Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
i
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
“MEMBANGUN DAYA SAING PRODUK PANGAN BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL” Surakarta, 8 Juni 2011 Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta
Susunan Dewan Redaksi Pembina : Rektor UNISRI Surakarta Kapti Rahayu Kuswanto Ketua Dewan Redaksi Nanik Suhartatik (FTP UNISRI) Dewan Redaksi Linda Kurniawati (koordinator, FTP UNISRI) Ansharullah (Universitas Haluoleo ) Muhammad Chosin (Universitas Bengkulu) Yustina Wuri Wulandari (FTP UNISRI) Editor Pelaksana Akhmad Mustofa (koordinator,FTP UNISRI) Merkuria Karyantina (FTP UNISRI) Agung Setya Wardana (FTP UNISRI) Indrias Tri Purwanti (FTP UNISRI)
ii
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KATA PENGANTAR Pada kesempatan ini, ijinkanlah kami menyampaikan terima kasih atas keikutsertaannya sebagai peserta Seminar Nasional “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal” tanggal 8 Juni 2011, yang bertempat di Auditorium Universitas Slamet Riyadi Surakarta. Seminar diikuti oleh 200 peserta, yang terdiri dari masyarakat umum, kalangan industri dan instansi pemerintah serta peserta dari berbagai Perguruan Tinggi di Jawa Tengah. Salah satu tujuan dari seminar adalah sebagai ajang diseminasi dan sosialisasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan di bidang pangan khususnya, dan hasil pertanian pada umumnya. Makalah yang masuk ke Panitia 42 makalah, sehingga prosiding kumpulan makalah Seminar ini dibagi menjadi 2 buku yaitu Buku A dan Buku B. Jumlah makalah tiap Prosiding cukup berimbang. Pemakalah oral sebanyak 24 makalah sedangkan pemakalah poster 14 makalah. Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi, dan mohon maaf apabila dalam pelaksanaan dan penyusunan prosiding ini, terdapat hal yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu sekalian. Mudah-mudahan Prosiding Seminar ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Surakarta, 1 Agustus 2011 Dewan Redaksi
iii
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNISRI Assalamualaikum Wr.Wb. Salam Sejahtera bagi kita semua Yang terhormat Bapak dan Ibu peserta Seminar Nasional dan tamu undangan yang kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa kita masih dapat berkumpul untuk dapat bertukar pikiran dan menggali potensi produk dengan bahan baku lokal. Seminar Nasional ini mengambil tema “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”. Produk pangan dengan bahan baku lokal mulai digalakkan lagi dengan adanya berbagai penelitian yang menggali potensi dan dikembangkannya produk pangan dengan bahan baku lokal. Saat ini swasembada pangan nasional masih memerlukan penguatan. Kenyataan ini dibuktikan masih adanya kegiatan impor berbagai produk hasil pertanian seperti buahbuahan, beras, kedelai, gula, dan bahkan sayur-sayuran. Aneka produk tersebut dapat dilihat di berbagai supermarket dan di pasar-pasar tradisional. Impor produk hasil pertanian ini sangat menjerat leher petani, sehingga perlu tindak lanjut dan penanganan serius dari pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian, Departemen terkait, DPR/MPR dan semua pihak termasuk rakyat Indonesia sebagai konsumen ataupun dari akademisi sesuai dengan kajian bidang ilmu. Ketahanan pangan hanya dapat terwujud jika masyarakat mampu mencukupi kebutuhan pokok pangan secara mandiri dengan berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan lokal sesuai dengan potensi daerahnya. Potensi bahan pangan tersebut antara lain jagung, sagu, padi, dan umbi-umbian. Lembaga Perguruan Tinggi mempunyai kewajiban untuk diseminasi ilmu dan teknologi di masyarakat sehingga potensi daerah mampu dioptimalkan pemanfaatannya untuk swasembada pangan lokal dan juga dalam membangun agroindustri di bidang pangan yang berkelanjutan. Kegiatan seminar ini bertujuan untuk membuka wawasan pengetahuan tentang bagaimana membangun swasembada pangan berbasis potensi bahan baku lokal, teknologi pasca panen khususnya teknologi pengolahan singkong menjadi tepung singkong (mocaf: modified cassava flour) serta memotivasi dalam membangun swasembada pangan sesuai potensi lokal. Seminar Nasional ini diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian UNISRI pada tanggal 8 Juni 2011, dan terselenggara berkat kerjasama dengan Pusat Studi Pangan dan Kesehatan Masyarakat UNISRI, Perkumpulan Masyarakat Surakarta serta pihakpihak yang menjadi spronsor dalam kegiatan seminar ini. Semoga apa yang akan dibahas dalam Seminar ini dapat bermanfaat bagi pembangunan Pangan di Indonesia. Wassalamualaikum, Wr.Wb Surakarta, 8 Juni 2011 Ir.Linda Kurniawati,MS Dekan FTP UNISRI
iv
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
DAFTAR ISI Halaman judul
i
Susunan Dewan Redaksi
ii
Kata Pengantar
iii
Sambutan Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UNISRI
iv
Daftar Isi
v
Susunan Acara Seminar
vi
Daftar Makalah
vii
Makalah Peserta Ucapan Terima Kasih
v
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
SUSUNAN ACARA SEMINAR NASIONAL
“MEMBANGUN DAYA SAING PRODUK PANGAN BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL” FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNISRI RABU, 8 JUNI 2011
Waktu 07.00 – 08.30 08.30 – 08.45 08.45 – 10.30
10.30 – 12.00
12.00 – 12.30 12.30 – 15.00
Ruang Auditorium Registrasi Peserta Sambutan Sesion I Moderator : Nanik Suhartatik,STP.,MP Pembicara 1 : Akademisi (Ir.Achmad Subagio,M.Agr.,P.hD) Pembicara 2 : Praktisi Industri (Ir.Margono, PT.Tiga Pilar Sejahtera Tbk)) Sesion II Moderator : Akhmad Mustofa,STP.,M.Si Pembicara 1 : BPR Surya Mas Pembicara 2 : Design Pengemas/Packaging dan Merk (Ir.Andhy Hartono Wijaya dan) Pembicara 3 : Retailer (Zamzam Nurjaman, Carrefour) ISHOMA Sesi konsultasi dengan Retailer Carrefour Industri BPR Surya Mas Design Pengemas
Ruang A
Ruang B
Ruang C
Sesi presentasi Makalah No.M.1- M.10 Moderator : Nanik Suhartatik,STP.,MP
Sesi presentasi Makalah No.M.11- M.20 Moderator : Agung S.Wardana,STP
Sesi presentasi Makalah No.M.21 – M.30 Moderator : Merkuria K.,SP.,MP.
vi
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Daftar Isi Makalah No
Judul Makalah
Penulis
Halaman
PEMAKALAH ORAL 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
11
12
Pengaruh Konsentrasi Sodium Hipoklorit Dan Lama Oksidasi Terhadap Sifat-Sifat Fisikokimia Tapioka Rakyat Optimasi Ekstraksi Terhadap Kadar Fenolik Dan Aktivitas Penangkapan Radikal Dpph Ekstrak Gambir (Uncaria Gambir Roxb.) Pengawetan Nata De Aloe (Aloe Chinensis Baker) Dengan Potassium Sorbat Dan Sodium Askorbat Selama Penyimpanan Karakteristik Nugget Analog Kedelai Hitam (Glycine Max (L.) Merr) Dengan Filler Tepung Maizena Tingkat Pengetahuan Para Ibu Tentang Keamanan Pangan Pada Penggunaan BahanBahan Tambahan Pangan Dalam Produk Makanan Yang Sering Dikonsumsi Tingkat Kesukaan Dan Kekenyalan Nugget Ayam Dengan Variasi Bahan Pengisi Berbagai Jenis Umbi Pemanfaatan Bunga Kecombrang Sebagai Pengawet Alami Pada Tahu Ekstraksi Limbah Biji Carica Dieng (Carica Candamarcensis Hok) Sebagai Alternatif Minyak Makan Rancang Bangun Sistem Informasi Berbasis Web Hasil Pertanian Dan Perkebunan (Studi Kasus Kabupaten Boyolali) Optimasi Susu Skim Dan Perbandingan Mikrobia (Lactobacillus Bulgaricus Dan Streptococcus Thermophilus) Pada Pembuatan Yoghurt Susu Kecipir Optimasi Proporsi Campuran Gluten Dan Gum Arab Serta Penambahan Asam Stearat Dalam Pembuatan Edible Film Dan Aplikasinya Untuk Pelapisan Kacang Bawang Rendah Lemak Ubijalar Untuk Mendukung Daya Saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal
7
Gilian Tetelepta Sardjono Haryadi Pramudya Kurnia Rusdin Rauf
1
Riyanto
16
Sri Kanoni Priyanto Triwitono Anggita Ecstasy-Lunarjati Nunuk Siti Rahayu
26
Nurdeana Cahyaningrum Erni. A Yeyen Prestyaning- Wanita Herastuti Sri Rukmini Rifda Naufalin Dewi Larasati
44
Choirul Anam Fatah Yasin Al Irsyadi Yusuf S. Nugroho
70
8
33
53 61
Siti Tamaroh Agus Slamet
82
R.R. Ermi Rachmawati Ch. Lilis Suryani
85
Retno Utami H. Erni Apriyati Titiek F. Djafaar
98
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
No
Judul Makalah
Penulis
Halaman
PEMAKALAH POSTER 13 14 15
16 17 19
20 21
22
Penerapan Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah Pada Pendidikan Formal Karakteristik Teh Herbal Celup Dengan Formulasi Teh Hitam, Jahe, Dan Rosella Peningkatan Pendapatan Petani Dalam Usahatani Jagung Dengan Sistem Tanam ”Mantenan’ Di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Uji Adaptasi Alat Pengolahan Puree Mangga Dalam Menunjang Pendapatan Keluarga Petani Keunggulan Kompetitif Pada Sistem Agroindustri Kelapa Sawit Dengan Penerapan Model Klaster Agroindustri Tingkat Kesukaan Konsumen Terhadap Kombucha Rosella (Hisbiscus Sabdariffa Linn) Pada Beberapa Variasi Perlakuan Proses Penyajian Pembuatan Susu Kecipir Dengan Variasi Berat Wijen Dan Lama Perebusan
Kelayakan Tepung Campuran Jagung Ubi (Jabi) Sebagai Bahan Pangan Pengganti Beras Kajian Mutu Tepung Mokal Yang Dibuat Dengan Berbagai Metoda Proses
8
Siti Supeni
107
Aniek Wulandari Cucut Prakosa Dyah Isthi Puspitasari
114
Nur Hidayat
124
Sri Budhi Lestari
Mahargono Kobarsih Titiek F.D. Yeyen P.W. Sutrisno Badri
133
Merkuria Karyantina Linda Kurniawati Nanik Suhartatik Akhmad Mustofa
150
Linda Kurniawati Wirnaningsih
159
Agung Setya Wardana Akhmad Mustofa
166
Sri Budi Wahjuningsih
188
ISBN: 978-979-17342-0-2
139
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PROSEDING B
9
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENGARUH KONSENTRASI SODIUM HIPOKLORIT DAN LAMA OKSIDASI TERHADAP SIFAT-SIFAT FISIKOKIMIA TAPIOKA RAKYAT Gilian Tetelepta1, Sardjono1, dan Haryadi1 Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Abstrak
Tapioka rakyat diketahui dapat mengembang besar pada proses penggorengan maupun pemanggangan. Namun penggunaannya dalam industri bakery masih terbatas karena belum bisa memberikan nilai pengembangan yang besar. Oksidasi pati menggunakan sodium hipoklorit merupakan salah satu teknik modifikasi kimia yang dapat diterapkan guna mendapatkan nilai pengembangan yang besar pada proses baking. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik tapioka rakyat serta menentukan perlakuan kombinasi yang tepat antara konsentrasi sodium hipoklorit dan lama oksidasi untuk menghasilkan nilai pengembangan yang besar. Pada penelitian ini digunakan tapioka rakyat yang berasal dari daerah Pundong Bantul, Yogyakarta. Tapioka dioksidasi dengan variasi konsentrasi sodium hipoklorit (1,2%, 1,8%, 2,4%, dan 3%) dan lama oksidasi (5, 10, 15, dan 20 menit). Tapioka alami dan hasil oksidasi dianalisis meliputi kandungan karboksil, karbonil, derajat keasaman, viskositas dan nilai baking expansion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi konsentrasi NaOCl 3% dan lama oksidasi 20 menit memberikan nilai kandungan karboksil dan karbonil tertinggi dibanding perlakuan lainnya masing-masing 0,20% dan 0,12%. Derajat keasaman tapioka oksidasi untuk semua perlakuan menunjukkan nilai pH yang cenderung netral dibanding tapioka alami 3,34. Viskositas tapioka oksidasi menurun dengan meningkatnya lama oksidasi, dimana nilai viskositas terendah terdapat pada kombinasi konsentrasi 3% dengan lama oksidasi 15 dan 20 menit yaitu sebesar 9,0 dpa.s. Semakin lama oksidasi, nilai pengembangan semakin menurun. Nilai pengembangan terbesar ditunjukkan pada kombinasi konsentrasi 1,2% dan lama oksidasi 10 menit yaitu 9.08 ml/g. Kata kunci : tapioka oksidasi, NaOCl, baking expansion. Pendahuluan Indonesia merupakan negara penghasil kasava terbesar ke tiga setelah Brazil dan Thailand. Menurut data BPS, produksi tanaman kasava secara keseluruhan pada tahun 2011 sebesar 22 juta ton. Tingginya produksi kasava tidak diimbangi dengan pemanfaatannya sebagai sumber pangan, padahal kasava berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk setengah jadi yaitu berupa pati 10
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
yang tidak mengandung gluten sehingga dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif pengganti terigu. Pati kasava rakyat atau tapioka rakyat umumnya diproduksi melalui tahaptahap pengupasan kasava, pemarutan, penyaringan dan pengendapan, serta pengeringan dengan sinar matahari. Tapioka rakyat diketahui dapat mengembang besar pada proses penggorengan maupun pemanggangan produk seperti kerupuk. Namun kenyataannya penggunaan pati kasava atau tapioka dalam industri makanan terutama bakery masih sangat terbatas, hal ini karena tapioka belum bisa memberikan nilai pengembangan yang maksimal pada proses baking atau pemanggangan. Untuk mengatasi kelemahan ini maka perlu dilakukan suatu teknik modifikasi sehingga tapioka layak diterapkan pada industri komersial. Oksidasi pati merupakan salah satu teknik modifikasi kimia yang secara luas telah digunakan dalam berbagai industri, terutama aplikasi dalam pembentukan film, surface sizing agent dan coating binders (Sangseethong et al, 2010). Oksidasi pati biasanya dibuat dengan mereaksikan pati dengan reagent pengoksidasi yang spesifik pada suhu dan pH terkontrol. Salah satu reagent pengoksidasi yang biasa digunakan yaitu sodium hipoklorit (NaOCl). Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pati oksidasi yang menggunakan sodium hipoklorit memiliki warna yang lebih putih (Rivera et al, 2005), meningkatkan kejernihan pasta, mudah tergelatinisasi dan memiliki viskositas yang rendah sehingga cocok diterapkan dalam skala industri. Menurut Demiate et al (2000) oksidasi tapioka menggunakan hipoklorit dengan konsentrasi 2,4% selama 15 menit kemudian dicelupkan dalam asam laktat 0,86% selama 30 menit dapat meningkatkan nilai baking, namun nilai pengembangan ini masih rendah jika dibanding dengan penggunaan oksidator lainnya. Telah dilaporkan bahwa konsentrasi oksidator dapat mempengaruhi oksidasi hipoklorit (Sangseethong, 2009). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji penggunaan berbagai variasi konsentrasi sodium hipoklorit dan waktu oksidasi guna mendapatkan nilai pengembangan hasil baking yang terbesar. Metode Penelitian Proses Oksidasi Tapioka Pembuatan tapioka oksidasi berdasarkan metode Sangseethong et al (2010) yang dimodifikasi. 200 g pati dimasukan ke dalam 1 L beaker gelas kemudian ditambahkan aquades sampai mencapai berat 500 g. Suhu pati tetap dipertahankan pada suhu ruang, dan pH dipertahankan 10 dengan penambahan larutan NaOH 1N. Sodium hipoklorit dengan konsentrasi 1,2%, 1,8%, 2,4%, 3% klorin aktif (w/v), ditambahkan secara perlahan-lahan ke dalam bubur pati selama 15 menit dengan pengadukan kontinyu. Campuran diaduk dan kemudian sampel disimpan dengan lama reaksi 5, 10, 15, dan 20 menit (waktu dihitung setelah semua reagent ditambahkan). Selanjutnya oksidasi dihentikan dengan 11
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
penambahan natrium bisulfit selama 5 menit dengan dilakukan pengadukan secara kontinyu sampai pH 6,75. Untuk menghilangkan kemungkinan adanya residu, maka dilakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan cara disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Pati okasidasi bebas reagen selanjutnya dikeringkan dengan cara dioven pada suhu 50oC selama 48 jam, setelah kering digerus dengan lumpang dan diayak dengan ayakan 60 mesh. Analisis kandungan karboksil Analisis kandungan karboksil ditentukan berdasarkan metode FAO (2001) dalam Sangseethong et al (2010). 5 gr pati dilarutkan dalam 25 ml HCl 0,1N, lakukan pengadukan selama 30 menit. Slurry disaring dan dicuci dengan aquades sampai filtrate tidak mengandung ion klorin. Cake dilarutkan kedalam 300 ml aquades, dipanaskan hingga tergelatinisasi selama15 menit. Dispersi panas kemudian dititrasi dengan 0,1 N NaOH dengan menggunakan indikator PP sebagai indikator. Penentuan blanko menggunakan sampel pati yang belum dimodifikasi dengan penambahan 25 ml aquades tanpa 0,1 N HCl. Analisis kandungan karbonil Analisis kandungan karbonil ditentukan berdasarkan metode Kuakpetoon dan Wang (2001) dalam Sangseethong (2010). 4 g pati dilarutkan dalam 100 ml aquades. Slurry dipanaskan hingga tergelatinisasi dalam water bath selama 20 menit, didinginkan hingga suhu 40oC dan pH diatur 3,2 dengan 0,1 N HCl. 15 ml reagent hidroksilamin ditambahkan. Tabung ditutup dan diagitasi dalam water wath pada suhu 40oC selama 4 jam. Sampel pati segera dititrasi hingga pH 3,2 dengan menggunakan 0,1 N HCl. Penentuan blanko hanya dengan menggunakan reagent hidroksilamin. Analisis derajat keasaman Pengukuran derajat keasaam pati ditentukan berdasarkan metode Smith (1967) dalam Demiate et al (2000). Pati 10% (b/b) di dalam aquades diagitasi selama 30 menit dalam suhu ruang. Pati kemudian diendaptkan selama 30 menit. Derajat keasaman diukur menggunakan pH meter digital pada fraksi cairnya (pada bagian airnya). Analisis Viskositas Pasta Larutan pati 5% (b/b) di dalam aquades, dipanaskan pada suhu 95oC selama 15 menit hingga tergelatinisasi. Dispersi pati kemudian dimasukkan ke dalam alat pengukur viskositas pasta pati (viskotester vt-04) dan dilakukan peneraan. Analisis nilai baking expansion Pengukuran nilai baking expansion dilakukan dengan mengacu pada metode Demiate et al (2000) yang dimodifikasi. 24 g pati dilarutkan dalam 30 ml aquades, digelatinisasi diatas waterbath. Adonan dibagi menjadi 3 bagian yang homogen, dipanggang pada suhu 180oC selama 30 menit. Adonan panggang 12
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kemudian diukur massanya dan dilapisi dengan lilin. Adonan panggang berlapis lilin diukur massa, selanjutnya diukur volume spesifik adonan panggang. Hasil dan Pembahasan Kandungan karboksil dan karbonil Kandungan karboksil dan karbonil tapioka alami dan oksidasi ditunjukkan pada Tabel 1. Baik kandungan karboksil maupun kandungan karbonil dari semua perlakuan oksidasi menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibanding dengan tapioka alami. Pembentukan kandungan karboksil dan karbonil tertinggi ditemukan pada tapioka oksidasi dengan kombinasi konsentrasi NaOCl 3% dan lama oksidasi 20 menit yaitu masing-masing sebesar 0,20% dan 0,12%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOCl dan waktu oksidasi, kandungan karboksil serta karbonil semakin tinggi. Gugus hidroksil dari molekul pati mulamula teroksidasi menjadi gugus karbonil dan secara cepat teroksidasi menjadi gugus karboksil. Oleh karena itu jumlah gugus karboksil dan karbonil yang terbentuk menunjukkan tingkat oksidasi pati (Sangseethong et al, 2010). Tabel 1. Kandungan karboksil dan karbonil tapioka alami dan oksidasi Sampel/ Pati Hasil Perlakuan Alami Konsentrasi NaOCl 1,2% Konsentrasi NaOCl 1,8% Konsentrasi NaOCl 2,4% Konsentrasi NaOCl 3%
Lama Oksidasi (menit) 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20
% Karbonil (db) 0.03±0.000 0.06±0.000 0.08±0.004 0.09±0.008 0.11±0.015 0.06±0.012 0.10±0.011 0.11±0.008 0.13±0.025 0.09±0.012 0.09±0.012 0.11±0.020 0.13±0.014 0.06±0.000 0.07±0.016 0.12±0.012 0.12±0.000
% Karboksil (db) 0.05±0.005 0.07±0.018 0.08±0.002 0.12±0.028 0.15±0.014 0.10±0.016 0.12±0.014 0.14±0.025 0.14±0.026 0.14±0.018 0.14±0.006 0.16±0.010 0.18±0.015 0.16±0.037 0.18±0.030 0.19±0.025 0.20±0.011
Derajat Keasaman Hasil uji derajat keasaman pada tapioka alami menunjukkan bahwa tapioka rakyat memiliki derajat keasaman yang tertinggi dengan nilai pH rendah yaitu 3,34 dibanding tapioka oksidasi (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa pada tapioka rakyat terjadi proses fermentasi dan oksidasi selama pengeringan sinar matahari sehingga menyebabkan terbentuknya gugus karboksilat yang berakibat terhadap peningkatan derajat keasaman.
13
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Sedangkan tapioka oksidasi menunjukkan nilai pH yang cenderung netral. Hal ini diduga bahwa NaOCl apabila larut dalam air akan bersifat basa, sehingga meningkatkan nilai pH dari tapioka yang dioksidasi dengan NaOCl. Tabel 2. Derajat keasaman tapioka alami dan oksidasi Sampel/ Pati Hasil Perlakuan Alami Konsentrasi NaOCl 1,2%
Konsentrasi NaOCl 1,8%
Konsentrasi NaOCl 2,4%
Konsentrasi NaOCl 3%
Lama Oksidasi (menit) 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20
Derajat Keasaman (pH) 3.34±0.37 6.72±0.24 6.13±0.04 5.63±0.02 5.68±0.59 5.79±0.14 6.33±0.03 6.25±0.24 6.13±0.42 5.76±0.14 5.69±0.11 6.45±0.20 6.54±0.31 5.77±0.09 6.58±0.26 6.47±0.15 6.36±0.16
Viskositas Pasta Tapioka Tabel 3. Viskositas pasta tapioka alami dan oksidasi Sampel/ Pati Hasil Perlakuan Alami Konsentrasi NaOCl 1,2%
Konsentrasi NaOCl 1,8%
Konsentrasi NaOCl 2,4%
Konsentrasi NaOCl 3%
Lama Oksidasi (menit)
Viskositas (dpa.s)
5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20
15±0.0 10±0.0 9.9±0.2 9.7±0.1 9.3±0.3 10±0.8 9.8±1.0 9.5±0.5 9.3±1.5 9.9±0.1 9.7±0.1 9.5±0.1 9.2±1.0 9.4±0.3 9.3±0.3 9.0±0.1 9.0±0.0
Viskositas tapioka alami dan oksidasi ditunjukkan pada Tabel 3. Viskositas tapioka alami secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan tapioka oksidasi. Viskositas tapioka oksidasi menurun dengan meningkatnya lama 14
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
oksidasi. Hal yang sama terjadi ketika konsentrasi NaOCl meningkat hingga 3%, dimana terjadi penurunan terhadap nilai viskositas hingga 9,0 dpa.s. Menurut Kuakpetoon & Wang (2001) penurunan viskositas pada pati oksidasi akibat dari pemotongan oksidatif rantai pati, sehingga menghasilkan penurunan berat molekul molekul pati. Jaringan yang terdegradasi ini tidak resisten dan tidak dapat mempertahankan integritas granula pati, sehingga menghasilkan viskositas yang rendah (Lawal, 2004). Selain mengoksidasi gugus hidroksil menjadi gugus karboksil dan karbonil, perlakuan oksidatif juga mampu memecah rantai karbohidrat. Nilai baking expansion Nilai baking expansion tapioka alami secara signifikan lebih rendah dibanding tapioka oksidasi (Tabel 4). Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa semakin lama oksidasi nilai baking semakin menurun. Nilai pengembangan tertinggi terdapat pada kombinasi konsentrasi 1,2% dan waktu oksidasi 10 menit yaitu 9.08 ml/g. Proses penurunan pada nilai baking diduga karena terjadi depolimerisasi yang berlebih dan terjadi cross linking antar molekul pati yang sudah teroksidasi. Tabel 4. Nilai baking expansion tapioka alami dan oksidasi. Sampel/ Pati Hasil Perlakuan Alami Konsentrasi NaOCl 1,2% Konsentrasi NaOCl 1,8% Konsentrasi NaOCl 2,4% Konsentrasi NaOCl 3%
Lama Oksidasi (menit) 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20
Volume spesifik (ml/g) 7.31±0.29 8.95±0.97 9.08±0.80 8.09±1.10 7.95±1.47 8.67±1.15 8.29±0.78 8.29±1.89 8.27±0.16 8.53±0.39 6.93±0.35 8.51±0.62 8.30±0.96 9.03±1.32 8.92±1.73 7.56±0.69 6.49±0.95
Adanya proses oksidasi pati menyebabkan jumlah air yang terikat dalam pati kasava semakin banyak. Banyaknya jumlah air yang terikat ini membuat uap air yang terbentuk selama proses baking semakin banyak juga. Banyaknya uap air yang terbentuk membuat pengembangan produk menjadi semakin besar. Pati oksidasi memiliki gugus karboksilat dan perubahan pada satuan glukosa lainnya yang berkaitan dengan kemampuan mengembang pada pemanggangan. Degradasi oksidatif akibat proses oksidasi dianggap sebagai faktor yang mengubah struktur 15
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kimia pati kasava yang akan berpengaruh terhadap kemampuan mengambang pada proses baking (Demiate et al., 2000). Kesimpulan Kombinasi konsentrasi NaOCl 3% dengan lama oksidasi 20 menit memberikan nilai kandungan karboksil dan karbonil tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Derajat keasaman tapioka oksidasi untuk semua perlakuan menunjukkan nilai pH yang cenderung netral dibanding tapioka alami 3,34. Viskositas tapioka oksidasi menurun dengan meningkatnya waktu oksidasi, dimana nilai viskositas terendah terdapat pada kombinasi konsentrasi NaOCl 3% dengan waktu 20 menit. Semakin lama oksidasi, nilai pengembangan semakin menurun. Nilai pengembangan terbesar ditunjukkan pada kombinasi konsentrasi 1,2% dan lama oksidasi 10 menit yaitu sebesar 9,08 ml/g. Daftar Pustaka Demiate, L. M., N. Dupuy, J. P. Huvenne, M. P. Cereda dan G. Wosiacki. 2000. Relationship Between Baking Behavior of Modified Cassava Starches and Starch Chemical Structure Determined by FTIR Spectroscopy. Carbohydrate Polymer 42 : 149-158. Kuakpetoon, D., Wang, Y.J. 2001. Characterization of Different Starches Oxidized by Hypochlorite. Starch/Starke 53 : 211-218. Lawal, O.S. 2004. Composition, Physichochemical Properties and Retrogradation Characteristics of Native, Oxidised, Acetilated and Acid-Thinned New Cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) Starch. Food Chemistry 87: 205-218. Rivera, M.M., Suarez, F.J.L., del Valle, M. V., Meraz, F., Perez, L.A. 2005. Partial Characterization of banana starches oxidized by different levels of sodium hypochlorite. Carbohydrate Polymers 62 : 50-56. Sangseethong, K., Lertphanich, S., Sriroth, K. 2009. Physichochemical Properties of Oxidized Cassava Starch Prepared Under Various Alkalinity Levels. Starh/Starke61: 92-100. Sangseethong, K., Termvejsayanon, N., Sriroth, K. 2010. Characterization of Physichochemical Properties of Hypochlorite and Peroxide-Oxidized Cassava Starches. Journal Carbohydrate Polymers 82: 446-453.
16
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
OPTIMASI EKSTRAKSI TERHADAP KADAR FENOLIK DAN AKTIVITAS PENANGKAPAN RADIKAL DPPH EKSTRAK GAMBIR (Uncaria gambir Roxb.) Optimisation of Extraction On Phenolic Content and DPPH Radical Scavenging Activity of Gambir Extracts (Uncaria gambir Roxb.) Pramudya Kurnia1 dan Rusdin Rauf1 1
Program Studi Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengoptimasi metode ekstraksi yang menghasilkan kadar fenolik dan aktivitas penangkapan radikal DPPH yang tinggi. Telah dilakukan ekstraksi gambir menggunakan metode maserasi, dengan pelarut etanol pada berbagai konsentrasi (50%, 70%, dan 90%), dan variasi suhu ekstraksi (40˚C. 50˚C, 60˚C, dan 70˚C). Ekstrak gambir kemudian diuji kadar fenolik dan aktivitas antioksidannya menggunakan metode DPPH. Hasilnya menunjukkan bahwa kadar fenolik dan aktivitas penangkapan radikal DPPH ekstrak gambir dipengaruhi oleh suhu ekstraksi, konsentrasi etanol, dan interaksi antara suhu ekstraksi dan konsentrasi etanol. Ekstrak etanol 50% pada suhu 60˚C menunjukkan kadar fenolik tertinggi (12.77% ± 0.09). Aktivitas penangkapan radikal DPPH tertinggi ditunjukkan oleh ekstrak etanol 90% pada suhu 60˚C dan 70˚C (berturut-turut 50.79% ± 0.39 dan 51,06% ± 0.23). Kata kunci: Optimasi, ekstraksi, gambir, fenolik, DPPH
Abstract The objective of this study was to optimize the extraction method of gambir that produces the highest phenolic content and DPPH radical scavenging activity. Gambir was extracted by maseration method, using ethanol solvent at various concentration (50%, 70% and 90%) and variated in extraction temperature (40, 50, 60, and 70°C). They were then tested for phenolic content and antioxidant activity using DPPH. The result showed that the phenolic content and the DPPH radical scavenging activity of gambir extracts were affected by extraction temperature, ethanol concentration, and interaction between temperature and ethanol concentration. The extract of ethanol 50% at a temperature 60°C indicated the highest phenolic content (12,77% ± 0,09). The highest DPPH radical scavenging activity was the extract of ethanol 90% at temperature 60˚C and 70°C (50,79 ± 0,39 % and 51,06 ± 0,23 %, respectively). Keywords: Optimize, extraction, gambir, phenolic, DPPH
17
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pendahuluan Komponen antioksidan secara alami dapat diperoleh dari gambir, teh, kakao, buah-buahan dan sayur-sayuran. Komponen antioksidan tersebut berupa senyawa fenolik dan vitamin. Kemampuan antioksidasi dari komponen fenolik dihubungkan dengan kemampuannya dalam mendonasikan atom hidrogen dan menangkap radikal bebas. Gambir merupakan ekstrak kering dari daun tanaman gambir yang diekstrak secara basah menggunakan air. Dalam produk gambir komersil, masih banyak terdapat komponen non fenolik sebagai impurities seperti klorofil, sellulosa dan kotoran lainnya. Komponen non fenolik tersebut akan mengganggu pengaplikasian pada makanan, sehingga perlu dieksraksi lagi untuk mendapatkan komponen fenolik yang bebas impurities (Rauf dkk, 2010). Produk gambir yang dikenal oleh masyarakat baru sebatas sebagai ramuan makan sirih. Sedangkan pemanfaatannya sebagai sumber antioksidan dan antimikrobia pada bahan pangan masih terbatas. Ekstrak gambir memiliki aktivitas antimikrobia (Pambayun dkk, 2007) dan aktivitas antioksidan (Santoso dkk, 2008). Hal tersebut dihubungkan dengan adanya kandungan fenolik pada ekstrak gambir, berupa katekin. Penelitian dan publikasi yang dilakukan terhadap aspek optimasi proses ekstraksi produk gambir masih sedikit. Penelitian yang telah dipublikasikan yaitu Pambayun dkk (2007), yang mengekstrak produk gambir dengan menggunakan berbagai jenis pelarut tunggal maupun campuran, kemudian dilakukan analisis terhadap aktivitas antibakteri. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan kemampuan antimikrobia dari tiap ekstrak. Rauf dkk (2010) telah mengekstrak produk gambir menggunakan berbagai pelarut tunggal dan campuran, kemudian dilakukan analisis terhadap kadar total fenol dan aktivitas antioksidan. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan kadar total fenol dan aktivitas antioksidan dari tiap ekstrak. Proses ekstraksi yang dilaporkan oleh Rauf dkk (2010) hanya dilakukan pada suhu 30°C, sedangkan penggunaan suhu ekstraksi yang bervariasi belum dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian optimasi proses ekstraksi produk gambir yang meliputi variasi jenis pelarut dan suhu ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak yang memiliki kadar fenolik, dan aktivitas antioksidan yang tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui suhu ekstraksi dan konsentrasi etanol yang optimum dapat menghasilkan ekstrak gambir yang memiliki kadar fenolik dan aktivitas antioksidan yang tinggi. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah gambir produksi Sumatera Selatan, yang diperoleh dari Pasar Tradisional Bringharjo, Yogyakarta.
18
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Bahan Kimia yang digunakan antara lain: etanol kualitas teknis, reagensia DPPH, reagensia Foilin-Ciocalteu (Sigma Chem.), deionised water, dan sodium karbonat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu alat ekstraksi dan alat analisis. Alat ekstraksi yang digunakan antara lain shaker waterbath, rotary vacuum evaporator, peralatan gelas, dan kertas saring. Alat untuk analisis yang digunakan adalah spektrofotometer (Shimadzu UV1601). Ekstraksi Gambir Gambir digerus, kemudian diayak menggunakan ayakan berukuran 60 mesh. Hasil ayakan berupa bubuk gambir. Bubuk gambir ditimbang 5 gram, dimasukkan dalam Erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 150 ml pelarut, kemudian digoyang dalam shaker water bath selama 60 menit. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring, hingga diperoleh ekstrak cair. Ekstrak cair kemudian dievaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh ekstrak kering. Pengujian Kadar Fenolik Analisis kadar fenolik ekstrak gambir menggunakan prosedur FolinCiocalteu menurut prosedur yang dilakukan oleh Singleton dan Rossi (1965), yaitu: sebanyak 0,5 mL sampel dari ekstrak cair dicampur dengan 0,5 mL reagen Folin-Ciocalteu 50 % (Sigma Chemical Co., St. Louis, MO., U.S.A) dan 7,5 mL deionised water. Campuran ditambahkan 1,5 mL sodium karbonat 2 % (w/v), kemudian dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit. Campuran selanjutnya diukur absorbansinya pada 750 nm. Blanko digunakan campuran aquades dan reagen. Hasilnya diekspresikan sebagai % fenol per berat sampel. Pengujian Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH DPPH dilarutkan dalam methanol. Sebanyak 0,1 mL larutan ekstrak gambir (100 ppm) ditambahkan kedalam 2,9 mL larutan DPPH. Campuran diinkubasi pada suhu kamar dan kondisi gelap selama 15 menit. Penurunan absorbansi diukur menggunakan spektrofotometer pada λ 517 nm (Brand – Williams dkk., 1995). Persentase penangkapan radikal DPPH selama inkubasi dihitung menggunakan persamaan: % Penangkapan radikal DPPH = (Abst0 – Abstn)/Abst0] x 100 % Rancangan dan Analisis Statistik Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak kelompok, yang didasarkan atas pengelompokan suhu ekstraksi dan konsentrasi etanol. Data dianalisis menggunakan uji anova satu arah dan uji GLM-univariat. Perbedaan hasil akan diuji menggunakan duncan, pada taraf 5%.
19
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hasil dan Pembahasan Rendemen Rendemen hasil ekstraksi menggunakan pelarut etanol pada berbagai konsentrasi dan variasi suhu ekstraksi ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Rendemen ekstrak gambir pada berbagai suhu ekstraksi, menggunakan variasi konsentrasi etanol. Ekstrak gambir yang menghasilkan rendemen tertinggi adalah ekstrak etanol 50% pada suhu 60°C. Pada suhu ekstraksi 60˚C, makin tinggi konsentrasi etanol yang digunakan, semakin rendah rendemennya. Pelarut etanol 70% menghasilkan rendemen ekstraksi gambir tertinggi pada suhu ekstraksi 50°C. Sedangkan pada etanol 90%, rendemen ekstraksi gambir tertinggi pada suhu ekstraksi 40°C. Rendemen ekstraksi tersebut memberikan petunjuk bahwa pemilihan suhu ekstraksi yang optimum digunakan dalam proses ekstraksi perlu disesuaikan dengan konsentrasi pelarutnya. Data rendemen ekstraksi bukan merupakan gambaran efektivitas suatu proses ekstraksi, namun hanya memberikan suatu petunjuk tentang jumlah komponen terlarut dalam proses ekstraksi tersebut. Komponen terlarut tersebut tersusun atas komponen fenolik dan nonfenolik. Kadar Fenolik Kadar fenolik ekstrak gambir yang diekstrak pada suhu yang bervariasi menggunakan pelarut etanol pada konsentrasi yang berbeda ditunjukkan pada Tabel 1. Kadar fenolik dari berbagai jenis ekstrak gambir yang diekstrak dengan berbagai perlakuan, yaitu menggunakan pelarut etanol 50%, 70%, dan 90%, serta perlakuan suhu ekstraksi yang bervariasi (Tabel 1) menunjukkan adanya pengaruh atau perbedaan yang signifikan dari penggunaan suhu yang berbeda dan konsentrasi etanol yang berbeda terhadap kadar fenolik ekstrak gambir, yang ditunjukkan oleh hasil uji statistik menggunakan anova satu arah, dengan nilai signifikansi < 0,05.
20
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 1. Kadar fenolik berbagai jenis ekstrak gambir yang diuji menggunakan anova satu arah Suhu Ekstraksi (oC) 40 50 60 70 Sign.
Etanol 50% 8,65 ± 0,02b 9,40 ± 0,03c 12,77 ± 0,09d 8,42 ± 0,04a 0,000
% Fenolik Etanol 70% 10,95 ± 0,07e 11,01 ± 0,05e 10,42 ± 0,07h 10,42 ± 0,03h 0,000
Etanol 90% 7,55 ± 0,07f 9,70 ± 0,03g 11,28 ± 0,03i 8,07 ± 0,03j 0,000
Sign. 0,000 0,000 0,000 0,000
Uji statistik menggunakan GLM-univariat menunjukkan bahwa ada pengaruh suhu dan konsentrasi etanol terhadap kadar fenolik ekstrak gambir, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi yang sama dari kedua faktor tersebut yaitu (0,000) < 0,05. Interaksi antara suhu ekstraksi dan konsentrasi etanol memberikan pengaruh terhadap kadar fenolik ekstrak gambir, dengan nilai signifikansi (0,000) < 0,05. Adanya interaksi antar faktor berdasarkan uji GLM-univariat memberikan gambaran bahwa penggunaan pelarut etanol pada konsentrasi dan suhu tertentu memberikan kadar fenolik yang tinggi, namun hasil tersebut akan berbeda jika pelarut tersebut digunakan pada suhu yang berbeda. Pernyataan tersebut didukung oleh gambaran kecenderungan kadar fenolik ekstrak gambir dari setiap perlakuan yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kadar fenolik ekstrak gambir pada berbagai suhu ekstraksi dan variasi konsentrasi etanol Kadar fenolik tertinggi (Gambar 2) dapat ditemukan pada gambir yang diekstrak menggunakan etanol 50% dan 90% pada suhu 60°C, masing-masing memiliki kadar fenolik 12,77% dan 11,28%. Hasil ini menunjukkan bahwa suhu 60°C merupakan suhu optimum yang digunakan dalam ekstraksi gambir untuk mendapat kadar fenolik yang optimum. Namun pada suhu lain (40, 50, dan 70°C), 21
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
ekstrak etanol 50% dan 90% memiliki kadar fenolik yang lebih rendah dibanding ekstrak etanol 70%. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas suatu proses ekstraksi dalam mengekstrak komponen fenolik secara optimal, tidak hanya ditentukan oleh penggunaan pelarut etanol pada konsentrasi tertentu atau penggunaan suhu tertentu, namun kombinasi keduanya (pelarut dan suhu ekstraksi) secara selektif dapat memberikan ekstrak dengan kadar fenolik yang tinggi. Suhu tertinggi (70°C) yang digunakan dalam ekstraksi gambir bukan merupakan suhu yang optimum untuk mendapatkan senyawa fenolik gambir, karena pada suhu tersebut senyawa fenolik gambir mengalami degradasi, sehingga kadarnya menurun. Hal ini sesuai dengan laporan Yap dkk (2009), Ruenroengklin dkk (2008), bahwa penggunaan suhu tinggi dalam ekstraksi dapat mendegradasi senyawa polifenol, yang berimplikasi pada penurunan kadar fenolik. Perbedaan kadar fenolik dari ekstrak etanol pada konsentrasi yang berbeda disebabkan oleh perbedaan indeks polaritas dari pelarut tersebut. Efektifitas dari suatu pelarut dalam melarutkan senyawa fenolik tergantung pada kesesuaian dari polaritas tersebut dengan senyawa fenolik penyusun dari bahan yang diekstrak (Rauf dkk, 2010). Aktivitas Penangkapan Radikal DPPH Aktivitas antioksidan dari ekstrak gambir yang diperoleh menggunakan etanol pada berbagai konsentrasi dan suhu ekstraksi yang bervariasi, diekspresikan melalui kemampuan ekstrak gambir tersebut dalam menangkap radikal DPPH, yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Penangkapan Radikal DPPH dari ekstrak gambir (100 ppm) yang diuji menggunakan anova satu arah. Suhu Ekstraksi (oC) 40 50 60 70 Sig.
Etanol 50% 41,67 ± 0,39c 39,68 ± 0,79b 37,17 ± 0,61a 44,84 ± 0,40d 0,000
% Penangkapan Radikal DPPH Etanol 70% Etanol 90% c 41,80 ± 0,23 41,50 ± 0,21 c e 37,17 ± 0,23 41,93 ± 0,23 c 39,29 ± 0,39e 50,79 ± 0,39 f 41,93 ± 0,61c 51,06 ± 0,23 f 0,000 0,000
Sign. 0,494 0,000 0,000 0,000
Gambir yang diekstrak menggunakan berbagai jenis konsentrasi (50%, 70%, dan 90%) pada berbagai suhu menunjukkan adanya pengaruh atau perbedaan yang signifikan terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH, yang ditunjukkan oleh nilai signifikansi (0,000) < 0,05 melalui uji anova satu arah. Pengaruh yang sama ditunjukkan oleh ekstrak gambir yang diekstrak pada suhu 50˚C, 60˚C, dan 70˚C, dengan nilai signifikansi yang sama, yaitu (0,000) ˂ 0,05. Kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh ekstrak etanol pada suhu ekstraksi 40°C, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan aktivitas penangkapan radikal DPPH dari setiap variasi konsentrasi etanol. 22
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hasil uji univariat menunjukkan bahwa ada pengaruh suhu ekstraksi dan konsentrasi etanol terhadap persentase penangkapan radikal DPPH ekstrak gambir, yang masing-masing memberikan nilai signifikansi yang sama (0,000) < 0,05. Interaksi antara suhu ekstraksi dan konsentrasi etanol berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH ekstrak gambir, dengan nilai signifikansi (0,000) ˂ 0,05. Penjelasan lebih mendalam tentang kecenderungan aktivitas penangkapan radikal DPPH ekstrak gambir dari setiap perlakuan ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Persentase penangkapan radikal DPPH ekstrak gambir dari berbagai konsentrasi etanol dan suhu ekstraksi Gambar 3, dapat dijelaskan bahwa ekstrak etanol 90% pada suhu ekstraksi 60˚C dan 70°C menunjukkan aktivitas penangkapan radikal DPPH yang tertinggi, namun ekstrak etanol 90% menunjukkan aktivitas yang lebih rendah pada suhu 40˚C dan 50°C. Gambaran yang berbeda ditunjukkan oleh ekstrak etanol 70%, pada suhu ekstraksi 40˚C dan 70°C memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibanding suhu ekstraksi 50˚C dan 60°C. Ekstrak etanol 90% pada suhu 60˚C dan 70°C, meskipun memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH yang tertinggi, namun bukan merupakan ekstrak yang memiliki kadar fenolik tertinggi. Demikian pula halnya ekstrak etanol 50% pada suhu ekstraksi 60°C, meskipun memiliki kadar fenolik tertinggi, namun ekstrak tersebut memberikan aktivitas penangkapan radikal DPPH terendah. Ekstrak etanol 50% pada suhu ekstraksi 70°C, meskipun memiliki kadar fenolik yang lebih rendah dibanding ekstrak etanol 50% pada suhu 60°C, namun memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH yang lebih tinggi. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa setiap ekstrak memiliki jenis senyawa fenolik berupa katekin yang berbeda. Pernyataan tersebut didukung oleh laporan Rauf dkk (2010) bahwa aktivitas penangkapan radikal DPPH ekstrak gambir tidak hanya ditentukan oleh kadar fenoliknya, tetapi juga ditentukan oleh bentuk dimer atau 23
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
oligomer katekin penyusun ekstrak tersebut. Hal yang sama dilaporkan oleh Osakabe dkk (2002) bahwa senyawa (+)-katekin memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda dengan bentuk oligomernya. Kesimpulan Ekstraksi gambir menggunakan etanol 50% suhu 60°C memberikan kadar fenolik tertinggi, yaitu 12,77 ± 0,09%. Ekstrak etanol 90% suhu 60˚C dan 70°C menunjukkan persentase penangkapan radikal DPPH tertinggi, masing-masing 50,79% ± 0,39 dan 51,06% ± 0,23. Daftar Pustaka Osakabe, N., Yasuda, A., Natsume, M., Takizawa, T., Terao, J., dan Kondo, K., 2002. Catechins and their oligomers linked by C4 → C8 bonds are major cacao polyphenols and protect low-density lipoprotein from oxidation in vitro. Experimental Biology and Medicine 227(1): 51–56. Pambayun, R., Gardjito, M., Sudarmadji, S., dan Kuswanto, K. R., 2007. Kandungan fenol dan sifat antibakteri dari berbagai jenis ekstrak produk gambir (Uncaria gambir Roxb.). Majalah Farmasi Indonesia, 18(3), 141 – 146, 2007. Rauf, R., Santoso, U., dan Suparmo, 2010. Aktivitas penangkapan radikal DPPH ekstrak gambir (Uncaria gambir Roxb). Agritech, Vol. 30 No. 1: 1-5. Ruenroengklin, N., Zhong, J., Duan, X., Yang, B., Li, J., dan jiang, Y., 2008. Effects of various temperatures and pH values on the extraction yield of phenolics from litchi fruit pericarp tissue and the antioxidant activity of the extracted anthocyanins. International Journal of Molecular Science. 9: 1333 – 1341. Santoso, U., Rauf, R., Pambayun, R., Suparmo, Hadiwiyoto, S., Rahayu, K., 2008. Identification of antioxidants isolated from gambir (Uncaria gambir Roxb). Abstract. 14th World Congress Of Food Science & Technology, IUFoST-CIFST, Shanghai, China, 19-23 Oktober 2008. Singleton, V.L., dan Rossi, J. A. (1965). Colorimeter of total phenolics with phosphomolibdic-phosphotungstic acid reagents. American Journal of Enology and Viticulture 16: 144–158. Yap, C. F., Ho, C. W., Aida, W. M., Chan, S. W., Lee, C. Y.,dan Leong, Y. S., 2009. Optimization of extraction conditions of total phenolic compounds from star fruit (Averrhoe carambola L.) residues. Sains Malaysiana. 38 (4) (2009): 511 – 520.
24
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENGAWETAN NATA DE ALOE (Aloe Chinensis Baker) DENGAN POTASSIUM SORBAT DAN SODIUM ASKORBAT SELAMA PENYIMPANAN Riyanto1) 1)
Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta Abstrak Lidah buaya sangat potensial dikembangkan karena proses daging buah daun lidah buaya dapat menjadi industri makanan, minuman, dan kosmetik yang menguntungkan. Kandungan senyawa-senyawa yang berkhasiat bagi kesehatan di dalam daun lidah buaya mudah mengalami decomposisi sehingga perlu upaya pengawetan untuk menghambat proses pembusukan. Penilitian ini bertujuan : menentukan konsentrasi potassium sorbat dan sodium askorbat yang tepat dalam pengawetan nata lidah buaya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan variasi konsentrasi potassium sorbat dan sodium askorbat yang sama yaitu 0%; 0,025%; 0,05%; 0,075%; 0,1%, untuk mengawetkan nata lidah buaya dalam kemasan cup plastik yang disimpan selama 8 minggu. Penelitian dilakukan tiga batch dan analisis kadar air, pH, total plate count (TPC), dan pengamatan warna, bau, dan kekeruhan nata dilakukan setiap minggu. Hasil pengawetan dengan potassium sorbat maupun sodium askorbat pada range konsentrasi yang setingkat 0,05% - 0,1% tidak mengalami pembusukkan selama 8 minggu penyimpanan. Kata kunci : pengawetan, potassium sorbat, sodium askorbat, nata de aloe, lidah buaya Pendahuluan Lidah buaya atau aloe vera (Aloe chinensis Baker) banyak digunakan sebagai makanan kesehatan, kosmetik dan obat-obatan dan dipercaya dapat berfungsi sebagai antitumor, antidiabetes dan pelembab (Chang et al. (2006). Bagian tanaman yang banyak dimanfaatkan adalah daunnya. Produk utama dari daun lidah buaya adalah gel dan lateks/eksudat (Kristianto, 2005). Gel lidah buaya bertekstur kenyal, tidak berwarna, tidak berbau, dan rasanya tidak sepahit eksudat. Sehingga banyak digunakan sebagai makanan fungsional yang berkhasiat obat, Sedangkan eksudat merupakan cairan kental berwarna kuning berasa pahit dan digunakan sebagai obat pencahar. Di dalam industri kosmetik, lidah buaya digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan cream, lotion, sampo, pencuci muka dan produk lainnya. Dalam industri farmasi, lidah buaya digunakan untuk 25
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pembuatan produk-produk salap, dan gel, tablet dan kapsul (Eshun and He, 2004; He et al., 2005). Daun lidah buaya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kulit luar berwarna hijau, termasuk berkas pembuluh, dan parenkim tak berwarna yang berada di bagian dalam yang mengandung gel lidah buaya. Pada bagian paling dalam dari daun berupa jaringan jernih, lunak, lembab, dan licin yang tersusun atas sel parenkim yang berair dalam bentuk musilago kental (Newton, 2004). Jadi daging daun yang tebal dari tanaman aloe vera tidak hanya mengandung karbohidrat dinding sel seperti selulosa dan hemiselulosa tetapi juga karbohidrat simpanan seperti manan terasetilasi (Ni et al., 2004). Walaupun lebih dari 75 kandungan bahan aktif dari gel bagian dalam telah diidentifikasi, efek pengobatan tidak berkorelasi baik dengan masing-masing komponen individu. Banyak efek pengobatan dari ekstrak daun lidah buaya dihubungkan dengan polisakarida yang ditemukan di dalam jaringan parenkim bagian dalam, tetapi dipercayai bahwa aktivitas biologis ini lebih disebabkan oleh aksi sinergis senyawa-senyawa yang ada di dalamnya bukan senyawa kimia tunggal (Dagne et al., 2000). Istilah daging buah atau jaringan parenkim menunjuk ke bagian dalam daging utuh dari daun termasuk dinding sel dan organel, sedangkan gel atau musilago menunjuk ke cairan jernih kental di dalam sel parenkim (Ni, and Tizard, 2004). Tiga komponen struktural daging lidah buaya adalah dinding sel, organel terdegenerasi, dan cairan kental yang terkadung di dalam sel (Ni, et al., 2004). Banyak senyawa dengan struktur bermacam-macam telah berhasil diisolasi dari jaringan parenkim pusat daun lidah buaya dan eksudat dari sel yang dikeluarkan dari berkas pembuluh. Eksudat berwarna kuning yang berasa pahit mengandung turunan 1,8 dihidroksiantrakuion dan glikosidanya, yang mana terutama digunakan untuk obat pencuci perut (Vazquez et al., 1996). Jaringan parenkim lidah buaya atau pulp mengandung protein, lipid, asam amino, vitamin, enzim, senyawa-senyawa anorganik dan senyawa-senyawa organik kecil selain karbohidrat yang berbeda-beda. Fakta yang ada memang terjadi variasi kemotaksonomik dalam komposisi polisakarida. (Reynolds, 2004). Fluktuasi yang besar dalam komposisi polisakarida lidah buaya diterangkan dengan fakta bahwa residu manosil yang terkandung di dalam polisakarida berbeda dengan pengaruh musim yang besar, seperti juga variasi antar kultivar dalam hal jumlah polisakarida yang mengandung manosa di dalam sel parenkim (Femenia et al., 1999). Lidah buaya memiliki cita rasa yang tidak enak apabila dikonsumsi dalam bentuk segar sehingga perlu diolah menjadi produk yang lebih disukai konsumen. Salah satu produknya adalah nata de aloe. Persoalannya adalah bahanbahan bioaktif yang berkhasiat dalam pengobatan yang terdapat dalam lidah buaya mudah sekali mengalami kerusakan sehingga menjadi kehilangan sifat pengobatannya. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh penaganan ketika dalam 26
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
proses pengolahan yaitu pengupasan, pengirisan dan perlakuan panas, maupun kerusakan selama dalam penyimpanan karena aktivitas mikroorganisme. Persoalan kerusakan daging daun lidah buaya selama penyimpanan dapat diatasi dengan menggunakan bahan pengawet untuk meningkatkan ketahanan. Bahan pengawet yang digunakan dalam pengolahan makanan termasuk lidah buaya harus bahan pengawet yang aman. Bahan pengawet potassium sorbat memiliki toksisitas lebih rendah dibandingkan degan benzoat. Potassium sorbat mempunyai aktivitas dengan spectrum luas terhadap yeast dan kapang, tetapi kurang efektif terhadap bakteri dan dalam dosis yang rendah sudah efektif untuk mengontrol ketahanan makanan dan minuman. Efektivitas potassium sorbat pada kisaran pH 6,5. (Furia, 1968). Menurut Tranggono (1989), batas maksimum penggunaan potassium sorbat untuk produk sirup, sari buah, jeli, sebesar 0,1 %. Sodium askorbat digunakan dalam formulasi makanan sebagai antioksidan dengan konsentrasi 0,0003 sampai 0,3%. Senyawa ini dinilai aman (GRAS) sebagai pengawet makanan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi potassium sorbat dan konsentrasi sodium askorbat yang tepat dalam pengawetan produk nata de aloe. Metode Penelitian Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah daun lidah buaya (Aloevera chinensis Baker) yang diperoleh dari petani lidah buaya di desa Winong kabupaten Purworejo, Jawa-tengah. Ciri-ciri daun yang digunakan adalah bagian daun lidah buaya dengan posisi pelepah agak miring atau jatuh ke tanah yang telah berumur 8 bulan, dengan berat minimal 800 gram. Daun mempunyai struktur keras, tidak cacat atau luka, ujung tidak mengering, warna hijau mulus. Bahan lain adalah gula pasir merk Gulaku, potassium sorbet dan sodium askorbat teknis diperoleh dari toko Tekun Yogyakarta. Nutrient agar, dan bahan-bahan kimia untuk analisis seluruhnya dengan kualifikasi pro analysis dari Merck. Peralatan yang digunakan meliputi pH meter (Metrohm 620, Swiss), spektrofotometer (Milton Roy 20 D), neraca Sartorius seri 2848 Kepekaan 0,0001 g, oven, autoklaf, sealer elektrik, colony counter, peralatan untuk preparasi dan alat-alat gelas untuk analisis kimia. Cara Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu: 1) proses pembuatan nata de aloe dan pengemasan, dan 2) pengujian kadar air, pH, total plate count (TPC), dan pengamatan keadaan fisik secara periodik selama 8 minggu penyimpanan. Pembuatan nata mengacu pada Kristianto (2005). Analisis kadar air dikerjakan untuk mengetahui seberapa besar terjadinya penyerapan air oleh nata dengan metode oven ( AOAC, 1990). Pengukuran pH untuk mengetahui terjadinya perubahan pH selama penyimpanan mengacu Apriyanto et al., (1989). Pengukuran TPC untuk mendeteksi seberapa banyak jumlah bakteri yang 27
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
mengkontaminasi nata dilakukan berdasarkan Jutono (1980). Pengamatan fisik nata meliputi warna, bau, dan kekeruhan. Tiap perlakuan dibuat sebanyak 25 cup plastik 250 ml berisi nata de aloe., dan dibuat 3 batch. Setiap minggu diamati 3 sampel per batch. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan faktor tunggal yaitu bahan pengawet potassium dengan konsentrasi 0%;; 0,025% ; 0,05%; 0,075%; 0,1% , sodium askorbat dengan variasi konsentrasi yang sama. Tiap perlakuan dibuat Untuk menentukan adanya perbedaan antar perlakuan digunakan uji F, selanjutnya beda nyata antar sampel ditentukan dengan Duncan’s Multiples Range Test (DMRT) (Gacula dan Singh, 1984). Hasil dan Pembahasan Kadar Air Nata
Gambar 1. Kadar Air (%b) nata sampai minggu ke 8 pengawetan dalam potassium sorbat 025% ; 0,05%; 0,075%; 0,1%
Gambar 2. Kadar Air (%b) nata sampai minggu ke 8 pengawetan dalam sodium askorbat 025% ; 0,05%; 0,075%; 0,1%. 28
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kadar air nata tanpa bahan pengawet apapun sudah mengalami kerusakan pada penyimpanan selama 1 minggu, sehingga hanya dianalisis pada saat selesai pembuatannya, dan seterusnya tidak dianalisis lebih lanjut. Nata yang diawetkan dengan potassium sorbat 0,025% dapat bertahan sampai 4 minggu, sedangkan nata yang diawetkan sodium askorbat 0,025% hanya dapat bertahan sampai 3 minggu. Nata yang diawetkan dengan potassium sorbat maupun sodium askorbat konsentrasi 0,05%, 0,075% dan 0,1 % sampai pengamatan terakhir minggu ke 8 masih baik kondisinya dilihat dari kondisi visualnya, yaitu tidak nampak perubahan warna yang signifikan, tidak tumbuh jamur, tidak terjadi kekeruhan, tidak berbau, dan tekstur masih keras. Hasil analisis terhadap produk nata yang diawetkan dengan kedua macam bahan pengawet, menunjukkan ada kecenderungan kenaikan kadar air nata selama penyimpanan (Gambar 1 dan 2). Kenaikan kadar air disebabkan nata yang bersifat mudah menyerap air. Nata mengandung komponen-komponen yang bersifat mudah menahan air seperti galaktomanan (Femenia et al., 1999). Nata yang mengalami kerusakan bersifat lebih lunak dan kandungan airnya lebih tinggi. pH Nata Selama penyimpanan dalam pengawet potassium sorbat maupun sodium askorbat, dengan konsentrasi yag diberikan ternyata terjadi penurunan pH dari kurang lebih 5,5 sampai mendekati nilai pH 3. Semakin rendah konsentrasi zat pengawet yang digunakan dan semakin lama waktu penyimpanannya, cenderung semakin menurun pH-nya (Gambar 3 dan 4). Turunnya pH yang berarti tingkat keasamannya naik
disebabkan oleh aktivitas mikrobia. Bakteri asam laktat
merupakan bakteri yang tahan terhadap potassium sorbat. Bakteri ini memproduksi asam laktat yang mungkin dapat meningkatkan keasaman nata. Penurunan pH pada lidah buaya juga bisa terjadi akibat oksidasi senyawasenyawa fenolik menghasilkan asam aloetat (Femenia et al.,1999). Oksidasi senyawa ini dapat terjadi selama penyimpanan dan selama proses pengolahan dengan pemanasan. Oksidasi dapat menyebabkan warna nata berubah yang semula bening menjadi kuning kecoklatan. Walaupun pada pH yang rendah aktivitas bahan pengawet potassium sorbat dan sodium askorbat mungkin semakin baik, namun karena tidak bisa mengimbangi jumlah mikrobia yang semakin banyak sehingga rentan terhadap kerusakan akibat petumbuhan mikrobia tersebut.
