Jurnal Nanosains & Nanoteknologi
ISSN 1979-0880
Vol. 2 No.2, Juli 2009
Sintesis Keramik Berbasis Komposit Clay-Karbon dan Karakterisasi Kekuatan Mekaniknya M. Abdullah(a), A. D. Sonya, B. W. Nuryadin, A. R. Marully, Khairuddin(*), dan Khairurrijal Laboratorium Sintesis dan Fungsionalisasi Nanomaterial KK Fisika Material Elektronik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, Jalan Ganesha 10 Bandung 40132 (a) E-mail:
[email protected] Diterima Editor Diputuskan Publikasi
: :
27 Februari 2009 27 April 2009
Abstrak Telah disintesis keramik dari campuran clay dan bubuk karbon dengan berbagai perbandingan massa dan berbagai parameter sintesis. Diamati bahwa fraksi karbon yang digunakan sangat berpengaruh pada kekuatan keramik. Kekuatan mekanik keramik terbesar diperoleh ketika penambahan karbon dengan fraksi 0,05 – 0,1 w/w atau sekitar 0,2 – 0,4 v/v. Kekuatan keramik juga diupengaruhi oleh suhu pembakaran, di mana makin tinggi suhu pembakaran maka keramik makin kuat. Lama waktu pembakaran juga mempengaruhi kekuatan keramik. Waktu pembakaran di atas 2 jam akan mengurangi kekuatan keramik karena pengurangan jumlah karbon di dalam keramik. Kata kunci: clay, karbon, komposit, keramik
1. Pendahuluan Keramik terus berkembang menjadi material yang sangat penting pada masa kini. Keramik dijumpai pada hampir setiap bagian produk teknologi. Bahan antipanas lapisan luar pesawat luar angkasa adalah keramik yang tahan hingga suhu yang sangat tinggi yang dihasilkan oleh gesekan pesawat dengan atmosfer. Salah satu bahan utama pembuatan IC (integrated circuit) dalam piranti digital adalah keramik, di samping bahan semikonduktor. Keramik memiliki sejumlah sifat khas yang tidak dimiliki material lain. Keramik modern dibuat untuk memunculkan sifatsifat khas yang tidak dijumpai pada keramik tradisional. Sifat-sifat tersebut di antaranya adalah ketahanan terhadap suhu tinggi, ketahanan terhadap reaksi kimia tertentu, dan memiliki sifat-sifat listrik dan mekanik yang istimewa. Contoh keramik modern adalah alumina (Al2O3), silika (SiO2), zirkonia (ZrO2), barium titanat (BaTiO3), nitrida (Si3N4, TiN, dan BN), serta karbida (SiC, TiC, dan B4C). Beberapa keramik modern memiliki sifat mekanik yang baik seperti alumina, silikon karbida, dan silikon nitrida. Bahan keramik ini sangat potensial digunakan dalam pembuatan piston mesin, ruang pembakaran, turbin gas, bahan isolator panas ruang pembakaran bersuhu tinggi, serta mata pahat pemotong. Kekuatan mekanik yang tinggi juga diperoleh dengan menambahkan 5-10% Y2O3, CaO, atau MgO ke dalam zirkonia. Material yang dihasilkan bernama zirkonia yang distabilkan oleh bahan tambahan tersebut (misalkan yttria-stabilized zirconia, YSZ, untuk zirkonia yang ditambahi Y2O3). Material YSZ digunakan pada pembuatan kepala piston, pelapis klep, cetakan gigi, dan tulang buatan. Sebagian keramik modern memiliki sifat electromagnet dan optik yang baik. Keramik ini digunakan sebagai bahan isolator, dielektrik, piezoelektrik, magnetik, transduser, dan lain-lain. Sebagian besar keramik oksida dan silikat merupakan bahan isolator yang
