MITOS IBU DALAM TAYANGAN REALITY SHOW IBU DI TRANS TV Oleh: Amanda Anindita Kirana (070915045) - A
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini berfokus pada mitos Ibu dalam tayangan reality show “Ibu” di Trans TV. Peneliti menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk menganalisis secara denotasi, konotasi dan mitos. Ibu yang digambarkan pada tayangan ini berperan ganda yaitu berperan dalam ranah domestik dan ranah publik. Ibu tidak hanya mengurus rumah tangga, namun seorang ibu juga mencari nafkah untuk keluarga. Peneliti melakukan analisis pada opening scene dan salah satu episode “Ibu” yang berjudul Supir Angkot. Tayangan dengan format reality show ini berusaha untuk menciptakan realitas mengenai ibu berdasarkan kisah nyata. Berdasarkan hasil penelitian, tayangan ini berusaha menampilkan mitos ibu terkait dengan domestifikasi peran ibu dan kehadiran peran ibu dalam ranah publik. Penggambaran kelas sosial bawah juga ditampilkan melalui setting tempat, rumah tinggal, pakaian dan pekerjaan yang ada dalam tayangan reality show Ibu. Kata Kunci: Mitos, Ibu, Gender, reality show, semiotika Roland Barthes
PENDAHULUAN Penelitian ini akan menganalisis mitos ibu dalam tayangan televisi reality show “Ibu” yang ditayangkan pada stasiun televisi Trans TV. Peneliti tertarik untuk meneliti tayangan ini karena tayangan ini menampilkan ibu yang bekerja dengan mencari nafkah untuk keluarga dengan melakukan pekerjaan yang identik dengan pekerjaan laki-laki. Ibu dalam tayangan ini selain harus mengurus kebutuhan rumah tangga, ibu harus mengurus keluarga serta mencari uang agar dapat menghidupi keluarga. Tayangan yang memiliki format reality show ini menarik pula untuk diteliti karena tayangan ini merepresentasikan realitas yang ada di masyarakat dan dibuat berdasarkan kisah kehidupan tokoh utama. Peneliti tertarik meneliti tayangan reality show karena tayangan televisi reality show menampilkan kisah nyata atau realitas namun tetap berdasarkan sudut pandang dari pembuatnya. Tayangan reality show ini juga
merepresentasikan realitas yang ada
masyarakat. Tayangan televisi reality show “Ibu” mengkonstruksi realitas mengenai ibu yang harus bekerja menafkahi keluarganya untuk menggantikan peran dari suami yang seharusnya mencari nafkah untuk keluarga. Peran ganda seorang ibu dikonstruksi melalui tayangan ini. Media massa mengkonstruksi realitas yang ada pada masyarakat dan menampilkan realitas pilihan media massa tersebut pada media massa seperti koran, majalah, radio
ataupun televisi. (Jemali, 2012) menyatakan mengenai media massa yang melakukan konstruksi terhadap realitas sebagai berikut : Realitas dikonstruksi oleh media dengan bahasa. Dan justru di sinilah persoalannya. Dalam menggunakan bahasa ini, kadang media tidak “netral”. Entahkah karena sebuah kepentingan, atau karena pertimbangan landasan nilai yang dikedepankan, media terjebak dalam penggunaaan bahasa yang tendensius (condong kepada suatu kepentingan). Dalam konteks ini, kita bisa menganalisis perempuan berdasarkan konstruksi media baik media cetak maupun media elektronik.
