SEJARAH PENGATURAN HUTAN ADAT DI INDONESIA1 Arief Rahman2
Abstrak Pengelolaan hutan adat di Indonesia memasuki era baru dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 sehingga hutan adat tidak lagi menjadi bagian dari hutan negara dan hak ulayat menjadi lebih penuh dalam pengelolaan hutan adat. Karena suatu produk kebijakan baru tidak lepas dari kebijakankebijakan sebelumnya, baik mengadopsi, negasi, maupun adaptasi, maka paper ini bertujuan untuk melihat kebijakan-kebijakan pendahulu yang terkait dengan pengaturan hutan adat sehingga dapat diketahui dinamika penguasa dalam memandang masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Kebijakan-kebijakan ini dikaji secara antarwaktu dan disusun secara periodik, dimulai dari periode kolonial, periode awal kemerdekaan, periode orde lama, periode orde baru, hingga periode reformasi. Melalui pengkajian kebijakan-kebijakan tersebut, didapat enam komponen pengaturan yang dinamis antar periode meliputi 1) sikap terhadap kapitalisme, 2) dualisme hukum, 3) pengakuan terhadap hukum adat dan hak ulayat, 4) pemaknaan terhadap hak ulayat, 5) hubungan antara Negara dan sumber daya lahan, dan 6) penetapan kawasan hutan. Dinamika tersebut menyiratkan saratnya kepentingan, dapat mencerminkan kehendak penguasa khususnya pada masa-masa pemerintahan yang otoriter, atau juga mencerminkan tuntutan publik khususnya di masa ketika iklim berdemokrasi semakin membaik. Dinamika ini akan terus berlanjut pasca putusan MK. Terdapat implikasiimplikasi dari putusan MK yang menjadi pekerjaan berikutnya untuk senantiasa dikawal agar implementasinya tidak keluar dari semangat pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, hak ulayatnya, dan kearifan-kearifannya.
Kata Kunci:
hutan adat, pengaturan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUUX/2012
Pendahuluan Pengelolaan hutan adat di Indonesia memasuki era baru dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Putusan ini mengabulkan sebagian permohononan uji materiil yang disampaikan oleh para pemohon yaitu mengenai status hutan adat. Status hutan adat diatur oleh Pasal 1 angka 6 UU 41/99 dengan definisi “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, dinyatakan
1
Makalah ini dipersiapkan sebagai working paper untuk diterbitkan oleh Crestpent Press, lini penerbitan dibawah P4W-LPPM IPB. Secara khusus, terima kasih disampaikan kepada Dr. HC. Ir. Gunawan Wiradi M.Sos.Sc yang telah berkenan menjadi reviewer atas working paper ini. 2 Kepala Divisi Perencanaan dan Pengembangan Masyarakat pada Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W)-Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian Bogor,
[email protected].
1
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (atau tidak diberlakukan lagi). Definisinya pun diubah menjadi “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Putusan MK ini dapat dinilai revolusioner. Mengapa demikian? Pertama, putusan ini mengubah aturan yang telah ada hampir setengah abad lamanya, karena klausul mengenai hutan adat sebagai bagian dari hutan negara telah ditetapkan oleh undangundang pendahulu UU 41/99, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Dipertahankannnya klausul ini di dalam UU 41/99 menunjukkan bahwa pemerintah memang berkepentingan untuk tidak “melepas” hutan adat. Kedua, norma-norma pengaturan tentang sumber daya alam menunjukkan kecenderungan bahwa hukum adat dan hak ulayat semakin dipinggirkan. Peminggiranpeminggiran ini dapat dilihat misalnya pada, jika dahulu pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat adalah pengakuan secara otomatis menggunakan asas rekognisi, saat ini pengakuannnya menjadi pengakuan bersayarat sehingga dapat dikesankan sebagai pemberian (grant), bukan pengakuan (recognition). Jika dahulu diakui adanya dualisme hukum (keberlakuan hukum nasional tanpa meniadakan hukum adat), saat ini yang dilakukan adalah unifikasi hukum. Hak ulayat pun sangat dibatasi kewenangannya dengan dalih Hak Menguasai dari Negara (HMN) merupakan hak tertinggi. Kecenderungan-kecenderungan selama puluhan tahun ini seolah menjadi tidak tampak lagi dengan putusan MK ini. Memasuki era baru, paper ini justru hendak mengupas masa lalu, ialah perjalanan kebijakan pengaturan sumber daya alam, khususnya yang terkait dengan hutan adat, dari masa ke masa. Sebagaimana diketahui, produk kebijakan masa kini adalah buah dari adopsi, negasi, atau adaptasi kebijakan-kebijakan sebelumnya. Melihat masa lalu dapat berguna untuk menyongsong masa depan secara lebih bijak, dan masa depan yang dimaksud adalah berbagai implikasi pasca putusan MK ini. Kebijakan yang dikaji adalah kebijakan-kebijakan pemerintah yang memiliki keterkaitan erat dengan pengaturan kehutanan, termasuk hutan adat. Kebijakan dikaji secara antar-waktu (time-series) dan dibuat periodisasinya berdasarkan rezim penguasa dan arus utama (mainstream) yang berlaku pada masa tersebut sehingga didapatkan lima periode, dimulai dengan periode kolonial, periode awal kemerdekaan, periode orde lama, periode orde baru, dan periode reformasi. Untuk masing-masing periode, ditarik
2
norma-norma yang terkandung dalam berbagai produk peraturannya sehingga selanjutnya dapat diperbandingkan norma-norma antar lima periode ini.
Periodisasi Pengaturan Hutan Sejarah pengaturan hutan di Indonesia dapat dibagi ke dalam lima periode, dimulai dengan periode kolonial, periode awal kemerdekaan, periode orde lama, periode orde baru, dan periode reformasi.
Periode Kolonial Pada periode kolonial, semangat pengaturan sumber daya alam di wilayah jajahan adalah semangat dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi (Noer Fauzi, diacu dalam Santoso 2005 dalam Edwin 2012). Dominasi maksudnya adalah bagaimana penjajah yang merupakan kaum minoritas dapat mengungguli pribumi yang mayoritas. Eksploitasi adalah bagaimana sumber daya tanah jajahan dapat dikuras semaksimal mungkin untuk kepentingan negara penjajah (Edwin 2012). Dua produk perundangundangan di periode ini yang memiliki pengaruh besar terhadap pengaturan sumber daya alam adalah undang-undang agraria yaitu Agrarische Wet 1870 dan peraturan pelaksanaannya yaitu Agrarisch Besluit (atau dikenal juga sebagai Koninklijk Besluit). Agrarische Wet 1870 Agrarische Wet 1870 dibuat di negeri Belanda pada tahun 1870 dengan tujuan mewujudkan tertib administrasi dalam bidang pertanahan. Tetapi, sejatinya undangundang ini muncul atas prakarsa pihak swasta, khususnya swasta besar, di negeri Belanda. Mereka, atas keberhasilannya dalam berbisnis, memiliki uang berlimpah tetapi terbatas dalam hal ladang investasinya. Ketika hendak diinvestasikan di tanah jajahan (yaitu Hindia Belanda), mereka terbentur dengan regulasi bahwa pengusaha swasta tidak dapat memiliki tanah karena semua tanah dimiliki Negara (dalam hal ini adalah pemerintah Hindia Belanda). Satu-satunya cara bagi perkebunan-perkebunan besar swasta adalah menyewa tanah dari pemerintah dan ini hanya terjadi pada masa sebelum tahun 1839. Sejak 1839, yaitu pada saat diterapkannya cultuur stelsel (tanam paksa), tidak ada lagi hak sewa baru yang diberikan oleh pemerintah kolonial. Baru pada tahun 1854
3
keran sewa itu dibuka lagi, melalui Pasal 62 ayat (3) Regerings Reglement Hindia Belanda 1854, yang berbunyi (setelah diterjemahkan):
“Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh disewakan adalah tanahtanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan hutan, demikian juga tanahtanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kekayaan desa.” Jadi, keran sewa itu dibuka lagi untuk swasta, tetapi tidak berlaku untuk seluruh jenis tanah. Yang diperbolehkan untuk disewa adalah tanah terlantar (woeste gronden) yang dikuasai oleh pemerintah (Bachriadi & Lucas 2001). Dan persewaan itu dibatasi jangka waktunya selama 20-40 tahun. Tanah milik pribumi tetap tidak diperbolehkan untuk disewakan kepada nonpribumi. Seiring berjalannya waktu masa sewa ini dirasa tidak memadai lagi bagi para pengusaha swasta, khususnya mereka yang bergerak di usaha penanaman tanaman keras. Apalagi, hak yang diberikan, yaitu hak sewa, dirasakan tidak kuat dengan salah satu alasannya ialah tidak dapat digunakan sebagai obyek dari hipotek sehingga tidak dapat digunakan untuk memperoleh kredit. Akhirnya, perjuangan para pengusaha swasta ini berhasil juga. Tuntutan para pengusaha itu pada intinya adalah penerapan liberalisme di tanah jajahan sehingga monopoli oleh negara dan cultuur stelsel digantikan dengan persaingan bebas dan kerja bebas, dimana para pengusaha Belanda itu dapat turut sebagai pelaku ekonomi. Melalui rancangan yang diajukan oleh Menteri Daerah Jajahan de Waal, disahkanlah Agrarische Wet pda tahun 1870. Satu ayat dari Agrarische Wet 1870 berbunyi (setelah diterjemahkan):
“Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari tujuh puluh lima tahun.” Untuk diketahui, hak erfpacht ini adalah semacam Hak Guna Usaha (HGU) saat ini. Menurut Pasal 720 dan 721 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), hak erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberi kewenangan paling luas kepada pemegangnya untuk menikmati manfaat tanah milik pihak lain. Pemegang hak erfpacht
4
dapat menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam hak eigendom3 atas tanah, seperti mewariskan hak jika dia meninggal dunia atau menjadikannya sebagai agunan (Bachriadi & Lucas 2001). Karena hak erfpacht dapat diwariskan, maka hak ini juga diartikan sebagai hak sewa turun temurun (Edwin 2012). Pemberian hak erfpacht ini dapat dikatakan sebagai wujud dari liberalisme. Melalui hak erfpacht, maka jangka waktu sewa menjadi lebih panjang (yaitu 75 tahun), dan haknya pun lebih kuat dibanding hak sewa sebelumnya karena hak erfpacht dapat digunakan sebagai agunan dan juga dapat diwariskan. Selain itu, berdasarkan Agrarische Wet 1870, kini pribumi dapat menyewakan tanahnya kepada nonpribumi. Aturan ini dinyatakan pada ayat terakhir dari Agrarische Wet 1870 sebagai berikut (setelah diterjemahkan) (Edwin 2012):
“Persewaan atau serahpakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.” Agrarisch Besluit 1870 (atau Koninklijk Besluit) Untuk mengatur pelaksanaan Agrarische Wet 1870, maka dibuatlah aturan pelaksanaannya yaitu Agrarisch Besluit 1870 atau dikenal juga sebagai Koninklijk Besluit. Aturan pelaksanaan ini diundangkan dalam Staatsblad 1870-118. Aturan ini menjadi
sangat
mengemuka
dan
berpengaruh
karena
melalui
aturan
inilah
diperkenalkan satu asas yang disebut domein verklaring (pernyataan milik). Asas ini dinyatakan pada Pasal 1 Agrarisch Besluit sebagai berikut (setelah diterjemahkan):
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3 Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai eigendomnya, adalah domein (milik) Negara.” Eigendom yang dimaksud pada pasal ini, adalah agrarisch eigendom (eigendom agraria). Eigendom agraria berbeda dengan eigendom biasa, jika eigendom agraria
3
Eigendom, berdasarkan Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah “hak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan sesuatu benda, dan untuk berbuat bebas terhadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan yang sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang ditetapkan oleh Penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak pihak lain; semuanya itu terkecuali pencabutan hak untuk kepentingan umum, dengan pemberian ganti kerugian yang layak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” (Edwin 2012). Oleh karena itulah, eigendom diartikan pula sebagai hak milik mutlak (Tjondronegoro dan Wiradi [ed.] 2008).
5
adalah golongan hak untuk pribumi, maka eigendom biasa adalah hak-hak barat (golongan hak untuk non pribumi). Eigendom biasa diatur dan tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan eigendom agraria diatur oleh Koninklijk Besluit. Eigendom agraria berasal dari hak milik adat, yang atas permohonan pemiliknya, melalui suatu prosedur tertentu, diakui keberadaannya oleh Pengadilan. Pemegang hak eigendom agraria, untuk selanjutnya wajib tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum adat. Awalnya, Agrarisch Besluit ini hanya berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura saja. Akan tetapi kemudian, asas domein verklaring juga diberlakukan untuk daerah pemerintahan di luar Jawa dan Madura berdasarkan surat ordonansi yang diundangkan dalam Staatsblaad 1875-119a. Asas ini dinilai kurang menghargai, bahkan memperkosa hak-hak rakyat atas tanah, khususnya yang bersumber pada tanah-tanah adat. Alasannya adalah sebagai berikut: 1.
kewajiban pembuktian kepemilikan tanah ada pada pemilik tanah (rakyat), bukan negara. Andaikan negara yang mengajukan gugatan atas suatu perkara sengketa tanah, pihak yang diperkarakan oleh negara yang wajib membuktikan kepemilikannya. Hal ini sangat menguntungkan negara karena asas umum pembuktian adalah sebaliknya, yaitu siapa yang mendalilkan sesuatu maka dialah yang harus membuktikannya;
2.
sebenarnya ini menjadi landasan hukum bagi negara, yang diwakili pemerintah, untuk memberikan hak-hak atas tanah seperti erfpacht dan opstal 4 , kepada pengusaha swasta, sebagaimana yang memang menjadi semangat dari Agrarische Wet 1870. Dalam hal ini, Negara tidak bertindak sebagai penguasa melainkan pemilik tanah;
3.
membuat para pribumi harus mendaftarkan tanah dengan hak eigendom ke kantor kadaster dengan menyebutkan luas dan batas-batasnya hingga dapat memperoleh sertifikat kadaster. Seolah-olah hal ini hendak mewujudkan kepastian hukum bagi rakyat pribumi sehingga memberikan jaminan akan
4
Hak opstal adalah hak untuk mempunyai rumah, bangunan atau tanam tanaman di atas tanah orang lain. Hak ini diberikan paling lama 30 tahun.
6
kedudukan ekonomi dan kelangsungan usahanya. Akan tetapi sesungguhnya, kepastian hukum yang hendak diwujudkan adalah kepastian hukum bagi para pengusaha swasta Belanda. Hal ini karena, sesuai dengan Agrarische Wet 1870, pihak swasta dapat menyewa lahan kepada pihak pribumi untuk diusahakan. Melalui pengurusan hak eigendom agraria ini, maka pihak swasta Belanda mendapatkan kepastian hukum tentang status tanah yang hendak mereka sewa, termasuk luas dan batas-batasnya. Karena itulah, banyak orang pribumi yang mengurus hak eigendom agraria ini hanya atas desakan suatu perusahaan yang ingin menyewa tanahnya dalam jangka waktu sangat lama. Sejatinya, rakyat pribumi kurang berminat mengurus hak eigendom agraria ini, karena selain berbagai formalitas yang ditimbulkan, mereka merasa cukup dengan hanya mendaftarkan tanah mereka ke kepala desa setempat. Ada pula kesadaran bahwa pengurusan hak eigendom agraria ini hanya untuk kepentingan kaum kapitalis saja. Norma-norma yang Terkandung Demikianlah dua kebijakan utama di era kolonial yang memiliki pengaruh besar terhadap pengelolaan sumber daya alam, khususnya dalam hal agraria. Jika dirangkum, terdapat beberapa norma mendasar yang menjiwai kedua kebijakan itu yaitu: 1.
Mengusung semangat liberalisme sehingga sangat pro-kapital, dalam arti berpihak kepada para pemilik modal untuk melangsungkan dan melanggengkan usahanya di tanah jajahan;
2.
Dalam semangat liberalisme tersebut, juga diusung individualisme, atau pengutamaan kepentingan pribadi, melalui hak eigendom;
3.
Mengakui dualisme hukum, yaitu dengan tidak meniadakan hukum-hukum adat yang berlaku. Pengakuan ini dinyatakan pada salah satu ayat dari Agrarische Wet 1870 sebagai berikut (setelah diterjemahkan);
“Tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai pribadi yang turun temurun (yang dimaksudkan adalah: hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya yaitu yang mengenai kewajibannya terhadap negara dan desa yang
7
bersangkutan, demikian juga mengenai kewenangannya untuk menjualnya kepada non-pribumi” (Edwin 2012). Sebagai tambahan informasi akan hal ini, kaum terpelajar Belanda terbagi dalam dua aliran besar, yaitu aliran Universitas Utrecht yang cenderung mendorong unifikasi hukum untuk seluruh wilayah Hindia Belanda, dan aliran Universitas Leiden yang membela eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta haknya atas tanah ulayat. Berkat perjuangan gigih dari dua orang tokoh Universitas Leiden, yaitu Prof. Mr. C. van Vollenhoven dan Mr. B.Z.N Ter Haar, eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah ulayat sebagai atribut dan milik kolektif atau milik komunal dari suatu kesatuan masyarakat adat, diakui oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Kedua perintis disiplin hukum adat ini juga menengarai bahwa bagi kesatuan masyarakat adat, tanah ulayat bukanlah sekedar benda ekonomi, tetapi merupakan bagian dari keseluruhan kehidupan mereka, dan dipandang mempunyai sifat sakral, magis, dan religius (Bahar 2012, diacu dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012); 4.
Memperkenalkan konsepsi pemilikan Negara atas tanah melalui domein verklaring.