baik. Contoh yang sering digunakan adalah alumina, magnesia, beria, silika, dan alumina silikat. Karbon dan silikon karbida adalah contoh keramik non-oksida yang juga digunakan sebagai bahan isolator. Meskipun teknologi keramik mengalami kemajuan pesat, yang ditandai dengan pekembangan keramik modern, namun keramik tradisional tetap memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat Indonesia. Hal ini dipicu oleh berlimpahnya bahan baku keramik tradisional di sebagian besar wilayah Indonesia sehingga harga barang keramik yang dihasilkan cukup murah. Pada sentra keramik tradisional di Indonesia, bahan dasar pembuatan keramik umumnya lempung (clay) atau campuran lempung dan pasir. Barang keramik yang dihasilkan dari sentra keramik tradisional umumnya berupa barang kebutuhan rumah tangga sederhana seperti gentongan, pot bunga, alat dapur sederhana, dan hiasan sederhana. Namun, kualitas barang yang dihasilkan tidak terlalu baik, dari sisi kekuatan maupun dari sisi seni. Akibatnya, makin lama industri keramik tradisional makin tergusur oleh kehadiran keramik impor yang memiliki kualitas lebih baik serta harga yang bersaing. Salah satu kendala rendahnya kualitas keramik yang dihasilkan industri keramik tradiosinal adalah ketiadaan riset dan pengembangan teknik-teknik terbaru dala proses produksi. Produksi keramik sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari riset ilmu material. Kualitas keramik yang baik dapat dihasilkan dengan melakukan riset mendalam bidang material dalam proses produksi tersebut. Hingga saat ini, pengrajin industri keramik tradisional masih mempertahankan proses produksi lama dalam pembuatan keramik. Implikasinya adalah biaya pembuatan yang mahal (karena diperlukan waktu pembakaran lebih dari satu hari dan suhu pembakaran yang sangat tinggi). Keramik yang dihasilkan memiliki 83
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 2, Jul 2009
sifat mekanik yang rendah, serta struktur permukaan yang tidak halus. Dalam makalah ini dilaporkan hasil kajian proses produksi keramik berbasis nanomaterial. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kekuatan mekanik keramik, mereduksi lama waktu pembakaran, dan menurunkan suhu pembakaran. 2. Teori Dasar Bahan dasar pembuatan keramik tradisional adalah clay. Clay merupakan tanah yang membetuk masssa lengket ketika dicampur dengan air. Dalam keadaan basah massa tersebut dapat dibentuk, namun dalam keadaan kering massa tersebut menjadi keras, rapuh dan mempertahankan bentuknya. Lebih lanjut, jika dipanaskan, clay akan mengeras dan tidak dapat berinteraksi lagi dengan air. Ukuran partikel clay sangat kecil dan umumnya bergantung pada komposisi spesifik. Partikel-partikel utama clay memiliki ukuran kurang dari satu micrometer. Dengan ukuran yang kecil tersebut, clay memiliki luas permukaan spesifik (luas permukaan per satuan massa) yang besar. Proses pembuatan keramik diawali dengan pembentukan/pencetakan bahan dasar tanah liat dan air. Dalam tanah liat tersebut terjadi kontak antara satu partikel dengan partikel lainnya. Selanjutnya pengeringan dilakukan untuk membuang air sehingga hanya tersisa material anorganik kering berupa partikel-partikel clay yang terikat lemah satu sama lainnya. Proses berikutnya adalah pembakaran atau firing. Dalam proses ini, partikelpartikel yang semula terikat lemah karena hanya melakukan kontak lemah satu sama lain, mulai memperluas permukaan kontak akibat difusi atom. Kontak tersebut tumbuh menjadi laher (neck), yang ukurannya bergantung pada lama pemanasan, suhu pemanasan, dan jenis proses difusi yang terjadi. Makin lama waktu pemanasan maka ukuran leher makin besar sehingga ikatan antar partikel makin kuat. Proses pembentukan ukuran kontak dipicu oleh difusi permukaan, difusi kisi, dan difusi grain boundary. Gambar 1 adalah ilustrasi pertumbuhan luas permukaan kontak antar partikel ketika dilakukan pembakaran.