Melalui pernyataan dari Jemali tersebut, dapat diketahui bahwa media massa tidak selalu menampilkan realitas yang sebenarnya. Realitas yang dikonstruksi di media massa dengan bahasa bertujuan untuk menampilkan realitas yang diinginkan oleh media massa. Realitas tersebut berdasarkan pada suatu kepentingan yang dimiliki oleh institusi media massa. Perempuan selalu dikaitkan dengan ranah domestik, sedangkan laki-laki berada pada ranah publik. Posisi perempuan pada subordinat, membuat perempuan cenderung berada pada ranah domestik yaitu di rumah. Mosse (2007, p.106) menyatakan wilayah publik, yang terdiri dari atas pranata publik, negara, pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan, perbankan, agama dan kultur, di hampir semua masyarakat di dunia ini didominasi oleh laki-laki. Perempuan tidak memiliki hak untuk masuk ke dalam wilayah publik karena adanya dominasi oleh kaum laki-laki. Perempuan hanya dapat berpengaruh pada lingkup rumah, baik itu rumah susun, rumah besar di kawasan desa menengah yang makmur, atau gubuk di perkampungan kumuh (Mosse, 2007). Sebagai ibu yang bekerja, perempuan yang berada di ranah domestik, berkewajiban untuk mengurus segala hal rumah tangga termasuk anak dan melayani suami. Terkait dengan konsep ibu dan ibu bekerja sebelumnya, pada masyarakat Indonesia terdapat mitos-mitos mengenai ibu. Salah sebuah mitos gender yang tak kalah hegemonisnya adalah mitos tentang perempuan sebagai ibu: bahwa untuk menjadi seorang ibu yang sesungguhnya perempuan harus (mampu) melahirkan anak, secara “normal” pula. Bila belum pernah melahirkan seperti itu atau tidak mempunyai anak, belum lengkaplah ke-“wanitaan”-nya. Menjadi ibu yang sesungguhnya, ibu sejati, adalah menjadi ibu secara biologis (Budiman, 2000). Adapula mitos mengenai ibu yang dikemukakan oleh Ann Oakley dalam (Budiman, 2000), ia menyatakan bahwa mitos mengenai ibu berlapis tiga seperti dalam kutipan berikut ini yaitu bahwa (1) semua perempuan harus menjadi ibu; (2) semua ibu
membutuhkan anak; dan (3) semua anak membutuhkan seorang ibu. Televisi, sebagai salah satu media massa, menampilkan mitos-mitos yang ada di masyarakat, seperti melalui iklan, sinetron dan berita. (Budiman, 2000) menyatakan bahwa mitos tentang “istri atau ibu rumah tangga yang bahagia” sebagaimana direpresentasikan oleh beberapa iklan produk pasta gigi, minyak goreng, obat batuk, atau jamu tertentu di media massa semacam tabloid atau majalah wanita dan terutama televisi. Perjuangan ibu dalam tayangan televisi reality show “Ibu” menampilkan sosok perjuangan Kartini modern. Ibu dalam tayangan tersebut diceritakan sebagai orang yang harus mencari nafkah agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga dengan melawan kerasnya kehidupan kota. Hal inilah yang menggambarkan perjuangan Ibu sebagai salah satu bentuk representasi dari Kartini Modern di masa ini. Kartini merupakan salah satu tokoh perjuangan di Indonesia. Raden Ajeng Kartini menjadi representasi sebuah nilai perempuan Indonesia yang kemudian menjadi patokan perempuan ideal pada masa orde baru (Santoso, 2011). Peneliti menggunakan metode penelitian semiotik untuk menganalisis tanda-tanda yang digunakan dalam scene-scene pada reality show Ibu, baik tanda visual dan tanda berupa narasi. Peneliti menganalisis tanda yang ada pada scene dengan menggunakan analisis semiotik oleh Roland Barthes. Roland Barthes menjelaskan mengenai analisis tanda secara denotatif dan konotatif. Roland Barthes juga mengemukakan penelitian pada sebuah teks dengan melihat tanda-tanda pada teks, menemukan makna denotatif, konotatif serta melihat bagaimana mitos yang ada di masyarakat ditampilkan pada teks.
