SASTRA TAK HANYA SELEBAR DAUN KELOR, KATA SIAPA POSMODERNISME SUDAH MATI?
DR. M. RAFIEK, S. PD., M. PD. Universitas Lambung Mangkurat
Artikel Ilmiah disajikan pada Seminar Nasional Sastra Indonesia dengan Tema “Sastra Mutakhir di Indonesia” yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 Oktober 2011 bertempat di Aula Rektorat Lt. 3 Unlam Banjarmasin
PANITIA PELAKSANA SEMINAR NASIONAL SASTRA INDONESIA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2011 1
SASTRA TAK HANYA SELEBAR DAUN KELOR, KATA SIAPA POSMODERNISME SUDAH MATI?1
DR. M. RAFIEK, S. PD., M. PD.2 Universitas Lambung Mangkurat
“Diam berarti mati!”=Paul Virilio= Abstrak Perkembangan teori sastra di abad ini sudah mencapai suatu titik kejenuhan. Hal itu ditandai dengan munculnya gaung matinya posmodernisme. Sastra posstrukturalisme dan posmodernisme dianggap tak dapat berkembang dan berhenti pada pengulangan dan konsep itu-itu juga. Namun sebenarnya dari konsep-konsep yang berputar di sekitar itu-itu juga itu sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa posmodernisme itu sudah mati karena teori-teori sastra itu masih dipakai atau terpakai. Luasnya cakrawala kajian sastra juga akan memperluas kajian teori sastra yang digunakan. Kata-kata kunci: teori sastra, posstrukturalisme, posmodernisme
PRAWACANA Judul artikel ilmiah ini diilhami oleh peribahasa bumi tidak selebar daun kelor. Menurut arti harfiahnya, kelor adalah pohon yang cepat tumbuh, tinggi hingga 8 meter, akarnya membesar, kulit akar dan daun memiliki rasa atau sifat khusus, digunakan sebagai obat, merunggai atau Moringa oleifera (Depdiknas, 2008: 658). Judul artikel ilmiah ini juga diilhami oleh judul buku Jean Baudrillard3 (2006a) yang berjudul Lupakan Postmodernisme4. Dalam 1
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Sastra Indonesia yang dilaksanakan oleh PS PBSI FKIP Universitas Lambung Mangkurat, pada Sabtu, 29 Oktober 2011 di Aula Rektorat Unlam Banjarmasin. 2 Dosen program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Unlam, alumnus Universitas Negeri Malang (Januari 2010). Penulis buku Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik (Refika Aditama, Bandung, 2010). Peraih juara I dosen berprestasi FKIP Unlam (2011) dan juara I dosen berprestasi Unlam (2011). Saat ini menjadi ketua Program Studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unlam dan Kabid Akademik S2 PBSID PPs Unlam. 3 Untuk memahami lebih lanjut tentang teori Jean Baudrillard silakan baca bukunya yang berjudul Ekstasi Komunikasi (2006b, Kreasi Wacana).
2
bukunya tersebut, Baudrillard melakukan kritik atas pemikiran Foucault5 dan melakukan otokritik atas pemikirannya sendiri tentang akhir, ekstase, massa, teror, dan teori. Baudrillard dalam bukunya itu habis-habis mengkritik teori-teori seksualitas yang dikemukakan oleh Foucault. Dia mengatakan bahwa jika kaum borjuis menggunakan seks dan seksualitas untuk memperoleh tubuh yang mewah dan kebenaran prestisius dalam rangka menularkan hal ini kepada elemen masyarakat lain di bawah topeng kebenaran dan nasib yang banal, yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa simulacra ini tergelincir di kulit masyarakat itu sendiri dan pergi bersamanya. Oleh karena itu, dia menyarankan dalam bab tulisannya agar Lupakan Foucault. Bahkan dalam bab buku karyanya, itu, Jean Baudrillard malah menyarankan agar Lupakan Baudrillard. Bahkan Alex Callinicos (2008) dalam bukunya yang berjudul Menolak Postmodernisme mempertanyakan dalam bab terakhirnya apa yang sesungguhnya baru dari posmodernisme? Hal ini menandakan sebenarnya tidak ada yang baru dari teori-teori sastra posmodernisme. Oleh karena itu, Callinicos (2008: 227) mengajukan keberatan-keberatannya atas teori-teori posmodernisme, yaitu (1) merupakan sebuah kekeliruan untuk melebih-lebihkan sifat kebaharuan dari kecenderungan-kecenderungan kultural yang telah dideteksi oleh komentatorkomentator kontemporer; (2) munculnya „sebuah kode mengenai yang imanen‟, yang memandang „yang imanen, yang serta-merta, yang faktual sebagai sebuah realitas dalam dan dari dirinya sendiri, sehingga tidak diperlukan interpretasi di bawah cahaya „sebuah skema