RITUAL SAVUKH RANGIN: SUATU KAJIAN SEMIOTIKA SOSIAL Robert Masreng FKIP Universitas Cenderawasih
[email protected] Abstrak Savukh Rangin merupakan salah satu tradisi lisan yang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Kei. Savukh Rangin dilakukan untuk memohon restu dari Tuhan, sesama, dan leluhur agar bayi dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial tempat bayi dilahirkan. Ritual ini dimaksudkan untuk menghindari sang bayi dari berbagai sakit, penyakit, maupun gangguan-gangguan dari alam sekitarnya. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap makna tanda-tanda verbal, nonverbal, makna manifest, dan makna laten dalam ritual tersebut. Pengungkapan makna tanda-tanda verbal dan nonverbal dalam ritual Savukh Rangin digunakan teori semiotika sosial Peirce (1975) yang menekankan pada tanda ikon, indeks, simbol, dan tanda-tanda yang bersifat manifest dan tanda yang bersifat laten menurut Berger (2010). Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan Ritual Savukh Rangin menggunakan tanda-tanda verbal yang bersifat asosiatif dan idiomatik secara ketat dan ditemukan makna manifest dan laten berupa tanda verbal dan non verbal. Makna manifest mencakup pertumbuhan, kesehatan, adaptasi lingkungan sosial, bertumbuh dalam lindungan Tuhan, dan menjadi pemberani. Makna laten mencakup menjaga keseimbangan manusia dengan Tuhan dan mewarisi nilai-nilai moral dan etika dalam lingkungan sosial anak. Kata Kunci: Ritual Savukh Rangin, tradisi lisan, makna Abstract Savukh Rangin is one of the oral tradition that is still alive and thriving in the Kei community. Savukh Rangin performed to invoke the blessing of God, fellows, and the ancestors so that the baby can adapt to the social environment where the baby was born. This ritual is intended to prevent the baby from various illness, disease, or disturbances of the natural surroundings. This paper aims to reveal the meaning of the signs of verbal, nonverbal, manifested meaning and latent meaning in the ritual. Disclosure the meaning of the verbal signs and nonverbal in Savukh Rangin rite uses semiotic theory of Peirce (1975), which emphasizes the iconic sign, indexes, symbols, and signs that has manifest and latent traits which be accord to Berger (2010). The descriptive qualitative analysis is used as the analytic method. The results showed that Savukh Rangin rite use verbal signs that are associative and idiomatic closely and also it discovered the manifested and the latent meaning specifically in verbal and non verbal signs. The manifested meaning that is discovered includes growth, health, social environmental adaptation, grow in God’s protection, and be brave. Latent meanings include maintaining the balance of human with God and inherit the moral values and ethics in the social environment of the child. Key words: Savukh Rangin rite, oral tradition, meaning
PENDAHULUAN Manusia merepresentasikan jati diri melalui dua tanda penting yakni tanda verbal dan nonverbal. Kedua tanda ini digunakan untuk tujuan komunikasi atau interaksi sosial dengan sesama maupun dengan lingkungan sebagai bagian dari keterikatan manusia dengan lingkungannya. Tanda-tanda verbal umumnya digunakan dalam dua bentuk yakni bentuk lisan dan tulisan. Bagi masyarakat yang memiliki tradisi tulis, tentu banyak mendokumentasikan berbagai produk budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. 97
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki tradisi tulis atau sistem aksara umumnya sistem pewarisan produk budaya hanya dilakukan secara lisan. Pewarisan seperti ini mengandalkan kekuatan daya ingat untuk menyimpan sejumlah informasi budaya yang sangat penting dan bernilai. Masyarakat penutur bahasa Kei sebagai bagian dari budaya Indonesia dan budaya dunia juga menggunakan tanda-tanda verbal dan nonverbal untuk mengekspresikan nilai, sikap dan norma-norma kehidupan mereka. Penggunaan tanda-tanda verbal dan nonverbal untuk menyatakan tujuan, makna dan pesan yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Dari kedua jenis tanda inilah pesan menyampaikan kepada orang lain (Liliweri, 2014:300). Cara pewarisan secara verbal lisan setidaknya membuka peluang untuk punahnya aspek-aspek budaya dan nilai sosial kemayarakatan yang membentuk kepribadian