sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXII, Nomor 2, Tahun 2007 : 29 -41
ISSN 0216-1877
SIKLUS KARBON DAN KARBON DIOKSIDA DI ATMOSFER DAN SAMUDERA Oleh Afdal 1 ) ABSTRACT THE CARBON AND CARBON DIOXIDE CYCLES IN THE ATMOSPHERE AND OCEANS. Growing concern about the effects on global climate of carbon dioxide (CO2) and other gases released into the atmosphere through human activity has sharpened scientific interest in the role of the ocean in the global carbon cycle. The ocean holds 95% of carbon that circulates actively in the biosphere. Over a long term period, the ocean s carbon cycle plays a dominant part in the natural regulation ofCO2 levels in the atmosphere and contributing to global temperature. Unlike the most gases in the atmosphere, CO2 reacts to seawater and dissociates to form bicarbonate and carbonate ions. However the capacity of the ocean for taking up CO2 is not infinite. Researchers in the 1950 s discovered two important limiting factors. Because of the long time scale of ocean circulation, the ocean takes up CO2 slowly, much slower than the rate at which CO2 from anthropogenic sources accumulated in the atmosphere. A number of physical, chemical and biological processes govern the transport of the carbon in the ocean from the surface waters to the deep waters and sediments of the ocean floor, as well as its cycling among various organic and inorganic forms. Carbon dioxide is more soluble in the cold surface waters near the polar regions than it is in the warmer regions of the ocean; these denser waters take up CO2 and sink to deep waters that circulate slowly through the ocean. This "solubility pump" helps the surface waters lower than the deep waters. This condition promotes flux of the gas from the atmosphere into the ocean. Phytoplankton takes up nutrients and CO2 from the water in the photosynthesis process. They create organic matters; some of them are cycled through the food web in the water column and other sink to the bottom in the particles form or are mixed into deeper waters as dissolved organic or inorganic carbons. Even more than the solubility pump, this "biological pump" maintains the gradient of CO2 concentration between the surface and deep waters.
29
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
PENDAHULUAN
terbawa oleh sirkulasi termohalin yang membawa massa air di permukaan yang lebih berat ke lapisan air yang lebih dalam.
Konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfer cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1800 konsentrasi karbondioksida di atmosfer telah mendekati angka 280 ppm, yang pada awalnya terjadi peningkatan secara perlahan dan kemudian menjadi lebih cepat yakni mencapai nilai 367 ppm pada tahun 1999. Nilai ini terus meningkat sejalan dengan meningkatnya budidaya pertanian dan industri global (IPCC, 2001). Manusia telah meningkatkan jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfer dengan melakukan pembakaran bahan bakar fosil, limbah padat dan kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah vegetasi yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang, akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya. Menurut JANZEN (2004) bahwa karbon dapat diambil dan dikembalikan ke atmosfer melalui beberapa cara.
3. Di lapisan air dekat permukaan (uper ocean), pada daerah dengan produktivitas yang tinggi, organisme membentuk jaringan yang mengandung karbon dan beberapa organisme juga membentuk cangkang karbonat dan bagian-bagian tubuh lainnya yang keras. Proses ini akan menyebabkan aliran karbon ke lapisan air yang lebih dalam. 4. Pelapukan batuan silikat. Tidak seperti dua proses sebelumnya, proses ini tidak memindahkan karbon ke dalam reservoir yang siap untuk kembali ke atmosfer. Pelapukan batuan karbonat tidak memiliki efek netto terhadap CO2 atmosferik karena ion bikarbonat yang terbentuk terbawa ke laut dimana selanjutnya dipakai untuk membuat karbonat laut dengan reaksi yang sebaliknya (reverse reaction). Pengembalian karbon ke atmosfer: 1. Melalui pernafasan (respirasi) pada tumbuhan dan hewan. Hal ini merupakan reaksi eksotermik dan termasuk juga di dalamnya penguraian glukosa (atau molekul organik lainnya) menjadi karbon dioksida dan air.
Pengikatan karbon dari atmosfer : 1. Ketika matahari bersinar, tumbuhan melakukan fotosintesis untuk mengubah karbon dioksida menjadi karbohidrat dan melepaskan oksigen ke atmosfer. Proses ini akan lebih banyak menyerap karbon pada hutan dengan tumbuhan yang baru saja tumbuh atau hutan yang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat.
