REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh : SARIFUL ROHMAN NIM: 111-12-033 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016
ii
iii
iv
v
MOTTO
“ Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) ”. (QS.Al-An‟am : 160)
vi
PERSEMBAHAN Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada: 1. Kedua orang tua saya, Bapak Solekhan dan Ibu Roviyani yang senantiasa memberikan nasihat dan telah mendidik saya dari kecil sampai menikmati kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari. 2. Kakakku Nurwachid beserta istrinya yang telah membantu membimbing proses perkuliahan saya. 3. Keluarga besar PAI A, Keluarga PPL SMK N 3 Salatiga dan Kelompok KKN posko 41 yang telah memberikan saya pengalaman hidup yang luar biasa. 4. Seluruh teman-teman yang mengenal saya baik teman sekolah, kuliah, maupun teman di rumah.
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafa‟atnya di hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM” Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1.
Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2.
Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
3.
Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam
4.
Bapak Achmad Maimun, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan pikiran, tenaga, dan pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5.
Bapak Agus Suaidi, Lc., M.A. selaku pembimbing akademik. viii
6.
Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.
7.
Bapak, ibu, keluarga, dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan memberikan motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi semua orang pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat diperlukan dalam kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 22 Agustus 2016 Penulis
Sariful Rohman NIM. 111-12-033
ix
ABSTRAK Rohman, Sariful. 2016. “Reward dan Punishment dalam Perspektif Pendidikan Islam” Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag. Kata kunci: Reward, Punishment, Pendidikan Islam Pendidikan sekarang ini banyak sekali hal yang dapat menimbulkan pro dan kontra. Sebagai contoh, kekerasan yang terjadi dalam pendidikan nyatanya bertentangan dengan Undang-undang perlindungan anak di Indonesia saat ini. Namun dalam pendidikan Islam, tindakan memukul diperbolehkan sesuai dengan hadits nabi Muhammad dan dengan beberapa ketentuan yang mengaturnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana reward dan punishment dalam perspektif pendidikan Islam. Dan juga untuk mengetahui bagaimana relevansinya dalam pendidikan sekarang ini. Penelitian ini menggunakan kajian kepustakaan atau literatur. Yang mana sumber-sumber data diambil dari beberapa buku lalu dianalisis dan diambil kesimpulanya. Temuan penelitian skripsi ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan Islam sebenarnya menghukum seorang anak yang melakukan kesalahan diperbolehkan namun dengan memperhatikan hal-hal seperti cara memukul anak yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Memukul yang diperbolehkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan atau pukulan ringan untuk mengingatkan ank akan kesalahanya. Berbeda dengan pendidikan Islam yang memperbolehkan memberi hukuman memukul anak, pendidikan di Indonesia tidak diperkenankan melakukan kekerasan terhadap anak, karena akan bertentangan dengan undangundang perlindungan anak. Sementara itu guru ataupun pendidik juga memiliki hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. Dalam undang-undang hak dan kewajiban guru dan dosen juga disinggung bahwasanya seorang guru diberi kuasa untuk memberikan sanksi kepada peserta didik namun dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan kode etik pendidik.
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................... i HALAMAN BERLOGO.......................................................................................ii HALAMAN NOTA PEMBIMBING...................................................................iii HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.............................................................v MOTTO...............................................................................................................vi PERSEMBAHAN................................................................................................vii KATA PENGANTAR.........................................................................................viii ABSTRAK..........................................................................................................ix DAFTAR ISI.......................................................................................................x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang..................................................................................1 B. Rumusan Masalah.............................................................................4 C. Tujuan Penelitian..............................................................................4 D. Manfaat Penelitian............................................................................5 E. Metodologi Penelitian.......................................................................5 F. Penegasan Istilah..............................................................................7 G. Sistematika Penulisan.......................................................................9
xi
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Reward dan Punishment..........................................................................12 1. Pengertian Reward dan Punishment..................................................12 2. Tujuan Reward dan Punishment........................................................15 3. Macam-macam Reward dan Punishment...........................................17 4. Teori-teori Reward dan Punishment..................................................24 5. Prinsip-prinsip Reward dan Punishment..........................................28 B. Pendidikan Islam.....................................................................................31 1. Definisi Pendidikan Islam.................................................................31 2. Dasar Pendidikan Islam.....................................................................32 3. Tujuan Pendidikan Islam...................................................................33 BAB III JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM A. Janji dan Ancaman Allah.......................................................................37 1. Konsep Janji dan Ancaman Allah....................................................37 2. Bentuk-bentuk Janji dan Ancaman Allah........................................41 B. Hukuman Dalam Ajaran Islam..............................................................49 1. Hudud..............................................................................................49 2. Qisas................................................................................................50 3. Ta‟zir...............................................................................................50 C. Targhib dan Tarhib...............................................................................52 1. Targhib............................................................................................53 2. Tarhib..............................................................................................58
xii
BAB
IV
REWARD
DAN
PUNISHMENT
DALAM
PERSPEKTIF
PENDIDIKAN ISLAM A. Reward dalam Pendidikan Islam..............................................................63 B. Punishment dalam Pendidikan Islam.......................................................70 1. Pendapat Para Tokoh Pendidikan Islam.............................................70 2. Dasar Pmeberian Punishment dalam Islam........................................75 3. Penerapan Punishment dalam Lembaga Pendidikan Islam.............82 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan..............................................................................................98 B. Saran........................................................................................................98 DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................100 RIWAYAT HIDUP PENULIS...........................................................................103 LAMPIRAN LAMPIRAN DAFTAR LAMPIRAN 1. Daftar SKK 2. Nota Pembimbing Skripsi 3. Lembar Konsultasi
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia hidup di dunia ini mengalami berbagai persoalan kehidupan yang bermacam-macam. Ada kalanya merasakan kebahagiaan dan ada kalanya juga merasakan kesedihan. Kebahagiaan dapat diperoleh dari hal-hal kecil seperti mendapatkan sebuah hadiah dari orang terdekat. Semua orang pada umumnya akan sangat senang apabila mendapatkan sebuah hadiah tertentu, kalaupun ada yang tidak senang ketika diberikan sebuah hadiah, itu mungkin karena suatu alasan tertentu. Sementara itu, kesedihan dapat diperoleh dari hal-hal yang kecil juga seperti kehilangan suatu barang, atau karena dimarahi oleh orang tuanya karena suatu kesalahan yang diperbuatnya dan bisa saja orangtua memberikan hukuman kepada anaknya tersebut. Mendidik anak memang tidaklah mudah, seorang pendidik tentu harus mengetahui minat sang anak. Agar mampu memberikan dorongan motivasi kepada anak. Dalam hal ini, pemberian hadiah (reward) dan pemberian hukuman (punishment) menjadi sangat penting. Untuk mendidik anak, hukuman hanyalah salah satu alat atau cara. Orang tua atau guru dapat menggunakan cara lain dalam mendidik anak, misalnya memberikan teladan, memberikan hadiah atau pujian terhadap tindakan yang baik, serta menciptakan situasi dan kondisi yang tanpa disadari mengarahkan anak untuk melakukan sesuatu yang baik (Susana dkk, 2007: 57).
1
Ada surga, ada neraka. Allah SWT menjanjikan surga sebagai hadiah bagi orang beriman dan diberikan-Nya neraka sebagai hukuman bagi orang yang melanggar perintah-Nya. Janji pemberian hadiah dan hukuman itu banyak difirmankan-Nya dalam Al-Qur‟an, untuk memotivasi manusia agar mau beriman dan meninggalkan larangan-larangan-Nya (Istadi, 2005: 3). Dalam hal ini maka jelas bahwa Allah SWT memberikan contoh kepada manusia pada umumnya untuk memberikan hadiah dan hukuman apabila seseorang melakukan kebaikan dan keburukan. Reward dan punishment merupakan metode atau cara untuk mendidik seorang anak agar menimbulkan perilaku yang baik dari si anak. Hukuman menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid atau anak, sedangkan reward atau hadiah menunjukkan apa yang mesti dilakukan anak (Soemanto, 1987: 204). Ketika melihat ini maka pemberian reward dan punishment itu tentunya harus ditempatkan pada situasi dan kondisi yang benar dan tepat. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik ternyata bukan berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian seperti, Subhanallah, Alhamdulillah, dll. Sementara hadiah perhatian fisik berupa pelukan, elusan di kepala, acungan jempol atau sekadar terangkatnya alis mata karena ekspresi kagum (Istadi, 2005: 39). Terkadang seseorang melihat hadiah atau reward hanya berupa barang ataupun materi, padahal hadiah dapat berupa hal-hal kecil seperti diatas. Hadiah yang baik adalah hadiah yang dapat menumbuhkan motivasi si anak dan mendorong anak untuk berperilaku baik.
2
Mengenai punishment atau hukuman ini ternyata pada zaman dahulu sekitar tahun 1908 di Negara Singapura ada sebuah madrasah yang bernama Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiyah mencantumkan punishment dalam kurikulum pendidikanya. Madrasah tersebut memberikan hukuman bagi siswa yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Hukuman yang diberikan diantaranya, dicerca oleh seorang teman, dicerca oleh teman sekelas di depan kelas, dikurung selama setengah hari, dan dibebani dengan tugas yang menggunakan akal, ditahan selama satu hari, serta dibebani tugas yang menggunakan akal, diberi makan dengan roti dan air saja, dikeluarkan dari sekolah bila berbuat salah berulang kali. (Saerozi, 2013: 150) Apabila dicermati, hukuman yang diberikan tidak nampak ada kekerasan didalamnya. Berbeda dengan yang terjadi akhir-akhir ini, banyak sekali berita di media cetak maupun elektronik yang memuat kabar kekerasan terhadap siswa yang dilakukan oleh oknum guru atau orangtua yang melakukan kekerasan kepada anaknya dalam mendidik. Seringkali, oknum guru ataupun orangtua kurang memperhatikan dampak psikologis ataupun psikis dari pemberian hukuman ini. Sehingga terkadang menimbulkan perilaku anak yang malah lebih menyimpang sebelum kejadian itu. Sebagai contoh, pada bulan Februari tahun 2015 seorang guru berinisial W di SMP Negeri 1 Palasah Kabupaten Majalengka yang memeberikan hukuman kepada murid-muridnya karena tidak mengerjakan PR yang diberikan sebelumnya. Hukumanya adalah mengelilingi lapangan basket sebanyak 10 putaran untuk puteri. Naas bagi Lintang, seorang siswi yang ikut
3
mendapatkan hukuman tersebut. Di putaran kedua, gadis berusia 13 tahun tersebut terkapar dan akhirnya meninggal dunia di puskesmas terdekat. (http://m.kompasiana.com/sahrona.lumbanraja) Kasus di atas tentunya menjadi perhatian yang lebih khususnya bagi pendidik dan umumnya bagi para orangtua agar tidak melakukan hal-hal yang dapat membahayakan diri anak. Menghukum seorang anak yang melakukan sebuah kesalahan memang bentuk atau cara mendidik tanggungjawab anak, namun yang perlu diperhatikan adalah hukuman tersebut tidak boleh mengakibatkan dampak yang negatif bagi anak itu sendiri. Berawal dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut melalui skripsi yang berjudul “Reward dan Punishment dalam Persepektif Pendidikan Islam” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penulisan skrisi ini dapat kami rumuskan rumusan masalah sebagi berikut : 1. Bagaimana reward dan punishment dalam perspektif pendidikan Islam? 2. Bagaimana relevansi reward dan punishment dalam pendidikan saat ini? C. Tujuan Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang dapat diambil oleh penulis sesuai dengan rumusan masalah diatas, diantaranya : 1. Untuk mengetahui bagaimana reward dan punishment dalam perspektif pendidikan Islam. 2. Untuk mengetahui relevansi penggunaan reward dan punishment dalam pendidikan saat ini.
4
D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, diharapkan mempunyai kegunaan sebagi berikut: 1. Manfaat teoritik Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran serta tambahan wawasan pengetahuan dalam pendidikan Islam terkait dengan reward dan punishment. 2. Manfaat Praktik Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi inovasi kepada guru ataupun orangtua dalam memberikan reward dan punishment kepada anak dan juga agar para orangtua ataupun guru dapat lebih berhati-hati dalam memberikan reward dan punishment sehingga tidak menimbulkan efek negatif terhadap perkembangan anak. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam skripsi ini termasuk jenis penelitian kepustakaan atau disebut library research. Yaitu penelitian yang dilakukan di perpustakaan yang objek penelitianya dicari melalui beragam informasi dari sumber-sumber seperti buku, koran, majalah dan lain sebagainya. Dimana data-data yang penulis ambil merupakan data yang bersumber dari buku-buku ilmiah yang masih berhubungan dengan tema skripsi yang penulis kerjakan.
5
2. Sumber data Sumber-sumber yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagi tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis angkat. Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah sebagai berikut: a. Sumber data primer Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan objek penelitian skripsi ini. Diantara buku-buku itu adalah sebagai berikut : 1) Buku “Agar Hadiah dan Hukuman Efektif” , penulis Irawati Istadi. 2) Buku “Mempertimbangkan Hukuman pada Anak”, penulis Tim Pustaka Familia. 3) Buku “Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh” , penulis Heri Gunawan. 4) Dan buku-buku lain yang menunjang penulisan skripsi ini dan berkenaan langsung dengan judul. b. Sumber data sekunder Yaitu suber data yang mengandung dan melengkapi sumbersumber data primer. Buku-bukunya diantara lain : 1) Buku “Ilmu Pendidikan Islam“ , penulis Zakiah Daradjat dkk. 2) Buku “Pembaruan Pendidikan Islam“ , penulis Muh Saerozi. 3) Buku “Manajemen Pengajaran secara Manusiawi” , penulis Suharsimi Arikunto.
6
4) Buku “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penulis Mohd. Athiyah Al-Abrasyi. 5) Dan buku-buku lain yang menunjang penulisan skripsi ini. 6) Serta buku-buku ilmiah lain yang mendukung dalam penulisan skrisi ini. c. Metode Analisis Data Dari data yang diperoleh penulis, maka untuk menganalisis dipakai metode analisis isi (content analysis). Yaitu menganalisis semua
data
yang
telah
didapatkan
sehingga
nantinya
akan
mendapatkan data yang akurat untuk ditulis dan dapat dikombinasikan sesuai dengan materi data yang dibutuhkan. F. Penegasan Istilah Agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran dan pengertian dalam memahami judul diatas, serta untuk membatasi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini, maka perlu adanya penjelasan dalam beberapa pengertian yang terkait dalam judul skripsi ini yaitu : 1. Reward Reward dalam kamus bahasa Inggris artinya adalah ganjaran, hadiah (Echols, Shadily, 2010 : 485) . Hadiah adalah sesuatu yang menyenangkan yang diberikan setelah seseorang melakukan tingkah laku yang diinginkan (Arikunto, 1980 : 182). Hadiah dapat juga dikatakan sebagai salah satu motivasi. Mungkin dengan diberikannya hadiah, anak tersebut akan semakin giat
7
untuk meningkatkan belajarnya ataupun kedisiplinannya. Tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk pembiasaan semata, ketika pembiasaan telah dicapai maka pemberian hadiah pun harus dikurangi (Istadi, 2005: 34). 2. Punishment Dalam bahasa Inggris punishment artinya adalah hukuman atau siksaan (Echols, Shadily, 2010:456). Hukuman adalah sanksi fisik maupun psikis atas kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan anak. Hukuman mengajarkan anak tentang apa yang tidak boleh dilakukan, bukan apa yang harus dilakukan di masa berikutnya (Tim Pustaka Familia, 2007: 99). 2. Perspektif Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kontemporer, perspektif diartikan dengan sudut pandang atau pandangan (Depdikbud, 1995:1060). 4. Pendidikan Islam Menurut bahasa seperti yang dikemukakan Zakiah Daradjat (2011:25-28) kata pendidikan yang umum digunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah, dengan kata kerja rabba. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah ta‟lim dengan kata kerjanya allama. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya tarbiyah wa ta‟lim sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah Islamiya”.
