REPRODUKSI SIMULAKRUM DALAM HISTERIA HIPEREALITAS SUPERHERO TRANSFORMER
Artikel Tidak Dipublikasikan Oleh : Yan Yan Sunarya Program Studi Doktor Ilmu Seni Rupa & Desain, Program Pascasarjana ITB, 2010
Pendahuluan Realitas atau bukan? Hiperealitas atau bukan? Bukan lagi tawaran panasea kritis bagi masyarakat konsumer yang telah keranjingan demam superhero Transformer; baik dalam bentuk kartun, komik, sinema, fashion, bahkan aneka gimmick di Indonesia beberapa waktu yang lalu. Tatkala era merasuknya produksi citraan-citraan yang membabi-buta yang dihasilkan oleh mesin kapitalis mutakhir seperti televisi, bioskop, media massa, internet, blackberry, terakhir i-phone dengan multi-touch-screen di era kini yang telah dibaiat sebagai era kekuasaan media. Ia merupakan wahana penting dari media sentral zaman kini. Mesin kapitalis mutakhir tersebut menjelma menjadi media pemutus hubungan yang radikal dengan masa lalu, dengan presentasi, dan dengan representasi yang a-historis, cacat budaya, bengis, fragmentatif, hiperdramatis, namun sungguh-sungguh luar biasa mempesona! Interpretasi tersebut, menurut Toffler (2000) telah “mengubah media (massa) menjadi suatu sistem global”. Ia mengurangi pengaruh setiap media, saluran, publikasi, atau teknologi tunggal yang relatif terhadap semuanya yang lain. Tetapi sekaligus memberikan sistem media (massa) secara keseluruhan dengan kekuasaan yang luar biasa meningkat. Toffler bahkan menyimpulkan, bahwa yang berlangsung “bukanlah kekuasan media semata, melainkan perpaduan kekuasaan media”. Kekuasaan media inilah yang menjadi motor penggerak bagi mesin kapitalis mutakhir dalam mereproduksi simulakrum tanpa batas dalam histeria hiperealitas tokoh superhero, layaknya Transformer yang akan saya bahas.
Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 1
Menguak Simulakrum dalam Objek Desain Berawal dari istilah simulasi Baudrillard untuk menerangkan hubungan produksi, komunikasi, dan konsumsi dalam masyarakat kapitalis konsumer Barat, yang dicirikan oleh ‘overproduksi’, ‘overkomunikasi’, dan ‘overkonsumsi’ – melalui media massa, iklan, fashion, supermarket, industri hiburan, turisme, dst. Simulasi sebagai model produksi penampakan dalam masyarakat konsumer, menurutnya, tidak lagi berkaitan dengan duplikasi ada (being) atau substansi dari sesuatu yang diduplikasi, melainkan penciptaan melalui model-model sesuatu yang nyata yang tanpa asal-usul atau realitas, hiperealitas. Referensi dari duplikasi bukan lagi sekadar realitas, melainkan apa yang tak nyata – yaitu, fantasi. Oleh sebab fantasi bisa disimulasi jadi (seolah-olah) nyata, maka perbedaan antara realitas dan fantasi sebenarnya sudah tidak ada (Piliang, 2003).
Gambar 1: Kendaraan Bajaj, Kijang Kotak, Taksi Blue Bird, dan Bis Trans Jakarta – yang bahkan ini terjadi di Jakarta, serta sekumpulan mobil-mobil dan truk yang bertransformasi menjadi tokoh superhero Transformer. Histeria bentukan terjemahan dari fantasi-fantasi yang disimulasi demi perayaan permainan tanda-tanda tanpa kedalaman makna dan tanpa transendensi. Pokoknya, “yang penting jadi, maka jadilah!” (Sumber : aneka situs, 2009).
