Ranjang Aku memandang langit dari balik jendela kaca berteralis. Jendela yang terbuka itu berengsel pada bagian atas. Malam larut, aku tak takut dengan angin. Beberapa bintang bisa kulihat dengan jelas. Ranjang yang kududuki menjadi bukti bahwa terkadang aku menghayati bintang sebelum beranjak tidur lelap. Pintu kamar dibuka. Istriku masuk lalu dengan mantap memelukku dari belakang. “Yang, aku ngantuk” ucapnya manja sambil menggesek-gesekkan keningnya di pundakku. Semilir bertiup. Tapi aku tetap belum ingin memakai baju. “Kamu tidur saja. Aku masih belum mengantuk,” Dia lalu menjadikan pahaku bantal. Aku membelai-belai rambutnya. Istriku yang berkulit gelap dan tiga tahun lebih tua itu begitu indah dalam pandanganku. Bahkan aku selalu menganggap dia lebih indah dari pada langit dan bintang. Kami baru mengganti ranjang. Ranjang baru yang kokoh dan berkayu jati telah berdiri sambil berbaring di kamar kami sejak seminggu yang lalu. Ranjang lama telah kuberikan pada salah seorang kerabat. Sebenarnya, ranjang lama memiliki banyak kenangan. Tak hanya kenangan tentang aku dan istriku. Tapi juga kenangan-kenanganku dengan ibu, juga kakakku. Dulu, ranjang lamaku tidak berada di lantai atas seperti halnya ranjang baruku sekarang. Aku memindahkannya ber tahun –tahun yang lalu ketika kamar tempat ranjang lama itu akan dijadikan Ibu sebagai ruang makan. Maka ranjang lama itu pun naik ke lantai atas dan baru seminggu yang lalu kembali turun dan masuk ke rumah salah seorang kerabat. Sedikit cerita tentang perpindahan ranjang lama dari bawah ke
atas. Aku membongkar ranjang lama itu dengan bersusah payah. Kasur kupindah. Ternyata rangka ranjang dipaku semua. Palu serta obeng dan kunci L membantuku memerlancar pembongkaran. Setelah berhasil kubongkar, ranjang itu kubawa ke atas sekeping demi sekeping batang rangka-nya. Lalu kupasang dengan bersusah payah juga. Ternyata merangkai lebih sukar daripada membongkar. Saking sukarnya, aku harus memanggil kakakku untuk membantu. Akhirnya, ranjang berhasil kami rangkai. Dan ranjang yang kami rangkai itu sudah tak lagi di kamarku sejak seminggu yang lalu. Ranjang itu sudah bertengger di salah satu ruang di rumah salah seorang kerabat. Ranjang itu telah tergantikan oleh ranjang jati yang berdiri sambil berbaring di kamarku sekarang, sejak seminggu yang lalu. Aku mengecup kening istriku. Nampaknya dia sudah agak pulas. Dia super pencemburu. Apalagi aku lebih muda. Dia takut aku kepincut perempuan yang lebih muda. Dulu ketika masih berpacaran, hampir setiap hari dia menghujatku sebagai playboy atau tukang jelalatan hanya karena aku sering mengirim puisi untuk teman-teman perempuanku. Kembali pada kisah ranjang lama ku. Ranjang itu adalah peninggalan terakhir ibuku yang meninggalkan rumah. Meja makan, lemari es, lemari pakaian dan segala perabot rumah warisan ibu sudah meninggalkan rumah lebih dulu. Ada yang ke rumah keluarga atau kerabat seperti ranjang itu, ada yang ke rumah teman atau tetangga, ada yang ke panti asuhan, dan ada pula yang masuk tempat sampah karena usia yang tua. Melihat ranjang baru yang nampak kokoh membuatku teringat Ibu. Ibu ku yang kokoh dan kuat. Yang disiplin seperti prajurit militer. Yang suka kerapian dan kebersihan sebagaimana seharusnya umat Muhammad SAW, sosok yang paling dicintainya. Ibu ku adalah seorang yang pemberani. Dia akan berkata tidak, jika itu tidak. Atau ya, jika itu ya. Siapapun yang harus
bertentangan dengannya, seberapapun hebat orang itu, jika memang harus berseberangan, dia akan berseberangan dan menentang. Meski cara menentangnya tidak dengan cara yang keras atau kasar. Sebab dia juga cerdas dan cerdik, sehingga kala berbeda pendapat dengan seseorang pun, dia tidak pernah dibenci orang tersebut. Karena kemampuan komunikasinya mumpuni, meski dia tak pernah mengenyam pendidikan jurusan komunikasi maupun bahasa. Kemampuan komunikasi macam ibuku itu, dimiliki istriku juga. Ada beberapa lagi kesamaan mereka. Di antaranya adalah hidung yang tak mancung, dan rasa cinta kasih mereka padaku yang bagai tak bertepi. Kalau tentang perbedaan, tentu sangat banyak. Yang paling mencolok adalah perbedaan warna kulit mereka. Ibuku lebih terang. Tinggi badan mereka juga beda sekitar lima belas sentimeter, ibuku hanya satu koma empat meter tinggi badannya lebih rendah dari pada istriku. Ada lagi perbedaan mereka yang cukup mencolok sekaligus menarik. Yaitu kebiasaan ketika tidur. Satu kali pun, aku tak pernah mendengar ibuku mengigau, sedangkan istriku, lumayan sering dia berbicara sendiri dengan mata tertutup dan tak dalam keadaan sadar. Pernah dia memanggil-memanggil nama beberapa perempuan. Ketika sudah terbangun, kutanyakan padanya tentang siapa mereka. Dijawabnya bahwa mereka adalah teman-teman kos-nya di masa kuliah dulu. Dia bilang, sedang kangen pada teman-temannya tersebut. Pernah dan beberapa kali pula dia menangis dalam tidurnya. Kalau sudah begini, aku tak menunggu dia terbangun untuk menanyakan apa yang telah terjadi padanya. Aku membangunkannya, menyapu wajahnya dengan handuk kecil basah, meminumkannya segelas air putih, lalu bertanya tentang mimpi yang menghinggapinya. Dia lalu menampar dan mencubit pipiku.