29
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 3. pH nata sampai minggu ke 8 pengawetan dalam potassium sorbat 0,025% ; 0,05%; 0,075%; 0,1% .
Gambar 4. pH nata sampai minggu ke 8 pengawetan dalam sodium askorbat 0,025% ; 0,05; 0,075%; 0,1% Total plate count (TPC) Total plate count (TPC) adalah jumlah bakteri mesofil dalam 1 gram sampel yang diperiksa. Perhitungan koloni dianggap akurat apabila jumlah koloni yang dihitung 30 – 300 koloni bakteri pada setiap petri. Hasil analisis TPC menunjukkan bahwa Ada kecenderungan kenaikan TPC selama penyimpanan karena semakin banyak pertumbuhan mikrobia terutama bakteri. Nata yang tidak diawetkan pada minggu pertama penyimpanan sudah mengalami kerusakan. Sedangkan nata yang diawetkan dengan potassium sorbat 0,025% mengalami kerusakan pada minggu ke 5, sementara yang diawetkan dengan sodium askorbat 0,025% mengalami kerusakan pada minggu ke 4. Penambahan pengawet potassium sorbat maupun sodium askorbat 0,05 – 0,1% 30
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
mampu mempertahankan nata dari kerusakan fisik sampai 8 minggu penyimpanan. Adanya pengawet potassium sorbat 0,05-0,1% ataupun sodium askorbat 0,05-0,1% telah terbukti mampu menghambat pertumbuhan mikrobia selama 8 minggu.
Gambar 5. Total plate count (x 10 −3 ) nata sampai minggu ke 8 pengawetan dalam potassium sorbat 0,025% ; 0,05%; 0,075%; 0,1%
Gambar 6. Total plate count (x 10 −3 ) nata sampai minggu ke 8 pengawetandalam sodium askorbat 0,025% ; 0,05%; 0,075%; 0,1% Menurut Tranggono (1989), beberapa bakteri menghasilkan polisakarida atau dekstran dari berbagai macam disakarida dalam bahan pangan yang diawetkan dalam bahan makanan yang diawetkan. Dekstran tersebut membentuk lendir baik dipermukaan maupun bagian dalam bahan makanan sehingga menimbulkan bau tidak enak (asam). Pada pengamatan selama 8 minggu dalam penyimpanan, penambahan potassium sorbat atau sodium askorbat pada kisaran konsentrasi 0,05 – 0,1 % maka nata belum mengalami kerusakan. 31
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Keseluruhan pengamatan minggu ke 8 penyimpanan adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 1. Berikut: Tabel 1. Kadar air, pH, dan Total Plate count Nata Setelah Penyimpanan Selama 8 Minggu Konsentrasi Pengawet Potassiun Sorbat 0,05% 0,075% 0,1% Sodium Askorbat 0,05% 0,075% 0,1%
Kadar Air 88,0 88,4 87,0 90,8 89,9 89,9
pH 3,15 3,29 3,57 3,11 3,20 3,40
TPC × 10¯³ * 137b 92c 58c 210a 178ab 156b
*Keterangan: notasi yang sama pada kolom yang menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan taraf nyata 5%
Selama 8 minggu dalam penyimpanan dengan pengawet potassium sorbat 0,025-0,1% ataupun sodium askorbat 0,025- 0,1% , nata mengalami peningkatan kadar air, penurunan pH walaupun antar perlakuan bahan pengawet tidak berbeda signifikan. Sedangkan peningkatan jumlah total plate count (TPC) paling tinggi terjadi pada pengawetan dengan sodium askorbat 0,05%, dan terendah pada pengawetan dengan potassium askorbat 0,075 dan 0,1%,. Namun dari uji fisik inderawi belum ada perubahan warna, bau, dan belum timbul jamur pada semua perlakuan pengawetan. Kerusakan yang terjadi pada penyimpanan nata dalam kemasan dengan kedua jenis pengawet itu pada kisaran konsentrasi 0- 0,025% adalah timbul bau asam, semakin lunak, terjadi kekeruhan, dan pada tahap lanjut terjadi perubahan warna dari bening menjadi coklat kekuningan. Semakin tinggi konsentrasi potassium sorbat yang ditambahkan maka semakin lama umur simpan nata de aloe. Demikian juga semakin besar konsentrasi sodium askorbat yang ditambahkan maka nata semakin awet. Ini berarti semakin besar konsentrasi potassium sorbat maupun sodium askorbat akan cenderung menghambat aktivitas mikrobia penyebab kerusakan gel lidah buaya. Kekeruhan disebabkan karena gel lidah buaya larut karena pengaruh pH yang semakin asam dengan semakin lama penyimpanan. Menurut Furnawanti (2002), jika pH menuju asam, nata akan berubah menjadi sol yang bersifat lebih encer sepertti sirup Kekeruhan terjadi karena senyawa-senyawa polimer yang kurang larut dalam nata mengalami degradasi menjadi senyawa-senyawa yang lebih kecil ukurannya dan mudah larut sehingga menimbulkan kekeruhan dalam larutan nata. Ini menyebabkan nata menjadi lebih lunak, Terbentuknya nata lunak berarti ada penyerapan air oleh gel tersebut. Ini didukung oleh adanya kenaikan kadar air semakin lama waktu penyimpanan. Konsentrasi potassium sorbat maupun sodium askorbat 0,05 % dapat mempertahankan nata selama 8 minggu penyimpanan seperti juga dengan potassium sorbat dan sodium askorbat konsentrasi yang lebih tinggi, 0,075% dan 32
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
0,1%. Pengawet yang efektif pada konsentrasi yang lebih rendah merupakan pilihan karena akan lebih aman untuk dikonsumsi. Kesimpulan Nata de aloe dalam kemasan plastik yang diawetkan dengan potassium sorbat 0,05% - 0,1% b/v ataupun sodium askorbat konsentrasi 0,05 – 0,1% tidak mengalami pembusukan selama 8 minggu penyimpanan. Daftar Pustaka AOAC, 1990. Officials Methods of Analysis Association Official Agricultural Chemistry. Washington D.C. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarmawati, dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Chang, X.L., C. Wang, Y. Feng and Z. Liu. 2006. Effects of Heat Treatment on the Stabilities of Polysaccharides Substances and Barbaloin in Gel Juice from Aloevera Miller. J. Food Eng. 75 : 245-251. Dagne, E., D.Bisrat, A. Viljoen, B.E. Van Wyk, 2000. Chemistry of Aloe Species. Curr. Org. Chem. 4: 1055-1078. Eshun, K. and Q. He, 2004. Aloe vera: A Valuable Ingredient for the Food, Pharmaceutical and Cosmetic Industries – A review. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 4: 91-96 Femenia, A., E.S. Sanchez, S. Simal, and C. Rosello, 1999. Compositional Features of Polysaccharides from Aloe Vera (Aloe Barbadensis Miller) Plant Tissues. Carbohydr. Polym. 39: 109-117. Furnawanthi, I., 2002. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya si Tanaman Ajaib. Agromedia Pustaka, Jakarta. Furia, T.E., 1968. Hand Book of Food Additives. Technical Depelopment Manager, Industrian Chemical Divition Glergy Chemical Corporation Ardley, New York. Gacula, M.C. dan J. Singh, 1984. Statistical Methods in Food and Consumer Research. Academic Press, Inc. Orlando. San Diego. New York. London. He, Q., L Changhong, E. Kojo, and Z. Tian, 2005. Quality and Safety Asurance in the Processing of Aloe vera Gel Juice. Food Control. 16: 95-104. Jutono, 1980. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Umum untuk Perguruan Tinggi. Departemen Mikrobiologi. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Kristianto, Y., 2005. Teknologi Pangan Olahan Lidah Buaya. Trubus Agrisarana, Surabaya. Newton, L.E., 2004. Aloes In Habitat. In Aloes The Genus Aloe. Reynolds, T., Ed. CRC Press. Boca Raton. 3-36. Ni, Y., K.M.Yates, and I.R. Tizard, 2004.Aloe Polysaccharides. In Aloes The Genus Aloe. Reynolds, T., Ed. CRC Press. Boca Raton. 75-87. Ni, Y. and I.R. Tizard, 2004. Analytical Methodology: The Gel-Analysis of Aloe Pulp and Its Derivatives. In Aloes The Genus Aloe. Reynolds, T., Ed. CRC Press. Boca Raton.111-126. 33
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Ni, Y., D Turner, K.M. Yates, and I. Tizard, 2004. Isolation and Characterisation of Structural Components of Aloe Vera L. Leaf Pulp. Int.Immunopharmacol. 4: 1745-1755. Eshun, K. and Q. He, 2004. Aloe vera: A Valuable Ingredient for the Food, Pharmaceutical and Cosmetic Industries – A review. Crit. Rev. Food Sci. Nutr. 4: 91-96. Reynolds, T., 2004. Aloe Chemistry. In Aloes The Genus Aloe. Reynolds, T., Ed. CRC Press. Boca Raton. 39-74. Tranggono, 1989. Bahan Tambahan Pangan (Food Additives). PAU Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Vazquez, B., G. Avila, D. Segura, and B. Escalante, 1996. Antiinflammatory Activity of Extracts from Aloe Vera Gel. J. Ethnopharmacol. 55: 69-75.
34
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KARAKTERISTIK NUGGET ANALOG KEDELAI HITAM (Glycine max (L.) Merr) DENGAN FILLER TEPUNG MAIZENA Sri Kanoni1, Priyanto Triwitono1dan Anggita Ecstasy Lunarjati2 1
2
Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, UGM Yogyakarta Alumni Mahasisiwa Fakultas Teknologi Pertanian,UGM Yogyakarta
Abstrak Kedelai hitam memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan, dengan kandungan protein nabati dan antioksidan yang tinggi, maka kedelai hitam dapat dikembangkan menjadi produk pangan kesehatan, salah satunya dalam pembuatan nugget analog. Tujuan penelitian ini adalah menentukan jenis tepung dan konsentrasi sebagai filler dalam pembuatan nugget analog yang diterima panelis, mengetahui karakteristik nugget analog kedelai hitam Mallika Jawa Timur, Mallika hitam Bantul dan kedelai kuning impor, meliputi karakteristik . fisik, kimia, sensoris dan sifat fungsionalnya.Nugget analog dibuat dari kedelai hitam dan kuning, dianlisis karakteristik fisik dan kimiawi. Selanjutnya, ditentukan jenis filler (tepung terigu, maizena, dan tapioka) konsentrasi 10% yang menghasilkan nugget analog disukai panelis. Tepung maizena konsentrasi 5%, 10%, 15%, dan 20% digunakan dalam pembuatan nugget analog .Selanjutnya dianalisa arakteristiknya, meliputi karakteristik fisik, kimia , sifat sensoris (uji kesukaan) terhadap kenampakan, rasa, kekerasan, kekenyalan, dan keseluruhan), dan stabilitas emulsi.. Nugget analog dari berbagai varietas kedelai dengan konsentrasi tepung maizena tertentu dianalisis karakteristknya, meliputi sifat kimia) dan sifat fungsional . Nugget analog kedelai yang paling diterima panelis diuji kesukaan bersama nugget ayam komersial sebagai pembanding.Hasil penelitian menunjukkan nugget analog dengan filler tepung maizena paling diterima panelis. Nugget analog kedelai hitam Mallika Jawa Timur dan kuning impor dengan konsentrasi maizena 10% serta nugget analog kedelai hitam Mallika Bantul dengan konsentrasi maizena 15% memiliki karakteristik sensoris, fisik dan kimia yang berbeda. Karakteristik nugget analog kedelai hitam Mallika Jawa Timur, kedelai hitam Mallika Bantul dan kedelai kuning impor mengandung serat kasar, secara berurutan 1,48% ; 1,50% ; 1,78% db, total fenol 5,12 ; 5,31 ; 3,18 mg GAE/100 g dan aktivitas antioksidan sebesar 12,83% ; 8,33% ; 4,50%. Kata kunci : kedelai hitam, karakteristik nugget analog, chemical and sensory, functional
CHARACTERISTICS NUGGET ANALOG MADE FROM BLACK SOYBEANS (Glycine max (L.) Merr) WITH MAIZE FLOUR AS FILLER Sri Kanoni1, Priyanto Triwitono1dan Anggita Ecstasy Lunarjati2 1
Faculty of Agricultural Technology, Gadjah Mada University, Yogyakarta Alumnus of Faculty of Agricultural Technology, Gadjah Mada University
2
Abstract Black soybean has great benefits for health, namely vegetable protein content and high antioxidant. Black soybean may be developed into a health food product, one of them in the manufacture of analog nuggets. The purpose of this study was to determine the type and concentration of flour as a filler in the manufacture of analog nugget received panelist,
35
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
knowing the characteristics of the analog soy nuggets East Java Mallika, Mallika Bantul and yellow soybean imports, including physical properties, chemical, sensory and functional characteristics. Nugget analog made from soy (Mallika East Java and Bantul and yellow soybean imports as a comparison) and then analyzed the physical and chemical properties. Then determined the type of starch from 10% wheat flour, corn, and pearls, nugget analog Mallika East Java. Cornstarch as much as 5%, 10%, 15%, and 20% added to the analog nugget East Java Mallika, Mallika Bantul and yellow soybean imports and then analyze its characteristics, including physical properties, chemical,, sensory properties (hedonic test on appearance, taste, hardness, suppleness, and overall), emulsion stability, and microscopic emulsion. Nugget analogue of soybean varieties with a certain concentration of cornstarch analyzed their character, including chemical and functional properties .Soy nuggets of the most acceptable analog panelists tested together with of commercial chicken nuggets. Results showed nugget analogous to most accepted panelists maizena flour filler. Mallika analog black soya nuggets of East Java and yellow maize imports by 10% and the concentration of analogue black soya nuggets Mallika Bantul cornstarch 15% concentration has a characteristic sensory properties, different physical and chemical properties. Soy sausage analog of East Java Mallika, Mallika Bantul and yellow soybeans imported crude fiber, 1.48%, respectively; 1.50%, 1.78% db, the total phenol 5.12, 5.31, 3.18 mg GAE / 100 g and the antioxidant activity of 12.83%, 8.33%, 4.50%. Keywords : characteristics of the analog nugget, black soybean, physical properties, chemical and sensory, functional
Pendahuluan Kedelai merupakan tanaman polongan, kandungan gizi cukup tinggi, dalam SNI dibagi dalam 4 jenis, yaitu kedelai kuning, hitam, hijau, dan campur (Riaz, 2006). Pemanfaatan kedelai hitam sangat terbatas hanya sebagai bahan dasar kecap, karena warna hitam kulit kedelai (senyawa antosianin dan flavonoid antosianin ) sangat berpengaruh pada warna hasil olahnya. Senyawa flavonoid sebagai antioksidan mampu mencegah proses oksidasi secara dini dan timbulnya penyakit degenerative. (Synder, 1992). Kedelai hitam varietas Mallika, kadar Antosianin 45 mg/kg kedelai (Dewanto, 2008). Pada kulit kedelai hitam terdapat serat pangan, yaitu hemiselulosa yang mempunyai efek hipokolesterolemik, yang berpengaruh dalam menurunkan kolesterol darah (Shalunke et al, 1995),sehingga bermanfaat bagi kesehatan. Berdasarkan beberapa manfaat kedelai hitam beserta kulitnya yang sangat besar bagi kesehatan , maka kedelai hitam dapat dikembangkan menjadi produk pangan kesehatan yaitu nugget (nugget analog). Nugget adalah produk daging (merupakan system emulsi) yang memilki karakteristik fisik dan sensoris yang sangat disenangi konsumen. Protein kedelai mampu berfungsi menstabilkan system emulsi (Kenshun Liu, 1999) seperti halnya protein miofibrilar (aktin dan myosin) dalam daging, dan juga mampu sebagai binder yang dapat bekerja sama dengan filler) untuk memperkuat stabilitas emulsi (Price and Schweigert, 1977), sehingga menghasilkan nugget analog yang kompak dengan sifat irisan yang halus dan merata . Filler (tepung maizena, terigu dan tapioca) merupakan bahan sumber karbohidrat tinggi dan protein rendah serta memiliki potensi /kemampuan emulsifikasi (Barbut, 2002). Faktor penting yang menentukan tekstur, baik kekerasan maupun kekenyalan produk pangan adalah 36
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kemampuan filler dalam mengikat air dan lemak selama penyiapan adonan sampai pemasakan( Prinyawiwatkul 1997). Adonan dengan emulsi stabil biasanya akan mengahasilkan tekstur yang baik setelah dimasak, tetapi bila emulsinya tidak stabil, maka akan dijumpai rongga-rongga lemak (Triatmojo, 1992) . Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik fisik, kimiawi dan sensoris nugget analog serta stabilitas emulsi dan sifat fungsional. Metode Penelitian Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah kedelai hitam ( Mallika Jawa Timur dan Bantul) dan kedelai kuning impor, diperoleh dari Dinas Pertanian Yogyakarta. Bahan pembantu : tepung( maizena , terigu , tapioka ), garam halus , pala halus ,tepung panir, dan telur ayam diperoleh dari toko Progo , Yogyakarta.Bahan kimia yaitu: Asam Borat + BCG-MR, NaOH-Na2SO3, basic fuchsin, alkohol 95%, fenol, Methylene Blue, xylene, larutan DPPH, diperoleh dari Laboratorium Gizi Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta . Peralatan analisis :timbangan analit Shimadzu AW 220, oven listrik merk Memmert (V30, Schwabach, Germany), muffle oven model FUW220PA Serial No. 074206, seperangkat alat mikrokjeldahl, seperangkat alat soxtec, mikroskop, sentrifuse, ruang asam Kottermann, dan Llyod Universal Testing Machine Zwick ZO.5. Cara Penelitian Dilakukan analisis karakteristik fisikdan kimiawi kedelai hitam dan kuning. Dibuat nugget analog kedelai hitam dengan filler tepung (maizena/ terigu / tapioka) 10%. Kedelai disortasi, direndam selama 3 jam, direbus dan ditimbang sesuai formula ,digiling hingga halus dan dicampur dengan tepung maizena/terigu/tapioca konsentrasi 10%, bumbu-bumbu(garam 1%, bawang putih 0.6%,bubuk pala 0.4%) air(16%), dicetak dalam loyang, dikukus, didinginkan serta dilumuri campuran tepung panir dan telur. Nugget analog dianalisis karakteristik sensoris (uji kesukaan) untuk mengetahui dan memilih jenis tepung yang menghasilkan nugget analog yang disukai panelis. Dibuat nugget analog kedelai hitam (Malika Jawa Timur,Malika Bantul) dan kuning impor,dengan cara yang sama menggunakan tepung terpilih konsentrasi : 5%,10%,15% dan 20%. Dilakukan analisis karakteristik fisik (kekerasandan kekenyalan) ,karakteristik kimiawi (kadar air, abu, protein,lemak dan karbohidrat by different),karakteristik sensoris (uji kesukaan ), stabilitas emulsi dan sifat fungsional nugget analog yang dihasilkan. Hasil dan Pembahasan Karakteristik fisik dan kimiawi kedelai hitam dan kuning Dari hasil Tabel 1 menggambarkan bahwa kedelai hitam dapat dibuat nugget analog dan menghasilkan nugget analog yang bagus bagi kesehatan. 37
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel.1. Karakteristik fisik dan kimiawi kedelai hitam dan kuning Karakteristik fisik
Warna Diameter (mm) Panjang (mm) Berat (g/100biji)
Karakteristik kimiawi
Kedelai hitam Malika Jawa Timur Hitam 5,24 6,00 9,59
Kedelai hitam Malika Bantul Hitam 5,09 6,31 9,44
Kedelai kuning impor Kuning 6,07 6,41 16,37
11,35 41,10 18,34 0,61 40,50 5,74 26,03
11,66 44,35 20,34 0,60 35,25 5,71 26,51
11,51 39,17 16,70 0,49 44,08 5,76 21,11
589
649
385
Kadar Air (% wb) Kadar Protein (% db) Kadar Lemak (% db) Kadar Abu (% db) Karbohidrat (% db) Serat kasar (db) Aktivitas antioksidan (%) Kandungan total fenol (mg/100g bahan)
Karakteristik sensoris (uji kesukaan) nugget analog dengan tepung maizena/ tepung terigu/ tepung tapioka (10%) Tabel 2. Uji Kesukaan nugget analog dengan 10% tepung maizena/terigu/tapioka Tepung
Maizena Terigu Tapioka
Atribut Kenampakan Rasa 3,93a 3,27a 3,47b 3.13a c 2,80 2,87a
Tekstur Keseluruhan 3,40a 3.47a a 3.20 3.27a a 3,13 3,07a
Notasi sama dalam satu kolom menunjukkan tidak ada beda nyata(P < 0,05)
Hasil pada Tabel 2 , menunjukkan bahwa tepung maizena 10% mampu mnghasilkan nugget analog yang memilik nilai kesukaan tinggi dibandingkan dengan tepung terigu dan tapioka pada kenampakan (3,93), rasa (3.27),tekstur (3.40), keseluruhan (3.47), sehingga dipilih sebagai filler nugget analog kedelai hitam dan kuning. Karakeristik fisik (Kekenyalan dan kekerasan ) nugget analog kedelai hitam dan kuning dengan tepung maizena (5%,10%, 15% dan 20%) Tabel 3. Kekenyalan dan kekerasan nugget analog Kedelai Kedelai hitam (Mallika, Kedelai hitam Kedelai kuning impor Jawa Timur) (Mallika, Bantul) Kenyal Keras Kenyal Keras Kenyal Keras 13,56a 13,74a 13,50a 15,39a 11,82a 8,53a 5 b a b a a 9,95 14,99 15,88 17,48 11,34 9,56a 10 ab ab c a a 12,03 18.02 18,08 17,68 8,70 14,07b 15 b ab c b a 10,08 24.67 18,15 30,47 12,27 21,67c 20 Keterangan:Notasi sama dalam satu kolom menunjukkan tidak beda nyata (P < 0,05) Tepung Maizena (%)
38
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Karakteristik kimia nugget analog kedelai hitam dan kuning dengan tepung maizena (5%,10%,15% dan 20%). Tabel 4. Karakteristik kimia nugget analog Kedelai
KedelaiHitam (Malika, Jawa Timur) KedelaiHitam (Malika, Bantul) Kedelai Kuning Impor
Tepung Maizena (%)
Air (% wb)
Abu (% db)
Karakteristik Kimia Protein (% db)
Lemak (% db)
Karbohidrat (% db)
5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20
60,77b 62,14b 57,92a 61,91b 65,83d 67,38e 64,17c 61,31b 69,87f 70,13f 71,22f 65,53d
2,67e 2,52de 2,38d 2,01abc 2,14c 1,93ab 2,02abc 2,03abc 2,43d 1,85a 2,06cd 1,99abc
38,84bcde 33,38ab 30,44ab 28,25a 34,62abc 31,83ab 37,64bcd 36,44abc 44,67de 46,70e 42,42cde 35,01abc
6,66a 6,39a 6,49a 5,51bc 5,79b 5,15c 5,43bc 4,34d 5,66b 5,35bc 5,16c 6,28a
53,46abc 60,68abc 63,15bc 64,38c 60,29bc 63,46c 56,88abc 53,97abc 47,81a 46,74a 48,31ab 57,23abc
Keterangan : Notasi sama dalam satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikan 5 % (P < 0,05)
Karakteristik sensoris nugget analog kedelai hitam dan kuning dengan filler tepung maizena (5%,10%,15% dan 20%). Tabel 5 Karakteristik sensoris (Uji kesukaan) nugget analog Kedelai
KedelaiHitam Malika, Jawa Timur Kedelai Hitam Malika, Bantul) Kedelai Kuning Impor
Tepung Maizena (%)
Atribut Sensoris
Rasa
Kekerasan
Kekenyalan
Kenampakan
Keseluruhan
5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20
3,40a 3,53a 3,33a 3,27a 3,07a 3,13a 3,20a 3,00a 2,93a 3,30a 3,07a 3,27a
3,07ab 3,40ab 3,33ab 3,27ab 2,93a 3,07ab 3,33ab 3,13ab 3,40ab 3,53b 3,33ab 3,13ab
3,07a 3,33a 3,13a 2,93a 3,27a 3,33a 3,40a 3,07a 3,40a 3,27a 3,33a 2,93a
2,73a 2,80a 2,73a 2,67a 2,80a 2,60a 2,80a 2,73a 3,40bc 3,53c 3,60c 3,07ab
3,07a 3,32a 3,00a 3,13a 3,07a 3,13a 3,33a 3,20a 3,20a 3,40a 3,20a 3,13a
Keterangan : Notasi sama dalam satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikan 5 % (P < 0,05) Nilai :1: Sangat tidak suka.2.Tidak suka.3.Agak suka.4. Suka.5. Sangat suka
.
Tabel 3 menunjukkan bahwa kekerasan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi tepung maizena pada semua varietas kedelai, sedangkan kekenyalan menurun pada kedelai hitam Malika Jawa Timur dan 39
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kuning. Kekerasan dan kekenyalan nugget analog kedelai hitam Malika Bantul meningkat dan memiliki nilai yang tinggi ,ini sesuai dengan kandungan protein , air dan lemak pada Tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa protein kedelai sebagai binder mampu berinteraksi secara baik dengan filler tepung maizena dalam menstabilkan emulsi nugget analog, sehingga kekerasan dan kekenyalan meningkat. ( Prinyawiwatkul 1997). Kekerasan dan kekenyalan nugget anlog kedelai hitam Malika Bantul paling tinggi yaitu 18,15dan 30,47 (20% tepung maizena). Hasil analisis Tabel 4 terlihat bahwa kandungan protein, air , lemak dan karbohidrat yang tinggi pada nugget analog kedelai hitam malika Jawa Timur (5% maizena), kedelai hitam Malika Bantul (15% maizena), kedelai kuning impor (10% maizena) . Protein kedelai sebagai binder dan mizena sebagai filler berinteraksi dengan baik dalam menyelubungi globula lemak dalam system emulsi (Price and Schweigert,1971). Hal ini berkaitan dengan adanya fraksi amilosa dan amilopektin yang saling berikatan baik dengan protein maupun antar sesamanya (Purnomo,2000). Stabilitas yang tinggi (> 99 %) pada semua variasi didukung oleh hasil Tabel 3 adanya interaksi yang bagus antara binder dan filler. Berdasarkan anlisis Tabel 5 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang nyata pada kesukaan terhadap kenampakan nugget analog kedelai hitam dan kuning hal ini sesuai dengan hasil analisis Tabel 2. Warna yang hitam kulit kedelai hitam menurunkan nilai kesukaan terhadap kenampakan .Konsentrasi maizena 10 % menghasilkan nugget analog dengan nilai kesukaanyang tinggi pada semua varietas kedelai . Karakteristik kimiawi nugget analog kedelai hitam dan kuning (nilainya tinggi) Tabel 6. Karakteristik kimia nugget analog yang terbaik. Nugget analog A B C
Aktivitas antioksidan (%) 12.83de 8,33ef 4,50f
Total Fenol (mg GAE/100g bahan) 5,12a 5,31a 3,18a
Keterangan : Notasi sama dalam satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikan 5 % A.Nugget analog.Kedelai Malika Jawa Timur + tepung maizena 10%. B. Nugget analogKedelai Malika Bantul + tepung maizena 15%. C. Nugget analog Kedelai kuning impor + tepung maizena 10%.D.
Karakteristik snsoris nugget analog kedelai hitam dan kuning (nilainya tinggi) Nugget analog dengan kedelai hitam Mallika Jawa Timur dan Bantul , aktivitas oksidannya berbeda nyata dengan kedelai kuning impor. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Sakakibra et al., (2003), kedelai hitam mempunyai 40
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kandungan antioksidan berupa senyawa fenolik yang lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan kedelai kuning.sarkan hasil penelitian Jing rui., et al (2007) kandungan total fenol kedelai hitam berkisar antara 7.05-74.82 mg GAE/100g bahan. Hasil uji kesukaan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai kesukaan nugget analog tidak ada beda nyata antar varietas kedelai . Namun demikian berbeda nyata dengan nugget ayam dipasaran. Tabel 7. Uji Kesukaan Nugget Analog Kedelai Dengan Pembanding Nugget Ayam Pasaran Sampel A B C D
Rasa 2,87a 2,53a 2,93a 4,27b
Kekerasan 2,87a 3,00a 3,07a 3,87b
Atribut Sensoris Kekenyalan Kenampakan 2,87a 2,73a a 2,80 2,40a 2,80a 3,47b b 3,87 4,13c
Keseluruhan 2,87a 2,73a 3,13a 4,27b
Keterangan : Notasi sama dalam satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada tingkat signifikan 5 % (P < 0,05)1: Sangat tidak suka .2.Tidak suka.3,Agak suka.4. Suka.5.Sangat suka A.Nugget analog.Kedelai Malika Jawa Timur + tepung maizena 10%. B. Nugget analogKedelai Malika Bantul + tepung maizena 15%. C. Nugget analog Kedelai kuning impor + tepung maizena 10%.D. Nugget Ayam Komersial
Kesimpulan Karakteristik fisik, kimiawi dan sensoris nugget analog kedelai hitam Malika Jawa Timur , keddelai hitam Malika Bantul dan kedelai kuning impor yang tinggi dan terpilh dengan filler tepung maizena 10%,15% dan 10%. Sifat fungsional aktivitas antioksidan dan berturut-turut 12.83%, 8.33%, 4.50%. Kandungan total fenol nugget analog berturut- turut : 5.12; 5.31; dan 3.18(mg GAE/100g bahan) Daftar Pustaka Barbut, S. 2002. Poultry Products Processing. CRC Press. Washington, DC Dewanto, Henrikus 2008. Manfaat Kedelai Hitam. www.plasaomega.com. Didownload pada 15 Maret 2009 Kenshun Liu. 1999. Soybean: Chemistry, Technology, and Utilization. Aspen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Prinyawiwatkul, W., K. H. MC Watters, L. K. Beuchat and R. D. Philips. 1997. Optimizing acceptability of chicken nuggets containing fermented coupea and peanuts flours. J. food Science. 62: 887-889 .Price, J.F and Scheweigert, B. S., 1971. The Science of Meat and Meat Product. Freeman, W. H and Company, San Fransisco. Riaz, Mian N. 2006. Soy application in food. Boca Raton : CRC Press Shalunke, D.K., 1995. Postharvest biotechnology of food legume. CRC Press Inc. Florida. Snyder, H. E and Kwon, T.W., 1987. Soybean utilization. anAVI Book. Published by Van Nostrand Reinhold Company. New York.
41
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
TINGKAT PENGETAHUAN PARA IBU TENTANG KEAMANAN PANGAN PADA PENGGUNAAN BAHAN-BAHAN TAMBAHAN PANGAN DALAM PRODUK MAKANAN YANG SERING DIKONSUMSI Nunuk Siti Rahayu 1 1 FTP Unwidha jurusan Teknologi Hasil Pertanian Abstrak Has been studied with the title "The Knowledge of the Mother About Food Safety in Use Supplementary Food Ingredients in Food Products Frequently Consumed. The study included respondents who consisted of two groups, namely Group Society of Dharma Wanita and PKK Delanggu Klaten district by 30 respondents and Circle of Friends Group of Dharma Wanita Unwidha Klaten total of 30 respondents. Analysis of the data used is descriptive method of Qualitative and Quantitative. Data obtained from a questionnaire disseminated quitionary entry form before attending the counseling about Tanbahan Food Ingredients and after following the extension, analyzed quantitatively, then the results of research and analysis are described qualitatively in the form of narrative. The results showed that the respondents have a lot to know different kinds of Raw Food Supplement (BTP) that is as much as 77.27% of the respondents, 77.27% of the respondents, BTP is a little-known sweetener, flavor enhancer and coloring. But the level of knowledge about how the use of BTP, what concentration, what is the danger that arises when the use of repeated and exceeded the threshold, it is still low. This is evident from the high number of users of BTP as a sweetener (72.27%), synthetic food coloring (61.36%), bleng (84.09% in the manufacture of crackers gendar), as well as some other preservatives that actually banned (alum, bleach) or less is recommended (cyclamate and saccharin). In general, the respondents are familiar with BTP, but they do not know the safe threshold of use, BTP hazard when accumulated continuously in the body, do not know the characteristics berBTP food, easily obtain BTP is not safe because the price is cheaper and easily obtained.
Pendahuluan Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pengolahan dan pengawetan bahan makanan memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka tidak mengherankan jika semua negara baik negara maju maupun berkembang selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi. Masih segar dalam ingatan kita peristiwa gegernya penyalahgunaan boraks dan formalin sebagai bahan pengawet makanan. Hal ini mengakibatkan masyarakat ragu-ragu mengkonsumsi tahu, mie , bakso, sambel botol, saos tomat dan lain-lain bahan pangan kemasan. Selain itu masih banyak penggunaan bahan
42
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kimia lain yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan olahan, yang membahayakan kesehatan manusia, seperti zat pewarna dan pemanis buatan yang berlebihan. Permasalahan berikutnya yang muncul, sudahkah konsumen mengetahui berbagai penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang sering digunakan dalam pengolahan makanan dan minuman?. Pengolahan makanan ataupun minuman di dapur keluarga, juga seringkali disadari atau tidak disadari juga menggunakan BTP. Akan tetapi penggunaan BTP harus memenuhi atau memperhatikan faktor kesehatan tubuh, sehingga dalam penggunaannya harus memperhatikan aturan pemakaian dan menggunakan BTP yang memang diizinkan untuk pengolahan makanan atau minuman. Selain aturan penggunaan juga kewaspadaan di dalam memperoleh BTP seharusnya menjadi perhatian. Permasalahannya, sudahkah para ibu rumah tangga mengetahui hal tersebut?. Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut kepedulian individu. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali. Menurut FAO/WHO dalam International Conference on Nutrition dalam World Declaration on Nutrition, 1992), memperoleh makanan yang cukup , bergizi dan aman adalah hak setiap manusia. Dengan demikian manusia sebagai subyek mempunyai HAM : “Hak Hidup Sehat yang harus Dihargai”. Keamanan pangan adalah sebuah tanggung jawab yang mengikat kita semua, dari petani hingga konsumen yang menyiapkan makan untuk keluarganya. Mengabaikan tanggung jawab ini maka resiko yang kita hadapi adalah keracunan yang dapat menyebabkan kematian ( http://hartoko.wordpress.com/keamanan-pangan/). Menurut Ahmad Sulaeman (2007), pangan yang tidak aman akan mengakibatkan :1). Foodborne Illnesses, yang dapat memberikan konsekuensi serius dan fatal pada anak – anak, kelompok lansia, yang dapat (a) Mengganggu system imunisasinya ; (b) Pada orang sehat dapat mengakibatkan demam, diare, mual , muntah dan sakit perut; (c) Pada tingkat komplikasi yang lebih serius, akan merusak ginjal, arthritis, kerusakan neurologi, septisemia dan kematian; 2). Kerugian – kerugian yang tidak diharapkan dan berlaku secara umum : (a) Mengganggu kesehatan penduduk dan menyebabkan kesakitan ((b) Menurunkan produktifitas, (c) Membebani anggaran pemerintah, (d) Merugikan perekonomian dan citra bangsa Menurut Aman Wirakartakusumah (2004) pada aspek legal, sistem keamanan pangan di Indondesia sudah diatur dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1996. Namun, UU tersebut belum didukung dengan infrastruktur yang baik seperti penegakan hukum dan lembaga yang memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk melakukan pemantauan keamanan pangan secara terpadu. Kebijakan beberapa lembaga pemerintahan yang terkait dengan keamanan pangan seperti Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, dan Departemen Perdagangan dan 43
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Perindustrian masih berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga itu yang tidak matching satu dengan yang lainnya,. Kondisi ekonomi masyarakat juga menjadi salah satu hambatan bagi terwujudnya keamanan pangan dan gizi di Indonesia. Tingkat kemiskinan masih tinggi, tingkat kepedulian masyarakat terhadap makanan yang sehat dan bergizi juga rendah, Makanan murah, cenderung menggunakan bahan-bahan kimia yang berbahaya untuk dikonsumsi seperti bahan-bahan pewarna atau pengawet. Industri makanan di Indonesia masih lebih banyak berasal dari usaha berskala kecil, dengan jumlah sekitar 647 ribu unit usaha. Sedangkan untuk skala menengah dan besar sekitar 2.000 unit usaha. Tenaga kerja yang diserap industri pangan sekitar 4 juta orang. Untuk usaha skala kecil ini sulit dikontrol keamanannya, karena kebanyakan merupakan industri rumahan. Dengan kondisi tersebut,, penanganan kemanan pangan harus dilakukan secara terpadu dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah, pelaku ekonomi, ilmuwan sampai masyarakat sebagai konsumen harus saling menghormati dan bekerjasama untuk mencari solusi untuk mengantisipasi persoalan-persoalan ini,'' ungkapnya. Keamanan pangan jelas sangat terkait pula dengan adanya Bahan Tambahan Pangan yang sering digunakan oleh konsumen. Berdasarkan pengamatan sekilas oleh peneliti, banyak sekali industri rumahan, penjaja makanan kecil di sekolah-sekolah, bahkan beberapa ibu rumah tangga yang sering menambahkan BTP dalam proses pengolahan makanan, baik untuk tujuan komersial maupun untuk konsumsi keluarga, tanpa memastikan tingkat kemanan dari penggunaan BTP tersebut. Berdasarkan pengalaman di atas, perlu diketahui sejauh mana pengetahuan atau pemahaman konsumen terhadap penggunaan atau penyalahgunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) melalui penelitian. Hal ini akan bisa memberikan gambaran kepada semua pihak, terkait yang berkepentingan di dalam menangani penggunaan BTP. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui jenis BTP yang sering digunakan oleh para ibu; Untuk mengetahui bagaimana cara para ibu menggunakan BTP; dan Untuk mengetahui tingkat pengetahuan para ibu terhadap BTP yang membahayakan kesehatan manusia. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2010 sampai dengan bulan Oktober 2010, melibatkan 2 kelompok di 2 tempat, : 1. Ibu-ibu kelompok Paguyuban Dharma Wanita dan PKK kecamatan Delanggu, pada tanggal 22 April 2010, 2. Ibu-ibu kelompok Paguyuban Dharma Wanita Universitas Widhya Dharma Klaten, pada tanggal 8 Mei 2010. Alat dan Bahan Penelitian meliputi : Komputer, Ballpoint, Kertas, Angket berisi quisioner (terlampir). Data yang diperlukan dalam penelitian ini menggunakan Data Primer yang dikumpulkan secara langsung melalui obyek penelitian dalam bentuk penyebaran 44
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
angket yang berisi quisioner. Masing-masing sebanyak 30 angket disebarkan kepada ibu – ibu dari 2 kelompok tersebut sebelum mengikuti penyuluhan tentang keamanan pangan dan sesudah mengikuti penyuluhan. Analisis permasalahan digunakan metode deskriptif kualitatif dan kualitatif. Angket yang masuk dianalisis secara kuantitatif berdasarkan persentase dari jawaban pada masing-masing pertanyaan, kemudian hasil penelitian beserta analisisnya diuraikan dalam suatu tulisan ilmiah yang berbentuk narasi. Kemudian dari hasil analisis diambil suatu kesimpulan berdasarkan rumusan masalah. Hasil dan Pembahasan Hasil Analisis Kuantitatif Data Pertanyaan Umum Dari sejumlah 60 angket yang diberikan kepada dua kelompok ibu – ibu, yang dikembalikan dengan jawaban sebanyak 44 lembar angket yang berarti 73,3 %, (48,3% kelompok 1 dan 25,0% kelompok 2), sedangkan 16 angket (26,6%) tidak dikembalikan. Untuk kelompok I yaitu Ibu – ibu Dharma Wanita dan PKK Kecamatan Delanggu dibagikan 30 lembar yang kembali 29 lembar, sedangkan 30 lembar yang dibagikan kepada Paguyuban Ibu – ibu Universitas Widya Dharma Klaten yang kembali sebanyak 25 lembar. Sehingga untuk dilakukan analisis secara kuantitatif sudah bisa mewakili. Usia responden yang mengembalikan angket dapat adalah sebagai berikut : Persentase paling tinggi adalah usia diantara 35 – 45 tahun sebanyak 38,64%, usia lebih dari 45 tahun sebanyak 36,36% dan sebanyak 25% usia diantara 20-35 tahun. Sedangkan responden yang berusia kurang dari 20 tahun nihil. Persentase responden yang mengembalikan angket berdasarkan distribusi latar belakang pendidikan, semua tingkatan pendidikan responden sudah terwakili, yaitu Tidak Tamat SD 7 5; pendidikan SD 2,27%; Pendidikan SMP 47,73%; Pendidikan SMA 22,73%; Pendidikan sarjana 11,36%; dan pendidikan Pasac Sarjana 9,09%. Tingkat pendidikan dimungkinkan berpengaruh terhadap kemampuan pemahaman di dalam menerima penyuluhan tentang keamanan pangan. Berdasarkan data yang masuk, penyebaran status pekerjaan responden cukup terwakili, karena semua ada dan status paling banyak adalah sebagai Pegawai Negeri yaitu 14 orang (31,82 %), kemudian disusul ibu rumah tangga /tidak bekerja sejumlah 12 orang (27,27 %). Penyebaran lainnya secara lengkap adalah Wiraswasta 18,18%; pegawai swasta 20,45%; dan buruh 2,27%. Tingkat penghasilan responden akan berpengaruh terhadap daya beli makanan. Pada umumnya makanan atau jajanan dengan harga yang murah disinyalir tidak banyak memperhatikan penggunaan BTP. Data hasil penelitian, tingkat penghasilan responden adalah : dibawah Rp 1juta sebanyak 13,64%; Rp 12 juta 29, 55%; Rp 2-4 Juta 0 % dan di atas Rp 4 juta 9,09%. Analisis Data Kuantitatif Tentang Pengenalan Macam – macam BTP 45
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pada prinsipnya responden sudah mengetahui berbagai macam BTP. Sebanyak 34 responden (77,27 %) dari 44 responden menyatakan mengetahui macam – macam BTP. Sedangkan sebanyak 7 responden (15,91%) menyatakan tidak mengetahui macam – macam BTP dan sejumlah 3 responden ( 6,82 %) tidak berkenan memberikan jawaban. Dari jawaban yang mengetahui adanya BTP, dan responden diminta untuk menjawab lebih dari 1 jawaban. Nampak bahwa yang paling banyak diketahui adalah zat pemanis, zat pewarna dan zat penambah rasa. Untuk zat pemanis ada 34 jawaban, untuk zat penambah rasa 33, sedangkan zat pewarna 29 , selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Jawaban Untuk Masing – masing Item Jenis / Macam BTP Zat pemanis Zat pewarna Zat penambah rasa Zat pengental Zat pemutih Zat pengawet Tidak ada pilihan/tidak ada jawaban
Jumlah Jawaban 34 29 33 5 6 19 2
Jawaban dari Tabel 2, menggambarkan bahwa para ibu kemungkinan besar sering menggunakan BTP tersebut, hal ini nampak dari distribusi penyebaran tentang data personal responden dilihat dari latar belakang pendidikan yang sebagian besar lulus SMP (Gambar 3), dengan tingkat pendapatan paling tinggi berada pada kisaran 1 – 2 juta (Gambar 5). Pemakaian pemanis sintetik sangat menguntungkan karena konsumsi dalam jumlah kecil menghasilkan rasa manis yang tinggi. Untuk konsumsi sehari-hari terdapat juga dalam kemasan siap pakai untuk satu cangkir minuman dikenal dengan sebutan table-topsweetener (http://www.pikiran rakyat.com / cetak / 2006 / 092006 / 14 / cakrawala / utama.htm ). Pada kondisi tersebut, besar kemungkinan di dalam menyediakan makanan atau mengolah makanan jenis – jenis BTP tersebut dikenal dan sering digunakan. Analisis Tentang Zat Pemanis Zat pemanis di pasaran atau di kalangan konsumen dikenal dengan berbagai na istilah, yang sebenarnya mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda – beda setiap jenisnya. Beberapa jenis pemanis sintetik seperti siklamat, aspartam, asesulfam K, taumarin, neophesperidin DC, monelin, glisirizin, neotam, dan lain-lain. Dari jenis-jenis tersebut hanya beberapa yang boleh diproduksi, sedangkan yang lainnya masih dalam penelitian. Yang sekarang banyak di pasaran adalah siklamat, sakarin, aspartam, neotam, dan steviosa. Di pasar tradisional , atau penjaja makanan yang lewat depan rumah, banyak yang menggunakan biang gula ( karena gula pasir mahal ). Bubur kacang 46
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
hijau, kue pancong, kue pukis, kue ape, sirup cincau, es campur. Jika pemakaiannya terlalu banyak sering terasa agak pahit. Mereka menggunakan biang gula merek 'gentong' atau 'bambu'. (Meilany dalam
[email protected]) Banyak orang yang mengasumsikan pengertian biang gula berbeda-beda. Ada yang menyebut biang gula bukan pemanis buatan dan terdiri dari gula yang belum diproses. Padahal, aspartam yang merupakan pemanis buatan pun sering kali disebut di berbagai artikel sebagai biang gula. Dan, ini berlaku untuk pemanis buatan lainnya, seperti siklamat dan sakarin. Bahkan, ada juga yang berpikir bahwa gula batulah yang disebut sebagai biang gula. Sampai saat ini belum ada suatu kesepakatan mengenai apa yang disebut dengan biang gula, padahal kata ini umum digunakan di masyarakat( Intan Airlina Febiliawanti, 2010). Akan tetapi biang gula yang banyak dijual di pasaran sebagian besar terdiri dari sakarin, siklamat atau aspartam. Berdasarkan jawaban yang masuk ternyata sejumlah 34 responden (77,27%) sering menggunakan sakarin, siklamat, aspartame, sodium, biang gula dan hanya 3 responden (6,82%) yang menyatakan sama sekali tidak tahu, tidak biasa 4,55%, sisanya dalah ragu-ragu (11,36%). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sebagian responden tidak begitu memahami apa sebenarnya manfaat dan bahaya zat pemanis sintetik. Diantara zat pemanis yang biasa digunakan, maka jenis zat pemanis yang paling sering digunakan adalah sakarin dengan jumlah 33 jawaban responden dan disusul dengan sodium siklamat. Tabel 3 menunjukkan persentase yang menyebutkan zat pemanis yang sering digunakan dan alasan penggunaanya. Berdasarkan alasan penggunaannya adalah harga, kemudahan untuk mendapatkannya dan murahnya akan mengakibatkan hematnya penggunaan dibandingkan dengan penggunaan pemanis alami (gula pasir) yang sangat mahal. Hal ini bisa dipahami mengingat sebagian besar responden berpenghasilan dibawah satu juta rupiah. Tabel 3. Jumlah Jawaban Responden Terkait Dengan Zat Pemanis yang Sering Digunakan dan Alasan Penggunaannya Yang sering digunakan Jenis zat Jumlah pemanis jawaban Sakarin 33 Siklamat 3 Aspartam 2 Sodium 20 Biang gula 7 Tidak menjawab 6
Alasan Penggunaan Keterangan Murah harganya Mudah didapatnya Hemat penggunaannya Percaya pada manfaatnya Tidak menjawab
Jumlah jawaban 31 21 13 2 3
Penggunaan sakarin dan siklamat sebagai zat pemanis makanan dari beberapa penelitian ternyata dapat menimbulkan karsinogen. Dari hasil uji coba menunjukkan bahwa meningkatnya kanker kandung kemih dan kanker empedu 47
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pada tikus melibatkan pemberian dosis kombinasi sakarin dan siklamat dengan perbandingan 1: 9 (http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimialingkungan/zat-aditif/sakarin-dan siklamat/ ) Berdasarkan Tabel 4, ternyata informasi penggunaan zat pemanis sintetis paling banyak memberikan jawaban dengan ‘gethok tular’ yang artinya informasi diperoleh dari mulut ke mulut yaitu sebanyak 28 jawaban. Cukup menarik juga ternyata ada yang memperoleh informasi dengan cara membaca 5 orang, maupun coba – coba. 3 orang karena responden ada yang berpendidikan Sarjana 5 orang ( 11,36 %) dan pasca sarjana 4 orang (9,09 %). Informasi dari mulut ke mulut sangat efektif didalam penyebaran informasi, terutama pada tingkat pendidikan menengah ke bawah, 47,73 % responden berpendidikan SMP. Tabel 4. Cara Memperoleh dan Menggunakan Zat Pemanis Sintetik Informasi penggunaan Sumber Jumlah informasi jawaban Gethok tular 28 Membaca 5 Pedagang/penjual 7 Coba – coba 3 Tidak menjawab 3
Cara memperoleh Ukuran penggunaan Tempat Jumlah Cara Jumlah jawaban menggunakan jawaban Toko Bahan 23 Timbangan 1 roti/kue Sendok teh 14 Toko Bahan 6 Sendok makan 1 kimia Kira – kira 24 Pedagang di 13 Tdk Menjawab 4 pasar Toko 4 tetangga 1 Apotik 3 Tdk menjawab Penggunaan zat pemanis untuk berbagai produk makanan/minuman Jenis Makanan Jumlah jawaban Jajanan pasar 18 Roti kering 8 Sirup 24 Es lilin 26 Es puter 24 Minuman cao 15 Teh 1 Jajanan anak 17 Tidak menjawab 1
Tabel 4 juga menunjukkan bahwa zat pemanis banyak digunakan untuk produk – produk sirup, es lilin, es puter, jajanan pasar, jajanan anak dan minumam cao. Kenyataan tersebut sangat memprihatinkan mengingat produk – produk tersebut lebih banyak dikonsumsi oleh anak – anak yang sebenarnya tidak sedang menjalankan diet rendah kalori. 48
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Ukuran penggunaan zat pemanis, juga didominasi dengan jawaban kira kira sebanyak 24 responden (54,55 %), walaupun 14 responden (31,82 %) menggunakan sendok teh sebagai ukuran penggunaan. Sangat membahayakan apabila penggunaan tidak terkontrol. Peraturan penggunaan zat pemanis harus diperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan sebenarnya siklamat dan sakarin hanya boleh digunakan dalam makanan yang khusus ditujukan untuk orang yang menderita diabetes atau sedang menjalani diet kalori (Anonim, 1979). Analisis Tentang Penggunaaan Zat pewarna merupakan BTP yang sering digunakan di dalam pengolahan pangan. Zat pewarna sintetis mempunyai risiko terhadap keamanan pangan dan kesehatan manusia, apabila penggunaannya tidak memenuhi ketentuan. Banyak zat pewarna yang digunakan di pasaran dengan istilah teres, yang kemasannya sering hanya dibungkus dengan kertas, sehingga sulit untuk mendeteksi apakah zat pewarna tersebut boleh digunakan untuk makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 61,36% menyatakan teres digunakan untuk mewarnai makanan dan minuman, tetapi 48 % responden belum pernah menggunakan teres, dan 36 % menyatakan kadang – kadang menggunakan teres.Walaupun mengetahui bahwa teres bisa digunakan untuk memberi warna pada makanan dan minuman, tetapi frekuensi penggunaannya tidak tinggi. Tabel 5. Menunjukkan penggunaan zat pewarna yang berlabel baik padat ataupun cair, hal ini untuk mengetahui apakah responden mengatahui pula BTP yang membahayakan. Tabel 5. Persentase Penggunaan Zat Pewarna Cair dan Padat Berlabel Resmi Pertanyaan Pernah menggunakan zat pewarna cair berlabel resmi Pernah menggunakan zat pewarna padat berlabel resmi Pernah menggunakan zat pewarna cair tak berlabel resmi Pernah menggunakan zat pewarna padat tak berlabel resmi
Jumlah / Pesentase Jawaban KadangBelum Jarang kadang pernah
Sering
Tidak menjawab
7 /15,91%
5 /11,36%
14 /31,82%
17 /38,64%
1 /2,27%
3 /6,82%
1 /2,27%
9 /20,45%
30 /68,18%
1 / 2,27%
0
0
2 /4,45%
40 /90,90%
2 /4,55%
0
1 /2,27%
6 /13,64%
36 /81,82%
1 /2,27%
Dilihat dari persentase penggunaan zat pewarna cair yang berlabel resmi lebih sening digunakan, walaupun sebanyak 38,64% menyatakan belum pernah menggunakannya dan sebanyak 31,82% kadang-kadang menggunakannya. Untuk zat pewarna cair maupun padat dan tidak berlabel resmi masing-masing 90,90% dan 81,82% menyatakan belum pernah menggunakannya. Jawaban ini bisa dipahami karena sebagian besar para ibu sebagai responden bukan merupakan pengusaha makanan / minuman, dan apabila kadang-kadang menggunakan hanya untuk konsumsi sendiri. Tetapi perlu tetap diwaspadai karena masih ada juga yang 49
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
menggunakan zat pewarna tidak berlabel resmi walaupun dikatakan kadang – kadang. Tabel 6. Persentase Jawaban Responden Mengenai Harga Zat Pewarna Pertanyaan Benarkah pewarna berlabel lebih mahal Benarkah harga teres lebih murah
Ya 27 / 61,36% 35 / 79,55%
Jawaban Tidak Tidak tahu 1 / 2,27% 16 / 36,36% 9 / 20,45%
Responden juga mengatakan bahwa zat pewarna yang berlabel harganya lebih mahal dibanding yang tidak berlabel, dan harga teres juga lebih murah dibanding zat pewarna kemasan. (Tabel 6), walaupun banyak juga yang mengatakan tidak tahu lebih mahal atau tidak (36,36%), hal ini sesuai dengan data pada Tabel 5, dimana banyak yang belum pernah menggunakan zat warna. Zat warna makanan / minuman yang digunakan paling banyak dibeli di toko bahan roti dan kue 35 responden (79,55%) , di pedagang pasar 3 responden (6,82%) dan di toko tetangga / dekat rumah 2 responden (4,55%) selebihnya 6 responden tidak memberikan jawaban. Dengan demikian, kecil kemungkinan para ibu ini menggunakan zat pewarna sintetis yang berbahaya dan dilarang. Beberapa pewarna terlarang dan berbahaya yang sering ditemukan pada jajanan adalah Metannil Yellow (kuning metanil) yang berwarna kuning, dan Rhodamin B yang berwarna merah. Kedua pewarna ini telah dibuktikan menyebabkan kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat langsung setelah dikonsumsi (Winarno, 2004). Pada Tabel 7. Dapat diketahui zat pewarna yang sering digunakan untuk memberikan warna. Warna merah, hijau dan coklat menempati posisi tertinggi dibanding warna yang lain. Selain itu juga dapat dilihat produk sirup dan minuman anak – anak paling sering menggunakan zat warna. Sama halnya dengan penggunaan zat pemanis sintetis, penggunaan zat pewarna juga banyak menggunakan ukuran kira – kira yaitu sebanyak 20 jawaban (45,45%) dan tetesan sebanyak 14 jawaban (31,82%). Cara penggunaan yang tidak berdasarkan ukuran atau ketentuan sangat membahayakan kesehatan dan pangan yang dikonsumsi menjadi kurang aman. Masalah warna ini agak terlalu sulit karena sifatnya sangat subyektif, terkait dengan selera individu, dan pada proses pengolahan untuk menghasilkan produk juga terkait dengan estetika dan menekankan pada daya tarik. Oleh karena itu harus disosialisasikan secara terus menerus cara penggunaan zat pewarna. Pengetahuan responden tentang beberapa BTP lain adalah sebagai berikut : 43,18% mengetahui yang dimaksud dengan borak, tetapi sebanyak 24 responden (54,55%) tidak mengetahui bahwa borak berbentuk Kristal putih dan hanya 9 responden yang mengetahui borak berbentuk kristal putih, dan pengetahuan tentang penggunaan boraks sangat kurang. Dibandingkan boraks, responden lebih mengenal garam bleng, dan yang lebih banyak dikenali adalah yang berbentuk padat warna kuning 75%, yaitu untuk membuat karaka atau lopis. BTP lain yang 50
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dikenal responden meskipun kecil prosentasenya adalah Tawas, asam sitrat, nitrit dan CMC, sedangkan BTP lain yang cukup familiar dikenal responden adalah formalin. Tawas digunakan sebagai pemutih pada pengolahan makanan (bakso agar lebih terang : 22,73% atau agar bakso lebih kenyal :11,36%), dan penggunaan formalin pada beberapa produk olahan pangan diperoleh data dari responden lebih dari 30% (mengawetkan ikan segar 75%; mengawetkan ikan asin 77,27%; mengawetkan tahu 75%). Tentang penggunaan formalin pada olahan pangan, responden banyak yang menolak bahwa formalin tidak boleh digunakan untuk mengawetkan makanan (88,64%). Tabel 7. Warna yang Sering Digunakan , Produk Makanan yang Sering Diberi Pewarna dan Ukuran yang Digunakan Warna yang sering digunakan
Merah Kuning Hijau Coklat Violet (keunguan) Orange Biru Membuat campuran sendiri
32 13 29 20 1 7 2
Produk makanan / minuman Jajanan pasar Roti Sirup Minuman anak – anak Es lilin / es puter Kerupuk Lain - lain -
Tidak menjawab
3
Tidak menjawab
Ukuran
Jumlah
Ukuran yang digunakan
Sendok teh Sendok makan Tetesan Per bungkus/kemasan Kira – kira Tidak menjawab
Jumlah 18 4 24 10 4 7 4( makanan ringan anak, permen) 3
Jawaban 4 / 9,09 % 0/0% 14 / 31,82 % 5 / 11,36 % 20 / 45,45 % 4 / 9,09 %
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan responden tentang bagaimana penggunaan BTP, berapa konsentrasinya, apa bahaya yang timbul bila pemakaian berulang dan melampaui ambang batas, ternyata masih rendah. Hal ini terlihat dari tingginya angka pengguna BTP seperti pemanis (72,27%), pewarna makanan sintetis (61,36%), Bleng (84,09% pada pembuatan kerupuk gendar), serta beberapa bahan pengawet lain yang sebenarnya dilarang (tawas, pemutih) maupun Kurang dianjurkan (siklamat dan sakarin). Secara umum responden sudah mengenal BTP, namun mereka tidak tahu ambang batas aman penggunaan, bahaya BTP bila terakumulasi terus- menerus dalam tubuh, tidak tahu ciri-ciri makanan berBTP, mudah memperoleh BTP yang tidak aman karena harga lebih murah dan gampang diperoleh. Meskipun lebih banyak yang sudah mengenali makanan yang mengandung borak, formalin dll, masih cukup banyak yaitu 34,09 % yang belum mengenali. 51
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Penyuluhan terkait dengan formalin sudah pernah mereka dapatkan, tetapi paling banyak menjawab hanya satu (1) kali (45,45%) sedangkan 29,55% belum pernah sama sekali. Oleh karena itu penyuluhan – penyuluhan tentang BTP yang berbahaya harus lebih digalakkan. Kesimpulan Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Angka penggunaan BTP pada para ibu seperti pemanis yang kurang dianjurkan cukup tinggi (siklamat dan sakarin) (72,27%), pewarna makanan sintetis (61,36%), Bleng (84,09% pada pembuatan kerupuk gendar), serta beberapa bahan pengawet lain yang sebenarnya dilarang (tawas, pemutih). 2. Secara umum responden sudah mengenal BTP, namun mereka tidak tahu ambang batas aman penggunaan, bahaya BTP bila terakumulasi terusmenerus dalam tubuh, tidak tahu ciri-ciri makanan berBTP, mudah memperoleh BTP yang tidak aman karena harga lebih murah dan gampang diperoleh. 3. Tingkat pengetahuan responden tentang bagaimana penggunaan BTP, berapa konsentrasinya, apa bahaya yang timbul bila pemakaian berulang dan melampaui ambang batas, ternyata masih rendah. 4. Penyuluhan – penyuluhan tentang BTP, batas penggunaan, dan bahan tambahan berbahaya lain yang tidak boleh digunakan yang berbahaya harus lebih digalakkan, utamanya pada para ibu sbg tonggak penyaji mknn dlm keluarga Daftar Pustaka Ahmad Sulaeman .2007, Sosialisasi Penggunaan Pestisida Secara Baik dan Benar dengan Residu Minimal, Semarang 2007 Aman Wirakartakusumah.2004. Konferensi Keamanan Pangan dan Gizi se-Asia pada tanggal 2-5 Maret 2004 di Nusa Dua Bali Anonim, 1979. Peraturan Menteri Kesehatan No,235/Menkes?Per/VN/1979 tentang Bahan Tambahan Makanan http://hartoko.wordpress.com/keamanan-pangan/ http://www.pikiran rakyat.com / cetak / 2006 / 092006 / 14 / cakrawala / utama.htm .http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-lingkungan/zataditif/sakarin-dan siklamat/ Meilany.Agustus 2003.
