Al-Mizan ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256 Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 Halaman 181-195 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
SISTEM HUKUM DALAM EKONOMI Ramli Semmawi Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Manado E-mail: ramlisemmawi@ gmail.com Abstract This Paper aims to choose which one economic system of law better to solve our economic problem in Indonesia contests. The research uses monism and dualism system in law to finding the best choice in economic system of law in Indonesia. The research conclusion that Indonesia is better to choose dualism system in economic law to protect his citizen from liberalism in economic global contests. State has the duty of protects and gives opportunity in economic access to bring into reality “welfare all public of Indonesia citizen. Keywords: monism-dualism, system of law, politic of economy A. Pendahuluan Peranan hukum internasional dalam perkembangan sistem hukum suatu negara mempunyai fungsi yang cukup penting. Hal ini berkaitan dengan makin banyaknya kegiatan-kegiatan lintas batas negara sehingga menyebabkan batasbatas teritorial suatu negara bukanlah suatu hambatan dalam hubungan ekonomi, sosial, budaya maupun politik yang dilakukan antar individu maupun antar negara. Untuk mengatur lalu lintas kepentingan tersebut maka diperlukan seperangkat peraturan internasional yang berfungsi mengatur mengenai tatacara berhubungan satu sama lain antar negara di dunia. Adanya globalisasi ini telah memicu perkembangan hukum internasional. Globalisasi membuat hubungan individu, korporasi dan negara saling berinteraksi lebih jauh, lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Komunikasi dan teknologi menyebabkan jarak sudah tidak menjadi masalah yang berarti dan saling ketergantungan antara negara-negara di
181
Ramli Semmawi
dunia juga semakin kuat. Perkembangan hubungan lintas batas ini memerlukan pengaturan secara internasional baik itu dituangkan melalui perjanjian bilateral maupun multilateral. Negara mematuhi hukum internasional karena mempunyai kepentingan dan membutuhkan sosialisasi dalam masyarakat internasional. Jika diamati secara sepintas, kondisi ini di satu pihak menunjukkan adanya perkembangan yang mengarah kepada perbaikan dan peningkatan hubungan antar negara yang diharapkan akan menyejahterakan masyarakat internasional. Namun di lain pihak perkembangan ini juga menimbulkan kekhawatiran karena hukum internasional itu belum tentu sejalan dengan sistem hukum masing-masing negara. Dalam bidang ekonomi, persetujuan Putaran Uruguay dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) 15 Desember 1993 di Jenewa yang mengamanahkan liberalisasi perdagangan dunia yang bebas dan adil (free trade dan fair trade)1 telah membuka pintu perdagangan yang sebebas-bebasnya dan pangsa pasar suatu komoditi ditentukan semata-mata oleh keunggulan komoditi tersebut secara ekonomi. Tidak ada lagi hambatan tarif dan hambatan “protektif” lainnya bagi masuknya suatu komoditi ke suatu negara, maka dalam perdagangan internasional Indonesia juga telah meratifikasi berbagai perjanjianperjanjian tentu memiliki dampak yang luar biasa terhadap keberlangsungan nadi ekonomi Indonesia. Pemberlakuan GATT di Indonesia hampir pasti memiliki dampak yang negatif bagi sektor industri nasional yang tidak efisien dan tidak efektif. Subsektor industri kecil merupakan salah satu bagian dari sektor industri nasional yang akan menerima dampak negatif tersebut. Melihat permasalahan tersebut, maka studi tentang daya saing industri kecil nasional dan dampak yang ditimbulkan dengan adanya perdagangan bebas dunia menjadi penting. Hal tersebut dilakukan untuk melihat posisi negara di dalam keberlangsungan perekonomian nasional. Berangkat dari kondisi tersebut, maka tulisan ini ingin melihat pilihan hukum yang dipilih negara di dalam melindungi kepentingan ekonomi negara terutama di sektor industri kecil nasional yang notabene merupakan sektor yang paling besar jumlahnya di Indonesia.
1
Mahmud Thoha (peny.), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT terhadap Industri Kecil (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1998), h. 1.
182
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sistem Hukum dalam Ekonomi
B.
