Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan ITS Surabaya, 24 November 2005
Seleksi Teknologi Pemulihan untuk Ekosistem Laut Tercemar Minyak Remediation Technologies Selection for Oil-Polluted Marine Ecosystem Sarwoko Mangkoedihardjo Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
[email protected] Abstract Oil spills have posed great treats and caused short and long terms damage to the marine ecosystem. Oil characteristics and polluted site conditions are limiting factors for the physiochemical fates of oil compounds in the ecosystem. Subsequently the fates determine the risk-based approach in controlling the pollution. Therefore physiochemical remediation, bioremediation, and phytoremediation are site-specific technologies to remediate oilpolluted marine ecosystem. Preliminary studies have to be conducted to select a suitable technology and monitoring methods have to be provided for the selected technology. Key words: oil characteristics, physiochemical fates, risk-based approach, remediation. 1 Pendahuluan Kebutuhan energi aktivitas kehidupan manusia masih berlanjut menggunakan sumber energi hidrokarbon (fosil). Berbagai kegiatan eksplorasi, eksploitasi, transportasi, penyimpanan, pengolahan dan distribusi minyak mentah maupun minyak olahan masih sering menghasilkan kejadian kebocoran dan/atau tumpahan minyak ke lingkungan. Khususnya dalam mata rantai eksploitasi – distribusi melalui media laut, tumpahan minyak di laut telah berdampak pencemaran multidimensi bagi makhluk hayati laut itu sendiri, usaha perikanan, usaha turisme, sampai kepada tingkat kerusakan laut (Edwards and White, 1999). Minyak masih digunakan secara luas, meskipun tindakan pengamanan dikembangkan tetapi kebocoran dan/atau tumpahan minyak di laut hampir dipastikan akan terus terjadi. Oleh karena itu, tindakan pro-aktif untuk kesiapan pemulihan pencemaran laut adalah diperlukan untuk tujuan: tanggap pencemaran, atau penggunaan kembali sebagai tempat kegiatan eksploitasi minyak. Minyak mentah dan minyak olahan adalah senyawa kompleks hidrokarbon yang mempunyai ribuan variasi senyawa. Keragaman senyawa minyak menghasilkan keragaman kualitas fisik kimia. Komposisi dan karakteristik minyak telah dideskripsikan secara rinci (Jokuty, et al., 2000). Pengetahuan mengenai karakteristik minyak, dan karakteristik laut, adalah prasyarat untuk dapat memprediksi kelakuan tumpahan minyak di laut dan perlakuan pemulihan pencemaran. Keragaman karakteristik minyak dan pengalaman kejadian pencemaran minyak di laut menunjukkan bahwa metodologi pemulihan pencemaran bersifat site-specific (Xueqing et al., 2001). Ini adalah suatu tantangan dalam upaya pemulihan pencemaran minyak di laut diperlukan pre-studi setempat untuk menetapkan teknologi pemulihan yang tepat. Teknologi pemulihan dapat dilakukan baik secara fisik kimiawi, biologis, maupun kombinasinya. Perbedaan penerapan teknologi pemulihan memerlukan metode pemantauan dan evaluasi yang sesuai. Kesesuaian antara pre-studi, penerapan teknologi, dan pemantauan berikut evaluasinya akan menghasilkan kinerja yang efektif dan efisien dalam pemulihan pencemaran minyak di laut.