[email protected] Intan Airlina Febiliawanti, 2010. Aspartam, Si Manis Yang Menuai Kontraversi. Senin 29 Maret 2010. 14;04. Kompas.com Winarno, F.G.2004. Keamanan PanganJilid 2. M-Bio Press, Bogor
52
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
TINGKAT KESUKAAN DAN KEKENYALAN NUGGET AYAM DENGAN VARIASI BAHAN PENGISI BERBAGAI JENIS UMBI The Level Preference and Resilience against Chicken Nuggets with Variation Of Filler In The Form Of Tubers Nurdeana Cahyaningrum, Erni. A dan Yeyen Prestyaning Wanita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Email:
[email protected] Abstract One source of animal protein is easily obtained and is favoured by the people of chicken meat. Processed chicken products widely consumed by the public and readily available is chicken nuggets. This research was conducted to determine the level of preference and level of resilience against chicken nuggets with variation of filler treatment in the form of tubers (blue taro, sweet potato, cassava, and potatoes) are easily obtained by the public and the price is quite affordable. This research using completely randomized design with 2 factors and 2 replications. The first factor is the type bulb as a filler material (blue taro, sweet potato, cassava, and potatoes) and the second factor is the percentage of tubers that are used (15% and 20%). The results of this research is the treatment of filler material variation in the form of tubers (blue taro, sweet potato, cassava, and potatoes) in the manufacture of chicken nuggets indicate no significant difference of the color, aroma, and texture of chicken nuggets, but showed significant difference in the assessment of the taste of chicken nuggets purse with 20% filler material. The most rubbery chicken nuggets are chicken nuggets with sweet potato filling material 20% and the last chewy is chicken nuggets with 20% filler cassava. Key word : Chicken nuggets, Fillers, Level of preference, Level of resilience Abstrak Salah satu sumber protein hewani yang mudah didapatkan dan digemari oleh masyarakat adalah daging ayam. Produk olahan daging ayam yang banyak dikonsumsi dan mudah didapatkan adalah nugget ayam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan dan tingkat kekenyalan terhadap nugget ayam dengan perlakuan variasi bahan pengisi berupa umbi-umbian (kimpul, ubi jalar, ubikayu, dan kentang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2011 di Laboratorium Pascapanen dan Alsintan BPTP Yogyakarta menggunakan Rancang Acak Lengkap dengan 2 faktor. Faktor pertama yaitu jenis umbi sebagai bahan pengisi (ubi jalar, ubi kayu, kentang, dan kimpul) dan faktor kedua adalah presentase umbi yang digunakan (15% dan 20%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna, aroma, dan tekstur nugget ayam tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Tetapi ada perbedaan nyata terhadap rasa nugget ayam dengan bahan pengisi kimpul 20%. Nugget ayam yang paling kenyal adalah nugget ayam
53
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dengan bahan pengisi ubi jalar 20% dan yang paling tidak kenyal adalah nugget ayam dengan bahan pengisi ubi kayu 20% Kata kunci : Nugget ayam, Bahan pengisi, Tingkat kesukaan, Tingkat kekenyalan
Pendahuluan Protein merupakan salah satu zat makanan yang diperlukan tubuh agar dapat tumbuh dengan baik. Fungsi protein untuk membuat dan memperbaiki selsel tubuh yang rusak. Dengan demikian, ketersediaan protein dalam menu makanan tidak saja diperlukan oleh anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan, juga dibutuhkan oleh orang-orang dewasa. Perkiraan kasar kebutuhan manusia akan protein sekitar satu gram per kg berat badan per hari. Seseorang yang memiliki berat badan 60 kg perlu mengkonsumsi protein 60 gram per hari. Dari total kebutuhan protein, sekitar 30% disarankan untuk disuplai dari sumber protein hewani, antara lain daging, telur, dan susu, agar asam amino esensialnya menjadi lengkap (Sediaoetama, 2000). Tabel 1. Kandungan protein beberapa jenis produk pertanian No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Produk Daging sapi Susu murni Daging ayam Telur ayam
Kandungan Protein (%) 19,8 3,2 18,2 12,8
Sumber : Sediaoetama, 2000
Salah satu sumber protein hewani yang mudah diperoleh dan digemari oleh masyarakat adalah daging ayam. Daging ayam banyak dikonsumsi masyarakat dalam berbagai produk olahan misalnya ayam goreng, abon, sate, sosis, bakso, dan produk yang sering dijumpai di toko swalayan dan sangat disukai oleh semua kalangan adalah nugget ayam. Nugget ayam yang banyak dijual di pasaran dibuat dengan menggunakan tepung terigu sebagai bahan pengisi. Padahal tepung terigu harganya cukup mahal sehingga sulit dijangkau olah masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Nugget merupakan produk olahan daging yang terbuat dari daging, yang dicetak dalam bentuk potongan persegi empat dan dilapisi dengan tepung berbumbu (baterred dan braded). Nugget dikonsumsi setelah proses pengorengan rendam (Saleh et all,2002). Pada dasarnya nugget merupakan suatu produk olahan daging berbentuk emulsi, yaitu emulsi minyak di dalam air, seperti halnya produk sosis dan bakso. Nugget dibuat dari daging giling yang diberi bumbu, dicampur bahan pengikat, kemudian dicetak membentu bentuk tertentu, dikukus, dipotong, dan diselimuti perekat tepung (batter) dan diselimuti tepung roti (breading). Selanjutnya digoreng setengah matang dan dibekukan untuk mempertahankan mutunya selama penyimpanan (Astaman, 2007). 54
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Emulsifier yang lazim digunakan dalam produk olahan daging adalah protein. Protein dan garam dalam air akan membentuk fase kontinu yang akan menyelubungi semua permukaan lemak sebagai fase terdispersi sehingga lemak tidak memisah dengan air (Soeparno, 1998). Emulsi daging rnerupakan bentuk emulsi kompleks yang terbentuk dari butiran lemak sebagai fase terdispersi dan protein miofibrilar terlarut yang menyelubungi butiran lemak. Keduanya terlarut ke dalam matriks kompleks yang terdiri dari air, protein (miofibrilar, sarkoplasmik, dan jaringan ikat) serta bahan lain (bahan pengisi dan bumbu) yang membentuk matriks gel yang stabil ketika dipanaskan. Proses pembentukan emulsi terdiri atas tiga tahapan yang berkelanjutan. Tahap pertama adalah ekstraksi protein dan lemak. Tahapan ini tejadi pada saat penggilingan dan penghalusan. Tahap kedua adalah enkapsulasi lemak dan pembentukan emulsi. Tahap ini terjadi pada saat homogenisasi adonan. Tahap ini dibantu dengan penyimpanan adonan dalam freezer untuk menurunkan suhu adonan akibat penggilingan agar ikatan protein kembali stabil. Tahap terakhir adalah pembentukan heat-set gel. Tahap ini dicapai dengan pemanasan hingga suhu internal adonan mencapai 60-70o C dengan tujuan untuk mendenaturasi protein miofibrilar hingga terbentuk matriks yang solid dan padat (Keeton, 2001). Bahan pengikat memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan dapat meningkatkan emulsifikasi lemak dibandingkan dengan bahan pengisi. Bahan pengikat dalam adonan emulsi juga dapat berfungsi sebagai bahan pengemulsi. Penggunaan bahan pengikat adalah untuk mengurangi penyusutan pada waktu pengolahan dan meningkatkan daya ikat air. Daya kerja pengemulsi disebabkan oleh bentuk molekulnya yang mampu berikatan dengan air maupun dengan minyak. Jika pengemulsi lebih terikat pada air, maka dapat lebih memperbaiki terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadi emulsi minyak dalam air (oilwater). Emulsifier yang banyak terdapat di alam adalah protein, fosfolipid, lesitin dan fosfatidil etanolamina atau sefalin (Winarno, 1997). Bahan pengikat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuning telur karena mengandung lesitin yang dapat berfungsi sebagai emulsifier (USDA National Nutrient Database, 2010). Bahan pengisi merupakan sumber pati. Bahan pengisi ditambahkan dalam produk restrukturisasi untuk menambah bobot produk dengan mensubstitusi sebagian daging sehingga biaya dapat ditekan. Fungsi lain dari bahan pengisi adalah membantu meningkatkan volume produk (Afrisanti, 2010). Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat terpisah dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin. Fraksi amilosa berperan penting dalam stabilitas gel, karena sifat hidrasi amilosa dalam pati yang dapat mengikat molekul air dan kemudian membentuk massa yang elastis (Winarno, 1997). Pati merupakan bagian terbesar dalam ubi jalar ( Ipomea batatas L.) dan amilopektin merupakan bagian terbesar dari pati ubi jalar. Kandungan amilosa pati ubi jalar sebesar 28,19 gram (Margono et al, 1993). Sedangkan kandungan 55
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
karbohidrat dalam kentang (Solanum tuberosum L.) sebesar 26 gram (dalam kentang medium). Bentuk dominan dari karbohidrat ini adalah pati. Pati tersusun dari amilosa dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda yaitu 10-20% amilosa dan 80-90% amilopektin. Amilosa memberikan sifat keras (pera) sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket (Anonim, 2010). Kandungan karbohidrat yang terdapat dalam kimpul (Xanthosoma Sp) sebesar 23,7 gram (Widowati dan Suyanti, 2002) sedangkan kandungan karbohidrat dalam ubikayu (Manihot esculenta Crantz) sebesar 80,8 -83,8 gram (Samad, 2003). Bumbu-bumbu adalah bahan yang sengaja ditambahkan dan berguna untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa produk (Winarno et al, 1980). Bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan nugget adalah garam. Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan digunakan sebagai penegas cita rasa dan bahan pengawet. Penggunaan garam tidak boleh terlalu banyak karena akan menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi asin (Afrisanti, 2010). Selain garam, bumbu yang digunakan adalah lada. Tujuan penambahan lada adalah sebagai penyedap masakan dan memperpanjang daya awet makanan (Rismunandar, 1993). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen dan tingkat kekenyalan nugget ayam dengan perlakuan variasi bahan pengisi berupa umbi-umbian (kimpul, ubi jalar, ubikayu, dan kentang) yang mudah didapatkan oleh masyarakat dan harganya cukup terjangkau. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pasca Panen dan Alat Mesin Pertanian Balai Pengkajian Teknologi pertanian Yogyakarta pada bulan Maret 2011. Penelitian ini menggunakan bahan utama berupa daging ayam tanpa tulang , ubijalar, ubikayu, kentang, dan kimpul sebagai bahan pengisi. Bahan pendukungnya adalah garam, lada, bawang Bombay, margarin, kuning telur, dan minyak goreng. Sedangkan bahan untuk melapisi (coating) adalah tepung terigu, putih telur, dan tepung panir. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu jenis umbi sebagai bahan pengisi (ubi jalar, ubi kayu, kentang, dan kimpul) dan faktor kedua adalah persentase umbi yang digunakan (15% dan 20%). Analisa organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap warna, tekstur, aroma, rasa dan secara keseluruhan nugget ayam. Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan metode kesukaan (hedonic scale) dengan skala 1 (sangat tidak suka); skala 2 (tidak suka); skala 3 (agak suka); skala 4 (suka); dan skala 5 (sangat suka) (Resurreccion, 1998). Uji organoleptik dilakukan pada 20 orang panelis dengan rentang usia 15-50 tahun di lingkungan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Pengolahan data 56
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
yang diperoleh dilakukan secara statistik menggunakan one way anova dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% . Uji kimia dilakukan pada hasil sampel yang paling disukai secara keseluruhan. Pengujian kimia meliputi kadar air, kadar protein, lemak, dan kadar abu, karbohidrat, dan kadar serat kasar (AOAC, 1990). Sedangkan uji tekstur (kekenyalan) nugget dilakukan dengan alat penetrometer pada semua sampel. Tabel 2. Variasi perlakuan bahan pengisi pada nugget ayam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kode sampel A15 A20 B15 B20 C15 C20 D15 D20
Jenis umbi Kimpul Kimpul Ubi jalar Ubi jalar Ubi kayu Ubi kayu Kentang Kentang
Penambahan (%)* 15 20 15 20 15 20 15 20
Keterangan :* Persen penambahan berat umbi berdasarkan berat daging ayam fillet
Penelitian ini diawali dengan pembuatan nugget ayam dengan variasi penambahan bahan pengisi berupa umbi-umbian (kimpul, ubijalar, ubikayu,dan kentang) dengan persentase 15% dan 20%. Daging ayam yang telah di fillet digiling/dihancurkan dengan menggunakan food processor. Kemudian umbi yang akan digunakan (sesuai perlakuan) dikukus terlebih dahulu selama 15 menit. Umbi yang telah dikukus dicampur dengan daging ayam giling dan ditambah bawang Bombay yang telah ditumis dengan margarine, kuning telur, lada, dan garam. Setelah adonan tercampur hingga menjadi adonan yang homogen, kemudian dicetak menggunakan loyang dan dikukus selama 30 menit dengan suhu 60o-70o C. Nugget ayam yang telah dikukus didiamkan hingga dingin kemudian dipotong-potong dengan ukuran 3 x 4 x 0,5 cm, selanjutnya digulingkan dalam tepung terigu, dicelupkan dalam putih telur, dan digulingkan ke dalam tepung roti. Nugget ayam yang sudah dilapisi kemudian disimpan dalam freezer. Cara pembuatan nugget ayam ini berdasarkan pada pembuatan nugget kelinci tersaji dalam gambar 1. Hasil dan Pembahasan Hasil uji organoleptik Hasil uji organoleptik terhadap nugget ayam dengan perlakuan penambahan bahan pengisi dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3. dapat dilihat nilai kesukaan panelis terhadap warna, aroma, dan tekstur nugget ayam menunjukkan tidak beda nyata pada semua perlakuan. Hal ini berarti penambahan berbagai jenis umbi tidak berpengaruh pada kesukaan konsumen terhadap warna, 57
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
aroma, dan tekstur nugget ayam. Sedangkan nilai kesukaan panelis terhadap rasa nugget perlakuan penambahan kimpul 20% berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Daging ayam Penggilingan daging
Pencampuran bahan tambahan
Pencetakan dalam loyang
Pengukusan selama 30 menit
Pemotongan Coating dengan tepung terigu, Putih telur, dan tepung roti Dimasukkan kedalam freezer Penggorengan Nugget matang Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Nugget Ayam metode Purwaningsih (2010) Nilai kesukaan panelis secara keseluruhan tertinggi 3,40 yaitu pada perlakuan penambahan bahan pengisi ubi kayu 20%, tetapi tidak menunjukkan tidak beda nyata dengan perlakuan yang lain.
58
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 3. Nilai kesukaan panelis terhadap tugget ayam dengan perlakuan penambahan bahan pengisi No
Jenis umbi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kimpul Kimpul Ubi jalar Ubi jalar Ubi kayu Ubi kayu Kentang Kentang
Keterangan :
Penambahan (%) 15 20 15 20 15 20 15 20
Warna
Aroma
Tekstur
Rasa
Keseluruhan
3,65a 3,50a 3,50a 3,55a 3,35a 3,40a 3,70a 3,55a
3,40a 3,25a 3,15a 3,40a 3,25a 3,35a 3,40a 3,30a
3,55a 3,18a 3,48a 3,60a 3,45a 3,45a 3,30a 3,33a
3,30b 2,58a 3,20b 3,30b 3,33b 3,38b 3,33b 3,33b
3,38b 2,70a 3,10ab 3,35b 3,18ab 3,40b 3,28ab 3,20ab
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan uji Duncan, pada taraf kepercayaan 95%.
Hasil analisa kimia Analisa kimia dilakukan pada nugget ayam yang mempunyai nilai kesukaan panelis tertinggi yaitu nugget ayam dengan bahan pengisi ubikayu 20% jika dibandingakan dengan bahan pengisi terigu disajikan dalam tabel 4. Tabel 4. Perbandingan kandungan kimia nugget ayam dengan bahan pengisi ubikayu 20% dan tepung terigu (dalam 100 gram) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Karakteristik Kimia Kadar Air Kadar Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat
Sumber : *Purwaningsih, 2010
Jenis pengisi Ubi kayu 20% (%) Tepung terigu (%)* 66,99 56,86 1,53 1,45 16,83 12,19 9,71 8,46 2,83 5,84 5,13 14,67
Tabel 4. menunjukkan nilai gizi nugget ayam dengan bahan pengisi ubi kayu mengandung protein lebih tinggi daripada nugget ayam yang menggunakan tepung terigu sebagai bahan pengisinya. Hal ini menunjukkan bahwa umbiumbian dapat menggantikan tepung terigu sebagai bahan pengisi dalam pembuatan nugget. Hasil Analisa Fisik Analisa fisik nuuget ayam dengan beberapa bahan pengisi dilakukan terhadap tingkat kekenyalannya. Tingkat kekenyalan nugget diukur dengan menggunakan alat penetrometer. Hasil pengujian tingkat kekenyalan nugget ayam dengan perlakuan penambahan berbagai jenis umbi dapat dilihat pada Tabel 5.
59
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 5. Kekenyalan nugget ayam dengan perlakuan variasi bahan pengisi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis umbi Kimpul Kimpul Ubi jalar Ubi jalar Ubi kayu Ubi kayu Kentang Kentang
Penambahan (%) 15 20 15 20 15 20 15 20
Kekenyalan (N/m) 68,03 71,79 61,99 110,12 50,83 47,23 76,95 97,53
Tabel 5. menunjukkan nugget ayam dengan bahan pengisi ubi jalar 20% merupakan nugget ayam yang paling kenyal yaitu 110,12 Newton/m. Bila dilihat dari hasil uji organoleptik terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur nugget ayam juga menunjukkan bahwa nugget ayam dengan bahan pengisi ubi jalar 20% yang paling disukai. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kenyal nugget maka semakin disukai. Nugget ayam dengan bahan pengisi ubi jalar 20% ternyata juga lebih kenyal dibandingkan dengan nugget ayam dengan bahan pengisi tepung terigu yang mempunyai nilai kekenyalan sebesar 12,84 Newton17. Kesimpulan 1. Nugget ayam dengan bahan pengisi dari umbi-umbian (kimpul, ubijalar, ubikayu, dan kentang) menunjukkan kesukaan panelis terhadap warna, aroma, dan tekstur nugget ayam tidak beda nyata. 2. Penerimaan panelis terhadap tekstur yang dihasilkan oleh nugget ayam dengan bahan pengisi berupa kimpul 20% berbeda nyata dengan perlakuan yang lain 3. Nugget ayam yang paling kenyal adalah nugget ayam dengan bahan pengisi ubi jalar 20% dengan tingkat kekenyalan 110,12 Newton/m dan yang paling tidak kenyal adalah nugget ayam dengan bahan pengisi ubi kayu 20% dengan tingkat kekenyalan 12,84 Newton. Daftar Pustaka Sediaoetama, A.D. 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Dian Rakyat, Jakarta. Saleh, A.R, Dadang, S. Entoh, R.Wahyudin, R. Sri, R. Abidin. 2002. Dokumen Tepat Guna Institut Pertanian Bogor. UPT Perpustakaan IPB, Bogor Astaman, M. 2007. Nugget Ayam Bukan Makanan Sampah. (http://64.203.71.11 /kesehatan/new/0508/0/130052.htm, diakses 26 Juli 2008). Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjahmada University Press,Yogyakarta Keeton, J. T. 2001. Formed and Emulion Product. 111: Poultry Meat Processing. Alan R. S. (edit). CRC Press., Boca Raton. 293-335. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
60
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
National Nutrient Database. 2010. Fakta Mengenai Kuning Telur. (http://kaskusnews.us/2010/07/1fakta-mengenai-kuning-telur, diakses 20 Maret 2011). Afrisanti, D. W. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik Nugget Daging Kelinci dengan Penambahan Tepung Tempe. Skripsi, Fakultas Pertanian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Tri Margono, Detty Suryati, Sri Hartinah. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation. Anonim. 2010. Amilum Kentang. (http://id.wikipedia.org/wiki/pati_ %28polisakarida%29, diakses 20 Maret 2011). Widowati dan Suyanti. 2002. Kimpul Cocok Untuk Penderita Diabetes. (http://aksansusanto.blogspot.com/2009/06/kimpul-cocok-untuk-penderitadiabetes.html, diakses 9 Maret 2011) Samad, M. Yusuf. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu. Jurnal Sains Dan Teknologi. BPPT. Winarno F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Rismunandar. 1993. Lada Budidaya dan Tataniaganya. Penebar Swadaya, Jakarta Resurreccion, A. V. A. 1998. Consumer Sensory Testing for Product Development. Aspen Publisher, inc. Maryland. AOAC. 1990. Official Methods of Analysis of The Assosiation of Official Analitycal Chemists. Volume I, Published by AOAC International, Arlinton. USA. Purwaningsih, H. Cahyaningum, N. dan Apriyati, E. 2010. Pemberdayaan Petani Melalui Diversifikasi Produk Olahan Daging Kelinci Sebagai Upaya Peningkatan Gizi Masyarakat di UP FMA Sidomulyo Pengasih Kulon Progo. Prosiding Seminar Nasional dalam Rangka Sinkronisasi Program Strategis Kementrian Pertanian dengan PUAP dan FEATI. Bogor, Desember 2010. USDA
61
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PEMANFAATAN BUNGA KECOMBRANG SEBAGAI PENGAWET ALAMI PADA TAHU Herastuti Sri Rukmini2 dan Rifda Naufalin1) 1)
Fakultas Pertanian, Progdi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Abstrak
Kecombrang flower contains bioactive components i.e., flavonoid, polifenol, alkaloid, steroid, saponin, and essential oil. That compounds have antimicrobial potential. It gives an idea to use kecombrang flowers to preserve tofu. Kecombrang flowers are made become porridge for soaking tofu. Aims of this research were to compare the effect of kecombrang flower porridge from fresh flower and its powder; to determine the porridge concentration and the tofu shelf life on the microbiological and organoleptic characteristics. This research was conducted by using the Randomized Block Design (RBD) with 18 combination treatments and two replications. First factor was the type of the porridge (fresh flower and powder porridge). Second factor was the porridge concentration (3 percents; 4 percents; 5 percents w/v). And third factor was tofu shelf life (1 day; 2 days; 3 days). These variables observed were total plate count of microorganism value of fresh tofu and organoleptic variables observed on fried tofu were color, kecombrang flavor and hedonic value. The results showed 1) Powder porridge gave microbiological characteristic better than fresh flower. Fresh tofu had total plate count of microorganism of 2.18 x 105 cfu/g, while product of fresh flower porridge gave total plate count of microorganism of 2.80 x 105 cfu/g. 2) The minimum porridge concentration of 3 percents (w/v) increased shelf life of tofu until 3 days, while the fresh tofu shelf life was 6-8 hours. The increase of porridge concentration reduced of total plate count of microorganism. 3) The shelf life-increase increased total plate count of microorganism, 4) Fried tofu preserved by kecombrang with the highest hedonic value was B2K1L1 (porridge of powder with 3 percent concentrations w/v and 3 days of tofu shelf life), and its organoleptic variables were hedonic value of 2.73 (slightly like), color value 2.87 (brownish yellow), and kecombrang flavor 3.67 (slightly untested). Kata kunci: bunga kecombrang, pengawet alami, tahu
Pendahuluan Tahu merupakan makanan yang sangat dikenal dan disukai masyarakat Indonesia sejak dulu. Prinsip pembuatan tahu adalah koagulasi protein kedelai dengan menggunakan koagulan asam ataupun garam kalsium sulfat (batu tahu). Tahu sangat disukai karena sifatnya yang lunak, mudah diiris dan mempunyai rasa yang khas sehingga dapat diolah menjadi berbagai masakan. Namun, adanya isu
62
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
tahu berformalin, menyebabkan masyarakat khawatir akan keamanan produk tahu. Oleh karena itu, perlu alternatif pengawet tahu yang aman bagi konsumen. Bunga kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) merupakan salah satu alternatif pengawet alami, karena kandungan komponen bioaktif yaitu alkaloid, polifenol, flavonoid dan minyak atsiri. Bunga kecombrang sering digunakan sebagai bahan tambahan pada masakan sayuran. Bagian yang umum digunakan dari tanaman ini, yaitu bunga dan batangnya. Pemanfaatannya secara umum adalah sebagai pemberi cita rasa pada masakan, seperti urab (kluban) dan pecel, sedangkan batangnya dipakai sebagai pemberi cita rasa pada masakan daging ayam. Pada penelitian ini dipelajari cara pemanfaatan bunga kecombrang secara sederhana sehingga dapat diterapkan dengan mudah oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) membandingkan pengaruh bubur bunga kecombrang dari bunga segar dan bubuk terhadap mutu tahu ditinjau dari sifat kimia, mikrobiologi dan organoleptiknya; 2) menetapkan konsentrasi bubur bunga kecombrang yang menghasilkan tahu dengan mutu terbaik ditinjau dari sifat kimia, mikrobiologi dan organoleptiknya; 3) mengetahui pengaruh lama simpan terhadap mutu tahu ditinjau dari sifat kimia, mikrobiologi dan organoleptiknya. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang potensi bahan pengawet alami bunga kecombrang dalam bentuk bunga segar atau bubuk kering, khususnya sebagai bahan pengawet tahu. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Bahan-bahan yang diperlukan selama penelitian meliputi tahu, bunga kecombrang, akuades, NaOH 0,1 N, larutan K-Oksalat, larutan formaldehid 40 persen, indikator PP 1 persen, larutan bufferr standar pH 4,00 dan pH 7,00, larutan Natrium klorida 0,85 persen, Plate Count Agar 22,5 g/L, Agar padat 0,5 persen. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas (Pyrex, Germany), tabung reaksi, cawan Petri, cawan porselin, kaca pengaduk, pisau stainless, desikator, oven (Jouan, China), timbangan digital (Ohauss, USA), shaker, autoclave (All american), blender, micropipet (Gilson, Germany), kompor gas, inkubator (Memmert, Japan), mesin pengering, dan pH meter (Hanna, Mauritius). Tahap-tahap penelitian meliputi sortasi bunga kecombrang segar, pembuatan bubuk bunga kecombrang, pembuatan bubur dari bunga kecombrang segar dan bubuk, aplikasi dari bubur bunga kecombrang untuk mengawetkan tahu selama masa simpan yang dicobakan dan tahap analisis terhadap variabel yang diamati. Tahu untuk uji organoleptik setelah diawetkan, dicuci dahulu kemudian digoreng sebelum dilakukan pengujian oleh panelis. Pemilihan tahu segar
63
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dilakukan berdasarkan hasil survei ke beberapa industri tahu yang bebas dari pengawet berbahaya. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Faktor yang dicoba meliputi: Jenis bubur bunga kecombrang : B1 = Bubur dari bunga kecombrang segar, B2 = Bubur dari bunga kecombrang bubuk; Konsentrasi bubur (b/v), K1 = konsentrasi bubur 3 persen, K2 = konsentrasi bubur 4 persen, K3 = konsentrasi bubur 5 persen; Lama simpan tahu : L1 = 1 hari, L2 = 2 hari dan L3 = 3 hari. Dari perlakuan tersebut diperoleh 18 kombinasi perlakuan dan tiap perlakuan diulang 2 kali sehingga diperoleh 36 unit percobaan. Pengukuran dilakukan terhadap tahu yang direndam bubur bunga kecombrang. Variabel variabel mikrobiologi yaitu total mikroba tahu. Pengukuran variabel organoleptik dilakukan terhadap tahu yang sudah digoreng, meliputi warna, flavor kecombrang dan tingkat kesukaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis uji varian (uji F) dan apabila hasil analisis menunjukkan adanya keragaman, maka dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5 persen. Data dari hasil uji organoleptik dianalisis dengan menggunakan uji Friedman, jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji banding ganda. Penentuan perlakuan terbaik dilakukan berdasarkan produk dengan nilai kesukaan tertinggi dari hasil uji Friedman. Hasil dan Pembahasan Variabel Mikrobiologi Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis bubur (B), konsentrasi bubur (K) dan lama simpan (L) memberikan pengaruh sangat nyata, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap total mikroba tahu. Nilai rata-rata total mikroba tahu dari perlakuan jenis bubur dari bunga segar (B1) 5,45 log cfu/g dan jenis bubur dari bubuk (B2) 5,34 log cfu/g (Gambar 1). Hasil DMRT pada taraf 5 persen menunjukkan bahwa perlakuan B1 berbeda nyata dengan perlakuan B2. a b ) o r /g k i fu M cg l o a t l( o T
5,6
5,45
5,34
5,4 5,2 5 Bunga Segar
Bubuk
Jenis Bubur
Gambar 1. Nilai rata-rata total mikroba tahu dari perlakuan jenis bubur bunga kecombrang.
64
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 1 menunjukkan bahwa perlakuan jenis bubur memberikan perbedaan total mikroba tahu. Perbedaan diduga dalam gram yang sama, bubuk bunga kecombrang mengandung senyawa antimikroba lebih banyak dibanding bunga segar, karena bunga segar mempunyai kadar air tinggi. Nilai rata-rata tota mikroba tahu dari K1 (konsentrasi bubur 3 persen b/v), K2 (konsentrasi bubur 4 persen b/v) dan K3 (konsentrasi bubur 5 persen b/v) berturut-turut 5,46; 5,40 dan 5,31 log cfu/g (Gambar 1). Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5 persen menunjukkan bahwa perlakuan K1 tidak berbeda dengan K2, namun perlakuan K3 berbeda nyata dengan K1 dan K2. Hubungan antara konsentrasi bubur dengan total mikroba tahu mengikuti pola persamaan regresi y = -0,075x + 5,54, dengan R2 = 0,9868 (Gambar 2).
.
a b o r k i M la to T
) g /u fc g o l(
5,5 5,46
5,40
5,4
5,31
5,3 5,2 3
4
5
Kons entras i bubur (% b/v)
Gambar 2. Nilai rata-rata total mikroba tahu dari perlakuan konsentrasi bubur bunga kecombrang. Gambar 2 mengindikasikan bahwa total mikroba tahu menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi bubur bunga kecombrang. Bunga kecombrang mempunyai senyawa antimikroba. Menurut Tampubolon et al. (1983) senyawa kimia bunga kecombrang antara lain alkaloid, flavonoid, polifenol, steroid, saponin, dan minyak atsiri. Fenol merupakan zat yang berpengaruh terhadap penghambatan bakteri, sehingga bunga kecombrang bersifat antimikroba. Peningkatan konsentrasi bubur kecombrang menyebabkan peningkatan senyawa antimikroba, sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Nilai rata-rata total mikroba tahu dari perlakuan lama simpan 1 hari (L1), 2 hari (L2) dan 3 hari (L3) adalah 4,96; 5,20 dan 6,01 log cfu/g (Gambar 3). Hasil DMRT pada taraf 5 persen menunjukkan bahwa antar perlakuan saling berbeda nyata. Hubungan antara lama simpan dengan total mikroba tahu mengikuti pola persamaan regresi y = 0,525x + 4,34, dengan R2 = 0,9106 (Gambar 3).
65
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
a b ) o r /g ik fu c M l g o l ta o ( T
6,5 6,0 6,01 5,5 4,96
5,20
5,0 4,5 1
2
3
L ama Simpan (har i)
Gambar 3. Nilai rata-rata total mikroba tahu dari perlakuan lama simpan. Gambar 3 mengindikasikan bahwa total mikroba tahu meningkat seiring dengan semakin lama masa simpan tahu. Menurut Waluyo (2004) selain pH dan kadar air, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jasad renik adalah tersedianya zat gizi, suhu, oksigen, zat penghambat dan adanya jasad renik yang lain. Variabel Organoleptik Analisis organoleptik dilakukan terhadap tahu yang telah digoreng untuk memudahkan penilaian panelis. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan jenis bubur bunga kecombrang, konsentrasi bubur dan lama simpan terhadap variabel organoleptik tahu disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil uji Friedman pengaruh perlakuan jenis bubur bunga kecobrang, konsentrasi bubur dan lama simpan terhadap variabel organoleptik yang diamati No 1 2 3
Variabel yang diamati Warna Flavor Kesukaan
BKL tn ** tn
Keterangan: BKL: kombinasi antara jenis bubur, konsentrasi bubur dan lama simpan, tn: tidak berpengaruh nyata; * : berpengaruh nyata (taraf 5 %); ** : berpengaruh sangat nyata (taraf 1 %).
1. Warna Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan jenis bubur, konsentrasi bubur dan lama simpan tidak berpengaruh nyata terhadap warna tahu (Lampiran 5). Nilai rata-rata warna tahu tertinggi 2,87 (coklat kekuningan - kuning kecokelatan) diperoleh dari kombinasi perlakuan bubur dari bubuk dengan konsentrasi 3 persen b/v dan lama simpan 1 hari (B2K1L1), nilai terendah 2,53 (coklat kekuningan - kuning kecokelatan) didapat dari kombinasi 66
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
perlakuan bubur dari bubuk dengan konsentrasi 5 persen b/v, lama simpan 3 hari (B2K3L3). 2. Flavor (Cita rasa Kecombrang) Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa interaksi perlakuan antara jenis bubur, konsentrasi bubur dan lama simpan berpengaruh sangat nyata terhadap flavor kecombrang pada tahu (Lampiran 5). Nilai rata-rata flavor kecombrang tertinggi 3,67 (agak terasa - tidak terasa) dari kombinasi perlakuan bubur dari bubuk dengan konsentrasi 3 persen b/v dan lama simpan 1 hari (B2K1L1), nilai terendah 2,33 (terasa - agak terasa) dari kombinasi perlakuan bubur dari bunga segar dengan konsentrasi 5 persen b/v dan lama simpan 3 hari (B1K3L3). Semakin lama masa simpan tahu dalam bubur maka flavor kecombrang yang terserap ke dalam tahu semakin kuat. Flavor dari bunga kecombrang yaitu asam dan agak sepat. 3. Nilai Kesukaan Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan jenis bubur kecombrang, konsentrasi bubur dan lama simpan tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan tahu (Lampiran 5). Nilai rata-rata kesukaan tahu tertinggi yaitu 2,73 (agak suka - suka) diperoleh dari kombinasi perlakuan bubur dari bubuk konsentrasi 3 persen b/v dan lama simpan 1 hari (B2K1L1). Nilai terendah yaitu 2,20 (agak suka - suka) dihasilkan dari kombinasi perlakuan bubur dari bunga segar konsentrasi 5 persen b/v dan lama simpan 3 hari (B1K3L3). Nilai kesukaan merupakan penilaian yang diberikan berdasarkan kondisi produk secara keseluruhan, dalam hal ini meliputi warna dan flavor. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut: 1. Bubur dari bubuk kecombrang menghasilkan tahu dengan sifat mikrobiologi lebih baik daripada bubur dari bunga segar, dengan total mikroba 2,18 x 105 cfu/g. Tahu dari perlakuan bubur dari bunga segar menunjukkan total mikroba 2,80 x 105 cfu/g. 2. Konsentrasi bubur 3 persen (b/v) sudah dapat memperpanjang masa simpan tahu menjadi 3 hari atau 72 jam, sedangkan tahu segar tanpa perlakuan apapun hanya bertahan selama 6 - 8 jam. Peningkatan konsentrasi bubur menurunkan total mikroba 3. Semakin lama masa simpan tahu dalam bubur kecombrang, menyebabkan peningkatan total mikroba 4. Tahu goreng dengan pengawet kecombrang yang memiliki nilai kesukaan tertinggi yaitu B2K1L1 (bubur dari bubuk dengan konsentrasi 3 persen b/v dan lama simpan 1 hari), dengan hasil penilaian organoleptik sebagai berikut: tingkat kesukaan 2,73 (agak suka - suka), nilai warna 2,87 (coklat kekuningan - kuning kecokelatan), dan nilai flavor kecombrang 3,67 (agak terasa - tidak terasa). 67
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut tentang cara pengemasan yang tepat dari tahu dengan pengawet kecombrang. 2. Perlu dikaji tentang aspek ekonomi dan penerimaan konsumen terhadap tahu dengan pengawet kecombrang. 3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang perbandingan dengan metode pengawetan lain. Daftar Pustaka Adawiyah, D. R., S. T. Soekarto, dan B. S. L. Jenie. 1998. Ekstraksi Komponen Antimikrobia dari Biji Buah Atung. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan dan Gizi, Yogyakarta. 742 hal. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor: 15, Hal 196-211. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan R. I. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2006.NewsandTask.(Online).http://www.depkes.go.id/index.php diakses 23 November 2006. Evans, P. H., W. S. Bowers, and E. J. Funk. 1984. Identification of Fungicidal and Nemocidal Components In The Leaves Of Piper Betle (Piperaceae). J. of Agric. and Food Chem. 32 (6) : 1254-1256. Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. 199 hal. Frazier, W.C. and D.C. Westhoff. 1979. Food Microbiology 3rd Edition. Tata McGrawHil Publishing Company Ltd., New Delhi. 540 pp. Gang, S. C. 1992. Biological Activity Of The Essential Oil Of Piper Betle L. J. of Essen. Oil Research. 4 (6) : 601-606 Handayani, C. B. 1992. Mikroflora Beberapa Rempah-Rempah Segar dan Kering. Skripsi. Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 97 hal. Hidayat, S. S. dan J. R. Hutapea. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi 1: 440441. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 56 hal. Jay, J. M. 1986. Modern Food Microbiology. Wayne State University. Van Nostrand Reinhold, New York. 467 pp. Kastyanto, W. 1995. Membuat Tahu. PT Panebar Swadaya, Jakarta. 28 hal. Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Menjadikan Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 45 hal. Masitoh. 1992. Pembuatan Tahu Kedelai dengan Laru Asam Asetat dan Limbah Larunya: Kajian Terhadap Rendemen, Beberapa Sifat Kimia dan Sifat Fungsional Produk. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak Dipublikasikan). 54 hal. Mayasari, A. 1994. Peranan Curing dan Blanching dalam Pembuatan Konsentrat Jahe (Zingiber officinalle rosch.) Ditinjau dari Sifat Sensorisnya. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak Dipublikasikan). 87 hal.
68
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan. 1989. Petunjuk Laboratorium. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. Mustopha, S., B. Nurhadi dan T. Sukarti. 2006. Cakrawala. (On-line). http://pikiranrakyat.com/cetak/1104/11/cakrawala/lainnya3.htm diakses 2 November 2006 Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia Speciosa Horan) Terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB, Bogor. (Tidak dipublikasikan). 151 hal. Prayogo, B. E. W. dan Sutaryadi. 1992. Pemanfaatan Sirih untuk Pelayanan Kesehatan Primer. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol I No. 1-9. Rukmini, H. S., M. Astuti, R. Naufalin, P. T. Astuti. 2003. Preparation of kecombrang flowers powder : The effect of soaking solutions and blanching periods on the product quality. Preceeding International Conference on Redesigning sustainable development on food and agricultural system for developing countries. Faculty of Agricultural Technology Gadjah Mada University Yogyakarta. P 390-397. Shurtleff, W. and A. Aoyagi. 1975. The Book of Tofu. Food for Mankind Vol. I. Autumn Press, Inc., Japan. 427 pp. Soekarto. S. T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhatara Karya Aksara. Jakarta. 121 hal. Sudarmaji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Hasil Pertanian. Edisi ke 2. Pusat Antar Universitas Ilmu Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. 160 hal. Sugiastuti, S. 2002. Kajian Aktivitas Antibakteri dan Antioksidan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) Pada Daging Sapi Giling. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. (Tidak Dipublikasikan). 55 hal. Tampubolon, O. T., S. Suhatsyah, dan S. Sastrapradja. 1983. Penelitian Pendahuluan Kandungan Kimia Nicolaia Speciosa Horan. Risalah Simposium Penelitian Tanaman Obat III. Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 63 hal. Triarsari,D.,2004.Kesehatan.(Online).http;//www.Kompas.co.id/kesehatan/news/0304/24/ 003749.htm diakses 3 Juni 2006 Valianty, K. 2002. Potensi Antibakteri Minyak Bunga Kecombrang. Skripsi Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak Dipublikasikan). 38 hal. Waluyo. 2004. Mikrobiologi Umum. UMM Press, Jakarta. 316 hal. Winarno, F. G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1988. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta. 92 hal.
69
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
EKSTRAKSI LIMBAH BIJI CARICA DIENG (Carica Candamarcensis Hok) SEBAGAI ALTERNATIF MINYAK MAKAN (Extraction of Edible Oil From Carica Dieng (Carica candamarcensis hok) by Using Various Solvent) Dewi Larasati Staf pengajar Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Abstract Carica Dieng seed is waste of Carica Dieng fruit that is highly abundant in Dieng( ± 9 tons/month). This research aims to determine the physico-chemical of Carica Dieng seed oil by using various solvent extraction. Three commercaial orgsnic solvent were used for solvent extraction, namely diethyl eter, ethyl acetate and n-hexan. The results showed that the various solvent significantly affect (p<0,05)of physico-chemical of Carica Dieng seed oil and n-hexan was the best solvent. Physico-chemical of carica dieng seed oil by using n-hexan were : number iodine (84.11), Saponification number (206.35), acid number (8.21), free fatty acids (1.48%) and the acid component saturated fat: lauric acid, myristic acid, palmitic acid and unsaturated fatty acids: oleic acid, linoleic acid, linolenic acid. Physical characteristics: specific gravity (0.91), refractive index (1.45), liquid point (5.3 C) and smoke point (217oC). Being the result of organoleptic test score panelisdengan preferred color (4.3 / like) and a score of smell (4.2 / like). Key words: Carica Dieng, oil, solvents extraction
Abstrak Limbah biji Carica Dieng (Carica Candamarcensis Hok) dari pengolah Carica Dieng ± 9 ton/bulan. Biji Carica Dieng berpotensi untuk dijadikan sebagai minyak makan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan limbah biji Carica Dieng sebagai minyak makan dengan cara ekstraksi biji Carica Dieng menggunakan berbagai pelarut organik terhadap karakteristik kimia, fisik dan komposisi asam lemak penyusun minyak biji Carica. Hasil penelitian menujukkan bahwa jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap karakteristik minyak biji Carica Dieng dan pelarut yang menghasilkan karakteristik minyak terbaik adalah pelarut heksan dengan Karakteristik minyak biji Carica Dieng yang terbaik pada pelarut heksan. dengan karakteristik kimia berupa bilangan iod (84,11), bilangan penyabunan (206,35), bilangan asam (8,21), asam lemak bebas (1,48%) dan Komponen asam lemak jenuhnya : asam laurat, asam miristat, asam palmitat dan asam lemak tak jenuh : asam oleat, asam linoleat, asam linolenat. Karakteristik Fisiknya : bobot jenis (0.91), Indeks bias (1,45), Titik cair (5,3oC) dan titik asap (217oC). Sedang hasil uji organoleptik yang disukai panelisdengan skor warna (4,3/suka) dan skor bau (4,2/suka) Kata kunci : Carica Dieng, Minyak, eskraksi pelarut
70
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pendahuluan Di Indonesia sangat berpotensi untuk menghasilkan minyak dari bijibijian, di antaranya adalah biji Carica yang diperoleh di dalam buah Carica. Selama ini biji Carica belum banyak dimanfaatkan kecuali sebagai benih dan obat cacing untuk ternak. Komposisi kimia biji Carica belum ada penelitian secara khusus, tetapi jika dilihat dari bentuk dan khasiatnya ada kemungkinan hampir sama dengan biji pepaya (Carica Papaya L) yang tergolong dalam satu famili yaitu Caricaceae. Apabila ditinjau dari segi ekonomi, biji Carica yang hampir sama dengan biji pepaya mempunyai potensi yang cukup tinggi. Penelitian Chan dan Tang (1973), menunjukkan bahwa biji pepaya mengandung minyak sebesar 32,97 %. Kandungan minyak ini relatif lebih besar jika dibandingkan dengan bijibijian yang lain seperti biji kurma (23,5%0, biji pear (14,1%), biji anggur (12-22 %), biji apel (19,23 %) dan biji teh (20-45%) (Seshadri dkk (1983) dalam Revichandran (1990). Menurut Hadiwiyoto, dkk (1981) dan Kunarto (1992), minyak biji pepaya mempunyai peluang sebagai minyak makan. Salah satu limbah pengolahan buah Carica Dieng yang belum dimanfaatkan dan hanya menjadi sampah adalah biji Carica Dieng. Limbah biji Carica Dieng dari pengolah Carica Dieng ± 9 ton/bulan. Untuk itu perlu dipikirkan pemanfaatan limbah biji Carica Dieng sebagai minyak makan. Beberapa metode ekstraksi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, misalnya pada ekstraksi dengan pengempaan dipengaruhi oleh waktu, tekanan dan perlakuan pendahuluan. Ekstraksi dengan pelarut dipengaruhi oleh jenis pelarut organik. Beberapa jenis pelarut akan mempengaruhi kualitas minyak yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian jenis pelarut organik untuk ekstraksi minyak biji Carica Dieng sehingga diperoleh minyak dengan rendemen dan kualitas kimia dan fisik yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan limbah biji Carica Dieng sebagai minyak makan dengan cara ekstraksi biji Carica Dieng menggunakan berbagai pelarut organik terhadap karakteristik kimia, fisik dan komposisi asam lemak penyusun minyak biji Carica Dieng. Manfaat penelitian ini adalah memberi informasi baru bagi masyarakat umum dan Asosiasi Pengolah Carica Dieng khususnya, tentang penanganan limbah Carica Dieng menjadi produk bernilai ekonomi, yaitu minyak makan. Metode Penelitian Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan untuk penelitian adalah biji Carica Dieng yang diperoleh dari Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Bahan kimia yang digunakan adalah pelarut heksan, etil asetat, dietil eter, KOH, khloroform, KI, Na2S2O3, NaOH, reagen TBA, Na2CO3, Kalium iodat, etanol dan dietil eter. Peralatan yang digunakan untuk penelitian ini meliputi: kabinet drier, oven, unit 71
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
ekstraksi, rotary vacuum evaporator, ayakan 40 mesh, sokhlet, kromatografi gas dan beberapa peralatan gelas untuk analisis. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan, di Laboratorium Rekayasa Pangan dan Laboratorium Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Semarang dan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Metode Penelitian Biji Carica Dieng dipembersihan dan dicuci, selanjutnya biji dikeringkan dengan menggunakan kabinet drier. Biji Carica Dieng yang telah kering dihancurkan dan diayak sampai lolos ayakan 40 mesh. Ekstraksi minyak biji Carica Dieng dilakukan dengan metoda soxklet extraction dan menggunakan berbagai pelarut organik perlakuan, yaitu etil asetat, etil asetat-dietil eter (1:1), dietil eter, dietil-eter-heksan (1:1) dan heksan. Pelarut diuapkan dengan rotary vacuum evaporator. Minyak yang diperoleh dianalisis sifat fisik (berat jenis, indek bias, titik cair dan titik asap), sifat kimia (bilangan iod, bilangan penyabunan, asam lemak bebas, bilangan asam) dan komposisi asam lemak penyusun minyak menggunakan kromatografi gas. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yaitu jenis pelarut organik (dengan tingkat kepolaran yang berbeda), yaitu : A (pelarut etil asetat), B (pelarut etil asetat dan dietil eter (1:1)), C (pelarut dietil eter), D (pelarut dietil eter dan heksn (1:1)) dan E (pelarut heksan). Dan setiap perlakuan diulang 2 kali. Data–data dianalisis statistik dengan analisis varian dan bila ada perbedaaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT ) pada taraf 5 %. Hasil dan Pembahasan Rendemen Minyak Biji Carica Dieng Ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan berbagai pelarut terhadap biji Carica Dieng menghasilkan rerata rendemen minyak berkisar antara 33,33%35,33%. Rendemen minyak ini lebih tinggi bila dibandingkan minyak biji komersial lain seperti kedele dan jagung. Minyak kedele sebesar 19,5% dan minyak jagung hanya 3,97% (Ketaren, 2008). Rendemen minyak biji Carica Dieng pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil peneliti lain. Minyak biji Carica yang diteliti oleh Marfo dkk (1986) sebesar 28,2%, Sigh (1990) sebesar 25,3%, Kunarto (1993) rendemen minyak biji pepaya sebesar 32%, dan menurut Puangsri dkk (2004), kadar minyak biji Carica sebesar (30,7 ± 0,7)%.
72
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Bilangan Iod Minyak Biji Carica Dieng Bilangan iod minyak biji Carica Dieng pada penelitian ini berkisar antara 62,22-84,11 dan termasuk non drying oil karena kurang dari 90. Bilangan iod minyak biji Carica masih termasuk dalam range bilangan iod minyak makan komersial. Bilangan iod minyak kelapa 10,5, minyak kelapa sawit 58, minyak kedele 117-141 (Ketaren, 2008), minyak kacang 90,10 (Anonim,2010) dan minyak jagung 125-128 (Richana dan Suarni, 2007). Bilangan iod minyak biji Carica ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata Bilangan Iod Minyak Biji Carica Dieng Perlakun Pelarut A ( etil asetat) B (etil asetat : dietil eter) C (dietil eter) D (dietil eter : heksn) E (pelarut heksan)
Bilangan Iod 62.2177 d 66.5500 c 79.2490 b 79.7233 b 84.1130 a
Keterangan: 1. Hasil merupakan rerata dari 3 kali ulangan 2. Rerata yang diikuti dengan superskrip yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (p< 0,05).
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai pelarut organik memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap bilangan iod minyak biji Carica. Semakin non polar pelarut yang digunakan untuk ekstraksi, menghasilkan minyak biji Carica dengan komponen asam lemak tak jenuh yang tinggi, sehingga mempunyai bilangan iod yang semakin tinggi. Pada penelitian ini pelarut heksan merupakan pelarut yang paling non polar, sehingga minyak biji Carica Dieng yang dihasilkan mempunyai bilangan iod paling tinggi dengan komponen asam lemak tak jenuh sebesar 90% yang terdiri dari asam oleat, lioleat dan linolenat. Hal ini sesuai dengan Sudarmadjii dkk (1996) dan Ketaren (2008) yang menyatakan bahwa bilangan iod mencerminkan ketidak jenuhan asam lemak penyusun minyak. Banyaknya iod yang diikat menunjukkan banyaknya ikatan rangkap. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Bilangan Penyabunan Minyak Biji Carica Dieng Bilangan penyabunan minyak biji Carica Dieng pada penelitian ini berkisar antara 206,35-281,60 (Tabel 2). Minyak biji Carica Dieng hasil ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi dibandingkan minyak makan komersial, namun minyak yang diekstrak menggunakan dietil eter dan heksan masih dalam kisaran angka penyabunan minyak makan komersial. Angka penyabunan minyak kelapa 250-265, minyak 73
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kelapa sawit 249, minyak kedele 195, minyak jagung 191 (Ketaren, 2008) dan minyak kacang 188,10 (Anonim, 2010). Tabel 2. Rerata Bilangan Penyabunan Minyak Biji Carica Dieng Perlakun Pelarut Bilangan Penyabunan 281.6053 a A ( etil asetat) 265.2748 ab B (etil asetat : dietil eter) 210.3855 b C (dietil eter) 207.3617 b D (dietil eter : heksan) 206.3535 b E (pelarut heksan) Keterangan: 1. Hasil merupakan rerata dari 3 kali ulangan. 2. Rerata yang diikuti dengan superskrip yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (p< 0,05).
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pelarut organik memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap bilangan penyabunan minyak biji Carica Dieng. Minyak biji Carica Dieng yang diekstrak menggunakan heksan mempunyai bilangan penyabunan paling rendah karena total berat molekul asam lemak penyusun minyak paling tinggi, yaitu 279,2. Menurut Sudarmadji dkk (1996) dan Ketaren (2008) terdapat korelasi antara berat molekul dan bilangan penyabunan, dimana semakin tinggi berat molekul, maka bilangan penyabunannya semakin rendah. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Bilangan Asam dan Asam Lemak Bebas Minyak Biji Carica Dieng Tabel 3. Rerata Bilangan Asam dan Asam Lemak Bebas Minyak Biji Carica Dieng Perlakuan Pelarut Bilangan Asam Lemak Bebas (%) Asam A ( etil asetat) 8.2067 a 4.1236a b 6.1153 3,0730b B (etil asetat : dietil eter) c 5.7827 2,9060c C (dietil eter) d 5.3360 2,6817d D (dietil eter : heksan) 2.9383 e 1,4763e E (pelarut heksan) Keterangan: 1. Hasil merupakan rerata dari 3 kali ulangan 2. Rerata pada kolom yang sama yang diikuti dengan superskrip yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (p< 0,05).
Bilangan asam minyak biji Carica Dieng pada penelitian ini berkisar antara 2,94-8,21, sedangkan asam lemak bebas 1,48-5,46%. (Tabel 3). Analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan pelarut organik berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap bilangan asam dan asam lemak bebas minyak biji Carica Dieng. Minyak biji Carica Dieng yang diekstrak menggunakan etil asetat mempunyai bilangan asam paling tinggi, karena mempunyai asam lemak yang besar. Menurut 74
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Sudarmadji dkk. (1996) etil asetat mempunyai konstata dielektrikum yang paling tinggi dibandingkan dietil eter maupun heksan. Konstanta dielektrikum etil asetat, dietil eter dan heksan berturut-turut adalah 6,02; 3,34 dan 1,89. Semakin besar konstanta dieletrikum menunjukkan semakin polar. Etil asetat juga mempunyai sifat sedikit larut dalam air. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Komposisi Asam Lemak Penyusun Minyak Biji Carica Dieng Susunan asam lemak minyak biji Carica Dieng menyerupai minyak kacang tanah, minyak kedele dan minyak jagung. Komponen asam lemak penyusun minyak biji Carica Dieng terdiri dari asam lemak jenuh {asam laurat (C12:0), asam miristat (C14:0), asam palmitat (C16:0)} dan asam lemak tak jenuh {asam oleat (C18:1), asam linoleat (C18:2) asam linolenat (C18:3)}. Secara rinci komposisi asam lemak penyusun minyak biji Carica ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Komposisi Asam Lemak Penyusun Minyak Biji Carica Dieng (%) Jenis Pelarut A(etil asetat) B (etil asetat : dietil eter /1:1) C (dietil eter) D(dietileter:heksan (1:1)) E(heksan)
ALJ dan ALTJ ALJ =18,7 ALTJ=81,3 ALJ =11,3 ALTJ = 88 7 ALTJ=11,1 ALTJ =88,9 ALJ =11 ALTJ =89 ALTJ=10 ALTJ = 90
As. Laurat 1.363 5
As. Miristat
As. Palmitat
As. Oleat
As. Linoleat
As. Linolenat
6.5084
10.7915
69.0817
11.5619
0.6930
-
0.0550
11.3228
75.8501
12.3600
0.4122
-
0.0588
11.2393
75.7281
12.4998
0.4740
-
-
11.0076
76.3716
12.1602
0.4606
-
-
10.0773
75.2400
12.6985
1.9842
Keterangan : ALJ : Asam Lemak Jenuh dan ALTJ : Asam Lemak Tak Jenuh
Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Bobot Jenis Minyak Biji Carica Dieng Besarnya bobot jenis suatu minyak merupakan hasil perbandingan berat suatu volume minyak pada suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama (Ketaren, 1985). Bobot jenis minyak biji Carica berkisar antara 0.910.88 (Tabel 5). Analisis ragam menunjukkan bahwa pelarut pada ekstraksi minyak biji carica dieng berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap bobot jenis minyak yang dihasilkan. Tabel 5. Rerata Bobot Jenis Minyak Biji Carica Dieng Perlakun Pelarut Bobot Jenis A ( etil asetat) 0.9130 a B (etil asetat : dietil eter) 0.9100 ab C (dietil eter) 0.9070 b D (dietil eter : heksn) 0.8897 c E (pelarut heksan) 0.8833 d Keterangan: 1. Hasil merupakan rerata dari 3 kali ulangan 2. Rerata pada kolom yang sama yang diikuti dengan superskrip yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (p< 0,05).
75
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Bobot jenis tertinggi terdapat pada pelarut etil asetat (0.9130) dan diikuti oleh perut etil asetat : dietil eter (0.9100), dietil eter (0.9070), dietil eter : heksan (0.8897) dan terendah adalah pelarut heksan (0.8833). Besarnya bobot jenis suatu minyak bisa dipengaruhi oleh jenis dan jumlah komponen kimia di dalam minyak (Wiyono dkk., 2000). Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Indeks Bias Minyak Biji Carica Dieng Tabel 6. Rerata Indek Bias Minyak Biji Carica Dieng Perlakun Pelarut A ( etil asetat) B (etil asetat : dietil eter) C (dietil eter) D (dietil eter : heksan) E (pelarut heksan)
Indek Bias 1.4493 c 1.4517 bc 1.4553 ab 1.4557 ab 1.4577 a
Keterangan: 1. Hasil merupakan rerata dari 3 kali ulangan 2. Rerata pada kolom yang sama yang diikuti dengan superskrip yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (p< 0,05).
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berbagai pelarut organik memberi pengaruh nyata (p<0,05) terhadap indeks bias minyak biji Carica Dieng. Rerata Indeks bias minyak biji Carica dieng ditunjukkan pada Tabel 6. Indeks bias minyak biji Carica Dieng berkisar antara 1,45 – 1,46 hampir sama dengan indeks bias minyak kacang tanah (1,46), minyak sawit (1,46 – 1,46), minyak kedelai (1,47 -1,46) dan minyak wijen 1,48. Berdasarkan indeks biasnya minyak biji Carica Dieng bisa digunakan sebagai minyak makan. Hasil pengujian minyak biji Carica Dieng menunjukkan bahwa indeks bias minyak terendah adalah dengan pelarut etil asetat besarnya 1,4493; sedangkan tertinggi dengan pelarut heksan besarnya 1,4577. Hal ini menujukkan bahwa pelarut heksan menghasilkan minyak biji Carica Dieng yang lebih murni dibanding dengan pelarut lainnya. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Titik Cair Minyak Biji Carica Dieng Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap titik cair minyak biji Carica Dieng. Setelah diuji dengan uji DMRT pada taraf 5 % diperoleh hasil seperti pada Tabel 7. Minyak biji Carica Dieng tertinggi pada pelarut etil asetat (8,7 oC) dan terendah pada pelarut heksan (5,3 oC). Apabila dibandingkan dengan titik cair minyak kacang tanah (-5,5 – 2,2 oC) (Kunarto, 1992), maka titik cair biji Carica Dieng relatif lebih tinggi, tetapi bila dibandingkan dengan titik cair kelapa ((24-26 o C) (Kunarto, 1992), maka titik cair minyak biji Carica Dieng lebih rendah. Weis (1990) juga menyatakan bahwa semakin panjang rantai karbon, akan semakin tinggi titik cairnya dan sebaliknya. Disamping itu, titik cair minyak juga mempengaruhi jenis, jumlah dan posisi asam-asam lemak penyusunnya pada molekul trigliserida. 76
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 7. Rerata Titik Cair (oC) Minyak Biji Carica Dieng Perlakun Pelarut A ( etil asetat) B (etil asetat : dietil eter) C (dietil eter) D (dietil eter : heksan) E (pelarut heksan)
Titik Cair 8.6667 a 7.6667 ab 6.6667 bc 5.6667 cd 5.3333 d
Keterangan: 1. Hasil merupakan rerata dari 3 kali ulangan 2. Rerata pada kolom yang sama yang diikuti dengan superskrip yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (p< 0,05).
Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Titik Asap Minyak Biji Carica Dieng Analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap titik asap minyak biji Carica Dieng. Setelah diuji dengan uji DMRT pada taraf 5 % diperoleh hasil seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Rerata Titik Asap (oC) Minyak Biji Carica Dieng Perlakun Pelarut Titik Asap A ( etil asetat) 205.6667 c B (etil asetat : dietil eter) 207.3333 c C (dietil eter) 209.3333 b D (dietil eter : heksan) 210.6667 b E (pelarut heksan) 217.0000 a Keterangan: 1. Hasil merupakan rerata dari 3 kali ulangan 2. Rerata pada kolom yang sama yang diikuti dengan superskrip yang berbeda menunjukkan beda nyata antar perlakuan (p< 0,05).
Menurut Satrik (2010), minyak yang baik apabila memiliki titik asap yang cukup tinggi yaitu di atas 250oC. Namun bila minyak tersebut digunakan secara berulang-ulang, titik asapnya akan menurun, sehingga akrolein semakin cepat terbentuk. Dikatakan pula bahwa minyak yang baik apabila memiliki titik asap yang cukup tinggi yaitu di atas 250 oC, namun bila minyak tersebut digunakan secara berulang-ulang, titik asapnya akan menurun, sehingga akrolein semakin cepat terbentuk. Titik asap minyak biji Carica Dieng berkisar antara 205,7 – 217 o C. Titik asap tertinggi pada pelarut heksan yaitu 217 oC dan terendah pada pelarut etil asetat yaitu 205,7oC. Apabila dibandingkan dengan titik asap minyak jagung, minyak biji kapas dan minyak kacang berkisar pada suhu 232 oC (Faridaz dkk, 1992), maka titik asap biji Carica Dieng relatif lebih rendah. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa Perlakuan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap sifat kimia, fisik dan organoleptik minyak biji Carica Dieng. Karakteristik minyak biji Carica Dieng yang terbaik pada pelarut heksan. 77
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Minyak Biji Carica Dieng dengan pelarut heksa mempunyai karakteristik kimia berupa : bilangan iod (84.11), bilangan penyabunan (206,35), bilangan asam (8,21), asam lemak bebas (1,48%) dan Komponen asam lemak jenuhnya : asam laurat, asam miristat, asam palmitat dan asam lemak tak jenuh : asam oleat, asam linoleat, asam linolenat. Karakteristik Fisiknya : bobot jenis (0.88), Indeks bias (1,45), Titik cair (5,3oC) dan titik asap (217 oC). Karakteristik minyak biji Carica Dieng memungkinkan untuk dikonsumsi sebagai minyak makan. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Haslina, M.Si, Ir. Bambang Kunarto, MP dan Dwi Estiyani, Amd yang telah banyak membantu baik tenaga maupun ilmunya dalam penelitian ini. Dafar Pustaka Anonim. 2010. Minyak Kacang. http://www.docstoc.com/docs/28979880/ minyak-kacang-tanah Anonim 2010a. Dietil eter. http. //id.wikipedia.org/wiki/Dietil_eter (Diakses Juni 2010). Anonim 2010b. Etil Asetat. http.//id.wikipedia.org/wiki/Etil Asetat (Diakses Juni 2010). Anonim 2010c. Jeksan. http. //id.wikipedia.org/wiki/Heksan (Diakses Juni 2010) AOAC, 2000. Official Methods of Association of Agricultural Analytical Chemists. Association of Analytical Chemists, Inc. Arlington, Virginia, USA. Brown G. G. 1950. Unit Operations. John Willey and His Son Inc. New York Copley dan Van Arsdel. 1964. Food Dehyration. AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. USA. Efendi, E. 2000. Mikroenkapsulasi Minyak Atsiri Jahe dengan Campuran Gum ArabMaltodekstrin dan Variasi Suhu Inlet Spray Dryer. Tesis Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. Hadiwiyoto, S., S. Naruki dan Suhardi 1981. Pemanfaatan Biji Pepaya untuk Bahan Makanan. FTP UGM Yogyakarta Ketaren, S. 1986. Pengantar teknologi minyak atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. Ketaren S. 2001. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta. Kunarto, B. 1992. Pengaruh Metoda Ekstraksi dan Karakterisasi Minyak Biji Pepaya (Carica papaya). FTP-UGM Yogyakarta. Murdyati, G.S. (dan Supriyanto). 1986. Teknologi Pengolahan Minyak. Pusat Antar Universitas Ilmu Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Puangsri, T., S.M. Abdulkarim dan H. M. Ghazali. 2004. Properties of Carica papaya L. (Papaya) Seed Oil Following Extration Using Solvent and Aqueus Enzymatis Methodes. Journal of Food Lipids 12:62-76. Raharjo, S. 2004. Kerusakan Oksidasi Pada Makanan. PAU Pangan dan Gizi UGM. Respati, 1980. Pengantar Kimia Organik II. Aksara Baru, Jakarta. Richana dan Suarni. 2008. Teknologi Pengolahan Jagung. http://balitsereal.litbang. deptan.go.id/ind /bjagung/duatiga.pdf Sudarmadji, S., Suhardi dan B. Haryono. 1996. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1996. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Winarno, F.G. 1982. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Indonesia, Jakarta. Wiyono, B. Hartoyo dan Poedji Hastoeti. 2000. Sifat dasar minyak keruing dan kemungkinan penerapan baku mutunya. Buletin Penelitian Hasil Hutan. 18 (2) 123-135. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor.
78
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI BERBASIS WEB HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN (Studi Kasus Kabupaten Boyolali) Choirul Anam1, Fatah Yasin Al Irsyadi2, Yusuf S. Nugroho3, 1 Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta 2,3 Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta Email:
[email protected] Abstrak Aplikasi berbasis web bisa digunakan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat di segala penjuru tanpa bertemu secara langsung. Selama ini Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Boyolali dalam mengolah data dan memberikan informasinya masih secara manual sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk disampaikan kepada masyarakat. Sistem Informasi Hasil Pertanian dan Perkebunan merupakan sistem berbasis web yang digunakan untuk memberikan informasi tentang hasil pertanian dan perkebunan demi menunjang kelancaran kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Boyolali. Sistem ini dibangun dengan menggunakan bahasa pemrograman PHP untuk merancang interface webnya, MySQL sebagai pengolah data-data yang berhubungan dengan hasil pertanian dan perkebunan dan Apache yang digunakan sebagai web server dalam perancangan. Sistem ini dibagi menjadi dua kategori user yaitu public user dan administrator. Setiap user diberi hak fasilitas akses masing-masing tergantung dari level user saat login. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sistem informasi hasil pertanian dan perkebunan ini dapat membantu dinas terkait dalam memberikan informasinya terhadap pengunjung dengan cepat dan mudah tanpa harus bertemu langsung dengan masyarakat yang membutuhkan. Kata kunci : Sistem Informasi, Pertanian, Perkebunan, Web, PHP, MySQL Pendahuluan Perkembangan internet saat ini sangat cepat dibandingkan dengan masa awal kehadirannya. Web merupakan salah satu sumber daya internet yang berkembang pesat dan telah menyebar ke seluruh dunia. Tidak hanya terbatas pada lembagalembaga penelitian yang ingin mempublikasikan hasil risetnya, namun juga banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan untuk mendukung kelancaran usahanya, dari sekedar penyampaian informasi hingga penyelenggaraan bisnisnya sendiri. Saat ini Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Boyolali dalam mengelola dan menyampaikan informasinya masih menggunakan cara 79
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
manual. Pencatatan data-data terkait hasil pertanian dan perkebunan masih dilakukan dengan menggunakan metode penulisan di buku laporan. Penyampaian informasi-informasinya juga dilakukan dengan bertemu secara langsung untuk membantu kesulitan yang dialami oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan banyak kendala yang sering dihadapi oleh Dinas sendiri dan waktu yang dibutuhkan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat cukup lama. Seiring dengan perkembangan internet yang semakin pesat dan dengan melihat permasalahan tersebut maka dalam dibuat suatu rancangan aplikasi sistem informasi pada bidang pertanian yang digunakan untuk membantu menyampaikan informasi hasil pertanian dan perkebunan. Sistem ini diharapkan dapat memudahkan Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Boyolali dalam mengolah data-datanya dan memudahkan dalam menyampaikan informasi pertanian dan perkebunan mulai dari hasil-hasil pertanian hingga informasi tentang harganya. Selain itu sistem informasi ini dapat memberikan manfaat yang sangat berguna bagi masyarakat untuk mengetahui informasi dalam bidang pertanian melalui internet tanpa harus bertemu secara langsung dengan dinas terkait. Bahan dan Metode Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam perancangan sistem informasi pertanian dan perkebunan yaitu: 1. Data-data Pertanian dan Perkebunan, yang meliputi sayur-sayuran, buahbuahan, padi dan palawija yang terdapat di Kabupaten Boyolali. Data merupakan bentuk yang masih mentah dan belum dapat memberikan suatu informasi, sehingga perlu diolah lebih lanjut. Data diolah melalui suatu model untuk dihasilkan suatu informasi. Penerima informasi kemudian membuat keputusan dan melakukan tindakan yang akan menghasilkan sejumlah data. Data tersebut kemudian diproses kembali lewat suatu model dan seterusnya membentuk sebuah siklus yang disebut siklus informasi (information cycle). Dengan adanya sistem ini diharapkan informasi yang disampaikan kepada masyarakat dapat memiliki kualitas. Kualitas informasi (quality of information) ditentukan oleh tiga hal, yaitu akurat (accurate), tepat pada waktunya (timely) dan relevant. Akurat, berarti informasi harus jelas, bebas dari kesalahan-kesalahan dan tidak menyesatkan. Informasi harus akurat karena dari sumber informasi sampai ke penerima informasi kemungkinan banyak terjadi ganggguan (noise) yang dapat merubah atau merusak informasi tersebut. Tepat pada waktunya, berarti informasi yang datang pada penerima tidak boleh terlambat. Informasi yang sudah usang tidak akan mempunyai nilai lagi, karena informasi harus didapat dengan cepat, diperlukan teknologi muktahir untuk mendapatkan, mengolah dan 80
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
mengirimkan informasi. Hal ini menyebabkan mahalnya nilai informasi. Releven, berarti bahwa sistim informasi tersebut memiliki manfaat dan berguna bagi pemakainya.
Gambar 1. Siklus informasi Sedangkan nilai suatu informasi (value of information) ditentukan oleh dua hal, yaitu manfaat dan biaya untuk mendapatkannya. Suatu informasi dikatakan bernilai tinggi apabila manfaatnya lebih efektif dibandingkan dengan biaya untuk mendapatkannya. 2. Perangkat lunak yang meliputi : 2.1 PHP PHP (Personal Home Page Tools) adalah sebuah bahasa scripting yang dibundel dengan HTML, yang dijalankan di sisi server. Sebagian perintahnya berasal dari bahasa C, Java dan Perl dengan beberapa tambahan fungsi khusus PHP. Bahasa ini memungkinkan para pembuat aplikasi web menyajikan halaman HTML dinamis dan interaktif dengan cepat dan mudah, yang dihasilkan server. PHP juga dimaksudkan untuk mengganti teknologi lama seperti CGI (Common Gateway Interface). 2.2 MySQL MySQL merupakan sistem manajemen basis data terhubung (relational database management system). Basis data relasional digunakan untuk menyimpan data pada tabel-tabel yang terpisah sehingga akan menambah kecepatan dan fleksibilitasnya. Kata SQL pada MySQL merupakan singkatan dari “Structured Query Language”. SQL merupakan bahasa standar yang digunakan untuk mengakses database dan ditetapkan oleh ANSI/ISO SQL Standard.
81
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam perancangan dan pembuatan sistem ini sebagai berikut: 1. Studi pustaka Tahap ini dilakukan dengan cara pengumpulan data dari literatur, paket modul dan panduan, buku-buku pedoman, buku-buku perpustakaan dan segala kepustakaan lainnya yang dianggap perlu dan mendukung. 2. Observasi Observasi adalah metode untuk mendapatkan data dengan melakukan pengamatan langsung dan pencatatan data-data terkait tanpa mengajukan pertanyaan. 3. Interview Metode ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan terhadap responden yang terlibat dan mendukung permasalahan. 4. Analisis sistem Data yang terkumpul melalui instrumen akan dianalisis dengan fokus pada fungsi sistem informasi dan manajemen. 5. Perancangan dan pembuatan sistem. Perancangan dilakukan sebelum masuk ke tahap pembuatan sistem Studi Pustaka
Pengujian Sistem
Observasi
Perancangan Sistem
Interview
Analisis Sistem
Gambar 2. Alur Perancangan dan Pembuatan Sistem Informasi Perancangan sistem secara umum dilakukan untuk memberikan gambaran secara umum kepada user tentang bagaimana sistem informasi pertanian dan perkebunan ini dibangun. Rancangan ini mengidentifikasikan komponenkomponen sistem informasi yang akan dirancang secara rinci (detail design) dan desain sistem secara umum (general system design). Tahap analisis sistem dilakukan sebelum tahap desain sistem (system design) yang merupakan tahap kritis dan sangat penting, karena kesalahan ditahap ini akan menyebabkan kesalahan di tahap berikutnya. Analisis sistem (system analysis) dapat didefinisikan sebagai penguraian dari sistem informasi yang utuh ke dalam bagian-bagian komponennya dengan maksud mengidentifikasikan dan mengevaluasi permasalahan, kesempatan, hambatan-hambatan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan yang diharapkan sehingga dapat diusulkan untuk dilakukan suatu perbaikan.
82
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tahap perancangan sistem informasi ini diterapkan pada dua diagram halaman web yang diijinkan untuk diakses berdasarkan katagori atau tingkat user, yaitu halaman akses yang hanya bisa diakses oleh public user dan halaman akses yang diijinkan untuk diakses oleh administrator.
Gambar 3. Diagram Halaman Akses oleh Public User Data-data yang akan ditampilkan dalam halaman web sistem informasi pertanian dan perkebunan ini disimpan dalam sebuah database yang terdiri dari 5 tabel yang saling berhubungan atau memiliki relasi dan 6 tabel yang berdiri sendiri. Relasi adalah sebuah bentuk hubungan antara beberapa data yang dikelompokkan dalam sebuah tabel. Bentuk hubungan ini sangat dibutuhkan untuk memperoleh informasi antar tabel dan digunakan untuk mendokumentasikan berbagai informasi. Relasional merupakan bentuk hubungan antara dua tabel atau lebih, yang salah satu tabel anggotanya akan memiliki bentuk ketergantungan yang erat, sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan secara menyendiri. Dengan adanya hubungan ini sebuah data dapat disimpan dengan struktur yang terorganisir sehingga dapat memudahkan untuk mendapatkan informasi dan mengelola basis datanya. Perancangan relasi antar tabel dalam sistem informasi hasil pertanian berbasis web ini diterapkan dalam suatu diagram entity relationship dengan menggunakan perangkat lunak DBDesigner.
83
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 4. Diagram Halaman Akses oleh Administrator
84
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 5. Diagram Entity-Relationship pada tabel yang saling berhubungan
Gambar 6. Diagram Entity-Relationship pada tabel yang tidak memiliki hubungan
85
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
6. Pengujian sistem Pengujian dilakukan secara detail terhadap sistem informasi hasil pertanian dan perkebunan. Pengujian sistem ini diaplikasikan secara online dengan menggunakan hubungan client-server.
Gambar 7. Hubungan client-server dengan database Hasil dan Pembahasan Tahap pengujian adalah tahap yang sangat penting untuk dilakukan. Hal ini digunakan untuk memeriksa dan memastikan bahwa sistem yang dibangun sudah terkonfigurasi dengan baik dan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan pada perancangan sistem. Pengujian dilakukan secara offline yang diuji dengan localhost melalui web browser dengan komputer stand alone (menggunakan satu computer tidak terkoneksi dalam jaringan). Hal-hal yang diujikan dalam sistem informasi ini digolongkan dalam 2 kategori pengaksesan sebagai berikut : 1. Akses public user terhadap sistem informasi. 2. Akses administrator terhadap sistem informasi Public user merupakan user yang memiliki level hak akses terendah terhadap aplikasi. Menu-menu yang terdapat pada halaman ini dikelompokkan menjadi empat bagian. Menu utama terdiri dari halaman depan, sejarah, profil, visi misi dan kontak kami. Menu informasi harga dan hasil terdiri dari info harga pertanian, info hasil pertanian, lihat grafik harga, lihat grafik hasil. Menu informasi lain terdiri dari kegiatan dinas, struktur organisasi, kritik dan saran. Menu halaman utama adalah merupakan halaman depan dari dinas pertanian kabupaten boyolali. Halaman depan (index) adalah halaman utama saat pertama kali user melakukan pengaksesan.
86
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 8. Tampilan halaman depan akses public user
Gambar 9. Tampilan halaman informasi harga
87
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 10. Tampilan halaman kritik dan saran User administrator merupakan user yang memiliki level hak akses tertinggi terhadap sistem. Administrator adalah orang yang memiliki kekuasaan penuh dalam database sistem informasi hasil pertanian ini, dan dapat memonitor semua data yang terdapat dalam database. Menu-menu yang terdapat pada halaman administrator dikelompokkan menjadi empat bagian. Menu administrator terdiri dari form isi menu, ubah menu, ubah data pribadi dan tambah kecamatan. Menu info harga dan hasil terdiri dari input jenis, input sub jenis, input harga sub jenis, lihat harga, input hasil sub jenis, dan lihat hasil. Menu informasi lain terdiri dari kegiatan dinas, kritik dan saran, tambah pegawai baru, lihat data pegawai, kemudian log out. Menu home adalah merupakan halaman utama admin dari dinas pertanian kabupaten boyolali. Setelah admin berhasil melakukan autentifikasi, yaitu mengakses user dan password pada menu Login, maka sistem akan membukakan halaman utama administrator pertama yang diakses admin adalah halaman index/ halaman utama. Halaman utama administrator ini berisi link-link yang menunjuk ke menu yang lain.
88
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 11. Tampilan halaman login oleh administrator
Gambar 12. Tampilan halaman pengisian menu oleh administrator
89
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 13. Tampilan halaman pengisian daftar harga oleh administrator Kesimpulan Berdasarkan hasil implementasi sistem informasi pertanian dan perkebunana ini dapat diambil suatu kesimpulan: 1. Dapat membantu dan mempermudah dinas terkait untuk mengelola datadatanya dan menyampaikan informasi kepada masyarakat. 2. Masyarakat lebih mudah dan cepat dalam memperoleh informasi tentang pertanian dan perkebunan. 3. Sistem informasi hasil pertanian dan perkebunan ini dapat diterapkan di daerah-daerah lain dengan mengubah sedikit tampilan-tampilan halaman webnya. Daftar Pustaka Kadir, Abdul. 2002. Dasar Pemrograman Web Dinamis Dengan Menggunakan PHP. Andi Offset. Yogyakarta. Kurniawan, Y. 2002. Aplikasi Web Database Dengan PHP Dan MySQL. Jakarta : Elex Media Komputindo. Pramono, Andi, Syafii, M. 2005. Kolaborasi Flash, Dreamweaver, dan PHP untuk Aplikasi Web Site.Yogyakarta : Andi.
90
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
OPTIMASI SUSU SKIM DAN PERBANDINGAN MIKROBIA (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) PADA PEMBUATAN YOGHURT SUSU KECIPIR Siti Tamaroh1) dan Agus Slamet1) 1) Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri Universitas Mercu Buana Yogyakarta Email:
[email protected] Abstrak Harga kedelai saat ini mengalami peningkatan, sehingga produk olahan kedelai menjadi mahal. Potensi kacang-kacangan di Indonesia beragam, diantaranya adalah biji kecipir. Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), berkadar protein tinggi (32,8%) setara dengan kadar protein kedelai (35,1%). Berdasarkan kadar proteinnya yang setara dengan kedelai, maka kacang kecipir dapat diolah menjadi yoghurt. Kualitas yoghurt yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah susu skim dan perbandingan jumlah mikrobia Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Untuk menghasilkan yoghurt yang sesuai dengan syarat mutu menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dan diterima oleh konsumen, maka diperlukan optimasi jumlah susu skim dan perbandingan jumlah mikrobia Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang tepat. Penelitian ini menggunakan dua faktor yaitu variasi susu skim dan perbandingan jumlah mikrobia Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Variasi susu skim yang digunakan adalah 4%, 6% dan 8%, sedangkan perbandingan jumlah mikrobia Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang digunakan adalah 1:1, 1:2 dan 2:1. Yoghurt yang dihasilkan dianalisis : kadar air, protein, abu, pH, keasaman dan zat padat terlarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, konsentrasi skim 6% dan jenis mikrobia Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dengan perbandingan 1:2 menghasilkan yoghurt susu kacang kecipir yang sesuai dengan SNI. Kriteria yoghurt susu kecipir yang dihasilkan pada adalah sebagai berikut kadar air 88,29%, kadar protein 2,53%, kadar abu 0,45%, pH 3,5 keasaman (asam laktat) 0,51%, dan zat padat terlarut 6,19%. Keywords : yoghurt, susu skim, jenis mikrobia
Pendahuluan Yoghurt adalah minuman probiotik yang bermanfaat menurunkan kolesterol, melindungi infeksi intestin, kanker kolon, antikarsinogenik, antihipertensi dan meningkatkan HDL kolesterol (Drake, dkk. 2000; Donkor, dkk. 2005; Rossi, dkk.2007). Murti (2006), menyatakan bahwa yoghurt susu kedelai yang difermentasi dengan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus akan diperoleh yoghurt dengan total bakteri asam laktat 1,5 X 106 sel/g yang berpotensi sebagai minuman probiotik/pangan fungsional. 91
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Harga kedelai saat ini mengalami peningkatan, sehingga produk olahan kedelai menjadi mahal. Potensi kacang-kacangan di Indonesia beragam, diantaranya kacang kecipir. Kacang kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), berkadar protein tinggi (32,8%) setara dengan kadar protein kedelai (35,1%) (Haryoto, 2002). Komponen asam amino protein kacang kecipir terdapat lengkap, setara dengan asam amino pada protein kedelai (Nurchasanah, 2004). Kacang kecipir di Indonesia mudah diperoleh, tanamannya bersifat tahan kekeringan, harganya murah dan berpotensi sebagai bahan baku yoghurt nabati. Untuk menghasilkan yoghurt kecipir yang yang disukai perlu optimasi konsentrasi susu skim dan optimasi jumlah perbandingan jenis mikrobia Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Tujuan penelitian menentukan jumlah susu skim dan perbandingan jenis mikrobia S. thermopillus dan L. bulgaricus yang tepat sehingga dihasilkan yoghurt kecipir yang memenuhi syarat SNI. Metode Penelitian Bahan Penelitian Bahan penelitian adalah biji kecipir yang diperoleh dari Pasar Beringharjo Yogyakarta. Starter untuk pembuatan yoghurt adalah mikrobia Lactobacillus bulgaricus FNCC-041 dan Streptococcus thermophillus FNCC-040 dari Laboratorium Mikrobiologi PAU Pangan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Susu skim dan bahan tambahan lain diperoleh dari toko di daerah kota Yogyakarta. Peralatan Autoklaf (Rinnai TL-200C), inkubator (Memmert), oven (Memmert), pH meter (Metrohm 620), neraca analitik (Sartorius, Ohaus), enkas, almari pendingin, magnetik stirer, vortex, , peralatan gelas (erlemeyer, petridish). Cara Penelitian Pembuatan yoghurt susu kecipir diawali dengan pembuatan susu biji kecipir. Pembuatan susu kacang kecipir adalah sebagai berikut : perendaman kacang kecipir selama 24 jam, perebusan selama 15 menit dengan ditambahkan 2 gram NaHCO3 , penirisan, penghancuran, penyaringan dan pemanasan pada suhu 70-80oC selama 15 menit dan penyaringan. Proses pembuatan yoghurt susu kecipir adalah sebagai berikut : homogenisasi dengan ditambahkan gula pasir 4%, perlakuan penambahan susu skim dengan variaasi 4, 6 dan 8%, pasteurisasi pada suhu 90oC selama 15 menit, pendinginan pada suhu kamar, inokulasi dengan Starter 5% L. bulgaricus dan S. thermophillus dengan variasi 1:1; 1:2 dan 2:1, Inkubasi 37oC, 17 jam. Yoghurt susu kecipir dianalisis kadar air, pH, keasaman total,kadar abu,kadar protein, zat padat terlarut. Rancangan Percobaan Pembuatan yoghurt susu kacang kecipir : Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Blok Lengkap, terdiri dari 2 faktor perlakuan, 92
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
yaitu konsentrasi skim (4%,6%,8%) dan konsentrasi starter yang ditambahkan Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dengan variasi 1:1, 1:2 dan 2:1. Data yang diperoleh diuji statistik dan apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji “Duncant New Multiple Range Test” (DMRT) pada derajat kepercayaan 5%. Analisis Analisis yang dilakukan meliputi : Uji kadar air metode termografimetri (AOAC, 1990), pH (pH-meter), kadar protein metode mikrokjeldahl (AOAC, 1990) dan zat padat terlarut ,metode penguapan (AOAC, 1990). Hasil dan Pembahasan Kadar protein kacang kecipir hasil penelitian adalah 39,39%, kadar protein ini sesuai dengan kisaran kadar protein kacang kecipir pustaka 20,7–45,9%, (Hildebrand, dkk, 1981 dalam Kanetro dan Hastuti, 2006). Perbedaan yang mungkin di antaranya karena ada pengaruh lingkungan tumbuh, kematangan biji dan jenis biji kecipir. Kadar protein kecipir yang besar, ternyata jauh lebih besar dari kadar protein kedelai 35,1% (Haryoto. 2002). Komponen asam amino protein kacang kecipir terdapat lengkap, setara dengan asam amino pada protein kedelai (Nurchasanah, 2004). Kacang kecipir di Indonesia mudah diperoleh, tanamannya bersifat tahan kekeringan, harganya murah. Kadar protein yang tinggi pada biji kecipir dan berpotensi sebagai bahan baku yoghurt nabati. Kadar Air Yoghurt Susu Kecipir Kadar air dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil uji statistik pada kadar air yoghurt susu kecipir menunjukkan tidak ada interaksi antar perlakuan perbedaan perbandingan jenis bakteri dan konsentrasi skim pada kadar air yoghurt susu kecipir. Rasio bakteri starter tidak berpengaruh pada kadar air susu kecipir. Sedangkan konsentrasi susu skim berpengarruh pada kadar air susu kecipir. Tabel 1. Kadar Air Yoghurt Susu Kecipir (% wb) Perlakuan Konsentrasi skim (%) 4 6 8
Rasio starter (LB:ST) 1:1 1:2 2:1 91,72 91,11 91,35 90,34 88,29 88,91 87,65 88,86 87,74
Rata-rata 91,39a 89,18a 88,08b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan ada beda nyata tingkat signifikansi 5 %. LB = Lactobacillus bulgaricus dan ST = Streptococcus thermophilus.
Konsentrasi skim 4% dan 6% , menghasilkan yoghurt dengan kadar air tidak berbeda yaitu rata-rata 90,29% . Kadar air ini lebih besar dibanding kadar air yoghurt susu kecipir yang dibuat dari susu kecipir diperlakukan dengan susu skim 8%. Pada penambahan skim 8%, kadar air yoghurt susu kecipir lebih kecil, hal ini 93
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
disebabkan semakin besar skim yang ditambahkan, maka jumlah padatan di dalam yoghurt semakin besar, sehingga kadar airnya semakin kecil. pH Yoghurt Susu Kecipir pH yoghurt susu kecipir disajika pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa, ada interaksi antara perlakuan rasio bakteri starter dan konsentasi skim pada pH yoghurt. Tabel 2. pH Yoghurt Susu Kecipir Perlakuan Konsentrasi skim (%) 4 6 8
1:1 3,23a 3,45c 3,58e
Rasio starter (LB:ST) 1:2 3,23a 3,49d 3,59e
2:1 3,33b 3,61e 3,61e
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan ada beda nyata tingkat signifikansi 5 %.
Semakin besar konsentrasi skim, semakin besar pH yoghurt susu kecipir. Semakin besar rasio bakteri Streptococcus thermophilus pH yoghurt semakin besar. Tamime dan Robinson (1983), menyebutkan bahwa bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus adalah yang bersifat simbiosis dalam menghasilkan asam selama proses fermentasi. Pada saat perbandingan bakteri yang digunakan sebagai starter (LB : ST) 1: 2 dan 2:1 dimungkinkan produksi asam tidak seefektif saat perbandingan bakteri yang digunakan sebagai starter (LB : ST) 1: 1. Menurut Salji dan Ismail (1983), pH yoghurt komersial 3,27 – 4,10. Sehingga pH yoghurt susu kecipir hasil penelitian ini sesuai dengan persyaratan yoghurt komersial. Keasaman Total (sebagai asam laktat %) Tabel 3. Kadar Asam Laktat Yoghurt Susu Kecipir (% ) Perlakuan Konsentrasi skim (%) 4 6 8
1:1 0,53ef 0,47d 0,34c
Rasio starter (LB:ST) 1:2 2:1 ef 0,54 0,54f 0,51e 0,51ef a 0,22 0,26b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan ada beda nyata tingkat signifikansi 5 %.
Kadar asam laktat yoghurt susu kecipir disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan analisis statistik menunjukkan ada interaksi antar perlakuan konsentrasi skim dan rasio starter pada kadar asam yoghurt susu kecipir. Semakin besar konsentrasi skim, kadar asam laktat susu kecipir semakin rendah. Rasio starter LB : ST 1:2 dan 2:1, menunjukkan kadar asam laktat yang sama, lebih tinggi dibanding kadar asam LB : ST (1:1). 94
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Ada interaksi perlakuan konsentrasi skim dan rasio starter pada kadar asam laktat yoghurt susu kecipir. Asam yang ada di dalam yoghurt merupakan produk yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus. Pada penggunaan starter LB : ST 1: 2 dan 2 : 1, ada kemungkinan aktivitas bakteri menghasilkan asam tidak berjalan dengan efektif, sehingga konsentrasi asam yang dihasilkan tidak banyak. Keasaman total yoghurt menurut SNI adalah 0,5–2 % (sebagai asam laktat). Pembuatan yoghurt dengan skim 4% dan 6%, rasio starter (LB : ST) 1:1, 1:2 dan 2:1, menghasilkan total keasaman sesuai dengan SNI yoghurt. Kadar Protein Yoghurt Susu Kecipir (%) Kadar protein yoghurt susu kecipir disajikan pada pada Tabel 4. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa, tidak ada interaksi antar perlakuan pada kadar protein yoghurt. Masing-masing perlakuan (konsentrasi skim dan perbedaan proporsi bakteri) menyebabkan perbedaan kadar protein yoghurt. Tabel 4. Kadar Protein Yoghurt Susu Kecipir (%) Perlakuan Konsentrasi skim (%) 4 6 8 Rata-rata
Rasio starter (LB:ST) 1:1 1:2 2:1 2,18 2,05 2,28 2,14 2,81 2,64 2,69 3,23 3,38 p q 2,33 2,69 2,76q
Ratarata 2,16a 2,53b 3,09c
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan ada beda nyata tingkat signifikansi 5 %.
Semakin besar konsentrasi skim, maka kadar protein semakin besar. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa skim adalah bagian susu yang komponen penyusunnya sebagian besar adalah protein, sehingga apabila ditambahkan dalam jumlah besar akan menghasilkan yoghurt dengan kadar protein yang besar pula. Skim pada pembuatan yoghurt berfungsi sebagai pembentuk tekstur yoghurt. Protein dalam skim akan mencapai titik isoelektriknya dan menggumpal karena adanya asam yang terbentuk oleh aktivitas bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang menghasilkan asam laktat (Granata dan Morr, 1986). Rasio bakteri yang ditambahkan pada pembuatan yoghurt susu kecipir berpengaruh pada kadar protein yoghurt. Rasio bakteri Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus (1:2 dan 2:1), menghasilkan yoghurt dengan kadar protein lebih besar dari yoghurt dengan rasio bakteri LB:ST (1:1). Hal ini dimungkinkan oleh adanya asam yang terbentuk oleh perlakuan rasio bakteri LB:ST (1:1) lebih banyak, sehingga sebagian besar protein pada perlakuan ini akan menggumpal, akibatnya saat dilakukan uji protein nilainya lebih rendah.
95
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kadar Abu Yoghurt Susu kecipir (%) Kadar abu yoghurt susu kecipir disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan uji statistik menunjukkan tidak ada interaksi antar perlakuan terhadap kadar abu yoghurt susu kecipir. Perlakuan konsentrasi skim berpengaruh pada kadar abu yoghurt susu kecipir, sedangkan rasio starter LB : ST tidak mempengaruhi kadar abu yoghurt susu kecipir. Tabel 5. Kadar Abu Yoghurt Susu kecipir (%) Perlakuan Konsentrasi skim (%) 4 6 8 Rata-rata
Rasio starter (LB:ST) 1:1 1:2 2:1 0,43 0,33 0,26 0,49 0,47 0,53 0,67 0,57 0,52 0,53 0,47 0,44
Rata-rata 0,34a 0,45b 0,59b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan ada beda nyata tingkat signifikansi 5 %.
Semakin besar konsentrasi skim yan digunakan untuk pembuatan yoghurt, semakin besar kadar abu yoghurt. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa komponen penyusun skim yang digunakan untuk pembuatan yoghurt mengandung mineral. Sehingga apabila skim yang digunakan semakin banyak, maka kadar abu yoghurt yang dihasilkan juga semakin besar. Kadar abu maksimal yoghurt menurut SNI 1992 adalah maksimal 1%. Kadar abu yoghurt hasil penelitian ini dari semua perlakuan sesuai dengan SNI 1992. Zat Padat Terlarut Yoghurt Susu Kecipir (% wb) Zat padat terlarut yang ada dalam yoghurt susu kecipir diantaranya terdiri dari karbohidrat dan protein. Komponen asam dan bahan volatil dimungkinkan tidak termasuk dalam zat padat terlarut, karena pada proses analisa dilakukan preparasi pemanasan yang akan mengakibatkan bahan yang mudah menguap akan hilang. Kadar zat padat terlarut yoghurt susu kecipir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar Zat Padat Terlarut Yoghurt Susu Kecipir (% wb) Perlakuan Konsentrasi skim (%) 4 6 8 Rata-rata
1:1 5,43 6,33 7,58 6,45m
Rasio starter (LB:ST) 1:2 2:1 6,83 5,11 8,62 6,97 7,69 6,49 6,19m 7,72n
Rata-rata 5,79a 7,26b 7,31b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan ada beda nyata tingkat signifikansi 5 %. Dari Tabel 6, menunjukkan tidak ada interaksi antar perlakuan terhadap kadar ZPT yoghurt susu kecipir. Perlakuan konsentrasi skim berpengaruh pada 96
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kadar ZPT yoghurt susu kecipir, dan perlakuan rasio bakteri berpengaruh pada kadar ZPT yoghurt susu kecipir. Konsentrasi skim semakin besar (6 dan 8%), maka kadar ZPT yoghurt susu kecipir semakin besar. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, susu skim sebagian besar penyusunnya adalah protein. Komponen penyusun ZPT yoghurt diantaranya adalah protein, sehingga semakin banyak susu skim yang ditambahkan semakin besar ZPT yoghurt. Kadar ZPT pada yoghurt yang dibuat dari rasio starter LB:ST (2:1) lebih besar dari LB:ST (1:1 dan 1:2), hal ini dimungkinkan terjadi karena asam yang terbentuk pada perlakuan tersebut lebih sedikit, sehingga protein yang terkoagulasi lebih sedikit, kadar ZPT rendah. Kesimpulan Konsentrasi skim 6% dan jenis mikrobia Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dengan perbandingan 1:2 menghasilkan yoghurt susu kacang kecipir yang sesuai dengan SNI dan disukai. Kriteria yoghurt susu kecipir yang dihasilkan pada adalah sebagai berikut kadar air 88,29%, kadar protein 2,53%, kadar abu 0,45%, pH 3,5 keasaman (asam laktat) 0,51%, dan zat padat terlarut 6,19%. Daftar Pustaka AOAC. 1990. Official Methos of Analysis of The Assosiation of Official Analitical Chemist.
Washington D.C. Donkor,O.N., Anders Henriksson, Todor Vasiljevik and Nagendra P. Shah. 2005. Probiotik Strains as Starter Cultures Improve Angiostensin-converting Enzyme Inhibitory activity in Soy Yoghurt. Food Microbiology and Safety. Vol 70, Nr. 8. Drake, M.A., Chen, X.Q., Tamarapu and Leenanon. 2000. Soy Protein Fortfication Affect Sensory, Chemichal, and Microbiological Properties of Dairy Yoghurt. JFS. Vol. 65, No 7. P 1244-1247. Granata, D. dan Morr,C.V. 1986. Comparison of milk-based and Soymilk-based Yogurt. JFS. 55(2). 532- 536. Haryoto. 2002. Susu dan Yoghurt Kecipir. Kanisius. Yogyakarta. http://novelss.wordpress.com/2009/03/27/probiotik/ Ahad 22 nov 2009. Kanetro, B dan Hastuti, S. 2006. Ragam Produk Olahan Kacang-kacangan. Unwama Press. Yogyakarta. Murti, S.T.C. 2006. Pembuatan Bubuk Yoghurt Susu Kedelai dengan Proses Pengeringan (Spray Drier) dan Penambahan Gum Arab. Laporan Penelitian Dosen Muda. DIKTI. Nuraida, L. 1996. Minuman dan Makanan Fungsional : Bifidobakteria. Kursus Singkat “Makanan Fungsional dan Keamanan Pangan”. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. 8-9 Juli. Nurchasanah. 2004. Tempe Kecipir Beras. Cakrawala pikiran Rakyat, Kamis, Oktober. www.pikiran-rakyat.com. Diacces 5 Mei 2008. Rossi, E.A., Vendramini, R.C., Carlos, I.Z., de Olievera, M.G. and de Valdez, G.F. 2005. Effect of New Fermented Soy Milk Product on serum Lipid Level in Normocholesterolemic Adult Men. Process Biochem. Vol 40, P 1791-1797. Salji, J.P. dan A.A. Ismail. 1983. Effect Initial Acidity of Plain Yogurt and Acidity Changes During Refrigerated Storage. J. Food Sci. 48 : 258-259. SNI. 1992. Komoditi Pangan dan Perkebunan. Departemen Perindustrian. RI. Sudomo, 2007. Penyandang Stroke Cenderung Meningkat. Yayasan Stroke Indonesia.
[email protected]. Diacces 5 Mei 2008. Tamime, A.Y dan Robinson, K.A. 1983. Yogurt Science and Technology. Pergamon Press. Oxford. New York. Toronto. Sydney. Paris. Frankfurt.
97
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
OPTIMASI PROPORSI CAMPURAN GLUTEN DAN GUM ARAB SERTA PENAMBAHAN ASAM STEARAT DALAM PEMBUATAN EDIBLE FILM DAN APLIKASINYA UNTUK PELAPISAN KACANG BAWANG RENDAH LEMAK R.R. Ermi Rachmawati dan Ch. Lilis Suryani Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Abstrak Proses pembuatan kacang rendah lemak meningkatkan sifat higroskopisitas bahan sehingga lebih cepat mlempem dan tengik. Untuk dapatmemperlambat penyerapan air dapat dilakukan dengan pelapisan dengan edible film dari bahan campuran gluten dan gum arab. Pada penelitian ini dilakukan penentuan proporsi campuran gluten dan gum arab (80%:20%; 70%:30%; dan 60%:40% b/b) dan persentase penambahan asam lemak (0,1%, 0,2% dan 0,3% b/b terhadap berat bahan) yang optimal. Edible film yang diperoleh diuji karakteristiknya yang meliputi ketebalan, persen pemanjangan, kuat tarik, permeabilitas dan laju transmisi uap air. Edible film yang terbaik digunakan untuk pelapisan kacang bawang rendah lemak dan diuji umur simpannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil proporsi gluten dan semakin besar persentase penambahan asam stearat akan meningkatkan ketebalan film. Sebaliknya semakin besar proporsi gluten dan persentase penambahan asam stearat sampai dengan 0,2% dapat memperbaiki kuat tarik dan permeabilitas dan WVTR edible film yang dihasilkan. Berdasarkan karakteristik tersebut dapat disimpulkan bahwa edible film yang terbaik diperoleh dengan bahan campuran gluten dan gum arab dengan perbandingan 70%:30% dan dengan penambahan asam stearat 0,2%. Penggunaan campuran gluten dan gum arab dengan perbandingan 70% : 30% serta asam stearat 0,2% sebagai bahan pelapisan kacang bawang rendah lemak dapat meningkatkan umur simpan produk hingga 1,55 kali. Kata kunci: edible film, gluten, gum arab, asam stearat, kacang rendah lemak
Pendahuluan Salah satu hasil olahan kacang tanah adalah kacang bawang rendah lemak. Proses pembuatan kacang bawang rendah lemak tersebut melalui beberapa tahap yaitu sortasi, pengeringan, pengepresan, rekonstitusi, pengeringan dan penggorengan (Noor, 1987). Proses pengepresan kacang akan meningkatkan higroskopisitas produk sehingga menjadi lebih cepat mlempem dan tengik. Untuk mengurangi laju higroskopisitas dan memperlambat proses ketengikan, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah pelapisan dengan edible film. Edible film adalah suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi makanan (coating) atau diletakkan diantara 98
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
komponen makanan (film) yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa (misalnya kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut) dan atau sebagai pembawa aditif serta untuk meningkatkan penanganan suatu makanan (Krochta, 1992). Edible film dapat dibuat dari protein, polisakarida dan substansi hidrofobik. Edible film berbahan protein bermacam jenisnya, misalnya dari kolagen, gelatin, protein jagung (corn sein), protein gandum (wheat gluten), protein kedelai (soy protein), kasein dan protein whey. Pembuatan edible film dari protein mempunyai kelebihan dari lainnya, yakni kemampuan dalam membentuk jaringan yang lebih baik ketika memperbaiki sifat barrier dari edible film. Selain itu, karakteristik dari protein berorientasi pada matriks film sehingga sifat plastis dan elastis dapat terbentuk sempurna pada edible film berbahan protein (Tanada-Palmu dan Grosso, 2003). Sedangkan menurut Nisperos-Carriedo (1994) pelapisan dengan gum arab pada biji kemiri dapat mengurangi penyerapan air, kenampakan berminyak dan menjadikannya makanan rendah kalori. Pelapisan dengan edible film campuran gum arab dengan gluten mampu melindungi produk berminyak maupun tidak seperti coklat, kacang, keju, dan tablet obat-obatan. Menurut Donhowe dan Fennema (1994) pelapisan dengan hidrokoloid juga dapat menghambat migrasi gas. Untuk meningkatkan sifat hidrofobisitas edible film dapat ditambahkan asam lemak. Menurut Krochta dkk. (1994) asam lemak rantai panjang seperti asam palmitat dan asam stearat umumnya digunakan karena titik didihnya yang tinggi dan sifatnya hidrofobik sehingga dapat menurunkan tingkat permeabilitas edible film terhadap uap air. Dalam penelitian ini akan diteliti optimasi rasio campuran gluten dengan gum arab serta penambahan asam stearat sehingga diperoleh edible film yang baik dan sesuai untuk pelapisan kacang bawang rendah lemak. Metode Penelitian Bahan dan alat Bahan penelitian ini adalah gum arab dan gluten komersial (merk Lowan), etanol teknis, Na OH, sorbitol, dan asam stearat serta kacang rendah lemak yang dihasilkan oleh Unit Usaha PS THP UMBY. Alat yang digunakan adalah nampan pencetak edible film, alat pengukur tekstur test zwick, mikrometer, neraca analitik, pengaduk magnetik dan kabinet drier serta alat-alat gelas lainnya. Cara penelitian Larutan edible film dari gum arab dan gluten dibuat menurut metode Nurjannah (2004) yang dimodifikasi. Gum arab dicampur dengan etanol 60% sebanyak 36 ml, dan ditambah dengan Na OH 1 N 8 ml dari berat gum arab. 99
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Larutan tersebut ditambah dengan 22 ml aquades, gluten sesuai dengan proporsinya dan sorbitol 30% serta asam stearat 0,1, 0,2 dan 0,3% (b/b dari campuran gum arab dan gluten). Penggunaan gluten : gum arab adalah 80%:20%; 70%:30% dan 60%:40%. Larutan kemudian dipanaskan pada suhu 85oC selama 10 menit sambil terus diaduk hingga larutan homogen. Setelah larutan homogen dituang dalam nampan plastik dan dibiarkan menyebar dengan sendirinya, kemudian dikeringkan dalam kabinet drier pada suhu 50oC selama 18 jam. Edible film yang terbentuk disimpan dalam plastik sebelum dianalisis. Pengukuran karakteristik edible film Edible film yang diperoleh diuji karakteristiknya yang meliputi ukuran ketebalannya dengan alat pengukur mikrometer dengan ketelitian hingga 0,0001 mm, kuat tarik dan persen pemanjangan diukur menggunakan alat pengukur tekstur test zwick serta sifat permeabilitas terhadap uap air dan WVTR dengan metode gravimetri (ASTM, 1995 dalam Marseno, 2000). Uji aplikasi edible film Edible film yang terpilih berdasarkan karakteristik yang diuji tersebut digunakan untuk edible coating kacang rendah lemak yang kemudian diuji umur simpannya. Larutan edible film dibuat sesuai metode sebelumnya dengan proporsi gluten dan gum arab 70%:30% serta penambahan asam stearat 0,2%. Pada saat larutan telah homogen kemudian digunakan untuk pelapisan kacang rendah lemak dengan metode pencelupan dengan perbandingan 100 g kacang bawang rendah lemak dicelupkan dalam 50 ml larutan edible film. Pencelupan dilakukan selama 10 detik. Kacang rendah lemak baik yang dilapisi maupun tanpa pelapisan dikemas dengan plastik polipropilena 0,05 mm selama percobaan umur simpan. Percobaan umur simpan dilakukan pada kondisi penyimpanan pada suhu o 25 C dan RH 75%. Penentuan umur simpan berdasarkan kondisi kritis dilakukan terhadap produk kacang bawang rendah lemak tanpa dan dengan pelapisan edible film. Setiap hari produk ditimbang perubahan kadar airnya hingga tercapai kadar air kritisnya untuk produk kacang bawang rendah lemak yaitu pada aw 0,17 dan kadar air kritis 7,70% (Suryani dkk., 2007). Hasil dan Pembahasan Ketebalan Ketebalan film merupakan sifat fisik film yang dipengaruhi oleh konsentrasi padatan terlarut dan jenis bahan dalam larutan. Ketebalan film dikehendaki kurang dari 0,25 mm. Hasil pengukuran ketebalan film dari campuran gluten dan gum arab ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi antara rasio campuran gluten dan gum arab dengan persentase penambahan asam stearat berpengaruh nyata terhadap ketebalan edible film yang dihasilkan. Semakin kecil proporsi gluten dan semakin besar persentase penambahan asam stearat maka edible film yang terbentuk semakin tebal. 100
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Menurut Gennadios dkk. (1993) faktor yang mempengaruhi ketebalan film adalah viskositas larutannya. Hal ini karena akan mempengaruhi kemampuan penyebaran larutan setelah dituang dicetakan. Gum arab sebagai salah satu hidrokoloid mudah larut dalam air dingin maupun etanol serta membentuk larutan yang viskous dalam konsentrasi rendah sehingga semakin besar gum arab maka larutan edible film semakin kental sehingga semakin tebal. Semakin besar persentase penambahan asam stearat maka edible film yang terbentuk juga semakin tebal. Hal ini selain karena jumlah padatan dalam larutan semakin besar, diduga penambahan asam stearat akan mengurangi kerapatan partikel pembentuk film sehingga semakin tebal. Ketebalan edible film dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan, dan banyaknya total padatan dalam larutan (Park dkk.. 1996). Tabel 1. Ketebalan edible film campuran gluten dan gum arab (mm) Gluten : gum arab 80% : 20% 70% : 30% 60% : 40%
Penambahan Asam Stearat (%) 0,1
0,2
0,10 a
0,10 a
a
b
0,10 0,13
0,3 0,1 1a
0,14
0,1 6 de
0,15
0,1 7e
bc
cd
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05) Kuat tarik Kuat tarik menunjukkan kemampuan maksimal film untuk menahan tarikan dan menunjukkan integritas dan kekuatan film (Gennadios dkk., 1993). Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin besar proporsi gluten dan persentase penambahan asam stearat sampai 0,2%, kuat tarik edible film yang dihasilkan semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak gum arab dan asam stearat maka film yang terbentuk semakin mudah putus atau kurang plastis. Hal ini karena karakteristik dari protein berorientasi pada matriks film sehingga sifat plastis dan elastis dapat terbentuk sempurna pada edible film berbahan protein. Kelebihan dari edible film gluten adalah sifat kohesif dan elastis. Sifat-sifat ini dapat berguna di dalam pelapisan makanan (Tanada-Palmu and Grosso, 2003).
101
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 2. Kuat tarik edible film campuran gluten dan gum arab (N) Gluten : gum arab
Penambahan Asam Stearat (%) 0,1
0,2 bc
3,30
0,3 d
1,47 b
80% : 20%
1,86
70% : 30%
1,46 b
2,16 c
3,13 d
60% : 40%
0,86 a
0,48 a
0,36 a
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05) Asam stearat berfungsi untuk meningkatkan sifat hidrofobisitas edible film, dan menurunkan gaya intermolekuler sehingga dapat meningkatkan fleksibilitas film (Dohhowe dan Fennema, 1994). Namun jika terlalu besar penambahannya diduga dapat mengakibatkan edible film menjadi mudah robek karena gaya kohesi antar partikel pembentuk film menjadi berkurang. Persen pemanjangan Persen pemanjangan adalah persentase kemampuan film untuk memanjang. Karakteristik ini berhubungan dengan derajat plastisitas selama pembentukan film. Film dengan persen pemanjangan yang besar membutuhkan daya yang lebih sedikit pada saat diregangkan. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa semakin kecil proporsi gluten dan semakin besar persentase penambahan asam stearat maka persen pemanjangan semakin kecil. Hal ini karena karakteristik dari protein berorientasi pada matriks film sehingga sifat plastis dan elastis dapat terbentuk sempurna pada edible film. Penambahan asam lemak menurunkan kuat tarik edible film campuran gluten dan gum arab. Hal ini karena asam lemak bersifat non polar sehingga ikatan antara non polar dari asam lemak dan polar dari air lebih tidak stabil dibandingkan dengan ikatan polar dan polar. Oleh karena itu, ikatan non polar dan polar lebih mudah putus. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Astuti (2008) pada edible film chitosan. Tabel 3. Persen pemanjangan edible film campuran gluten dan gum arab (%) Gluten : gum arab
Penambahan Asam Stearat (%) 0,1
0,2 g
6,58
0,3 g
2,05 a
80% : 20%
6,62
70% : 30%
5,92 ef
6,12 f
3,95 c
60% : 40%
4,60 d
5,57 e
3,29 b
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05)
102
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Permeabilitas Permeabilitas merupakan salah satu faktor penting dalam pengemasan pangan, sebab berhubungan erat dengan umur simpan produk pangan. Nilai permeabilitas berfungsi untuk memperkirakan umur simpan produk yang dikemas dan untuk menentukan bahan yang sesuai dikemas didalamnya. Permeabilitas film sangat dipengaruhi oleh interaksi antara matrik polimer dan gas yang permeabel serta kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban relatif (RH) (Garcia dkk., 2000). Dalam penelitian ini pengukuran permeabilitas film dilakukan pada suhu 25oC dan RH 90%. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin kecil proporsi gluten permeabilitas naik, dan semakin besar presentase asam stearat permeabilitas semakin kecil. Hal ini karena semakin kecil proporsi gluten berarti semakin besar proporsi gum arab dan semakin besar gugus hidrofilik dalam edible film sehingga semakin permeabel, sebaliknya semakin besar asam stearat sifat hidrofobisitasnya semakin besar sehingga permeabilitasnya turun. Tabel 4. Permeabilitas edible film campuran gluten dan gum arab (g uap air/hari.mmHg) Gluten : gum arab
Penambahan Asam Stearat (%) 0,1
0,2 c
0,012
0,3 ab
0,012 ab
80% : 20%
0,017
70% : 30%
0,022 d
0,009 b
0,011 ab
60% : 40%
0,018 cd
0,017 c
0,015 bc
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05)
Laju transmisi uap air (WVTR) Transmisi uap air sangat dipengaruhi oleh aw, RH, temperatur, ketebalan, jenis dan konsentrasi plasticizer dan sifat bahan pembentuk edible film. Umumnya film yang terbuat dari bahan protein dan polisakarida mempunyai nilai transmisi uap air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut merupakan polimer polar dan mempunyai jumlah ikatan hidrogen yang besar, sehingga menghasilkan penyerapan air pada RH tinggi. Akibatnya, penyerapan air tersebut akan mengganggu interaksi rantai intermolekuler, yang kemudian diikuti dengan peningkatan difusifitas dan mampu menyerap uap air dari udara (Krochta et al., 1994). Transmisi uap air terjadi pada bagian hidrofilik dari film, sehingga tingkat transmisi uap air tergantung pada rasio hidrofilik-hidrofobik dari komponen film. Transmisi uap air akan meningkat dengan peningkatan polaritas, kondisi tidak jenuh, dan derajat percabangan lipid, serta sifat absorpsi air dari bagian polar film (Gontard dkk., 1994). Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pada proporsi gluten tinggi yaitu 80%, semakin besar persentase asam stearat maka WVTR 103
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
semakin rendah, namun pada proporsi 70% dan 60% maka semakin besar asam stearat semakin besar pula WVTR. Sesuai dengan tingkat permeabilitasnya, semakin kecil proporsi gluten berarti semakin besar proporsi gum arab dan semakin besar gugus hidrofilik dalam edible film sehingga semakin permeabel, sebaliknya semakin besar asam stearat sifat hidrofobisitasnya semakin besar sehingga permeabilitasnya turun. Tabel 5. WVTR edible film campuran gluten dan gum arab (g mm/m2.jam) Gluten : gum arab
Penambahan Asam Stearat (%) 0,1
0,2
0,3
80% : 20%
1,05 bc
0,72 a
0,75 a
70% : 30%
0,88 ab
0,72 a
0,92 ab
60% : 40%
1,01 b
1,25 cd
1,32 d
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P<0,05)
Aplikasi edible film campuran gluten dan gum arab Untuk melihat kesesuaian penggunaan edible film yang terbaik yaitu dengan campuran gluten dan gum arab 70% : 30% serta penambahan asam stearat 0,2% maka dilakukan uji umur simpan kacang bawang rendah lemak. Perhitungan umur simpan berdasarkan pada kondisi kritis kacang bawang rendah lemak yaitu pada aw 0,17 dan kadar sir kritis 7,70% (Suryani dkk., 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kacang bawang rendah lemak tanpa pelapisan edible film mencapai kadar air kritis setelah disimpan selama 32,32 hari sedangkan yang dilapisi dengan edible film campuran gluten dan gum arab dapat bertahan hingga 50,32 hari. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pelapisan dengan edible film gluten dan gum arab dapat meningkatkan umur simpan kacang bawang rendah lemak. Hal ini diduga karena pelapisan dengan edible film komposit gum arab dengan gluten akan menghambat penyerapan air oleh kacang rendah lemak. Jika umur simpan kacang bawang rendah lemak dengan pelapisan edible film dibandingkan dengan umur simpan kacang rendah lemak tanpa pelapisan, maka dapat diketahui bahwa pelapisan edible film campuran gluten dan gum arab dapat memperpanjang umur simpan kacang bawang rendah lemak 1,55 kali lebih lama. Kesimpulan Semakin kecil proporsi gluten dan semakin besar persentase penambahan asam stearat akan meningkatkan ketebalan film. Sebaliknya semakin besar proporsi gluten dan persentase penambahan asam stearat sampai dengan 0,2% dapat memperbaiki kuat tarik dan permeabilitas dan WVTR edible film yang dihasilkan. Berdasarkan karateristik tersebut dapat disimpulkan bahwa edible film yang terbaik diperoleh dengan bahan campuran gluten dan gum arab dengan 104
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
perbadingan 70%:30% dan dengan penambahan asam stearat 0,2%. Penggunaan campuran gluten dan gum arab dengan perbandingan 70% : 30% serta asam stearat 0,2% sebagai bahan pelapisan kacang bawang rendah lemak dapat meningkatkan umur simpan produk hingga 1,55 kali. Daftar Pustaka Astuti, B,C., 2008. Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan Asam lemak dan Essential Oli : Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan aktivitas Antimikroba. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Bogor. Donhowe, G. dan O. Fennema, 1994. Edible Film and Coatings: Characteristic, Formation, Definitions, and Testing Methods. In: Edible Coatings and Film to Improve Food Quality. J.M. Krochta, E. A. Baldwin, dan M.O.Nisperos-Carriedo (Eds). Technomic Publishing Co.Inc. Lancaster. Basel. Garcia, M.A, M.N. Martino and N.E. Zabitzky, 2000. Lipid Addition to Improve Barrier Properties of Edible Starch-based Films and Coating. Journal of Food Science, Vol 65 (6): 941-047. Gennadios, A., C. L. Weller. and R.F. Testin, 1993. Property of Edible Wheat, Gluten-Based Film. Published in Transactions of The ASAE 36(2): 465470. Gontard, N., D.C. Cuq, J.L. Guilbert, 1986. Edible Composite Filmof Wheat Gluten and Lipids : Water Vapor Permeability and Others Physical Properties. Int. J. Food. Sci. Technol. 19:35-50. Krochta, J.M. 1992. Control of Mass Transfer in Food with Edible Coatings and Films. Di dalam : Singh, R.P. dan M.A. Wirakartakusumah (eds). Advances in Food Engineering. CRC Press : Boca Raton, F.L. : pp 517538. Krochta, J.M., Balein, E.A. and Usperos, M.O., 1994. Edible Coating and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing C0. Inc., Lancaster. Krochta, J. M. and C.D.M. Johnston, 1997. Edible and Biodegradable Polymer Films : Challenges and Opportunities. Food Tech. Vol. 51 (2) : 61-74 Marseno, D. W., 2000. Pengaruh Sorbitol Terhadap Sifat Mekanik dan Transmisi Uap Air Film dari Pati Jagung. Prosiding Seminar Nasional Industri Pangan. Noor, Z., 1987. Teknologi Pengolahan Kacang-Kacangan . Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi .UGM. Yogaykarta. Nurjannah, W., 2004. Isolasi dan Karakterisasi Alginat dari Rumput Laut Sargassum sp. untuk Pembuatan Biodegradable Film Komposit Alginat Tapioka. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Yogyakarta. Nisperos-Carriedo, M. O., 1994. Edible Coating and Film Based on Polysaccharides. In: Edible Coatings and Film to Improve Food Quality. J.M. Krochta, E. A. Baldwin, dan M.O.Nisperos-Carriedo (Eds). Technomic Publishing Co.Inc. Lancaster. Basel. Park, H.J., C.L. Weller, P.J. Vergano dan R.F. Testin. 1996. Factor Affecting Barrier and Mechanical Properties of Protein-edible, Degradable Films. New Orlean. L.A. 105
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Suryani, Ch. L., Kacang Rendak Lemak : Pengaruh Pelapisan dengan Edible Film yang Diperkaya Ekstrak Rempah-Rempah Terhadap Umur Simpan dan aktivitas Hipoglisemiknya. Laporan Hibah PHKA2 PS THP UMBY. Tanada-Palmu, P.S., dan C. Grosso., 2002. Edible Wheat Gluten Films : Development, Mechanical and Barrier Properties and Application To Strawberries. B. Ceppa. Curitiba. V.20.n.2.Jul/Dez : 292-308.