Periode Awal Kemerdekaan Pada periode ini, Indonesia sebagai negara merdeka mulai memproduksi regulasiregulasinya sendiri. Akan tetapi, regulasi-regulasi tersebut tidak mungkin menjadi regulasi yang sama sekali baru dan terpisah dengan produk-produk era kolonial, tetap ada bagian yang diadopsi bahkan masih dipertahankan keberlakuannya. Berbicara tentang produk regulasi Indonesia, tentunya yang paling mula adalah konstitusi, sebagai undang-undang tertinggi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Meneruskan norma undang-undang kolonial yang memberikan pengakuan langsung terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah ulayat, para pendiri Negara Republik Indonesia pada umumnya, dan para perancang UUD 1945 pada khususnya, juga memberikan pengakuan yang sama. Kesatuan-kesatuan masyarakat adat ini diakui sebagai daerah yang bersifat istimewa, yang mempunyai hak asal-usul, yang harus dihormati dalam membuat berbagai kebijakan dan peraturan negara setelahnya. Norma hukum tentang pengakuan otomatis terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945
8
(sebelum amandemen) beserta Penjelasannya. Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) menyatakan:
“Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Dalam Penjelasan II dari pasal tersebut, dinyatakan bahwa:
“dalam territoir negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen, dan volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan Marga di Palembang, dsb. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah- daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingat hak asal-usul daerah tersebut.” Daerah-daerah yang memiliki hak-hak asal-usul adalah daerah-daerah yang bersifat istimewa. Satu daerah dikatakan istimewa ketika ia mempunyai susunan asli. Yang dimaksud
dengan
susunan
asli
ini
adalah
zelfbesturende
landschappen
dan
volksgemeenschappen sebagaimana dicontohkan dengan desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Istilah zelfbesturende landschappen dapat diartikan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan diri sendiri atau kesatuan masyarakat hukum adat. Pengurusan diri sendiri itu terjadi di dalam sebuah bentang lingkungan (landscape), sehingga kata zelfbesturende digabungkan dengan landschappen hingga membentuk satu frase tersendiri (Pemohon dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012). Prinsip pengakuan terhadap masyarakat dengan susunan asli ini dijelaskan secara implisit oleh AA GN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko bahwa “pengakuan terhadap daerah yang memiliki susunan asli ini mempergunakan asas rekognisi”. Asas ini berbeda dengan asas yang dikenal dalam sistem pemerintahan daerah yang meliputi asas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Jika asas desentralisasi didasarkan pada prinsip penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, maka asas rekognisi merupakan pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya (otonomi komunitas).
9
Mengenai hak asal-usul, menurut Noer Fauzi Rachman (Ahli Pemohon dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012), di dalam konsepsi politik hukum, terdapat macammacam hak meliputi hak asal-usul, hak bawaan, dan hak berian. Jika hak asal-usul membawa implikasi pada pengakuan secara otomatis oleh negara berdasarkan asas rekognisi, maka hak berian adalah kewenangan pemerintah pusat menggunakan asas dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan. Akan tetapi, tampak ada kontradiksi di dalam UUD 1945. Di satu sisi, Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasannya mengimplikasikan adanya pengakuan otomatis negara terhadap daerah-daerah istimewa berikut hak asal-usulnya, tetapi di sisi lain negara juga mengembangkan landasan teoretikal baru untuk menguasai tanah ulayat kesatuan masyarakat adat melalui Pasal 33 ayat (3) Undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Pasal ini adalah konstruksi dari Hak Menguasai dari Negara (HMN), termasuk atas tanah. Sekilas ini tampak berbeda dengan asas domein verklaring, jika domein verklaring menyatakan kepemilikan negara atas tanah sehingga negara tidak bertindak sebagai penguasa melainkan pemilik tanah, maka HMN menyatakan “penguasaan”, bukan pemilikan. Akan tetapi Dr. Saafroedin Bahar (Ahli Pemohon dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012) menilai bahwa konstruksi hak menguasai negara atas tanah ini adalah bentuk yang lebih buruk dari domein verklaring, oleh karena jika domein verklaring masih mengakui adanya hak atas ulayat, maka hak menguasai negara atas tanah malah menafikannya sama sekali. Jika ditelaah secara lebih teliti, baik secara teoretikal maupun dari praktek pelaksanaannya, ternyata bahwa hak menguasai negara atas tanah ini lebih merupakan pencabutan hak ulayat dari kesatuan masyarakat adat, notabene tanpa ganti rugi sama sekali. Norma-norma yang Terkandung Jadi, jika disimpulkan, norma-norma yang terkandung di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah sebagai berikut:
10
1.
Meneruskan norma undang-undang kolonial yang memberikan pengakuan langsung terhadap eksistensi kesatuan masyarakat adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah ulayat. Ini dianggap sebagai daerah istimewa, ialah daerah yang mempunyai susunan asli, sehingga memiliki hak asal-usul;
2.
Hak asal-usul membawa implikasi pada pengakuan secara otomatis oleh negara kepada kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan asas rekognisi;
3.
Di sisi lain, UUD 1945 juga meneruskan asas domein verklaring dengan memperkenalkan konstruksi Hak Menguasai dari Negara (HMN) melalui Pasal 33 ayat 3. Memang ada beda, karena domein verklaring adalah pernyataan “kepemilikan” oleh negara, sedangkan HMN adalah pernyataan “penguasaan”. Hanya saja, ada penilaian bahwa HMN ini lebih buruk dari domein verklaring karena jika domein verklaring masih mengakui adanya hak atas ulayat, maka HMN malah menafikannya sama sekali; Pada prakteknya di kemudian hari, tanah ulayat kesatuan masyarakat adat yang dikuasai
Negara
tersebut
bukannya
digunakan
untuk
sebesar-besar
kemakmuran rakyat, tetapi diserahkan penggunaannya kepada perusahaanperusahaan besar swasta yang bergerak dalam bidang pertanian, perkebunan, atau pertambangan, yang tentu saja bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya (Bahar dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012).
Periode Orde Lama Pada
periode
ini,
undang-undang
yang
sangat
mempengaruhi
dinamika
pengelolaan hak ulayat adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-peraturan Pokok tentang Agraria (atau Undang-Undang Pokok Agraria [UUPA]). Sebenarnya pada periode ini, ada beberapa peraturan lain terkait agraria. Hal ini terkait dengan situasi setelah proklamasi kemerdekaan, dimana ada tuntutan kepada pemerintah untuk segera membuat produk hukum agraria nasional yang baru, menggantikan warisan kolonial yang tidak mengakomodasi bahkan merugikan kepentingan masyarakat Indonesia (Edwin 2012).
11
Diantara produk-produk peraturan perundang-undangan tersebut adalah UndangUndang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir5. Undang-Undang ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa keberadaan tanah partikelir berikut hak pertuanannya bertentangan dengan asas dasar keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara Indonesia (Edwin 2012). Akan tetapi UUPA tetap paling besar pengaruhnya terhadap politik pertanahan sehingga menjadi undang-undang yang dikupas khusus untuk periode ini. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-peraturan Pokok tentang Agraria Pengakuan secara otomatis dan tidak bersyarat terhadap kesatuan masyarakat hukum adat ini terputus oleh penerapan UUPA, karena undang-undang ini mengadakan persyaratan untuk kesatuan masyarakat hukum adat ini dapat diakui eksistensinya oleh negara. Persyaratan ini dinyatakan pada Pasal 3 UUPA:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.” Penjelasan atas pasal tersebut, sebagaimana tercantum dalam memori penjelasan, adalah sebagai berikut:
“…Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang 5
Tanah partikelir adalah tanah dengan hak eigendom tetapi pada pemiliknya, melekat hak-hak lain yang bersifat kenegaraan. Diantara hak-hak tersebut adalah hak untuk mengangkat/memberhentikan kepala kampung/desa, hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk, hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik berupa uang maupun hasil tanah penduduk, hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan, hak untuk mengharuskan penduduk memotong rumput tiga hari sekali bagi keperluan tuan tanah (pemilik tanah partikelir), sehari dalam seminggu menjaga rumah atau gudang-gudangnya. Hak-hak ini disebut landheerlijke rechten, di-Indonesia-kan menjadi hak-hak pertuanan. Dengan hak-hak semacam itu, tanahtanah partikelir seakan merupakan negara di dalam negara (Edwin 2012). Tanah partikelir ini ada semenjak abad ke 19.
12
bersangkuatan, sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.” Kondisionalitas untuk pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat ini dapat diartikan bahwa pada suatu saat, berdasarkan diskresi Pemerintah, suatu kesatuan masyarakat adat bisa dinyatakan tidak ada lagi atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai kesatuan masyarakat adat. Diadakannya persyaratan ini merupakan suatu keanehan karena proses terbentuknya kesatuan masyarakat hukum adat berbeda dengan pembentukan Iembaga-lembaga atau badan-badan hukum lainnya. Tidak pernah terbetik sekalipun niat bahwa pada suatu saat kesatuan masyarakat hukum adat itu akan bubar atau dibubarkan (Bahar dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012). Selain kondisionalitas dalam pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat dan pemegangnya, UUPA juga mengusung semangat unifikasi hukum. Semangat ini ternyatakan dalam Konsideran dan memori penjelasan UUPA. Memori penjelasan UUPA menyatakan hal sebagai berikut:
“…sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa; …Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.” Semangat unifikasi hukum yang diusung oleh UUPA ini memutus norma dualisme hukum yang diberlakukan pada masa kolonial. Sebagaimana telah disinggung di muka, Agrarische Wet 1870 tidak meniadakan keberlakuan hukum-hukum adat bersamaan dengan keberlakuan hukum-hukum Barat. Terakhir, UUPA juga mengatur secara lebih rinci mengenai pelaksanaan HMN. Memori penjelasan UUPA menyatakan hal sebagai berikut:
“…untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa.