Visual simulakrum menjadi konsep visual yang amat penting karena perkembangan teknologi informasi digital, berurusan dengan keterpercayaan: “Kita melihat sesuatu tetapi kita yakin atau tidak bahwa sesuatu itu nyata”. Dengan demikian, kebenaran dalam simulakrum itu bisa diredefinisikan, bergantung pada sudut pandang mana yang akan kita percayai. Adapun berkenaan dengan pemahaman tentang objek desain di Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 2
dalam konstelasi simulakrum, telah menjadikan ia sebagai barang mati atau artefak belaka. Objek desain telah diputushubungankan dari realitas yang semestinya mengandung nilai-nilai budaya dan perubahan sosial ekonomi yang menyertainya. Walaupun sudah menjadi suatu kelaziman, bahwa objek desain bukanlah suatu hasilan yang berdiri sendiri; melainkan sebagai suatu tatanan peradaban yang hidup, namun ia dalam simulakrum diperlakukan bukan menjadi inti karya budaya fisik yang lahir dari berbagai pertimbangan pikir, gagas, rasa, dan jiwa penciptanya; melainkan merupakan reproduksi tanda-tanda yang banal, dangkal, tanpa kedalaman makna, bersifat gimmick, dan semata-mata perayaan hasrat pemuasan nafsu visual.
Gambar 2: Flashdisk dan telepon seluler, visualisasi simulakrum dalam objek desain; yang dipresentasikan bukan atas nama kedalaman makna, bukan keintiman, bukan tatanilai, bukan fungsi, tapi menjunjung tinggi hasrat nafsu ‘lapar’ mata masyarakat konsumer. Tak perlu lagi ada pertanyaan naif, seperti: “Mengapa berbentuk Transformer?” (Sumber : aneka situs, 2009).
Merayakan Kehadiran Transformer Film ini menyuguhkan narasi visual atas dasar eksploitasi fantasi dan ilusi, baik berupa penokohan, tempat kejadian, adegan, alur cerita, setting, dan nama-nama pemeran utama, yang sama sekali di luar kenyataan; walaupun dipadukan dengan suasana realitas Americanized. Namun tontonan ini telah begitu membius masyarakat konsumer hingga mereka mampu dengan rela mengantri berjam-jam di loket-loket bioskop berapapun ongkosnya, demi kepuasan hasrat pemenuhan kebutuhan fantasi, rekreasi, dan relaksasi. Tokoh-tokoh robot jejadian antara lain: Optimus Prime, Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 3
Megatron, Ironhide, kaum Autobots, kaum Deceptions, dst., dijadikan permainan tanda-tanda murni dengan menghilangkan petanda. Dibentuk agar dapat senyatanyatanya berinteraksi dengan manusia biasa – Sam Witwitcky; padahal ilusif, khayali, tricky, manipulasi, dan simulasi. Plot adegan laga yang dibuat-buat serta seolah-olah nyata terjadi di bumi, dengan menyuguhkan kota-kota di Amerika Serikat juga di Qatar, ditambah dengan berbagai plot situasi perang yang melibatkan Angkatan Udara Amerika Serikat beserta markasnya, yang juga menyertakan peranan pesawat kepresidenan AS Air Force One. Dibuat amat dramatik, situasional, mendebarkan serta mengumbar detil-detil visual demi pemuasan nafsu menonton “bak mata zombie melotot” tanpa lelah (Postman, 1995).
Gambar 3: Desain sex toys dan earphone yang kebablasan dalam hyperpanic sebagai wujud reproduksi simulakrum untuk sekadar turut andil merayakan histeria fantasi tokoh superhero Transformer. (Sumber : aneka situs, 2009).
Realitas vis-a-vis Hiperealitas Dunia hiperealitas adalah dunia yang disarati oleh silih bergantinya reproduksi objekobjek simulakrum – objek-objek yang murni penampakan, yang tercerabut dari realitas sosial masa lalunya, atau sama sekali tak mempunyai realitas sosial sebagai referensinya. Di dalam dunia seperti ini subjek sebagai konsumer digiring ke dalam pengalaman ruang hipereal – pengalaman silih bergantinya penampakan di dalam ruang, berbaur dan meleburnya realitas dengan fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia, sehingga perbedaan antara satu sama lainnya sulit ditemukan. Baudrillard dan Eco mengemukakan, bahwa apa yang direproduksi dalam dunia hiperealitas tidak saja berupa realitas yang hilang, akan tetapi juga dunia tak nyata: fantasi, mimpi, ilusi, halusinasi, atau science fiction. Pendekatan hiperealitas dalam penciptaan objek-objek Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 4
kebudayaan adalah memperlakukan objek sebagai penanda murni, tanpa ada jaminan akan makna tertentu. Hal ini disebabkan yang dicari di dalam dunia hiperealitas bukanlah makna, akan tetapi proses penciptaan dan efek dari makna tersebut melalui simulasi (Piliang, 2003). Di dalam hiperealitas, segala kenyataan dikemas menjadi seperangkat tema-tema yang di dalamnya setiap orang diharapkan memahami maknanya. Dengan demikian, massa diajak bertamasya di dalam satu sirkuit, dari satu lingkungan tema ke lingkungan tema berikutnya, di dalam satu ekologi fantasi yang nyata, yang semakin menjauhkan kita dari makna-makna luhur. Ironisnya, justru citraan inilah yang sesungguhnya semu, kini dianggap sebagai nyata! (Ibid, 1992).
