2
Rumah sakit merupakan organisasi yang memberikan pelayanan jasa kesehatan bagi masyarakat. Rumah sakit melayani pasien dalam kondisi sakit menuju kesembuhan. Pelayanan prima kesehatan haruslah dimulai dari kebutuhan pasien dan berakhir dengan kepuasan pasien, serta persepsi positif terhadap kualitas pelayanan. Pasien memiliki harapan besar terhadap pelayanan tenaga kesehatan yang berkualitas selama dirawat di rumah sakit. Pasien kini mulai kritis, artinya tidak lagi sekedar mencari kesembuhan, namun juga menimbang dan membandingkan bagaimana perilaku tenaga kesehatan di rumah sakit memperlakukan pasien secara baik. Kualitas pelayanan menjadi hal penting dalam pengukuran performa suatu perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Proses pelayanan pasien melibatkan banyak tenaga kesehatan. Perawat merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan karena pasien lebih banyak berinteraksi dengan perawat selama di rumah sakit, baik pada proses rawat jalan maupun rawat inap. Perawat melakukan peran pengawasan, perawatan, dan pemenuhan kebutuhan pasien yang menunjang proses kesembuhannya. Perawat lebih banyak berinteraksi dengan pasien, keluarga pasien dalam upaya mendukung proses perawatan medis selama di rumah sakit. Pelayanan secara sederhana diartikan sebagai “melakukan sesuatu bagi orang lain” (Tjiptono, 2008). Pelayanan yang berkualitas berkaitan erat dengan proses interaksi antara pelanggan dan perusahaan jasa. Kualitas pelayanan hendaknya dimulai dari kebutuhan pelanggan, dan berakhir dengan kepuasan pelanggan serta persepsi positif terhadap kualitas pelayanan (Tjiptono & Chandra, 2007). Perilaku karyawan dalam melayani akan berpengaruh pada
3
persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan di perusahaan penyedia jasa pelayanan (Wang, 2010). Ling, Chaiz, dan Piew (2010) menyatakan bahwa peran karyawan yang berinteraksi langsung dan terlibat dalam pelayanan kepada pelanggan secara positif berhubungan dengan kualitas pelayanan yang dipersepsikan pelanggan. Oleh karenanya penting untuk senantiasa memperhatikan perilaku perawat, khususnya perilaku caring perawat, mengingat frekuensi dan intesitas interaksi perawat dan pasien lebih sering dan berlangsung lama. Hubungan antara perawat dan pasien dalam proses perawatan di rumah sakit merupakan proses caring yang berpusat pada perilaku membantu pasien mencapai kesembuhan. Caring
merupakan sikap
peduli
dengan kondisi
pasien
sehingga
mendorong perawat untuk membantu pasien memenuhi kebutuhannya. Caring dapat diartikan sebagi cara pemeliharaan, berhubungan dengan menghargai orang lain, disertai perasaan memiliki dan tanggung jawab terhadap kondisi orang lain tersebut (Wolf, Zuzelo & Costelo, 2004). Caring behavior
banyak
diacu sebagai indikator kualitas pelayanan perawat pada pasien dalam beberapa penelitian. Departemen Kesehatan RI telah memberikan perhatian khusus akan kesadaran pentingnya budaya pelayanan prima perawat dalam mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Perilaku caring pada perawat menjadi kunci dalam meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan keperawatan yang prima. Perawat perlu mengembalikan rasa kebanggaan dalam melayani pasien sebagai upaya menjaga mutu perawat Indonesia (Kementrian Kesehatan RI, 2012; 2013). Caring behavior mengacu pada teori human care oleh Watson (2002) yang menjelaskan bahwa perilaku caring merupakan interaksi antara orang yang
4
memberikan perawatan dengan sebaik-baiknya kepada orang yang menerima perawatan. Watson (2002) dalam teorinya mengatakan bahwa terdapat caring behavior dikelompokkan kedalam 4 aspek yaitu: Respectful (Penghargaan), Assurance
(Jaminan),
Connectedness
(Hubungan
positif),
Professional
Knowledge & Skill (Pengetahuan & Ketrampilan Profesional). Rafii, Hajinezhad, dan Haghani (2007) dalam penelitiannya tentang caring behavior perawat menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kepuasan pasien dalam menerima pelayanan perawat di rumah sakit Iran. Penelitian lain oleh Azizi-Fini,
Mousavi,
Mazroui-Sabdani,
dan Adib-Hajbaghery (2012)
