TESIS– RE142541
PENINGKATAN PRODUKSI BIOGAS SAMPAH PASAR DENGAN PENAMBAHAN M-A6 DAN PENGADUKAN MENGGUNAKAN DIGESTER ANAEROBIK
NURJANNAH OKTORINA ABDULLAH 3315201010
DOSEN PEMBIMBING Dr. Ir. ELLINA S. PANDEBESIE, MT.
PROGRAM MAGISTER JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
1
TESIS– RE142541
THE INFLUENCES OF STIRRING AND COW MANURE ADDED ON BIOGAS PRODUCTION FROM VEGETABLE WASTES USING ANAEEROBIC DIGESTER
NURJANNAH OKTORINA ABDULLAH 3315201010
SUPERVISOR Dr. Ir. ELLINA S. PANDEBESIE, MT.
MASTER PROGRAME DEPARTMENT OF ENVIRONMENTAL ENGINEERING FACULTY OF CIVIL ENGINEERING AND PLANNING INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2017
2
3
PENINGKATAN PRODUKSI BIOGAS SAMPAH PASAR DENGAN PENAMBAHAN M-16 DAN PENGADUKAN MENGGUNAKAN DIGESTER ANAEROBIK Nama Mahasiswa : Nurjannah Oktorina Abdullah NRP : 3315201010 Pembimbing : Dr. Ir. Ellina Sitepu Pandebesie, MT.
ABSTRAK Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008, tindakan pengelolaan sampah harus dilakukan pada sumbernya termasuk sampah domestik, komersil, dan institusi untuk meminimalisasikan adanya sampah. Hal ini termasuk tindakan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Sampah pasar berupa limbah sayuran memiliki potensi untuk menghasilkan biogas karena mempunyai komposisi kimia yakni hemiselulosa, selulosa, dan lignin yang menjadikan biomassa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas. Terdapat beberapa kekurangan dalam pemanfaatan limbah sayuran yaitu bersifat asam sehingga diperlukan suatu bahan yang bisa menjadi buffer dalam proses pembuatan biogas. Salah satu bahan yang mudah diperoleh dapat menggunakan feses sapi sebagai buffer. Penelitian ini menggunakan 24 reaktor biogas volume 6 L dengan metode batch. Perbandingan komposisi limbah sayuran segar dan feses sapi sebesar 70:30 %w/w. Perbandingan total solid dan air sebesar (10:90 dan 20:80 %v/v). Frekuensi pengadukan adalah 8 kali/hari dan 4 kali/hari selama 5 menit. Pengukuran volume biogas dengan menghitung kenaikan pada manometer. Pengukuran kadar metan pada biogas dilakukan dengan menggunakan Gas Chromatography (GC) Hewlett Packard (HP-series 6890) pada hari 15 dan 30. Penelitian diawali dengan karakterisasi sampel, pengujian sampel dengan analisis total solid, volatil solid, lignin, rasio C/N, amonium, dan ash. Pengukuran yang dilakukan setiap hari adalah analisis pH, suhu, dan volume biogas di workshop. Penambahan feses sapi dengan total solid 10% pada pengadukan 8 kali menghasilkan volume biogas tertinggi sebanyak 5.602 mL. Penambahan M-16 dengan total solid 10% pada pengadukan 8 kali menghasilkan volume biogas tertinggi sebanyak 1.498 mL. Penambahan feses sapi dengan total solid 20% pada pengadukan 8 kali menghasilkan volume biogas tertinggi sebanyak 8.768 mL. Penambahan M-16 dengan total solid 20% pada pengadukan 8 kali menghasilkan volume biogas tertinggi sebanyak 2.019 mL. Kata kunci: Biogas, Feses sapi, Frekuensi pengadukan, Sampah sayuran
4
THE INFLUENCES OF STIRRING AND COW MANURE ADDED ON BIOGAS PRODUCTION FROM VEGETABLE WASTE USING ANAEROBIC DIGESTER Name Student ID Supervisor
: Nurjannah Oktorina Abdullah : 3315201010 : Dr. Ir. Ellina Sitepu Pandebesie, MT.
ABSTRACT Based on Indonesian Government Regulation (Undang-Undang) number 18, 2008, solid waste management should be conducted from the source to minimize the amount of waste. The process includes the waste from domestic, commercial, and institution. This also includes in 3R program (reduce, reuse, and recycle). Vegetable waste from market is a potential material to produce biogas due to its chemical composition (hemicellulose, cellulose, and lignin) which transform the biomass to be the raw material of biogas. Acid substance of vegetable becomes an obstacle in process of producing biogas. There has to be buffer material which can improve the performance of biogas process. Cow manure is a material which can be easily obtained as buffer. This research used 24 biogas reactor in volume 6 L by batch method. Composition comparison of fresh vegetable waste and cow manure is 70:30 %w/w. Comparison of total solid and water is (10:90 and 20:80 %v/v). Mixing frequency is 8 times per day and 4 times per day for 5 minutes. Biogas volume is measured by checking the preferment in manometer. Methane measurement is conducted by using Gas Chromatography (GC) Hewlett Packard (HP-series 6890) in day 15 and 30. The research was started by sample characterization, sample test by total solid analysis, volatile solid, lignin, ratio C/N, ammonium, and ash. Analysis of pH, temperature, and biogas volume is conducted everyday. Cow manure which was added with total solid 10% in 8 times mixing, produced the highest biogas in volume 5.407 mL. The addition of M-16 with total solid 10% in 8 times mixing, produced the highest biogas in volume 1.417 mL. Cow manure which was added with total solid 20% in 8 times mixing, produced the highest biogas in volume 8.743 ml. The addition of M-16 with total solid 20% in 8 times mixing, produced the highest biogas in volume 2.019 mL. Keywords: Biogas, cow manure, stirring time, vegetable waste
5
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal tesis dengan judul “Peningkatan Produksi Biogas Sampah Pasar dengan Penambahan M-16 dan Pengadukan Menggunakan Digester Anaerobik”. Proposal tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan sebelum mengerjakan tesis dan sebagai prasyarat kelulusan Program Magister Teknik Lingkungan ITS. Dalam penyusunan tesis ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Ellina Sitepu Pandebesie, M.T. selaku dosen pembimbing yang telah dengan sabar memberikan ilmu, nasehat, dan arahan dalam membimbing penulis. 2. I.D.A.A Warmadewanthi, ST., MT., PhD, Dr. Agus Slamet, ST., MSc, Arseto Yekti Bagastyo, ST., MT., MPhil., PhD, selaku dosen penguji yang memberikan masukan dan saran pada penulis untuk perbaikan dan kesempurnaan tesis ini. 3. Dr. Arie Dipareza Syafei, ST, MEPM. selaku dosen wali yang telah banyak memberikan arahan dan membantu penulis selama menempuh pendidikan di Pascasarjana Jurusan Teknik Lingkungan ITS. 4. Prof. Dr. Yulinah Trihadiningrum M.App.Sc. selaku Kepala Laboratorium Limbah Padat dan B3 yang telah memberikan arahan, masukan, perhatian, dan semangat kepada penulis. 5. Pak Affan, Pak Hadi, Pak Edi, Pak Azhari, Mbak Merry, dan Mbak Iin yang telah membantu penulis menyiapkan berbagai kebutuhan alat dan bahan selama penelitian berlangsung di laboratorium. 6. Orang tua penulis, Abdullah Marzuki (Almarhum), Hartini Husain dan kakak, Meutia Mutmainnah Abdullah dan Fatimah Hardianti Abdullah. Terima kasih atas dukungan moral material, dan spiritual yang selalu diberikan kepada penulis.
6
7. Rekan-rekan kuliah Magister Teknik Lingkungan ITS, Annas M Parenreng, Muh. Anshari Caronge, Eka Diansrikandi, Jabbar Thariq, dan Nuris Asrin atas segala bantuan, motivasi, dan saran. 8. Berbagai pihak yang penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan tesis ini, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan sehingga nantinya dapat lebih baik dalam penulisan laporan. Akhir kata semoga proposal tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Surabaya,
Januari 2017
Penulis
7
DAFTAR ISI Abstrak……………………………………………………………… Abstract…………………………………………………………….... Kata Pengantar..................................................................................... Daftar Isi…………………………………………………………….. Daftar Tabel…………………………………………………………. Daftar Gambar………………………………………………………. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………………………... 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….. 1.3 Tujuan……………………………………………………………
Halaman i iii v vii 12 ix 1 3 3 4 4
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………. 1.5 Ruang Lingkup………………………………………………….. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Sampah………………………………….….…. 2.2 Karakteristik Feses Sapi………………………….….…………. 2.3 Biostarter Feses Sapi .……………………………………….. 2.4 Biostarter M-16 .……………………………………………… 2.5 Alternatif Bahan Bakar Biogas................................... ................. 2.6 Pembentukan Biogas dari Proses Digester Anaerobik………. 2.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Biogas.………. 2.8 Membuat Instalasi Biogas Sederhana…………...………...…… BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Ide Penelitian…………………………………………..……… 3.2 Kerangka Penelitian…………………………………………… 3.3 Tahapan Penelitian…………………….……………………… 3.3.1 Studi Pustaka……………………………………………… 3.3.2 Alat dan Bahan……………………………………………… 3.3.3 Tahap Pembuatan Biogas………………………………… 3.3.4 Variabel Penelitian………………………………………… 3.3.5 Analisis Data……………………………………………… BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Umum…………………………..………………………………. 4.2 Karakteristik Substrat ………….………….………….………… 4.3 Kondisi Operasi Pada Reaktor…………………...……………... 4.3.1 Kondisi Suhu Pada Reaktor ……………………………..…. 4.3.2 Derajat Keasaman Pada Reaktor ……………………...…... 4.3.3 TS dan VS Pada Reaktor... ……………………………….... 4.3.4 Rasio C/N Pada Reaktor ……………………………………. 4.4 Produksi Biogas Pada reaktor ………………………………….. 8
5 5 6 8 8 9 11 14 21 14 15 19 19 19 20 20 20
21 23 23 23 23 24 25 26 26 27 27 28
4.4.1 Perbandingan Penambahan M-16 dan Feses Sapi Terhadap Pembentukan Biogas ………………………………………. 4.4.2 Produksi Biogas dengan Variasi Frekuensi Pengadukan …. 4.4.3 Perbandingan Jumlah Total Solid Terhadap Produksi Biogas dan Metana …………………………………………………. 4.4.4 Penurunan Volatile Solid pada Proses Anaerobik …….…… 4.4.5 Laju Penurunan Volatile Solid Terhadap Pembentukan Biogas pada Total Solid 10% ………………………………. 4.4.6 Laju Penurunan Volatile Solid Terhadap Pembentukan Biogas pada Total Solid 20% ………………………………. 4.4.7 Laju Penurunan Volatile Solid Terbaik Terhadap Pembentukan Biogas pada TS 10% dan TS 20% …………... 4.4.8 Biodegradable Volatile Solid yang Terdapat di Dalam VS… 4.4.9 Refractory Volatile Solid yang Terdapat di Dalam VS…...… 4.4.10 Pembentukan Gas Metan Berdasarkan Metode GC……...... 4.5 Kesetimbangan Massa pada Reaktor ……………...........……… BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN Daftar Pustaka ………………………………………………………. Lampiran…….……………………………………………………….
9
28
29 63 64 66 68 70 71 73 81 82 87
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Produksi sayur dan buah di dunia mencapai 1,5 milyar ton/tahun dan 45%
dari produksi tersebut merupakan sampah (Mazareli et al., 2016). Pengolahan sampah di negara berkembang umumnya menggunakan landfill baik sanitary landfill maupun controlled landfill (Sim dan Wu, 2010). Bahkan, masih ada yang menggunakan open dumping. Berdasarkan PP 81 Tahun 2012, sampah di Indonesia diproses dengan tahapan pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Namun, pengolahan di peraturan tersebut hanya ditekankan pada sampah anorganik yang bertolak belakang dengan komposisi sampah di Indonesia dengan kandungan organik sebesar 60,5-74% (Aprilia et al., 2013). Terkait UU No. 18 Tahun 2008, tindakan pengelolaan sampah harus dilakukan pada sumbernya termasuk sampah domestik, komersil, dan institusi sehingga jumlah sampah yang diproses di landfill dapat dikurangi. Hal ini termasuk salah satu tindakan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Menurut data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya bahwa jumlah sampah di TPA Benowo hingga bulan Januari 2016 sebesar 47.223 ton. Sumber sampah di TPA tersebut berasal dari pemukiman, pasar, industri, sapuan jalan, tempat rekreasi, dan sebagainya. Jenis sampah yang paling banyak adalah sampah organik yang mencapai 71,96% (Nurhayati, 2014). Pemanfaatan sampah pasar saat ini masih terbatas, yaitu sebagai makanan ternak, kompos, dan sisanya dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Hal ini merupakan permasalahan lingkungan secara global karena sampah organik memiliki karakteristik kadar air 90,49% (Shin et al., 2015) dan nilai biodegradabilitas yang tinggi 64,7% sehingga cepat mengalami pembusukan (Thenabadu et al., 2015). Sampah organik berupa limbah sayuran memiliki potensi untuk dijadikan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan untuk menghasilkan biogas karena mempunyai kandungan hemiselulosa, selulosa, dan lignin yang menjadikan
10
biomassa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas (Razaul et al., 2016). Sampah organik mempunyai komposisi kimia yakni hemiselulosa 20%-35%, selulosa sebesar 40%-50%, dan lignin sebesar 15%-30% (Shin et al., 2015). Pemanfaatan sampah organik sebagai bahan pembuatan biogas terdapat beberapa kekurangan karena apabila hanya digunakan sampah organik jumlah biogas dihasilkan sedikit dan waktu yang dihasilkan lama. Menurut Ni’mah (2014), dalam proses pembuatan biogas bahan organik dikenal sebagai volatile solid yang berguna sebagai substrat bagi bakteri, namun limbah sayuran bersifat asam sehingga diperlukan suatu bahan yang bisa menjadi buffer dalam proses pembuatan biogas. Salah satu bahan yang mudah diperoleh dapat menggunakan kotoran ternak yaitu feses sapi sebagai buffer. Feses sapi berguna sebagai sumber mikroorganisme dengan perbandingan solid waste:sludge feses sapi adalah 70%:30% (Tchobanoglous et al., 1993). Berdasarkan data statistik Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur, 2014 bahwa jumlah sapi di Kota Surabaya mencapai 614 ekor. Seekor sapi dapat menghasilkan 3-4 kg kotoran setiap harinya (Shen et al., 2013). Feses sapi belum dimanfaatkan secara optimal, sebagian hanya dimanfaatkan sebagai kompos. Feses sapi yang berlimpah menjadikan potensi untuk diolah menjadi energi alternatif dengan membuat biogas. Biogas dapat terbentuk bila rasio C/N substrat sebesar 20-30 (Khan dan Martin, 2016). Feses sapi mempunyai rasio C/N sebesar 20 dan limbah sayuran mempunyai rasio C/N hanya sebesar 18,88 (Shin et al., 2015). Pembentukan biogas juga ditentukan oleh kadar solid. Total solid optimum pada pembuatan biogas ada tiga yaitu: low solid dengan persentasi di bawah 10%, medium solid dengan persentasi 15%-20%, dan high solid dengan persentasi 22%40%. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi biogas antara lain oleh Firdausy dan Pandebesie (2016) dalam penelitiannya menggunakan eceng gondok sebagai bahan baku dan kotoran ayam sebagai bioaktivator dengan total solid 10% menghasilkan biogas 85,7% lebih tinggi dibandingkan dengan total solid 30%. Pada
proses
dekomposisi
bahan
organik,
keberadaan
jumlah
mikroorganisme tertentu harus mencukupi agar proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik. Untuk memenuhi jumlah mikroorganisme peranan bioaktivator 11
sangatlah diperlukan. Produk-produk bioaktivator yang telah banyak dijual antara lain Microorganism 16 (M-16) dan Effective Microorganism 4 (EM-4) dengan memanfaatkan sejumlah mikroorganisme untuk mempercepat proses dekomposisi sampah organik, menurunkan volume sampah, meningkatkan ketersediaan unsur hara, serta mengurangi bau yang ditimbulkan pada proses biogas. Penggunaan M16 yang dilakukan oleh Herawati dan Wibawa (2010) menunjukkan bahwa penambahan M-16 dapat meningkatkan volume biogas sebanyak 72% lebih tinggi dibandingkan tanpa penambahan M-16. Faktor lain untuk meningkatkan produksi biogas adalah frekuensi pengadukan. Proses pengadukan pada Anaerobic Digester (AD) biasanya dilakukan secara berkelanjutan atau berkala. Proses pengadukan yang dilakukan secara berkala menghasilkan biogas dan produksi metana yang lebih tinggi dibandingkan pengadukan secara berkelanjutan (Kaparaju et al., 2008). Intensitas dan kecepatan pengadukan yang tinggi dapat menyebabkan ketidakstabilan proses AD, akumulasi volatile fatty acid (VFA), dan penurunan produksi gas. Hal ini dibuktikan pada penelitian Lindmark et al. (2014) yang membandingkan pengadukan 150 rpm dan 25 rpm memperoleh hasil produksi biogas lebih tinggi pada 25 rpm. Menurut penelitian Zarkadas et al. (2015) bahwa pengadukan dapat meningkatkan produksi biogas 10%-30% dibandingkan tanpa pengadukan. Penelitian ini mengkaji pengaruh penambahan M-16 dan feses sapi pada proses pembentukan biogas, mengkaji pengaruh frekuensi pengadukan serta gasgas yang paling dominan, dan mengkaji pengaruh variasi total solid. Harapan dari penelitian ini
adalah
memberikan sumbangan
penelitian
dalam
upaya
pengembangan teknologi Digester Anaerobik yang sangat potensial untuk dikembangkan di daerah lain dan sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya. 1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pengaruh penambahan biostarter M-16 dan feses sapi pada proses pembentukan biogas? 2. Bagaimana pengaruh frekuensi pengadukan pada proses pembentukan biogas dan gas-gas apa paling dominan?
12
3. Apakah ada pengaruh kadar low solid dan medium solid? 1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan pada penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis pengaruh penambahan biostarter M-16 dan feses sapi pada proses pembentukan biogas.
2.
Menganalisis pengaruh pengadukan pada proses pembentukan biogas.
3.
Menentukan pengaruh kadar low solid dan medium solid terhadap biogas yang dihasilkan.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat pada penelitian ini adalah: 1.
Memberikan sumbangan penelitian dalam upaya pengembangan energi alternatif yang ramah lingkungan dan sangat potensial untuk dikembangkan di daerah lain.
2. 1.5
Sebagai rujukan untuk penelitian berikutnya.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah: 1.
Bahan utama pembuatan biogas adalah sampah pasar berupa limbah sayuran yang berasal dari Pasar Keputih Sukolilo, feses sapi yang digunakan berasal dari RPH (Rumah Potong Hewan) Pegirian Surabaya, dan M-16 dibeli di Jurusan Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
2.
Teknik pembuatan biogas adalah dengan metode anaerobik.
3.
Reaktor pembuatan biogas berupa anaerobik digester tipe batch.
4.
Variabel dalam penelitian ini adalah variasi total solid, penambahan biostarter M-16, feses sapi, dan frekuensi pengadukan.
13
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Karakteristik Sampah Pasar Produksi sayur dan buah di dunia mencapai 1,5 milyar ton/tahun dan 45%
dari produksi tersebut merupakan sampah (Mazareli et al., 2016). Di Surabaya, sampah organik mencapai 71,96% (Nurhayati, 2014) yang pemanfaatannya masih terbatas yaitu sebagai makanan ternak, pembuatan kompos, dan sisanya dibuang ke TPA Benowo (Tempat Pembuangan Akhir). Sampah pasar dapat dijadikan sebagai substrat untuk menghasilkan biogas melalui Anaerobic Digestion (AD) karena memiliki tingkat kelembaban dan biodegradabilitas yang tinggi (Yuanyuan et al., 2016). Karakteristik sampah organik menurut sifatnya dibagi menjadi tiga yakni karakteristik fisik yang mencakup densitas, kadar air, kadar volatil, kadar abu, nilai kalor, distribusi ukuran, field capacity, dan permeabilitas kompaksi sampah (Tchobanoglous et al., 1993) dan karakteristik biologi yang diukur dengan cara biodegradability yaitu kemampuan sampah untuk diuraikan dengan memanfaatkan
aktivitas
mikroorganisme,
dan
karakteristik
kimia
yang
menggambarkan susunan kimia sampah tersebut yang terdiri dari C, N, O, P, H, dan S. Karakteristik sampah pasar dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Karakteristik Sampah Pasar Karakteristik
Sampah Pasar
Total solid (TS)
9,51%
Volatil solid (VS)
94,8%*
Selulosa
40%-50%
Lignin
15%-30%
pH
4,18-5,3
Total karbon (TC)
29,65%
Total nitrogen (TN)
1,57%
C/N
18,88
Kadar air
90,49%
Sumber: Shin et al., 2015
14
*Srinivasan et al., 2014 Tabel 2.1 menunjukkan bahwa karakteristik sampah pasar berupa sayuran sesuai dengan kondisi optimum operasional AD misalnya konsentrasi VS yang tinggi. Namun, sampah pasar memiliki nilai pH yang rendah (4,18-5,3) dan perbandingan C/N di luar rentang optimum operasional AD. Permasalahan pH dan C/N yang tidak optimum dapat diatasi dengan alternatif pencampuran cosubstrat yang memiliki pH dan perbandingan C/N yang lebih tinggi misalnya feses sapi, sekam padi, dan beberapa jenis substrat lainnya. Pencampuran substrat juga meningkatkan laju produksi metana dan mengurangi biaya pengolahan (Zarkadas et al., 2015). Karakteristik substrat sangat penting untuk diketahui karena akan mempengaruhi operasional reaktor. Berdasarkan jenis sampahnya, komposisi sampah pasar tertera pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Komposisi Sampah Pasar No
Komponen
Persentase
1
Sisa sayuran dan makanan
89,14%
2
Plastik
4,49%
3
Kertas
3,33%
4
Kayu
1,23%
5
Kain
0,37%
6
Kaca
0,27%
7
Logam
0,42%
8
lain-lain
0,76%
Total
100%
Sumber: Fathoni et al., 2011 2.2
Karakteristik Feses sapi Feses sapi adalah limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha
peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urine dan gas seperti metana dan amoniak. Pada umumnya feses sapi hanya digunakan sebagai pupuk namun pemanfaatan lain yang bisa dilakukan adalah memprosesnya menjadi sumber energi yang potensial dalam
15
bentuk biogas karena feses sapi mempunyai nilai rasio C/N tinggi yaitu 20:1 (Khan dan Martin, 2016), serta kandungan volatile solid cukup tinggi yaitu 77,5%. Oleh karena itu, feses sapi berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan biogas. Nitrogen adalah komponen utama dari feses sapi, oleh karena itu feses sapi memiliki bau yang khusus yang disebabkan oleh amonia. Normalnya, hanya 25% dari nitrogen yang dikonsumsi oleh sapi diproduksi menjadi protein susu, sisanya dikeluarkan dan sekitar setengahnya dilepas sebagai amonia dan senyawa berbau lainnya. Jadi kurang dari 35% nitrogen yang dikonsumsi tertinggal dalam feses sapi (Luthfianto et al., 2012). Karakteristik total solid (TS), volatile solids (VS), C, dan N feses sapi diperoleh dengan mengeringkan feses sapi terlebih dahulu menggunakan oven. Pengeringan dilakukan pada oven dengan suhu 105 °C hingga feses sapi benarbenar kering. Sedangkan untuk analisis pH langsung dilakukan menggunakan feses sapi segar dengan alat pH meter. Karakteristik feses sapi dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Karakteristik Feses sapi Karakteristik
Feses sapi
Total Solid (TS)
70,98%
Volatile Solid (VS)
87,75%*
Selulosa
23,84%
Lignin
15,76%
pH
7,08*
Protein
9,79%
Kadar air
7,38%
C/N
20-23,81
Sumber: Joacuim, 2011 *Aslanzadeh et al., 2014 Pada Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa feses sapi mempunyai kadar TS yang tinggi yaitu antara 80%-95%. Kadar TS yang tinggi menyebabkan biogas yang dihasilkan sulit untuk keluar. Oleh karena itu, dilakukan pengenceran pada feses
16
sapi yang ditambahkan sebagai biostarter. Penambahan air dilakukan dengan perbandingan feses sapi:air sebesar 1:1 (Joacuim, 2011).
2.3
Biostarter Feses sapi Feses sapi mengandung mikroba dan bahan makanan mikroba yang
diharapkan dapat meningkatkan populasi dan aktivitas mikroba. Feses sapi cenderung memiliki komposisi kandungan hemiselulosa, selulosa, lignin, dan total protein yang seimbang yang mampu untuk mendegradasi. Beberapa spesies bakteri yang terkandung dalam limbah feses sapi antara lain: Escherichia coli, Citrobacter freundii, Pseudomonas putrefasciens, Enterobacter cloacae, Proteus marganii, Salmonella sp, Enterobacter aerogenes, Flavobacterium, Pseudomonas fluorescens, dan Providencia alcalifasciens (Charlena, 2011). 2.4
Biostarter Mikroorganisme 16 Penelitian mengenai biostarter dalam upaya mempercepat pembuatan
biogas, kompos, bioetanol telah dilakukan bertahun-tahun. Biostarter yang dicari adalah yang paling baik dalam mempercepat proses pembentukan biogas, kompos, dan bioetanol. Salah satu jenis biostarter yang baik adalah Mikroorganisme 16 (M-16). Biostarter ini mengandung 16 macam mikroba. Salah satunya terkandung mikroba yang dapat mengolah selulosa dan hemiselulosa yang sangat baik (Adikara dan Herry, 2001). Mikroorganisme yang terdapat dalam biostarter M-16 adalah Lactobacillus sp., Micrococcus sp., yeast, Streptococcus sp., Enterococcus sp., Staphylococcus sp., Enterobacteria sp., Peptostreptococcus sp., Streptomyces sp., Bifidobacterium bifidum, Actinomycetes sp., Clostridium sp., Eubacterium sp., Veillonella sp., Fusobacterium sp., dan Bacteroides fragilis (Adikara dan Herry, 2001). Bakteri asam laktat terdiri dari dua famili yaitu Streptococcaceae dan Lactobacillaceae. Bakteri asam laktat memiliki aktivitas antimikroba berupa produksi asam organik (asam laktat, asam format, dan asam asetat), diasetil, hidrogen peroksida, karbon dioksida, dan bakteriosin. Terbentuknya asam laktat dan asam organik oleh bakteri asam laktat dapat menyebabkan penurunan pH. Akibatnya mikroba yang tidak tahan terhadap kondisi pH yang relatif rendah akan terhambat.