13
…”dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti "dimiliki", akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu. c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Segala sesuatunya dengan tujuan: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur… Adapun, kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya sampai disitulah batas kekuasaan Negara tersebut. …Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (pasal 2 ayat 4). Dalam pada itu kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada,…” Tampaklah bahwa HMN ini ada dalam posisi mengalahkan hak ulayat. Pengakuan akan eksistensi hak ulayat pun tampak menjadi pengakuan yang semu belaka. Lanjutan dari memori penjelasan UUPA menyatakan demikian:
“…Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah- daerah itu sendiri seringkali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat… Kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun
14
pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika didalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakanakan ia terlepas daripada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan Negara sebagai kesatuan.” Norma-norma yang Terkandung Berdasarkan uraian ini, norma-norma yang terkandung dalam UUPA adalah sebagai berikut: 1.
Menciptakan kondisionalitas dalam pengakuan negara terhadap hak ulayat dan pemegangnya, sehingga memutus pengakuan secara otomatis menggunakan asas rekognisi sebagaimana diatur oleh undang-undang kolonial dan diteruskan oleh UUD 1945;
2.
Melakukan unifikasi hukum, hukum adat tidak diakui keberlakuannya lagi dan hanya ada hukum agraria nasional. Norma ini memutus norma dualisme hukum yang diusung undang-undang kolonial;
3.
Mencabut keberlakuan domein verklaring dan memperjelas teknis pelaksanaan HMN. Ditegaskan bahwa HMN berbeda dengan domein verklaring. Jika domein verklaring adalah “kepemilikan oleh negara” maka HMN adalah “penguasaan oleh negara”. Hanya saja, hak penguasaan oleh negara, dalam memori penjelasan UUPA, tetap lebih superior dan dapat mengalahkan pemilikan hak ulayat. Negara memang tidak lagi menjadi pemilik tanah, akan tetapi sebagai penguasa tertinggi, Negara dapat meminggirkan hak-hak pihak lain, khususnya hak ulayat, dengan mengatas-namakan kepentingan nasional.
Periode Orde Baru Baru pada periode ini muncul peraturan sektoral yang khusus mengatur soal kehutanan yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU 5/1967). UU 5/1967 inilah yang mengawali kategorisasi pemilikan hutan sebagai “hutan negara”, yaitu kawasan hutan dan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, dan “hutan milik”, ialah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Undang-undang ini juga yang memasukkan hutan adat sebagai hutan negara.
15
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Dimasukkannya hutan adat ke dalam hutan negara dijelaskan di dalam Penjelasan UU 5/1967 sebagai berikut:
“…dipergunakan istilah "Hutan Negara", untuk menyebut semua hutan yang bukan "Hutan Milik". Dengan demikian maka pengertian “Hutan Negara" itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat. Penguasaan Masyarakat Hukum Adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada Hukum Adat, yang lazimnya disebut hak ulajat diakui di dalam Undang-undang Pokok Agraria, tetapi sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Di daerah-daerah di mana menurut kenyataannya hak ulajat itu sudah tidak ada lagi (atau tidak pernah ada) tidaklah akan dihidupkan kembali. Menurut perkembangannya hak ulajat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah. … dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh Masyarakat Hukum Adat tersebut ke dalam pengertian "Hutan Negara", tidaklah meniadakan hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan serta anggota- anggotanya untuk mendapatkan manfaat dari hutan-hutan itu, sepanjang hak-hak itu menurut kenyataannya memang masih ada dan pelaksanaannya pun harus sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dicantumkan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.” Di dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal, dijelaskan lebih lanjut tentang Pasal 17 sebagai berikut:
“Karena itu tidak dapat dibenarkan, andaikata hak ulayat suatu Masyarakat Hukum Adat setempat digunakan untuk menghalang-halangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah, misalnya: menolak dibukanya hutan secara besar-besaran untuk proyekproyek besar, atau untuk kepentingan transmigrasi dan lain sebagainya. Demikian pula tidak dapat dibenarkan, apabila hak ulayat dipakai sebagai dalih bagi Masyarakat Hukum Adat setempat untuk membuka hutan secara sewenang-wenang.” Tampak bahwa UU 5/1967 ini melanjutkan norma yang diusung UUPA, ialah pengakuan bersyarat (bukan pengakuan otomatis) atas keberadaan hak ulayat. Hak ulayat baru diakui oleh negara jika “sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada”. Muncul implikasi dari persyaratan ini: bagaimana pembuktian bahwa hak ulayat itu secara kenyataan masih ada, dan siapa yang berhak menentukan masih ada-tidaknya hak ulayat? Jawaban atas implikasi ini memiliki peluang besar untuk disalahgunakan sehingga mengebiri hak ulayat.
16
Pengebirian ini sebenarnya sudah tampak jelas dari berbagai batasan yang dinyatakan di dalam Penjelasan UU 5/1967. Meskipun pembatasan ini dikemas secara mulia yaitu agar “tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan” dan tidak “menghalanghalangi pelaksanaan rencana umum Pemerintah”, tetapi tidak ada jaminan apapun bahwa pemerintah, yang mewakili Negara, memang benar-benar bekerja untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat tanpa kepentingan lain apapun juga. Selain mengenai hal tersebut di atas, UU 5/1967 juga memberikan pondasi mengenai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Pondasi tersebut terdapat pada Pasal 7 UU 5/1967 yang terdiri atas tiga ayat sebagai berikut:
1. Untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar- besarnya dari hutan secara lestari termaksud dalam pasal 6 sub a s/d d, ditetapkan wilayah- wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, dengan luas yang cukup dan letak yang tepat. 2. Penetapan kawasan hutan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan rencana penggunaan tanah yang ditentukan oleh Pemerintah. 3. Penetapan tersebut pada ayat (2) didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan hutan yang memuat tujuan, perincian dan urgensi pengukuhan kawasan hutan itu untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan: Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Suaka Alam dan/atau Hutan Wisata. Atas dasar Pasal 7 tersebut, diputuskan kemudian bahwa diperlukan adanya tata guna hutan yang melibatkan semua pemangku kepentingan terkait dengan lahan di daerah. Hasil kesepakatan para pemangku kepentingan tersebut dikenal dengan nama tata guna hutan kesepakatan. Petanya ditandatangani bersama dan diajukan kepada Gubernur Daerah Tingkat I dan Direktur Jenderal Kehutanan untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya setelah disetujui, kemudian disahkan oleh Menteri Pertanian. Pengesahan oleh Menteri Pertanian tersebut kemudian diberi nama dengan surat keputusan dan dilampiri dengan peta yang disepakati gubernur dan Direktur Jenderal Kehutanan. Selanjutnya petanya dikenal dengan penunjukan kawasan hutan atau tata guna hutan kesepakatan (Simbolon dalam Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011). Tetapi, pada prakteknya TGHK ini kemudian dinilai cacat hukum oleh banyak kalangan. Sadino (Ahli Pemohon dalam Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011) menyatakan bahwa UU 5/1967 hanya memberi mandat kepada Menteri untuk menetapkan kawasan hutan, sedangkan surat keputusan Menteri (Pertanian pada waktu
17
itu) yang dibuat pada tahun 1982 adalah berjudul penunjukan kawasan hutan. Tentu dapat kita pahami bersama bahwa penetapan adalah hal yang sama sekali berbeda dengan penunjukan. Norma-norma yang Terkandung Atas uraian ini, dapat disimpulkan bahwa norma-norma yang diusung oleh UU 5/1967 adalah sebagai berikut: 1.
Mendefinisikan hutan adat sebagai hutan negara;
2.
Meneruskan kondisionalitas dalam pengakuan negara terhadap hak ulayat sebagaimana diusung oleh UUPA sebelumnya, ditambah lagi dengan berbagai pembatasan akan pelaksanaan hak ulayat tersebut yang terkesan semakin mengebiri kuasa hak ulayat;
3.