8
Pengertian pendidikan seperti yang lazim dipahami pada zaman sekarang belum terdapat di zaman Nabi.Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah,menyampaikan ajaran, memberi contoh dll itu berarti Nabi telah mendidik. Apa yang beliau lakukan dalam membentuk manusia, kita rumuskan sekarang dengan pendidikan Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim. Adapun pengertian pendidikan Islam menurut sumber yang lain adalah suatu proses yang edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau
kepribadian secara utuh dan menyeluruh, menyangkut
aspek jasmani dan rohani. Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan terencana untuk membentuk peserta didik agar memiliki keseimbangan jasmani dan rohani, serta memiliki iman, ilmu, dan amal sekaligus (Gunawan, 2014:9-10 ) G Sistematika Penulisan Skripsi BAB I PENDAHULUAN Dalam bab I ini, Pendahuluan adalah bab pertama dari skripsi yang mengantarkan pembaca untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang diteliti, untuk apa dan mengapa penelitian itu dilakukan.oleh karena itu, bab pendahuluan ini berisi : (1) latar belakang masalah, (2) rumusan
9
masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat Penelitian, (5) metodologi penelitian, (6) penegasan Istilah. BAB II KAJIAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai pengertian reward dan punishment, tujuan reward dan punishment., macam-macam reward dan punishment, teori-teori reward dan punishment, prinsip-prinsip reward dan punishment. Pengertian pendidikan Islam, dasar pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam. BAB III JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM Dalam bab ini nantinya akan berisi tentang : Konsep janji dan ancaman Allah (al-wa‟d wa al-wa‟id), bentuk-bentuk janji dan ancaman Allah yang ada di dunia dan di akhirat. Bentuk-bentuk hukuman dalam ajaran Islam serta konsep targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam. BAB IV REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Dalam bab ini nantinya akan berisi tentang : reward dan punishment
dalam
pendidikan
Islam
serta
penerapanya
dalam
pembelajaran. Pendapat para tokoh Pendidikan Islam mengenai reward dan punishment. Dan yang terakhir berisi tentang relevansi penggunaan reward dan punishment dalam pendidikan saat ini. BAB V PENUTUP
10
Dalam bab ini berisi kesimpulan dari skripsi ini, juga berisi saran dari penulis kepada semua orang mengenai reward dan punishment, dan juga berisi kata-kata penutup untuk mengakhiri penulisan skripsi ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Reward dan Punishment 1. Pengertian Reward dan Punishment Reward dalam kamus bahasa Inggris mempunyai arti ganjaran, hadiah (Echols, Shadily, 2010 : 485). Menurut Suharsimi Arikunto, hadiah adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain karena sudah bertingkah laku sesuai dengan yang dikehendaki yakni peraturan sekolah dan tata tertib yang telah ditentukan (Arikunto, 1980: 182). Dalam bahasa arab, hadiah berasal dari kata
ىَ ِديَّةَ ج ىَدَايَا
yang berarti hadiah atau pemberian
(Yunus, 2010: 480). Ketika membahas teori-teori pembelajaran dikenal efek yang dirasakan oleh seseorang sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka efek tersebut dikenal sebagai reward atau hadiah (Sriyanti, dkk, 2009:72). Sementara itu, Abdurrahman Mas‟ud mendefinisikan reward adalah suatu pemberian penghargaan dalam arti luas dan fleksibel karena prestasi seseorang (Mas‟ud, 2002: 172). Dengan begitu maka dapat disimpulkan bahwa reward adalah pemberian ganjaran atau hadiah kepada seseorang atas prestasinya yang sifatnya menyenangkan. Punishment dalam bahasa Inggris artinya adalah hukuman atau siksaan (Echols, Shadily, 2010:456). Dalam bahasa arab hukuman berasal
12
ُ dari kata عقٌُبَة
ِعقَاب جyang berarti siksa (Yunus, 2010: 274). Hukuman
adalah sanksi fisik maupun psikis atas kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan anak. Hukuman mengajarkan anak tentang apa yang tidak boleh dilakukan, bukan apa yang harus dilakukan di masa berikutnya (Susana dkk, 2007: 99). Hukuman diberikan ketika seseorang telah melakukan kesalahan ataupun melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Punishment banyak digunakan oleh orangtua ataupun guru ketika mendidik
anak.
Orangtua
terkadang
memberi
hukuman
seperti,
mengurangi uang saku, memukul anak dan hukuman-hukuman lainya yang membuat anak merasa kesakitan baik fisik maupun psikis. Hal ini sejalan dengan pendapat Ngalim Purwanto, bahwa
hukuman adalah
penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orangtua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 2007: 186). Ketika anak menerima hukuman tersebut, anak akan merasa bahwa dia menyesal ataupun menderita. Harapanya adalah anak menjadi menurut kepada orangtuanya. Punishment dalam istilah psikologi, terjadi tatkala muncul situasi deprivation (kehilangan) atau pengalaman tidak enak yang ditimbulkan oleh satu kelompok atau individu secara sengaja dengan merugikan kelompok lain yang disebabkan oleh misdeed, pelanggaran atau kejahatan oleh kelompok pertama (Mas‟ud, 2002: 171). Pada intinya punishment
13
merupakan salah satu metode dalam pendidikan yang dapat digunakan sebagai salah satu alat dalam mendidik tanggung jawab anak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa punishment adalah sanksi fisik maupun psikis kepada
seseorang,
yang
mengakibatkan
penderitaan
sehingga
memunculkan pengalaman yang tidak mengenakkan. Hukuman dalam pendidikan menurut Ahmad tafsir memiliki pengertian yang luas, mulai dari hukuman ringan sampai pada hukuman berat, sejak kerlingan yang menyengat sampai pukulan yang agak menyakitkan. Sebenarnya, tidak ada ahli pendidikan yang menghendaki digunakanya hukuman dalam pendidikan kecuali bila terpaksa. Hadiah atau pujian jauh lebih dipentingkan ketimbang hukuman (Tafsir, 2008: 186) Ketika menggunakan metode reward perlu dipahami beberapa strategi agar pemberian reward bisa efektif dan tepat sasaran. Asmaun Sahlan (2010:60) menjelaskan beberapa strategi dalam memberikan reward diantaranya yaitu : a. Menetapkan prosedur pemberian hadiah. b. Mencari tahu hadiah apa yang menarik. c. Sesuaikan dengan standar perilaku yang telah dicapai. d. Mendistribusikan hadiah dengan adil. e. Berilah hadiah pada waktu yang tepat.
14
Sementara itu penggunaan punishment juga harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan beberapa hal. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika memberikan hukuman menurut Ahmad Tafsir sebagai berikut : 1) Hukuman itu harus adil sesuai dengan kesalahan. 2) Berikan hukuman yang mendidik, tidak menyakiti badan dan jiwa. 3) Anak harus mengetahui mengapa ia dihukum. 4) Hukuman
itu
harus
membawa
anak
kepada
kesadaran
akan
kesalahanya. 5) Hukuman jangan sampai meninggalkan dendam pada anak. (Tafsir, 2008: 186) 2. Tujuan Reward dan Punishment Reward dan punishment tidak dilakukan sembarangan. Perlu diketahui bahwa Reward dan punishment memiliki tujuan yang ingin dicapai dengan digunakanya metode ini. Reward adalah pemberian hadiah ataupun ganjaran yang diberikan kepada anak atau siswa karena telah melakukan sesuatu yang baik. Pada dasarnya, tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk pembiasaan semata, ketika pembiasaan telah dicapai maka pemberian hadiah pun harus dikurangi (Istadi, 2005: 34). Menurut Idris dan Marno (2008:133) ada beberapa tujuan pemberian reward diantaranya adalah sebagai berikut : a. Meningkatkan perhatian siswa dalam proses belajar mengajar. b. Membangkitkan, memelihara dan meningkatkan motivasi belajar siswa. 15
c. Mengarahkan perkembangan berfikir siswa ke arah berfikir divergen. d. Mengendalikan serta memodifikasi tingkah laku siswa yang kurang positif serta mendorong munculnya tingkah laku yang produktif. Sedangkan tujuan pemberian hukuman adalah seperti yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (2007:189) , tujuan orang memberi hukuman itu bermacam-macam. Hal ini sangat bertalian erat dengan pendapat orang tentang teori-teori hukuman sebagai berikut : 1) Teori pembalasan. Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman diadakan
sebagai
pembalasan
dendam
terhadap
kelainan
dan
pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak boleh dipakai dalam pendidikan di sekolah. 2) Teori perbaikan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk membasmi kejahatan. Jadi, tujuan hukuman itu ialah memperbaiki si pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi. 3) Teori perlindungan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Dengan adanya hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari kejahatan-kejahatanyang telah dilakukan oleh si pelanggar. 4) Teori ganti kerugian. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian (boete) yag telah diderita akibat dari kejahatan atau pelanggaran itu. Dalam proses pendidikan, teori ini masih belum cukup kuat, sebab dengan hukuman semacam itu anak
16
mungkin menjadi tidak merasa bersalah karena kesalahanya itu terbayar denagn hukuman. 5) Teori menakut-nakuti. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat perbuatanya yang melanggar itu sehingga ia akan selalau takut melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkanya. 3. Macam-macam reward dan punishment a. Macam-macam reward Banyak orang beranggapan bahwa reward identik dengan pemberian sesuatu yang berbentuk barang. Akan tetapi, sebenarnya reward sangatlah banyak bentuk-bentuknya. Berikut macam-macam reward yang dapat diberikan kepada anak : 1) Pujian Pujian memiliki pengaruh yang besar pada seseorang apabila pujian tersebut memperhatikan porsi yang proporsional. Terlebih pujian kepada anak dan para pemuda, sebab mereka membutuhkan penghargaan, penghormatan dan penerimaan sosial (Al-Qahthani, 2013: 216) 2) Pemberian Hadiah Suharsimi Arikunto membagi hadiah menjadi beberapa bagian yaitu: a) Peringkat dan simbol-simbol lain
17
Bentuk hadiah yang paling lazim digunakan adalah peringkat huruf atau angka. Meskipun simbul-simbul lain seperti tanda bintang, centang, tanda benar, dan lain-lain. Kadang-kadang juga digunakan untuk
siswa-siswi sekolah
dasar dan
menengah. Pemberian peringkat dengan cara yang betul dan adil akan merupakan hadiah yang paling tepat jika dikaitkan langsung dengan usaha siswa, prestasi dan kemampuan (Arikunto, 1993:160). b) Penghargaan Hadiah ini dapat berupa berbagai hal yang mempunyai arti adanya “perhatian” kepada siswa. Misalnya saja siswa berhasil membuat pekerjaan tangan atau hasil karya yang lain. Karena hasil tersebut sangat menonjol dibandingkan dengan hasil karya siswa lain, maka hasil tersebut dipamerkan di depan kelas atau dipertontonkan kepada siswa-siswa lain (Arikunto, 1993:161) Dengan begitu maka siswa akan merasa bahwa kerja keranya membuahkan hail yang baik dan dapat dibanggakan. Dan untuk siswa lain, harapanya adalah mampu termotivasi untuk meraih hasil yang lebih baik lagi. c) Hadiah berupa kegiatan Hadiah berupa kegiatan adalah bahwa jika guru memberikan kegiatan kepada siswa sebagai hadiah, ia harus memberikan petunjuk secara jelas dan rinci bagaimana siswa telah diberi
18
“sesuatu yang istimewa” sebagai ganjaran atas keistimewaan yang telah dilakukan. Sebelum melakukan kegiatan yang dihadiahkan kepadanya, siswa harus tahu betul apa yang harus diperbuat sehingga anak-anak lain dapat menghargai apa yang diperbuat sehingga anak-anak lain dapat menghargai apa yang diperoleh
temanya
sebagai
keistimewaan
(Arikunto,
1993:164). d) Hadiah berupa benda Dalam memberikan hadiah yang berupa benda ini, guru dituntut pertimbangan yang lebih cermat dibandingkan dengan pemberian hadiah dalam bentuk-bentuk lain. Hadiah tersebut antara lain berupa: makanan, uang, alat-alat tulis, buku-buku dan lain sebagainya (Arikunto, 1993:164). Reward sangat bermacam-macam bentuknya seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun menurut Irawati Istadi, alternatif bentuk hadiah yang terbaik ternyata bukan berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa komentar-komentar pujian seperti, Subhanallah, Alhamdulillah, dll. Sementara hadiah perhatian fisik berupa pelukan, elusan di kepala, acungan jempol atau sekadar terangkatnya alis mata karena ekspresi kagum (Istadi, 2005: 39). Pemberian reward yang berbentuk barang tidak mungkin dilakukan terus menerus, karena akan menimbulkan
19
kebiasaan bagi anak maupun siswa untuk mengharapkan hadiah. Perhatian dan menghargai anak akan jauh lebih baik akibatnya. b.
Macam-macam punishment Punishment atau hukuman sangat banyak bentuk-bentuknya. Orangtua ataupun pendidik seringkali menggunakan hukuman dengan
alasan
memperbaiki
anak,
tidak
jarang
mereka
menggunakan cara yang sedikit keras. Namun, Suharsimi Arikunto memberikan beberapa bentuk hukuman yang bisa digunakan pendidik dalam menghukum anak. Dan berikut diantaranya: 1) Penurunan Skor atau Penurunan Peringkat Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang paling banyak diterapkan di sekolah. Terutama ketika diterapkan ketika siswa terlambat datang, tidak ataupun terlambat mengumpulkan tugas. (Arikunto, 1993: 174) 2) Pengurangan Hak Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang paling efektif karena dapat digunakan sesuai selera siswa. Dengan demikian, guru dituntut mengamati dengan teliti supaya dapat dengan tepat memilihkan pengurangan hak yang tepat bagi setiap siswa (Arikunto, 1993: 174). 3) Hukuman Berupa denda Jenis hukuman yang berupa denda ini di Indonesia merupakan sesuatu yang masih kurang atau tidak lazim. Yang dimaksud
20
dengan “denda” dalam hal ini memnag tidak berupa uang, tetapi lebih banyak mempunyai makna “pembayaran” dalam bentuk
pada
umumnya
berupa
pengulangan
pekerjaan
(Arikunto, 1993: 175). 4) Pemberian Celaan Pemberian hukuman
ini biasanya digabungkan dengan
hukuman lainya. Siswa yang melanggar peraturan penting yang diperuntukan bagi siswa akan mendapat celaan. Hukuman ini guru menuliskan kesalahan siswa dalam buku catatan khusus. Umumnya pemberian hukuman ini hanya untuk siswa yang melanggar peraturan beberapa kali (Arikunto, 1993: 175). 5) Penahanan Sesudah Sekolah Hukuman ini hanya dapat diberikan apabila siswa disuruh tinggal di sekolah setelah jam usai dan ditemani oleh guru. Hukuman jenis ini biasanya diberikan kepada siswa yang terlambat datang, absen yang tidak dimaafkan atau melanggar peraturan sekolah yang dianggap penting atau tata tertib kelas (Arikunto, 1993: 175). 6) Penyekoresan Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang “berat”, terutama karena menyangkut aspek administratif siswa. Penyekoresan merupakan pencabutan hak sebagai siswa untuk sementara kepada siswa sehingga ia tidak mempunyai hak dan kewajiban
21
sebagaimana siswa lain. Penyekoresan ini sifatnya berat, oleh karena itu hukuman ini hanya dilakukan apabila memang ada kesalahan yang sifatnya berat (Arikunto, 1993: 176) 7) Referal Istilah “referal” ini terkenal dalam bidang bimbingan dan penyuluhan. Apabila pembimbing tidak mampu, atau merasa bahwa ia memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menangani klienya, maka pembimbing tersebut dapat “mengirim” klien yang sedang ditangani orang lain, misalnya dokter, polisi dan sebagainya (Arikunto, 1993: 176). Meskipun pengalaman
hukuman
dalam
bisa
penelitian
dan
saja
kehilangan
dalam
efektifitasnya,
pengajaran
sama-sama
menyatakan bahwa terkadang bisa saja membantu mengelola beberapa perilaku bermasalah tertentu. Untuk meminimalisasikan pengaruh negatif dari hukuman, para guru harus mengikuti beberapa panduan seperti yang dikemukakan oleh Kelvin Seifert (2010: 256-257) berikut : a) Gunakan hukuman dengan hemat. Hukuman akan mengalami peningkatan efektifitas ketika ia mengalami peningkatan frekuensi, dan dalam berbagai kasus, tidak selalu bersifat etis. b) Jelaskan alasan mengapa anda memberikan hukuman. Tanpa sebuah alasan yang rasional, para siswa sangat mungkin akan mengarah pada kesimpulan yang salah tentang situasi yang mereka alami. Sebagai
22
contoh, mereka bisa jadi menyimpulkan bahwa mereka, dan bukan perilaku mereka yang buruk. c) Persiapkan sebuah cara alternatif dalam meraih penguat motivasi yang positif. Mengingat penguat motivasi positif memiliki pengaruh negatif yang lebih sedikit, para siswa harus selalu mendapatkan kesempatan untuk menerima penguat motivasi yang demikian. d) Jika memungkinkan, anjurkan perilaku yang berkebalikan dari perilaku buruk yang dilakukan para siswa. Misalnya, jika seorang anak berlari kesana dalam ruang kelas, temukan sebuah alternatif konstruktif yang lebih berprluang menghalangi perilaku tersebut (seperti, membaca dengan tenang), ketimbang perilaku yang mungkin bisa berkombinasi dengan perilaku buruk sebelumnya. e) Jika memungkinkan, hindari hukuman fisik. Mengingat para guru hanya memberikan hukuman dengan hemat (poin a diatas), maka beberapa bentuk hukuman seharusnya tidak perlu digunakan. Termasuk hukuman secara fisik. f) Berikan hukuman pada saat sebuah perilaku buruk dimulai dan bukan pada saat perilaku tersebut selasai. Secara umum, penelitian terhadap anak-anak menunjukkan fakta bahwa hukuman akan bekerja lebih efektif pada saat perilaku tersebut sudah dimulai. Hukuman pada dasarnya bertindak sebagai pencegah perilaku yang kurang baik dari anak ataupun kesalahan yang dilakukan oleh anak. Namun tidak jarang hukuman juga dapat menimbulkan efek negatif atau
23
akibat yang kurang baik dari hukuman tersebut. Menurut Ngalim Purwanto (2007: 189) ada beberapa efek yang diakibatkan oleh hukuman, dan berikut diantaranya : a. Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum.ini adalah akibat dari hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat semacam inilah yang harus dihindari oleh pendidik. b. Menyebabkan
anak
menjadi
lebih
pandai
menyembunyikan
pelanggaran. Ini pun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkanoleh pendidik. c. Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakapcakap di dalam kelas, karena mendapat hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuanya. d. Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah. Oleh karena kesalahanya dianggap telah dibayar dengan hukuman yang telah dideritanya. e. Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan. Biasanya ini adalah akibat dari hukuman normatif. Sering hukuman yang demikian tidak memperlihatkan akibat yang nyata kelihatan. 4. Teori-teori Reward dan Punishment a. Teori koneksionisme Teori ini adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara stimulus dan respons. Hubungan stimulus dan respons ini mempunyai beberapa hukum sebagai berikut: 24
a)
Law of readness 1) Bila sudah ada “kecenderungan bertindak” lalu bertindak akan membawa kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan lain untuk mengubah kondisi itu. 2) Bila sudah ada “kecenderungan bertindak” tetapi tidak bertindak akan menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini akan menimbulkan response-response lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan. 3) Apabila
belum
ada
“kecenderungan
bertindak”
dipaksa
bertindak maka akan menimbulkan ketidakpuasan untuk menghilangkan atau mengurangi ketidakpuasan tersebut akan muncul tindakan-tindakan lain. b)
Law of exercise atau Law of use Law of disuse Hubungan antara S dan R akan bertambah kuat atau erat bila sering digunakan (use) atau sering dilatih (exercise) dan akan berkurang, bahkan lenyap sama sekali jika jarang digunakan atau tidak pernah sama sekali. Tetapi perlu diingat ulangan yang akan membawa hasil adalah ulangan yang disertai reward atau punishment.
c)
Law of effect Hubungan S dan R akan bertambah kuat, bila hubungan tersebut akan diikuti oleh keadaan yang memuaskan dan
25
sebaliknya. Oleh karenanya sebaiknya hadiah lebih diutamakan daripada hukuman. b. Teori Operant Conditioning Teori ini dirintis oleh seorang tokoh terkenal yang bernama Skinner. Ia membuat rincian lebih dalam tentang Stimulus dan Respon. a) Respondent response/ refleksive response. Response jenis pertama ini ditimbulkan oleh perangsangperangsang
tertentu,
perangsang-perangsang
tersebut
pada
umumnya mendahului response. Sedangkan response-response timbul secara relatif tetap, misalnya makanan yang menimbulkan air liur. b) Operant responsive/ instrumental response. Response jenis kedua ini timbul dan berkembang diikuti oleh
perangsang-perangsang
tertentu,
perangsang-perangsang
umumnya lebih kemudian atau setelah timbulnya response, ia bersifat memperkuat. Misalnya, anak melakukan perbuatan belajar menyanyi setelah selesai lalu diberi hadiah, maka saat-saat berikutnya ia akan lebih giat menyanyi. c. Teori Medan Tokoh teori ini semula adalah penganut aliran psikologi Gestalt Mazhab Berlin, kemudian menempuh jalur lain terutama penelitianya tentang motivasi. Tokoh yang nama aslinya Kurt Lewin ini lahir di Jerman dan menghabiskan hidupnya di Amerika.