Sistem Hukum Ekonomi di Dunia
Ada dua sistem ekonomi besar yang mempengaruhi perekonomian dunia saat ini, yakni sistem ekonomi kapital dan sistem ekonomi sosialis. Walaupun demikian sistem ekonomi kapital-lah yang mendominasi kebijakankebijakan politik ekonomi dunia. Lahirnya General Agreement on Tariff and Trade (GATT), World Trade Organitation (WTO), International Moneter Fund (IMF) merupakan cerminan bahwa sistem ekonomi kapital yang menjadi kiblat sistem hukum ekonomi internasional. Ditandatanganinya GATT pada tanggal 30 Oktober 1947 dan berlaku efektif sejak 1 Januari 1948 serta berkedudukan di Jenewa.2 Keanggotaan GATT telah mencapai 125 negara pada saat diselenggarakan putaran Uruguay pada tahun 1994. GATT memiliki beberapa prinsip yang dianut dalam mengatur sistem perdagangan internasional, yaitu: Pertama, Most Fovoured Nation Clause, yakni prinsip yang mengandung arti bahwa perdagangan internasional harus didasarkan pada nondiskriminasi antara anggota yang terhubung dalam GATT. Kedua, Protection Through Tariff yaitu perlindungan terhadap industri dalam negeri hanya boleh dilakukan melalui kebijakan tarif dan bukan tarif; dan Ketiga, General Elimination of Quantitative Restriction, yakni pembatasan kuantitatif dalam bidang impor tidak diperkenankan kecuali melalui kebijakan tarif.3 Pada putaran Uruguay telah melahirkan perjanjian perdagangan yang lebih luas lagi, selain memasuki sektor-sektor baru, seperti pertanian, tekstil dan jasa juga isu-isu baru seperti hak milik intelektual dan investasi. Memperhatikan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam hubungan perdagangan internasional sejak berdirinya GATT menimbulkan pandangan perlunya beberapa peraturan dan prosedur diperbaharui, khususnya didasarkan akan kebutuhan untuk memperketat prosedur penyelesaian sengketa. Timbul pemikiran untuk membentuk suatu badan tingkat tinggi yang permanen untuk mengawasi bekerjanya sistem perdagangan multilateral dan diarahkan pula untuk menjamin agar negara-negara peserta (contracting parties) GATT mematuhi peraturan-peraturan yang telah disepakati dan memenuhi kewajibankewajibannya. Dalam Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran Uruguay (Uruguay Round), Punta Del Este, 20 September 2006, pemikiran tentang
2
Mahmud Thoha (peny.), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay, h. 10. Mahmud Thoha (peny.), Dampak Persetujuan Putaran Uruguay, h. 11.
3
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
183
Ramli Semmawi
pembentukan suatu organisasi perdagangan multilateral dimaksud secara implisit termuat di dalam Deklarasi Punta del Este. Hal tersebut merupakan salah satu dari 15 bidang perundingan dalam Putaran Uruguay, yaitu negosiasi mengenai upaya untuk meningkatkan fungsi sistem GATT. Tujuan yang hendak dicapai dalam negosiasi fungsi sistem GATT ini adalah: 1. Meningkatkan fungsi pengawasan GATT agar dapat memantau kebijakan dan perdagangan yang dilakukan oleh contracting parties (CPs) dan implikasi terhadap sistem perdagangan internasional. 2. Memperbaiki seluruh aktivitas dan pengambil keputusan GATT sebagai suatu lembaga, termasuk keterlibatan para menteri yang berwenang menangani masalah perdagangan. 3. Meningkatkan kontribusi GATT untuk mencapai “greater coherence” dalam pembuatan kebijakan ekonomi global melalui peningkatan hubungan dengan organisasi internasional lainnya yang berwenang dalam masalah moneter dan keuangan.4 Sesudah melalui tahapan-tahapan proses perundingan yang alot dan konsultasi-konsultasi maraton yang intensif atas draft-draft yang diusulkan lebih dari 120 negara, akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri contracting parties GATT di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 12-15 April 1994, disahkan Final Act tanggal 15 April 1994 dan tanggal berlakunya WTO. Persetujuan pembentukan WTO terbuka bagi ratifikasi oleh negara-negara dan diharapkan dapat diberlakukan efektif pada 1 Januari 1995. Untuk mengatasi adanya kekosongan antara Pertemuan Tingkat Menteri di Marrakesh, Maroko sampai dengan tanggal berlakunya WTO, dibentuklah suatu lembaga sementara yaitu Implementation Committee yang bertugas antara lain memperhatikan program kerja WTO, masalah anggaran dan kontribusi serta masalah keanggotaan WTO. Pada pertemuan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha (Doha Round), Qatar dari tanggal 9-14 November 2001, Indonesia mengikutsertakan 32 orang delegasi. Putaran Doha merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak sistem multilateral terbentuk tahun 1947. Delapan putaran selanjutnya diluncurkan di bawah payung GATT, yang kemudian berganti nama menjadi WTO tahun 1995. Disebabkan rezim GATT atau ini hanya berfokus pada pendistribusian barang dan kurang memperhatikan arus 4
Muhammad Irvan Mahmud Asia, “Sejarah GATT sampai bertransformasi Menjadi WTO,” http://fkp-uh.blogspot.com/2014/01/sejarah-gatt-sampaibertransformasi.html, di-akses tanggal 27 Desember 2014.