yang telah ada sebelumnya yang berguna untuk menghasilkan pemahaman; (3) transformasi kehidupan publik menjadi sebuah ranah dimana „orang bisa melepaskan beban dari (kehidupan keluarga yang ideal) … melalui sebuah pengalaman tertentu. MENGGALI KE AKAR, MENGGALI KE SUMBER Menggali ke akar, menggali ke sumber sebenarnya terinspirasi dari judul buku karangan Abdul Hadi W.M. (1999) yang berjudul Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber. Hal demikian pun, penulis lakukan untuk menggali akar teori sastra posstrukturalisme dan posmodernisme. Sebagaimana kita ketahui bahwa teori sastra posstrukturalisme dimulai dengan adanya teori sastra strukturalisme. Jika kita membaca buku yang dieditori oleh John Sturrock (2004) yang berjudul Strukturalisme Post-Strukturalisme dari Levi-Strauss sampai Derrida tentu kita sudah mengenal tokoh-tokohnya, yaitu Claude Levi-Strauss, Roland Barthes, Michel Foucault, Jacques Lacan6, dan Jacques Derrida. Terlebih lagi, jika kita sudah membaca buku yang dikarang oleh Edith Kurzweil (2004) yang berjudul Jaring Kuasa Strukturalisme dari Levi-Strauss sampai 4
Posmodernisme menurut Cavallaro (2004: 297) mempunyai ciri-ciri antara lain (1) cenderung menolak pemolaan yang selaras dan membolehkan unsur-unsur yang berlainan untuk mendesakkan kolase tekstual dengan cara acak, terputus-putus, dan tak dapat diprediksi; (2) menyampaikan atau mengkomunikasikan sebuah rasa keterbukaan yang menegasikan pandangan realis klasik terhadap teks sebagai sebuah struktur tertutup, sanggup menyampaikan gagasan tentang harmoni dan keteraturan, (3) menganut konsep mengenai waktu dan sejarah yang bersifat siklikal dan sirkular yang menyatakan secara tidak langsung bahwa setiap kesan tentang kestabilan itu tidak lebih dari suatu tahap yang hanya sekejap dalam proses membangun dan meruntuhkan yang tidak pernah berakhir. 5 Dalam bukunya yang berjudul The History of Sexuality, Foucault memfokuskan pada bentuk-bentuk kontrol disipliner yang terkait dengan pengaturan aktivitas seksual, instink, dan hasrat. 6 Jacques Lacan (1901-1981) membaca ulang Freud dengan menjadikan bahasa sebagai pusat bagi perkembangan psikoseksual (Cavallaro, 2004: 167).
3
Foucault, tentu kita sudah mengenal nama-nama seperti Claude Levi-Strauss, Louis Althusser7, Henri Lefebvre, Paul Richoeur, Alain Touraine, Jacques Lacan, Roland Barthes, dan Michel Foucault. Penulis baru berkenalan dengan teori-teori sastra posmodernisme setelah membaca buku yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang (1998) yang berjudul Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Dalam buku tersebut, Piliang memperkenalkan nama Jean Baudrillard8 dengan dunia ekstasinya, Jean Francois Lyotard9 dengan sistem ekonomi ekstasinya, Felix Guattari dengan teori pemisah antara produksi sosial dan produksi nafsunya, Gilles Deleuze dan Felix Guattari10 dengan istilah mesin hawa nafsunya, Jacques Lacan11 dengan tesisnya, sejarah perkembangan relasi sosial adalah juga sejarah relasi psikisnya, Heidegger dengan persoalan-persoalan ontologis yang muncul di balik dunia yang dibangun oleh citraan-citraannya, Michel Foucault dengan teori pembebasan rangsangan yang ada dalam diri yang harus dilakukan, Peter Berger dan Thomas Luckmann dengan identitas dengan proses pembentukan realitas dalam satu hubungan sosial, Habermas dengan tesisnya, keutuhan dan krisis identitas yang sangat bergantung pada adanya integrasi sosial dan sistem normatif yang memiliki legitimasi dan menjadi konsensus dalam satu sistem sosial, Roland Barthes dengan tesisnya, yaitu penyusunan sebuah teks (dan identitas yang diproduksinya) tidak harus berlandaskan pada hukum-hukum, tata cara, dan tata bahasa yang rasional, struktural, dan bermoral, melainkan pada kegairahan, kesenangan, dan kenikmatan bermain dalam proses penyusunan dan produksi itu sendiri, Edward Said dengan teori orientalismenya, Richard Rorty12 dengan teori etnosentrismenya, Lacan dan Althusser13 dengan filsafat materialismenya, Wittgenstein14 dengan teori permainan bahasanya, Heidegger, dan Fredric Jameson. Sementara itu, Piliang (1999) dalam bukunya yang berjudul Hiper-Realitas Kebudayaan menyebut tokoh-tokoh modernisme dan posmodernisme itu antara lain Nietzsche, Heidegger, Adorno, dan Baudrillard. Deleuze dan Guattari, Jameson, dan Hebdige memperkenalkan model konsumsi skizofrenia. Semua konsep yang ditawarkan oleh pakar sastra Posmodernisme sekarang lebih banyak mengarah kepada dunia hiburan dan kesenangan, khususnya melalui media televisi, film, dan budaya popular. Aliran sastra posmodernisme juga menawarkan teori tentang genealogi, badan, hasrat, dan modernitas (Lash, 2004). Terry Eagleton (2006: 217) melalui bukunya yang berjudul