Menyediakan alas bagi penetapan kawasan hutan oleh Menteri, yang selanjutnya diterjemahkan sebagai TGHK. Hanya saja, dikemudian hari, TGHK ini menuai banyak masalah, termasuk klaim bahwa TGHK ini merupakan produk cacat hukum. TGHK dan berbagai penyesuaiannya akan diulas pada bagian berikut. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Berbagai Penyesuaiannya TGHK dibuat dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian. Semangat
dasar dari TGHK adalah memberi kepastian hukum atas kawasan hutan. Oleh karena itu, SK yang dibuat adalah SK tentang penunjukan kawasan hutan, dan dibuat untuk setiap provinsi di seluruh Indonesia. Sebenarnya, sebagaimana diulas sebelumnya, TGHK didesain agar prosesnya benar-benar melibatkan para pemangku kepentingan di daerah. Teknisnya adalah, disusun terlebih dahulu Rencana Penatagunaan Hutan Kesepakatan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi bersama Kepala Balai Planologi Kehutanan, termasuk dalam penentuan lokasi Kawasan Hutan Produksi Tetap dalam rangka memenuhi luas Kawasan Hutan Optimal. Naskah tersebut dimusyawarahkan antar instansi yang berkaitan dengan penggunaan lahan di daerah dengan koordinasi oleh Gubernur yang bersangkutan untuk mendapat kesepakatan. Naskah Rencana Penatagunaan Hutan Kesepakatan yang telah dimusyawarahkan dan disepakati di daerah dengan
18
rekomendasi Gubernur yang bersangkutan disampaikan kepada Direktur Jenderal Kehutanan untuk dinilai dan disempurnakan untuk kemudian diajukan kepada Menteri Pertanian
untuk
mendapat pengesahan. Naskah
Rencana
Tata
Guna
Hutan
Kesepekatan (TGHK) inilah yang kemudian dijadikan dasar bagi Pemerintah untuk melakukan penunjukan kawasan hutan di tiap-tiap provinsi. Oleh karena itulah disebut sebagai tata guna hutan kesepakatan. Akan tetapi, karena pada periode ini kental pendekatan top-down-nya, aspirasi dari akar rumput banyak yang tidak terakomodasi di dalam TGHK yang telah di-SK-kan. Akibatnya, TGHK menjadi produk peraturan yang tidak sesuai dengan kondisi riil dan kurang mengikat di daerah sehingga dinamika pembangunan banyak yang melenceng dari apa yang diatur di dalam TGHK. Pada tahun 1992, ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 tentang Penataan Ruang. Meskipun undang-undang ini sama sekali tidak mengatur tentang hutan, akan tetapi karena undang-undang ini mengamatkan seluruh provinsi dan kabupaten/kota untuk merencanakan tata ruang yang memuat struktur dan pola pemanfaatan ruang, maka perencanaan kehutanan perlu di-paduserasi-kan dengan rencana tata ruang, dan TGHK kemudian di-paduserasi-kan dengan RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi). Oleh Menteri Kehutanan, paduserasi diartikan sebagai harmonisasi fungsi kawasan hutan dan Areal Penggunaan Lain (APL) berdasarkan TGHK yang berbeda dengan fungsi kawasan hutan dan APL menurut RTRWP sehingga diperoleh fungsi kawasan hutan dan APL yang disepakati bersama (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 50/Menhut-II/2009). Hasil dari proses paduserasi itu adalah penetapan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) tentang penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi. Kepmenhut ini dikeluarkan untuk masing-masing provinsi yang telah menyelesaikan penyusunan RTRWP dan proses paduserasinya, dan mulai dikeluarkan pada sekitar tahun 2000. Inilah penyesuaian dari TGHK tahun 1982.
Periode Reformasi Dalam
periode
reformasi,
sesuai
semangat
demokrasi
sebenarnya
yang
diusungnya, banyak perubahan-perubahan besar yang terjadi yang membawa angin segar bagi pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat. Hal ini terjadi karena
19
pada periode ini, aspirasi daerah semakin didengar, pendekatan terpusat (top-down approach) ditinggalkan, dan wewenang pemerintahan pun dibagi. Dengan semakin berwenangnya daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya, maka pada periode ini juga ditandai dengan munculnya peraturanperaturan daerah baik tentang masyarakat hukum adat ataupun tentang hak ulayat. Undang-Undang Dasar 1945 (Setelah Amandemen) Di dalam UUD 1945, beberapa pasal yang terkait erat dengan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya adalah Pasal 18, Pasal 28, dan Pasal 33. Untuk tiga pasal ini, terdapat perubahan-perubahan yang dihasilkan melalui empat kali amandemen. Pasal 18 adalah pasal yang mengusung “hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa”, setelah amandemen dipecah ke dalam tiga pasal (yaitu Pasal 18, 18A, dan 18B). Sebagaimana diulas sebelumnya, daerah-daerah yang bersifat istimewa adalah daerah-daerah yang mempunyai susunan asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dalam istilah lain adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Hak asal-usul membawa implikasi pada pengakuan secara otomatis oleh negara kepada kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan asas rekognisi. Sebagaimana hasil amandemen, ketentuan tentang masyarakat hukum adat dituangkan ke dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Atas perubahan ini, beberapa kalangan menilai bahwa asas rekognisi, yang digunakan untuk mengakui secara otomatis keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat, menjadi dihapus dan digantikan dengan pengakuan secara bersyarat (lihat Dr. Saafroedin Bahar dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012). Perubahan ini sebenarnya bukan mengintroduksi norma baru, melainkan legitimasi dari norma yang telah jauh-jauh hari diusung oleh UUPA. Pasal 28 hasil amandemen, yaitu Pasal 28I ayat (3), memperkenalkan terminologi baru disamping kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu masyarakat tradisional.
20
Selengkapnya bunyi ayat tersebut adalah: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati
selaras
dengan
perkembangan
zaman
dan
peradaban.”
Terminologi yang berbeda ini sebenarnya merujuk pada hal yang sama, sehingga dapat saling dipertukarkan penggunaannya (Bahar 2012, diacu dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012). Dari rumusan ayat tersebut, dapat ditangkap adanya kondisionalitas yang harus dipenuhi dalam rangka penghormatan terhadap budaya dan hak masyarakat tradisional, ialah keselarasan dengan perkembangan zaman dan peradaban. Sekali lagi, penghapusan pengakuan secara otomatis negara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat pun semakin dikuatkan oleh ayat ini. Terakhir adalah Pasal 33. Amandemen terhadap pasal ini tidak mengubah tiga ayat yang telah ada sebelumnya, melainkan menambah dua ayat baru lagi sehingga secara keseluruhan Pasal 33 hasil amandemen terdiri atas lima ayat. Artinya, Hak Menguasai dari Negara (HMN), sebagai inti dari Pasal 33, tetap dipertahankan. Mungkin, agar HMN ini tidak terkesan dan dilaksanakan secara semena-mena, ada satu tambahan ayat baru (ayat terakhir yaitu ayat 5) yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. Dengan ini maka ada undangundang organik6 yang diamanatkan pembentukannya oleh Pasal 33. Norma-norma yang Terkandung Memperhatikan uraian di atas, maka dalam konteks pengaturan hutan adat, satusatunya perubahan yang terjadi nampaknya justru adalah pelemahan. Kondisionalitas dalam pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya menjadi dikukuhkan dalam konstitusi, sebuah norma yang sebelumnya diusung oleh UUPA, sebuah norma yang berlawanan dengan norma pengakuan secara otomatis menggunakan asas rekognisi yang diamanatkan sebelumnya oleh UUD 1945 sebelum amandemen. Mengenai HMN, tidak ada perubahan apapun kecuali amanat bahwa pelaksanaan HMN diatur lebih lanjut oleh undang-undang organik.
6
Undang-undang organik adalah undang-undang yang pembentukannya diamanatkan secara langsung oleh UUD 1945.
21
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Sebagaimana
undang-undang
sebelumnya
tentang
penataan
ruang
yang
digantikan oleh undang-undang ini, ia tidak mengatur tentang kawasan hutan. Tampak bahwa pengaturan tentang hutan memang hendak diserahkan sepenuhnya secara sektoral. Satu-satunya pengaturan tentang hutan adalah penetapan kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai dalam rencana tata ruang wilayah. Kawasan hutan dimaksud pun tidak dilihat dari statusnya, apakah hutan negara ataukah hutan hak karena UU 26/2007 lebih menitikberatkan kepada fungsi kawasan ketimbang status. Sebagaimana implikasi dari undang-undang sebelumnya tentang penataan ruang, maka penyusunan RTRWP berdasarkan UU 26/2007 juga diikuti dengan proses paduserasi untuk harmonisasi fungsi kawasan hutan dan APL. Proses paduserasi ini banyak dikeluhkan, khususnya oleh pihak pemerintah daerah, sebagai proses yang berbelit-belit dan makan banyak energi (waktu, biaya) sehingga banyak RTRWP yang tertunda penetapannya akibat terganjal pada tahapan ini. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Pribumi (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples [UNDRIP]) UNDRIP diadopsi pada sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 13 September 2007. Pada saat itu, 144 negara menyatakan turut mengadopsi deklarasi ini, termasuk Indonesia. Artinya, secara moral negara Indonesia turut terikat dengan substansi yang terkandung di dalamnya. Terkait dengan hak ulayat, Pasal 26 dari UNDRIP mengatur secara khusus mengenai hak tersebut yang berbunyi:
1. Indigenous peoples have the right to the lands, territories and resources which they have traditionally owned, occupied or other- wise used or acquired. 2. Indigenous peoples have the right to own, use, develop and control the lands, territories and resources that they possess by rea- son of traditional ownership or other traditional occupation or use, as well as those which they have otherwise acquired. 3. States shall give legal recognition and protection to these lands, territories and resources. Such recognition shall be conducted with due respect to the customs, traditions and land tenure systems of the indigenous peoples concerned.
22
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU 41/1999 menggantikan UU 5/1967. Dalam konteks hutan adat, beberapa norma dari undang-undang sebelumnya masih diteruskan oleh UU 41/1999. Diantara normanorma tersebut adalah: 1.
Tetap mendefinisikan hutan adat sebagai hutan negara;
2.
Mempertahankan kondisionalitas dalam pengakuan negara terhadap hak ulayat; Mengenai kondisionalitas dalam pengakuan negara terhadap hak ulayat, UU
41/1999 memberikan penjelasan yang lebih rinci. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1.
hak ulayat terhadap hutan adat mencakup a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan
kebutuhan
hidup
sehari-hari
masyarakat
adat
yang
bersangkutan; b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. 2.
Agar hak ulayat tersebut dapat dikuasai, maka masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu dikukuhkan keberadaannya melalui Peraturan Daerah.
3.
Pengukuhan tersebut dilakukan jika menurut kenyataannya masyarakat hukum adat memenuhi unsur antara lain a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap); b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c) ada wilayah hukum adat yang jelas; d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
4.