184
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sistem Hukum dalam Ekonomi
jasa, pada tahun 1955 para anggota rezim tersebut menginginkan adanya perubahan dalam rezim tersebut. Sehingga pada Januari 1995 GATT secara resmi berubah menjadi WTO yang dihasilkan melalui negosiasi multirateral dalam Uruguay Round tahun 1986 sampai 1994. Rezim WTO ini diharapkan mampu memperlancar arus perdagangan bebas seperti yang diharapkan oleh para negara anggota rezim tersebut. Namun, dalam rezim WTO, negara-negara berkembang kurang mendapat keuntungan karena rezim ini didominasi oleh negara-negara Barat yang mampu merealisasikan interes mereka dalam rezim ini. Hegemoni Amerika Serikat tak dapat dipungkiri sebagai aktor dibalik perubahan rezim tersebut.5 Berikut ini beberapa hal yang kemudian menjadi kelemahan GATT sehingga posisinya digantikan oleh WTO: 1. Dalam mengatur hubungan perdagangan internsional, GATT hanya berfokus pada arus jual beli barang antar negara saja. GATT tidak hirau pada perdagangan jasa yang sama- sama termasuk ke dalam aktifitas perdagangan. 2. GATT tidak dapat dijalankan secara menyeluruh karena hanya membahas suatu tujuan atau bersifat ad hoc dan berlaku pada kurun waktu tertentu. 3. Segala jenis kesepakatan dan hasil perjanjian yang dihasilkan oleh GATT tidak membutuhkan ratifikasi oleh parlemen dari negara anggota.6 Pekembangan selanjutnya, pada putaran Doha atau yang lebih kita kenal sebagai Doha Development Round atau Doha Development Agenda (DDA) pada 2001, dimaksudkan sebagai langkah lanjutan agar tatanan perdagangan multilateral yang ada bisa sesuai dengan situasi perdagangan terkini. Beberapa di antaranya menyangkut upaya agar perdagangan produk pertanian dan perdagangan jasa dapat lebih bebas, menyempurnakan persetujuan-persetujuan yang sudah ada seperti misalnya Anti Dumping dan subsidies (termasuk subsidi di bidang perikanan), fasilitasi perdagangan dan sebagainya. Sejauh ini proses perundingan DDA - dari yang dapat kita baca di media-tampaknya ‘mendung,’ atau bahkan ada yang berpandangan bahwa perundingan sudah ‘macet.’ Pandangan tersebut bisa muncul terutama kalau kita 5
Muhammad Irvan Mahmud Asia, “Sejarah GATT sampai bertransformasi Menjadi WTO,” http://fkp-uh.blogspot.com/2014/01/sejarah-gatt-sampaibertransformasi.html, di-akses tanggal 27 Desember 2014. 6 Muhammad Irvan Mahmud Asia, “Sejarah GATT sampai bertransformasi Menjadi WTO,” http://fkp-uh.blogspot.com/2014/01/sejarah-gatt-sampaibertransformasi.html, di-akses tanggal 27 Desember 2014.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
185
Ramli Semmawi
melihat penilaian keadaan yang disampaikan oleh Dirjen WTO, Pascal Lamy, yang mengemukakan bahwa masih terdapat kesenjangan posisi antara para major players dalam perundingan liberalisasi produk industri/ manufaktur atau Non Agriculture Market Access (NAMA) yang dapat menghambat pembahasan di bidang-bidang perundingan lainnya, sehingga sulit untuk menyelesaikan DDA pada 2011. Selain itu terdapat juga pandangan mengenai lambatnya proses perundingan, antara lain karena peluncuran perundingan DDA yang tidak dipersiapkan secara matang; sulitnya mencapai konsensus karena meningkatnya jumlah keanggotaan dalam WTO; agenda DDA dinilai overloaded, dan mencakup isu-isu kontroversial seperti reformasi bidang pertanian dan fisheries subsidies; serta prinsip single undertaking hasil perundingan. Yang mencemaskan adalah pandangan bahwa adanya krisis ekonomi yang kemudian meningkatkan tindakan proteksionis oleh sejumlah negara membuat keberadaan dan peran WTO dipertanyakan dan sebagainya. Sebagai salah satu Original Member (sesuai kriteria Artikel XI Marrakesh Declaration Establishing the WTO), Indonesia sangat menyadari pentingnya keberadaan dan peran WTO.7 (Asia, 2014). Pada masa Orde Baru, Diplomasi Perdagangan Indonesia tertuang dalam Kebijaksanaan Nasional Sektor Perdagangan sebagaimana terdapat dalam REPELITA VI yang disusun berdasarkan arahan GBHN 1993, di mana perdagangan luar negeri salah satunya adalah untuk meningkatkan kerjasama perdagangan internasional. Upaya tersebut ditempuh dengan lebih mengefektifkan kerjasama perdagangan internasional dan melaksanakan hasilhasil Putaran Uruguay. Dalam rangka program pembangunan saat itu, terdapat Program Pengembangan Kerjasama Perdagangan Internasional yang bertujuan untuk mengembangkan kerjasama perdagangan internasional dalam rangka memperkuat kedudukan rebut tawar, memperluas pasar di luar negeri, dan mendorong ekspor non migas yang ditempuh antara lain dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional, menyelesaikan sengketa perdagangan internasional, dan memperjuangkan kepentingan nasional dalam WTO. Pada tataran implementasi, Indonesia terdorong menyusun dan memperbaiki berbagai peraturan nasional misalnya: di bidang HAKI, ketentuan nasional yang memungkinkan kita bisa mengambil tindakan dalam hal terjadinya praktek 7
Muhammad Irvan Mahmud Asia, “Sejarah GATT sampai bertransformasi Menjadi WTO,” http://fkp-uh.blogspot.com/2014/01/sejarah-gatt-sampaibertransformasi.html, di-akses tanggal 27 Desember 2014.
