Sesi 1: “Mengaktualisasikan Nilai-Nilai Peradaban Masa Lalu sebagai Modal Identitas Bangsa dalam Menghadapi Tantangan Global” Mempopulerkan Penelitian Sejarah dan Arkeologi Ketika manusia dan bangsa berusaha untuk mendefinisikan – atau menegaskan – tempat mereka di dunia ini, hampir pasti mereka akan merujuk pada masa lalu yang ditinjau melalui prisma ideologi, agama dan mitos. Tugas sejarawan bukanlah untuk menetapkan masa lalu atau menggambarkannya seperti yang ingin dilihat oleh generasi masa kini, namun untuk memahami masyarakat lampau sebagaimana mereka yang sebenarnya. Obyektifitas dan ketidakberpihakan adalah prinsip utama sejarawan. Keistimewaan arkeologi adalah pemanfaatan budaya material untuk mengimbangi supremasi bukti atau kisah yang tertulis. Arkeologi memberi ‘suara’ bagi mereka yang tidak menulis atau bagi mereka yang tulisannya telah hilang. Meski telah eksis selama lebih dari satu abad, arkeologi sejarah Indonesia masih dianggap muda. Namun demikian, arkeologi secara berangsur-angsur telah mengubah cara kita memahami dan menerima sejarah masa-masa awal nusantara ini. Tugas sejarawan dan arkeolog adalah menghindari penyederhanaan dan menulis sejarah yang merefleksikan baik heterogenitas maupun interkoneksitas masyarakat Indonesia di masa lampau. Bagi peserta didik, maupun bagi masyarakat umum lainnya, penting untuk dipahami bahwa sebuah lintasan sejarah bukanlah sekedar serangkaian periode waktu atau kisah tentang raja dan pemimpin masa lalu, melainkan sebuah studi tentang kehidupan sebuah kelompok masyarakat dan merupakan sebuah proses berpikir yang kritis. Berpikir kritis bukan saja merupakan dasar dari sejarah, melainkan juga basis bagi demokrasi. Meneliti dan mempopulerkan temuan-temuan arkeologi berarti mengangkat potensi yang memuat nilai-nilai penting peradaban masa lalu – yang merupakan akar budaya bangsa – sebagai modal bagi pemahaman akan kebhinnekaan demi memperkuat karakter bangsa. Memahami arkeologi juga berarti berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan, yang berujung pada pencerdasan bangsa. Hal ini merupakan modal besar dan bekal dalam menghadapi masalah-masalah aktual dan globalisasi, di antaranya untuk memastikan terjadinya kesinambungan budaya dan peradaban. Pertukaran, Interaksi Budaya dan Globalisasi di Asia Tenggara Kuno Posisi Indonesia yang strategis, menjadikannya sebagai kawasan persentuhan dan persebaran budaya sejak masa silam. Di masa lalu, batas-batas politik dalam kehidupan manusia tidaklah sama seperti masa kini dan budaya berkembang tanpa memperhitungkan keberadaan batas-batas politik (yang mana hal ini pun masih berlaku hingga saat ini). Oleh karena itu Kepulauan Nusantara (sebelum terbentuk sebagai Indonesia) cenderung mempunyai keterkaitan dengan wilayah sekitarnya, baik Asia Tenggara Daratan, Asia Tenggara Kepulauan, Australia, maupun wilayah Pasifik bagian barat. Letak geografis Nusantara yang seperti itu, di kemudian hari, menentukan peristiwa-peristiwa yang memiliki pengaruh secara global. Oleh karena itu, penting untuk digarisbawahi bahwa Kepulauan Nusantara mempunyai peran penting dalam perkembangan budaya di wilayah Asia Tenggara. Posisinya yang terbuka dari segala sisi tersebut membuka gelombang migrasi masuk ke Nusantara dari berbagai arah. Sekitar 4.000 tahun lalu terjadi migrasi penduduk besar-besaran ke Kepulauan Nusantara, mereka disebut sebagai Penutur Austronesia. Kelompok yang bermigrasi tersebut tampaknya telah menguasai lebih dari setengah belahan bumi yaitu dari Formosa sampai Indonesia di belahan utara dan selatan, serta Madagaskar sampai Oseania di belahan barat dan timur. Sang kelompok penutur tersebut kemudian membawa perubahan besar dalam pola kehidupan manusia di Nusantara. Mereka mulai hidup menetap dengan membentuk perkampungan, bercocok tanam, melakukan domestikasi hewan, memperkenalkan inovasi-inovasi teknologi seperti beliung persegi, menciptakan pembuatan tembikar, serta mempopulerkan teknologi pelayaran.
