RESPONS MUHAMMADIYAH TERHADAP KRISTENISASI DI INDONESIA (Studi Kasus: Era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh TOTO TOHARI 105032101049
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
RESPONS MUHAMMADIYAH TERHADAP KRISTENISASI
DI II\DONESIA (Studi Kasus: Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlah)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushulddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelal Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Toto Tohari NIM.105032101049
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 20tt/1432
LEMBAR PENGESAIIAN
Skipsi berjudul : Respons l\{uhammadiyah rerhadap Kristenisasi di Indonesia studi Kasus: Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UiN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 23 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teologi (s.T'h.l) pada program Studi perbandingan Agarna.
Jakart4 23 Juni 201I Panitia Ujian Munaqasyah
Maulana- M.Aq NIP. 19610312 198903 I 002
Anggota,
Pengu.|i.{l
NIP. 19651 129 199403
I
002
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Dengan ini saya : Nama
: Toto Tohari
NIM
: 105032101049
Fak/Jur
: Ushuluddin/Perbandingan Agama
Jusul Skripsi
: “Respons Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi di Indonesia Studi Kasus Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan”
Dosen pembimbing
: Drs. M. Nuh Hasan, MA
Menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 23 Juni 2011
Toto Tohari
MOTTO
Waktu adalah kunci Kunci kebahagiaan, kunci kegembiraan, kunci kemenangan, kunci kesuksesan. Bagi orang yang menghargainya
Waktu adalah kunci Kunci menangis, kunci menyesal, kunci kegagalan, kunci bersedih, kunci marah. Bagi orang yang melihatnya sebelah mata.
Waktu adalah kunci Setiap orang sama diberi waktu Sukses atau gagalnya orang ditentukan oleh pengolahan waktu
Jangan tangisi waktu ia tak pernah berputar kembali Karena waktu adalah kunci
Hargai waktu dalam hidupmu
(sang waktu)
ABSTRAK
Didirikannya Muhammadiyah 1912 adalah sebuah jawaban atas keadaan sosial-keagamaan yang terjadi pada masyarakat saat itu, kondisi yang memprihatinkan pada saat itu telah terjadi penjajahan yang dilakukan oleh kolonial telah menyebabkan rakyat Indonesia semakin menderita, diperparah lagi dengan banyaknya umat Islam yang mengamalkan ritual dan berbagai tradisi (kejawen) yang pada dasarnya tidak sesuai dengan tuntunan agama yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, sehingga ini perbuatan syirik, bid’ah, khurafat. Hal inilah yang telah menyebabkan rakyat Indonesia mudah di jajah dan jauh dari tuntunan ajaran Islam yang sebenarnya. Di samping kondisi bangsa Indonesia berada di bawah telapak kaki penjajah kolonial Belanda yang bertujuan untuk mengekploitasi kekayaan alam Nusantara secara paksa, yang dibarengi dengan kegiatan misi Kristenisasi kepada pribumi dengan berbagai cara Dilakukan oleh para zending untuk mengkonversiakn Islam menjadi umat Kristiani, ini adalah momok yang menakutkan dan meresahkan dikalangan umat Islam, sebab melakukan konversi secara masif dan terlembaga, meskipun pemerintah Belanda menyatakan netral terhadap agama, akan tetapi itu hanya isapan jempol belaka. Berangkat dari keadaan seperti ini K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk melakukan pembaharuan dalam segala bidang, baik dengan mendirikan lembaga pendidikan, pengajian, dan yang lainnya, dengan tujuan untuk merespon adanya Kristenisasi terhadap rakyat Indonesia yang dilakukan oleh kolonial dan penyimpangan terhadap ajaran Islam. adapun ciri khas dari K.H. Ahmad Dahlan tidak mengedepankan konfrontasi. Akan tetapi melalui persaingan pembangun infastruktur tersebut. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana Respons Muhammadiyah Terhadap Kritenisasi di Indonesia pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan. dengan menggunakan metode penelitian kajian pustaka. Proses analisis dilakukan dengan menelaah seluruh data pustaka dari berbagai sumber bacaan, yang kemudian data tersebut di analisis dan dipelajari secara cermat dan dideskripsikan. Selanjutnya diberikan gambaran, penafsiran dan uraian. Dengan demikian kita bisa melihat usahausaha yang diperjuangkan oleh K.H Ahmad Dahlan dalam menyadarkan umat Islam Indonesia yang masih dikuasi dan dijajah oleh Kolonial. Dengan harapan umat Islam Indonesia bangkit dari keterbelakangan akibat penjajahan yang dilakukan oleh kolonial sehingga merdeka dan dapat mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan AlQur’an dan hadis.
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الر حمن الر حيم Puji syukur terhatur kepada dzat yang maha ghafur, atas karunia dan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, penulis masih diberi kesempatan untuk menghirup udara segar dan menata masa depan dengan cerah dan penuh semangat membara. Atas kekuasaan-Nya diri ini masih bisa melewati samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang penderitaan dan kebahagiaa dalam mengarungi lautan kehidupan. Atas bimbingan-Nya, terpatri rasa sadar bahwa hidup ini adalah lautan ujian untuk hamba-Nya dalam mengarungi kehidupan dengan perahu keimanan. Atas pertolongan-Nya jua skripsi ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam semoga tetap tercurah kepada haribaan nabi agung Muhammad SAW, sebagai suri tauladan sepanjang masa, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di padang mahsyar nanti dan termasuk ke dalam barisan hamba-hamba yang diberi inayah untuk melanjutkan risalahnya. Penulis sadar betul dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah goresan tinta kecil yang jauh nilainya dari ukuran dengan orang-orang besar, namun dalam kapasitas penulis yang dhai’f dan di rantai dengan berbagai keterbatasan, skripsi ini rasanya sebuah capaian sejarah yang monumental yang menjadikan penulis merasa besar, atau minimal ada sebuah kebanggaan hati dalam penulis untuk membidik capaian-capain selanjutnya untuk mewujudkan mimpi agung seperti orang-orang besar. Penulis jua sadar dengan sepenuh hati bahwa diri ini berhutang banyak kepada pihak yang telah direpotkan oleh penulis, baik memberikan dukungan moril dan materinya, motivasi,
v
bimbingan dan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini. Jauh dari itu, skripsi ini ibarat segelas air dingin dalam musim kemarau yang penulis tempuh dalam menjalani kerasnya kehidupan Sembah bhakti, penulis haturkan kapada ayah (Enco Dasa) dan ibu (Uke Rukesih), mohon maaf jika anakmu ini belum dapat membalas budi seperti yang telah engkau berikan kepada diri ini. Terimakasih kepada ayah yang dengan keterbatasanmu
diri ini bisa
membuktikan dan mewujudkan impian, sehingga kini anakmu ini lebih mengerti tentang kedewasaan dan memahami kerasnya gelombang batu kehidupan. Terimakasih kepada ibu, kasih sayang ibu yang tak pernah kering, telah membuat anakmu ini mampu bertahan di bawah tajamnya jurang kehidupan. Terimakasih juga untuk kakak-ku ( Dadi dan kakak iparku teh Titin) atas nasihatnya dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Terimakasih kepada adik-ku (Riswan), raih mimpimu agar engkau menjadi orang yang menaikan drajat keluarga kita. Amin. Tak lupa, penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih tak terhingga kepada orangorang yang telah menanam benih-benih jasa dalam diri penulis antara lain: 1. Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin. 2. Drs. M. Nuh Hasan, MA., selaku Ketua Program Studi Perbandingan Agama sekaligus dosen pembimbing skripsi, penulis ucapkan terima kasih banyak atas bimbingannya, dan Drs. Maulana, M.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama. 3. Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si dan Prof. Dr. Masri Mansoer, MA atas kesediaannya menjadi Penguji Sidang Skripsi penulis. 4. Keluarga Besar Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta segenap dosen, karyawan dan seluruh staf yang telah banyak memberikan ilmu dan membantu
v
memberikan fasilitas bagi penulis dalam rentang waktu selama studi “di kampus pembaharu” tercinta ini. 5. Ucapan terima kasih kepada wa Ewong, wa Witi dan wa Kidil, ma Acim dan teh Mimin; deden, Imas, Samsul, ma Dewo dan teh mimi; Anggi, ma Anyim. Ma Engku-wa Elek, wa Yudi, ma Darsih, ceu Embat, ma Casdi, wa Emi, ma Enda dan ceu Teri, wa Eumi A Nana, Atas doa dan suppotnya 6. Keluarga Besar Pondok Pesantren Riadul Muta’alimin desa Geresik, Kec Ciawigebang, Kab Kuningan, Pimpinan K.H. Ono Tarsono (A Ono) dan isrtinya teh Teti serta anakanaknya, penulis haturkan Terimakasih atas doa dan bimbingannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. 7. Keluarga besar ibu Minah dan bapak Mimid; A Eman dan istrinya Mba Ani beserta anakanaknya ( a Inan, a Rega dan dede Fahri), A Dede dan istrinya , A Engkus dan teh Eneng, A lesmana ( om les) dan teh Yati, A Heri dan teh Yayah serta anaknya neng Nabil. terimakasih atas doa dan bantuanya, penulis hanya bisa mendoakan semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan penuh dengan rahmat-rahmat Allah SWT. 8. Ucapan terimakasih kepada abah Solihin (alm) dan ema Emi (pengusaha kerupuk di Bekasi), atas doa dan bantuannya, penulis sering silaturahmi kerumah dan diberi uang jajan, ibu guru Eli terimakasih aras sharingnya, 9. Terimakasih kepada teman-taman seperjuangan kelas Perbandingan Agama angkatan 2005; Robi, Wahyu, Samsul, Wasil, Zamroni, Masriah, Kiki, Lian, Ihya, Fikri, Iis, Rahmat, Guntur, Deliar, Titis, Lukman, thanks for sharing dan diskusinya selama kita studi. Serta kepada kakak kelas Perbandingan Agama, bang: Gugah, Paoji, Gigin,Yasir, Kodir dan
v
yang lainnya, juga tak lupa kepada adik kelas PA, belajarlah dengan tekun dan gali potensi diri agar menjadi orang yang mempunyai daya saing. 10. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Ciputat: terimakasih IMM, engkau adalah Universitas kehidupan kedua bagiku. Karenamulah, diri ini telah berubah dari apa yang tidak aku bayangkan. Diri ini ditempa, dididik. Diuji. Perkenankan jua, penulis ucapkan thanks to. Kang ade sang inspirator (when you merrid?), Masto, kang Ma’ruf, bang Alfin (DPD IMM), kang Edi, kang Meidi, kang Cecep, kang Fadli, kang Baharudin Azis,
teh Orin. Pimpinan Cabang 2008-2009, masa amanah-ku; Indra. K
(Ketum), Tarsih, Ayu, Rijal, Ningsih, Siti Aisyah, Ipin, Hasbi. Pimpinan Cabang.20092010 Imawan Iqbal dan jajarannya, Pimpinan Cabang 2010-2011 Imawan Fahmi dan jajarannya, dan adik-adik-ku yang di ASTRA dan ASTRI. 11. Adik-adiku atau lebih simple teman-teman-ku, Imawan/wati; Beni Azhari, Zuhri, Adik Saiful Safikri, Hak, Dedi, Apip, Riswan Fais, Fikri, Syifa, Epin, Rita, Ita, Ina, Nina, Dini, Fatwa, Uun. 12. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2008: Punggawa Tiga Serangkai (aku, Jajang, Amir, semoga persahabatan kita tetap terjalin sampai akhir tua, semoga kita bisa S2 bersama), Zakiyah, Nunung, Nining, Enok, Imas, Sri, Erna, Mila, Mustain, Wahyu, Roby, Samsul, YOU ALL IS THE BEST MY FRIEND. 13. Teman-teman Ikatan Pemuda, Pelajar, dam Mahasiswa Kuningan (IPPMK); kang Udin, kang Andi, Afif, Tendi, Raja, kum teu di wiji-wiji. Akhirnya dengan keterbatasan ini, penulis ucapkan terima kasih banyak kepada pihakpihak yang telah membantu dan memberi semangat selama penulis menimba ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ....................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 9 D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 10 E. Kerangka Teori ......................................................................... 11 F. Metode Pembahasan ................................................................. 12 G. Sistematika Penulisan .............................................................. 13
BAB II.
KONSEPSI MISI DAN PERKEMBANGAN KRISTENISASI DI INDONESIA A. Konsepsi Kristenisasi ............................................................... 16 B. Bentuk-bentuk Kristenisasi ...................................................... 23 C. Kristenisasi di Indonesia .......................................................... 26
BAB III
MUHAMMADIYAH ERA AHMAD DAHLAN A. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah ........................................ 47 B. Perkembangan Muhammadiyah Era Ahmad Dahlan ............... 56 C. Metode dan Bentuk Gerakan Dakwah Muhammadiyah Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan ............................... 60
BAB IV
SIKAP DAN RESPONS MUHAMMADIYAH ERA AHMAD DAHLAN TERHADAP KRISTENISASI A. Pandangan Muhammadiyah terhadap kristensiasi ...................64 B. Respons Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi .....................68
vii
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 79 B. Saran-Saran .............................................................................. 81
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………82
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara majemuk, didalamnya terdiri dari keaneka ragaman seperti suku, bahasa, etnis, agama, budaya dan yang lainnya, atau meminjam bahasanya Alwi Shihab “Kesatuaan dalam Keanekaragaman” (Bhineka Tunggal Ika). Di satu sisi, ini adalah modal yang sangat kuat untuk membangun bangsa yang lebih kokoh dan mandiri. Akan tetapi di sisi lain, ini bisa menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa, bila tidak terakomodir semuanya sebagai contoh konflik yang ditimbulkan oleh SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) ini adalah salah satu bentuk ancaman bagi keutuhan NKRI. Selain itu sifat yang dicerminkan oleh bangsa ini yaitu sangat terbuka kepada gagasan yang datang dari luar, sehingga dalam sejarah panjang Indonesia telah membuktikan bahwa bangsa ini bisa menyambut baik pengaruh pelbagai peradaban asing termasuk di dalamnya agama dan kebudayaan asing. Indonesia telah di jajah oleh kolonial kurang lebih 350 (tiga ratus lima puluh) tahun dengan berbagai bentuk eksploitasi, salah satunya adalah konversi umat Islam menjadi Kristiani, sebab bangsa ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Sudah barang tentu ini menjadi agenda para misionaris untuk melakukan Kristenisasi dengan menggunakan kemasan dipelbagai kegiatan. Seorang Nasrani Eropa dan sekaligus pendeta, Samuel Zwemmer, berkata: “Tujuan utama dari
1
2
kerja misionaris Kristen bukan hanya untuk membawa orang-orang Islam menjadi Kristen, tetapi mencabut mereka keluar dari Islam”.1 Dalam doktin ajaran Kristen dikenal adanya perintah untuk melakukan penginjilan (Evangelisasi) yaitu ketika Kristus berpesan kepada muridnya “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapak dan Anak dan Roh Kudus”,2 dan ajarlah mereka melakukan segala yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. (Matius 28:16-20) Begitulah para penginjil berpegang teguh pada ayat tersebut, walaupun nyawa sebagai taruhannya, dengan tujuan untuk menyebar luaskan amanat agung kepada pribumi Nusantara ini. Kecurigaan kalangan muslim itu semakin mendalam ketika mereka menyaksikan layanan kemanusiaan yang menjonol dalam kegiatan misionaris, seperti bantuan pendidikan, kesehatan/keuangan untuk memasyarakatkan ajaran Kristen, sehingga hal ini mereka pandang sebagai suatu bentuk yang sama dengan upaya Kristenisasi. Dalam membicarakan awal Kristenisasi, menurut Y. Bakker menganggap permulaan pengembangan agama Kristen di Indonesia terjadi pada pertengahan abad VII dengan berdirinya Episkopal Syria di Sumatera3
1
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung, Mizan, 1997, cet ke-1), hal. 9 2 Injil Matius 28:19, hal 19 3 Episkopal dengan arti bahwa Gereja-gereja (ke Gerejaan) diperintahi oleh uskup-uskup; dari atas ke bawah secara rinci, dan para pemimpinnya ditunjuk, bukan dipilih oleh jemaat selaku wakil-wakilnya. Baca Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009), hal. 173
3
Sejarah panjang kegiatan misi Kristenisasi di Indonesia, berawal dari kedatangan bangsa Portugis yang ditandai dengan kedatangan Colombus. bangsa Portugis yang menemukan rute ke Asia lewat Afrika Selatan menandai era baru kegiatan misi Kristenisasi dikepulauan Indonesia.4 Pada tahun 1511, Portugis berhasil mendaratkan kapalnya di Malaka dan pada akhir tahun yang sama berhasil mencapai Maluku. Kemudian agama Kristen memasuki daerah tersebut, dengan mengikuti jalur perjalanan Portugis, maka salib-pun ditanamkan dimanapun kapal Portugis mendarat. Bersamaan dengan proses Islamisasi terhadap kebudayaan lokal Indonesia, bangsa Belanda mendarat di Banten, Jawa Barat, pada 1596, dan langsung bergabung dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Spanyol dalam memburu keuntungan di wilayah tropis yang amat kaya akan rempah-rempah ini. Namun dalam pergulatan merebut pengaruh antara ketiga bangsa itu (Portugis, Inggris, dan Spanyol), yang mendominasi kepulauan Nusantara yaitu bangsa Belanda, Maka pada abad ke 18, tentara-tentara Belanda berhasil melumpuhkan kerajaan Islam Mataram. Dengan bangkitnya kekuatan Belanda, kegiatan Misi Kristenisasi beralih ke VOC dan mulailah berkembang Kristen Protestan di wiliyah ini. Mereka mengambil alih Pastor dan jemaah Kristen di bawah pengaruh mereka, sehingga secara umum mereka benar-benar berhasil dalam usaha untuk menyebarkan ajaran Kristen di Indonesia.5
4
Komaruddin Hidayat, (Ed) Passing Over, Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998), hal. 11 5 Bahkan menurut Almanak Pemerintah untuk Hindia-Belanda hanya ada 17 Pendeta, 27 Misionaris dan satu Pastur tapi jumlah ini meningkat pada tahun 1900, menjadi berturut-turut 27
4
Ada tiga bentuk hegemoni,6 yang digencarkan oleh kolonial penjajah yakni glory, gospel, gold, untuk itu mereka juga memberikan pelayanan pendidikan dan sosial, serta kolonial Belanda merekrut orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat. Westernisasi bersamaan dengan kegiatan Misi Kristenisasi yang dilakukan di Indonesia. Menurut Alwi Shihab, pada umumnya Islam memandang Kristen sebagai Ahlul Kitab yang harus dihormati tetapi sepanjang perjalanan sejarah, hubungan yang telah menjadi sumber kebaikan bagi keduanya ini telah menjadi sumber berbagai kesalahpahaman, ketidakpercayaan dan konflik.7 Pandangan Alwi Shihab di atas senada dengan Th. Sumartana, St. Sunardi dan Farid Warjidi, yang mengatakan: “Salah satu sebab pertentangan antara kedua agama besar ini (IslamKristen) menyangkut hal penyebaran agama (dakwah, zending, Misi). Agama pada masa itu menampilkan dirinya sebagai potensi disintegratif yang cukup menonjol disamping bidang-bidang lainnya, seperti idiologi, politik, dan kesukuan.8 Dalam kegiatan Misi Kristenisasi membutuhkan modal dan para ahli, baik di bidang agama maupun di bidang teknis riset, dana dari luar negeri tentu saja menjadi faktor pendukung yang singnifikan, misalnya dari International Christian
Pendeta, 33 Misionaris ,49 Pastur, bisa dilihat di karyanya. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung, Mizan, 1997, cet ke-1), hal. 11 6 Istilah „Hegemoni‟ dipeloporikan oleh Antonio Gramsci, sosiolog aliran Marxis. Hegemoni dalam terminologi Gramsci adalah penguasaan terhadap kelas-kalas dibawahnya dengan cara fersuasif, sebagai lawan dari domonasi (penguasaan dengan tekanan otoritarian dan kekerasan). Hegemoni juga berarti penguasaan atas pihak lain dengan jalan consensus, dimana pihak yang dikuasai menyetujui ide, gagasan, dan cara pandang pihak yang menguasainya. Lebih lanjut baca: Roger Simon, Gagasan-gagasan politik Gramsci, (Jakarta, INSIST bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, 2001, cet. III), hal, 19. 7 Th. Sumartana, “Pengantar; Menuju Dialog antar Iman, dalam Dialog, Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1999), hal. X 8 Th. Sumartana, “Pengantar; Menuju Dialog antar Iman, dalam Dialog, Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: dian/Interfidei, 1999), hal. 9
5
Aid, dan dari Word Council of Churches yang menjadi donator terbesar dalam kegiatan misi Kristenisasi. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam penyebarannya disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Namun kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai.9 Untuk itu sebagai counter atas adanya Misi Kristenisasi di Indonesia, umat Islam dalam hal ini gerakan ormas Islam Muhammadiyah telah menampilkan diri dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, karena Muhammadiyah sepanjang sejarahnya telah membuktikan bahwa ia bukanlah sekedar gerakan pendidikan atau sosial-keagamaan, melainkan juga gerakan yang sangat aktif mendorong kebangkitan kembali masyarakat muslim di Indonesia, selain sumbangannya yang mengesankan dalam bidang sosial, politik dan pendidikan, sayap perempuan Muhammadiayah, dalam hal ini Aisyiyah, mungkin dapat disebut sebagai gerakan kaum perempuan yang paling dinamis di dunia muslim Indonesia. Keresahan umat Islam dicerminkan dengan adanya gerakan-gerakan pribumi pada awal di Hindia-Belanda yang bercorak kultural dari pada politis. Adapun pergerakannya bervariasi, sebagian bersifat keagamaan dan sebagian yang lainnya bersifat sekuler. Salah satu pergerakan yang bersifat pendidikan dan kultural
yang
ditampilkan
oleh
kaum
muslim
santri
ialah
gerakan
Muhammadiyah, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Jawa Tengah pada 1912.
