1 MEGA PROYEK “MARSEKAL GUNTUR”: TANGGAPAN ATAS BUKU “JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS” KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER1 Oleh Djoko Marihandono (
[email protected]) 2
1.
Pendahuluan Dalam kajian sejarah Indonesia, yang lebih banyak mendasarkan pada sumber
arsip, orang lebih banyak mengenal Marsekal Herman Willem Daendels daripada Marsekal Guntur atau Mas Galak. Julukan Marsekal Guntur dan Mas Galak yang terdapat pada sumber-sumber lisan dan sumber lokal mengacu kepada orang yang sama, yaitu Marsekal Herman Willem Daendels (selanjutnya disebut Daendels) yang memerintah di Jawa antara tahun 1808-1811. Daendels melakukan banyak tindakan dan melaksanakan berbagai program dalam waktu yang relatif singkat (3 tahun 4 bulan). Semua program yang dicanangkannya berasal dari instruksi raja Belanda Louis Napoléon sebelum ia berangkat dari Eropa pada bulan Februari 1807 menuju Jawa. Instruksi itu dipertegas lagi ketika ia menghadap Napoléon Bonaparte, Kaisar Prancis, untuk berpamitan sekaligus untuk menjabarkan rencana kerjanya di Jawa. Dalam instruksi itu, ada dua tujuan utama yang harus ia capai, yakni mempertahankan Jawa dari serangan Inggris dan membenahi sistem administrasi pemerintahan sebagai warisan VOC. Ketika membicarakan masa pemerintahan Daendels di Hindia Timur, tidak dapat dihindari membicarakan kondisi politik di Eropa pada saat itu. Negara Belanda yang merupakan negara kerajaan di bawah pemerintahan Raja Belanda Louis Napoléon selalu mendapatkan ancaman dari Inggris beserta sekutunya. Penempatan Raja Louis Napoléon di Belanda tidak terlepas dari upaya Prancis (baca Napoléon Bonaparte) memblokade semua wilayah daratan Eropa agar tidak didarati oleh kapal-kapal Inggris, baik untuk kepentingan perdagangan maupun kepentingan politik. Napoléon Bonaparte menganggap bahwa wilayah pantai Belanda merupakan satu-satunya wilayah bagi Inggris dan 1
Makalah untuk disajikan dalam Seminar Lisan V yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Pariwisata di Galeria Nasional, 1-4 Desember 2006 2 Penulis adalah pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Departemen Sejarah, Program Studi Prancis.
2 sekutunya yang masih memungkinkan dijadikan akses masuk ke Eropa. Oleh karena itu, Napoléon Bonaparte menempatkan adik kandungnya menjadi Raja Belanda untuk menangkis upaya Inggris itu. Upaya Inggris mendaratkan pasukannya di wilayah Belanda, selalu mendapatkan perlawanan yang gigih dari pasukan gabungan Belanda-Prancis. Terlebih lagi, ketika Napoléon Bonaparte melancarkan politik kontinentalnya, maka dibalas pula oleh Inggris dengan mengultimatum akan merampas semua wilayah koloni Belanda yang ada di timur Tanjung Harapan. Ultimatum itu benar-benar dijalankan oleh Inggris dengan merebut wilayah Tanjung Harapan pada tanggal 22 Januari 1805, dan beberapa pulau lain di sekitarnya seperti Ile de France dan Mauritius beberapa tahun kemudian (tahun 1809 dan 1810). Kenyataan ini disadari sepenuhnya oleh Belanda, sehingga bagi Raja Belanda dan Kaisar Prancis, hanyalah tinggal Daendels satu-satunya harapan bisa diberikan untuk mempertahankan pulau Jawa yang selama itu dianggap mampu mempertahankan kehormatan Prancis. Peranan pulau Jawa sudah menjadi pembicaraan di kalangan elit pemerintahan di Prancis sejak naiknya Napoléon Bonaparte menjadi Premier Consul peranannya dan potensinya.3 Sementara itu dari sisi yang berbeda, dari pihak Inggris, upaya menguasai pulau Jawa sementara diurungkan karena Inggris saat itu belum memiliki ahli tentang pulaupulau di Hindia Timur. Pengetahuan John Leyden asisten Lord Minto (Gubernur Jenderal EIC di Calcutta saat itu) tentang Raja-Raja Melayu dianggap belum cukup berperan dalam menentukan strategi pendaratan militer di pulau Jawa. Selain itu, kabar kedatangan Daendels ke pulau Jawa membuat rencana penaklukan Jawa diurungkan oleh Inggris karena terdengar berita bahwa Daendels datang ke pulau Jawa dikawal dengan beberapa kapal perang yang sekaligus akan memperkuat armada laut Belanda-Prancis di Jawa. Kondisi ini berubah ketika muncul seorang ahli tentang Hindia Timur Sir Thomas Stamford Raffles yang datang menghadap Lord Minto di Calcutta. Raffles berhasil meyakinkan Lord Minto bahwa pulau Jawa segera harus ditaklukkan oleh Inggris.
