ISSN 1979-0880
Jurnal Nanosains & Nanoteknologi Vol. 1 No.2, Juli 2008
Sintesis dan Karakterisasi Nanoserat Polianilin Akhiruddin Maddu(a), Setyanto Tri Wahyudi dan Mersi Kurniati Bagian Biofisika, Departemen Fisika FMIPA Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680 (a) E-mail:
[email protected];
[email protected] Diterima Editor Diputuskan Publikasi
: :
8 Mei 2008 14 Mei 2008
Abstrak Nanoserat (nanofiber) polianilin disintesis dengan metode polimerisasi antarmuka (interfacial polymerization) sistem dua fasa organic-air (aqueous) dari monomer anilin dengan oksidan ammonium peroxydisulfat, (NH)4S2O8 dan HCl sebagai sumber doping proton. Sampel bubuk polianilin dikarakterisasi dengan FTIR, XRD dan SEM. Selain itu sampel film polianilin yang di-casting pada substrat kaca preparat dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis untuk melihat karakteristik absorpsi spesifik dan responnya terhadap perlakuan uap amonia dan uap aseton. Hasil foto SEM memperlihatkan morfologi nanostruktur berbentuk nanoserat dengan diameter serat beberapa puluh nanometer yang saling bersilangan. Hasil difraksi sinar-X memperlihatkan struktur kristal parsial atau semikristalin dari polianilin. Sedangkan hasil uji FTIR mengindikasikan bahwa sampel polianilin yang diperoleh merupakan bentuk emeraldine salt (ES) yaitu polianilin teroksidasi. Hasil uji sifat optik memperlihatkan karakteristik spektra absorpsi spesifik polianilin berubah terhadap interaksinya dengan uap amonia dan uap aseton. Kata Kunci: Polianilin, nanoserat, polimerisasi interfasial
1. Pendahuluan Polianilin (PANi) adalah salah satu bahan polimer konduktif yang banyak dikaji pada lebih dari dua dekade terakhir karena sifat fisika dan kimianya yang khas sehingga memiliki potensi aplikasi yang luas. Bahan polimer konduktif ini sangat unik yaitu dapat mengalami perubahan sifat listrik dan optik yang dapat balik (reversible) melalui reaksi redoks dan doping-dedoping atau protonasi-deprotonasi sehingga sangat potensial dimanfaatkan pada berbagai aplikasi. Sejauh ini, bahan polianilin telah digunakan pada berbagai aplikasi seperti sensor kimia khususnya sensor gas [1-4], piranti elektrokromik [4,5], sel fotovoltaik [6], LED polimer [7] dan baterai sekunder [8]. Berdasarkan tingkat oksidasinya, polianilin dapat disintesis dalam beberapa bentuk isolatifnya yaitu leucomeraldine base (LB) yang tereduksi penuh, emeraldine base (EB) yang teroksidasi setengah dan pernigraniline base (PB) yang teroksidasi penuh. Dari tiga bentuk ini, EB yang paling stabil dan juga paling luas diteliti karena konduktivitasnya dapat diatur dari 10-10 S/cm hingga 100 S/cm melalui doping, sedangkan bentuk LB dan PB tidak dapat dibuat konduktif. Bentuk EB dapat dibuat konduktif dengan doping asam protonik seperti HCl, dimana proton-proton ditambahkan ke situs-situs –N=, sementara jumlah elektron pada rantai tetap. Bentuk konduktif dari EB disebut emeraldine salt (ES) [9]. Bentuk dasar EB berubah menjadi ES melalui reaksi oksidasi dengan asam-asam protonik seperti HCl, sebaliknya bentuk ES dapat dikembalikan menjadi bentuk EB melalui reaksi reduksi dengan agen reduktan seperti NH4OH, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Kedua proses ini disebut juga proses protonasi-deprotonasi atau
doping-dedoping. Kedua bentuk emeraldine memiliki sifat listrik yang berkebalikan, EB yang isolatif dan ES yang konduktif atau semikonduktif. Derajat konduktivitas emeraldine ini bergantung pada tingkat doping yang diberikan, yaitu jumlah proton (H+) yang didopingkan ke dalam struktur emeraldine [10]. Sifat optiknya juga berbeda untuk kedua bentuk emeraldine, yaitu EB berwarna biru sedangkan ES berwarna hijau sehingga karakteristik absorpsi optiknya berbeda. Sifat listrik (konduktivitas) dan optik (indeks bias dan absorpsivitas) emeraldine dapat divariasikan melalui reaksi oksidasireduksi oleh agen-agen oksidan dan reduktan. Karakteristik ini dapat dimanfaatkan untuk sensor kimia.