186
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sistem Hukum dalam Ekonomi
negara mitra dagang yang tidak fair, mempersengketakan kebijakan negara mitra dagang yang bertentangan dengan ketentuan WTO, menyempurnakan peraturan nasional di bidang perdagangan misalnya tata niaga ekspor-impor, menerapkan standar dan sebagainya sekaligus sebagai proses pembelajaran dalam upaya mendudukkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan internasional. Hal tersebut menggambarkan bahwa upaya mengintegrasikan perekonomian nasional ke dalam perekonomian global telah dilakukan Indonesia sejak lama, setidaknya selama 15 tahun sejak terbentuknya WTO.8 Dasar kebijakan Diplomasi Perdagangan Indonesia sekarang ini adalah mengacu pada Rencana pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 20052025 berdasarkan UU 17 Tahun 2007, yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Saat ini kita mendasarkan pada RPJMN II 2010-2014, di mana Diplomasi Perdagangan mengacu pada butir 3.3.2 mengenai Peningkatan Ekspor yang menyebutkan bahwa Strategi Pembangunan yang akan dilaksanakan dalam pembangunan perdagangan luar negeri, khususnya untuk mendorong peningkatan ekspor nonmigas selama periode tersebut, antara lain adalah Mendorong pemanfaatan berbagai skema perdagangan, dan kerjasama perdagangan yang lebih menguntungkan kepentingan nasional. Selanjutnya terdapat Fokus Prioritas Peningkatan Diversifikasi Pasar Tujuan Ekspor yang didukung oleh Kegiatan Prioritas sebagai tujuan, yang salah satunya adalah Peningkatan peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Internasional. Fokus Prioritas tersebut dijabarkan dalam Misi, Tujuan, dan Sasaran Rencana Strategis Pembangunan Perdagangan 2011-2014, yaitu: Meningkatkan kinerja ekspor non-migas nasional secara berkualitas, Menguatkan pasar dalam negeri, Menjaga ketersediaan bahan pokok dan penguatan Jaringan Distribusi Nasional dan Optimalisasi Reformasi Birokrasi. Misi tersebut bertujuan untuk memperkuat peran dan kemampuan Diplomasi Perdagangan Indonesia di forum internasional. Strategi utama pelaksanaan Misi tersebut adalah melakukan Multitrack Trade Diplomacy pada tingkat multilateral, regional, dan bilateral. Salah satu bentuk diplomasi perdagangan multilateral adalah ‘Penyelesaian Putaran Doha,’ karena merupakan bagian dari Renstra Pembangunan 2011-2014 yang mencerminkan bahwa Indonesia memandang sangat penting masalah 8
Muhammad Irvan Mahmud Asia, “Sejarah GATT sampai bertransformasi Menjadi WTO,” http://fkp-uh.blogspot.com/2014/01/sejarah-gatt-sampaibertransformasi.html, di-akses tanggal 27 Desember 2014.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
187
Ramli Semmawi
penyelesaian perundingan DDA. Kurun waktu Renstra dimaksud bukan berarti Indonesia bisa menerima situasi perundingan DDA yang lambat penyelesaiannya, namun justeru untuk lebih menggambarkan peran strategis pentingnya perundingan DDA segera diselesaikan. Dari sudut pandang kebijakan, selama ini Indonesia jelas mempunyai landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatan diplomasi perdagangan termasuk di forum WTO. Halhal yang disebutkan dalam RPJP dan RPJMN merupakan Mandat Perundingan berdasarkan Undang-undang. Hal ini menjelaskan bahwa posisi nasional yang dibuat dalam proses perundingan bukan semata-mata dihasilkan dari rapat interdepartemental atau tim negosiasi, masukan dari stakeholders, hasil kajian dan sebagainya. Kita memiliki landasan formal dalam melaksanakan Diplomasi Perdagangan yang diimplementasikan dalam berbagai fora perdagangan internasional termasuk perundingan DDA. Kita memiliki Tim Nasional mengenai Perundingan Perdagangan Internasional yang selama ini sangat aktif melaksanakan fungsinya. Dalam proses perundingan DDA, Indonesia aktif di G-33, Cairns Group, NAMA 11 dan lain-lain. Tekad dan semangat Indonesia untuk menyelesaikan perundingan DDA juga tercermin di berbagai fora internasional seperti ASEAN, APEC, dan G-20.Demikian pula dalam jejaring kerja yang sudah terbina antar instansi pemerintah, dunia usaha, kalangan akademisi, LSM dan lain-lain. Rasanya apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam melaksanakan tugas terkait Diplomasi Perdagangan sudah