19 RESPON BERBAGAI VARIETAS KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) TERHADAP STERILISASI TANAH DAN INOKULASI DENGAN MIKORIZA ARBUSKULAR RESPONSE OF VARIOUS VARIETIES OF SOYBEAN (Glycine max (L) Merril) TO SOIL STERILIZATION AND INOCULATION WITH ARBUSCULAR MYCORRHIZA Wayan Wangiyana 1*), Ari Apriani 2) dan Nihla Farida 1) 1) 2)
Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Mataram Fakultas Pertanian Universitas Cordova, Taliwang *) Email:
[email protected] ABSTRAK
Penelitian ini mengevaluasi pengaruh inokulasi FMA maupun sterilisasi tanah terhadap pertumbuhan dan hasil berbagai varietas kedelai. Percobaan penanaman di pot, yang dilaksanakan pada bulan Juni September 2009 di rumah kaca Fakultas Pertanian UNRAM, ditata menurut Rancangan Acak Lengkap, dengan tiga ulangan dan dua faktor perlakuan, yaitu varietas kedelai (V1: Cikurai, V2: Bromo, V3: Sinabung, V4: Wilis, V5: Kaba, V6: Malabar, dan V7: Anjasmoro) dan inokulasi FMA (I1: inokulasi FMA, tanah tidak disterilisasi; I2: tanpa inokulasi, tanah tidak disterilisasi; dan I3: tanpa inokulasi, tanah disterilisasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada interaksi yang nyata antar kedua faktor perlakuan terhadap pertumbuhan dan hasil biji (kecuali jumlah polong berisi, berat 30 biji dan indeks panen), yang berarti respon tanaman kedelai terhadap perlakuan inokulasi FMA atau sterilisasi tanah tergantung pada varietas. Sterilisasi tanah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil biji tanaman kedelai sedangkan inokulasi dengan FMA berpengaruh positif, tetapi dari 7 varietas yang diuji, ada perbedaan respon antar varietas. Varietas Wilis merupakan yang paling responsif sedangkan Anjasmoro tidak menunjukkan perbedaan hasil biji, terutama antara tanah yang disterilisasi dan tidak disterilisasi, sedangkan varietas lainnya menunjukkan hasil biji yang lebih rendah dengan adanya sterilisasi tanah. ABSTRACT This study examined the effect of AMF inoculation and soil sterilization on growth and yield of soybean varieties. A pot experiment, conducted in June-September 2009 in the glasshouse of the Faculty of Agriculture, Mataram University, was designed according to Completely Randomized Design with three replications and two treatment factors, namely soybean varieties (V1: Cikurai, V2: Bromo, V3: Sinabung, V4: Willis, V5: Kaba, V6: Malabar, and V7: Anjasmoro), and inoculation with AMF (I1: AMF inoculation, the soil was not sterilized; I2: no inoculation, the soil was not sterilized, and I3: without inoculation on sterilized soil). The results showed that there was significant interaction between the two treatment factors on growth and grain yield of soybean (except for filled-pod number, weight of 30 seeds, and harvest index), which means that the response of soybean plants to AMF inoculation or soil sterilization depends on the variety of soybean. Soil sterilization negatively affected soybean growth and seed yield whereas AMF inoculation had a positive effect, but among the seven varieties tested, there were different responses between varieties. Wilis was the most responsive variety while Anjasmoro showed no differences in grain yield, especially between the sterilized and non-sterilized soil treatments, whereas other varieties showed a lower grain yield on sterilized soil. _____________________ Kata kunci: varietas kedelai, mikoriza arbuskular, inokulasi, sterilisasi tanah Keywords: soybean varieties, Arbuscular Mycorrhiza, inoculation, soil sterilization
PENDAHULUAN Biji kedelai merupakan sumber protein yang relatif murah dan lebih sehat dibandingkan dengan sumber protein hewani seperti daging sapi. Kandungan protein biji kedelai bisa sampai 40% (Kompas, 27-01-2008). Biji kedelai juga mengandung lemak nabati dan berbagai asam
amino esensial, yaitu isoleusin, leusin, lysine, phenylalanine, tirosin, methionine, cystine, threonine, tryptophane, dan valine (Anonim, 2008a). Kedelai juga mengandung vitamin, mineral dan senyawa-senyawa metabolit seperti lesitin dan kelompok senyawa flavon atau isoflavon, yang baik kesehatan, seperti sebagai anti tumor/kanker, anti kolesterol, anti Agroteksos Vol. 21 No.1, April 2011