106
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KARAKTERISTIK KUE KERING DARI BEBERAPA JENIS TEPUNG UBIJALAR UNTUK MENDUKUNG DAYA SAING PRODUK PANGAN BERBASIS BAHAN BAKU LOKAL Retno Utami H.1), Erni Apriyati 1) dan Titiek F. Djafaar 1) 1)
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta E-mail:
[email protected]
Abstract Diversification of local food has been developed. Utilization of sweet potato flour in pastry-making is a form of agro-innovation to support farmer empowerment. The purpose of the assessment is to identify the chemical characteristics of dry cake (nastar and beans) from 3 types of sweet potato flour. This assessment uses primary materials derived from 100% sweet potato flour, sweet potato, from white, yellow, and purple. Observations are made to the content of each proximate pastries (nastar and beans) from 3 types of sweet potato flour is produced. The assessment indicated that the moisture content, ash, fat, fiber, and carbohydrates found in cakes nastar highest, with values as follows: 4:51%, 2:28%, 1.78%, 7.73%, 84.14%. While the highest protein content found on bean cake, amounting to 10.72%. Keywords: Nastar, beans, sweet potato flour
Pendahuluan Pada saat ini produk pangan yang berbasis bahan baku lokal telah banyak tersedia di pasar lokal maupun mancanegara baik secara kuantitas maupun ragamnya. Produk pangan berbasis bahan baku lokal ini terus digalakkan, terkait dengan program ketahanan pangan yang menjadi fokus perhatian pemerintah setelah terjadinya anomali iklim yang berkepanjangan. Salah satunya dengan melakukan penganekaragaman olahan pangan yang berbasis bahan baku lokal. Berbagai jenis olahan pangan dari bahan baku lokal, seperti dari kacangkacangan, empon-empon, maupun dari umbi-umbian terus dikembangkan. Penganekaragaman produk olahan berbasis bahan lokal juga difungsikan sebagai pengungkit nilai tambah dari bahan baku lokal itu sendiri. Rata-rata bahan baku lokal tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, hal ini disebabkan karena adanya penilaian rendah orang pada umumnya terhadap bahan baku lokal. Melakukan penganekaragaman olahan dengan tepat akan memberikan nilai jual yang lebih baik. Produk pangan hasil olahan tersebut diharapkan memiliki daya saing terhadap produk awalnya. Salah satu penganekaragaman produk pangan adalah menggunakan bahan baku yang berbasis umbi-umbian. Banyak ragam jenis tanaman umbi-umbian yang terdapat di Indonesia, salah satunya adalah ubijalar. Ubijalar diolah sedemikian rupa hingga menjadi produk 107
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
setengah jadi, yaitu tepung. Pengolahan lebih lanjut dapat dilakukan menjadi berbagai jenis produk pangan. Pembuatan tepung ubijalar memberi peluang yang besar terhadap peningkatan nilai ekonomi dari ubijalar segar. Tetapi peningkatan ini akan bertambah lagi dengan adanya pengolahan terhadap tepung ubijalar tersebut. Hal ini tidak terlepas dari ketepatan pemilihan produk pangan yang akan dibuat. Salah satu produk pangan dari tepung yang mudah dibuat dan tidak memerlukan karakteristik tepung yang spesifik serta memiliki nilai jual dan tingkat permintaan pasar yang tinggi adalah kue kering. Berbagai jenis kue kering dapat dibuat dengan menggunakan 100% tepung ubijalar tanpa ada substitusi. Semua jenis tepung ubijalar-pun dapat digunakan, akan tetapi masing-masing kue kering mempunyai karakteristik dan kesesuai terhadap bahan bakunya. Pengkajian ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang karakteristik kimia (proksimat) kue kering (nastar dan kacang) yang dibuat dari 3 jenis ubijalar. Bahan dan Metode Pengkajian dilaksanakan pada bulan Agustus s/d Oktober 2009 di Laboratorium pasca panen dan alat mesin pertanian, BPTP Yogyakarta. Bahan dan Alat Pengkajian ini menggunakan bahan utama 3 jenis ubijalar lokal (umbi ungu, kuning, dan putih) berumur 5 bulan yang merupakan hasil panen daerah lahan pasir pantai di desa Bugel, Kecamatan Sanden, Kabupaten Kulon Progo. Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pembuatan tepung dan seperangkat alat pembuatan kue nastar dan kue kacang Metode Penelitian Pengkajian ini meliputi 2 tahap, yaitu pembuatan tepung ubijalar dan pembuatan kue nastar dan kacang. Formula pembuatan kue nastar dan kue kacang berdasarkan sumber Hasbullah, 2001, yang dimodifikasi. Tepung ubi jalar dan kue kering yang
dihasilkan, kemudian dianalisa kandungan proksimat (air, abu,
protein, lemak, serat kasar dan karbohidrat) (AOAC, 1990).
108
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tahap 1. Pembuatan tepung ubijalar : Ubi jalar mentah
dikupas di dalam air dikupas, dicuci dan direndam dalam air bersih dipotong-potong (ukuran sedang)
disawut dengan food processor Sawut ubi jalar direndam dalam air bersih dipress dengan mesin hidrolik dengan mesin press dijemur Sawut kering ubi jalar ubi jalar di tepung Tepung ubi jalar diayak dengan ayakan ukuran 100 mesh Tepung ubi jalar siap diolah
(Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar) (Sumber : Antarlina dan Utomo, 1998 dalam Nur Aini,2004 yang dimodifikasi)
109
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tahap 2. Pembuatan Kue Nastar dan Kacang Mentega dan Gula halus Di mixer Adonan
Tepung Ubijalar
Telur ayam
Pencampuran Pencetakan (+isi) Hias dengan cengkih & oles kuning telur Pengovenan
Pendinginan Kue Nastar
Gambar 2. Diagram alir pembuatan kue nastar (Sumber : Anonim, 2010 yang dimodifikasi) Formula pembuatan kue kering nastar, adalah sebagai berikut : -
250 gram mentega
-
200 gram gula bubuk
-
2 kuning telur ayam
-
400 gram tepung ubi jalar
Sedangkan formula pembuatan kue kacang, yaitu sebagai berikut : -
tepung ubi jalar 150 gram
-
100 gram kacang sangrai cincang
-
150 gram gula palm
-
100 gram mentega
-
1 kuning telur
-
¼ sdt garam halus.
110
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kuning telur + Gula palm
Mixer Kacang sangrai giling, Margarin dan Tepung ubi jalar
Adonan Pencampuran Pencetakan Pengovenan Pendinginan Kue Kacang
Gambar 3. Diagram alir pembuatan kue kaca (Sumber : Anonim, 2010 yang dimodifikasi) Tahap 3. Analisa Kimia Analisa kimia dilakukan terhadap 3 jenis tepung ubi jalar dan 2 jenis kue kering (kacang dan nastar) yang dihasilkan. Komponen yang dianalisa adalah proksimat (AOAC,1990). Analisa ini digunakan untuk mengetahui masing-masing karakteristik 2 jenis kue kering dari 3 jenis tepung ubijalar yang digunakan. Hasil dan Pembahasan 1.
Analisa Kandungan Proksimat Tepung Ubi Jalar
Pada pengkajian ini, diawali dengan pembuatan tepung dari beberapa jenis ubijalar (putih, kuning, dan ungu). Hasil penepungan ke-3 jenis tepung ubi jalar tersebut, kemudian dianalisa kandungan proksimat. Pada Tabel 1. tersaji hasil analisa proksimat ke-3 jenis tepung ubi jalar, sebagai berikut :
111
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 1. Rata-rata kandungan proksimat ke-3 jenis tepung ubi jalar Jenis Tepung Ubi Jalar
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Protein
Lemak
Serat Kasar
Karbohidrat
TA (putih)
4.1053a
1.6932a
2.9997a
1.7289a
6.2609a
83.2123b
TB (kuning)
4.2829 b
1.7228a
2.4344b
1.4799a
4.2136b
85.8665c
TC (Ungu)
3.9930 a
2.4305b
3.3515c
1.5404a
7.2059c
81.4452a
Data hasil analisa kimia (proksimat) ke-3 jenis tepung ubijalar diolah menggunakan analisa one way anova dan diteruskan analisanya menggunakan analisa beda nyata. 1.a. Kadar Air Pada tepung ubi jalar, kadar air tertinggi terdapat pada tepung ubi jalar kuning. Kandungan air tepung ubi jalar kuning berbeda nyata dengan tepung ubijalar ungu dan putih. Karakteristik fisik ubi jalar ungu dan putih dalam kondisi segar cepat sekali mengalami keriput/kering, secara fisik lebih keras. Sedangkan ubijalar kuning lebih lunak, bila dikukus lebih “lenyeh”, sehingga sangatlah tepat, apabila ubi jalar kuning memiliki kandungan air yang banyak. 1.b. Kadar Abu Pada tepung ubi jalar ungu memiliki kandungan abu yang paling tinggi, dan berbeda nyata terhadap tepung ubi jalar putih dan kuning. Salah satu penyebab tingginya kadar abu, adalah warna umbi ubi jalar tersebut. Biasanya warna pekat memberikan nilai kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang terang. 1.c. Kadar Protein, Serat Kasar, dan Karbohidrat Ke-3 jenis tepung ubi jalar memiliki kandungan protein, serat kasar, dan karbohidrat yang berbeda nyata semua, dengan kandungan protein dan serat kasar tertinggi pada tepung ungu, sedangkan untuk kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada tepung kuning. 1.d. Kadar Lemak Tepung ubijalar termasuk didalam kelompok umbi-umbian. Kelompok umbi-umbian ini sangat kaya akan kandungan karbohidrat, tetapi sangat minim kandungan lemaknya. Ke-3 jenis tepung ubijalar diatas memiliki kandungan lemak yang sangat kecil dan tidak berbeda nyata. 2. Analisa Kandungan Proksimat Kue Nastar Setelah dihasilkan tepung ubijalar, maka dilakukan kajian lanjutan, yaitu pembuatan kue kering kacang dan nastar, yang masing-masing dibuat dari ke-3 jenis ubi jalar. Kue kering yang dihasilkan tersebut, kemudian dianalisa kandungan proksimat. Rata-rata kandungan proksimat kue kacang dan kue nastar tersaji pada Tabel 2. dan Tabel 3.
112
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 2. Rata-rata kandungan proksimat kue nastar dari 3 jenis ubijalar Nastar berdasar jenis UJ
Kadar Air
Kadar Abu
Kadar Protein
Lemak
Serat Kasar
Karbohidra t
NA
4.5066c
2.2784
3.0871
1.7767
5.4357
82.9157
NB
3.7474a
1.7102
3.3752
1.5524
5.4347
84.1354
NC
3.9439b
2.1227
4.0507
1.6398
7.7262
80.4409
2.a. Kadar Air Kandungan air terendah terdapat pada nastar dari tepung ubi jalar kuning. Hal ini mempunyai korelasi dengan kandungan air ketika masih menjadi tepung. Kadar air ubi jalar kuning memiliki kadar air yang berbeda nyata dengan kandungan ubi jalar ungu dan putih, yang relatif lebih tinggi. 2.b. Kadar Abu Pada kue nastar, kandungan tertinggi adalah kue dari tepung ubi jalar ungu. Kandungan ini juga mempunyai korelasi yang positif terhadap tepungnya. Kadar abu pada kue nastar berbeda nyata terhadap kue nastar putih dan kuning. 2.c. Kandungan Protein, Serat kasar, dan Karbohidrat Pada kue nastar ini kandungan ketiga komponen berbeda nyata. Perbedaannya sama pada saat masih menjadi tepung. Hal ini berarti ada korelasi antara komponen tepung dengan produk akhirnya. 2.d. Kandungan Lemak Begitu juga dengan kandungan lemaknya, kandungan ini sama atau tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya. Kandungan lemaknya setelah menjadi produk searah dengan kandungan lemak saat ubi jalar masih menjadi tepung. 3. Analisa Kandungan Proksimat Kue Kacang Tabel 3. Rata-rata kandungan proksimat kue kacang dari 3 jenis ubijalar Kacang Kadar Kadar Kadar Serat berdasar Lemak Karbohidrat Air Abu Protein Kasar jenis UJ KA 1.7228 2.4344 1.4799 4.2136 85.8665 76.7919 KB 2.4305 3.3515 1.5404 7.2059 81.4452 77.2669 KC 1.6932 2.9997 1.7289 6.2609 83.2123 78.0776 Dari beberapa tepung ubijalar diatas, selain pembuatan kue nastar, pengkajian ini juga membuat kue kacang. Dasar pemilihan kue kacang adalah untuk meningkatkan kandungan/nilai protein dari produk olahan tepung ubijalar. Hal ini terkait dengan kandungan protein tepung ubijalar yang sangat rendah. Pengkajian berharap bahwa kue kacang yang dihasilkan nantinya, bahan baku yang digunakan dapat menggantikan tepung terigu dan mempunyai kandungan gizi yang lebih baik. 113
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
3.a. Kadar air Ke-3 kue kacang dari 3 jenis tepung ubijalar, mempunyai kandungan air yang berbeda nyata antar masing-masing. Dengan kandungan air terbesar tetap dimiliki oleh kue kacang dari ubi jalar kuning. 3.b. Kadar Abu Pada kue kacang yang terbuat dari tepung ubi jalar putih memiliki kandungan abu yang paling tinggi dan berbeda nyata dengan yang berasal dari tepung ubi jalar kuning dan ungu. 3.c. Kadar Protein dan Kadar Lemak Pada kandungan protein dan lemak, ke-3 jenis tepung ubi jalar yang digunakan untuk membuat kue kacang memiliki perbedaan nyata. Kandungan lemak terbesar terdapat pada kue kacang dari tepung ubi jalar putih, sedangkan kandungan protein tertinggi dimiliki oleh kue kacang dari tepung ubi jalar kuning. 3.d. Kadar serat kasar Serat kasar ubijalar ungu memiliki kandungan yang konsisten tinggi, mulai dari saat menjadi tepung sampai dengan diolah menjadi kue kering, baik kue kacang maupun kue nastar. Hal ini menandakan bahwa penambahan bahan dan proses saat pengolahan tidak berpengaruh terhadap kandungan serat kasar. 3.e. Kadar Karbohidrat Kandungan karbohidrat kue kacang dari tepung ubi jalar putih memiliki perbedaan nyata terhadap kue kacang yang berasal dari jenis tepung ubijalar yang lain. Kesimpulan Dalam rangka pengembangan agribisnis masyarakat pedesaan melalui pemberdayaan petani, pembuatan kue kering (nastar dan kacang) dari beberapa jenis tepung ubijalar (ungu, kuning, dan putih) dapat menjadi alternatif inovasi. Sehingga produk-produk ini mempunyai daya saing baik nasional mapun internasional. Pemilihan yang tepat terhadap produk akhir akan sangat menentukan kualitas dari kandungan proksimatnya. Semakin tepat, maka kandungan proksimat produk akhir dapat mengalami peningkatan, seperti halnya pada produk kue kacang. Kandungan proteinnya meningkat sangat tinggi dibandingkan sebelum diolah . Daftar Pustaka AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Vol I, Published by AOAC International, Arlington, USA. Anonim, 2009. Tepung aneka umbi, sebuah solusi ketahanan pangan. Sinar Tani, edisi 6-12 Mei. No. 3302 Th. XXXIX. Hasbullah, 2001. Cookies Ubi Jalar. TTG Agroindustri Kecil SumBar 114
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Anonim, 2010. Resep Nastar. http://resepmasakanindonesia.idcc.info/resepnastar.htm. Diakses tanggal 30 Mei 2011. Nur Aini, 2004. Pengolahan Tepung Ubi Jalar dan Produk-Produknya Untuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Makalah Pribadi Falsafah Sains.
115
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENGARUH KANDUNGAN KIMIA BUAH DAN TEKNIK PENGEMASAN TERHADAP UMUR SIMPAN SALAK LOKAL JAWA TENGAH* Sri Hartati dan Nandariyah**
[email protected] Abstrak Buah salak memiliki sifat mudah rusak, tidak tahan lama dalam penyimpanan karena strukturnya lunak, kadar air tinggi maka perlu dilakukan teknik pengemasan yang sesuai agar buah salak tidak cepat rusak. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh macam bahan kemasan terhadap umur simpan buah salak Lokal Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman Fak. Pertanian UNS . Bahan yang digunakan adalah buah salak lokal (1) Banjarnegara, (2) Bejalen (Ambarawa) , (3) Kecandran (Salatiga), (4)) Saratan (Magelang), (5) Lawu (Tawangmangu). Alat pengemas berupa: Plastik PVC, jaring plastik, dan besek ( anyaman bambu). Analisis kimiawi buah meliputi: kadar asam, kadar tanin, karoten, kadar gula. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan: Macam bahan kemasan berupa Plastik PVC, Jaring Plastik dan Besek dan ulangan sebanyak 6 kali. Jumlah buah setiap kemasan perlakuan sebanyak 10 buah. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah utuh. Data dianalisis varian dengan uji F dan uji BNT taraf 95 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Salak Lokal Saratan mempunyai tebal daging buah tertinggi, kadar gula terendah, kadar asam terendah dan kadar tanin terendah, sedang Salak Lokal Banjarnegara mempunyai kadar gula tertinggi, kadar asam tertinggi dan kadar Tanin tertinggi. Buah salak dapat disimpan dengan menggunakan bahan kemasan Besek dan jaring mampu bertahan sampai 18 hari, sedang dengan menggunakan bahan kemasan plastik PVC hanya mampu bertahan untuk disimpan 9 sampai 12 hari.
Kata kunci : salak lokal, kadar asam, kadar tanin, bahan kemasan Pendahuluan Jawa Tengah memiliki aneka salak lokal dengan kekhasan bentuk dan rasa buah. Beberapa salak lokal Jawa Tengah yang menonjol diantaranya adalah salak lokal Banjarnegara, salak lokal Saratan, salak lokal Bejalen, salak lokal Kecandran, dan salak lokal Lawu. Petani pada umumnya belum memiliki pengetahuan pasca panen salak. Seperti buah-buahan lainnya buah salak memiliki sifat mudah rusak, tidak tahan lama dalam penyimpanan karena strukturnya lunak, kadar air tinggi maka perlu dilakukan penanganan khusus meliputi saat panen yang tepat, pembersihan buah, sortasi, grading, pengemasan, pemberian label standar dan pemberian fasilitasi pemasaran. Pada dasarnya kegiatan pasca panen buah salak harus dapat menjamin agar supaya buah salak tersebut sampai di tangan konsumen tetap memiliki mutu yang tinggi, baik tingkat keseragamannya maupun kandungan vitamin dan 116
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
mineralnya. Penanganan pasca panen sangat berpengaruh terhadap produksi salak sewaktu panen, pengumpulan dan pengangkutan (Anonim, 1992). Permasalahan lain adalah semua buah yang muncul dibiarkan tanpa ada perawatan atau penjarangan. Hal ini berakibat buah yang terbentuk kecil dan kurang manis. Permasalahan pasca panen juga merupakan hal yang perlu diperhatikan karena pada umumnya petani belum memperhatikan penanganan pasca panen buah salak. Petani belum memiliki pengetahuan tentang pentingnya penanganan pasca panen antara lain meliputi: 1) Kebersihan: karena buah salak terletak dekat pangkal batang biasanya terikut tanah yang dapat menjadi sumber penyakit. 2) Tidak memperhatikan masalah grading 3) Saat panen yang tepat perlu diperhatikan. Salak harus dipanen menjelang masak optimum, tidak boleh dipanen pada waktu masih muda. 4) Masih terdapatnya sistem panen Ngijon menyebabkan panen buah tidak memilih waktu yang tepat tetapi semua buah dipanen sehingga buah yang dihasilkan tidak seragam umurnya. Belum dimilikinya pengetahuan petani akan penanganan pasca panen mengakibatkan harga jual salak rendah sehingga petani setempat tidak menggunakan hasil panen salak sebagai sumber penghasilan utama oleh karena itu tanaman dibiarkan tanpa pemeliharaan yang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik pengemasan yang mudah diadopsi petani untuk mendapatkan hasil umur simpan buah salak terbaik; Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan Tanaman Fak. Pertanian UNS mulai April sampai Agustus 2009. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini : Buah salak lokal Jawa Tengah dari lima Kabupaten yaitu : (1) Desa Sumberejo Banjarnegara: Salak lokal Banjarnegara, (2) Desa Bejalen Kabupaten Ambarawa: Salak lokal Bejalen, (3) Desa Kecandran Kabupaten Salatiga : Salak lokal Kecandran, (4)) Desa Saratan Magelang: Salak lokal Saratan, (5) Desa Nglebak Tawangmangu: Salak Lokal Lawu, (2). Alat pengemas berupa Plastik PVC, jaring plastik, besek (anyaman bambu). Penelitian disusun dalam Rancangan Percobaan: Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan macam bahan kemasan: Plastik PVC, Jaring Plastik dan Besek Jumlah Ulangan: 6 kali. Jumlah buah dalam satu kemasan 10 buah. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah utuh setelah penyimpanan. Analisis kandungan kimia buah meliputi kadar asam, kadar tanin, kadar karoten, dan kadar gula dan fisik meliputi berat dan tebal daging buah. Data Dianalisis varian dengan uji F dan uji BNT taraf 95 %. Hasil dan Pembahasan Kadar gula, kadar tanin , kadar asam dan total karoten Buah salak mengandung berbagai zat-zat yang berkhasiat bagi kesehatan manusia. Daging buah salak berkhasiat sebagai obat mencret. Zat-zat pada buah salak diantaranya kalori, protein, karbohidrat, vitamin C, zat besi, kalsium, gula, 117
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
vitamin B, air, dan sebagainya. Purata kadar gula, kadar tanin dan total karoten dari masing-masing Salak lokal disajikan pada tabel berikut. Tabel 1. Purata kadar gula, kadar Tanin, kadar Asam dan Total KAROTEN NO
Salak Lokal
1. 2. 3. 4. 5.
Banjarnegara Bejalen Kecandran Saratan Tawangmangu
KDR GULA 0 brix 19,2667 17,6400 15,9400 12,3333 12,3333
Tanin mg/100g 252,1137 246,7675 359,5957 186,6535 285,821
Kdr Asam mgrek/100g 5,3276 4,8883 4,6414 3,2747 3,7807
Total Karoten ug/100g 2,9472 2,2830 4,0532 2,3832 1,9065
Kdr air (%) 80,69 82,59 80,46 82,00 78,74
Perbedaan kadar gula buah salak juga diduga karena pengaruh faktor lingkungan yaitu intensitas cahaya matahari. Cahaya matahari sangat berpengaruh terhadap proses fotosintesis yang mempengaruhi proses perombakan karbohidrat di dalam tanaman. Semakin tinggi intensitas cahaya matahari, proses fotosintesis semakin meningkat sehingga perombakan karbohidrat juga meningkat yang mempengaruhi kandungan kadar gula buah. Rata-rata kadar gula tertinggi salak lokal Banjarnegara yaitu 19,27 0brix tetapi mempunyai kadar asam tertinggi pula yaitu 5,33 mgrek/100g dengan kadar tanin 246,76 mg/100g.Sedang salak Tawangmangu dan salak Saratan mempunyai kadar gula terendah yaitu 12,33 mgrek/100g tetapi salak Saratan mempunyai tanin paling rendah yaitu 186,65 mg/100g. Dengan demikian salak Saratan mempunyai rasa sepet sedikit dibanding salak lokal yang lain. Kadar gula Salak bejalen adalah 17,64 0brix; dan menurut Nandariyah (2007) kadar gula rata-rata salak bejalen adalah 18,7 0brix. Kadar gula pada penelitian lebih kecil dari kadar gula pada referensi disebabkan oleh waktu panen yang masih dalam musim penghujan yang menyebabkan buah salak dengan kadar gula rendah dibandingkan saat panen pada musim kemarau.Tingginya kadar asam dipengaruhi oleh kematangan buah. Kadar asam pada buah salak yang telah matang sempurna lebih rendah dari pada kadar asam pada buah salak yang masih muda. Kematangan salak pada saat panen ratarata sama. Sehingga kematangan salak sama juga membuat semua perlakuan tidak berbeda nyata. Berat buah dan tebal daging buah Hasil Analisis ragam berat per buah masing- masing salak Lokal di 5 lokasi di Jawa Tengah menunjukkan berbeda nyata terhadap perlakuan penjarangan buah, selanjutnya dapat dilihat pada tabel 2. Salak Kecandran mempunyai ukuran yang paling besar yaitu 77, 85 g berbeda nyata dengan salak Lokal daerah lain. Sedang rata-rata berat buah salak bejalen adalah 61,65 g. Menurut Nandariyah (2007) berat buah rata-rata salak bejalen adalah 57,3 g.
118
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Perbedaan berat buah ini karena dilakukannya penjarangan sedangkan oleh Nandariyah tanpa penjarangan buah. Tabel 2. Hasil Uji Duncan taraf 5% salak lokal terhadap Berat per Buah Salak Lokal Banjarnegara Bejalen Kecandran Saratan Tawangmangu
Rerata Berat per Buah (g) 56,4708 a 61,6517 a 77,8446 b 58,1846 a 59,9808 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji duncan 5%.
Bentuk buah bervariasi tergantung pada jenis salak, kedudukan atau posisi buah dalam tandan di pohon. Umumnya bentuk buah salak adalah bulat atau segitigabulat telur terbalik dengan garis tengah tebal daging buah 1,64 sampai 2,17 cm. Tebal daging buah pada semua perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata, kecuali salak lokal Saratan mempunyai daging buah yang paling tebal.Hal ini dikarenakan buah yang dilakukan penjarangan dengan yang tanpa penjarangan tidak berbeda jauh. Dalam pengamatan tebal daging buah yang diambil adalah lebar daging buah yang ditengah sedangkan pada satu buah mempunyai lebar yang berbeda sehingga mempengaruhi berat buah tersebut. Buah yang tebal akan mempunyai berat yang besar. Tabel 3. Rerata tebal daging buah salak lokal Jawa Tengah Salak lokal
Rerata tebal daging buah (cm) 1,64 a 1,81 b 1,78 a 2,17 b 1,68 a
Banjarnegara Bejalen Kecandran Saratan Tawangmangu
Produksi tanaman dipengaruhi oleh cahaya. Cahaya tidak hanya diperlukan untuk pembentukan bunga, tetapi juga untuk pertumbuhan buah hingga dapat diperoleh buah masak (Darjanto dan Satifah, 1990). Secara fisiologis, cahaya mempunyai pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruhnya terhadap metabolisme secara langsung melalui proses fotosintesis, secara tidak langsung melalui proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Proses perkembangan yang dikendalikan oleh cahaya ditemui pada semua tahap pertumbuhan, dari penambahan tinggi tanaman sampai induksi bunga (Widiastuti et al., 2005). 119
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pengaruh pengemasan terhadap umur simpan buah Hasil analis ragam menunjukkan bahwa bahan bahan kemasan besek dan jaring berbeda nyata dengan plastik PVC terhadap umur simpan sampai 27 hari penyimpanan (pengamatan ke 9),sedang Salak Lokal menunjukkan beda nyata mulai 6 hari sampai penyimpanan 21 hari (pengamatan ke 7). Adapun purata bahan kemasan dan jenis salak lokal Jawa Tengah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Pengaruh Salak Lokal dan bahan kemasan terhadap umur simpan salak Perlakuan
I Bjnegra 9,73 a Bejalen 9,93 a Kcandran 9,67 a Saratan 9,,6 a Twmangu 10 a Besek 9,88 b Jaring 10 b Plastik 9,48 a
Pengamatan II III IV V VI VII VIII IX 9,73 b 7,93 b 6,2 ab 5,47 a 4,47 ab 2,91 a 2,07a 1,6 ab 9,2 ab 7,87 b 6,73 ab 4,87 a 3,87 a 2,87 ab 2,51 a 1,07a 9,13 ab 7,87b 6,33 ab 4,4 a 3,27 a 2,13 a 1,91 a 0,6a 8,67 a 7,2 b 6,0 b 4,93 a 3,73 a 2,53 a 2,11a 1,0a 9,73 b 9,07 a 7,6 a 7,03 b 5,67 b 4,13 b 2,93 a 2,6b 9,56 b 8,64b 6,92 b 5,92 b 4,52 b 3,15 ab 2,57ab 1,28a 9,56 b 8,76 b 7,64 b 6,28 b 5,24 b 3,68 b 3,03 b 1,92a 8,76 a 6,56a 5,16 a 3,84 a 2,84 a 1,92 a 1,32 a 0,92 a
Hasil analisis menunjukkan pengamatan pertama (3 hari penyimpanan) sampai pengamatan kesepuluh (30 hari penyimpanan) bahan kemasan Besek dan jaring menunjukkan perbedaan nyata dengan plastik PVC. Salak Lokal Tawangmangu menunjukkan perbedaan nyata umur simpan buah dibanding dengan Salak Lokal daerah lain kecuali pada pengamatan pertama dan kedelapan tidak berbeda nyata.
Gambar 1. Purata jumlah buah sehat dalam bahan kemasan besek Jumlah buah diatas 50% menunjukkan bahwa salak lokal Banjarnegara (V1) dengan bahan kemasan besek hanya mampu bertahan sampai 15 hari(pengamatan ke 5), sedangkan pada salak lokal Bejalen (V2) dan Salak Lokal Saratn (V4) 120
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
sampai penyimpanan 15 hari ,jumlah buah masih 60 % sedang Salak lokal Tawangmangu (V5) sampai 15 hari jumlah salak masih 70%.
Gambar 2. Purata jumlah buah sehat dengan bahan kemasan jaring Dengan menggunakan kemasan jaring salak mampu bertahan sampai 18 hari untuk Salak Lokal Banjarnegara (V1) , Salak Lokal Tawangmangu (V5),dengan jumlah buah salak 60%, sedang Salak lokal Bejalen (V2) sampai 18 hari dengan jumlah salak 50%.
Gambar 3. Purata jumlah buah salak sehat dengan bahan kemasan plastik Dengan menggunakan kemasan plastic, salak hanya mampu disimpan /bertahan sampai 12 hari untuk Salak Lokal Banjarnegara, Salak Lokal Bejalen dan Salak Lokal Kecandran dengan jumlah buah salak 50% (5 buah), sedangkan Salak lokal Tawangmangu bisa bertahan sampai penyimpanan 15 hari dengan jumlah buah salak 70 % (7 buah). Lokal Tawangmangu berbeda nyata terhadap 121
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
umur simpan buah dengan Salak Lokal daerah lain kecuali pada pengamatan pertama dan kedelapan tidak berbeda nyata.
Gambar 4. Purata jumlah buah sehat dalam bahan kemasan besek Dengan jumlah buah diatas 50% bahwa salak lokal Banjarnegara (V1) dengan bahan kemasan besek hanya mampu bertahan sampai 15 hari(pengamatan ke 5), sedangkan pada salak lokal Bejalen (V2) dan Salak Lokal Saratn (V4) sampai penyimpanan 15 hari ,jumlah buah masih 60 % sedang Salak lokal Tawangmangu (V5) sampai 15 hari jumlah salak masih 70%.
Gambar 5. Purata jumlah buah sehat dengan bahan kemasan jaring Dengan menggunakan kemasan jaring salak mampu bertahan sampai 18 hari untuk Salak Lokal Banjarnegara (V1) , Salak Lokal Tawangmangu 122
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
(V5),dengan jumlah buah salak 60%, sedang Salak lokal Bejalen (V2) sampai 18 hari dengan jumlah salak 50%.
Gambar 6. Purata jumlah buah salak sehat dengan bahan kemasan plastik Penggunakan kemasan plastic, salak hanya mampu disimpan bertahan sampai 12 hari untuk Salak Lokal Banjarnegara (V1) , Salak Lokal Bejalen (V2) dan Salak Lokal Kecandran (V3),dengan jumlah buah salak 50% , sedang Salak lokal Tawangmangu bisa bertahan sampai penyimpanan 15 hari dengan jumlah buah salak 70 %. Berdasarkan hasil penelitian Murtingsih et al (2002 ), Puslitbanghortikultura teknik pengemasan dan penyimpanan untuk mempertahankan kesegaran kualitas buah salak adalah buah salak dibersihkan dengan cara disikat sampai bersih kemudian dipilih yang baik, bebas dari penyakit dan seragam bentuknya. Selanjutnya dicelupkan kedalam lilin 6% yang dicampur dengan benomil 500 ppm, setelah kering dimasukkan dalam kemasan kantong polietilen 0,04 mm dengan 32 lobang kemudian dinjeksi dengan C02 2,5% dan 10% 02 lalu dimasukkan ke dalam karton atau besek, disimpan pada suhu 15ºC. Dengan cara ini dapat mempertahankan kualitas buah salak selama 21 hari. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan a. Salak Lokal Saratan mempunyai tebal daging buah tertinggi, kadar gula terendah, kadar asam terendah dan kadar tanin terendah, sedang Salak Lokal Banjarnegara mempunyai kadar gula tertinggi, kadar asam tertinggi dan kadar Tanin tertinggi. 123
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
b. Buah salak dapat disimpan dengan menggunakan bahan kemasan Besek dan jaring mampu bertahan sampai 18 hari, sedang dengan menggunakan bahan kemasan plastik PVC hanya mampu bertahan disimpan sampai 12 hari. Saran Perlu dilakukan analisis kandungan kimia buah setelah penyimpanan untuk mengetahui perubahan kandungannya yang akan berpengaruh terhadap kualitas buah salak setelah penyimpanan Ucapan Terimakasih Terimakasih sebesar-besarnya disampaikan kepada Ditjen Dikti yang telah memberikan persetujuan untuk pelaksanaan penelitian ini sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Daftar Pustaka Darjanto dan Satifah S. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Silang Buatan. PT. Gramedia. Jakarta. Murtingsih W, Dondy ASB dan Sjaifullah, 2002. Teknik Pengemasan dan Penyimpanan untuk mempertahankan kesegaran kualitas buah salak. Puslitbang-hortikultura. No. : 29 / 15 Juli 2002 Nandariyah, et all. 2007. Keragaman Kultivar Salak (Sallaca zallaca). Agrosains 6(2): 75-79. Widiastuti, L., Tohari dan Sulistyaningsih E. 2005. Pengaruh Intensitas Cahaya dan Kadar Dominsida Terhadap Pembungaan dan Kualitas Tanaman Krisan Dalam Pot. Jurnal Agrosains 18(3): 315-326.
124
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
MAKALAH POSTER
125
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENERAPAN ILMU GIZI BERBASIS MAKANAN KHAS DAERAH PADA PENDIDIKAN FORMAL Siti Supeni1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Slamet Riyadi Surakarta Abstrak Penerapan Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah pada Pendidikan Formal, merupakan salah satu upaya untuk menyehatkan masyarakat dan memasyarakatkan makanan sehat dan bergizi melalui proses pembelajaran, yang didasarkan pada makanan khas daerah melalui pendidikan formal di tingkat dasar (TK dan SD), SMP, dan SMA, yaitu: (1) pengetahuan tentang pentingnya gizi seimbang guna terciptanya keluarga sadar gizi (Kadarzi), (2) melestarikan kekayaan budaya Indonesia tentang makanan khas daerah yang bernilai gizi tinggi. Kekayaan Daerah di Indonesia: Makanan yang biasa dikonsumsi oleh nenek moyang kita, yang disebut dengan ”makanan khas daerah”, yang terbuat dari singkong, jagung, sagu, dan kacangkacangan, sekarang sudah mulai dibudidayakan lagi sebagai makanan khas yang mempunyai citarasa dan bernilai gizi tinggi tanpa bahan pengawet dan kimia yang membahayakan bagi perkembangan otak dan tubuh pada anak-anak kita, sekarang sudah banyak diminati (“back to nature”). Penerapan Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah Upaya pelayanan kesehatan, mencakup 4 hal: kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Sangat diperlukan pemahaman tentang pengaturan makanan, agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman, menganggap makanan yang sehat itu adalah yang berharga mahal, seperti beras yang enak, daging, ayam, sayuran dan buah-buahan import, memasyarakatkan kembali makanan khas daerah, sebagai upaya untuk mengkonsumsi makanan sehat alami yang digali dari potensi masing-masing daerah. Penyebab masalah Gizi dan Kesehatan: (1) Pemaham keluarga/masyarakat tentang makanan yang sehat dan bergizi sangat terbatas, perlindungan terhadap konsumen dari produkproduk yang merugikan dan berbahaya, masih sangat rendah dan sering terabaikan, menjamurnya produk-produk makanan luar negeri yang beredar di Indonesia dan dinyatakan berbahaya untuk kesehatan, banyak penyakit yang terjadi sebagai akibat dari makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi syarat, adanya keracunan makanan karena ketidaktahuan masyarakat, angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi, masalah Anemia pada wanita usia subur dan ibu hamil, banyaknya kasus-kasus gizi buruk, dan gizi lebih,makanan perlu dimodifikasi, yang dikonsumsi memenuhi nilai gizi. Solusi yang diterapkan: pada saat masih PAUD dan SD , anak sudah belajar tentang mencuci tangan, membiasakan makan sayur, ikan, tempe/tahu, makan beraneka ragam, anak sudah dapat menghindari makanan yang menggunakan penyedap buatan, pewarna, memilih makanan yang sehat. Pada saat SMP, anak sudah paham tentang perubahan fisik yang dialaminya terkait dengan kebutuhan gizi yang lebih banyak; seperti haid untuk wanita, peningkatan aktivitas untuk pria. Yang perlu doterapkan: (1) Pentingnya Pendidikan Kesehatan Untuk Anak, (2) Rajin membersihkan diri sendiri, dan lingkungannya, Pola makan sehat,dan bergizi, tidak jajan sembarangan, Pola hidup yang sehat, tidur secara teratur, olahraga yang teratur, menjauhi narkoba, rokok, minuman keras, dsb. Kesimpulan: (1) penerapan Ilmu Gizi berbasis makanan khas daerah pada pendidikan formal, dapat dilakukan dengan: mengajarkan anak didik tentang pendidikan kesehatan agar mereka memiliki kebiasaan hidup sehat. Mengenalkan dan mengkonsumsi makanan pokok khas daerah sebagai makanan unggulan (khas) di daerahnya masing-masing, (2) melibatkan anak dalam membuat rencana/pilihan makanan sehat yang akan dilakukan bersama, misalnya mencoba resep makanan sehat bagi keluarga, mengenalkan anak pada berbagai jenis makanan sehat dan bergizi, banyak mengkonsumsi sayur dan buah segar sejak dini, dan juga memberikan contoh
126
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pendidikan kesehatan, dengan cara menyediakan bahan-bahan segar, cara memasak dan penyajian makanan sehat bergizi yang menarik dalam suasana menyenangkan. Mari kita ajarkan pendidikan kesehatan pada anak-anak kita dengan berbagai metode agar menjadi anak yang sehat, dinamis, dan cerdas. Yang terpenting, orangtua harus bisa menjadi contoh positif bagi anak. Bila tak ingin punya anak”obesitas”, “lemot” (kurang cerdas), kurangilah kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak di rumah. Anak akan selalu meniru kebiasaan dan tingkah laku orang-orang di sekitarnya”. Semoga.
Pendahuluan Selama ini masih banyak pemaham di lingkungan masyarakat tentang kesehatan adalah ”sakit”. Ini tergambarkan pada kebiasaan yang terjadi seperti ingin sehat harus minum obat sementara orang tersebut tidak sakit. Masih rendahnya pelayanan kesehatan yang bersifat preventif dan promotif kepada masyarakat didik di sekolah-sekolah, yang didukung oleh upaya penanganan masalah kesehatan yang sebagian besar tertuju kepada orang sakit, mengakibatkan terwujudnya kegiatan yang hanya mau menyehatkan orang yang sakit saja, bukan mempertahankan orang sehat dengan makanan sehat dan bergizi lebih produktif. Salah satu upaya untuk menyehatkan masyarakat dan memasyarakatkan makanan sehat dan bergizi melalui proses pembelajaran, yang didasarkan pada makanan khas daerah melalui pendidikan formal di tingkat dasar (TK dan SD), SMP, dan SMA. Upaya ini mempunyai dua sisi mata pisau, yaitu: (1) memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang guna terciptanya keluarga sadar gizi (Kadarzi) dalam mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal, dan (2) melestarikan kekayaan budaya Indonesia tentang makanan khas daerah yang bernilai gizi tinggi. 1. Kekayaan Daerah di Indonesia Setiap daerah yang ada di Indonesia mempunyai berbagai kebiasaan seperti pada prosesi pernikahan, kelahiran, syukuran, panen raya, dll. Lebih menarik lagi adalah kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan dengan bahan dasar berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan secara lokal dengan proses pengolahan secara alami, kondisi seperti itu sering didefinisikan sebagai budaya. Banyak publikasi tentang budaya daerah-daerah di Indonesia yang terkenal, dan ada yang terabadikan dengan ungkapan “adat bersendikan syara, syara bersendikan Kitabullah” (bahwa adat diatur oleh masyarakat adat setempat). Patut disayangkan, bahwa sampai saat ini tidak sedikit peninggalan budaya, khususnya jenis makanan khas daerah yang sudah dilupakan, karena makanan instan yang dikonsumsi dianggap lebih praktis. Namun masih banyak yang tersisa, diantaranya adalah makanan yang biasa dikonsumsi oleh nenek moyang kita, yang disebut dengan ”makanan khas daerah”, yang terbuat dari singkong, jagung, sagu, dan kacang-kacangan, sekarang sudah mulai dibudidayakan lagi sebagai makanan khas yang mempunyai citarasa dan bernilai gizi tinggi tanpa bahan pengawet dan kimia lainnya yang membahayakan bagi perkembangan otak dan tubuh pada anak-anak kita, sekarang sudah banyak diminati (back to nature). Di Jawa contohnya: (kue Puteri (utri), gathot, randha 127
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
gulung, nagasari, thiwul, lentho,mentho, bothok, oblok-oblok, cenil, ampyang, rengginang, intip, serabi, bacem, jangan bening/loncom, dll yang sudah memasyarakat. 2. Gorontalo Daerah yang Terkenal dengan Makanan Khasnya Makanan khas Gorontalo mempunyai nilai gizi yang sangat tinggi, baik karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral (contoh pada binthe biluhuta, pilitode, ilahe, kua bugis, tiliaya, kue kerawang, dll). Apabila kita lihat komposisi zat-zat gizi yang tinggi dan dihubungkan dengan aktivitas yang dilakukan, dapatlah diartikan bahwa orang Gorontalo adalah kelompok orang yang senang bekerja keras. Ini masih dapat ditemukan pada kebiasaan para petani di Gorontalo yang berangkat ke sawah atau ladang setelah sholat subuh, kembali untuk sholat dzuhur dan kemudian dilanjutkan lagi, kembali ke rumah pada saat sebelum sholat maghrib. Kebiasaan kerja seperti ini yang dapat menyebabkan terjadinya keseimbangan aktivitas tubuh dengan jumlah energi yang dikonsumsi setiap hari. Arifasno Napu, M.Kes; Ahli Gizi pada Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo; Banyak orang Gorontalo yang sudah berumur 60 tahun ke atas mengatakan bahwa orang tua mereka, bahkan kakek mereka, dapat mencapai umur lebih tua dari mereka. Bukankah saat itu masih terbatas pelayanan kesehatan?, bukankah mereka sering melakukan perilaku buruk seperti merokok?, bukankah mereka belum menggunakan zatzat kimiawi sebagai bahan penambah citarasa dalam makanan?, bukankah mereka minum air yang diambil dari sumur atau sungai?, bukankah banyak minuman sadapan yang diminum seperti dari pohon enau?, bukankah mereka belum tersentuh oleh pelayanan kesehatan?, dll. Banyak riset yang mengatakan bahwa mengkonsumsi makanan yang alami dan sehat serta seimbang dengan aktivitas sehari-hari akan mencegah terjadinya berbagai penyakit baik infeksi maupun degeneratif. Faham kesehatan seperti ini masih terbatas diketahui oleh masyarakat yang kadang kala menyatakan bahwa kesehatan hanya identik dengan sakit. Kesehatan hanya akan berarti ketika sedang sakit dan pada saat sakit orang hanya berfikir bagaimana mendapatkan obat atau disuntik. Mengapa pada saat sehat orang tidak berfikir atau melakukan tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan status kesehatannya sehingga lebih berproduktifitas? Pemahaman lainnya yang sering ditemukan di masyarakat adalah bahwa kesehatan sebagai sebuah upaya pengobatan, sehingga tidak sedikit orang yang dalam keadaan sehat mau mengkonsumsi obat dengan alasan supaya membuat badan lebih sehat. Bukankah telah banyak diketahui bahwa obat itu adalah racun bagi tubuh jika diminum tidak sesuai dengan indikasi kesakitannya? Jika keadaan seperti ini terus berlanjut, tidak tertutup kemungkinan suatu ketika terjadi penyakit degeneratif yang diderita secara serentak oleh umat manusia karena tubuhnya dipenuhi oleh zat-zat kimia.
128
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
3.
Penerapan Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah
Upaya pelayanan kesehatan yang dilaksanakan sekarang ini dapat mencakup 4 (empat) hal yaitu kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Empat jenis pelayanan ini dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam mencapai keadaan kesehatan yang diharapkan, upaya preventif lebih baik daripada upaya kuratif. Upaya preventif diantaranya melalui pengaturan makanan dan berolahraga yang teratur serta menjaga kesehatan lingkungan dalam bentuk perilaku hidup bersih dan sehat. Saat ini sangat diperlukan pemahaman tentang pengaturan makanan, agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman yang turun temurun, yaitu menganggap makanan yang sehat itu adalah yang berharga mahal atau berasal dari bahan makanan yang mahal, seperti beras yang enak, daging, ayam, sayuran import, buah-buahan import, dll. Paham ini dapat dibenahi dengan memasyarakatkan kembali makanan khas daerah pada masyarakat sebagai upaya untuk mengkonsumsi makanan sehat alami. Makanan khas daerah mempunyai cita rasa yang sangat enak sehingga, perlu dikembangkan sebagai bagian dari pelestarian budaya Indonesia. Sudah tentu hal ini harus terintegrasi dengan upaya lain yang terkait dengan keberadaan makanan khas tersebut. Integrasi yang dimaksudkan adalah tentang ilmu yang berhubungan dengan analisis, pemanfaatannya dan proses-proses yang lainnya sehingga meyakinkan bahwa makanan khas daerah ini dapat mencegah terjadinya berbagai penyakit. Ilmu tersebut adalah ilmu gizi dan ilmu kesehatan secara umum. Sangatlah cocok dipadukan dengan ilmu gizi, sehingga dapat diistilahkan dengan ”ilmu gizi berbasis makanan khas daerah”. Untuk mengimplementasikan ”Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah” dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pendidikan formal secara berjenjang baik di tingkat dasar (TK dan SD), SMP maupun SMA. Olehnya sangatlah dibutuhkan suatu kerja sama yang berkesinambungan antara institusi terkait dan didukung sepenuhnya oleh unsur pimpinan daerah, legislatif, maupun masyarakat itu sendiri. Penerapan ilmu gizi berbasis makanan khas daerah pada jenjang pendidikan formal dapat memutus mata rantai penyebab masalah gizi dan kesehatan. Masalah-masalah tersebut diantaranya gizi kurang, gizi buruk, gizi lebih dan masalah kesehatan yang bersifat degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, kanker, hipertensi, dll. Adapun masalah-masalah yang dimaksudkan diantaranya: 1. Paham masyarakat tentang makanan yang baik dan bergizi sangat terbatas yang berarti keluarga belum sadar gizi. 2. Perlindungan terhadap konsumen dari produk-produk yang merugikan dan berbahaya, masih sangat rendah dan sering terabaikan. 3. Menjamurnya produk-produk makanan yang bermutu rendah dan bahkan merugikan kesehatan. 129
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
4. Menjamurnya produk-produk luar negeri yang beredar di Indonesia dan telah dinyatakan berbahaya untuk kesehatan. 5. Banyak penyakit yang terjadi sebagai akibat dari makanan yang dikonsumsi tidak memenuhi syarat. 6. Adanya keracunan makanan karena ketidaktahuan masyarakat. 7. Angka kematian ibu dan bayi yang masih tinggi yang didasari oleh permasalahan perdarahan sebagai dampak dari anemia. 8. Masalah Anemia pada wanita usia subur dan ibu hamil yang menyebabkan perdarahan sebagai pencetus terjadinya kematian. 9. Banyaknya kasus-kasus gizi buruk dan gizi lebih. 10. Adanya tradisi-tradisi dalam mengkonsumsi makanan yang perlu dimodifikasi sehingga makanan yang dikonsumsi memenuhi nilai gizi. 11. Masalah kekurangan yodium. 12. Pelestarian dan pengembangan budaya sebagai sumber daya yang dimiliki,dll. 1.
2. 3.
4.
Solusi yang diterapkan sebagai ilustrasi dalam penerapannya: Pada saat masih PAUD anak sudah belajar tentang mencuci tangan, membiasakan makan sayur, membiasakan makan ikan, makan tempe/tahu, makan beraneka ragam. Pada saat SD anak sudah dapat menghindari makanan yang menggunakan penyedap buatan, pewarna buatan, memilih makanan yang sehat. Pada saat SMP, anak sudah paham tentang perubahan fisik yang dialaminya terkait dengan kebutuhan gizi yang lebih banyak; seperti haid untuk wanita, peningkatan aktivitas untuk pria. Pada saaat SMA, anak sudah lebih memahami tentang makanan yang dibutuhkan untuk ibu hamil, ibu menyusui, balita, untuk kebugaran, dll.
Bukankah hal ini sangat mendukung lebih dini tercapainya upaya pencegahan daripada pengobatan sehingga dapat menjamin dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal? Bukankah hal ini dapat mencegah lebih dini terjadinya berbagai gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh makanan? Bukankah hal ini dapat mendukung tercapainya status gizi masyarakat yang lebih baik? Bukankah hal ini dapat meningkatkan produktivitas masyarakat sehingga dapat bekerja dengan baik dan tidak sakit-sakitan?. Sesungguhnya penerapan Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah dapat berdampak langsung sekalipun dalam waktu jangka panjang untuk meningkatkan kualitas (Indonesian Nutrition Network -- www.gizi.net ©2008) 4 Human Development Index (HDI) baik bidang kesehatan, pendidikan maupun pendapatan. Khusus untuk bidang kesehatan dapat menurunkan kematian ibu, kematian bayi, memperbaiki status gizi dan meningkatkan umur harapan hidup. Atas dasar kajian-kajian seperti terurai di atas, pemerintah perlu memfasilitasi sebuah kerja sama antara Dinas Kesehatan dengan Dinas 130
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pendidikan, didukung oleh DPRD setempat, tentang penerapan “Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah” pada pendidikan formal di tingkat dasar sampai sekolah menengah. Kerjasama ini mengatur berbagai hal diantaranya: persiapan menyangkut tenaga, penyusunan kurikulum dan bahan ajar, penganggaran, sistem praktek, sistem pelatihan bagi tenaga pengajar, sistem monitoring dan evaluasi. Kita merasa yakin melalui media dalam proses pembelajaran di sekolahsekolah,tentang “Penerapan Ilmu Gizi Berbasis Makanan Khas Daerah” dapat menopang terciptanya keluarga sadar gizi (Kadarzi) untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat melalui jenjang pendidikan yang optimal. 4. Pentingnya Pendidikan Kesehatan Untuk Anak Anak adalah pribadi yang unik. Ia bukanlah seorang dewasa yang bertubuh kecil. Namun ia adalah sosok pribadi yang berada dalam masa pertumbuhan, baik secara fisik, mental dan intelektual. Sehat merupakan sebuah hasil yang memerlukan proses atau usaha. Memahami arti pentingnya kesehatan diri harus dimulai sejak dini, agar hasil itu bisa dirasakan di kemudian hari. Pendidikan kesehatan harus diajarkan sejak dini pada anak, karena anak sehat menjadi cerminan keluarga yang juga sehat. Dalam memberikan Pendidikan kesehatan pada anak, seringkali orang tua dan guru hanya membatasi pada kesehatan tubuh saja. Padahal, ini tidak hanya membahas pada fisik tubuh, tetapi juga berkaitan dengan kesehatan mental, perubahan sikap, perubahan kebiasaan dan perubahan cara pandang. Pencegahan dan penyadaran harus menjadi prioritas utama. Kita sebaiknya mengatakan pada anak-anak tentang cara mencegah dan melindungi diri dari sakit. Kita perlu mengajarkan hal-hal yang kecil dan sederhana yang dapat mereka lakukan sendiri tentang kesehatan, khususnya dalam memilih makanan yang sehat dan bergizi. Beberapa kebiasaan sehat berikut di bawah ini merupakan contoh pendidikan kesehatan yang dapat kita ajarkan pada anak, yaitu: 1. Rajin membersihkan diri sendiri dengan mandi dua kali sehari, sikat gigi, rajin mencuci tangan dengan sabun sampai bersih, memotong kuku tangan dan kaki serta membersihkannya, menggunakan pakaian yang bersih dan rapi. 2. Rajin membersihkan lingkungan membantu orang tua bersih-bersih rumah, tidak membuang sampah sembarangan, gemar membersihkan kamar tidur pribadi 3. Pola makan sehat, memakan makanan dan minuman yang bergizi, tidak jajan sembarangan yang tidak terjamin kebersihannya/tidak higienis, membatasi makanan ringan atau snack dengan bahan pengawet dan zat pewarna yang tidak berstandart, tidak makan berlebihan agar tidak obesitas, membekali anak untuk membedakan makanan yang baik dan buruk untuk kesehatan. 4. Pola hidup yang sehat, tidur secara teratur dan cukup, olahraga yang teratur dan rutin, menjauhi narkoba, rokok, minuman keras, dsb.
131
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kesimpulan Penerapan Ilmu Gizi berbasis makanan khas daerah pada pendidikan formal, dapat dilakukan dengan melalui mengajarkan anak didik tentang pendidikan kesehatan agar mereka memiliki kebiasaan hidup sehat tak cukup hanya lewat nasehat. Yang terpenting, orangtua harus bisa menjadi contoh positif bagi anak. Jika tidak ingin anak anda merokok, tunjukkan pada mereka bahwa anda tidak mempunyai kebiasaan tersebut. Bila tak ingin punya anak obesitas, kurangilah kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak di rumah. Anak selalu meniru kebiasaan dan tingkah laku orang-orang di sekitarnya. Melibatkan anak dalam membuat rencana/pilihan makanan sehat yang akan dilakukan bersama, misalnya acara bersepeda sekeluarga atau mencoba resep makanan sehat bagi keluarga. Mengenalkan anak pada berbagai jenis makanan sehat dan bergizi, banyak mengkonsumsi sayur dan buah segar sejak dini, dan juga memberikan contoh pendidikan kesehatan yang penting. Misalnya dengan cara menyediakan bahan-bahan segar, cara memasak dan penyajian makanan sehat bergizi yang menarik dalam suasana menyenangkan. Anak-anak adalah generasi penerus kita yang akan menggantikan keberadaan kita. Anak yang sehat umumnya akan tumbuh berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat. Orang yang sehat akan memiliki banyak peluang dalam kehidupan di dunia dibandingkan dengan orang yang sakit-sakitan. Untuk itu, mari kita ajarkan pendidikan kesehatan pada anak-anak kita dengan berbagai metode agar mereka dapat menjadi anak yang sehat, dinamis, dan cerdas. Pentingnya Pendidikan Kesehatan Makanan dan Gizi Untuk Anak ” Yang terpenting, orangtua harus bisa menjadi contoh positif bagi anak. Bila tak ingin punya anak”obesitas”, “lemot” (kurang cerdas), kurangilah kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak di rumah. Anak akan selalu meniru kebiasaan dan tingkah laku orang di sekitarnya”. Semoga. Daftar Pustaka Beach, Jeff Haris,Jr, 1990, Managing People at Work: Concepts and Cases in Interpersonal Behavior, John Willey& son, Inc, Canada Hardjana, Andre, 2001, Tantangan Otonomi Pendidikan di Abad XXI, Atma nan Jaya, Majalah Ilmiah Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Jakarta Indonesian Nutrition Network -- www.gizi.net ©2008) Kerlinger, Fred. N, 1990, Asas-asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Redja Mudyahardjo. (2001). Pengantar Pendidikan (Sebuah Studi Awal Tentang dasar-dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo. Wills, Elmer. At all.(1961). The Foundations of Modern Education, Toronto. London, Third Edition, Holt, Rinehart and Watson.
132
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KARAKTERISTIK TEH HERBAL CELUP DENGAN FORMULASI TEH HITAM, JAHE, DAN ROSELLA Aniek Wulandari1, Cucut Prakosa1, Dyah Isthi Puspitasari2 1
.Staf Pengajar,2 Alumni FTP Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Widya Dharma Klaten, email:
[email protected], email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi minuman teh herbal yang kaya gizi dan disukai oleh konsumen. Penelitian dibuat dengan Rancangan Acak Lengkap dengan formulasi teh hitam, jahe dan rosella terdiri dari F1(50:40:10), F2(50:30:20), F3(50:25:25), F4(50:20:30), dan F5(50:10:40). Parameter pengamatan kimia terdiri dari kadar air, abu, vitamin C, uji fisik terhadap warna seduhan teh, serta uji organoleptik untuk menentukan kesukaan konsumen yang terdiri dari uji warna, rasa dan kesukaan seduhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi teh hitam, jahe dan rosella berpengaruh sangat nyata terhadap vitamin C, antioksidan, warna seduhan, warna, rasa dan kesukaan, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar abu teh herbal. Berdasarkan uji tersebut formulasi terbaik adalah F3(50:25:25) dengan karakteristik produk memiki kadar air 9,67%, kadar abu 6,33%, vit C 20,09mg/100g, warna seduhan absorbansi 0,038, warna coklat ke coklat kemerahan, rasa sedikit sepat, pedas, masam dengan tingkat kesukaan 7,60. Kata Kunci: teh celup, minuman herbal, mutu teh Abstract The objective of this research is to determine the formulation of herbal tea that is rich in nutrients and preferred by consumers. This research used completely randomized design with formulation of black tea: ginger: roselle and consists of F1 (50:40:10), F2 (50:30:20), F3 (50:25:25), F4 (50:20:30) and F5 (50:10:40). Chemical parameters consist of moisture, ash, vitamin C whilst physical parameter is steeping tea color and organoleptic parameter consists color, taste and steeping to determine consumer preference. The result show that the formulation has significant effect for vitamin C, steeping tea color , taste and preference and non significant for moisture content and ash. Based on examination, the best formulation is F3 (50:25:25) that has 9.67% moisture content, 6.33% ash, 20.09 mg/100g vitamin C, 0.038 absorbance steeping color, brown-to-redish color, a little astringent, spicy and sour and preference level 7.60
Keywords: tea bag, herbal drink, quality of tea Pendahuluan Teh (Camelia sinensis L. Kuntze) termasuk salah satu bahan penyegar terpopuler di dunia. Teh sebagai minuman penyegar diseduh menggunakan air panas dari bahan pucuk daun atau tangkai daun yang sudah dikeringkan dari 133
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
tanaman Camelilla sinensis. Istilah teh juga dipergunakan untuk beberapa jenis buah, rempah, atau tanaman obat lain yang dikeringkan dan juga diseduh sebagai minuman (Anonim, 2009). Konsumsi teh hitam di dunia mencapai 69%, teh hijau 28% dan 3% teh jenis lainnya, sedangkan konsumsi di Indonesia hanya 330 gram per kapita per tahun, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara penghasil teh seperti Srilangka, Maroko, India, Irlandia dan Qatar (Anonim 2011). Berdasarkan pengolahannya teh terbagi menjadi teh hitam, teh oolong dan teh hijau. Teh hitam diperoleh dari pengolahan teh melalui proses fermentasi, sehingga warna seduhan teh lebih gelap dibandingkan teh hijau dan teh oolong (Setyamidjaja, 2009). Kandungan kimia teh hitam yang bermanfaat bagi kesehatan di antaranya adalah kelompok senyawa Flavan-3-ols seperti katekin, epikatekin, epikatekingalat, epigalokatekin, epigalokatekingalat, galokatekin, teaflavin, teavlavin-3 galat, tearubigin, dan kelompok senyawa flavanol seperti kaempferol, myricetin dan quersetin (Beecher et.al., 2005). Berdasarkan beberapa penelitian komponen kimia teh hitam memiliki khasiat antioksidan untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas yang dapat menyebabkan berbagai penyakit, mengurangi resiko serangan jantung dan stroke, memperlambat pertumbuhan sel kanker, membantu menunda proses penuaan kulit, memperbaiki metabolisme tubuh, menurunkan kolesterol, mencegah kerusakaan gigi, serta menurunkan kadar glukosa (Maria, 2009) Rimpang jahe dibudidayakan dan dimanfaatkan sebagai bumbu, bahan minuman dan obat-obatan. Sebagai minuman jahe dibuat dalam bentuk simplisia, bahan utama wedang jahe, sekoteng, minuman instan, sirup, dan bubuk jahe untuk penyedap makanan. Berdasarkan komposisi kimia jahe segar memiliki komponen utama karbohidrat (10,1%), serat kasar (7,535), total abu (3,7%), protein (1,5%), Lemak (1%) dan berbagai mineral (Luthana, 2009). Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) dimanfaatkan kelopak bunganya sebagai bahan minuman, yang memiliki pigmen antosianin dan senyawa flavonoid berperan sebagai antioksidan (Mardiah, dkk, 2009). Zat gizi kelopak rosella yang lainnya adalah protein (1,2%), lemak (2,61%), karbohidrat (12,3%), serat (12%), abu (6,9%), dan beberapa mineral dan vitamin (Yadong et.al., 2005). Kemudahan penyanjian minuman akan sangat mempengaruhi ketertarikan konsumen terhadap produk minuman. Penyajian minuman menggunakan pengemas kantong celup berpori sehingga mudah diseduh dan partikel dari bahan tidak terikut ke dalam minuman, karena kantong minuman celup mengandung senyawa chlorine yang berfungsi sebagai bahan pengawet, maka proses pencelupan bahan tidak lebih dari tiga menit (Anonim, 2009). 134
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Bahan dan Metoda Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan Laboratorium Teknologi Pertanian, Universitas Widya Dharma Klaten, bulan Juni sampai Oktober 2010. Bahan Bahan baku utama penelitian teh hitam jenis dust diperoleh dari PT.Pagilaran Yogyakarta, Rosella segar dari petani Jatinom Klaten, dan Jahe emprit di Pasar Gedhe Klaten. Metodologi Penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi minuman celup dengan bahan teh hitam, jahe dan rosella kering yang disukai oleh konsumen dan memiliki komposisi gizi yang baik. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan formulasi teh hitam, jahe dan rosella F1(50:40:10), F2(50:30:20), F3(50:25:25), F4(50:20 :30), dan F5(50:10:40) dengan 3 kali ulangan.
Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Teh Herbal Celup 135
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pembuatan Jahe Kering Jahe jenis emprit disortasi, hasil sortasi selanjutnya dilakukan perendaman untuk menghilangkan tanah dan kotoran yang melekat. Setelah kering dilakukan pengelupasan kulit, dilanjutkan pengecilan ukuran dengan cara diserut. Jahe serut dikeringkan menggunakan cabinet dryer selama 6 jam suhu 55° C, dihasilkan jahe kering. Membuat Rosella Kering Kelopak bunga rosella segar disortasi dan dicuci bersih. Kelopak dipisahkan dari bijinya, selanjutnya kelopak ditiriskan, dikeringkan menggunakan cabinet dryer selama 12,5 jam suhu 55°C (Purwanto, 2009). Kelopak bunga kering dikecilkan ukuran menggunakan penggiling lolos 7 mesh. Pembuatan Minuman Celup Pembuatan minuman teh herbal celup dengan bahan teh, jahe dan rosella disajikan pada Gambar 1. Teh celup yang dihasilkan dianalisis kimia kadar air (metoda termogravimetri dalam Sudarmadji, dkk, 1996)), kadar abu (AOAC dalam Sudarmadji, dkk, 1996), vitamin C (metode titrasi Jacobs dalam Sudarmadji, dkk, 1996), analisa fisik pada seduhan minuman metode spektofotometer, serta uji organoleptik terhadap warna, rasa (scoring test), dan kesukaan secara keseluruhan (hedonic test). Hasil dan Pembahasan Analisis Bahan Baku Bahan baku kering sebagai bahan pembuatan minuman celup dianalisa kadar air, abu dan vitamin C. Analisis bahan dasar dimaksudkan untuk mengetahui kestabilan masing-masing bahan sebelum dicampur menjadi satu. Tabel 1. Analisis Bahan Dasar Teh Hitam, Jahe Kering, dan Rosela Kering Komposisi Teh hitam Jahe kering Rosela kering
Kadar air (%)
Kadar abu (%)
9,5 9,7 9,1
5,9 7,9 7,00
Vitamin C (mg/100 g) 24,57 3,52 7,77
Berdasarkan hasil analisis bahan dasar teh hitam, jahe dan rosella masih memenuhi standar mutu SNI. Pada penelitian ini, dilakukan pengeringan jahe dan rosella pada suhu 55°C. Menurut Purseglove (1981) dalam Supriyanto dan Supriyadi (1992), suhu udara yang dianjurkan untuk pengeringan jahe yang dipasarkan sebagai rempah – rempah tidak lebih dari 57°C. Pengeringan ini dilakukan selama 6 jam hingga didapatkan jahe kering yang memenuhi standar mutu jahe kering, yaitu kadar air maksimal 12% dan kadar abu maksimal 8%. Menurut Purwanto (2009), suhu terbaik untuk pengeringan rosela adalah 55°C.
136
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Suhu ini digunakan untuk mengurangi kerusakan nutrisi terutama antosianin dan vitamin C akibat pemanasan. Kadar Air Teh Herbal Celup Tabel 2. Rerata Kadar Air Teh Herbal Celup Formulasi Teh hitam, jahe,rosella (%) F1 (50 : 40 : 10) F2 (50 : 20 : 30) F3 (50 : 25 : 25) F4 (50 : 20 : 30) F5 (50 : 10 : 40)
Ulangan I
II
III
10,0 10,0 10,0 9,5 9,0
10,0 9,5 10,0 10,0 9,0
10,0 10,0 9,0 9,0 9,0
30,0 29,5 29,0 28,5 27,0
Total
48,5
48,5
47,0
144,0
Keterangan: ns = non significant
Total
Reratans 10,00 9,83 9,67 9,50 9,00
Kadar air berhubungan dengan umur simpan bahan makanan karena adanya air mempengaruhi kemerosotan mutu bahan secara kimia (Deman, 1997). Menurut SNI 01-3753-1995, kadar air maksimal untuk teh hitam celup adalah sebesar 10%. Untuk mengetahui rerata kadar air tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam bahwa formulasi teh hitam, jahe, rosela tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air teh celup herbal. Hal ini disebabkan kadar air yang dimiliki tiap bahan dasar relatif sama. Kadar air tertinggi terdapat pada formulasi FI(50 :40:10) yaitu sebesar 10,00 %. Kadar air terendah terdapat pada formulasi F5(50:10:40) yaitu sebesar 9,00%. Kadar air pada formulasi dipengaruhi oleh sifat – sifat bahan. Kadar air menunjukkan penurunan jika konsentrasi jahe kering menurun meski penurunan rerata yang terjadi hanya dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini disebabkan karena konsentrasi jahe yang memiliki kadar air tertinggi dibanding bahan dasar lainnya menurun. Menurut Deman (1997), kadar air bahan dasar dalam suatu makanan campuran berpengaruh pada kadar air makanan campuran. Bahan dasar dengan kadar air yang kecil dapat meningkat kadar airnya saat dicampurkan dengan bahan dasar yang lebih tinggi kadar airnya. Pada formulasi teh hitam, jahe, rosela kadar air jahe yang tertinggi dibanding bahan dasar lainnya menyebabkan bertambahnya kadar air formulasi teh hitam, jahe, rosela sehingga dengan menurunnya jahe dalam formulasi maka menurun pula kadar airnya. Kadar Abu Teh Herbal Celup Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran secara sempurna pada bahan organik (Sudarmadji dkk, 1989). Menurut Deman (1997), mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran). Pembakaran dapat merusak senyawa organik dan meninggalkan mineral. Menurut SNI 01137
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
3753-1995, kadar abu untuk teh hitam celup berkisar antara 4 – 8%. Untuk mengetahui rerata kadar abu pada tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3. Formulasi teh hitam, jahe, dan rosela tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu teh celup herbal. Kadar abu tertinggi dimiliki oleh formulasi F1(50 : 40 : 10) yaitu sebesar 6,67 %. Kadar abu terendah dimiliki oleh formulasi F5(50 : 10 : 40) yaitu sebesar 6,00%. Tabel 3. Rerata Kadar Abu Teh Herbal Celup Formulasi teh hitam : jahe : rosela (%) F1 (50 : 40 : 10) F2 (50 : 20 : 30) F3 (50 : 25 : 25) F4 (50 : 20 : 30) F5 (50 : 10 : 40)
I 6,5 6,5 6,0 6,0 6,0
Ulangan II 6,5 6,0 6,5 6,0 6,0
III 7,0 7,0 6,5 6,5 6,0
Total
31
31
33
Keterangan: ns = non significant
Total 20,0 19,5 19,0 18,5 18,0
Rerata (%) ns 6,67 6,50 6,33 6,17 6,00
95
Pada waktu pengabuan terjadi dekomposisi zat yang mengakibatkan peningkatan garam mineral seperti kalium dan kalsium (Saati dan Sofiyah, 2006). Berdasar penelitian sebelumnya, mineral yang dominan pada teh hitam kering adalah kalium yaitu sebesar 479 mg (Soraya, 2007), mineral dominan pada jahe kering adalah kalium sebesar 1342 mg (DepKes RI, 1979 dalam Luthana, 2009) dan mineral dominan pada rosela kering adalah kalsium 1263 mg (Anonim, 2008 dalam Purwanto, 2009). Mineral pada formulasi dapat dipengaruhi oleh mineral pada bahan dasar. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa kandungan mineral tertinggi pada bahan dasar adalah pada jahe kering sehingga dengan menurunnya konsentrasi jahe dalam formulasi, semakin menurun pula kandungan mineralnya. Kadar Vitamin C Teh Herbal Celup Vitamin C merupakan vitamin yang mudah rusak di samping mudah larut dalam air. Untuk mengetahui rata – rata pengaruh perlakuan terhadap kadar vitamin C dapat dilihat pada Tabel 4. Formulasi teh hitam, jahe, dan rosela memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar vitamin C teh celup. Kadar vitamin C tertinggi dimiliki oleh formulasi F5 (50 : 10 : 40) yaitu sebesar 24,58 mg/100 g bahan. Kadar vitamin C terendah dimiliki oleh formulasi F1 (50 : 40: 10) sebesar 17,69 mg/100 g bahan. Kadar vitamin C meningkat dengan semakin bertambahnya rosela dalam formulasi. Kadar vitamin C dalam formulasi juga dipengaruhi sifat – sifat dari bahan dasarnya. Berdasar analisa bahan dasar, kadar vitamin C pada teh hitam kering adalah 24,57 mg/100 g. Perbedaan kadar vitamin C pada teh hitam kering ini dipengaruhi oleh kandungan vitamin C dari teh hitam segar. Kadar vitamin C jahe 138
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
kering adalah sebesar 3,52 mg/100 g. Rosela kering mengandung vitamin C sebesar 7,77 mg/100 g. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2009) yang menunjukkan kadar vitamin C pada rosela kering 7,77 mg/100 g. Dari hasil analisis bahan dasar dapat diketahui bahwa jahe memiliki kadar vitamin C yang kecil dan rosela memiliki kadar vitamin C yang lebih besar. Meningkatnya konsentrasi rosela dan menurunnya konsentrasi jahe menyebabkan meningkatnya kadar vitamin C dalam formulasi. Selain itu, meningkatnya konsentrasi rosela menyebabkan nilai keasaman meningkat dimana vitamin C lebih stabil pada kondisi asam (Winarno, 2002). Tabel 4. Rerata Kadar Vitamin C Teh Herbal Celup Formulasi Ulangan teh hitam,jahe, rosella 1 II III (%) F1 (50 : 10 : 40) 17,42 17,51 18,13 F2 (50 : 20 : 30) 18,22 18,30 17,78 F3 (50 : 25 : 25) 19,89 20,24 20,15 F4 (50 : 20 : 30) 23.23 24,02 22,79 F5 (50 : 40 : 10) 26,05 24,64 23,06 Total 104,81 104,71 101,91
Total 53,06 54,30 60,28 70,04 73,75 311,43
Rerata (mg/100g)** 17,69 c 18,10 c 20,09 b 23,35 a 24,58 a
Keterangan: ** = berpengaruh sangat nyata; rerata yang diikuti huruf yang sama menandakan bahwa antar perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 1%
Warna Seduhan Teh Herbal Celup Tabel 4. Rerata Warna Seduhan dengan Spektrofotometer Formulasi teh hitam : jahe : rosela (%) F1 (50 : 40 : 10) F2 (50 : 20 : 30) F3 (50 : 25 : 25) F4 (50 : 20 : 30) F5 (50 : 10 : 40) Total
Ulangan
Total
Rerata (A)**
0,055 0,050 0,040 0,032 0,025
0,152 0,130 0,115 0,087 0,060
0,051 a 0,043 ab 0,038 bc 0,029 cd 0,020 d
0,202
0,544
I
II
III
0,048 0,035 0,035 0,025 0,015
0,049 0,045 0,040 0,030 0,020
0,158
0,184
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata; rerata yang diikuti huruf yang sama menandakan bahwa antar perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 1%
Warna merupakan salah satu parameter mutu yang bisa langsung dilihat terlebih dahulu sehingga dapat menentukan daya terima suatu produk. Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat spektrofotometer (Winarno, 2002). Untuk mengetahui rerata warna seduhan tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Formulasi teh hitam, jahe, rosela berpengaruh sangat nyata terhadap warna seduhan teh celup herbal. Tabel 4., menunjukkan bahwa kadar absorbansi tertinggi dimiliki oleh formulasi F1 (50 : 40 : 10) sebesar 0,051 A dan kadar 139
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
absorbansi terendah dimiliki oleh formulasi F5 (50 : 10 : 40) sebesar 0,020 A. Berdasar hasil analisis warna seduhan the herbal dapat diketahui bahwa nilai absorbansi semakin menurun jika konsentrasi rosela semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena meningkatnya warna merah pada seduhan sehingga sinar yang diserap semakin kecil dan nilai absorbansi semakin kecil. Uji organoleptik Teh Herbal Celup Sifat mutu pangan meliputi sifat yang langsung diamati, dianalisis, dan diukur. Sifat – sifat mutu itu dapat digolongkan menjadi sifat kimia dan fisik yang obyektif serta sifat organoleptik yang subyektif. Pengujian organoleptik yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi rasa, warna, dan kesukaan keseluruhan terhadap teh celup yang dihasilkan. Analisis warna, rasa dan kesukaan minuman teh herbal celup pada Tabel 5. Tabel 5. Uji Organoleptik Teh Herbal Celup Formulasi Teh hitam, jahe, rosella (%) F1 (50:40:10) F2 (50:20:30) F3 (50:25:25) F4 (50:20:30) F5 (50:10:40)
Warna
Rasa
Kesukaan Keseluruhan
6,20 a 5,20 b 4,30 c 3,55 d 3,00 e
2,05 e 3,35 d 5,00 c 7,50 b 9,00 a
4,80 c 6,25 b 7,60 a 4,90 c 3,60 d
Keterangan: rerata diikuti huruf yang sama menandakan antar perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 1%. Skor warna 1-6, skor rasa 1-9, skor kesukaan keseluruhan 1-9.
Formulasi teh hitam, jahe, rosela berpengaruh sangat nyata terhadap uji organoleptik warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan. Formulasi FI (50 : 40 : 10) memberikan warna antara coklat kemerahan sampai coklat agak kemerahan pada seduhan, F2 (50 : 30 : 20) memberikan warna antara coklat agak kemerahan sampai coklat kemerahan pada seduhan, F3 (50 : 25 : 25) memberikan warna coklat sampai coklat agak kemerahan pada seduhan, dan F4 (50 : 20 : 30) memberikan warna coklat muda sampai coklat pada seduhan. Formulasi F5 (50 : 10 : 40) memberikan warna coklat muda sampai coklat pada seduhan. Dalam seduhan teh hitam, theaflavin memberikan warna merah kekuningan, sementara itu thearubigin dan theanapthoquinone masing-masing memberi warna merah kecoklatan dan kuning pekat (Rohdiana, 2009). Warna kuning pada jahe disebabkan karena kandungan xanthin. Pigmen antosianin pada rosela membentuk warna ungu kemerahan menarik di kelopak bunga maupun teh hasil seduhannya (Mardiah dkk, 2009) Nilai rasa tertinggi adalah teh celup dengan F5 (50 : 10 : 40) sebesar 9,00 dengan rasa sepat, tidak pedas, sangat masam. Nilai rasa terendah adalah teh celup herbal dengan F1 (50 : 40 : 10) sebesar 2,05 dengan rasa sepat, pedas, tidak masam. Rasa sepat pada teh hitam disebabkan karena kandungan tannin yang merupakan turunan asam galat yang dikenal sebagai katekin. Rasa pedas pada teh 140
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
celup disebabkan karena kandungan oleoresin yang komponennya mengandung gingerol, shogaol, dan zingeron (Purseglove dkk.1981). Rasa masam pada rosela disebabkan karena kandungan asam sitrat dan asam malat (Mardiah dkk, 2009). Semakin kecil konsentrasi jahe dalam formulasi maka semakin kecil pula tingkat kepedasan teh celup dan semakin banyak konsentrasi rosela dalam formulasi maka semakin besar tingkat kemasaman teh. Nilai kesukaan didasarkan atas perpaduan atau gabungan antara nilai warna dan rasa yang dipadukan secara keseluruhan. Formulasi yang paling disukai adalah F3 (50 : 25 : 25) dengan nilai sebesar 7,60 yaitu antara suka sampai suka sekali. Sebaliknya nilai kesukaan terendah dimiliki oleh F5 (50 : 10 : 40) dengan nilai 3,60 yaitu antara tidak suka sampai agak tidak suka. Dari analisa uji kesukaan dapat diketahui bahwa panelis cenderung menyukai teh celup dengan F3 (50 : 25 : 25) yang memiliki warna antara coklat sampai coklat agak kemerahan (nilai 4,30), dengan rasa sepat, pedas, masam (nilai 5,00). Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa formulasi teh hitam, jahe, dan rosella berpengaruh nyata terhadap kadar vitamin C, warna seduhan dan uji organoleptik warna, rasa dan kesukaan keseluruhan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar abu. Formulasi yang paling disukai konsumen pada formulasi teh hitam, jahe, dan rosella (50:25:25). Penelitian ini masih akan dilanjutkan untuk identifikasi senyawa flavonoid. Daftar Pustaka Anonim.2009. Teh. http://id.wikipedia.org/teh Anonim.2011. Pertumbuhan Ekspor The Indonesia Jauh Dibawah Ekspor Teh Dunia. http://www.bandungpress.com Beecher, G.R., Bhagwat,S., Haytowitz, D.B. 2005. Flavonoid Composition of Tea: Comparison of Black and Geen Teas. Agriculture Research Servise, USDA, USA. Deman.1997. Kimia Makanan. ITB, Bandung Luthana, Y.K., 2009. Jahe dan Senyawa Antioksidannya. http://yongkikastanyaluthana.wordpress.com/2009/26/T Mardiah, Rahayu,A., Ashadi,R.W., dan Sawarni, 2009. Budidaya dan Pengolahan Rosella, Si Merah Segudang Manfaat, Agromedia Pustaka, Jakarta. Maria, Aurelia, 2009. Pengaruh Pemberian Seduhan Teh Hitam (Camellia sinensis L.) Dosis Bertingkat Terhadap Produksi NO Makrofag Mencit BALB/c Yang Diinokulasi Salmonellla typhimunium, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang. Purwanto, Agus, 2009. Pengeringan Rosella (Hibiscus Sabdariffa) dengan Cabinet Dryer Pada Variasi Suhu Yang Berbeda. Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Widya Dharma Klaten.
141
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Rohdiana, 2009. Teh Hitam dan Antioksidan. Puslit Teh dan Kina Gambung, Bandung. Saati, E.A., dan Sofiyah, 2006. Teknik Pembuatan Minuman Pegagan (Centella asiatica L.Urban) Celup sebagai Alternatif Pengganti Minuman Teh: kajian lama pelayuan. Prosiding Seminar Nasional PATPI, Yogyakarta 2-3 Agustus 2006. Setyamidjaja, D., 2000. Teh, Budidaya dan Pengolahan Pasca Panen, Kanisius, Yogyakarta. Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi, 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. Supriyanto dan Supriyadi, 1992. Minyak Atsiri dan Rempah-rempah. Pusat Antar Universitas-UGM, Yogyakarta Yadong, Q., K.L.Chin, F.Malekian, M.Berchane and J.Gager, 2000. Biological Characteristic, Nutrisional and Medicine Value of Rosella Hibiscus sabdariffa. Sircular-Urban Foresry Natural Resources an Env. P.604.
142
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DALAM USAHATANI JAGUNG DENGAN SISTEM TANAM ”MANTENAN’ DI KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Nur Hidayat dan Sri Budhi Lestari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat pendapatan dan efisiensi dalam usahatani jagung menggunakan sistem tanam ”mantenan’. Metode penelitian yang digunakan adalah ”on farm research” dengan melibatkan petani jagung yang tergabung didalam kelompoktani ”Tani Jaya” dusun Taraman desa Sinduharjo, kec Ngaglik, Kab. Sleman . Penelitian dilakukan pada musim tanam bulan Juni – September 2010. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa pendapatan dan biaya usahatani yang dinilai berdasarkan kelayakan ekonomi dengan mengunakan rumus MBCR(ratio keuntungan dan biaya marginal). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan bersih usahatani jagung dengan sistem tanam ”mantenan” lebih tinggi bila dibandingkan dengan usahatani jagung dengan sistem tanam biasa dengan peningkatan pendapatan bersih sebesar 31,53 %. Rata-rata pendapatan bersih yang diperoleh dari usahatani jagung sebesar Rp 2.931.250/2500 m2 untuk sistem tanam “mantenan” dan Rp 2.228.500/2500 m2 untuk sistem tanam biasa. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa ratio keuntungan dan biaya marginal (MBCR) mempunyai nilai 4,36 ini artinya bahwa setiap tambahan biaya produksi Rp 1.000,- akan mendapat keuntungan sebesar Rp 4,36,-. Dilihat dari nilai MBCR yang lebih besar dari dua maka penerapan teknologi tanam ”mantenan” lebih efisien dan menguntungkan dibandingkan dengan sistem tanam biasa. Kata Kunci : Peningkatan pendapatan, jagung, sistem tanam”mantenan” INCREASING REVENUES WITH CORN FARMERS IN FARMING CROPPING SYSTEM "MANTENAN 'IN THE SLEMAN DISTRICT YOGYAKARTA SPECIAL REGION Abstract This study aims to analyze the level of revenue and efficiency in farming maize cropping system "mantenan '. The research method used was "on farm research" involving 5 people who joined in the corn farmer farmer group "Tani Jaya" hamlet village Taraman Sinduharjo, Kec choosed, Kab. Sleman. The study was conducted in the planting season in June-September 2010. Data were analyzed using analysis of farm income and expenses are assessed based on the economic feasibility of using the formula MBCR (ratio of benefits and marginal costs). The results showed that the net income of farming corn cropping system "mantenan" higher when compared with maize farming with normal planting system with the increase in net income amounted to 31.53%. The average net income earned from
143
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
farming corn amounted to Rp 2.931.250/2500/m2 for cropping systems "mantenan" and Rp 2.228.500/2500 m2 for normal planting system. From the calculation results show that the ratio of benefits and marginal costs (MBCR) has a value of 4.36 this means that any additional production costs Rp 1,000, - will get a profit of Rp 4.36, -. Viewed from MBCR value greater than two then the application of plant technology "mantenan" He was more efficient and profitable than the normal planting system. Keywords: Increasing revenue, corn cropping system "mantenan
Pendahuluan Komoditas jagung merupakan komoditi strategis kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Jagung juga mempunyai arti penting dalam pengembangan industri di Indonesia karena merupakan bahan baku untuk industri pangan maupun industri pakan ternak khususnya pakan ayam. Dengan semakin berkembangnya industri pengolahan pangan di Indonesia maka kebutuhan akan jagung akan semakin meningkat pula (Syamsul Bakhri,2007). Indonesia telah mampu berswasembada jagung, namun sampai saat ini kebutuhan jagung masih terus meningkat baik untuk pangan maupun pakan. Kebutuhan jagung untuk pakan sudah lebih dari 50% kebutuhan nasional. Peningkatan kebutuhan jagung terkait dengan makin berkembangnya usaha peternakan, terutama unggas. Hal ini menuntut perlunya upaya swasembada jagung secara berkelanjutan (Susilo Astuti Handayani, 2011). Produksi jagung dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan tanaman. Peningkatan produktivitas jagung dapat dicapai dengan menanam benih varietas unggul jagung hibrida. Jagung hibrida adalah benih jagung dari hasil penyilangan dua atau lebih tetua yang memiliki sifat unggul. Guna memperoleh produksi yang maksimal, tidak cukup hanya penggunaan benih varietas unggul jagung hibrida saja, melainkan perlu memperhatikan jarak tanam, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman, dan pengelolaan irigasi yang baik. Usaha peningkatan produksi jagung di Indonesia telah digalakkan melalui dua program utama yakni: (1) Ekstensifikasi (perluasan areal) dan (2) intensifikasi (peningkatan produktivitas). Program peluasan areal tanaman jagung selain memanfaatkan lahan kering juga lahan sawah, baik sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan melalui pengaturan pola tanam. Usaha peningkatan produksi jagung melalui program intensifikasi adalah dengan melakukan perbaikan teknologi dan manajemen pengelolaan. Usaha-usaha tersebut nyata meningkatkan produktivitas jagung terutama dengan penerapan teknologi inovatif yang lebih berdaya saing (produktif, efisien dan berkualitas) telah dapat menghasilkan jagung sebesar 7 – 9 ton/ha seperti ditemukannya varietas ungul baru dengan tingkat produktvitas tinggi dan metode manajemen pengelolaan tanaman dan sumberdaya secara terpadu (Syamsul Bakhri, 2007). 144
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Daerah-daerah penghasil utama tanaman jagung di Indonesia adalah, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Khusus untuk daerah Jawa Timur dan Madura, budidaya tanaman jagung dilakukan secara intensif karena kondisi tanah dan iklimnya sangat mendukung untuk pertumbuhannya. Beberapa wilayah lain yang mulai dilirik perusahaan swasta untuk mengembangkan areal jagung tersebut adalah di Merauke Papua seluas 153 ribu ha dari 300 ribu ha potensi lahan yang ada. Selain itu di wilayah Sumatra Utara seluas 15.000 ha, Riau 7.000 ha, Kalimantan mencapai 22.000 ha di antaranya Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, Sulawesi lebih dari 50.000 ha (http://agribisnis/investasibudidaya-jagung-Hibrida.html, 4 Juni 2011). Budidaya jagung dengan sistem tanam ”mantenan” adalah menanam jagung dengan mengatur jarak tanam ganda dengan tujuan menghasilkan produksi yang tinggi serta dapat memberikan kemudahan bagi petani dalam hal melakukan penyiangan, pemupukan, pengendalian hama/penyakit dan cara melaksanakan panenan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis tingkat pendapatan dan efisiensi dalam usahatani jagung menggunakan sistem tanam ”mantenan’. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah ”on farm research” pada lahan seluas 5000 m2 dengan melibatkan petani jagung yang tergabung didalam kelompoktani ”Tani Jaya” dusun Taraman desa Sinduharjo, kec Ngaglik, kab. Sleman . Penelitian dilakukan pada musim tanam bulan Juni – September 2010. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisa pendapatan dan biaya usahatani yang dinilai berdasarkan kelayakan ekonomi dengan mengunakan rumus MBCR/Ratio keuntungan dan biaya marginal (Palaniapan, 1985). Yaitu : P(B) – P(P) MBCR = ---------------------TB(P)-TB(P) Dimana : MBCR = Ratio keuntungan dan biaya marginal; P(B) = Penerimaan pada teknologi baru (sistem tanam”mantenan”) P(P) = Penerimaan pada teknologi petani(sistem tanam biasa) TB(B) = Total Biaya teknologi Baru (sistem tanam”mantenan”) TB(P) = Total Biaya teknologi petani (sistem tanam biasa) MBCR = 1 teknologi baru (sistem tanam”mantenan”) tidak memberikan tambahan penerimaan dibanding teknologi petani (sistem tanam biasa ). MBCR ≥ 2 teknologi baru (sistem tanam”mantenan”) memberikan tambahan penerimaan dan layak untuk dikembangkan
145
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hasil dan Pembahasan 1. Sejarah Budidaya Jagung Sistem “Mantenan” Pada mulanya petani di dusun Taraman terbiasa menanam jagung dengan jarak tanam 20 cm x 70 cm dengan rata-rata produksinya 6 ton /ha. Hal ini dirasa sudah cukup memuaskan waktu itu. Akan tetapi pada tahun 2007 secara tidak sengaja muncul teknologi baru bertanam jagung di dusun ini. Hal tersebut bermula dari kegagalan seorang anggota kelompok Tani Jaya dalam bertanam cabe. Untuk menghemat biaya dan tenaga, maka bekas pertanaman cabe tersebut langsung ditugal dengan biji jagung. Setelah melihat pertumbuhan dan perkembangannya yang cukup bagus, maka petani tersebut semakin rajin untuk merawat dan mempelajarinya. Alhasil panenan yang diraihnya melebihi yang biasa dia peroleh dengan sistem sebelumnya. Cara tersebut diulanginya pada musim tanam jagung berikutnya yang juga diikuti oleh anggota kelompok tani lainnya. Bersama kelompok Tani Jaya, teknologi tersebut berangsur-angsur disempurnakan. Hingga panen yang mereka peroleh mencapai 8 ton lebih perhektar. Mereka sepakat menamakan teknologi ini sebagai sistem tanam “mantenan”(berjejer dua). Keuntungan sistem tanam “mantenan” adalah jumlah rumpun lebih banyak, hemat tenaga kerja penyiangan dan pembumbunan mudah dan irit dalam pengairan, mudah dalam pengelolaan dan lebih tahan terhadap penyakit busuk pelepah (Anonimus, 2011) Budidaya jagung sistem tanam “mantenan” Komponen budidaya jagung system tanam “mantenan” meliputi pengolahan tanah, penyiapan benih, penanaman, pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, pengairan dan panen. Pengolahan Tanah Lahan dibajak sedalam 15 sampai 20 cm, kemudian diratakan / digaru Benih dan Pupuk Dasar Disiapkan benih jagung hibrida 20 kg setiap hektar, dan pupuk kandang yang sudah jadi sebanyak 1 ton setiap hektar untuk penutup lobang tanam Lubang Tanam dan Cara Tanam Lubang tanam dibuat dengan menggunakan tugal, benih dimasukkan ke dalam lubang tanam, satu lubang satu benih, kemudian segera ditutup dengan pupuk kandang yang sudah matang. Untuk mengetahui gambaran sistem penanaman jagung yang biasa diterapkan petani pada umumnya dan sistem tanam “mantenan’ dapat dilihat pada gambar 1 dan gambar 2. Tanaman yang tumbuhnya paling tidak baik, dipotong dengan pisau atau gunting tajam tepat di atas permukaan tanah. Pencabutan tanaman secara langsung tidak boleh dilakukan, karena akan melukai akar tanaman lain yang akan dibiarkan tumbuh. Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih yang tidak tumbuh/mati, dilakukan 7-10 hari sesudah tanam (hst). Jumlah dan jenis benih serta perlakuan dalam penyulaman sama dengan sewaktu penanaman. 146
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Gambar 1. Penanaman jagung sistem biasa dengan jarak tanam 20 cm x 70 cm
Gambar 2. Penanaman jagung sistem “mantenan” dengan jarak tanam 20 cm x 40 cm x 80 cm Pemupukan Tabel 1. Jenis, dosis, waktu dan cara pemupukan pada budidaya tanaman jagung sistem tanam “mantenan” Jenis pupuk Urea NPK (phonska) Pupuk kandang
Dosis (kg/ha)
Umur tanaman(hari) 0 - 10 20 - 25 40 - 45
400 200
150 100
150 100
100 -
1000
1000
-
-
Cara pemupukan Dibenamkan dengan jarak 5 - 10 cm dari pangkal batang
Penyiangan Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan kedua ( umur 3 minggu ) dan penyiangan ke dua sebelum pemupukan ketiga ( umur 6 minggu ) sekaligus pembumbunan. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan untuk memperkokoh posisi batang agar tanaman tidak mudah rebah 147
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dan menutup akar yang bermunculan di atas permukaan tanah karena adanya aerasi. Dilakukan saat tanaman berumur 6 minggu, bersamaan dengan waktu pemupukan. Tanah di sebelah kanan dan kiri barisan tanaman diuruk dengan cangkul, kemudian ditimbun di barisan tanaman. Dengan cara ini akan terbentuk guludan yang memanjang. Penyiangan jangan sampai mengganggu perakaran tanaman yang pada umur tersebut masih belum cukup kuat mencengkeram tanah maka dilakukan setelah tanaman berumur 15 hari. Pengendalian Hama dan Penyakit Hama utama tanaman jagung pada umumnya adalah ulat yang menyerang pada ujung tanaman, dan dapat dikendalikan dengan furadan 2 butir per pupus. Pengairan Setelah benih ditanam, dilakukan penyiraman secukupnya, kecuali bila tanah telah lembab, tujuannya menjaga agar tanaman tidak layu. Namun menjelang tanaman berbunga, air yang diperlukan lebih besar sehingga perlu dialirkan pada parit-parit di antar a bumbunan tanaman jagung. Pengairan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada waktu pemupukan pertama sampai pemupukan ke tiga dan pada waktu tanaman berumur 60 HST Panen Panen dilakukan pada saat tanaman berumur kurang lebih 100 hari dan setelah dipanen, jagung segera dikeringkan untuk mencegah serangan jamur. 2. Analisis Usahatani Jagung dengan sistem tanam “mantenan” dan sistem tanam biasa 2.1. Penggunaan sarana produksi Sarana produksi yang digunakan pada budidaya tanaman jagung baik sistem tanam ”mantenan” dan sistem tanam biasa meliputi benih, pupuk, pestisida dan herbisida. Tabel 2 memperlihatkan penggunaan sarana produksi pada usahatani Jagung dengan sistem tanam ”mantenan” dan sistem tanam biasa. 2.2. Penggunaan tenaga kerja Tenaga kerja yang digunakan pada usahatani jagung adalah tenaga kerja manusia dan traktor. Traktor diperlukan pada saat pengolahan tanah sedang tenaga kerja manusia digunakan pada saat penanaman, penyiangan, pemupukan dan panen/pasca panen. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung dengan sistem tanam ”mantenan” dan sistem tanam biasa disajikan pada Tabel 3.
148
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
2.3. Pendapatan bersih dan nilai MBCR. Hasil rata-rata hasil tanaman jagung adalah 2100 kg/2500 m2 jagung pipilan kering untuk sistem tanam ”mantenan” dan 1740 kg/ 2500 m2 jagung pipilan kering untuk sistem tanam biasa. Harga jual jagung pipilan kering pada saat penelitian adalah Rp 2400,-/kg sehingga dapat dihitung penerimaan yang diperoleh petani dengan sistem tanam ”mantenan” Rp 5.040.000,- / 2500 m2 sedang untuk petani dengan sistem tanam biasa Rp 4.176.000,-/ 2500 m2 . Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai B/C ratio baik sistem sistem tanam ”mantenan” maupun sistem tanam biasa mempunyai nilai yang lebih besar dari satu Tabel 2. Penggunaan sarana produksi pada usahatani jagung dengan sistem tanam ”mantenan” dan sistem tanam biasa di dusun Taraman desa Sinduharjo, Kec Ngaglik, kab. Sleman MT Juni – September 2010. No
Uraian
1. 2. 3.
Benih jagung (Bisi 2) Pupuk : -Urea -Phonska -Kompos Jumlah biaya sarana produksi(Rp)
Sistem tanam ”mantenan”(Rp) ( luas lahan 2500 m2). Jumlah Biaya (HOK) (Rp)
Sistem tanam biasa (Rp) ( luas lahan 2500 m2). Jumlah Biaya (HOK) (Rp)
6,25
218.750
7,5
262.500
100 50 1`000
160.000 110.000 200.000
75 50 -
120.000 110.000 -
688.750
492.500
Sumber : Data primer
Tabel 3. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani jagung dengan sistem tanam ”mantenan” dan sistem tanam biasa di dusun Taraman desa Sinduharjo, kec Ngaglik, kab. Sleman MT Juni – September 2010. No
Uraian
Sistem tanam ”mantenan”(Rp) ( luas lahan 2500 m2). Jumlah (HOK)
1. 2. 3. 4. 5.
Pengolahan tanah (traktor) Penanaman Pemupukan Penyiangan Panen dan pengol hasil
Biaya (Rp)
borongan 8 8 10 Sistim bawon
Jumlah biaya tenaga kerja(Rp)
920.000
175.000 160.000 160.000 200.000 225.000
Sistem tanam biasa (Rp) ( luas lahan 2500 m2). Jumlah Biaya (HOK) (Rp)
borongan 7 7 15 Sistim bawon 955.000
175.000 140.000 140.000 300.000 200.000
Sumber : Data primer
Dengan nilai B/C ratio lebih besar dari satu berarti bahwa penerimaan/pendapatan yang diperoleh petani selalu lebih besar dari biaya yang dikeluarkan selama berlangsungnya proses produksi. Nilai B/C ratio ini 149
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
menunjukkan besarnya penerimaan yang diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan selama berlangsungnya proses produksi. Ini berarti pula untuk setiap rupiah yang diinvestasikan dalam kegiatan usahatani jagung diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 1.39 untuk sistem tanam ”mantenan” dan Rp 1,14,- untuk sistem tanam biasa. Makin besar nilai B/C ratio dari satu maka makin besar keuntungan yang diperloleh dan terjadi kadaan sebaliknya bila nilai B/C ratio makin kecil dari satu. Tabel 4. Penerimaan kotor, pendapatan bersih, dan nilai MBCR pada usahatani jagung dengan sistem tanam ”mantenan” dan sistem tanam biasa di dusun Taraman, desa Sinduharjo, kec Ngaglik, kab. Sleman MT Juni – September 2010 No
Uraian
1. 2.
Penerimaan kotor Biaya sarana produksi
3.
Biaya tenaga kerja
4. Biaya sewa lahan 5. Total Biaya Produksi 6. Pendapatanh bersih(1 – 5) 7. B/C 8. MBCR Sumber : Data primer
Sistem tanam ”mantenan”(Rp) ( luas lahan 2500 m2). 5.040.000 688.750
Sistem tanam biasa(Rp) ( luas lahan 2500 m2). 4.176.000 492.500
920.000 500.000 2.108.750 2.931.250 1,39
955.000
4,36
500.000 1.947.500 2.228.500 1,14
Dari hasil pengkajian menunjukkan bahwa pendapatan bersih yang diperoleh dari usahatani jagung sebesar Rp 2.931.250/2500 m2 untuk sistem tanam “mantenan” dan Rp 2.228.500/2500 m2 untuk sistem tanam biasa(Tabel 4). Pendapatan bersih usahatani jagung dengan sistem tanam ”mantenan” lebih tinggi bila dibandingkan dengan system tanam biasa atau meningkat 31,53 %. Menurut Flin (1982) dalam Saleh, dkk, 1993 bahwa teknologi baru akan mempunyai peluang untuk diadopsi petani bila memberikan keuntungan sedikitnya 30 % lebih tinggi dari teknologi yang biasa diterapkan oleh petani. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa ratio keuntungan dan biaya marginal (MBCR) mempunyai nilai 4,36 ini artinya bahwa setiap tambahan biaya produksi Rp 1.000,- akan mendapat keuntungan sebesar Rp 4,36,-. Dilihat dari nilai MBCR yang lebih besar dari dua maka penerapan teknologi tanam ”mantenan” lebih efisien dan menguntungkan dibandingkan dengan sistem tanam biasa. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : Pendapatan bersih usahatani jagung dengan sistem tanam ”mantenan” lebih tinggi bila dibandingkan dengan usahatani jagung dengan sistem tanam biasa dengan peningkatan pendapatan bersih sebesar 31,53 %.
150
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Rata-rata pendapatan bersih yang diperoleh dari usahatani jagung sebesar Rp 2.931.250/2500 m2 untuk sistem tanam “mantenan” dan Rp 2.228.500/2500 m2 untuk sistem tanam biasa. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa ratio keuntungan dan biaya marginal (MBCR) mempunyai nilai 4,36 ini artinya bahwa setiap tambahan biaya produksi Rp 1.000,- akan mendapat keuntungan sebesar Rp 4,36,-. Dilihat dari nilai MBCR yang lebih besar dari dua maka penerapan teknologi tanam ”mantenan” lebih efisien dan menguntungkan dibandingkan dengan sistem tanam biasa. Daftar Pustaka Anonimusa, 2011. Peluang Investasi Agribisnis Jagung. http://www.bacaanonline.com/peluang- investasi-agribisnis- 4 Juni 2011 Anonimusb, 2011.Budidaya Tanaman Jagung dengan Sistem tanam “mantenan”. Kelompok tani “Tani Jaya” dusun Taraman desa Sinduharjo, kec Ngaglik, Kab. Sleman Badan Litbang Pertanian, 2003 . Panduan Umum Pelaksanaan Litkaji dan Program 3-Si. Hasil Litkaji Edisi 2003. Departemen Pertanian. Jakarta Palaniapan, S.P, 1985 Croping Sistem in the tropic, Principles and ManagementWiley easter United and tamil nadu Agricultural University Combatore, India. Syamsul Bakhri, 2007. Budidaya Jagung dengan Konsep Pengelolaan Tanaman Terpadu(PTT) Susilo Astuti Handayani, 2011. Teknologi Produksi Jagung Hibrida .Pusbangluhtan. Sinar tani edisi 31 Mei 2011 http://agribisnis.pedagangkakionline.com/investasi-budidaya-jagung-hibrida.html, 4 Juni 2011
151
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
UJI ADAPTASI ALAT PENGOLAHAN PUREE MANGGA DALAM MENUNJANG PENDAPATAN KELUARGA PETANI Mahargono Kobarsih, Titiek F.D. dan Yeyen P.W. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta Abstrak Kabupaten Gunung Kidul, DIY merupakan sentra buah mangga lokal yang diberi nama mangga Malam. Namun demikian buah mangga mudah rusak sehingga menjadi kendala dalam pemasaran. Untuk meningkatkan nilai tambah buah mangga dan memperpanjang daya simpannya serta dapat dikonsumsi diluar musim dilakukan pengolahan. Salah satunya dalam bentuk produk olahan puree. Penelitian ini bertujuan menguji alat pengolahan puree untuk home industri pengolahan puree mangga yang dapat mencapai tingkat kemanisan > 10 Brix dengan kapasitas 500 kg buah mangga per jam dan rendemen puree 50% di DIY dengan menggunakan teknologi dari BB Mekanisasi Pertanian dan BB Pascapanen untuk model agroindustri pengolahan pure mangga Malam spesifik lokasi. Pengujian dilakukan di laboratorium Pasca Panen dan Alsintan BPTP Yogyakarta dan di Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Gunung Kidul. Dari hasil pengujian mesin pulper dan pasteurisasi modifikasi BB. Mekanisasi Pertanian dan BB. Pasca panen mempunyai kapasitas giling bubur buah 300,48 kg/jam atau setara dengan 552,04 kg daging buah mangga malam. Dengan Adanya penyaring, sikat pengaduk plastik dan pisau screw diharapkan mesin pulper ini dapat digunakan untuk mengolah buah-buahan selain mangga. Unit pasteurisasi mampu menekan jumlah mikroorganisme pada suhu 90oC dalam waktu 3 menit menjadi 5,52 x 104 CFU/gram. Kata kunci : Mangga malam, pengolahan puree, pulper, pasteurisasi Abstract Gunung Kidul regency, DIY represent the local central of mango called a Mango cv Malam. The mango produce in Gunung Kidul regency in the 2007 year was high enough, that is equal to 1.300.374 tons. However, mango fruit are easily damaged so that a constraint in marketing. Processing can increase the added value of mango, extend storability and can be consumed outside of the season. One of them in the form of refined are products puree. The objective of the resarch is to test the pulper for home industries puree mango which can achieve the level of sweetness> 10 Brix with a capacity of 500 kg of fruit per hour and the yield of mango puree 50% in DIY to agro-processing model mango cv malam puree site specific. experiments are carried out in laboratory scale and field in Gunung Kidul Regency. Results of the testing pulper and pasteurization modification has a milling capacity of 300.48 kg / hr, equivalent to 552.04 kg of mango cv malam. With the presence of filters, brushes and a plastic stirrer blade screw pulper machine is expected to be used to process fruits besides mangoes. Pasteurization unit was able to suppress the number of microorganisms at 90oC in 3 minutes to be 5.52 x 104 CFU / gram. Keyword : Mango cv Malam, processing, pulper and pasteurization
152
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pendahuluan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki empat kabupaten dan satu kotamandya. Salah satu kabupaten di DIY, yaitu Kabupaten Gunung Kidul merupakan sentra buah mangga lokal yang diberi nama mangga malam. Produksi mangga di Kabupaten Gunung Kidul pada tahun 2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 1.300.374 ton. Untuk tahun-tahun mendatang, ditargetkan produksi mangga di Kabupaten Gunung Kidul mencapai kurang lebih 19.342.400 ton (Anonim, 2007). Mangga malam memiliki ukuran yang sangat beragam, berat buah berkisar antara 250 - < 350 g (Grade C); 350 - < 450 g (Grade B) dan 450 – 550 g (Grade A). (Anonim, 2008). Buah mangga dikenal sebagai komoditas hortikultura musiman dan tergolong mudah rusak sehingga menjadi kendala pemasaran buah mangga. Untuk meningkatkan nilai tambah buah mangga dan memperpanjang daya simpannya serta dapat dikonsumsi diluar musim, dapat dilakukan pengawetan menggunakan teknologi pengeringan, teknologi pemanasan atau teknologi pengolahan antara lain dalam bentuk produk olahan puree, dodol, keripik dan manisan mangga kering (Setiyadjit et al, 2009). Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan pengolahan teknologi pasca panen yang dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan memberikan nilai tambah komoditas mangga. Salah satu teknologinya yaitu diolah menjadi puree buah. Puree berupa bubur buah yang merupakan produk setengah jadi, dapat diolah lagi menjadi produk olahan pangan lebih lanjut antara lain jus, jam, selai, squash, leather mangga, dodol atau es krim. Teknologi pengolahan pure mangga telah dihasilkan oleh BB Pengembangan Pasca Panen Hasil Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Oleh karena itu, teknologi tersebut perlu dikaji untuk pengembangan model agroindustri khususnya di DIY. Usaha agro industri dan agribisnis puree buah dapat diarahkan kepada agro industri rumah tangga ataupun agro industri skala menengah yang menyerap bahan baku yang lebih besar (Setyono, et al. 2002). Hal ini akan merangsang gairah petani dalam hal meningkatkan produksi pangan dan membuka peluang pasar. Agro industri di pedesaan akan mendorong pengembangan industri pedesaan skala rumah tangga, sehingga dapat memberdayakan petani berwira usaha, meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat serta mendorong kesempatan kerja di pedesaan. Pengembangan agro industri perlu sentuhan teknologi pangan dan gizi sehingga akan menghasilkan bahan baku yang bermutu baik dan kontinyu dalam penyediaannya serta menghasilkan produk baru yang memenuhi selera konsumen . Kegiatan penelitian ini bertujuan menguji alat pengolahan puree untuk home industri pengolahan puree mangga yang dapat mencapai tingkat kemanisan > 10 Brix dengan kapasitas 500 kg buah mangga per jam dan rendemen puree 50% di DIY dengan menggunakan teknologi dari BB Mekanisasi Pertanian dan BB Pascapanen. 153
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Metodologi Lokasi pengkajian dilaksanakan di desa Watugajah, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul. Sedangkan pembuatan alat di pengrajin Wangdi. Pelaksanaan kegiatan awal tahap ini yaitu menyiapkan bahan-bahan dan peralatan penelitian yang diperlukan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari – November 2010. Pengkajian penerapan model agroindustri ini dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul. Pada tahap pertama, Kajian pengolahan puree mangga diawali dengan optimalisasi metode pengolahan di laboratorium Pasca Panen dan Pengolahan BPTP Yogyakarta menggunakan teknologi pengolahan puree mangga yang digunakan dalam kajian ini adalah teknologi yang telah direkomendasikan oleh BB Pengembangan Pasca Panen Hasil Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Tahap selanjutnya dilakukan kajian model agribisnis di Kelompok Wanita Tani yang berada di Kabupaten Gunung Kidul yang diawali dengan identifikasi kebutuhan peralatan dan penataan peralatan. Selanjutnya untuk tahap kedua adalah pengujian peralatan yang ada di lokasi kajian. Kajian ini menggunakan buah mangga malam yang diperoleh dari Kecamatan Ngawen dan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul. Buah mangga malam yang digunakan dalam pengolahan puree mangga adalah buah dengan tingkat kematangan optimum. Data-data yang dikumpulkan berupa berat buah mangga, kulit dan biji hasil pengupasan, daging buah, berat bubur buah, waktu pengoperasian, jumlah bahan bakar serta dilakukan pengujian jumlah mikroba hasil pasteurisasi pada suhu 60o, 75o dan 90o C selama 1, 2 dan 3 menit. Hasil dan Pembahasan Pengolahan mangga menjadi puree diawali dengan proses sortasi buah untuk memilih buah dengan kematangan seragam yaitu warna kulit buah kuning dengan tekstur buah lunak serta beraroma. Buah yang mengalami cacat atau memar karena luka mekanis dan rusak secara mikrobiologis sebaiknya dibuang. Selanjutnya buah dicuci dengan air bersih dilanjutkan dengan pengupasan, pembuatan bubur, pengawetan, pengemasan dan produk siap dijual atau diolah lebih lanjut. Dari proses pengolahan dilokasi diperoleh hasil rendemen daging buah sebesar 54,43%, kulit buah 23,52% dan biji 22,05%. Hasil ini berbeda pada skala laboratorium dimana rendemen yang diperoleh yaitu daging buah 76 %, kulit buah 10.% dan biji 14 %. Hal ini karena dalam skala laboratorium volume yang dikerjakan sedikit, sedang proses dilapangan dilakukan dalam volume yang besar yaitu lebih dari 100 kg buah mangga, namun demikian nilai tersebut bisa digunakan sebagai perkiraan hasil yang akan diperoleh apabila dikerjakan dalam skala komersial. Proses pembuatan bubur buah dengan pulper dilengkapi mesin bensin 5,5 PK, yang merupakan modifikasi dari peralatan sejenis buatan Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian dan Balai Besar Pasca Panen serta 154
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
pengawetannya dengan pasteurisasi. Rendemen bubur buah dengan alat pulper sebesar 79,62%. Dari hasil pengamatan dan pengukuran diperoleh hasil konsumsi bahan bakar mencapai 0,56 liter per jam dan mampu menghasilkan bubur buah sebanyak 300,48 kg per jam nya dari 552,04 kg daging buah mangga malam. Pada proses pencacahan buah mangga dengan pulper ini masih terdapat serat-serat buah yang tidak terpotong sempurna, hal ini karena silinder pencacah nampaknya kurang mampu mencacah buah yang berserat. Sebagai pembanding dalam skala laboratorium menggunakan food ekstraktor, semua daging buah terlumat rata oleh pisau. Bubur buah hasil cacahan kemudian masuk ke drum pengaduk yang dilengkapi dengan saringan, pengaduk sikat plastik serta pisau screw yang berfungsi mendorong bubur buah mangga ke arah corong pengeluaran. Untuk keamanan pangan, semua material yang bersentuhan dengan bahan makanan dibuat dari besi stainless steel. Dengan adanya saringan dan pengaduk sikat plastik maka bubur buah mangga yang menempel di saringan akan tersapu bersih menuju corong pengeluaran. Bubur buah mangga dari masin pulper kemudian dipasteurisasi pada suhu o 60 C, 75oC dan 90oC dalam waktu 1, 2 dan 3 menit. Selanjutnya dilakukan analisa laboratorium untuk menghitung jumlah mikroba (Erni et al. 2009). Tabel 1. Jumlah mikroba dalam bubur buah mangga setelah perlakuan pasteurisasi pada suhu 60oC, 75oC dan 90oC Suhu Pemanasan (oC) 60 75 90
Waktu Pemanasan (menit) 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Jumlah Mikroba (CFU/gram) 9,49 x 104 8,93 x 104 7,79 x 104 7,71 x 104 6,90 x 104 6,82 x 104 6,60 x 104 6,11 x 104 5,52 x 104
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa dengan pasteurisasi, jumlah mikroorganisme akan semakin berkurang dengan semakin tingginya suhu, namun gula dalam bubur buah mangga akan mengalami kristalisasi apabila dilakukan pemanasan dalam waktu lama (Ermi, et al., 2005). Untuk itu pemanasan dalam pasteurisasi cukup dilakukan dalam waktu 3 menit. Dengan pemanasan pada suhu 90oC selama 3 menit menunjukkan jumlah mikroorganisme yang paling rendah yaitu sebanyak 5,52 x 104 CFU/gram. Kesimpulan Mesin pulper dan pasteurisasi hasil modifikasi Balai Besar Pengembangan Mekanisasi pertanian dan Balai Besar Pasca panen mempunyai kapasitas giling bubur buah 300,48 kg/jam atau setara dengan 552,04 kg daging buah mangga 155
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
malam. Dengan Adanya penyaring, sikat pengaduk plastik dan pisau screw diharapkan mesin pulper ini dapat digunakan untuk mengolah buah-buahan selain mangga. Unit pasteurisasi mampu menekan jumlah mikroorganisme pada suhu 90oC dalam waktu 3 menit menjadi 5,52 x 104 CFU/gram. Diharapkan dengan adanya unit mesin pulper dan pasteurisasi kelompok wanita tani Desa Watugajah, Gedangsari, Gunungkidul mampu meningkatkan pendapatan dari pengolahan buah mangga malam dan buah lokal lainnya. Daftar Pustaka Anonim, 2007. Laporan Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Anonim, 2008. Standar Operasional Prosedur (SOP) Mangga Malam Kabupaten Gunung Kidul. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Gunung Kidul. Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat, 2009. Optimasi Kecukupan Panas Pada Pasteurisasi Santan Dan Pengaruhnya Terhadap Mutu Santan Yang Dihasilkan. Jurnal Pascapanen 6 (1) 2009: 34-42 Ermi Sukasih, Setiyadjit, dan Ratih Dewanti Hariyadi, 2005. Analisis Kecukupan Panas Pada Proses Pasteurisasi Puree Mangga. Jurnal Pascapanen 2 (2) 2005: 8-17 Setiyadjit, Widaningrum dan S. Prabawati, 2009. Agroindutri puree mangga mengatasi panen berlimpah. http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/wr275052.pdf Setyono, A., Rachmawati, Kunda Dulas Maihero dan Ridwan Rachmat, 2002. Penanganan Produk Samping untuk Meningkatkan Nilai Tambah. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2000. Balai Besar Alsintan
156
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
motor listrik
Speed reducer 40:1
box kontrol suhu dilengkapi termostat saluran gas LPG
Pintu pemasukan bahan Tabung dengan water jaket di dalamnya
As pengaduk bahan
Kran pengeluaran bahan Kompos LPG otomatis
Gambar 1. Tampak depan alat pasteurisasi dengan motor listrik dan pemanas gas LPG Hopper buah Belt penerus daya
Pencacah daging buah
Speed reducer
Hopper Silinder pulper dengan saringan dan sikat Outlet bubur penghancur buah
motor bensin
Outlet sari buah
Gambar 2. Alat pulper dengan mesin bensin 5,5 PK
157
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KEUNGGULAN KOMPETITIF PADA SISTEM AGROINDUSTRI KELAPA SAWIT DENGAN PENERAPAN MODEL KLASTER AGROINDUSTRI Sutrisno Badri Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi-Universitas Widya Dharma Klaten e-mail:
[email protected] Abstrak Pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang dilakukan dengan pola PIR merupakan pengembangan perkebunan dengan pola hubungan kemitraan. PIR mengatur pola hubungan kemitraan usaha antara perusahaan besar (inti) dengan perusahaan kecil (plasma) SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107/Kpts-II/1999. Klaster industri merupakan salah satu alternatif pendekatan dalam memperkuat struktur Agroindustri Kelapa Sawit sehingga mampu meningkatkan kontribusi riil sektor agroindustri terhadap pembangunan nasional. Salah satu komoditas sektor pertanian sub sektor perkebunan yang memiliki potensi kuat untuk dikembangkan dan dijaga sustainabilitasnya adalah komoditas kelapa sawit. Kelapa sawit di Indonesia merupakan salah satu komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif yang perlu di imbangi dengan keunggulan kompetitif. Permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius pada pengelolaan dan penguatan kelembagaan sistem agroindustri kelapa sawit adalah: Bagaimana meningkatkan keunggulan kompetitif melalui model klaster industri ?. Dengan adanya klaster industri diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu terciptanya spesialisasi produk dan meningkatnya keunggulan kompetitif. Keuntungan lainnya adalah pengurangan biaya transportasi dan transaksi (efisiensi biaya), dan menumbuhkan hubungan positif antara core industry dengan industri terkait dalam hal distribusi, product development dan pemasaran (meningkatkan value added chain). Obyek penelitian dilakukan di kawasan Lintas Timur Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan pada tahun 2007-2009 pada pola kemitraan inti-plasma yang merupakan sistem kelembagaan agroindustri kelapa sawit. Penelitian dilakukan dengan metode observasi mendalam (indept observe) dan survey melalui proses identifkasi faktorfaktor pendukung pengembangan klaster dan pemetaan kelembagaan terkait. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan interviu kepada stateholder sebagai pelaku klaster. Analisis data lebih ditekankan pada pendekatan analytic, pemetaan (mapping) pelaku klaster dan formulasikan model konseptual klaster industri kelapa sawit. Key word: Sistem agroindustri kelapa sawit, Model kelembagaan, Model klaster agroindustri, Model rantai produksi
Pendahuluan Sistem agroindustri kelapa sawit merupakan interaksi berbagai komponen (entity) kelembagaan yang saling terkait dan mendukung yang berada pada kawasan tertentu yang meliputi pengelolaan faktor-faktor input produksi, produsen (perkebunan), pengolahan (manufaktur), distribusi & pemasaran, pembiayaan, serta institusi penunjang lainnya dalam pengelolaan komoditas kelapa sawit. 158
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Karena keterbatasan sumber daya (scarsity), maka dalam perspektif ekonomi dan industri sistem agroindustri kelapa sawit ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara multiplier dan mampu meningkatkan keunggulan kompetitif bila didorong melalui kontribusi riil yakni dengan model “Klaster Agroindustri”). Dalam praktek pengelolaan perkebunan kelapa sawit sering dijumpai beberapa permasalahan antara lain: (1) Pola PIR menimbulkan adanya dua kekuatan yang saling bersaing yaitu antara petani plasma dan perusahaan inti, sehingga masing-masing menggunakan posisi tawarnya dalam menentukan harga jual beli TBS yang sering menimbulkan konflik, posisi tawar antara dua kekuatan tersebut tidak seimbang karena adanya ketergantungan yang tinggi petani plasma kepada perusahaan inti untuk mengolah TBS yang dihasilkan petani plasma. (2) Perusahaan inti lebih mendahulukan mengolah TBS yang dihasilkan kebun milik perusahaan ini, dalam kondisi seperti ini petani plasma dirugikan karena TBS-nya terpaksa menginap di kebun yang pada akhirnya menurunkan kualitas TBS yang berimplikasi terhadap harga TBS menjadi rendah. (3) Perusahaan inti pada saat membeli TBS petani plasma tidak melakukan pembayaran tunai, akan tetapi pembayaran dilakukan satu bulan kemudian karena menunggu penetapan harga dari pemerintah.(4) Rendemen TBS yang berasal dari petani plasma pada prakteknya belum transparan dilakukan oleh perusahaan inti, akibatnya petani hanya menerima laporan jumlah produksi CPO dari pabrik PPKS, hal ini terjadi karena sampai saat ini belum ada lembaga independen yang melakukan pengawasan khusus terhadap rendemen. (5) Ketidak setaraan pengetahuan dan informasi pasar antara perusahaan inti dengan petani plasma, sering terjadi pada saat pembelian TBS, perusahaan inti membeli TBS dari petani dengan harga lokal (rupiah), sedangkan perusahaan inti menjual CPO dengan harga $ (US Dollar), hal ini terjadi karena perusahaan inti mempunyai akses pasar ekspor, disatu sisi petani tidak pernah mengetahui harga CPO di pasar luar negeri, disparitas harga yang demikian merugikan pihak petani plasma. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka kajian yang menfokuskan pada sistem agroindustri kelapa sawit didasarkan pada peran stakeholder dalam upaya berpihak pada petani plasma untuk mencari solusi terhadap penguatan kelembagaan inti-petani plasma. Petani plasma merupakan bagian integral dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit, posisi petani plasma dalam hubungan kemitraan sebagai produsen atau pemasok TBS kepada perusahaan inti, sedangkan perusahaan inti sebagai pembeli (buyer) tunggal dengan kekuatan finansial yang cukup kuat, karena petani/produsen dalam kondisi yang lemah mengakibatkan posisi tawar masih tetap rendah. Dari segi penguasaan informasi pasar dan tingkat kesetaraan pengetahuan sebagai partnership petani plasma masih sangat rendah maka posisi tawar petani juga semakin lemah. 159
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Produk turunan CPO sebagai bahan baku industri pengolahan masih sangat terbatas, namun dari penyerapan tenaga kerja usaha perkebunan mampu menampung banyak tenaga kerja. Agroindustri kelapa sawit mampu memberikan masukan berupa devisa bagi negara dan nilai tambah agrpindutri kelapa sawit cukup tinggi serta nilai tambah pertenaga kerja tinggi. Kerangka Pemikiran Konsep klaster industri dari Michael E.Porter didasari dari hasil penelitiannya di dalam membandingkan daya saing internasional di beberapa negara. Negara yang memiliki daerah dengan kandungan mineral yang melimpah, tanah yang subur, tenaga kerja yang murah dan iklim yang baik sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dibanding negara dengan daerah yang “berat”. Akan tetapi ditemui bahwa keunggulan karena keadaan daerah tidak mampu bertahan lama. Keunggulan daya suatu negara/daerah dapat bertahan lama di dalam ekonomi yang semakin mengglobal bukankah karena kandungan mineral dan tanahnya tetapi karena negara tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan kehlian dan keilmuan, pembentukan institusi, menjalin kerja sama, melakukan relasi bisnis dan memenuhi keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit untuk di penuhi (Porter, 1998). Porter (1998) berargumentasi bahwa industri di suatu negara/ daerah unggul bukanlah dari kesesuaian sendiri tetapi merupakan kesuksesan kelompok dengan adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Sekelompok perusahaan dan institusi pada suatu industri di suatu daerah tersebutlah yang disebut dengan istilah klaster industri. S tra te g i P e ru sa h a a n , S tru ktu r d a n P e rsa in g a n (F irm S tra te g y, S tru ctu re , a n d R iva lry)
C h a n ce
K o n d isi F a kto r (F a cto rs C o n d istio n s)
K o n d isi P e rm in ta a n (D e m a n d F a cto rs )
In d u stri T e rka it d a n P e n d u ku n g R e la te d a n d S u p p o rtin g In d u strie s
P e m e rin ta h
Gambar-1. Model Diamond Porter (Porter, 1990) 160
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Adanya klaster industri akan menstimulasi terjadinya bisnis baru, lapangan kerja baru, para pengusaha baru yang mampu memutar pinjaman baru. Porter (1990) memperkenalkan teori kemampuan kompetisi suatu negara yang di gambarkan dalam model berlian seperti yang dilihat pada gambar-1. Klaster industri pada dasarnya bukan konsep yang sama sekali baru, namun sejalan dengan perkembangan jaman, telaah konsep/teori dari pengalaman empiris berbagai pihak berkembang dari waktu ke waktu. Beragam definisi dan konsep tentang klaster industri dapat dijumpai berbagai literatur. Munnic Jr.,et al.(1989) : Klaster Industri adalah konsentrasi geografis dari perusahaan dan industri yang saling berkompetisi, komplementer atau saling terkait yang melakukan bisnis satu dengan lainnya dan/atau memilki kebutuhan serupa akan kemampuan teknologi dan infrastuktur. Michael Porter (200) : Klaster industri adalah kelompok perusahaan yang saling berhubungan, berdekatan secara geografis dengan institusi-institusi yang terkait dalam suatu bidang khusus karena kebersamaan dan saling melengkapi. OECD (2000) : Klaster Industri adalah kumpulan /kelompok bisnis dan industri yang terkait melaui suatu rantai produk, ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa atua penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer.Deperindag (2000) : Klaster Industri adalah kelompok industri dengan core industry yang saling berhubungan secara intensif dan membetuk partnership, baik dengan supporting industry maupun related industry. Dengan demikian Klaster Industri dapat didefinisikan “kelompok industri spesifik yang dihubungkan oleh jaringan mata rantai proses peningkatan nilai tambah, baik melalui hubungan bisnis maupun melalui non bisnis”. Pemodelan dan Pembahasan Keterkaitan antara pelaku inti dan pelaku lainnya dalam klaster dapat digambarkan dalam bentuk model kelembagaan. Berdasarkan model stakeholder yang diperlukan dari identifikasi pelaku dan keterimbangan satu sama lain dapat dielaborasi lebih lanjut fungsi dan peran masing-masing untuk memperkuat klaster. Secara umum dapat digambarkan suatu model stakeholder klaster agroindustri kelapa sawit yang ideal seperti pada gambar 2. Dari Gambar-2 dapat dilihat interaksi dari masing-masing komponen Klaster Agroindustri Kelapa Sawit, dimana seluruh elemen pendukung sesuai peran dan fungsinya memberikan dukungan pada pelaku inti. Interaksi bersifat timbal balik yang berarti kebutuhan datang dari kedua belah pihak, harmonisasi antar seluruh komponen klaster akan menentukan keberhasilan. Klaster Agroindustri yang dilihat berdasarkan capaian kinerja peningkatan nilai tambahan dan keunggulan kompetitif yang berkelenjautan secara jangka panjang. Oleh karena itu perlu diciptakan selalu komunikasi yang 161
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
efektif sehingga kebutuhan dari industri inti dapat ditangkap oleh industri pendukung dan sebaliknya fasilitas yang telah dan dapat disediakan oleh elemen pendukung dapat diakses secara optimal oleh industri inti. Industri pendukung Suplier bahan baku (Tbs) Suplier bahan pendukung (Keuntungan usaha, kesejahteraan Karyawan/petani, keberlanjutan usaha
Pelaku Inti Perusahaan /Industri Yang mengolah Tbs Dari hulu ke hilir - Keuntungan Usaha - Kesejahteraan Karyawan - Keberlanjutan produksi
Masyarakat Sekitar Klaster - Kebanggaan rasa
memiliki - Pengkuatan usaha - Kesejahteraan
-
Insttusii pendukung - Lembaga Keuangan - Lembaga Penelitian dan pengembangan (keuangan financial, manfaat social)
Pemerintah ;’ Pengadaan infra struktur Peningkatan PAD Peningkatan minat investor Perluasan lapangan kerja
Gambar- 2. Model Kelembagaan Agroindustri Kelapa Sawit
Mekanisme ini dapat terjadi jika ada media komunikasi, untuk itu dan salah satu alternatifnya adalah dengan adanya sebuah forum komunikasi nonformal yang disepakati bersama oleh seluruh stakeholder dengan tujuan untuk meningkatan efektifitas fungsional masing-masing stakeholder klaster. Berdasarkan dari model kelembagaan agroindustri kelapa sawit, dengan mengacu pada konsepnya Diamond Porter, dihasilkan model klaster agroindustri kelapa sawit yang ditunjukkan pada gambar-3. Berdasarkan gambar-3 (Model Klater Agroindustri Kelapa Sawit), dapat diperhartikan bahwa terdapat beberapa kekuatan yang masih perlu ditingkatkan dan kelemahan yang perlu dikurangi sebagai upaya penguatan agroindustri. Adapun kekuatan-kekuatan yang merupakan salah satu faktor kunci untuk mengembangkan klaster agroindustri kelapa sawit adalah sebagai berikut ;
162
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
a) Potensi Pasar Potensi pasar dalam negeri masih terbuka Potensi pasar luar negeri cukup besar Peluang pemanfaatan produk turunan TBS masih banyak b) Kondisi faktor utama dan pendukung Ketersediaan lahan untuk perluasan perkebunan Ketersediaan dan jaminan bibit secara kontinyu Ketersediaan sumber daya air Ketersediaan tenaga kerja lokal (buruh) Ketersediaan tenaga ahli dibidang perkebunan dan agroindustri Keberadaan lembaga litbang Tersedianya jaringan teknologi informasi dan komunikasi Tersedianya fasilitas pergudangan dan pelabuhan Dukungan lembaga pembiayaan Peran asosiasi perkebunan yang dalam pengembangan agroindustri kelapa sawit. Kelemahan-kelemahan yang merupakan hambatan dalam pengembangan klaster agroindustri kelapa sawit, diantaranya; - Penyediaan lahan untuk perluasan masih banyak masalah dilapangan - Industri pendukung yang belum berkembang, sehingga pabriik pengolahan kelapa sawit masih terbatas. - Industri terkait yang belum berkembang, sehingga TBS masih dominan sebagai bahan baku produksi CPO. - Kurangnya tenaga ahli (lokal) dibidang agroindustri kelapa sawit. - Kuantitas pasokan bibit dari sumber lokal masih terbatas. Beberapa potensi, kekuatan dan kelemahan diatas harus diimbangi dengan dukungan dari seluruh stakeholder klaster, sehingga potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan adanya dukungan infra struktur baik ekonomi dan teknologi yang memadai dari pemerintah maupun industri pendukung lainnya. Deskripsi industri yang mengolah TBS sebagai contoh klaster Agroindustri kelapa sawit di Sumatera Selatan. Perkembangan produksi kelapa sawit di Sumatera Selatan bersifat sangat dinamis, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Perkebunan (2004) terdapat 38 pabrik yang bergerak dibidang produksi CPO, yang tersebar di Propinsi Sumatera Selatan masing-masing 5 pabrik di Kabupaten Muba, 5 pabrik di Muara Enim, 3 pabrik di OKU (Ogan Komering Ulu), 8 pabrik di OKI (Ogan Komering Ilir) dan 1 pabrik di ogan ilir, sehingga jika digambarkan rantai produksi dari hulu ke hilir seperti gambar-4.