optimal. Demikianlah gambaran tentang posisi Indonesia dalam percaturan ekonomi global yang memiliki dampak positif dan negatif bagi perkembangan sektor industri kecil Indonesia. Maka dalam hal kajian pilihan hukum dalam menyikapi dinamika ekonomi dunia yang mau tidak mau, siap tidak siap tetap akan dihadapi oleh masyarakat ekonomi Indonesia. Di manakah posisi ideal negara dalam melindungi kepentingan rakyatnya? Akan diuraikan lebih lanjut. C. Urgensi Memilih Sistem Hukum di dalam Tata Hukum Indonesia Memilih sistem hukum merupakan suatu keharusan yang diambil setiap negara hukum dalam rangka tertib hukum dan mewujudkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi serta keadilan dalam hukum. Maka dalam kaitannya dengan hubungan hukum secara internasional dalam bidang ekonomi, Pauwelyn (2001, dalam Hatta, 2010), melihat bahwa mungkin hanya dengan satu pengecualian, tidak ada satu penulis pun (demikian juga putusan-putusan dan
188
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sistem Hukum dalam Ekonomi
dokumen WTO) yang mempersoalkan aturan-aturan WTO sebagai bagian dari korpus hukum internasional publik dalam arti luas. Uraian tersebut memberi gambaran bahwa sesungguhnya perjanjianperjanjian, kesepakatan-kesepakatan yang dilahirkan dari WTO itu dapat dikatakan sebagai hukum internasional dalam bidang ekonomi, yang mengatur hubungan perekonomian dunia saat sekarang ini. Walaupun demikian, Donald M. McRae (2000, dalam Hatta, 2010) berpendapat bahwa masih terdapat perbedaan pada dua tataran, yakni tataran teoritik dan praktis. Pada tataran teoritik, hukum perdagangan internasional dan hukum internasional dalam sejumlah aspek penting didasari asumsi yang berbeda. Prinsip utama (organizing principle) dalam rejim perdagangan internasional adalah teori ekonomi yang mendasari tata perdagangan liberal, yakni prinsip keunggulan komparatif (comparative advantages), sedangkan hukum internasional didasari konsep kedaulatan negara. Dengan kata lain, hukum internasional terbentuk di atas konstruksi fundamental dari masyarakat negaranegara berdaulat yang hubungannya satu sama lain merupakan substansi dari disiplin ini sementara perdagangan internasional bertentangan dengan konstruksi tersebut dan dalam banyak hal bahkan menggerogotinya. Hukum perdagangan internasional tampaknya menghendaki negara bertindak sebaliknya dari apa yang diinginkan suatu rejim dari apa yang diinginkan suatu rejim yang didasari kedaulatan. Dalam sistem berdasarkan kedaulatan, negara akan berusaha melindungi kepentingan dari mereka yang berada di dalam bahkan atas kerugian mereka yang ada di luar negara tersebut. Perbedaan antara hak warga negara dan orang asing -mendahulukan warga negara daripada orang asing- adalah inti dari tujuan negara yang terkandung dalam pengertian kewarganegaraan dan kebangsaan. Negara mengejar kepentingan nasional. Namun di bidang perdagangan internasional, mengejar kepentingan nasional itu dapat saja diartikan sebagai proteksionisme. Membedakan antara produk yang dihasilkan warga negara dan yang dihasilkan orang asing adalah bertentangan dengan prinsip perdagangan liberal yang ingin ditegakkan WTO. Hukum perdagangan internasional semakin mengekang bidang-bidang yang secara tradisional berada di bawah yurisdiksi hukum nasional seperti misalnya subsidi, hambatan teknis atas perdagangan, tindakan-tindakan di bidang saniter dan phitosaniter, semuanya mengurangi ruang gerak dan pilihan-
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
189
Ramli Semmawi
pilihan nasional.9 Kemudian pada tataran praktis, McRae menunjukkan adanya “new frontier” dalam hukum internasional. Misalnya, mekanisme penyelesaian sengketa WTO bukan hal yang unik, tetapi yang unik adalah bahwa sistem ini wajib diikuti semua anggota WTO dalam putusannya “final and inding.” Mekanisme penyelesaian perselisihan anggota secara individual akan tetapi menjadi landasan bagi perkembangan hukum perdagangan internasional melalui putusan-putusan judisial, dan menjadi forum bagi penerapan dan penghalusan konsep-konsep dan doktrin hukum internasional. Penafsiran-penafsiran atas perjanjian-perjanjian WTO merupakan suatu proses pembentukan hukum aktif. Sementara itu, menurut