3
Komandan Divisi XII Prancis Jenderal Houdetôt telah menyampaikan laporannya tentang pulau Jawa dan kemungkinkinan pendaratan pasukan Inggris di Jawa kepada Napoléon Bonaparte sejak tanggal Pada tanggal 23 Ventôse tahun ke-IX menurut sistem penanggalan Prancis atau tanggal 20 Februari 1800 menurut penanggalan internasional.
3 Keadaan di pulau Jawa saat kedatangan Daendels di Jawa (1 Januari 1808) sangat genting, karena Inggris telah melakukan blokade laut atas pulau Jawa. Bahkan tiga minggu sebelum kedatangannya, pantai Gresik sudah dikuasai oleh Inggris, dan wakil Gezaghebber Surabaya saat itu Van Alphen harus menandatangani perjanjian dengan Laksamana Pellew. Situasai perang inilah yang melatarbelakangi
semua masa
pemerintahan Daendels di Jawa selama kurun waktu 14 Januari 1808 hingga 16 Mei 1811 atau selama 3 tahun 4 bulan. Berbekal dua tugas utama yang dibebankan kepadanya yakni mempertahankan pulau Jawa dari ancaman Inggris dan memperbaiki sistem administrasi pemerintahan di wilayah koloni Hindia Timur, Daendels menerapkan sistem pemerintahan model militer. Sasaran yang akan ia capai adalah semua pejabat harus bertanggungjawab secara vertikal dengan kekuasaan terakhir dipegang secara mutlak oleh Gubernur Jenderal. Semua pejabat birokrasi diberikan pangkat militer, tidak terbatas pada orang Eropa, tetapi juga para pejabat pribumi seperti para bupati. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pembangkangan atau subordinasi yang berdampak pada kegagalan proyek pertahanan yang akan dibangunnya. Oleh karena itu tindakan disiplin yang keras diterapkan oleh Daendels dalam pelaksanaan semua program itu. Sosok dan latar belakang Daendels sangat mempengaruhi sistem pemerintahan yang diterapkannya. Sebagai seorang militer yang dibesarkan dalam periode Revolusi Prancis (Légion Etrangère), Daendels tampil sebagai seorang yang berwatak keras dan tegas. Ia tidak segan mengambil tindakan terhadap bawahannya yang dianggap tidak mampu melaksanakan perintahnya. Di samping itu, suaranya yang keras juga menambah pengaruh penampilan dirinya ketika berhadapan dengan siapapun, baik para pejabat Eropa maupun para penguasa pribumi. Akibatnya, di kalangan para bangsawan pribumi, Daendels dikenal dengan sebutan “Marsekal Guntur”. Bahkan karena ketegasannya ketika memberikan perintah, oleh para penguasa pribumi, Daendels juga dijuluki sebagai “Mas Galak” nama yang diambil dari pangkat yang disandangnya yaitu Marsekal. Istilah sapaan “Marsekal Guntur” untuk memanggil Gubernur Jenderal Daendels, digunakan tidak hanya oleh para penguasa atau raja-raja pribumi, tetapi juga para bangsawan dan bupati bahkan sampai ke tingkat demang dan pejabat pribumi rendahan juga menyebutnya demikian. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh semua instruksi dan
4 tindakan Daendels terasa sampai di kalangan masyarakat bawah. Dalam istilah penyebutan tradisi lisan orang-orang Jawa dan Sunda lebih banyak menyebutnya dengan nama Marsekal Guntur atau Den Mas Galak.
2.
Jalan Raya Sesuai instruksi Louis Napoléon untuk mempertahankan Jawa dari serangan
Inggris, Daendels melihat bahwa prasarana pertahanan di Jawa sebagai warisan VOC sangat tidak memadai. Tidak ada sarana komunikasi umum sebagai syarat pertama bagi mobilisasi pasukan. Jalan-jalan yang ada tidak memenuhi syarat karena kondisinya buruk sehingga menyebabkan hubungan antar-kota di Jawa saat itu masih sangat minim. Ini terbukti dari perjalanan yang dilakukan Daendels ketika mendarat di Banten pada tanggal 1 Januari 1808 ke Batavia yang memakan waktu selama empat hari. Bagi Daendels, dengan melihat jarak antara Banten dan Batavia, jangka waktu empat hari dianggapnya terlalu lama. Setelah menerima jabatan Gubernur Jenderal pada tanggal 14 Januari 1808 dari Gubernur Jenderal Albertus Henricus Wiesse, Daendels mencanangkan program pertama bagi proyek pertahanan Jawa, yaitu membuat jalan yang menghubungkan ujung barat dan ujung timur Jawa, di samping membangun dua fasilitas pangkalan armada laut di Teluk Meeuwen (Ujung Kulon) dan di Teluk Manari
(Gresik). Daendels menetapkan
pembangunan jalan raya ini harus selesai dalam waktu satu tahun. Karena sebelum kehadiran Daendels di Jawa telah ada jalan yang menghubungkan antara Banten dan Batavia hingga Buitenzorg (Bogor) dan kondisinya masih bisa digunakan, maka pembangunan jalan ini dimulai dari Buitenzorg menuju Karangsambung di Cirebon. Berbeda dengan pandangan umum yang ada saat ini, Daendels telah mengeluarkan keputusan
pada 5 Mei 1808 tentang pembuatan jalan ini dan telah
menyiapkan sejumlah dana bagi pembiayaannya (Chijs 1895:699—702). Menurut pandangannya, jalan ini harus dikerjakan oleh tenaga yang dibayar harian dengan maksud agar para pekerjanya bersemangat untuk menyelesaikan proyek itu. Tetapi dalam pelaksanaannya kendala di lapangan dihadapi: medan yang sulit dan anggaran yang sangat minim. Dengan dana yang ada, pembiayaan jalan hanya bisa dilakukan bagi proyek jalan antara Buitenzorg dan hingga Karangsambung di Cirebon. Sementara