163
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Klaster Agroindustri Kelapa Sawit Fungsi Institusi Pendukung - Dukungan pembiayaan - Pelayanan Perbankan - Penyediaan sumber pembiayaan dari non Bank
Fungsi Pemerintah Fasilitasi infrstruktur, kebijakan dan regulasi, berperan dalam pembinaan, dukungan perizinan. STRATEGI PERUSAHAN, STRUKTUR DAN PERSAINGAN Mengembangkan Strategi Penguatan Lembaga Patnership Meningkatkan Struktur Lembaga Patnership Memberikan bantuan teknik dalam menghadapi persaingan
KONDISI PERMINTAAN
KONDISI FAKTOR
Penyediaan sumberdaya fisik lahan yang mendukung Jaminan ketersediaan bahan baku secara kontinyu Jaminan ketersediaan SD. Air yang cukup Penyediaan tenga kerja buruh Penyediaan tnaga ahli Keb. Lembaga Riset & Pengemb. Meny. srn transportasi yg layak MenyediakanFasilitas pergudang dan pelabuhan
Penyediaan Pasar Luar Negeri Penyediaan Pasar Dalam Negeri KETERKAITAN INDUSTRI PENDUKUNG DAN INDUSTRI TERKAIT
Dukungan distribusi, teknologi produksi, suporting input produksi Peran asosiasi Perkebunan yang nyata Fasilitas informasi tentang kepastian pasar Gambar-3 Model Klaster Agroindustri Kelapa Sawit
164
ISBN: 978-979-17342-0-2
AGROINDUSTRI LEVEL III
Pemasok
Agro Indusri Level II
Petani Perkebunan (Plasma)
Agro Indusri Level I
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
-
Perusahaan Perkebunan (Inti) Pabrik Pks (38 unit)
Pasar Luar Negeri
Pasar Dalam Negeri
Gambar-4 Rantai Produksi Kelapa Sawit Kondisi hubungan partnership antara pelaku dalam klaster industri berbasis bahan baku kelapa sawit saat ini masih kuat dalam kelompok hulu ke hilir, sehingga peningkatan kinerja klaster ke depan dapat diarahkan terciptanya suatu interaksi yang positif antara seluruh pelaku klaster agroindustri kelapa sawit. Interaksi antar pelaku dari petani perkebunan sampai pada industri hilir tertentu dapat dilihat pada gambar-5. Pelaku pendukung yang terdiri dari industri pendukung dan industri adalah pemasok bibit (bahan baku) pupuk, mesin peralatan, obat-obatan, sedangkan kelompok institusi pendukung diantaranya adalah pemerintah (Dinas perkebunan, dinas Perindustrian dan Perdagangan, BPN), Lembaga Keuangan, institusi Pendidikan Latihan (Balai-balai Riset), dan Institusi lain yang ikut berkonstribusi terhadap keberlanjutan seuah sistem klaster agroindustri. Secara spesifik hubungan kemitraan inti dengan plasma yang terjadi ditunjukan pada Gambar-6.
165
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit (Inti)
Pabrik PKS
Pabrik PKS
Pabrik PKS (n) 38
Pemasok 1
Pemasok 2
Pemasok n
Petani/Pekebun Plasma
Petani/Pekebun Plasma
Petani/Pekebun Plasma
Gambar-5 Interaksi antara pelaku industri kelapa sawit dalam satu kelompok Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit (Inti)
Perjanjian / Produksi TBS
Perjanjian Kerjasama dan jadwal pengembalian kredit
Pemerintah/
Lembaga Pembiayaan
Fasilitator
Kredit dan konversi
Petani/ Pekebun Plasma
Gambar-6 Pola Kemitraan Inti-Plasma
166
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Beberapa kewajiban perusahaan inti menjadi mitra kerja petani plasma antara lain; pengadaan sarana produksi sepanjang diperlukan, membeli dan mengolah TBS dari petani plasma, menetapkan harga pembelian TBS menurut rumus harga yang ditetapkan oleh pemerintah, membimbing petani secara terus, merawat kebun dan melaksanakan penanaman yang baik untuk mampu menghasilkan TBS yang bermutu tinggi, membantu lembaga pembiayaan (Bank) dalam kelancaran pengembalian kredit dari petani plasma. Kondisi riil yang terjadi antara pelaku tidak selalu harmonis sesuai dengan yang diharapkan. Temuan penelitian menunjukan bahwa dalam penerimaan TBS petani /pekebun di pabrik pengolaham PKS sering trejadi penimbunan dan TBS menginap di kebun cukup lama. Keadaan demikian mengakibatkan kualitas TBS makin rendah, karena kualitas TBS merupkan fungsi waktu panen dan waktu pengiriman, karenanya semakin lama TBS tersebut menginap dikebun maka kualitas TBS makin menurun, dampaknya harga yang diterima petani juga semakin rendah. Disaming itu perusahaan inti juga mempunyai kebun kelapa sawit, sehingga apabila kapasitas distasiun loading ramp sudah penuh, maka perusahaan inti lebih mendahulukan mengolah TBS yang berasal dari kebun inti, implikasi TBS yang berasal petani mengalami penundaan (delay). Kesimpulan Klaster agoindustri diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu terciptanya spesialisasi produk dan meningkatnya keunggulan kompetitif. Keuntungan lainnya adalah pengurangan biaya transportasi dan transaksi (efisiensi biaya), dan menumbuhkan hubungan positif antara core industry dengan industri terkait dalam hal distribusi, product development dan pemasaran. Pengembangan model klaster agroindustri kelapa sawit mampu meningkatkan daya saing perkebunan, meningkatkan efisiensi. Hasil kajian menunjukkan bahwa model klaster secara konseptuan dapat di-operasional dan di-implementasikan. Daftar Pustaka Adriant I, Samadhi A, TMA, 2005.”Perancangan Sistem Pendukung Keputusan Untuk Memilih Suplier Capability, Price and Delivery Analysis Chart “ Proceeding Seminar Nasional Sistem Produksi-VII. LSP-TI ITB. Arman, 2001. Hubungan Pembinaan dan Pengelolaan Kebun dengan produktivitas dan Pendapatan Perkebunan Pola PIR Kelapa Sawit di Sumatera Selatan. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya. Baka La Rianda, 2000. Rekayasa Sistem Pengembangan Agroindustri Perkebunan Rakyat dengan Pendekatan Wilayah, Disertasi pada IPB-Bogor. Basdabella Supri, 2001. Pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Agroindustri Rakyat, Disertasi pada IPB-Bogor.
167
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Disperindag, 2004 Strategi Industri Nasional, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Jakarta. Dinas Perkebunan Propinsi Sumatera Selatan, 2004 Laporan tahunan 2004Perkebunan. David, F.R, 1997, “ Strategic Management”, 6 Th Edition, Prentice-Hall, Inc., New Jersey Dilworth, J, B, 1992 “ Operation Management: Design, Planning and Control for manufacturing and service”, Mc-Graw-Hill International Ed., Singapore. Eriyatno, Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen, IPB Press, Bogor, 2003. Fauzi Y, Ir, Widyastuti , 2002. "Kelapa Sawit” Seri Agribisnis, Penebar Swadaya. Jakarta. Geoege, Jr., C. S, 1972 , “ Management For Business and Industry”, Prentice-Hall, New Delhi. Gumbira E, Hariszt I A, 2001. “Manajemen Agribisnis” Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekartawi, 1999. “Teori Ekonomi Produksi” PT Radja Grafindo Persada. Jakarta Sumardjo, Sulaksana Jaka, Darma Aris Wahyu, 2004. “Kemitraan Agribisnis” Teori dan Praktik, Penebar Swadaya. Bogor Hasbi, 2001. Rekayasa Sistem Kemitraan Usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa Sawit. Disertasi pada IPB. Bogor Hansen, A,2003., Developing a Cluster Based Economic Development Program of A Region, The Competetive Institute. Marimin, 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial, IPB Press, Bogor. Nasution M, 2002. ”Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan untuk Agroindustri” IPB Pres. Bogor. Partiwi Gunani Sri, 2007. “Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif Pada Sistem Agroindustri Hasil Laut”, Disertasi, IPB Bogor. Prayogo, N D, 2005.”Model Optimasi Distribusi Multi Produk Dalam Supply Chain “ Proceeding Seminar Nasional Sistem Produksi-VII. LSP-TI. ITB. Purnomo L B, 2005.”Model Konseptual Supply Chain Center Untuk Optimasi Jaringan Kerjasama Sistem Produksi “ Proceeding Seminar Nasional Sistem ProduksiVII. LSP-TI. ITB. Porter, 1980. “M. Competitive Strategy : Techniques for Analyzing Industries and Competitors”. With a New Introduction The Free Press. Schoderbek, Schorclerbek & Kefalas, 1985.” Management Systems : Conceptual Consideration”, Business Publications, Inc., Piano, Texas. Zahri I, 2003. “Pengaruh Alokasi Tenaga Kerja Keluarga Terhadap pendapatan Petani Plasma PIR Kelapa Sawit Pasca Konversi di Sumatera Selatan. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
168
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
TINGKAT KESUKAAN KONSUMEN TERHADAP KOMBUCHA ROSELLA (Hisbiscus sabdariffa Linn) PADA BEBERAPA VARIASI PERLAKUAN PROSES PENYAJIAN CONSUMER FAVORITE LEVEL TO KOMBUCHA ROSELLA (Hibiscus sabdariffa Lin) IN SEVERAL VARIATION PRESENTATION PROCESS TREATMENT Merkuria Karyantina1, Linda Kurniawati1, Nanik Suhartatik1, Akhmad Mustofa1 1
Fakultas Terknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta Abstract
Tendency increasing of degeneratif diseases like diabets militus, cardiovasculer, cancer, stroke, hypentency and another diseases, need a efforts develop of functional food/drink. Recently introduced a fermented tea called kombucha. Kombucha used as theraphy agent for disgetion channel diseases, rheumatism, artheosclerosis, arthritis, disbacteria, constipation, impotency, overweight, cholesterol and cancer. Tea from rosella (Hibiscus sabdariffa Lin) calyx known as antioxidant drink and antihipertency. pH kombucha rosella is low, so need existence presentation method and that product acceptable by all consumer. For fulfill, one matter that can be done are with thinning process and several treatment kinds other, like added sweetenerm (sugar) and days of fermentation. Marginally, in sensory test show inclination number not regular. The mentioned caused selection of panelist is random so panelist don’t have experience in sensory test. Irrregulary result caused by refraction during test sensory. This research determined days of fermentation that estimated of benefit for health and cosumer like. Panelist like kombucha rosella with thinning excelsior with added sugar more and more, because kombucha rosella is not too sour, sweet taste and interesting color. Sensory test result, overall favorite level kombucha rosella shows that panelist like kombucha rosella with thinning 1:3 with added 7,5 g/100 ml sugar. In condition, kombucha rosella not too sour and sweet. Keyword : kombucha rosella, thinning, sugar
Pendahuluan Kecenderungan meningkatnya penyakit-penyakit degeneratif seperti diabetes militus, kardiovaskuler, kanker, stroke, darah tinggi serta penyakit lainnya, memerlukan suatu upaya dikembangkannya makanan/minuman yang menyehatkan. Sejak jaman nenek moyang kita, manusia selalu berusaha untuk sehat dan panjang umur dengan berbagai cara, mulai dari ramuan tradisionalnya yang terkenal dengan nama jamu sampai berbagai jenis ramuan yang dikemas dengan cara modern. Baru-baru ini telah diperkenalkan suatu produk fermentasi teh yang disebut dengan kombucha atau Teh Kombu atau Teh Jamsi (Jamur Siberia) atau Teh Jamur Dipo (Suprapti, 2003). Menurut Dr. R. Sklenar MD, seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman, kombucha telah digunakan sebagai agen terapi untuk 169
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
penyakit saluran pencernaan, rematik, arteriosklerosis, arthritis, disbakteria, konstipasi, impotensi, kegemukan, batu ginjal, kolesterol, dan kanker (Sklenar, 1964). Karena kemampuan penyembuhan dan efek menguntungkan bagi kesehatan inilah maka kombucha menjadi sangat populer dan layak untuk dikaji lebih lanjut. Saat ini juga dikenal teh dari kelopak bunga rosella (Hisbiscus sabdariffa). Teh rosella dapat dibuat dengan menyeduh 2-3 kelopak bunga rosella kering dengan 200 mL air panas. Teh rosella juga berkhasiat sebagai minuman antioksidan dan sebagai antihipertensi. Menurut seorang peneliti bidang Ilmu dan Teknologi Pangan dari IPB, Ir Didah Nurfarida MSi, kandungan antioksidan pada teh kelopak merah adalah 1,7 mmmol/prolox, lebih tinggi dibanding kumis kucing yang antioksidannya teruji klinis meluruhkan batu ginjal (Vitriani, 2007). Telah dilakukan penelitian sebelumnya tentang optimalisasi proses pembuatan kombucha dengan bahan dasar the dari kelopak bunga rosella. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kombucha yang dihasilkan mempunyai pH yang sangat rendah, yaitu 2,9-3,1. Dengan pH serendah ini, tidak akan banyak konsumen yang menyukainya apalagi abgi penderita penyakit maag. Untuk mendapatkan fungsi secara maksimal dengan mempertimbangkan tingkat keasaman kombucha ini, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tingkat penerimaan konsumen terhadap kombucha rosella dengan variasi beberapa jenis perlakuan dan kondisi proses fermentasi. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah pH kombucha rosella yang rendah menuntut adanya metode penyajian sehingga produk dapat diterima oleh semua kalangan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan proses pengenceran dan beberapa jenis perlakuan lain, seperti penambahan pemanis (jenis gula, kadar gula, dan lama fermentasi. Dengan adanya proses pengenceran dan penambahan pemanis setelah proses fermentasi dihentikan maka penerimaan konsumen terhadap kombucha rosella dapat ditingkatkan. Untuk menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk perlu dilakukan uji kesukaan konsumen. Salah satu uji kesukaan yang sering dilakukan adalah dengan metode hedonic. Parameter yang perlu diuji meliputi rasa manis, rasa masam, warna, dan kesukaan secara keseluruhan. Metode Penelitian Penelitian diawali dengan pembuatan kombucha rosella sesuai dengan perlakuan. Adapun variasi perlakuan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah: Faktor 1. Faktor pengenceran A1 1 : 1 (1 bagian kombucha + 1 bagian air) A2 1 : 2 (1 bagian kombucha + 2 bagian air) A3 1 : 3 (1 bagian kombucha + 3 bagian air) 170
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Faktor 2. Kadar Gula Tebu sebagai pemanis G1 2,5 g/100 mL kombucha rosella G2 5 g/100 mL kombucha rosella G3 7,5 g/100 mL kombucha rosella Bahan Penelitian Bahan penelitian yang dibutuhkan meliputi: starter “jamur” Kombu yang diperoleh dari dr. Henry Naland, Sp.B (K) di Jakarta, rosella kering diperoleh dari pasar tradisional setempat, gula pasir merk “Gulaku”, dan aquadest. Bahan kimia untuk analisis. Alat-alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah wadah untuk fermentasi, kain penutup wadah, kain, gelas takar, panci perebus, peralatan gelas untuk analisis, autoklaf, thermometer, corong, spektrofotometer, kompor listrik, timbangan listrk, perlengkapan aseptis, dll. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variance (anova), kemudian dilanjutkan dengan uji beda nyata yaitu DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan taraf signifikansi 5 %.
Pembuatan Kombucha Rosella
Kombucha dibuat dengan cara merebus 40 g rosella dalam 1 liter aquadest hingga mendidih. Setelah terekstrak, saring dengan kain saring dan ditambahkan 10% gula pasir. Ekstrak rosella manis tersebut kemudian dimasukkan dalam wadah yang digunakan untuk fermentasi dan disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah agak dingin (suhu di bawah 50oC), ditambahkan 10% starter dari volume total.
Parameter Penelitian - pH dengan pH meter (Apriyantono, 1989) - Total Asam sebagai asam asetat (Ranggana, 1997). - Aktivitas Antioksidan dengan Metode Gow – Chin Yen dan Hui – Yin Chen (Yen dan Chen, 1995). - Uji Organoleptik dengan metode Hedonik tes Hasil dan Pembahasan Hasil penelitan Suhartatik dkk (2008) menunjukkan bahwa kombucha dari kelopak bunga rosella mampu menurunkan kolesterol darah (LDL) tikus percobaan yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan dengan pemberian kombucha dan kontrol. Rasa asam pada kombucha masih cukup tinggi, sehingga masyarakat sebagai konsumen kurang menyukainya. Aktivitas Antioksidan Kombucha Rosella selama Fermentasi Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat menghambat atau mencegah terjadinya proses oksidasi. Secara tidak langsung, konsumsi antioksidan dalam diet akan mencegah munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti PJK, arteriosklerosis, diabetes, stroke, dll. Antioksidan yang bersifat alami lebih banyak digemari karena tidak menimbulkan efek samping dan cenderung lebih aman daripada antioksidan buatan. Melimpahnya ketersediaan antioksidan alami di 171
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
alam, mendorong untuk mengkaji lebih lanjut dan mengembangkannya guna mencari sumber antioksidan yang terbaik. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menggabungkan dua jenis proses atau bahan atau campuran antara keduanya. Yaitu dengan cara memfermentasikan air seduhan kelopak bunga rosella menjadi kombucha dengan memanfaatkan efek-efek positif yang dapat ditimbulkan oleh mikrobia dalam fermentasi kombucha, yang biasa disebut dengan scoby (symbiotic colony of bacteria and yeast). Dengan metode ini diharapkan dapat diperoleh minuman fungsional yang berkhasiat ganda, yakni sebagai antioksidan dan sebagai antihiperkolesterol. Namun perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses fermentasi, selain terjadi pembentukan metabolit-metabolit (dalam hal ini yang diharapkan adalah terbentuknya asam organik) juga terjadi perubahan senyawa-senyawa yang menguntungkan seperti senyawa yang bersifat sebagai antioksidan dalam fermentasi rosella menjadi kombucha rosella. Aktivitas antioksidan kombucha rosella cenderung mengalami penurunan selama proses fermentasi. Adapun data besarnya aktivitas antioksidan selama fermentasi berturut-turut 31,344 % (hari ke 0), 31,077 % (hari kee 2), 30,818 % (hari ke 3), 30,526 % (hari ke 5), 28,957 % (hari ke 7) dan 29,040 % (hari ke 10). Besarnya aktivitas antioksidan dinyatakan sebagai prosentase jumlah radikal bebas yang mampu ditangkap oleh senyawa antioksidan. Semakin besar nilai yang tertera maka semakin besar pula aktivitas antioksidannya. Kombucha rosella akan mengalami penurunan aktivitas antioksidan meskipun sangat kecil. Penurunan terjadi setelah ekstrak kelopak bunga rosella difermentasi selama 3 hari. Menurut Suhartatik, dkk., (2006), proses fermentasi larutan teh manis menjadi kombucha akan menurunkan aktivitas antioksidan. Penurunan aktivitas antiokidan kombucha dari kelopak bunga rosella cenderung lebih sedikit daripada penurunan yang dialami oleh kombucha dari daun teh (Camellia sinensis). Walaupun terjadi penurunan aktivitas antioksidan, namun aktivitas antioksidan kombucha rosella masih tergolong tinggi apabila dibandingakan dengan kombucha dari daun teh. Tingkat Keasaman (pH dan Total Asam) Kombucha Rosella selama Fermentasi Selama fermentasi kombucha rosella, terjadi penurunan derajat keasaman (pH) dengan terbentuknya berbagai macam asam, seperti asam asetat, asam glukoronat, asam kondroitin sulfat dan lain-lain. Asam-asam terebut bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Dalam penelitian ini dilakukan analisa total asam yang dianggap sebagai asam asetat sebagai perwakilan dari asam yang dihasilkan, walaupun data tersebut tidak dapat dikorelasikan langsung terhadap satu atau 2 jenis asam organik yang dihasilkan. Tabel 1. pH dan Total asam kombucha rosella selama fermentasi 172
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Lama Fermentasi 0 hari 1 hari 3 hari 5 hari 7 hari 10 hari
pH
Total asam
2,385 2,370 2,310 2,330 2,345 2,365
0,00875 0,00780 0,00825 0,00940 0,00920 0,00850
pH kombucha rosella selama fermentasi mengalami penurunan. Kisaran pH yang masih bisa diterima oleh lambung manusia kurang lebih 3,00 (Naland,2004). pH kombucha cukup rendah, sehingga bisa berakibat kurang baik bila dikomsumsi secara langsung. Untuk menghindari hal tersebut, biasanya komsumen melakukan pengenceran saat mengkonsumsi kombucha rosella, sehingga aman dikonsumsi. Asam organik merupakan salah satu komponen yang dihasilkan selama fermentasi kombucha rosella. Hasil perhitungan total asam kombucha rosella menunjukkan bahwa tidak terdapat kecenderungan tertentu. Pada hari ke 1 total asam cenderung turun, namun cenderung mengalam kenaikan sampai hari ke 7, dan setelah itu cenderung naik lagi. Hal tersebut diakibatkan pada saat awal fermentasi, kandungan asam asetat cenderung sedikit. Bakteri penghasil asam asetat belum terlalu banyak berperan. Hari ke 3 sampai hari ke 7, kandungan asam asetat cendernung meningkat, yang dimungkinkan bakteri penghasil asam asetat memainkan peranannya selama fermentasi berlangsung. Dalam penelitian ini, dikarenakan kompleksnya kandungan asam organik dalam kombucha rosella serta membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit jika dilakukan perhitungan asam organik dalam kombucha rosella, maka perhitungan total asam diambil perwakilan dari asam organik yang dihasilkan yaitu asam asetat. Uji Sensoris Panelis terhadap kombucha rosella Hasil penelitian pendahuluan yaitu perhitungan aktivitas antioksidan, pH dan total asam selama fermentasi, maka kegiatan selanjutnya adalah uji sensoris terhadap kombucha terpilih. Adapun kombucha yang digunakan dalam uji sensoris ini diambil dari salah satu perlakuan lama fermentasi yaitu fermentasi selama 3 hari. Pertimbangan dipilihnya perlakuan tersebut adalah aktivitas antioksidannya masih cukup tinggi, pH rendah serta total asam rendah. Walaupun pada hari ke 0 dan ke 1, aktivitas antioksidannya lebih tinggi, namun disinyalir pada hari ke 0 dan 1, metabolit yang dihasilkan selama fermentasi belum optimal, yang ditunjukkan dengan pH dan Total asam masih cukup tinggi. Berikut adalah hasil analisis uji sensoris kombucha rosella Secara garis besar, pada masing-masing hasil uji sensoris menunjukkan angka kecenderungan yang tidak teratur. Hal tersebut dikarenakan panelis yang
173
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dipilih tidak merupakan panelis yang terlatih. Ketidak teraturan hasil yang diperoleh bisa disebabkan karena adanya bias selama dilakukannya uji sensoris Tabel 2. Hasil Uji Sensoris Pembedaan Warna Kombucha Rosella Faktor Pengenceran Pengenceran 1:1 (P1) Pengenceran 1:2 (P2) Pengenceran 1:3 (P3)
2,5 g/100ml(G1) 4,000 c 2,900 b 1,900 a
Kadar Gula Tebu 5 g/100ml(G2) 3,800 c 3,800 c 2,700 ab
7,5 g/100ml(G3) 1,900 a 1,900 a 2,900 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikansi 5%
Tabel 3 . Hasil Uji Sensoris Pembedaan Rasa Asam Kombucha Rosella Faktor Pengenceran
2,5 g/100ml(G1) 4,700 d 3,100 abc 1,900 a
Kadar Gula Tebu 5 7,5 g/100ml(G2) g/100ml(G3) 3,200 bc 2,600 ab cd 4,300 2,600 ab 2,700 ab 2,700 ab
Pengenceran 1:1 (P1) Pengenceran 1:2 (P2) Pengenceran 1:3 (P3) Keterangan: - Angka yang diikuti oleh notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikansi 5% Hasil analisis uji pembedaan warna kombucha rosella dengan penambahan gula tebu menunjukkan beda nyata antar perlakuan. Semakin banyak penambahan gula, panelis semakin tidak menyukai warna dari kombcha rosella yang cenderung tampak semakin keruh. Pengenceran dengan perbandingan 1:1 cenderung paling disukai dengan penambahan gula 2,5 g/100 ml. Semakin banyak penambahan airnya, konsumen cenderung semakin suka warna kombucha rosella, karena cenderung semakin cerah dan menarik. Tabel 4 . Hasil Uji Sensoris Pembedaan Rasa Manis Kombucha Rosella Faktor Pengenceran Pengenceran 1:1 (P1) Pengenceran 1:2 (P2) Pengenceran 1:3 (P3)
2,5 g/100ml(G1) 1,500 a 1,500 a 2,500 ab
Kadar Gula Tebu 5 g/100ml(G2) 2,700 ab 1,900 ab 2,100 ab
7,5 g/100ml(G3) 1,700 a 2,400 ab 3,100 b
Keterangan: - Angka yang diikuti oleh notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikansi 5%
Hasil analisis uji pembedaan rasa asam menunjukkan bahwa menurut panelis kombucha yang paling asam asam dengan pengenceran 1:1 serta penambahan gula 2,5 g/100 ml. Semakin tinggi faktor pengenceran serta penambahan gula, rasa asam pada kombucha semakin hilang. Kombucha dengan 174
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
rasa kurang asam menurut panelis adalah kombucha dengan pengenceran 1:3 dengan penambahan gula 2,5 g/100 ml. Hasil uji sensoris pembedaan rasa manis kombucha rosella menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor pengenceran, panelis semakin merasakan rasa kombucha yang semakin manis. Begitu pula dengan semakin banyak penambahan gula, rasa manis semakin terasa. Tingkat kemanisan yang paling tinggi adalah pada kombucha dengan pengenceran 1:3 dan penambahan gula 7,5 %. Sedangkan rasa manis kurang terasa pada pengenceran 1:1 dan 1:2 dengan penambahan gula 2,5 g/100 ml. Tabel 5. Hasil Uji Sensoris Kesukaan Warna Kombucha Rosella Faktor Pengenceran Pengenceran 1:1 (P1) Pengenceran 1:2 (P2) Pengenceran 1:3 (P3)
2,5 g/100ml (G1)
Kadar Gula Tebu 5 g/100ml (G2)
7,5 g/100ml (G3)
4,100 c
4,100 c
2,300 a
3,400 bc 2,100 a
4,100 c 3,200 b
2,100 a 3,400 bc
Keterangan:- Angka yang diikuti oleh notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikansi 5%
Hasil uji sensoris kesukaan warna kombucha rosella menunjukkan bahwa panelis menyukai warna kombucha rosella dengan pengenceran 1:1 dengan penambahan gula 2,5 g/100 ml, pengenceraan 1:1 dan 1:2 dengan penambahan gula 5 g/100 ml. Semakin banyak penambahan gula dengan semakin tinggi faktor pengenceran panelis cenderung kurang menyukai, karena warna kombucha cenderung lebih muda, kurang menunjukkan kekhasan warna kombucha rosella yang cenderung merah kecoklatan. Tabel 6. Hasil Uji Sensoris Kesukaan Rasa Asam Kombucha Rosella Kadar Gula Tebu Faktor Pengenceran 2,5 g/100ml 5 g/100ml 7,5 g/100ml (G1) (G2) (G3) Pengenceran 1:1 (P1) 1,900 a 3,500 c 2,200 ab Pengenceran 1:2 (P2) 2,500 abc 2,400 abc 2,500 abc Pengenceran 1:3 (P3) 2,500 abc 3,100 abc 3,300 bc Keterangan: - Angka yang diikuti oleh notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikansi 5%
Hasil analisis uji sensoris kesukaan rasa asam pada kombucha rosella menunjukkan bahwa, panelis menyukai rasa asam kombucha dengan tingkat pengenceran 1:1 dan penambahan gula 5 g/100 ml. Pada kondisi tersebut, kombucha masih terasa asam tetapi agak sepat sehingga menyegarkan untuk dinikmati. Semakin tinggi tingkat pengenceran dan penambahan gula, panelis semakin tidak merasakan rasa asam. Hal tersebut dimungkinkan karena panelis belum terlatih dalam melakukan uji sensoris, sehingga hasil yang diperoleh dari masing-masing panelis kadang tdak stabil atau bias. 175
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 7. Hasil Uji Sensoris Kesukaan Rasa Manis Kombucha Rosella Faktor Pengenceran Pengenceran 1:1 (P1) Pengenceran 1:2 (P2) Pengenceran 1:3 (P3)
2,5 g/100ml(G1) 1,800 a 2,100 abc 3,200 cd
Kadar Gula Tebu 5 g/100ml(G2) 3,600 d 2,500 abcd 3,100 bcd
7,5 g/100ml(G3) 1,900 ab 3,300 cd 3,700 d
Keterangan:- Angka yang diikuti oleh notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikansi 5%
Hasil analisis uji sensoris kesukaan rasa manis pada kombucha rosella menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengenceran serta penambahan kadarr gula, konsumen cenderung semakin menyukai rasa manis pada kombucha. Hal tersebut disebabkan rasa asam pada kombucha tertutup oleh semakin tingginya faktor pengenceran serta penambahan gula. Tabel 8. Hasil Uji Sensoris Kesukaan Keseluruhan Kombucha Rosella Faktor Pengenceran Pengenceran 1:1 (P1) Pengenceran 1:2 (P2) Pengenceran 1:3 (P3)
2,5 g/100ml(G1)
Kadar Gula Tebu 5 g/100ml(G2)
7,5 g/100ml(G3)
1,600 a 2,300 ab 2,700 abc
3,900 cd 2,800 abc 3,400 bcd
2,700 abc 2,600 ab 4,300 d
Keterangan:- Angka yang diikuti oleh notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji dengan taraf signifikansi 5% Hasil analisis uji sensoris tingkat kesukaan keseluruhan kombucha rosella menunjukkan bahwa panelis secara keseluruhan menyukai kombucha rosella dengan pengenceran 1:3 serta penambahan gula 7,5 g/ 100 ml. Pada kondisi tersebut kombucha tidak terlalu asam dan terasa manis menyegarkan. Panelis secara keseluruhan cenderung tidak menyukai kombucha dengan pengenceran 1:1 dengan penambahan gula 2,5 g/100 ml. Pada kondisi tersebut, kombucha terasa asam, sehingga kurang disukai konsumen. Kesimpulan 1. Lama fermentasi kombucha rosela minimal 3 hari agar memperoleh manfaat vagi kesehatan, dimana aktivitas antioksidan masih cukup tinggi. 2. Panelis lebih menyukai warna kombucha rosela dengan pengenceran 1 : 1 dengan penamabahan gula 2,5 g/100 ml. 3. Panelis lebih menyukai rasa asam kombucha rosela dengan tingkat pengenceran 1 : 1 dan penambahan gula 5 g/100 ml, dimana rasa tidak terlalu asam, ada kombinasi rasa manis dan agak sepat. 4. Secara keseluruhan panelis menyukai kombucha rosela dengan pengenceran 1 : 3 serta penambahan gula 7,5 g/100 ml, dimana rasa tidak terlalu asam dan tidak terlalu manis.
176
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Daftar Pustaka Chen, 2003. dalam: Maryani, H dan Kristiana, L. 2005. Khasiat dan Manfaat ROSELA.
PT AgroMedia Pustaka. Jakarta Herrera.A.A., Flores.R.S., Chavez.S.M.A. 2004. Effectiveness and Tolerability A Standardized Extract from Hibiscus sabdariffa in Patients With Mild to Moderate Hipertension. Phytomedicine., 11(5): 357-82. July. http://www.ncbi.nlm.nih.gov Kirdpon.S., Nakorn .S.N., Kirdpon. W. 1994. Changes in Urinary Chemical Compotition in Healthy Volunteers after Consuming Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn.). J.Med Assoc Thai, 77 (6): 314-21, June, Maryani, H dan Kristiana, L. 2005. Khasiat dan Manfaat ROSELA. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta Naland, H., 2004. Kombucha Teh Ajaib Pencegah & Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta: P.T. Agro Media Pustaka. 37 hal. Odigie. 2003. dalam: Maryani, H dan Kristiana, L. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosella. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta Ranggana, S., 1997. Manual Analysis and Vegetable Product. New Delhi: Mc. Graw Hill Publishing. Co. Ltd. Sklenar, R., M.D., 1964. Erfahrungssheilkundee. Zeitscriff fur die tagliche Praxis, XIII:3. Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi., 1984. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Jogjakarta: Liberty. Suprapti, L., 2003. Teh Jamsi dan Manisan Nata Berkhasiat Obat. Jogjakarta: Kanisius. 72 hal. Vitriani, V., 2007. Khasiat Kuntum Rosella dalam Yen, G.O. and Y. Chen, 1995. Antioxidant Activity of Various Tea Ekstraks in Relation to Their Antimutugenicity. J. Agric. Food Chem. 43 : 27 – 32.
177
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
PEMBUATAN SUSU KECIPIR DENGAN VARIASI BERAT WIJEN DAN LAMA PEREBUSAN Linda Kurniawati1 dan Wirnaningsih2 1 Fakultas Teknologi Pertanian, UNISRI Surakarta 2 Alumni FTP UNISRI Surakarta Abstrak Tuntutan diperolehnya produk susu dengan keamanan dan kandungan protein yang menyerupai susu sapi menyebabkan dialihkannya perhatian pada sumber protein nabati. Biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) dapat diolah menjadi susu karena memiliki kandungan protein yang hampir setara dengan kedelai. Dalam proses tersebut, selain bahan baku, juga perlu penambahan bahan lain agar hasilnya memenuhi selera konsumen. Biji wijen (Sesamun indicum L.) merupakan bahan pembantu yang dapat menghilangkan bau langu pada susu kecipir, karena jika biji wijen disangrai, akan mengeluarkan minyak yang beraroma sangat harum dan gurih. Minyak wijen ini juga berperan sebagai pengikat aroma dan katalisator, sehingga bau langu dapat dihilangkan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial yang terdiri atas 2 faktor yaitu penambahan biji wijen (0 g, 75 g, 85 g dan 95 g) dan lama perebusan (20 menit, 25 menit dan 30 menit). Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam F pada jenjang 0,05. Jika ada beda nyata dilanjutkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5 % untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan berat wijen, maka kadar protein dan lemak semakin meningkat. Pada perlakuan penambahan wijen 95 g dan lama perebusan 20 menit, menghasilkan susu kecipir yang cukup disukai oleh panelis dengan didukung oleh faktor-faktor lain, yaitu kadar protein 2,846 %, kadar lemak 3,348 %, warna coklat muda sekali dan aroma kecipir (langu) tidak terasa. Kata kunci : Biji kecipir, Berat wijen, Lama perebusan, Kualitas. THE MADE OF KECIPIR MILK WITH THE VARIATIONS OF SESAME WEIGHT AND BOILING DURATION Abstract The demand of dairy product secure and protein content similar to cow milk leads the attention turn to the plant protein source. The kecipir (Psophocarpus tetragonolobus) seed can be processed into milk because its contains the protein level almost equall to soybean. In that processing otherwise main material, also needs other materials in order to meet the consumers taste. Sesame (Sesamun indicum L.) seed is a supporting material to remove unpleasant odour from the kecipir milk, because is sesame seeds are roasted, it will release aromatic and crisp oil. The sesame oil can also serve as an aromatic
178
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
binder and catalyst so the unpleasant odour can be removed. This research used factorial completely random design with two factors : sesame seeds addition (o g, 75 g, 85 g, and 95 g) and boiling duration (20 minutes, 25 minutes, and 30 minutes). The data obtained, then analysed using F variance test at significance level of 5 %. If there was significant difference, it was then followed with Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5 % to find out inter treatments significant difference. The result of research shoes that the higher sesame weight added, made a higher protein and fat level too. The 95 g sesame addition and 20 minutes boiling duration treatment product gain panelist-preferred it is also supported by other factors such as protein 2.846 %, and fat levels 3.348 %, very light brown colour and unpleasant odour aroma is lost. Key words : kecipir milk, sesame weight, boiling duration Pendahuluan Tuntutan diperolehnya produk susu dengan keamanan dan kandungan protein yang menyerupai susu sapi menyebabkan dialihkannya perhatian pada sumber protein nabati. Saat ini, susu nabati yang banyak dikenal orang adalah susu yang berasal dari biji kedelai. Kedelai dipilih sebagai bahan baku susu karena dipandang memiliki kandungan gizi yang tinggi, khususnya kandungan protein yang terdapat dalam susu kedelai tersebut. Tetapi saat ini, negara kita mengalami masalah yang sangat signifikan mengenai kedelai.Banyak produsen-produsen yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku untuk produk mereka, harus gulung tikar karena naiknya harga kedelai di pasaran, begitu pula dengan para produsen susu kedelai (Anonim 2007). Untuk mengurangi ketergantungan susu nabati terhadap kedelai, maka perlu adanya pengenalan biji-bijian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan susu nabati. Salah satu biji-bijian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan susu nabati adalah biji kecipir. Pada dasarnya semua biji-bijian dapat diproses menjadi susu, termasuk kecipir. Biji kecipir memiliki kandungan protein yang tinggi (29,8-37,4%) hampir setara dengan kedelai (35,1%) (Haryoto,1996 a). Umumnya kacang-kacangan mengandung unsur yang merintangi kerja enzim trypsin (asam lambung) untuk menguraikan protein menjadi asam amino di pencernaan. Unsur penghambat yang ada dalam kecipir setelah diproses menjadi susu akan melemah, sehingga tidak menghalangi kerja asam lambung. Maka zat-zat yang terkandung dalam biji kecipir lebih mudah dimanfaatkan oleh tubuh. Susu kecipir ini, masih kurang disukai masyarakat Indonesia, karena aromanya yang kurang sedap (bahasa jawa: Langu). Oleh karena itu perlu dilakukan perlakuan dan penambahan bahan pembantu untuk meningkatkan rasa, aroma dan kualitas susu kecipir. Menurut Haryoto (1996 a), biji wijen (Sesamun indicum) merupakan salah satu bahan pembantu yang berfungsi untuk menghilangkan bau langu. Biji wijen dipilih, karena jika wijen disangrai, akan mengeluarkan minyak yang beraroma sangat harum dan gurih. Minyak wijen ini juga berperan sebagai pengikat aroma dan katalisator, sehingga bau langu susu kecipir dapat dihilangkan. Biji wijen juga memiliki beberapa khasiat yaitu memperbanyak air susu ibu (lagtogoga) dan mencegah kanker dan penuaan. Khasiat wijen didapat dari kandungan zat-zat kimia yang diketahui lewat sejumlah penelitian.
179
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Beberapa zat yang ada dalam wijen antara lain gliserida (asam oleat, lonoleat, palmitat, stearat, miristinat), protein, prantosa, vitamin A, B1, dan E. Minyak wijen juga kaya akan asam amino seperti arginin sebesar 12,5 mg, histidin 2,1 mg, leusin 8,9 mg dan fenilalanin 6,2 mg. Kadar asam-asam amino tersebut lebih besar dibanding asam-asam amino serupa dalam kedelai dan biji kecipir. Kandungan zat-zat gizi yang terdapat dalam wijen, dapat melengkapi asam amino yang terkandung dalam protein susu kecipir, sehingga dapat menyeimbangkan protein susu kecipir dengan susu hewani (Schuster, 1992). Dalam pembuatan susu kecipir, tahap perebusan perlu diperhatikan, karena melalui tahap perebusan ini, dapat menghentikan aktivitas enzim penghambat bekerjanya asam lambung dalam menguraikan protein menjadi asam amino. Oleh karena itu dapat menaikkan jumlah protein yang terserap, sehingga bila dikonsumsi bisa lebih bermanfaat bagi tubuh. Penelitian tentang susu kecipir sebelumnya menunjukkan bahwa perebusan selama 60 menit menghasilkan susu yang paling sesuai (Anonim 2007). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas susu kecipir dengan variasi penambahan berat wijen dan lama perebusan. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Slamet Riyadi Surakarta, selama 2 bulan. Bahan Bahan Utama : a. Biji Kecipir Tua. b. Biji Wijen. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) yang terdiri atas 2 faktor. Faktor I adalah berat wijen (0 g, 75 g, 85 g dan 95 g) dan lama perebusan (20 menit, 25 menit dan 30 menit). Data yang diperoleh dilakukan analisis uji sidik ragam F pada jenjang nyata 0,05. Jika ada beda nyata dilanjutkan DMRT (Duncan Multiple Range Test) untuk mengetahui beda nyata antar perlakuan pada tingkat signifikan 5%. Proses Pembuatan Susu Kecipir Resep susu kecipir (Haryoto, 1996) yang dimodifikasi : 1) Biji kecipir 1.000 gram 2) Wijen 75 gram 3) Soda kue 20 gram 4) Gula Pasir 250 gram 5) Garam 10 gram Cara pembuatan susu kecipir terdiri dari 2 tahap yaitu : 1. Penyangraian Wijen a. Panaskan wajan di atas kompor
180
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
b. Tuangkan wijen ke dalam wajan sesuai perlakuan (75 g, 85 g, dan 95g), sambil diaduk-aduk dengan irus agar tidak hangus. Penyangraian dilakukan selama 5 menit, pada suhu 90o C. c. Wijen diangkat dan dimasukkan ke dalam toples. 2. Pembuatan Susu Kecipir a. Siapkan biji kecipir yang tua sebanyak 1.200 g, lalu tuangkan biji kecipir ke dalam air 2,5 liter, tunggu selama 20 menit. Biji yang mengapung di atas air berarti biji yang jelek dan harus dihilangkan. b. Rendam biji kecipir yang telah disortir sebanyak 1.000 g ke dalam 3.000 ml larutan soda kue 0,5% (15 g soda kue dalam 3.000 ml air) selama 72 jam dan setiap 8 jam airnya diganti. c. Selesai perendaman, biji kecipir dibilas dan airnya dibuang kemudian diganti dengan air yang bersih sambil dicuci dan diremas-remas dengan tangan. d. Kemudian biji kecipir direbus selama 60 menit. e. Lalu dilakukan pengupasan kulit ari biji kecipir. f. Biji kecipir digiling dengan memakai blender listrik, bersama air sebanyak 10 liter dan wijen dengan berat sesuai perlakuan (0 g 75 g, 85 g dan 95 g). g. Bubur kecipir hasil penggilingan direbus pada suhu 100o C , dengan lama perebusan sesuai perlakuan (20 menit, 25 menit dan 30 menit). h. Bubur kecipir hasil rebusan disaring untuk diambil sarinya (bakal susu). i. Bakal susu dimasak pada suhu 90o C (tidak sampai mendidih), selama 10 menit, sambil ditambah 250 g gula dan 10 g garam. j. Kemudian masukkan susu dalam keadaan panas ke dalam botol dengan bantuan corong dan langsung ditutup. l. Susu dipasteurisasi dengan cara dipanaskan di dalam air mendidih pada suhu 100o C selama 15 menit, sehingga diperoleh susu kecipir yang steril. Cara Pengumpulan Data 1. Analisis Kadar Protein dengan Metode Lowry-Fallin (AOAC, 1992 dalam Sudarmadji et al., 1984) 2. Analisis Kadar Lemak dan Minyak dengan Soxhletasi (Sudarmadji et al., 1984) 3. Uji Organoleptik meliputi warna, aroma, dan tingkat kesukaan keseluruhan dengan Metode Scorring test (Utami, 1992)
181
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
HASIL
Hasil analisis susu kecipir tabel 1 menunjukkan bahwa semakin besar berat wijen yang digunakan dapat meningkatkan kadar protein dan kadar lemak yang sesuai dengan standar mutu susu nabati. Tabel 1. Hasil Analisis Kimia Susu Kecipir Perlakuan Kadar Protein (%) Perebusan 20’-Wijen 0 g 0.055 a Perebusan 20’-Wijen 75 g 0,094 a Perebusan 20’-Wijen 85 g 0,354 b Perebusan 20’-Wijen 95 g 2,846 f Perebusan 25’-Wijen 0 g 0,071 a Perebusan 25’-Wijen 75 g 0,407 bc Perebusan 25’-Wijen 85 g 0,556 cd Perebusan 25’-Wijen 95 g 3,080 g Perebusan 30’-Wijen 0 g 0,085 a Perebusan 30’-Wijen 75 g 0,601 d Perebusan 30’-Wijen 85 g 1,733 e Perebusan 30’-Wijen 95 g 3,695 h
Kadar lemak (%) 1,380 a 2,122 c 2,729 e 3,348 f 1,618 b 2,372 c 2,891 e 3,549 g 1,787 b 2,497 d 3,261 f 3,740 h
Keterangan : Purata yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata dengan uji DMRT 5%
PEMBAHASAN Kadar Protein Susu Kecipir Pada tabel 1 menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan wijen, kadar protein susu kecipir semakin meningkat. Hal ini terjadi karena biji wijen juga mengandung protein yaitu sebanyak 20,1 % (Handajani et al., 2006). Demikian pula semakin lama perebusan, kadr protein yang dihasilkan juga semakin meningkat. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada lama perebusan 30 menit, kadar protein susu kecipir sangat tinggi. Menurut Winarno (1991) pemanasan menyebabkan dinding sel yang sebagian adalah protein akan mengalami kerusakan, sehingga mengakibatkan protein yang ada di dalam sel akan terekstrak keluar. Oleh karena itu semakin lama perebusan akan semakin banyak protein yang keluar dari dalam biji kecipir sehingga protein yang terkandung dalam susu kecipir akan semakin meningkat. Kadar Lemak Susu Kecipir. Tabel 1 menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan berat wijen, maka kadqar lemak susu kecipir semakin meningkat. Hal ini terjadi karena biji wijen mengandung 50,4 % lemak nabati (Handajani et al., 2006). Demikian pula semakin lama perebusan kadar lemak yang dihasilkan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin lama perebusan bubur kecipir, menyebabkan lapisan sel biji kecipir yang sebagian besar adalah protein menjadi pecah, sehingga bubur kecipir akan semakin unak. Jika bubur kecipir yang dihasilkan semakin lunak, maka lemak yang terekstrak dari biji kecipir akan semakin banyak (Ketaren, 1986). Sudarmadji et al (1989) menyatakan bahwa semakin halus bahan-bahan baik dari
182
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
tanaman maupun hewan yang akan diekstraksi lemak/minyaknya, maka hasil ekstraksi lemaknya akan semakin banyak. Uji Organoleptik Uji organoleptik susu kecipir dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan dan kesukaan panelis terhadap susu kecipir dengan variasi lama perebusan dan berat wijen. Tabel 2. Hasil Uji Organoleptik Susu Kecipir Perlakuan Perebusan 20’-Wijen 0 g Perebusan 20’-Wijen 75 g Perebusan 20’-Wijen 85 g Perebusan 20’-Wijen 95 g Perebusan 25’-Wijen 0 g Perebusan 25’-Wijen 75 g Perebusan 25’-Wijen 85 g Perebusan 25’-Wijen 95 g Perebusan 30’-Wijen 0 g Perebusan 30’-Wijen 75 g Perebusan 30’-Wijen 85 g Perebusan 30’-Wijen 95 g
Warna
Aroma
3,400 ef 3,000 de 2,000 b 1,000 a 3,800 fg 2,400 bc 2,000 b 1,000 a 4,000 g 2,800 cd 1,000 a 1,000 a
5,000 e 4,300 d 3,000 b 2,700 b 5,000 e 3,600 c 3,000 b 2,300 a 4,600 d 3,600 c 2,700 b 2,300 a
Kesukaan Keseluruhan 1,400 a 3,000 cd 4,300 g 3,300 de 2,000 b 3,600 ef 4,000 fg 2,000 b 2,000 b 4,000 fg 3,000 cd 2,600 c
Keterangan : Warna dengan purata semakin tinggi menunjukkan warna susu kecipir semakin coklat Aroma dengan purata semakin tinggi menunjukkan aroma kecipir semakin terasa Kesukaan keseluruhan dengan purata semakin tinggi menunjukkan susu kecipir semakin disukai
Warna Susu Kecipir Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin sedikit penambahan berat wijen, maka warna susu kecipir semakin coklat. Hal ini terjadi karena warna coklat kecipir lebih mendominasi daripada warna wijen. Penambahan berat wijen 0 g, menghasilkan susu kecipir yang berwarna coklat tua dan penambahan wijen 75 g menghasilkan susu kecipir yang berwarna coklat muda. Aroma Susu Kecipir Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin banyak penambahan berat wijen, maka aroma kecipir (langu) semakin tidak terasa. Hal ini disebabkan karena biji wijen merupakan bahan pembantu atau salah satu bumbu aromatic yang dapat menghilangkan bau langu pada susu kecipir, karena minyak wijen ini mempunyai sifat yang dapat mengikat aroma (Marliani, 2008). Selain itu, wijen juga mempunyai aroma yang sangat harum dan gurih sehingga dapat menetralisir aroma langu kecipir (Haryoto, 1996 a). Kesukaan Keseluruhan Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kesukaan paling tinggi diperoleh dari perlakuan penambahan berat wijen 95 g dengan lama perebusan 20 menit. Hal ini diduga karena dengan perlakuan tersebut warna susu kecipir tidak terlalu coklat (jernih), aroma kecipir (langu) kurang terasa dan tingkat kegurihannya tidak terlalu tinggi.
183
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kesimpulan 1. Perlakuan penambahan wijen dapat mempengaruhi kualitas pada pembuatan susu kecipir. 2. Setelah penambahan wijen, susu kecipir cenderung mengalami peningkatan kualitas dalam warna, aroma, kandungan gizi seperti protein dan lemak. 3. Susu kecipir dengan lama perebusan dan penambahan wijen yang lebih tinggi akan meningkatkan kadar protein dan kadar lemak pada produk susu, namun akan menurunkan tingkat kesukaan pada susu kecipir, karena menimbulkan rasa kegurihan yang berlebihan (neg). 4. Susu kecipir dengan perebusan 20 menit dan penambahan wijen 95 g cukup disukai, sehingga direkomendasikan sebagai hasil yang terbaik. Susu kecipir tersebut mengandung protein 2,846 %, lemak 3,348 % dengan warna susu colkat muda, aroma lecipir (langu) tidak terasa dan susu kecipir cukup disukai oleh panelis. Daftar Pustaka Anonim, 2007. Naiknya Harga Kedelai Meresahkan Produsen Tahu dan Tempe. Suara Merdeka, Hal 59 AOAC, 1992. Official Methods Of Analysis Of The Assosiation Official Chemist. Washington D.C : Benyamin Franklin Handajani, Sri., W.R. Erlyna dan Anantayu Suminah, 2006. Potensi Agribisnis Komoditi Wijen. Surakarta : ANDI Haryoto, 1996 a. Susu dan yogurt kecipir. Jogjakarta : Kanisius Haryoto, 1996 b. Tempe dan Kecap Kecipir. Jogjakarta : Kanisius Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta : Universitas Indonesia. Marliani, Lani, 2008. Wijen Raja Minyak dari Ethiophia. http://www.sinarharapan.co.identifikasi/iptek/kesehatan/2004/0310/kes.2.html Schuster W.H, 1992. Olpflanzen in Europa. DL:G Verlag, Frankfurt-am-main. Kategori : Rintisan Bertopik Makanan. http://id.wikipedia.org/wiki/wijen Sudarmadji, Slamet; Bambang Haryono., Suhardi, 1984. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Jogjakarta : Liberty Utami, 1992. Uji Indrawi : Evaluasi Sifat, Tekstur, Warna, Profit Sensoris. Jogjakarta : PAU Pangan Gizi UGM Winarno, F.G., 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia.