Petersmaan dalam Hatta menunjukkan terjadinya suatu international economic law revolution yang dapat dijadikan bahan pelajaran untuk memperkuat mekanisme penyelesaian sengketa internasional termasuk di bidang-bidang non ekonomi. Demikianlah realitas perdagangan internasional dan hukum perdagangan internasional juga terpengaruhi oleh sistem kapitalisme yang dibangun oleh WTO sebagai perpanjangan tangan para korporat besar dari negara-negara maju.10 D. Pilihan Terbaik bagi Kemaslahatan Rakyat Indonesia Sebagai negara berdaulat dan negara yang berdasarkan atas hukum (Wahjono, 1986), Indonesia punya hak menentukan pilihan hukum yang dapat melindungi warga negaranya dalam segala bidang. Demikian halnya apabila dikaitkan dengan peristiwa hukum dalam bidang ekonomi baik nasional maupun secara internasional. Maka negara berkewajiban melindungi kepentingan warga negaranya apabila berada dalam posisi yang benar menurut sistem hukum nasional Indonesia. Sementara perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai hubungan antara hukum nasional dengan hukum internasional, monisme dan dualisme. Perbedaan pandangan ini lahir, tentunya sebagai akibat dari perbedaan dasar filsafat dalam menelaah kaidah hukum itu sendiri, serta latar sosial yang menjadi background munculnya teori-teori tersebut. Menurut teori monisme, hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua aspek yang berasal dari satu sistem hukum umumnya. Pandangan ini dikemukakan 9
Hata, “Pemberlakuan Hukum Internasional Publik dalam Instrumen dan Praktek World Trade Organization,” Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 28 No. 2. Oktober 2010, h. 147-148. 10 Hata, “Pemberlakuan Hukum Internasional Publik, h. 148.
190
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sistem Hukum dalam Ekonomi
oleh Hans Kelsen. Lebih jauh Kelsen mengemukakan, bahwa tidak perlu ada pembedaan antara hukum nasional dengan hukum internasional, mengapa? Alasan pertama adalah, bahwa objek dari kedua hukum itu sama, yaitu tingkah laku individu; Kedua, bahwa kedua kaedah hukum tersebut memuat perintah untuk ditaati; dan Ketiga, bahwa kedua-duanya merupakan manifestasi dari satu konsepsi hukum saja atau keduanya merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum (anonim. t.th.). Pada dasarnya Kelsen ingin menegaskan tentang supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Dia melihat hukum internasional sebagai the best of available moderator of human affairs, dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-negara. Karenanya hukum internasional menjadi utama daripada hukum nasional. Artinya, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan dengan sistem hukum internasional. Pandangan ini berusaha melakukan generalisasi terhadap latar konteks dan latar sosial, tanpa melakukan pembedaan terhadap keadaan geografis, budaya masyarakat, sejarah, dan perilaku sosial, dari masing-masing wilayah. Semuanya dianggap sama dengan apa yang terjadi dan berlangsung di Amerika Serikat. Berbeda dengan Kelsen yang mengajarkan teori monisme, Triepel dan Anzilotti mengajarkan apa yang disebut dengan teori dualisme atau teori pluralistik. Menurut teori ini, hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali berbeda secara intrinsik. Berangkat dari uraian sederhana Oppenhiem, yang menjelaskan perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional, berdasarkan tiga sandaran, yaitu perbedaan sumbernya, hubungan yang diaturnya, dan hakikatnya. Kemudian Triepel menjelaskan secara lebih detail, bahwa letak perbedaan antara keduanya adalah pada subjek hukumnya, jika hukum nasional subjeknya ialah individu-individu, sedangkan hukum internasional subjeknya semata-mata dan tertutup pada negara. Kemudian mengenai sumbernya, jika hukum nasional bersumber pada kehendak negara itu sendiri, sedangkan hukum internasional bersumber pada kehendak bersama. Dalam hal ini, Anzilotti menggunakan pendekatan berbeda, walaupun memiliki muara yang sama. Menurut Anzilotti, perbedaan mendasar dari hukum nasional dan hukum internasional adalah terletak pada hakikat bahwa hukum nasional harus ditaati,
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
191
Ramli Semmawi
