1
HIPEREALITAS DALAM TAYANGAN REALITY SHOW (Analisis Wacana Kritis Hiperealitas dalam Relasi Tidak Setara Perempuan Terhadap Laki-laki di Tayangan Reality Show “Termehek -mehek” Bulan Juli-Agustus 2009)
SKRIPSI
EKO SETIAWAN D 0205064
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
BAB I PENDAHULUAN I.A
Latar Belakang Masalah Beberapa dekade terakhir, kehidupan umat manusia diramaikan oleh
kehadiran sebuah kotak ajaib yang membuat manusia menjadi insan yang paling dimanjakan dengan kehadirannya. Televisi telah menyulap hampir seluruh isi dunia untuk habis ditonton dalam sekali duduk. Televisi benar-benar telah menjelma menjadi jendela dunia atau bahkan dunia itu sendiri. Perkembangan televisi yang sangat pesat jelas menggambarkan bahwa media ini begitu digandrungi masyarakat Indonesia. Pada waktu TVRI, stasiun televisi pertama di Indonesia muncul di tahun 1962 jumlah pesawat televisi di Jakarta hanya berjumlah 10.000 buah. Tujuh tahun kemudian jumlahnya meningkat menjadi 65.000 buah. Pada akhir Maret 1972 jumlah pesawat televisi di Indonesia ada 212.580 buah, sampai tahun 1984 berjumlah 7.132.462 buah. Hanya dalam kurun waktu 12 tahun jumlah pesawat televisi di Indonesia meningkat sampai hampir 34 kali lipat.1 Untuk saluran siaran pun, hingga tahun 2005 terdapat 10 stasiun televisi swasta dan tidak kurang dari 30 stasiun televisi lokal2. Dan saat ini, seperti yang telah kita maklumi bersama, televisi telah berubah menjadi teman makan atau bahkan teman tidur.
1
Ishadi S.K, Dunia Penyiaran: Prospek dan Tantangannya (Jakarta: Gramedia, 1999). Amir Effendi Siregar, Ekonomi Politik Media, Audiens, dan Ketimpangan Informasi, Infomedia. (Jakarta: Serikat Penerbit Surat Kabar, 2007). 2
3
Kedahsyatan televisi dalam memengaruhi pemirsanya tidak perlu diragukan lagi. Dwyer, seorang pakar pertelevisian menyimpulkan setidaknya pemirsa televisi mampu mengingat 50 % materi yang hanya ditayangkan satu kali kali oleh televisi. Bisa dibayangkan berapa banyak pemirsa mampu mengingat jika tayangan itu ditampilkan berulang-ulang. Lebih jauh lagi, pemirsa televisi masih mampu mengingat 85 % tayangan televisi yang mereka saksikan setelah tiga jam kemudian dan bahkan masih tersisa 65 % ingatan akan tayangan televisi tersebut setelah tiga hari ditayangkan. Dan yang paling luar biasa, televisi mampu menjadi saluran yang paling efektif dalam menyampaikan informasi kepada manusia dengan merebut 94 % dari seluruh saluran penyampaian pesan-pesan dan informasi kepada manusia.3 Selain itu dampak yang diakibatkan televisi tentu tidak sedikit. Dampak yang dihadirkan televisi bahkan menyerang hampir semua lapisan masyarakat. Mulai dari anak-anak, remaja dan orang dewasa. Pada anak-anak misalnya, dampak yang dihadirkan tak melulu soal psikis namun juga fisik anak. Soendjojo dalam Wirodono mengatakan menonton televisi terlalu dini bisa menyebabkan proses wiring, proses penyambungan antarasel syaraf dalam otak menjadi terganggu4. Kidia, sebuah yayasan yang concern pada permasalahan anak dan media memaparkan beberapa fakta yang menunjukkan dampak buruk dari penayangan televisi terhadap anak. Data tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah jam
3
Dwyer dalam Farida Nurfalah, Sumardjo dan Dwi Surya, Pengaruh Tayangan Sinetron Religius Terhadap Perilaku Ibu Rumah Tangga Muslimah, Jurnal Teknodik No.22 tahun 2007 hal 44 4 Sendjojo dalam Sunardian Wiradono, Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hal. 142.
4
menonton TV pada anak-anak usia sekolah dasar berkisar antara 30-35 jam seminggu, ditambah dengan sekitar 10 jam untuk bermain video game. Angka ini jauh lebih besar dibanding jam belajar disekolah yang tidak sampai 1000 jam per tahun. Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan sekolah dasar perminggu sekitar 80 judul ditayangkan dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain sudah sangat berlebihan. Banyak juga acara yang tidak aman dikonsumsi anak.5 Selain itu masa anak-anak adalah masa laten. Semua yang dilihat oleh anak akan sangat mudah teringat olehnya. Walaupun anak belum memperlihatkan responnya segera setelah ia menonton, bukan tidak mungkin semua yang dilihatnya akan ia praktikkan kelak dikemudian hari. Dengan demikian, tidak berlebihan rasanya jika pemerhati anak, Seto Mulyadi mengatakan bahwa unsur pendidikan di televisi kurang dari 1 %.6 Pada remaja, kondisi psikologis yang masih labil dan kritis betul-betul dimanfaatkan media untuk menanamkan pengaruhnya. Proses identifikasi yang memenuhi seluruh gerak dan impulsi remaja justru dimanfaatkan atau dijinakkan oleh media televisi untuk menciptakan ketergantungan.7 Tayangan sinetron remaja membentuk format ideal remaja menurut televisi. Televisi menghadirkan konsep remaja cantik, konsep remaja cerdas, konsep remaja sukses yang kesemua itu hanya artifisial belaka. Maka jadilah remaja masa kini menjadi sosok remaja ideal
5
Hasil Penelitian Kidia! Yayasan Pengembangan Media dan Anak dalam Pengajaran Pendidikan Anak, (Jakarta : Yayasan Pengembangan Media Anak, 2008). 6 Liputan 6 SCTV, 17 Februari 2008 7 Sunardian Wiradono, Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hal 144
5
versi televisi. Remaja berlomba-lomba menjadi remaja berkulit putih, rambut panjang dan lurus hanya untuk memenuhi gambaran ideal remaja cantik. Dampak televisi secara umum yang kemudian hadir pada masyarakat adalah masyarakat akan dihadapkan pada pilihan apakah mampu mengikuti bujuk rayu televisi yang atau tidak. Jika mampu mengikuti, masyarakat akan terhanyut kedalam kelompok masyarakat konsumsi. Kelompok masyarakat yang akan terus memenuhi semua bujukan dan rayuan yang dilancarkan televisi. Jika tak mampu mengikuti, masyarakat akan terjebak pada dunia penuh ilusi. Masyarakat yang ini akan memaksakan dirinya memenuhi bujukan media tersebut dengan segala cara. Walaupun sebenarnya mereka tidak mampu. Sehingga akan melahirkan masyarakat yang tidak rasional dan tidak realistis. Kehadiran televisi memang benar-benar telah memberi suatu corak baru dalam masyarakat. Kecepatan media ini dalam meghadirkan informasi kepada pemirsanya memang menjadi keunggulan televisi. Sebelumnya tidak ada yang membayangkan bisa bersahabat dengan media ini. Namun semuanya menjadi kenyataan, televisi telah menjadi sahabat baru berjuta-juta manusia dengan menyajikan hiburan, pengetahuan dan kadangkadang fitnah. Televisi mereproduksi sifat dan kemampuan yang ada pada manusia. Ketika kebutuhan manusia dapat dipenuhi televisi tanpa basa-basi, maka media ini menjadi alternatif yang menggantikan peran manusia secara utuh di masa mendatang. Ketika manusia tak mampu lagi bersahabat dengan
6
masyarakatnya, televisi justru mampu menjadi media yang paling tepat membentuk opini dan membangkitkan sentimen masyarakat.8 Dengan demikian, televisi telah menjadi media yang tepat untuk menanamkan nilai sosial pada masyarakat dengan kemampuan reproduksi maknanya yang sedemikian cepat dan bentuk medianya yang bisa dinikmati secara audio maupun visual. Realitas Media Berbicara tentang realitas memang terus menjadi perdebatan dari waktu ke waktu. Apakah realitas yang kita sebut adalah segala sesuatu yang ditangkap indra semata. Hingga sesuatu yang tak mampu ditangkap indra adalah nonreal. Lalu bagaimana dengan realitas yang hadir dalam televisi. Realitas yang ditampilkan televisi adalah realitas media. Realitas yang telah mengalami hasil seleksi, yang disebut realitas tangan kedua (second hand reality). Tampak disini bahwa realitas media (dalam hal ini televisi) yang hadir ditengah pemirsa adalah bukan realitas yang sebenarnya. Artinya, realitas disini telah mengalami proses reproduksi. Proses penciptaan kembali. Jadi yang ditangkap oleh pemirsa televisi sebenarnya bukanlah realitas namun hanya citra. Pencerminan dari realitas yang sesungguhnya di dunia nyata. Inilah yang harusnya dipahami lebih lanjut bahwa terdapat perbedaaan signifikan antara realitas media dan realitas dunia. Jika tak dapat memisahkan dengan jelas kedua realitas ini maka akan semakin kabur lah perbedaan diantara keduanya. Akan tumpang tindih antara realitas dan citra (image).
8
Burhan Bungin, Imaji Media Massa, Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik (Yogyakarta: Jendela, 2001), hal 73
7
Semakin kaburnya perbedaan antara realitas dan citra akan membawa pada situasi dimana tidak adanya lagi perbedaan antara citra dan realitas. Pada perkembangan berikutnya, citra ini bisa menjadi lebih nyata dari realitas itu sendiri. Kondisi ini lah yang disebut dengan hiperealitas media. Keadaan dimana kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran.9 Hiperealitas ini bisa terjadi karena karena adanya perekayasaan makna di dalam media. Dalam arti, citra hasil pencerminan dari realitas yang ingin ditampilkan media telah mengalami perekayasaan bahkan distorsi makna. Dengan adanya perkembangan teknologi media yang memungkinkan untuk menampilkan pecitraan (dalam televisi misalnya) sedemikian cepat, maka teknologi media ini akan berkembang ke arah teknologi simulasi. Simulasi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Baudrillard di dalam Simulations adalah ―…penciptaan modelmodel kenyataan yang tanpa asal-usul atau referensi realitas.‖10 Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri, yang disebut simulakrum (simulacrum). Simulakrum tampil seperti realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial (realitas artificial), yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sedemikian rupa, sehingga pada
9
Jean Baudrillarard, In the Shadow of the Silent Majorities, (New York: Semiotext(e), 1983). Jean Baudrillard dalam Yasraf Amir Piliang, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal 141 10
8
tingkat tertentu realitas media ini tampak (dipercaya) sebagai lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya. 11 Berkaitan dengan kehadiran realitas media ini, menurut Baudrillard, ada empat fase dalam perkembangan citra atau image, yaitu : Pertama, citra adalah cerminan atau refleksi dari realitas. Kedua, citra membelokkan realitas. Ketiga, citra menutupi realitas dan yang Keempat, citra sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun: citra merupakan simulakra murni12. Dan sekarang citra yang ditampilkan televisi telah mencapai fase simulakra. Tayangan-tayangan televisi tidak lebih dari sebuah dongeng besar untuk meninabobokan pemirsa. Sebut saja sinetron religi yang tak jelas landasannya sampai sinetron dan film ‗hantu-hantuan‘ yang menyesatkan. Atau tayangan yang berbau kekerasan dan seks sampai sinetron dan program acara remaja yang penuh dunia glamor. Dan yang paling berbahaya, tayangan pemberitaan di televisi ternyata telah menjadi ‗hantu‘ simulakra yang paling menakutkan. Bagaimana tidak, tayangan pemberitaan televisi tidak lagi mencerminkan keadaan yang sebenarnya namun sudah menjadi kenyataan itu sendiri. Inilah yang disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas atau keadaan dimana realitas yang ditangkap massa lebih nyata dari realitas yang sebenarnya. Melihat ini semua, sudah selayaknya lah rasa khawatir yang besar perlu dialamatkan kepada bangsa ini. Simulakra-simulakra yang ditampilkan televisi
11
Ibid hal 141 Jean Baudrillard dalam Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hal 134. 12
9
jelas menghadirkan dampak yang tidak sedikit kepada masyarakat Indonesia yang telah menjadikan televisi sebagai salah satu anggota keluarga. Perlu perhatian serius terhadap masalah ini. Sekilas dampak simulasi media untuk membentuk hiperrealitas ini memang tidak tampak namun realitas semu ini akan sangat berbahaya. Tengok saja berapa banyak remaja yang telah terjangkit virus glamor yang ditampilkan sinetron remaja masa kini. Para remaja yang notabene berada dalam situasi psikologis yang kritis dalam dirinya terkait pencarian jati diri mendapatkan tayangan kehidupan remaja dari sinetron. Hiperealitas menyebabkan remaja terperangkap dalam sesuatu yang tidak nyata (semu) dan menganggap kondisi demikianlah yang sebenarnya ada dalam dunia remaja.13 Atau dampak dari fenomena tayangan kekerasan ―Smackdown‖ yang meminta korban jiwa beberapa waktu yang lalu. Anak-anak yang telah kena sihir simulakra ―Smackdown‖ dengan serta merta mengidentifikasi diri sesuai dengan karakter yang ada dalam tayangan kekerasan itu dan bertarung layaknya tokoh idolanya tersebut. Tidak heran jika kemudian jatuh korban cedera yang cukup serius dan bahkan korban jiwa. Pemberitaan televisi yang menyesatkan kadang juga menuntun opini pemirsa ke arah yang salah. Seperti pemberitaan sakitnya mantan presiden Soeharto beberapa waktu yang lalu. Pada saat itu televisi menyiarkan tiap detik perkembangan kesehatan penguasa Orde Baru itu. Bahkan sampai pada tingkat 13
Eka Nada Shofa Alkhajar, ―Hiperealitas Dalam Kehidupan Nyata‖, Kompas, 31 Desember 2007
10
yang lebih jauh, televisi menggambarkan seolah-olah hidup Soeharto hanya dalam hitungan jam. Tenda didirikan, kursi ditata, peta perjalanan bandara AdisumarmoGiribangun dipaparkan grafisnya. Penggambaran seperti ini yang disebut sebagai sebuah simulakra—realitas gadungan14. Yang terakhir, pemberitaan tentang penyergapan tersangka teroris di sebuah rumah di Temanggung, Jawa Tengah, awal Agustus 2009. Liputan penyergapan yang disiarkan langsung oleh televisi tersebut tampak benar-benar nyata. Penonton seolah-olah berada persis di dekat rumah tersebut. Padahal tanpa disadari, televisi telah menggiring emosi bahkan opini penonton. Penggambilan gambar dengan sudut-sudut tertentu ditambah suara latar artifisial menimbulkan suasana dramatik, tegang dan heroik. 15 Puncaknya adalah ketika televisi dengan lantang menyebut teroris yang tewas adalah Noordin M.Top. Padahal belakangan diketahui yang tewas ternyata Ibrohim. Entah dari mana referensi atas pemberitaan tersebut. Televisi sepenuhnya berspekulasi atas ―tewas‖nya Noordin M.Top. Televisi telah menciptakan hiperealitas dengan menjadikan realita penyergapan itu sebagai satusatunya referensi bagi realita media yang diterima penonton. Penyergapan di televisi jauh lebih dramatik, jauh lebih tegang dan jauh lebih heroik dari penyergapan sebenarnya. Realitas media yang ditampilkan televisi terlihat jauh lebih nyata daripada realitas yang sesungguhnya yang terjadi di lapangan.
14 15
Bre Redana, ―Simulakra dan Realitas Gadungan‖, Kompas, 13 Februari 2008 Budi Suwarna, ―Reality Show Yang Sebenarnya‖, Kompas, 16 Agustus 2009
11
Tayangan Reality Show Perkembangan terbaru dari produk televisi yang penuh dengan hiperealitas adalah tayangan reality show. Sebuah tayangan yang menceritakan kehidupan nyata orang-orang biasa, tanpa karakter fiktif para artis yang selama ini menjadi simbol televisi.16 Disebut dengan istilah reality show, karena dianggap mampu menghadirkan realitas asli dari kehidupan manusia, sekaligus menghibur melalui realitas imitatif yang dipertontonkan17. Secara umum reality show di Indonesia berkembang dalam dua model. Pertama, berkaitan dengan mengolah prestasi yang berupa kontes menyanyi atau keahlian lainnya. Kedua, tayangan yang mengeksploitasi sisi psikologis peserta atau targetnya dengan maksud menstimulasi rasa marah, takut, sedih, jengkel atau senang. Reality Show yang selama ini hadir adalah tayangan yang mengekspos kehidupan sehari-hari masyarakat yang diangkat ke layar kaca. Reality Show dipandang sebagai sebuah kreativitas terbaik dalam menggambarkan sesuatu realitas dalam masyarakat. Isi cerita dan ketokohan dalam reality show yang dekat dengan masyarakat semakin menambah daya tarik reality show. Perkembangan awal kehadiran reality show di Indonesia memang masih murni sebagai sebuah cerminan dari sebuah realitas. Hal ini terlihat dari program ―Spontan‖, tayangan reality show pertama di Indonesia. ―Spontan‖ memang merekam langsung respon orang-orang ketika diminta melakukan sesuatu. Hal ini menjadi tontonan yang menarik, karena respon orang-orang tadi direkam dengan 16
Fajar Sugesti, ―Konstruksi Cinta dan Budaya Remaja Dalam Tayangan Reality Show ‗Katakan Cinta‘ di RCTI‖ (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2004), hal 55. 17 Teuku Kemal Fasya,‖ Paranoid dan Banalitas Budaya Reality Show‖, Kompas, 24 Oktober 2004
12
baik oleh kamera. Perkembangan selanjutnya, reality show semakin menjadi-jadi. Reality show semakin membelokkan realitas, menutupi realitas sampai menciptakan
realitas
itu
sendiri.
Mulai
dari
tayangan-tayangan
yang
mempertemukan fans dengan artis pujaan sampai menciptakan artis karbitan lewat ajang pencarian bakat. Dari uji nyali mempertemukan peserta reality show dengan makhluk halus sampai yang terbaru, mencari orang hilang. Semua itu bisa dilakukan oleh reality show. Salah satu yang cukup fenomenal adalah tayangan Termehek-mehek. Reality Show yang menjual jasa untuk mencari orang-orang terdekat yang hilang. Tampilan reality show ini pada masa awal penayangannya masih tampak murni tanpa dibelokkan apalagi direkayasa. Namun belakangan, tayangan Termehekmehek malah menjadi tayangan yang telah menuju ke Hiperealitas. Tayangan Termehek-mehek tanpa lagi ada referensi. Bahkan kuat dugaan tayangan Termehek-mehek sudah melalui sebuah skenario.18 Sehingga tayangan reality show ini sebenarnya tidak lagi sebuah realita namun sudah hasil rekayasa. Pada akhirnya berat untuk tidak mengatakan bahwa tayangan ini sudah menjadi sebuah hiperealitas. Sebuah tayangan yang tidak lagi memiliki referensi selain dirinya sendiri. Perubahan tampilan Termehek-mehek dari realita, representasi, hingga simulasi yang menghadirkan hiperrealitas membuat tayangan ini menarik diteliti. Selain itu, tentu hiperealitas yang hadir pada tayangan Termehek-mehek membawa efek dan dampak yang cukup berpengaruh dalam kehidupan
18
―Termehek-mehek Bohongi Pemirsa‖ dalam Surya, 12 Juni 2009, hal 1
13
masyarakat luas. Logika masyarakat yang meyakini Termehek-mehek adalah realita utuh tentu akan sangat berbahaya. Pola pikir masyarakat akan kongruen dengan logika yang dibangun oleh Termehek-mehek. Padahal nilai-nilai yang dibawa oleh Termehek-mehek cenderung tidak nyata karena hanya berupa hiperealitas dan hasil rekaan belaka (create). Tayangan reality show Termehek-mehek menjadi semakin menarik karena narasi yang disampaikan host acara sebagai plot utama dalam penceritaan. Host dan Narasi nya seolah menjadi penentu jalan cerita. Narasi menjadi penentu realisme cerita. Lebih jauh, narasi menjadi seperti sebuah penuturan kebenaran (truth telling). Opini pemirsa pelan-pelan digiring oleh narator menuju realitas yang dikehendaki oleh televisi. Dengan demikian, realitas telah diproduksi dengan sangat baik oleh televisi dengan menghubungkan narasi cerita dengan wacana, pandangan dunia, sejarah, ilmu pengetahuan atau apa pun seperti nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pada tingkatan ini, realitas sebagai kebenaran menjadi sebuah produksi budaya. Ia menjadi seperangkat makna yang terkonstruksi melalui bahasa televisi, melalui kode-kodenya. 19 Produk televisi seperti drama merupakan bentuk produk yang telah terkonstruksi materinya. Dalam drama sejarah misalnya, performer atau pemain tetap lah pemain, mereka bukan pelaku sejati. Walaupun materi cerita adalah sebenarnya atau bahkan tempat kejadian adalah tempat sebenarnya. Dalam reality show realita yang ditampilkan jauh lebih ‘real‘. Karena dimata pemirsa (seperti yang dikonstruksi televisi), pelaku adalah pelaku sejati, 19
Graeme Burton, Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal 246
14
tidak dimainkan oleh performer, cerita juga adalah cerita sebenarnya, dan tempat adalah tempat sebenarnya. Dengan demikian reality show tampak semakin nyata. Pada titik ini, realita semakin kabur. Walaupun sebenarnya, semua sudah dikontruksi televisi. Khalayak juga yakin, apa yang ditampilkan reality show adalah kejadian sebenarnya. Perbedaan apa yang diyakini oleh masyarakat sebagai kebenaran dan apa yang dikreasikan oleh televisi adalah apa yang disebut dengan perbedaan antara program televisi dengan teks televisi. Fiske membedakan antara program televisi dan teks televisi. Program televisi didefinisikan sebagai sebuah entitas tertentu yang stabil, diproduksi dan dijual sebagai komoditas dan paket distribusinya diatur sesuai jadwal.20 Ketika khalayak membaca program televisi tadi maka dengan serta merta program televisi menjadi teks. Pada tingkatan ini, khalayak harus hati-hati agar tidak terjebak dalam menafsirkan teks. Dalam reality show misalnya, khalayak harus benar-benar paham mana yang disebut realita, atau hasil konstruksi bahkan rekonstruksi televisi. Perbedaan antara realita dan citra (image) dalam reality show memang semakin kabur, jika khalayak tidak berhati-hati dalam menafsirkan (decode) teks televisi. Belakangan istilah reality show itu sendiri juga menjadi kabur. Pada Termehek-mehek misalnya, pihak Trans TV sebagai pemegang hak siar Termehek-mehek menolak untuk memberi label reality show pada acara mereka. Trans TV memilih untuk menyebutnya drama reality. Alasan ini dikemukakan oleh Trans TV setelah mereka dinilai oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 20
Fiske dalam Graeme Burton, Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007)
15
Pusat sebagai tayangan yang membohongi pemirsa. Wakil Ketua KPI Pusat, Fetty Fajriati Misbach mengatakan tidak seluruh tayangan Termehek-mehek merupakan realitas atau kenyataan. Lebih lanjut, seusai sosialisasi hasil pemantauan KPI di Batam pada 11 Juni 2009 silam, Fetty Fajriati menegaskan pernyataan Trans TV yang mengatakan Termehek-mehek adalah reality show itu membohongi masyarakat.21 KPI menganggap Termehek-mehek melakukan pembohongan publik, karena banyak cerita yang diangkat tidak sesuai realita. Padahal label acara Termehek-mehek adalah reality show. Trans TV berkelit dengan mengatakan bahwa acara mereka adalah drama reality bukan reality show, namun karena pihak perating acara televisi AC Nielsen, tidak punya kategori/genre rating drama reality maka kemudian mereka dimasukkan kedalam genre reality show.22 Hal ini juga yang mendorong peneliti untuk meneliti tayangan Termehek-mehek lebih lanjut. Seperti apakah proses perekayasaan tayangan reality show atau drama reality tersebut. Penelitian ini pun mengambil objek penelitian tayangan Termehek-mehek pasca teguran dari KPI tersebut. Sebab sebelum adanya teguran dari KPI tersebut, Termehek-mehek masih menggunakan label reality show, namun setelah adanya teguran KPI Termehek-mehek kemudian mengubah label acaranya menjadi drama reality. Peneliti mengambil objek penelitian berupa tayangan Termehekmehek bulan Juli dan Agustus 2009. Perubahan label acara menjadi drama reality
21
―Termehek-mehek Bohongi Pemirsa‖ dalam Surya, 12 Juni 2009 dan ―Termehek-mehek Bohongi Penonton‖ dalam Warta Kota, 12 Juni 2009 22 Pernyataan Panca, perwakilan Trans Corp (perusahaan yang menaungi Trans TV) di Warta Kota dan Surya, 12 Juni 2009
16
ini menarik diteliti: seperti apakah hiperealitas yang ditampilkan sebuah drama reality. Sebab dalam drama reality Termehek-mehek, berdasarkan pengakuan Hadiansyah Lubis, Head of Marketing Public Relations TransTV, masih berdasarkan cerita asli. Menurutnya, true story tetap ada sebagai patokan. Namun, ketika jadi sebuah tayangan, tetap ada dramatisasi dan itu merupakan hal yang wajar. Sebab kata Hadiansyah, Termehek-mehek tetaplah sebuah tontonan, jadi harus menarik.23 Ide cerita Termehek-mehek yang mengaku berasal dari true story juga menarik diteliti. Sejauh mana kebenaran cerita dan apakah proses dramatisasi tayangan juga termasuk kepada dramatisasi cerita. Pendeknya, penelitian ini ingin melihat seperti apa hiperealitas yang dihadirkan dalam drama reality Termehekmehek. Lebih lanjut, peneliti lebih mengkerucutkan penelitian pada hiperealitas relasi perempuan dalam cerita-cerita Termehek-mehek. Relasi perempuan yang dimaksud adalah relasi tidak setara perempuan terhadap pasangan, lebih khusus pada ketidakadilan gender yang diterima perempuan dalam membangun hubungan. Penelitian ini juga lebih menitikberatkan pada ketokohan perempuan dalam suatu hubungan. Khusus dalam tayangan Termehek-mehek, perempuan dijadikan objek dan subjek tontonan sekaligus. Sebagai objek, relasi perempuan dengan pasangan dieksploitasi habis oleh Termehek-mehek. Perempuan dipandang sebagai titik sentral dalam melihat relasi tidak setara dengan pasangan. Sebab 23
Pernyataan Hadiansyah Lubis, Head of Marketing Public Relations TransTV di Surya, 12 Juni 2009
17
dalam membangun relasi dengan pasangan, perempuan kerap kali berada pada posisi yang timpang dan tidak menguntungkan. Peneliti menganalisis relasi tidak setara pada perempuan ini menggunakan Kerangka Kerja Teknik Analisis Gender Harvard, yang diperkenalkan oleh Universitas Harvard. Kerangka kerja analisis gender ini melihat relasi tidak setara pada perempuan lewat analisis akses (kesempatan) dan kontrol (kemampuan) perempuan dalam mendapatkan sumberdaya dan kemanfaatan dalam sebuah hubungan. Selain itu, tayangan ini menjadi objek yang menarik sebab Termehek-mehek adalah salah satu tayangan reality show atau drama reality yang paling diminati pemirsa. Baik karena cerita yang menyentuh maupun kisah yang dekat dengan keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia. Secara umum, penelitian ini menarik diteliti karena Termehek-mehek adalah salah satu tayangan yang banyak menghadirkan hiperealitas dalam tayangannya namun masih tetap diminati pemirsa. Berdasarkan data AC Nielsen pada akhir tahun 2008, Termehek-mehek termasuk acara televisi paling populer dengan raihan rating 7,2 poin dan share 27,3 persen. Ini adalah peringkat tertinggi dari semua acara yang dilabeli reality show yang ada di stasiun-stasiun televisi.24 Padahal hiperealitas yang dihadirkan Termehek-mehek bisa jadi menjadi hal yang berbahaya namun tidak disadari oleh penonton. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika penonton menganggap bahwa semua yang ada di Termehek-mehek benar adanya. Padahal misalnya bisa jadi rekayasa cerita yang dihadirkan
24
Harian Surya, 12 Juni 2009
18
Termehek-mehek berbeda dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat yang menonton. Dari sisi kajian komunikasi, ada yang menarik dalam penelitian ini. Berawal dari penjelasan Severin dan Tankard yang menyebut teori komunikasi massa saat ini sedang berubah—dan memang butuh diperbaiki lebih jauh lagi—agar bisa menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di media. Diantaranya adalah perubahan teknologi komunikasi atau teknologi media. Kita tak lagi bisa mengatakan bahwa televisi sebagai hasil sistem monolitik yang seragam, mengirimkan pesan yang secara esensi sama pada semua orang.25 Dalam pengertian lain, penelitian tentang komunikasi massa hendaknya mulai bergeser, sebab kita tidak bisa lagi menganggap bahwa semua orang mendapat pengaruh yang sama dari sebuah media. Karena ada hal lain yang mempengaruhi khalayak ketika menerima pesan media. Satu hal yang sering dilupakan itu adalah konteks budaya dimana tempat komunikasi massa itu terjadi. Dan konteks budaya tiap khalayak penerima pesan televisi pasti berbeda satu sama lain. Rogers, E.M menyebut dalam beberapa tahun terakhir, kajian tentang komunikasi massa ditandai dengan pendekatan yang bertentangan, yaitu kelompok empiris dan kelompok kritis. Kelompok empiris ditandai dengan penelitian kuantitatif dan empirisme (mendasarkan pengetahuan pada observasi dan percobaan). Kemompok ini lebih fokus pada pengaruh komunikasi massa, sedangkan konteks budaya yang lebih luas tempat komunikasi massa itu terjadi 25
Werner J.Severin dan James W.Tankard, Jr, Teori Komunikasi, Sejarah Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi ke 5, (Jakarta: Kencana, 2007), hal 16-17
19
tidak diperdulikan. Kelompok kritis menggunakan pendekatan yang lebih filosofis, menekankan pada struktur sosial yang lebih luas di mana komunikasi massa itu terjadi, dan fokus pada isu siapa yang mengontrol suatu sistem komunikasi.26 Jika merunut pada pengelompokan yang dibuat Rogers, penelitian ini sebagai salah satu kajian komunikasi massa cenderung masuk dalam kelompok kritis. Karena penelitian ini tidak hanya akan menekankan pada teks pesan yang disampaikan Termehek-mehek, tetapi juga akan melihat pada struktur sosial dan ideologi yang membentuk teks tersebut. Sehingga dalam kajian komunikasi massa, penelitian ini menarik diteliti sebab penelitian ini memperhatikan konteks budaya dimana komunikasi massa itu terjadi. Dengan demikian, penelitian ini mencoba untuk menyesuaikan kajian komunikasi massa menjadi lebih dekat dengan kajian budaya demi menyesuaikan dengan perubahan teknologi komunikasi khususnya televisi. Sementara itu, sebagai sebuah kajian ilmu komunikasi, penelitian ini juga menarik diteliti karena eratnya hubungan antara teori komunikasi (theories of communications) dan teori wacana (theories of discourse) yang menjadi alat analisis pada penelitian ini. Salah satu teori discourse yang sangat relevan dengan teori komunikasi berasal dari James P. Gee. Dia membedakan discourse ke dalam dua jenis: Pertama, ―discourse‖ (d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya (―on site‖) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas atas 26
Rogers, E.M dalam Werner J.Severin dan James W.Tankard, Jr, Teori Komunikasi, Sejarah Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Edisi ke 5, (Jakarta: Kencana, 2007), hal 16-17
20
dasar-dasar linguistik. Kedua, ―Discourse‖ (D besar) yang merangkaikan unsur linguistik pada ―discourse‖ (dengan d kecil) bersama-sama unsur non-linguistik (non-language “stuff”) untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Bentuk non-language ―stuff‖ ini dapat berupa kepentingan ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Komponen non-language “stuff‖ itu juga yang membedakan cara beraksi, berinteraksi, berperasaan, kepercayaan, penilaian satu komunikator dari komunikator lainnnya dalam mengenali atau mengakui diri sendiri dan orang lain.27 Mengingat bahwa setiap tindakan komunikasi senantiasa mengandung kepentingan, apalagi komunikasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka layaklah jika dikatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu Discourse (dengan D besar). Dalam pandangan communication as Discourse ini, komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan ―kenyataan lain‖ atau ―kenyataan kedua‖ dalam bentuk wacana (discourse) dari ―kenyataan yang pertama‖. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana (realitas kedua) itu adalah sebuah proses yang disebut konstruksi realitas atau construction of reality.28 Lebih lanjut, level analisis dalam penelitian ini adalah analisis multilevel yang dikenal dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis) yang menganalisis wacana pada level naskah beserta konteks dan historisnya29. Adapun analisis pada level naskah (teks) menitikberatkan pada analisis pesan dalam proses komunikasi tersebut. 27
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, (Jakarta: Granit, 2004), hal 34 Ibid. 29 Ibid. 28
21
I.B
Rumusan Masalah Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali dan mengetahui gambaran dan pemahaman mengenai permasalahan-permasalahan yang terkait dengan hiperealitas dalam level teks, produsen dan konsumen terutama pada: 1. Bagaimana penggambaran wacana hiperealitas pada relasi perempuan dalam tayangan Termehek-mehek? 2. Bagaimana proses produksi hiperealitas pada relasi perempuan dalam tayangan Termehek-mehek? 3. Bagaimana penonton (konsumen teks) memaknai hiperealitas pada relasi perempuan dalam tayangan Termehek-mehek? 4. Faktor-faktor sosiokultural apakah yang memengaruhi hiperealitas pada relasi perempuan dalam tayangan Termehek-mehek?
I.C
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bagaimana wacana hiperealitas digambarkan pada level teks dalam tayangan Termehek-mehek. 2. Mengetahui bagaimana tayangan Termehek-mehek memproduksi hiperealitas pada relasi perempuan. 3. Mengetahui
bagaimana
penonton
(konsumen
teks)
memaknai
hiperealitas pada relasi perempuan pada tayangan Termehek-mehek. 4. Mengetahui Faktor-faktor sosiokultural apakah yang memengaruhi hiperealitas pada relasi perempuan pada tayangan Termehek-mehek.
22
I.D
Manfaat Penelitian 1. Bagi Penonton Televisi Penelitian ini diharapkan mampu mencerahkan penonton televisi dengan memberikan gambaran mengenai hiperealitas yang terus diproduksi televisi serta bagaimana sosok perempuan kerap kali diperlakukan tidak adil dalam setiap tayangan televisi. Sehingga diharapkan penonton televisi bisa menjadi penonton yang cerdas, bisa memilah dan memilih mana tayangan televisi yang baik dan mana tayangan televisi yang benar. 2. Bagi Insan Pertelevisian Melalui penelitian ini diharapkan semoga insan pertelevisian bisa mengkaji ulang tayangan yang akan disajikan kepada masyarakat. Seperti mengurangi
atau
bahkan
meniadakan
unsur
hiperealitas
dan
ketidaksetaraan perempuan dalam produk tayangan televisi yang dihasilkan. 3. Bagi Pemerintah Sebagai pemegang regulasi penyiaran, pemerintah diharapkan cerdas dalam mengawasi isi siaran sekaligus mampu untuk selektif dalam memilih tayangan yang baik untuk masyarakat. Sudah saatnya lah masyarakat mendapat tayangan yang baik, benar dan mencerdaskan. 4. Bagi Insan Akademik Penelitian ini diharapkan bisa menjadi salah satu ruang belajar untuk membedah lebih lanjut tentang perempuan, hiperealitas dan tayangan
23
televisi. Sehingga pada akhirnya akan menghasilkan tinjauan yang komprehensif dan bermanfaat bagi masyarakat. I.E
Telaah Pustaka
I.E.1 Komunikasi Sebagai Produksi dan Pertukaran Makna Dalam studi komunikasi terdapat dua mazhab utama yang sering dijadikan landasan berpikir para ilmuwan komunikasi dalam meneliti berbagai fenomena komunikasi. Mazhab pertama adalah melihat komunikasi sebagai transmisi pesan atau disebut dengan mazhab proses. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab kedua adalah mazhab produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orangorang dalam rangka menghasilkan makna, yakni berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan.30 Ia berkenaan dengan bagaimana menghasilkan makna; yakni bagaimana dengan teks berperan dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi – hal itu mungkin
akibat dari perbedaan budaya antara
pengirim dan penerima. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.31
30
John Fiske, Cultural And Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal 9-11. 31 Ibid. hal 9.
24
Pesan bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan produser/pembaca. Memproduksi dan membaca teks dipandang sebagai proses yang peralel, jika tidak identik, karena mereka menduduki tempat yang sama dalam hubungan tersetruktur ini. Kita bisa menggambarkan model struktur ini sebagai sebuah segitiga dengan anak panah yang menunjukan interaksi yang konstan; struktur tersebut tidaklah statis, melainkan suatu praktik yang dinamis (lihat bagan berikut)32
Bagan 1. Pesan dan Makna Sesuai dengan penjelasan dan bagan diatas, maka penelitian ini melihat tayangan Termehek-mehek sebagai sebuah pesan teks. Dalam arti, produser
Termehek-mehek
memproduksi
pesan
berupa
tayangan
Termehek-mehek dan ketika sampai ditangan pembaca, pesan itu menjadi teks yang dibaca pembaca. Sedangkan referent menjadi pihak ketiga (selain produser dan pembaca) yang menjadi subjek pemberi referensi makna atas pesan dan atau teks tersebut. 32
Ibid. hal 11.
25
Dengan demikian, proses pembacaan makna dalam mazhab produksi dan pertukaran makna tidak liniear antara produser dan pembaca saja. Namun lebih paralel dengan kehadiran referent. Selain itu pembaca juga lebih punya keleluasaan untuk menafsirkan isi teks, termasuk dalam hal ini, peneliti juga punya keleluasaan menafsirkan teks tersebut tentu dengan mempertimbangkan isi teks, produksi teks dan referent lainnya. I.E.2 Televisi Sebagai Wacana Berbicara tentang wacana tentu tak bisa dilepaskan dari bahasa, sebagai akar dari wacana itu sendiri. Fairclough membedakan dua jenis bahasa yang membentuk wacana tersebut. Bahasa verbal dan bahasa visual. Bahasa verbal umumnya berupa bahasa tulisan, namun ada jenis bahasa lain, berbicara misalnya, merupakan aktivitas yang terkait dengan gerak isyarat, ekpresi wajah, gerak badan dan sikap sampai sedemikian luas. Sebut saja hal ini sebagai visual, bahasa yang dapat menggantikan suatu kegiatan berbicara dan merupakan alternatif yang dapat diterima dengan sempurna; anggukan kepala, gelengan dan mengangkat bahu untuk isyarat iya, tidak dan tidak tahu merupakan contoh yang nyata. Maka ketika kita berpikir tentang materi tulis, cetak, film mapun siaran, maka segi visual jauh lebih tampak.33 Lebih jauh, Fairclough memberi konsep khusus dan batasan tentang apa yang disebut dengan wacana.
33
Norman Fairclough, Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi, (Malang: Boyan Publishing, 2003), hal 30
26
Discourse is a concept used by both social theorist and analysist and linguists. Like many linguists, I shall use ‗discourse‘ to refere to spoken ore witten language use, though I also want to extend it to include other types of semiotic activity (i.e activity which produces meanings), such as visual images (photography, film, video, diagrams) and non-verbal communications (e.g gestures)34 Dari batasan dan konsep yang diberikan oleh Fairclough tersebut maka tentu dapat disimpulkan apa saja yang dimaksud dengan wacana. Jika dirunut dari awal, wacana berkembang dari bahasa, yang salah satunya merupakan bahasa visual. Dan selanjutnya, Fairclough juga mengatakan wacana juga digunakan untuk bentuk bahasa tertulis maupun lisan. Maka disini rasanya tidak berlebihan jika kita menyebut tayangan televisi sebagai salah satu bentuk dari wacana. Karena bentuk tayangan televisi yang audiovisual menggunakan bahasa visual pada gambar dan bahasa lisan (spoken) pada audionya. I.E.3 Wacana dan Ideologi Wacana dalam perkembangannya tidak hanya terbatas pada hubungan komunikasi dua belah pihak semata. Namun ketika wacana sudah disampaikan dalam bentuk media kepada masyarakat luas, maka wacana tersebut telah menjadi wacana media (media discourse). Dan seperti yang dikatakan Fairclough, kekuasaan, apapun itu, pasti tersembunyi dalam wacana media.35 Sebab wacana ketika sudah masuk dalam ranah media, dengan pengaruh yang dimilikinya tentu ingin membentuk suatu struktur kekuasaan, minimal untuk mempertahankan wacana itu sendiri. Wacana di 34
Norman Fairclough, Media Discourse, (London: Arnold a member of Hodder Headline group, 1995), hal 54 35 Fairclough, OpCit, hal 62.
27
sini tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi menurut Foucault adalah sesuatu yang memproduksi yang lain, diantaranya sebuah gagasan konsep atau efek.36 Wacana yang telah memproduksi gagasan atau efek bagi masyarakat tadi lah yang berisi kekuasaan. Lebih lanjut, Fairclough menambahkan bahwa gagasan tentang ‗kekuasaan di balik wacana‘ adalah keseluruhan tatanan sosial dalam diskursus diletakkan dan disusun bersama sebagai sebuah efek tersembunyi dari kekuasaan tersebut.37Dengan demikian, tentu suatu hal yang mustahil untuk memisahkan antara wacana dan kekuasaan. Sebab keduanya pasti berhubungan. Kekuasaan pun juga tidak berdiri sendiri. Relasi kekuasaan dalam membentuk wacana tadi tentu juga memiliki hal yang melatabelakanginya. Fairclough menyebut ideologi sebagai pengikat utama dalam sebuah relasi kekuasaan.38 Lalu dimana hubungan antara ideologi dan wacana? Fairclough dalam Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language menyebutkan bahwa letak ideologi itu terdapat pada bentuk pewacanaan itu sendiri.39 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wacana dan ideologi memiliki hubungan yang erat. Sebuah wacana tentu ‗menyembunyikan‘ kekuasaan atau relasi antar kekuasaan untuk melanggengkan wacana tersebut. Dan dalam relasi kekuasaan itu tentu terdapat ideologi sebagi pengikat utama 36
37
Lihat Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hal 65.
Norman Fairclough, Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi, (Malang: Boyan Publishing, 2003), hal 64. 38 Ibid, hal 97. 39 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language, (London and New York: Longman, 1995), hal 71.
28
agar langgengnya kekuasaan tersebut. Sehingga ketika wacana itu tampil dalam bentuk pewacanaan (discursive), maka dengan sendirinya ideologi itu pun hadir. Misal dalam wacana hiperealitas relasi tidak setara pada perempuan yang dihadirkan oleh Termehek-mehek terdapat struktur kekuasaan yang tersembunyi dalam tayangan Termehek-mehek tersebut. Bisa jadi misalnya motif kekuasaan agar tayangan Termehek-mehek terus diminati pemirsa, sehingga pemasang iklan pada Termehek-mehek terus naik maka kekuasaan kapitalis dalam tayangan Termehek-mehek pasti terus hadir. Atau motif agar kekuasaan laki-laki terhadap perempuan dalam bentuk perempuan teraniaya dalam sebagian besar cerita tayangan Termehek-mehek—yang menjadi ‗jualan‘ utama Termehek-mehek—ingin terus langgeng, maka relasi antar dua bentuk kekuasaan ini harus diikat dalam bentuk ideologi. Jika melihat dua bentuk kekuasaan tersebut, ideologi kapitalisme dan ideologi patriarki tampaknya yang paling dominan. I.E.4 Ideologi Patriarki Patriarki secara harfiah berarti kekuasaaan bapak atau ‗patriarkh (patriarch)‘. Mulanya patriarki digunakan untuk menyebut suatu jenis ‗keluarga yang dikuasai kaum laki-laki‘. Sekarang istilah ini digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa
29
dengan apa laki-laki menguasai perempuan dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai dengan berbagai cara.40 Pada perkembangan berikutnya, patriarki terus mendapat tempat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebagian besar masyarakat dunia. Patriarki terus berkembang menjadi ideologi yang melatarbelakangi berbagai tindakan tidak adil yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Bahkan patriarki telah menjadi pembenaran untuk setiap tindakan semenamena laki-laki. Ideologi lebih jauh lagi ternyata telah melatarbelakangi berbagai bentuk tayangan televisi dewasa ini. Isi tayangan yang bias gender, yang menempatkan perempuan sebagai korban, tidak banyak dilihat sebagai sesuatu yang ganjil. Masyarakat cenderung mahfum atas kondisi perempuan di layar kaca sebab mereka pun melihat hal yang sama disekelilingnya. Patriarki, dengan demikian telah merasuk hebat dalam alam pikiran masyarakat, sehingga kemudian merasa tidak ada yang salah ketika laki-laki menindas perempuan, walaupun hanya di layar kaca. Perdebatan tentang patriarki terus didengungkan selama berabad-abad. Apakah sistem dan ideologi patriarki ini akan terus bertahan atau malah akan punah. Banyak orang beranggapan bahwa kaum laki-laki dilahirkan untuk berkuasa dan perempusn lahir untuk dikuasai. Mereka beranggapan bahwa patriarki selalu ada dan akan terus ada, dan bahwa seperti tatanan alam lainnya patriarki tidak bisa diubah. Sebagian orang lainnya
40
Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996), hal 1.
