Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
i ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
“MEMBANGUN DAYA SAING PRODUK PANGAN BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL” Surakarta, 8 Juni 2011 Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Susunan Dewan Redaksi Pembina : Rektor UNISRI Surakarta Kapti Rahayu Kuswanto Ketua Dewan Redaksi Nanik Suhartatik (FTP UNISRI) Dewan Redaksi Linda Kurniawati (koordinator, FTP UNISRI) Ansharullah (Universitas Haluoleo ) Muhammad Chosin (Universitas Bengkulu) Yustina Wuri Wulandari (FTP UNISRI) Editor Pelaksana Akhmad Mustofa (koordinator,FTP UNISRI) Merkuria Karyantina (FTP UNISRI) Agung Setya Wardana (FTP UNISRI) Indrias Tri Purwanti (FTP UNISRI)
ii ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KATA PENGANTAR Pada kesempatan ini, ijinkanlah kami menyampaikan terima kasih atas keikutsertaannya sebagai peserta Seminar Nasional “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal” tanggal 8 Juni 2011, yang bertempat di Auditorium Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Seminar diikuti oleh 200 peserta, yang terdiri dari masyarakat umum, kalangan industri dan instansi pemerintah serta peserta dari berbagai Perguruan Tinggi di Jawa Tengah. Salah satu tujuan dari seminar adalah sebagai ajang diseminasi dan sosialisasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan di bidang pangan khususnya, dan hasil pertanian pada umumnya. Makalah yang masuk ke Panitia 42 makalah, sehingga prosiding kumpulan makalah Seminar ini dibagi menjadi 2 buku yaitu Buku A dan Buku B. Jumlah makalah tiap Prosiding cukup berimbang. Pemakalah oral sebanyak 24 makalah sedangkan pemakalah poster 14 makalah. Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi, dan mohon maaf apabila dalam pelaksanaan dan penyusunan prosiding ini, terdapat hal yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu sekalian. Mudah-mudahan Prosiding Seminar ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Surakarta, 1 Agustus 2011 Dewan Redaksi
iii ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNISRI Assalamualaikum Wr.Wb. Salam Sejahtera bagi kita semua Yang terhormat Bapak dan Ibu peserta Seminar Nasional dan tamu undangan yang kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa kita masih dapat berkumpul untuk dapat bertukar pikiran dan menggali potensi produk dengan bahan baku lokal. Seminar Nasional ini mengambil tema “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”. Produk pangan dengan bahan baku lokal mulai digalakkan lagi dengan adanya berbagai penelitian yang menggali potensi dan dikembangkannya produk pangan dengan bahan baku lokal. Saat ini swasembada pangan nasional masih memerlukan penguatan. Kenyataan ini dibuktikan masih adanya kegiatan impor berbagai produk hasil pertanian seperti buahbuahan, beras, kedelai, gula, dan bahkan sayur-sayuran. Aneka produk tersebut dapat dilihat di berbagai supermarket dan di pasar-pasar tradisional. Impor produk hasil pertanian ini sangat menjerat leher petani, sehingga perlu tindak lanjut dan penanganan serius dari pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian, Departemen terkait, DPR/MPR dan semua pihak termasuk rakyat Indonesia sebagai konsumen ataupun dari akademisi sesuai dengan kajian bidang ilmu. Ketahanan pangan hanya dapat terwujud jika masyarakat mampu mencukupi kebutuhan pokok pangan secara mandiri dengan berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan lokal sesuai dengan potensi daerahnya. Potensi bahan pangan tersebut antara lain jagung, sagu, padi, dan umbi-umbian. Lembaga Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban untuk diseminasi ilmu dan teknologi di masyarakat sehingga potensi daerah mampu dioptimalkan pemanfaatannya untuk swasembada pangan lokal dan juga dalam membangun agroindustri di bidang pangan yang berkelanjutan. Kegiatan seminar ini bertujuan untuk membuka wawasan pengetahuan tentang bagaimana membangun swasembada pangan berbasis potensi bahan baku lokal, teknologi pasca panen khususnya teknologi pengolahan singkong menjadi tepung singkong (mocaf: modified cassava flour) serta memotivasi dalam membangun swasembada pangan sesuai potensi lokal. Seminar Nasional ini diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian UNISRI pada tanggal 8 Juni 2011, dan terselenggara berkat kerjasama dengan Pusat Studi Pangan dan Kesehatan Masyarakat UNISRI, Perkumpulan Masyarakat Surakarta serta pihakpihak yang menjadi spronsor dalam kegiatan seminar ini. Semoga apa yang akan dibahas dalam Seminar ini dapat bermanfaat bagi pembangunan Pangan di Indonesia. Wassalamualaikum, Wr.Wb Surakarta, 8 Juni 2011 Ir.Linda Kurniawati,MS Dekan FTP UNISRI
iv ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
DAFTAR ISI Halaman judul
i
Susunan Dewan Redaksi
ii
Kata Pengantar
iii
Sambutan Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UNISRI
iv
Daftar Isi
v
Susunan Acara Seminar
vi
Daftar Makalah
vii
Makalah Peserta Ucapan Terima Kasih
v ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL
“MEMBANGUN DAYA SAING PRODUK PANGAN BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL” FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNISRI RABU, 8 JUNI 2011
Waktu 07.00 – 08.30 08.30 – 08.45 08.45 – 10.30
10.30 – 12.00
12.00 – 12.30 12.30 – 15.00
Ruang Auditorium Registrasi Peserta Sambutan Sesion I Moderator : Nanik Suhartatik,STP.,MP Pembicara 1 : Akademisi (Ir.Achmad Subagio,M.Agr.,P.hD) Pembicara 2 : Praktisi Industri (Ir.Margono, PT.Tiga Pilar Sejahtera Tbk)) Sesion II Moderator : Akhmad Mustofa,STP.,M.Si Pembicara 1 : BPR Surya Mas Pembicara 2 : Design Pengemas/Packaging dan Merk (Ir.Andhy Hartono Wijaya dan) Pembicara 3 : Retailer (Zamzam Nurjaman, Carrefour) ISHOMA Sesi konsultasi dengan Retailer Carrefour Industri BPR Surya Mas Design Pengemas
Ruang A
Ruang B
Ruang C
Sesi presentasi Makalah No.M.1- M.10 Moderator : Nanik Suhartatik,STP.,MP
Sesi presentasi Makalah No.M.11- M.20 Moderator : Agung S.Wardana,STP
Sesi presentasi Makalah No.M.21 – M.30 Moderator : Merkuria K.,SP.,MP.
vi ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
DAFTAR MAKALAH
No
Judul Makalah
Penulis
Halaman
PEMAKALAH ORAL 1 2 3 4
5
6 7 8 9 10 11 12
Produk Panggang Egg Roll Dan Muffin Sebagai Agnes-Murdiati Hasil Olah Pati Garut (Maranta Arundinacea) Sutardi, Berdasar Kesesuaian Karakteristiknya Tasya Ridhaka Anindya Karakteristik Tepung Hasil Modifikasi Chip Indrie Ambarsari, Ubikayu Dengan Asam Laktat Dan Hidrogen Haryadi Peroksida M. Nur Cahyanto2 Pengaruh Pemberian Bekatul Dan Tempe Hapsari Sulistya Kusuma Terhadap Profil Gula Darah Pada Tikus Yang Diberi Alloxan Pengaruh Variasi Tingkat Penambahan Sodium Selvia Dewartsi, Haryadi Metabisulfit Dan Waktu Inkubasi Pada Hancuran Singkong Terhadap Residu Sianida, Residu Sulfit, Dan Warna Tepung Singkong Penambahan Larutan Asam Laktat Dan Sodium Steffanny Kurniawati Metabisulfit Pada Hancuran Singkong Dan Lama Soesilo, Inkubasi Terhadap Residu Sianida, Warna, Dan Haryadi Residu Sulfit Tepung Singkong Subsitusi Jagung (Zea Mays L.) Dengan Jali (Coix Sri Handajani, Choirul Lacryma-Jobi L.) Pada Pembuatan Tortila; Anam, Karakteristik Kimia Dan Sensori Widhi Cahyani Sifat Fisik Dan Akseptabilitas Banana Leather Chatarina Wariyah Dengan Bahan Baku Pisang Raja Bandung Sifat Fisik Dan Kimia Yoghurt Yang Dibuat Dari Rusdin Rauf, Tepung Kedelai Dyah Widowati, Arif Widodo Potensi Antioksidan Hasil Ekstraksi Tanaman Rifda Naufalin, Herastuti Kecombrang (Nicolaia Speciosa Horan) Selama Sri Rukmini Penyimpanan Characteristics Of Nata De Noni (Morinda Sri Luwihana, Citrifolia) Siti Tamaroh, Siti Fatimah MM. Endah MulatOksidasi Dengan Ozon Terlarut Satmalawati, Untuk Memperbaiki Sifat Fungsional Tapioka Haryadi
Pengaruh Waktu Fermentasi Dan Dosis Ragi Terhadap Kadar Alkohol Pada Fermentasi Ampas Ubi Jalar (Ipomoea Batatas Lamk)
1
Novilia Susianawati Rinny Hariyanti
1 11 19 29
39
55 68 73 90 96 104
ISBN: 978-979-17342-0-2
No
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Judul Makalah
Penulis
Halaman
PEMAKALAH POSTER 13
14
15 16
17 18
Peluang Pengembangan Gula Alternatif Dari Pati Dan Tepung Umbi-Umbian Dalam Rangka Mendukung Swasembada Gula Nasional Tahun 2014 Studi Dampak Teknologi Pengolahan Ubikayu Terhadap Pemberdayaan Petani Di Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Srategi Dan Prospek Pengembangan Agribisnis Cengkih Di Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku Kelayakan Usaha Tani Padi Hibrida Di Tiga Kabupaten Propinsi Jawa Timur (Studi Kasus Di Kabupaten Lamongan, Bojonegoro, Dan Jember) Karakteristik Tepung Minyak Atsiri Jahe Jahe (Zingiber Officinale) Sebagai Agensia Untuk Menghambat Kerusakan Kimiawi Pada Geplak Pepaya
2
Yeyen Prestyaning Wanita
121
Sri Budhi Lestari, Nur Hidayat
128
Nur Hidayat
138
Arti Djatiharti
145
Yustina Wuri Wulandari Indrias Tri Purwanti Nanik Suhartatik Merkuria Karyantina Agung S Wardana Sumarmi
157 167
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PROSIDING A
3
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PRODUK PANGGANG EGG ROLL DAN MUFFIN SEBAGAI HASIL OLAH PATI GARUT (Maranta arundinacea) BERDASAR KESESUAIAN KARAKTERISTIKNYA Agnes-Murdiati1, Sutardi1, Tasya-Ridhaka-Anindya1 1 Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia Abstrak Tanaman garut (Maranta arundinacea) dapat menjadi alternatif sumber pangan potensial karena menghasilkan umbi berkualitas tinggi dan mudah dibudidayakan. Namun penggunaan pati garut di masyarakat masih sangat terbatas dan belum banyak diteliti. Oleh sebab itu perlu dipelajari sifat dan karakteristik pati garut untuk kemudian dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pengolahan produk pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia dan sifat fisik pati garut, serta untuk mengetahui formulasi terigu, tapioka, dan pati garut yang dapat menghasilkan egg roll dan muffin dengan sifat sensoris yang terbaik. Pati garut memiliki kandungan karbohidrat 98,46 %bk; gula total 1,11 %bk; amilosa 31,89 %bk; WBC 185,94%; viskositas panas 3,50 dPa.s; dan viskositas dingin 9,50 dPa.s. Pati garut cocok untuk dibuat egg roll hingga 100% karena memiliki WBC relatif rendah, namun teksturnya rapuh dan mudah hancur sehingga digunakan tapioka hingga 20% untuk memperbaiki tekstur, lebih dari 20% akan menghasilkan kenampakan kasar. Dengan perbedaan viskositas panas dan viskositas dingin yang tidak terlalu besar pati garut cocok untuk dibuat muffin hingga 25%, penggunaan lebih dari 25% menghasilkan muffin yang lengket dan memiliki kenampakan irisan kasar. Kata Kunci : pati garut, sifat kimia, sifat fisik, egg roll, muffin Pendahuluan Dalam upaya peningkatan keanekaragaman konsumsi pangan lokal dan olahannya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Namun sampai saat ini Skor Pola Pangan Harapan (PPH) tahun 2010 baru mencapai 80,6 (Achmad Suryana, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan masyarakat Indonesia belum mencapai kondisi yang optimal, akibat belum optimalnya peran pangan lokal dalam mendukung penganekaragaman pangan. Penggunaan sumber karbohidrat alternatif dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang kurang dikenal masyarakat seperti ubi kayu, ubi jalar, talas, gadung, gembili, uwi, garut, dan ganyong. 4
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, garut ditanam di Kabupaten Bantul (Kecamatan Sedayu dan Pajangan), Kulon Progo (Kecamatan Sentolo, Lendah, dan Pengasih), Sleman (Kecamatan Prambanan), dan Gunung Kidul (Kecamatan Semin). Luas lahan budidaya garut di DI Yogyakarta berkisar antara 400-500 hektar, Dengan budi daya garut secara intensif dapat dihasilkan umbi garut sebanyak 15-17 ton per hektar (Anonim, 2009). Salah satu keunggulan umbi garut yaitu memiliki indeks glisemik rendah (14) dibanding umbi-umbian lain seperti ubi jalar (179), ganyong (105), dan gembili (90). Umbi garut dapat digunakan sebagai sumber pangan yang digunakan pada diet rendah kalori (Marsono, 2002). Umbi garut segar bersifat mudah rusak sehingga pengolahan menjadi tepung ataupun pati dapat menjadikan lebih awet, lebih mudah disimpan, dan praktis untuk diolah lebih lanjut menjadi berbagai macam produk pangan. Umbi garut merupakan bahan pangan sumber karbohidrat, dengan jenis karbohidrat dominan adalah pati. Rendemen pati garut yang dipanen pada umur 10 bulan mencapai 16,37% (Titiek dkk., 2008). Menurut Anonim (2010) egg roll adalah biskuit gulung yang bersifat renyah, dan mudah pecah menjadi bagian-bagian kecil. Egg roll lazim dibuat dari tepung terigu, telur, margarin, dan gula, dan berbentuk gulungan. Kualitas egg roll sangat tergantung pada teksturnya, oleh sebab itu kerenyahan egg roll harus dipertahankan. Sedangkan muffin adalah makanan yang biasa disajikan untuk sarapan di hotel dan restoran selain biasa dikonsumsi sebagai camilan. Muffin sangat beragam jenis dan ukurannya. Resep standar muffin dapat divariasi dengan menambahkan kismis, kacang, buah kering, maupun buah segar (Sultan, 1972). Adonan muffin terdiri dari campuran gula, lemak, tepung, telur dan baking powder. Karakter khas dari muffin adalah struktur berpori dan volume tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi terigu dan pati garut yang dapat menghasilkan egg roll dan muffin dengan sifat sensoris yang terbaik Metode Penelitian a. Bahan dan Alat Bahan utama dalam penelitian ini adalah pati garut (Maranta arundinacea) yang diperoleh dari pengrajin tepung anggota Kelompok Tani “Mekar Sari” di Gegunung, Sendangsari, Pengasih, Kulon Progo. Bahan kimia pro-analyse (PA) digunakan untuk analisis kimia, sedangkan peralatan yang diperlukan meliputi peralatan untuk analisis zat gizi (kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat) dan peralatan untuk pembuatan produk olah serta uji organoleptik. b. Jalannya Penelitian 1. Karakterisasi pati garut Pati garut yang diperoleh dari kelompok tani, dianalisis secara kimia dan fisik. Analisis kimia meliputi penentuan kadar air dengan metode termogravimetri (Anonim, 1990); kadar abu (Anonim, 1990); kadar protein dengan metode MikroKjeldahl (Anonim, 1990); kadar lemak dengan metode Soxhlet (Anonim, 1990); 5
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kadar karbohidrat dengan metode by difference (Anonim, 1990); kadar serat kasar (Slamet Sudarmadji dkk., 1997); kadar gula reduksi (Slamet Sudarmadji dkk., 1997); kadar gula total (Slamet Sudarmadji dkk., 1997); kadar pati (Slamet Sudarmadji dkk., 1997); dan kadar amilosa (Juliano, 1971). Sedangkan analisis sifat fisik meliputi ukuran partikel menggunakan ayakan Tyler (Palacios-Fonseca et. al., 2009); viskositas dengan Viscotester Rion VT-04, warna dengan chromameter CR-400; WBC (Water Binding Capacity) (Yamazaki (1953) yang dimodifikasi oleh Medcalf dan Gilles (1965) dalam Aryee et. al., 2006); densitas dengan metode Lewis (1987); serta bentuk dan ukuran granula pati secara mikroskopis dengan skala mikrometer pada lensa okuler dan obyektif. 2. Produk olah pati garut Pati garut dimanfaatkan untuk pembuatan egg roll dan muffin. Pada pembuatan egg roll dilakukan variasi perbandingan pati garut dan tapioka. Sedangkan pada pembuatan muffin digunakan variasi pati garut dan tepung terigu. 3. Uji organoleptik Uji organoleptik dilakukan pada produk olah yang dihasilkan yaitu egg roll dan muffin, terhadap tingkat kesukaan dan dilakukan juga uji pembedaan. Parameter yang diuji meliputi warna, rasa, tekstur, dan ketampakan. Pengujian dilakukan oleh 20 orang panelis menggunakan metode skoring dengan skala penilaian 1 sampai 7. Pada uji kesukaan, nilai 1 menunjukan sangat tidak suka dan nilai 7 menunjukan sangat suka, sedangkan pada uji pembedaan nilai 1 untuk paling tidak dominan sedangkan nilai 7 untuk paling dominan. Hasil dan Pembahasan a. Komposisi kimia pati garut Hasil analisis kimia meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat (by difference), serat kasar, gula total, gula reduksi, kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin (by difference) disajikan pada Tabel 1. Kadar air pati garut (11,16%bb) sudah cukup rendah, karena menurut Earle (1969) tepung yang baik mempunyai kadar air tidak lebih dari 14%. Kadar abu pati garut sebesar 0,60 %bk, yang juga menunjukkan adanya mineral dalam bahan. Pati garut mengandung beberapa mineral antara lain natrium, potasium, fosfor, kalsium, zinc, magnesium, dan zat besi (Perez dan Mary, 2005). Kadar protein pati garut (0,82 %bk) tergolong sangat rendah, sehingga kemampuan pati garut untuk menyerap air juga rendah. Besar kecilnya kandungan protein di dalam tepung akan banyak berpengaruh terhadap sifat fungsional tepung, khususnya sifat penyerapan air. Kadar lemak pati garut 0,12 %bk. Lemak pada tepung bisa menjadi penghalang terhadap proses absorbsi air dan mengurangi kemampuan granula pati untuk membesar sehingga menghambat proses gelatinisasi. Pati biasanya memiliki kadar lemak rendah, yaitu kurang dari 1% (Hoover, 2000). Oleh sebab itu pada pembuatan produk bakery diperlukan penambahan lemak seperti butter, margarin, dan shortening 6
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dengan tujuan untuk menambah cita-rasa khas dan membentuk tekstur lembut pada produk olahnya. Tabel 1. Komposisi kimia pati garut Komponen Air (%bb) Abu (%bk) Protein (%bk) Lemak (%bk) Karbohidrat (%bk) Serat kasar (%bk) Gula Total (%bk) Gula Reduksi (%bk) Pati (%bk) Amilosa (%bk) Amilopektin (%bk)
Kadar 11,16 0,60 0,82 0,12 98,46 0,21 1,11 0,44 83,34 31,89 51,45
Kadar karbohidrat pati garut 98,46 %bk, termasuk tinggi sehingga garut masuk kelompok umbi-umbian sumber energi. Karbohidrat dalam bahan pangan terdiri atas pati, gula, dan serat. Sebagian besar karbohidrat umbi garut terdapat dalam bentuk pati, yang merupakan bagian terbesar pada umbi dan serealia. Kadar serat kasar pati garut 0,21 %bk, nilai tersebut tergolong rendah. Hal ini terjadi karena dilakukan proses pemisahan serat pada ekstraksi pati. Kadar gula total pati garut 1,11 %bk. Dengan kadar gula total rendah, pati garut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku produk olahan pangan untuk penurunan gula darah. Apabila kadar gula tinggi makin banyak gula yang bisa langsung diserap oleh usus sehingga cepat menaikkan kadar gula darah. Umbi garut memiliki indek glisemik yang sangat rendah, yaitu 14 (Marsono, 2002). Sedangkan kadar gula reduksi pati garut 0,44 %bk. Gula reduksi menyebabkan terjadinya pencoklatan non-enzimatis selama proses pembuatan tepung umbi, yang mendorong terjadinya reaksi Maillard pada suhu tinggi (Krishnan et. al., 2010). Kadar pati dalam pati garut sebesar 83,34 %bk. Menurut Matz (1972) pati dapat mempengaruhi karakteristik adonan dan lama penyiapan adonan. Selain itu dapat mempengaruhi proses pemanggangan karena sifat fisikokimianya seperti pengkristalan, ukuran granula, gelatinisasi, dan retrogradasi. Sifat-sifat tersebut tergantung dari struktur granula pati dan perbandingan molekul amilosa dan amilopektin (Cauvain, 2003). Kadar amilosa pati garut 31,89%bk, sedangkan kadar amilopektin pati garut 51,45 %bk. Berdasarkan rasio antara amilosa dan amilopektin diketahui bahwa makin besar kadar amilosa maka kemampuan pengikatan airnya makin kecil, sedangkan makin besar kadar amilopektin maka kemampuan mengikat airnya makin besar.
7
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
b. Sifat fisik pati garut Analisis sifat fisik meliputi distribusi ukuran partikel, viskositas, warna, WBC (Water Binding Capacity), densitas, bentuk granula, dan ukuran granula yang hasilnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat fisik pati garut Sifat Fisik Distribusi ukuran partikel: - tertahan ayakan 40 mesh - lolos ayakan 40 mesh - lolos ayakan 60 mesh - lolos ayakan 80 mesh Viskositas: o - suhu 70 C o - suhu 80 C o - suhu 83 C - viskositas balik (suhu ±30 oC) Warna: - L - a - b WBC (Water Binding Capacity) Densitas Bentuk granula Ukuran granula
*) dPa.s : desi Pascal second
Nilai
1,12 % 2,66 % 4,79 % 91,43 % 0,22 1,48 3,50 9,50
*)
dPa.s *) dPa.s *) dPa.s *) dPa.s
71,67 +0,48 +6,61 185,94 % 0,80 g/ml Oval, bulat 20-35 µm
Sebagian besar partikel pati garut lolos ayakan 80 mesh, yaitu sebesar 91,43%. Ukuran partikel tepung mempengaruhi kualitas produk olahannya. Saat dilakukan pengukuran viskositas, suspensi pati garut 5% mengalami kenaikan viskositas pada suhu 70oC, dan terus meningkat selama pemanasan sampai suhu 83oC. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Perez dan Mary (2005), suhu gelatinisasi pati garut sekitar 67,75 – 81,40 oC. Pendinginan pasta pati yang telah dipanaskan menyebabkan kenaikan viskositas, yang disebut viskositas balik. Nilai viskositas balik pati garut 9,50 dPa.s (Tabel 2). Hasil pengukuran warna pati garut dengan kromameter diperoleh nilai a positif (+0,48) yang berarti warna pati garut mendekati merah, nilai b positif (+6,61) mendekati kuning, dan nilai L (71,67) yang menunjukkan derajat putih. Tabel 2 menunjukkan WBC pati garut sebesar 185,94%. WBC pati garut cukup rendah karena memiliki kadar amilosa tinggi yaitu 31,89% (Tabel 1). Bahan dengan nilai WBC yang tidak terlalu tinggi cocok untuk produk olahan pangan yang dipanggang dengan tambahan banyak lemak dan sedikit air seperti cookies. Sedangkan densitas pati garut sebesar 0,80 g/ml. Bahan dengan densitas besar memiliki keuntungan karena membutuhkan volume pengemas yang kecil akibat partikel tepung yang halus. Dari hasil pengamatan menggunakan mikroskop menunjukkan bahwa granula pati garut berbentuk oval dan bulat dengan ukuran 20-35 µm. 8
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
c. Produk olah pati garut Pati garut memiliki protein rendah dan tidak mengandung gluten sehingga cocok untuk produk yang tidak membutuhkan tingkat pengembangan yang tinggi dan bisa memberi efek renyah pada produk, seperti egg roll. Sedangkan perbedaan nilai viskositas panas dan dingin yang tidak terlalu signifikan menjadikan pati garut sesuai untuk produk bakery seperti muffin. 1. Egg roll
Gambar 3.1 Egg roll Gambar 1. menunjukkan gambar egg roll yang dibuat dari berbagai variasi konsentrasi bahan dasar yaitu A (100% terigu) yang berfungsi sebagai kontrol atau pembanding; B (100% pati garut); C (pati garut:tapioka (90:10)); D (pati garut:tapioka (80:20)); E (pati garut:tapioka (70:30)); F (pati garut:tapioka (60:40)); dan G (pati garut:tapioka (50:50)). Hasil uji organoleptik terhadap egg roll dengan berbagai variasi konsentrasi pati garut disajikan pada Tabel 3 untuk uji kesukaan dan Tabel 4 untuk uji pembedaan. Egg roll yang dibuat dari tepung terigu digunakan sebagai kontrol. Tabel 3. Tingkat kesukaan panelis terhadap egg roll Variasi 100% terigu (kontrol) 100% pati garut Pati garut:tapioka (90:10) Pati garut:tapioka (80:20) Pati garut:tapioka (70:30) Pati garut:tapioka (60:40) Pati garut:tapioka (50:50)
Rasa a 5,65 a 5,65 a 5,70 a 5,85 a 5,70 a 5,35 a 5,25
Warna b 5,60 b 5,60 b 5,55 b 5,75 a 4,55 a 4,95 a 4,65
Atribut Sens oris Kekerasan Ketampakan c a 6,10 5,15 b a 5,50 5,15 b a 5,30 5,45 b a 5,50 5,40 a a 4,75 5,15 a a 4,75 5,30 a a 4,85 4,90
Keseluruhan b 5,55 ab 5,45 ab 5,45 b 5,55 a 5,20 a 5,05 a 4,90
Keterangan : - Notasi yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada beda nyata (α ≤ 5%) - * 1:sangat tidak suka, 2:tidak suka, 3:agak tidak suka, 4:netral, 5:agak suka, 6:suka, 7:sangat suka
Penggunaan pati garut untuk bahan baku pembuatan egg roll tidak menyebabkan perubahan rasa. Variasi jumlah pati garut dan tapioka dapat mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap warna dan ketampakan egg roll 9
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
(Tabel 3.). Tabel 4. menunjukkan bahwa makin banyak tapioka yang digunakan, menghasilkan warna egg roll yang makin coklat, ketampakan yang kasar, namun menghasilkan tekstur yang lebih mudah hancur. Tabel 4. Hasil uji pembedaan terhadap atribut egg roll Variasi 100% terigu (kontrol) 100% pati garut Pati garut:tapioka (90:10) Pati garut:tapioka (80:20) Pati garut:tapioka (70:30) Pati garut:tapioka (60:40) Pati garut:tapioka (50:50) -
*)
Rasa 4,45a 4,65a 4,50a 5,00a 4,55a 4,40a 4,35a
Atribut Sensoris ***) Kenampakan 2,40a 3,90b 3,85b 3,65b 3,65b 4,60c 4,70c
**)
Warna 2,50a 3,30 ab 2,95 ab 3,10 ab 3,60b 3,45b 3,70b
Kekerasan 4,90b 3,15a 3,35a 3,20a 3,30a 3,40a 3,40a
****)
Keterangan : Notasi yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada beda nyata (α ≤ 5%) *) 1:sangat tidak enak sekali, 3: tidak enak, 5:enak, 7:sangat enak sekali **) 1:kuning, 3:coklat muda, 5:coklat tua, 7:coklat kehitaman ***) 1:sangat tidak kasar sekali, 3:tidak kasar, 5:kasar, 7: sangat kasar sekali ****) 1:sangat tidak keras sekali, 3:tidak keras, 5:keras, 7:sangat keras sekali
Penggunaan pati garut pada pembuatan egg roll dapat mencapai 100 %, namun menghasilkan tekstur yang mudah hancur. Sehingga ditambah tapioka untuk memperbaiki teksturnya. Penggunaan tapioka dapat dilakukan hingga 20%, karena jika lebih dari 20% akan menghasilkan warna yang makin coklat dan ketampakan kasar. 2. Muffin
Gambar 3.2 Muffin
Gambar 3.3 Tampak samping irisan muffin Substitusi pati garut dilakukan hingga 50%, karena dalam jumlah yang lebih banyak struktur muffin tidak dapat terbentuk dengan baik. Hal ini disebabkan pati garut memiliki kadar protein yang sangat rendah yaitu 0,82% (Tabel 1.) sehingga muffin tidak dapat mengembang sempurna.
10
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 2. menunjukkan produk muffin yang terbuat dari berbagai konsentrasi yaitu A (100% terigu); B (terigu:pati garut (87,5:12,5)); C (terigu:pati garut (75:25)); D (terigu:pati garut (62,5:37,5)); dan E (terigu:pati garut (50:50)). Sedangkan Gambar 3. menunjukkan tampak samping irisan muffin. Pada uji kesukaan digunakan muffin yang dibuat dari 100% terigu sebagai pembanding (kontrol). Hasil uji organoleptik pengaruh variasi konsentrasi pati garut dan terigu pada muffin disajikan pada Tabel 5. Untuk uji kesukaan dan Tabel 6. Untuk uji pembedaan. Tabel 5. Tingkat kesukaan panelis terhadap muffin Variasi 100% terigu (kontrol) terigu:pati garut (87,5:12,5) terigu:pati garut (75:25) terigu:pati garut (62,5:37,5) terigu:pati garut (50:50)
Rasa 4,40a 4,15a 4,55a 4,00a 3,80a
Warna 5,65b 4,35a 4,05a 3,70a 3,60a
Atribut Sensoris Ketampakan Kelengketan 5,60b 5,00c 4,05a 4,50bc a 4,45 4,25bc a 3,70 3,90 ab 3,60a 3,30a
Keseluruhan 4,75b 4,15 ab 4,55 ab 3,95a 3,85a
Keterangan : - Notasi yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada beda nyata (α ≤ 5%) - * 1:sangat tidak suka, 2:tidak suka, 3:agak tidak suka, 4:netral, 5:agak suka, 6:suka, 7:sangat suka
Tabel 6. Hasil uji pembedaan terhadap atribut muffin Variasi 100% terigu (kontrol) terigu:pati garut (87,5:12,5) terigu:pati garut (75:25) terigu:pati garut (62,5:37,5) terigu:pati garut (50:50)
*)
Rasa 4,20a 4,05a 4,35a 3,95a 3,95a
**)
Warna 1,65a 3,00b 2,80b 3,05b 4,05c
Atribut Sensoris ***) Ketampakan 3,15a 4,65b 4,45b 4,45b 4,55b
Kelengketan 3,30a 3,55a 4,40b 4,60b 4,65b
****)
Keterangan : - Notasi yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada beda nyata (α ≤ 5%) - *) 1:sangat tidak enak sekali, 3: tidak enak, 5:enak, 7:sangat enak sekali - **) 1:kuning, 3:coklat muda, 5:coklat tua, 7:coklat kehitaman - ***) 1:sangat tidak kasar sekali, 3:tidak kasar, 5:kasar, 7: sangat kasar sekali - ****)1:sangat tidak lengket sekali, 3:tidak lengket, 5:lengket, 7:sangat lengket sekali
Hasil uji tingkat kesukaan terhadap rasa muffin (Tabel 5.) menunjukkan bahwa penggunaan variasi terigu dan pati garut tidak mempengaruhi kesukaan panelis, dan Tabel 6. menunjukkan bahwa penggunaan variasi bahan dasar tidak mempengaruhi rasa muffin. Variasi jumlah pati garut dan tepung terigu dapat mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap warna, ketampakan, dan kelengketan muffin. Tabel 6. menunjukkan bahwa penggunaan pati garut pada muffin menghasilkan warna lebih coklat, ketampakan kasar, dan menimbulkan sensasi lengket saat dimakan. Dari hasil uji organoleptik yang diberikan oleh panelis pada tiap atribut meliputi warna, rasa, tekstur, ketampakan maupun keseluruhan dapat 11
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
disarankan bahwa bahwa penggunaan pati garut pada pembuatan muffin sebaiknya maksimal 25%, namun penggunaan pati garut yang lebih tinggi pada pembuatan muffin sangat dimungkinkan dengan melakukan modofikasi formula untuk memperbaiki warna, ketampakan maupun kelengketan. Kesimpulan Pati garut yang diproduksi Kelompok Tani “Mekar Sari” dari Dusun Gegunung, Sendangsari, Pengasih, Kulon Progo memiliki karbohidrat 98,46 %bk; amilosa 31,89 %bk; Water Binding Capacity (WBC) 185,94%; viskositas panas 3,50 dPa.s; dan viskositas dingin 9,50 dPa.s. Pati garut cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan egg roll hingga 100% karena WBC relatif rendah, namun teksturnya terlalu rapuh dan mudah hancur. Untuk memperbaiki tekstur tersebut dapat digunakan tapioka sampai sebanyak 20%. Sedangkan berdasarkan perbedaan viskositas panas dan dingin, pati garut cocok digunakan untuk subsitusi terigu pada pembuatan muffin hingga 25%, namun lebih dari 25% menghasilkan muffin yang lengket dengan ketampakan irisan kasar. Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini disampaikan terima kasih kepada Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) UGM yang telah memberikan bantuan dana untuk penyelenggaraan penelitian ini. Daftar Pustaka Achmad Suryana. 2011. Sambutan Kepala Badan Ketahanan Pangan pada pertemuan
“Pengembangan Pangan Lokal dan Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT)” Manado, 25-27 Mei 2011. Anonim, 1990. Analysis of the Association Analytical Chemist. Washington D.C.. AOAC Pbl. Anonim. 2009. Laporan Luas Tanaman Palawija DIY 2008-2009. Departemen Pertanian DIY. Yogyakarta. Anonim. 2010. Egg Roll. www.wikipedia.org. Diakses tanggal 12 Maret 2010. Aryee, F. N. A., Oduro, I., Ellis, W. O., and Afuakwa, J. J. 2006. The physicochemical properties of flour samples from the roots of 31 varieties of cassava. Food Control (2006) 916-922. Cauvain, S.P. 2003. Bread Making, Improving Quality. CRC Press. Cambridge. Earle, R. L. 1969. Unit Operation in Food Processing. Pergamon Press. London. Hoover, R. 2000. Composition, molecular structure, and physicochemical properties of tuber and root starches: a review. Carbohydrate Polymers 45, 253-267. Juliano, B. O. 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Krishnan, J. G., Padmaja, G., Moorthy, S. N., Suja, G., and Sajeev, M. S. 2010. Effect of presoaking treatments on the nutritional profile and browning index of sweet potato and yam flours. Innovative Food Science and Emerging Technologies 11 (2010) 387– 393.
12
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Lewis, M. J. 1987. Physical Properties of Food Processing System. Ellis Harwood, Ltd. Chicester. Marsono. 2002. Indeks Glisemik Umbi-Umbian. Agritech 22 (1) 13-16. Matz, S. A. 1972. Bakery Technology and Engineering. AVI Publishing Company, Inc. Westport. Palacios-Fonseca, A.J., Vazquez-Ramos, C., and Rodriguez-Garcia, M.E. 2009. Physicochemical characterizing of industrial and traditional nixtamalized corn flours. Journal of Food Engineering 93 (2009) 45–51. Perez, E., and Mary, L. 2005. Chemical Composition, Mineral Profile, and Functional Properties of Canna (Canna edulis) and Arrowroot (Maranta spp.) Starches. Plant Foods for Human Nutrition 60: 113–116. Slamet Sudarmadji, Bambang Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Titiek F. Djaafar, Sarjiman, dan Arlyna B. Pustika. 2008. Pengembangan Budi Daya Tanaman Garut dan Teknologi Pengolahannya Untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 29(1).
13
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KARAKTERISTIK TEPUNG HASIL MODIFIKASI CHIP UBIKAYU DENGAN ASAM LAKTAT DAN HIDROGEN PEROKSIDA Indrie Ambarsari1, Haryadi2 dan M. Nur Cahyanto2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah 2 Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Abstrak Dalam bidang industri pangan, produk ubi kayu telah dikembangkan secara komersial. Sayangnya, tepung ubi kayu memiliki keterbatasan untuk aplikasinya dalam produk pangan dikarenakan karakteristik pengembangannya yang kurang baik. Perlakuan modifikasi dengan asam laktat dan hidrogen peroksida diketahui dapat meningkatkan sifat pengembangan pada pati ubi kayu. Namun demikian penelitian mengenai pengaruh modifikasi kimia terhadap tepung ubi kayu masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh modifikasi kimia dengan menggunakan asam laktat dan hidrogen peroksida terhadap karakteristik tepung ubi kayu, khususnya yang berkaitan dengan sifat pengembangannya. Pada penelitian ini digunakan asam laktat pada 4 taraf konsentrasi (0,425, 0,85, 1,275 dan 1,75%) dan hidrogen peroksida (H2O2) 0,6%, serta 0,05% FeSO4·7H2O sebagai katalis. Proses modifikasi dilakukan dengan merendam chip ubikayu dalam campuran larutan kimia pada suhu ruang selama 2 jam, dengan rasio antara bahan dan larutan 1:2. Tepung yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan dianalisis karakteristiknya meliputi: nilai pengembangan (volume spesifik), derajat keasaman (pH), viskositas, serta kandungan karbonil dan karboksil untuk tepung yang mengalami proses oksidasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses modifikasi menghasilkan volume spesifik antara 9,0-19,24 ml/g. Karakteristik pengembangan tertinggi dihasilkan dari perlakuan perendaman asam laktat 0,425% dengan hidrogen peroksida 0,6% selama 2 jam. Pada perlakuan tersebut volume spesifik tertinggi, yang diikuti dengan penurunan viskositas. Namun demikian, volume spesifik yang tinggi tidak selalu diikuti dengan tingginya jumlah gugus karbonil dan karboksil yang terbentuk. Secara umum, tepung ubikayu yang dihasilkan dari proses modifikasi dengan asam laktat dan hidrogen peroksida mampu memberikan tingkat pengembangan yang tinggi dibandingkan tepung ubikayu alami. Kata kunci: tepung ubikayu, modifikasi, asam laktat, hidrogen peroksida
Pendahuluan Ubi kayu (Manihot esculenta) merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat yang berpotensi besar untuk dikembangkan dalam program diversifikasi pangan. Ubi kayu menjadi sumber karbohidrat non beras tertinggi kedua di dunia setelah jagung. Dalam sistem pangan global, ubi kayu memiliki peran penting yang dapat berimplikasi pada pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan ketahanan pangan, dan menekan angka kemiskinan. Dalam bidang industri pangan, produk ubi kayu telah dikembangkan secara komersial. Salah satunya dalam bentuk tepung yang digunakan sebagai bahan 14
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
campuran dalam industri roti, kue kering, biskuit, mie kering, dan lain sebagainya. Pengolahan ubi kayu dalam bentuk tepung memiliki keunggulan dibandingkan produk setengah jadi lainnya. Keunggulan produk dalam bentuk tepung diantaranya adalah lebih tahan disimpan, mudah dicampur, dapat diperkaya dengan zat gizi dan lebih praktis, sehingga mudah digunakan untuk proses pengolahan lanjutan. Sayangnya, tepung ubi kayu memiliki keterbatasan untuk dapat diaplikasikan secara luas dalam industri pangan, terutama untuk produk-produk dimana sifat pengembangan merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan kualitas produk. Modifikasi kimiawi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki karakteristik pengembangan tepung ubi kayu. Modifikasi kimiawi umumnya dilakukan dengan menggunakan oksidator kuat. Salah satu jenis oksidator kuat yang umum digunakan adalah hidrogen peroksida (H2O2). Dikemukakan oleh El-Sheikh et al. (2010) bahwa hidrogen peroksida merupakan agen pengoksidasi yang paling menguntungkan dari sudut pandang lingkungan, meskipun waktu reaksinya lama serta membutuhkan suhu dan pH yang tinggi. Hasil penelitian Demiate et al. (2000) menunjukkan bahwa perlakuan asidifikasi dengan asam laktat yang diikuti dengan oksidasi dengan H2O2 mampu menghasilkan volume pengembangan yang besar pada pati ubi kayu. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan asam laktat dan hidrogen peroksida terhadap pati ubikayu (tapioka), namun publikasi mengenai pengaruhnya terhadap tepung ubikayu masih sangat terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh modifikasi dengan menggunakan asam laktat dan hidrogen peroksida terhadap karakteristik sifat pengembangan tepung ubi kayu yang dihasilkan. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi ubi kayu sebagai bahan baku tepung, asam laktat komersial (85%), hidrogen peroksida (30%), dan bahan-bahan kimia pendukung analisis lainnya. Ubi kayu yang digunakan diperoleh dari pasar Demangan, Yogyakarta. Preparasi Bahan Proses pembuatan tepung diawali dengan melakukan pengupasan ubi kayu yang telah dibersihkan. Pengupasan dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau. Umbi yang sudah dicuci bersih diiris dengan menggunakan perajang manual sehingga menghasilkan chip ubikayu dengan tingkat ketebalan yang seragam. Modifikasi chip ubi kayu untuk menghasilkan tepung Perlakuan modifikasi dengan menggunakan asam dan oksidator dilakukan berdasarkan metode Demiate et al. (2000) dengan sedikit perubahan. Chip ubi kayu direndam dalam larutan asam laktat pada berbagai konsentrasi (0,425, 0,85, 1,275 dan 1,75%). Selanjutnya kedalam campuran reaksi ditambahkan larutan hidrogen 15
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
peroksida 0,6% dan ion logam Fe dari FeSO4·7H2O sebanyak 0,05% dari total volume larutan. Perendaman chip ubi kayu dalam campuran larutan kimia dilakukan pada suhu ruang selama 2 jam, dengan rasio antara bahan dan larutan 1:2. Setelah direaksikan, produk ditiriskan, dicuci dan dikeringkan hingga kadar air mencapai kurang lebih 12%. Produk chip kering selanjutnya dihaluskan dan diayak hingga lolos 60 mesh. Sifat Pengembangan (Demiate et al., 2000) Sebanyak 12 g sampel tepung dimasak dengan cara menambahkan 25 ml air deionisasi mendidih kedalam sampel. Sampel selanjutnya dihomogenisasi untuk menghasilkan adonan yang dibentuk menjadi 3 bulatan kecil dan dipanggang dengan oven pada suhu 200°C selama 25 menit. Setelah pemanggangan, adonan ditimbang dan dibuat impermeable dengan menggunakan parafin. Penentuan volume dilakukan pada gelas ukur berdasarkan volume air yang hilang. Tingkat pengembangan diperoleh dengan membagi volume dan berat dan dinyatakan sebagai volume spesifik (ml/g). Meskipun metode ini tidak terlalu sensitif, namun cukup untuk menunjukkan perbedaan nilai pengembangan yang sangat tinggi, tinggi, dan rendah. Derajat keasaman Tepung 10% (b/b) didispersikan dalam air destilata (aquades) diagitasi selama 30 menit pada suhu ruang. Dispersi kemudian diendapkan dan diukur derajat keasamannya pada fraksi cairnya dengan menggunakan pH meter digital. Viskositas Viskositas diukur dengan menggunakan viscotester RION VT-4F. Sebanyak 5 g tepung dilarutan dalam air destilata 100 ml dan dipanaskan pada waterbath (90˚C) selama 10 menit dengan pengadukan kontinyu hingga terbentuk gelatinisasi. Sampel yang telah tergelatinisasi dipindahkan kedalam cup stainlessteel. Viscotester dijalankan setelah rotor disisipkan pada sampel yang akan diukur. Hasil pengukuran dapat dibaca pada kisaran angka yang terdapat pada layar alat. Kadar karbonil dan karboksil Pengujian kadar karbonil dilakukan berdasarkan metode Sangseethong et al. (2010). Sampel tepung dalam bentuk kering (4 g) didispersikan dalam air destilata (100 ml) dan dipanaskan dalam waterbath mendidih selama 20 menit dengan pengadukan kontinyu hingga gelatinisasi tercapai. Sampel yang telah digelatinisasi didinginkan hingga suhu 40°C dan diatur pH nya hingga 3,2 dengan menggunakan 0,1 M HCl, kemudian ditambahkan 15 ml larutan hidroksilamin klorida. Reagen hidroksilamin dipersiapkan dengan pengenceran 25 g hidroksilamin klorida dalam air dan penambahan 100 ml NaOH 0,5 mol/L. Larutan dibuat hingga mencapai 500 ml dengan penambahan air distilata. Selanjutnya sampel ditutup dan diagitasi did alam waterbath pada suhu 40°C. Setelah 4 jam, sampel segera dititrasi dengan HCl 0,1 M hingga pH 3,2. Kadar karbonil dinyatakan dalam persen gugus karbonil (CO) dan dihitung dengan persamaan: (Vb – Vs) x F x 0,028 x 100 % karbonil = W 16
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dimana
Vb Vs F W
= = = =
volume HCl yang digunakan sebagai blanko (ml) volume HCl yang digunakan untuk sampel (ml) molaritas HCl berat sampel (basis kering)
Penentuan kadar karboksil dilakukan berdasarkan metode Sangseethong et al. (2010) dengan sedikit modifikasi. Sebanyak 5 g sampel tepung didispersikan dalam 25 ml HCl 0,1 M. Dispersi diaduk selama 30 menit dan kemudian disentrifugasi. Residu dicuci dengan air distilata hingga bebas ion klorin dan kemudian ditambahkan air distilata hingga mencapai volume 300 ml. Slurry dipanaskan dalam waterbath mendidih dengan pengadukan kontinyu selama 15 menit untuk memastikan gelatinisasi telah tercapai. Sampel yang masih panas segera dititrasi dengan NaOH 0,01 M dengan menggunakan phenolphthalein sebagai indikator. Kadar karboksil dinyatakan dalam persen gugus karboksil (% COOH) dan dihitung dengan persamaan: (Vs – Vb) x F x 0,045 x 100 % COOH = W dimana
Vb Vs F W
= = = =
volume NaOH yang digunakan sebagai blanko (ml) volume NaOH yang digunakan untuk sampel (ml) molaritas NaOH berat sampel (basis kering)
Hasil dan Pembahasan Sifat Pengembangan Karakteristik pengembangan tepung hasil modifikasi perlakuan asam laktat dan hidrogen peroksida disajikan pada Tabel 1. Hasil menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan asam dan oksidator kuat dapat memberikan karakteristik pengembangan yang baik, yang ditunjukkan dengan tingginya volume spesifik yang dihasilkan (9,019,24 ml/g). Perlakuan asam menyebabkan amilosa dan amilopektin pada granula pati terurai sebagian, sedangkan perlakuan oksidasi menyebabkan pemutusan rantai. Kondisi ini mengakibatkan molekul-molekul air dan udara dapat berpenetrasi masuk kedalam granula dan terperangkap pada susunan amilosa dan amilopektin, sehingga pada saat pemanggangan air dan udara berubah menjadi uap air yang mendesak keluar sehingga terjadi pengembangan volume. Selain konsentrasi asam yang ditambahkan, lama perendaman juga berpengaruh terhadap tingkat pengembangan yang dihasilkan. Hasil menunjukkan bahwa waktu perendaman selama 2 jam memberikan tingkat pengembangan yang lebih tinggi dibandingkan pada perendaman 1 jam, kecuali untuk konsentrasi asam laktat 1,75%. Diduga pada konsentrasi tersebut terjadi oksidasi berlebih, yang dimungkinkan karena terjadinya cross-linking antar molekul amilopektin yang telah 17
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
terdepolimerisasi sehingga tingkat pengembangannya relatif turun. Dias et al. (2011) menjelaskan bahwa pengaruh negatif pada kapasitas pengembangan disebabkan oleh oksidasi berlebih dan peningkatan degradasi pati dari pemecahan ikatan glikosidik dan peningkatan depolimerisasi, yang mempengaruhi kemampuan pati untuk membentuk struktur alveolar internal yang bertanggungjawab terhadap kapasitas pengembangan. Tabel 1. Karakteristik pengembangan tepung hasil modifikasi dengan asam laktat dan hidrogen peroksida 0,6% dengan lama perendaman yang berbeda Konsentrasi asam laktat (%) 0,425 0,85 1,275 1,75 Kontrol (tanpa perlakuan)
Lama perendaman (jam) 1 2 1 2 1 2 1 2
Volume spesifik (ml/g) 16,13 19,24 9,74 12,42 15,72 16,59 12,56 9,00 4,46
Viskositas Reaksi oksidasi umumnya selalu disertai oleh hidrolisis ikatan glikosidik yang mengarah pada terjadinya depolimerisasi yang mengakibatkan penurunan berat molekul. Oleh karena itu, tepung yang dimodifikasi dengan perlakuan asam dan oksidator kuat memiliki nilai viskositas yang rendah (Tabel 2). Sedangkan Sangseethong et al. (2010) menjelaskan bahwa perubahan gugus hidroksil menjadi gugus karbonil dan karboksil pada molekul pati selama proses oksidasi berkontribusi terhadap peningkatan stabilitas pasta pati. Fenomena ini menyebabkan degradasi molekul pati yang menghasilkan tepung modifikasi dengan viskositas rendah. Tabel 2. Viskositas tepung hasil modifikasi dengan asam laktat dan hidrogen peroksida 0,6% dengan lama perendaman yang berbeda Konsentrasi asam laktat (%) 0,425 0,85 1,275 1,75 Kontrol (tanpa perlakuan)
Lama perendaman (jam) 1 2 1 2 1 2 1 2
Viskositas (P) 100,0 93,75 125,0 127,5 130,0 110,0 113,8 135,0 250,0
Derajat keasaman Hasil pengukuran derajat keasaman sampel yang diuji ditunjukkan pada Tabel 3. Seperti yang telah diperkirakan, tepung alami (tanpa perlakuan) memperlihatkan nilai pH yang netral (7,36), sedangkan tepung hasil modifikasi memiliki nilai pH 18
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pada kisaran asam dengan nilai antara 3,39-4,14. Penurunan nilai pH pada tepung modifikasi berkaitan langsung dengan konsentrasi asam laktat yang digunakan, dimana penurunan nilai pH berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi asam yang ditambahkan dalam perlakuan modifikasi. Lama perendaman terlihat tidak berpengaruh terhadap nilai pH yang dihasilkan. Tabel 3. Derajat keasaman tepung hasil modifikasi dengan asam laktat dan hidrogen peroksida 0,6% dengan lama perendaman yang berbeda Konsentrasi asam laktat (%)
Lama perendaman (jam)
pH
0,425
1 2
4,14 4,13
0,85
1
3,82
2
3,76
1
3,62
2
3,59
1
3,45
2
3,39 7,36
1,275 1,75 Kontrol (tanpa perlakuan)
Kandungan karbonil dan karboksil Beberapa hasil penelitian (Sangseethong et al., 2010; Takizawa et al., 2004; Demiate et al., 2000) menyebutkan bahwa perlakuan oksidatif akan meningkatkan kadar karboksil dan karbonil. Gugus karbonil dan karboksil yang terbentuk pada molekul pati umumnya digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan perlakuan oksidasi. Sangseethong et al. (2010) mengemukakan bahwa selama proses oksidasi, gugus hidroksil pada molekul pati dioksidasi menjadi gugus karbonil dan karboksil. Tabel 4. Kadar karbonil dan karboksil tepung hasil modifikasi dengan asam laktat dan hidrogen peroksida 0,6% dengan lama perendaman yang berbeda Konsentrasi asam laktat (%)
Lama perendaman (jam)
Karbonil (% CO)
Karboksil (% COOH)
Total (CO+COOH)
0,425
1 2
0,254 0,273
0,126 0,122
0,380 0,395
0,85
1
0,123
0,164
0,287
2
0,148
0,150
0,298
1,275
1 2
0,266 0,267
0,175 0,162
0,441 0,429
1,75
1
0,168
0,126
0,294
2
0,143
0,198
0,341
Kontrol (tanpa perlakuan)
0,099
Tingginya kadar karbonil dan karboksil pada tepung modifikasi yang dihasilkan kemungkinan berkaitan langsung dengan fragmentasi molekuler yang 19
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
disebabkan oleh perlakuan oksidatif. Kadar karbonil dan karboksil tepung hasil modifikasi dengan asam laktat dan hidrogen peroksida dapat dilihat pada Tabel 4. Sejalan dengan hasil penelitian Sangseethong et al. (2010), karbonil merupakan gugus fungsional utama yang dihasilkan pada proses oksidasi dengan menggunakan hidrogen peroksida, dimana jumlah gugus karboksil yang terbentuk lebih sedikit. Pada penelitian ini, volume spesifik yang tinggi tidak selalu diikuti dengan tingginya jumlah gugus karbonil dan karboksil yang terbentuk. Menurut Dias et al. (2011), hal ini kemungkinan dikarenakan kesetimbangan antara jumlah gugus karbonil dan karboksil yang dibutuhkan untuk mendapatkan tingkat pengembangan yang maksimal hampir sama. Sangseethong et al. (2010) mengemukakan bahwa mekanisme reaksi hidrogen peroksida dengan pati sangat kompleks dan dilaporkan berlangsung melalui reaksi radikal. Dengan keberadaan katalis logam, H2O2 akan terdekomposisi menjadi radikal hidroksil (OH•). Radikal bebas yang sangat reaktif ini akan bereaksi dengan pati dengan cara mengabstraksi atom hidrogen dari gugus C-H pada cincin gula, membentuk radikal R•CHOH yang terkatalisis lebih lanjut oleh asam atau basa menghasilkan pemecahan ikatan glikosidik dan gugus karbonil. Pada kondisi alkali, karbohidrat memiliki gugus karbonil yang bebas atau berpotensi menjadi bebas, yang dapat mengalami reaksi lanjut melalui berbagai jalur (pathway), dimana beberapa diantaranya menghasilkan gugus karboksil. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi mampu meningkatkan karakteristik tepung ubikayu alami. Karakteristik pengembangan tertinggi dihasilkan dari modifikasi perlakuan perendaman dengan menggunakan asam laktat 0.425% dan hidrogen peroksida 0,6% selama 2 jam, dimana nilai volume spesifik mencapai 19,24 ml/g. Nilai volume spesifik yang tinggi pada tepung modifikasi sejalan dengan penurunan viskositas pasta, yang menunjukkan terjadinya degradasi molekul pati. Namun demikian, peningkatan volume spesifik tidak selalu diikuti dengan peningkatan jumlah gugus karbonil dan karboksil. Hal ini diduga karena kesetimbangan jumlah gugus karbonil dan karboksil yang dibutuhkan untuk mendapatkan tingkat pengembangan yang maksimal hampir sama. Daftar Pustaka Demiate, I.M., N. Dupuy, J.P. Huvenne, M.P. Cereda dan G. Wosiacki. 2000. Relationship between baking behavior of modified cassava starches and starch chemical structure determined by FTIR spectroscopy. Carbohydrate Polymers 42 : 149-158. Dias, A.R.G., E. da Rosa Zavareze, M.C. Elias, E. Helbig, E.O. da Silva dan C.F. Ciacco. 2011. Pasting, expansion and textural properties of fermented cassava starch oxidized with sodium hypochlorite. Carbohydrate Polymerrs 84 : 268275. 20
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
El-Sheikh, M.A., M.A. Ramadan dan A. El-Shafie. 2010. Photo-oxidation of rice starch part I: Using hydrogen peroxide. Carbohydrate Polymers 80 : 266-269. Sangseethong, K., N. Termvejsayanon dan K. Sriroth. 2010. Characterization of physicochemical properties of hypochlorite- and peroxide- oxidized cassava starches. Carbohydrate Polymers 82 : 446-453. Takizawa, F.F., G.O. da Silva, F.E. Konkel dan I.M. Demiate. 2004. Characterization of tropical starches modified with potassium permanganate and lactic acid. Brazilian Archives of Biology and Technology 47(6) : 921931.
21
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENGARUH PEMBERIAN BEKATUL DAN TEMPE TERHADAP PROFIL GULA DARAH PADA TIKUS YANG DIBERI ALLOXAN Hapsari Sulistya Kusuma1 1
RS. Nirmala Suri Sukoharjo Politekkes Bhakti Mulia Sukoharjo Abstrak WHO memprediksi untuk Indonesia kenaikan jumlah pasien diabetes mellitus dari 8,4 juta pada tahun 2004 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2006). Salah satu bahan makanan sebagai pilihan dalam menu diet adalah bahan makanan berbasis kedelai (Retnaningsih et al, 2001). Pada penelitian Chen & Cheng (2006) pada tikus yang menderita diabetes dengan perlakuan diet minyak bekatul diperoleh hasil peningkatan sensitivitas insulin. Penelitian ini ingin mengetahui pengaruh profil gula darah setelah pemberian bekatul, tepung tempe, campuran bekatul dan tempe pada tikus coba yang telah diberi alloxan. Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorik menggunakan rancangan randomized pre post test dengan kelompok kontrol (Randomized pre post test with control-group). Jumlah tikus 6 ekor untuk masing-masing kelompok (3 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol) sehingga jumlah sampel keseluruhan adalah 24 ekor. Melalui post hoc test diperoleh hasil bahwa perbedaan kadar gula darah setiap minggu pada ketiga kelompok perlakuan apabila dibandingkan dengan kelompok kontrol secara statistik signifikan (p=0,000, p=0,000, p=0,000). Kelompok tempe dibandingkan dengan kelompok campuran perbedaan kadar gula darah pada 3 minggu tidak signifikan (p=0,491, p=0,764, p=0,319). Kelompok bekatul dibandingkan kelompok campuran perbedaan kadar gula pada 3 minggu tidak signifikan (p=0,374, p=0,297, p=0,093). Kelompok bekatul dibandingkan kelompok tempe perbedaan kadar gula darah pada 3 minggu tidak signifikan (p=1,000, p=0,993, p=0,954). Kesimpulan: Pemberian subsitusi tepung tempe, tepung bekatul, dan campuran keduanya pada tikus diabetes sebanyak 50% dari asupan makan sehari dapat menurunkan kadar gula darah setiap minggunya dibandingkan tikus yang tidak diberi perlakuan. Kata Kunci : tempe, bekatul, kadar gula darah, tikus diabetes.
Pendahuluan WHO memprediksi untuk Indonesia kenaikan jumlah pasien diabetes mellitus dari 8,4 juta pada tahun 2004 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2006). Terapi diabetes mellitus dengan pengaturan diet tidak memerlukan biaya mahal, mudah dilakukan namun perlu kedisiplinan yang tinggi. Salah satu bahan makanan sebagai pilihan dalam menu diet adalah bahan makanan berbasis kedelai (Retnaningsih et al, 2001). Pada penelitian Chen & Cheng (2006) pada tikus yang menderita diabetes dengan perlakuan diet minyak bekatul diperoleh hasil peningkatan sensitivitas insulin, penurunan plasma trigliserida, LDL kolesterol dan hepatik trigliserida.