1
Beberapa abad menjelang masehi, Kepulauan Nusantara memasuki era baru yang ditandai dengan berkembangnya teknologi pembuatan logam, yang oleh karenanya dikenal sebagai Zaman Logam Awal atau Zaman Paleometalik. Masuknya teknologi logam awal bukan karena perubahan lingkungan alam, tetapi lebih didorong oleh perubahan konstelasi interaksi budaya pada masa sebelumnya. Bukti-bukti tertua temuan artefak besi dan perunggu di Indonesia menunjukkan bahwa masa ini terjadi pada sekitar 500 SM dan kebudayaan tersebut kerap dihubungkan dengan kebudayaan Dongson, di Vietnam Utara. Menjelang awal Masehi, penghuni wilayah Asia Tenggara pun telah terlibat dalam sistem perdagangan global. Hal ini terjadi akibat meningkatnya kebutuhan barang-barang yang mempunyai nilai prestise di kalangan para elite di daerah Mediterania, India dan Cina akibat tidak stabilnya situasi politik sepanjang jalur sutera di Asia Tengah. Hal tersebut memperkuat dugaan bahwa hubungan antara India dan Asia Tenggara - termasuk Kepulauan Nusantara bagian barat - telah terjalin selama beberapa abad sebelum abad II SM. Perkembangan interaksi budaya antara India-Asia Tenggara-Cina dan bahkan Oceania ini kemudian mengantarkan kepulauan Nusantara masuk ke jaringan pertukaran global kawasan Asia bahkan Eropa. Gambaran di atas merupakan bukti betapa strategisnya kepulauan Nusantara dalam menembus perdagangan Asia Tenggara hingga Eropa. Di sisi lain, batas sejarah modern Indonesia pun perlu ditinjau. Hal ini karena budaya terus berkembang, berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain, melampaui batas politik. Maluku dan Sulawesi Utara, misalnya, merupakan bagian dari ranah budaya yang luas hingga ke Filipina dan Mikronesia. Sedangkan bagian tenggara Sumatera dan utara Jawa berbagi atribut budaya dengan wilayah-wilayah di bagian pesisir Asia Tenggara. Sejarah awal Indonesia Barat, secara terpisah, terhubung dengan sejarah daratan Asia Tenggara. Misalnya, peristiwa runtuhnya Oc Éo dan kebangkitan Sriwijaya terjadi kurang lebih dalam masa yang sama, meski kita belum dapat memastikan apakah kelemahan Oc Éo-lah yang memberi kesempatan bagi Sriwijaya untuk bangkit, atau sebaliknya keruntuhan Oc Éo sejatinya disebabkan oleh keunggulan Sriwijaya. Dan di luar urusan perdagangan, di masa Sriwijaya banyak pendeta dari mancanegara datang ke Nusantara untuk belajar agama Buddha. Karakter Kenusantaraan Lautan yang memisahkan serta menyatukan nusantara secara berkesinambungan menjadi tantangan besar dalam menulis tentang sejarah Indonesia. Fragmentasi teritori tersebut memungkinkan munculnya dan menyatunya perbedaan budaya yang sangat kontras. Di lain pihak, ekspedisi pelayaran manusia membantu memfasilitasi pertukaran budaya secara jarak jauh dan mendekatkan wilayah-wilayah yang jauh. Bahkan, refleksi tentang Jawa dan Sumatera kini bukan lagi sebagai dunia Hindu-Buddha yang homogen, namun merupakan profil dari campuran budaya yang sedikit banyak terhubung satu sama lain. Sebelum menjadi Indonesia, kehidupan di Nusantara sudah ada sejak jutaan tahun. Karakter kebhinnekaan dan kenusantaraan Indonesia merupakan proses panjang sebagai hasil peninggalan warisan budaya, pemikiran dan perilaku nenek moyang, yang menjadi akar peradaban ke-Indonesia-an. Kebhinnekaan itu terpancar baik dalam tampilan pluralisme fisik maupun multikulturalisme budaya. Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Prof. (R) Truman Simanjuntak (2012) menyebutkan, nilainilai luhur yang menjadi karakter kenusantaraan antara lain adalah kekayaan pemikiran dan wawasan pengetahuan, kemampuan adaptasi dan memelihara kearifan lingkungan, keuletan, keunggulan, keberanian, memiliki cita rasa keindahan, kebersamaan atau gotong royong, keterbukaan dan kesiapan merespon, serta kepiawaian dalam mengelola pengaruh asing. J.L.A Brandes (1889) mantan Kepala Puslit Arkenas di era kolonial Belanda, tahun 1901-1905 (di masa itu dikenal sebagai “Commissie in Nederlandsch-Indië voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera”) yang juga seorang filolog, mengamati terdapat 10 karakter budaya manusia Indonesia sebelum kedatangan pengaruh Hindu, yakni pemerintahan yang teratur, wayang, gamelan, batik, teknologi logam dan pelayaran, irigasi, mata uang, metric atau ukuran, dan astronomi.