dan kearifan dalam menghadapi perubahan zaman dan perubahan pola pikir. Meskipun demikian, peran tanda verbal sangat penting untuk melestarikan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Masalah yang dibahas dalam tulisan ini adalah sebuah ritual yang intensitasnya mulai berkurang dilakukan dalam kehidupan masyarakat Kei. Ritual ini disebut Savukh Rangin ‘Ritual Injak Tanah’. Ritual ini dilakukan untuk memohon doa restu dari semua kerabat yain te ‘saudara bersaudara’, teen yanat ‘tua muda’, Duad ‘Tuhan’, nit ‘leluhur’, dan nuh met ‘darat-laut’. Doa restu dari semua kerabat menjadi harapan dan penguatan bagi bayi agar hidup dan bertumbuh di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Kaitanya dengan ritual ini Durkhaim dan Levi Straus berusaha untuk membuat fenomena budaya primitive. Apakah itu totemisme, atau mite atau apa pun, yang bisa dipahami dengan menunjukkan hubungan antara fenomena-fenomena tersebut dan sisa masyarakat serta struktur sosial (Badcok, 2011:118) Fenomena penggunaan tanda verbal dan nonverbal dalam ritual Savukh Rangin cukup unik. Keunikan yang dimiliki oleh ritual ini adalah proses, pelibatan leksikon, dan perangkat sederhana yang digunakan untuk mengemban makna tertentu. Misalnya penggunaan cincin perak, cara pengambilan buah kelapa yang belum berisi, dan leksikon yang sudah tidak lazim digunakan seperti momoin, mowain, dan moil. Leksikon-leksikon ini sudah jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Tanda-tanda verbal dan nonverbal dalam ritual tersebut mengmban fungsi dan makna yang perlu diungkap secara eksplisit. TEORI Teori yang digunakan untuk mengungkap makna tanda verbal dan nonverbal dalam ritual Savukh Rangin adalah teori semiotika sosial yang dikembangkan oleh Peirce (1975) mencakup ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa kemiripan. Hubungan antara tanda dengan acuannya dapat pula timbul karena kedekatan eksistensi, hubungan seperti ini disebut indeks. Hubungan yang ketiga adalah hubungan yang terbentuk secara konvensional, yakni suatu tanda merupakan suatu hasil kesepakatan masyarakat dan hubungan tanda itu disebut sebagai simbol (Kaelan, 2009:196; Eco, 2009:267—268). Berger (2010:185—186) mengatakan bahwa arti manifest dari suatu tanda akan dipertimbangkan sebagai salah satu dari arti yang bersifat umum dan demgan hasil yang seperti diinginkan oleh pembuat tanda tersebu.t Tanda seperti ini bisa dikatakan benarbenar jelas dan bertujuan. Tanda-tanda lalu lintas yang berarti “berhenti” akan sedikit banyak menjadi contoh yang baik untuk hal ini, dan dapat dipastikan bahwa suatu tanda benar-benar jelas. 98
Vol.2, No.1 Februari 2016
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
Arti tersembunyi (laten) dari suatu tanda bukanlah bersifat umum atau pun sudah jelas termaksud, maknanya terpendam dalam tanda tersebut, dalam ketidaksadaran pembuat tanda sendiri, ataupun terhadap pihak yang menyaksikan tanda tersebut. Beberapa orang menyarankan bahwa tujuan dari sosiologi adalah untuk membuka fungsi yang tersembunyi dari fenomena –yaitu dengan membuat fenomena menjadi nyata dan bersifat umum. Ini menuntut pada apa yang disebut sebagai “paradoks dari pengetahuan sosial”. Karena masyarakat dipegang oleh fungsi tersebunyi dari fenomena, akibatnya semakin kita mengetahui fungsi tersembunyi tersebut, maka semakin buruklah kita. PEMBAHASAN Pembahasan ritual Savukh Rangin mencakup (1) makna tanda-tanda verbal, (2) makna tanda-tanda nonverbal, dan (3) makna manifest dan makna laten. Masing-masing makna dijelaskan pada subbagian berikut. Tanda-tanda Verbal dalam Ritual Savukh Rangin Tanda-tanda verbal yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah seperti yang dikatakan oleh Saussure yakni parole. Parole adalah bahasa pada tingkat penggunaannya di dalam masyarakat. Parole adalah pengkombinasian tanda-tanda secara konkrit berupa ucapan, ekspresi, gerak tubuh, tindakan atau produksi objek-objek berlandaskan pada perbendaharaan tanda yang ada serta kaidah yang telah disepakati bersama (Piliang, 1999:349). Tanda-tanda tersebut juga difungsikan dalam ritual Savukh Rangin dalam masyarakat penutur bahasa Kei. Hal ni tampak pada teks-teks berikut. Teks 01 Bahasa Kei
Bahasa Indonesia
Vatok lauk dos bakhkakh, momoin mowain.