22
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Konsumsi kedelai yang merupakan bahan dasar dari tempe memperbaiki kadar lemak darah pada manusia dan binatang, dan lebih jauh lagi proses pencernaan kedelai akan mengatur insulin dalam keadaan normal (Ascencio et al, 2004). Komponen kedelai terdiri dari protein, lemak, serat dan phitochemical termasuk isoflavone. Beberapa penelitian meneliti isoflavone sebagai komponen bioaktif yang penting dari kedelai. Isoflavone terdiri dari 3 komponen yaitu genistein, daidzein dan glycitein. Penelitian Mezei et al (2003) mengatakan bahwa konsumsi kedelai akan mengurangi beberapa gejala diabetes mellitus tipe 2 seperti insulin resistance dan glycemic control, efek ini kemungkinan adalah hasil dari profil lipid darah yang membaik. Kedelai mungkin mempunyai efek positif dan secara langsung dalam manajemen diabetes melalui beberapa mekanisme yang belum diketahui, salah satunya melalui peroxisome proliferator activated receptors (PPAR). PPAR adalah reseptor nuklear yang berperan dalam sel untuk menjaga keseimbangan lemak dan aksi insulin. Pada hasil penelitian Mezei et al (2003) menunjukkan bahwa isoflavone memperbaiki metabolisme lemak dan glukosa melalui aktifasi reseptor PPAR. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratorik menggunakan rancangan randomized pre post test dengan kelompok kontrol (Randomized pre post test with control-group). Pemeliharaan dan intervensi hewan coba dilaksanakan di Unit Pengembangan Hewan Percobaan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pemeliharaan semenjak masa seleksi sampai masa perlakuan berlangsung dalam waktu 30 hari. Pemeriksaan laboratorium dilakukan di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sampel yang digunakan diambil secara acak dari populasi terjangkau yaitu tikus putih jantan strain Wistar yang berusia 7 minggu yang berada di Unit Pengembangan Hewan Percobaan, Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan syarat sesuai kriteria inklusi. Kriteria inklusi : 1. Kadar gula darah tikus > 142 mg/dl 2. Sehat dan lincah. Jumlah tikus yang digunakan sebanyak 6 untuk masing-masing kelompok (3 kelompok perlakuan dan 1 kelompok kontrol) sehingga jumlah sampel keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor. Untuk mengantisipasi kemungkinan tikus ada yang mati maka tiap-tiap kelompok diberi cadangan 1 ekor sehingga jumlah keseluruhan ada 28 ekor. Kebutuhan pakan tikus adalah 10% dari berat badan tikus, sehingga jika berat badan tikus rata-rata 200 gr maka jumlah kebutuhan pakan adalah 20 gr. Bekatul dan tempe yang diberikan dalam bentuk bubuk 50 % dari 20 gr yaitu 10 gr yang dicampur dalam pakan tersebut. Campuran tepung tempe dan bekatul adalah bahan makanan yang terbuat dari bahan dasar tepung tempe kedele dan bekatul yang dicampur dengan proporsi 1:1. Diberikan sebagai substitusi bersama dengan pakan 23
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
standart tikus dengan konsentrasi 50%. Kebutuhan pakan tikus adalah 10% dari berat badan tikus, sehingga jika berat badan tikus rata-rata 200 gr maka jumlah kebutuhan pakan adalah 20 gr. Campuran tepung tempe dan bekatul yang diberikan dalam bentuk bubuk 50 % dari 20 gr yaitu 10 gr total campuran yang dicampur dalam pakan tersebut. Cara pemberian pakan adalah menggunakan sonde agar semua pakan dapat dimakan oleh tikus dan tidak tersisa. Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Bahan
Pakan standart AIN 93 620,69 140 100
Perlakuan 1
Perlakuan 2
Perlakuan 3
310 70 50
310 70 50
310 70 50
Minyak kedelai Serat Campuran mineral
40 50 35
20 25 17,5
20 25 17,5
20 25 17,5
Campuran vitamin
10
5
5
5
Kholin bitartrat L-sistin Serbuk bekatul Serbuk tempe Total(g)
2,5 1,8 998,38
1,25 0,9 499,19 998,84
1,25 0,9 499,19 998,84
1,25 0,9 249,6 249,6 998,84
Total (kal)
3346,40
3045,9
2417
2731,5
Pati jagung Kasein Sukrosa
Sumber: (Retnaningsih et al, 2001
Penyuntikan alloxan dilakukan secara intra peritoneal dengan dosis 80 mg/kg berat badan tikus (Retnaningsih et al, 2001, Suarsana et al, 2008). Tikus dipelihara dalam ruangan yang berventilasi cukup, dikandangkan secara berkelompok (1 kandang terdiri dari 6 tikus). Suhu ruangan berkisar 28 – 32 derajat Celcius, dengan kelembaban 56 ± 5%. Makanan perlakuan diberikan dalam bentuk sonde tikus, setiap 2 hari dilakukan pembersihan kandang. Kelompok I sebagai kelompok kontrol hanya diberi ransum standar AIN 93 selama 21 hari. Kelompok II sebagai kelompok perlakuan I diberi ransum standart yang telah dicampur dengan bekatul dengan konsentrasi 50% selama 21 hari. Kelompok III sebagai kelompok perlakuan II diberi ransum standart yang telah dicampur dengan tepung tempe dengan konsentrai 50% selama 21 hari. Kelompok IV sebagai kelompok perlakuan III diberi pakan standart yang telah dicampur dengan campuran bekatul dan tepung tempe dengan konsentrasi 50% selama 21 hari. Kadar glukosa darah tikus diukur pada hari ke 0 sebelum perlakuan injeksi alloxan, hari ke 21 setelah injeksi alloxan yang berarti hari ke 0 perlakuan dan hari ke 22 setelah perlakuan. Darah yang telah diambil melalui pembuluh darah ekor ± 1 µl kemudian di sentrifuge sehingga diperoleh serum. Kemudian untuk pemeriksaan kadar gula, perlu dipersiapkan sampel dan blanko. Blanko adalah campuran dari 5 mikron aquabidest dan 500 mikron reagen. Sampel adalah campuran 5 mikron 24
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
sampel dan 500 mikron reagen. Sampel darah yang sudah siap kemudian di inkubasi selama 10 menit pada suhu 37 derajat celcius, lalu diperiksa melalui spektrofotometer. Spektrofotometer yang digunakan adalah merk Varta, sedangkan reagen glucose yang digunakan adalah merk Dyasis ®. Data yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan perlakuan, diberi kode dan dimasukkan dalam file komputer. Data dianalisis secara statistik dengan proses sebagai berikut: 1. Analisis deskriptif dengan menampilkan diagram dan tabel silang menurut kelompok intervensi. Dikelompokkan dan ditampilkan jumlah penurunan kadar gula darah pada kelompok kontrol, perlakuan 1, 2 dan 3. 2. Analisis statistik dengan melakukan uji beda yang didahului uji normalitas data, distribusi datanya normal maka dilakukan uji Anova untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar gula darah pada kelompok kontrol, perlakuan 1, 2 dan 3. Kemudian dilakukan uji posthoc untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar gula darah antara kontrol dengan masing-masing perlakuan. 3. Batas derajat kemaknaan yang akan dicapai adalah p< 0,05 dengan power penelitian 80% dan intervensi kepercayaan sebesar 95%. Tabel 2. Rata-rata kadar gula darah tikus (mg/dl). Jenis perlakuan Tepung Tempe 50% Tepung Bekatul 50% Camp Tepung tempe dan bekatul 50% Control pakan standar 100%
Pre Alloxan 65 58,1 71,5
Post alloxan 209,8 193,1 206,3
Minggu I perlakuan 131,1 117,5 97,8
Minggu II perlakuan 110,8 103,8 88,8
Minggu III perlakuan 94,6 93 61,5
116,6
199,8
195,1
196,3
193.8
Hasil dan Analisis Data
Gambar 1. Perubahan kadar gula darah (mg/dl) dengan perlakuan pemberian substitusi tepung tempe, bekatul, campuran, dan control selama 3 minggu. Penurunan kadar gula darah setiap minggu berdasarkan masing-masing perlakuan secara statistik signifikan. Hal ini dapat diketahui melalui uji anova yang 25
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dilakukan pada minggu 1, 2, dan 3. Penurunan kadar gula darah setiap minggu dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Rata-rata penurunan kadar gula darah pada minggu ke 1, minggu ke 2, dan minggu ke 3. Perlakuan
N
Minggu 1 Mean
Minggu 2
SD
Mean
SD
Minggu 3 Mean
SD
Kontrol
6
-4.7
3.3
-3.5
12.9
-6.0
13.2
Tempe
6
-78.7
37.5
-99.0
32.7
-115.0
31.9
Bekatul
6
-75.7
36.1
-89.3
28.3
-100.0
33.1
Campuran
6
-109.0
21.1
-118.0
16.8
-145.0
14.2
Berdasarkan ketiga deskripsi mean penurunan kadar gula darah setiap minggu, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan kadar gula darah pada setiap minggu pada ketiga kelompok perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar gula darah antara kelompok kontrol, dengan masing-masing perlakuan maka dilakukan uji anova yang dapat dilihat pada tabel 4, 5, 6. Tabel 4. Hasil Anova tentang beda mean kadar gula darah antar kelompok perlakuan pada minggu ke I. Kelompok Kontrol Tempe Bekatul Campuran
n 6 6 6 6
Mean -4.6 -78.6 -75.6 -108.5
SD 3.2 15.3 14.7 8.6
F 14.69
P <0.001
Pada minggu pertama setelah perlakuan diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara statistik signifikan karena nilai p <0.001. Tabel 5. Hasil Anova tentang beda mean kadar gula darah antar kelompok perlakuan pada minggu ke II. Kelompok Kontrol Tempe Bekatul Campuran
n 6 6 6 6
Mean -3.5 -99.0 -89.3 -117.5
SD 12.8 13.3 11.5 6.8
F 26.51
P <0.001
Pada minggu kedua setelah perlakuan diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara statistik signifikan karena nilai p <0.001.
26
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 6. Hasil Anova tentang beda mean kadar gula darah antar kelompok perlakuan pada minggu ke III. Kelompok Kontrol Tempe Bekatul Campuran
n 6 6 6 6
Mean -6.0 -115.1 -100.1 -144.8
SD 13.1 31.9 33.0 14.1
F 34.65
P <0.001
Pada minggu ketiga setelah perlakuan diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara statistik signifikan karena nilai p <0.001. Untuk membandingkan perbedaan penurunan kadar gula darah antara satu kelompok dengan kelompok lain dilakukan post hoc test. Hasil post hoc test pada setiap minggu dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan ketiga post hoc test setiap minggu, diperoleh hasil bahwa ketiga perlakuan dapat menurunkan kadar gula darah secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol, tetapi penurunan kadar gula darah antara perlakuan tempe dengan bekatul tidak signifikan, begitu pula penurunan kadar gula darah antara perlakuan campuran dengan perlakuan tempe tidak signifikan, dan penurunan kadar gula darah antara perlakuan campuran dengan bekatul juga tidak signifikan. Tabel 7. Nilai p hasil post hoc test tentang perbandingan rata-rata penurunan kadar gula darah antara control dengan kelompok perlakuan pada minggu ke 1, minggu ke 2, dan minggu ke 3. Perlakuan
Perlakuan
Kontrol
Tempe
Minggu ke 1
Beda mean Bekatul Tempe
Bekatul
P
74,0
0,022
Beda mean
Minggu ke 3
p
95,5
0,002
Beda mean
p
109,2
0,001
71,0
0,022
85,8
0,001
94,2
0,002
Campuran
103,8
0,000
114,0
0,000
138,8
0,000
Kontrol
-74,0
0,022
-95,5
0,002
-109,2
0,001
Bekatul
-3,0
1,000
-9,7
0,993
-15,0
0,954
Campuran
29,8
0,491
18,5
0,764
29,7
0,319
-71,0
0,022
-85,8
0,001
-94,2
0,002
3,0
1,000
9,7
0,993
15,0
0,954
Kontrol Tempe Campuran
Campuran
Minggu ke 2
32,8
0,374
28,2
0,297
44,7
0,093
Kontrol
-103,8
0,000
-114,0
0,000
-138,8
0,000
Tempe
-29,8
0,491
-18,5
0,764
-29,7
0,319
Bekatul
-32,8
0,374
-28,2
0,297
-44,7
0,093
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa 2 minggu setelah pemberian alloxan semua kelompok tikus telah mengalami peningkatan kadar gula darah. 27
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian Retnaningsih (2001) yang menyatakan bahwa satu hari setelah injeksi alloxan menunjukkan peningkatan kadar glukosa serum pada semua kelompok tikus. Hal ini menunjukkan bahwa semua kelompok tikus telah mengalami diabetes mellitus. Sesuai dengan pendapat Ganung pada penelitian Retnaningsih (2001) yang menyatakan bahwa alloxan adalah salah satu senyawa yang dapat menghambat sekresi insulin yang kemudian menyebabkan terjadinya hiperglisemia. Tahap berikutnya adalah perlakuan substitusi pakan pada masing-masing kelompok yang diberikan setelah tikus mengalami diabetes. Pemberian perlakuan tempe, bekatul, dan campuran selama 3 minggu secara umum cenderung terjadi penurunan kadar gula darah, masing-masing sebesar 54,9%, 51,8%, dan 70,18%. Pada tabel 5, perlakuan tempe dapat menurunkan kadar gula darah 209,8 mg/dl menjadi 94,6 mg/dl. Hasil penelitian ini didukung oleh Irianti dan Dwianna-Amrita-Dewi pada penelitian Retnaningsih (2001) yang menyebutkan bahwa protein kedelai mampu bersifat hipoglisemik pada tikus diabetik induksi alloxan, memperbaiki resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas insulin pada binatang diabetik. Protein kedelai memiliki kandungan arginin yang lebih banyak dibandingkan kasein. Menurut Irianti pada penelitian Retnaningsih (2001) menyebutkan secara in vivo pada tikus dimana terjadi peningkatan konsentrasi insulin plasma secara signifikan setelah melakukan penambahan 0,5% arginin dari protein kedelai pada pakan yang mengandung kasein. Tempe memiliki efek hipoglikemik yang dapat mengembalikan fungsi sel pankreas sehingga meningkatkan sekresi insulin, menghambat absorbsi glukosa di usus dan menghambat kinerja enzim α-glukosidase. Enzim α-glukosidase adalah enzim yang berfungsi untuk menghidrolisis karbohidrat menjadi gula sederhana (glukosa) pada usus. Senyawa yang dapat menghambat kinerja enzim tersebut dapat berpotensi sebagai antidiabetes karena dapat menurunkan kadar gula darah dengan cara memperlambat penyerapan karbohidrat postprandial (Suarsana et al, 2008). Tempe mempunyai indeks glikemik rendah, kaya fitat, serat larut dan tannin yang dapat menurunkan pencernaan karbohidrat dan respon glikemik (Anderson et al, 1999). Menurut Jenkins DJA dan Holf S et al pada penelitian Madar (1983) mengatakan bahwa serat tempe mengandung pectin, galactomannans dan arabinogalactans dengan viskositas tinggi, bentuk polisakarida ini memperlambat pengosongan lambung dan absorbsi glukosa. Hasil penelitian Madar (1983) menyimpulkan bahwa diet serat dari tempe dapat menurunkan kadar toleransi glukosa. Hasil penelitian lain yang berbeda dengan hasil penelitian ini adalah penelitian oleh Liu (2010) yang menyimpulkan bahwa pemberian protein kedelai selama 3 atau 6 bulan dengan atau tanpa suplemen isoflavones tidak menghasilkan perubahan yang lebih baik pada control glikemik, resisitensi insulin, kadar glukosa puasa dan glukosa 2 jam postprandial. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Chen dan Cheng (2006) yang mengatakan bahwa komponen γ oryzanol dan γ tocotrienol dalam bekatul
28
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
meningkatkan sensitivitas insulin pada tikus diabetes mellitus. Sedangkan menurut Madar (1983) serat bekatul hanya sedikit memberikan efek pada toleransi glukosa. Data yang diperoleh setelah pemeriksaan kadar gula darah setiap miggu kemudian dilakukan analisis data. Uji normalitas data digunakan uji Shapiro Wilk diperoleh hasil p > 0,05, sehingga dapat dikatakan data berdistribusi normal, kemudian digunakan uji anova untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar gula darah antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan tempe, bekatul, dan campuran. Berdasarkan hasil uji anova pada minggu ke 1, minggu ke 2, dan minggu ke 3 diperoleh nilai p < 0,001, yaitu p = 0,000. Ketiga perlakuan dapat menurunkan kadar gula darah secara signifikan. Untuk membandingkan perbedaan penurunan kadar gula darah antara satu kelompok dengan kelompok lain dilakukan post hoc test. Hasil post hoc test pada setiap minggu dapat dilihat pada tabel 10. Berdasarkan ketiga post hoc test setiap minggu, diperoleh hasil bahwa ketiga perlakuan dapat menurunkan kadar gula darah secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol, tetapi penurunan kadar gula darah antara perlakuan tempe dengan bekatul tidak signifikan, begitu pula penurunan kadar gula darah antara perlakuan campuran dengan perlakuan tempe tidak signifikan, dan penurunan kadar gula darah antara perlakuan campuran dengan bekatul juga tidak signifikan. Hasil penelitian ini seiring dengan hasil penelitian Nygren dan Hollmans (1982) bahwa ada perbedaan kadar gula darah yaitu pada tikus diabetes yang diberi bekatul mentah lebih rendah dibandingkan pada tikus diabetes yang tidak diberi bekatul. Hasil penelitian lain yang seiring adalah penelitian Villegas et al (2008) menunjukkan susu kedelai dapat menurunkan kadar gula darah tetapi hubungan antara konsumsi kedelai dengan diabetes tidak signifikan. Hasil penelitian lain yang berbeda dengan hasil penelitian ini adalah penelitian oleh Liu (2010) yang menyimpulkan bahwa pemberian protein kedelai selama 3 atau 6 bulan dengan atau tanpa suplemen isoflavones tidak menghasilkan perubahan yang lebih baik pada control glikemik, resisitensi insulin, kadar glukosa puasa dan glukosa 2 jam postprandial. Kesimpulan 1. Pemberian subsitusi tepung tempe, tepung bekatul, dan campuran keduanya pada tikus diabetes sebanyak 50% dari asupan makan sehari dapat menurunkan kadar gula darah setiap minggunya dibandingkan tikus yang tidak diberi perlakuan. 2. Penurunan kadar gula darah pada pemberian substitusi tepung tempe, tepung bekatul dan campuran keduanya secara statistik tidak berbeda. Daftar Pustaka Anderson J W, Smith B M and Washnock C S. 1999. Cardiovascular and Renal Benefit of Dry Bean and Soybean Intake. The American Journal of Clinical Nutrition. 70:464474.
29
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Anonim. Cyber Nurse. 2002. Konsep Diabetes Mellitus. http://forum.ciremai.com. Cited at December 12, 2009. Anonim. Mengenal Manfaat Bekatul. Natural Organik. 2009. http://www.naturalorganik.multiply.com/journal/item/5/Mengenal Manfaat Bekatul. cited at December 12, 2009. Anonim. Tempe. Wikipedia. 2009. http : //www.wikipedia.org/wiki/tempe. cited at December 23, 2009. Ascencio C., Torres N, Isoard-Acosta F, Gomez-Perez J F, Hernandez-Pando R, and Tovar A R. 2004. Soy Protein Affects Serum Insulin and Hepatic SREBP-1 mRNA and Reduces Fatty Liver in Rats. Journal of Nutrition. 134 : 522-529. Hu F B, Manson J E, Stampfer M J, Colditz G, Liu S, Solomon C G, dan Willett W C. 2001. Diet, Lifestyle, and The Risk of Type 2 Diabetes Mellitus In Woman. New England Journal of Medicine. 345:790-797. Charlotte N and Goran H. 1982. Effects of Processed Rye Bran and Raw Rye Bran on Glucose Metabolism in Alloxan Diabetic Rats. Journal of Nutrition. 112:17-20. Chen C W and Cheng H H. 2006. A Rice Bran Oil Diet Increases LDL-Receptor and HMGCoA Reductase mRNA Expressions and Insulin Sensitivity in Rats with Streptozotocin/Nicotinamide-Induced Type 2 Diabetes. Journal of Nutrition. 136:1472-1476. Chicco A, Alessandro M E D, Karabatas L, Pastorale C, Basabe J C and Lombardo Y B. 2003. Muscle Lipid Metabolisme and Insulin Secretion Are Altered in Insulin Resistant Rats Fed a High Sucrose Diet. Journal of Nutrition. 133:127-133. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. 2003. Peran Diit Dalam Penanggulangan Diabetes. Departemen Kesehatan RI. Gibney M J, Vorster H H and Kole F J. 2002. Introduction to Human Nutrition. New York : Blackwell Science. Hal : 69-80. Hiswani. 1997. Peranan Gizi Dalam Diabetes Mellitus. Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatra Utara. Hutagalung H. 2004. Karbohidrat. Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. USU digital library. Hal : 1-13. Irawan M A. 2007. Karbohidrat. Sport Science Brief. Vol : 01. No :03. Irawan M A. 2007. Glukosa & Metabolisme Energy. Sport Science Brief. Vol : 01. No :06. Kerckhoffs D A.J.M, Brouns F, Hornstra G, and Mensink R P. 2002. Effects on the Human Serum Lipoprotein Profile of β-Glucan, Soy Protein and Isoflavones, Plant Sterols and Stenols, Garlic and Tocotrienols. Journal of Nutrition. 132:2494-2505. Linder M C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme Dengan Pemakaian Secara Klinis. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hal : 27-58. Liu Z M, Chen Y M, Ho S C, Ho Y P and Woo J. 2010. Effects of Soy Protein and Isoflavones on Glicemic Control and Insulin Sensitivity : a 6-mo Double Blind, Randomized, Placebo-Controlled Trial in Postmenopausal Chinese Women With Prediabetes or Untreated Early Diabetes. The American Journal of Clinical Nutrition. 91:1394-1401. Madar Z. 1983. Effect of Brown Rice and Soybean Dietary Fiber on the Control of Glucose and Lipid Metabolism in Diabetic Rats. The American Journal of Clinical Nutrition. 38:388-393. Mezei O, Banz W J, Steger R W, Peluso M R, Winters T A and Shay N. 2003. Soy Isoflavones Exert Antidiabetic and Hypolipidemic Effects Through the PPAR Pathways in Obese Zucker Rats and Murine RAW 264,7 cells. Journal of Nutrition. 133:1238-1243. Perkeni. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006.
30
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Retnaningsih C, Noor Z dan Marsono Y. 2001. Sifat Hipoglikemik Pakan Tinggi Protein Kedelai Pada Model Diabetik Induksi Alloxan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. XII : 141-146. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 1995. Diabetes Melitus Penatalaksanaan Terpadu. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suarsana I N, Priosoeryanto B P , Bintang M dan Wresdiyati T. 2008. Aktivitas Daya Hambat Enzim α-Glucosidase dan Efek Hipoglikemik Ekstrak Tempe Pada Tikus Diabetes. Jurnal Veteriner. 9 : 122-127. Team Farmakologi. 2008. Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi I. Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Villegas R, Gao Y T, Li H L, Elasy T A, Zheng W, and Shu X O. 2008. Legume and Soy Food Intake and The Incidence of Type 2 Diabetes in the Shanghai Women’s Health Study. The American Journal of Clinical Nutrition. 87:162-167.
31
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENGARUH VARIASI TINGKAT PENAMBAHAN SODIUM METABISULFIT DAN WAKTU INKUBASI PADA HANCURAN SINGKONG TERHADAP RESIDU SIANIDA, RESIDU SULFIT, DAN WARNA TEPUNG SINGKONG 1)
1)
Selvia Dewartsi dan Haryadi Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM Yogyakarta
1
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara pembuatan tepung singkong yang memiliki karakteristik bebas bau dan rasa khas singkong, berwarna putih, rendah residu sulfit maupun residu sianida dengan pemberian bahan tambahan berupa sodium metabisulfit (Na2S2O5) dan variasi waktu inkubasi. Hasil menunjukkan kombinasi perlakuan penambahan Na 2S2O5 dan air dapat mengurangi residu sianida dan mencegah pewarnaan pada tepung singkong. Tepung singkong terbaik yang dihasilkan menurut SNI adalah tepung yang dibuat dengan penambahan Na2S2O5 0,1% (db) tanpa inkubasi. Tepung ini memiliki warna yang lebih putih (L= 87,50; a= 4,73; b= 14,83), kadar air (10,06%), residu sulfit (161,68 ppm) dan residu sianida (11,73 ppm). Tepung singkong terbaik yang dihasilkan menurut WHO/FAO adalah tepung yang dibuat dengan penambahan Na 2S2O5 0,3% (db) yang diinkubasi selama 3 jam. Tepung ini memiliki warna yang lebih putih (L= 87,77; a= 4,70; b= 14,87), kadar air (10,98%), residu sulfit (241,76 ppm) dan residu sianida (9,74 ppm) yang lebih rendah dibanding tepung kontrol. Kata kunci : Singkong, Tepung, Sodium Metabisulfit, Sianida.
Pendahuluan Tingkat urbanisasi yang cepat, meningkatkan konsumsi produk yang telah diproses (termasuk produk-produk roti) dan meningkatkan produk-produk impor. Gandum tidak diproduksi secara komersial di Indonesia tetapi merupakan produk impor (dalam bentuk grains). Untuk mengurangi impor gandum, perlu dilakukan substitusi tepung gandum dengan tepung produk lokal seperti tepung singkong, tepung jagung, tepung beras, tepung sorghum, dan tepung kentang. Upaya pemerintah dalam mengurangi impor gandum diwujudkan melalui diversifikasi proses produksi singkong dan perbaikan kualitas untuk mendukung pemanfaatan singkong menjadi produk pangan. Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber karbohidrat yang relatif murah, berpotensi untuk dikembangkan dan ditingkatkan pengolahannya sebagai bahan pangan pokok. Masalah utama pada singkong segar adalah mudah rusak dan kandungan sianida yang tinggi (20-4.000 ppm). Oleh sebab itu perlu pengembangan proses pengolahan singkong untuk mendapatkan produk antara yang lebih awet, lebih mudah penanganannya, lebih aman, dan lebih diterima masyarakat. Tepung adalah salah satu bentuk olahan bahan baku yang lebih awet dan mudah
32
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dalam penanganannya karena memiliki kadar air yang rendah dan ukuran yang lebih kecil. Pada umumnya tepung singkong dibuat dengan cara mengupas singkong, memotong dalam bentuk chip dengan ketebalan 2-3 cm, mengeringkan dan menghaluskan tepung. Namun mutu yang dihasilkan dari pembuatan tepung singkong secara tradisional tersebut dirasakan masih kurang baik (berwarna coklat, kurang menarik, dan kualitasnya kurang baik untuk bahan baku produk pangan) sehingga perlu modifikasi yang dapat memperbaiki kualitas dari tepung singkong sehingga dapat memperluas penggunaannya. Masalah lain yang masih merupakan kendala pada tepung singkong ialah masih terdapatnya residu sianida. WHO/FAO menyatakan tingkat aman kadar sianogen pada tepung singkong adalah 10 ppm. Di Indonesia kadar sianogen yang diijinkan ada dalam tepung singkong adalah 40 ppm. Tepung singkong yang banyak beredar di Indonesia masih memiliki kadar residu sianida yang tinggi yaitu rata-rata 54 ppm (Djazuli and Bradbury, 1999). Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan tepung singkong melalui beberapa metode yaitu dengan pemarutan, perendaman dengan air, variasi tingkat penambahan Na2S2O5, dan variasi waktu inkubasi untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang paling efektif untuk mengurangi kadar sianida dan meningkatkan warna putih pada tepung singkong yang dihasilkan. Proses pembuatan tepung singkong dilakukan dengan pemarutan karena lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan proses pembuatan lain yang memerlukan tahapan produksi yang lebih panjang. Kelebihan proses pembuatan tepung singkong dengan pemarutan yaitu dapat memperbesar luas permukaan bahan sehingga akan memudahkan kontak antara enzim dan substrat, memudahkan pencampuran yang merata antara singkong dan bahan kimia yang ditambahkan, proses pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan lebih cepat, serta dapat menghemat energi selama proses pengolahan tepung singkong. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara pembuatan tepung singkong yang lebih singkat waktu pembuatannya, rendah residu sianida maupun residu sulfit, berwarna putih, serta memiliki karakteristik bebas bau dan rasa khas singkong dengan pemberian bahan tambahan berupa Na 2S2O5. Metode Penelitian Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah singkong (Manihot esculenta Crantz) varietas Mangi berasal dari daerah Wonosobo yang dibeli di Pasar Telo Yogyakarta, berumur 8-10 bulan. Singkong dipilih yang masih segar (maksimal 24 jam setelah pemanenan), tidak cacat, dan berbentuk utuh. Bahan yang digunakan sebagai perlakuan adalah reduktor jenis Na2S2O5 yang bersifat teknis. Bahan yang digunakan untuk analisis adalah aquades, alkaline pikrat 0,25% pH 11, NaOH 0,1 N, NaOH 0,5 N, KCN, HCl 0,5 N, amilum 4%, formalin 40%, dan iodium 0,01 N yang bersifat teknis. 33
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, mesin parut, mesin pengaduk, kain saring, cabinet dryer, food processing mill Armfield, dan ayakan Tyler 80 mesh. Alat analisis yang digunakan adalah Spektofometer Genesys TM 20, Neraca Analitik Shimadzu AW 120, Kolorimeter Color Reader CR 10 Minolta, Oven Memmert, pH meter Schott serta peralatan gelas lainnya. Metode Pembuatan Tepung Singkong Pembuatan tepung singkong dimulai dari sortasi bahan baku. Singkong yang dipilih adalah singkong segar yang tidak cacat dan bentuk. Singkong kemudian dikupas bagian kulit luar dan dalamnya menggunakan pisau. Singkong yang sudah dikupas direndam dalam air sampai proses selanjutnya untuk mengurangi kontak dengan O2 yang dapat menyebabkan singkong berwarna kecoklatan. Setelah itu dilakukan pencucian menggunakan air mengalir yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa tanah yang menempel pada singkong kupas. Singkong yang telah bersih kemudian dilakukan pengecilan ukuran menggunakan mesin parut. Parutan singkong yang dihasilkan kemudian ditambahkan air dengan perbandingan padatan : air adalah 1 : 4 (db) sehingga berwujud slurry, setelah itu ditambahkan bahan kimia berupa Na2S2O5 sesuai variasi konsentrasi dan diaduk menggunakan mesin pengaduk selama 15 menit. Slurry singkong kemudian dipaparkan dengan tebal sekitar 0,5 cm dan diinkubasi selama 0, 1, 2, 3, dan 4 jam pada suhu ruang. Slurry singkong yang diperoleh kemudian dilakukan pemerasan menggunakan kain saring untuk mengeluarkan airnya, sedangkan pati yang terlarut diendapkan. Kemudian pati dicampurkan kembali dengan parutan singkong untuk kemudian dilakukan pengeringan. Pengeringan menggunakan cabinet dryer dengan suhu kurang lebih 60 °C hingga kadar air mencapai < 12 % atau setara dengan waktu 10-12 jam. Tahapan akhir pembuatan tepung adalah penghancuran material kering menggunakan mesin penggiling dan pengayakan dengan ukuran 80 mesh. Proses pengayakan tepung menghasilkan tepung yang halus dan residu yang kasar. Residu kasar dikembalikan ke proses penghancuran dan kemudian diayak kembali hingga didapatkan tepung singkong dengan ukuran yang seragam. Analisis 1. Pengujian warna dengan kolorimeter Color Reader CR 10 Minolta menurut Dubois et al. (1956) dalam Rivera et al. (2005). 2. Pengujian residu sianida menurut Egan et al. (1998) 3. Pengujian residu sulfit menurut AOAC (1970). 4. Pengujian kadar air menurut AOAC (1970) 5. Pengujian pH dengan metode thermogravimetri menurut Demiate et al. (2000).
34
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hasil dan Pembahasan Penelitian dilakukan dengan membandingkan proses pembuatan tepung singkong dengan perlakuan penambahan Na2S2O5 0,1%; 0,2%; 0,3%; dan 0,4% (db) yang dikombinasi dengan variasi waktu inkubasi 0, 1, 2, 3, dan 4 jam. Hal ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penambahan Na 2S2O5 dan waktu inkubasi terbaik hingga tepung singkong yang dihasilkan memiliki residu sianida dan residu sulfit dibawah ambang batas SNI maupun WHO/FAO serta berwarna putih dengan mempertimbangkan waktu dan biaya produksi. Nilai pH Slurry singkong yang diperoleh kemudian dilakukan analisis pH. Hasil analisis pH slurry singkong dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai pH Slurry Singkong dengan Variasi Tingkat Penambahan Sodium Metabisulfit Variasi Perlakuan
6,50e
Kontrol Na2S2O5 Na2S2O5 Na2S2O5 Na2S2O5
pH
0,1% 0,2% 0,3% 0,4%
6,43d c 6,39 6,32b 6,28a
*) Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
Semakin besar konsentrasi Na2S2O5 yang ditambahkan menyebabkan penurunan pH yang semakin besar. Analisis pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH slurry singkong terhadap penurunan residu sianida pada tepung singkong yang dihasilkan. Bradbury (2006) menyatakan bahwa pengendalian pH perlu untuk membuat linamarase aktif menguraikan glukosida sianogenik. Residu Sianida Tabel 2. Konsentrasi Residu Sianida Tepung Singkong Dengan Variasi TingkatPenambahan Sodium Metabisulfit dan Waktu Inkubasi Variasi Perlakuan Belah – Oven Kontrol Na 2S 2O 5 0,1% Na 2S 2O 5 0,2% Na 2S 2O 5 0,3% Na 2S 2O 5 0,4%
Inkubasi 0 jam ev 71,79 dv 51,94 cv 11,73 bv 11,73 11,62av av 11,54
Residu Sianida (ppm) Inkubasi Inkubasi Inkubasi 1 jam 2 jam 3 jam ez ey 71,79 71,79 71,79ex dz dy dx 44,75 40,07 37,12 cz cy 11,48 11,13 11,00cx bz by bx 10,85 10,76 10,35 az ay 10,97 10,15 9,74ax az ay ax 10,98 10,07 9,60
Inkubasi 4 jam 71,79ew dw 35,15 10,59cw bw 10,19 aw 9,71 aw 9,34
*) Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
35
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Setelah didapatkan tepung singkong, dilakukan analisis residu sianida. Hasil analisis residu sianida tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 2. Tepung singkong kontrol merupakan tepung tanpa penambahan Na 2S2O5 dan tepung singkong belahoven merupakan tepung yang diolah dengan metode tradisional tanpa pemarutan, penambahan air, dan penambahan Na2S2O5 (simulasi pembuatan gaplek).. Semakin besar konsentrasi Na 2S2O5 yang ditambahkan dan semakin lama waktu inkubasi maka semakin rendah residu sianidanya. Penambahan Na 2S2O5 dapat menurunkan pH slurry singkong karena Na2S2O5 bersifat asam sehingga meningkatkan reaksi penguraian asam sianida. Semakin besar konsentrasi Na 2S2O5 yang ditambahkan menyebabkan penurunan pH yang semakin besar (mendekati pH 6) sehingga terjadi penurunan residu sianida yang semakin besar. Yeoh (1989) dalam Bradbury (2006) menyatakan bahwa pH optimum hidrolisis linamarin oleh linamarase menghasilkan acetone cyanohydrin sekitar 6. Selain itu semakin lama waktu inkubasi menyebabkan terjadi penurunan residu sianida semakin besar, hal ini disebabkan semakin lama waktu kontak antara enzim limaranase dengan limanarin yang menghasilkan glukosa dan aceton cyanohydrin. Aceton cyanohydrin secara spontan terdekomposisi pada pH >5 atau didekomposisi oleh enzim untuk membebaskan sianida bebas. Sianida bebas mudah menguap pada suhu 25,7 °C dan suhu ruang pada daerah tropis. Sehingga selama inkubasi sianida bebas akan menguap yang menyebabkan residu sianida pada tepung yang dihasilkan semakin rendah. Selain itu penambahan air dapat menurunkan residu sianida pada tepung singkong yang dihasilkan mendorong linamarin dan linamarase untuk bercampur sehingga meningkatkan reaksi penguraian sianida. Selain itu, sianida bersifat larut dalam air dan akan hilang selama proses pemerasan. Dari data tersebut menunjukkan bahwa semua sampel yang diberi perlakuan penambahan Na2S2O5 dan air dengan variasi waktu inkubasi memiliki nilai residu sianida di bawah ambang batas yang diperkenankan SNI, kecuali tepung singkong belah-oven dengan waktu inkubasi 0, 1, 2, 3, dan 4 jam dan tepung singkong kontrol dengan waktu inkubasi 0, 1, dan 2 jam yang memiliki residu sianida di atas ambang batas yang diperkenankan SNI. Apabila dibandingkan dengan ambang batas yang diperkenankan WHO/FAO maka hanya sampel dengan perlakuan penambahan Na 2S2O5 0,3% waktu inkubasi 3 dan 4 jam serta Na2S2O5 0,4% waktu inkubasi 3 dan 4 jam yang berada di bawah ambang batas yang diperkenankan (WHO/FAO, 1991 dalam Djazuli, 1999). Residu Sulfit Tepung singkong
yang dihasilkan
kemudian
dianalisis residu sulfit.
Penambahan Na2S2O5 pada proses pembuatan tepung singkong menghasilkan residu berupa sulfit. Hasil analisis residu sulfit tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 3.
36
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 3. Konsentrasi Residu Sulfit Tepung Singkong Dengan Variasi Tingkat Penambahan Sodium Metabisulfit Variasi Perlakuan Kontrol Na2S2O5 Na2S2O5 Na2S2O5 Na2S2O5
Residu Sulfit (ppm) 0a b 161,68 201,36c 241,76d 281,79e
0,1% 0,2% 0,3% 0,4%
*) Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
Semakin besar konsentrasi Na 2S2O5 yang ditambahkan, semakin tinggi residu sulfit yang dihasilkan. Penambahan Na 2S2O5 0,1% sampai dengan 0,4% menghasilkan residu sulfit dibawah ambang batas yang diperkenankan dalam SNI nomor 01-0222-1995 tentang bahan tambahan makanan, yaitu residu sulfit pada bahan makanan tidak lebih dari 300 ppm. Proses pemerasan yang dilakukan sebelum singkong parut dikeringkan dapat menghilangkan air dan mengurangi residu sulfit yang ada pada tepung singkong yang dihasilkan, tetapi tidak dapat menghilangkan residu sulfit yang ada pada tepung singkong yang dihasilkan. SO 2 atau SO3 berikatan dengan komponen tepung sehingga tidak larut dalam air, seperti yang dinyatakan oleh Perkin (1990) dan Rahman (2007) bahwa sulfit dalam bentuk SO2 dapat berikatan dengan protein, pati dan gula yang tidak dapat larut dalam pencucian sehingga meninggalkan residu. Warna
Tepung singkong yang dihasilkan kemudian dianalisis nilai warnanya
menggunakan kolorimeter untuk mengetahui seberapa besar tingkat penghambatan pembentukan
warna coklat antara tepung singkong
yang diberi perlakuan
penambahan Na2S2O5 dengan kontrol. Notasi L menyatakan tingkat kecerahan tepung singkong yang dihasilkan. Notasi a menyatakan warna kromatik campura n merah-hijau dengan nilai a (+) untuk warna merah dan nilai a (-) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai b (+) untuk warna kuning dan nilai b (-) untuk warna biru. Hasil analisis terhadap nilai warna tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 4. Sebagai standar warna putih digunakan barium sulfat (BaSO4). BaSO4 memiliki nilai L = 98,99; a = 1,37; b = 3,57. Kontrol merupakan tepung singkong tanpa penambahan Na2S2O5 dan air dari bahan singkong segar.
37
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 4. Nilai Warna (Kolorimetris) Tepung Singkong dengan Variasi Tingkat Penambahan Sodium Metabisulfit dan Waktu Inkubasi Variasi Perlakuan
L
Inkubasi 0 jam a b
L
Inkubasi 1 jam a b
L
Inkubasi 2 jam a b
L
Inkubasi 3 jam a b
L
Inkubasi 4 jam a b
Kontrol
85,17 ay
6,63 bz
16,27 cz
85,03 ay
6,50 bz
16,90 cz
85,10 ay
6,37 bz
16,8 cy
85,27 az
6,23 bz
17,17 cx
85,13 az
6,27 bz
17,10 cw
Na2S2O5 0,1%
87,50 dy
4,73 az
14,83 az
87,40 dy
4,83 az
15,03 az
87,40 dy
4,80 az
14,97 ay
87,47 dz
4,77 az
14,90 ax
87,73 dz
4,77 az
14,20 aw
Na2S2O5 0,2%
87,07 by
4,83 az
14,87 az
87,43 by
4,70 az
15,23 bz
87,10 by
4,70 az
15,53 by
87,33 bz
4,80 az
15,27 bx
87,70 bz
4,67 az
14,73 bw
Na2S2O5 0,3%
87,53 dy
4,53 az
14,73 az
87,23 dy
4,73 az
15,13 az
87,43 dy
4,77 az
14,97 ay
87,77 dz
4,70 az
14,87 ax
87,60 dz
4,80 az
14,73 aw
Na2S2O5 0,4%
87,63 cy
4,67 az
15,03 az
87,20 cy
4,80 az
15,10 bz
87,37 cy
4,70 az
15,60 by
87,57 cz
4,63 az
14,87 ax
87,60 cz
4,80 az
15,13 bw
*) Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
Dari data tersebut, semua perlakuan memiliki nilai L di atas kontrol serta nilai a dan nilai b di bawah kontrol. Nilai kecerahan (L) tepung singkong semua perlakuan berbeda nyata dengan kontrol. Adanya penambahan Na 2S2O5 yang semakin tinggi cenderung meningkatkan nilai L dan menurunkan nilai b. Semua perlakuan penambahan Na2S2O5 dengan berbagai konsentrasi memiliki efek yang signifikan terhadap peningkatan nilai warna tepung singkong, sehingga tepung singkong yang dihasilkan berwarna lebih putih dibandingkan dengan tepung kontrol. Apabila dibandingkan dengan standar SNI tahun 1996 yang menilai warna putih pada tepung singkong minimal 85% (BaSO 4 dianggap putih 100%) maka nilai warna (L) untuk semua sampel berada di atas standar yang telah ditetapkan. Warna kecoklatan pada tepung berasal dari reaksi pencoklatan enzimatis yang terjadi selama pengolahan yang melibatkan senyawa fenol dan enzim polifenol oksidase yang menghasilkan senyawa quinon yang memberikan warna coklat. Skala kemerahan (a) pada semua sampel nilainya sangat kecil, nilai yang tercatat dianggap sebagai akibat dari pembauran cahaya. Hal ini dibuktikan dengan BaSO 4 sebagai standar warna putih memiliki nilai a 1,37. Na2S2O5 menghambat aktivitas catecholase yang membutuhkan O 2 karena Na2S2O5 bersifat reduktor yang mengikat O2 sehingga produksi quinon berkurang dan bereaksi dengan enzim polifenol oksidase menghasilkan enzim yang tidak aktif (Valero et al.,1992). Selain itu Na2S2O5 dapat bereaksi dengan quinon yang menghasilkan kompleks yang menyerap panjang gelombang 290 nm sehingga tidak menimbulkan warna (Ricquebourg et al., 1996). Kadar Air Karakteristik berupa kadar air dari tepung singkong yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 5. Pengeringan pada tepung singkong mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. Menurut SNI tepung singkong tahun 1996, batas aman kadar air tepung singkong adalah 12% (db). 38
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Dari data tersebut menunjukkan kadar air semua sampel memenuhi standar dari SNI 1996 yaitu maksimal 12%. Sifat kadar air tidak dipengaruhi oleh penambahan Na2S2O5. Tinggi rendahnya kadar air sampel dipengaruhi oleh kondisi pengeringan. Tabel 5. Kadar Air Tepung Singkong Dengan Variasi Tingkat Penambahan Sodium Metabisulfit dan Waktu Inkubasi Variasi Perlakuan Kontrol Na2S2O5 Na2S2O5 Na2S2O5 Na2S2O5
0,1% 0,2% 0,3% 0,4%
Inkubasi 0 jam 10,35 10,06 11,66 10,78 11,95
Inkubasi 1 jam 11,56 10,23 11,42 11,23 11,89
Kadar Air (%) Inkubasi Inkubasi 2 jam 3 jam 11,18 11,01 10,32 10,38 11,86 11,96 11,46 10,98 11,37 10,97
Inkubasi 4 jam 11,21 10,59 11,87 11,97 11,85
*) Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
Proses Pembuatan Tepung Singkong yang Menghasilkan Produk Berkualitas Sampel tepung singkong yang dianggap memiliki karakteristik lebih menguntungkan yang sesuai dengan SNI adalah sampel tepung singkong yang dibuat dengan penambahan Na2S2O5 0,1% tanpa inkubasi dan yang sesuai dengan WHO/FAO adalah sampel tepung singkong yang dibuat dengan penambahan Na2S2O5 0,3% dan diinkubasi selama 3 jam. Pembuatan tepung singkong yang disarankan adalah dimulai dari pemilihan atau proses sortasi bahan baku. Singkong yang dipilih adalah singkong segar (maksimal 24 jam setelah pemanenan), tidak cacat, dan berbentuk utuh (tidak terpotong). Singkong kemudian dikupas bagian kulit luar dan dalamnya menggunakan pisau. Singkong yang sudah dikupas direndam dalam air sampai proses selanjutnya untuk mengurangi kontak dengan oksigen di udara yang dapat menyebabkan singkong berwarna kecoklatan. Setelah itu dilakukan pencucian menggunakan air mengalir yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa tanah. Singkong yang telah bersih kemudian dilakukan pengecilan ukuran menggunakan mesin parut. Parutan singkong yang dihasilkan kemudian ditambahkan air dengan perbandingan padatan : air adalah 1 : 4 (db) sehingga berwujud slurry, setelah itu ditambahkan bahan kimia berupa sodium metabisulfit 0,1% (SNI) dan 0,3% (WHO/FAO) dan diaduk menggunakan mesin pengaduk (mixer horizontal) selama 15 menit. Kemudian slurry singkong dipaparkan dengan tebal sekitar 0,5 cm dan didiamkan selama 0 jam (SNI) dan 3 jam (WHO/FAO) pada suhu ruang. Slurry singkong yang diperoleh kemudian dilakukan pemerasan menggunakan kain saring untuk mengeluarkan airnya, sedangkan pati yang terlarut diendapkan. Kemudian pati dicampurkan kembali dengan parutan singkong untuk kemudian dilakukan pengeringan. Pengeringan menggunakan cabinet dryer dengan suhu kurang lebih 60 °C hingga kadar air mencapai < 12% atau setara dengan waktu 10-12 jam. Tahapan akhir pembuatan tepung adalah penghancuran material kering menggunakan mesin penggiling dan pengayakan dengan ukuran mesh 80. Proses 39
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pengayakan tepung menghasilkan tepung yang halus dan residu yang kasar. Residu kasar dikembalikan ke proses penghancuran dan kemudian diayak kembali. Kesimpulan Pemberian bahan tambahan berupa Na2S2O5 dapat mengurangi residu sianida, meninggalkan residu sulfit, dan meningkatkan warna putih pada tepung singkong yang dihasilkan. Tepung singkong terbaik yang dihasilkan menurut SNI adalah tepung yang dibuat dengan penambahan Na2S2O5 0,1% (db) tanpa inkubasi. Tepung ini memiliki warna yang lebih putih (L= 87,50; a= 4,73; b= 14,83), kadar air (10,06%), residu sulfit (161,68 ppm) dan residu sianida (11,73 ppm). Tepung singkong terbaik yang dihasilkan menurut WHO/FAO adalah tepung yang dibuat dengan penambahan Na2S2O5 0,3% (db) yang diinkubasi selama 3 jam. Tepung ini memiliki sifat warna yang lebih putih (L= 87,77; a= 4,70; b= 14,87), kadar air (10,98%), residu sulfit (241,76 ppm), dan residu sianida (9,74 ppm) yang lebih rendah dibanding tepung kontrol. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk yang telah mensponsori penelitian ini dalam kerangka program Indofood Riset Nugraha 2011. Daftar Pustaka Ahmed, M., Akter, S., and Eun, J. B. 2010. Peeling, Drying Temperatures, and Sulphite-Treatment Affect Physicochemical Properties and Nutritional Quality of Sweet Potato Flour. Journal of Food Chemistry 121 : 112-118. AOAC, 1970. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists, Washington, USA. Bradbury, J. H. 2006. Simple Wetting Method to Reduce Cyanogen Content of Cassava Flour. Journal of Food Composition and Analysis 19 : 388-393. Bradbury, J. H. 2010. Rapid Wetting Method to Reduce Cyanogen Content of Cassava Flour. Journal of Food Chemistry 121 : 591-594. Cumbana, A., Mirione, E., Cliff, J. and Bradbury, J. H. 2007. Reduction Of Cyanide Content Of Cassava Flour In Mozambique By The Wetting Method. Journal of Food Chemistry 101 : 894-897. Djazuli, M. and J. H. Bradbury. 1999. Cyanogen Content of Cassava Roots and Flour in Indonesia. Journal of Food Chemistry 65 : 523-525. Egan, S.V., Yeoh, H.H., and Bradbury, J.H.. 1998. Simple Picrate Paper Kit for Determination of the Cyanogenic Potential of Cassava Flour. Journal of the Science of Food Agriculture 76 : 39-48. Iwuoha , C. I., Banigo, E. O. I and Okwelum, F. C. 1997. Cyanide Content And Sensory Quality Of Root Tuber Cassava (Manihot Esculenta Crantz) Flour As Affected By Processing. Journal of Food Chemistry 58 (4) : 285-288. Ricquebourg, S. L., Da Silva, C. M. F. R., Rouch, C. C., and Cadet, F. R. 1996. Theoretical Support for a Conformational Change of Polyphenol Oxidase
40
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Induced by Metabisulfite. Journal Agriculture Food Chemistry 44 : 34573460. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1995. SNI Bahan Tambahan Makanan 01-02221995. http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/ 3398. Tanggal Akses 5 Maret 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI). 1996. SNI Tepung Singkong 01-2997-1996. http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/3398. Tanggal Akses 5 Maret 2011. Valero, E., Varon, R., and Carmona, F. G., 1992. Kinetic Study of the Effect of Metabisulfite on Polyphenol Oxidase. Journal Agricultural Food Chemistry 40 : 904 – 908.
41
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENAMBAHAN LARUTAN ASAM LAKTAT DAN SODIUM METABISULFIT PADA HANCURAN SINGKONG DAN LAMA INKUBASI TERHADAP RESIDU SIANIDA, WARNA, DAN RESIDU SULFIT TEPUNG SINGKONG Steffanny Kurniawati Soesilo1) dan Haryadi 1) Jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Email:
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan cara pembuatan tepung singkong yang memiliki kriteria rendah residu sianida, berwarna putih, dan rendah residu sulfit dengan perlakuan mekanis (pemarutan) dan pemberian bahan tambahan berupa asam laktat dan sodium metabisulfit (Na 2S2O5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan pemarutan dan penambahan asam laktat maupun Na 2S2O5 serta waktu inkubasi dapat mengurangi residu sianida. Penambahan Na 2S2O5 dapat memutihkan tepung. Tepung singkong terbaik adalah tepung dengan perlakuan penambahan Na2S2O5 0,1% dengan karakteristik residu sianida 11,73 ppm, warna (L : 87.5; a: 4.73; b: 14.83), residu sulfit 161.68 ppm, dan kadar air 10.06 %. Kata kunci: Singkong, Tepung, Asam Laktat, Sodium Metabisulfit, Sianida.
