RAGAM JENIS, DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN TUNGAU DEBU RUMAH PADA WILAYAH PERMUKIMAN DI BOGOR
NUR QAMARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Ragam Jenis, Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah pada Wilayah Permukiman di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2015 Nur Qamariah NIM B252124011
RINGKASAN NUR QAMARIAH. Ragam Jenis, Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah pada Wilayah Permukiman di Bogor. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUSI SOVIANA.
Tungau debu rumah (TDR) umumnya ditemukan di dalam debu yang berasal dari tempat tinggal manusia dan biasanya ditemukan terutama pada tempat duduk (kursi, sofa, bangku), karpet, lantai dan tempat tidur (kasur, bantal, seprai). feses dan tubuh TDR menghasilkan protein yang jika terhisap bersama debu rumah dapat menyebabkan alergen dan rhinitis. Astigmata merupakan tungau yang utama ditemukan pada debu rumah di perumahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis TDR, menganalisis sebaran serta kepadatan TDR dan mengukur pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap TDR pada kawasan permukiman di Bogor. Penelitian dilakukan di wilayah hunian masyarakat yang terdapat di Bogor, yang dibagi menjadi dua tipe kawasan, yaitu perumahan (perumahan padat penduduk dan perumahan kompleks) dan tempat tinggal sementara (wisma penginapan, pondok pesantren, indekos dan asrama). Debu yang dikumpulkan dari permukiman diambil dengan menggunakan penyedot debu (vacum cleaner) kemudian TDR diisolasi dan diidentifikasi di bawah mikroskop di laboratorium Sebanyak 1256 TDR yang diidentifikasi pada wilayah permukiman di Bogor, terdapat 10 jenis TDR adalah Blomia tropicalis (45,30%), Dermathophagoides pteronyssinus (17.44%), Cheyletidae (15.61%), Blomia spp (8.60%), Mesostigmata (7.17%), Dermathophagoides farinae (3.66%), Oribatida (0.56%), Acaridae (0.32%), Tyrophagus spp (0.16%), Lepidoglipus destructor (0.08%). Sebaran TDR di perumahan padat penduduk terbanyak di karpet (23.94%), diikuti oleh tempat duduk (21.92%), lantai (21.54%), perabot (20.15%) dan tempat tidur (12.46%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di karpet 73 tungau/gram debu. Seberan TDR di perumahan kompleks terbanyak di karpet (33.71%), diikuti oleh lantai (26.11%), perabot (20.98%), tempat duduk (14.81%) dan tempat tidur (4.38%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di karpet 51.88 tungau/gram debu. Sebaran TDR di tempat tinggal sementara, pada wisma penginapan TDR hanya ditemukan pada perabot (100%). Selanjutnya pada pondok pesantren terbanyak di perabot (37.62%), diikuti oleh tempat tidur (31.66%) dan lantai (30.72%). Demikian pula pada indekos terbanyak di perabot (52.02%) diikuti oleh lantai (33.81%) dan tempat tidur (15.17%). Kemudian pada asrama terbanyak di perabot (35.17%), diikuti oleh tempat tidur (34.26%) dan lantai (31.58%). Rata-rata kepedatan TDR tertinggi ditemukan di perabot pada indekos 48.54 tungau/gram debu. Uji Korelasi menunjukkan kelembaban dan suhu berpengaruh nyata terhadap derajat infestasi TDR pada permukiman. Semakin tinggi kelembaban maka semakin tinggi infestasi TDR (P=0.026 ≤ α=0.05, R=0.769). Tetapi hubungan antara suhu dan infestasi TDR menunjukkan korelasi negatif. Semakin rendah suhu maka semakin tinggi jumlah infestasi TDR dan sebaliknya (P=0.003 ≤ α= 0.01, R= - 0.895). Sikap masyarakat permukiman terhadap TDR termasuk ke dalam kategori baik sekali (82.65%), sedangkan pengetahuan kurang (31.48%) dan praktik pencegahan serta pengendalian TDR sangat kurang (27.11%). Hubungan antara pengetahuan dengan infestasi TDR, menunjukkan korelasi tidak signifikan (P=0.167 ≥ α=0.05,
R=0.123). Adapun hubungan antara sikap dengan infestasi TDR, menunjukkan korelasi signifikan (P=0.017 ≤ α=0.05, R= - 0.210). Demikian pula hubungan antara praktik dengan infestasi TDR, menunjukan korelasi signifikan (P=0.028 ≤ α=0.05, R= - 0.195). Kata kunci: Tungau Debu Rumah, Blomia, Dermatophagoides, Bogor. Indonesia.
SUMMARY NUR QAMARIAH. Diversity, Distribution and Abudance of House Dust Mites on Settlement Region in Bogor. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUSI SOVIANA. The house dust mite (HDM) is commonly found in dust originating from human dwellers and are found mainly in seats (chairs, sofas, benches), carpets, floors, furniture and beds (mattresses, pillows, sheets). Feces and HDM body yield the protein which is if inhaled with house dust can cause allergen and rhinitis. Astigmatic mites are generally the principal mites found in dust from human dwellings. This study aimed to determine the diversity, distribution and density of HDM, at settlements in Bogor and to analyze the knowledges, attitudes and practices of community to HDM infestation. The study was conducted in the area of residential community located in Bogor region which divided into two types, i.e. housing (densely populated residential and residential complexes) and temporary shelter (guest house, boarding schools, boarding houses and student dormitories). Dusts from all the settlements were collected by vacum cleaner then there were isolated and identified under microscope at laboratorium. Amount of 1256 HDM collected were identified into 10 types of HDM, i.e Blomia tropicalis (45.34%), Dermatophagoides pteronyssinus (17.45%), Cheyletidae (15.62%), Blomia spp (8.61%), Mesostigmata (7.17%), Dermatophagoides farinae (3.67%), Oribatida (0.56%), Acaridae (0.32%), Tyrophagus spp (0.16%), Lepidoglipus destructor (0.08%). The distribution of HDM in populated residential mostly were found on the carpet (23.94%), followed by seats (21.92%), floors (21.54%), furniture (20.15%) and beds (12.46%). The highest average density of HDM in the carpets was 73 mites/gram of dust. The distribution of HDM in residential complexes mostly were found on the carpet (33.71%), followed by floors (26.11%), furniture (20.98%), seat (14.81%) and bed (4.38%). The highest average density of HDM in the carpets was 51.88 mites/gram of dust. The distribution of HDM in temporary shelters, the guest houses HDM was only found in furnitures (100%). Furthermore, in the boarding school HDM mostly were found on the furnitures (37.62%), followed by bed (31.66%) and floors (30.72%). In addition, the boarding houses HDM mostly were found on in the furnitures (52.02%) followed by floors (33.81%) and beds (15.17%). Then, in the student dormitories HDM mostly were found on the furnitures (35.17%) followed by beds (34.26%) and floors (31.58%). The highest average density of HDM in the furniture on boarding houses was 48.54 mites/gram of dust. There were significantly correlation between humidity and temperatures to the infestation of HDM in all types of settlements. The high humidity cause the high density of HDM (P=0.026 ≤ α=0.05, R=0.769). However, the correlation between temperature and density of HDM were also negatively. The low temperature cause the high infestation of HDM and vice versa (P=0.003 ≤ α=0.01, R= - 0.895). The result of interview on the community knowledge, attitudes and practices showed that the attitude of the community against the HDM infestation belong into good category (82.65%), lack of knowledge (31.48%) and lack of practice of prevention (27.11%). The correlation between knowledge and density of
HDM was not significant (P=0.167 ≥ α=0.05, R=0.123). The correlation between attitude and density of HDM was significant (P=0.017 ≤ α=0.05, R= - 0.210). In addition, the correlation between practices and density of HDM were also significant (P=0.028 ≤ α=0.05, R= - 0.195). Key words: House dust mite, Blomia, Dermatophagoides, Bogor. Indonesia.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RAGAM JENIS, DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN TUNGAU DEBU RUMAH PADA WILAYAH PERMUKIMAN DI BOGOR
NUR QAMARIAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
2
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. drh. Risa Tiuria, MS
3 Judul Tesis : Ragam Jenis, Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah Pada Wilayah Permukiman di Bogor Nama : Nur Qamariah NIM : B252124011
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS Ketua
Dr Drh Susi Soviana, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 31 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
4
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2014-Maret 2015 ialah Ragam Jenis, Distribusi dan Kelimpahan Tungau Debu Rumah Pada Wilayah Permukiman di Bogor. Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang sangat besar kepada yang terhormat komisi pembimbing Prof Dr Upik Kesumawati Hadi, MS PhD dan Dr drh Susi Soviana, MSi atas bimbingan arahan, motivasi, semangat dan masukan hingga penyelesaian studi yang diberikan kepada penulis selama pendidikan. Jasa dan kebaikan dari komisi pembimbing kepada penulis sungguh sangat berharga dan tidak akan terlupakan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dosen, staf di Mayor PEK, Bapak Prof Dr Drh Singgih Harsojo Sigit MSc, Bapak Dr Drh FX. Koesharto MSc, Ibu Dr Drh Dwi Jayanti Gunandini MSi, Bapak Dr Drh Ahmad Arif Amin MSc dan Dr Ir Sri Hartini Ms yang selama ini telah memberikan ilmunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staf di Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Bapak Heri, Bapak Taofik, Bapak Nanang, Bapak Guspriyadi, Ibu Een dan juga teman-teman Pascasarjana PS PEK atas bantuan, motivasi dan keceriaanya selama ini. Ucapan terimakasih serta penghargaan juga disampaikan kepada Kepala Desa Cibanteng (Kec. Ciampea) dan Kepala Desa Babakan Lebak dan Babakan Raya telah mengizinkan dan mendukung secara penuh kegiatan penelitian yang saya lakukan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda tercinta Muh. Zhubair Wahid dan Ibunda Siti Rosnaeni SPd serta saudaraku (Nur Hunain dan Nur Sakina) atas segala do‟a, kasih sayang dan bantuan materil yang tak henti-hentinya serta semua pengorbanannya yang tak ternilai harganya kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan karya ilmiah ini. Disamping itu, penulis juga mengucakan terimah kasih banyak kepada Agus KP yang selalu memberikan semangat, motivasi dan kasih sayangnya dan mba Elfira septiane sebagai teman seperjuangan di PS PEK. Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dan menyempurnakan tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat, khususnya di bidang Parasitologi dan Entomologi Kesehatan.