menunjukkan caring behavior perawat memiliki hubungan yang signifikan terhadap kepuasan pasien, dan dalam implikasi penelitiannya dikatakan bahwa pihak rumah sakit perlu merancang program untuk meningkatkan caring behavior perawat untuk meningkatkan kepuasan pasien. Berdasarkan penelitian di atas, menunjukkan bahwa perilaku caring perawat sangat mempengaruhi penilaian pasien terhadap kualitas pelayanan di rumah sakit, sehingga sikap caring perlu dimunculkan setiap saat oleh perawat. Mengacu pada pemahaman bahwa perilaku caring pada perawat menjadi kunci kualitas pelayanan, maka kualitas pelayanan yang diberikan perawat dapat diukur dengan melihat caring behavior perawat ketika berinteraksi dengan pasien. Pengukuran caring behavior perawat menjadi hal penting dalam program monitoring kualitas pelayanan perawat dan evaluasi efektivitas pelayanan perawatan perawat kepada pasien selama memperoleh pengobatan di rumah sakit (Wu, Larrabee, & Putman, 2006). Pengukuran caring behavior pada perawat banyak diteliti menggunakan Caring Behavior Inventory (CBI) yang dikembangkan oleh Wolf (dalam Watson,
5
2002) yang mengacu pada teori human care. Alat ukur ini terdiri dari 42 item yang mengukur caring behavior pada perawat dan pasien. Perkembangan alat ukur CBI dilakukan oleh Wu,
Larrabee, dan Putman (2006) dengan
menyederhanakan item CBI menjadi 24, dan memiliki nilai reliabilitas dengan nilai (α = 0,96). Caring behavior dikelompokkan kedalam 4 aspek yaitu : a. Respectful (Penghargaan) Respecful ditunjukkan melalui kepedulian dan perhatian kepada pasien dalam bentuk empati, dukungan kesembuhan, memperlakukan pasien secara manusiawi,
kesediaan
mendengarkan
keluhan
pasien,
memberikan
kesempatan pada pasien untuk menyampaikan hal yang dirasakannya selama proses perawatan. b. Assurance (Jaminan) Assurance mencakup kesiapan perawat dalam memenuhi kebutuhan pasien, meyakinkan pasien sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya dan aman dalam diri pasien kepada perawat. Hal ini ditampilkan dengan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, tepat waktu, dan kesediaan membantu. c. Connectedness (Hubungan positif) Connectedness ditunjukkan dengan menjalin hubungan yang baik dengan pasien. Hal ini ditunjukkan dengan menyampaikan instruksi dan informasi yang dibutuhkan pasien dengan baik, melibatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan pengobatannya. Kesediaan meluangkan waktu bersama pasien, membantu kebutuhan pasien selama perawatan, dan sabar dalam menghadapi pasien.
6
d. Professional
Knowledge
and
Skill
(Pengetahuan
dan
Ketrampilan
Profesional) Kemampuan menunjukkan pengetahuan, kemampuan, dan sikap yang profesional dalam bertugas, sehingga meyakinkan
ketika menghadapi
pasien. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan perawat merawat pasien sesuai prosedur, menampilkan rasa percaya diri ketika menghadapi pasien, menjaga kerahasiaan pasien, kemampuan penggunaan alat dengan baik. Cholil (2011) telah melakukan survei tentang permasalah kualitas pelayanan yang berkaitan dengan caring behavior perawat, ditemukan lima masalah yaitu: (a) keramahan dan kerapihan penampilan yang masih perlu ditingkatkan, (b) perlakuan diskriminatif berdasarkan status sosial dan kedekatan hubungan, (c) keterbatasan waktu dan proses interaksi dengan tenaga perawat dan dokter, (d) rendahnya kecepatan dan ketepatan daya tanggap perawat terhadap keluhan pasien, (e) Suasana kerjasama antara perawat dan pasien sebagai partner belum tercipta. Penelitian lain oleh Reynolds dan Scott (2000) menyatakan bahwa kemampuan berempati tenaga ahli kesehatan terhadap klien masih rendah. Hal ini terlihat dari upaya tenaga kesehatan menampilkan aspek empati dalam pelayanan kepada pasien. Berdasarkan studi pendahuluan di rumah sakit tempat peneitian, Rumah Sakit Akademik di Yogyakarta (RSA), temuan masalah dalam hal pelayanan perawat dari hasil wawancara dengan keyperson ditemukan bahwa perawat RSA yang sebagian besar adalah fresh graduate, belum memiliki banyak pengalaman dalam menghadapi pasien, sehingga memiliki beberapa kendala dalam mencerminkan caring behavior dengan tepat kepada pasien. Hal ini ditunjukkan dari beberapa perilaku yang mengindikasikan rasa kurang percaya diri ketika
7