2
Nilai-nilai tersebut telah dikristalkan oleh para pendahulu kita di masa kemerdekaan hingga mengerucut pada lima dasar kenegaraan yang kita kenal sebagai Pancasila. Rumah Peradaban Sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang lebih baik tentang sejarah dan nilai-nilai budaya masa lampau, serta untuk memasyarakatkan hasil-hasil penelitian arkeologi, Puslit Arkenas menggagas sebuah inovasi yang disebut Rumah Peradaban yang juga menjadi program unggulannya. Rumah Peradaban merupakan media interaksi dan sarana edukasi yang juga dimaksudkan untuk mewujudkan literasi budaya, meningkatkan kecerdasan bangsa, menumbuhkan semangat kebangsaan dan kebhinekaan, serta menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan budaya yang berkepribadian Indonesia. Rumah Peradaban diharapkan dapat membantu memenuhi Nawa Cita ke-8 yaitu melakukan revolusi karakter bangsa dan Nawa Cita ke-9 yaitu memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. Program Rumah Peradaban mengangkat nilai-nilai peradaban sebagai pembelajaran yang dikemas ringan sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam, berbicara tentang masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa datang. Aksi ‘penjembatanan’ ini dalam arkeologi modern dikenal dengan istilah mediation archeology, yang di Indonesia dimaksudkan sebagai sarana untuk menghubungkan hasil penelitian arkeologi dan pemanfaatannya bagi kepentingan pendidikan karakter dan kebhinnekaan bangsa. Tanpa hasil penelitian, rumah ini akan mati, karena hasil penelitian-lah yang senantiasa menghidupi dan memutakhirkan pesanpesan yang disampaikan. Model ini secara nyata mendemonstrasikan alur pengelolaan warisan budaya secara konseptual, berbasis peneltian dan bermuara pada pemanfaatan. Kegiatan-kegiatan dalam program Rumah Peradaban antara lain; - Kunjungan lapangan untuk murid-murid sekolah di situs-situs arkeologi, untuk belajar memaknai makna nilai-nilai kehidupan masa lampau, dipandu para peneliti. - Keberadaan media peraga pendidikan, berupa tiruan dari benda-benda arkeologi yang dibagikan ke sekolah, untuk memudahkan pemahaman siswa terhadap nilai-nilai budaya. - Pengayaan literatur, dimana hasil-hasil penelitian Puslit Arkenas dijadikan referensi untuk memperkaya muatan bukkubuku teks pendidikan. Ruang Publik Rumah Peradaban dapat diselenggarakan di mana saja, namun akan ideal bila berada di area situs arkeologi. Di Indonesia, Rumah Peradaban sebaiknya dapat dibangun pada situs-situs besar yang selama ini telah diteliti oleh Puslit Arkenas. Situs besar merujuk pada situs yang mengkonservasi tinggalan dengan nilai-nilai arkeologi yang berlingkup luas, dalam arti mmberikan kontribusi atau pada pemahaman kehidupan masa lampau dalam lingkup nasional, bahkan regional-global yang termasuk outstanding universal value (UNESCO). Hingga saat ini, telah tercatat lebih dari 5.000 situs arkeologi tersebar di seluruh Indonesia yang diupayakan dapat dipromosikan kepada masyarakat, dan terdapat sekitar 20 situs besar di Nusantara yang sebagian sudah dimanfaatkan dalam wujud Rumah Peradaban, meski masih belum berfungsi optimal. Sebagian sedang dalam proses, dan sebagian lainnya masih dalam perencanaan. Situs-situs tersebut adalah Sangiran, Plawangan, Punung, Kalumpang, Padang Bindu, Laut Tawar, Sangata, Patiayam, Plawangan, Wallanae, Passo, Kaimana, Liang Bua, Soa, Lembah Bada, Trowulan, Liyangan, Palembang, Tambora dan Banten. Di antara keduapuluh situs tersebut, salah satu yang menjadi prioritas Puslit Arkenas adalah Rumah Peradaban Sriwijaya sebagai sebuah sarana untuk menggali dan memasyarakatkan sejarah kerajaan maritim di Indonesia.
