KEWENANGAN PANITIA KHUSUS HAK ANGKET SEBAGAI ALAT KELENGKAPAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS PERPANJANGAN KONSESI JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL OLEH PT PELABUHAN INDONESIA II KEPADA HUTCHISON PORT HOLDING
Skripsi: Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Sigit Ganda Prabowo NIM: 1112048000039
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437H/2016M
i
ii
iii
ABSTRAK SIGIT GANDA PRABOWO, NIM 1112048000039. KEWENANGAN PANITIA KHUSUS SEBAGAI ALAT KELENGKAPAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS PERPANJANGAN KONSESI JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL OLEH PT PELABUHAN INDONESIA II KEPADA HUTCHISON PORT HOLDING. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437 H/ 2016. IX halaman + 74 Halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui posisi Panitia Khusus di dalam struktur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mengetahui dasar hukum pembentukan Panitia Khusus Pelindo II, serta mengetahui tugas dan kewenangan Panitia Khusus di dalam Pansus Hak Angket dalam penyelidikan kasus perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh PT Pelindo II kepada Hutchison Port Holding (HPH). Tipe penelitian yang digunakan penulis yaitu Yuridis Normatif, sedangkan pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach) yang digunakan dalam mengetahui kewenangan yang dimiliki Panitia Khusus Hak Angket Pelindo II dalam perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal oleh PT Pelabuhan Indonesia II kepada Hutchison Port Holding. Berdasarkan hasil penilitian ini dapat diketahui bahwasanya Panitia Khusus merupakan sebuah alat kelengkapan di dalam struktur DPR, dan dasar hukum dari pembentukan Panitia Khusus Pelindo II ini didasarkan pada Undang-Undang Dasar NRI 1945, UndangUndang No 17 Tahun 2014, serta Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat No 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib, serta Panitia Khusus ini juga memiliki tugas menyelidiki dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan serangakaian kewenangan dalam mengumpulkan informasi serta data dalam proses pembuktian pelanggaran terhadap undang-undang.
Kata Kunci
:DPR, Hak Angket, Panitia Khusus, Kewenangan, Konsesi, Pelindo II, Jakarta International Container Terminal, Hutchison Port Holding
Dosen Pembimbing
: Dr. Kamarusdiana M.H Nur Rohim Yunus LL.M
Daftar Pustaka
: Tahun 1983 sampai Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb Segala puji dan Syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul:
KEWENANGAN PANITIA KHUSUS SEBAGAI ALAT KELENGKAPAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DALAM KASUS
PERPANJANGAN
KONSESI
JAKARTA
INTERNATIONAL
CONTAINER TERMINAL OLEH PT PELABUHAN INDONESIA II KEPADA HUTCHISON PORT HOLDING. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar kita Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini. Dalam penyelesaian skripsi tak henti-hentinya penulis mengucapkan syukur dan terimakasih atas bantuan, bimbingan, nasehat, doa dan semangatnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Asep Syariffudin Hidayat M.H dan Drs. Abu Thamrin S.H M.Hum. Ketua dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang telah memberikan restu, bantuan serta bimbinganya sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 3. Dr. Kamarusdiana M.H dan Nur Rohim Yunus LL.M selaku Dosen Pembimbing I dan II karena bimbingan dan arahanya selama proses penulisan skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
v
Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis menjadi mahsiswa Ilmu Hukum. Semoga ilmu yang diajarkan dapat bermanfaat dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. 5. Nur Habibi Ihya M.H. Dosen konsentrasi Kelembagaan Negara yang berkat bimbingan dan arahanya penulis dapat menemukan judul skripsi ini. 6. Segenap staff Perpustakaan
Fakultas
Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, staff Perpustakaan Universitas Pamulang, dan staff Humas DPR yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan dan memberi data guna menyelesaikan skripsi ini 7. Kedua Orang tua yang saya sayangi dan saya hormati, ayahanda Paryanto dan Ibunda Sri Eko Wahyuni atas dukungan doa, semangat dan finansial sehingga penulis dapat menyelesaikan masa kuliah hingga mencapai gelar Sarjana Hukum. Serta Saudara dan Saudariku, Panto Nugroho dan Maulida Nugraheni yang selalu menciptakan suasana rumah yang nyaman dan bahagia sehingga memberikan energi yang luar biasa bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Sahabat hatiku Kharisma Putri Kumalasatki yang keberadaanya melengkapi keindahan masa kuliahku, juga semangat, doa dan nasehat yang diberikan sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. 9. Sahabat Prodi Ilmu Hukum angkatan 2012, Ilmu Hukum kelas B dan Kelas Kelembagaan Negara angkatan 2012, yang memberikan kebersamaan di
vi
masa kuliah sehingga memberikan motivasi dalam menyelesaikan masa kuliah ini. 10. Teman dalam berdiskusi dan berbagi saran, Wini Weni Widho Azhari, Diki Komaruzaman, Hugo Prasetya, Ahmad Fauzi Al-Fathir, Muhammad Massaro, Putri Yanuarti, Siti Zulfah, Ganis Manggar A, Chairijal Thabarani, Nur Iman Saputra, Kharisma Annisa, Anneke Lionie, Andhika Kurniawan, dan Andi Fajar Saputro yang selalu menyempatkan waktu dalam berdiskusi dan berbagi saran terkait penulisan skripsi ini. 11. Teman satu perjuangan dalam menempuh gelar Sarjana: Renaldi Hendryan, Ade Kurniawan, Muhammad Yusuf, Agie Zaky, Agasti Prior, Dimas Anggri, Muhammad Anshori, Denny Fernandes, Bagdady, Ahmad Farhan, Taufiqur Rohman, Said Agung, Irvan Zidny, Muchtar Ramadan, Muhammad Raziv, Murtadlo, Lidia T. Handayani, Dilla, Farid Muhajir, Rifqi, Maulana Ishaq, Rama Wijaya, Putri Amalia dan lainya yang tidak bisa penullis sebutkan satu-persatu, yang selalu saling menyemangati selama penulisan ini. 12. Teman-teman KKN KAYU (Kharisma, Alvina, Nadhira, Alyasa, Raka, Renaldi, Dekur, Pinto, Rendy, Evni, Kindi, dan Dita yang memberikan dukungan, semangat, serta kebersamaanya dalam penulisan laporan KKN sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan ini. 13. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas
vii
kebaikan kalian semua. Penulis menyadari ketidak sempurnaan dalam penyusunan skripsi ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun diperlukan dalam penyempurnaan penulisan sripsi ini, dan semoga ini mampu menginspirasi dan memberikan manfaat kepada pembaca sekalian. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb Jakarta, 22 September 2016 Penulis,
Sigit Ganda Prabowo
viii
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ...............................................................................iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix BAB I Pendahuluan .........................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7 D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ................................................ 8 E. Kerangka Konseptual ....................................................................... 9 F. Metode Penelitian ........................................................................... 11 G. Sistematika Penulisan..................................................................... 14 BAB II Landasan Teori Lembaga Perwakilan di Indonesia ......................... 16 A. Konsepsi Demokrasi ......................................................................... 16 B. Teori Kedaulatan Rakyat .................................................................. 19 C. Teori Lembaga Perwakilan ............................................................... 21 D. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ............................... 25
ix
BAB III Tinjauan Umum Alat Kelengkapan Dewan, Pansus Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat ............................................................ 39 A. Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat ...................................... 39 1.
Pengertian Hak Angket ......................................................... 39
2.
Sebab Timbulnya Hak Angket .............................................. 39
B. Alat Kelengkapan Dewan ............................................................ 41 C. Panitia Khusus ............................................................................. 42 1.
Hubungan Panitia Khusus dengan Hak Angket .................... 43
2.
Susunan Keangotaan Panitia Khusus.................................... 45
3.
Tugas dan Tata cara Pelaksanaan ......................................... 46
BAB IV Kewenangan Pansus Dalam Kasus Perpanjangan Konsesi JICT Kepada Hutchison Port Holding Oleh PT Pelindo II......................50 A. Konsesi ........................................................................................... 50 B. Duduk Perkara Perpanjangan Konsesi JICT kepada HPH ............ 52 C. Dasar Pembentukan Pansus Pelindo II ........................................... 56 D. Tugas dan kewenangan Pansus dalam Kasus perpanjangan Konsesi Pelindo II ........................................................................................ 62 BAB V PENUTUP ........................................................................................... 67 A. Kesimpulan ....................................................................................... 67 B. Saran ................................................................................................. 68 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 69
x
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Hukum sering dikatakan sesuatu yang tidak bisa didefinisikan, anggapan ini muncul karena Hukum sendiri hampir dapat dimaknai berbeda oleh setiap individu. Hukum sendiri ada di dalam sebuah masyarakat yang berfungsi untuk menciptakan keamanan ketentraman dan keteraturan didalam berkehidupan dan hukum sendiri memiliki mekanisme untuk saling mengawasi.1 Hukum sendiri erat kaitanya dengan adanya sebuah negara karena ketika sebuah negara menjalankan fungsinya melalui organ negara dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya juga tidak dapat dipisahkan dari hukum. Negara adalah (agency) alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan hubungan manusia di dalam masyarakat dan menertibkan gejala gejala kekuasaan di dalam masyarakat. Negara terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. Perjanjian masyarakat disebut juga dengan istilah kontrak sosial. Ada beberapa ahli yang telah mempelajari kontrak sosial, antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean Jaques Rousseau. Kedaulatan rakyat (popular sovereignty) dimaksudkan rakyat sebagai tandingan atau imbangan terhadap kekuasaaan penguasa tunggal atau yang berkuasa. Dalam hal ini ditarik garis pemisah yang tajam antara rakyat yang diperintah pada satu pihak dan penguasa penguasa masyarakat sebagai pemerintah
1
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006) h.10
1
2
kepada pihak lain, dan yang benar benar-benar berdaulat dalam hubungan ini adalah rakyat yang diperintah itu.2 Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih langsung atau tidak langsung oleh seluruh warga negara yang dewasa. Para dewan inilah yang sangat berkuasa.3 Kekuasaan biasanya membentuk suatu hubungan, dalam arti bahwa ada pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah, dan satu pihak yang memberi perintah satu pihak yang mematuhi perintah. Sistem Ketatanegaraan di Indonesia dengan jelas membedakan antara cabang-cabang kekuasaan negara yaitu kekuasaan negara dalam bidang eksekutif, dalam bidang legislatif dan juga dalam bidang yudikatif.4 Hal ini sejalan pula dengan pemikiran Monstesquie dengan teori Trias Politica yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, sehingga tidak ada lagi yang dominan dalam menjalankan pemerintahan, seperti eksekutif di dalam menjalankan kebijakanya selalu diawasi oleh Legislatif atau di Indonesia disebut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terdapat tiga fungsi utama DPR, ketiga fungsi utama itu adalah fungsi pengawasan, fungsi legislasi, fungsi anggaran. Pada hakikatnya tiga fungsi utama DPR memiliki hubungan yang erat dan ketiga fungsi ini selalu bersentuhan dengan fungsi lainya, misalnya ketika DPR menghasilkan Undang-Undang yang kemudian
2
Muh Kusnardi dkk, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995) h.125
3
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992) h.108
4
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010) h.178
3