20 osteoporosis, antioksidan dan untuk pengobatan jantung koroner (Kompas, 27-01-2008; Anonim, 2008b). Kebutuhan domestik akan kedelai di Indonesia setiap tahun selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kesadaran masyarakat akan nilai gizi biji kedelai. Namun demikian, produksi dalam negeri masih belum mampu memenuhi kebutuhan domestik sehingga harus dipenuhi melalui impor kedelai, dan volume impor ini naik terus. Sebagai contoh, dari tahun 2009 dalam periode Januari-Agustus ke periode yang sama di tahun 2010, terjadi kenaikan impor kedelai dari 928.200 ton menjadi 1.243.400 ton, yang berarti naik sebesar 33,96% (Sucofindo, 06-12-2010). Kenaikan volume impor ini membuktikan belum mampunya kenaikan produksi dalam negeri mengejar peningkatan kebutuhan/ permintaan domestik. Dari data statistik, sebagai contoh, produksi kedelai nasional dari tahun 2009 ke tahun 2010 malah menurun, yaitu dari 974.512 ton menjadi 908.111 ton; dan penurunan ini terutama karena penurunan luas panen. Namun, selain itu, produktivitas yang dapat dicapai petani juga masih rendah, yaitu secara nasional rata-rata 1,37 ton ha-1 (BPS, 2011). Dibandingkan dengan produktivitas nasional, rata-rata produktivitas kedelai di NTB malah lebih rendah lagi, yaitu 0,6 – 1,0 ton ha-1 (Suyono, 2003). Bahkan dari hasil survai di wilayah Lombok Tengah, yang didominasi tanah vertisol, produktivitas tertinggi yang dicapai petani hanya 0,5 ton ha-1 (Murni, 2000). Rendahnya hasil aktual ini mengindikasikan rendahnya tingkat penerapan teknologi produksi kedelai di tingkat petani karena dari beberapa percobaan lapangan dilaporkan hasil kedelai mencapai 3,36 ton ha-1 dengan varietas Wilis pada MK1 di Jembrana (Bali) dengan rata-rata dari 18 galur yang diuji mencapai 2,78 ton ha-1 (Adie dan Arifin, 2007). Ini mengindikasikan bahwa masih ada peluang besar untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Menurut Sinclair dan de Wit (1975), karena komposisi bijinya dengan kandungan protein tinggi, maka kendala utama peningkatan produktivitas kedelai adalah ketersediaan N untuk proses pengisian biji. Namun dengan penemuan LIPI, yang telah menciptakan benih kedelai plus (yang telah diberi bakteri Rhizobium BTCC-B 64) dari LIPI, tanaman kedelai dapat mencapai hasil biji lebih dari 3 ton ha-1, bahkan di beberapa tempat mencapai 4,5 ton ha-1 (Kompas, 17-01-2008). Ini berarti, hanya dengan mengoptimalkan penambatan N melalui simbiosis dengan Rhizobium sp., maka peningkatan produktivitas kedelai dapat W. Wangiyana dkk: Respon berbagai varietas …
diwujudkan. Namun demikian, keterbatasan ketersediaan P bagi tanaman merupakan salah satu kendala utama dalam penambatan N oleh tanaman legum, seperti yang dilaporkan oleh Tsvetkova dan Georgiev (2003) bahwa perlakuan defisiensi P secara signifikan menurunkan berat bintil akar dan laju penambatan N pada tanaman kedelai. Penyediaan P melalui pemupukan, selain relatif mahal, juga sangat berpotensi mencemari lingkungan. Aplikasi pupuk anorganik serta input anorganik lainnya secara besar-besaran menyebabkan pencemaran sumber-sumber air, yang berarti penurunan kualitas lingkungan (Pujiyanto, 2001). Salah satu cara yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dalam meningkatkan penyediaan P bagi tanaman, khususnya kedelai, adalah melalui peningkatan simbiosis tanaman dengan fungi mikoriza arbuskular (FMA), karena kemampuan mikroba ini untuk membantu inangnya dalam penyerapan P, yang merupakan unsur hara yang bersifat immobile di dalam tanah (Smith dan Read, 2008). Pada umumnya tanaman kedelai tergolong inang bagi FMA, dan tergolong sangat responsif terhadap kolonisasi FMA (Thompson, 1991; Anderson dan Ingram, 1993), dan derajat kolonisasi dapat mencapai 75,6% (Wangiyana, 2004). Tulisan ini melaporkan bagaimana respon berbagai varietas kedelai nasional terhadap sterilisasi tanah dan inokulasi dengan inokulan FMA komersial, yaitu Technofert produksi Balai Bioteknologi BPPT Serpong, yang mengandung beberapa spesies FMA yang dibiakkan dalam inang yang ditanam dalam media zeolit. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan metode eksperimental dengan melakukan percobaan pot di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Mataram, pada bulan Juni - September 2009. Rancangan percobaan Percobaan ditata menurut Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan dan dua faktor perlakuan yang ditata secara faktorial, yaitu varietas kedelai (V) dan inokulasi dengan pupuk hayati ”Technofert” yang mengandung FMA (I); setiap kombinasi perlakuan dibuat dalam tiga ulangan. Ada 7 varietas yang diuji, yaitu: V1 = Cikuray, V2 = Bromo, V3 = Sinabung, V4 = Wilis, V5 = Kaba, V6 = Malabar dan V7 = Anjasmoro, sedangkan faktor inokulasi FMA terdiri atas tiga taraf perlakuan, yaitu: I1 = inokulasi dengan FMA dan tanah tidak disterilisasi, I2 = tanpa inokulasi dan tanah tidak