Bogor, November 2015 Nur Qamariah
5
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Tungau Debu Rumah Siklus Hidup Tungau Morfologi Tungau Habitat Tungau Debu Rumah Peranan dalam Bidang Kesehatan
2 2 3 4 6 6
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan Sampel Tungau Debu Rumah Isolasi dan Identifikasi Sampel Tungau Debu Rumah Survei Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat Analisis Data
7 7 7 7 8 8
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Jenis Tungau Debu Rumah Kelimpahan Nisbi dan Angka Dominansi Tungau Debu Rumah di Permukiman Kepadatan dan Sebaran Tungau Debu Rumah di Kawasan Perumahan Kepadatan dan SebaranTDR di Kawasan Tempat Tinggal Sementara Deskripsi Morfologi Jenis Tungau Debu Rumah Faktor yang Mempengaruhi Infestasi Tungau Debu Rumah Karakteristik Responden Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat Terhadap Tungau Debu Rumah Pengetahuan Responden Terkait Tungau Debu Rumah Sikap Responden Terkait Tungau Debu Rumah Praktik Responden Terkait Tungau Debu Rumah
9 9 12 12 14 15 20 21 22 24 25 26
5 SIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
33
RIWAYAT HIDUP
39
6
DAFTAR TABEL 1 Jumlah dan persentase jenis tungau debu rumah pada permukiman di Bogor. 2 Kelimpahan nisbi dan angka dominansi TDR yang terdapat di lokasi penelitian di permukiman Bogor dari Oktober 2014-Februari 2015. 3 Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan perumahan di Bogor. 4 Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan tempat tinggal sementara di Bogor. 5 Karakteristik responden pada permukiman di Bogor 6 Distribusi frekuensi total unsur-unsur variabel pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap TDR. 7 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan pengetahuan terkait TDR 8 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan sikap terkait TDR 9 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan perilaku terkait TDR
10 12 13 15 22 23 25 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Morfologi tungau bagian dorsal Morfologi Blomia tropicalis Morfologi Dermathopagoides pteronyssinus Morfologi Dermathopagoides farinae Morfologi Cheyletidae Morfologi Mesostigmata Morfologi Tyrophagus spp Morfologi Oribatida Morfologi Lepidoglipus destructor Hubungan antara infestasi TDR dan kelembaban pada wilayah permukiman di Bogor 11 Hubungan antara suhu dengan infestasi TDR pada wilayah permukiman di Bogor
5 16 16 17 18 18 19 19 20 20 21
DAFTAR LAMPIRAN 1 Habitat tungau debu rumah 2 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap kelembaban 3 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap kelembaban 4 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan Infestasi TDR terhadap pengetahuan 5 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap sikap 6 Hasil Uji Korelasi Spearman hubungan infestasi TDR terhadap praktik 7 Pengetahuan responden terkait tungau debu rumah
33 34 34 34 35 35 35
7 8 Sikap responden terkait tungau debu rumah 9 Praktik responden terkait tungau debu rumah
35 35
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan permukiman manusia yang umumnya berupa suatu kompleks bangunan tempat tinggal dengan berbagai kebutuhan yang ada seperti kasur, bantal, kursi, karpet, furnitur dan perabot rumah tangga lainnya, merupakan sebuah ekosistem tersendiri yang unik. Lingkungan itu dibangun dan diciptakan terutama untuk kepentingan kenyamanan hidup manusia tetapi pada kenyataannya banyak makhluk lainnya ikut memanfaatkan kondisi tersebut sebagai habitat, tempat istirahat serta mencari makan. Menurut Hill (1998) dan Sun et al. (2014), tungau debu rumah (TDR) umumnya ditemukan di dalam debu yang berasal dari tempat tinggal manusia dan biasanya ditemukan pada bantal, seprai, kasur, sofa, karpet dan perabotan rumah lainnya. Tungau adalah Arthropoda berkaki delapan yang mengalami metamorfosis tidak sempurna, termasuk ke dalam ordo Acari, kelas Arachnida. Jenis TDR umumnya tergolong ke dalam subordo Astigmata, Prostigmata, Mesostigmata dan Cryptostigmata (Colloff dan Spieksma 1992; Krantz dan Walter 2009). Astigmata merupakan jenis tungau yang utama ditemukan pada debu rumah di perumahan di Swedia. Paling umum ditemukan dari subfamili Dermatophagoidinae yaitu Dermatophagoides pteronyssinus, D. farinae, dan D. microceras, dari subfamili Pyroglyphinae adalah Euroglyphus maynei, dari famili Acaridae adalah Acarus siro, Tyrophagus putrescentiae dan T. longior, serta famili Glycyphagidae adalah Lepidoglyphus destructor dan Glycyphagus domesticus (Warner et al. 1999). Feses dan tubuh TDR mengandung protein yang dapat menyebabkan alergi, asma dan rhinitis pada manusia, dapat terhisap bersama debu di dalam rumah (Chan et al. 2015). Orang yang sensitif terhadap alergen ini akan segera bereaksi dengan menunjukkan gejala-gejala alergi seperti bersin-bersin, batuk-batuk bahkan mengalami peradangan dan konstriksi pada tenggorokan menjadikannya susah untuk bernafas (Boquete et al. 2006). Alergi yang diakibatkan oleh TDR terjadi pada 1-2% pada populasi di dunia (WHO 1988). Penelitian berbagai jenis TDR telah dilakukan di Galicia (Spanyol) terhadap 80 pasien yang terkena alergi, 16.3% positif alergi terhadap antigen L. destructor dan T. putrescentiae, 41.3% positif alergi terhadap D. pteronyssinus dan D. farinae dan 34% positif terhadap L. destructor, T putrescentiae dan A. siro (Boquete et al. 2006). TDR yang menyebabkan penyakit asma yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia terutama berasal dari spesies D. pteronyssinus, D. farinae, E. maynei dan Blomia tropicalis (Milian dan Diaz 2004). Prevalensi alergi pernafasan akibat TDR terjadi pada 50% penderita asma dari sekitar 65-120 juta penduduk dunia (Calderon et al. 2014). Menurut Laisina et al. (2007) TDR merupakan alergen inhalan penting yang berhubungan dengan timbulnya asma pada anak sekolah dasar di Kecamatan Wenang Kota Manado. Tes kulit yang dilakukan terhadap pasien dengan asma bronkial dan rinitis menunjukkan 87% positif terhadap antigen alergen D. pteronyssinus (Baratawidjaja et al. 1998). Secara umum, TDR jarang ditemukan di gedung-gedung publik dan moda transportasi dibandingkan dengan di perumahan, karena TDR tidak dapat hidup
2 dalam kondisi kering dan jarang ditemukan sel kulit mati manusia dan fungi yang merupakan sumber makanan utama TDR (Larry et al. 2002). Keragaman jenis TDR di lingkungan perkotaan telah dilaporkan dari beberapa negara (Larry et al. 2002) dan khusus di Asia oleh Thomas (2010). Sejauh ini di Indonesia informasi mengenai TDR kurang tersedia. Arsip pertama mengenai TDR di Jakarta dilaporkan oleh Baratawidjaja et al. (1998) dan di Denpasar Bali oleh Santoso (1998). Tetapi penelitian mengenai ragam jenis dan infestasi TDR pada wilayah permukiman di Bogor dan di kota-kota lainnya di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga mendorong perlunya dilakukan penelitian ini. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan (1) mengetahui keragaman jenis TDR; (2) menganalisis sebaran serta kepadatan TDR pada kawasan permukiman di Bogor; (3) mengukur pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap TDR. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar mengenai kepadatan dan keragaman jenis TDR pada permukiman di Kota Bogor dan sebagai edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap TDR.
2 TINJAUAN PUSTAKA Distribusi Tungau Debu Rumah TDR D. farinae dan D. pteronyssinus banyak ditemukan di dalam rumah dan menyukai tempat yang lembab, keduanya merupakan TDR yang umum tersebar secara kosmopolit di seluruh dunia (Arlian et al. 2002). Beberapa negara di Asia yaitu Singapura, Malaysia, Hong Kong dan Filipina lebih banyak ditemukan D. pteronyssinus. Thailand dan Taiwan ditemukan D. pteronyssinus dan D. farinae. Sedangkan di daratan China dan Jepang memiliki populasi campuran (D. farinae, D. pteronissinus, B.tropicalis dan Glycyphagus). Di Korea Selatan D. farinae lebih banyak ditemukan dari pada D. pteronissinus (Thomas 2010). Di Indonesia yaitu di Kota Manado, Kelurahan Teling Bawah Kecamatan Wenang, jenis TDR yang ditemukan dari kamar tidur dan ruang tamu rumah penduduk yaitu Dermatophagoides spp, Acarus spp, Glycyphagus destructor dan Tarsonemus spp, (Kawulur et.al 2013). Hasil tes yang menyebabkan alregi pada pasien yang terdapat di beberapa asrama di Jakarta ditemukan jenis TDR yaitu D. pteronyssinus, D. farinae, Glycyphagus destructor, Cheyletiella erundetus, Swidasis, Tarsonemus dan. B. tropicalis (Baratawidjaja et al. 1998) dan di Denpasar Bali yaitu D. pteronyssinus dan D. farinae yang ditemukan di beberapa rumah (Santoso 1998).
3 Siklus Hidup Tungau Perkembangan tungau dari telur hingga dewasa membutuhkan waktu dua sampai tiga hari pada beberapa jenis tungau Prostigmata dan Mesostigmata. Tetapi pada tungau Oribatida waktu perkembangannya lebih lama, dapat mencapai satu minggu atau lebih, bahkan mencapai bulan hingga tahun (Krantz dan Walter 2009). Untuk Mesostigmata famili Macrochelidae perkembangan dari telur hingga mencapai dewasa membutuhkan waktu 34 jam (Axtell 1969). Sementara itu, untuk jenis TDR yaitu D. pteronyssinus mulai dari telur hingga mencapai dewasa yang betina memerlukan waktu 16-24 hari, sedangkan yang jantan sekitar 6-7 minggu siklus hidup tungau betina lebih pendek dibandingkan dengan tungau jantan. Tungau dewasa jantan dan betina D. pteronyssinus hidup selama 60-80 hari dan 100-150 hari pada suhu 25 oC. Jumlah telur D. pteronysinus betina yang diletakkan berkisar antara 1.3-6.4 butir/hari dalam kondisi laboratorium pada suhu 25 oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009). Siklus hidup tungau terdiri dari telur (prelarva), larva, nimfa, protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa (dewasa). Secara umum seekor tungau mampu menghasilkan beberapa ratus sampai ribuan telur (Hadi dan Soviana 2010) Perkembangan TDR dari telur hingga dewasa dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu (Hart 1998). Perkembangan TDR D. pteronyssinus dari telur hingga dewasa di laboratorium memerlukan waktu 9-14 hari pada suhu 25 oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009). Prelarva (telur). Prelarva (telur) merupakan tahap awal kehidupan tungau. Prelarva ini tidak bergerak, terisolir dalam korion telur dan tidak makan. Pada beberapa kasus, prelarva (telur) tampak lebih kecil dari selubung telur, tanpa kaki dan bagian-bagian mulut. Perkembangan dari prelarva hingga menjadi larva pada tungau Prostigmata memerlukan waktu paling cepat 36 jam (Coineau 1976 dalam Krantz dan Walter 2009) atau paling lambat 14-15 hari (Robaux 1971 dalam Krantz dan Walter 2009). Potensi perkembang biakan TDR dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Hart 1998). Perkembangan dari telur hingga menjadi larva pada D. pteronyssinus di laboratorium 2-3 hari pada suhu 25 oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009). Larva. Larva merupakan tahap setelah prelarva (telur) mempunyai tiga pasang kaki, sedikit atau tanpa sclerotization dan tidak memiliki alat kelamin. Sclerotization idiosomatik, ketika ada hanya pada podosoma, perisai ventral tidak jelas pada larva Astigmatina dan terbatas pada subordo tungau lainnya. Urstigmata mulai terlihat pada awal perkembangan larva. Sebagian larva tanpak lambat, lemah dan tidak makan (beberapa hidup bebas seperti Mesostigmata). Tetapi lainnya bersifat predator seperti pada famili Cheyletidae, atau agresif seperti parasit pada famili Trombiculidae (Southcott 1999). Perkembangan dari larva hingga menjadi nimfa pada D. pteronyssinus di laboratorium 1-2 hari pada suhu 25 oC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009). Nimfa. Nimfa merupakan tahap perkembangan setelah larva. Tahap nimfa dibagi menjadi protonimfa, deutonimfa dan tritonimfa (Hadi dan Soviana 2010). Nimfa mempunyai empat pasang kaki dan mengalami perkembangan diferensiasi progresif pada perisai yang berganti kulit hingga menjadi dewasa. Setae idiosoma dan rambutnya bertambah pada setiap kali ganti kulit. Bakal alat kelamin sudah
4 mulai tampak pada tahap (Acariformes, Holothyrida), tetapi tidak tampak pada Mesostigmata (Krantz dan Walter 2009). Protonimfa. Stadium ini merupakan tahap nimfa pertama. Pergerakannya bebas, tidak makan, adaptif terhadap lingkungannya (Krantz dan Walter 2009). Tahap protonimfa pada D. farinae dapat mengkomsumsi oksigen 28.5 kali lebih oksigen/jam. perkembangan dari protonimfa hingga menjadi tritonimfa pada D. pteronyssinus di laboratoriun 2-4 hari pada suhu 25 ºC dan kelembaban 80% (Podder et al. 2009). Deutonimfa. Stadium ini adalah tahap nimfa ke dua. Seringkali dianggap sebagai bentuk dewasa non seksual (Krantz dan Walter 2009). Bentuk deutonimfa tungau Astigmata bentuknya berbeda dengan tungau yang lain dan juga perilakunya. Tahap ini dikenal dengan hypopus dan sangat tahan terhadap lingkungan. Ia mempunyai alat pelekat untuk menempelkan tubuhnya pada serangga lain atau benda-benda di sekitar kandang (Hadi dan Soviana 2010). Tritonimfa. Tritonimfa merupakan instar yang aktif (dan kadang-kadang merupakan tahap foretik) tetapi tidak terdapat pada Mesostigmata dan terdapat juga atau diwakili oleh kaliptostatik farate (calyptostatic stage) (teleiochrysalis) pada banyak Prostigmata. Pada Astigmatina dimana terdapat hypopody, yaitu nimfa homeomorfik yang dianggap sebagai tritonimfa, karena merupakan instar preimaginal post larva. Ketika tidak tampak tritonimfa, proses molting terakhir menjadi dewasa tidak pada stadium nimfa kedua (Krantz dan Walter 2009). Tungau dewasa bereproduksi secara seksual, sperma disimpan dalam vesikula seminalis tungau betina, dan dilepaskan kesaluran telur untuk membuahi sel telur selama ovulasi. Sistem reproduksi tungau jantan terdiri atas testis, sepasang vasa deferentia, sebuah kelenjar aksesoris, saluran ejakulasi dan organ kopulatori. Sistem reproduksi tungau betina terdiri atas bursa copulatrix, ductus bursae, receptaculum seminis, sepasang ducti receptaculi, sepasang ovarium, sepasang oviduct, sebuah kelejar korion, ovipositor dan oviporus (Walzl 1992). Morfologi Tungau Tubuh tungau seperti halnya caplak, ukuran sekitar 500 µm dan berat sekitar 5-10 mg (Arlian dan Wharton 1974). Terbagi menjadi dua bagian yang besar yaitu gnatosoma dan idiosoma (Hadi dan Soviana 2010) pada bagian anterior terdapat gnatosoma dan pada bagian posterior terdapat idiosoma (Krantz dan Walter 2009). Bagian idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal. Tungau memiliki mata tunggal. Tungau dewasa mempunyai tiga pasang tungkai. Mulut tungau umumnya tidak memiliki hipostom, kecuali pada Mesostigmata. Stigmata atau lubang pernafasan letaknya berbeda-beda. Subordo Mesostigmata (contohnya Dermanyssidae) mempunyai stigmata yang terletak di antara pasangan tungkai ketiga dan keempat (Hadi dan Soviana 2010). Bagian lainya terdapat propodosoma terletak pada daerah pasangan kaki pertama dan kedua, metapodosoma terletak pada daerah pasangan kaki ketiga dan keempat dan opistosoma terletak pada daerah posterior (Gambar 1) (Krantz dan Walter 2009). Tungau prostigmata (contohnya, Demodicidae) terletak di bagian depan tubuh, dan pada Astigmata (contohnya, Sarcoptidae dan Psoroptidae) stigmata ini tidak ada. Tungau astigmata akan bernafas melalui permukaan tubuhnya yang lembut.