2. Melalui pembusukan hewan dan tumbuhan. Fungi atau jamur dan bakteri mengurai senyawa karbon pada hewan dan tumbuhan yang mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida jika tersedia oksigen, atau menjadi metana jika tidak tersedia oksigen. 3. Melalui pembakaran material organik yang mengoksidasi karbon yang terkandung menghasilkan karbon dioksida (juga yang lainnya seperti asap). Pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, produk dari
2. Permukaan laut di daerah kutub memiliki temperatur yang lebih rendah yang memungkinkan CO2 lebih mudah larut. Selanjutnya CO2 yang larut tersebut akan
30
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
industri perminyakan (petroleum), dan gas alam akan melepaskan karbon yang sudah tersimpan selama jutaan tahun di dalam geosfer. Hal inilah yang merupakan penyebab utama naiknya jumlah karbon dioksida di atmosfer.
hilang dari atmosfer akibat pelapukan silikat. Kedua proses kimia ini yang saling berkebalikan ini akan memberikan hasil penjumlahan yang sama dengan nol dan tidak berpengaruh terhadap jumlah karbon dioksida di atmosfer dalam skala waktu yang kurang dari 100.000 tahun.
4. Produksi semen. Salah satu komponennya, yaitu kapur atau gamping atau kalsium oksida, dihasilkan dengan cara memanaskan batu kapur atau batu gamping yang akan menghasilkan juga karbon dioksida dalam jumlah yang banyak.
SIKLUS KARBON GLOBAL Konsentrasi dari bahan bakar fosil CO2 yang di serap oleh samudera dan yang diambil oleh daratan dapat dihitung dari perubahan pada konsentrasi CO2 dan O2 di atmosfer. Budget karbon global berdasarkan pada pengukuran CO2 dan O2 untuk 1980 dan 1990 ditunjukkan pada Tabel 1. Manusia mempengaruhi fluks karbon di antara ke-tiga "reservoir" (atmosfer, samudera, dan biosfer terestrial) dengan memberikan gangguan yang kecil tapi berpengaruh besar terhadap siklus global (Gambar 1).
5. Di permukaan laut yang lebih hangat, karbon dioksida terlarut dilepas kembali ke atmosfer. 6. Erupsi vulkanik atau ledakan gunung berapi akan melepaskan gas ke atmosfer. Gas-gas tersebut termasuk uap air, karbon dioksida, dan belerang. Jumlah karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer secara kasar hampir sama dengan jumlah karbon dioksida yang
31
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Panah yang tebal menunjukkan fluks yang paling utama dari titik keseimbangan CO2 di atmosfer yaitu produksi primer kotor dan respirasi oleh biosfer daratan, dan pertukaran fisik antara atmosfer dan laut. Perubahan yang terus menerus ini kira-kira seimbang setiap tahun, tetapi ketidakseimbangannya dapat mempengaruhi konsentrasi CO2 atmosfer secara signifikan dari tahun ke tahun. Panah yang tipis menandakan fluks alami tambahan (bentuk yang terlarut untuk fluks karbon sebagai CaCO3) yang cukup penting pada skala waktu yang lebih panjang. Fluks 0,4 PgC/th dari CO2 atmosfer melalui tumbuh-tumbuhan ke karbon tanah kirakira seimbang pada skala waktu beberapa millenium oleh ekspor organik karbon terlarut (DOC) di sungai (SCHLESINGER, 1990). Lebih lanjut fluks 0,4 PgC/th dari anorganik karbon terlarut (DIC) diperoleh dari kerusakan karena hujan CaCO3, yang mana penyerapan CO2 dari atmosfer dalam perbandingan 1:1. Fluks dari DOC dan DIC secara bersamaan di bawa oleh aliran sungai sebanyak 0,8 PgC/th. Di samudera, DOC dari sungai berespirasi dan dilepaskan kembali ke atmosfer, sedangkan
produksi CaCO 3 oleh organisme laut mengakibatkan separuh DIC dari sungai kembali ke atmosfer dan setengahnya lagi mengendap dalam sedimen dasar laut yang merupakan awal pembentukan batu karang karbonat (SCHLESINGER, 1990). Gambar 1 juga menunjukkan proses dengan skala waktu yang lebih panjang yaitu penguburan material organik sebagai fosil karbon organik (termasuk bahan bakar fosil), dan luaran gas CO2 sampai pada proses tektonis (vulcanism). Emisi dalam kaitannya dengan vulkanisme diperkirakan 0,02 sampai 0,05 PgC/th (BICKLE, 1994). Pembakaran bahan bakar fosil dan perubahan penggunaan lahan menjadi proses antropogenik utama yang melepaskan CO2 ke atmosfer. Hanya sebagian dari CO2 ini yang tinggal di atmosfer, sisanya diserap oleh daratan (tanah dan tumbuh-tumbuhan) atau oleh samudera. Penyerapan komponen ini menyebabkan ketidak-seimbangan fluks dalam dua jalur alami yang besar yaitu antara samudera dan atmosfer dan antara atmosfer dan daratan (IPCC, 2001).