17
Mikroorganisme M-16 bertindak sebagai inokulan yang melakukan fermentasi untuk mengaktifkan mikroorganisme yang ada. Proses pembuatan biostarter M-16 melalui daur ulang limbah RPH yaitu isi rumen sapi yang diproses melalui tahapan-tahapan seperti pemerasan, penyaringan, pemupukan mikroba, pemeriksaan laboratorium secara intensif, seleksi dan identifikasi kuman yang menguntungkan sehingga hasil akhir yang didapat adalah sebanyak 16 mikroba yang mempunyai sifat simbiosis mutualistik. Biostarter yang dihasilkan tersebut mempunyai kemampuan fermentasi yang cukup kuat dan cepat di dalam mengolah limbah atau sampah (Adikara dan Herry, 2001). M-16 mempunyai keunggulan yaitu: Menekan potensi pencemaran lingkungan dan mempersiapkan dekomposisi limbah organik. Mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Meningkatkan ketersediaan unsur hara dan nutrisi alam. Memperbaiki sifat kimia dan biologis tanah. Mampu menurunkan volume sampah dan mengurangi bau. 2.5
Alternatif Bahan Bakar Biogas Alternatif bahan bakar masa depan untuk menggantikan minyak selain
gasohol adalah biogas. Biogas dibuat melalui fase anaerob dalam fermentasi limbah kotoran organisme. Pada fase anaerob akan dihasilkan gas metana (biogas) yang mudah terbakar dan digunakan untuk bahan bakar. Biogas merupakan salah satu sumber energi alternatif yang berkembang pesat dalam dasawarsa terakhir (Auburger et al., 2016). Teknologi pembuatan biogas memanfaatkan kotoran organik, baik itu kotoran hewan maupun sampah sayuran dan tumbuhan dengan memanfaatkan bakteri anaerobik yang terdapat dalam kotoran tersebut untuk proses fermentasi yang menghasilkan semacam gas. Teknologi biogas sebenarnya bukan sesuatu hal yang baru. Berbagai negara telah mengaplikasikan teknologi ini sejak puluhan tahun yang lalu seperti petani di Inggris, Rusia, dan Amerika Serikat. Sementara itu di Benua Asia, India merupakan negara pelopor dan pengguna biogas sejak tahun 1900 semasa masih dijajah oleh Inggris, negara tersebut mempunyai lembaga khusus yang meneliti
18
pemanfaatan limbah kotoran ternak yang disebut Agricultural Research Instutey dan Gobar Gas Research Station, lembaga tersebut pada tahun 1980 sudah mampu membangun instalasi biogas sebanyak 36.000 unit. Selain negara-negara tersebut di atas, Taiwan, Cina, Korea juga telah memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan baku pembuatan biogas (Sanjaya et al., 2015). Biogas dihasilkan apabila bahan-bahan organik terdegradasi senyawasenyawa pembentuknya dalam keadaan tanpa oksigen atau biasa disebut kondisi anaerobik. Dekomposisi anaerobik ini biasa terjadi secara alami di tanah yang basah, seperti dasar danau dan di dalam tanah pada kedalaman tertentu. Proses dekomposisi ini dilakukan oleh bakteri-bakteri dan mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Dekomposisi anaerobik dapat menghasilkan gas yang mengandung sedikitnya 60% metan. Gas inilah yang biasa disebut dengan biogas dengan nila heating value sebesar 39 MJ/ m3 kotoran (Mondal dan Das, 2016). Biogas dapat dihasilkan dari dekomposisi sampah organik seperti sampah pasar, dedaunan, dan kotoran hewan yang berasal dari sapi, babi, kambing, kuda, bahkan kotoran manusia sekalipun. Gas yang dihasilkan memiliki komposisi yang berbeda tergantung dari jenis hewan yang menghasilkannya (Elinur et al., 2010). Proses pembuatan biogas dilakukan secara fermentasi yaitu proses terbentuknya gas metana dalam kondisi anaerob dengan bantuan bakteri anaerob di dalam suatu digester sehingga akan dihasilkan gas metana (CH4) dan gas karbon dioksida (CO2) yang volumenya lebih besar dari gas hidrogen (H2), gas nitrogen (N2), dan gas hidrogen sulfida (H2S). Proses fermentasi memerlukan waktu 7 sampai 10 hari untuk menghasilkan biogas dengan suhu optimum 35°C dan pH optimum pada range 6,4-7,9. Bakteri pembentuk biogas yang digunakan yaitu
bakteri
anaerob
seperti
Methanobacterium,
Methanobacillus,
Methanococcus dan Methanosarcina (Wilkie et al., 2005). Biogas yang dibuat dari feses sapi mengandung gas CH4 sebesar 55%65%, gas CO2 sebesar 30%-35%, dan sedikit gas hidrogen (H2), gas nitrogen (N2), dan gas-gas lain. Panas yang dihasilkan sebesar 600 BTU/ cuft. Sedangkan, biogas yang dibuat dari gas alam mengandung gas CH4 sebesar 80% dengan panas sebesar 1000 BTU/ cuft. Kandungan gas CH4 dari biogas dapat ditingkatkan dengan memisahkan gas CO2 dan gas H2S yang bersifat korosif (Shink, 1997). 19
2.6
Pembentukan Biogas dari Proses Digester Anaerobik Anaerobic Digestion (AD) merupakan proses biologis yang mengkonversi
kandungan organik menjadi biogas dengan komposisi metana dan CO 2 sebagai hasil utama (Metcalf dan Eddy, 2014). AD merupakan teknologi yang dapat mengolah kandungan organik tinggi yang berasal dari limbah bervariatif (Kothari et al., 2014). AD dapat diklasifikasikan berdasarkan padatan total substrat, sistem input substrat, jumlah tahapan reaktor, dan substrat yang digunakan. Secara lengkap klasifikasi AD ditampilkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Klasifikasi Anaerobic Digestion Secara Umum Jenis Anaerobic Digestion
Keterangan
Berdasarkan Total Solid Wet System
Substrat
organik
komposisi
air
berbentuk yang
tinggi
lumpur
dengan
dan
memiliki
digunakan
memiliki
konsentrasi padatan 10%-15%. Dry System
Substrat
organik
yang
konsentrasi padatan 20%-40%. Berdasarkan Sistem Input Substrat Batch Process
Sistem input dilakukan dengan memasukkan substrat kemudian ditutup dan didiamkan sesuai waktu retensi hingga proses degradasi terjadi. Selanjutnya reaktor AD dikosongkan kembali dan diisi dengan material organik yang baru.
Continuous Process
Sistem input dilakukan secara berkelanjutan sehingga material yang telah didegradasi akan dikeluarkan secara berkelanjutan juga.
Berdasarkan Jumlah Tahapan Single Steps
Seluruh proses degradasi kandungan organik terjadi di satu digester.
Multi-Steps
Proses degradasi terdiri dari beberapa reaktor. Pada
umumnya
20
memisahkan
tahapan
pembentukan asam organik 9asetogenesis) dan tahapan pembentukan metana (metanogenesis). Berdasarkan Feedstock yang Digunakan Co-digestion
Material organik yang digunakan adalah campuran dari beberapa substrat misalkan limbah sayuran dan feses sapi. Tujuan dari penggabungan substrat adalah untuk mengatur rasio C/N sehingga optimum dalam meningkatkan produksi biogas.
Sumber: Kothari et al., 2014 Proses pembuatan biogas dari digester anaerobik terdiri dari empat langkah: hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis, dan metanogenesis. Komposisi biogas terbesar adalah metan dan karbon dioksida (CO2), tapi juga mengandung hidrogen sulfida, nitrogen, oksigen, dan hidrogen. Berikut ini langkah-langkah pendegradasian biomassa secara anaerobik. 2.6.1
Tahap Hidrolisis (Pemecahan Polimer) Tahapan hidrolisis mengubah polutan organik kompleks (seperti
karbohidrat, lemak, dan protein) menggunakan enzim yang dihasilkan mikroorganisme hidrolitik menjadi monomer (seperti glukosa, asam amino, long chain fatty acids). Secara teoritis, senyawa kimia sampah organik adalah C 6H10O4 (Ostrem, 2004). Reaksi yang terjadi pada proses hidrolisis ditampilkan pada persamaan senyawa (2-1). C6H10O4 + 2H2O
C6H12O6 + 2H2
sampah 2.6.2
(2-1)
glukosa
Tahap Asidogenesis Tahap hidrolisis dilanjutkan oleh tahap pembentukan asam yang disebut
tahap asidogenesis. Pada tahap asidifikasi, bakteri asidogenik akan mengubah produk hidrolisis menjadi senyawa organik yang lebih sederhana seperti rantai pendek asam volatil (contohnya propionic, formic, lacic, butyric, dan succinic), katones (contohnya: ethanol, methanol, gliserol, aseton), dan alkohol (Zeshan,
21
2012). Reaksi yang terjadi pada asidogenesis ditampilkan pada persamaan senyawa (2-2) dan (2-3). C6H12O6
2CH3CH2OH + 2CO2
glukosa
alkohol
C6H12O6 + 2H2
2CH3CH2COOH + 2H2O
glukosa
2.6.3
(2-2)
(2-3)
asam propionat
Tahap Asetogenesis Tahap
setelah
asidogenesis
biasa
disebut
tahap
asetogenesis.
Asetogenesis terjadi akibat fermentasi karbohidrat yang diproduksi menjadi H 2, CO2, dan asam asetat. Selain itu, volatile fatty acid (VFA) yang terbentuk akan menjadi asetat atau propionat dan H2 (Zeshan, 2012). Dalam kondisi standar, keberadaan H2 akan mengatasi permasalahan oksidasi yang terjadi dalam AD. Secara lengkap, reaksi yang terjadi pada tahap asetogenesis ditampilkan pada persamaan senyawa (2-4), (2-5), dan (2-6). CH3CH2OH + H2O
CH3COOH + H2
etanol
asam asetat
CH3CH2OH + H2O
CH3COOH + CO2
asam propionat
+ H2
(2-5)
asam asetat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O
2CH3COOH + 2H2
asam butirat 2.6.4
(2-4)
(2-6)
asam asetat
Tahap Metanogenesis Tahap akhir dari proses AD adalah pembentukan metana dari material
yang telah terbentuk di tahap sebelumnya. Pembentukan metana dapat terjadi dari metanol, asam asetat atau hidrogen, dan karbon dioksida (Fairus et al., 2011). Proses
metanogenesis
dibantu
oleh
mikroorganisme
metanogenik
yang
diklasifikasikan menjadi dua langkah: 1. Metanogen acetoclastic yang mengubah asam asetat menjadi metana dan CO2. CH3COOH
CH4 + CO2
asam asetat
22
(2-7)
2. Metanogen hydrogenotropic yang mengubah karbon dioksida dan hidrogen menjadi metana. Metanogen hydrogenotropic mampu memproduksi 1/3 dari produksi total metana (Panwar et al., 2011). CO2 + 4H2
CH4 + 2H2O
(2-8)
Produk akhir dari proses AD juga menghasilkan beberapa jenis gas lainnya meskipun konsentrasinya rendah seperti yang ditampilkan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Komposisi Biogas Secara Umum Jenis Gas
Persentase (%)
Metana (CH4)
50-75
Karbon dioksida (CO2)
25-50
Hidrogen Sulfida (H2S)
< 0,1-0,8
Hidrogen (H2)
-
Amonia (NH3)
< 0,1-1
Air (H2O)
6-6,5
Nitrogen (N2)
3,9-4,1
Oksigen (O2)
0,9-1,1
Sumber: Kwietniewska dan Tys, 2014 2.7
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Biogas Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi biogas. Faktor
pendukung untuk mempercepat proses fermentasi adalah kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas adalah sebagai berikut:
Kadar Air Penambahan air ke dalam bahan isian bertujuan untuk dapat memenuhi
kadar air yang disyaratkan untuk pembentukan biogas, yaitu 91%-93% (Yenni et al., 2012). Aktivitas normal dari mikroba metan membutuhkan sekitar 90% air dan 7%-10% bahan kering dari bahan masukan untuk fermentasi (Budiyono et al., 2014). Ada dua alasan kadar air dalam reaktor sangat penting dalam proses 23
anaerobik yaitu yang pertama karena air menjadi fasilitas bagi bakteri untuk transport nutrien dan yang kedua air mereduksi jumlah transfer massa non homogen atau partikulat substrat (Budiyono et al., 2014).
Derajat keasaman (pH) Nilai pH pada operasional AD merupakan indikator penting untuk
mengetahui stabilitas dan aktivitas dari mikroorganisme asidogenik dan metanogenik. Nilai pH pada proses asidifikasi dan metanogenesis berbeda setiap tahapnya. Nilai pH optimum pada tahapan hidrolisis dan asidifikasi adalah 5,5-6,5 (Kothari et al., 2014). Sedangkan pada tahap metanogenesis nilai pH harus dijaga pada kondisi 6,8-7,2 (Karagiannidis dan Perkoulidis, 2009) dan menurut Lee et al. (2009) nilai pH optimum tahap metanogenesis adalah 6,5-8,2. Zhai et al. (2015) menambahkan bahwa kondisi optimum tahap metanogenesis AD pada pH 7,5 dan apabila pH lebih dari 8 dapat menimbulkan dampak negatif pada kuantitas produksi biogas. Sedangkan pH yang rendah menyebabkan fase lag pada produksi metana dan menjadi penghambat aktivitas metanogenesis. Kestabilan pH dapat dilakukan dengan menyeimbangkan biomassa acetogen dan metanogen. Apabila acetogen melebihi metanogen, maka pH akan turun yang dapat menghambat kinerja metanogen dalam mendegradasi substrat dan menghasilkan gas metana (Gray et al., 2008). Nilai pH turun juga dapat disebabkan oleh pembentukan asam organik yang terakumulasi akibat reaksi kandungan organik yang tinggi (Yang et al., 2015). Cara untuk mengantisipasi pH yang turun yaitu dengan mengontrol sludge volatile acids, alkalinitas, dan kualitas gas yang dihasilkan. Apabila telah terjadi penurunan pH dapat diatasi dengan menambahkan zat kapur atau filtrat hasil pengolahan di resirkulasi ke reaktor (Kothari et al., 2014). Khusus untuk sampah organik, nilai pH untuk operasional AD yang stabil dan pembentukan metana optimum adalah 7,9 (Westerholm et al., 2011).
Alkalinitas Alkalinitas menunjukkan kapasitas netralisasi asam di dalam AD.
Alkalinitas tidak berkaitan secara langsung dengan desain AD tetapi dianggap sangat penting karena berkaitan dengan reaksi yang terjadi di dalam AD yang mengindikasikan kemampuan AD untuk menetralkan peningkatan asam
24
khususnya pada tahap asetogenesis (Zhiying, 2015). Jika alkalinitas meningkat, maka populasi metanogen akan meningkat juga, sedangkan ketika konsentrasi alkalinitas menurun maka asetogenik akan membuat produksi asam volatil lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan metanogen mengubah asam volatil menjadi metana. Sehingga, dapat bersifat penghambat bagi bakteri metanogen (Dong et al., 2015). Umumnya nilai alkalinitas pada AD sebesar 2.000-5.000 mg/L dan dapat ditambahkan Natrium Karbonat (NaHCO3) apabila kelebihan alkalinitas (Bouaziz, 2014).
Inhibitor -
Volatile Fatty Acids (VFA) dan rasio VFA/alkalinitas Konsentrasi
VFA
diproduksi
selama
tahap
fermentasi
yang
mengindikasikan proses AD dalam keadaan stabil. Namun, konsentrasi VFA yang lebih dari 5.000 mg/L dapat menjadi penghambat (Dai et al., 2013) sedangkan menurut Dong et al. (2015) bahwa konsentrasi VFA yang lebih dari 2.000 mg/L (sebagai asam asetat) dan >6.000-8.000 mg/L (sebagai Total Volatile Acids) dapat mengganggu proses AD. VFA dapat dipengaruhi oleh pH dan pengadukan. Pada proses AD akan terjadi penurunan pH yang disebabkan produksi VFA, sedangkan semakin banyak frekuensi pengadukan dapat menyebabkan VFA meningkat (Haider et al., 2015). Apabila perubahan pH tidak terlalu signifikan maka penambahan alkalinitas tidak diperlukan, hanya dengan mengatur pH substrat yang digunakan. -
Amonia Amonia yang terbentuk di AD merupakan hasil degradasi protein, asam
lemak, dan asam nukleat. Konsentrasi amonia yang terbentuk dalam proses AD dari sampah organik mencapai 60%-80% dari total nitrogen (Chen et al., 2014). Mikroorganisme dalam AD membutuhkan konsentrasi amonia yang rendah untuk kelancaran proses pertumbuhan dan metabolisme. Pada AD dengan perbandingan C/N substrat kurang dari 27 dapat menyebabkan akumulasi amonia dan menyebabkan
pH
melebihi
8,5,
kondisi
tersebut
mengganggu
proses
metanogenesis (Ghanimeh et al., 2012). Amonia menghambat proses AD dengan
25
merubah pH intraseluler melalui difusi ke dalam sel dan menyebabkan ketidakstabilan proton, peningkatan kebutuhan energi sel, menghambat enzim tertentu (Zeshan, 2012). Amonia bersifat inhibitor pada proses AD apabila konsentrasinya melebihi 3.000 mg/L (Tia et al., 2014). Sedangkan khusus untuk sampah organik, proses AD akan stabil pada konsentrasi amonia Nitrogen sebesar kurang dari 3300mg/L (Westerholm et al., 2011). Terdapat dua cara untuk mencegah terjadinya gangguan proses AD oleh amonia yaitu melakukan pengenceran terhadap substrat (isi reaktor dan/ atau mengeluarkan air lindi yang terdapat pada reaktor lalu menambahkan air dan memastikan perbandingan C/N optimum substrat yaitu 20-30 (Zhang et al., 2014).
Suhu Suhu berfungsi untuk menjaga stabilitas dan konsistensi pada operasional
AD. Pengecekan temperatur dilakukan secara berkelanjutan karena dapat berfluktuasi secara instan yang mengganggu performa AD. Berdasarkan suhu, operasional AD diklasifikasi menjadi tiga jenis yaitu psikrofilik (10-30 °C), mesofilik (30-40 °C), dan termofilik (50-60 °C). Bouaziz. (2014) mengklasifikasi operasional AD yaitu psikrofilik (10-25 °C), mesofilik (25-45 °C), dan termofilik (50-75 °C). Peningkatan suhu memiliki dampak positif terhadap laju metabolisme dan pertumbuhan mikroorganisme untuk memproduksi metana seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1, menonaktifkan patogen yang terdapat dalam AD, dan proses degradasi polutan berlangsung lebih cepat. Pada operasional mesofilik, suhu dapat dikontrol pada suhu 35-40 °C dengan cara meresirkulasi lindi yang telah melewati proses pemanasan yang diletakkan di atas reaktor (Zeshan, 2012). Selanjutnya, proses termofilik lebih sulit dikontrol, meningkatkan resiko inhibitor amonia, dan membutuhkan energi yang lebih banyak (Bouaziz, 2014). Wellinger et al. (2014) menambahkan bahwa AD dengan tipe termofilik beresiko munculnya patogen khususnya pada substrat sampah rumah tangga.
26
Gambar 2.1 Hubungan Temperatur dan Laju Pertumbuhan Mikroorganisme Sumber: Bouaziz, 2014
Ukuran Partikel Ukuran partikel berpengaruh pada kemampuan AD dalam mendegradasi
substrat dan kelancaran proses asidifikasi. Ukuran partikel substrat yang besar dapat menurunkan efisiensi kinerja AD dalam mendegradasi substrat. Namun, ukuran partikel yang terlalu kecil (0,9-0,3 mm) dapat menyebabkan akumulasi VFA yang merupakan inhibitor bagi AD. Pada penelitian Silvestre et al. (2015) menggunakan substrat sampah organik yang telah dicacah berukuran 20 mm mampu menghasilkan laju produksi metana dua kali lebih banyak dibandingkan substrat yang tidak dicacah. Selain itu, ukuran partikel lainnya (8, 12, dan 16 mm) memiliki efisiensi yang tidak signifikan dengan ukuran partikel 20 mm yakni selisih 3%-6% lebih baik dalam menghasilkan metana dan 7%-8% lebih baik dalam penyisihan konsentrasi VS.
Perbandingan C/N Perbandingan karbon (C) dan nitrogen (N) yang terkandung dalam bahan
organik sangat menentukan kehidupan dan aktivitas mikroorganisme. Rasio C/N yang tinggi mengakibatkan bakteri metanogen akan mengkonsumsi nitrogen dengan tidak teratur berdampak pada produksi biogas rendah (Wang et al., 2012). Sebaliknya jika C/N rasio terlalu rendah maka karbon akan segera habis, terjadi 27
peningkatan pH hingga ≥8,5 yang menghambat proses metanogen, dan proses degradasi anaerob berhenti sehingga pertumbuhan mikroorganisme terganggu (Benito et al., 2010). Rasio C/N tersebut akan mengalami penurunan setelah proses fermentasi. Hal ini disebabkan oleh unsur karbon dan bahan organik lainnya telah didekomposisi oleh bakteri. Unsur karbon dan bahan organik merupakan makanan pokok bagi bakteri anaerob. Bakteri yang ada selama proses fermentasi telah menggunakan unsur karbon (C) sebagai energinya dan nitrogen (N) untuk membangun struktur sel tubuhnya. Hal inilah yang menyebabkan penurunan rasio C/N. Penurunan nilai rasio C/N dapat menyebabkan produksi biogas berhenti karena nilai rasio C/N tersebut tidak lagi dapat membantu bakteri untuk memproduksi biogas. Rasio C/N yang disyaratkan untuk pembentukan biogas yaitu 20:1-30:1 (Khan dan Martin, 2016) dengan kondisi optimum 25:1 untuk pertumbuhan bakteri anaerobik (Lin et al., 2011). Selain itu, perbandingan C/N yang tidak tepat dapat menyebabkan pelepasan Total Amonia Nitrogen (TAN) yang tinggi dan akumulasi VFA di digester yang merupakan inhibitor pada proses AD (Zhiying, 2015). Sebelum dimasukkan ke dalam digester, rasio C/N dan kadar air bahan isian yang telah tercampur tersebut diuji ulang. Kontrol nilai C/N dapat dilakukan dengan mengurangi kadar N atau dengan menambahkan zat yang mempunyai kadar C lebih banyak seperti jerami, serbuk gergaji, dan batang jagung.
Total Solid dan Volatil Solid Aktivitas normal dari mikroba metan membutuhkan sekitar 90% air dan
7%-10% bahan kering dari bahan masukan untuk fermentasi. Bahan campuran yang paling banyak menghasilkan gas metan adalah bahan yang mengandung 7%9% bahan kering. Untuk mendapatkan kandungan kering sejumlah tersebut maka bahan baku isian biasanya ditambah dengan air dengan perbandingan tertentu (Parawira et al., 2008). Total solid adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat, baik padatan yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan Volatil solid adalah padatan-padatan organik yang terdapat dalam substrat yang menguap saat dipanaskan sampai suhu 550 °C. Total solid dan total volatile solid sangat
28
berpengaruh terhadap produksi biogas. Semakin tinggi total solid, semakin tinggi pula hasil biogas yang dihasilkan. Konsentrasi yang terlalu rendah maka proses tidak berjalan optimum karena sumber nutrisi bagi bakteri perombak kurang tersedia, akibatnya biogas yang dihasilkan sangat sedikit. Total volatile solid menunjukkan jumlah seluruh bahan organik yang dapat diuraikan menjadi biogas oleh bakteri anaerob (Shin et al., 2015).
Frekuensi Pengadukan Sebelum dimasukkan ke dalam reaktor, feses sapi dalam keadaan segar,
dicampur dengan air (perbandingan 1:1) berdasarkan unit volume (air dan feses sapi dalam volume yang sama). Namun jika feses sapi dalam bentuk kering, jumlah air harus ditambah sampai kekentalan yang diinginkan (bervariasi antara 1:1,25 sampai 1:2) (Lindmark et al., 2014). Di dalam fermentasi anaerobik khususnya pada pembuatan biogas, pengadukan merupakan parameter penting. Pengadukan campuran bahan (substrat) dapat mempengaruhi kinerja dari mikroorganisme dalam merombak zat-zat organik menjadi biogas. Pengadukan dilakukan di dalam digester untuk meningkatkan kontak antara mikroorganisme dan substrat, serta meningkatkan kemampuan populasi bakteri untuk menyerap nutrisi. Pengadukan juga dapat mencegah terbentuknya sedimentasi, scum (buih) dan terjadinya perbedaan temperatur dalam reaktor (Garfi et al., 2016). Tetapi pengadukan
yang
berlebihan
dapat
merusak
mikroorganisme
sehingga
pengadukan harus dilakukan dengan pelan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengadukan bahan adalah durasi dan intensitas pengadukan, hal ini memberikan pengaruh terhadap kemampuan dari fermentasi anaerobik.