Gambar 1 Reaksi protonasi-deprotonasi polianilin [10] Akhir-akhir ini pengembangan bahan polimer konduktif nanostruktur (nanoparticle, nanowire, nanotube, nanofiber) sangat intensif dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerjanya dalam berbagai aplikasi. Polianilin nanostruktur adalah salah satu yang luas diteliti, khususnya bentuk nanoserat (nanofiber) yang banyak 74
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
dikembangkan sebagai sensor kimia khususnya sensor gas [3,11-14] dan biosensor [15]. Pada aplikasi sensor kimia, khususnya sensor gas, polianilin nanostruktur memiliki kelebihan dibandingkan polianilin bulk. Nanoserat polianilin, misalnya, sangat efektif sebagai sensor kimia (gas) karena memiliki luas permukaan terekspose jauh lebih besar sehingga proses difusi molekul gas ke dalam struktur nanoserat polianilin berlangsung lebih cepat dan kedalaman penetrasi molekul gas atau uap kimia ke dalam nanoserat jauh lebih besar yang akan meningkatkan sensitivitas dan responsivitas sensor [3,12,13]. Berbagai metode telah dikembangkan untuk sintesis nanoserat polianilin, diantaranya electrospinning [9,16,17], metode ”seeding” [18,19], dan polimerisasi interfasial [12,13,20,21]. Metode electrospinning relatif lebih mahal dan lebih rumit karena dibutuhkan sumber potensial tinggi dan peralatan rumit lainnya. Metode polimerisasi interfasial merupakan metode kimia yang relatif sangat sederhana dan lebih murah. Dalam penelitian ini nanoserat polianilin disintesis dengan metode polimerisasi interfasial karena mudah dilakukan dan relatif murah. 2. Eksperimen Bahan-bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk sintesis nanoserat polianilin adalah monomer anilin, ammonium peroxydisulphide (NH)4S2O8 sebagai oksidan atau inisiator polimerisasi, HCl sebagai doping sumber proton (H+), toluena sebagai fasa organik dan akuades sebagai fasa air (aquoeus). Sintesis nanoserat polianilin Dalam penelitian ini, nanoserat polianilin disintesis dengan metode polimerisasi interfasial sistem dua fasa larutan organik/air (aqueous) dengan mengadopsi metode yang telah dikembangkan oleh beberapa kelompok peneliti [11,13,20,21]. Langkah-langkah yang dilakukan dijelaskan berikut ini. Pertama, dibuat dua larutan secara terpisah, yaitu larutan toluena 50 ml yang ditambahkan 1 ml monomer anilin 1M sebagai fasa organik dan larutan HCl 1M sebanyak 50 ml yang ditambahkan 0,6 gr oksidan (NH)4S2O8 sebagai fasa air (aqueous). Kedua larutan dicampurkan ke dalam satu wadah kimia tanpa diaduk, kedua larutan terpisah karena berbeda fasa, larutan toluena-anilin berada di atas dan laturan HCl-(NH)4S2O8 berada di sebelah bawah. Sesaat setelah pencampuran, dengan cepat polimerisasi mulai berlangsung pada batas (interface) fasa organik dan fasa air. Proses ini dibiarkan sepanjang malam untuk memberikan waktu terjadi polimerisasi lengkap. Produk berupa endapan polianilin dikumpulkan dan dimurnikan melalui filtrasi, kemudian dibilas dengan akuades beberapa kali. Selanjutnya dikeringkan sehingga akhirnya diperoleh bubuk polanilin. Karakterisasi Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji morfologi dengan SEM (scanning electron microscopy), uji kristalografi dengan XRD (X-ray diffraction), uji