9
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), hal 8.
6
Pada intinya Muhammadiyah memainkan empat peran penting yang saling berkaitan10: pertama, sebagai gerakan pembaharuan; kedua, sebagai agen perubahan sosial; ketiga, sebagai kekuatan politik; dan keempat, yang paling menonjol, sebagai pembendung paling aktif misi-misi Kristenisasi di Indonesia. Muhammadiyah secara terbuka berupaya menanggulangi pasang naik kegiatan Misionaris Kristen dalam berbagai cara. Tujuan ini diusahakan dicapai kadangkadang dengan cara langsung, tetapi yang lebih sering dengan cara tidak langsung, yakni dengan menyediakan dan meningkatkan fasilitas-fasilitas pendidikan dan kesehatan Islam. Cara tidak langsung ini dimaksudkan untuk menandingi fasilitas sejenis yang sudah dengan mapan dikembangkan oleh lembaga Misionaris Kristen. Berangkat dari pemikiran tersebut, penulis mengajukan sebuah judul skripsi “Respons Muhammadiyah terhadap Misi kristenisasi di Indonesia Era Kepemimpinan K.H Ahmad Dahlan”. Maka berkenaan dengan itu dapat penulis tegaskan beberapa alasan memilih pokok masalah tersebut: Pertama, masih sangat sedikit tulisan yang berkenaan dengan “Aktivitas Misi Kristenisas,” mungkin hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah ketidaksediaan untuk membahas permasalahan yang dapat memunculkan pertentangan tersembunyi antara umat Islam khususnya Muhammadiyah dan Kristen di Indonesia kepermukaan. Alasan Kedua adalah kehati-hatian yang berlebihan, berusaha untuk tidak mengusik kepekaan pemerintah terhadap permasalahan yang berhubungan dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar 10
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke 1), hal. 3
7
Golongan), oleh karena itu penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan Misi Kristenisasi ini, sebagai sumbangsi pemikiran dan upaya memecahkan kebekuan penulis tentang kegiatan Misi Kristenisasi. Kedua, tulisan ini tidak untuk mendiskreditkan umat Kristen sebagai kelompok minoritas, namun lebih merupakan pengungkapan fakta terhadap adanya aktivitas Misi.Kristenisasi pada masa Kolonial penjajahan di Indonesia. Ketiga, sesuai dengan tema, penulis ingin mengungkap lebih jauh mengenai bentuk Respons yang diberikan umat Islam khususnya Muhammadiyah terhadap adanya kegiatan Misi Kristenisasi pada masa Kolonial penjajahan dan mengungkap lebh jauh keterlibatan organisasi massa Muhammadiyah sebagai bentuk dari lembaga formal umat Islam dalam merespon adanya Misi Kristenisasi. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Masuknya agama Kristen sering dianggap semata-mata hasil kerja penginjilan yang dihembuskan oleh kedatangan penjajah di Indonesia sehingga ini menjadi momok yang meresahkan bagi pribumi khususnya umat Islam. Agama adalah persoalan inti dalam kasus ini. Perpindahan agama yang dilakukan oleh seseorang merupakan manifestasi keinginan untuk melakukan perubahan secara radikal karena kepercayaan telah tertancap dalam di jantungnya dan berakar di hatinya. Ketika beralih agama berarti mencampakan agama masa lalu seseorang, akan tetapi akan menjadi masalah jika melakukan itu kepada ribuan orang yang sudah memiliki agama (Islam) yang dianut seperti di Nusantara pada masa Kolonial penjajah yang digarap oleh para Minionaris Kristen. Menginngat dalam
8
doktin ajaran Kristen dikenal adanya perintah untuk melakukan penginjilan (Evangelisasi). Berangkat dari permasalahan di atas tadi, hemat penulis, penelitian ini sangat layak untuk diteliti dan dikembangkan, maka agar permasalahan ini tidak meluas, penulis akan merumuskan ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa sebenarnya konsepsi misi dan perkembangan Kristenisasi Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan? 2. Apa yang melatarbelakangi K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah? 3. Apa saja yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam menghambat Kristenisasi? 4. Apakah usaha K.H. Ahamd Dahlan berhasil dalam menghambat Kristenisasi?, jika berhasil tolak ukurnya dimana? 5. Bagaimana Respons Muhammadiyah terhadap kristenisasi di Indonesia pada Era Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan? Secara keseluruhan Kristenisasi telah menjadi keresahan bagi umat Islam, mengingat di negara ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Gerakangerakan Misi Kristenisasi dari awal kedatangnya yang dibawa oleh para penjajah hingga sampai sekarang dengan bentuk kemasan atau penampilan yang selalu berbeda-beda, ini telah menjadi momok yang meresahkan umat Islam sehingga harus di respons. Dalam kajian skripsi ini sesungguhnya memerlukan uraian panjang dan luas, maka titik fokus (center of interest) dari penelitian ini adalah pada konsep
9
(cara) Misi Kristenisasi yang nantinya dapat dilihat dari awal kedatangannya sampai sekarang selalu berubah-rubah dan bagaimana Respons Muhammadiyah pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan terhadap Kristenisasi. Di pilihnya ormas Islam Muhammadiyah bukan berarti menafikan peran organisasi lain dalam merespons adanya kegiatan misi Kristenisasi, namun penulis melihat berdasarkan fakta dan data yang ada, ormas Islam Muhammadiyah inilah yang secara nyata melakukan
kegiatan-kegiatan
sebagai
reaksi
terhadap
adanya
kegiatan
Kristenisasi, maka untuk meresponsnya dibangunlah tempat pendidikan dan rumah sakit, serta panti asuhan diberbagai pelosok daerah-daerah untuk mengimbangi banyaknya para misi Kristenisasi yang disebar lembaga gereja, sehingga seperti inilah yang dilakukan Muhammadiayah untuk melakukan penetrasi terhadap misi Kristenisasi. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah ingin menjelaskan mengenai Respons Muhammadiyah Terhadap Misi Kristenisasi pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan. Adapun manfaat dari penelitiaan ini antara lain: 1. Dapat dipakai sebagai salah satu bahan referensi yang menyangkut Misi Kristenisasi pada masa penjajahan di Indonesia 2. Sebagai stimulant awal untuk penelitian lebih lanjut dalam rangka menelusuri gerakan Misi Kristenisasi di Indonesia 3. Sebagai counter atas adanya kegiatan Kristenisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Muhamadiyah era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan
10
D. Tinjauan Pustaka Sepanjang penelusuran penulis, sudah ada skripsi yang membahas mengenai “Respons Umat Islam Terhadap kristen di Indonesia (1945 s/d 1990)” oleh Ida Humaida11, mahasiswi Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2000. penelitian skripsinya berkonsentrasi pada sejarah berkembangnya misi Kristenisasi di Indonesia dari tahun 1945 s/d 1990, skripsi ini hanya membahas tentang sejarah misi di Indonesi. Untuk itu sebagai counter atas adanya Kristenisasi di Indonesia, dua Ormas Islam yaitu Muhammadiyah dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dengan berbagai gerakannya adalah untuk dakwah Islam dan mengimbangi Misi Kristen di Indonesia. Disamping itu dalam Disertasinya Dr Alwi Shihab mengenai “Gerakan Muhammadiyah” tahun1998 yang dijadikan buku dengan judul “Membendung Arus: Respons Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia”12 yang diterbitkan tahun sama, dijelaskan dalam buku itu mengenai Indonesia dalam tinjauan historis, masuk dan berkembangnya agama Kristen di Jawa, atas itulah salah satu lahirnya Muhamadiyah adalah salah satunya sebagai penetrasi kebudayaan lokal dari Kolonial Belanda sehingga Muhammadiyah membendung misi-misi Kristen. Sebagai pendukung, penulis mengambil literatur dari karangannya C. Guillot dengan judul buku “Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa” buku 11
Lihat dalam Skripsi, Ida Humaida. “Respon Umat Islam terhadap Misi Kristen 1945 s/d 1990).” Skripsi S1 Fakultas Adab, IAIN syarif Hidayatullah Jakarta, 2000 12 Lihat Disertasi Alwi Shihab “Gerakan Muhammadiyah” yang dijadikan buku “Membendung Arus; Respons Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia ,(Bandung; Mizan 1998)
11
tersebut mengupas tentang berdirinya agama Kristen di Jawa berikut gerakan Misionarisnya yang dilakukan oleh gereja
Protestan dan Katolik, untuk
menyebarkan Kristenisasi maka dilakukan oleh orang Eropa non gereja dan orang pribumi diantaranya: Mr Ende, nyonya Philips, Sadrach dan yang lainnya. Pokok dalam buku ini adalah menceritakan riwayat hidup Sadrach dan pergerakannya dalam penyebaran Misi Kristenisasi di jawa. Diantara pendukung buku lainnya adalah buku “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” yang dikarang oleh pendeta. Dr. Jan S. Aritonang. Buku ini memaparkan tentang perjumpaan Islam dan Kristen pada masa penjajahan Portugis, Belanda VOC, Jepang, serta perjumpaan Islam dan Kristen pada masa Orde Lama, pada masa Orde Baru, dan perjumpaan Islam pada masa Era Reformasi. Selain itu masih banyak
buku
lainnya yang berkaitan tentang Misi Kristenisasi di Indonesia yang dijadikan sebagai referensi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Maka dari studi review terhaduhu di atas, penulis ingin mengungkapkan Kristenisasi pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan sebagai counter oleh ormas Islam Muhammadiyah terhadap Kristenisasi, serta buku-buku lainnya yang menyangkut Muhammadiyah dan agama Kristen di Indonesia. E. Kerangka Teori Menjelang
didirikannya
Muhammadiyah,
Islam-Indonesia
tengah
mengalami krisis karena keterbelakangan pemeluknya akibat sistem pendidikan yang statis. Kegiatan Misi Kristen maupun organisasi yang tidak berbasis Islam nampaknya menempati posisi terdepan karena disebabkan oleh kuatnya pengaruh lobi Kristen Pemerintah Kolonial yang bertujuan untuk mengebiri peranan Islam
12
Indonesia. Oleh karena itu Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiayah adalah perkembangan logis dalam menghadapi kegiatan Kristenisasi yang diberi dukungan dan kekuatan oleh para penguasa Kolonial Belanda13. Sebagai counter atas Misi kristenisasi Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang menggabungkan sistem pesantren dan umum. Berangkat dari Firman Allah “dan barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima dari-Nya dan di akhirat kelak ia akan termasuk orang yang merugi”.14 Menurut Murtdha Muthahhari jika seseorang mengatakan bahwa makna Islam secara harfiah adalah ketundukan kepada Allah maka konsekuensinya wajib ketundukan kepada Allah dengan menerima perintahperintahnya. Selain itu dalam pandangan Murtdha Muthahhari hanya ada satu agama yang benar pada tiap zaman, dan semua manusia wajib beriman kepadanya. Sehingga tiap-tiap nabi menguatkan keabsahan nabi-nabi terdahulu, maka konsekuensinya keimanan kepada semua nabi adalah ketundukan agamaagama sebelumnya kepada nabi yang teraktual15. Dalam hal ini Islam yang di bawakan oleh nabi Muhammad. F. Metode Pembahasan Dalam upaya memudahkan penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan kajian pustaka, analisis historis mengenai respons Muhammadiyah terhadap kristenisasi di Indonesia pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, maka dilakukan dua tahapan metode pembahasan sebagai berikut: Pertama, 13
Mahasri Shobahiya DKK, Studi Kemuhammadiyahan, Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-ilmu Dasar (LPID) UMS, 2008 Cet ke 3, hal 43 14 Al-Qur‟an Surat Ali’Imran Ayat 85 15 Murtdha Muthahhari, Memastikan Bunda Teresa Masuk Neraka?, Dopok; Pustaka Iman, 2006 hal 26-27
13
heuristic atau penelusuran data, beberapa data yang penulis jadikan rujukan adalah data primer seperti
berkaitan dengan sejarah misi Kristen masuk ke
Indonesia, baik dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan tulisan-tulisan yang membahas penetrasi misi kristenisasi di Indonesia pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan. Kedua; Kajian Analisa, penulis mencoba melakukan kritik terhadap data yang ada dengan mencoba membandingkan satu informasi dengan informasi lainnya, sehingga di dapat data yang penulis anggap paling akurat untuk dijadikan rujukan dalam skripsi ini. Teknik dan penulisan skripsi ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi, tesis, disertasi yang di susun oleh tim UIN Syarif Hidayatulah Jakarta atau mengikuti buku pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Guna mendukung pembatasan masalah tersebut, penulis merumuskan pembahasan dengan menganalisa bagaimana Respons dan reaksi umat Islam khususnya Muhammadiyah terhadap kegiatan Misi Kristenisasi di Indonesia pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan. Sejumlah pertanyaan di atas kiranya bisa difahami sebagai upaya penulis untuk membuat suatu rumusan skripsi guna memudahkan kajian yang mengarah pada bentuk respons Muhammadiayah terhadap Kristenisasi di Indonesia era kepemimpinan K.H Ahmad Dahlan . G. Sistematika Penulisan Penyusunan skripsi ini secara sistematis terbagi atas lima pembahasan, dimulai dari Bab I dan disusul Bab berikutnya,
14
Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Pada Bab ini juga akan dipaparkan mengenai penelitian ini penting untuk dilakukan. Kecuali itu, cakupan masalah yang dibahas juga dibatasi sedemikian rupa agar tidak melebar pada hal-hal yang di luar pembahasan. Kerangka teoritis dimaksudkan sebagai mata baca dan alat analisa penulis dalam menilai suatu permasalahan. Dalam Bab ini juga disajikan tinjauan pustaka atau review studi terdahulu yang pernah membahas persoalan serupa. Dengan demikian, kiranya memjadi jelas apa signifikansi penelitian yang penulis lakukan dan dari mana posisi penulis diantara para penulis terdahulu. Bab II Memaparkan konsepsi Kristenisasi yang di dalamnya memuat arti Kristenisasi, dalil teologis Kristenisasi, misi kristenisasi, disusul dengan bentukbentuk Kristenisasi, serta penulis akan menjelaskan juga sejarah kristenisasi di Indonesia. Bab III Memuat bahasan tentang sejarah berdirinya Muhammadiyah. Pada bagian ini juga akan dibahas perkembangan Muhammadiyah era K.H. Ahmad Dahlan. Sebagai akhir Bab III penulis juga akan memaparkan metode dan bentuk gerakan dakwah Muhammadiyah Bab
IV
Menguraikan
tentang
Kristenisasi
dalam
pandangan
Muhammadiyah, selanjutnya Respons Muhammadiayah Terhadap Kristenisasi pada era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, Bab V Merupakan penutup, hasil analisa dari penelitian ini akan dijelaskan secara singkat dan disimpulkan dalam Bab V. Bab ini menjawab beberapa
15
perumusan yang dirumuskan dalam Bab I. Kecuali, beberapa catatan dan saran penting dari hasil penelitian ini juga akan ditambahkan dalam Bab ini.
BAB II KONSEPSI MISI DAN PERKEMBANGAN KRISTENISASI DI INDONESIA A. Konsepsi Kristenisasi Menjelang pertengahan abad ke-VII Indonesia jatuh ke kaki penguasa kolonial, melalui penjajahan terhadap pribumi yang diikuti dengan penyebaran kegiatan Misi Kristenisasi. Ini telah membuktikan bahwa pemerintah kolonial tidak hanya mencari keuntungan terhadap wilayah yang dijajahnya, akan tetapi mereka juga memberi dukungan terhadap para misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Indonesia. 1. Arti Kristensiasi Sebelum membicarakan tentang Kristeisasi, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai arti Misi, karena Misi dan Kristenisasi adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling berkaitan. Tidak pernah ditemukan dalam perjanjian baru mengenai istilah Misi, akan tetapi didalamnya terdapat kurang lebih sembilan puluh lima ungkapan Yunani yang berkaitan dengan Misi.1 Salah satu ungkapan Yunani bernuansa Misi adalah “apostello” yang artinya “mengutus”, sedangkan kata Misi itu sendiri berasal dari bahasa latin “mitto” yang memiliki arti “mengutus”.2 Secara umum kata Misi bisa merujuk pada pengutusan seseorang dengan tujuan khusus, misalnya Misi kesenian, Misi budaya, dan yang lainnya. Namuan Misi dalam
1
David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), cet ke-1, hal. 23 2 Daniel Maedjadja, Prinsip-prinsip Dasar Kepemimpinan Kristen, (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1995), hal. 41-42
16
17
konteks Kekristenan, Misi dipahami dalam arti pengutusan gereja universal ke dalam dunia untuk menjangkau orang-orang kepada Kristus, sebagai Tuhan dan Juru Selamat, khususnya melalui sekelompok pekerja yang disebut Misionaris Ada beberapa hal yang perlu ditekankan dari definisi Misi di atas, hemat penulis terbagi dalam empat pengertian, yaitu: Pertama, Pengutusan ke Dunia, artinya Orang Kristen diutus untuk pergi ke dunia (Yoh. 17), membawa orang yang belum bertobat ke dalam ibadah gereja. Oleh karena itu orang Kristen harus proaktif dalam Misi, bukan menunggu kesempatan;.Kedua, Gereja Universal, artinya Misi bukanlah pekerjaan sebuah gereja lokal. Misi adalah pekerjaan Allah, karena itu seluruh orang yang percaya disegala tempat harus terlibat. Sehingga fungsi gereja lokal harus memperhatikan dan mendukung pekerjaan Misi di belahan dunia yang lain, karena pekerjaan tersebut adalah milik semua gereja; Ketiga, Untuk Menjangkau Orang-orang kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, .artinya Misi tidak selalu identik dengan pertumbuhan gereja (lokal). Tujuan utama Misi bukanlah menambah jumlah keanggotaan suatu gereja lokal saja, melainkan pelebaran kerajaan Allah. Misipun tidak identik dengan mengajarkan agama Kristen, Yesus sebagai guru etika, penyembuh maupun pemberi berkat; keempat. Khususnya Misionaris, artinya Kekhususan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa ada banyak daerah yang belum memiliki orang Kristen di sana, sehingga sekelompok orang Kristen perlu diutus secara khusus untuk memberitakan Injil di sana. Kekhususan ini tidak membatalkan peran serta gereja lokal. Gereja lokal harus tetap mendukung para Misionaris dalam banyak cara sambil tetap melakukan tugasnya sendiri.
