BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Gear pump Gear pump (pompa roda gigi) adalah jenis pompa positive
displacement dimana fluida akan mengalir melalui celah-celah roda gigi dengan dinding rumahnya. Disebut sebagai pompa karena fluida yang dialirkan pada umumnya berupa cairan (liquid) atau bubur (slurry). Sedangkan pompa positive displacement berarti pompa tersebut menghisap sejumlah fluida yang terjebak yang kemudian ditekan dan dipindahkan ke arah keluaran (outlet). Gear pump sering digunakan untuk aplikasi hydrolic fluid power. Namun, tidak jarang juga digunakan pada bidang kimia untuk mengalirkan fliuda pada viskositas tertentu. Terdapat dua jenis gear pump, yaitu external gear pump dan internal gear pump. Pompa ini digolongkan sebagai fixed displacement karena jumlah fluida yang dialirkan setiap putarannya selalu tetap,( Fauzih A, 2010). Di PT.Asia Pasific Fibers gear pump digunakan untuk mempompa bahan baku benang yang sudah dilelehkan(polimer) setelah proses extrusi untuk diteruskan pada cetakan benang.Pemilihan gear pump sebagai pompa dikarenakan gear pump mempunyai jumlah fluida yang dialirkan setiap putaran tetap.Gear pump yang dipakai di Pt Asia pacific fiber yaitu gear pump dua tingkat dengan 1 input dan output 8 buah.Kapasitas gear pump yang dipakai ada beberapa jenis disesuaikan dengan jenis benang yang produksi salah satunya 2,4cc/rev dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Gear Pump Kapsitas 2,4cc/rev (Minardi, 2012)
5
2.2. Material shaft Material shaft banyak menggunakan baja karbon dan baja khusus yang dipakai untuk membuat alat( tool steel). Adapun sifat fisis dan mekanis yang harus dimiliki oleh shaft
adalah keras,tangguh dan tahan terhadap benturan,
stabil,tidak bereaksi terhadap bahan kimia serta mempunyai koefisin muai yang bagus. 2.2.1 Klasifikasi Baja Karbon Menurut persentase karbonnya baja komersial diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu: 1. Baja karbon rendah Baja ini disebut baja ringan (Mild Steel) atau baja perkakas, baja ini bukan baja yang keras karena kandungan karbonya rendah yaitu kurang dari 0.3%. Baja ini dapat dijadikan mur, baut, ulir skrup dan lain-lain. Baja jenis karbon rendah mempunyai sifat tidak terlalu keras, cukup kuat, ulet, mudah dibentuk dan ditempa, tetapi karena kurangnya kadar karbon maka tidak dapat disepuh keras. (Amanto, 2003). 2. Baja karbon sedang Baja karbon sedang merupakan baja dengan kandungan karbon 0,3–0,6%, cukup keras dibandingkan dengan baja karbon rendah. Baja ini memungkinkan untuk dikeraskan sebagian dengan pengerjaan panas (heat treatment) yang sesuai. Baja karbon sedang digunakan untuk roda gigi, poros engkol, sekrup dan sebagainya. (Amanto, 2003). 3. Baja karbon tinggi Baja karbon tinggi mempunyai kandungan karbon 0,6–1,5%, baja ini sangat keras namun keuletannya rendah, biasanya digunakan untuk alat potong seperti gergaji, pahat, kikir, pegas dan lain sebagainya. Karena baja karbon tinggi sangat keras, maka jika digunakan untuk produksi harus dikerjakan dalam keadaan panas. (Amanto, 2003).
6
2.2.2 Diagram Fe3C Diagram Fe3C, Seperti pada Gambar 2.2 yang menampilkan hubungan antara temperatur dimana terjadi perubahan fasa selama proses pendinginan lambat dan pemanasan lambat dengan kandungan karbon (%C). Diagram fasa besi dan karbida besi Fe3C ini menjadi landasan untuk laku panas kebanyakan jenis baja yang kita kenal (Lawrench, 1985)
Gambar 2.2 Diagram Fe– C (Tata Surdia, 1999) Dengan memperhatikan diagram fasa tersebut maka baja karbon yang karbonnya <0.77 % adalah jenis baja hypoeutektoid, sedangkan baja dengan kadar karbon 0.77-2.11 adalah jenis baja hypereutectoid.