5
Gnatosoma
Proterosoma Prosoma Propodosoma Podosoma Idiosoma
Hysterosoma Opisthosoma
Gambar 1 Morfologi tungau bagian dorsal (Krantz dan Walter 2009). Bagian tubuh yang lembut dilindungi oleh beberapa lempeng ventral di antara bagian tubuh yang lain (Hadi dan Soviana 2010). Gnatosoma atau capitulum menyerupai kepala pada arthropoda, dan bagian ini antara lain merupakan karakter penting untuk taksonomi. Pada bagian gnatosoma ini terdapat beberapa bagian alat tubuh yaitu: epistome/tectum, hypostome, palpi dan chelicera (kelisera). Kelisera merupakan organ utama yang berfungsi untuk alat makan. Bentuk dan ukuran kelisera berbeda berbeda antara tiap-tiap suku, tetapi pada umumnya alat ini teradaptasi untuk menembus, mengisap, atau mengunyah makanan. Bagian kelisera jantan dilengkapi dengan spermatodactyl, yaitu alat untuk mentrasfer sperma ke tubuh tungau betina (Hartini dan Dwibadra 2009). Idiosoma mempunyai fungsi sama dengan abdomen, thoraks dan bagian kepala serangga, pada Idiosoma ini terdapat berbagai organ yang berfungsi sebagai alat gerak, pernafasan, perkawinan, peraba serta sekresi. Bagian abdomen TDR terdapat kutikula yang memiliki lurik pada setiap spesies yang berbeda, sebuah fitur yang dapat digunakan dalam identifikasi (Hartini dan Dwibadra 2009). Stadium pradewasa (protonimfa dan deutonimfa) dan dewasa tungau mempunyai kaki empat pasang, sedangkan tingkatan larva mempunyai tiga pasang kaki. Bagian kaki terdiri dari koksae, trokhanter, femur, genu, tibia, tarsus, dan cakar (claw). Bagian dari kaki ini dan aksesorisnya seperti jumlah bulu dan bentuk tonjolan (spur) merupakan karakter yang penting untuk membedakan marga atau jenis (Krantz dan Walter 2009).
6 Habitat Tungau Debu Rumah TDR menempati berbagai habitat di dalam rumah, banyak ditemukan di kasur, seprai, karpet, kursi, celah-celah lantai, pakaian, mainan, furnitur dan perabot rumah tangga lainnya. TDR ditemukan sangat berlimpah di dalam rumah. Populasi TDR dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk variasi kondisi iklim. Kasur dan karpet umumnya dianggap sebagai tempat perkembangbiakan utama untuk TDR. Bentuk kasur memiliki sela-sela lekukan merupakan daerah yang menguntungkan TDR dapat berkembang biak pada kondisi kamar (Sun et al. 2014). Kasur tidak selalu habitat dominan untuk TDR. Arlian dan Michael (1982), di Ohio, USA menemukan TDR D. farinae ditemukan sangat berlimpah hidup di karpet kamar tujuh kali lebih banyak daripada yang ditemukan di kasur. Perabot rumah yaitu furnitur juga dapat mendukung tempat perkembangbiakan TDR. Sun et al. (2014) menemukan kepadatan TDR pada kursi, jenis D. farinae (52.9%) lebih tinggi dibandingkan dengan D. siboney (14.7%), D. pteronyssinus (5.9%), D. microceras (5.9%) dan tungau campuran (11.8%). Kepadatan TDR pada bantal, jenis D. farinae (46.3%) lebih tinggi dibandingkan dengan D. siboney (9.3%), D. pteronyssinus (9.3%), D. microceras (1.9%) dan tungau campuran (11.1%). Pada seprai, jenis D. farinae (32.7%) lebih tinggi dibandingkan dengan D. pteronyssinus (10.7%), D. siboney (7.2%), D. microceras (3.6%). TDR D. pteronyssinus dan D. farinae memiliki perilaku yang memungkinkan mereka hidup dalam habitat yang sama. D farinae cenderung merangkak di atas substrat dan D. pteronyssinus berada pada permukaan. Umummnya, TDR ditemukan dekat dengan permukaan kasur, de Boer (1990) melaporkan TDR juga ditemukan jauh di dalam kasur bukan hanya pada permukaan. Peranan dalam Bidang Kesehatan TDR merupakan aeroalergen tersering yang menstimulasi reaksi alergi pada 50% pasien dengan riwayat alergi. Alergen D. pteronyssinus dan D. farinae telah diidentifikasi sebagai alergen hirup yang dapat berperan sebagai faktor risiko timbulnya asma dan reaksi inflamasi di paru dengan dilepaskannya sitokin, kemokin, dan mediator lainnya (Takai et al. 2015). Alergen D. pteronyssinus dengan aktivitas protease dan aktivitas enzim yang belum diketahui menyebabkan deskuamasi pada sel epitel saluran nafas dan menghasilkan sitokin-sitokin pro-infl amasi IL-6 dan IL-8 (Thomas et al. 2010). Makanan kesukaan TDR yakni serpihan kulit mati dari manusia dan hewan. Serpihan ini biasanya tertinggal pada karpet, sofa, pakaian, kasur dan bantal. Secara tidak sadar setiap orang membuang serpihan kulit mati kurang lebih 1.5 gram/hari. Jumlah ini cukup untuk dimakan oleh satu juta TDR. Tungau ini dapat terhisap bersama debu di dalam rumah yang menyebabkan reaksi alergi. Reaksi alergi yang ditimbulkannya bisa berupa rhinitis (pilek, gatal, bersin-bersin) dan asma, paling sering terjadi pada anakanak. Feses dan tubuh TDR mengandung protein yang dapat menyebabkan alergi dan asma pada manusia (WHO 1988; Coloof 2998).
7
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah hunian masyarakat yang dibagi menjadi dua tipe kawasan, yaitu perumahan (perumahan padat penduduk dan perumahan kompleks) dan tempat tinggal sementara (wisma penginapan, pondok pesantren, indekos dan asrama). Proses identifikasi TDR dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Fakultas kedokteran hewan IPB Dramaga Bogor. Penelitian dilaksanakan sejak September 2014 - Maret 2015. Pengambilan Sampel Tungau Debu Rumah Perumahan Pengambilan sampel TDR pada perumahan dilakukan pada dua tipe perumahan yaitu perumahan padat penduduk dan perumahan kompleks. Perumahan padat penduduk adalah perumahan padat tidak teratur, sedangkan perumahan kompleks adalah kumpulan rumah-rumah yang berjajar secara teratur. Pengambilan sampel debu di perumahan padat penduduk dilakukan di daerah Cibanteng (Kec. Ciampea), Babakan Lebak dan Babakan Raya (Kec. Dramaga). Adapun di perumahan kompleks dilakukan di perumahan dosen di dalam kampus IPB Dramaga Bogor. Sampel TDR diambil dari 20 rumah pada masing-masing tipe perumahan. Debu diambil dengan menggunakan vacuum cleaner (penghisap debu) pada setiap rumah. Pengambilan sampel debu dilakukan pada 5 titik yaitu tempat tidur (debu kasur, debu seprai, debu bantal), tempat duduk (sofa, kursi dan bangku), karpet yang terdapat pada lantai, lantai dan perabot rumah tangga (meja, lemari, furnitur, kipas angin dll). Debu yang berasal dari setiap titik dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda dan diberi label. Tempat Tinggal Sementara Pengambilan sampel debu pada tempat tinggal sementara dilakukan pada empat tipe kawasan yaitu wisma penginapan (dua wisma penginapan), pondok pesantren (asrama putra dan asrama putri), indekos (indekos putra dan indekos putri), asrama mahasiswa (asrama putra dan asrama putri) yang terdekat dengan wilayah kampus IPB Dramaga Bogor. Pengambilan sampel debu dilakukan 30% dari jumlah kamar yang ada di tiap lokasi penelitian pada setiap kamar, debu diambil pada 3 titik yaitu pada lantai kamar, tempat tidur (debu seprai, debu bantal, debu kasur, debu ranjang) dan perabotan. Isolasi dan Identifikasi Sampel Tungau Debu Rumah Sampel debu yang berasal dari lapangan, kemudian dibawa ke laboratorium. Selanjutnya debu ditimbang dari setiap titik pengambilan sampel dan TDR diisolasi dari setiap gram debu. Isolasi dilakukan dengan cara meletakkan debu ke
8 dalam corong berlese yang dibawahnya terdapat wadah penampung yang berisi alkohol 70%. Setelah ± 30 menit, tungau yang terkumpul pada wadah penampung diperiksa di bawah mikroskop lalu dihitung dengan menggunakan jarum untuk mengangkat tungau tersebut. Selanjutnya tungau dibuat dalam sediaan preparat kaca dengan menggunakan media hoyer atau kanada balsam (Hadi dan Soviana 2010). Identifikasi menggunakan kunci Collof dan Spieksma (1992), Krantz dan Walter (2009), Roden (2012). Survei Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat Survei pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap infestasi TDR dilakukan dengan wawancara langsung kepeda pemilik rumah pada perumahan (perumahan padat penduduk dan perumahan kompleks). Adapun pada tempat tinggal sementara (wisma penginapan, pondok pesantren, indekos dan asrama) dilakukan wawancara langsung kepada pemilik kamar, (satu tempat hunian diwakili oleh satu orang responden). Aspek yang diamati meliputi identitas responden, pengetahuan (Lampiran 7), sikap (Lampiran 8) dan praktik masyarakat (Lampiran 9). Analisis Data Keragaman Jenis Analisis data keragaman jenis TDR dengan statistik diskriptif diharapkan dapat menggambarkan ilustrasi data mengenai kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dan indeks keragaman Shannon-Wiener Menurut (Odum 1993). ∑ Individu spesies tertentu yang tertangkap Kelimpahan Nisbi = ∑ Total seluruh spesies yang tertangkap x 100 % Frekuensi Spesies
= Jumlah total tertangkapnya TDR jenis tertentu Jumlah total penangkapan
Dominansi Spesies
= Kelimpahan Nisbi X Frekuensi Spesies Indeks Keanekaragaman
(H) = -∑ Pi Ln (Pi) dengan Pi = Ni/N Indeks Keragaman (H) = -∑ Pi ln Pi; dengan Pi = Ni/N dimana, Pi : perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis Ni : Jumlah individu ke-i N : Jumlah total individu Kriteria indeks keanekaragaman adalah: Tinggi (H>3); Sedang (1≤H≤3); Rendah (H<1) (Krebs 1987). Hubungan Kelembaban dan Suhu Terhadap Kepadatan Tungau Debu Rumah Data kelembaban dan suhu yang diperoleh dari BMKG (2015) diinput dalam data base menggunakan SPSS 17. Selanjutnya, digunakan uji statistik non
9 parametrik (Uji Korelasi Spearman) untuk mengetahui hubungan kelembaban dan suhu terhadap infestasi TDR. Pembagian tingkat hubungan kekuatan korelasi menurut Colton dalam Dini et al. (2010) yaitu tidak ada hubungan/lemah (R=0.00-0.25), sedang (R=0.26-0.50), kuat (R=0.51-075), dan sangat kuat/sempurna (R=0.76-1.00). Survei Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat Hasil dari survei ini dianalisis dengan menggunakan analisis deskriktif. Perhitungan persentase pengetahuan, sikap dan praktik responden terhadap TDR berdasakan pada: Persentase
= Jumlah jawaban ya atau tidak yang diperoleh x 100 % Total Responden
Kategori persentase ditentukan berdasarkan Arikunto (2009) sebagai berikut: yakni kategori (81-100%) = Baik sekali, (61-80%) = Baik, (41-60%) = Cukup, (21-40%) = Kurang, (0-20 %) = Kurang sekali. Uji statatistik yang digunakan adalah uji korelasi Spearman untuk mengetahui hubungan antara infestasi TDR terhadap pengetahuan, sikap dan praktik responden.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Jenis Tungau Debu Rumah Jumlah dan persentase jenis TDR pada permukiman menunjukkan hasil yang bervariasi sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Jenis TDR yang ditemukan pada perumahan padat penduduk, terbanyak yaitu B. tropicalis (48.18%), diikuti oleh D. pteronyssinus (11.66%), Cheyletidae (10.13%), Blomia spp (13.58%), Mesostigmata (9.75%), D. farinae (5.35%) Pseudoscorpion (1.15%) dan Oribatidae (0.19%). Sementara itu, terdapat 8 jenis TDR yang ditemukan di perumahan kompleks yaitu B. tropicalis (44.42%), diikuti oleh Cheyletidae (23.95%), D. pteronyssinus (21.63%), Blomia spp (4.65%), Mesostigmata (2.33%), D. farinae (0.93%) Pseudoscorpion (0.93%), Oribatidae (0.70%) dan Tyrophagus spp (0.47%). Adapun pada tempat tinggal sementara mahasiswa terdapat 9 jenis TDR yang ditemukan yaitu B. tropicalis (41.53%), diikuti oleh D. pteronyssinus (21.59%), Cheyletidae (12.96%), Blomia spp (5.65%), Mesostigmata (9.63%), D. farinae (4.65%), Acaridae (1.33%), Oribatidae (1.00%), Pseudoscorpion (1.00%) dan L. destructor (0.66%). Sementara itu, di wisma penginapan ditemukan 2 jenis TDR yaitu B. tropicalis (50%) dan Cheyletidae (50%). Hampir pada semua debu dari seluruh tipe permukiman diperoleh juga Pseudoscorpion yang tergolong ke dalam kelas Arachnida dan Subkelas Dromopoda yang bukan merupakan kelompok jenis tungau. Adapun dari 10 jenis TDR yang ditemukan pada permukiman di Bogor, masing-masing tergolong dalam empat subordo yang berbeda yaitu Astigmata, Prostigmata, Mesostigmata dan Oribatida yang termasuk dalam kelas Arachnida. Sebanyak 5 famili yang ditemukan, antara lain Glycyphagidae (B. tropicalis, Blomia spp, L. destructor), Pyrogliphidae (D. pteronyssinus dan D. farinae),
10 Tabel 1 Jumlah dan persentase jenis tungau debu rumah pada permukiman di Bogor. No
Jenis
Lokasi Tipe Permukiman
Sub ordo
1
B. tropicalis
Astigmata
2
D. pteronyssinus
Astigmata
61(11.66)
93 (21.63)
65 (21.59)
0(0)
219
3
Cheyletidae
Prostigmata
53(10.13)
103 (23.95)
39 (12.96)
1(50)
196
4
Blomia Spp
Astigmata
71(13.58)
20 (4.65)
17 (5.65)
0(0)
108
5
Mesostigmata
Mesostigmata
51 (9.75)
10(2.33)
29(9.63)
0(0)
90
6
D.farinae
Astigmata
28(5.35)
4(0.93)
14 (4.65)
0(0)
46
7
Oribatida
Oribatida
1 (0.19)
3 (0.70)
3 (1.00)
0(0)
7
8 9
Acaridae Tyrophagus spp
Astigmata Astigmata
0 (0) 0 (0)
0 (0) 2 (0.47)
4 (1.33) 0 (0)
0(0) 0(0)
4 2
10
L. destructor
Astigmata
0 (0)
0 (0)
2 (0.66)
0(0)
2
11
Pseudoscorpion*
6 (1.15)
4 (0.93)
3(1.00)
0(0)
13
523(100)
430(100)
301 (100)
2(100)
1256
Total
A ∑ (%) 191 (44.42)
A ∑ (%) 125(41.53)
Total
A ∑ (%) 252(48.18)
A ∑ (%) 1(50)
569
Keterangan : (A) Perumahan padat penduduk, (B) Perumahan kompleks, (C) Tempat tinggal sementara mahasiswa, (D) Wisma penginapan, (*) Bukan kelompok tungau (mite).