26
Beberapa hasil penelitianya adalah meliputi hasil belajar hukuman dan hadiah, berhasil dan gagal, energi cadangan. Menurut teori ini, situasi yang mengandung hukuman dapat diilustrasikan sebagai berikut : Individu dimasukkan dalam lingkaran kanan ditutup dengan tugas, kiri ditutup dengan ancaman hukuman, atas bawah ditutup dengan barier (pengawasan). Dalam keadaan seperti ini individu harus memilih alternatif yang sma-sama tidak disenangi. Sedangkan situasi yang mengandung hadiah adalah individu lebih masuk dalam medan terbukasatu sisi, sebelah kanan ada tugas sebagai pra syarat untuk mencapai hadiah sehingga tidak ada tegangan (Mustaqim, 2001: 59-60) Banyak diantara para ahli psikologi diantaranya Good dan Brophy yang tertarik untuk mempelajari dan mengadakan penelitian mengenai halhal yang berhubungan dengan hukuman. dari penelitian-penelitian tersebut dilahirkan berbagai teori tentang hukuman sebagai berikut: a. Teori Kerenggangan Teori ini mengatakan bahwa dengan diberikanya hukuman kepada subjek yang melakukan kesalahan tindakan akan menyebabkan hubungan rangsang-reaksi (S.R bond) antara tindakan salah dengan hukuman menjadi renggang. Demikian juga individu tersebut akan menjadi renggang dengan tindakan menyimpang itu (Arikunto, 1993: 168). b. Teori penurunan
27
Teori ini mengatakan bahwa dengan diberikanya hukuman kepada subjek yang melakukan kesalahan tindakan, subjek tersebut akan mengurangi atau menurunkan frekuensi tindakan negatif tersebut (Arikunto, 1993: 169). c. Teori penjeraan Teori ini mengatakan bahwa jika subjek mendapat hukuman, maka subjek tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang menyebabkan timbulnya hukuman semula (Arikunto, 1993: 170). d. Teori sistem motivasi Teori ini mengatakan bahwa jika individu mendapat hukuman maka akan terjadi perubahan dalam sistem motivasi dalam diri individu. Perubahan yang terjadi dalam sistem motivasi tersebut mengakibatkan penurunan pada individu untuk mengurangi atau menurunkan frekuensi perilaku yang berhubungan dengan timbulnya hukuman yang bersangkutan (Arikunto, 1993: 170). e. Teori hukuman alam Teori ini dikenal juga dengan hukuman model Rousseau karena diteorikan oleh Rousseau. Rousseau adalah seorang ahli pendidikan sebelum abad pertengahan. Dia berpendapat bahwa apabila anak melakukan kesalahan tingkah laku, pendidik tidak perlu memberikan hukuman, karena alam sendirilah yang akan menghukumnya (Arikunto, 1993: 171).
28
5. Prinsip-prinsip Reward dan Punishment a. Prinsip-prinsip Pemberian Reward 1) Penilaian didasarkan pada perilaku bukanya pelaku Bagi yang belum terbiasa, tentunya masih sulit untuk membedakan antara pelaku dengan perilaku. Perbedaanya adalah. Perilaku bisa baik dan dan bisa salah, tetapi pelaku senantiasa tetap baik. (Istadi, 2005: 29) 2) Hadiah harus ada batasanya. Pemberian
hadiah
tidak
bisa
menjadi
metode
yang
dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga tahapan menumbuhkan kebiasaan saja. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada anak
tentang
pembatasan
ini.
Sampaikan
dalam
berbagai
kesempatan, bahwa tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk menumbuhkan pembiasaan semata. Pengertian ini harus disampaikan seawal mungkin, untuk menghindari tumbuhnya harapan anak yang terlalu besar terhadap perolehan hadiah ini. (Istadi, 2005: 33) 3) Distandarkan pada proses bukan hasil Begitu banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenernya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nantinya tidak bisa dijadikan patokan keberhasilanya, karena ada banyak faktor lain yang
29
mempengaruhi selain dari pengaruh proses atau usaha anak saja. Jadi, ketika memberikan hadiah harus memperhatikan proses anak dalam mendapatkan hasil tersebut. (Istadi, 2005: 45) 4) Dimusyawarahkan kesepakatanya Jangan takut untuk bermusyawarah dengan anak, karena sesungguhnya anak memiliki kemampuan berdialog yang baik. Tetapi yang lebih penting dari semua itu, jika pendidik berhasil melibatkan anak dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan diri
mereka,
maka
mereka
akan
lebih
termotivasi
untuk
melakukanya, dan lebih mudah menjaga serta mematuhinya. (Istadi, 2005: 47) b. Prinsip-prinsip Pemberian Punishment 1) Menjaga kesetimbangan antara hukuman dan hadiah Orang tua atupun pendidik terkadang hanya terfokus untuk memperbaiki perilaku anak yang salah dengan cara memberikan hukuman. Sebaliknya perbuatan baik anak dibiarkan saja, tidak diperhatikan, tidak diberikan perhatian positif
maupun hadiah,
pujian ataupun yang lainya. Hal inilah yang harus jadi bahan pertimbangan dan diperhatikan. Bahwasanya, hadiah dan hukuman haruslah seimbang penggunaanya dan disesuaikan penggunaanya. (Istadi, 2005: 67) 2) Menghukum tanpa emosi
30
Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan emosi
kemarahan, atau bahkan emosi kemarahan itulah yang
menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan kesalahan, menjadi tidak lagi efektif. (Istadi, 2005: 81) 3) Menyepakati hukuman Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus dimusyawarahkan dan didialogkan terlebih dahulu, maka begitu pula yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Inisiatif orangtua dan pendidik utuk mendialogkan hal ini demi memperoleh kesepakatan, merupakan tindakan yang menghargai anak sebagai seorang pribadi. Ketika telah ada kesepakan sebelumnya dengan anak, maka harapanya adalah sang anak sadar akan konsekuensi yang harus diterima apabila melakukan kesalahan sesuai dengan kesepakatan. (Istadi, 2005: 86) B. Pendidikan Islam 1. Definisi Pendidikan Islam Banyak sekali para pakar pendidikan yang mendefinisikan pendidikan Islam. Dari begitu banyak pendapat para pakar tersebut, maka berikut penjelasan dari pengertian pendidikan Islam tersebut. Definisi yang pertama, pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan
31
terencana untuk membentuk peserta didik agar memiliki keseimbangan jasmani dan rohani, serta memiliki iman, ilmu, dan amal sekaligus (Gunawan, 2014:9-10 ) Muhammad Hamid an-Nashir dan Qulah Abd al-Qadir Darwis mendefinisikan
pendidikan
Islam
sebagai
proses
pengarahan
perkembangan manusia (ri‟ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa, tingkahlaku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada kebaikan menuju kesempurnaan. ( Roqib, 2009: 17) Definisi pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan da lam Perspektif Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam,. Bila disingkat, pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin (Tafsir, 2008: 32). Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang dilakukan oleh seseorang (guru) untuk mengarahkan anak dalam hal jasmani dan rohani serta tingkah lakunya sehingga dapat menjadi seorang muslim yang terdidik dengan baik. 2. Dasar Pendidikan Islam a. Al-Qur‟an Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahyu yang disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan
32
untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran yang terkandung dalam Al-Qur‟an itu sendiri dari dua prinsip besar, yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut Aqidah. Dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah (Departemen Agama RI, 1984: 19) b. As-Sunnah As-Sunnah ialah perkataan,perbuatan ataupun pengakuan Rasul Allah SWT. Yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan. Sunnah merupakan sumber ajaran ke dua sesudah Al-Qur‟an, Sunnah juga berisi aqidah dan syari‟ah. Sunnah berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa (Departemen Agama RI, 1984: 20). c. Ijtihad Ijtihad ialah berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuan syari‟at Islam untuk menetapkan atau menentukan hukum Syari‟at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur‟an dan As-sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada AlQur‟an dan As-sunnah (Daradjat, 2011:21)
33
3. Tujuan Pendidikan Islam Berbicara mengenai pendidikan Islam maka yang perlu diketahui juga adalah tujuan pendidikan Islam tersebut. Seperti halnya lembaga-lembaga lain, maka pendidikan Islam juga memiliki tujuan tersendiri yang ingin dicapai. Berikut tujuan-tujuan tersebut menurut para tokoh intelektual Islam : a. Menurut Imam al-Ghazali tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Membentuk
insan
purna
yang
pada
akhirnya
dapat
mendekatkan diri kepada Allah Swt. 2) Membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun akhirat (Arief, 2002: 22). b. Menurut Zakiah Daradjat (2011:29) tujuan pendidikan Islam terdiri dari tujuan umum,tujuan akhir, tujuan sementara, dan tujuan profesional yaitu sebagai berikut : 1) Tujuan Umum Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan itu. Tujuan umum itu tidak dapat dicapai kecuali melalui proses pengajaran,
pengalaman,
keyakinan akan kebenaranya.
34
pembiasaan,
penghayatan
dan
2) Tujuan Akhir Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk insan kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun, bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang. Perasaan,
pengalaman
dan
pengalaman
dapat
mempengaruhinya. Karena itulah, pendidikan Islam berlaku selama
hidup
mengembangkan,
untuk
menumbuhkan,
memelihara,
memupuk,
mempertahankan
tujuan
pendidikan yang ingin dicapai. Orang yang sudah takwa dalam bentuk insan kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurangkurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang, meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam pendidikan formal. 3) Tujuan Sementara Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada diri pribadi anak didik. Tujuan pendidikan Islam seolah-olah merupakan suatu lingkaran yang pada tingkat paling rendah mungkin merupakan lingkaran kecil. Semakin tinggi tingkat
35
pendidikanya, lingkaran tersebut semakin besar. Tetapi sejak dari tujuan pendidikan tingkat permulaan, bentuk lingkaranya sudah harus kelihatan. 4) Tujuan Operasional Tujuan operasioanal ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat operasioanalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan kepribadian. Untuk tingkat paling rendah, sifat yang berisi kemampuan dan keterampilanlah yang ditonjolkan. Misalnya dapat berbuat, terampil melakukan, lancar mengucapkan, mengerti, memahami, meyakini dan menghayati adalah soal kecil. Pada masa permulaan yang penting ialah anak didik mampu dan terampil berbuat, baik perbuatan itu perbuatan lidah (ucapan) ataupun perbuatan anggota badan lainya. Kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada anak didik, merupakan sebagian kemampuan dan keterampilan insan kamil yang semakin sempurna. Berdasarkan pendapat-pendapat tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya adalah membentuk manusia yang beriman kepada Allah SWT untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tujuan pendidikan Islam lainya adalah agar anak didik mampu berperilaku baik selama hidupnya dengan nilai-nilai keislamanya.
36
BAB III JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM A. Janji dan Ancaman Allah 1. Konsep Janji dan Ancaman Allah Agama Islam mengajarkan kepada manusia tentang berbagai hal, mulai dari sikap manusia, ibadah, sosial dan sebagainya. Islam merupakan satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Seperti yang dijelaskan Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 19 sebagai berikut :
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi (Al Kitab) kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS.Ali Imran : 19) (Departemen Agama RI, 2002: 52) Atas dasar ayat di atas, maka semua aspek kehidupan harus di kembalikan kepada Islam tentang bagaimana menyikapinya agar tidak salah jalan. Allah SWT memberikan janji kepada umatnya yang beriman akan dimasukkan ke dalam surga. Surga menjadi balasan ataupun ganjaran bagi orang-orang yang beriman. Janji dan ancaman dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah alwa‟d wa al-wa‟id. Sementara itu, kata ini berasal dari bahasa arab yaitu 37
ًَ ْعدًا- ًَ َع َد – َي ِع ُدyang artinya menjanjikan sesuatu (Yunus, 2010: 502). Istilah ini dipopulerkan oleh aliran Mu‟tazilah sebagai al Usul alKhamsah, atau lima ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Mu‟tazilah . Menurut al-Khayyat seperti yang dikutip oleh Harun Nasution (1986: 52) orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut Mu‟tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar itu. Orang yang hanya menerima sebagian dasar-dasar tersebut tidak dipandang sebagai orang Mu‟tazilah. al Usul al-Khamsah sendiri diberi urutan yaitu, al-Tawhid, al-„Adl, al-wa‟d wa al-Wa‟id, al-Manzilah bain al-Manzilatain dan al-„Amr bi al-Ma‟ruf wa al-Nahy „an al-Munkar. Menurut paham Mu‟tazilah, Tuhan tidak akan dapat disebut adil, jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana yang telah dijanjikan Tuhan (Nasution, 1986: 55). Maka konsep ini bisa menjadi acuan bahwa memberikan upah kepada anak yang menunjukkan perilaku baik merupakan bentuk keadilan orang tua kepada anaknya. Sementara itu, pemberian hukuman kepada anak yang berbuat kesalahan terhadap peraturan yang telah ditetapkan juga merupakan bentuk keadilan orangtua sesuai dengan konsep di atas.
38
Bagi
kaum
Mu‟tazilah
dan
kaum
Maturidiah
golongan
Samarkand menganggap bahwa manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya dan yang dilakukanya bukan dengan paksaan tetapi dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya (Nasution, 1986: 127). Anggapan ini apabila dicermati adalah bentuk keadilan Tuhan karena Tuhan telah membebaskan manusia untuk melakukan perbuatan yang dikehendakinya sendiri-sendiri. Manusia dalam hal ini, dibebaskan akan tetapi juga harus siap menanggung resiko apabila melakukan perbuatan yang buruk. Resiko itu adalah dihukum oleh Tuhan. Menurut Mu‟tazilah, Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orangtuanya dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh pada-Nya dan memberi hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya (Nasution, 1986: 124). Ini artinya bahwa menurut mereka Tuhan tidak akan melanggar peraturan yang telah dibuat-Nya. Maka dalam hal ini, berarti Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang sikap bertanggungjawab terhadap hak dan kewajiban masing-masing manusia. Berbeda dengan Mu‟tazilah, Al-Asy‟ari berpendapat bahwa upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan (Nasution, 1986: 126). Jadi, menurut faham Asy‟ariah, Tuhan memiliki kebebasan dalam memberikan upah dan hukuman. Tuhan boleh-boleh saja tidak memberikan upah, karena Tuhan itu Adil. Seperti pendapat Al-Ghazali yang beranggapan bahwa Tuhan 39
memberikan upah kepada manusia, jika yang demikian dikehendaki-Nya, dan memberi hukuman jika itu pula dikehendaki-Nya (Nasution, 1986: 126). Pendapat Al-Ghazali ini memberikan gambaran bahwa Allah maha kuasa segala-galanya. Allah memiliki kekuasaan untuk memberikan upah kepada manusia sesuai dengan kehendak-Nya dan Allah memiliki kekuasaan untuk memberikan hukuman yang bermacam-macam kepada manusia sesuai dengan kesalahan manusia itu sendiri. Menurut kaum Asy‟ariah, Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (al-salah wa al-aslah) manusia, tidak wajib memberi upah atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatanya (Nasution, 1986: 73). Konsep ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak harus memberi upah atau ganjaran pada manusia, kalaupun Tuhan memberikan upah atau ganjaran maka semua itu adalah atas kehendak-Nya dan manusia harusnya tidak mengharapkan apa-apa dari perbuatanya kecuali adalah keridhaan Allah SWT. Pada intinya, kaum Asy‟ariah berpendapat bahwa Tuhan memberi hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Sementara itu kaum Mu‟tazilah beranggapan bahwa Tuhan mengeluarkan hukuman sesuai dengan hukum dan bukan dengan sewenang-wenang (Nasution, 1986: 127).