melakukan tindakan keperawatan pada pasien, menjawab pertanyaan keluarga pasien, maupun ketika melakukan konsultasi dengan dokter. Keluwesan perawat ketika berkomunikasi dengan pasien, serta cara penyampaian informasi yang masih kaku dikarenakan masih kurangnya kemampuan memberikan informasi dengan baik dan penuh empati kepada pasien, berakibat tidak jarang pasien salah menangkap informasi dan berdampak pada proses penyembuhan pasien berikutnya. Selain itu, masih sering ditemui permasalahan mengenai cepat tanggap dan kesiapan perawat berkaitan dengan persiapan alat ketika akan mulai tindakan, dan membereskannya setelah selesai tindakan kepada pasien. Sebagai rumah sakit yang baru berdiri, RSA telah memberikan perhatian pada kualitas pelayanan yang ditampilkan oleh seluruh stafnya. Pada perawat, motto Friendly and Caring Hospital diharapkan dimaknai menjadi Friendly and Caring Nurse yang mampu membangun perilaku caring diantara perawat dan pasien sehingga terwujud pengalaman pelayanan yang menyenangkan bagi pasien. Pihak manajemen mengatakan bahwa perlu membangun budaya caring behavior yang khas di RSA, sehingga menjadi karakter yang khas pada perawat RSA yang berbeda dengan rumah sakit lain. Manajemen RSA berharap perilaku friendly and caring tersebut begitu terasa bagi pasien ketika berinteraksi dengan perawat RSA. Guna membudayakan perilaku pelayanan yang mencerminkan motto RSA, perlu adanya usaha untuk menentukan perilaku khas pelayanan perawat RSA yang berasal dari para perawat di RSA sendiri, sehingga perilaku yang akan dibiasakan betul-betul sesuai dengan karakteristik perawat RSA dan motto RSA itu sendiri. Selain itu, sebagai upaya melakukan perubahan perilaku pelayanan pada para perawat, perlu dipersiapkan perawat yang akan berperan
8
sebagai agen perubahan diawali dengan mencontohkan perilaku pelayanan yang akan mulai dibiasakan. Pihak manajemen telah melakukan banyak upaya untuk mewujudkan motto tersebut, selain mengutamakan penguasaan ketrampilan keperawatan sebagai kualifikasi yang harus dimiliki seluruh perawat RSA, kepribadian dan karakter yang mencerminkan perilaku caring dan friendly menjadi bahan pertimbangan dalam merekrut perawat RSA. Upaya selanjutnya, Manajemen rumah sakit telah memfasilitasi pelatihan mengenai perilaku pelayanan yang mencerminkan pelayanan prima secara berkala kepada para perawat. Manajemen RSA memiliki harapan program pengembangan berupa pelatihan yang telah dilakukan mampu meningkatkan kualitas pelayanan perawat yang ditunjukkan dalam bentuk caring behavior perawat secara nyata selama bertugas. Implementasi caring behavior dan penguasaan skill dan kompetensi keperawatan oleh perawat, akan memberikan pengalaman pelayanan yang baik kepada pasien sehingga memberikan kontribusi yang besar terhadap kualitas pengalaman pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit (Wolf, Miler, & Devine, 2003). Namun demikian, pelaksanaan di lapangan tidak serta merta pelatihan merubah perilaku pelayanan perawat kepada pasien berubah menjadi pelayanan yang berbasis pelayanan prima. Sering kali dampak pelatihan pelayanan prima tidak bertahan lama dan dirasa kurang efektif. Kim, Moon, Han, dan Tiko (2004), menyatakan bahwa berbagai program pengembangan karyawan yang berorientasi pada pelayanan terhadap konsumen akan sia-sia ketika karyawan tidak mau menampilkan kemauan untuk terikat melakukan perilaku berbasis pelayanan pada pekerjaannya. Perawat boleh jadi telah memiliki pengetahuan yang memadai mengenai perilaku pelayanan prima
9
dalam kaitannya tentang caring behavior melalui training, pelatihan dan pendidikan yang telah diikutinya (readiness to do), namun perilaku pelayanan prima cenderung kurang optimal ketika menghadapi pasien. Hal ini berakibat pada kurang optimalnya performa kerja perawat. Perlu upaya lain untuk membangkitkan kemauan dan semangat dari dalam diri perawat sehingga muncul keinginan untuk menampilkan perilaku pelayanan prima kepada pasien ketika bertugas (willingness to do). Perilaku pelayanan perawat yang paling dekat dengan pasien adalah mengenai caring behavior yang ditampilkan perawat selama berinteraksi dengan pasien. Kaswan (2012) berpendapat bahwa perubahan perilaku dan peningkatan pengetahuan serta keterampilan tidak akan berarti banyak apabila penerapan dalam situasi kerja tidak memberikan dampak peningkatan kinerja. Banyak alasan mengapa peserta pelatihan tidak mentransferkan hasil pelatihannya dalam pekerjaan sehari-hari, yaitu: pengalaman kurang baik sebelumnya, kurang motivasi,
kurang
percaya
diri,
takut
gagal.