Pendahuluan Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber karbohidrat yang relatif murah, berpotensi untuk dikembangkan, dan ditingkatkan pengolahannya sebagai bahan pangan pokok. Kelebihan dari tanaman singkong adalah mudah tumbuh (dalam kondisi tanah jelek/ bagus dan kering) dan akarnya mengandung banyak pati (Bradbury and Holloway, 1988 dalam Hillocks et al., 2002). Menurut Hillocks et al. (2002), terdapat tiga masalah utama dalam pemanfaatan umbi singkong, yaitu masa simpan yang pendek, kandungan protein yang rendah, dan kandungan sianida alami pada umbi singkong. Batasan kandungan sianogen pada umbi singkong adalah 15 – 400 ppm (Cooke and Coursey, 1981 dalam Dimyati, 1992). Untuk itu, perlu pemprosesan lebih lanjut umbi singkong karena proses pembusukan pascapanen umbi singkong sangat cepat. Tepung adalah salah satu bentuk olahan bahan baku yang lebih awet dan lebih mudah dalam penanganannya karena memiliki kadar air yang rendah dan ukuran yang lebih kecil. Pembuatan tepung singkong yang bermutu dapat meningkatkan penerimaan konsumen dan memperluas pemanfaatannya. Penepungan singkong yang sederhana lazim dilakukan oleh petani terutama di pegunungan Seribu 42
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
(Gunung Kidul dan Wonogiri) meliputi pengupasan, pembelahan, pengeringan hingga diperoleh gaplek selama 3-4 hari kemudian ditepungkan. Pembuatan tepung gaplek ini membutuhkan waktu yang lama dalam pengeringannya sehingga menimbulkan perubahan warna dan munculnya mikrobia atau jamur yang menyebabkan timbulnya bau yang tidak diinginkan, kandungan sianida pada tepung masih tinggi, serta membutuhkan energi yang lebih besar untuk penepungan. Perbaikan proses pengolahan yang sudah dilakukan adalah dengan pemotongan umbi singkong dalam bentuk chip sebelum dikeringkan. Namun, proses ini juga masih meninggalkan residu sianida yang masih tinggi pada tepung singkong. Tepung singkong yang banyak beredar di Indonesia masih memiliki kadar residu sianida yang tinggi yaitu rata-rata 54 ppm (Djazuli, 1999) dengan warna yang kurang menarik. WHO/FAO menyatakan tingkat aman kadar sianogen pada tepung singkong adalah 10 ppm. Di Indonesia kadar sianogen yang diijinkan ada dalam tepung singkong adalah 40 ppm (Damardjati et al., 1993; Djazuli and Bradbury, 1999). Beberapa bahaya yang ditimbulkan dari mengkonsumsi tepung singkong yang masih banyak mengandung sianida, yaitu keracunan, mual, pusing, sakit perut, lemas, sakit kepala, diare, dan kematian (Mlingi et al., 1992; Akintowa et al., 1994). Cara pengurangan sianida sudah diteliti oleh beberapa ahli. Iwuoha et al.(1997) menyatakan bahwa tepung kering dapat dikurangi kandungan sianida secara nyata dengan perendaman tepung selama 5 jam pada pH 6. Cumbana et al. (2007) menyatakan bahwa tepung yang ditambahkan air 1: 1,25 kemudian dipaparkan dengan tebal sekitar 0,5 cm dan didiamkan selama 5 jam kemudian dikeringkan kembali memungkinkan pelepasan sianida lebih banyak. Pemutihan dengan sulfit juga sudah dilakukan, seperti dilaporkan oleh Olorunda dan Kitson (1977) dalam Ahmed et al. (2010) yang memutihkan chip kentang dalam larutan sodium sulfit. Yongjie dan Meiping (2005) dalam Ahmed et al. (2010) juga menyatakan bahwa sulfit dapat memperbaiki warna buah dan sayur karena menghambat reaksi enzimatis maupun non-enzimatis. Pada penelitian ini, dilakukan proses penghancuran, yaitu pemarutan pada umbi singkong untuk memperluas permukaan, memudahkan kontak antara enzim dengan substrat, dan mempercepat proses pengeringan. Selain itu, penghancuran memudahkan pencampuran bahan tambahan agar lebih merata dan menghemat energi penghancuran singkong setelah dikeringkan. Selanjutnya, dikembangkan cara pembuatan tepung singkong dengan penambahan asam laktat dan natrium metabisulfit (Na2S2O5) untuk mengurangi kadar sianida dan mencegah pencoklatan pada tepung singkong. Bahan dan Metode Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi singkong manis varietas mangi berasal dari Pasar Tela Karangkajen, Asam Laktat, Natrium 43
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Metabisulfit (Na2S2O5), dan air. Natrium Hidroksida (NaOH) 0,1 N, larutan pikrat basa 0,25% pH 11, Kalium Sianida (KCN), NaOH 0,5 N, HCl 0,5 N, formalin 40%, indikator amilum, iodium 0,01 N, dan kain saring. Alat Alat yang digunakan untuk pembuatan tepung, yaitu pisau, parutan, baskom, mixer (mesin pengaduk), cabinet dryer, ayakan mesh 80, gilingan (miller), dan timbangan. Alat yang digunakan untuk analisis, yaitu erlenmeyer 250 ml, gelas ukur 100 ml, kertas saring, corong, sendok pengaduk, Neraca Analitik Shimadzu AW 120, pipet ukur 1 ml, pipet ukur 10 ml, tabung reaksi, waterbath, pengukur waktu, vorteks, Spektofometer Genesys TM 20, kuvet, Kolorimeter Konica Minolta CR-400, Oven Memmert, pH meter Schott, dan batang pengaduk. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan percobaan dalam penelitian adalah Rancangan Faktorial dengan dua faktor. Faktor yang diujikan terdiri dari variasi perlakuan dan variasi waktu inkubasi. Faktor pertama terdiri dari 4 taraf yaitu tanpa penambahan apapun; penambahan air; penambahan air dan larutan asam laktat 1% sampai pH 6; penambahan air dan sodium metabisulfit 0,1%. Faktor kedua terdiri dari 5 taraf yaitu pendiaman 0; 1; 2; 3; dan 4 jam. Uji pembeda menggunakan ANOVA dan jika menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Pembuatan Tepung Singkong Pembuatan tepung singkong dimulai dari pemilihan atau proses sortasi bahan baku. Singkong yang dipilih adalah singkong segar yang tidak cacat, bentuk utuh (tidak terpotong), dan berwarna putih. Singkong kemudian dikupas bagian kulit luar dan dalamnya menggunakan pisau. Singkong yang sudah dikupas direndam dalam air sampai proses selanjutnya untuk mengurangi kontak dengan oksigen di udara yang dapat menyebabkan singkong berwarna kecoklatan. Setelah itu dilakukan pencucian menggunakan air mengalir yang bertujuan untuk menghilangkan sisa -sisa tanah. Singkong yang telah bersih kemudian dilakukan pengecilan ukuran menggunakan mesin parut. Parutan singkong yang dihasilkan kemudian ditambahkan air (kecuali tanpa perlakuan), bahan kimia berupa asam laktat dan sodium metabisulfit dan diaduk menggunakan mesin pengaduk (mixer horizontal) selama 15 menit. Kemudian dilakukan juga variasi jam pendiaman. Setelah itu dilakukan pengempaan bubur singkong tiap jam pendiaman menggunakan kain saring untuk mengeluarkan airnya kemudian dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan suhu kurang lebih 600C hingga kadar air mencapai < 12 % atau setara dengan waktu 10 – 12 jam. Tahapan akhir pembuatan tepung adalah penghancuran material kering menggunakan mesin penggiling dan pengayakan dengan ukuran mesh 80. Proses pengayakan tepung menghasilkan tepung yang halus dan residu yang kasar. Residu kasar dikembalikan ke proses penghancuran dan kemudian diayak kembali. 44
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Cara Analisis Analisis Sianida (Egan, et.al., 1998); Analisis Warna (Rivera et al., 2005); Analisis Residu Sulfit (AOAC, 1970); dan Analisis Kadar Air (AOAC 1970). Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan Penghancuran Umbi Singkong terhadap Residu Sianida Tepung Singkong yang dihasilkan. Penelitian dilakukan dengan membandingkan proses pembuatan tepung singkong yang dibuat dengan perlakuan penghancuran yang berbeda pada umbi singkong yang telah dikupas dan dibersihkan. Variasi perlakuan yang dilakukan, yaitu pembelahan dan pemarutan. Perlakuan pembelahan menggambarkan kondisi proses pembuatan gaplek (pembuatan tepung singkong secara tradisional) sedangkan pemarutan adalah pengembangan proses yang dilakukan pada penelitian ini. Pengecilan ukuran yang dibuat berbeda antara pembelahan dan pemarutan dilakukan dengan asumsi adanya perbedaan luas permukaan bahan yang dihancurkan. Perbedaan luas permukaan bahan akan mempengaruhi kemudahan kontak antara enzim dan substrat dalam proses penguraian linamarin menjadi sianida. Pembuatan tepung singkong dengan pembelahan dan pengovenan menghasilkan konsentrasi residu sianida rata-rata tepung singkong 71,79 ppm. Pembuatan tepung singkong dengan pemarutan dan pengeringan menggunakan alat pengering menghasilkan residu sianida rata-rata tepung singkong 51,94 ppm. Hal ini menunjukan proses pembuatan tepung singkong secara tradisional (gaplek) menghasilkan produk tepung singkong yang masih mengandung sianida yang tinggi, yaitu 71,79 ppm. Dengan proses pemarutan, konsentrasi residu tepung singkong yang dihasilkan lebih rendah, yaitu 51,94 ppm (lihat tabel 1). Pemarutan pada umbi singkong mengakibatkan penghancuran pada dinding sel sehingga mempermudah terjadinya kontak dan hidrolisis linamarin (glukosida sianogenik) yang terdapat dalam sel oleh linamarase yang terdapat dalam dinding sel. Pemarutan juga membuat luas permukaan bahan menjadi lebih luas sehingga semakin banyak linamarin yang terhidrolisis oleh linamarase menghasilkan aseton sianohidrin yang terdekomposisi menjadi sianida bebas. Namun, kedua variasi perlakuan ini masih menghasilkan konsentrasi residu sianida diatas ambang batas yang dipersyaratkan SNI, yaitu 40 ppm. Untuk itu perlu kombinasi perlakuan pemarutan dan penambahan air serta bahan tambahan lain untuk mengurangi residu sianida. Pengaruh Penambahan Asam Laktat dan Sodium Metabisulfit (Na2S2O5) pada Hancuran Singkong dan Lama Inkubasi terhadap Residu Sianida, Warna, Residu Sulfit, dan Kadar Air Tepung Singkong. Tepung singkong yang dibuat hanya dengan proses pemarutan dan pengeringan masih meninggalkan residu sianida yang tinggi (51,94 ppm) serta warna 45
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
yang kurang menarik. Untuk itu perlu penambahan air, larutan asam laktat untuk mengatur pH hancuran singkong, dan Na2S2O5 untuk mencegah pencoklatan. Variasi waktu inkubasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama waktu inkubasi terhadap pengurangan residu sianida pada tepung singkong yang dihasilkan. Inkubasi dilakukan dengan pendiaman bubur singkong yang sudah ditambah dengan air; air dan larutan asam laktat 1%; serta air dan Na2S2O5 0,1% pada suhu ruang dengan ketebalan kurang lebih 0,5 cm untuk mempermudah penguapan sianida bebas selama inkubasi. Kontrol yang digunakan adalah tepung singkong yang di buat dengan inkubasi hancuran singkong yang tidak ditambah bahan apapun. Residu Sianida Pada penelitian ini, adanya penambahan air pada hancuran singkong memudahkan keluarnya linamarin dari dalam sel sehingga semakin banyak linamarin yang kontak dengan linamarase dan terhidrolisis. Larutan asam laktat 1% ditambahkan pada hancuran singkong yang sudah ditambah air untuk menurunkan pH bubur singkong hingga mencapai 6. Menurut Yeoh (1986), pH optimum untuk reaksi hidrolisis linamarin oleh linamarase menghasilkan aseton sianohidrin adalah sekitar 6. Penambahan Na2S2O5 0,1% memiliki efek penurunan pH namun tidak signifikan (pH bubur singkong turun dari 6.5 menjadi 6.43). Hasil analisis residu sianida dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsentrasi residu sianida tepung singkong yang dibuat dengan perlakuan penambahan larutan asam laktat dan Na 2S2O5 dan dengan variasi waktu inkubasi Variasi Perlakuan d
Belah – oven c Kontrol (parut – kering) b Penambahan air (1:4) Penambahan air (1:4) dan larutan asam laktat a Penambahan air (1:4) dan ab Na2S2O5
Inkubasi z 0 jam dz 71,79 cz 51,94 bz 13,09 11,52
az
11,73
abz
Konsentrasi Inkubasi y 1 jam dy 71,79 cy 44,75 by 12,78 10,85 ay 11,48
aby
Residu Sianida (ppm) Inkubasi Inkubasi xy x 2 jam 3 jam dxy dx 71,79 71,79 cxy cx 40,07 37,12 bxy bx 11,94 11,36 10,52
axy
11,14 abxy
Inkubasi x 4 jam dx 71,79 cx 35,15 bx 11,10
10,33
ax
9,45
11,00
abx
10,59
ax abx
*Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
Tepung singkong yang pembuatannya hanya dengan pemarutan (tepung kontrol) memiliki residu sianida yang lebih tinggi dibanding tepung singkong yang dalam pembuatannya dengan penambahan air dan bahan lainnya (larutan asam laktat 1% dan Na2S2O5 0,1%). Tepung dengan residu sianida terendah adalah tepung singkong dengan perlakuan penambahan air dan asam laktat 1% sampai pH 6. Hal ini terjadi karena pada pH 6 enzim linamarase bekerja secara optimum. Semakin mendekati pH 6, semakin rendah residu sianida pada tepung singkong yang dihasilkan. 46
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tepung singkong dengan perlakuan penambahan air; tepung dengan perlakuan penambahan air dan asam laktat 1% sampai pH 6; serta tepung dengan perlakuan penambahan air dan Na2S2O5 0,1% memiliki residu sianida yang berada di bawah ambang batas yang diperkenankan SNI (40 ppm). Namun masih melebihi ambang batas yang dipersyaratkan WHO/FAO (10 ppm) sehingga perlu perlakuan inkubasi untuk memberikan waktu kontak yang lebih lama bagi enzim dan substrat. Pada semua variasi perlakuan, terdapat penurunan residu sianida pada tepung singkong yang dibuat dengan inkubasi hancuran singkong selama 1 jam sampai 4 jam. Semakin lama waktu inkubasi, semakin rendah residu sianida yang terdapat pada tepung singkong yang dihasilkan, namun penurunannya tidak signifikan. Menurut Cumbana dkk. (2007), tepung singkong yang ditambahkan air 1: 1,25 kemudian dipaparkan dengan tebal sekitar 0,5 cm dan didiamkan selama 5 jam pada suhu 30 0C kemudian dikeringkan kembali kemungkinkan pelepasan sianida lebih banyak karena enzim linamarase menjadi aktif kembali dan menguraikan linamarin yang masih tersisa pada tepung. Adanya lama inkubasi memberikan waktu yang lebih lama dan kontak yang lebih banyak bagi hidrolisis linamarin menjadi aseton sianohidrin, serta dekomposisi aseton sianohidrin menjadi sianida bebas. Warna
Pembuatan tepung singkong dengan pemarutan menghasilkan luas permukaan bahan yang luas, hal ini menyebabkan penurunan kadar air akibat pengeringan bahan berlangsung lebih cepat sehingga proses pencoklatan enzimatis dan non enzimatis dapat diminimalkan. Hasilnya adalah tepung singkong yang memiliki nilai L tinggi, nilai a dan nilai b yang rendah. Nilai L menyatakan tingkat kecerahan tepung singkong yang dihasilkan. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai a (+) untuk warna merah dan nilai a (-) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai b (+) untuk warna kuning dan nilai b (-) untuk warna biru. Nilai L, a, dan b pada sampel ini kemudian dibandingkan dengan Barium sulfat sebagai standar warna putih yang memiliki nilai L= 98,99; a=1,37;b=3,57. Analisis terhadap warna tepung singkong dilakukan menggunakan kolorimeter dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2. Kontrol yang digunakan adalah tepung singkong yang dibuat tanpa perlakuan dari bahan singkong segar (hanya mengalami proses pemarutan tanpa penambahan air dan senyawa lain). Dari data, tepung singkong yang dibuat dengan penambahan air dan Sodium Metabisulfit (Na2S2O5) 0,1% memiliki nilai L,a, dan b yang lebih mendekati barium sulfat sebagai standar warna putih dibanding control pada semua waktu inkubasi. Nilai kecerahan (L) pada tepung singkong yang dibuat dengan penambahan air dan Na2S2O5 0,1% lebih tinggi dibanding nilai L pada tepung kontrol pada semua jam inkubasi. Sebaliknya, nilai kemerahan (a) dan kekuningan (b) pada tepung kontrol lebih tinggi dibanding nilai b pada tepung singkong yang dibuat dengan penambahan air dan Na2S2O5 0,1% pada semua jam inkubasi. Waktu 47
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
inkubasi yang semakin lama tidak berpengaruh secara signifikan pada nilai L,a, maupun b semua sampel. Tabel 2. Nilai warna kolorimetri tepung singkong yang dibuat dengan perlakuan penambahan Na2S2O5 dengan variasi waktu inkubasi
0 jam
L a 85,17
A c 6,63
b a 16,27
Penambahan air dan Na2S2O5 L a b x x y 87,5 4,73 14,83
1 jam
85,03a
6,5c
16,9bc
87,4x
4,83x
15,03y
2 jam
85,1a
6,37ab
16,8b
87,4x
4,8x
14,97y
3 jam
85,27a
6,23a
17,17c
87,47x
4,77x
14,9y
4 jam
85,13
Inkubasi
Kontrol
a
6,27
ab
17,1
bc
87,73
y
4,77
x
14,2
x
1) Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95% 2) Nilai L = kecerahan dengan skala 0 – 100 dari gelap ke terang; nilai a = skala kemerahan (+) atau kehijauan (-); nilai b = skala kekuningan (+) atau kebiruan (-). 3) Barium sulfat sebagai standar warna putih memiliki nilai L= 98,99; a= 1,37; b= 3,57
Warna kekuningan pada tepung disebabkan karena adanya reaksi maillard. Reaksi maillard terjadi jika gugus karbonil dari glukosa bereaksi dengan gugus nukleofilik grup amino dari protein yang menghasilkan polimer nitrogen (melanoidin) yang berwarna coklat. Kandungan protein pada singkong yang rendah menghasilkan intensitas warna coklat yang rendah atau kekuningan. Adanya penambahan sodium metabisulfit cenderung meningkatkan nilai L dan menurunkan nilai a dan b. Hal ini disebabkan warna kecoklatan pada tepung singkong berasal dari reaksi oksidasi antara enzim polifenol oksidase dengan senyawa fenol yang menghasilkan senyawa quinon yang memberikan warna coklat. Sodium metabisulfit menghambat aktivitas catecholase yang membutuhkan oksigen karena matabisulfit bersifat reduktor yang mengikat oksigen sehingga produksi quinon berkurang (Valero et al., 1992). Residu Sulfit Penambahan sodium metabisulfit pada proses pembuatan tepung singkong menghasilkan residu berupa sulfit. Lama waktu inkubasi dianggap tidak mempengaruhi residu sulfit pada tepung singkong karena tidak terjadi kehilangan sulfit selama inkubasi. Analisis residu sulfit hanya dilakukan sekali, yaitu pada tepung singkong yang dibuat dengan penambahan air dan Na2S2O5 0,1% pada hancuran singkong, dan diinkubasi selama 4 jam. Hasil analisis residu sulfit dapat dilihat pada Tabel 3.
48
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 3. Konsentrasi residu sulfit tepung singkong yang dibuat dengan perlakuan penambahan Na2S2O5 Variasi Perlakuan
Konsentrasi Residu Sulfit (ppm) a 0
Kontrol
0
Penambahan air
a
0a
Penambahan air dan larutan asam laktat
161,68 b
Penambahan air dan Na2S2O5
*Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
Hasil uji residu sulfit menunjukkan tepung kontrol (tanpa penambahan apapun); dengan penambahan air; serta dengan penambahan air dan larutan asam laktat 1% tidak mengandung residu sulfit karena pada pembuatanya tidak ditambahkan Na2S2O5. Penambahan Na2S2O5 0,1 % mengandung residu sulfit masih dibawah ambang batas yang diperkenankan dalam SNI nomor 01-0222-1995 tentang bahan tambahan makanan yaitu tidak lebih dari 300 ppm. Dari data di atas, hanya tepung singkong yang pembuatannya ditambahkan sodium metabisulfit yang meninggalkan residu sulfit. Sulfur dioksida (SO 2) atau sulfur trioksida (SO3) berikatan dengan komponen tepung sehingga tidak larut dalam air, sulfit dalam bentuk SO2 dapat berikatan dengan protein, pati, dan gula yang tidak dapat larut dalam pencucian sehingga meninggalkan residu. Kadar Air Pengeringan pada tepung mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. Bahan yang mempunyai kadar air tinggi biasanya lebih cepat busuk dibandingkan dengan bahan yang berkadar air rendah, karena adanya aktivitas mikroorganisme. Tabel 4. Kadar air tepung singkong yang dibuat dengan yang dibuat dengan perlakuan penambahan larutan asam laktat dan Na 2S2O5 dan dengan variasi waktu inkubasi Variasi Perlakuan
Belah – oven e Kontrol a Penambahan air d Penambahan air dan larutan asam laktat c Penambahan air dan Na2S2O5 b
Inkubasi 0 jam x
Inkubasi 1 jam z
13,2 ex 10,35 ax 11,23 dx 10,06 cx
13,2 ez 10,27 az 11,56 dz
10,06 bx
10,23 bz
10,37
cz
Kadar Air (%) Inkubasi Inkubasi 2 jam xy 3 jam xy
13,2 exy 10,05 axy 11,18 dxy 10,49
cxy
10,32 bxy
13,2 exy 9,96 axy 11,01dxy
10,56
cxy
10,38bxy
Inkubasi 4 jam xy
13,2 9,70 11,21
10,96
exy axy
dxy cxy
10,47 bxy
*Huruf yang sama di belakang data pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dengan uji DMRT pada tingkat kepercayaan 95%
49
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Menurut SNI tepung singkong tahun 1996, batas aman kadar air tepung singkong adalah 12%. Hasil analisis kadar air tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 4. Dari data tersebut diketahui kadar air semua sampel memenuhi standar dari SNI 1996 yaitu maksimal 12%. Nilai kadar air tidak dipengaruhi oleh penambahan air, asam laktat,sodium metabisulfit, maupun lama inkubasi. Tinggi rendahnya kadar air sampel dipengaruhi oleh kondisi pengeringan. Kesimpulan Menurut SNI, tepung singkong yang memenuhi syarat adalah tepung singkong dengan residu sianida kurang dari 40 ppm; warna putih minimum 85% (BaSO4 100%); residu sulfit maksimum 300 ppm, dan kadar air maksimum 12%. Tepung singkong terbaik adalah tepung yang dibuat dengan perlakuan penambahan sodium metabisulfit (Na2S2O5) 0,1% dengan inkubasi 0 jam (tanpa inkubasi). Tepung ini memiliki residu sianida 11,73 ppm, warna yang lebih putih (L: 87.5; a: 4.73; b: 14.83), residu sulfit 161,68 ppm, dan kadar air 10,06%. Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada PT INDOFOOD SUKSES MAKMUR, Tbk atas bantuan finansial yang diberikan untuk pelaksanaan penelitian ini dalam kerangka PROGRAM INDOFOOD RISET NUGRAHA 2011. Daftar pustaka Ahmed, M., Akter, S., and Eun, J. B. 2010. Peeling, Drying Temperatures, and SulphiteTreatment Affect Physicochemical Properties and Nutritional Quality of Sweet Potato Flour. Food Chemistry 121 : 112–118. Akintonwa,A., Tunwashe, O., Onifade, A., 1994. Fatal and Non-Fatal Acute Poisoning Attributed to Cassava-based meal. Acta Horticulturae 375, 285-288. AOAC, 1970. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemists. USA : Washington. Bradburry,J.H., and Holloway,W.D.,1988. Chemistry of Tropical Root Crops : Significance for Nutrition and Agriculture in the Pacific. Australian Centre for International Agricultural Research, Monograph No.6. Canberra, Australia. Cooke, R.D., and Coursey, D.G. (1981). “Cassava: a Major Cyanide-Containing Food Crop”. pp 93-114. In B. Venesiand, ed. Cyanide in Biology. New York : Academic Press. Cumbana, A., Mirione, E., Cliff, J. and Bradbury, J. H. 2007. Reduction Of Cyanide Content Of Cassava Flour In Mozambique By The Wetting Method. Food Chemistry 101: 894–897. Damardjati,D.S., Widowati,S., and Rachim,A., 1993. Cassava Flour Production and Consumers Acceptance at Village Level in Indonesia. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 15, 16-25. Djazuli,M., and Bradbury, J.H., 1999. Cyanogen Content of Cassava Roots and Flour in Indonesia. Food Chemistry 65, 523-525. Egan, S.V., Yeoh, H.H., and Bradbury, J.H.. 1998. Simple Picrate Paper Kit for Determination of the Cyanogenic Potential of Cassava Flour. Journal of the Science of Food Agriculture 76, 39–48.
50
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hillocks, R.J., Thresh and Belloti, A.C. (2002) Cassava: Biology, Production, and Utilization. New York - USA : CABI Publishing. Iwuoha , C. I., Banigo, E. O. I and Okwelum, F. C. 1997. Cyanide Content And Sensory Quality Of Root Tuber Cassava (Manihot Esculenta Crantz) Flour As Affected By Processing. Food Chemistry 58 (4): 285-288. Mlingi,N., Poulter, N.H., and Rosling,H., 1992. An Outbreak of Acute Intoxication from Concumption of Insufficiently Proccesed Cassava in Tanzania. Nutrition Research 12, 677-687. Rivera, M. M. S., Sua´rez, F.J.L. G., Valle M. V., Meraz, F. G., and Pe´rez, L.A. B. 2005. Partial Characterization of Banana Starches Oxidized by Different Levels Of Sodium Hypochlorite. Carbohydrate Polymers, 62 : 50–56. Valero, E., Varon, R., and Carmona, F. G., 1992. Kinetic Study of the Effect of Metabisulfite on Polyphenol Oxidase. Journal Agricultural Food Chemistry. 40, 904 – 908. Yeoh, H.H., 1989. Kinetic properties of beta-glucosidase from cassava. Phytochemistry 28, 721–724.
51
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
SUBSITUSI JAGUNG (Zea mays L.) DENGAN JALI (Coix Lacryma-jobi L.) PADA PEMBUATAN TORTILA; KARAKTERISTIK KIMIA DAN SENSORI [CORNS (Zea mays L.) SUBSTITUTION WITH JOB’S TEARS (Coix Lacrymajobi L.) IN TORTILLAS; STUDY OF CHEMICAL AND SENSORY PROPERTIES] Sri Handajani, Choirul Anam, dan Widhi Cahyani Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta Email:
[email protected] Abstract Tortilas or corn chips is corn-based snack that has low protein content and fragile texture, while job’s tears have high protein content and high calcium. The research’s purpose was to study the influence of corn substitution with job’s tears in proximate, antioxidant activity, and sensory properties of tortillas. This research used Completely Randomized Design (CRD) with one factor, that was: corns-job’s tears ratio = 100/0, 75/25, 50/50, 25/75, and 0/100. The result indicated that decreasing corns/job’s tears ratio increased protein content, panelists preference in color (up to ratio 25/75), texture, puffness, and overall, but decreased fat, carbohydrate, ash content, and antioxidant activity. However decreasing corns-job’s tears ratio didn’t influence moisture content, panelists preference in odor and taste. Ratio of substitution that gave the best proximate content, antioxidant activity, and sensory characteristics was corns/job’s tears ratio = 25/75, with protein content was 13,060%, antioxidant activity was 22,789%, and panelists gave rather like respond in overall organoleptic parameter. Key words: job’s tear, corn, coix lacryma-jobi L., zea mays L., tortilla Pendahuluan Tortila jagung atau keripik jagung adalah olahan berbahan dasar jagung yang dibuat melalui pemasakan, penggilingan, pengeringan, dan penggorengan. Tortila jagung mempunyai karakter berwarna kuning, renyah, tipis dan mudah hancur (Priwit, 2008). Selain itu, kandungan protein tortila jagung pun rendah, hanya sekitar 7% (USDA National Nutrient Database for Standard Reference, 2009). Oleh karena itu, subsitusi diperlukan untuk memperbaiki karakter sensori (supaya tektur lebih keras dan tidak mudah hancur) serta memperbaiki karakter kimia (nutrisi) tortila.
49
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Jali (Coix Lacryma-jobi L.) adalah edible grain dari tanaman yang satu famili dengan jagung yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia. Jali merupakan obat herbal tradisional di China yang bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung anodin, anti-inflammasi, antipiretik, antiseptik, antispasmodik, hipoglikemik, hipotensif, sedatif dan vermifuge (Duke, Ayensu, 1985 dalam Plants For A Future, 2000, Bown, 1995 dalam Plants For A Future, 2000). Sterol utama yang terdapat pada jali yaitu sitostanol, dapat menurunkan kadar kolesterol serum dengan menghambat penyerapan kolesterol (Tanaka, Takatsuto, 2001). Jali baik bagi usus dan dapat sebagai prebiotik karena mempunyai efek modifikasi terhadap beberapa bakteri usus (Chiang et al., 2000 dalam Lakkham et al., 2009). Jali diduga dapat memperbaiki karakteristik kimia dan sensori tortila jagung. Nutrisi tortila dapat diperbaiki karena kandungan protein, kalsium dan zat besi jali lebih tinggi dari jagung (Leung, 1972, Duke, 1983 dalam Center New Crops and Plants Products, 1996, USDA National Nutrient Database for Standard Reference, 2009). Sensori tortila dapat diperbaiki karena jali berwarna putih dan memiliki kandungan kalsium yang tinggi sebesar 25mg/100g (Duke, 1983 dalam Center New Crops and Plants Products, 1996) sehingga dapat mencerahkan warna dan memberikan tekstur yang lebih keras pada tortila. Kalsium dapat mengeraskan tekstur karena ion kalsium akan membentuk crosslinking dengan pektin sehingga membentuk kekakuan pada dinding sel (Sham et al., 2001). Jali dan jagung sama-sama memiliki aktivitas antioksidan. Jali mempunyai aktivitas antioksidan karena kandungan senyawa-senyawa fenolat (Kuo et al., 2001 dalam Khongjeamsiri et al., 2009), sedangkan jagung diperoleh dari pigmen karotenoid, senyawa fenolat, dan vitamin E (Anonim, 2007, Suarni, Widowati, 2007, Hodzic et al., 2009). Dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi jagung dan jali terhadap kandungan proksimat (air, abu, lemak, protein, karbohidrat), aktivitas antioksidan, dan karakteristik sensori (warna, aroma, rasa, tekstur, tingkat mekar, overall) tortila yang dihasilkan. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain beras jagung yang berwarna kuning oranye yang diperoleh dari Pasar Nongko, Surakarta; beras jali yang diperoleh dari toko obat China Tambak Segaran; air dan minyak goreng. Alat-alat yang digunakan adalah oven elektrik Kirin KB0-190RA, alat-alat uji proksimat, uji aktivitas antioksidan, dan alat-alat gelas.
50
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Beras jagung
Biji jali pecah kulit
Sortasi
Sortasi
Perendaman (25ºC,1 jam)
Perendaman (25ºC,1 jam)
Penirisan
Penirisan
Penanakan dengan rice cooker
Penanakan dengan rice cooker
(jagung: air = 1:2,5)
(jali: air = 1:2,5)
Nasi jagung
Nasi jali Formulasi (Jagung/Jali) Pencampuran dan pelumatan Penimbangan (±100 gr) Pemipihan (± 18 x 26 cm) Pengovenan I (100°C, 10’) Pengirisan (2 x 2 cm) Pengovenan II (250°C, 40’) Tortila mentah Penggorengan (170°C, 6-8”) Tortila siap santap
Gambar 1. Proses Pembuatan Tortila Pembuatan Tortila Proses pembuatan tortila dalam penelitian ini (Gambar 1) mengacu pada Anonim (2004); Anonim (2005); dan Priwit (2008) dengan modifikasi. Formulasi
51
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
jagung/jali dilakukan dengan 5 variasi, yaitu rasio jagung/jali = 100/0, 75/25, 50/50, 25/75, dan 0/100. Analisis Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat, aktivitas antioksidan, dan sensori. Kadar air dilakukan dengan metode termogravimetri (Sudarmadji et al., 1997), kadar protein dengan metode Kjeldahl (Sudarmadji et al., 1997), kadar lemak dengan metode ekstraksi soxhlet (Sudarmadji et al., 1997), karbohidrat dengan by different, dan kadar abu dengan pengabuan kering (Sudarmadji et al., 1997). Aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH (Chaisiricharoenkul, Tongta, 2005), dan analisis sensori dilakukan berdasarkan uji kesukaan (Kartiko et al., 1988). Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian terhadap kandungan proksimat, aktivitas antioksidan, dan karakteristik sensori dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3. Tabel 1. Kandungan Proksimat Tortila Jagung/Jali Air Protein Lemak Karbohidrat Abu
100/0 a 3,049 a 8,264 b 3,554 e 84,669 e 0,463
75/25 a 3,369 b 10,463 a 1,916 d 83,938 d 0,313
Kadar (%) 50/50 25/75 a a 3,486 3,398 c d 11,754 13,060 a a 1,861 1,815 c b 82,639 81,508 c b 0,260 0,218
0/100 a 3,276 e 14,403 a 1,751 a 80,395 a 0,174
Ket.: Angka dengan notasi sama dalam satu baris menunjukkan tidak beda nyata pada α=5%.
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa substitusi jali terhadap jagung mempengaruhi kandungan proksimat tortila yang dihasilkan, terutama terhadap kadar abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Namun, subsitusi jagung dengan jali tidak mempengaruhi kadar air tortila. Kadar air tortila dari semua perlakuan berkisar antara 3,05% hingga 3,49% dan semuanya tidak beda nyata. Karena belum terdapat SNI tortila, keripik jagung, ataupun emping jagung, maka sebagai pembanding digunakan kadar air maksimum yang dipersyaratkan pada makanan ringan ekstrudat yaitu menurut SNI 01-2886-2000 adalah 4% (Oktavia, 2007). Dan kelima sampel ini memenuhi persyaratan tersebut. Kadar protein tortila meningkat seiring meningkatnya konsentrasi jali yang disubsitusikan. Tortila berbahan 100% jagung memiliki kadar protein terendah, yaitu 8,264%, dan kadar tersebut semakin meningkat seiring penambahan konsentrasi jali, sedangkan kadar protein tertinggi terdapat pada sampel berbahan
52
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
100% jali, yaitu 14,403%. Hal ini disebabkan karena kadar protein jagung kuning berkisar 9,2%–9,4% (USDA National Nutrient Database for Standard Reference, 2009; Duke, 1983 dalam Center New Crops and Plants Products, 1996), sedangkan kadar protein jali sebesar 12% dan 15% (Leung, 1972; Duke, 1983 dalam Center New Crops and Plants Products, 1996). Kadar lemak sampel 100% jagung menunjukkan beda nyata dengan empat sampel lainnya. Pada sampel berbahan 100% jagung, kadar lemak yang didapat mencapai 3,554%, sedangkan pada empat sampel lainnya kadar lemak berkisar antara 1,916% hingga 1,751%. Hal ini diduga disebabkan karena lembaga, perikarp, dan tip cap jagung yang banyak mengandung lemak (Suarni, Widowati, 2007) terikut atau menempel pada bahan baku (beras jagung). Substitusi jagung dengan jali menurunkan kadar karbohidrat sebagai akibat kenaikan protein. Kadar karbohidrat tertinggi terdapat pada tortila berbahan 100% jagung, yaitu 84,669%, sedangkan yang terendah pada tortila berbahan 100% jali yaitu 80,395%. Kandungan karbohidrat jagung berkisar antara 73,7-74,4% (Duke, 1983 dalam Center New Crops and Plants Products,1996, USDA National Nutrient Database for Standard Reference, 2009), sedangkan jali sekitar 61-65,3% (Leung, 1972, Duke, 1983 dalam Center New Crops and Plants Products, 1996). Karbohidrat terutama pati bermanfaat untuk memberikan kerenyahan dan kekerasan yang diinginkan pada tortila. Pati beramilosa tinggi digunakan untuk meningkatkan kerenyahan dan kekerasan, sedangkan pati dengan 100% amilopektin memberikan pemekaran yang tinggi (Huang, 1995). Tabel 2. Aktivitas Antioksidan Tortila Jagung/Jali % Akt. Antioksidan
100/0
75/25
50/50
25/75
0/100
3,049a
3,369 a
3,486 a
3,398 a
3,276 a
Ket.: Angka dengan notasi sama dalam satu baris menunjukkan tidak beda nyata pada α=5%.
Sedangkan kadar abu menurun seiring penambahan substitusi jagung dengan jali. Kadar abu jagung menurut USDA National Nutrient Database for Standard Reference (2009) sebesar 1,2% sedangkan kadar abu jali menurut Leung (1972) sebesar 1,4%. Namun, pada penelitian ini tortila dominan jagung memiliki kadar abu lebih tinggi dari tortila dominan jali. Hal ini diduga disebabkan karena lembaga, perikarp, dan tip cap jagung yang mempunyai kadar abu tinggi (Suarni, Widowati, 2007) terikut atau menempel pada bahan baku (beras jagung). Secara umum, kadar abu tortila berkisar 0,2-0,5%. Sebagai pembanding, pada keripik umbi gadung (SNI 01-4302-1996) kadar abu (tanpa garam) dipersyaratkan sebesar 0,1-1% (Widaningrum, Setyawan, 2009). Dengan demikian, kadar abu pada semua sampel memenuhi persyaratan ini.
53
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Berdasarkan Tabel 2, diketahui tortila berbahan 100% jagung memiliki kandungan antioksidan tertinggi, yaitu sebesar 26,190%. Sedangkan aktivitas antioksidan sampel tortila jagung/jali = 75/25, 50/50, dan 25/75 tidak berbeda nyata satu dengan yang lain. Dan tortila berbahan 100% memiliki kandungan antioksidan terendah, yaitu sebesar 17,687%. Dengan demikian, menurut pengujian aktivitas antioksidan dengan metode DPPH didapatkan bahwa substitusi jali pada pembuatan tortila dapat menurunkan aktivitas penangkalan radikal bebas. Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas antioksidan dari senyawa-senyawa antioksidan spesifik pada jagung lebih tinggi dari jali. Aktivitas antioksidan jagung diperoleh dari pigmen karotenoid, senyawa fenolat, dan vitamin E (Anonim, 2007; Hodzic et al., 2009; Suarni, Widowati, 2007). Jagung kuning mengandung pigmen karotenoid, terutama dari jenis βkriptoxantin, lutein, dan zeaxantin. β-kriptoxantin merupakan jenis karotenoid provitamin A. Sebanyak 24 μg β-kriptoxantin dibutuhkan untuk membentuk 1 μg retinol. Sedangkan lutein dan zeaxantin tidak memiliki aktivitas vitamin A (Anonim, 2007). Menurut hasil penelitian Hodzic et al. (2009), total fenol jagung lebih tinggi dari beras dan gandum. Sedangkan pada jali, senyawa antioksidan diperoleh dari 6 senyawa fenolat, yaitu: koniferil alkohol, asam siringat, asam ferulat, siringaresinol, 4-ketopinoresinol, dan mayuenolida (Kuo et al., 2001 dalam Khongjeamsiri et al., 2009). Tabel 3. Hasil Analisis Sensori Skor Jagung/Jali Warna Aroma Rasa Tekstur Pemekaran Overall
100/0 a
3,905 4,905 a 4,619 a 4,143 a 3,857 a 4,095a
75/25
50/50
b
5,714 5,143 a 5,191 a 4,857 ab 5,000 b 5,333 b
b
5,667 5,286 a 4,714 a 4,714 ab 4,619 b 5,095 b
25/75 b
5,286 5,238 a 5,095 a 5,191 b 4,810 b 5,333 b
0/100 4,095 a 4,762 a 4,762 a 5,048 b 5,238 b 4,810 b
Ket.: 1. Sangat tidak suka; 2. Tidak Suka; 3. Agak tidak Suka; 4. Suka; 5. Sedikit Lebih Suka; 6. Lebih Suka; 7. Sangat Suka Angka dengan notasi sama dalam satu baris menunjukkan tidak beda nyata pada α=5%.
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa substitusi jali terhadap jagung mempengaruhi kesukaan panelis terhadap warna, tekstur, pemekaran, dan overall, tetapi tidak mempengaruhi aroma dan rasa. Substitusi terhadap jagung 25% hingga 75% secara umum menghasilkan warna yang lebih disukai panelis dibandingkan 100% tortila jagung dan 100% tortila jali. Kesukaan tertinggi terdapat pada sampel yang disubstitusi persentase jagung/jali = 75/25 hingga 25/75 dengan perbedaan yang tidak nyata antara
54
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
ketiganya. Dan tingkat kesukaan tortila jali sedikit lebih tinggi dari tortila jagung, tetapi perbedaan keduanya tidak signifikan. Artinya tortila berwarna kuning cerah lebih disukai dari tortila yang berwarna kuning oranye maupun putih. Substitusi jagung dengan jali pada pembuatan tortila tidak mempengaruhi kesukaan panelis terhadap aroma dan rasa tortila yang dihasilkan. Kelima sampel yang dihasilkan mempunyai tingkat kesukaan yang tidak beda nyata satu dengan yang lain, yaitu berkisar antara 4,7 hingga 5,3, dan 4,6 hingga 5,2. Skor ini menunjukkan sebagian besar panelis menyatakan sedikit lebih suka, sebagian kecil mengatakan suka, dan sebagian kecil pula yang mengatakan lebih suka. Dengan demikian, berdasarkan hasil uji kesukaan, substitusi jagung dengan jali tidak menghasilkan aroma dan rasa yang menyimpang pada tortila pada aroma dan rasa. Substitusi jagung dengan jali pada pembuatan tortila mempengaruhi kesukaan panelis terhadap parameter tekstur dan pemekaran. Substitusi jagung dengan jali memberikan peningkatan nilai kesukaan terhadap tekstur dan pemekaran tortila. Tingkat kesukaan terendah terdapat pada sampel yang terbuat dari 100% jagung yang mempunyai tekstur paling rapuh dan mudah patah serta paling kurang mekar. Karakteristik tekstur dan pemekaran tortila dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: kadar air, kandungan kalsium, kadar protein, kadar lemak, dan kandungan amilosa-amilopektin. Kadar air berhubungan langsung dengan tekstur keripik (Kita, Figiel, 2008). Namun, kadar air tortila tidak beda nyata, sehingga pengaruh kadar air dapat ditiadakan. Kadar kalsium dan protein jali lebih tinggi dari jagung, sedangkan kadar lemak jali lebih rendah dari jagung. Hal ini diduga menyebabkan kenaikan kesukaan panelis terhadap tekstur tortila yang disubstitusi jali. Kadar kalsium jali sebesar 25 dan 46 mg/100gr, sedangkan jagung lebih rendah, menurut yaitu 7-10 mg/100gr (Leung, 1972, USDA National Nutrient Database for Standard Reference, 2009; Duke, 1983 dalam Center New Crops and Plants Products, 1996). Menurut Chaiyakul et al.. (2008), peningkatan protein dari 20% ke 30% pada snack ekstrusi kaya protein berbahan dasar beras ketan berpengaruh signifikan (α = 5%) terhadap kenaikan kekerasan, kerenyahan, dan intensitas suara "kriuk". Dan menurut Kita et al. (2007) dalam Kita dan Figiel (2008) keripik yang mengandung lemak lebih rendah memiliki tekstur yang lebih keras. Sedangkan pengaruh pati beramilosa tinggi digunakan meningkatkan kerenyahan dan kekerasan snack dan pati amilopektin menaikkan pemekaran (Huang, 1995). Substitusi jagung dengan jali pada pembuatan tortila mempengaruhi kesukaan panelis terhadap parameter tortila secara keseluruhan (overall). Sampel tortila dari 100% jagung memiliki tingkat kesukaan yang paling rendah dari semua sampel tortila dengan perbedaan yang nyata. Sedangkan kesukaan tertinggi
55
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
terdapat pada sampel tortila jagung/jali = 75/25, walaupun tingkat kesukaannya tidak berbeda nyata sampel tortila jagung/jali = 50/50, 25/75, dan 0/100. Dengan demikian, subsitusi jagung dengan jali pada pembuatan tortila menaikkan tingkat kesukaan panelis. Dengan demikian, berdasarkan perbandingan data pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3, maka dapat diketahui bahwa seiring bertambahnya persentase substitusi, kadar protein semakin bertambah dengan perbedaan nyata pada setiap perlakuan substitusi, aktivitas antioksidan semakin menurun dengan perbedaan yang tidak nyata pada substitusi 75/25, 50/50, dan 25,75, dan kesukaan overall semakin meningkat dengan perbedaan yang tidak nyata pada substitusi 75/25, 50/50, 25,75 dan 0/100. Dengan kecenderungan ini, maka didapatkan substitusi jagung dengan jali yang memberikan kombinasi kandungan proksimat, aktivitas antioksidan, dan karakteristik sensori terbaik adalah substitusi jagung/jali = 25/75. Kesimpulan Peningkatan konsentrasi substitusi jagung dengan jali meningkatkan kadar protein, kesukaan terhadap warna, tekstur, pemekaran, dan overall tortila tetapi menurunkan kadar lemak, kadar karbohidrat (by different), kadar abu, dan aktivitas antioksidan tortila. Peningkatan konsentrasi substitusi jagung dengan jali dalam pembuatan tortila tidak mempengaruhi kadar air, tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa. Persentase substitusi yang memberikan kandungan proksimat, aktivitas antioksidan, dan karakteristik sensori terbaik adalah substitusi jagung/jali = 25/75. Daftar Pustaka Anonim. 2004. Jagung (Zea mays L.). http://bkp.deptan.go.id/pkk/downlot.php?. [29 Mei 2010] Anonim. 2005. Teknologi Tepat Guna: Keripik Jagung. http://www.iptek.net.id/ind. [29 Mei 2010] Anonim. 2007. Carotenoids. http://www.diet.com. [20 September 2010] Bown D. 1995. Encyclopaedia of Herbs and their Uses. Dalam Plants For A Future. 2000. Job's Tears (Coix lacryma-jobi L.). http://www.pfaf.org. [17 November 2009] Chaisiricharoenkul J., Tongta S. 2005. Physicochemical and Antioxidant Properties of Job’s Tear Flour. School of Food Technology. Institute of Agricultural Technology. Suranaree University of Technology. http://iat.sut.ac.th. [25 Januari 2010] Chaiyakul S., Jangchud K., Jangchud A., Wuttijumnong A., Winger R. 2008. Effect of protein content and extrusion process on sensory and physical properties of extruded high-protein, glutinous rice-based snack. Kasetsart Journal (Nat. Sci.) 42 : 182-190. http://www.thaiscience.info. [18 September 2010]
56
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Chiang W., Cheng C.Y., Chiang M.T., Chung K.T. 2000. Effects of dehulled adlay on the culture count of some microbiota and their metabolism in the gastrointestinal tract of rats. Dalam Lakkham K, Wangsomnuk W, Aromdee C. 2009. Identification and quality of four varieties of adlay. Songklanakarin Journal of Science Technology 31/4 : 425-431 Jul-Aug. http://www.sjst.psu.ac.th. [10 Desember 2009] Deniati S.H. 2006. Aktivitas Antioksidan dan Kandungan Fenol Total Beberapa Ekstrak Bahan Alam Pangan. Tesis. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. http://www.lontar.ui.ac.id. [13 September 2010] Duke J.A. 1983. Handbook of Energy Crops. Dalam Center New Crops and Plants Products. 1996. Coix lacryma-jobi L. Purdue University. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/duke_energy. [30 November 2009] Duke J.A., Ayensu E.S. 1985. Medicinal Plants of China. Dalam Plants For A Future. 2000. Job's Tears (Coix lacryma-jobi L.). http://www.pfaf.org. [17 November 2009] Hodzic Z., Pasalic H., Memisevic A., Srabovic M., Saletovic M., Poljakovic M. 2009. The influence of total phenols content on antioxidant capacity in the whole grain extracts. European Journal of Scientific Research 28 (3) : 471477 http://www.eurojournals.com/ejsr.htm. [20 September 2010] Huang D.P. 1995. New Perspectives on Starch and Starch Derivatives for Snack Applications. Cereal Foods World August 1995. http://eu.foodinnovation.com. [11 September 2010] Kartiko B., Pudji H., Wahyu S. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta Kita A., Lisińska G., Gołubowska G. 2007. The effects of oils and frying temperatures on the texture and fat content of potato crisps. Dalam Kita A, Figiel A. 2008. Effect of post-drying method on selected properties of potato chips. Acta Agrophysica 1(11) : 91-100. http://www.actaagrophysica.org. [11 September 2010] Kuo C.C., Shih M.C., Kuo Y.H., Chiang W. 2001. Antagonism of free-radicalinduced damage of adlay seed and its antiprolifrative effect in human histolytic lymphoma U237 monocytic cells. Dalam Khongjeamsiri W, Wangcharoen W, Pimpilai S, Daengprok W. 2009. Development of job’s tears ice cream recipe. Maejo International Journal of Science and Technology 3(03) : 388-399. http://www.mijst.mju.ac.th. [10 Desember 2010] Leung WW. 1972. Food Composition Table for Use in East Asia; Part I: Proximate Composition, Mineral and Vitamin Contents of East Asian Foods. http://www.fao.org. [1 Juli 2010] Oktavia D.A. 2007. Kajian SNI 01-2886-2000 Makanan Ringan Ekstrudat. J Stand 9(1): 1-9 Priwit. 2008. Emping Jagung: Teknologi dan Kendalanya. http://priwit.wordpress.com. [ 29 Mei 2010] Sham PWY., Scaman C.H., Durance T.D. Texture of Vacuum Microwave Dehydrated Apple Chips as Affected by Calcium Pretreatment, Vacuum
57
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Level, and Apple Variety. Journal Food Science 66(9): 1341-1347. http://lib3.dss.go.th. [28 Oktober 2010] Suarni, Widowati S. 2007 Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id. [ 5 Maret 2010] Sudarmadji S., Haryono, Suhardi. 2003. Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty. Yogyakarta. . 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan. Penerbit Liberty. Yogyakarta Tanaka T., Takatsuto S. 2001. Sterol in seeds of job’s tears (Coix lacryma-jobi var. ma-yuen) (Diedit oleh M. Fukatsu, Nihon Univ.). J Oleo Sci 50(12) : 957-960. http://www.jstage.jst.go.jp. [16 November 2009] USDA National Nutrient Database for Standard Reference. 2009. Nutrient Data Laboratory. http://www.nal.usda.gov. [1 Juli 2010] Widaningrum, Setyawan N. 2009. Standardisasi Keripik Sayuran (Wortel) sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Produk Olahan Hortikultura. Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. http://www.bsn.go.id. [21 September 2010]
58
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
SIFAT FISIK DAN AKSEPTABILITAS BANANA LEATHER DENGAN BAHAN BAKU PISANG RAJA BANDUNG Chatarina Wariyah1 1
Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta E-mail :
[email protected] Abstrak
Banana leather merupakan produk yang dibuat dari slurry pisang yang dibentuk lembaran, dikeringkan kemudian digulung. Umumnya banana leather dibuat dari pisang Raja pilihan yang harganya sangat mahal, padahal terdapat varietas pisang dengan harga murah yaitu pisang Raja Bandung yang memiliki citarasa pisang yang tajam dan manis. Permasalahannya adalah sifat dan akseptabilitas banana leather sangat ditentukan oleh cara pengeringan dan ketebalan slurry saat pencetakan. Pengeringan dengan sinar matahari lebih efisien dibandingkan pengeringan menggunakan almari pengering maupun oven gas, namun tekstur banana leather liat dan kurang higienis. Selain itu ketebalan adonan/slurry pada pencetakan akan menentukan warna maupun tekstur banana leather. Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan metode pengolahan banana leather terbaik dengan akseptabilitas tinggi. Target khususnya adalah diketahuinya cara pengeringan dan ketebalan slurry yang tepat agar dihasilkan banana leather dengan warna, tekstur dan sifat inderawi yang disukai. Pada penelitian ini dilakukan pengolahan banana leather dengan variasi cara pengeringan yaitu dengan sinar matahari, oven gas dan almari pengering pada suhu 70oC dan ketebalan slurry. Analisis yang dilakukan terhadap banana leather adalah tekstur dengan Test Zwick, warna dengan Lavibond Tintometer dan uji kesukaan dengan metode Hedonic Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan oven gas dengan pencetakan tebal, menghasilkan banana leather dari pisang Raja Bandung dengan warna kecoklatan dan tekstur renyah (tidak rapuh) serta tingkat kesukaan tertinggi. Nilai tekstur banana leather adalah gaya yang dapat ditahan 22,71 N dan deformasi 62,50%; warna dengan nilai red, yellow dan bright masing-masing antara 2,53; 3,78; dan 0,20. Kata kunci : banana leather, warna, tekstur, tingkat kesukaan.
Pendahuluan Fruit leather merupakan makanan yang dibuat dari buah-buahan yang diproses melalui tahapan: pengupasan, pembuatan bubur dan adonan, pengeringan dalam bentuk lembaran tipis dan penggulungan. Hasilnya berupa makanan kering yang memiliki citarasa khas buah. Fruit leather dari pisang umumnya disebut banana leather. Menurut Khotimah (2000), banana leather dapat dibuat dari pisang yang harganya relatif murah seperti pisang Raja Bandung dan dapat menghasilkan banana leather yang disukai. Pisang Raja Bandung merupakan
59
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
varietas pisang dengan ciri-ciri berat satu buah pisang sekitar 90 gram dengan panjang 12 – 18 cm, dan diameter 3,2 cm. Bentuk buah melengkung dengan bagian pangkal buah bulat, empulur buahnya nyata dengan tekstur kasar, rasanya manis (Rismunandar, 1983). Pisang Raja Bandung mengandung komponen karbohidrat sekitar 31,80% yang sebagian besar adalah gula, sehingga rasanya manis. Permasalahan pada pengolahan banana leather adalah pengeringan secara tradisional yang dilakukan saat ini menggunakan sinar matahari dan menghasilkan banana leather dengan tekstur agak liat, karena kadar air tidak dapat mencapai sekitar 7% dan pengeringan berlangsung lama. Selain itu cara tersebut menghasilkan produk yang kurang higienis, karena terlalu lama dalam ruang terbuka dengan risiko komtaminasi tinggi (Horrison dan Andreas, 2007). Menurut Maskam et al. (2000), pengeringan pisang menggunakan udara panas, efisiensi energi tinggi dan waktu pengeringan lebih cepat, namun kerusakan flavor, warna dan zat gizi lebih besar. Pengeringan menggunakan microwave juga berlangsung cepat dengan efisiensinya tinggi, namun harga peralatan relatif mahal. Pada banana slice, pengeringan menggunakan oven pengering pada suhu 53 oC menghasilkan kerusakan fisik yang paling rendah (Romano et al., 2008). Sedangkan pengeringan menggunakan oven gas telah dilakukan pada produk seperti banana chip atau produk sejenis jamur, akan tetapi belum dilakukan untuk pengolahan banana leather (Kendall dan Sofos, 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi cara pengeringan yang lebih praktis dan higienis, sehingga dihasilkan banana leather yang baik. Selain permasalahan tersebut, ketebalan slurry pada pencetakan juga berpengaruh terhadap kecepatan pengeringan. Ekanayake dan Bandara, (2002) menyatakan umumnya banana leather dibuat dengan ketebalan slurry antara 5-10 mm. Semakin tebal slurry, banana leather yang dihasilkan semakin liat, sebaliknya apabila slurry terlalu tipis tekstur banana leather rapuh. Hal ini akan berpengaruh terhadap akseptabilitas banana leather. Untuk itu perlu dilakukan optimasi kondisi proses pembuatan banana leather agar dihasilkan produk dengan akseptabilitas tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan cara pengeringan dan ketebalan slurry yang tepat, agar dihasilkan banana leather dari pisang Raja Bandung dengan sifat fisik (tekstur dan warna) yang baik dan akseptabilitas tinggi. Metode Penelitian Bahan dan Peralatan yang Digunakan Bahan dasar yang digunakan untuk penelitian ini adalah pisang Raja Bandung matang optimal, ditandai dengan warna kuning merata. Pisang tersebut
60
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
diperoleh dari pasar tradisional di wilayah Yogyakarta. Bahan tambahan yang digunakan adalah tapioka merk “Rose Brand”, tepung beras merk “Rose Brand”, gula halus merk “Sari Tani”, santan instan merk “Kara”, Na-bisulfit, dan asam sitrat. Bahan kimia untuk analisis gula total dan keasaman tertitrasi dengan kualifikasi pro analysis diperoleh dari Merck. Peralatan utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah oven gas, cabinet dryer (almari pengering), seperangkat peralatan untuk membuat adonan dan untuk pengujian inderawi. Pengujian tekstur banana leather menggunakan Texture Analyzer Test Zwick, warna dengan Color Reader CR-10 (Konica Minolta) Machine. Cara Penelitian Untuk mendapatkan kondisi terbaik pada pengolahan banana leather, maka penelitian ini dibagi dalam 2 tahap yang meliputi : 1) menentukan cara pengeringan yang paling tepat agar diperoleh banana leather dari pisang Raja Bandung yang disukai, 2) mengevaluasi ketebalan slurry pada saat pencetakan pengaruhnya terhadap sifat fisik (warna, tekstur) dan akseptabilitas banana leather dari pisang Raja Bandung, selanjutnya menentukan cara pengeringan dan ketebalan slurry yang tepat yang dapat menghasilkan banana leather dengan akseptabilitas tinggi berdasarkan uji organoleptik. 1. Penentuan cara pengeringan terbaik Untuk menentukan cara pengeringan yang tepat, maka pada penelitian ini digunakan tiga (3) cara yaitu pengeringan dengan sinar matahari (MH), cabinet dryer (almari pengering) (CD) dan oven gas (OG). Adapun tahap-tahap proses pembuatan banana leather meliputi : pengupasan pisang, pengirisan, sulfitasi, pulping dan penambahan gula, pemanasan, pencetakan dalam nampan dan pengeringan (Ekanayake dan Bandara, 2002). Pisang Raja Bandung yang telah dikupas dan dipotong-potong langsung direndam dalam larutan sodium bisulfit 1000 ppm dan asam sitrat 0,75%. Selanjutnya dihancurkan menggunakan blender (pulping) selama 5 menit dan ditambah gula 15%, kemudian dipanaskan sambil diaduk sampai suhu slurry mencapai 75 oC selama 3 menit. Adonan dimasukkan dalam nampan yang telah dilapisi dengan gliserol dengan ketebalan 7,5 mm (+ 100 g/loyang ukuran 25 x 38 cm). Pengeringan dengan 3 perlakuan yaitu sinar matahari (24 - 28 jam, pemanasan efektif), almari pengering dan oven gas pada suhu 60-70oC sampai agak liat dan siap digulung. Setelah digulung dikeringkan lagi sampai kadar air sekitar 7 %. Banana leather yang diperoleh dianalisis kadar air dengan metode gravimetri, gula total dengan metode spektrofotometri dan keasaman tertitrasi (AOAC, 1990). Untuk menentukan cara pengeringan terbaik dilakukan uji akseptabilitas berdasarkan kesukaan terhadap bau, warna, tekstur,
61
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
rasa dan kesukaan keseluruhan dengan metode Hedonic Test (Krammer and Twigg, 1970). 2. Penentuan ketebalan slurry Berdasarkan Tahap 1 diperoleh cara pengeringan yang cocok untuk pembuatan banana leather. Selanjutnya cara tersebut digunakan untuk membuat banana leather pada Tahap 2 yaitu evaluasi ketebalan slurry terhadap warna, tekstur, dan akseptabilitasnya. Ketebalan slurry sangat sulit ditentukan dalam loyang pencetak, apalagi kondisi adonan adalah larutan yang encer. Oleh karena itu, berdasarkan orientasi yang telah dilakukan, maka ketebalan slurry ditentukan berdasarkan jumlah adonan (gram) yang dicetak dalam loyang ukuran 25 x 38 cm. Adapun variasi jumlah adonan yang dituang dalam loyang adalah : 90; 120 dan 150 g. Setelah dituang dalam loyang, adonan dikeringkan menggunakan cara pengeringan terbaik (Tahap 1) yaitu pengeringan menggunakan oven gas. Banana leather yang diperoleh diuji teksturnya menggunakan Texture Analyzer Test Zwick, warna dengan Color Reader dan uji akseptabilitas berdasarkan kesukaan dengan metode Hedonic Test (Krammer and Twigg, 1970). Data hasil penelitian Tahap 1 dan 2 ditabulasi dan dianalisis secara statistik. Hasil analisis data digunakan untuk menentukan cara pengeringan dan ketebalan slurry yang tepat untuk menghasilkan banana leather dengan akseptabilitas tinggi. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan faktor cara pengeringan (Tahap 1) dan ketebalan slurry (Tahap 2) yang dinyatakan sebagai berat slurry/loyang ukuran 25 x 38 cm. Semua data dianalisis dengan analisis varian (anova) pada tingkat signifikansi 5% dan apabila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiples Range Test) (Gacula and Singh, 1984). Analisis data dilakukan dengan SPSS 11.00. Hasil dan Pembahasan 1. Cara Pengeringan Terbaik Tabel 1. Hasil analisis gula total dan keasaman banana leather Metode pengeringan Sinar matahari Almari pengering Oven gas
Gula total (% db) a 40,73 a 40,19 a 40,40
Total asam (% db) b 0,75 a 0,48 a 0,47
* angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada α = 5 %
Salah satu karakteristik yang mencerminkan citarasa buah adalah kandungan gula dan asam yang dinyatakan sebagai rasio gula/asam. Hasil analisis
62
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
gula total dan keasaman tertitrasi banana leather dari pisang Raja Bandung disajikan pada Tabel 1. Hasil pengujian gula total banana leather pada 3 variasi cara pengeringan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini disebabkan karena bahan yang digunakan serta jumlah sukrosa yang ditambahkan sebagai formula sama, sedangkan keasaman tertitrasi pada banana leather yang dikeringkan dengan sinar matahari lebih asam dibandingkan dua cara pengeringan yang lain. Pengeringan dengan sinar matahari memerlukan waktu lebih lama, sehingga memungkinkan terjadinya fermentasi gula menghasilkan asam (Buckle et al. 1985). Oleh karena itu keasaman tertitrasi lebih tinggi. Untuk menentukan banana leather yang paling disukai diantara 3 cara pengeringan dilakukan pengujian inderawi berdasarkan kesukaan terhadap bau, warna, tekstur, rasa dan citarasa keseluruhan. Hasil pengujian inderawi disaj ikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil uji kesukaan banana leather pisang Raja Bandung pada 3 variasi cara pengeringan Cara pengeringan
Warna Sinar matahari 2,57a Almari pengering 3,00b c Oven gas 3,40
Aroma 2,40a 2,98b c 3,97
Atribut mutu Tekstur Rasa 1,73a 1,89a b 2,68 3,06b c c 3,86 4,09
Keseluruhan 1,98a 2,80b c 3,95
* angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada α = 5 % *angka yang makin besar pada setiap parameter menunjukkan makin disukai.