Acaridae (Tyrophagus spp), Cheyletidae dan Oribatidae. Hal ini berbeda dengan yang ditemukan di Jakarta, jenis TDR yang ditemukan yaitu D. pteronyssinus, D. farinae. B. tropicalis, Sturnophagoides sp, Tyrophagus putrescentiae, Austroglycyphagus sp dan Cheyletus sp (Baratawidjaja et.al 1998). Namun, dalam penelitian ini jenis TDR Sturnophagoides sp dan Austroglycyphagus sp tidak ditemukan, akan tetapi ditemukan jenis TDR yang berbeda yaitu L. destructor. Jumlah TDR diperoleh dari enam lokasi pada permukiman di Bogor sebanyak 11298 dari 534 gram debu. TDR B. tropicalis ditemukan pada semua tipe permukiman, banyak ditemukan pada karpet, tempat tidur, tempat duduk, lantai dan perabot rumah tangga lainnya. B. tropicalis merupakan tungau yang terdapat di dalam debu rumah yang menyebabkan asma dan rhinitis (Chua et al. 2007). Stanalad et al.(1996) melaporkan 62% pasien yang positif asma terhadap TDR B. tropicalis dan 38% pasien positif terhadap TDR D. farinae dan D. pteronyssinus, dengan usia pasien rata-rata 38 tahun. TDR D. pteronyssinus ditemukan di perumahan padat penduduk, perumahan kompleks dan tempat tinggal sementara mahasiswa. Tungau ini terdapat pada karpet, tempat tidur, tempat duduk, lantai dan perabot rumah tangga bercampur dengan TDR lainnya. TDR ini merupakan tungau yang banyak ditemukan di rumah-rumah dan bersifat kosmopolit di seluruh dunia (Arlian dan Platts-Mills 2002). D. pteronyssinus dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada suhu 16-35 oC, dari telur sampai dengan dewasa kira-kira 20 hari (Liao et al. 2010). Tungau jantan lama hidupnya sekitar 77 hari dan betina 45 hari, Tungau betina dapat menghasilkan 40-80 telur selama hidupnya (Collof 1987). D. farinae ditemukan di perumahan padat penduduk, perumahan kompleks dan tempat tinggal sementara mahasiswa. Kisaran optimum suhu perkembangan
11 D. farinae antara 23-30 oC. Tungau ini dapat menyelesaikan siklus hidupnya selama 28 hari pada suhu 23 oC dan 20 hari pada suhu 30 oC. Periode reproduksi tungau ini pada suhu 23 oC selama 24 hari, dan dapat menghasilkan telur 1-4 butir telur/hari, sehingga selama hidupnya dapat menghasilkan 40-80 telur. Di atas suhu 30 ºC tersebut telur tungau tidak dapat menetas (Larry et al. 2015). TDR D. farinae memiliki distribusi kosmopolit yang menyukai kelembaban 75% (Chan et al. 2015). Tungau betina dapat hidup lebih lama dari TDR lainnya yaitu sekitar 100 hari (Arlian dan Dippold 1996). Famili Cheyletidae ditemukan pada semua tipe permukiman. Menurut Danny et al. (2015) tungau ini adalah penyebab Cheyletiellosis (dermatitis Cheyletiella) yang merupakan penyakit menular pada anjing dan kucing (bersifat zoonosis). Tungau ini terdapat pada permukaan kulit inangnya. Gerakannya sangat cepat, secara berkala menempel sangat kuat pada epidermis. Selanjutnya tungau ini menembus kulit dengan cheliceranya untuk mengisap cairan jaringan. Tubuh tungau ini membesar dengan cairan jaringan. Pada penelitian ini ditemukan tungau Cheyletidae bercampur dengan tungau debu lainnya dan banyak terdapat di ruang tamu pada sofa, lantai dan karpet. Mesostigmata merupakan ordo tungau dari klass Arachnida. Tungau ini ditemukan pada perumahan padat penduduk, perumahan kompleks dan tempat tinggal sementara mahasiswa terutama ditemukan pada lantai dan karpet bercampur dengan TDR lainnya. Tidak seperti sebagian anggota kelompok lain, banyak kelompok ini bukan parasit tetapi hidup bebas dan ada juga sebagai predator (Wallace dan Holm 1983). Ordo Mesostigmata terdiri dari beberapa sub ordo yaitu Heatherellina, Sejina, Arctacarina, Microgyniina, Epicriina, Uropodina, Diarthrophallina, Cercomegistina, Antennophorina, Parasitina, Dermanyssina, dan Heterozerconina (Krantz dan Walter 2009). Oribatida merupakan tungau yang dominan dalam lapisan organik tanah pada daerah subtropis dan makanan utamamanya adalah bahan tanaman yang membusuk dan jamur (Norton 1994). Oribatidae ditemukan bercampur dengan TDR yang terdapat pada perumahan padat penduduk, perumahan kompleks dan tempat tinggal sementara mahasiswa dan hanya ditemukan pada lantai. Famili Acaridae merupakan TDR yang hanya ditemukan pada tempat tinggal sementara mahasiswa yang terdapat pada perabot kamar. Hal ini sesuai yang dilaporkan oleh Collof (1998), jenis Acarus spp biasanya terdapat dalam gudang namun dapat pula ditemukan di bagian rumah yang lain seperti ruang keluarga dan ruang tidur. Tungau ini merupakan penyebab alergi dan rhinitis. Tyrophagus spp hanya ditemukan pada perumahan kompleks yang terdapat pada tempat duduk bercampur dengan TDR lainnya. Menurut Liao et al. (2010) tungau ini merupakan jenis tungau yang banyak ditemukan pada biji-bijian dan berpenyebaran kosmopolit di seluruh dunia serta merupakan satu diantara tungau penyebab alergi dan rhinitis. Tungau ini dapat hidup pada suhu 25-30 oC dengan kelembaban relatif 80% dan menghasilkan telur sekitar 100-700 telur selama hidupnya (van Hage-Hamsten dan Johansson 1992). L. destructor merupakan TDR yang hanya ditemukan pada tempat tinggal sementara mahasiswa pada perabot kamar. Tungau ini merupakan sumber utama penyebab alergi di lingkungan pedesaan dan perkotaan di Perancis. Tes kulit yang telah dilakukan dari 105 orang yang diperiksa terdapat 44.96% yang positif terhadap TDR L. destructor (Hardel et al. 1987).
12 Kelimpahan Nisbi dan Angka Dominansi Tungau Debu Rumah di Permukiman Kelimpahan nisbi dan angka dominansi TDR yang terdapat di lokasi penelitian menunjukkan hasil yang bervariasi sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kelimpahan nisbi dan angka dominansi TDR yang terdapat di lokasi penelitian di permukiman Bogor dari Oktober 2014-Februari 2015. No
Jenis
1 2
B. tropicalis D. pteronyssinus Cheyletidae
3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kelimpahan nisbi (%) 45.30
Frekuensi 1.00
Dominansi Spesies 45.30
17.44 15.61
0.75 1.00
13.08 15.61
Blomia Spp Mesostigmata
8.60 7.17
0.75 0.75
6.45 5.37
D. farinae Oribatida
3.66 0.56
0.75 0.75
2.75 0.42
Acaridae Tyrophagus spp
0.32 0.16
0.25 0.25
0.08 0.04
L. destructor
0.16
0.25
0.04
Pseudoscorpion
1.04
0.75
0.78
TDR B. tropicalis dan Cheyletidae selalu didapatkan. Dilihat dari nilai frekuensi 1.00 yang artinya pada semua tipe permukiman (perumahan padat penduduk, perumahan kompleks, wisma penginapan, pondok pesantren, indekos dan asrama) ditemukan jenis B. tropicalis dan Cheyletidae. Perkalian kelimpahan nisbi dengan frekuensi jenis TDR menghasilkan angka dominansi spesies yang berbeda-beda yaitu B. tropicalis (45.30) D. pteronyssinus (13.08) Cheyletidae (15.61) Blomia Spp (6.45), Mesostigmata (5.37), D. farinae (2.75), Oribatida (0.42), Acaridae (0.08), Tyrophagus spp (0.04) dan L. destructor (0.04). Hasil perhitungan indeks keragaman jenis TDR menurut rumus Krebs (1987) pada wilayah permukiman di Bogor termasuk dalam kategori sedang yaitu sebesar 1.589. Kepadatan dan Sebaran Tungau Debu Rumah di Kawasan Perumahan Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan perumahan disajikan pada Tabel 3. Sebaran TDR di perumahan padat penduduk terbanyak di karpet (23.94%), diikuti oleh tempat duduk (21.92%), lantai (21.54%), perabot (20.15%) dan tempat tidur (12.46%). Seberan TDR di perumahan kompleks terbanyak di karpet (33.71%), diikuti oleh lantai (26.11%), perabot (20.98%), tempat duduk (14.81%) dan tempat tidur (4.38%). Suhu dan kelembaban pada saat pengambilan sampel yaitu 26.9 oC dan kelembaban 86-88%. Kepadatan TDR pada perumahan padat penduduk, tertinggi ditemukan pada karpet sebesar 73±61.69 tungau/gram debu. Sebanyak 11 karpet yang diperiksa semuanya positif TDR (100%). Selanjutnya pada tempat duduk sebesar 66.85±140.06 tungau/gram debu dan dari 19 tempat duduk yang diperiksa terdapat 18 (94.74%) yang positif TDR. Di lantai kepadatan TDR mencapai 65.68±84.01 tungau/gram debu, dan hanya 1 lantai yang tidak ditemukan TDR dari 19 lantai yang diperiksa. Pada perabot, kepadatan TDR mencapai
13 Tabel 3 Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan perumahan di Bogor. No 1
2
Karakteristik ∑ Titik yang Habitat TDR diperiksa Perumahan padat penduduk Karpet 11 Tempat duduk 19 Lantai 19 Perabot 20 Tempat Tidur 15 Total 84 Perumahan Kompleks Karpet 9 Lantai 20 Perabot 20 Tempat duduk 20 Tempat Tidur 20 Total 89
Persentase titik yang positif
Rata-rata kepadatan Tungau/gram debu
Sebaran TDR (%)
100.00 94.74 94.74 85.00 80.00 90.47
73 ± 61.69 66.85 ± 140.06 65.68 ± 84.01 61.45 ± 164.55 38 ± 43.51
23.94 21.92 21.54 20.15 12.46 100
100.00 55.00 85.00 95.00 75.00 79.78
51.88 ± 43.52 40.2 ± 59.95 32.3 ± 42.81 22.8 ± 27.32 6.75 ± 8.11
33.71 26.11 20.98 14.81 4.38 100
61.45±164.55 tungau/gram debu dan sebanyak 20 perabot rumah yang diperisa terdapat 17 (85%) perabot yang positif TDR. Kepadatan TDR pada tempat tidur mencapai 38±43.51 tungau/gram debu, sebanyak 12 (80%) tempat tidur yang positif dari 15 tempat tidur yang diperiksa. Kepadatan TDR pada perumahan kompleks tertinggi ditemukan pada karpet sebesar 51.88±43.52 tungau/gram debu, dari 9 karpet yang diperiksa semuanya positif oleh TDR (100%). Selanjutnya pada lantai kepadatan TDR 40.2±59.95 tungau/gram debu yang terdapat pada 17 (55%) lantai yang positif dari 20 lantai yang diperiksa. Di perabot kepadatan TDR diperoleh rata-rata 32.3±42.81 tungau/gram debu, sebanyak 20 perabot yang diperiksa dan hanya 5 lantai yang tidak ditemukan TDR. Kemudian kepadatan TDR pada tempat duduk sebesar 22.8±27.32 tungau/gram debu, diperoleh dari 19 (95%) tempat duduk yang positif TDR dari 20 tempat duduk yang diperiksa. Kepadatan TDR pada tempat tidur 6.75±8.11 tungau/gram debu, sebanyak 20 tempat tidur yang diperiksa terdapat 11 (75%) yang positif TDR. Selain faktor suhu dan kelembaban, pada saat penelitian berlangsung banyak rumah yang terlihat jarang dibersihkan. Beberapa karpet yang diperiksa pada perumahan padat penduduk dan kompleks semuanya positif TDR. Hal ini disebabkan karena karpet kebanyakan terbuat dari kain wol yang banyak menyerap debu dan sulit dibersihkan selain menggunakan vacum cleaner. Selain itu juga aktivitas manusia juga sering dilakukan di atas karpet yang menyediakan sumber makanan TDR. Selain pada karpet, pada perabot rumah tangga juga banyak ditemukan TDR seperti pada guci, lukisan, vas bunga, jendela dll. Hal ini disebabkan karena perabot rumah tangga tidak setiap hari dibersihkan dengan menggunakan lap sehingga debunya banyak dan juga banyak bahan-bahan organik sebagai sumber makanan TDR. Santoso (1998) telah melaporkan di Denpasar Bali, dari 14 rumah pasien yang positif asma yang diperiksa semuanya positif TDR. Sebanyak 12 sampel rumah tersebut ditemukan jenis Dermatophagoides bercampur dengan TDR lainnya, dengan kepadatan berkisar antara 20-104 tungau/gram debu. Bahkan kepadatan TDR B. tropicalis di Mexico (Amerika Latin) dapat mencapai sekitar 8.934 tungau/gram debu (Stanalad et al.1996).