1
2 Karakteristik minyak Sifat fisik minyak yang mempengaruhi kelakuan minyak di laut dan pemulihannya, yang penting adalah densitas, viskositas, titik ubah (pour point), dan kelarutan air. Densitas diekspresikan sebagai specific gravity dan American Petroleum Institute (API) gravity. Specific gravity adalah rasio berat massa minyak dan berat massa air pada temperature tertentu. API gravity dinyatakan dalam angka 10° pada air murni 10°C. API gravity dapat dihitung dari specific gravity menggunakan formula: AP Gravity (o) = (141,5/Specific Gravity 10oC) – 131,5 (Xueqing et al., 2001). Minyak mentah mempunyai specific gravity dalam rentang 0.79 -1.00 (setara dengan API 10 - 48). Densitas minyak adalah penting untuk memprediksi kelakuan minyak di air. Viskositas adalah sifat yang menunjukkan ketahanan dalam perubahan bentuk dan pergerakan. Viskositas rendah berarti mudah mengalir. Faktor viskositas adalah komposisi minyak dan temperature. Viskositas ini adalah penting untuk memprediksi penyebaran minyak di air. Titik ubah adalah tingkat temperature yang mengubah minyak menjadi memadat atau berhenti mengalir. Titik ubah minyak mentah bervariasi antara –57°C sampai 32°C. Tititk ubah ini adalah penting untuk prediksi kelakuan minyak di air dan penetapan strategi pembersihan dari lingkungan. Kelarutan minyak dalam air adalah rendah sekitar 30 mg/L (NAS, 1985) dan tergantung kepada komposisi kimia dan temperature. Besaran kelarutan itu dicapai oleh minyak aromatic dengan berat molekul kecil seperti benzene, toluene, ethylbenzene, dan xylene (BTEX). Sifat kelarutan ini adalah penting untuk prediksi kelakuan minyak di air, proses bioremediasi, dan ekotoksisitas minyak. Karakteristik kimia minyak adalah berbeda untuk minyak mentah dan minyak olahan. Senyawa baru dapat muncul dalam minyak olahan, yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak mentah. Minyak mentah mengandung senyawa hidrokarbon sekitar 50–98 % dan selebihnya senyawa non-hidrokarbon (sulfur, nitrogen, oxygen, dan beberapa logam berat) (Leahy and Colwell, 1990). Selanjutnya minyak diklasifikasikan berdasarkan kelarutan dalam pelarut organic, yaitu: 1) Hidrokarbon jenuh. Termasuk dalam kelas ini adalah alkana dengan struktur CnH2n+2 (aliphatics) dan CnH2n (alicyclics), dimana n > 40. Hidrokarbon jenuh ini merupakan kandungan terbanyak dalam minyak mentah. 2) Hidrokarbon aromatic. Termasuk dalam kelas ini adalah monocyclic aromatics (BTEX) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs: naphthalene, anthracene, dan phenanthrene). PAHs bersifat karsinogen, atau dapat ditransformasi oleh mikroba menjadi senyawa karsinogen, sehingga menjadi senyawa penting dalam penjagaan kualitas lingkungan. 3) Resin. Termasuk di sini adalah senyawa polar berkandungan nitrogen, sulfur, oksigen (pyridines dan thiophenes), sehingga disebut pula sebagai senyawa NSO. 4) Asphalt. Termasuk di sini adalah senyawa dengan berat molekul besar dan logam berat nickel, vanadium, dan besi. Tentu saja variasi komposisi minyak mentah adalah berbeda di berbagai tempat, itulah sebabnya teknologi remediasi bersifat site-specific. Minyak olahan seperti gasoline, kerosene, minyak jet, dan lubricant adalah produk olahan minyak mentah melalui proses catalytic cracking dan fractional distillation. Sebagai hasil olahan, minyak olahan mempunyai sifat fisik kimia berbeda dengan minyak mentah. Minyak olahan mempunyai kandungan minyak mentah dan senyawa hidrokarbon tak jenuh seperti olefins (alkenes dan cycloalkenes) dari proses catalytic cracking. Kandungan
2