40
Berdasarkan kedua pendapat dari dua aliran di atas yaitu Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah maka penulis dapat menyimpulkan bahwa, Allah sudah memberikan janji dan ancaman di dalam Al-Qur‟an yang sangat banyak. Janji yang berupa ganjaran, Surga, kesenangan dunia dan akhirat dan juga mengancam manusia yang berbuat keburukan selama hidupnya untuk mendapatkan siksa yang pedih di Neraka. Namun yang perlu dipahami adalah Allah Swt maha kuasa atas segala sesuatu yang ada di dunia ini. Seperti yang dijelaskan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 148 berikut ini:
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah: 148). (Departemen Agama RI, 2002: 23) Banyak sekali ayat dalam Al-Qur‟an yang mengulang kata “Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Ini artinya bahwa Allah mengisyaratkan bahwa kekuasaan mutlak ada pada Allah SWT. Begitu juga dengan pemberian upah dan hukuman adalah mutlak kuasa Tuhan, sehingga manusia hanya bisa melakukan perbuatan baik yang sesuai perintah-Nya. Kalau manusia sudah melakukan yang terbaik dan sesuai perintah Allah SWT maka manusia tidak perlu khawatir
41
terhadap janji dan ancaman Allah, biarlah itu menjadi hak dan rahasia Allah SWT. 2. Bentuk-bentuk Janji dan Ancaman Allah a. Janji Allah di Dunia 1) Keberuntungan, seperti firman Allah SWT :
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,” (Qs.Al-Mukminun: 1) (Departemen Agama RI, 2002: 342) 2)
Petunjuk, seperti firman Allah SWT :
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al-Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj :54) (Departemen Agama RI, 2002: 338) 3)
Pertolongan, seperti firman Allah SWT
Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa dan Kami selalu berkewajiban
42
menolong orang-orang yang beriman. ( QS.Ar-Ruum :47) (Departemen Agama RI, 2002: 409) 4) Kemuliaan/ketaatan, seperti firman Allah SWT:
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. “(QS. Al-Munafiqun: 8) (Departemen Agama RI, 2002: 555) 5) Kehidupan yang baik, seperti firman Allah SWT :
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97) (Departemen Agama RI, 2002: 278) b.
Janji Allah di Akhirat 1) Masuknya orang-orang beriman ke Surga, kekal di dalamnya, dan keridhaan dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah SWT:
43
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. “ (QS.At-Taubah : 72) (Departemen Agama RI, 2002: 198) 2) Melihat Allah Swt, sebagaimana firman Allah SWT :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseriseri. kepada Tuhannyalah mereka melihat. “ (QS.Al-Qiyamah:2223) (Departemen Agama RI, 2002: 578)
Janji-janji Allah SWT sangatlah banyak. Apa yang digambarkan Allah dalam firman-firman-Nya merupakan balasan bagi orang yang bertaqwa dan berbuat baik. Janji-janji yang bersifat kesenangan dan kebahagiaan ini adalah bentuk motivasi dari Allah kepada manusia untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dan berbuat kebaikan. Dengan motivasi seperti itu, maka manusia diharapkan untuk berlomba-lomba dalam beribadah kepada Allah. Sementara itu, dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh AtTirmidzi berikut ini juga menjelaskan janji Allah Swt kepada makhluknya. Haditsnya adalah sebagai berikut :
44
َ ك ً ط ِر ْي ق يَ ْلتَ ِمسُ فِ ْي ِو ِع ْل ًما َسيَ َل ا هللُ لَوُ طَ ِر ْيقًا اِلَى ْال َجنً ِة َ ََم ْن َسل “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju Surga”. (At-Tirmidzi, 1992: 274) Hadits di atas menjelaskan janji Allah SWT kepada orang yang mau menempuh jalan untuk menuntut ilmu. Barangsiapa yang menuntut ilmu kebaikan (Islam),
maka Allah akan memudahkan jalan orang
tersebut menuju Surga. Dengan begitu maka orang yang menuntut ilmu itu adalah orang yang dimuliakan oleh Allah sehingga Allah memberikan ganjaran akan dimudahkan dalam perjalananya ke Surga nanti. Janji Allah tersebut mengisyaratkan pentingnya menuntut ilmu, karena dengan ilmu maka manusia akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan mengetahui kedua perkara ini tentunya manusia akan lebih mudah untuk menjalani kehidupan dan membuat hidupnya lebih barokah dan ketika telah tiba saatnya nanti jalanya ke Surga akan sangat mudah seperti yang telah dijanjikan Allah SWT. Seperti yang disebutkan di atas, janji-janji Allah bisa berupa ganjaran dunia dan di akhirat. Ganjaran di dunia itu bisa berupa keberuntungan, petunjuk, pertolongan, keselamatan, kehidupan yang baik dan sebagainya. Ganjaran di dunia merupakan bentuk perhatian Allah SWT kepada manusia yang bertaqwa. Sementara itu ganjaran di akhirat tidak lain adalah Surga. Surga digambarkan Allah sebagai tempat yang indah, tempat dimana orang-orang beriman dan bertaqwa ditempatkan.
45
Namun sekali lagi bahwa janji-janji Allah tersebut hanya bisa didapat oleh orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Sir Sayid Amir Ali berpendapat mengenai ajaran tentang akhirat. Seperti yang dikutip oleh Maunah (2011: 290) umpamanya ia menjelaskan bahwa keinginan manusia untuk dapat bersatu kembali dengan orang yang dikasihi dan disayangi, sesudah dipisahkan oleh kematian. Hasrat besar inilah yang menmbulkan ide adanya kelanjutan hidup sesudah selesainya hidup di dunia ini. Agama-agama yang datang sebelum Islam pada umumnya menggambarkan bahwa hidup kedua manusia itu akan memperoleh upah dan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani. Pendapat ini tentunya ada alasanya tersendiri. Upah dan balasan yang berupa jasmani barangkali lebih terasa nyata ketimbang dengan upah dan balasan rohani. Karena dengan upah dan balasan yang berupa jasmani akan semakin meyakinkan bahwa upah dan balasan itu memang nyata ada. Sir Sayid Amir Ali menambahkan apa yang harus dipercayai orang Islam
ialah
bahwa
di
akhirat
nanti
tiap
orang
harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatanya di dunia ini. Tetapi, lebih dari itu Tuhan bersifat pengasih serta rahmatnya akan dilimpahkan secara adil kepada semua makhluknya. Inilah keyakinan pokok yang harus diterima dalam Islam mengenai akhirat (Maunah, 2011: 291).
46
Sementara itu, sebagian filosof dan sufi berpendapat bahwa balasan yang akan diterima di akhirat nanti memanglah balasan spiritual dan bukanlah balasan jasmaniyah. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa ajaran mengenai akhirat itu amat besar arti dan pengaruhnya dalam mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi berbuat jahat (Maunah, 2011: 291). Pendapat ini tentu juga mempunyai alasan tersendiri. Namun yang perlu dipahami sebenarnya adalah upah dan balasan itu pasti ada, dan tentang permasalahan itu jasmani atau rohani biarkan itu menjadi rahasia Allah dan suatu saat pasti akan diketahui kebenaranya. Dalam Islam, istilah ganjaran (thawab) digunakan di berbagai ayat Al-Qur‟an yang bermakna sesuatu yang diperoleh seseorang dalam hidup ini atau di hari akhirat sebab ia telah mengerjakan amal saleh. Kebesaran ganjaran di akhirat berasal dari kebesaran ganjaran itu yaitu Allah SWT. Inilah yang menggambarkan kenapa Nabi Muhammad SAW hanya mengharapkan ganjaran Allah saja. Jadi setiap pelajar dalam sistem pendidikan Islam seharusnya bermotivasi tinggi oleh ganjaran ini, sebab guru („alim) dan pelajar (muta‟alim) mendapat ganjaran dari Allah sebab menuntut ilmu ini. Namun sebab ganjaran hari akhirat itu jauh, terutama bagi anak-anak yang masih muda, maka ganjaran dalam hidup ini juga diperlukan. Fakta ini juga ditekankan dalam Al-Qur‟an yang menyatakan ganjaran di dunia di berbagai keadaan. Inilah yang memestikan pemberian
47
ganjaran kepada anak-anak yang kurang tertarik kepada ganjaran yang terlalu jauh (Langgulung, 2004: 37-38). Pemberian ganjaran terkadang dianggap remeh oleh para anak. Apalagi ketika yang dibicarakan ganjaran di akhirat. Namun berhubungan dengan pendidikan Islam, maka pendidik harus memberikan pengertian yang baik tentang perkara ini. Ganjaran akan diberikan apabila seseorang telah melakukan perilaku yang baik seperti yang diperintahkan. Guru dalam hal ini bisa memberikan sebuah ganjaran berupa pujian untuk pertama kali. Pujian merupakan ganjaran yang paling mudah dan kecil, namun imbasnya bisa jadi adalah yang paling baik c. Ancaman Allah Swt
“jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. “ (QS.At-Taubah : 74) (Departemen Agama RI, 2002: 199)
“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi.” (QS.Az-Zumar : 65) (Departemen Agama RI, 2002: 465)
48
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orangorang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. “ (QS.Al-Bayyinah :6) (Departemen Agama RI, 2002: 598)
“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. “ (QS.AlBaqarah : 39) (Departemen Agama RI, 2002: 7) Ancaman-ancaman Allah kepada manusia adalah bentuk ramburambu atau batas-batas yang mengatur perilaku manusia. Seperti halnya ancaman yang dilakukan manusia, maka ancaman sudah pasti berbentuk sesuatu yang harus diperhatikan dengan baik dan dimengerti maksudnya. Ancaman dari Allah Swt tentu bukanlah ancaman yang main-main karena ini berhubungan dengan Tuhan sang pencipta alam semesta. Ancaman dari Allah Swt tentu adalah siksa yang pedih. Siksa yang pedih tersebut diperuntukkan bagi manusia yang berbuat keburukan selama hidupnya dan tidak menjalankan perintah-perintah Allah Swt. Neraka merupakan tempat bagi orang-orang yang tidak patuh terhadap Allah Swt. Neraka digambarkan sebagai tempat penyiksaan bagi mereka yang dimasukkan ke dalam neraka, merka itu adalah orang-orang kafir, kufur, orang-orang yang berbuat keburukan, tidak menjalankan perintah Allah, melanggar larangan-Nya dan lain sebagainya. siksa yang
49
terus menerus akan diterima selama mereka di neraka merupakan balasan atas apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia. B. Hukuman dalam Ajaran Islam Agama Islam memiliki tiga kategori hukuman yang harus dibedakan, seperti yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung (2004:39-40) yaitu : 1. Hudud adalah hukuman-hukuman pasti dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki. Hukumanhukuman ini tidak boleh dibatalkan dalam keadaan apapun begitu suasana yang membolehkan penjatuhan hudud telah disetujui. Hukuman-hukuman hudud dijatuhkan kepada orang-orang yang melakukan salah satu diantara perbuatan berikut : mencuri, meminum-minuman keras, merampok dengan senjata, murtad, hubungan seks di luar perkawinan, dan tuduhan palsu (qadhf). Hukuman yang dijatuhkan melalui hudud berbeda-beda. Misalnya, hudud pencurian adalah hukuman potong tangan, dan hudud tuduhan palsu adalah dipukul dengan rotan delapan puluh kali. 2. Qisas serupa dengan hudud dalam hal ia berkaitan dengan kejahatankejahatan yang sudah tentu hukumanya. Bedanya adalah bahwa hudud adalah khas untuk Allah dan tidak dapat dibatalkan, sedangkan qisas, walaupun juga diperintahkan oleh Allah, boleh dibatalkan. Kejahatankejahatan yang memustikan qisas adalah dalam keganasan jasmaniah terhadap
seseorang,
seumpama
melakukan
pembunuhan
atau
mencederakan orang, dan hukumanya adalah serupa dengan yang telah
50
dilakukanya.
Namun
orang
yang
berbuat
kejahatan
ini
boleh
menghindarkan balasan jika yang dianiaya itu memaafkanya. 3. Pada umumnya hukuman ta‟zir lebih ringan daripada hudud dan qisas. Hukuman ta‟zir diserahkan kepada qadhi menurut keadaan. Dalam hal dimana larangan sudah cukup, maka tidak dijatuhkan hukuman berat. Contoh-contoh dimana hukuman ta‟zir dijatuhkan adalah pada penghinaan kepada orang lain, tidak menunaikan sembahyang fardhu, atau tidak puasa dalam bulan Ramadhan. Walaupun ketiga kategori hukuman tersebut berbeda-beda dalam segi berat ringanya, tetapi mereka dijatuhkan dengan tujuan mengatur tingkahlaku manusia.
Hukuman
dalam
Islam
tidak
dijatuhkan
sekadar
untuk
menyengsarakan. Islam memberi hukuman tidak serta merta hanya menghukum saja, karena pada dasarnya hukuman tersebut sudah disesuaikan dengan tingkat pelanggaran tertentu. Jadi, hukuman-hukuman tersebut sudah disusun rapi sedemikian rupa lengkap dengan sebab akibatnya (Langgulung, 2004:40) Perbedaan yang mendasar antara ketiga kategori hukuman ini terletak pada kadar berat dan ringanya hukuman tersebut. Hudud merupakan hukuman yang tidak bisa dibatalkan dalam keadaan apapun apabila hukuman hudud itu telah disetujui. Ini artinya bahwa hukuman ini pasti dilakukan karena yang dijatuhi hukuman atau pelaku telah melakukan tindak kejahatan yang mengharuskan hukuman hudud itu dilaksanakan. Sementara itu, qisas merupakan hukuman yang hampir serupa dengan hudud, yang membedakan
51
adalah apabila korban dari kejahatan pelaku tersebut memberikan maaf dan tidak menghendaki hukuman qisas tersebut maka hukuman ini dapat dibatalkan. Lalu hukuman ta‟zir adalah hukuman yang paling ringan karena hukuman ini memungkinkan untuk dibatalkan apabila dengan larangan bagi pelaku untuk tidak melakukanya lagi sudah cukup, maka hukuman berat bisa ditiadakan. Hanya saja hukuman ringan tetap diberikan sebagai peringatan kepada pelaku. Persamaan dari ketiga kategori hukuman ini adalah sama-sama digunakan untuk mengatur tingkahlaku manusia agar tidak sembarangan dalam melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Hal ini jelas karena agama Islam mengatur segala perbuatan yang dilakukan manusia baik tindakan maupun konsekuensinya. Konsekuensi tersebut berupa hukuman yang mau tidak mau harus diterima oleh pelaku tindak kejahatan. Sehingga aturan-aturan dan hukuman yang telah dibuat tersebut dapat menjadi peringatan bagi seluruh manusia khususnya umat Islam. C. Targhib dan Tarhib Konsep janji dan ancaman dalam ajaran Islam apabila dikaitkan dalam pendidikan maka bisa berarti sama dengan konsep targhib dan tarhib. Kebanyakan dari janji merupakan sesuatu yang bersifat menyenangkan, sedangkan ancaman bersifat menakutkan. Konsep ini dimasukkan dalam pendidikan Islam untuk memberi pemahaman kepada siswa tentang janji dan ancaman Allah. Janji tersebut menjadi sesuatu yang diharapkan dapat memotivasi siswa untuk melakukan perbuatan baik dan mendapatkan balasan
52
dari Allah yang berupa Surga dan lain sebagainya. Sedangkan ancaman digunakan sebagai batas-batas apa saja yang harus dihindari siswa agar terhindar dari ancaman Allah yang bisa berupa Neraka , siksaan dan lain sebagainya. Targhib dan tarhib menjadi dua hal yang menarik, karena ada yang beranggapan bahwa targhib dan tarhib hampir sama dengan konsep reward dan punishment. Targhib dan tarhib pertama kali diperkenalkan oleh Abdurrahman alNahwali yang juga seorang guru besar Tarbiyah di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir (mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.co.id). Targhib dan tarhib digunakan dalam pendidikan Islam menggunakan konsep janji dan ancaman untuk mendidik anak. Untuk lebih jelasnya maka berikut penjelasanya. 1.
Targhib Targhib adalah strategi atau cara untuk meyakinkan seorang murid terhadap kekuasaan dan kebenaran Allah SWT melalui janji-Nya, disertai dengan bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shalih. Bujukan yang dimaksud adalah kesenangan duniawi akibat melaksanakan perintah Allah swt serta menjauhi larangan-Nya (Muchtar, 2008: 221). Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Targhib bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah swt (Tafsir, 2008: 146). Maka dapat disimpulkan bahwa targhib adalah strategi atau cara untuk meyakinkan anak tentang
53
janji-janji Allah SWT terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat dengan bujukan untuk melakukan amal kebaikan. Targhib menjadi model pendidikan yang memberi efek motivasi untuk beramal dan memercayai sesuatu yang dijanjikan. Misalnya perkara tentang “kematian”, secara umum manusia takut akan hal kematian. Awalnya manusia memiliki rasa takut kehilangan, baik ditinggal oleh seseorang yang dekat ataupun rasa takut pada kematian itu sendiri. Perasaan takut itu dilandasi oleh beberapa hal, seperti cinta pada dunia dan enggan meninggalkan kesenangan di dalamnya, takut akan bentuk kematian itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran Islam memberikan penjelasanya dengan sangat baik terkait hal-hal kematian, utamanya melalui targhib. Islam memotivasi manusia untuk beriman dan beramal saleh, serta melakukan perbuatan-perbuatan baik lainya dengan didasari keimanan sebagai modal untuk memasuki alam kematian. Contoh ini akan menggambarkan bahwa pada awalnya manusia itu buta akan kematian, bahkan cenderung takut kematian dengan berbagai alasan (Syafri, 2014: 112-113). Tujuan yang ingin dicapai metode targhib adalah untuk memotivasi anak. Hal ini hampir sama dengan tujuan dari meode pemberian reward yang juga untuk memotivasi siswa agar lebih giat belajar. Namun yang membedakan barangkali adalah targhib lebih dalam motivasinya karena berhubungan dengan janji Allah Swt . Sementara itu reward lebih bersifat janji duniawi ataupun materi. Namun pada dasarnya targhib dan reward
54
sama-sama berusaha untuk memperbaiki tingkah laku anak sehingga dapat dikontrol dengan baik dengan cara memotivasi. Melalui pendidikan yang memberi motivasi dengan janji-janji yang terdapat dalam nash-nash agama, maka sesuatu yang menakutkan bisa menjadi dirindu dan diharapkan. Dalam Al-Qur‟an, kalimat targhib berterbaran hampir di setiap surat. Bila dianalisis bagaimana Al-Qur‟an melakukan proses pendidikan kepada kaum mukmin dengan kalimat targhib tersebut selalu memberikan janji yang menyebabkan objek didikanya merasa dimotivasi untuk sampai pada suatu target amal tertentu (Syafri, 2014: 114).