PEMBAHASAN Tayangan reality show “Ibu” di Trans TV merupakan tayangan yang menceritakan mengenai keseharian seorang ibu saat menjalankan perannya sebagai ibu dalam keluarga. Pada sub bab ini, peneliti akan menganalisis peran ibu dalam keluarga yang ditampilkan pada reality show Ibu. Ibu sebagai seorang istri mempunyai kewajiban untuk mengurus kebutuhan rumah tangga dan merawat anak-anaknya. Menurut Muniarti (2004, p,75), hubungan perempuan dan laki-laki di Indonesia, masih didominasi oleh ideologi gender yang membuahkan budaya patriarkhi. Budaya ini, tidak mengakomodasikan kesetaraan, keseimbangan, sehingga perempuan menjadi tidak penting untuk diperhitungkan. Budaya patriarkhi juga menimbulkan adanya pembedaan tugas antara ayah dan ibu dalam keluarga. Laki- laki yang berperan sebagai ayah merupakan kepala rumah tangga yang
memiliki tanggung jawab utama untuk mencari nafkah bagi keluarga. Perempuan yang berperan sebagai Ibu memiliki tanggung jawab untuk mengurus kebutuhan di rumah (memasak, membersihkan rumah, mencuci, dll) dan juga merawat anak. Konsep mengenai ranah domestik dan ranah publik juga masih melekat pada masyarakat Indonesia. Laki-laki berada di ranah publik, sedangkan perempuan di ranah domestik. Yulius (2012, p.23) menyatakan bahwa perbedaan ini menjadikan kedua jenis kelamin berada dalam struktur hierarkis yang tidak sederajat dan setara, yakni lelaki (aktif dan publik), sedangkan perempuan (pasif dan domestik). Perempuan dianggap sebagai orang yang pasif dan belum mendapatkan peran yang berpengaruh dalam ranah publik. Melalui tayangan reality show Ibu yang ditayangkan di Trans TV, peneliti akan melihat peran Ibu dalam keluarga, terutama pada episode “Supir Angkot” dan opening scene reality show Ibu. Peneliti akan memaknai tanda berupa teks yaitu visual, narasi, dan audio (musik atau lagu) secara konotatif yang merupakan pemaknaan tanda pada tingkat kedua berdasarkan semiotika Roland Barthes. Berdasarkan pada pemaknaan konotatif, peneliti juga akan melihat mitos dan ideology yang berusaha ditampilkan melalui tayangan reality show Ibu. Peneliti telah memilih scene-scene yang sesuai dengan rumusan masalah dan melakukan analisis denotasi pada scene terpilih. Scene awal yang dipilih oleh peneliti adalah opening scene. Pada bagian opening scene, ditampilkan slide show foto dan video beberapa ibu bersama dengan anak-anaknya. Adapula beberapa ibu yang sedang bekerja serta narasi yang menjelaskan mengenai peran Ibu bagi seorang anak. Identitas ibu selalu dikaitkan dengan tugas ibu untuk merawat dan melindungi anak-anaknya.
Gambar 1: Opening scene reality show ibu bagian I
Gambar 2: Opening scene reality show ibu bagian II
Seluruh shot pada opening scene menunjukkan ibu yang bersama dengan anakanaknya. Bahasa tubuh, narasi dan gambar yang berusaha ditampilkan pada setiap shot, berkaitan dengan sifat dan peran dari Ibu. Ibu selalu dilekatkan pada konsep feminine dan nurturing. Konsep feminine ini menunjukkan bahwa perempuan mempunyai sifat yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Sifat feminine yang dimiliki oleh perempuan ini berlawanan dengan sifat maskulin yang biasanya dilekatkan oleh kaum laki-laki. Williamde Vries (2006, p.4) menyatakan bahwa perempuan dianalogika dengan pekerjaan domestik dan feminine, sementara laki-laki dengan pekerjaan publik dan maskulin. Konsep feminine yang ditampilkan ditunjukkan melalui bahasa tubuh ibu dan juga voice over yang diucapkan oleh narator. Konsep nurturing juga turut ditampilkan melalui shot-shot dalam opening scene. Kehadiran sosok ibu dan anaknya, menandakan bahwa hanya ibu yang bertanggung jawab untuk mengurus dan merawat anaknya. Dalam opening scene pun tidak ada sama sekali sosok ayah atau bapak yang ditampilkan dalam shot. Budiman (1985, p.1) menyatakan bahwa banyak orang percaya bahwa wanita sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Tugas ini adalah tugas yang diberikan alam kepada mereka : melahirkan dan membesarkan anak-anak di dalam lingkungan rumah tangga, serta memasak dan memberi perhatian kepada suaminya.Shot dalam opening scene menunjukkan kegiatan yang dilakukan ibu saat merawat anaknya, salah satunya saat ibu menjaga anaknya yang sedang terbaring di rumah sakit. Ibu dengan setia menunggu di samping tempat tidur anaknya sambil memperhatikan anaknya. Pada scene 1 diperlihatkan beberapa foto yang menunjukkan beberapa ibu yang sedang bersama anaknya :
Gambar 3: Scene 1 Ibu bersama dengan anak
Gambar-gambar tersebut masih menampilkan interaksi ibu dan anaknya serta masih menggunakan efek warna foto hitam putih. Slide show foto yang ada pada gambar tersebut berusaha menceritakan secara visual mengenai hubungan antara ibu dan anak. Mitos ibu secara nurture diperlihatkan kembali pada opening episode Supir Angkot. Ibu bertanggung jawab untuk merawat dan membesarkan anaknya. Seperti pada gambar 1, ibu menggendong dan memberikan susu kepada anaknya. Sedangkan pada gambar 3, ibu tetap harus merawat dan membawa anaknya ketika ia harus berjualan. Ibu pada gambar 3 membawa anaknya di dalam gerobak. Tayangan reality show “Ibu” menunjukkan peran ibu tak hanya sebagai seorang istri dan ibu yang mengurus anak-anaknya di rumah, namun ibu pun harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ibu yang berperan sebagai istri dan ibu saja sudah memiliki banyak tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Jika ibu pun harus mencari nafkah, maka beban ibu pun semakin bertambah. Ibu harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Narwoko dan Suyanto (2004, p.324) menyatakan bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Di kalangan keluarga miskin, beban berat harus dikerjakan sendir, apalagi selain harus mengerjakan tugas-tugas domestik, mereka masih juga dituntut harus bekerja, sehingga perempuan miskin memikul beban kerja ganda. Setiap episode reality show Ibu menceritakan mengenai pekerjaan yang dilakukan oleh ibu. Nama atau judul dari setiap episode merupakan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ibu.