7
Di Indonesia, buku-buku tentang Louis Althusser sudah banyak diterjemahkan diantaranya Filsafat sebagai Senjata Revolusi (2007, Resist Book) dan Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (2006, Jalasutra). 8 Dia membagi adanya Counterfeit, produksi, dan simulasi dalam bukunya Simulation. 9 Dia juga terkenal dengan konsep libidonya. 10 Mereka juga terkenal dengan konsep Skizofrenik. 11 Lacan menekankan bahwa libido yang tak berbatas atau libido yang mempunyai saluran tak berbatas (Piliang, 1998: 92). 12 Rorty (lahir 1931) juga dikenal dengan teori ketergantungan maknanya. 13 Althusser di Indonesia dikenal melalui bukunya yang berjudul Filsafat sebagai Senjata Revolusi (2007, Resist Book) dan Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (2006, Jalasutra). 14 Ludwig Wittgenstein (1889-1951), dalam bukunya yang berjudul Tractatus Logico-Philosophicus (1921) menaruh perhatian pada perwujudan satu keterkaitan antara bahasa dan dunia. Sementara dalam bukunya yang berjudul Philosophical Investigations (1953), Wittgenstein mengemukakan bahwa adalah tidak ada gunanya mencari hakikat makna karena fenomena linguistik tidak memberikan prinsip-prinsip universal.
4
Teori Sastra, Sebuah Pengantar Komprehensif menyatakan bahwa dengan posstrukturalisme, kita telah menyampaikan cerita mengenai teori sastra modern sampai ke masa kini.
TEORI SASTRA BERGERAK DARI AMERIKA SERIKAT KE EROPA Perkembangan teori sastra di dunia Barat akhir-akhir ini kelihatan lebih condong ke Eropa. Di Amerika Serikat sendiri, teori-teori sastra yang masih bisa bertahan adalah historisisme baru (New Historicism). Historisisme baru dikembangkan oleh Stephen Greenblattt15, Louis A. Montrose, dan Walter Ben Michaels di Amerika Serikat untuk hubungan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkupinya (Budianta, 2006: 2). Di Amerika Serikat sendiri sedang berkembang kajian etnopuitika yang dikembangkan oleh Hymes dan Tedlock. Etnopuitika Hymes dan Tedlock lahir sebagai jawaban ketidakpuasan atas teori puitika Jakobson dan kekuranglengkapan teori etnografi pertuturan Hymes sendiri. Selain itu, sekarang masih dikembangkan teori psikologi kewacanaan yang dikembangkan oleh Gergen, Wetherell, dan Potter, dan kawan-kawan (Jorgensen dan Phillips, 2002: 96-137). Dalam kancah kajian wacana pun, teori wacana Laclau dan Mouffe diilhami oleh teori hegemoni Gramsci16. Sekarang terlihat jelas bahwa Eropa begitu mendominasi dalam perkembangan teori sastra abad ini. Hal itu bisa diketahui dari nama-nama pakar yang ada di Eropa seperti Theodor Adorno, Horkheimer, Benyamin, dan Marcuse (Mazhab Frankfurt), Levi-Strauss (antropologi struktural), Umberto Eco (semiologi), Roland Barthes (Semiologi dan Mitologi), Althusser (teori ideologi), Antonio Gramsci (teori hegemoni) (Strinati, 2007). PENUTUP Penulis menyatakan bahwa teori sastra posstrukturalisme dan posmodernisme tidak mati mungkin juga dapat dikatakan „mati suri‟. Hal ini karena teori sastra posstrukturalisme dan posmodernisme masih digunakan orang hingga sekarang untuk membedah dan membongkar karya sastra. Oleh karena itu, Cavallaro (2004: 341) dengan sangat tegas menyatakan posmodernisme telah mempertanyakan secara telak pendekatan linear maupun pendekatan evolusioner bahwa tidak ada fakta yang tidak dapat dibantah. Pernyataan Cavallaro tersebut ditopang dengan sangat kuat oleh Linda Hutcheon (Cavallaro, 2004: 341) dalam bukunya yang berjudul The Politics of Postmodernism yang mempertanyakan haruskah dalam menganalisis sastra diizinkan untuk menebak tanpa didahului oleh pengetahuan tentang teori sastra sebelumnya?