14 Kepadatan TDR pada perumahan padat penduduk yang menggunakan jenis kasur kapuk lebih tinggi dibandingkan pada perumahan kompleks yang menggunakan jenis kasur non kapuk. Kepadatan TDR yang terdapat di dalam kasur selain dipengaruhi oleh jenis kasur, suhu dan kelembaban juga dipengaruhi oleh berbagai hal lain seperti masa penggunaan kasur, ketebalan kasur, serta cara, dan alat yang digunakan untuk membersihkannya. Selain itu, juga ketersediaan makanan TDR (keringat, daki serta serpihan kulit manusia). Penelitian ini sejalan dengan Yudorpranoto (2006) TDR lebih banyak ditemukan pada kasur yang berbahan kapuk di bandingkan dengan non kapuk. Kepadatan dan SebaranTDR di Kawasan Tempat Tinggal Sementara Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan tempat tinggal sementara disajikan pada Tabel 4. Sebaran TDR di tempat tinggal sementara, pada wisma penginapan TDR hanya ditemukan pada perabot (100%). Selanjutnya pada pondok pesantren terbanyak di perabot (37.62%), diikuti oleh tempat tidur (31.66%) dan lantai (30.72%). Demikian pula pada indekos terbanyak di perabot (52.02%) diikuti oleh lantai (33.81%) dan tempat tidur (15.17%). Kemudian pada asrama terbanyak di perabot (35.17%), diikuti oleh tempat tidur (34.26%) dan lantai (31.58%). Kepadatan TDR di kawasan wisma penginapan, hanya ditemukan pada perabot sebesar 0.15±0.36 tungau/gram debu, yang diperoleh dari 2 kamar (16.67%) yang positif dari 12 kamar yang diperiksa. Adapun pada tempat tidur dan lantai tidak ditemukan TDR. Walaupun suhu dan kelembaban wisma sangat mendukung bagi perkembangbiakan TDR, tetapi keberadaan dan kepadatan TDR di tempat ini rendah. Hal ini disebabkan karena lantai wisma selalu dipel secara rutin setiap hari, kemudian cara membersihkan kasur dan bantal dengan menggunakan vacum cleaner yang rutin, seprei dan sarung bantal dicuci secara rutin setelah digunakan. Kepadatan TDR tertinggi pada pondok pesantren, ditemukan pada perabot kamar, sebesar 8±13.64 tungau/gram debu. Sebanyak 15 kamar yang diperiksa terdapat 10 (66.67%) kamar yang positif TDR. Selanjutnya pada tempat tidur sebesar 6.73±7.00 tungau/gram debu, dan hanya ada 6 kamar yang tidak ditemukan TDR dari 15 kamar yang diperiksa. Kemudian pada lantai kepadatan TDR diperoleh 6.53±7.05 tungau/gram debu, yang ditemukan dari 12 kamar yang positif TDR dari 15 (80%) kamar yang diperiksa. Kepadatan TDR pada indekos tertinggi ditemukan pada perabot kamar, sebesar 48.54±29.26 tungau/gram debu. Sebanyak 13 kamar yang diperiksa terdapat 12 (92.31%) kamar yang positif TDR. Selanjutnya di lantai ditemukan TDR sebesar 30.62±22.45 tungau/gram debu yang diperoleh dari 11 (84.62%) kamar yang positif TDR dari 13 kamar yang diperiksa. Kemudian pada tempat tidur sebanyak 14.15±10.89 tungau/gram debu, dan hanya 3 (23.08%) kamar yang tidak ditemukan TDR dari 13 kamar yang diperiksa. Kepadatan TDR pada asrama tertinggi ditemukan pada perabot kamar, sebesar 13.47±17.47 tungau/gram debu. Sebanyak 56 kamar yang diperiksa terdapat 39 (69.65%) kamar yang positif TDR. Selanjutnya pada tempat tidur sebesar 13.13±20.32 tungau/gram debu, dan hanya 15 kamar yang tidak ditemukan TDR dari 56 kamar yang diperiksa. Kemudian pada lantai sebesar
15 Tabel 4 Kepadatan dan sebaran TDR pada kawasan tempat tinggal sementara di Bogor. No 1
2
3
4
Karakteristik Habitat TDR Wisma penginapan Perabot Tempat tidur Lantai Total Pondok Pesantren Perabot Tempat Tidur Lantai Total Indekos Perabot Lantai Tempat Tidur Total Asrama Perabot Tempat Tidur Lantai Total
∑ titik yang diperiksa
Persentase titik yang positif
12 12 12 36
16.67 0 0 5.55
0.15 ± 0.36 0±0 0±0
100 0 0 100
15 15 15 45
66.67 60 80 68.88
8 ± 13.64 6.73 ± 7.00 6.53 ±7.05
37.62 31.66 30.72 100
13 13 13 39
92.31 84.62 76.92 84.62
48.54 ± 29.26 30.62 ± 22.45 14.15 ± 10.89
52.02 33.81 15.17 100
56 56 56 168
69.65 73.22 64.29 69.05
13.47 ± 17.47 13.13 ± 20.32 11.72 ± 22.07
35.17 34.26 31.58 100
Rata-rata kepadatan tungau/gram debu
Sebaran TDR (%)
11.72±22.07 tungau/gram debu, sebanyak 36 (64.29%) kamar yang positif ditemukan TDR dari 56 kamar yang diperiksa. Tingginya kepadatan TDR pada kamar pondok pesantren, indekos dan asrama, hal ini disebabkan kebanyakan barang-barang yang terdapat pada kamar tidak selalu dibersihkan, misalkan tas yang terdapat pada kolom tempat tidur dan buku-buku yang sudah tidak digunakan lagi tidak dibungkus dengan kain plastik, dan dibiarkan begitu saja sehingga banyak bahan organik sebagai asupan makanan TDR. Skuama merupakan makanan pokok TDR dan di tempat tidur banyak tersedia skuama karena manusia menghasilkan skuama 0.5-1 g/hari, sehingga TDR dapat tumbuh subur. Selain itu perabot kamar tidur yang terdiri atas kasur, selimut, gorden, seprei banyak mengandung serat-serat yang lebih mudah menampung debu dari pada perabot rumah lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Mcrae et al. (2002) di Asrama mahasiswa di Dunedin (New Zealand), kepadatan TDR lebih banyak ditemukan pada lantai dibandingkan pada tempat tidur, karena seprei yang digunakan pada asrama tersebut dicuci dengan menggunakan air panas dan mesin cuci secara rutin. Namun, pada tempat tidur TDR hanya ditemukan pada kasur yang penggunaannya lebih dari satu tahun dan jenis kasur yang kurang dari satu tahun tidak ditemukan TDR. Deskripsi Morfologi Jenis TDR Blomia tropicalis Morfologi B. tropicalis disajikan pada Gambar 2, ukuran tungau sangat kecil, kurang lebih 0.23- 0.47 mm. Bentuknya hampir membulat, scapular meluas dan agak meruncing di ujung posterior. Tubuh tungau ini terbagi menjadi dua
16 bagian yaitu gnathosoma dan idiosoma. Idiosoma memiliki kutikula yang berkerut dan tertutupi oleh setae yang berjumlah 15 pasang. Setae eksternal skapular (sce) dan setae internal skapular (sci) mempunyai panjang yang sama, semua setae dorsal panjang dan bergerigi seperti cambuk. Karakteristik tersebut merupakan ciri yang spesifik dari tungau debu ini yang membedakannya dengan tungau lain. Kaki memiliki lima segmen dengan tarsus panjang yang ramping dan meruncing (Mariana et al. 2007).
Gambar 2 Morfologi Blomia tropicalis (kiri= tampak dorsal, kanan= tampak ventral)
Ket: (A) Idiosoma (B) Tarsus (C) Kutikula Dermathopagoides pteronyssinus
Gambar 3 Morfologi Dermathopagoides pteronyssinus (tampak vetral) (A) Epimeres (B) Epygynum (C) Vulva (D) Telur Morfologi D. pteronyssinus disajikan pada Gambar 3, ukurannya kurang lebih 0.23-0.47 mm, memiliki kutikula yang menunjukkan striations halus mirip dengan lekukan. D. pteronyssinus memiliki ciri-ciri reseptakulum seminalis dari tungau betina dewasa memiliki „sombrero‟ atau berbentuk „topi‟. Epimeres dari coxae 1 yang belum bergabung tidak membentuk Y atau V dan sepasang kaki
17 pertama tidak lebih besar dibandingkan dengan kaki yang lainnya dan epigynum lebih melengkung (Collof dan Spieksma 1992; Roden 2012). Dermathopagoides farinae Morfologi D. farinae disajikan pada Gambar 4. Ukurannya kurang lebih 390-440 µm, spesimen jantan memiliki ciri-ciri sepasang kaki pertama lebih besar dibandingkan dengan kaki yang lainnya, epimeres coxae I (cxe) membentuk Y atau V. Tungau betina memiliki reseptakulum seminalis berbentuk seperti cangkir dan epygynum kurang melengkung dibandingkan dengan D. pteronyssinus (Collof dan Spieksma 1992).
Gambar 4 Morfologi Dermathopagoides farinae (tampak vetral) (A) Kaki depan (B) Epimeres Mesostigmata Morfologi tungau Mesostigmata disajikan pada Gambar 6, tungau ini merupakan tungau predator, ukurannya 450-1200 µm. Pada permukaan punggung memiliki berbagai setae dan memiliki satu atau lebih sclerotized dan juga terdapat peritreme dan tritosternum (Collof dan Spieksma 1992; Hartini dan Takaku 2013). Perkembangan mesostigmata ditandai dengan munculnya sepasang stigma yang terdapat antara kaki ke tiga dan ke empat.
18
Gambar 5 Morfologi Mesostigmata (tampak vetral) (A) Tritosternum (B) Peritreme Cheyletidae Morfologi tungau Cheyletidae disajikan pada Gambar 5, tungau ini merupakan subordo Prostigmata, memiliki Gnatosoma pada palps yang berbentuk seperti cakar apikal. Ukuran tungau (500-900 µm) (Collof dan Spieksma 1992).
Gambar 6 Morfologi Cheyletidae (tampak dorsal) (A) Cakar apikal (B) Gnatosoma
19 Tyrophagus spp Morfologi Tyrophagus spp disajikan pada Gambar 7, tungau ini merupakan famili Acaridae memiliki ukuran 150-600 µm, tungau ini bertubuh lunak. Memiliki 16 pasang setae pada punggung. Memiliki cakar yang kecil dan ditutupi oleh pulvillus (pengisap) dan garis lekuk pada punggung. Setae ve dan vi yang terdapat pada dorsal memiliki ukuran panjang yang sama (Collof dan Spieksma 1992).
Gambar 7 Morfologi Tyrophagus spp (tampak vetral) Oribatida Morfologi tungau Oribatida disajikan pada Gambar 8, merupakan Ordo Acari memiliki ciri-ciri panjang sensilus jenis oribatida biasanya lembih panjang dari jenis tungau lainnya (Karasawa dan Hijii 2004). Ukurannya sekitar 2591000µm terdapat banyat sclerrotized kutikula, Mulut ditutupi oleh plat prodorsai, terdapat sensili pada prodorsum dan tidak memiliki peritreme atau tritosternum (Collof dan Spieksma 1992).
Gambar 8 Morfologi Oribatida (tampak vetral)
20 Lepidoglipus destructor Morfologi L. destructor disajikan pada Gambar 9, tungau ini merupakan famili Glycyphagidae, pada seta Vi dan ve terpisah, jauh dari anterior dari marjin dorsal anterior, terdapat cakar pada ujung tarsus dan terdapat subtarsal scale pada tarsus, tibia dan genu sama (Collof dan Spieksma 1992).
Gambar 9 Morfologi Lepidoglipus destructor (tampak dorsal) Faktor yang Mempengaruhi Infestasi Tungau Debu Rumah Faktor yang mempengaruhi infestasi TDR adalah suhu dan kelembaban selain dari perabot rumah yang jarang dibersihkan. Suhu udara di Dramaga Bogor pada bulan November dan Desember 2014 berkisar antara 22-34.2 oC pada siang hari dengan rata-rata 31.6 oC dan suhu terendah mencapai 22.9 oC pada malam hari dengan kelembaban 82-90%. Pada bulan Januari 2015 berkisar antara 22.331.6 oC pada siang hari dengan rata-rata 28.6 oC dan suhu terendah mencapai 22.8 º C pada malam hari dengan kelembaban mencapai 85-94%. Kondisi seperti ini sangat memungkinkan TDR untuk berkembang biak.