“Kemudian Kami selamatkan Rasul-rasul Kami dan orangorang yang beriman, Demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman. (Qs.Yunus: 103) (Departemen Agama RI, 2002: 220) Ayat di atas menceritakan bahwa Allah Swt akan menyelamatkan Rasul-rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah Swt dan mampu menjauhi larangan-larangan-Nya. Maka sesuai dengan ayat ini, maka anak diajak untuk beriman kepada Allah Swt dengan cara beribadah dengan tekun dan menjadi hamba yang patuh terhadap Tuhanya yaitu Allah Swt. Harapanya adalah Allah Swt menyelamatkan orang-orang yang beriman dan memasukkanya ke dalam surga.
55
Pada model
targhib dalam Al-Qur‟an terdapat
janji-janji
keberuntungan, kebahagiaan, kesempurnaaan, pertolongan, keselamatan, bahkan semua yang menjadi idaman kaum mukmin, baik jangka pendek di dunia, maupun jangka panjang di akhirat. Pahala di akhirat itulah reward dari dzat yang maha kaya bagi yang berhasil melakukan amalan-amalan terbaik selama di dunia (Syafri, 2014: 114). Targhib merupakan salah satu alternatif metode pendidikan disamping metode-metode lain yang sudah biasa digunakan. Targhib dapat digunakan kepada anak untuk memberikan motivasi sekaligus sebagai bahan pertimbangan
bagi
anak
untuk
melakukan sesuatu
yang
diperintahkan oleh agama, dalam hal ini agama Islam. Sehingga nantinya anak akan paham tentang apa yang dijanjikan Allah Swt apabila ia melakukan amal baik dan berusaha untuk mendapatkan janji tersebut demi kebahagiaanya di dunia dan akhirat. Model targhib ini mendorong menghadirkan perasaan penuh rindu kepada sesuatu yang diinginkan atau sesuatu yang dijanjikan sebagai reward
karena
melakukan
perintah-Nya.
Model
targhib
juga
memunculkan rasa harap yang besar terhadap janji yang disebutkan. Tentunya rasa harap itu bukanlah angan-angan, karena rasa harap selalu diiringi dengan amal, sedangkan anagan-angan tidak diiringi oleh amal yang mewujudkanya (Syafri, 2014: 117). Targhib bisa dibilang digunakan untuk membentuk kepribadian islami dalam diri anak. Dengan kepribadian islami tersebut maka anak
56
akan mudah untuk diajak beribadah karena anak paham akan janji Allah Swt kepada orang-orang yang beriman. Lalu, dalam pembelajaran anak akan bersemangat untuk mencari ilmu yang bermanfaat bagi kehidupanya. Selain itu, pendidikan dengan model targhib akan merangsang kesadaran anak bahwa semua yang dilakukanya di dunia ini semata-mata untuk Allah Swt. Pendidikan yang menggunakan model targhib adalah pendidikan yang melihat manusia tidak saja pada aspek akal dan jasmani, tapi juga melihat aspek hati atau jiwa. Keberhasilan suatu pendidikan diukur pada orientasi pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Jadi harus dipastikan pendidikan pada aspek akal, jasmani serta jiwa atau hati. Ketiganya mesti seimbang, tidak pincang (Syafri, 2014: 117). Dalam pendidikan modern saat ini dikenal istilah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga hal ini merupakan aspek-aspek yang menjadi sasaran pendidikan modern. Pada dasarnya, ketiga hal ini juga yang menjadi sasaran dalam pendidikan Islam. Namun, yang membedakan barangkali adalah dalam pendidikan Islam lebih memusatkan tujuanya ke dalam sisi hati atau jiwa anak didik secara islami (kerohanian). Model targhib ini juga mengakui eksistensi jiwa dan perasaan dimana hal ini amat penting dalam dunia pendidikan. Model ini mencoba untuk memberikan porsi pendidikan kepada jiwa dan hati tersebut dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan manusia untuk bergerak. Tidak saja aspek jiwa atau hati yang digugah, akal pun diberi ruang untuk berpikir,
57
yaitu membedakan antara suatu yang positif dan yang membahayakan (Syafri, 2014: 117). Jiwa dan perasaan merupakan suatu elemen penting dalam diri manusia. Ketika jiwa ataupun perasaan manusia tersakiti oleh sesuatu yang menyakitkan, maka ini akan sangat berbahaya dalam perkembangan dirinya. Maka dari itu, pendidikan model targhib sangat menjaga perasaan dan jiwa dengan menawarkan janji-janji Allah Swt yang berupa kebahagiaan di akhirat. Banyak kelemahan-kelamahan dalam dunia pendidikan yang disebabkan kurang diperhatikanya aspek jiwa dan perasaan manusia. Bahkan meskipun ada pendekatan yang digunakan, belum menggunakan pendekatan yang tepat sesuai dengan kecenderungan fitrah manusia. Dunia pendidikan terkesan memperlakukan manusia seperti robot. Olahan otak dan jasmani amat dominan dalam pendidikan yang berkembang saat ini, sehingga standar-standar keberhasilan pendidikan seringkali diterjemahkan dengan angka. Proses pendidikan sudah dianggap berhasil bila kecerdasan anak didik itu terbukti dengan selembar kertas hasil tes mereka yang lebih bercorak kemampuan akal. Bentuk pembelajaran yang tidak membangun keseimbangan antara aspek-aspek yangg ada dalam diri manusia tersebut sebenarnya bisa disebut sebagai model yang gagal. Yaitu kegagalan sebuah metode untuk sampai kepada orientasi pendidikan yang sesungguhnya. Al-Qur‟an melakukan keseimbangan dalam komunikasi melalui firman-Nya. Sehingga dapat disimpulkan, model pendidikan yang
58
digunakan Al-Qur‟an dalam mendidik manusia melalui ayat-ayatnya sangat sempurna dan sesuai dengan karakter manusia (Syafri, 2014: 118). 2.
Tarhib Tarhib adalah strategi untuk meyakinkan seorang murid terhadap kekuasaan dan kebenaran allah melalui ancaman siksaan sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt, atau tidak melaksanakan perintah Allah SWT (Muchtar, 2008: 222). Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan (Tafsir, 2008: 146). Maka dapat disimpulkan bahwa tarhib adalah strategi untuk meyakinkan seorang murid terhadap ancaman karena dosa yang dilakukan manusia sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, atau tidak melaksanakan perintah Allah SWT. Berdasarkan Al-Qur‟an, tarhib adalah upaya menakut-nakuti manusia agar menjauhi dan meninggalkan suatu perbuatan. Landasan dasarnya adalah ancaman, hukuman, sanksi, dimana hal tersebut adalah penjelasan
sanksi
dari
konsekuensi
meninggalkan
perintah
atau
mengerjakan larangan dari ajaran agama. Namun, tarhib bukanlah hukuman itu sendiri, tarhib berbeda dengan hukuman. Tarhib adalah proses atau metode dalam menyampaikan hukuman, dan tarhib itu sendiri ada sebelum suatu peristiwa terjadi. Sedangkan hukuman adalah wujud dari ancaman yang ada setelah peristiwa itu terjadi. Contoh ketika anak didik dilarang menggunakan narkoba, kemudian diiringi dengan penjelasan secara detail suatu gambaran yang dapat menakut-nakuti agar
59
peserta didik tidak menggunakan narkoba. Maka upaya tersebut adalah model tarhib sedangkan detail wujud dari sesuatu yang berefek mankutnakuti tadi adalah hukuman, misalnya dihukum dengan dikeluarkan dari sekolah. (Syafri, 2014: 118-119) Ketika dalam dunia pendidikan, model tarhib memberi efek rasa takut untuk melakukan suatu amal. Pendidikan yang menggunakan model tarhib adalah pendidikan yang melihat aspek hati atau jiwa manusia tidak saja pada aspek akal jasman, tapi juga melihat aspek hati atau jiwa manusia. Model ini memanfaatkan sifat takut yang ada pada diri manusia. Rasa takut yang ada pada diri manusia tersebut dididik menjadi takut yang bermakna tidak berani melakukan kesalahan atau pelanggaran, karena ada sanksi dan hukumanya ( Syafri, 2014: 120). Tarhib dalam pendidikan Islam memiliki peranan yang penting, karena dengan metode tarhib ini akan memudahkan pendidik untuk membuat anak menjadi takut untuk meninggalkan kewajibanya sebagai muslim. Sehingga anak dengan mudah dididik sesuai arahan dari guru atau orangtuanya. Tanpa disadari anak akan terbiasa dengan melaksanakan kewajibanya karena rasa takut yang mendalam terhadap siksa ataupun azab dari Allah Swt. Maka inilah yang disebut dengan tarhib, yaitu dengan ancaman dari Allah Swt melalui ayat-ayat Al-Qur‟an. Bila diteliti, kalimat-kalimat tarhib yang disebut dalam Al-Qur‟an merupakan ancaman yang amat menakutkan yang berasal dari Dzat Yang Mahakuasa
sehingga
bila
ancaman
60
ini
selalu
diulang-ulang
penyampaianya tentu akan membawa efek takut yang mendalam. Kalimatkalimat yang bernada ancaman seperti siksa, azab, zalim, sesat dan tersesat, dibiarkan Allah dengan tidak diberi petunjuk, dan semacamnya akan berimbas positif dalam bentuk ketaatan pada diri seorang mukmin (Syafri, 2014: 121) Sebagai contoh, berikut ayat Al-Qur‟an yang mengandung tarhib didalamnya. Qs. .At-Taubah ayat 39
Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(Qs.At-Taubah : 39) (Departemen Agama RI, 2002: 193) Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dari metode ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan utamanya adalah targhib dan tarhib bersandarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran duniawi. Menurut Tafsir (2009: 147) perbedaan itu mempunyai implikasi yang penting yaitu: 1. Targhib dan tarhib lebih teguh karena akarnya berada di langit (transenden),
sedangkan
teori
hukuman
dan
ganjaran
hanya
bersandarkan sesuatu yang duniawi. Targhib dan tarhib mengandung aspek iman, sedangkan metode ganjaran dan hukuman tidak
61
mengandung aspek iman. Oleh karena itu, targhib dan tarhib lebih kuat pengaruhnya. 2. Secara operasional, targhib dan tarhib lebih mudah dilaksanakan daripada metode hukuman dan ganjaran karena materi targhib dan tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan hadis Nabi, sedangkan hukuman dan ganjaran dalam metode barat harus ditemukan sendiri oleh guru. 3. Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja dan diman saja, sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus disesuaikan dengan orang tertentu dan tempat tertentu. 4. Di pihak lain, targhib dan tarhib lebih lemah daripada hukuman dan ganjaran, karena hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung waktu itu juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan gaib dan diterima nanti di akhirat Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang mendasar antara targhib dan tarhib dengan ganjaran dan hukuman adalah Targhib dan tarhib mengandung aspek iman sedangkan ganjaran dan hukuman tidak mengandung aspek iman. Materi targhib dan tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan hadis nabi, sedangkan hukuman dan ganjaran ditentukan sendiri oleh guru. Hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung waktu itu juga pemberianya, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan gaib dan diterima nanti di akhirat.
62
BAB IV REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM A. Reward dalam Pendidikan Islam Reward dalam pendidikan digunakan untuk memberikan perasaan senang kepada anak didik. Perasaan senang yang muncul memungkinkan
membuat
gairah anak untuk giat belajar dan meningkatkan prestasinya. Tujuan utama dari pemberian reward tidak lain adalah untuk membuat anak merasa dihargai prestasinya, sehingga anak akan cenderung untuk melakukan yang terbaik dalam setiap pembelajaran. Banyak ahli pendidikan yang menyarankan agar reward digunakan dalam pembelajaran untuk memotivasi siswa atau anak. Seperti Abuddin Nata yang berpendapat bahwa seorang guru harus memotivasi para siswa agar memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya dan menanyakan hal-hal yang penting, dan jika guru menemukan seorang siswa yang menguasai pelajaran , maka ia segera memberikan perhatian, pengakuan, penghormatan dan pujian dalam batas-batas yang tidak membawa sikap sombong pada anak tersebut (Nata, 2001: 94). Memperhatikan dengan baik perkembangan anak akan membuat pendidik atau orangtua menjadi paham tingkahlaku anak, sehingga pendidik bisa dengan sabar dalam menghadapi anak yang sering bertingkah kurang baik, dan tidak perlu menggunakan hukuman untuk mendidik anak tersebut.
63
Guru bisa memberi memberi hadiah kepada siswa-siswanya yang rajin dan berprestasi dengan beberapa hadiah yang membawa manfaat kepada dunia dan di akhirat, misalnya membagikan buku-buku islami kecil yang bertema bagus atau membagikan kaset islami ataupun barang-barang lainya yang islami. Siswa akan bangga dengan hadiah dari gurunya, sehingga dia akan berusaha mengambil manfaat dari hadiah tersebut karena dia telah mendapatkanya dalam kesempatan yang sangat berharga baginya (Al-Munir, 2003: 55). Ketika siswa mendapatkan hadiah, harapanya adalah siswa lain
termotivasi untuk rajin dan berprestasi.
Namun juga harus dipikirkan secara matang hadiah apa yang pantas diberikan kepada seorang anak. Dalam pendidikan Islam tentunya hadiah yang diberikan juga harus bermanfaat bagi anak dalam keislamanya seperti buku panduan shalat, buku tentang zikir, Al-Qur‟an dan sebagainya. Pujian mungkin digunakan untuk meneguhkan gerak balas yang dikehendaki. Guru boleh menyatakan kepuasanya terhadap pencapaian muridmuridnya dengan ucapan-ucapan seperti “bagus, pelajaranmu cemerlang dan lain sebagainya. “ oleh karena prestise penyebab ganjaran itu sangat penting, maka haruslah guru menggunakan segala macam cara untuk menjadikan ganjaran itu lebih menarik, ganjaran yang diberikan dengan mudah biasanya mudah pula hilang kesanya (Langgulung, 2004: 38). Al-Ghazali dalam kitabnya Tahdzib Al-Akhlak wa Mu‟alajat Amradh AlQalub mengemukakan, bahwa setiap kali seorang anak menunjukkan perilaku mulia atau perbuatan yang baik seyogyanya ia memperoleh pujian dan jika perlu diberi hadiah atau insentif dengan sesuatu yang menggembirakanya, atau 64
ditujukan pujian kepadanya di depan orang-orang sekitarnya (Majid, 2013: 124). Dengan demikian, Al-Ghazali yang merupakan tokoh pendidikan Islam dan pernah menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar sangat manganjurkan penggunaaan reward dalam pendidikan. Tidak lain, tujuanya adalah untuk mendidik karakter anak sehingga anak menjadi baik dalam segala hal. Dengan memberikan hadiah secara langsung kepada anak di depan banyak orang, barangkali dapat menimbulkan efek yang baik dan lebih besar kepada anak-anak yang melihatnya. Prinsip “kasih sayang” yang merupakan ekspresi dari reward memang sudah seharusnya diterapkan dalam proses belajar mengajar, terlebih-lebih ketika materialisme sering mengalahkan prinsip-prinsip lainya (Mas‟ud, 2002: 189). Banyak yang beranggapan bahwa reward identik dengan bentuk materi, padahal sebenarnya reward yang terbaik adalah kasih sayang, perhatian, pujian dan semacamnya. Maka dari itu, orangtua dan pendidik dalam memberikan reward tidak harus berupa materi namun cukup dengan hal-hal kecil yang menjadikan perasaan nyaman seorang anak. Mahmud Samir Al-Munir mengatakan bahwa dalam pendidikan Islam, jika guru melihat salah satu siswanya berpegang teguh kepada ajaran Islam, etikaetika Islam, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu maka puji dan berilah hadiah. Lakukan itu di depan teman-temanya sekelas agar mereka semua termotivasi (Al-Munir, 2003: 55). Hal ini sejalan dengan tujuan pemberian reward
65
dalam pendidikan yaitu untuk memotivasi siswa agar giat belajar dan senantiasa termotivasi untuk berprestasi. Reward dan punishment dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang bertakwa selalu menjadi salah satu kunci dalam rumusan tujuan pendidikan dalam Islam. Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil dan sekaligus sebagai model paripurna telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan demikian, sikap-sikap Nabi dan caracara beliau mendidik umat Islam merupakan rujukan penting setelah Al-Qur‟an. Muhammad SAW adalah insan al-kamil, sekaligus guru terbaik (Mas‟ud, 2002: 183). Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan suri tauladan yang baik, karena beliau adalah manusia terpilih untuk menjadi nabi yang terakhir dan pembawa kebenaran sehingga sabda beliau menjadi dasar hukum dalam Islam setelah Al-Qur‟an. The mother surat dalam Al-Qur‟an, al-fatihah, memberi isyarat secara eksplisit bahwa dambaan setiap muslim adalah siratal mustaqim „jalan lurus”, yakni jalanya orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah, bukan golonganya orang yang mendapatkan murka dan sesat. Orang yang memperoleh nikmat dan petunjuk adalah seperti Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, orangorang yang tersesat dan akan mendapatkan punishment dari Allah adalah kaum kafirin dan munafiqin. Dari ayat penting ini bisa ditekankan bahwa tujuan dari proses pendidikan Islam identik dengan pencarian hidayah dan kesempurnaan diri sekaligus dengan menjadikan tokoh-tokoh penting, khususnya Nabi Muhammad, sebagai model pendidikan. Dengan kata lain, guidance „petunjuk‟, siratal 66
mustaqim adalah sasaran dan sekaligus metode yang seyogianya ditempuh dalam proses pendidikan Islam (Mas‟ud, 2002: 184-185). Nabi Muhammad tidak hanya sebagai pembawa kebenaran dalam ajaran Islam, namun beliau juga menjadi panutan bagi pendidik dalam memilih metode pendidikan Islam saat ini. Untuk melandasi metode reward dan punishment dalam pendidikan Islam, prinsip-prinsip yang diperkenalkan Rasulullah perlu ditengok kembali. Prinsipprinsip tersebut seperti yang dikemukakan oleh Abdurrahman Mas‟ud diantaranya sebagai berikut : 1. Kesabaran, keuletan, dan ketegaranya dalam menegakkan ajaran Islam. Tatkala wajah Nabi bercucuran darah karena diserang musuh dalam perang uhud bulan Maret 625 M, para Sahabat menjadi geram dan memohon agar Rasulullah berdoa supaya musuh-musuh dikutuk. Namun, jawaban beliau di luar dugaan para Sahabat, “Tidak...., aku dijadikan utusan Allah bukan untuk mengutuk, melainkan untuk mengajak mereka dengan penuh kasih sayang!” (Mas‟ud, 2002: 185). Prinsip kasih sayang merupakan ekspresi dari reward. Karena mendidik anak harus penuh rasa kasih sayang agar anak menjadi disiplin dalam melaksanakan tugasnya. Reward yang diberikan bisa bermacam-macam seperti perhatian, pujian, hadiah dan sebagainya. 2. Pemaaf, tanpa dendam dan dengki kepada orang lain yang berbuat kesalahan kepadanya. Dalam hal ini, Ibn Hazm menggambarkan Nabi sebagai tokoh yang tidak berkenan marah dalam urusan pribadi meskipun dihina, tetapi tidak pernah tinggal diam jika yang dicela adalah agama dan Tuhanya. Dalam jeda suatu peperangan, Nabi tengah beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba seorang 67
kafir menghunus pedang dan mengacungkanya kepada Nabi serta mengancam, “Hai Muhammad, siapa yang mampu menghambat pedang ini untuk menyelamatkanmu?” Jawab Rasul, “Allah‟ mendengar kalimat “Allah”, jatuhlah pedang orang kafir tersebut. Pedang diambil Nabi dan diacungkanya pula kepada musuh ini seraya berkata, “Siapakah yang bisa menyelamatkanmu sekarang?” “Tidak ada seorangpun, “ kata laki-laki itu dalam ketakutan yang mendalam. “Ampun, kasihanilah aku, Tuan Muhammad,“ pintanya. Ujar Nabi, “Ucapkanlah la ilaha illa Allah, dan aku Rasulullah.“ “Tidak” kata laki-laki itu. “Tetapi, saya berjanji tidak akan bergabung dengan para musuhmu lagi.” Setelah diampuni oleh rasulullah, orang ini pulang ke lingkunganya dengan gembira dan bercerita kepada keluarganya (Mas‟ud, 2002: 185-186). Nabi Muhammad saw mengajarkan kepada umat muslim untuk saling memaafkan kesalahan orang lain. Artinya, dalam proses pendidikan seorang pendidik harus mampu menahan amarahnya ketika anak telah melakukan sebuah kesalahan. Lebih baik pendidik memaafkan dan memaklumi kesalahan anak. 3. Mencintai dan menyayangi sesama mukmin. Murid Nabi pada masanaya mendapatkan panggilan istimewa, yaitu Sahabat. Bahkan, Nabi memberikan perumpamaan bahwa para Sahabat bagaikan bintang-bintang di langit, ka-lnujum. Siapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan petunjuk. Nabi bukan sekadar cinta kepada sesama muslim, melainkan lebih jauh lagi, menyelami kepribadian mereka. Tidak mengherankan jika kita menyaksikan bahwa para Sahabat mampu mewarisi kelebihan-kelebihan beliau. Abu Bakar terkenal akan kesalehanya dan as-shiddiq, Usman terkenal akan kedermawananya dan sebagi
68
ahli beribadah, umar terkenal al-faruq dalam menegakkan keadilan di bumi, Ali bin Abu Thalib masyhur dengan kecerdikan dan kecendekiawananya (babul ilmi / the gate of knownledge) (Mas‟ud, 2002: 186-187). Apabila dicermati, Nabi Muhammad Saw telah memberikan sebuah reward kepada para sahabat-sahabatnya, yaitu dengan memberikan pujian. Selain itu, Nabi juga memanggil mereka dengan sebutan sahabat,. Saat ini yang kita pahami adalah sahabat merupakan teman dekat yang sangat akrab. Maka hal ini adalah contoh bagaimana seorang Nabi memberikan teladan yang sangat baik dalam pendidikan. Apabila
prinsip-prinsip
tersebut
bisa
diinterpretasiakan
bahwa
meskipun kehadiran Nabi adalah sebagai nadhir, warner, kehadiranya sebagai bashir dalam proses pendidikan Islam tampak lebih dominan dan signifikan. Sebagai bashir, yakni tokoh yang membawa berita gembira dan keselamatan lahir dan batin, Nabi tidak menawarkan reward dalam bentuk materi, tetapi merangsang kecerdasan para murid, memperhalus budi pekerti, dan mempertajam spritual keagamaan mereka (Mas‟ud, 2002: 187). Implikasi status bashir dalam pendidikan Islam adalah bahwa seorang guru, seperti Nabi Muhammmad, harus bertindak sebagai promotor of learning, baik di dalam maupun di luar kelas, serta harus mampu berinteraksi dengan siswa secara antusias dan penuh kasih sayang. Dengan prinsip ini, hukuman fisik bagi siswa merupakan hal yang tidak populer dalam kamus pendidikan Islam.