Memukuli dadaku dengan kepalnya yang lembut. Lalu memelukku masih dengan air mata yang mengalir. Ternyata dia bermimpi aku meninggalkannya demi perempuan yang dia anggap lebih muda, cantik, dan segar. Aku tersenyum mendengarnya. Ini menggelikan, namun sedikit ironi. Intinya, dia akan mengigau bila teringat dengan sesuatu yang membuatnya terkenang-kenang atau terngiang-ngiang begitu dalam. Entah itu tentang masa lalu, atau masa depan yang dikhawatirkannya, atau tentang apapun yang sempat menyita perhatiannya. Dingin malam menyapa semakin mesra namun terasa benar kandungan penyakitnya. Aku menutup jendela. Mencium dan sedikit menggigit pipi istriku yang agak berisi. Lalu membenarkan posisi tidurnya. Dia sempat membuka mata indahnya sedikit, namun lalu tidur kembali dengan lelap. Aku biasa tak menutup tirai jendela bila malam. Namun lampu kumatikan. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat kami yang sedang pulas. Lagipula, jenis kaca jendela kami memang riben. Tak tembus jika melihat dari luar, tapi terang jika melihat dari dalam. Aku sering terpesona jika memandangi istriku yang sedang tidur. Dia benar-benar anugrah. Aku sangat bahagia bisa memilikinya. Dia sangat kucintai. Dia juga sangat mencintaiku. Sayang, Ibuku tak bisa atau belum sempat melihatku hidup berbahagia dengan istriku itu. Ibuku meninggal di usia yang sudah cukup tua. Enam puluh tahun. Kala itu aku berumur setengahnya. Aku memang termasuk agak terlambat menikah. Dia pun sejatinya berharap aku sudah beristri di usia maksimal dua puluh tujuh tahun. Dulu, ketika aku masih berumur dua puluh tahunan, kami sering berdiskusi perihal perempuan yang diinginkan Ibu untuk menjadi istriku. “Yo, carilah istri yang sholehah, beriman bertakwa pada Alloh. Kalo bisa yang orang tuanya kaya dan berbudi. Sebab
bagaimanapun, bibit bebet bobot itu perlu, meski bukan utama. Cari yang cantik yang muda juga. Jadi saat kamu tua dia bisa merawat kamu” dia berpetuah kala itu sambil menonton televisi. Kami memang biasa berbincang di depan TV yang menyala. “Ah, aku tak mau sampai dirawat bu. Aku pengen sehat sampai tua. Sehat sampai mati” “Makanya itu cari istri yang kuat dan beberapa tahun di bawahmu. Supaya selalu bisa giat dan lincah melayani kamu. Satu lagi pesanku; jika istrimu itu suka bekerja, jangan kamu halangi. Jangan kamu suruh dia berhenti bekerja. Kasihan wanita kalau harus dikekang kegemarannya berkegiatan atau bekerja” tambah Ibuku yang memang seorang mantan karyawati di sebuah perusahaan milik negara. Ibuku yang tua memang senang dan giat bekerja. Sampai usia pensiun lima puluh lima tahun, dia masih bersemangat mencari nafkah. Padahal waktu itu, aku sudah bisa mandiri secara finansial bahkan sudah sanggup memenuhi kebutuhannya. Dia suka beraktifitas, dan aku pun tak ingin menghalang-halanginya. “Yo, sayangi kakakmu. Dia perempuan yang wajib kamu sayangi di dunia ini setelah Ibu. Hormati dia. Jangan kamu menikah sebelum dia menikah. Tak baik membiarkan kakak perempuan masih perawan sementara adiknya sudah berijabkabul”. Tentu, aku akan selalu menyayangi dan menghormati kakakku. Aku pun akan selalu menjaganya. Ketika akan menikah pun aku telah meminta ijin padanya. Mengingat usia istriku yang sudah tiga puluh tiga kala itu, aku harus mengambil keputusan. Aku kasihan pada istriku yang waktu itu masih berstatus pacar. Aku memohon ijin dari kakak untuk menikah lebih dulu. Dia mengijinkan, meski nampak agak berat. Lalu dia memutuskan pisah rumah denganku. Rumah kami dipasrahkannya pada aku dan istri. Sementara dia ke luar kota. Sebuah kota kecil kampung halaman kami. Di sana dia bekerja sebagai pemilik toko kelontong dan kepala Taman kanakkanak. Semua modal usahanya didapat dariku. Sampai sekarang, dia belum jua menikah. Dia berdalih telah mendapat kepuasan batin yang teramat sangat ketika melihat anak-anak polos di
sekolah yang dikelolanya dan atau ketika melayani pelanggan dengan ramah di toko nya. Aku memandang telapak kaki istriku yang mengagumkan. Di mataku, tak ada satu mili pun dari bagian badan istriku yang tidak membuatku terpana. Jari-jarinya yang mungil. Rambutnya yang hitam lurus panjang, bibirnya yang tak tipis dan tak tebal, benar-benar ciptaan yang luar biasa. Kadang aku menyesal, mengapa dulu aku tak lekas melamar dan menikahinya. Padahal kami sudah berpacaran sepuluh tahun sebelum akhirnya menikah. Jika dua tahun lebih awal saja aku menikah, ibuku tentu sempat melihat aku berbahagia dengannya. Entah mengapa, waktu itu aku selalu merasa belum siap untuk memerkenalkannya pada Ibu. Bahkan sampai akhir hayat, Ibu tak tahu jika aku sudah memiliki pacar. Aku pun merebahkan badanku di ranjang yang baru seminggu berada di kamar kami. Ranjang yang lebih kokoh daripada ranjang kami yang lama. Ranjang yang menjadi saksi bisu atas apapun yang kami lakukan di kamar. Ranjang yang menjadi saksi bisu betapa gemar aku melamun di muka jendela sebelum akhirnya tidur dibelai mimpi. “Sayang lagi haus? nih nyusu dulu, jangan nangis lagi ya” istriku kembali mengigau sedang menyusui bayi. Igauannya tentang bayi adalah yang pertama semenjak kami memiliki ranjang baru. Namun bukan berarti ini yang pertama sejak kami menikah. Dia sedang merindukan seorang anak. Sudah tujuh tahun kami menikah, dan belum dikaruniai putra ataupun putri. Tanda-tanda kehamilan pun tak pernah ada. Kami telah memeriksakan diri ke berbagai ahli, mereka menyuruh kami tetap sabar menunggu dan berusaha. Sebab, berdasar pemeriksaan mereka, semua organ reproduksi kami dinyatakan sehat. —
Pelabuhan KAMIS pekan lalu selepas pulang kuliah aku langsung ke pelabuhan masih dengan atribut lengkap anak kampusan. Paman dan istrinya akan tiba dari Kalimantan sekitar jam dua siang. Tujuan mereka ke sebuah kota di Kalimantan itu adalah menikahkan anak perempuannya yang dapat suami orang Dayak. Sebenarnya mereka berencana naik kapal terbang, tapi karena lambat membooking, tiket pun ludes sehingga terpaksa mereka pakai kapal laut. Jadwal pesawat dari sana kesini hanya tiga kali seminggu. Selasa, Rabu, Kamis. Maklumlah kotanya tidak tergolong besar. Jarang penumpang. Hanya satu perusahaan pesawat yang mengudara. Mahal benar pula tiketnya. Padahal tepat hari minggu besoknya, anak mereka yang lain akan menikah. Tapi akad dan resepsinya tidak diadakan di luar kota meskipun calon istrinya asli Tulung Agung. Calon besannya yang datang ke sini, Surabaya. Tahun ini memang musim nikah bagi keluarga kami. Terhitung lima sepupu dan satu paman yang menikah tahun ini. Di perjalanan menuju dermaga aku sempat diserapahi sopir angkot karena terlalu ceroboh saat memotong jalan untuk putar balik. “Goblok!!!” ujarnya lantang. Beberapa pengendara lain yang kulihat di sekitarku tak peduli dengan kejadian sepele itu namun beberapa yang lain tertawa ringan terkesan mengejek. Aku pun demikian. Menertawakan kesembronoanku dan kenaikpitaman sang sopir. Tiket masuk ke area pelabuhan tiga ribu rupiah bagi satu orang termasuk sepeda motor. Kalau naik kendaraan roda empat hitungannya per-orang tiga ribu lima ratus. Sehabis memarkir kendaraan aku langsung ke gerbang sebelah timur. Setelah
turun dari kapal, biasanya para penumpang keluar lewat pintu itu. Aku berniat untuk langsung nyelonong masuk agar bisa menyambut pamanku tepat saat mereka baru turun dari kapal. Jadi aku bisa ikut mengangkatkan barang bawaan mereka. Meski mereka biasa memakai jasa porter, siapa tahu ada beberapa tas ringan yang mereka tenteng yang memungkinkan untuk kuambilalih membawakan. Tapi langkahku tertahan saat seorang anak pamanku memanggilku.. “Roy!!” teriaknya. menghampirinya.