Faktor
utama
yang
berpengaruh
terhadap
pengadukan digester adalah cara pengadukan, intensitas, durasi dan lokasi pengaduk
di dalam
sistem.
Pengadukan
yang
cukup
menunjukan
pendistribusian substrat, enzim, dan mikroorganisme secara merata di dalam digester.
Kurangnya pengadukan bahan akan menunjukan timbulnya lapisan
padatan pada bagian atas campuran (Hadi dan Azeem, 2008). Pengadukan menjamin bahwa padatan tetap dalam bentuk suspensi sehingga akan menghindari pembentukan dead zone oleh sedimentasi dari kerikil atau partikel padat lainnya.
29
Pengadukan juga memungkinkan pengurangan ukuran partikel (Kaparaju et al., 2008). Pengadukan yang berlebihan juga tidak baik, karena dapat merusak sel mikroorganisme. Secara lengkap penelitian terdahulu terkait variasi pengadukan ditampilkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Penelitian Terdahulu No
Nama Peneliti (Tahun)
1
Wang et al., 2014
Hasil Penelitian Terkait Bahan baku menggunakan sampah sayuran dan sampah dapur yang dicacah dan dihomogenkan memiliki C/N masing-masing 13,98 dan 17,21. Inokulum yang digunakan adalah lumpur seeding. Pengadukan dilakukan 8 kali/hari dengan durasi 5 menit, dioperasikan pada suhu 35°C. Jumlah biogas dan konsentrasi metana yang tertinggi diperoleh dari perbandingan vegetable wastes dan kitchen wastes sebesar 5:8 adalah 66,2%.
2
Zarkadas et al., 2015
Pencampuran substrat (food wastes dan kotoran hewan) diaduk dengan 40 rpm selama 6 menit. Komposisi campuran yang paling efektif adalah food wastes:cattle manure 30:70 dengan produksi metana 407,8 mL CH4/g.
3
Lindmark et al., 2014
Menggunakan sistem batch 24 jenis erlenmeyer sebagai reaktor. Pengadukan dengan 25 rpm menghasilkan biogas dan penurunan VS lebih tinggi.
Pada
pengadukan
150
rpm
terjadi
akumulasi VFA yang mengganggu stabilitas AD. 4
Zhang et al., 2014
Input menggunakan sampah makanan berukuran 20-80 mm dan sampah rumah tangga berukuran 40-80 mm. Dilakukan pengadukan 35-40 rpm. Konsentrasi metana lebih tinggi adalah sampah makanan dibandingkan sampah organik rumah
30
tangga yaitu 0,456 m3 CH4/kg. 5
Micale et al., 2015
Menggunakan kombinasi air limbah pabrik zaitun, keju, dan feses sapi dengan perbandingan 55:40:5, TS 73,53 g/l, VS 63,52 g/l, dan pengadukan 70 rpm. HRT (Hydraulic Retention Time) optimum untuk memperoleh produksi dan konsentrasi metana tertinggi adalah 316 mL CH4/g COD.
6
Alibardi et al., 2015
Menggunakan sampah makanan dan sekam padi untuk mengatasi akumulasi VFA di digester. Sampah tersebut dipilah secara manual dan dicacah 10 mm. Feses sapi sebagai inokulum. Pengadukan dilakukan 2x/hari pada 15 hari pertama, setelah itu 3x/hari selama 1 menit secara manual. Konsentrasi VFA, alkalinitas, dan pH digestat secara periodik diukur. Hasil dari penelitian ini adalah sampah makanan dapat memproduksi biogas tanpa akumulasi VFA ketika dikombinasikan diaklimatisasi.
dengan Nilai
sekam
optimum
C/N
yang pada
percobaan 1 yaitu 20 dengan produksi biogas 584 l/kg VS, total produksi biogas 1.303 mL, penyisihan TS 75%, dan penyisihan VS 78%. 2.8
Laju Degradasi Biomassa Proses degradasi melalui enzimatis menjadi sesuatu yang sangat penting.
Enzim menjadi alat yang sangat penting dalam proses degradasi, hal ini terjadi karena enzim dapat mengkatalisis reaksi pada kondisi yang normal (Ahmed et al., 2001). Laju degradasi juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan pada saat proses degradasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah kandungan zat yang dibutuhkan oleh mikroorganisme terutama yang esensial yang digunakan baik pada saat pertumbuhan mikroorganisme atau pembentukan enzim. Faktor lain yang mempengaruhi adalah pH dan suhu optimum yang mempengaruhi
31
pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim selulase. Adanya produk metabolit baik primer ataupun sekunder yang dapat mempengaruhi kerja enzim dalam mendegradasi selulosa. Pada degradasi selulosa murni laju degradasi terjadi penurunanyang sangat besar. Penurunan ini disebabkan karena adanya inhibitor yang sangat banyak jika dibandingkan pada degradasi lignoselulosa. Selobiosa adalah inhibitor utama dalam degradasi selulosa, oleh karena itu kehadiran enzim β–glukosidase menjadi sangat penting dalam degradasi selulosa (Ahmet et al., 2001).
Hal ini karena setelah selobiosa diubah menjadi glukosa maka laju
degradasi menjadi jauh lebih cepat. Hasil akhir pada degradasi lignoselulosa tergantung pada tipe bahan mentah yang digunakan. Pada berbagai penelitian yang telah dilakukan secara intensif maka diketahui bahwa faktor pembatas degradasi selulosa dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu struktur dari substrat, mekanisme, dan interaksi enzim selulase. 2.9
Membuat Instalasi Biogas Sederhana Bangunan utama dari instalasi biogas adalah digester yang berfungsi untuk
menampung gas metan hasil perombakan bahan-bahan organik oleh bakteri. Jenis digester yang paling banyak digunakan adalah model continuous feeding dimana pengisian bahan organiknya dilakukan secara kontinu setiap hari. Besar kecilnya digester tergantung pada kotoran ternak yang dihasilkan dan banyaknya biogas yang diinginkan. Lahan yang diperlukan sekitar 16 m 2. Untuk membuat digester diperlukan bahan bangunan seperti pasir, semen, batu kali, batu koral, bata merah, besi konstruksi, cat, dan pipa prolon (Dareioti et al., 2014). Lokasi yang akan dibangun sebaiknya dekat dengan kandang sehingga kotoran ternak dapat langsung disalurkan ke dalam digester. Disamping digester harus dibangun juga penampung sludge (lumpur) dimana sludge tersebut nantinya dapat dipisahkan dan dijadikan pupuk organik padat dan pupuk organik cair (Dareioti et al., 2014). Setelah pengerjaan digester selesai maka mulai dilakukan proses pembuatan biogas dengan langkah-langkah sebagai berikut:
32
1.
Mencampur feses sapi dengan air sampai terbentuk lumpur dengan perbandingan 1:1 pada bak penampung sementara. Bentuk lumpur akan mempermudah pemasukan ke dalam digester.
2.
Mengalirkan lumpur ke dalam digester melalui lubang pemasukan. Pada pengisian pertama kran gas yang ada di atas digester dibuka agar pemasukan lebih mudah dan udara yang ada di dalam digester terdesak keluar. Pada pengisian pertama ini dibutuhkan lumpur feses sapi dalam jumlah yang banyak sampai digester penuh.
3.
Melakukan penambahan starter (banyak dijual di pasaran) sebanyak 1 L dan isi rumen segar dari Rumah Potong Hewan (RPH) sebanyak 5 karung untuk kapasitas digester 3,5-5,0 m2. Setelah digester penuh, kran gas ditutup supaya terjadi proses fermentasi.
4.
Membuang gas yang pertama dihasilkan pada hari ke-1 sampai ke-8 karena yang terbentuk adalah gas CO2. Sedangkan pada hari ke-10 sampai hari ke-14 baru terbentuk gas metan (CH4) dan CO2 mulai menurun. Pada komposisi CH4 54% dan CO2 27% maka biogas akan menyala (Abdeshahian et al., 2016).
5.
Pada hari ke-14 gas yang terbentuk dapat digunakan untuk menyalakan api pada kompor gas atau kebutuhan lainnya. Mulai hari ke-14 ini sudah bisa menghasilkan energi biogas yang selalu terbarukan. Biogas ini tidak berbau seperti bau feses sapi. Selanjutnya, digester terus diisi lumpur feses sapi secara kontinu sehingga dihasilkan biogas yang optimal (Abdeshahian et al., 2016).
Pengolahan kotoran ternak menjadi biogas selain menghasilkan gas metan untuk memasak juga mengurangi pencemaran lingkungan, menghasilkan pupuk organik padat dan pupuk organik cair dan yang lebih penting lagi adalah mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian bahan bakar minyak bumi yang tidak bisa diperbaharui.
33
BAB 3 METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan biogas dari limbah sayuran dengan penambahan M-16 dan feses sapi yang diberi frekuensi pengadukan 8 kali/hari dan 4 kali/ hari selama 5 menit. Pada penelitian ini juga membandingkan pengaruh penambahan M-16 dan feses sapi pada proses pembentukan biogas. Metode penelitian dibuat dengan tujuan mempermudah pelaksanaan pengerjaan tesis yang berisi rancangan alur penelitian, hal tersebut dilakukan agar tujuan dari penelitian dapat tercapai. 3.1
Ide Penelitian Permasalahan yang menjadi landasan penelitian ini adalah tingginya
timbulan sampah yang mencapai 47.223 ton (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya, 2016). Berdasarkan komposisinya, sampah organik merupakan sampah terbanyak. Di Surabaya komposisi sampah organik mencapai 71,96% (Nurhayati, 2014). Proses pengolahan sampah organik di Surabaya diawali dengan
pemilahan
di
TPS
(Tempat
Pembuangan
Sementara)
yang
mengklasifikasikan sampah anorganik dan organik. Sampah anorganik dipilah berdasarkan kategorinya dan akan dijual ke pihak ketiga. Sedangkan, sampah organik diolah menggunakan pengomposan yang memiliki kekurangan seperti siklus panjang, membutuhkan luas wilayah lebih besar, tingkat reduksi rendah (Wang dan Geng, 2015), konsumsi energi tinggi, permasalahan pada pemasaran (Alibardi dan Cossu, 2015) dan emisi udara yang tinggi (Arafat, et al., 2013). Permasalahan penerapan pengomposan dapat diatasi dengan menggunakan pengolahan biologis yang sesuai dengan karakteristik limbah organik yaitu menggunakan teknologi AD (Nordbreg dan Meth, 2005). Pada penelitian ini, dilakukan pencampuran sampah pasar dengan feses sapi dan M-16. Pencampuran tersebut dilakukan dengan variasi total solid. Penambahan feses sapi sengaja dicampurkan karena rasio C/N pada sampah pasar yaitu 18,88. Starter berupa M-16 dicampurkan untuk mempercepat pembentukan
34
biogas. Selanjutnya pengadukan dilakukan secara berkala agar terjadi pemerataan jumlah mikroba yang diberikan pada substrat pada pembuatan biogas. Hal ini merupakan proses penambahan biostarter yang memacu pembuatan biogas. 3.2
Kerangka Alur Penelitian Adanya kerangka alur penelitian diharapkan mempermudah dan
mempercepat waktu pengerjaan penelitian. Kerangka alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1. Ide penelitian: Peningkatan produksi biogas sampah pasar dengan penambahan M-16 dan Pengadukan menggunakan digester anaerobik
Rumusan masalah
Studi pustaka
Persiapan bahan baku sampah organik dari pasar, feses sapi, dan M-16
Tahap pencampuran biogas Variabel : Penambahan biostarter M-16 dan feses sapi Frekuensi pengadukan 8 kali dan 4 kali Variabel Total Solid: 10% dan 20%
kadar CH4 dan CO2 Analisa hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran Gambar 3.1 Kerangka penelitian
35
Pengukuran pH, suhu, volume biogas, kadar air, rasio C/N, TS, lignin, VS, ash, amonium, H, O, P
3.3
Tahapan Penelitian Tahapan-tahapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut: 3.3.1 Studi Pustaka Pada studi pustaka menggunakan pendekatan-pendekatan teori dasar maupun hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian yang telah dilaksanakan. Adapun sumber pustaka yang dipakai adalah penelitian disertasi, tesis, skripsi, buku teks, jurnal ilmiah, prosiding, dan informasi dari berbagai sumber yang dapat digunakan dalam penelitian. Bacaan dan literatur yang digunakan dalam tesis ini meliputi pengetahuan tentang biogas, karakteristik sampah pasar, feses sapi, M-16, dan pengaruh pengadukan. 3.3.2 Alat dan Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampah organik berupa limbah sayuran dari Pasar Keputih Sukolilo, feses sapi diambil di RPH Pegirian Surabaya, M-16 dibeli dari Jurusan Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya, dan air. Sementara alat-alat yang digunakan adalah galon dengan kapasitas 6 L, valve air, pipa pvc ukuran ½ inci, selang pvc ukuran ½ inci, stirring, termometer, moisturemeter, lem tembak, dan lem pipa pvc. 3.3.3 Tahap Pembuatan Biogas Setelah pengerjaan digester selesai maka mulai dilakukan proses pembuatan biogas dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Campurkan feses sapi dengan limbah sayuran yang telah dicacah dengan komposisi campuran adalah 30%:70%.
2.
Kemudian tambahkan M-16 sebanyak ±20 mL dan homogenkan.
3.
Setelah itu
dilakukan
pengenceran dengan
penambahan air.
Pengenceran dilakukan dengan perbandingan total padatan (campuran limbah sayuran dan feses sapi) dengan penambahan air sebesar 10%:90% dan 20%:80%. Setelah pengenceran hingga 5 L, larutan dihomogenkan dengan cara diaduk, kemudian reaktor ditutup rapat supaya terjadi proses fermentasi.
36
4.
Rasio campuran 30%:70% dengan total solid 10% digunakan 315 g limbah sayur dan pada total solid 20% digunakan 630 g limbah sayur.
5.
Total limbah sayur yang digunakan pada penelitian ini sebanyak ±20 kg. Feses sapi yang digunakan berasal dari rumah potong hewan Pegirian Surabaya.
6.
Setiap hari dilakukan pengukuran pH, volume biogas, dan suhu.
7.
Tiap 5 hari dilakukan analisis volatil solid, total solid, ash, kadar air, C-Organik, N-total, NH4+ (amonium), H (Hidrogen), O (Oksigen).
8.
Pada hari ke 15 dan ke 30 dilakukan uji kandungan biogas.
9.
Pengadukan dilakukan selama 5 menit setiap 8 kali/hari dan 4 kali/hari.
Pada Gambar 3.2 dijelaskan detail reaktor yang digunakan pada penelitian.
Gambar 3.2 Detail Reaktor Biogas 3.3.4
Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini ada 3, yaitu penambahan biostarter M-16,
feses sapi, perlakuan total solid, dan frekuensi pengadukan. Variabel penelitian pertama adalah penambahan biostarter M-16 dan feses sapi. Pada masing-masing reaktor ditambahkan biostarter M-16 dan feses sapi. Variabel penelitian kedua frekuensi pengadukan. Pada masing-masing reaktor diberi frekuensi pengadukan 8 kali/ hari dan 4 kali/ hari. Sedangkan untuk variabel yang ketiga adalah perlakuan variasi total solid. Pada masing-masing reaktor diberi variasi total solid
37
yaitu total padatan (limbah sayuran dan feses sapi) berbanding dengan air sebesar 10%:90% dan 20%:80%. Tabel 3.1 Variabel Penelitian Feses sapi (B) No
1
2
Perlakuan (A)
Total Solid 10% (1)
Total Solid 20% (2)
Total Solid 10% (1)
Total Solid 20% (2)
Frekuensi pengadukan 8 kali/hari selama 5 menit Frekuensi pengadukan 4 kali/hari selama 5 menit
A1B1 A: 4,5 L S: 315 g FS: 201 g
A1B2 A: 4 L S: 630 g FS: 402 g
A1C1 A: 4,5 L S: 450 g M-16: 100 mL
A1C2 A: 4 L S: 900 g M-16: 200 mL
A2B1
A2B2
A2C1
A2C2
-
-
KSC1
KSC2
KK1 FS: 690 g
KK2 FS: 1.380 g
-
-
3
Kontrol Sampah sayur (KS)
4
Kontrol Feses sapi (KK)
3.3.5
M-16 (C)
Analisa Data Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis pH, C-
organik, N-total, volatil solid, dan volume gas yang dihasilkan. Tabel 3.2 Parameter uji penelitian Parameter
Waktu Sampling Selama proses operasi reaktor 1 kali setiap hari Selama proses operasi reaktor 1 kali setiap hari
pH Suhu Kadar Biogas (CH4 dan CO2) Volume Biogas Kadar Air Total Solid Total Volatil Solid
Metode Analisis pH indikator Termometer
hari ke 15 pada saat proses operasi
Gas Chromatography
Selama proses operasi 1 kali setiap hari Setiap 5 hari proses operasi Setiap 5 hari proses operasi
Manometer Gravimetry Gravimetry
Setiap 5 hari proses operasi
Gravimetry
Pengukuran dilakukan untuk menganalisis pengaruh parameter terhadap karakteristik gas yang terbentuk. Setiap parameter yang diukur menggunakan 38
berbagai metode yang dapat dilihat pada Tabel 3.2. Pembahasan penelitian menganalisis pengaruh total solid, penambahan M-16, feses sapi, dan variasi frekuensi pengadukan terhadap biogas yang terbentuk. Data hasil analisis pengaruh penambahan feses sapi dan M-16, variasi frekuensi pengadukan, dan variasi total solid selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik, tabel, dan narasi.
39
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Umum Pada pemanfaatan sampah sayuran sebagai bahan dasar pembentukan
biogas perlu dilakukan penelitian pendahuluan. Tujuan penelitian pendahuluan adalah untuk mengetahui karakteristik kimia sampah sayuran dan feses sapi. Karakteristik kimia sampah sayuran dan feses sapi digunakan untuk mengetahui kualitas dari masing-masing bahan meliputi volatil solid, total solid, perbandingan C/N, kadar lignin, kadar abu, P-Total, kadar air, kandungan karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O), dan nitrogen (N). 4.2
Karakteristik Substrat Bahan isian substrat pada penelitian ini menggunakan campuran sampah
sayuran, fases sapi, dan Mikroorganisme 16 (M-16). Sampah sayuran yang digunakan berasal dari Pasar Keputih, Sukolilo Surabaya. Jenis-jenis sayuran yang ada dalam bahan isian adalah bayam, kangkung, sawi, kol, terong, wortel, dan labu siam. Feses sapi yang digunakan berasal dari rumah potong hewan (RPH) Pegirian Surabaya. Mikroorganisme 16 dibeli di Jurusan Biologi, Universitas Airlangga. Perbandingan campuran sampah sayuran dan feses sapi yaitu 70%:30% yang merujuk pada hasil penelitian (Abrar dan Pandebesie, 2016). Selain itu, pencampuran substrat juga bertujuan untuk mencapai kondisi optimum operasional AD (Anaerobic Digester) misalkan melalui parameter pH dan rasio C/N dengan penambahan co-substrat feses sapi (Divya et al., 2015). Sampah sayuran sebanyak ±50 kg dicacah hingga berukuran 2-4 mm. Pencacahan
bertujuan
untuk
mempermudah
proses
degradasi
sampah,
memperlancar proses asidifikasi, dan memperluas permukaan kontak antara mikroorganisme dan sampah sayuran (Silvestre et al., 2015). Hasil analisis pendahuluan karakteristik substrat dapat dilihat pada Tabel 4.1.
40
Tabel 4.1 Karakteristik Sampah Sayuran dan Feses Sapi No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kadar air (%) Volatil solid (%) Karbon (%) Hidrogen (%) Oksigen (%) Nitrogen (%) Kadar abu (%) P-Total (%) Lignin C/N pH
Sampah Sayuran 90,49 93,90 52,17 6,26 38,24 1,58 0,61 1,14 6,09 32,81 5,6
Feses Sapi 57,4 81,66 45,37 5,44 33,81 2,06 11,8 1,52 9,74 21,92 7,9
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa nilai pH sampah sayuran sangat rendah yaitu 5,6. Nilai pH rendah membuat proses metanogenesis terganggu, nilai pH optimum untuk proses metanogenesis adalah 6,5-8,5 (Divya et al., 2015). Nilai pH yang rendah ditingkatkan dengan melakukan penambahan substrat feses sapi. Penambahan substrat bertujuan sebagai sumber mikroorganisme. Pencampuran substrat juga meningkatkan laju produksi metana dan mengurangi biaya pengolahan (Zarkadas et al., 2015). Selain penambahan feses sapi, dilakukan penambahan larutan buffer NaOH 1 N hingga nilai pH mencapai kondisi optimum. Karakteristik substrat sangat penting untuk diketahui karena akan mempengaruhi operasional reaktor. Kadar air sampah sayuran dan feses sapi adalah 90,49% dan 57,4%. Nilai volatil solid yang terkandung pada sampah sayuran dan feses sapi mencapai 93,90% dan 81,66%. Kandungan organik yang tinggi membuat substrat sangat berpotensi diolah menggunakan AD (Elsamadony dan Tawfik, 2015). Hasil analisis unsur C (karbon), H (hidrogen), O (oksigen), N (nitrogen) digunakan untuk perhitungan secara teoritis menentukan senyawa organik sampah sayuran dan feses sapi. Senyawa kimia sampah sayuran dan feses sapi secara empiris adalah C39,45H56,27O22,63N dan C25,13H35,86O19,6N. Sehingga rasio C/N yang terkandung dalam sampah sayuran dan feses sapi adalah 32,81/1 dan 21,92/1. Selanjutnya dari hasil analisis awal, dilakukan pencampuran bahan dengan
41
beberapa variabel berupa penambahan M-16, total padatan, dan frekuensi pengadukan dalam suatu reaktor. Rasio C/N tiap reaktor dapat dilihat pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Rasio C/N pada tiap reaktor No
Reaktor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
Rasio C/N Awal 22,07 22,53 21,38 26,08 25,91 20,97 30,29 31,74 31,92 32,29 30,97 32,03
Rasio C/N Akhir 14,09 14,81 16,31 13,25 13,96 14,71 24,45 27,36 29,76 25,91 23,94 29,36
Persentase Penurunan (%) 36,21 29,05 23,71 52,04 49,17 30,25 19,27 13,79 6,72 19,75 22,68 8,31
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
Indikator karakteristik substrat yang perlu diperhatikan adalah rasio C/N. Rasio C/N awal substrat pada reaktor KK2, A1C1, A2C1, KSC1, A1C2, A2C2, dan KSC2 berada pada kondisi tidak optimum yang didefinisikan oleh Lin., et al (2011) sebesar 20:1-30:1. Namun, pada reaktor lainnya telah sesuai dengan perbandingan yang direkomendasikan. Rasio C/N substrat pada reaktor A1C1, A2C1, KSC1, A1C2, A2C2, dan KSC2 tidak optimum dapat dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen yang tinggi yang berasal dari protein terutama dari sampah sayuran (Lin et al., 2011).