2.2.3 Struktur Logam Sifat-sifat
yang
dimiliki
logam
akan
berpengaruh
dalam
penggunaan logam, hal inilah yang merupakan dasar dari pemilihan bahan. Sifat-sifat yang dimiliki setiap logam sangatlah berbeda karena adanya perbedaan unsur-unsur penyusun serta paduan yang
7
akan membentuk struktur mikronya. Bentuk geometri dari persenyawaan logam besi dan baja biasanya berupa kubus, yang tersusun dari atom-atomnya. Bentuk geometris inti adalah BCC (Body Center Cubic), FCC (Face Center Cubic), HCP (Hexagonal Close Pocked) (Arifin, 2006). Seperti terdapat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Bentuk Geometris Kristal Logam (Arifin, 2006)
Macam-macam struktur logam antara lain: 1. Struktur Austenite Austenite disebut juga besi gamma (γ) seperti Gambar 2.4 dibawah, fase ini terjadi diatas tempratur 723 oC, sifat dari austenite adalah lunak, tidak magnetis, dan dapat di tempa. Austenite merupakan pemanasan lanjut dari ferrite dan pearlite (Arifin, 2006)
Gambar 2.4 Struktur Austenite (Arifin, 2006).
8
2. Struktur Ferrite Struktur ferrite sering juga disebut besi alpha (α) seperti Gambar 2.5 dibawah yang merupakan larutan karbon pada besi murni, fase ini terjadi pada tempratur 723oC ≥ 910oC. kandungan C sebesar 0.025, sifat dari baja ini adalah lunak, ulet, magnetis dan baik untuk di tempa.
Ferit
Gambar 2.5 Struktur Ferrite pada Baja Lunak (Masyrukan, 2006) 3. Struktur Cementite Cementite disebut juga karbid besi atau Fe 3C, Struktur Cementite adalah struktur yang sifatnya sangat keras, yang mengandung 6.67% C. Sifat dari besi ini adalah keras, rapuh dan magnetis sampai pemanasan pada suhu 210oC. (Arifin, 2006). Struktur sementite seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Struktur Sementite Pada Baja Karbon Tinggi (Arifin, 2006).
9
4. Struktur Pearlite Struktur
pearlite
adalah
struktur
yang
terbentuk
karena
persenyawaan antara struktur ferrite dan struktur cementite yang seimbang, Struktur pearlite jika dipanaskan sampai suhu 723 oC akan berubah menjadi struktur austenite. Sifat dari pearlite adalah keras, dan lebih kuat dari pada ferrite, tetapi kurang ulet, dan tidak magnetis. Struktur pearlite seperti terdapat pada Gambar 2.7
Ferit
Perlit
Gambar 2.7 Struktur Pearlite Pada Baja Karbon Rendah (0,25% C) (Masyrukan, 2006) 5. Struktur martensite Struktur martensite sifatnya sangat keras dengan susunan kristalnya berbentuk Kubus Pusat tetragonal. Sruktur martensite seperti terlihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Struktur Sementite Pada Baja Karbon (Masyrukan, 2006)
10
2.2.4 Pengaruh Unsur Paduan Terhadap Baja Baja yang hanya mengandung unsur C tidak akan memiliki sifat seperti yang diinginkan, dengan penambahan unsur-unsur paduan seperti Si, Mn, Ni, Cr, V, W, dan lain sebagainya dapat menolong untuk mencapai sifat-sifat yang diinginkan (Amanto, 2003). Penambahan beberapa unsur paduan spesifikasi terhadap sifat baja antara lain (Amanto, 2003) : a. Unsur Silikon (Si) Silikon merupakan unsur paduan yang ada pada setiap baja dengan jumlah kandungan lebih dari 0,4% yang mempunyai pengaruh kenaikan tegangan tarik dan menurunkan kecepatan pendinginan kritis (laju
pendinginan
minimal
yang
dapat
menghasilkan
100%
martensite) b. Unsur Mangan (Mn) Unsur Mangan dalam proses pembuatan baja berfungsi sebagai deoxider (pengikat O2) sehingga proses peleburan dapat berlangsung baik. Kadar Mn yang rendah dapat menurunkan kecepatan pendinginan kritis. c. Nikel (Ni) Nikel memberi pengaruh sama seperti Mn yaitu menurunkan suhu kritis dan kecepatan pendinginan kritis. Ni membuat struktur butiran menjadi halus dan menambah keuletan. d. Unsur Krom (Cr) Unsur krom meningkatkan kekuatan tarik dan keplastisan, kekerasan, mungurangi korosif dan tahan suhu tinggi. e. Unsur Vanadium (V) dan Wolfram (W) Unsur Vanadium dan Wolfram membentuk karbida yang sangat keras dan meningkatkan keekrasan baja, kemampuan potong dan daya tahan panas, untuk pahat potong dengan kecepatan tinggi.