Warna Dari hasil uji kesukaan terhadap warna yang ditampilkan pada Tabel 2 diketahui bahwa cara pengeringan menggunakan oven gas, menghasilkan banana leather paling disukai. Warna banana leather kuning kecoklatan, dan hasil tersebut senada dengan hasil pengujian secara obyektif (data tidak ditampilkan). Menurut MoWilliam (1997), keseragaman warna kuning cerah pada permukaan produk panggang pada umumnya sangat diharapkan dan disukai. Aroma Menurut Mui et. al (2002) beberapa komponen volatil yang teridentifikasi menentukan aroma dari pisang pada saat pengeringan adalah ester, asetat, etilasetat, isoamilasetat, butilasetat, dan isobutil asetat ini yang menyebabkan off flavor. Berdasarkan uji kesukaan pada aroma menunjukkan adanya beda nyata dari ketiga perlakuan pengeringan yang berbeda. Banana leather dengan pengeringan oven gas menunjukkan nilai yang tertinggi. Hal ini berkaitan dengan pencoklatan non enzimatis Maillard yang intensitasnya lebih besar pada pengeringan menggunakan oven gas. Oleh karena itu aroma yang timbul lebih tajam. 63
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tekstur Menurut Matz (1962), tekstur produk tergantung pada kekompakan partikel-partikel penyusunnya, bentuk, kekukuhan dan keseragaman partikelpartikel penyusunnya. Mutu tekstur ditentukan oleh kemudahan terpecahnya partikel penyusun, bila produk tersebut dikunyah, serta sifat- sifat partikel tersebut dihasilkan. Berdasarkan uji kesukaan banana leather menunjukkan ada beda nyata untuk ketiga perlakuan pengeringan. Produk yang dikeringkan dengan oven gas tingkat kesukaannya tertinggi artinya akseptabilitas terhadap tekstur paling tinggi. Rasa Rasa dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi komponen rasa yang lain (Karel dan Lund, 2003). Pada dasarnya indera perasa manusia hanya dapat merasakan empat dasar rasa yaitu; manis, asin, pahit dan asam (deMan, 1999). Dari hasil uji kesukaan terhadap rasa menunjukkan bahwa cara pengeringan menggunakan oven gas memiliki tingkat akseptabilitas tertinggi. Panelis memberikan nilai tertinggi pada produk yang dikeringkan dengan oven gas. Rasa yang didapat adalah hasil pengkombinasian dari komponen – komponen yang terkandung dalam produk, seperti adanya penambahan gula, asam, tepung dan juga santan. Keseluruhan Tingkat kesukaan keseluruhan menunjukkan ada beda nyata dari ketiga macam cara pengeringan. Hasil penilaian tertinggi terhadap penerimaan keseluruhan banana leather adalah dengan cara pengeringan menggunakan oven gas, yaitu dengan kriteria sangat suka. Hal tersebut didukung dengan hasil uji kesukaan terhadap aroma, warna, tekstur dan rasa yang semua menunjuk pengeringan dengan oven gas yang paling disukai. 2. Ketebalan Slurry (jumlah adonan/loyang) Evaluasi terhadap ketebalan slurry dilakukan terhadap banana leather yang dikeringkan dengan oven gas (hasil Tahap 1). Hasil pengujian warna banana leather disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil pengujian warna banana leather Kriteria ketebalan Tipis Sedang Tebal
Jumlah (g) slurry/loyang 90 120 150
Red
Yellow a
2,10 a 2,20 b 2,53
a
3,18 b 3,43 c 3,78
Bright a
0,18 a 0,20 a 0,20
*angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada α = 5 %
Ketebalan slurry berpengaruh nyata terhadap nilai red, yellow banana leather. Pencetakan banana leather dengan jumlah slurry banyak (tebal)
64
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
menghasilkan warna paling coklat. Hal ini disebabkan proses pengeringan untuk mencapai kadar air produk sekitar 7% lebih lama. Selain itu komponen gula dan protein lebih banyak, sehingga potensi terbentuknya warna coklat yang ditunjukkan nilai red dan yellow lebih tinggi. Reaksi pencoklatan non enzimatis dapat terjadi antara gula reduksi dengan gugus amina protein dalam bahan (Fennema, 1985). Tabel 4. Hasil pengujian tekstur banana leather Kriteria ketebalan Tipis Sedang Tebal
Jumlah (g) slurry/loyang 90 120 150
Gaya yang dapat ditahan (N) a 5,45 11,43b c 22,71
Deformasi (%) a
46,71 47,97a b 62,50
*angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada α = 5 %
Tekstur banana leather dari 3 variasi ketebalan slurry juga dievaluasi. Hasil pengukuran tekstur banana leather disajikan pada Tabel 4. Tekstur banana leather dinyatakan sebagai gaya yang dapat ditahan (N) dan nilai deformasi (%). Semakin besar gaya yang dapat ditahan artinya tekstur bahan semakin keras dan semakin besar nilai deformasi, maka tekstur bahan semakin liat. Hasil pengujian tekstur banana leather menunjukkan perbedaan yang nyata pada 3 variasi ketebalan slurry. Semakin tebal slurry, tekstur banana leather semakin keras dan semakin liat. Ekanayake dan Bandara (2002) menyatakan bahwa semakin banyak konsentrasi gula dan bahan yang ditambahkan, maka tekstur banana leather akan semakin keras. Pada perlakuan ketebalan, jumlah slurry yang ditambahkan masing-masing 90, 120 dan 150 gram, sehingga semakin tebal slurry maka tekstur semakin keras dan liat. 3. Hasil Uji Kesukaan Banana leather dengan 3 variasi ketebalan slurry dievaluasi tingkat kesukaanya berdasarkan bau, warna, tekstur, rasa dan kesukaan keseluruhan. Hasil pengujian tingkat kesukaan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil uji kesukaan terhadap banana leather Kriteria ketebalan Tipis Sedang Tebal
Jumlah (g) slurry/loyang 90 120 150
Aroma a
3,07 b 3,63 c 4,03
Warna a
2,80 a 3,53 b 3,97
Tekstur a
3,07 b 4,10 c 4,37
Rasa a
3,90 a 4,10 b 4,50
Keseluruhan a 3,70 a 3,83 b 4,53
*angka diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada α = 5 % * angka yang makin besar pada setiap parameter menunjukkan makin disukai.
65
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Dari hasil uji kesukaan seperti terlihat pada Tabel 5, diketahui bahwa banana leather yang dibuat dengan pencetakan pada loyang dengan lapisan tebal atau jumlah slurry per loyang sebanyak 150 g, menghasilkan banana leather yang paling disukai. Hasil tersebut didukung dengan hasil uji kesukaan terhadap bau, warna, tekstur maupun rasanya. Hasil tersebut apabila dilihat dari hasil pengukuran secara obyektif (warna dan tekstur) menunjukkan bahwa banana leather yang paling disukai memiliki warna kecoklatan dan tekstur keras (renyah), namun tidak mudah hancur (Tabel 3 dan 4). Dengan demikian, maka dalam membuat banana leather dari pisang Raja Bandung sebaiknya dicetak tebal atau dengan jumlah slurry sekitar 150 g per loyang ukuran 25 x 38 cm. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa banana leather dengan akseptabilitas tinggi dapat dibuat dengan bahan baku pisang Raja Bandung. Secara khusus kesimpulannya adalah : pengolahan banana leather dari pisang Raja Bandung menggunakan pengering oven gas pada suhu sekitar 70 oC dapat menghasilkan produk dengan akseptabilitas tinggi; pencetakan adonan (slurry) dengan kriteria tebal atau dengan jumlah slurry 150 g/loyang (25 x 38 cm) menghasilkan banana leather dengan warna kecoklatan dan tekstur tidak rapuh dan paling disukai. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kepada Ir. Agung Wazyka, M.P., Vera Perdani SR, Andri Rifai, atas kerjasamanya selama penelitian, kepada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri, UMBY, atas bantuan dana Hibah PHKA2 yang telah diberikan. Daftar Pustaka AOAC. 1990. Officials Methods of Analysis Association Official Agricultural Chemistry. Washington D.C. Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fladhan dan M Wootton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan. UI Press. Jakarta. De Mann, J.M. 1999. Principles of Food Chemistry. Aspen Publisher Inc. Gaithersburg. Maryland. Ekanayake, S. and L. Bandara. 2002. Development of Banana Fruit Leather. Annuals of the Sri Lanka Department of Agricultural. 4 : 353 – 358. Fennema, O.R. 1985. Principles of Food Science. Marcell Dekker Inc. New York. Gacula, M.C. dan J. Singh. 1984. Statistical Methods in Food and Consumer Research. Academic Press, Inc. Orlando. San Diego. New York. London. Horrison, J.a. dan E.L. Andreas. 2007. Preserving Food : Drying Food and Vegetables. University of Georgia Cooperative Extension Service. http://www.Proquest.com/FDN-E-43-10/htm. 4 Oktober 2009. 66
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Karel, M. dan D.B. Lund. 2003. Physical Principles of Food Preservation.2nd Ed. Marcell Dekker Inc. New York. Kendall, P. dan J. Sofos. 2003. Preparation Leather and Jerkies. Colorado State University. Cooperative Extension. http://www.colostate.edu/FNS:9.311/htm. 4 Oktober 2009. Khotimah, N.K. 2000. Pengaruh Jenis Pisang (Musa paradisiaca) Terhadap Sifatsifat Ledre. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Unwama. Yogyakarta. Krammer, A.A. and B.A. Twigg. 1970. Fundamental of Quality Control for the Food Industry. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Matz, S.A. 1962. Food Texture. The AVI Publishing Co. Westport. Connecticut. Maskam, M. 2000. Microwave/air and Microwave Finish Drying of Banana. Journal of Food Eng. 44 : 71-78. MoWilliams, M. 1997. Food Experimental Perspective. Prentie-Hall, Inc. New Jersey. USA. Mui, W.W.Y., T.D. Durance and C.H. Scaman. 2002. Flavor and Texture of Banana Chips Dried by Combination of Hot Air, Vacuum, and Microwave Processing. J. of Agric. Food Chem. 50 : 1883- 1889. Rismunandar. 1986. Mengenal Tanaman Buah-buahan. Penebar Swadaya. Jakarta. Romano, G., L. Baranyai, K. Gottschalk and M. Zude. 2008. An Approach for Monitoring the Moisture Content Changes of Drying Banana Slices with Laser Light Backscattering Imaging. Food Bioprocess Technol. 1 : 410 – 414.
67
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
SIFAT FISIK DAN KIMIA YOGHURT YANG DIBUAT DARI TEPUNG KEDELAI Physical and Chemical Properties of Yoghurt Made From Soyflour Rusdin Rauf1, Dyah Widowati1, dan Arif Widodo1 1
Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta Abstrak
A research to evaluate the effect of using of soyflour on physical and chemical properties of soy yoghurt was carried out. Two groups of soybean were prepared by boiling and steaming before converted to flour. Soyflours were used in various concentration (10 %, 12,5 %, and 15 %), dispersed to water. Then, they were inoculated by lactic cultures (Lactobacillus bulgaricus and Streptococcus thermophilus). Yoghurts were analyzed for physical and chemical characteristics (viscosity, titrable acidity and pH). The result displayed that did not show any significant (p˂0,05) difference for viscosities, titrable acids, and pH of boiled and steamed soyflour yoghurts. The highest viscosities of yoghurts were shown by the highest soyflour level (boiled and steamed soyflours, they were 605,97 cP and 606,97 cP, recpectively. Boiled and steamed soyflours at a level 15% gave the highest titrable acidities (0,32 mg/ml and 0,33 mg/ml, recpectively). The pH values of soy yoghurt did not any significant (p˂0,05) difference, they were between 3,87-3,90. Keywords: Yoghurt, soyflour, viscosity, pH, titrable acidity Pendahuluan Yoghurt merupakan produk olahan susu berbentuk semi-cair yang dibuat dengan memfermentasikan susu menggunakan campuran starter Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermopilus. Saat ini telah banyak dikembangkan jenis yoghurt, tidak terbatas pada susu sapi, namun juga dari susu kedelai. Pengembangan produk yoghurt dari susu kedelai cukup luas, dengan pertimbangan komponen zat gizi dari kedelai yang baik bagi kesehatan. Pengembangan produk yoghurt berbasis kedelai ini didasarkan pada peningkatan jumlah konsumen yang memilih bahan pangan yang memberikan efek terhadap kesehatan (Drake dkk, 2000; Uzzan dan Labuza, 2004). Kedelai juga tersusun atas beberapa komponen fitokimia seperti isoflavon dan polipeptida bioaktif, yang memberikan manfaat terhadap kesehatan (Bricarello dkk, 2004).
68
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kedelai (Glycine max.) yang merupakan bahan utama pembuatan susu kedelai, telah dibuktikan merupakan salah satu biji-bijian tropis yang kaya protein. Kedelai merupakan bahan pangan yang mengandung semua jenis asam amino essensial yang sangat penting bagi tubuh manusia, bahkan kedelai memiliki kandungan asam amino Lysin tertinggi dibanding sumber protein nabati lainnya (Ade-Omowaye dkk, 2004). Kedelai dapat diolah menjadi susu kedelai, kemudian difermentasi menjadi yoghurt yang dapat dijadikan sebagai suplemen atau substituen protein untuk makanan orang dewasa dan bayi (Delia dan Herbert, 1986). Susu kedelai bebas laktosa, sehingga dapat dikonsumsi oleh orang yang tidak toleran terhadap laktosa (Okafor, 1990). Selama ini susu kedelai dibuat dengan cara merebus kedelai dan dilakukan pelepasan kulit, kemudian dihancurkan menggunakan blender, selanjutnya disaring. Cairan yang lolos saringan disebut sebagai susu kedelai. Susu kedelai tersebut merupakan bahan dasar dalam pembuatan yoghurt. Pembuatan yoghurt dengan bahan dasar susu kedelai dalam bentuk cair memiliki kelemahan. Susu kedelai memiliki masa simpan yang singkat karena mudah mengalami kerusakan oleh mikrobia, sehingga setiap akan membuat yoghurt maka terlebih dahulu membuat susu kedelai yang baru. Hal tersebut disamping membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan susu kedelai, juga ada kesulitan untuk menjaga konsistensi komponen zat gizi susu kedelai dalam setiap frekwensi pembuatan/ekstraksi. Pembuatan yoghurt dengan bahan dasar tepung kedelai merupakan solusi untuk menjawab masalah tersebut. Membuat yoghurt dengan bahan dasar tepung kedelai memiliki beberapa keunggulan antara lain lebih mudah dan fleksibel dalam penggunaan, masa simpan yang lebih panjang serta konsistensi komposisi zat gizinya sebagai bahan dasar yoghurt dapat dikendalikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi sifat fisik dan kimia (viskositas, asam total, dan pH) yoghurt yang dibuat dari tepung kedelai. Bahan dan Metode Bahan utama yang digunakan adalah kedelai kuning yang diperoleh dari pasar tradisional di Surakarta. Starter yoghurt yang digunakan berupa Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Fakultas teknologi Pertanian UGM. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis total asam yaitu NaOH dan indicator phenolphthalein. Peralatan yang digunakan dibagi dalam 3 kelompok, yaitu peralatan untuk pembuatan tepung kedelai, peralatan untuk pembuatan yoghurt dan peralatan untuk analisis. Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung, antara lain oven pengering, ayakan, dan blender kering. Alat untuk pembuatan yoghurt antara lain
69
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
wadah plastik untuk kemasan yoghurt, magnetic stirrer, dan oven incubator. Alat untuk analisis yaitu pH-meter dan viscometer Brookfield DV-II+ Pro. Pembuatan Tepung Kedelai Tepung kedelai dibuat dengan 2 metode. Kedua metode tersebut dibedakan pada tahap pemanasan. Metode pertama dipanaskan dengan cara direbus selama 10 menit, metode kedua dikukus selama 15 menit. Tahapan dari pembuatan tepung kedelai adalah sebagai berikut: kedelai kuning direndam selama 5 jam, kemudian dilakukan pelepasan kulit. Kedelai lepas kulit kemudian dipanaskan (rebus dan kukus), dilanjutkan dengan pengeringan selama 24 jam pada suhu 75°C menggunakan oven. Setelah kering dilakukan penepungan dan diayak menggunakan ukuran 120 mesh. Pembuatan Yoghurt Kedelai Pembuatan yoghurt kedelai dilakukan dengan 3 variasi konsentrasi tepung kedelai (10%, 12,5%, dan 15%). Glukosa ditambahkan sebanyak 10%. Tepung kedelai dan glukosa dicampur, kemudian ditambahkan secara perlahan pada aquades, sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pasteurisasi 90°C selama 20 menit. Setelah dingin ditambahkan masing masing 5% kultur Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Analisis Proksimat Tepung Kedelai Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air (pemanasan), kadar abu (kering), kadar lemak (soxhlet), protein kasar (mikro Kjeldahl), dan karbohidrat by difference (AOAC, 1990). Uji Viskositas, Asam Total, dan pH Viskositas yoghurt kedelai diuji menggunakan viskosimeter brookfield, Spindle no. 62, kecepatan putaran spindle 60 rpm, dan suhu pengukuran 29°C. Sifat kimia yang diuji meliputi pH menggunakan pH-meter dan keasaman total menggunakan metode titrasi NaOH. Rancangan dan Analisis Statistik Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok. Data dianalisis menggunakan uji anova satu arah dan uji-t dua sampel independen dua sisi untuk menguji pengaruh setiap perlakuan, dan dilanjutkan dengan uji General Linear Model (GLM)-univariate untuk menguji pengaruh interaksi antar faktor. Perbedaan yang nyata diuji menggunakan duncan pada taraf 0,05. Hasil dan Pembahasan Komposisi Proksimat Tepung Kedelai Tepung kedelai dibuat dengan diberi perlakuan pendahuluan berupa perebusan dan pengukusan ditujukan untuk menginaktifkan enzim yang ada dalam
70
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
produk tepung kedelai (selanjutnya disebut tepung rebus dan tepung kukus). Komposisi proksimat tepung kedelai yang dibuat dengan dua metode yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi proksimat tepung kedelai Komponen Air (% wb) Abu (% wb) Lemak (% w/w) Protein (% N x 6,25) Karbohidrat (%)
Tepung Rebus (± SD) 10,06 ± 0,04 3,66 ± 0,03 19,85 ± 1,81 16,17 ± 1,96 50,26
Tepung Kukus (± SD) 7,48 ± 0,03 3,83 ± 0,02 18,70 ± 2,37 15,29 ± 3,79 54,70
Sign. (uji-t) 0,000 0,001 0,413 0,740
Kadar air dari tepung rebus dan tepung kukus (Tabel 1) menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P ˂ 0,05). Tepung rebus memiliki kadar air yang lebih tinggi dari tepung kedelai kukus. Hal ini disebabkan oleh penyerapan dan pengikatan air yang jumlahnya lebih banyak selama perebusan, dibandingkan dengan kedelai yang dikukus. Kadar abu tepung rebus dan kukus menunjukkan adanya perbedaan, dengan nilai signifikansi P = 0,02 (P ˂ 0,05) . Kadar abu tepung rebus memiliki kadar abu yang lebih kecil dibanding tepung kukus. Hal ini diduga disebabkan oleh larutnya beberapa mineral sebagai bahan penyusun abu keluar dari kedelai selama perebusan. Tepung rebus memiliki kadar lemak dan kadar protein yang tidak berbeda nyata dengan tepung kukus, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi masingmasing yaitu P = 0,413 dan P = 0,740 ( P ˃ 0,05). Viskositas Viskositas dari yogurt yang terbuat dari tepung kedelai yang ditampilkan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa penggunaan tepung pada setiap konsentrasi yang sama (10%, 12,5%, dan 15%) menunjukkan tidak adanya perbedaan antara tepung rebus dan tepung kukus, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi masingmasing secara berurutan sebesar P= 0,226; 0,988; dan 0,921 (P˃0,05). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan pada kedelai dengan perebusan maupun pengukusan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap viskositas yoghurt kedelai. Tidak adanya perbedaan viskositas yoghurt dari tepung rebus dan tepung kukus disebabkan oleh kadar protein dari tepung rebus dan tepung kukus yang tidak berbeda nyata. Protein merupakan komponen yang sangat berperan dalam pengikatan air, yang akan berpengaruh terhadap viskositas yoghurt. Hal tersebut sesuai dengan laporan Drake dkk (2000) bahwa penambahan konsentrat protein kedelai dapat meningkatkan viskositas yoghurt.
71
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Perlakuan pemanasan dengan metode perebusan untuk mengetahui pengaruh dari proses retrogradasi pati kedelai yang kemungkinan dapat terjadi melalui perebusan, yang diawali dengan proses gelatinisasi. Sedangkan perlakuan pemanasan dengan pengukusan diharapkan proses retrogradasi tidak akan terjadi, karena penyerapan air tidak akan maksimal. Namun dalam penelitian ini, kedua metode tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap viskositas yoghurt. Tabel 2. Viskositas yoghurt yang dibuat dari tepung kedelai Tepung Kedelai Rebus Kukus Sig. (uji-t)
10 % a 456 ± 7,00 471,97 ± 18,05 a 0,226
Viskositas (cP) 12,5% b 575,67 ± 14,50 575,93 ± 24,00b 0,988
15% c 605,97 ± 7,50 bc 606,97 ± 14,70 0,921
Sig. 0,000 0,000
Perbedaan viskositas yoghurt kedelai yang signifikan ditunjukkan oleh penggunaan tepung pada konsentrasi yang berbeda, baik pada tepung rebus maupun tepung kukus, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi yang sama, yaitu sebesar P=0,000 (P˂0,05). Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi tepung kedelai yang digunakan, semakin tinggi viskositas yoghurt yang dihasilkan. Hasil tersebut sesuai dengan laporan Estevez dkk (2010), bahwa makin tinggi total solid dari bahan dasar pembuatan yoghurt (susu kedelai), semakin tinggi nilai viskositas yoghurt yang dihasilkan. Peningkatan konsentrasi tepung kedelai yang digunakan, diikuti dengan meningkatnya viskositas dari yoghurt kedelai dapat dijelaskan bahwa peningkatan total solid baik yang terlarut maupun tidak larut, dapat meningkatkan viskositas dari yoghurt, karena air yang terserap oleh protein dan karbohidrat akan semakin banyak, sehingga meningkatkan gaya perlawanan dari bahan tersebut jika diberikan suatu gaya. Tabel 3. Nilai signifikansi viskositas yoghurt yang diuji menggunakan GLMunivariat Faktor Tepung (rebus dan kukus) Konsentrasi tepung Interaksi tepung dan konsentrasi
Signifikansi 0,446 0,000 0,623
Pengujian menggunakan GLM – univariat (Tabel 3) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh penggunaan tepung rebus dan kukus terhadap viskositas yoghurt, dengan nilai signifikansi (P˃0,05). Penggunaan konsentrasi tepung yang berbeda memberikan pengaruh terhadap konsentrasi yoghurt, dengan nilai signifikansi (P˂0,05). Interaksi antara jenis tepung (rebus atau kukus) dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh terhadap viskositas yoghurt, dengan nilai signifikansi P˃0,05. 72
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Total asam Total asam yoghurt yang dibuat dari tepung kedelai (Tabel 4) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan penggunaan tepung rebus dan tepung kukus terhadap total asam yoghurt pada setiap konsentrasi yang sama (10%, 12,5% dan 15%), yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi masing-masing yaitu P˃0,05. Hal tersebut disebabkan oleh komposisi proksimat terutama protein dan lemak yang tidak berbeda nyata dari kedua tepung tersebut. Tabel 4. Total asam yoghurt yang dibuat dari tepung kedelai Tepung Kedelai Rebus Kukus Sig.
10 % a 0,26 ± 0,02 a 0,27 ± 0,03 0,759
Total Asam (mg/ml) 12,5% 15% b c 0,29 ± 0,01 0,32 ± 0,01 ab c 0,29 ± 0,01 0,33 ± 0,01 1,000 0,296
Sig. 0,003 0,019
Penggunaan tepung dalam konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap total asam yoghurt kedelai, baik pada tepung rebus maupun tepung kukus. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai signifikansi masingmasing tepung, yaitu P˂0,05. Makin tinggi konsentrasi tepung kedelai yang digunakan, semakin tinggi total asam dari yoghurt. Hal ini sesuai dengan laporan dari Supavititpatana dkk (2009) dan Estevez dkk (2010). Tabel 5. Nilai signifikansi total asam yoghurt yang diuji menggunakan GLMunivariat Faktor Tepung (rebus dan kukus) Konsentrasi tepung Interaksi tepung dan konsentrasi
Signifikansi 0,504 0,000 0,880
Uji statistik total asam yoghurt menggunakan GLM-univariate memberikan gambaran bahwa tidak ada perbedaan total asam yang signifikan terhadap yoghurt yang dibuat dari tepung rebus dan tepung kukus, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi P˃0,05. Konsentrasi tepung memberikan pengaruh terhadap total asam yoghurt kedelai. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai signifikansi P˂0,05. Sedangkan interaksi jenis tepung kedelai dan konsentrasinya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total asam yoghurt. pH (Derajat Keasaman) Derajat keasaman (pH) yoghurt kedelai yang ditampilkan pada Tabel 6, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari yoghurt yang dibuat dari tepung kedelai pada konsentrasi yang berbeda, baik dari tepung rebus maupun tepung kukus. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai signifikansi masingmasing P ˃ 0,05.
73
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Yoghurt yang dibuat dengan tepung rebus dan tepung kukus, juga menunjukkan pH yang tidak berbeda nyata dari setiap konsentrasi yang berbeda, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi P˃0,05. Hal ini menunjukkan bahwa baik jenis tepung maupun konsentrasinya tidak memberikan pengaruh terhadap pH yoghurt yang dihasilkan. Tabel 6. pH yoghurt yang dibuat dari tepung kedelai Tepung Rebus Kukus Sig.
10 % 3,90 ± 0,01 3,89 ± 0,02 0,802
pH 12,5% 3,90 ± 0,01 3,89 ± 0,01 0,101
15% 3,89 ± 0,01 3,87 ± 0,01 0,067
Sig. 0,125 0,182
Penggunaan tepung kedelai rebus dan kukus pada berbagai konsentrasi tidak memberikan pengaruh terhadap pH yoghurt. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya komponen proksimat atau padatan total yang digunakan dalam pembuatan yoghurt tidak memberikan efek terhadap pH yoghurt. Tidak adanya pengaruh terhadap pH tersebut dapat dijelaskan bahwa besarnya kecenderungan peningkatan total asam yoghurt tidak selalu sesuai dengan besarnya kecenderungan peningkatan pH, artinya peningkatan pH selalu lebih kecil dibanding peningkatan total asamnya. Kondisi ini terjadi karena asam laktak yang dihasilkan dalam pembuatan yoghurt merupakan asam lemah, yang memberikan efek pH yang kecil. Tabel 7. Nilai signifikansi pH yoghurt yang diuji menggunakan GLM-univariat Faktor Tepung (rebus dan kukus) Konsentrasi tepung Interaksi tepung dan konsentrasi
Signifikansi 0,067 0,041 0,564
Uji GLM-univariater terhadap pH yoghurt yang dibuat dari tepung kedelai (Tabel 7) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh metode pemanasan dengan perebusan atau pengukusan kedelai terhadap pH yoghurt yang dihasilkan. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai signifikansi P˃0,05. Besarnya konsentrasi tepung kedelai yang digunakan berpengaruh terhadap pH yoghurt, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi P˂0,05.aruh yang berbeda ditunjukkan oleh penggunaan konsentrasi tepung yang berbeda. Interaksi antara jenis tepung kedelai dan konsentrasi tidak memberikan pengaruh terhadap pH yighurt, dengan nilai signifikansi P˃0,05. Kesimpulan Viskositas tertinggi dari yoghurt kedelai ditunjukkan oleh tepung kedelai rebus dan kukus konsentrasi tertinggi (15%), yaitu secara berurutan 605,97 cP dan 74
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
606,97cP. Yoghurt dari tepung kedelai rebus dan kukus pada kadar 15 % memiliki kadar total asam tertinggi, yaitu secara berturut 0,32 mg/ml dan 0,33 mg/ml. pH yoghurt kedelai dari setiap perlakuan, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan, dengan nilai pH sekitar 3,87-3,90. Daftar Pustaka Ade-Omowaye, B.I.O., Olajide, J.O., Otunola, E.T. dan Omotade, V.A., 2004. Effect of some processing parameters on the quality characteristics of soya bean curd. Science Focus, 7: 53-57. AOAC., 1990. Method of analysis of the association of official analytical chemistry, Washington DC. Bricarello, L., Kasinski, N., Bertolami, M., faludi, A., Pinto, L., Relvas, W., Izar, M., Ihara, S., Tufik, S. dan Fonseca, F., 2004. Comparison between the effects of soymilk and non-fat cow milk on lipid profile and lipid peroxidation in patients with primary hypercholesterolemia. Nutrition, 20: 200-204. Delia, C. dan Herbert, E., 1986. Food Facts, a Study of Food Nutrition, 1st edition. Macmillan Publishers Company, London, 101-114. Drake, M., Cheng, X., Tamarapu, S. dan Leenanon, B., 2000. Soy protein fortification affects sensory, chemical, and microbiological properties of dairy yogurts. Journal of Food Science, 65(7): 1244-1247. Estevez, A.M., Mejia, J., Figuerola, F. dan Escobar, B., 2010. Effect of solid content and sugar combinations on the quality of soymilk-based yogurt. Journal of Food Processing and Preservation, 34: 87-89. Okafor, N., 1990. Focus on Nutritional Values of Soya Beans. Macmillan Publishers, Nigeria, 6-9. Supavititpatana, P., Wirjantoro, T.I. dan Raviyan, P., 2009. Effect of Sodium Caseinate and Whey protein Isolate Fortification on the Physical Properties and Microstructure of Corn Milk Yogurt. CMU. J. Nat. Sci. Vol. 8(2): 247-263. Uzzan, M. dan labuza, T., 2004. Critical issues in R and D of soy isoflavoneenriched foods and dietary supplements. Journal of Food Science, 69 (3): CRH77-CRH86.
75
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
POTENSI ANTIOKSIDAN HASIL EKSTRAKSI TANAMAN KECOMBRANG (Nicolaia speciosa Horan) SELAMA PENYIMPANAN 1
Rifda Naufalin dan Herastuti Sri Rukmini Prodi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Email:
[email protected] Abstrak
Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) merupakan jenis tanaman yang sejak lama dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan pangan dan obat-obatan. Bagian batang, daun dan rimpang kecombrang seperti halnya bunga diduga mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol, alkaloid, flavonoid, steroid, saponin dan minyak atsiri yang memiliki potensi sebagai antioksidan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang, jenis fraksi hasil ekstraksi bertingkat bagain-bagian tanaman kecombrang, dan jenis pengemas terhadap total fenol dan aktivitas antioksidan fraksi hasil ekstraksi bertingkat selama penyimpanan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 16 kombinasi, 2 kali ulangan sehingga diperoleh 32 unit percobaan, serta pengamatan pada minggu ke-0, ke-2, ke-4, ke-6, dan ke-8 masa penyimpanan. Faktor yang dicoba meliputi bagian-bagian tanaman keombrang (B) yaitu bunga (B1), batang bagian dalam (B2), daun (B3), dan rimpang (B4), jenis fraksi hasil ekstraksi bertingkat (F) yaitu etil asetat (F 1), dan etanol (F2) serta jenis pengemas yaitu botol gelas(P1), dan botol plastik (P2). Variabel yang diamati meliputi sifat fisikokimia, total fenol dan aktivitas antioksidan fraksi bagian-bagian tanaman kecombrang selama penyimpanan. Data dianalisis dengan analisis ragam (uji F) dilanjutkan dengan DMRT 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian-bagian tanaman kecombrang dan jenis fraksi sangat mempengaruhi total fenol dan aktivitas antioksidan, sedangkan jenis pengemas tidak mempengaruhi nilai keduanya. Nilai total fenol dan aktivitas antioksidan tertinggi selama 8 minggu penyimpanan pada minggu ke-0. Selama penyimpanan, penurunan total fenol dan antioksidan fraksi dalam botol gelas berturut-turut sebesar 2427,27 mg/100 g dan 21,58 persen, sementara dalam botol plastik 2746,42 mg/100 g dan 17,59 persen. Botol plastik cenderung memberikan pengaruh lebih baik terhadap fraksi terekstrak selama penyimpanan. Bagian bunga dan batang dalam kecombrang memberikan aktivitas antioksidan yang tinggi hingga minggu ke-8 penyimpanan, yaitu di atas 50%. Kata kunci: kecombrang, rendemen, total fenol, aktivitas antioksidan
Pendahuluan Kerusakan bahan pangan umumnya disebabkan oleh mikroorganisme melalui proses enzimatis dan oksidasi, terutama yang mengandung protein dan lemak, sementara karbohidrat mengalami dekomposisi. Menurut Barus (2009), pada saat ini penggunaan bahan pengawet dan antioksidan sintetis tidak
76
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
direkomendasikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena diduga dapat menimbulkan penyakit (carcinogen agent). Sehubungan dengan hal tersebut dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, maka alternatif bahan pengawet dan antioksidan alami semakin menarik untuk dikembangkan. Penelitian-penelitian mengenai aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa banyak tanaman yang mempunyai aktivitas antioksidan, diantaranya adalah kecombrang. Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) merupakan tanaman yang bunga, dan batangnya sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan obat-obatan karena zat aktif yang terdapat di dalamnya seperti, saponin, flavonoid, dan polifenol, yaitu sebagai penghilang bau badan dan bau mulut (Hidayat dan Hutapea, 1991). Bunga dan daun mudanya dipakai sebagai pemberi citarasa pada masakan, seperti urab, pecel, sambal dan masakan lain. Batangnya dipakai sebagai pemberi cita rasa pada masakan daging. Valianty (2002), telah mengawali penelitian tentang aktivitas antibakteri dari bunga kecombrang. Penelitian menunjukkan bahwa minyak bunga kecombrang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (Gram negatif) dan Bacillus cereus (Gram positif). Selanjutnya Naufalin et al. (2005), dalam penelitiannya mengekstrak bunga kecombrang secara bertingkat menggunakan pelarut nonpolar (heksana), semi polar (etil asetat), dan polar (etanol). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat membentuk spektrum penghambatan luas terhadap bakteri Gram positif, Gram negatif, dan pembentukan spora. Istianto (2008), mengemukakan bahwa dari bagian-bagian tanaman kecombrang, ternyata bagian bunga mempunyai aktivitas antibakteri tertinggi terhadap E. coli dan B. cereus dibandingkan bagian batang dalam, daun, dan rimpang kecombrang. Menurut Tampubolon et al. (1983), senyawa yang terdapat dalam bunga kecombrang yaitu alkaloid, flavonoid, polifenol, terpenoid, steroid, saponin, dan minyak atsiri. Bunga kecombrang antara lain mengandung minyak atsiri 0,4 persen, serta tanin sebesar 1 persen. Seperti halnya bunga, bagian-bagian lain tanaman kecombrang seperti batang, daun, dan rimpang diduga juga berpotensi sebagai antioksidan dan juga alternatif bahan pengawet alami. Senyawa bioaktif dari bagian-bagian tanaman kecombrang perlu diekstraksi untuk menguji aktivitasnya. Pemilihan pelarut harus berdasarkan polaritas dari senyawa yang akan diisolasi. Pada penelitian ini, dilakukan ekstraksi bertingkat dengan pelarut nonpolar, semipolar dan polar sehingga diharapkan akan menghasilkan komponen biaktif yang optimal (Sudarmadji et al., 1989). Jenis pengemas juga akan berpengaruh terhadap total fenol dan aktivitas antioksidan dari fraksi terekstrak bagian-bagian tanaman kecombrang tersebut. Penggunaan jenis pengemas yang tidak tepat serta lamanya penyimpanan
77
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dikhawatirkan dapat mempengaruhi kualitas fraksi tersebut sehingga aktivitas antioksidan pada saat diterapkan sebagai pengawet pada bahan pangan hasilnya kurang optimal. Berdasarkan uraian di atas tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengetahui pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang terhadap potensi antioksidan alami fraksi hasil ekstraksi bertingkat bagian-bagian tanaman kecombrang selama penyimpanan. (2) Mengetahui pengaruh jenis fraksi terhadap potensi antioksidan alami fraksi hasil ekstraksi bertingkat bagian-bagian tanaman kecombrang selama penyimpanan. (3) Mengetahui pengaruh jenis pengemas terhadap potensi antioksidan alami fraksi hasil ekstraksi bertingkat bagian-bagian tanaman kecombrang selama penyimpanan. (4) Mengetahui pengaruh interaksi antara bagian-bagian tanaman kecombrang, jenis fraksi dan jenis pengemas terhadap potensi antioksidan alami fraksi hasil ekstraksi bertingkat bagian-bagian tanaman kecombrang selama penyimpanan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain: (1) Memperoleh informasi ilmiah mengenai potensi antioksidan fraksi hasil ekstraksi bertingkat kecombrang selama penyimpanan. (2) Sebagai penelitian acuan tentang penggunaan antioksidan fraksi hasil ekstraksi bertingkat bagian-bagian tanaman kecombrang dalam pengawetan pangan. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dimulai pada bulan Juni 2009 sampai November 2009. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bunga kecombrang, batang dalam kecombrang, daun kecombrang dan rimpang kecombrang yang diperoleh dari petani di Baturraden, n-heksana (Brataco Chemica), etil asetat (Brataco Chemica) dan etanol 96% (Brataco Chemica), etanol 99,8% (Merck), akuades, kertas saring kasar, kertas Whatman No. 41, gas N2, plastik hitam (Sikomo), aluminium foil (Klin Pak), Folin-ciocalteu (Merck), asam linoleat 60% (Sigma Chemical Co.), α-tokoferol 0,1% (Komersial), NaHCO3 (Merck), ammonium tiosianat 30% (Merck), FeCl2 tetrahidrat 0,02 M (Merck), Buffer Fosfat 0,2 M pH 7, HCl pekat 3,5% (Merck), dan bahan-bahan lain untuk analisis kimia. Alat-alat yang digunakan yaitu Cabinet Dryer, mesin giling, timbangan analitik, rotary evaporator (Bibby RE 200), shaker, lemari pendingin, oven (Memmert, Japan), desikator, dan pH meter. Alat untuk analisis total fenol dan aktivitas antioksidan terdiri dari spektrofotometer (Shimadzu, Germany), sentrifus (Sigma), alat-alat gelas (Pyrex, Germany), vorteks (Gemmy, USA), tabung fial, pipet mikro (Gilson), dan waterbath (Selecta). Pengemas yang digunakan yaitu botol gelas dan botol plastic.
78
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 16 kombinasi dan 2 ulangan, serta pengujian pada minggu ke-0, ke-2, ke-4, ke-6 dan ke-8 masa penyimpanan sehingga diperoleh 32 unit percobaan. Perlakuan yang dicoba yaitu bagian-bagian tanaman kecombrang (B) yang meliputi bunga (B1), batang dalam (B2), daun (B3), dan rimpang (B4), dan faktor kedua yaitu jenis fraksi pelarut (F) meliputi etil asetat (F 1) dan etanol (F2), faktor ketiga yaitu jenis pengemas (P) meliputi pengemas botol gelas (P 1), dan pengemas botol plastik (P2). Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi potensi antioksidan yaitu total fenol dan aktivitas antioksidan fraksi terekstrak bagian-bagian tanaman kecombrang dalam pengemas yang diamati pada minggu ke-0, ke-2, ke-4, ke-6, dan ke-8 Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan uji sidik ragam (uji F) pada taraf 5% dan apabila hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Hasil dan Pembahasan Pengujian potensi antioksidan dilakukan dengan pengukuran total fenol dan aktivitas antioksidan masing-masing fraksi pada penyimpanan minggu ke-0, ke-2, ke-4, ke-6, dan ke-8. Matriks hasil analisis ragam bagian-bagian tanaman kecombrang (B), jenis fraksi (F) dan jenis pengemas (P) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Matriks hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap variabel potensi antioksidan selama penyimpanan No. 1 2
Variabel Total fenol Aktivitas antioksidan
B ** **
F ** **
P ns ns
BxF ** *
BxP ns ns
FxP ns ns
BxFxP ns ns
Keterangan: B: bagian-bagian tanaman kecombrang; F: jenis fraksi; P: jenis pengemas; BxF: interaksi antara bagian-bagian tanaman dan jenis fraksi; BxP: interaksi antara bagian-bagain tanaman dan jenis pengemas; FxP: interaksi antara jenis fraksi dan jenis pengemas; BxFxP: interaksi antara bagian-bagian tanaman, jenis fraksi dan jenis pengemas; *: berpengaruh nyata; **: berpengaruh sangat nyata; ns: berpengaruh tidak nyata.
1. Total Fenol Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa selama penyimpanan bagianbagian tanaman kecombrang dan jenis fraksi berpengaruh sangat nyata terhadap total fenol, sedangkan jenis pengemas dan interaksi ketiganya memberikan pengaruh tidak nyata. Nilai rata-rata total fenol selama penyimpanan untuk bunga yaitu berkisar antara 484,59 – 959,73 mg/100 g; untuk batang dalam berkisar antara 462,92 – 1205,47 mg/100 g; untuk daun berkisar antara 1338,06 – 8636,15
79
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
mg/100 g; sementara untuk rimpang berkisar antara 510 – 2453,41 mg/100 g (Gambar 1).
Gambar 1. Pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang terhadap total fenol selama penyimpanan Secara keseluruhan, fraksi terekstrak daun kecombrang mempunyai total fenol tertinggi selama penyimpanan dibandingkan dengan bagian bunga, batang dalam dan rimpang. Hal ini berarti fraksi terekstrak daun mengandung senyawa fenol lebih tinggi dibandingkan bagian-bagian tanaman kecombrang lainnya. Diduga kandungan klorofil ikut berpengaruh pada tingginya total fenol yang dihasilkan daun kecombrang, karena walau pun tidak termasuk senyawa fenol namun klorofil yang bersifat hidrofilik terekstrak pada larutan polar etanol dan terbaca pada saat pengukuran. Menurut Prangdimurti et al. (2006), klorofil terdapat dalam jumlah banyak dalam tanaman yaitu rata-rata 1% berat kering. Klorofil yang terhidrolisis menjadi mudah larut dalam air. Penelitian tentang aktivitas antioksidan ekstrak daun suji menunjukkan kadar total klorofil ekstrak daun suji menggunakan air dan tween 80 sebesar 2540 mg/10 ml dan memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Prandimurti et al., 2006). Berdasarkan hasil analisis ragam, jenis fraksi sangat mempengaruhi nilai total fenol. Rerata nilai total fenol dari fraksi etil asetat selama penyimpanan berkisar antara 522,08 – 1776,08 mg/ 100 g dan untuk fraksi etanol berkisar antara 854,10 – 4851,30 mg/100 g (Gambar 2). Menurut Estiasih dan Kurniawan (2006), fenol merupakan senyawa yang bersifat polar sehingga kelarutannya paling tinggi dalam pelarut polar. Pelarut polar (etanol) mampu mengekstrak fenol lebih tinggi sehingga nilai total fenol fraksi etanol lebih tinggi. Etanol merupakan pelarut organik yang memiliki polaritas tinggi, yang seiring dengan derajat dielektrik. Pelarut etanol memiliki derajat dielektrik sebesar 24,30 sedangkan etil asetat sebesar 6,02 (Houghton dan Raman, 1998). Komponen fenol yang terdapat dalam fraksi bagian-bagian tanaman kecombrang diduga memiliki polaritas yang mendekati polaritas etanol, sehingga penggunaan pelarut etanol 80
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
lebih efektif untuk melarutkan senyawa fenol. Fraksi etil asetat memiliki nilai total fenol lebih kecil dibandingkan dengan fraksi etanol. Hal ini diduga karena senyawa golongan fenolik dalam bagian-bagian tanaman kecombrang lebih mudah larut dalam pelarut etanol dibandingkan dalam pelarut etil asetat. Fraksi etil asetat tersusun atas senyawa semi polar yang mungkin masih mengandung senyawa non polar. Senyawa non polar ini dapat menghalangi senyawa fenolik yang terekstrak (Indraswari, 2009).
Gambar 2. Pengaruh jenis fraksi terhadap nilai total fenol selama penyimpanan Perlakuan mandiri jenis pengemas menunjukkan rata-rata total fenol selama penyimpanan fraksi terekstrak dalam botol gelas putih bening berkisar antara 741,54 sampai 3175,16 mg/100 g, sementara dalam botol plastik berkisar antara 705,80 sampai 3452,23 mg/100 g. Berdasarkan hasil analisis ragam ternyata jenis pengemas tidak berpengaruh nyata terhadap nilai total fenol, diduga disebabkan terjadinya kerusakan pada fraksi terekstrak selama penyimpanan baik dalam botol gelas putih bening maupun botol plastik. Kerusakan dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti cahaya, suhu dan oksigen dan faktor internal pada fraksi terekstrak itu sendiri. Beberapa senyawa fenol mudah teroksidasi oleh oksigen terutama dalam suasana alkali atau oleh enzim polifenoloksidase (Ho, 1992, dalam Naufalin, 2004). Suhu penyimpanan yaitu suhu ruang termasuk panas sehingga turut memicu kerusakan fenol. Adanya cahaya juga memberikan kontribusi pada kerusakan fenol, dan faktor internal yaitu terjadinya reaksi-reaksi alamiah pada fraksi terekstrak juga memungkinkan besarnya kerusakan terhadap senyawa bioaktif. Secara keseluruhan, penurunan total fenol selama penyimpanan untuk botol gelas dari minggu ke-0 hingga ke-8 sebesar 2427,27 mg/100 g dan untuk botol plastik penurunan terjadi sebesar 2746,42 mg/100 g. Botol plastik cenderung lebih baik dibandingkan botol gelas, disebabkan botol plastik yang menghambat masuknya cahaya. Interaksi antara bagian-bagian tanaman kecombrang dan jenis fraksi (BXF) memberikan pengaruh yang sangat nyata. Nilai rata-rata total fenol terbesar ditunjukkan interaksi perlakuan B3F2 (fraksi daun etanol) yaitu berkisar 81
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tot al Fe nol (mg / 10 gr am )
antara 2047,58 – 15894,07 mg/100 g, sedangkan interaksi yang lain tidak terlalu mempengaruhi total fenol (Gambar 3). Hal ini diduga karena komponen dalam daun kecombrang lebih mudah larut dengan pelarut etanol. Selain senyawa bioaktif yang umum terdapat dalam bagian-bagian tanaman kecombrang, diduga senyawa klorofil dalam daun ikut mengambil peran terhadap tingginya total fenol. Menurut Prangdimurti et al. (2006), klorofil alami bersifat lipofilik maka kemungkinan lebih larut dalam etil asetat, namun klorofil yang mengalami hidrolisis menjadi klorofilin dan klorofilid bersifat larut air, maka lebih mudah larut dalam etanol dibandingkan dalam etil asetat. Kemungkinan klorofil yang terhidrolisis lebih banyak sehingga larut pada etanol. Klorofil ini pula yang menyebabkan warna fraksi daun menjadi hitam kehijauan. 20000
15894.07 a
15000 10000
4699.52 a 3916.18 a 2402.96 a 2047.58 a
5000 0
0
2
4
6
La ma Penyi mpanan ( minggu)
8
B1F 1 B1F 2 B2F 1 B2F 2 B3F 1 B3F 2
Gambar 3. Interaksi pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang dan jenis fraksi terhadap total fenol selama penyimpanan. B1: bunga; B2: batang dalam; B3: daun; B4: rimpang; F1: fraksi etil asetat; dan F2: fraksi etanol Hasil analisis ragam pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang, jenis fraksi dan jenis pengemas (BxFxP) tidak mempengaruhi total fenol. Nilai rata-rata total fenol selama penyimpanan untuk bunga sebesar 381,48 – 1757,43 mg/100 g; untuk batang dalam sebesar 293,67 – 1687,00 mg/100 g; untuk daun sebesar 372,07 – 16931,08 mg/100 g; sedangkan rimpang kecombrang sebesar 234,52 – 3274,79 mg/100 g. Hal ini berarti interaksi ketiga perlakuan memberikan hasil total fenol yang tidak berbeda nyata. Baik botol gelas maupun botol plastik memberikan perlindungan yang sama terhadap fraksi terekstrak. Nilai total fenol tertinggi selama penyimpanan terlihat pada minggu ke-0. Selanjutnya, selama 8 minggu penyimpanan, komponen bioaktif dalam fraksi terekstrak bagian-bagian tanaman kecombrang dengan kedua jenis pelarut dan pengemas mengalami kerusakan sehingga nilai total fenol cenderung terus menurun selama penyimpanan. Hal ini diduga disebabkan beberapa faktor, antara lain kondisi penyimpanan yang ekstrim dengan suhu ruang yang panas, pengaruh cahaya, oksigen dan reaksi-reaksi internal fraksi yang mengakibatkan perubahanperubahan selama penyimpanan. Botol gelas putih menyebabkan fraksi terpapar cahaya sehingga fenol mengalami kerusakan lebih besar daripada botol plastik,
82
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
walau demikian ternyata tidak berbeda disebabkan sifat plastik yang selektif permeabel terhadap oksigen (Nurminah, 2002). 2. Aktivitas Antioksidan Pengukuran aktivitas antioksidan yang dilakukan dengan metode feritiosianat didasarkan pada terbentuknya peroksida yang merupakan hasil oksidasi asam linoleat. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa selama penyimpanan bagian-bagian tanaman kecombrang sangat mempengaruhi aktivitas antioksidan, sementara jenis fraksi memberikan pengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan. Jenis pengemas maupun interaksi ketiganya ternyata tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan. Nilai rata-rata antioksidan selama penyimpanan fraksi terekstrak bagianbagian tanaman kecombrang (Gambar 6) untuk bunga berkisar antara 61,61 sampai 83,17 persen; untuk batang dalam berkisar antara 57,43 sampai 84,65 persen; untuk daun berkisar antara 40,64 sampai 60,40 persen; sementara untuk bagian rimpang berkisar antara 58,40 sampai 69,66 persen. Nilai tertinggi untuk masing-masing bagian tanaman yaitu pada minggu ke-0 dan mengalami penurunan selama penyimpanan.
Gambar 6. Pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang terhadap aktivitas antioksidan selama penyimpanan Berdasarkan hasil penelitian, bagian bunga dan batang lebih mampu menghambat oksidasi linoleat, bila dibandingkan dengan daun dan rimpang kecombrang. Hal ini menunjukkan bagian bunga dan batang mempunyai senyawa bioaktif yang mampu berperan sebagai antioksidan lebih banyak daripada daun dan rimpang. Hal ini diduga karena batang merupakan titik tumbuh suatu tanaman. Bunga juga merupakan bagian yang lebih muda dan aktif tumbuh daripada daun yang telah tua dan rimpang yang berada di dasar tanaman. Bunga terdiri atas dasar bunga dan dari dasar bunga organ-organ bunga lainnya tumbuh (Fahn, 1985, dalam Saroso, 2004).
83
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Menurut Laila (2009), daun sirih mengandung minyak atsiri yang sangat berperan sebagai zat antimikroba dan dalam minyak atsiri sepertiganya adalah fenol. Fenol merupakan senyawa bioaktif yang dapat berperan sebagai antioksidan. Kuantitas minyak atsiri lebih tinggi terdapat pada bagian yang lebih aktif tumbuh (Guenther, 1987a). Pada bagian yang tumbuh, diduga fenol dalam bentuk yang lebih sederhana daripada daun dan rimpang (Gambar 7). Bentuk yang sederhana menyebabkan bobot molekulnya lebih rendah dan atom H yang reaktif sehingga aktivitas antioksidan lebih tinggi. Kelompok senyawa fenol sederhana terdiri dari asam amino tirosin, DOPA, katekol, dan asam kafeat (Winarno, 1981).
Jenis fraksi berdasarkan hasil analisis ragam mempengaruhi nilai aktivitas antioksidan. Nilai rata-rata aktivitas antioksidan selama penyimpanan untuk fraksi etil asetat berkisar antara 62,30 sampai 73,87 persen, sedangkan fraksi etanol berkisar antara 47,47 sampai 75,07 persen (Gambar 8).
Gambar 8. Pengaruh jenis fraksi terhadap aktivitas antioksidan selama penyimpanan Golongan senyawa-senyawa fenolik, flavonoid dan alkaloid yang berpotensi sebagai antioksidan yang merupakan senyawa-senyawa polar diduga lebih terekstrak dengan oleh etanol yang juga senyawa polar (Indraswari, 2009). Komponen bioaktif yang dominan pada fraksi semi polar adalah flavonoid, sedangkan pada fraksi polar adalah fenol (Houghton dan Raman, 1998). Flavonoid yang berikatan dengan gula cenderung larut dalam air, sedangkan aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, flavon, dan flavonol 84
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
cenderung lebih mudah larut dalam pelarut semi polar (Pramudia, 2008, dalam Teguh, 2009). Flavonoid diduga mempunyai kemampuan untuk merubah atau mereduksi radikal bebas sehingga memiliki potensi sebagai antioksidan (Giorgio, 2000, dalam Hafid, 2003). Tidak semua senyawa polar dapat berperan dengan baik melindungi asam linoleat karena asam linoleat bersifat non polar, sehingga komponen bioaktif dalam fraksi etanol memberikan aktivitas lebih rendah daripada fraksi etil asetat. Hasil penelitian menunjukkan fraksi etil asetat ternyata lebih mampu melindungi asam linoleat daripada ekstrak etanolnya. Hal ini diduga karena fraksi etil asetat (semi polar) mempunyai sifat HLB (HydrophilicLypophilic Balance) yaitu keseimbangan sifat air (hidrofilik) dan sifat minyak (lipofilik) yang berperan terhadap tingginya aktivitas antioksidan. Pada pengujian menggunakan asam linoleat, kedua sifat pada fraksi etil asetat membentuk perlindungan internal dan eksternal yang mampu melindungi asam linoleat dari oksidasi. Diduga karena asam linoleat termasuk minyak, maka sifat lipofilik etil asetat dapat langsung menempel padanya dan menjadi pelindung dalam (internal), sedangkan sifat hidrofilik menyelimuti pelindung internal tersebut (eksternal), yang dapat dilihat pada Gambar 9 (Haryono et al., 2007). Sifat lipofilik
As. linoleat
sifat hidrofilik
Di dalam larutan uji
Gambar 9. Ilustrasi perlindungan terhadap asam linoleat oleh fraksi etil asetat Hasil analisis ragam jenis pengemas tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai antioksidan selama penyimpanan diduga disebabkan terjadinya kerusakan pada fraksi terekstrak selama penyimpanan baik dalam botol gelas putih maupun botol plastik tidak jauh berbeda. Nilai rata-rata aktivitas antioksidan selama penyimpanan untuk botol gelas putih berkisar antara 52,36 sampai 73,94 persen, sedangkan untuk botol plastik -berkisar antara 57,41 sampai 75,00 persen. Kerusakan komponen bioaktif yang berperan sebagai antioksidan dalam fraksi terekstrak dapat disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti cahaya, suhu dan oksigen dan faktor internal pada fraksi terekstrak itu sendiri. Beberapa senyawa fenol mudah teroksidasi oleh oksigen (Ho, 1992, dalam Naufalin, 2004). Suhu penyimpanan yaitu suhu ruang termasuk panas sehingga turut memicu kerusakan komponen bioaktif. Adanya cahaya juga memberikan kontribusi pada kerusakan, dan faktor internal yaitu terjadinya reaksi-reaksi alamiah pada fraksi terekstrak juga memungkinkan besarnya kerusakan terhadap senyawa bioaktif. Secara
85
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
keseluruhan, penurunan aktivitas antioksidan selama penyimpanan untuk botol gelas putih bening dari minggu ke-0 hingga ke-8 sebesar 21,58 persen dan untuk botol plastik penurunan terjadi sebesar 17,59 persen. Botol plastik cenderung lebih baik dibandingkan botol gelas, disebabkan botol plastik yang menghambat masuknya cahaya.
Gambar 10. Interaksi pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang dan jenis fraksi terhadap aktivitas antioksidan selama penyimpanan. B 1: bunga; B2: batang dalam; B3: daun; B4: rimpang; F1: fraksi etil asetat; dan F2: fraksi etanol
Interaksi antara bagian-bagian tanaman kecombrang dan jenis fraksi (BXF) mempengaruhi nilai aktivitas antioksidan (Gambar 10). Nilai rata-rata aktivitas antioksidan terbesar ditunjukkan interaksi perlakuan B 1F1 (fraksi bunga etil asetat) yaitu sebesar 75,57 persen, sedangkan interaksi perlakuan B3F2 memberikan nilai terendah yaitu sebesar 42,44 persen. Hal ini diduga karena interaksi etil asetat dan bunga kecombrang mampu menghasilkan komponen bioaktif (yang mempunyai aktivitas antioksidan optimum terhadap asam linoleat) lebih banyak dibandingkan dengan interaksi lainnya. Hal ini senada dengan Kanazawa et al. (1995), dalam Naufalin et al. (2005), yang menyatakan bahwa suatu senyawa yang mempunyai polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik (HLB). Diduga kandungan bioaktif dalam bunga yang memiliki HLB lebih tinggi dibandingkan dengan bagian batang dalam, daun dan rimpang. Selain itu, kemungkinan senyawa bioaktif dalam fraksi etil asetat lebih berperan sebagai antioksidan daripada fraksi etanolnya, sejalan dengan pernyataan Teguh (2009) dan Naufalin et al.(2005), bahwa ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri lebih baik dari etanol. Diduga fraksi semipolar memiliki nilai HLB lebih tinggi yang dapat melindungi asam linoleat dari kerusakan daripada fraksi polar. Interaksi antara pengaruh bagian-bagian tanaman kecombrang, jenis fraksi, dan jenis pengemas (BxFxP) tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan selama penyimpanan. Nilai rata-rata aktivitas antioksidan selama
86
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
penyimpanan untuk bunga berkisar antara 53,28 sampai 86,49 persen, untuk batang dalam berkisar antara 27,91 sampai 89,68 persen, untuk daun berkisar antara 22,13 sampai 65,57 persen, sementara rimpang berkisar antara 49,60 sampai 76,82 persen. Aktivitas antioksidan terbaik selama 8 minggu penyimpanan ditunjukkan oleh minggu ke-0, dan nilainya cenderung menurun selama penyimpanan. Bagian bunga dan batang dalam kecombrang memberikan aktivitas antioksidan yang tinggi hingga minggu ke-8 penyimpanan, yaitu di atas 50%. Penurunan aktivitas diduga berkaitan dengan efektivitas bahan pengemas terhadap fraksi terekstrak yang dilindungi selama penyimpanan dan komponen bioaktif yang terdapat fraksi yang berperan sebagai antioksidan pada asam linoleat. Baik botol gelas putih bening maupun botol plastik memberikan pengaruh perlindungan yang sama terhadap fraksi terekstrak. Komponen bioaktif dalam fraksi terekstrak bagian-bagian tanaman kecombrang dengan kedua jenis pelarut mengalami kerusakan selama penyimpanan sehingga nilai aktivitas antioksidannya terus menurun selama penyimpanan. Fraksi bagian-bagian tanaman kecombrang berasal dari tanaman kecombrang yang merupakan bahan organik, artinya proses metabolisme terus berlangsung dan selalu mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang akhirnya menyebabkan bahan tersebut menjadi kerusakan (Winarno, 1981). Menurut Nurminah (2002), adanya pengemas dapat membantu mencegah/ mengurangi kerusakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan fraksi terekstrak cenderung tidak stabil selama penyimpanan, yang dapat dilihat dari tingkat penurunan baik total fenol maupun aktivitas antioksidannya, namun demikian botol plastik cenderung memberikan perlindungan lebih baik dibandingkan botol gelas. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1. Bagian-bagian tanaman kecombrang berpengaruh sangat nyata terhadap total fenol dan aktivitas antioksidan selama penyimpanan. Selama penyimpanan, bunga memberikan nilai total fenol dan antioksidan berturut-turut berkisar antara 484,59 – 959,73 mg/100 g dan 61,61 - 83,17 persen; untuk batang dalam berturut-turut berkisar antara 462,92 – 1205,47 mg/100 g dan 57,43 84,65 persen; untuk daun berturut-turut berkisar antara 1338,06 – 8636,15 mg/100 g dan 40,64 - 60,40 persen; serta untuk rimpang berturut-turut berkisar antara 510 – 2453,41 mg/100 g dan 58,40 - 69,66 persen. 2. Jenis fraksi berpengaruh sangat nyata terhadap total fenol dan aktivitas antioksidan selama penyimpanan. Tingginya total fenol belum tentu menunjukkan tingginya aktivitas antioksidan. Selama penyimpanan, fraksi etil 87
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
asetat memberikan nilai total fenol dan antioksidan berturut-turut berkisar antara 522,08 – 1776,08 mg/ 100 g dan 62,30 – 73,87 persen; sementara fraksi etanol berturut-turut berkisar antara 854,10 – 4851,30 mg/100 g dan 47,47 75,07 persen. 3. Jenis pengemas tidak mempengaruhi total fenol dan aktivitas antioksidan selama penyimpanan. Selama penyimpanan, botol gelas putih bening memberikan nilai total fenol dan aktivitas antioksidan berturut-turut 741,54 – 3175,16 mg/100 g dan 52,36 - 73,94 persen; sementara botol plastik berkisar antara 705,80 – 3452,23 mg/100 g dan 57,41 - 75,00 persen. Penurunan total fenol selama penyimpanan untuk botol gelas sebesar 2427,27 mg/100 g dan untuk botol plastik sebesar 2746,42 mg/100 g, sedangkan penurunan aktivitas antioksidan selama penyimpanan untuk botol gelas sebesar 21,58 persen dan untuk botol plastik sebesar 17,59 persen. Botol plastik cenderung lebih baik dalam memberikan perlindungan terhadap fraksi terekstrak. 4. Interaksi perlakuan antara bagian-bagian tanaman kecombrang, jenis fraksi dan jenis pengemas tidak berpengaruh nyata terhadap total fenol maupun aktivitas antioksidan. Interaksi perlakuan yang menghasilkan total fenol dan aktivitas antioksidan tertinggi terlihat pada minggu ke-0. Bagian bunga dan batang dalam kecombrang memberikan aktivitas antioksidan yang tinggi hingga minggu ke-8 penyimpanan, yaitu di atas 50%. Saran 1. Penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi fraksi terekstrak bagian-bagian tanaman kecombrang dalam produk pangan serta efektivitas dan konsentrasi yang cocok untuk produk pangan tersebut. Daftar Pustaka Barus, P. 2009. Pemanfaatan Bahan Pengawet dan Antioksidan Alami pada Industri Bahan Makanan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kimia Analitik pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. 25 hal. Estiasih, T., dan D. A. Kurniawan. 2006. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Umbi Akar Ginseng Jawa (Talinum triangulare Willd.). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 17 (3): 166-175 hal. Guenther, E. 1987. Minyak Atsiri Jilid 1. Terjemahan Ketaren, S. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 510 hal. Hafid, A. 2003. Aktivitas Anti-Radikal Bebas DPPH Fraksi Metanol Fagraea auriculata dan Fagraea ceilanica. Jurnal. Majalah Farmasi Airlangga, Vol III No. 1, April 2003: 34-39. Haryono, D. Sondari, dan D. Mansur. 2007. Sintesis Chitosan Kationik dari Cangkang Udang dan Penggunaannya sebagai Stabilizer Produk Skin Lotion. Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang. 25 hal.