75
gugus fungsional polianilin dengan spektroskopi FTIR dan karakterisasi spektroskopi optik untuk melihat spektrum absorpsi polianilin tanpa dan dengan perlakuan uap amonia dan uap aseton. 3. Hasil dan Pembahasan Proses Polimerisasi Proses polimerisasi terbentuk pada batas antaramuka (interface) antara fasa organik yang mengandung anilin dan fasa air yang mengandung oksidan dan dopan proton. Saat kedua larutan anilintoluena dan HCl-(NH)4S2O8 dicampurkan ke dalam satu wadah gelas kimia, kedua larutan terpisah karena berbeda fasa, larutan anilin-toluena berada di atas dan laturan HCl-(NH)4S2O8 berada di sebelah bawah. Sesaat setelah pencampuran, dengan cepat berlangsung polimerisasi anilin pada batas kedua fasa larutan dan berdifusi ke sebelah bawah (fasa air). Mula-mula terbentuk polianilin berwarna biru karena belum terprotonisasi dan berubah menjadi hijau setelah bereaksi dengan HCl sehingga polianilin terprotoniasi di dalam fasa air. Pada saat yang sama, warna lapisan organik di sebelah atas berubah warna menjadi oranye kemerahan akibat pembentukan oligomer anilin. Proses ini dibiarkan sepanjang malam untuk memberikan waktu terjadi polimerisasi lengkap. Produk berupa endapan polianilin berwarna hijau gelap terkumpul pada bagian bawah wadah.
Gambar 2 Proses polimerisasi Morfologi Polianilin Morfologi permukaan polianilin pada substrat kaca preparat dapat diamati langsung dengan menggunakan mikroskop elektron (SEM). Morfologi permukaan sampel polianilin diambil menggunakan SEM dengan perbesaran 40.000. Morfologi permukaan ditunjukkan pada Gambar 2, tampak citra SEM memperlihatkan struktur nano polianilin berbentuk serat dengan diameter beberapa puluh nanometer dan panjang beberapa ratus nanometer serta sangat berpori (highly porous). Pada citra SEM, dapat diamati dengan jelas nanoserat-nanoserat ini saling bersilangan membentuk struktur yang sangat berpori. Struktur nanoserat ini terbentuk melalui proses polimerisasi yang terjadi secara difusi pada bidang batas dua fasa, organik-air (aqueous). Dengan serat-serat berukuran nanoskopik mengakibatkan struktur polianilin sangat berpori yang memungkinkan molekul-molekul uap atau gas dapat menembus (penetrasi) lebih dalam dan berinteraksi dengan hampir seluruh serat-serat polianilin. Akibatnya, semua serat (fiber) polianilin dapat berkontribusi terhadap proses sensing untuk memperoleh sensitivitas sensor yang lebih baik [12,13]
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
76
bersesuaian dengan vibrasi stretching C-N [24]. Sedangkan puncak kuat 1120 cm-1 bersesuaian dengan stretch C=N cincin quinoid terprotonasi, diyakini sebagai puncak karakteristik dan justifikasi kondisi konduktif polianilin [8,19]. Hasil ini sesuai dengan kondisi sintesis sampel dimana polianilin didoping dengan HCl sebagai sumber proton (H+) sehingga menghasilkan bentuk konduktif polianilin (Emeraldine salt).