69
B. Punishment dalam Pendidikan Islam Islam mengajarkan cara kepada kita untuk mengarahkan dan berinteraksi dengan anak, ketika anak melakukan sebuah pelanggaran dan kesalahan. Islam memberikan pilihan, melarang, mengasingkan, dan menghukumnya (Ulwan, 2009: 120). Mendidik seorang anak memang tidak mudah, terkadang anak sering meremehkan apabila orangtuanya tidak tegas dalam mendidiknya. Namun sebaliknya, ketika anak dididik dengan keras maka akan terkesan orangtua itu kejam, kasar dan sebagainya. Padahal tidak ada yang meragukan bahwa kasih sayang orangtua adalah kasih sayang terbaik yang diberikan kepada anaknya. Kalaupun orangtua menghukum seorang anak, maka itu semata-mata untuk memperbaiki tingkah laku anak. Maka dalam persoalan ini, tidaklah salah apabila orangtua ataupun pendidik pada umumnya memberikan sebuah punishment kepada anaknya. Karena terkadang, ada anak yang hanya bisa diperbaiki tingkahlakunya dengan menggunakan cara yang sedikit keras seperti hukuman. 1. Pendapat Para Tokoh Pendidikan Islam Para filosof Islam telah memperhatikan sekali mengenai masalah hukuman kepada anak, baik hukuman mental ataupun hukuman fisik. Mereka semua sependapat bahwa pencegahan lebih baik dari perawatan. Karena itu mereka menyerukan supaya dipergunakan segala macam jalan untuk mendidik anak mulai dari kecil sampai mereka terbiasa dengan adat istiadat yang baik di waktu telah besar, sehingga tidak lagi memerlukan suatu hukuman. Dan berikut pendapat para tokoh pendidikan Islam tentang hukuman :
70
a. Ibnu
Shina
berpendapat
bahwa
apabila
pendidik
terpaksa
harus
menggunakan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih dahulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan cara lain agar ia kembali kepada perbuatan baik seperti memuji. Mendorong keberanianya untuk berbuat baik. Perbuatan yang demikian itu merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus. Tetapi jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak merasa ringan, dan memandang hukuman sebagai sesuatu yang remeh.menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak (At-Tuwaanisi, 2004: 125) b. Al-Ghazali berpendapat bahwa apabila seorang anak melakukan kesalahan, maka untuk pertama kali sebaiknya orang tua ataupun guru berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila jika anak sendiri merahasiakanya. Setelah itu apabila ia mengulangi lagi perbuatanya, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia (tidak didepan orang lain) dan memberitahuyaakibat buruk dari perbuatanya. Dan memberi nasehat agar tidak sekali-kali mengulangi kesalahan yang sama. Akan tetapi, jangan berlebihan dan mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa
71
dan dapat mendorongnya kearah perbuatan yang lebih buruk lagi. (Majid, 2013: 124) c. Menurut Al-„Abdari, sifat-sifat anak yang berbuat salh harus diteliti, dan dengan satu pandangan mata ataupun kerlingan sajaterhadap si anak mungkin cukup untuk pencegahan dan perbaikan. Sebaliknya, mungkin ada anak yang memang membutuhkn celaan ataupun ancaman sebagi hukumanya. Selain itu juga mungkin ada anak yang harus dipukul dan dicerca baru ia dapat diperbaiki. Seorang pendidik tidak boleh menggunakan kekerasan kecuali memang sudah terpaksa dan sudah menggunakan cara halus dan lembut akan tetapi belum merubah si anak.. Jika terpaksa harus menjatuhkan hukuman , cukuplah kiranya diberi tiga pukulan ringan (AlAbrasyi, 1993: 156). d. Ibnu Khaldun menolak metode al-syiddah wa al-ghizlah (kekerasan dan kekasaran) di dalam pendidikan. Ibnu khaldun menulis: “Hukuman keras berupa tindakan fisik di dalam ta‟lim itu berbahaya bagi muta‟alim, terutama bagi ashagbir al-walad (anak-anak kecil). Alasan yang dikemukakan Ibnu Khaldun adalah bahwa siapa yang biasa dididik dengan kekerasan, ia akan selalu dipengaruhi kekerasan itu. Selain itu, ia akan selalu merasa sempit hati,, kurang aktif bekerja, dan memiliki sifat pemalas, menyebabkan ia berdusta serta melakukan hal-hal buruk, karena takut akan dijangkau oleh tangan tangan yang kejam (Suharto, 2006: 246). Meskipun demikian, Ibnu Khaldun juga membolehkan memberlakukan hukuman (punishment), tetapi hukuman tersebut bersifat edukatif. Hukuman ini
72
hendaknya diterapkan oleh guru dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain, (sesudah semua cara yang lemah lembut tidak berhasil. Dengan begitu, hukuman menjadi salah satu alat atau metode dalam pendidikan Islam. Hal ini dapat diketahui dari tulisanya yang memuat tentang nasihat Harun al-Rasyid kepada Khalaf bin Ahmar, guru putranya, Muhammad alAmin, yang berkata : Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika anda gunakan untuk mengajarinya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang menjengkelkanya, cara yang dapat mematikan pikiranya. Jangan pula terlalu lemah lembut, bila umpamanya ia mencoba membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan kasih sayang dan lemah lembut. Jika dia tidak mau dengan cara itu, anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran. Dari kutipan tersebut tampaknya Ibnu Khaldun membenarkan adanya hukuman kepada peserta didik, tetapi bukan untuk menyakiti atau merusak mental mereka, melainkan untuk mendidiknya agar lebih baik. Namun perlu ditegaskan dari dari wasiat Harun al-Rasyid tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip hukuman (punishment) merupakan alat atau metode dalam mendidik, akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik atau guru keculi dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain sesudah semua cara yang lemah lembut tidak berhasil (Kosim, 2012: 103) e. Ibnu Sahnun lebih menekankan metode pembelajaran yang bersifat memotivasi siswa agar senantiasa bertukar pikiran dan berdialog dan berkompetisi dalam meraih prestasi, yaitu metode yang membangkitkan kesadaran agama dan menjaga tata krama. Selain metode tersebut, Ibnu Sahnun juga menganjurkan adanya pemberian hukuman (punishment) dalam
73
mengajar, apabila menemukan siswa yang tidak benar dalam belajarnya. Dengan demikian, menurutnya guru boleh memukul peserta didik, tetapi hendaknya tidak dilakukan dalam keadaan marah, namun hendaknya dalam keadaan “main-main”, dan melakukanya pun hanya tiga kali saja. Tidak boleh lebih dari sepuluh kali, kecuali atas izin dari orangtuanya. Tidak pula diperbolehkan memukul anak didik pada kepala, muka, atau wajahnya (Gunawan, 2014: 297). f. Al-Qabisy juga sependapat dengan Ibnu Sahnun bahwa dalam pembelajaran diperbolehkan untuk menggunakan metode hukuman (punishment) , yakni menghukum dengan cara memukul siswa, satu hingga tiga kali, dengan syarat tidak memukul dalam keadaan marah, dan dalam melakukanya tidak keluar dari kebiasaan pendidikan. Jika terpaksa menggunakan pukulan, maka hal tersebut dengan kesepakatan dengan siswa (Gunawan, 2014: 304). Sementara itu, Al-Haris Al-Muhasibi tidak sependapat dengan Ibnu Sahnun ataupun Al-Qabisy, Al-Muhasibi lebih menekankan prinsip pahala (reward) dan prinsip motivasi daripada menggunakan metode hukuman (punishment) (Gunawan, 2014: 306). g. Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa, apabila anak bisa diarahkan dengan tutur kata yang lembut dan halus, maka bagi pendidik tidak diperkenankan untuk melontarkan kata-kata kasar dan kotor. Sebaliknya, jika anak sudah tidak lagi dapat diberikan arahan dengan cara halus dan lembut, boleh bagi pendidik untuk mengeluarkan nasihatnya dengan suara keras, selama itu tidak kotor dan menyakiti anak. Jika sang anak dapat
74
diarahkan dengan perkataan keras, tidak dibolehkan bagi pendidik untuk memukul dan menyakiti anak, terlebih lagi sampai menganiayanya. Jika sudah mempergunakan berbagai macam cara kelembutan, namun anak tetap membandel dan tidak mau diarahkan dengan hal yang baik, boleh bagi pendidik untuk memukulnya, selama hal itu tidak mencederai sang anak (Ulwan, 2009: 111). Pendapat para tokoh pendidikan Islam di atas, semuanya mempunyai cara tersendiri mengenai bagaimana hukuman itu digunakan. Namun yang perlu dipahami dengan jelas adalah para pakar tersebut membolehkan punishment digunakan, akan tetapi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pendidik apabila ingin menggunakan hukuman dalam pembelajaran. Hukuman merupakan suatu hal yang sensitif di kalangan masyarakat sehingga penggunaanya tidak boleh sembarangan. 2. Dasar Pemberian Punishment dalam Islam Sumber hukum dalam Islam adalah Al-Qur‟an dan Hadits. Dengan begitu maka sudah sepantasnya ketika membahas apapun maka harus dikembalikan kepada kedua sumber hukum ini. Dalam Al-Qur‟an, Allah menjelaskan tentang balasan bagi orang yang berbuat kebaikan dan balasan bagi orang yang berbuat kejahatan seperti dalam surat Al-Zalzalah ayat 7-8 :
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat 75
(balasan)nya pula. “ (QS. Al-Zalzalah : 7-8) (Departemen Agama RI, 2002: 599) Sesuai dengan makna ayat di atas, yang dapat penulis pahami adalah setiap orang yang berbuat baik sekecil apapun pasti akan mendapat balasan dari Allah dan setiap orang yang berbuat kejahatan akan mendapat balasanya juga. Balasan-balasan tersebut adalah hak Allah Swt. Balasan bagi orang yang berbuat baik dari Allah Swt adalah Surga dan balasan bagi orang yang mengerjakan kejahatan adalah Neraka. Ayat ini apabila dikaitkan dengan pendidikan, maka bisa diartikan ketika seorang anak mendapatkan prestasi sebisa mungkin bagi pendidik untuk memberikan penghargaan ataupun pujian atas prestasinya tersebut. hal ini akan memberikan nilai tambahan bagi pendidik yang mampu menumbuhkan motivasi belajar bagi siswanya. Sementara itu apabila anak tidak disiplin atau melakukan perilaku yang kurang baik mak tugas guru ketika di sekolah adalah menegur sang anak dengan baik. Teguran yang baik paling tidak akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa yang dilakukanya itu adalah perbuatan yang kurang baik sehingga harus diperbaiki nantinya. Sementara itu dalam hadits Nabi juga mengajarkan bagaimana seharusnya sikap orang tua ketika anak tidak menurut dengan apa yang dikatakan orangtuanya. Haditsnya adalah sebagai berikut :
َّ صبَى بِا ل َ ُم ُرًاال ُص َل ِِاِ َذ ابَلَ َغ َس ْب َع ِس ِن ْينَ ًَاِ َذا بَلَ َغ َع َش َر ِسنِ ْينَ فَاضْ ِربٌُْ ه ) َعلَ ْييَا (ر ًا ه ابٌ اداًد 76
“Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk melaksanakan shalat, diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukullah (kalau ia tidak mau shalat) diwaktu mereka berumur sepuluh tahun. (HR. Abu Daud) (Al Al bani, 2007: 198) Menurut hadits di atas, Nabi Muhammad SAW memberikan anjuran kepada orangtua untuk memerintahkan anak-ananya shalat ketika telah berumur tujuh tahun. Lalu ketika anak-anaknya berusia sepuluh tahun tetapi tidak mau shalat maka orangtua boleh memukul anaknya. Hadits ini ketika dihubungkan dalam pendidikan Islam khusunya, maka pemukulan terhadap anak atau siswa diperbolehkan jika memang anak tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, berbeda dengan kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Seperti yang diberitakan harian7.com, buntut pemukulan yang dilakukan T, Guru SD Negeri Ledok 2 Salatiga terhadap NSU yang juga anak didiknya di sekolah tersebut, akhirnya kasus ini dilaporkan ke Polres Salatiga oleh salah seorang siswa yang menjadi korban. Sebelum resmi melaporkan kasus pemukulan terhadap siswa, dua orangtua siswa lebih dulu konsultasi ke Unit PPA Polres Salatiga (www.harian7.com/2016/02/pemukulan-siswa-oleh-gurusd-ledok-2_66.html?m=1 diakses, 1 Agustus 2016). Kasus ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi guru maupun orangtua. Dalam konteks pendidikan sekarang ini, pemukulan ataupun kekerasan tidak boleh dilakukan dalam pendidikan dengan alasan apapun. Selain membahayakan anak, pemukulan ataupun kekerasan terhadap anak hanya akan menimbulkan masalah baru yang muncul dikemudian hari. Sementara itu, dalam pendidikan Islam khususnya pemukulan terhadap anak
77
diperbolehkan selama masih ada batas-batas yang harus dipahami, terbukti dengan adanya hadits dari Rasulullah di atas. Dalam hal ini, Rasulullah memberikan kaidah-kaidah dalam memukul, seperti yang dikutip oleh Hafizh (1997: 325) diantaranya sebagai berikut : a. Larangan memukul anak sebelum berumur sepuluh tahun. Tindakan memukul anak sebelum ia berumur sepuluh tahun dapat berakibat buruk bagi keadaan fisik maupun mentalnya. b. Larangan memukul lebih dari sepuluh kali. Cara ini hanya boleh dipakai dalam keadaan mendesak, karena apabila terlalu sering memukul anak akan menurunkan wibawa hukuman tersebut dimata anak. Sehingga anak tidak takut lagi dipukul, karena sudah terbiasa. Akibat buruk lainya adalah gangguan yang dapat terjadi pada fisik anak. c. Alat yang boleh dipakai untuk memukul. Alat yang dipakai tidak harus cemeti, boleh memakai kayu, sandal, atau ujung kain yang sudah diikat. Alat yang dipakai jangan terlalu besar, sehingga dapat mencelakakan anak. Alatnya juga jangan terlalu kecil, sehingga tidak cukup membuat anak kapok. d. Kaidah tentang cara memukul. Memukul tidak boleh di satu bagian tubuh saja, melainkan merata di beberapa bagian tubuh. Antara pukulan satu dengan yang lain harus ada jarak waktu yang cukup, tidak boleh memukul terus menerus tanpa henti. Tidak boleh mengangkat ketiak ketika memukul, atau dengan kata lain, tidak boleh memukul terlalu keras.