32
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Proses timbal balik antara fotosintesis dan respirasi seluler bertanggung jawab atas perubahan dan pergerakan utama karbon. Naik turunnya konsentrasi CO2 dan O2 atmosfer secara musiman disebabkan oleh penurunan aktivitas fotosintesis. Dalam skala global kembalinya CO2 ke atmosfer melalui respirasi dapat diseimbangkan dengan pelepasan O2 melalui fotosintesis. Akan tetapi, pembakaran kayu dan dan bahan bakar fosil menambahkan lebih banyak lagi CO2 ke atmosfer, sebagai akibatnya jumlah CO2 di atmosfer meningkat. CO2 dan O2 atmosfer juga berpindah masuk ke dalam dan keluar sistem akuatik dimana CO2 dan O2 terlibat dalam suatu keseimbangan dinamis dengan bentuk bahan anorganik lainnya (IPCC, 2001).
SIKLUS KARBON DI SAMUDERA Samudera mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengurangi pemanasan global atau peningkatan konsentrasi CO-2 di atmosfer. Total jumlah karbon di laut diperkirakan 50 kali lebih besar dibandingkan jumlah karbon yang ada di atmosfer, dan pertukaran karbon laut dan atmosfer terjadi dalam skala waktu beberapa ratus tahun. Disolusi air laut memberikan kesempatan yang besar untuk menenggelamkan CO 2 antropogenik, hal ini di sebabkan karena CO2 mempunyai daya larut yang tinggi, disamping itu CO2 juga memisahkan diri ke dalam ion-ion dan berinteraksi dengan unsur pokok air laut (IPCC, 2001).
33
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Karbon dioksida yang terlarut di dalam air laut ditemukan dalam tiga bentuk utama, yaitu CO2 terlarut (non ionik, ±1% dari jumlah total), ion karbonat (CO 3 2 , ± 8%) dan bikarbonat (HCO3, ± 91%), penjumlahan dari ketiganya disebut sebagai dissolved inorganic carbon/DIC (karbon anorganik terlarut) (IPCC, 2001). DIC di dalam samudera diangkut oleh proses fisik dan biologi. Produksi primer kotor (Gross Primary Productivity = GPP) adalah jumlah total karbon organik yang dihasilkan oleh fotosintesis (BENDER et al., 1994); produksi primer bersih (Nett Primary Productivity = NPP) adalah sisa setelah respirasi autotropik yaitu respirasi yang dilakukan oleh organisme fotosintesis (FALKOWSKI et. al., 1998). Tenggelamnya DOC dan partikel organik karbon (POC) dari proses biologi
mengakibatkan aliran karbon mengarah ke bawah yang dikenal sebagai produksi ekspor (SCHLITZER, 2000). Material organik ini ditranspor dan direspirasi oleh organisme nonfotosintesis (respirasi heterotropik) dan pada akhirnya terangkat dan kembali ke atmosfer. Hanya sebagian kecil yang mengendap pada sedimen laut dalam. Ekspor CaCO3 ke laut dalam lebih kecil dibanding total produksi ekspor (0,4 PgC/th), tapi sekitar separuh dari karbon ini mengendap sebagai CaCO3 di dalam sedimen; separuh yang lain terlarut dalam air laut, dan bergabung dengan DIC (MILLIMAN, 1993). Gambar 3 juga menunjukkan perkiraan fluks karbon organik dan CaCO 3 yang mengendap ke dalam sedimen pantai dalam jangka waktu yang singkat, dan pelarutan kembali dari sebagian CaCO3 yang mengendap pada sedimen.