3
Perlunya Diversifikasi Media Pentingnya arkeologi dan penelitian arkeologi masih belum sepenuhnya disadari oleh masyarakat. Hasil-hasil penelitian yang diterbitkan umumnya bersifat ilmiah, tetapi sasarannya sangat terbatas dan hasilnya sulit dicerna masyarakat luas. Padahal, seperti halnya kekuatan ilmu pengetahuan dan penjelajahan dapat mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan dan mengubah dunia, maka cara bertutur pun dapat mengubah pemahaman masyarakat. Publik dapat dilibatkan dalam tema-tema penting dan yang mendesak. Mereka pun dapat lebih memahami permasalahan dan turut dalam proses pelestariannya, lantaran tema tersebut menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pengembangan media dan forum yang diorientasikan untuk publik, seperti sosialisasi dan pameran, yang sifatnya temporer dan sewaktu telah dilakukan. Namun inisiatif-inisiatif tersebut pun belum cukup dan optimal, internalisasi mental perlu dilakukan lebih intensif secara berkesinambungan dan lebih permanen. Pemanfaatan jurnalisme muncul sebagai kesempatan potensial sebagai salah satu cara mendiseminasikan pesan-pesan arkeologi. Jurnalisme telah dan dapat membuat temuan arkeologi menjadi suatu pembahasan yang menarik dan relevan untuk konteks masyarakat masa kini. Sementara arkeolog bertugas menyingkap pesan peradaban, para jurnalis sebagai pembawa pesan berupaya sebaik-baiknya mewartakan temuan mereka kepada semesta. Bagi jurnalis dan arkeolog, keduanya tidak bekerja dengan bermula atau berakhir dengan sekedar kabar atau berita. Keduanya bekerja dengan didasari rasa keingintahuan yang kuat, mendasarkan diri pada akurasi, kejujuran dan kebenaran, serta samasama melakukan verifikasi atas temuan mereka. Keduanya memiliki minat dan semangat dalam menjelajah, menyingkap kebenaran dalam peradaban yang masih samar, dengan cara memilah awal fakta dan informasi keliru yang turut hadir bersamanya. Sebagai pembawa pesan, sudah selayaknya seorang jurnalis berinisiatif mengemas dan mewartakan informasi dalam sebuah kisah yang memikat. Pengetahuan yang bersumber dari laporan ilmiah dapat dikemas lebih ‘lezat’ saat ‘dinikmati’ oleh masyarakat. Tren yang berkembang baru-baru ini seputar konferensi yang berangkat dari berbagai macam studi untuk mempelajari cara berpikir bidang-bidang lain, juga menarik untuk dieksplorasi. Penelitian yang didukung berbagai disiplin keilmuan akan menghasilkan temuan yang lebih kaya dan beragam. Dari sisi pewartaan, hasil penelitian pun dapat berkontribusi pada terciptanya ‘kegaduhan sains’ lewat berbagai platform media; cetak, daring, media sosial maupun televisi sehingga jangkauan pemberitaannya pun lebih luas. Pentingnya Sinergi, Kerjasama Jangka Panjang French School for Asian Studies (EFEO) Untuk mendorong pengembangan kegiatan arkeologi, termasuk manajemen Rumah Peradaban, diperlukan strategi dalam membangun jaringan dengan para pemangku kepentingan seperti Pemerintah Daerah (kantor-kantor dinas dan unit-unit kerja di bawahnya), lembaga swadaya masyarakat dan pemerhati budaya. Tak ketinggalan adalah membangun jaringan kerjasama dengan ‘saudara’ penelitian terdekat yaitu Direktorat Cagar Budaya yang menangani bagian hilir pengelolaan warisan budaya. Peran lembaga