RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN… TENTANG PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
1
:
a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Udang-Undang Dasar 1945; b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,nilai-nilai budaya yang hidup dalammasyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar; c. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemeritahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang; d. bahwa integrasi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan daerah Otonomi Khusus; e. bahwa penduduk asli Papua merupakan salah satu rumpun dariras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat dan bahasa sendiri; f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, khususnya masyarakat Papua;
g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam di Tanah Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga telah mengkibatkan kesenjangan antara Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hakhakdasar penduduk asli Papua; h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi di tanah Papua dan Provinsi lain dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap nilai-nilai etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme serta persamaan kedudukan hak dan kewajiban sebagai warga negara; j. bahwa telah lahir kesadaran baru dikalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua; k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana di ubah denganUndang-Undang Nomor 35 tahun 2008, yang berlangsung selama kurang lebih dua belas tahun perlu dievaluasi kembali dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua; l. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaanOtonomi Khusus di Tanah Papua, telah dibentuk Provinsi Papua Barat yang dikukuhkandenganUndang-Undang Nomor 35 tahun 2008, yang sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya Barat sebagaimana dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000; m. bahwa pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah denganUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, pada kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika 2
n.
Mengingat
:
1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
3
perkembangan kehidupan dan tuntutan masyarakat di Tanah Papua masa kini, sebab itu perlu dilakukan peninjauan ulang dalam bentuk perubahan mendasar yang bersifat strategis dan progresif terhadap UndangUndang tersebut; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf k, huruf ldan huruf mmaka perlu membentuk UndangUndang tentang Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Undang-Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang pembentukan Propinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907); Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3882); Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 3894) sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 3960) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 018/PUU-I/2003; 8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 9. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044); 10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045); 11. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentag Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046); 12. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130); 13. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131); 14. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); 15. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220); 16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4286); 17. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik 4
Indonesia Nomor 4327); 18. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 19. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401); 20. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 21. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan; 22. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; 23. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844; 24. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 25. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746); 26. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189); 5
27. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 28. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035); 29. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 30. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); 31. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 32. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077); 33. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
6
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: (1) Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua adalah pemerintahan dengan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di Tanah Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di masingmasing provinsi; (2) Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri; (3) Pemerintahan Provinsi adalah Pemerintahan yang berkedudukan di Ibukota Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua; (4) Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai Badan Eksekutif Provinsi di Tanah Papua; (5) Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Pemerintahan yang berkedudukan dibawah Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota; (6) Distrik yang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kabupaten/Kota; (7) Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa 7
masyarakat, asal-usul dan adat-istiadat setempat yang berada di daerah Kabupaten/Kota dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; (8) Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi; (9) Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi; (10) Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi kultural Orang Asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama sebagaimana diatur Undang-Undang ini; (11) Lambang Daerah, Bendera Daerah, Himne Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua yangtidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan; (12) Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal khusus dalam Undang-Undang ini; (13) Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; (14) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan Kabupaten/Kota; (15) Peraturan Kampung yang selanjutnya disebut Perkam adalah Peraturan Pemerintahan Kampung dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan kampung; (16) Pemerintahan Adat adalah Pemerintahan pada tingkat masyarakat adat, yang dibentuk berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat; (17) Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya; (18) Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun; (19) Hukum Adat adalah aturan atau norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan mempertahankan serta mempunyai sanksi; (20) Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya; 8
(21) Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan untukkehidupan para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air serta isinya; (22) Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur didalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memperikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan kampung; (23) Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia; (24) Penduduk Papua yang selanjutnya disebut Penduduk adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Tanah Papua; Pasal 2 Orang Asli Papua adalah: a. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli di Papua; b. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang ayah berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua;
BAB II ASAS Pasal 3 Undang-Undang Pemerintahan Papua ini berasaskan: a. Keberpihakan kepada Orang Asli Papua sebagai penghormatan, pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan OrangAsli Papua. b. Desentralisasi asimetris.
9
BAB III PEMBAGIAN DAERAH DAN PENATAAN DAERAH
(1) (2) (3)
(1) (2)
(3)
(4)
Pasal 4 Provinsi-Provinsi di Tanah Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota masing-masing Daerah Otonom. Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik. Distrik terdiri atas sejumlah kelurahan, kampung atau yang disebut dengan nama lain. Pasal 5 Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota, ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Pemerintah Provinsi. Pembentukan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan syarat: a. memenuhi persyaratan administratif dan mekanisme pembentukan Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. memperhatikan kesatuan kultur dan hubungan kekerabatan masyarakat setempat; c. memperhatikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah bersangkutan; dan d. memperhatikan potensi kekayaan dan sumberdaya alam. Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung atau yang disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atas usul Pemerintah Kabupaten/Kota; Dalam wilayah Provinsi di Tanah Papua dapat ditetapkan kawasan untuk kepentingan khusus yang diatur dengan Perdasi.
10
BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
Pasal 6 Kewenangan berdasarkan Otonomi Khusus Tanah Papua berada di Provinsi. (1)
(2)
(3)
Pasal 7 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus seluruh urusan Pemerintahan, kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. Kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat Nasional dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter dan fiskal, agama dan peradilan. Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemerintah dapat: a. melaksanakan sendiri; b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi; dan c. melimpahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Provinsi berdasarkan tugas pembantuan.
Pasal 8 (1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hubungan hierarkis dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua. (2) Ketentuan tentang hubungan hierarkis antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hubungan antar Pemerintah-Pemerintah Provinsi di Tanah Papua diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
11
BAB V PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI DAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Umum
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 9 Pemerintah Provinsi menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pembahasan bersama antara Pemerintah Provinsi dan DPRP. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Pasal 10 Pembagian urusan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan berdasarkan pertimbangan permasalahan, kebutuhan dan kemampuan Kabupaten/Kota. Pembagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Pasal 11 Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Penetapan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi. Pasal 12 Usulan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah paling lama 6 (enam) bulan sejak pengajuan usulan.
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah belum menetapkan standar pelayanan minimal, pemerinah dianggap menyetujui usulan yang diajukan Pemerintah Provinsi.
12
Bagian Kedua Urusan Pemerintahan Provinsi
(1)
(2)
(3)
(1)
Pasal 13 Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) terdiri dari urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar maupun pelayanansekunder. Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. Pemerintahan umum; b. Perangkat daerah; c. Kepagawaian; d. Pekerjaan umum; e. Pendidikan; f. Kesehatan; g. Perhubungan dan transportasi; h. Kependudukan dan ketenagakerjaan; i. Perumahan rayat; j. Koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah; k. Kebudayaan; l. Pertanahan; m. Kehutanan; n. Pertambangan dan energi; o. Pertanian; dan p. Kelautan dan perikanan. Urusan wajibsekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. perencanaan pembangunan dan tata ruang; b. keuangan daerah; c. pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup; d. penanaman modal; e. komunikasi dan informatika; f. perdagangan dan investasi; g. sosial; h. kepemudaandan olahraga; i. karantina; j. kepabeanan; k. pengelolaan sumber daya alam; l. partai politik; m. HAKI; dan n. HAM. Pasal 14 Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 13
(2)
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.
Bagian Ketiga Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Pasal 15 (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) merupakan urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar. (2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. pemerintahan umum; b. perangkat daerah; c. kepegawaian; d. pekerjaan umum; e. pendidikan; f. kesehatan; g. perhubungan; h. kependudukan; dan i. ketenagakerjaan;
(1)
(2)
(1)
(2) (3)
Pasal 16 Urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah Kabupaten/Kota. Pasal 17 Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disertai pengalihan prasarana, sarana, pendanaan dan kepegawaian sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan desentralisasi. Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai pendanaan yang dilakukan sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, disertai pendanaan yang dilakukan sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan tugas pembantuan.
14
BAB VI PENYELENGGARAAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH Bagian Kesatu Umum Pasal 18 Selain kewenangan umum dan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) pemerintah provinsi dapat menyelenggarakan sebagian kewenangan yang menjadi kewenangan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Bagian Kedua Kerjasama Luar Negeri
(1)
(2)
(1) (2)
(3)
Pasal 19 Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah Provinsi urusan dan tugas yang meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Menyelenggarakan kerjasama dengan lembaga/badan atau negara-negara lain; b. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan lembaga/badan atau negara-negara lain, kecuali yang menjadi kewenangan Pememerintah Pusat; dan c. Membangun hubungan kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan antara Republik Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan dengan Provinsi. Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan urusan dan tugas sebagaimana tercantum dalam ayat (1) wajib melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri. Pasal 20 Gubernur berwenang memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk menerbitkan izin masuk bagi orang asing ke Tanah Papua. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewenangan Imigrasi untuk mencekal orang asing yang telah diputuskan membahayakan keamanan Negara. Dalam keadaan dimana Imigrasi menolak memberikan izin masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Imigrasi wajib memberikan alasanalasan kepada Gubernur secara tertulis.
15
Bagian Ketiga Pertahanan
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
(1) (2)
(3)
(4)
Pasal 21 Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam menyelenggarakan pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara di Tanah Papua. Tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penanggulangan bencana alam, pembangunan infrastruktur pasca bencana alam dan tugas kemanusiaan lain setelah berkoordinasi dengan Gubernur. Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Papua menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat istiadat Papua. Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayata (1) sampai dengan ayat (3) dibebankan pada anggaran belanja kementerian yang membidangi pertahanan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pasal 22 Kebijakan pertahanan wilayah provinsi di Tanah Papua oleh TNI dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan Gubernur. Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dalam menyusun Rencana Tata Ruang Pertahanan, dengan mempertimbangkan konteks wilyah, dinamika pembangunan dan konteks sosial budaya di Papua. Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagi putera puteri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan dalam Tentara Nasional Indonesia pada tingkat nasional dan tingkat provinsi. Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan tetap mempertimbangkan standar pembinaan karier yang berlaku di lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Bagian Keempat Keamanan
(1)
Pasal 23 Kepolisian Daerah di Tanah Papua merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia menyelenggarakan urusan keamanan. 16
(2)
(3)
(4)
(5)
Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua kepada Gubernur. Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyangkut penyelenggaraan tugas memelihara keamanan, dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersumber dari APBN. Kepala Kepolisian Daerah Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas penyelenggaraan keamanan dan pembinaan kepolisian.
Pasal 24 Pencalonan dan pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua memperhatikan kearifan lokal dengan mengutamakan pejabat Polri Orang Asli Papua yang telah memenuhi kriteria sesuai peraturan perundang-undangan dan memperhatikan pertimbangan Gubernur. Pasal 25 (1) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli Papua serta memperhatikan sistem hukum, budaya, adat-istiadat dan kebijakan Gubernur. (2) Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi calon bintara dan tamtama Kepolisian Daerah di Tanah Papua diberi kurikulum muatan lokal dengan penekanan terhadap budaya dan adat istiadat di Papua serta hak asasi manusia. (3) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (4) Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan. (5) Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Tanah Papua, Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur. (6) Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah di Tanah Papua dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli Papua serta memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat dan kebijakan Gubernur. 17
(7) Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagiputra putri Indonesia Orang Asli Papua untuk menduduki jabatan dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tingkat nasional dan tingkat provinsi. Bagian Kelima Kejaksaan
(1) (2) (3) (4)
(5)
(6) (7)
(1)
(2)
Pasal 26 Kejaksaan di Tanah Papua merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Kejaksaan di Tanah Papua melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum. Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur. Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima. Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jaksa Agung dapat mengangkat Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua. Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Jaksa Agung mengajukan satu kali lagi calon lain. Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa Agung. Pasal 27 Seleksi penerimaan dan penempatan Jaksa di Tanah Papua dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku, adat istiadat di Tanah Papua, budaya dan/atau mengutamakan Orang Asli Papua. Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan Kejaksaan pada tingkat nasional dan tingkat provinsi. Bagian Keenam Peradilan Paragraf 1 Umum
(1) (2)
Pasal 28 Kekuasaan kehakiman di Tanah Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Disamping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu. 18
Pasal 29 (1) Seleksi penerimaan dan penempatan hakim di Tanah Papua dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengutamakan Orang Asli Papua. (2) Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan Hakim pada tingkat nasional dan tingkat provinsi. Paragraf 2 Peradilan Adat Pasal 30 Peradilan adat di Tanah Papua berasaskan kekeluargaan, mufakat dan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
musyawarah dan
Pasal 31 Peradilan adat di Tanah Papua sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat adat Papua, dengan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dengan tujuan menjaga harmonisasi, keseimbangan dan keteraturan, serta membantu pemerintah dalam penegakan hukum. Paragraf 3 Kedudukan
(1) (2) (3)
(4)
Pasal 32 Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat hukum adat Papua. Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat hukum adat di Tanah Papua. Lingkungan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa dan sistem kepemimpinan campuran. Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Paragraf 4 Kompetensi
(1)
Pasal 33 Pengadilan adat berwenang memeriksa dan mengadili perkara adat di antara warga masyarakat adat di Tanah Papua.
19
(2)
(3)
(4)
Pengadilan adat memeriksa dan mengadili perkara adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa atau perkara yang bersangkutan. Perkara adat yang tidak dapat diselesaikan melalui kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara. Paragraf 5 Putusan
(1) (2) (3) (4) (5)
(6)
(7)
Pasal 34 Putusan pengadilan adat diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat. Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak. Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau kurungan. Putusan pengadilan adat mengenai perkara yang tidak dimintakan pemeriksaan ulang, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap. Untuk membebaskan pelaku tindak pidana dari tuntutan pidana menurut ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan. Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan putusan dilaksanakan menurut hukum adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Paragraf 6 Kerjasama
(1) (2)
Pasal 35 Pengadilan adat dapat bekerja sama dengan perangkat peradilan negara. Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam menyelesaikan perkara. 20
hal
(3)
Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan perdasi. Bagian Ketujuh Keuangan Daerah Paragraf 1 Umum
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 36 Pemerintah, DPR, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam merencanakan dan menetapkan APBN dan APBD berkewajiban mempertimbangkan karakter kekhususan Papua. Pemerintah berkewajiban membuat daftar indeks kemahalan harga sebagai pedoman penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan di Tanah Papua. Indeks kemahalan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan mempertimbangkan kondisi khusus daerahberdasarkan keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat. Pasal 37 Penyelenggaraan urusan pemerintahan di Tanah Papua dan Kabupaten/Kota diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola APBD secara tertib, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui sistem pengelolaan keuangan daerah yang masing-masing diatur dengan Perdasi dengan berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui sistem pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Perda dengan berpedoman pada perundangundangan yang berlaku.
Pasal 38 (1) Pemerintah Provinsi berwenang menyelenggarakan sebagian urusan perpajakan yang bersumber dari Tanah Papua. (2) Kewenangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pajak: a. Pajak penghasilan orang pribadi dan pajak penghasilan badan; dan 21
b. Pajak yang bersumber dari penerimaan sumber daya alam. (3) Penerimaan yang berasal dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah provinsi mendistribusikan kepada Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota; (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Pemerintah Provinsi. Paragraf 2 Kepabeanan
(1)
(2)
Pasal 39 Gubernur dapat memberikan rekomendasi pengurangan bea masuk impor barang modal bagi pelaksanaan investasi di Tanah Papua dengan berkonsultasi kepada Pemerintah. Pengusulan dan pengangkatan Kepala Bea dan Cukai dan pejabat Bea dan Cukai dengan memperhatikan pertimbangan Gubernur dan mengutamakan Orang Asli Papua. Bagian Kedelapan Agama
(1) (2)
Pasal 40 Setiap penduduk di Tanah Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Setiap penduduk di Tanah Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Tanah Papuadan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 41
Pemerintah Provinsi berkewajiban: a. menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama; c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
(1)
Pasal 42 Gubernur berwenang memberikan izin penempatan tenaga asing bidang keagamaan. 22
(2) (3)
Pemerintah di Tanah Papua memiliki kewenangan memberikan izin pendirian tempat ibadah. Ketentuan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
Pasal 43 Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan keagamaan di Tanah Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.
BAB VII PENYELENGGARAAN URUSAN PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN ORANG ASLI PAPUA
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 44 Urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi, meliputi: a. kebijakan pemberdayaan masyarakat adat; b. kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua; dan c. kebijakan lain berkaitan dengan perlindungan hak Orang Asli Papua. Kebijakan pemberdayaan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. pemerintahan adat; b. perlindungan hak ulayat; c. perlindungan dan pengembangan adat istiadat dan budaya; d. bahasa daerah; e. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam; dan f. perlindungan dan pengembangan kearifan lokal; kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi bidang: a. pendidikan; b. kesehatan; c. ekonomi rakyat; d. pembangunan infrastruktur; e. ketenagakerjaan; dan f. perumahan rakyat; Kebijakan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi semua kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua. Penetapan urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah melalui pembahasan bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. 23
(6) (7)
Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), diatur dengan Perdasus.
BAB VIII BADAN NASIONAL PERCEPATAN PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS TANAH PAPUA
(1)
(2) (3) (4)
(5)
Pasal 45 Presiden membentuk Badan/Lembaga untuk pemantapan pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua yang selanjutnya disebut Badan Otonomi khusus Tanah Papua. Badan Otonomi khusus Tanah Papua berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia Badan Otonomi khusus Tanah Papua dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BadanOtonomi khususTanah Papua kedudukannya setara dengan menteri yang di pimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kepala badan Otonomi khusus Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas usulanGubernur di Tanah Papua.
Pasal 46 Badan Otonomi khusus Tanah Papua bertugas untuk membantu Presiden melaksanakan tugas komunikasi, koordinasi, perencanaan, konsultasi, fasilitasi, evaluasi dan pemantauan Pasal 47 Dalam melaksanankan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 46 Badan Otonomi khusus Tanah Papua menyelenggarakan fungsi: a. Penyusunan dan pengembangan strategi nasional pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua; b. Penyusunan dan pengembangan rencana induk dan rencana aksi langkah Percepatan Pembangunan Tanah Papua; c. Koordinasi, konsultasi dan sinkronisasi kebijakan, program dan pembiayaan nasional yang terkait dengan pelaksanaan percepatan pembangunan dan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua; d. Bersama Kementerian yang membidangi Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Khusus (Musrenmbang Khusus) untuk Percepatan Pembangunan Tanah Papua sebelum pelaksanaan Musrenbangnas; 24
e. Koordinasi, konsultasi dan fasilitasi langkah-langkah kebijakan sosial, politikdan budaya dengan kelompok-kelompok strategis Papua dan pemangku kepentingan lainnya; f. Bersama Pemerintah Provinsi di Tanah Papua menetapkan komponen evaluasi dan indikator pencapaian pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua; g. Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua; dan h. Melaksanakan koordinasi, konsultasi dan fasilitasi berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional dan internasional di dalam mendukung pelaksanaan Undang-Undang ini. Pasal 48 (1) Badan Otonomi khusus di Tanah Papua terdiri atas: a. Kepala; b. 4 (empat) Deputi; dan c. Tenaga Profesional. (2) Deputi berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua. (3) Tenaga Profesioonal sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas Asisten Ahli, Asisten muda dan Tenaga Terampil. (4) Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya, Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua dapat membentuk Tim Khusus atau Gugus Tugas untuk penanganan masalah tertentu.
(1) (2) (3)
(4)
Pasal 49 Kepala Badan Otonomi Khusus di Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas usul Gubernur di Tanah Papua. Deputi diangkat oleh Presiden atas usul Kepala Badan. Tenaga Profesional, Tim Khusus dan Gugus Tugas di lingkungan Badan Otonomi khusus di Tanah Papua di angkat oleh Kepala Badan Otonomi khusus di Tanah Papua. Deputi dan Tenaga Profesional di lingkungan Badan Otonomi khusus di Tanah Papua dapat diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dan bukan Pegawai Negeri Sipil
Pasal 50 (1) Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua diberikan hak keuangan, administrasi dan fasilitas lainnya setara Menteri. (2) Deputi diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural Ia. (3) Tenaga Profesional yang diangkat sebagai Asisten Ahli, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilias lainnya setara dengan pejabat struktural eselon Ib. (4) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IIa 25
(5) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten muda, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IIIa. (6) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai tenaga terampil, diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IVa.
(1)
(2)
Pasal 51 Susunan organisasi, tata kerja, hubungan, tugas dan fungsi Badan/Lembaga, dan mekanisme koordinasi badan Otonomi khusus di Tanah Papua dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua serta pemangku kepentingan lainnya, diatur dengan peraturan Presiden dengan pertimbangan Gubernur di Tanah Papua. Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk selambatlambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini.
Pasal 52 Kepala badan Otonomi Khusus di Tanah Papua menyampaikan laporan berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden RI atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
BAB IX BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN Bagian Kesatu Umum
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 53 Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif. Pemerintahan Kabupaten/Kota terdiri atas DPRD Kabupaten/Kota sebagai badan legislatif dan Bupati/Walikota sebagai badan eksekutif beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya. Pemerintahan Distrik sebagai satuan pemerintahan yang menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan Kabupaten/Kota dan urusan pemerintahan umum lainnya. Pemerintahan Kampung sebagai satuan pemerintahan otonom asli yang terdiri atas Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dengan sebutan lain. Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Distrik dan Kampung merupakan satu kesatuan susunan pemerintahan yang berjenjang.
26
Bagian Kedua Majelis Rakyat Papua Paragraf 1 Kedudukan MRP
(1)
(2)
(1)
(2) (3) (4) (5) (6)
(1)
Pasal 54 Majelis Rakyat Papua dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan provinsi di Tanah Papua dan merupakan representasi kultural Orang Asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hakhak Orang Asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama. MRP dibentuk di setiap provinsi di Tanah Papua dan berkedudukan di ibukota provinsi. Pasal 55 MRP beranggotakan orang-Orang Asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masingmasing sepertiga dari total anggota MRP. Masa keanggotaan MRP adalah 5 (tujuh) tahun. Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perdasus. Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam mendukung tugas dan fungsi MRP dibentuk Sekretariat MRP. Sekretariat MRP dapat menyediakan tenaga ahli untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi MRP. Pasal 56 MRP mempunyai tugas dan wewenang: a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang masing-masing diusulkan oleh DPRP, DPRD Kabupaten/Kota atau lembaga penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang berwenang untuk itu; b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota DPRD Kabupaten/Kota, calon anggota DPRP, calon sekretaris daerah provinsi, calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota, calon kepala SKPD provinsi, calon kepala SKPD Kabupaten/Kota, calon kepala distrik, calon lurah dan calon kepala kampung; c. bersama-sama DPRP dan Gubernur membahas rancangan Perdasus; d. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah 27
(2)
Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi di Tanah Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak Orang Asli Papua; e. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak Orang Asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; f. Melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana otonomi khusus. g. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pembagian dan pemanfaatan dana otonomi khusus serta melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatan yang memanfaatkan dana otonomi khusus; h. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana pembentukan daerah otonom baru provinsi dan Kabupaten/Kota; i. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan pembinaan kerukunan kehidupan beragama; j. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan kebijakan pemberdayaan perempuan Orang Asli Papua; k. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan kebijakan pemberdayaan dan perlindungan adat istiadat dan budaya serta lembaga adat asli Papua; l. Melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota terutama mengenai urusan pemerintahan dan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan Orang Asli Papua; dan m. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Peraturan Pemerintah yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini. Pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus. Pasal 57
(1)
MRP mempunyai hak: a. Mengajukan keberatan/penolakan terhadap rancangan Perdasus dan Perdasi yang bertentangan dengan hak-hak Orang Asli Papua; b. Melakukan pengawasan terhadap APBD terutama alokasi pemanfaatan dana otonomi khusus; c. Meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua; d. Meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;
28
e. Mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua; f. Mengajukan keberatan atas usul pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang masing-masing diajukan oleh DPRP dan oleh DPRD Kabupaten/Kota sebelum akhir masa jabatan; g. Mengajukan keberatan atas penetapan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, calon Walikota dan Wakil Walikota yang cacat hukum dalam proses pemilihan; dan h. Menetapkan Peraturan MRP yang mengikat ke dalam dan ke luar. (2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Perdasus.
(1)
(2)
(1)
(2)
(1) (2) (3)
Pasal 58 Setiap anggota MRP mempunyai hak: a. Mengajukan pertanyaan; b. Menyampaikan usul dan pendapat; c. Imunitas; d. Protokoler; dan e. Keuangan/administrasi. Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usul pemerintah provinsi. Pasal 59 MRP mempunyai kewajiban: a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat di Tanah Papua; b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mentaati segala perundang-undangan; c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua; d. membina kerukunan kehidupan beragama; dan e. mendorong pemberdayaan perempuan. Tatacara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus. Pasal 60 Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat agama dan masyarakat perempuan. Penyelenggara pemilihan anggota MRP dilakukan oleh Panitia ad hoc. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Perdasus. 29
(1) (2) (3)
Pasal 61 Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diajukan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan. Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasar usul Pemerintah Provinsi. Paragraf 2 Persyaratan Keanggotaan MRP
(1)
(2)
(3)
Pasal 62 Keanggotaan MRP wajib memenuhi persyaratan umum : a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Setiakepada Pancasila, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. Memahami adat istiadat orang Papua; d. Berpedidikan dan berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1); e. Memiliki integritas kepribadian yang baik; f. Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun, dan maksimal 60 (enam puluh) tahun; dan g. Orang Asli Papua. Jumlah anggota MRP adalah ¾ dari jumlah anggota DPRP masing-masing Provinsi, dengan memperhatikan keterwakilan masing-masing suku yang ada di Tanah Papua. Tata cara pemilihan Anggota MRP selanjutnya diatur dengan Perdasus.
Bagian Ketiga Pemerintah Provinsi Paragraf 1 Persyaratan Gubernur/Wakil Gubernur
(1) (2)
(1)
Pasal 63 Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah Provinsi lainnya. Pemerintah Provinsi dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur. Pasal 64 Yang dapat dipilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernuradalah Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang memenuhi syarat: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 30
(2)
b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah; c. berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1); d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; e. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah; f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana; g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; h. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; i. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; j. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan k. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak. Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang menyatakan dirinya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan lain dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi, sertifikat atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; c. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara Indonesia, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; d. surat keterangan kesehatan dari tim dokter/rumah sakit pemerintah yang menerangkan bahwa yang bersangkutan mampu secara jasmani dan rohani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e; e. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f; f. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah 31
(3)
memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g; g. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi dan surat pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya diumumkan, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i; h. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j; i. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k; dan j. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP. Paragraf 2 Tugas dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur
(1)
Pasal 65 Gubernur mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan Pemerintah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota; b. meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota; c. melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan, pengangangkatan, pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas pertanggungjawaban Bupati/Walikota; d. melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama Presiden; e. mensosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan Peraturan Perundang-Undangan di Provinsi; f. melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi;
32
g.
(2)
membina hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta antar Pemerintah Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; h. memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan dan pemekaran Daerah; i. memimpin penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP dan MRP; j. mengajukan rancangan Perdasi dan Perdasus; k. menetapkan Perdasi dan Perdasus yang telah mendapat persetujuan bersama DPRP; l. menyusun dan mengajukan rancangan Perdasi tentang APBD kepada DPR untuk dibahas dan ditetapkan bersama; m. mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM penduduk Papua; n. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan o. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur memberikan persetujuan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat pemerintahan daerah;
Pasal 66 (1) Wakil Gubernur mempunyai tugas: a. membantu Gubernur dalam: 1) penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undangundang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP dan MRP; 2) mengoordinasikan kegiatan perangkat Provinsi dan instansi vertikal di Provinsi; 3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan; 4) melaksanakan kebijakan pemberdayaan kelembagaan adat dan pranata sosialnya, kelembagaan agama dan pemberdayaan perempuan dan pemuda; 5) mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM Penduduk Provinsi; 6) pengembangan dan pelestarian adat istidat dan sosial budaya dan lingkungan hidup. 33
(2) (3) (4) (5)
(1)
b. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota; c. memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; d. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Gubernur; dan e. melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur apabila Gubernur berhalangan. membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan kewajibannya. membantu mengkoordinasikan kegiatan instansi Pemerintah di Provinsi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Gubernur bertanggung jawab kepada Gubernur. Wakil Gubernur menggantikan Gubernur sampai habis masa jabatannya apabila Gubernur meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Pasal 67 Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 66, Gubernur dan Wakil Gubernur mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. mengakui, menghargai dan menghormati serta melindungi dan memajukan hak-hak dasar Orang Asli Papua; c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan khususnya Orang Asli Papua; d. melindungi dan melestarikan budaya Papua; e. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; f. mencerdaskan kehidupan rakyat Papua; g. melaksanakan kehidupan demokrasi; h. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; i. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; j. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; k. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; l. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; m. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; n. menyelenggarakan Pemerintahan dan melaksanakan pembangunan sesuai dengan RPJPD dan RPJMD secara bersih, jujur dan bertanggung jawab; dan 34
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2) (3)
(4)
(5) (6)
(7)
o. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRP. Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRP serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri satu kali dalam 1 (satu) tahun. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinisi, DPRP dan MRP. Pasal 68 Masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, jabatan Gubernur dijabat oleh Wakil Gubernur sampai habis masa jabatannya. Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Gubernur mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRP/DPRPB berdasarkan usul partai politik atau gabungan Partai Politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan sebelumnya memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP. Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap, maka DPRP/DPRPB menunjuk seorang pejabat pemerintah Provinsi yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Gubernur sampai terpilih Gubernur yang baru. Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas Gubernur untuk sementara waktu. Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) DPRP/DPRPB menyelenggarakan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
35
(1) (2)
(3) (4) (5) (6)
Pasal 69 Gubernur selaku kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRP. Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan. Sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Tata cara pertanggungjawabanGubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Gubernur mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1). Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 3 Larangan Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur
Pasal 70 Gubernur dan Wakil Gubernur dilarang: a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikankepentingan umumdan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain; b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah atau dalam yayasan bidang apapun; c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan; d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasal 65 huruf n; f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; dan g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRP sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
36
Paragraf 4 Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 71 Gubernur dan/atau wakil Gubernur berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; dan c. diberhentikan. Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena: a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan; c. berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; e. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; f. tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; dan g. melanggar larangan bagi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRP untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRP. Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan dengan ketentuan: a. Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRP bahwa Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Pendapat DPRP sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir; c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPRP tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRP itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final; d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Gubernur dan/atau Wakil Gubernur terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRP menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir untuk 37
e.
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
memutuskan usul pemberhentian Gubernurdan/atauWakil Gubernur kepada Presiden; dan Presiden wajib memproses usul pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRP menyampaikan usul tersebut.
Pasal 72 Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRP apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRP apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 73 Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRP karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Gubernur dan/atau Wakil Gubernur diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRP apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 74 Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur menghadapi krisis kepercayaan publik meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRP menggunakan hak angket untuk menanggapinya. Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRP menyerahkan proses penyelesaian kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRP mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRP. 38
(5) (6)
(7)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
Berdasarkan keputusan DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Apabila Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRP mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRP yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRP dan Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRP yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden memberhentikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Pasal 75 Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang bersangkuttan sampai dengan akhir masa jabatan. Apabila Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatan, Presiden merehabilitasikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP. Pasal76 Apabila Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5), Wakil Gubernur melaksanakan tugas dan kewajiban Gubernur sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila Wakil Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 74 ayat (5), tugas dan kewajiban Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Gubernur sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1), Pasal 73 ayat (1), dan Pasal 74 ayat (5), Presiden menetapkan pejabat Gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri atau pejabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur dengan pertimbangan DPRP sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 39
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Tata cara penetapan, kriteria calon dan masa jabatan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 77 Apabila Gubernur diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2), Pasal 73 ayat (2) dan Pasal 74 ayat (7) jabatan Gubernur diganti oleh Wakil Gubernur sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRP dan disahkan oleh Presiden. Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Gubernur mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Gubernur untuk dipilih oleh Rapat Paripurana DPRP berdasarkan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam hal Gubernur dan Wakil Gubernur berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRP memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkan penjabat Gubernur. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sekretaris Daerah melaksanakan tugas sehari-hari Gubernur sampai dengan Presiden mengangkat Penjabat Gubernur. Tatacarapengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan Penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5 Tindakan Penyidikan terhadap Gubernur Dan Wakil Gubernur
(1)
(2)
(3)
Pasal 78 Tindakan Penyidikan dan Penyidikan terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan Penyidik. Dalam hal Persetujuaan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Tindakan Penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). 40
(4)
(5)
Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tidak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam. Bagian Keempat Pemerintah Kabupaten/Kota Paragraf 1 Persyaratan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
Pasal 79 Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota.
(1)
Pasal 80 Yang dapat dipilih menjadi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota adalah Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang memenuhi syarat: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setiakepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah; c. berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1); d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; e. berasal dari suku asli masyarakat adat setempat; f. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana; h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan; j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan 41
(2)
(3)
l. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak. Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang menyatakan dirinya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan lain dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi, sertifikat, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; c. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara Indonesia, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; d. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g; e. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h; f. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi dan surat pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya diumumkan, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j; g. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k; h. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l; dan i. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP.
42
Paragraf 2 Tugas dan Wewenang Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Pasal 81 Bupati/Walikota mempunyai tugas dan wewenang: a. memimpin penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota dan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota; b. mengajukan rancangan Perda; c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD Kabupaten/Kota; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD Kabupaten/Kota untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM penduduk Papua; f. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; g. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan h. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(1)
Pasal 82 Wakil Bupati/Wakil Walikota mempunyai tugas: a. membantu Bupati/Walikota dalam: 1) penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota dan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD Kabupaten/Kota; 2) mengkoordinasikan kegiatan perangkat Kabupaten/Kota dan instansi vertikal di Kabupaten/Kota; 3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan; 4) melaksanakan kebijakan pemberdayaan kelembagaan adat dan pranata sosialnya, kelembagaan agama dan pemberdayaan perempuan dan pemuda; 5) mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM Penduduk Kabupaten/Kota; dan 6) pengembangan dan pelestarian adat istidat dan sosial budaya dan lingkungan hidup; b. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan Distrik dan Kampung; 43
(2) (3)
(1)
c. memberikan saran dan pertimbangan kepada Kepala Distrik dan Kepala Kampung dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah Distrik dan Kampung; d. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh Bupati/Walikota; dan e. melaksanakan tugas dan wewenang Bupati/Walikota apabila Bupati/Walikota berhalangan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil Bupati/Wakil Walikota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Wakil Bupati/Wakil Walikota menggantikan Bupati/Walikota sampai berakhir masa jabatannya apabila Bupati/Walikota meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya. Pasal 83 Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan Pasal 82, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota mempunyai kewajiban: a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. mengakui, menghargai dan menghormati serta melindungi dan memajukan hak-hak dasar Orang Asli Papua; c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan khususnya Orang Asli Papua; d. melindungi dan melestarikan budaya Papua; e. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; f. melaksanakan kehidupan demokrasi; g. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; h. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; i. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; j. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik; k. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; l. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; dan m. menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota.
44
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2) (3)
(4)
(5) (6)
(7)
Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Provinsi, dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD Kabupaten/Kota, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernursatu kali dalam 1 (satu) tahun. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah Provinsi sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Perda yang dibentuk atas usulan Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 84 Masa jabatan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Dalam hal Bupati/Walikota berhalangan tetap, jabatan Bupati/Walikota dijabat oleh Wakil Bupati/Wakil Walikota sampai habis masa jabatannya. Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kotaberdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, dengan sebelumnya memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP/MRPB. Apabila Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota berhalangan tetap, maka DPRD Kabupaten/Kota menunjuk seorang pejabat pemerintah Kabupaten/Kota yang memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas-tugas Bupati/Walikota sampai terpilih Bupati/Walikota yang baru. Selama penunjukan tersebut pada ayat (4) belum dilakukan, Sekretaris Daerah menjalankan tugas Bupati untuk sementara waktu. Dalam hal Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), DPRD Kabupaten/Kota menyelenggarakan pemilihan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6), diatur lebih lanjut dengan Perda Kabupaten/Kota. 45
Paragraf 3 Larangan Bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota Pasal 85 Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dilarang: a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyrakat lain; b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara daerah, atau dalam yayasan bidang apapun; c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan; d. melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/atau jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; e. menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain yang dimaksud dalam Pasal 81 huruf g; f. menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya; dan g. merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kotasebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Paragraf 4 Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
(1)
(2)
Pasal 86 Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; dan c. diberhentikan. Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena: a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan; c. berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; e. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; f. tidak melaksanakan kewajiban Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; dan 46
(3)
(4)
g. melanggar larangan bagi Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2)huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/Kotauntuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD Kabupaten/Kota. Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dilaksanakan dengan ketentuan: a. Pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD Kabupaten/Kota bahwa Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota; b. Pendapat DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kotadan putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir; c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD Kabupaten/Kotatersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah permintaan DPRD Kabupaten/Kota itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final; d. Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa Bupati/Wakil Bupatidan/atauWalikota/Wakil Walikota terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD Kabupaten/Kota menyelenggarakan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kotadan putusan diambil, dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota kepada Presiden; dan e. Presiden wajib memproses usul pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usul tersebut.
47
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 87 Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan. Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 88 Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD Kabupaten/Kota karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pasal 89 Dalam hal Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD Kabupaten/Kota menggunakan hak angket untuk menanggapinya. Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD Kabupaten/Kota menyerahkan proses penyelesaian antara kepada aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perudangundangan. Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan bersalah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3), DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD Kabupaten/Kota. 48
(5)
(6)
(7)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
Berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden menetapkan pemberhentian sementara Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota. Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota yang hadir. Berdasarkan keputusan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden memberhentikan Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota. Pasal 90 Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri telah merehabilitasikan dan mengaktifkan kembali Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota yang bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya. Apabila Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Menteri Dalam Negeri merehabilitasikan Bupati/Wakil Bupatidan/atau Walikota/Wakil Walikota yang bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan Pasal 88, diatur dalam Perda yang dibentuk atas usulan Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 91 Apabila Bupati/Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), Wakil Bupati/Wakil Walikota melaksanakan tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila Wakil Bupati/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), tugas dan kewajiban Wakil Bupati/Wakil Walikota dilaksanakan oleh Bupati/Walikota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 49
(3) Apabila Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dan Pasal 89 ayat (1), Menteri Dalam Negeri menetapkan penjabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur atau penjabat Bupati/Walikota atas usul Bupati/Walikota dengan pertimbangan DPRD Kabupaten/Kota sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (4) Tata cara penetapan, kriteria calon dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 92 Apabila Bupati/Walikota diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dan pasal 88 ayat (2) jabatan Bupati/Walikota diganti oleh Wakil Bupati/Wakil Walikota sampai berakhir masa jabatannya dan proses pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota dan disahkan oleh Menteri Dalam Negeri. Apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan, Bupati/Walikota mengusulkan 2 (dua) orang calon Wakil Bupati/Wakil Walikota untuk dipilih oleh Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota. Dalam hal Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kota memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya penjabat Bupati/Walikota. Dalam hal terjadi kekosongan jabatan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris daerah melaksanakan tugas sehari-hari Bupati/Walikota sampai dengan Menteri Dalam Negeri mengangkat penjabat Bupati/Walikota. Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan penjabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
50
Paragraf 5 Tindakan Penyidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 93 Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Bupati/Wakil Bupati dan/atau Walikota/Wakil Walikota dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas permintaan penyidik. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan wajib dilaporkan kepada Gubernur paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
Bagian Kelima DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PAPUA
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
(1)
Pasal 94 Kekuasaan legislatif Provinsi di Tanah Papua dilaksanakan oleh DPRP. DPRP berkedudukan di ibukota Provinsi. Anggota DPRP yang dipilih berasal dari partai. Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Tata cara pengangkatan dan penetapan anggota DPRP yang diangkat dari Orang Asli Papua diatur dengan Perdasus. Pasal 95 Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab, keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRP diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 51
(2)
Kedudukan keuangan DPRP diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 96 Pengangkatan Anggota DPRP sebagaimana di maksud dalam pasal 94 ayat (6) dilaksanakan dengan persyaratan dan mekanisme sebagai berikut: a. bakal calon anggota DPRP tersebut berasal dari masyarakat adat yang asli bukan lembaga masyarakat adat bentukan atau bukan anggota partai politik tertentu baik aktif atau pasif; b. anggota lembaga keagamaan atau organisasi perempuan yang kantor pusatnya berkedudukan di provinsi Papua; dan c. memenuhi persyaratan tertentu lainnya yang di tetapkan dalam perdasus.
(1)
(2)
Pasal 97 DPRP mempunyai hak: a. meminta pertanggungjawaban Gubernur; b. meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta pihak-pihak yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. melakukan penyelidikan; d. melakukan perubahan atas Rancangan Perdasus dan Perdasi; e. mengajukan pernyataan pendapat; f. mengajukan Rancangan Perdasus dan Perdasi; g. membahas dan menyetujui APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; dan h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRP. Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 98 (1) Setiap anggota DPRP mempunyai hak: a. mengajukan pertanyaan; b. menyampaikan usul dan pendapat; c. imunitas; d. protokoler; dan e. keuangan/administrasi. (2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 99 (1)
DPRP mempunyai kewajiban: a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mentaati segala perundang-undangan; 52
(2)
(1)
c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; d. meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; dan e. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan TataTertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 100 DPRP mempunyai Tugas dan Wewenang: a. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Melaksanakan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dilaksanakan di wilayah Provinsi di Tanah Papua; d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri; e. Membahas Rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur; f. membahas dan menetapkan rancangan Perdasus bersama-sama dengan MRP dan Gubernur; g. membahas dan menetapkan rancangan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur; h. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perdasus dan Perdasi dan peraturan perundang-undangan lain; i. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan program pembangunan, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional; j. Menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur; k. membahas dan menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama dengan Gubernur; l. Bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dengan memperhatikan kekhususan Papua; m. Memberikan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi; n. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Daerah RI yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan di Tanah Papua; o. Memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama antar daerah 53
(2)
(1)
(2)
(1) (2)
(1) (2) (3)
(4)
dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani Pemerintah dan masyarakat; dan p. Meminta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan. Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 101 Alat kelengkapan DPRP terdiri atas: a. pimpinan; b. komisi; c. badan legislasi; d. badan musyawarah; e. badan anggaran; f. badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan. Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRP dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 102 DPRP wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRP dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik; c. pengaturan sikap, tata kerja dan tata hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah dan antara anggota serta antara anggota DPRP dan pihak lain; d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRP; e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan f. sanksi dan rehabilitasi. Pasal 103 Setiap anggota DPRP wajib berhimpun dalam fraksi. Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRP. Anggota DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1 (satu) partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan. Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRP dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi. 54
(5)
(6) (7)
Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi gabungan lain yangmemenuhi syarat. Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk satu fraksi. Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).
Pasal 104 DPRPyang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi, yang beranggotakan lebih dari 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 105 Anggota DPRP tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRP, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik DPRP. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Anggota DPRP tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRP. Pasal 106 Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRP dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota DPRP. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahan diperlukan persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
55
(5)
Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam. Bagian Keenam DPRD Kabupaten/Kota Paragraf 1 Umum
Pasal 107 Ketentuan tentang DPRD Kabupaten/Kota sepanjang tidak diatur dalam UndangUndang ini, berlaku ketentuan Undang-Undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPDdan DPRD. Paragraf 2 Kedudukan dan Fungsi Pasal 108 DPRD Kabupaten/Kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten/Kota. Pasal 109 DPRD Kabupaten/Kotamemiliki fungsi: a. legislasi; b. anggaran; dan c. pengawasan. Paragraf 3 Tugas dan Wewenang
(1)
Pasal 110 DPRD Kabupaten/Kotamempunyai tugas dan wewenang: a. membentuk Perda yang dibahas dengan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota untuk mendapat persetujuan bersama; b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota; c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerja sama internasional di daerah; 56
(2)
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota/Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur; e. memilih Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota; f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sana internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; i. membentuk panitia pengawas pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota; j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota; dan k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah. Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD Kabupaten/Kota melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4 Hak dan Kewajiban
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 111 DPRD Kabupaten/Kotamempunyai hak: a. interpelasi; b. angket; dan c. menyatakan pendapat. Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD Kabupaten/Kotayang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah, anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir. Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya kepada DPRD Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memanggil, mendengar dan memeriksa seseorang yang dianggap 57
(5)
(6)
(7) (8)
(1)
(2)
mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk meminta menunjukkansurat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki. Setiap orang yang dipanggil, didengardan diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia. Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 112 Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak: a. mengajukan rancangan Perda; b. mengajukan pertanyaan; c. menyampaikan usul dan pendapat; d. memilih dan dipilih; e. membela diri; f. imunitas; g. protokoler; dan h. keuangan dan administratif. Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
dan
anggota
DPRD
Pasal 113 Anggota DPRD Kabupaten/Kota mempunyai kewajiban: a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundangundangan; b. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan, pemerintahan daerah; c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah; e. menyerap, menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; g. memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota 58
DPRD Kabupaten/Kota sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya; h. mentaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan i. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
Paragraf 5 Alat Kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota
(1)
(2)
(1)
(2)
(1) (2) (3)
Pasal 114 Alat kelengkapan DPRD Kabupaten/Kota terdiri atas: a. pimpinan; b. komisi; c. badan legislasi d. badan musyawarah; e. badan anggaran; f. badan Kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang diperlukan. Pembentukan, susunan, tugas dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana dimaksad pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kotadengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 115 DPRD Kabupaten/Kota wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRD Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a. pengertian kode etik; b. tujuan kode etik; c. pengaturan sikap, tata kerja dan tata hubungan antar penyelenggara pemerintahan daerah dan antara anggota serta antara anggota DPRD Kabupaten/Kota dan pihak lain; d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota; e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan; dan f. sanksi dan rehabilitasi. Pasal 116 Setiap anggota DPRD Kabupaten/Kota wajib berhimpun dalam fraksi. Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD Kabupaten/Kota. Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1 (satu) partai politik yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) 59
(4) (5)
(6) (7)
fraksi, wajib bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan. Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik lain yang tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi. Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk, kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi gabungan lain yangmemenuhi syarat. Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat membentuk satu fraksi. Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).
Pasal 117 DPRD Kabupaten/Kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi, yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
Pasal 118 Anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis dalam rapat DPRD Kabupaten/Kota, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib dan kode etik DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam peraturan perundang-undangan. Anggota DPRD Kabupaten/Kota tidak dapat diganti antar waktu karena pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 119 Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahan diperlukan persetujuan tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). 60
(4)
(5)
Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; dan b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam. Paragraf 6 Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRD Kabupaten/Kota
(1)
(2)
(3) (4)
(5)
(6)
Pasal 120 Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya; b. hakim pada badan peradilan; dan c. pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara, notaris, dokter praktek dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang dan hak sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota. Anggota DPRD Kabupaten/Kota dilarang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi anggota DPRD Kabupaten/Kota. Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota yang berpedoman pada peraturan perundang undangan.
61
Paragraf 7 Penggantian Antar waktu Anggota DPRD Kabupaten/Kota
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 121 Anggota DPRD Kabupaten/Kota berhenti antar waktu sebagai anggota karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; dan c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Anggota DPRD Kabupaten/Kota diberhentikan antar waktu, karena: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota; c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau melanggar kode etik DPRD Kabupaten/Kota; d. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD Kabupaten/Kota; e. melanggar larangan bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan f. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun penjara atau lebih. Pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur melalui Bupati/Walikota untuk diresmikan pemberhentiannya. Pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan setelah ada keputusan DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan DPRD Kabupaten/Kota. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketujuh Distrik
(1) (2)
(1)
Pasal 122 Distrik dipimpin oleh Kepala Distrik. Kepala Distrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 123 Dalam pelaksanaan tugasnya kepala distrik memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan Bupati/Walikota untuk menangani urusan pemerintahan Kabupaten/Kota. 62
(2)
(3)
(4)
(5) (6)
(1) (2)
(3)
Kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek: a. perizinan; b. rekomendasi; c. koordinasi; d. pembinaan; e. pengawasan; f. fasilitasi; g. penetapan; h. penyelenggaraan; dan i. kewenangan lain yang dilimpahkan. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala distrik juga penyelenggarakan tugas umum pemerintahan meliputi: a. Menjaga keutuhan NKRI dan Bhineka Tunggal Ika; b. Mengamalkan Pancasila dan UUD 1945; c. Menegakkan Demokrasi; d. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; e. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; f. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan; g. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; h. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat distrik; i. Membina penyelenggaraan pemerintahan kampung dan/atau kelurahan; dan j. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan kampung atau kelurahan. Kepala Distrik dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh perangkat distrik yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota. Perangkat Distrik dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Distrik. Kepala Distrik dalam melaksanakan tugas dari Pemerintah Pusat, Gubernur atau Instansi vertikal dengan beban anggaran dari APBN. Pasal 124 Pembentukan Distrik ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; Pembentukan Distrik sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat Administrasi, Teknis, Fisik kewilayahan serta memperhatikan Kultur dan Adatistiadat. Peraturan daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan Distrik sebagaimana tersebut dalam ayat (1) paling sedikit memuat: 63
(4) (5)
(1)
(2)
(1) (2)
(3)
(4)
a. Nama Distrik; b. Nama Ibukota Distrik; c. Batas Wilayah Distrik; dan d. Nama Kampung/Kelurahan. Peraturan daerah sebagaimana dimaksud ayat (3) dilampiri peta distrik sesuai kaidah tersebut memuat titik koordinat. Peraturan daerah dapat disahkan setelah mendapatkan kode dan data wilayah administrasi pemerintahan dari Pemerintah. Pasal 125 Syarat administratif pembentukan Distrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2), meliputi: a. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 tahun; dan b. Rekomendasi/Persetujuan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah; Keputusan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK). Pasal 126 Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) meliputi cakupan wilayah, lokasi ibukota, sarana dan prasarana. Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) untuk daerah kabupaten paling sedikit terdiri atas 10 kampung/kelurahan dan untuk daerah kota paling sedikit terdiri atas 5 desa/kelurahan. Lokasi ibukota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperhatikan tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik dan sosial budaya. Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi bangunan dan lahan.
Pasal 127 Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud Pasal 124 ayat (2) meliputi Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, rentang kendali Penyelenggaraan Pemerintahan, Aktivitas Perekonomian Ketersediaan Sarana dan Prasarana.
(1) (2)
(3)
Pasal 128 Organisasi Distrik terdiri dari 1 (satu) sekretaris, paling banyak 5 (lima) seksidan sekretariat membawahkan paling banyak 3 (tiga) subbagian. Seksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. seksi tata pemerintahan; b. seksi pemberdayaan masyarakat; dan c. seksi ketenteraman dan ketertiban. Pedoman organisasi Distrik ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara. 64
Pasal 129 Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Distrik dilaksanakan oleh Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(1) (2)
(1)
(2)
Pasal 130 Pelayanan Administrasi distrik sebagaimana dimaksud Pasal 128 dapat diselenggarakan di distrik. Pelayanan administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diselenggarakan dengan Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan/PATEN. Pasal 131 Bupati/Walikota membentuk instansi teknis di tingkat Distrik sebagai perpanjangan tangan Dinas, Badan atau Lembaga Teknis Kabupaten/Kotauntuk mendekatkan pelayanan Pemerintahan kepada Orang Asli Papua. Organisasi dan Tata Kerja instansi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Perda. Bagian Kedelapan Kelurahan
(1) (2) (3)
(4)
(5) (6) (7) (8)
Pasal 132 Selain kampung di wilayah Distrik dapat dibentuk kelurahan. Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas: a. melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan; b. memberdayakan masyarakat; c. memberikan pelayanan kepada masyarakat; d. membina terselenggaranya ketenteraman dan ketertiban umum; dan e. membangun serta memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum. Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Kepala Distrik dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), lurah bertanggung jawab kepada Kepala Distrik. Lurah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibantu oleh perangkat kelurahan. Perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada lurah. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dapat dibentuk lembaga lain sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan peraturan Bupati/Walikota. 65
(9)
(1)
(2)
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diatur dengan peraturan Bupati/Walikotasesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 133 Pembentukan kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 pada ayat (1) dilakukan di wilayah perkotaan pusat pemerintahan Kabupaten/Kotatetapi tidak termasuk wilayah pinggiran perkotaan. Tata cara pembentukan kelurahan diatur dengan Perdasi.
BAB X PEMILIHAN GUBERNUR/WAKIL GUBERNUR, BUPATI/WAKIL BUPATI, WALIKOTA/WAKIL WALIKOTA Bagian Kesatu Umum
(1)
(2)
(3) (4)
Pasal 134 Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dipilih dalam satu pasangan calon melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Biaya untuk pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur dibebankan pada APBD Provinsi. Biaya untuk pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dibebankan pada APBD Kabupaten/Kota. Bagian Kedua Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur
(1) (2) (3)
Pasal 135 Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), diselenggarakan oleh DPRP. Pelaksanaan pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRP. Tatacara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur diatur dengan Perdasus.
66
Bagian Ketiga Pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
Pasal 136 Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1), dilakukan secara tidak langsung melalui DPRD Kabupaten/Kota. Ketentuan mengenai pelaksanaan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Pemilihan Bupati/Wakil Bupatidan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui tahap persiapan, pencalonan, pelaksanaan pemilihan, pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan yang diatur oleh Komisi pemilihan Umum. Pelaksanaan pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten/Kota. Tatacara pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diatur dengan Peraturan daerah.
Pasal 137 Untuk menjadi calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan Wakil Walikota selain syarat-syarat lain, syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh calon tersebut adalah Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a.
(1)
(2)
(3)
Pasal 138 Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota dipilih oleh DPRP/DPRD dalam satu pasangan yang diajukan oleh satu partai politik, gabungan partai politik atau calon perseorangan. Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota memangku jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali dalam satu masa jabatan dalam jabatan yang sama. Tatacara Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota diatur dengan Perdasus.
BAB XI PERATURAN DAERAH KHUSUS, PERATURAN DAERAH PROVINSI DANPERATURAN GUBERNUR
(1)
Pasal 139 Perdasus dibuat dan ditetapkan oleh DPRP dan Gubernur setelah dibahas bersama-sama oleh DPRP, MRP dan Gubernur. 67
(2) (3) (4)
(1) (2)
(1) (2) (3)
(4)
(5) (6) (7)
(1)
(2)
Perdasi dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur. Tata cara pembahasan Perdasus oleh DPRP dan Gubernur bersama-sama dengan MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus. Tata cara pembentukan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi. Pasal 140 Pelaksanaan Perdasus dan Perdasi diatur dengan Peraturan Gubernur. Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan kepentinganumum dan hak-hak dasar Orang Asli Papua serta Perdasus dan Perdasi. Pasal 141 Perdasus dan Perdasi diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Provinsi. Peraturan Gubernur diundangkan dengan menempatkannya dalam Berita Daerah. Dalam hal Raperdasus dan Raperdasi yang telah disetujui bersama oleh DPRP, MRP dan Gubernur tidak disahkan oleh Gubernur dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Raperdasus atau Raperdasi disetujui, Raperdasus atau Raperdasi sah menjadi Perdasus atau Perdasi dan wajib diundangkan dengan menempatkannya dalam lembaran daerah dengan rumusan frasa pengesahan berbunyi "Perdasus atau Perdasi ini dinyatakan sah". Frasa pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) beserta tanggal jatuh sahnya, harus dibubuhkan dalam halaman terakhir Perdasus dan Perdasi sebelum pengundangan naskah Perdasus atau Perdasi dalam Lembaran Daerah. Perdasus dan Perdasi mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah Provinsi. Peraturan Gubernur mempunyai kekuatan hukum setelah dimuat dalam Berita Daerah. Perdasus, Perdasi dan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) wajib disosialisasikan oleh Pemerintah Provinsi. Pasal 142 Perdasus yang materi muatannya tidak sesuai dengan hasil pembahasan oleh DPRP dan Gubernur bersama-sama MRP dinyatakan batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Rancangan Perdasi yang dapat dievaluasi dan diklarifikasi oleh Pemerintah adalah Rancangan Perdasi tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Tata Ruang Wilayah dan keuangan daerah yang mencakup pajak daerah, retribusi daerah dan APBD. 68
(3)
(1) (2)
(1)
(2)
(3)
Pemerintah dapat melakukan evaluasi, klarifikasi dan pembatalan raperdasi/perdasi dan raperdasus/perdasus yang bertentangan dengan konsensus bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Pasal 143 Dalam rangka meningkatkan efektivitas pembentukan dan pelaksanaan hukum di Provinsi Papua, dapat dibentuk Komisi Hukum Ad Hoc. Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang fungsi, tugas, wewenang, bentuk dan susunan keanggotaannya diatur dengan Perdasi. Pasal 144 Dalam rangka percepatan dan peningkatan efektifitas pembentukan dan pelaksanaan produk hukum daerah di Tanah Papua, dibentuk komisi hukum ad hoc. Komisi Hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk membantu Gubernur, DPRPP dan MRP dalam menyiapkan rancangan perdasus dan perdasi sebagai pelaksanaan dari Undang-undang ini. Pembentukan komisi hukum Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan bersama Gubernur di Tanah Papua, selambatlambatnya 60 hari setelah disahkannya Undang-Undang ini.
BAB XII PERANGKAT DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Umum
(1)
(2)
(3)
Pasal 145 Perangkat daerah Provinsi terdiri atas Sekretariat Daerah Provinsi, Sekretariat DPRP, Sekretariat MRP, Satuan Kerja Perangkat Daerah dan lembaga teknis Provinsi yang diatur dengan Perdasi. Perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sekretariat daerah Kabupaten/Kota, sekretariat DPRD, Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, lembaga teknis Kabupaten/Kota dan Distrik. Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan perdasi.
69
Bagian Kedua Sekretariat Daerah Provinsi
(1) (2)
(3) (4) (5)
(1) (2) (3) (4)
(1) (2) (3)
Pasal 146 Sekretariat Daerah Provinsi dipimpin oleh Sekretariat Daerah Provinsi. Sekretariat Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas, fungsi dan wewenang: a. membantu Gubernur dalam menyusun kebijakan; b. mengkoordinasikan dinas, lembaga dan badan Provinsi; dan c. membina Pegawai Negeri Sipil Daerah dalam wilayah Provinsi. Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Sekretariat Daerah Provinsi bertanggungjawab kepada Gubernur. Dalam hal Sekretariat Daerah Provinsi berhalangan melaksakan tugasnya, tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Gubernur. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas dan wewenang Sekretariat Daerah Provinsi diatur dengan Perdasi. Pasal 147 Sekretariat Daerah Provinsi diangkat dari Pegawai Negeri Sipil Daerah yang memenuhi syarat. Calon Sekretaris Daerah Provinsi diusulkan oleh Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Gubernur menetapkan seorang calon Sekretaris Daerah Provinsi dan disampaikan kepada Presiden untuk ditetapkan. Presiden menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Sekretaris Daerah Provinsi dengan Keputusan Presiden. Pasal 148 Gubernur berkonsultasi dengan Presiden sebelum Sekretaris Daerah Provinsi diberhentikan. Gubernur menetapkan Sekretaris Daerah Provinsi untuk diberhentikan dan disampaikan kepada Presiden. Presiden menetapkan pemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Presiden. Bagian Ketiga Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota
(1) (2)
Pasal 149 Kabupaten/Kota dipimpin
Sekretariat daerah oleh Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota. Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas, fungsi dan wewenang: a. membantu Bupati/Walikota dalam menyusun kebijakan; 70
(3)
(4)
(5)
(1) (2) (3) (4)
(1) (2) (3)
b. mengoordinasikan dinas, lembaga dan badan Kabupaten/Kota; dan c. membina Pegawai Negeri Sipil dalam Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan tugas, fungsidan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekretaris daerah Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Dalam hal sekretaris daerah Kabupaten/Kota berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk Bupati/Walikota. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Kabupaten/Kota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 150 Sekretaris daerah Kabupaten/Kotadiangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat. Bupati/Walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum menetapkan seorang calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota. Bupati/Walikota menetapkan seorang calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota dan disampaikan kepada Gubernur untuk ditetapkan. Gubernur menetapkan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi sekretaris daerah Kabupaten/Kota dengan Keputusan Gubernur. Pasal 151 Bupati/Walikota berkonsultasi dengan Gubernur sebelum sekretaris daerah Kabupaten/Kotadiberhentikan. Bupati/Walikota menetapkan sekretaris daerah Kabupaten/Kota untuk diberhentikan dan disampaikan kepada Gubernur. Gubernur menetapkan pemberhentian sekretaris daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tatacara pengangkatan danpemberhentian Sekretaris Daerah Provinsi dan sekretaris daerah Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Papua
(1) (2) (3)
Pasal 153 Sekretariat DPRP dipimpin oleh Sekretaris DPRP. Sekretaris DPRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRP. Sekretaris DPRP mempunyai tugas: 71
(4) (5)
(6)
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRP; b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRP dan menyelenggarakan administrasi keuangan; c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRP; d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRP; dan e. menyediakan dan mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRP dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Sekretaris DPRP dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRP. Sekretaris DPRP dalam melaksanakan tugasnya secara operasional berada di bawah dan bertanggungjawab kepada pimpinan DPRP dan secara administratif berada di bawah koordinasi Sekretaris Daerah Provinsi. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat DPRP diatur dengan Perdasi. Bagian Kelima Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 154 Kabupaten/Kota dipimpin
Sekretariat DPRD oleh Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota. Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD. Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota mempunyai tugas: a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD Kabupaten/Kota; b. menyusun rencana anggaran Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota dan menyelenggarakan administrasi keuangan; c. melakukan pengelolaan dan administrasi anggaran belanja DPRD Kabupaten/Kota; d. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD Kabupaten/Kota; dan e. menyediakan dan mengoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan Kabupaten/Kota. Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota. Sekretaris DPRD Kabupaten/Kota dalam melaksanakan tugasnya secara operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD Kabupaten/Kotadan secara administratif berada di bawah koordinasi sekretaris daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Kabupaten/Kota. 72
Bagian Keenam Dinas, Badan, dan Lembaga Teknis Provinsi dan Kabupaten/Kota
(1) (2)
(3) (4) (5) (6)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6) (7)
Pasal 155 Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kotamerupakan unsur pelaksana Pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kotadipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil Daerah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepala Dinas Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Provinsi. Kepala dinas Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Dinas Provinsi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi. Dalam melaksanakan tugasnya kepala dinas Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota. Pasal 156 Lembaga Teknis Provinsi merupakan unsur pendukung tugas Gubernur dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Papua yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan/atau kantor. Lembaga teknis Kabupaten/Kota merupakan unsur pendukung tugas Bupati/Walikota dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan Kabupaten/Kota yang bersifat spesifik dapat berbentuk badan/atau kantor. Badan/atau Kantor Provinsi dan Kabupaten/Kota dipimpin oleh kepala badan/atau kantor yang diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepala Badan/atau Kantor Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Sekretaris Daerah Provinsi. Kepala badan/atau kantor Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diangkat dan diberhentikan oleh Bupati/Walikota atas usul sekretaris daerah Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Badan/atau Kantor Provinsi bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah Provinsi. Dalam melaksanakan tugasnya kepala badan/atau kantor Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah Kabupaten/Kota.
73
Bagian Ketujuh Kepegawaian
(1)
(2)
(3)
(4)
(1) (2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 157 Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian dengan berpedoman pada norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan kepegawaian sebagaimana di maksud pada ayat (1) mencakup jumlah tenaga yang dibutuhkan serta persyaratan dan prosedur rekrutmen tenaga kepegawaian daerah. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2)dan ayat (3) diatur dengan Perdasi. Pasal 158 Jabatan Pemerintahan di Tanah Papua diprioritaskan untuk Orang Asli Papua yang memenuhi syarat. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan, pelatihan dan peningkatan kemampuan dan kecakapan Pegawai Negeri Sipil Orang Asli Papua. Penempatan pejabat Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh lembaga independen dan professional. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. Pasal 159 Pemerintah wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Orang Asli Papua yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil untuk bekerja dan membina karir di instansi pemerintah pusat sesuai dengan kompetensi dan keahliannya. Gubernur, Bupati/Walikota wajib mempromosikan Orang Asli Papua untuk berkarir pada lembaga pemerintah dan swasta tingkat Nasional sesuai pengalaman, kompetensi dan bidang keahliannya. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melaksanakan dan mengembangkan program pendidikan unggulan di dalam dan /atau luar Negeri dalam rangka mencetak orang-Orang Asli Papua yang memiliki kualifikasi dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan terbuka dan kompetitif. 74
Pasal 160 Pemerintah wajib memberikan kesempatan bagi putra-putri Indonesia Orang Asli Papua yang memenuhi syarat melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan strategis pada tingkat nasional dan internasional.
BAB XIII PEMERINTAHAN ADAT
(1)
(2) (3)
(1)
(2)
Pasal 161 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota wajib mengakui dan menghormati keberadaan satuan pemerintahan adat, masyarakat adat dan otonomi kelembagaan adat setempat. Pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat dilakukan melalui pembinaan dan pembiayaan terhadap pemerintahan adat. Penyelenggaraan Pemerintahan Adat dilakukan berdasarkan tatanan masyarakat adat setempat. Pasal 162 Setiap Orang Asli Papua merupakan anggota masyarakat adat menurut wilayah dan kelembagaan adatnya masing-masingdan saling menghormati dan mengakui kelembagaan adat dari anggota masyarakat hukum adat yang lain. Suku-suku Orang Asli Papua mengakui dan saling menghargai wilayah adat, hak-hak masyarakat adat dan otonomi kelembagaan adat masing-masing.
BAB XIV KAMPUNG
(1) (2)
(3) (4)
(5)
Pasal 163 Kampung yang berada dalam wilayah persekutuan pemerintahan kesatuan masyarakat hukum adat yang asli diakui keberadaannya. Kampung memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui keberadaannya dalam sistem pemerintahan nasional. Berdasarkan keasliannya kampung ditetapkan sebagai kampung asli dengan memperhatikan karakteristik adat istiadat dan kearifan lokalnya. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mempercepat pembangunan masyarakat dan kawasan kampung. Pemekaran kampung pada kawasan yang bersifat khusus dan strategis untuk kepentingan nasional harus disetujui oleh Pemerintah Provinsi atas usul 75
(6)
Pemerintah Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemerintahan kampung, kewenangan kampung, pembangungan kampung, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat diatur dengan Perdasus yang mengacu pada ketentuan perundang-undangan.
BAB XV PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT ADAT
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
Pasal 164 Pemerintah, pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat sebagaimana diatur berdasarkan Undang-Undang ini. Hak-hak masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak ulayat masyarakat hukum adat dan perorangan para warga masyarakat hukum adat dilaksanakan berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam melaksanakan hak-haknya, masyarakat dan individu dalam kesatuan hukum adat harus bebas dari segala bentuk diskriminasi, apapun jenisnya. Hak keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas adat untuk mempertahankan tanggung jawab bersama bagi pengasuhan, pelatihan, pendidikan dan kesejahteraan anak-anak mereka, sesuai dengan hak-hak anak. Pelaksanaan hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati penguasaan tanah dan badan air bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tatacara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dengan Perdasus. 76
(1)
(2)
(3)
(4)
(1) (2) (3)
(4)
Pasal 165 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan lembaga-lembaga adat dan pranata sosial dalam lingkungan masyarakat adat. Kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan pembinaan dan dukungan bagi penguatan lembaga adat dan pranata sosial masyarakat adat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, kesetaraan dan keadilan gender serta hak asasi manusia. Kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) termasuk kebijakan membatasi serta melarang pembentukan lembaga-lembaga masyarakat adat yang tidak mempunyai basis sosial dan pranata sosial dilingkungan masyarakat adat yang asli dan dibentuk tanpa kesepakatan dalam musyawarah masyarakat hukum adat. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus. Pasal 166 Hak ulayat masyarakat adat dan hak perorangan dalam masyarakat adat merupakan bagian yang tidak terpisah dari kelembagaan adat. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melindungi hak ulayat masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan MRP/MRPB memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa hak ulayat secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.
BAB XVI KEUANGAN Bagian Kesatu Sumber Pendapatan Pasal 167 Sumber pendapatan daerah, meliputi: a. pendapatan asli daerah; b. Pendapatan Transfer; dan c. lain-lain pendapatan yang sah.
77
Pasal 168 Pendapatan Asli Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf a terdiri atas: a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Pasal 169 Dana transfer daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf b, terdiri atas: (1) Bagi hasil pajak: a. pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 80% (delapan puluh persen); dan b. pajak penghasilan Badan dari perusahaan yang beroperasi di wilayahTanah Papua sebesar 80% (delapan puluh persen). (2) Bagi hasil sumber daya alam: a. kehutanan sebesar 90% (sembilan puluh persen); b. perkebunan sebesar 90% (sembilan puluh persen); c. perikanan sebesar 90% (sembilan puluh persen); d. pertambangan umum sebesar 90% (sembilan puluh persen); e. pertambangan minyak bumi sebesar 90% (sembilan puluh persen); dan f. pertambangan gas bumi sebesar 90% (sembilan puluh persen). (3) Selain bagi hasil pajak dan bagi hasil sumberdaya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), bagi hasil pajak yang berasal dari kontrak karya pertambangan dialokasikan sebanyak 80 % (delapan puluh persen) untuk Provinsi. Pasal 170 Dalam rangka pelaksanaan penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah wajib memberikan informasi kepada Pemerintah Provinsi di Tanah Papua mengenai besarnya jumlah penerimaan yang berasal dari provinsi setiap awal tahun anggaran. Pasal 171 Transfer Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dan ayat (2), merupakan Dana Perimbangan yang terdiri atas: a) Dana Bagi Hasil; b) Dana Alokasi Umum; dan c) Dana Alokasi Khusus.
(1)
Pasal 172 Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 huruf a, terdiri atas: a. Dana Bagi Hasil Pajak; b. Dana Bagi Hasil Cukai; dan 78
(2)
(3) (4)
c. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas: a. Pajak Bumi dan Bangunan; b. PPh Pasal 25; c. PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri; dan d. PPh Pasal 21; Dana Bagi Hasil Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Cukai Hasil Tembakau sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas: a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi; b. Penerimaan pertambangan mineral dan batubara yang berasal dari penerimaan iuran tetap (Landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalty); c. Penerimaan Negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi; dan d. Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagi pemerintah pusat, iuran tetap dan iuran produksi.
Pasal 173 Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada provinsi di Tanah Papua.
(1)
(2)
(3)
Pasal 174 Penerimaan provinsi dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167huruf b, terdiri atas: a. penerimaan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus untuk provinsi di Tanah Papua yang besarnya setara dengan 10% (sepuluh persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional; dan b. penerimaan dana tambahan pembangunan infrastruktur provinsi,setara 2% (dua persen) dari total APBN. Pembagian penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada provinsi di Tanah Papua dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan hasil kesepakatan bersama Gubernur. Penetapan besaran jumlah penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Pemerintah berdasarkan usul Pemerintah Provinsi.
79
Bagian Kedua Penggunaan Dana
(1) (2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Pasal 175 Penerimaandana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 huruf b, digunakan untuk pembangunan perekonomian daerah; Penerimaan dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 168 huruf b dan pasal 169 ayat (1) digunakan untuk pembangunan Orang Asli Papua yang meliputi : a. Pendidikan, pelatihan keterampilan dan pendampingan masyarakat sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen); b. kesehatan dan perbaikan gizi ibu, balita dan anak sekolah sekurangkurangnya 20 % (dua puluh persen); c. ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen); d. bantuan sosial untuk lembaga sosial dan masyarakat tidak mampu 10% (sepuluh persen); e. pembangunan infrastruktur dan pemukiman tingkat kampung sekurangkurangnya 25% (dua puluh lima persen); f. pembentukan dan operasional kelembagaan MRP/MRPB dan lembaga lain yang dibentuk karena pemberlakuan Otonomi Khusus 4,5% (empat koma lima persen); dan g. pengeluaran-pengeluaran lain sebesar 0,5 % (nol koma lima persen). Penerimaan dana tambahan pembangunan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf b, digunakan untuk membangun: a. transportasi; b. air bersih dan sanitasi; c. energi listrik; d. telekomunikasi; e. sarana dan prasarana yang mendukung pengembangan seni budaya dan olahraga; dan f. prasarana dasar lainnya. Prioritas pembangunan infrastruktur ditujukan pada daerah pesebaran jumlah Orang Asli Papua dominan. Pasal 176 Pemerintah Provinsi dapat melakukan perubahan persentase pembagian dana Otonomi Khusus sebagai mana dimaksud dalam pasal 175 ayat (2), untuk jangka waktu tertentu atas pertimbangan dan persetujuan MRP dan DPRP. Perubahan persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasus.
80
Pasal 177 Perencanaan, penggunaandan pertanggungjawaban dana Otonomi khusus sebagaimana dimaksud pada pasal 169, pasal 174 ayat (1) huruf a, dan pasal 175 diselenggarakan secara terpisah dan merupakan bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pasal 178 Kriteria dan Tata cara pembagian penerimaan dalam rangka otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalampasal 174 ayat (1) huruf a dan huruf b, diatur dengan Perdasus.
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2) (3)
(1)
(2)
Pasal 179 Penerimaan yang bersumber dari dana penerimaan otonomi khusus untuk sektor pertambangan umum dan gas alam di potong terlebih dahulu 90% (sembilan puluh persen) untuk provinsi dan 10% (sepuluh persen) untuk pemerintah pusat. Selain penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), royalti yang bersumber dari sektor pertambangan umum dan gas alam dan sektor-sektor migas dan non migas, diberikan langsung ke kas daerah provinsi dan kabupaten kota di wilayah operasi kegiatan usaha. Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) selain diberikan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kotadi wilayah usaha produksi, diberikan juga kepada provinsi lain di Tanah Papua. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus. Pasal 180 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menerima bantuan, pinjaman, hibah baik dari dalam maupun luar negeri atau penerimaan lainnya setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Bantuan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dana atau alih teknologi atau manajemen. Tatacara penerimaan bantuan, pinjaman dan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Pasal 181 Pengusaha asli Papua diutamakan untuk melaksanakan kegiatan yang pembiayaannya bersumber dari APBN dan APBD di Tanah Papua, sesuai dengan kualifikasi yang berlaku dengan pembinaan dan pendampingan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan kepada lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kegitan-kegiatan pemerintahan dalam bentuk pembinaan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan dan 81
(3)
(1)
(2)
penyuluhan masyarakat yang dananya bersumber dari APBN dan APBD. Mekanisme pelaksanaan kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 182 Pemerintah, PemerintahProvinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melibatkan lembaga masyarakat yang memenuhi kualifikasi dalam persiapan sosial pembangunan proyek dan pembinaan pasca pembangunan proyek pemerintah. Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.
Pasal 183 Pemerintah menerbitkan kode rekening khusus untuk kegiatan yang bersumber dari dana otonomi khusus atas usul Gubernur.
(1)
(2)
Pasal 184 Untuk efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan yang didanai dari Tambahan Dana dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi; Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Nasional Percepatan Pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua. Bagian Ketiga Kontrak Kerjasama
(1)
(2)
(3)
Pasal 185 Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada saat ini dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi. Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi. Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerjasama tersebut, Pemerintah Provinsi mendapat pertimbangan DPRP. Bagian Keempat Kepemilikan Saham
(1)
Pasal 186 Pemerintah wajib mendorong dan menetapkan kebijakan percepatan penyertaan modal pemerintah daerah pada Badan Usaha Milik Negara, Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asingyang mengelola sumber daya alam yang berdomisili dan atau beroperasi di tanah Papua. 82
(2) (3)
(4) (5)
Pemerintah wajib menyiapkan fasilitas pembiayaan untuk keperluan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik Daerah dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara, Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing yang mengelola sumber daya alam di Papua. Pemerintah Provinsi dapat melakukan penyertaan modal dengan Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan. Tata cara penyertaan modal pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Perdasi.