34
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Penyerapan C02 oleh samudera sangat tergantung pada tinggi rendahnya suhu, sehingga transfer panas antara udara dan laut berpengaruh pada pola regional dan musiman dari transfer CO2. Permukaan air yang dingin cenderung lebih mudah menyerap CO 2 , sedangkan permukaan laut yang hangat menyebabkan hal yang sebaliknya dimana permukaan laut akan lebih mudah melepaskan gas CO2 ke atmosfer. Daerah hangat (perairan tropis) dan dingin (perairan kutub) ini dihubungkan oleh sirkulasi atau aliran arus laut yang oleh para ilmuwan disebut sebagai Sabuk Laut. Fungsi sabuk laut ini adalah mendorong air laut yang sudah dipanaskan oleh matahari di wilayah tropik ke daerah yang lebih dingin di daerah kutub. Proses sebaliknya juga terjadi, yaitu air dingin di Artik dan Antartika dibawa ke daerah tropik untuk dipanaskan (NOAA, 2007). Di samping adanya sabuk laut, proses biologi juga ikut memandu distribusi regional dan musiman dari fluks CO2. Produksi primer kotor oleh fitoplankton laut telah diperkirakan oleh BENDER et al. (1994) sekitar 103 PgC/th. Sebagian dikembalikan ke DIC melalui respirasi autotropik, dan sisanya menjadi produksi primer bersih yang diperkirakan sekitar 45 PgC/th (FALKOWSKI et al., 1998). Sekitar 14-30% dari total NPP terjadi di dalam perairan pantai (GATTUSO et al., 1998). Hasil karbon organik kemudian dikonsumsi oleh zooplankton (secara kuantitatif lebih penting dibanding herbivora di daratan) atau menjadi detritus. Beberapa karbon organik dilepaskan dalam bentuk terlarut (DOC) dan oksidasi oleh bakteri dengan produksi DOC bersih yang masuk ke reservoir samudera. Penenggelaman partikel organik karbon (POC) yang terdiri dari organisme-organisme yang telah mati dan detritus bersama-sama dengan transfer vertikal DOC menciptakan suatu fluks karbon organik yang mengarah ke bawah dari permukaan samudera yang dikenal sebagai "produksi ekspor". Perkiraan untuk produksi
ekspor global berkisar antara 1 0 - 2 0 PgC/th (FALKOWSKI et al., 1998 dan LAWS et al., 2000). Suatu perkiraan alternatif untuk produksi ekspor global adalah 11 PgC/th yang diperoleh dengan menggunakan suatu model terbalik data fisika dan kimia dari samudera-samudera di dunia (SCHLITZER, 2000). Hanya sebagian kecil (± 0,1 PgC) produksi ekspor yang mengendap pada sedimen, pengendapan yang paling besar terjadi di perairan pantai (GATTUSO et al., 1998). Respirasi Heterotropik di lapisan dalam mengkonversi sisa organik karbon kembali ke DIC. Pada suatu waktu DIC ini terangkat kembali ke lapisan permukaan samudera dan kembali ke keseimbangan CO2 atmosfer. Mekanisme ini, sering dikenal sebagai "pompa biologis" (IPCC, 2001). Organisme laut seperti kerang juga membentuk cangkangnya dari kalsium karbonat padat (CaCO 3 ) yang tenggelam atau terakumulasi pada sedimen, terumbu karang dan pasir. Proses penipisan CO32- permukaan ini mengurangi kadar alkalinitas dan cenderung meningkatkan pCO2 (CO2 partial pressure) dan membawa lebih banyak luaran gas CO2 (IPCC, 2001). Pengaruh dari formasi CaCO3 pada pCO2 permukaan dan fluks udara-laut kemudian terhitung untuk produksi organik karbon. Untuk lapisan permukaan laut secara global, perbandingan antara ekspor organik karbon dan ekspor kalsium karbonat ("rain ratio") adalah suatu faktor kritis yang mengontrol keseluruhan efek aktivitas biologi pada pCO2 permukaan laut (IPCC, 2001). MILLIMAN (1993) memperkirakan suatu produksi global dari CaCO 3 adalah 0,7 PgC/th, dengan dipro-duksinya sejumlah ekuivalen pada perairan dangkal dan lapisan permukaan laut dalam. Dari total ini, kira-kira 60% terakumulasi di dalam sedimen. Sisanya larut kembali di dalam kolom air atau mengendap kembali di dalam sedimen tesebut. Perkiraan dari fluks CaCO3 untuk produksi ekspor dari karbon organik meliputi
35
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