184
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KELAYAKAN TEPUNG CAMPURAN JAGUNG UBI (JABI) SEBAGAI BAHAN PANGAN PENGGANTI BERAS Agung Setya Wardana1 dan Akhmad Mustofa1 1
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Slamet Riyadi Surakarta Email :
[email protected] ABSTRACT
Rice is the main food of almost Indonesian people. This situation makes the Indonesian community have a big depending on this commodity. The aim of this research is to find a commodity which has the same nutritional quality with rice. This procedure is combining between corn flour and sweet potato flour.
This research is combining the corn flour and sweet potato flour due to have similar nutritional value with rice. We also analyze the acceptability grade of this steamed flour with several panelists. These activities also count the price of the flours and compared with the rice price. Nutritional ingredient of mixed corn flour: sweet potato 70: 30 is the most similar with rice’s. The panelists choose the color of mixed white corn flour and white sweet potato flour as the best color. Aroma of white corn flour and violet sweet potato flour was chosen as the best aroma by our panelists. Mixed yellow corn flour and yellow sweet potato flour taste was chosen as the best taste by the panelists. The best texture at this research is yellow corn flour and white sweet potato flour mixed. The price of mixed flour of corn: sweet potato 70: 30 is Rp. 4.750,- / kg (its lower then rice price Rp. 5.000,- / kg) while this research activity happen. Keyword: corn, sweet potato, rice, ingredient
Pendahuluan Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah pangan. Tercukupinya kebutuhan pangan baik secara kuantitas maupun kualitas secara merata, aman, dan kontinyu menjadi prioritas utama di dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Tetapi di sisi lain bahan pangan pokok penduduk yang hanya bertumpu pada satu macam sumber karbohidrat
merupakan
ancaman
bagi
ketahanan
pangan.
Oleh
karena
itu
penganekaragaman pangan merupakan suatu tuntutan mutlak untuk dikembangkan dan merupakan pilar utama ketahanan pangan di Indonesia (Soenardi, 2002). Umbi ini pun bisa dimanfaatkan sebagai salah satu bahan makanan yang bisa membantu perbaikan gizi masyarakat. Sebab selain nilai kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi (123 kalori per 100 gram), juga kandungan vitamin A yang cukup tinggi terutama pada ubi jalar merah yaitu 7.700 SI, di samping juga mengandung vitamin C, dan mineral–mineral utama seperti kalsium (kapur), dan besi (Ferrum). Dan karena nilai vitamin A yang cukup tinggi, umbi ini bisa dianjurkan dan dimanfaatkan untuk
185
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
menanggulangi penyakit kebutaan akibat kekurangan vitamin A (Lingga, 1990). Selain itu ubi jalar juga dapat meredakan disentri, kencing manis, dan dapat memperlancar ASI untuk ibu yang sedang menyusui (Hembing, 2004). Komposisi makronuterien (protein, lemak, dan karbohidrat) dari masing-masing komoditi diatas terlihat bahwa beras, jagung, dan ubi memiliki nutrisi gizi yang hampir sama. Jagung memiliki protein dan lemak yang lebih tinggi dari beras sedangkan ubi memiliki kandungan protein dan lemak yang relatif rendah meskipun sebenarnya ubi belum dapat dibandingkan dengan komoditi lain (beras dan jagung) karena kadar airnya yang masing relatif tinggi. Dengan mengkombinasikan jagung dan ubi diharapkan akan diperoleh komoditi yang memiliki nutrisi gizi sama dengan beras. Tujuan Penelitian ini adalah membandingkan kandungan nutrisi gizi beras dan tepung jagung-ubi (jabi), mengetahui penerimaan konsumen terhadap tepung jagung-ubi (jabi) sebagai difersifikasi dari beras, dan membandingkan harga beras dengan jagung dan ubi. Manfaat penelitian antara lain mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras, menunjukkan bahwa tepung jagung, tepung ubi, dan campuran tepung jagung dan ubi (JABI) memiliki kandungan gizi yang hampir sama dengan beras, meningkatkan nilai ekonomis komoditi jagung dan ubi jalar, memicu daerah-daerah yang merupakan penghasil jagung dan ubi untuk mendorong komoditi tersebut sebagai potensi daerah yang dapat diandalkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut . Metode Penelitian Rancangan Percobaan Faktor yang mempengaruhi kandungan nutrisi gizi adalah perbandingan antara jagung dengan ubi dan varietas ubi. Faktor perbandingan (jagung : ubi) dibuat 5 variasi yaitu (70 : 30), (60 : 40), (50 : 50), (40 : 60), (30 : 70). Faktor varietas ubi dibuat 3 variasi yaitu: ubi putih, ubi kuning, dan ubi ungu. Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Blok Teracak Lengkap (RBTL) faktorial. Sehingga diperoleh 15 kombinasi perlakuan sebagai berikut :
186
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 1. Daftar Blok Rancangan Percobaan Perlakuan
Blok I (ubi putih) Ubi
Jagun g Perbandingan I
70
Perbandingan II
60
Perbandingan III
50
Perbandingan IV
40
Perbandingan V
30
30
Blok II (ubi kuning) Ubi
Jagun g 70
40
60
50
50
60
40
70
30
30 40 50 60 70
Blok III (ubi ungu) Ubi
Jagun g 70 60 50 40 30
30 40 50 60 70
Setiap perlakuan diulang dua kali. Data akan dianalisis dengan analisis variansi, jika diketahui berbeda nyata maka analisis dilanjutkan dengan Least Significant Difference (LSD) Bahan Penelitian 1. Bahan Utama: a. Jagung kuning: varietas hibrida C-1 b. Ubi jalar: Varietas Prambanan (putih), dengan umur ubi jalar rata-rata 7 hari setelah panen. 2. Bahan Tambahan: Air Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : pengering kabinet (pengeringan tipe rak ini berfungsi untuk menurunkan kadar air bahan makanan dengan suhu sesuai dengan keinginan kita). Panci pengukus (panci pengukus digunakan untuk mengukus bahan sebelum diproses lebih lanjut).
Pisau (pisau digunakan untuk
memotong dan mengupas bahan sebelum diproses lebih lanjut). Timbangan (timbangan digunakan untuk mengukur berat bahan sesuai dengan kamposisi yang diinginkan). Kompor (kompor berfungsi sebagai alat pemanas bahan). Ayakan (60 mesh) (ayakan digunakan untuk mendapatkan ukuran partikel bubuk sesuai dengan keinginan). Alat penggiling (alat penggiling digunakan untuk menghancurkan bahan-bahan baku yang akan diproses lebih lanjut Penghancuran ini ditujukan untuk memperoleh sari bahan baku sehingga produk olahan mempunyai kelebihan siap saji dan cepat diserap oleh tubuh). Loyang (loyang berfungsi untuk sebagai penampung sari makanan yang telah dihaluskan dan telah dicampurkan dengan bahan tambahan lain untuk selanjutnya dimasukkan ke
187
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dalam pengering). Baskom (baskom digunakan untuk menampung bahan baik sebelum, sesudah proses maupun selama proses pembuatan produk). Hasil dan Pembahasan Kandungan Gizi Kandungan gizi yang menentukan suatu komoditi dapat dipilih menjadi makanan pokok adalah makronutrien. Makronutiean yang terkandung didalam beras, jagung, dan ubi adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Berikut adalah hasil analisa maronutrienmakronutrien tersebut. Kadar air a ir 1 8 ,0 0 0 0 1 6 ,0 0 0 0 1 4 ,0 0 0 0
K a d a r A ir
1 2 ,0 0 0 0 1 0 ,0 0 0 0 a ir 8 ,0 0 0 0 6 ,0 0 0 0 4 ,0 0 0 0 2 ,0 0 0 0 0 ,0 0 0 0 B
e
ra
s
T
.
Jg
.
P
u
T
t ih .
U T
b
.
iK
JA
u
B
n I
in K
g -
T
P
.
(7
JA
0
B
:3
I
0
K
) P
-
T
.
(5
JA
0
B
I
:5
0
K
)
-
T
P
.
(3
JA
0
B
:7
I
0
K
) K
-
T
.
(6
JA
0
B
I
:4
0
K
) K
-
T
.
(4
JA
0
B
I
:6
0
K
) U
-
T
.
(7
JA
0
B
I
:3 K
0
)
-
T
U
.
(5
JA
0
B
I
:5 K
0
)
-
T
U
.
(3
JA
:7
0
B
I
P
0
)
-
T
P
.
(6
JA
0
B
:4
I
0
P
) P
-
T
.
(4
JA
0
B
I
:6
0
P
)
-
T
K
.
(7
JA
0
B
:3
I
0
P
) K
-
T
.
(5
JA
0
B
I
:5
0
P
) K
-
T
.
(3
JA
0
B
I
:7
0
P
) U
-
T
.
(6
JA
0
B
I
:4 P
0
)
-
U
(4
0
:6
0
)
Sam pel
Gambar 1. Grafik Kadar Air Masing-masing Perlakuan
Gambar
1
menunjukkan bahwa kadar air beras dan tepung jagung, tepung ubi, dan campuran tepung (JABI) relatif tidak berbeda. Hal ini ditunjukkan oleh titik-titik yang berada di daerah kadar air antara 12 % - 16 %. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa tepung jagung kuning dan tepung jagung putih memiliki kadar air yang berbeda nyata. Sementara tepung ubi putih dan tepung ubi kuning memiliki kadar air yang tidak berbeda nyata. Tepung ubi ungu memiliki kadar air yang berbeda dengan kedua jenis tepung ubi lainnya. Variasi perbandingan campuran relatif tidak berpengaruh terhadap kadar air karena hasil analisis variansi menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata walaupun ada satu perlakuan yaitu perbandingan jagung:ubi 30:70 memiliki kadar air yang relatif berbeda dengan yang lain. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh perbedaan kadar air dari tepung jagung. Sehingga dapat disimpulkan yang mempengaruhi perbedaan kadar air pada campuran tepung (JABI) adalah tepung jagungnya sementara tepung ubi relatif tidak berpengaruh.
188
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tepung jagung, tepung ubi, dan tepung campuran JABI memiliki kadar air yang hampirsama dengan beras. Kesamaan ini dapat mengakibatkan hasil pengolahan keduanya juga tidak berbeda. Sehingga makanan apa saja yang dapat diolah dengan bahan dasar beras kemungkinan besar juga dapat diolah dengan bahan dasar tepung jagung, ubi, dan tepung campuran JABI. Seberapa mirip kualitas hasil olahannya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Harapan peneliti tepung jagung, tepung ubi, dan tepung campuran dapat dijadikan makanan pokok alternatif selain nasi dari beras. Kadar karbohidrat Karbohidrat merupakan alasan suatu bahan makanan dijadikan makanan pokok. Umumnya makanan pokok merupakan sumber karbohidrat bagi tubu manusia. Hasil penelitian ini menunjukkan kadar karbohirat tepung jagung kuning dan tepung jagung putih tidak berbeda nyata. Sementara tepung ubi kuning , tepung ubi putih, dan tepung ubi ungu berbeda nyata. Hal ini mengakibatkan hasil campuran tepung (JABI) kadar karbohidratnya berbeda nyata. Meskipun demikian kadar karbohidrat tepung-tepung yang diteliti berada dalam daerah yang sama dengan beras yaitu pada kisaran 60 % – 80 %. Artinya tepung-tepung yang diteliti ini dapat menggantikan peran beras sebagai sumber karbohidrat atau makanan pokok. u
K a rb o h id ra t 9 0 ,0 0 0 0
K a d a r K a rb o h id ra t
8 0 ,0 0 0 0 7 0 ,0 0 0 0 6 0 ,0 0 0 0 5 0 ,0 0 0 0 K a rb o h id ra t 4 0 ,0 0 0 0 3 0 ,0 0 0 0 2 0 ,0 0 0 0 1 0 ,0 0 0 0 0 ,0 0 0 0 B
e
ra T
s .
Jg
.
P T
u .
t ih U
T
.
b
iK
JA
B
u I
n
in
K T
g
-
.
P
(7
JA
B
0
I
:3
0
K T
-
.
) P
(5
JA
B
0
I
:5
0
K T
-
.
) P
(3
JA
B
0
I
:7
0
K T
-
.
) K
(6
JA
B
0
I
:4
0
K T
-
.
) K
(4
JA
B
0
I
:6
0
K T
-
.
) U
(7
JA
B
0
I
:3
K T
0
-
.
) U
(5
JA
B
0
I
:5
0
K T
-
.
) U
(3
JA
B
0
I
:7
0
P T
-
.
) P
(6
JA
B
0
I
:4
0
P T
-
.
) P
(4
JA
B
0
I
:6
0
P T
-
.
) K
(7
JA
B
0
I
:3
0 -
P T
.
) K
(5
JA
B
0
I
:5
0
P T
-
.
) K
(3
JA
B
0
I
:7
0
P T
-
.
) U
(6
JA
B
0
I
:4
P
0
-
) U
(4
0
:6
0
)
Sam pel
Gambar 2. Grafik Kadar Karbohidrat Masing-masing Perlakuan
189
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Kadar Protein p r o t e in 1 2 ,0 0 0 0
K a d a r P ro te in
1 0 ,0 0 0 0
8 ,0 0 0 0
T . J A B I P - K (7 0 :3 0 ) T . J A B I P - U (7 0 :3 0 )
T . J A B I P - P (7 0 :3 0 )
T . J g . K u n in g B e ra s
6 ,0 0 0 0
p ro te in
4 ,0 0 0 0
2 ,0 0 0 0
0 ,0 0 0 0 B
e
ra T
s J
.
g
u
P
.
T
.
ti
h
T
.
K
i
b
U
J
B
A
n
u I
g
in
K
P
-
T
J
.
0
(7
A
B
I
:3
0
)
P
-
K
T
.
J
(5
A
0
I
B
:5
)
0
P
-
K
T
.
J
0
(3
A
B
I
:7
0
)
K
-
K
T
.
J
(6
A
0
I
B
:4
0
)
K
-
K
T
.
J
A
:6
0
(4
K
I
B
0
)
U
-
T
.
J
0
(7
A
B
0
:3
T
(5
U
-
K
I
)
.
J
A
B
0
I
:5
)
0
U
-
K
T
(3
.
J
A
B
:7
0
P
-
P
I
)
0
T
.
J
(6
A
0
B
:4
P
I
0
)
P
-
T
(4
.
J
A
0
B
I
:6
P
0
)
K
-
T
.
J
0
(7
B
A
I
)
0
:3
K
-
P
T
.
J
(5
A
B
0
I
:5
)
0
K
-
P
T
.
J
(3
A
B
0
I
:7
0
)
U
-
P
T
.
J
(6
A
B
0
0
:4
I
-
P
)
U
(4
0
:6
0
)
S am p el
Gambar 3. Grafik Kadar Protein Masing-masing Perlakuan Kadar protein masing-masing perlakuan dapat dilihat pada gambar 3. Gambar ini menunjukkan grafik kadar protein beras, tepung jagung kuning, tepung campuran (JABI) dengan perbandingan jagung:ubi 70:30 memiliki kadar protein yang hampir sama. Kadar protein sampel-sampel tersebut berkisar antara 6% - 8%. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi kadar protein tepung campuran (JABI) dengan perbandingan jagung:ubi 70:30 tidak berbeda dengan kadar protein beras. Oleh sebab itu untuk dapat menyerupai komponen gizi beras tepung jagung dan tepung ubi dicampur dengan perbandingan jagung:ubi 70:30. Sebab dari hasil analisis kadar air, kadar karbohidrat semua sampel berada dalam kisaran yang hampir sama. Kadar Lemak L e m a k 4 ,5 0 0 0 4 ,0 0 0 0
K a d a r L e m a k
3 ,5 0 0 0 3 ,0 0 0 0 2 ,5 0 0 0 L e m a k 2 ,0 0 0 0 1 ,5 0 0 0 1 ,0 0 0 0 0 ,5 0 0 0 0 ,0 0 0 0 B
e
)
ra T
.
)
)
)
)
)
)
)
)
)
)
)
)
)
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 T . U b i K u0 n i n g 0 :3 :5 :7 :4 :6 :3 :5 :7 :4 :6 :4 :6 :3 :5 :7 g B e ri ha s 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 T .5 0U b i U3 0n g u 6 0 in t 7 (7 (5 (3 (6 (4 ( ( ( (4 (6 (4 (7 (5 (3 Tu . U bu in P Pu (t i h P P P K K P P K K K U U U U U K
s J
g
.
T
.
b
U T
.
J
i
A
B
I
K
-
T
.
J
A
B
I
K
-
T
.
J
A
B
I
K
-
T
.
J
A
B
I
K
-
T
.
J
A
B
I
K
-
T
.
J
A
B
I
K
-
T
.
J
A
B
I
K
-
T
.
J
A
B
I
-
K
T
.
J
A
B
I
P
-
T
.
J
A
B
I
P
-
T
.
J
A
B
I
P
-
T
.
J
A
B
I
P
-
T
.
J
A
B
I
-
P
T
.
J
A
B
I
P
-
T
.
J
A
B
I
P
)
-
S a m p e l
Gambar 4. Grafik Kadar Lemak Masing-masing Sampel Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar lemak beras dengan kadar lemak tepung ubi berada dalam kisaran antara 0% - 0,5%. Akan tetapi setelah dicampur dengan tepung jagung kadar lemaknya meningkat tajam karena tepung jagung memiliki kadar lemak
190
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
yang relatif sangat tinggi dibanding sampel yang lain. Kadar lemak ini sangat erat kaitannya dengan citarasa yang khas dari tepung jagung dan tepung campuran (JABI). Citarasa, rasa, dan aroma ini yang menyebabkan tepung ini setelah dikukus dinilai berbeda oleh para panelis. Banyak yang tidak suka dengan sensasi ini tetapi ada pula yang suka. Pertanyaannya apakah jika tepung campuran (JABI) kukus ini di beri bumbu selayaknya nasi (misal bumbu nasi goreng) akan diterima oleh konsumen Hasil Uji Kesukaan Uji kesukaan dilakukan dengan mengolah tepung-tepung yang diteliti dengan cara dikukus kemudian dinilai oleh panelis tentang kesukaannya. Uji kesukaan dilakukan dengan parameter warna. Aroma, rasa. Dan teksture. Tabel 2 menyajikan hasil uji kesukaan terhadap warna tepung jagung kukus dan tepung ubi kukus ditambah nasi sebagai pembanding. Tabel 2. Tabel Hasil Uji kesukaan warna tepung jagung kukus, tepung ubi kukus, dan nasi Jagung Kukus Ubi kukus nasi T. Jg. T. Jg. T. Ubi T. Ubi T. Ubi Kuning Putih Putih Kuning Ungu sangat tidak suka 25% 13% agak suka 25% 25% 25% 63% suka 25% 38% 50% 25% 38% sangat suka 13% 13% 25% 50% sangat suka sekali 88% 38% 13% 13% Hasil uji kesukaan menunjukkan bahwa 88% panelis menyatakan sangat suka sekali dengan warna nasi. Sementara 50% panelis sangat suka terhadap warna tepung ubi ungu kukus. Hal ini menunjukkan adanya potensi ubi ungu untuk menjadi makanan yang sangat disukai oleh konsumen Sementara hasil campuran tepung jagung putih dengan tepung ubi kukus yang dikukus dapat dilihat pada pada tabel 3. Setelah dicampur tentu kualitas tepung akan berbeda. Kualitas bisa saja turun tetapi bisa juga naik. Warna merupakan paremeter awal yang mempengaruhi konsumen untuk menentukan akan mengkonsumsi makanannya. Dari hasil penelitian ini ternyata panelis lebih menyukai warna-warna yang terang atau muda. Terbukti dengan lebih disukainya jagung dan ubi putih.
191
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 3. Hasil Uji Kesukaan Warna Campuran Tepung Jagung Putih dan Tepung Ubi Putih dengan variasi perbandingan berat T. JABI P - P (70:30)
sangat tidak suka agak suka suka sangat suka sangat suka sekali
T. Jg. Putih - T. Ubi. Putih kukus T. JABI P - P T. JABI P - P T. JABI P - P (60:40) (50:50) (40:60)
8% 25% 41% 18% 9%
10% 25% 43% 15% 8%
13% 25% 44% 13% 6%
T. JABI P - P (30:70)
15% 25% 45% 10% 5%
18% 25% 46% 8% 4%
Hasil penelitian menunjukkan bahwa campuran tepung (JABI) dengan perbandingan berat tepung jagung:tepung ubi 30:70 terdapat 46% panelis menyatakan suka terhadap warna tepung JABI kukus. Hal ini menunjukkan warna ubi lebih dominan mempengaruhi kesukaan panelis terhadap sampel. Aroma merupakan parameter yang mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap suatu makanan. Hasil penelitian kesukaan panelis terhadap aroma tepung-tepung sampel yang dikukus dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji Kesukaan Aroma Tepung Jagung, Tepung Ubi, dan Nasi sebagai pembanding nasi
sangat tidak suka agak suka suka sangat suka sangat suka sekali
Jagung Kukus T. Jg. Kuning T. Jg. Putih
25% 38% 25% 50% 50%
13% 63% 13% 13%
13%
T. Ubi Putih
Ubi kukus T. Ubi Kuning
T. Ubi Ungu
0% 50% 25% 25%
25% 50% 13% 13%
0% 13% 50% 38%
Terlihat bahwa 50% panelis menyatakan sangat suka sekali terhadap nasi dan 50% lainnya sangat suka. Sementara 63% panelis menyatakan suka terhadap aroma Tepung Jagung Putih Kukus. Hal ini merupakan bukti bahwa sampel ini memiliki potensi untuk dapat dijadikan pengganti beras karena aromanya relatif disukai. Aroma tepung ubi kukus juga disukai 50% panelis sehingga terlihat pada campuran tepung jagung putih dan tepung ubi ungu memiliki tingkat kesukaan yang relatif tinggi yaitu 59% panelis menyatakan suka dengan perbandingan tepung jagung:tepung ubi ungu 70:30. Tabel 5 menampilkan hasil uji kesukaan aroma tepung JABI kukus.
192
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 5. Hasil Uji Kesukaan Aroma Tepung Sampuran (JABI) Jagung Putih:Ubi Ungu T. Jg. Putih - T. Ubi. Ungu Kukus T. JABI P - U (70:30)
T. JABI P - U (60:40)
T. JABI P - U (50:50)
T. JABI P - U (40:60)
T. JABI P - U (30:70)
0% 13% 59% 20% 9%
0% 13% 58% 23% 8%
0% 13% 56% 25% 6%
0% 13% 55% 28% 5%
0% 13% 54% 30% 4%
sangat tidak suka agak suka Suka sangat suka sangat suka sekali
Rasa merupana parameter yang palin penting. Hasil uji kesukaan rasa tepung jagung kukus, tepung ubi kukus dan nasi tersaji pada tabel 6. Tabel 6. Hasil Uji Kesukaan Rasa Tepung jagung kukus, tepung ubi kukus, dan nasi nasi sangat tidak suka agak suka suka sangat suka sangat suka sekali
13% 88%
Jagung Kukus T. Jg. T. Jg. Kuning Putih 13% 50% 38% 50% 38%
T. Ubi Putih
Ubi kukus T. Ubi Kuning
13% 13% 75%
38% 63%
T. Ubi Ungu 38% 50% 13%
13%
Nasi merupakan makanan dengan rasa yang terbaik karena 88% panelis menyatakan sangat suka sekali dengan rasa nasi. Tepung ubi putih di tempat kedua dengan 75% panelis menyatakan sangat suka dengan rasanya. Setelah dicampur ternyata campuran Tepung jagung kuning:tepung ubi kuning 30:70 55% panelis menyatakan suka. Hasil uji kesukaan rasa tepung campuran (JABI) dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Kesukaan Rasa Tepung Campuran (JABI) T. Jg. Kuning - T. Ubi. Kuning
sangat tidak suka agak suka suka sangat suka sangat suka sekali
T. JABI K - K (70:30)
T. JABI K - K (60:40)
T. JABI K - K (50:50)
T. JABI K - K (40:60)
T. JABI K - K (30:70)
9% 38% 45% 0% 9%
8% 38% 48% 0% 8%
6% 38% 50% 0% 6%
5% 38% 53% 0% 5%
4% 38% 55% 0% 4%
Tabel 8 menunjukkan hasil uji kesukaan tekstur tepung jagung kukus, tepung ubi kukus, dan nasi.
193
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 8. Hasil Uji Kesukaan Tekstur Tepung Jagung Kukus, Tepung Ubi Kukus, dan Nasi nasi sangat tidak suka agak suka Suka sangat suka sangat suka sekali
13% 25% 63%
Jagung Kukus T. Jg. T. Jg. Kuning Putih 25% 13% 38% 50% 13% 25% 25% 13%
T. Ubi Putih
Ubi kukus T. Ubi Kuning
T. Ubi Ungu
13% 38% 50%
13% 38% 50%
50% 50%
Jumlah panelis yang menyatakan sangat suka sekali dengan nasi adalah 63% dan 50% panelis menyatakan sangat suka pada semua tepung ubi kukus yang disajikan. Hasil uji kesukaan Tekstur tepung campuran (JABI) dapat dilihat pada tabel 9. terlihat bahwa perbandingan tepung jagung:tepung ubi 30:70 dinilai sangat suka oleh 43% panelis. Ini berarti tekstru tepung lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah tepung ubinya. Tabel 9. Hasil Uji Kesukaan Tekstur Tepung Campuran (JABI) T. Jg. Kuning - T. Ubi. Putih kukus sangat tidak suka agak suka Suka sangat suka sangat suka sekali
T. JABI K - P (70:30)
18% 30% 20% 33% 0%
T. JABI K - P (60:40)
15% 28% 23% 35% 0%
T. JABI K - P (50:50)
13% 25% 25% 38% 0%
T. JABI K - P (40:60)
10% 23% 28% 40% 0%
T. JABI K - P (30:70)
8% 20% 30% 43% 0%
Perbandingan Harga Tabel 10 adalah tabel hasil penghitungan harga tepung campuran JABI berasarkan harga bahan dasarnya yaitu tepung jagung dan tepung ubi. Hasil perhitungannya lebih murah dibanding dengan beras. Jika sebelum dikonsumsi perlakuannya juga sama dengan pengolahan beras menjadi nasi dengan dikukus maka terbukti bahwa tepung campuran memang lebih murah dibanding beras. Tabel 10. Hasil perhitungan harga tepung campuran JABI Harga dan Bahan dan Perlakuan Pengolahan JABI JABI JABI JABI Beras (Rp) (70:30) (60:40) (50:50) (40:60) 1. Mentah per Kg 5.000 Rp.3.750 Rp.2.700 Rp.3.225 Rp.3.015 2. Setelah Jadi Tepung Rp.4.750 Rp.3.700 Rp.4.225 Rp.4.015
194
JABI (30:70) Rp.2.777 Rp.3.677
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Setelah penelitian ini diharapkan masyarakat tidak ragu untuk mengkonsumsi jagung, ubi, atau campuran keduanya untuk menggantikan nasi dari beras sebagai makanan pokok atau sumber karbohidrat. Kesimpulan dan Saran Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Kandungan nutrisi gizi tepung campuran tepung jagung:tepung ubi 70:30 yang paling mirip beras 2. Panelis menyukai warna tepung campuran jagung putih dan ubi putih, aroma campuran jagung putih dan ubi ungu, rasa campuran jagung kuning dan ubi kuning, tekstur jagung kuning dan ubi putih. 3. Harga tepung campuran tepung jagung:tepung ubi 70:30 adalah Rp. 4.750,- / kg (lebih murah dari beras Rp. 5.000,- / kg) saat penelitian ini dilakukan Saran bagi kelanjutan penelitian ini adalah 1. Bisa dilanjutkan penelitiannya untuk pembuatan produk tertentu 2. Perlu diteliti lebih lanjut mengenai komponen yang mempengaruhi warna pada jagung dan ubi putih, aroma pada jagung putih dan ubi ungu, rasa pada jagung dan ubi kuning serta tekstur pada jagung kuning dan ubi putih 3. Perlu dirancang produksi tepung skala industri Daftar Pustaka Anonim, 1981. Komposisi Bahan Makanan. Direktorat Gizi Depkes RI. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Apraidji, W.H., 2006. Khasiat Ubi Jalar. http://www.pitoyo.com Hambali, Erliza, 2006. Membuat Aneka Olahan Jagung. Jakarta: Penebar Swadaya. Hartoyo, Totok, 2004. Olahan dari Ubi Jalar. Surabaya: Trubus Agrisarana. Hembing, 2004. Ubi Jalar Untuk Disentri, Kencing Manis, Lancar ASI. http://www.republika.co.id Hendroatmojo, Koes Hartojo. 1990. Uji Beberapa Varietas Ubi Jalar. Malang: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hutapea, J. dan Mazar, A.Z., 2007. Ketahanan Pangan dan Teknologi Produktivitas Menuju Kemandirian Indonesia. http://www.nakertrans.go.id Lingga, Pinus, 1990. Bertanam Ubi-ubian. Jakarta: Penebar Swadaya Rukmana, Rahmat. 1997. Ubi Jalar: Budidaya dan Pascapanen. Jogjakarta: Kanisius Sarwono, B., 2005. Cara Budidaya Yang Tepat, Efisien, dan Ekonomis Ubi Jalar. Jakarta: Penebar Swadaya. Soenardi, Tuti, 2002. Makanan Alternatif Untuk Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta : Kompas
195
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Sudarmaji, Slamet, Bambang Haryono dan Suhardi, 1984. Prosedur Analisis Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Jogyakarta: Liberty. Suprapto, 1995. Bertanam Jagung. Jakarta: Penebar Swadaya. Utomo, 2001. Teknologi Pengolahan Nasi Instant Jagung Dengan Bahan Tepung Komposit. http://www.kompas.com. Warisno, 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Jogjakarta: Kanisius Widayati, Etik, 2007. 20 Jenis Penganan Dari Ubi Jalar. Surabaya: Tiara Aksa.
196
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KAJIAN MUTU TEPUNG MOKAL YANG DIBUAT DENGAN BERBAGAI METODA PROSES Sri Budi Wahjuningsih Jurusan Teknologi Hasil Pertanian-Fak. Tek. Pertanian, Univ. Semarang
[email protected] Abstrak Tepung Mocal (modified cassava flour) adalah tepung ubi kayu yang dibuat dengan cara fermentasi untuk memperbaiki sifat-sifat produk olahannya. Tepung mocal dapat dibuat dengan berbagai metoda dimana karakteristik mutu tepungnya belum teridentifikasi secara rinci dibandingkan dengan tepung kasava. Penelitian ini terdiri dari tahap pembuatan tepung kasava dan mocal dengan berbagai metoda proses. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik mutu tepung mocal dengan berbagai metoda proses pembuatan dan tepung kasava sehingga akan didapatkan jenis tepung mocal yang mempunyai karakteristik mutu terbaik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor, yaitu metoda pembuatan tepung, berupa tepung kasava (T0), tepung mocal metoda kering dengan pemarutan (T1), tepung mocal metoda kering dengan pemotongan (T2), tepung mocal metoda basah (T3) dan tepung mocal metoda enzimatis (T4). Berdasarka penelitian dapat disimpulkan bahwa tepung mocal terbaik adalah yang dibuat dengan metoda basah (T3) dengan karakteristik sebagai berikut: rendemen 28,35%; kadar air 11,09%; kadar abu 1,16%; derajad asam 2,9; kadar karbohidrat 85,05%; kadar pati 70,07%; derajat putih 96,58; dan daya serap air 1,7 mL/g. Kata kunci : Tepung mocal, ubi kayu, mutu Pendahuluan Untuk memenuhi ketersediaan pangan yang cukup dan merata di seluruh wilayah dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional, sudah saatnya beralih ke keanekaragaman pangan bersumber pada tanaman pangan local, diantaranya umbiumbian. Indonesia memiliki potensi umbi-umbian sebagai sumber karbohidrat sekaligus bahan baku tepung lokal yang tidak kalah dengan terigu, yaitu ganyong, gembili, ubi jalar, garut, ubi kayu (singkong) dan lain sebagainya. Kelebihan ubi kayu (Manihot utilissima Crantz) dibandingkan dengan jenis umbi-umbian lain karena teknologi budidayanya sederhana, dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah dan relatif tidak banyak membutuhkan pemeliharaan, tahan terhadap penyakit dan ketersediaannya ada di seluruh wilayah. Sampai saat ini pemanfaatan ubi kayu di Indonesia masih sangat terbatas.Menurut data Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Tengah (2008), bahwa konsumsi energi beberapa kelompok pangan belum mencapai
197
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
standar, termasuk konsumsi umbi-umbian baru mencapai 48,8%. Pemanfaatan ubi kayu sebagian besar diolah menjadi produk setengah jadi berupa pati (tapioka), tepung ubi kayu, gaplek dan chips. Produk olahan yang lain adalah tape, getuk, tiwul dan lain-lain. Padahal kandungan pati ubi kayu yang tinggi merupakan potensi besar untuk dikembangkan menjadi produk yang lebih bernilai ekonomi tinggi. Salah satu usaha diversifikasi dalam pengolahan ubi kayu yang saat ini sedang dikembangkan adalah mocal atau tepung ubi kayu yang dibuat dengan cara fermentasi. Pengolahan dalam bentuk tepung memberikan banyak manfaat diantaranya dapat diperkaya dengan vitamin dan mineral, mudah menyimpannya, awet, fleksibel dalam pengolahannya, penyajiannya dapat disesuaikan dengan selera masyarakat, dan dari segi kuliner dapat ditingkatkan variasi cara mengolah untuk menghasilkan aneka ragam makanan sesuai selera modern. Dengan proses fermentasi, tepung yang dihasilkan diharapkan memiliki karakter yang berbeda dari tapioka dan tepung kasava dalam hal derajat viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut serta berbau netral (tidak berbau apek khas ketela pohon). Teknologi proses tepung ubi kayu fermentasi pertama kali diperkenalkan di Afrika Barat, terutama di Nigeria, digunakan sebagai makanan pokok dan dikenal dengan nama tepung gari. Pembuatan mocal dengan penambahan enzim selulitik sudah pernah dilakukan tetapi ada kendala aplikasinya di tingkat petani karena kesulitan untuk mendapatkan enzimnya. Beberapa metoda proses lain untuk menghasilkan tepung ubi kayu fermentasi yaitu dengan cara kering dan basah tanpa penambahan enzim, sehingga proses fermentasi berlangsung secara alami. Tepung mocal dari berbagai metoda proses tersebut belum diidentifikasi secara lengkap karakteristiknya baik secara fisik maupun kimia, demikian pula jika dibandingkan dengan tepung kasava. Penelitian ini bertujuan untuk membuat mocal dengan berbagai metoda proses dan melihat karakteristiknya dibandingkan pula dengan tepung kasava.
Metode Penelitian Bahan Bahan baku yang digunakan untuk membuat tepung kasava dan mocal adalah ubi kayu varietas Adira IV yang didapat dari petani di Kecamatan Tembalang Semarang Jawa Tengah. Sedangkan bahan-bahan untuk analisis kimia dan
fisik diperoleh dari Laboratorium Kimia/Biokomia Pangan
198
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Universitas Semarang dan Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Peralatan Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung kasava dan mocal adalah pemarut, pisau/perajang, tong fermentasi, karung goni, grinder, ayakan 80 mesh, kabinet drier dan alat-alat untuk analisis. Tahap Penelitian Penelitian yang dilakukan meliputi pembuatan tepung kasava dan tepung mocal (dengan beberapa metode proses); dilanjutkan dengan analisis fisik dan kimia. 1. Pembuatan Tepung Kasava Ubi kayu dikupas, dikerok lendirnya, dicuci bersih, selanjutnya dipotongpotong setebal 0,5 cm (dibuat chips). Setelah itu dikeringkan dalam kabinet drier pada suhu 50oC selama kurang lebih 12 jam. Setelah kering ditepungkan dengan hammer mill sampai ukuran 80 mesh. 2. Pembuatan Tepung Mocal Metoda Kering dengan Pemarutan Ubi kayu dikupas, dikerok lendirnya, kemudian dicuci bersih, selanjutnya diparut dengan mesin pemarut. Hasil parutan ubi kayu tersebut dikemas di dalam karung-karung goni, selanjutnya dipres dan dibiarkan selama 3 hari, sambil dilakukan penekanan. Setelah itu dilakukan penghancuran terhadap pulp untuk memisahkan serat-serat yang kasar. Pulp yang telah dipisahkan dari seratseratnya yang kasar selanjutnya dikeringkan dalam kabinet drier pada suhu 50C selama kurang lebih 12 jam. Setelah kering kemudian ditepungkan dengan alat penepung sampai ukuran 80 mesh (Wahjuningsih, 1990). 3. Pembuatan Tepung Mocal Metoda Kering dengan Pemotongan Ubi kayu dikupas, dikerok lendirnya, kemudian dicuci bersih dan dipotongpotong setebal 0,5 cm. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tong termentasi selama 3 hari. Setelah itu dikeringkan dalam kabinet drier pada suhu 50C selama kurang lebih 12 jam. Setelah kering kemudian ditepungkan dengan alat penepung sampai ukuran 80 mesh 4.Pembuatan Tepung Mocal dengan Metoda Basah Ubi kayu dikupas, kemudian dikerok lendirnya, dicuci bersih dan dipotongpotong setebal 0,5 cm. Selanjutnya direndam di dalam air selama 3 hari, dimana setiap hari air perendam diganti dengan air yang bersih. Setelah itu dikeringkan
199
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
dalam kabinet drier pada suhu 50C selama kurang lebih 12 jam. Setelah kering kemudian ditepungkan dengan alat penepung sampai ukuran 80 mesh. 5. Pembuatan Tepung Mocal Menggunakan Enzim Selulitik Ubi kayu dikupas, kemudian dicuci bersih dan dipotong-potong setebal 0,5 cm. Selanjutnya direndam dalam air, kemudian ditambahkan enzim selulitik. dan dibiarkan selama 1 hari. Setelah itu dilakukan pengeringan menggunakan kabinet drier selama 12 jam. Setelah kering kemudian ditepungkan dengan alat penepung sampai ukuran 80 mesh. 6. Analisis Terhadap Tepung Kasava dan Tepung Mocal Dilakukan perhitungan rendemen, analisis fisik dan kimia. Analisis fisik meliputi derajat asam, derajat putih, dan daya serap air (Sathe dan Salunka, 1981 dalam Fardiaz dkk, 1992). Analisis kimia meliputi kadar air dengan metoda pemanasan (AOAC, 1995), kadar abu dengan metoda pembakaran (Sudarmadji dkk, 1997), kadar karbohidrat dengan cara tidak langsung (Winarno, 1997), kadar pati.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor, yaitu metoda pembuatan tepung, berupa tepung kasava (T0), tepung mocal metoda kering dengan pemarutan (T1), tepung mocal metoda kering dengan pemotongan (T2), tepung mocal metoda basah (T3) dan tepung mocal metoda enzimatis (T4). Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis ragam (anova) dan beda rerata perlakuan menggunakan uji Dunnet pada taraf nyata 5% (Gomez dan Gomez, 1995). Hasil Dan Pembahasan Bahan Baku (Ubi Kayu) Pada tahap awal dilakukan analisis kimia ubi kayu varietas Adira IV terlebih dahulu. Jenis analisis yang dilakukan terhadap ubi kayu segar meliputi kadar air, kadar HCN, total asam dan kadar pati. Hasil analisis kimia ubi kayu dapat di lihat pada Tabel 1.
200
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 1. Hasil Analisis Kimia Ubi Kayu Segar Analisis Kimia
Jumlah
Kadar Air
61,96 %
Kadar HCN
70 ppm
Derajat Asam
1,40o SH
Kadar Pati
23,58 %
Ubi kayu lebih baik dipanen pada saat kadar air mencapai 50-65 persen. Di atas kadar air tersebut kurang menguntungkan, karena umbi yang didapat banyak mengandung air dan kadar patinya rendah. Pemanenan dibawah kadar air 50 persen menghasilkan umbi yang keras karena umbi menjadi berkayu sehingga banyak mengandung serat (Wahjuningsih, 1990). Kadar air ubi kayu yang digunakan dalam penelitian ini masih dalam batasan kadar air yang telah disebutkan diatas. Waktu yang baik untuk memungut hasil ubi kayu sukar ditentukan dengan pasti. Pada umumnya, ubi kayu varietas Adira IV mempunyai umur panen 10,5-11,5 bulan. Varietas ini merupakan varietas ubi kayu semi pahit karena kandungan HCN sekitar 70 ppm. Karakteristik Tepung Mocal 1. Rendemen Rendemen tepung kasava dan tepung mocal ditunjukkan pada Tabel 2. Rendemen tepung mocal dengan berbagai perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p>0,05) pada masing-masing perlakuan. Berbagai metode proses pembuatan tepung mocal yang digunakan pada penelitian ini pada setiap tahapan
yang
melibatkan
pemecahan
pati,
diendapkan
patinya
kemudian
ditambahakan pada proses pengeringan, sehingga tidak berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan.
201
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Tabel 2.
Rerata Rendemen Tepung Kasava dan Tepung Mocal
Perlakuan
Rendemen (%)
T1 → T0
30,07 → 27,56
T2 → T0
29,37 → 27,56
T3 → T0
28,35 → 27,56
T4 → T0
28,58 → 27,56
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) 3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis 2. Derajat Asam Pada Tabel 3 terlihat bahwa derajat asam tertinggi tepung hasil penelitian yaitu perlakuan T1 sejumlah 9,70oSH dan derajat asam terendah pada perlakuan T3 sejumlah 2,90oSH. Tinggi rendahnya derajat asam ini dipengaruhi oleh adanya proses fermentasi, dimana dihasilkan sejumlah asam-asam organik (asam laktat, oksalat dan suksinat) Tabel 3. Rerata Derajat Asam Tepung Kasava dan Tepung Mocal Perlakuan
Derajat Asam (oSH)
T1 → T0
9,70 → 3.44***
T2 → T0
7,80 → 3.44***
T3 → T0
2,90 → 3.44
T4 → T0
9,50 → 3.44***
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05)
3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis Hasil analisis ragam diketahui bahwa cara pembuatan tepung ubi kayu modifikasi (mocal) berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap derajat asam. Hasil Uji Beda Rerata Dunnett menunjukkan masing-masing perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap perlakuan T0, kecuali perlakuan T3.
202
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Derajat asam adalah kepekatan tertentu yang diperlukan untuk menetralisir larutan asam. Menurut Kusumanto (2009), mikrobia yang tumbuh selama fermentasi akan menghasilkan enzim – enzim yang menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam – asam organik terutama asam laktat. Nilai derajat asam tertinggi adalah perlakuan T1. Adanya pemarutan pada perlakuan T1 akan menyebabkan dinding sel ubi kayu mudah dipecah oleh enzim – enzim pektinolitik dan selulolitik sehingga terjadi liberasi granula pati dan akan lebih banyak asam laktat yang dihasilkan dari hidrolisa pati menjadi asam laktat. Sedangkan nilai derajad asam terendah adalah perlakuan T3. Fermentasi selama tiga hari menyebabkan perubahan jenis mikrobia yang terlibat dalam proses fermentasi yang berpengaruh pada derajat keasaman. Colard dan Levi (1959) di dalam Ngaba dan Lee (1979) menyatakan bahwa fermentasi ubi kayu merupakan suatu proses dua tahap yang melibatkan Corynebacterium sp.yang menguraikan pati menjadi asamasam pada 48 jam pertama selama fermentasi. Organisme ini selanjutnya digantikan oleh Geotrichum candida pada hari ketiga atau keempat selama fermentasi yang kemudian akan menghasilkan keadaan eksotermik dan anaerobic, serta timbul aroma khas karena terbentuknya ester-ester dan aldehid. Hal tersebut menyebabkan nilai derajat asamnya menjadi turun. Tepung kasava (T0) mempunyai derajat keasaaman rendah pula. Hal itu dikarenakan tidak ada proses fermentasi didalam pembuatan tepung sehingga kadar asam ubi kayu menjadi rendah. Derajat asam akan berpengaruh terhadap kekentalan gel pada saat tepung mocal diolah menjadi adonan. Menurut Haryadi (1995), pemasakan pada keadaan asam cenderung merendahkan suhu gelatinisasi dan mempercepat tata cara pemasakan keseluruhannya. Pada pH yang asam, hidrolisis ikatan-ikatan gluko-sidik dapat terjadi dengan akibat menurunkan kekentalan gel. Pemecahan oleh pengaruh asam pada granula pati karena pelepasan hidrolitik molekul-molekul amilosa dan amilopektin, biasanya menghasilkan pasta dengan kekentalan rendah selama pemasakan, kemudian selanjutnya diikuti dengan pengurangan kekentalan dengan cepat. Keadaan seperti itu juga menimbulkan masalah keawetan sifat fisik gelnya, yaitu karena gel tersebut kurang tahan terhadap hidrolisis yang menurunkan kekentalan gel akhirnya dan juga mendorong pengelompokan melalui ikatan hidrogen yang mengakibatkan retrogradasi, selanjutnya akan terjadi sineresis. Namun pengaruh asam terhadap perilaku pati selama gelatinisasi menjadi berkurang karena keberadaan gula pada konsentrasi tinggi.
203
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
3. Derajat Putih Pada Tabel 4 terlihat bahwa derajat putih tertinggi dalam penelitian yaitu perlakuan T3 sejumlah 96,58 % dan derajat putih terendah pada perlakuan T4 sejumlah 78,40 %. Tabel 4. Rerata Derajat Putih Tepung Kasava dan Tepung Mocal Perlakuan
Derajat Putih (%)
T1 → T0
83,75 → 88.63***
T2 → T0
82,50 → 88.63***
T3 → T0
96,58 → 88.63***
T4 → T0
78,40 → 88.63***
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) 3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis Hasil analisis ragam diketahui bahwa cara pembuatan tepung mocal berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap derajat putih. Hasil uji Beda Rerata Dunnett menunjukkan masing-masing perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap perlakuan T0. Nilai derajat putih paling rendah adalah perlakuan T4 dan paling tinggi adalah perlakuan T3. Adanya perendaman pada saat fermentasi memberikan pengaruh yang besar terhadap derajat putih tepung mocal yang dihasilkan. Fermentasi pada perlakuan T3 menggunakan cara basah, artinya pada saat fermentasi berlangsung dilakukan perendaman dalam air. Peredaman akan mencegah bahan mengalami pencoklatan (browning). Selain itu, cara pengeringan yang berbeda juga berpengaruh terhadap derajat putih. Pada umumnya, untuk pembuatan produk tepung diperlukan ubi kayu yang tidak banyak mengandung protein, karena tepung yang mengandung protein lebih dari 2 % warnanya menjadi kurang putih dan lekas berbau ”apek” serta tidak dapat disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama (Buletin Kebun Raya, 1979). Dari uraian tersebut, kandungan protein bahan sangat berpengaruh terhadap derajat putih tepung mocal. Berdasarkan pengamatan pada parameter protein, jelas terlihat bahwa
204
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
nilai tertinggi adalah perlakuan T4 dan nilai terendah adalah perlakuan T3. Hal ini berbanding terbalik dengan nilai derajat putih yang mana nilai tertinggi adalah perlakuan T3 dan nilai terendah adalah perlakuan T4. Semakin tinggi kandungan protein pada ubi kayu maka semakin rendah nilai derajat putih pada tepung mocal yang dihasilkan. 4. Daya Serap Air Daya serap air tepung atau daya absorbsi air tepung menunjukkan kapasitas hidrasi. Pada Tabel 5 terlihat bahwa daya serap air tertinggi dalam diperoleh pada perlakuan T3 sejumlah 1,7 g/g dan daya serap air terendah terendah pada perlakuan T2 dan T4 sejumlah 1,49 g/g Hasil analisis ragam (Lampiran 1) diketahui bahwa cara pembuatan tepung mocal berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap daya serap air. Hasil uji Beda Rerata Dunnett menunjukkan masing-masing perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap perlakuan T0. Tabel 5. Rerata Daya Serap Air Tepung Mocal Perlakuan T1 → T0 T2 → T0 T3 → T0 T4 → T0
Daya Serap Air (ml/g) 1,62 → 1,66*** 1,49 → 1,66*** 1,70 → 1,66*** 1,49 → 1,66***
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) 3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis Protein merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap daya serap air. Hal yang paling berpengaruh terhadap interaksi protein-air adalah grup amino polar yang yang terdapat pada protein. Perlakuan T1, T2 dan T4 mempunyai daya serap air lebih rendah daripada T0 karena kandungan grup amino polarnya lebih sedikit. Sedangkan perlakuan T3 grup amino polarnya lebih besar daripada T0. Apabila dibandingkan, tepung mocal maupun tepung kasava mempunyai daya serap air lebih
205
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
rendah daripada daya serap air tepung terigu. Menurut Hidayat dkk. (2007) daya serap tepung terigu adalah 2,2 g/g. Rendahnya daya serap air tepung mocal dan kasava menunjukkan rendahnya kandungan grup amino polar yang terdapat pada protein, seperti karbonil, hidroksil, amino, karbonol dan sulfhidril (Fardiaz dkk, 1992). . 5. Kadar Air Tujuan analisis kadar air tepung mocal adalah untuk mengetahui kandungan air dalam produk akhir, karena hal tersebut berhubungan dengan daya tahan produk terhadap serangan mikroorganisme (Winarno, 1988). Bila kadar air bebas dikurangi maka pertumbuhan mikroorganisme dapat dikendalikan. Pada Tabel 6 terlihat bahwa kadar air tertinggi tepung hasil penelitian yaitu pada perlakuan T4 sejumlah 13,46% dan kadar air terendah pada perlakuan T1 sejumlah 8,46%. Tabel 6 Rerata Kadar Air Tepung Kasava dan Tepung Mocal Perlakuan
Kadar Air (%)
T1 → T0
8,46 → 10,38***
T2 → T0
10,11 → 10,38
T3 → T0
11,09 → 10,38
T4 → T0
13,46 → 10,38***
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) 3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis Hasil analisis ragam diketahui bahwa cara pembuatan tepung ubi kayu modifikasi (mocal) berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air. Hasil Uji Beda Rerata Dunnett menunjukkan perlakuan T1 dan T4 terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap perlakuan T0. Perbedaan ini dipengaruhi adanya proses fermentasi. Perlakuan T1 mempunyai kadar air paling rendah karena pada saat proses fermentasi dilakukan pengepresan sehingga mengurangi kadar air bahan. Perlakuan T3 mempunyai kadar
206
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
air yang relatif tinggi, karena fermentasi dilakukan secara basah sehingga kandungan air dalam ubi kayu relatif masih tinggi. Perlakuan T2 dan T0 kadar airnya hampir sama, perlakuan T2 tidak melibatkan air didalam proses fermentasi karena fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi kering sedangkan perlakuan T0 tidak dilakukan proses fermentasi. 6. Kadar Abu Pada Tabel 7 terlihat bahwa kadar abu tertinggi tepung hasil penelitian yaitu perlakuan T2 sejumlah 1,76 % dan kadar abu terendah pada perlakuan T4 sejumlah 0,96 %. Hasil analisis ragam diketahui bahwa cara pembuatan tepung mocal tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar abu. Tabel 7. Rerata Kadar Abu Tepung Kasava dan Tepung Mocal Perlakuan
Kadar Abu (%)
T1 → T0 T2 → T0
1,51 → 1,61 1,76 → 1,61
T3 → T0 T4 → T0
1,16 → 1,61 0,96 → 1,61
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) 3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis Kadar abu atau mineral merupakan komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran senyawa organik atau bahan alam (Wahjuningsih, 1990). Berbagai macam cara pembuatan tepung mocal ternyata tidak memberikan pengaruh terhadap kadar abu. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kondisi lingkungan tempat hidup ubi kayu serta proses pembuatan tepung itu sendiri. Perbedaan kandungan mineral pada varietas ubi kayu
dapat
disebabkan karena perbedaan penambahan pupuk serta kondisi tanah tempat tumbuhnya ubi kayu (Wargiono, 1979). Ubi kayu yang merupakan bahan pembuat tepung mocal ini berasal dari daerah yang sama dengan kondisi tanah, iklim, pemupukan dan perawatan yang relatif sama. Selain itu, tidak adanya penambahan
207
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
bahan – bahan lain didalam proses pembuatan tepung juga berpengaruh terhadap kadar abu. Penambahan bahan lain dapat memperbanyak abu yang nantinya akan memberikan pengaruh terhadap hasil akhir bahan. 7.
Kadar Karbohidrat Pada Tabel 8 terlihat bahwa kadar karbohidrat tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 sejumlah 87,17 % dan kadar karbohidrat terendah pada perlakuan T4 sejumlah 82,91 %. Hasil analisis ragam diketahui bahwa cara pembuatan tepung ubi kayu modifikasi (mocal) berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar karbohidrat. Hasil uji Beda Rerata Dunnett menunjukkan perlakuan T1 terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) terhadap perlakuan T0. Tabel 8. Rerata Kadar Karbohidrat Tepung Kasava dan Tepung Mocal Perlakuan T1 → T0 T2 → T0 T3 → T0 T4 → T0
Kadar Karbohidrat (%) 87.17 → 84.88*** 85.06 → 84.88 85.05 → 84.88 82.91 → 84.88
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) 3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis Perlakuan T1 berbeda karena adanya pengaruh pemarutan sehingga partikel bahan menjadi kecil. Akibatnya karbohidrat kompleks dapat diuraikan oleh mikroorganisme menjadi karbohidrat rantai pendek, sehingga kadar karbohidrat lebih besar dibanding perlakuan lain. 8. Kadar Pati Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa berbagai perlakuan pada pembuatan tepung mocal berpengaruh nyata(P<0,05)
terhadap kadar pati yang
dihasilkan. Setelah dilanjutkan dengan uji beda rerata Dunnet diperoleh hasil masingmasing perlakuan berbeda nyata (p<0,05) seperti tertera pada Tabel 8Terlihat bahwa kadar pati tertinggi diperoleh pada perlakuan T1 sebesar 72,74%, sedangkan kadar pati terendah diperoleh pada perlakuan T4 sebesar 64,85%.
208
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Menurut Colon (1983), pati secara alamiah merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Proses pemarutan pada perlakuan T1 akan membebaskan granula pati dari jaringan pengikatnya, sehingga jumlah pati yang dihasilkan lebih banyak. Perlakuan T3 dengan penambahan air juga dapat membebaskan granula pati, sebab pati mengandung gugus hidroksil yang membuat molekul-molekul pati akan menyerap air dan memutuskan ikatan-ikatan struktur helix dari molekul tersebut, sehingga pati dalam jaringan akan keluar (Harper, 1981). Fermentasi dengan cara kering tidak banyak membebaskan granula pati dalam jaringan, sebab ukuran bahan yang masih besar dan tidak adanya air yang mampu mengikat gugus hidroksil membuat pati masih tertahan di dalam bahan. Sedangkan penambahan enzim dapat mempercepat proses fermentasi, sehingga kadar pati yang dihasilkan tidak terlalu banyak sebab pati dalam jaringan belum keluar secara maksimal. Tabel 9. Rerata Total Kadar Pati Tepung Kasava dan Tepung Mocal Perlakuan T1 T2 T3 T4
Kadar Pati (%)
→ T0 → T0 → T0 → T0
72,74 → 65,38*** 66,31 → 65,38*** 70,07 → 65,38*** 64,85 → 65,38***
Keterangan: 1. → artinya dibandingkan 2. Rerata dengan superskrip *** berarti terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) 3. T0 = tepung kasava; T1= tepung mocal metoda kering dengan pemarutan; T2 = tepung mocal metoda kering dengan pemotongan; T3 = tepung mocal metoda basah dan T4 = tepung mocal metoda enzimatis Kesimpulan Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa tepung mocal terbaik adalah yang dibuat dengan metoda basah dengan karakteristik sebagai berikut: rendemen 28,35%, derajad asam 2,9oSH, derajat putih 96,58%, daya serap air 1,7 g/g, , kadar air 11,09%, kadar abu 1,16%, kadar karbohidrat 85,05%, kadar pati 70,07%. Ucapan Terima kasih
209
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah yang telah membiayai penelitian ini melalui Kegiatan Fasilitasi Pelaksanaan Riset Unggulan Daerah Tahun 2009.
Daftar Pustaka
AOAC, 1995. Official Methods of Analysis of Association of Official Analytical Chemist. Washington DC, 27 p. Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Industri dan Perdagangan. Badan Pusat Statisti, Jakarta Buschmann, H., K. Reilly, M. X. Rodriguez, J. Tohme dan J. R. Beeching. 2000. Hydrogen Peroxide and Flavan-3-ols in Storage Roots of Cassava (Manihot esculenta Crantz) during Postharvest Deterioration. J. Agric. Food Chem., 48 (11), 5522 -5529 Ernie, A.B. 1989. Teknologi Pengolahan Singkong. Makalah pada Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong, 10 Oktober 1989. Universitas Pajajaran, Bandung. Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. UI-Press, Jakarta (Diterjemahkan oleh E. Syamsuddin dan J.S. Baharsjah). Hanafiah. K.A. 2003. Rancangan Percobaan, Teori dan Aplikasi. Edisi Ketiga. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Haryadi. 2001. Teknologi Tepung. Prosiding Seminar Ketahanan Pangan, Yogyakarta, 6 Maret 2001. Kerjasama Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gajah Mada dengan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk. Bogasari Flour Mills. Hayashi, A., P. Veiga-Santos. C. Ditchfield dan C. C. Tadini. 2006. Investigation of Antioxidant Activity of Cassava Starch Biobased Materials Proceedings of the 2nd CIGR Section VI International Symposium on FUTURE OF FOOD ENGINEERING, 26-28 April 2006, Warsaw, Poland. Nassar, N., C.S. Vizzotto, C.A. Schwartz dan O.R. Pires Júnior. 2007. Cassava diversity in Brazil: the case of carotenoid-rich landraces Genetics and Molecular Research 6 (1): 116-121 Subagyo.2006. Ubi Kayu Substitusi Berbagai Tepung-tepungan. Food Review I (3), Jakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono, Suhardi. 1997. Prosedur Analissa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Wahjuningsih, S. B. 1990. Pengaruh Lama Fermentasi dan Cara Pengeringan terhadap Mutu Gari yang Dihasilkan. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian IPB Bogor. Winarno, 1997. Kimia Pangan dan Gizi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
210
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
KERJASAMA SPONSOR
1. BANK JATENG – SURAKARTA 2. BPR SURYA MAS – SURAKARTA 3. PT. TIGA PILAR SEJAHTERA, Tbk 4. ANDHY HARTONO OFFSET – SURAKARTA 5. CARREFOUR – SOLO BARU 6. PERKUMPULAN MASYARAKAT SURAKARTA 7. HARIAN SOLO POS 8. KUSUMA SAHID PRINCE HOTEL – SURAKARTA 9. PERUSAHAAN ROTI GANEP’S – SURAKARTA 10.
PT. NIRAMAS UTAMA NIAGA – JAKARTA 11.
PT. KALBE FARMA – JAKARTA
12. 13.
ROTI MILANO – SURAKARTA CV. BIANGLALA –KARTASURA
14.
CV. GITA - SURAKARTA
211
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Fakultas Teknologi Pertanian UNISRI Pusat Studi Pangan & Kesehatan Masyarakat UNISRI
Perkumpulan Masyarakat Surakarta
BPR Surya Mas Surakarta
BANK JATENG Surakarta
KARYA GRAFIKA
Andhy Hartono Offset – Surakarta
Carrefour – Solo Baru
PT NIRAMAS UTAMA NIAGA Jakarta
PT TIGA PILAR SEJAHTERA Tbk Surakarta
Harian Solopos
KUSUMA SAHID PRINCE HOTEL Surakarta
PT KALBE FARMA Jakarta
ROTI GANEP’S Surakarta
212
ISBN: 978-979-17342-0-2
Seminar Nasional: “Membangun Daya saing Produk Pangan Berbasis Bahan Baku Lokal”, Surakarta, 8 Juni 2011
ROTI MILANO Surakarta
CV. GITA Surakarta
CV. BIANGLALA Kartasura
213
ISBN: 978-979-17342-0-2