISTEM SIRKULASI LINDI PADA DIGESTER ANAEROBIK UNTUK PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH SAYURAN
SAPTO PUJO SEJATI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sistem Sirkulasi Lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi Biogas dari Limbah Sayuran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2015
Sapto Pujo Sejati NIM F34100102
ABSTRAK SAPTO PUJO SEJATI. Sistem Sirkulasi Lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi Biogas dari Limbah Sayuran. Dibimbing oleh MUHAMMAD ROMLI dan PURWOKO. Biogas merupakan energi alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil yang keberadaannya semakin menipis. Biogas dapat diproduksi dari fermentasi bahan organik yang dilakukan secara anaerob. Limbah sayuran merupakan bahan organik yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biogas. Selain ketersediannya yang melimpah, limbah ini juga memiliki rasio C/N yang sesuai jika ditambahkan bahan lain seperti feses sapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan limbah sayuran sebagai bahan baku biogas, membandingkan keefektifan sistem sirkulasi dan non sirkulasi dalam memproduksi biogas, serta mengevaluasi tingkat penurunan COD dari masing-masing digester . Proses fermentasi dilakukan di dalam digester anaerobik volume 50 liter untuk perlakuan sirkulasi lindi dan volume 25 liter untuk perlakuan non sirkulasi lindi. Fermentasi tersebut dilakukan dengan menggunakan starter berupa feses sapi 20 % selama 40 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi biogas spesifik pada masing-masing digester yaitu digester sirkulasi dengan pH terkontrol sebesar 219 L/Kg TS bahan dengan tingkat penurunan COD sebesar 24%, digester sirkulasi pH tak terkontrol sebesar 117 L/Kg TS dengan tingkat penurunan COD 28%. Sementara itu, produksi biogas spesifik pada digester dengan perlakuan tanpa sirkulasi memiliki produksi biogas spesifik serta tingkat penurunan COD yang lebih kecil yaitu 24 L/Kg TS bahan dengan tingkat penurunan COD 18 %. Produksi biogas spesifik tertinggi yaitu digester sirkulasi dengan pH terkontrol. Sirkulasi lindi dan kontrol pH memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan biogas. Kata kunci: Biogas, fermentasi, feses sapi, rasio C/N, sirkulasi lindi
ABSTRACT SAPTO PUJO SEJATI. Leachate Circulation System in Anaerobik Digestion for Biogas Production from Vegetables Waste. Supervised by MUHAMMAD ROMLI and PURWOKO. Biogas is an alternative energy that can be used as a substitute for fossil fuels. Biogas can be produced from the fermentation of organic matter carried out anaerobikally. Vegetable waste is organic material that can be used as raw material for biogas production. . In addition to the availability of abundant, this waste also has a suitable C/N ratio if added to other materials like cow dung. This study aims to evaluate the utilization of vegetable waste as raw material and comparing the effectiveness of biogas circulation and non- circulation in biogas production and rate of decline COD. Fermentation process conducted in anaerobik digester that have volume 50 Liter for digester with leachate circulation and volume 25 liter for digester without leachate circulation.
Fermentation process is done by using the starter of cow dung 20 % of the total material volume for 40 days. Specific production of biogas from digester circulation by controlled pH is 219 L/kg TS of material with rate of decline COD is 24 %, digester circulation without pH control is 117 L/kg TS of material with rate of decline COD is 28 %. Meanwhile, biogas specific production in the digester without leachate circulation have specifik biogas production and rate of decline COD lower than digester with leachate circulation.the spesicific biogas production is 24 L/Kg TS with rate of decline COD is 18 %. The highest specific of biogas production is conducted by digester with leachate circulation and pH control. Leachate circulation and pH control have considerable influence of biogas production. Keywords: fermentation, manure, C/N ratio, Circulation Leachate
SISTEM SIRKULASI LINDI PADA DIGESTER ANAEROBIK UNTUK PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH SAYURAN
SAPTO PUJO SEJATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Sistem Sirkulasi Lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi Biogas dari Limbah Sayuran Nama : Sapto Pujo Sejati NIM : F34100102
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc.st Pembimbing I
Drs Purwoko, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil tema Bioenergi berbasis limbah pertanian, dengan judul skripsi Sistem Sirkulasi lindi pada Digester Anaerobik untuk Produksi Biogas dari Limbah Sayuran yang telah dilakukan dari bulan Mei hingga Oktober 2014 . Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada : 1. Bapak Prof Dr Ir Muhammad Romli, MSc.St selaku dosen pembimbing I atas perhatian dan bimbingannya selama ini. 2. Bapak Drs Purwoko, MSi selaku dosen pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing dalam penelitian. 3. Dosen penguji yakni Bapak Dr Andes Ismayana, STP. MT atas masukan dan arahannya dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Seluruh staff dan laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 5. Orang tua dan keluarga atas doa, dukungan dan perhatiannya selama ini. 6. Keluarga besar Teknologi Industri Pertanian 47 atas bantuan, kritik, dukungan, informasi, dan kebersamaannya selama ini. 7. Ria Octavia yang selalu memberi dukungan penuh dalam penyelesaian skripsi ini 8. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu Semoga karya tulis ini bermanfaat. Bogor, Januari 2015
Sapto Pujo Sejati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Lingkup Penelitian
2
METODOLOGI
3
Alat dan Bahan
3
Metode Penelitian
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Karakteristik Bahan
6
Proses Pretreatment
9
Produksi Biogas
11
Analisa Lindi dan Digestat
17
SIMPULAN DAN SARAN
23
Simpulan
23
Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
23
LAMPIRAN
26
RIWAYAT HIDUP
33
DAFTAR TABEL 1 Desain Perlakuan
5
2 Komposisi bahan dalam digester
7
3 Karakteristik limbah buah dan sayuran
7
4 Rasio C/N beberapa bahan organik
8
5 Karakteristik campuran limbah sayuran dan feses sapi
10
6 Komposisi biogas
11
7 Macam bakteri berdasarkan suhu hidup
15
8 Karakteristik lindi tiap digester
18
9 Data hasil analisa VFA
20
10 Perbandingan karakteristik bahan awal dengan digestat pada digester sirkulasi pH tak terkontrol
21
DAFTAR GAMBAR
1 Desain digester biogas skala 50 L dengan sistem sirkulasi lindi
4
2 Diagram alir tahapan penelitian
4
3 Limbah sayuran kol dan sawi yang telah dicacah
9
4 Skema pembentukan biogas dari limbah organik
12
5 Skema aliran sistem sirkulasi lindi
13
6 Grafik produksi biogas pada masing-masing digester
14
7 Profil nilai pH tiap digester
17
8 Produk akhir fermentasi
18
9 Grafik profil COD pada tiap digester
19
10 Grafik penurunan nilai COD dan nilai VFA sampel pada digester sirkulasi tanpa kontrol pH
21
11 Grafik penurunan TS dan VS
22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis
26
2 Data hasil pengamatan biogas
30
3 Data hasil pengamatan pH
31
4 Data hasil analisa VFA
32
PENDAHULUAN Latar belakang Biogas merupakan energi alternatif yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil yang keberadaannya semakin menipis di dunia. Bahan bakar fosil merupakan sumber energi yang tidak dapat diperbarui sehingga penggunaannya harus dikurangi. Selain itu, bahan bakar fosil juga merupakan bahan bakar yang menghasilkan residu pembakaran yang memiliki tingkat toksisitas tinggi atau berbahaya bagi lingkungan. Konsumsi energi berupa bahan bakar semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Jika tidak ditemukan suatu energi alternatif, maka kebutuhan energi yang besar tidak akan mampu terpenuhi. Energi alternatif yang dimaksud adalah energi yang bersumber dari bahan baku yang keberdaannya melimpah. Contoh bahan baku tersebut yaitu bahan dari limbah pertanian. Bahan biomassa pertanian tersebut dapat dikonversi menjadi biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Sampah sayuran hijau (kol dan sawi) merupakan salah jenis sampah sayuran yang menghasilkan limbah dalam jumlah yang banyak. Limbah tersebut merupakan bagian luar dari sayuran yang tidak layak untuk dijual sehingga akan dibuang. Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor diketahui bahwa volume sampah di kota bogor pada tahun 2014 adalah 2484 m3 per hari dengan penambahan volume 15% pada saat hari besar. Sebagian besar sampah yang ada di kota Bogor merupakan sampah organik. Tingginya volume sampah tersebut berdampak pada sulitnya penanganan yang akan dilakukan. Selama ini bahan sampah organik tersebut sebagian besar hanya dimanfaatkan sebagai kompos ataupun sebagai pakan ternak sehingga kurang memiliki nilai tambah. Pemilihan biomassa sebagai bahan baku pembuatan biogas didasarkan pada keberadaannya yang melimpah serta kandungan bahan organiknya yang sesuai untuk dikonversi menjadi biogas. Produksi biogas selain dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti sistem pengadukan pada digester yang sangat berpengaruh dalam hal produksi biogas yang dihasilkan. Proses pembuatan biogas yang berlangsung dalam kondisi anaerobik sangat dipengaruhi oleh desain digesternya. Desain digester untuk produksi biogas harus mampu memenuhi faktor-faktor yang mendukung proses anaerobik seperti suhu, pH, kadar air, dan harus sesuai dengan karakteristik substrat. Adapun faktor yang harus terpenuhi dalam digester yaitu suplai bakteri yang harus mencukupi, konsentrasi padatan harus berkisar 8-10%, pengadukan harus secara kontinyu, lingkungan dalam digester harus mendukung seperti kondisinya anaerobik, suhu dijaga sekitar 2935oC, pH 6-7.2 serta tidak ada material toksik (Price dan Cheremisinoff 1981). Faktor pengadukan berfungsi untuk mendistribusikan mikroba dan nutrisi agar merata, sehingga mempercepat terjadinya proses degradasi. Pengadukan dengan menggunakan agitator agak sulit untuk mendapatkan terjaminnya kondisi yang anaerob, sehingga digunakan alternatif pengadukan yaitu dengan sistem sirkulasi lindi.