Bagian Kelima Tanggungjawab Sosial Dunia Usaha
(1)
(2)
Pasal 187 Dunia usaha dalam menyusun program pembangunan masyarakat dan mengatur tanggungjawab sosial wajib mengikuti rancangan kebijakan pembangunan Provinsi. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana pada ayat (1) diatur dengan Perdasi yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam Penyertaan Modal, Obligasi Daerah dan Dana Abadi
(1)
(2) (3) (4)
(5)
(1)
Pasal 188 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat melakukan penyertaan modal atau kerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar prinsip saling menguntungkan. Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ekuitas yang bersumber dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Penyertaan modal atau kerjasama bagi hasil dapat ditambah, dikurangiatau dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Anggaran yang timbul akibat penyertaan modal atau kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam APBDProvinsi dan Kabupaten/Kota. Penyertaan modal atau kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi. Pasal 189 Pemerintah Provinsi dapat menerbitkan obligasi daerah untuk kepentingan pembiayaan daerah. 83
(2)
(1)
(2)
(3)
Penerbitan obligasi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Pasal 190 Pemerintah Provinsi dapat menyediakan dana cadangan yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran. Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan sebagian anggaran belanja provinsi yang diperoleh dari hasil eksploitasi sumber daya alam dalam bentuk dana abadi yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pembangunan di masa datang. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus. Bagian Ketujuh Divestasi Saham
(1)
(2)
(3)
Pasal 191 Badan usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua wajib melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Provinsi dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sesudah beroperasi. Badan usaha yang mengelola sumber daya alam dan beroperasi di Tanah Papua sebelum undang–undang ini berlaku wajib melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Provinsi dan atau pemerintah Kabupaten/Kota selambatlambatnya 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini disahkan. Pemerintah wajib mendorong dan memfasilitasi percepatan proses divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
BAB XVII PEREKONOMIAN Pasal 192 Orang Asli Papua berhak ikut serta secara aktif dan penuh di dalam semua kegiatan perekonomian di Tanah Papua.
(1)
(2)
Pasal 193 Perekonomian Provinsi yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesarbesarnyakemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan. Perekonomian di Tanah Papua diselenggarakan berdasar atas asas kekeluargaan dan asas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta 84
(3)
(1)
(2)
(3) (4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(1)
(2)
(3)
menjaga keseimbangan kemajuan Kabupaten/Kotayang ada di Tanah Papua. Perekonomian di Tanah Papua merupakan perekonomian yang terbuka dan tanpa hambatan dalam investasi sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional. Pasal 194 Usaha-usaha perekonomian di Tanah Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasi. Pembangunan perekonomian di Tanah Papua berbasis kerakyatan dan dilaksanakan dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada Orang Asli Papua atau masyarakat adat. Penanam modal yang melakukan investasi di Tanah papua wajib mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat. Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi dan/atau/ Kabupaten/Kota dan penanaman modal yang memanfaatkan sumber daya alam harus melibatkan masyarakat adat setempat, yang dituangkan dalam perjanjian para pihak. Keikutsertaan masyarakat adat dalam hal investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan cara menyertakan masyarakat adat sebagai pemegang saham. Selain penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemodal wajib menyisihkan sebagian pendapatan bersih dari sumber daya alam untuk ditabung dan diberikan setiap tahun dalam bentuk modal kerja atau modal usaha bagi masyarakat adat setempat. Pemerintah wajib menyiapkan infrastruktur dan membuka akses perhubungan internasional dari dan ke Tanah Papua dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) di atur dengan Perdasus. Pasal 195 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan pembiayaan, pendidikan, pelatihan, pendampingan dan pembinaan guna mendukung usaha-usaha perekonomian yang dilakukan oleh Orang Asli Papua. Dalam rangka perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan pelaku kegiatan usaha perekonomian Orang Asli Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban memfasilitasi pembentukan lembaga penjaminan modal. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus. 85
Pasal 196 Setiap investor yang beroperasi di Tanah Papua wajib menggunakan jasa perbankan yang berbadan hukum milik Pemerintah Provinsi. (2) Setiap badan usaha penanam modal asing dan/atau penanam modal dalam negeri yang mengelola sumberdaya alam di Tanah Papua wajib berkantor pusat di Provinsi di Tanah Papua. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi. Pasal 197 Pelaku kegiatan usaha yang memanfaatkan sumberdaya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2), wajib melakukan pengolahan lanjutan di wilayah Tanah Papua dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien dan kompetitif. Pasal 198 (1) Perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati. (2) Perizinan dan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dinyatakan cacat hukum, merugikan hak hidup masyarakat atau bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini, wajib ditinjau kembali, dengan tidak mengurangi kewajiban hukum yang dibebankan pada pemegang izin atau perjanjian yang bersangkutan. (3) Tatacara mengenai pelaksanaan seperti dimaksud pada ayat (2) di atur dalam perdasi. Pasal 199 (1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi sumber-sumber potensial ekonomi dan mengembangkan produk-produk lokal menjadi produk unggulan dalam rangka pemberdayaan ekonomi Orang Asli Papua. (2) Kewajiban pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengatur tatacara perniagaan mulai dari bahan mentah sampai menjadi bahan jadi. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus. Pasal 200 Semua kegiatan investasi PMA atau PMDN yang dilakukan di Tanah Papua wajib menggunakan jasa perbankan yang berbadan hukum milik Pemerintah Provinsi. (1)
Pasal 201 Setiap badan usaha penanam modal asing dan/atau penanam modal dalam negeri yang mengelola sumberdaya alam di Tanah Papua wajib berkantor pusat di Provinsi di Tanah Papua.
86
BAB XVIII KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7) (8)
(9)
Pasal 202 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menumbuhkan, membangun, meningkatkan dan memberdayakan koperasi dan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan koperasi (UMKM) dengan memprioritaskan Orang Asli Papua; Pemerintah Provinsi melakukan koordinasi dalam rangka keterpaduan perencanaan, pelaksanaandan pengawasan terhadap urusan pemerintahan yang bersifat lintas Kementerian/Lembaga yang terkait dengan koperasi dan UMKM; Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM menyusun standar pemberian pengesahan Badan Hukum Koperasi dan Izin Usaha Simpan Pinjam Koperasi Simpan Pinjam, izin Pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas serta pemberdayaan Koperasi dan UMKM dan memberikan kemudahan Perizinan dan insentif khusus bagi badan usaha atau perorangan yang dilakukan oleh Orang Asli Papua. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM membebaskan Orang Asli Papua dari pembiayaan pengurusan perizinan yang terkait dengan izin usaha Koperasi non simpan pinjam. Setiap Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), usaha swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi di wilayah Tanah Papua berkewajiban untuk meningkatkan, mengembangkan dan memberdayakan koperasi dan UMKM melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menciptakan iklim yang kondusif untuk berusaha bagi koperasi dan UMKM Orang Asli Papua. Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan cadangan usaha yang dikelola atau diusahakan oleh Orang Asli Papua melalui Koperasi dan UMKM. Dalam rangka mengelola cadangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) yaitu Koperasi dan UMKM yang beranggotakan orang perseorangan asli Papua dapat melakukan kerjasama dengan usaha besar lainnya dengan pola kemitraan meliputi: a. saling membutuhkan; b. saling mempercayai; c. saling memperkuat; dan d. saling menguntungkan. Ketentuan-ketentuan dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dengan Perdasi.
87
(1)
(2)
Pasal 203 Satuan Kerja Perangkat Daerah yang membidangi Koperasi dan UMKM berkewajiban melindungi, memberdayakan, berpihak dan menjamin keberlangsungan usaha ekonomi Perempuan Asli Papua. Upaya-upaya dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
BAB XIX KEPARIWISATAAN Bagian Kesatu Pembangunan Kepariwisataan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(1)
Pasal 204 Pembangunan kepariwisataan di Tanah Papua diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kesejahteraan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan dan kesatuan. Pembangunan kepariwisataan di Tanah Papua bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, memupuk rasa cinta tanah air, memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa dan mempererat persahabatan antar bangsa. Pembangunan kepariwasataan merupakan bagian integral dari pembangunan Papua yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan nilai-nilai agama dan nilai-nilai adat istiadat serta budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkunganserta kepentingan nasional. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban untuk melakukan pembangunan kepawisataan yang meliputi industri pariwisata, destinasi wisata, pemasaran dan kelembagaan kepariwisataan. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mendorong penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk kepariwisataan nasional, provinsi dan Kabupaten/Kota. Pengembangan pembangunan kepariwisataan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi. Pasal 205 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membimbing dan melatih masyarakat adat agar terlibat secara langsung dalam kegiatan kepariwisataan di Tanah Papua. 88
(2) (3) (4)
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan dana untuk penyelenggaraan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pemerintah memberikan kemudahan perizinan bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Tanah Papua. Ketentuan sebagaimana tercantum pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Kawasan Strategis Pariwisata
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 206 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan strategis pariwisata provinsi dan kawasan strategis pariwisata Kabupaten/Kotayang merupakan bagian integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsidan rencana tata ruang Kabupaten/Kota. Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek: a. sumber daya pariwisata alam dan budaya potensial menjadi daya tarik pariwisata; b. potensi pasar; c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah; d. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; e. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya; f. kesiapan dan dukungan masyarakat; dan g. kekhususan dari wilayah. Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial dan agama yang dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk Badan Promosi Pariwisata Papua yang berkewajiban untuk meningkatkan citra kepariwisataan Papua, meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara ke Papua dan melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata Papua. Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan mengatur kawasan pariwisata berbasis masyarakat yang dikelola oleh badan usaha, lembaga nirlaba atau perorangan di Papua. Penyelenggaraan jasa pariwisata ke Tanah Papua bekerja sama dengan badan usaha pariwisata di Tanah Papua khususnya pengelolaan obyek wisata alam minat khusus. 89
BAB XX KEHUTANAN Bagian Pertama Prinsip Kebijakan Kehutanan
(1) (2)
(3)
Pasal 207 Pengurusan hutan di Tanah Papua berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Prinsip-prinsip pengurusan hutan di Tanah Papua dilaksanakan berdasarkan pengakuan, penghormatan, penghargaan, perlindungan, pemberdayaan dan keberpihakan kepada Orang Asli Papua. Pengurusan hutan di Tanah Papua bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat adat pemilik hak ulayat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, terutama memberi manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat adat di dalam hutan maupun di sekitar hutan; c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Bagian Kedua Pengurusan Hutan
(1)
(2)
Pasal 208 Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan pengurusan hutan untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan perdasi. 90
(1) (2)
Pasal 209 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memelihara, melindungi dan mengendalikan pemanfaatan sumberdaya hutan. Pemerintah Provinsi dengan persetujuan Pemerintah dapat berhubungan langsung dengan badan internasional dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan bagi penyerapan karbon dan produksi oksigen.
Bagian Ketiga Status Hutan dan Fungsi Hutan
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 210 Pemerintah menetapkan status hutan dengan usulan Gubernur setelah mendapat pertimbangan dari Bupati/Walikota. Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sesuai usulan Gubernur/Bupati/Walikota, sebagai berikut: a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi. Pemerintah melalui pertimbangan Gubernur dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan: a. penelitian dan pengembangan; b. pendidikan dan latihan; dan c. religi dan budaya. Ketentuan mengenai keberadaan Masyarakat Hukum Adat diatur dengan perdasus. Bagian Keempat Inventarisasi Hutan dan Pengukuhan Hutan
(1) (2) (3)
Pasal 211 Inventarisasi hutan dilaksanakan pada tingkat provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota dengan melibatkan perwakilan Masyarakat Hukum Adat. Hasil inventarisasi hutan digunakan Pemerintah sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
91
Bagian Kelima Penatagunaan Kawasan Hutan
(1) (2) (3)
(4) (5)
Pasal 212 Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. Pemerintah menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Pemerintah menetapkan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagian Keenam Pemanfaatan Hutan
(1)
(2)
(3)
(4) (5)
Pasal 213 Gubernur menetapkan izin pemanfataan hutan selain izin pemanfaatan hasil hutan kayu, jasa lingkungan karbon, pemanfaatan kawasan silvo pastura dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di atas 50 (lima puluh) hektar. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi atau kelompok usaha Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan keberadaannya. Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan wajib melibatkan Masyarakat Hukum Adat yang telah ditetapkan keberadaannya dengan Pola Kemitraan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan perdasi.
92
Bagian Ketujuh Izin Pemanfaatan Hutan
(1) (2) (3) (4)
Pasal 214 Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan. Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan dikenakan provisi. Ketentuan tentang iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dana jaminan kinerjadan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan sesuai peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan Penggunaan Kawasan Hutan di Luar Kegiatan Kehutanan
(1)
(2) (3)
(4) (5)
Pasal 215 Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Gubernur dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri Kehutanan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bagian Kesembilan Pemanfatan Hutan Pasal 216 Ketentuan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan menyangkut izin pemanfataan kawasan, izin usaha pemanfataan jasa lingkungan, izin pemungutan hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan lindung dan hutan produksi, pengelolaan hutan untuk tujuan khusus, pemanfaatan hutan hak dan 93
hutan adatdan pemanfatan hutan untuk kepentingan pembangunan dan izin pinjam pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kesepuluh Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
(1)
(2)
(3)
Pasal 217 Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Badan hukum dan orang yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
BAB XXI PERTANIANDAN KETAHANAN PANGAN
(1)
Pasal 218 Pemerintah dan Pemerintah Provinsi berkewajiban memberikan dukungan kebijakan, program dan pendanaan untuk percepatan pembangunan tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan kesehatan hewan, perkebunan dan sarana-prasarana pertanian dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya dan ekonomi, potensi wilayah, kondisi geografis wilayah dan kondisi infrastruktur wilayah dengan memprioritaskan Orang Asli Papua.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan dukungan kebijakan, program dan pembiayaan untuk pembangunan Ketahanan Pangan di Tanah Papua khususnya yang berbasis sumber daya pertanian dan pangan lokal. (3) Ketentuan mengenai pembangunan pertanian dan ketahanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasi. Pasal 219 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melindungi tata guna lahan pertanian Orang Asli Papua.
(1)
Pasal 220 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengembangkan perkebunan rakyat untuk Orang Asli Papua. 94
berkewajiban
(2) (3)
(1) (2)
(1)
(2) (3)
(4)
Dalam pengembangan sebagaimana dimaksud Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menugaskan Badan Usaha Milik Daerah. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua berkewajiban memberikan dukungan kebijakan program dan pendanaan untuk pembangunan komoditi perkebunan. Pasal 221 Pemerintah Provinsi memberikan izin usaha perkebunan. Investasi di bidang pembangunan perkebunan di Tanah Papua wajib dilakukan dengan memberikan alokasi lahan perkebunan dalam jumlah minimum 5 Ha (lima hektar) untuk setiap kepala keluarga petani Orang Asli Papua sebagai petani plasma. Pasal 222 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mengkonservasi, mengembangkan dan mempromosikan tumbuhan dan hewan endemik Papua. Konservasi tumbuhan dan hewan endemik Papua dapat dilakukan secara insitu dan ex-situ. Pengembangan tumbuhan dan hewan endemik Papua dapat dilakukan dengan pembangunan, perkebunan, estate, penangkaran dan/atau bentuk usaha yang lain. Promosi dilakukan atas tumbuhan dan hewan endemik Papua serta produknya dengan memperhatikan pembangunan pertanian yang meliputi Promosi dan Investasi.
Pasal 223 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengembangkan kawasan pertanian organik.
(1) (2)
(1)
(2)
menetapkan
dan
Pasal 224 Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib membentuk Lembaga Pembiayaan Pembangunan Sektor Pertanian. Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga pembiayaan khusus sektor pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Pasal 225 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan fasilitas subsidi angkutan, sarana produksi, bahan bakar minyak dan fasilitas sarana usaha bagi petani dan nelayan Orang Asli Papua di tempat terpencil. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuapten/Kota wajib melaksanakan pendidikan, pelatihan, penyuluhan serta pendampingan bagi petani Orang Asli Papua. 95
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang berkaitan dengan kewajiban Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur dengan Perdasus.
Pasal 226 Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib membentuk dan membiayai Badan Koordinasi Penyuluh Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perkebunan dan Perikanan di tingkat Provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perkebunan dan Perikanan di tingkat Kabupaten/Kota di Tanah Papua.
BAB XXII KELAUTAN DAN PERIKANAN
(1) (2)
(3)
(4) (5)
(6) (7)
(8)
(1) (2)
Pasal 227 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mempercepat pemberdayaan nelayan Orang Asli Papua. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan dukungan kebijakan, program dan pendanaan untuk percepatan pembangunan masyarakat pesisir, kepulauan dan pulau-pulau terpencil dengan memprioritaskan Orang Asli Papua. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan, program dan skema pembiayaan dalam rangka percepatan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan di Tanah Papua. Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di laut teritorial, perairan umum daratan dan Zona Ekonomi Ekslusif. Pemerintah mendorong badan-badan usaha di sektor kelautan dan perikanan untuk melakukan pengolahan lanjutan hasil-hasil kelautan dan perikanan di wilayah perairan Papua, dilakukan di Tanah Papua. Gubernur memiliki kewenangan mengeluarkan ijin usaha penangkapan ikan di wilayah perairan Tanah Papua. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melibatkan masyarakat adat setempat yang hidup di wilayah pesisir dalam pengelolaan sumber daya alam laut. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dengan Perdasi. Pasal 228 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi pengembangan usaha nelayan Orang Asli Papua. Pengembangan usaha nelayan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud 96
(3)
(4)
meliputi aspek teknologi, permodalan, kelembagaan, pengolahan dan pasar. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memfasilitasi nelayan Orang Asli Papua dan dunia usaha dalam pengembangan budidaya perikanan dan hasil laut lainnya. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi.
BAB XXIII PERDAGANGAN DAN INVESTASI
(1)
(2)
(3)
(4)
(1) (2) (3)
(4)
Pasal 229 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mempercepat pemberdayaan pedagang dan pelaku usaha Orang Asli Papua. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyediakan barang-barang kebutuhan pokok rakyat sampai ke pelosok dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang baik. Pemerintah memberikan perizinan dan fasilitas pengurangan bea masuk atas barang-barang kebutuhan masyarakat di Tanah Papua yang diimpor dari luar negeri untuk diperdagangkan dan digunakan hanya di dalam wilayah Tanah Papua. Jenis dan jumlah barang-barang kebutuhan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Gubernur kepada Pemerintah untuk memperoleh persetujuan dan perizinan. Pasal 230 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin pelaksanaan investasi dan perdagangan di Tanah Papua. Pemerintah Provinsi dapat memberikan izin ekspor impor barang dan jasa di Tanah Papuadan melaporkan kepada Pemerintah. Badan Usaha Badan Hukum dan perorangan dapat melakukan kegiatan ekspor impor barang dan jasa, setelah mendapatkan izin dari Pemerintah Provinsi. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Perdasi.
Pasal 231 Pemerintah dan Pemerintah Provinsi wajib menetapkan keringanan pajak, pembebasan pajak-pajak dan pembebasan bea masuk dalam rangka impor barang modal, dan bahan baku ke Tanah Papua dan ekspor barang jadi dari Tanah Papua, fasilitas investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi. 97
(1) (2) (3) (4)
Pasal 232 Pemerintah mendorong percepatan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus di Tanah Papua. Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai daerah industri, manufaktur, ekspordan sektor strategis lainnya. Pelaksanaan ekspor impor dilakukan langsung dari Tanah Papua dari Kawasan Ekonomi Khusus. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Gubernur.
BAB XXIV PERTAMBANGAN DAN ENERGI Bagian Pertama Umum
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 233 Kegiatan usaha pertambangan mineral, batubara, minyak bumi, gas bumi dan air tanah berperan penting dalam memberi nilai tambah pertumbuhan nasional, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Tanah Papua secara berkelanjutandan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip: a. kepentingan bangsa dan negara; b. menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua; c. kesejahteraan Orang Asli Papua; d. manfaat, keadilan dan keseimbangan; e. partisipasi, transparansi dan akuntabilitas; f. berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; g. manfaat kapasitas fiskal Papua; h. menghargai dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua; dan i. menciptakan lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di Tanah Papua yang adil dan merata. Pasal 234 Sumberdaya pertambangan mineral, batu bara, minyak bumi dan gas bumi di Tanah Papua, berada di bawah penguasaan masyarakat adat dan dimiliki oleh masyarakat adat Papua menurut wilayah adatnya masing-masing. Pengaturan pemanfaatan sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota setelah berkonsultasi dengan Kementerian Teknis terkait. 98
Pasal 235 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam usaha penyelesaian sengketa kompensasi pemanfaatan sumber daya alam pertambangan, pemanfaatan tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang bersangkutan. Pasal 236 Kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi.
Bagian Kedua Kontrak Karya danUsaha Pertambangan
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
(6) (7) (8) (9)
Pasal 237 Mineral dan batubara merupakan sumberdaya alam tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pemerintah dan Pemerintah Provinsi melakukan pengelolaan bersama mineral dan batubara yang berada di daratan dan lautan di Tanah Papua. Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Provinsi dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. Kontrak karya dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan mineral dapat dilakukan apabila keseluruhan isi perjanjian kontrak karya telah disepakati bersama oleh Pihak Perusahaan dan Pemerintah Provinsi disertai pemberitahuan kepada Pemerintah. Perjanjian Kerja Penguasaan dan Pengusahaan Batubara (PKP2B) dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan batubara dapat dilakukan apabila keseluruhan isi perjanjian kontrak karya telah disepakati bersama oleh Pihak Perusahaan dan Pemerintah Provinsi disertai pemberitahuan kepada Pemerintah. Kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi minyak dan gas bumi di Tanah Papua wajib mendapat persetujuan Gubernur. Setiap perusahaan tambang yang beroperasi di Tanah Papua wajib membangun Smelter di wilayah operasi pertambangan. Pemerintah Provinsi melakukan pengawasan dan pengendalian produksi dan ekspor pertambangan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (8) diatur melalui Perdasus.
99
Pasal 238 Perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada saat Undang-Undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi. Bagian Ketiga Kewenangan Pasal 239 Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara mempunyai wewenang dalam hal: a. pembuatan peraturan daerah bidang pertambangan; b. pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat dan pengawasan usaha pertambangan pada lintas wilayah Kabupaten/Kota; c. penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sesuai dengan kewenangan; d. pengelolaan informasi geologi, informasi potensi sumber daya mineral dan batubara, serta informasi pertambangan pada daerah/wilayah provinsi; e. penyusunan neraca sumber daya mineral dan batubara pada daerah/wilayah provinsi; f. pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan di provinsi; dan g. pengembangan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha pertambangan denganmemperhatikan kelestarian lingkungan; Bagian Keempat Wilayah Pertambangan
(1) (2)
(3) (4) (5)
Pasal 240 Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Wilayah Pertambangan (WP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait. Pemerintah Provinsi wajib melakukan penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan Wilayah Pertambangan (WP). Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dilakukan oleh Pemerintah Provinsi setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait. Penetapan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan dan Wilayah Pertambangan Rakyat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait.
100
Bagian Kelima Izin Usaha Pertambangan
(1)
(2)
Pasal 241 Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap: a. Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan; dan b. Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Izin Usaha Pertambangan (IUP) diberikan oleh: a. Gubernur atas usulan Bupati/Walikota; dan b. Dalam hal Bupati/Walikota tidak mengusulkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), maka Gubernur dapat menetapkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait. Bagian Keenam Izin Pertambangan Rakyat
(1)
(2)
Pasal 242 Kegiatan pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut: a. pertambangan mineral logam; b. pertambangan mineral bukan logam; c. pertambangan batuan; dan d. pertambangan batubara. Bupati/Walikota memberikan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur terutama kepada masyarakat adat setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. Bagian Ketujuh Pengakhiran Izin Usaha Pertambangan DanIzin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal 243 Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat dicabut Gubernur setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait, sesuai dengan kewenangannya apabila: a. pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan; b. pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana; c. pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit; dan d. IUP atau IUPK berakhir. 101
BAB XXV PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
(1)
(2)
(3)
(4)
(5) (6)
(7)
(8)
(1)
(2)
Pasal 244 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam di Tanah Papua sesuai dengan kewenangannya, setelah berkonsultasi dengan Kementerian/Lembaga Teknis terkait. Pengelolaan sumber daya alam meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi dan budidaya Sumber daya alam meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam melaksanakan pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemerintah Provinsi dapat: a. membentuk badan usaha milik daerah; b. melakukan kerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, salah satunya melalui penyertaan modal; dan c. Kegiatan usaha dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal. Dalam melakukan kegiatan usaha, pelaksana kegiatan usaha berkewajiban mengikutsertakan masyarakat adat setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Tanah Papua. Setiap pelaku kegiatan usaha bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi. Sebelum melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi yang besarnya akan diperhitungkan pada waktu pembicaraan kontrak kerja eksplorasi dan eksploitasi. Orang atau badan hukum yang telah mendapatkan hak konsesi atau pengelolaan sumber daya alam di Papua dilarang untuk melakukan transaksi jual beli hak perizinan. Orang atau badan hukum sebagaimana yang diatur pada ayat (7) wajib mengembalikan hak konsesi atau pengelolaan sumber daya alam kepada Pemerintah atau Pemerintah Provinsi tanpa menuntut pengembalian dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi, sebagaimana diatur pada ayat (6). Pasal 245 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan yang seimbang kepada masyarakat adat sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan. Setiap badan usaha/pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam di Tanah Papua wajib 102
(3)
(4)
(5)
(1) (2)
(3) (4)
(1)
(2) (3)
(4)
(5)
(1)
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, antara lain dalam bentuk pengembangan masyarakat. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap badan usaha/pelaku usaha wajib menganggarkan dana pengembangan masyarakat paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap tahun, yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah Papua, Pemerintah Kabupaten/Kota dan pelaku usaha. Rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat guna membiayai program yang disusun bersama antara Pemerintah Papua, Pemerintah Kabupaten/Kota dan pelaku usaha dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat adat sekitar kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain yang diatur lebih lanjut dalam Perdasus. Pembiayaan program pengembangan masyarakat dengan dana pengembangan masyarakat dikelola sendiri oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Pasal 246 Kewenangan pengelolaan sumber daya alam, minyak bumi dan gas bumi di Tanah Papua dilakukan oleh Gubernur. Semua Investor yang melakukan kegiatan usaha di Tanah Papua wajib melaksanakan seluruh proses pengelolaan dari sumber daya alam di Tanah Papua. Proses Pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Studi Kelayakan, Ekplorasi, Eksploitasi, Pengolahan dan Pemasaran. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Pasal 247 Pemodal yang akan mengelola Sumber Daya Alam di Provinsi pertama-tama wajib memperoleh persetujuan dari masyarakat adat pemilik Sumber Daya Alam tersebut. Masyarakat adat berhak untuk meminta atau memperoleh pendampingan di dalam perundingan dengan pemodal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menghormati dan memfasilitasi kesepakatan penanam modal dan masyarakat adat sesuai Peraturan Perundang-Undangan. Guna mencegah kerugian pada masyarakat adat dan/atau pelanggaran atas Peraturan Perundang-Undangan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan MRP memediasi perundingan antara pemodal dan masyarakat adat. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi. Pasal 248 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memberikan hak eksklusif kepada Orang Asli Papua untuk mengelola cabang103
(2)
(3)
cabang usaha tertentu dan/atau di tempat tertentu (yang dimaksud dengan hak eksklusif dapat dilihat dalam bagian penjelasan UU ini). Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaiaman dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib: a. menyediakan pembiayaan dan/atau jaminan pembiayaan; dan b. menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan pembinaan, termasuk melalui kerja sama dengan badan swasta yang berkompeten, guna mencapai standarisasi tertentu. ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus.
BAB XXVI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DAN LINGKUNGAN HIDUP Bagian Pertama Umum Pasal 249 Pembangunan di Tanah Papua merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan dengan berpedoman pada prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian lingkungan, manfaat dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Bagian Kedua Kewajiban
(1)
Pasal 250 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan pengelolaan lingkungan hidup terpadu dengan memperhatikan: a. penataan ruang; b. perlindungan sumber daya alam hayati; c. perlindungan sumber daya alam non-hayati; d. perlindungan sumber daya buatan; e. konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; f. cagar budaya; g. keanekaragaman hayati; h. perubahan iklim; dan i. Kearifan lokal.
104
(2)
(3)
(4) (5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
Kewajiban pemerintah di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan: a. hak masyarakat adat Papua; b. keanekaragaman hayati dan proses ekologi; dan c. kawasan lindung. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengikutsertakan lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi syarat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memfasilitasi pembentukan lembaga independen untuk penyelesaian sengketa lingkungan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Perdasi. Pasal 251 Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan perlindungan sumber daya alam sebagimana dimaksud dalam pasal 221 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Orang Asli Papua berhak memperoleh manfaat dari hasil pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam khususnya sumber daya hutan dalam rangka perubahan iklim bumi. Untuk memenuhi hak Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib mengikutsertakan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP dalam pembahasan dan penetapan pembagian hasil dari pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka perubahan iklim bumi di tingkat nasional dan internasional. Penetapan bagian yang menjadi hak Orang Asli Papua atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan Pemerintah Pusat berdasarkan usulan hasil pembahasan bersama Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pertimbangan dan persetujuan DPRP dan MRP. Pemerintah wajib memperhitungkan dan menetapkan bagian yang menjadi hak Orang Asli Papua secara proposional dan berkeadilan atas manfaat pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka perubahan iklim bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penerimaan negara. Pasal 252 Perusahaan yang mengolah sumber daya alam di Tanah Papua wajib menyediakan dana setiap tahun yang disisihkan dari keuntungan dalam jumlah memadai untuk digunakan mengelola dampak lingkungan pasca operasi perusahaan. Untuk kepentingan penyediaan dana guna pengelolaan dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkewajiban membentuk panel ahli untuk menganalisis dan memprediksi kebutuhan dana pengolahan dampak lingkungan pasca operasi perusahaan. 105
(3)
(4)
Dana pengelolaan dampak lingkungan pasca operasi perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimpan dalam bentuk deposito yang ditempatkan di Bank Papua. Penempatan jumlah dana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (2) wajib dilaporkan kepada masyarakat melalui Laporan Pengelolaan Dampak Lingkungan setiap tahun dan media massa.
BAB XXVII PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN TATA RUANG Bagian Pertama Perencanaan Pembangunan
(1)
(2)
(3) (4)
(5)
(6)
Pasal 253 Rencana pembangunan di Tanah Papua disusun secara komprehensif sebagai bagian dari sistem perencanaan pembangunan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan nilai adat, sosial budaya, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Rencana Pembangunan Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); dan c. Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). RPJP Daerah memuat visi, misi dan arah pembangunan Daerah yang mengacu pada RPJP Nasional. RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi dan program Kepala Daerah yang menyusunnya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan Daerah, strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. RKPD merupakan penjabaran dari RPJM Daerah dan mengacu pada RKP, memuat rancangan kerangka ekonomi Daerah, prioritas pembangunan Daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Rencana pembangunan di Tanah Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) disusun untuk menjamin: a. keterpaduan dan keserasian antara rencana pembangunan daerah dan rencana pembangunan nasional. 106
b. keterkaitan dan konsistensi pelaksanaan dan pengawasan. (7)
(1)
(2) (3) (4) (5) (6)
(7)
antara
perencanaan,
penganggaran,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melibatkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan maupun tertulis tentang penyusunan perencanaan pembangunan di Tanah Papua. Pasal 254 Penyusunan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 253 ayat (2) dilakukan melalui urutan: penyiapan rancangan awal rencana, musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) dan penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Kepala Bappeda menyiapkan rancangan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Rancangan rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan utama bagi Musrenbang Daerah. Kepala Bappeda menyusun rancangan akhir rencana pembangunan daerah berdasarkan hasil Musrenbang Daerah. Rencana pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dalam rangka percepatan pembangunan Provinsi di Tanah Papua, pemerintah daerah bekerja sama dengan pemerintah dapat melaksanakan musyawarah khusus perencanaan pembangunan di Tanah Papua sebelum pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan nasional setiap tahun. Musyawarah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melibatkan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota se-Tanah Papua, Kementerian dan Lembaga Pemerintah dan lembaga non pemerintah. Bagian Kedua Tata Ruang
(1) (2)
Pasal 255 Penataan ruang wilayah Provinsi dan penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer. Rencana tata ruang wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota memuat: a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah; b. rencana struktur ruang wilayah yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah; c. rencana pola ruang wilayah yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis; d. penetapan kawasan strategis; e. arahan pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan 107
(3) (4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(1)
(2)
(3)
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Penyusunan rencana tata ruang Provinsi mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi. Penyusunan rencana tata ruang Kabupaten/Kota mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten/Kota. Perencanaan, penetapan dan pemanfaatan tata ruang Provinsi didasarkan pada kekhususan Papua dan saling terkait dengan tata ruang Provinsi dan tata ruang Kabupaten/Kota. Kewenangan pemerintah provinsi dalam perencanaan, pengaturan, penetapan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang Papua bersifat lintas Kabupaten/Kota. Kewenangan pemerintah Provinsi dalam perencanaan, pengaturan, penetapan dan pemanfaatan tata ruang di Tanah Papua memperhatikan: a. perlindungan Orang Asli Papua dan masyarakat adat setempat; b. adat dan budaya Papua; c. penyediaan tanah untuk fasilitas sosial dan umum, jaringan prasarana jalan, pengairan, dan utilitas; d. daerah-daerah rawan bencana; e. penyediaan kawasan lindung dan ruang berbuka hijau serta untuk pelestarian taman nasional; f. pemberian insentif dan disinsentif; g. pemberian sanksi; dan h. pengendalian pemanfaatan ruang. Masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang di Tanah Papua. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) diatur dengan Perdasi. Pasal 256 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengusulkan kepada pemerintah tentang pembentukan kawasan khusus dalam rangka pengembangan ekonomi strategis, kebudayaan, keagamaan, sejarah, konservasi alam dan perlindungan komunitas adat terpencil. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap situs-situs sejarah, budaya dan keagamaan, dalam rangka penghormatan terhadap nilai-nilai keagamaan, budaya dan nilai-nilai kesejarahan di Tanah Papua. Upaya perlindungan dan pelestarian terhadap situs sejarah, budaya dan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara penyediaan dana dan fasilitasi pengadaan tanah. 108
(4)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi.
BAB XXVIII PERTANAHAN
(1) (2)
(3)
(4)
(5) (6)
(7)
(1)
(2)
(3)
(1)
Pasal 257 Setiap warga negara dan badan hukum Indonesia yang berdomisili di Tanah Papua dapat memperoleh hak atas tanah. Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah adat serta hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan tetap mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang menyelenggarakan pendaftaran tanah adat untuk memberikan kepastian hukum. Pendaftaran tanah adat sebagaimana pada ayat (3) meliputi kegiatan penyusunan data yuridis, pengukuran tanah, pemetaan tanah dan penetapan keputusan kepala daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk badan pertanahan daerah dalam rangka penatalayanan pertanahan. Masyarakat adat wajib menghormati hak kepemilikan atas tanah adat yang telah dilepaskan kepada perorangan atau badan hukum yang telah mempunyai ketetapan hukum. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pendaftaran tanah adat sebagaiama dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan daerah. Pasal 258 Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berwenang memberikan izin penggunaan dan pemanfaatan tanah adat bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat. Izin penggunaan dan pemanfaatan tanah adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Provinsi setelah mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat setempat. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasus. Pasal 259 Dalam rangka perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat atas tanah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melakukan penataan kembali terhadap penguasaan atas tanah hak ulayat masyarakat adat. 109
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
(3)
Kewajiban pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kotasebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap semua hak atas tanah mencakup hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan hak pakai. Dalam melakukan penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kotamemfasilitasi pengembalian hak atas tanah yang diperoleh tanpa alas hak dan prosedur yang sah untuk mengembalikan hak atas tanah kepada masyarakat hukum adat. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus. Pasal 260 Kewajiban pemerintah provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal penataan ulang terhadap hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (1) termasuk penetapan kebijakan membatasi pengalihan hak atas tanah kepada pihak ketiga dengan alas hak jual beli lepas kecuali atas alas hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai atau sewa menyewa atau kontrak dalam bentuk penyertaan modal dan/atau kepemilikan saham. Semua tanah yang telah beralih kepada pihak lain tanpa melalui prosedur yang sah dinyatakan hak penguasaan atas tanah dimaksud batal demi hukum dan dikembalikan kepada kekuasaan masyarakat adat. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Perdasus.
Pasal 261 (1) Penggunaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk keperluan apapun dilakukan dalam bentuk sewa dan/atau kontrak. (2) Tanah ulayat yang digunakan oleh pihak ketiga melalui Hak Guna Usaha menjadi milik masyarakat adat setelah berakhirnya masa penggunaan hak tersebut. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. Pasal 262 (1) Pemerintah Kabupaten/Kota setiap tahun mengalokasikan Pajak Bumi dan Bangunan kepada pemilik hak ulayat untuk mengkompensasi hak ulayat yang di waktu lalu dibebaskan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan tidak memenuhi rasa keadilan pemilik hak ulayat. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. Pasal 263 Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dan atau pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan pelindungan hukum atas tanah-tanah yang digunakan untuk pembangunan sosial, pendidikan, kesehatan dan keagamaan, termasuk tanahtanah wakaf. 110
BAB XXIX PERUMAHAN RAKYAT
(1) (2)
(3)
(4) (5)
(6)
Pasal 264 Pemerintah bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan dan kemudahaan untuk pembangunan dan perlolehan rumah layak huni dan terjangkau bagi Orang Asli Papua. Dalam hal pembangunan dan perolehan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat(2) pemerintah dan pemerintah daerah menjamin: a. Ketersediaan dana murah jangka panjang bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR); b. Kemudahan dalam mendapatkan akses kredit atau pembiayaan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR); c. Keterjangkauan dalam membangun memperbaiki dan memiliki rumah; dan d. Bantuan prasarana, sarana dan utilitas umum masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pengadaan rumah layak huni sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Pemerintah mengalokasikan dana alokasi khusus dan atau tugas pembantuan untuk membangun, memperbaiki atau memiliki rumah yang didukung dengan prasarana, sarana dan utilitas umum. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdasus.
BAB XXX PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
(1)
(2)
(3)
Pasal 265 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyediakan pembiayaan bagi perguruan tinggi yang ada di Tanah Papua untuk melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengupayakan penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tradisional dan kearifan lokal, yang sesuai kondisi setempat dan peraturan perundangundangan yang berlaku untuk mempercepat peningkatan kualitas pembangunan, inklusivitas dan kelestarian lingkungan di Papua. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengembangkan kawasan dan pusat peragaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk perlindungan keanekaragaman hayati di Tanah Papua dan 111
(4)
(5)
menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pelaku usaha dan para pemangku kepentingan wajib berpartisipasi dalam penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi di Papua. Ketentuan dalam ayat (1), (2), (3) selanjutnya diatur dalam Perdasus, sedangkan ketentuan dalam ayat (4) selanjutnya diatur dalam Perdasi.
BAB XXXI PENDIDIKAN
(1)
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
(7)
(8)
(1)
Pasal 266 Orang Asli Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan keolahragaan tanpa dipungut biaya sampai dengan tingkat sekolah menengah atas. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi. Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, budaya, kearifan lokal dan kemajemukan bangsa. Pemerintah provinsi membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan penyelenggaraan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan. Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan Perguruan Tinggi di Tanah Papua. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi syarat untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Tanah Papua. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan hibah dan/atau subsidi serta menugaskan pendidik dan tenaga kependidikan kepada lembaga pendidikan swasta yang ditetapkan sebagai mitra Pemerintah yang menyelenggarakan pendidikan di Tanah Papua. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Perdasi. Pasal 267 Orang Asli Papua yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun wajib mengikuti pendidikan dasar tanpa dipungut biaya. 112
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(1)
(2)
(1)
(2)
(1)
Selambat-lambatnya dalam kurun waktu 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan seluruh Orang Asli Papua diatas 7 (tujuh) tahun telah bebas dari buta aksara. Selambat-lambatnya dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun sejak UndangUndang ini ditetapkan seluruh Orang Asli Papua di atas usia 18 (delapan belas) tahun berpendidikan serendah-rendahnya setingkat SMA. Pemberantasan buta aksara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pendidikan non-formal untuk meningkatkan pendidikan orang dewasa setingkat SMA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibiayai dengan alokasi 10 % (sepuluh persen) dana pendidikan. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pendidikan layanan Khusus bagi Orang Asli Papua yang berada di daerah tertinggal, terpencil dan terluar. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi Orang Asli Papua yang memiliki kelainan fisik, keterbatasan fisik,gangguan emosional, keterbelakangan mental, intelektual dan/atau sosial. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus bagi Orang Asli Papua yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyelenggarakan penerapan pendidikan berpola asrama sistem kolese yang bersifat lintas suku-suku asli di Tanah Papua. Pasal 268 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memfasilitasi dunia usaha di Tanah Papua untuk mengalokasikan dana/program tanggungjawab sosial perusahan untuk mendukung pendidikan bagi Orang Asli Papua. Dunia usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua dan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak karyawannya wajib mengikutsertakan anak-anak usia sekolah dari masyarakat adat di tempat dunia usaha beroperasi dengan tidak dipungut biaya. Pasal 269 Pendidikan yang diselenggarakan di Tanah Papua merupakan satu kesatuan dengan sistem pendidikan nasional yang disesuaikan dengan karakteristik, potensi, dan kebutuhan masyarakat setempat. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan. Pasal 270 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan di setiap sekolah dasar dan 113
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(4)
(1)
(2)
menengah khususnya di Daerah tertinggal, terpencil dan terluar. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin tersedianya sarana dan prasarana bagi pendidik dan tenaga kependidikan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengawasi dan mengavaluasi kinerja pendidik dan tenaga kependidikan dan memberikan penghargaan dan sanksi kepada setiap pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif yang layak kepada pendidik dan tenaga kependidikan non PNS pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Perdasi. Pasal 271 Pendidik dan tenaga kependidikan yang telah pensiun dapat direkrut untuk mengajar dengan balas jasa yang paling sedikit sama dengan gaji dan tunjangannya sebelum pensiun. Selain melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensinya, pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib membimbing tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang lebih muda. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat merekrut lulusan Perguruan Tinggi untuk memenuhi kekurangan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jangka waktu tertentu. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdasus. Pasal 272 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mendirikan lembaga pendidikan dan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan yang lulusannya memiliki karakter pendidik yang unggul dan bermutu serta siap ditempatkan di pelosok Tanah Papua. Dalam rangka segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah Provinsi dapat bekerjasama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan pendidik dan tenaga kependidikan milik Pemerintah atau swasta yang bermutu di dalam dan di luar negeri.
Pasal 273 Alokasi dana pendidikan dianggarkan dalam APBN dan APBD terutama diperuntukkan bagi penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas, dengan memprioritaskan sekolah di daerah tertinggal, terpencil dan terluar.
114
(1) (2) (3)
Pasal 274 Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jalur dan jenjang pendidikan. Bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan pada Daerah-Daerah tertentu. Bahasa Daerah diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal sesuai dengan karakteristik mayoritas penutur bahasa Daerah di lingkungan sekolah tersebut. BAB XXXII KEBUDAYAAN
(1)
(2)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal275 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menggunakan nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempromosikan kebudayaan Papua dalam acara resmi baik di dalam maupun di luar negeri. Pasal 276 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memelihara dan melestarikan situs-situs purbakala, cagar budaya dan yang diduga cagar budaya di Tanah Papua. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengusahakan pengembalian benda-benda sejarah yang hilang atau dipindahkan dari Tanah Papua dan merawatnya sebagai warisan budaya Papua. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. Pasal 277 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melindungi, membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman budaya Papua, guna mempertahankan dan memantapkan jati diri Orang Asli Papua. Dalam melaksanakan kewajiban di bidang kebudayaan Papua, Pemerintah Provinsi wajib memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menggunakan nilai-nilai budaya lokal sebagai pedoman dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menggunakan simbol-simbol lokal dalam setiap pelaksanaan pembangunan sarana publik. 115
(5)
(1)
(2) (3)
(4)
Pelaksanaan kewajiban di bidang kebudayaan Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan pembiayaan yang diatur dengan Perdasus. Pasal 278 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melindungi membina, mengembangkan dan melestarikan keragaman bahasa, sastra dan kesenian daerah Orang Asli Papua. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan dalam APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus.
BAB XXXIII KESEHATAN
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 279 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk. Setiap penduduk Papua dan Orang Asli Papua mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Provinsi memberikan peranan kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. Setiap penduduk Papua dan Orang Asli Papua berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga, dan lingkungan. Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
116
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
Pasal 280 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menyelenggarakan upaya kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi kelangsungan hidup penduduk Papua dan Orang Asli Papua. Peningkatan derajat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui upaya kesehatan sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 281 Orang Asli Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan atas semua jenis penyakit dengan tidak dipungut biaya sampai dengan tingkat pelayanan rumah sakit Pemerintah kelas 3 (tiga) sampai ditingkat rumah sakit rujukan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan standar pelayanan minimal kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program pencegahan dan pemberantasan penyakit termasuk perbaikan dan peningkatan gizi penduduk. Pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan pelaku usaha yang memenuhi persyaratan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelibatan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan pelaku usaha yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Perdasi. Pasal 282 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong pelaku usaha di Tanah Papua membuat program sebagai tanggung jawab sosial perusahaan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Tanah Papua. Pelaku usaha yang mengelola sumber daya alam di Tanah Papua wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi karyawan dan keluarganya serta kepada masyarakat adat di lingkungan tempat pelaku usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi. Pasal 283 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan tenaga kesehatan di setiap unit pelayanan kesehatan, khususnya di Daerah tertinggal, terpencil dan terluar. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menjamin tersedianya sarana dan prasarana bagi tenaga kesehatan agar dapat 117
(3)
(4)
(5) (6)
(1)
(2)
(3)
melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan monitoring dan evaluasi kinerja tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan. Dalam rangka monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memberikan penghargaan dan sanksi kepada setiap tenaga kesehatan sesuai dengan kinerjanya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan insentif yang layak kepada tenaga kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan, monitoring dan evaluasi, serta insentif tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Perdasi. Pasal 284 Pada Daerah tertinggal, terpencil dan terluar dimana tidak tersedia tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan terbatas, dapat dilakukan oleh tenaga nonkesehatan yang telah mendapat pelatihan. Apabila di daerah Daerah tertinggal, terpencil dan terluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah tersedia tenaga kesehatan, kewenangan pemberian pelayanan kesehatan terbatas dilaksanakan oleh tenaga kesehatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan terbatas oleh tenaga non-kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.
Pasal 285 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memberikan peran sebesarbesarnya pada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(1) (2)
(3)
Pasal 286 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib melakukan penanggulangan HIV dan AIDS. Kegiatan penanggulangan terhadap persebaran HIV dan AIDS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. promosi kesehatan; b. pencegahan penularan HIV; c. pemeriksaan diagnosis HIV; d. pengobatan, perawatan, dan dukungan; e. rehabilitasi; dan f. penelitian dan pengembangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
118
(1)
(2)
Pasal 287 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan dana dari APBN, APBP dan APBK untuk pelaksanaan sirkumsisi secara sukarela di kalangan Orang Asli Papua dan penduduk Papua laki-lakimulai dari usia remaja dalam rangka meningkatkan keberhasilan upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Pelaksanaan, pembiayaan, insentif dan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan perdasi.
BAB XXXIV SOSIAL
(1)
(2) (3) (4)
(5)
(1)
(2) (3)
(1)
Pasal 288 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah provinsi bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial lintas Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten/Kota bertanggung jawab melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di wilayahnya/bersifat lokal. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) merupakan pelayanan sosial yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasi. Pasal 289 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengakui dan menghormati karakteristik sosial khusus Komunitas Adat Terpencil di Tanah Papua. Komunitas Adat Terpencil memiliki hak yang sama dengan Orang Asli Papua pada umumnya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang ini. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam membangun masyarakat di kawasan Komunitas Adat terpencil wajib dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan sistem sosial budaya yang dianut dengan pendekatan terpadu. Pasal 290 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan dukungan bagi lembaga-lembaga masyarakat yang menyelenggarakan pembangunan dan pelayanan sosial di kawasan Komunitas Adat Terpencil. 119
(2)
(1)
(2)
(3)
(4)
Ketentuan tentang pemberian dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasus. Pasal 291 Pemerintah Provinsi berkewajiban memberikan perlindungan dan pelayanan sosial dasar bagi suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan di Tanah Papua. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui upaya penanganan khusus dalam rangka pemberdayaan, pengembangan dan pemajuan suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan di Tanah Papua. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pemerintah Provinsi memberikan peran kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat, lembaga keagamaan dan/atau lembaga lain yang bergerak dalam penanganan masalah sosial. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Perdasus. BAB XXXV HAK ASASI MANUSIA DAN KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI Bagian Kesatu Hak Asasi Manusia
(1)
Pasal 292 Setiap Orang Asli Papua dan setiap penduduk di Tanah Papua memiliki: a. Hak untuk hidup; b. Hak untuk tidak disiksa; c. Hak atas kebebasan pribadi, termasuk menyampaikan pikiran, pendapat dan hati nurani; d. Hak untuk memeluk agama; e. Hak untuk tidak diperbudak; f. Hak untuk bebas dari kerja paksa; g. Hak untuk kesehatan yang layak; h. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum serta tidak dapat dituntut atas hukum yang berlaku surut dalam segala bentuk apapun; i. Hak untuk bebas dari diskriminasi suku, agama, ras, dan antar golongan; j. Hak untuk berpolitik; k. Hak untuk mendapat perlakuan dan layanan yang baik dalam segalah bentuk dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota; l. Hak untuk mendapatkandan bertempat tinggal yang layak; dan
120
(2) (3)
m. Hak untuk mengembangkan diri berdasarkan intelektualitas dan ketrampilan dan/atau juga memperoleh manfaat dari kemajuan informasi dan tekhnologi; Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas juga berlaku atas perempuan dan anak dari Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua. Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perempuan dan anak dari Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua memiliki : a. Perempuan dari Orang Asli Papua dan Penduduk di Tanah Papau mempunyai hak : 1) untuk mencari nafkah dan memilih; 2) menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan; 3) untuk membentuk serikat pekerja; 4) terlibat dalam serikat pekerja; 5) atas jaminan sosial dan asuransi sosial; 6) mendapat perlindungan dalam membentuk keluarga; 7) mendapat perlindungan khusus; 8) terhadap kehamilan; 9) mendapat perilaku yang non-diskriminatif; 10) atas standar kehidupan yang layak; 11) atas standar tertinggi kesehatan; 12) atas pendidikan; 13) berpartisipasi dalam kehidupan, budaya, penikmatan dan pemanfaatan kemajuan teknologi; dan 14) mendapatkan bantuan untuk mengembangkan usaha-usaha ekonomi. b. Anak Orang Asli Papua dan penduduk di Tanah Papua mempunyai hak: 1) untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2) atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; 3) untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua; 4) untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri; 5) dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan Peraturan PerundangUndangan yang berlaku; 6) memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuan fisik, mental, spiritual; 7) setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan social; dan
121
8) untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 293 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia Orang Asli Papua dan penduduk Papua sebagai Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 dan berdasarkan ketentuan undang-undang lainnya yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan hukum internasional. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menetapkan kebijakan yang bertujuan melindungihak asasi Orang Asli Papua dan setiap penduduk di TanahPapua dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk menjamin pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibentuk perwakilan Komnas HAM di Tanah Papua selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini. Pasal 294 Untuk kepentingan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia di Papua, Pemerintah membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengadili dan memutus perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi di Tanah Papua. Putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat antara lain pidana penjara terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dan pemberian kompensasi, restitusi dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, dengan memperhatikan adat istiadat Orang Asli Papua. Pengadilan Hak asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini adalah bagian integral dari Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bagian Kedua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(1)
Pasal 295 Dalam rangka pemantapan persatuan dann kesatuan bangsa, dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua (KKRP) selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah diundangkannya Undang-Undang ini.
122
(2)
(3)
(1)
(2)
Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan dan pelaksanaan tugas, dan pembiayaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur. Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterimanya usulan dari Gubernur. Pasal 296 Untuk menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya sebagai mitra sejajar kaum laki-laki. Kewajiban pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan melalui pembentukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
BAB XXXVI HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL
(1)
(2)
(3)
Pasal 297 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, berkewajiban melindungi Hak Atas Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perlindungan Hak Kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Hakcipta; b. Perlindungan varietas tanaman; c. pengetahuan lokal; d. merek dan indikasi geografis; e. desain industri; f. paten; g. rahasia dagang; h. desain tata letak sirkuit terpadu;dan i. folklore. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Perdasus.
123
BAB XXXVII KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
(1)
(2)
(3)
(1) (2)
Pasal 298 Pemerintah Provinsi berwenang melaksanakan urusan bidang telekomunikasi dan informatika yang meliputi : a. pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus, dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah; b. pemberian izin untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan Pemerintah dan badan hukum di wilayah Papua sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio setelah berkoordinasi dengan Kementerian/lembaga terkait; c. pengawasan terhadap layanan jasa telekomunikasi; d. pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis kabel cakupan provinsi; e. koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi; f. pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi di wilayah Provinsi dilaksanakan bersama dengan Kementerian/lembaga terkait; dan g. pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator telekomunikasi. h. Pelaksanaan kerjasama yang saling menguntungkan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan operator telekomunikasi baik BUMN maupun swasta. i. pengelolaan nama domain yang telah ditetapkan dan sub domain di lingkup Pemerintah Provinsi; dan j. pengelolaan e-Government di lingkup Pemerintah Provinsi. Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan pedoman pembuatan menara dan pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten atau jalan provinsi. Kewenangan lain di bidang pos, telekomunikasi, dan informatika bagi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotaselain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 299 Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur telekomunikasi perdesaan di Tanah Papua. Pendanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain bersumber dari pendapatan negara bukan pajak sektor telekomunikasi.
124
(1)
(2)
(3) (4)
Pasal 300 Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan ketentuan di bidang pers dan penyiaran berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkoordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah dalam menetapkan pedoman etika penyiaran dan standar program siaran. Pelaksanaan ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi. Kewenangan lain di bidang pers dan penyiaran bagi Pemerintah Provinsi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XXXVIII PERHUBUNGAN DAN TRANSPORTASI
(1)
(2)
(3)
Pasal 301 Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan kebijakan penyelenggaraan transportasi darat, laut, udara dan perkeretaapian di Tanah Papua dengan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan di bidang transportasi. Penetapan kebijakan penyelenggaraan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi wilayah, tingkat kemahalan, pertumbuhan dan penyebaran penduduk dan kebutuhan sektor pembangunan lainnya dalam rangka peningkatan persatuan dan kesatuan dalamNegara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan penyelenggaraan transportasi sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Perdasi.
BAB XXXIX KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN Bagian Kesatu Kependudukan
(1)
(2)
Pasal 302 Pemerintah, Pemerintah Provinsidan Pemerintah Kabupaten/Kotaberkewajiban menetapkan kebijakan pembinaan penataan kependudukan di Tanah Papua dalam rangka persatuan dan kesatuan Nasional. Kewajiban Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui dukungan terhadap pemerintah Provinsi dalam melakukan pembinaan 125
(3)
(4)
(5) (6)
(1)
(2) (3) (4)
pengawasan dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Tanah Papua. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamemberi perlindungan bagi Orang Asli Papua dalam rangka menjamin pertumbuhan jumlah dan perkembangan kualitas kehidupan yang bermartabat. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamenetapkan kebijakan affirmatif dalam rangka mempercepat upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi OrangAsli Papua dalam semua sektor pembangunan. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur arus pergerakan penduduk di wilayah Tanah Papua Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi. Pasal 303 Pelaksanaan tugas dan fungsi pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana untuk meningkatkan kualitas hidup Orang Asli Papua dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pendataan keluarga di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara berkala oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan dengan melibatkan lembaga-lembaga masyarakat yang berkompeten. Pendataan keluarga dalam rangka mengetahui pertumbuhan populasi dan perkembangan kualitas Orang Asli Papua dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali. Bagian Kedua Ketenagakerjaan
(1) (2)
(3)
(4)
Pasal 304 Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak sesuai dengan kemampuan dan keahlian. Orang Asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan di wilayah provinsi di Tanah Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan presentase tenaga kerja Orang Asli Papua untuk bekerja dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dengan mempertimbangan kebutuhan pasar kerja nasional yang diatur lebih lanjut dalam Perdasus. Setiap pelaku usaha wajib meningkatkan kapasitas sumber daya manusia calon tenaga kerja dan tenaga kerja Orang Asli Papua yang terkait dengan jenis usaha.
126
(1)
(2) (3)
(1)
(2)
Pasal 305 Setiap pelaku usaha di atas Tanah Papua wajib memiliki rencana kebutuhan tenaga kerja dan menyampaikan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan MRP. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyiapkan sarana dan prasarana dan menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja. Pemerintah Provisni dan Kabupaten/Kota memberikan insentif kepada dunia usaha dan lembaga-lembaga masayarakat yang menyelenggarakan pelatihan ketrampilan bagi para pencari kerja. Pasal 306 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengutamakan pengusaha Orang Asli Papua dalam semua kegiatan yang pendanaannya bersumber dari APBN untuk Tanah Papua, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota. Guna meningkatkan kemampuan dan kapasitas pengusaha Orang Asli Papua dalam mengerjakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota wajib menyelenggarakan pelatihan, pembinaan dan memfasilitasi akses permodalan.
BAB XL KEPEMUDAAN DAN KEOLAHRAGAAN Bagian Kesatu Kepemudaan
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 307 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotamempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan fungsi di bidang kepemudaan yang meliputi: a. perumusan dan penetapan kebijakan; b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan; c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melaksanakan kebijakan nasional yang menetapkan kebijakan di derah sesuai dengan kewenangannya serta mengoordinasikan pelayanan kepemudaan. Pemerintah berkewajiban mengembangkan kapasitas pemuda Papua untuk berperan serta aktif di organisasi kepemudaan tingkat nasional maupun 127
(5)
(6) (7)
internasional dan berkarya di bidang Pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara dan dunia usaha nasional maupun internasional. Pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota bertanggungjawab melaksanakan penyadaran, pemberdayaan dan pengembangan potensi pemuda berdasarkan kewenangan dan tanggungjawabnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah masing-masing. Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kotadalam menyelanggarakan urusan kepemudaan membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. Bagian Kedua Keolahragaan
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(1)
Pasal 308 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengembangkan olah raga di Tanah Papua. Dalam rangka mewujudkan prestasi dan profesionalisme dan kebanggaan daerah, Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban membiayai pengembangan olah raga melalui APBN dan APBD. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, bertanggungjawab untuk membangun pusat-pusat pendidikan dan pelatihan olahraga, menyediakan prasarana dan prasarana olahraga dan mengalokasikan anggaran berdasarkan prinsip kecukupan dan keberlanjutan sesuai kewenangannya. BUMN, BUMD, dan dunia usaha yang beroperasi di Tanah Papua berkewajiban mendukung pengembangan olahraga di Tanah Papua dengan mengalokasikan minimal 1% (satu per seratus) dari keuntungan bersih perusahaan dalam satu tahun. Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi di Tanah Papua untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan olah raga berskala nasional dan internasional. Pemerintah memberikan kesempatan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua untuk berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan olah raga di luar negeri. Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Perdasi.
Pasal 309 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bertugas: a. menjamin kebebasan berpendapat dan berkarya dalam pendidikan kepramukaan; b. membimbing, mendukung, dan memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan kepramukaan secara berkelanjutan dan berkesinambungan; dan 128
(2)
(3)
(4)
c. membantu ketersediaan tenaga, dana, dan fasilitas yang diperlukan untuk pendidikan kepramukaan. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan kepramukaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan terhadap pelaksanan penyelenggaraan pendidikan kepramukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan dukungan pembiayaan bagi penyelenggaraan kepramukaan dari APBN dan APBD.
BAB XLI NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, BAHAN ADIKTIF LAINNYA DAN MINUMAN BERALKOHOL
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Pasal 310 Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan instansi terkait dalam pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya termasuk minuman beralkohol di Tanah Papua. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, Zat Adiktif lainnya termasuk minuman beralkohol sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diintregasikan ke dalam kurikulum pendidikan. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk lembaga penanggulangan Narkotika-Psikotropika, Bahan Adiktif lainnya, Minuman Beralkohol dan HIV/AIDS. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban memfasilitasi pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pencegahan penyalahgunaan Narkotika dan Bahan Adiktif lainnya, serta Minuman Beralkohol. Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengatur tentang larangan produksi, peredarandan konsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan berbahaya di Tanah Papua. Ketentuan lebih lanjut ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Perdasi yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
129
BAB XLII PARTAI POLITIK
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 311 Rekrutmen politik oleh partai politik nasional untuk bakal calon anggota DPR, DPD dan DPRD mengutamakan Orang Asli Papua dengan memperhatikan pertimbangan MRP. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: a. pencalonan, pemilihan dan penetapan pengurus inti pada DPW, DPD, DPC, Anak Cabang dan Anak Ranting atau dengan sebutan lain. b. pencalonan Anggota Legislatif, meliputi calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota, calon Anggota DPRP, calon Anggota DPR-RI. c. pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Partai Politik dalam melakukan rekrutmen politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperoleh pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua. Ketentuan lebih lanjut mengenai rekrutmen politik Orang Asli Papua dalam partai politik nasional diatur dengan Perdasus.
BAB XLIII LAMBANG DAERAH, BENDERA DAERAH, DAN HIMNE DAERAH
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 312 Pemerintah Provinsi di Tanah Papua adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan. Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat memiliki lambang daerah sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua dalam bentuk bendera daerah dan himne yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Lambang daerah, bendera daerah dan himne sebagaiman dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh memiliki kesamaan dengan lambang daerah, bendera daerahdan himne yang pernah digunakan oleh organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan politik yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan berpedoman pada peraturan perundangundangan.
130
BAB XLIV SUPERVISI, PENGAWASAN DAN EVALUASI
(1)
(2)
Pasal 313 Pemerintah melakukan supervisi, pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi di Tanah Papua. Pemerintah provinsi di Tanah Papua melakukan supervisi, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota.
Pasal 314 Pemerintah melakukan pengawasan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dengan mempertimbangkan indeks kemahalan dan kesulitan geografis di Tanah Papua.
(1) (2)
(1)
(2)
(3)
Pasal 315 Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi dan pemerintahan Kabupaten/Kota DPRP, DPRD Kabupaten/Kota, lembaga penegak hukum, dan masyarakat turut melakukan pengawasan politik, hukum dan sosial atas penyelenggaraan pemerintahan. Pasal 316 Gubernur selaku Wakil Pemerintah berwenang melakukan monitoring dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga di Tanah Papua. Pemerintah dapat melimpahkan wewenang kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten/Kota. Pemerintah berwenang melakukan pengawasan represif terhadap Perdasus, Perdasi dan Peraturan Gubernur.
BAB XLV KERJA SAMA DAN PENYELESAIANPERSELISIHAN
(1)
Pasal 317 Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua dapat mengadakan perjanjian kerjasama di berbagai bidang dengan Provinsi/Kabupaten/Kota lain di Indonesia, pihak ketiga dan/atau lembaga atau daerah di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 131
(2)
(1) (2) (3)
(4)
Perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diselesaikan sesuai dengan pilihan hukum yang diperjanjikan. Pasal 318 Pemerintah Provinsi di Tanah Papua memfasilitasi penyelesaian perselisihan antara Kabupaten/Kota dalam Provinsi. Perselisihan antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, diselesaikan secara musyawarah yang difasilitasi Pemerintah. Pemerintah menyelesaikan persengketaan yang terjadi antar Provinsi di Tanah Papua, antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di luar Tanah Papua. Keputusan penyelesaian persengketaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) bersifat final dan mengikat.
BAB XLVI PEMBENTUKAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 319 Pembentukan Provinsi di Tanah Papua dilakukan dengan persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan apabila Pemerintah dan Pemerintah Provinsi telah mempersiapkan Provinsi pemekaran melalui penyiapan birokrasi, sumber daya manusia, fasilitas minimum kesehatan, fasilitas minimum pendidikan, fasilitas minimum ekonomi dan fasilitas minimum infrastruktur agar Provinsi pemekaran dapat melaksanakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan. Pembentukan Kabupaten/Kota di Tanah Papua dilakukan dengan persetujuan DPRD dan mendapat rekomendasi MRP dan DPRD setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah mempersiapkan Kabupaten/Kota pemekaran melalui penyiapan birokrasi, sumber daya manusia, fasilitas minimum kesehatan, fasilitas minimum pendidikan, fasilitas minimum ekonomi dan fasilitas minimum infrastruktur agar Kabupaten/Kota pemekaran dapat melaksanakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.
132
(1)
(2)
(3)
Pasal 320 Pemerintah dan Pemerintah Provinsi menyusun desain besar penataan daerah sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan di Tanah Papua. Desain besar penataan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat strategi pengembangan kewilayahan Tanah Papua dan rencana estimasi jumlah maksimum daerah otonom di Tanah Papua; Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Gubernur.
BAB XLVII PENYEBARLUASAN
(1) (2) (3)
(4)
(5)
Pasal 321 Pemerintah, DPR dan DPD wajib mensosialisasikan isi Undang-Undang ini kepada Kementerian/Lembaga. Pemerintah wajib menyelaraskan kebijakan dan program Kementerian/Lembaga dengan isi Undang-Undang ini. Pemerintah, Pemerintah Provinsi, MRP, DPRP, Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD wajib mensosialisasikan isi Undang-Undang ini dan peraturanperaturan pelaksanaannya kepada Orang Asli Papua dan Penduduk Papua. Selain Pemerintah, pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, DPRP dan MRP, lembaga-lembaga masyarakat dapat melaksanakan penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pelaksanaan penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dibiayai oleh APBN dan APBD.
BAB XLVIII KETENTUAN LAIN-LAIN
(1)
(2)
(3)
Pasal 322 Perubahan nama Provinsi di Tanah Papua dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan oleh DPRP dengan pertimbangan MRP. Sebelum sebutan nama provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan, sebutan nama provinsi di Tanah Papua yang telah ada tetap digunakan. Anggota DPRP dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota hasil pemilihan umum tahun berjalan tetap melaksanakan tugasnya sampai berakhir masa baktinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 133
(1)
(2)
(1) (2)
Pasal 323 Pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan secara nasional berkewajiban untuk menyesuaikan kekhususan yang diatur di dalam undang-undang ini. Pemerintah melalui Kementerian/Lembaga sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1), berkewajiban menyelaraskan pelaksanaan kebijakan dan program Kementerian dan lembaga Pemerintah Non Kementerianlainnya dengan isi Undang-Undang ini. Pasal 324 Kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku efektif selambatlambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal disahkan. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XLIX KETENTUAN PERALIHAN
(1)
(2)
(1)
(2)
Pasal 325 Gubernur, Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati, Wakil Bupati, DPRD Kabupaten, Walikota, Wakil Walikota dan DPRD Kota di Wilayah Tanah Papua yang telah diangkat sebelum Undang-Undang ini disahkan, tetap menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya. Semua kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota di Tanah Papua berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tetap berlaku hingga ditetapkan lebih lanjut dengan Perdasus dan Perdasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Pasal 326 Pemerintah, DPR RI dan DPD RI dalam hal menetapkan kebijakan nasional dan/atau membentuk peraturan perundang-undangan wajib menyesuaikan dengan kekhususan berdasarkan Undang-Undang ini. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencantumkan frasa "kecuali bagi Tanah Papua diatur secara khusus dan tersendiri dengan merujuk pada Undang-undang Pemerintahan Otonmi Khusus Tanah Papua" yang dicantumkan pada ketentuan penutup setiap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 327 Pelaksanaan Undang-Undang ini dievaluasi setiap tahun dan untuk pertama kalinya dilakukan pada akhir tahun ketiga sesudah Undang-Undang ini berlaku.
134
Pasal 328 Usul perubahan atas Undang-Undang ini dapat diajukan oleh rakyat di Tanah Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 329 Distrik dan kampung atau yang disebut dengan nama lain yang ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap sebagai Distrik dan Kampung atau yang disebut dengan nama lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6, dan angka 7 Undang-Undang ini, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 330 Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Kepala Distrik dan Kepala Kampung beserta perangkatnya yang ada, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya.
BAB L KETENTUAN PENUTUP Pasal 331 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundangundangan yang ada tetap berlaku sepanjang materi muatannya tidak diatur dan/atau materi muatannya tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 332 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia.Nomor 112 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884) tetap berlaku sampai dibentuk peraturan pelaksanaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 333 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 135Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sebagaimana telah diubah dengan Undang135
Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2008, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 334 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini: a. Peraturan Pemerintah diselesaikan paling lama 12(dua belas) bulan sejak diundangkan Undang-Undang ini; dan b. Perdasi dan Perdasus diselesaikan paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak diundangkan Undang-Undang ini. Pasal 335 Kewenangan Pemerintah yang bersifat Nasional dan pelaksanaan UndangUndang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah diatur dengan peraturan perundang-undangan. (2) Kewenangan Pemerintah Provinsi danKewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua tentang pelaksanaan Undang-Undang ini diatur dengan Perdasi. Pasal 336 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah, Perdasi, Perdasus dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (1)
Pasal 337 Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, nama, batas dan ibukota, Provinsi, Kabupaten dan Kota, tetap berlaku kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 338 Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik dan Kampung yang ada pada saat diundangkannya Undang-Undang ini tetap sebagai Provinsi, Kabupaten, Kota, Distrik dan Kampung kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 339 Pembentukan Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berkaitan langsung dengan pemerintahan provinsi di Tanah Papua dilakukan setelah memperoleh pertimbangan Gubernur, DPRP dan MRP. Pasal 340 Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan pemerintahan Provinsi di Tanah Papua yang disusun oleh Pemerintah dilakukan setelah memperoleh pertimbangan Gubernur. 136
Pasal 341 Undang-Undang ini selanjutnya disebut Undang-Undang Pemerintahan Otonomi khusus Tanah Papua yang disingkat UU Pemerintahan Otsus Tanah Papua. Pasal 342 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal ……… PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal …………… MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…
137
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN ... TENTANG PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA
I.