Gambar 5: Ibu Titi sebagai supir angkot
Shot di atas adalah salah satu shot yang ada di episode “supir angkot”. Episode tersebut menceritakan tentang kehidupan Ibu Titi yang harus bekerja sebagai supir angkot dan mencari nafkah untuk keluarganya. Pada shot tersebut ditunjukkan Ibu Titi yang sedang menunggu penumpang di samping angkotnya. Untuk mencari nafkah, Ibu Titi harus menunggu dan mencari penumpang yang akan naik angkotnya. Setiap hari Ibu Titi harus bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk kehidupannya dan anaknya.
Gambar 6: Ibu Titi saat mendorong gerobaknya menuju warung nasi
Shot di atas merupakan bagian dari scene 2. Shot tersebut menjelaskan cuplikan kegiatan Ibu Titi saat menarik gerobaknya dan membawa gerobaknya menuju ke tempat berjualan. Shot tersebut ditambahkan dengan lagu yang dinyanyikan oleh Ungu yang berjudul “Doa untuk Ibu”. Lirik lagu yang digunakan pada shot tersebut hanya satu kalimat yaitu “Kau memberikanku.. hidup..” Melalui visual dan lagu yang ada pada shot tersebut menunjukkan mengenai peran seorang ibu. Ibu yang memberikan kehidupan bagi anaknya. Ibu yang mencari nafkah demi anaknya. Lagu “Doa untuk Ibu” bercerita tentang seorang anak yang mendoakan ibunya yang telah memberikan kasih sayang dan ketulusan cinta yang takkan pernah bisa dibalas oleh anaknya. Sebagai seorang single parent¸ Ibu Titi harus mencari nafkah untuk menafkahi anaknya. Dari tempat tinggalnya di kampung, Ibu Titi pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Beberapa jenis pekerjaan dicoba oleh Ibu Titi, mulai dari bekerja sebagai pengumpul barang bekas, kuli bongkar pasir, dan supir truk. Pada scene 10E ditampilkan reka adegan Ibu Titi saat bekerja sebagai pengumpul barang bekas. Ibu Titi berasa anaknya Rian, yang saat itu masih kecil, mengumpulkan barang-barang bekas di tempat pembuangan sampah.
Gambar 7: Ibu Titi dan Rian saat mengumpulkan barang bekas
Untuk menambah penghasilannya, Ibu Titi mencari pekerjaan lainnya. Berikut ini adalah scene pada saat Ibu Titi meminta pekerjaan pada seorang laki-laki :
Gambar 8: Ibu Titi meminta pekerjaan kepada seorang lelaki
Scene tersebut menggunakan shot secara full shot untuk menunjukkan Ibu Titi yang sedang meminta pekerjaan kepada seorang laki-laki yang berada di atas truk. Secara konotatif, terlihat bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingkan oleh Ibu Titi dan menunjukkan bahwa perempuan lah yang meminta pekerjaan kepada laki-laki. Untuk bekerja di ranah publik, tidak semua perempuan dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Bahkan ada pembagian pekerjaan berdasarkan kelamin yang semakin menguatkan budaya patriarki. Ibu Titi menjelaskan pula melalui voice over bahwa ia harus mengemis-ngemis pekerjaan. Hal ini semakin menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, Ibu Titi harus memohon-mohon kepada laki-laki tersebut supaya ia diberikan pekerjaan.