disetujui bersama dengan Presiden, maka DPR harus mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan produk Undang-Undang oleh lembaga Eksekutif yakni Presiden.5 Peranan DPR diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh berbagai unsur DPR seperti anggota, pemimpin, fraksi, komisi, dan badan kelengkapan DPR secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama yang diakukan dalam rangka melaksanakan fungsi badan tersebut. Dengan demikian, aktivitas unsur unsur DPR yang brtujuan melaksanakan fungsi perwakilan, perundang-undangan dan pengawasan, merupakan kewenangan lembaga ini. Pengawasan (controlling) yaitu suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan negara sesuai dengan rencana. Jika dikaitkan dengan hukum pemerintahan, pengawasan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin sikap pemerintah agar berjalan sesuai hukum yang berlaku. Dikaitkan dengan hukum tata negara, pengawasan berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga kenegeraan sesuai hukum yang berlaku. Badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Melalui fungsi pengawasan, lembaga ini melindungi kepentingan rakyat, sebab melalui penggunaan kekuasaan oleh fungsi ini, DPR dapat mengoreksi semua kegiatan lembaga negara lain melalui
5
h.184
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
4
Tolak ukur suatu kontrol politik berupa nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan dalam kebijakan atau Undang-Undang. pelaksanaan berbagai hak DPR. Dengan demikian tindakan-tindakan yang dapat mengabaikan kepentingan anggota masyarakat dapat diperbaiki.6 Tujuanya adalah meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksanaanya sejalan dengan tolak ukur tersebut. Fungsi kontrol merupakan konsekuensi logis dalam sistem demokrasi dalam memperbaiki diri.7 Kegiatan pengawasan bukanlah tujuan dari suatu kegiatan pemerintah, akan tetapi sebagai salah satu sarana untuk menjamin tercapainya tujuan. Dalam hukum tata negara berarti menjamin tercapainya tujuan. Dalam hukum tata negara berarti menjamin segala sikap tindak lembaga-lembaga pemerintahan (badan dan pejabat tata usaha negara) berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR RI Pasal 90 menjelaskan bahwa untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, DPR memiliki beberapa unit kerja yang biasa disebut dengan alat kelengkapan. Alat-alat kelengkapan DPR tersebut ada yang bersifat tetap dan sementara, yang dimaksud dengan alat kelengkapan tetap adalah unit kerja yang terus menerus ada selama masa kerja DPR berlangsung, yakni selama lima tahun. Keanggotaannya juga tidak berubah dari awal sampai akhir, kecuali ada pemberhentian. Sedangkan alat kelengkapan yang bersifat sementara
6
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
h.184 7
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) h.82
5
hanya dibentuk untuk kebutuhan dan tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Begitu juga dengan keanggotaannya, yang dapat digantikan tanpa ada pengaturan mengenai masa keanggotaannya. Alat-alat kelengkapan diatas diatur dalam bagian kedelapan UU No 27 Tahun 2009, UU No 17 Tahun 2014 dan Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib. Alat kelengkapan tetap terdiri dari: Pimpinan, Badan Musyawarah (Bamus), Komisi, Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Badan Kehormatan, Badan Kerja Sama AntarParlemen (BKSAP), dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT). Sedangkan alat kelengkapan yang bersifat sementara adalah Panitia Khusus (Pansus). Berkaitan dengan salah satu alat kelengkapan DPR yaitu Panitia Khusus (Pansus) penulis mengambil kasus yaitu kasus PT Pelabuhan Indonesia II. PT Pelabuhan Indonesia II atau disingkat Pelindo II adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang jasa kepelabuhanan. Jasa yang diberikan oleh pihak Pelindo II termasuk pelayanan pemanduan dan penundaan kapal keluar masuk pelabuhan, olah gerak kapal di dalam kolam serta jasa pemanduan dan penundaan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. 8 Perpanjangan konsesi ini dianggap melanggar Undang-Undang No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, bahwa untuk perpanjangan kontrak JICT mengharuskan ada izin konsesi dari pemerintah, dan perpanjangan konsesi sudah dilaksanakan pada 2014, sementara izin konsesi baru didapatkan 11 September
8
www.wikipedia.com diakses pada19 Januari 2016 https://id.wikipedia.org/wiki/Pelabuhan_Indonesia_II
6
2015. Selain itu dari perpanjangan konsesi tersebut dianggap merugikan Negara karena nilai konsesi tersebut dinilai lebih kecil dibanding pada nilai konsesi sebelumnya dimana nilai konsesi tahun 2015 sebesar USD 215.000.000 lebih kecil dari nilai konsesi 1999 lalu sebesar USD 215.000.000 plus USD 28.000.000.9 Persoalan inilah yang kemudian mendasari terbentuknya Pansus melalui rapat Paripurna DPR. Permasalahan tersebut menjadikan penulis tertarik untuk memahami bagaimana DPR dalam memerankan alat kelengkapannya (Pansus) dalam menjalankan tugas dan fungsi DPR yaitu sebagai fungsi pengawasan. Oleh sebab itu penulis mengambil judul tentang kewenangan Pansus di dalam posisinya sebagai alat kelengkapan DPR dalam penangan kasus perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh PT Pelindo II kepada Hutchison Port Holding (HPH). B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang penulis bahas tidak terlalu melebar apalagi masalah ini sangat erat kaitanya dengan ranah Pidana dan Hukum Bisnis, maka penulis membatasi masalah pada kewenangan panitia khusus sebagai alat kelengkapan DPR dalam penanganan perpanjangan konsesi Jakarta International Container
9
www.dpr.go.id diakses pada 18 Januari 2016
http://dpr.go.id/berita/index/category/panitia-khusus/hal/3
7
Terminal (JICT) oleh PT Pelindo II kepada Hutchison Port Holding (HPH) hanya pada aspek Hukum Tata Negara. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: a. Apa dasar hukum pembentukan Pansus Pelindo II? b. Apa saja tugas dan kewenangan Pansus Hak Angket dalam penyelidikan kasus perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh PT Pelindo II kepada Hutchison Port Holding (HPH)? C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas maka tulisan bertujuan untuk : a. Untuk mengetahui dasar hukum pembentukan Pansus Pelindo II. b. Untuk mengetahui tugas dan kewenangan Pansus Hak Angket dalam penyelidikan kasus perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) oleh PT Pelindo II kepada Hutchison Port Holding (HPH). 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis 1) Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan menuliskan hasil-hasil penelitian tersebut dalam bentuk tulisan.
8
2) Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan untuk diaplaksikan pada praktek dilapangan. 3) Untuk memperoleh manfaat dibidang hukum pada umumnya maupun pada bidang ketatanegaraan khusunya dengan mempelajari literatur yang ada serta perkembangan hukum yang timbul dalam masyarakat. b. Manfaat Praktis Secara praktis tulisan ini bertujuan menggali lebih dalam, serta sebagai bahan rujukan tulisan dimasa mendatang tentang alat kelengkapan DPR. Dalam tulisan ini juga memuat kasus-kasus terkini yang akan menambah pengetahuan serta kepekaan atas situasi hukum yang terjadi dalam masyarakat. D.
Tinjauan (review) Kajian Terdahulu Dalam penelitian skripsi ini penulis merujuk kepada buku serta skripsi terdahulu tentunya dengan pembeda yang membedakan apa yang menjadi fokus masalah di dalam rujukan dengan fokus masalah yang penulis munculkan, di antaranya : 1. Skripsi Roma Rizki Elhadi pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 dengan judul skripsi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Pasca Amandemen. Dalam skripsi fokus pembahasan adalah pada penggunaan hak angket oleh DPR tentunya berbeda dengan penulis yang membahas DPR dan alat kelengkapanya yang dalam hal ini adalah Pansus.
9
2. Skripsi Supandri pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015 dengan judul skripsi Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. (Studi kasus sengeketa KPK dan Polri). Poin bahasan yang dibahas ditulis dalam rujukan adalah bertumpu pada kedudukan lembaga negara bantu dalam sistem tata negara sementara penulis yang membahas tentang alat kelengkapan DPR yang tentunya membedakan antara dua penelitian ini. 3. Buku berjudul Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi yang ditulis oleh Prof Jimly Ashidiqie. Dalam buku ini dijelaskan kedudukan lembaga Negara termasuk di dalamnya DPR RI pasca Reformasi berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, termasuk di dalamnya fungsi dan tugas DPR RI. E.
Kerangka Konseptual Pembahasan kerangka konseptual, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait beberapa istilah-istilah yang perlu diberikan penjelasan, diantara lain : 1. Alat Kelengkapan Adalah Sebuah unit kerja yang dibuat untuk menjalankan tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2. Panitia Khusus Menurut Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR RI pasal 89, Panitia Khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.
10
3. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Menurut Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPR RI pasal 1. Selanjutnya disingkat DPR, adalah dewan perwakilan rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. PT Pelabuhan Indonesia II (PT Pelindo II) PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) atau disingkat Pelindo II adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang Jasa Kepelabuhanan.10 5.
Jakarta International Container Terminal (JICT)
adalah anak perusahaan yang dimiliki oleh PT Pelindo II. Bidang usaha JICT adalah pelayanan bongkar muat petikemas baik ekspor maupun impor di Pelabuhan Tanjung Priok. 11 6. Hak Angket Menurut Pasal 79 ayat (3) UU NO 17 Tahun 2014 adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
10 www.wikipedia.com diakses pada 13 Januari 2016 https://id.wikipedia.org/wiki/Pelabuhan_Indonesia_II 11
www.indonesiaport.co.id diakses pada 19 Januari 2016 http://www.indonesiaport.co.id/read/pt-jict.html
11
7. Hutchison Port Holding (HPH) Hutchison Port Holdings adalah perusahaan holding swasta yang di dirikan di British Virgin Islands, itu adalah anak perusahaan dari CK Hutchison Holdings (sebelumnya Hutchison Whampoa). Pada tahun 2005 HPH adalah operator terbesar pelabuhan di dunia.12 8. Konsesi Menurut Ateng Syarifudin, konsesi merupakan suatu izin sehubungan pekerjaan besar yang meyangkut kepentingan umum yang sebenernya tugas itu merupakan
tugas
pemerintah
tetapi
oleh
pemerintah
diberikan
hak
penyelenggaraanya oleh pihak lain yang bukan merupakan pejabat pemerintah.13 F.
Metode Penelitian Ada beberapa hal terkait metode yang digunakan dalam penulisan ini antara lain : 1. Tipe Penelitian Studi ini menggunakan studi Yuridis Normatif dengan judul penelitian hukum lembaga negara terkait kewenangan Pansus sebagai alat kelengkapan DPR dalam kasus perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal oleh PT Pelindo II kepada Hutchison Port Holding (HPH). Dalam hal
12 www.wikipedia.com diakses pada 19 Januari 2016 https://en.wikipedia.org/wiki/Hutchison_Port_Holdings 13
2009) h.10
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan (Problem dan Upaya Pembenahan), (Jakarta: Grasindo,
12
ini penulis mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, serta berasal dari gejala hukum serta norma-norma yang berlaku di masyarakat. 14 2. Pendekatan Masalah Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan yaitu Yuridis Normatif, maka pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach),
dan
Pendekatan
Pendekatan Konsep digunakan
untuk
Konsep
(conceptual
memahami
approach).
konsep-konsep
yang
dikemukakan para ahli hukum dalam pendapatnya. 3. Bahan Hukum Bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki kewenangan. Bahan bahan hukum primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum.15 Bahan hukum yang terdapat dalam tulisan ini terdiri dari UUD NRI 1945,UU NO 27 Tahun 2009 dan UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran UU No 6 Tahun 2054 tentang
14 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001) h.14-15 15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010) h.141
13
Penetapan Hak Angket DPR. Tak hanya itu, juga merujuk pada Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib (Tatib). b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam tulisan ini terdiri dari buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Tata Negara, Lembaga Legislatif, Skripsi Hukum Tata Negara, dan jurnal atau materi-materi hukum yang mendukung tulisan ini. c. Bahan non- Hukum Merupakan bahan atau rujukan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, berita hukum dan blog mengenai hukum dan lain-lain. 4. Metode Pengumpulan Data Bahan hukum primer, sekunder serta bahan non hukum yang telah didapatkan kemudian dipadukan dan disusun sesuai dengan hierarkinya. 5. Analisis Data Teknis analisis data dalam penelitian ini diawali dengan mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainya yang berhubungan dengan judul dari penulis. Kemudian dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lain yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut.