30
menentang pandangan ini dan mengatakan bahwa patriarki itu bukan buatan alam, bahwa patriarki itu buatan manusia dan karena itu bisa diubah.41 I.E.5 Relasi Perempuan dan Ketidakadilan Gender Ideologi patriarki seperti penjelasan diatas memang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan. Perempuan cenderung berada dibawah laki-laki, hampir dalam setiap sisi kehidupan. Relasi perempuan dengan laki-laki menjadi relasi yang timpang. Posisi laki-laki dan perempuan dianggap tidak lah setara. Misalnya, dengan menempatkan perempuan dalam ruang domestik dan laki-laki dalam ruang publik. Dengan demikian rasanya tidak berlebihan jika disebut terjadi ketidakadilan gender bagi perempuan. Gender, istilah yang sebelumnya hanya digunakan dalam konteks studi bahasa, selanjutnya telah memperoleh arti yang sama sekali baru dalam studi akademis tentang wanita. Konsep tentang gender sendiri terus berkembang untuk memperkaya studi tentang wanita. Diantaranya adalah Pertama, gender lahir karena ketidakpuasan atas gagasan statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria dan wanita dalam pelbagai kebudayaan. Kedua, gender
41
Ibid, hal 27.
31
menyiratkan bahwa kategori pria dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk identitas pria dan wanita.42 Kedua konsep tersebut menyiratkan bahwa gender memang lahir sebagai konsep yang ingin membebaskan perempuan dari ketidakadilan gender yang dibaut oleh laki-laki. Mansour Fakih menyebut ada beberapa manifestasi bentuk ketidakadilan gender diantaranya adalah marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja berlebih pada perempuan.43 Beberapa bentuk ketidakadilan gender tersebut masih berlangsung dan terus membuat perempuan berada dalam posisi yang semakin tidak diuntungkan. I.E.6 Ideologi Kapitalisme Ideologi kapitalisme terus merongrong hampir seluruh kehidupan masyarakat sekarang. Saking hebatnya, masyarakat bahkan tidak menyadari telah dirasuki oleh kapitalisme itu sendiri. Karl Marx memberi pengertian kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya produksi vital yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal.44 Dengan demikian, memang jelas terlihat bahwa kapitalisme memang hanya menguntungkan sebagian pihak semata. Pihak yang lain hanya diperalat untuk mencapai keuntungan bagi kelompok yang menguasai 42
Idi Subandi Ibrahim, Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer, ( Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal 6. 43 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) hal 12-23. 44 Sanderson dalam Burhan Bungin, Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hal 29.
32
sumberdaya produksi vital. Marx menyebutnya kaum borjuis.Selain menguasai sumberdaya produksi vital, kaum borjuis ini sebenarnya juga melaksanakan proses produksi itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Wallerstein bahwa sebenarnya kapitalisme merupakan produksi dalam suatu pasar yang tujuan produsennya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.45 Defenisi Wallerstein maupun Marx diatas mengarah pada dua hal penting yaitu produksi dan keuntungan. Dua hal ini lah yang menjadi titik fokus
kapitalisme.
Mengembangkan
produksi
dan
mendapatkan
keuntungan maksimal. Sehingga kemudian tidak heran jika kapitalisme memanfaatkan berbagai hal disekitar masyarakat dan menyentuh semua sendi kehidupan masyarakat agar menjadi suatu proses produksi dan menghasilkan keuntungan maksimal bagi kaum borjuis tadi. Maka jadilah masyarakat kini menjadi masyarakat yang disebut Theodor W. Adorno, tokoh Mazhab Frankfurt, sebagai masyarakat komoditas. Adorno memberi beberapa aksioma yang layak disimak jika ingin membahas kapitalisme dan masyarakat komoditas lebih lanjut. Pertama, kita hidup dalam masyarakat komoditas, yakni masyarakat yang didalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tapi demi profit atau keuntungan. Kedua, dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan 45
Suwarsono dalam Burhan Bungin, Imaji Media Massa: Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik,(Yogyakarta: Jendela, 2001) , hal 30.
33
terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus menerus, sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat. Keempat, Dalam masyarakat kita kekuatankekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan prosuksi yang ada.46 Keempat hal diatas menggambarkan secara garis besar seperti apa ideologi kapitalisme telah merasuki masyarakat, yang akhirnya melahirkan masyarakat komoditas. Semua sendi dan sisi kehidupan memang telah dimasuki ideologi kapitalisme, tidak terkecuali media dan budaya. Dua hal yang disebut terakhir, punya peran yang tidak sedikit dalam pelestarian ideologi kapitalisme lewat pemassalan budaya yang bermetamorfosa menjadi industri budaya.
46
Idi Subandi Ibrahim (Ed), Lifestyle Ectasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 1997), hal xxiv.
34
I.E.7 Budaya Pop dan Industri Budaya Ideologi kapitalisme, sesuai penjelasan sebelumnya melahirkan apa yang disebut sebagai pemassalan budaya atau suatu proses produksi budaya yang dilakukan secara massal. Atau biasa juga disebut budaya pop. Barker menyebut budaya pop sebagai suatu budaya yang diproduksi secara komersial atau budaya yang diproduksi-massal oleh industri budaya.47 Dari sini kita bisa melihat bahwa budaya pop bukanlah budaya adiluhung yang memiliki nilai tinggi. Namun lebih pada budaya yang memiliki motif komersial dan karena diproduksi secara massal maka tentu memiliki sifat massal dan instan. Yang paling kentara dari sifat budaya pop tersebut adalah hiburan. Karena hiburan mengandung tiga hal tersebut sekaligus. Komersil, massal dan instan. Dan yang tidak boleh dilupakan juga adalah media massa, misalnya televisi, sebagai sarana pemassalan budaya tersebut. Penilaian terhadap acara televisi di ukur dari seberapa besar kadar hiburannya. Semakin besar kandungan hiburannya, semakin di nilai bagus acara tersebut. Melalui televisi, hiburan berhasil mendapat tempat terhormat di masyarakat. Hiburan media massa, seperti televisi, saat ini merupakan‖ pengepopan‖ dan ― pemassalan ― budaya. Karenanya, sebagai fenomena antara hiburan, budaya pop, dan budaya massa, terdapat hubungan yang interdependensi, serta pengembangan dan penyebarluasan ketiga budaya
47
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hal 4950.
35
tersebut tidak lepas dari jasa televisi.48 Sisi hiburan televisi saat ini memang telah menjadi sebuah budaya yang tidak lepas dari komersialisasi. Tentunya, tidak ada motif lain selain motif ekonomi. Dengan demikian, hiburan televisi telah menjadi bagian dari budaya pop. Salah satu aliran dalam budaya pop seperti yang diungkapkan oleh Ben Agger menyebutkan bahwa budaya pop adalah budaya yang dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari.49 Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya menyebutkan bahwa budaya pop memang dekat dunia hiburan dan mengesankan konsumtif. Pada tingkatan berikutnya, ketika budaya pop telah memproduksi budaya yang erat dengan kesan konsumtif tadi tentu akan hadir suatu proses industrialisasi budaya sebagai produsen budaya pop tadi. Industri budaya mengubah beberapa hal, seperti seni, yang sebelumnya murni hanya nilai budaya dan estetika belaka menjadi semata-mata bernilai komersil, menghasilkan uang dan tidak lebih untuk menghibur saja. Dan pada akhirnya akan menghilangkan nilai budaya yang adiluhung itu sendiri. Industri budaya menjadi semacam keniscayaan ketika masyarakat telah dalam belenggu budaya pop yang bertujuan keuntungan dan hiburan semata.
48
Mahendra Wijaya, ―Media Massa, Budaya Pop dan Gaya Hidup Komersil di Era Globalisasi‖, Proceeding Seminar Internasioanal FISIP UNS 2010, Globalization: Social Cost and Benefits for The Third World,(Surakarta: UNS Press, 2010) 49 Ben Agger dalam Burhan Bungin, Erotika Media Massa, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), hal 96
36
I.E.8 Hiperealitas Hiperrealitas
yang diutarakan
oleh
Baudrillard berawal
dari
kegelisahan melihat dunia konsumerisme barat yang sudah berlebihan. Hal ini berangkat dari perkembangan perekonomian di Barat (yang dilihat Baudrillard). Perkembangan dunia industri yang pesat melahirkan teknologi-teknologi yang merupakan perpanjangan tangan dari tubuh manusia sebagai mesin industri. Seperti komputerisasi, otomatisasi, robotisasi dan miniaturisasi yang membangunnya. Pada gilirannya teknologi-teknologi ini menghasilkan teknik produksi
yang dapat
memproduksi dan mereproduksi produk yang tak terhingga. Melalui teknik produksi yang semacam ini—dengan teknologi mutakhir—realitas tidak hanya dapat direproduksi tapi juga disimulisasikan. Hiperealitas hadir sebagai akibat dari telah terjadinya proses simulasi atas simulakrum yang ada pada masyarakat. Dimana makna (petanda) telah
lama
mati
sehingga
tanda
(penanda)
menjadi
tak
lagi
merepresentasikan apapun. Tanda telah kehilangan referensinya ketika makna telah mati. Satu-satunya referensi yang ada hanyalah massa, sebagai mayoritas yang diam. Massa pasif. Massa ini menerima semua informasi, produk, gaya dan gaya hidup. Mereka tak bisa lagi merefleksikan apa yang mereka terima selain karena memang tak ada yang bisa direfleksikan, massa juga terjebak dalam situasi skizofrenik. Situasi dimana terlalu banyak tanda, pesan, informasi dan gaya yang diterima massa.
37
Hiperealitas mencerabut massa dari nilai spiritual dan realitas sosial yang ada. Massa disuguhi reproduksi nilai-nilai yang tak lagi bersumber dari nlai transendental: ideologi, mitologi dan spiritual. Hiperealitas mengganti kedalaman spiritual dengan kedangkalan citra dan tontonan. Pertandingan sepakbola, konser musik, fashion show, televisi menjadi ritual baru dalam masyarakat menggantikan fungsi agama dan ideologi. Umberto Eco dalam Travels in Hyperreality menuliskan dalam hiperealitas bukan hanya realitas yang hilang yang direproduksi. Tetapi juga fantasi, mimpi, fiksi, ilusi, halusinasi dan science fiction. Eco memberi dua kategori hiperealitas, yaitu: 1) Museum Lilin (Wax Museum) dan 2) Kota Hantu (Ghost House). Pada museum lilin, yang hadir adalah reproduksi dari realitas sejarah seperti patung lilin Marylin Monroe, Menara Eiffel, Menara Pisa, dan sebagainya. Kota Hantu adalah reproduksi dari mimpi, ilusi, fantasi dan fiksi ilmiah seperti Donald Duck, Cinderella, Batman, Superman, Kingkong, dan sebagainya.50 Di museum lilin menurut Eco masih membuat kita percaya semua yang ada adalah duplikasi dari realitas. Namun di Kota Hantu (Disneyland adalah contoh yang paling tepat), kita tak lagi sadar bahwa apa yang kita saksikan adalah fantasi. Disneyland telah menjadi hiperealitas yang sempurna. (Piliang, hipersemiotika) Hiperealitas dengan demikian, adalah kondisi ketika didalamnya realitas telah diambil alih oleh model-model realitas atau simulasi realitas. 50
Ibid, Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta:Jalasutra, 2003), hal 137
38
Pertanyaan berikutnya yang kemudian hadir adalah apakah model-model realitas tersebut berdiri sendiri tanpa merujuk pada realitas? Misalnya, apakah Disneyland-yang sering dikatakan Baudrillard sebagai konsep hiperealitas paling sempurna-tidak merujuk pada realitas apa pun? Padahal secara esensial, elemen-elemen wahana dalam Disneyland merupakan salinan dari realitas yang sudah ada (budaya Mesir, Yunani dan sebagainya)
51
. Bagaimana mungkin kita melenyapkan konsep rujukan
(referensi) dari dunia hiperealitas yang pasti membutuhkan sesuatu sebagai rujukan. Disini Baudrillard memberikan batasan ontologis antara realitas dan nonrealitas (mitos, fiksi, dongeng, imajinasi, halusinasi). Teknologi dewasa ini ternyata telah membongkar konsep nonrealitas. Segala sesuatu yang dulu hanya fiksi, mitos, dongeng, imajinasi, atau halusinasi sekarang dengan teknologi telah dimaterialisasikan, direalisasikan dan dibuat menjadi fakta. Dan kini mengambilalih dunia realitas. Segala sesuatu yang nonrealitas tinggal menunggu waktu saja untuk menjadi realitas. Dengan demikian, maka persolan hiperealitas sebenarnya adalah bukan matinya referensi (rujukan), namun adalah berbaur dan tumpang tindihnya realitas dan nonrealitas pada satu dimensi. Yaitu ketika yang nonrealitas mewujudkan dirinya menjadi realitas artifisial yang bersifat faktual. Contoh paling mudah untuk melihat berbaurnya realitas dan nonrealitas adalah dalam Disneyland dan televisi. 51
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2004), hal 76
39
Terkhusus pada televisi, hiperealitas yang kemudian hadir akibat tumpang tindih dan berbaurnya realitas dan nonrealitas bermetamorfosa lebih lanjut menjadi hiperealitas media. Ketika sudah digolongkan dalam hiperealitas media, maka tinjauan yang kemudian hadir adalah bagaimana pesan, dampak dan khalayak yang tersentuh hiperealitas media ini. I.E.9 Simulakra, Simulakrum dan Simulasi Membicarakan hiperealitas tentu tak lepas dari teori dan terminologi baru yang membentuknya. Simulakra (simulacra, jamak: simulacrum) dan Simulasi (simulation) adalah dua konsep diantara berbagai konsep yang membentuk hiperealitas. Dua konsep ini juga bisa dikatakan sebagai konsep kunci yang membentuk hiperealitas. Kamus Oxford Advanced Learner‘s mendefinisikan simulakra (simulacra) sebagai (1) sesuatu yang tampak atau dibuat tampak seperti sesuatu yang lain, (2) salinan (copy). Sementara dalam Collins Thesaurus, kata salinan mempunyai sinonim sebagai berikut: archetype, conterfeit, duplicate, facsimile, forgery, image, imitation, likeness, model, pattern, photocopy,
photostat,
print,
replica,
replication,
representation,
reproduction, transciption, xerok. Pejelasan terminologis ini diperlukan untuk melihat berbagai konteks penggunaan istilah-isitilah tersebut secara lebih luas untuk menjelaskan apa itu hiperealitas.52 Simulakra-simulakra atau salinan yang bersifat jamak disebut simulakrum. Baudrillard dalam Simulations menjelaskan tiga tahap atau
52
Ibid hal 57
40
orde penampakan (appreance) dalam sejarah masyarakat, yaitu: Conterfeit (pola dominan pada periode klasik, dari Renaisans ke revolusi industri), Produksi (pola dominan dalam era industri) dan Simulasi (pola yang dominan pada tahap sekarang).53 Hanya orde Conterfeit dan Produksi
yang dimaknai sebagai
simulakrum. Karena pada orde tersebut, simulakrum masih berupa meniru, mengkopi, menduplikasi atau mereproduksi sesuatu yang lain sebagai modelnya. Sedangkan pada Simulasi, simulakrum yang hadir adalah simulakrum sejati (pure simulacrum) karena simulakrum itu tidak menduplikasikan sesuatu yang lain sebagai model rujukannya, akan tetapi menduplikasikan dirinya sendiri. Artinya pada orde Simulasi, simulakrum telah menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber rujukan. Jelasnya, meskipun semua simulasi adalah simulakrum, akan tetapi tidak semua simulakrum adalah simulasi. Hanya simulakrum yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sumber rujukan yang pantas digolongkan simulasi. Simulasi sendiri adalah sebuah model produksi masyarakat konsumer (massa). Produksi yang ada bukanlah duplikasi dari sesuatu yang ada (being) namun lebih pada penciptaan model-model sesuatu yang nyata, yang tanpa asal-usul. Referensi duplikasi pada simulasi bukan lagi realita namun sudah sampai pada tahap fantasi. Oleh karena fantasi dapat menjadi
53
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hal 132.
41
(seolah-olah) nyata, maka perbedaan antara realitas dan fantasi sebenarnya sudah tidak ada. Pada proses simulasi tidak hanya menghadirkan objek-objek hipereal, namun sekaligus ruang simulakrum. Ruang dimana terjadi proses kompresi, dekonstruksi, dan rekonstruksi didalamnya. Contohnya, dengan menonton televisi atau film, siapapun dapat melihat realitas, fantasi, halusinasi, dunia supernatural, science fiction atau dunia secara total. Televisi adalah ruang simulakrum tersebut. Dihubungkan lebih jauh dengan perkembangan masyarakat konsumer, mengkonsumsi makna menjadi tak lagi penting bagi massa. Diferensi lebih dibutuhkan massa. Diferensi dihadirkan dalam konsumsi dan tontonan. Diferensi tak lagi bisa dihasilkan hanya dengan representasi realitas, mitos dan ideologi, karena itu sudah membosankan. Diferensi dalam tontonan kini hadir dengan menyangkal dunia nyata atau mengubah fantasi, ilusi, fiksi dan nostalgia seolah-olah menjadi nyata melalui produksi dan reproduksi simulasi. Menghadirkan film Superman adalah bentuk simulasi dengan mengubah fantasi menjadi dunia nyata.
Atau film Jurassic Park adalah bentuk
mengubah nostalgia (atas Dinosaurus) menjadi dunia nyata. Simulasi terus menyerang massa secara bertubi-tubi lewat diferensi yang dihadirkan. Hal ini akan membuat massa kesulitan untuk melihat yang mana realita, yang mana citra. Karena kesulitan membedakan antara citra dan realita yang diterimanya ditambah citra tak lagi bercermin pada realita yang ada sehingga bagi massa, citra saat ini adalah realita itu
42
sendiri. Kondisi seperti ini lah yang disebut dengan hiperealitas. Kondisi dimana tidak ada lagi referensi dalam citra (image) yang ditangkap massa. Jika simulasi adalah proses pencitraan tanpa referensi (dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi), maka hiperealitas adalah efek, keadaan dan atau ruang yang dihasilkan proses tersebut.54 I.E.10 Hipersemiotika: Konsep Membaca Hiperealitas Hipersemiotika menjadi sebuah konsep baru ketika memang penggunaannya berbeda dengan semiotika. Hal ini karena dasar pemikiran yang digunakan dalam hipersemiotika berbeda dengan semiotika ataupun semiologi pada umumnya. Perkembangan semiotika sendiri berasal dari pemikiran ahli logika dan filsuf Amerika, C.S Pierce dan ahli liguistik Swiss, Ferdinand de Saussure. Kedua pemikir ini mengembangkan pola pemikiran tentang semiotika yang relatif berbeda. C.S Pierce lebih mengedepankan logika dalam mengembangkan pemikirannya. Semua ini tergambar dari konsep segitiga Pierce yang dikemukakannya. Sedangkan Saussure lebih melihat tanda dalam kerangka bahasa lewat konsep langue (bahasa/language) dan parole (ujaran). Sedangkan Hipersemiotika secara bahasa bisa diartikan sebagai konsep yang melebihi (hiper) dari semiotika pada umumnya. Lalu konsep apakah yang dilebihi/dilewati oleh hipersemiotika. Sebelum membedah lebih lanjut tentang hipersemiotika, ada baiknya kita melihat dahulu konsep umum dalam semiotika.
54
Ibid. hal 135.
43
Suassure
dalam
berbagai
penjelasannya
mengenai
semiotika
mengemukakan beberapa prinsip pokok dalam teori semiotika, diantaranya adalah: Pertama, prinsip struktural. Saussure melihat relasi tanda sebagai sebuah relasi struktural. Artinya, menurut Saussure, dalam setiap tanda selalu terdapat penanda (signifier) yang bersifat materi dan petanda (signified) yang berupa konsep. Dua hal ini pasti berada dalam kesatuan. Kedua, prinsip kesatuan (unity). Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan antara penanda (materi) dan petanda (konsep). Ketiga, prinsip konvensional. Relasi struktural antara penanda dan petanda, dalam hal ini, sangat bergantung pada apa yang disebut konvensi (convention), yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Keempat, prinsip sinkronik (synchronic). Dapat diartikan kajian tanda masuk dalam sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil, dan tidak beruabah. Kelima, prinsip representasi (representation). Semiotika lebih dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas, yang menjadi rujukan atau referensinya. Keenam, prinsip kontinuitas (contiunity). Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan
44
penggunaannya secara sosial sebagai sebuah kontinum (continuum) . Sebagai sebuah proses yang terus menerus.55 Dari beberapa prinsip diatas, tergambar bagaimana semiotika seringkali terjebak dalam prinsip oposisi biner (posisi saling dibenturkan) dalam bahasa dan kehidupan sosial. Merunut pada beberapa prinsip diatas, semiotika
dibangun
dalam
struktur/perkembangan,
benteng
oposisi
konvensi/perubahan,
biner
seperti
sinkronik/diakronik,
langue/parole. Prinsip oposisi biner ini sangat sentral dalam pemikiran struktural mengenai semiotika. Hipersemiotika dalam hal ini ingin membongkar benteng oposisi biner ini. Hipersemiotika ingin menembus batas itu dengan mengembangkan beberapa prinsip yang keluar dari pemikiran struktural yang berkembang dalam semiotika. Hipersemiotika menawarkan beberapa prinsip sebagai berikut: Pertama, prinsip perubahan dan transformasi. Hipersemiotika lebih menekankan
pada
perubahan
tanda
ketimbang
struktur
tanda.
Hipersemiotika lebih cenderung pada produksi tanda daripada reproduksi kode dan makna. Produksi tanda atau produksi semiotik pada hipersemiotika tidak menggantungkan diri pada konvensi, kode atau makna yang sudah ada. Hipersemiotika tidak mereproduksi tanda atau makna yang sudah ada. Hipersemiotika memilih untuk memproduksi tanda yang keluar dari konvensi yang sudah ada.
55
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003)
45
Kedua, prinsip imanensi (imanency). Hipersemiotika menekankan sifat imanensi (imanence) sebuah tanda ketimbang sifat transendensinya, permainan permukaan material (fisik) ketimbang kedalaman (metafisik). Hipersemiotika lebih condong pada permainan penanda daripada petanda. Ketiga,
prinsip
perbedaan
atau
pembedaan
(difference).
Hipersemiotika menekankan perbedaan (difference) dalam penandaan ketimbang identitas, konvensi atau kode sosial. Penemuan makna dalam hipersemiotika berasal dari pembedaan dan perbedaan yang ada dari pada pencarian identitas ataupun konvensi yang ada. Keempat, prinsip permainan bahasa (language game). Hipersemiotika menekankan permaianan pada tingkat parole (ujaran) ketimbang langue (bahasa). Makna yang hadir dalam hipersemiotika tidak lagi penting berdasarkan konvensi bahasa yang ada. Medium sebagai saluran (channel) penyampai pesan dalam proses transformasi makna jauh lebih penting dari makna itu sendiri. Kelima, prinsip simulasi (simulation). Simulasi adalah penciptaan realitas yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya, dan kini ia menjelma menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri. Bahasa atau tanda-tanda di dalamnya seakan-akan merefleksikan realitas sesungguhnya, padahal ia adalah realitas artifisial (realitas artificial), yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realitas ini tampak
46
dipercaya sama nyatanya atau bahkan lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya. Keenam,
diskontinuitas.
diskontinuitas
semiotik
Hipersemiotika
ketimbang
menekankan
kontinuitas
semiotik.
pada Dalam
diskontinuitas pasti tercipta keterputusan, persimpangan dan interupsi tanda yang tidak hadir dalam kontinuitas semiotik—seperti konsep semiotika.
Dengan
hadirnya
keterputusan,
interupsi
atau
pun
persimpangan tanda maka akan tercipta perbedaan dan permainan tanda dan kode-kode sebagai konsep hipersemiotika.56 Beberapa prinsip hipersemiotika diatas ingin menjelaskan bahwa hipersemiotika memang berbeda dengan semiotika. Dengan beberapa prinsip yang memang berbeda dengan semiotika itu, hipersemiotika memang dirancang sebagai sebuah alat untuk mengungkap tanda-tanda berlebihan yang hadir dalam dunia yang melebihi realitas (hiperealitas). Sangat berbeda dengan semiotika yang lebih cenderung melihat tanda dalam dunia realitas. Pendeknya, hipersemiotika berperan sebagai teori tanda dan berguna untuk mengungkap hiperealitas sebagai teori realitasnya. Dunia hipersemiotika dengan demikian memang tak bisa dipisahkan dari dunia hiperealitas yang dilukiskan Baudrillard. Sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan
56
Ibid. hal 52.
47
permainan bebas tanda-tanda yang melampui (hyper-signs). Sebuah tanda yang melampui prinsip, definisi, struktur dan fungsinya sendiri. I.E.11 Hyper-signs: Tanda Yang Melampui Realitas Jika hipersemiotika adalah ilmu tentang produksi tanda yang melampui realitas, maka hyper-signs adalah tanda yang melampui realitas itu. Tetapi bagaimanakah wujud tanda yang melampui realitas itu sendiri. Terdapat beberapa syarat agar sebuah tanda dapat digolongkan kedalam beberapa tipologi tanda yang melampui realitas. Sebuah tanda dapat dikatakan melampui realitas (hyper-signs) jika tanda itu melewati batas prinsip, sifat, alam dan fungsi tanda yang normal sebagai bagian dari proses komunikasi yang informatif. Selain itu tanda juga dapat digolongkan hyper-signs jika tanda itu tidak memiliki lagi hubungan dengan realitas yang direpresentasikannya serta jika tanda kehilangan fungsi informatifnya. Selain harus memenuhi syarat tersebut, tanda dapat digolongkan hyper-signs jika memenuhi tipologi tanda yang masuk dalam tipologi hyper-signs. Berikut beberapa tipologi tanda tersebut: Pertama, tanda sebenarnya (proper sign). Proper sign adalah tanda yang
memiliki
hubungan
relatif
simetris
dengan
realitas
yang
direfleksikannya. Karena tanda hanya refleksi dari realitas maka proper sign bukan lah realitas itu, ia hanya refeleksi/citra/cerminan dari realitas.
48
Realita [A]
Citra [A‘]
Proper sign bukan termasuk hyper-sign
karena ia merupakan
cerminan asli dari realitas. Ini lah fase paling ideal. Fase pertama dalam tahapan simulasi Baudrillard. Dengan demikian proper sign jelas bukan termasuk hiperealitas. Kedua, tanda palsu (pseudo sign). Pseudo signs adalah tanda yang bukan asli, tiruan atau gadungan. Dalam Pseudo signs, tanda yang hadir mereduksi realitas. Jadi citra yang ditampilkan bukan realitas sepenuhnya. Walaupun masih terdapat unsur realitas disana.
Realita [A‘]
Citra [A]
Realita [A]
Citra [1/2 A]
Pseudo Sign menganut mekanisme metonomia semiotika yang mencitrakan sebagian untuk menggambarkan keseluruhan. Tanda ini belum termasuk hyper sign karena masih terdapat unsur realitas walaupun tidak penuh. Dengan demikian, Pseudo sign belum tergolong pada hiperealitas. Psedo sign masih tergolong dalam fase malefice. Fase dimana tanda menutupi atau menyelewengkan realitas.
49
Ketiga, tanda dusta (false sign). False sign adalah tanda yang menggunakan penanda (signifier) yang salah untuk menjelaskan petanda (signified) yang demikian juga salah. Jika dalam pseudo sign masih terdapat hubungan dengan realitas maka false sign benar-benar lepas dari realitas. Tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas. Walaupun demikian, pseudo sign belum dapat digolongkan hyper-sign ataupun hiperealitas. Pseudo sign masih masuk dalam fase malefice ataupun sorcery, fase dimana tanda menutupi atau menopengi realitas yang sebenarnya tak ada. False sign bisa terlihat pada pemakaian wig rambut panjang untuk menutupi realitas rambut pendek sang pemakai. Realita [B]
Citra [A]
Namun demikian, false sign bisa digolongkan menjadi hyper-sign jika false sign disandingkan dengan tanda yang otentik (asli). Ataupun false sign disandingkan dengan informasi yang benar. Misal, pemakai wig rambut panjang tersebut disandingkan dengan orang yang berambut panjang otentik (asli), maka wig rambut panjang berpretensi untuk dianggap sebagai rambut panjang otentik, sebab ada pembandingan disana. Tentu akan berbeda hasilnya ketika wig rambut panjang tadi disandingkan dengan rambut pendek.
50
Keempat, tanda daur ulang (recycled sign). Recycled sign adalah tanda yang telah digunakan untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa masa lalu (dengan konteks ruang, waktu dan tempatnya yang khas), kini digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa kini (yang sesungguhnya berbeda atau tidak ada sama sekali). Recycled sign menjadi semacam topeng realitas yang mencerminkan realitas yang sesungguhnya tidak seperti yang digambarkan atau bahkan sama sekali tidak ada realitas disana. Contoh, penggunaan gambar pemerkosaan kasus Marsinah untuk menggambarkan pemerkosaan perempuan Cina pada perisitiwa Mei 1998 di Jakarta. Kasus Marsinah dan Kasus Mei 1998 jelas berbeda dalam konteks ruang, waktu, tempat, aktor dan sebagainya. Sehingga tidak bisa tanda tertentu digunakan untuk menjelaskan realitas yang lain, yang berbeda secara konteks ruang, waktu dan tempat. Citra + Ruang Waktu [A] + [A] Karena
tak
lagi
mencerminkan
Citra + Ruang Waktu [A] + [B] sebuah
realitas,
kalau
pun
mencerminkan realitas, bukan lah realitas yang sesungguhnya, maka recycled sign sudah masuk kategori hyper-sign dan jelas merupakan bagian dari dunia hiperealitas. Kelima, tanda artifisial (artificial sign), tanda artifisial adalah tanda yang direkayasa lewat teknologi citraan mutakhir (teknologi digital, computer graphic, simulasi), yang tidak mempunyai referensi pada realitas. Ia disebut tanda-tanda yang tidak alamiah atau buatan. Teknologi digital memungkinkan untuk menghadirkan realitas yang tak ada
51
referensinya ini. Realitas virtual. Tanda artifisial tidak merepresentasikan realitas (seperti pada proper sign) namun ia merefleksikan dirinya sendiri. Realita [A]
Citra [A] Sama Identik
Dengan demikian realitas virtual memang tak lagi membutuhkan referensi atas realitas. Karena ia telah mampu menciptakan realita sendiri dengan bantuan teknologi digital. Tanda artifisial dengan demikian telah masuk dalam kategori hyper-sign dan telah masuk dalam dunia hiperealitas. Keenam, tanda ekstrim (superlative sign). Tanda ekstrim adalah tanda yang ditampilkan dalam model pertandaan yang ekstrim (hypersignification), khususnya lewat efek-efek modulasi pertandaan dan makna (modulation effect) yang jauh lebih besar ketimbang apa yang ada di dalam realitas sendiri, semacam intensifikasi realitas, peningkatan efek, eksterimisitas makna. Tanda yang dihadirkan jauh melebihi realitas yang ada. Ada pelipatgandaan tanda semacam multiplikasi efek yang menghasilkan sebuah ungkapan hiperbolis atau superlatif. Realita [A]
Citra [A‘‘‘]
Contoh paling mudah dari tanda ekstrim adalah pada film-film perang atau action Hollywood, yang di dalamnya hasrat kekerasan, gairah seks, efek ketakutan dan rona kematian benar-benar menjadi sesuatu yang benar-benar ekstrim. Sesuatu yang bahkan tidak pernah kita temui di dunia
52
sebenarnya. Dengan demikian, tanda ekstrim adalah tanda yang murni hiper- pure hyper-sign. Dan masuk dalam kategori dunia hiperealitas. Selain dari beberapa kategori dan tipologi hyper sign diatas. Hipersemiotika juga bisa diartikan ketika terjadi tumpang tindih, bercampur dan berbaur antara tanda-tanda diatas dalam satu ruang. Sehingga tak bisa lagi dibedakan, karena tanda semu/asli, palsu/tiruan, masa lalu/masa kini, alamiah/artifisial telah bercampur aduk dalam satu ruang yang sama. Bercampur-aduknya tanda-tanda tersebut meluruhkan batas perbedaan antara mereka. Sehingga tercipta kekacauan makna. Disinilah peran hipersemiotika sebagai ilmu untuk membongkar tandatanda tersebut. Tayangan reality show Termehek-mehek yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah salah satu contoh bentuk pencitraan yang penuh dengan permainan penanda. Contoh hiperealitas yang ditampilkan produk media. Mulai dari dominannya tanda ekstrim dan beberapa tanda lain yang digolongkan dalam hyper-sign pada tayangan ini, hingga tumpang tindihnya tanda-tanda dalam pencitraan ini. Dominannya tanda dan bercampur-baurnya tanda menjadi ciri bahwa Termehek-mehek memang sarat dengan hipersemiotika. Sekaligus menjadi penegasan atas hadirnya hiperealitas pada tayangan ini.
53
Dalam bab ini, peneliti akan membaca hypersign-hypersign yang ada pada tayangan Termehek-mehek tersebut. Pembacaan ini dilakukan dengan mengidentifikasi setiap penanda yang ditampilkan dengan kategorisasi
hyper-sign
yang
diungkapkan
Yasraf
Amir
Piliang.
Menggunakan kategorisasi hyper-sign menjadi konsekuensi logis ketika ingin membaca hipersemiotika yang ditampilkan sekaligus membuktikan hiperealitas yang ditampilkan tayangan Termehek-mehek. Hal ini dikarenakan untuk membaca sebuah fenomena hiperealitas diperlukan pengidentifikasian atas tanda-tanda yang ditampilkan dengan kategorisasi hyper-sign pada teori hipersemiotika. Penelitian ini terkhusus akan meneliti pada fase simulasi saja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karena memang pada fase ini lah hiperealitas benar-benar terlihat. Untuk menafsirkan fase simulasi pada hiperealitas yang ditampilkan tayangan termehek-mehek, paling tidak ada beberapa konsentrasi khusus. Diantaranya adalah hiperealitas cerita, hiperealitas tayangan (acting dan special effect) dan hiperealitas latar tayang (tempat dan waktu). Ketiga konsentrasi tersebut adalah beberapa hal yang menjadi acuan dalam
membaca
hiperealitas
yang
ditayangkan
Termehek-mehek.
Hiperealitas cerita misalnya membantu menunjukkan bahwa dalam tayangan tersebut, sebuah cerita menjadi sangat artifisial dengan tidak adanya referensi atas cerita itu di kehidupan nyata. Hiperealitas acting membantu menggambarkan betapa sangat ekstrim (superlative) nya acting
54
atau permainan peran para talent dalam tayangan Termehek-mehek. Sedangkan hiperealitas latar tayang membantu memperlihatkan terjadinya daur ulang waktu dan tempat dalam penayangan Termehek-mehek. I.F
Kerangka Pemikiran
Tayangan Termehek-mehek
Hiperealitas Relasi Tidak Setara Pada Perempuan
Analisis Wacana Kritis
Level Teks (Analisis Wacana) Analisis Level Produsen
Analisis Sosiokultural
Analisis Level
Konsumen
Bagan 2. Kerangka Pemikiran I.G Konseptualisasi I.G.1 Analisis Wacana Kritis Analisis wacana kritis oleh Fairclough dibedakan dalam tiga dimensi atau tiga tingkat, diantaranya adalah deskripsi untuk analisis pada level teks, interpretasi untuk analisis pada level produksi sekaligus konsumsi teks dan yang terakhir eksplanasi untuk analisis pada level sosiokultural teks tersebut.57
57
Norman Fairclough, Languange and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi, (Malang: Boyan Publishing, 2003), hal 29.
55
I.G.2 Analisis Gender Teknik analisis gender yang diadopsi dalam penelitian ini adalah kerangka kerja teknik analisis gender atau sering disebut sebagai Gender Framework Analysis (GFA) yang dikembangkan Universitas Harvard, yaitu suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan, yang mengutarakan perlunya tiga komponen dan interelasi satu sama lain, yaitu: profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol58 I.G.3 Relasi Tidak Setara Pada Perempuan Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan ditambah dengan
faktor
menciptakan
sosial
perbedaan
budaya gender
yang mendukung sistem yang
pada
akhirnya
patriarki
melahirkan
ketidakadilan gender. Berbagai bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan (biasanya lebih banyak dilakukan oleh laki-laki) kemudian menyebabkan relasi yang timpang dalam hubungan laki-laki—perempuan. Pada titik ini lah relasi tidak setara pada perempuan benar-benar tampak nyata. I.G.4 Hiperealitas Persolan hiperealitas sebenarnya adalah bukan matinya referensi (seperti yang dikonsepkan Baudrillard), namun adalah berbaur dan tumpang tindihnya realitas dan nonrealitas pada satu dimensi. Yaitu ketika
58
Overhalt dalam Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMM Press, 2006), hal 160.
56
yang nonrealitas mewujudkan dirinya menjadi realitas artifisial yang bersifat faktual.59 Sebab bahkan sebuah bentuk hiperealitas pun pasti mempunyai referensi. Disneyland, yang disebut Baudrillard sebagai bentuk hiperealitas paling sempurna tetap saja memiliki referensi seperti budaya Mesir atau Yunani kuno misalnya. I.G.5 Reality Show/Drama Reality Widyaningrum dan Christiastuti memberi pengertian reality show adalah Suatu acara yang menampilkan realitas kehidupan seseorang, bukan selebriti (orang awam), lalu disiarkan melalui jaringan TV, sehingga dapat dilihat masyarakat. Dimana tak sekedar mengekspose kehidupan orang, namun juga sebagai ajang kompetisi, bahkan menjahili orang60. Istilah drama reality yang kemudian digunakan oleh Trans TV untuk menyebut
tayangan
Termehek-mehek
tidak
dikenal
luas
dalam
kategorisasi tayangan televisi. Terbukti dari lembaga yang kerap merating acara televisi, AC Nielsen, yang tidak mempunyai kategorisasi untuk genre acara ini. Hadiansyah Lubis, Head of Marketing Public Relations TransTV, menyebut
dalam
drama
reality
seperti
Termehek-mehek
masih
berdasarkan cerita asli. Menurutnya, true story harus tetap ada sebagai patokan.61
59
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2004), hal 76. 60 Widyaningrum, Ari dan Genuk Christiastuti. 2004. Reality Show: Tambang uang Baru Stasiun TV. http://warteakonomi.com. Diakses 11 Juni 2010 pukul 09.48 WIB 61
Harian Surya, 12 Juni 2009
57
Drama reality atau reality show adalah hanya satu dari sekian banyak bentuk reality TV. Annette Hill memberikan pengertian reality TV sebagai kategori tayangan televisi yang mencakup semua program hiburan tentang real people. Terkadang disebut juga tayangan televisi yang faktual sekaligus populer. Reality TV berada pada batas antara informasi dan hiburan, antara dokumenter dan drama.62 Dengan demikian, drama reality memang tidak bisa sepenuhnya disebut sebagai drama, juga tidak bisa disebut sepenuhnya realita. Yasmin Ibrahim menyebut reality television atau reality TV dalam produksinya tidak menggunakan skrip, berlatar kehidupan sehari-hari dan merekam kejadian nyata. Reality TV berkembang dari dimensi mitos budaya yang dihadapi masyarakat tentang kondisi nyata atau tidak nyata dalam suatu ruang televisi. Seperti ekonomi media yang juga berkembang dari perkembangan ruang televisi.63 I.G.6 Analisis Level Teks Analisis yang tidak hanya melihat teks sebagai sebuah objek yang digambarkan tetapi juga lebih pada bagaimana hubungan antarobjek dalam teks itu didefinisikan. Dengan demikian, analisis level teks walaupun bersifat dekriptif tidak hanya semata-mata melihat sebuah objek, namun juga hubungan antarobjek dalam teks tersebut.
62
Annette Hill, Reality TV, Audiences and Popular Factual Television, (London & New York, Rouletdge, 2005), hal 2. 63 Yasmin Ibrahim, ―Transformation As Narrative and Process: Locating Myth and Mimesis in Reality TV‖. Gale Arts, Humanities and Education Standard Package. (Nebula, 2007)
58
I.G.7 Analisis Level Produsen Analisis yang dilakukan setelah wawancara dengan produser tayangan Termehek-mehek mengenai proses produksi tayangan. Meliputi ide cerita, praktik produksi hingga ideologi dan latarbelakang menayangkan tayangan Termehek-mehek. Terutama dalam konteks hiperealitas pada relasi perempuan I.G.8 Analisis Level Konsumen Analisis yang dilakukan setelah wawancara dengan konsumen tayangan Termehek-mehek mengenai isi tayangan, hiperealitas tayangan hingga wacana relasi tidak setara dengan pasangan yang dialami perempuan. Digolongkan dalam dua kelompok: konsumen ekspert dan konsumen awam. Konsumen ekspert berbicara sesuai dengan latar belakang kompetensi, pengalaman dan otoritas dalam bidangnya masingmasing. Konsumen awam membaca teks berdasarkan pengalaman menonton tayangan televisi dan merupakan pandangan umum masyarakat kebanyakan. I.G.9 Analisis Level Sosiokultural Analisis yang dilakukan dengan mencoba menjelaskan hasil analisis pada level teks, produksi dan konsumsi teks yang terjadi dengan menghubungkan pada konteks sosial-budaya pada saat teks diproduksi. Selain itu juga tentu dianalisis dengan melihat faktor ideologi yang melatarbelakangi produksi teks tersebut.
59
I.H Metodologi Penelitian I.H.1 Paradigma Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis yang sangat menaruh perhatian terhadap pembongkaran aspek-aspek yang tersembunyi (latent) di balik sebuah kenyataan yang tampak (virtual reality)
guna
dilakukannya
kritik
dan
perubahan
(critique
and
transformation) terhadap struktur sosial.64 Pada penelitian ini peneliti ingin melihat bagian-bagian yang tersembunyi (dalam hal ini hiperealitas) di balik tayangan reality show/drama reality. Sekaligus juga melihat nilainilai yang melatarbelakangi terbentuknya konstruksi realitas yang dibangun oleh tayangan reality show/drama reality. I.H.2 Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. 65 Menurut Pawito, penelitian komunikasi kualitatif, biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi atau mengemukakan prediksi64 65
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, (Jakarta: Granit, 2004), hal 43. Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002)
60
prediksi, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.66 Pendekatan penelitian menggunakan analisis wacana dalam bentuk analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA). Wacana disini tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa saja, namun lebih pada bagaimana memahami teks dengan menghubungkannya dengan konteks yang ada. Berikut beberapa karakteristik penting dari analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA) :67 1.
Tindakan, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Maka dari itu wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Pada pemahaman ini, wacana dipahami sebagai sesuatu yang beryujuan dan sesuatu yang diekspresikan secara sadar dan terkontrol.
2.
Konteks, CDA mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, peristiwa dan kondisi. Wacana disini dipandang, dimengerti, diproduksi, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu.
3.
Historis, menempatkan wacana dalam konteks tertentu berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dimengerti tanpa menyertakan konteks yang menyertainya.
66 67
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007) Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media,(Yogyakarta: LKiS, 2006)
61
4.
Kekuasaan, CDA mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Disini wacana yang muncul tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
5.
Ideologi, merupakakan salah satu konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu.
I.H.3 Subjek Penelitian 1.