5 pembangunan di Pantai Timur Laut Jawa dan Ujung Timur Jawa diserahkan kepada para bupati di wilayah itu. Hal ini dimintakan pengertiannya oleh gubernur jenderal karena tujuan utama dibangunnya jalan raya ini (berdasarkan keputusan itu) adalah untuk meningkatkan kemakmuran penduduk di sekitar jalan raya. Sebelumnya, Daendels telah mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar para penduduk membuka lahan baru untuk memperluas tanaman kopi dan padi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk. Namun, Daendels sadar bahwa upaya itu tidak berhasil karena kondisi jalan tidak mendukung, sehingga penduduk harus membayar lebih untuk beaya transportasi. Dengan pembangunan jalan itu, ongkos transportasi bisa ditekan, sehingga upaya peningkatan
kesejahteraan
penduduk
dapat
segera
terrealisasi.
Tujuan
kedua
pembangunan jalan juga disebutkan dalam keputusan itu adalah untuk pertahanan. Daendels memiliki kewajiban untuk mempertahankan pulau Jawa selama mungkin dari ancaman Inggris sesuai instruksi yang diterimanya dari Raja Louis Napoléon.4 Untuk mengefektifkan jalan itu, ia memfungsikannya sebagai jalan pos yang memiliki fungsi utama sebagai sarana komunikasi antara Batavia dan wilayah sekitarnya di seluruh pulau Jawa. Setelah terjadi kemacetan pembangunan jalan di Karangsambung akibat habisnya anggaran pemerintah, Daendels melakukan evaluasi kembali atas program itu. Sebagai hasil evaluasi ini, Daendels memutuskan untuk meminta bantuan para penguasa pribumi untuk membangun jalan dari Karangsambung sampai Surabaya. Hal ini disepakati dalam pertemuan antara Daendels dan para bupati se-Jawa di Semarang yang diselenggarakan pada bulan Juli 1808 karena pembangunan jalan itu memang diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan penduduk yang tinggal di sekitar jalan raya itu. Akhirnya, Diputuskan dan disepakati pada pertemuan itu bahwa pelaksanaan pembangunan jalan lebih lanjut diserahkan kepada masing-masing bupati di wilayah mereka masing-masing. Sistem yang digunakan diubah bukan lagi kerja upah tetapi menggunakan sarana ikatan feodal yang selama itu telah ada. Dalam ikatan feodal yang berlaku saat itu, masyarakat pribumi sebagai warga dari suatu kabupaten wajib mempersembahkan upeti tahunan 4
Daendels setelah menerima Surat Pengangkatan sebagai Gubernur Jenderal dari Raja Louis Napoléon tanggal 29 Januari 1807, menerima 3 surat tugas lain dari Raja Louis pada tanggal 9 Februari 1807, yaitu instruksi untuk Gubernur Jenderal Koloni dan Wilayah Asia (37 pasal), Instruksi bagi Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia (26 pasal), dan Instruksi bagi Gubernur Jenderal untuk membubarkan dan membantuk Pemerintahan Tinggi (Hooge Regering) yang baru di Batavia (6 pasal).
6 kepada bupati. Upeti ini berupa sebagian hasil tanah dan tenaga mereka yang diwujudkan dalam kerja wajib bagi kepentingan kabupaten maupun kepentingan pribadi bupati. Setelah kesepakatan dicapai, program pembuatan jalan diteruskan dari Karangsambung menuju Cirebon. Sejak itu para bupati memegang peranan yang lebih penting dengan mengerahkan rakyatnya sebagai tenaga kerja. Dalam pelaksanaan proyek ini, para bupati sering memanfaatkan instruksi Daendels dalam hal pengumpulan dan pengerahan tenaga kerja dengan menuntut lebih banyak tenaga dan lebih lama waktu kerjanya. Keuntungan yang diperoleh para bupati dari proyek ini adalah bahwa sebagian tenaga itu juga digunakan untuk menggarap sawahnya di sela-sela waktu kerja yang tersisa dari program pembangunan jalan. Tenaga kerja yang didatangkan oleh para bupati ini juga diwajibkan membawa bekal sendiri untuk makan. Bekal ini habis, sesuai dengan masa yang mereka jalani untuk membuat jalan. Akibat yang terjadi justru pada waktu kerja yang tersisa digunakan untuk mengerjakan proyek pribadi bupati. Di sini terjadi bencana yang mengakibatkan terjadinya kelaparan dan korban kematian dalam jumlah cukup tinggi. Dengan mendasarkan diri pada sistem ikatan feodal ini, program pembangunan jalan raya yang dicanangkan oleh Daendels berhasil dibuat sampai Panarukan dalam waktu satu tahun. Dibandingkan dengan proyek perbentengan yang juga direncanakan, program pembuatan jalan ini jauh lebih berhasil dan dampaknya lebih luas bagi kehidupan masyarakat. Dua proyek benteng besar di Ujung Kulon dan Gresik hanya satu proyek yang berhasil terwujud sesuai rencana. Proyek pembangunan pangkalan armada di Ujung Kulon (Teluk Meeuwen), karena kondisi alam dan kurangnya tenaga kerja, dipaksakan pembangunannya, sehingga mengakibatkan terjadinya konflik antara Daendels dan Sultan Banten yang menyebabkan dihancurkannya istana Sultan Banten (Surosowan).5 Kenyataannya bahwa pembangunan pangkalan armada laut di Teluk Meeuwen ini tidak selesai dibangun karena sudah dihancurkan oleh armada Inggris ketika proyek ini mendekati penyelesaiannya.