Gambar 2 Citra SEM permukaan polianilin Kristalografi Polianilin Karakterisasi XRD dilakukan untuk mengetahui kristalinitas sampel nanoserat polianilin. Pola difraksi (difraktogram) sampel nanoserat polianilin pada Gambar 3, memperlihatkan tiga puncak difraksi pada sudut 2θ=14,5o, 19,6o dan 25,5o. Pola difraksi ini mengindikasikan struktur kristal parsial atau semikristalin dari polianilin [22]. Puncak pada 2θ=19,6o diakibatkan oleh periodisitas yang sejajar terhadap cincin polimer polianilin, sedangkan puncak pada 2θ=25,5o diakibatkan oleh periodisitas yang tegak lurus terhadap cincin polimer polianilin [8,22,23]. Pola difraksi yang melebar mengindikasikan struktur polianilin nanokristal. 1200
14.5
Intensitas (arb. unit)
1000
19.6
25.5
800 600 400 200 0 10
20
30
Sudut 2θ /
40
50
o
Gambar 3 Pola difraksi sinar-X sampel polianilin Spektum inframerah Uji spektroskopi inframerah bertujuan untuk melihat gugus fungsional sampel polianilin yang telah disintesis. Gambar 4 memperlihatkan spektrum transmitans inframerah sampel polianilin dengan pita-pita absorpsi karakteristik yang bersesuaian dengan gugus fungsional polianilin. Pada kurva, tampak pita absorpsi karakteristik polianilin pada bilangan gelombang 1561 cm-1 dan 1460 cm-1, yang masing-masing ditandai sebagai vibrasi stretching C=C dari cincin-cincin quinoid (N=Q=N) dan cincin-cincin benzoid (N-B-N) sebagai backbone polianilin [8,19,24]. Puncak karakteristik pada 1400 cm-1 merupakan vibrasi stretching gugus amonium aromatik [8,25], dan karakteristik pada 1294 cm-1
Gambar 4 Spektra transmitans FTIR sampel polianilin Spektra absorpsi optik Uji spektroskopi optik dimaksudkan untuk melihat karakteristik serapan (absorpsi) optik polianilin pada rentang cahaya tampak (visible) hingga inframerah dekat. Spektrum absorpsi film polianilin hasil casting pada substrat kaca diambil sebelum dan setelah diberi perlakuan uap amonia. Kurva spektrum absorbansi spesifik film polianilin berdoping sebelum dan setelah perlakuan uap amonia dan aseton ditunjukkan pada Gambar 5. Film polianilin sebelum perlakuan uap kimia memiliki dua pita absorpsi yaitu yang berpusat pada sekitar 420 nm dan spektrum lebar antara 700-900 nm yang mengindikasikan bentuk polianilin teroksidasi atau bentuk ES polianilin. Spektrum absorpsi ini bersesuaian dengan transisi elektronik pita polaron di dalam bahan polianilin. Absorpsi pada pita 420 bersesuaian dengan transisi polaron-π*, sedangkan transisi pada sekitar 800 nm bersesuaian dengan transisi pita π-polaron [24,26]. Pita absopsi film polianilin ini juga bersesuaian dengan warna hijau polianilin berdoping, yaitu bentuk emeraldine salt (ES), sehingga tidak menyerap spektrum hijau namun menyerap dengan kuat spektrum biru dan merah hingga inframerah dekat. Ketika diekspose dengan uap amonia, film polianilin mengalami deprotonasi yaitu pelepasan proton (H+) yang diikuti pengikatan OH- dari uap larutan NH4OH, akibatnya polianilin berubah menjadi emeraldine base (EB) yang berwarna biru [4,27]. Implikasinya, spektrum absorpsinya bergeser ke arah panjang gelombang lebih pendek sehingga tidak lagi menyerap spektrum biru namun menyerap dengan kuat spektrum yang cukup lebar
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
dari hijau hingga merah ditunjukkan pada Gbr. 5.