2
Perumusan masalah Mengacu pada konteks dan fokus penelitian yang dilakukan, masalah penelitian yang dapat dirumuskan yaitu pemanfaatan limbah sayuran untuk menghasilkan energi alternatif dengan memanfaatkan sistem sirkulasi lindi sebagai alternatif pengadukan pada digester anaerobik. Lindi yang disirkulasikan digunakan sebagai agen pembawa mikroba dan penyebaran nutrisi, sehingga proses degradasi dapat berjalan lebih cepat. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Mengetahui potensi limbah sayuran kol dan sawi sebagai bahan baku pembuatan biogas 2. Membandingkan jumlah biogas yang dihasilkan antara digester dengan sirkulasi (dengan pH terkontrol dan pH tak terkontrol) dan tanpa sirkulasi lindi 3. Mengevaluasi pengaruh pH dan sirkulasi lindi terhadap produksi biogas.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk acuan dalam pemanfaatan limbah sebagai bahan baku pembuatan biogas dan pemanfaatan sistem sirkulasi lindi dalam pembuatan biogas.
Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini mengacu pada hal-hal sebagai berikut : 1. Sampel yang digunakan adalah limbah sayuran kol dan sawi dengan dicampurkan feses sapi 2. Fermentasi dilakukan pada digester sirkulasi volume 50 liter dan digester non sirkulasi volume 25 liter 3. Sirkulasi dilakukan dengan memompakan kembali lindi yang terbentuk ke bagian atas digester, sehingga terjadi mekanisme pengadukan 4. Proses fermentasi dilakukan selama 40 hari 5. Analisa dilakukan terhadap biogas yang terbentuk dan tingkat penurunan COD 6. Penelitian berfokus pada proses terbaik dalam memproduksi biogas
3
METODOLOGI Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam peneltian ini yaitu terdiri dari digester anaerob dengan sistem sirkulasi lindi kapasitas 50 L dan tanpa sirkulasi lindi kapasitas 25 L, erlenmeyer, gelas piala, termometer, cawan porselen, pH meter, digester COD, tanur, oven, gelas ukur, dan gas meter. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah sayuran (kol dan sawi) yang diperoleh dari pasar Bogor, feses sapi yang diperoleh dari Fakultas Peternakan IPB, aquades, asam borat, NaOH, asam COD, larutan kromat, FeCl2, asam sulfat, tiosulfat, dan selen.
Metode Penelitian
Sistem kerja digester Sirkulasi lindi Digester yang digunakan dalam penelitian utama ini adalah digester dengan alternatif pengadukan berupa sirkulasi lindi. Sirkulasi lindi yang dimaksud pada penelitian ini yaitu memompakan lindi yang dihasilkan selama proses fermentasi sebagai alternatif pengadukan. Lindi yang dihasilkan dari proses fermentasi mula-mula ditampung pada wadah toples untuk kemudian dipompakan ke dalam digester melalui pipa dari bagian atas digester. Pipa sirkulasi lindi tersebut dilengkapi dengan sprayer yang berfungsi untuk menyemprotkan lindi, sehingga aliran penyemprotan lindi lebih merata. Prinsip kerja dari digester ini yaitu bahan yang difermentasikan disimpan pada tangki digester skala 50 liter. Proses fermentasi bahan akan berlangsung pada tangki tersebut dan biogas yang terbentuk akan terakumulasi pada sepertiga ruang kosong pada tangki digester dan akan keluar melalui pipa yang dihubungkan dengan pengukur gas berupa gas meter. Gas meter tersebut berfungsi mengukur produksi biogas dari digester, sehingga diketahui akumulasi biogas yang terbentuk. Sementara itu lindi yang terbentuk akan ditampung pada wadah berupa toples yang dilengkapi dengan pompa untuk memompakan air kembali ke tangki digester. Proses sirkulasi pada penelitian ini dilakukan secara kontinyu selama 40 hari. Pada tangki fermentasi dilengkapi dengan port untuk termometer, sehingga pengamatan suhu dapat dengan mudah dilakukan. Skema digester yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1 Desain digester biogas skala 50 liter dengan sistem sirkulasi lindi Tahapan Penelitian Tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 2 berikut :
Limbah sayuran dan feses sapi Karakterisasi limbah sayuran dan feses sapi
Persiapan substrat (pretreatment) Fermentasi anaerobik
Analisis produksi biogas, penurunan COD, nilai VFA, suhu, pH, dan analisa proksimat (TS, VS, kadar karbon, dan TKN)
Produk akhir (Biogas, lindi, dan digestat)
Gambar 2 Diagram alir tahapan penelitian
5
Karakterisasi bahan Karakterisasi bahan dilakukan terhadap limbah sayuran dan feses sapi. Karakterisasi yang dilakukan terdiri dari analisa kadar air, kadar karbon, kadar nitrogen, serta Total Volatile Solids. Tujuan dari karakterisasi yang utama yaitu untuk mendapatkan rasio C/N yang optimal. Prosedur uji dapat dilihat pada Lampiran 1. Persiapan Bahan (pretreatment) Bahan baku utama yang digunakan adalah limbah sayuran sebagai substrat untuk menghasilkan biogas. Pretreatment yang dilakukan yaitu dengan pengecilan ukuran. Basis bobot yang digunakan yaitu basis bobot untuk proses dengan sirkulasi lindi dengan pH terkontrol adalah 27.5 Kg, sirkulasi lindi pH tak terkontrol 23.3 Kg serta basis bobot untuk proses tanpa sirkulasi lindi adalah 13.8 Kg. Bahan-bahan tersebut selanjutnya ditambah air aquades masing-masing 3 liter untuk digester sirkulasi dengan pH terkontrol, 2.5 liter untuk digester sirkulasi pH tak terkontrol, dan 1.4 liter untuk digester non sirkulasi, sehingga basis bahan tersebut akan memiliki TS bahan yang sama yaitu TS 9.2%. proporsi dari campuran bahan tersebut juga sama yaitu 80 % limbah sayuran dan 20 % kotoran sapi. Semetara proporsi dari limbah sayuran yaitu 50 % : 50 %, sehingga proporsi dari bahan yang masuk ke dalam digester sama. Hal ini dilakukan agar rasio C/N yang ada pada bahan isian sama. Adapun rasio C/N dihitung dengan cara sebagai berikut :
% % %
= % % %
Fermentasi Fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu fermentasi dengan sistem basah dimana syarat fermentasi untuk sistem tersebut yaitu memiliki nilai TS bahan kurang dari 10 %. Proses fermentasi dilakukan selama 40 hari. Faktor yang diamati yaitu perlakuan digester, yaitu tanpa sirkulasi dan dengan menggunakan sirkulasi. Pada digester dengan sirkulasi dilakukan kontrol pH dan tanpa kontrol pH. Kontrol pH dilakukan dengan penambahan NaOH 1 N jika pH kurang dari 6. Kontrol pH yang dilakukan yaitu dengan menambahkan NaOH 1 N ke dalam wadah penampung lindi sehingga NaOH tersebut akan dipompakan ke dalam digester. Penambahan dilakukan sampai pH yang terbentuk sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Fermentasi dalam penelitian ini dilakukan secara batch dan pengamatan kumulatif biogas yang terbentuk dilakukan setiap hari. Desain perlakuan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Desain perlakuan Perlakuan digester
Sirkulasi lindi pH terkontrol Sirkulasi lindi pH tak terkontrol Non sirkulasi
6
Analisa Hasil Fermentasi Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pengamatan terhadap jumlah gas yang terbentuk secara kumulatif dengan gas meter dan gelas ukur, pengamatan suhu, serta pengamatan pH. Cairan hasil fermentasi dianalisa nilai COD dan VFA, sedangkan padatan yang terbentuk dianalisa kadar air, kadar Nitrogen, nilai volatile solids, total solids, dan kadar Karbon. Analisa data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan grafik. Pengaruh dari perlakuan dianalisa dengan menggunakan grafik dan dilihat ada tidaknya pengaruh dari masingmasing perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Limbah padat dalam arti luas termasuk semua sisa bahan yang berasal dari kegiatan masyarakat, industri, dan pertanian. Limbah padat juga didefinisikan sebagai sampah atau benda yang tidak digunakan lagi. Berdasarkan sifatnya limbah padat dibedakan menjadi dua jenis yaitu garbage dan rubbish. Garbage merupakan limbah padat yang bersifat biodegradable sedangkan rubbish bersifat nonbiodegradable. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan biogas pada penelitian ini termasuk kategori bahan yang bersifat biodegradable yaitu limbah sayuran (kol dan sawi) dan feses sapi. Limbah sayuran merupakan kumpulan dari berbagai macam sayuran yang telah disortir karena tidak layak jual dan biasanya didominasi oleh kol dan sawi. Kol (Brasicca oleracea var. capitata) merupakan tanaman dari spesies Brasicca oleracea, yang merupakan tanaman yang berasal dari Eropa dan Asia kecil, terutama tumbuh di daerah Great Britain dan Mediteranean (Rukmana 1994). Feses sapi merupakan limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha peternakan sapi yang berbentuk padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urine dan gas seperti CH4 dan NH3. Limbah tersebut merupakan limbah yang masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen, vitamin, mineral mikroba, dan zat lain. Feses hewan dianggap substrat paling cocok untuk pemanfaatan biogas. Substrat dalam feses sapi telah mengandung bakteri penghasil gas metana yang terdapat di dalam perut hewan ruminansia. Keberadaan bakteri dalam usus besar ruminansia tersebut dapat membantu proses fermentasi, sehingga proses pembentukan biogas pada tangki pencerna dapat dilakukan lebih cepat. Karakterisasi bahan dilakukan dengan tujuan untuk melihat nilai efisisensi perombakan substrat bahan organik. Karakterisasi awal bahan dilakukan untuk dijadikan sebagai acuan untuk mengetahui sifat bahan yang baik dalam memproduksi biogas. Karakterisasi awal yang dilakukan yaitu terdiri dari analisa kadar air, total solid, kadar nitrogen, kadar abu, kadar karbon, serta volatile solid.