Reality Show yang dianalisis dalam penelitian ini adalah ―Termehekmehek‖ episode Juli dan Agustus 2009.
2.
Informan, dalam penelitian ini adalah produser reality show ―Termehek-mehek‖ dan beberapa responden yang telah dan masih menonton Termehek-mehek. Terbagi atas dua kelompok yaitu kelompok konsumen ekspert dan kelompok konsumen awam. Konsumen ekspert terdiri dari Zainal Abidin Petir (Anggota KPID Jateng), Prof.Drs.Pawito, Ph.D (Guru Besar Teori Komunikasi UNS), Tonny Trimarsanto (Sutradara Film), Endang Listiani (Aktivis Gender/Manajer Institusi SPEK-HAM Solo) dan Putri Utami Rizqianingtyas (Perempuan yang pernah menjadi peran pengganti di Termehek-mehek). Konsumen Awam terdiri dari Karni Suparti (Ibu Rumah Tangga), Endang Sukartiningsih (Ibu Rumah Tangga), Anita
62
Widya
(Perempuan
Bekerja/Wartawan),
Ikmah
Choirul
Nisa
(Mahasiswi) dan Annisa Rohmah (Mahasiswi). 3.
Literatur dan pustaka yang berhubungan dengan hiperealitas, reality show/drama reality, analisis gender dan relasi perempuan.
I.H.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam menganalisa teks sebagai wacana dan praktik sosial, Fairclough memberi panduan bahwa tidak hanya untuk menganalisa teks, ataupun menganalisa proses produksi dan interpretasi, namun juga untuk menganalisa hubungan antara teks, proses dan kondisi sosialnya; baik kondisi terdekat suatu konteks maupun kondisi terjauh institusi dan struktur sosial.68 Atau dalam istilah singkatnya hubungan antara teks, interaksi (produksi-konsumsi) dan konteks (sosiokultural). Dari penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa analisis wacana kritis tidak bisa dilakukan secara terpisah dalam setiap levelnya. Termasuk dalam proses pengumpulan data. Harus ada relasi dan kesinambungan dalam setiap level pengumpulan data tersebut. Peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: 1. Pada tahapan teks, peneliti menggunakan metode analisis wacana model Teun A.Van Dijk untuk menemukan wacana hiperealitas dalam
tayangan
Termehek-mehek.
Sebelum
sampai
pada
menemukan wacana hiperealitas, peneliti terlebih dulu harus
68
Norman Fairclough, Languange and Power, Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi, (Malang: Boyan Publishing, 2003), hal 28
63
mengkerucutkan wacana hiperealitas itu sendiri. Dalam hal ini peneliti menitikberatkan pada wacana hiperealitas pada relasi perempuan dengan pasangan. Relasi perempuan diambil karena perempuan merupakan sosok yang paling banyak ditampilkan dalam tayangan Termehek-mehek. Sedangkan relasi dengan pasangan dalam pandangan peneliti merupakan relasi yang kompleks sebab terpengaruh dengan ideologi patriarki yang berkembang di masyarakat. 2. Pada tahapan produksi, peneliti menggunakan data primer berupa wawancara
dengan
produser
tayangan
Termehek-mehek.
Wawancara fokus pada proses produksi Termehek-mehek beserta faktor-faktor yang melatarbelakangi lahir dan terus dipertahankan tayangan Termehek-mehek. Sedangkan pada tahap konsumsi, peneliti melakukan depth interview terhadap informan yang telah ditentukan. Informan dalam hal ini dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok ahli (konsumen ekspert) yang paham dengan tema penelitian yang berhubungan dengan hiperealitas, relasi gender dan program televisi. Serta kelompok umum (konsumen awam) yang kesemuanya perempuan dan pernah serta masih menyaksikan tayangan Termehek-mehek. Hal ini dilakukan untuk melihat respon dan pendapat umum perempuan terhadap tontonan yang mengedepankan perempuan sebagai sebagai objek tontonan.
64
3. Studi literatur, untuk melihat hiperealitas dibalik tayangan Termehek-mehek. Terfokus pada literatur berupa buku, media massa dan karya akademis lainnya yang berhubungan dengan hiperealitas, media massa, televisi, relasi gender, ideologi patriarki dan juga ideologi kapitalisme. Burhan Bungin menyebut bahwa dalam penelitian kualitatif relasi metode pengumpulan data dan teknik-teknik analisis data kadang tak terelakkan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus metode dan teknik analisis data.69 Sanapiah Faisal lebih lanjut menjelaskan dalam penelitian kualitatif yang berlaku adalah logika induktif abstraktif yang bertolak dari ―khusus ke umum‖. Konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi atas suatu fenomena dikembangkan atas kejadian di lapangan. Teoritisasi dalam penelitian kualitatif juga dikembangkan dari data di lapangan. Dengan demikian antara kegiatan pengumpulan data dan analisis data tak mungkin dipisahkan satu sama lain. Keduanya berlangsung secara simultan atau berlangsung serentak. Prosesnya berbentuk siklus, bukan linier.70 Huberman dan Miles menggambarkan siklusnya sebagai berikut:
69
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2008), hal 107. 70 Sanapiah Faisal, Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif, dalam Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal 68-69.
65
Bagan 3. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif
Data Display
Data Colection
Data Reduction Conclution Drawing & Verifying
Gambar tersebut menunjukkan relasi yang saling berkaitan antara pengumpulan data dan analisis data. Hasil pengumpulan data direduksi (mulai dari editing, koding, hingga tabulasi data). Kemudian hasil reduksi data diorganisasikan dalam bentuk tertentu (data display) sehingga terlihat lebih utuh. Bisa berbentuk sketsa, sinopsis, matriks, dll. Hal ini sangat memudahkan dalam upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan (conclution drawing and verifying).71 Dengan demikian, dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data memang sulit untuk dilepaskan dari teknik analisis data yang menggunakan analisis wacana kritis. Misalnya, data yang didapat peneliti dari teks tayangan Termehek-mehek sebagian besar merupakan hasil analisis teks tayangan Termehek-mehek menggunakan kerangka analisis
71
Ibid. hal 70.
66
gender. Selain itu, metode pengumpulan data independen seperti yang dijelaskan oleh Burhan Bungin juga digunakan dalam penelitian ini seperti wawancara mendalam dan bahan dokumenter.72 I.H.5 Teknik Analisis Data Analisis data menggunakan Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis/CDA) model Norman Fairclough pada tahapan level discourse anlysis dan level sosiokultural serta model Teun A.Van Dijk pada level teks. Model Van Dijk menggariskan analisis pada level maksostruktur dan mikrostruktur. Model ini dilihat lebih mampu mengakomodasi penelitian yang memiliki tema yang demikian luas seperti tayangan
Termehek-mehek.
Analisis
level
makrostruktur
dan
mikrostruktur Van Dijk dipandang mampu mengkerucutkan topik tanpa harus mereduksi tema analisis yang dianggap penting. Sedangkan pada level discourse practise dan level sosiokultural, CDA model Fairclough yang mengkombinasikan antara tradisi analisis tekstual dengan konteks masyarakat yang lebih luas dirasa lebih mampu membedah masalah dengan baik. Namun hal ini tentu menyisakan pertanyaan besar bagaimana mengubungkan teks yang mikro dengan konteks masyarakat yang makro. Fairclough berusaha membangun suatu model analisi wacana yang mempunyai kontribusi dalam analisis sosial
72
Menurut Burhan Bungin, selain ada metode pengumpulan data yang juga sekaligus metode dan analisis data, juga terdapat metode pengumpulan data yang independen terhadap metode analisis data. Metode pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam, obsercasi partisipasi, bahan dokumenter, serta metode-metode baru seperti metode bahan visual dan metode penelusuran bahan internet. Lihat Burhan Bungin, Op.cit, hal 107.
67
dan budaya. Titik perhatian besar dari Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan.untuk melihat bagaimana pemakai bahasa membawa nilai ideologis tertentu, dibutuhkan analisis yang menyeluruh. Oleh karena itu analisis harus dipusatkan pada bagaimana bahasa itu dibentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu. 73 Ketiga dimensi yang dibuat oleh Fairclough sebagai frame work atau kerangka
berpikir
dalam
melakukan
penelitian
komunikasi
dan
masyarakat. Menurutnya, ketiga unsur tersebut harus dipergunakan secara bersama, karena itu fokus analisis akan berkisar pada: 1. Teks, analisis teks bertujuan mengungkapkan makna. Menurut pandangan Fairclough, teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek didefinisikan, tetapi juga bagaimana hubungan antar objek didefinisikan. Teks dalam penelitian ini adalah tayangan Termehekmehek. Namun tidak semua tayangan yang dianalisis. Peneliti hanya mengambil tayangan yang memiliki hubungan dengan topik penelitian, yaitu relasi tidak setara perempuan dengan pasangan. Selain itu, peneliti juga hanya mengambil tayangan Termehek-mehek setelah Juni 2009, waktu dimana Termehek-mehek mulai mengubah genre acara mereka menjadi drama reality. Analisis pada level teks ini dilakukan peneliti dengan menggunakan Kerangka Kerja Teknik Analisis Gender Harvard yang dikembangkan Universitas Harvard. Keranga kerja analisis ini menekankan pada akses dan kontrol
73
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media,(Yogyakarta: LKiS, 2006), hal 285.
68
perempuan terhadap sumberdaya dan manfaat atas suatu relasi perempuan. Sumberdaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah informasi yang diperoleh (diakses) dan dikontrol oleh perempuan. Sedangkan manfaatnya adalah sejauh mana perempuan mendapat kejelasan hubungan dalam menjalin relasi dengan pasangan. 2. Discourse practise, analisis ini memusatkan perhatian pada bagaimana produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk lewat suatu praktik dikursus, yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Pada level ini peneliti langsung melakukan wawancara dengan Produser tayangan Termehek-mehek di kantor Trans TV, Jakarta. Untuk menemui langsung produser tayangan Termehek-mehek, peneliti memang melalui sedikit kendala. Terutama untuk membuka akses langsung ke produser tayangan Termehekmehek. Peneliti berhasil menemui produser lewat bantuan salah seorang informan yang pernah menjadi peserta tayangan Termehekmehek. Informasi yang diusahakan dari produser adalah proses produksi tayangan Termehek-mehek dan segala hal yang berkenaan dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi hadirnya tayangan Termehek-mehek. Sedangkan untuk level konsumen, peneliti mewawancarai sepuluh responden, dengan membagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok ekspert dan kelompok awam. Dengan tujuan menghasilkan pandangan
69
yang
berperspektif
berbeda.
Berdasarkan
pengalaman
atau
pengetahuan masing-masing responden. 3. Sociocultural practice, analisis ini berasumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Pada saat proses pembuatan produk media. Ruang produksi itu bukanlah ruang yang kosong dan steril namun sangat ditentukan oleh faktor di ruang produksi itu.74 Fairclough membagi tiga bagian dalam Sociocultural practice ini, yaitu: a.
Situasional, Konteks sosial apa yang membentuk ketika sebuah teks diproduksi. Jika teks dimaknai sebagai tindakan sekaligus reaksi atas konteks sosial yang ada, maka tentu teks yang dihasilkan akan berbeda dengan situasional yang berbeda.
b.
Institusional, Level ini melihat bagaiamana pengaruh institusi yang memproduksi teks tersebut. Bisa berasal dari diri institusi pembentuk teks tersebut maupun kekuatan eksternal diluar institusi tersebut.
c.
Sosial, Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul atas suatu teks. Aspek sosial memang melihat lebih makro dengan melibatkan sistem politik, sistem sosial atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam
74
Eriyanto, Ibid. hal 320-326.
70
masyarakat. Dan bagaimana nilai dan kelompok yang berkuasa itu mempengaruhi dan menentukan media. I.H.6 Keterbatasan Metodologis a. Penelitian dalam level teks yang mengambil sampel tayangan Termehek-mehek setelah bulan Juni 2009 sebetulnya belum cukup komprehensif untuk melihat hadirnya hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek karena keterbatasan tenaga, waktu dan kendala lainnya. Sebab pada tayangan setelah Juni 2009 (setelah mengubah genre menjadi drama reality), maka jelas Termehek-mehek mengakui hiperealitas yang mereka tayangkan lewat label drama reality. Artinya, pasti ada dramatisasi disana dan Termehek-mehek telah berada pada level simulasi. Untuk lebih lengkap dan mendalam, penelitian berikutnya bisa mengambil sampel pada awal penayangan (Maret 2008), pertengahan tayang sebelum Juni 2009 dan setelah Juni 2009. Sehingga akan tergambar jelas pergeseran hiperealitas dalam tayangan ini pada level representasi, refleksi dan simulasi. b. Penelitian pada level konsumen yang kebanyakan mengambil sampel penonton di wilayah Surakarta juga merupakan keterbatasan dalam penelitian ini. Sebab dengan banyaknya tayangan Termehek-mehek yang berlatarbelakang kehidupan kota-kota besar, pendapat konsumen diambil pun idealnya adalah konsumen berlatarbelakang kota besar, karena akan sesuai antara latarbelakang sosial budaya penonton dan objek yang ditonton.
71
BAB II SINOPSIS DAN DESKRIPSI PROGRAM TAYANGAN REALITY SHOW TERMEHEK-MEHEK II.A Sinopsis II.A.1 Episode 12 Juli 2009 Tyas, seorang mahasiswi Indonesia yang sedang kuliah di Perth, Australia berkenalan dengan seorang lelaki di Indonesia bernama Bimo. Perkenalan Tyas dan Bimo tergolong unik, karena hanya lewat situs jejaring sosial Facebook. Tyas dan Bimo tidak hanya berkenalan biasa, namun hubungan mereka sudah menjurus kepada hubungan yang serius. Bimo bahkan sudah melamar Tyas, dan Tyas pun menerimanya. Proses melamar dan menerima lamaran itu pun hanya lewat Facebook. Setelah Tyas menerima lamaran Bimo, tiba-tiba Bimo menghilang, dan Tyas pun memutuskan untuk pulang ke Indonesia mencari Bimo. Pencarian dimulai dari tempat kos Bimo, tempat Bimo bermain bilyard sampai lapangan gokart tempat Bimo biasa berlatih. Akhirnya tim bertemu Bimo lewat salah seorang perempuan yang mengaku pacar Bimo dan akan segera menikah. Namun ternyata setelah bertemu, Bimo mengaku tidak mengenal Tyas. Tetapi Bimo tahu siapa yang biasa mengirimkan puisi dan menggunakan foto dirinya di facebook untuk berkenalan dengan Tyas.
72
Bimo menduga itu semua perbuatan Aris, teman dekatnya. Tim pun meneruskan pencarian untuk bertemu Aris. Setelah susah payah mencari mulai dari rumah kakak Aris, sebuah rumah singgah dan temannya, tim akhirnya bertemu Aris. Aris adalah seorang pemuda difabel yang telah kehilangan satu kakinya. Aris adalah relawan yang suka membantu anak jalanan. Namun Aris tidak mau menemui Tyas. Dia malu dengan Tyas karena kondisi fisiknya tidak sempurna. Dari seorang temannya diketahui bahwa Tyas sangat mirip dengan kekasih Aris dahulu. II.A.2 Episode 30 Agustus 2009 Kisah bermulai dari ketika Sinta Kharisma, perempuan yang sedang hamil dua bulan ditinggal pergi oleh suaminya Oscar. Sebelum meninggalkan Sinta, Oscar baru saja mengalami PHK dari tempatnya bekerja. Sinta pun minta bantuan tim termehek-mehek untuk mencari Oscar. Pencarian dimulai dari sebuah panti asuhan di Jakarta dimana Oscar dulu sering mengajak Sinta kesana. Pencarian tidak bisa dilakukan dari orang terdekat Oscar, karena Sinta tak mengenal orang tua, saudara maupun teman-teman Oscar. Setelah sampai di panti asuhan, pengurus panti asuhan tidak mengetahui keberadaan Oscar namun mereka memberi alamat orangtua Oscar kepada tim. Orang tua Oscar adalah donatur tetap panti asuhan tersebut. Sesampai di rumah orang tua Oscar, tim belum dapat bertemu dengan orang tua Oscar, penjaga rumah mengatakan orang tua Oscar sedang ke rumah sakit. Tim memutuskan menunggu. Setelah menunggu
73
hampir tiga jam, seorang wanita datang, namun ia bukan orang tua Oscar. Wanita itu mengaku tante Oscar. Wanita itu pun menceritakan bahwa Oscar bukanlah keponakannya, Oscar hanya lah anak yang diangkat oleh kakaknya. Dan sekarang kakaknya sedang dirawat di rumah sakit garagara perbuatan Oscar. Wanita itu juga tidak mengenal Sinta, istri Oscar. Wanita itu menyarankan tim untuk mencari Oscar ke seorang teman dekat Oscar, Edward, di sebuah tempat hiburan. Setelah sampai di tempat hiburan tersebut, ternyata Edward pun sedang mencari Oscar, karena Oscar telah menghamili adiknya. Edward menyarankan untuk mencari Oscar lewat Ita, teman dekat Oscar yang bekerja di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Namun Ita mengaku sudah lama tidak bertemu Oscar, ia menyarankan untuk mencari Oscar ke sepupu angkat Oscar bernama Revy. Revy yang tak mengenal Sinta sebagai istri sepupunya itu, juga tak tahu dimana Oscar berada. Revy menyarankan tim untuk mencari Oscar di rumah orang tua kandung Oscar. Sesampai di rumah orang tua asli Oscar, tim hanya bertemu dengan ibu-ibu yang mengalami gangguan jiwa. Tetangga setempat menyarankan tim untuk bertanya kepada sebuah warung kopi yang dikelola oleh kakak kandung Oscar. Sang kakak mengaku tidak mengenal Oscar, namun mengenal foto yang dimaksud. Ia mengenal foto yang dimaksud sebagai Karso, adik kandungnya. Kakaknya Oscar atau Karso itu pun menyarankan mencari Oscar ke sebuah rumah makan. Menurut kakaknya, Oscar sudah menikah dengan anak orang kaya, dan sekarang mengelola rumah makan tersebut. Kakak
74
kandung Oscar juga tak mengenal Sinta. Tim pun langsung menuju rumah makan yang dimaksud dan mendapat alamat rumah Oscar sekarang dari pelayan restoran tersebut. Sesampai di rumah Oscar, bukan Oscar yang berhasil ditemui. Namun tim malah bertemu dengan adik kandung Sinta yang sekarang sedang hamil tua. Terjadi adu mulut antara Sinta dan adiknya. Sinta menuduh adiknya merebut suaminya, namun adik Sinta malah menuduh Sinta dan keluarga yang tak peduli terhadap dirinya. Akhirnya tim meminta adik Sinta untuk menghubungi Oscar agar pulang dan menyelesaikan masalah tersebut. Oscar akhirnya pulang. Namun Oscar tidak mengakui Sinta sebagai istrinya. Bahkan mengaku tidak mengenal Sinta. II.A.3 Episode 8 Agustus 2009 Hilda, perempuan yang tiga minggu lagi akan menikah melapor kepada tim Termehek-mehek. Ia mengaku kehilangan kekasihnya, Deko. Ia juga sudah mencari ke teman-teman dekat dan keluarga Deko. Hasilnya nihil. Keluarga Deko bahkan cuek dengan rencana pernikahan mereka. Namun Hilda tetap tak putus asa dan meminta bantuan tim Termehekmehek. Atas saran Hilda pencarian dimulai dengan bertanya kepada Rukmini, saudara Deko yang berjualan di sebuah pasar malam. Setelah bertemu Rukmini, bukan kejelasan tentang Deko yang didapat, Hilda malah mendapati pengakuan Rukmini yang juga mengaku sebagai pacarnya Deko. Perdebatan panjang terjadi. Tetapi akhirnya Rukmini menyarankan untuk mencari Deko ke teman dekatnya, Sisi.
75
Setelah bertemu Sisi, tim Termehek-mehek kembali dikejutkan dengan pengakuan Sisi yang juga mengaku sebagai pacarnya Deko. Bahkan Sisi mengklaim mereka sudah tunangan dan akan segera menikah. Sisi menyarankan ke rumah Poppy, saudaranya Deko. Kejutan kembali terjadi, karena menurut Hilda, Poppy adalah mantan pacarnya Deko. Namun untuk mencari kebenaran seperti apa sebenarnya Deko, pencarian tetap dilanjutkan. Tim Termehek-mehek melanjutkan pencarian ke tempat les musik Poppy. Setelah ketemu Poppy, tim kembali dikejutkan oleh pengakuan Poppy yang sedang hamil anak hasil hubungannya dengan Deko. Poppy juga mengaku tidak tahu dimana Deko sekarang. Namun tim Termehek-mehek tidak putus asa dan terus membuntuti Poppy sampai ke rumahnya. Keesokan harinya tim Termehek-mehek langsung menuju rumah Poppy. Hilda, yang sudah tidak sabar langsung menerobos masuk tanpa ijin. Dan didalam rumah menemukan Poppy sedang asyik bercinta dengan seorang laki-laki. Poppy berang dan mengusir tim Termehek-mehek. Tetapi Poppy menyarankan untuk menemui Deko di rumah Arman, sahabat dekat Deko. Hilda yang juga mengenal Arman langsung mengajak tim Termehek-mehek untuk menemui Deko di rumah Arman. Sesampainya di rumah Arman, Hilda semakin tidak percaya, karena menemukan Deko yang sedang berciuman dengan Arman di dalam kolam renang pribadi Arman. Arman marah dan mengusir tim Termehek-mehek, Hilda dan Deko dari rumahnya. Arman meminta permasalahan
76
diselesaikan di luar rumahnya. Deko mencoba menjelaskan kepada Hilda permasalahan yang terjadi. Namun Hilda sudah terlanjur kecewa dan tidak mau mendengar penjelasan Deko. Menurut Hilda, semua sudah jelas. Deko mempunyai banyak pacar dan juga penyuka sesama jenis. Masa depan pernikahan mereka semakin tidak jelas dan terancam batal. II.A.4 Episode 16 Agustus 2009 Susy, seorang perempuan yang mengaku kehilangan pacarnya lima bulan yang lalu. Susy mengadu kepada tim Termehek-mehek. Ia meminta tolong untuk mencari Nicholas, pacarnya yang juga berprofesi sebagai model. Menurut Susy, sebelum menghilang, hubungannya dengan Nico, panggilan akrab Nicholas, baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran atau perselingkuhan. Namun secara misterius, Nico menghilang. Susy tidak mempunyai petunjuk apa-apa kecuali sebuah foto Nico di sebuah majalah mode. Pia (Host Termehek-mehek) mengaku mengenal pengurus model agency yang menyalurkan model di majalah tersebut. Tanpa buang waktu, tim Termehek-mehek langsung meluncur ke agency tersebut. Sesampai disana, tim mendapatkan fakta bahwa Nico sudah pindah ke agency lain. Setelah mendapatkan alamat agency yang baru, tim langsung ke alamat tersebut. Sesampai di tempat agency
itu, tim
Termehek-mehek cuma menemukan sebuah rumah besar dengan gerbang yang tertutup rapat. Seolah tak ada aktivitas apapun disana. Warung kelontong dekat rumah tersebut juga menyakinkan bahwa rumah itu memang tempat model agency. Dari pemilik warung itu pula tim
77
Termehek-mehek mengetahui rumah kos Nico. Tim pun langsung menuju rumah kos tersebut. Sesampai di rumah kos, tim bertemu dengan penjaga kos Nico. Dia mengatakan, Nico sudah sebulan lebih tidak pulang ke kos. Dari penjaga kos tersebut, tim memperoleh informasi, Nico sering mengantar ibunya yang sakit berobat ke seorang sinshe (tabib tradiosional cina). Tim langsung meluncur ke tempat praktik sinshe tersebut. Sinshe mengatakan, Nico terakhir mengantarkan Ibu Murni, teman ibunya, berobat. Sinshe tersebut memberikan alamat Ibu Murni. Keesokan hari, tim Termehek-mehek menuju rumah Ibu Murni. Sesampai di rumag Ibu Murni, tim menemukan keganjilan, karena bertemu dengan Ibu Murni yang sepertinya sedang terkena depresi berat. Ibu Murni tampak seperti orang gila. Ketika mau menghindar keluar dari rumah Ibu Murni, tim bertemu dengan anak perempuan Ibu Murni. Dari dia diketahui bahwa Nico lah yang menyebabkan ibunya seperti itu. Nico sudah menipu Ibu Murni dengan cara memacari dan menghabiskan banyak uang Ibu Murni. Dia menyarankan untuk mencari Ibu Murni ke sebuah apartemen milik Ibu Maya Hartati. Ibu Maya menurut dia adalah pacar baru Nico. Tim Termehek-mehek pun langsung memburu Nico ke apartemen Ibu Maya. Dari pengelola dan penjaga apartemen, diketahui Ibu Maya sedang tidak di apartemen namun berada di kantornya. Setelah mendapat alamat kantor Ibu Maya, tim langsung menuju kantor Ibu Maya. Ternyata Ibu Maya pun tidak berada di kantor. Petugas kantor menolak untuk memberi
78
nomor telepon Ibu Maya. Tim memutuskan untuk menunggu sekaligus mengintai Ibu Maya di depan kantor. Setelah beberapa waktu menunggu, Ibu akhirnya tiba di kantor. Tim mau langsung menanyakan kepada Ibu Maya menghindar dan langsung meninggalkan tim Termehek-mehek. Tim tidak putus asa dan melakukan pengintaian di depan apartemen Ibu Maya keesokan paginya. Ibu Maya keluar apartemen dan dibuntuti oleh tim. Ternyata Ibu Maya mengunjungi sebuah mal. Setelah beberapa saat menunggu di luar mal, tim Termehek-mehek melihat Ibu Maya dan temannya sedang menggandeng dua orang laki-laki muda. Salah satunya adalah Nico. Ibu Maya dan Nico serta rekan-rekannya meninggalkan mal. Tim membuntuti mobil Ibu Maya dan berencana mencegat di tengah jalan agar bisa bertemu dengan Nico. Sesampai di jalan yang sepi, tim langsung mencegat dan meminta Nico dan Ibu Maya keluar mobil. Tim Termehek-mehek dan Susy langsung meminta kejelasan dari Nico. Susy mencecar Nico dengan beragam pertanyaan. Nico malah mengaku tidak mengenal Susy dan tidak mau bertanggungjawab atas hubungan mereka. Terakhir bahakan terungkap, Nico pernah memacari ibunya Susy sebelum berpacaran dengan Susy. Ibu Susy akhirnya bunuh diri karena tidak kuat dengan beban perselingkuhannya. Sampai akhir pun, Nico masih mengaku tidak mengenal Susy, tidak mau bertanggungjaawab apapun atas hubungan mereka dan lari meninggalkan Susy.
79
II.A.5 Episode 25 Juli 2009 Nindy, seorang perempuan yang mengaku memiliki pacar bernama Wilman, mengadu kepada tim Termehek-mehek. Dia mengaku kehilangan pacarnya. Menururt Nindy, pacarnya adalah lelaki yang baik dan sangat bertanggungjawab. Dia kenal dengan Wilman di sebuah kafe, tempat Wilman bersama bandnya biasa menjadi pengisi acara. Pencarian pun dimulai dari kafe tersebut. Tim dan Nindy bertemu manajer kafe, Yeni. Dari Yeni diketahui bahwa Wilman sudah lama tidak main di kafe itu lagi. Yeni malah mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Sepengetahuan Yeni, Wilman sekarang ini malah menjadi simpanan tante-tante. Menurut Yeni juga, Wilman sekarang menjadi simpanan Tante Ida. Tim yang penasaran pun langsung menyambangi rumah Tante Ida. Tetapi baru bisa ke rumah Tante Ida di malam hari, ketika Tante Ida pulang kantor. Setelah bertemu Tante Ida, informasi yang mereka terima dari Yeni ternyata tidak benar. Menurut Tante Ida ia malah ingin mengorbitkan Wilman menjadi penyanyi profesional. Dia bersedia menjadi produser Wilman. Namun sikap Wilman menurut Tante Ida malah berubah belakangan ini. Wilman sering melakukan kekerasan terhadap dirinya dan sudah lama tidak bertemu dirinya. Dari info yang didapat Tante Ida, Wilman sekarang lebih sering nongkrong di kawasan Terminal Blok M. Dia mengamen bahkan tidak jarang juga mencopet. Mendapat pengakuan Tante Ida yang cukup mengejutkan tim memutuskan tetap mencari ke kawasan Blok M. Hilang sudah bayangan
80
Nindy tentang Wilman yang baik, bertanggungjawab dan mempunyai pekerjaan yang jelas. Karena lokasi pencarian yang luas dan sulit untuk mencari Wilman di antara pengamen, pencopet dan preman terminal, tim memutuskan untuk menjebak Wilman. Anggota tim Termehek-mehek menyamar sebagai korban dengan posisi dompet yang mencolok. Sedangkan anggota tim lain mengawasi pencopet yang akan terpancing tersebut. Strategi tim berhasil, seorang pencopet masuk perangkap dan anggota tim langsung menangkap pencopet tersebut. Namun ternyata tidak mudah menjebak pencopet karena mereka berkelompok empat sampai enam orang. Dalam pengejaran, gerombolan pencopet terbagi menjadi dua kelompok. Namun kedua kelompok ini berhasil dikejar tim dan diantara anggota kelompok ini terdapat Wilman. Nindy pun langsung mencecar Wilman dengan beragam pertanyaan. Bukannya menjawab, Wilman malah menodongkan pisau ke arah Nindy. Kontan saja anggota tim langsung mengamankan Nindy dan membiarkan Wilman pergi untuk menghindari hal-hal berbahaya lainnya. Dari salah seorang anggota gerombolan copet, jika ingin mencari Wilman bisa bertanya kepada Ibu Ipah, kernet bus di kawasan Blok M. Tim pun langsung mencari Ibu Ipah dengan mengelilingi Blok M dan bertanya kepada kernet bus lainnya. Akhirnya setelah mencari-cari, tim bertemu dengan Ibu Ipah. Dari Ibu Ipah didapat informasi bahwa Wilman sekarang menjadi pekerja sosial di sebuah pusat rehabilitasi sebagai
81
pendamping pembuatan kreatifitas kerajinan tangan. Tim semakin dibingungkan, karena menurut Ibu Ipah, Wilman memang anak yang baik, jauh dari gambaran simpanan tante-tante atau pencopet. Tim pun langsung menuju pusat rehabilitasi dan bertemu Wilman disana. Namun pada saat Nindy meminta penjelasan Wilman kenapa dia menghilang selama ini, tiba-tiba muncul laki-laki lain yang mirip Wilman. Ternyata itu lah Wilman yang sebenarnya, Wilman yang selama ini diduga oleh tim dan Nindy ternyata adalah Wawan, adik kembar Wilman. Menurut Wilman, Wawan mengalami gangguan mental maka dimasukkan ke pusat rehabilitasi ini. Ia pun mendapatkan amanah dari orang tuanya untuk merawat Wawan. Maka dari itu ia meninggalkan Nindy. Walaupun Nindy terus meminta Wilman untuk bersamanya lagi, Wilman tidak bisa. Ia memilih untuk merawat adik kembarnya di pusat rehabilitasi mental tersebut. II.B Deskripsi Program Tayangan Termehek-mehek Sebuah Drama Reality, pencarian yang akan mempertemukan client dengan orang yang sangat ingin ditemuinya (target) karena sebuah alas an khusus, dimana client tidak tahu keberadaan sang target sekarang (lost contact). Target bisa merupakan seseorang dari masa lalu client (mantan pacar, teman kecil, sahabat, kerabat, dll) Atau seseorang yang pernah ditemui client tapi tidak tahu siapa dan dimana target berada. Host akan melakukan pencarian berdasarkan petunjuk yang dimiliki oleh client, seperti foto, surat, alamat terakhir, dll.
82
Setelah berhasil melakukan pencarian, host kemudian akan mempertemukan client dengan sang target. Konflik akan terjadi pada saat proses pertemuan client dengan target. Program akan diperkuat dengan testimony dari client, target, dan bahkan host. Melalui testimony, penonton dapat melihat dan merasakan apa yang sedang dirasakan oleh client, target, dan host.75 II.C Konsumen Tayangan Termehek-mehek Konsumen
tayangan
Termehek-mehek
secara
garis
besar
dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, kategori konsumen ekspert. Kelompok ini terdiri dari konsumen yang mempunyai kompetensi, pengalaman maupun otoritas tertentu dalam membaca dan menilai hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek. Sedangkan kelompok kedua adalah kategori konsumen awam. Kelompok ini terdiri dari penonton awam (umum) yang pernah dan masih menonton tayangan Termehek-mehek. Titik tekan penonton kategori ini bukan pada kompetensi, pengalaman ataupun otoritas pada bidang tertentu yang mereka kuasai, namun lebih pada posisi mereka sebagai masyarakat kebanyakan yang menilai isi media secara apa adanya sesuai dengan nilainilai yang mereka terima ketika menikmati isi pesan media.
75
http://www.transtv.co.id./program/termehek-mehek/ diakses pada 12 Mei 2010 pukul 02.37
83
Tabel 1. Rekapitulasi Data Identitas Informan dan Waktu & Tempat Wawancara No
Nama
Usia
Pekerjaan
Tempat
1
Zainal Abidin Petir
47
Anggota KPID Jawa Tengah
2
Endang Listiyani
29
Manajer Institusi SPEKHAM Solo
3
Drs.Pawito, Ph.D
56
4
Tonny Trimarsanto
39
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS Sutradara Film dan fasilitator workshop media
Kantor KPID Jateng, Semarang Kantor SPEKHAM Solo Kampus FISIP UNS Solo
5
Putri Utami Rizqianingtyas
23
6
Endang Sukartingsih
43
7
Karni Suparti
55
8
22
9
Ikmah Choirul Nisa Anisa Rohmah
10
Anita Widya
24
22
Perum Griya Prima Utara RT 20/RW 19 Belang Wetan, Klaten Alumnus Universitas Mall Ramayana, Airlangga Surabaya Komplek Terminal Bungurasih, Surabaya Ibu Rumah Tangga Jl.Slamet Riyadi, No.463, Solo Ibu Rumah Tangga Jl. Mr. Sartono No.93, Nusukan, Banjarsari, Solo Mahasiswa Jl. Dr. Supomo No.7 Solo Mahasiswa Kampus FISIP UNS Solo Wartawan Samirono 02/V, Jebres, Solo
Tanggal 10-03-2010
Waktu (WIB) 11:25
11-03-2010
12:35
11-03-2010
13:18
21-03-2010
19:01
12-03-2010
19:56
11-03-2010
19:36
31-03-2010
11:48
15-03-2010
16:30
09-03-2010
15:07
29-03-2010
20:07
84
II.C.1 Konsumen Ekspert 1. Zainal Abidin Petir, S.Pd, SH Memilih Zainal Abidin sebagai salah satu konsumen ekspert didasarkan pada kedudukan dan pengalamannya sebagai Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Bidang Pengawasan Isi
Siaran
dalam
beberapa
tahun
terakhir.
Pengalaman
dan
pengetahuannya diharapkan mampu memberi penjelasan tentang regulasi penyiaran dalam penayangan hiperealitas dalam sebuah tayangan televisi. 2. Prof. Drs. Pawito, Ph.D Guru Besar Teori Komunikasi FISIP UNS ini dipilih menjadi salah satu konsumen ekspert dengan pertimbangan kedalaman ilmu dalam bidang teori komunikasi yang dimiliki. Ilmu dan pengetahuan Pawito dalam teori komunikasi dipandang akan sangat membantu penelitian ini yang memang berlandaskan pada ilmu komunikasi. 3. Tonny Trimarsanto, S.Sos Sutradara film sekaligus fasilitator workshop media ini dipandang mampu memberikan pandangan objektif tentang hiperealitas tayangan Termehek-mehek
dari
perspektif
praktisi
media
audiovisual.
Pengalaman pengelola situs www.rumahdokumenter.com ini dalam bidang video khususnya film dokumenter selama bertahun-tahun diharapkan bisa membantu penelitian ini.
85
4. Endang Listiani Manajer Institusi Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo ini dipandang bisa membantu penelitian ini dalam melihat permasalahan relasi perempuan terhadap pasangan yang diangkat sebagai topik utama penelitian. 5. Putri Utami Rizqianingtyas Alumnus Universitas Airlangga Surabaya ini menjadi sosok yang begitu penting karena ia pernah ikut langsung terjun dalam proses produksi tayangan Termehek-mehek sebagai peran pengganti (talent). Pengalaman Putri Utami (waktu itu masih berstatus mahasiswi Universitas Airlangga) sebagai ‗orang dalam‘ namun tidak terikat secara institusi pada tayangan Termehek-mehek tentu akan sangat membantu dalam melihat proses produksi penelitian ini secara objektif. II.C.2 Konsumen Awam 1. Endang Sukartingsih, 43 tahun, seorang ibu rumah tangga memiliki dua orang anak dipilih menjadi konsumen awam untuk mewakili kelompok ibu rumah tangga. Endang mengaku sekarang masih menonton tayangan Termehek-mehek walaupun tidak sesering ketika awal tayang dahulu. 2. Karni Suprapti, 55 tahun, sama seperti Endang juga seorang ibu rumah tangga. Karni bahkan mengaku masih terus menonton dan jarang melewatkan tayangan Termehek-mehek. Intensitas Karni dalam
86
menonton tayangan Termehek-mehek menjadi salah satu alasan kuat memilihnya menjadi salah satu konsumen awam. 3. Ikmah Choirul Nisa, 22 tahun, mahasiswi Fakultas Ekonomi UNS ini dipilih mewakili kelompok mahasiswa yang dipandang sebagai kalangan intelektual. Ikmah salah satu konsumen yang menonton Termehek-mehek sejak masa-masa awal tayang hingga sekarang. 4. Annisa Rohmah, 22 tahun, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP UNS ini juga dipilih mewakili kelompok mahasiswa kategori penonton awam (umum). Walaupun tidak sesering dahulu, Annisa mengaku masih menonton tayangan Termehek-mehek. 5. Anita Widya, 24 tahun, wartawan sebuah surat kabar harian di Kota Solo. Sosok Anita sebagai perempuan yang bekerja diharapkan mampu memberi perspektif lain dalam melihat tayangan Termehek-mehek pada kategori penonton awam selain ibu rumah tangga dan mahasiswa.
87
BAB III ANALISIS WACANA TAYANGAN DRAMA REALITY “TERMEHEK-MEHEK” Membaca sebuah tayangan reality show atau drama reality memang tidak sekedar membaca tulisan di surat kabar. Dibutuhkan ketajaman analisis untuk membedah apa yang ingin dihadirkan sebuah drama reality tersebut. Bentuk komunikasi yang dibangun memang bukan sebuah komunikasi verbal langsung dan lekat dengan linguistik internal semata yang mudah untuk diinterpretasikan. Drama reality menghadirkan bentuk komunikasi audiovisual yang penuh dengan teks, konteks maupun wacana yang dibaliknya. Ketika menafsirkan drama reality, kita memang harus menerjemahkan dahulu bahasa yang ditampilkan oleh drama reality tersebut sebagai sebuah bahasa yang dipahami sebagai konteks keseluruhan dari proses wacana. Guy Cook menyebutkan, setidaknya ada tiga hal yang lekat dengan wacana: teks, konteks dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya katakata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut direproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.76
76
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media,(Yogyakarta: LKiS, 2006), hal 9.
88
Dengan demikian penelitian pada bab ini adalah akan menganalisis teks dari drama reality sebagai objek penelitian. Seperti yang telah disebutkan bahwa memahami teks tak hanya bentuk kata-kata saja, maka yang akan dilakukan adalah menganalisis teks lewat ekspresi komunikasi, citra tayang dan lain-lain. Analisis teks yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengungkap makna pesan dalam tayangan Termehek-mehek yang mengacu pada wacana relasi perempuan. Dalam menganalisis teks tersebut, peneliti menggunakan analisis makrostruktur dan analisis mikrostruktur model Van Dijk sebagai model analisis. Sedangkan untuk alat ukur analisis, peneliti menggunakan Hipersemiotika beserta analisis Hyper-Signs yang dikembangkan Yasraf Amir Piliang untuk membaca tanda-tanda pada teks drama reality Termehek-mehek. Tayangan drama reality Termehek-mehek adalah sebuah tayangan yang mengekspose kehidupan sehari-hari masyarakat. Pada tayangan ini tidak ada artis terkenal atau unsur lain yang biasanya digunakan televisi untuk mengangkat pamor sebuah acara. Kekuatan Termehek-mehek sendiri terletak pada alur ceritanya yang mengaduk-aduk emosi penonton. Alur cerita tayangan Termehekmehek sebagian besar mengangkat perempuan sebagai aktor utama. Baik sebagai anak, ibu, kakak, adik, istri atau pacar. Peran perempuan yang besar dalam penayangan Termehek-mehek ini memperlihatkan bahwa perempuan mempunyai andil yang tidak kecil dalam relasi kehidupannya. Dalam membangun relasi kehidupannya perempuan tentu selalu berinteraksi dengan laki-laki, yang berjenis kelamin berbeda dengannya. Perbedaan jenis kelamin ini tentu menimbulkan perbedaan gender (gender differences). Seperti
89
dipahami bahwa kondisi saat ini masih menunjukkan perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan gender (gender differences) dimana
kaum
perempuan itu tidak rasional, emosional dan lemah lembut; sedangkan laki-laki memiliki sifat rasional, kuat dan perkasa.77 Selain itu, perempuan yang secara biologis berbeda dengan laki-laki kemudian melahirkan peran gender (gender role) yang berbeda pula. Secara biologis kaum perempuan dengan organ reproduksinya dapat hamil, melahirkan dan menyusui, kemudian muncul gender role (peran gender) sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak. Pada perkembangan berikutnya, perbedaan gender dan peran gender ternyata menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities) atau ketimpangan gender bagi kaum perempuan. Ketimpangan gender merupakan sistem dan struktur dimana kaum lelaki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.78 Relasi perempuan dengan pasangan dalam kaitannya dengan perbedaan gender dan peran gender ini lah yang kemudian berkembang menjadi sebuah relasi perempuan yang tidak setara. Ketimpangan gender pada sebuah relasi perempuan tidak setara dan dalam dunia hiperealitas ini lah yang menjadi titik tekan atau topik umum pada tayangan termehek-mehek. Sedangkan fenomena hiperealitas yang ingin dibaca pada tayangan ini mengacu pada tahapan perkembangan citra yang diungkapkan Jean Baudrillard khususnya fase simulasi. Adapun tahapan hiperrealitas yang diungkapkan Baudrillard adalah: Pertama, citra adalah cerminan atau refleksi dari realitas. 77
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal 9. 78 Ibid.
90
Kedua, citra membelokkan realitas. Ketiga, citra menutupi realitas dan yang Keempat, citra sama sekali tidak berkaitan dengan realitas apapun: citra merupakan simulakra murni79. Secara ringkas, tahap pertama disebut fase refleksi, kedua dan ketiga disebut fase representasi dan tahap keempat disebut fase simulasi. Mengacu pada tayangan Termehek-mehek, ada beberapa fase yang membagi pergeseran realitas yang ditampilkan. Diantaranya adalah:
Fase refleksi, tayangan ini merupakan cerita nyata, tidak ada skenario, dan latar tayangan (tempat, waktu dan aktor) nyata.
Fase representasi, realitas sudah sedikit bergeser, cerita nyata, namun sudah ada skenario, dan latar tayangan sudah diciptakan sendiri (menurut cerita nyata). Pada fase representasi, belum termasuk hiperealitas, karena adanya cerita nyata menunjukkan masih adanya rujukan diluar citra yang ditayangkan. Hadirnya skenario menunjukkan pada fase ini, citra mulai membelokkan realitas dan menutupi ketidakhadiran realitas (cerita nyata).
Fase simulasi, hiperealitas sudah jelas hadir, karena bukan cerita nyata, hadirnya skenario (dan aktornya tentu saja), serta latar tayangan yang merupakan hasil kreasi, ciptaan sendiri. Skenario pada fase simulasi tidak lagi menutupi absennya realitas, tapi merupakan konsekuensi logis atas hadirnya cerita hasil kreasi (bukan cerita nyata) yang ditampilkan di televisi.
79
Baudrillard dalam Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), hal 134.