Satu
kata
itu
cukup
membuatku
“Kau bawa mobil?” tanya Bang Toha setelah aku tepat di hadapannya. “Enggak Bang. Aku pulang kuliah langsung ke sini. Mobilnya dipakai kakak. Memangnya Abang nggak bawa?” aku balik tanya. “Mobilnya
dipakai
Sandi,
jemput
calon
mertuanya.
Tapi
gampanglah, nanti kalau sepeda motor kita nggak cukup biar mereka naik taksi aja. Dari awal niatku juga begitu” ucapnya santai seraya menyodorkan harian lokal kepadaku. Namun aku sedang malas membaca sehingga koran itu hanya ku pegang lalu aku pun duduk di samping Bang Toha, tidak di bangku, hanya di logam menjulur yang merupakan pagar rendah yang membatasi antara selokan dan halaman pelabuhan. Pelabuhan begitu ramai. Tak jauh beda dengan terminal, bandara, atau stasiun. Pedagang koran dan asongan yang menjajakan barangnya. Calo-calo tiket yang agresif. Sopirsopir taksi gelap dan terang yang berjaga-jaga di sekitarku menanti penumpang kapal yang baru keluar, lalu menawarkan harga dan tempat tujuan. Sekelompok SPG alias Sales Promotion Girl yang tersebar berkeliaran berpakaian seragam menawarkan produk minuman botol kaca kecil penambah stamina. Ada juga kelompok yang lain menawarkan permen mint. Dua kelompok itu sempat menawarkan barangnya kepadaku. Tapi kutolak. Seorang berwajah sedikit garang disampingku juga mereka tawari. Dia
menyempatkan diri menggoda SPG-SPG itu. Sesekali mencari kesempatan mencolek-colek bagian tubuh wanita tersebut. Begitulah memang resiko pekerjaan mereka. Kalau ada pekerjaan lain yang lebih layak, aku yakin mereka tidak akan memilih pekerjaan seperti itu. Ketidakteraturan tata letak dan sarana ketertiban di pelabuhan juga tidak jauh beda dengan terminal. Sampah masih bergelimpangan. Kesadaran hidup bersih masih kurang. Bahkan saat itu aku melihat seorang berseragam yang seharusnya menjadi contoh bagi yang lain membuang puntung rokok dihadapannya seraya menginjak ampasnya yang masih menyala, padahal tak sampai tiga langkah di kanannya keranjang sampah bertengger gagah nampaknya baru diganti. Beberapa meter disampingku seseorang malah membuang bungkus rokok ke selokan pelabuhan. Repot memang. Bila banjir salahkan pemerintah. Badan sendiri sengaja menyumbat saluran air. “Roy, itu Ramon” Bang Toha memecah keterpakuanku. “Kayaknya dia bawa mobil nih Bang”. “Harusnya sih begitu, dia tak bilang mau ke sini. Kalau tahu begitu kan aku bisa menumpang”. Masih satu meter di hadapan kami, Ramon sudah mulai kecapan “Gila! Diparkiran tadi seru. Dua orang berkelahi seperti di film Jackie Chan. Sampai naik-naik ke mobil segala. Melompatlompat. Kayaknya gara-gara enak dilihat, orang-orang jadi bengong lantas lupa kalo harus melerai”. “Siapa mas?” tanya seseorang di samping Bang Toha yang ternyata turut menikmati sekelumit cerita Ramon. “Nggak tahu. Tapi yang satu sih pake rompi tukang parkir”. “Paling-paling rebutan lahan” orang itu menanggapi. ”Mungkin juga sih. Tapi nggak tahu lah”.
“Hei, kamu bawa mobil?” Bang Toha mengalihkan pembicaraan. “Iya Bang, tadi kan kejadiannya saat aku markir mobil”. “Sandi sudah pulang?”. “Belum. Nanti sore katanya Bang” Bang Toha hanya mengangguk. “Sekarang harga-harga naik semua. Kencing aja dua ribu” keluh Ramon yang mengaku baru buang air selepas memarkir mobil dan menyaksikan perkelahian tadi. “Makanya Mon, kalo sedekah jangan dua ribu. Jangan samakan harga ke toilet dengan harga ke surga” sambutku. “Benar juga tuh Roy” Ramon menyetujui pendapatku. “Akhirnya tadi yang bertarung gimana Mon?”. “Yah dipisahin orang-orang juga sih Roy. Kebetulan pas ada polisi. Dibawa deh dua-duanya”. Bang Toha melepas pandang ke arlojinya. “Sudah jam setengah tiga. Nggak biasanya molor begini” “Abang tadi sudah tanya informasi kepastian kedatangannya?” tanyaku. “Sudah. Katanya ya jam dua” “Kita masuk aja deh. Kita nunggu di sana aja” “Emang boleh Roy?” Ramon heran “Ya Boleh” “Tapi itu ada tulisan bahwa batas penjemput cuma sampai di depan sini kan” “Itu kan cuma tulisan Mon. Formalitas peraturan” “Yang benar Roy?”