88
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hidayat S.S. dan J.R. Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi I: 440441. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Houghton, P. J. & A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for the Fractination of Natural Extract. Chapman & Hall. London. Indraswari, S. 2009. Mikroenkapsulasi Hasil Fraksinasi Batang Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Bagian Dalam: Penetapan Aktivitas Antioksidan Mikrokapsul. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (Tidak dipublikasikan). 67 hal. Istianto, T. 2008. Efektivitas Anti Mikroba Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan): Pengaruh Bagian-bagian Tanaman kecombrang Terhadap Bakteri Patogen Pangan dan Kapang Salak. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). 61 hal. Ketaren, S. 1990. Minyak Atsiri. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor. 112 hal. Laila, D. 2007. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Sirih Merah (Piper crocatum) dan Sirih Hijau (Piper betle, L) terhadap Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Naufalin, R. 2004. Antioksidan. Laporan Praktikum Komponen Bioaktif Pangan. Bogor, Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Naufalin, R., Betty S.L.J., F. Kusnandar, M. Sudarwanto, dan H. Rukmini. 2005. Aktivitas Antibakteri Ekstrsk Bunga Kecombrang terhadap Bakteri Patogen dan Perusak Pangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XVI No. 2 Th. 2005. 119-125 Nurminah, M. 2002. Penelitian Sifat Berbagai Bahan Kemasan Plastik dan Kertas serta Pengaruhnya Terhadap Bahan yang Dikemas. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara. 15 hal Othman, A., A. Ismail, Nawalyah A. G., dan I. Adenan. 2007. Antioxidant Capacity and Phenolic Content of Cocoa Beans. Journal Food Chemistry 100 (2007) 15231530. Prangdimurti, D. Muchtadi, M. Astawan, dan Fransiska R. Z. 2006. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N.E. Brown). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XVII No. 2 th. 2006. 79-86. Sudarmadji, S., B Haryono, dan Suhardi. 1989. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan pertanian . Liberty, Yogyakarta. 138 hal. Sudarminto, S. Yuwono dan T. Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Diktat. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang. 62 hal. Sutiah. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng dengan Parameter Viskositas dan Indeks Bias. "http://www.google/pdf.com/indeks_bias” di akses pada November 2009. Tampubolon, O.T., S. Suhatsyah, dan S. Sastrapradja. 1983. Penelitian Pendahuluan Kimia Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan). Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III. Fakultas Farmasi, UGM, Yogyakarta. Teguh, F. 2009. Aktivitas Antibakteri Mikrokapsul Fraksi-fraksi Hasil Ekstraksi Bertingkat Bunga Kecombrang (Nicolaia spesiosa Horan): Pengaruh Konsentrasi Mikrokapsul dan Sukrosa. Draft Seminar. Purwokerto: Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. 18 hal. Valianty K. 2002. Potensi Antibakteri Minyak Bunga Kecombrang. Skripsi. Purwokerto: Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Winarno, F. G., dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya, Jakarta. Saroso, W. A. 2004. Pengaruh Pengeringan Bagian yang Berbeda dari Bunga Kecombrang (Nicolaia spesiosa Horan) Sebelum Distilasi terhadap Rendemen dan Sifat Fisikokimia Minyak Atsiri. Skripsi. Purwokerto: Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.
89
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
CHARACTERISTICS of NATA de NONI (Morinda citrifolia) Sri Luwihana1, Siti Tamaroh1 And Siti Fatimah 1
1
Faculty of Agroindustry, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
[email protected] Abstract
Nata is a fermentation product of fruit extract by using acetic acid bacteria. The aim of this study is to produce nata from noni (Morinda citrifolia) with the addition of bean sprout extract. Noni juice was added with 10% of sugar, adjust the pH to 4.5 by acetic acid solution, then add the 0%, 10%, 20%, 30% of bean sprout extract respectively, sterilized at 121 0C for 15 minutes. The cold substrate was inoculated with 10% starter solution of Acetobacter xylinum FNCC 005, and incubated at room temperature for 10, 15 and 20 days to produce the nata. The nata were then analyzed for the moisture content, weight, thickness, bacteria number and preference test (texture, taste and color). The results showed that nata de noni produced with the addition of 20% bean sprout extract incubated for 20 days was the most preferred, weighing 77.91 g, 11.42 mm thick, texture (N) 14.21 and 60,35% deformation. Keywords: Acetobacter xylinum FNCC 005, bean sprout, nata, noni. Pendahuluan Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan tanaman multiguna yang semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan terutama untuk kesehatan. Buah mengkudu yang dikenal dengan nama pace (Jawa), noni (Hawai) mengandung fitokimia sehingga dapat dimanfaatkan sebagai suplemen maupun pengobatan tradisional dibeberapa negara antara lain Indonesia, China dan Hawai. Nata adalah suatu pelikel dari bahan selulosa merupakan produk fermentasi asam asetat oleh bakteri Acetobacterxylinum. Nata dikenal sebagai bahan makanan yang kaya akan serat dengan kadar serat sekitar 5% dan berkalori rendah yang disebut juga serat pangan - dietary fiber - (Astawan dan Astawan, 1991). Serat pangan ini sangat bermanfaat bagi kesehatan antara lain sebagai bahan yang dapat menurunkan kadar kolesterol darah, menurunkan kadar gula darah, dan memperlancar buang air besar. Nata yang berupa serbuk digunakan sebagai bahan penstabil beberapa produk olahan seperti minuman coklat, puding, mayonais dan lain-lain. Kandungan protein dalam buah mengkudu sebesar 0,93% (Kanetro, 2003) sehingga perlu nitrogen tambahan untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri. 90
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Salah satu faktor dalam fermentasi asam asetat yang mempengaruhi produksi nata adalah sumber nitrogen yang berupa senyawa urea, ekstrak yeast, pepton, asam glutamat dan kecambah kacang hijau. Dalam ekstrak kecambah diketahui kandungan nitrogen sebesar 0,59% (Didiet, 1999), gula total 1,95%, vitamin C 117,0 mg/100g (Kanetro, 2003). Penelitian pembuatan nata dengan bermacam bahan atau buah telah banyak dilakukan, akan tetapi penggunaan buah mengkudu sebagai bahan dasar pembuatan nata belum dilakukan. Salah satu kekurangan buah mengkudu yaitu memiliki bau yang tidak sedap.Tujuan penelitian adalah mempelajari produksi nata dari ekstrak mengkudu dengan penambahan ekstrak kecambah kacang hijau yang disukai panelis. Metoda Penelitian Bahan Buah mengkudu yang siap petik diperoleh dari daerah Godean, Sleman, Yogyakarta, sedangkan kultur murni Acetobacter xylinum FNCC-diperoleh dari Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM Yogyakarta. Cara penelitian Pembuatan ekstrak kecambah kacang hijau. Sebanyak 500g kecambah kacang hijau ditambah air dengan rasio 1:1 direbus selama 15 menit, disaring dengan kain saring. Pembuatan sari buah mengkudu.Satu kg buah mengkudu yang sudah matang disortasi, dicuci kemudian diblanshing pada suhu 90 º C selama 5 menit untuk memudahkan penghancuran. Ditambahkan air sebanyak 3 kali berat mengkudu, diremas-remas dan disaring untuk mendapatkan ekstrak mengkudu. Pembuatan starter. Ekstrak mengkudu sebanyak 500 mL dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan gula pasir sebanyak 10%, diatur sampai pH 4,5 dengan menambahkan asam asetat glasial. Kemudian ekstrak mengkudu yang telah ditambah bahan-bahan tersebut (media) disterilisasi pada suhu 121 º C selama 15 menit. Setelah media dingin diinokulasi dengan biakan murni Acetobacter xylinum FNCC 005 yang berumur 48 jam sebanyak 50 ml, digojok dan diinkubasikan pada 30 o C selama 48 jam. Pembuatan nata sari buah mengkudu. Sebanyak 100 mL ekstrak mengkudu ditambah gula 10%, ekstrak kecambah kacang hijau untuk masingmasing perlakuan 0, 10; 20 dan 30% (v/v) dan asam asetat glacial sampai pH4,5 dimasukkan kedalam botol jam dan disterilkan pada suhu 121 º C selama 15 menit. Setelah media fermentasi dingin diinokulasi dengan starter Acetobacter xylinum FNCC 005 sebanyak 10% (v/v) ditutup rapat dengan kertas payung dan diinkubasikan pada suhu kamar selama 10, 15 dan 20 hari. Selesai fermentasi nata diamati ketebalan, dan beratnya, dipotong dengan ukuran 2x2 cm, direndam
91
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
selama 2 hari kemudian direbus selama 30 menit untuk menghilangkan bau dan rasa asam. Analisa yang dilakukan: kadar air secara termogravimetri (Sudarmadji, dkk., 1089), berat, ketebalan dan tekstur nata (Llyod Instrument), pH, total asam, jumlah bakteri asam asetat (Fardiaz, 1992) serta uji kesukaan (Kartika, dkk., 1987). Hasil dan Pembahasan Kekenyalan Nata Tekstur suatu produk digunakan untuk mengetahui kekenyalan produk. Kekenyalan nata dinyatakan dengan gaya (N) dan deformasi (%). Kenyal adalah sifat produk pangan dalam daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan, Sifat ini digunakan untuk produk pangan yang plastis (dapat berubah bentuk). Produk dikatakan kenyal apabila produk yang dikenai gaya akan merapatkan strukturnya yang kemudian akan putus. Kekenyalan nata disebabkan karena nata tersusun oleh selulosa yang merupakan rangkaian polimer yang terikat dengan adanya ikatan hidrogen sehingga struktur nata menjadi kokoh. Penambahan ekstrak kecambah ke dalam substrat fermentasi menghasikan tekstur nata yang makin meningkat dan mencapai maksimal pada penambahan 20% ekstrak kecambah dan inkubasi selama 20 hari dengan nilai 14,21 (Tabel 1.) Peningkatan tekstur nata disebabkan karena kemampuan bakteri menghasilkan selulosa bertambah sehingga nata makin rapat dan jumlah padatan makin besar. Plastisitas atau deformasi adalah titik kritis atau daya tahan suatu produk mendapatkan tekanan hingga putus. Deformasi tertinggi sebesar 60,35% pada nata yang dihasilkan pada penambahan 20% ekstrak kecambah dengan lama inkubasi 20 hari (Tabel 1.). Tekstur nata yang keras ini disebabkan karena pada pembentukan selulosa yang meningkat akan menyebabkan penurunan air yang terperangkap dalam nata. Data pendukung menyatakan bahwa pada penambahan ekstrak kecambah yang makin meningkat kadar air nata makin menurun sampai pada penambahan 20%(data tidak ditampilkan). Tabel 1. Kekenyalan nata de noni pada variasi penambahan ekstrak kecambah dan waktu inkubasi Inkubasi (hari) 10 15 20
Gaya (N) 1,36a 1,62ab 2,76bc
0 Deformasi (%) 54,14a 56,91bc 57,81cd
Gaya (N) 4,09cd 4,19de 5,15e
10 Deformasi (%) 56,64cd 58,36de 58,91ef
92
Gaya (N) 6,10fg 10,49ijk 14,21k
15 Deformasi (%) 59,39gh 59,46hi 60,35i
Gaya (N) 6,00ef 7,36gh 8,29hij
20 Deformasi (%) 58,92 f 59,25g 59,66ij
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Berat dan Ketebalan nata de noni Pada penambahan 20% ekstrak kecambah dan inkubasi selama 20 hari dihasilkan berat nata maksimal sebesar 77,91g dengan tebal 11,42 mm (Tabel 2). Ekstrak kecambah sebagai sumber nitrogen diperlukan bakteri A. xylinum untuk pertumbuhan dan aktivitasnya memproduksi selulosa. Bakteri A. xylinum merupakan spesies bakteri asam asetat genus Acetobacter yang bersifat aerob dan pada kondisi statis (tidak digoyang) dapat menghasilkan serat selulosa dari substrat glukosa (Matsushita, dkk., 1994 ). Sukrosa yang ditambahkan kedalam media dihidrolisis oleh asam menjadi glukosa dan fruktosa, kemudian oleh aktivitas enzim fosfoglukomutase glukosa menjadi glukosa-6-fosfat, selanjutnya menjadi glukosa-1-fosfat, uridin difosfoglukosa (UDPG) dan akhirnya terbentuk selulosa. UDPG disintesa dalam bentuk fibril yang menonjol keluar dari sel bakteri asam asetat. Fibril selulosa mengalami polimerisasi dengan bantuan aktivitas enzim ekstraseluler yang terdapat pada selubung bakteri dan saling ikat mengikat secara tidak beraturan antara fibril selulosa membentuk lapisan yang disebut nata (Nji, 1999). Penambahan ekstrak kecambah memacu pertumbuhan sel bakteri yang terlihat jelas pada penambahan ekstrak kecambah 20% jumlah sel bakteri asam asetat mencapai 107 CFU/mL yang lebih besar daripada penambahan 10% maupun kontrol (data tidak ditampilkan). Berat dan ketebalan nata yang dihasilkan bervariasi tergantung dari bahan dasar yang digunakan, jumlah ekstrak kecambah yang ditambahkan dan waktu inkubasi. Produksi nata de soya dengan penambahan ekstrak kecambah 10% inkubasi 20 hari diperoleh berat 218,65 g dan tebal 10,50 mm (Didiet, 1999), sedangkan pada nata de pina dengan penambahan ekstrak kecambah 10% inkubasi 20 hari diperolah berat 69,93 g ; tebal 8,24 mm (Taufik, 2002) dan pada nata de jambu air dengan penambahan ekstrak kecambah 30% inkubasi 20 hari diperoleh berat 70,68 g dan tebal 7 mm (Tamaroh, 2004). Tabel 2. Berat dan ketebalan nata de noni pada variasi penambahan ekstrak kecambah dan waktu inkubasi Waktu Inkubasi (hari) 10 15 20
Berat (g) a 31,10 b 40,78 d 47,28
0
Konsentrasi ekstrak kecambah kacang hijau 10 20 Tebal Berat Tebal Berat Tebal (mm) (g) (mm) (g) (mm) a e d i f 1,23 43,31 5,37 61,64 7,92 b f e k i 3,10 54,04 7,12 71,36 9,75 c g g l k 4,62 59,59 8,70 77,91 11,42
(%)
30 Berat (g) e 50,18 h 59,99 j 66,45
Tebal (mm) e 7,17 h 9,28 j 10,62
Uji kesukaan nata de noni Warna coklat nata disebabkan karena warna ekstrak mengkudu dan ekstrak kecambah yang agak coklat, makin banyak ekstrak kecambah yang ditambahkan dan makin lama waktu inkubasi menghasilkan warna nata coklat. Perendaman dan perebusan nata sebelum diuji sensoris menghasilkan warna nata coklat 93
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kekuningan. Hasil uji kesukaan terhadap warna nata de noni menunjukkan ada perbedaan nyata, tetapi ada kecenderungan penambahan ekstrak kecambah 30% waktu inkubasi 15 dan 20 hari yang disukai panelis (Tabel 3). Adapun ciri nata yang baik adalah warna putih transparan mempunyai permukaan halus, rata, mempunyai ketebalan sama disemua bagian, mempunyai selaput tipis dibagian atas yang mudah dilepaskan dan mempunyai lapisan tipis lembek di bagian bawah (Pambayun, 2002). Pada pengujian sensoris nata ini tidak ditambahkan gula sebagai pemanis sehingga penilaian penelis tidak terpengaruh rasa gula. Tabel 3. Hasil uji tingkat kesukaan nata de noni pada variasi penambahan ekstrak kecambah dan waktu inkubasi Perlakuan 0% 10% 20% 30%
10 hari 15 hari 20 hari 10 hari 15 hari 20 hari 10 hari 15 hari 20 hari 10 hari 15 hari 20 hari
Warna i 4.75 hi 4,30 f 3,45 gh 4,05 fg 3,50 de 2,75 ef 3,15 cd 2,55 bc 2,05 cd 2,45 ab 1,80 a 1,30
Rasa a 0,64 a 2,6 a 2,25 a 2,5 a 2,45 a 2,0 a 2,4 a 2,1 a 1,85 a 1,9 a 1,8 a 1,8
Parameter Tekstur j 4,8 ij 4,35 ghi 3,85 hi 4,10 fgh 3,60 def 3,10 bc 2,80 ab 2,00 a 1,55 efg 3,45 cde 2,95 bc 2,35
Keseluruhan i 4,85 hi 4,30 gh 3,70 h 4,15 fg 3,50 def 2,95 cd 2,65 ab 1,95 a 1,40 efg 3,30 de 2,80 be 2,10
Hasil uji tekstur menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kecambah dan waktu inkubasi ada beda nyata sesuai pernyataan bahwa pertumbuhan sel bakteri meningkat dengan makin banyak jumlah ekstrak kecambah yang ditambahkan dan lama inkubasi sehingga produksi selulosa pembentuk nata juga meningkat. Penambahan ekstrak kecambah 20% dengan waktu inkubasi 20 hari paling disukai. Hasil uji kesukaan keseluruhan menunjukkan berbeda nyata antar perlakuan. Meskipun nata yang dihasilkan dengan penambahan ekstrak kecambah 20% inkubasi 20 hari lebih disukai panelis daripada 15 hari, namun pertimbangan ekonomis menentukan bahwa penambahan ekstrak kecambah 20% dengan inkubasi 15 hari yang paling disukai . Kesimpulan Secara umum dapat disimpulkan bahwa ekstrak mengkudu dapat digunakan untuk fermentasi nata de noni. Nata yang disukai penelis dihasilkan dari fermentasi dengan penambahan 20% ekstrak kecambah kacang hijau dan waktu inkubasi 20 hari dengan ketebalan nata 11,42 mm, berat 77,91 g, kekenyalan yang dinyatakan sebagai gaya 14,21 N dan deformasi 60,35%.
94
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Daftar Pustaka Astawan, M dan Astawan, M.W., 1999. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Akademika Pressindo. Jakarta. Didiet, N., 1999. Studi Pengaruh Penambahan Ekstrak Kecambah Kacang Hijau dalam Pemanfaatan Limbah Cair Tahu sebagai Bahan dalam Pembuatan Nata de Soya. Skripsi FTP. UNWAMA. Yogyakarta. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia Pusaka Utam. Jakarta. Kanetro, B., 2003. Formulasi dan Mikroenkapsulasi Komponen Volatil pada Pembuatan Minuman Tradisional Buah Mengkudu (Morinda citrifolia) dengan Spray Drying. Skripsi FTP. UNWAMA. Yogyakarta. Kartika, B., Pujihastuti. dan Supartono, W. 1988. Pedoman Uji Indrawi. PAU Pangan dan Gizi. UGM. Yogyakarta. Matsushita, K., Toyama, H dan Adachi, O. 1994. Respiratory Chain and Bioenergetics of Acetic Acid Bacteria in Advance in Microbial Physiology, Volume 36. Editor A.H. Rose and D.W. Tempest. Academic Press. Sydney. Nji, N.L., 1999. Pengaruh Kadar Gula dan Lama Fermentasi terhadap Selulosa yang Dihasilkan pada Fermentasi Nata. Skripsi FTP.UGM. Yogyakarta. Pambayun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Kanisius. Yogyakarta. Prihatmoko A., 2005. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Kecambah Kacang Hijau terhadap Produksi Asam Asetat dari Acetobacter pasteurianus INT-7 dengan Media Nira Tebu. Skripsi FTP. UNWAMA. Yogyakarta. Sudarmadji, S., Haryono B., dan Suhardi.1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Tamaroh, S., 2004. Pengaruh penggunaan Ekstrak kecambah dan lama Fermentasi pada Sifat-sifat Nata dari Buah Jambu Air (Syzygium aqueum Burn F. Alston). Skripsi FTP-THP UNWAMA. Yogyakarta. Taufik, E.H., 2002. Pengaruh penambahan Ekstrak kecambah dan Waktu Inkubasi terhadap Pembentukan Pelikel Nata Sari Buah Nanas. Skripsi FTP UNWAMA. Yogyakarta.
95
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
OKSIDASI DENGAN OZON TERLARUT UNTUK MEMPERBAIKI SIFAT FUNGSIONAL TAPIOKA MM. Endah Mulat Satmalawati1, Haryadi1 1
Ilmu dan Teknologi Pangan UGM Yogyakarta Abstrak
Penggunaan bahan-bahan kimia untuk oksidasi pati berpotensi meninggalkan limbah serta residu pada produk akhir. Ozon dikenal sebagai zat pengoksidasi yang kuat dan ramah lingkungan. Ozonasi merupakan salah satu dari Advanced Oxidation Process (AOP) atau proses oksidasi termutakhir yang cepat dan aman bagi produk pangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan konsentrasi ozon terlarut dan konsentrasi slurry pati terhadap perubahan karakteristik pati oksidasi yang dihasilkan Penelitian ini diawali dengan penentuan konsentrasi ozon terlarut air (O) yang digunakan sebagai variasi perlakuan (0 ppm; 0,3 ppm; 0,5 ppm dan 0,7 ppm) dikombinasikan dengan konsentrasi slurry pati (R) dengan mengatur rasio pati:air (1:4; 1:6; dan 1:8), sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan yaitu R 1:4O0; R1:4O0,3; R1:4O0,5; R1:4O0,7; R1:6O0; R1:6O0,3; R1:6O0,5; R1:6O0,7; R1:8O0; R1:8O0,3; R1:8O0,5; R1:8O0,7 masing-masing kombinasi perlakuan disinar dengan UV C selama 5 menit, dan selanjutnya dilakukan pengujian karakteristik fisikokimia pati teroksidasi. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi ozon dan konsentrasi slurry pati berpengaruh nyata pada karakteristik pati oksidasi, makin besar konsentrasi ozon yang diberikan makin menaikkan kadar karboksil, kadar amilosa, kelarutan, kejernihan pasta pati dan menurunkan viskositas puncak pasta pati Kombinasi perlakuan konsentrasi ozon 0,7 ppm dengan rasio pati:air 1:6 menghasilkan pati oksidasi dengan karakteristik viskositas pasta pati yang terendah (1894,4 cP) dan kejernihan pasta tertinggi (62,5% transmitansi). Kata kunci: tapioka, pati oksidasi, ozon terlarut,ozonasi
Pendahuluan Kebutuhan pangan khususnya sumber karbohidrat yang digunakan sebagai penyusun menu utama akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk dan juga bertambahnya industri-industri pengolahan sumber karbohidrat. Menurut Patil (2009), produksi pati di seluruh dunia diperkirakan lebih dari 64 juta ton dan akan mencapai 75 juta ton pada tahun 2012. Data produksi pati per tahun menyebutkan bahwa jagung menempati urutan pertama dengan jumlah 46,1 juta ton (73%) sebagai sumber pati yang disusul ubi kayu pada urutan kedua dengan jumlah produksi 9,1 juta ton (14%) selanjutnya gandum sebesar 5,15 juta ton (8%) dan kentang sebesar 2,45 juta ton (4%) dan sumber pati yang lainnya sebesar 1% (Roper dan Elvers, 2008) Diversifikasi pangan yang dilakukan sampai dengan saat ini belum diperoleh hasil sesuai dengan harapan, masih banyak komoditas sumber karbohidrat selain beras dan gandum yang belum digunakan secara maksimal untuk dapat mengatasi masalah
96
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pemenuhan kebutuhan pokok ini. Salah satu bahan pangan yang berpotensi dikembangkan sebagai pengganti sumber karbohidrat dari beras maupun gandum adalah ubi kayu. Ubi kayu sangat berpotensi dikembangkan selain karena kandungan karbohidratnya yang tinggi (73,7-84,9%) dan keberadaan ubi kayu juga sangat melimpah di Indonesia. Pati alami memiliki karakteristik yang terbatas untuk diaplikasikan pada produk pangan. Keterbatasan karakteristik pati alami meliputi kelarutan yang rendah, warna yang kurang menarik, viskositas tidak stabil saat pasta pati mengalami proses seperti pemanasan untuk waktu tertentu atau pada kondisi dingin (Kantouch dan Tawfik, 1998). Modifikasi pati seperti hidrolisis dengan menggunakan enzim pemecah pati, oksidasi, esterifikasi, eterifikasi dilakukan dengan tujuan memperbaiki sifat pati alami dimana pati modifikasi yang dihasilkan akan memiliki karakteristik fungsional pati seperti viskositas rendah, stabilitas tinggi, pembentukan film, sehingga pati modifikasi dapat diaplikasikan pada produk pangan dengan lebih luas seperti untuk bahan pengental, stabilizer juga sebagai pelapis. Oksidasi merupakan salah satu metode modifikasi pati. Telah dikenal secara meluas proses oksidasi buatan dengan menggunakan oksidator dari bahan kimia seperti hidrogen periksida, hipoklorit, klorine, kalsium hipoklorit, hidroperoksida, potasium permanganat, amonium persulfat, oksigen dan bromida pada industri makanan. Seiring dengan perkembangan metode modifikasi pati, penggunaan bahan kimia saat ini kurang dianjurkan karena alasan keamanan pangan dan gizi. Ozonasi merupakan salah satu dari Advanced Oxidation Process (AOP) atau proses oksidasi termutakhir yang cepat serta ramah lingkungan. Proses ozonasi yang telah banyak dikenal adalah pada proses pembuatan air mineral. Penelitian sebelumnya ozon dapat digunakan untuk proses penghilangan warna pada proses pencelupan benang ( Sarayu , et al., 2006). Penggunaan bahan-bahan kimia untuk oksidasi pati akan meninggalkan limbah serta berpotensi meninggalkan residu pada produk akhir. Ozon dikenal sebagai zat pengoksidasi yang kuat dan ramah lingkungan. Proses Ozonasi juga tidak meninggalkan residu pada produk pangan, sehingga direkomendasikan untuk diterapkembangkan.
Tujuan Mendapatkan sifat fungsional tapioka yang memiliki viskositas yang rendah, kelarutan tinggi, kejernihan pasta dan warna pati yang baik Metode Penelitian Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi kayu untuk membuat pati yang diperoleh dari petani ubi kayu di Desa Glagaharjo Kecamatan Cangkringan Sleman Yogyakarta untuk menjamin kesamaan varietas (Adira-4), aquades, gas oksigen, parafin / lilin, N,N-diethyl-p-phenylenediamine (DPD) untuk indikator pengukuran konsentrasi ozon, HCl, NaOH, iodin, asam acetat, aseton, hidroksilamin, indikator phenolptalein, indikator BCG-MR. Alat Penelitian
97
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Generator ozon metode corona discharge dengan kapasitas 4 gram per jam ozon komparator warna (ozon tester merk HASCH), UV C, kabinet drier 60 0C, spektrofotometer visibel, oven 105 0C, oven panggang 2000C, Minolta Colour Spectrophotometer (model CR-400/410 merk Minolta), Rapid Visco analyzer, dan peralatan lainnya untuk pembuatan pati dan analisa kimia Jalannya penelitian
Pembuatan pati basah didapatkan konsentrasi ozon yang akan digunakan untuk variasi perlakuan
Penentuan konsentrasi ozon
Penentuan lama penyinaranUV C
didapatkan lama penyinaran UV C yang tidak berpengaruh pada proses oksidasi pati
Pembuatan pati oksidasi dengan variasi perlakuan Konsentrasi Ozon 0, 0,3; 0,5; 0,7 ppm (hasil penentuan konsentrasi ozon) Rasio pati: air (b/b) 1:4 ; 1:6; 1:8 Masing-masing kombinasi perlakuan dilakukan iradiasi UV C selama 5 menit (hasil penentuan lama iradiasi UV C) Pengujian sifat fisikokimia: Kadar karbonil Kadar karboksil Kadar amilosa Solubilitas Kejernihan pasta Viskositas Hasil dan Pembahasan Kadar Karboksil dan Karbonil Pengujian kadar karbonil dan karboksil bertujuan untuk mengetahui tingkat oksidasi pada pati. Kadar karbonil dan karboksil yang dihasilkan pada proses ozonasi pati ini relatif rendah bila dibandingkan dengan hasil oksidasi pati menggunakan oksidator hipoklorit yang dapat menghasilkan kadar karboksil sampai dengan 1,1% . Menurut Murphy (2000), selama oksidasi melimpahnya gugus karboksil (COOH) dan karbonil (C=O) ditunjukkan secara bersama sebagai hasil dari depolimerisasi rantai pati. Kadar karbonil yang dihasilkan dari proses ozonasi ini adalah 0,13 -0,41%, dimana pada konsentrasi slurry pati 1:4 dan 1:6 semakin besar konsentrasi ozon yang ditambahkan
98
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
maka akan meningkatkan kadar karbonil. Sedangkan pada konsentrasi slurry pati 1:8 terjadi penurunan kadar karbonil saat ditambahkan konsentrasi ozon 0,5 ppm dan 0,7 ppm. Hasil pengujian kadar karbonil dan karboksil terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kadar karbonil dan karboksil (%) pada perlakuan variasi rasio pati:air dan konsentrasi ozon Konsentra si ozon (Oppm)
Rasio pati:air R1:4
Karboksil (%) 0,148 ± 0,11 aA
Karbonil (%) 0,22 ± 0,07
R1:6
O0 O0,3
0,35 ± 0,00
0,152 ± 0,07 aAB
0,28 ± 0,05
0,164 ± 0,08 aAB
0,34 ± 0,03
0,275 ± 0,04 bAB
O0,5
0,38 ± 0,02
0,229 ± 0,11
0,34 ± 0,04
0,221 ± 0,08
aAB
0,21 ± 0,02
0,293 ± 0,01 bAB
O0,7
0,41 ± 0,00
0,211 ± 0,10 aB
0,40 ± 0,04
0,302 ± 0,08 aB
0,13 ± 0,09
0,297 ± 0,02 bB
aAB
Karboksil (%) 0,150 ± 0,10 aA
Karbonil (%) 0,36 ± 0,18
R1:8
Karbonil (%) 0,13 ± 0,07
Karboksil (%) 0,258 ± 0,02 bA
Keterangan: notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tingkat kepercayaan 95% a,b : notasi untuk rasio pati:air A,B : notasi untuk konsentrasi ozon
Pada analisis kadar karboksil yang dilakukan, konsentrasi slurry pati dengan rasio pati:air 1:8 berpengaruh nyata pada kadar karboksil, semakin kecil kekentalan atau semakin encer konsentrasi larutan pati maka akan semakin tinggi kadar karboksilnya, sedangkan pada rasio pati 1:4 dan 1:6 kenaikan kadar karboksil tidak terlalu signifikan. Konsentrasi ozon berpengaruh nyata pada kadar karboksil, semakin tinggi konsentrasi ozon maka semakin tinggi kadar karboksilnya.
Gambar 1. Grafik kadar karbonil dan karboksil Kadar Amilosa Semakin banyak depolimerisasi amilopektin maka persentase amilosa akan semakin meningkat dari kondisi sebelumnya. Putusnya ikatan cabang pada amilopektin akan mengubah struktur amilopektin menjadi rantai lurus sehingga keberadaan amilosa akan meningkat. Menurut An dan King (2009) kemudahan amilosa terlepas selama proses
99
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
ozonasi disebabkan karena degradasi oksidasi dan perubahan struktur di mana integritas dari granula pati menjadi melemah. Hasil pengujian kadar amilosa terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kadar amilosa (%) pada perlakuan variasi rasio pati:air dan konsentrasi ozon Konsentrasi ozon ( (Oppm) O0 O0,3 O0,5 O0,7 Pati alami
23,29 24,13 25,29 25,56 22,8
Rasio pati:air R1:6 24,06 ± 0,30bA 24,41 ± 0,36bB 26,76 ± 0,77bC 28,81 ± 0,68bD
R1:4 ± 0,24 aA ± 0,09 aB ± 0,24aC ± 0,30aD
26,28 27,78 28,38 29,92
R1:8 ± 0,51cA ± 0,25cB ± 0,15cC ± 0,4cD
Keterangan: notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tingkat kepercayaan 95% a,b,c : notasi untuk rasio pati:air A,B,C,D : notasi untuk konsentrasi ozon
Solubility
Kelarutan pati meningkat untuk semua perlakuan dibandingkan dengan pati pati alami (0,70). Kelarutan pati terbesar diperoleh dari kombinasi rasio pati:air 1:8 dan konsentrasi ozon 0,7 ppm dengan angka kelarutan 1,4%. Konsentrasi ozon berpengaruh nyata pada kelarutan, makin besar konsentrasi ozon yang diberikan maka akan meningkatkan kelarutan pati. Hasil pengujian kelarutan tapioka dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Angka Kelarutan (%) pada perlakuan variasi rasio pati:air dan konsentrasi ozon Konsentrasi ozon (Oppm) O0 O0,3 O0,5 O0,7 Pati alami
Rasio pati:air (b/b) 0,85 0,92 0,99 0,99 0,7
R1:4 ± 0,1aA ± 0,00 aAB ± 0,1aAB ± 0,3aA
1,06 1,20 1,06 1,29
R1:6 ± 0,1 aAB ± 0,1aAB ± 0,1aAB ± 0,1aB
0,99 1,11 1,12 1,40
R1:8 ± 0,1 aA ± 0,2aAB ± 0,2aAB ± 0,6aB
Keterangan: notasi yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata tingkat kepercayaan 95% a,b : notasi untuk rasio pati:air A,B : notasi untuk konsentrasi ozon
Menurut Hodge dan Osman (1996), meningkatnya kelarutan pati setelah proses oksidasi dihasilkan dari adanya depolimerisasi dan pelemahan struktur dari granula pati. Oksidasi dengan ozon pada pati jagung, sagu dan tapioka akan meningkatkan kelarutan pati dibandingkan dengan pati pati alami ( Chan, et al., 2009).
100
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Viskositas pasta
Hasil penelitian menunjukkan semakin besar konsentrasi ozon yang ditambahkan maka semakin menurunkan viskositas puncak pasta pati. Perlakuan konsentrasi ozon 0,5 ppm dan 0,7 ppm menghasilkan viskositas puncak pasta pati yang lebih rendah dari pati pati alami (2380,8 cP). Kombinasi perlakuan konsentrasi ozon 0,5 ppm dan 0,7 ppm pada konsentrasi slurry pati 1:6 menghasilkan viskositas pasta secara berurutan 2195,2 cP dan 1894,4 cP, hal ini menunjukkan bahwa viskositas puncak pasta pati akan menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi ozon. Hasil pengujian viskositas pasta tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Kurva amilografi pati ubi kayu pada kombinasi perlakuan rasio pati: air 1:6 dengan konsentrasi ozon 0,5 dan 0,7 ppm Reaksi oksidasi pati selalu disertai dengan hidrolisis ikatan glikosidik yang akan mengarah pada terjadinya depolimerisasi yang akan mengakibatkan penurunan berat molekul. Oleh karena itu pati teroksidasi menunjukkan viskositas yang rendah (Demiete et.al, 2005; Shirai et.al, 2007; Sriroth et.al, 2002; Takizawa et.al, 2004; Wang dan Wang, 2003) Kejernihan Pasta Pati Kejernihan pasta pati tertinggi dihasilkan pada kombinasi perlakuan rasio pati:air 1:6 dengan konsentrasi ozon 0,7 ppm. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran viskositas pasta pati, dimana pada kombinasi perlakuan rasio pati:air 1:6 dengan konsentrasi ozon 0,7 ppm dihasilkan viskositas yang paling rendah diantara perlakuan lainnya, viskositas rendah diikuti dengan berat molekul yang rendah sehingga pada saat peneraan transmitansi akan dihasilkan kejernihan yang tinggi.
101
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 4. Kejernihan pasta pati (% transmitansi) pada perlakuan variasi rasio pati:air dan konsentrasi ozon No Sampel (%) Transmitansi 650 nm hari ke0 1 3 5 1 Pati alami 44,3 43,5 37,9 30,4 2 46,2 45,2 44,7 43,1 R1:4O0 3 49,1 48,3 47,5 46,3 R1:4O0,3 4 49,9 48,9 48,3 47,5 R1:4O0,5 5 52,2 50,2 49,9 49,7 R1:4O0,7 6 51,8 50,2 49,9 49,4 R1:6O0 7 54,9 54,7 53,8 52,7 R1:6O0,3 8 56,2 55,8 55,2 54,6 R1:6O0,5 9 62,5 62,3 61,8 60,4 R1:6O0,7 10 54,7 53,1 52,6 51,8 R1:8O0 11 56,1 55,4 54,3 53,4 R1:8O0,3 12 58,4 57,8 57,0 56,5 R1:8O0,5 13 57,9 56,9 56,2 55,8 R1:8O0,7 Kesimpulan
1. Konsentrasi ozon berpengaruh nyata pada parameter oksidasi yang diujikan, makin besar konsentrasi ozon yang diberikan makin naik kadar karboksil, kadar amilosa, kelarutan , tingkat kejernihan pasta 2. Makin besar konsentrasi ozon yang diberikan menghasilkan viskositas pasta pati yang rendah 3. Rasio pati:air berpengaruh nyata pada proses ozonasi. Semakin encer konsentrasi slurry pati menghasilkan peningkatan kadar karboksil, kadar amilosa, kelarutan, kejernihan pasta serta makin menurunkan viskositas pasta pati 4. Kombinasi perlakuan konsentrasi ozon 0,7 ppm dengan rasio pati:air 1:6 menghasilkan karakteristik pati terbaik untuk beberapa parameter yaitu viskositas pasta pati yang terendah, kejernihan pasta pati yang tertinggi Daftar Pustaka An H.J, King J.M, 2009. Using Ozonation and Amino Acids to Change Pasting Properties of Rice Starch. Journal of Food Science 74: 278-283 Demiete, I.M., Wosiacki, G., Cereda, M.P dan Mestres, C. 2005. Viscographic Characteristics of Chemically Modified Cassava Starches Assesed by RVA. Publ. UEPG Exact Soil Sci.Agr.Sci.Eng Ponta Grossa 11:7-17 Hodge, J.E dan Osman E.M. 1996. Carbohydrates, In Food Chemistry. Marcel New York : Dekker Inc. Kantouch, F., and Tawfik, S. 1998 dalam An H.J, King J.M, 2009. Gelatinization of Hypochlorite Oxidized Maize Starch inAqueous Solutions. Starch 50 Nr. 2-3. S. 114-119
102
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Murphy, P. Starch. 2000 dalam Hui Tin Chan, Rajeef Bhat, Alias A. Karim, 2009. In Handbook of Hydrocolloids. CRC Press, Boca Raton. Pp 41-65 Patil, S.K. 2009. Global Modified Starch Product Derivates and Markets A Strategic Review. Februari 1. www.Marketresearch.com Roper, H. dan Elvers, B. 2008. Starch.3.Economic Aspects. In Ullman’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. New York: John Wiley and Sons pp 21-22 Sarayu, K., Swaminathan K, Sandhya S. 2006. Assessment of Degradation of Eight Commersial Reactive Individually and in Mixture in Aqueous Solution by Ozonation. Sciencedirect 75: 362-368 Shirai, M.A., Haas, A., Ferreira, G.F., Matsugama, L.S., Fransco, C.M.L dan Demiete, I.M. 2007. Obtention, Physicochemical Characterization and Applications in Foods of Starches Modified by Oxidative Treatment. Ciens.Tecnol. Aliment 27:239-247 Sriroth, K., Piyachomwan, K., Sangseethong dan Oate C. 2002. Modification of Cassava Starch. Paper Presented at International Starch. Convention 11-14 June 2002. Cracow. Poland Takizawa, F.F., Silva, G.O., Konkel, F.E. dan Demiete, I.M. 2004. Characterization of Tropical Starch Modified with Potassium Permanganat and Lactic Acid. Brazilian Archives of Biology and Technology 47: 921-931 Wang Y.J; Wang, L. 2003. Phsycochemical Properties of Common and Waxy Corn Starches Oxidazed by Different Level of Sodium Hypoclorite. Carbohydrate Polym, 52, 207-217
103
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN DOSIS RAGI TERHADAP KADAR ALKOHOL PADA FERMENTASI AMPAS UBI JALAR (Ipomoea batatas Lamk) Novilia Susianawati (1) dan Rinny Hariyanti Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta 2011
(2
Abstrak Ampas ubi jalar (Ipomoea batatas Lamk) merupakan hasil samping dari pembuatan tepung ubi jalar atau tepung pati. Banyak masyarakat yang memanfaatkan limbah tersebut untuk pakan ternak bahkan terkadang dibuang, karena dianggap tidak memiliki nilai jual. Ampas tersebut akan menghasilkan nilai jual yang tinggi apabila dapat dimanfaatkan untuk pembuatan alkohol, karena didalam ampas ubi jalar tersebut mengandung karbohidrat 19,8% dan glukosa. Ampas tersebut dapat dimanfaatkan menjadi alkohol dengan cara fermentasi sehingga bernilai jual tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu fermentasi dan dosis ragi yang dapat memberikan hasil optimum terhadap kualitas alkohol ampas ubi jalar. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 di Laboratorium MIPA Universitas Sebelas Maret. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial terdiri dari 2 faktor yaitu faktor 1 waktu fermentasi (5 hari, 7 hari, 10 hari) dan faktor 2 dosis ragi (25 g dan 50 g masing-masing untuk 500 g bahan) dengan 3 kali ulangan, sehingga kedua faktor perlakuan diperoleh 6 macam kombinasi serta dilakukan distilasi kemudian dilanjutkan dengan uji kadar alkohol dengan GC MS (Gas Cromatography Massa Spectroscopy). Data dianalisis dengan Anava Dua Jalur dan dilanjutkan dengan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) untuk mengetahui derajat ketelitian masing-masing perlakuan dan menunjukkan kadar alkohol optimm yang menonjol. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu fermentasi dengan nilai F hitung 63,95 > F tabel 4,75, dosis ragi dengan nilai F hitung 18,57 > F tabel 3,88. Kadar alkohol minimum 18,80 % pada hari ke 5 dengan dosis ragi 25 g/500 g, kadar alkohol optimum 24,77 % pada hari ke 7 dengan dosis ragi 50 g/500 g, kadar alkohol maksimum 20,17 % pada hari ke 10 dengan dosis ragi 50 g/500 g. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa waktu fermentasi dan dosis ragi berpengaruh terhadap kadar alkohol.
104
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kata Kunci : Ampas Ubi Jalar, Waktu Fermentasi, Dosis Ragi dan Kadar Alkohol PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis energi terutama BBM (Bahan Bakar Minyak) saat ini sangat merugikan bagi masyarakat. Kenaikan harga BBM tidak hanya dipengaruhi oleh faktor suplai dan demand, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor geopolitik negara produsen. Melihat kondisi yang dialami bangsa Indonesia tersebut, pemerintah mulai memikirkan nasib rakyat yang sebagian besar mengandalkan (BBM) untuk keperluan sehari-hari. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah berupaya dalam pemanfaatan bahan bakar nabati yang disebut dengan biofuel yaitu dengan cara pembuatan bioetanol. Salah satu tahapan dalam pembuatan bioetanol yaitu dengan cara proses fermentasi karbohidrat. Adapun bahan pangan yang termasuk sebagai sumber karbohidrat dari serealia adalah jagung, jali, juwawut, gandum, sorgum (cantel), dari umbi-umbian berupa ganyong, gembili, tales, suweg, singkong, ubi jalar, tales kentang, dan buah-buahan didapat dari pisang, sukun, nangka muda (Astawan 2004:88). Karbohidrat merupakan kandungan utama dari ubi jalar. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamin, mineral, fitokimia (antioksidan) dan serat (pektin, selulosa, hemiselulosa). Kadar pati di dalam ubi jalar ubi jalar segar sekitar 20%. Pati ubi jalar berbentuk bulat sampai oval, dengan diameter 3 – 40 µm dengan kandungan amilosa sekitar 15 – 25%. Pengelolaan pangan dengan cara fermentasi merupakan jenis pengolahan pangan yang sangat populer dan secara tradisional banyak dilakukan ditingkat rumah tangga. Di Indonesia sangat kaya akan produkproduk pangan hasil proses fermentasi, salah satunya adalah pembuatan tape (Astawan, 2004:55). Namun demikian, pengolahan bahan makanan ubi jalar atau ubi rambat kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat, sehingga ampas (sisa) kurang dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu pemanfaatan ampas ubi jalar menjadi produk olahan yang mempunyai nilai jual tinggi dapat lebih menguntungkan salah satunya dengan cara pembuatan alkohol sederhana. Ubi jalar mengandung karbohidrat dan glukosa sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alkohol melalui fermentasi. Dengan adanya karbohidrat, glukosa dan mikroba khamir yang difermentasi akan menghasilkan suatu produk yang disebut dengan alkohol Berdasarkan hasil penelitian Tri (2008), bahwa tinggi rendahnya kadar gula dan kadar alkohol setiap gramnya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya
105
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kandungan amilum. Hal ini menunjukkan bahwa kadar amilum yang lebih tinggi mempengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi karbohidrat. Sedang dalam penelitian Nurul Fatimah (2008) tentang pengaruh waktu fermentasi 7 hari dengan dosis ragi 20% terhadap kadar alkohol hasil fermentasi tepung ganyong diperoleh kadar alkohol 26,33%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ludfi (2008), setelah dilakukan pengujian kadar alkohol pada fermentasi umbi ketela pohon diperoleh kadar alkohol 41,67% pada fermentasi 15 hari dengan dosis ragi 8 gram. Hasil akhir fermentasi karbohidrat ditentukan oleh sifat mikroba, media biakan yang digunakan, serta faktor lingkungan antara lain suhu dan PH. Glukosa termasuk senyawa yang paling sering digunakan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi. Keberhasilan proses fermentasi juga disebabkan karena adanya khamir Saccharomyces cerevisiae sebagai penghasil alkohol dalam fermentasi. Berdasarkan latar belakang maka mendorong peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil judul “PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN DOSIS RAGI TERHADAP KADAR ALKOHOL PADA FERMENTASI AMPAS UBI JALAR (Ipomoea batatas Lamk)” B. Pembatasan Masalah 1. Subjek penelitian adalah waktu fermentasi (5 hari, 7 hari, dan 10 hari) dan dosis ragi (25/500 g dan 50/500 g). 2. Objek penelitian adalah kadar alkohol pada fermentasi ampas ubi jalar. 3. Parameter penelitian adalah kadar alkohol.
106
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kerangka Berfikir Ubi jalar Produksi melimpah Mengandung karbohidrat dan glukosa Beberapa produk olahan yaitu: tepung pati, kue donat, mie instan, dodol, timus, Sisa pengolahan berupa ampas dengan karbohidrat 19,8 % Ampas sebagai bahan alternatif pembuatan alkohol Saccharomyces cerevisiae Fermentasi alkohol Destilasi Kadar alkohol
Gambar 2.5 Kerangka berfikir C. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakan pengaruh waktu fermentasi dan dosis ragi terhadap kadar alkohol pada fermentasi ampas ubi jalar? 2. Berapakah kadar alkohol optimum (kadar alkohol tertinggi) yang dapat diperoleh dari hasil perbandingan waktu fermentasi dan dosis ragi fermentasi ampas ubi jalar? D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh waktu fermentasi dan dosis ragi terhadap kadar alkohol pada fermentasi ampas ubi jalar. 2. Mengetahui perbandingan waktu fermentasi dan dosis ragi yang efektif untuk memperoleh kadar alkohol yang optimal. E. Manfaat 1. Memberikan informasi mengenai keefektifan perbandingan waktu fermentasi dan dosis ragi yang dapat digunakan untuk memperoleh kadar alkohol pada fermentasi ampas ubi jalar yang optimal.
107
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
2. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang pemanfaatan ampas ubi jalar untuk digunakan sebagai bahan alternatif industri pembuatan alkohol. 3. Meningkatkan nilai ekonomis ampas ubi jalar BAB II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Februari 2011 2. Tempat Penelitian a. Fermentasi ubi jalar dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas Muhammadiyah Surakarta b. Destilasi dan Pengujian Kadar Alkohol dilakukan di Laboratorium MIPA Universitas Sebelas Maret. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang digunakan antara lain: Pisau, parutan, timbangan kasar, timbangan analitik, mangkuk besar, kain, plastik, toples, karet, panci, kompor, seperangkat alat distilasi, pipet 1 ml, tabung reaksi, water bath, GC MS (Gas Cromatography Massa Spectroscopy). 2. Bahan Ampas ketela rambat untuk masing-masing perlakuan 500 g, air 500 ml, 25 g/500 g dan 50g/500 g ragi merk NKL. Bahan yang digunakan untuk uji alkohol antara lain: larutan alkohol hasil distilasi, kalium karbonat, kalium dikromat, etanol. C. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan Fermentasi Ubi jalar a. Mengupas, membersihkan dan memarut ubi rambat. b. Memisahkan antara ampas dan sari ubi rambat dengan cara memeras hasil parutan tersebut dengan kain. c. Menimbang ampas ubi tersebut sebanyak 500 g untuk masing-masing perlakuan (ada 6 perlakuan jadi ampas yang dibutuhkan 3000 g). d. Memberi air 500 ml untuk masing-masing perlakuan, kemudian merebusnya sambil diaduk-aduk sampai kental. e. Membiarkan ampas ubi rambat yang telah direbus tadi sampai dingin. f. Setelah adonan dingin, terlebih dahulu adonan diukur pHnya agar menjadi pH 4 – 5. g. Menaburkan ragi sesuai dengan dosis yang telah ditentukan dan mengaduknya hingga rata. h. Menempatkannya pada toples, kemudian menutupnya dengan plastik dan mengikatnya dengan karet sebelum ditutup dengan penutup toples. i. Memeramnya sesuai waktu fermentasi yang telah ditentukan. j. Setelah waktu pemeraman selesai, kemudian mendistilasi ampas umbi ketela rambat hasil fermentasi tersebut untuk mendapatkan alkohol. 2. Destilasi Alkohol 108
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
a. Mengambil ampas ubi jalar/ubi rambat kemudian memasukkan kedalam alat destilasi alkohol. b. Mendestilasi alkohol dengan cara memanaskan hasil fermentasi sampai mendidih pada suhu 700 – 800 C c. Mengembunkan uap hasil destilasi tersebut dengan menampung kedalam tabung penampung (tabung refluk). d. Apabila uap air sudah tidak lagi menetes kemudian mengambil hasil destilasi tersebut dan menyimpannya kedalam botol. 3. Uji Kadar Alkohol a. Menyiapkan larutan alkohol dari hasil destilasi fermentasi ampas ubi rambat. b. Memasukkan larutan alkohol tersebut sebanyak 1 ml ke dalam tabung reaksi yang telah diberi kalium karbonat, kalium dikromat, dan etanol masing-masing 1 ml. c. Memasukkan tabung reksi tersebut ke dalam waterbath selama 2 jam untuk menginkubasi larutan alkohol tersebut. d. Setelah diinkubasi selama 2 jam, kemudian diujikan pada GC MS dan mambaca kadar alkohol yang tertera. D. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan rancangan percobaan acak lengkap pola faktorial yang terdiri dari dua faktor perlakuan yaitu faktor 1 waktu fermentasi (F) dan faktor 2 dosis ragi (R) dengan dua ulangan perlakuan sehingga menghasilkan enam kombinasi perlakuan. Adapun faktor perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Faktor waktu fermentasi dengan 3 ulangan yaitu : F1 : Waktu fermentasi 5 hari F2 : Waktu fermentasi 7 hari F3 : Waktu fermentasi 10 hari 2. Faktor dosis ragi dengan 3 ulangan yaitu: R1 : Dosis ragi 25 g/500 g R2 : Dosis ragi 50 g/500 g Tabel 3.1 Variasi kombinasi perlakuan waktu fermentasi dan dosis ragi Dosis ragi R1 R2 Waktu Fermentasi F1 F1R1 F1R2 F2 F2R1 F2R2 F3 F3R1 F3R2 Keterangan : F1R1 : Fermentasi 5 hari dengan dosis ragi 25 g/500 g F1R2 : Fermentasi 5 hari dengan dosis ragi 50 g/500 g F2R1 : Fermentasi 7 hari dengan dosis ragi 25 g/500 g 109
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
F2R2 : Fermentasi 7 hari dengan dosis ragi 50 g/500 g F3R1 : Fermentasi 10 hari dengan dosis ragi 25 g/500 g F3R2 : Fermentasi 10 hari dengan dosis ragi 50 g/500 g Tabel 3.2 alkohol hasil fermentasi ampas ubi jalar/100 gram Kadar alkohol Jumlah Rata-rata Variasi Standart (%) Deviasi kombinasi () () 1 2 3 F1R1 F1R2 F1R3 F1R2 F2R2 F3R2 E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tiga metode yaitu : Metode Eksperimen, Metode Studi Pustaka, dan Metode Dokumentasi. F. Analisis Data Dalam penelitian ini data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis varians dua jalur/anava dua jalur. Untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan dosis ragi dan lama waktu fermentasi yang berbeda. Setelah dilakukan uji anava dua jalur menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji lanjut untuk melihatkan perlakuan masing-masing yang berbeda dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ). BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil pengamatan 1. Uji kadar alkohol Berdasarkan data hasil uji kadar alkohol ampas umbi ketela rambat (Ipomoea batatas), diperoleh hasil data sebagai berikut : Tabel 4.1 Kadar alkohol (%) ampas ubi jalar (Ipomoea batatas Lamk) Variasi Rata-rata (Ҳ) kombonasi F1R1 18,80* F2R1 23,20 F3R1 19,90 F1R2 21,23 F2R2 24,77** F3R2 20,17 Keterangan : * Rata-rata kadar alkohol terendah 110
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
** Rata-rata kadar alkohol tertinggi Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kadar alkohol optimum pada perlakuan F2R2 (dosis ragi 50 gram dan waktu fermentasi 7 hari) dengan rata-rata jumlah 24,77% sedangkan jumlah kadar alkohol minimum pada perlakuan F1R1 (dosis ragi 25 gram dan waktu fermentasi 5 hari) dengan ratarata jumlah 18,80% dan kadar alkohol yang maximum pada perlakuan F3R2 (dosis ragi 50 gram dan waktu fermentasi 10 hari) dengan rata-rata jumlah 20,17 %. B. Pengujian Hipotesis Untuk menentukan pengujian hipotesis, maka rata-rata jumlah kadar alkohol dianalisis dengan menggunakan Anava Dua Jalur, kemudian dilanjutkan dengan uji BNJ untuk mengetahui beda nyata masing-masing perlakuan, adapun hasilnya adalah sebagai berikut : 1. Uji Anava Dua Jalur kadar alkohol ampas umbi ketela rambat. Tabel 4.2 Hasil Uji Anava Dua Jalur kadar alkohol hasil fermentasi jalar. Sumber F F tabel Db JK KT Keragaman hitung 5% 1. Perlakuan 5 75,36 15,07 30,75** 3,11 A (Dosis) 2 62,68 31,34 18,57** 4,75 B (Waktu) 1 9,10 9,10 63,95** 3,88 AB 2 3,58 1,79 3,65 3,88 (Interaksi) 2. Galat 12 5,83 0,49 Total 17 81,19 42,72 * Berbeda secara nyata pada taraf signifikasi 5 % ** Berbeda secara nyata pada taraf signifikasi 1 %
ampas ubi F table 1% 5,06 9,33 6,93 6,93 -
Keputusan uji Anava Dua Jalur adalah 1) F hitung A > F table A (18,57 > 4,75), artinya signifikansi yaitu dosis ragi yang berbeda sangat berpengaruh terhadap kadar alkohol pada fermentasi ampas ubi jalar (Ipomoea batatas Lamk). 2) F hitung B > F table B (63,95 > 3,89), artinya signifikansi yaitu waktu fermentasi yang berbeda sangat berpengaruh terhadap kadar alkohol pada fermentasi ampas ubi jalar (Ipomoea batatas Lamk). Karena hasil dari F hitung lebih besar dari F tabel maka signifikansi sehingga dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Adapun keputusan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) adalah sebagai berikut :
111
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 4.3 Hasil Uji Beda Nyata Jujur kadar`alkohol ampas ubi jalar. Berbeda nyata dengan RataPerlakuan F1R1 F2R1 F3R1 F1R2 rata F2R2 F3R2 F1R1 18,80 4,4** F2R1 23,20 1,1 3,3** F3R1 19,90 2,43* 1,97 1,33 F1R2 21,23 5,97 ** 1,57 4,87** 3,54** F2R2 24,77 1,37 3,03** 0,27 0,95 F3R2 20,17 4,6** 0 ,05 = 1,9
-
0 ,01 = 2,44
Keterangan
1. 2. 3. 4. 5.
* Berberda nyata ** Berbeda sangat nyata Keputusan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) sebagai berikut : Perlakuan F1R1 berbeda sangat nyata dengan perlakuan F2R1, F2R2 dan F3R2. Perlakuan F2R1 berbeda sangat nyata dengan perlakuan F3R1, F1R2 dan F3R2. Perlakuan F3R1 berbeda sangat nyata dengan perlakuan F1R2, F2R2 dan F3R2. Perlakuan F1R2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan F2R2 dan F3R2. Perlakuan F2R2 berbeda sangat nyata dengan perlakuan F3R2.
Hasil Uji BNJ menunjukkan bahwa perlakuan memperoleh hasil kadar alkohol yang paling optimal pada F2R2 (dosis ragi 50 gram dengan waktu fermentasi 7 hari adalah 24,77%) karena memiliki nilai selisih rata-rata yang paling besar dan sangat berbeda nyata (5,97 > 2,44) pada taraf signifikansi 1 %. C. Pembahasan 1. Kadar alkohol Dari gambar 4.1 di atas terlihat jelas bahwa kadar alkohol pada perlakuan F2R2 (lama waktu fermentasi 7 hari dengan dosis ragi 50 gram). Sedangkan kadar alkohol terendah pada perlakuan F1R1 (lama waktu fermentasi 5 hari dengan dosis ragi 25 gram). Perbedaan kadar alkohol sangat berkaitan erat dengan cepat dan lambatnya pertumbuhan sel ragi yang diinginkan untuk memfermentasikan bahan, sedangkan pertumbuhan dari sel ragi/khamir itu sendiri juga dipengaruhi oleh media dan kondisi medium, pemilihan khamir, nutrient, kandungan gula, keasaman (pH), oksigen dan suhu. Suhu yang optimum untuk fermentasi optimum adalah 26 – 280 C, diatas 300 C produksi bioetanol akan menurun (Budiyanto, 2004).