Gambar 10 Hubungan antara infestasi TDR dan kelembaban pada wilayah permukiman di Bogor
21
Gambar 11 Hubungan antara suhu dengan infestasi TDR pada wilayah permukiman di Bogor Faktor suhu dan kelembaban yang mempengaruhi infestasi TDR pada permukiman di Bogor dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Hasil Uji Korelasi Spearman menunjukan kelembaban berpengaruh nyata terhadap derajat infestasi TDR. Hal ini terlihat dari nilai (P=0.026 ≤ α= 0.05, R=0.769) termasuk dalam kategori kuat. Koefisien korelasi (+) menunjukkan bahwa kelembaban mempunyai korelasi searah dengan tingkat infestasi TDR, artinya semakin tinggi kelembaban maka semakin tinggi jumlah infestasi TDR, sebaliknya semakin rendah kelembaban maka semakin rendah infestasi TDR. Hasil Uji Korelasi Spearman menunjukan (Gambar 11) suhu berpengaruh nyata terhadap derajat infestasi TDR. Hal ini terlihat dari nilai (P=0.003 ≤ α=0.01, R= - 0.895) termasuk dalam kategori kuat. Tanda negatif (-) pada koefisien korelasi menunjukkan arah korelasi yang berlawanan, dengan demikian semakin rendah suhu maka semakin tinggi jumlah infestasi TDR, sebaliknya semakin tinggi suhu maka semakin rendah infestasi TDR. Menurut Larry et al. (2002) dan Calderon et.al (2014) faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup TDR dan prevalensinya adalah kelembaban lingkungan. Secara umum, TDR jarang ditemukan di gedung-gedung publik dan transportasi dibandingkan dengan di rumah-rumah, karena pada gedung publik dan transportasi kondisi kelembabannya rendah dan suhu rata-rata diatas 30 ºC sehingga bisa dikatakan kondisinya kering merupakan TDR susah untuk berkembang biak. Sedangkan pada perumahan kondisi kelembaban dan suhu sangat berpengaruh terhadap infestasi TDR, dan perumahan merupakan tempat istirahat kebanyakan orang (baik siang maupun malam) terutama tungau memakan sel kulit mati manusia dan fungi. Allergen yang dapat menginduksi rhinitis, asma dan dermatitis dapat secara efektif dikurangi dengan cara pasien dipindahkan ke lingkungan yang kelembabannya kurang (Arlian dan Platts-Mills 2002). Karakteristik Responden Karakteristik responden secara umum terdiri dari jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir dan pekejaan. Data karakteristik responden disajikan pada Tabel 5. Total responden yang diwawancarai adalah 128 responden.
22 Tabel 5 Karakteristik responden pada permukiman di Bogor No 1
2
3
4
Karakteristik Responden Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Umur <30 31-49 50-70 ≥71 Pendidikan Terakhir SD SMP SMA Perguruan Tinggi Pekerjaan Pegawai Negeri Dosen Ibu Rumah Tangga Mahasiswa Pelajar Swasta/Wirasuasta Sekdes Ketua RT
Jumlah n=128
Persentase (%)
78 50
60.94 39.06
80 20 19 9
62.5 15.6 14.8 7.0
2 20 82 24
1.56 15.63 64.06 18.75
15 6 18 55 27 5 1 1
10.71 4.29 14.29 46.43 19.29 3.57 0.71 0.71
Karakteristik jenis kelamin responden terbanyak adalah perempuan dengan jumlah 78 responden (60.94%) dan laki-laki 50 responden (39.06%). Karakteristik umur responden dikelompokan menjadi 4 kelompok umur, yaitu umur responden <30 tahun, 31-49 tahun, 50-70 tahun dan ≥71. Usia responden terbanyak berusia <30 tahun sebanyak 80 responden (62.5%), diikuti 31-49 tahun sebanyak 20 responden (15.6%), 50-70 tahun sebanyak 19 responden (14.8%) dan umur ≥71 tahun sebanyak 9 responden (7.0%). Karakteristik responden berdasarkan pendidikan terakhir, jumlah responden terbanyak adalah SMA sebanyak 82 responden (64.06%), diikuti perguruan tinggi sebanyak 24 responden (18.75%), SMP sebanyak 20 responden (15.63%) dan SD sebanyak 2 responden (1.56%). Berdasarkan karakteristik pekerjaan, terbanyak adalah mahasiswa dengan jumlah 55 responden (46.43%), diikuti oleh pelajar sebanyak 27 responden (19.29%), ibu rumah tangga 18 responden (14.29%), PNS 15 responden (10.71%), Dosen 6 responden (4.29%), wirasuasta 5 responden (3.57%), sekertaris desa dan ketua RT 1 responden (0.71%).
23
Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat Terhadap Tungau Debu Rumah Faktor risiko yang mempengaruhi infestasi TDR ditentukan berdasarkan hasil wawancara menggunakan kuisioner yang dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu pengetahuan, sikap dan praktik. Tabel 9 menunjukkan jawaban pengetahuan, sikap dan praktik terkait TDR dikuantifikasikan dengan skor persentase kemudian dikategorikan ke dalam lima kategori yaitu baik sekali. (81100%), baik (61- 80%), cukup (41- 60%), kurang (21-40%) dan kurang sekali (020 %). Pengetahuan responden terhadap TDR pada wilayah permukiman menunjukkan bahwa perumahan padat penduduk (30%), perumahan kompleks (35.5%), asrama (31.8%), pondok pesantren (25.3%) dan indekos (36.1%) termasuk kedalam kategori kurang. Sedangkan pengetahuan pada wisma penginapan (20%) termasuk kedalam kategori sangat kurang sekali. Sikap responden terhadap TDR yang menjawab “ya”, diketahui bahwa pada perumahan komplek (87%), indekos (95.4%) dan wisma penginapan (90%) termasuk kedalam kategori baik sekali. Sedangkan pada perumahan padat penduduk (77%), asrama (80.4%) dan pondok pesantren (80%) termasuk kedalam kategori baik. Tabel 6 Distribusi frekuensi total unsur-unsur variabel pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap TDR. No
Pilihan Jawaban Responden
1.
Perumahan Padat Penduduk (N=20)
2.
(%)
(%)
Ya
30
77
21
Tidak
70
23
79
Ya Tidak
35.5 64.5
87 13
44 56
Ya
31.8
80.4
22.3
Tidak
68.2
19.6
78
Ya
25.3
80
20
Tidak
74.7
20
80
Ya
36.1
95.4
18.5
Tidak
63.1
4.62
82
Ya
20
90
95
Tidak
80
10
5
Indekos (N=13)
6.
(%)
Pondok Pesantren (N=15)
5.
Praktik
Asrama (N=56)
4.
Sikap
Perumahan Kompleks N=20)
3.
Pengetahuan
Wisma Penginapan (N=4)
24 Praktik atau tindakan responden terhadap TDR di wilayah permukiman di Bogor diketahui bahwa pada pondok pesantren (20%) dan indekos (18.5%). termasuk kedalam kategori kurang sekali. Perumahan padat penduduk (21%) dan asrama (22.3%) termasuk kedalam kategori kurang. Perumahan kompleks (44%) termasuk kedalam kategori cukup. Wisma penginapan (95%) termasuk kedalam kategori baik sekali. Pada wisma penginapan, pengetahuan responden kurang sekali dan prakitik responden terkait TDR baik sekali, namun terlihat didapatkan kepadatan TDR sangat kurang. Artinya, walaupun mansyarakat kurang mengetahui TDR dikarenakan tingkat pendidikan pada wisma hanya lulusan SD dan SMP, namun praktik membersihkan lingkungan dengan cara mengepel lantai setiap hari, mencuci seprai, membersihkan perabotan rumah tangga (guci, lukisan, furniture dll) dengan kain basah setiap hari yang merupakan kewajiban dari petugas wisma, terbukti dapat mengurangi kepadatan TDR. Sedangkan pada perumahan padat penduduk, pengetahuan responden terhadap TDR dan praktik masih kurang dan didapatkan infestasi TDR pada wilayah ini sangat tinggi, disebabkan oleh pada perumahan padat penduduk perabot rumah yang digunakan sudah cukup lama dan faktor praktik kebersihan lingkungannya juga kurang, dan tidak diterapkan peraturan seperti halnya pada wisma penginapan. Indekos dan asrama sebagian besar dihuni oleh siswa/mahasiswa dan tidak bisa dipungkiri bahwa siswa/mahasiswa jarang yang mempunyai waktu untuk sekedar menjemur sambil memukul-mukul kasur. Selain itu, dalam kamar siswa/mahasiswa rata-rata penuh sesak dengan berbagai barang-barang kebutuhan, ditambah lagi di daerah tersebut udaranya sangat lembab dengan kelembaban sekitar 80-89%, dan suhu sekitar 25-30 oC sehingga lingkungan seperti itu sangat cocok sebagai habitat TDR. Pengetahuan Responden Terkait Tungau Debu Rumah Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, yang didapatkan seseorang setelah melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan termasuk ke dalam faktor intern yang mempengaruhi perilaku seseorang (Notoatmodjo 2007). Menurut Hafeez et al. (2002), pengetahuan berperan besar dalam menentukan sikap dan praktik. Pada wawancara, 10 pertanyaan pilihan jawaban ya atau tidak mengenai TDR di jawab oleh responden dengan jumlah jawaban yang berbedabeda (Tabel 10). Berdasarkan data Tabel 10, menunjukkan bahwa dari total keseluruhan responden 128 sebanyak 50 responden (39.06%) mengetahui TDR dan mengetahui informasi TDR dari media elektronik. Artinya lebih banyak responden yang tidak mengetahui TDR. Hal ini menunjukkan bahwa peran petugas kesehatan masih belum efisien dalam upaya penyebarluasan informasi mengenai TDR. Sebanyak 35 responden (27.35%) hanya mengetahui TDR banyak ditemukan pada permukiman, dan sebanyak 32 responden (25%) mengetahui TDR banyak terdapat di sofa, tempat tidur, karpet, lantai dan perabot rumah tangga. Sebanyak 39 responden (30.46%) mengetahui TDR juga ditemukan pada lantai, sehingga pengetahuan responden mengenai habitat TDR kurang.
25 Tabel 7 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan pengetahuan terkait TDR No
Pengetahuan terkait tungau debu rumah
N
%
1
Responden pernah mendengar/ mengetahui TDR
50
39.06
2
Responden mengetahui tungau debu dari dinas kesehatan, orang terdekat, dan media elektronik Pernah melihat TDR pada media Responden mengetahui TDR banyak ditemukan di permukiman (rumah, asrama dan wisma penginapan) Responden mengetahui TDR banyak terdapat di sofa, tempat tidur, karpet, lantai dan perabotan rumah tangga. Responden mengetahui TDR juga terdapat di lantai Responden mengetahui bahwa serpihan kulit mati manusia biasanya tertinggal di sofa, karpet, bantal dan seprai Responden mengetahui makanan TDR adalah serpihan kulit mati manusia dan fungi. Responden mengetahui bahwa feses dan tubuh TDR mengandung protein yang dapat menyebabkan alergi, asma dan rhinitis pada manusia. Responden mengetahui dengan membersihkan rumah secara rutin, TDR dapat dikendalikan
50
39.06
40 35
31.25 27.35
32
25
39 34
30.46 26.56
13
10.16
21
16.40
89
69.54
3 4 5 6 7 8 9 10
Hasil penelitian juga didapatkan bahwa sebanyak 34 responden (26.56%) mengetahui bahwa serpihan kulit mati manusia biasanya tertinggal di sofa, karpet, bantal, seprai tetapi hanya 13 responden (10.16%) yang mengetahui makanan TDR adalah serpihan kulit mati manusia dan fungi. Sebanyak 21 responden (16.40%) menjawab ya atau mengetahui bahwa feses dan tubuh TDR mengandung protein yang dapat menyebabkan alergi, asma dan rhinitis pada manusia. Menurut Takai et al. 2015, TDR merupakan alergen hirup sebagai faktor pencetus timbulnya penyakit alergi. Selanjutnya 89 responden (69.54%) mengetahui dengan membersihkan rumah secara rutin, TDR dapat dikendalikan. Hasil total perhitungan nilai masing-masing kategori pengetahuan masyarakat terhadap TDR pada permukiman, didapatkan hasil 31.48%. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden mengenai TDR masih kurang. Oleh karena itu, diperlukan peran petugas kesehatan untuk dapat memberikan informasi mengenai TDR dan penyakit alergi. Rambing et al. (2013) melaporkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang TDR di Kelurahan Perkamil Kecamatan Paal 2 Kota Manado, sebesar 34.86% yang artinya rendah. Hasil Uji Korelasi Spearman terhadap hubungan infestasi TDR dengan pengetahuan (P=0.167 ≥ α=0.05, R=0.123), yang berarti hubungannya tidak signifikan. Walaupun demikian unsur-unsur pengetahuan dapat mempengaruhi infestasi TDR pada permukiman.
Sikap Responden Terkait Tungau Debu Rumah Menurut Notoatmojo (2007), sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap belum tentu termasuk kedalam suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan „predisposisi‟ tindakan atau perilaku. Tabel 11 menunjukkan jawaban responden terhadap pertanyaan sikap.