84
pertumbuhan luas persamaan empiris
permukaan
kontak
memenuhi
m
H ⎛X⎞ ⎜ ⎟ = nt R ⎝R⎠
dengan X adalah jari-jari leher, R adalah jari-jari partikel, t adalah lama waktu pembakaran, m dan n adalah parameter yang bergantung pada mekanisme yang terjadi dan H adalah konstanta karakteristik dari mekanisme tersebut [1]. Sejumlah mekanisme dan parameter yang berkaitan selama proses pembakaran diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1 Nilai parameter m, n, dan H untuk tiap mekanisme yang terjadi dalam proses pembakaran. Mekanisme Difusi permukaan Difusi kisi pada permukaan Transport uap Difusi grain boundary Difusi kisi dari grain boundary Aliran viskous
m 7
n 4
H 56DsδsγsvΩ/kT
4
3
20DsδsγsvΩ/kT
3 6
2 4
3poγsvΩ/(2πmkT)1/2kT 96DgbδgbγsvΩ/kT
5
3
80πDlδsγsvΩ/kT
2
1
3γsvΩ/2η
Ds = koefisien difusi permukaan, Dl = koefisien difusi kisi, Dgb = koefisien difusi grain boundary, δs = ketebalan difusi permukaan, δgb = ketebalan difusi grain boundary, γsv = energi permukaan spefisik, Ω = volume atomik, k = konstanta Boltzmann, T = suhu, m = massa atom, po = tekanan uap di permukaan datar, dan η= viskositas.
Secara matematis tidak mungkin mengisi penuh ruang dengan partikel. Khusus untuk partikel yang berbentuk bulat, volum maksimum ruang yang dapat ditempati partikel sekitar 72% dan sisanya adalah ruang kosong antar partikel. Untuk partikel yang terususun dalam kubus sederhana (simple cubic), jumlah ruang yang dapat diisi hanya π/6 [2,3]. Nilai ini disebut packing fraction. Gambar 2 adalah ilustrasi penyusunan partikelpartikel dan ruang kosong yang ditinggalkan.
2X R
Gambar 1 Ilustrasi pertumbuhan leher pada posisi kontak antara dua partikel. Jika diasumsikan bahwa partikel yang dibakar berbentuk bola atau mendekati bola, maka laju
Gambar 2 Tidak mungkin mengisi penuh ruang dengan partikel.
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 2, Jul 2009
Ketika material yang disusun oleh partikel-partikel tersebut dibakar maka luas permukaan kontak partikel tumbuh, namun ruang kosong antar partikel tetap ada, meskipun bentuknya berubah. Tidak mungkin menghilangkan ruang kosong kecuali terjadi penyusutan volum total material atau perubahan jarak antar atom (makin besar). Dengan demikian, dalam keramik yang sedang dibakar, ruang kosong di dalamnya tetap ada. Jika partikel-partikel penyusun keramik melakukan kontak dengan z tetangga terdekat dan tiap kontak menghasilkan gaya ikat rata-rata ε, maka gaya ikat total yang dialami tiap partikel adalah zε. Gaya ikat tersebut menentukan kekuatan mekanik keramik. Partikel-partikel yang tersusun dalam struktur kubus sederhana memiliki z = 6 sedangkan yang tersusun dalam hexagonal closed packed (hcp) memiliki z = 12. Dengan demikian, keramik yang disusun oleh partikel-partikel dalam struktur hcp lebih kuat daripada yang tersusun dalam kubus sederhana. Tetapi tidak mudah mengontrol penyusunan partikel dalam bahan keramik. Kita tidak memiliki cara paling efektif mengontrol penyusunan partikel agar teratur dengan struktur tertentu.