5
Daendels berhasil membangun pangkalan armada laut di Teluk Manari, Gresik dan menamainya Fort Lodewijk. Nama ini digunakan sebagai penghormatan kepada Raja Belanda Louis Napoléon yang telah mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Timur. Sementara itu, pembangunan pangkalan armada laut di Teluk Meeuwen (Ujung Kulon) mengalami kegagalam karena sebelum selesai dibangun, pangkalan itu sudah dihancurkan oleh Inggris.
7 Jalan raya yang berhasil terwujud bukan hanya mendukung mobilitas militer seperti yang dikehendaki Daendels, tetapi juga berdampak luas yang mendukung penegakan hukum seperti pengangkutan saksi dan tawanan yang akan diadili. Selain itu, dari sudut sosial ekonomi, jalan ini juga sangat bermanfaat untuk pengangkutan produk hasil bumi, intensifikasi penggarapan tanah, terbukti dengan munculnya tanah-tanah partikelir dan semakin cepatnya hubungan pos. Jika sebelum adanya jalan ini antara Batavia dan Surabaya ditempuh dalam waktu 2 minggu di musim panas atau 3 minggu di musim hujan, dengan selesainya jalan ini seminggu dua kali kereta pos diberangkatkan baik dari Batavia maupun dari Surabaya. Hal ini membawa dampak cepatnya integrasi dan penyatuan Jawa di bawah satu sentral kendali kekuasaan: Batavia.
3.
Daendels dalam Karya Fiksi Kebijakan dan pelaksanaan sistem yang diterapkan oleh Daendels telah
menimbulkan reaksi bagi masyarakat. Setidaknya terdapat 3 kelompok masyarakat yang ada pada saat itu, yakni kelompok masyarakat yang menyetujui pembenahan yang dilakukan oleh Daendels, mereka yang tidak setuju dengan kebijakan Daendels dan kelompok masyarakat yang oportunis, yaitu mencari celah dan keuntungan dari kebijakan yang diambol oleh penguasa tertinggi di wilayah koloni ini. Kebijakan yang diambil oleh Gubernur Jenderal telah menimbulkan dampak psikologis yang luas dalam alam pikiran baik di alam pikiran pejabat maupun pikiran masyarakat umum pada waktu itu. Dengan sikapnya yang keras dan tindakannya yang tegas, bukan hanya reaksi yang muncul, tetapi juga dampak pola pikir dan citra dari mereka yang terkena dampak itu. Banyak orang tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka walaupun tindakan Daendels merupakan bentuk penindasan dan tekanan batin. Perlawanan yang tidak terbuka akhirnya muncul melalui berbagai bentuk ungkapan pemikiran. Dalam istilah Barthes (1970:193—194), ini disebut konotasi yang kemudian berkembang menjadi mitos (mythe). Bentuk ungkapan yang merupakan reaksi terhadap kebijakan Daendels (baik yang menyetujui maupun menolak kebijakan itu) muncul dalam bentuk julukan bagi figur Daendels secara pribadi baik di kalangan pribumi maupun pejabat Eropa. Seperti penyebutan Daendels sebagai Marsekal Guntur atau Den Mas Galak dalam cerita rakyat atau dalam sumber lokal.