UMUM Keputusan politik penyatuan Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, khususnya masyarakat Papua. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik. Sebagai solusi alternatifnya melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Pemberian Otonomi Khusus Provinsi Papua melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua semestinya dipandang sebagai kebijakan strategis dan elementer penyelesaian masalah Papua. Disamping itu, Otsus dimaksudkan sebagai upaya terbaik meningkatkan kesejahteraan Orang Papua. Akan tetapi pelaksanaan Otsus yang berlangsung selama ini masih sarat kendala, baik pada tataran kebijakan legislatif (legislative policy) maupun kebijakan aplikatif (applicatory policy). Pada tataran kebijakan legislatif terdapat tumpang-tindih kebijakan pengaturan yang menyebabkan keberadaan UU Otsus menjadi rancu tidak tentu arah, sebagian sudah tidak punya kekuatan mengikat lagi, sebagian ketentuan lainnya kehilangan sasaran berlakunya (addressat norm), dan sebagian lagi untuk implementasinya masih menunggu giliran pengaturan dari aturan organik semisal Perdasi atau Perdasus. Pertimbangan terhadap kondisi faktual pelaksanaan Otsus di Papua selama ini, dan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh kebutuhan Papua di masa mendatang, adalah patokan yang sangat fundamental pembentukan undang-undang ini disertai dengan tetap berpegang teguh pada jiwa dan semangat yang menjadi landasan filosofis (philosophical grounded) dari awal kelahiran pembentukan UU Otsus Papua. Kondisi faktual kekinian masyarakat di Tanah Papua menginginkan ruang yang lebih luas dan proporsional untuk peningkatan taraf hidup dan tingkat kesejahteraan dengan tuntutan pemberian kewenangan dan keuangan yang cukup besar untuk medanai kegiatan pembangunan di berbagai aspek kehidupan masyarakat di Tanah Papua. Kondisi kekinian dan pertimbangan masa depan serta landasan filosofis tersebut di atas menjadi landasan motivatif dan fundamental yang menjadi kerangka materi muatan pokok Undang-undang Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua seperti diungkap berikut ini: (1) Penyelenggaraan Pemerintahan di Tanah Papua melalui regulasi UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menampakkan kondisi ketidakmampuan untuk mengakomdir dinamika perkembangan masyarakat Papua. Oleh sebab itu, ada 4 (empat) harapan baru yang ingin diusung oleh RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua yaitu (1) kewenangan Pemerintahan di Tanah Papua yang diperluas (2) Keuangan yang besar dan proporsional untuk membiayai pembangunan Papua (3) 1
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
2
penguatan dan konkritisasi kebijakan affirmative bagi peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup Orang Asli Papua, dan (4) solusi rekonsiliasi. Pembentukan RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua senantiasa dikendalikan oleh 3 pilar utama yakni (1) pilar proses, senantiasa mengikuti pentahapan proses pembentukan regulasi nasional, (2) pilar substansi yang sepenuhnya dipersembahkan untuk kemulian orang Papua “the Papuan dignity”/dignity of Papuan people dan (3) penglegimitasian yang mencakup legitimasi akademk, legitimasi politik dan legitimasi kultural. Penataan otsus Papua dipersembahkan untuk kemuliaan orang Papua (dignity of Papuan people), demikian harapan Presiden Republik Indonesia pada pertemuan di kantor Kepresidenan di istana negara, pada 29 April 2013. Perubahan perundangan Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua ini disusun secara komprehensif dengan tujuan: (1) memperbaiki pengelolaan pembangunan untuk kesejahteraan di Tanah Papua, (2) menghormati tata kemasyarakatan di Tanah Papua, (3) menghormati dan mengembangkan identitas dan hak-hak dasar rakyat Papua, menghormati dan meningkatkan harkat dan martabat serta jati diri Orang Asli Papua, (4) sebagai penegasan format otonomi daerah asimetris yang dipayungi oleh Pasal 18 UUD 1945. RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua dilandasi oleh 7 (tujuh) nilai-nilai dasar yakni (1) perlindungan dan pemberdayaan terhadap hak-hak dasar dan harkat martabat Orang Asli Papua (2) kasih menembus perbedaan sebagai penghargaan dan pengakuan terhadap toleransi dan pluralisme; (3) demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi; (4) penghargaan terhadap etika, moral dan nilai-nilai religius; (5) penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia; (6) supremasi hukum; (7) persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berwenang mengatur dan mengurus semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat; seluruh kebijakan lembaga negara, Kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintah Provinsi di Tanah Papua; pembuatan persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintah di Tanah Papua yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur dan DPRP; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat mewakili Pemerintah Pusat dalam urusan bilateral dan meningkatkan hubungan people to people contact dalam memperkuat NKRI; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat melakukan kerjasama dan memiliki hubungan ekonomi, investasi dan perdagangan dengan luar negeri terutama kawasan pasifik selatan dan pasifik barat daya; Pemerintah Provinsi di Tanah Papua memiliki kewenangan memberikan pertimbangan dalam penyusunan rencana tata ruang pertahanan; dan Pemerintah dan Pemerintah Provinsi di Tanah Papua membuka jalur penerbangan internasional melalui Bandar Udara Frans Kaisepo di Kabupaten Biak Numfor. Kerangka Keuangan Pemerintahan Provinsi, yaitu APBN wajib mempertimbangkan satuan Pemerintahan Khusus di Tanah Papua, tingkat kemahalan harga, kondisi geografis wilayah, penyebaran penduduk dan konteks sosial budaya; pendapatan negara yang berasal dari berbagai pajak PMA, PMDN, BUMN dan dunia usaha yang beroperasi di Tanah Papua diserahkan lebih dulu ke kas daerah dan kemudian diserahkan 30 persen ke kas negara selama 20 tahun; perjanjian kontrak kerjasama antara Pemerintah dan pihak lain yang beroperasi di Tanah Papua (asing maupun domestik) wajib mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Provinsi di Tanah Papua. Pemerintah menyediakan dana otonomi khusus sebesar 4 persen selama 20 tahun yang ditujukan untuk membiayai pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan dan
kesehatan; Pemerintah wajib menyediakan dana tambahan otonomi khusus untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pemerintah Provinsi di Tanah Papua berhak atas kepemilikan saham disetiap usaha pengelolaan sumberdaya alam dibidang pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan, kelautan, energi (PLTA, PLTU, PLTS) dan pariwisata, perdagangan dan investasi lainnya; setiap program pembangunan masyarakat (corporate social responsibility) yang dilakukan oleh dunia usaha di Tanah Papua wajib mengikuti desain kebijakan daerah; penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan/ditugaskan kepada Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Distrik dan Kampung wajib disertai dengan pendanaan dari APBN. Pemerintah Provinsi di Tanah Papua dapat menerima bantuan, pinjaman dan hibah baik yang bersumber dari luar negeri dan dalam negeri setelah memberitahukannya kepada pemerintah dan dapat melakukan penyertaan modal dengan badan usaha milik negara/daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan. Desain bagi hasil sumber daya alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada rakyat Papua, Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua dan kepentingan NKRI. (7) Kerangka politik, hukum dan HAM mencakup perlindungan Hak Masyarakat Adat, Hak Asasi Manusia, Partai Politik, TNI, KepolisianKekuasaan Peradilan, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Peraturan Pemerintah di Tanah Papua (Perdasus dan Perdasi) Bendera, Lambang dan Himne, Pembinaan dan Pengawasan dan penyelesaian perselisihan Kelembagaan Pemerintahan di Tanah Papua. (8) Titik berat otonomi khusus berada di tingkat Provinsi yang diharmonisasikan dengan Pemerintahan Kabupaten/Kota sehingga kedudukan Pemerintahan Provinsi bersifat khusus antara lain (1) memperkuat kedudukan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah (2) memperkuat kedudukan Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi (3) memberi ruang untuk pelimpahan kewenangan terbatas dalam bidang kebijakan luar negeri (4) Gubernur melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas perbantuan; melakukan koordinasi, pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan di Tanah Papua; dan yang tidak kalah pentingnya adalah (5) melakukan koordinasi pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antar kota dan kabupaten setiap kebijakan kebijakan lembaga negara, kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan pemerintah Provinsi di Tanah Papua; (9) Dengan kedudukan Gubernur sebagai kepala daerah dan Kepala Pemerintahan Provinsi, maka Gubernur melakukan koordinasi dan pengawasan pelaksanaan kewenangan pemerintah di level Provinsi di Tanah Papua; kemudian Pemerintah memberikan pelimpahan dan pembantuan kepada Gubernur di bidang kerjasama luar negeri, pertahanan, moneter, fiskal dan yustisi dan sebagian urusan keagamaan; dan setiap kebijakan kebijakan lembaga negara, kementerian/LPNK, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Provinsi; kemudian Gubernur melakukan koordinasi pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antar kabupaten dan kota di Tanah Papua; Gubernur melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan terhadap instansi vertikal, unit pelaksana teknis, balai besar maupun BUMN di Tanah Papua; dan Gubernur memiliki hak dan kewenangan untuk membuat kebijakan afirmatif dalam menentukan perangkat organisasi di Tanah Papua dengan pertimbangan DPRP . (10) Kaitan dengan Kedudukan Majelis Rakyat Papua (MRP) bahwa MRP adalah lembaga representasi kultural Papua, kemudian MRP dibentuk di level Provinsi dan Kabupaten/Kota; MRP berwenang melindungi hak hak Orang Asli Papua MRP menjaga penghormatan 3
terhadap hak-hak adat, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama. MRP Provinsi memberi pertimbangan dan persetujuan rancangan Perdasus dan Perdasi, MRPKabupaten/Kota memberi pertimbangan dan persetujuan rancangan Peraturan Kabupaten/Kota dan MRP memberi pertimbangan terhadap rancangan APBD dan dana otonomi khusus. (11) Kedudukan DPRP kekuasaan Legislatif Provinsi di Tanah Papua dilaksanakan oleh DPRP jumlah keanggotaan DPRP terdiri dari 1 1/4 (satu seperempat) dari jumlah anggota DPRD pada umumnya. DPRP diberi peran proporsional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, disamping diberi kewenangan kepada DPRP memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Provinsi dan DPRP melaksanakan pengawasan terhadap APBN yang dilaksanakan untuk kegiatan pembangunan di Tanah Papua serta memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap kerjasama internasional yang dilaksanakan di Tanah Papua. Pejabaran dan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua ini dilakukan secara proporsional sesuai jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Adat Istiadat yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Adat di Tanah Papua yang tercermin pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah, Perdasi, Perdasus, Peraturan Gubernur, Peraturan Kabupaten/Kota dan Peraturan Kampung dan diharmonisasikan dengan peraturan perundang-undangan sektoral lain sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas
Pasal 3 Huruf a Yang dimaksud dengan Keberpihakan kepada Orang Asli Papua (OAP) sebagai penghormatan, pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan OAP yang diabdikan sepenuhnya bagi Kemulian OAP, adalah bermakna sama dengan kebijakan affirmatif. Huruf b Yang dimaksud dengan Desentralisasi Asismetris adalah kewenangan lebih luas dan bertanggungjawab oleh pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi di Tanah Papua yang diberikan secara berbeda, spesifik dan proporsional berdasarkan status otonomi khusus untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan karakteristik dan keadaan Papua dalam berbagai sektor pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang diabadikan sepenuhnya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemulian Orang Asli Papua. Pasal 4 Ayat (1) Daerah otonom adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan 4
Republik Indonesia Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Cukup jelas Huruf b Yang dimaksud dengan kesatuan kultur adalah kesatuan kewilayahan, kesatuan adat istiadat dalam masyarakat hukum adat baik bersifat geneologis maupun territorial. Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
Ayat (4) Kepentingan khusus adalah kepentingan keberpihakan terhadap penghormatan, perlindungan dan pelaksanaan hak-hak dasar Orang Asli Papua yang bersifat ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan dan infrastruktur Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan berwenang mengatur dan mengurus seluruh urusan pemerintahan adalah baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (1) Cukup jelas 5
Pasal 9 Ayat (1) Penetapan norma, standar prosedur dan kriteria urusan pemerintahan yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan pemerintahan Kabupaten/Kota adalah bersifat teknis operasional yang berkenan langsung dengan kebutuhan dan berdasarkan karakteristik dan kemampuan pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Pertimbangan tentang permasalahan, kebutuhan dan kemampuan Kabupaten/Kota adalah disesuaikan dan secara langsung ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bersifat wajib adalah bersifat imperative yakni urusan yang harus dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus Ayat (2) Standar pelayanan minimal adalah standar pelayanan yang menjadi ukuran pencapaian kinerja yang harus dilaksanakan dan dicapai sesuai profesi dan kelayakan pelayanan Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Pengajuan Usulan adalah pengajuan usulan PP yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi berkenan dengan substansi pasal-pasal tertentu dalam undang-undang ini yang memang membutuhkan PP. Ayat (2) Yang dimaksud provinsi adalah pelaksana dari undang ini yang
dengan menyetujui usulan yang diajukan pemerintah usulan tersebut dapat ditetapkan sebagai PP sebagai ketentuan dalam pasal-pasal tertentu dari undangmembutuhkan PP
Pasal 13 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pelayanan dasar adalah pelayanan yang berkaitan langsung dengan hak-hak dasar Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah termasuk karakteristik kewilayahan, kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat
6
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1) Pelayanan dasar adalah berkaitan langsung kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan dalam rangkameningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk karakteristik kewilayahan, kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Pengalihan prasarana, sarana, pendanaan dan kepegawaian sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan desentralisasi sebagai konsekuensi logis penyerahan urusan pemerintah kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Ayat (2) Yang dimaksud dengan dekonsentrasi dalam ayat ini adalah berkaitan dengan pelimpahan kewenangan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan dekonsentrasi dalam ayat ini adalah disamakan dengan pengertian tugas pembantuan Pasal 18 Yang dimaksud dengan “dapat menyelenggarakan” dalam ketentuan ini adalah kewenangan yang tidak ditentukan langsung dalam UndangUndang ini masih ada kaitannya dengan urgensi pelaksanaan pasalpasal dari undang-undang ini. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Izin Masuk bagi Orang Asing adalah berkaitan dengan Imigrasi Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas 7
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan perlakuan khusus adalah disamakan dengan memprioritaskan atau mengutamakan Orang Asli Papua. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Keamanan dalam ayat ini juga berkaitan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat yang menjadi salah satu tugas pokok Kepolisian. Ayat (2) Yang dimaksud dengan berkoordinasi adalah melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan Gubernur. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Ketentuan seleksi dalam ayat ini dalam rangka pelaksanaan kebijakan kepedulian (affirmative action policy) terhadap Orang Asli Papua Ayat (2) Kurikulum muatan lokal dimaksud dapat berupa Etnografi Papua dan pengetahuan karakteristik Sosial, Budaya, Kekhasan Budaya dan Adat Istiadat Orang Asli Papua Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan adalah sistem hukum, budaya dan adat istiadat Papua dan suku-suku asli Papua di tempat penugasan. Ayat (5) Cukup jelas 8
Ayat (6) Yang dimaksud dengan memberikan kesempatan dan perlakuan khusus adalah dalam rangka kebijakan affirmatif terhadap Orang Asli Papua. Ayat (7) Cukup jelas Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan Persetujuan Gubernur adalah berkonsultasi dan meminta pertimbangan dengan Gubernur.
setelah
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan tidak memberikan jawaban adalah jawaban terhadap surat permintaan persetujuan yang disampaikan kepada Gubernur. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan pembinaan karier adalah berkaitan dengan jabatan, kepangkatan sesuai tugas dan tanggungjawab dalam lingkungan Kejaksaan Agung RI. Sedangkan memberikan kesempatan sama dengan mengutamakan atau memprioritaskan Orang Asli Papua. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Mengutamakan Orang Asli Papua sama dengan memprioritaskan Orang Asli Papua Ayat (2) Yang dimaksud dengan pembinaan karir adalah berkaitan dengan jabatan, kepangkatan sesuai tugas dan tanggungjawab dalam lingkungan Mahkamah Agung RI. Sedangkan memberikan kesempatan sama dengan mengutamakan atau memprioritaskan Orang Asli Papua. Pasal 30 Asas kekeluargaan dan semangat kolektifitas komunal masyarakat hukum adat di Papua menjadi asas utama penyelenggaraan peradilan adat di Papua, dengan tetap memperhatikan asas peradilan sederhana, 9
cepat dan biaya ringan, dan dalam hal ini dapat disamakan dengan asas constantio justitie. Pasal 31 Pengakuan adanya peradilan adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diberlakukan secara terus-menerus dalam masyarakat hukum adat bersangkutan, dengan menjaga harmonisasi, keseimbangan dan keteraturan.Diartikan sebagai menjaga keseimbangan kosmis yang menjadi tujuan utama penyelenggaraan Hukum Adat. Pasal 32 Ayat (1) Yang dimaksud dengan bukan bagian dari peradilan negara adalah peradilan adat tidak termasuk dalam kompetensi peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama, maupun peradilan militer, tetapi peradilan tersendiri yang dilaksanakan dalam persekutuan masyarakat hukum adat di Papua. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kewenangan dalam hal ini adalah sama dengan kompetensi atau disamakan artinya dengan kewenangan mengadili dari pengadilan adat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Hukum adat adalah hukum yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan peradilan adat di lingkungan masyarakat hukum adat. Ayat (3) Yang dimaksud dengan berkeberatan dalam ayat ini adalah merupakan wujud upaya hukum yang menjadi hak dari pihak berperkara, akan tetapi peradilan negara bukanlah disejajarkan dengan peradilan banding, hanyalah sebagai sarana untuk pencarian keadilan bagi warga masyarakat hukum adat bersangkutan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara artinya diajukan kepada peradilan umum di wilayah tempat kediaman yang pihak berperkara bersangkutan. Pasal 34 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan menjadi putusan akhir artinya putusan yang dapat dieksekusi.
10
Ayat (5) Yang dimaksud Untuk membebaskan pelaku tindak pidana adalah Pelaku tindak pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan tidak bersalah melakukan tindak pidana. Ayat (6) Penolakan Pengadilan Negeri terhadap pernyataan persetujuan untuk membebaskan pelaku dari tuntutan pidana, akan tetapi pelaku yang bersangkutan sudah diputuskan oleh pengadilan adat, maka putusan pengadilan itu tetap diperhatikan dan menjadi bahan pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri dalam memutus perkara yang bersangkutan. Ayat (7) Yang dimaksud dengan Tata Cara adalah sama dengan Hukum Acara yang berlaku dalam masyarakat hukum adat. Pasal 35 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kerjasama adalah kerjasama dalam penegakan hukum. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 36 Ayat (1) Yang dimaksud dengan karakter kekhususan adalah indeks kemahalan, keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat Papua. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan pertimbangan kondisi khusus adalah indeks kemahalan, keterisolasian wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat di Tanah Papua.
Pasal 37 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sumber pendanaan adalah sama dengan sumber pembiayaan yang diberikan pemerintah sebagai konsukuensi dari penyerahan dan pelimpahan wewenang kepada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
11
Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan pajak penghasilan orang pribadi dan pajak pengahasilan badan adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan peraturan perundangan yang mengatur perpajakan. Huruf b Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 39 Ayat (1) Rekomendasi dapat disamakan dengan izin yaitu izin bea masuk impor, sedangkan bang modal adalah barang yang digunakan untuk pelaksanaan investasi. Ayat (2) Yang dimaksudkan dengan memprioritaskan Orang Asli Papua
mengutamakan
sama
dengan
Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tenaga Asing di bidang keagamaan adalah bukan warga negara Indonesia yang bersifat membantu kebutuhan pelaksanaan kehidupan keagamaan. Ayat (2) Pemberian izin artinya mengatur secara proporsional pendirian rumah ibadah dengan memperhatikan aspek-aspek sosial budaya, kebutuhan peribadatan masing-masing agama. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 43 Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kebijakan Pemberdayaan masyarakat adat artinya sasaran program kegiatan pembangunan tertuju kepada warga masyarakat baik secara individual maupun komunal. 12
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan kebijakan lain adalah kebijakan berorientasi pada kebijakan affirmatif terhadap Orang Asli Papua.
yang
Ayat (5) Pembahasan bersama guna menjalankan urusan bersama antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah disamakan dengan bersifat concurrent, senantiasa ada yang menjadi urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Ayat (6) Cukup jelas
Ayat (7) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas Pasal 47 Cukup jelas Pasal 48 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
13
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 52 Cukup jelas Pasal 53 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 54 Ayat (1) Yang dimaksud dengan representasi kultural adalah keterwakilan Orang Asli Papua dari tiga pilar utama, yakni pilar Adat, pilar Agama, dan pilar Perempuan. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 55 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
14
Ayat (4) Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 58 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Yang dimaksud dengan Hak Imunitas atau disamakan dengan Hak Kekebalan hukum sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenangnya yang sah. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 60 Ayat (1) Yang dimaksud dengan masyarakat adat, masyarakat agama, dan masyarakat perempuan adalah berasal dari suku-suku asli di Tanah Papua. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Panitia Ad Hoc adalah Panitia Penyelenggara Pemilihan Anggota MRP yang bersifat sementara, yang dibentuk untuk melaksanakan tugas penyelenggaraan Pemilihan Anggota MRP. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas
15
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 64 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 65 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 67 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas
16
Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Yang dimaksud dengan mencerdaskan kehidupan rakyat Papua adalah ikut memajukan dunia pendidikan dan kebudayaan secara umum di Tanah Papua dalam semua jenis maupun jenjang pendidikan, termasuk promosi budaya Papua pada tingkat nasional maupun internasional. Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Huruf j Cukup jelas Huruf k Cukup jelas Huruf l Cukup jelas Huruf m Cukup jelas Huruf n Yang dimaksud dengan RPJPD adalah singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, sedangkan RPJMD adalah singkatan dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Huruf o Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 68 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas 17
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 70 Cukup jelas Pasal 71 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 72 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana adalah tindak pidana kejahatan, sedangkan ancaman pidana paling singkat adalah ancaman pidana minimum. Ayat (2) Yang dimaksud dengan kekuatan hukum tetap adalah tidak ada upaya hukum lagi dan mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yakni dapat dieksekusi sesuai putusan pengadilan. Pasal 73 Ayat (1) Yang dimaksud dengan diberhentikan sementara adalah sama dengan dinon-aktifkan sementara waktu dalam menjalankan tugas, wewenang, fungsi dan hak-hak sebagai Gubenur.
18
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 74 Ayat (1) Yang dimaksud dengan krisis kepercayaan publik adalah sama dengan mosi tidak percaya dari masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan penyelesaian antara adalah proses penyelesaian sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku sementara itu proses pemberhentian sementara tetap dijalankan. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 75 Ayat (1) Yang dimaksud dengan 30 (tiga puluh) hari adalah batas maksimal hari kalender yang ditentukan untuk Presiden merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Gubernur atau Wakil Gubernur sampai masa akhir jabatan Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 76 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
19
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 78 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan dan penyidikan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Yang dimaksud dengan waktu 60 (enam puluh) hari adalah hari kalender dan merupakan batas maksimal dari tenggang waktu yang ditentukan, sebelum itu Presiden dapat saja memberikan persetujuan tertulisnya. Ayat (3) Yang dimaksud dengan penahanan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Huruf b Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 79 Cukup jelas Pasal 80 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 81 Cukup jelas Pasal 82 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 83 Ayat (1) Cukup jelas 20
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 84 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 87 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tindak pidana dalam ketentuan ini adalah dikualifikasi sebagai kejahatan, sedangkan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun adalah ancaman pidana minimal, lebih dikenal standar minimum terbatas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan berkekuatan hukum pasti adalah tidak ada upaya hukum lagi dan putusan telah mempunyai kekuatan hukum untuk dieksekusi sesuai putusan pengadilan. Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana Korupsi adalah sebagaimana 21
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan terhadapUndang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 89 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 90 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Putusan Terbukti Tidak Bersalah adalah sama dengan putusan bebas sebagimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 91 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 92 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
22
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 93 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan penyelidikan dan tindakan penyidikan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 dan Pasal 1angka 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup Jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 94 Ayat (1) Yang dimaksud dengan DPRP adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat Papua, sehingga dicontohkan DPRP Provinsi Papua Barat, demikian pula dicontohkan DPRP Provinsi Papua. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan dipilih adalah anggota DPRP Provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum Anggota Legislatif. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan diangkat adalah anggota DPRP Provinsi yang ditetapkan sebagai anggota DPRP Provinsi tidak melalui Pemilihan Umum Legislatif. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 95 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 96 Cukup jelas Pasal 97 Ayat (1) Cukup jelas 23
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 98 Ayat (1) Hak-hak anggota DPRD dalam ayat ini yakni hak mengajukan rancangan Perda; hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat; hak memilih dan dipilih; hak membela diri; hak imunitas; hak protokoler; dan hak keuangan dan administratif adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a sampai huruf h Undangundang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD Huruf a Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kenbijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Huruf b Hak angket adalah hak untuk penyeledikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Huruf c Hak menyatakan pendapat adalah hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi disertai rekomendasi penyelesaiannya. Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 99 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 100 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 101 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 102 Ayat (1) Cukup jelas
24
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 103 Ayat (1) Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas dan wewenang DPRP serta hak dan kewajiban anggota.Oleh sebab itu, Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPRP. Ayat (2) Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik.Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi.Fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPRP, dan meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPRP. Fraksi dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Pimpinan fraksi ditetapkan oleh fraksinya masing-masing.Fraksi membentuk aturan tata kerja internal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 104 Cukup jelas Pasal 105 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tidak dapat dituntut adalah sepanjang penggunaan hak-hak anggota DPRP Provinsi sesuai dengan fungsi, hak, tugas dan kewenangannya Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 106 Ayat (1) Yang dimaksud dengan tindakan penyidikan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan penahanan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai Pasal 31 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 25
tentang Hukum Acara Pidana. Ayat (4) Huruf a Yang dimaksud dengan tertangkap tangan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 sampai Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Huruf b Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan Pejabat Pemberi Izin adalah pejabat menyetujui adanya tindakan penyidikan. Pasal 107 Cukup jelas Pasal 108 Cukup jelas Pasal 109 Cukup jelas Pasal 110 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 111 Ayat (1) Huruf a Hak interpelasi adalah hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Huruf b Hak angket adalah hak untuk penyeledikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Huruf c Hak menyatakan pendapat adalah hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian luar biasa yang terjadi disertai rekomendasi penyelesaiannya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas
26
Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 112 Ayat (1) Hak-hak anggota DPRD dalam ayat ini yakni hak mengajukan rancangan Perda; hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat; hak memilih dan dipilih; hak membela diri; hak imunitas; hak protokoler; dan hak keuangan dan administrative, adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a sampai huruf h Undangundang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 113 Cukup jelas Pasal 114 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 115 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 116 Ayat (1) Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD, serta hak dan kewajiban anggota.Oleh sebab itu Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPRD. Ayat (2) Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan dari 2 (dua) atau lebih partai politik.Setiap anggota harus menjadi anggota salah satu fraksi .Fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPRD, dan meningkatkan kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPRD. Fraksi dapat melakukan evaluasi terhadap kinerja anggotanya dan melaporkan kepada publik, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sidang. Pimpinan fraksi ditetapkan oleh fraksinya masing-masing.Fraksi membentuk aturan tata kerja internal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
27
Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 117 Cukup jelas Pasal 118 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 119 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 120 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 121 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
28
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 122 Ayat (1) Distrik tidak disamakan dengan Kecamatan, distrik adalah dipimpin oleh seorang kepala wilayah dan wakil wilayah setempat yang dibentuk dan berada di wilayah Kabupaten/Kota, dalam fungsinya melaksanakan sebagian urusan dan melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan warga masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 123 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 124 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 125 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
29
Pasal 126 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 127 Cukup jelas Pasal 128 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 129 Cukup jelas Pasal 130 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 131 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 132 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas 30
Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 133 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 134 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 136 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 137 Cukup jelas Pasal 138 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas 31
Pasal 139 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dibuat” adalah disamakan dengan hak inisiatif dari Dewan Perakilan Rakyat Papua Provinsi untuk mengajukan rancangan Rancangan Peraturan Daerah Khusus Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 140 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Peraturan Gubernur adalah Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur sebagai pelaksana dari ketentuan dalam Perdasi dan Perdasus. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 141 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 142 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan klarifikasi pemerintah adalah berkaitan dengan hak represif dan preventif yang dimiliki oleh pemerintah terhadap setiap peraturan daerah. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 143 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pembentukan komisi Ad Hoc dimaksudkan untuk membantu Gubernur, 32
DPRD dan MRP dalam menyiapkan rancangan Perdasus dan Perdasi sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan undang-undang ini. Pasal 144 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 145 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Satuan Kerja PerangkatDaerah atau disingkat SKPD adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 146 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 147 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 148 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
33
Pasal 149 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 150 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 151 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 152 Cukup jelas Pasal 153 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 154 Ayat (1) Cukup jelas 34
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 155 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 156 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 157 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
35
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 158 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 159 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 160 Cukup jelas Pasal 161 Ayat (1) Pemerintahan Adat tidak semata-mata dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, melainkan dibentuk berdasarkan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat. Tujuan pemerintahan adat adalah menyelenggarakan kepentingan masyarakat hukum adat dan mempertahankan serta melindungi nilai-nilai adat istiadat dalam masyarakat hukum adattermasuk kekayaan SDA dan kekayaan intelektual Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 162 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 163 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas 36
Ayat (3) Yang dimaksud dengan Kampung asli dapat juga disebut kampung adat yang dibentuk dengan memperhatikan kesatuan masyarakat hukum adat, kesatuan bahasa dan kesatuan wilayah adat. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Yang dimaksud dengan kewenangan kampung dapat mencakup (1) Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat; (b) Kewenangan lokal berskala kampung yang diakui Kabupaten/Kota; (c) Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dilimpahkan pelaksanaannya ke kampung; dan (d) Masyarakat kampung berhak : mencari, meminta, mengawasi dan memberikan informasi kepada Pemerintah Kampung tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; memperoleh yang sama dan adil; menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab tentang kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; memilih, dipilih dan/atau ditetapkan menjadi kepala perangkat kampung lairurya anggota Bamuskam dan lembaga kemasyarakatan kampung dan mendapatkan perlindungan dari ancanan ketentraman dan ketertiban; Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 165 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas 37
Pasal 166 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 167 Cukup jelas Pasal 168 Cukup jelas Pasal 169 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 170 Cukup jelas Pasal 171 Cukup jelas Yang dimaksud dengan Dana Alokasi Umum atau disingkat DAU adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom (Provinsi, Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU juga merupakan salah satu komponen belanja pada ABPN dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Sedangkan yang dimaksud dengan Dana Alokasi Khusus atau disingkat DAK adalah alokasi dari APBN kepada Provinsi, Kabupaten/Kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemda dan sesuai dengan prioritas nasional. Pasal 172 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 173 Cukup jelas Pasal 174 Ayat (1) Cukup jelas
38
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 175 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan infrastruktur dalam ketentuan ini adalah sarana penunjang yang mendukung bidang pembangunan strategis seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan serta sarana publik yang dibutuhkan masyarakat dalam menunjang aktivitas pembangunan daerah. Pasal 176 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 177 Cukup jelas Pasal 178 Cukup jelas Pasal 175 Cukup jelas Pasal 176 Cukup jelas Pasal 177 Cukup jelas Pasal 178 Cukup jelas Pasal 179 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 180 Ayat (1) Cukup jelas
39
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 181 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 182 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 183 Cukup jelas Pasal 184 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 185 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 186 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 187 Ayat (1) Cukup jelas
40
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 188 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 189 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 190 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 191 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 192 Cukup jelas Pasal 193 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 194 Ayat (1) Cukup jelas
41
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 195 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kewajiban termasuk didalamnya Kebijakan perlindungan keberpihakan dan pemberdayaan pelaku kegiatan usaha perekonomian Orang Asli Papua adalah bagian terpenting dari kebijakan affirmatif. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 196 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 197 Cukup jelas Pasal 198 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 199 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
42
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 200 Yang dimaksud dengan kegiatan investasi dalam ketentuan ini adalah sama dengan kegiatan penanam modal oleh investor di Tanah Papua. Pasal 201 Cukup jelas Pasal 202 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas
Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 203 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 204 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas 43
Pasal 205 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 206 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 207 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pengurusan hutan adalah keseluruhan tindakan pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan dalam rangka mendapatkan manfaat dari hutan dengan tetap mempertahankan kelestariannya, untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang Sehingga pengurusan hutan menakup tindakan manajemen yang didalamnya terdapat komponen kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penerapan atau pelaksanaan kegiatan dan pengawasan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Prinsip-prinsip adalah disamakan dengan asasasas sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dan berkenan dengan kebijakan affirmatif bagi Orang Asli Papua Ayat (3) Cukup jelas Pasal 208 Ayat (1) Huruf a Dimaksud dengan Kawasan Hutan adalah Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap Huruf b Status Wilayah tertentu adalah status wilayah hutan sesuai fungsi hutan baik hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi Huruf c Cukup jelas 44
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 209 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 210 Ayat (1) Yang dimaksud dengan status hutan adalah mencakup hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Hutan Adat adalah Hutan Ulayat milik masyarakat hukum adat. Ayat (3) Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 211 Ayat (1) Yang dimaksud dengan inventarisasi hutan adalah dilaksanakan untuk mengetahui data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Ayat (2) Yang dimaksud dengan inventarisasi hutan mencakup penunjukkan kawasan hutan, penataan batas kawasan pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
proses hutan,
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 212 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Ayat (2) Cukup jelas
45
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 213 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 214 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 215 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 216 Cukup jelas Pasal 217 Ayat (1) Yang dimaksud dengan reklamasi hutan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapatberfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Kegiatan reklamasi juga 46
meliputi inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan dan pelaksanaan reklamasi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan Badan Hukum atau Badan Usaha adalah diposisikan sebagai Subjek Hukum antara lain dapat berbentuk perseroan terbatas, perseroan komanditer (comanditer venootschaap), firma, koperasi dan sejenisnya. Pasal 218 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Ketahanan Pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk mengakses atau memperolehnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika seluruh anggota keluarga tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 219 Cukup jelas Pasal 220 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 221 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 222 Ayat (1) Yang dimaksud dengan hewan endemik adalah hewan yang unik yang merupakan spesies biota pada wilayah Papua yang tidak diketemukan pada wilayah lain di Indonesia maupun di dunia. Hewan atau spesies dimaksud seperti Burung Cenderawasih, Kasuari, Burung Taon-taon, Buaya, Penyu dalam berbagai spesies. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan estate adalah rencana mewariskan atau rencana mendistribusikan atau rencana memindahkan tumbuhan dan hewan endemik dengan tujuan pelestarian, perkembangbiakan dan menghindari aksi kepunahan.
47
Ayat (4) Cukup jelas Pasal 223 Cukup jelas Pasal 224 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Lembaga Pembiayaan Khusus adalah lembaga yang dibentuk Pemerintah, yang dikhususkan untuk mengurus masalah-masalah pembiayaan sektor pertanian yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan dan program pertanian di Tanah Papua Ayat (2) Cukup jelas Pasal 225 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Subsidi Program dan Pembiayaan adalah bantuan pembuatan program dan pemberian dana dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk penyediaan pupuk dan bibit tanaman atau benih dalam rangka memproteksi petani Orang Asli Papua. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Pendidikan, Pelatihan dan Pendampingan bagi petani Orang Asli Papua adalah dalam rangka Proteksi terhadap Petani Orang Asli Papua. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 226 Cukup jelas Pasal 227 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan laut territorial adalah wilayah laut yurisdiksi nasional Indonesia, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau disingkat ZEEI adalah wilayah laut berdampingan dengan laut teritorial, eksklusif hanya untuk kepentingan ekonomi Indonesia seperti perikanan dan sumberdaya laut lainnya. Lebar ZEE tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal.
Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas
48
Ayat (8) Cukup jelas Pasal 228 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 229 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 230 Ayat (1) Yang dimaksud dengan investasi adalah disamakan dengan penanaman modal baik oleh investor dalam negeri maupun yang dilakukan oleh investor asing di Tanah Papua, sedangkan perdagangan adalah termasuk perdagangan besar, perdagangan enceran atau retailing, perdagangan antar pulau, maupun perdagangan internasional. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Izin ekspor impor adalah mencakup semua jenis barang dan jasa yang ada di Tanah Papua. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 231 Yang dimaksud dengan keringan pajak dan pembebasan bea masuk adalah mencakup semuan jenis barang modal dan bahan baku termasuk barang jadi dengan tujuan menarik investor masuk menanamkan modalnya di Tanah Papua. Pasal 232 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
49
Ayat (4) Cukup jelas Pasal 233 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Usaha Pertambangan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pascatambang. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 234 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 235 Cukup jelas Pasal 236 Cukup jelas Pasal 237 Ayat (1) Yang dimaksud dengan sumberdaya alam tak terbarukan adalah sumberdaya alam yang tidak dapat diregenerasi dan terbatas dalam kuantitas. Sumberdaya alam yang terkait erat dengan sumber daya yang tidak berkelanjutan, dapat diregenerasi, tapi tidak pada tingkat yang terus dengan konsumsi. Termasuk dalam jenis ini adalah bahan bakar fosil seperti minyak dan gas alam, batubara, bijih, spesies tertentu dari tanaman dan hewan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Pengelolaan Bersama adalah pengelolaan Usaha Pertambangan antara Investor dengan Pemerintah atau Pemerintah Provinsi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan Badan Pelaksana sebagai wadah pengelola bersama usaha pertambangan yang besifat konsultatif dan koordinasi, yang disepakati bersama antara investor dan Pemberintah atau Pemerintah Provinsi. Ayat (4) Yang dimaksud dengan Pihak lain adalah pihak ketiga atau pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan isi perjanjian
Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas
50
Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 238 Yang dimaksud dengan kesepakatan dalam ketentuan ini merupakan prasayarat perpanjangan perjanjian kontrak kerjasama. Pasal 239 Huruf a Cukup jelas Huruf b IUP adalah kepanjangan dari Izin Usaha Pertambangan. Huruf c Yang dimaksud dengan kewenangan adalah kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah atau Pemerintah Provinsi. Huruf d Yang dimaksud dengan informasi geologi terkait dengan informasi hasil survey geologi maupun bencana geologi. Huruf e Yang dimaksud dengan neraca sumberdaya mineral dan batubara adalah alat evaluasi sumberdaya mineral dan batubara, yang menyajikan cadangan awal, perubahan atau pemanfaatan dan tingkat kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sebagai faktor degradasi lingkungan dan pembiayaannya serta keadaan akhir dalam bentuk tabel dan peta penyebaran sumber daya mineral dan batubara Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Pasal 240 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Tataruang nasional adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruangwilayahnegara yang dijadikan acuan untuk perencanaan jangka panjang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan Wilayah Pertambangan atau disingkat WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan Wilayah Usaha Pertambangan atau disingkat WUP adalah adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data potensi dan/atau informasi geologi. Ayat (5) Yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah suatu usaha pertambangan bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotongroyong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. 51
Pasal 241 Ayat (1) Yang dimaksud dengan IUP adalah kepanjangan dari Izin Usaha Pertambangan Ayat (2) Cukup jelas Pasal 242 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan IPR adalah kepanjangan dari Izin Pertambangan Rakyat Pasal 243 Cukup jelas Pasal 244 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang dimaksud dengan rehabilitasi hutan dan lahan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Ayat (6) Yang dimaksud dengan dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi adalah dana yang ditempatkan atau disediakan oleh pemegang izin sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 245 Ayat (1) Yang dimaksud dengan yang seimbang adalah mengandung asas proporsionalitas atas kompensasi eksploitasi sumberdaya alam. Ayat (2) Yang dimaksud dengan dana perimbangan masyarakat adalah dana yang disiakan oleh pelaku usaha untuk pembangunan masyarakat sekitar wilayah konsensi. Ayat (3) Yang dimaksud dengan dana satu persen adalah dana dari harga total produksi yang dijual setiap tahun oleh perusahaan.
52
Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 246 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 247 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 248 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 249 Cukup jelas Pasal 250 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
53
Pasal 251 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 252 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 253 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 254 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas
54
Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 255 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 256 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 257 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan Tanah Adat adalah Tanah Ulayat yang bersifat kolektif-komunal milik masyarakat Hukum Adat. Hak-hak yang telah ada adalah hak atas tanah yang sudah ditetapkan sebelum UndangUndang ini. Ayat (3) Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adat adalah dalam rangka penentuan batas dan status kepemilikan Tanah-tanah Adat. Ayat (4) Yang dimaksud dengan data yuridis adalah data-data kepemilikan tanah atau surat-surat tanah yang sudah ada yang berkaitan dengan 55
kepemilikan dan bukti hak atas tanah. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 258 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 259 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 260 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 261 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 262 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 263 Cukup jelas
56
Pasal 264 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 265 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kegiatan pendidikan dan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk didalamnya Tridharma Perguruan Tinggi. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 266 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan semua jenjang, jalur dan jenis pendidikan adalah mencakup pendidikan nonformal dan formal, pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Yang dimaksud dengan memberi kesempatan kepada lembaga keagamaan, LSM dan dunia usaha adalah turut ambil bagian atau berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan di Tanah Papua.
57
Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 267 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Ayat (8) Cukup jelas Pasal 268 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 269 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 270 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 271 Ayat (1) Cukup jelas 58
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 272 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 273 Cukup jelas Pasal 274 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 275 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 276 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 277 Ayat (1) Yang dimaksud dengan kebudayaan asli Papua adalah termasuk semua sub-sub system budaya yakni sub sistem religi, matapencaharian, bahasa, benda-benda budaya, kesenian, pranata atau kelembagaan adat Ayat (2) Yang dimaksud dengan LSM adalah LSM yang mempunyai fokus pekerjaan atau bidang kerja berkaitan langsung dengan Perlindungan budaya masyarakat adat Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas
59
Ayat (5) Cukup jelas Pasal 278 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 279 Ayat (1) Yang dimaksud dengan standar mutu kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang memuaskan pemakai jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serta dalam penyelenggaraannya sesuai dengan standart dan kode etik profesi. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penyakit endemis adalah suatu keadaan penyakit secara menetap berada dalam masyarakat pada suatu tempat atau populasi tertentu. Ayat (3) Yang dimaksud dengan beban serendah-rendahnya adalah pembiayaan yang ringan dan terjangkau oleh warga masyarakat. Ayat (4) Yang dimaksud dengan lembaga keagamaan, LSM dan dunia usaha adalah yang fokus pekerjaannya di bidang pelayanan kesehatan. Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 280 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 281 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas 60
Ayat (5) Cukup jelas Pasal 282 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 283 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 284 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 285 Cukup jelas Pasal 286 Ayat (1) Metode/teknik penularan dan penyebaran virus HIV/AIDS dimaksud dapat melalui :- darah,contoh : tranfusi darah, terkena darah HIV+ pada kulit yang terluka, terkena darah menstruasi pada kulit yang terluka, jarum suntik;- cairan semen, air mani, sperma dan peju pria, contoh : laki-laki berhubungan badan tanpa kondom atau pengaman lainnya, oral seks;- cairan vagina pada perempuan, contoh : wanita berhubungan badan tanpa pengaman, pinjam-meminjam alat bantu seks, oral seks; dan - air susu ibu/ASI, contoh : bayi minum asi dari wanita HIV+, lakilaki meminum susu asi pasangannya dan lain sebagainya. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas
61
Pasal 287 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 288 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 289 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 290 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 291 Ayat (1) Yang dimaksud dengan suku-suku terisolasi, terpencil dan terabaikan suku-suku yang sulit dan belum terjangkau oleh layanan pemerintahan dan pembangunan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan penanganan khusus sama artinya dengan memperoleh perhatian dari pemerintahdan diprioritaskan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan LSM, Lembaga Keagamaan atau lembaga lain adalah yang mempunyai bidang pekerjaan langsung dengan penanganan masalah sosial. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 292 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas 62
Ayat (3) Cukup jelas Pasal 293 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 294 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 295 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 296 Ayat (1) Yang dimaksud dengan penegakan HAM Perempuan adalah mengakui dan menghormati persamaan gender antara lak-laki dan perempuan. Ayat (3) Cukup jelas Pasal 297 Ayat (1) Dimaksud dengan Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Kekayaan Intelektual. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 298 Ayat (1) Cukup jelas
63
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 299 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 300 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 301 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 302 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan kebijakan pembinaan, penataan kependudukan termasuk di dalamnya adalah pengendalian kependudukan di Tanah Papua. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 303 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
64
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 304 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 305 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 306 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 307 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 308 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas 65
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Cukup jelas Pasal 309 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 310 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 311 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 312 Ayat (1) Cukup jelas
66
Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 313 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 314 Cukup jelas Pasal 315 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 316 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 317 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 318 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 319 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
67
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 320 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 321 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 323 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 324 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 325 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 326 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 327 Cukup jelas
68
Pasal 328 Cukup jelas Pasal 329 Cukup jelas Pasal 330 Cukup jelas Pasal 331 Cukup jelas Pasal 332 Cukup jelas Pasal 333 Cukup jelas Pasal 334 Cukup jelas Pasal 335 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 336 Cukup jelas Pasal 337 Cukup jelas Pasal 338 Cukup jelas Pasal 339 Cukup jelas Pasal 340 Cukup jelas Pasal 341 Cukup jelas Pasal 342 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR …
69
BAB I PENDAHULUAN
Tanah Papua senantiasa menghadirkan tantangan serius bagi Indonesia, baik tantangan ketatanegaraan, pemerintahan, pembangunan maupun hubungan pusat-daerah. Sebuah sistem yang sentralistik, otokratis, represif dan eksploitatif pada masa lalu merupakan sejarah kelam bagi Papua, yang kemudian dikoreksi oleh semangat zaman reformasi. Reformasi pasca-1998 mengedepankan demokratisasi, desentralisasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), pengutamaan keadilan, penghargaan terhadap keragaman lokal dan seterusnya. UU No. 22/1999 merupakan tonggak penting desentralisasi yang memberikan pengakuan, peghormatan, penyerahan kewenangan, sumberdaya, dan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah. Namun UU otonomi daerah yang generik ini belum cukup memadai untuk Tanah Papua, karena perbedaan sejarah, sosial budaya, dan ekonomi politik antara Papua dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Undang-undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hadir sebagai jalan lain untuk menghormati dan mengakui perbedaan Papua. Ditinjau dari segi yuridis, sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Tahun1945 secara tegas mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. Dari sisi politik, Pemerintah menilai bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus. Dengan melihat bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri, maka kebijakan otonomi khusus dapat diberikan. Pertimbangan tersebut juga didasari oleh pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua, termasuk bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua. Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama pembangunan. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-Undang ini juga mengandung 1
semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua. Pemberian kebijakan Otsus sendiri diberikan dengan melihat sisi penegakan hak-hak dasar di Papua. Pada UU ini disebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan khusus didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Pemberian otonomi khusus dengan demikian juga diletakkan pada keyakinan bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua. Di sisi pembangunan, kesenjangan antara Papua dengan provinsi lain merupakan perhatian afirmatif UU Otonomi Khusus. Ada kesepakatan kolektif antara Pemerintah Pusat, DPR, dan Papua menggunakan UU Otonomi Khusus sebagai jalan untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, sekaligus meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada orang asli Papua dalam pemerintahan dan pembangunan. Dari sisi ini, pemberian Otsus didukung oleh masyarakat dan elit Papua, khususnya untuk merespon kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua pada saat itu menyampaikan bahwa sekitar 75 % warga Papua diperkirakan masih hidup di bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan udara di daerahitu. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat program-program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat di seluruh Papua. Seperti sejarah mencatat bahwa Gubernur J.P. Solossa1 pernah menyatakan optimismenya dengan Otonomi Khusus. Dengan Otsus, Papua dapat mengatasi persoalan ketertinggalan dan kemiskinan. Setelah UU No. 21/2001 hadir mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap warga Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif di Papua. Gejolak demi gejolak secara politis diharapkan dapat diselesaikan secara bermatabat. UU itu diharapkan dapat menjawab berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal. Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah, juga diharapkan dapat berkurang dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Makna pemekaran daerah sebagai upaya untuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua. 1
Lihat Jacobus Pervidya Solossa, Otonomi Khusus Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua Di dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006, h. 78.
2
Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan khusus ini. Pertama agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya. Kedua agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua. Demikian juga dengan agenda pemberdayaan secara strategis dan mendasar, agar orang asli Papu menjadi lebih berdaya secara politik dan ekonomi. Keempat penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya. Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun 2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi. Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Dari hari ke hari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Tanah Papua terus menerus melakukan inovasi pembangunan di empat agenda besar itu. Namun demikian cerita tentang Papua masih banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Setelah sebelas tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua ternyata belum dapat dikatakan berhasil, bila diukur dari 4 (empat) bidang pokok yang menjadi sasaran Otonomi Khusus seperti, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan pembangunan infrastruktur. Dalam praktik masih ditemukan berbagai permasalahan seperti masih banyak angka siswa putus sekolah, minimnya sarana belajar mengajar di kampung-kampung, keterbatasan tenaga pendidik hingga biaya pendidikan yang relatif mahal di sejumlah wilayah akibatnya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih tetap berada di urutan menengah ke bawah secara nasional, yakni di kisaran 50,0 - 65,9. 5Di bidang kesehatan, kondisi pelayanan kesehatan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga masih jauh dari harapan. Kasus kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir, angka gizi buruk, HIV/AIDS, TBC, ispa, malaria, kusta 3
dan penyakit lainya masih banyak terjadi. Pada sektor pemberdayaan ekonomi, pribumi Papua di Kota Jayapura dan sebagian besar kabupaten/kota di Papua masih tetap berjualan di pinggiran jalan berdebu, dibawah terik matahari, emperan toko dan terus tergusur dari pasar yang dibuat oleh Pemerintah Daerah dan pembangunan infrastruktur juga tidak banyak memberi manfaat bagi masyarakat asli Papua. Di bidang HAM, penegakan dan rekonsiliasi bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak pernah berjalan, karena hingga 11 (sebelas) tahun Otonomi Khusus berlaku tidak pernah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) maupun pengadilan HAM. Kegagalan Otonomi Khusus juga disuarakan oleh berbagai lapisan masyarakat Papua, ketidakmanfaatan dari otonomi khusus yang awalnya merupakan suatu jalan dimana dapat menjadi jembatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua sepertinya tidak berjalan mulus. Tuntutan untuk menelaah kebijakan otonomi khusus semakin mengemuka, bukan lagi dalam bentuk telaah namun evaluasi secara menyeluruh dan komprehensif terhadap pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Pemerintah sebagai penanggung jawab akhir pelaksanaan otonomi daerah telah menyatakan siap untuk mengevaluasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri dan Lembaga Administrasi Negara (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah) serta Kemitraan Bagi Pembaharuan Tata Pemerintahan Indonesia bekerjasama untuk mempersiapkan dan melaksanakan Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Dengan demikian terdapat sejumlah argumen yang mendasari pentingnya evaluasi Otsus Papua. Pertama, implikasi UU Otonomi Khusus hingga Inpres Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat telah memberi ruang kewenangan yang lebih kepada Provinsi. Ibarat dua sisi mata uang logam, dibalik kewenangan ini tentu melekat berbagai tanggungjawab yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pelaksanaan otonomi khusus tersebut harus menghasilkan kinerja yang signifikan mendorong percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan hasil temuan berbagai kajian terdahulu dapat ditarik kesimpulan umum bahwa otonomi khusus belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal yang paling kasat mata adalah kondisi ketertinggalan Provinsi Papua dan Papua Barat yang masih sangat mencolok. Kedua, konsekuensi logis dari alasan diterapkannya otonomi khusus di atas berimplikasi pada pengaturan kebijakan, kelembagaan, sumber daya, maupun program pembangunan, yang tidak hanya memerlukan pengaturan khusus yang sesuai, namun bagaimana interaksinya dengan kebijakan umum lainnya merupakan aspek-aspek yang krusial bagi terselenggaranya otonomi khusus dengan baik. Ketiga, penerapan kebijakan tidak lepas dari berbagai masalah dan tantangan yang harus dihadapi. Diperlukan pemahaman yang komprehensif atas permasalahan dan tantangan yang dihadapi sepanjang perjalanan pelaksanaan otonomi khusus yang dinamis. Keempat, otonomi khusus Papua dan Papua Barat merupakan pilihan yang masih perlu untuk terus dijalankan, khususnya untuk memperkuat integrasi nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menghargai kesetaraan dan keragaman 4
kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Namun ke depan perlu ada upaya yang tepat dan berkelanjutan untuk perbaikan pelaksanaan Otonomi Khusus dan percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat. Berdasarkan perkembangkan selama satu dekade terakhir dan hasil evaluasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono berkehendak meninjau ulang dan sekaligus memperkuat otonomi khusus untuk meraih kemajuan dan kemuliaan Papua. Secara politik Presiden sudah berdialog intensif dengan Gubernur, Wakil Gubernur, Majelis Rakyat Papua dan DPRD, yang menghasilkan kesepakatan agung untuk merevisi UU No. 21/2001.
Identifikasi Masalah Ada sejumlah masalah krusial dalam pelaksanaan otonomi khusus di Tanah Papua, yakni masalah jati diri/identitas diri, masalah politik (pertahanan, keamanan, partai politik, rekruitmen politik), masalah pemerintahan khususnya mengenai kewenangan dan tata pemerintahan di Tanah Papua, masalah sosial (kesehatan, pendidikan, keagamaan, kesejahteraan sosial), masalah ekonomi (kemiskinan, SDM, pemenuhan kebutuhan dasar), budaya (hak cipta, lembaga adat, lambing,bendera), infrastruktur, masalah Hak Asasi Manusia dan penegakan hukum. UU No. 21/2001 dinilai sudah tidak relevan lagi untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. Pertama, bahwa UU 21/2001 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat.
Kedua, bahwa telah terjadi perubahan tata pemerintahan di Provinsi Papua dengan adanya Pembentukan Provinsi Papua Barat. Ketiga, adanya DPRP dan MRP di Provinsi Papua Barat. Keempat, perkembangan konteks, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat di tanah Papua. Kelima, mengakomodir kewenangan bidang lain yang diperluas untuk diatur dalam RUU baru. Secara garis besar ada tiga level masalah (pertanyaan) yang dikedepankan oleh Naskah Akademik ini. Pertama, masalah (pertanyaan) fundamental, yang terkait dengan hakekat, manfaat dan visi. Apa hakekat dan makna Tanah Papua bagi rakyat Papua dan Indonesia? Apa hakekat dan makna otonomi khusus bagi Papua, bagi rakyat, bagi orang asli Papua dan bagi Indonesia? Apa visi-misi baru otonomi khusus yang relevan untuk meraih kemajuan dan kemuliaan Papua? Kedua, masalah (pertanyaan) struktural. Bagaimana relasi baru antara Pusat dengan Tanah Papua yang menjamin keadilan bagi Papua? Bagaimana mengatasi berbagai masalah struktural seperti kesenjangan, ketimpangan, kemiskinan dan ketertinggalan Tanah Papua maupun orang asli Papua? Bagaimana memperkuat eksistensi, representasi dan partisipasi orang asli Papua dalam politik, pemerintahan dan pembangunan? Ketiga, masalah (pertanyaan) institusional. Bagaimana disain institusional desentralisasi dan otonomi khusus Tanah Papua yang lebih tepat dan mampu menjawab tantangan fundamental dan struktural? Bagaimana skema pembagaian sumberdaya antara Pusat dan Papua? Bagaimana disain institusional sebagai jalan tengah untuk membangun keseimbangan antara kepentingan sektoral dan teritorial maupun antara nasional dan lokal? Bagaimana disain institusional yang tepat untuk penguatan eksistensi, representasi dan partisipasi orang asli Papua?
5
Maksud dan Sasaran Naskah Akademik ini menjadi dasar bagi RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua sebagai bentuk revisi atas UU No. 21/2001. Maksud dan sasaran RUU baru ini adalah: a. Menembah atau memperluas kewenangan yang menjadi dasar hukum bagi otonomi khusus Tanah Papua. b. Memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi orang asli Papua; c. Mewujudkan kesejahteraan bagi orang asli Papua dan seluruh penduduk Papua. Berdasarkan sasaran tersebut maka ruang lingkup RUU ini mengatur Kewenangan pemerintahan Papua yang diperluas untuk pembangunan diberbagai sektor yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan masyarakat adat; perlindungan orang asli Papua; pelestarian adat; dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik Naskah akademik ini digunakan sebagai arah dan justifikasi akademik bagi penyusunan rancangan undang-undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua. Tujuan spesifik naskah akademik ini diharapkan menjadi panduan dalam penyusunan dan perumusan norma dalam RUU tentang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua. Tujuan pembuatan naskah akademik ini adalah:
1. Memberikan landasan dan kerangka pemikiran bagi RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua. 2. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi apa saja yang ada dan harus ada dalam RUU-PP, 3. Melihat keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya sehingga jelas kedudukan dan ketentuan yang diaturnya. 4. Memberikan bahan dan data untuk menjadi bahan pembanding antara peraturan perundang-undangan yang ada dalam merancang RUU. Kegunaan naskah akademik dapat diperoleh dari dua macam kegunaan, yakni secara teoritis dan praktis. 1. Kegunaan teoritis adalah untuk : a. Memberikan gambaran yang tertulis sehingga dapat menjadi panduan bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengkaji dan merumuskan RUU. b. Diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan terhadap masyarakat. c. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam mewujudkan ketertiban hukum terutama mengenai Kewenangan RUU. 2. Kegunaan Praktis : a. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat berguna dan menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak terkait dalam penyusunan RUU. b. Diharapkan dapat memberikan paradigma baru tentang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di tanah Papua lewat RUU.
6
BAB II TINJAUAN TEORETIK
Sejumlah pertanyaan penting dalam identifikasi masalah membutuhkan jawaban secara teoretik. Bab ini, dengan judul tinjauan teoretik, akan memaparkan sejumlah konsep dan perspektif yang berguna untuk menjawab pertanyaan. Pertama, desentralisasi asimetris yang berguna untuk memahami disain institusional otonomi khusus atau otonomi daerah secara beragam. Kedua, konsep rekognisi untuk memahami frasa mengakui dan menghormati keragaman dan perbedaan Papua. Ketiga, teori keadilan untuk memahami prinsip-prinsip keadilan yang relevan untuk Papua dan orang asli Papua. Keempat, kebijakan afirmatif, sebagai turunan dari rekognisi dan teori keadilan, untuk memahami tindakan khusus terhadap Papua dan orang asli Papua (OAP), untuk mencapai keadilan. Kelima, teori demokrasi (lokal) untuk memahami tatapemerintahan serta representasi dan partisipasi rakyat Papua.
Desentralisasi Asimetris Otonomi khusus Tanah Papua tidak cukup dipahami dengan desentralisasi generik, yang berlaku umum untuk setiap daerah. Naskah Akademik ini mengedepankan desentralisasi asimetris untuk memahami dan mengerangkai Otonomi Khusus Tanah Papua. Apa dan mengapa desentralisi asimteris? Studi literatur memperlihatkan bahwa ahli pertama yang memulai debat seputar desentralisasi asimetris adalah Charles Tarlton (1965) dari University of California USA. Menurutnya pembeda inti antara desentralisasi biasa (simetris) dan desentralisasi asimetris terletak pada tingkat kesesuaian (conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan suatu level pemerintahan negara bagian/daerah dengan sistem politik dan pemerintahan pusat maupun antar negara bagian/daerah. Pola simetris ditandai oleh the level of conformity and commonality in the relations of each seperate political unit of the system to both the system as a whole and to the onther component units. Dalam konteks ini hubungan simetris antar setiap unit lokal dengan pemerintah pusat tersebut didasari jumlah dan bobot kewenangan yang sama. Sedangkan pola simetris, satu atau lebih unit politik atau pemerintahan lokal “possessed of carrying degrees of autonomy and power.” 2 Perbedaan derajat otonomi dan kekuasaan berupa ketidakseragaman pengaturan muatan kewenangan itu membentuk derajat hubungan yang berbeda pula antar negara bagian/daerah asimetris dengan unit-unit politik lainnya baik secara horizontal (antar daerah) maupun vertical (dengan pusat). Khusus mengenai pola simetris Tarlton (dalam Robert Endi Jaweng), menekankan: In the model asymmetrical system each component unit would have about itu a unique feature or set of features which would separate in important ways, its interests from those of any other state or the system considered as a whole.”
2Lihat Robert Endi Jaweng, “Kritik Terhadap Desentralisasi Asimetris di Indonesia”, Analisis CSIS, Politik Kekerabatan di Indonesia, Vol. 40, No. 2, Juni 2011, h. 160-172.
7
Kebijakan desentralisasi (Otonomi Khusus) yang diterapkan di Papua, menurut Kausar3 merupakan refleksi dari pendekatan desentralisasi yang “asimetris”. Artinya, kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Papua tidaklah simetris dengan desentralisasi di provinsi lainnya di Indonesia. Pendekatan asimetris dilakukan untuk mengakomodasikan perbedaan yang tajam antara Papua dengan daerah lainnya. Dengan pendekatan kebijakan itu, kekhususan daerah dapat diakomodasikan tanpa harus menciptakan separatisme dalam bentuk pemisahan diri dari negara induk. Dengan demikian, pendekatan desentralisasi di Papua pada hakikatnya tetap dimaksudkan untuk mencapai tujuan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah itu sendiri. Selain itu berbagai literatur berkaitan dengan devolusi asimetris, juga dapat ditelaah untuk memahami konsep kekhususan otonomi Papua dan Papua Barat. De facto asymmetry. Terdapat sejumlah tujuan positif tentang manfaat desentralisasi asimetris. Desentralisasi asimetrik bisa menjadi model yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan politis yaitu tujuan stabilitas, integrasi, dan legitimasi bagi pemerintahan nasional. Kekhususan yang dimiliki daerah-daerah berdasarkan sejarah, etnis bahasa, agama, ataupun kombinasinya akan terakomodasikan melalui struktur pemerintahan khusus. Model desentralisasi asimetris dianggap sebagai berpotensi menyelesaikan konflik yang bersifat politis dan etnis dalam kondisi sosial yang terfragmentasi.Dengan demikian pilihan otonomi khusus secara konsep dapat menjadi strategi untuk mengakomodasi tuntutan dan identitas lokal yang seringkali menimbulkan gejolak perlawanan terhadap pemerintahan nasional. Alasan lain penerapan desentraslisasi asimetris dilandasi oleh tujuan ekonomi seperti pencapaian efisiensi kepemerintahan daerah, peningkatan kualitas pelayanan. Perbedaan instrument fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam desentralisasi fiskal asimetris juga dilandasi argumen ekonomis. Argumen ekonomis dimaksud sebagaimana disampaikan oleh Tiebout dan Oates4 bahwa sistem yang Kausar As, Perjalanan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia, diakses dari http:// inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/perjalanan-kebijakan-desentralisasi-diindonesia/. Ia menyatakan bahwa berdasarkan pandangan historis, politis, konstitusional, struktural maupun teknis operasional, kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia merupakan pilihan tepat. Jauh sebelum Republik ini lahir, pola pendelegasian wewenang (desentralisasi) sudah dipraktikan. Pun juga pada jaman penjajahan Belanda dulu, kebijakan desentralisasi diberlakukan melalui undang-undang densentralisasi (desentralisatie wet) tahun 1903. Begitu pula pada jaman penjajahan Jepang, kebijakan desentralisasi Belanda tetap diteruskan. 4 Tiebout & Oates, dapat dilhat dan dibandingkan dengan Oates’ decentralization theorem and public governance dalam Luciano G. Greco June 2003 Preliminary Draft, diakses dari http://www-3.unipv.it/websiep/wp/236, dalam abstraknya yang sangat menarik Greco menyatakan bahwa Oates’ decentralization theorem (Oates [23]) grounds on the assumption that the central government is incapable to discriminate public policy on a regional basis. This assumption has sometimes been justified by some informational advantage of local governments about the social and economic features of regions (Oates [24]). Under the Revelation Principle, asymmetric information cannot be proved to be sufficient to explain why the central government does not replicate the allocation of local governments, when governments are benevolent. Moreover, empirical analysis seems to prove that central policies are not uniform across countries. On the basis of a stylized model of public sector governance , this paper proves that centralization and decentralization are equivalent (Weak 3
8
terdesentralisasi akan lebih mampu mengakomodasi perbedaan pilihan untuk pelayanan publik. Tujuan efisiensi selaras dengan motif administratif dalam penerapan desentralisasi asimetris, khususnya berkenaan dengan adanya perbedaan kapasitas antar daerah dalam menjalankan administrasi publik. Penyediaan properti dan pelayanan publik serta kebijakan publik yang efisien bergantung pada birokrasi yang berfungsi dengan baik. Di samping itu hal ini juga dipengaruhi oleh institusi politik yang mendukung. Jika daerah memiliki kapasitas yang lebih baik dalam menjalankan pemerintahan daripada daerah lain, akan lebih efisien jika kewenangan fiskal tertentu didesentralisasikan pada daerah yang memiliki kapasitas yang lebih baik daripada diberikan pada daerah yang kapasitasnya tidak memenuhi. Joachim Wehner5 berpendapat yang serupa mengenai manfaat desentralisasi asimetris. Menurutnya tatanan yang asimetris bisa saja merupakan produk yang dilandasi tujuan politis, untuk mencegah ketegangan etnis atau religious namun juga dapat dilakukan untuk14mencapai tujuan-tujuan ekonomi seperti efisiensi, pengelolaan makro ekonomi yang lebih baik, dan harmonisasi dalam bidang administrasi (administrative cohesion). Pendekatan asimetris (dalam beberapa bagian tugas dan tanggungjawab termasuk urusan pemerintahan dan pembangunan dikaitkan dengan kewenangan) seperti kehadiran aturan fiskal khusus dapat diterapkan di negara yang memiliki banyak perbedaan. Skema ini juga dapat diimplementasikan dengan tujuan politis dimana daerah tertentu mengalami ketimpangan pembangunan dan populasi multietnis. Devolusi6 yang diikuti dengan transfer kekuasaan dan pengorganisasian institusi pemerintahan substansial serta akses pada sumber daya yang penting dapat Decentralization Theorem), whenever informational spillovers across regions are assumed away. Moreover, the preference for decentralization (or centralization) is shown to crucially depend on the conflict among public sector players for information rent distribution. 5Lihat Wehner, Joachim and de Renzio, Paolo (2013), “Citizens, legislators, and executive disclosure: the political determinants of fiscal transparency”, World Development, 41 . pp. 96-108. Joachim Wehner, dalam abstraknya menyatakan Increased fiscal transparency is associated with improved budgetary outcomes, lower sovereign borrowing costs, decreased corruption, and less creative accounting by governments. Despite these benefits, hardly any effort has been invested in exploring the determinants of fiscal transparency. Using a new 85-country dataset, we focus on two important sources of domestic demand for open budgeting: citizens and legislators. Our results suggest that free and fair elections have a significant direct effect on budgetary disclosure, and that they dampen the adverse effect on fiscal transparency of dependence on natural resource revenues. We also find that partisan competition in democratically-elected legislatures is associated with higher levels of budgetary disclosure. 6 Devolusi menurut Soeryo Adiwibow adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari Pemerintah Pusat atau Daerah ke organisasi lokal masyarakat atau quasi otonom organisasi pemerintah untuk mengambil keputusan, menangani keuangan dan mengelola manajemen masalahmasalah yang berkaitan dengan layanan umum, diakses dari http:// ahnku.files.wordpress.com/2011/02/desentralisasi-devolusi-psda. Catatan dari devolusi adalahmemberikan beberapa kewenangan penting kepada pemerintah daerah seperti perpajakan dan pelayanan daerah. Pertimbangan utama dari devolusi adalah pemberdayaan masyarakat, di mana konstituen local diberikan hak untuk menentukan pemerintahan mereka dengan lebih baik. Devolusi adalah elemen utama, walaupun bukan satu-satunya dalam desentralisasi Indonesia. Diakses dari Risalah Desentralisasi BAPPENAS-UNDP May 2009. http://www.undp.or.id/pubs/docs/risalah%20desentralisasi.pdf
9
meningkatkan identitas regional tanpa melemahkan identitas nasional. Pengalaman semacam ini dapat dilihat pada desentralisasi asimetris diberbagai negara seperti Kanada, Spanyol, maupun Britania. Desentralisasi asimetris juga diterapkan untuk tujuan hukum (legal reasons). Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi ketentuan konstitusional. Disamping itu, desentralisasi asimetris untuk tujuan ini bisa juga dilakukan dalam rangka menjalankan kesepakatan internasional yang telah diratifikasi (ratified international agreements). Penerapan desentralisasi asimetris, sekalipun memungkinkan tercapainya manfaat sebagaimana disampaikan dalam argumen positif tentang kebijakan tersebut, juga memungkinkan timbulnya berbagai persoalan atau risiko-risiko tertentu. J. Livack, dkk mencatat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan masalah yang fundamental: yakni perlunya suatu hukum yang memperlakukan semua unit dengan sama disatu sisi, sementara disisi lain dihadapan kenyataan bahwa ada perbedaan yang luas diantara unit- unit tersebut. Ditambahkan pula bahwa pendekatan desentralisasi asimetris juga memiliki risiko meningkatkan kesenjangan, karena adanya kekuasaan (power) yang lebih.7 Meski model penerapan kewenangan asimetris dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan konflik politik dan etnis dalam masyarakat yang terfragmentasi, namun tidak menjamin bahwa masyarakat yang terfragmentasi tersebut dapat menjadi lebih koheren jika pemerintah pusat hanya menerapkan desentralisasi politik, administratif, dan fiskal saja. Reformasi lain perlu dilakukan untuk mendukung kebijakan tersebut. Pendekatan asimetris tidak mengarah pada separatism, namun sebaliknya dapat memelihara unitarisme. Akan tetapi kebutuhan riil, kondisi, dan kapasitas masingmasing area haruslah menjadi kriteria pembedaan transfer khusus atas kompetensi dan tanggung jawab dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam unit-unit lokal yang dikelola secara berbeda di suatu negara. Sejarah yang ditunjukkan berbagai negara Balkan seperti Macedonia, Serbia, Kosovo memberikan pelajaran bahwa upaya tersebut tidak berjalan tanpa masalah, sementara dalam benak masyarakat mereka tetap menginginkan pendekatan yang berbeda untuk menyelesaikan masalah keseharian mereka. Logika fiskal dalam hal ini bisa terlihat tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah keseharian yang dihadapi masyarakat lokal. Diperlukan suatu model desentralisasi yang spesifik. juga memberikan catatan bahwa pilihan prinsip-prinsip (model) yang diterapkan dalam desentralisasi asimetris mempengaruhi keberhasilannya. Di berbagai negara kesatuan, contoh penerapan desentralisasi asimetrik dapat dijumpai di Spanyol-Catalonia, Basque Country, dan Galicia, Italia-di 5 (lima) daerah, Perancis- Corsica, Denmark- Greenland, TanzaniaZanzibar, UK-Irlandia Utara, Scotland, Wales, Finlandia- Sami dan sebagainya. Di Spanyol, pemerintah pusat mengatur level otonomi yang berbeda bagi daerah. Catalonia, Basque Country, dan Galicia memiliki derajat otonomi yang cenderung lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini mempertimbangkan sentimen nasionalis dan hakhak yang telah dimiliki daerah-daerah tersebut secara historis.
7 Teresa Garcia-Milà dan Therese J. McGuire, 2002, Fiscal Decentralization in Spain: An Asymmetric Transition to Democracy, paper 22 Maret, 2002.
10
Desentralisasi fiskal asimetris mampu memenuhi tuntutan nasionalistik dan menurunkan ketegangan antar daerah di Spanyol dan menjadi landasan yang penting dalam transisi menuju demokrasi. Italia, menerapkan desentralisasi asimetris yang dituangkan dalam hukum konstitusi yang disahkan oleh Parlemen Italia. Terdapat lima daerah, yakni Sardinia, Sicily, Trentino- Alto Adige/Südtirol, Aosta Valley, dan FriuliVenezia Giulia, yang memiliki otonomi yang khusus. Status otonomi khusus tersebut memberikan kekuasaan yang relatif lebih besar dalam hal legislasi dan administrasi.Di samping itu, daerah tersebut juga memiliki otonomi finansial yang signifikan. FriuliVenezia Giulia memiliki 60% dari keseluruhan pajak, sementara Sicily memiliki 100% dari pajak dan daerah-daerah tersebut memiliki kebebasan menentukan bagaimana pendapatan tersebut digunakan. Otonomi khusus tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang dihuni penduduk berbahasa minoritas. Aosta Valley dihuni penduduk berbahasa Prancis, Friulli-Venezia Giulia penduduknya kebanyakan berbahasa Slovenia, sementara Trentino- Alto Adige/Südtirol penduduknya mayoritas berbahasa Jerman. Di samping itu, kondisi geografis yang terisolasi juga turut menjadi pertimbangan. Di dalam praktik otonomi daerah di Indonesia paling tidak terdapat tiga bentuk yang dapat dipertimbangkan dan/atau dikembangkan lebih lanjut. Pertama, desentralisasi asimetris yang dikemas dalam kerangka Undang-Undang yang berlaku saat ini, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kedua, desentralisasi asimetris sesungguhnya juga sudah terjadi di Indonesia dalam bentuk variasi otonomi yang diberikan kepada daerah. Saat ini, terdapat empat bentuk otonomi daerah, yakni: 1) otonomi luas untuk kabupaten/kota secara umum, 2) otonomi terbatas untuk provinsi, 3) otonomi khusus untuk Papua ( Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001) dan Nangroe Aceh Darussalam (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006), serta 4) otonomi khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara (Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007). Desentralisasi asimetris yang dianut dalam Undang-Undang tentang Otonomi khusus Papua mencakup aspek politik dan fiskal. Di dalam banyak hal, tujuan politik dan ekonomi cenderung mewarnai kebijakan otonomi khusus, namun kebijakan ini tidaklah permanen, meski diterapkan dalam jangka panjang. Belakangan semakin banyak institusi dan sarjana yang mempromosikan desentralisasi asimetris di Indonesia. Studi Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL-UGM yang dipimpin Pratikno (2010), misalnya, mengidentifikasi sejumlah alasan di balik desentralisasi asimetris. Pertama, alasan konflik dan tuntutan separatisme. Tidak dapat dipungkiri, dua daerah (tiga Provinsi) yaitu Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi khusus karena konflik antara kedua daerah tersebut dengan pemerintah nasional yang antara lain karena perebutan sumber daya. Jika diringkas, otsus untuk Aceh dan Papua secara prinsipil terdiri dari: (a) Dana Otonomi Khusus sebagai kompensasi ketiga provinsi masih dapat bergabung di Republik Indonesia; (b) Pengakuan terhadap identitas lokal yang terwujud dalam institusi politik. Di Aceh proses ini ditandai dengan embaga baru Wali Nangroe yang merepresentasikan adat dan agama. Di Papua, wewenang diberikan kepada Majelis Rakyat Papua yang merepresentasikan adat, agama dan perempuan; (c) pengakuan terhadap simbol-simbol lokal seperti bendera, bahasa dan sebagainya.; (d) Partai politik lokal yang di ada di Aceh; (e) Kebijakan afirmatif dalam kepemimpinan lokal. Di Aceh, kandidat pemimpin lokal harus dapat membaca Al Quran, sementara pemimpin di Papua harus orang asli Papua; (f) pengaturan sumber daya alam. Selain 11
dana otsus yang berjumlah besar, pengelolaah sumberdaya daerah adalah isu yang spesifik. Aceh memiliki beberapa kekhususan spesifik terkait dengan pengelolaan sumber daya, misalnya pertanahan, hutan dan eksploitasi minyak. Kedua, alasan ibukota negara. Perlakuan khusus ini hanya diberikan untuk Provinsi DKI. Mengingat DKI yang wilayahnya terjangkau dengan infrastuktur terbaik di negeri ini, perlakuan khusus diwujudkan dalam ketiadaan pemilukada untuk Bupati/Walikota dan tidak ada DPRD Kabupaten/Kota yang ditunjuk oleh Gubernur. Konsekuensinya, pemilukada Gubernur menggunakan sistem absolute majority dimana pemenang sedikitnya mendapatkan 50% suara. Di daerah lain, kandidat cukup mendapatkan lebih dari 30% suara untuk memenangkan pemilukada. Ketiga, alasan sejarah dan budaya. Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan perlakuan istimewa mengingat sejarahnya di masa revolusi dan perebutan kemerdekaan. Perlakuan ini terlihat dari penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY yang dilakukan oleh DPRD. Gubernur DIY adalah Sultan yang bertahta dan Wakil Gubernur DIY adalah Pakualam yang bertahta. Penentuan Sultan dan Pakualam diserahkan kepada institusi keratin/pakualam masing-masing. Kedua pemimpin ini tidak boleh bergabung dengan partai politik. Pada level kabupaten/kota tetap sama dengan daerah lainnya. Keempat, alasan perbatasan. Menurut Tim JPP (JPP-UGM 2010), perbatasan perlu mendapatkan perlakuan khusus mengingat perannya sebagai batas dengan negara tetangga. Daerah perbatasan memegang fungsi penting karena kompleksitas masalah yang dihadapi. Daerah perbatasan perlu diperlakukan sebagai halaman depan dan bukan halaman belakang RI. Perlakuan daerah perbatasan, misalnya di Kalimatan Barat hendaknya berbeda, misalnya dengan mewajibkan gubernur berasal dari kalangan militer karena potensi pelintas batas yang tinggi disamping penguatan infratruktur dan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Tentu detail tentang asimetrisme perbatasan masih membutuhkan kajian lebih lanjut. Kelima, pusat pengembangan ekonomi. Daerah yang secara geografis memiliki peluang untuk menjadi daerah khusus ekonomi seharusnya dikembangkan agar memiliki daya saing ekonomi tinggi. Daerah seperti Batam dapat dikembangkan dan dibentuk untuk bersaing dengan Singapura. Alokasi kekhususan misalnya menyangkut bea masuk dan pengembangan infrastruktur pengembangan ekonomi seperti pelabuhan dan tata sistem pelabuhan. Pelabuhan terbesar di Indonesia, Tanjung Priok di Jakarta, diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena posisi geografisnya. Jika Batam dikembangkan dengan pelabuhan modern dengan sistem yang lebih canggih, tidak mustahil mampu mengambil potensi pelabuhan Singapura yang memiliki keterbatasan ruang. Secara teoretik dan empirik ada beragam model desentralisasi asimetris. Jacobus Perviddya Solossa mencontohkan beberapa wilayah di dunia yang memperoleh status desentralisasi asimetris di dalam negara yang berdaulat diantaranya adalah Provinsi Cordillera dan Provinsi Mindanao di Filipina, Zansibar di Tanzania, Hong Kong dalam kaitannya dengan China, Greenland dalam kaitannya dengan Denmark, Puerto Rico dalam kaitannya dengan Amerika Serikat, berbagai masyarakat otonom di Spanyol, wilayah Aland dalam kaitannya dengan Finlandia, Scotlandia dalam kaitannya dengan 12
Inggris dan belakangan Papua dan Aceh di Indonesia, serta Bougainville di Papua New Guinea (PNG).8 Hannum (dalam J.P. Solossa)9 menyimpulkan paling tidak dua manfaat yang bisa diperoleh dari pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi/ asimetris atau otonomi khusus yaitu (1) sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-konflik fisik lainnya. Ia mencontohkan hubungan Hongkong dan China, dimana Hong Kong jelas adalah daerah kedaulatan China sebagai suatu negara, tetapi Hong Kong diberi sejumlah kewenangan penting dalam pengertian politik, hukum dan ekonomi, (2) sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-masalah kaum minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan misalnya sebagaimana yang tercantum dalam CSCE Copenhagen Document 1990. Pratikno dkk (2010) mengdepankan tiga model desentralisasi asimetris. Pertama, model desentralisasi asimetris penuh. Setiap daerah diperlakukan secara berbeda karena pluralisme ekstrim yang harus direspons Pemerintah Nasional. Level daerah yang didefinisikan sebagai asimetris juga tidak sama, sangat ditentukan entitas daerah seperti apa asimetris diberikan. Model ini memang bisa menjawab keragaman daerah, namun juga berpotensi menghasilkan anarkhisme dalam hubungan pusat daerah. Prasyarat pengembangan model ini adalah kapasitas nasional dalam melakukan supervisi desentraisasi. Kedua, model asimetris berbasis kategori kemajuan sosial ekonomi. Berbagai kawasan yang ada dijustifikasi secara berbeda dengan mempertimbangkan beberapa ukuran, misalnya ukuran teknokratis, dengan memperhatikan aspek-aspek sosial dan ekonomi tertentu. Secara umum, definisi model ini bisa berangkat dari ukuran-ukuran pembangunan dengan membedakan antara kawasan yang tertinggal. Dalam konteks Indonesia, perbedaan perlakuan atas kawasan perbatasan dan kepulauan misalnya, akan bisa menjadi pertimbangan atas bentuk asmetris yang akan dikembangkan. Contoh lain dalam kategori ini adalah derajat kemajuan sosial-ekonomi, yang menghasilkan kateori desa-kota. Pengembangan model ini akan menjadi jawaban untuk pengembangan kawasan dengan kemajuan ekonomi dan persoalan urbanisasi yang sangat maju. Ketiga, model kombinasi antara otonomi khusus dan otonomi reguler. Model sang sangat jamak ditemui adalah otonomi khusus sebagai solusi untuk menyelesaikan ketegangan antara pemerintah nasional dengan subnasional yang mengarah ke gerakan-gerakan pemisahan diri (separatisme) atau dikarenakan karakter daerah yang sangat spesifik. Model ini selanjutnya menghasilkan bentuk desentralisasi yang bersifat regular bagi mayoritas daerah, dan bentuk khusus utk daerah-daerah tertentu. Dalam desain desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, pilihan terhadap model ini sudah dilakukan dalam kasus 4 daerah khusus/istimewa
8 9
Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua….Op. Cit. h.67 Ibid. h. 55
13
Rekognisi UUD 1945 mengenal asas otonomi dan frasa negara “mengakui dan menghormati” kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang bersifat khusus dan istimewa. Dalam tradisi ilmu sosial, asas otonomi diteorisasikan dengan desentralisasi, sementara “mengakui dan menghormati” dikonseptualisasikan dengan rekognisi. Rekognisi memang tidak lazim dibicarakan dalam semesta teori hubungan pusat dan daerah; ia lebih dikenal dalam pembicaraan tentang multikulturalisme. Dalam masyarakat multikultur senantiasa menghadirkan perbedaan dan keragaman identitas baik suku, agama, warna kulit, seks dan lain-lain. Bahkan juga menghadirkan pemilahan antara mayoritas versus minoritas, dimana kaum minoritas sering menghadapi eksklusi secara sosial, budaya ekonomi dan politik. Kaum minoritas merasa menjadi warga negara kelas dua yang tidak memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan kaum mayoritas. Karena menghadapi eksklusi, tidak kelompok atau komunitas yang berbeda maupun kaum minoritas memperjuangkan klaim atas identitas, sumberdaya, legitimasi dan hak. Tindakan negara menghadapi klaim-klaim itu menjadi isu penting dalam pembicaraan tentang rekognisi. Meskipun rekognisi lahir dari perut multikulturalisme, tetapi ia terkait dengan keadilan, kewargaan dan kebangsaan; bahkan mempunyai relevansi dengan desentralisasi. Pada titik dasar, rekognisi terletak pada jantung kontestasi ganda di seputar kewargaan, hak, politik identitas, klaim redistribusi material dan tuntutan akan kerugian masa silam yang harus diakui dan ditebus oleh negara (Janice McLaughlin, Peter Phillimore dan Diane Richardson, 2011). Kontestasi klaim inilah yang menjadi salah satu alasan lahirnya konsep desentralisasi asimetris di banyak negara, termasuk Indonesia, yang melahirkan otonomi khusus bagi Aceh dan Papua serta keistimewaan bagi Yogyakarta. Dengan kalimat lain, desentralisasi asimetris untuk tiga daerah itu, yang berbeda dengan daerah-daerah lain, karena dilandasi oleh rekognisi terhadap perbedaan dan keragaman. Dalam konteks multikultural itu, beragam pengertian rekognisi muncul. Charles Taylor (1992), misalnya, memahami rekognisi dalam dua pengertian: “politik universalisme”, yakni proteksi terhadap otonomi individu, kelompok atau komunitas dengan cara menjamin hak-hak mereka; serta “politik perbedaan”, yakni proteksi terhadap identitas individu, kelompok atau komunitas dengan cara menghormati dan membolehkan mereka melindungi budayanya. Axel Honneth (1996) secara sederhana memahami rekognisi dalam dua pengertian, yakni: (a) menghormati kesamaan status dan posisi; (b) menghargai keberagaman atau keunikan. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan sosial. Bagi Honneth, keadilan sosial harus memasukkan provisi ruang bebas bagi setiap individu hadir dalam ruang publik tanpa rasa malu. Lebih radikal lagi, Nancy Fraser (1996) melihat rekognisi dalam konteks perjuangan politik untuk melawan ketidakadilan. Tujuan rekognisi bukan sekadar memberikan pengakuan, penghormatan dan afirmasi terhadap identitas kultural yang berbeda, tetapi yang lebih besar adalah keadilan sosial ekonomi. Bagi Fraser, rekognisi harus disertai dengan redistribusi. Kalau hanya berhenti pada rekognisi kultural hal itu mengabaikan redistribusi sosial-ekonomi sebagai obat ketidakadilan sosial dan perjuangan politik. Karena itu rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan redistribusi untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice). 14
Dengan demikian terdapat tiga makna rekognisi. Pertama, pengakuan negara terhadap beragam identitas yang dimiliki oleh kelompok, masyarakat atau daerah. Tidak hanya berhenti pada pengakuan eksistensi, tetapi negara menjamin ekspresi beragam identitas. Kedua, pengakuan, perlindungan dan perlakukan yang sama terhadap setiap pemilik identitas sebagai warga negara. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan negara. Ketiga, redistribusi sumberdaya ekonomi negara baik sebagai bentuk restitusi atas perlakuan secara tidak adil di masa lalu sekaligus sebagai afirmasi dan akselerasi terhadap kemajuan subyek yang memperoleh rekognisi. Konsep rekognisi itu relevan dengan desentralisasi asimetris untuk Tanah Papua, pengakuan terhadap masyarakat adat Papua beserta identitas dan ulayatnya, sekaligus juga mengharuskan tindakan afirmatif terhadap orang asli Papua agar mereka menjadi warga Indonesia yang setara dengan orang-orang lain di seluruh Indonesia. Tujuan besarnya adalah menjamin keadilan bagi Papua.