olefins adalah cukup besar sampai 30% dalam gasoline dan sekitar 1% dalam jet fuel (NAS, 1985). 3 Kelakuan minyak di laut Saat minyak terekspose ke lingkungan laut, minyak akan segera berubah sifat-sifat fisik kimia dan biologis. Perubahan sifat ini akan mengubah/menentukan strategi remediasi. Proses perubahan sifat fisik meliputi: 1) Perluasaan. Perluasan ini mungkin merupakan proses terpenting selama awal ekspose minyak dalam air, sepanjang titik ubah minyak adalah lebih rendah dibanding temperature sekitar. Proses ini akan memperluas sebaran minyak sehingga meningkatkan perpindahan massa melalui proses evaporasi, pelarutan dan biodegradasi. 2) Evaporasi. Proses ini dapat diandalkan untuk menghilangkan fraksi minyak dengan kandungan toksik dan berat molekul rendah. Evaporasi alkana (< C15) dan aromatic berlangsung antara 1 – 10 hari (Xueqing et al., 2001). Faktor lingkungan yang mempengaruh evaporasi adalah angin, gelombang air dan temperature. Evaporasi menyebabkan minyak tertinggal dalam air mengalami peningkatan densitas dan viskositas. 3) Pelarutan. Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi penting dalam proses biodegradasi. Aromatik dengan berat molekul kecil dan bersifat paling toksik adalah paling larut air dibanding senyawa minyak lainnya (NAS, 1985). Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh proses foto-oksidasi dan proses biologis. 4) Foto-oksidasi. Dalam kondisi aerobic dan terpapar sinar matahari, minyak aromatic dapat ditransformasi menjadi senyawa lebih sederhana. Senyawa lebih sederhana ini (hydroperoxides, aldehydes, ketones, phenols, dan carboxylic acids) bersifat lebih larut air sehingga meningkatkan laju biodegradasi tetapi lebih toksik (Nicodem et al. 1997). 5) Dispersi. Penyebaran ini terjadi karena proses gradient konsentrasi dengan membentu formasi emulsi minyak-air (butiran minyak dalam kolom air) sehingga memperluas permukaan butir minyak. Emulsi minyak-air dapat terjaga dengan agitasi (angin dan gelombang adalah contoh agitasi alamiah), atau dengan penambahan dispersan. 6) Emulsifikasi. Emulsifikasi adalah proses perubahan status dari butiran minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak (disebut juga chocolate mousse). Bahan asphaltic dapat meningkatkan emulsifikasi. Tetapi emulsifikasi akan mempersulit pembersihan minyak. 7) Lain-lain. Termasuk di sini adalah proses adsorpsi minyak pada zat padat air, sedimentasi dan formasi butir tar. Berbeda dengan proses fisik kimia sebagai perpindahan massa antar media lingkungan, proses biodegradasi adalah proses perpindahan massa dari media lingkungan ke dalam massa mikroba (menjadi bentuk terikat dalam massa mikroba) sehingga minyak hilang dari air. Hasil proses biodegradasi adalah umumnya karbondioksida dan metana yang kurang berbahaya dibanding minyak pada besaran konsentrasi yang sama. Mikroba yang mampu menguraikan minyak adalah tersedia di alam laut yaitu sekitar 200 spesies bacteria, ragi dan fungi. Bacteria terpenting adalah Achromobacter, Acinetobacter, Alcaligenes, Arthrobacter, Bacillus, Brevibacterium, Cornybacterium, Flavobacterium, Nocardia, Pseudomonas, Vibrio; ragi dan fungsi adalah Aspergillus, Candida, Cladosporium, Penicillium, Rhodotorula, Sporobolomyces, Trichoderma (Leahy and Colwell, 1990). Penting dipahami bahwa mikroba pengurai minyak adalah tidak bekerja secara individu spesies tetapi konsorsium multi spesies. Berdasarkan kemampuan proses biodegradasi, potensi senyawa minyak yang dapat diuraikan oleh mikroba adalah sebagai berikut: 1) Hidrokarbon jenuh. Umumnya nalkanes siap untuk diuraikan mikroba menjadi alcohol, aldehydes, atau fatty acid. 3