8 Dalam cerita rakyat, yang terdapat di Banten, Cirebon maupun di Sumedang, setidaknya terdapat dua cerita rakyat yang berhubungan dengan Marsekal Guntur atau Den Mas Galak ini. Dari Banten, terdapat dua versi tentang dihancurkannya istana Surosowan, yakni tidak mau tunduknya Sultan Banten kepada penjajah, dan versi kedua ketidaktaatazasan leluhur Sultan Banten terhadap warisan leluhur, yakni melantik Sultan yang baru tidak di atas batu Gilang melainkan di atas batu Singayaksa, batu tiruan yang dibuat oleh Belanda. Dari Cirebon dan Sumedang, diperoleh cerita tentang Bagus Rangin. Cerita rakyat tentang Bagus Rangin ini hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat Cirebon, walaupun jumlah orang yang mengetahuinya sudah sangat terbatas. Bagus Rangin dianggap sebagai pahlawan rakyat Cirebon yang memusatkan strateginya di desa Jati Tujuh di desa Bantar Jati, Jatiwangi, Cirebon. Berdasarkan cerita rakyat itu, anak buah Bagus Rangin tertangkap oleh tentara Pasukan Kornel (Bupati Sumedang), dan dipenggal kepalanya. Namun, yang terjadi adalah, kepalanya berubah menjadi ikan gabus (yang oleh masyarakat setempat disebut ikan sodong). Sementara Bagus Rangin sendiri tidak pernah tertangkap oleh penjajah, karena Bagus Rangin dilindungi dan dicintai oleh rakyatnya. Dari Sumedang ditemukan cerita tentang Hikayat Pangeran Kornel yang membela kepentingan rakyat Sumedng, khususnya dalam membela rakyat dalam pembangunan mega proyek Jalan Raya rute Buitenzorg—Karangsambung (Cirebon). Di wilayah pegunungan yang penuh dengan Cadas (daerah Cadas Pangeran), bupati Sumedang, Pangeran Kornel, membela kepentingan rakyat Sumedang melawan kebengisan Marsekal Daendels alias Mas Galak. Karena kebengisannya, ia telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa yang jenazahnya dimakamkan di bawah jalan raya Cadas Pangeran. Ketiga cerita rakyat ini hingga kini masih hidup di kalangan ketiga kelompok masyarakat itu. Karena disampaikan secara lisan maka sumber ini lebih bersifat dinamis dengan bobot distorsi yang banyak, sehingga sering muncul perbedaan tokoh sampingan, perbedaan waktu, maupun zaman. Peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Daendels yang sangat kontroversial
itu
(di
luar
karya
Pramoedya),
setidaknya
telah
mengilhami
dimunculkannya oleh tiga pengarang dalam tiga karya fiksi. Ketiga karya fiksi ini antara
9 lain:Hikayat Mareskalk yang ditulis oleh Abdullah Bin Muhammad al-Misri, yang telah ditransliterasikan oleh Monique Zaini-Lajoubert, De Ijzeren Maarscchalk karya Constant van Wessem dan Pangeran Kornel karya R. Memed Sastrahadiprawira yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Moeis. Hikayat Mareskalk berisi tiga naskah hikayat Marsekal Herman Willem Daendels dan tiga naskah lainnya adalah Hikayat Raja-Raja Siam, Cerita Siam dan Hikayat Tanah Bali. Dalam hikayat ini Daendels memberikan gelar “jenderal” kepada sejumlah anak buahnya seperti Jenderal Kopi, Jenderal Kayu, dan Jenderal Padi (hal 61-64). Daendels menerangkan bahwa dirinya bukan jenderal, karena jenderal adalah budak, ia memikul pekerjaan di bawah orang yang besar-besar. Para menteri dan priyayi kemudian mengusulkan sebuah panggilan untuk Daendels dengan sebutan Susuhunan Junjungan Alam Dunia. Daendels senang mendapatkan julukan itu, tetapi ia lebih suka dipanggil dengan sebutan Susuhunan Kanjeng Kangsinuhun Mangkurat Mangkubawana. Buku De Ijzeren Maarschalk, Het leven van Daendels “soldat de fortune” (Marsekal Besi, Kehidupan Daendels sebagai tentara) dikarang oleh Constant van Wessem ini tebalnya 351 halaman, terdiri atas 9 bagian. Roman ini (sesuai penyebutan pengarang atas karyanya itu) berisi dari awal karir Daendels sebagai mahasiswa di fakultas hukum
di Harderwijk hingga penempatannya di Polandia oleh Napoléon
Bonaparte. Seperti dikatakan oleh Van Ronkel, karya ini merupakan sejarah singkat tentang Marsekal Besi, Manusia dengan Tamparan, yang selalu dihubungkan dengan pertanyaan dari mana berasal orang kulit putih, asal kekuasaan Tuhan, dan kelemahan orang kulit hitam. Sesuai judul
roman ini, pengarang menyebut Daendels sebagai
Marsekal Besi. Oleh pengarang, Daendels digambarkan sebagai seorang Marsekal yang bertangan besi. Semua perintah harus dijalankan dengan benar. Apabila terjadi kesalahan, maka siapa pun dia akan dihukum dan dipenjara. Kebengisan dan kekejamannya membuat takut penduduk pribumi. Buku Pangeran Kornel yang dikarang oleh R Memed Sastrahadiprawira ini semula berbahasa Sunda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh A. Moeis. Dari ke-23 bagian buku ini, terdapat satu bab, yakni
bab XVIII,
yang
menceritakan tentang Pangeran Koesoemah Dinata, bupati Sumedang saat itu. Buku ini menceritakan tentang pengalaman bupati kota Sumedang itu sejak tahun 1773, yaitu
10 tahun pengangkatannya sebagai Bupati Sumedang hingga tanggal 29 Juli 1828, saat wafatnya bupati tersebut. Pada bab XVIII ini diceritakan tentang siapa Pengeran koesoema Dinata itu. Diceritakannya bahwa pada saat pembuatan jalan di gunung yang penuh cadas, Pangeran Koesoema Dinata telah membela rakyat kecil yang tidak mampu lagi meneruskan pekerjaan membuat jalan akibat terbatasnya alat yang ada, kerasnya tanah yang akan dijadikan jalan (tanah cadas) dan kondisi alamnya, karena letaknya berada di lereng gunung. Bupati itu berani menentang Gubernur Jenderal karena merasa iba terhadap penderitaan rakyatnya.