78
Karena sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbaikan untuk anak bukan untuk menyakitinya. e. Bagian tubuh yang tidak boleh dipukul. Bagian wajah, atau kepala dan bagian kemaluan merupakan bagian tubuh yang sangat vital bagi setiapa manusia. Maka pemukulan dibagian ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kerusakan fisik yang sangat merugikan. f. Larangan memukul disertai dengan amarah. Memukul disertai dengan amarah sangat berbahaya bagi anak. Karena dalam keadaan marah dapat menyebabkan orangtua ataupun pendidik lepas kontrol dan melanggar kaidah-kaidah memukul yang telah ditentukan oleh agama. Suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul „Aziz hendak menghukum seseorang. Namun ketika orang itu telah dihadapkan kepadanya, Khalifah Umar bin Abdul „Aziz malah menyuruh orang itu untuk dilepaskan. Ia berkata, “Aku dapati diriku menaruh rasa amarah kepada orang itu, dan sesungguhnya aku tidak mau menghukum dalam keadaan marah. “ Oleh karena itu, hendaknya para orangtua dan pendidik menjauhkan rasa amarah mereka yang dapat berakibat sangat buruk kepada anak. g. Berhentilah memukul bila anakmu mengucapkan nama Allah SWT. Rasulullah SAW memerintahkan untuk berhenti memukul, apabila anak telah mengucapkan nama Allah. Karena hal itu merupakan tanda bahwa ia telah menyadari kesalahanya dan benar-benar ingin memperbaikinya, atau dia sudah merasakan sakit yang tidak tertahankan lagi, atau sudah
79
merasakan takut. Apabila orangtua terus memukul setelah anak ada dalam keadaan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah melakukan kezaliman besar terhadap anak. Dan hal itu menandakan bahwa orangtua itu lebih condong kepada menyakiti anak daripada mendidiknya. Memukul tidak boleh diartikan sebagai tindakan pukul memukul. Karena apabila seorang pendidik melakukan pemukulan dengan sembarangan, tentunya akan membahayakan bagi korban dan dapat menimbulkan masalah baru lagi dikemudian hari. Menurut Najib Khalid Al-Amir (1994: 42-43) terdapat kode etik dalam memukul. Kode etik tersebut diantaranya : 1) Seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan dan ancaman tidak mempan lagi. 2) Tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan membahayakan diri anak. 3) Pemukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti kepala, dada, perut, atau wajah. 4) Disarankan pemukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasaranya adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak keras). Selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu sampai tiga jika si anak belum baligh. Tetapi, jika sudah menginjak masa remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulanya tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambahnya lagi sampai hitungan kesepuluh.
80
5) Jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, si anak harus diberi kesempatan sampai bertaubat dari perbuatanya. 6) Hukuman harus dilakukan oleh sang pendidik sendiri, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan perselisihan. 7) Seorang pendidik harus dapat menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk mulai memukul, yaitu langsung ketika anak melakukan kesalahan. Tidak dibenarkan apabila seorang pendidik memukul orang bersalah setelah berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan sampai hari kedua ini hampir tidak ada gunanya sama sekali. 8) Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum membuahkan hasil yang diinginkan, dia tidak boleh meneruskanya dan harus mencari jalan pemecah yang lain. Ibnu Shina berpendapat bahwa jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak merasa ringan, dan memandang hukuman sebagai sesuatu yang remeh. Menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak (At-Tuwaanisi, 2004: 125). Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, sebenarnya dalam pendidikan Islam memukul itu diperbolehkan akan tetapi dengan memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan anak itu sendiri. Seperti yang telah
81
dijelaskan di atas, memukul tidak boleh terus menerus dilakukan karena akan berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan psikis anak dan pukulan tersebut tidak boleh dilakukan di daerah vital ataupun bagian yang berbahaya bagi anak seperti wajah, kemaluan dan lain sebagainya.. Memukul anak merupakan tindakan yang bisa menimbulkan dampak buruk bagi anak. Apabila masih ada cara lain yang dapat dipakai untuk mendidik anak maka sebaiknya memukul anak harus dihindari demi masa depan perkembangan anak yang lebih baik. 3. Penerapan Punishment dalam Lembaga Pendidikan Islam Lembaga pendidikan Islam yang memasukkan punishment dalam kurikulumnya memang tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa lembaga saja yang mencantumkanya dalam kurikulum. Hal ini bisa diterima dan dipahami karena apabila semua lembaga pendidikan mencantumkan punishment dalam kurikulum, maka sudah barang tentu akan menjadi sebuah persoalan yang penuh dengan pro dan kontra dalam kalangan masyarakat. Maka berikut uraian tentang penggunaan punishment dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Sebuah madrasah di negara Singapura yang bernama Madrasah AlIqbal
Al-Islamiyah,
mencantumkan
punishment
dalam
kurikulum
pendidikanya. Madrasah tersebut memberikan hukuman bagi siswa yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Seperti yang dikemukakan Saerozi (2013:150) hukuman yang diberikan diantaranya :
82
a. Dicerca oleh seorang teman, b. Dicerca oleh teman sekelas di depan kelas, c. Dicerca oleh semua murid yang ada di sekolah d. Dikurung selama setengah hari, dan dibebani dengan tugas yang menggunakan akal, e. Ditahan selama satu hari, serta dibebani tugas yang menggunakan akal, f. Diberi makan dengan roti dan air saja, g. Dikeluarkan dari sekolah bila berbuat salah berulang kali. Ma‟had Ihya Assyarif di Malaysia juga menerapkan punishment bagi siswa yang melanggar aturan madrasah sesuai dengan tingkat pelanggaranya seperti : 1) Murid yang melakukan kesalahan mendapat pukulan rotan di kaki sebanyak dua belas kali. 2) Murid yang melakukan kesalahan kecil cukup mendapat pukulan rotan di tangan. 3) Murid yang ketahuan bermain sepakbola memperoleh hukuman berupa disuruh menyepak sebuah kelapa (Saerozi, 2013: 167). Sementara itu, di Madrasah Al-Shalahiyah, Jerussalem, mudarris bertugas mengawasi mahasiswanya, mendorong mereka yang bekerja baik, dan memperingatkan yang lalai dan melakukan kesalahan. Setelah diperingatkan secara terus menerus dan masih melakukan kesalahan maka mudarris berhak untuk mengeluarkan dan mencabut beasiswanya kecuali mahasiswa tersebut dapat memperbaiki tingkah lakunya. (Asari, 1994: 81)
83
Lembaga pendidikan Islam Sumatera Thawalib juga menggunakan hukuman sebagai salah satu cara ataupun metode pendidikan. Seperti yang dikutip oleh Muh Saerozi (2013: 105) , ketika pembelajaran Hadis Arba‟in Nawawi di kelas III pelajaran menggunakan metode hafalan. Murid yang tidak hafal, akan dikenai hukuman berdiri di depan kelas. Hamka sangat mengkritik cara ini. Beliau yang notabenya adalah alumni Sumatera Thawalib mengatakan bahwa banyak guru yang bertindak keras dalam mengajar, sehingga banyak murid yang berkeluh kesah. Banyak pula murid yang gelisah menghadapi pelajaran. Diantara para guru-guru, ada guru yang bernama Zainuddin Labay El-Yunusi yang sangat disenangi oleh murid, karena memahami paedagogik. Ia sering menggunakan metode cerita, tidak bertindak keras, dan pandai menyelami jiwa murid (Saerozi 2013: 105). Hal ini berarti guru yang tidak bertindak keras dan pandai mengambil hati anak akan sangat disenangi oleh para murid sehingga tindak kekerasan dalam pendidikan harus dihindari. Setelah melihat gambaran punishment di atas, maka paling tidak harus dipahami bahwa hukuman itu tidak harus berupa hukuman fisik. Hukuman fisik hanya akan menyakiti seorang anak, namun belum tentu akan mengubah anak menjadi lebih baik. Namun yang harus diwaspadai adalah apabila anak merasa sudah terbiasa dengan hukuman yang terlalu sering diberikan. Sehingga wajib bagi pendidik untuk memahami situasi dalam kelas dan mencari alternatif metode apabila punishment sudah mulai tidak efektif mendidik anak.
84
C. Relevansi Reward dan Punishment Menurut pengamatan Abdurrahman Mas‟ud, pendidik di Barat (Amerika) lebih banyak memberikan reward ketimbang punishment kepada anak didik, baik di rumah maupun di kelas (Mas‟ud, 2002: 174). Pembahasan masalah reward dan punishment dalam pendidikan tidak bisa lepas dari masalah tanggung jawab anak (responsibility). Sangat tidak manusiawi jika hukuman terjadi, sedangkan anak belum memahami apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya (Mas‟ud, 2002: 175). Hal ini penting karena antara pendidik dan anak memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Pendidik memiliki kewajiban untuk mendidik anak dengan baik dan penuh kasih sayang. Sedangkan anak memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperintahkan pendidik seperti mengerjakan tugas, membantu orangtua dan sebagainya. Emile Durkheim berpandangan bahwa hukuman diperlukan untuk lebih menaati kaidah peraturan dan menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang inheren, sehingga mereka mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan mempunyai rasa hormat terhadap peraturan (Makmur dkk, 2010: 170). Hukuman berfungsi sebagai pengokoh solidaritas sosial dengan upaya memperkuat nilainilai sosial yang paling asasi dan sedang dilanggar. Dengan kata lain, dalam proses hukuman perhatian harus lebih diutamakan pada proses belajar mengambil hikmah bagi pihak yang benar, bukan pada pihak yang salah (Mas‟ud, 2002 : 178). Maka pada hakekatnya, reward dan punishment sangat berhubungan erat dengan nilai-nilai sosial yang ada sehingga harus dipikirkan secara matang apabila 85
ingin memberikan reward dan punishment, sehingga anak didik memahami apa yang menjadi kewajibanya. Boleh dikatakan bahwa sebagian besar pendidik-pendidik Barat sekarang ini menentang penggunaan hukuman jasmani di sekolah-sekolah. Untuk hal ini Hasan Langgulung (2004: 41) berpandangan seperti berikut : 1. Dalam sistem pendidikan Islam hukuman jasmani itu diakui dan dianggap sebagai suatu cara yang efektif untuk memperbaiki tingkah laku. 2. Apa yang efektif pada suatu masyarakat, masyarakat Barat misalnya, tidak semestinya efektif dalam masyarakat kita. 3. Sampai sekarang belum ada kajian yang menunjukkan bahwa hukuman jasmani mempunyai pengaruh yang buruk pada pendidikan dalam masyarakat yang mengamalkan ajaran Islam. Bila reward tampak lebih diutamakan dalam pendidikan Barat, punishment tidak berarti ditiadakan sama sekali. Meskipun demikian, sejauh pengamatan dan pengalaman Abdurrahman Mas‟ud selama tujuh tahun di Amerika, belum pernah mendengar ada tindakan semena-mena yang dilakukan guru atau hukuman secara fisik yang dilakukan terhadap anak didik, baik di dalam maupun di luar kelas. Hukuman yang paling berat adalah anak tidak boleh masuk sekolah sehari karena melanggar tata cara sekolah yang bertubi-tubi (Mas‟ud, 2002 : 178-179). Melihat apa yang terjadi dalam pendidikan Barat di atas, maka tidak salah apabila hal ini dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya pendidikan
86
dilaksanakan. Apabila masih mungkin untuk tidak menggunakan hukuman maka sebaiknya hukuman itu ditiadakan dan diganti dengan perhatian ataupun penghargaan sehingga anak didik merasa nyaman ketika dalam mengikuti apa yang dikatakan oleh pendidik. Ada sebuah teori umum dalam pendidikan yang perlu dipertimbangkan, yaitu bahwa sistem reward dan punishment yang paling efektif adalah jika pelaksanaan punishment dikurangi atau dihindarkan bila memungkinkan dan konsep reward ditekankan pelaksanaanya. Jika perbuatan reward pada umumnya terlepas dari konotasi negatif kecuali jika dihubungkan dengan tindakan korup, perbuatan punishment kadang-kadang berkonotasi negatif. Orangtua secara umum dibenarkan memberikan punishment kepada anaknya yang tidak patuh (disobidience) (Mas‟ud, 2002: 172). Orangtua memiliki peranan penting dalam pendidikan anak. Karena pendidikan yang pertama diperoleh anak adalah pendidikan keluarga yang bersumber dari orangtua itu sendiri. Dalam mendidik anak, memang tidak jarang banyak orangtua menggunakan cara-cara yang bisa dibilang cara kekerasan seperti, memukul, menendang, menjewer telinga dan lainlain. Kebanyakan dari orangtua beranggapan bahwa apabila anak tidak dididik dengan cara-cara seperti diatas, maka anaka akan cenderung membangkang dan tidak jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Namun yang perlu digaris bawahi adalah ketika anak sudah terbiasa dengan hukuman yang bersifat keras seperti itu dan menganggap remeh dan cenderung melecehkan hukuman tersebut. Abdurrahman Mas‟ud (2002: 188) berpandangan bahwa punishment, khususnya hukuman fisik, pada umumnya tidak akan membawa dampak positif, 87
sebaliknya malah membawa kenangan horor, nightmare, bagi siswa. Penumbuhan sense of guility dengan cara yang edukatif dan islami adalah bagian dari self discipline yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan. Disiplin diri adalah tujuan sekaligus proses pendidikan kemandirian. Dapat dipahami bahwa, hukuman yang baik adalah hukuman yang dapat menimbulkan efek jera bagi anak. Namun sebenarnya disadari ataupun tidak, semakin sering hukuman diberikan kepada anak, maka sedikit demi sedikit akan menghilangkan kewibawaan hukuman itu sendiri. Maka yang sebaiknya dilakukan oleh pendidik adalah mencari alternatif hukuman yang dapat menimbulkan efek yang baik dari segala sisi. Misalnya, ketika anak tidak mengerjakan PR, maka hukuman yang diberikan adalah anak disuruh untuk mengerjakan PR tersebut di depan kelas.
Sisi baiknya adalah anak menjadi mengerjakan PR walaupun
dikerjakan di dalam kelas, lalu ketika anak mengerjakan PR di depan kelas harapanya adalah anak-anak lain tidak melakukan kesalahan yang sama seperti anak yang dihukum. Seandainya hukuman perlu diberikan, maka perlu dipikirkan secara matang agar hukuman tersebut mengandung nilai pendidikan. Artinya, hukuman itu
akan
semakin
menumbuhkembangkan
kepribadian
anak.
Hukuman,
seandainya perlu diberikan, harus dilandasi oleh cinta kasih dan semata-mata demi kebaikan anak. Untuk menanamkan perilaku yang baik salah satunya adalah dengan penanaman disiplin. Untuk menanamkan disiplin diperlukan empat syarat yaitu adanya aturan, sanksi, hadiah atau peneguhan, dan konsistensi.
88
a. Pertama, perlu disepakati terlebih dahulu aturan yang berlaku bagi semua orang. b. Kedua, perlu disepakati sanksi atau hukuman dari suatu pelanggaran. c. Ketiga, adanya peneguhan apabila anak sudah melakukan tindakan yang benar (pujian, acungan jempol, dan sebagainya). Orangtua dan pendidik tidak boleh lupa memberikan tanggapan kalau anak sudah melakukan tindakan yang benar. d. Keempat, adalah konsistensi dari seluruh anggota keluarga yang terkait. Apabila suatu tindakan dianggap salah, maka semua pihak harus menganggap salah dan sanksi perlu diberikan (Susana dkk, 2005:61-62). Reward dan Punishment memang bisa dibilang lebih familiar di pendidikan Barat, dengan catatan para pendidik di Barat lebih banyak menggunakan reward ketimbang punishment. Alasanya pun bisa bermacammacam karena anak didik yang dihadapi pun berbeda-beda tingkah lakunya. Penggunaan punishment terkadang akan menimbulkan perasaan benci dari anak kepada pendidiknya. Hal ini lah yang paling berbahaya, apabila anak sudah merasa tidak suka dengan sang pendidik maka anak mungkin akan cenderung untuk membangkang dengan apa yang dikatakan oleh pendidiknya. Namun jangan lupa juga bahwa punishment pada dasarnya digunakan untuk mencegah potensipotensi buruk yang muncul akibat anak tidak disiplin. Sementara itu dalam pendidikan Islam sendiri sebenarnya penggunaan punishment sudah familiar ketimbang reward. Terbukti dengan adanya madrasahmadrasah yang menggunakan punishment dalam kurikulumnya seperti yang telah dikemukakan di atas. Selain daripada itu, banyak tokoh-tokoh pendidikan Islam 89
yang membolehkan penggunaan punishment dalam pembelajaran namun dengan syarat-syarat tertentu. Ibn Khaldun misalnya, menyebutkan dalam muqaddimahnya bahwa anakanak yang dihukum mungkin belajar menipu dan berdusta. Ini memustikan guru menyesuaikan penggunaan hukuman sehingga akibat negatif tidak melebihi akibat yang positif (Langgulung, 2004: 41). Tentunya penggunaan punishment mempunyai dampak positif dan negatif. Mengenai hal itu, maka pendidik harus pintar-pintar memberikan alternatif hukuman yang baik sehingga dampak yang muncul nantinya lebih banyak dampak positifnya daripada negatifnya. Berbeda dengan punishment yang masih menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan pendidikan Islam. Reward yang notabenya adalah sebuah hal yang sifatnya menyenangkan tentu tidak begitu menimbulkan pro dan kontra. Hanya saja, penggunaan reward
pun harus disesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan anak. Ketika pendidik memberikan reward tentu harus merangsang adanya usaha dari anak untuk mendapatkan reward tersebut. Sebagai contoh, anak yang mendapatkan ranking satu di kelasnya, maka reward yang diberikan sebaiknya berhubungan dengan kebutuhanya dalam belajar. Misalnya seperti, meja belajar, buku, dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain untuk memberikan penghargaan setinggi mungkin kepada anak yang telah berprestasi. Sehingga anak akan merasa bahwa kerja kerasnya membuahkan hasil yang maksimal dan tidak sia-sia dan membuat orang di sekelilingnya bahagia dengan prestasinya.