26 Tabel 8 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan sikap terkait TDR No 1 2 3 4 5
Sikap terkait tungau debu rumah Dampak keberadaan TDR dilingkungan tempat tinggal, apakah berbahaya? Pernah mengalami bersin-bersin (alergi debu) ketika sementara membersihkan rumah Perlu menjemur kasur ketika diketahui ada TDR Melakukan penyuluhan kesehatan mengenai cara pencegahan dan pengendalian TDR
N 99
% 77.35
104
81.25
94 117
73.44 91.40
Melakukan tindakan pengendalian TDR untuk mencegah kejadian penyakit
115
89.85
Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan sikap terkait TDR disajikan Tabel 11, menunjukkan sebanyak 99 responden (77.35%) menyatakan bahwa keberadaan TDR dilingkungan tempat tinggal memberikan dampak yang berbahaya dan sebanyak 104 responden (81.25%) pernah mengalami bersin-bersin (alergi debu) ketika sementara membersihkan rumah. Sebanyak 94 responden (73.44%) menyatakan bahwa perlu menjemur kasur ketika mengetahui ada TDR, dan 117 responden (91.40%) mengharapkan perlunya dilakukan penyuluhan kesehatan mengenai cara pencegahan dan pengendalian TDR, kemudian sebanyak 115 responden (89.85%) perlu melakukan tindakan pengendalian TDR untuk mencegah kejadian penyakit. Hasil total perhitungan nilai masing-masing kategori sikap masyarakat terhadap TDR pada permukiman, didapatkan hasil 82.65%. Hal ini menunjukkan bahwa sikap responden sudah baik sekali, karena responden menunjukkan sikap yang positif dalam pengendalian TDR. Rambing et al. (2013) melaporkan bahwa sikap masyarakat tentang TDR di Kelurahan Perkamil Kecamatan Paal 2 Kota Manado, sebesar 97.09% yang artinya upaya pencegahan TDR sudah baik sekali. Hasil Uji Korelasi Spearman terhadap hubungan antara infestasi TDR terhadap sikap (P=0.017 ≤ α=0.05, R= -0.210) yang berarti hubungannya signifikan. Tanda negatif (-) pada koefisien korelasi menunjukkan arah korelasi yang berlawanan. Semakin rendah sikap masyarakat terhadap TDR kemungkinan infestasi TDR semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin tinggi sikap masyarakat terhadap TDR kemungkinan infestasi TDR semakin rendah. Praktik Responden Terkait Tungau Debu Rumah Praktik atau tindakan merupakan perwujudan suatu sikap yang telah mendapat fasilitas dan dukungan (Notoatmodjo 2007). Dalam kuisioner, terdapat 10 pertanyaan untuk mengukur skor praktik masing-masing responden dalam melaksanakan tindakan pencegahan terjadinya infestasi TDR. Sebanyak 63 responden (49.22%) melakukan praktik atau tindakan membersihkan tempat tinggal secara rutin (setiap pagi dan sore/dua kali sehari), dan sebanyak 16 responden (12.5%) menjemur kasur dan bantal secara berkala minimal dua minggu sekali. Sebanyak 87 responden (67.97%) membersihkan tempat tidur setiap selesai digunakan. Sebanyak 40 responden (31.26%) mengganti/ mencuci seprai dan sarung bantal secara berkala minimal seminggu sekali. Sebanyak 16 responden (12.63%) membersihkan perabotan rumah tangga
27 Tabel 9 Sebaran jawaban responden terhadap pertanyaan perilaku terkait TDR No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Praktik Terkait Tungau Debu Rumah Membersihkan tempat tinggal secara rutin (setiap pagi dan sore/dua kali sehari) Menjemur kasur dan bantal secara berkala minimal dua minggu sekali Membersihkan tempat tidur setiap selesai digunakan Mengganti/ mencuci seprai dan sarung bantal secara berkala minimal seminggu sekali Perabotan rumah tangga (Guci, lukisan, furnitur dll) di lap dengan kain basah setiap hari Membersihkan kursi/sofa setiap hari Tempat tidur, matras dan perabotan rumah tangga lainnya yang tidak digunakan ditutup dengan sarung plastik. Membersihkan tempat tidur, sofa, karpet dll dengan menggunakan vacum cleaner Vacum cleaner digunakan maksimal sekali seminggu Lantai tempat tinggal di pel setiap hari
N 63
% 49.22
16 87 40
12.5 67.97 31.26
16
12.63
20 36
15.63 28.13
16
12.5
13 40
10.16 31.26
(Guci, lukisan, furnitur dll) di lap dengan kain basah setiap hari. Sebanyak 20 responden (15.63%) membersihkan kursi/sofa setiap hari. Sebanyak 36 responden (28.13%) membersihkan tempat tidur, matras dan perabotan rumah tangga lainnya dan yang tidak digunakan ditutup dengan sarung plastik. Sebanyak 16 responden (12.5%) membersihkan tempat tidur, sofa, karpet dll, dengan menggunakan vacum cleaner. Sebanyak 13 responden (10.16%) menggunakan Vacum cleaner maksimal sekali seminggu. Sebanyak 40 responden (31.26%) mengepel lantai tempat tinggal setiap hari. Hasil total perhitungan nilai masing-masing kategori praktik masyarakat terhadap TDR pada kawasan permukiman di Bogor, didapatkan hasil 27.11%. Hal ini menunjukkan bahwa praktik sebagian besar responden (masyarakat) dalam pengendalian TDR masih kurang. Rambing et al. (2013) melaporkan bahwa praktik masyarakat tentang TDR di Kelurahan Perkamil Kecamatan Paal 2 Kota Manado, sebesar 75.96% yang artinya praktik masyarakat terhadap upaya pencegahan dan pengendalian TDR sudah cukup. Data wisma penginapan menunjukkan dengan membersihkan tempat tinggal secara rutin (setiap pagi dan sore/dua kali sehari), serta membersihkan perabot rumah dengan menggunakan lap basah membantu keluarga terhindar dari debu yang terdapat TDR. Faktor yang menyebabkan tingginya prevalensi infestasi TDR yaitu rumah yang kelembabanya tinggi, karpet dan kasur yang sudah lama digunakan (Luczynska et al. 1998), sedangkan faktor yang terbukti dapat menurunkan infestasi TDR salah satunya adalah penggunaan kasur dan karpet yang sering diganti, lantai yang tidak menggunakan karpet, memilih jenis kasur, penggantian kasur biasa (Simpson et al. 2002; Bemt et al. 2006). Hasil Uji Korelasi Spearman menjelaskan korelasi infestasi TDR terhadap praktik (P=0.028 ≤ α=0.05, R= - 0.195), yang artinya hubungan korelasi signifikan. Tanda negatif (-) pada koefisien korelasi menunjukkan arah korelasi yang berlawanan. Semakin rendah praktik masyarakat terhadap TDR kemungkinan infestasi TDR semakin tinggi, begitu pula sebaliknya semakin tinggi praktik masyarakat terhadap TDR kemungkinan infestasi TDR semakin rendah.
28
5 SIMPULAN Sebanyak 1256 TDR yang diidentifikasi dari kawasan permukiman di Bogor, terdapat 10 jenis TDR adalah Blomia tropicalis (45.30%), Dermathophagoides pteronyssinus (17.44%), Cheyletidae (15.61%), Blomia spp (8.60%), Mesostigmata (7.17%), Dermathophagoides farinae (3.66%), Oribatida (0.56%), Acaridae (0.32%), Tyrophagus spp (0.16%), Lepidoglipus destructor (0.08%). Sebaran TDR di perumahan padat penduduk terbanyak di karpet (23.94%), diikuti oleh tempat duduk (21.92%), lantai (21.54%), perabot (20.15%) dan tempat tidur (12.46%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di karpet 73 tungau/gram debu. Seberan TDR di perumahan kompleks terbanyak di karpet (33.71%), diikuti oleh lantai (26.11%), perabot (20.98%), tempat duduk (14.81%) dan tempat tidur (4.38%). Rata-rata kepadatan TDR tertinggi di karpet 51.88 tungau/gram debu. Sebaran TDR di tempat tinggal sementara, pada wisma penginapan TDR hanya ditemukan pada perabot (100%). Selanjutnya pada pondok pesantren terbanyak di perabot (37.62%), diikuti oleh tempat tidur (31.66%) dan lantai (30.72%). Demikian pula pada indekos terbanyak di perabot (52.02%) diikuti oleh lantai (33.81%) dan tempat tidur (15.17%). Kemudian pada asrama terbanyak di perabot (35.17%), diikuti oleh tempat tidur (34.26%) dan lantai (31.58%). Rata-rata kepedatan TDR tertinggi ditemukan di perabot pada indekos 48.54 tungau/gram debu. Uji Korelasi menunjukkan kelembaban dan suhu berpengaruh nyata terhadap derajat infestasi TDR pada permukiman. Semakin tinggi kelembaban maka semakin tinggi infestasi TDR (P=0.026 ≤ α=0.05, R=0.769). Tetapi hubungan antara suhu dan infestasi TDR menunjukkan korelasi negatif. Semakin rendah suhu maka semakin tinggi jumlah infestasi TDR dan sebaliknya (P=0.003 ≤ α=0.01, R= - 0.895) Sikap masyarakat permukiman terhadap TDR termasuk ke dalam kategori baik sekali (82.65%), sedangkan pengetahuan kurang (31.48%) dan praktik pencegahan serta pengendalian TDR sangat kurang (27.11%). Hubungan antara pengetahuan dengan infestasi TDR, menunjukkan korelasi tidak signifikan (P=0.167 ≥ α=0.05, R=0.123). Adapun hubungan antara sikap dengan infestasi TDR, menunjukan korelasi signifikan (P=0.017 ≤ α=0.05, R= - 0.210). Demikian pula hubungan antara praktik dengan infestasi TDR, menunjukan korelasi signifikan (P=0.028 ≤ α=0.05, R= - 0.195).
29
DAFTAR PUSTAKA Arikunto S. 2009. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Edisi RevisiEnam. Jakarta (ID): Rineka Cipta Arlian LG, Dippold JS. 1996. Development and fecundity of Dermatophagoides farinae (Acari: Pyroglyphidae). J Med Entomol. 33(2): 257-260. Arlian LG, Michael M. 1982. Relationship between transpiration rate and temperature in the mite Dermatophagoides farinae. Physiological Zoology. 55 (4):344-354. Arlian LG, Morgan MS, Neal JS. 2002. Dust mite allergens: ecology and distribution. Curr Allergy Asthma Rep 2(5): 401-411. Arlian LG, Platts-Mills TAE. 2002. The biology of dust mites and the remediation of mite allergrns in allergic disiase. J Allergy Clin immunol. 107(3): 406-413. Arlian LG, Wharton GW. 1974. Kinetics of active and passive components of water exchange between the air and a mite, Dermatophagoides farinae. J Insct Physiol. 20: 1063-1077. J Investig Allergol Clin Immunol. 10(4): 229-234. Axtell RC. 1963. Effec of macrohelidae (Acarina; Mesostigmata) on house fly production from dairy cattle manure. J. Econ. Entomol. 56:317-21. Baratawidjaja IR, Baratawidjaja PP, Darwis A. 1998. Mites in Jakarta homes. Allergy. 53(12): 1226-1227. Bemt L, Vries MP, Knapen L, Jansen M, Goossens M, Muris JWM, Schayck CP. 2006. Influence of mattress characteristics on house dust mite allergen concentration. Clin Exp Allergy.36(2):233-237. Boquete M, Carballada F, Armisen M, Nieto A, Martin S, Polo F, Carreira J. 2000. Factors influencing the clinical picture and the differential sensitization to house dust mites and storage mites. Boquete M, Iraola V, Fernandez EC, Arenas LV, Carballada FJ, Gonzalez C, Lopez-Rico MR, Orjales RN, Parra A, Soto Mera MT, Varela S, Vidal C. 2006. House dust mite species and allergen levels in Galicia, Spain: a CrossSectional, Multicenter, Comparative Study. J Investig Allergol Clin Immunol. 16(3): 169-176. [BMKG] Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Bogor. 2015. Data Klimatologi. Bogor (ID): BMGKK. Calderon MA, Linneberg A, Kleine-Tebbe J, De Blay F, de Rojas DHF, Virchow JC, Demoly P. 2014. Respiratory allergy caused by house dust mites: What do we really know. J Allergy Clin Immunol. doi: 10.1016/j. jaci. 2014. 10.012. Chan T, Ji K, Yim AK, Liu X, Zhou J, Li R, Yang KY, Li R, Li M, Law Pt, YunLa Wu BS, Ze-Lang Cai MSc, Hao Qin, Ying Bao MSC, Leung RK, Ng Kwong-Shing P, Ju Zou Msc, Zhong X, Ran PMD, Zhong N, Liu, ZMD, Tsui SKP. 2015. The draft genome, transcriptome, and microbiome of Dermatophagoides farinae reveal a broad spectrum of dust mite allergens. J Clin Immunol. 135 (2): 539-548. Chua KY, Cheong N, Kuo IC, Lee BW, Yi FC, Huang CH, Liew LN. 2007. The Blomia tropicalis allergens. Protein Pept Lett. 14(9):325-333.