112
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kadar Alkohol (%)
Berdasarkan hasil dapat terangkum dalam gambar grafik histrogram berikut :
Perlakuan
Gambar 4.1 Histogram kadar alkohol hasil fermentasi ampas ubi jalar. Suhu yang digunakan selama proses fermentasi akan mempengaruhi mikroba yang berperan dalam proses fermentasi. Suhu yang baik untuk fermentasi maksimum adalah 300C. Semakin rendah suhu fermentasi makin banyak alkohol yang dihasilkan, karena pada suhu rendah fermentasi akan lebih kompleks dan kehilangan alkohol yang terbawa gas CO2 akan lebih sedikit, pada suhu yang tinggi akan mematikan mikrobia dan menghentikan proses fermentasi (Desrosier, 1988). Waktu dalam fermentasi juga sangat mempengaruhi kadar alkohol, dari lama waktu fermentasi 5 hari, 7 hari dan 10 hari dapat diketahui bahwa alkohol tertinggi terdapat pada fermentasi 7 hari. Perbedaan kadar alkohol ditunjukkan dari hasil anava dua jalur bahwa Fhitung > Ftabel (63,95 > 3,89) artinya signifikan yaitu ada perbedaan kadar alkohol pada lama waktu fermentasi yang berbeda (5 hari, 7 hari dan 10 hari). Hal ini didukung pendapat Nety (2008), pada kadar glukosa dan bioetanol pada fermentasi tepung umbi ketela pohon (Manihot utillisima, Pohl) varietas mukibat dengan penambahan H2SO4 kadar alkohol tertinggi pada waktu fermentasi 7 hari dengan dosis ragi 100 gram yaitu 39,80%, sedangkan kadar bioetanol yang paling rendah pada waktu fermentasi 5 hari dengan dosis ragi 50 gram yaitu 11,76%. Hal ini disebabkan karena semakin lama inkubasi akan membuat aroma semakin menyengat dan berasa alkohol/ pada proses fermentasi sebelum terbentuk alkohol maka akan membentuk glukosa lebih dahulu sehingga untuk pembentukan alkohol membutuhkan waktu lebih lama dari pada pembentukan glukosa, namun bila fermentasi terlalu lama maka nutrisi dalam subtrat akan habis dan khamir tidak dapat memfermentasikan bahan.
113
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kadar alkohol tertingi pada lama fermentasi 7 hari karena adanya aktivitas khamir Saccharomyces cerevisiae yang bekerja secara optimal dengan subtrat gula yang difermentasikan secara kegiatan enzimatis yang tidak terhambat. Kadar alkohol terendah pada lama waktu fermentasi 5 hari karena glukosa belum pecah menjadi etanol. Sedangkan pada fermentasi 10 hari kadar alkohol menurun karena aktifitas kapang dan khamir sudah habis atau sudah melewati masa optimum. Perbedaan kadar alkohol yang dihasilkan dari berbagai umbi-umbian disebabkan karena kandungan bahan yang terdapat dalam masing-masing subtrat yang berbeda. Salah satunya adalah karbohidrat yang terkandung pada bahan tersebut. Karbohidrat ini berkaitan erat dengan medium mikroorganisme pada fermentasi, dimana karbohidrat yang terkandung pada bahan bersama khamir Saccharomyces cerevisiae pada ragi akan membentuk enzim, dan dengan enzim tersebut mampu membentuk alkohol semaksimal mungkin. Menurut Schlegel (1994), produsen utama alkohol adalah ragi terutama Saccharomyces cerevisiae. Organisme ini meragikan karbohidrat menjadi alkohol dan CO2. Pada kondisi anaerob terjadi penimbunan alkohol sedangkan ragi sendiri merupakan organisme aerob. Pembuatan alkohol dengan cara fermentasi biasanya dengan bantuan mikroorganisme. Mengenai bahan dasar yang dapat dipakai untuk membuat alkohol dengan cara fermentasi ini pada dasarnya bahan-bahan yang mengandung pati (karbohidrat) menjadi pati menjadi glukosa, selanjutnya Saccharomyces cerevisiae akan mengubah glukosa menjadi alkohol. Untuk memisahkan alkohol dari air dapat di lakukan penyulingan atau destilasi bertingkat sehingga dapat diperoleh alkohol dengan kadar kurang lebih 90% (Fessenden, 1997). Menurut Winarno (2004), Saccharomyces cerevisiae mempunyai daya konversi gula sangat tinggi karena menghasilkan enzim invertase dan zimase. Enzin invertase ini berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Enzim zimase mengubah glukosa menjadi etanol, sehingga semakin lama waktu fermentasi kadar glukosa yang dihasilkan semakin rendah karena sebagian glukosa telah terkonversi menjadi etanol. Menurut Fessenden dan Fessenden (1997), adanya pengaruh waktu fermentasi dapat disebabkan karena pada saat fermentasi terjadi perubahan glukosa menjadi etanol. Pada proses peragian atau fermentasi dapat dihambat dengan sempurna oleh masuknya udara. Maka apabila tempat pemeraman suatu bahan yang digunakan dibuka saat itu juga proses fermentasi mulai terhenti. Kandungan air di dalam lingkungan mikroba juga mempengaruhi sifat pertumbuhan mikroorganisme. Bila kandungan air disekitar lingkungan cukup, maka cairan didalam sel mikroba mengalir keluar, sehingga metabolisme terhenti dan menyebabkan bahan yang terdapat dalam sel sangat pekat dan akhirnya akan menghambat aktivitas enzim.
114
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Faktor lain yang dapat menghambat atau mengganggu pertumbuhan khamir yaitu sterilisasi dan peralatan lainnya yang digunakan untuk memeramkan bahan dan cara memasak atau cara pengerjaan fermentasi serta bentuk bahan atau bentuk umbi sendiri (ampas atau tepung) pencampuran dengan ragi harus dilakukan dengan menggunakan sendok, sebab jika tersentuh oleh jari akan berwarna kemerah merahan dan menjadi asam. Alkohol merupakan salah satu bahan bakar yang dapat diproduksi dari berbagai bahan baku, seperti singkong, tebu, aren, dan jagung. Etanol atau alkohol etil ialah senyawa kimia yang ditemui di dalam minuman beralkohol atau arak dan tidak efektif terhadap spora bakteri. Selain digunakan di dalam arak, alkohol juga digunakan sebagai bahan api untuk menghasilkan gasoline. Menurut Anonim (2000), katalisator adalah zat yang ditambahkan ke dalam suatu reaksi dengan maksud memperbesar reaksi. Fungsi katalis adalah memperbesar kecepatan reaksinya dengan jalan memperkecil energi pengaktifan suatu reaksi dan dibentuknya tahap-tahap reaksi yang baru. Dengan menurunnya energi dan pengaktifan maka pada suhu yang sama reaksi dapat berlangsung lebih cepat. Katalis ini tidak hanya bersifat asam, tetapi juga merupakan agen pengoksidasi yang kuat. Pada proses fermentasi sebelum terbentuk alkohol maka terbentuk glukosa terlebih dahulu sehingga untuk pembentukan alkohol membutuhkan waktu lebih lama dari pada pembentukan glukosa. Namun bila fermentasi terlalu lama, nutrisi dalam substrat akan habis dan khamir tidak dapat memperfermentasi bahan. Hal ini didukung oleh pendapat Sri Hartatik (2008), cepat lambatnya khamir juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah formulasi media yang digunakan sebagai proses pengembangbiakan mikroba sejak persiapan inokulum sampai tahap fermentasi akan didapatkan hasil yang optimum ketika pertumbuhan enzim maksimum dan ketersediaan subtrat yang cukup. Selain itu menurut Buckle (1992), arti penting khamir secara ekonomis terletak pada kemampuan memecah pangan berkarbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida. Proses fermentasi alkohol hanya dapat terjadi apabila terdapat sel-sel khamir. Dalam pengertian luas, fermentasi adalah aktivitas metabolism mikroorganisme aerobik atau subtrat organik yang cukup tinggi. Menurut Desrosier (1988), kecepatan reaksi dalam suatu proses kimia maupun reaksi yang dibantu oleh enzim tidaklah konstan. Pada permulaan reaksi nampak giat untuk bereaksi kemudian reaksi tersebut akan berkurang. Hal ini disebabkan oleh adanya hasil akhir yang tertimbun. Hasil akhir yang tertimbun akan menghambat kecepatan enzim sehingga kadar alkohol yang dihasilkan akan menurun. Selain itu juga dimungkinkan karena ketersediaan subtrat yang terdapat dalam bahan semakin menipis, sehingga kegiatan enzim pun juga akan berkurang.
115
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Alkohol mempunyai beraneka ragam kegunaan antara lain: sebagai bahan baku pembuatan senyawa organik lain seperti asam asetat yang merupakan hasil fermentasi alkohol oleh Acetobacter acetyl, alkohol untuk membuat eter, chloroform, alkohol digunakan dalam kesehatan sebagai antibeku, kemudian alkohol juga dapat digunakan sebagai bahan pelarut minyak wangi, sebagai baha n bakar setelah di denaturasi terlebih dahulu dan sebagai salah satu komponen dalam kosmetik (Budiyanto, 2002). Dalam bidang pendidikan alkohol digunakan terutama di laboratorium dan dalam kehidupan sehari-hari yang biasanya digunakan sebagai anti bakteri. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh antara waktu fermentasi dan dosis ragi terhadap kadar alkohol pada ampas ubi jalar. 2. Kadar alkohol minimum pada perlakuan F1R1 (18,80%) pada waktu fermentasi 5 hari dan dosis ragi 25 g/500 g. 3. Kadar alkohol optimum pada perlakuan F2R2 (24,77%) pada waktu fermentasi 7 hari dan dosis ragi 50 g/500 g. 4. Kadar alkohol maksimum pada perlakuan F3R2 (20,17%) pada waktu fermentasi 10 hari dan dosis ragi 50 g/500 g. Daftar Pustaka Anonim. 2000. http://bebas.ulsm.org/V12/sponsor/sponsorpendamping/praweda/ kimia/0177%20kim%201-Se.htm. (diakses tanggal 23 Oktober 2010). Anonim. 2007. Varietas Ubi Jalar Ungu. (online) http://www.budiboga.blospot.com/2007/4/varietas-ubi-jalar-ungu.html. (dialses tanggal 23 Oktober 2010). Anonim. 2009. Ubi Jalar Kaya Karbohidrat, Mineral, dan Vitamin. (online) http://www.beritaterkinionline.com/2009/11/ubi-jalar-kaya-karbohidratmineral-dan-vitamin.html. (diakses tanggal 26 Oktober 2010). Anonim, 2009, Mengenal Ragi dan Fungsinya. Diakses tanggal 23 oktober 2010, . Anonim. 2010. Glukosa. (online). http://id.wikipedia.org/wiki/glukosa. (diakses tanggal 23 Oktober 2010). Astawan, Made. 2004. Tetap Sehat Dengan Produk Makanan Olahan. Solo: Tiga Serangkai. . 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo: Tiga Serangkai. Agus, Krisna Budiyanto. 2004. Mikrobiologi Terapan. Malang: Universitas Muhammadiyah malang.
116
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Auliana, Rizqie. 2001. Gizi dan Pengolahan Pangan. Yogyakarta: Adicita. Buckle, K.A. dkk. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. . 1992. Ilmu Pangan. Jakarta: UI Press. Campbell. 2005. Biologi. Jakarta: Erlangga. Desrosier, Norman W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI Press. Dwidjoseputo. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi cetakan ke 16. Jakarta. Djambatan. Fatimah, Nurul. 2008. “Kadar Glukosa dan Bioetanol Hasil Fermentasi Tepung Ganyong (Canna edulis Kerr) Dengan Dosis Ragi dan Waktu Berbeda” (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Fessenden Ralph J, Joan S Fessenden. 1997. Dasar-dasar Kimia Organik. Jakarta: Binarupa Aksara. Gaman dan Sherrington. 1994. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi edisi ke 2. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press. Gandjar, Indrawati. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hamid, Abdul. 2001. Biokimia : Metabolisme Biomolekul. Bandung: Alfabeta. Hanafiah, Kemas Ali. 1994. Rancangan Percobaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hartatik, Sri. 2008. “Kadar Glukosa dan Bioetanol Pada Fermentasi Gaplek Ketela Pohon (Monihot utillisima Pohl) Varietas Mukibat Dengan Penambahan Aspergillus niger”. (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hawab. 2004. Pengantar Biokimia. Malang: Banyu media. Iwas. 2010. Sehat Dengan Ubi Jalar Merah Ketela Rambat. http://iwas.blog.uns.ac.id/2010/10/18/sehat-dengan-ubi-jalar-merah-ketelarambat/. (diakses tanggal 26 Oktober 2010). Kartasapoetra., Marsetyo. 2005. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineka Cipta. Lay, Bibiana W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ludfi, Anidita Khorida. 2008. “Pengaruh Waktu Fermentasi dan Dosis Ragi Terhadap Kadar Alkohol Pada Fermentasi Ampas Umbi Ketela Pohon”. (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Muchtadi, Deddy. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Alfabeta.
117
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Murray, Robert., Daryl Granner. 2009. Biokimia Harper edisi 27. Jalarta EGC. Nety, Purwanti. 2008.”Pengaruh Waktu Fermentasi dan Dosis Ragi Terhadap Kadar Glukosa dan Bioetanol Pada Fermentasi Tepung Umbi Ketela Pohon (Monihot utillisima, Pohl) Varietas Mukibat Dengan Penambahan H2SO4”. (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Palupi, Ayomi. 2007. “Perbandingan Kadar Alkohol dan Glukosa hasil Fermentasi Biji Nangka Varietas Salak dan Bubur” (Skripsi S-1 Progdi Biologi). Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pelczar, Michael., Chan. 2007. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid I. Jakarta: UI Press. Purwoko. Tjahjadi. 2007. Fisiologi Mikroba. Jakarta: Bumi Aksara. Rahayu, Triastuti. 2009. Penuntun Praktikum Mikrobiologi. Surakarta: Laboratorium Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rahmad, Rukmana dan Yuniarsih. 2001. Aneka Olahan Ubi Kayu. Yogyakarta: Kanisius. Restiani, Erna Swesti. 2005. “Perancangan Pabrik Etil Alkohol Dari Tapioka Kapasitas 70.000 Ton Pertama” (Skripsi S-1 Tehnik Kimia). Surakarta: Fakultas Tehnik Universitas Muhammadiyah Surakarta. Riadi, Lieke. 2007. Teknologi Fermentasi. Yogyakarta : Graha Ilmu. Sa’id, E. Gumbira. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: Pt Mediyatama Sarana Perkasa. Schlegel, Hans G. 1994. Mikrobiologi umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Steenis. 2005. Flora. Jakarta: Pradya Paramita. Tarwotjo, C Soejoeti. 1998. Dasar-dasar Gizi Kuliner. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Wirahardikusumah, Muhammad. 2002. Biokimia Metabolisme Energi, Karbohidrat, dan Lipid. Bandung: ITB. Wirakusumah, Emma S. 2002. Buah dan Sayur untuk Terapi. Jakarta : Penebar Swadaya. Volk dan Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar Jilid I. Jakarta: Erlangga. Wilbraham, Antony dan Michael S Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung: ITB. Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Yazid, Estien., Lisda Nuryanti. 2007. Penuntun Praktikum Biokimia Untuk Mahasiswa Analisis. Yogyakarta: Andi.
118
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Zulaekah, Siti. 2004. Diktat Ilmu Bahan Makanan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
119
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
MAKALAH POSTER
120
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PELUANG PENGEMBANGAN GULA ALTERNATIF DARI PATI DAN TEPUNG UMBI-UMBIAN DALAM RANGKA MENDUKUNG SWASEMBADA GULA NASIONAL TAHUN 2014 Yeyen Prestyaning Wanita 1) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta E-mail:
[email protected] Abstrak Mulai tahun 1994 industri gula nasional mengalami berbagai permasalahan. Tingkat konsumsi gula nasional meningkat karena pola konsumsi masyarakat dan pertumbuhan penduduk. Inilah salah satu indicator yang memicu kenaikan impor gula dari tahun ke tahun. Salah satu alternative pemecahannya adalah pemenuhan gula cair dari pati umbiumbian. Pada satu sisi, DIY kaya akan umbi-umbian local yang mampu diolah menjadi gula cair (sirup glukosa dan frukstosa). Penggunaan gula cair ini cukup banyak antaralain dalam industry pangan, kembang gula, minuman, dan biscuit. Di sisi lain pengembangan gula alternative sangat diperlukan untuk mencukupi kebutuhan gula nasional yang saat ini masih dipenuhi dari gula pasir sehingga dapat mengurangi import gula. Pengembangan gula cair umbi-umbian di Yogyakarta diharapkan dapat memberikan peningkatan pemanfaatan umbi-umbian local sehingga dapat meningkatkan nilai tambah produk dan pendapatan masyarakat. Kata kunci: konsumsi gula, impor, gula cair, dan pati umbi-umbian Abstract Starting in 1994 the national sugar industry experienced various problems. The level of national sugar consumption increased due to consumption patterns and population growth. This is one indicator that trigger an increase in sugar imports from year to year. One alternative solution is the fulfillment of liquid sugar from the starch of tubers. On the one hand, DIY is rich in local tubers that can be processed into liquid sugar (glucose syrup and frukstosa). The use of liquid sugar is pretty much antaralain in the food industry, confectionery, beverages, and biscuits. On the other hand the development of sugar alternatives is necessary to meet the needs of national sugar which is still full of sugar so as to reduce the import of sugar. Development of liquid sugar tubers in Yogyakarta, is expected to provide increased utilization of local tubers which can increase the value-added products and incomes. Keywords: sugar consumption, imports, liquid sugar, and starch of tubers
121
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pendahuluan Industri gula merupakan salah satu industri perkebunan tertua dan terpenting dalam sejarah Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa kita pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an dimana jumlah pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula, produktivitas sekitar 14.8% dan rendemen mencapai 11.0%-13.8%. Dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton, dan ekspor gula pernah mencapai sekitar 2.4 juta ton. Selain itu ada dukungan dalam kemudahan memperoleh lahan yang subur, tenaga kerja murah, prioritas irigasi, dan disiplin dalam penerapan teknologi (Simatupang et al., 1999; Tjokrodirdjo, et al., 1999; Sudana et al., 2000). Industri Gula di Indonesia mengalami berbagai pasang-surut, sekarang hanya didukung oleh 60 pabrik gula (PG) yang aktif yaitu 43 PG yang dikelola BUMN dan 17 PG yang dikelola oleh swasta (Dewan Gula Indonesia, 2000). Luas areal tebu yang dikelola pada tahun 1999 adalah sekitar 341.057 ha yang umumnya terkonsentrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Pada dekade terakhir, khususnya periode periode 1994-2004, industri gula Indonesia menghadapi berbagai masalah yang signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat, dari 194,700 ton pada tahun 1986 menjadi 1.348 juta ton pada tahun 2004, atau meningkat dengan laju 11.4 % per tahun. Periode 1994- 2004, impor gula meningkat dengan laju 7.8 % per tahun. Hal ini terjadi karena ketika konsumsi terus meningkat dengan 1.2% per tahun produksi gula dalam negeri menurun dengan laju –1.8 per tahun. Impor gula dari tahun ke tahun di Indonesia semakin meningkat karena pola konsumsi masyarakat dan pertumbuhan penduduk. Menurut Puslitbang Perkebunan pada pertemuan koordinasi kehumasan direktorat jendral perkebunan pada tanggal 23-25 maret 2011 bahwa pada tahun 2014 kebutuhan gula nasional mencapai 5700 juta ton. Untuk mencukupi kebutuhan gula tersebut diupayakan melalui program swasembada gula nasional. Secara kuantitatif target tahun 2014 produksi hablur 3.571 juta ton dari exiting dan 2.129 juta ton dengan pembangunan perusahaan gula baru. Sasaran tersebut diusahakan secara bertahap dalam kurun waktu 2010 hingga 2014 dengan langkah-langkah intensifikasi untuk peningkatkan produktivitas tebu diatas 87 ton per ha dan peningkatan mutu atau rendemen sebesar 8,5% yang dilaksanakan melalui upaya Rehabilitasi tanaman tebu dengan bongkar ratoon dan rawat ratoon secara intensif; penataan varietas dan penyediaan benih unggul bermutu meialui kultur jaringan; penerapan budidaya sesuai baku teknis melalui percontohan atau demplot; peningkatan kapabilitas petani melalui pemberdayaan petani, pengawalan dan pendampingan. Selain itu diusahakan
122
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dengan langkah-langkah ekstensifikasi dengan perluasan areal atau mempertahankan luasan yang ada dan pembangunan PG baru. Gula menjadi kebutuhan pokok yang strategis dan harus dipenuhi setiap hari dari masyarakat perkotaan hingga pedesaan terlebih untuk kebutuhan industri. Pada sisi yang lain gula merupakan komoditas yang bersifat multidimensi menyangkut teknis, social, ekonomi, dan politis. Menurut data Dewan Standarisasi Nasional (2004) setiap tahunnya produksi gula dalam negeri rata-rata sekitar 2,1 juta ton sedangkan permintaan untuk konsumsi gula masyarakat mencapai 2,7 juta ton. Konsekuensinya harus impor gula minimal 0,5 juta ton. Permasalahan ini merupakan tantangan bagi kita untuk mencari peluang usaha dengan cara memenuhi sebagian permintaan pasar terhadap gula. Salah satu alternatifnya adalah menghasilkan gula cair dari pati maupun tepung umbiumbian. Banyak jenis umbi yang ada di Yogyakarta dan belum termanfaatkan secara optimal. Umbi-umbian tersebut dapat diolah menjadi pati yang kemudian diolah lanjut menjadi gula cair. Gula cair ini sebenarnya sudah dikenal oleh sebagian masyarakat dan mempunyai peluang sebagai komoditas eksport. Gula cair berperan sebagai salah satu subsitusi gula pasir dan menekan ketergantungan impor gula. Tanaman umbi-umbian umumnya dimanfaatkan oleh rumah masyarakat yang tergolong miskin, sehingga dampak secara tidak langsungnya adalah mengurangi kemiskinan melalui pengolahan dan pemasaran produk umbiumbian dan ketahanan pangan di tingkat petani. Tulisan ini mencoba mengungkap salah satu alternatif pemecahan masalah mengatasi kesenjangan produksi dan konsumsi gula pasir melalui komoditas gula alternative yang berasal dari pati umbi-umbian. Umbi-Umbian Lokal DIY Umbi-umbi mempunyai berbagai keunggulan, yaitu,: 1) mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber tenaga, 2) daun ubi kayu dan ubi jalar kaya akan vitamin A dan sumber protein penting, 3) menghasilkan energi yang lebih banyak per hektare dibandingkan beras dan gandum, 4) dapat tumbuh di daerah marjinal di mana tanaman lain tidak bisa tumbuh, 5) sebagai sumber pendapatan petani karena bisa dijual sewaktu-waktu, dan 6) dapat disimpan dalam bentuk tepung dan pati (Anonim, 2006). Umbi-umbian yang ada di masyarakat di antaranya adalah: a. Ubikayu Merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan fisik rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin.
123
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metioni (Anonim, 2010a). Pengolahan ubi kayu sebagai bahan pangan dapat diolah menjadi pangan yang langsung dikonsumsi, pati, maupun pati b. Ubijalar
c.
d.
e.
f.
Ada beberapa jenis ubi jalar, ada yang berwarna putih, orange, dan ungu. Warna-warna pada ubi jalar ini memberikan manfaat tersendiri. Ubi jalar orange kaya akan betakaroten yang berfungsi sebagai prekusor vitamin A. Sedangkan warna ungu pada ubi jalar karena kandungan antosianinnya yang juga tinggi. Antosianin berfungsi sebagai zat antioksidan yaitu zat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas dan pertumbuhan sel. Umbi garut Umbi garut mempunyai kandungan pati 10 - 20 persen, air 30 - 50 persen, protein 2 - 5 persen, lemak 0,1 - 0,3 persen dan mempunyai kandungan serat 1 - 3 persen (Anonim 2010b). Umbi garut dapat diolah menjadi berbagai macam makanan (Gambar 4). Jika dibuat emping, umbi yang dipilih adalah umbi yang berumur 6-8 bulan setelah tanam. Kualitas pati garut sangat bagus karena tingkat kemurniannya dan daya cerna yang tinggi, dan teksturnya halus sehingga sangat cocok digunakan dalam industry makanan bayi. Umbi ganyong Ganyong (Canna discolor L. syn. C. edulis, suku kana-kanaan atau Cannaceae) adalah sejenis tumbuhan penghasil umbi yang cukup populer namun kelestariannya semakin terancam karena tidak banyak orang yang menanam dan mengonsumsinya. Umbi ganyong mengandung pati, meskipun tidak sebanyak ubi jalar. Umbi uwi Uwi atau ubi kelapa (Dioscorea alata L. syn. D. atropurpurea Roxb.) merupakan sejenis umbi-umbian pangan. Banyak kultivarnya yang memiliki umbi berwarna ungu sehingga dalam bahasa Inggris dikenal sebagai purple yam. Di Indonesia ada 3 jenis uwi, yaitu uwi putih, ungu, dan kombinasi ungu dan putih. Pada uwi ungu banyak mengandung antosianin yang berfungsi sebagai antioksidan. Pengolahan uwi di Indonesia dengan dibuat ceriping dan tepung. Umbi gadung Beberapa petani menanam gadung sebagai tanaman sampingan. Padahal jika dibudidayakan, tanaman ini dapat menghasilkan umbi yang besar dan bisa dimanfaatkan menjadi beragam makanan. Tanaman gadung bisa dipanen 124
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
setelah usia 6-12 bulan. Masa panen sebaiknya dilakukan ketika bulan kemarau saat tanaman mulai mati. Saat inilah umbi gadung memiliki kandungan pati yang tinggi. Setiap tanaman bisa menghasilkan 6-12 kg gadung dengan berat satu umbi bisa mencapai 5 kg. Umbi gadung mengandung racun yang berbahaya bagi tubuh yaitu HCN (241,01 ppm) dan dioskorin. Pengolahan gadung menjadi ceriping secara tradisional dengan menggunakan abu sekam yang digosok-gosokkan pada irisan umbi atau dengan merendamnya selama 6-7 hari. Proses seperti ini tentunya kurang higienis. Berdasarkan penelitian dari Titiek dan Siti R kandungan HCN dan dioskorin dapat dihilangkan dengan perlakuan blaching selama 30 detik dan perendaman dalam larutan kapur 0,3% semalam. Dengan perlakuan ini HCN yang terkandung sekitar 13,89 ppm dan diokorin turun sampai 89% (kadar HCN yang masih bisa ditolerir oleh tubuh manusia sekitar 50%). g. Umbi suweg Ada 2 jenis suweg, yaitu suweg yang gatal dan tidak. Pada suweg yang gatal biasanya mempunyai batang yang agak kasar dan getah umbinya juga gatal. Untuk suweg yang tidak gatal dapat diolah menjadi tepung. Umbi setelah dikupas direndam dengan air garam 0,5% selama 1 jam. Kemudian dicuci, disawut, dan dikeringkan. Jika sudah kering dapat digiling menjadi tepung. Potensi Gula Cair dari Pati Umbi-Umbian Teknologi pengolahan pangan (umbi-umbian) dapat dilaksanakan secara tradisional dan modern. Pengolahan ini selaain menaikkan nilai guna produk, meningkatkan pendapatan masyarakat juga untuk memperpanjang masa simpan produk itu sendiri. Pengolahan umbi-umbian secara tradisional dilakukan dengan teknologi yang sederhana, murah dan mudah. Contohnya dengan direbus, dikukus, maupun digoreng. Sedangkan pengolahan pangan secara modern adalah menggunakan teknologi yang lebih tinggi yang diharapkan hasilnya lebih baik dan lebih efisien baik dalam biaya, waktu, maupun tenaga. Pengolahan umbi-umbian secara moderan salah satunya dengan bantuan enzim seperti dalam pembuatan gula cair dari pati umbi-umbian. Pati umbiumbian ini dapat digunakan sebagai bahan baku pengolahan gula cair berupa sirup glukosa dan frukstosa. Penggunaan sirup glukosa dan fruktosa sangat banyak, mulai dari industry pangan, kosmetik, minuman, dan biscuit. Teknologi pengolahan singkong menjadi gula cair dalam skala pedesaan telah tersedia. Teknologi ini bahkan dapat dioperasikan oleh kelompok tani dengan mudah. Bahan baku untuk pengolahan gula cair tersebut berasal dari tepung tapioka kering, bahkan dapat diolah dari pati yang basah sekalipun, setelah melalui proses enzimatis. Bioreaktor sederhana skala 100 liter mampu mengkonversi 40 kg pati basah (kadar air 40%) menjadi 21-25 kg gula cair dalam 3 hari proses. Semakin besar kapasitas peralatan, semakin ekonomis biaya
125
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
produksinya. tidak bila usaha pengolahan gula cair dari pati umbi-umbian ini dapat beroperasi dan berkembang di sentra-sentra penghasil singkong, dapat mengurangi impor gula cair. Harapan yang lebih luas lagi dapat memasok industri makanan dan minuman. Yang menjadi catatan, petani tebu tak perlu khawatir tergeser, karena gula pasir mempunyai segmen tersendiri, bahkan tidak dapat tergantikan dengan gula cair bila untuk minum teh dan kopi panas. BPTP Yogyakarta pernah melakukan kajian pengolahan gula cair dari pati ubi kayu dan garut. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa kadar amilopektin pati ubi kayu dan garut masing-masing adalah 29,77% dan 40,25%. Amilosa dan amilopektin adalah zat yang berperan dalam pembentukan gula cair. Rendemen gula cair yang dihasilkan dari pati garut sebesar 75,20% sedangkan dari pati ubikayu sebesar 71,90%. Hal ini disebabkan olah kandungan amilosa pati garut lebih besar daripada ubikayu (Djaafar et al., 2006). Menurut Richana et al. (2000), dalam hidrolisa pati menjadi gula secara enzimatis sangat berhubungan dengan kandungan amilosa dalam pati. Enzim alpha amylase yang digunakan lebih mudah memecah rantai lurus dengan amilaso dengan ikatan 1,4 alpa glikosidik secara acak dan mampu memecah ikatan 1,6 alpa glikosidik pada rantai cabang dari amilopektin. Hasil uji rasa terhadap sifat sensoris gula cair meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan kesukaan secara keseluruhan ternyata konsumen menyukainya. P a d a s a t u s i s i h a r ga g u l a k r i s t a l k e r i n g d a r i f r u k t o s a i t u lebih mahal daripada gula cairnya, sudah tentu para pabrik penghasil minuman ringan (seperti teh botol,sari kopi, sirop buah), bahan makanan kalengan(seperti buah-buahan), es krim dan susu kental manis, lebih murah me mbeli gula cair ini daripada gula berbentuk pasir. Itulah sebabnya, gula dari pati umbi -umbian dikata kan lebih murah daripada gula pasir tebu. Dengan pengertian, bahwa ia dibeli dalam bentuk cair. Gula pasir untuk keperluan memaniskan minuman dan makanan kalengan perlu proses pencairan lebih dahulu, sehingga penggunaan gula cair dari umbi-umbian lebih ekonomis dan efisien. Selain itu kebaikan gula cair ini adalah tingkat kemanisan 1,6 kali dari gula pasir serta dapat larut meskipun dalam air dingin (Anonim, 2011). Harga gula pasir di tangan konsumen saat ini berkisar Rp 10.000 hingga Rp 11.000/kg,sedangkan gula hasil olahan dari pati umbi -umbian, dalam skala produksi tidak t e rl a l u besar s e k i t a r R p 3.600/ kg. Gula pa ti um bi -umbian ini s e b e n a r n y a j u g a b i s a d i b u a t m e n j a d i g u l a kristal seperti gula pasir, hanya saja hal ini meningkatkan biaya produksi hingga 30%
126
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Daftar pustaka Anonim. 2006. Memperkuat Ketahanan Pangan Dengan Umbi-Umbian. http://www.suarapembaruan.com/News/2003/08/06/index.html. Anonim. 2010a. Singkong. http://id.wikipedia.org/wiki/Singkong Anonim. 2011. Gula Singkong. http://www.scribd.com/doc/46959540/gula singkongq. Dewan Gula Indonesia. 1999. Restrukturisasi Gula Indonesia April 1999. Bahan Diskusi Reformasi Gula Indonesia. Jakarta : Dewan Gula Indonesia. Djaafar, F. T., Sarjiman, Rahayu. S, dan Murwati. 2006. Peningkatan Mutu Bahan Baku Dan Pengembangan Produk Umbi-Umbian Untuk Menunjang Agroindustri Pedesaan. Laporan Kegiatan Penelitian Dan Pengkajian Tahun Anggaran 2006. Richana, N., P.Lestari, N. Chilmijadi dan S. Widowati. 2000. Karasterisasi Bahan Berpati (Tapioka, Garut, dan Sagu) dan Pemanfaatannya Menjadi Glukosa Cair. Makalah Prosiding PATPI 2000. Sudana, W., P. Simatupang, S. Friyanto, C. Muslim, dan T. Soelistiyo. 2000. Dampak Deregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumberdaya, Produksi Pangan, Dan Pendapatan Petani. Laporan Penelitian. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
127
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
STUDI DAMPAK TEKNOLOGI PENGOLAHAN UBIKAYU TERHADAP PEMBERDAYAAN PETANI DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sri Budhi Lestari dan Nur Hidayat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Abstrak
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui dampak teknologi pengolahan ubikayu terhadap pemberdayaan petani. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2009 di lokasi yang ditentukan secatra purposive yaitu di kelompok tani kooperator pengkajian pengolahan pangan lokal, tepatnya di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul. Pendekatan yang digunakan dalam studi dampak pengkajian pengolahan ubikayu adalah with and without. Kegiatan ini dilakukan dengan metode survei menggunakan kuesioner terstrukutur dan semi struktur terhadap 30 petani responden, masing-masing terdiri dari 15 petani kooperator dan non-kooperator. Parameter yang diamati meliputi akses petani terhadap teknologi pengolahan ubikayu, akses dan kontrol petani terhadap sumberdaya pertanian yang ada di wilayahnya, dan peran petani dalam proses pengambilan keputusan pada kegiatan pengolahan ubikayu. Data dan informasi yang terkumpul, dianalisa secara diskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pengkajian pengolahan ubikayu menjadi olahan kue sakura, kue kacang, dan kue pita jahe belum mampu memberdayakan petani nonkooperator. Kata kunci : Dampak, adopsi, difusi, pemberdayaan, petani.
STUDY ON IMPACT OF TECHNOLOGICAL PROCESSING CASSAVA FARMER EMPOWERMENT IN DISTRICT GUNUNGKIDUL YOGYAKARTA SPECIAL REGION Abstract This research was conducted with the aim of knowing the impact of cassava processing technology to empower farmers. The study was conducted in July to August 2009 at the location specified in the group that is purposive secatra farmer cooperators assessment of local food processing, specifically in Sub Playen Gunungkidul district. The approach used in the study of the impact assessment is a cassava processing with and without. This activity was conducted by survey method using questionnaire terstrukutur and semistructure of the 30 farmer respondents, each comprised of 15 farmer cooperators and non-cooperators. The parameters observed included access to the technology of processing cassava farmers, farmers' access to and control of agricultural resources in its territory, and the role of farmers in decision making process in cassava processing activities. Data and information collected, analyzed descriptively. The assessment indicated that the assessment of cassava processing into refined cherry cake, peanut cake, and ginger cake tape has not been able to empower the peasant non-cooperators. Key words: Impact, adoption, diffusion, empowerment, farmer.
128
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pendahuluan Hasil penelitian dan pengkajian (litkaji) teknologi pertanian spesifik lokasi sudah banyak direkomendasikan oleh Tim Komisi Teknologi Pertanian DI Yogyakarta, salah satu contoh adalah teknologi Pengolahan Ubikayu dalam rangka Pengembangan Pangan Lokal. Hal ini merupakan salah satu wujud, bahwa BPTP telah berhasil mempercepat transfer teknologi kepada para pengguna, karena hasil penelitian/pengkajian akan sia-sia apabila tidak diikuti dengan usaha untuk menyebarkannya/mendiseminasikannya (Badan Litbang Pertanian, 2001). Dalam rangka mendukung program ketahanan pangan, upaya diversifikasi pengolahan tepung ubikayu menjadi beberapa produk olahan yang memiliki cita rasa dan nilai gizi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Pengkajian teknologi pengolahan tepung ubi kayu menjadi beberapa macam olahan diharapkan dapat dijadikan bahan substitusi terigu dan mengubah penampilan serta citranya sehingga produk tersebut dapat diterima masyarakat (Djaafar dan Rahayu, 2004). Kegiatan diseminasi seperti gelar teknologi, bukan sekedar penyebar luasan informasi dan teknologi pertanian, tetapi lebih dari itu, pengguna khususnya para petani-nelayan diharapkan dapat mengadopsi/menerapkan hasil litkaji tersebut dalam usaha pertanian, sehingga mereka mampu meningkatkan pendapatannya. Hal ini selaras dengan pengertian penyuluhan pertanian yang dipaparkan Slamet (2000), bahwa penyuluhan bukan hanya sekedar penerangan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program untuk mencapai tujuan yang tidak merupakan kepentingan kelompok sasaran, tetapi penyuluhan bertujuan untuk memberdayakan sasaran. Penerapan atau adopsi oleh Mardikanto (1993) diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective) maupun keterampilan (psichomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh untuk masyarakat sasarannya. Selanjutnya dikatakan, bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1) sifat inovasinya, 2) sifat sasaran, 3) cara pengambilan keputusan sasaran, 4) saluran komunikasi yang digunakan, 5) kondisi penyuluhnya sendiri dalam menyampaikan inovasi kepada sasaran dan 6) ragam sumber informasi. Keberhasilan adopsi dan difusi inovasi teknologi di tingkat lapang ditentukan oleh sifat teknologi yang diintroduksikan yaitu 1) mampu memberikan keuntungan relatif bagi pengguna; 2) sederhana (simple); 3) kompabilitias yaitu teknologi tersebut sesuai kebutuhan dan tidak bertentangan dengan adat istiadat, norma dan budaya; 4) triabilitas atau mudah dicoba dan 5) observabilitas atau mudah diamati (Rogers dan Shoemaker, 1986). Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa informasi dan teknologi, bukan sekedar dapat meningkatkan produktivitas, tetapi
129
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
juga dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi mereka khususnya petani beserta keluarganya dalam upaya memberdayakan dirinya. Untuk mengetahui lebih jauh dari introduksi teknologi dan penyebar luasannya, terutama ke arah kemandirian petani, diperlukan suatu studi secara periodic. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui perkembangan yang terjadi di tingkat pengguna dalam menerapkan teknologi yang diintroduksikan melalui kegiatan pengkajian dan diseminasi hasil pengkajian. Dengan demikian, untuk perencanaan program pengkajian dan diseminasi hasil pengkajian teknologi dapat tersusun sesuai dengan perubahan yang terjadi, baik dari para pengguna teknologi maupun perubahan kebijakan yang ada di daerah. Metodologi Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2009 di lokasi yang ditentukan secara purposive, yakni di kelompok tani kooperator pengkajian pengolahan pangan lokal, tepatnya di Kecamatan Playen Kabupaten Gunungkidul. Pendekatan yang digunakan dalam studi dampak pengkajian pengolahan ubikayu adalah with and without. Kegiatan ini dilakukan dengan metode survei menggunakan kuesioner terstrukutur dan semi struktur terhadap 30 petani responden, masing-masing terdiri dari 15 petani kooperator dan nonkooperator. Parameter yang diamati meliputi akses petani terhadap teknologi pengolahan ubikayu, akses dan kontrol petani terhadap sumberdaya pertanian yang ada di wilayahnya, dan peran petani dalam proses pengambilan keputusan pada kegiatan pengolahan ubikayu. Survei merupakan pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk memperoleh faktor-faktor dari gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara actual baik tentang institusi sosial, ekonomi atau politik dari suatu kelompok atau suatu daerah (Nasir, 1988). Hasil dan Pembahasan 3.1. Karakteristik Petani (a) Umur petani Tabel 1. Sebaran umur petani kooperator dan non-kooperator pada pengkajian pengolahan pangan lokal ubikayu di Kabupaten Gunungkidul. No 1 2 3
Klasifikasi umur (tahun) 30 - 40 41 - 50 Lebih dari 50 Jumlah
Sumber: Data peimer terolah.
Kooperator orang % 8 53,33 7 46,67 0 15 100,00
130
Non-kooperator orang % 5 33,33 8 53,33 2 13,33 15 100,00
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Umur berkaitan dengan kemampuan fisik seseorang dalam hal ini petani pada pengelolaan usahataninya; semakin tua umur seseorang, kemampuan fisiknya semakin berkurang. Sebaliknya, seseorang yang masih berusia muda, aktivitas dan kreatifitas untuk melakukan sesuatumya cenderung baik. Klasifikasi umur petani kooperator dan non-kooperator dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan, semua petani kooperator memiliki umur produktif. Umur produktif cenderung dapat mempercepat adopsi teknologi yang diintroduksikan di wilayahnya. Adanya umur produktif diharapkan introduksi teknologi pengolahan pamgan lokal mampu memberdayakan masyarakat khususnya yang berada di wilayah pengkajian. (b) Tingkat pendidikan formal petani Tingkat pendidikan formal petani sangat beragam, mulai dari sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan atas. Sebaran tingkat pendidikan petani kooperator dan non-kooperator dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sebaran pendidikan petani kooperator dan non-kooperator pada pengkajian pengolahan pangan lokal di kabupaten Gunungkidul. No 1 2 3
Klasifikasi pendidian SD SLTP SLTA Jumlah
Sumber: Data primer terolah.
Kooperator orang % 4 26,67 8 53,33 3 20,00 15 100,00
Non-kooperator orang % 14 93,33 0 0 1 6,67 15 100,00
Tabel 2 menunjukkan, sebagian besar petani kooperator memiliki pendidikan SLTP dan SLTA. Ini diharapkan dapat menjadi faktor yang mendukung berkembangnya pangan lokal di wilayah tersebut, disamping dapat mempercepat proses pemberdayaan mereka dalam mengakses berbagai sumber daya yang ada di wilayah tersebut. Sebagian besar petani non-kooperator (93,33%) memiliki pendidikan pada tataran SD. Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman suatu inovasi baru serta berpengaruh pada peran mereka di dalam berbagai peluang maupun kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada maupun peran mereka di dalam proses pengambilan keputusan pada kegiatan pengolahan pangan lokal. (c) Luas lahan garapan Sebagian besar petani memilki lahan garapan berupa tegal yang diatnami secara tumpang sari antara ubikayu dengan tanaman semusim launnya seperti jagung dan kacang tanah. Luas lahan garapan bervariasi dari yang sempit sampai dengan yang luas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 terlihat, luas garapan usahatani baik pada petani kooperator maupun non-kooperator masih tergolong sempit yankni di bawah 3.000 Ha. Hal 131
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
ini karena lahan yang digarap tersebut merupakan tanah warisan dari orang tua mereka, sehingga lama kelamaan lahan yang dimiliki petani semakin sempit. Lahan di wilayah pengkajian juga termasuk lahan kritis yang sistim pengairannya tadah hujan sehingga petani lebih memilih berusahatani tanaman yang tidak memerlukan banyak air, yakni ubikayu yang ditumpangsarikan dengan tanaman palawija lain seperti kacang tanah dan jagung. Hasil panen ubi kayu dimanfaatkan untuk camilan sebagai pelengkap minum teh dan sebagian petani memanfaatkannya untuk pakan ternak, disamping juga mereka memanfaatkan sebagai produk olahan makanan tradisional yang dapat dijual untuk menambah pendapata Tabel 3. Luas lahan garapan petani kooperator dan non-kooperator di kabupaten Gunungkidul. No 1 2 3 4 5 6
Luas lahan garapan (m2) <1.000 >1.000 – 2.000 > 2.000 – 3.000 > 3.000 – 4.000 > 4.000 – 5.000 > 5.000 Jumlah
Tabel: Data primer terolah.
Kooperator orang % 3 20,00 4 26,67 3 20,00 1 6,67 2 13,33 2 13,33 15 100,00
Non-kooperator orang % 8 53,33 5 33,33 2 13,33 0 0 0 0 0 0 15 100,00
3.2. Akses Petani terhadap Teknologi Pengolahan Ubikayu Tujuan utama pengolahan ubikayu menjadi beberapa jenis olahan adalah meningkatkan nilai jual ubikayu tersebut. Tujuan lain adalah diversifikasi pangan yang berasal dari bahan baku non beras, dengan harapan masyarakat tidak senantiasa bergantung pada beras. Teknologi pengolahan ubikayu menjadi tepung ubikayu dan selanjutnya dibuat beberapa jenis makanan kecil seperti cake, kue pita jahe, kue kacang dan kue sakura, telah diperkenalkan tim pengkaji BPTP sejak tahun 2005 dengan melibatkan kelompok tani Ngudi Lestari sebagai kelompok kooperatornya. Teknologi yang diintroduksikan diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan keterampilan serta menambah pendapatan dari pengelolaan ubikayu. Pada pengkajian ini dicermati dari sisi wawasan, sikap dan penerapan teknologi oleh petani serta akses petani terhadap sumberdaya yang ada serta peran petani di dalam proses pengambilan keputusan pada kegiatan usaha pengolahan ubikayu. Secara jelas dapat dicermati pada uraian berikut.
132
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
(a) Wawasan petani terhadap teknologi pengolahan ubikayu. Wawasan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Wawasan petani terhadap introduksi teknologi pengolahan tepung ubikayu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel No
4. Klasifikasi wawasan petani kooperator dan kooperator terhadap teknologi pengolahan ubikayu di kabupaten Gunungkidul.. Klasifikasi
1 2 3
rendah sedang tinggi Jumlah
Koperator Skor orang kurang dari 18 1 18 – 19 5 lebih dari 19 9 15
% 6,67 33,33 60,00 100,00
Non-kooperator skor orang kurang dari 13 11 13 - 16 2 lebih dari 16 2 15
% 73,33 13,33 13,33 100,00
Sumber: Data primer terolah.
Tabel 4 menunjukkan, sebagian besar petani kooperator memiliki wawasan tinggi terhadap teknologi pengolahan tepung ubikayu menjadi beberapa jenis olahan. Dengan wawasan yang tinggi, mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannya mendorong adanya suatu perubahan perilaku (Ancok, 1997). Sebaliknya pada petani non-kooperator, sebagian besar wawasan mereka terhadap berbagai jenis olahan dari bahan tepung ubi kayu dalam klasifikasi rendah. Wawasan yang rendah ini karena belum terdifusinya teknologi yang sudah dimiliki petani kooperator; keadaan ini memungkinkan lambannya proses menuju pemberdayaan petani. (b) Sikap petani terhadap teeknologi pengolahan ubikayu Sikap merupakan hal yang mempengaruhi keberlanjutan adopsi teknologi oleh petani. Jika petani menunjukkan sikap positif, diharapkan teknologi yang diintroduksikan akan berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Sikap petani terhadap tekonologi pengolahan tepung ubikayu menjadi bebrbagai jenis olahan makanan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Sebaran sikap petani kooperator dan non kooperator terhadap teknologi pengolahan ubikayu di Gunungkidul. No 1 2 3
Klasifikasi tidak setuju
Koperator skor orang kurang dari 27 1
ragu-ragu 27 - 28 setuju lebih dari 28 Jumlah Sumber: Data primer terolah.
4 10 15
133
% 6,67 26,67 66,67 100,00
Non-kooperator skor orang kurang dari 3 18,66 18,67 – 24,33 2 lebih dari 24,33 10 15
% 20,00 13,33 66,67 100,00
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 5 menunjukkan, sikap yang dimiliki petani kooperator maupun nonkooperator terhadap introduksi teknologi pengolahan tepung ubikayu sebagian besar dalam klasifikasi setuju. Hal ini menandakan bahwa teknologi yang diitroduksikan mendapatkan respons yang baik. Mereka menganggap bahwa adanya teknologi ini memberikan alternatif pilihan untuk memperoleh nilai tambah. (c) Penerapan teknologi pengolahan ubikayu Penerapan teknologi pengolahan ubikayu oleh petani kooperator dan nonkooperator dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sebaran penerapan teknologi pengolahan ubikayu oleh petani koopertator dan non kooperator di Kabupaten Gunungkidul. No
Klasifikasi
1 2
tidak menerapkan menerapkan sebagian kecil menerapkan sepenuhnya Jumlah
3
skor <8 8-9
Koperator orang % 4 26,67 6 40,00 5
33,33
Non-kooperator skor orang % < 6,33 13 86,67 6,33 – 1 6,67 7,67 > 7,67 1 6,67
15
100,00
15
>9
Sumber: Data primer terolah.
100,00
Tabel 6 nampak, bahwa petani kooperator hanya menerapkan sebagian kecil teknologi yang diintrooduksikan, terutama teknologi kue pita jahe dan kue sakura. Sebagian besar petani non-koperator tidak menerapkan semua teknologi yang teknologi yang diintroduksikan. Beberapa alasan tidak diterapkannya teknologi, dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Beberapa alasan tidak menerapkan teknologi introduksi oleh petani kooperator dan non kooperator di Kabupaten Gunungkidul. No
Alasan
1 2 3 4 5 6 7
Tingkat kesulitan Ketersediaan bahan-bahan Bahan-bahan mahal Tidak tersedianya peralatan Kurang menguntungkan Kurang laku dipasaran Lainya Jumlah
Sumber: Data primer terolah.
Kooperaator orang % 1 7,69 2 15,38 0 0 6 46,16 0 0 2 15,38 2 15,38 13 100,00
Non-kooperator orang % 11 23,41 0 0 0 0 14 29,79 1 2,12 6 12,76 15 31,92 47 100,00
Tabel 7 menunjukkan, sebagian besar petani kooperator menyatakan tidak tersedianya peralatan untuk mengolah ubikayu. Sebagian besar petani nonkooperator menyatakan bahwa teknologi pengolahan tepung ubikayu menjadi 134
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
beberapa jenis kue sulit dilaksanakan. Hal ini karena belum adaanya informasi yang diterima oleh mereka. Teknologi tidak diterapkan karena tidak tersedianya peralatan, dan yang lebih banyak lagi petani non-kooperator menyatakan bahwa belum adanya pelatihan untuk membuat berbagai olahan makanan yang terbuat dari tepung ubikayu. Jenis olahan yang berkembang serta laku di pasaran adalah hanya sermier, ceriping dan patelo. 3.3. Akses dan Kontrol Petani terhadap Sumberdaya Pertanian Tabel 8. Akses petani kooperator dan non-kooperator terhadap sumberdaya lahan usahatani di Kabupaten Gunungkidul. No 1 2 3
Sumberdaya
Lahaan usahatani Modal usaha Peralatan Kelembaagaan tani Sumber: Data primer terolah..
Kooperator Akses Kontrol orang (%) orang (%) 11 (73,33) 4 (26,67) 15 (100,00) 15 (100,00) 15 (100,00) 3 (20,00) 15 (100,00) 3 (20,00)
Non-kooperator Akses Kontrol orang (%) orang (%) 12 (80,00) 3 (20,00) 15 (100,00) 15 (100,00) 15 (100,00) 15 (100,00) 15 (100,00) 4 (26,67)
Akses merupakan peluang atau kesempatan yang diraih oleh seseorang untuk memperoleh/mengikuti/menikmati beragam sumberdaya. Kontrol adalah kekuasaan atau pengaruh seseorang untuk menentukan segala sesuatu yang menyangkut berbagai sumberdaya. Tabel 8 merupakan distribusi akses petani terhadaap sumberdaya lahan. Tabel 8 menunjukkan, masih kecilnya akses dan kontrol petani baik pada petani kooperator maupun non-kooperator terhadap sumberdaya lahan. Hal ini seperti dijelaskan lahan garapan yang dikelola dalam status kepemilikan kepala rumah tangga, sehingga ada kecenderungan dalam menentukan penggunaannya maupun pelimpahan hak atas tanah masih dikuasai oleh kepala rumah tangga. Terhadap modal usaha, petani kooperator maupun petani non-kooperator memiliki akses dan kontrol yang tinggi. Terhadap peralatan yang ada, petani kooperator belum memiliki kontrol yang memadai, kebanyakan mereka dapat meenggunakan alat tetapi untuk meenentukan penggunaannya masih dilakukan oleh pengurus inti. Lain halnya deengan petani non-kooperator, peralatan yang ada adalah milik individdu sehingga dalam menentukannya tetap pada diri individu itu sendiri. Peralataan atas nama kelompok belum dimiliki. Terhadap kelembagaan tani, baik petani kooperator maupun non-kooperator masih menggantungkan pengurus, karena pengurus dianggap lebih mumpuni untuk kamajuan kelompok dan anggotanya. 3.4. Peran Petani dalam Preses Pengambilaan Keputusan Hal penting lainnya dalam proses pemberdayaan masyakarat tani dapat dilihat bagaimana mereka meengaambil peran pada kegiatanm usahatani ataupun 135
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
usaha lainnya di bidang pertanian. Distribusi peranpetani dalam pengambilan keputusan usaha petani kooperator dan non-kooperator dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Peran petani kooperator dan non kooperator dalam proses pengambilan keputusan pada kegiatan usaha pengolahan ubikayu di Kabupaten Gunungkidul. No 1 2 3 4
Item Jenis usaha Modal usaha Peralatan Kelembagaan
Kooperator orang % 8 56,67 15 100,00 3 20,00 4 13,33
Sumber: Analisis data primer terolah.
Non-kooperator orang % 15 100,00 15 100,00 15 100,00 4 26,67
Tabel 9 terlihat, bahwa sebagian besar anggota petani kooperator berperan dalam proses pengambilan keputusan, terutama pada permodalan dalam upaya pengembangan usaha. Mereka juga berperan dalam penentuan jenis usaha yang dilakukan adalah sesuai pilihan dan kemampuan mereka sendiri. Demikan juga pada anggota kelompok tani non-kooperator, mereka sangat berperan dalam mengambil keputusan baik dalam penentuan jenis usaha, permodalan maupun peralatan. Sedangkan peran dalam pengambilan keputusan yang ada di kelompok, mereka masih tergantung pada pengurus. Hal ini akan berpengaruh terhadap proses menuju pemberdayaannya sebagai pelaku pembangunan di wilayahnya. Untuk menuju pemberdayaan masyarakat perlu motivasi agar mereka mau dan mampu mengambil peran dalam setiap kesempatan. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Pengkajian teknologi pengolahan ubikayu belum mempu memberdayakan petani kooperator, terutama dilihat dari akses petani terhadap kelembagaan tani. Pengkajian ini juga belum mampu memberdaayakan petani non-kooperator, baik dari akses petani terhadap teknologi pengolahan, khususnya wawasan dan keterampilan petani pada pengolahan ubikayu serta dari sisi akses petani terhadap kelembagaan tani yang ada. Saran Tingkat wawasan dan penerapan keterampilan teknologi pengolahan ubikayu yang masih rendah bagi petani non-kooperator perlu ditindak lanjuti. Kursus atau pelatihan perlu dilakukan oleh Dinas Pertanian setempat ataupun mengaktifkan petani kooperator untuk mendifusikan kepada kelompok tani nonkooperator. Bagi pengurus kelompok tani kooperator dan non-kooperator perlu menanamkan rasa percaya diri bahwa setiap anggota memiliki hak dan kuajiban
136
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
sama di dalam kelompok, sehingga dalam proses pengambilan keputusan pada kegiatan yang dikelola semua dapat berperan. Daftar Pustaka Badan Litbang Pertanian. 2001. Diseminasi Teknologi dan Informasi Pertanian. Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Diseminasi. Jakarta. Djaafar, T.F dan S. Rahayu. 2004. Teknologi Pengolahan Ubikayu dalam Rangka Pengembangan Pangan Lokal. Rekomnedasi teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Yogyakarta. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Nasir, M. 1988. Metode Penelitian Survai. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta. Rogers, E.M and Shoemaker. 1986. Diffusion of Inovation. The Free Press. New York. Slamet, M. 2000. Memantapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan dalam Pembangunan. Makalah seminar nasional Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju Masyarakat Madani. Institut Pertanian. Bogor. Bogor.