42
Pada akhir penelitian semua reaktor terjadi penurunan rasio C/N. Hal ini mengindikasikan pada setiap reaktor terjadi degradasi substrat oleh bakteri. Rasio C/N terendah pada akhir penelitian terjadi pada reaktor A1B2 yaitu sebesar 13,25. Rasio C/N tertinggi terdapat pada reaktor KSC2 yaitu sebesar 29,36. Persentase penurunan rasio C/N pada reaktor dengan total solid 20% lebih besar daripada reaktor dengan total solid 10%. Penurunan rasio C/N tertinggi dengan total solid 10% dan penambahan feses sapi terdapat pada reakor A1B1 sebesar 36,21%. Sedangkan penurunan rasio C/N tertinggi dengan total solid 10% dan penambahan M-16 terdapat pada reakor A1C1 hanya sebesar 19,27%. Penurunan rasio C/N tertinggi dengan total solid 20% dengan penambahan feses sapi terdapat pada reakor A1B2 sebesar 52,04%. Sedangkan penurunan rasio C/N tertinggi dengan total solid 20% dengan penambahan M-16 terdapat pada reakor A1C2 hanya sebesar 19,75%. Dari persentase penurunan tersebut dapat dilihat reaktor dengan penambahan feses sapi memiliki persentase penurunan rasio C/N yang lebih tinggi daripada reaktor penambahan M-16. Feses sapi merupakan bioaktivator alami yang mengandung mikroorganisme perombak lignoselulosa sehingga reaktor yang ditambahkan feses sapi mengandung mikroorganisme yang lebih banyak dan lebih mudah untuk mendegradasi bahan (Zhang et al., 2014). Perbandingan persentase penurunan rasio C/N dengan total solid 10% dan 20% pada reaktor A1B1 dan A1B2 dengan komposisi yang sama yaitu 70:30 (% w/w) dan dengan penambahan feses sapi, total padatan berbanding dengan kadar air mempengaruhi persentase degradasi substrat pada reaktor. Pada reaktor A1B1 dengan total solid 10 (% v) dan kadar air 90 (% v) persentase penurunan rasio C/N lebih rendah daripada reaktor A1B2 dengan total solid 20 (% v) dan kadar air 80 (% v). Indikator lainnya yang harus diperhatikan untuk operasional AD adalah tingkat inhibitor substrat. Konsentrasi inhibitor yang melebihi batas maksimum operasional AD akan mengurangi aktivitas metabolisme mikroorganisme dalam mereduksi kandungan organik. 4.3
Kondisi Operasi pada Reaktor
43
4.3.1
Kondisi Suhu pada Reaktor Indikator penting yang harus diperhatikan untuk operasional AD adalah
suhu. Pengecekan temperatur dilakukan secara berkelanjutan karena dapat berfluktuasi secara instan yang mengganggu performa AD. Secara umum pada proses degradasi secara anaerobik terdapat tiga jenis mikroorganisme yang bekerja pada tiga kondisi suhu yaitu psikrofilik (10-30°C), mesofilik (30-40°C), dan termofilik (50-60°C) (Zhang et al., 2014). Sedangkan menurut Bouaziz, (2014) klasifikasi operasional AD yaitu psikrofilik (10-25°C), mesofilik (2545°C), dan termofilik (50-75°C). Temperatur yang tinggi mempengaruhi bakteri metanogen membentuk gas metan. Suhu rendah dalam proses degradasi bahan organik
menyebabkan
penurunan
pada
pertumbuhan
mikroorganisme,
pemanfaatan substrat, dan produksi gas (Kim et al., 2006). Pada Gambar 4.1 diperlihatkan kondisi suhu dari reaktor digester anaerobik dengan campuran feses sapi dan M-16. 41 A1B1
39
A2B1
37
KK1
Suhu (°C)
35 33 31 29 27 25 1
5
9
13
17
21
25
Waktu (Hari) Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Penambahan feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(a) Penambahan Feses Sapi – TS 10% 44
29
Suhu (°C)
41
A1B2
39
A2B2
37
KK2
35 33 31 29 27 25 1
5
9
13
17
21
25
29
Waktu (Hari)
Keterangan: A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Penambahan feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(b) Penambahan Feses Sapi – TS 20%
Suhu (°C)
41
A1C1
39
A2C1
37
KSC1
35 33
31 29 27 25 1
5
9
13
17
21
25
29
Waktu (Hari)
Keterangan: A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Penambahan M-16, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(c) Penambahan M 16 – TS 10%
45
A1C2 A2C2 KSC2
41
39
Suhu (°C)
37 35 33 31 29 27 25 1
5
9
13
17
21
25
29
Waktu (Hari)
Keterangan: A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(d) Penambahan M 16 – TS 20% Gambar 4.1 Perubahan Suhu Gambar 4.1 menunjukkan suhu operasional sangat berfluktuasi dan tergolong rendah hingga hari 9 dengan rata-rata 25,1°C (kondisi mesofilik) (Bouaziz, 2014). Penyebab rendahnya suhu reaktor adalah masih adanya pengaruh suhu dari luar khususnya pada malam hari atau kondisi hujan dimana suhu ruang mampu mencapai 24 ± 1°C. Namun pada hari 10 hingga hari 30, suhu berada pada kondisi mesofilik (25-40°C). Kenaikan suhu menunjukkan bahwa pada tahap ini mikroorganisme berkembangbiak dengan cepat dan terjadi proses penguraian bahan organik oleh mikroorganisme (Wellinger et al., 2014). Kenaikan suhu ini disebabkan oleh energi mikroorganisme yang digunakan untuk menguraikan bahan organik yang dibebaskan sebagai panas. Suhu tertinggi terdapat pada reaktor A1B2 pada hari 19, diikuti oleh reaktor A1B1 sebesar 37°C. Oleh karena itu hanya bakteri mesofilik yang bekerja pada semua reaktor. Menurut
46
Tchobanoglous et al., (2003), temperatur antara 25-35°C secara umum lebih optimum untuk mendukung laju reaksi biologis. Demikian juga menurut Appels et al. (2008), suhu pada 35°C (mesofilik) dapat meningkatkan produksi CH4 sebesar 51-61% yang awalnya dioperasikan pada suhu 25°C. Pada hari 1 hingga hari 9 merupakan tahap hidrolisis. Reaksi kimia pada tahap ini, enzim yang dihasilkan bakteri hidrolisis lebih banyak dan dapat merubah substrat (karbohidrat, lemak, dan protein) dan unsur-unsur lain yang terkandung pada substrat yang masih bersifat polimer (karbohidrat, lemak, dan protein). Selanjutnya diubah menjadi senyawa yang bersifat sederhana (monomer) seperti asam organik, asam amino, dan glukosa. Enzim dan temperatur merupakan salah satu kunci kecepatan pada reaksi biokimia pada proses. Jumlah dan konsentrasi enzim yang tinggi dapat mempercepat reaksi dan kenaikan temperatur menyebabkan tumbukan antar molekul terjadi lebih cepat (Izumi et al., 2010). 4.3.2
Derajat Keasaman pada Reaktor Nilai pH pada operasional AD merupakan indikator penting untuk
mengetahui stabilitas dan aktivitas dari mikroorganisme asidogenik dan metanogenik (Yang et al., 2015). Pada Gambar 4.2 menunjukkan bahwa nilai pH KSC1 dan KSC2 hari 4 sangat rendah di awal proses yaitu 5,3. Nilai pH rendah membuat proses metanogenesis terganggu, nilai pH optimum untuk proses metanogenesis adalah 6,5-8,5 (Karagiannidis dan Perkoulidis, 2009). Nilai pH yang rendah ditingkatkan dengan melakukan penambahan larutan buffer NaOH 1N. Penambahan NaOH 1N dilakukan pada awal proses hingga nilai pH mencapai kondisi optimum. Selain menambahkan NaOH 1N, inokulum juga ditambahkan feses sapi dan M-16 sebagai sumber mikroorganisme. Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat pada sampah organik berupa sayuran dengan penambahan feses sapi dan frekuensi pengadukan 8 kali dan 4 kali bahwa A1B1, A2B1, A1B2, A2B2, dan KSC1 pada proses digester anaerobik memiliki kondisi pH yang berbeda-beda. KSC1 merupakan reaktor kontrol dengan nilai pH yang terkandung adalah 5,3. Penurunan pH dapat disebabkan oleh pH yang sangat rendah dari substrat yang didominasi oleh sampah organik
47
yaitu sebesar ±5,0 (Zarkadas et al., 2015); pembentukan asam organik yang terakumulasi akibat reaksi kandungan organik yang tinggi (Yang et al., 2015); dan kuantitas
mikroorganisme
asidogen
dan
asetogen
melebihi
kuantitas
mikroorganisme metanogen (Gray et al., 2008). Rendahnya nilai pH pada awal operasional reaktor menyebabkan aktivitas bakteri asidogen meningkat dan memproduksi beberapa jenis inhibitor. Inhibitor dapat mengganggu keseimbangan populasi
mikroorganisme
dan mengakibatkan terhambatnya
metabolisme
mikroorganisme untuk menguraikan kandungan padatan organik (VS rendah). Apabila dibandingkan dengan A1B2 yang merupakan reaktor dengan penambahan feses sapi dan frekuensi pengadukan 8 kali memperlihatkan hasil bahwa dapat meningkatkan kondisi pH biomassa yaitu 6,4. Nilai pH pada hari 10 lebih sesuai dengan tahapan hidrolisis dan asidifikasi yakni 6,0-6,4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kothari et al. (2014), pada pH 5,5-6,5; AD berada pada tahapan hidrolisis dan asidifikasi. Pada tahap hidrolisis, substrat senyawa kompleks pada campuran sampah sayuran dan feses sapi (70:30) seperti karbohidrat, protein, dan lemak diubah menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino. Sedangkan tahap asetogenesis akan mengubah produk hidrolisis menjadi asetat, H2, dan CO2 (Razaul et al., 2016). Nilai pH reaktor anaerob terutama dikendalikan sistem penyangga bikarbonat yang juga dikendalikan oleh tekanan parsial CO2 dan konsentrasi alkali maupun komponen asam dalam slurry. Banyak hasil reduksi fermentasi asam harus dioksidasi pada kondisi anaerob menjadi asam asetat, H2, CO2, dan ini menjadi substrat bakteri metan. Konversi ini terjadi jika tekanan hidrogen parsial tetap sangat rendah karena asupan hidrogen oleh metanogen. Bakteri pembentuk oksidasi ini adalah bakteri syntrophic atau disebut juga bakteri asetogen atau obligat mikroba pereduksi proton.
48
8,0
pH
7,5 7,0 6,5 6,0
A1B1 A2B1 KK1
5,5 5,0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Waktu (Hari) Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Penambahan feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(a) Penambahan Feses Sapi – TS 10%
8,0
7,5
pH
7,0 6,5 A1B2 6,0
A2B2 KK2
5,5 5,0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Waktu (Hari) Keterangan: A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Penambahan feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(b) Penambahan Feses Sapi – TS 20%
49
8,0 7,5
pH
7,0 6,5 6,0 A1C1 5,5
A2C1 KSC1
5,0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Waktu (Hari) Keterangan: A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Penambahan M-16, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(c) Penambahan M 16 – TS 10% 8,0 7,5 A1C2 A2C2
7,0 pH
KSC2 6,5 6,0 5,5 5,0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
Waktu (Hari) Keterangan: A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Tanpa M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(d) Penambahan M 16 – TS 20% Gambar 4.2 Perubahan pH Gambar 4.1 Perubahan Suhu 50
29
4.3.3
TS dan VS pada Reaktor Indikator keberhasilan operasional AD dapat diketahui melalui nilai Total
Solid (TS) dan Volatile Solid (VS). TS dan VS merupakan indikator yang menunjukkan efektivitas unit pengolahan dalam menguraikan kandungan organik substrat. Secara umum, semakin tinggi nilai TS dan VS maka pembentukan biogas dan gas metan juga semakin tinggi (Nagao et al., 2012 dan Zarkadas et al., 2015). Data pengamatan TS dan VS dengan pencampuran feses sapi dan M-16 dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan 4.4. Berdasarkan data penurunan TS dan VS dapat mewakili seberapa banyak komponen organik yang terkonversi menjadi biogas. Penurunan nilai TS dan VS sampel pada reaktor menunjukkan bahwa telah terjadi proses hidrolisis yang mengurai bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme (Ratnaningsih, 2009). Penurunan TS dan VS pada reaktor A1B2 dengan frekuensi pengadukan 8 kali relatif lebih besar daripada reaktor yang lain karena dengan frekuensi pengadukan 8 kali membuat kemungkinan terjadinya kontak antara mikroorganisme dengan nutrien menjadi lebih besar (Lindmark et al., 2014). Persentasi removal kandungan TS dan VS terbesar adalah pada A1B2 yaitu reaktor dengan frekuensi pengadukan 8 kali. Frekuensi pengadukan 8 kali memberikan hasil yang terbaik dalam meremoval kandungan TS dan VS dalam digester anaerobik. Penurunan kandungan VS paling besar ini terjadi dipengaruhi oleh kondisi mikroorganisme pengurai dan kondisi lingkungan pada reaktor yang sangat mempengaruhi proses. Penambahan feses sapi pada reaktor A1B2 dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme pengurai bahan organik, sehingga penyisihan VS pada reaktor ini lebih besar diantara reaktor lainnya. Lebih lanjut, pengadukan dapat menghasilkan kontak yang cukup antara substrat dengan populasi bakteri, dan menjamin bahwa padatan tetap dalam bentuk tersuspensi sehingga akan menghindari terjadinya proses sedimentasi. Reaktor kontrol pada penelitian ini adalah KSC2 dan KK2. KSC2 merupakan reaktor dengan sampah sayuran dan tanpa penambahan feses sapi. Sedangkan KK1 merupakan reaktor kontrol feses sapi. Apabila dibandingkan antara kedua reaktor kontrol ini memperlihatkan bahwa dengan penambahan feses 51
sapi kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi kandungan VS lebih tinggi karena pada feses sapi mengandung bakteri biodegradatif yang dapat memulai produksi biogas (Chanakya et al., 1993). Tabel 4.3 Data Pengamatan TS pada Reaktor Data Pengamatan TS (mg/L) Perlakuan
Feses Sapi
M-16
Reaktor
Removal %
Hari 5
10
15
20
25
30
A1B2 A2B2 KK2
36.025 41.093 37.926
31.927 39.174 32.048
27.704 32.842 31.093
23.062 23.062 30.816
17.306 19.916 26.927
13.705 16.954 20.181
61,95 58,74 46,78
A1B1 A2B1 KK1
24.825 25.093 33.926
22.071 24.930 30.807
19.724 21.204 27.816
17.619 19.810 25.174
13.075 16.640 21.072
12.091 13.120 18.983
51,29 47,71 44,04
A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
24.825 24.293 25.326 35.825 46.993 40.226
21.071 22.930 25.007 34.927 42.174 39.048
20.724 21.204 24.816 32.704 38.842 38.993
19.619 20.610 24.839 27.062 34.062 38.016
18.975 19.073 23.972 25.306 31.916 36.727
18.220 18.490 23.183 23.235 30.994 35.901
26,60 23,88 8,46 35,14 34,04 10,75
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
52
Tabel 4.4 Data Pengamatan VS pada Reaktor Data Pengamatan VS (mg/L) Perlakuan
Reaktor 5
Feses Sapi
M-16
Removal %
Hari 10
15
20
25
30
A1B2 A2B2 KK2
16.982 15.240 13.262
12.820 13.250 12.082
9.035 7.353 12.593 10.069 9.335 8.190
5.053 7.301 7.535
4.059 5.702 6.708
76,09 62,58 49,41
A1B1 A2B1 KK1
11.487 13.582 13.120
11.069 12.216 11.950
10.916 11.060 11.591
8.181 8.672 9.098
7.053 7.256 7.816
5.215 6.624 6.907
54,60 51,23 47,35
A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
13.097 14.282 14.892 16.097 18.782 18.720
12.869 14.008 14.273 15.969 17.216 18.057
12.109 13.562 14.091 13.716 16.960 17.991
11.593 13.007 13.738 12.581 15.072 17.038
10.853 12.256 13.420 11.053 13.956 16.926
9.085 10.738 13.226 9.915 12.154 16.207
30,63 24,81 11,18 38,40 35,28 13,42
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
53
4.3.4
Rasio C/N pada Reaktor Indikator
karakteristik
substrat
yang
perlu
diperhatikan
adalah
perbandingan C/N. Karbon merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dan nitrogen dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Pada proses anaerobik, nitrogen dikonversi oleh mikroorganisme menjadi ammonia (Tchobanoglous et al., 1993). Gambar 4.3 menunjukkan rasio C/N pada reaktor dengan penambahan feses sapi dan M-16.
50 A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2
Rasio C/N (%)
40
30
20
Campuran M 16 10 0
5
10
15
20
25
Waktu (Hari) Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Penambahan feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Penambahan feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(a)
54
30
A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
50
Rasio C/N (%)
40 30 20 10 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (Hari)
Keterangan: A1C1: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(b)
Gambar 4.3 Perubahan Rasio C/N
Gambar 4.3 menjelaskan bahwa kandungan C/N untuk semua reaktor mengalami fluktuasi. Perbandingan C/N substrat sampah sayuran kurang dari kondisi optimum dapat dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen yang tinggi yang berasal dari protein terutama sampah pasar berupa sayuran (Lin et al., 2011). Pada awal proses anaerobik berlangsung hingga hari 18 terjadi fluktuasi N yang berpengaruh pada rasio C/N yang ada pada reaktor. Pada hari 19-30 rasio C/N untuk semua reaktor sudah mengalami penurunan. Perubahan kadar C-organik dan N-Total yang disajikan pada Gambar 4.3 menunjukkan kadar C-organik terus-menerus menurun sampai dengan akhir proses digester anaerobik. Kadar C-organik awal berkisar 33,07%-53,16% kemudian menurun sampai hari 30 dengan efisiensi penurunan adalah 31,03%57,15%. Penurunan kadar C-organik dikarenakan dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme (Nolan et al., 2011). Dalam proses dekomposisi, karbon dijadikan sebagai sumber energi untuk menyusun bahan selular sel-sel mikroba
55
dengan membebaskan CO2 dan bahan-bahan lainnya yang mudah menguap. Selain itu, CO2 juga dikonsumsi oleh bakteri anaerobik yaitu Pseudomonas (P. fluorescens, P. aeruginosa, P. denitrificans), dan Basidiomycetes karena sifatnya memanfaatkan CO2 sebagai sumber energi sehingga C yang terukur mengalami penurunan selama proses anaerobik digester (Ashwath et al., 2016). Penambahan feses sapi menyebabkan proses dekomposisi bahan organik berjalan lebih cepat sehingga terjadi penurunan kadar karbon pada setiap reaktor. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa material organik substrat menurun seiring dengan lama waktu proses digester anaerobik. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya penurunan material organik pada substrat. Kondisi tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Abrar dan Pandebesie (2016). Perubahan
N-Total
merupakan
indikator
telah
terjadinya
proses
dekomposisi dalam proses digester anaerobik. Kadar nitrogen untuk semua reaktor cenderung mengalami penurunan. Rendahnya nilai N menunjukkan bahwa terjadi perombakan N-Organik menjadi Nitrat. Selanjutnya rasio C/N mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan Yenni (2012) yang menyebutkan bahwa setelah proses fermentasi, rasio C/N akan mengalami penurunan. 4.4.4 Produksi Biogas pada Reaktor Proses degradasi secara anaerobik melibatkan sejumlah banyak bakteri yang berbeda-beda, tetapi proses digerakkan terutama oleh dua tipe reaksi yaitu acidogenesis dan methanogenesis (Baloch et al., 2007 dan Zoetemeyer et al., 1982). Pada tahap pertama acidogenic, bahan organik diuraikan menjadi VFA, kemudian dimetabolis menjadi metana dalam tahap berikutnya oleh bakteri methanogenic untuk menghasilkan gas metana (biogas). Penambahan feses sapi dilakukan pada A1B1, A2B1, A1B2, A2B2. Sedangkan penambahan M-16 dilakukan pada A1C1, A1C2, A2C2. Masingmasing reaktor diukur volume biogasnya setiap hari. Pengukuran volume gas dilakukan pada waktu yang sama setiap harinya. Hal ini menjaga agar data volume gas yang diperoleh merupakan hasil produksi gas tiap hari. Pada Gambar 4.4 menggambarkan produksi biogas yang dihasilkan oleh A1B1, A2B1, A1B2, A2B2, A1C1, A1C2, A2C2. KSC1 dan KSC2 merupakan reaktor kontrol sampah 56
sayuran tanpa pengadukan sedangkan KK1 dan KK2 merupakan reaktor kontrol feses sapi tanpa pengadukan.
800
700
Volume Harian (mL)
600 A1B1
500
A2B1 KK1
400
A1C1 A2C1
300
KSC1 200 100 0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Waktu (Hari) Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Penambahan feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(a)
57
800 700
600
Volume Harian (mL)
500
400 A1B2 300
A2B2 KK2
200
A1C2 A2C2
100
KSC2
0 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
Waktu (Hari) Keterangan: A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Penambahan feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(b) Gambar 4.4 Volume Biogas Harian
Gambar 4.4 terlihat bahwa pembentukan biogas terjadi pada hari 4 yaitu reaktor KK1 kemudian hari 5 pada reaktor KK2, A1B1, A2B1, hari 7 pada reaktor A1B2, A2B2, hari 8 pada reaktor A1C1, A2C1, dan hari 9 pada reaktor KSC1, A1C2, dan A2C2. Data yang terukur merupakan CO2 dan gas lain. Pada hari 1 belum terjadi pembentukan biogas karena pada tahap pertama yang terjadi adalah hidrolisis. Pada tahap ini bakteri melakukan penguraian bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana serta perubahan struktur bentuk polimer (glukosa, lemak, dan protein) menjadi bentuk
58
monomer (asam lemak, monosakarida, asam amino), sehingga belum membentuk biogas. Setelah itu terjadi proses pengasaman oleh bakteri pembentuk asam menggunakan substrat hasil hidrolisis menghasilkan asam asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Pembentukan biogas pada hari 5 sampai hari 12 menunjukkan sampai hari ke-12 tersebut biogas yang dihasilkan masih mengandung CO2 dan H2. Setelah hari 12 mengalami penurunan secara bertahap hingga hari 15. Pada hari 15 inilah tahap metanogenesis atau tahap pembuatan metan (CH4) mulai terjadi. Tahap ini terjadi dari hari 15 hingga hari 24 atau sekitar 9 hari dengan menghasilkan komponen utama biogas berupa metan. Sedangkan pada hari 25 hingga hari 30 terjadi penurunan produksi biogas terus menerus. Degradasi lignoselulosa secara alami berjalan lambat dan hanya dapat dilakukan oleh sedikit mikroorganisme dikarenakan struktur polimer penyusunnya yang kompleks dan heterogen (Silvestre et al., 2015). Degradasi lignoselulosa melibatkan aktivitas sejumlah enzim ekstrasel yang disekresikan oleh mikroorganisme perombak. 4.4.1
Perbandingan
Penambahan
M-16
dan
Feses
Sapi
Terhadap
Pembentukan Biogas Penambahan feses sapi dan M-16 sebagai bioaktivator dalam proses digester anaerobik diharapkan dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisikan bahan organik serta menghasilkan gas metan terbanyak. Pada penelitian ini, optimasi proses degradasi anaerob dipercepat secara biologi. Perlakuan secara biologi dilakukan dengan menggunakan enzim yang disekresikan oleh bioaktivator. Bioaktivator alami diperoleh dari feses sapi sedangkan
bioaktivator
Mikroorganisme
buatan
yang terdapat
berupa dalam
Microorganisms-16
M-16
adalah
(M-16).
Lactobacillus
sp.,
Micrococcus sp., yeast, Streptococcus sp., Enterococcus sp., Staphylococcus sp., Enterobacteria sp., Peptostreptococcus sp., Streptomyces sp., Bifidobacterium bifidum, Actinomycetes sp., Clostridium sp., Eubacterium sp., Veillonella sp., Fusobacterium sp., dan Bacteroides fragilis (Adikara dan Herry, 2001). Pada Gambar 4.5 (a) dan (b) dapat diketahui hasil biogas kumulatif yang terbentuk dengan penambahan fases sapi dan M-16.
59
Volume Kumulatif (mL)
9.000 8.000 7.000 A1B1 A2B1 KK1 A1C1 A2C1 KSC1
6.000 5.000
4.000 3.000 2.000 1.000 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
Waktu (Hari)
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Penambahan feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Penambahan M-16, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(a) Pada Gambar 4.5 (a), pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 8 kali dan total solid 10% selama 30 hari adalah pada reaktor A1B1 sebesar 5.607 mL kemudian diikuti reaktor A1C1 sebesar 1.498 mL. Pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 4 kali dan total solid 10% selama 30 hari adalah A2B1 sebesar 4.208 mL kemudian diikuti reaktor A2C1 sebesar 1.153 mL. Pembentukan biogas pada reaktor yang tanpa frekuensi pengadukan dan total solid 10% selama 30 hari adalah KK1 sebesar 2.469 mL kemudian diikuti reaktor KSC1 sebesar 130 mL. Pada frekuensi pengadukan yang sama dan total solid 10% reaktor dengan penambahan feses sapi memiliki pembentukan biogas yang lebih tinggi daripada penambahan M-16.