77
(640-900
nm),
seperti
2 1. 8 1. 6 Absorbansi
1. 4 1. 2 1 0. 8 0. 6 0. 4 0. 2 0 400
500
600
7 00
8 00
9 00
Panja ng ge lom ba ng (nm ) No NH3
With NH3
Gambr 5 Spektrum absorpsi film polianilin tanpa dan dengan perlakuan uap amonia Selain itu, akibat deprotonasi atau dedoping dengan uap amonia melalui pelepasan proton (H+) dan pengikatan OH-, struktur elektronik polianilin berubah yang mengakibatkan celah pita energinya melebar. Akibatnya, spektrum absorpsinya bergeser ke daerah panjang gelombang lebih pendek, artinya celah pita energi optiknya berkurang ketika didoping atau diprotonasi. Lekha dkk melaporkan nilai energi celah pita optik polianilin tanpa doping adalah sekitar 1,68 eV dan berkurang menjadi 1.41 eV setelah didoping dengan asam tungstophosphoric [28]. Perubahan spektra absorpsi sampel polianilin terhadap perlakuan uap amonia mengindikasikan dapat diterapkan sebagai sensor optik uap amonia. 2.5
perubahan warna polianilin ketika diekspose dengan uap aseton seperti pada perlakuan uap amonia. Perubahan yang terjadi berupa perubahan intensitas absorpsi pada dua pita karakteristik polianilin yaitu pita absorpsi sekitar 480 nm dan pita lebar antara 720-900 nm. Tampak bahwa spektra absorpsi menurun pada pita sekitar 480 nm dan meningkat pada pita lebar antara 720-900 nm. Berdasarkan karakteristik spektra yang diperoleh, diyakini bahwa interaksi uap aseton dengan polianilin mengakibatkan perubahan sifat optik polianilin. Lekha dkk melaporkan bahwa interaksi antara polianilin dengan uap aseton mengakibatkan pembengkakan (swelling) pada polianilin yang mengakibatkan kerapatannya berkurang, sehingga indeks bias optiknya menurun [28]. Karakteristik spektra absorpsi polianilin yang bervariasi terhadap perlakuan uap aseton mengindikasikan bahwa polianilin dapat merespon secara optik kehadiran uap aseton. 4. Kesimpulan Polianilin yang disintesis dengan metode polimerisasi interfasial memperlihatkan morfologi polianilin berbentuk serat-serat nano dan sangat berpori. Berdasarkan data FTIR dapat dijustifikasi bahwa sampel polianilin yang disintesis merupakan fasa konduktif polianilin, yaitu polianilin teroksidasi atau bentuk emeraldine salt (ES). Hasil spektroskopi optik memperlihatkan karakteristik spektra absorpsi spesifik polianilin dengan dua pita absorpsi, yaitu pita biru sekitar 420 nm dan pita lebar anatar 700-900 nm, untuk sampel polianilin teroksidasi atau emeraldine salt (ES) yang belum diekspose dengan uap kimia. Ketika diekspose dengan uap amonia, spektra ini bergeser ke panjang gelombang lebih pendek akibat deprotonasi yang mentransformasi emeraldine salt (ES) menjadi emeraldine base (EB) dan berubah warna menjadi biru. Sedangkan perlakuan uap aseton tidak mengakibatkan pergeseran pita absorpsi namun merubah intensitas pita-pita absorpsi polianilin.
Absorbans (a.u.)