18
Berkaitan dengan Misi, sebagaimana yang diungkapkan oleh David J. Bosch, ia memberikan iliustrasi menarik bahwa yang dimaksud dengan Misi ialah: (a) penyebaran Iman (b) perluasan pemerintahan Allah, dan (c) pendirian jemaat-jemaat baru.3 Selain itu kata Misi ternyata sering juga diparafrasekan dengan istilah lain Zending dan Evangelisasi, istilah zending lebih merupakan kosa kata bahasa Belanda, yang berarti pengutus Injil (Misi yang dibawakan oleh Kristen Protestan), sementara Evangelisasi Penginjilan (Misi yang dibawakan oleh gereja Katolik).. Dari sekian banyak definisi Misi, ada dua definisi yang sering dipakai, yaitu definisi dari Advancing Church Mission Commitment (ACMC). Definisi ini dibuat dan disepakati oleh kira-kira 170 orang Pimpinan gereja dan Badan-badan Misi4 Pertama, Misi adalah: Setiap usaha yang ditujukan dengan sasaran untuk menjangkau melampaui kebutuhan gereja dengan tujuan untuk melaksanakan Amanat Agung dengan menyatakan Kabar Baik dari Yesus Kristus, menjadikan murid, dan dikaitkan dengan kebutuhan yang utuh dari manusia, baik jasmani maupun rohani; Kedua, Mengenai gereja Misioner yang aktif dan sehat, digambarkan sebagai: Gereja yang mengambil sikap agresif dalam penginjilan sedunia, dimana setiap anggota jemaat melihat dirinya sebagai komponen kunci
3
David J.Bosch, Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), cet ke-1, hal. 24 4
Novi Yuniarti, Sekilas Tentang Misi, artikel diakses pada 30 Maret 2011 dari
http://www.misi.sabda.org.9/9.
19
dalam menggenapi Amanat Agung dan memobilisasi sumber-sumber dayanya semaksimal mungkin untuk tugas ini" Sedangkan menurut Uskup Stephen Neil, Misi adalah setiap usaha sengaja untuk melintasi atau menerobos rintangan-rintangan dari gereja kepada non gereja demi memproklamirkan Injil dalam kata dan karya. Jadi, yang dikategorikan sebagai Misi adalah pekerjaan yang memikirkan kebutuhan akan Injil di luar tembok gereja atau non gereja.. Kristenisasi ialah Pengkristenan (orang-orang) atau gerakan untuk mengkristenkan umat manusia.5 Kristenisasi dalam pengertian yang lain ialah upaya meng “Kristen” kan semua manuasia, baik anak keturunan Bani Israil yang sesat, maupun manusia lainnya yang berada dimuka bumi ini. Adapun kata atau istilah “Kristenisasi” sama dengan istilah Evangelisasi dan zending yang memiliki perbedaannya hanya terletak pada bahasa, bahwa kata Evangelisasi dan zending adalah bahasa indah, ramah, dan halus yang dibawa oleh misionaris Katolik,. sedangkan kata zending selalu dipakai oleh orang Kristen Protestan dalam menyebarkan Misinya. Akan tetapi kata Kristenisasi lebih mendesak dalam pengertian lebih bersifat kepada melakukan segala cara (melalui: pemanfaatan kemiskinan, kebodohan umat, pengangguran, dan yang lainnya) dengan melakukan apa saja untuk menjadikan seseorang atau bangsa di luar Israil agar menjadi pengikut Jesus yang Kristus ini sesuai dengan Matius 28:19 dan Yahya 10:16 “Ada lagi padaKu domba yang lain, yang bukan masuk kandang domba ini; maka sekalian itu juga wajib aku bawa”
5
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Karya Utama. 2002). hal. 335
20
Para evangelis dan zending dalam menyampaikan ajaran Kristen, mereka memakai sumbernya dari segenap kitab Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, atau mereka bisa dikatakan Kristolog artinya jika pengertian tentang ke Kristenan atau berita yang menyangkut tentang Yesus Kristus, berdasarkan Alkitab yang disampaikan lewat ucapan, tulisan, atau yang lainya adalah murni. 2. Dalil Teologis Kristenisasi Dalam bab satu telah penulis ulas mengenai doktin ajaran Kristen dikenal adanya perintah untuk melakukan penginjilan (Evangelisasi) yaitu ketika Kristus berpesan kepada muridnya untuk “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapak dan Anak dan Roh Kudus”,6 dan ajarlah mereka melakukan segala yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. (Matius 28:16-20) Begitulah para penginjil dengan gigih teguh pada ayat di atas tersebut meskipun harus ditebus dengan nyawa mereka dengan harapan mendapatkan kehidupan baru di surga, mengingat ini adalah sebuah sebuah “Amanat Agung” untuk menjadikan segala bangsa sebagai murid Yesus dan membaptis mereka atas nama Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Selain itu untuk memperkuat tentang dogma dalam Kristen yang menyangkut Kristenisasi ialah Matius 28:19 dan Yahya 10:16 “Ada lagi padaKu Domba yang lain, yang bukan masuk kandang domba ini; maka sekalian itu juga
6
Injil Matius 28:19, hal 19
21
wajib aku bawa. Artinya Yesus ingin menjadikan seseorang atau bangsa di luar Israil dan seluruh umat manusia agar menjadi pengikut Jesus yang Kristus. Adapun Doktrin agama Kristen yang lainnya terkait dengan Kristenisasi adalah jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, dogma Kristen menyatakan bahwa satu-satunya jalan keselamatan dunia dan
akhirat hanya
ditawarkan oleh Yesus. "Siapa tidak besama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak berkumpul bersama-Ku bercerai-berai"
(Matius
12:30)
yang kemudian
berkembang dengan slogan Extra Eccelesias Nulla Salus (di luar gereja tak ada keselamatan). Dari ketiga ayat di atas tersebut adalah doktrin agama dalam Kristen yang dijadikan oleh para misionaris sebagai sumber untuk melaksanakan kristenisasi karena ini adalah Amanat Agung. 3. Misi Kristenisasi Ada beberapa tujuan dari kristenisasi yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Misi kriatenisasi Mencakup Pekabaran Injil dan Pelayanan Sosial. Ada beberapa pandangan umum tentang Misi kristenisasi, salah satunya menurut A. Scott Moreau, “Mission and Missions” dalam Evangelical Dictionary of World Missions. Pandangan Tradisional melihat Misi kristenisasi identik (dan terbatas pada) penginjilan saja, namun menurut pandangan Modern (kalangan liberal) Misi Kristenisasi mencakup penginjilan dan memberikan pelayanan sosial, namun bagi mereka penginjilan tidak lebih penting dari pada pelayanan sosial. Adapun Perubahan paradigma dikalangan Injil tentang pengertian Misi
22
Kristenisasi dipelopori oleh John Stott. Ia berpendapat bahwa Misi Kristenisasi Al-Kitabiah mencakup penginjilan dan pelayanan, akan tetapi penginjilan tetap menjadi inti Misi kristenisasi, seperti murid-murid Yesus diutus untuk melakukan Misi Kristenisasi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan masalah sosial. 2. Misi Kristenisasi Berujung pada Pemuridan. Mayoritas orang memahami inti amanat agung (Mat 28:19-21) adalah terletak pada penginjilan (banda. kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat) dan
langkah
selanjutnya
adalah
pemuridan,
baptisan
dan
pengajaran.
Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti Amanat Agung justru terletak pada pemuridan. Hal ini didasarkan pada mood imperatif untuk kata kerja “jadikanlah murid” (muridkanlah) yang diikuti oleh tiga participle (anak kalimat), yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”. Penggunaan kata “muridkanlah” di sini menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum (ajaran) Yesus. 3. Mis Kristenisasii Merupakan Tugas Seluruh Orang yang Percaya. Kesalahpahaman lain tentang Amanat Agung yang kadangkala muncul adalah konsep bahwa pekerjaan Misi Kristenisasi merupakan tugas khusus untuk murid-murid Tuhan Yesus (kaum rohaniwan, dan bukan untuk jemaat awam). Bahkan ada yang berpendapat bahwa penginjilan merupakan karunia khusus yang tidak harus dilakukan oleh setiap orang yang percaya. Pandangan ini tentu saja tidak sesuai dengan esensi Amanat Agung. Padahal Amanat agung ditujukan bagi
23
“semua bangsa” dan disertai janji “sampai kesudahan jaman”. Dua hal ini tidak mungkin hanya dimaksudkan untuk kaum rohaniawan sebagai murid Tuhan, akan tetapi orang awampun yang percaya dipersilahkan untuk melakukan penyebaran Misi. dari yang telah dibahas di atas tadi, maka sebenarnya misi Kristenisasi adalah ingin memproklamirkan kerajaan Allah, dengan harapan afar seluruh umat manusia bisa masuk kedalam kerajaan Allah tersebut yang telah Mengutus Yesus sebagai juru selamat bagi umat manusia.
B. Bentuk-bentuk Kristenisasi
Sebenarnya bentuk nyata dari adanya Kristenisasi adalah penjajahan, akan tetapi untuk mempermudah prosesnya, maka hemat penulis dibagi kepada dua katagori, yaitu:
1. Sistem Pendidikan Sekolah.
Sejak awal, penyebaran agama Kristen ke Indonesia melalui pendirian sekolah-sekolah yang didukung oleh pamarintah Belanda. Proyek pendidikan pemerintah Belanda dimulai sekitar pertengahan abad ke 19. Beberapa anak-anak Indonesia dari kalangan menengah ke atas mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah untuk anak-anak Eropa yang sudah berdiri sejak 1816. Pemerintah kolonial juga membuka sekolah guru untuk sekolah-sekolah Jawa dan sekolah STOVIA untuk melayani kesehatan masyarakat pribumi. Karena meresa kurang mencukupi, pada tahun 1879 pemerintah kolonial membuka Hofdenschoolen
24
(sekolah para kepala) untuk mendidik anak-anak Bupati dalam bidang administrasi. Proyek pendidikan ini terus berlanjut sampai dengan pembukaan lembaga pendidikan dasar yang disebut dengan sekolah kelas satu dan sekolah kelas dua.7
Pada periode politik etis, atau periode setelah 1900-an, telah terjadi perubahan pada pendidikan kolonial, baik dalam bentuk re-organisasi sekolah maupun pembukaan sekolah-sekolah baru. Pada tahun 1900, tiga Hofdenschoolen yang teletak di Bandung, Magelang, dan Probolinggo di-re-organisasi menjadi OSVIA (Opleidingschoolen Voor Inlandsche Ambtenaren), dengan tujuan supaya nyata-nyata menjadi lembaga pendidikan yang mencetak pejabat pribumi yang secara tidak langsung mendidik mereka agar tertarik pada Belanda. Dan memang untuk pembelajarannya di OSVIA adalah lima tahun, dengan pengantar bahasa Belanda. Tahap berikutnya sekolah kelas satu berubah menjadi HIS (Hollandsch Inlandsch School) atau bisa disebut sekolah Belanda-Pribumi pada tahun 1914.8
Di samping itu pemerintah kolonial Belanda juga telah membuka sekolahsekolah, seperti sekolah untuk orang Eropa ELS (Europessch Lagere School), sekolah tingkat menengah HBS (Hogere Burger School), MULO (Meer Uitgebreid Lafere Onderwijs) untuk melayani pendidikan tingkat menengah dan AMS (Algemene Middelbare School) untuk melayani pendidikan tingkat atas,
7
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: LPJM UIN Jakarta press, 2009), hal. 86 8 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, , hal. 87
25
sekolah- sekolah di atas tersebut adalah mengakomodasi banyak gagasan dan citacita pada tahun 1900-an STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsch Arsten).
Sekolah-sekolah ini sebagai tujuan integral dari cencana pemerintah Kolonial
belanda
yang
bekerjasama
dengan
para
misionaris
untuk
“membelandakan” anak-anak pribumi yang kelas menengah keatas dengan harapan kelak masuk pada agama Kristen.
2. Inkulturasi (penyesuaian agama terhadap budaya setempat).
Prinsip bahwa agama Kristen harus disampaikan kepada pribumi dalam bentuk yang bisa diterima oleh kebudayaan dan pandangan dunia masyarakat tersebut,9 dengan mempertahankan hal yang fundamen dalam ajaran Kristen, sehingga bentuk Alkitab bisa di terjemahkan dalam bahasa pribumi tersebut seperti, Indonesia, melayu, Jawa, Sunda, dll. Dengan tujuan agar bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat setempat. Selain itu siakp yang ditonjolkan oleh para misionaris adalah sikap akamodatif terhadap tradisi Jawa dan adat-istiadat Islam, seperti memakai blangkaon, berbicara bahasa Jawa, dan yang paling menarik mereka pun mempertahankan upacara adat selametan, yang di dalamnya adalah kumpul dan makan bersama, karena tradisi ini adalah kegiatan yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Adapun bentuk Kristenisasi yang lainnya adalah memanfaatkan tradisi yang menceritakan kisah-kisah dalam Alkitab untuk menyampaikan pesan-pesannya melalui pementasan pewayangan
9
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke 1) hal 48
26
yang seperti yang dilakukan oleh seorang Wali Songo (Sunan Kalijaga) dalam menyebarkan agama Islam di Jawa.
Selain itu bentuk Kristenisasi yang lainya adalah, dibukanya lahan pertanian sebagai membuka lapangan pekerjaan untuk pribumi, dengan secara perlahan mereka pun akan medah dalam menyampaikan ajaran agama Kristennya, dan yang tidak kalah penting lagi merekan membuka pengobatan secara cumacuma dan gratis kepada masyarakat yang dibarengi dengan pembaptisan.
C. Kristenisasi di Indonesia Seperti yang sudah diungkapkan pada Bab pendahuluan, berbicara tentang awal Misi Kristenisasi masuk ke kepulauan Indonesia sebagaimana yang di katakan oleh Y. Bakker mengatakan bahwa masuknya agama Kristen di Indonesia sudah terjadi pada pertengahan abad ke VII dengan berdirinya gereja Episkopat10 Syiria di Sumatera. a. Prakemerdekaan: 1. Misi Kristenisasi di bawah Kolonial Portugis Negara Portugis terletak di semenanjung Iberia, ujung barat daya benua Eropa, dikenal sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Katolik. Dalam perjalanannya bangsa Portugis ini mengemban tiga Misi dalam melakukan ekspansinya: berdagang, menaklukan wilayah, dan menyiarkan agama. Ketiga hal tersebut sering diungkapkan dengan istilah Gospel, Gold, and Glory. Maka setiap dalam ekspedisi bangsa Portugis selalu diikutkan sejumlah imam atau 10
Gereja-gereja yang Orang para pemimpinnya ditunjuk bukan dipilih oleh jemaat selaku wakil-wakilnya. lebih lengkapnya baca: Abujamin Roham, Ensiklopedi Lintas Agama, (Jakarta: pt. Intermasa bekerja sama EM.Emerald 2009), cet. I, hal. 173-174
27
rohaniawan katolik yang bertugas untuk melayani dan merawat para pedagang dan personilnya, bahkan untuk mengabarkan Injil kepada penduduk pribumi, sehingga para imam atau rohaniawan ini merangkap sebagai Misionaris. Agama Kristen tiba di wilayah yang kini disebut Indonesia, menurut para sarjana Kristen yaitu sejak periode bapak-bapak Kristen awal.11. Dalam pelayarannya era Columbus, orang-orang bangsa Portugis menemukan rute perjalanan menuju ke Asia lewat Afrika selatan yang selanjutnya ini adalah proses awal dalam kegiatan Misionaris di wilayah kepulauan Nusantara ini. Maka usaha Misi Kristenisasi berikutnya yang di gencarkan oleh orang-orang Portugis meraih kesuksesan terutama di wilayah Maluku sebagai kepulauan yang kaya rempah-rempah, pada abad ke XVI. Orang –orang Portugis berhasil mendaratkan perahunya di Maluku, setelah itu melebarkan ekspansinya ke Goa, dan Malaka yang dijadikan sebagai pusat kegiatan Misi Krisren.12 Pada tahun 1511, bangsa Portugis telah menguasai Malaka, dan pada saat tahun yang sama juga mereka telah menguasai Maluku, dan memperluas di wilayah-walayah sekitarnya disertai dengan penyebaran agama Katolik dengan simbol Salib ditancapkan dimana saja orang-orang Kristen berlabuh. Sehingga gereja yang pertama diberdiri di wilayah Maluku pada tahun 1522. Maka untuk memperluas tidak lama kemudian didatangkanlah sejumlah Misionaris dari India untuk mengajarkan Alkitab.
11
Dr. Kurt Koch, Menyatakan bahwa penginjil Thomas, yang bekerja di India, mungkin saja berlayar ke wilayah Indonesai bersama para pedagang India 12 Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan Di Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. ke-2, hal 56
28
Dalam sejarah penyebaran agama Katolik di Indonesia, tercatat sebuah nama yang dianggap sebagai Misionaris paling termashur dalam sejarah gereja, sebagaimana yang dikatakan, H. Berkhof, mencatat salah satu diantara para Misionaris awal ini adalah Fransisco Xaverius/Francis Xavier (1506-1552) yang berasal dari Masyarakat Yesus (Society of Jesus), yang sejak kelahirannya mendapat panggilan “Rasul untuk orang-orang Indonesia”, sehingga ia dianggap paling mashur dan berhasil menjalankan Misinya di Maluku sampai Ternate. Kesuksesan para Misionaris ini selalu dikaitkan dengan kestabilan kekuasaan Kolonial Portugis, sehingga pada periode pertama berdirinya gereja mengalami perkembangan besar dalam jumlah penganut agama Katolik. Sebagaimana dalam tulisannya Fransisco Xaverius, “(jika) setiap tahunnya selusin saja para pendeta datng ke sini dari Eropa, maka gerakan Islam tidak akan bertahan lama dan semua penduduk ke pulauan Indonesia akan menjadi pengikut agama Kristen”.13 Dalam catatannya disebutkan sebagainama Fransisco Xaverius mengajar untuk anak-anak dan dewasa dua jam setiap hari, ia berusaha mengenalkan Injil dan ajaran-ajaran Katolik. Bahkan ia dengan kerja keras merumuskan pokokpokok iman Kristen, di samping itu dengan ide-ide yang cemerlang ia menterjemahkan injil ke dalam bahasa Melayu dengan harapan agar penduduk asli bisa memahami Injil, bahkan ia juga menyusun syair-syair yang berkenaan dengan dua belas pasal iman.
13
Alwi Shihab, Pendahuluan Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah
Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke 1) hal 31
29
Keberhasilan usaha-usaha yang dirintis oleh Fransisco Xaverius banyak diikuti dan ditiru serta kemudian diteruskan oleh para pastur-pastur yang lainnya dibeberapa daerah. Diantaranya ada beberapa nama-nama seperti Seperto Antonio De Taveiro pada tahun 1551 di daerah Flores, selain itu ada juga Peter Vicente Viegas yang mengenalkan Injil dan ajaran-ajaran Katolik di Makasar, Fransiska Dominika dan Diego Magelhaes, ia adalah seorang pastur yang ikut dalam penyebaran Injil di Menado.14 Sebenarnya bila kita amati, Portugis memperkenalkan agama Katolik dengan cara kekerasan yang berlandaskan jiwa pemberontakan dan permusuhan tradisional terhadap Islam.15 Bagi mereka semua orang Islam adalah musuh yang harus diperangi. Mereka sengaja datang keberbagai pelosok daerah antara lain untuk memerangi Islam dan menggantikannya dengan agama Kristen. Maka beberapa organisasi Zending maupun organisasi Misi berlomba-lomba yang mendapat dukungan dana pemerintah Kolonial untuk beroperasi di tanah jajahan. Namun seiring dengan berjalannya waktu kekuasaan bangsa Portugis secara perlahan-lahan melemah di wilayah ini, ditandai dengan terjadinya penurunan keanggotaan gereja secara drastis. Bahkan orang-orang Portugis diusir dari Maluku oleh VOC. Ada pun pertempuran antara orang-orang Belanda melawan orang-orang Inggris, Spanyol dan Portugis mengakibatkan jatuhnya koloni-koloni Portugis di tangan Belanda di wilayah Nusantara ini.