(a)
(b)
85
kosong. Gambar 3 adalah ilustrasi terbentuknya kontak antar partikel sebelum pemanasan (a) dan sesudah pemanasan (b). Pada penelitian ini dibuat keramik dengan menggunakan bahan dasar clay dan partikel karbon halus. Partikel karbon diharapkan mengisi ruang kosong antar partikel clay sehingga menghasilkan tambahan gaya ikat pada partikel clay akibat terbentuknya kontak baru. 3. Eksperimen Clay yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daerah Citeko, Purwakarta, Jawa Barat. Bubuk karbon dibuat dari tempurung kelapa yang dihasilkan melalui tahap pengeringan, pembakaran sampai warnanya berubah menjadi hitam sempurna, dan penggerusan dengan mortar hingga halus. Mula-mula clay dan bubuk karbon dicampur pada berbagai perbandingan massa. Air ditambahkan untuk mendapatkan hasil pencampuran yang homogen. Hasil campuran yang homogen kemudian dikeringkan untuk mengurangi kandungan air yang diikuti dengan proses pencetakan dalam cetakan berbentuk silinder dengan diameter 2 cm dan ketebalan 1 cm. Hasil pencetakan didiamkan beberapa hari untuk mengurangi kadar air lebih lanjut. Selanjutnya pembakaran dilakukan dalam furnace yang diprogram pada suhu pemanasan yang naik secara linier selama satu jam ke suhu yang diinginkan kemudian dipertahankan pada suhu tersebut pada berbagai rentang waktu, dan diakhiri dengan pendinginan secara alamiah. Karakterisasi sampel dilakukan dengan scanning electron microscope (SEM, JEOL JSM-6360 LA) untuk melihat morfologi dan komposisi kimiawi (EDX). Uji tekan dilakukan untuk mengetahui kekuatan keramik yang dibuat pada berbagai perbandingan massa clay/karbon dan berbagai suhu pemanasan. 4. Hasil dan Pembahasan
Gambar 3 Partikel-partikel kecil dapat mengisi ruang kosong antar partikel besar dan menghasilkan ikatan baru dengan partikel besar. Namun, yang jelas bahwa penyusunan partikelpartikel akan melahirkan celah yang ukurannya lebih kecil daipada ukuran partikel. Dengan kenyataan ini akan menjadi sangat logis apabila kita dapat mengisi celah antar partikel-partikel tersebut dengan partikel yang ukurannya lebih kecil dari ukuran celah maka kontak yang dialami partikel clay makin banyak. Kontak tidak hanya terjadi antar partikel clay tetapi juga antara partikel clay dengan partikel-partikel kecil yang mengisi ruang
Gambar 4 Foto SEM clay mentah yang berasal dari daerah Citeko, Purakarta. Gambar 4 adalah foto SEM clay mentah yang berasal dari daerah Citeko, Purakarta. Tampak bahwa partikel clay berbentuk lapisan-lapisan dengan ketebalan
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 2, Jul 2009
beberapa micrometer hingga submikrometer. Foto sampel hasil pengepresan yang dibuat pada berbagai perbandingan massa clay/karbon tampak pada Gbr. 5. Tampak bahwa warna sampel makin hitam dengan bertambahnya fraksi karbon.
86
karbon diperbanyak lagi maka mulai muncul ikatan antar karbon itu sendiri. Karena karbon dari tempurung kelapa merupaka grafit maka ikatan antar karbon cukup lemah, bahkan lebih lemah dari ikatan antar karbon dan clay. Dengan demikian kehadiran ikatan antara karbon-karbon akan memperlemah keramik. Penampahan karbon makin banyak menyebabkan jumlah ikatan antar karbon makin banyak sehingga keramik makin rapuh.
(a)
Gambar 5 Foto sampel hasil pengepresan yang dibuat pada berbagai perbandingan massa clay/karbon.