14
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah: Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasanya. Kedua setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian dilakukan eksplikasi, yakni diuraikan dan dijelaskan objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku. 6. Teknik Penulisan Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan oleh penulis dalam skripsi ini disesuaikan dengan kaidah-kaidah penulian karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012” G.
Sistematika Penulisan Untuk memberikan penjelasan menyeluruh tentang isi skripsi, maka sistematika penulisan skripi sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan Bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, manfaat penulisan, tinjauan (review) kajian terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, sistematika penulisa, daftar pustaka sementara. BAB II: Landasan Teori Lembaga Perwakilan di Indonesia
15
Bab ini dijelaskan mengenai lembaga negara, teori kedaulatan rakyat, tugas dan fungsi lembaga legislatif, serta lembaga perwakilan yang ada di Indonesia. BAB III: Alat-Alat Kelengkapan, Hak Angket Panitia Khusus Bab ini dijelaskan mengenai hak angket dan dasar pembentukan Pansus DPR, dan bagaimana hubungan hak angket dengan Pansus, serta posisinya dalam struktur DPR. BAB IV: Kewenangan Pansus Dalam Kasus Perpanjangan Konsesi Jakarta International Container Terminal Kepada Hutchison Port Holding Oleh PT Pelabuhan Indonesia II Bab ini dibahas kewenangan Pansus sebagai alat kelengkapan DPR di dalam penyelesaian kasus perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal oleh PT Pelindo II kepada Hutchison Port Holding (HPH) BAB V: Penutup Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian skripsi ini yang di dalamnya berisi kesimpulan dan saran yang dianggap perlu.
BAB II Landasan Teori Lembaga Perwakilan di Indonesia A.
Konsepsi Demokrasi Penyebutan akan istilah demokrasi pada mulanya berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dengan istilah democratos yang merupakan penggabungan dari kata yang artinya rakyat dan cratein yang artinya kekuasaan atau kedaulatan.1 Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, Demokrasi Rakyat dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau goverment by the people. Sesudah perang dunia ke II terlihat gejala secara formal bahwa demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu penelitian yang dilakukan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka: “Probably for the first time in history democry is claimed as the proper ideal description of all systems of political an social organization advovated by in fluential proponents.”2 Maksud di dalam kutipan diatas adalah bahwa untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan nama yang baik dan paling wajar bagi semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan pendukung-pendukung yang berpengaruh.
1
Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Bandung; refika ADITAMA, 2013) h.129 2
S.I. Benn R.S. Peters, Princeples of Political Thought dalam Miriam Budiarjo Dasardasar Ilmu Politik, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2015) h.105
16
17
Hakikat dari demokrasi seperti yang dimaknai oleh Abraham Lincoln terdapat pada makna pemerintahan dari rakyat (goverment of the people) oleh rakyat (goverment by people ) dan untuk rakyat (goverment fot the people). Hakikat yang terkandung dalam goverment of the people adalah siapa yang memerintah (pemerintah) berasal dari kehendak rakyat. Sementara makna yang diungkap dalam dari goverment by people yakni bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan pemerintah prosesnya diawasi oleh rakyat. Sedangkan untuk goverment fot the people terkandung makna dalam penyelengaraan suatu pemerintahan, pemerintah adalah harus dilangsungkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.3 Henry B Mayo menyatakan demokrasi harus berlandaskan pada oleh beberapa norma, yakni dengan: 4 1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan sukarela 2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang berubah, 3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur 4. Membatasi kekerasan secara minimum 5. Adanya keanekaragaman 6. Tercapainya keadilan
3 Muhammad Erwin, Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Bandung; refika ADITAMA, 2013) h.130 4
h.244-245
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2005)
18
Sementara demokrasi yang dianut Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan pancasila, masih dalam tahap perkembangan dan sifat dan ciri nya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Pengalaman bangsa Indonesia relatif masih “miskin” dalam mewujudkan sistem demokrasi yang merupakan ciri utama masyarakat Indonesia. Ibarat lahan perkebunan, wacana dan ladang perpolitikan di Indonesia sampai saat ini masih dalam proses simbiosis kimiawi antara bibit demokrasi liberal yang di impor dari barat dengan lahan kultural Indonesia yang dahulunya subur bagi pohon feodalisme.5 Tetapi yang tidak dapat disangkal adalah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat dalam UndangUndang Dasar 1945 yang belum diamandemen. Selain itu Undang-Undang Dasar tersebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu, dan yang dicantumkan dalam penjelasan Undang Undang Dasar 1945 menegenai sistem pemerintahan negara yaitu: pertama, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), Negara Indonesia berdasarkan atas Hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat). Kedua, sistem konstitusional yaitu pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).6 Berdasarkan dua istilah yaitu Rechsstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945
Agustam, “Konsepsi Dan Implementasi Demokrasi Pancasila Dalam Sistem Perpolitikan di Indoensia”, Jurnal TAPIs, Vol.7 No.12 Januari-Juni 2011, h.80 5
6
h.106
Miriam Budiarjo Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2015)
19
yang belum diamandemen ialah Demokrasi Konstitusional. Di samping itu ciri khas Demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang dimuat dalam pembukaan UndangUndang Dasar 1945 yang selaras akan makna dari demokrasi itu sendiri yaitu kedaulatan rakyat, yang dengan ini pemerintah memiliki kekuasaan yang terbatas dan tidak dapat sewenang wenang kepada rakyat. B.
Teori Kedaulatan Rakyat Konsep kedaulatan rakyat yang berarti rakyat yang mempunyai kedaulatan atau kekuasaan, yang berarti konsep kekuasaan rakyat atau kedaulatan yang demikian tidak bersifat mutlak. Menurut Masdar F. Mas’udi: Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan (sovereignty) untuk mengatur kehidupan ada yang bersifat terbatas (muqayyad), relatif (nisby) dan ada yang tak terbatas (ghair muqayaad) atau mutlak (absout). Kedaulatan absolut adalah kedaulatan atas semua kedaulatan yang tidak dibatasi oleh kedaulatan pihak lain. Kedaulatan absolut hanya milik Allah SWT, untuk mengatur alam semesta melalui hukum alam-Nya dan mengatur kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral yang diilhamkan kepada setiap nurani (qalb) manusia atau diwahyukan melalui para nabi dan rasul-Nya, sedangkan dalam negara sebagai bangunan sosial dan proyek peradaban yang direkayasa oleh manusia dalam wilayah tertentu yang berdaulat adalah manusia secara kolektif sebagai khalifah-Nya, dan kemudian khilafah inilah yang akan
20
menjadi imam serta pemegang amanat dari manusia lainya7. Hal ini juga dijelaskan di dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 72 yang berbunyi:
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh”.(Q.S 72 :33) Menurut ajaran kedaulatan rakyat segala kekuasaan di dalam negara bersumber pada individu-individu. Kekuasaan tertinggi suatu negara berasal dari individu-individu sendiri yang telah menjadi rakyat negara, sebagai negara yang berlandaskan kedaulatan rakyat pimpinan negara adalah ”Immanent” yaitu terkandung di dalam diri rakyat itu sendiri. Negara yang mendasarkan atas kedaulatan rakyat kendati telah terbentuk negara dengan seluruh perlengkapan kekuasaannya, namun ultimate power (kekuasaan tertinggi) tetep berada ditangan rakyat itu sendiri. Perwujudan kekuasaan rakyat tersebut diwakilkan kepada dewandewan perwakiln rakyat dan melalui pemerintah yang bertangung jawab kepada rakyat, dalam hal tersebut pemerintah hanya sebagai mandataris rakyat saja. Teori Kedaulatan Rakyat (Volks aouvereiniteit), menekankan bahwa semua kekuasaan dalam suatu negara didasarkan pada kekuasaan rakyat (bersama). J.J. Rousseau menyatakan apa yang dikenal dengan “kontrak sosial”, suatu perjanjian antara seluruh rakyat yang menyetujui Pemerintah mempunyai kekuasaan dalam
7
Sodikin, “Kedaulatan Rakyat dan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konteks Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2014, h.107
21
suatu negara. Kedaulatan rakyat artinya kekusaan tertinggi di tangan rakyat. Rakyat memberikan kekuasaan kepada para wakil rakyat yang menduduki lembaga legislatif maupun eksekutif untuk melaksanakan keinginan rakyat, melindungi hakhak rakyat serta memerintah berdasarkan hati nurani rakyat. Rakyat berhak mengganti pemerintahan yang dipilih dan diangkatnya, bila pemerintah tersebut tidak melaksanakan kehendak rakyat. Dewasa ini praktik teori kedaulatan rakyat banyak dianut dan dijalankan oleh negara-negara demokrasi modern termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.8 C.
Teori Lembaga Perwakilan Lembaga perwakilan adalah cara yang sangat praktis untuk memungkinkan anggota masyarakat menerapkan pengaruhnya terhadap orang-orang yang menjalankan tugas kenegaraannya. Teori lembaga perwakilan muncul karena Asas Demokrasi Langsung, menurut Rousseau tidak mungkin lagi dapat dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara, dan bertambah rumitnya urusan kenegaraan. Adanya penyerahan kekuasaan rakyat pada Caesar yang secara mutlak diletakkan pada Lex Regia menurut orang Romawi dapat dianggap Caesar itu sebagai suatu perwakilan. Pada abad menengah mulai nyata timbul lembaga perwakilan yaitu pada saat sistem Monarki Feodal yang memungkinkan para feodal menguasai tanah dan orang di atas tanah tersebut.
8
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta; Libety Yogyakarta, 2005) h. 161
22
Dalam teorinya ada beberapa macam dari lembaga perwakilan:9 1. Teori Mandat Teori ini berasumsi bahwa subtansi yang diwakili oleh seorang wakil terbatas pada mandat yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan mandat. Hal demikian mengharuskan segala tindakan, bahkan termasuk sikap dan perilaku dari wakil harus senantiasa sesuai dengan kehendak dari orangorang yang memberikan mandat. Sesuai dengan perkembangan dari teori mandat ini, berkembang atas dasar asumsi tentang kualitas mandat yang menjadi dasar hubungan antara seorang wakil dengan orang-orang yang diwakilinya. Beberapa variasi di dalam teori mandat ini terdiri dari :10 a. Mandat Imperatif, berarti bahwa hubungan antara wakil dengan orang yang diwakili itu terbatas pada instruksi yang disampaikan oleh orangorang yang mewakilinya itu. Wakil tidak diperbolehkan bertindak melampui mandat yang telah diberikan dengan konsekuensi bahwa jika hal itu dilakukan oleh wakil, maka hal demikian tidak berada pada hubungan yang benar antara wakil dan orang yang memberikan perwakilannya.