14
Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. ke-2, hal 59 15 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 16
30
Diakhir periode ini, perlawanan antara Portugis, Ingris dan Belanda untuk menguasai jalur perdagangan berakhir dengan kemenangan dipihak Belanda.16 Yang pada akhirnya Misionaris Belanda memaksa orang-orang Katolik yang mereka temui untuk memeluk agama Kristen Protestan yang menandai runtuhnya gereja katolik di Indonesia timur, dan mulailah babak baru zending Protestan di Nusantara. 2. Misi kristenisasi di bawah Kolonial Belanda Orang-orang Belanda datang ke Nusantara sebenarnya lebih dimotivasi oleh hasrat untuk mendapatkan keuntungan dagang ketimbang semangat untuk menyebarkan agamanya atau membagikan keyakinan imannya kepada pribumi. Adapun Misi Kristenisasi pada masa Kolonial Belanda diawali dengan didirikannya Vereenign de Oost Indische Compagnie (VOC) adalah perkumpulan perdagangan Belanda yang didirikan pada tahun 1602 dan dibubarkan pada tahun 1799. di bawah VOC, agama Kristen didominasi oleh gereja Reformasi, sehingga VOC menyatakan bahwa agama Kristen apapun tidak boleh dipraktikan di wilayah ini kecuali geraja Reformasi Belanda. Maka mereka mengambil alih kongregasi-kongregasi katolik Portugis dan menunjuk pastor-pastor untuk memimpin gereja. Di sini Belanda benar-benar ingin menghancurkan apa saja yang sebelumnya dibangun oleh orang-orang Katolik. Penyebaran Kristen Protestan senantiasa mengikuti gerak VOC. Oleh sebab itu VOC dengan kekuatan politiknya mendukung pemeliharaan orang-orang Kristen dalam penyebaran Injil di daerah-daerah yang dikuasainya.
16
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 16
31
Namun dalam kenyataannya perhatian yang tidak banyak dan sungguhsungguh yang diberikan oleh VOC kepada orang-orang Kristen untuk memperluas wilayah dari gereja Katolik di Indonesia, yang terjadi malah sebaliknya mereka memperkerjakan para pastor-pastor VOC dalam memimpin kebaktian di rumah para pedagang Eropa, orang-orang Belanda hanya lebih memedulikan keamanan, keuntungan komersial yang diraih dari pada mengkonversikan orang-orang pribumi.17 Yang sangat mengecewakan bagi orang-orang Kristen yaitu dalam hal kebijakan VOC di Jawa selama kurang lebih Dua ratus tahun, hal ini bisa terlihat dari kegiatan gereja Belanda ditempat atau berjalan sendirian dalam memberikan pelayanan kepada orang-orang Kristen Eropa. Tidak ada niatan yang sungguhsungguh untuk mendekati dan menjalankan Misi Kristenisasi kepada orang-orang Jawa agar mereka tertarik dan pindah agama. Bahkan usaha-usaha untuk mendekati itu justru mereka hindari oleh VOC karena khawatir akan pengaruh negatifenya terhadap keuntungan ekonomi mereka. Namun di sisi yang lain orangorang Kristen harus berterimakasih kepada VOC dalam hal penerbitan Perjanjian Baru dalam bahasa Indonesia. Kemungkinan dorongan ini didasari pada prinsip 17
Dalam hal ini VOC dan para pemegang saham maunya mencari keuntungan terus. mereka tidak berminat pada berdakwah, akan tetapi pada pencarian keuntungan berdagang, hal ini tercermin dalam langkah-langkah tertentu yang ditempuh Jan Pieterszoom Coen, yang menjadi Gubernur Jendral VOC pada tahun 1618. dia melaksanakan sistem “pengiriman dan penjatahan secara paksa” dengan benar-benar mengeksploitasi pulau-pulau Nusantara dalam bidang pertanian para penduduk kepulauan, lewat para pemimpin lokal mereka, dipaksa menyediakan produk tropis tertentu dan dalam jumlah tertentu untuk memnuhi komuditas ekspor VOC. Untuk mendapatkan keuntungan lebih besar, Jan Pieterszoom Coen juga menaruh perhatian kepada orang Cina dan memberikan mereka peluang-peluang tertentu untuk berdagang. Coenlah orang pertama Belanda dalam mendesakan masuknya orang-orang Cina ke Indonesia. Coen bahkan menyerukan penculikan orang-orang Cina jika mereka tidak mau secara sukarela tinggal di Indonesia. Sejak saat itu, orang-orang Cina merupakan “kelas menengah” yang memperantarai para penguasa Kolonial dan rakyat Indonesia. Lihat Wilfred T. Neil, Twentieth Century Indonesia ( New York: Columbia University Press, 1973), hal. 284-285
32
pokok dalam melaksanakan penyebaran Misi Kristenisasi, agar secepat mungkin orang-orang Kristen itu mempunyai Alkitab di tangan mereka dan dalam bahasa mereka sendiri. Pada era baru penyebaran agama Kristen Protestan terjadi di Maluku, yang sebelumnya telah beragama Katolik. Akan tetapi sejak kedatangan penguasa baru VOC, para pemeluk Katolik harus dipaksa menjadi Protestan. Orang Belanda pertama yang ditugaskan di Maluku untuk sebagai „Penyebar Injil” ialah Stollen Beeker, yang dalam perjalanannya kemudian mendirikan Majelis Gereja pada tahun 1615. Majelis Gereja ini mempunyai tugas menyelenggarakan pemeliharaan rohani di daerah Maluku dan sekitarnya‟ Selain di daerah Maluku yang menjadi basis penginjilan Protestan, maka sasaran selanjutnya adalah Sulawesi Utara yang daerahnya sejak tahun 1563 penduduknya memeluk agama Katolik, dan lagi-lagi harus tunduk pada kompeni Belanda (VOC), orang-orang katolik di sana dipaksa untuk menjadi Protestan, bahkan yang lebih tragis pemuka-pemuka agama Katolik dibunuh dan setempat diancam kecuali kalau tunduk pada perjanjian untuk beralih kepada Kristen Protestan. Belanda (VOC) pun melebarkan penginjilannya ke daerah Jawa, disinilah menjadi lahan empuk dalam kegiatan Misi Kristenisasi, karena daerah Jawa dianggap daerah yang paling mudah di Kristenkan. Hal ini didasari atas asumsi bahwa sinkretisnya Islam di kawasan ini mempermudah penaklukannya. Bahkan dalam catatannya, Alwi Shihab mengungkap, “ dari sekian banyak daerah yang menjadi tujuan Kristenisasi, daerah jawalah yang paling sukses, tidak bisa
33
ditandingi oleh keberhasilan kegiatan Misi Kristenisasi di wilayah Islam lain manapun”18 Melihat dari keberhasialan tersebut, tidak terlepas dari usaha yang dilakukan para Misionaris Protestan yang dengan gigih berupaya menyebarkan Injil kepada para penduduk pribumi. Mereka mulai mewartakan pesan-pesan Kristus, padahal jumlah mereka tidak seberapa, namun mampu memberikan kontribusi yang luar biasa, dibalik kesuksesan kegiatan Misi Kristenisasi di daerah Jawa, maka berkaitan dengan hal itu, berikut penulis cantumkan beberapa tokoh yang dianggap memainkan peran dalam penyebaran Misi Kristenisasi di Jawa, antara lain: 1. Johannes Emde (1811) Ialah seorang pendeta dari Jerman yang saleh, berdomisi di Surabaya pekerjaan sehari-harinya selain sebagai pendeta, ia juga sebagai pembuat jam, yang dalam perjalanannya untuk melancarkan gerakan Misi Kristenisasi di Jawa, ia pun mengawini perempuan Jawa sebagai jalinan kontak dengan dengan penduduk pribumi atau lokal dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaran agama Kristen. maka ia terdorong untuk menterjemahkan beberapa Al-Kitab ke dalam bahasa Jawa19. Seirng perjalananya pada tahun 1845, Pastor Johannes Emde telah berhasil membangun kongregasinya di Surabaya yang dikenal dengan nama “Kesalehan Surabaya”, di bawah kepemimpinan Johannes Emde, dapat mengembangkan sebuah kelompok pribumi Jawa yang menjadi pengikutnya. 18
Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia (Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. ke-2, hal 76 19
Alwi Syihab, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Misi Kristen di Indonesia, (Bandung, 1998), hal 31.
34
Emde berharap pengikut barunya yang berasal dari pribumi Jawa dapat menerima cara hidup Barat, sehingga Emde mengajarkan sepenuhnya dengan corak barat kapada 220 pribimi Jawa yang telah dibaptisnya. 2. Pastor Coenraad Laurens Coolen (1775-1873)20 Tokoh ini lahir dari seorang bapak berkewarganegaraan Rusia dan berimigrasi ke Indonesia yang mengabdikan diri menjadi prajurit upahan tentara VOC. Ibunya berasal dari Indonesia tepatnya seorang perempuan Jawa dari keturunan bangsawan. Sedangkan bapaknya dari Rusia, dari sang ayah, Coolen mewarisi nilai-nilai agama Kristen Barat, sedangkan dari ibunya, Coolen mewarisi ruh mistik kebudayaan Jawa. Keberhasilannya dalam menarik orang-orang pribumi untuk masuk agama Kristen Protestan dikarnakan metode yang diterapkannya, yaitu “Metode Pribumi”. Cara Colleen mendakwahkan bahwa untuk menjadi Kristen tidak perlu menanggalkan/melepaskan watak dan kebudayaan Jawa mereka. Oleh sebab itu, Coleen melarang pembaptisan. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menarik hati orang-orang pribumi agar masuk agama Kristen dengan berusaha menjadikan orang-orang Jawa menjadi Kristen (menjawakan Kristen). Sebagai usaha yang dilakukan Coleen, untuk menarik pribumi, Coleen memanfaatkan tradisi Jawa, salah satunya Coleen memanfaatkan wayang sebagai media untuk menceritakan kisah-kisah Alkitab dan menyampaikan pesan-pesan agamanya. Melihat caranya, sepintas penulis teringat upaya yang dilakukan salah
20
Lihat Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2005), hal 87
35
seorang wali dari Wali Songo, para sufi yang ikut menyebarkan agama Islam di Jawa, tepatnya Sunan Kalijaga. Teknik dan strategi ini sama persis dengan yang digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk menarik perhatian orang kepada Islam beberapa abad sebelumnya yaitu dengan menggunakan metode wayang.. Kerja keras Coleen dan beberapa yang lainnya mengikuti metodenya, dengan berprinsip bahwa agama Kristen harus tersampaikan kepada masyarakat Jawa dalam model bentuk yang bisa diterima oleh kebudayaan dan pandangan orang Jawa. Dengan mempertahankan ajaran-ajaran Kristen fundamentalnya, oleh karena itu Alkitab diadaptasikan ke dalam kebudayaan local, dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Karena menurut Coleen pesan-pesan ajaran Kristen pada dasarnya bersifat universal yang tidak terikat kepada kebudayaan tertentu. Konsekuensi logis terhadap penekanan kebudayaan Jawa, maka banyak bermunculan para penginjil yang disebarkan oleh orang Jawa, di antaranya tokohtokoh orang Jawa itu adalah Singotruno, Paulus Tosari, Matius Niep, dan yang besar pengaruhnya terhadap penyebaran Misi Kristenisasi diantara mereka yaitu Kiayi Sadrach (1835)21, lahir di Kewedanaan Jepara yang menjadikan Purworejo, Jawa Tengah, sebagai pusat keagamaan Kristen. Kebanyakan para Misionaris yang lainnya tidak keberatan terhadap Kristen Jawa, dalam hal ini kasus Sadrach. Namun segelintir Misionaris yang memandang Sadrach sebagai pemimpin komunitas independen, sehingga ini meresahkan segelintir para Misionaris salah satunya adalah Frans Lionb Cachet 21
C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985, cet I) hal 55
36
(1835-1899), ia seorang pendeta reformasi, yang sangat menentang gerakan Sadrach, maka dengan tegas Frans Lionb Cachet mengecam doktrin dan praktik Sadrach dngan kata-kata berikut ini: “Misi
harus
memisahkan
dari
Sadrach
si
pembohong,
yang
meracunibidang Misi kita sepenuhnya dan melahirkan sebuah agama Kristen Jawa yang sama sekali tidak memberikan tempat bagi Kristus” Untuk itu, Coleen dan para pengikutnya, terutama Sadrach, telah mengantisipasi konsep yang telah berkembang dengan sebutan “Inkulturasi” (inculturation).22 Sehingga dalam tahun-tahun terakhir ini, dalam dokumen resmi gereja sering ditulis dan dibcarakan mengenai perlunya membangun dan mengembangkan hubungan dinamis antara gereja dan kebudayaan-kebudayan lokal yang beragam atau yang disebut “inkulturasi” yang menjadi kosa kata resmi dalam agama Kristen. Konsep inkulturasi ini adalah hasil dari kerja keras yang dibangun oleh Coleen dalam menjalankan Misi kristenisasinya. Dari sinilah menimbulkan polemik ditubuh para Misionaris, seperti Pastor Amt, berdiri pada ekstrem yang sangat bertolak belakang dengan posisi Coleen, Amt lebih terdorong untuk menghadirkan agama Kristen dalam bentuk yang “murni Eropa” ketimbang dari yang lainnya. Karena bagi Amt, walik
22
Banyak definisi yang diberikan untuk kata „inkulturasi” (Inculturation), tetapi kata itu pada mulanya merujuk kepada pendidikan teologi di neraga-negara non Barat, namun belakangan kata ini merujuk kepada konsep hubungan dengan kebudayaan-kebudayaan yang pesan-pesan Kristeiani belum sampai kepadanya. Atau meminjam definisi Ary Roest Crollius. S.J. inkulturasi adalah hubungan dinamis antara pesan-pesan Kristiani dengan kebudayaan-kebudayaan yang dimasukan kehidupan Kristiani ke dalam kebudayaan dan proses interaksi, dan asimilasi yang timbale-balik dan kritis.”. yang kemudian kata itu menjadi sebuah konsep yang banyak digunakan dan diakui manfaatnya dalam bidang Misiologi. Atau inkulturasi juga bisa disederhanakan sebagai penyesuaian kehidupan iman dengan kebudayaan penduduk setempat. Akibatnya keagamaan diperkaya oleh nilai-nilai tradisi. Untuk lebih jelas lihat Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009) hal 333
37
sesungguhnya pesan Kristus yaitu orang Kristen Barat, karena ini melihat dari nasib agama Kristen secara historis sudah ada ditangan Eropa. Yang pada akhirnya kedua model metode ini (inkulturasi dan Kristen murni Eropa) saling bertentangan terhadap peran penting dalam memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat Jawa. Masing-masing dari para pendukung kedua metode ini membangun kongregasinya sendiri-sendiri, sehingga kedua belah pihak sering cakar-cakaran, akan tetapi pada sisi yang lain mereka saling mendukung. 3. J. Van Rhijn dan Pastor Jellesma dari Masyrakat Misionaris Belanda (Netherlands Missionary Society) 1846 Untuk memperluas gerakan Misionarisnya, maka Jellesma oleh Masyrakat Misionaris
Belanda
(Netherlands
Missionary
Society)
ditunjuk
sebagai
penanggung jawab aneka kerja Misionaris di Jawa. kehadiran Jellesma sebenarnya untuk merekonsiliasikan kedua kelompok Kristen Jawa yang saling bertentangan. Sehingga dia dapat mengkombinasikan sisi terbaik kedua belah pihak, secara bijaksana. Sikap netral yang ditunjukan oleh Jellesma yang berdomisi di wilayah baru temapt dia mengembangkan program latihan bagi para penginjil Jawa. Maka dalam kata-kata kraemer Jellesma adalah “…seorang dengan bawaan apostolik yang sepenuhnya mengabdikan diri kepada tujuan mengkonversi masyarakat Jawa.” Dalam riwayatnya sebelum wafat, Jellesma telah berhasil membaptis sekitas 2500 orang Jawa. Sehingga dalam perjalanannya Sadrach, seorang penginjil Jawa yang sangat terkenal dan berpengaruh sempat bertemu dengan Jellesma pada tahun 1855, yang juga dipengaruhi olehnya.
38
Dalam beberapa tahun berikutnya para Misionaris profesioanal mulai terlibat langsung dalam penyebaran ajaran-ajaran Injil di Jawa, untuk memperkuat maka dibangunlah konsolidasi agama Kristen yang pada akhirnya menjadi kokoh lagi, ini dicerminkan dalam kebijakan pembangunan desa-desa Kristen yang digagas oleh Pieter Jans, ia adalah seorang Misionaris Mennonit. Dalam pandangan Jans mengenai kehidupan masysrakat Jawa selalu terkait dengan desa mereka, oleh karena itu kerja-kerja Misi Kristenisasi dilaksanakan dengan cara membuka diri terhadap desa baru yang menjadi target agar para Misionaris yang baru dapat menyebarkan agama Kristen. Melalui desa-desa yang baru dibangun ini, komunitas Kristen Jawa menjadi tulang punggung bagi gereja di Jawa. Sehingga bagi para Misionaris cara ini lebih efektif untuk menarik perhatian para pemeluk Kristen baru di wilayahwilayah yang sangat kuat keislamannya. Namun dalam perjalanannya metode pembukaan desa-desa baru tidak meraih kesuksesan seperti yang dicita-citakan pada saat priode awalnya. Sebenarnya metode itu punya peranan penting dan pengaruh yang sangat kuat dalam membumikan beberapa pusat Kristen dikemudian hari sehingga bertebaran di wilayah Jawa. Dalam catatan sejarah awal Misi Kristenisasi di Indonesia mengaitkan beberapa tokoh penting dalam proses penyebaran agama Kristen. Dalam kasus penyebaran ini, terbagi menjadi dua peristiwa penting diantaranya adalah dilakukan oleh orang-orang yang awam dan yang kedua dilakukan oleh orangorang professional yang bergabung kepada beberapa organisasi Misi pada masa itu..