Gambar 11: Persiapan Ibu Titi sebelum berjualan
Berdasar scene di atas, terlihat beberapa ruangan yang digunakan Ibu Titi di dalam rumah yaitu dapur, kamar mandi, dan ruang belakang. Penggunaan ruang dalam rumah memiliki makna konotasi yang berhubungan dengan ruang domestik dan gender. Ada semacam asumsi bahwa ruang domestik lebih cenderung diporsikan sebagai wilayah perempuan. Dalam artikel Perempuan di Rumah Ber(Tangga), Budiman (2006, p.145) menjelaskan mengenai ruang domestik : Sebagian ruang tersebut memiliki konotasi gender yang kuat, misalnya saja dapur dan garasi. Dapur – ruang untuk mengolah dan mempersiapkan makanan – sangat kuat asosiasinya dengan aktivitas feminin; sementara garasi – ruang untuk menyimpan kendaraan – dengan aktivitas yang lebih maskulin. Dengan demikian, selain didefinisikan melalui fungsinya, ruang(-ruang) domestik pun cenderung diasosiasikan dengan anggota keluarga tertentu, khusunya ibu atau ayah.
Walaupun aktivitas yang dilakukan sama yaitu mempersiapkan bahan masakan, namun Ibu Titi lah yang memegang peran untuk memasak di dapur. Kedua orang yang membantu Ibu Titi membantu mempersiapkan di luar rumah. Ruang dapur yang diasumsikan sebagai ruang yang dekat dengan aktivitas feminin ‘dikuasai’ oleh Ibu Titi. Warto (2006, p.161) menyatakan bahwa ketika laki-laki masuk ke ruang dapur, seringkali masih dianggap tabu dan termasuk tindakan ora ilok karena dapur identik dengan wanita. Di sela persiapan Ibu Titi saat memasak, terdapat satu scene saat Fika, keponakan Ibu Titi bercerita mengenai Ibu Titi dan pekerjaannya. Berikut ini adalah narasi dari Fika : “Orangnya pantang menyerah lah. Pokoknya kayak gitu. Dari saya ngikut sampe sekarang, pokoknya semenjak saya kenal selama ini sama Mba Titi ini, orangnya pantang menyerah. Jadi kerjaan laki, perempuan ya dijalanin semua kayak gitu. Yang dari narik angkot, dari segala macem, sampe ini yang terakhir ini dagang kayak gitu jalan semua.”
Dalam narasi yang disampaikan oleh Fika, menunjukkan bahwa Fika memuji Ibu Titi karena Ibu Titi orang yang pantang menyerah. Ibu Titi dapat melakukan pekerjaan perempuan maupun pekerjaan laki-laki, mulai dari menjadi supir angkot hingga menjadi seorang pedagang. Ibu Titi mampu menjalani kedua jenis pekerjaan yang menjadi profesinya. Narasi tersebut menunjukkan makna konotasi bahwa perempuan kini pun dapat menjalani profesi yang sebelumnya hanya dapat dijalani oleh kaum laki-laki. Pekerjaan “narik angkot” atau menjadi supir angkot dianggap sebagai pekerjaan yang maskulin dan hanya dijalani oleh laki-laki. Sedangkan pekerjaan menjadi pedagang anyg menjual makanan merupakan pekerjaan yang feminin. Hal tersebut dinyatakan oleh Susanti (2005, p.15) mengenai pekerjaan yang bersifat feminin: Biasanya yang dekat dengan keseharian aktivitas perempuan, misalnya catering¸ menjual makanan dan minuman atau menjahit. Pekerjaan supir angkot dan pedagang penjual makanan termasuk dalam pekerjaan di sektor informal. Pekerjaan di sektor informal tidak memberikan kebebasan dalam hal waktu bekerja. Apalagi seorang ibu yang bekerja, tidak hanya mencari nafkah ia pun harus mengurus kebutuhan rumah tangga dan mengurus anaknya. Maka dengan bekerja di sektor informal, ibu pun tetap bisa merawat anaknya. Susanti (2005, p.15) menyatakan mengenai alasan perempuan bekerja di sektor informal : Hal ini disebabkan berbagai hal, seperti : bahwa bekerja di sektor informal tidak menuntut pendidikan tinggi, waktu dan tempat dapat menyesuaikan dengan kepentingan peran domestik perempuan. Dengan karakteristik ini, banyak
pengalaman keberhasilan yang telah dicapai, dan ini merupakan salah satu potensi perempuan.