3.
Kritik terhadap Pramoedya Dalam karyanya Jalan Raya pos, Jalan Daendels6, Pram (2005) telah
memanfaatkan sumber-sumber lisan sebagai dasar tulisannya7 walaupun di halaman terakhir bukunya dilampirkan daftar bibliografi yang berisi sumber-sumber tertulis.8 Dari kajian penulis di sini, sumber-sumber tertulis yang digunakan oleh Pram hampir tidak berkaitan langsung dengan Daendels, terutama proyek pembangunan jalan. Daftar pustaka yang digunakan oleh Pram untuk menjadi sumber rujukan lebih banyak bersifat kajian sejarah umum. Hanya ada beberapa buku sejarah yang bisa dikatakan mewakili historiografi kolonial Belanda saat itu yaitu karya HJ de Graaf, Geschiedenis van Indonesië (1949). Karya ini memang bisa dikatakan lengkap dan kronologis tentang sejarah Indonesia, tetapi tidak banyak mengupas periode pemerintahan Daendels. Penjelasannya tentang Daendels maupun program jalan rayanya pun
masih bersifat
umum. Selain itu perlu ditegaskan juga bahwa de Graaf menyusun karyanya berdasarkan arsip-arsip peninggalan para pejabat Belanda masa itu. Meskipun dapat digolongkan sebagai sumber primer, buku ini perlu dikritisi mengingat penulisnya tidak selalu obyektif dalam memandang Daendels. Pada masa pemerintahan Daendels, para pejabat Belanda yang berkuasa di Indonesia lebih banyak bersifat avonturis atau diam-diam 6
Buku ini diterbitkan dan didistribusikan oleh Lentera Dipantara (2005). Buku Pram ini didasarkan atas hasil wawancara dengan beberapa murid SMP dan beberapa orang, berusia antara duapuluhan dan tigapuluhan, yang mengetahui tentang hal ihwal Daendels dan Jalan Raya Pos. 8 Di bagian akhir buku ini disertakan sumber bahan yang diambil dari 33 judul buku dan majalah, 3 judul koran dan 2 ensiklopedi. 7
11 memihak kepada Raja Willem V dari dinasti Oranje, mantan raja Belanda yang menjadi musuh Daendels dan Prancis. Akibat dari aneksasi Prancis terhadap wilayah Belanda, Raja Willem V melarikan diri ke Inggris. Akibatnya tulisan dan laporan para pejabat Belanda ini cenderung menyalahkan Daendels dan memperbesar dampak negatif dari proyek jalan raya tersebut tanpa melihat dampak positifnya. Arsip-arsip mereka digunakan oleh para sejarawan Belanda untuk menulis karya sejarah. Salah satu sejarawan itu adalah de Graaf, yang digunakan oleh Pram untuk menyusun cerita tentang Daendels. Oleh karena itu di dalam karyanya, Pram justru cenderung mengikuti jejak para sejarawan Belanda dengan menekankan sisi negatif dari proyek tersebut, terlepas dari sosok Daendels sendiri. Selain de Graaf, Pram tidak banyak menggunakan karya rujukan yang memiliki kelayakan sebagai sumber sejarah. Tidak ada arsip yang digunakan oleh Pram untuk melihat proses pembuatan jalan ini. Di sisi lain, penulis menemukan laporan tentang pembuatan jalan tersebut yang disusun dan dibukukan oleh Van der Chijs (1895) yang berjudul Nederlandsch Indisch Plakaatboek 1602-1811.9 Dalam kumpulan catatan harian ini, jelas terlihat bahwa proses pembuatan jalan itu tidak seperti yang digambarkan oleh Pram. Penduduk pribumi yang mengerjakan jalan tetap menerima upah, dan apabila mereka menderita hal itu lebih banyak sebagai akibat tuntutan yang berlebihan dari para bangsawan dan bupati pribumi. Mengingat pada masa itu rakyat pribumi tidak memiliki kebiasaan menulis, karya tradisi lisan maupun tulisan yang berasal dari masyarakat pribumi lebih banyak dibuat oleh para bangsawan. Dengan demikian istilah Marsekal Guntur atau Den Mas Galak lebih banyak dilontarkan oleh para bupati untuk menyebut Daendels. Sebutan ini kemudian digunakan oleh para bupati ketika memerintahkan rakyat untuk bekerja. Akibatnya di kalangan rakyat sebutan tersebut menjadi umum, dan ini jelas berasal dari para pimpinan mereka mengingat rakyat tidak pernah langsung bertemu atau melihat Daendels. Dari istilah tersebut terdapat konotasi bahwa Daendels merupakan sosok yang ditakuti oleh para bangsawan dan bupati pribumi. Sikap dan tuntutannya yang keras bisa
9
Untuk periode Daendels, dapat dilihat pada koleksi buku ini jilid 14 yang berisi laporan pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1804 sampai 1808.