21 disterilisasi, dan I3 = tanpa inokulasi tetapi tanah disterilisasi dengan autoclave. Pelaksanaan percobaan Persiapan tanah.-- Tanah, jenis entisol, diambil dari sawah petani, yang sebelumnya ditanami kacang hijau. Setelah dikeringanginkan dan diayak dengan saringan bermata ayak 2 mm, tanah diisikan ke dalam pot polybag sebanyak 6,6 kg per polybag, dengan asumsi ruang tumbuh per tanaman 20 cm x 20 cm. Tanah juga diukur kadar lengas kapasitas lapangnya. Khusus untuk perlakuan I3, tanah dari tiap polybag dimasukkan dalam kantong kain dan disterilisasi dengan autoclave pada suhu 121ºC selama 30 menit, kemudian didinginkan selama dua hari lalu dikembalikan ke polybagnya dan siap untuk ditanami. Inokulasi FMA dan penanaman kedelai.-Untuk perlakuan yang mendapat inokulan FMA, inokulasi dilakukan sehari sebelum tanam dengan menempatkan Technofert (sebanyak 20 g pot-1) dalam lubang inokulum di tengah-tengah pot sedalam kurang lebih 7,5 cm lalu ditutup dengan tanah dan disiram dengan air. Tanah di pot perlakuan lain juga disiram dengan air untuk siap ditanami. Untuk tiap pot, penanaman dilakukan dengan menugalkan 3 benih yang telah berkecambah sedemikian sehingga untuk perlakuan dengan inokulasi, kecambah berada di atas inokulan FMA, kemudian ditutup dengan tanah. Juga dibuatkan tanaman cadangan sesuai dengan perlakuan. Penyulaman, penjarangan dan pemupukan.-- Pada beberapa pot dilakukan penjarangan atau penyulaman dengan bibit cadangan atau dari pot perlakuan yang sama, pada umur 7 HST, untuk menumbuhkan satu tanaman per pot. Pemupukan dilakukan dengan campuran pupuk urea 0,3 g, SP-36 0,4 g dan KCl 0,4 g per pot setelah selesai penjarangan, dengan menugalkan campuran sekitar 7,5 cm dari pangkal tanaman sedalam 7,5 cm. Pemeliharaan tanaman.-- Pemeliharaan meliputi penyiangan setiap ada gulma yang tumbuh, penyiraman setiap 2 hari sampai mencapai kondisi sekitar kapasitas lapang, dan pengendalian hama. Hanya ada serangan hama apis, yang dikendalikan dengan penyemprotan Decis 25 EC dengan konsentrasi 0,75 ml L-1. menggunakan hand push sprayer.
Variabel pengamatan dan analisis data Variabel yang diamati meliputi: tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 14, 28, 42, dan 56 hari setelah tanam (HST) untuk menentukan laju pertumbuhan rata-rata menggunakan analisis regresi; jumlah polong berisi per pot, jumlah biji per pot, berat 30 butir biji per pot, berat biji per pot, berat berangkasan kering per pot dan indeks panen. Data dianalisis dengan analisis keragaman (AVOVA), dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata 5%, menggunakan program CoStat ver. 2.01. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis keragaman (ANOVA) yang dirangkumkan dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa di antara kedua faktor yang diuji, yaitu varietas (V) dan inokulasi FMA (I), secara mandiri pengaruh varietas lebih dominan daripada faktor inokulasi FMA, karena antar varietas (V) kedelai yang diuji, terdapat perbedaan yang signifikan untuk semua variabel pengamatan, sedangkan faktor inokulasi FMA menggunakan Technofert (I) hanya berpengaruh nyata terhadap 7 dari 10 variabel pengamatan, sehingga ada 3 variabel pengamatan, yaitu dua variabel pertumbuhan (yaitu laju pertumbuhan jumlah daun dan jumlah daun 56 HST) dan satu variabel komponen hasil (yaitu berat 30 biji), yang menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata dari faktor inokulasi FMA (Tabel 1). Walaupun pengaruh nyata faktor perlakuan inokulasi tidak terjadi pada semua variabel pertumbuhan dan komponen hasil, namun kedua faktor perlakuan menunjukkan interaksi yang nyata pada semua variabel pertumbuhan dan variabel utama komponen hasil tanaman kedelai, yaitu hasil biji kering, jumlah biji dan berat berangkasan kering per pot. Adanya interaksi ini menunjukkan adanya perbedaan respon antar varietas kedelai yang diuji terhadap perlakuan sterilisasi tanah dan inokulasi FMA (pupuk hayati Technofert). Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2 untuk LPR tinggi tanaman, Gambar 1 untuk tinggi tanaman pada umur 56 HST, Tabel 3 untuk LPR jumlah daun, Gambar 2 untuk jumlah daun pada umur 56 HST (fase pengisian polong), Gambar 3 untuk jumlah biji per tanaman, Tabel 4 untuk hasil biji per tanaman, dan Gambar 4 untuk berat berangkasan kering.
Panen.-- Pemanenan dilakukan setelah polong berwarna coklat tua, daun menguning dan batang mulai mengering.