Teori Keadilan Baik otonomi khusus, desentralisasi asimetris maupun rekognisi bertujuan untuk mencapai keadilan. Dalam karya John Rawls,10 Theory of Justice (Teori Keadilan), keadilan merupakan suatu cara pendistribusian hak, kewajiban, manfaat dan beban di antara individu-individu, di dalam masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa setiap orang memiliki kekebalan atas hak-haknya dan bahwa kesejahteraan masyarakat sekalipun tidak dapat menghapus kekebalan ini: “Keadilan menolak argumen yang menyatakan bahwa hilangnya kebebasan sebagian orang dapat dibenarkan atas dasar manfaat yang lebih besar yang dinikmati oleh orang-orang lain. Karena itu, dalam suatu masyarakat yang adil, kebebasan para warganegara yang sederajat tetap tidak berubah; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik ataupun pada pertimbangan kepentingan sosial.” Rawls berangkat dari teori kontrak sosial yang terkenal yang menyatakan, bahwa dalam hal distribusi kebebasan dan kekuasaan, semua orang berada dalam posisi awal yang sama. Namun, masing-masing orang dianugerahi "selubung ketidaktahuan" mengenai kualitas dan atribut pribadinya. Menurut Rawls, dalam keadaan ini, orang yang rasional yang tidak mengetahui potensi dirinya, akan memilih dua asas keadilan. Asas yang pertama menyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas seluruh sistem kebebasan pokok yang sama yang seluas-luasnya, yang dapat diselaraskan dengan sistem yang sama bagi orang-orang yang lain. Asas kedua menyatakan, bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi mereka yang paling kurang beruntung dan menyediakan suatu sistem akses yang sama untuk semua jabatan dan kesamaan peluang. Jadi dalam sistem Rawls, terdapat suatu konsepsi umum mengenai keadilan (fairness) dan kesamaan (equality) yang menyatakan bahwa semua kebutuhan sosial yang primer, seperti kebebasan dan kesempatan, penghasilan dan kekayaan, hendaknya didistribusikan secara merata, kecuali bila distribusi yang tidak merata benar-benar menguntungkan mereka yang paling kurang beruntung.11 John Rawls, A Theory of Justice – Teori Keadilan (Terj. Uzair Fausan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 3-143; Juga Scott Davidson, Op.Cit., hlm. 48. 11 Ibid., hlm. 48-49. 10
15
Selanjutnya Rawls berpendapat bahwa kebebasan merupakan hak yang paling utama dan semua hak yang lain merupakan pelengkapnya. Dalam sistem semacam itu, hak hanya boleh dibatasi jika, pertama, hal itu akan memperkuat seluruh sistem kebebasan yang dinikmati oleh semua orang atau, kedua, jika kebebasan yang lebih sedikit dapat diterima oleh wargarnegara yang bersangkutan. Lalu, hak-hak apa saja yang dicakup oleh asas pertama? Rawls akan memasukkan, antara lain, kebebasan politik, kebebasan berpendapat, berhati nurani dan berfikir, serta kebebasan untuk bersikap jujur dan kehormatan pribadi - termasuk kebebasan untuk memiliki harta. Dalam masyarakat yang adil, setiap warganegara mempunyai hak-hak semacam ini dalam kadar yang sama. Tetapi Rawls mengakui bahwa sebagai warganegara, meskipun sebenarnya memiliki sistem persamaan hak yang paling luas di dalam masyarakat, tidak mampu memanfaatkan hak-hak mereka sepenuhnya, karena faktor-faktor lain di dalam masyarakat, seperti ketidaktahuan atau kemiskinan. Jelas, bahwa hal ini tidak mempengaruhi nilai intrinsik dari hak-hak yang dimiliki oleh individu-individu itu, namun hal ini memang menghambat mereka dalam menikmati hak-hak tersebut. Dalam istilah Rawls, hal itu mempengaruhi harga atau nilai dari kebebasan yang dimilikinya. Lalu, bagaimana disparitas harga atau nilai kebebasan itu harus dikompensasikan? Jawaban Rawls adalah, dengan menerapkan Asas Perbedaan atau difference Principle. Asas ini menyatakan bahwa distribusi sumberdaya yang merata hendaknya diutamakan, kecuali jika dapat dibuktikan bahwa distribusi yang timpang akan membuat keadaan orang-orang yang "lebih beruntung" maupun yang "kurang beruntung" menjadi lebih baik. jadi, untuk memastikan bahwa setiap orang menikmati nilai kebebasannya sepenuhnya, bentuk keadilan distribusi ini haruslah dilaksanakan.12 Disamping itu, prinsip perbedaan yang dikemukakan Rawls juga penting untuk menjelaskan betapa pentingnya perhatian dan perlindungan HAM bagi mereka yang lemah dan tertindas seperti kaum perempuan, anak-anak, para penyandang cacat (disabilitas), dan masyarakat asli (indigenous People). Sikap keberpihakan kepada yang lemah itu didasarkan pada etika kepedulian seperti tersebut di atas, yang hendak menegaskan bahwa keadilan yang mau diwujudkan harus adil dalam konteks konkrit, dalam kaitan dengan nilai-nilai masyarakat yang bersangkutan, sesituasional mungkin. Jadi tidak boleh terlepas dari konteks sosialnya. Kepedulian merupakan sikap praktis sebagai jawaban terhadap kenyataan adanya ketidakadilan dalam dunia. Dalam membuka dan membongkar ketidakadilan, sikap peduli jelas merupakan unsur kunci, karena ketidakadilan sering sudah dianggap biasa dan karena itu baru empati dengan mereka yang menderita dapat membuka eksistensi ketidakadilan itu dengan penderitaan yang disebabkannya.13 Etika kepedulian mampuh menangani masalah-masalah yang betul-betul mendesak seperti kesenjangan antara kaya dan miskin dalam konteks Utara-Selatan yang semakin melebar. Caranya memfokuskan perhatian pada jaringan hubungan sosial dan personal untuk menemukan sumber-sumber pola-pola eksklusi, marginalisasi, penderitaan, dan kemiskinan. Jadi bukan prinsip-prinsip yang seharusnya, melainkan sumber nyata ketidakadilan yang perlu dicari. Perhatian pada hubungan-hubungan sosial konkrit sebagai titik tolak usaha untuk membantu, kelihatan lebih mampu menemukan akarakar masalah moralitas internasional daripada fokus pada hak-hak dan kewajibankewajiban abstrak. Fokusnya pada masalah ketidakadilan konkrit. 12 13
Ibid., hlm. 49. Franz Magnis-Suseno, 2005, Op.Cit., hlm. 240.
16
Nilai kepedulian bersifat kontekstual dan situasional, berfokus pada orang konkret dan kebutuhannya, orang dilihat dalam rangka hubungan personal dan sosial, dengan hubungan-hubungan saling ketergantungan dan keterlibatan emosional. Sikap-sikap yang ditegaskan adalah peduli pada sesama, empati, hubungan konkret antar orang daripada sistem-sistem peratutan, orang dilihat dalam ketertanaman dalam sebuah konteks sosial tertentu. Kalau nilai keadilan hampir secara eksklusif berfokus pada tindakan, maka nilai kepedulian menegaskan bahwa kemampuan untuk menunggu, kesabaran, kemampuan untuk percaya kepada orang lain, untuk mendengarkannya merupakan sikap-sikap yang sama saja kunci dalam keseluruhan dimensi moral. Ceritacerita perempuan merupakan pernyataan moral sama hakikihnya dengan prinsipprinsip moral abstrak.14 Etika kepedulian ditegaskan oleh Carol Gilligan yang memperdengarkan suara kaum perempuan sebagai reaksi langsung terhadap Lawrence Kohlberg dan reaksi tak langsung terhadap konsep-konsep etika kewajiban Kant dan John Rawls tentang keadilan. Kekhasan nilai kepedulian dapat dirangkum sebagai berikut: tugas utama perumusan nilai etika bukanlah mengembangkan teori-teori keadilan, melainkan berfokus pada pertanyaan bagaimana orang peduli mengenai kebutuhan-kebutuhan nyata orang lain. Inti moralitas bukan lagi sikap adil yang tidak memihak, melainkan kepedulian yang justru berpihak, kehangatan hati dan sikap yang nyata-nyata menunjang orang lain dalam situasinya yang khas.15 Masalanya sikap keberpihakan terhadap yang lemah ini dapat menimbulkan diskriminasi yang akhirnya menyebabkan nepotisme, ketidakadilan dan favouritism.16 Sebab itu menurut Magnis-Suseno, “tanpa pandangan akan hakikat dan kodrat manusia, tuntutan keadilan tidak mempunyai dasar, dan begitu pula etika kepedulian akan merosot menjadi sentimentalisme.17 Itulah sebabnya mengapa di satu pihak kapitalisme-individualis yang menghendaki kebebasan akan berdampak pada jurang antara kaya dan miskin. Sebaliknya di pihak lain, komunisme-sosialis yang menghendaki kesetaraan atau persamaan akan berdampak pada totalitarisme otoriter yang menindas. Jadi kedua-duanya dalam titik yang ekstrim selalu berujung pada pelanggaran terhadap HAM dan tragedi kemanusiaan. Menyadari keadaan ini maka adalah penting untuk memahami kodrat keberadaan manusia seutuhnya, yaitu bahwa manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial dalam keseimbangan. Manusia bukanlah makhluk individu meluluh atau makhluk sosial meluluh. Seperti yang disinyalir oleh David P. Forsythe bahwa akhir-akhir ini baik liberalisme maupun komunalisme - khususnya Marxisme - akhirnya tertarik pada kebebasan sejati dan persamaan di antara individu-individu. Barangkali perbedaan-perbedaan itu hanya mengenai taktik dan sementara sifatnya. Barat sedang bergerak lebih mengarah ke komunalisme, dan sementara versi dari Marxisme sudah mulai mengenal sekadar wilayah bagi individualisme, setidak-tidaknya bila dibiarkan berevolusi dengan dorongan dinamikanya sendiri.18 Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hlm 238. Ibid. 16 Seperti yang dikatakan oleh Brian Barry sebagaimana dikutip oleh Robinson, dalam, Magnis-Suseno, Ibid., hlm. 279. 17 Ibid. 18 David P. Forsythe, Hak-Hak Asasi Manusia & Politik Dunia, Angkasa, Bandung, 1993, hlm. 233-239. 14 15
17
Kebijakan Afirmatif Kebijakan afirmatif atau tindakan afirmatif (affirmative action) dapat diartikan kebijakan yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama, atau bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Menurut K. Bertens (dalam Anis Fuad)19 Tindakan afirmatif sesungguhnya merupakan tindakan diskriminatif. Namun tindakan diskriminatif ini adalah sebuah tindakan positif atau yang di sebut “positive discrimination”. Dikatakan positif karena tindakan ini sesungguhnya ditujukan untuk menciptakan kesempatan yang sama terhadap pihakpihak selama ini didiskriminasikan. Menghilangkan diskriminasi dengan diskiriminasi. Ada “reverse discrimination” atau diskriminasi terbalik bagi siapapun pada masa dahulunya termarjinalkan dan tidak mempunyai kesempatan yang sama, diberikan perlakuan khusus sehingga pada akhirnya akan tercipta kesempatan yang sama di masa yang akan datang. Tindakan afirmatif sesungguhnya telah dipraktikkan pada beberapa negara seperti Canada, Barzil, Amerika Serikat, bahkan instrumen hukum internasional telah mengakomodir tindakan affirmatif sebagai salah satu solusi pemecahan masalahmasalah internasional maupun nasional negara. John D. & Chatherine T dari MacAthur Foundation menyatakan bahwa affirmative action programs can be designed in stages to (a) eliminate present discrimination (b) remedy past discrimination, (c) equalize opportunities between groups, (c) embrace and promote diversity. Lebih lanjut dinyatakan bentuk affirmative action ohn D. & Chatherine T dari MacAthur Foundation menyatakan among other things, affirmative action may take the form of (a) trainings ang complaint resolution mechanisms, (b) outreach and counseling to certain types of applicants, (c) self-studies to determine if discrimination exists, (d) special admissions standards for certain people, (e) allowing preferences for members of specific groups, (f) establishing quotas or numerical set asides for members of these groups.20 Ditinjau dari lingkup penjabaran sasarannya affirmative action dapat mencakup sektor public tapi bisa juga sektor privat. Dinyatakan oleh John D. & Chatherine T dari MacAthur Foundation bahwa affirmative action program may used both: (a) In the public sector when seeking more proportionate numbers of underta-represented government legislators, employees, contractors, or students at government-run universities and schools, and (b) In the private sector when seeking to diversity; private workplaces, universities, schools, and other non-governmental settings.21 Affirmative Action juga memiliki catatan sejarah tersendiri. Pada Maret l96I, Presiden Amerika Serikat pada masa itu, John F Kennedy mengeluarkan Executive Order 10925, berupa Komite tentang Kesempatan yang sama dalam bekerja (Equal Employment Opportunity). Misinya adalah untuk mengakhiri diskriminasi dalam pekerjaan oleh pemerintah dan kontraktor. Isi dari kebijakan tersebut berupa keharusan setiap kontrak di tiap negara federal untuk menyertakan perjanjian bahwa "Kontraktor tidak 19 Anis Fuad, Dapatkah Waria Menjadi Pelayan Publik, Menimbang Kebijakan Tindakan Afirmatif Untuk Golongan Transgender, Program Studi Administrasi Negara, FISIP Universitas Sultan Agung Tirtayasa, diakses dari
[email protected] 20 John D. & Chatherine T, Affirmative Action: A Global Perspective, Global Rights Partners for Justice, MacAthur Foundation, 2005. P. 14 21 Ibid
18
akan melakukan diskriminasi terhadap karyawan atau pelamar kerja karena ras, kepercayaan/agama, warna kulit, atau asal-usul kebangsaan. Kontraktor yang akan mengambil tindakan afirmatif, untuk memastikan bahwa pemohon bekerja maupun karyawan tidak diperlakukan pembedaan atas dasar ras, kepercayaan, warna kulit, atau asal-usul kebangsaan." Dalam konteks hak-hak sipil istilah "tindakan afirmatif” atau “affirmative action” digunakan pertama kali. Istilah ini berarti mengambil langkahlangkah yang tepat untuk memusnahkan praktik diskriminasi didasarkan ras, agama dan etnis. Tujuannya, seperti yang dinyatakan Presiden, adalah "kesempatan sama dalam pekerjaan/ equal opportunity in employment.” Dengan kata lain, tindakan afirmatif telah memulai untuk memastikan bahwa pelamar untuk posisi tertentu akan ditentukan tanpa pertimbangan atas ras, agama, atau asal-usul kebangsaan. The Civil Rights Act of 1964 mengulangi dan memperluas penerapan prinsip ini. Dalam title VI dinyatakan bahwa "No person in the United States shall, on the ground Or race, color or national origin, be excluded from participation in, be denied the benefits of, or be subjected to discrimination under any program or activity receiving federal financial assistance." Tetapi dalam satu tahun Presiden Lyndon B. Johnson menyatakan bahwa keadilan yang diperlukan lebih dari suatu komitmen untuk perlakuan yang tidak berat sebelah. Di awal-awal tahun 1965 di Howard University, Johnson berkata: “You do not take a person who for years has been hobbled by chains and liberate him, bring him up to the starting line of a race and then say, "you're free to compete with all the others," and still justly believe that you have been completely fair. Thus it is not enough just to open the gates or opportunity. All our citizens must have the ability to walk through those gates .... We seek not...just equality as a right and a theory but equality as a fact and equality as a result” Beberapa bulan kemudian Presiden Johnson mengeluarkan Eksekutif Order 11246, yang menyatakan bahwa : "It is the policy of the Government of the United States to provide equal opportunity in federal employment for all qualified persons, to prohibit discrimination in employment because Or race, creed, color or national origin, and to promote the full realization of equal employment opportunity through a positive, continuing program in each department and agency." Dua tahun kemudian ditambah kalimat yang melarang diskriminasi atas dasar jenis kelamin. “Affirmative action” sebagai istilah baku merujuk pada kebijakan yang harus mempromosikan kesetaraan dalam memperoleh akses ke wilayah publik, terutama pekerjaan dan pendidikan. Gerakan sosial yang menuntut kebijakan afirmatif muncul sebagai refleksi pengalaman sejarah yang pahit saat kaum perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi sehingga mereka terabaikan dan tersingkir dari kehidupan publik, seperti pernah terjadi di AS hingga akhir 1960-an. Akibat diskriminasi, keterwakilan mereka amat minimal, misalnya di universitas dan tempat kerja. Maka, Presiden Kennedy (1961) mengeluarkan executive order untuk menjamin tiap orang diperlakukan setara tanpa melihat ras, etnik, gender, agama, atau asal-usul kebangsaan untuk masuk universitas atau melamar pekerjaan.
19
Demokrasi Lokal Demokrasi adalah semangat zaman dan amanat reformasi di Indonesia. Sistem politik dan pemerintahan di Indonesia, baik di level nasional maupun daerah (lokal), mau tidak mau harus menerapkan demokrasi. Demokrasi (pemerintahan rakyat, keadulatan rakyat) tentu memiliki banyak kelebihan dan manfaat: membuka kesempatan dan mengembangkan setiap potensi manusia, menghargai perbedaan, mencegah korupsi, memberikan kesempatan yang sama pada setiap orang dalam proses politik, menjadi sistem nilai dan institusi yang menjamin keadilan dan seterusnya. Namun demokrasi yang mengutamakan kebebasan hingga kompetisi selalu rawan risiko. Para sarjana yang menggeluti demokrasi juga selalu mengingatkan risiko konflik yang mengikuti demokrasi. Pada umumnya negara-negara demokratis yang muncul dari konflik memiliki sedikit pengalaman dengan demokrasi liberal dan ekonomi pasar; yang sebenarnya merupakan solusi yang tidak memadai dan malah menciptakan destabilisasi (R. Paris, 1997, 2004). Kompetisi dalam demokrasi baru semakin memperkuat pembelahan sosial-politik yang telah ada sehingga memicu timbulnya konflik (Mahmood Monshipouri, 1995; J. Snyder, 2000; Edward Mansfield and Jack Snyder, 1995). Dalam masyarakat tanpa konflik, demokrasi juga membuka ruang bagi para aktor-institusi politik akan secara ekstrem menaruh rasa curiga terhadap lainnya, seraya mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperkuat pengaruhnya. Rivalitas dan kompetisi mengarah pada percobaan untuk merusak pihak lain meskipun ditempuh dengan cara-cara intimidasi dan kekerasan. Pihak-pihak yang memenangkan kompetisi cenderung membuat oligarkhi, atau menyusun elite predator, sehingga reformasi tatapemerintahan yang dibawa kaum liberal menuai kegagalan. Demokrasi bukan sesuatu yang given dan final, tetapi ada perdebatan beragam cara pandang, untuk mencari format demokrasi yang tepat, termasuk demokrasi yang tepat di ranah desa. Ada tiga cara pandang (aliran) demokrasi yang perlu dikemukakan di sini, yang tentu relevan dengan pencarian model demokrasi desa yang tepat. Ketiga aliran itu adalah demokrasi liberal, demokrasi republiken dan demokrasi komunitarian, seperti kami sajikan dalam tabel 2.1. Demokrasi liberal. Istilah liberal menunjuk sebuah sistem politik dimana kebebasan individu dan kelompok dilindungi dengan baik dan dimana terdapat lingkup-lingkup masyarakat sipil dan kehidupan pribadi yang otonom, tersekat atau terbebas dari kontrol negara. Secara konseptual, suatu tatanan politik yang liberal adalah independen dari eksistensi dari suatu perekonomian liberal kompetitif yang didasarkan pada terjaminnya hak-hak properti, walaupun dalam praktik keduanya terkait, sebagian oleh kebutuhan bersama mereka untuk membatasi kekuasaan negara (Larry Diamond, 2003).
20
Tabel 2.1 Tiga aliran demokrasi Item Sumber Basis Semangat
Liberal Liberalisme Individualisme Kebebasan individu (freedom for)
Orientasi
Membatasi kekuasaan, melubangi negara (hollowing out the state), menjamin hak-hak individu Independensi individu
Posisi individu Wadah
Lembaga perwakilan, partai politik dan pemilihan umum
Metode
Pemilihan secara kompetitif
Model
Demokrasi representatif (perwakilan)
Kelebihan
Menggunakan metode yang simpel dan jelas, individu bebas dan bisa menjadi kuat, kekuasaan dibatasi, dll
Kelemahan
Yang lemah semakin lemah, yang kuat semakin kuat. Fragmentasi. Rentan konflik.
Republiken Republikenisme Kebebasan dari (freedom from) dan kewargaan Memperkuat kewargaan, kebajikan warga, persamaan hak dan kewajiban warga. Interdependensi individu Organisasi warga, majelis rakyat
Partisipasi langsung, musyawarah Demokrasi partisipatoris & Demokrasi deliberatif Inklusif. Setiap invididu ditempatkan sebagai pribadi yang utuh, sebagai warga yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Negara bertanggungjawab melindungi warga. Masyarakat kuat. Cenderung utopis, kurang realistik
Komunitarian Komunitarianisme Kolektivisme Kebersamaan secara kolektif
Kebaikan bersama, masyarakat yang baik.
Dependensi individu pada komunitas. Komunitas, commune, rapat desa, rembug desa, musyawarah desa, forum warga, asosiasi sosial, paguyuban, komunitas adat, muyawatah adat Musyawarah Demokrasi deliberatif (permusyawaratan) Menjaga kebersamaan dan harmoni. Konflik minimal.
Cenderung konservatif, rentan dominasi elite, eksklusif
Secara spesifik, demokrasi liberal memiliki komponen-komponen sebagai berikut: • Kontrol terhadap negara dan keputusan-keputusan serta alokasi-alokasi dimana kuncinya terletak, dalam kenyataannya di samping dalam teori konstitusional, pada para pejabat terpilih (dan bukan para aktor yang tak accountable secara demokratis atau kekuasaan-kekuasaan asing); secara khusus, militer subordinat terhadap otoritas para pejabat sipil terpilih. • Kekuasaan eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan dalam kenyataan, oleh kekuasaan otonom institusi-institusi pemerintahan lain (seperti sebuah peradilan yang independen, parlemen, dan mekanisme-mekanisme accountabilitas horisontal lain). • Bukan hanya hasil-hasil elektoralnya tak pasti, dengan suatu suara oposisi yang signifikan dan prasyarat pergantian partai dalam pemerintahan, tetapi tak ada kelompok yang tunduk pada prinsip-prinsip konstitusional yang disangkal haknya untuk membentuk sebuah partai dan mengikuti pemilu (bahkan jika ambang 21
•
•
• • • • •
elektoral dan aturan-aturan lainnya menyisihkan partai-partai kecil untuk memenangkan representasi di parlemen). Kelompok-kelompok minoritas kultural, etnis, religius, dan lain-lainnya (serta mayoritas-mayoritas yang secara historis dirugikan) tidak dilarang (secara legal atau dalam praktiknya) untuk mengungkapkan kepentingan mereka dalam proses politik atau untuk berbicara dengan bahasa mereka atau mempraktikkan budaya mereka. Di luar partai-partai dan pemilu, warga mempunyai banyak saluran berkesinambungan untuk pengungkapan dan representasi kepentingankepentingan dan nilai-nilai mereka, termasuk asosiasi-asosiasi (perkumpulan) dan gerakan-gerakan independen yang beragam, yang bebas yang mereka bentuk dan ikuti. Ada sumber-sumber informasi alternatif (termasuk media independen) yang digunakan warga memiliki akses yang tak terkekang (secara politis). Para individu juga mempunyai kebebasan keyakinan, opini, diskusi, bicara, publikasi, berserikat, demonstrasi, dan petisi yang substansial. Warga secara politis setara di depan hukum (walaupun mereka pasti tidak setara dalam sumber-sumber daya politiknya). Kebebasan individu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang independen dan tak diskriminatif, yang keputusan-keputusannya ditegakkan dan dihormati oleh pusat-pusat kekuasaan lain. Rule of law melindungi warga dari penahanan tidak sah, pengucilan, teror, penyiksaan, dan intervensi yang tak sepantasnya dalam kehidupan pribadi mereka bukan hanya oleh negara tetapi juga oleh kekuatan-kekuatan terorganisir nonnegara atau anti-negara (Larry Diamond, 2003).
Tradisi demokrasi liberal menjadi payung model demokrasi perwakilan dan demokrasi elektoral, serta menghilhami pendekatan demokrasi minimalis-empirik-prosedural. Demokrasi elektoral adalah sebuah sistem konstitusional sipil dimana jabatan-jabatan legislatif dan eksekutif diisi lewat pemilu multi-partai kompetitif yang reguler dengan hak pilih universal. Joseph Schumpeter (1947) merupakan tokoh terkemuka dalam barisan ini, yang karyanya dijadikan sebagai referensi utama pendekatan demokrasi prosedural pada studi demokratisasi kontemporer. Schumpeter meninggalkan garis pemikiran demokrasi klasik yang cenderung membicarakan “apa yang seharusnya” dan berusaha mengembangkan teori lain demokrasi yang lebih realistik yang didasarkan pada kondisi riil pada level empirik. Ia menolak elemen-elemen dalam demokrasi klasik seperti “kedaulatan rakyat”, “kebaikan bersama” atau “kehendak semuanya”, karena dianggap rancu dan berbahaya. Bagi Schumpeter, dunia modern yang kompleks hanya bisa diperintah dengan sukses jika “negara yang berdaulat” dipisahkan secara tegas dengan “rakyat yang berdaulat”, dan peran yang terakhir itu dibatasi sesempit mungkin. Gagasan hukum dan kebijakan yang didasarkan pada “kehendak semua”, menurut Schumpeter sangat utopis dan tidak mungkin terjadi, sehingga dia mengedepankan frasa “kehendak mayoritas”. Sebegitu jauh Schumpeter menolak frasa “pemerintahan oleh rakyat” dan sebaliknya dia mengemukakan bahwa demokrasi adalah “pemerintahan politisi”. Karena itu, bagi Schumpeter, demokrasi adalah sebuah “metode politik” atau “metode demokratis”, sebuah mekanisme kompetitif untuk memilih pemimpin, yakni sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik – legislatif dan administratif – dengan cara memberi kekuasaan pada individu-individu tertentu untuk membuat keputusan lewat perjuangan kompetitif dalam rangka 22
memperoleh suara rakyat (people’s vote). Dalam konteks ini, warga mempunyai pilihan di antara beberapa pemimpin politik yang berkompetisi untuk merebut suara mereka. Antara pemilihan dan keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga dapat menggantikan pejabat atau pemimpin yang mereka pilih. Dalam demokrasi liberal, kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin harus dibatasi agar tidak terjadi penyimpangan. Parlemen merupakan perwujudan demokrasi perwakilan yang mencerminkan representasi warga, untuk membuat keputusan bersama dengan eksekutif dan melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Akuntabilitas merupakan sebuah prinsip penting yang diterima oleh aliran manapun. Dalam demokrasi liberal, akuntabilitas merupakan prinsip yang dilembagakan untuk mengoptimalkan “kekuasaan untuk” (power to), sekaligus membatasi “kekuasaan atas” (power over) melalui mekanisme check and balances. Untuk mewujudkan akuntabilitas dibutuhkan juga representasi, transparansi dan partisipasi. Tradisi liberal yang emoh negara, menggunakan isu representasi, transparansi dan partisipasi untuk melubangi negara (hollowing out the state), agar kekuasaan dan sumberdaya bisa terdistribusi kepada sektor pasar dan masyarakat. Demokrasi Republiken. Di zaman Yunani Kuno Socrates, Plato, maupun Aristoteles melontarkan kritik bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh gerombolan rakyat (the mob) yang miskin dan bodoh. Karena itu, agar demokrasi dan kedaulatan rakyat menjadi lebih bermakna, membutuhkan penguatan kebajikan warga (civic virtue), konstitusionalisme, dan kewargaan (citizenship). Pemikiran itu yang melandasi kelahiran republikenisme. Kaum republikenisme bukan anti kebebasan, tetapi berbeda memahami kebebasan dibanding dengan kaum liberal. Menurut republikenisme, kebebasan berarti nondominasi, serta mempromosikan kebebasan dari dominasi, rasa takut, penindasan dan sebagainya. Pemikiran republikenisme itu mempengaruhi pemikiran generasi kiri baru. Kaum kiri baru menantang sejumlah prinsip fundamental dalam demokrasi liberal: individu yang bebas dan setara, pemisahan yang tegas antara negara dan masyarakat sipil, dan pemilihan umum sebagai proses demokrasi paling utama (David Held, 1987). Carole Patemen (1970), menyampaikan kritik itu dengan berujar bahwa individu yang bebas dan setara itu tidak bakal terjadi secara empirik. Pemisahan antara negara dan masyarakat justru membuat negara melakukan reproduksi ketidakadilan, yang berarti negara lari dari tanggungjawab. Pemilihan umum juga tidak cukup untuk menciptakan tanggungjawab penyelenggara negara terhadap rakyat yang diperintah. Karena itu kaum kiri baru menegaskan dua perubahan untuk transformasi politik: (1) negara harus didemokrasikan dengan cara membuat semua institusi politik lebih terbuka dan akuntabel dan (2) bentuk-bentuk baru perjuangan politik di level lokal harus membawa perubahan yang memastikan akuntabilitas dari negara dan masyarakat (David Held, 1987: 266). Benjamin Barber (1984) mempunyai pemikiran yang paralel dengan Pateman. Dia membandingkan liberalisme dengan sifat baik kewarganegaraan republican. Liberalisme, menurut Barber, mempromosikan “thin democracy” sementara kewarganegaraan mempromosikan “strong democracy”. Kedalaman partisipasi membedakan demokrasi yang lemah dan demokrasi yang kuat (Barber 1984: 132). 23
Barber mengakui bahwa struktur mediasi mungkin bertindak sebagai sekolah bagi pendidikan warga negara yang diperlukan untuk demokrasi yang kuat. Namun, dia memperingatkan bahwa organisasi lokal perantara yang eksklusif bisa merusak demokrasi. Bagi Barber, demokrasi yang kuat menciptakan suatu rangkaian kesatuan kegiatan yang terbentang dari lingkungan tempat tinggal hingga bangsa, dari swasta hingga publik, dan sepanjang rangkaian kegiatan itu, kesadaran warga negara yang ikut serta dapat berkembang”. Barber kurang optimis mengenai kapasitas struktur mediasi untuk mempromosikan kesadaran dan partisipasi yang meningkat dan membaik dalam konteks demokrasi yang kuat. Dia menganjurkan bahwa hanya partisipasi politik langsung, kegiatan yang secara jelas adalah kegiatan publik, misalnya rapat kota dan pertemuan kampung, berhasil sepenuhnya sebagai sebuah bentuk pendidikan warga. Demokrasi partisipatoris, yang diusung oleh kiri baru, sebenarnya memiliki akar historis demokrasi Yunani Kuno, dimana setiap warga berpartisipasi secara langsung dalam keseluruhan keputusan negara-kota (city-state). Tetapi model demokrasi partisipatoris tidak persis sama dengan model demokrasi langsung ala Yunani Kuno karena konteks yang sudah berubah. Sebagai bentuk pemikiran dan gerakan kontemporer, model demokrasi partisipatoris meyakini akan idealnya gagasan perluasan desentralisasi, inisiatif warga dan referendum yang tepat. Warga diyakini memiliki minat tinggi dalam politik, dan partisipasinya akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Bagi penganut paham republik ideal adalah ketika partisipasi menciptakan warga yang terdidik dan sadar politik. Bagi model ini partisipasi itu sendiri jauh lebih penting daripada output politik. Participatory democracy adalah sebuah proses pengambilan keputusan secara kolektif yang mengkombinasikan antara elemen-elemen yang berasal dari demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan: warga mempunyai kekuaasaan untuk memutuskan kebijakan dan para politisi memastikan peran implementasi kebijakan. Demokrasi Komunitarian. Komunitarianisme selalu hadir sebagai antitesis dan kritik terhadap liberalisme, baik dalam ranah pembangunan, demokrasi maupun pembangunan. Jika kaum liberal meletakkan kebebasan sebagai fondasi demokrasi liberal, kaum komunitarian mengutamakan “kebaikan bersama” (common good) menuju apa yang disebut A. Etzioni (2000) sebagai masyarakat yang baik (good society). Komunitas sebagai basis “masyarakat yang baik”, menurut Etzioni mengandung dua hal penting: (a) jaring hubungan kelompok individu yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain; dan (b) dalam komunitas terbangun komitmen bersama untuk berbagi sejarah, identitas, nilai, norma, makna dan tujuan bersama, tentu dalam konteks budaya yang partikular. Ketimbang mengadaptasi template universal, kaum komunitarian mengedepankan bahwa banyak resolusi yang memadai tentang problem tatanan dan democratic governance seharusnya dibangun dari dan merupakan buah resonansi dari kebiasaan dan tradisi rakyat yang hidup pada waktu dan tempat yang spesifik. Kaum komunitarian menekankan demokrasi yang dilandasi kebajikan, kearifan dan kebersamaan, termasuk pengambilan keputusan dengan pola demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) ketimbang demokrasi elektoral yang kompetitif. Proses negosiasi dan deliberasi parapihak secara inklusif dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk keputusan mengenai alokasi sumberdaya, merupakan solusi peaceful demoracy yang mampu mencegah konflik dan destabilisasi. 24
Dengan cara pandang komunitarian, demokrasi adalah cara atau seni “pergaulan hidup” untuk mencapai kebaikan bersama. Tradisi komunitarian menolak pandangan liberal tentang kebebasan, sebab dalam lingkup desa, kebebasan bisa berkembang menjadi “kebablasan”, dimana orang cenderung bersuara “asal bunyi” tanpa kesantunan yang menimbulkan konflik. Prinsip dasar demokrasi, dalam pandangan komunitarian, adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak. Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi bisa diwujudkan dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi prosedural antara lain terkait dengan mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi kepentingan masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau tatakrama (fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggungjawab, mutual trust, kepedulian warga, kompetensi politik, dan seterusnya. Demokrasi komunitarian lahir sebagai kritik atas demokrasi liberal, karena demokrasi liberal dinilai menjadi hegemoni universal yang melakukan penyeragaman praktik demokrasi di seluruh dunia. Orang di manapun akan mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu, pemilihan secara bebas, dan partisipasi. Jarang sekali orang yang berargumen bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan secara kolektif. Tradisi komunitarian, yang peka terhadap masalah ini, memaknai demokrasi secara partikularistik dengan memperhatikan keragaman budaya, struktur sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara. Aliran ini menyatakan bahwa individualisme liberal cenderung merusak kewarganegaraan dan menafikkan kebajikan warga (civic virtue). Artinya, semangat individualisme liberal tidak mampu memberikan landasan yang kokoh bagi kebebasan dan kesetaraan warga dalam bingkai demokrasi komunitas. Penganut komunitarian yakin bahwa rakyat selalu berada dalam ikatan komunal ketimbang individualistik, karena itu model demokrasi perwakilan cenderung menciptakan alienasi partisipasi publik dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar publik. Kaum komunitarian memang menaruh perhatian pada otonomi individu seperti kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan kebebasan individu tetapi penghargaan pada otonomi individu serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif. Pemikiran komunitarianisme itu sangat memperngaruhi cara pandang para founding fathers Indonesia dalam melihat demokrasi lokal. “Di desa-desa sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah yang komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama, sewaktu menyelenggarakan kegiatan ekonomi”, demikian ungkap seorang pendiri Republik Indonesia, Mohammad Hatta (1956). Demokrasi komunitarian desa pada prinsipnya bertumpu pada tiga substansi: demokrasi politik (pengambilan keputusan bersama melalui musyawarah dalam rembug desa), demokrasi sosial (solidaritas bersama melalui gotong-royong) dan demokrasi ekonomi (kepemilikan tanah secara komunal). Gagasan demokrasi komunitarian sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang kecil (seperti desa) karena kegagalan demokrasi prosedural-liberal dalam mewadahi 25
partisipasi publik. Demokrasi liberal secara konvensional mereduksi praktik demokrasi hanya dalam kerangka pemilihan pemimpin dan lembaga perwakilan, yang diyakini sebagai wadah partisipasi publik. Format demokrasi perwakilan yang didesain itu dilembagakan secara formal melalui peraturan, yang mau tidak mau menimbulkan apa yang disebut oleh Robert Michel sebagai oligarki elite. Segelintir elite yang mengendalikan pemerintahan dan pembuatan keputusan itu umumnya bersikap konservatif dan punya kepentingan sendiri yang tercerabut dari konstituennya, tetapi mereka selalu mengklaim mewakili rakyat banyak. Karena itu, demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community, hendak mempromosikan partisipasi publik dalam urusan publik, pemerintahan dan pembangunan di level komunitas. Melampaui batasan-batasan formal, demokrasi komunitarian merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, pengaktifan peran kelompok-kelompok sosial, forum warga, serta jaringan antarkelompok, yang bukan saja untuk keperluan self-help kelompok, tetapi juga sebagai wahana awareness warga, civic engagement dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas. Elemen-elemen komunitarian yang dinamis inilah yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pembuatan keputusan berbasis komunitas (bukan segelintir elite) secara partisipatif serta memungkinkan penggalian potensi dan kreativitas individu dalam ikatan kolektif. Model demokrasi deliberatif merupakan bentuk ekstrem demokrasi prosedural yang dijiwai oleh tradisi komunitarianisme dan republikenisme. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung dalam hal penentuan pemimpin dan mekanisme pembuatan keputusan. Menurut penganjur demokrasi deliberatif, mekanisme penentuan pemimpin dan pembuatan keputusan dilakukan dengan cara partisipasi warga secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan, melainkan melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan. Model demokrasi seperti ini memungkinkan partisipasi secara luas dan menghindari terjadinya oligarki elite dalam pengambilan keputusan. Demokrasi deliberatif juga menghindari kompetisi individual memperebutkan posisi pemimpin dalam proses pemilihan (voting) langsung, sehingga akan mengurangi praktik-praktik teror, kekerasan, money politics, KKN dan seterusnya. Demokrasi deliberatif merupakan varian lain dalam demokrasi partisipatoris. Gagasan tentang demokrasi deliberatif sebenarnya merupakan jembatan antara ekstrem kananliberal (demokrasi perwakilan) dengan ekstrem kiri-radikal (demokrasi partisipatoris). Demokrasi deliberatif bahkan bisa dikatakan sebagai bentuk perluasan dari demokrasi perwakilan. Lebih jauh lagi gagasan demokrasi deliberatif berangkat dari pemikiran “kontrak sosial” Rousseauian, dengan sebuah keyakinan bahwa kebaikan bersama (common good) dapat dipastikan dan dipromosikan melalui proses yang demokratis. Karya Jurgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi teorisasi demokrasi deliberatif. Setidaknya ada tiga argumen penting Habermas yang menyokong teorisasi demokrasi deliberatif yang dia bangun berdasarkan narasi sosiologi-sejarah tentang kemunculan, perubahan, dan disintegrasi ruang publik kaum borjuis. Pertama, demokrasi memerlukan arena ekstra-politik dalam masyarakat politik yang di dalamnya ia mengembangkan dan mensosialisasikan sebagian besar orang, khususnya kelompok yang kurang memperoleh perhatian. Kedua, sebuah ruang publik yang kritis diperlukan 26
untuk menjembatani kesenjangan yang tumbuh antara masyarakat sipil dan basis sentralitasnya dalam perdebatan demokrasi deliberatif. Ketiga, demokrasi semakin rusak dan mengalami pembusukan ketika ia dilembagakan secara formal. Demokrasi deliberatif adalah sebuah asosiasi yang memiliki banyak urusan yang dikelola dengan deliberasi publik di antara para anggotanya, sekaligus sebuah asosiasi yang memiliki sejumlah anggota yang saling berbagi komitmen untuk menyelesaikan masalah dan menentukan pilihan kolektif melalui dialog publik (Cohen, 1989). Pada umumnya penganjur demokrasi deliberatif sepakat bahwa proses politik seharusnya berbasis pada gaya “berpusat pada pembicaraan” (talk-centric) dalam pembuatan keputusan ketimbang pada gaya “berpusat pemungutan suara” (voting centric); dan hasil-hasil keputusan seharusnya ditentukan dengan argumen-alasan ketimbang pada jumlah (Bohman, 1997; Chamber, 1999). Prinsip dasar demokrasi deliberatif adalah sebuah proses pelibatan publik dalam membuat keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Proses ini berbeda sekali dengan demokrasi perwakilan yang di dalamnya publik dilibatkan hanya sebagai pemilih yang memilih elite yang selanjutnya akan membuat keputusan. Ia juga berbeda sekali dengan demokrasi langsung yang di dalamnya publik membuat keputusan sendiri, tetapi melakukannya dengan sedikit atau tanpa permusyawaratan kolektif atau konfrontasi pandangan alternatif pada persoalan-persoalan itu. Di antara sejumlah pengertian tentang deliberasi dan demokrasi deliberatif, Konsorsium Demokrasi Deliberatif memberikan pengertian yang lebih praksis berikut ini: Deliberasi adalah sebuah pendekatan pembuatan keputusan yang memungkinkan warga menganggap fakta-fakta yang relevan dari begitu banyak cara pandang, melakukan diskusi antara satu dengan lainnya untuk berpikir kritis tentang banyak pilihan sebelum mereka memperluas perspektif, opini dan pemahaman. Demokrasi deliberatif memperkuat suara warga dalam tata pemerintahan dengan cara memasukkan rakyat dari semua ras, kelas, umur, maupun asal-usul dalam proses deliberasi yang secara langsung mempengaruhi keputusan publik. Sebagai hasilnya, pengaruh warga – dan dapat melihat hasil pengaruh mereka atas – keputusan kebijakan dan sumberdaya yang berdampak terhadap kehidupan mereka sehari-hari dan masa depan mereka (Deliberative Democracy Consortium, 2003 dikutip oleh Janette Hartz-Karp, 2005). Demokrasi membutuhkan permusyawaratan karena tiga alasan: (1) memungkinkan warga mendiskusikan isu-isu publik dan membentuk opini; (2) memberikan pemimimpin demokratis wawasan yang lebih baik mengenai isu-isu publik ketimbang yang dilakukan oleh pemilihan umum; dan (3) membungkinkan warga memberikan justifikasi pandangan mereka sehingga kita bisa mengidentifikasi pilihan yang baik dan yang buruk (Levine, 2003). Janette Hartz-Karp (2005) mengidentifikasi demokrasi deliberatif butuh beberapa hal: (1) pengaruh: kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dan pembuatan keputusan; (2) keterbukaan (inclusion): perwakilan warga, keterbukaan pandangan dan nilai-nilai yang beragam, serta kesempatan yang sama untuk berpartipasi; (3) deliberasi: komunikasi terbuka, akses informasi, ruang untuk memahami dan membingkai ulang berbagai isu, saling menghormati, dan gerakan menuju konsensus. 27
Gagasan demokrasi deliberatif tentu tidak bermaksud menyingkirkan model demokrasi formal, tetapi hendak menjawab krisis demokrasi formal-liberal, memperluas ruangruang demokrasi, sekaligus menjawab kesenjangan antara politik formal dengan kehidupan politik sehari-hari. Jika demokrasi formal (yang dibangun melalui proses elektoral) hanya mampu menjangkau legalitas formal-prosedural, maka demokrasi deliberatif berupaya memperkuat legitimasi demokrasi. Beberapa penganjurnya menyatakan bahwa model demokrasi deliberatif dikembangkan sebagai bentuk respon atas kelemahan teori dan praktik demokrasi liberal, sekaligus mengedepankan perspektif kritis terhadap institusi perwakilan liberal. Pada prinsipnya, jika demokrasi liberal berupaya memperkuat “demokrasi representatif” melalui institusi-institusi perwakilan dan prosedur elektoral, maka demokrasi deliberatif berupaya mengembangkan “demokrasi inklusif” yang membuka akses partisipasi warga. Jika pandangan demokrasi liberal sangat percaya pada kompetisi melalui proses agregasi politik (misalnya pemilihan umum), maka pandangan demokrasi deliberatif lebih menekankan forum publik sebagai arena diskusi politik menuju kebaikan bersama. Dengan demikian, demokrasi deliberatif hendak mendemokrasikan demokrasi, seraya memperluas ruang-ruang demokrasi yang bergerak dari institusi formal, lembaga perwakilan maupun prosedur elektoral menuju ruang-ruang yang lebih dekat dengan masyarakat. Apa relevansi tiga aliran demokrasi itu bagi Papua? Papua mempunyai karakter komunalisme berbasis adat, yang berpotensi menjadi komunitarianisme. Individualisme dan kebebasan individu bukan nilai dan orientasi utama, melainkan setiap individu terikat dan tergantung pada komunitas mulai dari kampung hingga provinsi. Partai lokal yang mengutamakan liberalisme sebenarnya tidak kompatibel dengan masyarakat komunitarian. Jika partai lokal dibangun atas dasar etnisitas maka akan menimbulkan fragmentasi dan konflik yang semakin tajam, yang jauh lebih tajam bila dibanding dengan konflik kesukuan dalam pilkada langsung. Namun proses yang liberal seperti pemilihan umum, DPRP maupun pilkada tidak bisa dihindari, sebab ini merupakan metode paling gampang dan jelas untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin. Menentukan gubernur tentu tidak bisa menggunakan mekanisme musyawarah, melainkan dengan mekanisme elektoral yang mensyaratkan satu orang satu suara. Pemilihan umum merupakan proses yang terbaik untuk menentukan pemimpin politik, yang tentu lebih baik daripada sistem karir atau pengangkatan. Pemilihan umum memungkinkan pergantian kekuasaan secara berkala dan membuka akses aktor-aktor baru dalam arena kekuasaan. Pemilihan umum memungkinkan partisipasi rakyat secara langsung untuk menentukan pemimpin sesuai dengan kehendak mereka. Tetapi keyakinan yang berlebihan kepada pemilihan umum justru menjadi jebakan yang menyesatkan. Pemilihan umum tentu hanya sebuah proses “demokrasi berkala” untuk membentuk demokrasi formal, yang dalam proses itu rakyat hanya bisa memberikan dukungan dan pilihan (voting). Padahal demokrasi yang lebih substantif adalah proses demokrasi sehari-hari (everyday-life democracy) yang terkait langsung dengan suara (voice) masyarakat serta proses pembuatan keputusan yang bakal mengikat rakyat. Jebakan demokrasi elektoral itu bisa membuat kekecewaan yang luar biasa. Demokrasi elektoral bisa saja berlangsung secara demokratis, tetapi ia hanya berhenti pada pembentukan demokrasi formal. Setelah itu, demokrasi sehari-hari, terutama proses
28
pembuatan keputusan tidak lagi berlangsung secara demokratis dan jauh dari partisipasi rakyat. Spirit republikenisme juga tampak pada MRP sebagai bentuk representasi yang berbasis komunitarianisme. Demikian juga dengan tindakan afirmatif terhadap orang asli Papua. Namun afirmasi ini hanya langkah awal untuk menuju kewargaan yang sempurna dan permanen. Karena itu afirmasi tidak boleh berlangsung secara permanen, karena ia mengandung diskriminasi positif. Tradisi kewargaan akan terbangun jika ada kesadaran baru setiap orang asli Papua hadir sebagai warga yang saling bergantung satu sama lain yang mampu melampaui ikatan komunitarian, membangun organisasi warga, sebagai wadah representasi popular untuk memperhatikan isu-isu publik, serta memperjuangkan kepentingan publik yang melampaui perjuangan identitas. Di setiap tempat, di setiap kampung, bisa menjadi arena diskusi atau musyawarah yang digunakan untuk membicarakan dan mengambil keputusan tentang isu pembangunan, pelayanan publik, ekonomi dan seterusnya.
29
BAB III TINJAUAN EMPIRIK
Konteks dan Kondisi Umum Secara umum konteks dan kondisi awal sekitar kelahiran Otsus Papua ditandai oleh dua hal, yaitu (1) situasi politik dan keamanan Papua yang terus dengan diwarnai berbagai bentuk konflik dan kekerasan, (2) kebijakan pembangunan Papua yang masih menciptakan kesenjangan (ketimpangan) sehingga nampak masih terbelenggu kemiskinan dan keterbelakangan. Situasi politik dan keamanan (Polkam) Papua. Situasi Polkam Papua diwarnai wacana status politik Papua dalam NKRI. Wacana yang diikuti sikap terhadap status politik Papua ini ditandai dengan pemunculan oleh polarisasi golongan (kelompok) prointegrasi dan kontra-integrasi. Situasi ini bisa disebut sebagai perbedaan sejarah integrasi. Kesenjangan persepsi terhadap sejarah tersebut sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Tercatat 2 (dua) kali Pemerintah Indonesia gagal memasukan wilayah Papua ke dalam NKRI yakni melalui Konprensi Malino 1946 dan Konprensi Meja Bundar di Den Haag pada 22 Desember 1949. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa seluruh bekas jajahan Belanda adalah wilayah Republik Indonesia, kecuali Papua Barat akan dikembalikan Belanda ke pangkuan NKRI 2 (dua) tahun kemudian. Setelah itu Pemerintah Belanda telah memisahkan daerah Papua dari Hindia Belanda untuk mempersiapkan Papua dan penduduknya untuk Pemerintahan mereka sendiri yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama 10 tahun rencana pembangunan yang dibuat oleh Belanda pada tahun 1950, UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority – Pemerintahan Sementara di bawa kekuasaan PBB) yang bertanggung jawab dalam periode transisi. Sejalan dengan hal di atas, beberapa persiapan telah dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum yang penting; Pemerintah Belanda menunjuk anggota masyarakat lokal yang terpilih di Papua sebagai 50% dari Nieuw Guinea Raad (legislatif), bendera bintang Kejora berkibar berdampingan dengan bendera Belanda, dan pengenalan lagu kebangsaan Papua “Hai Tanahku Papua”. Akan tetapi, “Perjanjian New York” pada tahun 1962 yang tidak melibatkan seorangpun dari Papua, dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland Nieuw Guinea (Papua) dari Belanda ke Indonesia. Pada tahun 1964 orang asli Papua elite yang berpendidikan Belanda meminta bahwa Papua harus bebas tidak hanya dari Belanda tetapi juga dari Indonesia. Pemungutan suara “pilihan bebas” (free choice) yang diterapkan oleh PBB dilaksanakan pada tahun 1969 dengan melibatkan lebih dari 1000 kepala suku yang dipilih sebagai perwujudan dari “konsultasi” lokal (dari perkiraan jumlah penduduk pada saat itu sebanyak 800.000 orang), dan bukannya dengan mengadakan pemungutan suara; satu orang satu suara. Masalah keterwakilan politik di atas terkait dengan pendekatan tanpa melibatkan partisipasi penduduk Papua dalam proses pembuatan keputusan dalam keberadaan hidup mereka.Hal tersebut di atas berakibat pada keluhan-keluhan bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia. Sementara bagi golongan pro-integrasi, 30
bahwa proses integrasi Papua dalam NKRI adalah final, dengan hasil Pepera 1969. dengan PBB akhirnya mengesahkan hasil PEPERA dengan sebuah Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2504 tanggal 19 Oktober 1969. Situsi polkam Papua juga ditandai dengan berbagai gejala dalam bentuk gerakan politik, baik dalam bentuk organisasi maupun tanpa bentuk organisasi (kelompok) sampai perorangan (individu). Selain gerakan politik, juga perlawanan bersenjata. Kesenjangan Pembangunan. UU Otsus Papua telah memberikan pertimbangan faktual yang mendasar tentang kelahirannya. Pertimbangan faktual tersebut sebagaimana dimaksud dalam bagian menimbang UU Otsus Papua huruf a sampai huruf k yang selengkapnya dikutip sebagai berikut : 1. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilainilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar; 3. bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang; 4. bahwa integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan daerah Otonomi Khusus; 5. bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri; 6. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua 7. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain, serta merupakan pengabaian hakhak dasar penduduk asli Papua; 8. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 31
9. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilainilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara; 10. bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua; 11. bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua; Alasan penting kelahiran Otsus Papua dilandasi oleh 7 (tujuh) nilai dasar yaitu (1) perlindungan terhadap hak-hak dasar penduduk asli Papua, (2) demokratisasi dan kedewasaan berdemokrasi, (3) penghargaan terhadap etika dan moral, (4) penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, (5) supremasi hukum, (6) penghargaan terhadap pluralisme, dan (7) persamaan kedudukan, hak dan kewajiban sebagai warga negara.22 Berdasarkan pertimbangan faktual tersebut, maka hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah: (1) pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan; (2) pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; (4) mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri: a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan; b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.23
22
Lihat Agus Sumule (Ed), Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Provinsi Papua, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, h. 52 23 Agus Djojosoekarto, dkk, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Kemitraan partnership, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Menara Eksekutif lt. 10. Jakarta, www.kemitraan.or.id
32
Evaluasi dan Analisis Pelaksanaan Otsus Papua Setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diterbitkan, dan mulai dilaksanakan sejak tanggal 1 Januari 2002, segenap Bangsa Indonesia berharap dapat menyaksikan perubahan-perubahan positif yang terjadi di Papua. Gejolak yang pernah dialami, secara politis diharapkan mampu diredam melalui kebijakan tersebut. Kebijakan ini pun dianggap dapat menjawab berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan pembangunan Papua yang tertinggal. Manfaat Otsus Untuk Masyarakat Papua. Pada awalnya Otsus dianggap sebagai berkah besar untuk masyarakat Papua. Masyarakat memiliki ekpektasi yang sangat besar bahwa Otsus akan meningkatkan derajat kehidupan mereka. Apalagi dalam UU Otsus banyak sekali penekanan tentang hak-hak mendasar orang Papua yang harus dipenuhi. Hal ini ditambah lagi dengan keberadaaan dana Otsus yang jumlahnya cukup besar. Tetapi kenyataannya, para narasumber nyaris satu suara dalam hal ini, kenyataan yang diterima oleh masyarakat tidak sebesar ekpektasi mereka Permasalahan mendasar Otsus, selain masalah Perdasus, berkaitan dengan rencana strategis Provinsi yang tidak terkomunikasikan dengan baik dan terbuka pada seluruh masyarakat, termasuk elemen lembaga masyarakat sipil. Keadaan semacam itu memberi penguatan pada penyebab bahwa Otsus belum banyak membawa perubahan terhadap tingkat kehidupan masyarakat Papua. Masyarakat mendengar ada Otsus, dana Otsus dan janji-janji perbaikan kesejahteraan tetapi masyarakat mungkin ada yang belum pernah merasakan manfaatnya. Pilar penting dalam UU Otsus seperti pemenuhan hak-hak mendasar orang Papua tidak dibarengi dengan penafsiran yang jelas dan detail sehingga pada tataran impelementasi problematis. Penggelontoran dana langsung, justru kontraproduktif. Dana tersebut (dalam bentuk tunai, freeze money) habis untuk konsumsi dan bukan produktif. Model pengelolaan dana tunai tersebut seperti mematikan potensi inovasi dan kewirausahaan masyarakat Papua. . Pada beberapa hal, memang ada pembangunan di Papua. Tetapi proyek-proyek pembangunan tersebut hanya memperbesar cash outflow bukan cash inflow, karena miskin output yang benar-benar berasal dari Papua. Inefesiensi itu selama ini memang tidak terlihat karena lagi-lagi bisa tertutup dengan dana Otsus yang besar. Dalam kaitan itu penting untuk mengetahui tentang pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus Papua. Terlepas dari sinyalemen negatif dalam kaitannya dengan Otsus dan perbaikan kehidupan masyarakat Papua, tentu saja tetap ada pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus ini. Sebagian besar elit birokrat Papua sebagai pihak yang diuntungkan dengan adanya Otsus yang belum terimplementasi dengan baik ini. Lebih luas lagi termasuk mereka yang terlibat dalam kebijakan ini seperti DPRP, pemerintah kabupaten hingga aparat tingkat bawah. Besarnya alokasi dana Otsus untuk birokrasi pada tahun-tahun awal pelaksanaan Otsus adalah salah satu alasan kenapa mereka menunjuk elit birokrat lokal. Ditambah lagi dengan banyaknya alokasi dana Otsus yang dinilai kurang jelas dan untuk proyek-proyek yang tidak pernah dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Selain elit birokrat lokal, pemerintah pusat juga diuntungkan dengan Otsus ini. Menurut mereka, setelah memberikan Otsus, pemerintah pusat seolah bisa lepas tangan dan menganggap permasalahan Papua telah selesai. Pemberian Otsus memperkuat 33
posisi politik Jakarta terhadap Papua. Pemerintah pusat punya alasan logis untuk menindak setiap gerakan yang dianggap berpotensi menumbuhkan disintegrasi di Papua sebab Otsus telah diberikan. Beberapa tokoh juga menunjuk pihak swasta juga meraup untung dari Otsus ini. Selain dari proyek-proyek yang diberikan oleh pemerintah mereka juga mendapatkan peluang dari kewenangan kultural yang didapatkan kembali oleh kepala suku (Ondoafi) terhadap tanah ulayat. Realitas ini terasa kontraproduktif tetapi kenyatan itulah yang terjadi. Beberapa pihak swasta dengan mudah mendapatkan tanah ulayat untuk kepentingan usaha setelah melakukan pendekatan dengan kepala suku yang justru tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah. Kesiapan Pemerintah Dalam Era Otsus. Regulasi, struktur dan sistem pengawasan adalah hal-hal yang disoroti oleh narasumber wawancara dalam menyoal kesiapan pemerintah terutama pemerintah provinsi Papua dalam melaksanakan Otsus. Ketidaksiapan regulasi tergambarkan dalam mandegnya penyusunan perdasus yang berimplikasi pada masalah implementasi Otsus. Struktur pelaksana Otsus juga mendapatkan sorotan karena tidak banyak mengalami perubahan setelah Otsus. Pandangan para tokoh Papua terhadap realitas Otonomi Khusus Papua itu memang cukup beralasan jika dicermati berdasarkan fakta yang terjadi akhir-akhir ini. Hanya saja, sebenarnya ada sejumlah pihak yang telah ikut memberikan sumbangsi pemikiran bagi perbaikan Otsus Papua dan pasang surut hubungan Papua-Jakarta. Menurut penulis ada (empat) faktor-faktor yang menyebabkan otonomi khusus gagal di Papua. Permasalahan pertama, bahwa kegagalan implementasi pembangunan berkenaan kebutuhan dasar, terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Diantaranya adalah rumah sakit yang minim obat dan dokternya, serta sekolah-sekolah pun masih minim guru, pelayanan publik di bidang kesehatan dan pendidikan di Papua sangat mengkhatirkan. Permasalahan kedua, terjadi tumpang tindih peraturan perundang-undangan (in casu kebijakan pemerintahan) yang dikeluarkan pemerintah pusat dengan perdasus dan perdasi (kebijakan pemerintah daerah). Permasalahan ketiga, adalah berkaitan dengan kelembagaan Otsus penting yang diamanatkan dalam UU Otsus belum terbentuk (belum ada) di Papua; Kelembagaan dimaksud seperti, lembaga pengadilan HAM, lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), belum berjalannya peradilan adat Papua. Masalah kelembagaan pemerintah juga tidak harmonis antara Pemerintah Daerah, MRP dan DPRP. Keempat, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik orang Papua, Permasalahan ini menyangkut dimensi politik, yang berkenan dengan proses integrasi Papua ke dalam bagian NKRI antara pro dan kontra. Kelima, diskriminasi terhadap orang asli Papua, dan seringkali dijumpai perilaku kekerasan aparat negara terhadap orang Papua di masa lalu. Kondisi ini terekam dalam memoria-passionis yang dalam wujudnya dapat berubah menjadi gerakan militansi perlawanan. Keenam, problem menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian dan pengelolaan dana Otsus sejauh ini tidak dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat hadirnya sebuah Perdasus. Selama ini pembagian dana Otsus terkesan dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran. Masih diragukan bahwa struktur APBD Papua, kuota dana 30% untuk pendidikan dan 15% untuk kesehatan. Hal lain yang masih dipertanyakan 34
adalah dasar hukum pemberian atau pembagian dana Otsus yang besarnya 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat. Ketimpangan pembangunan Papua yang menyulut beragam masalah harapannya juga dapat dikurangi dan masyarakat Papua menjadi lebih sejahtera. Terlebih setelah terjadi pemekaran Provinsi Papua menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat pada tahun 2003 yang sempat mengalami tarik ulur selama beberapa tahun dan baru diresmikan pada tahun 2008 melalui penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008. Filosofi pemekaran daerah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sejalan dengan pelaksanaan otonomi khusus Papua. Secara normatif, terdapat beberapa agenda utama yang ingin dicapai melalui kebijakan khusus ini. Pertama adalah agenda untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli melalui pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua dan Papua Barat yang sebelumnya dinilai belum digunakan secara optimal dan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Papua. Paralel dengan agenda tersebut adalah pengurangan kesenjangan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Provinsi lainnya. Kedua adalah agenda mewujudkan keadilan, dalam konteks kebijakan khusus ini adalah keadilan ekonomi dalam hal penerimaan hasil-hasil sumber daya alam Papua. Keadilan dalam konteks tersebut diterjemahkan dalam aspek dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah Papua/Papua Barat, sementara untuk keadilan dalam konteks pembangunan secara lebih luas akan tampak dari capaian agenda pertama. Ketiga adalah penegakan Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, serta pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar. Keempat adalah penerapan tata kelola pemerintahan yang baik melalui pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas, serta dukungan kelembagaan dan kebijakan yang memungkinkan tercapainya ketiga agenda sebelumnya. Itikad pemerintah dalam mendukung agenda otonomi khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat terindikasi kuat dari meningkatnya jumlah dana Otonomi Khusus yang dialirkan ke kedua Provinsi. Dari sejak dana Otonomi Khusus digulirkan pada tahun 2002 sebesar Rp. 1,38 T, meningkat tajam pada tahun 2010 sebesar Rp. 2,69 T untuk Papua. Adapun Papua Barat yang mulai mendapatkan dana Otonomi Khusus sejak tahun 2009 setelah secara resmi dimekarkan dari Provinsi Papua. Peningkatan dana otonomi khusus dari tahun ke tahun ini seyogyanya mendorong peningkatan pelaksanaan otonomi khusus di kedua Provinsi. Setidaknya terdapat empat program prioritas yang dilaksanakan untuk memacu perkembangan pembangunan rakyat dan daerah Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, serta pembangunan infrastruktur. Namun demikian cerita tentang Papua masih banyak didominasi atas keprihatinan yang dirasakan atas hasil-hasil pelaksanaan otonomi khusus Papua dan Papua Barat. Namun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya pelajaran positif yang dapat diambil sepanjang pelaksanaan otonomi khusus yang hampir mencapai satu dekade ini.
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG OTONOMI KHUSUS24 24
MRP, Evaluasi Otsus Papua dan Papua Barat, Jayapura, 2013.
35
Bidang Pendidikan. Salah satu tujuan Negara Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Mencerdaskan kehidupan bangsa secara operasional diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan bekerja dibawah jaminan UUD 1945 maka setiap warga Negara Indonesia diharapkan mengenyam pendidikan tingkatan tertentu. Dengan demikian prasyarat minimal, seperti membaca, menulis, dan berhitung dipahami oleh tiap warga negara. Orang Asli Papua yang sudah menjadi warga Negara Indonesia sejak dianeksasi tahun 1963 mempunyai hak yang sama dengan warga Negara Indonesia yang lain untuk sekurang-kurangnya mampu untuk membaca, menulis, dan berhitung sesudah mengenyam pendidikan tingkatan tertentu. Dalam diskusi “Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat dengan Orang Asli Papua” pada tanggal 25-27 Juli 2013 diketahui, bahwa masalah pendidikan mendapat sorotan tajam karena bidang pendidikan diketahui menggunakan dana 30%. Terungkap secara jelas, bahwa dana pendidikan yang diperuntukkan untuk bidang pendidikan selama ini tidak sebesar 30%. Artinya, dana yang diberikan kepada bidang pendidikan dibawah nilai 30%. Oleh karena itu,Orang Asli Papua berpendapat, bahwa pendidikan bagi Orang Asli Papua harus diberi perioritas agar Index Pembangunan Manusia (IPM) Papua meningkat menjadi lebih baik. Pada masa sekarang (2011) IPM Provinsi Papua berada pada 64,94% sementara IPM Provinsi Papua Barat berada pada posisi 69,15%. Kondisi ini sangat mengecewakan bahkan sangat menyedihkan. Berikut ini dirumuskan beberapa masalah dan harapan Orang Asli Papua dibidang pendidikan. a.
Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Pendidikan 1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang lemah. 2) Kurangnya guru versus penempatan dan pengaruh langsung selama ini dari sektor politik serta pengaruh kehidupan perkotaan yang sangat kuat. 3) Ketidaksungguhan membangun pendidikan. 4) Ketidaksungguhan menjadi guru dan pendidik. 5) Keterbatasan fasilitas. 6) Kurang adanya perhatian serius kepada lembaga penyelenggara pendidikan swasta 7) Alokasi dana Otonomi Khusus yang sebanyak 30 % belum maksimal. 8) Pemberian beasiswa diberikan tidak berdasarkan peruntukannya dan tidak berpihak kepada Orang Asli Papua.
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Pendidikan 1) Diharapkan terjaminnya pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien.
36
2) Diharapkan kualitas dan jumlah guru terjamin dan ditingkatkan secara kontinu sesuai kebutuhan. 3) Diharapkan guru memiliki moral baik untuk menjadi pengajar dan pendidik. 4) Diharapkan tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai. 5) Diharapkan adanya Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Papua. 6) Diharapkan memberi perhatian serius kepada lembaga penyelenggara pendidikan swasta. 7) Alokasi dana pendidikan sesuai harapan. 8) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua di bidang pendidikan secara serius. 9) Diharapkan pemerintah melakukan evaluasi pemberian beasiswa dengan memperhatikan identitas mahasiswa sebagai Orang Asli Papua. Kondisi pendidikan di Papua akan membaik ketika pemanfaatan dana pendidikan berdasarkan peruntukannya dan memberi perioritas pada peningkatan kualitas dan jumlah guru. Membangun strategi kemitraan antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan lembaga penyelenggara pendidikan swasta yang bekerja di Tanah Papua. Membangun sistem pengawasan terhadap penggunaan dana pendidikan dan pengawasan berkelanjutan terhadap penyelenggaraan pendidikan sehingga output dari kegiatan pendidikannya bermutu tinggi. Bidang Kesehatan. Derajat kesehatan manusia ditentukan oleh faktor-faktor, seperti lingkungan fisik (air,udarah, tanah, iklim) dan lingkungan sosial (kebudayaan, pendidikan, ekonomi, dan lain-lain, perilaku, fasilitas kesehatan, genetika atau keturunan, tradisi, dan pelayanan kesehatan (pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan perawatannya). Faktor-faktor kesehatan tersebut diatas perlu mendapat sentuhan dua langkah penting, yaitu langkah strategi dan langkah kebijakan politis. Kedua langkah tersebut dibutuhkan guna mendukung perbaikan dan peningkatan derajat kesehatan penduduk suatu daerah. Akhir-akhir ini sentuhan strategi dan kebijakan politik di bidang kesehatan sedang mendapat perhatian. Namun, kondisi kesehatan yang terjadi pada masa sekarang adalah dominasi kepercayaan Orang Asli Papua kepada pengobatan penyakit secara etnomedisin, sebaliknya pengobatan medis modern kurang diminati. Hal ini karena alasan mahalnya biaya pengobatan secara medis modern, dan terbatasnya akses masyarakat kurang mampu kepada layanan kesehatan (Puskesmas Pembantu, Puskesmas, dan RSUD). Oleh karena itu, timbul berbagai masalah kesehatan di Papua yang wajib mendapat perhatian serius dari Pemerintah Provinsi dan semua stakeholder yang ada. Dengan demikian derajat kesehatan dapat ditingkatkan menjadi kondisi yang sehat dan lebih baik.