7
Hasil yang diperoleh dari analisis bahan pada penelitian ini ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 komposisi bahan dalam digester Komposisi Kol Kadar air (%) 94.2 ± 0.9 Kadar abu (%) 0.5 ± 0.2 TKN (%) 0.1 ± 0.02 Total Solids (%) 5.8 ± 0.9 Volatile Solids (%) 5.8 ± 0.7 Kadar Karbon (%) 5.0 ± 0.9
Sawi 94.6 ± 0.7 0.9 ± 0.2 0.2 ± 0.03 5.4 ± 0.7 4.8 ± 0.8 4.2 ± 0.9
Feses sapi 79.8 ± 0.5 3.1 ± 0.08 0.6 ± 0.05 20.2 ± 0.5 17.0 ± 0.4 16. 1 ± 0.6
Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan air dalam bahan sebagai perbandingan antara total padatan dan air. Hasil analisis pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa karakteristik antara kol dan sawi memiliki kemiripan yaitu memiliki kadar air yang tinggi. Hasil analisa tersebut sesuai dengan data dari Alvarez dan Liden (2007) yang menyatakan bahwa limbah sayuran dan buahbuahan didominasi oleh kadar air yang tinggi. Bahan kol dan sawi tersebut berasal dari limbah buangan yang ada di pasar Bogor. Karakteristik dan komposisi kandungan dari limbah sayuran dan buah menurut Alvarez dan Liden (2007) disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Karakteristik limbah buah dan sayuran Karakteristik Nilai (%) Kadar air 87.3 Kadar abu 0.8 Total solid (TS) 12.7 Volatile solid (VS) 11.9 Phosphorus (% of TS) 0.2 Potasium (% of TS) 1.6 pH 4.9 Sumber : Alvarez dan Liden (2007) Kadar air bahan yang digunakan pada penelitian ini lebih tinggi daripada penelitian Alvarez dan Liden (2007), sementara nilai Volatile solids-nya lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa bahan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai konversi pembentukan biogas yang lebih rendah, namun masih memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas. Semakin tinggi nilai volatile solid-nya menunjukkan semakin tinggi pula tingkat konversi bahan untuk dijadikan biogas. Hal ini dikarenakan nilai volatile solid merupakan fraksi organik di dalam total solid bahan. Kadar nitrogen adalah banyaknya nitrogen yang terkandung dalam bahan. Sementara itu, kadar karbon dapat diketahui dari hasil pengurangan antara kadar air, kadar abu, dan kadar nitrogen dibagi dengan 1.02 (JICA 1978). Setelah diketahui kadar nitrogen dan kadar karbon maka dapat diketahui rasio C/N yang digunakan sebagai basis dalam penentuan jumlah nutrisi yang akan ditambahkan untuk memenuhi kriteria rasio C/N yang optimum pada produksi biogas. Karbon
8 digunakan sebagai sumber energi pada pertumbuhan mikroba sedangkan nitrogen digunakan sebagai pembentuk sitoplasma dan dinding sel. Mineral yang ada berguna untuk pertumbuhan mikroorganisme (Price dan Cheremisinoff 1981). Menurut Yani dan Darwis (1990) mikroba yang berperan dalam proses fermentasi secara anaerobik membutuhkan nutrisi untuk berkembang berupa sumber karbon dan nitrogen. Seandainya rasio dari C/N tidak sesuai, misalnya kandungan N terlalu sedikit menyebabkan bakteri tidak akan dapat memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk menyintesis senyawa (substrat) yang mengandung karbon. Oleh karena itu keseimbangan antara C dan N perlu ditentukan sesuai kriteria optimalnya. Menurut Fry (1974) perbandingan C/N dari bahan organik sangat menentukan aktivitas mikroba dan produksi biogas. Kebutuhan unsur karbon dapat dipenuhi dari karbohidrat, lemak, dan asam organik, sedangkan kebutuhan nitrogen dapat dipenuhi dari protein, amoniak, dan nitrat. Perbandingan C/N akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Perbandingan C/N untuk masing-masing bahan organik akan mempengaruhi komposisi biogas yang dihasilkan. Perbandingan C/N yang terlalu rendah akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi, H2 rendah dan N2 tinggi. Perbandingan C/N yang terlalu tinggi akan menghasilkan biogas dengan kandungan CH4 rendah, CO2 tinggi, H2 tinggi dan N2 rendah. Perbandingan C/N yang seimbang akan menghasilkan biogas dengan CH4 tinggi, CO2 sedang, H2 dan N2 rendah (Fry 1974) Limbah organik yang memiliki rasio C/N tinggi dapat dicampur dengan bahan yang memiliki rasio C/N rendah sehingga diperoleh nilai rasio C/N yang ideal, seperti pencampuran limbah sayuran dengan feses sapi yang akan menghasilkan rasio C/N yang optimal untuk produksi biogas. Rasio C/N dari beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Rasio C/N beberapa bahan organik Bahan Organik Rasio C/N Feses ayam 10 Feses kambing 12 Feses sapi 24 Sampah buah-buah dan sayuran 25 Jerami gandum / padi 150 Serbuk gergaji 200-500 Sumber : Wulandari (2006) Berdasarkan data dari pengamatan diketahui bahwa rasio C/N dari sawi adalah 21 ; sedangkan C/N dari kol adalah 50 . Semetara C/N feses sapi adalah 26, sehingga rasio C/N dari bahan campuran limbah sayuran dan feses sapi yang masuk ke digester yaitu 28.6 ± 0.2. Data tersebut didapatkan dari perhitungan C/N campuran bahan. Data tersebut mirip dengan literatur penelitian Wulandari (2006) yang menyatakan bahwa rasio C/N dari feses sapi adalah 24, sementara C/N dari sampah buah dan sayuran adalah 25. Rasio C/N yang optimal untuk pembentukan biogas yaitu berkisar antara 25-30 (Deublein dan Steinhauser 2008), sehingga rasio C/N dari campuran limbah sayuran dan feses sapi yang digunakan dalam penelitian ini sudah memenuhi kriteria yang optimum.
9
Feses sapi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan feses sapi pedaging yang berasal dari kandang Fakultas Peternakan IPB. Tujuan dari penambahan feses sapi yaitu selain sebagai starter juga digunakan untuk meningkatkan kandungan nitrogen dalam bahan, sehingga rasio C/N yang digunakan optimum. Selain itu alasan pemilihan feses sapi sebagai starter yaitu karena ketersediannya yang banyak dan belum banyak dimanfaatkan. Feses sapi juga mengandung banyak bakteri pembentuk asam dan metana, sehingga bakteribakteri tersebut dapat meningkatkan produksi biogas.
Proses Pretreatment Proses pretreatment merupakan proses yang dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat proses degradasi bahan organik oleh mikroba. Proses pretreatment yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu berupa pretreatment mekanik, yaitu pencacahan limbah sayuran dengan menggunakan pisau. Selain mempermudah pemasukan dan pencampuran bahan, proses ini dilakukan untuk mempercepat degradasi. Hal ini dikarenakan proses pengecilan ukuran tersebut akan memperbesar luas bidang kontak antara bahan dengan mikroorganisme yang digunakan. Sulaeman (2007) menyatakan bahwa bahan dengan ukuran yang lebih kecil akan lebih cepat terdekomposisi dari pada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Pengecilan ukuran sebagai perlakuan awal memiliki potensi untuk menghasilkan biogas yang secara signifikan meningkat. Proses pengecilan ukuran tersebut dapat dilakukan secara manual ataupun mekanis menggunakan mesin, sehingga didapat keseragaman ukuran bahan, sehingga akses bagi substrat terhadap enzim akan lebih baik (Romli 2010). Gambar hasil dari proses pretreatment dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Limbah sayuran kol dan sawi yang telah dicacah Bahan yang telah dicacah selanjutnya dicampur dengan inokulum berupa feses sapi. Komposisi bahan yang masuk dalam digester memiliki proporsi yang sama. Komposisi bahan pada digester dengan proses sirkulasi lindi dan pH terkontrol yaitu (Kol 10.9 Kg, Sawi 10.4 Kg, dan feses sapi 6.2 Kg), untuk digester dengan proses sirkulasi lindi dengan pH tak terkontrol yaitu (Kol 8.9 Kg, Sawi 9.1 Kg, dan feses sapi 5.2 Kg), sedangkan untuk digester dengan proses tanpa sirkulasi lindi yaitu (Kol 5.5 Kg, Sawi 5.2 Kg, dan feses sapi 3.1 Kg). Bahan yang dicampur tersebut selanjutnya di analisa. Hasil uji analisis campuran bahan dan inokulum disajikan pada Tabel 5.