Branched alkanes dan Cycloalkanes adalah sulit diuraikan mikroba (Atlas, 1995). 2) Aromatik. Umumnya aromatic sulit terurai biologis tetapi aromatic dengan berat molekul rendah (naphthalene) dapat terurai biologis (Prince, 1993). 3) Resin dan asphalt. Senyawa ini mempunyai sturktur kompleks dan sulit diuraikan secara biologis, tetapi dalam konsentrasi rendah dapat terurai biologis secara cometabolisme (Leahy and Colwell, 1990). 4 Pengendalian risiko Pemulihan ekosistem berdasarkan kelakuan pencemar minyak dapat dilakukan dengan pendekatan risiko jejaring pencemar (Vik et al., 2001). Berikut ini diketengahkan beberapa contoh pendekatan pemulihan ekosistem berdasar pengendalian risiko. Pengendalian pencemaran pada tempat kejadian. Risiko penyebaran pencemaran dan perluasan dampak dapat ditekan maksimal. Pendekatan ini mengarahkan teknologi pemulihan diterapkan di tempat pencemaran (in-situ remediation). Pemulihan setempat dapat dilakukan untuk wilayah pesisir, termasuk lahan basah, muara, pantai dan laut lepas yang dapat terjangkau. Pengendalian media perjalanan pencemar. Pemompaan air laut adalah contoh pengendalian perjalanan pencemar dan dilanjutkan dengan pemulihan di luar tempat (exsitu remediation). Penutupan sediment pantai, injeksi oksigen dan bahan kimia ke dalam air laut adalah contoh pengendalian perjalanan pencemar dengan pemulihan setempat (insitu remediation). Pengendalian penerima pencemar. Ini dilakukan dengan cara modifikasi akses bagi penerima pencemar potensial. Beberapa contoh adalah pengalihan jalur transport menjauh tempat kejadian pencemaran, pelindung bagi petugas pemulih ekosistem, larangan konsumsi hewan laut dalam radius 25 km dari kejadian pencemaran. 5 Remediasi fisik kimia Remediasi fisik kimia adalah efektif untuk tujuan jangka pendek/segera yaitu melokalisasi dan mengambil semaksimal mungkin tumpahan minyak dari laut. Remediasi fisik yang telah dipraktekkan secara umum adalah: 1) Booming and skimming. Booms digunakan untuk melokalisasi dan mengendalikan pergerakan minyak. Skimmer digunakan untuk mengambil minyak. 2) Wiping dengan absorben. Bahan hidrofobik digunakan untuk menyeka minyak dari permukaan air. 3) Mekanis. Peralatan mekanis digunakan untuk mengumpulkan dan pembuangan sediment tercemar minyak. Ini terutama dilakukan di daerah pantai. 4) Pencucian. Pencucian menggunakan air dingin air panas bertekanan tinggi. bertekanan rendah sampai 5) Relokasi sediment dan tilling. Pemindahan sediment tercemar minyak ke tempat lain atau pencampuran dengan sediment lain. Cara ini analog dengan pengenceran pencemar. 6) Pembakaran setempat. Pembakaran tempat tercemar minyak biasanya dilakukan bersamaan dengan substrat mudah terbakar (tumbuhan kering, sampah kering). Ini terutama untuk kawasan pesisir. Remediasi kimia yang telah dipraktekkan secara umum adalah: 1) Dispersants. Kandungan surfaktan digunakan untuk mendispersi minyak menjadi butiran dalam air. Butiran minyak mempunyai total luas permukaan butiran luas sehingga mempercepat proses lanjutan. Cara ini dipakai secara rutin di banyak Negara, terutama jika menghadapi kendala remediasi fisik (Lessard and Demarco, 2000). 2) Demulsifiers. Bahan ini digunakan untuk memutus emulsi minyak-air guna mempercepat disperse alamiah. 3) Solidifiers. Bahan ini digunakan untuk meningkatkan polimerisasi minyak sehingga 4