37
1. Deskripsi Bidang Kesehatan a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Kesehatan 1) Status kesehatan ibu dan anak yang masih rendah. 2) Status gizi masyarakat rendah. 3) Angka kesakitan penyakit menular, terutama HIV/AIDS tinggi, Malaria, TB Paru, DBD, dan Diare. Selain itu, penyakit seperti filariasis, kusta, fan framboesia juga kembali meningkat. 4) Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan terbatas serta akses masyarakat terhadap fasilitas dan layanan kesehatan yang berkualitas rendah. 5) Kompetensi, jumlah, dan sebaran sumber daya manusia tenaga kesehatan rendah. 6) Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat dalam promosi dan prevensi penyakit. 7) Terbatasnya kemampuan manajerial Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sekaligus Rumah Sakit. 8) Rendahnya alokasi dana Otonomi Khusus untuk bidang kesehatan. b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Kesehatan 1) Diharapkan adanya keberpihakan dalam hal pemberdayaan sumber daya manusia bidang kesehatan. 2) Diharapkan adanya jaminan regulasi dan kebijakan kesehatan yang berpihak kepada Orang Asli Papua. 3) Diharapkan adanya peningkatan sarana-prasarana dan infrastruktur fasilitas kesehatan. 4) Diharapkan status kesehatan ibu dan anak meningkat. 5) Diharapkan status gizi dapat ditingkatkan. 6) Diharapkan dapat mengurangkan angka kecenderungan peningkatan dari penyakit menular dan tidak menular. 7) Diharapkan kemampuan manajerial Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit dapat ditingkatkan. 8) Diharapkan adanya peningkatan alokasi dana Otonomi Khusus di bidang kesehatan. 9) Diharapkan segera dilakukan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan di tempat yang netral. 2. Kesimpulan Bidang Kesehatan Perbaikan derajat kesehatan Papua dapat terlaksana ketika para pihak memperhatikan faktor-faktor penentu seperti lingkungan fisik dan lingkungan sosial, perilaku, fasilitas kesehatan, genetika atau keturunan, tradisi, dan pelayanan kesehatan. Selain itu, tersedianya sumber daya manusia kesehatan yang berkualitas, dan tersedianya alokasi dana kesehatan yang signifikan. Kemudian diikuti oleh sikap pemerintah dalam membuat langkah-langkah strategis dan mewujudnyatakannya 38
dalam kebijakan politiknya. Dengan demikian derajat kesehatan Manusia Papua dapat terangkat dan dapat melakukan berbagai aktivitas sosialnya dengan dan dalam kondisi sehat. A. Bidang Ekonomi 1. Pengantar Standar sejahtera bagi Orang Asli Papua hingga belum ditentukan prasyarat minimalnya berdasarkan perkembangan status ekonomi nasional dan global. Kalau dalam pandangan budaya Orang Asli Papua standar sejahtera adalah tersedianya makanan yang cukup, pakaian yang cukup, dan tersedianya rumah tinggal. Namun, standar minimal yang diharapkan oleh Orang Asli Papua berdasarkan perubahan jaman yang terjadi di Tanah Papua, maka standar minimal sejahtera bagi Orang Asli Papua adalah income per kepala keluarga minimal mencapai Rp. 4.000.000;, adanya rumah sehat untuk tiap keluarga, dan anggota keluarga bebas buta aksara dan angka. Dalam rangka mewujudkan standar harapan itu pun timbul begitu banyak persoalan yang sangat krusial dibidang ekonomi kerakyatan. Bahkan Orang Asli Papua berpendapat, bahwa kota-kota yang berkembang pesat di Tanah Papua merupakan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi kaum migran di Tanah Papua, sementara Orang Asli Papua hanya menjadi obyek dari proses pertumbuhan yang sedang terjadi. Oleh karena itu, beberapa gagasan yang dianggap masalah dan harapan Orang Asli Papua dapat dirumuskan pada bagian berikut. 2. Deskripsi Bidang Ekonomi a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Ekonomi 1) Rendahnya jiwa kewirausahaan dan penguasaan bisnis karena proteksi afirmatif tidak dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah Papua. 2) Lemahnya infrastruktur pendukung usaha. 3) Lemahnya sumber daya manusia, aspek produksi, manajemen, permodalan dan investasi, akses pasar, akses informasi, teknologi dan desain, dan daya saing. 4) Sentra produksi komoditi unggulan yang ditangani Orang Asli Papua belum berkembang. 5) Tidak dilakukan pemberdayaan ekonomi kerakyatan secara khusus terhadap Orang Asli Papua. 6) Tidak tersedia kemudahan “peluang dan jaminan kredit” pada bank-bank di Tanah Papua bagi Orang Asli Papua, bahkan “nilai keraguan” untuk memberi kredit menjadi persepsi negatif untuk tidak memberikan kemudahan dalam melakukan kredikit usaha. 7) Tingkat kepercayaan dari bank-bank terhadap pengusaha Orang Asli Papua sangat rendah dan sangat lemah, sehingga standar kriteria yang ditentutkan oleh bank-bank tidak dapat dicapai oleh Orang Asli Papua. 39
8) Belum tersedianya regulasi yang menjamin usaha dan sumber usaha Orang Asli Papua selama ini. 9) Alokasi dana Otonomi Khusus untuk bidang ekonomi kerakyatan di Papua tidak jelas dalam peruntukannya. b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Ekonomi 1) Diharapkan terjadi pertumbuhan wirausaha Orang Asli Papua. 2) Diharapkan terjadi peningkatan produktivitas pelaku usaha Orang Asli Papua dibidang, yaitu KUKM, IK, IM, IB. 3) Diharapkan terjadi kegiatan ekonomi Orang Asli Papua memberi sumbangan sektor industri, perdagangan, koperasi dan UKM dalam pembentukan Produk Domestik Bruto. 4) Diharapkan pengusaha Orang Asli Papua melakukan aktivitas ekspor dengan nilai ekspor atas produk-produknya. 5) Diharapkan Orang Asli Papua mempunyai kemampuan berinvestasi. 6) Jumlah koperasi aktif, melaksanakan rat dengan proporsi dari koperasi aktif, dan volume usaha koperasi rata-rata meningkat per tahunnya. 7) Diharapkan tersedianya “Lembaga Penjaminan Kredit” untuk Orang Asli Papua. 8) Diharapkan tersedianya jaminan regulasi delegatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus di bidang ekonomi Orang Asli Papua. 9) Diharapkan adanya kejelasan dan kepastian mengenai nilai atau prosentase alokasi dana Otonomi Khusus di bidang ekonomi kerakyatan. 10)Diharapkan terjadi dialog Jakarta-Papua mengenai masalah-masalah Orang Asli Papua khususnya bidang ekonomi. 3. Kesimpulan Bidang Ekonomi Standar “sejahtera” bagi Orang Asli Papua tidak hanya bersifat “wacana”, “imajinatif”, dan “pernyataan” dalam perspektif politik saja, tetapi haruslah diwujudkannyatakan menjadi kenyataan dalam kehidupan Orang Asli Papua. Solusi untuk mencapai standar sejahtera adalah melalui dukungan regulasi delegatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus dan kebijakan politik dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua. Dalam rangka mengimplementasikannya masalah-masalah ekonomi sebagai solusi yang afirmatif maka dibutuhkan perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua yang diberi tempat khusus dalam pembuatan kebijakan ekonomi di Tanah Papua. B. Bidang Infrastruktur 1. Pengantar Sejak masa perdana aneksasi Orang Asli Papua kedalam Negara Republik Indonesia sudah mempersoalkan masalah infrastruktur. Sejak tahun 1970 sampai dengan 2013 tidak sedikit kekayaan Orang Asli Papua yang diambil oleh
40
Negara Republik Indonesia. Pengambilan kekayaan Orang Asli Papua itu tidak setara dengan nilai yang ditinggalkan dalam bentuk infrastruktur. Infrastruktur yang sudah dibangun saja masih memperlihatkan kondisi rusak, tidak ada perawatan berkelanjutan dan ditinggalkan begitu saja, karena kawasasan tertentu tidak lagi menghasilkan komoditi yang menguntungkan bagi pengusaha tertentu. Anehnya lagi, selama masa-masa pengambilan sumber daya alam Papua itu juga tidak dilakukam pemberdayaan Orang Asli Papua di wilayah eksploitasi sehingga pasca eksploitasi kondisi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat hukum adatnya tidak memperlihatkan peningkatan atau tidak terjadi perubahan yang signifikan. Berbeda dengan ibukota atau pusat-pusat Kabupaten/Kota se-Tanah Papua, dimana jalan-jalan, jembatan, bangunan publik, dan kendaraannya sangat padat dan secara terus-menerus terjadi peningkatan kondisi infrastrukturnya. Oleh karena itu, beberapa masalah dan harapan yang diungkapkan oleh Orang Asli Papua dapat dijabarkan dalam beberapa poin berikut ini. 2. Deskripsi Bidang Infrastruktur a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Infrastruktur 1) Kegiatan pelaksanaan pembangunan dibidang infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan kendaraan tidak mengalami pertumbuhan dan peningkatan secara merata diseluruh Tanah Papua; 2) Kegiatan pelaksanaan pembangunaa dibidang infrastruktur fasilitas umum, seperti perumahan rakyat, pasar, rumah sakit/Puskesmas/Puskesmas Pembantu, sekolah (SD, SMP, SMA, PT), jalan, pelabuhan, lapangan terbang, air bersih, listrik, telepon, persampahan tidak efektif dan efisien dalam pelaksanaannya. 3) Perhitungan jangka waktu bertahannya sebuah bangunan infrastruktur tertentu paling lambat lima tahunan, sehingga tiap kali ganti pemimpin daerah baru maka program infrastruktur yang sama juga diprogramkan ulang, sehingga jenis infrastruktur lain yang seharusnya dibangun terabaikan karena membangun bangunan yang sama dari waktu ke waktu. 4) Kegiatan pembangunan dibidang infrastruktur harus dilakukan menggunakan sumber DAU dan bukan lagi bersumber dari dana Otonomi Khusus. 5) Pengusaha Orang Asli Papua yang bergerak dibidang infrastruktur terbatas atau sangat kurang maka perlu perlindungan dan keberpihakan pada pengusaha Orang Asli Papua di Papua. 6) Pemberdayaan pengusaha Orang Asli Papua harus bersumber dari Dana Otonomi Khusus. 7) Kemampuan dalam perspektif kepemilikan kendaraan roda empat atau lebih bagi Orang Asli Papua sangat kurang. 8) Belum tersedianya regulasi delegatif dibidang infrastuktur dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di Tanah Papua. 41
9) Alokasi dana Otonomi Khusus di bidang infrastuktur sangat tinggi, tetapi pertumbuhannya tidak setinggi nilai dana yang dialokasikan untuk bidang infrastruktur. b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Infrastruktur 1) Diharapkan terjadinya pertumbuhan dan peningkatan semua jenis fasilitas umum, seperti: jalan, jembatan, kendaran, perumahan rakyat, pasar, rumah sakit/Puskesmas/Puskesmas Pembantu, sekolah (SD, SMP, SMA, PT), jalam, pelabuhan, lapangan terbang, air bersih, listrik, telepon, persampahan di Papua dengan menggunakan dana DAU. 2) Diharapkan Orang Asli Papua bisa menjadi pelaku (sebagai investor dan pegawainya) dibidang pembangunan Infrastruktur. 3) Diharapkan adanya perawatan berkelanjutan terhadap semua fasilitas umum yang sudah dibangun. 4) Diharapakan standar mutu dari bangunan infrastruktur tertentu bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, yaitu sekali bangun bertahan hingga 50 tahun kedepan atau lebih tahun. 5) Diharapkan tersedianya regulasi delegatif dari pelaksanaan UndangUndang Otonomi Khusus dibidang infrastruktur. 6) Diharapkan dilakukannya dialog Jakarta-Papua dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. 1. Kesimpulan Bidang Infrastruktur Manajemen dalam rangka pelaksanaan jenis infrastruktur tertentu haruslah diperhitungkan jangka waktu bertahannya sebuah hasil pembangunan. Dalam perspektif masyarakat Orang Asli Papua memproyeksikan, bahwa sebuah bangunan tertentu sedapat-dapatnya bisa bertahan selama 50 tahun kedepan atau lebih tahun terhitung sejak waktu dibangun. Sementara pembangunan infrastruktur di Papua bertahan paling lambat lima tahunan. Kondisi ini sangat merugikan pembangunan infrastruktur di seluruh Tanah Papua, khususnya di kampung-kampung atau dipelosok-pelosok. Kiranya perspektif “bodoh” ini dapat diubah menjadi perspektif “cerdas”, yaitu sekali bangun untuk jangka waktu yang lama dengan perawatan yang berkelanjutan. C. Bidang Politik Dan Pemerintahan 1. Pengantar Selama ini Undang-Undang Otonomi Khusus dianggap “tidak ada”, “tidak berlaku”, dan “gagal” karena alasan politik dan pemerintahan. Diketahui sejak awal aneksasi Papua menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia terjadi berbagai strategi pembungkaman terhadap sejarah dan status politik. Dalam perpesktif lain, pemerintahan berjalan ditempat dalam rangka “menjamin kekuasaan” terhadap Orang Asli Papua dan Tanah Papua. Oleh karena
42
itu, berbagai kendala dalam bidang politik dan pemerintahan berlaku secara berkelanjutan, baik secara terbuka maupun secara terselubung. Aparatur pemerintah memerankan politik makelar, ketika didepan publik Orang Asli Papua berpendapat, ingin mempertahankan NKRI, sebaliknya ketika bertemu pejabat negara di Jakarta berpendapat, bahwa ingin merdeka kalau “kondisi happy-nya” dirong-rong oleh Jakarta. Oleh karena itu, diantara Orang Asli Papua lahir berbagai persoalan yang sangat krusial dan tidak terselesaikan. Justru karena bidang politik dan pemerintahan yang tidak efektif dan efisien inilah timbul berbagai persoalan yang sangat berat dan masalahnya bertahan sampai masa sekarang. Pada bagian berikut ini diuraikan kondisi peroalan dan harapan Orang Asli Papua mengenai bidang politik dan pemerintahan di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus. 2. Deskripsi Bidang Politik dan Pemerintahan a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Politik dan Pemerintahan 1) Faktor normatif yang tidak efektif karena kepentingan yang berbeda antara Jakarta dan Papua. 2) Faktor keuangan daerah dan pertanggungjawab yang kurang transparan dan akuntabel. 3) Faktor kebijakan nasional yang tidak efektif bagi kehidupan Orang Asli Papua. 4) Faktor Putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak menghargai dan tidak memahami Undang-Undang Otonomi Khusus. 5) Faktor kepentingan politik tertentu mengorbankan aspek-aspek strategis lain. 6) Faktor Aparatur Pemerintahan Daerah yang tidak mewujud-nyatakan kewenangan yang diberikan. 7) Lembaga Kultural Majelis Rakyat Papua tidak mampu mengintervensi secara politik karena keterbatasan kewenangan yang dimilikinya, yang dilanjutkan dengan pemecahbelahan Majelis Rakyat Papua menjadi dua. 8) Tidak tersedianya dana khusus untuk pelaksanaan politik khusus dari alokasi dana Otonomi Khusus selama ini. 9) Terjadinya pembungkaman terhadap “upaya pelurusan dan penjernihan sejarah politik” Orang Asli Papua oleh Pemerintah Pusat selama ini. 10)Terjadinya strategi politik khusus untuk memfilter berbagai usaha politik Orang Asli Papua yang berakibat pada meningkatnya pelanggran HAM di Tanah Papua. 11)Pemerintah Provinsi secara sengaja menutup diri terhadap tuntutan “segera” membentuk Perdasi-Perdasus dimana jumlahnya sudah jelas dan pasti (Perdasi sebanyak 18 buah sementara Perdasus sebanyak 11 buah). 12)Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan menimbulkan banyak polemik. 43
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Politik dan Pemerintahan 1) Diharapkan memperbaharui atau mengamandemen Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Tanah Papua sesudah melakukan dialog. 2) Membuat “dengan segera” semua Perdasi-Perdasus yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Tanah Papua hasil amandemen. 3) Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua. 4) Diharapkan melaksanakan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan dilakukan ditempat yang netral. 3. Kesimpulan Bidang Politik dan Pemerintahan Letak keseluruhan masalah Orang Asli Papua dengan Jakarta terletak pada bidang politik dan pemerintahan maka sebaiknya segera diambil solusi strategis dalam rangka memecahkan masalah-masalah perpolitikan dan pemerintahan di Tanah Papua. Dengan demikian, impian Jakarta dengan Orang Asli Papua untuk berdamai secara demokratis agar terjadi penghargaan dan penghormatan terhadap derajat dan martabat kemanusiaan manusia segera akan terwujud. D. Bidang Hukum 1. Pengantar Tujuan dari pemberian Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua (kemudian termasuk Provinsi Papua Barat) dan Orang Asli Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka negara kesatuan untuk mewujudkan kemakmuran bagi Orang Asli Papua, untuk dapat mengatur pemanfaatan kekayaan alam, dan terjadinya pemanfaatan potensi sosial budaya dan ekonomi Orang Asli Papua. Namun secara normatif beberapa pasal, ayat dan huruf dalam UndangUndang Otonomi Khusus Papua melahirkan berbagai problematika karena terjadi kondisi serampangan dan tabrakan antara Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Undang-Undang sektoral lainnya. Selain itu, timbul berbagai problematika dalam mengimplementasikan Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua karena ketidakjelasan dan keterbatasan kewenangan yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus, apalagi istilah hukum yang menjadi virus dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah istilah “PerundangUndangan”. Kondisi demikian diikuti oleh aktor pelaksana Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang tidak memahami Undang-Undang Otonomi Khusus Papua secara baik dan benar.
44
Oleh karena itu, dalam bagian berikut ini diidentifikasi beberapa persoalan dan harapan yang harus diberi perhatian tatkala hendak mengamandemen Undang-Undang Otonomi Khusus Papua pada masa mendatang sesudah melakukan proses Dialog Jakarta-Papua. 2. Deskripsi Bidang Hukum a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Hukum 1) Masih terdapat ketidakjelasan mengenai makna, hubungan, dan tujuan dari norma-norma yang terdapat dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. 2) Belum jelas dan terbatasnya kewenangan yang bersifat khusus yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. 3) Masih bersifat kabur batasan mengenai kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam berbagai bidang pemerintahan. 4) Masih belum jelas dan bersifat kabur mengenai pola hubungan kewenangan antar Provinsi dan Kabupaten/Kota dan kejelasan kewenangan khusus antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Papua dalam pelaksanaan Otonomi Khusus. 5) Ketidakjelasan mengenai eksistensi Pemilihan Kepala Daerah dan lembaga penyelenggaranya di Papua. 6) Terjadinya ketidakjelasan kewenangan lembaga adat dan eksistensi kampung asli Papua dengan hierarki struktural pemerintahan kampung negara yang masuk sampai di kampung-kampung asli Papua. 7) Tidak terjadinya perlindungan terhadap eksistensi masyarakat adat di Papua beserta hak-hak dasarnya. 8) Belum terjadinya kejelasan dan penguatan terhadap tugas, wewenang, dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua. 9) Belum adanya kejelasan pengaturan mengenai tugas, wewenang, dan fungsi Majelis Rakyat Papua dan pola hubungannya dengan pemerintah provinsi dan pemerintah Kota/Kabupaten dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 10)Belum adanya kejelasan pengaturan mengenai tugas, wewenangan, dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan pola hubungannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabuapten/Kota dalam penyelenggaraan otonomi khusus. 11)Belum adanya dana khusus untuk mengelolah bidang hukum Adat Papua dan lembaga hukum lainnya di Papua. 12)Masih terdapat istilah hukum yang melahirkan kondisi rancu yaitu istilah “perundang-undangan”. 13)Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan menimbulkan banyak polemik.
45
3. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Hukum 1) Diharapkan adanya keterperincian dan kejelasan Undang-Undang Otonomi Khusus serta dibutuhkannya kewenangan eksekutor Pemerintah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Majelis Rakyat Papua, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. 2) Diharapkan Undang-Undang Otonomi Khusus diamandemen oleh Orang Asli Papua setelah melalui proses Dialog Jakarta-Papua. 3) Diharapkan adanya alokasi dana khusus untuk penegakkan Pengadilan Adat, Hakim Adat, Hukum Adat dan Lembaga Adat di Tanah Papua. 4) Diharapkan agar penggunaan istilah hukum yang disebut “perundangundangan” dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang diamandemen tidak boleh lagi digunakan. 5) Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua. 6) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua secara damai untuk mencapai suatu solusi afirmatif bagi Orang Asli Papua dan Jakarta. 1. Kesimpulan Bidang Hukum Oleh karena dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua terdapat norma-norma yang tidak jelas dan terbatas kewenangannya, yang membawa dampak langsung pada tataran implementatif yang tidak sesuai dengan norma dan peraturan Undang-Undang Otonomi Khusus, dan ketidakjelasan dan ketidakpastian mengenai luas dan sempitnya kewenangan yang diberikan kepada Orang Asli Papua melalui Undang-Undang Otonomi Khusus Papua itu. Dengan mengacu kepada kondisi normatif dan kondisi implementatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua saja sejak awal sudah tercium, bahwa ketidakjelasan norma dan ketidakpastian kewenangan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua akan membawa dampak buruk, sehingga jelas terbukti pada tahun 2005 Orang Asli Papua telah mengembalikan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dalam paket “peti orang mati” (mayat Otonomi Khusus). E. Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat 1. Pengantar Kekhususan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua ketika disahkan oleh Presiden Megawati Sukarno Putri dianggap, diandaikan, dan dipandang terdapat dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat Papua. Lembaga adat, hakhak dasar Orang Asli Papua, harkat dan martabat mannusia Orang Asli Papua, dan berlangsungnya kehidupan kebudayaan dan adat istiadat dapat terjadi sebagai “kekhususan” yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di Papua.
46
Namun dalam implementasinya berjalan kearah yang berlainan. Terjadi begitu banyak tindakan dan kebijakan yang berusaha menghilangkan aspek kekhususan dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat di Tanah Papua. Oleh karena itu, timbul berbagai masalah dan harapan dibidang kebudayaan dan adat istiadat yang dideskripsikan sebagai berikut. 2. Deskripsi Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat 1) Belum secara sungguh-sungguh dan implementatif Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. 2) Hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak diakui, tidak hormati, tidak dilindungi sebagai suatu kewajiban oleh Pemerintah Provinsi yang ada. 3) Tidak adanya pelaksanaan hak ulayat yang dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, karena penghormatan dan pengakuan serta perlindungan dari pihak Pemerintah dan pihak ketiga, sebaliknya, mereka berstrategi untuk menghilangkan atau mengambil alih hak-hak masyarakat hukum adatnya. 4) Terjadinya spekulasi dan manipulasi politik terhadap tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk berbagai keperluan dan pendekatan yang dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya merupakan upaya terselubunga dari pertimbangan lain yang biasanya tidak diungkapkan dalam musyawarah yang dimaksudkan. 5) Belum adanya pemberian mediasi aktif dari Pemerintah Provinsi dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan bijaksana, sehingga seringkali terjadi sengketa tanah secara terus-menerus. 6) Belum adanya perlindungan afirmatif terhadap hak kekayaan intelektual Orang Asli Papua dari Pemerintah Provinsi. 7) Adanya intervensi secara sengaja terhadap lembaga adat asli Papua dengan cara membentuk Lembaga Adat “boneka” bikinan Pemerintah Pusat. 8) Adanya sifat provokatif dalam masyarakat hukum adat oleh Aparat Pemerintahan Kampung, sehingga kelestarian nilai budaya Papua terkikis dari waktu ke waktu. 9) Keberadaan lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat tidak berazaskan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus dan menimbulkan banyak polemik. 47
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat 1) Diharapkan agar secara sungguh-sungguh dan implementatif Pemerintah Provinsi Papua mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. 2) Diharapkan adanya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan afirmatif terhadap hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai suatu kewajiban oleh Pemerintah Provinsi yang ada. 3) Diharapkan adanya kebebasan kultural dalam pelaksanaan hak ulayat yang dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat dengan memberi penghormatan dan pengakuan serta perlindungan dari pihak Pemerintah dan pihak ketiga. 4) Diharapkan tidak lagi terjadi spekulasi dan manipulasi politik terhadap tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum adat untuk berbagai keperluan dan pendekatan yang dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat hukum adat dan warga yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya bukan lagi merupakan upaya terselubunga dari pertimbangan tertentu yang biasanya tidak diungkapkan dalam musyawarah yang dimaksudkan. 5) Diharapkan semua tanah Adat menjadi Hak Milik Adat sebagaimana warisan Leluhur Perdana Manusia Papua dengan mengambil alih kembali semua Tanah yang sudah terjual sebagai akibat “intervensi” dan segera diberlakukan Sistem Kontrak tanah atau bangunan. 6) Diharapkan adanya pemberian mediasi aktif dari Pemerintah Provinsi atau Dewan Adat Papua dalam usaha penyelesaian sengketa tanah ulayat di Tanah Papua. 7) Diharapkan adanya perlindungan afirmatif terhadap hak kekayaan intelektual Orang Asli Papuadari Pemerintah Provinsi dan dari Dewan Adat Papua. 8) Diharapkan tidak adanya intervensi secara sengaja terhadap lembaga adat asli Papua dan segera membubarkan Lembaga Adat “boneka” bikinan Pemerintah Pusat di seluruh Tanah Papua. 9) Diharapkan pemerintahan adat saja yang bekerja di kampung-kampung Tanah Papua, sebaliknya kepala kampung dan aparatnya dibubarkan. 10)Diharapkan agar lembaga Majelis Rakyat Papua Provinsi Papua Barat dilebur kembali menjadi satu lembaga dengan Majelis Rakyat Papua untuk dua Provinsi yang berkedudukan di Jayapura, dengan tetap mempertimbangkan wilayah pemilihan dan kulturalitas Orang Asli Papua dalam proses perekrutan dan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua. 11)Diharapkan segera dilakukan dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan ditempat yang netral. 48
3. Kesimpulan Bidang Kebudayaan Dan Adat Istiadat Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan, bahwa kekhususan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjadi tidak jelas dan tidak pasti karena keterbatasan kewenangan, intervensi Pemerintah yang sangat kuat atas bidang kebudayaan dan adat istiadat, dan aktor eksekutor UndangUndang Otonomi Khusus Papua yang melalaikan terjadinya kondisi-kondisi yang dipermasalahkan oleh Orang Asli Papua. Dengan demikian, diharapkan menciptakan kondisi sebaliknya dari kondisi masa sekarang agar harapan Orang Asli Papua dalam bidang kebudayaan dan adat istiadat dapat diimplementasikan oleh para aktor eksekutor UndangUndang Otonomi Khusus Papua yang akan diamandemen sesudah melalui tahap dialog Jakarta-Papua. F. Bidang Sosial 1. Pengantar Dalam kehidupan makhluk manusia selalu timbul masalah sosial. Masalah sosial terjadi karena ketidakterwujudan nilai sejahtera yang seharusnya diperoleh dan dinikmati oleh manusia tertentu. Lagi pula nilai sejahtera itu diperoleh dan dinikmati oleh manusia tertentu ketika diperoleh dan dinikmatinya nilai-nilai tertentu. Standar nilai yang harus diperoleh dan dinikmati oleh Orang Asli Papua dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua adalah kemampuan untuk mengatur masalah-masalah sosial, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan memiliki kemampuan untuk mengakses berbagai kesempatan yang ada dalam meningkatkan taraf hidupnya. Namun dalam kenyataan timbul berbagai masalah dan harapan Orang Asli Papua yang dapat dirumuskan sebagai berikut ini. 2. Deskripsi Bidang Sosial a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Sosial 1) Adanya masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, penyakit hiv/aids, alkoholik, prostitusi, narkoba, kecacatan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), anak jalanan, keterlantaran, kriminalitas, konflik sosial, kenakalan remaja, penyakit mental, putus sekolah, suku terasing, pemukiman kumuh, sampah, kerawanan daerah, pengangguran, migransi, perempuan rawan ekonomi, urbanisasi, bencana alam, buta huruf, dan sistem nilai dan sikap sosial masyarakat yang kurang mendukung pembaharuan dan pembangunan. 2) Rendahnya komitmen sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial secara konsisten dan berkelanjutan. 3) Tidak tersedianya tenaga profesional dibidang kesejahteraan sosial.
49
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Sosial 1) Diharapkan masyarakat sejahtera dalam hal kepemilikan materi, dan juga sejahtera dalam hal kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah sosial, mampu memenuhi kebutuhan sosialnya, dan terbukanya peluang memperoleh akses secara luas bagi pengembangan potensi sosial. 2) Diharapkan terciptanya komitmen bersama untuk mengatasi masalah sosial melalui mekanisme pelayanan sosial. 3) Diharapkan memiliki komitmen sosial yang tinggi bagi semua stakeholder secara berkelanjutan. 4) Diharapkan tersedianya pekerja sosial profesional. 5) Diharapkan tersedianya alokasi dana untuk penanggulangan masalahmasalah sosial. 6) Oleh karena begitu banyak masalah sosial di Tanah Papua maka diharapkan dilaksanakan segera Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan ditempat yang netral pula. 3. Kesimpulan Bidang Sosial Kerumitan dalam menyelesaikan masalah tertentu menjadi makin sulit terutama karena timbul berbagai masalah sosial dari waktu ke waktu. Masalah sosial timbul karena Orang Asli Papua tidak sejahtera. Ketika Pemerintah berinisiatif untuk mensejahterahkan Orang Asli Papua menurut berat ringannya persoalan yang dihadapi oleh Orang Asli Papua, maka solusi penyelesaiaan yang bermartabat dan sangat manusiawi adalah melalui proses dialog Jakarta-Papua untuk mencapai solusi kesejahteraan yang diinginkan oleh Orang Asli Papua dan Jakarta. G. Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan 1. Pengantar Dalam kehidupan manusia tiga hal terjadi secara wajar dan berkelanjutan. Ketiga hal yang dimaksudkan itu adalah kelahiran, kematian, dan migrasi. Kelahiran terjadi karena proses perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Kematian terjadi karena alasan penyakit, tua, atau karena kondisi tidak alami ketika melahirkan anak dan atau karena masalah sosial tertentu. Migrasi terjadi karena faktor pendorong atau faktor penghambat tertentu yang dialami oleh orang tertentu. Oleh karena menjalani kehidupan adalah hal wajar yang harus terjadi maka timbul berbagai masalah ketenagakerjaan di Tanah Papua. kalau mau jujur saja, seandainya populasi penduduk di Tanah Papua itu hanya ditempati oleh Orang Asli Papua maka semua masalah ketenagakerjaan itu dapat diatasi dengan mudah. Namun kondisi heterogenitas yang tinggi maka tiap waktu terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Pada bagian berikut ini diuraikan beberapa masalah dan harapan di bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan.
50
2. Deskripsi Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan 1) Populasi penduduk di Papua antara migran dan Orang Asli Papua tidak seimbang, yaitu 60:40. Jadi, migran menjadi mayoritas penduduk Papua. 2) Terjadi peningkatan rasio masuknya penduduk migran ke Papua secara tidak terkontrol. 3) Kemampuan proteksi yang lemah dari Pemerintah Provinsi dihubungkan dengan argumentasi pengalihan untuk membela diri, seperti lemahnya sumber daya manusia, kurangnya alokasi dana, keterisolasian daerah, lemahnya partisipasi penduduk, dan tidak bisa dilakukannya sosialisasi Perdasi/Perdasus kependudukan. 4) Terciptanya jumlah tenaga kerja tinggi yang tidak dibarengi dengan ketrampilan kerja yang memadai. 5) Terbatasnya kesempatan kerja; 6) Kurangnya kesejahteraan pekerja; 7) Keselamatan dan kesehatan kerja yang kurang diberi perhatian; 8) Tingginya kasus-kasus hubungan industrial; 9) Rendahnya produktivitas; 10)Belum diimplementasikannya Raperdasi ketenagakerjaan; 11)Belum adanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah Papua. 12)Lemahnya program pengawsan ketenagakerjaan. b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan 1) Diharapkan populasi penduduk migran ditarik kembali ke luar Papua sebanyak 40% dari jumlah migran yang ada di Papua agar Orang Asli Papua tetap menjadi mayoritas dan tetap menjadi Tuan. 2) Diharapkan segera menciptakan sistem kontrol penduduk Orang Asli Papua dan migran agar rasio Orang Asli Papua tetap menjadi mayoritas. 3) Diharapkan menciptakan kemampuan proteksi yang kuat dari Pemerintah Provinsi dan tidak lagi menggunakan argumentasi pengalihan untuk membela diri. 4) Diharapkan terciptanya jumlah tenaga kerja tinggi yang dibarengi dengan ketrampilan kerja yang memadai. 5) Diharapkan meningkatnya kesempatan kerja; 6) Diharapkan kesejahteraan pekerja meningkat; 7) Diharapkan keselamatan dan kesehatan kerja yang diberi perhatian serius; 8) Diharapkan berkurangnya kasus-kasus hubungan industrial; 9) Diharapkan meningkatnya produktivitas; 10)Diharapkan diimplementasikannya Raperdasi ketenagakerjaan; 51
11)Diharapkanadanya koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi mengenai kependudukan dan ketenagakerjaan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah Papua. 12)Diharapkan meningkatnya program pengawasan ketenagakerjaan. 13)Diharapkan segera dilaksanakan dialog Jakarta-Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah kependudukan dan ketenagakerjaan di Tanah Papua. 3. Kesimpulan Bidang Kependudukan Dan Ketenagakerjaan Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukan diatas dapat disimpulkan, bahwa terjadinya kondisi depopulasi di Tanah Papua segera diambil sikap bijaksana untuk mengatasi persoalan-persoalan kependudukan dan ketenagakerjaan. Dengan demikian, pertumbuhan pendudukan dapat diatasi secara wajar dan terkendali dengan bertitik tolak pada pertumbuhan dan perkembangan populasi Orang Asli Papua. karena selama ini titik tolak pengukuran penduduk berdasarkan pertumbuhan Manusia Melayu, dan bukan Manusia Melanesia. H. Bidang Lingkungan 1. Pengantar Lingkungan merupakan faktor penentu bagi kehidupan makhluk hidup termasuk manusia. Lingkungan hidup Papua dan Manusia Papua sudah menjadi satu kesatuan yang sangat sulit untuk dipisahkan. Keanekaragaman kebudayaan di Papua sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan hidup yang ada disekitarnya, sehingga diketahui, bahwa lingkungan alam Papua membentuk ciri atau karater kebudayaan yang berbeda-beda dalam kehidupannya. Kondisi bisa tercipta secara kebalikan, yaitu manusia Papua membentuk lingkungan alamiah menjadi kebudayaan, sehingga kebudayaan suku bangsa yang satu berbeda dengan kebudayaan suku bangsa yang lain. Kemudian terciptalah masyarakat hukum adat dengan lingkungan alam, budaya, ekonomi, dan sosial yang sangat berbeda menurut suku bangsanya. Berbagai keragaman dapat ditemukan, misalnya arsitektur rumah Papua yang sangat berbeda menurut suku, honai [Suku-suku bangsa Dani, Lani, Nduga, Migani, Damal, dan Amungme], Kariwari [Suku-Suku Bangsa Sentani, Enggros, Tobati, Nafri, Tepera, Kemtuk, Kleisi, Namblong], Owaa [Suku Bangsa Mee], dan lain-lain. Dalam kondisi kuatnya hubungan dan ikatan antara lingkungan Papua dan Orang Asli Papua itu terciptalah “kepentingan ekonomi” karena ternyata lingkungan alam Papua mengandung potensi alam yang sangat dasyat kekayaannya. Oleh sebab itu, kepentingan ekonomi bertalian dengan kepentingan politik maka terjadi berbagai ketimpangan, sehingga timbul sindiran “memalukan”, bahwa Orang Asli Papua mempunyai kekayaan alam raya, tetapi standar IPM dalam rendah. Kondisi ini bisa dianggap aneh tapi nyata, bahwa kemiskinan mencapai 41,8%, buta aksara mencapai 74,4%, dan kematian bayi mencapai 50.5 tiap harinya. Kondisi ini bersifat paradoksial karena Tanah Papua adalah tempat yang memiliki sumber daya alam terkaya dan mempunyai GDRP nomor 4 sesudah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Provinsi Kalimantan 52
Timur, dan Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, berbagai masalah dalam bidang lingkungan Papua dapat dirumuskan sebagai berikut: 2. Deskripsi Bidang Lingkungan a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Lingkungan 1) Belum tersedianya ilmu pengetahuan Orang Asli Papua mengenai kearifan lokal dalam hal perlindungan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. 2) Belum adanya sosialisasi dan upaya mengimplentasikan mengenai regulasi delegatif dari Undang-Undang Otonomi Khusus dibidang lingkungan, khusunya mengenai upaya pengembangan norma-norma kearifan lokal. 3) Belum adanya upaya penguatan terhadap pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal. 4) Belum adanya kesadaran dari pihak pemerintah dan pihak ketiga yang memanfaatkan lingkungan alam tertentu milik suku bangsa tertentu, bahwa lingkungan alam tersebut berada dalam kesatuan ikatan dan relasi yang kuat, sehingga diperlukan melakukan langkah-langkah strategis tertentu untuk melestarikan lingkungan alam yang ada sesuai dengan pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal. Sebab program dan kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukannya ada BBP yang bertentangan dengan kearifan lokal. 5) Selama ini Pemerintah dan pihak ketiga berperan sebagai pemutus hubungan masyarakat hukum adat dengan lingkungan alamnya dan hadir juga sebagai penghancur nilai-nilai budaya yang berperanan untuk melestarikan lingkungan alam berbasis kearifan lokal. Oleh karena itu, generasi mendatang tidak lagi melestarikan lingkungan alam berbasis kearifan lokal, sebaliknya mementingkan kepentingan ekonomi dan politis semata. 6) Kehadiran berbagai perusahaan di Tanah Papua belum memberikan dampak afirmatif kepada Orang Asli Papua, karena tingkat IPM sangat rendah. Didalamnya termasuk rendahnya komitmen, konsistensi, dan kontinuitas dari perusahaan untuk melakukan perbaikan dan rehabilitasi berbagai kerusakan lingkungan yang dihasilkannya. Kondisi itu diikuti dengan rendahnya supremasi penegakkan humum untuk tujuan pelestarian lingkungan alam. 7) Standar perijinan perusahaan dan standar ijin pembangunan tidak diikuti dengan ketaatan terhadap komitmen perusahaan, dimana ini masih sangat rendah. Terdapat pula banyak perusahaan di Papua menjalankan operasinya tanpa didahului dengan persetujuan AMDAL oleh semua pihak termasuk masyarkat adatnya. Hal ini dilatarbelakangi atau dimotivasi oleh kepentingan investasi atau ekonomi yang bersinergi dengan kepentingan politik yang lebih diberi perioritas. 8) Penataan tata ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota disusun oleh pihak pemerintah saja tanpa melibatkan masyarakat adat yang mempunyai hakhak dasar atas lingkungan alam. Pihak penyusun RT/RW bersifat tertutup 53
kepada masyarakat adat selama melakukan penyusunan dan membuat heran atau kaget ketika melakukan publikasi. Sebab memang diketahui, bahwa penentuan batas wilayah administratif itu dilakukan tidak dengan atau dengan tidak mempertimbangkan batas wilayah adat masyarakat hukum adatnya. b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Lingkungan 1) Diharapkan terjaminnya keberadaan sumber daya alam dan lingkungan Papua dalam standar kuantitas dan kualitas yang baik dan proporsional. 2) Diharapkan manfaat ekonomi dari sumber daya alam dan lingkungan bagi kehidupan Orang Asli Papua dan penguatan kaapasitas fiskal Papua secara berkeadilan dan berkelanjutan terwujud dengan baik. 3) Diharapkan adanya pengendalian dan pengawasan kapasitas (daya tampung dan daya dukung) dan kualitas lingkungan hidup Papua menjadi meningkat. 4) Diharapkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua menjadi meningkat. 5) Diharapkan adanya dorongan peran dan partisipasi aktif Orang Asli Papua dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua. 6) Diharapkan standar Orang Asli Papua sebagai pemegang saham atas sumber daya alam dalam hubungan dengan pemanfaatan setiap sumber daya alam Papua terwujud sebagai sebuah kenyataan yang saling menguntungkan bagi pihak-pihak. 7) Diharapkan dikengembangkannya sistem manajemen dan informasi aset sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua. 8) Diharapkan mampu membangun perencanaan dan koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua. 9) Diharapkan mampu melaksanakan penataan dan penegakkan hukum dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup Papua, khususnya regulasi delegatif dari kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. 10)Diharapkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup guna mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan terwujud sebagai sebuah komitmen implementatif di Papua. 11)Diharapkan, bahwa karena berbagai kepentingan yang ada selama ini membawa konsekuensi, bahwa Orang Asli Papua adalah “korban” dari berbagai kepentingan terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam Papua, maka dibutuhkan “Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak netal dan dilaksanakan ditempat netral”. 3. Kesimpulan Bidang Lingkungan Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan, bahwa Pemerintah dan pihak ketiga adalah “pihak yang berkepentingan 54
ekonomi dan politik”, sebaliknya Orang Asli Papua adalah “pihak yang berkepentingan hak-hak dasar”. Selama ini Orang Asli Papua sudah menjadi “korban” dari berbagai kebijakan di bidang lingkunga. Oleh karena itu, Orang Asli Papua mempertimbangkan dirinya menjadi salah satu pemegang saham, sehingga pihak Orang Asli Papua mempunyai “kepentingan hak-hak dasar, kepentingan ekonomi, dan kepentingan politik”. I. Bidang Keagamaan 1. Pengantar Manusia adalah umat Tuhan Allah. Umat Tuhan Allah di tempat lain dimuka bumi ini tersenyum manis, tetapi Orang Asli Papua yang adalah umat Tuhan Allah di Tanah Papua bersedih dan terus menerus menangis. Kondisi kesedihan dan tangisan Umat Tuhan Allah itu terjadi karena sedang berlaku situasi pembunuhan terhadap Umat Tuhan Allah itu. Kondisi macam ini tidak bisa dipertahankan sebagai suatu bentuk kewajaran dan yang alamiah, sebaliknya kondisi tersebut harus diperbaharui dan dipertobatkan. Sehingga Orang Asli Papua merumuskan masalah-masalah dan harapan-harapan keagamaan sebagai berikut: 2. Deskripsi Bidang Keagamaan a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Keagamaan 1) Adanya kekerasan terhadap umat dari agama tertentu di Papua. 2) Kekerasan terjadi tiap tahun dalam berbagai bentuk, baik kekerasan fisik maupun kekerasaan non-fisik/halus. 3) Pihak agama mendapat dukungan dana dari pemerintah, tetapi tidak dijelaskan apa sumber dana, apakah Otonomi Khusus atau DAU kepada pimpinan Agama di Papua. 4) Bidang agama menjadi kewenangan Pemerintah Pusat melahirkan banyak masalah keagamaan di Papua. 5) Pertumbuhan populasi migran yang sangat tinggi melampaui populasi Orang Asli Papua juga mempertumbuhkan jumlah rumah ibadat kaum migran yang selalu mengganggu Orang Asli Papua dengan mikrofon yang diperkuat dengan speaker toa diluar dan diatas bangunan rumah ibadahnya. b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Keagamaan 1) Diharapkan pimpinan agama terus bersatu melawan kekerasan sebagaimana yang terjadi selama ini; 2) Diharapkan agar mendorong umat untuk bersatu melawan kekerasan di Tanah Papua. 3) Diharapkan adanya regulasi khusus mengenai pendirian rumah ibadat di Tanah Papua. 4) Diharapkan bidang agama menjadi kewenangan khusus Papua. 55
5) Diharapkan dilakukan dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan di tempat netral pula. 3. Kesimpulan Bidang Keagamaan Beribadah dan beriman akan Tuhan Allah tertentu adalah hak-hak dasar manusiawi, tetapi menggangu umat lain karena urusan ketidaknyamanan akan melahirkan masalah-masalah sosial yang sangat berat. Demikianlah kondisi riil yang terjadi sebagai dampak dari kenyataan kerukunan hidup beragama yang berjalan baik diseluruh Tanah Papua. Berbeda dengan keprihatinan para tokoh agama karena selama ini mereka selalu berhadapan dengan kekerasaan dan pembunuhan terhadap umatnya. Laporan-laporan yang masuk kepada pimpinan agama membuktikan, bahwa kehidupan para umat diancam oleh keberadaan pihak-pihak tertentu yang dapat membawa masalah atau ancaman atas hidup atau matinya.Oleh karena itu, para tokoh agama merekomendasikan untuk segera dilakukan “dialog Jakarta-Papua” agar bisa dicari solusi afirmatif atas masalah tersebut. J. Bidang Pengawasan 1. Pengantar Pengawasan sangat dibutuhkan oleh setiap organisasi dalam rangka jaminan akan terselengaranya efektivitas dan efisiensi serta sebagai sebuah tolak ukur untuk melihat kinerja pelaksanaan. Hasil dari pelaksanaan fungsi pengawasanlah yang dapat menjadi refrensi rujukan untuk melakukan tindak lanjut tertentu bagi suatu arah perubahan yang diinginkan secara bersama-sama. Fungsi pengawasan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua berjalan tidak menurut kehendak Undang-Undang Otonomi Khusus, tetapi juga tidak pula menurut kehendak Orang Asli Papua. dengan demikian timbul berbagai masalah dan harapan terhadap fungsi pengawasan sebagaimana yang diungkapkan pada bagian berikut ini. 2. Deskripsi Bidang Pengawasan a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Pengawasan 1) Lemahnya pengawasan terhadap kinerja aktor eksekutor Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. 2) Lemahnya pengawasan terhadap lembaga-lembaga sektoral yang strategis yang dilakukan oleh lembaga-lembaga hukum dan peradilan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. 3) Lemahnya peranan masyarakat adat dan Majelis Rakyat Papua untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. 4) Belum adanya regulasi delegatif untuk melakukan peran pengawasan oleh para pihak.
56
b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Pengawasan 1) Diharapkan terjadinya peningkatan dalam bidang pengawasan terhadap kinerja aktor eksekutor Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. 2) Diharapkan adanya peningkatan partisipasi pengawasan terhadap lembaga-lembaga sektoral yang strategis yang dilakukan oleh lembagalembaga hukum dan peradilan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. 3) Diharapkan adanya partisipasi peranan di bidang pengawasan oleh masyarakat adat dan Majelis Rakyat Papua untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. 4) Diharapkan adanya regulasi delegatif yang mengatur tentang pengawasan sehingga pengawasan bisa dilakukan oleh para pihak. 5) Diharapkan segera dilakukan Dialog Jakarta-Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan dilaksanakan di tempat yang netral. 3. Kesimpulan Bidang Pengawasan Berdasarkan hal-hal yang disebutkan diatas maka dapat disimpulkan, bahwa selama ini fungsi pengawasan tidak dilkasanakan secara baik dan benar sesuai amanat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Berbagai alasan yang digunakan untuk menutupi tidak berjalannya fungsi pengawasan dapat dipandang sebagai “pelarian atau pengalihan” terhadap tugas dan wewenang yang seharusnya diemban oleh lembaga yang berwewenang melaksanakan fungsi dan tugasnya. K. Bidang Keuangan Daerah 1. Pengantar Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua mengenai kewenangan, dijelaskan bahwa segala kewenangan sudah diberikan kepada Orang Asli Papua, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradialan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan perundang-undangan. Dengan demikian, pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang berkaitan dengan keuangan dikendalikan langsung oleh Pemerintah Pusat. Kekhususan dalam perspektif keuangan tidak ditemukan karena sifat dasar dari urusan keuangan adalah sektoral dan sentralistis. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua mendapat banyak masalah dalam rangka menyelesaikan berbagai kondisi yang tercipta diluar pengaturan regulasi keuangan yang berlaku. Dengan begitu, jelas bahwa berbagai masalah tetap saja ada sebagai masalah yang sulit diatasi oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Tanah Papua, sehingga pada bagian berikut ini dijelaskan mengenai beberapa masalah dan harapan Orang Asli Papua. 57
2. Deskripsi Bidang Keuangan Daerah a. Kondisi Yang Dipersoalkan Dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Keuangan Daerah 1) Penerimaan dana Otonomi Khusus sepanjang tahun 2002 sampai 2012 untuk Provinsi Papua sudah mencapai Rp. 28.445 triliyun dan Provinsi Papua Barat sejak 2008 sudah mencapai 5.409 triliun, namun Orang Asli Papua berpendapat, bahwa Otonomi Khusus Gagal. 2) Dana Otonomi Khusus dipandang sebagai kebijakan fiskal asimetris atau desentralisasi asimetris untuk memberikan keseimbangan dan dianggap jalan keluar terhadap masalah disintegrasi, namun belum memberikan solusi afirmatif terhadap kemungkinan untuk disintegrasi dari Orang Asli Papua. Walaupun selama ini oleh Pemerintah Pusat memandang, bahwa kebijakan fiskal asimetris yang disetujuinya dilaksanakan dianggap uang mengikuti kewenangan yang telah diberikan kepadaa daerah. Artinya, Otonomi Khusus adalah pemberian kewenangan untuk menutupi jalan disintegrasi. 3) Kebijakan fiskal asimetris dilakukan dalam rangka pemberian urusan atau kewenangan ke daerah yang harus diwujudnyatakan dalam tiga bidang penting, yaitu desentralisasi asimetris politik, desentralisasi asimetris administrasi, dan desentralisasi asimetris fiskal, namun pengaruh dari kewenangan sentralisasi masih mengendalikan bidangbidang startegis karena itu kebijakan desentralisasi tidak berjalan secara efektif dan efisien. 4) Kebijakan fiskal asimetris kalau mau diubah maka membutuhkan regulasi delegatif baru yang lebih bersifat rinci dan operasional berdasarkan keinginan Orang Asli Papua, karena regulasi delegatif yang ada selama ini lebih banyak berhubungan dengan kepentingan subyek eksekutor tunggal, yaitu Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 5) Orang Asli Papua belum mengetahui, bahwa sumber dana dari Dana Otonomi Khusus berasal dari 2% DAU, sehingga Orang Asli Papua berpandangan, bahwa Dana Otonomi Khusus bersumber dari pihak ketiga. 6) Orang Asli Papua tidak setuju dengan regulasi dana Otonomi Khusus yang selama ini mengatur tentang “peluang pengelolaan dana DAU dan DOK secara bersama-sama” oleh Pemerintah Provinsi karena sulit dilakukan pengawasan dan sulit juga untuk membedakan sumber jenis dana dalam rangka pelaksanaan sesuai keinginan dan kebutuhan Orang Asli Papua. 7) Selama ini belum ada sikap transparansi mengenai pemanfaatan atau realisasi keuangan Otonomi Khusus oleh aktor eksekutornya. 8) Selama ini belum nampak sikap akuntabilitas dari aktor eksekutor mengenai pemanfaatan dana Otonomi Khusus karena regulasi delegatif yang ada tidak dipisahkan atau pengaturan mengenai DAU dan DOK dilakukan oleh regulasi yang sama, sehingga dana DOK diatur sebagai pasal khusus dari regulasi mengenai dana DAU. Selain itu, perencanaan dan penganggaran dikendalikan oleh SKPD saja, pelaksanaan anggaran Otonomi Khusus juga oleh SKPD, dan pelaporan akhir juga dari SKPD. Oleh sebab itu, pihak-pihak luar tidak mendapat peluang uang melakukan 58
perencanaan/penganggaran, melaksanakannya, atau melakukan pelaporan, serta tidak diberi kesempatan untuk melakukan audit penggunaan keuangan Otonomi Khusus. Oleh karena itu, sulit memberikan sebuah legitimasi reward yang fair atau memberikan sanksi kepada yang melakukan penyalahgunaannya. b. Kondisi Yang Diharapkan Terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Di Bidang Keuangan Daerah 1) Diharapkan agar Orang Asli Papua tidak selalu dikagetkan dengan propaganda total nilai penerimaan Dana Otonomi Khusus yang tinggi oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 2) Diharapkan, bahwa ideologi merdeka bagi Orang Asli Papua tidak disetarakan dengan nilai dan total Dana Otonomi Khusus yang diberikan kepada Orang Aslii Papua, karena perspektifnya sangat berbeda. 3) Diharapkan pengaruh sentralitas dalam kebijakan fiskal asimetris dapat dihentikan sehingga mutu kebijakan fiskal asimetris bisa berjalan secara efisien dan efektif. 4) Diharapkan adanya regulasi delegatif yang operasional dan rinci yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan Orang Asli Papua. 5) Diharapkan adanya pemisahan dana DAU dan DOK dalam perspektif proses perencanaan sampai dengan MONEV atau auditnya. 6) Diharapkan berbagai salah pandang Orang Asli Papua mengenai Dana Otonomi Khusus dapat diatasi dengan solusi afirmatif seperti sosialisasi berbagai hal yang dipersoalkan mengenai Otonomi Khusus. 7) Diharapkan adanya transparansi dan akuntabilitas dari pihak ekekutor dana DAU dan DOK di Tanah Papua. 8) Segala ketidakjelasan dan ketidakpastian dana Otonomi Khusus ini dapat diselesaikan melalui Dialog Jakarta-Papua. 3. Kesimpulan Bidang Keuangan Daerah Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan, bahwa terdapat berbagai ketidakjelasan dan ketidakpastian mengenai dana DAU dan DOK yang mengalir ke dan di Papua. Orang Asli Papua yang berada diluar system Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Tanah Papua tidak merasakan, bahwa Dana Otonomi Khusus yang dimaksudkan selama ini berhubungan sebab akibat dengan Orang Asli Papua dengan Jakarta. Sebaliknya, Dana Otonomi Khusus adalah hubungan sebab akibat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota se-Tanah Papua. L. Bidang Hak Asasi Manusia 1. Pengantar Kondisi kehidupan hak-hak asasi manusia di Tanah Papua kian hari kian memburuk, karena terjadi pelanggaran dan kekerasan terhadap hak-hak kemanusian manusia secara berkelanjutan dari waktu ke waktu. 59
Berbagai suara pembelaan sudah disampaikan, bahwa pelanggaran hak asasi manusia sangat kuat terjadi di Tanah Papua. Tetapi setiap perjuangan terhadap usaha-usaha pembelaan dan penegakan hak asasi manusia tidak diindahkan, tidak didengarkan, dan diabaikan begitu saja. Namun ingatan akan kekerasan yang dilakukan secara berkelanjutan itu membawa dampak yang lain, yaitu gerakan untuk melawan kekerasan dengan damai dan dengan dialog. Sebab Orang Asli Papua menyadari, bahwa Manusia Papua juga makhluk manusia seperti Manusia Melayu, Manusia Eropa, Manusia Arab, dan seterusnya. Manusia adalah Manusia, sebaliknya hewan adalah hewan. Ketika manusia dianggap hewan maka pelanggaran hak asasi manusia akan selalu terjadi di Tanah Papua. sebab sesungguhnya bukan Orang Asli Papua yang dicintai oleh negara, sebaliknya alam raya Papua yang dicintai oleh negara ini. Demikianlah, impulsimpuls yang memotivasi lahirnya masalah-masalah atau harapan-harapan kemanusiaan yang timbul dideskripsikan sebagai berikut. 2. Deskripsi Bidang Hak Asasi Manusia a. Kondisi yang Dipersoalkan dari Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di Bidang Hak Asasi Manusia 1) Belum terwujudnya perwakilan komisi nasional hak azasi manusia; pengadilan hak asasi manusia, dan komisi kebenaran dan rekonsialiasi. 2) Adanya kekerasan dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam segala aspek kehidupan Orang Asli Papua secara sistematis, berkelanjutan, dan tidak terbendung. 3) Tidakadanya alokasi dana khusus dibidang hak asasi manusia dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Khusus di Tanah Papua. b. Kondisi yang Diharapkan terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus di Bidang Hak Asasi Manusia 1) Diharapkan adanya kesadaran pihak Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua, bahwa pelanggaran hak asasi Manusia mesti dihentikan dan dicegah. 2) Diharapkan menciptakan “kebudayaan damai” berasaskan “Kebudayaan Papua” menurut pola pandang Masyarakat Adat Papua. 3) Diharapkan dilakukannya Dialog Jakarta Papua sebagai sarana yang paling efektif untuk menemukan solusi atas berbagai masalah. 3. Kesimpulan Bidang Hak Asasi Manusia Sejarah Papua mencatat, bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua terjadi seirama dengan berjalannya waktu kebersamaan antara Orang Asli Papua dengan Pemerintah Indonesia. Begitu banyak lembaran sejarah pelanggaran hak asasi manusia yang sudah ditutup tanpa penyelesaian, tetapi juga selalu terbuka kemungkinan untuk membuka lembaran-lembaran baru bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua.
60
D. Implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. Sistem baru dalam RUU-PP berimplikasi terhadap aspek kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Papua dimana masyarakat papua akan lebih partisipasi aktif dan kreatif serta pemantapan penghargaan jati diri dalam aktifitas kehidupan masyarakat asli Papua membangun dirinya bersama-sama dengan masyarakat lain di tanah papua, sekaligus mengikat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam NKRI. Dalam sistem baru ini juga, akan membawa dampak terhadap aspek beban keuangan negara, dimana untuk membangun Papua baik fisik maupun non fisik diperlukan sejumlah dana yang besar karena luas wilayah Papua yang besar dan sulit dijangkau dan masyarakat yang kebanyakan masih tertinggal.
61
BAB IV TINJAUAN REGULASI
Kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang menjadi dasar pembentukan RUU ini adalah analisis substansi dan konteks terhadap peraturan perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi yang susunannya terdapat dalam pasal 7 UU nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah UUD 1945, Ketetapan MPR, dan UU atau Perppu yang masih berlaku dan belum dicabut, serta beberapa putusan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan uji materiil beberapa pasal dalam UU Nomor 21 tahun 2001. UUD 1945 Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B Pemerintahan daerah secara konstitusional telah diatur dalam UUD 1945 perubahan ke-dua yang telah disahkan tanggal 18 Agustus 2000 dalam Sidang Tahunan MPR RI, pada pasal 18 baru, 18A, dan 18B. Pasal ini telah menjadi dasar konstitusional baru penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Aturan ini hendak mencari keseimbangan antara otonomi dan sentralisasi, agar di satu pihak NKRI dapat terjaga dan di lain pihak memaksimalkan peran aktif dan partisipasi daerah untuk mewujudkan berbagai citacita kemerdekaan. Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 mengandung prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya, artinya Daerah berhak mengatur dan mengurus segala urusan atau fungsi pemerintahan yang oleh undang-undang tidak ditentukan sebagai yang diselenggarakan pusat. Selain dalam pengertian urusan atau fungsi pemerintahan, Otonomi luas terutama tercermin pada kemandirian dan kebebasan daerah. Campur tangan pusat harus dibatasi pada hal-hal yang benar-benar bertalian dengan upaya menjaga keseimbangan antara prinsip kesatuan (unity) dan perbedaan (diversity).25 Pasal 18A, ayat (1) mengandung Prinsip kekhususan dan keragaman daerah.26 Prinsip ini mengandung makna bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam (uniformitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan khusus dan keragaman setiap daerah. Otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat berbeda dengan daerah-daerah industri, atau antara daerah pantai dan pedalaman, dan lain sebagainya. Begitu pula perbedaan-perbedaan potensi daerah harus menjadi dasar menentukan bentuk dan isi otonomi. Inilah aspek penting paham otonomi nyata atau otonomi riil, yaitu otonomi yang beragam. Harus diakui, pelaksanaan otonomi semacam ini lebih sulit dan kompleks dibandingkan dengan yang serba seragam. Tetapi masalah utama bukanlah mudah atau sulit melaksanakan, tetapi upaya maksimum untuk mewujudkan cita-cita otonomi yaitu masyarakat daerah yang demokratis dan sejahtera. Pasal 18B ayat (1) mengandung Prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa.27 Yang dimaksud '''bersifat istimewa" adalah 25
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH-UII, Yogyakarta, 2002, hlm. 11-12. Ibid., hlm. 12-13. 27 Ibid., hlm. 15-16. 26
62
pemerintahan asli atau desa atau pemerintahan bumiputra seperti daerah istimewa Yogyakarta, dan daerah khusus ibu kota (DKI Jaya). Daerah Istimewa Yogyakarta terletak pada Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Pakualam. Daerah Khusus Ibu Kota, karena sebagai ibu kota negara (state capital). Dalam Pasal 18B perkataan "khusus" memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain karena dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus. Ini berarti setiap daerah dapat menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan faktor-faktor tertentu tanpa suatu kriteria umum yang telah ditentukan dalam undangundang. Pasal 18B, ayat (2) mengandung Prinsip mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.28 Yang dimaksud masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum (rechtsgemeinschaft) yang berdasarkan hukum adat atau adat istiadat seperti desa, marga, nagari, kampong, meunasah, huta, negorij dan lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat - bersifat teritorial atau genealogis – yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau ke luar sebagai satu kesatuan hukum (subjek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini tidak hanya diakui tetapi dihormati, artinya mempunyai hak hidup yang sederajat dan sama pentingnya dengan kesatuan pemerintahan lain seperti kabupaten dan kota. Kesederajatan ini mengandung makna, bahwa kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan hukum adat berhak atas segala perlakuan dan diberi kesempatan berkembang sebagai sub-sistem NKRI yang maju, sejahtera, dan modern. Hal ini merupakan esensi yang membedakan dengan pengakuan kolonial terhadap kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintahan kolonial tidak bermaksud menghormati, tetapi membiarkan agar kesatuan masyarakat adat tetap hidup secara tradisional sehingga tidak akan menjadi pengganggu kekuasaan kolonial. Pengakuan dan penghormatan sebagaimana diatur dalam Pasal 18B, justru mengandung tuntutan pembaharuan kesatuan masyarakat hukum adat sesuai dengan perannya sebagai sub-sistem NKRI yang maju dan modern. Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 Bergulirnya reformasi politik, ekonomi, dan hukum di Indonesia dengan jatuhnya resim orde baru (Suharto) tanggal 21 Mei 1998 telah membuka pintu bagi timbulnya berbagai pemikiran baru untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan besar bangsa Indonesia. Untuk kasus Papua, wakil-wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia (MPR-RI) menetapkan perlunya memberikan status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya (tanah Papua) sebagaimana yang diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004 Bab IV huruf (g) butir 2, yaitu : “... dalam rangka mengembangkan otonomi daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta untuk menyelesaikan secara adil dan menyeluruh permasalahan di daerah yang memerlukan penanganan segera dan bersungguh28
Ibid., hlm. 13-14.
63
sungguh, maka perlu ditempuh langkah-langkah sebagai berikut : (a) mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang-undang; (b) menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat ...”. Tap MPR Nomor IV/MPR/2000 Amanat Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tersebut yang menyangkut penetapan Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus dalam sidang tahunan MPR RI tahun 2000, ditekankan kembali melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang ditujukan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, disebutkan : “... Undang-undang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN tahun 1999 – 2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan ...”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam Amandemen UUD 1945 telah diberikan dasar konstitusional yang tegas mengenai penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia, yaitu dengan pemberian otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sendiri serta pengakuan kepada daerah-daerah yang bersifat istimewa dan khusus maupun kesatuan-kesatuan masyarakat adat yang ada, asalkan tidak melanggar batasbatas dari prinsip NKRI. Hal ini berarti menurut UUD 1945 setelah di amandemen, titik tolak penyelenggaraan pemerintahan lokal semata-mata menekankan kepada otonomi daerah. Eksistensi kebijakan otonomi daerah ini sangat penting dipahami sebagai bagian dari perwujudan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan sebagai instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan umum.29 Sedang kebebasan dan persamaan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan prinsip-prinsip demokrasi yang sangat penting dalam suatu negara hukum. Dengan demikian pelaksanaan otonomi daerah bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi tersebut. UU Nomor 12 tahun 1969 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Tentang: Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat Dan Kabupaten-Kabupaten Otonom Di Propinsi Irian Barat, yang berlaku Tanggal: 10 September 1969, Sumber: LN 1969/47; TLN NO. 2907. Undang-undang ini hanya mengatur pembagian daerah dan batas wilayahnya Provinsi Irian Jaya, serta beberapa urusan yang dianggap penting ketika itu. A. UU Nomor 45 tahun 1999 dan perubahannya
29
Ibid., hlm. 3.
64
Undang-Undang Nomor: 45 tahun 1999 Tentang: Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong, yang berlaku Tanggal: 4 Oktober 1999 Sumber: LN NO. 1999/173; TLN NO. 3894 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, Dan Kota Sorong. Undang-undang ini ketika diundangkan, telah ditolak oleh sebagian terbesar masyarakat Papua, sehingga tidak jadi diberlakukan.
B. UU Nomor 21/2001 dan UU Nomor 35/2008 Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Papua secara khusus penegakan HAM, Pemerintah Indonesia telah menetapkan dan memberlakukan beberapa peraturan perundang-undangan seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun hanya dalam UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua UU Nomor 21 Tahun 2001, hakhak dasar penduduk asli (indigenous people) sebagai hak asasi manusia begitu mendapat pengakuan dan perlindungan. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban terhadap tuntutan kemerdekaan bangsa Papua yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia dalam jaman Reformasi. UU ini sebagai jalan keluar atau jalan tengah yang bijaksana antara kepentingan bangsa Papua sendiri dan kepentingan bangsa Indonesia pada umumnya. Mengingat sejak integrasi Papua dengan NKRI dan dalam penerapan kebijakan pemerintahan Soeharto di era Orde Baru membawa penderitaan, kemelaratan, dan harga diri bangsa Papua yang ditindas dan diinjak-injak. Bangsa Papua merasa tidak aman di atas tanahnya sendiri, dimana suasana kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan tidak dirasakan di atas tanah yang telah menjadi wilayah dari NKRI itu sejak 1963 sampai 1998. Bangsa Papua merasa terasing di negerinya sendiri. Singkat kata, HAM individu dan rakyat Papua dalam negaranya sendiri tidak dihormati dan dilindungi. Inilah masalah yang melatarbelakangi atau melandasi upaya para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengambil langkah-langkah politik dan merumuskan norma hukum bagi perlindungan HAM rakyat Papua dalam UU Otonomi Khusus. Pada awal tahun baru 2003 masyarakat Papua merasa senang setelah mendengar bahwa Pemerintah Pusat dalam hal ini Menko Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono, tanggal 29 Desember 2002 menyatakan berkeinginan mencari “penyelesaian permasalahan di Papua secara beradab dan adil” sebagai salah satu prioritas dalam kebijakannya. Pada kesempatan yang sama Menko Polkam menyatakan: “Otonomi khusus yang kita pilih ke depan akan ditingkatkan lagi untuk bisa memenuhi dan mengatasi masalah kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat Papua, sehingga hal itu benar-benar diwujudkan”. Tentunya semua pihak setuju jika terhadap permasalahan di Papua dapat diberikan suatu perhatian yang serius dan menjadi pokok pergumulan bersama menuju suatu jalan keluar yang lebih permanen. Pergumulan demikian akan menuntut kearifan serta keterbukaan dari segala pihak yang berkepentingan guna mencapai suatu hasil bersama dan memuaskan dalam penegakan HAM bagi masyarakat Papua. Tujuan tersebut sudah terungkap dalam jiwa dan semangat UU Otonomi Khusus 65
untuk Papua, yang telah didorong dan disahkan oleh Pemerintah Pusat sehingga penerapannya secara benar sudah seharusnya menjadi suatu kewajiban semua pihak. Ketika Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi beserta masyarakat Papua sedang berupaya mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua, yang masih diperhadapkan pada kendala belum tersedianya sejumlah instrumen hukum sebagai landasan teknis operasional, seperti MRP, Perdasi, dan Perdasus, serta belum terbentuknya sejumlah perangkat kelembagaan seperti Perwakilan Komnas HAM, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM seperti yang diamanatkan Otsus; Pemerintahan Daerah, DPRD dan berbagai komponen masyarakat di Propinsi Papua dikejutkan oleh keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undangundang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, pada tanggal 27 Januari 2003. Terbitnya instruksi ini mengejutkan masyarakat Papua karena seakan-akan ‘jatuh dari langit’ begitu saja. Suatu instruksi yang memang tidak dinantikan, mengingat soal pemekaran telah diatur dalam Undang Otonomi Khusus di Papua Nomor 21 Tahun 2001. Maka, terbitnya Inpres Nomor 1 serta deklarasi propinsi baru oleh seorang ‘calon gubernur yang baru’, Bram Ataruri, di bagian barat Propinsi Papua membuat banyak orang tidak mengerti lagi apa yang sebenarnya terjadi. Juga penjelasan dari Pemerintah Pusat yang sangat simpang siur tidak membantu untuk memahami kebijakan ‘mendadak’ ini. Isi Inpres tersebut antara lain: memerintahkan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Gubernur Papua dan Para Bupati di Propinsi Papua untuk mengambil langkah-langkah percepatan Pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah berdasarkan Undangundang Nomor 45 Tahun 1999 dan mengaktifkan pejabat Gubernurnya. Dikeluarkannya Inpres ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagaimana termuat dalam konsiderans menimbangnya, antara lain: (1) untuk pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong dipandang perlu dilakukan percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pembentukan organisasi perangkat Daerah, dan kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; (2) Sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat serta kondisi politik nasional yang kondusif pada saat ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Propinsi Irian Jaya Barat perlu direalisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi, dan berkesinambungan. Menindaklanjuti Inpres ini, maka Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Radiogram yang ditujukan kepada Gubernur Propinsi Papua, Bupati/Walikota se-Propinsi Papua, dan seluruh Pejabat Eselon I Departemen Dalam Negeri. Radiogram Nomor 134/221 /SJ, tertanggal 3 Pebruari 2003, antara lain berisikan: (1) seluruh jajaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, agar segera mengambil langkah-langkah operasional yang relevan; (2) ditegaskan bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dilaksanakan sejalan dengan operasionalnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Propinsi Papua; (3) Pemerintah Daerah memberi dukungan penuh untuk pelaksanaan hal-hal tersebut; (4) Sekjen dan Gubernur/Bupati melapor kepada Menteri Dalam Negeri atas persiapan langkah-langkah tersebut dalam waktu selambatnya dua minggu. Sejak awal mula masyarakat luas memprotes niat dan kegiatan pembentukan propinsi baru di bagian barat Propinsi Papua, dan wakil-wakil pemerintahan didukung oleh ahli66
ahli hukum yang tidak perlu diragukan kredibilitasnya menyatakan bahwa semuanya tidak sah. Maka Inpres Nomor 1 sebaiknya dicabut saja, dan proses ‘judicial review’ diprakarsai. Walau timbul reaksi kontra dari masyarakat Papua, Pemerintah Pusat30 yang didukung BIN tidak peduli dengan adanya protes dari segala pihak di Papua, dan pemekaran tetap diterapkan. Setelah Pejabat Gubernur Irja Barat yang baru diangkat secara “resmi” pada 11 November 2003 di Manokwari, menyusul pada awal Maret 2004 para pegawai eselon I dan II di Provinsi Irian Jaya Barat. Provinsi baru tersebut terus dikunjungi oleh petinggi-petinggi dari Jakarta – termasuk mantan Wakil Presiden RI Try Sutrisno pada tgl. 5 Maret 2004 - seakan-akan mau menggarisbawahi sahnya status provinsi Irja Barat. Nampak para penguasa di Jakarta tidak mempedulikan Mahkamah Konstitusi di Jakarta yang sedang memproses suatu judicial review mengenai sahtidaknya UU Nomor 45 Tahun 1999 atas permintaan DPRD Papua tanggal 17 Februari 2004, dan juga pernyataan dari acara dengar pendapat tanggal 16 Desember 2003 yang diselenggarakan oleh DPRD dimana pemekaran ditolak sedangkan pelaksanaan Otsus secara konsisten dituntut dan mendapat penekanan. Kekacauan sekitar pemekaran masih diperbesar dengan pengangkatan diam-diam seorang “sekretaris KPU setempat” pada tanggal 23 Desember 2003 walau pendirian KPU di propinsi tersebut secara resmi telah ditolak tanggal 16 Desember 2003 oleh KPU Provinsi Papua. Seakan-akan persoalan pemekaran di Manokwari-Irjabar belum cukup, muncul lagi upaya sejenis di bagian tengah Propinsi Papua, yakni di Timika. Sebenarnya pola persiapan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah tidak beda jauh dengan pola yang sama di Irian Jaya Barat. Sambil mengambil isi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 sebagai legitimasi utama, rencara pemekaran mulai dipersiapkan, semuanya terjadi secara agak tersembunyi, ada yang diajak mendukung termasuk para anggota DPRD setempat, kecuali satu anggota yakni wakil Ketua, dengan menandatangani suatu pernyataan dukungan yang disodorkan kepada mereka di rumah masing-masing. Sekalipun masyarakat setempat menyatakan tidak menerima pembentukan propinsi yang baru ini, Ketua DPRD Timika, Andreas Anggaibak, tetap nekad untuk memproklamasikan propinsi tersebut. Sementara waktu kebanyakan anggota DPRD sudah mulai gelisah dan mulai menyembunyikan dukungannya. Bupati dan unsur Muspida lainnya ternyata bungkam seribu bahasa, atau bahkan membiarkannya. Ada sejumlah permasalahan mendasar yang mewarnai kebijakan pemekaran Propinsi Papua sebelumnya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain: (1) Undangundang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong belum dicabut dan sebagian dari materi muatannya yang mencakup pembentukan ketiga kabupaten dan satu kota sebagaimana dimaksud telah dilaksanakan secara efektif. Sedangkan materi muatan yang terkait dengan pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat belum dapat dilaksanakan; (2) Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua adalah wujud nyata dari kemauan politik Pemerintah untuk mengatasi permasalahan politik, dan sekaligus sebagai solusi bagi penyelesian konflik yang terjadi di Papua, dalam rangka mempertahankan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun demikian sejak pengesahannya undang-undang ini belum sepenuhnya dapat dijalankan secara efektif; 30
Dukungan ini dengan jelas dinyatakan melalui pengangkatan resmi Bram Atururi sebagai pejabat Gubernur Propinsi Irian Jaya Barat pada tanggal 14 November 2003, bertempat di kantor Kementrian Dalam Negeri.
67
(3) Pemekaran dan pembentukan propinsi baru di Papua, sebagaimana halnya dengan pemekaran atau pembentukan kabupaten baru yang sudah dilakukan di Propinsi Papua, merupakan kebijakan Pemerintah yang penting, dalam rangka memperpendek rentang kendali pemerintahan dan sebagai upaya lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua. Menurut pendapat pemerintah, mengingat secara yuridis Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 masih memiliki daya keberlakuan, karena belum dicabut maka setelah kurang lebih 4 (empat) tahun sejak terjadinya penolakan oleh berbagai komponen masyarakat dan DPRD Propinsi Irian Jaya tersebut, Pemerintah kembali melaksanakan materi muatan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Disadari sepenuhnya bahwa tujuan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 adalah untuk melaksanakan kewajiban konstitusi oleh Pemerintah yaitu menjalankan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yang masih memiliki keberlakuan yuridis. Demikian pula Inpres Nomor 1 Tahun 2003 mempunyai tujuan positif, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun demikian fakta juga memperlihatkan bahwa segera setelah keluarnya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 muncul berbagai reaksi negatif sebagai berikut: (1) Pengangkatan Pejabat Gubernur Irian Jaya Barat tanpa adanya komunikasi dan konsultasi dengan Gubernur Propinsi Papua, sebagai Propinsi Induk; (2) Berkembangnya opini publik yang mengarah pada pengelompokan sikap pro dan kontra terhadap penbentukan propinsi baru yang dapat menjurus pada muncul dan berkembangnya konflik horisontal; (3) Berkembang keinginan dari elit politik lokal dengan memobilisasi massa pendukung ke Jakarta agar kabupatennya dijadikan propinsi baru, di luar yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999, seperti; Kabupaten Yapen, Kabupaten Merauke, dan kabupaten Fak-Fak. Akibat dari pemaksaan pemekaran dengan diterbitkannya Inpres untuk mengimplementasikan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 menyebabkan masyarakat terbagi dalam 2 kelompok, timbul konflik horisontal antara kelompok yang mendukung pemekaran dan kelompok yang menolak pemekaran. Sikap pro dan kontra terhadap pemekaran propinsi juga semakin meluas dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan timbul di seluruh Papua, khususnya di Manokwari sendiri yang menjadi Ibukota Irian Jaya Barat maupun di tempat-tempat lain seperti Jayapura dan di Timika. Timika malahan timbul perang adat antara kubu pro dan kubu kontra, selama bulan Agustus 2003. Perang adat itu berlangsung hampir satu bulan, yang dimulai tanggal 23 Agustus 2003 dan baru berdamai pada tanggal 26 September 2003 dengan memakan 5 orang korban jiwa, dan ada serangkaian pertikaian misteri yang menyebabkan misalnya, 2 orang tukang ojek tewas. Rentetan ketegangan ini juga menciptakan konflik vertikal, antara pusat dan daerah sudah mulai terasa. Karena orang Papua merasa pusat mempermainkan mereka lagi sehingga muncul kembali sikap ketidakpercayaan masyarakat pada semua unsur pemerintahan, baik di tingkat Kebupaten, Propinsi maupun Pusat, yang sebenarnya sudah dapat diatasi dengan pengesahan UU Otsus. Masyarakat merasa tidak dihiraukan, bahkan ditipu karena ternyata apa yang sudah ditetapkan dalam UU yang resmi (Otsus) tidak dilaksanakan. Keadaan ini menyebabkan pemda tidak bisa menjalankan Undang-undang Otonomi Khusus dengan baik demi kepentingan masyarakat dan Republik ini. Jadi dampaknya ada peningkatan konflik horisontal dan vertikal.