Berdasarkan
pemaparan
permasalahan yang terjadi di RSA, pihak manajemen RSA memahami perlunya diadakan
program
pengembangan
selain
training
yang
memungkinkan
meningkatkan kualitas perilaku pelayanan perawat, sekaligus menjembatani proses
pembiasaan perilaku pelayanan perawat RSA yang mencerminkan
motto Friendly and Caring Nurse dengan mempersiapkan agen perubahan yang mampu menjadi model yang menampilkan perilaku pelayanan yang khas oleh perawat RSA dimasa yang akan datang. Skiffington dan Zeus (2008) mengatakan bahwa ada beberapa program pengembangan yang dapat digunakan dalam proses perubahan perilaku, diantaranya training, coaching, mentoring, konsultasi, dan terapi. Diantara
10
keempat program pengembangan, ternyata coaching memberikan dampak yang tinggi dalam pengembangan dalam hal perubahan perilaku. Coaching dalam hal ini menjadi alternatif intervensi yang mengusung teknik pembelajaran yang menjembatani gap antara pembelajaran dan praktek, atau antara pelatihan dan implementasi dalam kehidupan kerja sehari-hari. Mengacu pada hasil temuan di RSA, bentuk pengembangan coaching memungkinkan perawat yang telah memiliki pemahaman memadai mengenai perilaku pelayanan untuk saling berbagi
pendapat
dalam
menentukan
perilaku
pelayanan
yang
akan
dibudayakan bersama menuju “friendly and caring nurse”, memaknai kembali makna pelayanan pada pasien, dan menumbuhkan antusiasme dalam menjaga perilaku baru yang telah disepakati untuk dibudayakan bersama. Menurut Cummings dan Worley (2008), salah satu intervensi yang didesain untuk meningkatkan kompetensi karyawan adalah coaching dengan memberikan dukungan, umpan balik kepada karyawan dalam membentuk visi yang baru terhadap pekerjaanya. Coaching merupakan intervensi individual yang dirancang secara khusus untuk membawa individu mengeksplorasi dan merancang strategi menghadapi tantangan kehidupan, meningkatkan visi individu, serta berorientasi pada tujuan (Taie, 2011). Coaching pada dasarnya membantu individu dalam mengembangkan potensinya melalui kesempatan untuk mengenali kemampuan dan membantu karyawan agar dapat melakukan beberapa perubahan secara lebih efektif, seperti penggabungan organisasi atau mengembangkan beberapa keterampilan
perilaku
sebagai
bagian
dari
program
pengembangan
kepemimpinan (Somer, 2007). Aplikasi coaching dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, menurut Brooks dan Wright (2007) Pendekatan Appreciative Inqury (AI) menjadi kajian
11
baru dalam proses coaching di dunia industri yang mengusung konsep psikologi positif di dalamnya. AI merupakan pendekatan yang efektif untuk menyusun ulang cara berfikir (reframing) individu agar menjadi lebih positif (Carter, 2006). AI merupakan penelusuran kooperatif ko-evolusioner terhadap inti positif manusia, organisasinya, dan dunia sekitar mereka. AI merupakan seni dan praktik bertanya yang menguatkan kapasitas sistem tersebut untuk memahami, mengantisipasi, serta meningkatkan potensi positif. Proses tersebut nantinya bisa menemukan atau menghargai sesuatu yang ada dengan baik, memimpikan secara bersama-sama, memimpikan sesuatu yang mungkin dan membangunnya untuk masa depan yang telah dibayangkan sebelumnya (More, 2008). Menurut Cummings dan Worley (2008) salah satu model perubahan perilaku adalah model perubahan positif yang disebut dengan pendekatan AI. AI berfokus pada hal terbaik yang telah dilakukan individu, membantu individu untuk memahami hal terbaik yang dilakukan sebagai aset untuk mewujudkan hasil yang lebih baik. Pendekatan ini mendorong individu