2
Referensi 1.5
1
0.5 400
480
560
640
720
800
880
960
Panjang ge lombang (nm) T an p a Uap Aset o n
P erlak uan Uap Aset o n
Gambar 6. Spektrum absorpsi film polianilin tanpa dan dengan perlakuan uap aseton Perlakuan uap aseton terhadap sampel polianilin juga mengakibatkan perubahan karakteristik spektra absorpsi polianilin. Namun perubahan spektra tidak mengakibatkan pergeseran pita absorpsi, seperti ditunjukkan pada Gambar 6, artinya tidak terjadi
[1] J. Stejskal, D. Hlavata, P. Holler, M. Trchova, J. Prokes and I. Sapuria, Polym. Int. 53, 294 (2004). [2] D. Nicolas-Debarnot and Fabienne Poncin-Epaillard, Anal. Chim. Acta 475, 1 (2003). [3] D. Li, C. Martinez, J. Janata, J.A. Smith, M. Josowicz and S. Semancik, Electrochem. Solid-State Lett. 7, H44 (2004). [4] H. Hu. L. Hechavarria and M.E. Nicho, Revista Mexicana De Fisica 50, 471 (2004). [5] A. Bessiere, C. Dahamel, J.-C. Badot, V. Lucas and M.-C. Certiat, Electrochim. Acta 49, 2051 (2004). [6] R. Valaski, F. Muchenski, R.M.Q. Mello, L. Micaroni, L.S. Roman and I.A. Hummelgen, J. Solid State Electrochem. 10 , 24 (2006). [7] H.L. Wang, A.G. MacDiarmid, Y.Z. Wang, D.D. Gebler and A.J. Epstein, Synth. Metals 78, 33 (1996). [8] F. Cheng, W. Tang, C. Li, J. Chen, H. Liu, P. Shen and S. Dou, Chem. Eur. J. 12, 3082 (2002).
J. Nano Saintek. Vol. 1 No. 2, Jul 2008
[9] M. J. Díaz-de León, Proceeding of The National Conference On Undergraduate Research (NCUR) 2001, University of Kentucky, March 15-17, 2001 Lexington, Kentucky (2001). [10] G.M. Do Nascimento, P. Corio, R.W. Novicks, M.L.A. Temperini and M.S. Dresselhaus, J. Polym. Sci. A: Polym. Chem. 43, 815 (2005). [11] J. Huang, Pure Appl. Chem. 78, 15 (2006). [12] J. Huang, S. Virji, B.H. Weller, and R.K. Kaner, Chem. Eur. 10, 1314 (2004). [13] S. Virji, J. Huang, R.B. Kaner and B.H. Weiller, Nano Letters 4, 491 (2004). [14] J. Huang, S. Virji, B.H. Weiller and R.B. Kaner, J. Am. Chem. Soc. 125, 314 (2003). [15] A. Morrin, O. Ngamna, A.J. Killard, S.E. Moulton, M.R. Smyth and G.G. Wallace, Electroanalysis 17, 423 (2005). [16] N.J. Pinto, A. T. Johnson, Jr., A. G. MacDiarmid, C. H. Mueller, N. Theofylaktos, D. C. Robinson, and F. A. Miranda, Appl. Phys. Lett. 83, 4224 (2003). [17] S. Xing, H. Zheng, G. Zhao, Synthetic Metals 158, 59 (2008). [18] X. Zhang, W.J. Goux and S.K. Manohar, J. Am. Chem. Soc. 126, 4502 (2004). [19] S. Xing, C. Zhao, S. Jing and Z. Wang, Polymer 47, 2305 (2006). [20] X. Zhang, R.C-Y-King, A. Jose and S.K. Manohar, Synth. Metals. 145, 23 (2004). [21] A.R. Hopkins, A.R., D.D. Sawall, R.M. Villahermosa and R.A. Lepeles, Thin Solid Films 469-470, 304 (2004). [22] W. Li, J.A. Bailey, H-L. Wang, Polymer 47, 3112 (2006). [23] W. Zhao, L. Ma, and K. Lu, J. Polym. Res. 14, 1 (2007). [24] S. Zhang, S. Kan and J. Kan, J. Appl. Polym. Sci. 100, 946 (2006). [25] H. Xia, H., D. Cheng, C. Xiao and H.S.O. Chan, J. Mater. Chem. 15, 4161 (2005). [26] J-Y. Kim, J-H. Lee and S-J. Kwon, Synth. Metals 157, 336 (2007). [27] Z. Opilski, T. Pustelny, E. Maciak, M. Bednorz, A. Stolarczyk and M. Jadamiec, Bull. Polish Acad. Sci.: Tech. Sci. 53, 151 (2005). [28] P.C. Lekha, E. Subramanian and D.P. Padiyan, Sensors and Actuators B, 122, 274 (2007).
78