91
Pada tahap simulasi inilah penafsiran teks Termehek-mehek dilakukan. Peneliti berasumsi bahwa pada level ini Termehek-mehek telah membangun sebuah alur cerita yang tak lagi murni apa adanya layaknya sebuah tayangan drama reality atau reality show. Alur cerita dalam pengertian ini tak hanya plot cerita semata, namun sampai pada acting talent Termehek-mehek dan latar tayang tayangan ini. Disinilah Hipersemiotika beserta Hyper-Signs diperlukan sebagai alat ukur untuk menilai apakah alur cerita yang ditampilkan tersebut benar seperti adanya atau sudah mengalami pembelokan bahkan penciptaan (create). Menggunakan hipersemiotika karena alat ukur yang ditawarkan hipersemiotika sangat relevan untuk menilai sebuah drama reality atau reality show. Apakah masih berupa sebuah tayangan murni apa adanya atau telah mengalamai proses reproduksi, reinterpretasi ataupun rekonstruksi cerita atau pun adegan yang melebihi atau tidak ada hubungan sama sekali dengan cerita atau adegan aslinya. III.A Analisa Wacana Makrostruktur Topik: Relasi Tidak Setara Pada Perempuan Analisa wacana makrostruktur adalah analisis yang menitikberatkan pada makna global/umum dari suatu teks. Menganalisis teksnya pun adalah dengan melihat topik atau tema yang ditampilkan.80 Dalam tayangan Termehek-mehek, secara umum analisis wacana makrostruktur adalah dengan membaca tema umum apa yang sering kali ditampilkan dalam tayangan ini. Pembacaan topik umumnya
80
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media,(Yogyakarta: LKiS, 2006), hal 226.
92
pun dilakukan peneliti dengan melihat alur cerita, latar tayang dan tokoh/talent/klien yang ditampilkan. Tokoh/talent/klien dalam Termehek-mehek sebagian besar dari seluruh tayangan Termehek-mehek adalah perempuan.81 Perempuan disini adalah perempuan dari segala umur dan segala usia. Sedangkan pada cerita, alur cerita yang diangkat adalah pencarian ‖target‖ yang pasti memiliki relasi (hubungan) dengan ‖klien‖ (pelapor kasus) perempuan. Relasi antara ‖klien‖ dan ‖target‖ menurut pengamatan peneliti sebagaian besar adalah berupa relasi antarpasangan.. Latar tayang yang ditampilkan pun lekat dengan relasi yang dibangun perempuan seperti rumah atau tempat bekerja. Pengambilan sebuah topik dalam penelitian ini untuk memudahkan dalam membedah lebih lanjut objek penelitian. Tentu hal ini bukan lah upaya untuk menggeneralisasi hasil penelitian. Sesuai dengan kaidah penelitian kualitatif yang tidak bisa digeneralisasi. Selain itu, lebih lanjut dari topik ini akan dibagi lagi menjadi beberapa Sub Topik sebagai konsekuensi logis dari hadirnya suatu topik umum dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, topik/tematik umum yang diambil adalah relasi tidak setara pada perempuan. III.B Analisis Wacana Mikrostruktur: Analisis mikrostruktur menitikberatkan pada pembahasan sub topik dalam penelitian ini. Tentu dengan memperhatikan topik yang ada berupa relasi tidak setara pada perempuan. Menentukan relasi tidak setara pada perempuan bergantung pada beberapa faktor. Diantaranya adalah akses dan kontrol atas 81
Hasil Wawancara dengan Adityo Habsoro, Produser Tayangan Termehek-mehek, 28 Februari 2010
93
sumber daya. Akses dapat didefinisikan sebagai kesempatan atau peluang untuk memanfaatkan sesuatu sedangkan kontrol adalah kemampuan untuk memutuskan penggunaan sesuatu dan memaksakan keputusan itu kepada orang lain 82. Sumber daya sendiri dapat dikelompokkan dalam tiga kategori: a. Sumber daya alam/fisik, tanah, rumah, kredit, alat produksi b. Pasar tenaga kerja dan pasar komoditi c. Sumber daya sosial budaya: informasi, pendidikan, pelayanan sosial, dll83. Berkenaan dengan objek penelitian tayangan drama reality Termehekmehek, sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya sosial budaya khususnya informasi. Peneliti melihat, kondisi tidak setara pada relasi perempuan dalam Tayangan Termeheh-mehek bergantung pada akses dan kontrol perempuan terhadap informasi yang mereka miliki tentang pasangan. Tahap berikutnya setelah perempuan memiliki atau tidak memiliki akses dan/atau kontrol terhadap informasi, juga akan dilihat, apakah ia akan memperoleh manfaat dari akses dan/atau kontrol yang mereka miliki. Manfaat yang dimaksud adalah kejelasan kelanjutan hubungan perempuan dengan pasangannya. Kedua hal diatas memang menjadi titik tekan dalam penelitian ini. Jika dikaitkan dengan hiperealitas yang kemudian menjadi semacam tinjauan utama 82
Pisau Bedah Gender, Tujuh Kerangka Analisis Gender dan Alat Perencanaan yang merupakan terjemahan bebas dari A Tool Kit: Concept dan Framework for Gender Analysis & Planning, OXFAM UK/I Gender Learning Team, 1996, terjemahan Miftahuddin, Fauzi Abdullah dan Roem Tomatimasang. 83 Argyo Demartoto, Menyibak Sensitivitas Gender dalam Keluarga Difabel, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2005), hal 39.
94
pada penelitian ini. Maka penulis menyimpulkan terdapat empat sub topik yang dihadirkan untuk membantu mengupas permasalahan hiperealitas ketimpangan gender pada drama reality Termehek-mehek. Yaitu minimnya akses terhadap informasi, minimnya kontrol terhadap informasi, minimnya akses terhadap manfaat dan minimnya kontrol terhadap manfaat. Titik tekan dalam penelitian ini kemudian adalah melihat apakah relasi yang dibangun perempuan berdasarkan akses dan kontrol yang mereka miliki tersebut benar-benar realita atau merupakan suatu hiperealitas. Membaca hiperealitas yang ada peneliti menggunakan hipersemiotika yang dijelaskan oleh Yasraf Amir Piliang.84 Peneliti melihat tanda yang ditampilkan dalam tayangan ini adalah tanda dusta (false signs). Tanda dusta sendiri sebenarnya bukan lah termasuk hypersigns yang merupakan suatu syarat agar sebuah citra dapat digolongkan hiperealitas. Namun false signs bisa digolongkan hyper-signs jika disandingkan dan dibandingkan dengan tanda yang sebenarnya.85 Itulah yang akan dilakukan peneliti dalam penelitian ini. Membandingkan false signs yang ditampilkan Tayangan Termehek-mehek dengan tanda sebenarnya yang ada pada realita. III.B.1 Sub Topik: Wacana Hiperealitas Minimnya Akses Terhadap Informasi Akses terhadap informasi yang dimaksud adalah tentang peluang atau kesempatan untuk memperoleh informasi pribadi pasangan. Seperti
84
Lihat Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003) 85 Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003) , hal 56
95
saluran informasi tentang pasangan, pekerjaan, keluarga dan lingkungan sosial pasangan. Selain itu juga dihadirkan contoh minimnya informasi tentang kelainan seksual pasangan. III.B.1.1
Tidak Memiliki Saluran Informasi Tentang Calon Suami
Tayangan Termehek-mehek Episode 12 Juli 2009 Akses terhadap informasi yang dimiliki oleh Tyas dalam
tayangan ini sangat minim sekali. Tyas tidak memiliki saluran informasi tentang Bimo selain akun facebook dan nomer telepon seluler. Tyas bahkan tidak berusaha membuka relasi dengan orangorang terdekat Bimo. Baik keluarga maupun lingkungan sosial terdekat. Minimnya saluran informasi yang diperoleh Tyas mengakibatkan sedikitnya informasi yang diperoleh Tyas mengenai Bimo. Hal ini tergambar dari pengakuan Tyas berikut:
Tyas: ―Sekitar setahun yang lalu saya berkenalan dengan seorang cowok, namanya Bimo, dimana kita kenalannya cuma melalui facebook. Kemudian dia juga sering membuatkan
96
saya puisi, mengirimkan saya hadiah, berupa CD dan segala macem ya. Dari situ saya merasa, jatuh cinta sama dia. Karena dimata saya, dia itu sangat romantis. Kemudian setelah berhubungan beberapa lama, dia melamar saya. Tetapi setelah saya mengiyakan lamaran dia. Tiba-tiba dia menghilang. Facebooknya pun di delete sama dia, dan saya tidak bisa menghubungi dia sama sekali. Saya hanya ingin tahu,
seperti
apakah
Bimo
sebenarnya‖.
Tim Termehek-mehek pun sebenarnya juga heran dengan keyakinan Tyas untuk menerima lamaran seseorang laki-laki hanya lewat Facebook dan belum pernah berkenalan langsung. Terlihat dalam gambar, Mandala (Host Termehek-mehek) bertanya tentang keyakinan Tyas tentang calon suaminya tersebut. Mandala: ―Kenapa sih lu yakin banget kalau di sini, dia itu orangnya? Ngerti sendiri kan, kalau di Facebook kan, dunia maya kayak gitu?‖
97
: ―Siapa tahu yang ini om-om iseng gitu, umur udah 46
Pia
tahun‖. Mandala : ―Kamu ga bisa mastiin lho, kalo itu beneran dia‖. Tyas
: ―Iya..makanya itu, gua penasaran banget sama orangnya kayak gimana, dan minta penjelasan, kenapa tiba-tiba ngilang dan minta penjelasan ke gue atau gimana?‖
Hiperealitas pada akses terhadap informasi di Tayangan Termehek-mehek 12 Juli 2009 terbaca dari akses yang diperoleh Tyas. Diceritakan bahwa Tyas hanya memiliki akun Facebook dan nomer telepon seluler Bimo sebagai saluran informasi. Dalam penceritaan lengkap tentang Tyas memang dia tidak mengenal Bimo, sehingga ketika Bimo menghilang Tyas tidak mempunyai akses untuk menghubungi Bimo. Salah satu jalannya adalah menghubungi tim Termehek-mehek untuk membantu mencarikan Bimo. Dalam dialog diatas, terlihat, dari pernyataan Tyas bahwa dia masih penasaran dengan sosok Bimo itu sendiri. Padahal sebagai seorang perempuan yang telah dilamar dan menerima lamaran seseorang laki-laki, Tyas harusnya menerima saluran informasi yang lebih dari itu. Terlalu sedikitnya akses informasi Tyas terhadap Bimo mengakibatkan kontrol atas informasi pun menjadi minim. Kontrol dalam hal ini adalah kemampuan Tyas untuk memanfaatkan
98
informasi tentang pasangannya sehingga bisa mendapatkan manfaat dari informasi yang ia miliki. Kontrol yang dimiliki Tyas juga sangat kurang. Tyas tidak memiliki saluran atau pun sumber informasi apapun tentang Bimo sehingga kesulitan dan kebingungan ketika tiba-tiba Bimo menghilang. III.B.1.2
Tidak Memiliki Informasi Tentang Keluarga dan Lingkungan Sosial Pasangan
Tayangan Termehek-mehek Episode 30 Agustus 2009 Akses Sinta terhadap informasi tentang suami sangat minim.
Sinta tidak mengenal orang tua, saudara dan teman-teman Oscar. Bahkan Sinta tidak mengetahui Oscar adalah anak angkat. Pada pernikahan mereka pun orang tua Oscar juga tidak datang. Sedikitnya informasi yang bisa diakses Sinta tentang Oscar membuat ia kesulitan memperoleh manfaat berupa kejelasan hubungan suamiistri mereka. Sinta bahkan tidak diakui sebagai istri Oscar oleh keluarga besar Oscar. Hiperealitas akses terhadap informasi terlihat dari sedikitnya informasi yang diperoleh Sinta tentang suaminya. Ia tak mengenal orang tua, keluarga, dan teman-teman suami. Orang tua suami pun tidak hadir ketika mereka menikah. Ia bahkan tak tahu jika suaminya adalah anak angkat.86 Padahal mereka menikah dengan sah dan
86
Lihat hasil Analisis Tidak Mampu Mengelola Informasi Tentang Keluarga dan Lingkungan Sosial Pasangan Episode 30 Agustus 2010, hal. 110.
99
suaminya
pun
tak
pernah
berbuat
macam-macam
sebelum
menghilang.
Sinta: ― Nama saya Sinta Kharisma, usia saya 24 tahun. Saya punya masalah dengan suami saya, Oscar. Sudah berapa bulan ini saya tidak pulang ke rumah. Tiga bulan terakhir, suami saya memang di PHK. Dan semenjak itu suami saya berubah, padahal sekarang saya lagi hamil dua bulan. Dia tidak tahu kalau saya lagi hamil, tapi saya tidak pernah marah dengan dia, karena saya mengerti.‖
Percakapan antara Sinta dengan Mandala dan Pia (Host Termehekmehek)
100
Mandala
: ―Jadi orang tua Oscar tidak datang waktu pernikahan?‖
Sinta
: ― Nggak..‖
Mandala
: ―Waktu itu alasan orangtuanya apa?‖
Sinta
: ―Dia bilang sih karena sibuk orangtuanya‖
Mandala
: ―Tapi kan mbak, namanya juga pernikahan anak, sesibuk apa pun orang tua pasti
disempatkan datang, ini pasti
ada apa-apa‖ Dalam kehidupan nyata, seorang perempuan yang menikahi laki-laki dengan cara baik-baik, pasti berkeinginan untuk mengetahui latar belakang diri dan keluarga suami. Dan tentu ingin di hari yang bahagia itu, seluruh keluarga menghadiri pernikahan mereka. Dalam termehek-mehek edisi 30 Agustus 2009, pernikahan Sinta dan Oscar bahkan tidak dihadiri orang tua Oscar.
Tayangan Termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009 Dalam tayangan termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009,
Hilda sebagai calon istri Deko yang akan menikah dalam waktu tiga minggu lagi tidak mengetahui kenapa rencana pernikahan tidak direstui oleh orang tua pasangan. Hilda juga tidak mengenal teman dan lingkungan sosial Deko. Terlihat dari orang dekat Deko yang ditemui Hilda adalah pacar atau mantan pacar Deko.87
87
Lihat hasil Analisis Tidak Mampu Mengelola Informasi Tentang Keluarga dan Lingkungan Sosial Pasangan, Episode 8 Agustus 2009, hal. 111.
101
Hilda melapor kepada tim termehek-mehek tentang suaminya yang menghilang menjelang tiga minggu pernikahan mereka. Padahal semua persiapan pesta pernikahan seperti gedung dan sebagainya sudah siap. Pia
: ‖Kalian direstui nggak gitu hubungannya? Atau sebenernya orang tuanya nggak begitu suka sama mbak? Ada pembicaraan kayak gitu nggak?‖
Hilda
: ‖Kayaknya sih baik-baik aja, tapi aku bingung kenapa keluarganya itu cuek, cuek dengan acara pernikahan aku.‖
Hilda juga tidak mendapat penjelasan dari Deko tentang keluarganya. Padahal menurut Hilda, keluarga Deko baik-baik saja, hanya tidak peduli dengan rencana pernikahan Deko dengan Hilda. Hilda sepertinya memang tidak mengenal dekat Deko baik lingkungan keluarga, sosial sampai pekerjaan88 dan orientasi seksual Deko89.
88
Lihat hasil Analisis Tidak Memiliki Informasi Tentang Pekerjaan Pasangan Episode 8 Agustus 2009, hal. 102. 89 Lihat hasil Analisis Tidak Memiliki Informasi Tentang Kelainan Seksual Pasangan Episode 8 Agustus 2009, hal. 104.
102
Tayangan Termehek-mehek Episode 16 Agustus 2009 Dalam tayangan Termehek-mehek episode 16 Agustus 2009 ini
terlihat beberapa lemahnya akses Susy terhadap informasi tentang pacarnya, Nicholas yang akrab disapa Nico. Ketika Nico meninggalkannya Susy tidak bisa menghubungi Nico sama sekali, semua akses informasi terputus. Bahkan Susy tidak mengenal keluarga dan lingkungan sosial Nico. Ini terbukti dari proses awal pencarian yang dilakukan hanya lewat sebuah majalah yang kebetulan memuat foto Nico yang seorang model itu. Hiperealitas pada tayangan ini tampak pada beberapa dialog dibawah ini:
Susy menceritakan kalau hubungan mereka selama ini baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran, selisih pendapat apalagi perselingkuhan. Mandala : ―Oke Nicholas ini sudah pacaran sama lo, satu tahun ya? Susy
: ―Satu tahun setengah. Dan yang bikin gue malu sama bokap gue tuh, dia minjem duit dalam jumlah yang cukup besar. Katanya sih untuk modal usaha
103
Pia
: ―Nggak, emangnya Nicholas deket sama keluarga lo? Sampe berani minjem duit segala?‖
Susy : ―Sejauh ini, so far sih so good lah, mengenal seorang Nicholas‖ Susy yang mengaku ia dan keluarganya mengenal baik Nicholas ternyata dibohongi. Padahal, dengan pengalaman satu setengah tahun berpacaran dan pengetahuan yang baik tentang Nicholas harusnya Susy tahu tentang aktivitas Nico. Apalagi Nico sudah
berani
meminjam uang dengan orangtua Susy, ini menandakan hubungan Nico dengan keluarga Susy memang dekat. Namun dalam tayangan diceritakan, setelah Nico tak bisa dihubungi, Susy tidak memiliki akses informasi tentang Nico lewat keluarga atau teman dekat untuk mencari Nico. Dia hanya mengetahui Nico dari foto Nico di sebuah majalah mode. Akses Susy tentang informasi tentang pasangan sangat minim, hanya karena Nico seorang foto model, sehingga kemudian Susy hanya memiliki info tentang Nico dari sebuah majalah mode yang kebetulan memuat foto Nico.
Tayangan Termehek-mehek Episode 25 Juli 2009 Akses dan peluang Nindy untuk memperoleh informasi tentang
Wilman sangat minim. Nindy tidak mengetahui lingkungan sosial dan keluarga Wilman. Bahkan Nindy tidak mengetahui bahwa Wilman mempunyai saudara kembar yang belakangan diketahui mengalami gangguan mental. Bentuk hiperealitas terbaca dari ketika
104
Nindy tidak bisa memiliki akses untuk mengetahui tentang Wilman seperti yang diceritakan kepada tim Termehek-mehek.
Nindy (klien) sedang bercerita kepada Pia dan Mandala (Host Termehek-mehek) tentang Wilman Mandala
: ―Kita punya klien namanya Nindy, dia punya pacar namanya Wilman. Nindy percaya banget kalau Wilman ini orangnya baik.‖
Nindy
: ―Sumpah gua tuh belum pernah ya, ketemu cowok tu kayak dia‖
Pia
: ―Maksudnya gimana nih?‖
Nindy
: ―Gue emang sering pacaran, tapi belum pernah nemuin cowok yang bisa bikin gue kayak gini‖
Dari dialog diatas, Nindy mengaku mengenal baik Wilman dan percaya dengan Wilman yang menurutnya adalah laki-laki baik-baik. Harusnya ketika mengaku mengenal baik Wilman, Nindy juga tahu keluarga terdekat Wilman yaitu adiknya yang mengalami gangguan mental. Nyatanya Nindy tidak tahu itu semua, ia bahkan sempat
105
bingung ketika mencari Wilman namun yang ditemui malah Wawan, adik Wilman yang mengalami gangguan mental.90 III.B.1.3
Tidak Memiliki Informasi Tentang Pekerjaan Pasangan
Tayangan Termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009 Dalam tayangan termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009,
Hilda sebagai calon istri juga tidak tahu dengan pasti pekerjaan Deko. Hal ini terlihat ketika Rukmini, pacar Deko yang lain menyebut bahwa Deko adalah pedagang pasar biasa bukan seorang pengacara yang diyakini Rukmini.
Hilda dan Rukmini terlibat perdebatan tentang status pekerjaan Deko. Hilda
: ―Hei mbak, ga mungkin Deko mau pacaran sama mbak. Dia itu pengacara, ga mungkin mau sama mbak.‖
Rukmini : ―Siapa bilang dia pengacara, dia itu orang biasa. Dia pedagang pasar sini juga.‖
Tayangan Termehek-mehek Episode 16 Agustus 2009 Lemahnya akses Susy terhadap informasi tentang pacarnya,
Nicholas yang mengaku sebagai model terlihat dari susahnya Susy menghubungi Nico ketika semua akses informasi terputus. Ini 90
Lihat hasil Analisis Tidak Memiliki Kemampuan dalam Mengusahakan Kejelasan Hubungan Episode 25 Juli 2009, hal.129.
106
terbukti dari proses awal pencarian yang dilakukan hanya lewat sebuah majalah yang kebetulan memuat foto Nico. Hiperealitas pada tayangan ini tampak pada beberapa dialog dibawah ini:
Susy: ―Nama gue Susy, usia gue dua puluh empat tahun. Gue mau cari cowok gue, namanya Nico. Nico ngaku ke gue dia kerja sebagai model. Tapi yang bikin gue bingung, makin ke sini kok dia ga pernah ngabarin gue, sms gue, nelpon gue, gue ngubungin dia pun ga pernah ada jawaban sama sekali.‖ Pernyataan susy diatas menguatkan dugaan bahwa ia tidak mengetahui dengan pasti pekerjaan Nico. Diakhir tayangan akhirnya terbongkar pekerjaan Nico yang asli sebagai gigolo.91 III.B.1.4
Tidak Memiliki Informasi Tentang Kelainan Seksual Pasangan
Tayangan Termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009 Dalam tayangan termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009,
Hilda sebagai calon istri Deko tidak mengetahui kelainan seksual
91
Lihat hasil Analisis Tidak Mampu Mengelola Informasi Tentang Pekerjaan Pasangan Episode 16 Agustus 2009, hal 114.
107
yang diidap Deko. Di akhir tayangan akhirnya diketahui bahwa Deko juga penyuka sesama jenis.
Hilda memergoki Deko sedang berduaan dan berciuman dengan Arman di kolam renang di dalam rumah Arman. Dalam realitas, perempuan yang serius dengan seorang laki-laki dia akan mencoba mengorek informasi lebih lanjut tentang calon suaminya termasuk soal orientasi seksual pasangan. Tayangan tersebut juga menunjukkan Hilda tak mengenal pribadi Deko yang seorang biseksual. Terlihat dari tayangan ketika Deko dan Arman sedang berduaan sambil berciuman di dalam kolam renang rumah Arman. Dalam tayangan-tayangan sebelumnya, Deko digambarkan sebagai laki-laki normal, karena memiliki beberapa teman wanita atau pacar.92 Namun ternyata ketika diakhir acara Hilda akhirnya baru tahu kalau Deko pun ternyata juga menyukai laki-laki.
92
Lihat hasil Analisis Tidak Memiliki Informasi Tentang Keluarga dan Lingkungan Sosial Pasangan Episode 8 Agustus 2009, hal. 112.
108
Hilda menangis, merasa dibohongi tentang orientasi seksual Deko. Hilda
: ―Sekarang kamu ngapain sama dia (menunjuk Arman)? Ngapain kamu ciuman sama dia?‖
Pada penggambaran berikutnya, terlihar Hilda masih tidak percaya bahwa Deko juga tertarik dengan laki-laki. Sehingga ketika Deko ingin menjelaskan duduk perkaranya, Hilda tidak mau. Dan memilih untuk menghindari Deko. Bahkan saking kesalnya, Hilda sempat meludahi Deko.
Hilda begitu marahnya ketika mengetahui bahwa Deko seorang biseksual. Sampai Hilda meludahi Deko karena merasa jijik melihat Deko berhubungan intim dengan seorang laki-laki. Hilda: ―Nikahin? Lu pikir gue mau? Jijik tau ga gue ama lo..!!‖
109
III.B.2
Sub Topik: Wacana Hiperealitas Minimnya Kontrol Terhadap Informasi Kontrol yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengolah atau memanfaatkan informasi tentang pasangan. Informasi yang dilihat pun kurang lebih sama dengan informasi yang diteliti pada sub topik minimnya akses terhadap informasi. Seperti saluran informasi tentang pasangan, pekerjaan, keluarga dan lingkungan sosial pasangan.
III.B.2.1
Tidak Mampu Mengelola Saluran Informasi Tentang Calon Suami
Tayangan Termehek-mehek Episode 12 Juli 2009 Terlalu sedikitnya akses informasi Tyas terhadap Bimo
mengakibatkan kontrol atas informasi pun menjadi minim. Kontrol dalam hal ini adalah kemampuan Tyas untuk memanfaatkan informasi tentang pasangannya sehingga bisa mendapatkan manfaat dari informasi yang ia miliki. Kontrol yang dimiliki Tyas juga sangat kurang. Tyas tidak memiliki saluran atau pun sumber informasi apapun tentang Bimo sehingga kesulitan dan kebingungan ketika tiba-tiba Bimo menghilang. Dalam episode ini dikisahkan kontrol perempuan atas informasi tentang pasangan sangat minim. Tyas sebagai klien bahkan tidak memiliki kuasa sedikit pun untuk mengontrol informasi. Terbukti
110
ketika Bimo memutuskan saluran informasi, Tyas kebingungan dan tidak bisa menghubungi Bimo.93 Hiperealitas tampak pada tayangan tersebut. Dalam kehidupan nyata, seorang perempuan yang memiliki hubungan serius dengan seorang laki-laki tentu memiliki kontrol atas informasi. Perempuan punya saluran informasi yang banyak dengan laki-laki tersebut. Tidak hanya lewat alat komunikasi semata, namun sudah memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga pasangan atau pun lingkungan pasangan. Sehingga sewaktu-waktu bisa memperoleh informasi apa pun yang diinginkannya tentang pasangan. Selain itu, dalam kehidupan nyata, jika perempuan ingin menerima lamaran dari seorang laki-laki, ia bahkan bisa memaksa pasangan untuk memberikan informasi tentang identitas, keluarga dan lingkungan sosial pasangan. III.B.2.2
Tidak Mampu Mengelola Informasi Tentang Keluarga dan Lingkungan Sosial Pasangan
Tayangan Termehek-mehek Episode 30 Agustus 2009 Kontrol dalam hal ini berupa kemampuan Sinta untuk
memperoleh informasi tentang keluarga Oscar. Sinta ternyata tidak memiliki kemampuan untuk meminta kejelasan tentang siapa Oscar
93
Lihat hasil Analisis Tidak Mampu Mengelola Informasi Tentang Calon Suami Episode 12 Juli 2009, hal. 96
111
sebenarnya. Sinta tidak memiliki kuasa untuk mengetahui siapa orang tua, keluarga, dan teman-teman dekat Oscar. Hiperealitas
kontrol
terhadap
informasi
dalam
hal
ini
berhubungan dengan kemampuan Sinta untuk meminta informasi yang benar tentang pribadi Oscar, sang suami. Sinta dalam hal ini menerima informasi bohong dari suaminya bahwa suaminya adalah anak orang kaya. Sinta tidak memiliki kemampuan untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Dia baru tahu tentang pribadi suami setelah Tante suaminya menceritakan yang sebenarnya.
Percakapan antara Sinta dan Tantenya Oscar dengan Mandala dan Pia (Host Termehek-mehek) tentang pribadi Oscar sesungguhnya. Pia
: ―Maksud kedatangan kita ke sini untuk cari Oscar bu..‖
Tantenya Oscar : ―Udah deh..ga usah cari Oscar ke sini, Oscar tidak tinggal disini, dia diangkat oleh kakak saya‖ Sinta
: ―Maksudnya ibu Oscar anak angkat bagaimana bu?‖
112
Tantenya Oscar : ―Oscar itu diangkat sama kakak saya, yang sekarang sakit, Ibu Asti‖ Sinta
: ―Nggak mungkin ibu, saya tahu Oscar itu anak orang kaya. Dia tidak
pernah cerita sama
sekali kalau dia itu anak angkat‖ Tantenya Oscar : ―Ya mungkin dia sengaja, bapaknya penjahat, bapaknya buronan. Dia bahakan lagi diincer niy dia, mau ditangkap, mau dijeblosin dia.‖ Sinta
: ―Saya tidak percaya kalau Oscar seperti itu‖
Dalam kehidupan nyata, seorang istri harusnya mengetahui latar belakang suami dan keluarga suami. Dan bisa memiliki kemampuan untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
Tayangan Termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009 Kontrol terhadap informasi pada episode ini adalah kemampuan
Hilda untuk menggunakan informasi tentang Deko dalam usaha memperjelas hubungan mereka. Hilda tidak mempunyai kontrol informasi tentang pasangannya. Ia tidak bisa menggunakan informasi tentang pasangan karena akses informasi tentang pasangan yang ia miliki juga sangat minim. Dalam tayangan ini, Hilda tidak memiliki kontrol atas informasi yang diberikan pasangan. Dia bahkan kerap kali dibohongi oleh pasangannya.
Tiga perempuan
yang menurut
Deko adalah
saudaranya sebenarnya adalah pacar-pacar Deko yang lain.
113
Tiga orang perempuan, masing-masing Rukmini, Sisi dan Poppy adalah pacar-pacar Deko. Namun Deko mengaku mereka hanya teman atau saudara. Disini tampak hiperealitas lemahnya kontrol Hilda atas informasi tentang lingkungan sosial pasangan. Dengan rencana pernikahan yang dalam waktu sangat dekat dan telah melalui perencanaan matang, Hilda harusnya sudah tahu latar belakang dan lingkungan sosial Deko.
Tayangan Termehek-mehek Episode 25 Juli 2009 Kemampuan Nindy untuk mengusahakan informasi tentang
pasangan juga sangat minim. Walaupun pernah melakukan kontrol terhadap informasi ini dengan mengecek keberadaan Wilman di sebuah cafe—tempat Wilman bekerja sebagai pemain band cafe— Nindy
tetap tak bisa memperoleh informasi apa-apa tentang
Wilman. Praktis Nindy tak bisa mengusahakan apalagi memaksakan Wilman untuk memberikan informasi tentang pekerjaan, lingkungan
114
sosial dan keluarga. Hiperealitas kontrol terhadap informasi terlihat dari beragamnya info mengenai Wilman.
Beberapa target (narasumber) yang memberikan informasi tentang Wilman. Setiap target memberikan informasi yang berbeda tentang Wilman. Yeni, manajer cafe tempat Wilman bekerja mengatakan Wilman adalah laki-laki simpanan Tante Ida. Sedangkan Tante Ida sendiri mengaku Wilman sebagai teman biasa bahkan orang yang melakukan kekerasan terhadap dirinya. Menurut Tante Ida, Wilman sekarang menjadi pengamen dan pencopet di kawasan Blok M. Ibu Ipah, kernet bus di kawasan Blok M mengaku mengenal Wilman sebagai pekerja sosial di sebuah pusat rehabilitasi anak jalanan, pengemis dan pengamen. Wilman yang dikenal Yeni dan Tante Ida mungkin adalah Wawan, adik kembar Wilman yang mengidap gangguan mental. Sedangkan yang diketahui Ibu Ipah adalah Wilman sebenarnya.
115
Kontrol terhadap informasi ini harusnya bisa diusahakan Nindy dengan mudah, karena mereka sudah saling percaya dan Nindy mengenal Wilman sebagai pria yang baik. Dengan demikian usaha Nindy untuk mengetahui informasi tentang Wilman harusnya tidak sulit. Namun yang terjadi adalah Nindy harus mencari-cari Wilman ke berbagai tempat yang diduga tempat kerja Wilman yang sebelumnya Nindy tak pernah tahu. Disinilah letak hiperealitas tersebut. Seorang perempuan yang mengenal baik seorang laki-laki harusnya
bisa
mengusahakan
informasi
yang jelas
tentang
pasangannya. Karena pasangannya adalah pria baik-baik yang tentu tak akan keberatan membeberkan informasi tentang dirinya. III.B.2.3
Tidak
Mampu
Mengelola
Informasi
Tentang
Pekerjaan
Pasangan
Tayangan Termehek-mehek Episode 16 Agustus 2009 Kontrol terhadap informasi juga diyakini lemah, karena terlihat
Susy tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakan untuk mendapatkan informasi. Bukti kelemahan kontrol Susy adalah ketidaktahuan Susy tentang profesi Nico yang selain sebagai model juga ternyata seorang gigolo (pelacur laki-laki)
116
Tampak Nico sedang bertemu dengan Tante Maya, pelanggannya. Hiperealitas mengenai lemahnya kontrol informasi terbaca pada gambar diatas. Nico yang diakui sudah kenal baik dengan keluarga Susy ternyata berkhianat.94 Jika keluarga Susy sudah kenal dekat dengan Nico tentu bisa mengusahakan dan mencari tahu kejelasan informasi tentang perkerjaan dan aktivitas Nico. III.B.3
Sub Topik: Wacana Hiperealitas Minimnya Akses Terhadap Manfaat Manfaat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa kejelasan hubungan yang bisa diperoleh oleh perempuan dalam menjalin relasi tersebut. Kejelasan hubungan berupa kelanjutan rencana pernikahan, status pernikahan atau kelanjutan hubungan. Peneliti melihat, dalam tayangan
Termehek-mehek
ini
perempuan
harusnya
mendapatkan kejelasan hubungan tersebut.
94
Lihat hasil Analisis Tidak Mampu Mengelola Informasi Tentang Keluarga dan Lingkungan Sosial Pasangan Episode 16 Agustus 2009 Hal.102.
bisa
117
III.B.3.1
Tidak Memiliki Kejelasan Rencana Pernikahan
Tayangan Termehek-mehek Episode 12 Juli 2009 Dalam tayangan Termehek-mehek edisi 12 Juli 2009, akses
perempuan terhadap kejelasan hubungan sangat minim sekali. Tyas tidak memiliki kesempatan untuk meminta kejelasan atas hubungan yang ia jalin dengan Bimo. Bahkan sampai kemudian Bimo melamarnya dan Tyas menerima lamaran itu, Tyas tidak mendapatkan kejelasan hubungan mereka. Sampai kemudian Bimo menghilang, ia juga tidak mendapatkan kejelasan hubungan tersebut. Alasan mencari Bimo pun menurut Tyas adalah karena ia ingin meminta kejelasan hubungan mereka. Akses perempuan terhadap manfaat yang akan diperoleh dari relasi perempuan terhadap pasangan juga mengalami hiperrealitas pada tayangan ini. Dikisahkan bahwa Tyas tidak memperoleh manfaat atas hubungan mereka. Tyas tidak memiliki kejelasan atas hubungan mereka.
Tampak Tyas sedang membujuk Aris untuk menjelaskan kelanjutan hubungan mereka. Tyas : ―Aris, ini Tyas, Please..lu harus jelasin dulu sama gue
118
Aris : (Menggelengkan kepala) Tyas : ―Kenapa sih? Kenapa sih ris?‖ Aris : (Langsung melangkah pergi tanpa penjelasan apapun) Dalam tayangan tersebut, Aris menghindar dari Tyas dan tidak menjelaskan apapun kepada Tyas. Baik kelanjutan hubungan maupun apa yang telah terjadi dalam hubungan mereka selama ini. Dalam kehidupan nyata, perempuan yang telah memiliki hubungan dengan seorang laki-laki tentu memiliki kejelasan atas hubungan mereka. Apalagi jika perempuan tersebut telah menerima lamaran, tentu ia akan memperoleh kejelasan hubungan yang lebih lagi. Seperti waktu menikah dan mungkin sampai prosesi pernikahan.
Tayangan Termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009 Manfaat dalam hubungan ini adalah ketika Hilda bisa
memperoleh kejelasan hubungannya dengan Deko. Kejelasan hubungan dalam episode ini dimaknai sebagai keberlanjutan rencana pernikahan antara Hilda dan Deko. Namun dalam episode ini Hilda tidak memperoleh akses terhadap manfaat dari hubungan ini. Karena Deko seorang homoseksual, tentu sulit untuk melanjutkan rencana pernikahan mereka. Ketika Deko akhirnya meninggalkannya pun, Hilda tak bisa berbuat apa-apa. Hiperealitas terhadap manfaat ini tampak ketika Hilda tidak memperoleh kejelasan rencana pernikahan mereka. Padahal rencana pernikahan mereka tinggal tiga minggu lagi.
119
Hilda meminta penjelasan Deko tentang keberlanjutan hubungan mereka. Deko : ‖Hilda..kok ada kamera gini..? Bisa nggak sih kita ngomong baik-baik?‖ Hilda : ‖Nggak..nggak bisa.. ‖Lo ngapain tadi di berduaan di kolam renang? Lo kemana emang selama ini?‖ III.B.3.2
Tidak Memiliki Kejelasan Status Pernikahan
Tayangan Termehek-mehek Episode 30 Agustus 2009 Sedikitnya informasi yang bisa diakses Sinta tentang Oscar
membuat Sinta juga semakin kesulitan memperoleh akses terhadap manfaat dari hubungan mereka. Kejelasan hubungan pernikahan mereka bagi Sinta semakin kabur. Karena Sinta tak memiliki posisi sekaligus status yang jelas dihadapan keluarga Oscar. Pada gilirannya nanti Sinta juga kesulitan mengontrol informasi atau manfaat atas hubungan mereka. Sinta pada akhirnya tidak diakui Oscar sebagai istrinya.
120
Hiperrealitas pada tayangan tampak dari kejelasan hubungan pernikahan yang dimiliki Sinta. Sebagai seorang istri yang dinikahi secara baik-baik harusnya Sinta memperoleh kejelasan status dan kedudukannya sebagai seorang istri. Namun dalam tayangan Termehek-mehek edisi 30 Agustus 2009 tergambar bahwa Sinta sama sekali tidak mendapatkan kejelasan hubungan pernikahan
mereka. Keluarga Oscar juga tidak mengetahui bahwa Oscar telah menikah dengan Sinta. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya informasi yang diperoleh Sinta tentang Oscar dan keluarganya. Percakapan antara Sinta dan Tantenya Oscar dengan Mandala dan Pia (Host Termehek-mehek) tentang ketidaktahuan keluarga berkenaan dengan status Oscar yang telah menikah. Tantenya Oscar : ―Kamu siapanya Oscar?‖ Sinta
: ―Saya istrinya Oscar‖
Tantenya Oscar : ―Istrinya?‖ (Sambil menggelengkan kepala) Mandala
: ―Jadi ibu tidak pernah tahu sama sekali kalau Oscar menikah?‖
121
Tantenya Oscar : ―Nggak pernah tahu sama sekali kalau dia menikah‖ Dalam kehidupan nyata, seorang istri pasti memiliki posisi yang jelas dalam keluarga besar. Sehingga seluruh keluarga mengetahui status istri tersebut dalam keluarga besar. Apalagi jika pernikahan tersebut berlangsung sah tidak dengan pernikahan di bawah tangan. Lemahnya kontrol Sinta terhadap informasi tentang Oscar bedampak pada minimnya juga kontrol Sinta terhadap manfaat berupa kejelasan hubungan pernikahan mereka. Sinta tidak bisa mengusahakan kejelasan hubungan pernikahan mereka didepan keluarga besar karena tidak adanya akses informasi Sinta terhadap keluarga Oscar. Lemahnya kontrol terhadap manfaat ini akhirnya berdampak pada Sinta yang tidak diakui oleh Oscar sebagai istrinya. Bahkan mengaku tidak mengenal Sinta, istri yang sedang mengandung dua bulan dari hubungan pernikahan mereka. III.B.3.3
Tidak Memiliki Kejelasan Kelanjutan Hubungan
Tayangan Termehek-mehek Episode 16 Agustus 2009 Akses terhadap manfaat berupa kejelasan kelanjutan hubungan
juga terlihat tidak ada. Setelah ketahuan kalau dirinya seorang gigolo, Nico melarikan diri. Susy yang ditinggalkan pun tidak punya pilihan lain. Dia tidak memiliki akses apa pun untuk memperjelas hubungan mereka.
122
`Hiperealitas tampak ketika Susy tidak memiliki kesempatan
untuk meneruskan hubungan mereka. Sebab Nico mengaku tidak pernah punya hubungan dengan Nico dan meninggalkan Susy begitu saja seperti yang tergambar dari dialog dibawah ini: Terjadi perdebatan sengit antara Nico, Susy, Pia dan Tante Maya Tante Maya : Nico siapa ini?? Nico
: Gua ga tahu..!!
Pia
: Eh, maksud lo ga tau apa? Masa sama cewek lu ga tau?
Nico
: Gua ga kenal sama dia..!!
Susy
: Nico tega kamu ya Nico..maksud kamu ga kenal itu apa???
Dalam realita, sebuah keluarga yang telah mengenal baik seorang laki-laki pasangan sang anak tentu punya kesempatan untuk mendapatkan kejelasan kelanjutan hubungan anak mereka. Nico juga mengakui tidak pernah punya hubungan dengan Susy. Dalam realita, hubungan yang tanpa perselisihan dan gejala tentang itu, tapi tiba-
123
tiba rusak bahkan sampai tidak mengakui pasangannya adalah sangat sulit terjadi.
Tayangan Termehek-mehek Episode 25 Juli 2009 Peluang untuk medapatkan manfaat dari hubungan ini juga
dirasa sangat kecil bahkan mungkin tidak ada. Manfaat berupa kelanjutan hubungan Nindy dengan Wilman semakin kabur setelah Wilman memilih untuk merawat adiknya mengalami gangguan mental. Wilman bahkan tidak mepedulikan Nindy yang berusaha keras agar hubungan mereka memiliki kelanjutan.
Wilman (kaus oranye) tampak sedang menenangkan Wawan (kaus putih), adik kembarnya yang mengidap gangguan mental. Selama lima bulan menghilang, Wilman ternyata sedang merawat adiknya yang terkena gangguan mental. III.B.4
Manfaat yang bisa diperoleh Nindy dari seorang pria baik-baik adalah sebuah kejelasan hubungan. Seorang pria baik dan dikenal baik oleh Nindy juga seharusnya menjanjikan kejelasan hubungan. Disinilah hiperealitas itu nampak, karena Nindy tidak memperoleh kelanjutan kejelasan hubungan. Disini, kelanjutan hubungan Nindy
124
dan Wilman tidak bisa diteruskan karena Wilman memilih merawat adik kembarnya yang terkena gangguan mental. Sebagai pria baik, harusnya Wilman juga memikirkan kelanjutan hubungan, tak hanya tentang amanah orang tua untuk merawat adik yang sakit. III.B.4
Sub Topik: Wacana Hiperealitas Minimnya Kontrol Tentang Manfaat Kontrol dalam hal ini adalah kemampuan untuk mengusahakan kejelasan hubungan. Seperti dalam akses tentang manfaat, dalam hal melihat kontrol tentang manfaat. Penulis pun lebih fokus pada kejelasan rencana pernikahan, status pernikahan dan kejelasan kelanjutan hubungan.
III.B.4.1
Tidak Memiliki Kemampuan Untuk Mengusahakan Kejelasan Rencana Pernikahan
Tayangan Termehek-mehek Episode 12 Juli 2009 Lemahnya akses terhadap manfaat tentu juga berpengaruh
terhadap lemahnya kontrol terhadap manfaat. Kontrol terhadap manfaat, dalam hal ini adalah kejelasan hubungan juga sangat kurang. Tyas tidak memiliki kuasa apapun untuk mendapatkan hubungan yang jelas. Terbukti dari ketika Bimo menghilang, hubungan mereka menjadi sangat kabur. Padahal Bimo sudah melamar Tyas dan Tyas pun sudah menerima lamaran itu. Walaupun sudah melalui prosesi lamaran, Tyas tetap tidak bisa memiliki kontrol apapun atas hubungan mereka.
125
Dikisahkan juga bahwa Tyas tidak memiliki kontrol atapun kemampuan untuk medapatkan kejelasan hubungan sebagai manfaat yang akan diperoleh ketika membangun hubungan. Dalam kehidupan
nyata,
perempuan
memiliki
kemampuan
untuk
mendapatkan kejelasan hubungan mereka. Apalagi jika hubungan itu telah menuju kearah yang serius. Perempuan bahkan bisa memaksakan laki-laki untuk menjelaskan hubungan mereka jika laki-laki itu ingin melamarnya. Lebih lanjut, perempuan juga bisa memaksakan laki-laki untuk menjelaskan kelanjutan hubungan mereka seperti jenjang menuju pernikahan dan lainnya.