Gambar 4: Obama pun tatkala mengadakan jumpa pers, tak luput menjadi sasaran permainan tanda yang dijadikan sebagai sosok tokoh superhero Transformer ala Amerika, padahal ia tak sengaja hanya dengan menekukkan bagian mulut saat hendak mecibir – berpikir sejenak, lantas seketika itu terekam oleh jepretan kamera para wartawan. Bahkan lebih ‘ngawur’ lagi terjadi pada desain perangko resmi, yang menyuguhkan sosok Transformer sebagai Anubis. Keduanya berada dalam dunia realitas vis-a-vis dunia hiperealitas. Kini, itulah sebutan ‘kenyataan’! (Sumber : aneka situs, 2009).
Di sisi lain, realitas-realitas yang terjadi di bumi ini, memperlihatkan kesamaan yang terjadi bahkan berulang-ulang di belahan bumi bagian ini, lalu bagian itu, yang terjebak menjadi rutinitas yang membelenggu kesenangan atas fantasi, fiksi, dan khayali. Kepusingan yang terjadi dalam realitas rutin merupakan pengalaman akumulatif dari diri manusia. Realitas diciptakan beranak-pinak seperti dalam album foto kenangan, bak realitas dulu, kini, mendatang yang terus-menerus berproses dengan fungsi waktu yang berperan dalam keseluruhan realitas, alhasil reproduksi realitas dulu, kini, mendatang terus berulang-ulang, dianggap sebagai biang keladi kejadian-kejadian dalam kegiatan kehidupan yang membosankan. Dalam memahami Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 5
realitas, manusia selalu melakukan reduksi-reduksi atas apa yang dialaminya, yang merupakan turunan dari idea rasionalitas. Padahal realitas dalam paradigma ilmiah yang meluas dari batas-batas fisik, bukan sesuatu hal yang terus-menerus bergelayut dengan pertanyaan-pertanyaan atas prosedur simplifikasi dan falsifikasi; ternyata masih ada dunia lain, masih ada kebajikan lain, masih ada norma lain, masih ada kehendak lain, masih ada idea lain yang justru lebih manusiawi, berwarna-warni, menyenangkan, bebas, menggairahkan, menjatidirikan dalam berakselerasi dengan ruh zaman. Celakanya di sini masih ada perlakuan tak semena-mena yang diyakini, bahwa “realitas apa saja, bergayut pada bagaimana ia dipandang dan dimaknai” (Marianto, 2006). Berlainan dengan Baudrillard, yang mau menggarisbawahi kejadian atau wahana yang ada sekarang ini sebagai tiruan, replikasi, atau mimikri dari mitos-mitos purba, fantasi, dan kenyataan buatan. Selain itu, menunjukkan peran para perencana dan para ahli komputer dalam mensimulasi pembuatan dunia tempat kita hidup. Ia juga meratapi kematian “yang sosial” (ikatan asali dan asli antarinsan yang terkait erat dengan tindakan rasional), yang sedemikian terkungkung dan terbelit dalam jejali lubang hitam hypersimulation (Sutrisno dkk., 2005).