30 Collof MJ. 1998. Taxonomy and identification of dust mites. Allergy. 53(48):712 Collof MJ, Spieksma FT. 1992. Pictorial keys for the identification of domestic mites. Clin Exp Allergy. 22: 823-830. Colloff MJ. 1987. Effects of temperature and relative humidity on development times and mortality of eggs from laboratory and wild populations of the European house-dust mite Dermatophagoides pteronyssinus (Acari: Pyroglyphidae). Exp Appl Acarol. 3: 279-289. Danny W, Scott DVM, Robert T, Horn JR. 2015. Zoonotic Dermatoses of Dogs and Cats. Veterinary Clinics North America. 17(1): 117-144. de Boer R. 1990. The control of house dust mite allergens in rugs. J. Allergy an Clinical Immunology. 86: 808-814. Dini AMV, Fitriany RN, Wulandari RA. 2010. Faktor Iklim Dan Angka Insiden Demam Berdarah Dengue Dikabupaten Serang. Makala Kesehatan. 14(1):3138. Hadi UK & Soviana S. 2010. Ektoparasit; Pengenalan, Diagnosa dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press. Hardel PJ, de Lajudie JP, Portal B, Ville G, Guilloux L, D‟Athis P. 1987. Allergy to Thyrophagus putrescentiae and Lepidoglyphus destructor in a population of young asthmatic adults. Allerg Immunol. 19(10):399-402, 404-405. Hart BJ. 1998. Life cycle and reproduction of house-dust mites: environmental factors influencing mite populations. Allergy.53(48):13-17. Hartini S, Dwibadra D. 2011. Tungau Macrochelidae (Acari: Mesostigmata) Jawa. Jakarta (ID): LIPI Press. Hartini S, Takaku G. 2003. Javanese Species of the Mite Genus Macrocheles (Arachnida: Acari: Gamasina: Macrochelidae). Zoological, 20(10):1261-1272. Hill MR. 1998. Quantification of house-dust-mite populations. Allergy. 53 (48): 18-23. Karasawa S, Hijji N. 2004. Morphological modifications among oribatid mites (Acari: Oribatida) in relation to habitat differentiation in mangrove forests. Pedobi. 48: 383-394. Kawulur YC. Tuda JB. Wahongan GP.2013. Jenis dan kepadatan tungau debu rumah yang ditemukan di kelurahan teling bawah kecamatan wenang kota manado. eBm.1(3):1081-1084. Krantz GW, Walter DE. 2009. A Manual of Acarology. America (USS): United States of America. Krebs CJ. 1987. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and Abundance Third Edition. Harper and Row Publishers. New York Laisina AH, Takumansang D, Wantania JM. 2007. Faktor risiko kejadian asma pada anak sekolah dasar di Kecamatan Wenang kota Manado. Sari Pediatri. 8(4):299-304. Larry G, Arlian LG, Marjorie S, Morgan , Jacqueline S, Neal BS. 2002. Dust mite allergens: ecology and distribution. Current Allergy and Astma Report. 2(5):401-411. Larry G, Arlian MS, Morgan. 2015. Reproductive biology of Euroglyphus maynei with comparisons to Dermatophagoides farinae and D. pteronyssinus. Exp Appl Acarol. 66(1):1-9
31 Liao EC, Ho CM, Lin MY, Tsai JJ. 2010. Dermatophagoides pteronyssinus and Tyrophagus putrescentiae allergy in allergic rhinitis caused by cross-reactivity not dual-sensitization. J Clin Immunol. 30: 830-839. Luczynska C, Sterne J, Bond J, Azima H, Burney P. 1998. Indoor factors associated with concentrations of house dust mite allergen, Der p 1, in a random sample of houses in Norwich, UK. Clinical and Experimental Allergy. 28: 1201-1209. Mariana A, Santhana Raj AS, Tan SN, Ho TM. 2007. Scanning electron micrographs of Blomia tropicalis (Acari: Astigmata: Echimyopodidae), a c0mmon house dust mite in Malaysia. Trop Biomed. 24(2):29-37. Mcrae WM, Flannery EM, Cowan JO, Mclachlan CR, Herbison, Siebers RW, Crane J, Wong CS. 2002. House dust mite allergen levels in University student accommodation in Dunedin. NZMJ. 115(1157): 1-6. Milian EMS, Diaz AM. 2004. Allergy to hous dust mites and astma. PRHSJ 23(1):47-57. Norton AR. 1994. Evolutionary aspects of oribatid mite life histories and consequences for the origin of the astigmata. http://link.springer.com /chapter/10.1007/978-1-4615-2389-5_5 Notoatmodjo S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Jakarta (ID): Penerbit Rineka Cipta. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku Fundamentals of Ecology: Yogyakarta: UGM Press. Podder R, Biswas H, Gupta SK, Saha GK. 2009. Life-cycle of hause dust mite Dermatophagoides pteronyssinus (Acari: Pyrogylphidae) under laboratory conditions in kolkata metropolis. Acarina. 17(2): 239-242. Rambing M, Runtuwene J, Tuda JSB. 2013. Survei perilaku masyarakat terhadap populasi tungau debu rumah di Kelurahan Perkamil Kecamatan Paal 2 Kota Manado. J. e-Biomedik (eBM). 1(2):924-929. Roden AL. 2012. Exraction Efficiency and Identification Guide to Common House Dust and Storage Mites. Georgia: Graduate Faculty of the University of Georgia in Partial Fulfillment of the Requirements for the Degree. Santoso H. 1998. The value of a single skin prick testing for specific IgE Dermatophagoides pteronyssinus to distinguish atopy from non-atopic asthmatic children in the tropics. Asian Pac J Allergy Immunol. 16: 69-74. Simpson A, Simpson B, Custovic A, Cain G, Craven M, Woodcock A. 2002. Household characteristics and mite allergen levels in Manchester, UK. Clin Exp Allergy 32:1413-1419. Southcott RV. 1999. Larvae of Leptus (Acarina:Erythraeidae), free-living or ectoparasitic on arachnids and lower insects of Australia and Papua New Guinea, with description of reared post-larval instars. Zool. J. Linn. Soc. 127:113-276. Stanaland BE, Fernandez-Caldas E. Jacinto CM, Trudeau WL, Lockey RF. 1994. Sensitization to Blomia tropicalis: skin test and cross-reactivity studies. J Allergy Clin Immunol. 94(3):52-457. Sun J, Shen L, Chen J, Yu J, Yin J. 2014. Mite and Boolouse fauna from vacuumed dust samples from beijing. Allergy Asthma Immunol. 6(3):257-262. Takai T, Okamoto Y, Okubo K, Nagata M, Sakaguchi M, Fukutomi Y, Saito A, Yasueda H, Masuyama K. 2015. Japanese Society of Allergology task force
32 report on standardization of house dust mite allergen-vaccines Secondary publication. Allergology International. xxx (2015): 1-6. Thomas WR, Hales BJ, Smith W. 2010. House dust mite allergens in asthma and allergy. Trends in Molecular Medicine.16(7):321-328. Thomas WR. 2010. Geography of house dust mite allergen. J Allergy Immunol. 28:211-24. van Hage-Hamsten M, Johansson SGO. 1992. Storage mites. Exp Appl Acarol. 16: 117-128. Wallace MMH, Holm E. 1983. Establishment and dispersal of the introduced predatory mite Macrocheles peregrinus Krants, in Australia. J Aus Ent Soc. 22, 345–348. Walzl MG. 1992. Ultrastructure of the reproductive system of the house dust mites, Dermatophagoidesfarinae and D. pteronyssinus (Acari: Pyroglyphidae) with remarks on spermatogenesis and oogenesis. Exp Appl Acarol. 16(1-2):85116. Warner A, Bostrom S, Moller C, Kjelman NIM. 1999. Mite fauna in the home and sensitivity to house-dust and storage mites. Allergy. 54: 681-690. [WHO] World Health Organization. 1988. Dust mite allergens and asthma: a worldwide problem. Bulletin of the World Health Organization. 66 (6): 769780. Yudopranoto K. 2006. Perbandingan populasi tungau debu rumah pada kasur kapuk dan non kapuk di perumahan PJKA kelurahan randusari semarang selatan jawa tengah. [Skripsi]. Program Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro Semarang.
33 Lampiran 1 Habitat tungau debu rumah
A
B
C
D
E
F
H
G
Gambar Lampiran Habitat TDR pada Perumahan (A) Karpet (B) Furnitur (C) Sofa (D) Kasur dan Bantal (E) Lemari plastik (F) Koper (G) Kursi dan Karpet (H) Lantai
A
B
C
Gambar Lampiran Habitat TDR pada Tempat Tinggal Sementara (A) Lemari dan lantai (B) Tempat tidur (C) Kasur
34 Lampiran 2 Hasil Uji Korelasi Spearman Hubungan Infestasi TDR terhadap Kelembaban Correlations Infestasi Kelembaban Spearman's rho Infestsi
1.000
.769*
Sig. (2-tailed)
.
.026
N
8
8
*
1.000
.026
.
8
8
Correlation Coefficient
Kelembaban
Correlation Coefficient
.769
Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2 tailed).
Lampiran 3 Hasil Uji Korelasi Spearman Hubungan Infestasi TDR terhadap Kelembaban Correlations Infestasi 1.000
-.895**
Sig. (2-tailed)
.
.003
N
8
8
-.895**
1.000
.003
.
8
8
Spearman's rho Infestasi Correlation Coefficient
Suhu
Suhu
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Lampiran 4 Hasil Uji Korelasi Spearman Hubungan Infestasi TDR terhadap Pengetahuan Correlations Pengetahuan Spearman's rho Pengetahuan Correlation Coefficient
1.000
.123
.
.167
128
128
Correlation Coefficient
. 123
1.000
Sig. (2-tailed)
. 167
.
128
128
Sig. (2-tailed) N Infestasi
Infestasi
N
35 Lampiran 5 Hasil Uji Korelasi Spearman Hubungan Infestasi TDR terhadap Sikap Correlations Sikap Spearman's rho Sikap
Infestasi
1.000
-.210*
.
.017
128
128
*
1.000
Sig. (2-tailed)
.017
.
N
128
128
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Infestasi Correlation Coefficient
-.210
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Lampiran 6 Hasil Uji Korelasi Spearman Hubungan Infestasi TDR terhadap Praktik Correlations Praktik Spearman's rho Praktik
Infestasi
1.000
-.195*
.
.028
128
128
-.195*
1.000
Sig. (2-tailed)
.028
.
N
128
128
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Infestasi Correlation Coefficient
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
36 Lampiran 7 Pengetahuan responden terkait tungau debu rumah A No 1
2
3 4
5
6
7
8
9
10
B
C
D
E
F
Unsur -unsur variabel Responden pernah mendengar/ mengetahui TDR Responden mengetahui TDR dari dinas kesehatan, orang terdekat, dan media elektronik Pernah melihat gambar TDR Responden mengetahui TDR banyak ditemukan di permukiman (rumah, asrama dan wisma penginapan) Responden mengetahui TDR banyak terdapat di sofa, tempat tidur, karpet dan perabotan rumah tangga. Responden mengetahui TDR juga terdapat di lantai Responden mengetahui bahwa serpihan kulit mati manusia biasanya tertinggal di sofa, karpet, bantal dan seprai Responden mengetahui makanan TDR adalah serpihan kulit mati manusia dan hewan Responden mengetahui bahwa feses dan tubuh TDR mengandung protein yang dapat menyebabkan alergi, asma dan rhinitis pada manusia. Responden mengetahui dengan membersihkan rumah secara rutin, TDR dapat dikendalikan
Ya 5
Tdk 5
Ya 3
Tdk 7
Ya 3.93
Tdk 6.07
Ya 3.33
Tdk 6.67
Ya 4.62
Tdk 5.38
Ya 2.5
Tdk 7.5
5
5
3
7
3.93
6.07
3.33
6.67
4.62
5.38
2.5
7.5
2.5
7.5
3.5
6.5
3.93
6.07
1.33
8.67
2.31
7.69
2.5
7.5
0.5
9.5
3.5
6.5
3.21
6.79
1.33
8
4.62
5.38
2.5
7.5
2.5
7.5
3.5
6.5
1.61
8.39
2.67
7.33
4.62
5.38
2.5
7.5
1.5
8.5
5
5
3.04
6.96
2
8
3.85
6.15
2.5
7.5
3
7
2.5
7.5
2.5
7.5
3.33
7.33
2.31
7.69
2.5
7.5
0
10
2.5
7.5
1.25
8.75
0
10
0.77
9.23
0
10
1.5
8.5
2
8
1.07
8.93
2
8
3.85
6.15
0
10
8.5
1.5
7
3
7.32
2.68
6
4
5.38
4.62
2.5
7.5
Total (%)
30
35.5
64.5
31.8
68.2
25.3
74.7
36.9
63.1
20
70
80
Keterangan: (A) Perumahan padat penduduk (B) Perumahan Kompleks (C) Asrama (D) Pondok Pesanntren (E) Indekos (F) Wisma penginapan
37 Lampiran 8 Sikap responden terkait tungau debu rumah A
B
C
D
E
F
No
Unsur-unsur variabel Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
1
Dampak keberadaan tungau debu dilingkungan tempat tinggal, apakah berbahaya? Pernah mengalami bersin-bersin ketika sementara membersihkan rumah Perlu menjemur kasur ketika diketahui ada tungau debu Melakukan penyuluhan kesehatan mengenai cara pencegahan dan pengendalian tungau debu Melakukan tindakan pengendalian tungau debu untuk mencegah kejadian penyakit
15
5
17
3
15
5
14.7
5.33
18.5
1.54
10
10
17
3
17
3
14.6
5.36
17.3
5.33
18.5
1.54
20
0
11
9
14
6
15.4
4.64
13.3
2.67
18.5
1.54
20
0
17
3
20
0
17.1
2.86
20
6.67
20
0
20
0
17
3
19
1
18.2
1.79
14.7
0
20
0
20
0
Total (%)
77
23
87
13
80.4
19.6
80
20
95.4
4.62
90
10
2
3
4
5
Keterangan: (A) Perumahan padat penduduk (B) Perumahan Kompleks (C) Asrama (D) Pondok Pesanntren (E) Indekos (F) Wisma penginapan
38 Lampiran 9 Praktik responden terkait tungau debu rumah No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Unsur-unsur variabel
A
B
C
D
E
F
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Ya
Tdk
Membersihkan tempat tinggal secara rutin (setiap pagi dan sore/dua kali sehari) Menjemur kasur dan bantal secara berkala minimal dua minggu sekali membersihkan tempat tidur setiap selesai digunakan Mengganti/ mencuci seprai dan sarung bantal secara berkala minimal seminggu sekali Perabotan rumah tangga (Guci, lukisan, furnitur dll) di lap dengan kain basah setiap hari Membersihkan kursi/sofa setiap hari Tempat tidur, matras dan perabotan rumah tangga lainnya yang tidak digunakan ditutup dengan sarung plastik. Membersihkan tempat tidur , sofa, karpel dll dengan menggunakan vacum cleaner Vacum cleaner digunakan maksimal sekali seminggu Lantai tempat tinggal di pel setiap hari
0.5
9.5
8.5
1.5
5.89
4.1
2.7
7.3
3.08
6.9
10
0
0.5
9.5
3
7
1.07
8.9
0
10
0.77
9.2
5
5
6
4
6.5
3.5
6.25
3.8
8.7
1.3
7.69
2.3
10
0
3.5
6.5
6
4
1.79
8.2
3.3
6.7
1.54
8.5
10
0
2
8
2.5
7.5
0.54
9.5
0
10
0
10
10
0
0.5
9.5
3
7
1.25
8.8
0
10
1.54
8.5
10
0
2
8
6.5
3.5
2.32
7.7
1.3
8.7
0
10
10
0
2
8
3
7
0
10
0
10
1.54
8.5
10
0
1
9
3
7
0
10
0
10
0.77
9.2
10
0
3
7
2
8
3.21
6.8
4
6
1.54
8.5
10
0
Total (%)
20
22.3
78
18.5
82
95
56
44
56
20
80
5
Keterangan: (A) Perumahan padat penduduk (B) Perumahan Kompleks (C) Asrama (D) Pondok Pesanntren (E) Indekos (F) Wisma penginapan
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kolaka tanggal 31 Desember 1989 sebagai anak pertama dari pasangan Muh. Zhubair Wahid dan St. Rosnaeni. Pendidikan sarjana ditempuh di Progaram Studi Biologi Sains, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Makassar, lulus pada tahun 2011. Selanjutnya pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Program Pascasarjana IPB.