Tayangan Termehek-mehek Episode 8 Agustus 2009 Kontrol terhadap kejelasan hubungan dan kemampuan untuk
memaksakan keberlanjutan rencana pernikahan juga tidak dimiliki. Apalagi setelah Hilda tahu Deko seorang homoseksual yang tidak mungkin bisa melanjutkan rencana pernikahan dengannya. Dengan demikian juga bisa dikatakan kontrol Hilda terhadap manfaat atas hubungan mereka sangat kurang. Hiperealitasnya tampak ketika Hilda yang tidak memiliki kontrol atau kemampuan untuk mengusahakan kejelasan hubungan. Hilda yang dalam waktu dekat menikah setidaknya mampu untuk meminta kelanjutan kejelasan hubungan. Namun karena sikap dan
126
orientasi seksual Deko yang menyimpang95 membuat Hilda tidak lagi memikirkan dan mengusahakan kejelasan kelanjutan hubungan mereka.
Tampak dalam gambar Hilda menolak penjelasan Deko. Deko: ‖Hilda dengerin dulu penjelasan gue, kan kita mau nikah?‖ Hilda: ‖Nikah? Ngapain nikah sama homo kayak lo, jijik gue..!!‖ III.B.4.2
Tidak Memiliki Kemampuan Untuk Mengusahakan Kejelasan Status Pernikahan
Tayangan Termehek-mehek Episode 30 Agustus 2009 Lemahnya kontrol Sinta terhadap informasi tentang Oscar
bedampak pada minimnya juga kontrol Sinta terhadap manfaat berupa kejelasan kelanjutan hubungan pernikahan mereka. Sinta tidak bisa mengusahakan kejelasan hubungan pernikahan mereka didepan keluarga besar karena tidak adanya akses informasi Sinta
95
Lihat hasil Analisis Tidak Memiliki Informasi Tentang Kelainan Seksual Pasangan Episode 8 Agustus 2009, hal. 106.
127
terhadap keluarga Oscar. Lemahnya kontrol terhadap manfaat ini akhirnya berdampak pada Sinta yang tidak diakui oleh Oscar sebagai istrinya. Bahkan mengaku tidak mengenal Sinta, istri yang sedang mengandung dua bulan dari hubungan pernikahan mereka. Dalam episode ini digambarkan bahwa Sinta benar-benar tak memiliki kontrol atas kejalasan hubungan mereka. Sehingga ketika Oscar tidak mengaku Sinta sebagai istrinya ia tak bisa berbuat apaapa.
Oscar mendorong Sinta, setelah tidak mengakui Sinta sebagai istrinya. Percakapan antara Oscar dan Sinta setelah mereka bertemu: Oscar
: ―Ngapain Lu ke sini?‖
Sinta
: ―Aku istri Lu‖
Oscar
: ―Nggak..nggak, Lu pergi dari sini deh‖ (Sambil mendorong Sinta)
128
Sinta
: ―Kamu jahat banget ma gue..!!‖
Oscar
: ―Apaan sih Lu..!!‖ (Mendorong Sinta sampai jatuh)
Dalam kehidupan nyata, seorang Istri harusnya memiliki kemampuan untuk meminta pasangan memberikan kejelasan hubungan pernikahan mereka dan membuktikan kejelasan hubungan tersebut didepan keluarga besar. III.B.4.3
Tidak Memiliki Kemampuan Untuk Mengusahakan Kejelasan Kelanjutan Hubungan
Tayangan Termehek-mehek Episode 16 Agustus 2009 Kontrol yang seharusnya ada pun tidak ada. Susy tak bisa
mencegah Nico melarikan diri atau membujuk Nico untuk memperjelas hubungan mereka. Susy tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakan hubungan yang jelas.
129
Susy mendesak Nico untuk mengakui hubungan mereka. Namun Nico bersikeras tidak mengkui hubungan mereka bahkan mengaku tidak mengenal Susy. Susy
: ―Lu tanggungjawab lu..tanggung jawab lu Nico..!!‖
Nico
: ―Gua ga ngerti..!!, Brengsek lo..‖ (Langsung berlari pergi)
Dengan akses yang sedemikian minim memang sulit bagi Susy untuk memperoleh kontrol yang kuat atas kelanjutan hubungan mereka. Nico menolak mengakui dia sebagai pacarnya, bahkan mengaku tidak mengenal Susy. Dan Susy pun kemudian tidak memiliki kuasa untuk memaksa Nico menjelaskan hubungan mereka. Disini lah hiperealitas itu terbaca. Padahal sebelumnya hubungan
mereka
baik-baik
saja,
tidak
ada
pertengkaran,
perselisihan dan perselingkuhan. Dengan bekal hubungan yang baik-baik saja tersebut harusnya mampu untuk memiliki kontrol atas manfaat dari hubungan tersebut.
Tayangan Termehek-mehek Episode 25 Juli 2009 Kemampuan untuk mengusahakan kejelasan hubungan juga sulit
dilakukan Nindy. Usaha Nindy bersama Tim Termehek-mehek untuk mencari Wilman sebagai bentuk memperjelas hubungan malah semakin membuktikan bahwa Nindy memang tidak memiliki kontrol atas apa pun mengenai kelanjutan hubungan mereka. Sehingga
130
ketika Wilman memilih untuk merawat adiknya yang terkena gangguan mental, Nindy tak bisa berbuat banyak.
Wilman sedang menjelaskan kepada Nindy tentang kewajiban dia untuk
merawat
adiknya
sekaligus
meminta
Nindy
untuk
meninggalkan dia. Wilman
: Aku ninggalin kamu karena ada adek aku, Wawan
Nindy
: Tapi kamu ninggalin aku buat dia?
Wilman
: Iya aku salah, tolong ngertiin aku, lebih baik baik kamu pergi dari aku. Tinggalkan aku, aku mau merawat adek aku. Aku ada amanah dari orang tua.
Nindy
: Tapi aku ga bisa hidup tanpa kamu
Wilman
: Iya, aku minta maaf. Kamu sekarang pergi. Kamu ngerti nggak sih?
Tayangan dan dialog diatas menunjukkan bahwa kontrol terhadap kelanjutan kejelasan hubungan juga tidak bisa diusahakan Nindy. Dengan posisinya yang sudah kenal dekat dengan pasangan harusnya bisa mengusahakan bahkan memaksa pasangan untuk memberi kejelasan hubungan. Namun yang ditampilkan tayangan ini
131
adalah ketidakberdayaan Nindy untuk mengusahakan kelanjutan hubungan. Disinilah hiperealitas pada tayangan ini tampak. Nindy yang mengenal baik Wilman sebagai pria baik-baik malah tidak bisa mengusahakan dan mendapatkan kejelasan hubungan dari Wilman. III. C Realitas Kehidupan Sehari-hari Perspektif Ahli Penggambaran realita dalam kehidupan sehari-hari menjadi tolok ukur dalam menilai hiperealitas yang ditampilkan oleh Termehekmehek. Dalam hal ini, Endang Listiani, Manajer Institusi SPEK-HAM (Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia) Solo memaparkan beberapa hal yang merupakan realitas kehidupan yang dihadapi para perempuan. Misalnya, Endang memaparkan bahwa memang banyak perempuan yang berjanji dinikahi tapi kemudian ditinggalkan, padahal perempuan tersebut belum kenal betul dengan pasangan. Padahal dalam membangun
hubungan
hendaknya
perempuan
mengenal
betul
pasangan yang akan dinikahinya. “Memang ada perempuan yang janji mau dinikahi, kemudian dihamili tapi kemudian ditinggalkan. Tapi ini memang punya banyak faktor seperti masalah ekonomi, keluarga atau sudah selingkuh dengan yang lain, atau malah sudah punya istri. Dan kemudian, setelah tahu dia punya istri tetap ga bisa berbuat apaapa karena terlalu banyak menyerahkan diri seutuhnya. Harusnya perempuan kenal betul siapa dulu calon suaminya, jadi hal-hal yang seperti itu bisa diminimalisir” Endang mengakui bahwa realita yang digambarkan Termehekmehek sering tidak utuh. Banyak hal-hal yang dalam realita sebenarnya
132
menggambarkan perempuan begitu mampu, namun di Termehek-mehek perempuan menjadi sosok yang lemah.
“Termehek-mehek tidak menggambarkan perempuan secara utuh, realita yang tadi (Termehek-mehek), perempuan tidak mengetahui secara utuh pasangannya. Dia tidak punya akses mengetahui pasangan secara utuh, kemudian secara pengalaman dia terlalu lugu, jujur, atau percaya begitu saja dengan pasangannya, sehingga dia tidak mungkin curiga bahwa pasangannya itu jahat, bahwa pasangannya itu membohongi.” Dengan kata lain, Endang ingin mengatakan realita yang utuh, realita yang ada di masyarakat, perempuan harusnya mengetahui pasangan secara utuh. Perempuan harus mencari informasi yang lengkap tentang pekerjaan, keluarga, lingkungan sosial atau bahkan orientasi seksual pasangan. Dalam Termehek-mehek perempuan terlalu lugu, jujur, atau percaya begitu saja dengan pasangannya. Sehingga perempuan tidak mungkin curiga ketika dibohongi pasangannya. III. D Kesimpulan Penelitian dalam bab ini, atau analisis wacana tentang teks tayangan Termehek-mehek mengambil kesimpulan bahwa memang terdapat hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek. Hal itu terindikasi dari beberapa hal yang tergambar dalam penayangan Termehek-mehek seperti tergambar dari tabel berikut ini: Tabel 2. Hiperealitas Akses Terhadap Informasi Tentang Pasangan No. 1.
Tanggal Tayangan 12 Juli 2009
Hiperealitas
Hanya punya akun facebook dan nomer
Realita
Perempuan yang telah menerima lamaran
133
2.
25 Juli 2009
3.
4.
8 Agustus 2009
16 2009
Agustus
ponsel pasangan Klien tidak mengusahakan saluran informasi langsung Pasangan tidak membuka akses ke keluarga dan lingkungan sosial Tidak mengetahui pasangan memiliki saudara kembar Tidak mengetahui aktivitas, pekerjaan pasti dan lingkungan sosial pasangan
laki-laki pasti memiliki saluran informasi dan informasi tentang pasangannya
Tidak mengetahui kenapa rencana pernikahan tidak direstui oleh orang tua pasangan Tidak mengetahui pekerjaan, pertemanan dan lingkungan sosial pasangan yang akan dinikahi tiga minggu lagi Tidak mengetahui kelainan seksual pasangan (homoseksual)
Tidak mengetahui tepatnya pekerjaan pasangan padahal mengaku keluarga
Ketika mengaku sudah mengenal baik pasangan, harusnya juga mengetahui keluarga pasangan seperti saudara kembar pasangan Harusnya mengetahui pekerjaan, pertemanan dan lingkungan sosial pasangan yang sudah demikian dekat ia kenal Mengetahui alasan tidak ada restu orang tua karena pernikahan dilakasanakan baikbaik, sudah dalam waktu dekat, dan undangan juga sudah disebar Mengetahui pekerjaan, pertemanan dan lingkungan sosial pasangan yang akan dinikahi tiga minggu lagi Dengan waktu pernikahan yang makin dekat harusnya tahu apakah pasangan mempunyai kelainan seksual atau tidak Dengan keluarga yang sudah kenal baik, sampai berani meminjamkan uang,
134
5.
30
Agustus
2009
sudah kenal baik Tidak mengetahui lingkungan sosial pasangan Tidak mengetahui aktivitas pasangan sebagai gigolo padahal mengaku keluarga sudah kenal baik Tidak mengetahui juga bahwa pasangan pernah pacaran dengan ibu ‗klien‘sendiri
Tidak mengenal orang tua dan saudara pasangan Pernikahan tidak diakui dan tidak diketahui oleh orang tua dan keluarga Pasangan tidak membuka akses ke keluarga dan lingkungan sosial
Tidak mengetahui pasangan telah menikah dengan adik kandung sendiri
tentu selayaknya sudah tahu betul pekerjaan pasangan Mengetahui pekerjaan, pertemanan dan lingkungan sosial pasangan yang notabenenya sudah dekat dengan keluarga Dengan waktu pernikahan yang makin dekat harusnya tahu apakah pasangan mempunyai kelainan seksual atau tidak Perempuan yang telah menikah dan hidup bersama pasangannya seharusnya sudah mengenal keluarga besar pasangannya Pernikahan pun harusnya sudah diketahui oleh keluarga besar kedua belah pihak Seorang istri harusnya tahu suaminya akan menikah lagi dengan siapa serta seorang kakak kandung harusnya tahu pernikahan adiknya
Tabel 3. Hiperealitas Akses Terhadap Kejelasan Hubungan No. 1.
Tayangan Tanggal 12 Juli 2009
Hiperealitas
Tidak memiliki kejelasan hubungan karena tidak memiliki saluran informasi ke pasangan
Realita
Perempuan yang memiliki informasi tentang pasangannya pasti akan memiliki hubungan yang jelas
135
2.
25 Juli 2009
Tidak mendapatkan kejelasan hubungan selanjutnya karena pasangan memilih untuk merawat adiknya yang terkena gangguan mental
3.
8 Agustus 2009
Tidak memiliki peluang untuk memperoleh kejelasan hubungan dan keberlanjutan rencana pernikahan karena Deko ternyata seorang homoseksual.
4.
16
Agustus
Agustus
Tidak mendapatkan kejelasan hubungan selanjutnya karena pasangan langsung meninggalkannya. Bahkan pasangan mengaku mereka tidak pernah punya hubungan. Padahal sebelumnya hubungan baik-baik saja tanpa pertengkaran, perselisihan atau perselingkuhan Tidak memiliki kejelasan hubungan sebagai suami-istri dalam keluarga besar karena tidak mengenal keluarga dan orang tua pasangan
2009
5.
30 2009
Tabel 4. Hiperealitas Kontrol Terhadap Informasi
Pasangan yang sudah serius kenal dekat dan selalu berbuat baik, harusnya juga memikirkan masa depan hubungan sekaligus menyesuaikan dengan amanah untuk merawat adik yang terkena gangguan mental Perempuan yang akan menikah dalam waktu tiga minggu lagi dan dalam rencana pernikahan yang baikbaik pasti memiliki kejelasan keberlanjutan rencana pernikahan Hubungan yang berlangsung baik, tibatiba memburuk tanpa sebab yang jelas, sulit untuk terjadi. Jika pada akhirnya pasangan selingkuh, tentu sudah menunjukkan gejala sejak awal. Dan jika diantisipasi dengan baik tentu hubungan akan kembali jelas. Perempuan yang telah menikah baik-baik pasti memiliki posisi yang jelas sebagai pasangan dalam keluarga besar.
136
No. 1.
2.
3.
4.
Tanggal Tayangan 12 Juli 2009
Hiperealitas
Realita
Tidak memiliki Perempuan yang kemampuan untuk memiliki saluran menggunakan atau informasi yang jelas memaksakan kejelasan tentang pasangan akan informasi tentang bisa mendapatkan pasangan informasi informasi tentang karena minimnya saluran pasangan. Perempuan informasi yang didapat bahkan bisa memaksa pasangan untuk memberi informasi tentang dirinya 25 Juli 2009 Tidak bisa memaksakan Perempuan yang sudah atau memiliki percaya dengan kemampuan untuk pasangan dan mengenal menggali informasi baik pasangan bisa mengenai pekerjaan, untuk mengusahakan keluarga dan aktivitas kejelasan informasi pasangan tentang keluarga dan aktivitas pasangan 8 Agustus 2009 Tidak memiliki Perempuan yang akan kemampuan untuk menikah baik-baik menggunakan atau dengan laki-laki memaksakan kejelasan pilihannya pasti informasi tentang memiliki kemampuan pasangan, pekerjaan dan hak untuk meminta pasangan dan kejelasan informasi lingkungan sosial tentang pasangan, pasangan pekerjaan pasangan dan lingkungan sosial pasangan 16 Agustus Tidak bisa memaksakan Perempuan yang atau memiliki mengaku keluarganya 2009 kemampuan untuk sudah mengenal baik menggali informasi pasangannya harusnya mengenai pekerjaan, memiliki kemampuan pertemanan sampai untuk menggali aktivitas lain pasangan informasi tentang yang menyimpang pasangannya baik pekerjaan, pertemanan Tidak bisa menggali sampai aktivitas lain. informasi bahwa Dengan bekal keluarga pasangan sempat yang mengaku kenal memacari ibu kandung baik Nico juga harusnya ‗klien‘ sendiri. Sebelum tahu Nico pernah akhirnya ibu bunuh diri
137
5.
30 2009
karena tidak kuat menjalin hubungan dengan lelaki yang merupakan pacar anaknya. Agustus Tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan atau memaksakan kejelasan informasi tentang pasangan dan keluarga pasangan
memiliki hubungan dengan ibu kandung ‗klien‘, bahkan ibu bunuh diri gara-gara Nico. Perempuan yang telah menikah dengan lakilaki pilihannya dengan baik-baik pasti memiliki kemampuan dan hak untuk meminta kejelasan informasi tentang pasangan dan keluarga pasangan
Tabel 5. Hiperealitas Kontrol Terhadap Kejelasan Hubungan No. 1.
Tanggal Tayangan 12 Juli 2009
Hiperealitas
Realita
Tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakan kejelasan hubungan karena minimnya informasi
Perempuan memiliki kemampuan untuk menjelaskan hubungan mereka, bahkan memaksa pasangan untuk memberi kejelasan hubungan. Dengan posisi yang sudah mengenal dekat pasangan sedari awal bisa meminta pasangan untuk menjelaskan kejelasan masa depan hubungan dengan segala resiko seperti tanggungjawab keluarga dan lain-lain Perempuan yang akan menikah dalam waktu dekat memiliki kemampuan untuk meminta kejelasan keberlanjutan rencana pernikahan kepasangan. Atau perempuan
2.
25 Juli 2009
3.
8 Agustus 2009 Tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakan kejelasan hubungan dan keberlanjutan rencana pernikahan
Berada pada posisi tidak punya kuasa apapun untuk mengusahakan kelanjutan kejelasan hubungan karena pasangan lebih memilih untuk merawat adiknya yang terkena ganggguan mental
138
4.
16 2009
5.
30 2009
Agustus Tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakan kejelasan hubungan, sampai pasangan tidak mengakui hubungan mereka. Dan selama itu hubungan mereka baikbaik saja tanpa pertengkaran, perselisihan dan perselingkuhan Agustus Tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakan kejelasan hubungan di depan keluarga karena minimnya akses terhadap orang tua dan keluarga besar pasangan
memiliki kemampuan untuk menentukan kejelasan hubungan dan rencana pernikahan Dengan kondisi awal yang baik-baik saja, tanpa gejala apa pun, dan mengaku pasangan sudah kenal dekat dengan keluarga, kejelasan hubungan harusnya bisa diusahakan.
Perempuan yang telah menikah memiliki kemampuan untuk meminta kejelasan hubungan didepan keluarga besar pasangan, bahkan memaksa pasangan memberi kejelasan.
139
BAB IV HIPEREALITAS RELASI TIDAK SETARA PADA PEREMPUAN DI MATA PRODUSEN DAN KONSUMEN Tahap selanjutnya dari analisis wacana kritis setelah analisis teks adalah analisis discourse practise (analisis praktik wacana). Pada tahap ini peneliti fokus pada bagaimana proses produksi dan proses konsumsi teks itu sendiri. Proses produksi akan menunjukkan bagaimana proses pertarungan wacana dan ideologi pembuat teks dalam menghadirkan teks ini di hadapan konsumen. Sedang proses konsumsi akan memperlihatkan proses interpretasi dan sekaligus reinterpretasi terhadap teks yang dihadirkan. Untuk melakukan pencarian data pada level produsen peneliti melakukan wawancara langsung kepada Produser tayangan Termehek-mehek, Adityo Habsoro. Sedangkan dalam level konsumen peneliti melakukan wawancara kepada sepuluh konsumen Termehek-mehek. Terdiri dari lima orang merupakan konsumen umum (konsumen awam) dan lima konsumen yang memiliki kompetensi khusus (konsumen ekspert) dalam menilai tayangan Termehekmehek. Pada kelompok konsumen ekspert, peneliti mengambil sampel konsumen yang memiliki pengalaman dan pengetahuan khusus tentang tema umum dalam penelitian ini. Seperti hal yang berkenan dengan isu gender, ilmu komunikasi, proses produksi produk audiovisual dan regulasi penyiaran. Serta satu orang konsumen yang pernah memiliki pengalaman mengikuti proses produksi Termehek-mehek sebagai talent (peran pengganti).
140
Sedangkan untuk konsumen awam, peneliti mengambil sampel pengkonsumsi teks yang kesemuanya perempuan dengan latarbelakang yang berbeda. Pengambilan sampel perempuan karena peneliti ingin melihat bagaimana perempuan sebagai konsumen teks memaknai sebuah tayangan yang mengangkat keteraniayaan perempuan. Adapun latarbelakang yang beragam berupa ibu rumah tangga, mahasiswi hingga perempuan bekerja diharapkan bisa memberi pandangan yang berbeda karena sesuai dengan pengalaman dari masing-masing latarbelakang tersebut. Selanjutnya level discourse practise dalam bab ini akan menjawab beberapa pertanyaan seperti: 1.
Bagaimana proses produksi tayangan Termehek-mehek dan semua hal yang melatarbelakanginya?
2.
Seperti apa penonton menafsirkan pesan yang ditampilkan tayangan Termehek-mehek?
IV.A LEVEL PRODUSEN Level ini menjelaskan bagaimana tayangan Termehek-mehek diproduksi. Mulai dari awal sampai kemudian tayang di televisi. Peneliti berhasil menghubungi Produser Tayangan Drama Reality Termehek-mehek Trans TV, Adityo Habsoro. Dan melakukan wawancara langsung pada 28 Februari 2010 di Gedung Trans Corp, Jl. Kapten Tendean Kav.12-14, Jakarta. Wawancara langsung dengan produser acara ini sangat membantu untuk mengetahui latar belakang ataupun ideologi yang ingin dihadirkan oleh tayangan Termehek-mehek. Termasuk untuk mengetahui proses produksi hadirnya konstruksi pesan
141
hiperealitas pada tayangan tersebut. Hiperealitas yang dimaksud adalah hiperealitas ketimpangan gender yang dihadirkan oleh tayangan Termehekmehek. IV.A.1 Proses Produksi Tayangan Termehek-mehek Proses produksi tayangan Termehek-mehek melalui tahapan produksi seperti umumnya proses produksi karya audiovisual. Diantaranya tahapan pra produksi, produksi hingga pasca produksi. IV.A.1.1 Tahapan Pra Produksi IV.A.1.1.1 Ide Awal a.
Laporan Calon Klien Proses produksi tayangan Termehek-mehek menurut Adityo
Habsoro, Produser Tayangan Drama Reality Termehek-mehek Trans TV berawal dari keluhan atau laporan seseorang yang melapor lewat e-mail kepada tim Termehek-mehek bahwa kehilangan seseorang. “Step pertama, kita dapet email yang perlu bantuan, gini..gini..terus dihubungi sama tim survey kita meninjau langsung, bisa nggak yaa..ini diangkat ceritanya.96 Laporan klien yang dimaksud adalah ketika ada seseorang yang melapor kepada tim Termehek-mehek untuk mencari seseorang. Semua laporan ini diterima tim Termehek-mehek via email yang selalu mereka promosikan setelah akhir acara. Selain melaporkan kasus kehilangannya, klien juga diharuskan untuk menyertakan alamat lengkap dan nomer kontak yang bisa dihubungi.
96
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
142
b. Cerita Lengkap Selain lewat laporan klien yang mengeluhkan kehilangan seseorang, tim Termehek-mehek juga sering mendapatkan cerita lengkap tentang kehilangan seseorang. Adityo mengakui sebenarnya klien tersebut sudah tahu tempat orang yang dia cari. Bahkan orang yang akan dicari tersebut juga sudah ditemukan sendiri oleh calon klien itu. Jadi dalam hal ini orang yang ingin dicari itu sebenarnya sudah ditemukan. Namun karena cerita yang dirasa menarik, tim Termehek-mehek tidak keberatan untuk mengangkat ceritanya. Dengan peran pengganti tentunya. “Ada yang cerita lengkap, tapi kalo yang cuma mengaku kehilangan, tim kita akan kesana.”97 Dengan demikian, semua proses ide cerita yang diangkat dalam tayangan Termehek-mehek menurut produsernya adalah ide cerita asli dari orang diluar tim Termehek-mehek. Tidak ada proses penciptaan atau rekayasa cerita layaknya cerita sinetron ataupun film. IV.A.1.1.2 Pengembangan Ide Cerita a.
Survey Lapangan Setelah menerima laporan, keluhan bahkan cerita lengkap dari
calon klien, tim Termehek-mehek menerjunkan tim survey untuk melihat kondisi lapangan seperti pribadi pelapor, kegiatan pelapor, keluarga pelapor dan lain-lain.
97
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
143
“Step pertama, kita dapet email yang perlu bantuan, gini..gini..terus dihubungi sama tim survey kita meninjau langsung, bisa nggak yaa..ini diangkat ceritanya. Setelah itu tim kita akan kesana. Mengikuti si pelapor, kehidupan si pelapor, siapa yang dicari dan semuanya.”98 Kegiatan mengikuti kegiatan calon klien dilakukan oleh tim Termehek-mehek untuk menilai apakah laporan tersebut benar adanya, dan untuk menilai lebih lanjut apakah cerita itu layak untuk diangkat atau tidak. Dan yang lebih penting, survey lapangan ini dilakukan oleh tim Termehek-mehek sebagai bentuk pencarian awal dari kasus laporan kehilangan tersebut. Tim Termehek-mehek akan mengikuti kegiatan dan aktivitas calon klien dan berusaha mencari orang yang dicari calon klien. Patut mendapat catatan, kegiatan survey lapangan ini tidak diketahui oleh calon klien sama sekali. Dalam arti, tim Termehek-mehek mencari sendiri orang yang hilang tersebut. b. Penilaian Kelayakan Tayang Setelah tim survey melakukan survey lapangan dan melakukan pencarian sendiri, akan dinilai apakah cerita ini layak diangkat ke layar kaca atau tidak. Jika dianggap layak maka pengambilan gambar bisa dimulai. Kelayakan yang dimaksud adalah jika tayangan mengandung cerita yang akan menarik perhatian penonton dan tidak ada unsur berbahaya dalam pengambilan gambar.
98
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
144
―Umpanya udah ketemu semua yaa..nanti harus ketemu ini, si ini..si ini..terus kita ketemu di suatu tempat. Bisa ga ini di tayangin? Oke bisa, nggak bahaya.” 99 Selain itu, unsur yang paling penting dalam penilaian kelayakan ini adalah apakah target yang dicari bisa ditemukan oleh tim survey atau tidak. Karena bisa jadi, target yang sebelumnya sudah dipantau oleh tim survey dan dipastikan bisa ditemukan, tiba-tiba menghilang. Seperti yang dituturkan Adityo berikut: “Udah dicari dulu semua, baru kita syuting. Tapi bisa aja nggak ketemu semuanya. Bisa-bisa aja dia menghilang karena sedang dicari atau apa. Nah seperti itulah..”100 c.
Pemilihan Peran Pengganti (Casting Talent) Peran pengganti menjadi hal yang sangat penting karena setiap
syuting tayangan Termehek-mehek yang tidak mendapatkan ijin tayang dari pemeran asli wajib menggunakan peran pengganti. Hal ini juga berlaku untuk tayangan yang bersumber dari cerita lengkap. Dalam arti pelapor yang yang menghubungi dan orang-orang yang berhubungan dengan cerita tersebut bersedia untuk menjadi pemeran asli. Pemilihan peran pengganti dilakukan tim Termehek-mehek dengan melakukan casting atau seleksi talent. Casting talent umumnya dilakukan tertutup. Seperti yang dipaparkan Putri Utami, Mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya yang pernah mengikuti casting talent Termehek-mehek 99
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
100
145
“Casting dilakukan disebuah hotel. Tapi kita ga dikasih tau, itu casting buat apa. Dari awal mereka hanya bilang buat reality show. Bahkan ga ada atribut Termehek-mehek atau Trans TV di hotel itu. Setelah casting selesai dan diumumkan siapa yang lolos, baru kita tahu ini untuk syuting Termehek-mehek” 101 IV.A.1.2 Tahapan Produksi Tahapan Produksi ini dibagi dua yaitu produksi syuting (pengambilan gambar) dengan peran asli dan produksi pengambilan gambar peran pengganti. IV.A.1.2.1 Produksi Peran Asli Produksi untuk peran asli ini dilakukan setelah tim survey memastikan bahwa semua tempat pencarian sudah diketahui semuanya. Sehingga tim syuting tinggal melakukan pengambilan gambar langsung tanpa dramatisasi, skrip maupun penyutradaraan. “Setelah tahu tempatnya semua. Si ini disini..si itu disini, udah tahu semua, baru kita syuting. Jadi kita ga syuting dulu nggak, disiapin dulu semua.”102 Produksi peran asli ini menurut tim Termehek-mehek pasti mereka lakukan. Jadi ketika mereka mendapat laporan untuk pencarian orang hilang, tim Termehek-mehek pasti melakukan produksi peran asli. Namun apakah hasil syuting ini akan ditayangkan atau tidak nanti tergantung hasil konfirmasi kesediaan tayang ke masing-masing tokoh asli. Tim perijinan Termehek-mehek akan meminta ijin dari masingmasing orang-orang yang terlibat dari syuting tadi. Jika ada yang tidak 101 102
Hasil Wawancara Putri Utami, Talent tayangan Termehek-mehek 12 November 2009 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
146
bersedia ditayangkan maka Termehek-mehek akan syuting ulang adegan yang melibatkan orang yang tidak bersedia ditayangkan tersebut. ―Nah setelah selesai baru tim legal jalan. Tanyain satu per satu, setuju nggak, setuju nggak. Sampai semuanya setuju, oke kita tayang. Kalau ada yang nggak setuju, si mana yang nggak setuju? Si ini..si ini..oke baru kita rilis ulang, kita syuting ulang. Scene-scene itu yang diulang.” 103 Dengan demikian, menurut tim Termehek-mehek, syuting dengan tokoh asli pasti mereka lakukan. Dramatisasi tayangan Termehekmehek ini baru terjadi ketika mereka melakukan produksi dengan peran pengganti. IV.A.1.2.2 Produksi Peran Pengganti Produksi peran pengganti dilakukan ketika tim Termehek-mehek tidak bisa menayangkan cerita dengan tokoh asli. Sehingga tokoh asli tersebut harus digantikan perannya oleh orang lain (talent pengganti). a.
Skriptualisasi Proses produksi peran pengganti di tayangan Termehek-mehek
dimulai dengan skriptualisasi cerita. Pada syuting Termehek-mehek, peran pengganti tidak diberi skenario dialog layaknya sinetron atau film. Namun hanya mendapatkan skrip cerita secara umum berupa latarbelakang cerita, karakter orang yang diperankan dan suasana pada saat cerita berlangsung.
103
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
147
―Ada, skrip ada, cuma kapan harus berdiri, maksudnya alurnya ada, tapi apa yang dikatakan, bagaimana mengatakan, bagaimana sikap tubuh, itu ga ada.” 104 Adityo Habsoro, Produser tayangan Termehek-mehek juga mengakui kalau mereka menggunakan skrip dalam pengambilan gambar. “Skrip itu dibutuhkan untuk pendalaman karakter, jadi setiap cerita itu pasti kita bikin skrip. Harus ada skrip di setiap cerita.” Selain itu, script cerita juga diperlukan untuk mengarahkan para talent tersebut dalam menjalankan perannya. Adityo mengaku bahwa script yang dimaksud cuma berupa latar belakang dan garis besar (plot) cerita tidak berupa skenario dialog yang kaku. “Soal dialog itu terserah, karena karakter orang itu kan bedabeda. Kita ga bisa maksain. Misal ada orang yang gantiin Eko. Terus kita hanya bilang ke talent: „Pak, Eko itu orangnya diem, murah senyum, dia orangnya baik. Tapi dia marah kalau ada yang ganggu pacarnya Ema.‟ Soalnya kalau kita kasih skenario, nanti jadinya kaku banget, kita juga harus menyadari mereka bukan profesional, mereka cuma menggantikan peran yang tidak mau ditampilkan.”105 b. Pemilihan Setting/Latar Tempat Pemilihan latar tempat dilakukan acak oleh tim Termehek-mehek, jadi mereka sebelumnya tidak menentukan tempat mana yang akan diambil asalkan sesuai dengan isi cerita. “Tempat kondisional banget, jadi mereka itu ga ada persiapan akan di perumahan mana, ada di ruko mana. Jadi jalan, begitu ketemu yang cocok, udah minta ijin untuk pengambilan gambar, udah main, tinggal. Jadi sebenernya cuma disitu-situ aja,
104 105
Hasil Wawancara Putri Utami, Talent tayangan Termehek-mehek 12 Maret 2008 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
148
padahal digambarkan jauh banget. Padahal cuma kene-konokene-kono. Itu diakui oleh kru nya”106 Sedangkan untuk cerita yang memiliki tempat khusus seperti rumah sakit, sekolah dan sebagainya mereka tetap menggunakan setting rumah sakit atau sekolah tapi bukan sekolah atau rumah sakit yang sesuai dengan cerita. c.
Rekayasa Waktu Rekayasa waktu juga harus dilakukan oleh tim Termehek-mehek
agar tayangan yang ditampilkan terkesan dramatis. Putri Utami yang pernah
mengikuti
syuting
peran
pengganti
Termehek-mehek
mengatakan bahwa memang ada rekayasa waktu dalam Termehekmehek. ―Itu sebenarnya cuma satu hari aja, ga ada hari pertama, hari kedua, cuma ganti baju aja host sama si talentnya. Setahu saya begitu, karena orang trans tv dan PH (production house) nya bilang memang cuma satu hari aja, karena biaya produksi juga besar kan.” 107 Adityo Habsoro juga mengakui pencarian yang sebenarnya cuma butuh satu hari saja karena mereka sebelumnya juga sudah melakukan survey. ―Seharusnya satu hari ketemu, wong kita sudah survey kok. Misalnya beberapa hari, karena lokasi jauh. Kan banyak juga yang satu hari ketemu. Biasanya yang hari ke satu, hari kedua, itu banyak yang nggak setuju. Jadi istilahnya kita harus take lagi.”108
106
Hasil Wawancara Putri Utami, Talent tayangan Termehek-mehek 12 November 2009 Hasil Wawancara Putri Utami, Talent tayangan Termehek-mehek 12 Maret 2008 108 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 107
149
d. Directing (Peyutradaraan) Proses penyutradaraan dalam syuting Termehek-mehek juga mutlak ada karena mereka menggunakan peran pengganti. Proses penyutradaraan ini terutama mengarah pada karakter yang dimainkan peran pengganti. ―Yaa..waktu orangnya diganti itu, sudah ada proses directing disana. Orang yang mengganti ini kan bukan orang asli. Misal Adit menggantikan Eko, Adit itu nggak bisa berbuat seperti Eko karena dia bukan Eko. Misalnya Eko itu orang pendiem, Eko itu orang yang ceria. Karakternya aja yang kita direct.”109 Proses directing (penyutradaraan) ini dilakukan karena tokoh yang ada dalam tayangan Termehek-mehek bukanlah tokoh asli namun dimainkan oleh talent atau peran pengganti. e.
Pengambilan Gambar Proses paling vital dari produksi yang menggunakan peran
pengganti adalah proses pengambilan gambar. Dalam pengambilan gambar, tim berusaha mengambil dari angle dan dengan gaya yang senatural mungkin. Seperti pengakuan Putri Maharani: ―Teknik pengambilan gambar mereka sudah berusaha senatural mungkin. Yang gambar goyang-goyang, tapi sebetulnya teknik pengambilan gambar kan terlihat natural karena beda dengan sinetron. Kalau sinetron kan kameranya sudah disini, nanti adegan seperi ini. Kalau drama reality ini kan tanpa persiapan, apa yang ada di lapangan, itu yang diambil gambar. Kameramen ini adalah orang yang sangat-sangat peka dengan adegan. Misal si pemeran perempuan ini nangis-nangis terus guling-guling di lantai, ya si kamera harus ngikutin”110
109 110
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 Hasil Wawancara Putri Utami, Talent tayangan Termehek-mehek 12 Maret 2008
150
Dalam ilmu sinematografi, gaya pengambilan gambar yang dilakukan tim Termehek-mehek menggunakan teknik hanheld camera yang menggunakan kamera tanpa alat bantu seperti tripod atau yang lain. Kamera ditenteng atau dipanggul oleh kamerawan untuk mendapat kesan bahwa kejadian itu sesuai aslinya.111 Berdasarkan penjelasan Adityo diatas, terlihat proses produksi Termehek-mehek memang bukan seperti kebanyakan bayangan orang tentang proses produksi reality show yang langsung mengambil gambar. Termehek-mehek tetap masih melalui proses syuting lengkap dengan script cerita dan proses directing. IV.A.1.3 Tahapan Pasca Produksi a.
Konfirmasi Kesediaan Tayang Konfirmasi kesediaan tayang adalah proses konfirmasi kepada
peran/tokoh asli tentang kesediaan ditayangkannya kisah maupun peran mereka dalam suatu tayangan Termehek-mehek. Proses konfirmasi ini hanya untuk proses produksi dengan peran/tokoh asli. Jika sang tokoh bersedia maka perilaku mereka pada saat pengambilan gambar tadi lah yang di tampilkan di tayangan Termehek-mehek. Namun jika mereka tidak bersedia maka akan dicari peran pengganti untuk menggantikan tokoh tersebut. “Peraturan itu bermula semenjak ada undang-undang KPI tentang perlindungan privasi. Waktu-waktu awal kita langsung reality aja, tapi karena ada undang-undang yang harus kita
111
Himawan Pratista, Memahami Film, Jakarta, Homerian Pustaka, 2008 hal 112
151
hormati, jadi kita melakukan konfirmasi ke orang aslinya apakah bersedia ditayangkan atau tidak”112 b. Teknik Editing Tayangan Termehek-mehek juga tidak luput dari proses editing atau penyuntingan gambar. Hal ini dikarenakan waktu tayang yang demikian sempit hanya tiga puluh menit, dari waktu syuting yang memakan waktu satu atau beberapa hari. “Syuting asli maupun peran pengganti pasti ada proses editing, kita harus pilih scene mana yang layak tayang dan bisa mewakili isi cerita. Apalagi waktu tayang kita yang cuma setengah jam” 113. IV.A.2 Hiperealitas Tayangan Termehek-mehek Hiperealitas tayangan Termehek-mehek terasa sangat kental terutama pada penggantian peran, alih tempat dan perubahan waktu tentunya. Namun Termehek-mehek menolak jika dikatakan ada dramatisasi cerita dalam tayangan mereka. IV.A.2.1 Dramatisasi Peran Dramatisasi
peran
dilakukan
Termehek-mehek
untuk
menggantikan tokoh yang ada dalam cerita tersebut namun menolak untuk ditampilkan di televisi. Dengan demikian yang menjadi seorang tokoh dalam tayangan tersebut bukan lah orang asli namun sudah peran pengganti (talent). Sehingga yang kemudian terjadi adalah proses directing (penyutradaraan) yang mengarah pada proses dramatisasi. “Yaa..waktu orangnya diganti itu, sudah ada proses directing disana. Orang yang mengganti ini kan bukan orang asli. Misal Adit menggantikan Eko, Adit itu nggak bisa berbuat seperti Eko 112 113
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
152
karena dia bukan Eko. Misalnya Eko itu orang pendiem, Eko itu orang yang ceria. Karakternya aja yang kita direct.114” IV.A.2.2 Dramatisasi Tempat dan Waktu Dengan digantinya peran dalam tayangan tersebut maka tentu terjadi dramatisasi tempat. Dalam artian tidak menggunakan tempat yang sebenarnya namun sudah diganti dengan tempat yang benar-benar bukan lagi tempat asli. ―Kalo tempat pasti diganti dong, wong orangnya udah ga mau ditampilkan kok, pasti kita ganti.” 115 Waktu juga sebenarnya sudah mengalami dramatisasi. Dalam beberapa tayangan sebenarnya pencarian bisa dilakukan cukup satu atau dua hari saja karena tim Termehek-mehek sudah melakukan survey sebelumnya. Namun karena untuk membuat lebih dramatik maka dibuatkan seolah-olah pencarian memakan waktu berhari-hari. “Seharusnya satu hari selesai, wong kita sudah survey kok. Kalau pun menjadi beberapa hari itu karena lokasi jauh. Kan banyak juga yang satu hari ketemu. Biasanya yang jadi hari ke satu, hari kedua dan seterusnya itu karena banyak yang nggak setuju ditayangin. Jadi istilahnya kita harus take lagi. Memang lebih ribet dari sinetron sih. Kita ganti jadi seolah-olah seperti hari ke satu, hari kedua itu untuk memperhalus itu semua.”116 IV.A.2.3 Dramatisasi Cerita Walaupun terjadi beberapa dramatisasi tayangan seperti yang disebutkan diatas, Termehek-mehek menolak jika terdapat dramatisasi cerita. Aditya mengaku bahwa cerita yang mereka angkat adalah cerita asli
114
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 116 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 115
153
karena berasal dari laporan klien yang dikirimkan ke mereka dan bukan hasil ciptaan (create). ―Nggak..nggak dicreate, sebetulnya gini, kalau ngomong create itu, lebih susah sih kalo mengcreate. Karena kita kan cuma ngikutin aja, ga usah bikin cerita ga usah apa. Ribet. Kecuali kalau aku sinetron.‖117 IV.A.3 Isi Tayangan: Relasi Tidak Setara Pada Perempuan Secara umum tayangan Termehek-mehek mengangkat isi cerita yang sebagian besar menceritakan tentang kehidupan perempuan. Rona kehidupan perempuan yang beranekaragam memang menjanjikan banyak sumber cerita. Selain itu kepribadian perempuan yang mudah kasihan dan tersentuh jika melihat suatu kejadian menjadi lahan garap yang potensial bagi tim Termehek-mehek. Sehingga kemudian tidak heran jika Termehek–mehek banyak menelurkan cerita-cerita yang mengangkat keteraniayaan perempuan. Keteraniayaan tersebut bisa jadi merupakan dampak dari suatu sistem sosial yang tidak memihak perempuan. Ataupun karena relasi perempuan dengan realitas sosial yang ada. Relasi perempuan dalam hal ini memegang peranan penting, karena disinilah ditentukan posisi perempuan terhadap lingkungan sosialnya. Relasi perempuan dengan pasangan misalnya. Dalam relasi ini, perempuan ternyata juga diceritakan tidak memiliki kuasa yang maksimal, bahkan cenderung teraniaya. Baik dari sisi minimnya akses dan
117
kontrol terhadap informasi mengenai pasangan
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
154
maupun dari sisi minimnya kejelasan kelanjutan hubungan. Keteraniyaan perempuan tampak jelas dihadirkan dalam hal ini. Sampai pada tingkat lanjut, keteraniayaan tersebut dijadikan Termehek-mehek sebagai komoditas. Keteraniayaan tersebut dikemas dalam bungkus cerita yang mengharap iba penonton yang juga sebagian besar perempuan. Posisi perempuan yang lebih domestik dan relatif sedikit memiliki waktu produkstif di luar rumah semakin menjadikan perempuan sebagai penonton utama keteraniayaan kaum mereka sendiri. IV.A.3.1 Perempuan Teraniaya dalam Tayangan Termehek-mehek Perempuan
dalam
Termehek-mehek
memang
digambarkan
dominan. Baik sebagai pelapor (klien) maupun sebagai orang yang dicari atau orang-orang terdekat dari orang yang dicari tersebut. Adityo mengaku mereka mengambil cerita yang menghadirkan perempuan dengan perbandingan cukup mencolok 80% untuk perempuan dan 20% untuk laki-laki.118
Perempuan: Sosok Yang Merasa Kurang Profil keteraniayaan perempuan yang ingin ditampilkan
Termehek-mehek kekurangan
lebih
perempuan.
banyak
menitikberatkan
Termehek-mehek
pada
sisi
membungkus
keteraniayaan ini dengan meciptakan sosok perempuan Indonesia yang selalu merasa kurang dengan dirinya sendiri. Lebih lanjut
118
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
155
sosok ini juga dibalut dalam paket perempuan Indonesia yang tertekan (tidak bebas) oleh kultur dan psikologi sosial Indonesia “Sosok perempuan yang ingin kita angkat adalah sosok perempuan yang teraniaya. Konteks teraniayanya gini, mereka merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri mereka. Mungkin itu cinta, materi atau mungkin gairah seksual mereka. Karena disini, wanita Indonesia secara psikologis dan budaya itu lebih tertekan. Mereka pengen lebih bebas.119
Segmentasi Penonton Perempuan Dominannya
perempuan
sebagai
penonton
televisi
menginspirasi Termehek-mehek untuk menghadirkan tayangan yang juga dominan dengan tema perempuan. Sosok perempuan yang diangkat pun adalah sosok perempuan yang teraniaya. Karena perempuan yang teraniaya menurut Aditya lebih menjual dihadapan penonton. Hal ini dikarenankan bisa jadi kisah duka yang diangakt Termehek-mehek mungkin mirip dengan kisah kehidupan mereka sehari-hari. Atau bahkan kisah penderitaan mereka sehari-hari sebenarnya belum seberapa dibandingkan dengan penderitaan perempuan yang digambarkan Termehekmehek. “Mereka itu mencari orang yang teraniaya untuk membandingkan dengan mereka. Jadi ketika mereka menonton, mereka akan lihat wah ternyata ada yang lebih menderita daripada saya yaa..atau mereka akan bilang, wah..tu gue banget tuh. Jadi untuk penonton perempuan, pasti suka menonton perempuan.” 120
119 120
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
156
Perempuan Sebagai Komoditas Tontonan Mengenai lebih banyaknya sosok perempuan yang diangkat
dalam tayangan Termehek-mehek pun diakui Adityo erat kaitannya dengan perhitungan bisnis. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar perempuan, ditambah lagi peran perempuan yang cenderung lebih domestik, Aditya menyimpulkan perempuan adalah penonton utama Termehek-mehek. Dengan demikian, untuk menjaring penonton yang sebagian besar perempuan tersebut Termehek-mehek menghadirkan tontonan yang sebagian besar mengangkat tema perempuan. Pada titik ini perempuan dijadikan komoditas untuk mendongkrak sisi bisnis media. ―Ini berkenaan dengan bisnis media. Pada saat prime time, jam 18.00-22.59, penonton Indonesia itu kebanyakan perempuan. Gampangnya gini, kamu mau bikin warung makan, orang disana sukanya soto, tapi kamu malah bikin sate. Pasti ga laku. Dengan demikian, sisi keteraniayaan perempuan menjadi fokus utama
dalam
penayangan
Termehek-mehek.
