PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)
SKRIPSI
OLEH : DWI KANTININGSIH E1A009239
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PUEWOKERTO 2015
PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)
SKRIPSI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OLEH : DWI KANTININGSIH E1A009239
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PUEWOKERTO 2015
I
ABSTRAK Putusan Pengadilan Agama pada Pengadilan Agama Jambi atas perkara Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tertanggal 17 Juli 2013 tentang “Gugat Cerai” antara seorang ibu rumah tangga (istri) sebagai penggugat dan seorang laki-laki (suami ) sebagai tergugat, hakim memberikan pertimbangan hukum bahwa penggugat tidak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan memberikan putusan gugatan penggugat Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaard). Hal ini tidak sesuai dengan peraturan yang terdapat dalam pasal 124 HIR/148 Rbg yang menyatakan bahwa jika penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri persidangan maka hakim dapat menjatuhkan putusan gugur. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “PUTUSAN PENGADILAN YANG MENYATAKAN GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI (Suatu Tinjuan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)”. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perundangundangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujun untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus Gugatan Tidak Dapat Diterima dalam perkara gugat cerai dan untuk mengetahui akibat hukum terhadap Gugatan Yang Tidak Dapat Diterima dalam perkara gugat cerai. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa majelis hakim pengadilan agama jambi dalam memutus perkara Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tidak cermat karena pertimbangan hukum hakim atas ketidakhadiran penggugat dalam persidangan yang telah ditentukan maka seharusnya hakim menggunakan pasal 124 HIR/ 148 Rbg yakni menjatuhkan putusan Gugur bukan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima. Akibat hukum dari Gugatan Tidak Dapat Diterima dalam perkara gugat cerai, maka penggugat dapat mengajukan gugatan kembali ke persidangan dengan jalan memperbaiki atau menghilangkan cacat formil yang terdapat pada gugatan.
Kata Kunci : Gugatan, Gugat Cerai, Putusan, Pengadilan Agama.
IV
ABSTRACT
Religion court decision in Jambi Religion Court in case number : 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi date 17July 2013 about divorce lawsuit between a housewife (wife) as plaintiff and men as defendant, judges give legal consideration that plaintiff is absent in process of court which has been determined and give decision that lawsuit from plaintiff is unacceptable (Niet Onvankelijk Verklaard). It is not accordance with the regulation in article 124 HIR/148 Rbg which is state : if plaintiff is absent in the day of court that has been determined or does not sent representative to attend the court than judges can give droped decision. Based on the description, author has interest to do research by take title of the thesis “DECISION OF COURT WHICH STATES THAT LAWSUIT IS UNACCEPTABLE IN DIVORCE LAWSUITCASE ( Judicial Review ofDecision Number : 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi). The type of research is normative juridical with approaching method is statute approach and analytical approach. This research has goal to know the legal considerations of judges to make unacceptable lawsuit decision in divorce lawsuit case also to know legal consequences of unacceptable lawsuit decision in divorce lawsuit case. Based on result of research obtained conclusion that judges of Jambi Religion Court in decision making process for case Number 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi were not meticulous because legal consideration of the judges about plaintiff absence in process of court which has been determined, so judges must use article 124 HIR/ 148 Rbg which givedroped decisionand it is not unacceptable lawsuit decision. Legal consequences of unacceptable lawsuit decision in divorce lawsuit case then plaintiff can resubmit the lawsuit to the court with fix or eliminate formal defect in that lawsuit. Key words : Lawsuit, Divorce Lawsuit, Judge Decision, Religion Court
V
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) berjudul “PUTUSAN PENGADILAN YANG
MENYATAKAN
GUGATAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA GUGAT CERAI(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)”. Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada universitas jenderal soedirman purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan besar hati menerima saran dan kritik yang membangun. Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Slamet Nurudin dan Ibu Karsiti serta Kakak dan adikku Tercinta Wan Prihat Sasianto dan Dedi Akhmad Kurniawan yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materiil.
2.
Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam meningkatkan kualitas Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya, sekaligus sebagai Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk membimbing, mengarahkan
VI
dan memberi masukan yang sangat berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. 3.
Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4.
Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono , S.H.,M.H.S, selaku Dosen Pembimbing II, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya skripsi ini.
5.
Bapak Pranoto, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
6.
Bapak Haryanto Dwi Atmodjo, S.H.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik.
7.
Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu yang mana telah mengajarkan dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
8.
Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
9.
Kementrian Tenaga Kerja Dan Transmigrasi yang telah memberikan beasiswa penuh kepada penulis sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi Fakultas Hukum Unsoed hingga selesai.