9
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010) h. 143-144
10
Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, (Jakarta; Pustaka Pelajar, 2007) h. 40
23
b. Mandat Bebas, yang menyatakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai seorang wakil maka semua tindakan yang dilakukan dipandang berada pada bingkai mandat yang diberikan. Seluruh aspek yang secara logis menjadi dasar dari mandat yang diberikan kepada seorang wakil dianggap terakomodasikan di dalam mandat yang disampaikan tersebut, dengan demikian wakil bebas bertindak sesuai dengan batasan umum yang dimandatkan kepada dirinya. c. Mandat Representatif, merupakan perkembangan kualitas mandat yang bersifat umum. Dalam teori Mandat Representatif, duduknya seseorang di dalam lembaga perwakilan dipandang mewakili keseluruhan kehendak atau aspirasi orang yang memberikan mandat. Sebagai ciri khas dari mandat ini, bahwa seorang wakil memberikan mandat kepada dirinya. Mandat diberikan secara umum di dalam sistem tertentu yang kemudian dikenal melalui Pemilu. 2. Teori Organ Teori organ muncul melalui pemikiran Von Gierke, menurut teori ini negara
merupakan
suatu
organisme
yang
mempunyai
alat-alat
perlengkapannya seperti eksekutif, parlemen, dan mempunyai rakyat yang kesemuanya mempunyai fungsi masing-masing dan saling ketergantungan satu sama lain. Maka sesudah rakyat memilih Lembaga Perwakilan mereka
24
tidak perlu lagi mencampuri lembaga tersebut dan lembaga ini bebas berfungsi sesuai dengan wewenang. 11 Perkembangan berikutnya di dalam hubungan antara wakil dan orangorang yang diwakili ini pemilihan organ perwakilan menjadikan semua kekuasaan berada pada lembaga yang dipilih. Sifat kolektivisme menjadi ciri khas dari teori organ. Teori ini dipandang sebagai bentuk yang lebih rasional untuk mengakomodasikan jumlah wakil yang sedikit, dibandingkan dengan orang-orang yang diwakili dalam jumlah sangat banyak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar.12 3.
Teori Hukum Objektif Leon Duguit, yang memberikan analisis tentang bangun lembaga perwakilan sebagai lembaga hukum yang berisi tidak saja keberadaan wakil dan orang yang diwakili, tetapi juga aturan-aturan tentang tentang bagaimana mekanisme perwakilan dan kinerja, daripada wakil di dalam memenuhi aspirasi dari orang-orang yang diwakilinya. Semuanya harus dituangkan dan terlembagakan dalam hukum yang bersifat objektif. Masih ada beberapa pendapat dari para ahli lain yang pada prinsipnya memberikan pemahaman tentang subtansi, pola hubungan serta implikasi yang timbul sebagai akibat dari mekanisme perwakilan, namun pada intinya tetap
11
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta; Sinar Grafika, 2010) h.145
12
Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, (Jakarta; Pustaka Pelajar,
2007) h.41
25
pada bahasa yang sama yaitu apakah seorang wakil memang benar-benar dapat memposisikan dirinya sebagai sosok yang dapat menampung dan tentu saja yang lebih penting adalah menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh orang-orang yang memberikan kepercayaan sebagai seorang wakil, seperti di dalam Al-Quran surat An-Nissa Ayat 58):
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”(Q,S 58 :4) Dasar-dasar mekanisme perwakilan sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya kekuasaan yang ada pada seorang wakil, dan kemudian bergabung pada suatu lembaga perwakilan bertumpu pada kewenangan yang diberikan oleh orang-orang yang memberikan kedudukan. Artinya bahwa keterwakilan seseorang pada lembaga perwakilan harus senantiasa mewakili kehendak atau aspirasi dari yang diwakili. Sebagai konsekuensinya jika tidak dapat bertindak sesuai dengan kehendak orang-orang yang memberikan perwakilan, maka hal itu berarti keterwakilannya harus diakhiri. Wakil dipandang tidak mampu mewakili kehendak atau aspirasi, dan sebagai konsekuensinya harus dikembalikan lagi kepada orang yang telah memberikan.13
13
Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, (Jakarta; Pustaka Pelajar, 2007) h.42-43
26
D.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Perwujudan demokrasi perwakilan Indonesia di simbolkan dengan adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR yang berisikan orang-orang yang dipilih secara demokratis dan mewakili partainya dari beberapa daerah pemilihan kemudian duduk dalam kursi dewan untuk mewakili rakyat. DPR dianggap sebagai penyambung lidah rakyat, melalui dirinya diharapkan aspirasi-aspirasi rakyat dapat tersampaikan. 1. Sejarah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berkembangnya gagasan kedaulatan ada di tangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkanya dalam undang-undang. Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat, rakyat yang berdaulat memiliki suatu “kehendak” yang oleh JJ Rosseau disebut volente generale atau general will.14 Artinya bahwa keputusan yang diambil oleh badan legislatif ini merupaka volente general atau general will itu, karena keputusanya itu baik yang bersifat kebijakan ataupun undang-undang mengikat terhadap seluruh masyarakat. Lembaga legislatif di Indonesia lebih dikenal dengan DPR memiliki sejarah panjang dalam mewakili representasi masyarakat di Indonesia mulai dari masa Volskraad sampai dengan DPR hari ini. Dalam keterwakilanya di Indonesia, DPR merupakan perwujudan dari representasi rakyat yang
14
h.315-316
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015)
27
terwakilkan melalui calon-calon dari partai politik yang kemudian dipilih melalui sebuah mekanisme yang disebut Pemilihan Umum (Pemilu). Di dalam sejarah paling tidak ada periode-periode penting sebelum mencapai pada eksistensi DPR hari ini, periode tersebut diantaranya: 1) Volksraad (1918-1942) Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918). Pada permulaan berdirinya Volsksraad partisipasi dari organisasi politik di indonesia sangat terbatas. Dari 38 orang anggota, 4 orang mewakili organisasi Indonesia diantaranya Budi Oetomo dan Serikat Dagang Islam (SDI).15 Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
16
Dibentuknya Volsksraad kala itu hanya dirancang sebagai
15 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2015) h.330 16
T.A. Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia; Studi Analisis sebelum dan setelah perubahan UUD 1945, (Jakarta: FORMAPPI, 2005) h.16
28
konsesi untuk dukungan populer dari rakyat di tanah jajahan terhadap keberadaan Pemerintah Hindia-Belanda. 2) DPR Pada Masa Orde Lama Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. KNIP merupakan badan pembantu presiden yang pembentukannya didasarkan pada keputusan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada masa ini bangsa Indonesia masih di hadapkan kepada persoalan pengakuan kemerdekaan dari negara lain.17 Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan: 1). Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi; 2).
17
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998) h. 331
29
Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.18 Pada masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS)
kewenangan yang dimiliki DPR terus berkembang. Hal ini ditandai dengan hak yang dimiliki DPR antara lain: hak budget, hak inisiatif, dan hak amandemen, menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) bersamasama dengan pemerintah, hak bertanya, hak interpelasi, dan hak angket. Pada tahun 1959 Presiden mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya menyatakan meberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, maka keterwakilan yang dimiliki DPR menjadi terbatas. DPR bekerja dalam suatu rangka yang lebih sempit, dalam arti hak-haknya kurang luas dalam Undang-Undang Dasar 1945 jika dibandingkan dengan UUD RIS 1945 dan UUD 1945.19 3) Masa Orde Baru Suasana penegakkan Orde Baru sesudah terjadinya G 30 S/PKI, DPR-GR mengalami perubahan, baik mengenai keanggotaan maupun wewenangnya. Selain itu juga diusahakan agar tata kerja DPR-GR lebih sesuai dengan
ketentuan-ketentuan
Undang-Undang
Dasar
1945.
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian
18 Soehino, Hukum Tata Negara; Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992). h.92-93 19
B.N. Marbun, DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) h.118
30
dikukuhkan dalam UU No. memulai
kerjanya
10/1966,
DPR-GR
masa
Orde
Baru
dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde
Baru.20 Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun di Republik Indonesia. Melalui proses yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca peristiwa 1965. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Ali Moertopo, bahwa stabilitas politik dan keamanan nasional merupakan syarat utama bagi kelangsungan pembangunan.21 Suatu yang khas dalam periode ini adalah Soeharto dengan alat politiknya saat itu berkuasa dan berhasil memimpin negara termasuk dalam ranah politik. Periode ini DPR dan MPR berada dibawah pengawasanya. Hak-hak yang dimiliki Soeharto sebagai kepalanegara diantaranya adalah menunjuk seperlima anggota DPR dan tiga per lima anggota MPR. Tata tertib yang mengenai pembagian kursi DPR dan MPR tersebut sangat membatasi peran politik dari PDI dan PPP, serta hanya menguntungkan Golkar yang tentu saja menjamin berlanjutnya dominasi pemerintahan Orde Baru yang mengabaikan pandangan mayoritas publik. Setiap Pemilu selama periode ini, Golkar selalu keluar sebagai pemenang dengan pemegang suara terbanyak dan DPR berada di bawah
20
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Dian Rakyat, 1998) h. 336
21
Dwi Wahyono Hadi, “Jurnal Propaganda”, Jurnal Verleden,Vol.1, No.1, Desember
2012, h.41
31
kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga
legislatif
yang
diharapkan
mampu menjalankan fungsi
penyeimbang dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto. 22 4) Masa Reformasi Hal menarik dalam periode ini adalah dilakukanya amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 sebanyak 4 kali.
Setelah
amandemen, DPR mengalami perubahahan, fungsi legislasi yang sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945 fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran itu dapat dibaca dengan adanya perubahan radikal Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 dari presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, menjadi presiden berhak mengajukan rancangan kepada DPR. Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi presiden dalam proses pembentukan undang-undang.23 Perubahan ini penting artinya karena undang-undang adalah produk hukum yang paling dominan untuk menerjemahkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat
22
Dwi Wahyono Hadi, “Jurnal Propaganda”, Jurnal Verleden,Vol.1, No.1, Desember
2012, h.41 23
Saldi Isra, “Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat”: Sistem Trikameral di Tengah
Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Konstitusi, Vol. 1 Nomor 1, (Juli 2004)
32
dalam UUD 1945. Hasil amandemen ini menunjukan beberapa perubahan di dalam pengaturan DPR, diantaranya perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dari tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang dan penambahan Pasal 20A Ayat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan tidak saja berakibat pada melemahkan fungsi legislasi presiden tetapi memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Kemudian dalam fungsi anggaran. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.24 2. Keanggotaan, Susunan dan Waktu Sidang DPR Menurut UUD 1945 Upaya mempertegas pembagian kekuasaan dan menerapkan prinsip saling mengawasi dan mengimbangi yang kebih ketat dan transparant, ketentuan mengenai DPR di lakukan perubahan. Sebelum di ubah ketentuan DPR terdiri atas 4 pasal, yaitu pasal 19, pasal 20, pasal 21, dan pasal 22. Setelah perubahan ketentuan ini menjadi 7 pasal, yaitu pasal 19, pasal 20, pasal 20 A, dan pasal 22 B. Ketentuan mengenai keanggotaan, susunan, dan waktu sidang DPR semula di atur dalam pasal 19 dengan ayat 2. Setelah perubahan UUD 1945, ketentuan tersebut di atur dalam pasal 19 dengan ayat 3. Perhatikan rumusan naskah asli dan rumusan perubahannya berikut ini:
Saldi Isra, “Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat”: Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Konstitusi, Vol. 1 Nomor 1, (Juli 2004) 24
33
Rumusan Asli Pasal 19 (1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat di tetapkan dengan undang-undang. (2) Dewan perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Rumusan perubahan Pasal 19 (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di pilih melalui pemilihan umum. (2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat di atur dengan undang-undang. (3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Berdasarkan uraian di atas, terdapat perubahan dari ketentuan tersebut yaitu pada penambahan ketentuan mengenai pemilihan anggota DPR. Dua ketentuan lainnya, yakni susunan dan masa sidang DPR tetap tidak berubah. Penjabaran dari pasal 19 ayat UUD 1945 hasil amandemen sebagai berikut : 25 a. Anggota DPR Dipilih Melalui Pemilu Adanya ketentuan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum dimaksudkan untuk mewujudkan asas kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan ini pasa masa dating tidak ada lagi anggota DPR yang diangkat. Hal ini sesuai dengan paham demokrasi perwakilan yang mendasarkan keberadaannya pada prinsip perwakilan atas dasar pemilihan (representation by election). Dengan adanya seluruh anggota DPR di pilih melalui pemilu, tentu saja menimbulkan pengaruh yang positif, di antaranya adalah : 1) Kehidupan demokrasi semakin berkembang.