10
Tabel 5 karakteristik campuran limbah sayur dan feses sapi Sampel Kadar air Kadar Abu Total Solid (%) (%) (%) Campuran bahan 90 ± 2 1.2 ± 0.4 10 ± 2
Volatile Solid (%) 9±2
Berdasarkan hasil analisa pada tabel 5 diketahui bahwa Total Solid (TS) dari campuran bahan yang digunakan adalah 10 ± 2 %. Total solid adalah padatan yang terkandung dalam bahan. Total solid merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan telah terjadinya proses pendegradasian karena padatan ini akan dirombak pada saat terjadinya pendekomposisian bahan. TS bahan dari analisa belum sesuai kriteria yang diharapkan sehingga dalam penelitian ini ditambahkan air aquades sebanyak 3 liter untuk digester sirkulasi dengan pH terkontrol, 2.5 liter untuk digester sirkulasi pH tak terkontrol dan 1.9 liter untuk digester non sirkulasi. Tujuan dari penambahan aquades tersebut adalah untuk menurunkan nilai TS bahan. Akibat penambahan air tersebut maka TS bahan yang masuk dalam digester menjadi 9.2 %, sehingga fermentasi tersebut digolongkan ke dalam fermentasi basah. Hal ini telah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, yaitu fermentasi dengan sistem basah. Terdapat tiga macam sistem fermentasi yang didasarkan pada kandungan total solid bahan, yaitu sistem fermentasi basah jika TS bahan kurang dari 10% , semi basah jika TS bahan antara 15-20%, dan sistem kering jika TS bahan antara 22-40% (Tchobanoglous 1993). Adapun TS bahan yang masuk dalam digester pada penelitian ini yaitu masing-masing 2.8 Kg untuk digester sirkulasi dengan kontrol pH, 2.3 Kg untuk digester sirkulasi tanpa kontrol pH, dan 1.9 Kg untuk digester non sirkulasi. Pada penelitian ini kriteria yang diharapkan yaitu kandungan TS bahan antara 8-10%. Menurut Van Buren (1979), bakteri penghasil biogas dapat beraktivitas secara normal pada substrat dengan kadar air 90% dan kadar padatan 8-10%. Jika bahan yang digunakan kering, maka perlu penambahan air, akan tetapi jika bahan yang digunakan berbentuk lumpur, maka tidak perlu penambahan air. Tujuan penambahan aquades selain untuk menurunkan TS bahan juga untuk memperlancar proses sirkulasi lindi, sehingga sirkulasi lindi dari digester dapat optimal. Hal ini dikarenakan fungsi dari sirkulasi lindi disini yaitu sebagai alternatif pengadukan. Pengadukan menggunakan sirkulasi lindi lebih efisien menghemat daya dibandingkan jika menggunakan impeler. Hal ini dikarenakan produksi biogas digunakan untuk menghasilkan energi, sedangkan jika kita menggunakan impeler yang membutuhkan daya tinggi justru akan membutuhkan energi. Selain lebih menghemat tenaga, proses pengadukan ini juga lebih optimal mendistribusikan bakteri ke seluruh substrat. Nilai volatile solids (VS) bahan yang masuk dalam digester berdasrkan hasil uji yaitu 9 ± 2 %. Nilai VS merupakan fraksi organik dari total solid (TS), berupa fraksi bahan kering yang dapat dioksidasi dan menjadi gas pada suhu 550° C selama 24 jam (bobot konstant), dinyatakan dalam mg/L atau persen dari TS. Kriteria untuk menilai keberhasilan perombakan limbah pertanian secara anaerobik adalah penurunan padatan volatile (VS), total produksi biogas, dan menghasilkan metana. Gerardi (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai Volatile Solids maka semakin tinggi pula jumlah Volatile Fatty Acids (VFA) yang terbentuk dalam digester. Jumlah VFA yang tinggi akan berpengaruh terhadap
11
alkalinitas dan pH dalam digester, sehingga substrat yang memiliki nilai TVS yang tinggi sebaiknya diumpankan secara perlahan dalam digester. Produksi Biogas Biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses fermentasi bahanbahan organik yang terjadi secara anaerob. Menurut Buren (1979) biogas dapat dibuat dari bahan-bahan antara lain feses hewan dan manusia, limbah pertanian, sampah kota, limbah industri pertanian dan bahan-bahan lain yang memiliki kandungan bahan organik. Proses fermentasi tersebut menghasilkan campuran gas yang terdiri dari metana (CH4), karbondioksida (CO2), hidrogen, Nitrogen dan gas lainnya seperti H2S. Metana yang dikandung biogas berkisar antara 54 – 70 %, karbondioksida berkisar antara 27-43%, dan gas- gas yang lain memiliki persentase hanya sedikit (Setiawan 2004). Menurut Kadir (1995) biogas atau yang dikenal dengan gas rawa merupakan campuran gas yang terdiri dari campuran metan dan karbondioksida yang terdekomposisi secara anaerobik. Gas metana yang merupakan jenis gas rumah kaca bersama dengan gas karbondioksida memberikan efek rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global, sehingga keberadaannya perlu ditangani dengan baik. Biogas mempunyai sifat mudah terbakar bahkan dapat menyala dengan sendirinya pada suhu 650-750o C. Gas metan yang merupakan komponen utama biogas dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar. Menurut Hambali et al. (2007), biogas dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk menghasilkan energi listrik, dimana setiap satu m3 metana setara dengan 10 kWH. Nilai tersebut setara dengan 0.61 liter bahan bakar minyak. Adapun komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi Biogas Jenis gas Rumus kimia Persentase (%) Metan CH4 55 – 65 Karbondioksida CO2 36 – 45 Nitrogen N2 0–3 Hidrogen H2 0–1 Oksigen O2 0–1 Hidrogen Sulfida H2S 0–1 Sumber : Energi Resources Development dalam Kadir 1995 Produksi biogas terjadi karena fermentasi bahan organik yang dilakukan secara anaerobik. Hal ini dikarenakan fermentasi akan menghasilkan metana (CH4) yang merupakan komponen dominan dalam biogas selain karbondioksida. Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan terisolasi, yaitu terpisah dari selnya atau masih dalam keadaan terikat di dalam sel. Fermentasi adalah proses pengolahan senyawa-senyawa organik yang terkandung dalam limbah menjadi gas metana dan karbondioksida tanpa memerlukan oksigen (Manurung 2004). Gas metana terbentuk karena proses fermentasi secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri metan atau disebut juga bakteri anaerobik dan bakteri biogas yang
12 mengurangi sampah-sampah yang banyak mengandung bahan organik (biomassa) sehingga terbentuk gas metan (CH4) yang apabila dibakar dapat menghasilkan energi panas. Gas metan sama dengan gas elpiji (Liquid Petrolium Gas/LPG), bedanya gas metan hanya mempunyai satu atom C, sedangkan elpiji lebih banyak mengandung atom C (LIPI 2005). Proses pembentukan biogas secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 4.
Limbah organik
Hidrolisis dan fermentasi
Acidogenesis (Volatile fatty acids)
Asetat
Acetogenesis Hidrogenasi Metanogenesis
Hydrogen dan CO Formasi reduktif metan
Biogas (CH +CO ) Gambar 4 Skema Pembentukan Biogas dari Limbah Organik Sumber : Brown dan Tata (1985) Tahap hidrolisis merupakan tahap awal pembentukan biogas, yaitu tahap pemecahan polimer menjadi monomernya, sehingga mudah larut dan dapat digunakan sebagai substrat mikroorganisme yang kedua. Pemecahan polimer dilakukan oleh berbagai jenis bakteri yang memiliki enzim selulotik, lipolitik, dan proteolitik. Fungsi enzim tersebut yaitu sebagai katalis reaksi. Bakteri selulotik memecah atau memotong molekul selulosa yang merupakan molekul kompleks menjadi selulobiose (glukosa-glukosa) dan menjadi glukosa bebas (free glucose). Glukosa kemudian difermentasidan akan menghasilkan bermacam-macam produk fermentasi seperti asetat, propionat, butirat, H2, dan CO2. Reaksi penguraian senyawa tersebut yaitu : C6H12O6 + 2 H2O
2CH3COOH + 2CO2 + 4H2 (as. Asetat)
C6H12O6
CH3CH2CH2COOH+2CO2 + 2H2 (as. Butirat)
C6H12O6 + 2 H2
CH3CH2COOH+2H2O (as. Propinoat)
13
Monomer-monomer hasil hidrolisis dikonversi menjadi senyawa organik sederhana seperti asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa gas seperti karbondioksida, hidrogen, amoniak, dan gas hidrogen sulfida. Tahap acidogenesis ini dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri obligat anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif ( Manurung 2004 ). Pada tahap asetogenesis terjadi pembentukan senyawa asetat, CO2, dan hidrogen dari molekul-molekul sederhana yang tersedia oleh bakteri asetogenik penghasil hidrogen. Bakteri pembentuk asam antara lain adalah Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium, dan Alcaligenes yang mampu mendegradasi bahan organik menjadi asam-asam lemak. Asam lemak yang teruapkan dari hasil asidogenesis akan digunakan sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik, namun bakteri-bakteri tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam asetat (Weismann, 1991). Tahap metanogenesis merupakan tahapan terbentuknya metana dan karbondioksida. Bakteri yang berperan dalam tahap metanogenesis adalah bakteri metanogen. Syarat tumbuh untuk bakteri metanogen yaitu tersedianya sumber karbon, sumber nitrogen dan mineral, pH, alkalinitas, suhu dan asam-asam volatil. Metana dihasilkan dari asetat atau reduksi kerbondioksida oleh bakteri asetotropik dan hidrogenotropik dengan menggunakan hidrogen. Tahap metanogenesis merupakan tahapan fermentasi metanogenik. Pada tahapan ini aktifitas metanogen dapat berkurang yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan pH (souring) yaitu terjadinya penurunan pH akibat terbentuknya asam lemak volatil (Lettinga 1994). Pada penelitian ini terdapat dua jenis digester yang digunakan, yaitu digester dengan sirkulasi lindi dan tanpa sirkulasi lindi. Sirkulasi lindi yang dimaksud yaitu memompakan lindi yang dihasilkan ke dalam digester sebagai alternatif mekanisme pengadukan. Hal ini dilakukan karena pengadukkan menggunakan impeler lebih sulit untuk dilakukan. Selain karena membutuhkan energi yang lebih besar juga dikhawatirkan adanya kebocoran karena instalasi pengaduk. Sirkulasi lindi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pompa yang terletak di dalam toples penampung air lindi yang dihasilkan. Sirkulasi dilakukan dengan proses kontinyu selama 40 hari dengan laju sirkulasi lindi 12 ml/menit. Gambar mekanisme sistem sirkulasi lindi yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 skema aliran sistem sirkulasi lindi
14 Pada Gambar 5 dapat dilihat mekanisme dari sistem sirkulasi lindi. Lindi yang dihasilkan dari fermentasi dalam digester ditampung ke dalam toples untuk selanjutnya dipompakan ke bagian atas digester sehingga dapat menyebarkan nutrisi dan mikroba yang terdapat dari air lindi ke seluruh bahan. Adapun gas yang terbentuk diukur dengan menggunakan gas meter. Produksi biogas untuk perbandingan antara digester sistem sirkulasi dengan non sirkulasi dapat dilihat pada Gambar 6.