Buanglah dosa dan kesalahan, jauhkan ratap tangis supaya bertumbuh subur, sehat, dan kuat.
Uil lakhro, vatok afa sasian fo kako ratheakh
Susah dan sengsara, buanglah segala yang buruk agar anak-anak sehat.
Muan la afa ni fo m’ot nail afa sasian nang kako fo harvait
Makanlah barang ini, buanglah hal-hal buruk pada anak ini agar anak ini hidup
Kako harkhis ron, uil rai,
tangis anak-anak, dan sakit penyakit.
Vatok nail lakh katokh fo kako harheakh fo harvait
Buanglah darah kotor agar anak-anak sehat dan hidup
fasian harharuak i, o mna nail afa sasian
Si buruk bartanya anak ini, kau jauhkan hal-hal yang buruk
Vatok dos bakhkakh nhov moil wain
Buanglah dosa dan perkara dengan hal-hal yang buruk
Teks 01 merupakan teks utama yang dibacakan oleh yang dituakan dalam keluarga yakni nenek dari si bayi. Teks tersebut mengandung beberapa bahasa simbolis yang perlu diidentifikasi maknanya lebih mendalam. Beberapa bentuk verbal menjadi fokus tulisan ini antara lain.
99
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
dos bakhkakh ‘dosa-perkara’ Bentuk dos bakhkakh merupakan konstruksi idomatik yang digunakan untuk mengekspresikan rasa khawatir tentang kehidupan anak di masa yang akan datang. Ungkapan ini bermakna bahwa jika masih ada halangan berupa dosa dan kesalahan, maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan masa depan si bayi (anak). Dosa dan kesalahan diyakini sebagai salah satu penghalang uatama bagi pertumbuhan dan masa depan bayi diritualkan. Kata bakhkakh dimaknai sebagai segala tindakan, perbuatan, tutur kata, sikap tidak terpuji yang menghalangi perkembangan dan pertumbuhan bayi. Karena itu harus dibersihkan melalui pembasuhan wajah anak dan setiap yang hadir dengan cara membasuh muka masing-masing sambil mengekpresikan doa dan harapan kepada Tuhan dan leluhur agar anak ini kelak menjadi anak yang berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. afa sasian ‘barang yang jelek’ Bentuk afa sasian ‘barang yang jelek’ merupakan suatu konstruksi tanda verbal yang digunakan untuk menyebutkan sesuatu secara tidak langsung. Makna yang dimaksudkan melalui konstruksi ini merujuk pada hal-hal buruk, gangguan roh-roh jahat, dan hal-hal yang buruk yang terus mengawasi dan mengganggu pertumbuhan si bayi. Intinya, konstruksi ini lebih menyatakan pada sikap dan perbuatan manusia yang ada di alam nyata. Sedangkan konstruksi yang mirip dengan ini, tetapi rujukkannya berbada seperti berikut. fasian ‘hal-hal yang jelek/buruk Konstruksi fasian terdiri dari bentuk fa + sian ‘barang yang jelek, buruk, tidak baik. Bentuk ini merujuk pada makhluk yang tidak tampak dan akan mengganggu anakanak atau sering menakut-nakuti anak-anak. Fasian dalam konstruksi ini memiliki rujukkan yang jelas yakni makluk-makluk yang tidak tampak secara fisik tetapi menggangu kenyamanan anak-anak. Fasian sebagai suatu simbol kekhawatiran dan ketakutan dalam kehidupan manusia di atas bumi ini. Untuk membatasi ruang mereka (makluk tak tampak ini) maka diberikan perak yang dikerik sebagai symbol pemberian kepada mereka agar tidak noleh mengganggu anak-anak. Hal ini tampak pada konstruksi berikut. afa ni ‘barang ini’ Konstruksi afa ni ‘barang ini’ merujuk pada kerikan cincin perak yang ditaburkan pada kulit kelapa muda. Hal ini merepresentasikan bahwa manusia di alam nyata memberikan kompensasi kepada makluk di luar alam manusia untuk bersahabat. Tindakan ini merupakan bentuk manusia membangun hubungan komunikasi dengan alam sekitarnya. Masyarakat Kei juga masih membangun komunikasi dengan leluhur