11
2.2.5 Material Shaft Gear Pump Semakin berkembangnya ilmu bahan sekarang ini,shaft gear pump banyak menggunakan baja karbon tinggi dan baja karbon sedang dan tool steel disesuaikan dengan fungsi dan kegunaannya.Salah satu tool steel yang digunakan untuk membuat shaft gear pump adalah CPM 76 atau M48 denagan kekerasan mencapai 67-69HRC (ASM Handbook,Volume 1, 2005)seperti dtunjukan pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Standart Komposisi CPM 76 dan M48 (ASM Handbook, Volume 1, 2005)
Trade Name CPM Rex T15 CPM Rex T15 HS CPM Rex 76 CPM Rex 76 HS Hap10
AISI Designation C
Constituent Elements, % Cr W Mo V Co
Hardness HRC
T15
1.55
4.00 12.25
0
5.00 0.06 0.06
65-67
T15
1.55
4.00 12.25
0
5.00 0.22
0
65-67
M48
1.50
3.75
10.0
3.10
9.0
0.06
0
67-69
M48
1.50
3.75
10.0
3.10
9.0
0.22
0
67-69
1.35
5.0
3.0
6.0
6.0
3.8
0
67-69
s
2.3 Kerusakan Shaft Gear Pump Kerusakan shaft gear pump original di PT. Asia Pasific Fibers adalah patah pada ujung dan posisi tengah shaft terlihat pada Gambar 2.9, yang disebabkan temperatur pada beam rendah menyebab beban kerja tinggi. Untuk shaft gear pump buatan lokal terjadi deformasi bentuk diujung shaft disebabkan kekerasan dan koefisiensi muai yang rendah, ditunjukan pada Gambar 2.10.
12
patah
Gambar 2.9 patahan Shaft Gear Pump Original (Minardi ,2012)
Deformasi bentuk
Gambar 2.10 Perubahan Bentuk Shaft Gear Pump Lokal (Minardi, 2012)
2.4 Proses Perlakuan Panas Untuk memperoleh sifat- sifat mekanik dan struktur mikro yang diinginkan dari baja karbon dalam batasan yang direncanakan, dapat dilakukan dengan suatu perlakuan panas. Perlakuan Panas adalah suatu proses mengubah sifat logam dengan jalan mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan pendinginan. Keberhasilan perlakuan panas pada baja didominasi struktur mikro martensit dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (1) komposisis paduan, (2) jenis dan karakter dari media quenching dan (3) ukuran dan bentuk dari benda specimen. (Callister, 2007).
13
Proses perlakuan panas untuk baja karbon dengan metoda austempering bertujuan untuk menghasilkan mikrostruktur yang kuat,ulet dan tahan. Tahap proses, yaitu : 2.4.1
Proses Austenisasi Proses pemanasan material besi cor sampai pada daerah austenit, yaitu
daerah dengan temperatur antara 845 – 925oC (ASM vol.1, 2005). Keseluruhan fasa material akan diubah ke dalam austenite dan feritik, dimana atom – atom karbon akan larut interstiti pada struktur FCC pada permukaan sampel sampai pada kedalaman tertentu. Masuknya atom – atom karbon (C) secara interstiti ke dalam struktur kristal logam pada temperatur austenit disebut proses difusi.