minyak menjadi stabil, meminimalkan penyebaran, dan meningkatkan efektivitas remediasi fisik. 4) Surface film chemicals. Bahan pembentuk film (Film-forming agents) digunakan untuk mencegah minyak tertarik ke substrat laut lepas, dan untuk meningkatkan pembuangan minyak terikat pada permukaan alat pencuci bertekanan. Remediasi fisik kimia bersifat remediasi jangka pendek dan tidak tuntas (perpindahan massa antar media lingkungan), hanya sekitar 10 – 15 % pencemar dapat dipindahkan dari media laut (OTA, 1990). 6 Bioremediasi Untuk penuntasan remediasi diperlukan penghilangan dari media secara biologis (bioremediasi). Bioremediasi digunakan saat peristiwa tumpahan minyak Exxon Valdez yang mencemari laut tahun 1989 (Bragg et al., 1994). Bioremediasi didefinisikan sebagai teknologi yang menggunakan mikroba untuk mengolah pencemar melalui mekanisme biodegradasi alamiah (intrinsic bioremediation) atau meningkatkan mekanisme biodegradasi alamiah dengan menambahkan mikroba, nutrien, donor electron dan/atau akseptor elektron (enhanced bioremediation) (USEPA, 2001). Nutrien terpenting adalah N dan P. Donor electron adalah methanol atau asam laktat untuk proses anaerobic. Akseptor electron adalah oksigen, atau untuk anaerobic adalah besi (3) dan nitrat. Perubahan fisik saat minyak terekspose ke lingkungan laut akan menentukan proses bioremediasi, yang terutama adalah: 1) Evaporasi. Proses ini terutama untuk minyak volatile seperti benzene and smaller n-alkanes. Evaporasi menghasilkan luas permukaan minyak dan menguntungkan bagi mikroba untuk menghilangkan senyawa toksik tersebut. 2) Pelarutan. Proses ini tidak signifikan dari sudut perpindahan massa tetapi penting dalam proses biodegradasi. Mikroba berada dalam air lebih mudah kontak dengan minyak terlarut. 3) Dispersi. Formasi emulsi minyak-air memperluas permukaan butir minyak sehingga memudahkan mikroba untuk memproses minyak. Formasi emulsi ini merupakan proses penting dalam penghilangan hidrokarbon oleh bacteria dan fungi (Singer and Finnerty, 1984). Tetapi emulsi minyak-air dengan penambahan dispersan tidak efektif untuk proses biodegradasi minyak, karena adanya tambahan zat organic dispersan. 4) Emulsifikasi. Emulsifikasi pembentukan chocolate mousse akan mengurangi luas permukaan minyak sehingga menurunkan proses biodegradasi. Butir tar sebagai agregat besar akan menghambat akses mikroba (Leahy and Colwell, 1990). Keefektifan bioremediasi ditentukan oleh kondisi lingkungan. Kondisi lingkungan ini digunakan untuk pengambilan keputusan tempat bioremediasi, baik di tempat (in-situ) atau di luar tempat (ex-situ). Kondisi lingkungan yang terutama adalah: 1) Temperatur. Pada temperature rendah maka viskositas minyak meningkat dan volatilitas senyawa toksik menurun sehingga akan menghambat proses bioremediasi (Atlas, 1995). Hidrokarbon rantai pendek alkanes lebih mudah larut pada temperature rendah. Pada temperature tinggi, aromatic lebih mudah larut (Focht and Westlake, 1987). Secara umum laju biodegradasi umumnya meningkat dengan peningkatan temperature sampai batas tertentu. Laju tinggi biodegradasi minyak di laut dapat dicapai pada temperature 15 - 20°C (Bossert and Bartha, 1984). 2) Oksigen. Ketersediaan oksigen adalah penting dalam proses biodegradasi hidrokarbon jenuh dan aromatic (Cerniglia, 1992). Tetapi metabolisme hidrokarbon secara anaerobic dapat berhasil baik untuk hidrokarbon aromatic (BTEX) (Head and Swannell, 1999). PAHs dan alkanes dapat didegradasi dalam kondisi anaerobic (Caldwell et al., 1998). 3) Nutrients. Saat minyak tumpah ke laut, suplai karbon ke dalam air laut meningkat. Pada saat itu air laut terdapat ketimpangan komposisi nutrient (C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar melebihi komposisi normal bagi kebutuhan 5