68
Bahkan berkembang pula fenomena publik bernuansa negatif yang dihembuskan oleh elit tertentu secara propokatif, yang dengan sengaja menjadikan kebijakan pemekaran propinsi dengan Otonomi Khusus sebagai opsi yang kontradiktif. Bahkan sangat ironis ketika pendukung otonomi khusus diidentikkan sebagai kelompok separatis, sedangkan pendukung pemekaran diidentikkan sebagai pendukung setia Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pandangan ini bukan hanya keliru, akan tetapi sangat menyesatkan publik, sebab kebijakan Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua yang dilakukan melalui sarana Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah Undangundang Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 juga merupakan bukti nyata komitmen Pemerintah untuk: (1) Menjawab masalah yang terjadi di Papua dalam kurun waktu lama secara tepat dan bermartabat; (2) Melaksanakan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 1999 tentang GBHN (Pemberian Otonomi Khusus bagi Propinsi Irian Jaya) dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi kepada Presiden dan DPR dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (segera menyusun undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Irian Jaya); (3) Menjalankan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 18B bahwa Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan undang-undang dan negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonresia yang diatur dalam undang-undang. Proses pemekaran juga membawa serta suatu persaingan antar pejabat pemerintah di Papua menyebabkan hilangnya kewibawaan pemerintah daerah; ternyata ada banyak agenda berbeda yang sering berkaitan dengan ambisi pribadi orang. Akibatnya, tidak jelas lagi kekompakan kepemimpinan di Papua sehingga masyarakat merasa tidak memiliki lagi kepemimpinan. Perpecahan di tingkat kepemimpinan memang melumpuhkan efektifitas kerja pemerintah propinsi serta instansi-instansi terkait. Sesekali terdapat suara dari pribadi seorang pejabat, namun tidak ada kekuatan didalamnya yang mengikat sehingga mau didengar atau tidak; sedangkan Pemerintah Pusat kurang peduli dan melanjutkan strateginya sendiri. Akhirnya sering terdengar dari pejabat di tingkat Propinsi Papua: “kami tunggu keputusan dari Pusat”. Seakanakan tidak ada daya perjuangan lagi; seakan-akan pimpinan sipil merasa tidak ada wewenang lagi untuk mengatur Propinsi Papua; sementara waktu masyarakat merasa kehilangan pemimpinnya. Persaingan di tingkat pejabat (tinggi) juga mengakibatkan perpecahan di tingkat masyarakat biasa. Setiap kubu, yang pro dan yang kontra, mencari pendukungnya, dan ternyata selalu dapat, maka masyarakat sendiri akhirnya terpecah. Argumentasi utama dalam usaha merangkul masyarakat adalah ‘nanti akan ada uang banyak tersedia; sekarang uang itu dimakan habis di Jayapura’. Jelaslah dinamika mencari ‘pendudkung’ di masyarakat bukan berdasarkan suatu diskusi yang sehat, bukan berdasarkan informasi yang tepat dan kritis, melainkan berdasarkan emosi-emosi atau rasa kecewa pada masyarakat yang ternyata mudah mendorong mereka untuk menerima tawaran tersebut. Tentu cara ini dapat menyesatkan masyarakat biasa, dan di Timika akhirnya menuntut korban cukup banyak, terbukti membawa masyarakat ke dalam suatu konflik horisontal. Akhirnya akibat pemekaran yang sangat menentukan dan fatal adalah kemacetan penegakan Otonomi Khusus. Kemacetan ini disebabkan karena kebijakan 69
Pemerintah Pusat yang melanggar isi dari UU Nomor 21 Tahun 2001, sulit menghindar dari kesan bahwa proses pemekaran untuk sebagian dimulai dengan sengaja guna menghalangi implementasi Otsus yang isinya menurut sejumlah tokoh di tingkat Pemerintah Pusat sudah memberikan peluang terlalu banyak kepada masyarakat di Papua untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, sejumlah suara di tingkat Pemerintah Pusat ingin supaya isi Otsus diubah secara substansial, dan menurut informasi terakhir proses revisi terhadap UU Otonomi Khusus sedang dijalankan. Ada kesan kuat bahwa jika jiwa dan tujuan Otsus sebagaimana dirancang oleh para tokoh Papua, de facto sudah dinyatakan mati oleh Pemerintah Pusat, maka dampak pembatalan otsus akan serius karena: 1. Papua kehilangan peluang administrasi kenegaraan untuk tangani konflik: komisi rekonsiliasi, komisi HAM, pengadilan HAM, kuota perempuan di MRP, pembentukan MRP dan kewenangannya. 2. Papua kehilangan alokasi dana yang kiranya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan masyarakat terutama di wilayah pedalaman. 3. Papua dipecah dari dalam dan sebagian orang Papua dengan sadar melibatkan diri dalam pemecah belahan atau politik devide et impera gaya Belanda ini. Pendek kata, suasana pemekaran yang serba semrawut mempunyai dampak yang luar biasa terhadap kehidupan bermasyarakat di Papua selama tahun 2003-2004 dan berlangsung sampai saat ini. Secara umum dampaknya negatif karena lebih merusak daripada membangun. Menanggapi keadaan tersebut, DPRP telah mengeluarkan pendapatnya berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Papua Nomor 6/DPRD/2003 tentang Usulan Peninjauan Kembali Inpres Nomor 1 Tahun 2003. sementara DPRP juga mengajukan uji materiil UU Nomor 45 Tahun 1999 terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Dewan Adat Papua juga menyampaikan hasil Sidang Adat Papua II yang diselenggarakan tanggal 22 26 Febrari 2004 di Biak, Papua kepada MK melalui surat Nomor 03/A.1/DAP/III/2004 tertanggal 9 Maret 2004. Sidang tersebut merupakan sikap resmi Masyarakat Adat Papua di Tanah Papua yang menolak pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsipropinsi baru berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut sama sekali tidak dikonsultasikan secara demokratis dengan masyarakat Papua, hal demikian mengejutkan masyarakat yang sebetulnya sedang menantikan perwujudan konkrit dari kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang dapat dianggap sebagai hasil yang dicapai melalui suatu proses demokratis; dalam arti telah melibatkan masyarakat dalam perumusan undang-undang tersebut. Adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 de facto menyangkal adanya UU Nomor 21 Tahun 2001 yang telah mengikat masyarakat dan pemerintah untuk dilaksanakan. Jika meneliti secara seksama isi dari Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 yang diberlakukan di Provinsi Papua ini, mengenai pemekaran provinsiprovinsi baru sudah secara jelas diatur dalam pasal 76 yang mensyaratkan terlebih dulu adanya persetujuan dari DPR Provinsi Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP); dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 juga disyaratkan adanya proses studi dan pengkajian budaya, kesiapan infrastruktur, kebutuhan dan tentunya kesiapan sumber daya manusia di suatu wilayah yang ingin dimekarkan menjadi suatu provinsi di Tanah Papua ini. Dengan demikian, Inpres ini jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan dalam UU Otsus sebagai produk hukum diatasnya yang sudah disetujui dan disahkan oleh pemerintah pusat sendiri. Maka dengan adanya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tersebut sangat mencemaskan karena menimbulkan ketidakpastian hukum maupun politik yang 70
berdampak mengganggu ketenteraman hidup masyarakat dan penegakan hukum di Papua. Bangsa Papua merasa diri dipecah-belah secara paksa bahkan sampai terjadi kekerasan yang hebat di Timika. Sekaligus dilakukannya pemekaran melumpuhkan segala pelaksanaan Otsus selama tahun 2003 dan berdampak sampai saat ini. Dapat dipahami pula bertambahnya ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap niat pemerintah pusat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan Papua secara damai dan demokratis. Bukan hanya itu, dunia internasional juga meragukan keseriusan pemerintah Indonesia menangani masalah Papua, yang semula telah ada dukungan penyelesaian melalui Otsus. Langkah penegakan hukum yang seharusnya dilakukan oleh DPRP yang mewakili masyarakat Papua dalam masalah ini adalah pertama, dengan mengajukan gugatan uji materiil (Judicial Review) Inpres Nomor 1 Tahun 2003 terhadap undangundang di atasnya yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 kepada Mahkamah Agung. Uji materiil ini sangat penting untuk melihat taraf sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan, yaitu harmonisasi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 dengan UU Otsus tersebut. Namun langkah ini tidak dilakukan DPRP. Langkah kedua yang dilakukan oleh DPRP adalah dengan mengajukan permohonan uji materiil UU Nomor 45 Tahun 1999 terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Mahkamah Agung; karena Mahkamah Agung hanya berwenang mengadili perkara uji materiil terhadap semua peraturan perundang-undangan dibawah UU. Walaupun kedua lembaga kehakiman ini memiliki kesamaan kewenangan melakukan uji materiil peraturan perundang-undangan, namun kompetensinya berbeda. MK hanya mengadili perkara uji materril UU terhadap UUD. Langkah hukum yang dilakukan oleh Ketua DPRP John Ibo dalam mengatasi masalah pemekaran Provinsi di Papua dengan mengajukan gugatan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Pada dasarnya pemohon memohon agar menyatakan pasal-pasal di dalam UU Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000, baik sebagian atau keseluruhannya, sepanjang yang mengatur tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Gugatan tersebut diajukan karena rakyat Papua mengajukan desakan ke DPRP bahwa pelaksanaan Otsus di Papua dinilai diimplementasikan secara tidak layak akibat pemberlakuan UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi sejumlah ahli tata negara dengan jelas dan tegas menandaskan bahwa pemekaran bertentangan dengan UU Otsus dan bahkan bertentangan dengan konstitusi. Seperti di hadapan Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Harun Al-Rasyid menegaskan bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus berdasarkan prinsip UU baru meniadakan UU lama. Selain itu, ditambahkan bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 juga bertentangan dengan UU 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang mensyaratkan adanya pemekaran wilayah berdasarkan persetujuan rakyat dari provinsi induk. Hal senada ditegaskan oleh Prof. Dr. Sri Soemantri, bahwa UU 45 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18B yang menegaskan bahwa negara harus menghormati wilayah khusus yang diatur dengan undang-undang. Selain itu Dr. Maria F. Suprapto, S.H., M.H., juga memberi keterangan yang pada pokoknya bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 berkaitan erat dengan Undang-undang Otonomi Khusus. Yang dirumuskan di dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 adalah 71
mengenai pemekaran Irian Jaya sedangkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai otonomi khusus bagi Propinsi Papua dalam konsideran huruf k dan Ketentuan Umum Pasal 1 huruf a menggantikan nama Irian Jaya menjadi Papua. Selanjutnya suatu peraturan tidak hanya dapat dilihat dari pasal itu saja, namun harus melihat hubungan pasal-pasal ini dan dengan keseluruhan pasal-pasal yang ada dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 juga mengalami sesuatu yang berlebihan. Dalam konsideran huruf d Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 mengacu pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan menyebutkan adanya Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat di samping adanya kabupaten. Kalau dilihat, maka sebetulnya dalam ketentuan Peralihan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 125 hanya dikatakan Kotamadya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Simelue, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi daerah otonomi dengan memperhatikan Pasal 5 undang-undang ini. Berarti perintah untuk pemekaran atau pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat tidak diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Jadi kesalahannya tidak hanya dari hubungan antara Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, tapi pembentukan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 itu bertentangan juga dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.31 Beberapa pertimbangan hukum yang dikemukakan oleh MK mengenai pokok perkara dalam gugatan Judicial Review UU Nomor 45 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2000 terhadap UUD 1945 tersebut di atas, setelah mendengar keterangan Pemerintah, DPR, Pemda Irjabar, Pemda Papua, Pemohon, Saksi, Bukti-bukti adalah sebagai berikut: 1. Menurut pertimbangan MK bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 diundangkan sebelum perubahan UUD 1945, karena itu dasar konstitusional pembentukannya merujuk kepada UUD 1945 sebelum perubahan, antara lain Pasal 18 yang hanya terdiri dari satu pasal yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Sebab itu Mahkamah berpendapat tidak terbukti pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam kedua undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Namun dengan adanya perubahan UUD 1945 maka berarti terdapat suatu tertib hukum baru (new legal order) yang mengakibatkan tertib hukum yang lama (old legal order) kehilangan daya lakunya sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State” (versi bahasa Inggris, edisi 1961, hal. 118-119) “… that the norms of the old order are regarded as devoid of validity because the old constitution end, therefore, the legal norms based on this constitution, the old legal order as a whole, has lost its efficacy; because the actual behavior of men does no longer conform to this old legal order. Every single norm loses its validity when the total legal order to which it belongs loses its efficacy as a whole”; 2. memperhatikan argumentasi Pemohon yang menggunakan asas lex superiori derogat legi inferiori. Mahkamah berpendapat bahwa asas dimaksud tidak tepat untuk diterapkan dalam kasus ini, karena UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 31
Lihat Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 tanggal 11 November 2004, yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004.
72
5 Tahun 2000 diundangkan sebelum UUD 1945 Perubahan Kedua (18 Agustus 2000). Sedangkan UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dibentuk berdasarkan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijaksanaan dalam Otonomi Daerah, Tap MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004. Dengan demikian, Mahkamah menilai bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 adalah sah dan tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi yang terkandung dalam UUD 1945, sehingga segala hal yang timbul sebagai akibat hukum diundangkannya kedua undang-undang tersebut adalah sah pula; 3. terhadap dalil Pemohon bahwa UU Nomor 45 tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 menjadi batal untuk sebagian sepanjang yang mengatur pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dengan berlakunya UU Nomor 21 tahun 2001 karena bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generalis dan asas lex posteriori derogat legi priori; Mahkamah berpendapat bahwa kedua asas tersebut tidak dapat diterapkan terhadap UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 dikaitkan dengan diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, karena materi muatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 adalah mengatur tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong, yang berbeda dengan materi muatan yang diatur oleh UU Nomor 21 Tahun 2001, yang berisi ketentuan tentang segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Lagi pula UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak taat asas (inkonsisten) dan bersifat mendua (ambivalen). Inkonsistensi dan ambivalensi tersebut terlihat antara lain dalam Penjelasan Umum undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang mengakui wilayah Provinsi Papua terdiri atas 12 (dua belas) kabupaten dan 2 (dua) kota, termasuk Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong yang dibentuk dengan UU Nomor 45 Tahun 1999. Sementara itu UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak menyinggung sedikitpun keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah, padahal kedua Provinsi itu pun dibentuk dengan UU Nomor 45 Tahun 1999. 4. Menimbang bahwa Ketentuan Peralihan yang tercantum dalam Pasal 74 UU Nomor 21 Tahun 2001 yang berbunyi: “Semua peraturan perundang-undangan yang ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini” tidak memberikan kepastian tentang status UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 setelah diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001. Hal ini menimbulkan berbagai macam penafsiran atau multi interpretasi, sebagaimana tercermin dalam dalil yang dikemukakan Pemohon dan keterangan Pemerintah. Dalam permohonannya, Pemohon hanya memohon agar pasal-pasal UU Nomor 45 Tahun 1999 yang berkaitan dengan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat saja yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, yang berarti Pemohon masih mengakui pasal-pasal lainnya, termasuk pasal yang berkaitan dengan pembentukan Kabupaten Paniai, Mimika, Puncak Jaya dan Kota Sorong. Sementara itu Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003, yang berarti mengakui keberadaan UU Nomor 45 Tahun 1999 secara keseluruhan. 5. Menimbang, sikap Pemerintah dimaksud didasarkan pada pertimbangan bahwa secara normatif pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat telah terjadi sejak diundangkannya UU Nomor 45 Tahun 1999, sehingga UU Nomor 21 Tahun 2001 berlaku terhadap ketiga Provinsi yang dibentuk oleh UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut. Sebaliknya, Pemohon berpendapat bahwa UU Nomor 45 73
Tahun 1999 berlaku terhadap pembentukan 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota, karena pembentukan 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota itu, selain sah secara normatif juga secara faktual telah berjalan efektif. Faktor efektivitas inilah yang dijadikan kriteria oleh Pemohon untuk mendalilkan bahwa sepanjang mengenai pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, UU Nomor 45 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, karena menurut pendapat Pemohon, pada saat UU Nomor 21 Tahun 2001 diundangkan, kedua Provinsi itu belum terbentuk secara efektif. 6. Mahkamah sependapat bahwa efektivitas dapat dijadikan salah satu ukuran (kriteria) untuk menentukan berlakunya suatu undang-undang. Namun Mahkamah tidak sependapat baik dengan Pemohon maupun dengan Pemerintah mengenai saat mulai berlakunya dan pasal-pasal mana saja dalam UU Nomor 45 Tahun 1999 yang masih berlaku. Pemohon berpendapat bahwa UU Nomor 45 Tahun 1999 telah kehilangan daya laku sejak diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001, sehingga segala akibat hukum yang terjadi sebelumnya adalah sah, termasuk pembentukan 3 (tiga) kabupaten dan 1 (satu) kota, sedangkan hal-hal yang menjadi materi muatan undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tetapi belum terlaksana (efektif) sampai diundangkannya undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, termasuk pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, menurut pendapat Pemohon, tidak lagi mempunyai dasar hukum; 7. mahkamah berpendapat bahwa baik pendapat Pemohon maupun pendapat Pemerintah, masing-masing mempunyai argumentasi yang cukup beralasan, dan lahir sebagai akibat inkonsistensi dan ambivalensi UU Nomor 21 Tahun 2001 yang tidak secara tegas menentukan keberlakuan atau ketidakberlakuan UU Nomor 45 Tahun 1999 sebagaimana diuraikan di atas. Namun walaupun materi muatan yang diatur oleh UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 21 Tahun 2001 berbeda, tetapi dalam beberapa hal bersinggungan, yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya. Perbedaan penafsiran itu secara yuridis akan menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, dan secara sosial politis dapat menimbulkan konflik dalam masyarakat; 8. untuk mengakhiri ketidakpastian hukum serta mencegah timbulnya konflik dalam masyarakat, maka Mahkamah berpendapat bahwa perbedaan penafsiran timbul karena terjadinya perubahan atas UUD 1945, yang mengakibatkan sebagian materi muatan UU Nomor 45 Tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan UUD 1945, khususnya Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati satuansatuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU”. Namun demikian, sebagaimana telah diutarakan di atas, Pasal 18B UUD 1945 yang menjadi dasar pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2001 tidak dapat dipergunakan sebagai dasar konstitusional untuk menilai keberlakuan UU Nomor 45 Tahun 1999 yang telah diundangkan sebelum UUD 1945 Perubahan Kedua; 9. Menimbang bahwa persyaratan tentang pemekaran Provinsi Papua yang tercantum dalam Pasal 76 dan Pasal 77 UU Nomor 21 Tahun 2001 adalah berlaku setelah diundangkannya UU Nomor 21 Tahun 2001 tetapi tidak berlaku terhadap pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat yang secara normatif dibentuk berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999; 10. Menimbang bahwa pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat secara faktual telah berjalan efektif, yang antara lain terbukti dengan telah terbentuknya pemerintahan Provinsi Irian Jaya Barat dan terbentuknya DPRD hasil Pemilu 2004 beserta kelengkapan administrasinya termasuk anggaran belanja dan pendapatan daerah 74
(APBD), serta terpilihnya Anggota DPD yang mewakili Provinsi Irian Jaya Barat. Sementara itu, pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah hingga saat ini belum terealisasikan. Dengan demikian Mahkamah berpendapat, keberadaan provinsi dan kabupaten/kota yang telah dimekarkan berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 adalah sah adanya; Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai Jimly Asshiddiqie, memberikan Keputusan terhadap Perkara Nomor 018/PUU-I/2003 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2004, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal 11 November 2004 sebagai berikut: 1. Menyatakan Permohonan Pemohon dikabulkan; 2. Menyatakan, dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135), pemberlakuan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3894), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan, sejak diucapkannya Putusan ini, Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Dari sembilan hakim MK, hanya satu hakim MK Maruarar Siahaan menyatakan dissenting opinion (perbedaan pendapat) atas putusan ini. Walaupun ia dapat menyetujui diktum putusan dalam perkara tersebut, akan tetapi berbeda dengan pendapat mayoritas dalam pertimbangan hukum yang menyangkut akibat hukum dari diktum putusan yang menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun l999 bertentangan dengan UUD l945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum. Ia berpendapat bahwa konsekuensi dari penerimaan judicial review ini harusnya berimplikasi juga terhadap pembatalan pembentukan Provinsi Irjabar. Alasannya dapat dikemukakan sebagai berikut:32 Putusan Mahkamah dalam hal ini seharusnya hanya menegaskan berkerjanya prinsip hukum yang diakui oleh konstitusi bahwa dengan berlakunya undang-undang yang baru, undang-undang yang lama tidak berlaku lagi, karena meskipun tidak secara tegas dinyatakan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tidak berlaku lagi, tetapi sepanjang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, Undang-undang Nomor 45 tahun 1999 tersebut dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Sehingga seyogyanya Provinsi Irian Jaya Barat dan seluruh ikutan strukturnya dinyatakan batal. Alasan hukum tidak diberlakukannya Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999, terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat, adalah karena telah bertentangan dengan Konstitusi. Sepintas UU Nomor 45 Tahun 1999 kelihatannya tidak bertentangan dengan pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan yang berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat 32
Ibid.
75
istimewa”. Namun jika memperhatikan Penjelasan Pasal 18 butir II, UUD 1945 sebelum perubahan, mengakui juga daerah yang memiliki susunan asli sebagai daerah istimewa: Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zeifbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Apabila Penjelasan tersebut diperhatikan, maka maknanya tidak berbeda dengan adanya ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan yang berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU”. Hanya saja Pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan lebih memperjelas pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan. Karena itu tidak ada kesan pertentangan antara pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan dengan Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahan. Tegasnya UU Nomor 45 Tahun 1999 yang diberlakukan kembali oleh Inpres Nomor 1 Tahun 2003 bukan hanya bertentangan dengan pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan tetapi juga bertentangan dengan Pasal 18 UUD 1945 berikut penjelasannya sebelum perubahan. Jadi UU Nomor 21 Tahun 2001 yang baru yang berlandaskan Pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan, mengenyampingkan UU Nomor 45 Tahun 1999. Dalam hal ini perlaku prinsip suatu tertib hukum baru mengenyampingkan tertib hukum yang lama. Dengan demikian terdapat suatu tertib hukum baru (new legal order) yaitu UU Nomor 21 Tahun 2001 yang berlandaskan Pasal 18B UUD 1945 setelah perubahan mengakibatkan tertib hukum yang lama (old legal order) UU Nomor 45 Tahun 1999 telah kehilangan daya lakunya. Dalam hal ini juga berlaku asas lex posteriori derogat legi priori yaitu aturan hukum yang kemudian mengesampingkan aturan hukum yang dahulu, atau apabila ada dua undang-undang yang masing-masing mengatur masalah yang sama, akan tetapi dengan substansi yang berbeda, yang berlaku adalah undang-undang yang berlaku belakangan atau terakhir. Dengan demikian Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 harus dikesampingkan setelah berlakunya UU Nomor 21 Tahun 2001 berdasarkan Pasal 18B UUD RI 1945. Karena itu, tindakan Pemerintah Pusat melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003 untuk memberlakukan kembali Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 setelah berlakunya Pasal 18B UUD RI Tahun 1945 jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 adalah bertentangan dengan asas lex posieriori derogat lex priori, sehingga UU Nomor 45 Tahun 1999 harus dikesampingkan. Dengan demikian akibat hukum yang timbul dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 45 Tahun l999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar l945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, seharusnya dengan sendirinya mengakibatkan batalnya pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat dengan segala ikutan struktur yang terlanjur terbentuk atas dasar UU tersebut. Implikasi hukum lain dari penerapan Pasal 18B UUD RI Tahun 1945 dan perundangan lain seperti: TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 juncto TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 menyebabkan semua peraturan perundangan lainnya yang bertentangan atau melanggar semangat, asas, prinsip, dan pasal perundangan tersebut dinyatakan tidak berlaku. Karena itu, Undangundang Nomor 45 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-undang 76
Nomor 5 Tahun 2000 harus dinyatakan tidak berlaku atau dikesampingkan untuk keseluruhannya dan atau sebagiannya, terutama pasal-pasal yang mengatur pembentukan atau pemekaran wilayah Provinsi Papua. Ternyata perintah konstitusi yang juga telah dijabarkan di dalam berbagai peraturan perundangan lainnya untuk melaksanakan otonomi di Propinsi Papua tersebut, telah tidak dipatuhi oleh Pemerintah Pusat, karena pada tanggal 27 Januari 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Inpres tersebut mengatur mengenai percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 2003 bermaksud memberlakukan kembali daya berlakukannya Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 tidak hanya telah melanggar konsitusi dan bertentangan dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua tetapi juga telah mendapat tantangan dari hampir seluruh lapisan masyarakat Papua. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut juga merupakan indikasi dari perwujudan pemaksaan kehendak dan tindakan melawan hukum dari Pemerintah Pusat terhadap satu wilayah kesatuan yang secara konstitusional telah diakui kekhasannya dengan telah diberlakukannya Undang-undang Otonomi Khusus di seluruh bagian Propinsi Papua yang dulu bernama Propinsi Irian Jaya. Di dalam Pasal 76, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 secara jelas dan tegas mengatur; "Pemekaran Propinsi Papua menjadi propinsi-propinsi dilakukan atas persetujuan MRP (Majelis Rakyat Papua) dan DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua) setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang''. Begitu pula dengan Pasal 74 yang secara implisit mengemukakan, bahwa “semua peraturan perundangan lain yang bertentangan dengan Undang-undang Otonomi Khusus Bagi Papua dinyatakan tidak berlaku”. Jadi Inpres Nomor 1 Tahun 2003 yang memberlakukan kembali UU Nomor 45 Tahun 1999 telah bertentangan dengan Pasal 74 dan Pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001, selain itu Inpres tersebut juga bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999, juga bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945. Selain itu bertentangan juga dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori yaitu aturan hukum yang lebih tinggi menyampingkan aturan hukum yang lebih rendah, atau peraturan yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi. UUD RI Tahun 1945 dalam Pasal 18B (1) dan (2) menyatakan "Negara mengakui dan menghormati satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa, serta mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya". Implementasi ketentuan tersebut adalah lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Dengan demikan, menurut hukum, keberadaan Inpres yang mempercepat pelaksanaan pemekaran Provinsi Irian Jaya berdasarkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 telah di kesampingkan oleh Pasal 18B UUD RI Tahun 1945. Dengan demikian, tindakan Pemerintah Pusat mengeluarkan Inpres 1 Tahun 2003 untuk mempercepat pemekaran di Propinsi Papua dengan menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 adalah melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori tersebut.
77
Juga karena masalah pemekaran propinsi di Papua telah diatur secara khusus oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001, maka ada kewajiban hukum bagi Pemerintah Pusat jika hendak melakukan pemekaran Propinsi Papua seharusnya menggunakan instrumen Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 bukan Undangundang Nomor 45 Tahun 1999. Pemerintah Pusat tidak bisa mengingkari dan mengabaikan keberadaan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 dalam pemekaran Propinsi Papua, karena itu berarti Pemerintah Pusat telah melanggar konstitusi. Sayangnya dalam pertimbangan hukum MK tersebut tidak disinggung mengenai fakta hukum bahwa Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 4 Oktober 1999 tersebut tidak memenuhi persyaratan keberlakuan hukum,33 baik secara sosiologis dan filosofis karena ditentang oleh masyarakat Papua dan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, juga tidak memenuhi keberlakuan yuridis karena proses pembentukannya tidak sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 7 Mei 1999, dan secara substansial telah bertentangan dengan UU Nomor 21 Tahun 2001, dan bahkan tidak sesuai pula dengan asas Lex posteriori derogat legi priori. Sebab itu UU Nomor 45 Tahun 1999 sebenarnya sejak awal telah batal demi hukum. Selain itu UU Nomor 45 Tahun 1999 tersebut bukan merupakan peraturan hukum yang disebut sebagai “living law” oleh Eugen Ehrlich.34 Karena tidak berlaku secara efektif setelah ditolak oleh masyarakat Papua dan DPRP ketika diundangkan. Dalam salah satu pertimbangan hukumnya, MK menyatakan bahwa materi muatan kedua UU itu berbeda, namun bersinggungan dan tidak hanya itu, tetapi juga tidak dilihat bahwa sebenarnya UU Nomor 21 Tahun 2001 bertentangan dengan UU Nomor 45 Tahun 1999, khususnya Pasal 11 yang menyatakan bahwa “Dengan dibentuknya Propinsi Irian Jaya Tengah dan Propinsi Irian Jaya Barat, Propinsi Irian Jaya diubah namanya menjadi Propinsi Irian Jaya Timur.” Provinsi Irian Jaya yang dirubah namanya menjadi Provinsi Irian Jaya Timur batas wilayahnya mengalami reduksi atau berkurang. Sedangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 Pasal 1a menyatakan bahwa “Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus. Atau dengan kata lain Provinsi Irian Jaya dirubah namanya menjadi Provinsi Papua.” Wilayah Provinsi Irian Jaya adalah sama dengan wilayah Provinsi Papua. Jadi kedua undang-undang tersebut mengatur perubahan nama yang berimplikasi kepada batas wilayah pemerintahan. Dari keputusan MK tersebut juga terlihat pertimbangan sosial-politik begitu kental ketimbang pertimbangan hukumnya. Hal itu terbukti dari adanya pemisahan institusi atau lembaga di satu pihak dan hukum di pihak lain yang biasanya dibuat oleh ahli-ahli ilmu sosial-politik. Menurut Hans Kelsen, dalam pandangan hukum murni,35 negara identik dengan hukum atau negara sebagai tata hukum. Jadi seharusnya institusi atau lembaga negara tidak dapat dipisahkan dengan hukum, karena tata negara 33
J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (Terj. Arief Sidharta), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 147-153. 34 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 66-67; Lihat juga Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993, hlm. 82-85. Walaupun Ehrlich sepaham dengan von Savigny, namun “volkgeist” dibuat menjadi realistis tentang “fakta-fakta hukum” dan konsep “living Law” yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat, lihat W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Susunan II (Terj. Muhamad Arifin), Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 104-106. 35 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, 1961, hlm. 181-193. Lihat juga, Hans Kelsen, Teori Hukum Murni – Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (terj. Raisul Muttaqien), Nuansa-Nusamedia, Bandung, 2006, hlm. 316-352.
78
merupakan tata hukum. Atau negara merupakan suatu entitas hukum, karena berdirinya suatu lembaga negara dibentuk oleh hukum. Apabila hukum tersebut di cabut maka secara otomatis lembaga negara tersebut runtuh pula. Provinsi merupakan salah suatu organ negara yang dibentuk oleh hukum, dalam hal ini undang-undang, dengan demikian jika hukum tersebut dibatalkan, maka dengan sendirinya organ negara tersebut harus pula bubar. Hanya dengan ini maka kepastian hukum dapat ditegakan. Dampak lain dari Keputusan MK tersebut juga berakibat terhadap sejauhmana masa jabatan Pjs Gubernur Irian Jaya Barat berlaku. Timbul pertanyaan, apabila pembentukan Provinsi IJB diakui berdasarkan keputusan MK maka bagaimana dengan status Gubernur IJB yang telah dianulir dengan Putusan PTUN? Ketua DPRP John Ibo ketika mengemukakan pendapatnya di depan sidang MK meminta agar Mejelis Hakim mempertimbangkan putusan PTUN tentang peninjauan kembali status Gubernur Irjabar. Pengadilan Tata Usaha Negara telah menjatuhkan putusan menganulir Keppres No, 213/M/2003 tentang Pengangkatan Abraham O. Atururi sebagai Gubernur IJB tetapi langkah-langkah hukum ini seakan-akan tidak mempunyai dampak dalam kehidupan politik kenegaraan. Presiden Megawati tidak juga mencabut Keppres-nya sehingga Gubernur IJB dihadapan publik mengatakan bahwa pihaknya hanya mengikuti perintah atasannya.36 Kelihatannya hukum dalam hal ini putusan hakim dapat dikesampingkan oleh politik kekuasaan. Juga dengan tidak mempertimbangkan putusan PTUN tentang peninjauan kembali status Gubernur IJB maka keputusan MK terkesan mendukung kebijakan politik kekuasaan. Dalam kasus ini supremasi hukum berada dibawah supremasi politik sehingga dalam kenyataannya pada tataran praktis, Indonesia masih diragukan sebagai negara hukum. Namun demikian jika kita menyimak pertimbangan hukum dari keputusan MK tersebut di atas kelihatannya cukup bijaksana menghadapi masalah Papua karena berani mengambil keputusan jalan tengah terhadap dua kubu dengan cara “win-win solution”. Saya melihat keputusan tersebut tidak sepenuhnya dibuat berdasarkan pertimbangan yuridis tetapi juga menggunakan pertimbangan sosiologis-politis, jadi logika sosial-politik cukup berperan. Bisa saja putusan MK ini sebagai jalan tengah untuk menghindari konflik antar masyarakat, tetapi sikap kemenduaan seperti ini jelas tidak membantu siapa pun baik itu pihak Provinsi Papua, pihak IJB maupun Pemerintah Pusat. Berbeda dengan pendapat Maruarar Siahaan yang memang benar-benar berdasarkan pertimbangan yuridis, dengan berpegang pada logika hukum. Itulah sebabnya dilihat dari sudut kepastian hukum, maka Keputusan MK berada jauh dari kepastian hukum karena masuknya pertimbangan sosial-politis. Hal ini membawa dampak bagi status hukum pembentukan Provinsi IJB yang sekarang diubah namanya menjadi Provinsi Papua Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Perubahan Nama Provinsi Irian Jaya Barat Menjadi Provinsi Papua Barat yang berlaku sejak diundangkan pada tanggal 18 April 2007. Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut melahirkan dampak hukum dimana UU Nomor 45 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku namun Provinsi IJB tetap diakui keberadaannya. Itu berarti sejak tanggal keputusan tersebut provinsi Irian Jaya Barat terbentuk dengan tidak memiliki dasar hukum dan wilayah kekuasaan. Berdasarkan UUD 1945 pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa pembagian daerah besar atau kecil 36
Lihat Harian Cenderawasih Pos yang terbit di Papua pada Hari Sabtu, 16 Oktober 1999, ketika diwawancarai oleh wartawan Surat Kabar Harian (SKH) Cenderawasih Pos.
79
ditetapkan dengan Undang-undang. Sebab itu Pemerintah dan DPR harus segera membuat atau menetapkan landasan hukum pembentukan Provinsi IJB dalam bentuk UU, karena Undang Undang Dasar 1945 mengharuskan pembentukan suatu Provinsi oleh undang-undang. Namun sampai sekarang belum dikeluarkan undang-undang baru untuk menjadi dasar hukum IJB. Ini berimplikasi kepada semua produk hukum Provinsi IJB baik, keputusan gubernur dan perda Provinsi IJB akan tidak memiliki dasar hukum sehingga dapat digugat apabila terjadi masalah hukum. Keputusan MK tersebut dalam tradisi anglo saxon dapat dianggap sebagai preseden yang membentuk suatu yurisprudensi.37 Apabila ditinjau dari segi ilmu pengetahuan hukum, diakui bahwa yurisprudensi juga merupakan suatu sumber hukum. Sebab itu dasar hukum IJB dalam tradisi anglo saxon dapat berpijak pada Yurisprudensi MK. Namun demikian sistem hukum Indonesia telah berorientasi pada tradisi Eropa Kontinental, sehingga menurut pasal 18 ayat (1) UUD 1945, pembentukan suatu provinsi harus berdasarkan suatu undang-undang. Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut sementara menunggu terbentuknya Undang-undang bagi Provinsi IJB maka Provinsi IJB tetap dapat berjalan berdasarkan putusan hakim MK yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau yurisprudensi tersebut. Konsekuensi dari penerimaan judicial review ini seharusnya berimplikasi juga terhadap pembatalan pembentukan Irjabar. Sementara putusan MK hanya membatalkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, tetapi keberadaan Irjabar tetap dikukuhkan karena mendapat pengakuan. Dengan demikian Putusan MK justru menghasilkan masalah baru dimana payung hukum sebagai dasar pembentukan Provinsi IJB menjadi mengambang sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Agar masalah ini tidak berlarut-larut yang berdampak pada terhambatnya penegakan hukum di Indonesia dan khususnya di Papua sejak UU Nomor 45 Tahun 1999 dan UU Nomor 5 Tahun 2000 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum tetap oleh Keputusan MK, maka pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah sesuai dengan Pasal 76 Undang-undang Otonomi Khusus untuk membentuk landasan hukum bagi Provinsi IJB dan Kabupaten Mimika, kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, serta Kota Sorong berupa undang-undang seperti yang dimaksud oleh Pasal 18 ayat (1) UUD 1945. Sementara menunggu undang-undang dimaksud, maka keputusan hakim MK tersebut dijadikan dasar hukum bagi semua Keputusan Kepala Daerah dan Perdasi dan Perdasus IJB. Sedangkan dasar hukum bagi semua Keputusan Kepala Daerah dan Perda kabupaten Paniai, Puncak Jaya, Mimika, dan Kota Sorong digunakan Pasal 125 UU Nomor 22 Tahun 1999 jo Pasal 231, Pasal 232 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku sejak tanggal 15 Oktober 2004, sebulan sebelum keputusan MK diucapkan. Akhirnya pada tanggal 16 April 2008, Pemerintah menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 16 April 2008. Dengan demikian berakhirlah masalah mengenai status hukum Provinsi Papua Barat. Ada dua dasar pertimbangan penting dari Perpu tersebut yaitu: a. bahwa keberadaan Provinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah menjadi Provinsi Papua Barat, dalam kenyataannya telah menjalankan urusan pemerintahan dan pembangunan serta memberikan pelayanan kepada masyarakat sejak tahun 2003, namun belum diberlakukan Otonomi Khusus
37
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, hlm. 346347; Juga Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konpress, Jakarta, 2006, hlm.131-132. Lihat juga Hans Kelsen, 1961, Op.Cit., hlm. 146-150.
80
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua; b. bahwa pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Barat memerlukan kepastian hukum yang sifatnya mendesak dan segera agar tidak menimbulkan hambatan percepatan pembangunan khususnya bidang sosial, ekonomi, dan politik serta infrastruktur di Provinsi Papua Barat; Kemudian dalam Perpu tersebut hanya tiga ayat dari dua pasal yang dirubah yaitu pasal 1 huruf a, dan Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l, yang berbunyi, Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang kemudian menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan pasal yang dihapus adalah pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf l yang berbunyi: DPRP mempunyai tugas dan wewenang: c. memilih Gubernur dan Wakil Gubernur; d. memilih para utusan Provinsi Papua sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Dengan demikian berdasarkan Perpu tersebut Provinsi Papua Barat telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Namun demikian Perpu tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR dalam masa sidang berikutnya. Apabila Perpu tersebut tidak mendapat persetujuan dalam masa sidang DPR berikutnya, maka status hukum Provinsi Papua Barat terus bermasalah. Untuk mengatasi masalah tersebut kiranya DPR perlu mendengarkan pendapat MRP dan DPRP sebelum memberikan persetujuan mengenai Perpu tersebut dalam masa sidang berikutnya. Akhirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tersebut kemudian disahkan dalam rapat Paripurna DPR tanggal 25 Juli 2008 menjadi Undangundang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, menjadi dasar pembentukan daerah otonom Provinsi Papua Barat. Agar supaya ada kepastian dan landasan hukum bagi Provinsi Papua Barat dan kabupaten kota yang telah dibentuk menurut UU Nomor 45 tahun 1999, maka UU nomor 45 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, perlu dihidupkan kembali. Namun mengingat status UU Nomor 45 tahun 1999 yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh putusan MK, maka pasal-pasal yang menyangkut pembantukan Provinsi Papua Tengah harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dalam RUU yang baru ini. Dengan demikian selanjutnya untuk pembentukan provinsi di tanah papua harus berdasarkan ketentuan dalam UU baru yang akan dibentuk. Undang-undang Otsus juga telah diuji materiil di MK berkenaan dengan masalah keanggotaan DPRP yang mewakili rakyat Papua, berdasarkan Putusan Nomor 116/PUU-VII/2009, yang dibacakan pada hari Senin tanggal 1 Februari 2010 yang amar putusannya a.l.: • Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) sepanjang frasa ”berdasarkan peraturan perundangundangan” adalah inkonstitusional kecuali frasa ”berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam pasal a quo diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”; • Menyatakan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 81
2001 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ”berdasarkan peraturan perundang-undangan” tidak diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus”; • Menyatakan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua periode 2009-2014 sebanyak 56 (lima puluh enam) anggota sah menurut hukum, ditambah 11 (sebelas) anggota yang diangkat berdasarkan Peraturan Daerah Khusus sebagaimana amar putusan ini dan berlaku hanya sekali (einmalig) untuk periode 2009-2014; Berdasarkan putusan MK tersebut, maka MRP dan DPRP segera membentuk perdasus untuk menjawab masalah tersebut. C. UU nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang terkait yang kewenangannya diatur secara khusus dalam RUU-PP. Rancangan Undang-undang Pemerintahan Papua yang apabila ditetapkan menjadi UU merupakan UU yang hanya berlaku di wilayah Provinsi di Tanah Papua yang diberi otonomi khusus. Sebab itu harus dipandang sebagai undang-undang yang berlaku menurut asas lex spesialis derogat lex generalis. Sedang UU nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang terkait yang kewenangannya diatur secara khusus dalam RUU-PP, merupakan UU yang berlaku secara nasional termasuk di tanah Papua. Pemerintah pusat memiliki kewenangan sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 ayat 3 UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, Yustisi, meneter dan fiskal nasional, dan agama. Sedang kewenangan lain yang bukan merupakan kewenangan pusat melalui RUU-PP hendak dilaksanakan oleh Pemerintahan Papua untuk mensejahterakan masyarakat di Tanah Papua. Sebagian kewenangan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Provinsi yang diperlukan antara lain di bidang: Kehutanan, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Perlindungan Anak, Kepegawaian, Penataan Ruang, Perseroan Terbatas, Kesehatan, Kekuasaan Kehakiman, Kesejahteraan Anak, Penanaman Modal, Minyak dan Gas Bumi, Ketenagakerjaan, Keuangan Negara, Sistem Pendidikan Nasional, Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Jalan, Sistem Keolahragaan Nasional, Penerbangan, Mineral dan Batubara, Kepariwisataan, Kesejahteraan Sosial, Kesehatan, Kepemudaan, Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pangan, Penanganan Konflik Sosial, Pendidikan Tinggi, Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, Hubungan Luar Negeri, Perjanjian Internasional, Perikanan, Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, narkotika dan obat-obat terlarang.
82
BAB V LANDASAN PENGATURAN
Landasan Filosofis Kebijakan otonomi khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengakomodasikan tiga hal; menjawab kebutuhan peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini. Ada sejumlah landasan fiolosofis yang dikedepankan oleh Naskah Akademik ini: 1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; 2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi, hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar; 3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang; 4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan daerah otonomi khusus; 5. Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara; 6. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua. Landasan Sosiologis Sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya dipengaruhi oleh penduduk dari kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa disepanjang pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih pantas digolongkan sebagai Ras Melanesia dari pada Ras Papua.38 Zending atau misi kristen protestan dari Jerman (Ottow & Geissler) tiba di pulau Mansinam Manokwari 5 Februari 1855 untuk selanjutnya menyebarkan ajaran agama 38
Lihat Agus A Alua, Papua Barat Dari Pangkuan ke Pangkuan Suatu Ikhtisar Kronologis, Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur, 2006, h. 3, lihat juga H.W. Bachtiar Sejarah Irian Jaya dalam Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta Djambatan 1994, h.44-h.49
83
disepanjang pesisir pantai utara Irian. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari 50.000 orang menganut agama kristen protestan. Kemudian pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintahan pertama di Fakfak dan Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka pos pemerintah di Merauke pada tahun 1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya disepanjang pantai selatan Irian. Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan dasar sebagian besar diselenggarakan oleh kedua misi keagamaan tersebut, dimana guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate, Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor), dimana pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan. Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa "Melayu" dijadikan sebagai bahasa "Franca" (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari sekolah dasar, bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan. Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan tersebut. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi dengan kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776 dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak kurang lebih 45.000 murid, dan seluruhnya ditangani oleh misi, dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib dalam hal ini. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah pertama, 95 orang Irian Belajar diluar negeri yaitu Belanda, Port Moresby, dan Australia dimana ada yang masuk Perguruan Tinggi serta ada yang masuk Sekolah Pertanian maupun Sekolah Perawat Kesehatan (misalnya pada Nederland Nasional Institut for Tropica Agriculture dan Papua Medical College di Port Moresby). Walaupun Belanda harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk menbangun Irian Barat, namun hubungan antara kota dan desa atau kampung tetap terbatas. Hubungan laut dan luar negeri dilakukan oleh perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yang menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak, dan Merauke, Singapura, Negeri Belanda. Selain itu ada kapal-kapal kecil milik pemerintah untuk keperluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor POS dan telekomunikasi yang melayani antar kota. Terdapat sebuah telepon radio yang dapat menghubungi Hollandia-Amsterdam melalui Biak, juga ditiap kota terdapat telepon. Terdapat perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan-penerbangan secara teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan pesawat DC-3, kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk 84
Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri dari Biak. Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi protestan yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA) yang melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman. Jalan-jalan terdapat disekitar kota besar yaitu di Hollandia 140 Km, Biak 135 Km, Manokwari 105 Km, Sorong 120 Km, Fak-Fak 5 Km, dan Merauke 70 Km. Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam. Beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu: Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang. Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri. Penduduk Pesisir Pantai. Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah; Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru. Penduduk pegunungan yang mendiami lembah; Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua).
85
Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung; Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga. Di dalam berbagai kebudayaan dari penduduk Irian ada suatu gerakan kebatinan yang dengan suatu istilah populer sering disebut cargo cults. Ada suatu peristiwa gerakan cargo yang paling tua di Irian Jaya pada tahun 1861 dan terjadi di Biak yang bernama "KORERI". Peristiwa atau gerakan cargo terakhir itu pada tahun 1959 sampai tahun 1962 di Gakokebo-Enarotali (kabupaten Paniai) yang disebut " WERE/WEGE" sebagaimana telah dikemukakan bahwa gerakan ini yang semula bermotif politik. Pada waktu Belanda meniggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik dibidang pemerintahan, pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan maupun pimpinan menengah diserahterimakan kepada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua (pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya dan juga tidak ada pembeli pada masa itu. Belanda juga meninggalkan ekses konflik antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara "Elite Pro-Papua" dan "Elite Pro-Indonesia" yang ditandai dengan pertentangan antara "Suku Biak lawan Suku Serui, Suku tanah Merah-Jayapura lawan Suku Serui", sekalipun dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu proIndonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan proIndonesia. Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Nieuw Guinea sesuai dengan permintahaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk "Etis-Politik Gaya Baru".Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk Nasionalisme Papua". Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda. Landasan Yuridis Ada beberapa peraturan perundang-undangan (produk hukum negara/pemerintah, termasuk landasan konstitusional Undang-undang Dasar 1945) yang berhubungan dengan pengaturan Pemerintahan Papua dengan berbagai aspek jangkauannya. Produk hukum yang merupakan landasan yuridis antara lain: 1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hasil amandemen keempat; Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, 86
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1969 Tentang: Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat Dan Kabupaten-Kabupaten Otonom Di Propinsi Irian Barat ; 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya 6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, 7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum 8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; 10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian 11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang 12. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 13. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan; 14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, 15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak 16. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal 17. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 18. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 19. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara 20. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional 21. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 23. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah 24. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional 25. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan 26. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional 87
27. Undang-undang Republik Indonesia Nomor Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 28. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 29. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara 30. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan 31. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial 32. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 33. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan 34. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan 35. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan 36. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial 37. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, 38. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 39. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; 40. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri; 41. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional; 42. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan 43. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, 44. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 45. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa; Di samping produk hukum dalam bentuk undang-undang, maka landasan yuridis ini memperhatikan dengan cermat tentang Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, yaitu: 1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangundangan;
88
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Landasan Politis Landasan politis dalam naskah ini menunjuk pada komitmen politik dan kebijakan yang menjadi dasar bagi kebijakan selanjutnya dalam Pembangunan Papua. Dalam konteks pembangunan nasional, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memiliki komitmen terhadap Pembangunan Papua, antara lain tercatat: (1) penetapan Arah kebijakan Kewilayahan Pulau Papua, di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RP-JMN) Tahun 2010-2014 (Buku III) (2) Koridor VI Papua dan Kepulauan Maluku, di dalam Perpres Nonomor 32 Tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 20112025, (3) pembentukan Badan Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, di dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2011 (BP4B), (4) penetapan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Terpadu, di dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Penanggulangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) (5) penentapan Kebijakan-kebijakan Pembangunan Sektoral (Kementerian/ Lembaga) untuk Papua. Belakangan, dengan mempertimbangkan evaluasi pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, dan tantangan kedepan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan komitmen politik dan arah Triple Track Strategy for Papua kepada Gubernur Papua Lukas Enembe, Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal, Ketua MRP Timotius Murib, dan Wakil Ketua DPRP Yunus Wonda di Istana Negara, pada 29 April 2013. Triple Track Strategy for Papua itu adalah: (1) Pemberian kewenangan yang lebih luas (otonomi khusus plus); (2) Penyelesaian konflik untuk Papua Aman dan Damai; (3) Pembangunan Papua yang komprehensif dan ekstensif. Demikian pula, dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2013, Presiden SBY menegaskan: “Kita sedang merancang formula Otonomi Khusus yang memberikan nilaitambah dan terobosan untuk kemajuan dan kemuliaan Papua”. Landasan Historis Landasan historis ini ingin mengemukakan sejarah perkembangan Papua (orang Papua) kontak dengan Orang Luar Papua yang turut mempengaruhi perkembangan Orang Papua. Seperti sejarah mencatat bahwa Kekuasaan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 13 dan Kerajaan Majapahit pada abad ke 14 sesungguhnya belum menampakan data sejarah yang jelas dan tegas tentang penguasaannya atas Tanah Papua.39 Adanya hubungan Papua dengan Sriwijaya, entah langsung atau tidak langsung, diketahui dari dua Raja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman yang mempersembahkan burung khas40 Tanah Papua kepada Raja Tiongkok. Hal ini diandaikan bahwa kerajaan Sriwijaya pernah menjalin kontak dengan Tanah Papua. Pada waktu itu pulau Papua disebut “Janggi”, 39
Masyarakat Adat Papua Manokwari, http://www. tribal land. blog.spot.com/2009/01/ Burung khas Papua dimaksud diduga kuat adalah burung cenderawasih yang sampai saat ini digunakan oleh Universitas Cenderawasih sebagai “Lambang Universitas, dan selalu digunakan oleh suku-suku asli di Papua sebagai lambang budaya yang biasa digunakan dalam upacara-upacara adat, maupun dalam taritarian adat suku-suku asli di Papua. 40
89
yang dalam sebutan dan dialek Tionghoa disebut “Turki” yang diperkenalkan oleh musafir Tionghoa pada abad ke 13. Sedangkan hubungan dengan kerajaan Majapahit hanya diketahui dari karya pujangga Prapanca tahun 1365 yang berjudul: Negarakertagama.41 Dalam karya itu disebut beberapa nama yang menurut beberapa ahli Jawa Kuno identik dengan beberapa nama tempat di Tanah Papua, yakni Wanim (Onim); Sran ( nama lain dari Koiwa); Timur (nama lain dari bagian Timur Papua Barat). Hubungan ini dijalin melalui Maluku. Hubungan Sriwijaya dan Majapahit atas Tanah Papua tidak secara langsung namun secara tidak langsung melalui Maluku. Hubungan tersebut lebih bersifat hubungan perdagangan daripada politik42. Kontak dengan Spanyol dan Portugal. Kontak pertama Orang Papua dengan dunia luar (orang asing) tercatat dari adanya usaha-usaha Spanyol dan Portugis mencapai Tanah Papua. Misi pertama Orang Spanyol dan Portugis hanya dalam rangka perdagangan; bukan untuk mencari dan mendudukinya untuk memperluas tanah jajahan (miisi imperialisme dan kolonialisme). Tahun 1511 pelaut Portugis bernama Antonio d’Abreu mengunjungi pulau Papua dan ia memberi nama ilha de Papoia. Tahun 1517 Francisco Rodriguez mengunjungi pulau Papua.43 Catatan sejarah dari beberapa referensi menyatakan bahwa pada tahun 1521-1522 dilakukan pelayaran Magelhaens mengelilingi dunia dengan Kapal “Victoria” yang dinakhodai oleh Juan Sebastian del Cano. Pada tahun 1521 Kapal tersebut pernah singgah di Tidore. Seorang penulis Italia bernama Antonio Pigafetta ikut dalam pelayaran itu. Dari catatan harian Antonio Pigafetta dalam laporan tertulisnya ia menyebut-nyebut nama Papua. Nama “Papua” diperolehnya ketika kapal Victoria singgah di Tidore, tetapi apa yang ia maksudkan dengan “Papua” tidak jelas diuraikan dalam laporannya. Pigafetta dalam laporannya menjuluki pulau ini dengan julukan Isla de Oro artinya Pulau Emas. Pada tahun 1522 para pedagang Portugis mulai membuka perdagangan dan menetap di Ambon dan Ternate. Tahun 1526 gubernur Portugal pertama di Maluku bernama Jorge de Menesez mengunjungi Pulau waigeo. Waigeo waktu itu diperintah oleh Raja Papua. Ia menamai daerah itu dengan nama Ilhas dos Papua.. Tahun 1529 (pertengahan) Alvaro de Saavedra diperintahkan oleh Herman Cortez orang Spanyol dari Mexico ke Maluku untuk menyelesaikan sengketa antara Portugal dan Tidore dan sekaligus mencari dan menaklukkan pulau perjalanannya ke Mexico pernah singgah di salah satu tempat pantai utara (Biak) karena angin kencang menghadangnya. Ia tinggal di situ selama sebulan untuk mencari emas di Pulau tersebut namun tidak menemukannya. Tercatat dalam sejarah kontak Orang Papua dengan Orang asing bahwa pada 1537 Herman Cortez dari Mexico mengirim lagi Herman Griyalva untuk mencari dan menaklukkan pulau emas (Isla de Oro) sebab Alvaro de Saavedra yang pertama telah gagal. Namun akibat pemberontakan ABK-nya (Anak Buah Kapal), ia bersama ABK lainnya tewas. Hanya 7 orang yang lolos, kemudian ditawan oleh penduduk setempat
41
Peranan Lembaga Adat Dalam Era Otsus, http://www. ire yogya org/adat/peranan.html. Selanjutnya lihat H. Bachtiar, Pengantar Antropologi Budaya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. 1996 h. 44-45. 43 Lembaga Adat Amungme. http://www. id.wklpedia.org./wki/ lembaga_adat_suku Amungme. 42
90
dan dibebaskan dalam beberapa tahun kemudian, lantas diserahkan kepada Gubernur Portugal di Ternate. Tanggal 20 Juni 1545 seorang Spanyol bernama Kapten Ynigo Ortiz de retes dengan kapalnya bernama San Juan berlayar di Tidore menuju Panama. Ia sempat mencapai sekitar sarmi (Bier) di muara sungai Amberno (Membramo). Ia memberikan nama pulau ini Nueva Guinea dan mengklaimnya sebagai milik raja Spanyol. Dalam dokumendokumen bahasa Latin nama pulau ini disebut Nova Guinea. . Tahun 1606 Kapten Torres (Spanyol) dari arah timur Pulau Papua menelusuri pantai Selatan Papua Barat dan mengklaim sejumlah tempat sebagai milik raja Spanyol. Perjalanan inilah yang pertama kali membuktikan bahwa pulau Papua yang sebelumnya dikira bersatu dengan Australia tenyata ia terpisah dari australia (West Pac. 1:11)44. Tahun 1663 pedagang-pedagang Spanyol di Maluku menarik diri dan pindah ke Filipina, karena gagal menguasai rempah-rempah di Maluku Kontak dengan Belanda. Tahun 1606 Willem Janz, seorang navigator, menelusuri pantai barat dan selatan papua Barat dalam rangka mencari emas. Ia adalah orang luar pertama yang menemukan sungai Digul di Pantai Selatan. Tanggal 24 Juli 1616 Lemaire dan Schoutem mulai menjelajahi teluk Geelvink (sekarang:teluk cenderawasih) dan singgah dipulau Biak. Kepulauan Biak Numfor diberi nama Schouten Eilanden (Kepulauan Scouten). Tahun 1623 bulan februari, jan Carstenz berlayar dari Maluku dan menelusuri pantai Selatan Papua Barat. Ketika Ia sampai pada titik 4 derajat LS, lantas dengan teropong melihat salju dipuncak gunung, setelah itu ia menamai gunung salju itu Carstenz yang sekarang dikenal dengan nama Puncak Jaya. Tahun 1660 dilakukan perjanjian antara VOC dengan Ternate, Tidore dan Bacan tentang batas-batas wilayah kekuasaan atas Papua Barat dan pengamanan wilayah perairannya dari gangguan pengacauan orang papua. Perjanjian tersebut diperbaharui tahun 1667 dimana VOC mempertegas kedaulatan Tidore atas wilayah kepulauan sekitar Papua Barat. Tahun 1678 untuk pertama kali bendera Belanda ditancapkan dibeberapa tempat di pesisir pantai bagian barat Papua. Tahun 1705 pelaut Belanda Geelvink dan Kraanvogel melayari dan memetakan seluruh teluk cenderawasih. Setelah itu teluk itu dinamai Geelvink Bai atau Teluk Geelvink. Tahun 1710 dari memorandum timbang terima Gubernur Claaz di Maluku terdapat bahwa VOC mengakui kekuasaan Tidore atas pulau-pulau disekitar Pulau Papua. Tahun 1779 Gubernur Belanda di Maluku (J.r. Thomaszen) mengakhiri kekuasaan Tidore atas kepulauan di Perairan Papua karna sultan Tidore tidak dapat dikendalikan Belanda. Karena itu Belanda melakukan penangkapan Sultan Tidore beserta Putra mahkota dan Sultan bacan, lantas diasingkan (ditawan) di Batavia (Jakarta). Tanggal 24 Agustus 1828 pertama kali pemerintah belanda mendirikan dan meresmikan Benteng Fort du Bus diteluk Triton, Kaimana (Fakfak) sebagai simbol kekuasaannya atas Pulau Papua atau New Guinea. Peresmian itu bertepatan dengan HUT Raja Belanda Willem I. Benteng itu didirikan oleh komisaris A.J. van Delden atas 44
Sumber ini diakses dari Agus A Alua, Op. Cit. h. 79, dengan mengutip West PAC 1999, singkatan Wet PAC kepanjangan dari West Papua from Colonization to Recolonization (Papua Barat dari Kolonisasi ke Rekolonisasi) Jakarta, West Papua Community.
91
nama Gubernur Maluku.Setelah itu ditempatkan sejumlah pegawai di daerah itu. Tahun 1835 (7 tahun kemudian) benteng itu tidak difungsikan lagi karena situasi di daerah initidak menguntungkan kesehatan orang belanda. Sekitar 10 orang aparat pemerintah dan 50 orang eropa dan 50 anggota pasukan Indonesia (VOC) dikabarkan meninggal dunia. Karena itu Gubernur Maluku memerintahkan untuk mencari tempat lain yang lebih baik; namun tidak mendapatkan penggantinya. Tanggal 30 Juli 1848 gubernur Hindia Belanda J.J.Rochussen mengeluarkan suatu keputusan rahasia yang menetapkan batas-batas kekuasaan Tidore atas Papua Barat. Rochussen menetapkan batas timur 140,47 BT pantai utara di semenanjung Ponland (Teluk Humboldt) sampai ke barat dan 141 BT Pantai Selatan sebagaimana diatur dalam proklamasi 24 Agustus 1828. Dengan keputusan rahasia itu segala milik (kekuasaan) Tidore di hapuskan dan menjadi milik Belanda. Kebijakan ini diambil secara rahasia karena adanya sengketa antara Inggris dan Belanda atas Neuva Guinea atau Pulau Papua. Pada tahun 1849 sampai dengan 1850 pemerintah Belanda segera mematok seluruh wilayah papua barat (kemudian disebut Nieuw guinea) dari Pantai Utara sampai Selatan sebagai wilayah kekuasaannya. Tanggal 5 Februari 1855 penginjil zending Jerman yang pertama Ottow dan Geisler menginjak kakinya di Tanah papua tepatnya di Pulau Mansinam (Manokwari). Ottow dan Geisler berangkat dari Ternate tanggal 10 Januari 1855 ditemani oleh seorang anak 12 tahun bernama Fritz, anak seorang guru. Ottow dan Geisler menumpang kapal Fabritus milik seorang saudagar bernama Duivendode. Namun tidak lama kemudian setelah 6,5 tahun berkarya, pada tanggal 9 November 1862 Ottow meninggal dunia di Kwawi (Manokwari) dan dikuburkan di daerah itu. Tahun 1861 pemerintah Belanda mengambil keputusan bahwa tidak akan mendirikan lagi benteng pengganti Fordubus di daerah lain. Pada tahun yang sama pemerintah Belanda melarang orang Tidore untuk merampok dan mengambil budak dari Papua. Pada tahun 1879 pemerintah Belanda membeli kembali semua budak Papua yang ada di Ternate dan Tidore, lalu membebaskannya. Tanggal 11 Oktober 1871 A. Smith menempatkan tanda patok batas kekuasaan Belanda di Pantai Utara bagian Timur, yakni di semenanjung Bonpland (sudut timur di Teluk Humboldt) pada titik 141,9 BT. Patok itu berbentuk besi panjang dengan gambar lambang Kerajaan Belanda. Kontak dengan Prancis, Inggris, dan Jerman. Aryesam45 mencatat bahwa pada tahun 1768 seorang pelaut Prancis bernama Louis Antonie Baron de Baouginville pernah singgah di Teluk Imbi (kini teluk Yos Sudarso), lantas Baouginville memberi nama gunung Dobonsolo menjadi Cycloope dan gunung Tami menjadi Baouginville sesuai mitos Yunani yang dipercayainya. Tahun 1770 seorang navigator inggris bernama James Cook yang banyak melakukan penemuan-penemuan dikawasan Pasifk melewati pantai selatan. James Cook pernah dihadang oleh perampok Papua di pantai selatan. Pada tahun 1775 Thomas Forrest dari Usaha Dagang Inggris di India tiba di Manokwari untuk mencari peluang perdagangan di Papua Barat. Pada kesempatan itu kapten John Hayes mendirikan benteng Fort New Albion. Namun benteng tersebut segera dihancurkan oleh orang Arfun dan Arfak. Tahun 1791 seorang Inggris bernama John McCluer membuat pemetaan di wilayah teluk Bintuni. Teluk tersebut dinamakan McCluer Gulf. Hasil pemetaan itu memperbaiki peta lama yang memisahkan bagian 45
Alexander Aryesam, Masalah Irian Barat dan Gagasan Pembentukan Negara Papua, Tesis S-2 Universitas Indonesia, Jakarta 1997, tidak dipublikasikan. Lihat juga Agus A Alua, Op. Cit. h. 77
92
Kepala Burung dan Fakfak. Pemetaan baru itu menghasilkan peta Papua Barat seperti sekarang dengan kenyataan. Tahun 1795 sesuai dengan cita-cita kapten John Hayes, saudagar Inggris mendirikan benteng Fort Coronation yang lebih permanen di Manokwari, namun dihancurkan lagi oleh penduduk setempat setelah 20 hari berdiri. Dalam tahun ini juga Inggris mendukung Pangeran Nuku dalam pertikaiannya dengan sultan Tidore yang waktu itu didukung oleh Belanda. Tahun 1810-1815 Inggris secara politik menguasai Indonesia sebagai wilayah jajahannya. Tanggal 27 Oktober 1814 diadakan perjanjian antara Inggris dan Sultan Tidore yang disaksikan oleh W.B. Martin (Residen Inggris di Maluku). Perjanjian itu mengakhiri perjanjian Tidore dan Inggris atas Papua Barat. Tidore diijinkan untuk menguasai pulau-pulau perairan Papua Barat bagian barat dan 4 distrik untuk menguasai pulau-pulau perairan Papua Barat bagian barat dan 4 distrik di Teluk Geelvink (Mansari, Karondefur, Amberpur dan Amberpon) Tahun 1824 Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London karena sengketa mereka atas Papua Barat. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa selain 4 distrik di dalam perjanjian 1814 diatas, maka Papua Barat secara keseluruhan dinyatakan sebagai “Daerah Tak Bertuan”, No Man’s land/ Nie Mans Land. Tahun 1827 pelaut Prancis bernama Jules Sebastian Cesar d’Urville dalam perjalanannya keliling dunia, ia singgah di Teluk Imbi (Jayapura), lantas ia memberikan nama teluk itu Humboldt (kini Teluk Yos sudarso), sesuai dengan nama seorang sarjana Jerman yang bernama F.H. Alexander Baron von Humboldt, yang pernah singgah sebelumnya antara tahun 1799-1805, sebagai tanda penghargaan kepadanya. Kontak dengan Tidore atau Maluku. Pada tahun 1453 orang Tidore mengadakan kontak intensif dengan orang-orang Papua yang waktu itu disebut Papua Besar. Dalam buku Museum “Memorial Kesultanan Tidore Sinyine Mallige” tertulis bahwa pada tahun itu Sultan Tidore X yang bernama Ibnu Mansur bernama Sangaji Patani Sahmardan dan Kapitan Waigeo bernama Kurabesi memimpin ekspedisi kedaratan Tanah besar. Ekspedisi yang terdiri dari satu armada kora-kora itu berhasil menaklukkan beberapa wilayah di Tanah Besar dan pulau-pulau di sekitarnya yang kemudian dinyatakan sebagai wilayah tanah besar menjadi tiga wilayah, yakni Kolano Ngaruha (Radja Ampat), Papo Ua Gam Sio (Papoua Sembilan Negeri), dan Mafor soa Raha (Mafor Empat Soa). Wilayah-wilayah di Tanah Besar itu kemudian disebut dengan nama Papoua yang berarti tidak bergabung atau tidak bersatu atau tidak bergandengan. Tahun 1649 ketika VOC memasuki wilayah kekuasaan kesultanan Tidore, maka sultan Jamaluddin meminta bantuan Raja Papua bernama Kurabesi (Biak: kita mendukung mereka). Dengan Armada 24 perahu perang, Kurabesi berhasil memukul mundur VOC. Atas dasar jasa baik itu, Sultan Jamaluddin mengikat persahabatan dengan Kurabesi dan pasukannya (kebanyakan dari Pom, Ansus, dan Biak) “dengan perkawinan dan menyediakan tanah untuk mereka menetap di Maluku Utara”. Hasil perkawinan (matrilokal) itu kemudian menjadi penguasa-penguasa baru disejumlah tempat Maluku Utara dan kepulauan Raja Ampat (Kolano Fat). Hubungan perkawinan itu berdampak pula pembelaan raja-raja Papua terdapat kekuasaan Sultan-Sultan Maluku Utara di Tidore, Ternate, dan di Tanah papua Barat.. 93
Tahun 1660 dibuat perjanjian antara VOC dengan Ternate, Tidore dan Bacan untuk menentukan batas-batas kekuasaan mereka atas Papua Barat.. Tahun 1667 dipertegas kembali perjanjian 1660 di atas, dimana VOC menyatakan tegas kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat. Tahun 1710 VOC mengakui secara sah kekuasaan Tidore atas pulau-pulau sekitar Papua Barat. Sejak itu Belanda memberikan kepercayaan kepada Tidore untuk pengawasan atas tanah Papua Barat. Tahun 1773 perjanjian itu diperbaharui lagi dengan isi perjanjian yang sama. Papua Sekitar 1962-1963. Pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makassar. Komando Operasi Mandala diketuai oleh Mayjen Soeharto. Tugas pokoknya adalah merencanakan persiapan dan menyelenggarakan operasi militer untuk mengembalikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia. Mengembangkan situasi militer di wilayah Provinsi Irian Barat sesuai dengan taraf perjuangan di bidang diplomasi supaya dalam waktu sesingkat-singkatnya di wilayah Irian Barat dapat secara de facto diciptakannya daerah-daerah atau didudukan unsur-unsur kekuatan Pemerintah Daerah Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Januari 1962 gugurlah Jos Sudarso bersama Kapal KRI Macan Tutul di Laur Arafura. Jos Sudarso gugur dalam usaha merebut Irian Barat sebagai implementasi Trikora dari tangan Belanda. Peristiwa itu terjadi ketika Belanda sedang patroli di wilayah perbatasan antara Indonesia dan Irian Barat. Ketika itu hubungan Belanda dan Indonesia sangat tegang di Irian Barat. Ketegangan ini mulai sejak Deklarasi 01 Desember 1961 dan Trikora 19 Desember 1961. Pada tanggal 12 Februari 1962 Presiden Soekarno menerima Roberth F. Kennedy sebagai utusan Presiden John F. Kennedy (Amerika Serikat). Roberth F. Kennedy membawa pesan Presiden AS tentang penyelesaian sengketa Irian Barat.. Pada tanggal 16 Februari 1962 Dewan Nieuw Guinea telah menyelesaikan segala prosedur dan persyaratan untuk pelaksanaan mengatur diri sendiri. Tanggal 20 Maret 1962 dimulai perundingan antara Indonesia dengan Belanda di bawah pimpinan utusan Presiden John F Kennedy, yakni diplomat E. Bunker. Pada april 1962 sebagai reaksi atas tewasnya Yos Sudarso, diterjunkan sejumlah besar TNI dan sukarelawan di seluruh daratan Irian Barat untuk merebutnya dari kekuasaan Belanda. Perang gerilya antara Indonesia dan Belanda meletus dimana-mana di dataran Papua Barat, khususnya di Teminabuan terjadi pada tanggal 21 Mei 1962 dan Sausapor pada tanggal 30 Mei 1962. Perang terbuka tak terelakan lagi. Amerika pun mengirim pesawat pengintai untuk memantau situasi ini. Situasi politik inilah yang menjadi latar belakang lahirnya “Bunker Proposal” yang kemudian menjadi New York Agreement Tanggal 2 April 1962 Presiden Amerika Serikat John F Kennedy mengirimkan surat rahasia kepada Perdana Menteri Belanda Dr. J.E. De Quay untuk menekan pemerintah Belanda agar menerima proposal Bunker. Alasan penekanan terhadap Belanda adalah bahaya akan perang terbuka di kawasan daerah sengketa bila terjadi perang terbuka Belanda dan Blok Barat akan kalah dan yang akan memetik kemenangan adalah Blok Timur atau Komunis. Presiden John F. Kennedy menegaskan dalam surat tersebut bahwa keadaan sepertiini serta didorong oleh tanggungjawab kami terhadap Dunia Bebas (Non-Komunis) saya mendesak dengan 94
sangat agar Pemerintah Belanda menerima rumusan yang digagaskan oleh Tuan Bunker (West Papua, 28). Tanggal 7 April 1962 pemerintah Indonesia menyetujui proposal Bunker setelah inti proposal Bunker disepakati dan dirumuskan bahwa pengalihan kekuasaan kepada Indonesia setelah 6 bulan UNTEA dan Act of Free Choice akan dilaksanakan 6 (enam) tahun administrasi percobaan. Tanggal 14 April 1962 pemerintah Belanda akhirnya menyetujui proposal Bunker, karena ditekan Amerika Serikat. Pada Mei dan Juli 1962 diadakan perundingan rahasia antara Indonesia dan Belanda yang dimediasi oleh wakil-wakil PBB dan Amerika Serikat (terutama Bunker) untuk melakukan pembahasan-pemahasan proposal Bunker untuk penyelesaian masalah Irian Barat. Tanggal 1 Mei 1962 pemerintah Belanda secara resmi menyatakan akan menyerahkan kekuasaan atas Nieuw Guinea kepada PBB. Kemudian PBB akan membentuk pemerintahan sementara yang disebut UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority). Tanggal 12 Mei 1962 diluncurkan draft terakhir Bunker Proposal (Kerangka Usulan) tentang cara-cara penyelesaian masalah Papua atau West Irian antara Indonesia dan Belanda. Ellwarth Bunker adalah mantan Duta Besar dan berkuasa penuh Amerika Serikat di India. Sekjen PBB menugaskan Bunker untuk menyusun proposal tersebut. Bunker dan proposalnya muncul sebagai mediator untuk mengatasi konflik Indonesia Belanda atas Nieuw Guinea. Proposal Bunker46 berisikan 4 pokok: (1) Pemerintahan atas Irian Barat harus diserahkan kepada Indonesia, (2) Sesudah sekian tahun di bawah pemerintahan Indonesia, maka rakyat Irian Barat diberikan kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri secara bebas, apakah tetap dengan Indonesia atau memisahkan diri. (3) Pelaksanaan penyerahan pemerintahan di Irian Barat akan diserahkan dalam waktu 2 (dua) tahun (4) Untuk menghindari kekuasaan Indonesia langsung berhadapan dengan Belanda, maka perlu diadakan Pemerintahan Peralihan di bawah pengawasan PBB. Proposal Bunker ini disepakati antara Indonesia dan Belanda. Pemerintahan Belanda ditekan (dalam arti dipaksa) untuk menyetujui proposal Bunker oleh Amerika Serikat melalui PBB. Setelah itu proposal ini dikembangkan oleh kedua belah pihak, akhirnya menjadi New York Agreement. Tanggal 25 Mei 1962 Parlemen Belanda menyetujui Proposal Bunker. Tanggal 2 Juli 1962 Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengadakan perundingan dengan Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy, di mana Soebandrio melaporkan perang terbuka dengan Belanda berarti Indonesiaakan menggerakkan kekkuatan nasiomal dan akan menguntungkan komunisme. Akibat diplomasi ini John F.Kennedy mendesak dan menekan pemerintahan Belanda agar menyetujui tanggal 1 Mei 1963 sebagai tanggal penyerahan Administrasi West Papua/West Irian kepada Pemerintah Indonesia. Tanggal 13 Juli 1962 perundingan rahasia antara Indonesia dan Belanda dilanjutkan. Tanggal 31 Juli 1962 persetujuan sementara tentang penyelesaian masalah Papua Barat ditandatangani antara Belanda dan Indonesia. 46
Informasi ini dapat ditelusuri dalam terbitan Pemda Tk I Irian Jaya, 1972, dicetak ulang 1997, Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Di Irian Barat 1969. Dapat juga diakses pada “Kembalinya Irian Jaya Ke Pangkuan Republik Indonesia, diterbitkan Pemda Tk I Irian Jaya Jayaura 1998. Sumber lain seperti A. Mampioper 1972, Jayapura Ketika Perang Pasifik, Labor Jayapura. Makka Teru, Syamsudin, Asal Mula Nama Irian Jaya, Utama Murni Jakarta, 1975.
95
Tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani secara definitif Perjanjian Antar Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Nederlands mengenai Irian Barat (Agreemennt Between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Nederlands Concerning West New Guinea/West Irian) yang kemudian dikenal dengan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Perjanjian ini terdiri dari 29 pasal yang mengatur 13 macam hal. Penandatanganan dokumen diwakili oleh Subandrio (Selaku menteri luar negeri Indonesia) dan pihak pemerintah Belanda oleh J. Herman van Roijen dan C.A.W. Schurmann. Persetujuan tersebut pada intinya berisikan hal-hal sebagai berikut: (a) Transfer administrasi (pengalihan administrasi) dari Pemerintah Belanda kepada PBB yang diatur dalam Pasal 2 - Pasal 11 (10 pasal); (b) Transfer administrasi dari PBB kepada Indonesia yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13 (2 pasal). (c) Penentuan nasib sendiri (self-determination) yang diatur dalam Pasal 14 sampai Pasal 21 (8 pasal). Inti dari 8 pasal ini adalah (1) pelaksanaan penentuan nasib sendiri harus di bawah nasehat, bantuan, dan partisipasi PBB, (2) prosedur Penentuan nasib sendiri harus dimusyawarahkan dengan wakil-wakil rakyat, (3) persyaratan untuk berpartisipasi dalam Penentuan nasib sendiri harus berdasarkan praktekpraktek internasional. (4) PBB dan Indonesia akan menyampaikan laporan pelaksanaan Penentuan nasib sendiri kepada Majelis Umum PBB, (5) Indonesia dan Belanda akan mengakui dan terikat pada hasil Penentuan nasib sendiri. Hak-hak penduduk diatur dalam Pasal 22 – 23 (2 pasal), Djopari 37 – 39 Pemda 1972, 11 Pemda 1998: 2-3, 9-25). Tanggal 16 Agustus 1962 Presiden Soekarno mengeluarkan suatu perintah tentang Penghentian Permusuhan Belanda–Indonesia yang ditujukan kepada semua gerilyawan Indonesia di Dataran Irian Barat yang isinya memerintahkan agar segera dihentikan tembak-menembak mulai 18 Agustus 1962 pukul 09.31, namun tetap adakan konsolidasi dan waspada serta siaga penuh menerima perintah lebih lanjut. Tanggal 1 September 1962 DPR-GR mengeluarkan pernyataan pendapat tentang persetujuan Indonesia – Netherlands mengenai penyerahan Irian Barat kepada RI. Isinya menegaskan bahwa DPR-GR setelah menerima laporan dari Menlu Soebandrio dalam rapat dewan 31 Agustus 1962, memutuskan bahwa menerima persetujuan Indonesia– Belanda mengenai Irian Barat yang ditandatangani 15 Agustus 1962, namun persetujuan itu tidak ditetapkan melalui tap khusus DPR-GR-RI, Tanggal 21 September 1962 pernjanjian New York diratifikasi dalam Sidang Majelis Umum PBB yang ke XVII dan ditetapkan dalam resolusi No.1752, maka sejak tanggal tersebut persetujuan itu mulai berlaku dan ditetapkan.47 Pada bulan September 1962 setelah New York Agreement disahkan dalam resolusi PBB, para elit politik Papua Pro-Kemerdekaan Papua melakukan suatu Kongres Nasional yang diprakarsai oleh Ketua Partai Nasional (ParNas) Hermanus Wayoi dan anggota Nieuw Guinea Raad Nicolas Tanggahma. Kongres ini memutuskan (dihadiri 90 elit Papua) untuk menerima Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dengan ragu-ragu, menyetujui kerjasama dengan PBB dan RI, dan menuntut agar UNTEA menghormati bendera dan lagu nasional Papua serta menentukan pemilihan umum dilakukan tahun 1963 segera setelah masa kerja resmi UNTEA selesai.
47
Pemda Provinsi Irian Barat, Op. Cit. 1972: 11; Djopari Op. Cit. h. 57, Pemda Provinsi Irian Jaya 1998:Op Cit h. 23
96
Tanggal 30 September 1962 dikeluarkan Roma Agreement (Perjanjian Roma) antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Belanda. Perjanjian ini sering diperdebatkan kebenarannya sebab sulit ditemukan teks aslinya, namun Herman Wayoi (selaku pelaku sejarah) selalu mengatakan penuh keyakinan bahwa beliau memiliki dokumen asli. Teks terjemahan isi perjanjian Roma seperti di bawah ini: Isi Perjanjian Roma : a. Act of Free Choice (AFC) yang dijadikan pelaksanaannya pada tahun 1969, sebagaimana tercantum dalam perjanjian Agustus 1962, agar ditunda atau jika mungkin dibatalkan; b.
Indonesia memerintah Papua Barat selama 25 (dua puluh lima) tahun berikut terhitung 1 Mei 1963;
c.
Metode yang digunakan dalam AFC adalah dengan cara musyawarah, sesuai dengan Dewan Permusyawaratan Indonesia;
d.
Laporan terakhir PBB tentang pelaksanaan AFC yang disampaikan pada Sidang Umum PBB agar diterima tanpa perdebatan;
e.
Amerika berkewajiban bagi penanaman modal melalui BUMN Indonesia bagi eksplorasi mineral, minyak bumi serta sumber daya alam lainnya di Papua Barat;
f.
Amerika Serikat menjamin Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) sebagai dana pembangunan PBB bagi Irian Barat sebesar USD 30 juta untuk jangka waktu 25 tahun;
g.
Amerika Serikat menjamin Indonesia melalui Bank Dunia (World Bank) dengan sejumlah dana bagi perencanaan dan pelaksanaan Transmigrasi bagi penempatan orang-orang Indonesia di Papua Barat terhitung mulai tahun 1977.