2.4.2 Proses Penahanan (holding time) Proses homogenisasi (penyeragaman) dari komposisi fasa austenit, yaitu waktu penahanan pada daerah austenit selama periode waktu tertentu dan bertujuan untuk menjamin diperolehnya keseragaman fase austenit (complete austenitization). 2.4.3 Proses Quenching Proses pendinginan dari material yang telah selesai menjalani proses austenisasi. Proses quenching dilakukan dengan jalan pencelupan ke dalam media pendingin secara cepat. Laju pendinginan selama tahap ini sangat penting karena menentukan mikrostruktur matrik dari baja yang akan di austemper pencelupan lambat akan menghasilkan pearlite, ini biasa terjadi pada benda coran. Derajat dimana bainit dapat dicapai selama laju panas iso termal untuk menghindari pearlite atau martensit dikenal sebagai pengerasan bainit pada paduan (Raharjo S, 2007). 2.4.4 Proses Austempering Proses transformasi isothermal untuk mendapatkan struktur ausferit, yaitu matrik yang terdiri dari acicular ferit dan austenit stabil dengan kandungan karbon 2%. Proses austempering dilakukan dengan perendaman dan penahanan material (soaking) dalam media pendingin yang berupa media gramus pada daerah temperatur konstan. Biasanya temperatur austempering yang digunakan berkisar antara 232 – 400oC bila dibawah temperatur itu, akan terbentuk martensit (Ms).
14
Tempertur austempering merupakan parameter terpenting untuk menentukan sifat mekanik besi ulet austemper ; temperature austemper tinggi (350 - 400oC) menghasilkan keuletan dan ketangguhan yang tinggi, dan kekuatan luluh dan kekuatan tarik yang lebih rendah, sedangkan temperature austemper rendah (250 – 300oC) menghasilkan kekuatan luluh dan kekuatan tarik yang tinggi, katahanan aus yang tinggi dan ketangguhan dan keuletan serta ketangguhan lebih rendah (Smallman. R.E, dkk, 1999). 2.4.5 Proses Air Cooling (pendinginan udara) Proses terakhir yang dilakukan, yaitu dengan mengeluarkan material dari rendaman media oli dan didinginkan pada temperatur ruangan. Dari diagram fasa Fe-C seperti Gambar 2.11 diperoleh hubungan antara temperatur dengan fasa yang terbentuk pada proses perlakuan panas.
Gambar 2.11. Diagram Kesetimbangan Fasa Fe – C (Callister, 2007)
15
2.6 Pengujian Kekerasan Kekerasan merupakan ketahanan suatu material terhadap penetrasi material lain. Pada umumnya kekerasan menyatakan ketahanan terhadap deformasi, dan untuk logam dengan sifat tersebut merupakan ketahanannya terhadap deformasi plastik atau deformasi permanen. Ada 2 (dua) tipe pengidentasian, yaitu statik dan dinamis. Test identasi statik yang umumnya dipakai merupakan pengidentasian yang dilakukan pada permukaan material dengan beban tertentu. Sedangkan test identasi dinamik meliputi beban bebas yang dijatuhkan yang memberikan impak terhadap material (Callister,2007). Berikut ini metode-metode pengujian logam : a) Metode Brinell Penetrator yang digunakan berupa bola baja yang dikeraskan dengan diameter 0,625 s/d 10 mm dan standard beban 0,97 s/d 3000 Kgf. Lama penekanan 10 s/d 30 detik. Bola harus berupa baja yang dikeraskan, ditemper, dan dengan kekerasan minimum 850 VPN. Kekerasan yang diberikan merupakan hasil bagi beban penekan dengan keras permukaan lekukan bekas penekanan dari bola baja yang ditunjukan pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Metode Brinell (Callister,2007).