“Kamu nggak pernah jemput ke sini?” “Nggak tuh” “Pantas nggak tahu” “Ayo” ajak Bang Toha. Kami pun masuk lewat pintu itu untuk mendekatkan diri ke pemarkiran kapal. Seperti biasa, para petugas tidak berusaha menghalangi kami. Tulisan di depan cuma tulisan. Bukan peraturan. Atau mungkin aturan lama yang sudah tidak dipakai tapi sampai sekarang tulisannya belum sempat dienyahkan. Kami mendekati bibir dermaga. Banyak kapal mengambang berhenti atau berjalan di air sekitar kami. Entah kemana tujuannya. “Sepertinya itu kapalnya, Bang” Ramon menunjuk ke sebuah kapal motor besar yang terlihat di kejauhan sekitar seratus meter menghampiri tepi pelabuhan. “Benar. Itu kapalnya” “Kita nunggu di sana aja Bang” aku mengajak mereka menunggu di tempat teduh. Mereka setuju. Porter-porter dan petugas pelabuhan menyambut kedatangan kapal itu. Mereka mendorong sebuah tangga berundak raksasa guna menghubungkan pintu keluar kapal dengan dasar dermaga. Jarak lima puluh meter ABK melempar seutas tali berpemberat ke dermaga. Tali itu tersambung dengan tali yang lebih besar. Tali berukuran kecil tadi hanya berfungsi untuk memudahkan yang besar mencapai dermaga, maka diikatkanlah tampar itu ke paku bumi yang tertancap di sana. Terparkirlah kapal. Para porter berdesak-rebut ke atas kapal. Menjemput penumpang yang butuh jasa mereka. “Porter-porter dulu berbeda dengan sekarang. Dulu mereka banyak dicari. Sekarang mereka yang mencari. Dulu para
penumpang malas mengangkat barang sendiri. Tentu karena uang mereka masih dan banyak ada untuk membayar porter. Tapi sekarang, baik penumpang atau porter sama-sama sukar mengais uang. Jangankan membayar porter, bisa mudik bertemu keluarga saja sudah syukur” Bang Toha berucap. Kami percaya dengan ucapannya. Sejak kecil ia yang paling sering berlayar. Ke rumah kakek yang di Kalimantan atau ke kampung nenek yang di Sumatra. “Itu mereka Bang” “Lambaikan tanganmu Mon” pintaku “Heii!!” Ramon melambai. Paman dan Bibiku tersenyum. Tak ada barang bawaan tertenteng di tangan atau bahu mereka. Mereka menggunakan jasa porter. Kalau mampu membayar memang lebih baik begitu, bagi-bagi rejeki, demikian salah satu filosofi mereka yang pernah kudengar. Kami lalu bergantian bersalaman dengan kedua orang tua kami. “Ayahmu nggak ikut Roy?” “Nggak Om. Sibuk katanya” “Wah dia itu bagaimana. Janjinya mau jemput” Pamanku sedikit berkeluh. “Tapi ngomongnya kan sambil bercanda Mas” sahut Bibiku. “Iya sih. Eh, kalian bawa mobilkan?” “Iya pa” “Baguslah” “Sampai di sini aja pak porter. Biar mereka yang bawa ke mobil” Bibiku meminta kedua porter yang mengangkut barang bawaan mereka untuk menyerahkan semua bawaannya pada kami. “Nggak jadi sampai mobil bu?”
“Sudah di sini aja. Anak segini banyak apa gunanya” “Oh iya Bu. Terima kasih” Kami bertiga mengambil alih pembawaan barang. Berbagi serata mungkin. Tidak ada yang paling berat karena barangnya memang sedikit. Hanya empat tas berukuran sedang. Laluy terlihat porter tadi kembali merangsek naik ke kapal. Mencari pelanggan lain. “Porternya diberi berapa Ma?” tanya Ramon “Standar sih lima puluh ribu berdua. Aku sih mau beri lebih, tapi kata papa mu nggak mendidik” “Tapi benar kan, kalau memberi terlalu banyak nantinya mereka selalu mengharap banyak dari penumpang. Padahal nggak semua penumpang bisa memberi banyak” sambut Paman. “Benar itu Pa. Papa memang pintar. Jenius. Aku senang punya papa kayak gini” “Aslinya niatmu mengejek aku, Mon” Paman melengos “Nggak Pa, aku serius” ujar Ramon yang sering benar bercanda dengan ayahnya sambil tertawa ringan. “Ah sialan kamu” Tidak terasa kami sudah berada di depan mobil. Aku dan Bang Toha kembali berpamitan dengan para calon pengguna mobil tersebut, kami tak bisa satu kendaraan sebab kami membawa sepeda motor masing-masing. Mereka semua berpesan agar kami berhati-hati di jalan. Sebenarnya tanpa dipesani pun kami tetap akan hati-hati. Tapi tak apalah, itu kan salah satu tanda mereka peduli pada kami.–
Tentang Kebuntuan Itu II UNAIR NEWS – “Kenapa kau memandangiku begitu”. Muka lonjong ini ganti aneh, ia menatapku seperti seorang psikolog. Entah apa yang ia tulis, tapi ia ulangi tingkahnya hingga beberapa kali. Memandangiku sejenak menulis, dan kuhitung lebih dari lima kali hingga rentetan bait tulisan penuh mengumpulkan sari pati isi ke dalam kertasnya itu. “Bagaimana ?” “Tak ada order lagi.” “Sudahlah, jawabannya akan kita tunggu kapanpun, semua tak ada yang akan mau merendah” “Aku keluar dulu” tiba-tiba ada teriakan itu terdengar, salah seorang dari kami itu terlihat mulai tak sabaran. Yang lain bertanya. “Untuk apa ?” “Waktu sudah mendesak, kita dikejar tempo. Kalau rapat resmi esok hari tidak menghasilkan keputusan. Ini sama saja gagal” ucapnya dengan ekspresi kelelahan. “Lebih baik gagal”, si lonjong yang sibuk tadi kini ikut menambah kebuntuan. “Tanggungjawab kita bukan untuk gagal atau bersepakat, kita harus memilih integritas dari pada menuruti order-order yang beresiko tadi” “Apa kita akan mengambil resiko ?” Lonjong berseru tegas. “Iya, lebih baik disalahkan atau kita bubar. Itu lebih mulia”. Intonasi terbata-bata “I-N-T-E-G-R-IT-A-S” “Tidak mungkin kita mengambil keputusan yang bermasalah. Mungkin tentang integritas tapi itu bermasalah dan juga menimbulkan permasalahan”