Tanggal 1 Oktober 1962 mulai berlangsung pemerintahan UNTEA di bawah pimpinan Administrator Jose Rolz Bennet ( pada tanggal 1 Oktober sampai dengan 31 Desember 1962). Pada hari itu juga bendera PBB dikibarkan bersamaan dengan bendera Belanda. Wakil pemerintah Belanda untuk penyerahan kekuasaan kepada PBB adalah H. Veldkamp. Pada bulan Oktober setelah UNTEA berkuasa pemerintah Indonesia mengirimkan sejumlah elit dan tokoh masyarakat Papua ke Pulau Jawa untuk melakukan sejumlah kunjungan supaya mendapat gambaran yang sebenarnya tentang Indonesia. Selama UNTEA diawasi oleh tentara PBB dan Pakistan. Pada bulan Oktober 1962 ini juga suatu delegasi Indonesia di PBB menyatakan bahwa Bendera Bintang Kejora bertentangan dengan perjanjian maka harus dilarang pemakaiannya. Pada awal Desember 1962 suatu delegasi berjumlah 7 orang papua di bawah pimpinan E.J. Bonay mendesak kepada Indonesia, Belanda dan PBB agar penyerahan kekuasaan oleh UNTEA kepada Indonesia dilakukan sebelum 31 Desember 1962. Usul itu ditolak oleh Sekjen PBB dan Belanda karena tidak sesuai dengan Perjanjian New York sedangkan Indonesia mengambil sikap netral atau diam. Tanggal 31 Desember 1962 Bendera Belanda diturunkan dan diganti dengan Bendera Merah Putih berdampingan dengan Bendera PBB. Dicatat bahwa pada hari itu (Tanggal 31 Desember 1962 ) 97
pejabat UNTEA diganti dari H. Veldkamp kepada Dr. Djalal Abdoh. Pada saat yang sama Indonesia mengganti nama Kota Hollandia dengan nama Kota Baru. Dengan nama kota Baru (sekarang Jayapura) ini mulailah era Pemerintahan Indonesia di Tanah Papua.
98
BAB VI RUANG LINGKUP DAN MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS DI TANAH PAPUA
Sasaran yang akan diwujudkan Sasaran yang akan diwujudkan dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini adalah menuju masyarakat Papua yang adil dan sejahtera, dengan meningkatkan pembangunan pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur. Jangkauan Jangkauan RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini adalah perluasan kewenangan baik kewenangan diluar kewenangan pusat maupun kewenangan pusat yang berkaitan dengan wilayah dan Orang Asli Papua. Penegasan subyek yang menjadi sasaran pelayanan dan pembangunan masyarakat di tanah Papua, secara khusus Orang Asli Papua. Sedangkan subjek perantaranya adalah pemerintah Provinsi di Tanah Papua yang melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Arah Pengaturan a. Mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan Provinsi di tanah Papua; b. Menciptakan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan pembangunan di Provinsi tanah Papua; c. Meningkatkan kenyamanan bagi semua penduduk di tanah Papua.
dan
Materi Muatan RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua Ruang lingkup Materi muatan Pemerintahan Otsus di Tanah Papua yang diatur dalam RUU ini, meliputi: A. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa yang muncul dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini; B. materi yang akan diatur adalah: Materi muatan dalam RUU-Pemerintahan Otsus di Tanah Papua ini terdiri dari 48 (empat puluh delapan) bidang pengaturan strategis, yaitu (1) Nama Undang-undang, (2) Ketentuan Umum, (3) Orang Asli Papua; (4) Pembagian Daerah dan Penataan Daerah, (5) Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota (6) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota; (7) Penyelenggaraan Sebagian Urusan Pemerintah; (8) Penyelenggaraan Urusan Perlindungan Dan Pemberdayaan Orang Asli Papua; (9) Badan Nasional Percepatan Pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua; (10) Bentuk Dan Susunan Pemerintahan; (11) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota; (12) Peraturan Daerah Khusus,Peraturan Daerah Provinsi Dan Peraturan Gubernur; (13) Perangkat Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota; (14) Pemerintahan Adat; (15) Kampung; (16) Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat; (17) Keuangan; (18) 99
Perekonomian; (19) Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah; (20) Kepariwisataan; (21) Kehutanan; (22) Pertanian Dan Ketahanan Pangan; (23) Kelautan Dan Perikanan; (24) Perdagangan Dan Investasi; (25) Pertambangan dan Energi; (26) Pengelolaan Sumber Daya Alam; (27) Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup; (28) Perencanaan Pembangunan dan Tata Ruang; (29) Pertanahan; (30) Perumahan Rakyat; (31) Penelitian Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (32) Pendidikan; (33) Kebudayaan; (34) Kesehatan; (35) Sosial; (36) Hak Asasi Manusia dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (37) Hak Atas Kekayaan Intelektual; (38) Komunikasi dan Informatika; (38) Perhubungan Dan Transportasi; (39) Kependudukan dan Ketenagakerjaan; (40) Kepemudaan dan Keolahragaan; (41) Narkotika, Psikotropika, Bahan Adiktif Lainnya dan Minuman Beralkohol; (42) Partai Politik; (43) Lambang Daerah, Bendera Daerah, dan Hymne Daerah; (44) Supervisi, Pengawasan dan Evaluasi; (45) Kerja Sama dan Penyelesaian Perselisihan; (46) Pembentukan Provinsi dan Kabupaten/Kota; (47) Penyebarluasan; (48) Ketentuan Lain-Lain; (49) Ketentuan Peralihan; (50) Ketentuan Penutup.
1. Nama Undang-Undang Dengan mempertimbangkan bebagai bidang pengaturan strategis sesuai nilai, asas, tujuan, sasaran pengaturan (addressat norm), kepentingan, pelaku peran dalam pelaksanaannya nanti, dan dengan didasarkan pada 2 (dua) pola dasar atau orientasi dasar kebijakan pengaturan, yakni (1) kewenangan asimetris dan (2) kebijakan afirmatif, maka undang-undang ini seterusnya disebut Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua. Frasa otonomi khusus sengaja ditulis secara eksplisit dimaksudkan sebagai nama dan identitas yang jelas, sekaligus secara politik frasa itu membedakan dengan term “merdeka”. Artinya betapapun Tanah Papua memiliki pemerintahan yang memiliki otonomi seluas-luasnya, namun dipayungi dengan otonomi khusus yang berada dalam bingkai NKRI. 2. Ketentuan Umum a. Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua adalah pemerintahan dengan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di Tanah Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di masing-masing provinsi. b. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri; c. Pemerintahan Provinsi adalah Pemerintahan yang berkedudukan di Ibukota Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua. d. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai Badan Eksekutif Provinsi di Tanah Papua. e. Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Pemerintahan yang berkedudukan dibawah Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan 100
f. g.
h.
i. j.
k.
l.
m.
n.
o.
p. q.
r. s.
t.
u.
pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota. Distrik yang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dengan Kecamatan, adalah wilayah kerja Kabupaten/Kota. Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, asal-usul dan adat-istiadat setempat yang berada di daerah Kabupaten/Kota dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang bertanggungjawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi. Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi. Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hakhak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama sebagaimana diatur Undang-Undang ini. Lambang Daerah, Bendera Daerah, Himne Daerah adalah panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua yang tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal khusus dalam Undang-Undang ini. Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan Kabupaten/Kota. Peraturan Kampung yang selanjutnya disebut Perkam adalah Peraturan Pemerintahan Kampung dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan kampung. Pemerintahan Adat adalah Pemerintahan pada tingkat masyarakat adat, yang dibentuk berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat. Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun. Hukum Adat adalah aturan atau norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan mempertahankan serta mempunyai sanksi. Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan untuk kehidupan 101
para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air serta isinya. v. Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga sekumpulan orang yang dipilih dan diakui oleh warga setempat. w. Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. x. Penduduk Papua yang selanjutnya disebut Penduduk adalah semua orang yang menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Tanah Papua. . 3. Asas a. b.
Keberpihakan kepada Orang Asli Papua sebagai penghormatan, pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua. Desentralisasi asimetris.
4. Kelembagaan Pemerintahan Papua Kelembagaan pemerintahan Papua berkaitan dengan kedudukan Gubernur, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). 1.1. Gubernur a. Kedudukan dan Wewenang Gubernur. Hal ini diatur bahwa (1) Pemerintahan di Tanah Papua dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai Kepala Pemerintah Provinsi Tanah Papua dan dibantu oleh seorang Wakil Gubernur. (2) Setiap kebijakan Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Papua; (3) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah yang bertanggung jawab kepada Presiden dan Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Papua bertanggung jawab kepada DPRP.(4) Gubernur dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh perangkat daerah Papua. (5) Gubernur bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Papua pada semua sektor pemerintahan termasuk pelayanan masyarakat dan ketenteraman serta ketertiban masyarakat. b. Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah, memiliki tugas dan wewenang: (a) Setiap kebijakan Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Papua; (b) Melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Papua dan kabupaten/kota; (c) Melakukan koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintahan di Papua dan kabupaten/kota; (d) Melakukan koordinasi, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota; (e) Melakukan koordinasi, pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan Papua ; (f) Melakukan koordinasi pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan 102
antarkabupaten/kota di Papua; (g) Melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan pemerintahan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dan antara Kabupaten/Kota; (h) Meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota; (i) Melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan, pengusulan pengangkatan, dan pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas laporan pertanggungjawaban Bupati/Walikota; (j) Melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atas nama Presiden; (k) Menyosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan peraturan perundang-undangan di Provinsi Papua; (l) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan pembinaan karier pegawai di wilayah Provinsi Papua; (m) Memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan pemekaran daerah. c. Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Papua, memiliki tugas dan wewenang adalah: (a) Gubernur melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan Pemerintah di Provinsi Papua; (b) Setiap kebijakan Lembaga Negara, Kementerian/Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, BUMN, PMA dan PMDN yang terkait dengan Papua wajib dikoordinasikan dengan Pemerintahan Papua; (c) Pemerintah dapat memberikan pelimpahan dan perbantuan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Gubernur Papua baik sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah maupun Gubernur sebagai Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Papua, baik di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, yustisi, dan sebagian urusan keagamaan; (d) Gubernur melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap instansi vertikal, unit pelaksanana teknis, balai besar, maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Provinsi Papua; (e) Gubernur memiliki hak dan kewenangan untuk membuat kebijakan afirmative dalam hal menentukan besaran dan jenis perangkat organisasi daerah di tingkat Propinsi Papua dengan pertimbangan DPRP; (f) Dalam konteks perbaikan, percepatan dan perluasan pelayanan publik, Pemerintah Propinsi Papua dapat membentuk atau mengusulkan daerah administrative atau kawasan khusus sesuai dengan kebutuhan; (g) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP; (h) mengajukan rancangan Perdasus dan Perdasi; (i) menetapkan Perdasus dan Perdasi yang telah mendapat persetujuan bersama DPRP; (j) menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRP untuk dibahas dan ditetapkan bersama; (k) mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; (l) mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (m) melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. d. Gubernur membentuk Tim Pengendali Pelaksanaan dan Evaluasi (TP2E) Otonomi Khusus Plus Papua (OKPP) yang kedudukannya berada dibawa 103
koordinasi langsung Gubernur Papua. (1) Bertugas untuk melakukan evaluasi berkala atas pelaksanaan UU ini. (2) Bertugas memastikan komitmen dari kementrian, lembaga, dunia usaha dan pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat Undang Undang ini (3) Memastikan tahapan dan indikator pencapaian amanat dan pelaksanaan pasal pasal dalam UU ini.
1.2. Majelis Rakyat Papua (MRP) Kedudukan dan Wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP) (1) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus dalam payung Pemerintahan Papua dibentuk Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. (2) Dalam rangka meningkatkan keterwakilan kaum adat, agama, dan perempuan di seluruh Kabupaten/Kota, serta untuk melakukan perlindungan hak-hak orang asli Papua, maka MRP dibentuk di tingkat Provinsi. (3) MRP berkedudukan di ibu kota Provinsi. (4) MRP mempunyai tugas dan wewenang: (1) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur; (2) memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terutama alokasi Dana Otonomi Khusus yang terkait dengan pelayanan dasar bagi penduduk asli Papua; (3) melakukan pengawasan terhadap penggunaan Dana Otonomi Khusus dan memberikan pertimbangan, saran, dan pemikiran terhadap kebijakan pemanfaatan Dana Otonomi Khusus yang lebih baik dan tepat; (4) memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak orang asli Papua; (5) memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP; (6) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, dan memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan (7) memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota serta Bupati/Wakil Bupati mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. (5) MRP mempunyai hak: (1) meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (2) meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua; (3) mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua. 104
1.3. Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Kedudukan dan Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) (1)
Kekuasaan legislatif Provinsi Papua dilaksanakan oleh DPRP.
(2) DPRP terdiri atas anggota yang dipilih berdasarkan peraturan perundangundangan. (3) Pemilihan, penetapan dan pelantikan anggota DPRP dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD. (4) Tugas DPRP adalah: (1) DPRP dan DPRK mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. (2) Dalam konteks Pemerintahan Papua, DPRP wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Papua; (3) DPRP memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. (4) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri; (5) membahas rancangan Perdasus dan Perdasi bersama-sama dengan Gubernur; (6) menetapkan Perdasus dan Perdasi;(7) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perdasus dan Perdasi dan peraturan perundang-undangan lain; (8) melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Papua dalam melaksanakan program pembangunan Papua, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman modal dan kerja sama internasional; (9) menyusun dan menetapkan arah kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan program pembangunan daerah serta tolok ukur kinerjanya bersama-sama dengan Gubernur; (10) membahas dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama-sama dengan Gubernur; (11) bersama Gubernur menyusun dan menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Papua dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan memperhatikan kekhususan Provinsi Papua; (12) memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan Papua; (13) memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan daerah yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua; (14) memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; (15) meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja pemerintahan; (16) melaksanakan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Papua dan semua perjanjian internasional yang terkait dengan Papua wajib disetujui oleh Gubernur Papua dan DPRP; (b) pelaksanaan Perdasus, Perdasi, Keputusan Gubernur dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya; (c) pelaksanaan pengurusan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi Papua; (d) pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; (e) pelaksanaan kerjasama internasional di Provinsi Papua; (f) memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan penduduk Provinsi Papua; 105
2. Kewenangan Pemerintah Papua (1) Sebagai otonomi dan desentralisasi asimetris di Indonesia, Pemerintahan Papua dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Kewenangan Pemerintah meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. (3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangannya pada poin 2, Pemerintah dapat: melaksanakan sendiri; menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota; melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dan/atau instansi Pemerintah; dan menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dan distrik (kecamatan) berdasarkan asas tugas pembantuan. (4) Dengan maksud memperkuat kedudukan Gubernur Papua dalam struktur pemerintahan Papua, maka: Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Papua dan DPRP. Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Papua dan DPRP. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Tanah Papua yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud pada poin 1, poin 2, dan poin 3 diatur dengan Peraturan Presiden. (5) Kewenangan Terbatas di Bidang Luar Negeri. Dalam kerangka otonomi khusus plus atau yang diperluas, maka Pemerintah memberikan tugas atau melimpahkan kewenangan terbatas (limited authority), urusan, dan tugas tertentu di bidang luar negeri (limited authority on foreign affairs) kepada Pemerintah Provinsi di Tanah Papua di dalam hal membangun kerjasama dan kemitraan dengan lembaga/badan atau negara-negara asing maupun di dalam menangani kegiatan-kegiatan tertentu baik didalam aspek politik, investasi, perdagangan, hukum, demokrasi, pertahanan, dan keamanan. (6) Pemerintah Provinsi Tanah Papua dapat mewakili Pemerintah Pusat dalam urusan bilateral dengan Negara-negara lain dalam meningkatkan hubungan bilateral dan meningkatkan hubungan antara penduduk (people to people contact) dalam rangka memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia; Pemerintah Papua dapat mengadakan kerjasama dengan memiliki kewenangan untuk melakukan hubungan ekonomi, perdagangan, investasi, dan pariwisata dengan luar negeri, terutama kawasan Pasifik Selatan dan Pasifik Barat Daya; (7) Pemerintah Provinsi Tanah Papua yang didukung oleh Pemerintah Pusat untuk membangun wilayah perbatasan antara Republik Indonesia - Papua New Guinea, Republik Indonesia – Australia, dan Republik Indonesia – Republik Palau; Pemerintah Papua dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Pemerintah Papua dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga 106
internasional. Pemerintah Papua dapat membangun kerjasama dalam menciptakan kemitraan strategis (strategic partnership) dengan kawasan Pasifik Selatan dan Pasifik Barat Daya. Dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi nasional dan menjadikan Papua sebagai pintu gerbang internasional untuk perdagangan, investasi, dan pariwisata di Wilayah Timur Indonesia, diperlukan pembukaan kembali jalur penerbangan internasional melalui Bandar Udara Frans Kaisepo Biak sebagai wujud Papua sebagai daerah terbuka bagi dunia internasional. Pemerintah Papua memilki kewenangan untuk memberikan pertimbangan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Pertahanan, sehingga dapat mendesain kebijakan pertahanan yang sesuai dengan konteks wilayah, dinamika pembangunan, dan konteks sosial-budaya di Papua. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Papua yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRP.
3. Perangkat dan Kepegawaian Pemerintahan Papua (1) Perangkat Provinsi Tanah Papua terdiri atas Sekretariat Provinsi, Dinas Provinsi, dan lembaga teknis lainnya, yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan Provinsi. (2) Perangkat MRP dan DPRP dibentuk sesuai dengan kebutuhan. (3) Pengaturan tentang ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Perdasi berdasarkan peraturan perundang-undangan.(4) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan kepegawaian Provinsi dengan berpedoman pada norma, standar dan prosedur penyelenggaraan manajemen Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan kebijakan kepegawaian sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan daerah setempat. (4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Perdasi.
4. Keuangan Pemerintahan Tanah Papua (1) Perlu ada kelembagaan keuangan yang bercirikan masyarakat adat papua yang mencerminkan roh dari UU Otsus itu sendiri. (2) Sebagai NKRI, Pemerintah Pusat harus mencari solusi permasalahan tingkat kemahalan harga di Papua untuk bisa setara dengan tingkat harga di Luar Papua. (3) Memperbaiki implementasi bidang keuangan dari kebijakan otonomi khusus tersebut dengan membuat peraturan khusus yang mendukung undang-undang otonomi khusus plus (4) Mengalihkan dana otonomi khusus ke dalam Dana Alokasi Umum (DAU (5) Mengalihkan dana otonomi khusus ke dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) (6) Mendirikan Lembaga/Badan Khusus yang menangani Dana OTSUS (7) Mengenai keuangan sudah waktunya dimuat pasal-pasal Bagi Hasil dari penghasilan bersumber dari Hidrokarbon. (8) Setiap perumusan dan perencanaan APBN wajib mempertimbangkan karakter kekhususan Papua sebagai otonomi asimetris, kemahalan harga barang, kondisi geografis wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, dan konteks sosial budaya dalam pembangunan Papua; (9) Perlu dipertimbangkan agar pendapatan negara yang berasal dari pajak berbagai PMA, PMDN, BUMN, dan Dunia Usaha yang beroperasi di Papua diserahkan lebih dulu ke 107
Kas Daerah, dan kemudian diserahkan 30 persen ke Kas Negara selama 20 tahun; (10) Perjanjian kontrak kerjasama antara pemerintah dan pihak lain yang ada saat ini dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara pemerintah dan Pemerintah Papua dan masyarakat adat di Papua melalui MRP.(11) Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh pemerintah dan Pemerintah Papua. Dan Masyarakat adat Sebelum melakukan pembicaraan dengan pemerintah mengenai kontrak kerjasama tersebut, pemerintah Papua mendapat pertimbangan DPRD; (2) Pemerintah menyediakan Dana Otonomi Khusus sebesar 10 persen dari DAU Nasional selama 20 tahun yang ditujukan untuk membiayai pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendidikan, dan kesehatan. (3) Pemerintah menyediakan dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus sebesar 2% dari total APBN, terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. (4) Pemerintah Papua berhak atas kepemilikan saham di setiap usaha pengelolaan sumberdaya alam dan memiliki hak pengelolaan bersama dalam sumberdaya alam di bidang pertambangan, perkebunan, pertanian, perikanan, kelautan, energi (PLTA , PLTU, PLTS) dan pariwisata, serta perdagangan. (5) Setiap program pembangunan masyarakat (Corporate Social Responsibility) yang dilakukan oleh dunia usaha di wilayah Papua wajib mengikuti desain kebijakan pembangunan Pemerintahan Papua. Desain Bagi Hasil Sumber Daya Alam harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada rakyat Papua dan Pemerintahan Papua. Kebijakan keuangan dalam Pemerintahan Papua: Penyelenggaraan urusan pemerintahan di Papua dan kabupaten/kota diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Papua dan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Papua (APBP) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK). Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur Papua selaku wakil Pemerintah disertai dengan pendanaan dari APBN dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintahan Papua, pemerintahan kabupaten/kota, distrik, dan kampung disertai dengan pendanaan dari APBN dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Pemerintah Papua dapat menerima bantuan, pinjaman, dan hibah baik yang bersumber dari luar negeri dan dalam negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Pemerintah Papua dapat melakukan penyertaan modal dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan usaha swasta yang saling menguntungkan. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Papua (APBP)/APBK secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Pengelolaan APBP dan APBK dilaksanakan melalui suatu sistem yang diwujudkan dalam APBP dan APBK yang setiap tahun diatur dalam Perdasus. Alokasi anggaran belanja untuk pelayanan publik dalam APBP/APBK lebih besar dari alokasi anggaran belanja untuk aparatur. 108
Sumber penerimaan dan pengelolaan keuangan Papua Sumber-sumber penerimaan Provinsi, Kabupaten/Kota meliputi: pendapatan asli Provinsi, Kabupaten/Kota; dana perimbangan; penerimaan Provinsi dalam rangka Otonomi Khusus; pinjaman Daerah; dan lain-lain penerimaan yang sah. Sumber pendapatan asli Provinsi Papua, Kabupaten/Kota terdiri atas: pajak Daerah; retribusi Daerah; hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah lainnya yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan Daerah yang sah. Dana Perimbangan bagian Provinsi Papua, Kabupaten/Kota dalam rangka Otonomi Khusus dengan perincian sebagai berikut: Bagi hasil pajak. (1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 90% (sembilan puluh persen); (2) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 80% (delapan puluh persen); dan (3) Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen). Pajak Penghasilan yang diterima karyawan Freeport diwajibkan pengelolaan dan pendistribusian dikelola oleh KAS DAERAH Provinsi Papua. Bagi hasil sumber daya alam , Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen); Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen); Pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen); dan Pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen). Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan memberikan prioritas kepada Provinsi Papua; Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya setara dengan 4 % (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, dan pengentasan kemiskinan; dan Dana tambahan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan DPR berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus yang berasal dari bagi hasil pertambangan minyak bumi sebesar 70 % untuk Papua dan bagi hasil pertambangan gas alam sebesar 70 % untuk Papua berlaku selama 25 (dua puluh lima) tahun; Mulai tahun ke-26 (dua puluh enam), penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus dari bagi hasil pertambangan minyak bumi dan pertambangan gas alam menjadi 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 50% (lima puluh persen) untuk pertambangan gas alam; Untuk mengkoordinasikan tambahan Dana Bagi Hasil dari pertambangan minyak bumi dan pertambangan gas bumi Gubernur dapat membentuk satuan unit kerja. Pembagian lebih lanjut penerimaan Dana Otonomi Khusus antara Provinsi Papua, Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil dan berimbang dengan Perdasus, dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal. Sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan bagi hasil pertambangan minyak bumi dan pertambangan gas bumi dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi, dan 20 % (dua puluh persen) untuk ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan.
109
Pinjaman Daerah dan penerimaan lain-lain. Provinsi Papua dapat menerima bantuan, pinjaman, dan hibah baik yang bersumber dari luar negeri dan dalam negeri setelah memberitahukannya kepada Pemerintah. Provinsi Papua dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat persetujuan dari DPRP. Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi Papua harus mendapat pertimbangan dan persetujuan DPRP dan persetujuan dari Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Total kumulatif pinjaman dari sumber dalam negeri dan luar negeri besarnya tidak melebihi persentase tertentu dari jumlah penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan dan kemudian diatur pelaksanaannya dengan Perdasi. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerima hibah dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan kepada Pemerintah dan DPRP/DPRD Kabupaten/Kota Dalam hal hibah mensyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan kepada DPRP/DPRD Kabupaten/Kota. Penerimaan hibah bersifat: tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah, Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota; tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota; tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan tidak bertentangan dengan ideologi negara. Penyertaan Modal dan Obligasi. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan penyertaan modal/kerja sama pada/dengan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan/atau badan usaha milik swasta atas dasar prinsip saling menguntungkan. Penyertaan modal/kerja sama dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dilakukan divestasi atau dialihkan kepada badan usaha milik daerah. Penyertaan modal/kerja sama dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ditetapkan dengan Perdasi. Anggaran yang timbul akibat penyertaan modal/kerja sama sebagaimana dimaksud dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Papua/APBD Kabupaten/Kota. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat menerbitkan obligasi daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota dapat menyediakan dana cadangan yang disisihkan untuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran. Penyertaan modal yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan BUMN/Daerah, mengikutsertakana masyarakat adat setempat dalam pemilikan modal/saham sebesar 10%. Pemerintah papua dan daerah/kota dalam menerbitkan obligasi daerah mengikutsertakan masyarakat adat dalam penerbitan obligasi daerah tersebut. Dan pengaturan lanjutnya di atur dalam peraturan gubernur. 8. Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah (UMKM) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota berkewajiban untuk menumbuhkan, membangun, meningkatkan, dan memberdayakan koperasi 110
dan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan koperasi (UMKM) yang dimiliki penduduk asli Papua sebagai sumber kekuatan ekonomi rakyat; Pemerintah Papua melakukan koordinasi dalam rangka keterpaduan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap urusan Pemerintah yang bersifat lintas Kementerian/Lembaga yang terkait dengan koperasi dan UMKM; Pemerintah Papua dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyusun standar pemberian izin di bidang Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Koperasi dan memberikan kemudahan perijinan dan insentif khusus untuk menumbuhkan koperasi dan UMKM; Setiap penanaman modal asing (PMA), penanaman modal dalam negeri (PMDN), usaha swasta, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang beroperasi di wilayah Papua berkewajiban untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memberdayakan koperasi dan UMKM. Majelis Rakyat Papua melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan koperasi dan UMKM penduduk asli Papua. 9. Parawisata dan Ekonomi Kreatif
a. Kebijakan Pembangunan kepawisataan Pembangunan kepariwisataan di Papua diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipatif, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan . Pembangunan kepariwisataan di Papua bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan kesejahteraan rakyat; menghapus kemiskinan; mengatasi pengangguran; melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; memajukan kebudayaan; mengangkat citra bangsa; memupuk rasa cinta tanah air; memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan mempererat persahabatan antarbangsa. Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menjadikan keadaan alam , flora, fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya sebagai modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Papua. Pembangunan kepariwasataan merupakan bagian integral dari pembangunan Papua yang dilakukan secara sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan, serta kepentingan nasional. Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk melakukan pembangunan kepawisataan yang meliputi industri pariwisata, destinasi wisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan. Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mendorong penanaman modal negeri dan penanaman modal asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana induk kepariwisataan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. b. Kawasan Strategis Pariwisata Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota menetapkan kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan strategis pariwisata provinsi, dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota yang merupakan bagian integral dari rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang kabupaten/kota. 111
Kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek meliputi: sumber daya pariwisata alam dan budaya potensial menjadi daya tarik pariwisata; potensi pasar; lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah; perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya; kesiapan dan dukungan masyarakat; dan kekhususan dari wilayah Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan agama yang dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Badan Promosi Pariwisata Indonesia yang dibentuk oleh Pemerintah berkewajiban untuk meningkatkan citra kepariwisataan Papua, meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara ke Papua, dan melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata Papua. 10.
Kehutanan. a. Prinsip-prinsip kebijakan kehutanan di Papua, Penyelenggaraan kehutanan di Papua berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan di Papua bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, terutama memberi manfaat yang sebesar-besar bagi masyarakat adat di dalam hutan maupun di sekitar hutan; meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. b. Penguasaan Hutan. Penguasaan hutan oleh Negara memberi wewenang kepada Pemerintah melalui pertimbangan dan persetujuan Gubernur Papua untuk: mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hokum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. c. Status Hutan dan Fungsi Hutan. Pemerintah menetapkan status hutan dengan persetujuan Gubernur Papua setelah mendapat pertimbangan dari 112
Bupati/Walikota dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pemerintah melalui persetujuan Gubernur Papua menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok sebagai berikut: hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi Pemerintah melalui pertimbangan dan persetujuan Gubernur Papua dapat menetapkan kawasan hutan tertentu untuk tujuan khusus. Penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus, diperlukan untuk kepentingan umum seperti: penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, dan religi dan budaya. d. Inventarisasi Hutan dan Pengukuhan Hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan secara bersama antara Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan secara bersama antara Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Hasil inventarisasi hutan dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan, penyusunan rencana kehutanan, dan sistem informasi kehutanan. Berdasarkan inventarisasi hutan, Pemerintah melalui persetujuan Gubernur Papua menyelenggarakan pengukuhan kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan tersebut, dilakukan untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui proses sebagai berikut: penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Papua. e. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Tata hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan efisiensi pengelolaan. Berdasarkan blok dan petak, disusun rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan lebih lanjut tentang tata hutan, blok-blok, dan petak tersebut diatur oleh Pemerintah Papua dengan Peraturan Daerah Khusus. f. Penatagunaan Kawasan Hutan. Berdasarkan hasil pengukuhan kawasan hutan, Pemerintah melalui persetujuan Gubernur Papua menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan. Penatagunaan kawasan hutan meliputi kegiatan penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Pemerintah melalui Gubernur Papua menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. g. Gubernur Papua menetapkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.Gubernur Papua menetapkan perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis. 113
h. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Gubernur Papua menetapkan ijin pemanfataan hutan dan penggunaan kawasan hutan.Dalam rangka pemanfaatan hutan lindung, Gubernur Papua memberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Dalam rangka pemanfaatan hutan produksi, Gubernur Papua memberikan pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi atau kelompok usaha masyarakat setempat. Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari. Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada diatur oleh Gubernur Papua. i. Ijin Pemanfaatan Hutan. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan. Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan hanya dikenakan provisi. Ketentuan lebih lanjut tentang iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dana jaminan kinerja, dan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan diatur dengan Perdasus. j. Penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan (seperti pertambangan) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.Penggunaan kawasan hutan pada poin 1 dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Gubernur Papua dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Gubernur Papua. k. Perdasus tentang Pemanfatan Kehutanan Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan menyangkut ijin pemanfataan kawasan, ijin usaha pemanfataan jasa lingkungan, ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu di kawasan hutan lindung dan hutan produksi, pengelolaan hutan untuk tujuan khusus, pemanfaatan hutan hak dan hutan adat, dan pemanfatan hutan untuk kepentingan pembangunan (termasuk pertambangan) dan ijin pinjam pakai diatur lebih lanjut dengan Perdasus dengan mendapatkan pertimbangan Pemerintah Kabupaten/ Kota.
114
l. Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan. Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Rehabilitasi dan reklamasi hutan diatur dengan Perdasus. m.Perlindungan Hutan Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan. Ketentuan lebih lanjut dengan Perdasus. Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan. 11. Pertanian Dengan potensi sumber daya lahan di Papua, Pemerintah wajib untuk memberikan dukungan kebijakan, program, dan pembiayaan untuk pembangunan kedaulatan pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan keamanan pangan di Papua. Pemerintah wajib memberikan dukungan kebijakan, program, dan pendanaan untuk percepatan pembangunan tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan kesehatan hewan, perkebunan, prasarana dan sarana pertanian, ketahanan pangan, karantina, pengolahan dan pemasaran hasil, dan penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia dengan memperhatikan karakteristik sosial penduduk asli Papua, potensi wilayah, kondisi geografis wilayah, dan kondisi infrastruktur wilayah di Papua. Pemerintah pusat dan daerah membentuk LEMBAGA PEMBIAYAAN KHUSUS SEKTOR PERTANIAN Papua. Patut dicatat bahwa memang sudah ada lembaga namun, pola pengembalian pinjaman bank yang biasanya dilakukan sebulan sekali. Hal tersebut menyulitkan petani karena mereka biasanya baru mendapatkan dana setelah musim panen tiba. Sebagian besar petani di papua adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,5 hektare. Mereka itu tidak bankable, sehingga memasukkan masalah lembaga pembiayaan dalam draft RUU Otonomi Khusus Plus.Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan kepada petani local pemberian subsidi, yaitu petani akan mendapatkan uang tunai pengganti pembelian pupuknya. Bentuk subsidi langsung tersebut ada tiga macam, berupa uang tunai (reimbursement), voucher, dan pemberian produk pupuk. Masyarakat adat diberikan kebebasan membentuk wadah serikat tempat berkumpulnya para petani lokal (OAP) di Papua.
115
12. Penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/kota memberikan ruang dan waktu kepada perguruan tinggi yang ada di Papua melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan untuk di wilayah provinsi Papua.Penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan di Provinsi Papua melibatkan para pakar ilmu yang ada di Provinsi Papua. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat serta perguruan tinggi yang ada di Papua mendirikan suatu wadah dibidang penelitian dan pengembangan dan dikoordinasikan oleh perguruan tinggi negeri di Papua. Pemerintah mengembangkan sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kelautan dengan mengacu pada peraturan perundangundangan dan hukum laut internasional yang berlaku serta perjanjian-perjanjian dengan negara atau lembaga internasional yang berwenang. Pemerintah mengembangkan Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kelautan yang merupakan dari Sistem Nasional tentang Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Bidang-bidang Penelitian, Pengembangan dan Penerapan IPTEK kelautan meliputi antara lain kegiatan penelitian dasar dan terapan untuk meningkatkan pemahaman tentang biologi, kimiawi, fisika, geologi dan dasar laut serta tanah dibawahnya , proses dan interaksi laut dan pantai dengan hidrologi, cuaca , serta pengaruh laut dan pantai terhadap masyarakat dan komunitas di sekitar laut-lingkungan serta pengembangan metodologi dan instrumen untuk meningkatkan pemahaman tentang laut. Pemerintah menetapkan persyaratan tentang pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan oleh Lembaga Internasional atau pihak asing. Pelaksanaan Penelitian, Pengembangan, Penerapan IPTEK Kelautan dapat dilakukan dengan bekerjasama secara regional dan internasional dengan Negara lain. Koordinasi pelaksanaan kegiatan Penelitian, Pengembangan, Penerapan IPTEK Kelautan secara nasional, dilakukan oleh Lembaga Penelitian Pemerintah yang diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah menyusun, mengelola, memelihara dan mengembangkan Bank Data Kelautan yang dihimpun dari berbagai kegiatan penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi kelautan. Data Kelautan meliputi diantaranya data tentang karakteristik laut , baku mutu laut, bathimetry, hydrography, oceanography, data tentang cuaca, data sumberdaya hayati dan non hayati, data tentang lempeng tanah dasar laut, data tentang gempa di laut, tsunami, data tentang pulau-pulau, data tentang peta laut, data tentang penduduk pesisir dan data lain yang diperlukan. Bank Data Kelautan disimpan, dikelola dan dikembangkan (updated) oleh Lembaga penelitian pemerintah, yang berfungsi sebagai Pusat Informasi Nasional tentang data kelautan. 13. Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Papua baik di darat maupun di laut wilayah Papua sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaan sumber daya alam meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya Sumber daya alam meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip 116
transparansi dan pembangunan berkelanjutan. Dalam melaksanakan pengelolaan SDA, Pemerintah Papua dapat: membentuk badan usaha milik daerah; dan melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara. Kegiatan usaha dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing. Dalam melakukan kegiatan usaha, pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Papua. Setiap pelaku kegiatan usaha bertanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan yang dieksplorasi dan dieksploitasi. Sebelum melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi yang besarnya akan diperhitungkan pada waktu pembicaraan kontrak kerja eksplorasi dan eksploitasi. Pemerintah, Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pembangunan ekonomi kerakyatan, pendidikan, dan kesehatan yang seimbang sebagai kompensasi atas eksploitasi sumber daya alam yang tidak terbarukan. Setiap pelaku usaha pertambangan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di Papua berkewajiban menyiapkan dana pengembangan masyarakat. Dana pengembangan masyarakat ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota, dan pelaku usaha yang besarnya paling sedikit 1% (satu persen) dari harga total produksi yang dijual setiap tahun. Rencana penggunaan dana pengembangan masyarakat guna membiayai program yang disusun bersama dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat sekitar kegiatan usaha dan masyarakat di tempat lain serta mengikutsertakan pelaku usaha yang bersangkutan diatur lebih lanjut dalam Perdasus. Pembiayaan program pengembangan masyarakat dengan dana pengembangan masyarakat dikelola sendiri oleh pelaku usaha yang bersangkutan. 14. Pengelolaan Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi. Pemerintah dan Pemerintah Papua melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Papua. Untuk melakukan pengelolaan SDA miyak dan gas bumi, Pemerintah dan Pemerintah Papua dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati bersama oleh Pemerintah dan Pemerintah Papua. Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah mengenai kontrak kerja sama, Pemerintah Papua harus mendapat persetujuan DPRP. Perjanjian kontrak kerja sama antara Pemerintah dan pihak lain yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan dapat diperpanjang setelah mendapat kesepakatan antara Pemerintah dan Pemerintah Papua. 15. Perikanan dan Kelautan. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut wilayah Papua. Kewenangan untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut meliputi: konservasi dan pengelolaan sumber daya alam di laut; pengaturan administrasi dan perizinan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan; pengaturan tata ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan atas wilayah laut 117
yang menjadi kewenangannya; pemeliharaan hukum adat laut dan membantu keamanan laut; dan keikutsertaan dalam pemeliharaan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan pengusahaan sumber daya alam laut lainnya di laut sekitar Papua sesuai dengan kewenangannya. Pengelolaan sumber daya alam di wilayah laut dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan hidup. 16. Perdagangan dan Investasi. Pemerintah Papua, dan pemerintah kabupaten/kota menjamin pelaksanaan perdagangan internal di Papua bebas dari hambatan. Penduduk Papua (diutamakan OAP) dapat melakukan perdagangan secara bebas dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui darat, laut dan udara tanpa hambatan pajak, bea, atau hambatan perdagangan lainnya, kecuali perdagangan dari daerah yang terpisah dari daerah pabean Indonesia. Setiap pelaku usaha di Papua dapat membentuk organisasi, asosiasi profesi, dan asosiasi bisnis yang berbasis lokal dan mandiri. Penduduk di Papua dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional. Pemerintah Papua dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan norma, standar, dan prosedur yang berlaku nasional berhak memberikan: izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum; izin konversi kawasan hutan; izin penangkapan ikan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan satu per tiga dari wilayah kewenangan daerah provinsi untuk daerah kabupaten/kota; izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan ukuran; izin penggunaan air permukaan dan air laut; izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan; dan izin operator lokal dalam bidang telekomunikasi. Pemberian izin harus mengacu pada prinsip-prisip pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, dan prosedur yang sederhana. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin diatur dengan Perdasus. Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dapat menyediakan fasilitas perpajakan berupa keringanan pajak, pembebasan bea masuk, pembebasan pajak-pajak dalam rangka impor barang modal, dan bahan baku ke Papua dan ekspor barang jadi dari Papua, fasilitas investasi, dan lain-lain fasilitas fiskal yang diusulkan oleh Pemerintah Papua. 17. Pertahanan (TNI) (1) Tentara Nasional Indonesia bertanggungjawab menyelenggarakan pertahanan negara dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pertahanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi memelihara, melindungi dan mempertahankan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan 118
Republik Indonesia dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundangundangan. (3) Pelaksanaan tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) seperti penanggulangan bencana alam, pembangunan sarana dan prasarana perhubungan, serta tugas-tugas kemanusiaan lain dilakukan setelah berkonsultasi dengan Gubernur Papua. (4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Papua tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat istiadat Papua. (5) Tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Papua diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (6) Peradilan terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. 18. Keamanan (Kepolisian) (1) Kepolisian di Papua merupakan bagian dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2) Kepolisian di Papua bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. (3) Kebijakan ketenteraman dan ketertiban masyarakat di Papua dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Papua kepada Gubernur. (4) Pelaksanaan tugas kepolisian di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kepolisian Daerah Papua kepada Gubernur. (5) Kepala Kepolisian Daerah Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas pembinaan kepolisian di Papua dalam kerangka pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. (6) Pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Gubernur. (7) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima. (8) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kepolisian Republik Indonesia mengangkat Kepala Kepolisian Daerah Papua. (9) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia mengajukan satu kali lagi calon lain. (10) Pemberhentian Kepala Kepolisian Daerah Papua dilakukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. (11) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan keamanan, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengangkat pejabat sementara Kepala Kepolisian di Papua sambil menunggu persetujuan Gubernur. (12) Seleksi untuk menjadi bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia di Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Papua dengan memperhatikan ketentuan hukum, dan budaya, serta adat istiadat dan kebijakan Gubernur Papua.
119
(13) Pendidikan dasar bagi calon bintara dan pelatihan umum bagi bintara Kepolisian Papua diberi kurikulum muatan lokal dan dengan penekanan terhadap budaya dan adat istiadat di Papua dan hak asasi manusia. (14) Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berasal dari Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. (15) Penempatan bintara dan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia dari luar Papua ke wilayah hukum Kepolisian Daerah Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan ketentuan kebutuhan, hukum, budaya, dan adat istiadat. 19. Kejaksaan (1) Kejaksaan di Papua merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia. (2) Kejaksaan di Papua melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di bidang penegakan hukum . (3) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur. (4) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima. (5) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung mengangkat Kepala Kejaksaan Tinggi Papua. (6) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan Jaksa Agung mengajukan satu kali lagi calon lain. (7) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi Papua dilakukan oleh Jaksa Agung. (8) Seleksi dan penempatan jaksa di Papua dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan memperhatikan ketentuan hukum, budaya, dan adat istiadat Papua. 20. Pertanahan (1) Setiap warga negara Indonesia yang berada di Papua memiliki hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus peruntukan, pemanfaatan dan hubungan hukum berkenaan dengan hak atas tanah dengan mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak yang telah ada termasuk hak-hak adat sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional. (3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kewenangan Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan hak guna bangunan dan hak guna usaha sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku. (4) Pemerintah Papua dan/atau pemerintah kabupaten/kota wajib melakukan pelindungan hukum terhadap tanah-tanah wakaf, harta agama, dan keperluan suci lainnya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Perdasi yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.
120
(6) Pemerintah Papua berwenang memberikan hak guna bangunan dan hak guna usaha bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing sesuai dengan norma, standar, dan prosedur yang berlaku. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi Papua. 21. Hak Asasi Manusia Masalah hak-hak asasi manusia (HAM) muncul karena manusia yang satu menindas dan memperbudak manusia yang lain dari masa ke masa sejak manusia berada di permukaan bumi, padahal manusia mempunyai kedudukan, harkat dan martabat yang sama. Perhatian terhadap masalah HAM sebenarnya telah dilakukan ribuan tahun yang silam oleh bangsa-bangsa seperti Jahudi, Yunani, Babylonia, Romawi dan Inggris, dituangkan dalam Al-Quran, Alkitab, bahkan telah dilakukan oleh masyarakat-masyarakat (hukum) adat. Perlawanan terhadap eksploitasi manusia satu sama lain sebenarnya telah dilakukan bersamaan dengan keberadaan manusia itu sendiri, tetapi hal itu dipandang sebagai bagian dari gerakan moral, dan agama, bukan sebagai masalah juridis. Pengaturan tentang HAM secara juridis diawali dengan lahirnya Magna Charta di Inggris, 12 Juni 1215. Kelahiran Magna Charta diikuti dengan pernyataanpernyataan tentang HAM seperti: Hobeas Corpus Act, 1679; Bill Of Rights, 1689; Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, 4 Juli 1787; Deklarasi tentang Hak-Hak Warga Negara di Perancis Tahun 1789 dan pernyataan-pernyataan lainnya. Hak-hak asasi manusia yang terkandung dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat maupun Deklarasi tentang Hak-Hak Warga Negara dari Perancis sebagaimana disinggung di atas sebenarnya berasal dari pemikiran atau gagasan John Locke. John Locke dalam teori hak-hak kodrati (natural rights theory) mengatakan bahwa setiap individu oleh alam diberikan hak hidup, kebebasan dan hak milik yang tidak dapat dicabut oleh negara. Natural rights theory ini sebenarnya berasal dari teori hukum kodrati (natural law theory) yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Hugo de Groot (Grotius) yang mempopulerkan natural law theory setelah mengeluarkan unsur-unsur Ketuhanan. Teori hak-hak alam ditentang oleh Edmund Burke, Jeremy Benthan dan John Austin, tetapi pendapat John Locke muncul di akhir Perang Dunia Kedua, sebab dalam perang ini hampir memusnahkan umat manusia di dunia. Babak baru yang terjadi pada pertengahan abad ke dua puluh adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Piagamnya yang terdiri atas 111(seratus sebelas ) pasal itu, 40 (empat puluh) pasal di antaranya nengatur tentang hak-hak asasi manusia. Ketentuan-ketentuan mengenai HAM dalam Piagam PBB telah dijabarkan melalui The Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) Tahun 1948. UDHR dijabarkan lagi dalam The International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) dan The International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966 dan mulai berlaku tahun 1976. ICCPR dikenal sebagai hukum HAM generasi pertama; dan ICESCR biasa disebut sebagai hukum HAM generasi kedua. Hukum HAM dalam perkembangannya muncul HAM generasi ketiga yaitu hak-hak kolektif yang meliputi: hak penentuan nasib sendiri; hak atas pembangunan; hak atas kekayaan dan sumber daya alam; serta hak atas lingkungan hidup. 121
Negara-negara di benua Eropa, Amerika, Afrika, dunia Arab juga mengumumkan konvensi atau deklarasi mengenai HAM yang berlaku pada kawasan-kawasan dunia tersebut, disamping berlakunya hukum HAM bersifat global yang telah disebutkan sebelumnya. Perang Dunia Kedua setelah berakhir, maka terjadi perubahan peta politik dunia, di mana negara-negara di belahan bumi Afrika, Asia, Timur Tengah dan Pasifik berangsur-angsur memperoleh kemerdekaan. Negara-negara yang baru merdeka ini sesuai perkembangan zaman mencantumkan masalah HAM dalam undang-undang dasar negaranya masing-masing, termasuk Indonesia. Masalah HAM dewasa ini telah menjadi isu global sebab bersifat universal dan transparan. Hak-hak asasi manusia bersifat universal sebab terdapat di segala tempat dan waktu. Sifat universal ini nampak melalui martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan yang yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak-hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang suku-bangsa, status, jender atau perbedaan lainnya. Sifat HAM yang universal ini ditegaskan dalam Bab I Ayat (5) Deklarasi Wina Tahun 1993 sebagai berikut: All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated. The international community must treat human rights globally in a fair and equal manner, on the same footing, and with the same emphasis. While the significane of national and regional particularities and various historical, cultural and religious backgrounds must be borne in mind, it is the duty of States, regardless of their political, economic and cultural system, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms. Pandangan bahwa HAM bersifat universal disangkal oleh teori relativisme budaya (cultural relativism). Inti teori ini adalah HAM berbeda satu sama lain di berbagai tempat di dunia sesuai budaya setempat yang berkembang dari masa ke masa. Menurut Boer Mauna mengatakan bukan saja aspek budaya tetapi berbagai aspek lain seperti sejarah, sosial, latar belakang politik, agama, dan tingkat pertumbuhan ekonomi menyebabkan HAM belum dilaksanakan secara efektif di berbagai negara. HAM bersifat transparan sebab apabila terjadi pelanggaran terhadap salah satu aspek HAM terutama hak-hak sipil dan politik di suatu negara atau pada kawasan dunia tertentu, maka negara-negara lain atau seluruh dunia akan berbicara atau mengecamnya seakan-akan terjadi di negaranya masing-masing. HAM dikaji dari aspek hukum berarti berbicara tentang bagaimana HAM seharusnya dilaksanakan (das sollen), bukan HAM itu telah dilaksanakan (das sein). HAM sebagai das sollen diatur dalam hukum (internasional dan nasional). Hukum dalam bentuk piagam (charter), resolusi (resolution), deklarasi (declaration), kovenan atau konvensi (covenant atau convention), undang-undang dasar (constitution), undang-undang (act) dan dalam bentuk hukum yang lain. Tanggungjawab mengenai HAM yang das sein pada dasarnya diberikan kepada negara. Bentuk tanggungjawab itu dikelompokkan menjadi: menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), memajukan (to promote) dan menegakkan (to enforce) HAM. Hal ini berpedoman kepada sistem hukum HAM internasional yang menempatkan negara sebagai aktor utama yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab (duty holders), sedangkan individu, kelompok, rakyat 122
yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right holders). Negara diberi kewajiban atau tanggungjawab (obligation or responsibility) untuk melaksanakan hak-hak rakyatnya yang diatur oleh hukum. Hukum HAM merupakan bagian dari hukum internasional. Hukum HAM sebagai bagian dari hukum internasional, maka sumber hukumnya adalah Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (SMI), namun dikaji dari aspek sejarah dan sifat HAM sebagaimana disinggung di atas, maka sumber hukum HAM ada yang dalam bentuk hukum internasional dan hukum nasional. Berpedoman kepada ketentuan Pasal 38 ayat (1) SMI, maka sumber-sumber hukum HAM internasional yang terpenting adalah: 1. The Charter of United Nations; 2.The International Bill of Human Rights yang terdiri dari: a. UDHR ; b. ICCPR ; c.ICESCR. Hukum internasional mengenai HAM yang lainnya dijabarkan dari sumber-sumber hukum HAM ini. Hukum HAM juga diatur di berbagai kawasan dunia seperti Eropa, Amerika, Afrika, dan dunia Arab yang berlaku di kawasan-kawasan dunia tersebut, di samping berlakunya hukum HAM Internasional bersifat global sebagaimana disebutkan sebelumnya. Setiap negara biasanya mengatur masalah HAM dalam hukum nasionalnya baik dalam undang-undang dasar, undang-undang dan atau bentuk hukum nasional yang lain. Misalnya, Indonesia mengatur hukum nasional mengenai HAM dalam: 1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Pengubahannya; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia; 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; dan 5.hukum nasional lainnya. Berpedoman pada uraian di atas maka dapat dipahami bahwa HAM diatur dalam berbagai instrumen hukum (internasional, regional dan nasional) dalam bentuk deklarasi, resolusi, konvensi, undang-undang dasar, undang-undang dan sebagainya yang menyangkut hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hak-hak kolektif . Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa bahwa jenis atau cabang dan bentuk hukum yang mengatur masalah HAM berbeda satu sama lain, tetapi muatan, isi, materi atau ketentuan mengenai HAM adalah sama. Pelaksanaannya dapat berbeda yang disesuaikan dengan kemajuan suatu negara di bidang ekonomi, sosial, politik, sejarah dan idiologi dari negara yang bersangkutan. Pernyataan di atas didukung dengan menampilkan contoh dalam tabel di bawah dengan menampilkan ketentuan-ketentuan UDHR dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut: NO
KETENTUAN-KETENTUAN/ ISI/MATERI
PASAL-PASAL UDHR
I. II.
Persamaan Harkat, Martabat, dan Derajat Manusia Hak-Hak Sipil 1. Hak hidup, kebebasan dan kesamaan
123
UU/39/1999
1-2
2-3
3
3-4,9
2.
Bebas dari perbudakan dan perhambaan
4
20
3.
Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun pidana yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat manusia Hak untuk memperoleh pengakuan dan perlakuan yang sama di depan hukum
5
33
6-11
17
12
29-32
13-15
26-28
16-17
10-11
18-19
22
4.
5.
6.
Hak jaminan keselamatan dan keamanan pribadi, keluarga, tempat tinggal, surat menyurat, perlindungan terhadap nama baik Hak untuk memperoleh suaka politik dan bebas memilih kewarganegaraan
7.
III.
IV.
Hak berkeluarga dan mempunyai hak milik 8. Hak beragama, berkeyakinan dan beribadat Hak-Hak Politik 1. Hak berkeyakinan politik dan mengeluarkan pendapat 2. Hak berhimpun dan berserikat, mendirikan partai politik 3. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat
20
24
21
43-44
22 23
41 38-39
Hak atas istirahat dan waktu senggang
24
-
Hak atas tempat tinggal dan standar hidup yang layak 5. Perlindungan ekonomi terhadap anakanak dan ibu-ibu Hak-Hak Sosial 1. Hak atas pendidikan 2. Hak atas kesehatan Hak-Hak Kebudayaan 1. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan masyarakat
25:1
40,42
25:2
49,62
26 25:1
12,48,60 42
27
6
Hak-Hak Ekonomi 1. Hak atas jaminan sosial 2. Hak bekerja, hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak untuk bergabung dalam serikat-serikat buruh 3. 4.
V.
VI.
23
124
VII
Kewajiaban Hak Asasi Manusia(KAM) Suatu negara atau masyarakat tertib, aman, tentram, apabila semua warga (negara) menghormati hak asasi manusia satu sama lain
29-30
67-70
Uraian di atas menunjukkan bahwa HAM bersifat universal dan transparan sehingga bentuk hukum berbeda, tetapi isi atau materi HAM sama.Setiap negara mempunyai tanggungjawab (responsibility) dan berkewajiban(obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), memajukan (to promote) dan menegakkan (to enforce) HAM. Dengan dalam undang-undang Otonomi khusus Papua in,pengaturan HAM diatur secara singkat yang pelaksnaannyan berpedoman pada ketentuan-ketentuan hukum internasional dan hukum nasional. 22. Peradilan Adat 1. Tinjauan terhadap Eksistensi Peradilan Adat Konsep negara hukum (rechstaat atau rule of Law) adalah konsep yang menempatkan hukum sebagai supremasi tertinggi dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa-bernegara. Berdasarkan hal ini, maka konsep negara hukum tidak bisa dipisahkan dari entitas negara sebagai struktur sosiopolitik makro yang memiliki kuasa atas seluruh warga negara yang ada di dalamnya, ermasuk kekuasaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sebagai dasar dari negara tersebut. Sehingga, jika membicarakan konsep negara hukum atau supremasi hukum, maka sejatinya kita sedang embicarakan konsep supremasi hukum negara (the rule of the state laws). Di sisi lain, realitas struktur sosio-politik masyarakat Indonesia sangatlah plural dan heterogen, karena ada begitu banyak kelompok-kelopmpok entitias sosio-politik mikro yang terbentuk di masyarakat yang kehidupan dan ubungan antar manusia di dalamnya didasarkan pada hukum di luar hukum negara yang mereka buat sendiri. Salah satu contoh utama dari kelompok masyarakat seperti ini adalah masyarakat adat yang sudah ada eksistensinya jauh sebelum Negara Indonesia didirikan. Konstitusi Indonesia (UUD 1945) di pasal 18B ayat 2 secara tegas mengakui eksistensi masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Namun, sebagai konsekuensi konsep negara hukum, pengakuan dan perlindungan atas eksistensi masyarakat adat dilakukan dalam konstruksi hukum positif negara, sedangkan eksistensi masyarakat adat beserta hak-haknya adalah suatu hal yang hidup dalam konstruksi hukum adat yang sama sekali berbeda dan dalam banyak hal kontradiktif dengan hukum negara. Suatu keniscayaan bahwa Keberadaan dan ekstensi peradilan adat di masyarakat telah lama di akui. Namun dalam praktiknya, hukum adat justru tidak terkandung dalam sistem peradilan atau hukum formal. Sehingga terkadang masih banyak masyarakat kurang memahami. Jadi, tidaklah mengherankan masih terdapat pro dan kontra terhadap penyelesaian hukum yang menggunakan hukum adat. Pertanyaannya, "akankah hukum adat dapat dimasukkan ke dalam praktik peradilan formal.
125
Indonesia adalah Negara dengan masyarakat majemuk yang sejak dulu menyadari bahwa dengan kemajemukannya dipersatukan dalam Landasan Ideologi Pancasila dimana memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yaitu “berbeda-beda tetapi tetap satu”, yang berarti bahwa meskipun berbeda agama, suku, ras dan golongan namun merupakan satu kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila merupakan Landasan Idiil bangsa Indonesia, falsafat dan pandangan hidup bangsa. Oleh karenanya harus menjadi landasan pijak dalam kehidupan bernegara tanpa tendensi ataupun pemahaman dan pemikiran sempit yang mengarahkan kita pada ego suku dan agama yang berimbas pada disintegrasi bangsa. Selain itu Indonesia juga merupakan Negara hukum, dimana hukum menjadi panglima setiap gerak langkah kita dalam Negara ini. Dan Negara merupakan penjamin hak agar masyarakat merasa terlindungi untuk melaksanakan haknya dalam bingkai kemajemukan atau pluralisme. Pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya maupun politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran keagamaan, serta menegasikan pemusatan kekuatan sosial pada satu kelompok atau aliran.Adanya kemajemukan sistem budaya telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok etnik yang ada dalam suatu ikatan yang berorientasi ke masa depan. Paham “berbeda-beda namun tetap satu” dalam kenyataannya hanya indah untuk didengar dan diucapkan, namun amat sulit untuk diwujudkan, sebab secara konseptual paham tersebut sudah membawa suatu kontradiksi. Idealnya ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan. (Budiman, 1999, 5-9 dalam Magdalia Alfian : 2010).Yang menjadi persoalan adalah bagaimana konsep tersebut dapat diterjemahkan dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang nyata, terutama dalam pengejawantahan pengertian “ketunggalikaan” yang tidak mematikan “kebhinekaan” serta mencegah terjadinya satu unsur kebhinekaan yang mendominasi kehidupan bangsa dan negara. Dalam konteks ini sering yang menjadi isu utama dalam aras politik bangsa kita ialah konflik antara masyarakat adat dan pemerintah ataupun masyarakat adat dengan pengusaha. Yang menyedihkan adalah yang selalu menjadi korban ketidak adilan dan tindakan kekerasan adalah masyarakat adat yang minim akses untuk memeperoleh keadilan. Meskipun keberadaan masyarakat adat ini diakui dalam konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 18 B, namun pengakuan ini juga dianggap pengakuan sepihak dan setengah hati. Karena masih ada kalimat pengecualian yaitu “ sepanjang masih hidup dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal inilah yang selalu, menjadikan dilemma bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak adatnya. Kenyataannya bagi masyarakat Indonesia, konsep peradilan ternyata bukanlah hal yang baru dikenal setelah masuknya hukum kolonial. Jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa lain, yang menawarkan sistem hukumnya, di semua komunitas masyarakat di wilayah Nusantara, telah berlangsung proses “menyelesaikan sengketa” berdasarkan mekanisme yang beragam yang bertujuan untuk “mengembalikan keseimbangan sosial” melalui pemberian keadilan kepada para pihak. Prosesnya berlangsung dan terkelola oleh lembaga-lembaga adat atau 126
lokal, yang dari segi bentuknya sangat beragam. Ada yang berada dibawah kewenangan lembaga yang khusus, sedangkan di sebagian tempat lainnya diselenggarakan oleh lembaga yang tidak secara khusus menangani sengketa. Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejak-jejak yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Di beberapa tempat, malah bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan hingga sekarang. Ternyata, upaya intervensi dan penundukan sistem peradilan adat, tidak terlalu berhasil meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat. Kenyataan ini membuktikan, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga pada aras yang lebih praksis melalui tindakan nyata di lapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi negatif dan pelucutan kepercayaan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Meskipun potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas msyarakat belum memiliki interaksi dengan budaya luar, kenyataan tersebut tidak mengurangi nilai dari kemampuan ‘survival’-nya. Pilihan sikap masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin menjadi kunci atas tetap eksisnya sistem ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, pengaruhnya bisa dieliminir, sepanjang masyarakat – sebagai pemangku sistem tersebut - secara sadar bersedia menjadikannya sebagai pilihan yang utama. Faktor lain yang menyebabkan tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Dicibir sesinis apapun oleh kelompok-kelompok dominan dari luar komunitas, fungsionalitasnya tidak berkurang dalam memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi warganya, sehingga membuatnya sangat layak - untuk dipercaya dan dipegang teguh oleh komunitas pemangkunya. Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, peradilan adat mengemban peran penting bagi peradaban komunitas adat di Indonesia. Peradilan Adat berfungsi sebagai pilar penjaga keseimbangan hubungan sosial dan kearifan lokal, misalnya, menjaga harmonisasi hubungan antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian Peradilan Adat bukan hanya pilar penyeimbang, tetapi juga entitas budaya masyarakat adat. Pasang surut eksistensi Peradilan adat tidak terlepas dari kuatnya pengaruh positivisme hukum dalam cara pikir penyelenggara negara. Cara pikir ini sangat mengagungkan formalitas legal, dan dengan demikian memaklumkan tidak ada pengadilan lain, selain Peradilan negara. Akibatnya, peradilan adat yang ada sejak ratusan tahun lalu dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal von Savigny (W. Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat tentang hukum diantaranya: pertama, hukum ditemukan, bukan dibuat. Pertumbuhan hukum merupakan proses yang tidak disadari dan organis, akibatnya perundangundangan kurang penting dibandingkan adat kebiasaan. Kedua, Undang-undang tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas, sehingga Volksgeist (Jiwa Bangsa) akan terlihat dalam hukumnya.
127
Eksistensi peradilan adat tidak dapat dilepaskan dari masyarakat hukum adatnya. Mengenai konsep dasar tentang Masyarakat Adat itu sendiri, yang paling klasik bisa dirujuk pada apa yang dikemukakan oleh Ter Haar (1979: 27) dengan konsepnya yang disebut sebagai adatrechts-gemeenschap (masyarakat hukum adat), yakni masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli yang terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu, di mana segala sesuatu dalam kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu aturan tertentu (yang tiada lain adalah aturan hukum adat). Lebih jauh, Hazairin (dikutip Simarmata: 36) mengungkapkan bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatra Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Sehingga, dari uraian mengenai konsep masyarakat (hukum) adat di atas bisa dikatakan bahwa masyarakat adat adalah suatu masyarakat hukum sebagai suatu institusi politik yang mandiri (mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada institusi sosial yang lebih besar) beserta segala macam perangkat kelembagaan yang ada yang pembentukan dan kehidupan di dalamnya didasarkan pada aturan hukum adat yang hidup dalam masyarakat tersebut. Berangkat dari sini, maka kiranya jelas bahwa kehidupan masyarakat adat pada dasarnya tidak bertumpu pada keberadaan negara beserta kelengkapan hukum negaranya, melainkan bertumpu pada aturan hukum adat mereka. Sehingga, setiap hak yang lahir dan eksis, baik itu hak kolektif maupun hak perseorangan, dalam suatu komunitas masyarakat adat disebabkan karena adanya aturan hukum adat dalam komunitas masyarakat tersebut. 2. Kedudukan Peradilan Adat di Indonesia. Secara yuridis, dikenal ada dua macam penyelesaian perkara dalam masalah hukum, yang pertama dikenal dengan penyelesaian litigasi, dan kedua yang dikenal dengan non litigasi. Maksud yang pertama adalah penyelesaian di depan pengadilan1, seperti penyelesaian perkara di Peradilan Umum, Peradilan Agama atau Mahkamah Syar‟iyah, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan bentuk tersebut dikelola oleh negara, dan sering disebut dengan nama governement judicial system2. Kemudian maksud yang kedua yaitu penyelesaian perkara di luar pengadilan seperti arbitrase, mediasi Pengadilan seperti ini dikenal dengan sebutan native administration of justice, village administration of justice, indigenous system of justice, religious tribunals dan village tribunal Tahun 1935 merupakan titik awal bagi pengadilan non litigasi yang diakui oleh koloni Belanda lewat Statblaad 1935 No. 102. Pengakuan ini didorong oleh bentuk politik balas budi yang diperankan oleh Belanda terhadap wilayah jajahannya. Kebijakan politik demikian ternyata juga memberi peluang positif terhadap bentuk peradilan yang tidak dikelola oleh negara. Dengan demikian, melalui kebijakan tersebut dapat ditegaskan bahwa Belanda telah mengakui keberadaan Peradilan Adat dan Peradilan Agama saat itu, meskipun pengakuan tersebut masih bersifat terbatas, seperti hakim-hakim adat tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman. Bukan hanya Peradilan Desa yang diakui, tetapi juga Peradilan Adat dan Peradilan Swapraja juga turut diakui. 128
3. Terma Peradilan Adat Atau Pengadilan Adat Istilah „Peradilan Adat‟ atau „Pengadilan Adat‟ tidak begitu lazim dipakai oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya. Istilah yang sering digunakan adalah „sidang adat‟ atau „rapat adat‟ dalam ungkapan khas masingmasing komunitas. Menariknya, dalam adat tidak dikenal istilah „adil‟, sebab kata adil itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Oleh karena itu, pengadilan adat tidak mengenal keadilan, yang ada hanya ketika dilakukan penyelesaiaan suatu sengketa dalam masyarakat adat tidak ditujukan untuk menemukan keadilan, tetapi untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan hubungan kekeluargaan. Perdamaian dan keseimbangan merupakan muara akhir dari Peradilan Adat. Musyawarah menjadi metode untuk menemukan perdamaian. Pelaksanaan ritual tertentu, seperti makan bersama, upacara saling memaafkan atau mengucapkan ikrar serta pelaksanaan hukuman denda, dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan alam fisik dan sosial. Musyawarah dilakukan pada setiap tingkatan peradilan atau sidang adat. Perdamaian selalu diupayakan ketika sengketa dimulai diselesaikan di tingkat keluarga. Setiap keluarga dari pihak yang bersengketa selalu berusaha agar penyelesaian sengketa berakhir pada musyawarah keluarga. Jika tidak bisa diselesaikan dan akhirnya harus dibawa ke tingkat kampung, ini akan membuat malu para pihak keluarga, sebab perkaranya sudah diketahui oleh umum. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Peradilan Adat ini sangat dekat dengan tradisi musyawarah. Ini dibuktikan oleh banyaknya konsep yang digunakan oleh sejumlah suku bangsa dengan cara yang beragam, misalnya di Kalimantan Barat, Pengadilan Adat dikenal dengan istilah ‘beduduk’, di Sumatara Utara, khususnya Kabupaten Karo dikenal dengan ‘harungguan’, di Sasak dikenal dengan sebutan ‘bagundem’ atau ‘paras paros sagilik saguluk sabayan taka’ di Bali. Di Aceh, disebut dengan „peradilan atau „pengadilan adat‟. Penggunaan istilah tersebut untuk menunjukkan fenomena yang terjadi dalam masyarakat seperti dalam masyarakat sebagai suatu pranata sosial yang sangat berperan dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dialami oleh masyarakat. Penggunaan istilah „Peradilan Adat‟ itu sendiri juga bukan karena dilihat dari kelembagaan, mekanisme dan fungsinya dalam menyelesaikan sengketa, melainkan karena secara lembaga adat, lembaga ini sama seperti dengan lembaga peradilan formal lainnya, hanya saja ada beberapa aspek yang berbeda seperti pada konsekuensi dan efek hasil. Pada masa kolonial, kepentingan pemberdayaan lembaga pengadilan adat menjadi pertimbangan atas kebutuhan lembaga peradilan bagi penduduk asli. Melalui sejumlah staadblad lembaga ini diberdayakan, diantaranya : a. Staatsblad no.83/tahun 1881 untuk Aceh Besar; b. Staatsblad no.220/tahun 1886 untuk Pinuh (Kalimantan Barat); c. Staatsblad no.90/tahun 1889 untuk daerah Gorontalo Adanya berbagai Staatblad ini tidak kemudian diartikan bahwa keberadaan lembaga-lembaga ini hanya ditempat-tempat tertentu saja, karena dalam kenyataannya keberadaan lembaga-lembaga ini ada diberbagai daerah diseluruh Indonesia. Keberadaan berbagai staatblad ini juga tidak dapat diartikan bahwa tidak ada campur tangan dari pemerintah kolonial terhadap keberadaan lembaga ini. Berbagai bentuk campur tangan pemerintah seperti campur tangan peradilan gubermen yang juga terjadi terhadap berbagai Pengadilan adat 129
diberbagai wilayah yang terlihat dalam: a. Staadsblad No.80 tahun 1932 tentang Regeling van de Inheemsche Rechtsspraak in rechtsstreeks bestuurd gebied (pengadilan adat).b. Zelfbestuursregelen 19386 tentang pengadilan swa praja serta c. Staatsblad no.102 tahun 1935 menyisipkan Pasal 3a ke dalam Reglement Ordonantie yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari masyarakatmasyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangannya.Kewenangan hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada hakim.Melalui staatblad ini maka kedudukan pengadilan desa diakui. Sehingga dalam kenyataannya selama pemerintahan Kolonial, terdapat dua pengadilan yang pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang prinsipiil yaitu pengadilan adat dan pengadilan desa. Terlepas dari pelembagaan yang demikian di Indonesia, berdasarkan catatan yang dibuat oleh Sonclair Dinnen menunjukan bahwa mekanisme ini masih berlaku didaerah-daerah pedalaman dibanyak negara didunia. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain : (a) Terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada; (b) Masyarakat tradisional didaerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki tradisi hukum yang kuat berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan permasalahan hukum yang terjadi. Hal ini merupakan realitas dimana tradisi atau ”custom” masih berlaku di banyak tempat. Ini juga merupakan realita dimana perubahan masyarakat kadang kala terbentur batas wilayah, dan bahwa hal ini juga merupakan kenyataan dimana terdapat daerah-daerah yang masih ”steril” keberlakukan sistem hukum formal). (c) Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem hukum formal terkadang memperoleh pandangan yang berbeda dan dianggap kurang memadai dan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat yang masih memegang tradisi hukum mereka sendiri; (d) Kurang memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh sistem hukum formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam menyerap kebutuhan rasa keadilan masyarakat setempat. Sinclair Dinnen memahami bahwa posisi peradilan adat dalam sistem hukum formal kerap dipertanyakan, bukan hanya terkait dengan pola hubungannya bila keduanya akan diterapkan, akan tetapi juga mencakup sejumlah keraguan berkaitan dengan keberadaan institusi peradilan adat ini antara lain: (a) Fakta yang menyatakan bahwa kebanyakan peradilan adat dipegang oleh mereka yang sudah tua, dimana kerangka berfikir dari mereka kerap kali tidak melihat kepada perkembangan kondisi yang ada pada masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini mempengaruhi putusan yang mereka buat seperti bahwa putusannya mendiskriminasi perempuan dan anakanak (khususnya dalam masyarakat patrilineal); (b) Dugaan bahwa dalam peradilan adat pun budaya nepotisme dan korupsi rentan terjadi; (c) Kekuatan memaksa dari putusan peradilan adat kerap kali diragukan; (d) Prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda (dalam hal ini penulis tidak melihat apakah dampak yang dimaksud merupakan dampak positif atau pun negatif); (e) Bahwa institusi peradilan adat hanya akan effektif dan mengikat dalam masyarakat tradiional yang homogen akan tetapi akan sangat berbeda jika diterapkan dalam lingkup urban-area; Terkait dengan hal-hal tersebut maka Sinclair menawarkan model ”collaborative approach” 130
atau hybrid justice system antara peradilan adat dan sistem hukum formal. Namun demikian dalam implementasinya juga harus melihat kepada: (a) Bahwa perlakuan diskriminatif tidak lagi diterapkan; (b) Bahwa hukuman yang dijatuhkan harus melihat kepada perkembangan pemidanaan yang mengacu pada penghormatan hak asasi manusia; (c) Harus pula dipertimbangkan apakah mekanisme ini dapat berlaku bagi pelaku tindak pidana yang serius seperti perkosaan atau pembunuhan; (d) Adanya jaminan kepastian hukum yang dijamin oleh undang-undang atas setiap putusan yang dibuat melalui jalur informal ini. Dalam praktik, permasalahan yang dihadapi oleh lembaga kepolisian di berbagai daerah di Indonesia dalam posisinya sebagai gerbang sub sistem peradilan pidana adalah banyaknya perkara pidana yang tidak diteruskan karena telah diselesaikan melalui jalur lembaga adat.10 Di dalam masyarakat yang masih memegang erat norma adat dalam kehidupannya sehari-hari, keberadaan lembaga adat sebagai alternatif penyelesaian sengketa memiliki posisi yang penting dan menentukan. Karena hukum adat tidak membedakan antara hukum publik dan privat11 dalam kaidah hukumnya, maka penyelesaian perkara pidana oleh lembaga adat dapat dianggap sebagai suatu alternatif utama. Hal ini disebabkan karena penyelesaian yang ditawarkan atas suatu perkara pidana dapat membawa dampak yang langsung dirasakan oleh mereka yang terlibat sesuai dengan sifatnya yang terang dan tunai. Maka tak heran dalam kondisi demikian proses peradilan pidana menjadi terhenti dengan adanya penyelesaian secara adat tersebut. Karena alasan terhentinya proses pemeriksaan di tingkat kepolisian bukan berdasarkan hal yang diperkenankan dalam hukum acara pidana yang berlaku, maka kondisi atau jumlah perkara demikian hampir tidak dapat ditemui dalam statistik kepolisian. Inisiatif penyelesaian melalui jalur adat dapat terjadi karena berbagai hal yaitu: (a) atas inisiatif pelaku atau keluarganya, atau (b) atas inisiatif korban atau keluarganya, (c) saran para ketua adat atau pejabat desa atau alim ulama atau (d) saran dari pihak kepolisian. Seperti diketahui bahwa di dalam Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 disebutkan: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah. Jadi menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengakuan dan penghormatan ini juga bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau oleh pengadilan negara. Sampai kini banyak masyarakat, terutama yang tinggal di luar Pulau Jawa, menggunakan pengadilan adat, karena biayanya murah, tidak bertele-tele dan sesuai dengan situasi dan kondisi mereka. Seperti kata pepatah Dayak Iban: Bejalai Betungkat ke Adat Tinduk, Bepanggal ke Pengingat (berjalan bertongkatkan adat, tidur beralaskan sejarah), maka pengakuan, penghormatan dan pemajuan pengadilan adat sebagai bagian dari sistem hukum Indonesia merupakan langkah pasti menuju peran pengadilan dalam mewujudkan keadilan substantif.