25
Dasim Budimansyah, Mengenal Konstitusi UUD 1945 dan Perubahannya, (Jakarta, Pusat Perbukuan Depdiknas, 2007 ) h.76
34
2) Legitimasi DPR pun menjadi semakin kuat. b. Susunan dan Keanggotaan DPR DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Hal-hal yang berkenaan dengan keanggotaan, adalah sebagai berikut : 1) Anggota DPR berjumlah 650 orang, 2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden, 3) Anggota DPR berdomisili di ibukota Negara republik Indonesia 4) Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkn sumpah/janji. c. Waktu sidang DPR Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun sesuai dengan pasal 19 ayat (3) UUD 1945. Tahun sidang DPR dimulai pada 16 Agustus dan di akhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila pada 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Tahun sidang dibagi dalam empat masa persidangan. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. 1) Masa sidang adalah masa pada saat DPR malakukan kegiatan, terutama didalam gedung 2) Masa reses
35
adalah masa DPR melakukan kegiatan diluar masa sidang, terutama diluar gedung DPR. Misalnya, malaksanakan kunjungan kerja, baik yang dilakukan oleh anggota secara perseorangan maupun secara berkelompok, ketempat daerah pemilihan (dapil) masingmasing. Sidang pada hari permulaan tahun sidang yang merupakan rapat paripura, acara pokoknya adalah pidato kenegaraan Presiden. Apabila pada sidang tersebut presiden berhalangan hadir, pidato kenegaraan akan disampaikan oleh wakil presiden.26 3. Fungsi dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat DPR yang merupakan suatu representasi dari suatu demokrasi dari kedaulatan rakyat di Indonesia dalam menjalankan peranya telah diamanatkan fungsi dan kewenanganya oleh Undang-Undang Dasar yang antara lain: a. Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Menurut ketentuan pasal 25 ayat UUD NRI 1945 fungsi DPR ada tiga, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, ketiga fungsi tersebut antara lain: 1) Fungsi legislasi adalah fungsi membentuk undang-undang yang membahas dengan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 2) Fungsi anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara bersama presiden dengan memerhatikan pertimbangan DPD. 3) Fungsi pengawasan adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksaan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Undang-undang dan peraturan pelaksanaannya
26
Dasim Budimasyah, Mengenal Konstitusi UUD 1945 dan Perubahannya, (Jakarta, Pusat Perbukuan Depdiknas, 2007) h.79-98
36
Selain ketiga fungsi tersebut, menurut Miriam Budiarjo dikutip dari Jurnal Politik Universitas Brawijaya oleh Hana Hariani, fungsi dari badan legislatif diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. Untuk itu dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan hak angket. 2) Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat diberi hak-hak control khusus. b. Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Selain memiliki fungsi DPR pun dibekali kewenangan yang diamanatkan dalam undang-undang no 17 tahun 2014 tentang MD3 sebagai berikut: 1) Membentuk undang-undang yang di bahas dengan presiden untuk medapat persetujuan bersama. 2) Membahas dan memberikan persetujuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. 3) Menerima dan membahas usulan rancangan undang-undang yang di ajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan. 4) Memerhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN) dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan , dan agama. 5) Menetapkan APBN bersama presiden dengan memerhatikan pertimbangan DPD. 6) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran pendapatan dan belanja Negara, serta kebijakan pemerintah. 7) Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai atonomi daerah,
37
8) 9)
10) 11) 12) 13)
14)
15) 16)
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan memerhatikan pertimbangan DPD. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan Negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Memberikan persetujuan kepada presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial (KY). Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk di tetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Memilih tiga orang calon anggota hakim konstitusi dan mengajukannya kepada presiden untuk ditetapkan. Memberikan pertimbangan kepada presiden untuk mengangkat duta, menerima penempatan duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesty dan abolisi. Memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan /atau pembentukan undangundang. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang di tentukan dalam undang-undang Untuk menjalankan kewenangannya tersebut, DPR dianugerahi hak
kelembagaan dan hak individu anggota DPR. Jimly menulis bahwa Hak-hak parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat dijalankan oleh alat perlengkapan parlemen, sedangkan hak-hak anggota parlemen dilakukan sendiri oleh anggota parlemen sebagai pejabat negara. Artinya, secara sendiri-sendiri setiap anggota MPR, DPR dan DPD dalam menjalankan tugas konstitusionalnya sebagai wakil rakyat atau sebagai anggota parlemen adalah pejabat yang menjalankan tugas jabatan, dan kepadanya diberikan hak-hak tertentu yang melekat pada
4038
jabatannya itu, Hak-hak jabatan tersebut terkait dengan pelaksanaan tugasnya sebagai anggota parlemen.27
Fitria, ” Penguatan Fungsi Pengawasan Dpr Melalui Perubahan Undang-Undang No. 10 Tahun 1954 Tentang Hak Angket”, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2014, h.83 27
BAB III Tinjauan Umum Alat Kelengkapan Dewan, Pansus Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat A.
Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat 1. Pengertian Hak Angket Peangertian dan ketentuan mengenai hak angket secara eksplisit diatur dalm ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 Pasal 70 Tentang Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUD sementara), sebagai berikut: 1 pasal 20 A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen, dijelaskan bahwa: (1). Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan. (2). Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasalpasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interplasi, hak menyatakan pendapat dan hak angket. 2. Sebab Timbulnya Hak Angket Landasan normatif hak angket diatur di dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang penetapan Hak Angket DPR yang dibuat berdasarkan UUD Sementara 1950 pada masa Demokrasi Parlementer. Kemudian dipertegas dalam pasal 83 huruf i Undang-Undang Nomor 14 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur bahwa Hak Angket merupakan hak DPR untuk menyelidiki kebijakan dugaan pelanggaran terhadap undang-undang serta kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas Roma Rizki Elhadi, “Penggunaan Hak Angket DPR Sesudah Amandemen UUD 1945” Skripsi Ilmu Hukum UIN Jakarta, 2014. Hal 17-19 1
39
40
pada kehidupan masyarakat banyak akibat pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1954 tentang penetapan hak angket tidak menjelaskan mengenai apa saja yang menjadi alasan untuk memunculkan hak angket. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah. Dengan demikian hak angket dikenakan pada kebijakan pemerintah atau pelaksanaan undang-undang oleh pemerintah. Tetapi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan UndangUndang No 17 Tahun 2014 tentang MD3 ini membatasinya dengan menambahkan ketentuan bahwa kebijakan atau pelaksanaan Undang-Undang yang dilakukan memiliki hubungan ataupun keterkaitan penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Kemudian terdapat kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, yang terakhir ini menjadi ketentuan yang membedakan antara hak angket dengan hak-hak yang dimiliki oleh DPR. Hal yang menjadi permasalahan mengenai alasan yang memungkinkan diadakannya hak angket adalah mengenai syarat kebijakan ataupun pelaksanaan perundang-undangan tersebut berkaitan dengan hal penting, strategis dan berdampak luas. Tidak ada batasan mengenai seberapa penting kebijakan tersebut, mengenai :2
Roma Rizki Elhadi, “Penggunaan Hak Angket DPR Sesudah Amandemen UUD 1945” Skripsi ilmu Hukum UIN Jakarta, 2014. h.17-19 2
41
1. Bila kebijakan tersebut bersentuhan langsung dengan rakyat 2. Bila kebijakan ataupun pelaksanaan Undang-Undang tersebut diduga melanggar Undang-Undang. B.
Alat Kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Berjalanya sebuah fungsi dalam negara tidak lepas dari adanya alat-alat kelengkapan negara, yang mana satu diantara perlengkapan tersebut yaitu Lembaga Legislatif atau Parlemen yang mana bagian dari teori lembaga perwakilan.3 Dalam sejarahnya John Locke dan Montesquei yang memperkenalkan parlemen sebagai pemegang kekuasaan legislatif. Menurut keduanya agar kekuasaan negara tidak sewenang-wenang dijalankan oleh Raja (Eksekutif), maka perlu ada lembaga yang membuat undang-undang yang akan dilaksanakan oleh Raja. 4 Senada dengan itu di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, legislatif di Indonesia yaitu DPR memiliki beberapa unit-unit kerja disebut dengan alat-alat kelengkapan dewan. Alat-alat kelengkapan DPR tersebut ada yang bersifat tetap dan ada yang sementara. Dimaksud dengan tetap adalah unit kerja yang terus menerus ada selama masa kerja DPR berlangsung, yakni selama lima tahun. Keanggotannya juga tidak berubah dari awal sampai akhir, kecuali ada pemberhentian. Sedangkan yang sementara bersifat sebaliknya, hanya dibentuk untuk kebutuhan dan tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu pula. Begitu juga dengan keanggotannya, berganti-ganti untuk masa waktu sementara dan dalam hal
3
4
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, (Jakarta; Bumi Aksara, 2010) h.166
Moh Kusnardi dan Bintan R Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2008) h.242
42
ini Pansus merupakan alat kelengkapan yang bersifat sementara sesuai dengan pasal 83 ayat 2 UU No 17 Tahun 2014 Alat-alat kelengkapan DPR tersebut antara lain: a.
Pimpinan DPR RI
b.
Komisi dan Sub Komisi;
c.
Badan Musyawarah (Bamus)
d.
Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)
e.
Badan Legislasi
f.
Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP)
g.
Panitia Anggaran Sedangkan alat kelengkapan yang bersifat sementara terdiri dari:
C.
a.
Dewan Kehormatan
b.