Kesadaran-kesadaran Palsu Manusia memiliki ‘kesadaran’; yang bisa membuat keputusan sendiri dengan cara sadar, mereproduksi ideanya secara sadar, bergantung kepada kemampuan fleksibilitasnya untuk mencapai kesadaran. Pengalaman-pengalaman Freud dalam terapi memberikan keyakinan, bahwa justru ‘ketidaksadaran’ merupakan faktor penentu tingkah laku yang penting dan dinamik. Baginya bahwa isi pikiran tidak mungkin berasal dari kesadaran, tetapi harus berasal dari tingkat-tingkat kegiatan mental di bawah alam sadar. (Semiun, 2006) Faktor dominansi ketidaksadaran inilah yang membuat manusia seolah-olah harus memfalsifikasikannya selalu ke dalam bentuk-bentuk kesadaran palsu. Dengan demikian jelas – di sisi yang sama, bahwa penolakan atas ‘scientisme’ yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang sungguh-sungguh berkorespondensi dengan kenyataan “real” (melalui proses kesadaran) hanyalah pengetahuan yang didapat melalui sains empiris. Padahal ada banyak cara guna mendekati realitas dan memahami hubungan sebab-akibat kenyataan Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 6
kesadaran tersebut, dan karenanya ada banyak sistem logika. “Filsafat spekulasi, mistisisme, berbagai bentuk pendekatan paranormal, sistem pengobatan tradisional, dst., memiliki cara-cara khasnya masing-masing untuk memahami hubungan sebabakibat kenyataan, memiliki sistem terminologinya sendiri, dan karenanya memiliki logikanya sendiri. Masing-masing itu sangat ditentukan oleh gambaran dasarnya tentang dunia, manusia dan kehidupan yang saling berbeda juga” (Sugiharto, 1996). Hal demikian ini, dianggap amat menafikan karakter dasar kesadaran manusia yang sesadar-sadarnya (bukan false-conciousness), jadi apa yang dinamakan kesadaran dan ketidaksadaran, itu hanyalah permainan manusia dalam meyakinkan para pengikutnya untuk tunduk, agar berlaku umum, dan tanpa kritik. Permainan ini memberi kesan, adanya kategorisasi atas kesadaran dan ketidaksadaran yang sekaligus sewenangwenang (arbitrary). Kelemahan manusia dalam mengantisipasi hasil keberpikiran sesuatu fakta objektif secara sadar dari sesuatu yang holistik; kadangkala memunculkan keragu-raguan, kegelisahan, kepenasaran, ketidakpastian dari sesuatu ihwal yang pasti. Cara pandang manusia dan kerja otaknya memang amat terbatas, dan tidak terlepas dari kenaifan diri. Ironisnya, manusia seolah-olah menjadi makhluk paling berkuasa di bumi ini, yang paling serbabisa dalam menterjemahkan atau menginterpretasikan objek-objek dan peristiwa bahkan hal-hal yang lebih bersifat dogmatis sekalipun dalam lingkaran kekuasaan atas kesadarannya. Maka dalam artian luas guna memahami kesadaran, dapatlah kita katakan bahwa pada akhirnya dunia manusia adalah merupakan dunia simbol. Bahkan yang biasanya diyakini sebagai ‘evidensi alamiah objektif’ pun pada akhirnya hanya bisa dimengerti sebagai konsensus ataupun kesepakatan intersubjektif tentang yang real itu. Dan segala bentuk konsep adalah simbol, yaitu sarana artifisial untuk mengartikulasikan yang real. Bentuk paling mendasar dari konsensus itu adalah kodefikasi leksikal dalam bentuk kosakata dan tatabahasa baku, yang merupakan semacam institusi untuk menangkap realitas. Maka bagi manusia yang biasa diklaim sebagai real itu sebenarnya tidaklah sedemikian real secara murni. Dalam dunia konseptual atau dalam dunia bahasa secara umum, yang “real” adalah selalu juga “yang artifisial”. Dari sudut ini – dalam konteks
Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 7
kesadaran, dunia manusia tidaklah sedemikian “natural” ketimbang “kultural” (Sugiharto, 1996). Oleh karena itu, cukup masuk akal apabila pesona hiperealitas itu demikian kuat menghinggapi manusia, justru dalam keadaan sadar. Manusia demikianlah mudah terperangkap di dalam dunia objek. Dunia hipereal menawarkan sebuah bentuk pseudo kepuasan kepada para konsumen dengan bentuk-bentuk kesadaran palsu. Lantas dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Model-model yang diciptakan seperti superhero Transformer adalah model-model acuan nilai dan makna sosial budaya masyarakat yang berlaku dan sedang trendy dewasa ini. “Perkembangan ilmu dan teknologi kini tidak saja dapat memperpanjang badan atau sistem saraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi realitas menjadi hiperealitas, masalalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan (palsu); menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan. Dalam dunia seperti ini, citra lebih meyakinkan ketimbang fakta” (Laku dalam Sugiharto, 2008).