131
Diskursus peradilan adat pada dasarnya merefleksikan hubungan negara dan masyarakat. Hubungan ini dapat dikatakan secara sederhana sebagai sebuah realitas politik bahwa dalam negara pun sesungguhnya ada ruang untuk masyarakat. Dalam negara demokrasi, yang dimaksud dengan ruang negara adalah keseluruhan wewenang dan struktur terkait yang oleh rakyat telah diserahkan kepada negara untuk diatur. Sedangkan sebagian urusan lain tetap diurus oleh masyarakat sendiri karena mereka mampu dan akan lebih efektif. Peradilan adat sebagai salah satu ekspresi keberadaan hukum adat bukanlah hal baru atau pun yang sudah dilupakan orang di Indonesia. Tapi pertanyaannya adalah apa itu peradilan adat? Upaya penyelesaian sengketa di tingkat komunitas masyarakat adat yang dibatasi oleh wilayah dan struktur pengurusan komunitas mungkin dapat menjadi penjelasan sederhana tentang apa itu peradilan adat. Menurut rekaman sejarah tertulis, system peradilan telah ada di pulau-pulau nusantara sejak abad ke-9. Prasasti Bulai dari Rakai Garung dari Kerajaan Sriwijaya, bertahun 860 telah menyebutkan tentang peradilan adat untuk perkara perdata. Bahkan sebelum kedatangan budaya Hindu dan Islam berbagai komunitas masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara telah mengenal sistem peradilan, meskipun tidak ada bukti sejarah tertulis untuk ini. Sebagai sebuah alat yang telah dimiliki dalam waktu yang lama, maka jejakjejak yang menggambarkan keberadaannya masih bisa dilacak. Bahkan di beberapa tempat bentuk nyatanya masih bisa disaksikan dan terus dipraktekkan hingga sekarang. Kenyataan ini sekaligus menggambarkan kemampuan bertahan dari sistem ini terhadap seluruh upaya pemberangusannya. Meskipun potretnya sudah tidak seutuh saat komunitas-komunitas masyarakat belum memiliki interaksi yang luas dengan budaya luar. Kenyataan tersebut tidak mengurangi nilai dari upaya serta kemampuan adaptif dari sistem ini. Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum pengakuan yang berbedabeda tentang keberadaan peradilan adat di berbagai tempat di nusantara dengan mengeluarkan berbagai Staatblaad. Beberapa contohnya adalah Stb. 1881 No. 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 No. 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889 No. 90 untuk daerah Gorontalo. Kemudian pada 18 Februari 1932, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai ketentuan yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat, yang sebagian disebutkan di atas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Namun adanya peraturan ini tidak berarti peradilan adat hanya ada di tempat-tempat yang disebutkan oleh Staatblad tersebut. Nyatanya, peradilan adat ditemukan di banyak tempat lain di Indonesia. Pengakuan yang diberikan tersebut juga tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan utuh dan menghormati sistem peradilan adat ini. Berbagai bentuk campur tangan seperti yang dilakukannya terhadap peradilan gubernemen juga berlangsung terhadap peradilan adat di daerah-daerah tersebut. Staatblad. 1935 No. 102 menyisipkan Pasal 3a ke dalam R.O yang mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari masyarakat- masyarakat hukum kecil untuk memeriksa dan mengadili perkaraperkara adat yang menjadi kewenangannya. Kewenangan hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya pasal ini kedudukan peradilan desa diakui. Sehingga kemudian selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk peradilan bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak memiliki dasar perbedaan yang prinsipil. 132
Di alam kemerdekaan, proses intervensi ini berlanjut dengan dikeluarkannya Undang- Undang Darurat No. 1 tahun 1951 pada tanggal 13 januari 1951, yang mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Melalui ketentuan ini dipertegas niatan untuk mewujudkan unifikasi system peradilan. Undang-undang ini berisi 4 hal pokok, yaitu: Penghapusan beberapa peradilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan; Penghapusan secara berangsur-angsur peradilan swapraja di daerah-daerah tertentu dan semua peradilan adat; Melanjutkan peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang peradilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari peradilan adat; Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat dimana landgerecht dihapuskan. Untuk melaksanakan undang-undang ini terkait dengan penghapusan peradilan adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan untuk menghapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di Sulawesi, Lombok, Kalimantan, dan Irian Barat. Tahun 1964 keluar Undang-Undang No. 19 (LN. 1964 No. 107) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini menyebutkan bahwa peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang. Undang-undang ini dicabut dan digantikan oleh Undang-undang No. 14 tahun 1970 (LN. 1970 no. 74). Dalam Pasal 3 ayat (1) -nya, disebutkan bahwa semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undangundang. Di Pasal 39 disebutkan juga mengenai penghapusan pengadilan adat dan swapraja yang dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, sejak hadirnya undang-undang ini maka pengadilan swapraja dan peradilan adat di Indonesia tidak diakui lagi. Tetapi usaha untuk mengintervensi dan menundukkan system peradilan adat ternyata tidak sesukses yang diharapkan. Di banyak komunitas, proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini membuktikan bahwa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh luar biasa. Pilihan sikap masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, mungkin merupakan salah satu jawaban kunci terhadap kenyataan ini. Faktor lain yang menyebabkan tetap eksisnya peradilan adat dalam budaya masyarakat, adalah sifat fungsional dari peradilan adat itu sendiri. Fungsionalitasnya tidak berkurang untuk memproduksi keadilan, keteraturan dan ketentraman bagi warganya. Bila dilihat pengalaman beberapa komunitas masyarakat adat yang hingga saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan kepercayaan warga komunitas inilah yang menjadi daya pemberi hidup bagi keberadaan sistem peradilan adat di lingkungan mereka. Posisi peradilan adat yang merupakan bagian dari system sosial masyarakat semakin mempertinggi kemampuan bertahan dari sistem ini. Hal ini dapat dilihat dari tujuan dasar peradilan adat yang umumnya untuk menjaga harmoni dalam komunitas masyarakat adat, dan pemahaman akan konsep keadilan mereka yang tidak semata-mata bersifat material. Ada contoh kontemporer tentang sistem peradilan adat yang masih diketahui, dijalankan, dan sampai tingkat tertentu masih dipatuhi oleh anggota komunitas masyarakat adat. Di daerah Kei Maluku Tenggara misalnya dikenal hukum Larwur Ngabal yang berlaku di seluruh wilayah Kei. Ketentuan ini masih sangat kuat. Saat ini Larwur Nagabal ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: Nevnev, yang terdiri dari 133
tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia; Hanilit, yang terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilaan, serta; Hawaer batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan. Hukum ini menjadi satu-satunya hukum sebelum munculnya hukum agama dan negara yang ditegakkan oleh Raut (raja) dan Soa (setingkat kadus), yang kewenangan penyelesaiannya didasarkan pada berat-ringannya perkara. Prosesnya sendiri berawal dari laporan kepada pemimpin adat oleh orang yang merasa haknya dilanggar. Selanjutnya pemimpin adat menghubungi pihak-pihak yang berperkara dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan pihak-pihak yang berperkara hadir dengan saksi masingmasing. Sidang dipimpin oleh pemimpin adat didampingi Dewan Adat. Dalam perkara pelanggaran susila, perempuan hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan yang dituakan. Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin, semacam hukum karma. Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses persidangan, sehingga berhasil lolos dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi semua pihak yang ikut dalam proses persidangan. Kenyataan di beberapa daerah lain menunjukkan tidak semua peradilan adat memiliki daya tahan yang sama seperti peradilan adat di atas. Daerah yang berdekatan dengan wilayah perkotaan, sistem peradilan adatnya sudah tidak lagi tampak. Persoalan utama yang menghambat peradilan adat menjadi sebuah alternatif sistem penyelesaian sengketa adalah posisinya yang tidak jelas dalam sistem peradilan nasional Di banyak daerah masyarakat mulai enggan untuk menyelesaikan sengketa di peradilan adat. Biasanya ini disebabkan oleh keraguan atas kekuatan daya berlaku keputusan peradilan adat, karena ketiadaan aparat yang bisa memaksakan penegakannya. Namun, sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya. Persoalan yang penting untuk dijawab negara dalam hubungannya dengan masyarakat adat adalah apakah negara mau berbagi ruang dengan masyarakat dalam hal-hal tertentu. Misalnya di bidang hukum dan peradilan, dengan penekanan utama pada tujuan dan proses menciptakan tertib sosial dan tercapainya kesejahteraan. Upaya menemukan sebuah sistem hukum yang dapat menjamin secara setara seluruh kebutuhan akan tertib sosial dalam realitas sosial yang demikian beragam seperti Indonesia memang bukanlah persoalan mudah. Namun, kesulitan tidaklah pantas untuk dijadikan alasan pembenaran penyeragaman seluruh konsep hidup masyarakat di Indonesia. Alasan utama adalah bahwa tindakan itu merupakan refleksi upaya mekanisasi manusia, membuat manusia seperti mesin yang dapat dikendalikan oleh sebuah pusat kontrol, yang dalam komputer kita kenal sebagai central processing unit. Hal itu juga mengingkari prinsip bahwa setiap kelompok masyarakat, sebagaimana individu, sesungguhnya memiliki kapasitas membangun otonominya sendiri dalam mengurusi urusan-urusan yang dapat dibereskan sendiri. Di sini terkandung unsur meringankan beban negara. Pola hubungan inilah yang mesti terus dibangun dan bukannya diberangus. Bila ditelusuri tentang beberapa dasar hukum pemberlakuan Peradilan Adat di Indonesia, maka yang pertama kali ditinjau adalah keberadaan dengan dicantumkannya Pasal 18.B ayat (2) dan Pasal 28.I ayat (3) dalam UUD 1945 134
maka pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat semestinya diderivasi dalam peraturan perundangundangan di bawah Undang-undang Dasar, yaitu pada level undang-undang. Sesuai dengan teori hirarki norma48, undang-undang tidak boleh mengatur hal yang bertentangan dengan jiwa atau prinsip yang dianut dalam Undang-undang Dasar. Dengan diakuinya hak-hak tradisional kesatuan masyarakat hukum adat (termasuk kekuasaan mengadili) dalam UUD 1945, semestinya eksistensi peradilan adat juga mendapat pengakuan dalam undang-undang. ”Pengakuan” yang dimaksudkan di sini adalah pengesahan formal terhadap suatu entitas (dalam hal ini peradilan adat) yang mempunyai status khusus. Sebagai istilah teknis yuridis, istilah “peradilan adat” secara resmi digunakan dalam beberapa undang-undang. Yang terbaru dan paling ekplisit menyebutkan istilah ”peradilan adat” dalam pasal-pasalnya adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Istilah “peradilan adat” juga disebutkan dalam penjelasan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan di mana disebutkan bahwa peradilan adat sebagai salah satu unsur yang menjadi indikator bahwa suatu masyarakat hukum adat dalam kenyataannya masih ada. Jauh sebelumnya, istilah “peradilan adat” dan “pengadilan adat” digunakan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951. Walaupun kedua istilah tersebut sesungguhnya dapat dibedakan pengertiannya, yaitu ”peradilan adat” menyangkut proses atau sistem, sedangkan ”pengadilan adat” menyangkut lembaga peradilannya; tetapi Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tampaknya tidak membedakan pengertian keduanya, karena kedua istilah tersebut digunakan secara bersamaan dalam tanpa membedakan pengertiannya. Dalam pasal-pasal undang-undang tersebut, istilah yang digunakan adalah ”pengadilan adat”, sedangkan dalam penjelasannya di samping istilah “pengadilan adat” juga digunakan istilah ”peradilan adat”. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah suatu undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil di Indonesia, merombak susunan peradilan warisan Pemerintah Hindia Belanda. Undangundang inilah yang menghapuskan keberadaan peradilan adat dalam sistem hukum di Indonesia, yang dibentuk pada jaman kolonial Belanda. Dengan begitu, untuk memahami konsep peradilan adat yang dimaksudkan oleh Undang-undang Darurat Tahun 1951 maka perlu dipahami sistem peradilan pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda. Pada jaman Pemrintahan Hindia Belanda dieknal lima macam peradilan, yaitu, yaitu: (a) Gouvernements-rechtspraak (Peradilan Gubernemen), (b) Inheemsche rechtspraak (Peradilan Pribumi atau Peradilan Adat), (c) Zelfbestuur rechtspraak (Peradilan Swapraja), (d) Godsdienstige Rechtspraak (Peradilan Agama) dan (e) Dorpjustitie (Peradilan Desa)49. Dari lima jenis peradilan di atas, iheemsche rechtspraak oleh beberapa penulis – seperti yang dilakukan oleh
48
Menurut Hans Kelsen, tata hukum merupakan suatu hirarki dari norma-norma yang mempunyai level berbeda. Kesatuan norma itu disusun secara hirarkis di mana validitas norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi. Norma dasar adalah level tertinggi dalam hukum nasional. Lihat: Jimly Assiddiqie-Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 109. 49 H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, (Jakarta: CV Miswar, 1989), hlm. 37.
135
Tresna50, Sudikno Mertokusumo51, dan H. Irine Muslim52 – diterjemahkan dengan istilah “peradilan adat” atau “pengadilan adat”, sedangkan penulis lain menterjemahkannya dengan istilah “peradilan asli”53 atau “peradilan pribumi54. Dengan demikian, dari perspektif sejarah dapat diketahui bahwa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan “peradilan adat” dan “pengadilan adat” oleh Undangundang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah inheemsche rechtspraak, yang menurut perundang-undangan Hindia Belanda adalah peradilan yang diperuntukkan bagi golongan penduduk pribumi (penduduk asli Indonesia). Walaupun peradilan pribumi ini mengadili menurut tata hukum adat, tetapi peradilan ini tetap berada di bawah kontrol Residen (pejabat Pemerintah Hindia Belanda) yang mempunyai kekuasaan sangat besar, pertama: berkuasa mengangkat hakim-hakim peradilan pribumi (peradilan adat); yang kedua: berkuasa menetapkan hukum adat yang diberlakukan55. Selain inheemsche rechtspraak, dalam masyarakat Indonesia di masa kolonial terdapat peradilan asli dikalangan golongan pribumi yang disebut dorpjustitie (peradilan desa), suatu peradilan yang dilaksanakan oleh hakim desa, yang diperankan oleh kepala desa selaku kepala masyarakat hukum adat. Menurut Hazairin56, hakim desa adalah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam setiap masyarakat hukum adat merupakan conditio sine qua non sebagai alat perlengkapan kekuasaan desa selama desa itu sanggup mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaannya sebagai kesatuan social ekonomi yang berdiri sendiri. Kekuasaan hakim desa itu tidak terbatas pada kekuasaan mendamaikan saja, tetapi meliputi kekuasaan memutuskan semua silang sengketa dalam semua bidang hukum tanpa membedakan antara masalah di bidang hukum pidana, perdata, publik dan sipil. Menurut Abdurrahman, tidak ada perbedaan prinsipiil pada dua bentuk peradilan bagi penduduk pribumi tersebut. Peradilan Desa umumnya terdapat pada hampir seluruh Nusantara pada masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial, namun peradilan adat ditemukan pada masyarakat hukum adat teritorial maupun geneologis57. Bagi penulis, peradilan adat dalam pengertian sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak memiliki suasana dan latar belakang yang berbeda dengan dorpjustitie (peradilan desa). Walaupun keduanya samasama merupakan peradilan yang mengadili perkara antara orang-orang pribumi, inheemsche rechtspraak bukanlah peradilan yang dilaksanakan oleh kesatuankesatuan masyarakat hukum adat secara mandiri, melainkan suatu peradilan yang diadakan untuk golongan penduduk pribumi (Indonesia) sebagai konskwensi dianutnya sistem dualisme hukum berdasarkan penggolongan 50
R. Tresna, Peradilan di Indonesdia Dari Abad Ke Abad, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hlm. 73 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita bangsa Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Gajahmada, 1970), hlm. 52. 52 Ny H. Irene A Muslim, “Peradilan Adat Pada Masyarakat Daya di Kalimantan Barat”, Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, (Pontianak: Universitas Tanjungpura,15 Juni 1991), hlm. 2. 53 Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR Tahun 1854, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 30. 54 Hilman Hadikusuma, op.cit., hlm. 23. 55 R. Tresna, op.cit., hlm. 73. 56 Hazairin, “Kata Pengantar (Hakim Desa)”, dalam R. Soepomo, Pertautan Peradilan Desa Kepada Peradilan Gubernemen, terjemahan: Rasjad St. Suleman, (Jakarta: Bhratara, 1972), hlm. 5. 57 Abdurrahman, ”Penyelesaian Sengketa Hukum Adat: Antara Peradilan Adat dan Lembaga Adat”, makalah, tanpa tahun, hlm. 6-9. 51
136
penduduk (penduduk golongan Eropa yang tunduk lepada hukum Eropa dan penduduk pribumi yang tunduk pada hukum adat) dan dikontrol oleh pemerintah Hindia Belanda. Seperti yang dikatakan oleh Soepomo, inheemsche rechtspraak tidak lain dari pada sistem peradilan gubernemen yang disederhanakan dan agak merdeka, yang untuk itu tidak berlaku aturan-aturan pengadilan gubernemen yang lebih sukar pelaksanaannya dan sifatnya lebih formal. Peradilan pribumi yang diakui dalam daerah-daerah yang diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda, juga diatur oleh pemerintah dan pemerintah turut campur dalam hal itu secara sama seperti peradilan gubernemen biasa58. Berbeda dengan inheemsche rechtspraak yang diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dianutnya politik dualisme hukum, keberadaan peradilan desa diakui sebagai penghormatan terhadap sistem hukum dan peradilan lokal yang hidup dan berkembang dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia. Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang termuat dalam Undang-undang Nomor Nomor 21 Tahun 2001. Menurut Pasal 51 ayat (1) undang-undang tersebut, “Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Selanjutnya, dalam ayat-ayat berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan;...memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana...berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Dengan demikian, konsep peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem peradilan yang diselenggarakan oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil (hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3ª RO dan hingga kini secara yuridis belum pernah dihapuskan. Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu, peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah “peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undangundang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Konsep ini sesuai pula dengan difinisi peradilan adat yang dikembangkan oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan 58
R. Supomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, (Jakarta: PradnyaParamita, 1972), hlm. 50-51.
137
hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara”59. Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat adalah sistem peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka peradilan adat mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat60. Peradilan adat merupakan pranata atau perangkat hukum adat yang keberadaannya merupakan prasyarat bagi eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat setempat61, sehingga termasuk sebagai entitas yang mendapat pengakuan dan penghormatan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian dapat ditegaskan konsep peradilan adat yang dianut dalam kajian ini, yaitu suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat, yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, berwenang mengadili perkara-perkara adat antara warga yang terjadi di lingkungan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Perkara-perkara adat yang diselesaikan peradilan adat meliputi sengketa maupun pelanggaran hukum adat. Struktur, mekanisme, dan hukum yang digunakan oleh peradilan adat dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara adalah berdasarkan pada hukum adat setempat, sehingga mustahil dirumuskan secara seragam mengenai struktur dan mekanisme peradilan adat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya ribuan di seluruh wilayah Indonesia. Penting ditegaskan, peradilan adat yang dimaksudkan di sini bukanlah bagian dari sistem peradilan Negara dan bukan pula kelanjutan atau bentuk baru dari peradilan adat sebagai terjemahan dari inheemsche rechtspraak yang dikenal pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan telah dihapuskan melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Dengan begitu, keberadaan peradilan adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dewasa ini adalah suatu fakta pluralisme hukum62, sebab dalam wilayah kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat itu, di samping berlaku peradilan formal berdasarkan hukum negara, juga berlaku sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang majemuk. Kedudukan Peradilan adat seakan Timbul Tenggelam bahkan terintervensi dalam Pusaran Arus Kebijakan Pemerintah Kolonial maupun di alam kemerdekaan. Beberapa catatan berikut ini memberikan gambaran tentang masalah tersebut. Catatan terpenting bahwa sejarah intervensi terhadap peradilan adat, sejalan dengan niatan untuk mengubah dan merombak otonomi komunitas menjadi sebuah sistem yang tidak lagi berdiri sendiri terhadap struktur masyarakat baru yang diperkenalkan. Proses ini berlangsung seiring 59
Hedar Laujeng, op.cit., hlm. 1. Moh. Mahfud MD., “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD 1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah pada acara Seminar Awig-awig II dengan tema: ‘Pemberdayaan Awigawig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat Yang Sejahtera”, Bali: 30 September 2010, hlm 4-6. 61 Lihat penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. 62 Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah kondisi di mana ada lebih dari satu tertib hukum yang berlaku di suatu wilayah sosial (sosial field). Lihat: John Griffiths, “What Is Legal Pluralism?”, dalam Journal of Legal Pluralisme and Unofficial Law Number 24 (Published by the Foundation for the Journal of Legal Pluralismm,1986), hlm. 1. 60
138
dengan politik penundukan komunitas-komunitas lokal yang otonom ke dalam sistem, yang hubungannnya terjalin secara hirarkis. Sistem yang hirarkis ini tidak menghendaki pola hubungan yang horizontal dan setara dengan komunitas lokal. Meskipun sedikit sekali dokumen yang menjelaskan, namun proses intervensi ini telah dimulai sejak dikenalnya sistem kerajaan yang memulai meluaskan pengaruhnya dengan menundukkan komunitas-komunitas di sekitar kota raja. Perlucutan sistem hukum dan peradilan masyarakat dengan pemberlakuan hukum kraton terhadap komunitas-komunitas lokal, menjadi bagian dari taktik dan strategi penundukan. Masuknya bangsa-bangsa kolonial, melanjutkan sejarah intervensi ini dengan metode yang lebih terencana dan matang. Sikap dan kebijakan pemerintahan kolonial pada waktu itu selalu didasari oleh pertimbangan politik. Pertimbangan seperti ini membuat pemerintah kolonial mengambil langkah dan sikap penundukan hukum dan peradilan adat pada saat tertentu dan membiarkan serta mengakuinya pada saat lain3. Pemerintah kolonial memberikan landasan hukum pengakuan yang berbedabeda., dengan mengeluarkan berbagai Stb yang berisi pengakuan pada keberadaan peradilan adat diberbagai tempat di Nusantara. Beberapa contoh adalah Stb 1881 No. 83 untuk Aceh Besar, Stb 1886 No. 220 untuk Pinuh (Kalimantan Barat), Stb. 1889 No. 90 untuk daerah Gorontalo, Stb. 1906 No. 402 untuk Kepulauan Mentawai, Stb. 1908 No. 231 untuk daerah Hulu Mahakam, Stb. 1908 No. 234 untuk daerah Irian Barat dan Stb. 1908 No. 269 untuk daerah Pasir Tahun 1932, tepatnya tanggal 18 Februari, pemerintah kolonial mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan menggantikan berbagai ketentuan atau Stb yang memberikan pengakuan terhadap peradilan adat yang disebutkan diatas dan memberikan pengakuan untuk daerah-daerah baru. Pasal 1 Stb ini menyebutkan pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-daerah yang disebutkan, dengan pelaksana peradilannya adalah hakim dari masyarakat pribumi. Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara bertahap. Untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur dimulai pada tanggal 1 April 1934 dengan Stb 1934 No. 116 dan Stb. No 340, untuk Aceh pada tanggal 1 September 1934 dengan Stb 1934 No. 517, untuk Tapanuli pada tanggal 1 oktober 1934 dengan Stb. 1935 No. 465, Untuk Kalimantan Barat dan Maluku pada tanggal 1 Januari 1936 melalui Stb.1936 No. 490 dan pada tanggal 1 Januari n1937 untuk Bali dan Lombok.Namun dengan peraturan ini tidak berarti bahwa peradilan adat hanya ada ditempat-tempat yang disebutkan oleh stb tersebut. Karena peradilan adat tersebut ditemukan di banyak tempat lain di Indonesia. Pengakuan yang diberikan Stb ini juga tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan utuh dan menghormati bentuk peradilan adat ini. Berbagai bentuk campur tangan seperti yang dilakukannya terhadap peradilan governemen juga berlangsung terhadap peradilan adat di daerah-daerah tersebut.Tahun 1935, melalui Stb. 1935 No. 102, disisipkan Pasal 3a kedalamn R.O, yang secara singkat pasal ini menyebutkan melanjutkan kewenangan hakim-hakim dari masyarakatmasyarakat hukum kecil untuk memeriksa perkara-perkara adat yang menjadi kewenangannya, untuk mengadili secara adat tanpa menjatuhkanhukuman. Kewenangan hakim-hakim ini tidak mengurangi kewenangan para pihak untuk setiap saat menyerahkan perkaranya kepada putusan hakim. Dengan disisipkanya pasal ini, menurut Sudikno, diakui sudah kedudukan peradilan desa. Berdasarkan ini, selama pemerintahan kolonial, dikenal 2 bentuk peradilan bagi orang pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang tidak memiliki 139
dasar perbedaan yang prinsipil Di alam kemerdekaan, proses intervensi ini berlanjut dengan dikeluarkannya UU Darurat No. 1 tahun 1951 pada tanggal 13 januari 1951, yang mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilanpengadilan sipil. Melalui UU ini dipertegas niatan untuk mewujudkan univikasi sistem peradilan. UU ini berisi 4 hal pokok yaitu: (1) Penghapusan beberapa pengadilan yang tidak lagi sesuai dengan susunan negara kesatuan (2) Penghapusan secara berangsur-angsur pengadilan swapraja didaerah-daerah tertentu dan semua pengadilan adat (3) Melanjutkan peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang pangadilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri atau terpisah dari pengadilan adat (4) 4. Pembentukan pengadilan negeri dan kejaksaan ditempat-tempat dimana dihapuskan landgerecht. Untuk melaksanakan UU ini, terutama penghapusan peradilan adat, pemerintah mengeluarkan ketentuan-ketentuan berikut: (1) Melalui Peraturan Mentri Kehakiman tanggal 21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17 (TLN 276), dihapuskan pengadilan-pengadilan swapraja dan pengadilan adat di seluruh Sulawesi (2) . Melalui Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 30 September 1953 No. J.B.4/4/7 (TLN462) dihapuskan pengadilan adat di seluruh Lombok (2) Melalui Peraturan Menteri Kehakiman tanggal 21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 (TLN.641) jo. Surat Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18 Agustus 1954 No. J.B.4/4/20 (TLN.642) dihapuskan pengadilan swapraja dan peradilan adat di seluruh Kalimantan (3) Melalui Peraturan Presiden No. 6 tahun 1966 dihapuskan pengadilan adat dan swapraja serta dibentuk Pengadilan Negeri di Irian Barat Tahun 1964 keluar UU No. 19 (LN. 1964 No. 107). UU ini berisi KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara yang ditetapkan dengan UU. Penjelasan pasal ini menegaskan dengan UU ini tidak ada lagi tempat bagi peradilan swapraja yang bersifat feodalistis atau peradilan adat yang dilakukan oleh bukan alat perlengkapan negara. UU ini dicabut dan digantikan oleh UU No. 14 tahun 1970 (LN. 1970 no. 74). Menyangkut peradilan adat UU ini menyebutkannya pada pasal 3 Ayat (1), yaitu semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan UU. Penjelasan pasal ini menyebutkan arti yang dikandung oleh pasal ini adalah disamping pengadilan negara tidak diperkenankan lagi adanya peradilan yang dilakukan oleh bukan peradilan negara. Pasal 39 UU ini menyebutkan penghapusan pengadilam adat dan swapraja dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian sejak saat UU ini keluar tidak diakui lagi peradilan adat dalam sistem peradilan nasional. Dengan UU ini sempurnalah sudah upaya penyingkiran peradilan adat untuk mewujudkan unifikasi peradilan. Reformasi penyelenggaraan sistem pemerintahan dari yang sentaralistik ke sistem terdesentralisasi, dengan mengakui dan menghormati sifat dan susunan masyarakat yang otonom, melalui UU 22 tahun 1999, peradilan adat sepertinya dikembalikan dan memperoleh ruang. Penyebutannya memang masih belum jelas dan tegas, karena UU ini hanya menyebut tentang mendamaikan perselisihan masyarakat desa sebagai salah satu tugas dan kewajiban dari Kepala Desa. Pemberian kewenagan untuk mendamaikan perselisihan kepada kepala desa, harus dilihat sebagai wujud kesadaran, bahwa sistem peradilan sebagai bagian yang utuh dari hak otonomi masyarakat atau komunitas yang bersangkutan.
140
Sorotan utama memang ingin diarakan pengaturan Peradilan Adat dari perspektif konstitusi negara. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD tahun 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada satu pasalpun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-Undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa "Segala keputusan pengadilan harus berisi alasanalasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu. "Tetapii ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan "hukum adat" itu seluas-Iuasnya, memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (Undang-Undang organik). Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal darii zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka: a. hukum Eropa b. hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht) c. hukum bagi beberapa golongan bersama-sama (gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya: d. hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan "syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa ("fantasierecht" van Vollen hoven atau "ambtenarenrecht" van Idsinga) Mengenai Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini, harus dikemukakan dua hal, Pertama, ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi (codificatie-artikel), yaitu ketentuan tersebut memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang. Tetapi hal kedua, selama redaksi Pasal 131 ayat 2 sub b IS ini berlaku redaksi ini berlaku sejak tanggal 1 Januari 1920 (antara tanggal 1 januari 1920 dan tanggal 1 Januari 1926 redaksi Pasal 131 IS berlaku sebagai redaksi yang baru dari Pasal 75 RR 1854), maka kodifikasi yang diperintahkan kepada pembuat ordonansi itu belum terjadi. Pasal 131 ayat 6 IS menerangkan bahwa selama hukum perdata serta hukum dagang yang sekarang "thans" berlaku bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing belum diganti dengan suatu kodifikasi. seperti yang diperintahkan dalam Pasal 131 ayat 2 sub b IS, maka hukum tersebut berlaku bagi kedua golongan hukum itu. Jadi, selama belum ada kodifikasi bagi kedua golongan hukum itu, maka tetap berlaku hukum adatnya, seperti yang sebelum tanggal 1 Januari 1920, telah ditentukan oleh Pasal 75 ayat 3 redaksi lama RR 1854. Inilah penafsiran kata "thans" -- "sekarang", menurut artinya dalam bahasa "Thans berarti "pada waktu ini", yaitu waktu mulai berlakunya perubahan redaksi lama Pasal 75 RR 1854 sehingga menjadi redaksi baru Pasal tersebut (sehingga menjadi redaksi Pasal 131 IS). Mengenai hukum adat itu antara Pasal 75 redaksi lama RR 1854 dan Pasal 131 IS (= Pasal 75 redaksi baru RR 1854) ada beberapa perbedaan yang penting. 1. Satu perbudaan yang penting tersebut di atas, yaitu Pasal 75 redaksi lama RR 1854 ditujukan kcpada hakim sedangkan Pasal 131 IS 141
ditujukan kepada pembuat undang-undang. 2. Perbedaan kedua, adalah Pasal 75 redaksi lama RR 1854 tidak memuat kemungkinan orang Indonesia asli ditundukan pada suatu hukum baru. Perbedaan ketiga, adalah hukum adat tidak boleh dijalankan apabila bertentangan dengan "asas-asas keadilan" (ayat 3 Pasal 75 redaksi lama RR 1854) dan apabila hukum adat tidak dapat menyelesaikan perkara, maka hakim. dapat rnenyelesaikannya menurut asas-asas hukum Eropa (ayat 6 Pasal 75 redaksi lama RR 1854). Para sarjana hukum yang beranggapan bahwa (setelah tahun 1919) hakim berkuasa menguji dan menambah hukum adat ialah Capentieir Ailing, Nederburgh, Andre de In porte dan juga Djojodigoeno (?). tetapi mereka inii mendapat tantangan dari banyak pengarang lain, yaitu van Vollenhoven, ter' Haar, Klientjes, Logemann, Soepomo. Yang menjadi alasan van Vollenhoven bahwa hakim setelah tahun 1919 tidak lagi berkuasa menguji dan menambah hukum adat, ialah: 1. sejarah penetapan perubahan Pasal 75 redaksi lama R.R. 1854 tidak mengatakan apa-apa tentang meneruskan tidaknya dua kekuasaan tersebut. 2. redaksi ayat 6 Pasal 131 I.S. memuat tugas baik bagi hakim maupun bagi administrasi (tata usaha) negara. Oleh karena kepada Administrasi negara tiidak diberi kekuasaan untuk menguji dan menambah hukum adat, maka tidak boleh dikatakan bahwa dengan sendirinya kekuasaan itu diberi kepada hakim. 3. sejarah praktek kekuasaan itu telah menunjukkan kepada kita bahwa kekuasaan tersebut dijalankan oleh hakim secara tidak sesuai dengan tujuannya. Sebab itu kekuasaan istimewa tersebut sungguh-sungguh tidak perlu lagi. Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Darurat tahun 1951 nr 1, LN 1951 nr 9, menentukan bahwa "pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan: 1. segala pengadilan Swapraja dalam Negara Sumatra Timur dahulu, Keresidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja. 2. Segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtsteeks bestuurd gebied), kecuali peradilan agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan adat. Akan tetapi menurut Pasal 1 ayat 3 LN 1951 nr 9 ini, dorpsrechter tetap dipertahankan. Peradilan yang dilakukan oleh hakim swapraja dan hakim adat yang telah dihapuskan itu, diteruskan oleh Pengadilan Negeri. Daerah-daerah di mana hakim swapraja dan hakim adat itu telah dihapuskan, adalah beberapa lagi: Bali (hakim swapraja, Tambahan LN nr. 231), Sulawesi (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 276), Lombok (hakim adat, Tambahan LN nr 462), Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor (hakim swapraja, Tambahan LN nr 603) dan Kalimantan (hakim swapraja maupun hakim adat, Tambahan LN nr 642). Secara spesifik Kedudukan Hukum Adat dalam Perpektif UUD 1945, bahwa Konstitusi sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.
142
Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat. Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa. Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara : 1). Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya; 2). Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu; 3). masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup); 4). Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula; 5). Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil; 6). Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Ashiddiqie, 2003 : 32-33) Memahami rumusan Pasal 18B UUD 1945 tersebut maka: 1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya ; 2. Jaminan konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup; 3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan 4. Sesuai dengan prinsip Negara 143
Kesatuan Republik Indonesia. 5. Diatur dalam undang-undang Dengan demikian konsitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat bila memenuhi syarat: (1) Syarat Realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat; (2) Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, dan keberlakuan diatur dalam undang-undang. Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya mengandung perbedaan dimana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang berbunyi (1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. (2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. Sebagaimana Penjelasan UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penjelasan Pasal 6 ayat (2) menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, dan ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat. 4. Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Perundang-undangan sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004, maka tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut : (1) Undang-undang Dasar 1945; (2) Undang-undang/Perpu (3) Peraturan Pemerintah; (4) Peraturan Presiden (5) Peraturan Daerah; Hal ini tidak memberikan tempat secara formil hukum adat sebagai sumber hukum perundang-undangan, kecuali hukum adat dalam wujud sebagai hukum adat yang secara formal diakui dalam perundangundangan, kebiasaan, putusan hakim atau atau pendapat para sarjana. Dalam kesimpulan seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta tahun 1975 telah dijelaskan secara rinci dimana sebenarnya kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia. Dalam seminar tersebut dijelaskan mengenai pengertian hukum adat, kedudukan dan peran hukum adat dalam sistem hukum nasional, kedudukan hukum adat dalam perundang-undangan, hukum adat dalam putusan hakim, dan mengenai pengajaran dan penelitian hukum adat di Indonesia. Hasil seminar diatas diharapkan dapat menjadi acuan 144
dalam pengembangan hukum adat selanjutnya mengingat kedudukan hukum adat dalam tata hukum nasional di Indonesia sangat penting dan mempunyai peranan baik dalam sistem hukum nasional di Indonesia, dalam perundang-undangan, maupun dalam putusan hakim. Pengakuan Adat oleh Hukum Formal. Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat. Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi : 1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1) 2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5). 3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4) Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah. Pengaturan sedikit berbeda dengan kesan adanya intervensi negara. Poses intervensi dan penundukan sistem peradilan adat yang berlangsung lama, seperti yang digambarkan diatas, ternyata belum berhasil sama sekali meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat. Dibanyak komunitas, proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini dengan sendirinya menjadi bukti, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga pada aras yang lain, yaitu tindakan-tindakan nyata di lapangan oleh aparat hukum negara, stigmatisasi negatif dan pelucutan kepercayaan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan 145
adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Pensikapan masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, sepertinya menjadi jawaban kunci terhadap situasi ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, sepanjang masyarakat yang menjadi warga dari komunitas tersebut secara sadar mau menggunakan sistem yang dimilikinya, maka sedikit-banyaknya pengaruh buruk dari proses intervensi bisa diredakan. Bila dilihat pengalaman beberapa komunitas yang hingga saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan kepercayaan warga komunitas inilah yang menjadi energi dasar bagi tetap eksisnya proses tersebut dilingkungan mereka. Secara kelembagaan, struktur peradilan adatnya sangat tergantung dengan sistem sosial komunitas masyarakat adat yang bersangkutan. Di Kampung Datar Ajab misalnya, kampung yang menjadi wilayah pemukiman Dayak Meratus ini, didapati 4 (empat) Balai yaitu Balai Adat Agung Mula Ada, Balai Adat Tambun Batu, Balai Adat Matinjau dan Balai Adat Muanjal Pajat. Permasalahan yang terjadi (baik antar Balai maupun dengan orang laur) dan pelanggaran adat lainnya menjadi urusan tetua adat, untuk menyelesaiknnya dalam lingkup balai secara musyawarah, untuk menemukan kesepakatan mengenai kesalahan dan bentuk hukumannya. Musyawarah ini sendiri dihadiri olah tokoh adat dan pengurus lembaga adat. Dalam prakteknya, bentuk hukumannya antara lain adalah bayar pamali (parabia) sebagai denda, diasingkan dari balainya, pembalasan seperti kesalahannnya dan bayar nyawa. Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada kesalahan serta pertimbangan si korban dan pelaku Prosesnya sendiri berawal dari adanya laporan/pengaduan kepada kepala adat. Laporan ini ditindak lanjuti dengan mengundang kepala adat, penghulu adat dan tokoh adat untuk memusyawarahkan langkah-langkah penyelesaian. Selanjutnya dilaksanakan pemeriksaan pihak yang terkait dengan kasus tersebut (pelaku dan korban) serta mencari keterangan dari masyarakat. Dengan memahami duduk persoalan berdasarkan pemeriksan tersebut, diselenggarakan rapat adat yang dihadiri oleh masyarakat banyak Di Rejang Lebong kasus yang bisa diselesaikan diperadilan adat adalah pelanggaran atas adat kampung serta hal-hal lain yang telah diizinkan oleh pihak yang berwenang. Prosesnya sendiri dimulai dengan apa yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh kepala desa dan perangkatnya) untuk memperoleh keterangan dan bukti-bukti. Selanjutnya kepala desa meminta diselenggrakannya persidangan adat untuk mengajukan pelaku, barang bukti dan saksi-saksi. Persidangan berlangsusng dibawah pimpinan Ketua Kutai. Dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan hukuman, Ketua Kutai ini dibantu oleh Ketua Syara’ dan Ketua Adat. Sekadar perbandingan bahwa di Samoa Barat norma masyarakat yang ada tak lepas dari budaya bahari yang dimilikinya. Daratan dan lautan adalah perpaduan dan gambaran dari sistem kemasyarakatan. Tiap pulau identik dengan suatu keluarga besar yang dikepalai oleh seorang Matai. Matai memiliki kuasa untuk membentuk dewan pertimbangan adat yang disebut Fono. Fono memiliki tanggungjawab untuk merumuskan hukum yang berlaku di masyarakat, menyelesaikan sengketa melalui musyawarah adat dan memutuskan bentuk sanksi yang harus dilaksanakan. Penyelesaian perkara pidana termasuk dalam kewenangan lembaga ini. Pemenjaraan, pemukulan dan beberapa jenis pidana lain seperti duduk menghadap matahari untuk jangka waktu lama merupakan jenis pemidanaan yang dijatuhkan lembaga ini, belakangan sanksi lebih sering
146
berbentuk denda atau gantirugi baik dalam bentuk uang atau benda lainnya. Hingga saat ini lembaga Fono tetap eksis dan di akui dalam Village Fono Act 1990. Terkait dengan lembaga ini, terdapat suatu sistem yang kental dengan nuansa dan nilai restotarif yaitu lembaga ifoga. Dari segi bahasa ifoga meranti membungkuk, suatu gerakan yang merupakan simbol dari penghormatan dan permohonan maaf. Namun dalam kaitannya dengan penyelesaian suatu perkara pidana, ifoga berarti kompensasi. Dalam hal terjadi suatu perkara pidana dan pelaku minta dilakukan suatu perdamaian, maka ia dan keluarganya akan duduk dimuka rumah dari korban atau pihak yang dirugikan sambil menengadahkan tangan. Hal ini terus dilakukan hingga korban keluar dari rumah dan mau duduk bersama untuk memulai proses negosiasi yang diakhiri dengan kesepakatan gantirugi, saling memaafkan dan terjadinya rekonsiliasi. Dalam kasus pertentangan antar suku, orang yang paling dituakan akan membungkuk dan memberikan sejumlah mahar sebagai tanda agar para pihak segera berdamai dan saling memaafkan. Para pihak akan merasakan malu satu sama lain. Biasanya dalam keadaan demikian para pihak lebih memilih memusnahkan desa mereka dan melarikan diri. Namun dengan suatu upaya rekonsiliasi yang dilakukan lewat lembaga adat, para pihak dapat bertahan dan melanjutkan hubungan secara lebih baik Dominasi hukum ”barat” dalam sistem hukum nasional, menyebabkan lembaga ifoga ini tidak dapat bekerja secara baik dan maksimal. Perbedaan mendasar bukan hanya terletak dari sisi kelembagaan yang memiliki otoritas untuk menjalankan fungsi peradilan akan tetapi karena jenis sanksi (sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya) juga berbeda. Permasalahan lebih lanjut terjadi manakala suatu kasus diproses kedalam dua sistem hukum yang berbeda ini, karena solusi akhir dari kedua sistem ini tentu saja berbeda, ditambah dengan tingkat kepercayaan dari masyarakat yang masih begitu tinggi kepada lembaga adat ini. Beberapa tahun belakangan, lembaga pengadilan mencoba berkompromi dengan kedua sistem hukum ini, dimana pendekatan keadilan restoratif dipilih sebagai model pendekatan kompromi diantara dua sistem hukum yang bertentangan. Maxwell mengangkat kasus Gali dan Tuli di tingkat Supreme Court di Apia pada tahun 1999 sebagai contoh. Hakim Wilson menjatuhkan putusan atas kasus tersebut sebagai berikut: “I do give each of you credit for your plea of guilty, for the remorse you have shown (by means of ifoga and otherwise) and for the co-operation you have shown to the prosecuting authorities. The stating point by way of sentence in 5 years imprisonment. I give each of you a discount of 1/3 off the sentence that would otherwise be appropriate for these facts.” Dengan mempertimbangkan pernyataan bersalah, dan penyesalan yang telah kamu perlihatkan (dengan atau tanpa pertolongan Ifoga ) dan atas kerjasama terhadap penuntut umum yang kamu lakukan, maka pengadilan menjatuhkan masing-masing 5 tahun penjara dengan syarat bahwa hukuman akan dikurangi 1/3nya atas hal dasar pertimbangan tersebut diatas kecuali jika tidak dilaksanakan maka akan diterapkan sebaliknya. Sampai saat ini perdebatan seputar eksistensi dari lembaga adat dan relasinya dengan sistem peradilan pidana yang ada, masih menjadi suatu perdebatan. Sementara itu di Papua Nugini30 pada masa perang sipil yang terjadi di Bougainville tak pelak lagi telah meluluh lantakkan semua sendi kehidupan masyarakatnya, tak terkecuali sistem peradilan pidana. Tidak ada polisi ataupun 147
pengadilan disana. Hukum pidana yang semestinya ditegakkan menjadi lumpuh dan sistem peradilan pidana tidak dapat dijalankan didaerah ini. Bahkan pengamanan pun dilakukan oleh tentara dengan suatu hukum darurat (ad hoc). Termasuk dalam hal penindakan terhadap pelaku pembunuhan, kekerasan dan penganiayaan yang terjadi antara dua pihak yang saling berhadapan. Jalan keluar yang diambil sebagai alat untuk mengendalikan situasi yang terjadi adalah memberlakukan hukum adat (custom law) yang hidup didalam masyarakat tersebut. Lembaga yang telah lama tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah kolonial selama ratusan tahun dalam situasi tersebut justru akan dijadikan sandaran bagi upaya perbaikan atas kondisi yang ada. Yang terjadi adalah kondisi yang sama dengan Samoa Batar sebagaimana dikemukakan diatas, maka terjadi hal yang dilematis dimana hukum adat ini tidak sejalan dengan sistem peradilan pidana yang telah dikembangkan oleh pemerintah kolonial. Akan tetapi kondisi yang terjadi dalam masyarakat Bougainville, memperlihatkan satu keunggulan dari hukum adat yang hidup dalam masyarakat. Dalam pandangan Braitwaite, kasus Bougainville telah membuktikan bahwa hukum adat mampu memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat bahkan dalam memecahkan kasus pidana yang berat seperti pembunuhan yang terjadi di sana. m kenyataannya dalam melakukan upaya penyelesaian perselisihan yang terjadi di Bougainville , para penegak hukum merasa perlu menggunakan jalur mediasi dan rekonsiliasi. Dengan alasan-alasan tersebut, maka keberlakuan hukum adat sebagai landasan upaya mediasi dan rekonsiliasi pun di setujui oleh parlemen. Lain halnya dengan pandangan keadilan restoratif pada lembaga Shalish yang secara tradisional ada di sebagian besar masyarakat Bangladesh mengacu kepada metode community-based, dimana penanganan sengketa yang terjadi dimasyarakat termasuk didalamnya tindak pidana diselesaikan melalui jalur informal. Di lembaga ini, terdapat tiga cara proses penanganan dan penyelesaian sengketa masyarakat, yaitu: (1) Melalui mediasi diantara para pihak (dalam tindak pidana pelaku dan korban) dalam mencari solusi bagi permasalahan yang dihadapi; (2) Dapat juga dilakukan melalui suatu panel yang beranggotakan tokoh masyarakat yaitu mereka yang dituakan dan berpengaruh. Panel ini akan membantu mencari solusi (termasuk didalamnya pemberian sanksi pidana) bagi setiap permasalahan termasuk didalamnya tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat. Tentunya penyerahan masalah melalui panel ini harus dengan persetujuan para pihak dan komitmen untuk mematuhi setiap putusannya; (3) Kedua konsep diatas dapat juga dilakukan secara bersama-sama yaitu mediasi antara pihak yang bersengketa (dalam tindak pidana adalah pelaku dan korban) dimana panel berfungsi sebagai mediator. Pada masa lalu lembaga Shalish dipergunakan bagi penanganan berbagai macam tindak pidana dengan segala implikasinya, termasuk didalamnya adalah penggunaan sanksi pidana yang tidak dirumuskan dalam perundang-undangan. Akan tetapi beberapa kurun waktu terakhir lembaga ini banyak menjadi rujukan dalam pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga seperti penganiayaan terhadap perempuan (baik diluar maupun dalam ikatan perkawinan), perzinahan, poligami, eksploitasi secara ekomomi baik terhadap perempuan atau anak-anak dan lain sebagainya. (1) Anggota panel di dalam lembaga Shalish didominasi oleh laki-laki, hal ini berdampak bahwa putusan-putusan kerap tidak berpihak kepada perempuan dan anak. (2) 148
Misinterpretasi terhadap syariat islam termasuk didalamnya dalam menerapkan sanksi-sanksi didalamnya. (3) Keberpihakan pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Menyadari pentingnya keberadaan lembaga Shalish dalam masyarakat, maka sejumlah upaya pembaharuan lembaga ini pun dilakukan oleh berbagai pihak antara lain oleh Madaripur Legal Aid Asociation (MLAA). Adapun upaya yang dilakukan antara lain: (1) Tetap mengupayakan dan meningkatkan peranan lembaga ini melalui upaya mediasi dalam penanganan dan penyelesaian berbagai tindak pidana; (2) Melakukan training bagi para anggota panel, dan pembaharuan metode seleksi keanggotaan panel. Adapun training ini meliputi peningkatan pengetahuan hukum, HAM dan mediasi termasuk pemahaman atas peran untuk menjadi mediator yang baik. (3) Meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses; (4) Pembaharuan kelembagaan seperti aturan main lembaga, pengarsipan, dan juga bantuan hukum. Negara berkembang lainnya yaitu Peru mayoritas penduduk tinggal di daerah pedesaan. Di Peru misalnya sepertiga penduduknya atau 20 juta orang tinggal didaerah pedalaman dan terbagi dalam 70 etnis asli Peru.35 Di daerah Andean terdapat 5 etnis asli dan dua yang terbesar adalah Quechuas dan Aymaras. Sementara disepanjang sungai Amazon, terdapat 65 etnis asli yang disebut Conapa. Seluruh penduduk asli ini tinggal dalam kelompok-kelompok kecil. Di daerah Andean kelompok-kelompok ini disebut Communidades Compensinas sementara didaerah Amazon kelompokkelompok ini disebut Communidades Nativas. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang dalam status ekonomi yang rendah dan terbelakang. Kelompokkelompok ini merupakan sub-sub suku yang disebut Ayllus dan masing-masing memiliki ketuanya sendiri dan sistem hukum tradisional yang telah ada dan eksis bahkan jauh sebelum kedatangan Spanyol di daerah tersebut. Sistem hukum Spanyol kemudian menggantikan sistem hukum yang ada hingga sekarang. Namun kenyataannya, sistem lama tetap berjalan didalam kehidupan penduduk asli tersebut. Kenyataan tersebut menyebabkan pemerintah memberikan wadah berupa regulasi yang memungkinkan hukum diberlakukan secara resmi meskipun dengan batasan-batasan tertentu. Tindak pidana-tindak pidana seperti kekerasan dalam rumah tangga, perselisihan tentang harta benda umumnya diselesaikan secara kekeluargaan dengan melibatkan keluarga, orangtua atau orang yang dituakan dilingkungannya. Musyawarah dan mufakat yang dicapai sebagai sarana konsiliasi antar pihak-pihak yang berselisih. Atas permintaan salah satu pihak atau kedua-duanya, putusan ini dapat dicatatkan dalam community official registery book.36 Namun bila kesepakatan tidak tercapai mereka dapat meminta petugas pemerintah untuk menindak lanjuti baik melalui sistem rekonsiliasi atau memprosesnya melalui jalur formal yang berlaku. Campur tangan pemerintah juga dilakukan dalam penyelesaian perkara perkelahian, perkosaan, perkosaan terhadap anak dibawah umur, atau penganiayaan. Campur tangan ini dalam konstitusi pertama Peru dituangkan dalam bentuk lembaga Jueces de paz (Justice Of The Peace) yang sudah ada sejak tahun 1823. Lembaga ini memainkan peran sebagai konsiliator sebagaimana disebutkan diatas. Anggota Jueces de paz ini umumnya penduduk lokal yang telah memperoleh pendidikan yang baik dibandingkan dengan penduduk pada umumnya, seperti guru, teknisi atau orang yang dituakan. Dalam perkembangannya keanggotaan ini tidak lagi didominasi oleh mereka yang berusia tua, tetapi anak-anak mudan dan wanita dengan tingkat pendidikan yang 149
baik mulai dilibatkan sejak tahun 1998. Adapun jenis perkara yang ditangani adalah pelanggaran (33%), kejahatan terhadap harta kekayaan (27%), KDRT (14%) dan penelantaran (13%).Pendekatan keadilan restoratif melalui pengadilan pidana adalah pada model penyelesaian perkara diluar lembaga pengadilan atau out of court settlement. Meskipun dalam kerangka normatif banyak dipertanyakan namun dalam kenyataannya terdapat pula praktek penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan pidana. Hal ini memperoleh dukungan dari perserikatan bangsa-bangsa dalam Declaration on The Rights of Indigenous People (Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-hak Masyarakat Adat) yang disahkan pada tanggal 7 September 2007. Dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa Masyarakat adat berhak untuk mempertahan dan memperkukuh lembaga-lembaga politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya mereka, sementara tetap mempertahankan hak mereka untuk mengambil bagian sepenuhnya kalau mereka juga memilih, dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari Negara. Sementara Pasal 34 dari deklarasi ini merumuskan bahwa masyarakat adat berhak untuk memajukan, mengembangkan dan memelihara struktur kelembagaan dan adat, kerohanian dan tradisi, prosedur, praktek mereka yang berbeda, dan dalam kasus jika ada, sistem peradilan mereka atau adat, sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia internasional. Dari catatan diatas, praktek peradilan adat ini digunakan dan dimasukkan dalam regulasi sebagai mekanisme alternatif. Di Samoa Barat, Kepulauan Fiji, Papua New Guinea, kepulauan Solomon dan beberapa negara lain di Pasifik tetap mempertahankan hukum asli masyarakat mereka. Sementara Leah Wambura Kimathi mencatat praktek penerapan hukum adat melalui lembaga peradilan adat di negara-negara Afrika Utara. Julio Faudez pun memaparkan bahwa mekanisme ini juga dapat ditemui di Peru, sementara Stephen Golub mendeskripsikan keberlakuan mekanisme ini di Bangladesh dan Philippina. Berdasarkan tinjauan konseptual teoretik dan historik-normatif seperti di atas, maka dikemukakan pokok-pokok pikiran yang bersifat preskriptif tentang peradilan adat Papua sebagai berikut: (1) Asas dan Tujuan. Peradilan adat di Papua berasaskan kekeluargaan musyawarah dan mufakat; dan peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Peradilan adat di Papua sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat adat Papua, dengan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dengan tujuan menjaga harmonisasi dan keseimbangan kosmos; serta membantu pemerintah dalam penegakan hukum. (2) Kedudukan. Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga peradilan masyarakat hukum adat Papua. Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat hukum adat di Papua. Lingkungan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem kepemimpinan campuran. (3) Kewenangan mengadili (Kompetensi). Pengadilan adat berkompeten mengadili perkara perdata adat dan perkara pidana adat di antara warga masyarakat adat di Papua. Perkara adat yang tidak bisa diselesaikan melalui 150
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara. Dalam hal salah satu pihak yang berperkara berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat, dapat mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Negeri. (4) Putusan. Putusan pengadilan adat diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat. Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak atau pelaku. Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan putusan dilaksanakan menurut hukum adat dan masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa, dan sistem kepemimpinan campuran. (5) Kerjasama. Pengadilan adat dalam penyelesaian perkara adat, dapat bekerjasama dengan perangkat peradilan negara. Kerjasama pengadilan adat dengan perangkat peradilan negara selanjutnya diatur dengan Perdasus 23. Keagamaan Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang keagamaan di Papua, yaitu (1) Setiap penduduk Provinsi Papua memiliki hak dan kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. (2) Setiap penduduk Provinsi Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Provinsi Papua dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.(3) Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka pembangunan keagamaan di Provinsi Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. (4) Pemerintah mendelegasikan sebagian kewenangan perizinan penempatan tenaga asing bidang keagamaan di Provinsi Papua kepada Gubernur Provinsi Papua.(5) Gubernur membentuk Forum Komunikasi Umat Beragama di tingkat provinsi yang bertujuan memberikan pertimbangan kebijakan dalam aspek kehidupan antar umat beragama dan meningkatkan kehidupan yang harmonis, damai, dan kasih di Papua. Pemerintah Provinsi Papua berkewajiban: (1) menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan melindungi semua umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; (2) menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama; (3) mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan (4) Memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. 24. Pendidikan Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua, yaitu; (1) Pemerintah Provinsi bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan di Provinsi Papua. (2) Pemerintah menetapkan kebijakan umum tentang otonomi perguruan tinggi, kurikulum inti, dan standar mutu pada semua jenjang, jalur, dan jenis pendidikan sebagai pedoman pelaksanaan bagi pimpinan perguruan tinggi dan Pemerintah Provinsi.(3) Setiap penduduk Provinsi Papua berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sampai dengan tingkat sekolah menengah dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. (4) Dalam mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya 151
masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundangundangan untuk mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan yang bermutu di Provinsi Papua, (4) Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan dan/atau subsidi kepada penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memerlukan. (5) Pelaksanan ketentuan tentang pembangunan pendidikanditetapkan dengan Perdasi. 25. Kebudayaan Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua, yaitu; (1) Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua. (2) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang kebudayaan asli Papua, Pemerintah Provinsi memberikan peran sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat yang memenuhi persyaratan. (3) Pelaksanaan kewajiban di bidang kebudayaan asli Papua disertai dengan pembiayaan yang ditetapkan dengan Perdasi. (4) Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua. (5) Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa kedua di semua jenjang pendidikan. (6) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar di jenjang pendidikan dasar sesuai kebutuhan. 26. Kepemudaan dan Olahraga Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua, yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program dengan pemerintah Papua; (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Pemerintah menyelenggarakan fungsi di bidang kepemudaan yang meliputi: perumusan dan penetapan kebijakan; koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan; pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan pengawasan atas pelaksanaan tugas. (3) Pemerintah daerah mempunyai tugas melaksanakan kebijakan nasional dan menetapkan kebijakan di daerah sesuai dengan kewenangannya serta mengoordinasikan pelayanan kepemudaan. (4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, pemerintah daerah membentuk perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan kepemudaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Pemerintah mempunyai wewenang menetapkan kebijakan nasional dan koordinasi untuk menyelenggarakan pelayanan kepemudaan. (6) Pemerintah daerah mempunyai wewenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan dalam rangka menyelenggarakan pelayanan kepemudaan di daerah. (7) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab melaksanakan penyadaran, pemberdayaan, dan pengembangan potensi pemuda berdasarkan kewenangan dan tanggungjawabnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah masing-masing. (8) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota. Menteri dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud mengoordinasikan kebijakan dan program di bidang kepemudaan dengan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, lembaga nonpemerintah, dan/atau pemerintah daerah, serta unsur terkait lainnya. Menteri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab 152
pelayanan kepemudaan dapat melakukan kerjasama dengan negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Kepemudaan dan Olahraga di Papua, yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengembangkan kapasitas dan peran pemuda dan olah raga di Papua. (2) Dalam rangka mewujudkan harkat dan martabat orang asli Papua, Pemerintah Papua dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membiayai pengembangan olah raga, termasuk olah raga profesional yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus. (3) Pemerintah berkewajiban untuk membangun pusat-pusat pendidikan dan pelatihan olah raga, menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan mengalokasikan pembiayaan tertentu yang bersifat berkelanjutan. (4) Pemerintah berkewajiban memberikan kesempatan kepada Papua untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan olah raga berskala nasional dan internasional. (5) Pemerintah memberikan kesempatan kepada Pemerintahan Papua untuk berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan olah raga di luar negeri. (6) Pemerintah berkewajiban mengembangkan kapasitas dan peran serta pemudapemuda Papua, dan memberikan kesempatan untuk berkarya di bidang pemerintahan, badan usaha milik negara, dan dunia usaha nasional. 27. Kesehatan Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua, yaitu; (1) Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. (2) Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota berkewajiban mencegah dan menanggulangi penyakit-penyakit endemis dan/atau penyakit-penyakit yang membahayakan kelangsungan hidup penduduk. (3) Setiap penduduk Papua berhak memperoleh pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya. (4) Dalam melaksanakan kewajiban di bidang pendidikan, Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan. (5) Ketentuan mengenai kewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan beban masyarakat serendah-rendahnya, dan keikutsertaan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, serta dunia usaha diatur lebih lanjut dengan Perdasi. (6) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban merencanakan dan melaksanakan program-program perbaikan dan peningkatan gizi penduduk, dan pelaksanaannya dapat melibatkan lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, dan dunia usaha yang memenuhi persyaratan yang diatur lebih lanjut dengan Perdasi. 28. Sosial Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua, yaitu; (1) Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/ kota wajib dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan kepada: (a) perseorangan; (b) keluarga; (c) kelompok; dan/atau; (d) masyarakat Papua. (2) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial: kemiskinan; ketelantaran; 153
kecacatan; keterpencilan; ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku; korban bencana; dan/atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi: rehabilitasi sosial; jaminan sosial; pemberdayaan sosial; dan perlindungan sosial. Pemerintah berkewajiban untuk mengutamakan perhatian untuk kesejahteraan sosial di Papua melalui dana APBN dan dana Otonomi Khusus Plus melalui Jaminan Sosial. Jaminan sosial dimaksudkan untuk menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Papua memiliki kewajiban untuk memberikan asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan bagi warga Papua yang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya. Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh Pemerintah. Pokok pikiran penting lain di bidang pembangunan sosial adalah: (1) Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya berkewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak kepada penduduk Provinsi Papua yang menyandang masalah sosial. (2) Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana poin 1, Pemerintah Provinsi memberikan peranan sebesar-besarnya kepada masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat (3) Ketentuan sebagaimana poin 1 dan poin 2 diatur lebih lanjut dengan Perdasi. (4) Pemerintah Provinsi memberikan perhatian dan penanganan khusus bagi pengembangan suku-suku yang terisolasi, terpencil, dan terabaikan di Provinsi Papua. (5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada poin 4 diatur lebih lanjut dengan Perdasus. 29. Kependudukan dan Ketenagakerjaan Ada beberapa pokok pemikiran berkaitan dengan bidang Pendidikan di Papua, yaitu; (1) Dalam rangka otonomi khusus dan percepatan pembangunan ketenagakerjaan di tanah papua maka masyarakat papua memiliki kesempatan utama dan perlakuan yang lebih baik dalam wilayah tanah papua di bidang pemerintahan dan legislatif. (2) Pemerintah papua mendapatkan bantuan affirmative dari kementerian tenega kerja dan transmigrasi dalam perencanaan tenaga kerja dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, dan pemerintah papua memiliki hak pembinaan serta penempatan tenaga kerja di sektor sektor strategis di wilayah papua. (3) Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua. (4) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.(5) Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur. (6) Penempatan penduduk sebagaimana dimaksud pada poin 3 ditetapkan dengan Perdasi. (7) Setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak serta bebas memilih dan/atau pindah pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (8) Orang asli Papua berhak memperoleh kesempatan dan diutamakan untuk mendapatkan pekerjaan dalam semua bidang pekerjaan di wilayah Provinsi Papua berdasarkan pendidikan dan keahliannya. (9) Dalam hal mendapatkan pekerjaan pada poin 6 di bidang 154
peradilan, orang asli Papua berhak memperoleh keutamaan untuk diangkat menjadi Hakim atau Jaksa di Provinsi Papua. (10) Ketentuan agar orang asli Papua berhak memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak diatur lebih lanjut dengan Perdasi. 30. Komunikasi dan Informatika 1. Pemerintah, Pemerintah Papua, dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mempercepat pembangunan pada aspek komunikasi dan informatika. 2. Dalarn rangka rnelaksanakan kewenangan pernerintahan di bidang komunikasi dan informatika, pemerintah kabupaten/kota berwenang rnelaksanakan urusan bidang pos yang meliputi: a. pemberian izin pembentukan usaha jasa titipan; b. pemberian izin usaha jasa titipan untuk kantor cabang; dan c. penertiban usaha jasa titipan untuk kantor cabang. 3. Pemerintah Papua berwenang melaksanakan urusan bidang telekomunikasi yang meliputi: a. pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus, dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah; b. pemberian izin untuk penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan Pemerintah dan badan hukum di wilayah Papua sepaniang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio; c. pengawasan terhadap layanan jasa telekomunikasi; d. pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis kabelcakupan provinsi; e. koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi; f. pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi diwilayah Papua; dan g. pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator. 4. Pemerintah Papua berwenang menetapkan pedoman pembuatan menara dan pemberian izin galian untuk keperluan penarikan kabeltelekomunikasi lintas kabupatenljalan provinsi. 5. Kewenangan lain di bidang pos, telekomunikasi, dan informatika bagi Pemerintah Papua dan pemerintah kabupatenftota selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan; 6. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memprioritaskan pembangunanantan umat beragama dan rneningkatkan kehidupan yang harmohis, damai, dan kasih di. Papua; 7. Pemerintah Papua berkewajiban: a. menjamin kebebasan, mem'bina kenukunan, dan melindungi semua umat benagama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat benagama; c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional berdasankan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. 155
31. Kampung 1. Kampung adalah kesatuan masyarakat hukun yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepmtingan masyarakat setempat berdasarkan asalusul dan adat istiadat seempat yang diakui dalam sis€m pemerintahan nasional. 2. Berdasarkan keasliannya kampung ditetapkan sebagai kampung asli dengan memperhatikan karakteristik adat istiadat dan kearifan lokalnya, 3. Perangkat kampung terdiri dari pemerintahan kampung dan badan permusyawafatan kampung 4. Efektifitas penyelenggaraan pemerintah kampung dilakukan penataan kampung melalui : pembentukan kampung pengfupusan kampung penggabungan perubahan status kampung dan penyesuaian keluraharu dengan maksud untuk mempercepat perdnglotan keseiahteraan masyarakat mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan; dan merdngkatkan daya saing kampung. 5. Pembmhrkan kampung pada kawasan yang bereifat khusus dan Ftrabgis hanya untuk nasional yang disetuiui oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah IGbupaten/ Kota yang bersangkutan. 6. Kampung Asli memiliki kewenangan mengahrr dan mmgurus kepentingan berdasarkan hak asal-usul adat istiadat dan nilai-nilai sosiat budaya masyarakat dan melaksanakan bagian-bagian dari suaflr unrs.rn pemerintahan pemerintahan kabupaten/ kota. 7. Kewenangan kampung mencakup : a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul, adat istiadat dan nilai-nitai sosial budaya masyarakat; b. Kewenangan lokal berskala kampung yang diakui kabupaten/kota; c. Kewenangan peurerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dilimpahkan pelakmnaannya ke kampung dan d. Masyarakat kampung ber hak : mmcari" meminta, mengawasi dan memberikan informasi kepada pemerintah kampung bntang kegiatan pemerintaha& pembangunan dan kemasyarakatan; memperoleh yang sama dan adrl; mmyanpaikan saran dan pmdapat secara berhnggung jawab tentang kegiatan pemerintahan, pemhngunan dan kemasyarakatan; memilih, dipilih dan/atau dietapkan mmjadi kepala perangkat kampung lairurya anggota Bamuskam dan lembaga kemasyarakatan kampung dan mmdapatkan perlindungan dari ancanan ketentraman dan ketertiban; 8. Masyarakat kampung mempunyai kewajiban membela kepentingan lingkungarurya; mimbangun diri dan lingkungarurya; telciptanya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakan yang baik, mendorong terciptanya situasi yang anran; menghadiri dan gotong-royong dan ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pembangunan di kampungya. 9. Kampung mempunyai hak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan nilainilai sosial budaya masyarakat menetapkan Bamuskan dan perangkat kampung lainnya; mengelola kelembagaan kampung; dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan kampung. C. Ketentuan lain-lain, Peralihan dan Penutup. RUU-PP perlu mencantumkan norma yang mencabut UU Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan 4 kabupaten/Kota karena telah 156
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa UU tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga tidak boleh dijadikan sebagai dasar hukum, namun harus dipikirkan dasar hukum bagi Provinsi Papua Barat dan 4 Kabupaten/Kota tersebut. Begitu pula UU 21 Tahun 2001 berikut UU 35 tahun 2008 perlu dicabut karena tidak sesuai lagi dengan kenyetaan saat ini. Semua peraturan pelaksanaan UU Nomor 45 Tahun 1999, dan UU Nomor 21 Tahun 2001 harus disesuaikan dengan UU ini.
157
BAB VII PENUTUP A. Simpulan. Simpulan yang dapat diambil berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya bahwa: 1. Praktik penyelenggaraan pemerintahan terkesan sentralistik walau kebijakan Negara telah memberikan status Otonomi Khusus untuk Papua. Hal ini terlihat dari kewenangan yang telah diatur dalam UU Otsus ternyata tidak dapat dilaksanakan secara baik karena intervensi pusat dalam melaksanakan kewenangan tertentu yang bukan merupakan kewenangan pusat. 2. Dari aspek teori, Negara lewat Pemerintah telah berupaya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya sesuai dengan tujuan Negara dalam UUD 1945 yang seharusnya menjadi pedoman dan arah pemecahan masalah pemerintahan dan pembangunan, namun terdapat kendala disekitar implementasi kewenangan, hal tersebut terjadi karena setiap kewenangan yang telah diberikan dalam UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dikembalikan lagi kepada Pemerintah Pusat, sehingga terkesan sentralistik. Hal ini menyebabkan ketimpangan dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua. 3. Asas-asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya hendaknya menjadi pedoman dalam perumusan norma sehingga membawa kemaslahatan bagi pemerintah dan bangsa Indonesia, khususnya Pemerintah di tanah Papua dan masyarakat asli Papua. 4. Perbaikan materi muatan UU Nomor 21 Tahun 2001 harus dilakukan secara menyeluruh, logis, rasional dalam Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua sesuai kondisi faktual dan mampu mengantisipasi perubahan masyarakat dan pemerintahan dimasa datang namun tetap berpijak pada “roh” yang menjadi landasan filosofis dan nilai-nilai pada perumusan dan pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2001. B. Saran 1. Pemerintah pusat perlu memahami bahwa pemberian status Otonomi Khusus untuk Pemerintahan di Tanah Papua membawa konsekwensi bahwa Pemerintah di Tanah Papua memiliki kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan di Tanah Papua untuk kesejahteraan masyarakat di Papua dan secara khusus Orang Asli Papua. Dengan demikian setiap kewenangan yang telah dirumuskan dalam Rancangan UndangUndang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua apabila telah disahkan harus diperlakukan berdasarkan asas Undang-undang yang berlaku khusus mengenyampingkan UU yang berlaku umum (Lex Spesialis derogat lex Generalis), sehingga kewenangan yang diatur dalam undang-undang lain harus dikesampingkan. 2. Perlu diberi skala prioritas penyusunan Raperdasi dan Raperdasus dalam Program Legislasi Daerah khusus yang berkaitan dengan sektor keuangan, kesehatan, pendidikan, keagamaan, social, ekonomi kerakyatan, pemerintahan Kampung/Adat. 3. Perlu diupayakan kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik berikut Rancangan UndangUndang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua lebih lanjut, melalui 158
serangkaian Focus Group Disscusition (FGD) lanjutan atau konsultasi publik dengan berbagai pemangku kepentingan baik di Pusat maupun di Daerah termasuk masyarakat dan Pemerintahan Provinsi Papua Barat sebelum Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua ini diserahkan ke Pusat untuk ditetapkan. Demikianlah naskah akademik yang berisi laporan kajian dan konsep awal RUUPemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua telah dikaji dan dirumuskan untuk diserahkan kepada Pemerintah dan DPR untuk proses selanjutnya.
159
MASUKAN/TANGGAPAN RAPAT HARMONISASI RUU PEMERINTAHAN OTSUS BAGI PROV. DI TANAH PAPUA 24 Juni 2014 KEMENKUMHAM
Setneg: • Izin Prakarsa sudah di Presiden • Merupakan amanah presiden untuk segera diselesaikan dan masih banyak cat. Krusial. Mengingat batas waktu yang sedikit, maka untuk tidak berlarut2 di harmonisasi dan diangkat di kemenko. Setkab: • Masih ada bbrp permasalahan substansi dan saat ini untuk dapat diselesaikan sesegera mungkin Kemlu • Jangan sampai RUU ini terkesan Transtitional, harus benar2 disisir dan diperhatikan setiap pasalnya • Dalam setiap pembahasan untuk dilibatkan kemlu • Arah Politik Hukum RUU, kesan Transtitional constitution sangat kuat, BAB 6 dan BAB 7 untuk dihilangkan karena bertentangan dengan UUD 1945.
Kemhan/TNI • Selain 5 poin krusial dalam RUU masih terdapat permasalahan diantaranya, ketidaksesuaian judul dalam pasal 341, pasal 326 ayat (2) yang berimplikasi pada tugas TNI dan peraturan per-uu-an yang menyangkut pertahanan Negara. • Perlu diperhatikan harmonisasi. • Pasal 21 dan Pasal 22 sudah diatur dalam pasal 7 (redundan), tugas pertahanan merupakan tanggung jawab pusat • Pasal 21 dan 22 untuk dihapus • Otsus tidak mengatur karir TNI, tidak perlu diatur dalam RUU • Tugas lain TNI juga tdk perlu diatur dalam RUU Kemenkeu • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Tambahan beban anggaran/fiskal perlu diperhatikan • Pelaksanaan kebijakan fiskal • Fiscal neutrality • Obyek2 baru dana yang dibagi hasil, diselaraskan baik dengan UU hubungan keuangan daerah dan pusat maupun RUU HKDP • Kewenangan perpajakan agar tetap pengaturannya ESDM • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Terkait kontrak migas Kemenperindag
•
Rapat koordinasi internal terlebih dahulu terkait dengan Draft terbaru
Kementan • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Pasal 13 ayat (3) huruf I, kata “karantina” untuk dihilangkan dan jangan di atur dan di otonomikan, hal ini untuk mencegah penyebaran penyakit. Kemenhut • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Belum diakomodir terkait klaim Negara atas hutan (pasal 208) • Pasal 208 hapus • Pasal 215 ayat (3) hapus, kewenangan Negara dan gub menjadi duplikasi • Pasal 244, penggeneralisasi sektor2 sebaiknya dihindarkan dan di restrukturisasi kembali Kemenhub • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Sudah diakomodasi dalam RUU • Tunjangan kemahalan tidak diperlukan, namun dapat saja dilakukan • Apakah RUU ini sudah cerminan dari NA-nya? • Sejauh mana keterpihakan pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat papua? • Pembangunan infrasturktur yang dapat bersifat lex-spesialis untuk Papua KKP • Pasal 227 ayat (4) , pengaturan ZEE untuk dihilangkan NakerTrans • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Masih ada bbrp substansi yg perlu dibahas dalam tim kecil, karena masih ada substansi atau tanggapan yg belum diakomodir PU • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Dalam NA, dalam bid. Infra bangunan direncanakan 50 th, namun dalam UU pembangunan tidak dicantumkan tahunnya namun hanya standar mutunya saja • Penjelasan umum, 6 kewenangan gubernur apakah tidak bertentangan dengan UUD 1945 • Akan ada masukan tertulis tambahan • Ketentuan Penutup kurang tegas KEmenkes • Pasal terkait 279-286 • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Pasal 281 redundan dgn Pasal 279 • Terkait narkoba, (Pasal 310) sudah diatur per-uu-an lain Dikbud • -
Kemsos: • Agama • Pariwisata • Kominfo • Pasal 298-300 • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Terkait Pers dan penyiaran perlu melibatkan Dewan Pers Ristek • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Sudah diakomodir Koperasi UKM • UU 17 2014 dibatalkan MK, kembali kepada UU 5/92, • Pasal 202 ayat (3), usaha simpan pinjam koperasi dst. Dihapus • Pasal 203 ayat (1) untuk dipertimbangkan terkait perlindungan thdp usaha mikro LH • • • • •
Urusan Pemerintahan Prov., urusan LH merupakan urusan wajib Pasal 13 ayat (3) huruf j ditambahkan kata wajib Penyesuaian terminologi Lingkungan Hidup Bab tersendiri terkait Lingkungan Hidup Alokasi Dana keuntungan dan Dana Penjaminan untuk penanggulangan Lingkungan Hidup
Pemberdayaan Perempuan Kemenpan KPDT BAPPENAS • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Telah diakomodir dan sudah sesuai dengan masukan • Penyaluran dana bagi hasil kepada perorangan atau golongan, sedangkan menurut UU kepada Pemda hal ini perlu dipertimbangkan kemenkeu. BUMN
• •
Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda (Pasal 181, 183, 186, 191, 195, 233, 235, 242, 243, 244) Memperhatikan arahan presiden
Kemenpera • Pasal 264 (1) bertentangan dengan UU 1/2011 dan UU 20/2011 • Perbaikan ayat (1) “tanggung jawab ada di pemerintah” namun di UU tanggung jawab oleh Negara • Perhatikan teknis per-uu-an Kemenpora • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Telah diakomodir dalam Pasal 307, 308, 309 MA Kejaksaan Polri • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Konsistensi nomenkaltur (kepala polisi di tanah papua dan kapolda Papua) • Pasal 23 ayat (2),kebijakan urusan keamanan di koordinasikan kapolda kepada gubernur, dihilangkan. • Penegakan hukum harus independen tanpa perlu koordinasi atau meminta pertimbangan dengan pihak lain • Pasal 24 dihapus, sudah diatur • Pasal 25 dihapus, sudah diatur • Kurangnya pengawasan dan pengelolaan keuangan di papua • Tidak sepenuhnya diserahkan sepenuhnya kepada papua • Pemerintah menyiapkan pemimpin2 di papua yang berkualitas KPU • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Masukan tambahan: • Tujuan Otsus Papua untuk kesejahteraan Papua dengan memperhatikan kepentingan nasional • Perlu dilihat lagi secara umum apa yang menjadi kewenangan pemerintah pusat • Pemberdayaan masy. Papua dengan hanya difokuskan kepada masyarakat asli papua akan memperlambat peningkatan kualitas sdm papua. Sebaiknya perlu dipertimbangkan dan diperhatikan kembali. • Pasal 135 tidak jelas sistem pemilihan gubernur • Pasal 136, pemilihan bupati sudah jelas, namun pendelegasian pengaturannya tidak jelas apa yang akan diatur lebih lanjut. BPN • Akan mempersiapkan tanggapan tertulis, perlu koordinasi internal terlebih dahulu • Tanah adat, BPN telah mengeluarkan Perka BPN yang menjadi dasar pengaturan Tanah adat dan telah diakomodir dalam RUU Pertanahan
BNN • Masukan sudah disampaikan secara lengkap melalui ditjen otda • Masukan sama dengan kemenkes BPPT BNKKBN UP4B • Kenapa perlu ada RUU ini? - Daerah tertinggal - Budaya yang berbeda - Hak dasar yang di persoalkan • UU Otsus sebelumnya tidak dapat diterapkan dan sering lemah terhadap perdasus • Kendala pembangunan papua: - Izin yang lama - Juklak juknis diatur oleh pusat sehingga sering tidak sesuai dengan keadaan di lapangan - Pengendalian keuangan pusat • Demokrasi tidak dapat diterapkan karena system kekerabatan yang kuat Bpk. Aris • Implementasi diperkuat (penguatan manajemen daerah Papua) • Penguatan regulasi melalui revisi UU Otsus Papua • Tetap dalam koridor NKRI dan tidak bertentangan dengan kebijakan Pusat