39
Berikut ini penulis akan membatasi beberapa tokoh yang ikut dalam menyumbangkan penyebaran agama Kristen sebelum muncul gerakan organisasi Islam Muhammadiayah. 1.1. Samuel Eliza harthoorn, tahun (1831-1883) adalah seorang yang dianggap berpengaruh terhadap usaha Misi Kristenisasi di pulau Jawa, tidak jauh berbeda dengan usaha yang dilakukan sebelumnya. Eliza beranggapan bahwa dibutuhkan sikap yang akomodatif terhadap tradisi Jawa dan adat-istiadat Islam satu hal yang menjadi perhatian Eliza dan ini terus dipertahankannya adalah ketika upacara adat selametan. Selametan adalah upacara praktik makan bersama dengan dibarengi ritual yang sudah menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa, sehingga ini diresapi dengan nilai-nilai gereja. Untuk itu selametan ini dapat ditemukan di Kristen jawa, serta yang paling mengesankan adalah proses selamatan semuanya bercorak dikristenkan. Lebih dari itu, yang menarik dari Kristen Jawa adalah setiap praktik yang dilakukan oleh para sufi untuk mengingat Allah seperi dzikir, tahlil, dipraktikan oleh mereka dipakai dengan cara agama Kristen juga. 1.2. Carel Poensen Tahun (1836-1919) Setibanya di pulau Jawa sebagai Misionaris pada tahu 1860, Poensen langsung bergabung serta bekerja pada Masyarakat Misionaris Belanda, dan ia menetap di sana sampai 1890. uniknya dalam pandangan-pandangan Poensen mengenai Islam, ia relatif moderat, bahkan ia menemukan aspek-aspek positif dari Islam selama berada di Jawa. Menurutnya orang-orang Jawa tidak mudah
40
terpengaruh hal-hal buruk dari luar, seperti candu, alkohol, dan judi sebagaimana orang-orang Eropa dan China. Akan tetapi dalam pandangannya, Poensen menyatakan bahwa Islam belum mampu untuk memenuhi kebutuhan paling pokok jiwa manusia.23 Membangun sebuah komunitas Kristen di tengah-tengah mayoritas umat Islam adalah suatu hal yang tidak mungkin, terkecuali ada upaya dan srtategis baru dalam penerapan konversi terhadap umat Islam. Untuk itu Poensen membentuk pusat-pusat Misi Kristenisasi dengan membuka ladang-ladang pertanian baru di bawah manajemen orang-orang Kristen. Berangkat dari membuka ladang-ladang pertanian, lalu masyarakat setempat diundang ke tempat ladang pertanian dan dengan secara perlahan-lahan diperkenalkan dengan ajaranajaran Kristen. Maka
dengan demikian mereka masuk agama Kristen. Dan
mereka tidak merasa terasingkan dari masyarakat. Dengan keahlian yang dikuasai Poensen baik itu bahasa dan kebudayaan Jawa, maka ia dihormati sebagai seorang sarjana dan Misionaris dengan memiliki pengetahuan mendalam tentang kebudayaan Jawa, yang bisa menjalin hubungan erat dengan kelompok penduduk pribumi, yang pada hal-hal tertentu, ia kritis terhadap Pemerintah Belanda dengan menyalurkan aspirasi penduduk pribumi seprti mengkritik keras terhadap ekploitatif dan menindas yang dilakukan Pemerintah Belanda
23
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke I) hal 53-54
41
Selain itu keberhasilan yang telah dilakakukan oleh Misionaris Poensen dalam merekrut orang-orang Kristen baru terhadap orang-orang Jawa dengan cara lewat keuntungan materi, artinya Poensen menciptakan lapangan pekerjaan dan memberikan kemakmuran untuk orang-orang Jawa sebagai alat penyempaian dan menyebarluaskan agama Kristen, yang kemudian dikenal “kebijakan beras Krisren” . 1.3. Lion Cachet Tahun (1835-1899) Lion Cachet adalah seorang Misionaris yang tergabung dalam Misi Reformasi (Reformed Mission) pada tahun 1855, dan ia juga sebagai seorang pendeta Nieuwe Westerwerk di Belanda, kemudian ia berlayar ke Hindia-Belanda pada 1891 dan menjadi seorang inspektur kerja Misionaris selama sepuluh tahun berdomisi di Jawa. Ia mengkritik pemerintahan Belanda yang dalam kurun waktu tiga setengah abad memerintah Jawa, tetapi tidak berhasil dalam menyebarkan agama Kristen kepada pribumi Jawa. Kritik Lion Cachet kepada Pemerintah Belanda adalah tentang rendahnya standar sosial untuk para Misionaris serta buruknya penampilan fisik gereja yang disebabkan oleh sederhananya para pejabat Misi Kristen, yang dinilainya kurang mendapat kemakmuran dari Pemerintah Belanda. Serta ia menyesalkan prosedural yang lambat dan berbelit-belit yang harus dilewati oleh para Misionaris dari Belanda terhadap perolehan surat izin menjalankan Misi Kristenisasi. Adapun langkah yang diterapkan oleh Lion Cachet terhadap Misi kristenisasi yaitu menolak dengan tegas bentuk agama Kristen Jawa dan mengecam praktik-praktik Sadrach sebagai seorang penginjil Jawa. Dalam sisi
42
yang lain, Lion Cachet melihat Islam sebagai bentuk keras terhadap penolakan penuh agama Kristen, sehingga dalam pandangannya Islam Jawa sebagai salah satu hambatan dalam menjalankan proses Misi Kristenisasi di Nusantara. Untuk itu Lion Cachet dan para pemimpin Misi di Belanda cemas, maka sebagai reaksinya para pemimpim Misi itu melakukan upaya-upaya yang komprehensif untuk
meningkatkan standar
sosial
para Misionaris
dan
memperbaiki kondisi bangunan gereja di Jawa. Lion Cachet telah memainkan peranan yang sangat beras dalam perbaikan-perbaikan ini, sehingga ia dikukuhkan sebagai salah satu figur penting dalam pertumbuhan dan konsilidasi agama Kristen di Jawa. 1.4. Pendeta Baron Van Boetzelaer tahun (1873-1956) Boetzelaer tergabung dalam Consul for Missions (Konsul Misi) berada di Batavia, sebagai ibu kota Pemerintah Belanda di Hindia-Belanda. Berbagai usaha dijalankan Boetzelaer untuk mengubah kebijakan Belanda dengan tujuan agar menguntungkan agama Kristen, untuk itu dengan sekuat tenaga, ia bumbujuk dan menekan Pemerintah Belanda dalam memberikan “dukungan pemerintah terhadap gerakan Misi Kristenisasi” yang menjadi prioritas agenda pemerintah Belanda. Pengaruh Boetzelaer kepada pemerintahan Belanda terhadap kerja Misionaris, Misi kristenisasi di Jawa mendapat bantuan finansial b. Masa Kemerdekaan Sampai Akhir Orde Lama. 1. Misi Pada Masa Kemerdekaan Sampai Akhir Orde Lama Babak sejarah baru Indonesia sebagai Negara merdeka dimulai, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno-Hatta didaulat untuk memproklamirkan
43
kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Adalah suatu hal yang wajar kalau seluruh rakyat Indonesia (tanpa kecuali), merayakan kemenangan besar ini, yang diraih dengan penuh pengorbanan jiwa yang tanpa pamrih. Ketika
berbicara
mengenai
hubungan
Islam-Kristen
pada
masa
kemerdekaan, maka akan dikaitkan kepada peristiwa Piagam Jakarta24 (Mukaddimah UUD) selalu menjadi rujukan, persoalan yang dianggap sebagai ketegangan pertama dalam hubungan Islam-Kristen di Indonesia.25 Berawal ketika naskah”Pembukaan UUD” diajukan ke depan Panitia Besar pembentukan UUD 1945, pertentangan tajam muncul menyangkut pasalpasal agama. Kalangan Kristen, dan beberapa tokoh nasionalis sekuler, menolak dengan tegas hal yang kemudian dikenal sebagai “tujuh kata” dalam naskah “pembukaan” itu. Pernyataan krusial dalam naskah “pembukaan” yang menunjuk pada “tujuh kata” tersebut adalah (“….dengan kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”)26 Bagi
kalangan
Kristen, naskah
yang dipersoalkan diatas,
yang
mengandung bobot hukum yang besar dapat digunakan sebagai titik awal bagi upaya pembentukan Negara Islam di Indonesia. Meskipun kelompok muslim 24
Piagam Jakarta semula hanyalah sebuah rancangnan Mukaddimah UUD Republik Indonesia dan sekaligus sebagai pidato saat-saat Proklamasi Republik Indonesia dikumandangkan. Piagam Jakarta tersebut dihasilkan oleh 9 orang tokoh perjuangan dalam suatu rapat PPKI dengan anggota-anggotanya: Soekarno, Hatta, Soebardjo, Moh. Yamin, Wahid Hasjim, Agus Salim, Kahar Mudzakkir, Abi-keosno Cokrosoejoso, dan AA Marasim. Disebut Piagam Jakarta atau Djakarta Charter. Menurut Mr. Moh Yamin karena diputuskan di Djakarta tanggal 22 Juni 1945. satu diantara lain isi Piagam Jakarta ialah memuat 7 kata yang menyatakan kewajiban bagi umat Islam menaati syariat agamanya. Lebih lanjut baca buku Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009) hal 595 25 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998, cet ke 1) hal 168 26 M. Natsir, Mencari Modus Vivendi Diantara umat Beragama di Indonesia. (Jakarta: Media Dakwah, 1983), hal. 5
44
berusaha mengklarifikasi maksudnya bahwa mereka tidak ingin mendirikan Negara Islam kecuali lewat prosedural yang domokratis, kelompok Kristen bersikeras menolak “tujuh kata” itu sepenuhnya. Selanjutnya mereka mengancam jika hal itu tidak diterima, maka mereka akan membentuk sebuah negara tersendiri. Pertentangan yang berlangsung sengit antara kedua umat beragama itu tentu saja berperan penting dalam memperburuk situasi.27 Pada priode antara proklamasi RI pada 1945 dan 1950, perjuangan melawan Belanda, yang memaksa masuk kembali dan menjajah Indonesia, semakin meningkat, pada periode itu, di tengah konfrontasi fisik melawan kembali masuknya musuh bersama, ketegangan antara kelompok muslim dan kelompok Kristen yang sebelumnya akut, untuk sementara mereda. Bagi seluruh rakyat Indonesia perjuangan melawan Belanda, adalah perjuangan demi negara dan agama. Para Misionari pribumi walaupun besar atas didikan pemerintah Kolonial Belanda, bersatu padu menggalang persatuan untuk melawan penjajah di negeri ini. Yang muncul kemudian adalah sentimen atau kepentingan bersama bahwa semangat untuk menjadikan Indonesia merdeka, bersih dari segala macam bentuk penjajahan, harus diwujudkan. Sehingga ketika itu, kegiatan Misionari Kristen yang gencar dilakukan oleh para zending Kolonial maupun Misionari pribumi terhenti, dengan keinginan untuk menjadikan Indonesia merdeka mengalahkan segalanya.
27
Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Islam dan Nasional Sekuler tentang Dasar Negara RI 1945-1949, (Bandung: pustaka Bandung 1981), hal. 10 dan lihat Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009) hal 595
45
Namun, setelah kemerdekaan diraih, udara kebebasan sudah dihirup kembali, usaha-usaha kegiatan Misi Kristenisasi terkuak lagi. Luka lama kembali membuka hubungan meruncing antara Islam dan Kristen. Rupanya sikap kaum penjajah Portugis dan Belanda, yang tidak akan senang melihat kaum muslim taat melaksanakan perintah agamanya, sikap itu terwarisi dengan baik oleh orangorang Kristen pribumi. Pada masa awal kemerdekaan, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949. ketika bahaya bersama yaitu penjajah Belanda sudah hilang, pertikaian kelompok muslim dan kristem muncul kembali.28 Bagi umat Kristen, berkat republik baru, sebagian daerah Indonesia yang sebelumnya merupakan wilayah yang terbatas bagi kalangan Misionari, kini terbuka lebar.29 Setelah kemerdekaan Indonesia, agama Kristen menikmati hak-hak istimewa yang sama seperti Islam dan agama-agama lainnya. Dengan demikian agama Kristen diberi tempat sederajat diantara agama-agama yang diakui di negeri ini. Usaha Misionari diperkuat dengan didirikannya Dewan Gereja Indonesia (DGI) oleh umat Protestan pada 25 Mei 1950. tujuan mereka tidak lain ialah membantu program gereja-gereja anggota, khususnya dalam hal persaksian dan pelayanan di daerah-daerah.
28
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet ke 1 hal 173 29 Ketika kekuasaan masih ditangan Pemerintah Belanda, ada aturan mengenai pembagian wilayah Misionari Protestan dan Katolik. Pulau Flores dan Sulawesi Selatan, misalnya hanya bisa dimasuki Misionari Katolik, sedangkan daerah Batak hanya boleh dimasuki para Misionari Protestan. Lebih lanjut baca, Alwi Shihab, Membendung Arus, hal 173
46
Gereja-gereja anggota DGI tersebut, terdiri dari gereja-gereja Protestan dan Pantekosta. Selain itu tercatat masih banyak gereja-gereja di Indonesia yang berada di luar DGI, yaitu: 1. Gereja-gereja yang memiliki tingkat Nasional, seperti gereja Kristen Protestan di Pematang Siantar, gereja Baptis di Semarang. 2. Gereja-gereja yang bertingkat provinsi, seperti gereja Kristen Batak di Tarutung, gereja Protestan Minahasa di Menado dan lain-lain. Perlu diketahui, selain dalam bentuk penyebaran doktrin agama, Misi Kristen juga terlihat dalam bentuk pendirian beberapa lembaga keagamaan berkedok sosial, seperti bantuan pendidikan, kesehatan, atau keuangan bagi masyaratak non Kristen. Namun reaksi dari kaum muslim juga semakin tegas, di sisi lain upaya Misi Kristen semakin meningkat, akan tetapi karena keadan politik dalam negeri yang belum stabil pada masa ini, ditambah lagi boomingnya peristiwa pemberontakan G30 S/PKI, membuat kegiatan Misionaris pada masa ini, belum memetik hasilnya. Setelah munculnya era baru di bawah Presiden Soeharto, dimana kondisi politik negeri ini cendrung menafikan umat Islam, baru Misi Kristenisasi bisa dirasakan hasilnya.
BAB III MUHAMMADIYAH ERA K.H. AHMAD DAHLAN
A. Sejarah Berdirinya Muahammadiyah Lahirnya suatu pemikiran baru atau gerakan baru tidak dapat dipisahkan dari kondisi kehidupan sosial dan budaya yang melingkupinya. Boleh jadi, munculnya pemikiran atau gerakan baru itu merupakan respons terhadap kondisi yang ada. Atau sebaliknya, yaitu sebagai kekuatan yang ditujukan untuk mendukung kemapanan itu sendiri agar menjadi lebih kukuh, yang jelas, salah satu dari kedua motivasi tersebut selalu ada dalam setiap fenomena yang muncul. Namun untuk proses kemunculan suatu fenomena tentu tidak begitu mudah, karena banyak faktor yang saling berpengaruh. Dalam hal ini Yogyakarta adalah salah satu kota perjuangan dan bersejarah, karena itu kota ini sering tampil dalam sejarah pusat perjuangan. Di samping itu kota ini memegang peranan penting dalam membangun nasional, ada beberapa peristiwa penting yang telah terjadi di kota ini, seperti perjuangan dari pahlawan Sultan Agung Hanjokrokusimo (15911645), Pangeran Diponogoro (1775-1855), keduanya adalah putera Yogyakarta, bahkan pada waktu revolusi dahulu, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan dan perjuangan sehingga pantas Yogyakarta disebut kota revolusi. Begitu
juga
dengan
berdirinya
organisasi
sosial-keagamaan
Muhammadiyah,1 sebagai gerakan Islam bercorak modernis yang berdiri awal
1
Secara bahasa (etimologi), Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad SAW”. Yaitu nama Nabi dan Rasul Allah SWT yang terakhir, kemudian mendapat imbuhan „ya‟ nisbah yang artinya menjeniskan atau menisbahkan dan “ta” marbuthah yang memiliki makna pengikut. Jadi Muhammadiyah itu artinya “ umat Muhammad saw atau pengikut Muhammad
47
48
abad ke 20 M, tentu tidak dapat dipisahkan dari situasi serta sejumlah faktor yang melatarbelakangi munculnya organisasi tersebut di Indonesia.2 Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggsl 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan.3 Setelah melalui saran dari
saw”, yaitu semua orang Islam yang mengikuti dan meyakini bahwa nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir. Dengan demikian siapa saja yang mengaku beragama Islam sesungguhnya ia adalah Muhammadiyah tanpa harus dilihat dan dibatasi oleh adanya perbedaan organisasi, golongan, bangsa, geografis, etnis dan sebagainya Secara istilah (terminologi ), Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah ma‟ruf nahi mungkar, berakidah Islam yang bersumber pada Al-Qur‟an dan sunnah nabi. Muhammadiyah didrikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 M, di Kauman kota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh pendirinya dengan maksud untuk bertafaul (berpenghargaan baik) dapat mencontoh jejak perjuangan nabi Muhammad saw dalam rangka menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai cita-cita dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas. Untuk lebih lengkap lihat, Mustafa Kamal Pasya, dkk, Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid (Yogyakarta: Citra Karsa Mandir, 2003), hal. 43-44 2 Muhammadiyah yang lahir di Indonesia merupakan respons dari situasi dan kondisi masyarakat yang terpuruk akibat Kolonialisme Belanda dan ajaran Islam yang dipandang sudah tidak murni dan bercampur dengan ajaran yang menyimpang. Lihat, Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal. 18-19 3 Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta yaitu sebagai seorang Khatib dan pedagang (batik). Melihat keadaan umat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis, oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai khatib dan pedagang. Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar keluar kampung Kauman, bahkan sampai keluar daerah dan keluar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikanlah perserikatan Muhammadiyah, serta mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan nama Aisyiyah yang disitulah istri K.H. Ahmad Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya. Di samping memberi kegiatan pelajaran/pengetahuan kepada laki-laki, beliau juga memberikan pelajaran kepada kaum ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “sidhratul muntaha”. Pada siang hari pelajaran untuk anakanak laki-laki, dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang sudah dewasa. Di samping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai-dengan 1918 beliau telah mendirikan Sekolah Dasar 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namanya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri dan perempuan sendiri, dan akhirnya tahun 1930 namanya dirubah menjadi Mu‟allimin. Untuk lebih lengkap lihat Y.B. Sudarmanto, Jejak-jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh yusuf, (Jakarta: Rasindo, 1996), hal. 64
49
murid-muridnya yang berada di organisasi Budi Utomo untuk mendirikan sebuah lembaga yang permanent.4 Di kampung Kauman inilah yang terletak disekitar keraton, terkenal penduduknya taat beragama. Pada abad ke sembilan belas di sana ada seorang alim ulama bernama Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Sulaiman yang menjabat sebagai Khatib di mesjid besar kesultanan Yogya. Pada tahun 1868 M keluarga H. Abubakar dikaruniai Tuhan seorang putera yang ke empat. Kepada sang bayi lelaki yang baru lahir itu diberi nama Muhammad Darwisy (nama sewaktu masih kecil K.H. Ahmad Dahlan) yang kelak mendirikan ormas Islam Muhammadiyah, akan tetapi hari kelahirannya belum diketahui dengan pasti selain tahunnya saja. Adapun silsilah Muhammad Darwisy, sepanjang pengetahuan penulis ialah Muhammad Darwisy bin Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Sulaiaman bin Kiai Murtadha bin Kiai Ilyas bin Demang Jurang Juru Kapido bin Demang Jurang Juru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Jatinom) bin Maulana Mohammad Fadlul‟llah (Prapen) bin Maulana „Ainun Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim aliyullah.5 Sebagaimana halnya anak-anak kecil lainnya. Muhammad Darwis diasuh serta didik oleh kedua orang tuanya, dan diajarkan membaca Al-Qur‟an di rumahnya dan ditempat yang lain. Sebenarnya secara ekonomi K.H. Abu Bakar mampu untuk menyekolahkan putera-puterinya, akan tetapi karena sekolahsekolah pada waktu itu dibawah manajemen Kolonial Belanda, akhirnya beliau
4
Deliar Noor, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996),
hal. 84 5
Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan Amal dan Perjuangannya, (Ciputat- Tangerang, Al Wasat Publising House, 2009) hal. 56
50
memilih untuk mengajarkan putera-puterinya yang berjumlah tujuh (7) orang6, di pesantren Kauman yang dipimpinnya.. Seorang Orientalis Belanda, Pijper, mengatakan bahwa Muhammadiyah timbul sebagai reaksi atas politik Pemerintah Hindia-Belanda yang berusaha menasranikan orang Indonesia. Agaknya statement Pijper mendekati benar, kalau boleh dibilang benar, karena menurut K.H. Ahmad Dahlan sebagai pendiri pertama Muhammadiyah, sebagai orang yang pertama merespons tentang efek yang ditimbulkan dari meningkatnya kegiatan Misi Kristenisasi di Indonesia. Namun dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, menentang dan melawan peran aktif mereka dan menghentikan penetrasinya melalui konfrontasi secara langsung itu tidak mungkin,7 baginya membangun kesadaran kaum muslim tentang akibat dari kegiatan Misi Kristenisasi tersebut merupakan sesuatu yang lebih efektif dan strategis. Menurut Alwi Shihab ada dua faktor yang melatarbelakangi berdirinya gerakan Muhammadiyah, internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan erat dengan kondisi keberagamaan umat Islam Indonesia yang dianggap telah menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, maka Muhammadiyah muncul sebagai respons terhadap pertentangan yang berlangsung lama dalam masyarakat Jawa. Pada masa itu, keyakinan keagamaan dalam masyarakat Jawa
6
Tujuh orang putera-puteri K.H. Abu Bakar yaitu lima orang perempuan (Nyi.Hj.Khatib Hasan, Nyi.Hj. Muchsin, Nyi.Hj. Muhammad Saleh, Nyi.Hj.Abdurrahman, dan Nyi.Hj. Muhammad Fakih) dan dua orang laki-laki (K.H. Ahmad Dahlan, dan H. Muhammad Basyir) 7 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia, hal 160