15
Greenblattt menggugat formalisme dan menawarkan konsep pembaharuan atas pendekatan sejarah yang pada waktu itu masih dominan dalam kritik sastra di Amerika. 16 Di Indonesia saat ini banyak ditemukan buku-buku tentang Gramsci sebut saja Gagasan-Gagasan Politik Gramsci karya Roger Simon (2001, Pustaka Pelajar), Antonio Gramsci, Negara, & Hegemoni karya Nezar Patria dan Andi Arief (2003, Pustaka Pelajar), Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni karya Robert Bocock (Tanpa tahun, Jalasutra), dan Pijar-Pijar Pemikiran Gramsci karya A. Pozzolini (2006, Resist Book).
5
DAFTAR PUSTAKA Althusser, Louis. 2006. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Terjemahan Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra. Althusser, Louis. 2007. Filsafat sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta: Resist Book. Al-khuli, Amin dan Zayd, Nashr Hamid Abu. 2004. Metode Tafsir Sastra. Terjemahan oleh Khairon Nahdiyyin. Yogyakarta: Adab Press. Baudrillard, Jean. 2006a. Lupakan Posmodernisme. Terjemahan oleh Jimmy Firdaus. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Baudrillard, Jean. 2006b. Ekstasi Komunikasi. Terjemahan oleh Jimmy Firdaus. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Budianta, Melani. 2006. Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra. Susastra 3, Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, hal. 1-19. Callinicos, Alex. 2008. Menolak Posmodernisme. Yogyakarta: Resist Book. Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori Budaya. Terjemahan oleh Laily Rahmawati. Yogyakarta: Niagara. Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra, Sebuah Pengantar Komprehensif (Edisi Terbaru). Terjemahan oleh Harfiah Widyawati dan Evi Setyarini. Yogyakarta: Jalasutra. Giddens, Anthony. 2004. Transformation of Intimacy, Seksualitas, Cinta, dan Erotisisme dalam Masyarakat Modern. Terjemahan oleh Riwan Nugroho. Jakarta: Fresh Book. Herry-Priyono, B. 2003. Anthony Giddens, Suatu Pengantar. Jakarta: KPG. Ibrahim, Farid Wajdi. 2006. Orientalisme dan Sikap Umat Islam. Yogyakarta: Lanarka Publisher. Jorgensen, Marianne W. dan Phillips, Louise. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London: Sage Publications. Kristiatmo, Thomas. Tanpa tahun. Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan, Pengantar Memahami Subjektivitas Modern menurut Perspektif Slavoj Zizek. Yogyakarta: Jalasutra. Kurzweil, Edith. 2004. Jaring Kuasa Strukturalisme, dari Levi-Strauss sampai Foucault. Terjemahan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Lash, Scott. 2004. Sosiologi Post Modernisme. Terjemahan oleh A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Kanisius. Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan Pustaka. Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS. 6
Sartre, Jean Paul. Tanpa tahun. Dogmatik Kritik. Celepuk. Soekarba, Siti Rohmah. 2006. Kritik Pemikiran Arab: Metode Dekonstruksi Mohammed Arkoun. Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, 8 (1): 78-95. Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Terjemahan oleh Abdul Mukhid. Yogyakarta: Jejak. Sturrock, John (Ed.). 2004. Strukturalisme, Post-Strukturalisme, dari Levi-Strauss sampai Derrida. Terjemahan oleh Muhammad Nahar. Surabaya: Jawa Pos Press. W.M., Abdul Hadi. 1999. Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber, Esai-Esai Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.
7