60
9.000
Volume Kumulatif (mL)
8.000 A1B2
7.000
A2B2
6.000
KK2 A1C2
5.000
A2C2
4.000
KSC2
3.000 2.000 1.000 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
24
26
28
30
Waktu (Hari) Keterangan: A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Penambahan feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(b) Gambar 4.5 Perbandingan Penambahan Feses Sapi dan M-16 Terhadap Pembentukan Biogas
Pada Gambar 4.5 (b), pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 8 kali dan total solid 20% selama 30 hari adalah pada reaktor reaktor A1B2 sebesar 8.768 mL kemudian diikuti reaktor A1C2 sebesar 2.013 mL. Pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 4 kali dan total solid 20% selama 30 hari adalah A2B2 sebesar 7.523 mL kemudian diikuti reaktor A2C2 sebesar 1.827 mL. Pembentukan biogas pada reaktor tanpa frekuensi pengadukan dan total solid 20% selama 30 hari adalah KK2 sebesar 3.028 mL kemudian diikuti reaktor KSC2 sebesar 209 mL. Pada frekuensi pengadukan yang sama dan total solid 20%, reaktor dengan penambahan feses sapi memiliki pembentukan biogas yang lebih
61
tinggi daripada penambahan M-16. Secara keseluruhan, reaktor dengan frekuensi pengadukan 8 kali dengan total solid 20% dan penambahan feses sapi menghasilkan biogas terbanyak. Untuk mengetahui pengaruh penambahan feses sapi terhadap pembentukan biogas diperlukan pembanding antar reaktor. Reaktor terbaik dengan penambahan feses sapi terdapat pada reaktor A1B2 sebesar 8.768 mL. Reaktor terbaik dengan penambahan M-16 terdapat pada reaktor A1C2 sebesar 2.013 mL. Pengaruh penambahan feses sapi terhadap pembentukan biogas terdapat pada reaktor dengan frekuensi pengadukan 8 kali dan penambahan feses sapi pada total solid 20%. Kemampuan mikroorganisme perombak untuk menghasilkan biogas dipengaruhi oleh penambahan feses sapi. Hal tersebut dikarenakan feses sapi dapat menyeimbangi kandungan asam yang terkandung dalam sampah organik dan memprosesnya menjadi biogas. Feses sapi merupakan bioaktivator alami yang mengandung mikroorganisme perombak lignoselulosa (Zhang et al., 2014). 4.4.2
Produksi Biogas dengan Variasi Frekuensi Pengadukan Total solid adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat, baik
padatan yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Total solid bahan dibagi menjadi 2 yaitu low solid dan medium solid. Low solid adalah persentase campuran bahan dengan kadar air sebanyak (4-10 : 96-90 %w/w). Medium solid adalah persentase campuran bahan dengan kadar air sebanyak (15-20:85-80 %w/w) (Tchobanoglous et al., 1993). Pada menelitian ini menggunakan total solid 10% dan 20%. Produksi biogas dalam eksperimental dinyatakan dalam volume biogas yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.5. Pada Tabel 4.5 dapat dilihat, pembentukan biogas tertinggi pada frekuensi pengadukan 4 kali/ hari selama 5 menit adalah pada reaktor A2B2 sebesar 7.403 mL. Selanjutnya diikuti pada reaktor A2B1 sebesar 4.192 mL, reaktor A2C2 sebesar 1.492 mL dan reaktor A2C1 sebesar 952 mL. Pengaruh penambahan feses sapi terhadap pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 4 kali/ hari selama 5 menit dapat dilihat dengan membandingkan reaktor A2B2 dengan A2C2 dan reaktor A2B1 dengan A2C1. Hasil biogas pada reaktor A2B2 lebih tinggi daripada A2C2 dan hasil A2B1 lebih tinggi daripada A2C1. Hasil pembentukan biogas dengan perlakuan penambahan 62
feses sapi lebih tinggi daripada penambahan M-16. Penambahan feses sapi pada sampah organik berupa sampah sayuran memberikan pengaruh terhadap pembentukan biogas. Pengaruh total solid terhadap pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 8 kali/ hari selama 5 menit dapat dilihat dengan membandingkan reaktor A2B2 dengan A2B1 dan reaktor A2C2 dengan A2C1. Hasil biogas pada reaktor A2B2 lebih tinggi daripada reaktor A2B1 dan hasil reaktor A2C2 lebih tinggi daripada A2C1. Hasil pembentukan biogas dengan perlakuan total solid 20% hasilnya lebih tinggi daripada perlakuan total solid 10%. Tabel 4.5 Pengaruh Variasi Frekuensi Pengadukan Terhadap Pembentukan Biogas Penambahan
TS (%) 10
Feses Sapi 20
10 M-16 20
Frekuensi Pengadukan
Reaktor
8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol
A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
Volume Biogas (mL) 5.407 4.192 2.471 8.743 7.403 3.841 1.417 952 128 2.019 1.492 207
Penambahan Biogas Terhadap Kontrol (%) 54,29 41,05 56,06 48,12 90,96 86,55 89,75 86,13 -
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
Pembentukan biogas tertinggi pada frekuensi pengadukan 8 kali/ hari selama 30 hari adalah pada reaktor A1B2 sebesar 8.743 mL. Selanjutnya diikuti
63
pada reaktor A1B1 sebesar 5.407 mL, reaktor A1C2 sebesar 2.019 mL dan reaktor A1C1 sebesar 1.417 mL. Pengaruh penambahan feses sapi terhadap pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 8 kali/ hari dapat dilihat dengan membandingkan reaktor A1B2 dengan A1C2 dan reaktor A1B1 dengan A1C1. Hasil biogas pada reaktor A1B2 lebih tinggi daripada A1C2 dan hasil A1B1 lebih tinggi daripada A1C1. Hasil pembentukan biogas dengan penambahan feses sapi lebih tinggi daripada penambahan M-16. Penambahan feses sapi pada sampah organik berupa sampah sayuran memberikan pengaruh terhadap pembentukan biogas. Pengaruh perlakuan total solid terhadap pembentukan biogas pada frekuensi pengadukan 8 kali/ hari dapat dilihat dengan membandingkan reaktor A1B2 dengan A1B1 dan reaktor A1C2 dengan A1C1. Hasil biogas pada reaktor A1B2 lebih tinggi daripada reaktor A1B1 dan hasil reaktor A1C2 lebih tinggi daripada A1C1. Hasil pembentukan biogas dengan perlakuan total solid 20% hasilnya lebih tinggi daripada perlakuan total solid 10%. Pembentukan biogas tertinggi pada reaktor kontrol yang merupakan tanpa frekuensi pengadukan selama 30 hari adalah pada reaktor KK2 sebesar 3.841 mL. Selanjutnya diikuti pada reaktor KK1 sebesar 2.471 mL, reaktor KSC2 sebesar 207 mL dan reaktor KSC1 sebesar 128 mL. Pengaruh penambahan feses sapi terhadap pembentukan biogas pada reaktor tanpa frekuensi pengadukan dapat dilihat dengan membandingkan reaktor KK1 dengan KSC1 dan reaktor KK2 dengan KSC2. Hasil biogas pada reaktor KK1 lebih tinggi daripada KSC1 dan hasil KK2 lebih tinggi daripada KSC2. Hasil pembentukan biogas dengan perlakuan penambahan feses sapi lebih tinggi daripada tanpa penambahan feses sapi pada sampah organik berupa sampah sayuran memberikan pengaruh terhadap pembentukan biogas. Pengaruh perlakuan total solid terhadap pembentukan biogas pada reaktor kontrol dapat dilihat dengan membandingkan reaktor KK1 dengan KK2 dan reaktor KSC1 dengan KSC2. Hasil biogas pada reaktor KK2 lebih tinggi daripada reaktor KK1 dan hasil reaktor KSC2 lebih tinggi daripada KSC1. Hasil pembentukan biogas dengan perlakuan total solid 20% hasilnya lebih tinggi daripada perlakuan total solid 10%. Untuk mengetahui pengaruh variasi frekuensi pengadukan terhadap pembentukan biogas diperlukan pembanding antar reaktor. Reaktor terbaik
64
dengan dengan perlakuan total solid 10% terdapat pada reaktor reaktor A1B1 sebesar 5.407 mL. Reaktor terbaik dengan perlakuan total solid 20% terdapat pada reaktor reaktor A1B2 sebesar 8.743 mL. Frekuensi pengadukan terbaik terhadap pembentukan biogas terdapat pada reaktor dengan pengadukan 8 kali/ hari selama 5 menit dan dengan penambahan feses sapi pada total solid 20%. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kowalczyk et la., (2014) variasi frekuensi pengadukan 8 kali menghasilkan pembentukan biogas terbanyak. Reaktor dengan frekuensi pengadukan 8 kali dapat membantu proses fermentasi selalu merata, kondisi substrat menjadi homogen, reduksi degradasi maksimum pada substrat, dan menghindari terjadi semi padatan dan busa di permukaan material dalam digester. Hal ini akan menghambat fermentasi serta biogas sulit keluar akibat semi padatan dan busa yang menutup. Bila substrat tidak diaduk akan terpisah antara padatan dan air. Berat padatan yang lebih ringan akibat degradasi akan berada di permukaan slurry di dalam reaktor. Bila dilakukan pengadukan, maka ukuran partikel dari substrat menjadi sangat kecil dan seragam. Ini menandakan bahwa frekuensi pengadukan membuat proses fermentasi selalu merata, degradasi lebih cepat, dan biogas lebih mudah keluar dari material. Selain itu, dengan dilakukan pengadukan kontak inokulum dengan substrat menjadi lebih intensif sehingga inokulum bekerja lebih optimum. Inokulum yang homogen dan kontak dengan substrat yang merata dapat menyebabkan mikroorganisme bekerja dengan optimum (Yang et al., 2015). 4.4.3
Perbandingan Jumlah TS Terhadap Produksi Biogas dan Metana Proses penyisihan kandungan organik pada AD merupakan hasil reaksi
metabolisme mikroorganisme. Secara umum, reaksi metabolisme mikroorganisme anaerob diklasifikasikan menjadi empat tahap yaitu hidrolisis, asidifikasi, asetogenesis, dan metanogenesis. Produk akhir dari proses reaksi metabolisme secara anaerob adalah biogas yang didominasi oleh komposisi gas CH4. Secara lengkap hasil produksi biogas ditampilkan pada Gambar 4.6.
65
50.000 45.000 40.000 35.000 30.000 25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 0
7.000 6.000 5.000
Vol A1B2 Vol A2B2 Vol KK2 TS A1B2 TS A2B2 TS KK2
4.000 3.000 2.000 1.000 0 5
10
15
20
25
Waktu
30
Keterangan: A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Penambahan feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(a)
Vol A1B1 Vol A2B1 Vol KK1 TS A1B1 TS A2B1 TS KK1
8.000
7.000 6.000
50.000 45.000 40.000 35.000 30.000
5.000
25.000
4.000
20.000
3.000
15.000
2.000
10.000
1.000
5.000
0
0
5
10
15
20
25
30
Waktu (Hari)
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Penambahan feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(b) 66
TS (mg/L)
9.000
Volume Kumulatif (mL)
Volume Kumulatif (mL)
8.000
TS (mg/L)
9.000
50.000
8.000
45.000
7.000
40.000 35.000
6.000
30.000
5.000
Vol A1C2 25.000
Vol A2C2
4.000
Vol KSC2
20.000
3.000
TS A1C2
15.000
2.000
TS A2C2
TS (mg/L)
Volume Kumulatif (mL)
9.000
10.000
TS KSC2 1.000
5.000
0
0 5
10
15
20
25
30
Waktu (Hari)
Keterangan: A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(c) 50.000 Vol A1C1 Vol A2C1 Vol KSC1 TS A1C1 TS A2C1 TS KSC1
Volume Kumulatif (mL)
8.000 7.000 6.000 5.000
45.000
40.000 35.000 30.000 25.000
4.000
20.000
3.000
15.000
2.000
10.000
1.000
5.000
0
0 5
10
15
20
25
30
Waktu (Hari) Keterangan: A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Penambahan M-16, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(d)
Gambar 4.6 Pengaruh TS Terhadap Produksi Biogas 67
TS (mg/L)
9.000
Salah satu parameter yang mempengaruhi keberhasilan proses produksi biogas adalah tingkat pengenceran dan kandungan bahan organik di dalam biodigester. Pengenceran slurry di dalam biodigester dapat dilihat dari total padatan (total solid) dalam menyatakan seberapa besar beban pencernaan yang harus dilakukan mikroorganisme pada proses hidrolisis. Berdasarkan Gambar 4.6 (a) dan (b) dapat dilihat bahwa slurry yang lebih kental yaitu medium solid 20% menghasilkan biogas yang lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan slurry yang lebih encer yaitu low solid 10%. Pada medium solid 20%, substrat sebagai bahan makanan mikroorganisme dalam mempersiapkan metabolisme yang stabil terpenuhi sedangkan pada low solid 10% dapat mengakibatkan terhambatnya metabolisme untuk menguraikan kandungan padatan organik karena kondisi mikroorganisme kurang stabil (Fagbohungbe et al., 2015). Berdasarkan Gambar 4.6 diperlihatkan bahwa kandungan TS dari masing-masing reaktor mengalami penguraian setelah hari kelima. Penurunan TS pada hari 5 hingga hari 14 sangat sedikit, hal ini dapat dijelaskan bahwa fase hidrolisis dan asidifikasi berlangsung sehingga bahan yang didegradasi masih sedikit dan menyebabkan penurunan TS tidak terlalu signifikan. Karakteristik bahan organik pada sampah organik berupa sayuran dan feses sapi sangat tinggi sehingga substrat tersebut mudah diolah secara biologis. Setelah hari 14 telah dimulai lanjutan tahap asidogenesis, asetogenesis, dan dilanjutkan proses metanasi ditandai dengan pengurangan TS secara signifikan pada hari 20. Semakin besarnya penurunan nilai TS menunjukkan proses degradasi yang semakin besar terjadi pada reaktor (Aslanzadeh et al., 2014). Pada Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa dengan waktu produksi biogas 30 hari, removal (penyisihan) TS reaktor A1B2 dan A2B2 sebesar 61,95%-58,74% lebih tinggi dibanding reaktor A1B1 dan A2B1 sebesar 51,29%-47,7% dan reaktor kontrol hanya 46,78%-44,04%. Perbedaan besarnya nilai penurunan pada setiap reaktor dipengaruhi oleh kondisi mikroorganisme pengurai pada setiap reaktor dan kondisi lingkungan pada reaktor yang sangat mempengaruhi proses. Pertumbuhan bakteri sangat dipengaruhi oleh jumlah nutrisi yang terkandung pada substrat. Semakin tinggi nilai nutrisi pada substrat yaitu protein yang ditambahkan maka semakin tinggi populasi bakteri yang dapat menghasilkan enzim dan memiliki konsentrasi yang tepat dalam reaksi biokimia
68
untuk mendegradasi substrat (Rasapoor et al., 2016). Mikroba membutuhkan waktu yang cukup untuk berkembangbiak, bila komponen yang dibutuhkan cukup tersedia maka mikroba akan berkembang pesat seperti halnya mikroba membutuhkan zat gizi untuk pertumbuhannya. Gambar 4.6 menunjukkan bahwa perbedaan total solid memberikan pengaruh terhadap konsentrasi perombakan. Perombakan pada medium solid yaitu 20% relatif lebih tinggi dibandingkan low solid 10% karena perombakan yang terjadi akibat aktivitas mikroorganisme. Pada medium solid 20% produksi biogas lebih tinggi karena kandungan bahan padatan yang digunakan sebagai nutrisi bagi mikroorganisme lebih tinggi sehingga dapat mendukung perkembangan mikroorganisme dengan baik (Zhai et al., 2015). Pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme sangat dipengaruhi tersedianya nutrisi dalam substrat, pH, dan suhu (Sanjaya et al., 2015). 4.4.4
Penurunan VS Pada Proses Anaerobik Kadar VS ditentukan berdasarkan padatan tersuspensi mudah menguap
(mg/L). Padatan tersebut kemudian dikeringkan dalam furnace suhu 550°C selama 2 jam (Divya et al., 2015). Konsentrasi merupakan parameter penting dan dapat digunakan untuk perhitungan pembeban kapasitas biodigester. Semakin tinggi konsentrasi VS maka semakin tinggi pula pembebanan proses perombakan. Volatile solids merupakan bahan makanan untuk proses hidrolisis dan pembentukan asam secara anaerob (Hoornweg dan Bhada, 2012). Jumlah VS yang terproses menunjukkan jumlah bahan organik yang terdekomposisi dan biogas yang diproduksi. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penurunan volatile solid tertinggi dengan penambahan feses sapi terdapat pada reaktor A1B2. Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1B2 menghasilkan volume biogas harian tertinggi sebesar 640 mL pada hari 18. Pada hari 6 sampai hari 18 terjadi peningkatan degradasi volatile solid yang ditandai dengan kenaikan volume biogas harian. Aktivitas bakteri anaerob mendegradasi volatile solid tertinggi terjadi pada hari 18 yang ditandai dengan terbentuknya volume biogas harian tertinggi. Aktivitas bakteri anaerob mengalami penurunan dari hari 24 sampai hari 30. Penurunan aktivitas bakteri tersebut ditandai dengan penurunan pembentukan 69
volume biogas harian. Pembentukan biogas harian di hari ke 24 sebesar 349 ml. Pembentukan biogas harian di hari ke 30 sebesar 110 mL. Penurunan pembentukan volume biogas harian terjadi karena aktifitas degradasi volatile solid oleh bakteri yang semakin menurun. Volatile solid yang tersedia hari 24 sampai hari ke 30 semakin sedikit yang menunjukkan aktifitas bakteri semakin menurun. Penurunan aktivitas bakteri berakibat pada penurunan produksi biogas harian. Pada hari 24 sampai hari 30 bakteri berada pada fase stasioner dimana laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju kematiannya. Bakteri cenderung menggunakan substrat untuk bertahan hidup daripada memproduksi asam organik dan biogas. Penurunan volatile solid tertinggi pada penambahan M-16 terdapat pada reaktor A1C2. Degradasi volatile solid pada reaktor A1C2 menghasilkan pembentukan biogas harian tertinggi sebesar 179 mL pada hari 20. Pada hari 9 sampai hari 20 terjadi peningkatan pembentukan volume biogas harian yang puncaknya terjadi pada hari 20. Aktivitas bakteri anaerob mengalami penurunan dari hari ke 21 sampai hari ke 30. Penurunan aktivitas bakteri tersebut ditandai dengan penurunan pembentukan volume biogas harian. Pembentukan biogas harian dihari 24 sebesar 72,3 mL. Pembentukan biogas harian di hari ke 30 sebesar 26,1 mL. Penurunan pembentukan volume biogas harian terjadi karena jumlah volatile solid yang tersedia menurun. Pada hari ke 20 sampai hari 30 bakteri berada pada fase stasioner dimana pembentukan sel bakteri berkurang. Sisa nutrisi yang tersedia digunakan bakteri untuk bertahan hidup daripada memperbanyak diri dan membentuk biogas. Pada reaktor A1B2 laju degradasi volatile solid lebih tinggi dibandingkan pada reaktor A2B2. Hal ini disebabkan pada raktor A1B2 jumlah bakteri yang bersumber dari feses sapi lebih banyak daripada reaktor A2B2. Pada frekuensi pengadukan 4 kali, laju degradasi reaktor A2B2, laju degradasi volatile solid pada raktor A1B2 lebih tinggi dibandingkan pada reaktor A2B2. Penambahan feses sapi pada bahan memberikan pengaruh terhadap laju degradasi sampah sayuran. Pada reaktor penambahan M-16, kandungan lignin dan selulosa yang masih tinggi tidak dapat optimal didegradasi oleh bakteri sehingga memperlambat proses degradasi dan volume yang dihasilkan lebih sedikit.
70
7.000
Vol A1B1 Vol A2B1 Vol KK1 VS A1B1 VS A2B1 VS KK1
6.000
20.000 18.000 16.000 14.000 12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0
5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0 5
10
15
20
25
30
Waktu (Hari)
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Penambahan feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(a) 9.000
20.000
8.000
18.000
7.000
16.000 14.000
6.000
12.000
5.000
10.000
4.000
8.000
3.000
6.000
2.000
4.000
1.000
2.000
0
0
5
Vol A1B2
10
15
20
Waktu (Hari)
25
30
Vol A2B2 Vol KK2 VS A1B2 VS A2B2
y = -2700,2x + 19363 y = -2093,5x + 18054
VS KK2
y = -1447,2x + 15680
R² = 0,9865 R² = 0,9574 R² = 0,931
Keterangan: A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Penambahan feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(b)
71
VS (mg/L)
Volume Kumulatif (mL)
Volume Kumulatif (mL)
8.000
y = -1149,8x + 12794 y = -1413,1x + 15814 y = -1270,9x + 14842
VS (mg/L)
R² = 0,942 R² = 0,9355 R² = 0,9223
9.000
20.000
8.000
18.000
7.000
16.000 14.000
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000
Vol A1C1
12.000
Vol A2C1
10.000
Vol KSC1
8.000
VS A1C1
y = -931,06x + 14641 R² = 0,9059
6.000
VS A2C1
y = -805,6x + 15576
R² = 0,8971
4.000
VS KSC1
y = -367,37x + 15456
R² = 0,8891
2.000
0
VS (mg/L)
Volume Kumulatif (mL)
9.000
0 5
10
15
20
25
30
Waktu (Hari)
Keterangan: A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Penambahan M-16, TS 10%, dan tanpa pengadukan
(c)
20.000
Volume Kumulatif (mL)
8.000
R² = 0,892
7.000 R² = 0,9177
6.000
18.000 16.000 14.000 12.000
5.000
Vol A1C2 Vol A2C2 Vol KSC2 VS A1C2 VS A2C2 VS KSC2
4.000 3.000 2.000 1.000
10.000 R² = 0,9252 y = -1202,4x + 18025 y = -1176,8x + 20132 y = -449,66x + 19226
8.000 6.000 4.000 2.000
0
0 5
10
15
20
25
30
Waktu (Hari) Keterangan: A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Penambahan M-16, TS 20%, dan tanpa pengadukan
(d) Gambar 4.7 Pengaruh Penurunan VS Terhadap Volume Biogas
72
VS (mg/L)
9.000
4.4.5 Laju Penurunan Volatile solid Terhadap Pembentukan Biogas Pada Total solid 10% Laju degradasi volatile solid pada reaktor dengan total solid 10% dapat dilihat dengan menggunakan persamaan linear pada Gambar 4.7(a) dan Gambar 4.7(b). Untuk mengetahui laju penurunan tersebut dapat dilihat dari nilai b pada persamaan linear yang didapat (Tabel 4.6). Laju penguraian pada masing-masing reaktor dapat diketahui dari nilai k nya. Nilai k tersebut bisa didapatkan dengan melinierkan garis hasil analisis pada masing-masing kurva. Pada Tabel 4.6 nilai k pada rumus tetapan kecepatan dan paruh waktu untuk orde satu ini serupa dengan nilai a pada formula regresi linier. Nilai a digunakan sebagai nilai laju pembentukan biogas karena merupakan nilai kemiringan dari garis pada grafik laju penurunan volatile solid. Tabel 4.6 Laju Penurunan Volatile solid Pada Reaktor dengan Total solid 10% Kode
Nilai a
Nilai b
Nilai R2
Laju Degradasi VS
A1B1
-1.149,8
1.2794
0,942
y = -1.149,8x + 12.794
A2B1
-1.413,1
1.5814
0,9355
y = -1.413,1x + 15.814
KK1
-1270,9
14842
0,9223
y = -1.270,9x + 14.842
A1C1
931,06
14.641
0,9059
y = -931,06x + 14.641
A2C1
-805,6x
15.576
0,8971
y = -805,6x + 15.576
KSC1
-367,37
15.456
KSC1
y = -367,37x + 15.456
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1: Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan Rumus untuk tetapan kecepatan dan paruh waktu yaitu seperti terlihat pada persamaan (4-1) serupa dengan persamaan (4-2) nilai regresi linier pada grafik (Cahyadi, 2006). Nilai k serupa dengan nilai a, sedangkan nilai C 0 serupa dengan nilai b. Pada formula regresi linier terdapat tambahan berupa nilai R 2 yang enunjukkan tingkat kelinieran dari grafik yang dilinierkan. Apabila nilai R 2
73
mendekati 1 maka data yang dilinierkan cenderung sama atau linier dan sebaliknya. Ln C = -kt + C0
………………………… (4-1)
y
………...……………… (4-2)
= ax + b
Laju penurunan volatile solid tertinggi dengan penambahan feses sapi terdapat pada reaktor A1B1. Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1B1 dengan nilai a sebesar -1.149,8x menghasilkan volume harian tertinggi sebesar 160 mL dihari 12. Pada hari 6 sampai hari 12 terjadi peningkatan degradasi volatile solid yang ditandai dengan kenaikan volume biogas harian. Aktivitas bakteri anaerob mendegradasi volatile solid tertinggi terjadi pada hari 12 yang ditandai dengan terbentuknya volume biogas harian tertinggi. Aktivitas bakteri anerob mengalami penurunan dari hari 18 sampai hari 30. Penurunan aktivitas bakteri tersebut ditandai dengan penurunan pembentukan volume biogas harian. Pembentukan biogas harian dihari 18 sebesar 125 mL. Pembentukan biogas harian dihari 24 sebesar 74 mL. Pembentukan biogas harian dihari 30 sebesar 22 mL. Penurunan pembentukan volume biogas harian terjadi karena akvifitas degradasi volatile solid oleh bakteri yang semakin menurun. Volatile solid yang tersedia dihari 18 sampai hari 30 semakin sedikit sehingga volume biogas harian juga akan menurun. Pada hari 18 sampai hari 30 bakteri berada pada fase stasioner dimana laju pertumbuhan bakteri
sama dengan laju kematiannya. Bakteri
cenderung menggunakan substrat untuk bertahan hidup daripada memproduksi asam organik dan biogas. Laju penurunan volatile solid tertinggi pada penambahan M-16 terdapat pada reaktor A1C1. Laju degradasi VS pada reaktor A1C1 dengan nilai b sebesar -672,31x menghasilkan volume harian tertinggi sebesar 126 mL dihari 12. Pada hari 6 sampai hari 12 terjadi peningkatan pembentukan volume biogas harian yang puncaknya terjadi pada hari 12. Aktivitas bakteri anerob mengalami penurunan dari hari 18 sampai hari 30. Penurunan aktivitas bakteri tersebut ditandai dengan penurunan pembentukan volume biogas harian. Pembentukan biogas harian dihari 18 sebesar 106 mL. Pembentukan biogas harian dihari 24 sebesar 44 mL. Pembentukan biogas harian dihari 30 sebesar 24 mL. Penurunan
74
pembentukan volume biogas harian terjadi karena jumlah volatile solid yang tersedia menurun. Pada hari 18 sampai hari 30 bakteri berada pada fase stasioner dimana pembentukan sel bakteri berkurang. Sisa nutrisi yang tersedia digunakan bakteri untuk bertahan hidup daripada memperbanyak diri dan membentuk biogas. Pada variasi frekuensi pengadukan yang sama yaitu 8 kali/ hari selama 5 menit, dapat diketahui bahwa laju degradasi volatile solid yang paling baik secara berurutan adalah reaktor A1B1, A2B1, KK1, A1C1, dan A2C1 sedangkan reaktor KSC1 merupakan reaktor kontrol. Reaktor A1B1 3,85 kali lebih cepat dalam menurukan kadar volatile solid dari reaktor KSC1. Sedangkan reaktor A2B1, KK1, A1C1, dan A2C1 secara berurutan 3,13; 3,45; 2,5 dan 2,2 lebih cepat dibandingkan reaktor kontrol. Reaktor A1B1 adalah yang paling baik karena merupakan reaktor yang ditambahkan feses sapi serta perlakuan pengadukan 8 kali/hari selama 5 menit. Pada feses sapi terdapat bakteri selulolitik dan bakteri lignolitik yang digunakan untuk mendegradasi selulosa dan lignin yang terdapat pada sampah organik berupa limbah sayuran sehingga volatile solid dapat didegradasi lebih banyak dan laju degradasi semakin meningkat. Enzim perombak lignin dihasilkan oleh aktinobakteri genus Streptomyces (Divya et al., 2015). 4.4.6 Laju Penurnan Volatile solid Terhadap Pembentukan Biogas Pada Total solid 20% Laju degradasi volatile solid pada pada reaktor dengan total solid 20% dapat dilihat dengan menggunakan persamaan linear pada Gambar 4.7(a) dan Gambar 4.7(b). Untuk mengetahui laju penurunan tersebut dapat dilihat dari nilai b pada persamaan linear yang didapat (Tabel 4.7). Laju penurunan volatile solid tertinggi dengan penambahan feses sapi terdapat pada reaktor A1B2. Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1B2 dengan nilai b sebesar -2559,9x menghasilkan volume gas harian tertinggi sebesar 81 mL pada hari 18. Pada hari 6 sampai hari 18 terjadi peningkatan degradasi volatile solid solid yang ditandai dengan kenaikan volume biogas harian. Aktivitas bakteri anaerob mendegradasi volatile solid tertinggi terjadi pada hari 18 yang ditandai dengan terbentuknya volume biogas harian tertinggi. Aktivitas bakteri anerob mengalami penurunan dari hari 24 sampai hari 30. Penurunan aktivitas bakteri tersebut ditandai dengan penurunan pembentukan volume biogas harian. 75
Pembentukan biogas harian dihari 24 sebesar 47 mL. Pembentukan biogas harian dihari 30 sebesar 16 mL. Penurunan pembentukan volume biogas harian terjadi karena aktivitas degradasi volatile solid oleh bakteri yang semakin menurun. Volatile solid yang tersedia dihari 24 sampai hari 30 semakin sedikit yang menunjukkan aktivitas bakteri semakin menurun. Tabel 4.7 Laju Penurunan Volatile solid Pada Reaktor Dengan Total solid 20% Kode
Nilai a
Nilai b
Nilai R2
Laju Degradasi VS
A1B2
-2.700,2
19.363
0,9865
y = -2.700,2x + 19.363
A2B2
-1.944,6
17.499
0,9574
y = -1.944,6x + 17.499
KK2
-1.358,7
14.274
0,931
y = -1.358,7x + 14.274
A1C2
-1.202,4
18.025
0,9252
y = -1.202,4x + 18.025
A2C2
-1.176,8
20.132
0,9177
y = -1.176,8x + 20.132
KSC2
-449,66
19.226
0,892
y = -449,66x + 19.226
Keterangan: A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan Penurunan aktivitas bakteri berakibat pada penurunan produksi biogas harian. Pada hari 24 sampai hari 30 bakteri berada pada fase stasioner dimana laju pertumbuhan bakteri sama dengan laju kematiannya. Bakteri cenderung menggunakan substrat untuk bertahan hidup daripada memproduksi asam organik dan biogas. Laju penurunan volatile solid tertinggi dengan penambahan M-16 terdapat pada reaktor A1C2. Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1C2 dengan nilai a sebesar -1.202,4x menghasilkan pembentukan biogas harian tertinggi sebesar 30 mL dihari 18. Pada hari 6 sampai hari 18 terjadi peningkatan pembentukan volume biogas harian yang puncaknya terjadi pada hari 18. Aktivitas bakteri anerob mengalami penurunan dari hari 24 sampai hari 30. Penurunan aktivitas bakteri tersebut ditandai dengan penurunan pembentukan volume biogas harian.