51
sangat diwarnai oleh pengeruh takhayul, khurafat, mitologi, dan sebagiannya yang berbau sinkretisme (kejawen).8 . Sementara faktor eksternal disebabkan kebijakan politik Belanda mengenai dibolehkannya umat Islam Indonesia melakukan ibadah haji ke tanah suci, dari sanalah pengaruh ide-ide dan pemikiran gerakan dari Timur Tengah mulai masuk ke dalam pemikiran beberapa tokoh dan pemimpin Islam Indonesia, sehingga mempercepat masuk dan berkembangnya gerakan Muhammadiyah, maka kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaharu Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke 20. Pada masa itu di Timur Tengah, khususnya di Mesir Jalaludin Al-Afghani (18391897)9, di Mesir Muhammad Abduh (1849-1905)10, dan Rasyid Ridha (1865-
8
Sazali, Muhammadiyah dan Masyrakat Madani; independensi, rasionalitas, dan pluralisme, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005) hal 73-74 9 Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan didekat Kabul, Afghanistan pada tahun 1939 M dan meninggal di Istambul, Turki pada 1897 M. Adapun pokok-pokok pemikirannya dalam masalah keagamaan antara lain: Pertama, Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa pada segala masa. Kedua, untuk menjawab segala perkembangan dan tantangan zaman yang senantiasa maju karena perkembangan ilmu pengetahuaan dan teknologi, maka pendirian bahwa pintu ijtihad tetap terbuka adalah pendirian yang benar, sebab hanya dengan jalan ijtihad tantangan tersebut dapat dijawab. Ketiga, umat Islam dimana-mana terlihar dalam perpecahan dan kehancuran. Hal tersebut terjadi karena lemahnya tali persaudaraan, lemahnya rasa ukuah Islamiyah dan solidaritas Islam, sehingga ia menyerukan Pan Islamisme. Di samping pemikiran keagamaan seperti diatas, Jalaluddin Al-Afghani juga banyak berbicara dan berbuat dalam bidang politik antara lain: Pertama, tidak henti-hentinya mengingatkan kepada dunia Islam terhadap ancaman dan bahaya penjajahan bangsa-bangsa Barat. Kedua, dunia Nasrani, (Kristen) sekalipun berbeda-beda dalam keturunan dan kebangsaan, manakala menghadapi Timur, khususnya Islam, mereka bersatu untuk menghancurkan negara Islam. Ketiga, Perang Salib masih tetap berkobar sepanjang masa, demikian juga semangat panatik petapa Pertrus. Keempat, harus diciptakan suatu kepastian hukum dalam penyelenggaraan negara yang didalamnya juga ditentukan batas-batas kekuasaan dan kewenangan dari pada penyelenggara negara agar dengan demikian para pengusa tidak mungkin dapat bertindak sewenang-wenang dalam memimpin negara (despotisme). Lebih lanjut lihat, Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal. 19-20, dan lihat. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakatra: Bulan Bintang, 1975), hal. 51-57 10 Muhammad Abduh, dilahirkan disuatu desa di Mesir pada tahun 1849 M dan meninggal pada tahun 1905. Sesudah menamatkan studinya di Universitas Al Azhar dengan predikat “alim (Cum-Laude), kemudian ia diangkat sebagai dosen di Universitas Al Azhar itu juga. Muhammad Abduh memegaskan bahwa umat Islam hanya bisa bangkit dari kenistaan hidupnya
52
1935)11, yang tengah gencar-gencarnya mempelopori gerakan pembaharuan Islam. Begitu juga K.H. Ahmad Dahlan sebelum memdirikan Muhammadiyah termasuk salah seorang yang menerima pengaruh gagasan-gagasan dan penafsiran Abduh tentang perlunya reformasi dan pembaharuan dalam pendidkan keagamaan. Faktor-faktor yang mendukung lainnya Muhammadiyah berdiri di Indonesia antara lain adalah:
kalau mereka mau membekali jiwa dan semangat berkorban semata-mata karena Allah SWT dengan menjadikan Al Qur‟an dan Hadis sebagai pedoman hidupnya. Adapun pokok-pokok pemikiran Muhammad Abduh antara lain: pertama, sebab musabah yang membawa kemunduran umat Islam karena adanya kejumudan atau kebekuan berpikir dikalangan umat Islam, yaitu kebekuan dalam memahami ajaran-ajaran Islam, dalam hal ini populer sekali ucapannya yang berhubungan dengan jumudnya umat Islam Al-Islamu Mahjubun bil muslimin, artinya ajaran Islam tertutup kesempurnaannya oleh umat Islam sendiri. Kedua, ajaran Islam memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada akal fikiran. Oleh karena itu, agama Islam adalah agama yang sesuai dengan akal. Ketiga, ajaran Islam pasti sesuai dengan pengetahuan modern, dan ilmu pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran agama Islam, maka oleh sebab itu, umat Islam harus sanggup mendalami ilmu pengetahuan modern. Keempat, satusatunya usaha yang harus ditempuh untuk memajukan ilmu pengetahuan di lingkungan umat Islam ialah dengan mengadakan pembaharuan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. lihat, Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal.20-21. dan lihat. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakatra: Bulan Bintang, 1975), hal. 58-68 11 Rasyid Ridha adalah salah satu murid dari Muhammad Abduh yang sangat cerdas dan pandai, serta murid yang paling disayangi dan dekat dengan gurunya Muhammad Abduh,. Rasyid Ridha dilahirkan disebuah desa Libanon pada tahun 1865 dan wafat pada tahun 1935. Pokokpokok pikirannya dalam pembaharuan Islam dapat dikatakan hampir sama dengan Jalaluddin AlAfghani dan Muhammad Abduh. Rasyid Ridha pun dikenal sebagai seorang politikus yang sangat cermat dan kritis. Adapun pokok-pokok pikiran pembaharuannya antara lain: Pertama, paham umat Islam tentang agamanya serta tingkah laku mereka banyak menyeleweng dari ajaran Islam yang suci murni. Untuk itu umat Islam harus dibimbing ke jalan Islam yang sebenarnya, yang bersih dari segala macam bentuk bid‟ah, khurafat, serta syirik. Kedua, agar segera terwujud kesatuan dan persatuan umat Islam, sekali-kali jangan didasarkan pada kesatuan bahasa atau bangsa, tetapi atas dasar kesatuan iman dan Islam. Di samping itu, dianjurkan kepada umat Islam agar dijaga kerukunan umat Islam atas dasar penuh toleransi atau tenggang rasa sekalipun mazhab mereka berbeda-beda. Ketiga, kaum wanita harus diikutsertakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Keempat, sebagian paham dan ajaran kaum sufi dianggapnya memperlemah agama Islam karena mereka melalaikan tugas kewajibannya diatas dunia, mereka menanamkan paham yang pasif, pasrah pada keadaan tanpa berusaha dan berikhtiar. Padahal yang benar ialah bahwa ajaran Islam adalah agama yang penuh dinamika dan optimisme, yang mendorong umatnya agar aktif mengolah bumi untuk mendapat kenikmatan Allah dan mensyukurinya. Lihat Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal.21-22. dan lihat. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakatra: Bulan Bintang, 1975), hal. 69-76
53
1. Munculnya Gerakan Modern Islam di Indonesia. Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada massanya. Kemunduran progressif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam dikalangan warga Arab di pinggiran imperium itu. Yang terpenting di antaranya adalah gerakan wahabi, sebuah gerakan reformis puritan (salafiah), gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaharuaan Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intektual.12 Di antara sekian banyak daerah muslim di Asia Tenggara, kepulauan Nusantara merupakan bagian terpenting, paling tidak sejak awal abad ke-19 M, sebagaimana diakui oleh Alfian (1989), telah muncul bibit-bibit baru pembaharuan yang bercorak Wahabi yang ditandai dengan kepulangan tiga orang haji dari studinya di Mekkah.13 Berkembangnya ide-ide pembaharuan Islam dari Timur Tengah ke wilayah Nusantara itu menjadi sangat mungkim, karena salah satunya adalah semakin meningkatnya jema‟ah haji Indonesia sejak akhir abad ke-19 M hingga awal abad ke-20 M jema‟ah haji tersebut bukan hanya untuk menunaikan ibadah haji semata-mata, akan tetapi hal yang sangat penting adalah semangat besar untuk belajar Islam langsung dari tempat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak dapat dielakan lagi bahwa pelajar dari tanah Jawa (K.H. Ahmad Dahlan) bersentuhan dengan gagasan pembaharuan yang sedang brkembang di 12
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 257 13 Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, (yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005), hal. 88
54
Timur Tengah pada saat itu, hampir dapat dipastikan bahwa dari kelompok inilah yang menjadi pergerak utama pembaharuan di kepulauan Nusantara pada awal abad ke-20. 2. Sikap Beragama Masyarakat Jawa Secara historis diakui bahwa masyarakat di Hindia-Belanda (Indonesia), terutama yang hidup di pulau Jawa, sejak dahulu telah memiliki keyakinan yang bersifat animistik, yang kemudian ditambah dengan keyakinan baru yang datang dari Hindu dan Budha, maka terbentuk filsafat baru berupa kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang animistik, maka bentuk-bentuk kepercayaan baru tersebut berupa percaya ruh-ruh nenek moyang yang dianggap jelmaan dari Tuhan. Kepercayaan semacam itu memberikan kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan dalam cara-cara berkomunikasi denga Tuhan Yang Maha Esa. Ketika Islam datang ke Indonesia, kepercayaan-kepercayaan tradisional masih melekat. Kedatangan ahli-ahli tasawwuf itu pada masa perkembangan dan penyebaran, ahli-ahli tasawwuf dari Persia dan India, tetapi masih berkisar di pulau Jawa dan Sumatera.14 Islam yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, masuk ke Nusantara bercorak tasawwuf yang telah dipengaruhi oleh mistik India, seperti sistem kepercayaan Hindu-Budha, sehingga dengan demikian Islam dapat masuk ke Nusantara dengan cara damai, karena diantara unsur-unsur terdapat persamaan dengan pola kepercayaan dan pemikiran orang Jawa khususnya, dan pulau-pulau di Nusantara lainnya.
14
Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hal. 203
55
Hal ini memungkinkan terjadinya pembaruan antara keyakinan-keyakinan tradisional dengan ajaran Islam yang bercorak tasawwuf, maka muncullah keyakinan baru yang sinkretis, sehingga Harry J. Benda menyimpulkan bahwa Islam di Jawa tidak lebih sebagai suatu stagnasi dan kurang murni jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.15 Paling tidak bahwa untuk jangka waktu yang lama sebagai pemenang agama di Jawa adalah agama Kejawen, adat istiadat Jawa, feodalisme jawa, dan bukannya peradaban Islam yang urban. Kemenangan agama Kejawen atas Islam dalam waktu yang cukup lama itu menjadikan kehidupa umat Islam Jawa dilengkapi oleh kepercayaan kepada ruh-ruh yang dianggap dapat mempengaruhi nasib, seperti kepercayaan kepada keramat yang dimiliki orang-orang yang disucikan para dukun, dan sebagainya. Semuanya masih menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa terpisahkan sampai awal abad ke-20. Dari keyakinan sinkretisme ini, maka bermunculan pengamalan ajaran Islam yang menyimpang dari Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi, yang selanjutnya tampil dalam bentuk takhyul, bid‟ah, dan khurafat. Keyakinan sinkretis ini sebagai asimilass kebudayaa yang lama dengan ajaran Islam, dan itu kemudian melahirkan apa yang disebut agama Jawa atau Kejawen.16 Maka sebagai respons dari hal tersebut di atas muncullah Muhammadiyah sebagai gerakan purifikasi yang dibawakan oleh K.H. Ahmad Dahlan.
15
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hal. 31 16 Geertz memakai istilah Kejawen dihadapkan dengan kelompok santri. Kelompok kejawen cirri-cirinya adalah tidak menjalankan ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, haji, dll, tetapi tetap mengaku sebagai pemeluk Islam. Lebih lengkap lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jawa, 1983), hal. 13
56
3. Pendidikan, Kristenisasi dan politik Hindia-Belanda Kedatangan agama Kristen tidak bisa dipisahkan dari kedatangan penjajahan kolonialisme ke Indonesia, dengan dimulainya penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahu 1511, yang disusul oleh kedatangan Belanda dengan melakukan politik etis mencerminkan peralihan penting dalam strategi pemerintah Kolonial ke arah Misi Kristenisasi di Indonesia. Kebijakan nertalitas agama yang digemborkan oleh Belanda hanya isu dan isapan jempol saja, Belanda mempunyai kewajiban meningkatkan kondisi orang-orang Kristen pribumi di Indonesia, untuk memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan Misi Kristenisasi di Indonesia.17 Umat Islam menganggap agama Kristen baik Katolik maupun Protestan adalah agama kaum Kolonial yang ingin menjajah negeri ini dan menukar agama rakyat, akibatnya, pemberontakan yang timbul menentang penjajahan itu di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, yang sebagian besar merupakan pemberontakan yang bermotif agama. B. Perkembangan Muhammadiyah Era K.H. Ahmad Dahlan Muhammadiyah didirikan untuk menegakan dan menjungjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. Atas berdirinya organisasi Muhammadiyah, maka reaksi terhadap organisasi itupun datang dari berbagai pihak, yang bersifat positif maupun negatif. Reaksi positif datang dari “kaum muda” (kelompok Boedi Oetomo), yang memang merasa se-ide dan sejalan dengan gerakan Muhammadiyah dalam 17
Alwi shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi kristenisasi di Indonesia, hal 44
57
perubahan ajaran-ajaran yang dianggap (sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh rasulullah SAW) dilakukan oleh umat Islam Indonesia. Sementara reaksi negatif jelas terlihat oleh Pemerint Kolonial Belanda, yang walaupun secara de-yure, Pemerintah Kolonial Belanda mengizinkan berdirinya ormas Muhammadiyah, namun pada kenyataannya Pemerintah Kolonial sangat mengkhawatirkan berkembangnya gerakan Muhammadiyah, kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda memang sangat beralasan sebab, hanya organisasi Muhammadiyah yang dianggap paling vokal dalam menyuarakan kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial, terutama mengenai statement pemerintah yang pada awalnya mengatakan netral-agama, namun pada kenyataannya jelas Pemerintah Kolonial Belanda sangat berkepentingan membela kegiatan Misi Kristenisasi, yang gencar dilakukan oleh para zending protestan, baik hal dukungan politik maupun dana yang jumlahnya tidak sedikit. Karena itu, sejak Muhammadiyah didirikan selalu membangun sekolahsekolah, madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, serta mendirikan majalah-majalah yang bernuansa Islam. Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan terbesar jasanya bagi perkembangan pendidikan di Indonesia di antaranya:
Kweekschool
Muhammadiyah
di
Solo
Muhammadiyah dan
di
Jakarta,
di
Yogyakarta,
Mu‟alimat
di
Mu‟alimin Yogyakarta,
Zu‟ama/Za‟imat di Yogyakarta, Kulliyah Muballighin/Muballighat di Padang Panjang, Sumatera Tengah, Tabligh Scool di Yogyakarta, H.I.K. Muhammadiyah di Yogyakarta, H.I.S. Muhammadiyah, MULO, A.M.S. Muhammadiyah, dan madrasah lainnya.
58
Sejak didirikannya Muhammadiyah 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, tahun-tahun pertama tidaklah mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara anggota-anggota pengurus, hingga tahun 1917 yang masih berkisar di daerah Kauman, Yogyakarta saja. Organisasi Muhammadiyah mulai mengalami perkembangan ke beberapa pulau Jawa dan luar pulau Jawa sejak 1917, yang dimulai dengan adanya kongres Budi Utomo yang diselenggarakan di rumah K.H. Ahmad Dahlan dan atas usalan meraka agar muhammadiyah membuka cabangcabangnya. Pada tahun 1920 Kegiatan Muhammadiyah meliputi daerah pulau Jawa dan pada tuahun Berikutnya mulai tersebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Cabang Muhammadiyah yang berada di luar pulau Jawa pertama kali didirikan di Sumetera Barat yaitu Minangkabau, Muhammadiyah di sana didirika oleh H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul. Tahun 1925 ia mulai mendirikan cabang muhammadiayah di sana, setelah ia melakukan kunjungan ke Jawa. H. Abdul Karim Amrullah mengubah sebuah organisasi lokal yang bernama Sendi Aman Tiang Selamat dijadikan sebagai cabang Muhammadiyah di Minangkabau, dan pada tahun yang sama juga murid-murid dari H. Abdul Karim Amrullah ikut menyebarkan organisasi ini ke seluruh Minangkabau. Pada tahun 1917 gerakan Muhammadiyah melebarkan sayapnya memperluas ke luar Jawa dan secara bertahap berkembang menjadi salah satu Organisasi Indonesia yang terbesar sebelum Perang Dunia II18. Pada tahun 1925 organisasi Muhammadiyah memiliki 29 cabang dengan 4000 anggota, di bidang 18
Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, (Jakarta :Gema Insani press 1996) hal 134
59
pendidikan telah mendirikan 8 Hollan Inlanndse School Muhammadiyah sebuah sekolah guru di Yogyakarta, 32 buah Sekolah Dasar lima tahun, dan 1 buah Schakelschool, 14 Madrasah, seluruhnya dengan 119 orang guru dan 4000 murid. Dalam bidang sosial telah terdapat dua buah klinik di Yogyakarta dan Surabaya, di daerah itu sekitar 12000 pasien memperoleh pengobatan. Muhammadiyah juga membangun rumah miskin dan dua rumah yatim piyatu.19 Tahun
1927
Muhammadiyah
mendirikan
cabang-cabang
di
Bengkulu,
Banjarmasin, dan Amuntai, sedangkan pada tahun 1929 Muhammadiyah tersebar ke daerah Aceh dan Makasar, memiliki 1.9000 anggota Muhammadiyah, ini semua tercatat sebagai peserta-peserta kongres yang berasal dari semua pulau yang ada di Indonesia kecuali Kalimantan, dalam acara kongres tersebut Muhammadiyah telah menerbitkan sejumlah 700.000 buah buku maupun brosur. Di Solo telah membuat sebuah klinik mata dan di malang telah membuat sebuah klinik yang lainnya. Pada tahun 1930 kongres Muhammadiyah yang diadakan di luar pulau Jawa, yaitu Bukit Tinggi, tercatat sebanyak 112 cabang-cabang dengan 2.4000 anggota. Keanggotaan Muhammadiyah bertambah menjadi 43.000 pada tahun 1935 dengan 710 cabang-cabang termasuk 316 di pulau Jawa, 286 di Sumatera, 79 di Sulawesi dan 29 di Kalimantan. dan pada tahun 1938 berkembang cabangcabang serta 898 kelompok yang belum berstatus cabang, seluruhnya ada 250.000 anggota Muhammadiyah.20 Di samping itu Muhammadiyah pun telah memelihara 834 Masjid dan langgar, 31 perpustakaan dan 1774 sekolah. Oleh karena itu 19 20
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hal 95 Deliar Noer, Gerakan, hal 95
60
tidaklah berlebihan jika Prof. Deliar Noer menyebutnya sebagai Muhammadiyah sebagai “organisasi sosial Islam terpenting di Indonesia”. Bahkan seorang penulis Barat James L. Peacock, mengatakan “Muhammadiyah telah membuktikan dirinya sebagai organisasi pembaharuan Islam yang paling kuat di Asia Tenggara. Bahkan mungkin di Dunia”.21 C. Metode dan Bentuk Gerakan Dakwah Muhammadiyah Era K.H. Ahmad Dahlan. Lahirnya gerakan Muhammmadiyah yang bertujuan untuk memurnikan Islam di Indonesia, karena memang pada masa itu, K.H. Ahmad Dahlan, memandang masyarakat Islam Indonesia sedang ditimpa berbagai macam krisis, banyak umat Islam mengamalkan ritual dan berbagai tradisi yang pada dasarnya tidak sesuai dengan tuntunan agama yang berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis. Mereka telah melakukan bid‟ah, khurafat, dan syirik, sehingga hal inilah yang menyebabkan mereka jauh dari tuntunan agama yang sebenarnya. K.H. Ahmad Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin umat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan agama Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (Dakwah) kepada seluruh umat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif. 21
James L. Peacock, Pembaharuan dan Pembaharuan Agama. (Yogyakarta: Hanindinata, 1983) hal 8
61
Berangkat dari pemikiran di atas tadi, dan secara subyektif K.H. Ahmad Dahlan dalam memahami pesan-pesan Al-Qur‟an, terutama QS. Ali Imran: 104, secara eksplisit merupakan perintah untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar. Dalam Al-Qur‟an Allah SWT, berfirman:
( ۴۰۱)
ۚ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,22 merekalah orang-orang yang beruntuk” (QS. Ali-Imran: 104) Maka untuk merealisasikan gerakannya itu, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai pembaharu Islam di bumi Nusantara, dengan tujuan ingin mengadakan pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut agama Islam, serta mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut Al-Qur‟an dan Hadis 1. Metode Dakwah dan Bentuk Dakwah Sebelum Muhammadiyah didirikan, lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam Indonesia barulah berupa pondok pesantrean yang tidak memenuhi tuntunan dan kehendak zaman, yang memiliki sistem pelajaran secara tradisional, tanpa kurukulum, tanpa tahun ajar, tanpa administrasi, dengan murid-murur duduk 22
Ma‟ruf artinya segala jenis perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah, sedangkan Munkar artinya segala jenis perbuatan yang menjauhkan kita dari Allah.