penenggelaman dari lapisan permukaan samudera, akumulasi bersih pada sedimen dan batu karang dangkal, dan ekspor material dari sistem dangkal ke lingkungan laut dalam. Tingkat produktivitas dari samudera sebagian besar ditentukan oleh suplai nutrien yang berasal dari laut dalam. Berbagai nutrien yang berpotensi sebagai faktor pembatas diantaranya nitrat, fosfat dan silikat yang berfungsi sebagai makro nutrien dan Fe, Mn, Cu, Zn, B, Na, Mo, Cl dan Co sebagai mikro nutrien (PARSONS et al., 1984 dan FALKOWSKI et al., 1998). Peranan besi (Fe) dalam membatasi produktivitas primer terutama di daerah dengan nitrat dan fosfat yang tinggi tetapi produktivitas rendah (HNLC atau "high nutrient, low chlorophyll”) secara eksperimen telah demonstrasikan di perairan Pasifik katulistiwa (COALE et al., 1996) dan Laut Selatan (BOYD et al., 2000). Di kedua daerah tersebut penambahan Fe merangsang pertumbuhan fitoplankton, yang menghasilkan penurunan pCO2 permukaan air. Di daerah HLNC, suplai Fe berasal dari laut dalam yang merupakan suatu sumber penting yang secara umum tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fitoplankton. Suplai tambahan penting dari Fe ke permukaan air berasal dari sedimen dan aliran sungai. Suplai ini dapat membatasi produksi primer di daerah HNLC, seperti halnya ketersediaan fosfat dan nitrat. Fe diduga memainkan peranan tidak langsung dalam skala waktu yang lebih panjang (seperti glacialinterglacial) melalui pembatasan dari fiksasi nitrogen samudera (FALKOWSKI et aL, 1998). Karbon (organik dan anorganik) yang diperoleh dari daratan juga masuk ke samudera melalui sungai-sungai dan perairan sekitarnya. Transpor ini meliputi transpor karbon alami bersama-sama dengan gangguan antropogenik lainnya. Transpor alami karbon global dari sungai ke samudera adalah sekitar 0,8 Pg C/th, separuhnya terdiri dari material organik dan separuhnya lagi anorganik (MEYBECK, 1993).
Fluks karbon tambahan dalam kaitan dengan aktivitas manusia diperkirakan sekitar 0,1 PgC/ th yang sebagian besar adalah karbon organik (MEYBECK, 1993). Sebagian besar karbon organik disimpan dan sebagian lain digunakan untuk respirasi yang mana luaran gasnya kembali ke daratan. Luaran gas karbon antropogenik dari muara cukup besar bila dibandingkan dengan perkiraan emisi CO2 regional (seperti 5 - 10% untuk Eropa Barat) (FRANKIGNOULLE et al., 1998). Bagaimanapun transpor DIC alami yang melewati sungai menjadi bagian dari skala besar siklus karbon antara daratan dan samudera dengan asosiasi daya larut dan presipitasi dari mineral-mineral karbonat. PENYERAPAN CO, ANTROPOGENIK OLEH SAMUDERA Di samping pentingnya proses biologis dalam siklus karbon alami samudera, terdapat pemikiran yang menyatakan bahwa penyerapan CO2 antropogenik juga dikontrol secara fisika dan kimia yang membawa siklus karbon mendekati posisi steady state. Kondisi ini berbeda dengan situasi di daratan yang disebabkan, karena perbedaan faktor-faktor yang mengontrol produktivitas primer laut dan terestrial. Di daratan, beberapa eksperimen menunjukkan bahwa konsentrasi CO 2 membatasi pertumbuhan tanaman. Sedangkan di samudera terjadi hal yang sebaliknya, kecuali untuk spesies tertentu pada konsentrasi CO2 yang lebih rendah (FALKOWSKI, 1994). Lebih lanjut, konsentrasi nutrien utama dan DIC samudera mempunyai hubungan yang erat dengan rasio tetap kebutuhan nutrien organisme laut yang biasa disebut sebagai "Redfield ratio". Kondisi ini mengimplikasikan bahwa konsentrasi nutrien yang tercampur pada lapisan permukaan samudera sebagian besar dipindahkan oleh produksi karbon organik dan ekspor, kemudian nutrien tersebut mendorong
36
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
suatu transfer karbon sederhana antara udaralaut sampai pada perubahan tingkat produktivitas global. Ekosistem terestrial menunjukkan variabilitas yang lebih besar dalam kasus ini, karena tumbuhan daratan mempunyai banyak cara untuk memperoleh nutrien, dan mempunyai kekenyalan lebih besar
dalam komposisi kimia mereka (MELILLO & GOSZ, 1983). Bagaimanapun daerah permukaan samudera yang luas di mana nutrien utama tidaklah secara penuh dihabiskan, boleh jadi memainkan suatu peranan yang penting dalam perubahan antara karbon atmosfer dan laut.