Panitia-panitia, seperti panitia kerja (Panja) dan panitia khusus (Pansus)
Panitia Khusus Sebagaimana Tatib DPR apabila dipandang perlu, DPR atau alat kelengkapan DPR dapat membentuk panitia yang bersifat sementara. Panitia yang dibentuk oleh DPR disebut Panitia Khusus, yang merupakan alat kelengkapan DPR. Sedangkan panitia yang dibentuk oleh alat kelengkapan DPR disebut Panitia Kerja dan bukan bagian dari alat kelengkapan DPR. Pengaturan tentang Panitia-panitia terdapat dalam UU No 27 tahun 2009, UU no 14 Tahun 2014, dan Peraturan DPR No 1 tahun 2009 tentang Tata Tertib. Menurut Fahri Hamzah (Wakil Ketua DPR RI) yang dikutip dari suara pembaruan, mengatakan bahwa Pansus DPR adalah lembaga penyidik dan
43
penyelidik tertinggi di parlemen.5 Hal ini tidak lepas dari sejarah dari pansus terebut didalam proses penyeledikan serta penyedikan permasalahan yang dianggap penting dalam menyelamatkan aset serta keuangan negara akibat aturan perundangundangan yang dilanggar, diluar dari aspek politik yang sebenernya tidak dapat dilepaskan antara pansus dengan kepentingan partai politik. Dari Pansus-pansus yang pernah dibuat oleh DPR diantaranya ada Pansus Bank Century, Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan yang menjadi bahasan utama dalam penelitian ini yaitu Pansus Pelindo II. 1. Hubungan Hak Angket dengan Pansus Terbentuknya Pansus, sejak awal memang tidak ada aturan baku yang mencatumkan syarat dalam pembentukanya, tetapi sejarah membuktikan bahwa pansus selalu dibentuk oleh DPR sebagai suatu penyelidik atas sebuah masalah sebagai bentuk pelaksanaan salah satu fungsi DPR yaitu fungsi pengawasan. Sejarah panjang lembaga perwakilan diiringi pula dengan sejarah organ yang ada di dalamnya salah satunya adalah alat kelengkapan DPR yaitu Pansus. Terbentuknya Pansus tidak lepas dari Hak yang dimiliki DPR yaitu Hak Angket, berdasarkan Pasal 79 ayat 3 UU No 17 Tahun 2014, yang dimaksud dengan hak angket adalah Hak DPR RI untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
Tajuk Politik & Hukum,” Fahri Hamzah: Rekomendasi Pansus Pelindo Bukan Mainmain”, Suara Pembaruan, 28 Desember 2015 5
44
peraturan perundang-undangan,6 dalam UU No 17 Tahun 2014 ini, dikatakan bahwa hak angket harus diusulkan oleh paling sedikit 25 anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi (pasal 199 ayat 1). Pengusulan ini harus memuat: (a.) materi kebijakan dan / atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan (b.) alasan penyelidikan (pasal 199 ayat 2).Usulan tersebut akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir (pasal 199 ayat 3). Bila usulan diterima, DPR akan membentuk panitia angket (Pansus) (pasal 199 ayat 3). Jadi bisa dikatakan bahwa pansus merupakan sekelompok anggota DPR yang ditugaskan melalui rapat paripurna untuk melakukan penyelidikan akibat adanya penggunaan hak angket.7 Maka demikian Pansus Hak Angket berbeda dengan Pansus lainya, karena dibentuk berdasarkan Paripurna dan tulis di nomenklatur undang-undang, kewenanganya pun mengikuti aturan aturan yang mengatur Hak Angket dalam UU No 17 Tahun 2014 ataupun DPR dan seketika itu pula menurunkan kewenangan yang yang dimiliki DPR secara umum. Setelah menyelesaikan tugasnya Pansus Hak Angket harus menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR dan selanjutnya laporan tersebut dibagikan kepada semua anggota, setelah terlebih dahulu mendengar pendapat akhir fraksi. Kemudian apabila rapat paripurna DPR menyatakan hal yang diselediki
6
Republik Indonesia, Pasal 79 ayat 3 UU No 17 Tahun 2014
7
Republik Indonesia, Pasal 199 ayat 1-3 UU No 17 Tahun 2014
45
bertentangan/ tidak dengan peraturan perundang-undangan DPR dapat menindak lanjuti keputusan tersebut dengan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan pansus dibubarkan bila masa kerja yang telah ditentukan berakhir. 8 2. Susunan keangotaan Panitia Khusus Pansus ber anggota paling banyak 30 orang dan dipimpin 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua. Fraksi mengusulkan nama anggota kepada pimpinan DPR sesuai dengan perimbangan jumlah untuk kemudian ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Pemilihan ketua dipilih melalui proses musyawarah yang menghasilkan pemufakatan dan dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah ditetapkanya susunan dan keanggotaan panitia khusus dan penggantian anggota panitia khusus dapat dilakukan oleh fraksinya apabila anggota pansus yang bersangkutan berhalangan tetap atau ada pertimbangan lain dari partainya. 3. Tugas dan Tata cara Pelaksanaan Terbentuknya pansus tentulah memiliki sebuah alasan ataupun tujuan yang menjadi latar belakang, dari sana pansus diamanatkan suatu tugas tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang di tetapkan melalui paripurna DPR dan dapat diperpanjang apabila belum dapat menyelesaikan tugasnya dan pembubaran dapat dilakukan setelah jangka waktu penugasanya berakhir atau karena tugasnya telah selesai.
8
2014
Republik Indonesia, Pasal 207, ayat (2), (3) dan (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun
46
Tata cara dalam pelaksanaan hak angket dan pansus antara lain: 1. Hak angket diusulkan sedikitinya dua puluh lima orang anggota dan lebih dari satu fraksi.9 2. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan.10 3. Usul hak angket disampaikan, diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna dan dibagikan kepada seluruh anggota.11 4. Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna atas usul hak angket dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan asal usul hak angket secara ringkas. 5. Selama usul hak angket belum disetujui oleh rapat paripurna, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali. 6. Perubahan dan penarikan kembali harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan membagikan kepada seluruh anggota. 7. Dalam hal jumlah penandatangan usul hak angket yang belum memasuki Pembicaraan Tingkat I menjadi kurang dari jumlah, harus diadakan penambahan penandatangan sehingga jumlahnya mencukupi.
9
Republik Indonesia, Pasal 199 ayat 1 UU No 17 Tahun 2014
10 Republik Indonesia, Pasal 177, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, jo Pasal 166 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib 11
Republik Indonesia, Pasal 200 UU No 17 Tahun 2014
47
8. Dalam hal terjadi pengunduran diri penandatangan usul hak angket sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penandatangan tidak mencukupi, Ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penandatangan mencukupi. 9. Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul angket dengan membubuhkan tandatangan pada lembar pengusul, Ketua rapat paripurna mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna dapat dilanjutkan 10. Apabila dua kali masa sidang penandatangan belum terpenuhi, maka usulan dinyatakan batal.12 11. Dalam hal rapat paripurna memutuskan untuk menyetujui usul mengadakan angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket. 12. Keputusan DPR untuk mengadakan angket mencakup juga penentuan biaya panitia angket. 13. Keputusan DPR disampaikan kepada Presiden dan diumumkan dalam Berita Negara. 14. Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
12
Republik Indonesia, Pasal 167, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009
48
15. Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya. 16. Pihak yang hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus. 17. Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidak hadiran pihak karena suatu alasan yang dapat diterima. 18. Apabila pihak yang dipanggil tidak hadir tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta sekali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan. 19. Apabila pihak tersebut tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang dapat diterima atau menolak hadir, bagi yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh aparat yang berwajib yaitu kepolisian atau kejaksaan atas permintaan panitia khusus, yang bersangkutan dapat disandera lima belas hari oleh aparat yang berwajib.13 20. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, panitia angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna, kemudian laporan tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. 21. Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket, didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi, kemudian keputusan
13
Republik Indonesia, Pasal 169, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009.
49
tersebut disampaikan kepada Presiden. 22. DPR dapat menindaklanjuti keputusan sesuai dengan kewenangan DPR menurut peraturan perundang-undangan.14 Dalam melaksanakan tugasnya panitia khusus dapat melakukan : a.
Rapat kerja
b.
Rapat panitia kerja
c.
Rapat tim pengurus/ tim kecil
d.
Rapat tim sinkronisasi
Dalam proses pelaksanaan tugasnya melalui rapat-rapat tersebut dapat dibentuk suatu aturan sepanjang aturan tersebut disetujui dan disepakati oleh seluruh anggota.15 Ini juga berarti pansus dalam masa rapat sangatlah luwes, artinya cara apapun dapat dilakukan hal ini menurut penulis sesungguhnya justru memberikan ketidak teraturan dalam rapat, hal ini sudah sering dibuktikan oleh media yang sering mengabadikan tingkah tidak masuk akal para anggota dewan di dalam rapat, mulai dari tidur ketika rapat berlangsung, menelpon hingga yang paling miris adalah anggota dewan yang tertangkap kamera sedang asik menonton vidio porno.
14
Republik Indonesia, Pasal 170, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009.
15
Republik Indonesia, Pasal 97 ayat 1-2 UU No 17 Tahun 2014
BAB IV Kewenangan Pansus Dalam Kasus Perpanjangan Konsesi Jakarta International Container Terminal Kepada Hutchison Port Holding Oleh PT Pelabuhan Indonesia II A.
Konsesi Bentuk kerja sama di Indonesia antara badan usaha dengan pemerintah dalam usaha eksploitasi sumber daya alam bentuknya berubah-ubah sesuai dengan peraturan yang berlaku, selain pada bidang itu saat ini bentuk kerja sama ini juga berada pada kegiatan kepelabuhan. Pada dasarnya kegiatan usaha ini dapat dilaksanakan oleh BUMN, badan usaha milik daerah (BUMD) , koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta, dan bentuk usaha tetap. Jenis bentuk kerja sama Kegiatan Usaha Hulu yang dikenal di Indonesia salah satunya yaitu Kontrak Karya (Konsesi).1 Konsesi atau kontrak karya menurut Y. Sri Pudyatmoko adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, izin, lisensi, disertai pemberian suatu wewenang dari pemerintahan kepada konsionaris.2 Konsesi tidak mudah diberikan karena mengandung banyak bahaya penyelundupan, perusakan bumi dan kekayaan negara, dan terkadang merugikan masyarakat setempat yang bersangkutan. Konsesi diberikan atas permohonan dengan prosedur serta syarat syarat yang terperinci
1 Salim HS, Hukum Pertambangan di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2005)h.120 2
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan (Problem dan Upaya Pembenahan), (Jakarta: Grasindo, 2009) h.09
50
51
kepada perusahaan yang mengajukan konsesi.3 Sedangkan menurut Ateng Syarifudin, konsesi merupakan suatu izin sehubungan pekerjaan besar yang meyangkut kepentingan umum yang sebenernya tugas itu merupakan tugas pemerintah tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraanya oleh pihak lain yang bukan merupakan pejabat pemerintah.4 Konsesi hanya mempunyai implikasi berupa pemberian keuntungan kepada negara berdasarkan kesepakatan royalti. Perjanjian konsesi di Indonesia dimulai setelah pemerintahan Orde Baru berkuasa di bawah Presiden Soeharto, dengan mengesahkan Undang-Undang No 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang pertambangan. Kontrak karya pertama diadakan pemerintah Indonesia dengan PT Freeport untuk melakukan penambangan di Papua. Perkembangan Kontrak Karya sejak tahun 1967 sampai sekarang dapat dibagi dalam tahapan 8 generasi. Generasi I 1967-1968 dengan masuknya PT Freeport Indonesia dengan fasilitasi adanya Tax Holiday selama tiga tahun. Generasi II tahun 1968-1976 dengan adanya keharusan divestasi. Generasi III tahun 1976-1985 disamping divestasi perusahaan diizinkan mengadakan joint venture. Generasi IV tahun 19851986 diberlakukannya perpajakan progresif. Generasi V tahun 1986-1996 perusahaan KK diharuskan mengadakan smelting di dalam negeri di samping mengembangkan program pengembanga wilayah dalam upaya meningkatkan nilai tambah bagi kepentingan nasional. Generasi VI tahun 1996-1997 perusahaan
3
4
Soetrisno P.H, Kapita Selekta Ekonomi Indonesia, (Jakarta; Penerbit Andi, 1992) h.100
Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan (Problem dan Upaya Pembenahan), (Jakarta: Grasindo, 2009) h.10
52
diizinkan melakukan depresiasi dipercepat. Generasi VII tahun 1997-1998 pada dasarnya sama dengan kondisi Generasi VI. Generasi VIII tahun 1998 sampai 2006 baru ada indikasi masuknya sebuah perusahaan KK yaitu pertambangan pasir besi di pantai selatan Yogyakarta.5 B.
Duduk Perkara Perpanjangan Konsesi JICT kepada HPH PT Pelabuhan Indonesia (PT Pelindo) lahir sebagai tindak lanjut UndangUndang Nomor 21 tahun 1992 tentang pelabuhan badan usaha. PT Pelindo adalah salah satu perusahaan negara di sektor transportasi yang bergerak dalam pengelolaan dan pengoperasian pelabuhan umum. PT Pelabuhan Indonesia yang beroperasi daerah meliputi 10 provinsi untuk mengelola 12 pelabuhan yang ada di Indonesia. Pada tahun 2008 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mengamanatkan bahwa PT Pelindo (I-IV) fokus sebagai operator pelabuhan. Sebelumnya, PT Pelindo berperan ganda sebagai operator dan regulator. Peran operator menjalankan layanan pelabuhan, seperti menyediakan infrastruktur dan pelabuhan peralatan mekanik, dan melakukan semua kegiatan bisnis yang terkait dengan layanan kapal pelabuhan, jasa angkutan dan jasa penumpang6.