dan alam sekitar mereka. Ini sudah merupakan konvensi sosial budaya masyarakat tutur bahasa Kei. lakh katokh Konstruksi lakh katokh ‘darah kotor’ dimunculkan dalam teks ini karena jika darah kotor merupakan salah satu simbol penghalang yang sering menggangu dan membuat anak-anak hidup dalam ketidaknyamanan. Oleh karena itu, harus dibersihkan dengan cara membasuh muka dengan air kelapa mudah sebagai salah satu symbol pembersihan dan pemulihan kembali. Darah kotor diyakini sebagai salah satu penghalang bagi pertumbuhan dan kenyaman anak dalam masa pertumbuhan. 100
Vol.2, No.1 Februari 2016
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
moil wain Konstruksi moil wain merupakan bentuk verbal yang digunakan untuk menyatakan sejumlah halangan atau rintangan yang dihadapi oleh anak dalam masa pertumbuhannya. Karena itu, harus dibersihkan dengan cara membasu muka sebagai tanda dukungan untuk anak yang diritualkan. Di sini dimaksudkan agar dalam pertumbuhan anak tidak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Dia harus hidup dalam ketenangan dan bebas dari segala hal yang merintanginya. Teks di atas didukung dengan teks-teks singkat yang memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini tampak pada pilihan diksi yang memberikan harapan dan doa agar anak menjadi hidup dan berguna bagi semua orang. Teks-teks berikut merupakan teks yang diucapkan ketika undangan yang hadir membasuh muka mereka. Namun demikian, tidak semua para undangan yang hadir direkam tuturan-tuturan mereka. Berikut dua tuturan yang direkam untuk mendukung teks (01). Teks 02. Bahasa Kei
Bahasa Indonesia
Beti wahaum nabhaliakh do Duad ntah lauk afa sasian nang o
Supaya wajahmu terbuka, Tuhan menjauhkan segala sesuatu yang tidak baik.
O mel fo murat mkai duniai avon ran
Kau bertumbu agar kau mengetahui seluruh isi dunia ini’
Teks 02 di atas sangat sederhana karena hanya terdiri dua proposisi. Kedua proposisi tersebut memuat pesan dan harapan serta doa kepada Tuhan agar anak tumbuh dalam perlindungan-Nya. Ungkapan wahaum nabhaliakh ‘wajahmu terbuka’ dimaknai sebagai wujud harapan kepada anak agar dapat bertumbuh dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dicontohi. Di sini juga terdapat doa ‘Duad ntah lauk afa sasian nang o ‘Tuhan menjauhkan segala yang buruk darimu’. Ini adalah doa dari kerabat yang ikut dalam ritual tersebut. Dua tersebut diakhir dengan sebuah harapan yang besar yakni O mel fo rat mkai duniai avon ran ‘mengetahui isi dunia ini’. Ini merupakan doa dukungan terhadap anak agar bertumbuh dan mengetahui isi dunia. Artinya, agar anak dapat menguasai ilmu pengetahuan yang baik demi masa depannya lebih baik.
Foto Patisipan 101
Vol.2, No.1 Februari 2016
ISSN 2442-3475
JURNAL TUTUR
Tampak pada gambar ini partisipan membasuh muka dengan air kelapa yang telah dibagikan. Partisipan membasuh muka sambil mengucapkan kata-kata seperti pada teks 02 di atas. Teks berikut berisi doa dan harapan agar anak kelak menjadi anak yang terhindar dari berbagai masalah dan hidup tentram dan bermnafaat. Teks 03 Bahasa Kei
Bahasa Indonesia‘
Duad ntah lauk afa sasian nang o fo o meil rat tavek bakhan.
‘Tuhan menjauhkan sesuatu yang tidak baik agar kau bertumbuh menjadi dewasa
Duad ntah lauk khis raron nang oh, binaket nang o.
Tuhan menjauhkan isak tangis dan penyakit darimu’
Tampak pada teks 03 bahwa si anak didukung sepenuhnya dengan doa dan cinta kasih. Doa yang dipanjatkan agar Tuhan menjauhkan segala sakit dan penyakit sehingga anak bertumbuh sampai dewasa. Teks 03 menyatakan dukungan.