76
Pembentukan biogas harian dihari 24 sebesar 28 mL. Pembentukan biogas harian dihari 30 sebesar 12 mL. Penurunan pembentukan volume biogas harian terjadi karena jumlah volatile solid yang tersedia menurun. Pada hari 18 sampai hari 30 bakteri berada pada fase stasioner dimana pembentukan sel bakteri berkurang. Sisa nutrisi yang tersedia digunakan bakteri untuk bertahan hidup daripada memperbanyak diri dan membentuk biogas. Pada reaktor A1B2 laju degradasi volatile solid lebih tinggi dibandingkan pada reaktor A2B2. Hal ini disebabkan pada raktor A1B2, proses fermentasi selalu merata, kondisi substrat menjadi homogen, dan reduksi degradasi maksimum pada substrat. Bila dilakukan 8 kali pengadukan, maka ukuran partikel dari substrat menjadi sangat kecil dan seragam. Ini menandakan bahwa frekuensi pengadukan 8 kali membuat proses fermentasi selalu merata dan degradasi lebih cepat. Selain itu, dengan dilakukan pengadukan 8 kali kontak inokulum dengan substrat menjadi lebih intensif sehingga inokulum bekerja lebih optimum. Inokulum yang homogen dan kontak dengan substrat yang merata dapat menyebabkan mikroorganisme bekerja dengan optimum (Yang et al., 2015). Pada frekuensi pengadukan 8 kali, laju degradasi volatile solid pada raktor A1B2 lebih tinggi dibandingkan pada reaktor A1C2. Penambahan feses sapi pada bahan memberikan pengaruh terhadap laju degradasi sampah organik berupa sampah sayuran. Pada reaktor penambahan M-16, kandungan lignin dan selulosa yang masih tinggi tidak dapat optimal didegradasi oleh bakteri sehingga memperlambat proses degradasi dan volume yang dihasilkan lebih sedikit. 4.4.7 Laju Penurunan Volatile solid Terbaik Terhadap Pembentukan Biogas Pada Total Solid 10% dan Total Solid 20% Laju degradasi volatile solid terbaik pada pada reaktor dengan total solid 10% dan 20% dapat dilihat dari nilai b pada persamaan linear yang didapat (Tabel 4.8). Pada Tabel 4.8 laju penurunan volatile solid tertinggi selama 30 hari terdapat pada reaktor A1B2. Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1B2 dengan nilai a sebesar -2700,2x menghasilkan volume biogas harian sebesar 643 mL. Selanjutnya laju penurunan volatile solid tertinggi terdapat pada reakto A1B1. Tabel 4.8 Laju Penurunan Volatile Solid Terbaik
77
Kode
Nilai a
Nilai b
Nilai R2
Laju Degradasi VS
A1B1
-1.149,8
1.2794
0,942
y = -1.149,8x + 12.794
A1C1
931,06
14.641
0,9059
y = -931,06x + 14.641
A1B2
-2.700,2
19.363
0,9865
y = -2.700,2x + 19.363
A1C2
-1.202,4
18.025
0,9252
y = -1.202,4x + 18.025
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A1C1: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1B1 dengan nilai a sebesar 1.149,8x menghasilkan volume biogas harian sebesar 509 mL. Laju penurunan volatile solid tertinggi dengan penambahan M-16 terdapat pada reaktor A1C2. Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1C2 dengan nilai a sebesar -1.202,4x menghasilkan volume biogas harian sebesar 179 mL. Laju penurunan volatile solid tertinggi dengan penambahan M-16 terdapat pada reaktor A1C1. Laju degradasi volatile solid pada reaktor A1C1 dengan nilai a sebesar -931,06x menghasilkan volume biogas harian sebesar 125 mL. Laju degradasi tertinggi volatile solid terdapat pada reaktor dengan total solid 20 %. Reaktor dengan penambahan feses sapi, degradasi volatile solid, dan volume biogas harian akan lebih tinggi daripada pada reaktor penambahan M-16. Penambahan feses sapi menjadikan dapat mengurangi lignin pada sampah sayuran sehingga mudah untuk dicerna oleh bakteri anaerob. Laju degradasi total solid akan optimal pada frekuensi pengadukan 8 kali/ hari selama 5 menit. Laju penurunan volatile solid pada reaktor dengan total solid 10% mengalami penurunan dihari 19 sampai hari 30. Hal ini terjadi karena nutrisi yang tersedia mulai habis. Laju penurunan volatile solid pada reaktor dengan total solid 20% mengalami penurunan dihari 25 sampai hari 30. Hal ini terjadi karena nutrisi yang tersedia mulai habis. Terdapat perbedaan kecepatan penurunan volatile solid pada reaktor karena pada reaktor dengan total solid 10% lebih bersifat liquid (encer) dengan kadar air 90%. Sedangkan pada reaktor dengan total solid 20% lebih bersifat slurry (kental) dengan kadar air 80%. Reaktor dengan total solid
78
20% komposisi padatannya lebih banyak dibandingkan reaktor dengan total solid 10%. 4.4.8
Biodegradable Volatile solid yang Terdapat di Dalam Volatile solid Volatile solid terdiri dari 2 yaitu Biodegradable Volatile solid (BVS) dan
Refractory Volatile solid (RVS). Biodegradable Volatile Solid adalah jumlah volatile solid yang dapat dicerna bakteri untuk diubah menjadi biogas. Hasil penurunan volatil solid dapat dianggap sebagai Biodegradable Volatile Solid (BVS) (Verma, 2002; Kayhanian, 1994). Dalam proses pencernaan anaerobik konvensional, kinerja proses diukur secara volatile solid. Namun, juga dapat diukur dengan fraksi Biodegradable Volatile Solid substrat. Tabel 4.9 Fraksi Biodegredable Volatile solid yang Terdapat di Dalam Volatile solid
Penambahan Feses Sapi
TS (%) 10
20
M-16
10
20
Frekuensi Pengadukan 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol
Kode A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
Fraksi Biodegradabilitas Volatile solid (gram) 38,27 36,09 34,18 71,08 52,46 36,05 22,07 18,23 13,76 36,07 34,43 15,79
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
Fraksi biodegradabilitas dapat ditentukan dari kandungan lignin dari sampah organik. Pengukuran biodegradabilitas dipengaruhi oleh pembakaran
79
volatile solid pada suhu 550°C. Kandungan lignin merupakan estimasi dari biodegradabilitas. Biodegredable volatile solid adalah bagian dari volatile solid yang dapat digunakan bakteri untuk membentuk asam pada fase asidifikasi dan membentuk metan pada fase metanogenesis (Kayhanian, 1994). Semakin tinggi penurunan volatile solid yang terdapat pada bahan, maka akan semakin tinggi pula biodegredable volatile solidnya. Pada reaktor dengan perlakuan total solid 10% dan dengan penambahan feses sapi, fraksi biodegradabilitas tertinggi terdapat pada reaktor A1B1 sebesar 38,27 g dengan volume kumulatif biogas sebesar 5.407 mL. Sedangkan pada reaktor dengan perlakuan total solid 10% dan penambahan M-16 persentase tertinggi terdapat pada reaktor A1C1 sebesar 22,07 g dengan volume kumulatif biogas sebesar 1.417 mL. Hal ini menunjukkan dengan penambahan feses sapi menghasilkan biodegradable volatile solid 1,73 kali paling tinggi dibanding substrat yang ditambahkan M-16. Pada feses sapi terdapat bakteri selulolitik dan bakteri lignolitik yang mendegradasi lignin. Enzim perombak lignin dihasilkan oleh aktinobakteri genus Streptomyces sehingga substrat lebih mudah untuk didegradasi oleh bakteri anaerob (Mosier et al., 2005). Pada reaktor dengan perlakuan total solid 20% dan dengan penambahan feses sapi, fraksi biodegradabilitas tertinggi terdapat pada reaktor A1B2 sebesar 71,08 g. Sedangkan pada reaktor dengan perlakuan total solid 20% dan penambahan M-16 nilai fraksi biodegradasi tertinggi terdapat pada reaktor A1C2 sebesar 36,14 g. Pada reaktor A1B2, variasi frekuensi pengadukan 8 kali/hari selama 5 menit dapat meningkatkan jumlah mikroorganisme, menghasilkan kontak yang cukup antara substrat dengan populasi bakteri sehingga nilai biodegredable volatile solid lebih tinggi dari reaktor lainnya. Penambahan feses sapi juga memberikan pengaruh terhadap hasil biodegredable volatile solid yang didapat. Reaktor dengan penambahan feses sapi hasil biodegredable volatile solidnya 2 kali lebih tinggi daripada substrat yang ditambahkan M-16. Untuk mengetahui perlakuan mana yang menghasilkan biodegredable volatile solid tertinggi, maka dilakukan perbandingan antara hasil terbaik dengan perlakuan total solid 10% dengan 20%. Pada reaktor dengan perlakuan total solid 10% dan dengan penambahan feses sapi nilai tertinggi terdapat pada reaktor
80
A1B1sebesar 38,27 g. Pada reaktor dengan perlakuan total solid 20% dan dengan penambahan feses sapi persentase tertinggi terdapat pada reaktor A1B2 sebesar 71,08 g. Perlakuan dengan total solid 20% memiliki nilai biodegredable volatile solid 2 kali lebih tinggi daripada dengan perlakuan 10%. Volume biogas kumulatif reaktor A1B2 1,7 kali lebih tinggi daripada reaktor A1B1. Chandler et al., (1980) menemukan hubungan antara kadar lignin dan biodegradable volatile solid menggunakan berbagai bahan. Hubungan empiris menunjukkan bahwa lignin tidak hanya tidak mudah dibiodegradasi, tapi lignin juga mengurangi biodegradasi dari komponen non lignin. Hal ini dapat dilhat dari jumlah refractory volatile solid yang terjadi pada proses pembentukan biogas. 4.4.9
Refractory Volatile Solid yang Terdapat di Dalam Volatile Solid Refractory Volatile Solid adalah bagian penyusun volatile solid yang tidak
dapat digunakan bakteri untuk diubah menjadi biogas. Refractory volatile solid dapat dilihat dari residu penurunan volatile solid (Loehr, 1984). Menurut Kreith dan Goswami (2007), refractory volatile solid adalah bahan organik kompleks yang sebagian besar berupa lignin yang sulit didegradasi bakteri anaerob dan biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk degradasi secara sempurna. Komposisi bahan yang memiliki padatan berserat memiliki tingkat refractory tinggi yang berasal dari lignoselulosa (Wilkie, 2005). Jumlah refractory volatile solid yang terdapat di dalam volatile solid dapat dilihat pada Tabel 4.10. Produksi biogas dan pembentukan metan tidak akan sama karena adanya variasi perlakuan substrat yang akan mempengaruhi jumlah biodegradable volatile solid dan refractory volatile solid dalam suatu proses anaerob. Pada reaktor dengan perlakuan total solid 10% dan penambahan feses sapi persentase kadar lignin tertinggi terdapat pada A2B1 sebesar 27,03%. Sedangkan pada reaktor dengan perlakuan total solid 10% dan penambahan M-16 persentase kadar lignin tertinggi terdapat pada reaktor A2C1 sebesar 29,35%. Pada reaktor dengan perlakuan total solid 20% dan penambahan M-16 persentase refractory volatile solid tertinggi terdapat pada reaktor A2C2 sebanyak 28,56%. Pada frekuensi pengadukan yang sama yaitu 4 kali/ hari selama 5 menit, reaktor A2B1 dengan penambahan feses sapi memiliki jumlah refractory volatile solid yang lebih rendah yaitu sebesar 27,03 % dengan volume biogas 32,75 kali lebih tinggi 81
dibanding reaktor kontrol KSC1. Hal ini menunjukkan, penambahan feses sapi dapat mengurangi nilai refractory volatile solid. Tabel 4.10 Lignin Content yang Terdapat di dalam Volatile solid Penambahan
TS (%)
Feses Sapi 10
20 M-16 10
20
Frekuensi Pengadukan 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol 8 kali 4 kali kontrol
Kode
Kadar Lignin (%)
A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
25,28 27,03 9,68 12,87 22,72 7,60 27,23 29,35 32,74 25,81 28,56 32,59
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
Semakin tinggi jumlah refractory volatile solid yang terdapat dalam campuran bahan, maka bahan yang dapat didegradasi akan semakin sedikit. Tingginya jumlah Refractory Volatile Solid berhubungan dengan bahan organik kompleks seperti lignin. Rendahnya biodegradasi mungkin disebabkan oleh lignin yang mengandung bahan polimer secara fisik mencegah akses enzimatik untuk komponen nonlignin sehingga degredasi substrat menjadi terhambat (Chandler et al.,1980). Penelitian yang dilakukan Wilkie (2005) menunjukkan bahwa komposisi bahan yang mengandung serat tinggi mengakibatkan terjadinya penurunan biodegredasi dan refractory volatile solid yang terdapat pada bahan
82
akan menyerang bakteri anaerob karena kandungan lignoselulosa menghambat bakteri mendapatkan nutrisi. 4.4.10
Rasio F/M (Food/ Microorganism) Rasio F/M merupakan parameter yang mengindikasikan beban bahan
organik yang masuk ke dalam sistem (reaktor). Agar proses degradasi berjalan dengan optimal maka rasio makanan dengan jumlah mikroorganisme harus seimbang. Rasio makanan terhadap mikroorganisme (food to microorganism ratio, F/M) ini dikenal dengan istilah faktor pembebanan.
Rasio F/M juga dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: S0
dimana: Q
= Laju alir limbah m3/hari
S0
= Konsentrasi BOD dalam reaktor (kg/m3)
S
= Konsentrasi BOD di dalam effluent (kg/m3)
MLSS = Mixed Liquor Suspended Solids (kg/m3) V
= Volume reaktor (m3) Rasio F/M yang rendah menunjukkan bahwa mikroorganisme dalam
reaktor kondisi lapar. Proses lumpur aktif konvensional biasanya beroperasi pada rasio F/M antara 0,2-0,6 kg BOD/(kg MLSS-hari) (Sundstrom dan Klei, 1979). 4.4.11
Pembentukan Gas Metan Berdasarkan Metode Gas Chromatography Penguraian zat organik seperti karbon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), dan
nitrogen (N) akan membentuk gas metan. Secara teoritis jumlah metan yang terbentuk dapat dihitung apabila koefisien C, H, O, dan N diketahui melalui analisis di laboratorium kemudian digunakan untuk menghitung koefisien CH4, H2O, CO2, dan NH3. 11C25H36O20N + 69H2O
bakteri
5C13H24O11N + 6H2O + 96CH4 + 114CO2 + 6NH3
83
(4-1)
MR: 7.376
1.243
1.791
108
Konsentrasi CH4 reaktor KK1 =
1.540
5.017
102
x koefisien x berat sampel x densitas CH4
x
x
x 0,7167
= 50,6 % Tabel 4.11 Gas Metan Metode GC Semua Reaktor Reaktor KK1 KK2 A1B2 A1C1 A2C1 A1C2 A2C2 A1B1 KSC1 A2B1 A2B2 KSC2
Hasil Analisis CH4 Stoikiometri GC (%) ppm (%) ppm 50,60 40,62 560,15 449,67 67,15 1.155,49 52,13 897,04 63,58 2.490,34 2,74 17,39 2,23 9,51 4,84 43,78 2,70 18,05 13,15 318,54 0,29 0,51 0,43 0,25 6,79 127,52 22,08 732,29 1,68 1,56 1,57 1,46
Persentase Perbandingan Gas Metan (%) 19,7 22,4 15,6 6,5
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
Perhitungan koefisien kimia digunakan untuk menghitung produksi gas metan (CH4) yang dihasilkan. Secara teoritis untuk menghitung produksi gas metan dengan membandingkan nilai koefisien dan molekul relatif (MR) senyawa
84
organik sampah dan gas metan yang dihasilkan. Reaksi yang terjadi ditampilkan pada persamaan senyawa (4-1). Perhitungan di atas memberi gambaran zat organik yang terdegradasi dalam reaktor kontrol KK1 dihasilkan gas metan sebesar 52,9%. Berdasarkan hasil perhitungan stoikiometri secara teoritis dibandingkan dengan hasil pengukuran di lapangan dengan metode Gas Cromatography (GC) sebesar 41,62% gas metan. Pada metode GC, sampel gas diambil dari reaktor yang telah dihasilkan selama 30 hari, kemudian diuji menggunakan GC instrument yang telah dikalibrasikan dengan standard gas campuran CH4 dan CO2 pada rasio yang terukur. Adapun hasil uji biogas ditunjukkan pada Lampiran B. Berdasarkan Tabel 4.11 dapat diketahui bahwa produksi biogas secara teoritis lebih besar dibandingkan produksi biogas yang diperoleh dari pengukuran di lapangan yaitu dapat dilihat pada persentase biogas di lapangan terhadap biogas teoritis. Kecilnya volume biogas di lapangan menunjukkan bahwa bahan organik yang berada dalam reaktor belum terurai secara sempurna sampai pada akhir pengamatan. Perbedaan hasil gas metan kemungkinan dari frekuensi pengadukan yang tidak homogen karena pada penelitian ini, pengadukan dilakukan secara manual yang juga dipengaruhi oleh kecepatan pengadukan sehingga aktivitas mikroorganisme sebagai pengurai belum sempurna. Selain itu, kondisi juga berpengaruh terhadap mikroorganisme seperti temperatur dan pH. Setelah mengetahui konsentrasi gas metan (CH4) secara teoritis, maka untuk menentukan kesetimbangan massa dapat dihitung dengan persamaan (4-2). 4.4.12
Kesetimbangan Massa pada Digester Anaerobik
Kesetimbangan massa bahan organik yang dihitung adalah bahan organik yang ada di dalam reaktor. Kesetimbangan massa menyatakan bahwa bahan yang uk dan meninggalkan sistem dapat diidentifikasi. Tujuan analisis kesetimbangan massa untuk mengetahui massa penyisihan bahan organik pada proses digester anaerobik menggunakan parameter bahan organik selama penelitian. Rumus kesetimbangan massa bahan organik pada setiap reaktor dapat dituliskan pada persamaan (4-2).
g. Total org + g. H2O = g. Residu + g. H2O + g. CH4 + g. CO2 + g. x (a)
(b)
(c)
(d) 85
(e)
(f)
(x)
Dimana: (a) = Total organik yang dimasukkan ke reaktor (b) = Air yang ditambahkan ke reaktor (c) = Residu pada akhir proses degradasi digester anaerobik (d) = Air yang tersisa pada proses degradasi digester anaerobik (e) = Kandungan bahan organik yang diubah menjadi gas metan (f) = Kandungan bahan organik yang diubah menjadi gas karbondioksida (x) = Kandungan bahan organik yang tidak terhitung
Perhitungan pada A1B2 Total Organik + H2O
bakteri
Lignin, selulosa, karbohidrat, protein
93,40 g
Residu + H2O + CH4 + CO2 + x
4.000 g
20,29 g 3.871 g 4 g
% CH4 = % CH4 GC x Total volume biogas x densitas CH4 =
x 8,743 L x 0,7167 g/L
= 3,98 g = 4 g
% CO2 = % CO2 GC x Total volume biogas x densitas CO2 =
x 8,743 L x 1,9768 g/L
= 3,3 g Total Organik
= VS awal x 5 L = 16.982 mg/L x 5 L = 93,40 g
Residu
H2, NH3, H2S, N2, CO
Lignin, dan lain-lain
= VS akhir x 5 L
86
3,3 g
208,8 g
= 4.059 mg/L x 5 L = 20,29 g Sehingga untuk A1B2, kesetimbangan massa yang terjadi adalah: 93,40 g + 4.000 g = 20, 29 g + 3.871 g + 4 g + 3,3 g + 208,8 g Kesetimbangan massa (input/ output aliran massa) dari proses degradasi anaerob bermanfaat untuk memahami kesetimbangan bahan organik dan mengukur hasil biodegradasi dan efisiensi proses. Kesetimbangan bahan organik merupakan jumlah bahan organik dan air pada awal proses sama dengan bahan organik pada akhir proses. Bahan organik pada awal proses adalah bahan organik yang terdapat pada substrat. Bahan organik organik pada akhir proses adalah bahan organik organik yang tertahan pada substrat, gas metan (CH4) selama proses degradasi anaerob, dan bahan organik yang tidak teridentifikasikan. Jika proses degradasi berlangsung sempurna maka nilai seluruh bahan organik organik yang terdegradasikan sama dengan biogas yang dihasilkan. Bahan organik yang tidak teridentifikasikan adalah bahan organik yang hilang/ tidak diketahui dalam proses. Nilainya adalah selisih antara bahan organik yang terdegradasi dengan bahan organik yang diemisikan. Nilai gas metan (CH4) yang diemisikan akan dikonversi ke massa (gram) dengan mengalikan nilai densitas. Reduksi massa selama proses anaerobik pada semua reaktor uji disajikan pada Tabel 4.12. Tabel 4.12 menunjukkan bahwa pada reaktor A1B2 mempunyai reduksi massa yang lebih tinggi dibandingkan pada reaktor uji lainnya. Massa awal bahan baku sebesar 4.093,40 g, setelah 30 hari proses anaerobik digester massa akhir menurun menjadi 3.829,4 g. Reaktor kontrol (KSC1) pada metode anaerobik mempunyai massa awal pada proses adalah sebesar 4601,6 g. Kemudian massa akhir menurun selama 30 hari menjadi 4.503,25 g. Selama proses berlangsung akan terjadi proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Semakin tinggi degradasi bahan organik maka reduksi massa akan semakin besar (Tiquia et al., 2002). Dari perhitungan di atas, terdapat selisih massa sebesar 208,81 g yang dianggap sebagai kadar H2, NH3, N, H2S, CO yang hilang dapat disebabkan oleh perubahan kadar N menjadi NH3 yang tidak terhitung.