5 Ukar W. Karya, Kronologis kontrak karya di Indonesia dan Usaha Pertambangan PT Freeport di Indonesia: Makalah Jurusan Teknik Pertambangan, Unisba, 2011 6
www.indonesiaport.co.id diakses pada 1 Mei 2016 http://www.indonesiaport.co.id/sub/corporate-detail.html
53
Pelindo II yang beroperasi di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta memiliki beberapa anak perusahaan yang salah satunya adalah PT Jakarta International Container Terminal (JICT). Bidang usaha JICT adalah wadah bongkar / muat layanan baik untuk ekspor dan impor di Pelabuhan Tanjung Priok. Setelah awal, JICT bisa mengelola penanganan 1,8 juta TEUs dan meningkat 2,4 juta TEUs pada akhir 2007. Dengan operasi yang ada dan kapasitas, JICT adalah yang terbesar dan tersibuk terminal peti kemas di Indonesia. Dengan penambahan 552 meter dermaga dan 3,5 hektar susun yard, JICT sekarang mampu melayani lalu lintas peti kemas hingga 3 juta TEUs per tahun di Pelabuhan Tanjung Priok.7 Pada awalnya JICT merupakan afiliasi dari Perusahaan yang didirikan pada tahun 1999. Kepemilikan saham mayoritas dimiliki oleh Hutchison PortHolding Group (HPH) di 51%. Sisanya 48,9% dari yang dimiliki oleh Koperasi Pegawai Maritim. Dari konsesi yang diberikan pada tahun 1999 adalah 20 tahun sehingga kontrak baru akan habis pada tahun 2019, tetapi yang terjadi perpanjangan konsesi sudah dilakukan 5 tahun sebelum konsesi habis yaitu pada tahun 2014. Perpanjangan konsesi ini jelas saja memberikan pro dan kontra, tentu saja pro ada pada pihak PT Pelindo II yang menganggap perpanjangan konsesi lebih awal akan memberikan keuntungan kepada negara serta memberikan iklim investasi asing yang baik bagi Indonesia nanti. Direktur Pelindo II R.J Lino mengatakan bahwa Pelindo II mendapatkan uang muka 265 juta dollar AS (bukan 215 juta dollar AS) dan biaya sewa 120 juta dollar AS per tahun dari perpanjangan
7
www.indonesiaport.co.id diakses pada 1 Mei 2016 http://www.indonesiaport.co.id/menu/pt-jict.html
54
konsesi JICT itu.8 Kontra mengenai perpanjangan konsesi ini justru pertama kali diutarakan oleh Serikat Pekerja JICT (SP JICT) , penolakan dilakukan dengan mengerahkan 500 orang ke depam Istana Negara, SP JICT yang menuntut penolakan perpanjangan konsesi kepada perusahaan asing asal Hongkong HPH oleh Pelindo II .9 SP JICT beranggapan perpanjangan konsesi kepada HPH tidak diperlukan mengingat kinerja terminal terbesar dan paling efisien di Indonesia itu dihasilkan berkat kompetensi dan kerja keras anak bangsa atau karyawan JICT sendiri. Mereka menyayangkan sikap Pelindo II yang seharusnya menjadi pelopor dalam mewujudkan visi negara yang mengamanatkan cabang-cabang produksi penting harus dikuasai oleh negara asing. Berbeda dari klaim Dirut Pelindo II R.J Lino, SP JICT justru mengatakan nilai investasi perpanjangan konsesi JICT tahun 2014 hanya sebesar 200 juta dolar AS. Padahal ketika awal privatisasi di tahun 1999 nilai investasi mencapai 243 juta dolar AS. Apalagi nilai aset JICT sudah berkembang pesat sehingga hal ini berpotensi merugikan negara. Hal ini juga diamini oleh Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang mengatakan nilai konsesi tahun 2014 yang justru turun dari konsesi sebelumnya.
8
www.liputan6.com diakses pada 1 Mei 2016 http://bisnis.liputan6.com/read/2287971/bos-pelindo-ii-nilai-perpanjangan-konsesi-jict-baik-untukri 9 www.tribunnews.com diakses pada 1 Mei 2016 http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/08/07/pegawai-jict-tolak-konsesi-ke-perusahaanhongkong-oleh-pelindo-ii
55
Selain
itu
menurut
Rizal
perpanjangan
kontrak
konsesi
tersebut melanggar UU Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Dalam pasal 82, Otoritas Pelabuhan (OP) sebagai wakil pemerintah adalah pihak yang memberikan konsesi pelabuhan kepada badan usaha. Dengan begitu, Pelindo II harus melakukan konsesi dengan Otoritas Pelabuhan, namun hingga saat ini aturan tersebut belum dipenuhi Pelindo II. 10 Kegaduhan di Pelabuhan Tanjung Priok, tempat Pelindo II beroperasi, membuat gedung DPR juga ikut ramai. Ada banyak suara kritis dari komplek parlemen. Komisi VI yang bermitra dengan Kementerian BUMN paling berkepentingan mengungkap persoalan yang membelit Pelindo II. Komisi IX DPR juga ingin membentuk Panja Pelindo II yang khusus menyorot kisruh tenaga kerjanya. Bahkan, Komisi III telah berkirim surat kepada Pimpinan DPR untuk membentuk Pansus Pelindo II dan pada 6 Oktober 2014, Pansus Pelindo II disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI. Pembentukan Pansus ini hampir disetujui semua anggota Panja Pelindo II, Komisi VI DPR menilai, Dirut Pelindo II diduga telah melanggar Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Ada tiga pasal dalam undang-undang tersebut yang menjadi landasan Komisi VI untuk “menyerang” Lino soal kontrak konsesi di JICT, anak perusahaan Pelindo II. Konsesi diberikan kepada HPH, perusahaan asal Hongkong yang mengelola banyak pelabuhan di dunia.11 10 www.kompas.com diakses pada 1 Mei 2016 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/29/175729426/Rizal.Ramli.Perpanjangan.Konses i.JICT.Tak.Ada.Bedanya.dengan.Kasus.Freeport 11
Majalah Parlementaria, Benang Kusut Pelindo II, Edisi 129 TH. XLV, 2015 h.6
56
C.
Pembentukan Pansus Hak Angket Pelindo II “Benang kusut” Pelindo II berawal dari kontrak konsesi yang diberikan Pelindo II kepada HPH. Perusahaan asing asal Hongkong tersebut dipercaya mengelola terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok hingga 2038. Pengusutan masalah Pelindo II ini awalnya di dahului oleh tim Panitia Kerja Komisi VI DPR, dari hasil investigasi yang dilakukan tim Panja Komisi VI menemukan adanya dugaan pelanggaran yaitu perpanjangan konsesi yang diberikan Pelindo II kepada HPH tetapi mengabaikan UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.12 Kemudian pada 5 oktober 2015 melalui Rapat Paripurna maka disepakati pembentukan Pansus sebagai penegakan fungsi kontrol dan pengawasan, paling tidak ada beberapa pasal yang diduga dilanggar dalam hal ini yaitu:13Pasal 82 “Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilaksanakan oleh badan Usaha Pelabuhan dilakukan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian”. Lalu Pasal 82 ayat (4). ”Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan berperan sebagai wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian”. Kemudian Pasal 344 ayat (1). “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah, Pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di
12 www.republika.co.id diakses 06 Mei 2016 http://www.republika.co.id/berita/dprri/berita-dpr-ri/15/10/05/nvqunt368-dpr-ketuk-palu-pembentukan-pansus-pelindo-ii 13
Majalah Parlementaria, Benang Kusut Pelindo II, Edisi 129 TH. XLV, 2015 h. 6
57
pelabuhan berdasarkan Undang-Undang ini”. Terakhir pada Pasal 344 ayat (2) “Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Bandan Usaha Milik Negara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini” Pembentukan Pansus ini didasari pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 A dimana dikatakan pada ayat (2). “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Dari sini Pansus yang telah disebutkan sebagai penegakan dari fungsi DPR itu sendiri, DPR juga menggunakan hak-nya melalui Pansus, kemudian pada ayat (3). “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.” yang mana dari ayat ini anggota pansus dapat meminta keterangan pihak dalam kasus ini. Selain itu diperjelas lagi pembentukan pansus ini pada pasal 156, 157, 158 dan 159 Undang Undang No 17 Tahun 2014, Pasal 156 mengatakan, “Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara”. Lalu keanggotaanya diatur pada Pasal 157 (1). “DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi”. Ayat (2). “Jumlah anggota panitia khusus paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang ditetapkan dalam rapat paripurna
58
DPR”. Ditambah dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1). “Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial”. Ayat (2). “Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat”. Ayat (3) “Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus”, kemudian Pasal 159 ayat (1). “Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR”. Ayat (2) Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR. Ayat (3). Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya selesai, dan ayat (4). “Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus”. Setelah tadi Undang-Undang 17 Tahun 2014 menjelaskan tentang Pansus, kemudian dilengkapi lagi dengan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 pasal 93 Pasal 93 Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. Pasal 94 (1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah Anggota tiap-tiap Fraksi. (2) Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna DPR paling banyak 30 (tiga puluh) orang. (3) Pimpinan DPR mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi untuk menentukan komposisi keanggotaan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat. (4) Fraksi mengusulkan nama anggota panitia khusus kepada pimpinan DPR sesuai dengan perimbangan jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk selanjutnya ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
59
(5) Penggantian anggota panitia khusus dapat dilakukan oleh Fraksinya apabila anggota panitia khusus yang bersangkutan berhalangan tetap atau ada pertimbangan lain dari Fraksinya. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terpilihlah 30 nama anggota Pansus Pelindo II antara lain :14 Berikut daftar susunan Anggota Pansus Angket Pelindo II: 1. Fraksi PDIP: Sukur Nababan, Herman Heri, Masinton Pasaribu, Junimar Girsang, Andreas Eddy Susetyo, dan Rieke Diah Pitaloka 2. Fraksi Golkar: Bambang Soesatyo, Adies Kadir, Budi Supriyanto, Kahar Muzakir, dan Edison Betaubun. 3. Fraksi Gerindra: Desmond Junaedi Mahesa, Moh Nizar Zahro, Suir Syam, dan Mohammad Hekal. 4. Fraksi Demokrat: Wahyu Sanjaya, I Putu Sudiartana, dan Anton Sukartono Suratto. 5. Fraksi PAN: Daeng Muhammad, Teguh Juwarno, dan Nasril Bahar. 6. Fraksi PKB: M Nasim Khan dan Daniel Johan. 7. Fraksi PKS: Abubakar Alhabsy, dan Refrizal 8. Fraksi Nasdem: T Taufiqulhadi, dan Irma Suryani. 9. Fraksi PPP: Epyardi Asda, dan Arsul Sani / Muhammad Iqbal 10. Fraksi Hanura: Nurdin Tampubolon
14
www.kompas.com diakses pada 6 mei 2014
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/13/13185271/Ini.Daftar.Anggota.Pansus.Pelindo.II
60
Dari 30 orang nama-nama tersebut maka terpilihlah Rieke Diah Pitaloka sebagai Ketua Tim Pansus Hak Angket Pelindo II, pansus ini memiliki agenda dalam menyelidiki dugaan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus ini D.