Foto Patisipan Tampak pada gambar ini partisipan membasuh muka dengan air kelapa yang telah dibagikan. Partisipan membasuh muka sambil mengucapkan kata-kata seperti pada teks 03 di atas. Perilaku verbal sebagaimana contoh teks 02 dan 03 dilakukan juga oleh partisipan yang lain tetapi tidak rekam secara keseluruhan. Namun demikian, semua partisipan wajib memberikan dukungan doa agar anak atau bayi jauh dari berbagai gangguan yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Tanda-tanda Nonverbal dalam Ritual Savukh Rangin Buah kelapa muda Buah kelapa yang belum berisi ini diambil dengan suatu cara yang unik yakni, diambil sebelum matahari terbit. Pria yang memanjat pohon kelapa ini harus membisu selama memanjat pohon kelapa. Cara mengambilnya tidak boleh lecet atau terjatuh ke tanah. Karena itu, buah kelapa diambil sebelum orang lain belum bangun sehingga tidak terganggu. Pemanjat pohon kelapa harus membawa satu persatu dan meletakan di atas tanah. 102
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Buah kelapa yang telah dipetik, selanjutnya diambil airnya dengan cara melubangi bagian atasnya. Sebelum dilubangi untuk diambil airnya, terlebih dahulu mantra (teks 01) dibaca sambil mengerik cincin perak di jari yang melubangi kelapanya. Hal ini tampak seperti pada gambar berikut.
Cincin perak (di jari manis) Cincin perak digunakan sebagai simbol bahwa alam lain juga membutuhkan kehormatan. Cincin perak hanya dikerik dan digosok pada sekeliling buah kelapa sebelum diambil airnya.
Foto Nenek dari Bayi yang diritualkan
Penggunaan kelapa berwarna hijau merupakan lambang kesuburan, kesehatan, pertumbuhan, keceriaan dan bebas dari segala kesusahan. Warna hijau dimaknai sebagai masa pertumbuhan yang tidak mengenal berbagai gangguan dalam masa pertumbuhan anak. Anak diharapkan tumbuh sehat dan subur seperti kelapa yang hijau dan belum berisi ini. Makna Manifes dan Makna Laten Selain unsur verbal dan nonverbal yang mengemban makna tertentu melalui ritual Savukh Rangin inin juga terdapat makna manifest dan makna laten. Makna manifest yang 103
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
tampak dalam ritual Savukh Rangin antara lain sebagai berikut. a. Anak bertumbuh tanpa gangguan b. Anak dapat beradaptasi dengan lingkungan keluarga dan masyarakat c. Harapan semua orang agar bertumbuh dalam perlindungan Tuhn d. Anak menjadi anak pemberani Makna laten yang terungkap melalui ritual Savuk Rangin antara lain: a. Menjaga keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekita. b. Mengingatkan kepada generasi muda bahwa keseimbangan hidup harus terus terjaga dalam kehidupan c. Mewairisi nilai-nilai moral dan etika untuk hidup dalam saling, mendukung/ menopang, salaing menghormati dan saling memahami dalam lingkungan sosial budaya masyarakat Kei. SIMPULAN Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Ritual Savukh Rangin menggunakan tanda-tanda verbal yang bersifat asosiatif dan idiomatik secara ketat. Tanda-tanda verbal didukung dengan tanda-tanda nonverbal yang terdiri kelapa hijau yang belum berisi dan cincin perak. Di samping itu ditemukan makna manifest dan makna laten yang terungkap melalui tanda verbal dan nonverbal dalam ritual tersbut. Makna manifest mencakup pertumbuhan, kesehatan, adaptasi lingkungan sosial, bertumbuh dalam lindungan Tuhan, dan menjadi pemberani. Makna laten mencakup menjaga keseimbangan manusia dengan Tuhan dan mewarisi nilai-nilai moral dan etika dalam lingkungan sosial anak. DAFTAR PUSTAKA Badcok, Christopher R. 2011. Levi-Straus: Strukturalisme dan Teori Sosiologi.Yogyakarta: adil Media. Berger, Arthur Asa. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana. Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika,: Signifikasi komunikasi, Teori kode, serta Teori Produksi Tanda. Terj. Inyiak Ridwan Muzir. Fox, James J. 1988. To speak in pairs: essays on the ritual languages of Eastern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa, Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma. Liliweri, Alo. 2014. Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Penerbit Nusa Media. Piliang, Yasraf Amir. 1999. Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari.
104