87
Tabel 4.12 Kesetimbangan Massa pada Digester Anaerobik Reaktor
Massa (gram) (a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(x)
A1B2
93,40
4.000
20,29
3.857
4
A2B2
92,87
4.000
31,36
3.861
1,03
KK1
72,56
4.500
37,98
4.356
0,73
KK2
72,94
4.000
35,89
3.860
1,13
KSC1
101,6
4.500
76,13
4.503 0,00041
0,25
21,84
KSC2
102,9
4.000
89,14
3.985 0,00094
0,41
28,05
A1B1
73,18
4.500
28,68
4.463
0,53
8,45
69,51
A2B1
74,7
4.500 36, 43
4.494
0,2
6,9
73,60
A2C2
103,3
4.000
66,87
3.976
0,03
2,87
57,53
A1C2
101,5
4.000
54,53
3.957
0,069
2,88
87,02
3,3 208,81 8,1 191,38 1,18 176,67 1,63 134,29
Keterangan: A1B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B1: Penambahan feses sapi, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK1 : Kontrol feses sapi, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C1: Penambahan M-16, TS 10%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC1 : Kontrol sampah sayuran, TS 10%, dan tanpa pengadukan A1B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2B2: Penambahan feses sapi, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KK2 : Kontrol feses sapi, TS 20%, dan tanpa pengadukan A1C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 8 kali A2C2: Penambahan M-16, TS 20%, dan frekuensi pengadukan 4 kali KSC2 : Kontrol sampah sayuran, TS 20%, dan tanpa pengadukan
Perhitungan kesetimbangan massa ini berlangsung selama 30 hari. Beberapa reaktor seperti A1B1, A2B1, A1C1, A2C2, A2C1, dan A1C2, nilai (gram) bahan organik yang terdegradasi dengan (gram) bahan organik yang diemisikan memiliki selisih yang besar sehingga nilai bahan organik yang tidak teridentifikasi juga besar. Kesetimbangan bahan organik yang pertama disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Penurunan konsentrasi bahan organik substrat dan peningkatan bahan organik yang diemisikan merupakan bukti bahwa proses degradasi oleh mikroorganisme telah berlangsung. Kesetimbangan massa dari A1B2 memperlihatkan bahwa dari 100% bahan organik yang dimasukkan ke dalam reaktor digester anaerobik diketahui bahwa 24% masih belum terdegradasi 88
sedangkan 76% sudah terkonversi menjadi biogas. Kesetimbangan massa menyatakan bahwa bahan organik masih banyak yang tersisa pada reaktor digester anaerobik. Penyusutan terbesar bahan organik terjadi pada A1B2 yaitu reaktor engan TS 20% dan frekuensi pengadukan 8 kali. Mikroorganisme membutuhkan bahan organik untuk pertumbuhan dan pembentukan sel baru. Bahan organik yang didegradasi tidak seluruhnya diemisikan namun digunakan sebagai substrat metabolisme bagi pertumbuhan dan pembentukan sel baru. Seiring dengan berjalannya waktu, substrat akan habis dan mikroorganisme akan berada pada fase statis kemudian fase kematian. Penyebab kedua dari ketidakseimbangan bahan organik adalah adanya produk asam-asam organik dan gas lain yang tidak terukur. Adapun faktor yang mempengaruhi kelarutan gas dalam slurry adalah tekanan parsial gas dalam fase gas dan komposisi kimia gas. Kelarutan biogas menurun seiring dengan kenaikan suhu. Pada tekanan parsial sampai 1 atmosfer, konsentrasi keseimbangan gas dalam slurry pada suatu suhu tertentu sebanding dengan tekanan parsial gas dalam slurry (Izumi et al., 2010).
89
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Penambahan feses sapi sangat berpengaruh terhadap produksi biogas dimana a. Pembentukan biogas tertinggi dengan total solid 10% dengan penambahan feses sapi terdapat pada reaktor A1B1 dengan frekuensi pengadukan 8 kali/hari selama 5 menit sebesar 5.407 mL b. Pembentukan biogas tertinggi dengan total solid 20 % dengan penambahan feses sapi terdapat pada reaktor A1B2 dengan frekuensi pengadukan 8 kali/hari selama 5 menit sebesar 8.743 mL 2. Frekuensi pengadukan 8 kali/ hari selama 5 menit mampu meningkatkan produksi biogas hingga 36%. Kandungan biogas yang paling dominan adalah gas metan sebesar 63,58% atau 2.490,34 ppm. 3. Kadar total solid berpengaruh pada produksi biogas. Reaktor dengan kadar total solid 20% menghasilkan biogas 4 kali lebih besar dibanding yang 10%. Produksi tertinggi dicapai pada hari ke-30.
5.2 Saran 1. Untuk mendapatkan biogas yang maksimal disarankan untuk melakukan pengadukan secara kontinu dengan menggunakan alat. 2. Penelitian berikutnya disarankan untuk melakukan pengecekan parameter inhibitor pada operasional Anaerobik Digester seperti kandungan logam, unsur sulfur, N-NH4, dan lain-lain.
90
DAFTAR PUSTAKA Abdeshahian, P., Lim, J. S., Ho, W. S., dan Hashim, H. 2016. Potential of Biogas Production from Farm Animal Waste in Malaysia. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 60(1), pp. 714-723. Adikara, R.T. S. dan Herry, A. 2001. Biofermentor untuk Fermentasi Sampah Organik. Jurnal Pusat Penelitian Bioenergi Lembaga Penelitian UNAIR. Surabaya. Alibardi, L. dan Cossu, R. 2015. Compotition Variability of the Organic Fraction of Municipal Solid Waste and Effects on Hydrogen and Methane Production Potentials. Waste Management, 23(1), pp. 147-155. Arafat, H. A., Jijakli, K., dan Ahsan, A. 2013. Environmental Performance and Energy Recovery Potential of Five Processes for Municipal Solid Waste Treatment. Journal of Cleaner Production, pp. 1-8. Aslanzadeh, S., Rajendran, K., dan Taherzadeh, M. 2014. A Comparative Study Between Single-and Two-Stage Anaerobic Digestion Processes: Effects of Organic Loading Rate and Hydraulic Retention Time. International Biodeterioration and Biodegradation Journal, 40(1), pp. 181-188. Astuti, N., Soeprobowati, T. R., Budiyono. 2013. Potensi Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Rawapening untuk Biogas dengan Variasi Campuran Kotoran Sapi. Workshop Penyelamatan Ekosistem Danau Rawapening. KLH dan UNDIP. Semarang. Auburger, S., Jacobs, A., Marlander, B., dan Bahrs, E. 2016. Economic Optimization of Feedstock Mix for Energy Production with Biogas Technology in Germany with A Special Focus on Sugar Beets-Effects on Greenhouse Gas Emissions and Energy Balances. Renewable Energy, 89(1), pp. 1-11. Badan Pusat Statistik Kota Surabaya. 2014. Surabaya Dalam Angka 2014. Surabaya. Benito. A. K., Hidayati. Y. A., Rusdi. U., dan Marlina. E. T. 2010. Deteksi Jumlah Bakteri Total dan Coliform pada Sludge dari Proses Pembentukan Biogas Campuran Feses Sapi Potong dan Feses Kuda. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan Februari, 13(5), pp. 92-101. Budiyono, I. N., Johari, S., dan Sunarso. 2014. Increasing Biogas Production Rate from Cattle Manure Using Rumen Fluid as Inoculums. Int. J. Sci. Eng 6, 31-38. Bouaziz, A. N. 2014. Design of An Anaerobic Digester in Quebec, Canada. Boston: Department of Civil and Environmental Engineering. Cahyadi, W. 2006. Penentuan Konstanta Laju Penurunan Kadar Iodat pada Garam Beriodium. Jurnal Teknol dan Industri Pangan, XVII (1), Bandung. Charlena. 2011. Pemanfaatan Konsorsium Mikroba dari Kotoran Sapi dan Kuda pada Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat. Prosiding Seminar Nasional Sains, pp. 221-237. Cristina, R., Duda, M., Leite, D., dan Oliveira, A. 2016. Anaerobic Co-Digestion of Vegetable Waste and Swine Wastewater in High-Rate Horizontal Reactors with Fixed Bed. Waste Management, 52(1), pp. 112-121.
91
Dareioti, M. A. dan Kornaros, M. 2014. Effect of Hydraulic Retention Time (HRT) on the Anaerobic Co-Digestion of Agro-Industrial Wastes in A Two-Stage CSTR System. Bioresource Technology, pp. 407-415. Divya, D., Gopinath, P., dan Merlin, C. 2015. A aReview On Current Aspects and Diverse Prospects for Enhancing Biogas Production in Sustainable Means. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 28(1), pp. 690-699. Elinur, Priyarsono, D. S., Tambunan, dan Firdaus, M. 2010. Perkembangan Konsumsi Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia. Indonesia Journal of Agricultural Economics (IJAE)., (2)1, pp. 97–119. Fairus, S., Rahman, L., Apriani, E., dan Salafudin. 2011. Pemanfaatan Sampah Organik Secara Padu Menjadi Alternatif Energi: Biogas dan Precursor Briket. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia, 12(1), pp. 12-22. Fathoni, A. K. R. dan Soedjono, E. S. 2011. Perencanaan Tipikal Rumah Kompos untuk Pengolahan Sampah Pasar Tradisional (Studi Kasus Di Kota Surabaya). Teknik Lingkungan, FTSP-ITS: Surabaya. Firdausy, M. A. dan Pandebesie, E. S. 2016. Produksi Biogas dari Campuran Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dan Kotoran Ayam. Teknik Lingkungan, FTSP-ITS: Surabaya. Garfi, M., Herrero, M. J., Garwood, A., dan Ferrer, I. 2016. Household Anaerobic Digesters for Biogas Production in Latin America. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 60(1), pp. 599-614. Gray, D. M., Suto, P., dan Peck, C. 2008. Anaerobic Digestion of Food Waste. East Bay Municipal Utility District: U.S. Environmental Protection Agency Region. Hadi, A. dan Azeem, A. 2008. Effect of Heating, Mixing, and Digester Type on Biogas Production from Buffalo Dung. Journal of Agriculture and Engineering, 25(4), pp. 1-17. Herawati, D. A. dan Wibawa, A. A. 2010. Pengaruh Pretreatment Jerami Padi pada Produksi Biogas dari Jerami Padi dan Sampah Sayur Sawi Hijau Secara Batch. Jurnal Rekayasa Proses, 4(1), pp. 25-29. Izumi, K., Okishio, Y., Nagao, N., Niwa, C., Yamamoto, S., dan Toda, T. 2010. Effects of Particle Size on Anaerobic Digestion of Food Waste. International Biodeterioration and Biodegradation, 45(1), pp. 601-608. Joacuim, C. 2011. Optimasi Produksi Biogas pada Anaerobic Digester Biogas Type Horizontal Berbahan Baku Kotoran Sapi dengan Pengaturan Suhu dan Pengadukan. Teknik Mesin, FTI-ITS: Surabaya. Kaparaju, P., Buendia, I., Ellegaard, L., dan Angelidakia, I. 2008. Effects of Mixing on Methane Production During Thermophilic Anaerobic Digestion of Manure: Lab-Scale and Pilot Scale Studies. Bioresources Studies, 82(1), pp. 4919-4928. Karagiannidis, A. dan Perkoulidis, G. 2009. A Multi-Criteria Ranking of Different Technologies for the Anaerobic Digestion for Energy Recovery of the Organic Fraction of Municipal Solid Wastes. Bioresource Technology, 27(1), pp. 2355-2360. Khaerunnisa, G. dan Rahmawati, I. 2013. Pengaruh pH dan Rasio COD:N Terhadap Produksi Biogas dengan Bahan Baku Limbah Industri Alkohol (Vinasse). Jurnal Teknik Kimia, 2(1), pp. 105–114.
92
Kothari, R., Pandey, K., Kumar, S., dan Tyagi, V. 2014. Different Aspects of Dry Anaerobic Digestion for Bio-Energy. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 24(1), pp. 174-195. Kwietniewska, E. dan Tys, J. 2014. Process Characteristics, Inhibition Factors, and Methane Yields of Anaerobic Digestion Process, with Particular Focus on Microalgae Biomass Fermentation. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 46(1), pp. 491-500. Lee, D. H., Behera, S. K., Kim, J. W., dan Park, H. 2009. Methane Production Potential of Leachate Generated from Korean Food Waste Recycling Facilities: A Lab-Scale Study. Waste Management, 82(1), pp. 876-882. Lin, J., Zuo, J., Gan, L., Liu, F., Wang, K., dan Gan, H. 2011. Effects of Mixture Ratio on Anaerobic Co-Digestion with Fruit and Vegetable. Journal of Environmental Sciences, 42(1), pp. 1403-1408. Lindmark, J., Eriksson, P., dan Thorin, E. 2014. The Effects of Different Mixing Intensities During Anaerobic Digestion of the Organic Fraction of Municipal Solid Waste. Waste Management, 78(2), pp. 78-85. Luthfianto, D., Mahajoeno, E., dan Sunarto. 2012. Pengaruh Macam Limbah Organik dan Pengenceran Terhadap Produksi Biogas dari Bahan Biomassa Limbah Peternakan Ayam. Bioteknologi, 9(1), pp. 18-25. Metcalf dan Eddy. 2014. Wastewater Engineering Treatment and Research Recovery. New York: McGraw-Hill Education. Micale, C., Cirulli, G., Sordi, A., dan Maria, D. 2015. Amount of Energy Recoverable from An Existing Sludge Digester with the Co-Digestion with Fruit and Vegetable Waste at Reduced Retention Time. Applied Energy, 150(1), pp. 9-14. Mondal, C. dan Das, A. 2016. Biogas Production from Co-Digestion of Substrates: A Riview. International Research Journal of Environment Sciences, 5(1), pp. 49-57. Ni’mah, L. 2014. Biogas from Solid Waste of Tofu Production and Cow Manure Mixture: Composition Effect. Journal of Chemistry, 87(1), pp. 1-9. Nurhayati, S. 2014. Produksi Biogas dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Digester Anaerobik. Teknik Lingkungan, FTSP-ITS: Surabaya. Nordberg, A. dan Meth, E. 2005. Co-Digestion of Energy Crops and the SourceSorted of Organic Fraction of Municipal Solid Waste. London: IWA Publishing. Ostrem, K. 2004. Greening Waste: Anaerobic Digestion for Treating the Organic Fraction of Municipal Solid Wastes. New York: Columbia University. Panwar, N.L., Kaushik, S.C., dan Kothari, S. 2011. Role of Renewable Energy Sources in Environmental Protection: A Review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 15(1), pp. 602-613. Parawira, W., Read, J.S., Mattiasson, B., dan Bjornsson, L. 2008. Energy Production from Agricultural Residues: High Methane Yields in PilotScale Two Stage Anaerobic Digestion. Biomass & Bioenergy, 32(1), pp. 702-714. Rasapoor, M., Ajabshirchi, Y., Mehrdad, Reza, A., dan Gharibi, A. 2016. The Effect of Ultrasonic Pretreatment on Biogas Generation Yield from Organic Fraction of Municipal Solid Waste Under Medium Solids
93
Concentration Circumstance. Energy Conversion and Management, 119(1), pp. 444-452. Razaul, K. M., Mamun, M. R., Rahman, M., Asiri, M. A., dan Torii, S. 2016. Methane Enrichment of Biogas by Carbon Dioxide Fixation with Calcium Hydroxide and Activated Carbon. Journal of the Taiwan Institute of Chemical Engineers, 58(1), pp. 476-481. Reddy, K. S., Aravindhan, S., dan Mallick, K. 2016. Investigation of Performance and Emission Characteristics of A Biogas Fuelled Electric Generator Integrated with Slar Concentrated Photovoltaic System. Renewable Energy, 92(1), pp. 233-243. Sanjaya, D., Agus, H., dan Tamrin. 2015. Produksi Biogas dari Campuran Kotoran Sapi dengan Kotoran Ayam. Jurnal Teknik Pertanian Lampung, 4(2), pp. 127-136. Shen, F., Yuan, H., Pang, Y., Chen, S., Baoning, Z., Yanping, L., Jingwei, Liang, Y., dan Xiujin. 2013. Performances of Anaerobic Co-Digestion of Fruit & Vegetable Waste and Food Waste (FW): Single-Phase vs Two-Phase. Bioresource Technology, 144(1), pp. 80-85. Shin, D. J., Park, W., Lee, S., Kim, H., Lee, R. dan Kim, S. 2015. Effects of Digestion Temperatures and Loading Amounts on Methane Production from Anaerobic Digestion with Crop Residues. Carbon Letter, 16(4), pp. 265-269. Shink, B. 1997. Energetics of Syntrophic Cooperation in Methanogenic Degradation. Microbiology and Molecular Biology Reviews. Renewable and Sustainable Energy, 61(2), pp. 262-280. Silvestre, G., Bonmati, A., dan Fernandez, B. 2015. Optimisation of Sewage Sludge Anaerobic Digestion Through Co-Digestion with OFMSW: Effect of Collection System and Particle Size. Waste Management, 27(1), pp. 137-143. Solar Energy International. 2014. Energy Facts. Website: http://www.solarenergy.org/resources/energyfacts.html. Diakses 19 Juni 2016. Srinivasan, Sridevi, D., dan Rema. 2014. Studies on Biogas Production from Vegetable Market Wastes in A Two-Phase Anaerobic Reactor. Clean Techn Environ Policy, 17(1), pp. 1689-1697. Tchobanoglous, G., Theisen, H., Vigil, S. 1993. Integrated Solid Waste Management. Singapore: Mc Graw Hill. Thenabadu, M., Abeyweera, R., Jayasuriya, J., dan Senanayake, N. S. 2015. Anaerobic Digestion of Food and Market Waste; Waste Characterisation and Bio-methane Potential: A Case Study in Sri Lanka. SLEMA Journal, 18(2), pp. 29-33. Ullah, E. dan Andrew, M. 2016. Review of Biogas Digester Technology in Rural Bangladesh. Renewable and Sustainable Energy, 62(1), pp. 247-259. Wang, L., Shen, F., Yuan, H., Zou, D., Liu, Y., Zhu, B., dan Li, X. 2014. Anaerobic Co-Digestion of Kitchen Waste and Fruit/ Vegetable Waste: Lab-Scale and Pilot Scale Studies. Waste Management, pp. 154-160. Wang, X., Yang, G., Feng, Y., Ren, G., dan Han, X. 2012. Optimizing Feeding Composition and Carbon-Nitrogen Ratios for Improved Methane Yield
94
During Anaerobic Co-Digestion of Dairy, Chicken Manure and Wheat Straw. Bioresource Technology, 46(1), pp. 78-83. Wang, Z. dan Geng, L. 2015. Carbon Emissions Calculation from Municipal Solid Waste and The Influencing Factors Analysis in China. Jurnal of Cleaner Production, pp.62-74. Wellinger, J., Arthur, M., dan Baxter, D. 2014. The Biogas Handbook: Science, Production and Applications. Cambridge: Woodhead Publishing. Westerholm, M., Muller, B., Arthurson, V., dan Schnurer, A. 2011. Changes in the Acetogenic Population in a Mesophilic Anaerobic Digester in Response to Increasing Ammonia Concentration. Microbes and Environments, 36(1), pp. 347-353. Wilkie, D. dan Ann, C. 2005. Anaerobic Digestion: Biology and Benefits. Natural Resource, Agriculture, and Engineering Service, 176(1), pp.63-72. Yang, L., Huang, Y., Zhao, M., Miao, H., dan Ruan, W. 2015. Enhancing Biogas Generation Performance from Food Wastes by High-Solids Thermophilic Anaerobic Digestion: Effect of pH Adjustment. International Biodeterioration and Biodegradation, 26(1), pp. 153-159. Yenni., Dewilda. Y., Sari. S. M. 2012. Uji Pembentukan Biogas dari Substrat Sampah Sayur dan Buah dengan Ko-Substrat Limbah Isi Rumen Sapi. Jurnal Teknik Lingkungan UNAND, 9(1), pp. 26-36. Yuanyuan, W., Wang, C., Liu, X., Hailing, M., Wu, J., Zuo, J., dan Wang, K. 2016. A New Methode of Two-Phase Anaerobic Digestion for Fruit and Vegetable Waste Treatment. Bioresource Technology, 211(1), pp. 16-23. Zarkadas, I. S., Sofikiti, A. S., Voudrias, E. A., dan Pilidis, G. A. 2015. Thermophilic Anaerobic Digestion of Pasteurised Food Wastes and Dairy Cattle Manure in Batch and Large Volume Laboratory Digesters: Focussing on Mixing Ratios. Renewable Energy, 24(2), pp. 432-440. Zeshan. 2012. Dry Anaerobic Digestion of Municipal Solid Waste and Digestate Management Strategies. Hokkaido: Hokkaido University, Japan. Zhai, N., Zhanga, T., Yina, D., Yanga, G., Wanga, X., Rena, G., dan Fenga, Y. 2015. Effect of Initial pH on Anaerobic Co-Digestion of Kitchen Waste and Cow Manure. Waste Management, 25(1), pp. 126-131. Zhang, C., Su, H., Baeyens, J., dan Tan, T. 2014. Reviewing the Anaerobic Digestion of Food Waste for Biogas Production. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 21(1), pp. 383-392. Zhiying, Y. 2015. The Effects of Initial Substrate Concentration, C/N Ratio, and Temperature. Bioresource Technology, 17(1), pp. 266-273.
95
LAMPIRAN A 1.
Perhitungan Substrat a. Peralatan dan bahan Alat
: Timbangan
Bahan : Sampah sayuran dan feses sapi b. Prosedur kerja analisis Sampah sayuran dicacah ukuran 2-4 cm Timbang sampah sayuran dan feses sapi dengan timbangan sesuai berat yang dibutuhkan. Masukkan ke reaktor 2.
Analisis Suhu a. Peralatan dan bahan Alat
: Termometer suhu
Bahan : Sampel b. Prosedur kerja analisis Tancapkan termometer suhu pada sampel di dalam reaktor hingga 3/4 kedalaman substrat dalam reaktor. Lakukan pembacaan pada termometer. 3.
Analisis pH 1. pH meter distandarisasi menggunakan larutan buffer pH pada pH 4, 7, dan 10. Standarisasi dilakukan dengan mencelupkan probe pH meter bergantian ke dalam larutan buffer dengan urutan: buffer pH 4 buffer pH 7 buffer pH 10 buffer pH 7. a. Peralatan dan bahan Alat
: pH meter,
Bahan : Sampel, aquades b. Prosedur kerja analisis Ambil sampel sebanyak 10 mL Ukur dan catat hasil pembacaan pH meter. Bilas pH meter dengan aquades Lakukan pengukuran pH pada sampel berikutnya
96
4.
Analisis Total solid dan Volatil solid a. Peralatan dan bahan Alat
: Furnace dengan suhu 550°C, oven dengan suhu 105°C, cawan porselen, neraca analitis, desikator, dan penjepit.
Bahan : Sampel. b. Prosedur Kerja Analisis Kadar Air dan Total Solid Siapkan cawan porselen yang sudah dioven selama ± 1 jam, kemudian dinginkan di dalam desikator selama 15 menit. Timbang cawan porselen kosong dengan menggunakan neraca analitis, catat hasil pembacaannya (a). Tambahkan sampel sebanyak 10mL ke dalam cawan kosong, kemudian timbang dan catat hasil pembacaannya (b). Keringkan pada oven dengan suhu 105oC selama 24 jam. Dinginkan di dalam desikator selama 15 menit, kemudian timbang dengan neraca analitis dan catat hasil pembacaannya (c). Hitung Total Solid dengan rumus perhitungan. Total Solid (mg/L)
= 1000/volume sampel X (b-a) X 1000
Dimana: a
= berat awal cawan kosong
b
= berat cawan kosong+sampel
c. Prosedur Kerja Analisis Volatil Solid Cawan + berat kering (Total Solid) ditimbang dengan neraca analitik Cawan dimasukkan furnace dengan suhu 550oC selama 1 jam Keringkan pada oven dengan suhu 105 oC selama 15 menit. Dinginkan di dalam desikator selama 15 menit, kemudian timbang dengan neraca analitis dan catat hasil pembacaannya (d). Hitung kadar volatil solid dengan rumus perhitungan. Volatil solid (%)
= 1000/volume sampel X (c-a) X 1000
Dimana:
97
a
= berat awal cawan kosong
c
= berat cawan+sampel setelah difurnace
d. Analisis C-Organik Nilai C organik melalui analisis gravimetri didapatkan dari perhitungan dengan volatil solid. Angka 0,58 merupakan angka koreksi dari metode gravimetri dengan metode pengukuran C organik menggunakan larutan digest hidrogen peroksida. Angka koreksi diperlukan dengan asumsi terkandung 58% C organik dalam volatil solid. Langkah-langkah dalam melakukan analisa kandungan karbon dengan metode gravimetri yaitu:
Mengambil sejumlah sampel yang telah bebas kadar air (mengambil hasil dari analisa kadar air, yaitu berat sampel yang telah dioven)
Menimbang berat cawan + sampel setelah dioven (c)
Memasukkan cawan + sampel kedalam furnace 550ºC selama 1 jam
Memasukkan kedalam oven 110ºC selama 15 menit
Memasukkan kedalam desikator selama 15 menit
Menimbang berat setelah difurnace dan dicatat sebagai berat akhir (d)
Menghitung kandungan karbon (C) dengan rumus: 2. 3. C organik (%) = 0,58 x Volatil solid (%)
5. Analisis N-Total a. Peralatan dan bahan Alat
: Neraca analitik, spektrofotometer, labu pengencer 1000 mL, labu Erlenmeyer 100 mL
Bahan : Reagen campuran CuSO4 dan H2SO4, Garam signet, Larutan Nessler b. Prosedur kerja analisis 1. Pembuatan Reagen a. Campuran N-Digest
98
Dibuat dengan mencampurkan 1,55 g CuSO4 anhidrat, 96,9 g Na2SO4 anhidrat dan 1,55 g selen kemudian dihaluskan. b. H2SO4 pekat 4. Digunakan langsung dari botolnya tanpa dituang ke beaker glass. c. Nessler 5. Campur dan haluskan 50 gram serbuk HgI2 dan 35 gram KI kemudian dilarutkan dengan 80 gram NaOH yang sudah dilarutkan dengan aquades
hingga
500
mL.
Biarkan
mengendap
dan
diambil
supernatannya. 6. d. Garam Signet 7. Larutkan 50 gram K.Na.Tartrat ke dalam 500 mL aquades, kemudian ditambahkan 5 mL larutan nessler sebagai pengawet.
2. Prosedur 8. Kandungan nitrogen atau kadar N dianalisakan dengan metode kjieldahl dengan prosedur sebagai berikut: 1. Mengambil sebanyak 0,2 gram dari sampel yang sudah bebas kadar air (berat sampel yang sudah dioven 24 jam, atau setelah melewati analisa kadar air) 2. Menggerus sampel sampai halus 3. Memasukkan kedalam gelas beaker yang tahan panas 4. Menambahkan N-digest sebanyak 25 mL diamkan semalam 5. Memanaskan diatas kompor hingga tersisa 5 mL 6. Menambahkan aquadest sampai volume 20 mL 7. Memanaskan kembali sampai tersisa 10 mL 8. Mendiamkan sampai dingin dan terendap 9. Mengambil 5 mL sampel air yang bebas endapan 10. Memasukkan kedalam erlenmeyer 11. Menambahkan air sampai dengan 25 mL 12. Mengambil 10 mL campuran sampel tersebut 13. Menambahkan 1 mL larutan nessler 14. Menambahkan 1 mL larutan garam signet
99
15. Membaca nilai absorbannya dengan spektrofotometri yang sudah dikalibrasi dengan panjang gelombang 410 nm dan dicatat.