Agroteksos Vol. 21 No.1, April 2011
22 Tabel 1. Rangkuman hasil ANOVA pengaruh inokulasi FMA dan varietas serta interaksinya pada semua variabel pengamatan Sumber Keragaman Varietas Inokulasi *** *** *** *** *** NS *** NS *** *** *** *** *** *** *** *** *** NS *** ***
Variabel pengamatan Laju pertumbuhan rata-rata (LPR) tinggi tanaman (cm/hari) Tinggi tanaman (cm) 56 HST Laju pertumbuhan rata-rata (LPR) jumlah daun (helai/hari) Jumlah daun (helai) 56 HST Jumlah biji per tanaman Berat biji kering per tanaman (g) Berat berangkasan kering (g/tanaman) Jumlah polong berisi per tanaman Berat 30 biji (g) Indeks panen (%)
VxI ** * ** ** * ** * NS NS NS
Keterangan : NS = Non-Signifikan; * = Signifikan (p<0,05); ** atau *** = Sangat Signifikan (p<0,01 atau p<0.001).
Tabel 2.
Laju pertumbuhan rata-rata (cm/hari) tinggi tanaman pada interaksi antara faktor varietas dan inokulasi FMA
Perlakuan inokulasi: Inokulasi FMA, tanah non steril (I1) Tanpa inokulasi, tanah non steril (I2) Tanpa inokulasi, tanah disterilisasi (I3)
Cikuray 1,3 bc A 1,4 bc A 1,1 cd A
Bromo 2,2 a A 2,3 a A 1,9 ab A
Sinabung 1,9 ab A 2,1 ab A 2,2 a A
Wilis 2,4 a A 1,6 abc B 1,3 bcd B
Kaba 1,8 abc A 2,2 a A 1,6 abc A
Malabar 1,1 c A 1,1 c A 0,8 d A
Anjasmoro 1,7 abc A 2,0 ab A 1,6 abc A
Non steril + FMA (I1) Gambar 1.
Non steril tanpa FMA (I2)
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 Cikuray
Tinggi tan (cm) 56 hst
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang sama di sebelah kanan angka, tidak berbeda nyata antar varietas, sedangkan yang diikuti huruf kapital yang sama di bawah angka, tidak berbeda nyata antar perlakuan inokulasi (BNJ interaksi pada taraf 5%: antar varietas = 0,7; antar perlakuan inokulasi = 0,6)
Steril tanpa FMA (I3)
Tinggi tanaman kedelai (cm) pada umur 56 HST (± SE) pada interaksi antara faktor varietas dan inokulasi FMA menggunakan pupuk hayati Technofert
W. Wangiyana dkk: Respon berbagai varietas …
23 Tabel 3.
Laju pertumbuhan rata-rata (LPR) jumlah daun (helai/hari) pada interaksi antara faktor varietas dan inokulasi FMA
Perlakuan inokulasi: Inokulasi FMA, tanah non steril (I1) Tanpa inokulasi, tanah non steril (I2) Tanpa inokulasi, tanah disterilisasi (I3)
Cikuray 0,507 a A 0,488 a A 0,478 ab A
Bromo Sinabung 0,502 a 0,419 a A A 0,516 a 0,409 a A A 0,452 ab 0,318 bc A A
Wilis 0,514 a A 0,388 a AB 0,312 bc B
Kaba 0,450 a A 0,479 a A 0,545 a A
Malabar 0,414 a AB 0,505 a A 0,250 c B
Anjasmoro 0,445 a B 0,545 a AB 0,604 a A
30 25 20 15 10
Non steril + FMA (I1)
Gambar 2.
Non steril tanpa FMA (I2)
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
5 0 Cikuray
Jumlah daun (helai) 56 hst
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang sama di sebelah kanan angka, tidak berbeda nyata antar varietas, sedangkan yang diikuti huruf kapital yang sama di bawah angka, tidak berbeda nyata antar perlakuan inokulasi (BNJ interaksi pada taraf 5%: antar varietas = 0,191; antar perlakuan inokulasi = 0,150)
Steril tanpa FMA (I3)
Grafik rata-rata jumlah daun 56 HST (± SE) pada interaksi antara faktor varietas dan inokulasi FMA menggunakan pupuk hayati Technofert
Ditinjau dari pertumbuhan tanaman, tampak bahwa dalam respon tanaman kedelai terhadap perlakuan inokulasi FMA atau sterilisasi tanah, hanya varietas Wilis yang mengalami penurunan LPR tinggi tanaman yang signifikan jika tanahnya disterilisasi atau tidak diinokulasi FMA dibandingkan dengan yang diinokulasi dengan FMA (Tabel 2). Namun dalam kaitan dengan tinggi tanaman 56 HST (Gambar 1), jumlah daun 56 HST (Gambar 2) dan LPR jumlah daun (Tabel 3), selain variates Wilis, varietas Malabar juga menunjukkan respon yang serupa dengan varietas Wilis terhadap sterilisasi tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa varietas Wilis sangat responsif terhadap inokulasi FMA atau sterilisasi tanah, jika ditinjau dari jumlah daun dan LPR jumlah daun. Sebaliknya, beberapa varietas tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar perlakuan inokulasi FMA atau sterilisasi tanah, terutama dalam hal jumlah daun pada umur 56
HST, seperti yang terjadi pada varietas Cikurai, Bromo, Kaba dan Anjasmoro (Gambar 2). Jika dihubungkan dengan hasil biji per pot, pada Tabel 4 tampak bahwa variabel pertumbuhan yang menunjukkan koefisien korelasi yang tertinggi dan sangat signifikan terhadap hasil biji adalah LPR jumlah daun, dengan nilai r = 0,534 (p < 0,001). Jumlah daun 56 HST, yaitu pada fase pengisian polong, juga menunjukkan derajat hubungan yang sangat signifikan terhadap hasil biji, dengan nilai r = 0,481 (p < 0,001). Ini berarti bahwa semakin tinggi jumlah daun pada fase pengisian polong tersebut maka hasil biji per tanaman semakin tinggi. Dari hasil analisis regresi antara jumlah daun 56 HST dan hasil biji per pot tampak bahwa terdapat hubungan kuadratik, dengan persamaan regresi Y = - 0,0151 X2 + 0,7086 X - 1,8051 (Gambar 3), dengan koefisien kuadratik maupun linier yang sangat signifikan (Tabel 5).