Gambar 12: Ibu Titi berselisih paham dengan seorang pengendara motor
Lelaki tersebut menyalahkan Ibu Titi yang dianggapnya mengendarai angkot dengan kecepatan tinggi. Dengan nada yang tinggi dan mata yang membesar, lelaki tersebut memarahi Ibu Titi. Ibu Titi diminta untuk mengganti kerusakan motornya padahal uang yang diterima Ibu Titi dari menarik angkot masih sedikit. Ibu Titi mengalah dan meminta maaf kepada lelaki tersebut. Bahasa tubuh Ibu Titi yang sedikit membungkuk dan tangan yang dikatupkan di depan dadanya meminta maaf menunjukkan bahwa Ibu Titi mengalah dan menganggap laki-laki tersebut lebih dominan darinya serta Ibu Titi pun tidak berani melakukan perlawanan. Perselisihan Ibu Titi dengan laki-laki saat ia bekerja sebagai supir angkot juga ditunjukkan pada scene 20. Berikut ini adalah salah shot pada scene 20 :
Gambar 13: Ibu Titi ditagih uang setoran oleh seorang preman
Pada scene tersebut, Ibu Titi didatangi oleh seorang laki-laki saat Ibu Titi selesai mencari penumpang di pinggir jalan raya. Lelaki tersebut menagih uang kepada Ibu Titi. Ibu Titi ditagih uang oleh seorang preman yang menguasai wilayah tersebut. Ibu Titi sebelumnya sudah memberikan uang Rp 2.000, namun lelaki tersebut tetap memaksa untuk meminta uang lebih. Ibu Titi pun memohon kepada lelaki itu dan akan memberikan uang setelah ia mendapatkan penumpang lagi. Preman tersebut mengancam Ibu Titi jika tidak memberikan uang setoran. Berdasar dua scene mengenai perselisihan Ibu Titi dengan kedua laki-laki tersebut, ditunjukkan bahwa perempuan yang bekerja di ranah publik masih mengalami subordinasi dari kaum laki-laki. Perempuan harus mengalah dan meminta maaf. Menurut Wiludjeng, Habsjah & Wibawa (2005, p.95) perempuan sebagai pekerja di sektor formal dan informal
mengalami kekerasan saat bekerja. Kekerasan tersebut antara lain dicemooh/dihina/dicaci maki, diperlakukan tidak senonoh, dipera/dipalak, dan diancam/ditakut-takuti. Perempuan masih dianggap lebih lemah dari laki-laki, sehingga tidak berani untuk melakukan perlawanan ketika bermasalah dengan laki-laki.
Gambar 14: Ibu Titi berkumpul dengan teman-temannya di terminal angkutan umum
Pekerjaan Ibu Titi sebagai supir angkot masih sangat jarang dilakukan oleh kaum perempuan. Hal ini ditunjukkan pada scene 18 pada saat Ibu Titi berada di terminal angkutan umum. Dari shot-shot di atas terlihat bahwa semua teman-teman Ibu Titi yang berprofesi sama adalah kaum laki-laki. Melalui scene di atas terlihat bahwa Ibu Titi dapat diterima di lingkungan tersebut, walaupun ia adalah seorang perempuan. Pada scene tersebut ditambahkan dengan voice over oleh narator sebagai berikut : “Malam terus saja bergulir, namun Ibu Titi yang berperan sebagai ibu dan juga bapak bagi anaknya ini, masih saja membanting tulang berkubang dengan suasana terminal angkot yang penuh dengan resiko.”