7. Analisa Volume Gas a. Peralatan dan bahan Alat
: Manometer
Bahan : Gas reaktor b. Prosedur kerja analisis 9. Analisa gas yang terbentuk selama waktu pengamatan ialah dengan cara:
Melihat pada manometer
Mengamati jumlah pertambahan gasnya dan mencatatnya.
8. Analisa P-Total a. Peralatan dan bahan Alat
:
Timbangan,
erlenmeyer,
pipet
volume,
curvet,
dan
Spektrofotometer. Bahan : Larutan amonium molibdate, SnCl2 dalam glyserin, indikator pp, NaOH 1 N, dan reagen digest P. b. Prosedur kerja analisis 1. Mengambil sampel sampah yang sudah hilang kelembabannya 20 mg, kemudian ditambahkan aquades 50 mL. 2. Menambahkan indikator pp ± 3 tetes (sampai warna merah muda). Ditambahkan reagen digest P ± 1 mL dan dipanaskan ± 30 menit. Apabila tidak muncul warna merah muda, maka harus ditambahkan NaOH 1 N sampai timbul warna merah muda. 3. Setelah dipanaskan, diencerkan dengan aquades sampai 100 mL. 4. Mengambil 25 mL larutan tersebut, kemudian ditambahkan 2 mL larutan amonium molibdate, ditambahkan 3 tetes larutan SnCl 2 dalam glyserin. 5. Larutan tersebut dikocok dan dibiarkan 10 menit, baca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang = 650 nm.
100
LAMPIRAN B
1. Komposisi Campuran Bahan 10. Massa jenis sampah sayuran : 1,06793 gr/mL 11. Massa jenis kotoran ayam : 1,34313 gr/mL 12. Volume campuran
: 5.500 mL
13. 14. 16. Feses sapi (B)
17. M-16 (C)
15. Perlakuan (A) 18. Total Solid 19. Total Solid 20. Total Solid 21. Total Solid 10% (1)
20% (2)
10% (1)
20% (2)
22. Air
23. 4.000 mL
24. 4.500 mL
25. 4.000 mL
26. 4.500 mL
27. Sampah sayuran
28. 315 g
29. 630 g
30. 450 g
31. 900 g
32. Feses Sapi
33. 201 g
34. 402 g
35. -
36. -
2. Kondisi Suhu Tabel B.5 Kondisi Suhu Campuran Feses Sapi (°C) Total Padatan Campuran 10% Total Padatan Campuran 20% Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
A1B1 38 36 35 32 31 32 30 29 28 28 31 33 36 37 36
A2B1 38 35 33 32 31 31 28 28 27 29 31 31 33 34 36
KK1
A1B2
39 37 35 33 32 32 32 30 29 29 32 32 34 36 35
38 38 35 33 31 31 29 30 27 27 29 30 33 34 34
101
A2B2 37 37 35 33 30 31 30 30 26 28 29 29 31 33 33
KK2 38 37 34 33 32 32 31 31 26 27 30 30 32 32 34
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
34 34 33 32 33 33 33 31 30 29 29 30 30 30 30
35 35 35 33 32 31 32 33 31 29 27 28 29 29 28
33 32 30 31 32 33 33 32 31 30 30 30 29 30 30
36 37 37 38 36 36 34 31 31 29 29 29 28 28 27
36 36 35 34 35 33 32 31 30 29 28 27 27 28 28
34 34 35 34 35 33 32 31 30 27 27 27 26 26 26
Lanjutan Tabel B.5 Kondisi Suhu Campuran M-16 (°C) Total Padatan Campuran 10% Total Padatan Campuran 20% Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
A1C1 38 36 35 33 33 31 31 29 27 28 32 31 34 35 35 34 33 33 31 33 32 31 29 30
A2C1 37 36 36 32 32 31 31 29 27 28 32 33 35 35 34 33 32 31 30 33 33 32 30 31
KSC1 37 34 33 33 31 30 31 28 28 29 31 32 34 34 34 33 32 31 29 31 32 31 30 29
A1C2 37 36 34 32 32 31 31 29 25 26 27 28 32 33 35 33 32 33 33 32 34 32 33 30
102
A2C2 37 36 33 31 31 31 32 29 26 26 27 27 31 32 34 32 31 32 32 33 33 31 31 31
KSC2 36 34 33 33 32 32 31 31 31 25 26 28 27 31 34 32 33 32 32 32 33 33 31 31
25 26 27 28 29 30
28 29 29 30 29 28
29 30 31 29 29 28
29 30 31 29 29 29
30 30 29 29 28 28
29 30 30 29 28 28
31 29 30 29 29 29
3. Analisa pH Data hasil pengukuran analisa pH dapat dilihat pada Tabel B.6. Tabel B.6 pH dengan Campuran Feses Sapi Total Padatan Campuran 10% A1B1 A2B1 KK1 Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
7,0 7,0 6,9 6,9 6,7 6,7 6,5 6,6 6,7 6,4 6,2 6,3 6,1 6,1 6,2 6,4 6,4 6,5 6,8 6,9 6,9 6,6 6,7 6,7 6,7 6,6 6,3 6,1 6,1 6,1
7,0 6,8 6,8 6,8 6,9 6,8 6,8 6,7 6,6 6,6 6,4 5,9 5,9 5,8 5,8 5,7 6,1 6,1 6,5 6,3 6,2 6,2 6,3 6,3 6,5 6,3 6,2 6,1 5,9 5,9
7,9 7,7 7,7 7,8 7,8 7,7 7,5 7,6 7,4 7,3 7,4 7,2 6,9 6,9 6,7 6,5 6,3 6,4 6,5 6,7 6,5 6,6 6,4 6,3 6,4 6,4 5,9 5,7 5,6 5,6
103
Total Padatan Campuran 20% A1B2 A2B2 KK2 7,0 6,9 6,9 6,8 6,7 6,5 6,3 6,4 6,5 6,4 5,9 5,9 5,8 5,7 5,8 6,1 6,1 6,3 6,7 6,9 6,8 6,4 6,5 6,6 6,5 6,4 6,4 6,2 6,2 6,2
7,0 6,9 6,8 6,8 6,8 6,7 6,7 6,5 6,5 6,1 6,2 5,7 5,7 5,6 5,6 5,6 5,8 5,8 6,2 6,1 6,0 5,8 6,1 6,1 6,3 6,1 6,1 5,9 5,9 5,8
7,9 7,8 7,8 7,8 7,8 7,8 7,7 7,7 7,7 7,6 7,6 7,5 7,2 7,0 6,9 6,7 6,5 6,6 6,7 6,9 6,8 6,8 6,6 6,5 6,4 6,3 6,1 5,9 5,9 5,9
Lanjutan Tabel B.6 pH dengan Campuran M-16 Total Padatan Campuran 10% A1C1 A2C1 KSC1 Hari 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
7,0 7,9 6,9 6,9 6,8 6,8 6,7 6,7 6,7 6,6 6,6 6,6 6,6 6,5 6,5 6,3 6,3 6,3 6,7 6,7 6,7 6,6 6,8 7,1 7,2 7,1 6,9 6,9 6,8 6,8
7,0 6,9 6,7 6,7 6,7 6,4 6,4 6,4 6,3 6,3 6,1 6,1 5,9 5,9 5,8 5,8 6,1 6,2 6,5 6,5 6,6 6,9 6,9 6,8 6,7 6,7 6,9 6,9 6,8 6,8
5,6 5,6 5,5 5,3 5,3 5,3 5,3 5,3 5,4 5,4 5,5 5,5 5,6 5,7 5,7 5,5 5,4 5,8 6,1 6,4 6,4 6,2 5,9 6,0 6,2 6,3 6,3 6,2 6,1 6,1
Total Padatan Campuran 30% A1C2 A2C2 KSC2 7,0 6,8 6,8 6,8 6,6 6,3 6,1 6,3 6,3 6,0 6,5 6,3 6,4 6,3 6,3 6,1 6,2 6,2 6,4 6,5 6,5 6,6 6,8 6,8 6,8 6,7 6,7 6,6 6,5 6,5
7,0 6,9 6,7 6,7 6,6 6,4 6,2 6,2 6,2 6,1 5,9 5,9 5,8 5,8 5,6 5,6 5,9 5,9 6,1 6,1 6,3 6,5 6,5 6,6 6,5 6,5 6,5 6,3 6,2 6,2
5,6 5,5 5,4 5,3 5,3 5,4 5,3 5,3 5,3 5,3 5,4 5,4 5,5 5,6 5,6 5,3 5,3 5,7 6,0 6,2 6,2 6,9 5,9 5,7 5,8 6,0 6,1 6,0 5,9 5,9
4. Analisa Pembentukan Biogas Harian Tabel B.7 Pembentukan Biogas pada Campuran Feses Sapi Total Padatan Campuran 10% Total Padatan Campuran 20% Hari Volume (mL) A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 1
0
0
0 104
0
0
0
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
0 0 0 70 121,2 180,8 212 175,2 217,9 319,6 387,7 433,9 244,3 328,2 370,7 235,1 530,7 226,9 352,8 215,9 510,7 359,7 257,3 214,9 172,8 152,1 79,4 68,3 59,2
0 0 0 50 80,4 107,8 205,2 316,2 205,6 316,9 117,1 255,2 510,9 356,3 507,8 610,2 312,5 220,8 218,6 413,8 307,2 167 106,8 206,8 303,1 201,6 100,7 90,1 40,1
0 0 80 112,7 202,8 114,9 116,7 319,2 170,8 360,1 230,3 310,7 318,3 393,7 271,9 314,6 231,8 226,3 317,9 316,4 416,9 217,4 112,9 170,5 204,8 172,1 100,7 90,4 70,1
0 0 0 0 0 51,2 74,8 137,6 244,2 160 417,6 394,7 540,9 402,3 440,2 541,7 660,0 590,7 476,9 432,8 367,7 301,7 320,3 373,7 337,4 181,1 170,3 130,2 110,2
0 0 0 0 0 60,4 93,1 320,2 220,2 324 416,9 417,1 215,2 410,9 317,3 221,8 526 324,5 322,8 518,6 313,8 309,2 207 306,8 283,1 101,2 130,5 110,1 93
0 0 0 0 72,7 128,3 174,9 271,3 239,2 416,2 536,1 431,7 320,7 518,3 523,7 532,9 443 341,8 438,3 332,9 567,4 424,9 320,4 312,9 276,2 202,7 105,2 117,1 95,8
Lanjutan Tabel B.7 Pembentukan Biogas pada Campuran M-16 Total Padatan Campuran 10% Total Padatan Campuran 20% Hari Volume (mL) A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0 0 0 0 0 0 0 52,1 95,7
0 0 0 0 0 0 0 60,7 101,2
0 0 0 0 0 0 0 0 60,3
105
0 0 0 0 0 0 0 0 92,1
0 0 0 0 0 0 0 0 110,7
0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
110,2 215,7 285,7 410,9 509,5 365,9 608,5 408,4 310,7 258,4 316,2 394,8 609,2 424,3 308,3 254,8 202,7 164,9 97,5 78,3 49,6
163,7 205,9 312,7 264,9 409,1 305,2 507,5 478,3 410,7 535,6 335,9 510,9 305,7 125,9 305,1 233,7 191,4 117,6 95,2 78,9 60,7
110,7 202,9 305,3 210,6 258,5 237,4 303,5 303,1 302,6 405,9 267,9 355,2 304,7 504,5 402,8 202,3 361,7 198,2 157,9 98,5 79,2
134,7 273 215,7 315,7 270,9 398,5 423,9 455,7 597,4 421,7 419,4 437,2 336,8 413,2 389,3 305,3 273,8 202,1 120,4 99,2 89,6
101,2 124 305,9 312,7 414,9 309,1 445,2 307,5 328,4 329,7 387,6 216,9 423,9 221,7 330,9 208,1 185,2 112,4 137,9 109,8 54,8
30,3 101 120,3 215,3 251,6 213,5 335,4 487,6 508,7 264,3 325,9 401,9 559,2 305,7 404,5 163,8 312,1 201,1 119,7 87,5 29
5. Analisa Pembentukan Biogas Komulatif Tabel B.7 Pembentukan Biogas pada Campuran Feses Sapi Total Padatan Campuran 10% Total Padatan Campuran 20% Hari Volume (mL) A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0 0 0 0 70 191,2 372 584 759,2 887,1 1.007 1.124 1.312 1.557
0 0 0 0 50 130,4 238,2 343,4 459,6 565,2 682,1 899,2 1.101 1.412
0 0 0 20 52,7 95,5 160,4 237,1 306,3 377,1 461,1 551,4 622,1 720,4
106
0 0 0 0 0 0 41,2 116 253,6 497,8 757,8 1.175 1.670 2.221
0 0 0 0 0 0 30,4 93,5 183,7 363,9 487,9 704,8 921,9 1.137
0 0 0 0 0 0 58,3 123,2 164,5 223,7 299,9 406 587,7 778,4
15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1.885 2.256 2.691 3.221 3.548 3.901 4.287 4.498 4.657 4.815 5.006 5.199 5.381 5.472 5.546 5.607
1.719 2.026 2.347 2.648 2.869 3.088 3.271 3.404 3.531 3.647 3.764 3.867 3.969 4.067 4.157 4.208
824,1 976 1.131 1.302 1.500 1.688 1.845 1.972 2.089 2.172 2.247 2.310 2.372 2.423 2.443 2.469
2.623 3.164 3.705 4.345 4.875 5.352 5.885 6.253 6.726 7.185 7.606 8.056 8.337 8.507 8.637 8.743
1.348 1.665 2.136 2.642 3.167 3.716 4.244 4.745 5.234 5.606 5.911 6.102 6.203 6.334 6.441 7.403
925,4 1.109 1.314 1.597 1.926 2.064 2.197 2.265 2.490 2.610 2.713 2.809 2.892 2.967 3.004 3.028
Lanjutan Tabel B.7 Pembentukan Biogas pada Campuran M-16 Total Padatan Campuran 10% Total Padatan Campuran 20% Hari Volume (mL) A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
0 0 0 0 0 0 0 0 10,7 51,9 125,9 191,8 294,5 412,4 532,5 647,7 769,2 895,1
0 0 0 0 0 0 0 20,7 41,9 75,6 131,5 194,2 249,1 328,2 393,4 480,9 578,1 670,1
0 0 0 0 0 0 0 0 7,3 16 19,9 26,2 33,2 39,2 46,2 50,2 54,3 58,9
107
0 0 0 0 0 0 0 0 32,1 66,8 129,8 205,5 251,2 322,1 420,6 514,5 670,2 798,2
0 0 0 0 0 0 0 0 39,7 89,9 145,6 213,6 306,6 385,6 477,6 566,1 624,5 705,2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 20 35 52 63,4 71 83,5
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1.008 1.115 1.218 1.329 1.421 1.492 1.590 1.645 1.717 1.778 1.819 1.852
759,5 825,4 876,3 942 1.018 1.063 1.117 1.158 1.169 1.180 1.190 1.194
65,8 74,7 81,9 87,6 93,1 96,9 100,2 104,9 108,1 113,8 124,9 130
917,2 1.097 1.234 1.371 1.484 1.573 1.648 1.762 1.864 1.955 2.015 2.019
773,6 881,6 966,4 1.065 1.150 1.218 1.290 1.351 1.410 1.441 1.451 1.492
92,9 115,9 136,9 157,7 167,4 172,3 181,2 188,6 196,8 201,9 205,1 207,2
6. Analisa Kadar C-Organik Tabel B.8 Kadar C-Organik Perlakuan TS 10% Feses Sapi TS 20% TS 10% M-16 TS 20%
Reaktor A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
Hari 5 (%) 43,19 41,64 33,73 42,09 46,82 33,07 50,17 51,64 51,03 52,03 52,73 53,16
Hari 10 (%) 30,27 33,79 37,63 30,48 35,48 39,51 47,38 49,37 48,03 50,72 48,26 49,73
Hari 15 (%) 38,21 37,58 34,9 36,73 30,62 35,07 48,21 43,58 45,9 47,15 45,63 45,06
Hari 20 (%) 26,01 26,01 25,03 25,39 26,83 27,96 46,31 41,68 41,68 42,83 39,27 35,27
Hari 25 (%) 22,97 23,74 22,95 20,28 19,52 24,03 37,82 32,65 32,65 36,09 34,15 33,84
Hari 30 (%) 20,13 21,83 21,74 18,62 20,06 22,81 33,79 28,15 28,15 34,72 33,08 31,62
Removal (%) 53,39 47,57 35,54 55,76 57,15 31,02 32,65 45,49 44,84 33,27 37,26 40,52
7. Analisa Kadar Nitrogen Tabel B.10 Analisa Kadar Nitrogen Perlakuan TS 10% Feses Sapi TS 20%
Reaktor A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2
Hari 5 (%) 1,75 1,74 1,82 1,74 1,77 1,84
108
Hari 10 (%) 1,5 1,61 1,63 1,45 1,53 1,52
Hari 15 (%) 1,34 1,56 1,64 1,38 1,49 1,36
Hari 20 (%) 1,47 1,3 1,79 1,92 1,57 1,62
Hari 25 (%) 1,29 1,27 2,03 1,35 1,39 1,83
Hari 30 (%) 1,17 1,19 2,15 1,06 1,25 2,09
TS 10% M-16 TS 20%
A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
1,53 1,57 1,57 2,07 1,84 1,57
1,47 1,47 1,54 1,84 1,35 1,18
1,06 1,25 1,46 1,73 1,43 1,33
1,23 1,41 1,47 1,51 1,52 1,28
1,45 1,54 1,14 1,35 1,83 1,53
1,29 1,27 1,62 1,28 1,62 1,87
Hari 10 (%) 20,18 20,99 23,09 21,02 23,19 25,99 44,70 39,50 32,90 27,57 35,75 42,14
Hari 15 (%) 28,51 24,09 21,28 26,62 20,55 25,79 39,20 30,91 31,22 27,25 31,91 33,88
Hari 20 (%) 17,69 20,01 13,98 13,22 17,09 17,26 31,94 27,06 36,56 28,36 25,84 27,55
Hari 25 (%) 17,81 18,69 11,31 15,02 14,04 13,13 29,32 25,71 20,15 26,73 18,66 22,12
Hari 30 (%) 17,21 18,34 10,11 17,57 16,05 10,91 28,88 27,33 15,73 27,13 20,42 16,91
8. Analisa Rasio C/N Tabel B.12. Analisa Rasio C/N Perlakuan TS 10% Feses Sapi TS 20%
TS 10% M-16 TS 20%
Reaktor
Hari 5 (%)
A1B1 A2B1 KK1 A1B2 A2B2 KK2 A1C1 A2C1 KSC1 A1C2 A2C2 KSC2
24,68 23,93 18,53 24,19 26,45 17,97 32,79 32,89 32,50 25,14 28,66 33,86
9. Analisa Kadar Total Solid Tabel B.13. Analisa Kadar Total Solid Total Solid Hari ke 0 5 A1B1 24.825 22.071 A2B1 25.093 24.930 KK1 33.926 30.807 A1B2 36.025 31.927 A2B2 41.093 39.174 KK2 37.926 32.048 A1C1 24.825 21.071 A2C1 24.293 22.930 KSC1 25.326 25.007 A1C2 35.825 34.927 A2C2 46.993 42.174 KSC2 40.226 39.048
mg/L 10 19.724 21.204 27.816 27.704 32.842 31.093 20.724 21.204 24.816 32.704 38.842 38.993
109
15 17.619 19.810 25.174 23.062 23.062 30.816 19.619 20.610 24.839 27.062 34.062 38.016
20 15.206 18.029 23.957 20.819 21.725 28.691 19.274 20.186 24.073 26.925 33.721 37.502
25 13.075 16.640 21.072 17.306 19.916 26.927 18.975 19.073 23.972 25.306 31.916 36.727
30 12.091 13.120 18.983 13.705 16.954 20.181 18.220 18.490 23.183 23.235 30.994 35.901
% Removal 51,29 47,71 44,04 61,95 58,74 46,78 26,60 23,88 8,46 35,14 34,04 10,75
10. Analisa Kadar Volatile Solid Tabel B.14 Analisa Kadar Volatil Solid Volatil Solid Hari ke 0 5 A1B1 11.487 11.069 A2B1 13.582 12.216 KK1 13.120 11.950 A1B2 16.982 12.820 A2B2 15.240 13.250 KK2 13.262 12.082 A1C1 13.097 12.869 A2C1 14.282 14.008 KSC1 14.892 14.273 A1C2 16.097 15.969 A2C2 18.782 17.216 KSC2 18.720 18.057
mg/L 10 10.916 11.030 11.591 9.035 12.593 9.335 12.109 13.562 14.091 13.716 16.960 17.991
15 9.181 10.672 9.098 7.353 10.069 8.190 11.593 13.007 13.738 12.581 15.072 17.038
20 8.529 8.927 8.301 6.294 9.307 7.951 11.270 12.935 13.602 11.946 14.529 16.937
25 7.053 7.256 7.816 5.053 7.301 7.535 10.853 12.256 13.420 11.053 13.956 16.526
30 5.215 6.624 6.907 4.059 5.702 6.708 9.085 10.738 13.226 9.915 12.154 16.207
25 75,6 75,9 78,2 82,7 80,2 74,1 90,37 90,14 90,14 90,11 90,03 90,2
30 75,18 75,7 74,92 75,6 75,4 69,3 90,14 90,08 90,23 89,17 90,15 90,48
11. Analisa Kadar Air Tabel B.15 Analisa Kadar Air Kadar Air Hari ke 0 A1B1 75,8 A2B1 75,8 KK1 77,4 A1B2 78,1 A2B2 78,1 KK2 71,8 A1C1 90,05 A2C1 90,05 KSC1 90,17 A1C2 90,13 A2C2 90,13 KSC2 90,34
% 5 77,9 76,2 79,3 80,4 79,8 70,8 89,73 89,46 90,01 88,07 89,03 90,16
10 79,3 78,5 81,5 82,7 81,5 69,3 87,92 88,73 88,7 87,4 88,1 89,4
110
15 78,5 76,1 79,3 85 83,2 71,4 89,37 89,81 89,4 88,9 88,7 87,8
20 76,2 74,7 82,7 84,1 81,5 73,8 90,58 90,25 89,1 89,03 89,5 89,3
% Removal 54,60 51,23 47,35 76,09 62,58 49,41 30,63 24,81 11,18 38,40 35,28 13,42
11. Analisa Kadar Lignin Tabel B.15 Analisa Kadar Lignin Kadar Lignin Hari ke 0 A1B1 36,29 A2B1 36,18 KK1 6,71 A1B2 36,84 A2B2 36,50 KK2 9,89 A1C1 36,42 A2C1 36,29 KSC1 36,7 A1C2 36,53 A2C2 36,31 KSC2 36,68
% 5 35,84 34,71 6,52 32,07 34,69 9,27 36,14 36,01 36,61 36,02 36,28 36,62
10 31,07 31,71 6,39 28,91 29,57 9,16 32,85 35,27 36,57 35,82 34,72 36,49
111
15 29,18 30,48 6,12 23,58 25,06 8,7 31,46 34,51 36,49 32,71 33,92 36,12
20 26,47 29,01 6,04 22,73 23,81 8,4 30,29 30,84 36,42 29,63 30,48 35,98
25 25,43 27,59 5,91 22,06 22,98 7,9 29,07 29,81 36,34 27,94 28,96 35,92
30 25,28 27,03 5,68 21,87 22,72 7,6 28,93 29,35 36,29 27,81 28,56 35,85
Penyisihan 30,34 25,29 15,35 40,63 37,75 23,15 20,56 19,12 1,12 23,87 21,34 2,26
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar D.1 Perakitan Reaktor Biogas
Gambar D.2 Proses Digestasi Biogas
112
Gambar D.3 Pengukuran pH
Gambar D.4 Pengambilan Sampel
113
Gambar D.5 Pengukuran Total Solid dan Volatile Solid
Gambar D.6 Pengukuran N-Total
114
Gambar D.7 Pengukuran Gas Metan
115
RIWAYAT HIDUP NURJANNAH
OKTORINA
ABDULLAH,
penulis dilahirkan di Pinrang, Sulawesi Selatan, 24 Oktober 1992. Penulis adalah putri dari pasangan Abdullah Marzuki (Alm) dan Hartini Husain. Penulis merupakan anak ketiga dari 3 (tiga) bersaudara yaitu Fatimah Hardianti Abdullah dan Meutia Mutmainnah Abdullah. Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu di TK Jeneponto, SDN Pongtiku II Makassar, SMPN 10 Makassar, dan SMAN 17 Makassar. Setelah lulus dari SMAN 17 Makassar pada Tahun 2010, penulis mengikuti jalur PMDK dan diterima di Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin pada Tahun 2010. Penulis pernah aktif dalam Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS) pada Tahun 2010-2013 pada Departemen Diklat Profesi dan Keilmuan. Pada awal Tahun 2014, penulis melaksanakan Kerja Praktik di perusahaan (asing) eksploitasi minyak dan gas milik Italia, PT. Saipem Indonesia Karimun Branch (SIKB), Tanjung Balai Karimun. Pada akhir Tahun 2014, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Studi Karakteristik Mikrostruktur Tanah Organik dengan Metode Bioremediasi Bakteri Bacillus subtilis”. Pada Tahun 2015, penulis melanjutkan kuliah Pascasarjana (S2) di Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Bagi pembaca yang memiliki saran dan kritik dapat menghubungi penulis via email
[email protected].
116