Jam 12.30. Waktu mulai larut, penghuni kafe juga makin sepi. Malam mulai terasa dingin, sepoi deburan titik-titik halus dari embun AC membasahi dinding kaca depan kafe. Ku kenakkan jaketku untuk menghalau kantuk. “Sampai pagi-pun kita tidak akan sepakat.” “Adakah besok, seorang ksatria yang berjiwa baja untuk mensudahi segalanya” “Jangan berharap. Dirimu saja masih kolot dan keras, bagai karang yang kesepian di terpa deburan ombak, bukan makin mengalah, justru malah memecah-mecah partikel kokoh deburan air yang digerakkan oleh energi gelombang tersebut” Karena memang tidak ada kesempatan untuk menyepakati sebuah keputusan yang berarti. Malam sepanjang-panjangnya di ulurulur oleh perdebatan yang melahap dari detik demi detik waktu, dari es teh sampai kopi pengulur kantuk, dari suguhan potato hingga makanan ringan yang sama sekali tidak mengenyangkan isi perut. Ujian untuk memutuskan, diputuskan, dan untuk menjadikan musyawarah mufakat sebagai konsensus penting, atau untuk mensudahi gelap mata kita tentang voting yang meluap-meluap hingga menimbulkan hasil kembar. “Serahkan saja semua kepada yang kita percayai punya otoritas”. Karena kita tidak percaya pada kekuatan diri sendiri, kepada kemurnian objektivitas nilai tentang ukuran kebaikan dan penciri keunggulan yang harus diberat sebelahi. Tidak salah golongan atau keputusan itu, tapi salah pada rumus kejujuran yang kita belakangi. Nurani sejati tak akan pernah berbohong. (*) Penulis: Sukartono (Alumni Matematika Universitas Airlangga) bersambung
Kampung Pengemis (Part 2) untuk membaca Part 1, silakan klik Kampung Pengemis (Part 1) Sabtu itu, hari sudah sore. Aku dan temanku itu telah berada di dermaga penyeberangan kotanya. Aku yang menggendong ransel di punggung bersiap menyeberang ke kampung pengemis di pulau pengemis. Dia kembali menyarankan dan membujuk agar aku mengurungkan niatku. Dia takut aku ketularan jadi pengemis. Tentu saja aku menolak. Dia mahasiswa yang aneh, ucapku padanya. Di jaman sekarang masih percaya dengan mitos kutukan macam itu. Dia pun mengalah dan menyerah membujukku. Dia lalu bertanya kapan aku kembali, agar bisa dijemputnya. Kubilang besok, hari minggu siang aku sudah di dermaga. Dia mengiyakan. Tak lama menanti, kapal penyeberangan tiba. Aku dan dia bersalaman. Aku naik ke kapal dan mulai meninggalkan dermaga kota temanku. Sekitar tiga puluh menit selepas lepas landas dari dermaga kota temanku, aku dan penumpang lain turun ke pulau yang kami tuju. Sejauh itu, aku tak melihat tanda-tanda kepengemisan di pulau tersebut. Aku melihat keadaan pulau tersebut biasa-biasa saja. Seperti kebanyakan pulau lain yang berjarak tidak begitu jauh dengan perkotaan. Pulau yang disebut temanku pulau pengemis ini, terlihat cukup membaur dengan peradaban modern. Nampak televisi di ruang tunggu dermaga. Sepeda motor dan mobil di jalan-jalannya. Beberapa parabola dan ada pula antena alias tower agak raksasa. Tebakanku, antena alias tower itu adalah milik salah satu perusahaan telekomunikasi. Apa benar ini kampung pengemis. Atau kampung pengemis ada di pedalaman dari pulau ini. Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Atau kampung pengemis hanya rahasia umum yang tidak nyata. Aku pun menyusuri jalan, beberapa tukang becak menawari
jasa, demikian pula tukang-tukang ojek. Namun aku menolak dengan lembut. Aku sedang ingin berjalan-jalan dan menikmati pulau ini sendirian. Hingga pada suatu titik, aku berhenti. Aku melihat sebuah papan nama. Bukan papan nama sebuah kantor, melainkan papan nama di sebuah rumah yang keterangan nama di papan itu sangat menarik perhatianku. Tertulis di sana: Kepala Kampung Pengemis. Diseret rasa ingin tahu, aku menghampiri rumah itu dan mengetuk pintunya. Seseorang berjenis kelamin pria membuka pintu lalu menyapaku ramah kemudian memersilakan untuk masuk ke ruang tamu. “Saya mahasiswa dari sebrang, Pak. Datang ke sini dengan niatan untuk jalan-jalan.” “Mau jalan-jalan, atau cari pekerjaan, atau penelitian, silakan saja, Dik. Pulau ini terbuka untuk umum. Nah, kecuali kalau ada orang asing mau merampas hak kampung ini, baru para penduduk akan bertindak tegas.” Ucap orang itu dengan senyuman di bibirnya. Dia lalu pamit sebentar untuk ke dalam beberapa saat. Ketika kembali ke ruang tamu, di tangannya sudah ada nampan membawa dua minuman kemasan kaleng yang nampak segar. Dia memersilakanku meminumnya. Aku pun menikmati minuman itu, tapi tidak menghabiskannya. “Kampung ini sering didatangi mahasiswa-mahasiswa, ada yang mau meneliti, jalan-jalan maupun cari kerja. Kata orang sih, di kampung ini memang banyak lapangan pekerjaannya. Padahal tidak juga.” “Maksud Bapak?” “Ya mata pencaharian utama di kampung ini kan hanya satu, kalau pun ada mata pencaharian lain, ya itu sekadar hobi.” “Apa mata pencaharian utama itu, Pak?” aku menyelidik. “Mengemis.” Dia menyamankan duduknya dengan bersandar di
sandaran sofa. “Nah, kalau adik lihat tadi ada pedagang, tukang jaga dermaga, tukang becak, tukang ojek, atau ada pula petani, maka itu sekadar hobi, Dik. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan seperti itu maksimal hanya…, ya… rata-rata dua kali seminggu. Selebihnya, mereka dan kami semua memilih untuk menyebrang ke luar pulau. Mengemis di sana. Dapat hasil, kami nikmati di sini. Kami bangun pulau ini. Sehingga pulau ini nampak tidak ketinggalan jaman. Meskipun tidak memiliki tempat-tempat wisata yang bergengsi, maupun tidak memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Kami tidak mau bergantung pada alam untuk memajukan pulau kami. Kami bekerja. Nyatanya sekarang, kami sukses. Adik kebetulan saja ke sini pas saya ada di rumah, padahal sering kali saya juga menyebrang ke luar pulau. Pergi ke kota-kota untuk mengemis.” Aku tertegun mendengar penjelasan kepala kampung itu. Tanganku meraih kaleng minuman di hadapanku. Dan kembali meminum isinya. Kali ini sampai habis. Tercetus di pikiranku, menjadikan kampung ini sebagai objek penelitian adalah ide yang benar-benar brilian. “Rencananya Adik mau pulang kembali ke kota kapan? Ehm saya bertanya begini sebab hari kan memang sudah menjelang senja. Maksudnya: kalau adik memang pengen jalan-jalan atau ceritacerita sama saya, Adik boleh kok menginap di sini. Besok baru pulang. Kebetulan sekarang ini istri dan anak-anak saya sedang mengemis di luar pulau sana. Mungkin adik juga pengen tahu cara-cara mengemis yang baik, nanti saya ajari. Itu juga kalau adik mau. Kalau tidak suka sama pekerjaan ini, ya saya tidak memaksa.” Aku berpikir sejenak. Pak kepala kampung yang baik itu membuka minuman kaleng miliknya, disodorkannya pada ku. Aku tersenyum menerima suguhan itu. Mungkin dia melihat gurat lelah di keningku sehingga memberiku minuman lagi.