Terminal angkutan umum dianggap sebagai tempat yang berbahaya atau memiliki resiko bagi seorang perempuan. Kasus-kasus kriminalitas sering terjadi di terminal. Berdasarkan artikel berita dari kompas.com (2011) yang berjudul “Awas, Tindak Kejahatan di Terminal Masih Tinggi” menjelaskan bahwa beberapa kasus kriminalitas yang sering terjadi di terminal antara lain penganiayaan, pencurian, perjudian, kejahatan narkotika dan pencurian dengan kekerasan. Kondisi terminal angkutan yang beresiko ini menjadi rutinitas sehari-hari dari Ibu Titi. Ibu Titi yang berperan sebagai bapak yaitu sebagai pencari nafkah bagi keluarga, dengan penuh keberanian bekerja sebagai supir angkot yang penuh dengan resiko. Hal ini dilakukannya demi menghidupi keluarganya. Selain menceritakan mengenai pekerjaan dan keseharian dari tokoh utama dalam tayangan reality show Ibu, tayangan ini juga memperlihatkan gambaran kelas sosial. Kelas sosial atau biasa disebut juga sebagai sistem lapisan dalam masyarakat (social stratification) adalah pembedaan penduduk atau mayarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis) (Sorokin, 1959 dalam Soekanto 2003, p.228). Lapisan dalam masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin
dengan yang dipimpin, golongan buangan/budak dan bukan buangan/budak, pembagian kerja dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan kekayaan (Soekanto 2003, p.228). Soekanto (2003, p.237) menyatakan bahwa ukuran kekayaan, misalnya, dapat dilihat dari bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara menggunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya. Pembagian kelas sosial secara umum dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Pernyataan tersebut sesuai berdasarkan asumsi dari Bungin (2006, p.49) yaitu : Secara umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu atas (upper class), menengah (middle class) dan bawah (lower class)
Media massa dalam hal ini pun juga menampilkan realitas mengenai adanya perbedaan tingkatan kelas. Penggambaran kelas sosial dalam tayangan ini akan dilihat dari beberapa aspek yaitu rumah tinggal, pakaian / kostum, penghasilan, pekerjaan dan adanya mobilitas sosial yang dijalani oleh tokoh utama.
Gambar 15: Ruang-ruang dalam rumah Ibu Titi
Beberapa shot di atas menunjukkan keadaan rumah dari Ibu Titi. Ruangan di dalam rumah terlihat sempit dan hanya terdapat beberapa ruangan. Pada shot-shot di atas terlihat beberapa ruangan yang ada di rumah Ibu Titi yaitu : dapur, kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu dan bagian depan rumah. Ruang kamar tidur terlihat sangat berdekatan dengan dapur dan tidak terdapat sekat untuk menuju ruang dapur. Ruang tidur dan ruang tamu pun hanya dibatasi oleh lemari pakaian. Keadaan ruang dapur yang kecil hanya bisa digunakan untuk memasak menggunakan kompor. Aktivitas masak seperti mencuci sayuran, membersihkan bahan masakan dan memotong sayur-sayuran dilakukan di luar dapur karena tidak adanya ruang untuk melakukan aktivitas tersebut di dapur. Ibu Titi membersihkan bahan masakan di dalam kamar mandi dan memotong sayur-sayuran di bagian depan rumahnya.
Gambar 16: Gang di lingkungan rumah Ibu Titi
Rumah Ibu Titi berada di kawasan pemukiman padat penduduk. Hal tersebut terlihat dari setting lokasi pada gang-gang kecil yang biasa dilalui oleh Ibu Titi. Gang tersebut hanya dapat dilewati oleh orang, kendaraan sepeda motor dan gerobak. Jarak antar rumah sangat dekat dan luas rumah terlihat sempit. Bahkan untuk menjemur pakaian digantung di bagian depan rumah. Pada bagian depan rumah juga tidak terdapat pagar. Rumah dengan ciri tersebut biasa disebut dengan rumah petak yang biasanya terdapat di kampung perkotaan dan menjadi salah satu penanda dari kelas sosial bawah. Penandaan kelas sosial selanjutnya yaitu melalui kostum yang digunakan. Barnard (2011, p.86) menyatakan bahwa pakaian dan fashion sering digunakan untuk menunjukkan nilai sosial atau status orang lain berdasarkan apa yang dipakainya. Ibu Titi selalu menggunakan kaos dan celana pendek serta kemeja pada saat bekerja sebagai supir angkot. Berikut ini merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh Ibu Titi :
Gambar 17: Pakaian Ibu Titi
Ibu Titi selalu menggunakan celana pendek dengan bahan kain dan atasan dengan kaos tanpa lengan berbahan kaos saat berada di rumah dan pada saat bekerja. Saat Ibu Titi bekerja sebagai supir angkot, ia menyulap dirinya dengan menggunakan kemeja dan celana pendek. Ibu Titi tidak menggunakan make up dan juga aksesoris seperti kalung ataupun gelang. Ia pun tidak menggunakan pakaian yang bermerk tertentu. Perbedaan dalam gaya hidup merupakan salah satu aspek karakteristik stratikasi sosial menurut (Narwoko dan Suyanto, 2004, p.135). Narwoko dan Suyanto (2004, p.135) menyatakan mengenai contoh pakaian yang digunakan oleh kelas atas yaitu direktur. Seorang direktur dituntut untuk selalu berpakaian rapi, melengkapi atribut penampilan dengan aksesorisaksesoris lain dan memakai pakaian merk terkenal. Hal tersebut menunjukkan perbedaan antara pakaian yang digunakan oleh Ibu Titi. Terlihat bahwa Ibu Titi bukannya berasal dari kaum kelas atas.