16
HB
2F
D D D2 - d 2
Dimana : HB =
Diameter
(2.2)
Nilai kekerasan Menurut Brinell
F
=
Beban yang diterapkan (Kg)
D
=
Diameter bola (mm)
d
=
diameter (mm)
lekukan
diukur
pada
kaca
pembesar
dengan
menggunakan mistar yang sesuai dengan pembesarannya. HB dilihat langsung dalam Tabel 2.2 yang tertera pada body preparat. Bola baja hanya digunakan untuk mengetes baja yang dikeraskan, besi tuang kelabu dan non logam. Tabel 2.2. Standar Uji Brinell (ASTM E-10,1990) Diameter Bola (mm)
Beban ( kg )
Daerah Angka Kekerasan
10 mm
3000
96 s/d 600
10mm
1500
48 s/d 300
10mm
500
16 s/d 100
b) Metode Rockwell Pengujian kekerasan Rockwell didasarkan pada kedalaman masuknya penekan benda uji. Nilai kekerasan dapat langsung dibaca setelah beban utama dihilangkan. Untuk menghittung nilai kekerasan Rokwell dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
HR = E - e
(2.3)
Dimana: HR= Nilai kekerasan Menurut Rockwell E = Konstanta tergantung pada bentuk identor. e = Perbedaan antara dalamnya penembusan, Untuk itulah digunakan Tabel 2.3 Skala Kekerasan Rockwell yang memperlihatkan skala yang digunakan untuk tipe-tipe material tertentu.
17
Pengujian kekerasan Rockwell memiliki dua metode yang biasa digunakan yaitu: 1) Metode dengan Kerucut (HRC) Pada percobaan dengan metode ini menggunakan identer kerucut untuk penekanan ke material (Gambar 2.13) dengan besar nilai kekerasan HRC. Skala HRC memiliki nilai kekerasan 0 sampai 100, Tabel 2.3. Skala Kekerasan Rockwell (Callister,2007). Tipe Material Uji
Skala
Beban Mayor (Kg)
Tipe Indentor
A
60
1/16” bola intan kerucut
B
100
1/16” bola
C
150
Intan kerucut
D
100
1/8” bola
E
100
Intan Kerucut
Baja kawakan
F
60
1/16” bola
G
150
1/8” bola
Kuningan yang dianealing dan tembaga Tembaga, berilium, fosfor, perunggu
H
60
1/8” bola
Pelat alumunium, timah
K
150
¼” bola
Besi cor, paduan alumunium, timah
L
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
M
100
¼” bola
Plastik, logam lunak
R
60
¼” bola
Plastik, logam lunak
S
100
½” bola
Plastik, logam lunak
V
150
½” bola
Plastik, logam lunak
Sangat keras, tungsten, karbida Kekerasan sedang, baja karbon rendah dan sedang, kuningan, perunggu Baja keras, paduan yang dikeraskan, baja hasil tempering Besi cor, paduan alumunium, magnesium yg dianealing
18
Gambar 2.13. Diagram mekanisme uji kekerasan Rockwell (Callister,2007). Namun pengujian untuk material tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan mesin khusus yang memiliki kapasitas beban 1-30 kg. Metode ini hanya cocok untuk bahan-bahan dengan susunan yang homogen. Gambar 2.14 menunjukan bagan pengujian Rockwell Cone atau HRC:
Gambar 2.14. Bagan Pengujian HpRC (Callister,2007). 2) Metode dengan Peluru (HRB) Metode ini pada dasarnya sama dengan metode kerucut. Hanya saja metode ini menggunakan penetrator sebuah peluru. Berikut ini adalah bagan pengujian Rockwell Ball atau HRB (Gambar 2.15)
19
Gambar 2.15. Bagan Pengujian HRB (Callister,2007). 3) Metode Rockwell Superficial Perbedaannya dengan Rockwell biasa adalah dalam beban minor dan beban mayor. Pada Rockwell Superficial, beban minor adalah 3 kg, sedangkan beban maayor adalah 15, 30 dan 45 kg (Tabel 2.4).
Tabel 2.4. Skala Superficial Rockwell (Callister,2007). Scale Simbol
Identor
Mayor Load (Kg)
15 N
Diamond
15
30 N
Diamond
30
45 N
Diamond
45
15 T
1/16 in ball
15
30 T
1/16 1n ball
30
45 T
1/16 in ball
45
15 W
1/8 in ball
15
30 W
1/8 in ball
30
45 W
1/18 in ball
45
20
c) Metode Vickers Metode ini mirip dengan metode brinell tetapi penetrator yang dipakai berupa intan berbentuk piramida dengan dasar bujur sangkar dan sudut puncak 1360 dijelaskan pada Gambar 2.16. Maka pada bahannya terdapat bekas pijakan dari intan tersebut. Cetakan ini bertambah besar hanya jika bahannya bertambah lunak, dan jika bebannya bertambah besar. Beban yang digunakan biasanya 1 s/d 120 kg.