Stress [N/cm2]
4.1 Efek Suhu Pembakaran Salah satu tujuan penelitian ini adalah mencari suhu pembakaran yang optimum, lebih diinginkan suhu yang serendah mungkin, tanpa mengorbankan kualitas keramik. Kita mencoba sejumlah suhu pembakaran dengan mempertahankan lama waktu pembakaran tiga jam, yang terbagi atas satu jam untuk menaikkan ke suhu yang diinginkan, dan dua jam dipertahankan pada suhu yang dinginkan tersebut. Selanjutnya furnace dibiarkan mendingin secara alamiah. Gambar 6(a) sampai 6(d) adalah kekuatan keramik yang dibuat pada berbagai suhu pembakaran (a) 500 oC, (b) 600 oC, (c) 750 oC, dan (d) 900 oC. Dari semua kurva tersebut tampak bahwa kekuatan keramik mula-mula meningkat dengan bertambahnya fraksi karbon, kemudian menurun setelah mencapai kekuatan maksimum pada fraksi karbon sekitar 0,05 – 0,1 w/w. Sedikit perbedaan tampak pada sampel yang dibakar pada suhu 600 oC, di mana kekuatan mula-mula menurun dengan bertambahnya karbon, lalu mencapai maksimum pada rentang antara 0,05 – 0,1 w/w, dan menurun kembali dengan makin bertmbahnya kandungan karbon. Perbedaan ini kemungkinan besar akibat kesalahan data pengukuran. Menarik untuk mengkaji mengapa kekuatan keramik mula-mula naik dengan bertambahnya kandungan karbon, lalu berkurang dengan pertambahan karbon lebih lanjut. Kita dapat menjelaskan fenomena ini sebagai berikut. Tanpa karbon, ruang antar partikel clay berupa ruang kosong. Gaya ikat yang terbentuk hanya gaya ikat antar partikel clay. Dengan menambahkan sedikit karbon, partikel-partikel karbon mulai mengisi ruang antar partikel clay. Akibatnya muncul ikatan baru yang bekerja pada partikel clay, yaitu ikatan antara partikel clay dan ikatan antara partikel clay dan partikel karbon. Jika karbon ditambah lebih lanjut maka makin banyak terbentuk ikatan antara partikel clay dan partikel karbon sehingga kekutan keramik makin meningkat. Jika
(b)
(c)
(d)
Fraksi karbon [w/w] Gambar 6 Kekuatan keramik yang dibuat pada berbagai suhu pembakaran (a) 500 oC, (b) 600 oC, (c) 750 oC, dan (d) 900 oC
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 2, Jul 2009
4.2 Efek Lama Waktu Pembakaran Tujuan lain dari penelitian ini adalah meredusksi lama waktu pembakaran keramik tanpa mengorbankan kualitas (kekuatannya). Keramik yang dibuat di sentra keramik tradisional memerlukan waktu pembakaran lebih dari 30 jam untuk mendapatkan keramik yang kuat. Pembakaran yang sangat lama tersebut menghabiskan energi yang sangat banyak, yang pada akhirnya harus mempertinggi harga jual keramik agar diperoleh keuntungan yang memadai. Hal ini menyebabkan nilai kompetitif keramik lokal cukup rendah, karena banyak keramik import dengan kualitas setara atau bahkan lebih baik dapat diperoleh dengan harga lebih murah. Kita mencoba bermacam-macam lama waktu pembakaran untuk mencari waktu pembakaran optimum. Pada percobaan ini suhu pembakaran dipertahankan 900 o C dan lama waktu pembakaran divariasi 2 jam, 4 jam, dan 10 jam. Gambar 7 (a) – (c) adalah kurva stress keramik yang dibakar selama selang waktu yang berbedabeda (a) 2 jam, (b) 4 jam, dan (c) 10 jam. Sangat menarik dari hasil tersebut bahwa makin lama waktu pembakaran maka puncak stress bergeser ke fraksi karbon yang lebih tinggi. Bagaimana menjelaskan variasi stress terhadap lama waktu pembakaran. Kita menduga, penyebabnya adalah hilangnya (penguapan karbon). Kehilangan tersebut mungkin diakibatkan oleh perubahan karbon menjadi karbon dioksida. Makin lama suhu pembakaran maka jumlah
karbon dalam sampel makin sedikit karena sebagian telah menguap. Pada suhu pembakaran yang lama, fraksi karbon dalam sampel lebih sedikit daripada daripada fraksi karbon yang digunakan dalam pencampuran awal. Sebenarnya fraksi karbon yang tertinggal dalam sampel yang dibakar pada berbagai waktu tersebut tidak berbeda jauh. Namun, karena jumlah karbon yang menguap pada berbagai sampel berbeda, maka seolah-olah waktu pembakaran yang lama menghasilkan stress maksimum pada fraksi karbon yang tinggi.