untuk melihat nilai positif dalam diri ketika menganalisis perubahan yang akan dilakukan dalam dirinya, berbagi pengalaman, saling berinteraksi sehingga mempengaruhi bagaimana individu mempersepsikan perubahan tersebut dan menyikapinya. Individu dapat merancang langkah perubahan perilaku melalui proses berbagai nilai positif. Pemberian apresiasi positif mempengaruhi individu untuk saling terlibat dalam memimpikan perubahan yang akan dibuat secara lebih positif dimasa yang akan datang. Coaching apresiatif merupakan teknik coaching dengan menggunakan pendekatan AI yang dapat diimplementasikan ke dalam empat tahap Cooperrider (dalam Reed, 2007) yaitu:
12
1. Dicovery (mengidentifikasi inti positif, baik aset, kapasitas, kemampuan, sumber daya, dan kelebihan yang dimiliki individu) 2. Dream atau memimpikan (Envisioning) suatu masa depan yang hebat, membayangkan apa yang bisa dicapai jika dihubungkan dengan kecakapan yang dimiliki individu, kelebihan, dan tujuan yang ingin dicapai. 3. Design
atau
merancang
usaha
perbaikan
untuk
membantu
mengimplementasikan mimpinya. 4. Destiny atau membuat parameter mencapai mimpi dan tujuan yang telah didesain oleh individu. Cahyono (2010) berpendapat bahwa melalui keempat tahap tersebut potensi dan kekuatan positif individu dapat dikenali sehingga meningkatkan pikiran positif yang disertai dengan penggalian impian dan cita-cita, yang selanjutnya akan mendorong lahirnya sebuah semangat positif untuk melakukan langkah kecil bermakna dalam mewujudkan kondisi masa depan yang diidamkan. Pendekatan AI merupakan aplikasi psikologi positif yang diterjemahkan dalam berbagai ranah kehidupan. Sebuah penelitian di lingkungan kesehatan menunjukan bahwa interview AI yang dilakukan pada staff kesehatan di rumah sakit negeri di London memberikan efek yang signifikan dalam memotivasi karyawan untuk menampilkan kualitas mereka dalam bekerja (Wright & Barker, 2005). Metode coaching apresiatif sendiri pernah diteliti oleh Barker dan Wright (2006) pada jajaran manajemen rumah sakit di UK untuk meningkatkan peran tenaga kesehatan mengenai perbaikan sistem pelayanan di rumah sakit. Coaching merupakan intervensi dengan pendekatan individual, namun dalam perkembangannya di dunia industri, coaching dapat dilakukan secara
13
berkelompok (Skiffington & Zeus, 2008). Coaching yang dilakukan berkelompok sering disebut peer coaching atau group coaching. Coaching ini banyak dipilih oleh perusahaan dengan pertimbangan efektifitas biaya yang dikeluarkan perusahaan dan efektifitas waktu bagi coach. Keuntungan lainnya, coachee mendapatkan keuntungan dari proses bertukar pengetahuan, support dari rekan satu tim, serta umpan balik dari peserta coaching yang lain. Team coaching dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan berkelompok menjadi lebih efektif ketika berfokus pada kompetensi yang dibutuhkan, menyediakan kesempatan yang realistik untuk mempraktekkan dan mendapatkan umpan balik dari anggota tim di dalamnya (Skiffington & Zeus, 2008; Waddell & Dunn, 2005). Coaching
tidak
memberikan
pengetahuan
atau
ketrampilan
baru,
melainkan membantu klien untuk menerapkan pengetahuan, keterampilan yang telah diperoleh dari pelatihan dan pengalaman sukses sebelumnya sehingga mau menampilkan kinerja terbaiknya. Proses coaching membangun kembali motivasi kerja perserta yang menurun dengan mencurahkan waktu terhadap minat,
nilai
dalam
bekerja
serta
menemukan
apa
yang
benar-benar
menghubungkan peserta dengan pekerjaanya, merasakan perasaan puas yang besar,
dan menjadi
sukses.