Gambar 2.16. Cara Pengukuran Diameter Pada Identor Vickers (Callister,2007).
Perhitungan dengan metode vikers:
D=
D1 + D2 2
HV = 1,854
(2.4)
F D2
(2.5)
Dimana : F
=
Beban yang ditetapkan
D
=
Panjang diagonal rata-rata
D1
=
Panjang diagonal 1
D2
=
Panjang diagonal 2
D
=
Panjang diagonal rata-rata
21
2.6 Pengujian Struktur Mikro Struktur mikro adalah struktur terkecil yang terdapat dalam suatu bahan yang keberadaannya tidak dapat di lihat dengan mata telanjang, tetapi harus menggunakan alat pengamat struktur mikro diantaranya; mikroskop cahaya, mikroskop electron, mikroskop field ion, mikroskop field emission dan mikroskop sinar-X. Penelitian ini menggunakan mikroskop cahaya, adapun manfaat dari pengamatan struktur mikro ini adalah: 1. Mempelajari hubungan antara sifat-sifat bahan dengan struktur dan cacat pada bahan. 2. Memperkirakan sifat bahan jika hubungan tersebut sudah diketahui .
Langkah-langkah untuk melakukan pengamatan struktur mikro dapat memakai referensi ASTM E3 dari persiapan sempel dan prosedur pengujian mikroskop sebagai berikut : 2.6.1
Cutting (Pemotongan) Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi
mikroskopik merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersil tidak homogen, Sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar tidak dapat dianggap representatif. Pengambilan sampel harus direncanakan sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata bahan atau kondisi di tempat-tempat tertentu (kritis) yang mana ditunjukan pada Gambar 2.17 dengan memperhatikan kemudahan pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang akan diamati mikrostruktur. Maka sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.
22
Symbol in diagram A B C D E F G H
Suggested designation Rolled Surface Direction of rolling Rolled edge Plannar edge Longitudinal section perpendicular to rolled surface Transverse section Radial longitudinal section Tangential longitudinal section
Gambar 2.17 Metode Menentukan Lokasi Pemotongan Untuk Menentukan Area Yang Dimikrografi (ASTM Handbook E18, 2002). Ada beberapa sistem pemotongan sampel berdasarkan media pemotong
yang
digunakan,
yaitu
meliputi
proses
pematahan,
pengguntingan, penggergajian, pemotongan abrasi (abrasive cutter), gergaji kawat, dan EDM (Electric Discharge Machining) yang bisa dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5. Macam-Macam Pisau Pemotong Material (ASTM E18, 2002) Hardness HV
Materials
Up to 300 Up to 400 Up to 400 Up to 500 Up to 600 Up to 700 Up to 800 > 800
non-ferrous (Al, Cu) non-ferrous (Ti) soft ferrous Medium soft ferrous Medium hard ferrous hard ferrous very hard ferrous extremely hard ferrous more brittle ceramics tougher ceramics
P – phenolic R – rubber
R&R - resin and rubber M – Metal
abrasive SiC SiC Al2O3 Al2O3 Al2O3 Al2O3 Al2O3 CBN diamond diamond
Bond P or R P or R P or R P or R P or R P or R&R P or R&R P or R P or R M
Bond Hardness Hard med hard Hard med hard Medium med soft Soft Hard very hard ext hard
23
Berdasarkan
tingkat
deformasi
yang
dihasilkan,
teknik
pemotongan terbagi menjadi dua, yaitu: Teknik pemotongan dengan deformasi yang besar, menggunakan gerinda Teknik pemotongan dengan deformasi kecil, menggunakan diamond saw 2.6.2 Mounting Spesimen yang berukuran kecil atau memiliki bentuk yang tidak beraturan akan sulit untuk ditangani khususnya ketika dilakukan pengamplasan dan pemolesan akhir. Sebagai contoh adalah spesimen yang berupa kawat, spesimen lembaran logam tipis, potongan yang tipis dan lainlain. Untuk memudahkan penanganannya, maka spesimen-spesimen tersebut harus ditempatkan pada suatu media (media mounting). Secara umum syarat-syarat yang harus dimiliki bahan mounting adalah :
Bersifat inert (tidak bereaksi dengan material maupun zat etsa)
Sifat eksoterimis rendah
Viskositas rendah
Penyusutan linier rendah
Sifat adesif baik
Memiliki kekerasan yang sama dengan sampel
Flowabilitas baik, dapat menembus pori, celah dan bentuk ketidakteraturan yang terdapat pada sampel
Khusus untuk etsa elektrolitik dan pengujian SEM, bahan mounting harus kondusif Media mounting yang dipilih haruslah sesuai dengan material dan
jenis reagen etsa yang akan digunakan. Pada umumnya mounting menggunakan material plastik sintetik. Materialnya dapat berupa resin (castable resin) yang dicampur dengan hardener atau bakelit. Penggunaan castable resin lebih mudah dan alat yang digunakan lebih sederhana dibandingkan bakelit, karena tidak diperlukan aplikasi panas dan tekanan. Namun bahan castable resin ini tidak memiliki sifat mekanis yang baik (lunak) sehingga kurang cocok untuk material-material yang keras.