10.
Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran (PMAT).
11.
Teman-teman Paguyuban Mahasiswa Anak Transmigran angkatan 2009.
12.
Teman-teman Unit Kerohanian Islam (UKI) Fakultas Hukum Unsoed.
13.
Teman-teman Keluarga Besar Mahasiswa Jambi (KBMJ).
14.
Keluarga besar Bapak Supardjo dan teman-teman wisma supardjo.
VII
15.
Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan balasan atas kebaikan serta bantuan yang telah
diberikan kepada penulis. Demikianlah semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis, kalangan akademis, praktisi serta masyarakat umum. Purwokerto,
Februari 2015
Penulis,
Dwi Kantiningsih
VIII
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN. ............................................................................
iii
ABSTRAK........................................................................................................
iv
ABSTRACT................ .....................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
viii
BAB 1.
BAB II.
PENDAHULUAN ......................................................................
1
A. Latar Belakang ....................................................................
1
B. Perumusan Masalah ............................................................
7
C. Tujuan Penelitian ................................................................
8
D. Kegunaan Penelitian ............................................................
8
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
10
A. Kompetensi Pengadilan Agama ............................................
10
1.
Kompetensi Relatif........................................................
10
2.
Kompetensi Absolut .....................................................
12
B. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ..........................
14
C. Gugatan ..............................................................................
16
1.
Pengertian Gugatan ......................................................
16
2.
Formulasi Surat Gugatan ..............................................
17
3.
Tata Cara Mengajukan Gugatan ...................................
17
4.
Perceraian ....................................................................
20
D. Tata Cara Panggilan ............................................................
21
IX
1.
Pengertian Panggilan ....................................................
21
2.
Tahap Pemanggilan ......................................................
23
E. Putusan Hakim ....................................................................
28
1. Pengertian Putusan ........................................................
28
2. Putusan Gugur ...............................................................
29
3. Putusan Verstek .............................................................
31
4. Putusan Contradictoir ....................................................
32
5. Kekuatan Putusan ..........................................................
34
6. Sifat Putusan .................................................................
35
7. Susunan Dan Isi Putusan ................................................
39
8. Putusan Pengadilan Agama ...........................................
40
METODE PENELITIAN ...........................................................
43
A. Tipe Penelitian ....................................................................
43
B. Metode Penelitian ...............................................................
43
C. Spesifikasi Penelitian ..........................................................
43
D. Sumber Bahan Hukum ........................................................
44
E. Metode Penyajian Hukum ...................................................
45
F. Metode analisa bahan hukum ..............................................
45
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
50
A. Hasil Penelitian ...................................................................
50
B. Pembahasan ........................................................................
55
BAB V. PENUTUP ....................................................................................
71
A. Kesimpulan ..............................................................................
71
B. Saran ........................................................................................
72
BAB III.
BAB IV.
DAFTAR PUSTAKA
X
2
keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih, oleh karena itu dalam pelaksanaan perkawinan memerlukan norma hukum yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam pelaksanaan perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Menurut Hukum Islam perkawinan (pernikahan) adalah suatu akad yaitu akad yang menghalalkan pergaulan (hubungan suami isteri) dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara laki-laki dan seorang perempuan yang dua-duanya bukan muhrim, artinya apabila seorang pria dan seorang perempuan bersepakat diantara mereka untuk membentuk suatu rumah tangga, maka hendaknya kedua calon suami isteri tersebut terlebih dahulu melakukan akad nikah.1Menurut pandangan masyarakat, perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang adil dan makmur, hal ini dituangkan dalam suatu Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.2 Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur tentang Perkawinan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan 1
Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undangundang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), hlm.11 2 Ibid, hlm. 12.
3
Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 TentangKompilasi Hukum Islam (KHI) serta peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan. Perkawinan mempunyai tujuan antara lain membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan. Dengan demikian, maka sebenarnya tidak perlu diragukan lagi, apakah sebenarnya yang ingin dicapai dalam perkawinan itu. Namun karena keluarga atau rumah tangga itu berasal dari dua individu yang berbeda, maka dari dua individu itu mungkin terdapat tujuan yang berbeda, untuk itu perlu penyatuan tujuan perkawinan demi tercapainya keluarga yang sakinah. Tujuan perkawinan menurut Islam adalah menuruti perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.3 Hal ini senada dengan firman Allah dalam Al Qur an Surat ar-Rum ayat 21 yang artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia (Allah) menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berfikir". Di dalam mengarungi bahtera rumah tangga banyak sekali hal hal yang harus dihadapi oleh pasangan suami isteri dan ketika Kondisi rumah tangga mengalami perselisihan, pertengkaran serta suami istri sudah tidak dapat lagi di damaikan maka perceraianlah yang kerap menjadi solusi terbaiknya. Undang3
Slamet Abidin Dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Hlm. 1218.