Tugas dan Kewenangan Pansus dalam Kasus Perpanjangan Konsesi Pelindo II Pansus Pelindo II yang mendapatkan “kekuatanya” dari hak angket memiliki tugas di dalam pembentukanya, dikarenakan dalam kasus perpanjangan konsesi ini diduga Pelindo II melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, dimana Direktur Pelindo II kala itu R.J Lino diduga memberikan izin konsesi kepada HPH dengan mengabaikan pemerintah pusat sebagai regulator. Pembentukan Pansus Pelindo II ini hanya fokus kepada masalah pelanggaran hukum serta persoalan yang menyangkut harkat hidup orang banyak.15 Beberapa pasal dalam Undang-Undang No 17 tahun 2008 yang diduga dilanggar oleh Pelindo II diantaranya pada pasal 82, 82 ayat 4, 344 ayat 1, 344 ayat 2. Kemudian dari dugaan pelanggaran ini memunculkan perizinin konsesi yang diberikan kepada HPH yang nilai kontraknya diduga menyebabkan kerugian negara. Sebagaimana disebutkan bahwa pansus yang mendapatkan kekuatanya dari hak angket, Pansus yang juga alat kelengkapan DPR dalam menjalankan tugasnya yaitu penyelidikan tidak bisa disamakan secara keseluruhan dengan penyelidikan
15
Majalah Parlementaria, Benang Kusut Pelindo II, Edisi 129 TH. XLV, 2015 h. 6
61
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal mengenai tindakan paksa seperti penangkapan, menyuruh berhenti, mengambil sidik jari, dan memotret orang dan membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik tentunya DPR tidak berwenang untuk melakukannya. Meskipun demikian dalam menyelenggarakan hak angket terdapat beberapa hak dan kewenangan yang dapat dilakukan oleh Pansus Angket dalam melakukan penyelidikan yaitu: 1. Meminta keterangan pada pemerintah, badan hukum, organisasi profesi, saksi, pakar dan/atau pihak terkait.16 a. Saksi dapat merupakan warga negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang ada di Indonesia17 b. Dalam melakukan pemanggilan DPR dapat melakukanya secara tertulis.18 2. Memaksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.19 3. Melakukan pemanggilan terhadap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk wajib hadir memberikan
16
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014, jo Undang-Undang
Nomor 6 Thun 1954 jo Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 jo Peratutan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib 17
Republik Indonesia, Pasal 204, ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
18
Republik Indonesia, Pasal 73, ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
19
Republik Indonesia, Pasal 204 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014
62
keterangan.20 4. Dalam memberikan keterangan pansus dapat meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat menunjukan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada Panitia Khusus.21 5. Dalam hal panggilan paksa kemudian tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan22 6. Menyampaikan hasil laporan dan keputusan pada rapat paripurna DPR. 7. Melalui pimpinan DPR pansus dapat menyampaikan hasil laporan dan keputusan kepada Presiden. 8. Apabila rapat paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat. 9. Menindak lanjuti keputusan yang dihasilkan sesuai dengan kewenangan
20
Republik Indonesia, Pasal 205, ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
21
Republik Indonesia, Pasal 205, ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
22
Republik Indonesia, Pasal 205, ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
63
DPR yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.23 Kewenangan yang diberikan diatas memberikan power" kepada pansus dalam penyeledikan, dengan begitu hal-hal yang dirasa perlu untuk dilakukan sepanjang hal itu merupakan kewenanganya maka dianggap sah secara hukum. Kemudian dari kewenangan yang dimiliki pansus inilah kemudian diharapkan Pansus Pelindo II mampu membongkar dan membuktikan adanya pelanggaran terhadap UndangUndang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, terlebih lagi isu pelanggaran ini sangat strategis dan dapat mempengaruhi beberapa aspek dalam kehidupan bernegara, maka dalam hal ini DPR selaku representasi kedaulatan rakyat dapat melakukan fungsi pengawasanya, agar wibawa DPR sebagai lembaga legislatif yang membuat dan mengawasi undang-undang dapat terjaga. Kemudian apabila dicermati pada pasal 208 ayat (1) UU NO 17 Tahun 2014 hasil ataupun keputusan berupa rekomendasi yang dikeluarkan oleh Pansus Hak Angket terbukti melanggar peraturan perundangan-undangan yang ada serta berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak ditindak lanjuti oleh eksekutif maka cukup minimal 25 orang anggota DPR dapat mengusulkan Hak Menyatakan Pendapat, dan melalui keputusan yang diambil dalam Paripurna DPR dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), maka dapat berujung pada “Impeachment” karena presiden bisa dikategorikan melakukan pembiaran dan
23
Republik Indonesia, Pasal 208, ayat (1)-(5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
64
melakukan pemufakatan dengan pelanggar Undang-Undang Dasar 194, putusan MK, Undang-Undang, dan Peraturan Perundang-Undangan lainya. Meskipun begitu, kewenangan yang dimiliki DPR bukan berarti sesuatu yang berlebihan, jika kita pahami Teori Organ dalam Teori Lembaga Perwakilan, maka sesudah rakyat memilih Lembaga Perwakilan mereka tidak perlu lagi mencampuri lembaga tersebut dan lembaga ini bebas berfungsi sesuai dengan wewenang, dengan begitu dapat diartikan bahwa penggunaan wewenang yang dimiliki adalah bagian dari pelaksanaan tugas DPR sebagai perwakilan aspirasi rakyat.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan 1. Dasar hukum pembentukan Pansus Pelindo II ini diperoleh dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20A, Pasal 156, 157 dan 159 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Tak hanya itu, juga merujuk pada Pasal 93 dan 94 tatib DPR. Melalui fungsi pengawasan yang diamanatkan oleh UndangUndang Dasar 1945, melalui mekanisme hak angket setelah maka dibentuklah Panitia Khusus Hak Angket atau disebut juga Panita Angket. Dalam hal ini akibat adanya duggaan pelanggaran dalam pemberian izin konsesi yang tertuang dalam Undang Undang No 17 tahun 2008 tentang pelayaran maka aturan itulah yang kemudian dijadikan dasar dibentuknya Pansus Hak Angket Pelindo II 2. Pansus Hak Angket Pelindo II memiliki tugas untuk menyelidiki adanya dugaan pelanggaran terhadap UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yaitu pada proses perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal yang dilakukan oleh Pelindo II kepada Hutchison Port Holding. Sedangkan Pansus berwenang meminta keterangan baik lisan ataupun tulisan berupa dokumen, dalam keadaan tertentu dapat dibantu oleh pihak kepolisian dalam upaya pengungkapan adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang.
B.
Saran-Saran 1. DPR RI hendaknya membuat aturan baku yang jelas, tentang pengaturan dan mekanis hak angket dan pansus, mengingat pansus sering kali digunakan dalam
65
66
memecahkan permasalahan oleh DPR maka perlu aturan yang jelas sehingga tidak menyebabkan adanya multi tafsir. 2. Pembentukan Pansus haruslah murni terkait permasalahan hukum dan masyarakat, jangan sampai pansus digunakan sebagai sarana politik para anggota DPR. 3. Hendaknya apa yang menjadi hasil temuan oleh Pansus memiliki kekuatan yang lebih untuk dieksekusi, bukan hanya selesai pada rekomendasi, yang cenderung tidak memiliki kepastian.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015 Budimansyah, Dasim. Mengenal Konstitusi UUD 1945 dan Perubahannya, Jakarta, Pusat Perbukuan Depdiknas, 2007 Busroh, Abu Daud. Ilmu Negara, Jakarta; Sinar Grafika, 2010 Erwin, Muhammad. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia, Bandung; refika ADITAMA, 2013 HS, Salim. Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2005 Huda, Ni’matul. Ilmu Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992 Kusnardi, Muh dkk. Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995 __________ dan Saragih, Bintan R. Ilmu Negara, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2008 Legowo, T.A. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia; Studi Analisis sebelum dan setelah perubahan UUD 1945, Jakarta: FORMAPPI, 2005 Marbun, B.N. DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010 Muchsin. Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006 P.H, Soetrisno. Kapita Selekta Ekonomi Indonesia, Jakarta; Penerbit Andi, 1992 Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, dalam Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2015 Pudyatmoko, Y. Sri. Perizinan (Problem dan Upaya Pembenahan), Jakarta: Grasindo, 2009 R.S. Peters, S.I. Benn. Princeples of Political Thought dalam Miriam Budiarjo Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2015
67
68
Soehino, Hukum Tata Negara; Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992 Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta; Libety Yogyakarta, 2005 Soekanto ,Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001 Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Kencana, 2010 Wahidin, Samsul. Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Jakarta; Pustaka Pelajar, 2007 Wahyono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan Asas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983 Wardani, Rahaju Setya. Kinerja Legislasi DPR Periode 2009-2014, Perspektif Sumber Daya Manusia, Jakarta; P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika, 2014 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Undang Undang No 28 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD. Undang-Undang No 14 Tahun 2014 tentang MPR, DPR DPRD dan DPD. Undang-Undang No 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat. Peraturan DPR No 1 Tahun 2009 tentang Tata tertib Jurnal Agustam, “Konsepsi dan Implementasi Demokrasi Pancasila Dalam Sistem Perpolitikan Di Indoensia”, Jurnal TAPIs, Vol.7 No.12 Januari-Juni 2011. Dwi Wahyono Hadi, “Jurnal Propaganda”, Jurnal Verleden,Vol.1, No.1, Desember 2012.
69
Fitria, ” Penguatan Fungsi Pengawasan Dpr Melalui Perubahan UndangUndang No. 10 Tahun 1954 Tentang Hak Angket”, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2014. Saldi Isra, “Penataan Lembaga Perwakilan Rakyat”: Sistem Trikameral di Tengah Supremasi Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Konstitusi, Vol. 1 Nomor 1, Juli 2004 Sodikin, “Kedaulatan Rakyat dan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Konteks Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1 Juni 2014.
Karya Ilmiah Roma Rizki Elhadi, “Penggunaan Hak Angket DPR Sesudah Amandemen UUD 1945” Skripsi Ilmu Hukum UIN Jakarta, 2014. Ukar W. Karya, Kronologis kontrak karya di Indonesia dan Usaha Pertambangan PT Freeport di Indonesia: Makalah Jurusan Teknik Pertambangan, Unisba, 2011 Hana Hariani, “Implementasi Fungsi Pengawasan Legislatif Dalam Perspektif Otonomi Daerah”, Jurnal Politik Universitas Brawijaya, Malang, 2015 Majalah Majalah Parlementaria, Benang Kusut Pelindo II, Edisi 129 TH. XLV, 2015 Media Internet www.dpr.go.id diakses pada 18 Januari 2016 www.indonesiaport.co.id diakses pada 1 Mei 2016 http://www.indonesiaport.co.id/menu/pt-jict.html www.indonesiaport.co.id diakses pada 1 Mei 2016 http://www.indonesiaport.co.id/sub/corporate-detail.html www.indonesiaport.co.id diakses pada 19 Januari 2016 http://www.indonesiaport.co.id/menu/pt-jict.html
70
www.kompas.com diakses pada 1 Mei 2016 http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/29/175729426/Rizal.Ramli .Perpanjangan.Konsesi.JICT.Tak.Ada.Bedanya.dengan.Kasus.Freeport www.liputan6.com diakses pada 1 Mei 2016 http://bisnis.liputan6.com/read/2287971/bos-pelindo-ii-nilai-perpanjangankonsesi-jict-baik-untuk-ri www.republika.co.id diakses 06 Mei 2016 http://www.republika.co.id/berita/dprri/berita-dpr-ri/15/10/05/nvqunt368-dpr-ketuk-palu-pembentukan-pansuspelindo-ii www.tribunnews.com diakses pada 1 Mei 2016 http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/08/07/pegawai-jict-tolak-konsesike-perusahaan-hongkong-oleh-pelindo-ii. www.wikipedia.com diakses pada19 Januari 2016