62
melingkar disekelilingi guru. Maka dengan melihat keadaan seperti itu, K.H. Ahmad Dahlan tergerak untuk memberikan pencerahan melalui pengajaran dirumahnya kepada laki-laki dan perempuan dengan menggunakan metode papan tulis, dan kapur, bangku, serta alat peraga, sebenarnya sekolah ini awalnya berupa sebuah pengajian yang menggabungkan sstem pengajaran pesantren dengan pendidikan Barat. Selanjutnya langkah K.H. Ahmad Dahlan dalam merintis jalan pembaharuan dikalangan umat Islam Indonesia, misalnya membetulkan arah Kiblat23 yang tidak tepat menurut semestinya. Dengan semangat memurnikan ibadah dan dengan berdasarkan perhitungan ilmu falak (astronomi) yang dimilikinya, beliau menjadi orang kedua di Indonesia setelah Syekh Arsyad alBanjari yang berupaya meluruskan alah kiblat langgar, mushalla, dan mesjid di Indonesia yang kala itu tidak mengarah persis ke Ka‟bah Baitullah di Mekkah. Disamping itu untuk menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap tanah air Indonesia, maka pada tahun 1918 Muhammadiayh mendirikan kepanduan yang bernama Hizbul Wathan (HW) yang artinya pembela tanah air, dari sinilah ditanamkan kesadaran rasa kebangsaan dan rasa bertanah air kepada generasi muda agar disiplin, bekerja keras, dan juga juga menjalankan syariat ajaran Islam, serta sebagai salah satu pertahanan bangsa dari kolonial Belanda. Sebagai gerakan yang mengedepankan penegakan ajaran agama Islam di indonesia, maka dalam melakukan dakwah-dakwahnya melalui pengajian, K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar 23
Abdul munir mulkan, Pemikiran K.H. Ahmad dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hal 18
63
Yogyakarta memakai nama lain , misalnya cabang Muhammadiyah di Pekalongan dengan nama Nurul Islam, di Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di garut dengan nama Ahmadiyah, dan sedangkan di solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF). Bahkan di kota Yogyakarta sendiri Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jemaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian
dan
menjalankan
kepentingan
Islam.
Adapun
perkumpulan-
perkumpulan dan jemaah-jemaah ini mendapat bimbuingan dari Muhammadiyah, diantaranya Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Ulama, Dewan Islam, wal-Fajri, wal-Ashri dan yang lainnya.24 Hidup K.H. Ahmad Dahlan seluruhnya diabdikan untuk tegaknya agama Islam di Indonesia dan terbebasnya Indonesia dari kolonial penjajah. Selama beliau sakit menjelang wafatnya, paling tidak ada dua dokter yang pernah menangani dan merawat, ia adalah dokter Van den Borno (Jerman) dan dokter Zede (Belanda). Sesudah beliau menderita sakit yang paling lama, akhirnya pada tanggal 23 Februari 1923 M, dalam usia 55 tahun, atau yang bertepatan dengan tanggal 7 Rajjab 1340 H beliau berpulang ke rahmatullah (wafat) bertempat di rumah kediamannya di kampong Kauman Yogyakarta.25 Zenajah beliau dikebumikan di makam Karangkajen, Kemantren Mergangsan, yang letaknya dua setengah kilometer di sebelah tenggara dari ibu kota Yogyakarta.
24 25
Junus salam, K.H Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya, hal 99 Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan, hal. 69-70
64
BAB IV RESPONS MUHAMMADIYAH ERA K.H. AHMAD DAHLAN TERHADAP KRISTENISASI
A. Pandangan Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi. Semenjak kedatangan kolonial Belanda ke Nusantara berkaitan dengan penyebaran Protestan, maka agama Katolik tidak diakui oleh Protestan yang dibawa oleh Belanda, malah sebaliknya yang sudah memeluk agama Katolik ditekan unuk pindah ke Protestan, termasuk masyarakat pribumi Nusantara yang mayoritas agama Islam menjadi target selanjutnya untuk dikonversikan kepada Kristen. Sebenarnya tidak ada kegiatan dalam bidang agama pada zaman VOC (Vereenign de Oost Indische Compagnie) selama berkuasa lebih dari dua ratus tahun di Nusantara, pemerintah Belanda telah mengirimkan
sebanyak 245
pendeta ke Hindia-Belanda, terutama ke daerah bekas koloni Portugis dan Spayol di Maluku, Minahasa, dan lain-lain, dalam rangka menyebarluaskan agama Kristen. Beberapa pendeta ditempatkan di daerah Jawa pada kota-kota yang didiami orang-orang Eropa, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya, walaupun tugas pertama mereka adalah memberi pelayanan terhadap orang-orang Eropa, dan juga mereka memberi pelayanan kepada pribumi yang sudah masuk Kristen. Maka ini bisa dilihat di Batavia, selain jemaah orang-orang Belanda, ada juga jemaah dari “melayu” yang berasal dari orang-orang Maluku.
64
65
Minimnya hasil Kristenisasi di Jawa yang dilakukan oleh para zending Protestan, ini sangat berkaitan dengan dukungan pemeritahan kolonial Belanda. Sangat berbeda dengan Katolik yang di bawa oleh Portugis, mereka melakukan propaganda agama sebagai salah satu alasan ekspansinya. Hal yang berbeda dengan orang-orang Belanda, terutama VOC, mereka mempunyai tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi, yang lebih mementingkan mereka untuk merauk rempahrempah, ketimbang menyebarluasakan agama Kristen kepada pribumi di pulau Jawa. Dengan dibentuknya masyarakat misionaris Nederlandshe Zending Genotschap (NZG) merasa prihatin melihat situasi seperti ini, maka diutuslah pendeta Van Rhijn pada tahun 1847, untuk melakukan peninjauan terhadap pengembangan agama Kristen. Sehingga kritik yang diberikan pendeta inilah yang menyebabkan betul-betul dimulainya Kristenisasi babak baru, dengan dibuktikan pengiriman misionaris Jellesma tahun 1948,1 maka perhatian Belanda untuk mengkristenkan kaum pribumi merupakan hal yang cukup baru dan agresif. Sebaliknya akan menjadi momok yang sangat menakutkan dan meresahkan bagi umat Islam jika konversi agama dilakukan secara gencar, agresif, dan terlembagakan serta dilakukan kepada orang-orang yang sudah mempunyai agama. Hal ini sama dengan yang dilakukan oleh kolonial Belanda pada saat menjajah di bumi Nusantara ini yang menerapkan kebijakan netralitas terhadap agama, tidak memihak kepada agama tertentu, dan tidak memandang
1
hal. 5-6
C. Guillot, Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985),
66
agama tertentu pula sebagai sesuatu yang berbahaya.2 Akan tetapi ini adalah isapan jempol belaka yang diterapkan oleh kolonial belanda, akan tetapi dibalik itu semua, melalui para zendingnya, mereka gencar melakukan berbagai cara terhadap umat Islam Indonesia agar pindah agama kepada Kristen. Inilah yang sebenarnya menjadi salah satu titik permasalahan bagi K.H. Ahmad Dahlan, sehingga ia mendirikan ormas Islam yang bernama Muhammadiyah. Sebelum K.H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, beliau terlebih dahulu melihat fenomena sosial-keagamaan yang terjadi di masyarakat pada saat itu, menurutnya antara lain : 1. Kehidupan beragama tidak sejalan lagi dengan Al-Qur‟an dan Sunnah, sehingga merajalelanya perbuatan syirik, bid‟ah, khurafat,3 dan akhlak masyarakat yang runtuh sehingga menyebabkan Islam jadi beku. 2. Khususnya untuk umat Islam dan umumnya rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan, kebodohan, kekolotan, kemunduran, serta tidak terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah dan tidak ada organisasi Islam yang kuat dan kompak. 3. Lembaga pendidikan Islam (pesantren) tidak memenuhi dan fungsinya dengan baik, tidak efesien, dan juga sistem pesantren yang sudah kuno.
2
Sudarno, Shobron, Studi Kemuhammadiyahan; Kajian Histories, Idiologis, Dan Organisasi, (Surakarta: LPID Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008, cet. Ke- VII), hal. 50 3 Syirik adalah perguatan yang mensekutukan Allah, baik kekuaaan-Nya, Kebesaran dan Keagungannya dengan sesuatu, sehingga orang yang mensyirikkan Allah disebut musyrik. Sedangkan Khurafat adalah mempercayai takhyul, mempercayai mitos-mitos, atau mempercayai dongeng-dongen yang seolah-olah dibenarkan dalam agama Islam. Adapun Bid‟ah adalah perbuatan, tindakan, atau bacaan dalam agama Islam berlebihan dari ketetapan yang sudah digariskan oleh Al-Qur‟an dan Hadits Nabi saw), atau lebih simpelnya menambah-nambahkan dari yang sudah ditetapkan dalam peribadatan Islam. Lebih lengkap baca Abujamin, Roham, Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta: Emerald bekerjasama dengan PT. Inter Masa, 2009), hal. 667, dan 88
67
Selain itu ada juga faktor yang datangnya dari luar yang meliputi: 1. Merajalelanya kolonialisme Belanda di Indonesia. 2. Agresifnya kegiatan Kristenisasi yang dilakukan oleh para zending, sehingga mencapai kemajuan di Indonesia. 3. Adanya rencana politik Kristenisasi dari pemerintah Belanda, untuk kepentingan politik kolonialnya.4 Melihat persoalan di atas tadi, maka ada sebuah keresahan dari seorang tokoh umat Islam Indonesia, sehingga puncaknya berdirilah ormas Islam Muhammadiyah sebagai counter atas adanya kegiatan Kristenisasi pada saat itu. Maka dalam pandangan Muhammadiyah era kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, Kristenisasi memiliki concern yang cukup besar, sehingga beliau tergerak hatinya untuk memperdayakan umat Islam Indonesia yang selama ratusan tahun mengalami marginalisasi oleh kolonial di berbagai bidang kehidupan. Kaitannya dengan kegiatan Kristenisasi, dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan ini adalah konspirasi kolonial Belanda melalui kebijakan-kebijakannya yang seolah-olah netral terhadap agama, tetapi dibalik itu semua adalah upaya untuk mengkristenkan pribumi. Ini terbukti dengan kebijakan kolonial Belanda yang menggunakan dua strategi, pertama, Belanda membuat kebijakan-kebijakan yang sifatnya membendung, misalnya memantau, membatasi berbagai kegiatan pengalaman ajaran Islam, kedua, Belanda melalui para zendingnya melakukan Kristenisasi kepada penduduk Indonesia dengan berbagai cara, seperti membuat sekolah, menterjemahkan Alkitab kedalam bahasa (Jawa, Indonesia, Melayu, 4
M. Margono Puspo Suwarno. Gerakan Islam Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, 1986, cet. Ke-3), hal. 27
68
Sunda), melakukan adaptasi dengan kebudayaan setempat, seperti memakai bangklo, memakai pakaian Jawa, memberikan lapangan pekerjaan melalui penyediaan lahan pertanian, dan yang lainnya. Sehingga untuk mengatasi ini semua menurut K.H. Ahmad Dahlan bukan dengan cara perlawanan fisik atau konfrontasi, melainkan dengan jalan pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, keagamaan dan sosial sebagai counter untuk menghambat kegiatan Kristenisasi. B. Respons Muhammadiyah terhadap Kristenisasi Sebenarnya selama era K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah memelihara hubungan baik dan harmonis dengan kalangan Kristen, walaupun ada indikasi mengenai terjadinya permusuhan antara kedua belah pihak, Muhammadiyah dengan Kristen. Alasan logis K.H. Ahmad Dahlan, mengapa memilih untuk berhubungan baik dengan Kristen, adalah beliau ingin berusaha menghindari konfrontasi dengan pihak manapun, termasuk para misi Kristen. Sebaliknya beliau memainkan peran melalui gagasasnya untuk menghambat kemajuan misi Kristenisasi, dengan cara meningkatkan kesadaran Islami kepada para pengikutnya. Maka alternatifnya menurut K.H. Ahmad Dahlan yang tepat yaitu dalam bentuk persaingan melalui pembangunan lembag-lembaga pendidikan dan keagamaan seperti mereka, ketimbang terlibat dalam
perlawanan fisik atau
semacam konfrontasi langsung.5 Walaupun kegiatan misi Kristenisasi yang disebarluaskan oleh para zending telah mengambil langkah-langkah besar, dan mempunyai dampak penting di negeri ini, akan tetapi dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan, menentang dan 5
Alwi, Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), 160
69
melawan secara fisik, serta menghentikan dengan cara konfrontasi langsung adalah suatu cara yang tidak efektif dan tidak strategis, menurutnya yang terpenting adalah membangkitkan kesadaran kaum muslim mengenai akibatakibat yang akan muncul dari kegiatan misi Kristenisasi tersebut. Oleh karena itu yang lebih efektif adalah membangun inspratuktur gerakan lebih diutamakan daripada terlibat langsung dalam konfrontasi sengit dengan kelompok Kristen. Hal inilah yang menyebabkan Muhammadiyah dibenci sebagian kalangan, karena dicap mendukung rezim kolonial atau seperti tidak menentang dengan adanya kegiatan Kristenisasi. Lahirnya Muhammadiyah justru untuk membela dan menjunjung tinggi agama Islam, dalam hal ini Muhammadiyah menyiarkan dan mengembangkan agama Islam secara modern. Memberantas perbuatan syirik, bid‟ah, dan khurafat yang tidak bersumber pada ajaran Islam yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi saw. Maka jalur yang ditempuh K.H. Ahmad Dahlan untuk mewujudkan citacita
tersebut
ialah
menyelenggarakan
dengan
tabligh,
mempergunakan pengajian,
berbagai
kursus-kursus
jalan.
agama,
Misalnya mendirikan
madrasah-madrasah dari tingkat bawah sampai atas, mengajarkan agama-agama pada sekolah-sekolah umum, menggunakan pengetahuan dan perhitungan secara hisab dalam menentukan puasa Ramadhan, ataupun hari-hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun Muhammadiyah era K.H. Ahmad Dahlan, dalam rangka membendung misi Kristenisasi, yaitu dengan cara ikut mencardaskan rakyat, karena di masa penjajahan, dimana pemerintah Kolonial Belanda menutup pintu
70
bagi rakyat kelas bawah untuk menuntut ilmu pengetahuan sebanyk mungkin, dari tingkat terendah sampai tingkat teratas, maka K.H. Ahmad Dahlan melalui melalui
organisasi
Muhammadiyah
mendirikan
sekolah-sekolah
yang
menggabungkan pelajaran agama dengan pelajaran umum, setingkat dengan sekolah-sekolah negeri. Adapun bentuk sekolah zaman penjajahan sekolahsekolah seperti HIS, Kweekschool, dan AMS, dengan melihat rakyat Indonesia jarang diberi kesempatan untuk mengenyam di sekolah tersebut, maka K.H Ahmad Dahlan membuat gebrakan baru, yaitu mendirikan sekolah-sekolah semacam itu HIS Muhamadiyah, Kweekschool Muhammadiyah, dan AMS Muhamadiyah yang bertujuan mencerdaskan bangsa Indonesai dari segala lapisan dan golongan dengan menggunakan pelajaran agama Islam dan umum. Lebih dari itu
pembangunan sekolah-sekolah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan
semata-mata untuk mengimbangi dan mencegah kemajuan Kristenisasi melalui dunia
pendidikan.
Akibat
dari
penjajahan
penghidupan
rakyat
sangat
menyedihkan, banyak anak-anak yang terlantar karena ditinggalkan oleh orang tuanya, maka dikumpulkanlah anak-anak itu untuk dipelihara dan diberi pendidikan, sebagaimana terjelma dalam bentuk adanya rumah yatim- piyatu. Sebagai bahan perbandingan, sepirit Muhammadiyah sampai saat ini telah memiliki sejumlah hasil amal usaha nyata di tengah-tengah umat, seperti Bidang kesehatan (Rumah Sakit Umum) 43 buah; Rumah Sakit bersalin 31 buah; balai pengobatan Ibu dan Anak 110 buah, dan Poliklinik sebanyak 205 buah. Dalam bidang Panti Sosial (bidang kesosialan umum); Panti Jompo 54 buah; Panti Asuhan 338 buah; Asuhan Keluarga 54 buah; Rehabilitasi cacat 82 buah. Di
71
bidang keekonomian; Bank Perkreditan Rakyat 19 buah; Baitul Tamwil/Baitul Ma Wat Tamwil 190 buah; Koperasi 808 buah; balai pertemuan 656 buah. Di bidang Pendidikan; Taman Kanak-kanak 3370 buah; Sekolah Dasar 1134 buah; Madrasah Tsanawiyah 535 buah; Madrasah Aliyah 172 buah; Sekolah Menengah Pertama 1181 buah; Sekolah Menengah Atas 512 buah; Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 250 buah; Pondok Pesantren 57 buah; Mu‟allimin/Mu‟allimat 25 buah; Sekolah Luar Biasa (SLB) 71 buah; Universitas 36 buah; Sekolah Tinggi 66 buah; Akademi 61 buah, dan Politeknik 3 buah. Semuanya tersebar disegenap pelosok tanah Air Indonesia.6 Artinya melihat keberadaan Muhammadiyah dari waktu kewaktu mengalami peningkatan yang sangat signifikan bagi pertumbuhan dan sekaligus sumbangsi Muhammadiyah dalam membangaun, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Di samping itu, sampai saat inipun Muhammadiyah masih tetap konsisten dalam mencerdaskan ummat agar tidak terjadi kejumudan dan konversi agama, maka sebagai bukti dikirimkanlah dai-dai muda Muhammadiyah keberbagai wilayah pedesaan dan pedalaman untuk memberi pencerahan kepada ummat Islam dan sekaligus sebagai counter atas terhadap maraknya praktik kristenisasi akhirakhir ini. Adapun upaya lain yang ditempuh oleh Muhammadiyah sekarang ini dalam mencegah terjadinya Kristenisasi di masyarakat, maka Muhammadiyah menerbitkan media cetak seperti majalah Tabligh yang konsen dalam mengcounter isu Kristenisasi pada saat ini dan masa yang akan datang.