“Baiklah, Pak. Kalau memang tidak merepotkan, saya tidur di sini saja satu malam. Besok saya pulang.” *** Banyak pengalaman dan penjelasan yang ku terima dari kepala kampung itu. Nyaris semalaman kami berbincang perihal apa saja yang ingin kami obrolkan. Baru pukul dua dini hari aku berangkat tidur. Pukul sepuluh pagi hari minggu, aku sudah di dermaga penyebrangan pulau pengemis. Bersiap ke kota temanku di sebrang. Sebelum berangkat meninggalkan pulau pengemis, aku dan kepala Kampung Pengemis bersalaman. Dia mendoakanku semoga aku sukses dalam hidup, doa standar dari orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda. Selepas sekitar tiga puluh menit lepas landas dari dermaga pulau pengemis, kapal yang mengangkut aku dan orang-orang dari kampung pengemis sandar di dermaga penyebrangan kota temanku. Temanku yang ternyata telah berada di dermaga pun menghampiriku. Kami bersalaman. Dia mengajak aku makan di sebuah warung sederhana namun bersih di sekitar dermaga. Kami makan dengan lahap di sana. Sesudah makan, masih di warung itu, aku membuka ransel ku. Menarik sebuah map yang ada di dalamnya dan membuka map tersebut. Lalu berkata pada temanku. “Aku baru dapat pekerjaan dari kepala kampung sana. Menjadi sukarelawan pencari sumbangan. Di map ini ada surat tugas beserta amplop-amplop perlengkapannya. Lumayan. Menurut aturan, dari seratus persen sumbangan yang kita peroleh, kita sebagai sukarelawan pencari sumbangan dapat bagian tujuh puluh persen. Maklum lah, aku kan nantinya lelah, biaya transportasi dan lain sebagainya kan juga dari aku. Tiap bulan tiga puluh persen dari hasil sumbangan bisa ditransfer melalui bank, bisa pula di antar langsung ke pulau tadi langsung ke kepala kampung. Bagaimana menurutmu?” Aku bisa melihat jelas di raut wajah temanku. Keningnya
berkerut. Matanya memincing lalu semakin melebar. Dia pun menggeleng-geleng seraya menarik dan membuang napas panjang. Raut orang heran melekat di wajahnya. Kemudian dia berucap mantap tapi tak begitu keras terdengar. “Gila!” ucapnya. Aku tak tahu apa yang membuatnya heran. Aku pun tak paham arti dari satu kata yang baru diucapkannya. (*)
Kampung Pengemis (Part 1) free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin jogjaprewedding jogjaprewedding yogyakartaberita indonesiayogyakarta wooden craftAku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semester-semester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten
dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya sebentar.
terdengar
seperti
mengejek.
Dia
lalu
tertawa
Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata.
“Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara
turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalam-
dalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambu Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah.
“Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah
masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah
menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu.
“Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi
pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya.
“Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama,
lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu menghubungi untuk sekadar konfirmasi?”
tidak
pernah
“Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.”
“Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.”
“Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Klik Kampung Pengemis (Part 2)
Alumnus Ilmu Sejarah UNAIR Raih Penghargaan Kusala
Sastra Khatulistiwa UNAIR NEWS – Prestasi dalam bidang sastra di Universitas Airlangga tampaknya tak pernah surut bermunculan. Baru saja, salah satu alumnus Program Studi ilmu sejarah UNAIR menyabet penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Penyair yang dikenal dengan nama F. Aziz Manna ini lolos penjurian ajang sastra bergengsi melalui kumpulan puisinya yang bertajuk Playon. Sebelumnya, buku tersebut memenangkan sayembara Penulisan Puisi Dewan Kesenian Jawa Timur. Buku tersebut kemudian diterbitkan oleh penerbit Pagan Press secara indie. Melalui penghargaan itu, Aziz sapaan karibnya, mendaparkan reward sebesar 50 juta rupiah. Kusala Sastra Khatulistiwa adalah ajang penghargaan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki sejak 2001. Sebelumnya, ajang tersebut bernama Khatulistiwa Literary Award yang kemudian sejak 2014 berganti nama menjadi Kusala Sastra Khatulistiwa. Nominasi penghargaan ini diambil dari karyakarya sastra, baik prosa maupun puisi, yang terbit dalam rentan waktu setahun. Tahun ini, tim juri memilih karya anak bangsa yang terbit antara Juli 2015 hingga Agustus 2016. Kepada UNAIR NEWS Aziz mengungkap, bukunya merupakan satusatunya karya yang masuk injury time disebabkan banyaknya kandidat yang menarik diri. Buku-buku yang menarik diri dianggap sebagai karya yang tidak memiliki kebaharuan dalam dunia sastra. Melalui peluang itulah, Playon mencoba masuk membawa kebaharuan dan ciri khasnya. Berbeda dengan nominasi lain, Playon masuk ke meja juri dengan format PDF. Hal ini disebabkan bentuk fisik Playon belum beredar luas, tidak seperti pesaing yang lain. Uniknya, dengan keterbatasan tersebut, Playon berhasil masuk sepuluh besar hingga akhirnya dipilih menjadi buku kumpulan puisi terbaik.
Setelah kemenangannya di ajang KSA ini, Aziz berharap bisa terus berkarya. Justru melalui penghargaan ini, bisa memacu dirinya untuk lebih produktif dalam menghasilkan karya dengan ciri khas dan membawa kebaharuaan di dunia sastra Indonesia. “Saya berharap setelah ini bisa berkarya. Penyair kan, memang tugasnya berkarya, nulis puisi,” pungkas Aziz. Pria kelahiran 8 Desember 1978 ini mengaku tidak akan bisa memenangkan penghargaan bergengsi tersebut tanpa bantuan salah satu tim juri. Yogi Ishabib, juri itu, mempertahankan Playon di sesi perdebatan sebab Playon dianggap sebagai karya yang layak untuk menang. “Saya bersikukuh kalau Playon ini menawarkan kebaharuan sastra Indonesia. Aspek-aspek di dalamnya berbeda dengan kumpulan puisi sebelumnya. Selain itu, nama-nama nominator lainnya sudah cukup penuh dan membayangi pasar di Jakarta. Sehingga saat Playon masuk, ada kebaharuan melalui pemanfaatan ruang yang belum pernah ada. Dari lima juri ini memberikan skor tiga banding dua untuk puisi,” kata Yogi pada reporter UNAIR NEWS. Sebelumnya, karya-karya Aziz telah malang melintang mewarnai jagad sastra Indonesia. Beberapa karya antologi puisi bersama penyair lain berjudul Antologi Penyair Jawa Timur “Permohonan Hijau” (2004), Antologi Penyair Tiga Wilayah Festival Mei (2005), Rumah Pasir (2008), Lelaki Tak Bernama (2008), What’s Poetry (2012), “Sirkus Sastra” Bienalle Sastra Salihara (2013), Tasbih Hijau Bumi, Tiang Tegak Toleransi (2015). Sedangkan beberapa buku puisi tunggalnya antara lain Kumelambungkan Cintaku (2003), Izinkan Aku Menciummu (2006), Wong Kam Pung (2010), Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang (2010), Tanggulendut (2013), dan Siti Surabaya: Sebuah Puisi Epik (2014). (*) Penulis: Lovita Matafabella Cendana Editor: Binti Q. Masruroh
MAYA Malam itu kamu datang, merangkak dari kegelapan menghampiriku. Untuk pertama kalinya kamu memperkenalkan diri padaku, namun kamu belum mau menyebutkan nama. Di antara bunyi jejeritan Mama dan teriakan pria yang memintaku memanggilnya Papa, kamu menemaniku, memelukku, dan berbisik semua akan baik-baik saja. Aku mengangguk patuh. Dalam pelukanmu yang hangat, suara-suara pertengkaran di kamar sebelah mulai samar di kupingku. Entah berapa lama suara-suara berisik itu berlangsung. Mulai dari kaca yang dipecahkan, keramik yang dibanting, meja yang digulingkan, sampai teriakan melengking perempuan. Kamu berkata padaku untuk tetap tenang. Kamu bilang suarasuara itu semacam kidung pengantar tidur. Makin lama suara seperti itu makin terdengar biasa di kupingku. Di antara bunyi-bunyi riuh di ruang sebelah dan keremangan kamarku, kamu menggandengku, mengajakku beranjak dari kasur. Tunduk patuh, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku ikuti kemauanmu, melenggang menguntitmu, membiarkan tanganmu menggandeng tanganku dan kamu berbisik segalanya akan baik-baik saja. Mulai saat ini segalanya akan membaik, begitu janjimu. Kita berhenti di tempat keriuhan. Aku lihat pria itu menempeleng Mama sampai terjerembab di atas kasur. Namaku disebut-sebut lagi. Telunjuknya teracung di depan wajah Mama dengan mata nanar dan wajah memerah seolah darah mendidih dalam tubuhnya. “Harusnya kau sepertimu!”