Pengukuhan tersebut dilakukan dengan proses yang mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
5.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuhan ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan penjelasan tentang kondisionalitas ini, tampak bahwa UU 41/1999 masih
meneruskan semangat undang-undang sebelumnya yang terkesan sangat membatasi
23
dan mengebiri kuasa hak ulayat. Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, pun menjadi “setengah hati”. Selain meneruskan beberapa norma dari undang-undang sebelumnya, UU 41/1999 juga memperkenalkan banyak norma baru yang tidak diatur sebelumnya. Satu norma yang cukup mengemuka, dan di kemudian hari dimohonkan uji materiilnya, hingga kemudian oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan UUD 1945, adalah mengenai pengertian tentang kawasan hutan. Menurut UU 41/1999, kawasan hutan didefinisikan sebagai “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Rumusan ini berbeda dengan undang-undang sebelumnya, karena UU 5/1967 mendefinisikan kawasan hutan sebagai “wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap”. Terlihat beda nyatanya terletak pada “ditetapkan” menurut undang-undang sebelumnya, yang diganti dengan “ditunjuk dan atau ditetapkan” menurut undang-undang baru. Bisa jadi bahwa frasa ini, di luar berbagai argumen resmi yang melandasi perumusannya, diniatkan untuk me-maduserasi-kan UU 5/1967 dengan SK Menteri Pertanian Tahun 1982 tentang TGHK, dan Kepmenhut tentang penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi. Sebagaimana telah diulas sebelumnya, UU 5/1967 hanya memberi mandat kepada Menteri untuk menetapkan kawasan hutan, sedangkan SK Menteri Pertanian pada tahun 1982 adalah tentang penunjukan kawasan hutan. Keputusan Menteri Kehutanan yang menyusul juga tentang penunjukan kawasan hutan hasil paduserasi. Banyak pihak yang menilai bahwa ini adalah sebuah persoalan sehingga SK Menteri Pertanian dan Keputusan Menteri Kehutanan dianggap cacat hukum. Sekali lagi, bisa jadi rumusan frasa ini muncul sehingga antara penunjukan dan penetapan menjadi dua hal yang tidak berbeda. Akan tetapi, di kemudian hari, tepatnya pada bulan Februari 2012, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan” bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (alias dibatalkan)7. Pertimbangan-pertimbangan yang melandasi putusan MK tersebut adalah:
7
Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011
24
1.
Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan adalah cerminan pemerintahan yang otoriter karena penunjukan dapat dilakukan tanpa melalui proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
2.
Meskipun pemerintah memiliki discretionary powers (kewenangan penuh untuk mengambil keputusan pada situasi-situasi tertentu), akan tetapi penunjukan kawasan hutan bukan tergolong pada situasi-situasi tertentu karena ini sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan.
3.
Ada ketidaksinkronan di dalam batang tubuh UU 41/1999. Frasa “ditunjuk dan atau ditetapkan”, yang terdapat pada Pasal 1 angka 3, memberi arti bahwa penunjukan sama dengan penetapan. Padahal, Pasal 15 ayat (1) jelas-jelas menyatakan “Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dilakukan melalui proses sebagai berikut: a. penunjukan kawasan hutan; b. penataan batas kawasan hutan; c. pemetaan kawasan hutan; dan d. penetapan kawasan hutan”. Artinya, penunjukan kawasan hutan jelas-jelas berbeda dengan penetapan, penunjukan adalah tahap pertama dalam proses pengukuhan kawasan hutan, sedangkan penetapan adalah tahap terakhir.
4.
Ketidaksinkronan ini tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Berdasarkan segala uraian ini, dapat disimpulkan norma-norma yang terkandung
dalam UU 41/1999 sebagai berikut: 1.
Meneruskan definisi hutan adat sebagai hutan negara.
2.
Memberikan perincian mengenai kondisionalitas dalam pengakuan negara terhadap hak ulayat. Hanya saja, perincian ini masih meneruskan semangat undang-undang sebelumnya yang terkesan sangat membatasi dan mengebiri kuasa hak ulayat. Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, pun menjadi “setengah hati”.
3.
Memperkenalkan definisi kawasan hutan sebagai “wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” Definisi ini menyamakan antara penunjukan dan penetapan sehingga mencerminkan pemerintahan yang otoriter.
25
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Putusan ini adalah kebijakan terbaru dan revolusioner di bidang hutan adat. Bagaimana tidak? Jika sebelumnya kita selalu berdebat tentang apakah suatu hutan adat masuk sebagai kawasan hutan ataukah Areal Penggunaan Lain (APL), maka berkat putusan MK tersebut, diskusi semacam itu kini tidak lagi diperlukan. Terima kasih selayaknya juga perlu kita sampaikan kepada para pemohon uji materiil. Mengapa demikian? Berdasarkan putusan MK itu, maka aturan yang telah ada hampir setengah abad lamanya (sejak tahun 1967) yang menyatakan bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (atau tidak diberlakukan lagi). Definisi hutan adat pun yang sebelumnya adalah “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” (Pasal 1 angka 6 UU 41/1999) pun berubah menjadi “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Hal-hal yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam menghasilkan putusan ini adalah sebagai berikut: Kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai bagian dari rakyat Indonesia, yang telah ada sejak sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap diakui dan dihormati eksistensi dan hak-hak tradisionalnya sebagai hak konstitusional, terutama setelah terjadinya perubahan UUD 1945. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat sebagai “living law”, artinya merupakan hukum yang diterima (accepted) dan dijalankan (observed) serta ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Pengakuan terhadap hukum adat ini sudah berlangsung sejak zaman Hindia Belanda, dan diteruskan sampai sekarang. Masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai “penyandang hak” yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara maka masyarakat hukum adat
26
haruslah mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan. Akan tetapi, UU 41/1999 memperlakukan masyarakat hukum adat secara berbeda dengan subjek hukum yang lain. Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU 41/1999, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturannya tentang haknya atas tanah maupun hutan. Norma yang berlaku tidak menjamin kepastian hukum dan menimbulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan hutan sebagai sumber- sumber kehidupan mereka, karena subjek hukum yang lain dalam UU 41/1999 memperoleh kejelasan mengenai hak-haknya atas hutan. Masyarakat hukum adat berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. Akibatnya, masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam kasuskasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acapkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat terjadi dengan cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak. Seharusnya, tidak ada tumpang tindih (kejumbuhan) antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan hutan. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Negara hanya mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat. Tidak dimungkinkan hutan hak berada dalam wilayah hutan negara, atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak, serta hutan ulayat dalam hutan negara,
27
sehingga menjadi jelas status dan letak hutan ulayat dalam kaitannya dengan pengakuan dan perlindungan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, hutan berdasarkan statusnya dibedakan menjadi dua yaitu hutan negara dan hutan hak. Adapun hutan hak dibedakan antara hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Ketiga status hutan tersebut pada tingkatan yang tertinggi seluruhnya dikuasai oleh negara menurut konstruksi yang diderivasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hak menguasai dari negara ini tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakannya seperti hak atas tanah, karena sifatnya semata-mata hukum publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UUPA, yakni wewenang hak menguasai dari negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi. Demikianlah pertimbangan MK dalam menghasilkan putusan mengenai status hutan adat. Putusan ini menjadi pintu bagi kewenangan masyarakat hukum adat yang lebih penuh, dan tentunya juga lebih bertanggungjawab, dalam mengelola hutan adatnya. Selain memutuskan status tentang hutan adat, MK juga memberi putusan terhadap uji materiil tentang ketentuan-ketentuan dalam UU Kehutanan yang mengatur mengenai bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat. Oleh para pemohon, ketentuan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41/1999 yang pada intinya mengatur tentang tata cara pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat diatur dengan Peraturan Daerah (Perda), adalah merupakan pengaturan yang inkonstitusional, sebab secara nyata bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Atas permohonan uji materiil ini, MK berpendapat bahwa Undang-Undang yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 hingga saat ini belum terbentuk. Oleh
28
karena kebutuhan yang mendesak, banyak peraturan perundang-undangan yang lahir sebelum Undang-Undang yang dimaksud terbentuk. Adapun tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah, hal tersebut dapat dipahami dalam rangka mengisi kekosongan hukum guna menjamin adanya kepastian hukum. Pengaturan yang demikian dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Lagi pula dalam menetapkan batas wilayah hutan negara dan hutan adat tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh negara tetapi berdasarkan Putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012 yang harus melibatkan pemangku kepentingan (stake holders) di wilayah yang bersangkutan. Norma-norma yang Terkandung Atas putusan MK ini, dapat ditarik norma-norma sebagai berikut: 1.
Kondisionalitas dalam pengakuan akan keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum masih dipertahankan. Kondisionalitas ini dibunyikan “sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya” dan “pengukuhan keberadaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Akan tetapi, pengakuan secara otomatis diberikan kepada objek dari hak ulayat, yaitu hutan adat. Artinya, setelah masyarakat hukum adat memenuhi persyaratan sebagai subjek hukum sehingga mendapatkan pengakuan akan keberadaannya, maka secara otomatis objek dari hak ulayat yaitu hutan adat akan melekat kepadanya.
2.
Mengawal semangat pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Pengakuan ini telah ada semenjak zaman kolonial dan kemudian juga menjadi bagian dari konstitusi negara Indonesia.
3.