mikroba). Untuk memanfaatkan mikroba maka diperlukan penambahan nutrient N dan P pada tingkat proporsi C/N/P sebelum tertumpah minyak. Secara teoretis 150 mg nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi 1 g hidrokarbon menjadi sel baru (Rosenberg and Ron, 1996). 4) pH dan salinitas. Kebanyakan bacteria heterotrof dan fungi menyukai pH netral dan fungi masih toleran terhadap pH rendah. Berbagai studi menghasilkan fakta bahwa biodegradasi minyak akan lebih cepat dengan peningkatan pH dan kecepatan optimum pada pH alkalin (Focht and Westlake, 1987). Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi melalui perubahan populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon akan menurun 3.3 to 28.4% dengan peningkatan salinitas. 7 Fitoremediasi Salah satu proses pemulihan lingkungan tercemar dengan menggunakan tumbuhan telah dikenal luas, yaitu fitoremediasi (phytoremediation). Fitoremediasi dapat dilakukan di wilayah pesisir, terutama kejadian pencemaran minyak atau pembuangan residu minyak berada di lahan basah pesisir. Proses fitoremediasi secara umum dibedakan berdasarkan mekanisme fungsi dan struktur tumbuhan. USEPA (1999, 2005) dan ITRC (2001) secara umum membuat klasifikasi proses sebagai berikut: 1) Fitostabilisasi (phytostabilization). Akar tumbuhan melakukan imobilisasi polutan dengan cara mengakumulasi, mengadsorpsi pada permukaan akar dan mengendapkan presipitat polutan dalam zone akar. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik yang terkandung minyak yaitu sulfur, nitrogen, dan beberapa logam berat (sekitar 2 - 50 % kandungan minyak (Leahy and Colwell, 1990). 2) Fitoekstraksi / fitoakumulasi (phytoextraction / phytoaccumulation). Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan. Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik seperti pada proses fitostabilisasi. 3) Rizofiltrasi (rhizofiltration). Akar tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar. Proses ini digunakan untuk bahan larutan yang mengandung bahan organic maupun anorganik (Mangkoedihardjo, 2002). 4) Fitodegradasi / fitotransformasi (phytodegradation / phytotransformation). Organ tumbuhan menguraikan polutan yang diserap melalui proses metabolisme tumbuhan atau secara enzimatik. 5) Rizodegradasi (rhizodegradation / enhanced rhizosphere biodegradation / phytostimulation / plant-assisted bioremediation / degradation). Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alcohol, asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi zat organic. 6) Fitovolatilisasi (Phytovolatilization). Penyerapan polutan oleh tumbuhan dan dikeluarkan dalam bentuk uap cair ke atmosfer. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Kontaminan zat-zat organic adalah tepat menggunakan proses ini. 8 Pre-studi dan pemantauan Pre-studi dan pemantauan remediasi laut tercemar minyak adalah keharusan karena bersifat site-specific dan untuk penentuan teknik yang tepat efektif dan efisien dalam kegiatan remediasi. Pre-studi dan pemantauan minimum yang diperlukan meliputi hal-hal di bawah ini. Predictive hazard assessments. Kajian ini merupakan langkah awal untuk penetapan teknologi remediasi. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui secara prediktif kelakuan minyak di air laut baik mengenai sebaran konsentrasi minyak di media air, udara, zat 6
padat/sediment dan biota. Model kajian ini dapat digunakan multi media fugacity model atau release from the technosphere, dan masih banyak model yang dapat dikembangkan (OECD, 1989). Treatability study. Kajian ini merupakan kelanjutan dari predictive hazard assessments. Setelah diketahui sebaran konsentrasi minyak di media lingkungan maka besaran konsentrasi minyak di tiap media diuji dengan teknik remediasi fisik, kimia, mikrobiologis, dan tumbuhan. Biodegradation study. Kajian ini merupakan pendalaman treatability study khususnya teknik bioremediasi. Terdapat pendekatan kajian bioremediasi yaitu: 1) Bioaugmentasi. Prinsipnya adalah mikroba pengurai minyak ditambahkan ke lingkungan dimana telah tersedia mikroba dari berbagai spesies dan terkontaminasi minyak. Penambahan mikroba pengurai minyak adalah untuk memperpendek fase adaptasi mikroba yang ada sehingga saat mulai proses bioremediasi dapat dipercepat (Hozumi et al. (2000). 