37
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pada Gambar 4, dapat dilihat uraian konsentrasi CO2 atmosfer dengan skala waktu yang berbeda: Gambar (a) Pengukuran langsung dari konsentrasi CO2 atmosfer (KEELING & WHORF, 2000), dan O 2 dari 1990 awal (BATTLE et. al., 2000); (b) Konsentrasi CO2 di dalam inti es Antartika selama satu milenium (ETHERIDGE et al., 1996). Pengukuran Atmosfer terbaru di Mauna Loa (KEELING & WHORF, 2000) ditunjukkan sebagai pembanding; (c) Konsentrasi CO2 di dalam Kubah Taylor inti es Antartika (INDERMUHLE et al., 1999); (d) Konsentrasi CO2 di dalam Vostok inti es Antartika (FISCHER et al., 1999); (e) Pendugaan konsentrasi CO 2 secara Geokimia, dari PAGANI et al. (1999a) dan PEARSON & PALMER (2000); (f) Pendugaan konsentrasi CO2 secara Geokimia: bar yang diwarnai mewakili studi yang berbeda yang dikutip oleh BERNER (1997). Data dari PEARSON & PALMER (2000) ditunjukkan oleh suatu garis hitam. (BP= before present). Peningkatan pCO 2 atmosfer yang melebihi tingkatan pra-industri cenderung meningkatkan penyerapan CO2 alami oleh samudera. Sedangkan fluks CO2 antara udaralaut saat ini adalah meliputi pencampuran spasial dari komponen fluks CO2 antropogenik dan alami. Pada daerah upwelling, karbon dilepaskan ke atmosfer. Sebaliknya, pada daerah downwelling karbon (CO2) berpindah dari atmosfer ke lautan. Pada saat CO2 memasuki lautan, asam karbonat akan terbentuk :
diangkut oleh sirkulasi permukaan, dan secara cepat disimpan sebagai air permukaan yang tenggelam atau tercampur ke dalam lapisan laut dalam. Sedangkan pengangkatan massa air ke lapisan permukaan (upwelling) secara kuantitatif seimbang pada skala global dengan penenggelaman, lokasi dimana air dalam muncul dan tenggelam dapat dipisahkan oleh jarak horizontal yang besar (IPCC, 2001). Transfer gas udara-laut menyediakan perairan dengan massa air yang lebih lama untuk mendekati suatu posisi steady state baru dengan tingkat CO2 atmosfer yang lebih tinggi setelah sekitar satu tahun di permukaan laut. Hal ini relatif cepat untuk kecepatan pencampuran air laut, yang mengimplikasikan bahwa penyerapan CO2 antropogenik dibatasi oleh kecepatan di mana perairan dengan massa air yang "lebih lama" tercampur ke arah hubungan udara-laut. Tingkat ekspose dari perairan dengan massa air yang lebih lama dan perairan yang lebih dalam, merupakan suatu faktor kritis yang membatasi penyerapan CO2 antropogenik. Pada prinsipnya, kapasitas penyerapan di dalam samudera berkisar antara 70 - 80% dari emisi CO 2 antropogenik ke atmosfer, bahkan total emisi mencapai 4,500 PgC (ARCHER et al., 1997). Terbatasnya kecepatan pencampuran samudera, menyebabkan kapasitas ini baru bisa terserap dalam beberapa ratus tahun (ARCHER et. al., 1997). Netralisasi kimia dari penambahan CO2 kemudian bereaksi dengan CaCO3 yang terdapat dalam sedimen laut dalam yang secara potensial bisa menyerap 9 - 15% dari total jumlah yang dipancarkan, mengurangi fraksi yang kembali ke udara. Dengan penggunaan data time-series dan data survei global, peningkatan kandungan karbon di samudera telah teramati secara langsung, walaupun sinyalnya lebih kecil dibandingkan variabilitas alami dan memerlukan pengukuran yang sangat akurat (SABINE et al., 1997). Peningkatan yang lama dari tingkat CO2 lapisan permukaan mengikuti peningkatan rata-rata CO 2 atmosfer telah