Sebagai wujud dari pengakuan dan penghormatan tersebut, kewenangan yang lebih penuh diberikan kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya. Sebagaimana dinyatakan “Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Negara hanya mempunyai wewenang
secara
tidak
langsung
terhadap
hutan
adat.”
Jika
hendak
dibandingkan, muatan ini sangat jauh berbeda dibandingkan dengan muatan pada UUPA “kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum”.
29
Pembandingan Norma-Norma Hukum antar Periode Mencermati kembali pengaturan-pengaturan di zaman kolonial hingga produk terkini yang disusun oleh pemerintahan Republik Indonesia, sedikitnya ada enam komponen pengaturan
yang
ada
dan mengalami dinamikanya
masing-masing
sepanjang
perjalanan dan transisi antar periode. Dinamika tersebut dapat mencerminkan kehendak penguasa, khususnya pada masa-masa pemerintahan yang otoriter, atau juga mencerminkan tuntutan publik, khususnya di masa ketika iklim berdemokrasi semakin membaik. Keenam komponen tersebut adalah sebagai berikut 1) sikap terhadap kapitalisme, 2) dualisme hukum, 3) pengakuan terhadap hukum adat dan hak ulayat, 4) pemaknaan terhadap hak ulayat, 5) hubungan antara Negara dan sumber daya lahan, dan 6) penetapan kawasan hutan. Jika kita menarik norma-norma hukum yang mendasari pengaturan tentang sumber daya (hutan khususnya) di masing-masing periode, maka kita dapat melakukan pembandingan antar periode sebagai berikut.
30
Tabel 1. Pembandingan Norma-norma yang Terkandung pada Peraturan Perundang-Undangan terkait Hutan Adat Antar Periode Periode Awal Kemerdekaan
Periode Kolonial (1) Agrarische Wet 1870, dan (2) Agrarisch Besluit (Koninklijk Besluit)
Komponen Pengaturan
Sikap terhadap kapital Dualisme hukum Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak ulayat
UUD 1945
Periode Orde Lama
Periode Orde Baru
Periode Orde Reformasi
UUPA
(1) UU 5/67, (2) SK Mentan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan lampiran peta TGHK, dan (3) Kepmenhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan Hasil Paduserasi
(1) UUD 1945 (setelah perubahan), (2) UU 41/99, (3) Putusan MK Nomor 45/PUUIX/2011, dan (4) Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
Pro-kapital
Pro-kesejahteraan sosial, menentang kapitalisme
Pro-kapital
Pro-kapital (UU 41/99) [Sumardjono et.al. 2011]
Mengakui dualisme hukum
Menghilangkan dualisme hukum dan melakukan unifikasi hukum
Pengakuan secara otomatis
Pengakuan secara otomatis
Pengakuan diberikan secara bersyarat
Pengakuan bersyarat
Pengakuan bersyarat dikukuhkan ke dalam konstitusi (UUD 1945 setelah perubahan)
Memerinci tata cara pengakuan hak ulayat (UU 41/99)
Masih melanjutkan semangat membatasi kewenangan hak ulayat, sebagaimana dinyatakan pada Penjelasan UU 5/67: "pelaksanaannya (hak-hak masyarakat hukum adatpeny.) pun harus sedemikian rupa, sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dicantumkan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya."
Hak ulayat diperinci kewenangannya (UU 41/99), akan tetapi isinya masih sangat dibatasi meliputi pemungutan hasil hutan, kegiatan pengelolaan hutan yang tidak bertentangan dengan UU, dan mendapatkan pemberdayaan
Mempertahankan pasal-pasal tentang HMN pada UUD 1945 dengan menambahkan satu ayat baru bahwa pelaksanaan HMN diatur oleh UU (UUD 1945 setelah perubahan)
Pemaknaan terhadap hak ulayat
Hak ulayat sangat dibatasi kewenangannya, contohnya tersirat di dalam memori penjelasan UUPA sebagai berikut: "Misalnya didalam pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat hukum yang bersangkuatan, sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi "recognitie", yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.”
Hubungan antara Negara dan sumber daya lahan
Negara sebagai pemilik tanah yang tidak ada hak eigendomnya
Negara sebagai penguasa, implementasi dari Hak Menguasai dari Negara (HMN)
Memerinci hak menguasai dari negara. Hak ini adalah hak tertinggi, dapat meminggirkan hak-hak ulayat sepanjang atas nama "kepentingan nasional"
31
Periode Awal Kemerdekaan
Periode Kolonial (1) Agrarische Wet 1870, dan (2) Agrarisch Besluit (Koninklijk Besluit)
Komponen Pengaturan
UUD 1945
Periode Orde Lama
Periode Orde Baru
Periode Orde Reformasi
UUPA
(1) UU 5/67, (2) SK Mentan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan lampiran peta TGHK, dan (3) Kepmenhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan Hasil Paduserasi
(1) UUD 1945 (setelah perubahan), (2) UU 41/99, (3) Putusan MK Nomor 45/PUUIX/2011, dan (4) Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 Meneruskan definisi hutan adat sebagai hutan negara (UU 41/99)
Hutan adat sebagai hutan negara (UU 5/67)
Penetapan kawasan hutan
Kawasan hutan didefinisikan sebagai “wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai Hutan Tetap” (UU 5/67)
Penetapan dilakukan oleh Menteri
Klausul yang kemudian di-uji materiil-kan ini diputuskan oleh MK tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga hutan adat bukan lagi hutan negara (Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012) Kawasan hutan didefinisikan sebagai "wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap” (UU 41/99). Definisi ini memberi arti bahwa penunjukan sama dengan penetapan Menyusul uji materi yang dilakukan kemudian, MK memutuskan klausul ini tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat (Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011)
32
Periode Awal Kemerdekaan
Periode Kolonial (1) Agrarische Wet 1870, dan (2) Agrarisch Besluit (Koninklijk Besluit)
Komponen Pengaturan
Keterangan:
UUD 1945
UUPA UU 5/67 UU 24/92 UU 26/07 UU 41/99
= = = = =
Periode Orde Lama
Periode Orde Baru
Periode Orde Reformasi
UUPA
(1) UU 5/67, (2) SK Mentan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan lampiran peta TGHK, dan (3) Kepmenhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan Hasil Paduserasi
(1) UUD 1945 (setelah perubahan), (2) UU 41/99, (3) Putusan MK Nomor 45/PUUIX/2011, dan (4) Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012
(UU 5/67) melalui SK Mentan tentang Penunjukan Kawasan Hutan dengan lampiran peta TGHK Pasca RTRWP sebagaimana amanat UU 24/92, Kepmenhut tentang Penunjukan Kawasan Hutan Hasil Paduserasi
Paduserasi dilakukan kembali pasca UU 26/07
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-peraturan Pokok tentang Agraria Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
33
Mencermati tabel di atas, dapat kita lihat bahwa pengaturan tentang hutan adat, dilihat dari keenam variabel, memiliki dinamikanya masing-masing. Perubahan periode yang ditandai oleh pergantian penguasa dan kebijakan, membawa implikasi pada cara memandang dan mengatur hutan adat. Ada norma-norma yang dipertahankan eksistensinya sejak periode kolonial hingga periode reformasi, seperti sikap terhadap kapital. Hingga UU 41/99, sikap pro-kapital tetap dipertahankan. Dan yang kita ketahui bersama, seringkali yang terjadi kemudian adalah konflik antara masyarakat hukum adat dan pihak perusahaan. Ada norma-norma yang diubah pasca Indonesia merdeka, hanya saja, dari sisi masyarakat hukum adat, beberapa perubahan ini justru berpotensi melemahkan eksistensinya. Diantara perubahan-perubahan itu adalah prinsip dualisme hukum, atau pluralisme hukum, ialah keberlakuan berbagai sistem hukum (hukum pemerintah dan hukum adat), sebagai prinsip yang dianut semenjak zaman kolonial, diubah dengan unifikasi hukum sehingga yang berlaku adalah hukum nasional. Disebut berpotensi melemahkan karena, meskipun keberadaan hukum adat dihormati, namun hukum nasional tersebut ada dalam posisi yang dapat meminggirkan hukum-hukum adat dan hak-hak ulayat dalam koridor “kepentingan nasional”. Kepentingan nasional yang mengalahkan kepentingan lokal di kemudian hari memunculkan banyak konflik. Jika ditipologi-kan, konflik memang ada dua macam, konflik antara masyarakat hukum adat dengan 1) perusahaan, dan 2) dengan pemerintah (Pemohon pada Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012). Norma lain yang berubah adalah tentang pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Semenjak zaman kolonial hingga periode awal kemerdekaan yang dicantumkan di dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen), pengakuan diberikan secara otomatis menggunakan asas rekognisi karena masyarakat hukum adat ini memiliki hak asal-usul. Periode berikutnya mengubah pengakuan secara otomatis menjadi pengakuan secara bersyarat, klausulnya dimulai dari UUPA hingga kemudian dikukuhkan sebagai bagian dari konstitusi negara melalui amandemen UUD 1945. Jika hak asal-usul adalah pengakuan (recognition), maka ketika menjadi pengakuan bersyarat seolah berubah menjadi hak berian (grants) dari pemerintah kepada masyarakat hukum adat.