(a)
(b)
Stress [N/cm2]
Mengapa kekuatan maksimum terjadi saat kandungan karboh antara 0,05 – 0,1 w/w? Hipotesis yang dapat diajukan adalah pada fraksi tersebut volum karbon kira-kira sama dengan volum ruang kosong antara partikel clay, sehingga kandungan karbon dalam keramik adalah maksimum tanpa memunculkan ikatan antar karbon. Jika volum karbon lebih banyak dari volum ruang antar partikel clay maka akan terbentuk ikatan antar partikel karbon yang akan mengurangi kekuatan keramik. Massa jenis partikel karbon (grafit) sekitar 0,641 g/cm3 dan massa jenis titania antara 2,0 – 2,7 g/cm3 (ratarata ≈ 2,4 g/cm3). Dengan perbandingan massa untuk mencapai kekuatan maksimum pada jangkauan 0,05 – 0,1 w/w, maka perbandingan volume berada dalam range 2,4/0,641 = 3,7 kali, yaitu antara 0,19 – 3,7 v/v. Sebagai perbandingan, fraksi volum ruang kosong dalam strukturk hcp sekitar 0,28. Nilai ini berada dalam jangkauan fraksi volum karbon dalam keramik. Ini mempertegas bahwa partikel-partikel karbon benar-benar mengisi ruang kosong antara partikel clay. Dari semua data pengamatan pada Gbr. 6 tampak jelas bahwa kekuatan maksimum (puncak dari kurva stress) bertambah dengan meningkatnya suhu. Dalam rentang suhu percobaan antara 500 oC sampai 900 oC diperoleh bahwa kekuatan maksimum dicapai pada suhu 900 oC. Peningkatan suhu pembakaran lebih lanjut di atas 900 oC tidak dilakukan karena suhu 900 oC adalah suhu yang biasa digunakan para pengrajin keramik tradisional untuk membakar keramik. Dan salah satu tujuan penelitian ini adalah bagaimana mereduksi suhu pembakaran keramik hingga di bawah 900 oC.
87
(c)
Fraksi karbon [w/w] Gambar 7 Kurva stress keramik yang dibakar selama selang waktu yang berbeda-beda (a) 2 jam, (b) 4 jam, dan (c) 10 jam. Kesimpulan ini juga didukung oleh data EDX dari sampel yang dibuat pada suhu 900 oC dengan lama pembakaran 2 jam dan 10 jam, seperti pada Tabel 2. Data EDX diambil untuk sampel yang memiliki stress terbesar. Tampak bahwa kandungan karbon pada sampel yang dibuat dengan lama pemanasan 2 jam dan 10 jam hampir sama, yaitu sekitar 2% massa.
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 2, Jul 2009
Juga tampak pada Gbr.7 bahwa penambahan waktu pembakaran di atas 2 jam justru menurunkan kekuatan keramik. Pada pembakaran selama 2 jam, stress maksimum hingga di atas 4000 N/cm2 dapat dicapai, sedangkan pada pembakaran selama 4 jam diperoleh stress maksimum sekitar 1000 N/cm2 dan pada suhu pembakaran 10 jam diperoleh stress maksimum sekitar 1700 N/cm2. Pengamatan ini dapat dijelaskan secara sederhana sebagai berikut. Pada waktu pembakaran sekitar 2 jam, telah terjadi kontak yang optimum antara partikel karbon dan partikel clay. Jika waktu pembakaran diperpanjang maka sebagian karbon yang melakukan kontak dengan clay menguap sehingga kontak yang semula terbentuk menjadi hilang. Akibatnya, kekuatan keramik kembali menurun.