Reaksi ini memiliki sifat dua arah, mencapai sebuah kesetimbangan kimia. Reaksi lainnya yang penting dalam mengontrol nilai pH lautan adalah pelepasan ion hidrogen dan bikarbonat. Reaksi ini mengontrol perubahan yang besar pada pH : Penambahan karbon ke dalam samudera sebagai hasil penyerapan, kemudian
38
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
diamati di perairan subtropis (BATJES, 1996) dan Pasifik katulistiwa (FEELY et al., 1999b). Sedikitnya ketersediaan data time-series seperti itu menyebabkan respon wilayah oseanik lain yang penting dalam peningkatan pCO2 atmosfer belum bisa diperkirakan. Jumlah total dari akumulasi CO2 antropogenik di samudera semenjak zaman pra industri dapat juga diperkirakan dari pengukuran dengan perbaikan metoda untuk memisahkan komponen antropogenik dan alami dari DIC samudera.
ICKLE, M.J. 1994. The role of metamorphic decarbonation reactions in returning strontium to the silicate sediment mass. Nature, 367: 699-704. BOYD, P.W.; A. WATSON; C.S. LAW; E. ABRAHAM; T. TRULL; R. MURDOCH; D.C.E. BARKER; A.R. BOWIE; K. BUESSELER; H. CHANG; M. CHARETTE; P. CROOT; K. DOWNING; R. FREW; M. GALL; M. HADFIELD; J. HALL; M. HARVEY; G. JAMESON; J. LA ROCHE; M. LIDDICOAT; R. LING; M. MALDONADO; R.M. MCKAY; S. NODDER; S. PICKMERE; R. PRIDMORE; S. RINTOUL; K. SAFI; P. SUTTON; R. STRZEPEK; K. TANNEBERGER; S. TURNER; A. WAITE and J. ZELDIS 2000. A mesoscale phytoplankton bloom in the polar Southern Ocean stimulated by iron fertilization. Nature, 407:695-702.
DAFTAR PUSTAKA ARCHER, D.E; H. KHESHGI and E. MAIERREIMER1997. Multiple timescales for neutralization of fossil fuel CO 2 Geophysical Research Letters, 24, 405408. BATJES, N.H. 1996. Total carbon and nitrogen in the soils of the world. European Journal of Soil Science 47: 151-163.
BENDER, M.; T SOWERS and L. LABETHIE 1994. The Dole effect and its variations during the last 130,000 years as measured in the VOSTOK ice core. Global Biogeochemical Cycles, 8:363376.
COALE, K.H.; K.S. JOHNSON; S.E. FITZWATER; R.M. GORDON; S. TANNER; F.P. CHAVEZ; L. FERIOLI; C. SAKAMOTO; P. ROGERS; F. MILLERO; P. STEINBERG; P. NIGHTINGALE; D. COOPER; W.P. COCHLAN; M.R. LANDRY; J. CONSTANTINOU; G. ROLLWAGEN; A. TRASVINA and R. KUDELA 1996. A massive phytoplankton bloom induced by an ecosystem-scale iron fertilization experiment in the equatorial Pacific Ocean. Nature, 383: 495-501.
BERNER, R.A. 1997. The rise of plants and their effect on weathering and atmospheric CO2. Science, 276: 544546.
FALKOWSKI, P.G. 1994. The role of phytoplankton photosynthesis in global biogeochemical cycles. Photosynthesis Research, 39: 235-258.
BATTLE, M.; M. BENDER; P.P. TANS; J.W.C. WHITE; J.T. ELLIS; T. CONWAY and R.J. FRANCEY 2000. Global carbon sinks and their variability, inferred from atmospheric 02 and dl3C. Science, 287: 2467-2470.
39
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
FALKOWSKI, P.G.; R.T. BARBER and V. SMETACEK 1998. Biogeochemical controls and feedbacks on ocean primary production. Science, 281:200206.