2) Biostimulasi. Prinsipnya adalah mikroba pengurai minyak yang telah ada dalam lingkungan terkontaminasi minyak distimulasi aktivitasnya dengan penambahan nutrient. Penambahan nutrient diperlukan untuk meningkatkan laju bioremediasi. Nutrien utama yang diperlukan adalah ammonia N dan P (Jackson and Pardue, 1999). Microbiological study. Studi mikrobiologis ditetapkan menjadi 2 bagian yaitu: 1) Perubahan komunitas mikroba. Komunitas mikroba (bacteria, ragi, fungi) perlu diketahui untuk media tak tercemar dan media tercemar minyak. Tinjauan ini diperlukan untuk menetapkan kelayakan remediasi di tempat (in-situ) atau di luar tempat (ex-situ). 2) Isolasi dan karakterisasi mikroba yang mampu menguraikan minyak. Tinjauan ini diperlukan untuk menetapkan bioaugmentasi. Phytotechnological study. Studi teknologi pemulihan menggunakan tumbuhan disesuaikan dengan struktur dan fungsi tumbuhan serta karakteristik minyak. Tumbuhan uji adalah tumbuhan pesisir seperti Cattail dan Mangrove. Fungsi pemantauan didasarkan kepada maksud penggunaan pemantauan, yaitu: 1) Pemantauan retrospektif. Pemantauan retrospektif adalah pemantauan yang hasil-hasilnya digunakan untuk melakukan koreksi atau jastifikasi/pembenaran terhadap predictive hazard assessments dan penerapan teknologi. Keduanya dipantau secara dan/atau menggunakan indikator fisik, kimia dan biologis. 2) Pemantauan prospektif. Pemantauan prosepektif adalah pemantauan yang hasil-hasilnya digunakan untuk melakukan prediksi. Uji ekotoksisitas merupakan contoh pemantauan prospektif. Salah satu indicator tingkat toksisitas organic adalah rasio BOD/COD. Hasil pemantauan rasio BOD/COD makin meningkat menunjukkan tingkat toksisitas menurun. 9 Kesimpulan 1. Karakteristik minyak mentah adalah berbeda sesuai dengan sumbernya, minyak olahan berbeda karakteristik sesuai proses pengolahan, dan apabila tumpah pada ekosistem maka kelakuan fisik kimia minyak bersifat site-specific. Kekhususan tempat tersebut menentukan pendekatan pengendalian risiko pencemaran dan pilihan teknologi remediasi. 2. Remediasi fisik kimia bersifat first aid dan tidak tuntas menghilangkan minyak dari media lingkungan. Bioremediasi dan fitoremediasi berfungsi menuntaskan penghilangan minyak dari media laut dan penerapannya harus menjaga kondisi lingkungan aktivitas mikroba dan tumbuhan. 7
3. Perangkat pres-studi diperlukan untuk mengawal seleksi teknologi pemulihan dan pemantauan teknologi terpilih. Referensi Atlas, R.M. (1995) Petroleum biodegradation and oil spill bioremediation. Marine Pollution Bulletin, 31, 178-182. Bossert, I. And Bartha, R. (1984) The fate of petroleum in soil ecosystems. In Atlas (Ed), Petroleum Microbiology, Macmillan Publishing Company, New York, pp435-476. Bragg, J.R., Prince, R.C., Harner, E.J., and Atlas, R.M. (1994) Effectiveness of bioremediation for the Exxon Valdez oil spill. Nature, 368, 413-418. Caldwell, M.E., Garrett, R.M., Prince, R.C., Suflita, J.M. (1998) Anaerobic biodegradation of longchain n-alkanes under sulfate-reducing conditions. Environ. Sci. Technol., 32, 2191-2195. Cerniglia, C.E., (1992) Biodegradation of polycyclic aromatic hydrocarbons. Biodegradation, 3, 351-368. Edwards, R. and White, I (1999) The Sea Empress oil spill: environmental impact and recovery Proceedings of 1999 International Oil Spill Conference. American Petroleum Institute, Washington DC. Foght, J.M. and Westlake, D.W.S. (1987) Biodegradation of hydrocarbons in freshwater. In: Vandermeulen and Hrudey (Ed), Oil in Freshwater: Chemistry, Biology, Countermeasure Technology. Pergamon Press, New York, pp217-230. Head, I.M. and Swannell, R.P.J. (1999) Bioremediation of petroleum hydrocarbon contaminants in marine habitats. Current Opinion in Biotechnology, 10, 234-239. Hozumi, T., Tsutsumi, H. and Kono, M. (2000) Bioremediation on the shore after an oil spill from the Nakhodka in the Sea of Japan. I. Chemistry and characteristics of the heavy oil loaded on the Nakhodka and biodegradation tests on oil by a bioremediation agent with microbial cultures in the laboratory. Marine Pollution Bulletin, 40, 308-314. Interstate Technology Regulatory Cuncil (2001). Technical and regulatory guidance document, phytotechnology. Interstate Technology Regulatory Council USA. Jackson, W.A. and Pardue, J.H. (1999) Potential for enhancement of biodegradation of crude oil in Louisiana salt marshes using nutrient amendments. Water, Air, and Soil Pollution, 109, 343355. Jokuty, P., Whiticar, S.P., Wang, Z., Fingas, M., Lambert, P., Fieldhouse, B., and Mullin, J. (2000) A Catalogue of Crude Oil and Oil Product Properties. Environmental Protection Service, Environment Canada, Ottawa, ON. Leahy, J.G.; Colwell, R.R. (1990) Microbial Degradation of hydrocarbons in the environment. Microbial Reviews, 53(3), 305-315. Lessar R.R. and Demarco G. (2000) The significance of oil spill dispersants. Spill Science & Technology Bulletin, 6(1), 59-68. Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2002. Waterhyacinth leaves indicate wastewater quality. J. Biosains, 7 (1): 10-13. National Academy of Sciences (1985) Oil in the Sea: Inputs, Fates and Effects, National Academy Press, Washington DC. Nicodem, D.E., Fernandes, M.C., Guedes, C.L.B., Correa, R.J. (1997) Photochemical processes and the environmental impact of petroleum spills. Biogeochemistry, 39, 121-138. Office of Technology Assessment (1990), Coping With An Oiled Sea: An Analysis of Oil Spill Response Technologies, OTA-BP-O-63, Washington, DC. Organization of Economic Cooperation for Development. (1989). Compendium of environmental exposure assessment methods for chemicals. OECD Environment Monograph No. 27. Prince, R.C. (1993) Petroleum spill bioremediation in marine environments. Critical Rev. Microbiol. 19, 217-242. Rosenberg, E. and Ron, E.Z (1996) Bioremediation of petroleum contamination, In R.L. Crawford and D.L. Crawford (Eds.), Bioremediation: principles and Applications, Cambridge University Press, UK, 100-124.
8
Singer M.E. and Finnerty, W.R. (1984) Microbial metabolism of strat-chain and branched alkanes. In Atlas (Ed), Petroleum Microbiology, Macmillan Publishing Company, New York, pp1-60. United States Environmental Protection Agency (2001). Use of Bioremediation at Superfund Sites. U.S. Environmental Protection Agency. Cincinnati, OH 45268. United States Environmental Protection Agency. (1999). Phytoremediation resource guide. Office of Solid Waste and Emergency Response Technology USA. United States Environmental Protection Agency (2005). Use of Field-Scale Phytotechnology for Chlorinated Solvents, Metals, Explosives and Propellants, and Pesticides. Office of Solid Waste and Emergency Response Technology USA Vik EA, Bardos P, Brogan J, Edwards D, Gondi F, Henrysson T, Jensen BK, Jorge C, Marrioti C, Nathanail P, and Papassiopi N. (2001). Towards a framework for selecting remediation technologies for contaminated sites. Land Cont & Reclam, 9, 1: 119-127. Xueqing Zhu, Albert D. Venosa, Makram T. Suidan, and Kenneth Lee (2001). Guidelines for the Bioremediation of Marine Shorelines and Freshwater Wetlands. U.S. Environmental Protection Agency. Cincinnati, OH 45268.
9