Agroteksos Vol. 21 No.1, April 2011
24 Tabel 4.
Koefisien korelasi antara variabel pertumbuhan dan hasil biji per pot, beserta p-value masingmasing
Korelasi antar variabel:
B-biji/pot
J-biji
J-pol-isi
T-tan-56
J-daun-56
LPR J-daun
0.663 0.000 0.690 0.000 0.255 0.044 0.481 0.000 0.534 0.000 0.192 0.133
0.889 0.000 0.328 0.009 0.276 0.029 0.358 0.004 0.376 0.002
0.191 0.134 0.377 0.002 0.446 0.000 0.211 0.097
0.372 0.003 0.382 0.002 0.976 0.000
0.990 0.000 0.276 0.029
0.289 0.022
Jumlah-biji per tan. p-value Jumlah-polong berisi p-value Tinggi tan. 56 HST p-value Jumlah daun 56 HST p-value LPR Jumlah daun p-value LPR tinggi tanaman p-value
Hasil biji kering (g/tan)
10 8 6 4 Y = - 0,0151 X2 + 0,7086 X - 1,8051 R2 = 0,3143 (p<0,001)
2 0 10
Gambar 2.
Tabel 5.
15
20 Jumlah daun 56 HST
25
30
Pola hubungan antara jumlah daun (helai) pada umur 56 HST dan hasil biji (g/pot) tanaman kedelai yang diuji Nilai statistik koefisien regresi antara jumlah daun umur 56 HST dan hasil biji per pot, beserta p-value masing-masing Statistics
Coefficients
SE
p-value
Intercept Kuadrat JD-56 (X2)
-1,8051 -0,0151
2,0599 0,0056
0,3844 0,0090
Linier JD-56 (X)
0,7086
0,2170
0,0018
Hubungan signifikan antara jumlah daun pada fase pengisian polong (umur 56 HST) terhadap hasil biji per pot, diduga berkaitan dengan laju fotosintesis pada fase pengisian polong/biji tersebut, di mana menurut Reinoso et al. (2011), fase pengisian ini merupakan fase kritis, karena merupakan fase pembentukan
W. Wangiyana dkk: Respon berbagai varietas …
hasil, dan pada fase ini dibutuhkan laju produksi dan alokasi asimilat yang tinggi ke biji. Laju fotosintesis untuk produksi asimilat tentu sangat dipengaruhi oleh jumlah daun pada fase pengisian polong tersebut, seperti yang dilaporkan oleh Yasari et al. (2009), di mana tanaman kedelai yang tidak dikurangi jumlah
25 jumlah daun dan jumlah daun pada fase pengisian polong tersebut mempunyai kontribusi yang besar terhadap pembentukan biji, yang merupakan fase kritis pembentukan hasil biji (Reinoso et al., 2011). Jadi, untuk pembentukan dan pembesaran biji, maka harus ada pasokan fotosintat yang tinggi, yang tentu bersumber dari daun sebagai organ fotosintetik, selain pasokan N yang tinggi, yang telah dibuktikan oleh Sinclair dan de Wit (1975), untuk tanaman kedelai, juga sebagian besar bersumber daun. Dalam kaitan dengan pengaruh inokulasi FMA atau sterilisasi tanah, terhadap hasil biji maupun jumlah biji, ada pengaruh interaksi antara faktor varietas dan faktor inokulasi FMA; demikian pula terhadap berat berangkasan kering (Tabel 1). Ini berarti respon hasil biji (Tabel 4), jumlah biji (Gambar 3), maupun berat berangkasan kering (Gambar 4) tanaman kedelai terhadap inokulasi FMA atau sterilisasi tanah, tergantung pada varietas kedelai yang ditanam.