ini sangat menentukan mengingat Rumah Peradaban mengaitkan pelestarian dengan pemanfaatan cagar budaya. Di berbagai kesempatan, Puslit Arkenas juga telah menjalin kerjasama resmi dengan EFEO sejak tahun 1976 dan telah menyelenggarakan begitu banyak kegiatan penggalian arkeologi di Sumatera dan Jawa Barat. Saat ini ada dua proyek kerjasama EFEO – Puslit Arkenas yang berjalan. Fokus keduanya adalah pada periode perkembangan masyarakat Hindu-Buddha. Proyek yang pertama bertujuan untuk mengidentifikasi situs Hindu-Buddha di pesisir utara Jawa Tengah dan memahami pola berjalannya kehidupan masa lalu. Proyek kedua adalah penggalian skala besar di Kota Cina – sebuah pelabuhan kuno dekat Kota Medan. Proyek tersebut menyingkap bangunan-bangunan religi, rumah, tempat kerja dan struktur-struktur lain yang dulu berfungsi sebagai tempat kegiatan komersial.
4
Kolaborasi semacam itu, yang memadukan kepekaan dan keahlian yang berbeda, serta cara pandang dari dalam dan dari luar, telah meningkatkan interpretasi kita atas berbagai temuan dan pemahaman akan masa lampau. Hal yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan terjadinya ‘belenggu arkeokrat’, dimana para ilmuwan terbelenggu oleh berbagai aturan negara tentang apa yang seharusnya mereka teliti, seperti kisah ilmuwan-ilmuwan botani di Indonesia yang terjebak dalam kelas birokrat sebagaimana ditulis oleh Andrew Goss dalam bukunya “Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightenment in Indonesia”. Dunia arkeologi juga mungkin tidak luput dari fenomena ini, dimana para peneliti sebuah situs yang berpotensi menghasilkan temuan akbar, bisa jadi harus rela meneliti dalam waktu yang sangat singkat dengan perkembangan yang sangat lambat, karena kendala dana yang terbatas atau lantaran topik tersebut belum menjadi prioritas negara. Menyiasati hal tersebut, pemerintah barangkali dapat menggelar semacam kompetisi antar peneliti untuk merancang proposal penelitian yang cemerlang dimana proposal terpilih berhak atas prioritas hibah pendanaan lebih besar sehingga penelitian dapat dilakukan secara lebih serius.
Prof. (R) Truman Simanjuntak: “Arkeologi berangkat dari kelampauan, bermuara pada kekinian dan berproyeksi ke masa depan. Tetapi, arkeologi adalah ilmu yang sepi dari tepuk tangan, langka dalam pembicaraan dan jauh dari kemewahan atau kekayaan.” ***** Narasumber: 1. Drs. I Made Geria, M.Si (Kepala Pusat Arkeologi Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan) 2. Prof. Ris. Dr. Bagyo Prasetyo (Arkeologi Prasejarah, Pusat Arkeologi Nasional) 3. Veronique Degroot PhD. (Head of the Jakarta Center, EFEO) 4. Mahandis Yoanata (National Geographic Indonesia) Sumber Referensi: - “’Rumah Peradaban’ sebagai Media Pembelajaran untuk Merajut Tenun Kebangsaan”, Drs. I Made Geria, M.Si (Kepala Pusat Arkeologi Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan) - “Arkeologi Indonesia dalam Kancah Regional Asia Tenggara”, Prof. Ris. Dr. Bagyo Prasetyo (Arkeologi Prasejarah, Pusat Arkeologi Nasional) - “The Archaeologist’s Craft and Its Importance for Understanding Indonesia’s Past”, Véronique Degroot (Head of the Jakarta Center, EFEO) - “Bersama Mewartakan Pesan Peradaban”, Mahandis Yoanata (National Geographic Indonesia)
5