jumlah produksi biogas (L/Kg TS)
non sirkulasi
sirkulasi pH tak terkontrol
sirkulasi pH terkontrol
250 225 200 175 150 125 100 75 50 25 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
waktu pengamatan (hari ) Gambar 6 Grafik produksi biogas pada masing-masing digester Berdasarkan hasil pengamatan gas yang telah dilakukan selama 40 hari menunjukkan bahwa grafik produksi biogas pada digester dengan sirkulasi lindi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi biogas pada digester non sirkulasi. Gas sudah mulai terbentuk pada hari pertama. Pemilihan waktu fermentasi selama 40 hari sesuai pernyataan dari Tobing dan Loebis (1986) yang menyatakan bahwa dengan waktu tinggal atau retention time sekitar 40 sampai 50 hari dapat dihasilkan gas metan dalam jumlah yang cukup besar. Data produksi gas secara terperinci dapat dilihat pada lampiran 2. Produksi biogas spesifik pada digester sirkulasi dengan perlakuan kontrol pH adalah 219 L/Kg TS bahan, pada digester sirkulasi tanpa kontrol pH adalah 117 L/Kg TS bahan. Sementara itu, pada digester dengan sistem non sirkulasi lindi memiliki produksi biogas spesifik yang lebih kecil yaitu 24 L/Kg TS bahan. Data produksi biogas pada sistem non sirkulasi tersebut lebih kecil jika dibandingkan data dari penelitian Yulistiawati (2008) yang menyatakan bahwa proses fermentasi berbahan limbah sayuran dengan rasio C/N 30 yang dilakukan pada suhu inkubasi 35 oC adalah 57 L/Kg TS bahan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena suhu inkubasi yang berbeda, di mana suhu inkubasi pada penelitian ini merupakan suhu yang terbentuk secara alami atau tanpa kontrol suhu, sedangkan penelitian dari Yulistiawati (2008) terdapat perlakuan kontrol suhu dimana suhu yang terbentuk dikontrol agar
15
mencapai suhu optimal, yakni 35 oC. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa sirkulasi lindi dapat meningkatkan produksi biogas secara signifikan. Sementara itu, perbandingan proses fermentasi dengan perlakuan sirkulasi dan non sirkulasi memiliki perbedaan hasil yang signifikan. Perbedaan produksi gas tersebut disebabkan karena adanya mekanisme pengadukan pada digester sirkulasi. Hambali et al (2007) menyatakan bahwa pengadukan berfungsi untuk memecah lapisan kerak di permukaan cairan dalam sistem yang menggunakan bahan baku yang sukar dicerna. Lapisan kerak tersebut perlu dipecah agar mengurangi hambatan terhadap laju biogas yang dihasilkan. Bahan penghambat merupakan bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, sehingga berpengaruh terhadap jumlah biogas yang dihasilkan. Produksi biogas spesifik pada digester dengan sistem sirkulasi lindi lebih tinggi dibandingkan dengan digester non sirkulasi juga disebabkan karena distribusi mikroba pada substrat dapat lebih merata. Gerardi (2003) menyatakan bahwa pengadukan bertujuan untuk mendistribusikan bakteri dan substrat agar menyebar secara merata di dalam digester. Peningkatan produksi metana dipengaruhi oleh pengadukan, karena aktivitas metabolisme dari bakteri pembentuk asetat dan bakteri pembentuk metana membutuhkan jarak yang saling berdekatan dalam melakukan proses metabolisme. Setelah terbentuk asam asetat dari tahap asetogenesis maka selanjutnya asetat tersebut akan langsung dikonversi oleh bakteri metanogenesis. Selain faktor di atas, perbedaan yang terjadi pada produksi biogas dapat juga disebabkan oleh faktor lingkungan yang terdapat pada digester. Romli (2010) menyatakan bahwa masalah utama dalam proses konversi anaerobik adalah kemungkinan tidak seimbangnya populasi mikroorganisme dalam digester. Bakteri pembentuk metana memiliki laju pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibandingan dengan bakteri pembentuk asam. Dominasi bakteri pembentuk asam menyebabkan kondisi asam pada digester yang dapat menurunkan aktifitas bakteri pembentuk metana atau bahkan menginhibisi bakteri tersebut. Faktor suhu juga dapat berpengaruh terhadap laju pembentukan biogas. Suhu berpengaruh terhadap proses pencernaan anaerobik bahan organik dan produksi gas. Termperatur tersebut berpengaruh terhadap daya tahan bakteri untuk bertahan hidup. Terdapat beberpa jenis bakteri berdasarkan tempertur hidupnya yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Macam bakteri berdasarkan suhu hidup Jenis bakteri Rentang suhu oC Cryophilic 2 – 20 Mesophilic 20 – 45 Thermophilic 45 – 75 Sumber : Harold 1981
Suhu optimum oC 12 – 18 30 – 40 50 -60
Pada penelitian ini kriteria yang digunakan yaitu fermentasi pada kondisi mesofilik dimana kondisi optimumnya yaitu pada kisaran suhu 30-40oC. Suhu optimal untuk kebanyakan bakteri mesofilik dicapai pada suhu 35 oC (Sahirman 1994). Apabila suhu meningkat, umumnya produksi biogas juga meningkat
16 sesuai dengan batas kemampuan bakteri dalam mencerna sampah organik. Produksi biogas cenderung lebih cepat pada suhu thermophilic dibandingkan dengan mesophilic, dengan syarat tidak boleh terjadi perubahan suhu secara mendadak. Fluktuasi suhu pada digester harus sekecil mungkin, yaitu sekitar kurang dari 1oC per hari untuk thermophilic dan kurang dari 2-3 oC per hari untuk mesophilic. Fluktuasi suhu dapat mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk metana (Gerardi 2003). Adapun rata-rata suhu yang terbentuk selama fermentasi pada tiap digester dalam penelitian ini yaitu berkisar 28 oC. Hal ini menunjukkan bahwa suhu yang ada belum sesuai dengan kriteria optimalnya dimana kriteria optimal untuk pembentukan biogas dengan bakteri mesofilik membutuhkan suhu kurang lebih 35 oC, sehingga ketidaksesuaian suhu tersebut akan berpengaruh terhadap kecepatan degradasi bahan oleh mikroba dan jumlah produksi biogas yang terbentuk kurang optimal. Untuk dapat mencapai kriteria suhu yang optimal seharusnya dilakukan kontrol suhu secara otomatis, sedangkan dalam penelitian ini hal tersebut tidak dilakukan. Adapun kontrol suhu dalam penelitian ini tidak dilakukan karena terbatasnya alat penunjang pada digester yang digunakan. Berdasarkan data pengamatan selama 40 hari untuk semua digester yang digunakan dalam penelitian diketahui bahwa suhu tertinggi yang terbentuk selama pengamatan yaitu 31 oC, sedangkan suhu terendah yang terbentuk yaitu 26.5 oC. Rentang pada suhu tersebut masih sesuai dengan syarat pertumbuhan bakteri mesofilik yaitu antara 20-40 oC, namun belum mencapai kondisi optimalnya. Fluktuasi suhu yang terbentuk juga masih sesuai dengan kriteria pertumbuhan bakteri mesofilik yaitu kurang dari 2 oC, sehingga walaupun tanpa menggunakan kontrol suhu digester tersebut masih dapat dijalankan dengan kondisi mesofilik. Selain dipengaruhi oleh suhu, proses degradasi bahan organik menjadi biogas juga sangat dipengaruhi oleh nilai pH dalam digester. Menurut Yani dan Darwis (1990) derajat keasaman merupakan ukuran keasaman atau kebasaan dari suatu larutan dan merupakan logaritma perbandingan konsentrasi hidrogen. Bila pH yang terbentuk terlalu asam maka bahan tersebut akan mempunyai sifat toksik terhadap bakteri metanogen. Pada awal penguraian, biasanya akan terjadi penurunan nilai pH akibat terbentuknya asam asetat dan hidrogen yang akan menyebabkan penghambatan pertumbuhan mikroba, bahkan produksi metan akan terhenti. Bakteri yang bekerja dalam kondisi anaero terdiri dari dua jenis bakteri utama, yaitu bakteri pembentuk asam dan bakteri pembentuk metan. Bakteri pembentuk asam memiliki syarat tumbuh yang berbeda dengan bakteri pembentuk metan. Bakteri pembentuk asam tumbuh dengan baik pada lingkungan yang memiliki pH rendah, sedangkan bakteri pembentuk metan rentan terhadap pH yang rendah. Adanya perbedaan tersebut menyebabkan kondisi lingkungan dalam digester harus diatur terkait nilai pH-nya sehingga dari masing-masing jenis bakteri dapat tumbuh dengan optimal. Secara alami, pH yang terbentuk akan meningkat seiring dengan berjalannya waktu fermentasi. Hal ini dikarenakan asam asam volatil dan asam asetat yang terbentuk akan dikonversi oleh bakteri metanogen menjadi biogas, sehingga kandungan asamnya akan menurun dan meningkatkan nilai pH. Profil pembentukan pH pada masing-masing digester dapat dilihat pada Gambar 7, sedangkan untuk data pengamatan pH dapat dilihat pada Lampiran 3.
17
8 7 6 pH
5 4 3
Sirkulasi dengan kontrol pH Sirkulasi tanpa kontrol pH Non sirkulasi 1
2 1 0 0
20 25 30 Hari Gambar 7 Profil nilai pH tiap digester
5
10
15
35
40
Berdasarkan Grafik pembentukan pH pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa peningkatan pH tertinggi yaitu pada digester dengan sirkulasi dan kontrol pH. Peningkatan pH tersebut diakibatkan adanya penambahan NaOH sebagai kontrol pH, sehingga konversi asam-asam volatile oleh mikroba dalam digester lebih cepat. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah biogas yang terbentuk dan juga penurunan nilai VFA bahan, sehingga peningkatan pH berjalan lebih cepat. Asam yang terbentuk pada tahap asidifikasi akan digunakan oleh bakteri metanogen sebagai substrat dalam pembentukan gas metan dan gas lainnya, sehingga pH-nya akan meningkat. Secara keseluruhan baik digester dengan sirkulasi maupun tanpa sirkulasi profil pH cenderung naik, dimana pada awal fermentasi pH yang terbentuk cenderung bersifat asam. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kresnawaty et al. (2008) yang menyatakan bahwa diawal reaksi pembentukan biogas, bakteri penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH pada digester menjadi rendah, kemudian bakteri metanogen menggunakan asam tersebut sebagai substrat sehingga menaikkan nilai pH. Hal ini menandakan bahwa dalam produksi biogas terjadi mekanisme pengaturan pH secara alami, dimana tingkat keasaman pada proses tersebut diatur dengan sendirinya karena terdapat mekanisme buffer. Nilai pH berpengaruh terhadap aktifitas bakteri metanogen, dimana bakteri tersebut sangat rentan terhadap pH asam. Nilai pH terbaik dalam memproduksi biogas yaitu berkisar 7. Apabila nilai pH dibawah 6 maka aktifitas bakteri metanogen akan menurun, dan jika pH dibawah 5 maka aktifitas bakteri metanogen akan terhenti.
Analisa lindi dan digestat Fermentasi selain menghasilkan biogas juga menghasilkan produk samping lain yaitu leachate dan digestat. Leachate merupakan produk fermentasi yang berbentuk cairan, sedangkan digestat merupakan produk fermentasi yang berbentuk padatan. Produk dari fermentasi tersebut dilakukan analisa untuk mengetahui masing masing karakteristik dari produk. Lindi dari tiap digester
18 dianalisis terkait kandungan Chemical Oxygen Demand (COD) dan beberapa sampel dilakukan pengujian terkait nilai Volatile Fatty Acids (VFA). Sementara itu, produk digestat dianalisa terkait kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, total solids, dan volatile solids. Gambar 8 menunjukkan produk akhir berupa lindi dan digestat.