daunnya memberikan hasil biji tertinggi jika dibandingkan dengan yang jumlah daunnya dikurangi. Kobraee dan Shamsi (2011) juga melaporkan bahwa tanaman kedelai yang daunnya dikurangi pada fase pembentukan sampai pengisian polong, secara signifikan menurunkan hasil biji. Selain terhadap hasil biji, jumlah daun 56 HST (dan LPR jumlah daun) juga menunjukkan korelasi yang nyata terhadap komponen hasil lainnya, terutama jumlah polong berisi; demikian pula terhadap jumlah biji. Jumlah polong berisi maupun jumlah biji paling erat kaitannya dengan hasil biji per pot, dengan koefisien korelasi berturut-turut r = 0,690 dengan jumlah biji dan r = 0,663 dengan jumlah polong berisi (Tabel 4). Adanya derajat hubungan dengan koefisien korelasi yang besar ini sejalan dengan penemuan Sinclair dan de Wit (1975), bahwa tanaman kedelai membutuhkan pasokan N pada fase pengisian biji, yang sering berasal dari kandungan N daun, sehingga LPR
Jumlah biji per tan
80 70 60 50 40 30
Non steril + FMA (I1) Gambar 3.
Tabel 4.
Non steril tanpa FMA (I2)
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
20
Steril tanpa FMA (I3)
Grafik rata-rata jumlah biji per tanaman (± SE) pada interaksi antara faktor varietas dan inokulasi FMA menggunakan pupuk hayati Technofert Rata-rata Berat Biji per Pot pada Interaksi antara Varietas dan Perlakuan Inokulasi FMA
Perlakuan inokulasi: Inokulasi FMA, tanah non steril (I1) Tanpa inokulasi, tanah non steril (I2) Tanpa inokulasi, tanah disterilisasi (I3)
Cikuray 6,50 a A 6,26 ab A 5,08 ab B
Bromo Sinabung 6,29 a 5,97 a A A 6,15 ab 6,28 ab A A 4,85 ab 4,58 b B B
Wilis 7,22 a A 4,92 b B 4,23 b B
Kaba 7,17 a A 7,17 a A 5,12 ab B
Malabar 7,21 a A 7,39 a A 4,63 b B
Anjasmoro 6,35 a A 7,04 a A 6,19 a A
Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang sama di sebelah kanan angka, tidak berbeda nyata antar varietas, sedangkan yang diikuti huruf kapital yang sama di bawah angka, tidak berbeda nyata antar perlakuan inokulasi (BNJ interaksi pada taraf 5%: antar varietas = 1,49; antar perlakuan inokulasi = 1,17)
Agroteksos Vol. 21 No.1, April 2011
Non steril + FMA (I1) Gambar 4.
Non steril tanpa FMA (I2)
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
Cikuray
Anjasmoro
Malabar
Kaba
Wilis
Sinabung
Bromo
21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 Cikuray
Berangkasan kering (g/tan)
26
Steril tanpa FMA (I3)
Grafik rata-rata berat berangkasan kering (g) per tanaman (± SE) pada interaksi antara faktor varietas dan inokulasi FMA menggunakan pupuk hayati Technofert
Dilihat dari hasil biji per pot (Tabel 4), dalam responnya terhadap sterilisasi tanah, hampir semua varietas kedelai menunjukkan hasil biji lebih rendah dibandingkan hasil pada tanah yang tidak disterilisasi, kecuali varietas Wilis dan Anjasmoro. Namun dari ketiga perlakuan inokulasi, varietas Wilis menunjukkan hasil biji yang lebih rendah pada tanah yang tidak diinokulasi FMA atau tanah yang disterilisasi, sedangkan varietas Anjasmoro tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan. Hal ini memberikan indikasi bahwa varietas Wilis sangat responsif terhadap inokulasi FMA dan terhadap sterilisasi tanah, sedangkan varietas Anjasmoro tidak. Berdasarkan pengaruh faktor (main effect) perlakuan inokulasi FMA atau sterilisasi tanah terhadap variabel komponen hasil yang tidak menunjukkan adanya pengaruh interaksi, dari Tabel 5 tampak bahwa tanpa memperhatikan varietas kedelai, jumlah polong berisi per tanaman dan indeks panen secara signifikan lebih rendah pada perlakuan sterilisasi tanah dibandingkan perlakuan tanpa sterilisasi tanah (baik dengan inokulasi maupun tanpa inokulasi FMA), yang berarti bahwa sterilisasi tanah menurunkan jumlah polong berisi per tanaman dan indeks panen (Tabel 5). Juga terdapat kecenderungan bahwa indeks panen pada perlakuan tanpa inokulasi lebih rendah daripada inokulasi FMA. Hal ini memberi indikasi bahwa dengan inokulasi FMA, proporsi alokasi asimilat untuk pengisian biji lebih besar dibandingkan dengan tanpa inokulasi FMA atau adanya perlakuan sterilisasi tanah. Adanya respon positif terhadap inokulasi FMA pada tanaman kedelai ini diduga tidak
W. Wangiyana dkk: Respon berbagai varietas …
terlepas dari peran dan kontribusi FMA terhadap proses fisiologis tanaman kedelai, yang mendukung pertumbuhan, terutama jumlah daun dan LPR jumlah daun, yang pada akhirnya juga mendukung proses pengisian biji sehingga meningkatan hasil biji kedelai. Karena produksi fotosintat adalah di daun, maka pengaruh positif inokulasi FMA dibandingkan dengan perlakuan sterilisasi tanah terhadap jumlah daun 56 HST (Gambar 2) dan LPR jumlah daun (Tabel 3), terutama pada varietas Wilis, Malabar dan Sinabung, juga berpengaruh positif terhadap jumlah polong berisi dan indeks panen, yang pada akhirnya juga berpengaruh terhadap hasil biji. Adanya pengaruh positif inokulasi mikoriza, atau pengaruh negatif dari proses sterilisasi tanah, yang juga berarti membunuh propagul mikoriza indigenous pada tanah tersebut, antara lain adalah melalui peran FMA dalam membantu penyerapan unsur hara, terutama P, dan unsurunsur hara “immobile” lain lainnya (Miyasaka dan Habte, 2001; Smith dan Read, 2008). Menge (1983) bahkan menyatakan bahwa pada tanah pertanian yang suburpun, banyak jenis tanaman tidak mampu menyerap cukup P, Zn dan Cu apabila tidak bermikoriza. Hasil penelitian Dhillion and Ampornpan (1992) menunjukkan bahwa FMA membantu tanaman inangnya menyerap P, K, Ca, Fe, Cu, Na, B, Zn, Al, Mg dan S. Beberapa peneliti juga melaporkan adanya peningkatan serapan N oleh tanaman yang bermikoriza dibandingkan tanpa mikoriza, seperti yang antara lain dirangkumkan oleh Harrier dan Watson (2003), Smith dan Read (2008).