12 menjadi sumber ketakutan tersebut, khususnya, ketika meminta pengerahan tenaga kerja dan resiko hukuman yang diberikan bila target itu tidak dipenuhi. Hal ini tidak diungkap dalam karya Pram, yang konon menggunakan banyak dongeng dan cerita rakyat untuk melukiskan bagaimana Daendels membangun proyek jalan raya dari ujung barat sampai ujung timur Jawa. Bagi Pram, Daendels adalah sosok seorang penjajah yang kejam dan sewenang-wenang dengan tidak mempedulikan nasib rakyat tetapi lebih mengutamakan kepentingan pemerintah kolonial. Korban jiwa dari kalangan rakyat sebagai akibat tuntutannya dalam membuat jalan raya ini menjadi bukti dari keserakahan Daendels. Bahkan Pram mengatakan bahwa masa Daendels adalah masa paling kelam dari genosida pembangunan jalan raya yang beraspalkan darah dan air mata manusia-manusia Republik tersebut (hal. 6). Tetapi di sisi lain Pram melupakan sesuatu, khususnya ketika menulis tentang kemacetan pembangunan jalan di daerah Cadas Pangeran. Dalam peristiwa ini, Daendels menerima laporan dari Bupati Sumedang Pangeran Wirahadikusuma (dikenal juga dengan sebutan Pangeran Kornel) yang mengadukan beratnya medan sehingga rakyatnya tidak mampu mengerjakan jalan itu, sebab daerah tersebut terdiri atas batuan cadas yang sangat keras. Daendels tidak menyalahkan Bupati Sumedang, tetapi segera memerintahkan pasukan zeninya untuk menghancurkan batubatu cadas agar pembuatan jalan bisa diteruskan. Setelah hambatan bisa diatasi, Daendels mengizinkan tenaga kerja menggunakan peralatan yang disediakan agar memudahkan penggarapan lebih lanjut dan memerintahkan kepada bupati agar lebih memperhatikan nasib para pekerja ini. Tujuannya adalah agar pembangunan jalan itu berlangsung lancar. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh Pram.
4.
Penutup Dari ulasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pram memandang Daendels
dari sisi subyektif, baik pribadinya maupun sumber rujukan yang digunakannya. Dari kacamata Pram, yang lebih mengutamakan pendekatan Marxis dalam menganalisis suatu peristiwa sejarah di mana setiap kebijakan atau sosok penguasa kolonial selalu berkonotasi negatif dan menyengsarakan rakyat, kebijakan Daendels merupakan bencana besar yang tidak ada manfaatnya bagi rakyat pribumi tetapi justru mendatangkan
13 kematian dalam jumlah besar. Analisis demikian tidak selalu tepat dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Pembangunan jalan ini merupakan proyek monumental dengan dampak positif yang lebih luas, bahkan melebihi dampak negatifnya. Daendels mampu mengerjakan mega proyek itu dalam waktu yang relatif singkat karena koordinasi dan pengawasan serta penegakan hukum dalam pelaksanaan instruksinya, sesuatu yang tidak berhasil dilakukan oleh Megawati meskipun kurun waktu pemerintahannya hampir sama yakni 3 tahun 4 bulan. Yang kedua, Pram tidak menganalisis secara cermat sumber yang digunakan bagi penulisan karyanya. Dalam hal sumber lisan, Pram tidak mencermati oleh siapa sumber itu diedarkan dan siapa yang lebih banyak menggunakan sumber itu. Sulit diterima apabila sumber lisan mengenai Daendels tersebut hanya diperoleh dari anak-anak SMP dan pemudia yang berusia antara duapuluhan dan tigapuluhan tahun, yang tidak bersentuhan langsung dengannya. Jika diciptakan oleh kalangan elit pribumi, Pram tidak menganalisa mengapa elit menciptakan kisah-kisah tersebut dan apa dampak yang ingin mereka capai. Dari sudut sumber tertulis, Pram juga kurang tajam mengkritisi sumber itu. Tidak ada arsip yang digunakan untuk mendukung pernyataannya, sementara karya-karya para penulis asing juga tidak dikritisi secara memadai. Pram tidak melihat latar belakang penulis asing itu dan tujuan mereka membuat tulisan tersebut. Bagi Pram, para penulis Belanda itu sudah mewakili opini umum di antara masyarakat Belanda tentang Daendels dan kebijakannya.
14
5.
A.