34
Semenjak kondisionalitas pengakuan itu diberlakukan oleh UUPA, secara bersamaan jangkauan hak ulayat pun dibatasi sedemikian rupa dan terkesan mengkerdil-kannya, seperti “didengar pendapatnya” (UUPA), “tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan
yang
dicantumkan
dalam
Undang-Undang
ini
dan
peraturan
pelaksanaannya” (UU 5/67). Ada hak-hak yang tidak dibunyikan sebagai bagian dari hak ulayat oleh segala peraturan perundang-undangan ini, seperti mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan. Pada prakteknya, hak semacam ini dijalankan oleh beberapa masyarakat hukum adat, seperti yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat Kenegerian Rumbio di kabupaten Kampar yang menghibahkan kawasan hutan adat untuk wilayah transmigrasi. Ada perubahan lain dalam konteks hubungan antara negara dan sumber daya lahan. Jika pada era kolonial negara adalah pemilik lahan (untuk tanah-tanah yang tidak bisa dibuktikan hak eigendomnya), maka semenjak kemerdekaan dinyatakan bahwa negara adalah penguasa atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 33 ayat [3] UUD 1945). Inilah konstruksi dari Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang hingga kini masih mengundang pro-kontra. Di pihak yang kontra diantaranya adalah Dr. Saafroedin Bahar (Ahli Pemohon dalam Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012), menilai bahwa konstruksi hak menguasai negara atas tanah ini adalah bentuk yang lebih buruk dari domein verklaring, oleh karena jika domein verklaring masih mengakui adanya hak atas ulayat, maka hak menguasai negara atas tanah malah menafikannya sama sekali. Yang jelas, Pasal 33 ini tetap dipertahankan di dalam konstitusi setelah amandemen, dengan penambahan ayat bahwa pelaksanaan HMN diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang. Jika reformasi diartikan sebagai perubahan mendasar dan menyeluruh, maka satu komponen pengaturan hutan adat yang mengalami perubahan semacam itu adalah tentang penetapan kawasan hutan. Jika sebelumnya hutan adat adalah hutan negara, maka saat ini tidak lagi sehingga pengertian hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Jika sebelumnya kawasan hutan adalah “wilayah yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah”, saat ini tidak lagi berlaku karena penunjukan tidak boleh disamakan dengan penetapan.
Kedua-duanya
merupakan hasil uji materiil yang kemudian dikabulkan oleh MK.
35
Hasil uji materiil ini, khususnya mengenai dikeluarkannya hutan adat dari wilayah hutan negara, membawa implikasi besar terhadap pengelolaan hutan adat. Dan implikasi ini mempengaruhi keenam komponen pengaturan hutan adat sebagaimana tersebut di atas. Implikasi-implikasi ini dapat disarikan sebagai berikut: 1.
Harus dibedakan antara hak ulayat sebagai objek dari masyarakat hukum adat sebagai
subjek
hukum.
Pertama-tama,
subjeknya
harus
diakui
dulu
keberadaannya melalui suatu pengukuhan. Setelah subjeknya dikukuhkan keberadaannya, maka objek akan melekat kepada subjek secara otomatis. Maka,
implikasi
pertama
adalah,
bagaimana
mekanisme
pengukuhan
keberadaan masyarakat hukum adat ini? 2.
Memang, UU 41/99 secara umum telah mengatur tentang kriteria keberadaan masyarakat hukum adat dan tata cara pengukuhannya sekaligus menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini akan diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP). Akan tetapi, ada beberapa masalah disini: a. hingga saat ini, PP dimaksud belum dituntaskan dan rancangannya masih saja menjadi bahan perdebatan8. Artinya, sudah lebih dari 13 tahun semenjak UU mengamatkan pembentukan PP. Apalagi, keluarnya putusan MK tentu harus diadopsi oleh rancangan PP sehingga akan semakin panjang waktu menunggu yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Situasi ketidakpastian hukum menjadi semakin terasa manakala, menyongsong putusan MK, suasanya adalah suasana euforia menyambut kedaulatan masyarakat hukum adat terhadap hak ulayatnya. b. kriteria keberadaan masyarakat hukum adat yang ditetapkan oleh UU 41/99, diantaranya adalah masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, adalah kriteria-kriteria yang cukup rumit dan mengundang penafsiran beragam, hal yang diharapkan dapat disederhanakan pada PP nantinya. c. ada kemungkinan benturan antar sektor ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga mengatur tentang masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Semenjak tahun 1999, telah ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini, seperti halnya UU 41/99, juga mengatur tentang penentuan keberadaan hak ulayat berikut juga mengenai penguasaan dan penglepasan tanah ulayat.
8
Lihat MasukanWGTenure_Draft_RPP_HutanAdat.pdf dan Paper RPP Hutan Adat_0.pdf
36
3.
Ketika masyarakat hukum adat telah dikukuhkan keberadaannya sebagai subjek hukum, maka hutan adat sebagai objeknya akan melekat secara otomatis. Pengelolaannya kemudian akan tunduk pada hukum adat yang dianut sebagaimana dinyatakan oleh MK (Putusan Nomor 35/PUU-X/2012) “Terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh isi dan wewenang hak ulayat. Negara hanya mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat.”. Artinya, dan ini menjadi implikasi kedua, prinsip dualisme hukum kembali diberlakukan, dengan catatan keberlakuan hukum adat ini adalah di tingkat lokal.
4.
Implikasi ketiga, terkait dengan nomor 2 di atas, adalah kewenangan yang lebih penuh yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya. Kewenangan yang lebih penuh ini melampaui pembatasan-pembatasan kewenangan yang diatur didalam Pasal 67 ayat (1) UU 41/99.
5.
Implikasi berikutnya adalah adanya penafsiran ulang terhadap HMN. Awalnya, HMN ditafsirkan oleh UUPA sebagai hak tertinggi, dan dapat meminggirkan hakhak ulayat sepanjang atas nama "kepentingan nasional". Kini, HMN bersanding secara harmonis dengan hak ulayat, tidak saling meniadakan dan mewujud dalam ko-eksistensi. Memang seharusnya tidak ada tumpang tindih (kejumbuhan) antara wewenang negara dan wewenang hak masyarakat hukum adat yang berkenaan dengan hutan. Penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi. Inilah memang yang diniatkan oleh para pendiri bangsa melalui konstitusi untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang mempunyai susunan asli tetapi tetap mengikatkan diri sebagai sebuah bangsa.
6.
Implikasi terakhir, adalah sebuah konsekuensi logis ketika kewenangan yang lebih penuh membawa tanggungjawab yang lebih besar. Masyarakat hukum adat memikul tanggungjawab ini ketika kewenangan yang lebih besar kini dimilikinya. Apakah pengelolaan hutan adat akan menjadi pro-kapital atau mendukung kesejahteraan sosial, apakah akan terjadi eksploitasi berlebih atau pemanfaatan lestari, kini sebagian besarnya ditentukan oleh kearifan masyarakat hukum adat.
37
Melengkapi tipologi konflik yang disampaikan Pemohon pada Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, ada satu jenis konflik lagi yang tidak terekam dan perlu diperhatikan, yaitu konflik internal antar elit adat, satu jenis konflik yang Penulis dapati di beberapa kesatuan masyarakat hukum adat. Oleh sebab itu, prosesproses penguatan kelembagaan tentunya harus menjadi bagian dari euforia menyambut periode ini.
Penutup Dari perjalanan kebijakan semenjak era kolonial ini, dapat dilihat bahwa pengaturan hak ulayat dan hutan adat pada khususnya, sebagai sumber daya yang memiliki nilai ekonomi, sosial, dan ekologi yang demikian besar, menjadi ajang kontestasi yang ketat. Norma yang dijunjung berikut kepentingan yang diusung menjadi bagian dari dinamika yang sarat muatan, bukan lagi nilai-nilai universal yang melintas ruang dan waktu. Periode reformasi membawa angin segar bagi masyarakat hukum adat ketika kewenangan mereka atas hak ulayat semakin dikukuhkan. Meskipun ini sebenarnya bukan sebuah norma baru karena para pendiri bangsa telah menandaskannya dalam konstitusi, akan tetapi karena dinamika kepentingan tersebut, kini baru mendapatkan porsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi, harus diingat sekali lagi bahwa ini adalah sebuah ajang kontestasi yang dinamis dan belum (atau tidak akan pernah) usai. Implikasi-implikasi yang dinyatakan di atas menjadi pekerjaan berikutnya untuk senantiasa dikawal agar implementasi berikutnya tidak keluar dari semangat pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, hak ulayatnya, dan kearifan-kearifannya.
Daftar Pustaka Bachriadi D, Lucas A. 2001. Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Edwin. 2012. Eigendom sebagai Alat Bukti yang Kuat dalam Pembuktian Kepemilikan Tanah pada Hukum Tanah Indonesia [tesis]. Depok: Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. [MK] Mahkamah Konstitusi. 2011. Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011.
38
[MK] Mahkamah Konstitusi. 2012. Putusan Nomor 35/PUU-X/2012. Sumardjono MSW et al. Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara yang Tersurat dan Tersirat. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Gadjah Mada University Pr. Kano H. 1977. Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa pada Abad XIX. Di dalam: Tjondronegoro SMP & Wiradi G, editor. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. [WG-Tenure] Working Group on Forest Land Tenure. 2013. Diskusi Pembahasan RPP Hutan Adat [Internet]. Diunduh 2013 Feb 18. Tersedia pada: http://wgtenure.org/wp-content/uploads/2013/06/Resume_Diskusi_RPP_HutanAdat.pdf
39