90
Pendidikan di Indonesia sendiri juga telah diatur dalam undang-undang, baik tentang perlindungan terhadap anak, hak dan kewajiban guru dan lain sebagainya. Membahas mengenai punishment kepada anak tentu saja tidak bisa lepas dari peraturan perundangan-undangan yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak bab XIA tentang larangan, pasal 76C yang berbunyi “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak “ (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016). Pasal di atas memperjelas bahwa kekerasan terhadap anak tidak diperbolehkan. Bahkan dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan ataupun membiarkan kekerasan terjadi. Maka jelas, ketika ada tindak kekerasan yang terjadi seharusnya sesegera mungkin untuk menghentikanya. Apabila terjadi tindak kekerasan itu maka orang yang melakukan kekerasan tersebut terancam hukuman dalam pasal 80 ayat 1 butir 1 (satu) yang disebutkan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016). Pidana penjara tiga tahun enam bulan tentunya bukanlah waktu yang sebentar. Ini adalah bentuk hukuman bagi seseorang yang melakukan kekerasan terhadap anak. Bahkan dalam pasal yang sama butir ke 4 (empat) disebutkan 91
”Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya” (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016). Pasal ini semakin memperjelas larangan tindak kekerasan terhadap anak bahkan yang dilakukan orangtuanya sekalipun. Apabila orangtuanya sendiri yang melakukan tindak kekerasan tersebut, hukumanya pun malah ditambah sepertiga dari ketentuanya. Orang tua dalam mendidik anaknya tidak diperkenankan untuk menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun. Karena pada dasarnya tindak kekerasan itu hanya akan menimbulkan masalah baru dan mempunyai banyak sisi negatif. Masalah baru tersebut berkaitan dengan peraturan undang-undang perlindungan anak di atas. Sehingga, ini harusnya menjadi perhatian yang serius bagi para orangtua dan umumnya masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Selain pasal di atas, juga ada pasal lain yang memperjelas perlindungan terhadap anak dari segala bentuk kekerasan. Pasal tersebut adalah pasal 76E yang berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dialkukan perbuatan cabul. “ Ancaman hukuman pidana dalam pasal ini dijelaskan dalam pasal 82 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah. (2) Dalam hal tindak pidana 92
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016). Pasal 82 ayat 1 di atas juga menyebutkan kata pendidik atau tenaga kependidikan. Maka pasal ini juga harus dipahami oleh seorang pendidik agar tidak melakukan kekerasan terhadap siswa. Ancaman bagi pendidik yang melakukan kekerasan terhadap anak disebutkan dalam pasal di atas, bahwa apabila pendidik melakukan kekerasan terhadap anak atau siswa ancaman pidananya ditambah (sepertiga) dari ancaman pidananya 15 tahun. Sehingga ditambah sepertiganya menjadi 20 tahun pidana. Maka dengan pasal ini seorang pendidik tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun juga karena bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak. Pasal ini semakin memberatkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak. Sehingga ini patut menjadi perhatian bagi orangtua atau khususnya pendidik untuk berhati-hati dalam mendidik anak karena ancaman hukumanya tidak mainmain tentunya. Seperti halnya kasus yang terjadi akhir-akhir ini yaitu kasus tuduhan pencubitan anak yang dilakukanoleh oknum guru salah satu SMP di daerah Sidoarjo, jawa timur. Kasus ini terjadi pada bulan Februari 2016. Kasus ini bermula ketika seluruh murid melaksanakan shalat Duha di masjid sekolah. Namun anak tersebut (korban) justru terlihat duduk-duduk di pinggir sungai. Sebagai seorang guru dia lantas menegur anak tersebut dan mengajaknya shalat 93
berjamaah dengan mengelus pundak. Namun guru tersebut justru malah dilaporkan
dengan
tuduhan
menganiaya
(mencubit,
memukul)
korban
(www.regional.kompas.com diakses, 22 Juli 2016). Kasus ini tentunya sangat memprihatikan, terlepas dari benar tidaknya penganiayaan yang dilakukan oleh guru tersebut, yang harus disadari dan dipahami adalah betapa berbahayanya kekerasan terhadap anak. Menurut penulis pribadi, dalam kasus ini guru menjadi sosok yang sangat tidak diuntungkan. Mengapa demikian, karena guru tugasnya adalah mendidik anak didik yang berada di sekolah dan karena guru adalah orangtua murid ketika di sekolah. Namun lebih dari itu, sekali lagi pendidikan dengan kekerasan memang tidak dibolehkan. Maka dari itu penulis mengambil sikap bahwa untuk menegur peserta didik yang tidak disiplin haruslah dengan lemah lembut terlebih dahulu. Apabila dengan cara ini anak masih tidak disiplin, maka dekati anak tersebut dengan baik. Pada intinya guru tidak boleh menggunakan teguran berupa hukuma fisik karena ini bertentangan dengan undang-undang Republik Indonesia. Anak sangat dilindungi, karena anak adalah tumpuan masa depan bangsa sehingga tidak mengherankan apabila pemerintah membuat undang-undang seperti di atas. Berbicara mengenai reward dan punishment dalam pendidikan, maka guru adalah sosok yang paling disorot dalam pembahasanya. ketika ada tindakan kekerasan di sekolah, maka guru dianggap sebagai sosok yang paling bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Padahal guru dan murid sama-sama punya hak dan kewajiban masing-masing. Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 14 ayat 1butir F 94
tentang hak dan kewajiban guru dan dosen yang berbunyi : “Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan” (http//sumberdaya.ristekdikti.go.id/ diakses, 26 Juli 2016). Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa guru memiliki kebebasan untuk memberikan penilaian,penghargaan, sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundangundangan. Guru diberi kebebasan untuk memberikan sanksi kepada peserta didik asalkan sesuai dengan kode etik guru dan peraturan perundang-undangan. Sehingga menurut pemahaman penulis, guru boleh-boleh saja memberikan sanksi kepada peserta didik dengan syarat sanksi tersebut tidak melanggar peraturanperaturan yang telah ditetapkan sebelumnya walaupun terkadang juga ada saja oknum guru yang menggunakan cara yang sedikit keras dalam mendidik. Pemberian sanksi kepada peserta didik merupakan persoalan yang menjadi pro dan kontra, disatu sisi sanksi tersebut nyatanya diperbolehkan digunakan oleh guru dan bahkan sudah jelas peraturanya melalui pasal 14 ayat 1 butir F di atas. Namun, disisi lain perlu dipahami juga bahwa ada undang-undang perlindungan anak yang dapat melindungi anak dari kekerasan orangtua ataupun pendidik. Sehingga dalam mendidik, guru juga tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan. Berbeda dengan undang-undang perlindungan anak yang sangat tidak membolehkan kekerasan terhadap anak, dalam pendidikan Islam nyatanya memukul anak diperbolehkan berdasarkan hadits Rasulullah yang telah penulis 95
sampaikan di awal pembahasan. Hal ini menjadi perhatian tersendiri, disaat undang-undang perlindungan anak tidak membolehkan kekerasan terjadi, hadits Rasulullah membolehkan memukul anak ketika sudah berumur sepuluh tahun. Pemukulan merupakan bentuk kekerasan, sehingga ini menjadi kontradiksi dari kedua sumber hukum ini. Maka dengan melihat dan memahami kedua sumber hukum ini, penulis berpendapat bahwa dalam pendidikan sekarang ini, kekerasan ataupun pemukulan sekalipun tidak boleh dilakukan karena ada ancaman pidana yang dapat menjerat pendidik yang melakukan tindakan ini. Pendidik boleh memberikan sanksi kepada siswa dalam pembelajaran apabila siswa melakukan tindakan yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan, namun sanksi tersebut tidak boleh berupa sanksi fisik melainkan sanksi yang dapat mendidik anak tanpa harus menggunakan kekerasan. Sanksi atau hukuman tersebut haruslah ada hubunganya dengan kesalahan yang telah dilakukan oleh anak. Berdasarkan pasal-pasal yang telah disampaikan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya guru boleh memberikan hukuman kepada peserta didik dengan beberapa syarat. Syarat yang pertama adalah guru tidak boleh menggunakan kekerasan dalam memberikan sanksi atau hukuman. Sanksi yang diberikan haruslah sanksi yang mendidik, yaitu sanksi yang apabila diberikan kepada anak akibatnya lebih baik dan tidak membuat perasaan trauma pada anak. Syarat yang kedua adalah ketika guru ataupun orangtua ingin memberikan hukuman kepada anak, maka sebelumnya harus ada kesepakatan terlebih dahulu dengan anak. Jadi, anak akan paham bahwa kesalahan yang ia perbuat akan 96
mengakibatkan dirinya dikenai hukuman. Dengan begitu, anak akan belajar bertanggung jawab atas dirinya sendiri sehingga memungkinkan anak menjaga sikap dan perilakunya. Syarat yang ketiga adalah, apabila anak sudah menunjukkan perilaku yang baik dan cenderung memperbaiki perilakunya setelah diberi hukuman maka guru ataupun orangtua sudah selayaknya memberikan pujian atau bentuk reward terhadap anak. Hal ini dilakukan semata-mata untuk semakin meyakinkan anak bahwa berperilaku baik dan disiplin adalah kewajibanya, sehingga para guru dan orangtua tidak perlu lagi menerapkan sanksi atau hukuman tertentu dalam mendidiknya. Setelah memperhatikan hal-hal di atas, dapat penulis simpulkan bahwa reward dan punishment masih relevan dengan pendidikan saat ini dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi dan diperhatikan. Salah satu hal yang paling penting adalah reward dan punishment tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini. Reward akan sangat berguna ketika ingin menumbuhkan motivasi dari anak didik menjadi lebih tinggi. Lalu punishment digunakan sebagai obat pencegah ketidakdisplinan dari anak. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, ketika pendidik menggunakan reward, maka punishment juga harus digunakan sebagai pembatas kesalahan dari anak. Sebaliknya, ketika menggunakan punishment maka reward digunakan sebagai janji yang akan membuat motivasi anak tinggi untuk tidak melakukan kesalahan.
97
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Reward dan punishment dalam pendidikan Islam diperbolehkan, terbukti dengan adanya hadits yang menjelaskan bahwa memukul anak yang tidak melaksanakan shalat ketika sudah berumur sepuluh tahun. Lebih dari itu, dilihat dari fakta sejarah yang telah penulis dapatkan, dalam lembaga pendidikan Islam dahulu juga sudah ada yang mencantumkan hukuman dalam kurikulum pembelajaranya, dengan catatan hukuman tersebut bukanlah hukuman yang berupa hukuman fisik yang berlebihan. 2. Meskipun menghukum anak diperbolehkan dalam pendidikan Islam dan masih relevan penggunaanya, namun pendidik maupun orang tua juga harus memperhatikan dan memahami bahwa memberi hukuman kepada anak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini yaitu undang-undang perlindungan anak. Ini artinya hukuman yang diberikan tidak boleh bersinggungan dengan hukuman fisik, akan tetapi tujuan daripada hukuman tersebut adalah tetap memotivasi anak untuk berbuat baik. B. Saran Sebagai bahan pertimbangan bagi pendidik, orang tua ataupun guru, terlebih bagi anak ataupun siswa. Penulis ingin memberikan sumbang saran untuk lebih memahami bagaimana proses pembelajaran
98
yang baik menggunakan metode reward dan punishment sebagaimana berikut : 1. Pemberian reward kepada anak harus ada batasnya, karena semakin sering digunakan maka akan berkurang efek pemberian reward tersebut. Pendidik juga haruslah lebih berhati-hati dalam memberikan hukuman kepada anak. Jangan sampai hukuman yang diberikan menjadikan anak benci kepada kita karena rasa sakit atau trauma yang mendalam terhadap hukuman tersebut. 2. Untuk menunjang proses pembelajaran antara pendidik dengan anak harus ada tanggung jawab dari masing-masing pihak mengenai hak dan kewajibanya. Hal ini menjadi penting, agar masing-masing pihak memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sehingga baik pendidik ataupun murid menjadi berhati-hati dalam bertindak karena mengetahui batas-batas yang harus dipatuhi. 3. Sebaiknya dalam pendidikan Islam digunakan cara-cara yang lebih islami dalam mendidik karena Islam memiliki sumber hukum utama yaitu Al-Qur‟an dan Hadits. Kalaupun menghukum anak, maka cara menghukumnya harus diperhatikan dan disesuaikan dengan ajaran Rasulullah dan sesuai syari‟at Islam.
99
DAFTAR PUSTAKA Al Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta : Pustaka Azzam. Al-Amir, Najib Khalid,1994. Tarbiyah Rasulullah. Jakarta : Gema Insani Press. Al-Munir, Mahmud Samir. 2003. Guru Teladan di Bawah Bimbingan Allah, Jakarta: Gema Insani. Al-Qahthani, Sa‟id bin Ali bin Wahf. 2013. Panduan Lengkap Tarbiyatul Aulad, Solo : Zamzam, Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan metodlogi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat press. Arikunto, Suharsimi, 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, Yogyakarta : Rieneka Cipta,. Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam Kajian Atas Lembaga-lembaga Pendidikan. Bandung : Mizan. At-Tirmidzi, 1992. Terjemah Sunan At Tirmidzi IV. Semarang: CV. AsySyifa‟. Daradjat, Zakiah dkk. 2010. Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara Departemen Agama RI. 2002. Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahanya. Semarang : PT. Karya Toha Putra. Depdikbud. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga, Hafizh, Muhammad Nur Abdul. 1997. Mendidik Anak Bersama Rasulullah. Bandung : Al-Bayan. Idris, M dan Marno. 2008. Strategi dan Meode Pengajaran. Yogyakarta : Ar-ruzz Media. Istadi, Irawati. 2005. Agar Hadiah dan Hukuman Efektif, Jakarta : Pustaka Inti. Jalal, Abdul Fattah. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Bandung : CV Diponegoro.
100
Langgulung, Hasan, 2004. Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa Psikologi, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru. Majid, Abdul dkk. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Makmur, Haris Farhoni dkk. 2010 Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern , Yogyakarta : IRCiSoD. Mas‟ud
Abdurrahman. 2002. Menggagas format pendidikan nondikotomik(humanisme religius sebagai paradigma pendidikan islam), Yogyakarta : Gama Media,
Maunah, Binti.2011. Perbandingan Pendidikan Islam, Yogyakarta : Teras. Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mustaqim. 2001 Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Mustaqim, Abdul. 2005. Menjadi Orangtua Bijak : Solusi Kreatif Menangani Pelbagai Masalah Pada Anak, Bandung : Al-Bayan. Nata, Abuddin.2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan GuruMurid. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Nizar, Samsul.2002. Filsafat Pendidikan Islami, Jakrta : Ciputat Press. Kosim, Muhammad.2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun : Kritis, Humanis, dan Religius. Jakarta : Rineka Cipta. Purwanto, Ngalim.1990. Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Remaja Rosdakarya. Quthb, Muhammad.1993. Sistem Pendidikan Islam, Bandung: PT AlMaarif. Roqib, Moh.2009. Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keuarga dan Masyarakat, Yogyakarta : LkiS. Saerozi, Muh.2013. Pembaruan Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana. Sahlan, Asmaun.2009. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, Malang : UIN Maliki Press.
101
Seifert, Kelvin. 2010. Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan, Yogyakarta: IRCiSod. Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2006 Susana, Tjipta dkk.2007. Mempertimbangkan Hukuman Pada Anak, Yogyakarta :Kanisius. Syafei, M Sahlan.2006. Bagaimana Anda Mendidik Anak, Bogor: Ghalia Indonesia. Syafri, Ulil Amri.2014. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an, Jakarta : Rajawali Pers. Tafsir, Ahmad. 2008 Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Pendidikan Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Ulwan, Abdullah Nashih. 2009. Mencintai dan Mendidik Anak secara Islami. Yogyakarta : Darul Hikmah. Yunus, Mahmud. 2010. Kamus Arab Indonesia. Jakarta : PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah. www.harian7.com/2016/02/pemukulan-siswa-oleh-guru-sd-ledok2_66.html?m=1 www.ilo.org./dyn/natlex/docs www.regional.kompas.com sumberdaya.ristekdikti.go.id http://m.kompasiana.com/sahrona.lumbanraja
102
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Data Pribadi Nama
: Sariful Rohman
Tempat, Tanggal Lahir
: Kab. Semarang, 10 Mei 1993
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Manggung, Kec.Bandungan, Kab Semarang
Hp
: 085 640 494 371
Latar Belakang Pendidikan Formal 1999-2005
:MI Sabilul Huda, Kec.Bandungan, Kab.Semarang
2005-2008
:MTs Jimbaran, Kec.Bandungan, Kab.Semarang
2008-2011
:SMA Wira Usaha, Kec.Bandungan, Kab. Semarang
2012-sekarang
:Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga
103
iv
v
vi
vii
viii
ix