KEELING, CD. and T.P. WHORF 2000: Atmospheric CO2 records from sites in the SIO air sampling network. In: Trends: A compendium of data on global change. Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, Oak Ridge, Tenn., USA.
FEELY, R.A.; R. WANNINKHOF; T. TAKAHASHI and P. TANS 1999b. Influence of El Nino on the equatorial Pacific contribution to atmospheric CO2 accumulation. Nature, 398: 597601.
LAWS, E.A.; P.G. FALKOWSKI; W.O. SMITH JR.; H. DUCKLOW and J.J. MCCARTHY 2000. Temperature effects on export production in the open ocean. Global Biogeochemical Cycles, 14(4): 1231-1246.
FRANKIGNOULLE; M., G. ABRIL; A. BORGES; I. BOURGE; C. CANON; B. DELILLE; E. LIBERT and J.-M. THEATE 1998. Carbon dioxide emission from European estuaries. Science, 282: 434-436.
MARLAND, G.; T.A. BODEN and R.J. ANDRES 2000. Global, regional, and national CO2 emissions. In: Trends: A compendium of data on global change. Carbon Dioxide Information Analysis Center, Oak Ridge National Laboratory, U. S. Department of Energy, Oak Ridge, Tenn., USA.
GATTUSO, J.P.; M. FRANKIGNOULLE and R. WOLLAST 1998. Carbon and carbonate metabolism in coastal aquatic ecosystems. Annual Review of Ecology andSystematics, 29:405-434.
MELILLO, J.M. and J.R. GOSZ 1983. Interactions of biogeochemical cycles in forest ecosystems. In: The major biogeochemical cycles and their interactions BOLIN, B. and R.B. COOK (eds.). John Wiley and Sons, New York: 177-222.
INDERMUHLE, A.; T.F. STOCKER; F. JOSS; H. FISCHER; H.J. SMITH; M. WAHLEN; B. DECK; D. MASTROIANNI; J. TSCHUMI; T. BLUNIER; R. MEYER and B. STAUFFER 1999. Holocene carboncycle dynamics based on CO2 trapped in ice at Taylor Dome, Antarctica. Nature, 398: 121-126.
MEYBECK, M. 1993. Riverine transport of atmospheric carbon - sources, global typology and budget. Water, Air and Soil Pollution, 70: 443-463
IPCC 2001. The carbon cycle and atmospheric carbon dioxida. The Scientific Basis. In Climate change 2001: 185-237.
MILLIMAN, J.D. 1993. Production and accumulation of calcium-carbonate in the ocean - budget of a nonsteady state. Global Biogeochemical Cycles, 7:927957.
JANZEN, H. H. 2004. Carbon cycling in earth systems. A soil science perspective. In
Agriculture,
ecosystems
and
environment, 104: 399-417.
40
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
N O A A 2 0 07 . Me c h a n i s ms t h a t c a n abrupt climate change, http:// www.ncdc.noaa.gov/ paleo/abrupt/ model abrupt.html. 13 April 2007.
SABINE, C.L.; D.W.R. WALLACE and F.J. MILLERO 1997: Survey of CO2 in the Oceans reveals clues about global carbon cycle. EOS, Transaction of the American Geophysical Union, 78: 5455.
PAGANI, M.; M.A. ARTHUR and K.H. FREEMAN 1999a. Miocene evolution of atmospheric carbon dioxide. Paleoceanography, 14: 273-292.
SCHLESINGER, W.H. 1990. Evidence from chronosequence studies for a low carbon-storage potential of soils. Nature, 348: 233-234.
PARSONS, T. R.; M. TAKASHI and B. HARGRAVE 1984. Biological Oceanography Process. Third Edition. Pergamon Press, New York; 61-117.
SCHLITZER, R. 2000. Applying the adjoint method for biogeochemical modeling: export of particulate organic matter in the world ocean. In : Inverse methods in global biogeochemical cycles. (KASIBHATLA, P.; M. HEIMANN; P. RAYNER; N. MAHOWALD; R.G. PRINN and D.E. HARTLEY, Eds), Geophysical Monograph Series, 114, 107-124.
PEARSON, P.N. and M.R. PALMER 2000. Atmospheric carbon dioxide concentrations over the past 60 million years. Nature, 406: 695-699.
41
Oseana, Volume XXXII No. 2, 2007