(a)
(b)
(c)
Gambar 8 Produk akhir fermentasi : (a) Lindi awal fermentasi ; (b) Lindi akhir fermentasi ; (c) Digestat Akhir fermentasi Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan ukuran kandungan bahan organik dalam limbah yang dapat dioksidasi secara kimiawi, dengan menggunakan oksidator kimia kuat dalam medium asam (Romli 2010). Kandungan bahan organik didalam COD terdiri dari dua jenis yaitu kandungan volatile dan dan tidak volatile dimana kandungan volatile merupakan bagian dari VFA. Analisa COD yang dilakukan adalah COD tersaring, dimana sampel yang akan dianalisa disaring terlebih dahulu dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil penyaringan tersebut selanjutnya yang dilakukan analisa terhadap nilai COD. Hasil analisis COD pada air lindi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 karakteristik lindi tiap digester Waktu Sirkulasi pH Sirkulasi pH tak (Hari) terkontrol (1000mg/L) terkontrol (1000mg/L) H-4 30 ± 3 H-7 30 ± 2 H-11 27 ± 7 H-15 22 ± 4 H-21 23 ± 6 24 ± 4 H-28 21 ± 1 21 ± 1 H-35 18 ± 2 18 ± 2
Non Sirkulasi (1000mg/L) 29 ± 5 27 ± 1 24 ± 2 23.2 ± 0.6 23 ± 2 22 ± 1 19 ± 1
Berdasarkan analisa pada Tabel 8 diketahui bahwa nilai COD berdasarkan waktu fermentasi menunjukkan penurunan. Penurunan nilai COD disebabkan karena terjadinya penguraian bahan organik oleh bakteri atau mikroorganisme menjadi biogas. Nilai COD pada awal proses memiliki nilai yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena kandungan bahan organik makro yang dimiliki oleh
19
Nilai COD air lindi (mg/L)
substrat masih cukup tinggi.Tingkat penurunan COD dapat terus berlanjut hingga bakteri pengurai mencapai batas kritis penguraian yaitu semua bahan substrat sudah terkonversi menjadi gas, sebab pada beberapa kasus selama proses fermentasi berlangsung nilai COD mengalami penurunan di awal waktu kemudian kembali naik pada akhir waktu meskipun tidak terlalu tinggi. Triyanto (1992) menyatakan bahwa kenaikan COD disebabkan oleh hadirnya senyawa-senyawa organik sederhana akibat proses hidrolisis polimer organik akan tetapi senyawa tersebut belum dirombak lebih lanjut oleh bakteri pengurai menjadi biogas. Grafik penurunan COD dari tiap digester dapat dilihat pada Gambar 9.
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
Sirkulasi dengan kontrol pH sirkulasi tanpa kontrol pH non sirkulasi 1
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Hari Gambar 9 grafik profil COD pada tiap digester Berdasarkan grafik profil COD pada tiap digester diketahui bahwa nilai COD pada tiap digester menunjukkan profil nilai yang hampir sama. Penggunaan digester sistem sirkulasi lindi dengan kontrol pH atau tanpa kontrol pH dan digester tanpa sirkulasi menunjukkan nilai COD yang tidak terlalu jauh. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem sirkulasi maupun non sirkulasi tidak berpengaruh terhadap penambahan beban organik pada bahan. Keseluruhan sistem pada digester menunjukkan adanya nilai penurunan COD. Menurut Barlaz (1996) penurunan COD berarti juga menunjukkan adanya penurunan VS, yang juga berarti penurunan bahan organik yang menandakan adanya pengurangan bahan organik yang diuraikan untuk memproduksi metan dan total biogas. Penurunan COD menunjukkan adanya konsumsi asam untuk produksi metan . Penurunan nilai COD tersebut menunjukkan bahwa proses digesti anaerobik mampu menurunkan beban cemaran dari limbah sayuran dan feses sapi. Penurunan kadar COD pada digester dengan sisrkulasi lindi dan kontrol pH yaitu 24 %, penurunan kadar COD pada digester dengan sisrkulasi lindi tanpa kontrol pH yaitu 28 %, serta penurunan COD pada digester non sirkulasi yaitu 18. Berdasarkan data pengamatan tersebut diketahui bahwa digeseter yang memiliki efisiensi penurunan COD terbesar yaitu digester dengan sistem sirkulasi tanpa kontrol pH. Hal tersebut menunjukkan bahwa degradasi bahan dari sistem
20 sirkulasi lebih tinggi dibandingkan dengan non sirkulasi. Hal ini menunjukkan bahwa nilai COD tersaring yang dianalisa pada penelitian ini memiliki nilai yang relatif sama. Sedangkan pada produksi biogasnya, perlakuan sirkulasi dengan pH terkontrol memiliki produksi biogas spesifik yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan sirkulasi pH tak terkontrol dan perlakuan non sirkulasi. Hal ini dapat disebabkan karena tidak terukurnya bahan organik yang tertinggal di kertas saring pada saat pengambilan filtrat lindi untuk dianalisa COD, sehingga nilai COD dari tiap perlakuan menunjukkan nilai yang relatif sama. Selain dianalisa penurunan nilai COD, lindi yang terbentuk juga dianalisis nilai VFA (Volatile Fatty Acids). VFA adalah asam-asam lemak menguap yang terdiri dari asam asetat, asam propionat, dan butirat yang dihasilkan pada tahap asidogenesis. Asam-asam organik tersebut merupakan substrat dari mikroba untuk selanjutnya dikonversi menjadi metana. Profil pembentukan VFA berbanding lurus dengan penurunan COD, sebab nilai VFA pada pengujian VFA yang menjadi acuan yaitu total asam yang menguap selama proses pembentukan gas berlangsung. Semakin rendah nilai VFA maka nilai COD juga semakin rendah. Pengujian VFA pada penelitian ini dilakukan pada sampel digester dengan sistem sirkulasi lindi dan tanpa kontrol pH. Sampel yang dianalisa yaitu sampel pada hari ke empat dan hari ke-35. Penentuan sampel tersebut didasrkan pada profil produksi biogas, yaitu pada tahap awal (fase lag) dan tahap akhir (fase decline) Hasil analisa VFA pada sampel tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Untuk lebih terperinci data hasil analisa VFA ini dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 9 Data hasil analisa VFA Komposisi VFA Sampel hari ke-4 (mM) Asam Asetat Asam Propionat Asam Iso Butirat Asam n-Butirat Asam Iso Valerat Asam n-Valerat Total VFA
53.92 6.04 1.56 1.91 0.16 0.00 63.59
Sampel hari ke-35 (mM) 19.44 29.29 3.19 5.66 0.42 0.19 58.19
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa terjadi penurunan nilai VFA sampel yaitu sebesar 5.4 mM. Penurunan tersebut disebabkan karena asam-asam organik yang ada telah dikonversi menjadi biogas yaitu menjadi metana dan karbondioksida. Bakteri pembentuk metana yang merupakan bakteri dari sub divisi acetolacstic methane berfungsi untuk menguraikan asam asetat menjadi metana dan karbondioksida. Sementara asam organik dalam bentuk propinoat dan butirat akan dikonversi menjadi asam asetat oleh bakteri sub divisi acetogenik bacteria. Berdasarkan data tabel 10 diketahui bahwa sampel pada hari ke-4 memiliki komposisi tertinggi yaitu asam asetat, sedangkan sampel hari ke-35 memiliki kompisisi yang tertinggi yaitu asam propinoat. Hal ini menunjukkan bahwa sampel setelah fermentasi 35 hari telah terjadi konversi asam asetat menjadi biogas, sedangkan tingginya kandungan asam propinoat pada sampel 35 hari menunjukkan bahwa asam tersebut belum dikonversi semua menjadi asam asetat oleh bakteri acetogenik. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa setelah
21
35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0
60 50 40 30 Nilai COD
20
nilai VFA
10
Nilai VFA (mM)
Nilai COD (mg/L)
waktu tinggal selama 35 hari menunjukan bahwa substrat yang ada masih berpotensi untuk menghasilkan biogas. Hal ini ditunjuukan dari masih tingginya kandungan asam propionat pada sampel 35 hari. Data tersebut menunjukkan bahwa asam organik yang terbentuk dikonversi menjadi biogas, sehingga terjadi penurunan nilai VFA yang berbanding lurus dengan COD. Grafik pembentukan COD dan VFA pada sampel digester sirkulasi tanpa kontrol pH dapat dilihat pada Gambar 10.