sedangkan hukum internasional harus dijunjung tinggi, sebagai hasil kesepakatan bersama.11 Anzilotti pada dasarnya ingin membangkitkan kembali kenyataan esensial dari teori Grotius, tanpa adanya aroma hukum alam, ia mencoba menyelamatkan hukum internasional dengan pengakuan universal terhadap pacta sunt servanda. Secara mudahnya, teori dualisme ingin menjelaskan, bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum nasional berlaku dalam satu negara, yang mengatur hubungan antar warganegara, dan warganegara dengan pemerintah. Bilamana hukum nasional menetapkan hukum internasional berlaku seluruhnya atau sebagian, melalui sebuah pengakuan atau penerimaan, itu semata-mata karena pelaksanaan kewenangan hukum nasional. Terhadap pandangan Triepel dan Anzilotti, Kelsen menyatakan bahwa terdapat kontradiksi dalam pemikiran pluralistic–dualisme, yakni ketika hukum nasional dan hukum internasional di tempatkan dalam ruang dan waktu yang sama. Di satu sisi kaum pluralistik tidak menyangkal bahwa norma hukum nasional dan norma hukum internasional dapat berlaku secara bersamaan, sedangkan di sisi lain mereka menegaskan bahwa terdapat suatu hubungan kebebasan timbal balik di antara keduanya, yang berarti tidak ada hubungan sama sekali. Pada dasarnya, kedua pandangan ini berangkat dari kerangka filosofis yang sama, yakni positivisme, yang berkembang pasca berakhirnya Revolusi Francis, keduanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jean-Jacques Rousseau (1989). Dalam praktiknya di lapangan pun tidak terjadi pertentangan yang mencolok antara kedua pandangan tersebut, lebih banyak terjadi akomodasi dan kompromi. Sekedar pemahaman untuk kita cermati bersama, bahwa kedua teori di atas, dibangun atas kerangka pikir spekulasi konstruksi intelektual. Namun demikian, eksistensi kedua teori tersebut tetap diakui dalam literatur-literatur hukum internasional. Selanjutnya, sebagai pandangan kompromistis dari perdebatan teoritis antara penganut monisme dan dualisme, muncul teori ketiga, yang disebut dengan teori koordinasi. Teori ini menyatakan, bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu, tidak berada dalam situasi konflik atau tidak bertentangan antar keduanya, karena dua sistem itu bekerja dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai 11
Anonim, “Korelasi Hukum Nasional dan Internasional,” http://wonkdermayu. wordpress.com/artikel/opini/ diakses tanggal 12 November 2014.
192
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sistem Hukum dalam Ekonomi
supremasi di lapangannya sendiri. Meski pada praktiknya di lapangan, sangat dimungkinkan terjadinya konflik implementatif, yang sering disebut dengan konflik kewajiban (conflict of obligation). Makna dari konflik kewajiban ialah ketidakmampuan negara untuk melaksanakan suatu kewajiban internasional, ketika negara bersangkutan meratifikasi suatu ketetapan atau konvensi atau perjanjian internasional. Akan tetapi, ketidakmampuan negara tersebut, tidak kemudian berakibat pada tidak sahnya hukum internal/hukum nasional. Kendati demikian, tanggung jawab internasional negara itu masih tetap eksis, dan tidak ada argumen untuk menghindar dari kewajiban internasional tersebut. Apa yang dikemukakan para ahli hukum tersebut sesungguhnya memberikan pilihan pada tiap-tiap negara untuk menerapkan apa hukum yang memberikan perlindungan terhadap rakyatnya dan tujuan negara dalam ekonomi untuk menyejahterakan seluruh rakyatnya. Mohammad Hatta menjelaskan sebagaimana dikutip Swasono bahwa tiga hal penting yang umumnya menentukan perekonomian suatu negeri, yaitu: Pertama, kekayaan tanahnya; Kedua, kedudukannya terhadap negara lain dalam lingkungan internasional; dan Ketiga, sifat dan kecakapan rakyatnya, sedangkan untuk Indonesia ada tambahan sebagai unsur Keempat, yaitu sejarahnya sebagai bekas negara jajahan.12 Lebih lanjut Hatta menjelaskan bahwa kesalahan terbesar dari pemimpin negeri ini adalah sistem ekonomi yang ditegakkan adalah sistem ekonomi yang ditinggalkan oleh penjajah yang notabene lebih mementingkan kepentingan negara para penjajah. Kebijakan eksportir yang lebih diutamakan daripada kepentingan ekonomi dalam negeri mengakibatkan kondisi ekonomi negeri tetap seperti apa yang ditinggalkan oleh penjajah. Belum memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya sebagaimana amanat konstitusi “Mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur.”13 Mubyarto mengamini apa yang dikemukakan oleh Hatta. Bahwa untuk mengobati penyakit-penyakit ekonomi Indonesia (atau lebih tepatnya mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial yang memperparah krisis ekonomi nasional) harus ada kesediaan untuk