Baik
karena
perempuan memiliki nilai keteraniayaan yang besar sehingga menggugah orang untuk menonton atau pun karena penonton Termehek-mehek sendiri yang sebagian besar adalah perempuan. Melihat hal tersebut bisa dikatakan bahwa posisi perempuan yang teraniaya memang menjadi agenda dari Termehek-mehek dengan fokus untuk menjaring penonton perempuan sekaligus meraup untung dari bisnis media.
157
IV.A.3.2 Kedudukan Perempuan Terhadap Pasangan Sosok perempuan yang digambarkan teraniaya dalam Termehekmehek tetap berhubungan erat dengan posisi perempuan dengan pasangan. Dalam hal ini Termehek-mehek mencoba menghadirkan sebuah sosok perempuan yang unik. Di satu sisi perempuan adalah pihak yang teraniaya tapi disisi lain perempuan ingin digambarkan dalam posisi yang benar secara niali atau norma sosial.
Perempuan Dianggap Benar Dalam relasi dengan pasangan Termehek-mehek ingin
menghadirkan sosok perempuan yang berada pada posisi diatas dari pada pasangannya. Posisi diatas yang dimaksud adalah ketika perempuan berada pada pihak yang benar. Dalam artian tidak melanggar norma atau nilai sosial walaupun mereka berada dalam posisi yang teraniaya. Jadi walaupun perempuan dikhianati atau ditinggal pasangannya, perempuan tetap berada di pihak yang benar. ―Perempuan pada posis diatas, tapi bukan superior ya? Perempuan dianggap benar tapi tetap ada garis-garisnya. Karena ada juga perempuan yang selingkuh itu ada.”
158
Ketidakberdayaan Perempuan Dalam perspektif kedudukan perempuan dengan pasangan,
selain digambarkan dalam posisi yang benar, perempuan juga dominan
digambarkan
dalam
posisi
tidak
berdaya.
Ketidakberdayaan perempuan tampak dominan misalnya dalam minimnya kemampuan perempuan dalam memperoleh informasi tentang pasangannya. “Memang bener perempuan ga punya kemampuan memperoleh informasi tentang pasangannya makanya kemudian mereka nyari pacarnya atau suaminya.” 121 Adityo berupaya mengangkat ketidakberdayaan ini dalam psikologi perempuan, sekaligus juga tentunya berhubungan dengan bisnis media. ―Ada ketidakberdayaan khususnya psikologi, ketimpangan gender nggak, karena kita tadi ngambil analogi “soto dan sate” tadi. Aku bisa aja ngambil cowok tapi kan ada brand behaviornya, siapa yang mengkonsumsi” Analogi
―soto
dan
sate‖
yang
diungkapkan
Adityo
berhubungan dengan teori permintaan dan penawaran dalam hukum ekonomi. Menurutnya mengangkat ketidakberdayaan perempuan sebagai tontonan tentu akan laku dijual sebab penonton memang meminatinya. Walaupun tidak semua tayangan Termehek-mehek bercerita tentang perempuan dengan pasangan namun secara umum tetap
121
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
159
menggambarkan
ketidakberdayaan
perempuan
dengan
pasangannya. Kedudukan perempuan tetap digambarkan dalam kondisi yang kurang beruntung karena tidak berdaya menghadapi pasangannya walaupun perempuan dianggap benar. IV.A.4 Hiperealitas Akses dan Kontrol Pada Tayangan Termehek-mehek Hiperealitas yang dimaksud adalah perekayasaan realitas yang dilakukan oleh Termehek-mehek terhadap akses dan kontrol perempuan terhadap pasangan. Akses disini berupa peluang ataupun kesempatan perempuan untuk memperoleh informasi dan kejelasan hubungan. Sedangkan kontrol adalah kemampuan perempuan untuk mengusahakan atau mendapatkan informasi dan kejelasan hubungan dari pasangannya.
IV.A.4.1 Hiperealitas Akses dan Kontrol Terhadap Informasi Pasangan Hiperealitas akses dan kontrol atas informasi pasangan di Termehek-mehek tercipta dari proses perekayasaan akses dan kontrol terhadap informasi tentang pasangan itu oleh tim Termehek-mehek sendiri.
Perempuan
Membutuhkan
Termehek-mehek
untuk
Membuka Akses Perempuan dalam hal ini, misalnya, dibuat seolah-olah tidak punya akses informasi tentang pasangannya. Walaupun sebenarnya perempuan mempunyai kemampuan untuk memperolah informasi tersebut.
160
“Perempuan di Termehek-mehek memang ga bisa mendapatkan informasi tentang pasangannya, kalau secara akses, dia sudah mengakses, dengan mengikuti termehekmehek.” 122 Dalam pernyataan diatas, Adityo ingin mengatakan ketika perempuan mengikuti Termehek-mehek, maka itu tanda ia tidak punya akses, sehingga perempuan membutuhkan Termehek-mehek untuk membuka akses tersebut.
Kontrol Semu Atas Informasi Pasangan Sedangkan untuk kontrol atas informasi tentang pasangan
dengan jelas Adityo mengatakan perempuan di Termehek-mehek memiliki kontrol atau kemampuan dalam memperoleh informasi tentang pasangan. Misal ketika ditanya apakah perempuan punya kemampuan untuk mendapatkan informasi tentang pasangannya. Aditya menjawab: “Ada, pasti..pasti, banyak episode yang menayangkan bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk mengorek informasi tentang pasangannya. Walau terkadang korekan informasinya nggak bener. Sama dengan pada saat kamu bikin skripsi, ada buku, ada teman, ada dosen. Misal kamu sudah menganggap bahwa yang bener itu A eh ternyata B.” 123 Dalam pernyataan diatas, perempuan ingin digambarkan memiliki
kontrol
informasi
atas
pasangannya.
Namun
sebenarnya jika dilihat lebih lanjut akses dan kontrol yang dimiliki perempuan dalam Termehek-mehek sebenarnya semu belaka. Atau bahkan dihadirkan seolah-olah biar tampak ada.
122 123
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010 Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
161
IV.A.4.2 Hiperealitas Akses dan Kontrol Terhadap Kejelasan Hubungan Akses dan kontrol terhadap kejelasan hubungan pun mengalami perekayasaan sama dengan perekayasaan akses dan kontrol terhadap informasi.
Benturan Norma dan Budaya Akses dan kontrol perempuan terhadap kejelasan hubungan digambarkan Adityo secara kurang tegas apakah perempuan punya atau tidak. Seperti ketika ditanya mengenai tidak adanya akses perempuan terhadap kejelasan hubungan, Aditya menjawab perempuan memang tidak punya itu. Namun ketidakpunyaan akses itu bukan karena sosok perempuan saja namun karena norma dan budaya dalam masyarakat. “Iya..iya mereka emang ga punya kesempatan untuk memperoleh kejelasan hubungan tapi sebetulnya pas orang pusing, udah ga bisa mikir. Jadi langsung ke Termehek-mehek. Jadi bukan semata-mata ga punya akses. Tapi juga bisa karena norma atau budaya gitu.124 Pengaruh norma dan budaya yang dimaksud Adityo adalah ketika norma dan budaya membatasi perempuan untuk memperoleh akses dalam kejelasan kelanjutan hubungan. Menurut Adityo, norma dan budaya Indonesia tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menentukan kejelasan kelanjutan dalam suatu hubungan.
124
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
162
Perempuan Tak Mau Menggunakan Kontrol Sedangkan dalam kontrol perempuan terhadap kejelasan hubungan, Aditya mengakui bahwa perempuan memang memiliki kontrol yang minim atas kejelasan hubungan. Namun disisi lain, dia juga mengakui ada beberapa klien yang sebenarnya memiliki kemampuan tapi tak mau menggunakan kemampuan itu. “Iyaa..iya, mereka memang memiliki kemampuan yang minim dalam hal tersebut. Tetapi ada juga yang sebenernya udah dapet (orang yang dicari). „Mas, aku gini..gini..tapi ga berani nyari sendiri‟. Lapor ke kita, „mas aku udah tahu orangnya itu disini..disini tapi saya ga berani mas‟.”125 Dari beberapa jawaban diatas, tersirat bahwa Termehek-mehek memang tetap berusaha menghadirkan perempuan yang memiliki akses dan kontrol atas kejelasan hubungan mereka. Namun terkadang terbentur beberapa hal seperti norma, budaya ataupun perempuan sendiri yang sebenarnya yang tidak mau menggunakan kemampuan tersebut.
IV.B LEVEL KONSUMEN Tahap dicourse practise berikutnya setelah melihat proses produksi teks, adalah tahap konsumsi teks oleh konsumen. Proses konsumsi yang dimaksud adalah bagaimana konsumen tayangan Termehek-mehek menginterpretasi teks yang mereka konsumsi. Lengkap dengan latarbelakang, pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki. Pada tahap konsumsi ini peneliti membagi konsumen teks menjadi dua kelompok besar, masing-masing kelompok
125
Hasil Wawancara Adityo Habsoro, Produser Termehek-mehek 28 Februari 2010
163
berkompetensi khusus (kelompok ekspert) dan kelompok penonton umum (awam). Diantara konsumen yang memiliki kompetensi khusus tersebut adalah Prof. Drs.Pawito, Ph.D (Guru Besar Teori Komunikasi UNS), Tony Trimarsanto (Sutradara Film dan fasilitator workshop media) dan Zainal Abidin Petir, S.Pd, SH (Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Tengah). Untuk menilai sisi ketidakadilan gender dan perlindungan perempuan, peneliti juga mewawancarai Endang Listiani, Manajer Institusi Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo. Dan yang terakhir, untuk mengetahui proses produksi lapangan dari sisi konsumen, peneliti mewawancarai salah seorang perempuan yang pernah menjadi talent (peran pengganti) di tayangan Termehek-mehek, Putri Utami Rizqianingtyas (Alumnus Universitas Airlangga Surabaya). Konsumen awam yang dimaksud adalah penonton awam yang pernah dan masih menonton Termehek-mehek. Peneliti mengambil lima penonton yang kesemuanya perempuan dengan latar belakang dua orang ibu rumah tangga yaitu Karni Suparti (55) dan Endang Sukartiningsih (43). Dua orang mahasiswi, Annisa Rohmah (22) dan Ikmah Choirul Nisa (22) serta satu perempuan bekerja, Anita Widya (24). Peneliti mengambil penonton perempuan sebagai konsumen awam Termehek-mehek dengan alasan peneliti ingin melihat bagaimana perempuan menonton perempuan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mendapatkan gambaran umum dari perempuan sendiri dalam melihat relasi tidak setara yang dialami perempuan dengan pasangannya.
164
IV.B.1 Pandangan Umum Konsumen Terhadap Tayangan Termehek-mehek Pandangan umum konsumen disini adalah bagaimana kesan secara umum konsumen ketika mengkonsumsi tayangan Termehek-mehek. Pesan apa yang mereka tangkap dari teks dan bagaimana mereka memaknai pesan tersebut. IV.B.1.1 Pandangan Umum Konsumen Ekspert Pandangan yang dikemukakan oleh konsumen berkompetensi khusus ini berdasarkan pengetahuan bidang mereka masing-masing. Sehingga akan tampak kedalaman pemaparan pandangan umum tersebut dalam melihat fenomena yang ada. Diantaranya seperti Zainal Abidin Petir sebagai anggota KPID Jawa Tengah bidang pengawasan isi siaran akan menilai tayangan Termehek-mehek dalam perspektif regulasi isi siaran. Misalnya, apakah hiperealitas yang ditampilkan tayangan Termehek-mehek masuk dalam kategori tayangan yang melanggar regulasi penyiaran atau tidak. Tonny Trimarsanto, sebagai sutradara film akan memberikan pandangan dari kacamata praktisi media. Ia misalnya akan menilai bentuk hiperealitas tayangan Termehek-mehek dari bentuk tayang audiovisual yang ditampilkan Termehek-mehek. Prof. Drs. Pawito, Ph.D sebagai dosen ilmu komunikasi akan membaca hiperealitas Termehek-mehek dari sudut pandang akademisi ilmu komunikasi. Endang Listiyani, Manajer Institusi SPEK-HAM Solo akan lebih banyak memberikan pandangan dalam perspektif gender. Dengan latar
165
belakang sebagai aktivis yang memperjuangkan kesetaraan gender, Endang
akan
menilai
hiperealitas
tayangan
Termehek-mehek,
khususnya dalam relasi tidak setara perempuan dengan pasangan. Putri Utami Rizqianingtyas yang pernah menjadi talent (peran pengganti) dalam Termehek-mehek akan memberikan pandangan dari perspektif konsumen Termehek-mehek yang mengikuti langsung proses produksi tayangan tersebut. IV.B.1.1.1
Adanya Proses Dramatisasi Secara umum seluruh konsumen ekspert memaparkan bahwa memang terdapat proses dramatisasi dalam tayangan Termehekmehek. Seperti yang dipaparkan Pawito berikut: “Semua paket acara televisi, kecuali mungkin musik yaa, nyaris semua melibatkan dramatisasi, termasuk tayangan berita”126 Tonny Trimarsanto juga mengatakan hal yang sama. Tonny juga mengaitkan dengan media televisi sebagai institusi. “Saya yakin ada ya dramatisasinya, karena setiap program televisi itu kan banyak keterbatasan dan sangat sarat kepentingan, misalnya kita bicara televisi itu kan media yang sangat dibatasi pertama oleh waktu, kedua oleh modal, ada investasi yang luar biasa kan disana. Jadi ketika dia dibatasi oleh investasi modal dan waktu kita ga bisa bicara dengan tingkat idealisme walaupun dengan tanpa skrip sekalipuin, pasti adalah desain di situ”127
126 127
Hasil Wawancara Pawito 11 Maret 2010 Hasil Wawancara Tonny Trimarsanto 21 Maret 2010
166
Dari sisi isi siaran, Zainal Abidin juga mengungkapkan dominannya dramatisasi pada isi siaran televisi. “Pasti drama semua, memang yang namanya drama atau sinetron itu kan ada realitas di lapangan tapi di dramakan. Nggak mungkin to ada sebuah sinetron dan film itu...ya boleh ada yang ngarang cuma kadang-kadang kan ada sebuah kasus permasalahan, kemudian diangkat. Cuma kalau Termehekmehek lebih pada dramanya”128 IV.B.1.1.2
Perempuan Termarjinalkan Sosok perempuan dalam posisi termarjinalkan menjadi hal jamak ditampilkan dalam tayangan Termehek-mehek. Dalam hal ini, masing-masing konsumen memberi penilaian tersendiri atas posisi marjinal tersebut.
IV.B.1.1.2.1
Perempuan Dilemahkan dan Terlemahkan Endang
Listiani
menilai
perempuan
dalam
posisi
dilemahkan dan terlemahkan oleh kondisi yang lebih dominan berpihak pada laki-laki. “Didalam cerita Termehek-mehek itu memang kebanyakan perempuan. Baik klien maupun target, yang dicari maupun yang mencari. Cuma kemudian mengapa dalam hubungan perempuan dan laki-laki, posisi perempuan itu dalam posisi yang dilemahkan dan terlemahkan oleh situasi.”129
128 129
Hasil Wawancara Zainal Abidin 10 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010
167
Pernyataan
dilemahkan
dan
terlemahkan
tersebut
menunjukkan bahwa posisi perempuan yang demikian itu tidak terjadi dengan sendirinya namun karena perempuan memang terkooptasi oleh suatu sistem yang tidak menguntungkan perempuan. IV.B.1.1.2.2
Perempuan Sebagai Korban Posisi perempuan yang termarjinalkan lainnya adalah ketika perempuan selalu digambarkan sebagai korban. Tonny Trimarsanto mengungkapkan bahwa dalam program televisi mengangkat perempuan sebagai korban memang sudah menjadi semacam premis utama. “Kalau premisnya adalah selalu perempuan sebagai korban. Premis hidup kita berjalan itu seperti itu, yang teraniaya itu adalah perempuan dan anak-anak, dimanapun, di apapun. Kalau anda lihat opera sabun, sinetron atau telenovela, persoalannya akan seperti itu: cinta, harta dan perempuan. Nah hidup perempuan akan selalu menarik untuk diangkat di TV. Terminologi ini biasanya mereka adopsi di televisi, baik di program telenovela atau di sinetron, jarang sekali yang laki-laki menjadi korban. Sangat-sangat jarang. Karena apa? Personifikasi laki-laki itu bukan sebagai korban, dan ini pun sudah diyakini oleh stasiun TV itu sendiri, bahwa laki-laki adalah pelaku dan perempuan sebagai korban.130 Posisi perempuan sebagai korban ternyata sudah menjadi salah satu resep jitu untuk menarik penonton dalam jagad hiburan. Sehingga dengan demikian, posisi perempuan yang termarjinalkan semakin terpinggirkan jika premis perempuan
130
Hasil Wawancara Tonny Trimarsanto 21 Maret 2010
168
sebagai korban memang menjadi panduan wajib dalam menggagas program hiburan di televisi. IV.B.1.1.2.3
Perempuan: Sosok Tidak Berdaya Pawito menemukan perempuan kerap kali berada pada posisi yang tidak berdaya. Dalam hal ini tentu tidak berdaya ketika menghadapi sistem yang memarjinalkan mereka. “Sebagian dari perempuan yang ditayangkan dalam tayangan itu, yang direpresentasikan dalam tayangan itu relatif bervariasi. Diantaranya menampakkan kesan tidak berdaya. Misalnya ketika dihadapkan pada persoalan, sehingga pada akhirnya ditolong Termehek-mehek”131 Posisi tak berdaya dihadapi perempuan baik dalam posisinya sebagai individu juga dalam posisi perempuan dengan pasangannya.
IV.B.1.1.3
Perempuan di Dua Sisi Posisi perempuan sebagai korban juga diamini oleh Putri Utami Rizqianingtyas, Mahasiswi Universitas Airlangga Surabaya yang pernah memerankan salah satu tokoh perempuan dalam tayangan Termehek-mehek. Namun Mmenurut Putri, sosok perempuan di Termehek-mehek selain di satu sisi digambarkan sebagai korban namun di sisi lain juga digambarkan sebagai sosok yang tegar.
131
Hasil Wawancara Pawito 11 Maret 2010
169
“Berdasarkan yang saya tonton dan saya perankan, pada satu sisi perempuan sebagai korban, pada sisi alain permepuan juga diposisikan berusaha mencari pertolongan. Jadi Termehek-mehek ini menawarkan dua sisi mata uang yaa. Di satu sisi perempuan digambarkan sebagai korban tapi disisi lain perempuan digambarkan tegar. Dan laki-laki seringnya sebagai selingan, walaupun dicari tetap aja pelaku kekerasannya si laki-laki.132 Putri
Utami
menambahkan
bahwa
perempuan
memang
digambarkan punya usaha, tegar dan tidak menyerah dalam mencari apa yang mereka perjuangkan. “Ditunjukkan kalau ada usaha, jadi nggak sekedar: oke, diakhir adegan perempuan ini menagis, berteriak, cakarcakaran, jambak-jambakan misalnya. Tapi ada proses alur perempuan ini ditampilkan berusaha kuat memperjuangkan apa yang ia cari.”133
IV.B.1.1.4
Perempuan Versus Perempuan Penggambaran perempuan yang kerap kali dihadapkan kepada sesama perempuan dalam Termehek-mehek mendapatkan sorotan dari Endang Listiani. Ia melihat dalam proses pencarian target yang biasanya laki-laki, perempuan seringkali berkonflik dengan dengan sesama perempuan. Entah itu teman, mantan pacar atau bahkan keluarga pasangan. “Kemudian dalam mencari kenapa perempuan itu juga sering berkonflik dengan sesama perempuan juga. Padahal yang dicari disana kan laki-laki”134 Penggambaran perempuan versus perempuan juga ditangkap oleh Putri Utami, pemeran pengganti Termehek-mehek. Lebih jauh
132
Hasil Wawancara Putri Utami Riaqianingtyas 12 Maret 2010 Hasil Wawancara Putri Utami Riaqianingtyas 12 Maret 2010 134 Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010 133
170
lagi Putri melihat laki-laki sebagi pihak yang mengadu domba perempuan. “Perempuan bisa digambarkan bisa cakar-cakaran sesama perempuan. Justru yang sering bikin saya sedih, si laki-laki ini seolah-olah mengadu domba para perempuan. Kenapa kok si perempuan ini berantem sama si perempuannya. Kok ga sama laki-lakinya. Dari saya menonton Termehek-mehek, saya ga pernah lihat perempuan simpatik pada sesama perempuan. Walaupun mereka sama-sama menjadi korban.”135 Perempuan versus perempuan yang ditampilkan oleh Termehekmehek memang cukup dominan. Beberapa konsumen bahkan memandang konflik sesama perempuan ini juga menjadi salah satu tontonan yang menarik. IV.B.1.1.5
Perempuan: Tontonan Yang Menarik Sosok perempuan juga ternyata menjadi objek tontonan yang menarik. Mulai dari tampak fisik perempuan yang memang lebih indah, sampai pada sisi psikologis perempuan yang mudah dibuat konflik. Seperti diungkapkan Zainal Abidin berikut: “Perempuan itu mudah disentuh. Mudah dibuat masalah gitu. Kalau laki-laki kan nggak. Dan masalah itu ternyata asyik ditonton. Misal, seorang anggota dewan berselingkuh. Itu menarik, kan ada perempuannya tuh. Tapi ketika ada seorang anggota dewan yang korupsi itu kan tidak terlalu menarik. Jadi dari sisi fisik, perempuan memang baik dipertontonkan, memang baik untuk dibuat masalah. Jadi misalnya ada acara Tukul, hostnya Bella Saphira dengan mengenakan celana ketat, duduk seperti itu kan menarik. Kalau Tukul saja memang ga menarik. Memang ada daya tarik sendiri perempuan itu.136
135 136
Hasil Wawancara Putri Utami Riaqianingtyas 12 Maret 2010 Hasil Wawancara Zainal Abidin 10 Maret 2010
171
Selain perempuan sebagai individu, hubungan perempuan dengan pasangan juga ternyata memiliki daya tarik tersendiri. Seperti yang dikatakan oleh Tonny Trimarsanto ketika ditanya tentang posisi perempuan dalam hubungannya dengan pasangannya berikut ini: Pasti..pasti..karena eeeee...ya itu kan yang menarik, misal dia sudah pasangan, sudah ikatan suami-istri misalnya, itu kan lebih menarik kalau mereka hanya sekedar pacaran. Karena apa, secara yuridis formal, dimata penonton juga mereka itu formal. Penonton akan bilang, “Edan..wis duwe bojo, ijik koyo ngono”. Tapi ketika mereka masih pacaran, “Alaah ra popo, nggolek liyane meneh”. Putus selesai. Tapi ketika sudah menikah atau mereka anggota keluarga, yang ada ikatan darah. Pokoknya ada justifikasi secara hukum atau secara sosial, itu akan lebih memberikan keyakinan kepada penonton.137 IV.B.1.1.6
Perempuan Bergantung Pada Laki-laki Sosok perempuan menurut beberapa konsumen ekspert juga digambarkan sebagai sosok yang beradaa pada posisi penuh ketergantungan pada laki-laki. Sehingga perempuan memang ―diharuskan‖ mencari laki-laki ketika mereka merasa kehilangan. Endang Listiani mengungkapkan pada dasarnya posisi perempuan selalu digambarkan sebagai sosok yang membutuhkan. Sehingga karenanya posisi perempuan menjadi posisi yang dirugikan dan tidak menguntungkan. Seperti yang diungkapkan Endang berikut: “Perempuan kan dalam posisi yang membutuhkan, ketergantungan. Itu bisa dilihat sendiri kebanyakan dalam posisi yang tidak menguntungkan, dalam posisi 138 ketergantungan.”
137 138
Hasil Wawancara Tonny Trimarsanto 21 Maret 2010 Hasil WawancaraEndang Listiani 11 Maret 2010
172
Putri Utami juga mengungkapkan ketergantungan perempuan menjadi begitu dominannya dalam tayangan Termehek-mehek, sangat sedikit perempuan digambarkan tegar dalam menghadapi masalahnya. Perempuan selalu membutuhkan laki-laki. Seperti yang diungkapkannya berikut: “Seringnya perempuan ini bergantung, ga ana lanang e digolek, jadi karena ditinggal pacarnya, suaminya yang entah jadi gigolo atau jadi homo, entah menikah lagi atau apa. Tapi pada episode yang saya mainkan, kebetulan si target utama, yang jadi Ibu saya (dalam tayangan itu), digambarkan kuat, meninggalkan suaminya untuk menghidupi anaknya berdua dengan memulai segalanya dari nol dan yang seperti ini sayangnya sedikit sekali ditampilkan.139 IV.B.1.2 Pandangan Umum Konsumen Awam Konsumen awam secara umum juga melihat dramatisasi pada tayangan Termehek-mehek. Namun berbeda dengan konsumen ekspert, pandangan umum konsumen awam ini hanya berdasar pada pengalaman mereka menonton, sehingga pada beberapa konsumen awam terlihat masih belum yakin berkenaan dengan penilaian mereka tentang Termehek-mehek. IV.B.1.2.1
Proses Dramatisasi Berbeda dengan konsumen ekspert yang melihat ada proses dramatisasi dalam tayangan Termehek-mehek. Konsumen awam terbagi menjadi beberapa kelompok, ada yang meyakini terjadi dramatisasi, masih ragu-ragu dan meyakini bahwa Termehekmehek adalah kisah nyata yang benar adanya.
139
Hasil Wawancara Putri Utami Riaqianingtyas 12 Maret 2010
173
IV.B.1.2.1.1
Tidak Ada Dramatisasi Tidak adanya dramatisasi pada Termehek-mehek diyakini oleh Karni Suparti (55) seorang ibu rumah tangga. Menurut Karni, tayangan Termehek-mehek adalah benar adanya, tanpa rekayasa dan betul-betul terjadi. Penilaian Karni didasarkan pada kisah Termehek-mehek yang seperti kisah yang dekat dengan keseharian yang sering membuat terharu. “Kadang-kadang anak-anak (di rumah) juga ngomong kalau itu dibikin-bikin, tapi kok menurut saya itu beneran ya mas. Kadang saya terharu juga, ada cerita dari kecil ga ketemu bapaknya, udah mau nikah baru nyari bapaknya, pakai foto yang dikasih ibunya, akhirnya ketemu. Nah itu kan yang bikin terharu, walaupun kadang ada yang buka aib juga. Tapi menurut saya, itu tadi mas, benar-benar gitu mas.140 Karni juga menilai adegan berkelahi tiba-tiba atau adegan tiba-tiba dihadang di tengah jalan adalah adegan yang natural, apa adanya. “Kalau saya pribadi yaa mas, saya pribadi sih kelihatan beneran mas. Kadang kan ga disangka-sangka berantem segala, dihadang atau dicegat orang banyak. Itu beneran mas menurut pribadi saya, kadang saya juga berdebat sama anak-anak. Anak-anak bilang,: “itu dibikin-bikin bu”. Bener-bener itu mas.”141 Termehek-mehek yang sering melakukan pengambilan gambar di luar kota juga diyakini Karni sebagai penguat bahwa tayangan ini benar adanya, tanpa dramatisasi.
140 141
Hasil Wawancara Karni Suparti 31 Maret 2010 Hasil Wawancara Karni Suparti 31 Maret 2010
174
“Saya kira kalau menurut saya itu kok betul-betul terjadi yaa, karena kadang-kadang sampai ke Bali, ke Yogya, ke Surabaya, sudah sampai begitunya, masa iya itu bohongan.”142 IV.B.1.2.1.2
Meragukan Realita atau Rekayasa Salah satu konsumen awam juga mengakui masih ragu apakah Termehek-mehek melalui proses dramatisasi atau perekayasaan atau tidak. Endang Sukartiningsih (43) seorang ibu rumah tangga mengaku ketika menonton Termehek-mehek ia masih menduga-menduga apakah tayangan ini realita atau sudah mengalami proses rekayasa. Hal yang membuat Endang ragu adalah terkadang tayangan Termehek-mehek memiliki banyak hal yang sangat kebetulan dalam beberapa adegannya. “Kadang saya mikir juga mas, ini benar-benar terjadi apa benar-benar rekayasa, istilahnya apa ada kejadian seperti ini, terus dibikin skenarionya seperti sinetron, sehingga kok kayak kebetulaaaaan banget”143 Walaupun
masih
ragu,
namun
Endang
mempunyai
pandangan bahwa Termehek-mehek cenderung dibuat-buat. Hal ini didasarkan pada banyaknya acting talent Termehek-mehek yang tampak tidak natural. “Kalau saya, kok cenderung dibuat-buat ya mas, cenderung rekayasa itu, kalau dulu awal-awalnya saya ngerasa tenanan, tenanan iki, tapi kok lama-lama kok kayak dibuat-buat yaa itu lho mas. Terlihat dari itu pemainnya itu, kalau pembawa acaranya kayak Mandala atau siapa itu kan biasa, tapi itu lho si narasumbernya itu, kliennya itu kok ada semacam actingnya ga natural, sehingga aku kadang ragu-ragu iki tenanan atau 142 143
Hasil Wawancara Karni Suparti 31 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Sukartiningsih 11 Maret 2010
175
rekayasa gitu, tapi setelah tak pikir-pikir, kalau ini rekayasa, podho wae pembohongan massal. Apalagi acara kayak termehek-mehek kan banyak, kayak “orang ketiga”, “mata-mata”144 IV.B.1.2.1.3
Adanya Dramatisasi Selain kelompok yang meyakini tidak ada dramatisasi, masih ragu, juga terdapat kelompok yang meyakini bahwa memang terdapat dramatisasi dalam tayangan Termehek-mehek. Masing-masing Ikmah Choirul Nisa (22) dan Anisa Rohmah (22), mahasiswi serta Anita Widya (24) perempuan bekerja, meyakini memang terdapat proses perekayasaan realitas dalam tayangan Termehek-mehek. Didasarkan pada acting talent atau host acara dan cerita yang mengada-ada ataupun terlalu dibuatbuat. Seperti yang diungkapkan oleh Ikmah berikut: “Menurut saya yaa ada dramatisasi, yang pertama itu di presenter/host nya, kelihatan pas membawakan cerita. Jadi sebelum ditayangkan ada prolog gitu yaa. Gestur tubuhnya, mimik mukanya itu kelihatan. Kalo dari talentnya kita bisa lihat namanya artis beneran dengan yang nggak kan. Kelihatan kaku atau gimana gitu. Suruh nangis, nangisnya malah lebay. Kita kan bisa lihat.145 Anita Widya cenderung melihat dramatisasi Termehekmehek hadir lewat ceritanya yang terlalu mengada-ada seperti yang diungkapkannya berikut: “Kalau menurut aku ini jelas dramatisasi yaa, ada di beberapa bagian itu mengada-ngada ya. Meskipun diciptakan suasana, aktor dan alur cerita, walaupun untuk acting lumayan mumpuni lah. Kalau saya melihat
144 145
Hasil Wawancara Endang Sukartiningsih 11 Maret 2010 Hasil Wawancara Ikmah Choirul Nisa15 Maret 2010
176
tetep dramatisasi lah, karena cerita yang mengada-ada lah. Kayak cerita yang homo tadi malah lucu, intinya satu Termehek-mehek tidak mungkin itu suatu reality”146 Adanya dramatisasi juga diyakini oleh Anisa Rohmah, seperti yang diungkapkannya berikut ini: “Kalau dramatisasi kayaknya semua tayangan di televisi mengalami dramatisasi ya. Sebenernya bukan hanya dari Termehek-mehek yang baru-baru ini atau tahun-tahun belakangan ini booming dan banyak yang suka. Parahnya banyak yang ga tau kalau reality show itu dibuat-buat, ada skenario dan sebagainya. Itu diterima sebagai sebuah realitas yang ada di masyarakat. Lama kelamaan juga ketahuan kok dramatisasinya. Mungkin ada satu atau dua bagian yang menunjukkan kalau itu fakta, bagian dari realita yang ada di masyarakat. Kok ini tiba-tiba ada kejadian yang kebetulan banget, dan ini sering banget terjadi.147 Dengan demikian, memang terdapat beragam pendapat dari konsumen awam mengenai proses dramatisasi tayangan Termehek-mehek. Hal ini membuktikan memang dalam mengkonsumsi tayangan Termehek-mehek, masing-masing konsumen menggunakan pengalaman dan pengetahuannya dalam menilai tayangan tersebut. IV.B.1.2.2
Penggambaran Sosok Perempuan Sosok digambarkan
perempuan dalam
dalam
posisi
kacamata
yang
beragam.
konsumen Sebagian
awam besar
mengungkapkan perempuan dalam posisi yang termarjinal kan seperti lemah, rawan, atau sebagai korban. Atau penggambaran sosok termarjinalkan lainnya seperti teraniaya dan sosok yang 146 147
Hasil Wawancara Anita Widya 29 Maret 2010 Hasil Wawancara Anisa Rohmah 9 Maret 2010
177
bergantung pada laki-laki. Namun ada juga yang melihat perempuan sebagai sosok yang agresif atau emosional. IV.B.1.2.2.1
Perempuan Sosok yang Lemah dan Rawan Sosok perempuan menurut pengamatan Karni Suparti berada dalam posisi yang rawan. Karni melihat sosok perempuan dalam setiap proses pencarian di Termehek-mehek berada dalam posisi yang lemah dan rawan sehingga tidak aman jika melakukan pencarian sendiri. “Mungkin perempuan itu lemah yaa, mau minta bantuan, kalau laki kan dijalankan sendiri. Kalau perempuan kan rawan kalau jalan sendiri-sendiri, akhirnya ada Termehek-mehek itu bisa minta tolong sama tim Termehek-mehek. Perempuan rawan, kalau kemanamana itu sendiri.148 Posisi perempuan yang rawan dalam pandangan Karni berada dalam posisi yang beresiko jika melakukan pencarian sendiri.
IV.B.1.2.2.2
Perempuan Sebagai Korban dan Sosok Teraniaya Selain dalam posisi yang lemah dan rawan, perempuan juga digambarkan dalam posisi sebagai korban. Baik korban dalam hubungan dengan pasangan maupun dalam posisi perempuan di dalam keluarga. Seperti yang dituturkan oleh Endang berikut ini: “Selama ini aku nonton perempuannya banyak jadi korban, kadang memang sebagian besar perempuan diangkat ketidakberdayaannya, yo nggoleki keluarga, nggoleki pacar, nggoleki anak kayak gitu. Kalau orang laki kan nyari kan nyari sendiri. Kalau cewek kan entah karena
148
Hasil Wawancara Karni Suparti 31 Maret 2010
178
keterbatasan dia sebagai wanita atau apa sehingga tidak bisa nyari sendiri.”149 Mirip dengan pernyataan Endang yang menyatakan perempuan sebagai korban, Anisa Rohmah menyatakan perempuan sebagai sosok yang teraniaya dalam hubungan dengan pasangannya. “Biasanya kan sebagian besar yang teraniaya itu kan wanita yang ditinggalkan laki-laki, melihat wacana yang ingin ditampilkan itu kan mungkin semua laki-laki itu playboy kali ya, mungkin wanita di Termehek-mehek itu seseorang yang lemah dan tidak punya kontrol atau kekuasaaan atas si laki-laki”150 Lebih lanjut Anisa memaparkan, perempuan tak hanya sebagai sosok yang teraniaya, namun juga sampai pada sosok yang lemah dan dan cenderung di bawah kekuasaan laki-laki. IV.B.1.2.2.3
Nasib Perempuan Tidak Jelas Ikmah Choirul Nisa melihat perempuan dalam Termehekmehek cenderung dalam posisi yang tergantung dengan lakilaki. Hal ini membuat nasib perempuan semakin tidak jelas. “Terlihat perempuan itu digantungkan nasibnya, he-hehe, tapi kebanyakan kan nyari pacarny alah, pasangannya lah. Perempuan kan dalam posisi yang tidak jelas dalam hubungan mereka”151 Masa depan perempuan, menurut Ikmah menjadi semakin tidak jelas karena posisi yang tergantung pada laki-laki. Sebab
149
Hasil Wawancara Endang Sukartiningsih 11 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Sukartiningsih 11 Maret 2010 151 Hasil Wawancara Ikmah Choirul Nisa15 Maret 2010 150
179
perempuan memang digambarkan mencari sosok laki-laki dalam rangkaian besar cerita di Termehek-mehek. IV.B.1.2.2.4
Perempuan Agresif dan Emosional Sosok perempuan yang sedikit berbeda diungkapkan oleh Anita Widya, menurut Anita, perempuan dalam Termehekmehek juga kerap kali digambarkan dalam sosok yang agresif, emosional bahkan cenderung temperamental. “Kalau klien yang ini agresif iya, pas ketemu informan yang dia tahu itu mantan cowoknya, langsung “pak-pokpak-pok” istilahnya kayak gitu, dia tidak bisa mengendalikan emosi,”152 Sosok agresif dan emosional yang dimaksud oleh Anita adalah
ketika
perempuan
melakukan
pencarian
target.
Kebanyakan perempuan yang melakukan pencarian target (biasanya laki-laki) sering bertindak emosional dengan terlibat saling pukul atau berkonflik terbuka dengan beberapa informan yang kebanyakan perempuan.
152
Hasil Wawancara Anita Widya 29 Maret 2010
180
IV.B.2 Intepretasi Konsumen Terhadap Tayangan Termehek-mehek Interpretasi konsumen dalam hal ini adalah penafsiran konsumen atas tema-tema umum yang ditampilkan Termehek-mehek. Berbeda dengan pandangan umum yang melihat suatu permasalahan hanya sepintas lalu, pada bagian interpretasi ini, konsumen diminta untuk menyampaikan pendapat tentang suatu tema umum dengan pengamatan yang lebih mendalam. Tentu dengan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masing-masing konsumen. Sama dengan pandangan umum, pada tahap interpretasi konsumen ini pun terbagi pada konsumen ekspert dan konsumen awam. Pada konsumen ekspert interpretasi akan terlihat mendalam pada bagian-bagian yang menjadi spesialisasi konsumen tersebut. Misal pada Tonny Trimarsanto, sutradara film, interpretasi akan lebih banyak pada proses produksi hiperealitas produk audiovisual. Sedangkan pada Endang Lisitiani, Manajer Institusi SPEK-HAM, akan terlihat banyak interpretasi pada bidang perempuan dan gender. Pada konsumen awam, interpretasi akan lebih banyak menitikberatkan pada
pengalaman
konsumen
selama
menonton
Termehek-mehek.
Sehingga yang terlihat adalah interpretasi umum yang menggambarkan persepsi pada umumnya penonton di masyarakat.
181
IV.B.2.1 Interpretasi Konsumen Ekspert Interpretasi kosumen ekspert dalam hal ini adalah penafsiran konsumen ekspert dalam memahami tema umum pada tayangan Termehek-mehek. Tema umum yang dimaksud adalah beberapa tema yang diajukan kepada konsumen ekspert untuk ditafsirkan sesuai dengan kompetensi masing-masing konsumen ekspert. Seperti tema hiperealitas tayangan, hiperealitas akses dan kontrol atas informasi pasangan dan hiperealitas akses dan kontrol atas kejelasan hubungan. IV.B.2.1.1
Hiperealitas Tayangan Termehek-mehek Hiperealitas
tayangan
dibaca
lewat
dramatisasi
yang
dihadirkan oleh Termehek-mehek. Konsep hiperealitas yang dibangun Termehek-mehek coba dibedah oleh konsumen ekspert melalui kacamata dramatisasi tayangan seperti dramatisasi cerita, dramatisasi peran (acting talent) dan dramatisasi setting (tempat dan waktu) IV.B.2.1.1.1 Dramatisasi Cerita Dramatisasi cerita dalam pandangan konsumen ekspert ditafsirkan
dalam
beberapa
hal
diantaranya
adalah
pada
pengambilan ide cerita, dramaturgi dan alur tayangan serta teknik adegan. 1. Pengambilan Ide Cerita Pengambilan ide cerita menurut beberapa konsumen ekspert
mengalami
proses
dramatisasi.