27 Tabel 5.
Rata-rata jumlah polong berisi, berat 30 biji dan indeks panen untuk setiap taraf faktor perlakuan inokulasi FMA dan varietas kedelai
Faktor perlakuan Inokulasi FMA: Non steril + FMA Non steril tanpa FMA Sterilisasi tanpa FMA BNJ 5% Varietas kedelai: Cikuray Bromo Sinabung Wilis Kaba Malabar Anjasmoro BNJ 5% *)
Jumlah polong berisi per tan
Berat 30 biji (g)
Indeks panen (%)
30.7 a *) 30.0 a 23.2 b 2.7
3.91 a *) 3.79 a 3.96 a 0.25
27.5 a *) 26.3 a 23.0 b 1.4
32.7 a 27.3 bc 27.8 abc 25.7 bc 30.8 ab 27.8 abc 23.6 c 5.3
3.48 c 3.65 c 3.39 c 3.52 c 3.75 c 4.44 b 5.01 a 0.48
25.8 bc 23.6 c 24.5 c 23.6 c 25.5 bc 29.0 a 27.3 ab 2.7
Angka-angka pada kolom yang sama, yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata antar taraf masing-masing faktor perlakuan perlakuan berdasarkan uji BNJ pada taraf nyata 5%
Namun demikian, tingkat serapan unsur hara tidak diukur dalam penelitian ini, tetapi dari respon varietas kedelai yang diuji, tidak semua varietas menunjukkan respon yang sama. Di antara 7 varietas kedelai yang diuji dalam penelitian ini, varietas Wilis merupakan yang paling responsif terhadap perlakuan inokulasi FMA dan sterilisasi tanah, di mana perlakuan inokulasi FMA memberikan hasil biji yang secara signifikan lebih tinggi daripada tanpa inokulasi, dan sterilisasi tanah memberikan hasil yang secara signifikan lebih rendah daripada tanpa sterilisasi tanah. Dari segi hasil biji, di antara 7 varietas yang diuji, varietas Anjasmoro merupakan yang paling tidak responsif terhadap perlakuan inokulasi FMA atau sterilisasi tanah karena tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan (Tabel 4). Simanungkalit dan Riyanti (1997) (dalam Simanungkalit, 2006) juga melaporkan bahwa varietas kedelai berbeda tanggapan terhadap inokulasi FMA, yaitu dari 10 varietas yang diuji, enam varietas menunjukkan respon yang nyata terhadap inokulasi FMA. KESIMPULAN Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa sterilisasi tanah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil biji tanaman kedelai sedangkan inokulasi dengan FMA berpengaruh positif, tetapi dari 7 varietas yang diuji, ada perbedaan respon antar varietas (ada interaksi antara faktor varietas dan faktor inokulasi FMA). Varietas Wilis merupakan yang paling responsif sedangkan Anjasmoro tidak
menunjukkan perbedaan hasil biji, terutama antara tanah yang disterilisasi dan tidak disterilisasi, sedangkan varietas lainnya menunjukkan hasil biji yang lebih rendah dengan adanya sterilisasi tanah tempat tumbuhnya. DAFTAR PUSTAKA Adie, M.M. dan Arifin, 2007. Hasil biji galurgalur harapan kedelai. Hlm.58-64. Dalam: Inovasi Teknologi Kacang-Kacangan Dan Umbi-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan Dan Kecukupan Energi. Balitkabi, Malang. Anderson, J.M. and J.S.I. Ingram, 1993. Tropical Soil Biology and Fertility: A Handbook of Methods. 2nd edition. CAB International, Wallingford, UK. Anonim, 2008a. Produksi kedelai nasional belum mencukupi (National soya bean production). Agribusiness Online – Indonesian Agribusiness. http://www. suharjauanasuria.tripod.com/index.htm. Diakses: 18 Desember 2008. Anonim, 2008b. Manfaat yang menakjubkan dari protein kedelai. November 29, 2008. http://mdl525.info/2008/11/29/manfaatyang-menakjubkan-dari-protein-kedelai/ Diakses: 22 Desember 2008. BPS, 2011. Food Crops Statistics. Badan Pusat Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id/ tnmn_pgn.php?adodb_next_page=3&eng=0 &pgn=3&prov=99&thn1=2009&thn2=2011 Agroteksos Vol. 21 No.1, April 2011