88
Gambar 8 adalah foto SEM keramik yang dibuat pada suhu 900 oC dengan lama pemanasan (a) 2 jam dan (b) 10 jam. Tidak ada perbedaan signifikan morfologi mikrostruktur sampel yang dihasilkan pada waktu pembakaran yang berbeda. Hasil ini menunjukkan bahwa pada suhu pemanasan 900 oC, waktu pemanasan 2 jam lebih baik daripada pemanasan 10 jam.
Tabel 2 Persentase unsure dalam sampel yang dibuat pada suhu pemasan 900 oC dengan lama waktu pemanasan 2 jam dan 10 jam. Persen Massa [% w/w] Unsur 2 jam 10 jam C 1,99 2,36 O 44,02 45,01 Al 12,37 13,09 Si 24,88 25,98 K 1,53 1,55 Fe 15,22 12
a
Gambar 9 Perbandingan warna sampel-sampel untuk semua eksperimen. (atas ke bawah) sampel yang dibuat pada suhu 500 oC selama 2 jam, 600 oC selama 2 jam, 750 o C selama 2 jam, dan 900 oC selama 4 jam. Perbandingan warna sampel-sampel untuk semua eksperimen bisa dilihat pada Gbr 9. Terlihat bahwa semakin tinggi suhu pembakaran maka warna sampel semakin terang. Warna sampel yang merah kecoklatan mengindikasikan bahwa clay yang digunakan mengandung Fe dan sesuai dengan hasil uji EDX yang dilakukan, seperti pada Tabel 2.
b
Gambar 8 foto SEM keramik yang dibuat pada suhu 900 o C dengan lama pemanasan (a) 2 jam dan (b) 10 jam.
5. Kesimpulan Telah berhasil disintesis komposit keramik dari campuran clay dan bubuk karbon yang memiliki kekuatan mekanik tinggi pada pembakaran singkat (2 jam). Penambahan bubuk karbon sekitar 0,05 – 0,1 w/w meningkatkan kekuatan keramik sekitar 8 kali lipat dari kekuatan keramik tanpa penambahan karbon (keramik yang dibakar pada suhu 900 oC selama 2 jam). Penambahan fraksi karbon lebih lanjut di atas nilai tersebut akan kembali menurunkan kekuatan keramik karena terbentuknya ikatan antara partikel karbon yang lebih lemah daripada ikatan antar partikel clay. Pembakaran dalam rentang waktu yang lebih panjang dari 2 jam juga menurunkan kekuatan keramik, yang diduga akibat hilangnya karbon (penguapan) akibat pembakaran yang lama. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dibiayai oleh DP2M Diknas melalui Hibah Kompetensi 2008 dengan topik Pengembangan
J. Nano Saintek. Vol. 2 No. 2, Jul 2009
Keramik Berbasis Nanomaterial untuk Meningkatkan Daya Saing Industri Keramik Lokal. Terima kasih kepada Bapak Asep Mulyana dari industri keramik Super Sinar, Plered, Purwakarta atas bantuan berupa bahan clay. (*)
Sedang bertugas di Pusat Bimbingan Belajar Primagama, Lombok, NTB
Daftar Pustaka [1] J.S. Reed, Principles of Ceramic Processing, 2nd ed. New York: Wiley, 1995. [2] Mikrajuddin, F.G. Shi, and K. Okuyama, J. Electrochem. Soc. 147, 3157 (2000). [3] Mikrajuddin, F. G. Shi, S. Chungpaiboonpatana, K. Okuyama, C. Davidson, and J.M. Adams, Mater. Sci. Semicond. Process. 2, 309 (1999).
89