Terlihat
182
pengambilan alur cerita yang hampir sama setiap episode. Seperti yang diungkapkan oleh Endang Listiani berikut: ―Ending-endingnya cerita biasanya episode-episode nya itu hampir sama. Termehek-mehek itu punya ciri khas alur cerita yaa. Dan itu yang membuat kita berpikir, kok hampir sama yaa. Jelas ini rekayasa aja ini.”153 Endang menambahkan ide cerita yang diangkat Termehek-mehek terkadang tidak jelas dan juga kurang menjadi alasan untuk mencari target. “Ketika dalam pencarian orang yaa. Mesti orangnya sudah pindah. Sudah bersama yang lain. Ujungujungnya persoalan yang diangkat pun ga jelas. Kurang gereget gitu. Kurang jadi alasan juga untuk dicari dan kurang jadi alasan juga untuk mencari.”154 Zaenal
Abidin,
menambahkan mengalami
jika proses
anggota
KPID
pengambilan dramatisasi.
ide
Jateng cerita Seperti
juga sudah yang
diungkapkannya berikut ini: ―Oo..itu dibikin, itu saya sudah tanya ke Trans TV, saya tanya pas mereka ke Semarang, saya tanya: Termehek-mehek itu benar reality atau drama? Kalau memang benar itu real, ini program faktual, harus mengikuti kaidah-kidah jurnalistik, orangnya harus jelas, pelakunya harus jelas, situasinya harus dijelaskan, dan harus berimbang. Ketika yang ini jadi korban, pelakunya pun harus diwawancarai. Mereka jawab,”Oo.nggak mas Zaenal, itu drama,“ itu pengakuannya.”155
153
Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010 155 Hasil Wawancara Zainal Abidin 10 Maret 2010 154
183
Disinggung
bahwa
tim
Termehek-mehek
tidak
mengakui adanya dramatisasi cerita, Zaenal mengembalikan itu kepada tim Termehek-mehek sendiri. Seperti yang dikatakannya berikut ini: ―Yaa boleh lah mereka ngomong apa, soalny kalau nggak gitu nggak laku mereka mas. Yang namanya drama jelas banyak dipupuri. Pasti dikarang-karang. Yaa Cuma tetangga nikah ga jadi, bisa ditambahtambah oleh Termehek-mehek. Mereka pasti drama.156” 2. Dramaturgi dan Alur Tayangan Selain pengambilan ide cerita, dramatisasi cerita juga tampak dari dramaturgi tayangan yang ditampilkan oleh Termehek-mehek. Dramaturgi dalam hal ini adalah proses penceritaan dalam program televisi yang pasti memiliki tangga dramatik. Menurut Tonny Trimarsanto, setiap program televisi pasti memiliki tangga dramatik ini. Dan ini menunjukkan dramatisasi dalam tayangan televisi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Tonny berikut: ―Setiap program televisi itu kan ada dramaturginya, ada tangga dramatiknya, seperti orang nulis skripsi atau proposal itu kan ada pendahuluan, latar belakang, pengenalan masalah, lalau bagaimana persoalan itu dianalisis, dan dibedah sampai selesai, dan kalau di TV atau di film, disana sudah ada desainnya, bagaimana seorang pembuat atau produsernya dia mengatur sejauh mana tontonannya itu menarik, diatur dramaturginya, kalau di Termehek-mehek itu sangat kelihatan, sebetulnya sangat simpel, dan 156
Hasil Wawancara Zainal Abidin 10 Maret 2010
184
dramaturgi sangat-sangat diatur, dan semua program TV pada akhirnya rating tinggi, dia akan punya pola yang sama dan dramaturginya sama.157 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Putri Utami, pemeran pengganti tayangan Termehek-mehek. Selama ia memerankan dan menonton tayangan Termehek-mehek dia meyakini jika dalam Termehek-mehek memang terdapat alur penceritaan. “Ada alurnya, kelihatan banget ada alurnya, maka kemudian mengarahkan bahwa ini drama. Drama yang didramatisasi, bukan realita yang didramatisasi, menurut saya, he-he-he. Lalu di Termehek-mehek itu kan klimaks dramatisasinya ketika menemukan target, jadi dramatisasinya tadi, begitu ketemu targetnya disitu puncak dramatisasinya”158 3. Teknik Pengambilan Gambar Menurut Tonny, teknik pengambilan gambar dari Termehek-mehek menampakkan adanya dramatisasi adalah ketika sebenarnya gambar yang diambil Termehek-mehek sudah diambil terlebih dahulu baru kemudian menentukan alur cerita. Jadi jelasnya, Termehek-mehek akan mengambil gambar-gambar yang dirasa akan mampu membangun jalan cerita. Setelah gambar siap, baru kemudian diberi narasai untuk membangun jalan cerita. “Ketika syuting Termehek-mehek itu sudah selesai, mereka menghabiskan lima kaset, menghabiskan lima jam, terus mereka press menjadi setengah jam, dan penyaringan atau editing itu memang sarat 157 158
Hasil Wawancara Tonny Trimarsanto 21 Maret 2010 Hasil Wawancara Putri Utami Rizqianingtyas 12 Maret 2010
185
kepentingan. Bedanya Termehek-mehek dengan dokumenter itu kan kalau dokumenter itu kan buat skrip untuk panduan, dan kadang-kadang skripnya jadi dulu baru dicari gambarnya. Kalau Termehekmehek itu kan bisa jadi mereka ambil gambar dulu, baru dikasih narasi, kenapa seperti ini, karena tayangan televisi itu kan sangat pendek jadi ga mungkin mereka cerita panjang lebar, ya ambil intiintinya saja. Kalau Termehek-mehek ini saya yakin seperti itu, ada cerita dulu baru mereka ambil gambar, baru ada narasinya.”159 IV.B.2.1.1.2 Dramatisasi Peran Dramatisasi peran menurut konsumen ekspert sebagai salah satu indikator adanya dramatisasi dalam tayangan Termehekmehek. Dramatisasi peran disini menyangkut dugaan adanya proses skenario, acting pemeran pengganti sampai beberapa adegan yang dinilai berlebihan. 1. Skenario/Pengaturan Alur Cerita Pawito menyebutkan dramatisasi ini kentara ketika keseluruhan
tayangan
Termehek-mehek
sudah
diatur
sebelumnya. Bahkan sudah memiliki skenario tersendiri. Seperti yang dikatakan Pawito berikut: “Kalau di Termehek-mehek itu relatif diskenariokan, dalam pengertian orang atau kasus yang dipilih adalah ini, dipertemukan pada kesempatan begini. Itukan sudah diatur. Itu yang saya maksud dengan diskenariokan, artinya sudah diatur sebelumnya”160 Pengaturan dalam proses penceritaan Termehek-mehek juga diamini oleh Tonny Trimarsanto. Ia yakin bahwa
159 160
Hasil Wawancara Tonny Trimarsanto 21 Maret 2010 Hasil Wawancara Pawito 11 Maret 2010
186
terdapat seseorang yang mengatur ataupun memprovokasi pemeran dalam Termehek-mehek sehingga alur Termehekmehek menjadi begitu tertata. Seperti yang diungkapkannya berikut ini: “Kalau di sepakbola itu ada kaptennya kan, kalau di orkestra itu ada dirigennya kan, di Termehek-mehek ini pun saya yakin ada, entah itu di hostnya atau orang dibelakang layarnya, dia yang memprovokasi, dia punya bahan provokasi yang bagus”161 Hadirnya
pengatur
alur
dan
terlihat
bahwa
termehek-mehek memiliki alur yang jelas membuat tayangan ini semakin diduga kuat mengalami dramatisasi. 2. Acting Peran Pengganti Hadirnya peran pengganti dalam hampir setiap jalan cerita Termehek-mehek memang semakin menegaskan adanya dramatisasi dalam tayangan ini. Hal ini diungkapkan oleh Putri Utami, salah satu pemain peran pengganti dalam tayangan Termehek-mehek. Dia menuturkan bahwa selama mainkan peran di Termehek-mehek memang yang paling dipentingkan adalah bagaimana acting pemeran pengganti tampak senatural mungkin. “Masalah yang perlu diperhatikan oleh tim Termehekmehek ketika saya casting syuting kemarin itu kan yang paling penting acting talent. Jadi syuting dibuat tidak selebay di sinetron. Berusaha senatural mungkin, tapi
161
Hasil Wawancara Tonny Trimarsanto 21 Maret 2010
187
karena yang acting juga orang awam, jadi terlihat lebay (berlebihan).”162 Acting peran pengganti ini juga mendapat sorotan dari Endang Listiani, Manajer Institusi SPEK-HAM, menurut Endang, acting peran pengganti yang tampak kurang menjiwai. “Proses dramatisasinya itu kental banget ya. Hal itu bisa dilihat dari yang pertama, ekspresi. Kadangkala yang entah teledor atau bagaimana ya kadang kurang menjiwai. Mungkin karena mereka bukan aris sinetron ya.”163 Zainal Abidin, Anggota KPID Jateng juga melihat acting pemeran pengganti memegang peranan penting dalam proses menghadirkan dramatisasi dalam tayangan Termehek-mehek. Menurut Zainal, karena Termehekmehek menggunakan peran pengganti itu lah kenapa KPI, sebagai pengawas regulasi penyiaran tidak menindak Termehek-mehek ketika menghadirkan adegan kekerasan misalnya. “Oiya, pasti itu menggunakan peran pengganti. Nggak mungkin nggak. Kalau itu real, sudah kami tegur. Tapi karena itu drama seperti sinetron, asalkan ada tanda lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Jadi drama Termehek-mehek yang dikategorikan program fiksi, itu harus mengantongi ijin lulus sensor dari LSF. Itu memang sudah lulus sensor itu”.164
162
Hasil Wawancara Putri Utami Riaqianingtyas 12 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010 164 Hasil Wawancara Zainal Abidin 10 Maret 2010 163
188
IV.B.2.1.1.3 Dramatisasi Setting (Latar Tempat dan Waktu) Setting pengambilan gambar pun menurut konsumen ekspert dalam hal ini juga turut mengalami dramatisasi. Hal ini diungkapkan oleh Tonny Trimarsanto, menurut Tonny, Termehekmehek pasti mengambil latar tempat yang menunjang tema cerita yang mereka ambil. Pendeknya, Termehek-mehek cenderung akan mengambil latar cerita wilayah urban perkotaan yang metropolis. Karena
hanya
pada
latar
tempat
perkotaan
lah,
tema
perselingkuhan, pengkhianatan perkawinan dan sejenisnya bisa diangkat secara terbuka. Seperti yang diungkapkan Tonny berikut: “Kalau tempat, mereka selalu mengambil gambar di wilayah perkotaan, di wilayah urban, ketika individuindividu menjadi sangat individual, menjadi tidak peduli dengan tetangganya. Dengan seting kota yang chaos, kota yang kacau, karakter orang-orangnya yang tidak peduli dengan pasangannya sekalipun. Karena dengan setingseting urban perkotaan, tema akan lebih kaya, berbeda kalau anda ambil tema perselingkuhan di kampung, anda tidak akan dapat. Walaupun ada praktik-praktik itu. Tapi secara kuantitas akan lebih sedikit daripada yang di kota. Dan akan lebih sulit untuk membuktikan, ketika anda syuitng di kampung dengan karakter pak tani yang selingkuh. Akan lebih sulit dibuktikan dibandingkan anda mengambil anonim di Jakarta yang mereka sadar bahwa media tivi adalah media yang bisa ditunggangi, dia bisa populer kah, dia mendapat simpati kah.”165 IV.B.2.1.2
Hiperealitas Relasi Tidak Setara Pada Perempuan Setelah melihat hiperealitas tayangan Termehek-mehek yang tampak lewat dramatisasi cerita maupun dramatisasi peran, konsumen ekspert juga melihat bagaimana Termehek-mehek
165
Hasil Wawancara Tonny Trimarsanto 21 Maret 2010
189
menampilkan bentuk relasi tidak setara pada perempuan dalam suatu bangunan hiperealitas. Bentuk hiperealitas yang ditampilkan Termehek-mehek digolongkan dalam dua kelompok. Pertama hiperealitas akses dan kontrol atas informasi tentang pasangan. Kedua, hiperealitas akses dan kontrol tentang kejelasan hubungan. Dua kelompok ini berdasarkan pada analisis gender tentang relasi tidak setara pada perempuan yang mengambil objek tayangan Termehek-mehek. IV.B.2.1.2.1 Hiperealitas
Minimnya
Akses
dan
Kontrol
Terhadap
Informasi Hiperealitas akses dan kontrol terhadap informasi dalam tayangan Termehek-mehek terbaca dalam beberapa ide cerita yang mengangkat minimnya akses dan kontrol perempuan atas informasi tentang pasangan. Namun minimnya akses dan kontrol informasi tersebut sebenarnya hanya ada di tayangan Termehek-mehek. Dalam artian, Termehek-mehek membentuk suatu bangunan cerita yang seolah-olah perempuan memiliki akses dan kontrol yang begitu minim. 1. Hiperealitas
Minimnya
Akses
Informasi
tentang
Pasangan Hiperealitas akses informasi dalam Termehek-mehek terbca dalam beberapa tayangan Termehek-mehek. Endang
190
Listiani menyebutkan beberapa contoh minimnya informasi yang diperoleh perempuan tentang pasangannya berikut: ―Misalnya yaa..dia itu ga dapet informasi dari keluarganya yaa. Dia itu dimana, perginya kemana. Atau hal-hal spesifik apa. Kemudian tadi itu (tayangan Termehek-mehek tentang pria homoseksual) kan dia digambarkan punya pekerjaan sebagai pengacara. Tapi ternyata kan nggak. Ini membuktikan, banyak hubungan laki-laki dan perempuan dalam Termehekmheek itu, antar pasangan itu tidak saling memahami. Seberapa jauh pasangannya itu, dia siapa dan masa depan mereka nanti akan seperti apa?”166 Dari minimya akses informasi tersebut, Endang Listiani menilai bahwa terlalu kecilnya akses informasi perempuan terhadap pasangan bisa jadi ada di masyarakat namun tidak setragis yang ada di Termehek-mehek. Dalam arti minimnya akses informasi perempuan di Termehek-mehek memang menunjukkan sesuatu yang berlebihan. Seperti yang diungkapkan Endang Listiani berikut: “Meskipun ini drama reality, memang sedikit-banyak mencerminkan realitas dimasyarakat. Meskipun tidak setragis ini”167 Zainal Abidin, anggota KPID Jateng mengungkapkan lebih tegas perbedaan antara rekayasa televisi dan realita kehidupan di masyarakat. Termasuk dalam hiperealitas minimnya akses informasi perempuan terhadap pasangan. “Kalau yang di televisi kan rekayasa, jelas rekayasa. Ya tadi perempuan kan karena malu, keterbatasan norma-norma di masyarkakat. Terbentur budaya juga. 166 167
Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010
191
Realitanya yang keliru, rekayasa televisi aja. Seolaholah perempuan tidak punya peluang.168 Rekayasa yang dimaksud Zainal adalah sebenarnya perempuan punya akses informasi tersebut.
Namun
terkadang perempuan terbentur dengan norma sosial dan budaya. Sedangkan di Termehek-mehek, menurut Zainal, perempuan dibuat seolah-olah tidak punya peluang atau akses memperoleh informasi tentang pasangannya. Seperti yang diungkapkan Zainal berikut ini: “Jadi realitanya, itu punya peluang sama dengan laki-laki, hanya saja memang perempuan itu ada norma sosial yaa. Misalnya harus keluar malem diatas jam 9 malem itu sudah ga maungkin, kalau kemanamana sendiri mereka takut digodain. Misal seorang istri rumah tangga, suaminya kerja. Dia dandan menor terus keluar selama tiga jam setiap hari padahal dia ga kerja, orang sudah mikir macem-macem. Itu realitanya. Jadi bukan keterbatasan perempuan tapi terbentur oleh kultur, etika dan keadaan.”169 2. Hiperealitas Minimnya Kontrol Informasi tentang Pasangan Hiperealitas kontrol dalam hal ini adalah ketika perempuan digambarkan seolah-olah tidak mempunyai kemampuan untuk mengolah dan mengelola informasi tentang pasangan. Hal ini tergambarkan dari pernyataan Endang Listiani berikut: ―Di Termehek-mehek kan tidak mencari dengan cara yang cerdai. Mungkin karena dia drama tadi ya. 168 169
Hasil Wawancara Zainal Abidin 10 Maret 2010 Hasil Wawancara Zaianl Abidin 11 Maret 2010
192
Tipikal dari Termehek-mhek kan mencarinya hanya berdasarkan informasi-informasi. Dan bayangkan saja mencari dengan mudah itu didapatkan. Orang melakukan pendekatan dengan orang yang baru dikenal misalnya. Bagaimana cara menginformasikan kepada informan itu kan beberapa kali saya lihat to the point banget. Kan ga mungkin kalau kita baru kenal pada orang, tapi ga pake kulonuwunnya. Dan orang itu tidak curiga sedikit pun, dari sana juga kan terlihat dramatisasinya.170 Dalam pengamatan Endang Listiani, kontrol informasi perempuan atas pasangannya tampak begitu didramatisasi. Bagaimana
kemudian
kehilangan
informasi
perempuan tentang
begitu
mudahnya
pasangannya.
Atau
bagaimana proses mencari pasangan yang kental dengan dramatisasi. IV.B.2.1.2.2 Hiperealitas Minimnya Akses dan Kontrol Terhadap Kejelasan Hubungan Hiperealitas akses dan kontrol terhadap kejelasan hubungan yang dimaksud adalah ketika Termehek-mehek menciptakan realita yang seolah-olah perempuan tidak mempunyai akses untuk memperoleh
kejelasan
kelanjutan
hubungan.
Selain
akses,
konsumen ekspert dalam hal ini juga akan melihat bagaimana Termehek-mehek menkonstruksi seolah-olah begitu minimnya kontrol yang didapat perempuan dari kejelasan kelanjutan hubungan tersebut.
170
Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010
193
1. Hiperealitas Minimnya Akses Terhadap Kejelasan Hubungan Akses
perempuan
terhadap
kejelasan
hubungan
digamabarkan oleh Termehek-mehek begitu minimnya. Bahkan seolah-olah tidak ada. Seperti yang diungkapkan Endang Listiani berikut: “Mungkin mereka sudah berhubungan lama, tapi perempuan tidak tahu lebih jauh tentang pasangannya. Bahkan tidak mempunyai insting, untuk punya firasat kenapa berlaku aneh. Disini diperlihatkan bahwa perempuan itu seperti manusia bodoh, yang bisa dengan mudahnya dikibulin. Dia juga tidak punya pemahaman yang utuh tentang pasangannya. Dan tidak mempunyai kekuatan yang cukup baik untuk mencari pasangannya dan membangun komunikasi dengan pasangnnya.171 Kelemahan
akses
perempuan
terhadap
kejelasan
hubungan ini semakin tampak sepoerti yang ditambahkan Endang Listiani berikut ini: “Realita yang tadi perempuan tidak mengetahui secara utuh pasangannya. Dia tidak punya akses mengetahui pasangan secara utuh, kemudian secara pengalaman dia terlalu lugu, jujur, atau percaya begitu saja dengan pasangannya, sehingga dia tidak mungkin curiga bahwa pasangannya itu jahat, bahwa pasangannya itu membohongi.”172
171 172
Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010
194
2. Hiperealitas Minimnya Kontrol Terhadap Kejelasan Hubungan Mirip dengan minimnya akses, kontrol terhadap kejelasan
hubungan
menurut
Endang
Listiani
juga
digambarkan sebegitu minimnya. “Sebenarnya itu memang hanya keinginan dari realitas yang ada di masyarakat. Cuma disini untuk dramatisirnya aja, biasa lah hanya namanya hiburan. Dalam realita memang ada yang janji mau dinikahi, kemudian dihamili tapi kemudian ditinggalkan. Disini kan kontrol perempuan seolah-olah ga ada, yaa..artinya pembangunan tanggungjawabnya tidak imbang.173 Minimnya
kontrol
terhadap
kejelasan
hubungan
memang tampak dominan dalam beberapa tayangan Termehek-mehek.
Hal
ini
menunjukkan
kuatnya
dramatisasi dalam tayangan Termehek-mehek IV.B.2.2 Interpretasi Konsumen Awam Konsumen awam dalam hal ini juga diminta untuk melakukan interpretasi atas tayangan Termehek-mehek. Sama dengan konsumen ekspert, interpretasi yang dilakukan konsumen awam pun berdasarkan tema umum yang diajukan peneliti. Tema yang dimaksud adalah hiperealitas tayangan untuk membaca dramatisasi pada tayangan Termehek-mehek. Dan hiperealitas minimnya akses dan kontrol
173
Hasil Wawancara Endang Listiani 11 Maret 2010
195
perempuan baik atas informasi tentang pasangan maupun tentang kejelasan kelanjutan hubungan. IV.B.2.2.1
Hiperealitas Tayangan Termehek-mehek Hiperealitas tayangan Termehek-mehek juga coba dibaca oleh konsumen awam lewat dramatisasi yang ada. Baik dramatisasi cerita, dramatiasasi peran (acting talent), maupun dramatisasi setting (latar tempat dan waktu).
IV.B.2.2.1.1 Dramatisasi Cerita Dramatisasi cerita dipandang oleh konsumen awam sebagai salah satu indikator adanya dramatisasi dalam tayangan Termehekmehek. Dramatisasi cerita ini paling banyak dibaca dalam pengambilan ide cerita dan alur cerita. 1. Pengambilan Ide Cerita Anisa Rohmah, menuturkan banyak pengambilan ide cerita di Termehek-mehek yang kadang menimbulkan tanda tanya akan kebenarannya. Seperti yang diungkapkan Anisa berikut ini: “Pertama dibagian cerita ya, pasti cerita, kok kadang kita mikir, kok ada yaa yang seperti ini, kok ada yang seperti itu, yang lose contact dengan suaminya. Kok bisa lose contact dengan suaminya. Mungkin untukuntuk orang-orang di desa dimungkin kan karena tidak punya handphone atau alat komunikasi lainnya. Masalahnya yang keluar di Termehek-mehek itu kan stylist, orang kaya, orang kota lah, masa ga punya handphone.”174
174
Hasil Wawancara Anisa Rohmah 9 Maret 2010
196
Anisa juga mengungkapkan contoh lain seperti berikut ini: ―Bahkan beberapa yang di Termehek-mehek itu, kenapa setelah ia ikut Termehek-mehek baru tahu ia punya saudara di sana, saudara disana, kenapa sebelum ikut Termehek-mehek itu dia tidak tahu, kenapa mereka tidak menghubungi mereka dulu. Itu masalah untuk tematis, seolah-olah itu dibuat-buat. Anisa juga menyoroti beberapa tema cerita yang diangkat oleh Termehek-mehek namun kurang familiar dan jauh dari nilai-nilai di masyarakat. Seperti pernyataan berikut: “Kemudian ini, apa yang disebutkan dengan homo, gigolo yang kurang familiar, kenapa hal-hal yang familiar itu yang dimunculkan. Kayaknya homoseksual, lesbi, itu hal yang sangat memalukan dan belum dekat dengan masyakarakat kenapa dimunculkan, orang nanti akan mengira kalau ternyata di lingkungan ku ada yang seperti itu.”175 2. Alur Cerita Anita Widya menilai alur cerita yang diambil Termehek-mehek pun terkadang mengindikasikan adanya dramatisasi
dalam
tayangan
tersebut.
Seperti
yang
diungkapkannya berikut: ―Kalau alur dia bikin alur yang nantinya akan jadi klimaks, dan salahnya itu reality itu stereotipnya cewek galak segala macem, akhirnya, ending-endingnya yaa itu pakai seksualitas, aku melihatnya gitu sih, endingnya kalau dia tidak menghamili yang lain, atau
175
Hasil Wawancara Anisa Rohmah 9 Maret 2010
197
dia gay, mesti kayak gitu. Dan itu menurut saya itu dramatisasi tidak alami.”176 IV.B.2.2.1.2 Dramatisasi Peran Bagi konsumen awam, dramatisasi peran menjadi hal yang juga banyak diindentifikasi sebagai indikator adanya dramatisasi dalam tayangan Termehek-mehek. Mulai dramatisasi peran host (pembawa acara) maupun para pemain (talent) yang menjadi peran pengganti dalam tayangan Termehek-mehek. Seperti yang diungkapkan oleh Endang Sukartiningsih, ibu rumah tangga, berikut: “Dramatisasinya itu pada pemainnya itu, kalau pembawa acaranya kayak mandala atau siapa itu kan biasa, tapi itu lho si narasumbernya itu, kliennya itu kok ada semacam actingnya ga natural”177 Endang melihat acting para talent dalam tayangan Termehekmehek terlihat tidak natural, atau dibuat-buat. Sehingga ia menduga ada dramatisasi dalam tayangan Termehek-mehek. Konsumen awam lain yang melihat adanya dramatisasi dalam tayangan Termehek-mehek adalah Ikmah Choirul Nisa, mahasiswi. Menurut Ikmah, selain para pemain, pembawa acara (host) dalam Termehek-mehek
juga
menunjukkan
berlebihan:
176 177
Hasil Wawancara Anita Widya 29 Maret 2010 Hasil Wawancara Endang Sukartiningsih 11 Maret 2010
acting
yang
tampak
198
“Menurut saya ada yaa dramatisasinya, yang pertama itu di presenter/host nya, kelihatan pas membawakan cerita. Jadi sebelum ditayangkan ada prolog gitu yaa. Gestur tubuhnya, mimik mukanya itu kelihatan. Kalo dari talentnya kita bisa lihat namanya artis beneran dengan yang nggak kan. Kelihatan kaku atau gimana gitu. Suruh nangis, nangisnya malah lebay. Kita kan bisa lihat.”178 IV.B.2.2.2
Hiperealitas Relasi Tidak Setara Pada Perempuan Sama dengan konsumen ekspert, hiperealitas relasi tidak setara pada perempuan juga dilihat oleh konsumen awam. Namun pembacaan konsumen awam atas hiperealitas ini tentu berbeda dengan konsumen ekspert. Sebagian besar pandangan konsumen awam memang bersandar pada pengalaman sebagai penonton awam sehingga pembacaan yang hadir pun tidak berdasarkan kompetensi khusus layaknya konsumen ekspert. Hiperealitas relasi tidak setara pada perempuan pada konsumen awam pun dibagi menjadi dua menjadi hiperealitas akses dan kontrol informasi dan hiperealitas akses dan kontrol pada kejelasan hubungan. Tentunya dalam konteks analisis gender tentang relasi perempuan dengan laki-laki.
IV.B.2.2.2.1 Hiperealitas
Minimnya
Akses
dan
Kontrol
Terhadap
Informasi Sebagian besar konsumen awam memiliki pandangan bahwa minimnya akses dan kontrol terhadap informasi dalam tayangan Termehek-mehek sebenarnya tidak lebih dari sebuah rekaan belaka. 178
Hasil Wawancara Ikmah Choirul Nisa 15 Maret 2010
199
Menurut mereka perempuan digambarkan lemah dalam akses dan kontrol informasi tentang pasangan sehingga menghubungi tim Termehek-mehek untuk dimintai tolong. IV.B.2.2.2.1.1
Hiperealitas Minimnya Akses Terhadap Informasi Minimnya akses informasi yang diperoleh perempuan menurut beberapa konsumen awam memang tampak dalam beberapa
tayangan
Termehek-mehek.
Mereka
menduga
minimnya akses informasi ini untuk mendukung konsep acara Termehek-mheek
yang
berupa
pencarian.
Seperti
yang
diungkapkan oleh Anita Widya berikut: “Oiya ini, yang bikin saya aneh dan heran, perempuan yang mau menikah atau bahkan sudah menikah digambarkan tidak punya kesempatan untuk mendapatkan informasi tentang pasangannya. Benerbener mati gitu, misal ketika dia nyari suaminya, ada juga yang bener-bener ga keanl keluarga suaminya, kok bisa gitu, padahal kan dia sudah menikah, kayaknya perempuan memang minim akses, saya ga tahu apakah perempuan itu tidak dikenalkan keapda keluarganya, tapi perempuan memang keterbatasan akses informasi atas pasangannya, itu yang digambarkan, atau memang pola skenario atau settingnya perempuan dibuat lemah ga tahu apa-apa, kemudian minta tolong kepada Termehek-mehek kemudian dicarikan.”179 Anita Widya juga menambahkan beberapa hal yang mengindikasikan
lemahnya
akses
perempuan
dalam
penggambaran Termehek-mehek. Seperti yang dikatakannya berikut ini:
179
Hasil Wawancara Anita Widya 29 Maret 2010
200
“Menurut ku ini, mereka selain minim juga mudah dibohongi ya? Cuma perempuan kalau digambarkan ketoke kok pasrah, tidak diberikan akses, seolah-olah dibuat tidak tahu menahu, pokoknya dia dibuat tidak punya akses, sangat tidak tahu menahu dan ketoke dia kurang waspada, eh bukan yaa, pokoknya perempuan itu tidak mikir panjang gitu”,180 Selain Anita Widya, minimnya akses informasi juga dikatakan oleh Ikmah Choirul Nisa berikut: “Kalau melihat cerita dari acara ini yaa perempuan tidak punya akses lagi untuk kemana-mana akhirnya ia lapor termehek-mehek, ia memasukkan ceritanya ke acara ini. Mungkin kalau nyari sendiri, nyari ke mana, yo blank lah, misal kita mau nyari, tapi kita ga tau jalan mau kemana, ga tau kesananya, kasihan juga”181 Anisa Rohmah melihat lebih jauh lagi akses informasi pada perempuan dengan membandingkan dengan realita yang ada. Seperti yang diungkapkannya berikut ini: “Menurut saya proses dramatisasinya disitu ya, in real world, saya sebagai wanita, melihat teman-teman saya yang sesama wanita ga gitu-gitu banget kali ya, soalnya era komunikasi apa sih, telepon, ada facebook, bahkan ada yang melamar lewat facebook, itu kan era keterbukaan informasi, masa iya sih orang sampai menghilang, padahal udah berhubungan beberapa tahun. Ga mungkin banget lah, orang juga punya temen kok. Harusnya perempuan memiliki kesempatan itu, tapi yang digambarkan di Termehek-mehek itu, nggak kayak gitu, mereka sudah bilang menghubungi macem-macem dan sebagainya. Padahal menurut saya, tidak sesulit itu kok hubungan dengan pasangan kita.”182
180
Hasil Wawancara Anita Widya 29 Maret 2010 Hasil Wawancara Ikmah Choirul Nisa 15 Maret 2010 182 Hasil Wawancara Anisa Rohmah 9 Maret 2010 181
201
IV.B.2.2.2.1.2
Hiperealitas
Minimnya
Kontrol
Informasi
Terhadap
Pasangan Minimnya kontrol informasi perempuan terhadap pasangan menurut beberapa konsumen awam sebenarnya perempuan memiliki kontrol itu namun terkesan memang mengandung motif tertentu dalam penggambaran dalam setiap tayangannya. Seperti yang diungkapkan Anisa Rohmah berikut: “Saya kira sebenarnya mudah ya dalam kontrol informasi, dibantu dia sudah mendapatkan informasi saya rasa sangat mudah, tinggal si wanita itu mau atau tidak, jadi kalau dia sudah benar-benar cinta seperti yang digambarkan Termehek-mehek harusnya dia sudah maju duluan, ga perlu diusahain dicari-cariin lewat televisi. Jadi kalau cewek ini tidak mau dan lebih mementingkan harga diri, ya sudah lupakan saja gitu, tapi kalu kasusnya si cewek ini cinta banget dan ingin mencari si lelaki itu”183 Anisa menambahkan beberapa indikasi yang memang menyiratkan beberapa motif dibalik penayangan penggambaran minimnya kontrol informasi dalam Termehek-mehek. Seperti diungkapkan oleh Anisa berikut ini: “Saya kira sebenarnya sangat mudah, tidak sesulit itu, bukan hanya di Termehek-mehek ya, kadang saya heran di acara lain yang ngikutin pasangannya saya kira itu ada maksud lain itu lho, maksud lain ingin masuk TV, kalau kita ada di kondisi seperti itu, kenapa tidak sendiri. Saya kira itu kan mudah, ga perlu malu, kita juga punya temen, kita punya link, ga perlu malu dan sangat mudah. Toh juga tahu kantornya. Kalau memang benar-benar cinta, kenapa tidak mencari sendiri, kenapa harus pinjam mobil Termehek-mehek untuk menunggu di kantornya.”184
183 184
Hasil Wawancara Anisa Rohmah 9 Maret 2010 Hasil Wawancara Anisa Rohmah 9 Maret 2010
202
Endang
Sukartiningsing,
ibu
rumah
tangga,
juga
menyebutkan adanya motif ekonomi (bisnis media) dalam penggambaran minimnya kontrol informasi perempuan atas pasangan. Seperti yang diungkapkannya berikut ini: “Mungkin kehilangan orang tua itu bisa saja ya kalau dari kecil, tapi kalau masalah keluarga ya, asal ada komunikasi, harusnya ngerti yang laki kerja dimana, temen-temennya siapa, tentu ga sampe segitunya lah. Itu kan namanya berlebihan untuk menarik penonton saja itu, kalau tidak begitu kan tidak menjual, tidak ada nilai jualnya.185 IV.B.2.2.2.1.3
Hiperealitas Minimnya Akses dan Kontrol Terhadap Kejelasan Hubungan Minimnya akses dan kontrol terhadap kejelasan hubungan menurut beberapa konsumen awam memang mengandung hiperealitas. Penggambaran akses dan kontrol perempuan terkadang berada dalam titik yang berlebihan.
IV.B.2.2.2.1.4
Hiperealitas
Minimnya
Akses
Terhadap
Kejelasan
Hubungan Hiperealitas minimnya akses terhadap kejelasan hubungan tampak hadir dalam tayangan Termehek-mehek seperti yang diungkapkan oleh Endang Sukartiningsih berikut ini: “Tapi nek tak pikir-pikir jalan ceritanya kadang berlebihan juga ya, sampe ga ngerti gimana, tapi kalau itu kejadian bener-bener bukan di Termehek-mehek, kenapa dia harus nyari-nyari, kalau saya gitu, pada prinsipnya
185
Hasil Wawancara Endang Sukartiningsih 11 Maret 2010
203
kalau kita belum ada ikatan apa-apa, ngapain, harga diri kita kemana.”186 Endang menilai dalam kehidupan sehari-hari harusnya perempuan tidak perlu terlalu mencari-cari seperti yang digambarkan oleh Termehek-mehek. Karena sesungguhnya perempuan bisa menentukan kejelasan hubungan tanpa perlu ada pasangan. IV.B.2.2.2.1.5
Hiperealitas
Minimnya
Kontrol
Terhadap
Kejelasan
Hubungan Minimnya kontrol terhadap kejelasan hubungan dari kacamata konsumen ekspert tampak dari penjelasan mereka tentang penggambaran perempuan yang kerap kali tidak diberitahu tentang kejelasan hubungan pasangan dengan perempuan lain. Seperti yang diungkapkan Karni Suparti, ibu rumah tangga, berikut ini: “Itu iya, yang kemarin kan juga begitu mas, nyari suaminya, tahu-tahu suaminya disana ngakunya ga punya istri. Akhirnya sama orang lain, padahal udah punya istri. Itu lah penggambaran perempuan di Termehek-mehek.”187 Karni melihat, perempuan di Termehek-mehek memang digambarkan sebagai sosok yang tidak tahu perilaku pasangan diluar. Dalam artian memang kontrol perempuan lemah atas kelanjutan kejelasan hubungan karena perilaku seperti yang digambarkan Termehek-mehek. 186 187
Hasil Wawancara Endang Sukartiningsih 11 Maret 2010 Hasil Wawancara Karni Suparti 31 Maret 2010
pasangan
204
IV.C KESIMPULAN Dalam bab yang membahas tentang pendapat produsen maupun konsumen ini, terlihat perbedaan antara produsen dan konsumen dalam memahami hiperealitas tayangan Termehek-mehek. Menurut produsen, tayangan Termehekmehek yang didasarkan pada cerita asli menjadi alasan untuk menyebut tidak adanya hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek. Walaupun terdapat talent (peran pengganti), setting waktu serta tempat dan bahkan penyutradaraan (directing) dalam tayangan Termehek-mehek. Sedangkan pada sebagian besar konsumen (terutama konsumen ekspert dan konsumen awam berlatarbelakang mahasiswi dan perempuan bekerja) melihat ada hiperealitas pada tayangan Termehek-mehek. Hal itu teridentifikasi dari beberapa ide cerita yang dinilai dibuat-buat dan masih kabur apakah benar terjadi atau hasil rekaan belaka. Konsumen juga menganggap proses penggantian peran lewat talent, setting waktu dan tempat serta penyutradaraan adalah proses hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek. Namun, patut menjadi catatan, juga terdapat konsumen awam (terutama berlatarbelakang ibu rumah tangga) yang masih ragu akan adanya hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek. Bahkan salah satu konsumen ibu rumah tangga mengganggap bahwa tidak ada proses hiperealitas dalam tayangan Termehekmehek. Semua tayangan adalah benar adanya. Tetapi semua konsumen sepakat terdapat relasi yang tidak setara dalam relasi perempuan dengan pasangan.
205
BAB V ANALISIS SOSIOKULTURAL: FAKTOR SITUASIONAL, SOSIAL DAN IDEOLOGI YANG MEMPENGARUHI TEKS TAYANGAN TERMEHEK-MEHEK Norman Fairclough menjelaskan terdapat tiga tahap analisis yang digunakan dalam melakuakan analisis wacana.188 Pertama, deskripsi yang menjelasakan isi teks secara deskriptif dan tidak ada hubungan dengan aspek lain. Kedua, interpretasi, yaitu menafsirkan teks dihubungkan dengan praktik wacana yang dilakukan. Dalam hal ini adalah membedah bagaimana tahap produksi dan konsumsi teks melakukan penafsiran atas teks. Ketiga, eksplanasi, bertujuan mencari penjelasan atas hasil penafsiran kita pada tahap kedua. Penjelasan ini bisa didapat dengan mengaitkan antara produksi teks dengan praktik sosiokultural dimana media tersebut berada. Tahap ketiga ini lah yang disebut dengan analisis sosiokultural atau analisis atas konteks sosial dimana sebuah teks diproduksi. Konteks sosial dalam penelitian ini tidak kalah pentingnya dengan analisis teks dan discourse practise pada bab sebelumnya. Jika analisis teks adalah level mikro dalam penelitian ini, maka analisis sosiokultural merupakan level makro dalam penelitian ini. Sedangkan discourse practise yang dibedah dalam bab sebelumnya adalah penghubung antara level mikro pada analisis teks dan level makro pada analisis sosiokultural.
188
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal 327.
206
Fairclough juga membuat tiga level analisis dalam analisis sosiokultural: level situasional, institusional dan sosial.189 Level situsional menjelaskan konteks situasi dalam bingkai peristiwa dalam waktu tertentu pada proses produksi teks tersebut. Level institusional lebih mengarah pada peran institusi terkait dalam proses produksi teks. Institusi bisa berupa institusi internal tempat teks diproduksi ataupun insitusi eksternal (institusi lain) yang berhubungan dengan produksi teks. Sedangkan level sosial menjelaskan bagaimana konteks sosial dan budaya yang berlaku pada waktu itu mempengaruhi proses produksi teks. Pada level discourse practise sebelumnya peneliti menemukan bahwa hasil analisis peneliti tentang hiperealitas relasi tidak setara pada perempuan yang ditampilkan tayangan Termehek-mehek cenderung sepaham dengan konsumen teks. Baik konsumen awam maupun konsumen ekspert. Namun dengan produsen teks, peneliti menemukan terdapat beberapa perbedaan mendasar dalam memaknai dan menafsirkan hiperealitas relasi tidak setara pada perempuan. Adanya kesamaan maupun perbedaan dalam memaknai hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek pada peneliti, konsumen maupun produsen tentu tak lepas dari cara pandang dalam membaca teks tayangan Termehek-mehek. Pembacaan atas teks ini pun pasti terkait dengan wacana apa yang dipahami oleh pembaca teks berkaitan dengan konteks sosial dan budaya dimana pembaca teks berada. Memahami wacana teks pada akhirnya merupakan manifestasi dari suatu kerangka berpikir yang bekerja dalam benak pembaca teks tersebut. Sebuah
189
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,(Yogyakarta: LKiS, 2001), hal 322.
207
kerangka berpikir tentu memiliki landasan ide yang kuat. Pada tahap inilah, ideologi bekerja sebagai sebuah landasan ide yang menentukan cara pandang pembaca teks dalam memahami wacana yang dihadirkan sebuah teks. Dalam arti lain, ideologi memegang peranan penting dalam menentukan cara pandang ketika membaca teks. Louis Althusser memberikan batasan tentang apa yang disebut sebagai ideologi. Menurut Althusser, tidak ada ideologi yang tidak melalui subjek dan demi pelbagai subjek.190 Ideologi harus melalui subjek untuk merepresentasikan ideologi tersebut. Karena selama ideologi tidak direpresentasikan
oleh
subjek,
ia
hanya
akan
berupa
ilusi
semata.
Merepresentasikan ideologi, demikian Althusser, juga harus demi sebuah subjek. Dalam pengertian, ketika sebuah ideologi direpresentasikan dalam bentuk apapun, ideologi itu pasti memiliki motif-motif dasar yang melatarbelakangi representasi ideologi tersebut. Untuk lebih mudah memahami ideologi, Althusser memberi contoh. Ia mencontohkan penerapan ideologi religius Kristen pada masyarakat yang menganut ideologi ini. Bagi Althusser, ideologi religius Kristen direpresentasikan oleh subjek-subjek yang tidak sedikit. Seperti Injil, Yesus dan murid-muridnya seperti Petrus, sampai pada para Paus. Tidak lupa juga direpresentasikan juga oleh semua ritual Kristen seperti pembabtisan, pengesahan, perjamuan, pemberian minyak suci, dan lain-lain. Kesemua subjek tersebut merepresentasi dan mengejawantahkan ideologi religiusitas Kristen. Lalu demi siapa ideologi ini hadir? Althusser menjelaskan tentu terdapat sesuatu yang besar untuk 190
Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme, Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2004), hal 47.
208
melatarbelakangi hadirnya sebuah ideologi yang besar seperti ideologi religius Kristen. Sesuatu itu adalah Subjek Lain yang unik dan mutlak, yakni Tuhan.191 Singkatnya, Althusser mengatakan bahwa ideologi adalah sistem representasi: yang satu mendefinisikan yang lain.192 Jadi makna-makna dan nilainilai yang direpresentasikan tentu sama dengan hasil representasi itu sendiri. Proses representasi ini tentu memerlukan sebuah media, dan televisi lewat acaraacaranya telah memainkan peran yang baik sebagai media representasi ideologi. Seperti dalam tayangan Termehek-mehek misalnya. Dalam pembacaan teks seperti tayangan Termehek-mehek tentu terdapat ideologi-ideologi yang melatarbelakangi lahirnya teks ini. Dan juga jelas akan hadir
bentuk-bentuk
representasi
dari
ideologi-ideologi
tersebut
dalam
keseluruhan tayangan Termehek-mehek. Jika kemudian dikonversikan dalam beberapa level pada tahap analisis sosiokultur seperti yang digariskan Fairclough, maka ideologi-ideologi yang melatarbelakangi teks tergambar dari faktor sosial dan bentuk representasi ideologi tergambar dari faktor situasional. Dengan demikian, kesemua level dalam analisis sosiokultural tentu tak akan lepas dari ideologi-ideologi. Dan televisi merupakan agen atau pembawa ideologi tersebut. Mustahil untuk tidak mempertimbangkan ideologi ketika memahami televisi, dalam semua aspeknya.193 Lebih lanjut, untuk melihat ideologi apa saja yang bekerja dan direpresentasikan lewat beberapa faktor
191
Ibid. hal 56 Althusser dalam Graeme Burton, Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi,(Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal 291. 193 Grame Burton, Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi, (Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2007), hal 36 192
209
sosiokultural yang turut membentuk teks tayangan Termehek-mehek, peneliti akan membaca analisis sosiokultural dengan menjawab pertanyaan berikut ini: 1. Apa latarbelakang proses produksi tayangan Termehek-mehek dan bagaimana faktor situasional lainnya bekerja dalam membentuk teks tayangan Termehek-mehek? 2. Bagaimana kecenderungan kondisi sosial budaya dan faktor sosial lainnya pada saat Termehek-mehek diproduksi? 3. Bagaimana kondisi institusi internal dan kondisi institusi eksternal dalam proses produksi tayangan Termehek-mehek? V.A FAKTOR SITUASIONAL Faktor situasional menjadi hal yang kemudian penting karena situasi dan konteks sosial tertentu menjadi pemicu hadirnya produksi wacana pada teks tersebut. Sehingga kalau wacana dipahami sebagai suatu tindakan, maka tindakan itu sesungguhnya adalah upaya untuk merespons situasi atau konteks sosial tertentu.194 Beberapa faktor situasional yang mempengaruhi proses produksi teks tayangan Termehek-mehek antara lain adalah adanya realita yang menggambarkan relasi tidak setara antara perempuan dan pasangannya. Situasi lain yang mempengaruhi adalah hiperealitas tayangan televisi yang memang sudah sampai pada tahap memprihatinkan. Kedua faktor situasional diatas lah yang menurut peneliti mempengaruhi proses produksi teks tayangan Termehek-mehek.
194
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,(Yogyakarta: LKiS, 2001), hal 322.
210
V.A.1
Relasi Tidak Setara Perempuan dengan Pasangan Perempuan dalam hal kehidupannya memiliki dua dimensi yang tidak bisa lepas, jenis kelamin (sex) dan gender. Yang pertama, adalah dimensi kehidupan perempuan yang memang suatu hukum alam (nature) yang terbentuk semenjak perempuan lahir seperti memiliki rahim dan saluran melahirkan, memiliki vagina, memproduksi telur dan memiliki alat menyusui. Semua hal yang bersifat biologis dan tidak bisa berubah secara permanen atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat). Dimensi kedua adalah dimensi gender yang merupakan sifat melekat pada perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Secara umum, dimensi gender adalah sifat yang melekat pada perempuan namun dapat dipertukarkan dengan laki-laki dan bisa berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat lainnya maupun dari suatu kelas ke kelas lainnya.195 Dimensi gender yang hadir pada perempuan merupakan suatu konsekuensi dari hadirnya perbedaan gender (gender different) antara laki-laki dan perempuan akibat konstruksi sosial dan kultur yang membentuk dimensi gender tersebut. Perbedaan gender yang melekat pada perempuan pada gilirannya membentuk suatu peran gender yang melekat pada perempuan. Misalnya, perempuan yang dipandang dari dimensi gender memiliki sifat lembut, cantik atau keibuan kemudian mendapat peran
195
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal 9.