12
Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (peny.), Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), h. 73. 13 Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (peny.), Mohammad Hatta, h. 75.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
193
Ramli Semmawi
memasukkan faktor-faktor kelembagaan dalam mempelajari dan mengajarkan teori ekonomi yang benar menurut konteks masyarakat Indonesia14 Mubyarto melanjutkan bahwa Indonesia yang kini sedang bergulat dalam reformasi telah membuat “kekeliruan” yaitu telah terlalu menekankan pada atau terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi materiil yang menjadi “kebablasan” dengan melebarnya jurang kaya-miskin yang terlalu jauh. Maka reformasi yang kini berjalan dimaksudkan untuk mengoreksi kekeliruankekeliruan strategi masa lalu yang seharusnya lebih meningkatkan pembangunan sosial dan sekaligus pembangunan moral. Bahasa lain dari pembangunan yang sifatnya demikian adalah pembangunan yang lebih diarahkan pada pembangunan sumberdaya manusia yaitu terutama ditekankan pada pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan.15 Apa yang dikemukakan Hatta dan Mubyarto pada dasarnya ingin menyiapkan warganegara dalam perdagangan internasional di kemudian hari. Walaupun menurut penulis untuk konteks Indonesia sekarang belum saatnya memberlakukan hukum perdagangan yang dimotori oleh WTO secara sempurna. E.
Penutup
Penulis melihat bahwa pilihan hukum dalam ekonomi, negara harus memposisikan diri untuk melindungi warganegara dalam kebijakan-kebijakan hukum ekonominya sehingga untuk hal tersebut kebijakan perekonomian yang diusung oleh WTO tentang liberalisasi ekonomi belumlah tepat dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini mengingat bahwa untuk melindungi industri-industri kecil di Indonesia yang merupakan mayoritas harus dilakukan oleh negara. Negara harus melindungi kepentingan rakyatnya dibandingkan kepentingan korporasi besar yang berasal dari negara-negara maju walaupun dengan demikian tidak mematuhi sepenuhnya kesepakatan perdagangan WTO. Selain itu, bahwa apa yang disampaikan Hatta di era 1990-an dan diteruskan oleh Mubyarto tentang ekonomi Indonesia masih sangat relevan dengan kondisi ekonomi Indonesia hari ini Jadi pilihan hukum yang tepat dalam hukum ekonomi adalah dualis, artinya negara berkewajiban melindungi seluruh kepentingan ekonomi warga 14
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2000), h. 10-11. 15 Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi, h. 12.
194
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
Sistem Hukum dalam Ekonomi
negaranya sebelum memberi ruang perdagangan internasional tersebut dilaksanakan sepenuhnya. Negara harus memfasilitasi seluruh kepentingan ekonomi dalam negeri sebelum membuka kran seluas-luasnya bagi pelaku ekonomi dari luar negeri. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, “Korelasi Hukum Nasional dan Internasional,” http://wonkdermayu. wordpress.com/artikel/opini/diakses tanggal 12 November 2014. Asia, Muhammad Irvan Mahmud. 2014. “Sejarah GATT sampai bertransformasi Menjadi WTO,” http://fkpuh.blogspot.com/2014/01/sejarah-gatt-sampai-bertransformasi.html, diakses tanggal 27 Desember 2014. Hata. 2010. “Pemberlakuan Hukum Internasional Publik dalam Instrumen dan Praktek World Trade Organization,” Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 28 No. 2. Oktober. Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Swasono, Sri Edi, dan Fauzie Ridjal (peny.). 1992. Mohammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Thoha, Mahmud (peny.). 1998. Dampak Persetujuan Putaran Uruguay-GATT terhadap Industri Kecil. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015 ISSN 1907-0985 E ISSN 2442-8256
195