Coaching juga
membantu
peserta untuk
mengkomunikasikan misi, impian yang jelas dan kuat untuk melakukan sesuatu yang bermakna dalam bekerja. Proses coaching secara berkelompok juga membantu peserta untuk mempelajari apa yang memotivasi orang lain sehingga menambah “energi” untuk memompa semangat kerja perserta (Kaswan, 2012). Smith dan Cox (2007) berpendapat jika dibandingkan dengan training, metode coaching lebih efektif dalam meningkatkan keluasan keterampilan
14
individu yang telah dimiliki, ditunjukkan melalui peningkatan kinerja yang lebih baik secara teratur. Beberapa penelitian memaparkan mengenai efektivitas coaching dalam mempengaruhi sikap dan perilaku kerja pada orang yang bekerja di bidang jasa seperti sales (Onyemah, 2007). Sedangkan penelitian yang dilakukan di bidang kesehatan sendiri dilakukan oleh Johnson, Hong, Groth, dan Parker (2010) yang melakukan penelitian mengenai peran coaching dalam meningkatkan sikap kerja perawat. Selain itu, Dickerson, Koch, Adam, Goodfriend, dan Donelly (2010) juga memaparkan dampak pemberian safety coaching dalam menurunkan masalah human error dan patient harm di antara staf radiologi di rumah sakit. Brinkert (2011) memaparkan bahwa pelaksanaan coaching dalam penanganan konflik di dalam rumah sakit terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan komunikasi terhadap konflik antara kepala perawat dan supervisor. Palmer, Tubbs, dan Whybrow (dalam Gyllensten & Palmer, 2005) menyatakan bahwa metode coaching mudah diterima oleh organisasi kaitannya dalam pengelolaan stress, peningkatan prestasi, dan pencapaian tujuan organisasi. Dunia kesehatan khususnya di lingkup rumah sakit, banyak menggunakan metode coaching untuk meningkatkan skill, profesional kerja, dan kualitas diri tenaga kesehatan di rumah sakit, seperti kemampuan pelayanan, kepemimpinan, manajemen dan kemampuan penyelesaian masalah guna menunjang peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit (Skifington & Zeus, 2008). Reid (2006) dalam sebuah penelitian kualitatif juga memaparkan testimoni dari seorang perawat yang pernah menerima coaching bahwa metode ini efektif dalam mengidentifikasi, menggali, dan mengkoreksi perilaku dalam pelayanan
15
kepada pasien, serta meningkatkan kinerjanya sebagai perawat. Slatten, Svensson, dan Svaeri (2011) juga memaparkan bahwa coaching berhubungan positif terhadap persepsi karyawan yang berkerja pada lini depan pelayanan mengenai kualitas pelayanan yang ditampilkan. Penelitan sebelumnya mengenai implementasi pendekatan Appreciative Inquiry dalam bentuk coaching dan pelatihan di Universitas Gadjah Mada antara lain penelitian yang dilakukan oleh Febriani (2009) dalam menurunkan stress kerja pada perawat, Cahyono (2010) dalam menurunkan angka stres pada polisi lalulintas, dan Sitepu (2011) dalam meningkatkan efikasi diri wiraniaga dalam melakukan tugas penjualan. Coaching apresiatif dengan mengacu pada pendekatan AI (Discovery, Dream, Design, dan Destiny) dapat dijadikan salah satu alternatif program pengembangan di RSA sebagai proses belajar bagi perawat menuju perubahan peningkatan keterampilan perilaku pelayanan berupa caring behavior yang nyata ketika menghadapi pasien. Perilaku pelayanan perawat ditunjukkan melalui perilaku caring terbaik dengan menampilkan sikap empati, memberi dukungan kesembuhan, cepat dalam merespon kebutuhan pasien, tepat dan percaya diri dalam melakukan tindakan, menginformasikan tindakan yang akan dilakukan, mau mendengarkan keluhan pasien, ramah, menyapa pasien, dan tersenyum hangat
kepada pasien ketika proses pelayanan kesehatan diberikan. Hal ini
sejalan dengan upaya manajemen RSA dalam mewujudkan internalisasi motto “friendly and caring hospital” pada tenaga perawat. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, Intervensi coaching apresiatif dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas peningkatan kualitas pelayanan perawat di RSA berupa perubahan ketrampilan perilaku pelayanan berupa caring behavior perawat. Manfaat penelitian dalam bidang