Gambar 5: Peragaan bentuk kesadaran palsu yang membuat manusia terlihat amat naif, kekanakkanakan, demi mencapai kepuasan visual semata. Realitas di sini dijadikan semacam ‘permainan’ dalam bungkus kedangkalan ritual. (Sumber : aneka situs, 2009). Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 8
Pada akhirnya, segala sesuatu akan terjadi di dalam simulasi untuk merangkaikan tentang suatu kebajikan, kesalehan, bahkan kejumawaan. Sebab, kaidah simulasi adalah tidak mempermasalahkan apakah ini baik atau buruk, benar atau salah, nyata atau imajinasi, seakan-akan kita merasa matisuri menghadapi realitas. Simulasi tak dibatasi oleh wilayah, padanan, atau substansi. Ini adalah suatu model generasi tanpa keaslian dan tanpa realitas. Dalam mencermati proses reproduksi simulakrum tanpa batas dalam histeria hiperealitas tokoh superhero Transformer ini – yang telah dipaparkan panjang lebar di atas, ternyata motivasi yang paling menonjol dari mereproduksi simulakrum itu bukanlah terletak guna meraih tujuan tertentu; melainkan cuma merayakan saja, merayakan tindakan atau interaksi, merayakan tubuh, merayakan hidup. Ia dijadikan sebagai sebuah game (permainan). “Permainan bukanlah ‘sikap’, bukan pula ‘keadaan mental’ (state of mind). Lebih tepat ia dipahami sebagai ‘cara berada’ (mode of being). Maka unsur keisengan, fun, kesenangan belaka adalah sifat khas permainan. Tidak berada dalam konteks ‘guna’, melainkan pada konteks superabundance, kesia-sian, percuma, berlebihan” (Sugiharto, 2009). Referensi Baudrillard, Jean, 1988, “Simulacra and Simulations”, ed. Mark Poster, Stanford: Stanford University Press; Marianto, M. Dwi, 2006, Quantum Seni, Semarang: Dahara Prize; Mirzoeff, Nicholas (ed.), 2004, The Visual Culture Reader, Second Edition, London & New York: Routledge; Piliang, Yasraf Amir, 2001, Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan Dalam Jagat Raya Chaos, Bandung: Mizan; __________, 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta: Jalasutra; __________, 2004, Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Yogyakarta: Jalasutra; __________, 2008, Multisiplitas dan Diferensi, Redefinisi Desain, Teknologi dan Humanitas, Yogyakarta: Jalasutra; Postman, Neil, 1995, Menghibur Diri Sampai Mati: Mewaspadai Media Televisi, (terj.) Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; Semiun, Yustinus OFM, 2006, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud, Yogyakarta: Penerbit Kanisius; Sugiharto, Bambang, 1996, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius; __________(ed.), 2008, Humanisme dan Humaniora, Relevansinya bagi Pendidikan, Yogyakarta: Jalasutra; __________, 2009, “Homo Ludens”, Makalah disampaikan pada Kursus Filsafat, Bandung: UNPAR Sutrisno, Mudji, & Putranto, Hendar (ed.), 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius; Wardhana, Veven Sp., 1995, Budaya Massa dan Pergeseran Masyarakat, Yogyakarta: Bentang Budaya. Situs : http://id.wikipedia.org/wiki/Transformers_(film_2007), akses: 12 Okt 2009 http://3.bp.blogspot.com/.../s320/transjakarta-bot.jpg, akses: 12 Okt 2009 http://gladiator.ngeblogs.com/files/2009/07/2v021ll.jpg, akses: 12 Okt 2009 http://i43.tinypic.com/1zoenpj.jpg, akses: 12 Okt 2009 http://i41.tinypic.com/312bqzb.jpg, akses: 12 Okt 2009 http://technology-guide.co.uk/images/transformer-USB, akses: 12 Okt 2009 http://oneinchpunch.net/wordpress/wp-content/uploads/2007/05/transformer_earphones.jpg, akses: 27 Okt 2009 http://neatorama.cachefly.net/images/2008-10/real-life-transformer-guillaume-reymond.jpg, akses: 15 Nov 2009 http://botropolis.com/wp-content/uploads/girl_transformers_4.jpg, akses: 15 Nov 2009 http://images3.wikia.nocookie.net/uncyclopedia/images/e/ee/Transformer.jpg, akses: 28 Nov 2009 http://pics.livejournal.com/shortpacked/pic/001pddf9/s320x240, akses: 28 Nov 2009 Reproduksi Simulakrum Dalam Histeria Hiperealitas SUPERHERO TRANSFORMER, Yan Yan Sunarya --- 9