Teknik
mounting
yang
paling
baik
adalah
menggunakan
24
thermosetting resin dengan menggunakan material bakelit. Material ini berupa bubuk yang tersedia dengan warna yang beragam. 2.6.3 Grinding (Pengamplasan) Tabel 2.6. Ukuran Grit Amplas Standart Eropa dan USA (ASTM E18, 2002).
FEPA Grit Number P120 P150 P220 P240 P280 P320 P360 P400 P500 P600 P800 P1000 P1200 P1500 P2000 P2500
ANSI/CAMI Size 125.0 100.0 68.0 58.5 52.2 46.2 40.5 35.0 30.2 25.8 21.8 18.3 15.3 12.6 10.3 8.4
Grit Number 120 180 220 …. 240 …. 280 320 …. 360 400 500 600 800 1000 1500
Size 116.0 78.0 66.0 …. 51.8 …. 42,3 34.3 …. 27.3 22.1 18.2 14.5 11.5 9.5 8.0
Sampel yang baru saja dipotong, atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar ini harus diratakan agar pengamatan struktur mudah untuk dilakukan. Pengamplasan dilakukan dengan menggunakan kertas amplas yang ukuran butir abrasifnya dinyatakan dengan mesh. Urutan pengamplasan harus dilakukan dari nomor mesh yang rendah (150 mesh) ke nomor mesh yang tinggi (2000 mesh) bisa dilihat pada Tabel 2.6. Ukuran grit pertama yang dipakai tergantung pada kekasaran permukaan dan kedalaman kerusakan yang ditimbulkan oleh pemotongan. Hal yang harus diperhatikan pada saat pengamplasan adalah pemberian air.
Air berfungsi sebagai pemidah geram, memperkecil
kerusakan akibat panas yang timbul yang dapat merubah struktur mikro sampel dan memperpanjang masa pemakaian kertas amplas. Penggunaan air dan langkah-langkah pengamplasan bisa dilihat pada Tabel 2.7 untuk pengamplasan material lunak. Hal lain yang harus diperhatikan adalah ketika melakukan perubahan arah pengamplasan, maka arah yang baru adalah 450 atau 900 terhadap arah sebelumnya
25
Tabel 2.7 Persiapan Uji Mikrografi Material Lunak Dibawah 45 HRC (ASTM Handbook E18, 2002).