0
sampel hari-4
sampel hari ke-35
Gambar 10 Grafik penurunan nilai COD dan nilai VFA sampel pada digetser sirkulasi tanpa kontrol pH Berdasarkan Gambar 10, nilai COD dan Nilai VFA pada sampel setelah pengamatan selama 35 hari terjadi penurunan. Besar atau kecilnya nilai penurunan tersebut dipengaruhi oleh besar kecilnya penguraian substrat oleh bakteri pembentuk biogas. Analisa digestat dilakukan untuk mengetahui besarnya konversi dari bahan menjadi gas, terutama terkait nilai TS dan VS bahan. Sampel yang dianalisa yaitu sampel pada digester sirkulasi tanpa kontrol pH. Hal ini dilakukan karena fokus penelitian yakni pada digester sirkulasi tanpa kontrol pH. Hasil analisis yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Perbandingan karakteristik bahan awal dengan digestat pada digester sirkulasi pH tak terkontrol TS (%) VS (%) Waktu Kadar Air (%) Kadar Abu (%) H-0 H-40
90 ± 2 91.5 ± 0.2
1.2 ± 0.4 0.9 ± 0.2
10 ± 2 8.5 ± 0.2
9±2 7.6 ± 0.4
Berdasarkan data pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa proses fermentasi anaerobik mampu menurunkan nilai TS bahan dan VS bahan. Nilai TS merupakan kandungan padatan yang terurai menjadi senyawa sederhana yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme yang kemudian dirombak menjadi gas, sedangkan VS merupakan nilai fraksi padatan dari TS yang teroksidasi menjadi gas. Penurunan nilai total solids menunjukkan bahwa terdapat aktifitas mikrobiologi dimana mikroorganisme untuk memenuhi kebutuhannya akan mendegradasi senyawa organik makro molekul menjadi molekul yang lebih sederhana. Protein dihidrolisis menjadi asam amino, karbohidrat menjadi gula sederhana, sedangkan lemak dihidrolisis menjadi asam lemak berantai pendek dan
22 gliserol. Pada penelitian ini, penurunan nilai TS bahan yaitu sebesar 1.7%, sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Karim et al (2004), disebutkan bahwa nilai total solid akan mengalami penurunan antara 3.1 – 3.5 % selama proses produksi biogas. Hal ini mengindikasikan bahwa proses fermentasi pada penelitian ini belum mencapai waktu yang optimum. Selain dilihat dari perubahan nilai total solid bahan, pendegradasian bahan dapat dilihat juga dari perubahan nilai total volatile solids. Menurut Boullaghui et al.(2003) dalam Rahman (2007) menjelaskan bahwa pada proses produksi biogas secara anaerobik, terjadi penurunan kandungan TVS dengan efisiensi pendegradasian sebesar 58-75% pada akhir proses. Penurunan nilai TVS juga menunjukkan bahwa kadungan padatan organik telah dirombak menjadi senyawa volatile fatty acid, alkohol, CO2, dan H2 pada tahap asidogenesis, kemudian menjadi CH4 dan CO2 pada tahap metanogenesis. Grafik penurunan nilai TS dan VS dapat dilihat pada Gambar 11. Nilai TS dan VS bahan (%)
12 10 8 6 Total Solid 4
Volatile Solid
2 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Hari Gambar 11 Grafik penurunan TS dan VS Dari hasil analisis data dan grafik dapat diketahui bahwa nilai TS bahan dan VS bahan mengalami penuruan. Penurunan nilai TS bahan sampel digester sirkulasi tanpa kontrol pH selama fermentasi 40 hari yaitu 16.32%, sedangkan penurunan nilai VS bahan yaitu sebesar 15.63%. Penurunan nilai TVS yang kecil menunjukkan bahwa pendegradasian bahan belum selesai untuk waktu fermentasi 40 hari. Berasarkan data penurunan nilai TVS yang belum mencapai 58-75% mengindikasikan bahwa kandungan bahan organik yang ada dalam substrat belum terkonversi secara maksimal. Data tersebut menunjukan bahwa substrat yang ada masih memiliki potensi untuk menghasilkan biogas lebih banyak lagi, yaitu dengan waktu tinggal yang lebih lama lagi, sehingga degradasi bahan akan maksimal. Hal ini sesuai dengan grafik pertumbuhan produksi biogas yang meningkat pada hari ke-35.
23
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah sayuran kol dan sawi dapat dimanfaatkan menjadi subtrat pembentukan biogas.. Penambahan feses sapi dalam produksi biogas dari limbah sayuran dapat meningkatkan nilai TS bahan dan juga berpengaruih terhadap nilai rasio C/N bahan, sehingga kondisi substrat menjadi optimal. Sirkulasi lindi pada digester anaerob untuk produksi biogas dapat meningkatkan produksi biogas. Digester dengan perlakuan sirkulasi lindi memiliki pengaruh terhadap produksi biogas, yaitu dapat meningkatkan produksi biogas. Perlakuan fermentasi terbaik yaitu pada digester dengan sirkulasi dan kontrol pH yang menunjukkan nilai produksi biogas spesifik paling tinggi yaitu 219 L/Kg TS, sedangkan pada perlakuan sirkulasi tanpa kontrol pH produksi biogas spesifiknya adalah 117 L/Kg TS bahan. Perlakuan sirkulasi lindi, baik dengan kontrol pH maupun tanpa kontrol pH menunjukkan produksi biogas spesifik yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa sirkulasi yang hanya memiliki nilai produksi biogas spesifik sebesar 24 L/Kg TS bahan.
Saran Perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai proses sirkulasi lindi yang dapat meningkatkan produksi biogas, perlu dilakukan kontrol suhu agar suhu yang bekerja didalam digester sesuai dengan kriteria optimalnya, dimana pada penelitian ini suhu yang terbentuk selama fermentasi belum mencapai kriteria yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah K, Agustina E, Hartulistiyoso E, Irwanto KI, Purwanto A, Siregar N, Tambunan AH, Yasin M. 1991. Energi dan Listrik Pertanian. JICADGHE/IPB Project/ADET, JTA-9a (132) Alvarez R, Liden G. 2007. Semi Continuous Co-digestion of Solid Slaughterhouse Waste, Manure, and Fruit Vegetable Waste. Jurnal Renewable Energy 33 : 726-734 Barlaz MA. 1996. Microbiology of Solid Waste Landfills. In : Microbiology of Solid Waste. A.C. Palmisano and M.A Barlaz (eds). Florida (USA) : CRC Press Boulallaghui H, Cheikh RB, Marouani L, Hamdi M. 2003. Meshophilic Biogas Production from Fruit and Vegetable Waste in A Tubular Digester. J. Biores Technol. Vol 86:85-89
24 Brown NL, Tata PBS. 1985. Biomethanation. ENSIC Review Thailand 1(1): 1718 Deublein D, Steinhauser A. 2008. Biogas from Waste and Renewable Resource. Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA Fry LJ. 1974. Practical Building of Methane Power Plant for Rural Energy Independence. California (USA) : Standard Printing Santa Barbara. Gerardi MH. 2003. The Microbiology of Anaerobik Digester. New Jersey (USA) : John Willey & Sons Inc Ginting N. 2007. Penuntun Praktikum : Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian : Universitas Sumatera Utara Hambali E, Mudjalipah S, Pattiwiri AW, Tambunan AH, Hendroko R. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta Selatan (ID): Agro Media [JICA] Japan International Corporation Agency. 1978. Methods of Soil Chemical Analysis. Bogor (ID) : JICA pr Juyono U. 2014. Peningkatan Volume Sampah Bogor Hingga 15 persen [internet]. [diunduh pada 2014 Desember 23]. Tersedia pada : http://medialingkungan.com/index.php/component/k2/item/536 Kadir A. 1995. Energi : Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik, dan Potensi Ekonomi. Edisi kedua. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia (UI Press) Karim, Khursheed K, Klasson T, Hoffman R, Drescher R, DePaoli, Al-Dahlan MH. 2005. Anaerobik Digestion of Animal Waste : Effect of Mixing. J. Biores Technol. Vol 96:1607-1612 Kresnawaty I, Susanti I, Siswanto, Panji T. 2008. Optimasi Produksi Biogas dari Limbah Lateks Cair Pekat dengan Penambahan Logam. Jurnal Menara Perkebunan. 76(1):23-35 Lettinga G. 1994. Anaerobic Sewage Treatment : A Practical Guide for Regions with a Hot Climate. Michigan (USA) : J. Willey [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2005. Biogas, Sumber Energi Alternatif [internet]. [diunduh 2014 Des 10]. Tersedia pada : http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1124147846. Loebis A, Tobing. 1992. Penetapan Kualitas Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dengan Metode Pengujian Sederhana. Berita Penelitian Perkebunan 2:146151 Manurung R. 2004. Proses Anaerobik sebagai Alternatif untuk Mengolah Limbah Sawit. Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik : Universitas Sumatera Utara Price EC, Cheremisinoff PN. 1981. Biogas,Production and Utilization. Michigan (USA) : Ann Arbor Science Publisher. Rahman AN. 2007. Pembuatan Biogas dari Sampah Buah-Buahan Melalui Fermentasi Aerobik dan Anaerobik [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Romli M. 2010. Teknologi Penanganan Limbah Anaerobik. Bogor (ID): TML Publikasi Rukmana R. 1994. Bertanam Kol. Yogyakarta (ID) : Kanisius Setiawan. 2004. Industri Tapioka : Penanganan Limbah Cair dan Padat. Makalah pada Lokakarya Pemanfaatan Limbah Industri Tapioka. Bogor 19-20 Juli 2004
25
Sulaeman D. 2007. Pengomposan, Salah Satu Alternatif Pengolahan Sampah Organik [internet]. [diunduh 2014 Juni 19]. Tersedia pada : http://agribisnis.deptan.go.id/pustaka/dede.pdf Tchobanoglous G, Theisen H, Vigil S. 1993. Integrated Solid Waste Management, Chapter 9. New York (USA) : Mc Graw-Hill Triyanto. 1992. Memepelajari Cara Pembuatan Biogas Melalui Proses Rumen Derived Anaerobic Digestion (RUDAD) [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Van Buren A. 1979. A Chinese Biogas Manual. London : Intermediate Technology Publication Ltd Wahyuni S. 2009. Biogas. Jakarta (ID): Penebar Swadaya Weismenn U. 1991. Anaerobik Treatment of Industrial Wastewater. Berlin: Institute for Verhahrentechnik Wulandari D. 2006. Biomass Energi. Bogor (ID) : LPPM-IPB Yani M, Darwis AA. 1990. Diktat Teknologi Biogas. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi- IPB Yulistiawati E. 2008. Pengaruh Suhu dan C/N ratio terhadap Produksi Biogas Berbahan Baku Sampah Organik Sayuran [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
26
LAMPIRAN
Lampiran 1 Prosedur Analisis Analisis Kadar Air (AOAC 1995) Sebanyak 2-5 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan aluminium yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Setelah itu cawan didingikan dalam desikator dan ditimbang. Prosedur dilakukan berulang sehingga mendapat bobot yang konstan. −$ %! = × 100% % Keterangan : A = cawan + contoh sebelum dikeringkan (g) B = cawan + contoh setelah dikeringkan (g) C = bobot contoh (g) Analisis Kadar Abu (AOAC 1995) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin yang sudah diarangkan kemudian dimasukan kedalam tanur bersuhu 550oC selama 4 jam. Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. −$ )* %! = × 100% % Keterangan : A = cawan + contoh setelah diabukan (g) B = cawan kosong (g) C = bobot contoh (g) Analisis Total Solid (TS) (APHA 2005) Sebanyak 2-5 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan aluminium yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Setelah itu cawan didingikan dalam desikator dan ditimbang. Prosedur dilakukan berulang sehingga mendapat bobot yang konstan. +,-. /*01230 4-3 %! =
−$ × 100% %
Keterangan : A = cawan + contoh setelah dikeringkan (g) B = cawan kosong (g) C = bobot contoh (g)
27
Analisis Volatile Solid (VS) (APHA 2005) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam sebuah cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 550oC selama 4 jam. Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. −$ 4-3 /*01230 5,.-. %! = × 100% % Keterangan : A = cawan + contoh (g) B = cawan + abu (g) C = bobot contoh (g) Analisis pH (APHA 2005) Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu kedalam pH 4, pH 7, dan pH 10. Setelah dikalibari, pH meter dicuci dengan aquades, kemudian elektroda dapat dimasukkan kedalam contoh yang akan diukur pH-nya. Nilai pH contoh adalah nilai yang ditampilkan setelah menunjukkan nilai konstan. Analisis Total Kjeldahl Nitrogen (APHA 2005) 1.