bersyukur
aku
bersedia
mengawini
pelacur
Mama menengadah. Matanya berkaca-kaca. Barangkali ia masih belum bisa menerima perlakuan pria itu yang berbeda dari awal
pertemuan mereka. “Aku tak memaksamu mengawiniku! Kau yang merajuk dan merayu, berkata mau menerima aku apa adanya, termasuk menerima keberadaan anakku!” “Kalau aku tahu bapakmu bisa bangkrut dan kere seperti sekarang, mana sudi!” Aku diam. Menggigil. Bergeming dalam ketidaktahuanku tentang persoalan yang mereka hadapi. Usiaku baru sembilan tahun. Cukup belia sekadar memahami permasalahan orang dewasa. Kamu berlari kesetanan menghampiri pria itu, namun aku tetap bergeming. Pecahan beling dari cermin rias yang berserakan di lantai menjadi sorot utamamu. Dengan nanar dan liar kamu memungut salah satu pecahan itu, menggenggam hingga telapak tanganmu mengucurkan darah. Aku terus bergeming dan menggigil. Kakiku seperti terbelenggu tak dapat berpindah. Tanpa sepatah kata, kamu dengar makian pria itu menyebutmu anak pelacur, anak haram, anak setan, dan kamu berhasil membungkam mulutnya begitu beling yang berada di genggamanmu menancap pada dadanya. Tanpa ampun, kamu mengulang hal serupa. Terus begitu sampai terdengar suara rintihan dan dengking kesakitan pria itu, mirip anjing. Kamu seakan menampakkan rasa sakitmu padanya, juga padaku, hingga aku bisa merasakannya sampai di tulang-tulangku yang dingin. Mama memelukku kemudian, menyentakku dari kesadaran. Aku rasai gigilan, dingin merajam tubuhku yang berkeringat, dan sesuatu berbau anyir meleleh di telapak tanganku. Suasana hening, hanya kudengar isak tangis Mama, gemelatuk gigiku, dan desis angin menerpa kelambu kamar. Beberapa waktu kemudian suara sirine mengesampingkan kesenyapan. Saat itu aku sudah dimandikan Mama. Tengah malam ia menyisir rambutku dan mengganti pakaianku hingga aroma esensial mawar meruap di penciumanku. Dan saat itu segerombolan polisi mengaitkan borgol di tangan Mama, membawa
wanita itu pergi dari hadapanku. Pria yang pernah memintaku memanggilnya Papa dibaringkan di atas bangkar dengan selimut putih bebercak darah. Ia dibawa menuju ambulan. Kulihat kepergian Mama yang dikawal polisi tanpa kata. Ia tersenyum dan melambai padaku, melayangkan ciuman jauh dan berkata melalui bibirnya yang bergerak-gerak membentuk kalimat “Kamu akan baik-baik saja”. Di belakangku, kamu memelukku lagi. Berbisik di kupingku, “Ya, kamu akan baik-baik saja. Kita baik-baik saja.”(*)
Gelar Peluncuran dan Bedah Buku, Magister Kajian Sastra dan Budaya Layak Jadi Pilihan UNAIR NEWS – Sastra Bandingan merupakan salah satu mata kuliah yang ditawarkan pada Program Studi Magister Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Airlangga. Teks-teks sastra mutakhir yang banyak disadur dan didaptasi ke dalam karya sastra lain, dari novel menjadi film, dari puisi menjadi novel misalnya, merupakan kajian hangat pada mata kuliah ini. Salah satu output mata kuliah sastra bandingan yang ditawarkan Magister KSB ialah menerbitkan buku. Seperti yang baru dirilis akhir minggu lalu, mahasiswa KSB angkatan 2013 me-launching buku mereka yang diberi judul “Dari Religiusitas Hingga Seksualitas dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya”, pada Jumat (29/4). Bedah buku berlangsung di ruang Chairil Anwar, FIB UNAIR, dengan mengundang narasumber Puji Karyanto, S.S., M.Hum dan Ida Nurul Chasanah, S.S M.Hum.