Bibliografi
ARSIP
Bundel Banten Nomor 49/23 Landrost Ambt van Bantam . Koleksi ANRI Jakarta Stat der Nederlandsche Bezittingen, Onder het Bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels, Ridder, Leutenant-Generaal in de jaren 1808—1811, terbitan ‘s Gravenhage, 1814. Bijlagen, Eerste Stukken en tweede stukken Chijs, J.A. van der., 1895, Plakaatboek gehouden in het kastijl Batavia 1602-1811, veertiende deel, Batavia, Landsdrukkerij.
B.
BUKU DAN MAJALAH
Anonim. 1871.”De verdiging van Java 1808—1811”. IMT tahun 1871. Batavia: Bruincing&Wijt. Akihary, H. Et.all., 1991, Herman Willem Daendels 1762-1818, Utrecht, Mattrijs. Al-Misri, Abdullah bin Muhammad. 1987. Naskah Dokumen Nusantara IV: Hikayat Mareskalk I, Hikayat mareskalk II, Cerita Siam, Hikayat Tanah Bali. Disunting dan diterjemahkan oleh Monique Zaini Lajoubert. Bandung: Penerbit Angkasa dan EFEO. Colenbrander, H.T., 1925, Koloniaal Geschiedenis, tweede deel, ’s Gravenhage, Martinus Nijhof. Daendels, H.W., 1814, Staats der Nederlandsche Oost Indie bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels in de jaren 1808-1811 ’s Gravenhage. Day, Clive, 1904, The Dutch in Java, Kuala Lumpur, Oxford University Press. Deventer, M.L.van. 1865. ‘Daendels-Raffles I’ dalam Indische Gids, Jilid I. Deventer, M.L.van. 1891. ‘Daendels-Raffles II--III’ dalam Indische Gids, Jilid I. Hageman, J. 1856. ‘Geschiedenis van Het Hollandsch Gouvernement op Java’ dalam Tijdshrift van Bataviasch Genootschap voor Indische Taal-, Land en Volkenkunde Jilid V.
15 Hageman, J. 1857. ‘De Engelschen op Java’ dalam Tijdschrift van Bataviaasche Genootschap voor Taal-, Land en Volkenkunde jilid VI, halaman 348—390. Eymeret, Joel, tt., Herman Willem Daendels Général Napoléonien Gouverneur à Java, Paris, EHESS. --------------------
1973, “L’Administration napoléonien en Indonésie”, dalam Revue Française d’histoire d’Outre Mer, nomor 218.
Faber, G.H. von., 1931, Oud Soerabaia, Surabaya, Gemeente Surabaya Haak, A., 1938, Daendels, Batavia, Rijswijk Hogendorp, Grave van. 1835. Beschouwingen der Nederlandsche Bezittingen in Oost Indie. Amsterdam : CG Sulpke Latreille, Andre, 1974, L’Ere Napoléonien, Paris, Armand Colin, Collection U. Mendel, I, 1900, Herman Willem Daendels voor zijne benoeming tot Gouverneur Generaal van Oost Indie, 1862-1807, ’s Gravenhage, Martinus Nijhoff. Pereboom, F., dan H.A. Stalknecht, 1989, Herman Willem Daendels 1762-1818, ’s Granvenhage, van Kampen. Ronkel, , Ph. S. Van. 1911. “Daendels in de MalaischeLitteratuur” dalam Koloniaal Tijdschirft. Tahun VII. Roo, J.W.G. de, 1909, Documenten omtrent Daendels, eerste deel en tweede deel, ’s Gravenhage, Martinus Nijhoff. Sastrahadiprawira, R. Memed. Pangeran Kornel. Terjemahan A. Moeis. Djakarta: Balai Pustaka Soekanto, 1953, Seputar Yogyakarta 1755—1825. Jakarta, Amsterdam: Mahabarata.
Stapel F.W. 1940, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vijfde deel, Amsterdam, Uigeversmaatshappij. Stevens, 1991. De Groote Postweg dalam Akihari, H. Et all. Herman Willem Daendels 1762—1818. utrecht: Matrijs. Toer, Pramoedya Ananta. 2005. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara. Wessem, Constan van, 1932, De ijzeren Maarschalk, Amsterdam, Uitspiegel.
16
Biodata Djoko MARIHANDONO Djoko MARIHANDONO adalah staf pengajar di Departemen Sejarah Program Studi Prancis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Meraih gelar doktor di bidang sejarah pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (2005) dengan mempertahankan disertasinya yang berjudul: Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808—1811: Penerapan Instruksi Napoléon Bonaparte; aktif meneliti dan menulis di bidang sejarah dengan karya terpenting: Jatuhnya Istana Puri Intan di Banten 1808; Jatuhnya Pulau Jawa ke tangan Inggris: Kegagalan sistem pertahanan darat Jan Willem Janssens 1811; Daendels’ efforts to abolish corruption; Java sous la domination française; Infrastructure construction in Java: An inheritance from Daendels era; Nilai Strategis Malaka dalam Konstelasi Politik Asia Tenggara Awal Abad XIX: Studi Kasus tentang Strategi Maritim; Strategi pertahanan Napoléon Bonaparte di Jawa. Selain mengajar, ia kini aktif menulis artikel di beberapa koran ibu kota dan majalah ilmiah serta mengikuti seminar baik nasional maupun internasional..