28 &luas=1&produktivitas=1&produksi=1. Diakses: 31 Maret 2011. Dhillion, S.S. and L. Ampornpan, 1992. The influence of inorganic nutrient fertilization on the growth, nutrient composition and vesicular-arbuscular mycorrhizal colonization of pretransplant rice (Oryza sativa L.) plants. Biol. and Fertil. of Soils, 13: 85-91. Harrier, L.A. and C.A. Watson, 2003. The role of arbuscular mycorrhizal fungi in sustainable cropping systems. Advances in Agronomy, 79: 185-225. Kobraee, S. and K. Shamsi, 2011. Change in some of soybean seed characteristics in response to leaflet and pod removal treatments. Annals of Biol. Res., 2: 541-547. Kompas, 17-01-2008. Tidak Benar, Kedelai Tanaman Subtropis. http://www.kompas. com/read/xml/2008/01/17/22073392/tidak.b enar.kedelai.tanaman.subtropis. Diakses: 22 Desember 2008. Kompas, 27-01-2008. Kedelai, Dari Tempe Sampai Susu. http://www.kompas.com/ read/xml/2008/01/27/11401264/kedelai.dari. tempe.sampai.susu. Diakses 22 Desember 2008. Menge, J.A., 1983. Utilization of vesiculararbuscular mycorrhizal fungi in agriculture. Canadian Journal of Botany, 61:1015-1024. Miyasaka, S.C. and M. Habte, 2001. Plant mechanisms and mycorrhizal symbioses to increase phosphorus uptake efficiency. Commun. Soil Sci. Plant Anal., 32: 11011147. Murni, D., 2000. Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah Tadah Hujan di Kabupaten Lombok Tengah. Skripsi S-1. Fakultas Pertanian, Universitas Mataram, Mataram, Lombok, Indonesia. Pujiyanto, 2001. Pemanfaatan Jasad Mikoriza dan Bakteri dalam Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Indonesia. Tinjauan dari Perspektif Falsafah Sains. http: //www.Hayati.IPB.Com/user/rudyet/Indiv 2001/Pujiyanto.htm, diakses 18 Desember 2004. Reinoso, H., C. Travaglia, and R. Bottini, 2011. ABA increased soybean yield by enhancing production of carbohydrates and their
W. Wangiyana dkk: Respon berbagai varietas …
allocation in seeds. p.577-598. In: T.B. Ng (Ed), Soybean – Biochemistry, Chemistry and Physiology. InTech, Rijeka, Croatia. Simanungkalit, R.D.M., 2006. Cendawan Mikoriza Arbuskuler. p.159-190. Dalam: R.D.M. Simanugkalit et al., D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik (Eds), Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Sinclair, T.R. and C.T. de Wit, 1975. Photosynthate and nitrogen requirements for seed production by various crops. Science, 189: 565-567. Smith, S.E. and D. Read, 2008. Mycorrhizal Symbiosis. Third Edition. Academic Press, New York. Sucofindo, 06-12-2010. Swasembada belum efektif, impor kedelai Indonesia malah naik 33,96%. http://www.sucofindo.co.id/ ?menuid=15&pubid=836. Diakses: 31 Maret 2011. Suyono, 2003. Swasembada kedelai itu mudah. Harian Kompas, 23-12-2003. www.kompas. com (Diakses 22 Desember 2006). Thompson, J.P., 1991. Improving the mycorrhizal conditions of the soil through cultural practices and effects on growth and phosphorus uptake by plants. p.117-137. In: C. Johansen, K.K. Lee and K.L. Sahrawat (Eds), Phosphorus Nutrition of Grain Legumes in the Semi-Arid Tropics. ICRISAT: Patancheru, India. Tsvetkova, G. E. and G. I. Georgiev, 2003. Effect of phosphorus nutrition on the nodulation, nitrogen fixation and nutrient use efficiency of Bradyrhizobium japonicum – soybean (Glycine max L. Merr.) symbiosis. Bulg. J. Plant Physiol., Special Issue 2003, 331–335. Wangiyana, W., 2004. Farming Systems Management of Arbuscular Mycorrhizal Fungi for Sustainable Crop Production in Rice-based Cropping Systems. Ph.D. Thesis, University of Western Sydney, Australia. Yasari, E., Saedeh, Mozafari, E. Shafiee, and A. Foroutan, 2009. Evaluation of sink-source relationship of soybean cultivars at different dates of sowing. Research J. of Agric. and Biol. Science, 5: 786-793.