211
gender (gender role) sebagai pendidik atau pengasuh anak dalam hubungan rumah tangga. Peran gender yang dialami perempuan semakin kentara ketika perempuan hadir dalam relasi dengan pasangannya (laki-laki) dalam setiap sisi kehidupan. Konstruksi sosial dan kultur yang membentuk konsep gender tersebut memang menciptakan peran gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran gender tersebut misalnya lebih menitikberatkan tugas domestik rumah tangga pada perempuan. Atau peran gender yang tidak melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan. Peran gender dan perbedaan gender sebenarnya bukan lah suatu masalah sepanjang
tidak
menghasilkan
ketidakadilan
gender
(gender
inequalities). Namun yang menjadi persoalan perbedaan peran gender telah melahirkan banyak ketidakadilan.196 Ketidakadilan tersebut pada tingkat
lebih
lanjut
akan
membuahkan
ketimpangan
atau
ketidaksetaraan gender bagi perempuan. Ketidaksetaraan ini pada gilirannya melekat dalam hampir setiap dimensi kehidupan perempuan. Tidak terkecuali pada relasi perempuan dengan pasangan. Relasi perempuan dengan pasangan juga menjadi hubungan yang tidak hanya kompleks namun juga memiliki akar sejarah yang panjang.
196
Ibid. hal 12
212
Sejarah relasi perempuan dan laki-laki bermula pada waktu manusia masih berpikir dengan sangat sederhana, mereka belajar dari yang mereka lihat dalam hidup. Mereka membutuhkan pembagian kerja untuk bertahan hidup. Mulai lah pembagian kerja tersebut atas dasar biologis. Dari sini muncul perbedaan jenis pekerjaan luar (publik) dan pekerjaan dalam (publik).197 Perempuan yang secara biologis terikat kodrat untuk melahirkan dan menyusui cenderung berada di pekerjaan dalam (domestik) yang tidak menuntut mobilitas tinggi seperti mengolah dan menyimpan makanan. Sedangkan laki-laki kemudian mendapat tugas pekerjaan luar seperti berburu dan mengusahakan makanan. Relasi seperti ini menempatkan perempuan cenderung berada dalam posisi yang tergantung dengan laki-laki dalam memperoleh makanan. Bentuk relasi ini ternyata berlanjut dalam kehidupan manusia berikutnya. Posisi laki-laki yang dominan dan menghegemoni melahirkan ideologi patriarki pada tataran ide. Dan membentuk pola ketergantungan perempuan dengan laki-laki pada tataran praktis. Pola ketergantungan ini berpengaruh dalam relasi perempuan dan laki-laki terlebih dalam bingkai laki-laki dan perempuan sebagai pasangan. Pola ketergantungan perempuan terhadap laki-laki menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam bingkai hidup berpasangan atau berumahtangga. Perempuan cenderung minim 197
A. Nunuk P Murniati, Getar Gender Buku Kedua (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga), (Magelang: IndoensiaTera, 2004), hal 79.
213
memperolah sumberdaya ataupun keuntungan dalam kehidupan berpasangan tersebut. Baik berupa materi maupun imateri. Kerangka Teknik Analisis Peran Gender memberikan panduan untuk melihat relasi perempuan dengan laki-laki dalam tingkatan mikro (rumah tangga). Salah satu komponennya adalah melihat profil akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya dan manfaat. 198 Sumber daya dan manfaat dalam pembacaan profil tersebut disesuaikan dengan kondisi dan situasi perempuan pada saat itu. Kondisi situasional perempuan seperti yang digambarkan tayangan Termehek-mehek menunjukkan perempuan lemah dalam akses dan kontrol atas sumber daya yang berupa informasi atas pasangan dan manfaat yang berupa kejelasan hubungan. Memakai analisis peran gender tersebut, pada analisis level teks terlihat relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan berpasangan. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang minim peluang dan kemampuan untuk mengolah informasi tentang pasangan atau untuk mengusahakan kejelasan hubungan. Relasi tidak setara perempuan dengan pasangan dalam tayangan Termehek-mehek,
menunjukkan
masih
berlanjutnya
pola
ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dan masih kuatnya
198
Pisau Bedah Gender, Tujuh Kerangka Analisis Gender dan Alat Perencanaan yang merupakan terjemahan bebas dari A Tool Kit: Concept dan Framework for Gender Analysis & Planning, OXFAM UK/I Gender Learning Team, 1996, terjemahan Miftahuddin, Fauzi Abdullah dan Roem Tomatimasang.
214
ideologi patriarki mempengaruhi pola pikir masyarakat. Ideologi patriarki ini sendiri akan dikaji lebih lanjut pada bagian faktor sosial. V.A.2
Hiperealitas Tayangan Televisi Sejak
tahun
1950an
dan
1960an,
pemrograman
televisi
berkembang pesat menjadi lebih dari sekedar keanekawarnaan narasi fakta dan fiksi; acara televisi menjadi ―teks sosial‖ bagi satu segmen masyarakat yang bertambah besar, serta berfungsi sebagai semacam kode tempat orang menangkap sebagian besar informasi, stimulasi intelektual, dan hiburan.199 Semenjak saat itu tayangan televisi menjadi semakin beragam. Raymond Willams mengelompokkan dua golongan besar dalam bentuk tayangan televisi. Pertama adalah bentuk tayangan televisi sebagai kombinasi dan pengembangan atas bentuk kultural terdahulu. Dan kedua adalah bentuk tayangan televisi sebagai bentukbentuk campuran dan baru.200 Bentuk pertama merupakan bentuk tayangan televisi konvensional yang merupakan pengembangan dari bentuk kultural yang sudah ada seperti koran, sinema, radio, drama, rapat umum, kelas belajar, kolom iklan dan lain-lain. Tayangan televisi yang seperti ini memiliki bentuk seperti berita, debat dan diskusi, pendidikan, drama, film, variety show, olahraga dan acara waktu senggang. Sedangkan bentuk tayangan kedua adalah bentuk tayangan televisi yang tidak hanya mengadaptasi bentuk kultural yang telah ada tetapi 199 200
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal 339. Raymond Willams, Televisi, (Yogyakarta: Resist Book, 2009), hal 54 dan hal 95.
215
sudah melalui sebuah proses inovasi baik dari sisi isi, bentuk maupun visualisasi. Contohnya seperti drama dokumenter, pendidikan dengan menonton, diskusi, feature, sekuen dan televisi itu sendiri. Bentuk tayangan televisi yang beragam tersebut tentu melalui proses produksi yang beragam pula. Mulai dari yang konvensional sampai yang melibatkan banyak teknologi produksi media. Terutama bentuk tayangan yang mengalami inovasi walaupun tidak menutup kemungkinan untuk bentuk tayangan konvensional. Hadirnya banyak teknologi produksi media ternyata berpengaruh pada bentuk tayangan televisi yang banyak menghadirkan realitas artifisial semata. Kehadiran teknologi produksi media ini masih ditambah lagi dengan konsepkonsep acara yang memang dirancang untuk menghadirkan sebuah realitas artifisial. Misalnya pada bentuk tayangan drama dokumenter. Pada tayangan drama dokumenter yang identik dengan drama reality atau reality show teknologi produksi media dan konsep rekayasa tayangan dihadirkan sekaligus. Aktor-aktor maupun orang-orang yang sedang direkam kehidupannya namun tempat dan kejadian telah di atur dan terjadi reka ulang pada lokasi dan kejadian. Sedangkan teknologi produksi media bermain lewat teknik editing. Pada titik ini, garis batas antara ‗realitas‘ dan ‗fiksi‘ telah dilewati ketika para aktor dihadirkan untuk kepentingan editing dan set lokasi ditambah untuk kepentingan syuting.201
201
Ibid. hal 99
216
Ketika realitas dan fiksi ini bercampur maka semakin sulit untuk membedakan antara realitas dan nonrealitas. Kondisi seperti ini lah yang disebut dengan hiperealitas. Ketika realitas yang ditampilkan televisi adalah realitas artifisial belaka. Piliang menyebut realitas artifisial sebagai realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sedemikian rupa, sehingga pada tingkat tetentu realitas media ini tampak
(dipercaya)
sebagai
lebih
nyata
dari
realitas
yang
sesungguhnya.202 Teknologi simulasi yang dimaksud adalah teknologi yang menciptakan realitas media dengan tidak merujuk atau mengacu pada realitas di dunia sebagai referensi. Ia menjadikan dirinya sendiri sebagai referensi. Sampai pada titik ini, Burton mengingatkan bahwa televisi sebagai sebuah media komunikasi semata-mata merupakan sesuatu yang artifisial. Televisi tidak memiliki realitas kecuali apa yang kita yakini.203 Realitas artifisial yang dihadirkan televisi ini pada gilirannya akan menghadirkan sebuah hiperealitas media. Dimana kesemuan dianggap lebih nyata dari kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran; isu lebih dipercaya ketimbang informasi dan rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Hiperealitas media ini lah yang merasuki sebagian besar bentuk konsep acara televisi dewasa ini termasuk tayangan Termehek-mehek.
202
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal 141. 203 Graeme Burton, Membincangkan Televisi, Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi, (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal 235.
217
Keinginan untuk menghadirkan tayangan yang dekat dengan realita membuat sebagian besar tayangan televisi terjebak dalam alam hiperealitas. Dari awalnya tayangan televisi yang hanya refleksi dari realita, kemudian berkembang menjadi representasi realita dan pada akhirnya malah berbentuk simulasi realita. Pada tahap simulasi ini, televisi menciptakan realitanya sendiri, yang berbeda dan tak ada hubungan dengan realita di dunia nyata. Semua realita itu hanya ada di realita media. Termasuk tayangan Termehek-mehek, sejumput realita tentang relasi perempuan dengan pasangan
yang dihadirkan Termehek-mehek dalam kisah-kisah
pencariannya ternyata banyak yang tidak berhubungan dengan kenyataan sesungguhnya di kehidupan sehari-hari. Penelitan di tahap teks dan level konsumen menunjukkan beberapa perbedaan tersebut. Seperti perempuan yang dikesankan tidak memiliki akses dan kontrol atas informasi dan kejelasan hubungan dengan pasangannya. Kesemua hal tersebut tergambar dari ide cerita samapi acting talent yang dihadirkan oleh Termehek-mehek. Peneliti maupun konsumen berpendapat bahwa hiperealitas dalam bentuk dramatisasi yang dihadirkan Termehek-mehek mencakup hampir semua hal, mulai dari ide cerita, acting talent, sampai setting latar tayang. Hiperealitas itu terus
berlanjut
ketika perempuan banyak
digambarkan dalam posisi yang lemah dan terlemahkan. Posisi perempuan yang tidak menguntungkan ini ternyata erat hubungannya
218
dengan bisnis media dan ideologi kapitalisme yang dianut oleh media massa. Penduduk Indonesia yang mayoritas perempuan dan posisi perempuan yang cenderung lebih domestik membuat perempuan menjadi target penonton utama dari tayangan Termehek-mehek. Dan isi tayangan yang paling diminati perempuan tentu tontonan yang menghadirkan kehidupan perempuan lengkap dengan problematika hidup mereka. Karena perempuan diposisikan seolah-olah menonton dirinya sendiri, sehingga empati akan sesama perempuan tentu akan lebih mudah muncul. Hal ini lah yang coba diangkat oleh Termehek-mehek. Namun sayang realita yang dihadirkan Termehek-mheek ternyata berbeda dengan realita yang ada di kehidupan nyata. Realita yang ada di Termehek-mehek tidak merujuk kepada referensi apapun, kecuali pada realita itu sendiri. Penonton kesulitan menentukan mana tayangan yang realitas dan nonrealitas, karena tayangan yang nonrealitas tampak seperti realitas itu sendiri. Kondisi seperti ini lah yang disebut hiperealitas. Dan Termehek-mehek termasuk dalam kategori ini. V.B FAKTOR SOSIAL DAN IDEOLOGI Faktor sosial menjadi faktor berikutnya yang mempengaruhi peneliti, produsen maupun konsumen teks dalam menafsirkan teks. Jika pada faktor situasional lebih melihat pada kondisi penafsir teks pada saat teks dibuat, faktor sosial lebih menekankan pada kondisi sosial kemasyarakatan pada saat teks dibuat. Singkatnya, jika faktor situasional lebih melihat pada
219
kondisi internal dan faktor sosial lebih melihat pada kondisi eksternal atau realitas sosial pada teks dibuat. Kondisi eksternal atau realitas sosial pada saat teks dibuat tentu tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang melatarbelakangi produksi teks tersebut. Sebab dalam menciptakan realitas sosial pasti terdapat tujuan dan motivasi. Realitas sosial dalam pandangan Max Weber dilihat sebagai perilaku sosial yang memiliki makna subjektif. Itu artinya setiap perilaku pasti memiliki tujuan dan motivasi. Dan sesuatu yang memiliki tujuan dan motivasi tentu terdapat ideologi yang bersemayam didalamnya. Seperti yang disebutkan Althusser, bahwa sebuah ideologi pasti memiliki subjek yang menyebabkan (motivasi) dan bentuk representasi (tujuan) dari ideologi tersebut. Dengan demikian dalam melihat faktor sosial dalam tayangan Termehek-mehek, faktor ideologi juga tidak bisa dilepaskan begitu saja. Peneliti melihat ada dua ideologi besar yang mempengaruhi hadirnya faktorfaktor sosial dalam tayangan Termehek-mehek. Yaitu ideologi patriarki dan ideologi kapitalisme. Selain itu, peneliti juga mengkategorikan kedua ideologi ini bergerak dalam dua konteks besar industri televisi. Teks televisi dan khalayak televisi. Televisi dan Teks Media massa seperti televisi selain menjadi media penyampai pesan kepada khalayak juga mempengaruhi khalayak sebagai dampak dari penyampaian pesan tersebut. Proses keterpengaruhan khalayak tersebut adalah sebuah kontinum. Sebuah level bertingkat. Keterpengaruhan tersebut
220
mulai dari perubahan persepsi, perubahan sikap sampai pada mengubah pola perilaku. Tingkatan yang lebih tinggi, kehadiran televisi mengubah rutinitas bahkan kebudayaan dari suatu masyarakat. Pada titik ini lah televisi telah menjadi sebuah teks sosial. Marcel Danesi dalam hal ini mendefinisikan televisi sebagai teks sosial merupakan sebuah teks yang serba melingkupi, dan satu kebudayaan penuh mengambil makna darinya untuk rutinitas keseharian mereka.204 Dalam pengertian sederhana, televisi sebagai teks sosial telah menjadi referensi atau rujukan dari suatu kebudayaan untuk melakukan rutinitas keseharian. Misalnya, seorang pencinta sepakbola yang ingin menonton tayangan sepakbola dini hari akan tidur dahulu disiang hari sebelum bangun malam untuk menonton tayangan sepakbola. Disini televisi telah mengubah pola tidur seseorang. Pada konteks yang lebih luas, televisi telah mengatur jadwal keseharian masyarakat. Bangun pagi, masyarakat sudah disodori tayangan informasi mulai dari berita, tayangan infotainment, olahraga sampai gaya hidup. Beranjak siang adalah tayangan musik atau tayangan-tayangan lain dimana pemirsa bisa menikmatinya tanpa melihat televisi. Karena pada jam-jam tersebut merupakan jam produktif masyarakat. Sore hari, pada saat jam produktif sudah agak berkurang, tayangan informasi ringan seperti infotainment mulai banyak menghiasi televisi. Malam hari yang biasanya
204
Marcel Danesi, Pesan, Tanda dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal 349
221
disebut ―prime time‖, tayangan-tayangan untuk keluarga seperti kuis, tayangan komedi ataupun sinetron paling banyak muncul. Bentuk-bentuk acara ini tentu telah mendorong pola hidup masyarakat untuk mengikuti pola tayang televisi. Tidak sedikit masyarakat yang mempercepat perjalanan pulang dari kantor agar tidak terlambat menonton tayangan sinetron kesayangan. Atau menyesuaikan waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan waktu tayang infotainmen. Sehingga ketika menonton infotainmen tidak memiliki tanggungan pekerjaan yang belum selesai. Sebagai individu yang paling sering berada dalam sektor domestik, perempuan tentu paling banyak terkena terpaan tayangan televisi. Sehingga tentu perempuan yang paling banyak terpengaruh pola teks sosial yang disajikan televisi. Televisi sebagai teks sosial tidak hanya mengubah pola rutinitas perempuan namun juga mengubah pola pemahaman fenomena sosial yang dihadirkan televisi. Pada tayangan Termehek-mehek misalnya, fenomena sosial berupa posisi perempuan yang kerap kali ditampilkan lemah, tidak berdaya atau dan selalu menjadi subordinasi laki-laki semakin menguatkan opini bahwa perempuan memang sosok yang lemah bahkan dimata perempuan sendiri. Televisi dan Khalayak Sosok khalayak televisi atau penonton televisi pun menarik disimak. Menonton televisi memang sebuah kegiatan yang khusus. Menonton televisi tidak bisa sambil lalu seperti mendengar radio. Ataupun tidak bisa
222
sekehendak hati dalam menentukan ingin menonton program apa dan jam berapa seperti membaca surat kabar yang bisa dilakukan sewaktu-waktu. Menonton televisi ―memaksa‖ kita harus berada didepan televisi untuk menikmati acaranya. Maka tidak heran, ruang untuk menonton televisi menjadi sebuah ruang yang istimewa. Disana ada kursi, sofa atau bahkan tempat tidur yang empuk. Tidak lupa pendingin ruangan dan makanan kecil untuk teman menonton televisi. Di beberapa keluarga, televisi berada di tempat yang bisa diakses seluruh anggota keluarga seperti ruang makan atau ruang keluarga bahkan ruang tamu. Tidak jarang televisi juga ditempatkan di kamar tidur sebagai pengantar tidur. Maka tidak heran jika Don De Lillo dalam bukunya White Noise mengatakan untuk sebagian besar orang didunia, hanya ada dua tempat terpenting di dunia, yaitu tempat mereka hidup dan tempat meletakkan televisi.205 Di satu sisi, menonton televisi merupakan aktivitas membentuk dan dibentuk oleh berbagai bentuk identitas budaya. Televisi adalah sumber bagi konstruksi identitas budaya sebagaimana penonton menjalankan identitas budaya dan kompetensi budaya mereka untuk mendecode program dengan cara tertentu.206 Sedangkan di sisi lain, ruang rutinitas aktivitas perempuan yang lebih banyak di dalam rumah dan ruang meletakkan televisi yang umumnya berada diruang domestik memang semakin memacu perempuan untuk menjadi penonton setia televisi.
205
Don De Lillo dalam Garin Nugroho, Kekuasaan dan Hiburan, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), hal 9. 206 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hal 286.
223
Dengan demikinan, rutinitas perempuan dalam menonton televisi memiliki korelasi yang erat dengan konstruksi budaya yang ada dalam pola pikir perempuan sebagai penonton tersebut. Jika televisi, Termehek-mehek misalnya menghadirkan tontonan yang banyak mendeskreditkan perempuan atau menempatkan perempuan sebagai sosok yang tergantung dengan lakilaki, maka konstruksi ide dalam individu perempuan juga akan dijejali pemahaman tersebut. Pada tingkatan yang lebih jauh, jika konstruksi ide dalam pribadi-pribadi perempuan tadi meluas maka yang terbentuk adalah konstruksi budaya yang mengamini bahwa perempuan adalah sosok yang tersubordinasi, lemah-dilemahkan dan tergantung dengan laki-laki. Persis yang ditampilkan televisi. V.B.1
Pengaruh Ideologi Patriarki Dalam Teks Televisi Dalam teks televisi, ideologi patriarki bekerja dalam bentuk tayangan televisi yang bias gender sekaligus menjadikan perempuan sebagai objek tontonan. Sisi psikologi perempuan yang memancing empati dan fisiologi perempuan yang enak ditonton ditampilkan secara sangat baik oleh ideologi patriarki dalam teks televisi. Perempuan Sebagai Objek Tontonan Perempuan sangat lekat dan dekat dengan hiburan. Baik sebagai objek maupun sebagai subjek. Pada perkembangan awal, perempuan dominan hadir sebagai subjek ketika praktik konsumsi menjadi hiburan dan Perempuan menjadi konsumer utama budaya konsumsi. Dan dominan sebagai objek ketika hiburan berbentuk tontonan. Namun saat
224
ini, agaknya perempuan mulai didorong untuk menjadi subjek dan objek tontonan sekaligus. Pertanyaan mengapa perempuan ‗marjinal‘ di bidang produksi sering kali dijawab dengan argumen bahwa mereka ‗marjinal‘ di bidang produksi oleh karena dominan di dalam ‗tontonan‘ (spectacle). Marjinalisasi perempuan di dalam bidang produksi dan dominasi mereka sebagai obyek ‗tontonan‘ sering menjadi ideologi utama mediamedia, termasuk di Indonesia.207 Marjinalisasi dan pergeseran peran perempuan sebagai objek tontonan selain di Indonesia, bisa dilihat juga di Amerika yang program televisinya banyak dicontoh di Indonesia. Marc Jung-Whan de Jong mencatat pada dekade 1950an sampai awal 1960an peran perempuan di televisi lebih pada peran domestik. Sehingga pada dekade itu di program televisi Amerika dikenal premis perempuan adalah ibu rumah tangga. Namun pada pertengahan 1960an, perempuan mulai mendapat peran di luar rumah seperti resepsionis dan sekretaris di kantor. Pada 1970an-1980an peran untuk perempuan sudah semakin berani misalnya dengan peran sebagai detektif dalam serial televisi Charlie‘s Angel atau Police
Woman.
Mulai
1980an
sampai
sekarang
peran
dan
penggambaran perempuan sudah sangat beragam seperti detektif, Agen
207
Yasraf Amir Piliang dalam Idi Subandi Ibrahim dan Hanif Suranto (Ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Ruang Publik Orde Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), hal xiii
225
CIA (Alias), bebas dalam kehidupan seks (Sex and the City), fisik yang agresif (Xena: Warrior Princess), perempuan yang mempunyai karir yang sukses (Dinasty atau Murphy Brown) atau bahkan perempuan yang nonheteroseksual (The L Word atau Buffy the Vampire Slayer). Namun walaupun peran perempuan telah mengalami pergeseran yang signifikan, tapi hegemoni laki-laki atas peran perempuan tersebut masih tetap terpelihara. Bahkan identitas seksualitas perempuan masih tergantung selera dan minat laki-laki.208 Hiburan berbentuk tontonan tampaknya memang telah menjadi ideologi utama dari televisi. Hanya televisi yang sarat hiburan yang akan menjadi primadona pemirsa. Televisi yang menghadirkan hiburan dengan porsi yang dominan merupakan pilihan pertama penonton. Maka tidak heran kemudian setiap televisi berlomba-lomba untuk menghadirkan tontonan yang bisa memuaskan pemirsa. Posisi perempuan sebagai objek tontonan tidak lagi hanya semata-mata urusan fisik belaka. Eksploitasi perempuan dalam tontonan televisi saat ini telah memasuki sisi psikologis perempuan itu sendiri. Hal inilah yang coba dihadirkan Termehek-mehek. Dengan menggoda psikologis penonton perempuan yang mudah kasihan dan emosional, Termehek-mehek mencoba untuk menghadirkan sisi psikologis perempuan sebagai tontonan. Dengan demikian, Termehek208
Marc Jung-Whan de Jong, Encyclopedia of Gender and Society. Ed. Jodi O'Brien. (Vol. 1; Thousand Oaks, CA: Sage Publications Inc, 2009), hal 374-378.
226
meehek tidak hanya menjadikan perempuan sebagai objek tontonan namun juga subjek penonton sekaligus. Maka jadilah perempuan terjebak dalam dunia hiburan televisi. Kondisi situasional dimana perempuan menjadi subjek dan objek tontonan sekaligus, pada akhirnya menempatkan perempuan menjadi sosok yang tidak diuntungkan. V.B.2
Pengaruh Ideologi Kapitalisme Dalam Teks Televisi Ideologi kapitalisme berpengaruh dalam teks televisi dengan lingkaran industri budaya yang diciptakannya. Mulai dari menjadikan hiburan sebagai kebutuhan berlebihan manusia, mengkreasikan hiburan sebagai tontonan dalam bentuk budaya pop. Sampai memadukan hiburan, tontonan dan budaya pop menjadi industri budaya televisi. Televisi Sebagai Industri Budaya Budaya dalam perkembangannya tidak hanya bertahan dalam ruang-ruang privat kalangan tertentu, namun telah meluas menjadi konsumsi publik. Perkembangan budaya yang menjadi konsumsi publik sedikit banyak menyeret budaya ke arah komersialisasi. Sebab budaya harus diproduksi massal agar bisa dinikmati oleh banyak orang. Tetapi sayangnya pemassalan budaya ini malah terjebak pada komersialisasi bahkan industrialisasi budaya. Adorno dan Horkheimer dalam Culture Industry-Dialectic Enlighment as Mass Deception menyebut industri budaya sebagai proses mengubah produk budaya menjadi komoditas dengan tujuan mencari uang atau untuk menghibur khalayak. Maka dalam industri
227
budaya, sesuatu seperti buku, lukisan ataupun lagu diubah menjadi film, poster atau rekaman.209 Perubahan menjadi bentuk-bentuk tersebut bertujuan untuk melanggengkan industri budaya, mengubahnya menjadi semata-mata urusan bisnis dan pada akhirnya memperkaya kaum kapitalis.
Adorno
dan
Horkheimer
bahkan
dengan
tegas
mengatakan‗film dan radio tidak perlu berpura-pura sebagai seni. Sebenarnya mereka hanyalah bisnis yang dijadikan ideologi untuk menjustifikasi sampah yang mereka produksi secara bebas.210 Dengan demikian, perkembangan industri budaya tentu tidak bisa dilepaskan dari media. Televisi misalnya memegang peranan penting dalam menyebarluaskan budaya yang sudah dikomersialisasikan tersebut. Dalam pengertian Adorno dan Horkheimer, televisi ikut memproduksi dan mendistribusikan ‗sampah‘ budaya tersebut. Lebih lanjut, Adorno dan Horkheimer menyebut bahwa semua proses produksi dan distribusi tersebut adalah proses bisnis semata. V.B.3
Pengaruh Ideologi Patriarki Terhadap Khalayak Televisi Dalam konteks khalayak, ideologi patriarki bekerja lewat pelestarian ketidakadilan gender dalam realitas sosial. Suatu hal yang meninspirasi sekaligus melatarbelakangi hadirnya teks televisi yang bias gender. Lebih dari itu, ketidakadilan gender dalam realitas sosial juga menggiring khalayak untuk mengamini bahwa ketidakadilan
209
Adorno dan Horkheimer dalam Keith Tester, Media, Budaya dan Moralitas, (Yogyakarta: Juxtapose dan Kreasi Wacana, 2003), hal 69. 210 Ibid. hal 70.
228
gender adalah hal yang lumrah, sebab ia hadir di televisi, juga hadir di realitas sosial. Ketidakadilan Gender Dalam Realitas Sosial Patriarki secara harfiah berarti kekuasaaan bapak atau ‗patriarkh (patriarch)‘. Mulanya patriarki digunakan untuk menyebut suatu jenis ‗keluarga yang dikuasai kaum laki-laki‘. Sekarang istilah ini digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai dengan berbagai cara.211 Kehadiran patriarki semakin melegalkan segala macam bentuk hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki diposisikan lebih superior terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan, baik domestik maupun publik. Hegemoni laki-laki atas perempuan memperoleh legitimasi dari nilai-nilai sosial, agama, hukum negara dan sebagainya, dan terisolasi secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Hegemoni, sebuah konsep ideologi yang membenarkan penguasaan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya.212 Hegemoni sendiri dipopulerkan oleh seorang filosof Italia, Antonio Gramsci. Konsep hegemoni berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi materail dari sarana ekonomi dan relasi produksi tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Yang 211
Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996) hal 1. Muhadjir Darwin (Ed), Menggugat Budaya Patriarki, (Yogyakarta: Riset Penelitian Pendidikan Universitas Gadjah Mada, 2001), hal 24. 212
229
pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan mematuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilainilai tertentu, sedang yang kedua meliputi perluasan dan pelestarian kepatuhan aktif (secara sukerala) dari kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Dengan demikian proses hegemoni bekerja melalui cara kerja yang tampak wajar.213 Hegemoni laki-laki yang terus menerus ini akhirnya melahirkan ideologi patriarki. Salah satu dari ideologi hegemoni yang ada. Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan ditambah hegemoni laki-laki lewat ideologi patriarki semakin membuat perempuan dalam posisi yang memang tidak menguntungkan. Laki-laki memegang kontrol atas perempuan baik dalam kehidupan domestik maupun publik. Kontrol laki-laki terhadp perempuan semakin terlihat dalam kehidupan rumah tangganya. Sylvia Walby menjelaskan dalam apa yang disebutnya ‗mode produksi patriarkal‘, kerja perempuan diperas oleh suami-suami dan orang-orang lain yang hidup di dalam kehidupan rumah tangga. Sepanjang hidupnya, dalam rumah tangga, perempuan memberikan
pelayanan
untuk
anak-anak,
suami
dan
anggota
keluarganya.214 Bahkan pada tingkat lebih lanjut, kontrol laki-laki atas perempuan sampai pada proses produksi ekonomi. Dimana laki-laki memiliki 213
Mahendra Wijaya, Globalisasi, Media Televisi dan Perubahan Sosial, Materi Kuliah Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UNS, Surakarta, 2009. 214 Kamla Bashin, OpCit hal 5.
230
kendali menentukan pekerjaan perempuan bahkan mengambil hasil pekerjaan perempuan. Selanjutnya, ideologi patriarki ternyata lebih banyak memberi kontribusi negatif bagi perempuan. Banyak hal-hal yang tidak menguntungkan perempuan seperti adanya beban kerja lebih pada perempuan, kekerasan pada perempuan, marginalisasi atau subordinasi pada perempuan. Jika dilihat lebih lanjut, perlakuan yang diterima perempuan atas ideologi patriarki ternyata merupakan bentuk manifestasi ketidakadilan gender. Mansour Fakih menyebut ada beberapa manifestasi bentuk ketidakadilan gender diantaranya adalah marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan dan beban kerja berlebih pada perempuan.215 Dengan demikian memang terlihat hubungan erat antara ideologi patriarki yang berkembang di masyarakat dan ketidakadilan gender yang diterima perempuan. Ideologi patriarki semakin menyuburkan praktik penciptaan kondisi yang tidak adil bagi perempuan. Setelah peran gender yang memang berbeda antara laki-laki dan perempuan sehingga menciptakan ketidakadilan gender, kemudian ditambah dengan lestarinya ideologi patriarki semakin membuat perempuan terpuruk. Realitas sosial yang demikian memang memicu perempuan untuk memiliki pengalaman dan pemahaman yang kurang lebih sama dengan realitas sosial yang mereka hadapi. Tidak terkecuali ketika perempuan 215
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal 12-23.
231
dihadapkan dengan realitas di televisi. Pada tayangan Termehek-mehek misalnya, ide cerita Termehek-mehek yang sering kali menjadikan perempuan sebagai sosok yang teraniaya, tidak mendapat ‗perlawanan‘ dari kaum perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan sudah menganggap bahwa realitas yang dihadirkan Termehek-mehek itu memang sejalan dengan realitas sosial sehari-hari mereka. Sampai pada titik terjauh, perempuan terkadang tidak sadar jika realitas yang ditampilkan televisi telah melebihi dan melebih-lebihkan dari realitas sosial sehari-hari. Sosok perempuan dibuat lebih teraniaya agar menimbulkan efek kasihan yang mendalam. Tidak lupa juga budaya patriarki yang mendukung hegemoni laki-laki terhadap perempuan dibuat lebih kuat lewat tayangan-tayangan yang mengangkat sisi ketergantungan perempuan kepada laki-laki yang berlebihan. V.B.4
Pengaruh Ideologi Kapitalisme Terhadap Khalayak Televisi Dalam konteks khalayak, ideologi kapitalisme menciptakan kondisi dimana perempuan juga dimanfaatkan sebagai subjek tontonan. Kapitalisme tahu betul bahwa perempuan adalah pasar potensial. Termasuk dalam industri hiburan. Maka jadilah perempuan sebagai konsumen utama hiburan khususnya televisi. Dimana perempuan dimanja dengan tontonan yang sesuai dengan ‗kebutuhan‘ mereka. Seperti dunia fashion, aktivitas publik figure dan tontonan lain yang sesuai atau disesuaikan dengan dunia perempuan.
232
Survey AGB Nielsen Media Research sejak Juli 2004 yang mengambil sembilan kota besar sebagai basis pengambilan sampel (Jakarta,
Bandung,
Medan,
Surabaya,
Makassar,
Yogyakarta,
Palembang dan Denpasar) menunjukkan penonton paling banyak pada kelas
C
(44%),
berusia
5-19
tahun
(33%)
dengan
status
pelajar/mahasiswa. Durasi yang dihabiskan di televisi rata-rata 3,5 jam per hari. Responden paling banyak menonton adalah wanita. Ibu rumah tangga paling banyak menghabiskan waktu di depan televisi 4,3 jam per hari.216 Perempuan: Konsumen Utama Televisi Sepertinya kapitalisme juga tahu betul bahwa perempuan adalah individu yang mudah berempati dan kasihan apalagi dengan sesama kaum perempuan. Maka hadirlah tayangan-tayangan yang menguras air mata dan menggugah rasa kasihan perempuan. Seperti tayangan Termehek-mehek
yang
menghadirkan
sosok
perempuan
yang
kehilangan orang-orang tersayang. Ketika penonton sudah terjerat kapitalisme dan masuk dalam kubangan industri budaya maka bisa dipastikan ada kepentingan komersial yang bermain dibaliknya. Fiske menjabarkan ada dua bentuk ekonomi dalam produksi dan konsumsi budaya yang saling berkaitan. Ekonomi produksi finansial dan ekonomi konsumsi budaya.217
216 217
Sunarto, Televisi, Kekerasan dan Perempuan,(Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS, 2009) Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004)
233
Dalam ekonomi produksi finansial, yang bermain adalah kekuatan modal produsen komoditas budaya tersebut. Kekuatan modal ini bermain secara halus sehingga konsumen komoditas budaya ini tidak menyadari bahwa mereka hanya dijadikan alat untuk menambah keuntungan finansial produsen. Konsumen komoditas budaya tersebut hanya sadar bahwa mereka sedang dihibur tanpa kemudian tahu jika tangan-tangan kapitalis memanfaatkan mereka. Pemanfaatan konsumen komoditas budaya ini tergambar dari ekonomi konsumsi budaya. Dimana penonton seolah-olah disuguhi tontonan budaya, padahal sebenarnya tidak lebih dari budaya yang sudah dikomodifikasi demi kepentingan kapitalis, para pemilik modal media tersebut. Kekuatan kekuasaan kapitalis yang tidak disadari penikmat komoditas budaya tersebut, atau biasa disebut hegemoni kapitalis bermain lewat berbagai bentuk tayangan. Dalam tayangan Termehekmehek misalnya, hegemoni kapitalis memanfaatkan perempuan sebagai ‗agen‘ untuk memperkaya kerajaan bisnis mereka. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah dan teraniaya. Penggambaran yang seperti ini tentu memancing empati dari penonton yang sebagian besar perempuan. Tujuan akhirnya jelas, banyaknya penonton akan membuat pengiklan melirik Termehek-mehek sebagai vehicle untuk memasarkan produk mereka. Semua itu tentu tidak lepas dari sebuah lingkaran bisnis media. Dalam hitungan bisnis media, waktu tayang pukul 18.00-22.59 atau
234
yang biasa disebut prime time, merupakan waktu dimana perempuan banyak
menonton
televisi.
Dengan
demikian
sebenarnya
sisi
keteraniayaan perempuan malah menjadi jualan Termehek-mehek untuk menaikkan rating atau dalam tujuan lebih besar lagi adalah untuk mengejar profit dalam bisnis media. Namun mereka mencoba membungkus ini semua dengan alasan untuk mengedukasi atau memberi contoh yang jelek sehingga masyarakat tidak akan melakukan hal yang sama. Termehek-mehek mengakui karena mayoritas penduduk Indonesia adalah perempuan dan 60 % penduduk Indonesia tidak lulus tingkat pendidikan sekolah dasar, maka mereka harus membuat penonton perempuan menyukai dulu tayangan mereka, baru kemudian memberikan pendidikan. Demikianlah hegemoni para kapitalis mau tidak mau ternyata memegang peranan yang cukup sentral dalam menentukan isi tayangan. Entah tayangan tersebut mempunyai nilai edukasi atau tidak yang jelas tayangan tersebut menjual. Dan industri budaya bisa terus bertahan, agar bisnis kaum kapitalis bisa terus berjalan.
235
BAB VI PENUTUP VI.A KESIMPULAN Wacana hiperealitas pada tayangan Termehek-mehek secara umum terdapat pada level teks, level produsen-konsumen maupun level sosiokultural. Dari hasil analisis, ditemukan: 1.a
Dalam analisis teks, hal tersebut tampak dalam beberapa tayangan Termehek-mehek yang menampilkan cerita yang tampak berlebihan dan tidak ada referensi dalam realita ketika menceritakan keteraniayaan
perempuan
terhadap
pasangannya.
Perempuan
digambarkan tampak lemah dan dilemahkan dalam tayangan Termehek-mehek demi mendongkrak jumlah penonton yang memang senang dengan tema keteraniayaan perempuan. 1.b
Hiperealitas relasi tidak setara perempuan terhadap pasangan tampak dari
analisis
gender
yang
dilakukan.
Terlihat
perempuan
digambarkan tidak mempunyai akses (kesempatan) dan kontrol (kemampuan) terhadap sumberdaya dan manfaat dari pasangan. Perempuan digambarkan tidak memperoleh akses dan kontrol terhadap informasi tentang pasangan dan terhadap kejelasan hubungan.
236
2
Dalam analisis produsen teks, produsen sengaja mengangkat sosok perempuan yang teraniaya dan dianiaya (dalam hal ini dengan pasangan) untuk menarik penonton, terutama penonton perempuan. Produsen teks meyakini tayangan televisi di Indonesia yang mengangkat sisi perempuan pasti laris karena kebanyakan penonton televisi di Indonesia adalah perempuan. Selain itu, posisi perempuan yang cenderung lebih domestik dan merupakan sosok yang mudah berempati dengan sesama perempuan menjadikan perempuan menjadi pasar paling potensial untuk tontonan yang mengangkat keteraniayaan perempuan.
3.a
Dari level konsumen ekspert, penafsiran konsumen mirip dengan penafsiran yang dilakukan peneliti, konsumen ekspert melihat terdapat hiperealitas relasi tidak setara perempuan terhadap pasangan. Sosok perempuan dilihat sebagai sosok yang teraniaya untuk mendongkrak jumlah penonton Termehek-mehek. Sebagian besar tayanagan Termehek-mehek juga dilihat memiliki sisi dramatisasi yang besar. Baik dari sisi cerita, talent, maupun setting tayang.
3.b
Dari level konsumen awam, beberapa konsumen awam masih bingung dalam menafsirkan tayangan Termehek-mehek. Konsumen awam, terutama yang berlatar ibu rumah tangga masih belum yakin benar apakah terdapat hiperealitas atau tidak dalam tayangan Termehek-mehek. Namun konsumen awam dari latarbelakang
237
mahasiswi dan perempuan karir (bekerja), yakin terdapat hiperealitas dalam tayangan Termehek-mehek. Sedangkan mengenai relasi tidak setara perempuan, semua konsumen dari mahasiswi, perempuan karir dan ibu rumah tangga semuanya melihat ada relasi tidak setara perempuan terhadap pasangan dalam tayangan Termehek-mehek. 4.a
Dalam analisis level sosiokultural yang melihat dari faktor situasional,
hiperealitas
dalam
tayangan
Termehek-mehek
terpengaruh oleh dua faktor situasional. Yaitu hiperealitas tayangan televisi yang masih dominan hadir di tengah masyarakat dan pola relasi perempuan dengan pasangan (yang cenderung merugikan perempuan) juga masih memiliki posisi yang kuat dalam mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Hiperealitas dalam tayangan televisi nampaknya memang tidak bisa terelakkan lagi. Sebagian besar tayangan televisi memang mengandung sebagian atau keseluruhan hiperealitas. Termasuk tayangan Termehek-mehek. Sehingga ketika kemudian hiperealitas hadir dominan dalam tayangan Termehek-mehek, semua itu tak bisa dilepaskan dari begitu menguatnya pengaruh hiperealitas dalam seluruh tayangan televisi. Relasi timpang perempuan dengan pasangan dalam kehidupan sehari-hari juga turut mempengaruhi kenapa kemudian tema keteraniayaan perempuan begitu dominan hadir dalam tayangan Termehek-mehek. Perempuan yang mengalami atau melihat relasi
238
tidak setara perempuan dengan pasangan dalam realitas sehari-hari, kemudian dihadapkan dengan kondisi yang sama dalam realitas media.
Hal
mempunyai
ini
menyebabkan
keterikatan
dan
televisi
saling
maupun
perempuan
membutuhkan.
Televisi
membutuhkan perempuan sebagai objek sekaligus subjek tontonan. Sedangkan perempuan membutuhkan televisi sebagai media yang menggambarkan secara gamblang relasi tidak setara yang mereka alami dalam realitas sehari-hari dalam bentuk realitas media. 4.b
Dari level sosiokultural yang melihat dari faktor sosial, terlihat ideologi bermain cukup dominan dalam tayangan Termehek-mehek. Yang paling utama adalah ideologi kapitalisme dan ideologi patriarki. Dua ideologi ini merasuk dalam setiap tayangan Teremehek-mehek. Selain itu, dua ideologi ini tidak hanya berpengaruh dalam level teks (tayangan) semata, namun juga sampai pada level khalayak (penonton). Ideologi kapitalisme bermain dalam level teks, dengan menjadikan televisi sebagai industri budaya. Kapitalisme menjadikan tayangan Termehek-mehek sebagai objek penghasil uang semata. Ideologi kapitalisme menjadikan relasi tidak setara pada perempuan sebagai ‗jualan‘ untuk mendongkrak penonton. Kapitalisme bersama televisi terus memproduksi budaya pop yang instan, komersil dan massal. Sedangkan dalam level khalayak, ideologi kapitalisme bermain dengan menjadikan perempuan sebagai subjek penonton
239
utama. Kapitalis tahu betul bahwa perempuan adalah pasar potensial televisi, sehingga dalam Termehek-mehek dihadirkanlah tontonan yang mengangkat relasi tidak setara pada perempuan dengan posisi perempuan yang teraniaya secara dominan. Ideologi patriarki bermain dalam level teks dengan mengadopsi manifestasi ketidakadilan gender secara baik. Sebagian besar tayangan Termehek-mehek diisi oleh berbagai bentuk ketidakadilan gender yang merugikan perempuan. Termehek-mehek menjadikan perempuan sebagai objek tontonan. Tidak hanya soal eksploitasi fisik semata, namun psikologis perempuan juga dieksploitasi. Televisi tahu perempuan adalah penonton utama, maka dengan latarbelakang ideologi patriarki yang kuat, televisi mengekploitasi sisi psikologis perempuan dengan menggambarkan ketidakberdayaan perempuan. Perempuan digambarkan tidak punya akses dan kontrol terhadap informasi tentang pasangan dan kejelasan hubungan. Sehingga makin tampak lah dominannya ideologi patriarki bermain dalam melahirkan ketidakadilan gender dalam tayanagan Termehekmehek. VI.B SARAN Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti menyarankan beberapa hal diantaranyam, pertama, agar penelitian tentang hiperealitas, televisi dan perkembangan budaya pop agar terus diperbanyak. Sebab problem seperti ini akan terus berkembang, seiring dengan perkembangan relasi sosial dan ideologi-
240
ideologi yang ada dalam masyarakat. Kedua, terhadap produsen tayangan televisi agar mulai berhenti menampilkan tayangan televisi yang sarat hiperealitas. Sebab saat ini hiperealitas tayangan televisi telah masuk dalam semua bentuk tayangan, dari reality show hingga tayangan berita. Produser televisi juga dituntut agar semakin kreatif dalam menampilkan tayangan yang mendidik masyarakat. Ketiga, untuk konsumen tayangan televisi, mari mulai mencerdaskan diri dalam menonton televisi. Untuk mulai memilih dan memilah tayangan televisi yang baik sekaligus mulai belajar mengidentifikasi dampak buruk dari tayangan televisi. Sebab kuasa penuh untuk menonton televisi atau tidak, itu ada ditangan kita, konsumen televisi.
241