6
Abujamin Roham, Ensiklopedia Lintas Agama, (Jakarta: Emerald, 2009), hal. 502
72
Hasil yang dicapai oleh Muhammadiyah dalam meminimalisir gerakan Kristenisasi, cukup efektif melalui pengiriman dai-dai keberbagi wilayah pedesaan dan wilayah pedalaman, penerbitan media cetak seperti majalah tabligh, serta pengembanngan amal usaha Muhammadiyah seperti sekolah-sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan yang lainnya. Bahkan sekarang ini melalui pendidikan (sekolah Muhammadiyah) dan pendirian rumah sakit, ini adalah sarana yang paling efektif dalam membantu masyarakat miskin untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dan bisa berobat bagi masyarakat yang tidak mampu. Ini semua dari pengembangan spirit KH Ahmad Dahlan dalam mencerdaskan ummat dan sebagai penetrasi atas terjadinya kristenisasi. Gagasan yang perlu diapresiasi oleh kita semua adalah pada saat yang bersamaan juga ketika Indonesia masih hidup di bawah telapak kaki penjajah, K.H. Ahmad Dahlan pun mempelopori perjuangan kemerdekaan dengan jalan memupuk atau menanamkan rasa patriotisme, yang terjelma dalam bentuk kepanduan Hizbul Wathan,7 yang didirikan pada tahun 1918, dari namanya saja mengandung arti tentara, atau pembela Tanah Air, dengan mempunyai tugas sebagai menumbuhkan rasa nasionalisme yang tercermin pada
benteng
pertahanan bangsa trehadap kolonial penjajahan. Selain itu Hizbul Wathan juga sebagai gerakan syiar Islam. Perbedaan yang sangat mencolok antara K.H. Ahmad dahlan dengan para penerus Muhammadiyah sesudahnya, Muhammadiyah era K.H. Ahmad dahlan dalam merespons Kristenisasi sangat shof, artinya beliau tidak menggunakan 7
Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya, (Ciputat-Tangerang: AlWasat Publising House, 2009), hal. 107
73
kekerasan, akan tetapi menggunakan bentuk persaingan dalam pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, keagamaan, kesehatan, sosial, dan yang lainnya. Dengan semakin intensifnya kegiatan Kristenisasi, maka kongres tahunan Muhammadiyah diadakan di Yogyakarta pada tahun 1924, permusuhan yang sengit terhadap misi Kristen jelas-jelas disuarakan dalam kongres ini, antara lain, Haji Hadjij memperingatkan kepada para angota Muhammadiyah untuk tidak mudah dibujuk oleh cara-cara rayuan yang digunakan misi-misi Kristen dalam upaya mengajak umat Islam untuk berpindah dan memeluk agama Kristen. Selama kongres itu, mapir semua suara kebencian digunakan untuk menyerang agama Kristen.8 Langkah yang diambil oleh Fachruddin (1923-1929) sebagai wakil ketua Muhammadiyah yang pertama
yaitu secara frontal menyatakan permusuhan
terhadap kegiatan misi Kristenisasi, lebih-lebih terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang secara tegas mendukung baik secara materi maupun immateri terhadap suksesnya kegiatan Kristenisasi tersebut, ditambah lagi sikap netral agama yang pernah dilontarka oleh pemerintah kolonial Belanda dipertanyakan kebenarannya oleh para pimpinan Muhammadiyah, karena pada kenyataannya di lapangan statement tersebut hanyalah ucapan belaka atau isapan jempol saja. Masa kepemimpinan Fachruddin ini, mungkin merupkan tahap paling radikal, sehingga penguasa belanda memberi cap terhadap Fachruddin “orang yang sangat radikal”, sebenarnya radikalismenya Fachruddin adalah suatu semangat keagamaan yang kuat, yang diterjemahkan menjadi semangat melawan 8
Kongres Muhammadiyah diadakan di Yogyakarta antara 12 dan 17 Maret 1925, lihat Alwi Shihab, Membendung Arus, hal 163
74
misi Kristen dan melawan siapa saja yang menghalang-halangi kehadiran Islam di Indonesia. Sebenarnya ketika K.H. Ahmad Dahlan memimpin Muhammadiyah, sikap Fachruddin telah memperlihatkan kebenciannya terhadap misi Kristen, ini terlihat jelas dalam semua artikel yang pernah ditulisnya di dalam penerbitan Sri Diponogoro, dan dia bertindak sebagai editornya. Ketegangan yang terjadi antara kedua umat beragama ini terus berlanjut sampai menjelang kemerdekaan RI, di mana karena disebabkan situasi politik yang tidak menentu ketika itu, persoalan yang terjadi menjadi persoalan yang mengarah kepada perlawanan terhadap musuh bersama mewujudkan Indonesia yang merdeka, namun sesudah itu, ketegangan dan pertentangan antara keduanya mualai meningkat kembali. Di era orde lama ini, umat Islam Indonesia khususnya Muhammadiyah tidak lagi memandang Kristen sebagai agen Kolonial, namun lebih merupakan misionaris pribumi yang mewarisi praktik-praktik Kolonial secara baik. Pada masa ini, persoalan yang paling hangat selalu dijadikan rujukan para penulis, ketika ingin menulis hubungan Islam-Kristen diawal kemerdekaan yaitu mengenai peristiwa “Piagam Jakarta” (Mukaddimah UUD), meskipun ketika itu pertentangan kaum muslim tidak hanya diwakli oleh Muhammadiyah, namun pembahasan disini hanya akan menyorot yang dilakukan oleh pimpinan Muhammadiyah. Persoalan Piagam Jakarta, dimulai dari penolakan kalangan Kristen dan beberapa tokoh Jawa “liberal” berpendidikan Barat, tentang „tujuh kata” dalam pembukaan UUD, tujuh kata tersebut adalah “.dengan kewajiban menjalankan
75
syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Seorang tokoh Kristen yang bernama Latuharhary, secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap segala bentuk kompromi terhadap isi tujuh kata dalam pembukaan UUD. Demikian ultimatum yang disampaikan oleh kalangan Kristen karena jika ultimatum itu tidak dipenuhi, mereka akan menarik kembali dukungan terhadap Republik Indonesia yang baru berdiri9 Seorang tokoh wakil dari Muhammadiyah bernama KI Bagus Hadikusumo yang kemudian diangkat menjadi ketua, ia merupakan wakil resmi dari Muhammadiyah, ia tidak hanya gigih mempertahankan „tujuh kata” dalam pembukaa UUD, namun lebih dari itu, ia juga menuntut penerapan hukum Islam bagi seluruh warga Negara Indonesia. Inilah bentuk sikap keras dari Ki Bagus Hadikusumo yang tidak mendapat persetujuan dari anggota panitia, terutama dari kalangan Nasionalisme dan Kristen. Dari sini sebenarnya sudah jelas bahwa Muhammadiyah memperlihatkan semangat Islam yang kuat yang tidak mau mengakomodasi kepentingan-kepentingan Kristen. Walaupun pada akhirnya “ tujuh kata” dalam pembukaan UUD itu dihapuskan, namun tidak membuat reda hubungan Islam-Kristen, bahkan tidak semakin akur. Sementara itu para missionaris memperkuat usaha-usaha penyebaran ajarannya dengan mendirikan Dewan Gereja Indonesia (DGI), pada buala Mei 1950 dengan tujuan membantu program gereja-gereja, khususnya dalam persaksian dan pelayanan di daerah-daerah. Pada era ini penyebaran agama Kristen hanya dalam tahap permulaan, namun seiring dengan berjalannya waktu, 9
Lukman hakim, Fakta dan Data: usaha-usaha Kristenisasidi Indonesia. (Jakarta: Majalah Media Dakwah, 1991) hal 16-17
76
dan ditunjang oleh sumber dana yang cukup besar untuk pelaksanaan misi Kristenisasi telah mengalami perkembangan pesat sehingga mencapai puncaknya pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru ini, dianggap oleh kalangan Kristen sebagai masa keemasan, bagi pertumbuhan dan perkembangan agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Indonesia dalam jumlah besar berbondong-bondong memeluk agama Kristen. Hal ini menjadi benih konflik antara Islam dan Kristen, dengan meningkatnya misi Kristenisasi. yang tidak lagi melihat batas-batas toleransi beragama.
Meminjam
istilah
kata
“Lukman
Harun”
seorang
tokoh
Muhammadiyah, Kristen telah menggunakan cara-cara yang sangat menyinggung hati umat Islam.10 M. Rasyid, seorang tokoh Muhammadiyah, menyebutkan beberapa cara yang kotor dilakukan para misionaris Kristen dalam rangka memanfaatkan situasi ekonomi dan politik yang serba belum pasti, untuk merangkul jumlah pemeluk agama Kristen.11 Melalui bantuan finansial baik dalam bentuk uang maupun bahan sembako diberikan dengan tujuan untuk menarik orang-orang miskin supaya memeluk agama Kristen, bahkan lebih jauh para misionaris menggunakan sistem “orang tua asuh” yang dipergunakan untuk mahasiswa/i yang tidak mampu untuk melanjutkan kuliahnya dengan persyaratan mereka bersedia di baptis dan memeluk agama Kristen.
10
Lihat M. Rasyid, Kasus RUU Perkawinan: dalam Hubungan Islam dan Kristen, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal. 7-8 11 Lukman hakim, Fakta dan Data: Usaha-usaha Kristenisasi di Indonesia. (Jakarta: Majalah Media Dakwah, 1991) hal 16
77
Dampak dari polemik tersebut mengalami berkepanjangan anatara IslamKristen, gerakan Islam yang diwakili Muhammadiyah memimpin pertentangan terhadap misi Kristen, banyak perbincangan dan komentar bermunculan dalam rangka mengatasi masalah tersebut, kaum muslimin menyalahkan kegiatan misi Kristenisasi yang dianggap provokatif dan menyerang, sehingga kaum muslim merasa keberatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh kaum Nasrani dengan membujuk lewat jalur pemanfaatan kesulitan ekonomi umat Islam. Menanggapi tuntutan umat Islam yang secara terus-menerus meminta ketegasan pemerintah tentang hubungan antar umat beragama, pemerintah lewat Mentri Agama, K.H Muhammad Dahlan, pada bulan November 1967, memimpin sebuah konferensi “dialog antar agama” tidak diragukan lagi Muhammadiyah dalam memainkan peranan pentingnya terhadap dialog antar agama tersebut, dari sekian banyak peserta yang hadir, wakil-wakil Muhammadiyah adalah yang paling vocal dan tegas.12 Walaupun akhirnya dialog tersebut tidak memuaskan dan tidak menemukan titik temu yaitu dengan ditolaknya usulan mengenai pembatasan kegiatan penyebaran agama hanya bagi para pemeluk agama masing-masing ditolak oleh para Pemimpin Kristen.13 Peristiwa lain yang membuktikan ada konfrontasi terus-menerus antara Muhammadiyah dengan kelompok Kristen tampak dalam penegasan Dr. Hamka, tokoh Muhammadiyah dan ketua umum pertama Majlis Ulama Indonesia (MUI) berkenaan dengan larangan untuk kaum muslim menghadiri perayaan dan mengucapkan selamat Hari Natal. 12
Husein Umar, Intoleransi Kaum Nasrani terhadap Islam, (Jakarta: Media Dakwah, 1991), hal. 24 13 Alwi shihab, Membndung Arus, hal. 179
78
Dari dampak tersebut menambah panjangnya daftar ketegangan antara Islam dan Kristen, untuk meredam hal tersebut, pemerintah Orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, mengeluarkan suatu kebijakan mengenai tindakan tegas terhadap hal-hal yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), nampaknya cara ini cukup efektif, paling tidak untuk meredakan ketegangan yang terjadi antara Islam-Kristen yang muncul kepermukaan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan Muhammadiyah
penjelasan
Terhadap
dan
analisa di
Kristenisasi
di
atas
Indonesia
mengenai Studi
Respons
Kasus
Era
Kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan, maka penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut: 1. K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan pada zaman situasi Nusantara sedang mengalami keterpurukan dalam segala bidang, sehingga kehadirannya sebagai pembaharu Islam Indinesia sangat dirasakan oleh ummat Islam pada zamannya. Semua ini tidak terlepas dari inspirasi gerakan pembaharu di Timur Tengah, seperti Ibnu Taimiyah, Jalaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, gerakan Wahabiyah. 2. Alasan logis yang melatar belakangi sebab-sebab lahirnya Muhammadiyah adalah karena faktor intern dan faktor ekstern, faktor intern meliputi: kehidupan beragama tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sehingga merajalelanya perbuatan syirik, bid’ah, khurafat, yang menyebabkan akhlak masyarakat runtuh akibatnya Islam jadi beku; keadaan bangsa Indonesia umumnya dan khususnya umat Islam, hidup dalam kemiskinan, kebodohan,
kekolotan,
kejawenismean,
dan
kemunduran;
tidak
terwujudnya semangat ukhuwah Islamiyah serta tidak adanya organisasi
79
80
Islam yang kuat dan kompak; lembaga pendidikan Islam yang tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik, tidak efesien, juga system pesantren yang sudah kuno tidak memenuhi standar. Adapun faktor ekstern: merajalelanya kolonialisme Belanda di Indonesia; adanya kegiatan dan kemajuan yang dicapai oleh zending Kristen di Indonesia; adanya rencana politik Kristenisasi dari pemerinntah kolonial Belanda, untuk kepentingan plitik kolonialnya yang menyebkan adanya ekploitasi terhadap sumber daya alam, dan gencarnya gerakan Kristenisasi dengan berbagai cara. 3. Sebagai
bentuk Respons Muhammadiyah era K.H. Ahmad Dahlan
terhadap kegiatan Kristenisasi, yaitu bukan dengan bentuk konfrontasi atau perlawanan fisik, melainkan dengan bentuk persaingan pembangunan infastruktur seperti mendirikan sekolah-sekolah, pengajian, kursus-kursus keterampilan, balai pengobatan, rumah yatim piyatu. 4. Dari spirit KH. Ahmad Dahlan, mengenai mencerdaskan ummat, maka Muhammadiyah tetap konsisten dalam membangun kemajuan bangsa, serta organisasi sosial-keagamaan yang tetap teguh dalam mengcounter kegiatan Kristenisasi, ini terlihat dari gerakan masif yang sampai sekarang ini mengirimkan para dai muda Muhammadiyah dalam memberi pencerahan dan sebagai gerakan aktif dalam membendung misi Kristenisasi yang terjadi di masyarakat. Di samping itu aktifitas yang rutin dalam menghalau gerakan Kristenisasi, Muhammadiyah menerbitkan jurnal Tabligh sebagai gerakan dakwah dalam membendung kegiatan kristenisasi dewasa ini.
81
B. Saran-saran Dari semua penjelasan ini, hemat penulis, ada beberapa hal yang pantas dijadikan saran konstruktif adalah sebagai berikut: 1. Di era globalisasi ini, kepada umat Islam Indonesia agar memperkuat diri dengan benteng keimanan yang kokoh, baik itu melalui meningkatkan pendidikan agar tidak mudah terbawa arus, terlebihlebih terjadi konversi terhadap agama karena dewasa ini sangat memungkinkan banyak cara untuk menyesatkan ummat. 2. Kepada PP Muhammadiyah agar tetap konsisten dalam melakukan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar baik itu mengirimkan daidai dan menerbitkan media cetak seperti jurnal tabligh, atau suara Muhammadiyah sebagai respons menjawab tantangan zaman di abad ke-2 Muhammadiayah ini. 3. Kepada pemerintah diharapkan untuk memfasilitasi dan membina kerukunan umat beragama, agar tidak terjadi konfik SARA. Atau penerbitan peraturan penyiaran agama untuk kepentingan semua agama.
DAFTAR PUSTAKA Al-Kitab. Matius 28:19, Jakarta: Lembaga Al-Kitab Indonesia, 1997 Ansari, Kolonialisme dan Kristenisasi di Indonesia: Dua Sisi Mata Uang yang tak Terpisahkan Suatu Tinjauan Sejarah), Jakarta: Mimbar Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, vol, 23, No. 3, 2006 Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. BPK Gunung Agung, 2006 Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999. Benda, Harry J Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya, 1985 Geertz, Clifford Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jawa, 1983 Guillot, C. Kiai Sadrach Riwayat Kristenisasi di Jawa, Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985 Hamka, Rusyd Etos Iman, Ilmu dan Amal dalam Gerakan Islam Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986 Hidayat, komaruddin. Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia dan Paramadina, 1998 Humaida, Ida. Respon Umat Islam Terhadap Misi Kristen 1945 s/d 1990).” Skripsi S1 Fakultas Adab, IAIN syarif Hidayatullah Jakarta, 2000 J.Bosch, David. Transformasi Misi Kristen. Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997 Maedjadja, Daniel Prinsip-prinsip Dasar Kepemimpinan Kristen, Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1995 Muthahhari, Murtdha. Memastikan Bunda Teresa Masuk Neraka?, Dopok; Pustaka Iman, 2006 Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Natsir, M. Mencari Modus Vivendi Diantara umat Beragama di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah, 1983
82
83 Neil, Wilfred T. Twentieth Century Indonesia, New York: Columbia University Press, 1973 Noor, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996 Notosusanto, Nugroho dan Djoened Poesponegoro, Marwati. Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka, 1981 Pasya, Mustafa Kamal, dkk. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid, Yogyakarta: Citra Karsa Mandir, 2003 Roham, Abujamin. Ensiklopedia Lintas Agama, Jakarta: Emerald, 2009 Salam, Junus. K.H. Ahmad Dahlan Amal dan Perjuangannya, Ciputat- Tangerang, Al Wasat Publising House, 2009 Shihab, Alwi. Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998 Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1997 Shobahiya, Mahasri, DKK. Studi Kemuhammadiyahan, Pengembangan Ilmu-ilmu Dasar (LPID) UMS, 2008
Surakarta:
Lembaga
Shobron, Sudarno. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian histories, Idiologi dan organisasi, Surakarta: LPDI Universitas Muhammadiyah Solo, 2008 Simon, Roger. Gagasan-gagasan politik Gramsci, Jakarta: INSIST bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Cet. III, 2001 Subhan, Arief. Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: LPJM UIN Jakarta Press, 2009 Sucipto, Hery dan Ramly, Nadjamudin. Tajdid Muhammadiyah; dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafi’i Ma’arif, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005 Sudarmanto, Y.B. Jejak-jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh yusuf, Jakarta: Rasindo, 1996 Sumartana, Th. Menuju Dialog Antar Iman, dalam Dialog, Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/Interfidei, 1999 Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
84
Sutarmo, Muhammadiyah: Gerakan Sosial-Keagamaan Modernis, yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005 Suratno, Siti Chamamah. Agama dan Dialektika Pemerkayaan Budaya Islam-Nasional; dalam Baidhawy, Zakiyatun dan Jinan, Mutohharun, ed. Agama dan Pluralitas Lokal, Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universiitas Muhammadiyah Surakarta, 2002 Sutan Rajasa, Sutan . Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Karya Utama. 2002 Dhuha, Syamsud. Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan Di Indonesia Surabaya: Usaha Nasional, 1987 Suwarno, M. Margino Puspo. Gerakan Islam Muhammadiyah, Yogyakarta: Persatuan, 1986 Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Yuniarti, Novi. Sekilas Tentang Misi, artikel diakses pada 30 Maret 2011 dari http://www.misi.sabda.org.9/9.