137
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
STRATEGI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS CENGKIH DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU Nur Hidayat1 1
Balai PengkajianTeknologiPertanian Yogyakarta Email :
[email protected] Abstrak
Cengkeh (Syzygium aromaticum) adalah tanaman asli kepulauan Maluku. Komoditas inilah bersama-sama dengan lada dan pala yang telah membuat bangsa Belanda menguasai negeri ini. Salah satu komoditas unggulan di Kab. Seram Bagian Barat adalah cengkih disamping komoditas ungulan yang lain yaitu jambu mete, kelapa dan kopi. Berdasarkan luas pengusahaannya cengkeh merupakan komoditas yang terluas pengusahaannya di kecamatan Seram Barat, Kairatu dan Huamual Belakang dengan luas berturut turut adalah 955 ha, 2.536 ha dan 795 ha. Agribisnis cengkih di Kabupaten Seram Bagian Barat mempunyai peluang untuk dikembangkan mengingat potensi lahan yang tersedia cukup luas. Kebijakan pemerintah daerah seperti kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu hasil, kebijakan peningkatan nilai tambah dan pendapatan petani, kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil, kebijakan pemberdayaan petani, kebijakan penataan kelembagaan dan sumber pembiayaan serta kebijakan pemantapan infrastruktur sangat diperlukan dalam upaya pengembangan agribisnis cengkih di Kabupaten Seram bagian Barat Kata kunci : prospek, strategi, agribisnis cengkih Pendahuluan Cengkeh merupakan salah satu komoditi tanaman tahunan yang cukup baik untuk ditanam pada daerah tropis di Kawasan Timur Indonesia. Komoditi cengkeh sangat dipengaruhi oleh luas areal, produktivitas dan harga. Pengusahaan komoditi cengkeh didominasi oleh perkebunan rakyat 95% dan sisanya 5% oleh perkebunan swasta dan negara. Hasil utama tanaman cengkeh adalah bunganya yang dipanen pada saat kelopak bunga belum mekar. Bunga cengkeh kering merupakan salah satu bahan baku utama untuk rokok kretek yang merupakan rokok khas Indonesia. Besarnya pendapatan cukai dan kemampuannya menyediakan lapangan kerja berskala besar, menempatkan industri rokok sebagai salah satu bagian penting dalam ekonomi nasional. Namun demikian, tercapainya swasembada, bahkan kelebihan produksi cengkeh, mengakibatkan peran komoditas dan nasib 138
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
petani terpuruk selama dekade 90-an. Akibatnya, produksi terus menurun sejak tahun 2000, sehingga dikhawatirkan pada tahun 2009 Indonesia hanya mampu menyediakan separuh dari kebutuhan industri rokok kretek. Saat ini, Indonesia masih merupakan negara penghasil sekaligus konsumen terbesar cengkeh dunia. Selain untuk rokok, dari cengkeh dapat dihasilkan berbagai produk alternatif seperti minyak cengkeh. Minyak cengkeh merupakan bahan baku industri farmasi dan pestisida nabati. Mengingat besarnya peluang untuk mengembangkan industri hilir, pemanfaatan hasil samping dan diversifikasi hasil maka peluang investasinya menjadi sangat terbuka dan menantang (Departemen Pertanian, 2005). Pada awal tahun 1990-an, total areal cengkeh mencapai sekitar 700.000 ha dengan produksi lebih kurang 120.000 ton/tahun. Produksi tersebut sudah melampaui kebutuhan cengkeh dalam negeri yang waktu itu hanya sekitar 100.000 ton/tahun, sehingga terjadi kelebihan pasokan sebesar 20.000 ton/tahun. Untuk mengurangi kelebihan produksi, pemerintah menetapkan berbagai kebijakan seperti : (1) Pendirian Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC), (2) Keppres RI No. 20 tahun 1992 yang menetapkan sepuluh propinsi pemasok utama cengkeh untuk pabrik rokok (areal PRK), yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Lampung, Jawa Barat (termasuk Banten), Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo), dan Maluku, (3) Inpres No. 14tahun 1996, untuk mengkonversi tanaman cengkeh dengan tanaman lain. Akibat kelebihan produksi, penurunan harga dan tidak dipeliharanya tanaman; areal turun dari sekitar 700.000 ha pada tahun 1990, menjadi hanya 428.000 ha tahun 2001. Hasil penelitian Balittro dan PT. Sampoerna menunjukkan selama kurun waktu 2001-2004 terjadi penurunan areal cengkeh nasional untuk TBM dan TM masingmasing 39,57 persen dan 7,91 persen, sedangkan untuk areal TT/TR bertambah 12,15 persen. Secara keseluruhan areal cengkeh nasional berkurang 4,17 persen. Sedangkan di luar Indonesia, negara-negara produsen selain Zanzibar dan Madagaskar tidak ada pasokannya keperdagangan cengkeh dunia sangat kecil (1. Ditjen BP Perkebunan, 2003.2) BPS, 2004) Membaiknya harga cengkih pada tahun 2000, di beberapa daerah telah rlihat usaha untuk melakukan peremajaan tanaman yang rusak/mati. Kegiatan tersebut mendorong beberapa petani untuk melakukan usaha pembibitan meskipun dalam skala kecil terutama di P. Jawa, Bali dan Sulawesi Utara. Pembibitan oleh petani dilakukan dengan cara menyemaikan benih dalam polibag dengan menggunakan biji asalan sebagai sumber benih. Setelah berumur 1 - 2 tahun, bibit dipasarkan ke petani sekitar atau digunakan sendiri untuk rehabilitasi/menyulam kebunnya(Ditjen BP Perkebunan, 2004. 2) GAPPRI, 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Cengkeh Prospek)
139
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Sektor pertanian di Kabupaten Seram Bagian Barat masih menjadi andalan utama kontributor terhadap PDRB. Sumbangan PDRB terbesar dari sektor pertanian, berasal dari sub sektor perkebunan, yakni 10,89 persen tahun 2000 dan 12,11 persen pada tahun 2001. Cengkh merupakan salah satu komoditas unggulan di daerah tersebut selain jambu mete,kakao, kelapa dan kopi (Kaliky, R ; et al, 207). Melihat pentingnya peranan sector pertanian khususnya sub sektor perkebunan terhadap struktur ekonomi kabupaten SBB, maka diperlukan strategi pengembangan komoditas unggulan terutama cengkih sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDRB daerah ini. Potensi lahan perkebunan cengkeh di Kabupaten Seram Bagian Barat Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Seram Bagian Barat Tahun 2006, sampai saat ini tercatat ada enam komoditas perkebunan yang telah diusahakan secara luas oleh masyarakat yaitu kelapa, cengkeh, pala, kakao, kopi dan jambu mete. Luaslahan dan produksicengkeh pada tahun 2006 disajikan pada Tabel 1. Luas lahancengkeh di Kab.Seram Bagian Barat 5057 ha yang meliputi tanaman belum menghasilkan (TBM) 707 ha, tanaman menghasilkan (TM) 3533 ha, tanaman tua renta (TTM) 817 ha. Luas lahan cengkeh tertinggi di kecamatan Kairatu dengan luas 2536 ha sedang terendah di Kecamatan Taniwel dengan luas 771 ha. Pada tahun 2006 produksi cengkeh 1486 ton dengan tingkat produktivitas 0,42 ton/ha. Produksi tertinggi di Kecamatan Kairatu dengan produksi 667 ton dan terendah di Kecamatan Taniwel dengan produksi 26 ton/ha. Tabel 1. Luas areal dan produksi cengkeh per Kecamatan di Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2006 No.
Kecamatan
Luaslahan (Ha) 955
Produksi (ton)
1
Seram Barat
2
Kairatu
2536
667
3
Taniwel
771
26
4
HuamualBelakang
795 5057
574
TOTAL
219
1.486
Sumber : BPS Kab SBB 2006
Dilihat dari nilai produktivitasnya, terlihat bahwa hasil produksi komoditas cengkeh yang diperoleh masih tergolong rendah disbanding potensi hasil dengan menerapkan inovasi teknologi. Sebagai contoh produktivitas cengkeh hanya 0,42 ton/ha, sementara potensi hasil cengkeh bias mencapai 2,7 ton per hektar.
140
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Analisis Kekuatan–Kelemahan–Peluang-Ancaman (KKPA) Pengembangan Komoditas Perkebunan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Suatu aktivitas dinilai mempunyai kinerja yang baik, jika aktivitas tersebut menghasilkan keluaran seperti yang ditargetkan berupa barang/jasa bermutu secara efektif, efisien, dan berkelanjutan. Untuk mencapai kinerja seperti ini dipengaruhi oleh banyak faktor yang perlu diperhatikan. Faktor-faktor tersebut pada prinsipnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu faktor internal yang berasal dari dalam aktivitas itu sendiri, dan factor eksternal yang berasal dari luar aktivitas itu. Dengan menganalisis dan mengevaluasi berbagai faktor internal dan eksternal dalam pengembanbangan komoditas cengkeh sebagai agribisnis di Kabupaten Seram Bagian Barat, maka dapat diketahui kemampuan/kondisi peragribisnis-an cengkeh saat ini (positioning), dan bagaimana membuat strategi untuk meningkatkan kinerjanya ke depan. Pada prinsipnya hal-hal yang termasuk ke dalam faktor internal adalah halhal yang berkaitan dengan kekuatan (strength) dan hal-hal yang berkaitan dengan kelemahan (weaknesses) dari aktivitas pengembangan agribisnis tersebut. Sedangkan, hal-hal yang termasuk ke dalam factor eksternal adalah hal-hal yang berkaitan dengan peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang dapat mempengaruhi kinerja tersebut. Dengan menganalisis kekuatan (strength) dan kelemahan (weaknesses) yang ada, dan dengan peluang (opportunities) dan ancaman (threats) yang harus dihadapi, maka suatu organisasi dapat menentukan strategi agar dengan kondisi yang ada dapat tetap bergerak maju da mencapai yang terbaik. Analisis KKPA (SWOT) komoditas cengkeh di Kabupaten Seram Bagian Barat disajikan dalam tabel 2. Strategi kebijakan dan program untuk mencapai tujuan pengembangan agribisnis cengkeh. 1. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu hasil Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan mutu tanaman secara bertahap, terutama yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu tanaman diimplementasikan lewat berbagai upaya sebagai berikut: a. Program Intensifikasi Tanaman, meliputi: (i) Kegiatan intensifikasi tanaman pada sentra produksi perkebunan rakyat, penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) secara maksimal serta meningkatkan kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) . b. Perluasan areal tanam, diutamakan untuk mengutuhkan areal mencapai skala ekonomi pada lokasi yang secara agroekologi cocok untuk pengembangan
141
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
c.
d.
e. f.
Rehabilitasi dan peremajaan tanaman dilakukan pada tanaman rusak atau tanaman tua dengan menggunakan klon-klon unggul disertai dengan pemeliharaan yang intensif dan efisien. Diversifikasi usaha melalui: (a) Kegiatan diversifikasi horizontal yaitu dengan pengembangan ternak (mixed cropping) maupun intercropping tanaman lain, seperti kelapa, jati dan mahoni, dan (b) kegiatan diversifikasi vertikal yaitu dengan pengembangan produk turunan maupun pemanfaatan hasil samping. Perbaikan mutu melalui upaya perbaikan pengelolaan kebun maupun teknik pengolahan. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan petani dan kelembagaan usaha. PELUANG
Pasar bunga cengkeh dan minyak cengkeh terbuka luas Selain bunga, gagang dan daun cengkeh belum dimanfaatkan sebagai penghasil minyak cengkeh
ANCAMAN Pendapatan keluarga dari bunga cengkeh belum dapat dipastikan setiap tahunnya dari komoditas ini Serangan hama dan penyakit tanaman Pohon induk banyak yang musnah akibat instabilitas keamanan 2.
STRATEGI K-P Mengembangkan tanaman secara ekstensifikasi dan intensifikasi Menyediakan teknologi pengolahan minyak atsiri Mengundang investor dalam pengembangan agribisnis minyak atsiri STRATEGI K-A Intensifikasi dan diversifikasi komoditas Rehabilitasi tanaman
STRATEGI L-P Intensifikasi usaha tani (perawatan tanaman) Mengintroduksi teknologi panen (sistem tangga sehingga dapat dipanen kaum perempuan) Mengintroduksi teknologi pengolahan minyak cengkeh Pembinaan dan penyuluhan yg lebih intensif STRATEGI L-A Mengolah daun cengkeh sebagai penghasil minyak atsiri Intensifikasi dan diversifikasi komoditas Rehabilitasi tanaman
Kebijakan peningkatan nilai tambah dan pendapatan petani
Kebijakan ini dimaksudkan agar pemasaran hasil perkebunan tidak lagi berupa bahan mentah, tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga mempunyai nilai tambah, dapat dilakukan dengan pengembangan industri hilir, pengembangan kemitraan antara petani dengan industri pengolahan, diversifikasi tanaman kelapa, (kegiatan on-farm) dengan kakao, kopi, pala, pengembangan model mediasi (perantara) untuk mempertemukan keinginan/ kebutuhan buyer dengan produk yang dihasilkan petani (kegiatan off-farm) dan diversifikasi produk
142
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
3. Kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil Kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil diimplementasikan lewat serangkaian upaya sebagai berikut: a. Pengembangan dan desiminasi teknologi pengolahan hasil b. Fasilitasi penyediaan sarana pengolahan hasil khususnya yang dapat dioperasikan di tingkat petani. c. Peningkatan mutu hasil baik hasil utama maupun hasil lanjutan. d. Penerapan SNI setelah fasilitas pendukungnya terpenuhi dan diterapkan secara disiplin untuk pasar dalam negeri maupun untuk ekspor e. Pemanfaatan limbah perkebunan sebagai pakan ternak, dll. f. Peningkatan dan pemantapan kelembagaan pemasaran baik mulai pada tingkat petani sampai pemasaran ekspor. g. Pengembangan pemasaran dalam negeri, melalui kegiatan pengembangan sistem informasi pemasaran, pengembangan sistem jaringan dan mekanisme serta usaha-usaha pemasaran. Peningkatan dan pemantapan sistim informasi pasar khususnya yang dapat diakses oleh petani. h. Promosi hasil secara expansif dengan memfokuskan keunggulan produk. 4. Kebijakan pemberdayaan petani Kebijakan pemberdayaan petani diimplementasikan lewat serangkaian upaya sebagai berikut: a. Penumbuhan kelembagaan petani dan kelembagaan usaha, khususnya di sentra-sentra produksi dan pengembangan perkebunan. b. Penumbuhan penangkar benih dalam rangka penyediaan benih unggul dikembangkan model waralaba. c. Pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kemampuan petani dalam rangka memanfaatkan peluang bisnis yang ada. d. Peningkatan ketrampilan petani untuk mencegah meluasnya serangan hama penyakit melalui kegiatan SL-PHT secara intensif. 5. Kebijakan penataan kelembagaan dan sumber pembiayaan Kebijakan penataan kelembagaan ini diimplementasikan lewat serangkaian upaya sebagai berikut: a. Fasilitasi lembaga keuangan pedesaan, sehingga dapat terjangkau oleh petani pekebun. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyediakan berbagai kemungkinan sumber pembiayaan baik yang berasal dari lembaga perbankan maupun non-bank. b. Pengembangandanpemantapannet working and sharing, khususnya CCDC (Cooperative Commodity Development Center). c. Restrukturisasi dan pemantapan pola pengembangan
143
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
6. Kebijakan pemantapan infrastruktur Kebijakan pemantapan infrastruktur diimplementasikan lewat serangkaian upaya sebagai berikut: a. Peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan khususnya untuk menjangkau sentra-sentra produksi. b. Peningkatan sarana gudang dan pelabuhan yang menjangkau sentra produksi. c. peningkatansaranalistrikdankomunikasi d. Pengembangansentra-sentrapemasaran di wilayahpengembangan. Kesimpulan Dalam upaya pengembangan agribisnis cengkeh di Kabupaten Seram bagian Barat diperlukan suatu strategi berupa kebijakan pemerintah daerah seperti kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu hasil, kebijakan peningkatan nilai tambah dan pendapatan petani, kebijakan pengolahan dan pemasaran hasil, kebijakan pemberdayaan petani, kebijakan penataan kelembagaan dan sumber pembiayaan serta kebijakan pemantapan infrastruktur. DaftarPustaka Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis Cengkeh di Indonesia. http://www.ipard.com/art_perkebun/ Browsing 8 Mei 2010 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian - IAARD online, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Rangkuman Kebutuhan ivestasi .http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b1investasi. Browsing 15 November 2007. BPS dan Bappeda Kabupaten Seram Barat. 2006. Seram Bagian Barat Dalam Angka Tahun 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Seram Bagian Barat Kaliky, R. , Bambang Sudaryanto, Nur Hidayat, Sinung R, Maman Suherman, Andriko NS 2007. Studi Kelayakan Pengembangan Komoditas Pertanian Unggulan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Laporan Akhir kegiatan penelitian. Kerja sama Bappeda Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Lembaga Pengkajian Sumberdaya Pertanian Yogyakarta
144
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KELAYAKAN USAHA TANI PADI HIBRIDA DI TIGA KABUPATEN PROPINSI JAWA TIMUR (Studi kasus di Kabupaten Lamongan, Bojonegoro, dan Jember) Arti Djatiharti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Abstrak Padi hibrida adalah varietas unggul yang masih baru di pertanaman petani dan saat ini masih dalam bentuk uji coba yaitu dilihat dari segi produksi, kesesuaian lahan, teknik budidaya, dan sosial ekonomi. Tujuan Penelitian adalah: 1). Untuk mengetahui kelayakan teknologi padi hibrida dibandingkan dengan padi non hibrida; 2) mengetahui finansial usahatani tanaman padi hibrida di tingkat petani; dan 3).mengetahui budi daya tanaman padi hibrida dan masalah sosial ekonomi di tingkat petani. Hasil penelitian menunjukan, bahwa produktivitas padi hibrida relatif lebih tinggi daripada padi unggul biasa dimana produksi padi hibrida diperoleh sebesar 6925 kg/ha GKP sedangkan padi varietas unggul biasa rata-rata mencapai produksi sebesar 5498 kg/ha GKP. Biaya usahatani padi hibrida pada MK2008 keseluruhan Rp. 7.277.579,-/ha, dengan pendapatan sebesar Rp.15.290.400,-/ha, maka R/C ratio yang diperoleh yaitu 2,10, dan B/C rasio adalah 1,10, sedangkan R/C rasio untuk padi non hibrida diperoleh sebesar 1,87, dan B/C rasio sebesar 0,87. Nilai MBCR diperoleh sebesar 4,49, artinya bahwa teknologi padi hibrida layak digunakan. Kata kunci : Padi hibrida, usaha tani, finansial Abstract Hybrid rice is high yielding varieties that are new to farmers and planting time. This is still in the form of trial that is viewed in terms of production, land suitability, cultivation techniques, and socio economics. The Objectives are: 1). To determine the feasibility of hybrid rice technology as compared with non-hybrid rice, 2) to know financial hybrid rice crop farming at farm level, and 3). to know the crop cultivation hybrid rice and socio-economic issues at farm level. The results of research that the hybrid rice productivity is relatively higher than usual high yield rice varieties, where the hybrid rice production is obtained at 6925 kg/ha, while ordinary varieties rice average production are 5498 kg/ha. The cost of hybrid rice farming in the 2008 dry season is Rp 7,277,579,-/ha, with revenues of Rp.15.290.400,-/ha, then the R/C ratio obtained is 2.10, and B/C ratio is 1.10, while the R/C ratio for non-hybrid 145
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
rice is obtained by 1.87, and B/C ratio of 0.87. MBCR value obtained at 4.49, meaning that feasible to use hybrid rice technology. Key words : Hybrid rice, farming system, financial Pendahuluan Luas areal lahan irigasi di Indonesia dari tahun ke tahun terus menurun sehingga di lain pihak alih fungsi lahan dan produktivitas sebagian lahan sawah menurun akibat dari pengusahaan yang sangat intensif di masa lalu yang dikhawatirkan menganggu pen-capaian target produksi beras nasional.Dalam situasi demikian, Pemerintah harus mencari sumber pertumbuhan produksi padi dengan terus mengupayakan peningkatan hasil padi pada lahan sawah irigasi dengan cara pengembangan padi hibrida dalam upaya untuk pencapaian target produksi beras nasional. Pada tahun 2005, produksi padi meningkat sebesar 4,96 % dibandingkan dengan tahun 2006, dan pada tahun 2008 produksi padi meningkat 5,46 % dibanding tahun 2007. Pencapaian ini telah mengantar Indonesia kembali meraih swa sembada beras (Deptan. 2008). Keberhasilan peningkatan produksi padi dari 20,2 juta ton pada tahun 1971 menjadi lebih dari 54 juta ton pada tahun 2006 lebih banyak disumbang oleh peningkatan produktivitas dibandingkan dengan peningkatan luas panen (Las et al. 2005). Peningkatan produktivitas memberikan kontribusi sekitar 56,1 % terhadap peningkatan produksi padi, sedangkan peningkatan luas panen dan interaksi keduanya memberikan kontribusi masingmasing sebesar 26,3 % dan 17,5 % (Deptan. 2007). Hasil penelitian Badan Litbang Pertanian (2007) menunjukkan, bahwa intensitas pertanaman padi saat ini umumnya baru dua kali setahun dengan produktivitas yang relatif rendah yaitu 5,4 t/ha, namun intensitas pertanaman di lahan sawah irigasi dapat ditingkatkan menjadi 3-4 kali setahun. Beras dari varietas padi hibrida relatif sama dengan beras varietas padi biasa atau non hibrida baik dilihat dari penampilan, rasa, bahkan aromanya. Sedangkan teknik budidaya padi hibrida mempunyai sedikit perbedaan yaitu dalam hal pemupukan dan pengelolaan tanaman. Di sisi lain, petani berkeinginan untuk menanam padi hibrida, dan melestarikan sumberdaya tanaman padi hibrida karena umur yang relatif sama dengan padi non hibrida yang biasa ditanam, tetapi produksinya relatif lebih tinggi dari padi varietas unggul konvensional yang mencapai 20–30 %, maka pada saat ini ada sebagian petani yang tertarik untuk menanam padi hibrida. Padi hibrida adalah varietas unggul yang masih baru di pertanaman petani dan saat ini masih dalam bentuk uji coba yaitu dilihat dari segi produksi, kesesuaian lahan, dan sosial ekonomi petani.Selain itu keuntungan serta biaya yang dikeluarkan oleh petani padi sangat penting untuk melihat perolehan
146
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
per kilo gram dibandingkan dengan padi unggul non hibrida. Untuk itu dilakukan penelitian finansial usaha tani padi hibrida yang digunakan petani dilihat dari tenaga kerja, sarana produksi, dan panen. Padi hibrida merupakan jenis varietas yang tidak tahan terhadap hama dan penyakit, serta pemupukan yang lebih banyak dibandingkan padi varietas unggul lainnya (Diperta Jawa Timur. 2007). Apabila penanaman di tingkat petani sesuai dengan petunjuk dari PPL, maka akan diperoleh poduksi yang optimal yaitu mencapai 20 -30 % dari pada padi varietas unggul. Namun pada kenyataannya di lapangan masih banyak petani yang relatif masih kurang dalam pengelolaannya sehingga hasilnya kurang memuaskan, bahkan ada yang memperoleh kurang dari varietas unggul non hibrida. Untuk itu penelitian sosial ekonomi dari segi finansial usaha tani sangat penting dilakukan untuk melihat penerapannya di tingkat petani, serta pengelolaan dengan pendekatan tanaman terpadu (PTT). Tujuan Penelitian adalah untuk: 1). Mengetahui finansial tanaman padi hibrida di tingkat petani;2). Mengetahui budi daya tanaman padi hibrida di tingkat petani; dan 3). Permasalahan sosial ekonomi padi hibrida. Metodologi Penelitian Penelitian dilaksanakan di tiga Kabupaten yaitu: Lamongan, Jember, dan Bojonegoro di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2009. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode survei. Sampel sebanyak 36 orang petani responden yang tanam varietas padi hibrida dipilih secara purposive sampling. Pemilihan petani responden dibantu oleh Pamong desa dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Data yang terkumpul dari hasil wawancara dengan kuesioner dilakukan tabulasi dan diolah secara statistik sederhana, kemudian dianalisis secara deskriptif. Data yang dikumpulkan antara lain: teknologi budidaya padi hibrida, input-output usahatani padi hibrida, input-output usahatani padi varietas unggul/non hibrida, dan permasalahan sosial ekonomi. Data dianalisis melalui analisis finansial dengan kriteria Benefit Cost Ratio (B/C ), dan MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio), yaitu untuk mengetahui keuntungan daripada penggunaan teknologi baru seperti padi hibrida dibandingkan dengan padi unggul biasa/konvensional. Hasil dan Pembahasan Petani di Jawa Timur terlihat banyak yang mengadopsi padi hibrida lebih dari satu kali bahkan sampai 3 kali (10%). Sumber informasi tentang pengelolaan usahatani padi hibrida atau petunjuk teknis di lapangan diberikan oleh PPL/Dinas Pertanian (80%); dan sisanya reponden memperoleh informasi dari Kios atau Perusahaan benih (20%). Alasan-alasan mengapa petani menyukai padi hibrida
147
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
antara lain: rasa nasi enak (16,67%), produksi tinggi (36,67%), umur lebih pendek (6,67%), dan lainnya (40%). Jika dilihat hubungan antara tanaman padi hibrida dengan musim tanam di propinsi Jawa Timur, yaitu belum terlihat ada hubungan antara musim tanam dengan jenis varietas hibrida baik dilihat dari pertumbuhan dan produksi, maupun tingkat serangan hama dan penyakit, karena kenyataannya petani menanam varietas hibrida yang sama ditanam pada musim kemarau maupun pada musim hujan seperti Bernas, Bernas Prima, Bernas Super, Pioner (PP1), SL8SHS, Hibrindo R1, dan Intani 2. Berdasarkan pengalaman responden menunjukan, bahwa varietas Hibrida kurang tahan terhadap hama dan penyakit, karena itu akan lebih baik pertumbuhannya jika ditanam pada musim kemarau. Hal ini untuk menghindari serangan hama wereng, penggerek, hawar daun bakteri, xantomonas dll. Di lain pihak, sebagian responden mengatakan, bahwa padi hibrida termasuk teknologi baru oleh karena itu mereka belum mengetahui musim tanam yang baik untuk tanaman padi hibrida, karena petani hanya diberikan kesempatan satu kali tanam, sebaliknya bagi petani yang telah menanam lebih dari satu kali kemungkinan telah mengetahui kelebihan serta kelemahan padi tersebut. Dari hasil penelitian memperlihatkan, bahwa 56,67% petani responden tidak mengalami kesulitan dalam mengadopsi padi hibrida, dan sisanya (43,33%) mengalami kesulitan dalam mengadopsi padi hibrida. Usahatani padi hibrida Pengelolaan padi hibrida di tingkat petani dianjurkan menggunakan PTT yaitu upaya untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani melalui penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi petani dan lingkungan setempat. PTT berbeda dengan program intensifikasi padi seperti Insus dan Supra Insus, PTT juga bukan suatu paket teknologi tetapi pendekatan dalam pemecahan masalah produksi di daerah setempat dengan menerapkan teknologi yang sesuai dan dipilih sendiri oleh petani dengan bantuan penyuluh pertanian (Badan Litbang, 2007). Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk memacu peningkatan produktivitas sekaligus dapat meningkatkan pendapatan petani melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu terbukti mencapai hasil gabah sampai 8,06 t/ha (Sembiring et al. 2002). Kegiatan PTT telah mampu meningkatkan produksi padi 37% lebih tinggi dari rata-rata hasil yang diperoleh petani (Zaini dan Las, 2004; Badan Litbang, 2007). Di daerah penelitian, petani belum seluruhnya mengikuti model pendekatan PTT, karena penggunaan pupuk yang belum berimbang, yaitu tanpa pemberian KCL dan kurang dalam volumenya.
148
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Penggunaan benih Padi Hibrida dan non hibrida Benih varietas padi hibrida diperoleh petani melalui Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dari Pemerintah melalui Departemen Pertanian, dan selanjutnya benih tersebut diberikan kepada kelompok petani di masing-masing kecamatan. Pada tahun 2008 hampir seluruh responden (90%) memperoleh benih Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dari Pemerintah yang diberikan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Jawa Timur melalui PPL, dan sisanya berasal dari bantuan Kelompok Tani, dan Perusahaan benih (10 %). Petani pada umumnya mulai tanam sejak tahun 2007 sampai sekarang (44,44%), dan sisanya pertama kali tanam pada tahun 2008, dan 2009. Benih padi hibrida adalah benih yang berlabel dan bermutu, karena benih berlabel memiliki kemurnian dan daya tumbuh yang tinggi. Penggunaan benih bermutu akan menyebabkan tanaman tumbuh seragam dan rata sehingga memudahkan pengelolaan dan memberikan hasil yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa terdapat 10 varietas padi hibrida yang ditanam atau diadopsi oleh petani di 3 kabupaten contoh di Jawa Timur yaitu: Bernas Prima (47,22%), Bernas (13,89%), dan lainnya seperti: Bernas Super, Sembada, PP1, Hibrindo R1, dan Arize (38,89%). Benih padi hibrida yang digunakan petani rata-rata 20 kg per hektar dengan harga rata-rata berkisar antara Rp. 49.000,- sampai Rp. 50.000,-/kg. Adapun benih padi non hibrida yang digunakan petani responden rata-rata 44 kg/ha dengan harga rata-rata 5730,- per kg. Menurut petani, penggunaan benih padi hibrida lebih hemat dari pada padi inbrida dan sesuai dengan petunjuk dari PPL/Dinas Pertanian. Perlakuan benih pada persemaian padi hibrida sama dengan perlakuan dengan padi inbrida yaitu direndam selama 24 jam. Persiapan lahan. Khusus untuk tanaman padi hibrida terlihat, bahwa hanya 40 % responden di daerah penelitian di Jawa Timur melakukan pengolahan lahan lebih lama (di bajak dahulu kemudian di traktor) sesuai dengan petunjuk dari PPL atau Dinas Pertanian, dan sisanya (60%), pengolahan lahan dilakukan sama dengan pengolahan pada tanaman padi inbrida. Cara tanam Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) telah diterapkan oleh sebagian besar petani di daerah penelitian. Hal ini menyadarkan petani bahwa penerapan model PTT akan memberikan produksi padi yang lebih tinggi dibandingkan cara tanam konvensional. Sistem tanam yang digunakan di lahan petani seluruhnya tanam pindah, sedangkan cara tanam jajar legowo dilakukan oleh sebagian besar responden (88,89%), dan sisanya menanam padi hibrida dengan cara tegel (11,11%). Cara tanam Jajar legowo yang diadopsi petani yaitu 2:1, dan 4 : 1
149
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dimana menurut pendapat petani, bahwa cara tersebut akan memberikan populasi tanaman yang lebih banyak dibandingkan dengan cara tanam tegel sehingga diperoleh produksi padi yang lebih tinggi. Petani responden menggunakan 1 bibit/lubang (19,44%), dan paling banyak 2-3 bibit/lubang (80,56%), karena mereka masih khawatir bila tanaman padi mati. Pemupukan Optimalisasi ketersediaan hara dalam tanah dapat dilakukan dengan cara pemberian pupuk buatan maupun organik. Pengelolaan hara dimaksudkan untuk mengoptimalkan ketersediaan hara dalam tanah sehingga mencapai produksi yang tinggi. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman antara lain : N, P, dan K (unsur makro). dan masih tergantung pada Cu dan Zn (unsur mikro). Pupuk kimia yang digunakan petani responden baik padi hibrida maupun padi non hibrida di tiga lokasi penelitian terdiri dari : pupuk Urea, Sp36, KCl, ZA, dan NPK, selain itu terdapat sebagian petani yang memakai pupuk organik (pupuk kandang) dari kotoran sapi. Pupuk Urea digunakan oleh seluruh petani responden padi hibrida maupun non hibrida, dengan jumlah rata-rata masing-masing sebesar 280 kg/ha, dan 221 kg/ha. Pupuk Sp36 digunakan petani padi hibrida dan non hibrida masing-masing sebesar 94 kg/ha, dan 73 kg/ha, jadi ada selisih penggunaan pupuk SP36 sebesar 21 kg/ha atau 22,34%. Sekitar 11 orang responden petani padi hibrida yang menggunakan pupuk KCl (30%) dengan ratarata penggunaan 38 kg/ha, sedangkan hanya 10 % atau sekitar 4 orang petani non hibrida yang memupuk KCl dengan jumlah rata-rata sebesar 8 kg/ha. Sebaliknya petani non hibrida paling banyak menggunakan pupuk ZA (80 %) dibandingkan dengan petani padi hibrida (40 %). Rata-rata penggunaan pupuk ZA masingmasing sebanyak 117 kg/ha (non hibrida), dan 81 kg/ha (hibrida), memperlihatkan bahwa petani non hibrda lebih banyak menggunakan pupuk ZA dengan perbedaan sebesar 35,53 kg/ha. pupuk NPK hanya digunakan oleh 11 orang (36%) petani padi hibrida dengan jumlah rata-rata sebesar 105 kg/ha, sedangkan petani non hibrida yang menggunakan NPK sebanyak 24 orang (66,67%) dengan jumlah NPK sebesar 118 kg/ha. Petani padi hibrida yang menggunakan pupuk organik hanya 1 orang dengan sebesar 576 kg/ha, sedangkan 20 responden petani non hibrida menggunakan pupuk organik rata-rata sebanyak 426 kg/ha. Dengan demikian dari penggunaan pupuk baik pada padi hibrida dan non hibrida ternyata ada perbedaan seperti : Urea, SP36, KCl, tetapi di lain pihak petani non hibrida juga lebih banyak menggunakan pupuk ZA, NPK dan pupuk organik (56%). Aplikasi pemupukan kimia rata-rata petani padi hibrida dan non hibrida tidak berbeda terdiri dari pemupukan pertama pada umur tanaman berkisar antara 1-14 hst, kemudian pemupukan ke dua pada umur tanaman berkisar antara 20 – 28 hst. Pemberian pupuk kimia berdasarkan pada waktu, takaran, dan cara aplikasi yang tepat sesuai dengan varietas padi hibrida yang ditanam. 150
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Dari hasil penelitian menunjukkan, bahwa terdapat sejumlah petani yang memakai pupuk bervariasi, dimana umumnya sangat tergantung pada pengalaman petani sebelumnya, dan kondisi sosial ekonomi setempat. Dengan demikian hanya sebagian responden yang menggunakan pemupukan sesuai dengan rekomendasi dari Dinas Pertanian atau pemupukan berimbang. Pada umumnya petani menggunakan pupuk relatif sama dengan pemupukan pada pertanaman padi non hibrida. Pemberantasan hama dan penyakit Dalam pemberantasan hama dan penyakit, petani lebih banyak yang melakukan cara PHT yang telah mereka ketahui ketika mengikuti pelatihan SLPHT, namun terdapat pula petani yang menyemprot dengan pestisida, karena beranggapan bahwa tanaman padi hibrida perlu penanganan yang lebih intensif karena lebih rentan terhadap hama dan penyakit sehingga sebagian petani lebih banyak menggunakan pestisida untuk mengendalikan OPT. Pengendalian Hama Terpadu atau PHT adalah : (1). Monitoring jenis, tingkat populasi hama, dan tingkat kerusakan oleh hama, dan (2). Pilihan taktik dan teknik pengendalian meliputi : sanitasi, varietas tahan, pola tanam atau rotasi varietas, pengendali hayati, dan pestisida nabati, serta pestisida kimia sebagai pilihan terakhir bila diperlukan. Penyiangan dan Pengendalian gulma/rumput Pengendalian gulma dan penyiangan yang umum dilakukan petani tanaman padi hibrida terdiri dari 3 macam perlakuan yaitu 1).dengan menggunakan obat herbisida serta disiangi dengan tangan atau sama dengan perlakuan pada padi inbrida; 2). menggunakan alat gasrok/landak dan disiangi dengan tangan, dan 3). tanpa herbisida dan disiangi dengan tangan. Penyiangan dengan landak atau gasrok hemat tenaga kerja dan ramah linkungan. Obat herbisida yang umum dipakai yaitu : Ally plus, Agroxon, dan Lindomin. Panen Panen padi hibrida umumnya tepat waktu yaitu berkisar antara 90-95% gabah telah bernas dan berwarna kuning. Adapun alat panen yang digunakan oleh petani di Jawa Timur adalah dengan sabit bergerigi, sedangkan alat perontok yang digunakan yaitu thresher. Thresher merupakan alat perontok yang umum digunakan oleh petani, karena biaya nya murah dan mengurangi kehilangan hasil daripada dengan cara digebot. Petani di propinsi Jawa Timur sebagian lebih menyukai di panen sendiri daripada ditebaskan. Adapun alasan nya yaitu : mempunyai tempat untuk menjemur gabah, dan memperoleh harga jual yang lebih tinggi pada waktu tertentu/musim paceklik. Pasca panen 151
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Sebagian kecil petani melakukan kegiatan pasca panen sendiri meliputi : penjemuran dan penggilingan untuk dikonsumsi sendiri. Oleh karena luas lahan yang digarap petani rata-rata luas, maka sebagian petani lebih memilih dijual ke tengkulak, tetapi ada juga yang menjual gabah nya di lahan atau ditebaskan yaitu dijual satu minggu sebelum panen kepada penebas/pedagang, dengan resiko harga yang lebih murah. Penebas dalam hal ini membeli gabah padi hibrida lebih rendah atau sama dengan harga jual padi non hibrida seperti varietas ciherang, Pepe, IR64 dan lain-lain, karena dari bentuk fisik serta penampilan hampir sama dengan padi varietas unggul biasa. Pemasaran hasil Harga jual gabah padi hibrida umumnya sama dengan harga jual padi non hibrida seperti IR64, Ciherang dan sebagainya. Menurut petani/ responden hal ini seharusnya dapat dijual dengan harga lebih mahal karena harga beli benih sangat mahal (48.000/kg), sehingga petani merasa rugi, sedangkan menurut tengkulak belum ada kualitas yang dapat menaikkan harga jual gabah padi hibrida. Gabah tersebut oleh tengkulak/pedagang digunakan sebagai campuran dengan varietas non hibrida lainnya untuk di jual sebagai beras konsumsi, oleh karena volume pembelian gabah hibrida masih dalam jumlah sedikit. Menurut pedagang beras mengatakan, bahwa harga jual gabah padi hibrida dan non hibrida/konvensional akan lebih tinggi bila dilihat dari bentuk gabah yang bulat panjang, hal ini disebabkan tengkulak lebih menyukai bentuk gabah serta penampilan seperti varietas Ciherang, dan IR64. Dari keadaan tersebut, maka petani merasakan bahwa menanam padi hibrida biayanya relatif lebih tinggi terutama harga benihnya tidak dapat dijangkau, namun produksi umumnya lebih tinggi dibandingkan padi non hibrida sekitar 10-15%. Menurut Suprihatno et al. (2006), bahwa pada masa yang akan datang, pembentukan varietas padi hibrida yang berpotensi hasil tinggi, tahan hama dan penyakit, serta memiliki produk yang berkualitas tinggi menjadi sasaran utama Analisa Usahatani padi hibrida dan non hibrida Pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkannya. Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian dari jumlah produksi total dengan harga output persatuan. Nilai penerimaan usahatani sangat ditentukan oleh jumlah hasil panen (output) yang diperoleh dari kegiatan usahatani dan harga output per satuan. Untuk mengetahui petani padi hibrida telah berhasil dalam mengelola usahataninya, maka dalam analisis digunakan pula data padi varietas unggul pada umumnya atau non hibrida yang ditanam petani yang sama sebagai pembanding.
152
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hasil analisis rata-rata pendapatan usahatani padi hibrida dan non hibrida per hektar di Kabupaten Lamongan, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten masingmasing dalam satu musim tanam dapat dilihat pada Tabel berikut.. Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi rata-rata hasil panen padi hibrida per hektar lebih tinggi daripada padi varietas unggul biasa. Pada padi hibrida, dapat menghasilkan 6925 kg/ha GKP, sedangkan padi varietas unggul biasa rata-rata mencapai produksi sebesar 5498 kg/ha GKP. Hal ini menunjukkan, bahwa produktivitas padi hibrida relatif lebih tinggi daripada padi unggul biasa. Peningkatan produktivitas ini diakibatkan menggunakan benih padi hibrida berkualitas yang disediakan Pemerintah dalam bentuk BLBU. Pemerinah mengharapkan, bahwa untuk meningkatkan produksi serta meningkatkan keuntungan, maka petani dituntut untuk mengikuti persyaratan berupa petunjuk teknis pengelolaan padi hibrida. Hasil panen padi hibrida terlihat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan padi varietas unggul biasa diikuti pula oleh mutu produk yang baik dengan berbagai upaya seperti pemakaian pupuk, pestisida, dan furadan yang lebih banyak dibandingkan padi biasa (Tabel 1), namun sebaliknya harga padi hibrida sama dengan padi non hibrida atau belum sesuai dengan persyaratan tengkulak. Sebagai akibatnya, petani harus menanggung resiko harga jual gabah padi hibrida yang rendah di pasar. Pada Tabel 1. dibawah ini menggambarkan analisis usahatani padi hibrida di 3 lokasi penelitian di Propinsi Jawa Timur pada MK 2008. Biaya total sarana produksi adalah sebesar Rp. 1.844.145,-, total biaya tenaga kerja adalah sebesar Rp. 3.332.620,-, biaya lain-lain sebesar Rp. 1.750.000,-, maka total biaya keseluruhan Rp. 7.277.579,-/ha. R/C ratio yang diperoleh yaitu 2,10, dan B/C ratio adalah 1,10. Pada Tabel 2. memperlihatkan R/C ratio untuk padi non hibrida diperoleh sebesar 1,87, dan B/C ratio sebesar 0,87. Dengan demikian dari hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa keuntungan padi hibrida relatif lebih tinggi dibandingkan dengan padi non hibrida dilihat dari ratio B/C dan R/C. Tabel 1. Analisis Usaha Tani Padi Hibrida rata-rata per hektar di Kabupaten Lamongan, Bojonegoro, dan Jember di Propinsi Jawa Timur, MK2008. 3 lokasi penelitian Uraian di Jawa Timur Produksi fisik (kg/ha) 6925 Harga GKP (Rp/kg) 2.208,Pendapatan kotor (Rp/ha) 15.290.400,Tenaga kerja (Rp/ha) 3.332.620,Benih (Rp/ha) 750.000,-
153
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pupuk (Rp/ha) 781.845,Pestisida (Rp/ha) 312.300,Lain-lain (Rp/ha) 1.750.000,Total Biaya (Rp/ha) 7.277.579,Gross margin (Rp/ha) 8.012.821,B/C ratio 1,10 R/C ratio 2,10 Catatan : - Padi hibrida : varietas Bernas super, Intani 2, Bernas prima, Hibrindo R1, dan SL8 SHS. - biaya sewa lahan tidak dihitung Tabel 2. Analisis Usaha Tani Padi Non Hibrida per hektar di Kabupaten Lamongan, Bojonegoro, dan Jember di Propinsi Jawa Timur, MK2008 3 lokasi penelitian Uraian di Jawa Timur Produksi fisik (kg/ha) Harga GKP (Rp/kg) Pendapatan kotor (Rp/ha) Tenaga kerja (Rp/ha) Benih (Rp/ha)
5498 2.311,12.705.878,2.880.118,310.772,-
Pupuk (Rp/ha) 1.234.052,Pestisida (Rp/ha) 632.200,Lain-lain (Rp/ha) 1.750.000,Total Biaya (Rp/ha) 6.807.142,Gross margin (Rp/ha) 5.898.736,B/C ratio 0,87 R/C ratio 1,87 Catatan : - Padi non hibrida : IR64, dan Ciherang. - biaya sewa lahan tidak dihitung Perhitungan dengan menggunakan metode MBCR (Marginal Benefit Cost Ratio) : MBCR, yaitu perhitungan untuk mengetahui kelayakan teknologi baru yang diintroduksikan. MBCR diperoleh didasarkan pada keuntungan margin dari selisih antara pendapatan teknologi padi hibrida dengan padi unggul konvensional (non hibrida) dibagi dengan selisih antara total biaya padi hibrida dengan padi unggul konvensional (non hibrida). Keuntungan padi hibrida–Keuntungan padi unggul konvensional
154
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
MBCR = -----------------------------------------------------------------------------------Total biaya padi hibrida–Total biaya padi unggul konvensional 8.012.821-5.898.736 2.114.085 MBCR = ------------------------------- ------ MBCR = --------------- = 4,49 7.277.579,- - 6.807.142,470.437,Hasil perhitungan dengan Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) yang didapat sebesar 4,49, artinya MBCR > 1. Hal ini memperlihatkan bahwa teknologi baru padi hibrida lebih menguntungkan dan layak untuk diterapkan dibandingkan padi unggul konvensional. Kesimpulan dan Saran 1) Padi hibrida berpotensi sebagai sumber pertumbuhan produksi padi di masa depan guna mendukung peningkatan ketahanan pangan nasional. Namun karena kondisi lahan yang berbeda dan relatif kurang subur maka pengembangannya harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. 2) Pendekatan PTT dengan menerapkan teknologi usahatani yang sesuai dengan karak-teristik wilayah setempat menunjukkan telah dapat memberikan hasil yang cukup optimal tanpa merusak kelestarian sumber daya lahan dan lingkungan. 3) Analisis usahatani padi hibrida di 3 lokasi penelitian di Propinsi Jawa Timur pada MK2008, memperoleh R/C ratio sebesar 2,10, dan B/C ratio sebesar 1,10. R/C ratio untuk padi inbrida diperoleh sebesar 1,87, dan B/C ratio sebesar 0,87. Dengan demikian dari hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa keuntungan padi hibrida relatif lebih tinggi dibandingkan dengan padi non hibrida dilihat dari ratio B/C dan R/C. Saran 1) Pendekatan PTT agar lebih disosialisasikan di tingkat petani untuk memperoleh produksi padi yang lebih tinggi. 2) Pemulia tanaman padi hibrida agar merakit teknologi padi hibrida yang disukai oleh konsumen dan tengkulak terutama dalam bentuk gabah yang panjang warna nasi yang putih besih, tekstur, aroma nasi, dan kepulenan nasi. 3) Agar penelitian padi hibrida dilakukan di wilayah dengan agroekosistem yang sesuai dengan pertumbuhan padi hibrida untuk melihat tingkat produktivitas serta keuntungannya
155
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Daftar Pustaka Balai Besar Tanaman Padi. 2007. Draft Padi menuju 2020. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Puslitbang Tanaman Pangan. Sukamandi. Badan Litbang Departemen Pertanian. 2007. Peningkatan Produksi Padi menuju 2020. Memperkuat Kemandirian Pangan dan Peluang Ekspor. Departemen Pertanian 2007. Badan Litbang Pertanian, 2007. Petunjuk Teknis Lapang pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 38 hal. Departemen Pertanian,2008. Peningkatan Produksi Padi Menuju 2020. Memperkuat kemandirian pangan dan peluang ekspor. Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur. 2007. Petunjuk teknis. Pengembangan Padi Hibrida dan Padi Tipe Baru (PTB) T.A. 2007. Las, Irsal, I.N. Widiarta, S.Bahri, A.K.Makarim, P.Wardana, dan M.O. Adnyana.2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis padi : Lokasi pengembangan, kebutuhan investasi dan kebijakan pendukung. Badan Litbang Deptan. (Unpublish) Suprihatno, B., Daradjat,A.A., Abdullah, B. dan Satoto. 2006. Inovasi Teknologi Perakitan Varietas Padi menuju swasembada Beras berkelanjutan. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Departemen Pertanian. Tuah Sembiring, H. Sembiring, dan Lermansius Haloho.2006. Peningkatan Produktivitas Padi melalui Penerapan PTT di Lubuk Bayas, Sumatera Utara. BPTP Sumatera Utara.Inovasi Teknologi Padi menuju swasembada beras berkelanjutan Badan Penelitin dan Pengembangan Pertanian.
156
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KARAKTERISTIK TEPUNG MINYAK ATSIRI JAHE Yustina Wuri Wulandari1 dan Indrias Tri Purwanti1 1
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta,
[email protected] Abstrak Tanaman jahe (Zingiber officinale) merupakan salah satu jenis tanaman rempah yang telah umum digunakan oleh masyarakat dan mempunyai aroma yang khas. Salah satu teknologi pengolahan rempah jahe adalah dengan produksi minyak atsiri. Nilai jual minyak atsiri jahe akan semakin tinggi dengan tingginya kandungan zingiberene dalam minyak atsiri. Akan tetapi bentuk cair dari minyak atsiri mempunyai beberapa kekurangan, yaitu mudah rusak, proses penanganan, penyimpanan serta distribusi mengalami kendala. Oleh karena dilakukan penelitian yang bertujuan memperolah minyak atsiri jahe dengan bentuk tepung sehingga mempunyai beberapa keunggulan dalam penggunaan, penyimpanan, dan distribusi. Tepung minyak atsiri jahe diperoleh dengan menggunakan alat Spray Drying. Bahan pengisi yang digunakan adalah gum arabik dan maltodekstrin dengan perbandingan (1:10; 1:15 ; 1:20). Rancangan percobaan yang digunakan dalam analisis data penelitian adalah Completely Randomized Design (CDR) dengan tiga ulangan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rendemen tepung minyak atsiri jahe emprit adalah 35,33%-77,48%, Aw tepung berkisar antara 0,31–0,39. Kadar air tepung berkisar antara 8,23%-8,50%. Selain itu jenis filler diketahui tidak berpengaruh terhadap tekstur tepung tetapi akan berpengaruh terhadap warna dan aroma tepung atsiri jahe. Kata kunci: tepung, minyak atsiri, dan jahe Pendahuluan Jahe sudah lama dikenal sebagai tanaman obat-obatan maupun bumbu penyedap masakan. Bagian tanaman jahe yang dapat digunakan adalah rimpangnya. Di dalam rimpang jahe terdapat minyak atsiri dan oleoresin yang bermanfaat sebagai bahan pemberi cita rasa pada makanan (Rismunandar, 1988). Menurut Departemen Pertanian (1996) selain digunakan pada industri makanan manfaat jahe juga digunakan pada industri kosmetika . Jahe merupakan sejenis rempah-rempah yang berupa umbi akar (Rhizoma) yang diperoleh dari tanaman Zingiber oficinale. Roscoe (Rizal dan Haryadi, 1993) termasuk famili Zingiberaceae, yaitu tanaman rumput-rumputan yang berbadan semu. Batang semu
157
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
tanaman jahe tersebut diselubungi oleh dasar pelepah daun, serta daunnya berwarna hijau dan berbunga (Koswara, 1995)
Tanaman jahe yang banyak dibudidayakan di masyarakat adalah jahe emprit, jahe gajah dan jahe merah. Kandungan minyak atsiri jahe pada berbagai varietas yaitu jahe emprit, jahe merah, dan jahe gajah berbeda-beda (Rostiana et all. 1999; Bermawie et all, 1999; Bermawie et all, 2000). Pengolahan tanaman jahe menjadi minyak atsiri menjadikan jahe mempunyai nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor minyak atsiri. Pada tahun 2002 Indonesia menduduki peringkat ke tiga dunia setelah Perancis dan China (Susihono, 2007). Berdasarkan bentuk, ukuran dan warna rimpang jahe dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu jahe besar/ jahe badak, jahe putih kecil, dan jahe merah (jahe sunthi) Jahe putih besar mempunyai ukuran rimpang yang lebih besar dan ruasnya lebih menggelembung, tetapi rasanya kurang pedas. Masyarakat mengenalnya dengan nama jahe gajah. Jahe merah mempunyai warna kulit rimpang yang berwarna merah dan ukurannya lebih kecil dari jahe putih kecil (Koswara, 1995) Jahe putih kecil mempunyai ruas yang kecil dan agak rata sampai sedikit menggelembung. Jahe putih kecil juga sering disebut dengan jahe emprit yang banyak dijumpai di pasaran dengan harga yang relatih murah. Jahe emprit banyak digunakan sebagai bumbu dan bahan jamu-jamuan (Rismunandar, 1988). Selain digunakan sebagai obat-obatan jahe emprit juga dikonsumsi dalam bentuk olahan segar dan olahan. Produk awalnya berupa jahe kering, kemudian diproses menjadi bubuk jahe, minyak jahe dan oleoresin (Utami, 1999). Menurut Hernani dan Monoharjo (2005) kandungan kimia rimpang jahe adalah senyawa fenolik seperti shagaol dan gingerol, seskuiterpen zingiberen, zingiberol kurkumen, sesquiphellandren, zingeron, 6-dehidrogingerdion, gingerglikolipid, dan asam organik (asam laurat, palmitat, oleat, linoleat, dan stearat). Rasa pedas jahe timbul karena kandungan senyawa gingerol. Akibat proses pengolahan gingerol akan berubah menjadi shagaol. Aktivitas antioksidan senyawa 6-gingerol, 6-shagaol, dan 6-gingeridol lebih tinggi dibandingkan dengan alfa-tokoferol (Hernani dan Monoharjo, 2005). Minyak atsiri jahe mudah mengalami kerusakan salah satu penyebabnya adalah karena teroksidasi. Penyimpanan minyak atsiri jahe membutuhkan tempat khusus, dalam wadah tertutup rapat dan tidak terkena cahaya. Minyak atsiri jahe sulit untuk menyatu zat lain. Minyak atsiri jahe membutuhkan emulsifier untuk dapat menyatu dengan produk-produk tertentu. Wujudnya yang cair menyebabkan minyak atsiri jahe mudah tumpah, sehingga minyak atsiri jahe membutuhkan penanganan yang sulit dalam penggunaan maupun penyimpanan.
158
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Proses mikroenkapsulasi diharapkan dapat melindungi minyak atsiri. Selain itu bentuk mikrokapsul merupakan salah satu cara untuk membuat produk lebih stabil dan mudah penggunaannya dalam industri pangan, kosmetika, dan obat-obatan. Proses mikroenkapsulasi yang diterapkan mempunyai beberapa kelebihan, yaitu dapat melindungi komponen pangan yang sensitif, melindungi dan aroma, serta mengubah komponen dari bentuk cair ke bentuk padat sehingga lebih mudah dalam penanganannya (Aini, 2001). Bentuk mikrokapsul yang padat juga lebih mempermudah dalam pengepakan, distribusi, dan pemasaran, karena produk mikrokapsul dapat dimampatkan dalam pengemasan sehingga menghemat tempat, selain itu perlindungan terhadap oksidasi dalam suhu ruangan dapat diupayakan (Aini, 2001). Minyak atsiri atau disebut juga minyak esteris atau minyak esensial, merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam tanaman. Minyak atsiri mempunyai bau wangi yang khas dari tanaman penghasilnya (Gunther, 1990). Minyak atsiri jahe merupakan cairan yang berwarna kuning coklat hingga kemerah-merahan, mudah menguap pada suhu kamar, Berat Jenis labih kecil dari Berat Jenis air, mempunyai rasa getir, berbau wangi khas tanaman jahe, larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Sedangkan komponen kimia penyusun minyak atsiri jahe beberapa diantaranya adalah zingiberene, zingiberol, fenol, asetat, lanalool, sitral dan metil hetenon (Hernani dan Monoharjo, 2005). Zingiberene merupakan salah satu komponen utama penyusun aroma minyak atsiri jahe. Senyawa ini memiliki titik didih 34 oC pada tekanan 14 mm, Berat Jenis 0,8684 pada suhu 20oC, indeks bias 1,4956 dan putaran optik -37o38’ pada suhu 20oC (Hecklman et.al, 2001). Mikrokapsul adalah suatu tabung atau paket berukuran kecil dan mempunyai dinding polimer yang menyelaputi dan melindungi partikel -partikel halus dalam inti. Dinding tersebut merupakan lapisan yang tipis, kaku, dan halus yang diperoleh dari proses mikroenkapsulasi. Mikrokapsul mempunyai ukuran yang bervariasi, ukuran terkecil submikron sampai beberapa milimeter dan idealnya berbentuk bola. (Gunawan-Efendi, 1994). Zat aktif yang terkurung di dalam mikrokapsul disebut inti atau core, Inti dapat berwujud padat, cair, atau gas dengan sifat permukaan hidrofilik atau hidrofobik. Dinding penyalut mikrokapsul disebut dengan shell atau skin atau film pelindung. (GunawanEfendi, 1994) Shell dirancang untuk melindungi inti dari faktor yang dapat menyebabkan kerusakan, misalnya cahaya, oksigen, dan kelembaban Minyak atsiri jahe sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari maupun di berbagai industri, akan tetapi minyak atsiri jahe mudah mengalami kerusakan, tidak stabil, penggunaannya dan penyimpanannya tidak praktis. Oleh karena itu dilakukan penelitian mikroenkapsulasi minyak atsiri jahe dan karakterisasinya. Sehingga nantinya diharapkan dengan bentuk tepung atsiri maka akan membuat minyak atsiri jahe bersifat
159
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
lebih stabil, penyimpanannya lebih mudah dan hemat tempat serta penggunaannya lebih mudah dan luas untuk keperluan pangan, kosmetika, dan obat-obatan. Bahan dan Metode
Bahan yang digunakan adalah jahe emprit untuk produksi minyak atsiri, sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah Na(SO4) anhydrous, toluene, twin 80 dan aquades, gum arabik, dan maltodekstrin Peralatan yang adalah seperangkat spray dryer merk Armfield, cabinet dryer untuk mengeringkan jahe, blender kering merk phillip, timbangan, jahe, ayakan 60 mesh yang digunakan untuk mengayak jahe kering, seperangkat alat destilasi, serta seperangkat alat untuk analisa kimia. Jahe emprit disortasi untuk memperoleh keseragaman mutu bahan. Jahe yang lolos seleksi dibersihkan dengan air mengalir dari kotoran yang melekat. Jahe bersih Jahe dihancurkan kemudian dilakukan destilasi untuk memperoleh minyak atsiri yang akan digunakan untuk proses mikroenkapsulasi. Minyak atsiri yang diperoleh dilakukan analisa kandungan zingiberene dan profil minyak atsiri jahe. Filler yang digunakan untuk proses mikroenkapsulasi adalah gum arabik dan maltodekstrin. Minyak atsiri hasil destilasi yang diperoleh dihomogenisasi dengan twin 80 dan aquades. Setelah homogen dicampur dan dihomogenisasi dengan filler mikroenkapsulasi, yang berupa gum arabik dan maltodekstrin. Setelah minyak atsiri homogen dengan filler mikroenkapsulasi dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Suhu inlet yang digunakan 105 oC, suhu outlet 60oC, kompresi adara 0,5 bar, air flow 30 m2/jam. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Completely Randomized Design (CRD) dengan 3 ulangan. Perlakuan pada bahan dasar yaitu minyak atsiri jahe emprit yang diperoleh dari destilasi dengan metode water and steam. Minyak atsiri dibuat mikrokapsul dengan spray drying menggunakan filler gum arabik dan maltodekstrin dengan perlakuan sebagai berikut : M1 : campuran minyak atsiri jahe dan maltodekstrin 1 : 10 M2 : campuran minyak atsiri jahe dan maltodekstrin 1 : 15 M3 : campuran minyak atsiri jahe dan maltodekstrin 1 : 20 G1 : campuran minyak atsiri jahe dan maltodekstrin 1 : 10 G2 : campuran minyak atsiri jahe dan maltodekstrin 1 : 15 G3 : campuran minyak atsiri jahe dan maltodekstrin 1 : 20 Data yang diperoleh dianalisa secara statistik dengan analisa varians. Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Least Significant Different (LSD) dengan uji beda terkecil 5% (Widasari, 1988). Penelitian dilakukan di 2 tempat, yaitu di laboratorim Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta dan laboratorium Fakultas
160
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Jogjakarta serta FMIPA UGM Jogjakarta. Hasil dan Pembahasan Profil Aroma Minyak Atsiri Jahe
Profil aroma suatu minyak atsiri setiap tanaman penghasil minyak atsiri bersifat khas dan unik. Keunikan aroma minyak atsiri antara lain karena untuk suatu varietas tanaman yang sama, jika keberadaan tanaman tersebut di tanam pada daerah yang berbeda maka akan diperoleh aroma yang berbeda. Hirasa dan Takemasa (1998) menerangkan bahwa flavor dan aroma rempah sangat ditentukan oleh jumlah komponen kimia penyusunnya dan perbedaan komposisi komponen penyusun aroma akan menyebabkan perbedaan pula terhadap flavor dan aroma. Hal ini juga terbukti berdasarkan hasil penelitian bahwa minyak atsiri jahe emprit mempunyai aroma kuat khas tanaman jahe (Wulandari dan Purwanti, 2008). Berdasarkan analisis GC-MS minyak atsiri jahe maka dapat diketahui beberapa komponen kimia penyusun aroma minyak atsiri. Profil aroma minyak atsiri jahe dapat dilihat pada tabel 1. Komponen kimia penyusun aroma minyak atsiri jahe yang tertinggi dari penelitian adalah zingiberene. Hal ini sama dengan hasil penelitian dari Hirasa dan Takemasa (1998). Tabel 1. Profil Aroma Minyak Atsiri Jahe Emprit No
Komponen Kimia
1 2 3 4 5 6
Zingberene alpha-farnesene beta-Bisalone beta-Sesquiphellandrene Benzene Camphene
(%) 60,35 9,84 6,79 16,93 8,80 0,11
Rendemen Tepung Minyak Atsiri Jahe Tepung minyak atsiri jahe merupakan mikrokapsul minyak atsiri jahe yang dibuat dari enkapsulan berupa maltodekstrin dengan perbandingan ((2:10), (2:15), dan (2:20)) dan gum arabik dengan perbandingan ((2:10), (2:15), dan (2:20)). Tepung minyak atsiri jahe dalam berbagai perlakuan kondisi proses dapat di lihat pada Tabel 2 di bawah ini. Berdasarkan data Tabel 2 dapat diketahui bahwa komposisi kadar enkapsulan berpengaruh terhadap tingkat rendemen. Namun demikian dari hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi bahan pengisi/filler tidak selalu akan dihasilkan rendemen yang tinggi. Hal ini disebabkan karena sifat konsistenasi maltodektrin dan gum
161
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
arabik terhadap panas selama proses pengeringan (spray drying) berbeda-beda sehingga diperoleh tingkat rendemen yang berbeda. Minyak atsiri merupakan senyawa volatil sehingga untuk terperangkap dalam suatu filler tidak hanya dipengaruhi oleh interaksi antara proses pengeringan droplet (larutan hasil homogenisasi antara minyak atsiri jahe dan filler) dengan udara panas tetapi juga tergantung dari proses pembentukan droplet. Tabel 2. Rendemen Tepung Minyak Atsiri pada Berbagai Enkapsulan No 1
Perlakuan M1
% Rendemen
2
M2
72,47
3
M3
4
G1
5
G2
6
G3
36,13
a
d e
77,48 44,83 39,83
c b
35,33
a
Keterangan : * Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
Enkapsulan maltodektrin dalam penelitian dihasilkan rendemen mikrokapsul yang lebih besar dibandingkan gum arabik. Konsentrasi maltodektrin semakin tinggi konsentrasi maka diperoleh rendemen tepung atsiri yang tinggi, sedangkan gum arabic berpengaruh sebaliknya yaitu semakin tinggi akan diperoleh rendemen yang menurun. Hal ini disebabkan pada penggunaan filler maltodektrin, kondisi optimal proses untuk terbentuknya fraksi droplet yang kompak belum tercapai sehingga semakin tinggi konsentrasi akan dihasilkan rendemen yang semakin meningkat. Sedangkan penggunaan gum arabic sebagai filler, sesuai hasil penelitian diperoleh rendemen yang menurun dengan konsentrasi yang meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi optimal penggunaan gum arabik sebagai filler adalah pada berat 10 gram dengan berat minyak 2 gram. Berdasarkan hasil penelitian dari dua jenis filler yang digunakan diperoleh dua kondisi proses yang berbeda dalam pembuatan tepung minyak atsiri jahe kondisi pertama, untuk enkapsulan maltodektrim maka masih dimungkinkan untuk kondisi proses optimal dengan minyak atsiri 2 gram penambahan maltodektrin lebih dari 20 gram. Sedangkan kondisi proses yang kedua yaitu untuk enkapsulan gum arabic maka diperoleh kondisi optimal untuk proses yaitu berat minyak atsiri 2 gram dan gum arabic 10 gram. Aktivitas Air (Aw) Tepung Minyak Atsiri Jahe Aktivitas air secara umum dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air bahan dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama. Aw rendah berarti jumlah air yang tersedia sebagai pelarut dalam reaksi kimia sangat kecil, sehingga akan menghambat reaksi kimia yang akan terj adi. 15 Akt ivitas air tepung minyak atsiri jahe dapat dilihat pada tabel 3.