2.
Bahan-bahan yang digunakan Pereaksi yang digunakan adalah NaOH 0.05N, HCl 0.05N, Asam Borat 2%, dan indikator Mengsell yang dibuat dengan melarutkan 0.1 g metil merah dan 0.01 g metil biru dalam 100 ml alkohol. Prosedur analisis Sebanyak 10 ml sample dimasukkan ke dalam peralatan destilasi dan ditambahkan sebanyak 10 ml NaOH 45%. Sebagai penampung gas yang terbentuk digunakan larutan HCl 0.05N sebanyak 25 ml yang telah ditambah dengan sekitar 3 tetes indicator Mengsel. Proses destilasi dilakukan selama sekitar 10 menit atau hingga didapatkan volume penampung sekitar 50 ml. Setelah destilasi selesai, dilanjutkan dengan titrasi menggunakan NaOH 0.02 N hingga terjadi perubahan warna menjadi hijau. Kadar nitrogen total (mg/l) ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut. 6-,723 89 :;:<=>; >=8?@9A89 :;:<=>; B9=CDE!×F GHI ×J ×JKK %N= L >=8?@9 M JKKK
Analisis kandungan karbon (C) (JICA 1978) Perhitungan kadar karbon didefinisikan sebagai kadar abu dalam bahan. Penentuan kadar abu berdasar pada prinsip sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 550oC. Cawan porselen dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam, kemudian didinginkan selama 30 menit
28 didalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh berat konstan (A). Lalu ditimbang contoh sebanyak 2 gam (B), dan dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dipijarkan menggunakan pembakar Bunsen sampai tidak membentuk asap lagi. Kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik (furnace) pada suhu 550oC selama ± 12 jam. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, dan ditimbang hingga didapatkan berat konstan (C). Kadar abu (%) = Kadar C (%) =
N
× 100%
JKK%AD=O=< =;< JKK%!A D=O=< =BP %!A D=O=< C;:<EL@C %! J.K
Pengukuran Nilai COD (APHA, 2005) Sebanyak 1 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung COD mikro, kemudian ditambahkan 1.5 ml larutan K2Cr2O7 dan 3.5 ml pereaksi H2SO4 (asam COD). Setelah itu dipanaskan selama 2 jam pada suhu 148oC. Setelah dingin, larutan dituang ke erlenmeyer 100 ml, kemudian ditambahkan dengan indikator ferroin 1 – 2 tetes. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan Ferro Aluminium Sulfat (FAS) 0.1 M hingga warna kecoklatan. Proses diulangi pada blanko akuades. Perhitungan kadar COD dilakukan dengan rumus berikut. [ − $! × X Y/ × 8000 × 4 %RS T7/V = T. 0T12. Keterangan : A :ml FAS blanko B : ml FAS sampel M : MolaritasFAS P : Pengenceran Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan FAS perlu distandarisasi. Standarisasi dilakukan sama seperti langkah-langkah penentuan COD, namun sampelnya adalah akuades, serta tanpa adanya pemanasan. 5,.*T2 % R[ 0.0167 X T.! X,.-0 Y/ = × 0.1 5,.*T2 Y/ *3-*^ --0 T.! Analsis Volatile Fatty Acid VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan hasil fermentasi karbohidrat atau protein oleh mikroba dalam rumen yang terdiri dari asam ateta, propionat, iso propionat, butirat, iso butirat, valirat, dan iso valirat. Senyawa ini dapat dianalisi dengan menggunakanalat gas kromatografi (GC). Sistem pemisahan ini berdasarkan sifat partisi dan absorpsi zat terhadap dua fasa yang berbeda, yaitu fase diam (kolom) dan fase bergerak (gas). Adanya perbedaan partisi atau absoprsi pada kedua fase tersebut memunculka peak (puncak) pada layar monitor. Dengan membaca kromatogram standar VFA yang konsentrasinya sudah diketahui maka konsentrasi VFA sampel dapat diukur. Alat-Alat : • Gas Chromatogrraphy Chrompack 9002
29
• Sentrifuse IEC micromac RF type 3593 • Column Capilary : WCOT fused silica 25 m x 0.32 mm ID Coating FFAP-CB for free fatty acid • Syringe 0-1µl • Tabung eppendorf Pereaksi : Asam sulfo- 5- sallisilat dihidrat Standar : VFA rumen standar (Supelco) Cara Kerja : Larutan contoh atau rumen dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung eppendorf dan ditambahkan kira-kira 30 mg asam sulfo- 5- sallisilat dihidrat kemudian dikocok. Selanjutnya disentrifuse selama 10 menit pada 12000 rpm dengan suhu 7o C. Sebelum injeksi larutan contoh atau rumen terlebih dahulu di injeksikan larutan standarVFA rumen. Larutan contoh atau rumen yang telah jernih di injeksikan 1µl ke dalam Gas Chromatografi. Kondisi alat : Suhu kolumn : 115oC Suhu Injektor : 270oC Suhu Detector : 270oC Laju alir N2 : 30 ml/menit Laju alir H2 : 40 ml/menit Laju alir O2 : 250 ml/menit Perhitungan 5Y TX! =
V*0 2 5Y _,3-,ℎ × ,3023-0 0-3 5Y V*0 2 0-3 5Y × $X
dimana : VFA = Terdiri dari asam asetat, propionate, n-butirat, iso-butirat, nvalerat, dan iso-valerat. • BM = Berat molekul VFA parsial •
Konsentrasi VFA standar 1mg/ml = 1000 µl
30 Lampiran 2 Data Hasil Pengamatan Biogas
1
2.894737
Digester Sirkulasi tanpa kontrol pH (L/Kg TS) 4.521739
2
4.052632
11.66667
11.92857
3
Hari ke-
Digester non sirkulasi (L/Kg TS)
Digester Sirkulasi dengan kontrol pH (L/Kg TS) 7.392857
5.157895
16.45299
18.89286
4
6.421053
22.09402
21.85714
5
6.736842
28.24786
30
6
7.473684
33.76068
33.03571
7
7.789474
38.46154
37.42857
8
8.315789
43.20513
41
9
8.789474
50.29915
43.57143
10
9.315789
58.03419
47.25
11
10.26316
65.12821
52.07143
12
11.26316
69.2735
54.14286
13
12.57895
70.47009
68.32143
14
13.47368
70.7265
77.35714
15
14.47368
71.36752
88.64286
16
15.15789
72.60684
91.57143
17
15.68421
72.99145
109.5714
18
16.94737
73.4188
123.8214
19
17.26316
74.1453
138.7143
20
17.89474
75.47009
150.25
21
18.47368
76.45299
155.8214
22
19.15789
77.17949
160.3214
23
19.63158
77.35043
164.0357
24
20.10526
77.5641
168.3571
25
20.63158
77.94872
177.3571
26
19.31579
78.58974
192.3214
27
21.15789
79.18803
195
28
21,47368
80.12821
203.1071
29
21.84211
80.76923
207.1429
30
22.15789
82.17949
213.8929
31
22.52632
84.10256
214.2857
32
22.52632
86.88034
215
33
22.68421
90.76923
215.7857
34
22.89474
94.18803
216.4286
35
22.89474
98.07692
217.1786
36
23
102.5214
218.1429
37
23
104.7009
218.2857
38
23.15789
107.6923
218.7143
39
23.36842
111.5385
218.9643
23.57895
116.6667
219.2143
40
31
Lampiran 3 Data hasil pengamatan pH Hari ke1
Digester non sirkulasi 1 5.2
Digester Sirkulasi tanpa kontrol pH 5.1
Digester Sirkulasi dengan kontrol pH 5.1
2
-
-
-
3
-
-
-
4
5.4
5.8
5.8
5
-
-
-
6
-
-
-
7
5.6
5.9
5.8
8
-
-
-
9
-
-
-
10
5.8
5.9
6.0
11
-
-
-
12
-
-
-
13
5.8
5.9
6.0
14
-
-
-
15
-
-
-
16
5.9
6.0
6.4
17
-
-
-
18
-
-
-
19
6.1
6.0
6.6
20
-
-
-
21
-
-
-
22
6.0
6.2
6.9
23
-
-
-
24
-
-
-
25
6.2
6.2
6.8
26
-
-
-
27
-
-
-
28
6.4
6.4
7.4
29
-
-
-
30
-
-
-
31
6.6
6.6
7.6
32
-
-
-
33
-
-
-
34
6.9
6.8
7.6
35
-
-
-
36
-
-
-
37
6.8
6.8
7.6
38
-
-
-
39
-
-
-
40
6.8
6.9
7.6
32 Lampiran 4 Data Hasil Analisa VFA
33
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Sapto Pujo Sejati yang dilahirkan di Kebumen pada tanggal 16 Desember 1991 merupakan anak ke enam dari enam bersaudara. Orang tua penulis bernama A. Suyono (ayah) dan Suparmi (ibu). Pendidikan formal penulis dimulai di SD Negeri Wirogaten 1 (1997-2004), SMP Negeri 1 Mirit (2004-2007), SMA Negeri 1 Parakan (2007-2010), dan pada tahun yang sama penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian. Selain itu Penulis juga pernah menjadi Koordinator Wilayah barat Forum Agroindustri Indonesia periode 2012-2014, dan pernah menjadi ketua Paguyuban Mahasiswa Temanggung Makukuhan Periode 2012-2013. Kepanitian yang pernah diikuti oleh penulis yaitu Hagatri (2012), Reds Cup (2012), One Step (2012), Agroindustrial Fair (2012), dan Gathering Karya Salemba Empat ke-2 (2013). Prestasi yang pernah diraih penulis yaitu menjadi juara 1 futsal TPB cup, IPB. Pada tahun 2013, penulis melakukan kegiatan praktek lapang di PT.SMART,Tbk Surabaya dengan judul Mempelajari Aspek Teknologi Pengolahan Air Baku Industri di PT. SMART (Sinar Mas Agro Resources and Technology), Tbk Surabaya.