Jenis-jenis pekerjaan yang dijalani oleh Ibu Titi merupakan jenis pekerjaan di sektor informal yang memberikan penghasilan tidak tetap untuk Ibu Titi. Pekerjaan sebagai kuli bongkar pasir merupakan salah satu pekerjaan kasar yang membutuhkan tenaga fisik yang kuat. Bungin (2006, p.50) menyatakan bahwa kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas dan semacamnya. Ibu Titi tetap berusaha untuk menambah penghasilannya. Ia belajar mengendarai truk agar bisa mencari pekerjaan lagi dengan mengemudi mobil. Ibu Titi pun mendapatkan pekerjaan sebagai supir angkot. Ia menjalani profesi ini setiap hari setelah ia membuka warung nasi miliknya. Ibu Titi harus melakukan dua jenis pekerjaan karena penghasilan dari salah satu perkerjaan masih belum bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Penghasilannya sehari saat menjadi supir angkot tidak menentu. Ibu Titi menceritakan mengenai penghasilannya pada hari itu : “Yaa narik satu hari kayak gini, ga dapet buat setoran ini. Gimana ini.. Cuma dapet berapa 41 ribu. Sedangkan setoran aja 55. Saya bersyukur masih dapet segini. Siapa tahu besok bisa dapet lebih banyak lagi dari ini.. Amin..”
Dalam waktu satu hari, Ibu Titi hanya mendapatkan penghasilan sejumlah 41 ribu rupiah. Padahal ia harus memberikan uang setoran sejumlah 55 ribu rupiah. Menurut Aziza (2012) dalam situs berita kompas.com, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta pada tahun 2013 adalah Rp 2.200.000 per bulan atau kurang lebih Rp 73.000 per harinya. Penghasilan Ibu Titi merupakan penghasilan di bawah UMP yang ditentukan. Hal ini menunjukkan bahwa penghasilan Ibu Titi berada pada kelas ekonomi bawah yang tidak mencapai batas UMP. KESIMPULAN Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang berfokus pada mitos ibu pada tayangan reality show Ibu di Trans TV. Sebagai tayangan reality show, realitas yang berkaitan dengan kehidupan dari tokoh utama direkonstruksi ulang berdasarkan sudut pandang dari pembuatnya. Berdasarkan hasil penelitian, tayangan ini berusaha menampilkan mitos ibu terkait dengan domestifikasi peran ibu dan kehadiran peran ibu dalam ranah publik. Penggambaran kelas sosial bawah juga ditampilkan melalui setting tempat, rumah tinggal, pakaian dan pekerjaan yang ada dalam tayangan reality show Ibu.
DAFTAR PUSTAKA Barnard, M. (2011). Fashion sebagai Komunikasi : Cara Menkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta: Jalasutra.
Budiman, A. (1985). Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: Gramedia. Budiman, K. (2000). Feminis Laki-Laki dan Wacana Gender. Magelang: IndonesiaTera. Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana. Jemali, V. (2012, 03 15). kompasiana. Retrieved 04 4, 2012, from http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2012/03/15/rekonstruksi-mediatentang-perempuan Mosse, J. C. (2007). Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Murniati, A. N. (2004). Getar Gender : Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya dan Keluarga (2nd ed.). Magelang: Indonesia Tera. Narwoko, J., & Bagong, S. (2004). Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. Santoso, W. M. (2011). Sosiologi Feminisme : Konstruksi Perempuan dalam Industri Media. Yogyakarta: LKiS. Soekanto, S. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Susanti, E. (2005). Berperan Tapi Dipinggirkan : Wajah Perempuan dalam Ekonomi. Surabaya: Lutfansah. Tong, R. P. (2008). Feminis Thought : Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra. William-de Vries, D. (2006). Gender Bukan Tabu : Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for International Forestry Research. Wiludjeng, H., Habsjah, A., & Wibawa, D. (2005). Dampak Pembakuan Gender terhadap Perempuan Kelas Bawah di Jakarta. Jakarta: LBH-APIK. Yulius, H. (2012). Mengartikan Kembali Kata Gender. In Bhinneka "Edisi Gender" (p.23). Surabaya: Lembaga Bhinneka.