162
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 3. Aktivitas Air Tepung Minyak Atsiri Jahe No 1
Perlakuan M1
2
M2
3
M3
4
G1
5
G2
6
G3
Aw 0,39 0,31 0,33 0,35 0,31 0,32
b a a ab a a
Keterangan : * Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.
Jumlah air didalam bahan yang tersedia untuk pertumbuhan mikroba dikenal dengan istilah aktivitas air. Jika kandungan air bahan diturunkan, maka pertumbuhan mikroba akan diperlambat. Terutama pertumbuhan bakteri patogen. Penghambatan mikroba secara total akan terjadi pada aw bahan pangan kurang dari 0,6. ( Elvira Syamsir, 2008 dalam http://id.shvoong.com/exactsciences/biology/1792972-aktivitas-air-dan-pertumbuhan-mikroba/) Pada penelitian ini diperoleh aktivitas air di bawah 0,6. Hal itu menyatakan bahwa air yang tersedia sebagai pelarut pada reaksi kimia rendah, sehingga mikrokapsul tidak bisa digunakan sebagai media tumbuh mikrobia, Olah karena itu mikrokapsul minyak atsiri jahe akan mempunyai umur simpan yang panjang. Kadar Air Tepung Minyak Atsiri Jahe Pengamatan kadar air terhadap tepung minyak atsiri jahe digunakan untuk mengetahui stabilitas tepung selama penyimpanan. Berdasarkan hasil analisa maka diperoleh kadar air tepung minyak atsiri jahe dalam berbagai kondisi proses seperti pada tabel 4.
Tabel 4 . Kadar air tepung minyak atsiri jahe (%) No 1 2 3 4 5 6
Perlakuan M1 M2 M3 G1 G2 G3
Kadar Air 8,50d 8,23a 8,32c 8,48d 8,27ab 4,29bc
Keterangan : * Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata dengan uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%.
Dari tabel di atas diketahui bahwa sampel M1 dan sampel G1 tidak beda nyata, sampel M2 dan G2 tidak beda nyata, serta sampel M3 dan G3 tidak beda nyata. Akan tetapi pada masing-masing perlakuan dapat dilihat mempunyai kecenderungan menurun
163
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pada perlakuan M2 dan G2. Hal itu dimungkinkan prosentase suspensi yang mengakibatkan prosentase air terikat lebih rendah dibanding dengan yang lain. Air terikat merupakan air yang berinteraksi diantara mereka sendiri membentuk lapisan jamak molekul, atau yang berinteraksi dengan bahan padatnya dan membentuk lapisan tunggal yang berada di permukaan bahan, mempunyai tekanan uap yang nilainya lebih rendah dibandingkan dengan tekanan uap murni pada suhu yang sama (Widyastuti, 2003). Oleh karena itu dari data hasil penelitian diketahui pada masing-masing prosentase suspensi yang sama tidak ada beda nyata karena kadar air terikatnya sama. Tekstur Tepung Minyak Atsiri Jahe Tekstur merupakan salah satu atribut mutu tepung yang penting. Tekstur tepung ditentukan oleh ukuran partikel-partikelnya. Semakin kecil dan seragam ukuran partikelnya, maka tepung semakin halus. Semakin besar dan tidak seragam ukuran partikelnya, maka tepung terasa semakin kasar apabila diraba. Dari uji pembedaan terhadap tekstur tepung minyak atsiri jahe dengan bahan pengisi maltodekstrin dan gum arabik dapat dilihat pada tabel.6 di bawah ini. Tabel 6. Tabel Analisa Uji Inderawi Tekstur Tepung Minyak Atsiri Jahe No 1
Perlakuan M1
Tekstur 1,13a
2
M2
1,20a
3
M3
1,20a
4
G1
1,20a
5
G2
1,27a
6
G3
1,27a
Keterangan : * Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat kepercayaan 95%. * Nilai semakin rendah menunjukkan tekstur yang semakin halus. * Range nilai 1-5 dengan kisaran sangat halus sekali hingga tidak halus.
Dari analisa statistika yang dilakukan terhadap uji pembedaan tekstur tepung minyak atsiri jahe tidak ditemukan beda nyata antar sampel. Panelis memberikan penilaian yang rendah terhadap semua sampel tepung minyak atsiri. Hal itu berarti panelis memberikan penilaian bahwa tekstur tepung minyak atsiri yang diihasilkan dengan bahan pengisi maltodekstrin dan gum arabik adalah sama dengan kriteria sama-sama sangat halus. Aroma Tepung Minyak Atsiri Jahe Aroma minyak atsiri salah satu penentu mutu minyak atsiri. Hasil uji pembedaan terhadap aroma tepung minyak atsiri jahe dengan bahan pengisi gum arabik dan maltodekstrin dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
164
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 7. Tabel Analisa Uji Inderawi Aroma Tepung Minyak Atsiri Jahe No 1 2 3 4 5 6
Perlakuan M1 M2 M3 G1 G2 G3
Aroma 2,33a 2,40ab 2,80c 2,07a 2,53bc 2,47bc
Keterangan : * Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata dengan uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%. * Nilai semakin rendah menunjukkan warna yang semakin kuat. * Range nilai 1-5 dengan kisaran sangat kuat sekali hingga tidak kuat.
Dari hasil analisa statistika terhadap uji pembedaan terhadap aroma tepung minyak atsiri jahe dengan bahan pengisi maltodekstrin dan gum arabik ditemukan adanya beda nyata antar sampel. Pada sampel dengan perlakuan M1 dan G1 tidak beda nyata. Sampel dengan perlakuan M2 dan G2 tidak beda nyata, sampel dengan perlakuan M3 dan G3 juga tidak beda nyata. Hal itu terjadi karena pasangan perlakuan tersebut diberi perlakuan dengan konsentrasi minyak yang sama. Kesimpulan Karakteristik tepung minyak atsiri jahe dipengaruhi oleh bahan pengisi (filler) yaitu maltodektrin dan gum arabik. Karekteristik tepung tersebut antara lain rendemen tepung, kadar air, aktivitas air, tektur, warna, dan aroma.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rendemen tepung minyak atsiri jahe emprit adalah 35,33%-77,48%, Aw tepung berkisar antara 0,31–0,39. Kadar air tepung berkisar antara 8,23%-8,50%. Selain itu jenis filler diketahui tidak berpengaruh terhadap tekstur tepung tetapi akan berpengaruh terhadap warna dan aroma tepung atsiri jahe. Daftar Pustaka Syamsir, 2008 Aktivitas Air dan Pertumbuhan Mikroba dalam http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1792972-aktivitas-air-danpertumbuhan-mikroba/) Gunawan-Effendi , 1994. Teknik Mikroenkapsulasi Provitamin A Dari Minyak Sawit Merah Dengan Metode Koeservasi Kompleks. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Gunther, E., 1990. Minyak Atsiri. Jilid III A. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Hirasa, K. and M. Takemasa, 1998. Spices Science and Technology. Japan: Lion Corporation, Tokyo Koswara Sutrisno, 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Aini Nur., 2001, Mikroenkapsulasi Pro Vitamin A dari Ekstrak Buah dan Tepung Labu Kuning. Thesis, UGM. Rismunandar, 1988. Rempah-Rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung : Sinar Baru. Elvira
165
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Rostiana et all, 1991; Bermawie at all, 1999; Bermawie et all, 2000. Perkembangan Teknologi TRO Vol XV, No.2, 2003. www.balittro.go.id Utami. I.S., 1992. Uji Inderawi : Evaluasi Sifat, Tekstur, Warna, Profit Sensoris. Jogjakarta: PAU Pangan Gizi UGM. Wahyu Susihono.W., 2007. Ide Warga. IP.197.subnet.astinet. telkom.net.id Widyastuti, 2003, Satuan Operasi, Fakultas teknologi Pertanian, Diktat Kuliah, Universitas Slamet Riyadi Suakarta. Wulandari,W.Y., 2006. Pengaruh Perlakuan Mekanis Rimpang Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Terhadap Tingkat Rendemen Minyak Atsiri dengan Destilasi Uap-air. Laporan Hasil Penelitian, Surakarta: FTP UNISRI
166
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
JAHE (Zingiber officinale) SEBAGAI AGENSIA UNTUK MENGHAMBAT KERUSAKAN KIMIAWI PADA GEPLAK PEPAYA Nanik Suhartatik1, Merkuria Karyantina1, Agung S Wardana1, Sumarmi2 1
Fakultas Teknologi Pertanian,2Fakultas Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta Email:
[email protected]
Abstrak Pepaya merupakan salah satu produk pangan yang mudah mengalami kerusakan dan mempunyai nilai jual yang rendah. Salah satu diversifikasi produk olahan pepaya adalah geplak pepaya. Geplak mudah mengalami kerusakan karena komponen utama yang berupa kelapa. Komponen utama dalam kelapa, minyak/lemak, menyebabkan produk mudah mengalami ketengikan selama penyimpanan. Salah satu bahan yang berpotensi untuk menghambat kerusakan yang terjadi pada geplak adalah jahe. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berat jahe yang dibutuhkan untuk dapat menghambat kerusakan pada geplak pepaya, mengetahui kondisi penyimpanan untuk geplak pepaya. Rancangan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor yaitu kadar Jahe (0, 50, 75, 100 g/500 g adonan) dan lama penyimpanan (14, 28, 42 hari) dalam suhu ruang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama disimpan kadar air, kadar abu, kadar lemak, protein dan angka asam cenderung semakin menurun. Kerusakan yang muncul pertama adalah adanya jamur (hari ke 14) pada geplak dengan kadar jahe 100 g/500 g adonan. Jahe kurang efektif dalam menekan kerusakan geplak akibat oksidasi dan mikrobia. Geplak pepaya dengan kadar jahe 0 dan 50 g/500 g adonan masih layak dikonsumsi dibandingkan geplak dengan kadar jahe 75 dan 100 g/500 g adonan. Kata kunci : Jahe, geplak, pepaya, kerusakan
Pendahuluan Buah pepaya dapat kita jumpai di sepanjang jalan menuju Boyolali dan sampai dengan saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Sifat buah pepaya yang mudah rusak menuntut dilakukannya pengolahan/diversifikasi menjadi produk lain yang lebih bermanfaat. Masyarakat belum banyak melakukan upaya untuk meningkatkan nilai jual dari buah pepaya dan lebih suka menjualnya di tepi jalan raya. Hasil olahan pepaya yang sudah ada di pasaran meliputi; manisan, selai, dan keripik pepaya. Kelemahan pembuatan keripik pepaya adalah memerlukan alat (vacuum frier) yang mahal dan tidak semua orang bisa membelinya. Alternatif cara untuk mengolah buah pepaya adalah dengan pembuatan geplak. Kelebihan geplak adalah kandungan gulanya yang tinggi menyebabkan daya tahan produk menjadi lama. Selain itu nilai jualnya lebih tinggi dibandingkan bila pepaya dijual dalam bentuk segar. Dalam proses pembuatan geplak pepaya, salah satu komponen yang ditambahkan adalah kelapa parut yang banyak mengandung minyak/lipid.
167
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Meskipun kerusakan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba dapat dicegah dengan kadar gula yang tinggi, namun hasil olahan pepaya menjadi geplak masih mudah mengalami kerusakan, yaitu ketengikan. Ketengikan terjadi karena terjadinya proses oksidasi lipid yang menghasilkan asam lemak rantai pendek, peroksida, dan komponen volatil lainnya. Terjadinya kerusakan oksidatif dapat dicegah dengan menambahkan senyawa yang dapat mencegah terjadinya oksidasi lipid, yaitu senyawa antioksidan. Beberapa jenis bahan hasil pertanian, herbal, atau rempah telah diketahui mengandung senyawa yang mempunyai kemampuan sebagai senyawa antioksidan, seperti vitamin C, vitamin E, polifenol, tanin, dan senyawa lainnya (Carlsen et al., 2010). Salah satu jenis herbal yang banyak dikembangkan sebagai senyawa antioksidan adalah jahe (Zingiber officinale). Pemanfaatan jahe untuk menghambat kerusakan oksidatif pada geplak pepaya belum pernah dilakukan sehingga perlu diketahui terlebih dahulu berapa banyak jahe yang dibutuhkan untuk dapat menghambat kerusakan itu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berat jahe yang dibutuhkan untuk dapat menghambat oksidasi lipid pada geplak pepaya, mengetahui kondisi penyimpanan yang dapat memperpanjang umur simpan geplak pepaya dan mengetahui masa simpan geplak pepaya dengan penambahan jahe sebagai antioksidan.
Metode Penelitian Bahan
Pepaya mentah, jahe dan gula pasir sebagai bahan penelitian diperoleh di pasar tradisional di sekitar solo. Metode Geplak dibuat sesuai dengan perlakuan penambahan jahe, masing-masing sebanyak 0 g, 50 g, 75 g, dan 100 g per 500 g adonan geplak. Metode pembuatan geplak dapat dilihat pada gambar 1. Kemudian geplak disimpan selama 2 minggu, 4 minggu, dan 6 minggu. Setelah masa penyimpanan, geplak dianalisis untuk kadar air (destilasi), kadar lemak (soxhletasi), kadar protein (mikro kjeldahl), angka asam, dan angka asam lemak bebas (sudarmadji dkk, 1984). Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor, yaitu: Faktor I : Kadar jahe P1 : 0 g/500 g adonan P0 : 50 g/500 g adonan P2 : 75 g/500 g adonan P3 : 100 g/500 g adonan
168
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Faktor II : Lama Penyimpanan F1 : 2 minggu F2 : 4 minggu F3 : 6 minggu Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variance (anova), kemudian dilanjutkan dengan uji beda nyata yaitu DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf signifikansi 5 %. Kelapa
Pepaya mengkal
Dikupas&dicuci
dikupas
diparut
diparut
Ditimbang 250 g
dilayukan Ditimbang 250 g
Gula Pasir Jahe
Semua bahan dicampur
Dimasak sampai kalis dan Dikemas
Geplak Pepaya
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Geplak Pepaya Hasil dan Pembahasan Geplak adalah makanan yang terbuat dari parutan kelapa dan gula pasir atau gula jawa, yang rasanya manis (Anonim4.2007). Namun pada perkembangannya geplak dapat dibuat dari bahan lain selain parutan kelapa namun masih tetap menggunakan bahan tambahan gula. Geplak termasuk jenis makanan kecil yang dapat tahan lama disimpan karena kandungan gula yang tinggi dan kadar airnya rendah. Tahap penelitian ini adalah dengan membuat ekstrak jahe, dengan cara diparut. Parutan jahe tersebut dimasak dengan kelapa parut, parutan pepaya dan gula pasir. Proses pemasakan dilakukan sampai adonan mulai mengering, 169
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kemudian dicetak. Pengemas yang digunakan adalah kertas minyak kemudian dimasukkan dalam plastik dan disimpan di ruangan terbuka. Kadar Air Geplak merupakan produk yang mempunyai kadar air relatif rendah (<10%) dan rasanya manis, karena kandungan gula cukup tinggi. Kandungan air yang rendah serta kadar gula yang tinggi mampu menekan pertumbuhan mikrobia. Namun tidak jarang dijumpai produk geplak yang tidak tahan lama dan berjamur, hal tersebut disebabkan oleh kurang baiknya proses pemasakan sehingga kadar air masih tinggi dan memungkinkan jamur bisa tumbuh. Hasil analisis kadar air geplak pepaya dengan variasi kadar jahe dan lama penyimpanan menunjukkan bahwa kadar jahe berpengaruh nyata terhadap kadar air dalam geplak pepaya. Semakin banyak penambahan jahe maka kandungan air semakin tinggi juga. Hal tersebut disebabkan karena kadar air jahe cukup tinggi sehingga mempengaruhi kadar air geplak. Semakin lama geplak pepaya disimpan, kadar air geplak mengalami perubahan (uji pembedaan menunjukkan tidak berpengaruh nyata). Semakin lama geplak disimpan, secara visual geplak tampak semakin mengering dan teksturnya meremah (mawur). Interaksi antara kadar jahe dan lama penyimpanan, setelah dilakukan analisis menunjukkan pengaruh yang sangat nyata. Kadar air jahe mempengaruhi tingginya kadar air geplak dan semakin lama disimpan kadar air geplak semakin berkurang karena penguapan. Cara penyimpanan geplak dengan pengemas kertas minyak dan di udara terbuka, menyebabkan semakin cepatnya proses penguapan air dalam geplak. Tabel 1. Kadar Air Geplak Pepaya selama Penyimpanan Kadar
Lama Penyimpanan
Jahe
14 hari
28 hari
42 hari
0 g/500 g adonan
9,428 b
0,179 f
0,156 e
50 g/500 g adonan
9,488 b
0.127 d
0,109 c
75 g/500 g adonan
9,192 bcde
0,159 e
0,203 h
100 g/500 g adonan
8,445 abc
0,187 g
0,253 i
Keterangan: angka dengan notasi angka yang berbeda, menunjukkan berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikasi 5%
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kadar air geplak hari ke 14 cenderung tinggi (rata-rata 9 %), dan semakin lama disimpan kadar air cenderung menurun. Kondisi tersebut disebabkan karena proses penyimpanan dalam keadaan terbuka sehingga sangat memungkinkan terjadinya penguapan.
170
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kadar Abu Kadar abu merupakan parameter nilai gizi bahan makanan berhubungan dengan komponen mineral suatu bahan yang dibutuhkan tubuh seperti : kalsium, besi, dan fosfor. Dalam tubuh, mineral berfungsi sebagai pengatur dan pembangun oleh karena itu kehilangan mineral selama proses pengolahan sedapat mungkin dibatasi (Sudarmadji et al., 1989). Hasil analisis kadar abu geplak pepaya menunjukkan bahwa kadar jahe tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Namun semakin lama disimpan, kadar abu menunjukkan pengaruh yang nyata. Semakin lama geplak pepayaa disimpan kadar abu semakin rendah, hal tersebut disebabkan komponen yang terdapat dalam geplak terurai menjadi komponen yang lebih kecil. Tabel 2. Kadar Abu Geplak Pepaya selama Penyimpanan Kadar Jahe 0 g/500 g adonan
Lama Penyimpanan 14 hari 28 hari 42 hari 0,672
c,d,e
0,615
b,c
0,533
a
50 g/500 g adonan
0,696
d,e
0,628
b,c
0,527
a
75 g/500 g adonan
0,723
e
0,640
b,c,d
0,580
a,b
100 g/500 g adonan 0,734 e 0,655 c,d 0,585 a,b Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata dengan uji DMRT Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan jahe, kadar abu semakin tinggi, karena semakin banyak penambahan komponen yang berasal dari jahe. Kadar abu tertinggi pada geplak dengan penambahan jahe 100 gram per 500 gram adonan. Kadar Lemak Bahan utama pembuatan geplak pepaya adalah parutan kelapa, dimana kandungan lemak dalam pepaya cukup tinggi (15 gram per 100 gram kelapa). Daging kelapa sering diolah menjadi menjadi minyak kelapa, hal tersebut menunjukkan bahwa daging kelapa mengandung minyak, yang mampu menyebabkan produk olahan kelapa mudah mengalami kerusakan karena oksidasi. Salah satu upaya untuk menekan terjadinya kerusakan oksidatif produk olahan kelapa adalah dengan penyimpanan yang rapat dan tidak terkena matahari langsung serta penambahan antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas dalam produk pangan. Dalam penelitian ini digunakan jahe sebagai antioksidan, yang diharapkan mampu memeperpanjang umur simpan jahe serta mencegah kerusakan oksidatif pada geplak. Kerusakan oksidatif bisa ditimbulkan karena terjadinya reaksi antara lemak dengan oksigen bebas. 171
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar jahe dan lama penyimpanan geplak tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak pada geplak pepaya. Namun interaksi antara kadar jahe dan lama penyimpanan sangar berpengaruh nyata terhadap kadar lemak pada geplak pepaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan jahe dan lamanya penyimpanan menunjukkan reaksi yang akan mempengaruhi kadar lemak geplak pepaya. Jahe kurang mampu menekan kerusakan pada geplak, semakin banyak kadar jahe secara visual produk geplak tampak berair, sehingga penambahan jahe kurang efektif untuk mengikat air dalam produk geplak pepaya. Tabel 3. Kadar Lemak Geplak Pepaya selama Penyimpanan Kadar Jahe
Lama Penyimpanan 14 hari
28 hari
42 hari
0 g/500 g adonan
6,669
h
5,668
g
3,895
e
50 g/500 g adonan
5,488
g
4,851
f
2,185
d
75 g/500 g adonan
2,016
d,e
1,932
c,d
0,975
b
100 g/500 g adonan
1,652
c
1,188
b
0,243
a
Keterangan: angka dengan notasi angka yang berbeda, menunjukkan berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikasi 5%
Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar lemak dalam geplak semakin menurun seiring dengan semakin lama geplak disimpan. Hal tersebut disebabkan lemak yang ada pada produk teroksidasi oleh oksigen yang masih bisa masuk dalam kemasan. Kerusakan karena oksidasi tersebut menyebabkan geplak menjadi tengik. Kadar Protein Protein dalam bahan makanan sangat penting dalam proses kehidupan organisme yang heterotrop. Keistimewaan protein adalah strukturnya yang mengandung N, disamping C, H, S dan kadang-kadang P, Fe dan Cu. Penentuan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah nitrogen (N) yang dikandung oleh suatu bahan (Sudarmadji et all, 1981). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar jahe berpengaruh nyata terhadap kadar protein dalam geplak pepaya. Hal tersebut diakibatkan, kandungan protein dalam jahe cenderung sedikit, sehingga penambahan jahe tidak terlalu berpengaruh terhadap kandungan protein produk. Lama penyimpanan akan berpengaruh nyata terhadap protein geplak pepaya, semakin lama produk disimpan kandungan protein semakin berkurang akibat adanya perombakan protein oleh mikrobia. Semakin lama produk disimpan, produk tampak berjamur. Ini disebabkan karena kadar air bebas yang masih tinggi sehingga memungkinkan bagi pertumbuhan jamur. 172
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Interaksi kadar jahe dan lama penyimpanan akan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein geplak pepaya. Semakin lama disimpan kandungan protein semakin berkurang akibat terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan. Tabel 4 menunjukkan bahwa kadar protein tertinggi pada produk yang disimpan pada analisis hari ke 14, semakin lama disimpan kandungan protein semakin menurun. Protein yang terdapat dalam geplak dimanfaatkan oleh mikrobia untuk pertumbuhannya, sehingga selama penyimpanan terjadinya denaturasi protein menjadi komponen yang lebih kecil dan dimanfaatkan oleh mikrobia. Kadar Jahe tidak terlalu mempengaruhi kandungan protein dalam geplak pepaya. Tabel 4. Kadar Protein Geplak Pepaya selama Penyimpanan Kadar Jahe
Lama Penyimpanan 14 hari
28 hari
42 hari
0 g/500 g adonan
2,077
e
1,989
d
1,731
b
50 g/500 g adonan
2,148
f
1,944
d
1,555
a
75 g/500 g adonan
2,193
f
1,861
c
1,764
b
100 g/500 g adonan
2,211
f
1,975
d
1,878
c
Keterangan: angka dengan notasi angka yang berbeda, menunjukkan berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikasi 5%
Angka Asam Angka asam menunjukkan banyaknya asam lemak bebas yang terdapat dalam suatu lemak atau minyak. Angka asam dinyatakan sebagai jumlah miligram NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram lemak atau minyak. Angka asam pada suatu bahan akan menunjukkan tingkat kerusakan komponen lemak atau minyak dalam produk. Salah satu komponen penting dalam pembuatan geplak pepaya adalah parutan kelapa (shreded coconut). Terjadinya hidrolisis minyak dapat dicegah dengan cara mengikat air yang terdapat di dalam sistem (lingkungan). Air di dalam produk seperti geplak tergolong dalam air yang terikat kuat. Air terikat kuat tidak dapat digunakan oleh mikrobia sebagai media pertumbuhannya. Namun dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa air masih dapat digunakan sebagai media pertumbuhan, yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan jamur setelah penyimpanan selama 2 minggu, produk tampak berjamur ( bintik-bintik kehitaman). Air di dalam bahan dapat diikat dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menambahkan bahan pengikat, seperti gula atau garam. Gula dan garam akan mengikat air dengan kuat sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan mikroba pembusuk atau kontaminan. Namun dari hasil penelitian 173
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
didapatkan bahwa jahe tidak mampu menghambat kerusakan geplak pepaya. Dasar pemilihan jahe sebagai agensia antioksidan tidaklah tepat untuk memperpanjang umur simpan atau menghambat kerusakan geplak pepaya dari proses oksidasi. Kerusakan geplak pepaya lebih disebabkan karena jamur yang tumbuh sehingga perlakuan yang diterapkan pun seharusnya juga menggunakan bahan tambahan pangan alami yang efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar jahe, lama penyimpanan dan interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap angka asam geplak pepaya. Jahe mengandung minyak, sehingga penambahan jahe dalam geplak akan mempengaruhi angka asam produk. Bahan baku geplak pepaya adalah kelapa yang juga memberikan sumbangan asam lemak pad produk. Semakin lama disimpan, produkb tampak semakin berminyak, hal tersebut disebabkan oleh rusaknya lemak/minyak akibat terjadinya proses oksidasi. Produk dikemas dengan kertas minyak, dimasukkan dalam plastik, serta disimpan di udara terbuka, sehingga masih memungkinkan terjadinya proses oksidasi akibat kontak produk dengan oksigen. Tabel 5 menunjukkan bahwa semakin lama geplak disimpan, angka asam cenderung semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan karena lemak/minyak yang terdapat dalam produk mengalami kerusakan seiring dengan semakin lama produk disimpan. Semakin banyak penambahan kadar jahe, angka asam juga tampak semakin meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa jahe kurang efektif dalam mencegah kerusakan minyak yang terjadi karena hidrolisis. Tabel 5. Angka Asam Geplak Pepaya selama Penyimpanan Kadar Jahe
Lama Penyimpanan 14 hari
28 hari
42 hari
0 g/500 g adonan
0,686
a
0,830
b
0,972
c
50 g/500 g adonan
0,979
c
1,175
c
1,554
f
75 g/500 g adonan
1,265
d,e
1,345
e
1,604
f
100 g/500 g adonan
1,571
f
1,833
g
2,177
h
Keterangan: angka dengan notasi angka yang berbeda, menunjukkan berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikasi 5%
Angka Asam Lemak Bebas Parameter lain yang digunakan sebagai indikator terjadinya kerusakan terhadap minyak dalam produk adalah asam lemak bebas. Angka ini menunjukkan tingkat kerusakan karena terjadinya hidrolisis, sama dengan angka asam. Hasil analisis menunjukkan pola yang sama dengan hasil pada peneraan angka asam. Dari hasil ini juga dapat disimpulkan bahwa ekstrak jahe yang ditambahkan tidak efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur. 174
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 6. Angka Asam Lemak Bebas Geplak Pepaya selama Penyimpanan Kadar
Lama Penyimpanan
Jahe
14 hari
0 g/500 g adonan
1,400
a
1,750
b,c
2,100
b
50 g/500 g adonan
6,100
c
7,150
f,g
7,950
h
d,e
6,850
e
75 g/500 g adonan
6,450
e,f
28 hari
e,f,g
42 hari
7,050
e,f,g g
100 g/500 g adonan 7,000 7,050 7,300 Keterangan: angka dengan notasi angka yang berbeda, menunjukkan berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikasi 5%
Bahan tambahan makanan yang sering digunakan sebagai agensia untuk menghambat pertumbuhan jamur pada produk pangan adalah asam organik dan beberapa jenis polifenol seperti pada kayu manis. Jahe akan lebih memberikan efek perlindungan terhadap proses oksidasi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar jahe dan interaksi kadar jahe serta lama penyimpanan, sangat berpengaruh nyata terhadap angka asam lemak bebas geplak pepaya. Komponen dalam jahe kurang efektif dalam mencegah terjadinya oksidasi pada geplak. Semakin banyak kadar jahe justru memicu tingginya angka asam lemak bebas pada geplak. Lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap angka asam lemak bebas pada geplak. Semakin lama produk disimpan, angka asam lemak bebas cenderung semakin meningkat. Angka asam lemak bebas tertinggi terdapat pada geplak pepaya dengan kadar jahe 100 g/500 g adonan yang disimpan selama 6 minggu. Kesimpulan 1. Produk geplak pepaya dengan penambahan kadar jahe 0 g/500 g adonan dan 50 g/500 g adonan, lebih efeketif dalam menekan kerusakan produk geplak dibandingkan dengan penambahan kadar jahe 100 g/500 g adonan. 2. Produk geplak pepaya dengan variasi kadar jahe 100 g/500 g adonan, mulai tidak layak untuk dikonsumsi setelah umur simpan 14 hari, karena sudah mulai ditumbuhi jamur. 3. Geplak pepaya dengan penambahan kadar jahe 0 dan 50 g per 500 adonan, masih layak dikonsumsi sampai umur simpan 14 hari. 4. Kerusakan oksidatif pada geplak pepaya kurang mampu ditekan mampu ditekan dengan menggunakan penambahan jahe, dimungkinkan karena pengemas yang digunakan masih memungkinkan terjadi kerusakan oksidatif
175
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Daftar Pustaka Anonim, 2002. Khasiat dan Manfaat Jahe Merah si Rimpang Ajaib. Jakarta: PT Agro Media AOAC., 1992. Offcial Methods Of Analisa Of The Association Of Official analisa Chemist. USA-Washington DC: Benyamin Franklin. Anonim , 2008. Pepaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Pepaya (Kamis 6 Maret 08. 17.15 WIB) Husni, Indra. 2007. Gerakan Peningkatan Konsumsi Buah. http://ditbuah.hortikultura.go.id/index.php?option=com_content&task=view &id=23&Itemid=2 (Kamis 6 Maret 08. 17.15 WIB) Apriyantono. A., 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Desrosier, N.W., 1970. The Technology of Food preservasition. Westport Connecticut : The AVI Publishing Company. Inc Hernani dan M. Rahardjo, 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya. 99 hal.
Samiran. 2008. Pepaya Mengatasi Usia Tua.
http://www.indomedia.com/Intisari/1999/Mei/b_pepaya.htm (Kamis 6
Maret 08. 17.15 WIB)
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi., 1984. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Jogjakarta: Liberty.
Suprapti, L., 2003. Aneka Awetan Jahe. Jogjakarta: Kanisius.. Kikuzaki, H. dan K. Nakatani, 1993. Antioksidan Effect of Some Ginger Consituents.J. Food Sci. 58: p. 1407-1410
176
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PEMBUATAN SNACK STIK TEMPE DENGAN SUBSTITUSI UBI JALAR KUNING Linda Kurniawati1, Akhmad Mustofa1, Nanang Triwijaya2 1 Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta 2 Alumni FTP UNISRI Abstrak Snack atau makanan ringan adalah makanan yang dibuat dengan bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan serta bahan tambahan lain serta bahan tambahan yang diijinkan dengan atau tanpa proses penggorengan. Snack stik tempe adalah makanan ringan yang dibuat dengan bahan baku tepung atau pati dan bahan tambahan lain yang bentuknya menyerupai stik. Karena bentuknya menyerupai stik, snack stik tempe sangat praktis untuk dikonsumsi. Dalam penelitian ini mengunakan tempe dan tepung ubi jalar kuning sebagai susbtitusi terhadap snack stick bawang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahai persentase penambahan tempe dan tepung ubi jalar kuning sehingga menghasilkan snack stick bawang yang berkualitas dan disukai konsumen. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAKL) yang terdiri dari dua faktor perlakuan yaitu kadar subtitusi tempe (10%, 20 %, 30%, 40 % )dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning (10 %, 20 %, 30 % ) Masing-masing perlakuan diulang dua kali. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range (DMRT) 5%.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan kadar substitusi tempe 30 % dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning 20 % disukai panelis (3,1 ). Snack stik tempe tersebut mempunyai kadar air 4,740 % , kadar abu 1,825 %, kadar protein 1,412 %, dan kadar β-Karoten 12,655µg/100 gram, warna kuning, rasa/aroma tempe agak terasa, rasa/aroma ubi jalar agak terasa, dan renyah. Kata kunci : substitusi, tempe, ubi jalar kuning, snack.
PRODUCTION OF TEMPEH STICK SNACK WITH YELLOW SWEET POTATO FLOUR SUBSTITUTION Abstract Snack is a kind of food made of flour and or starch as main ingredien and other additionalpermitted materials with or without frying process. Tempeh stick snack is made of flour or starch and other ingredients and its shape is similar to stick. Because is semiliarity with stick, it is very practicial to be consumed. This research used is tempeh and yellow sweet potato flour as
177
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
subtitute to tempeh stick snack. This research is aimed at undestanding the adding precentage of tempeh and yellow sweet potato flour so that more delicious and better garlic stick snack can be produced. This research was conducted in Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta.this reseach used complete random plan which consists of two treatment factors that is tempeh subtitution percentage (10%,20%,30%,40%) and yellow sweet potato flour subtitution percentage (10%,20%,30%). Each treatment was repeated twice. Data gathered was analiszed by analiysis of variance and followed by 5% Duncan Multiple Range Tes. The result showed that 30% subtitution panelists (3.1). the garlic stick snack has 4.740% water content, 1.825% ash content, 1.412% protein content, and 12.655µ/100gram β-karoten content, yellow colored, tempeh and sweet potato flavor were slightly detected, crispy,and overall it is well liked. Key words : subtitution, tempeh, yellow sweet potato, snack
Pendahuluan Pangan dan gizi merupakan masalah besar bagi Indonesia dan negara yang sedang berkembang lainnya. Salah satu masalah yang dihadapi adalah kurangnya kalori protein (KKP). Populasi penduduk dunia yang berkembang sangat cepat menyebabkan peningkatan kebutuhan protein (Indrasari et al., 2002). Pengadaan protein lebih mahal daripada pengadaan karbohidrat dan lemak. Protein nabati lebih murah daripada protein hewani. Salah satu sumber protein nabati yang banyak dimanfaatkan di Indonesia adalah kedelai. Kedelai sebagai sumber protein nabati dapat dibuat menjadi tempe (Anonim, 1972). Penerapan pengolahan dengan subtitusi bahan pangan dapat meningkatkan sumber protein pada sumber pangan lokal. Salah satunya adalah sejenis makanan kecil (snack) yang dinamakan stik tempe. Untuk meningkatkan nilai protein pada stik tempe maka digunakan tempe dan tepung ubi jalar kuning sebagai bahan subtitusi. Stik tempe merupakan makanan kecil (snack) yang harganya terjangkau dan disukai oleh anak-anak maupun orang dewasa. Substitusi tempe dan tepung ubi jalar kuning pada pembuatan snsck stik tempe akan menjadikan jajanan anak maupun makanan tradisional (oleh-oleh khas) yang bergizi. Hasil penelitian CR Sirtori dari “Medical Research Center” Milan Itali dan penelitian Kowji serta Hudges mengatakan bahwa sebagai makanan tradisional tempe berpeluang dan berpotensi menurunkan kadar kolesterol darah pada tingkat normal, mencegah penyakit degeneratif seperti jantung koroner, diabetes, kanker dan aterosklerosis serta sebagai sumber antioksidan yang baik (Endah, 2003). Ubi jalar ada berbagai jenis yaitu ubi jalar putih, ungu dan kuning. Ubi jalar kuning banyak mengandung provitamin A dalm bentuk B- karoten 7.700 SI (Suprapti, 2007). Oleh karena itu substitusi tepung ubi jalar kuning pada pembuatan snack stik
178
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
bawang akan meningkatkan nilai gizinya. Selain itu pigmen karotenoid pada ubi jalar kuning sekaligus berfungsi sebagai pewarna kuning stik bawang tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka substitusi dengan tempe dan ubi jalar kuning akan meningkatkan nilai gizi stik bawang terutama nilai protein. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui perlakuan yang optimal untuk menghasilkan snack stik tempe yang disukai oleh konsumen. Tujuan Penelitian : 1. Mengetahui kadar substitusi tempe yang optimal untuk menghasilkan snack stik tempe yang berkualitas dan disukai konsumen. 2. Mengetahui kadar substitusi tepung ubi jalar kuning yang optimal untuk menghasilkan snack stik tempe yang berkualitas dan disukai konsumen. Manfaat Penelitian : Aspek Iptek a. Memberikan sumbangan pengetahuan tentang formlasi makanan kecil (snack) yang bergizi tinggi dan inovatif kepada masyarakat.. b. Pengembangan produk olahan berbasis tempe dan ubi jalar. Aspek Ekonomi a. Memberikan peluang usaha yang baru. b. Meningkatkan nilai ekonomi tempe dan ubi jalar kuning. Aspek Sumber Daya manusia Bagi masyarakat : Menciptakan lapangan kerja baru. Tinjauan Pustaka Tempe Tempe adalah salah satu makanan tradisional yang dibuat dari kedelai melalui proses fermentasi jamur, terutama Rhizopus sp. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan, tapi kebanyakan tempe dibuat dari kedelai. Proses fermentasi menyebabkan komposisi gizi tempe lebih baik dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein serta skor proteinnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan dengan yang ada dalam kedelai (Grant, 1952 dalam Kasmijo 1990). Tepung Terigu Bahan baku utama pembuatan snack stik tempe yaitu tepung terigu. Tepung terigu diperoleh dari penggilingan biji gandum (Triticum vulgare). Jenis tepung terigu berdasarkan kandungan proteinnya ada 3 jenis yaitu : soft flour, adalah tepung terigu yang kandungan proteinnya 8-9%, medium flour adalah tepung terigu yang kandungan
179
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
proteinnya 9-10% dan hard flour adalah tepung terigu yang kandungan proteinnya 1112%. Ubi Jalar Ubi jalar merupakan salah satu komoditas pertanian sumber karbohidrat yang dapat dihasilkan dalam waktu relatif singkat, yaitu hanya empat bulan setelah penanaman. Ubi jalar mempunyai rasa manis yang khas. Adapun rasa manis tersebut akan muncul dan terasa apabila setelah dipanen ubi jalar tersebut disimpan lebih dahulu sebelum diolah. Hal tersebut disebabkan selama penyimpanan akan terjadi perubahan karbohidrat menjadi glukosa. Ubi jalar banyak mengandung berbagai zat yang berguna bagi kesehatan. Ubi jalar kuning mengandung provitamin A (β - karoten) yang sangat baik bagi kesehatan tubuh. Pigmen karotenoid yang berwarna kuning dalam ubi jalar bisa digunakan sebagai menu zat pewarna makanan yang aman bagi kesehatan. Di Indonesia ubi jalar kuning baru sebatas dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan saus. Sedangkan usaha pemanfaatan kearah lain masih dalam taraf penelitian ( Suprapti, 2007) . Snack Stik Tempe. Snack atau makanan ringan adalah makanan yang dimakan sebagai selingan. Menurut SNI (2000) makanan ringan adalah makanan yang dibuat dengan bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan serta bahan tambahan lain serta bahan tambahan yang diijinkan dengan atau tanpa proses pengorengan. Snack stik tempe adalah makanan ringan yang dibuat dengan bahan baku tepung atau pati dan bahan tambahan lain yang bentuknya menyerupai stick (Anonim, 2008). Karena bentuknya yang menyerupai stick, snack stik tempe sangat praktis untuk dikonsumsi. Baik untuk dikonsumsi di rumah maupun konsumsi di tempat yang lain terutama bagi yang ada dalam perjalanan, sehingga snack stik tempe sangat prospektif untuk dikembangkan. SNI Snack meliputi : kadar air maksimal 4, kadar abu maksimal 5, rasa khas, bau normal, warna normal, tekstur renyah. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) factorial dengan 2 faktor, yaitu : Faktor I : Kadar Tempe (T1:10 %, T2: 20 %, T3: 30 %, dan T4: 40 %) Faktor II : Kadar Tepung Ubi Jalar Kuning (U1: 10 %,U2: 20 %, dan U3: 30 %) Sehingga diperoleh 12 kali perlakuan dan masing – masing perlakuan diulang satu kali dengan 2 kali ulangan analisis . Data yang diperoleh dianalisis dengan uji sidik ragam pada jenjang nyata 0,05. Jika ada beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan pada tingkat signifikan 5%. Alat dan Bahan Penelitian Alat Penelitian : Muffle, tabung kjeldahl, alat distilasi, penggiling mie, pisau, telenan, pengocok telur, wajan, mixer, alat pengukus,alat penepung, cetakan, krus porselen, dan alat-alat gelas untuk analisis.
180
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Bahan Penelitian : Tempe, tepung terigu, ubi jalar kuning, telur, bawang putih, margarin, garam, seledri, minyak goreng Prosedur Penelitian a)Pembuatan Snack Stik Tempe (Nurani, 2009) yang dimodifikasi Tempe sesuai perlakuan (10%, 20%, 30%, dan 40%) Tepung ubi jalar kuning sesuai perlakuan (10%, 20%, dan 30%, ) Tepung terigu = 500 g Bawang putih = 50 g Margarin = 30 g Garam = 10 g Telur = 2 butir Sledri cincang = 2 sdm Minyak goreng b) Cara Pembuatan Snack Stik Tempe ( Nurani, 2009) yang dimodifikasi. Tempe dikukus selama 15 menit, lalu dihaluskan Bawang putih dihaluskan Telur dikocok lepas, bersama garam, sledri cincang dan bawang putih. Tempe dan tepung terigu dicampur kemudian telur dimasukkan Adonan diuleni sampai rata dan margarin dimasukkan Adonan ditipiskan dan dicetak dengan alat penggiling mie Digoreng dalam minyak panas yang banyak sampai kunimg kecoklatan Cara Pengumpulan Data 1. Analisis Kadar Abu degan metode pengabuan (AOAC, 1992) 2. Analisis Kadar Air dengan metode destilasi toulena (Baedhowi dan Pranggonowati, 1982) 3. Analisis Kadar Protein dengan metode Lowry-Follin (AOAC,1992) 4. Analisis β-Karoten ( Carr Price ) (AOAC, 1992) 5. Uji Organoleptik : rasa, warna, aroma, kerenyahan, dan kesukaan keseluruhan dengan metode Scoring test (Utami, 1992). Waktu dan Tempat pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Slamet Riyadi, Surakarta Hasil dan Pembahasan Kadar Air Snack Stik Tempe Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe berpengaruh nyata, sedangkan kadar substitusi tepung ubi jalar kunig tidak berpengaruh nyata pada snack stick tempe. Tabel 1 menunjukkan kadar air snack stik tempe meningkat sejalan dengan semakin tingginya kadar subtitusi tempe. Hal ini disebabkan karena kadar air tempe lebih tinggi dari pada kadar air tepung terigu. Terutama pada perlakuan kadar substitusi tempe 30% dan kadar tepung ubi jalar kuning 30%
181
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 1. Rangkuman Hasil Analisis Kimia Snack Stik Tempe Perlakuan
Kadar Tepung Ubijalar Kuning
10 %
20 %
30 %
Analisis Kimia
Kadar Temp e% 10 20 30 40 10 20 30 40 10 20 30 40
Kadar Air (%)
2,400 3,240 3,990 3,495 2,745 3,490 4,740 3,740 2,995 3,990 4,490 4,240
a abc bcde abcd ab abcd e bcd abc bcde de cde
Kadar Abu (%) 1,680 1,785 1,575 1,860 1,505 1,680 1,825 2,065 1,725 2,045 2,190 2,345
bc cd ab d a bc cd e bcd e e f
Kadar Protein (%) 1,163 1,393 1,920 1,823 1,406 1,579 1,412 2,014 1,700 1,930 2,352 2,390
a b de de b bc b e cd de f f
Kadar βKaroten (µg/100gr ) 7.255 a 6,485 a 6,955 a 7.050 a 13,120 b 13,100 b 12,655 b 12,300 b 23.175 d 20,190 c 23,035 d 20,810 c
Keterangan : Rerata yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata pada taraf signifikan 5%.
Kadar Abu Snack Stik Tempe Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe dan substitusi tepung ubi jalar kuning berpengaruh nyata.Tabel 1 menunjukkan kadar abu snack stik tempe meningkat sejalan dengan semakin tingginya kadar subtitusi tempe dan subtitusi tepung ubi jalar kuning. Terutama pada perlakuan kadar substitusi tempe 40% dan kadar tepung ubi jalar kuning 30%. Hal ini disebabkan kandungan mineral tepung ubi jalar kuning lebih tinggi daripada tepung terigu (kalsium, fosfor, zat besi, natrium, dan kalium) (Suprapti, 2007). Kadar Protein Snack Stik Tempe Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe berpengaruh nyata pada kadar protein snack stik tempe. Begitu pula kadar substitusi tepung ubi jalar kuning berpengaruh nyata pada kadar protein snack stik tempe. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar protein tertinggi yaitu sebesar 2,390%, dihasilkan dari perlakuan kadar substitusi tempe 40% dan kadar tepung ubi jalar kuning 30 %. Sedangkan kadar protein terendah yaitu sebesar 1,163 %. bahan dihasilkan dari perlakuan kadar substitusi tempe sebesar 10 % dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning sebesar 10 %. Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar substitusi tempe maka kadar protein snack stik tempe semakin tinggi Kadar β- Karoten Snack Stik Tempe Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe tidak
182
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
berpengaruh nyata pada kadar β- Karoten snackstik tempe, sedangkan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning berpengaruh nyata pada kadar β- Karoten snack stik tempe. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar β- Karoten tertinggi yaitu sebesar 23,175 µg/100gram bahan, dihasilkan dari perlakuan kadar substitusi tempe 10 % dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning 30 %. Sedangkan kadar β- Karoten terendah yaitu sebesar 6,485 µg/100gram bahan dihasilkan dari perlakuan kadar substitusi tempe sebesar 20 % dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning sebesar 10 %. Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar subtitusi tepung ubi jalar maka kadar β- Karoten snack stik tempe semakin tinggi Tabel 2. Rangkuman Hasil Uji Organoleptik Snack Stik Tempe Perlakuan Uji Organoleptik Kadar Kadar Warna Rasa / Rasa/ Kerenyahan Tepung Tempe Aroma Aroma Ubijalar % Tempe Ubijalar Kuning Kuning 10 3,00 cde 1,90 ab 1,80 ab 3,20 b 10 % 20 3,20 de 2,50 abc 2,00 abc 3,00 b 30 3,40 ef 2,60 bc 1,50 ab 2,50 b 40 3,70 fg 3,00 c 1,30 a 2,70 ab 10 2,80 bcd 1,60 a 2,00 abc 2,90 ab 20 % 20 2,50 ab 2,30 abc 1,70 ab 2,70 ab 30 2,70 abc 2,20 abc 2,40 bc 3,10 b 40 4,00 g 2,60 bc 2,30 bc 2,60 ab 10 2,70 abc 1,50 a 2,80 c 2,70 ab 30 % 20 2,30 a 2,20 abc 2,30 bc 2,80 ab 30 3,00 cde 2,00 ab 2,40 bc 3,00 b 40 3,400 ef 2,40 abc 210 abc 2,20 a Keterangan : Warna Rasa / Aroma Tempe Rasa / Aroma Ubi Jalar Kerenyahan Kesukaan keseluruhan
: Nilai tertinggi : Nilai tertinggi : Nilai tertinggi : Nilai tertinggi : Nilai tertinggi lebih disukai.
menunjukkan menunjukkan menunjukkan menunjukkan menunjukkan
Kesukaan Keseluruhan
2,20b cd 2,30 cd 1,70 ab 1,60 a 2,30 cd 2,40 cd 3,20 e 2,20 bcd 2,60 cd 2,70 d 2,60 cd 2,10 bc
warna snack stik tempe semakin coklat rasa/ aroma.tempe rasa / aroma ubi jalar kuning kerenyahan snack stik tempe dengan purata lebih tinggi menunjukkan
Warna Snack Stik Tempe Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe berpengaruh nyata pada nilai warna snackstik tempe. Begitu pula kadar substitusi tepung ubi jalar kuning berpengaruh nyata pada nilai warna snack stik tempe. Tabel 2 menunjukkan bahwa menurut penilaian panelis warna snack stik tempe semakin coklat dengan semakin banyaknya kadar substitusi tempe Menurut penilaian panelis dengan semakin banyaknya substitusi tepung ubi jalar kuning ada kecenderungan warna snack stik tempe semakin kuning, sehingga dapat menutupi warna tempe. Hal ini disebabkan adanya senyawa β- Karoten (karotenoid) pada tepung ubi jalar kuning. Menurut Winarno
183
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
(1991) karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, merah orange serta larut dalam lipida. Karotenoid banyak terdapat dalam wortel, ubi jalar, kulit pisang, pepaya, dan pada beberapa bunga yang berwarna kuning. Rasa / Aroma Tempe Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe berpengaruh tidak nyata pada rasa tempe snackstik tempe, Begitu pula kadar substitusi tepung ubi jalar kuning tidak berpengaruh nyata pada rasa tempe snackstik tempe. Menurut penilaian panelis semua perlakuan cenderung tidak terasa tempe. Rasa / Aroma Ubi Jalar Kuning Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe berpengaruh tidak nyata pada rasa ubi jalar kuning snack stik tempe. Begitu pula kadar substitusi tepung ubi jalar kuning tidak berpengaruh nyata pada rasa ubi jalar kuning snackstik tempe. Berarti menurut penilaian panelis semua perlakuan rasa ubi jalar kuning pada snack stik tempe cenderung tidak terasa. Kerenyahan Snack Stik Tempe Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar substitusi tempe berpengaruh tidak nyata pada kerenyahan snack stik tempe. Begitu pula kadar subtitusi tepung ubi jalar kuning tidak berpengaruh nyata pada kerenyahan snackstik tempe. Tabel 2 menunjukkan bahwa menurut penilaian panelis subtitusi tempe dan tepung ubi jalar kuning tidak berpengaruh nyata pada kerenyahan snackstik tempe. Nilai kerenyahan tertinggi dihasilkan pada perlakuan kadar subtitusi tempe 10 % dan kaar subtitusi tepung ubi jalar kuning 10 % denga nilai 3,200 (renyah) dan nilai kerenyahan terendah dihasilkan pada perlakuan kadar subtitusi tempe 40% dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning 30 % dengan nilai 2,200 (agak renyah). Berarti menurut penilaian panelis semua perlakuan cenderung renyah. Kesukaan Keseluruhan Snack Stik Tempe Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa menurut penilaian panelis kadar substitusi tempe berpengaruh nyata pada kesukaan keseluruhan snack stik tempe. Begitu pula kadar substitusi tepung ubi jalar kuning berpengaruh nyata pada kesukaan keseluruhan. Snackstik tempe. Tabel 2 menunjukkan bahwa menurut penilaian panelis semakin banyak substitusi tempe semakin tidak disukai khususnya perlakuan kadar substitusi tempe 40% dan tepung ubi jalar kuning 10% tetapi pada formulasi dengan kadar tepung ubi jalar kuning 20% semakin banyak substitusi tempe snack stik tempe cenderung lebih disukai. Substitusi ubi jalar kuning berpengaruh nyata pada pada kesukaan keseluruhan snackstik tempe. Semakin tinggi substitusi kadar tepung ubi jalar kuning maka snack stik tempe semakin disukai. Nilai kesukaan tertinggi dihasilkan pada perlakuan kadar substitusi tempe 30 % dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning 20 % dengan nilai 3,200 (disukai) dan nilai kesukaan terendah dihasilkan pada perlakuan kadar substitusi tempe 40 % dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning 10 % dengan nilai 1,6 (agak disukai). Menurut penilaian panelis dengan semakin banyaknya substitusi tepung ubi jalar kuning ada kecenderungan snack stik tempe semakin disukai.
184
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan 1) Substitusi kadar tempe dan substitusi tepung ubi jalar kuning berpengaruh nyata terhadap kadar protein dan kesukaan keseluruhan 2) Berdasarkan uji organoleptik maka hasil penelitian menunjukkan bahwa snack stik tempe yang paling disukai diperoleh dari perlakuan kadar substitusi tempe 30% dan kadar substitusi tepung ubi jalar kuning 20%. 3) Hasil snack stik tempe tersebut mempunyai kadar air 4,740 %, kadar abu 1,825 % , kadar prorein 1,412. % dan kadar β-Karoten 12,655µg/100gram, warna kuning, rasa/ aroma tempe agak terasa, rasa/aroma ubi jalar agak terasa, renyah, dan kesukaan keseluruhan disukai.kualitas hasil snack stik tempe tersebut sudah sesuai dengan standar SNI. Saran 1) perlu diadakan penelitian lanjutan menggunakan ubi jalar kuning segar tanpa ditepungkan 2) perlu diadakan penelitian lanjutan menggunakan jenis pengemas Daftar Pustaka Anonim, 1972. Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. Jakarta : Bharata. Anonim, 2000. Syarat Mutu Snack. http:www.BSN - Badan Standardisasi Nasional – National Standardization Agency of Indonesia.html. Anonim, 2008. Aneka Snack dalam http//www. Dunia makanan.com Anonim, 2009. Komposisi Zat Gizi Tepung Tempe. http//www. Kimia. Lipi.net AOAC, 1992.. Assosiation Of Official Analiiycal Chemist. 16th ed Washington DC–USA : Arlington Inc. Baedhowi dan Pranggonowati, S ., 1982. Petunjuk Praktek Pengawasan Mutu Hasil Pertanian Jilid I, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Endah, R.A., 2003. Sudahkah Anda Mencoba Membuat Selai Tempe. Dalam Pikiran Rakyat, edisi minggu 20 maret 2003. Jakarta : Pikiran Rakyat Indrasari, D.S., Sutrisno dan K. Hartojo, 2002. Pengembangan Produk Aneka Tepung Dan Perbaikan Mutu Produk Makanan Tradisional. Prosiding Seminar Nasional. Malang: PATPI Kasmijo, 1990. Tempe. Mikrobiologi Dan Biokimia Pengolahan Serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. : Jogjakarta UGM. Matz, S. A., 1972. Food Texture. Westport Conecticut : The AVI Publishing Company inc. Nurani, Dyah , 2009. Diversifikasi Makanan Berbahan Tempe. Semarang : LP3M Unes. Suprapti, L. M., 2007. Tepung Ubi Jalar. Jogjakarta : Kanisius. Utami, 1992. Uji Inderawi : Evaluasi Sifat, Tekstur, Warna, Profit Sensoris. Jogjakarta : PAU Pangan Gizi UGM.
185
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KERJASAMA SPONSOR
1. BANK JATENG – SURAKARTA 2. BPR SURYA MAS – SURAKARTA 3. PT. TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk 4. ANDHY HARTONO OFFSET – SURAKARTA 5. CARREFOUR – SOLO BARU 6. PERKUMPULAN MASYARAKAT SURAKARTA 7. HARIAN SOLO POS 8. KUSUMA SAHID PRINCE HOTEL – SURAKARTA 9. PERUSAHAAN ROTI GANEP’S – SURAKARTA 10.
PT. NIRAMAS UTAMA NIAGA – JAKARTA 11.
PT. KALBE FARMA – JAKARTA
12. 13.
ROTI MILANO – SURAKARTA CV. BIANGLALA –KARTASURA
14.
CV. GITA - SURAKARTA
186
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Fakultas Teknologi Pertanian UNISRI Pusat Studi Pangan & Kesehatan Masyarakat UNISRI
Perkumpulan Masyarakat Surakarta
BPR Surya Mas Surakarta
BANK JATENG Surakarta
KARYA GRAFIKA
Andhy Hartono Offset – Surakarta
Carrefour – Solo Baru
PT NIRAMAS UTAMA NIAGA Jakarta
PT TIGA PILAR SEJAHTERA Tbk Surakarta
Harian Solopos
KUSUMA SAHID PRINCE HOTEL Surakarta
PT KALBE FARMA Jakarta
ROTI GANEP’S Surakarta 187
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
ROTI MILANO Surakarta
CV. GITA Surakarta
CV. BIANGLALA Kartasura
188
ISBN: 978-979-17342-0-2