Surface planar grinding paper/stone free grinding heavy nylon clotch rought polishing low nap cloth final polishing med/high nap clotch
synthetic suede
Lubricant
Abrasive type/size ANSI (FEPA)
time sec
force N (lbf)
Platen RPM3
Rotation
Water
120-320 (p120-400) grit SiC/al2O3
1545
20-30(5-8)
200300
00O
compotible lubricant
6-15 µm diamond
160300
20-30(5-8)
100150
00O
compotible lubricant
3-6 µm diamond
120300
20-30(5-8)
100150
00O
compotible lubricant
1 µm diamond
60120
10-20(3-5)
100151
00O
Water
0.04 µm diamond colloidall silica or 0.05 or 0.05 mm alumina
3060
20-30(5-8)
100152
Contra
2.6.4 Polishing (Pemolesan) Setelah diamplas sampai halus, sampel harus dilakukan pemolesan. Pemolesan bertujuan untuk memperoleh permukaan sampel yang halus bebas goresan dan mengkilap seperti cermin dan menghilangkan ketidakteraturan sampel hingga orde 0.01 μm (ASTM Handbook E18, 2002). Permukaan sampel yang akan diamati di bawah mikroskop harus benarbenar rata. Apabila permukaan sampel kasar atau bergelombang, maka pengamatan struktur mikro akan sulit untuk dilakukan karena cahaya yang datang dari mikroskop dipantulkan secara acak oleh permukaan sampel. Tahap pemolesan dimulai dengan pemolesan kasar terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pemolesan halus. Ada 3 metode pemolesan antara lain yaitu sebagai berikut : 1.
Pemolesan elektrolit kimia Hubungan rapat arus dan tegangan bervariasi untuk larutan elektrolit dan material yang berbeda dimana untuk tegangan, terbentuk lapisan tipis pada permukaan, dan hampir tidak ada arus yang lewat, maka terjadi proses etsa. Sedangkan pada tegangan tinggi terjadi proses pemolesan.
26
2. Pemolesan kimia mekanis Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa yang umum digunakan. 3. Pemolesan elektro mekanis (Metode Reinacher) Merupakan kombinasi antara pemolesan elektrolit dan mekanis pada piring pemoles. Metode ini sangat baik untuk logam mulia, tembaga, kuningan, dan perunggu. 2.6.5 Etching (Etsa) Etsa merupakan proses penyerangan atau pengikisan batas butir secara selektif dan terkendali dengan pencelupan ke dalam larutan pengetsa baik menggunakan listrik maupun tidak ke permukaan sampel, sehingga detil struktur yang akan diamati akan terlihat dengan jelas dan tajam. Untuk beberapa material, struktur mikro baru muncul jika diberikan zat etsa. Sehingga perlu pengetahuan yang tepat untuk memilih zat etsa yang tepat. 1. Etsa kimia Merupakan proses pengetsaan dengan menggunakan larutan kimia, lihat Tabel 2.8 dimana zat etsa yang digunakan ini memiliki karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan dengan sampel yang akan diamati. 2. Elektro etsa (Etsa Elektrolitik) Merupakan proses etsa dengan menggunakan reaksi elektroetsa. Cara ini dilakukan dengan pengaturan tegangan dan kuat arus listrik serta waktu pengetsaan. Etsa jenis ini biasanya khusus untuk stainless steel karena dengan etsa kimia susah untuk medapatkan detil strukturnya
27
Tabel 2.8 Jenis-Jenis Etsa Kimia Pada Uji Mikrografi Material (ASTM Handbook E18, 2002). 6H HCL plus 2 gl hexametylene tetamine 3 mL HCL 4 mL 2-Butyne-, 4 diol inhibitor 50 mL water 49 mL water 49 mL HCL 2 mL Rodine -50 Inhibitor 6 g sodium cyanide 5 g sodium sulphite 100 mL distiled water 10 g ammonium citrate
immerse specimentin solution for 1 to 15 min. good for steels.cleaning action can be enhanced by light brushing or by brief (5 s) periods in an ultrasonic cleaner use a fresh solution at room temperature. Use in an ultrasonic cleaner for about 30 s
wash speciment in alcohol for 2 min in ultrasonic cleaner before and after a 2 min ultrasonic cleaning period with the inhibeted acid bath
electrolytic rust removal solution. Use under a hood with care. Use 100-mA/cm2 current density for up to 15 min use solution heated to 30oC (86F)
100 mL distiled water 70 mL orthophosphoric acid 32 g chromic acid
recommended for removin oxides from aluminum alloy fracture ( some sources claim that only organic solvent shoild be used)
130 mL water 8 0z endox 214 powder 1000 mL cold water ( add small amount of photo-flo)
use electrolytically at 250-mA/cm2current density for 1 min with a Pt cathoda to remove oxidation products. Wash in ultrasonic cleaner with the solution for 1 min. repeat this cycle several times if necessary.use under a hood
28