“Dari Religiusitas Hingga Seksualitas merupakan spirit yang kami ambil dari salah satu tulisan dari buku yang kami terbitkan. Keseluruhan isi buku berbicara tentang sastra bandingan. Ada tentang pendidikan, gender dan seksualitas, plagiarisme dalam karya sastra. Macam-macam,” kata Akhmad Fatoni, S.S., M.Hum, salah satu mahasiswa yang memprogram mata kuliah ini. Mengenai judul buku yang terbilang “seksi” itu, Akhmad Fatoni mengatakan bahwa meskipun secara harfiah kata religiusitas dan seksualitas sangat jauh maknanya, namun keduanya memiliki terterkaitan yang erat. “Ketika berbicara seksualitas kita juga bisa berbicara religiusitas, berbicara bagaimana seseorang menempatkan seksualitas. Ketika tingkat religus seseorang berbeda, menyikapi seksualitas juga akan berbeda. Secara harfiah memang berbeda. Tetapi secara spirit sangat mempengaruhi satu sama lain,” katanya. Layak Jadi Pilihan Pada kesempatan ini, Wakil Dekan I FIB UNAIR mengatakan, bahwa Magister KSB merupakan prodi yang patut menjadi jujugan mahasiswa sastra yang ingin melanjutkan studi jenjang magister. Pasalnya, selain karena sudah terakreditasi A, KSB merupakan salah satu dari dua prodi magister di Indonesia yang telah ditunjuk Kemenristekdikti untuk mahasiswa yang ingin mendaftar Beasiswa Unggulan Calon Dosen Dikti. “Sejak pertama berdiri, selalu ada mahasiswa asing yang mengambil prodi ini. Peminatnya selalu banyak. Namun secara keseluruhan, maksimal hanya 30 mahasiswa yang kami diterima,” kata Puji. Ada mahasiswa asing yang juga memprogram Mata Kuliah Sastra Bandingan ini. Menurut Puji, kualitas lulusan mahasiswa asing yang menempuh studi KSB bergantung dengan personalitas masingmasing mahasiswa. Persoalan penguasaan Bahasa Indonesia
penting dimiliki mahasiswa asing. Ia juga menuturkan bahwa ada kebijakan baru dari Direktur Pendidikan UNAIR yang dapat membantu mahasiswa asing dalam meningkatkan kualitas diri ketika menjalani studi di UNAIR. “Terkait pembelajaran Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA), Prof. Nyoman mengharuskan ada tambahan materi akademic writing untuk mengejar persoalan substansi mahasiswa asing,” paparnya. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Nuri Hermawan
Kenalkan Budaya Jepang Melalui Japanese World UNAIR News – Suasana Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga di minggu terakhir liburan semester nampak berbeda dari biasanya. Kawasan FIB yang semula lengang, berubah ramai karena adanya semarak festival dengan suasana layaknya di Negara Jepang. Sebuah perhelatan akbar kembali diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD) Sastra Jepang (Sasjep) dalam rangka memperingati ulang tahun Departemen Sastra Jepang yang keenam. Adalah Japanese World (JW), festival tahunan dengan rangkaian acara bernuansa ala Jepang yang unik dan berbeda. JW tahun ini diadakan pada 27-28 Februari 2016, dengan mengangkat tema Mukashi kara mirai e tsunagaru yang berarti “Dari masa lalu terhubung ke masa depan”. (Galeri foto klik di sini) “JW adalah acara tahunan untuk merayakan ulang tahun Sastra Jepang. Selain itu, JW juga bertujuan untuk mengenalkan budaya
Jepang kepada publik. Tidak hanya budaya tradisional, budaya modern pun ada di sini. Jadi, publik bisa tahu bahwa budaya Jepang sangat unik. JW 2016 juga menandai kelahiran dari ikon JW yang akan menemani dievent-event selanjutnya melalui Jun dan Wati, dua ikon yang menandakan hubungan baik antara Indonesia dan Jepang,” tutur Ezzy, ketua pelaksana JW 2016. Memasuki area JW, pegunjung disambut oleh torii (gerbang khas Jepang) yang menandadakan pintu masuk acara yang kental dengan nuansa Jepang. Pada salah satu stage di parkiran FISIP, tertata rapi berbagai stan makanan dan minuman Jepang seperti takoyaki, okonomiyaki, dan ramen. Pemukulan gong sebagai pembukaan acara JW dihadiri oleh Ketua Departemen Sastra Jepang UNAIR, perwakilan dari Konsulat Jendral Jepang di Surabaya, serta Ketua Humas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Sementara itu di dalam gedung FIB, terdapat berbagai macam stand-stand unik, terutama di lantai 3 FIB. Ada berbagai macam penampilan yang dipertunjukkan, seperti obake yashikiya, rumah hantu ala jepang yang menampilkan Yuki Onna sebagai hantu utamanya. Rumah hantu ini membolehkan pengunjung untuk mencoba sendiri atau berdua dengan tarif tertentu. Selain itu ada show case chanoyu, upacara penyajian teh hijau dan JW Café yang menampilkan pelayanan dari maid dan butler yang disertai hidangan-hidangan menarik seperti set nasi berserta chicken karaage. Setelah memesan menu yang disediakan, pengunjung dapat meminta untuk foto bersama para pelayan di dalam JW Café. Di ruangan berbeda, terdapat ruang ganti yang dapat dimanfaatkan pengunjung untuk mencoba yukata, jenis kimono yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis. Sementara di lantai 2 FIB, terdapat display berbagai macam gambaran manga. Ada juga berbagai macam lomba yang diadakan, seperti okeru (karaoke), tabetaikai (lombamakan), dan kuizutaikai (lomba quiz yang diadakan bagi peserta SMA dari berbagai daerah). Bermacam lomba tersebut ada yang diadakan
secara indoor dan outdoor. Pada JW kali ini juga terdapat berbagai komunitas yang hadir dan membuka stand di hall FIB. Seperti Aliansi Vocaloid Surabaya dan Komunitas Osu! Surabaya. “Osu! Surabaya merupakan game berbasis ritme yang dapat diunduh secara gratis,” tutur Bagus Satria, salah satu anggota komunitas Osu! Surabaya yang juga mahasiswa FIB angkatan 2014. Selain lomba, berbagai penampilan pertunjukan ikut memeriahkan JW kali ini. Seperti penampilan tarian dari Niseikai Yosakoi, penampilan BSO Pakarsajen, dan Mini-Undokai. Menjelang petang terdapat penampilan dari Niseikai Story, dan dilanjutkan dengan penutupan untuk menyambut hari kedua JW UNAIR 2016. (*) Penulis: Lovita Martafabella dan Aldi Syahrul Putra Editor: Binti Q. Masruroh
Mahasiswa Sastra Jepang Terbantu Native Speaker yang Jadi Asisten Dosen UNAIR NEWS – Sudah delapan tahun ini, Jurusan Sastra Jepang menjalin kerjasama dengan Ashinaga Foundation. Salah satu bentuknya, yayasan dari Jepang itu mengirimkan dua orang native speaker untuk menjadi asisten dosen. Menariknya, usia mereka relatif sama dengan para mahasiswa. Umumnya, mereka adalah mahasiswa semester enam atau tujuh di kampus masingmasing. Tahun ini, dua asisten dosen dari Jepang itu adalah Seira Oie
dan Kenya Yoshida. Seira merupakan mahasiswi semester tujuh dari Universitas Kuansei Gakuin. Sementara Kenya merupakan mahasiswa semester tujuh Universitas Tenri. “Mereka membaur dengan para mahasiswa. Para mahasiswa biasa jalan-jalan bareng dengan mereka. Bahkan, ke luar kota,” kata Ghulam Bintang Syahrial, salah satu mahasiswa Sastra Jepang. Dia mengatakan, kehadiran native sangat membantu proses perkuliahan. Para mahasiswa bisa langsung mempraktekkan ilmu dan kemampuan bahasa Jepang pada orang asli negeri Sakura. Bahkan, dua orang itu juga mengajar kaligrafi huruf kanji. Baik Seira maupun Kenya merasa senang sudah bisa berkenalan dengan mahasiswa Indonesia. Mereka mendapat banyak pengalaman menarik. Sayangnya, per tanggal 1 Maret 2016, dua mahasiswa asal Nippon itu bakal pulang ke kampung halaman. “Saya akan sangat merindukan teman-teman di sini,” kata Seira saat ditemui di gedung Fakultas Ilmu Budaya Selasa (23/2) lalu. “Kehangatan kawan-kawan tidak akan mungkin bisa kami lupakan,” tambah Kenya. Para native dari Ashinaga Foundation biasanya datang ke Indonesia sejak April tiap tahun. Lantas, berakhir pada Februari tahun berikutnya. Selain mengirimkan mahasiswa Jepang untuk berbagi ilmu di Indonesia, yayasan ini juga memberi peluang summer course untuk para mahasiswa. (*) Penulis: Rio F. Rachman