4
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus namundidalam Pasal 39 ayat (2) UndangUndangTentang Perkawinan serta penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan.Ada dua macam perceraian sesuai dengan Undang-Undang Tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 – 41, yaitu : 1.
Cerai gugat Cerai gugat adalah terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada sang suami.
2.
Cerai talak Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal ini sang suami memberikan talak kepada sang istri.
Alasan-alasan perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974 disebutkan dalam Pasal 39, Penjelasan Undang-Undang Perkawinan yang diulangi dalam Pasal 19 peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan : 1.
Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
5
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat setelah perkawinannya berlangsung.
4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5.
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
6.
Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.
Dilihat dari Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, ada tambahan dua sebab perceraian yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak ada. Dalam perkara perceraian, Indonesia memiliki dua lembaga peradilan yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Bagi warga negara indonesia yang beragama non islam dapat mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Negeri sedangkan warga negara indonesia yang beragama islam dapat mengajukan gugatan cerai kepada Pengadilan Agama dalam hal ini sesuai dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Dalam menyelesaikan perkara perceraian ini hakim memiliki peran yang sangat penting karena hakim memiliki tugas seperti yang telah termuat dalamUndang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa tugas hakim dalam peradilan adalah membantu
dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat terciptanya peradilan yang sederhana, cepat,
6
dan biaya ringan. Tugas hakim pada pokoknya adalah menerima, memeriksa dan mengadili sesuatu menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan Agama Jambi yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dengan Nomor Register 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi pada tanggal 17 Juli 2013 telah menjatuhkan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaart) atas permohonan gugat cerai yang diajukan oleh seorang ibu rumah tangga ke Pengadilan Agama Jambiyang selanjutnya di sebut sebagai penggugat kepada seorang laki-laki (suami dari ibu rumah tangga) yang selanjutnya di sebut sebagai tergugat. Duduk perkaranya bahwa antara Penggugat Dan Tergugat adalah suami istri yang sah dan telah melangsungkan pernikahan di jawa pada tanggal 21 mei 1980, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) sebagaimana bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah tertanggal 23 mei 1980, yang dikeluarkan oleh KUA SemendoPenggugat, Jawa timur. Pada awalnya mereka hidup dengan baik selayaknya suami istri sehingga di karuniai seorang anak. Namun pada tahun 2007 Tergugat pergi meninggalkan Penggugat tanpa memberi tahu Penggugat kemana tujuan alamatnya sampai sekarang lebih kurang 6 tahun lamanya. Atas sikap dan/ atau perbuatan Tergugat tersebut, telah sangat menderita lahir maupun bathin dan atas sikap dan/ atau perbuatan Tergugat
7
tersebut Tergugat telah melanggar kewajibannya dan melanggar sighat taklik talak oleh sebab itu Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jambi. Dalam putusan Perkara Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi peneliti tertarik meneliti putusan tersebut karenadi peroleh beberapa fakta hukum yaituTergugat tidak dipanggil secara patut, Penggugat atau wakil kuasanyatidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan dan berdasarkan berita acara panggilan relaas ternyata Penggugat tidak bertempat tinggal sesuai dengan surat gugatan penggugat. Berdasarkan peraturan yang termuat dalam Pasal 122 HIR/146 RBg, Pasal 124 HIR/148 RBg dan Pasal 126 HIR/15o RBg Hakim dapat menjatuhkan putusan gugur. Namun , pada kenyataannya Hakim Pengadilan Agama Jambi telah menjatuhkan
putusanGugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk
Verklaart) atas permohonan gugat cerai yang dilakukan oleh Penggugat. Putusan tersebut mendorong penulis untuk meneliti dan menulis skripsi dengan judul “Putusan Pengadilan Yang Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara Gugat Cerai (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor: 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi)” B.
Perumusan Masalah 1.
Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutus gugatan tidak dapat diterima
dalam
perkara
gugat
cerai
pada
putusan
Nomor
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi ? 2.
Bagaimana akibat hukum terhadap gugatan yang tidak dapat diterima dalam
perkara
gugat
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi ?
cerai
pada
putusan
Nomor
8
C.
Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah : 1.
Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus gugatan yang tidak dapat diterima dalam perkara gugat cerai dalam putusan Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
2.
Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan terhadap parapihak dalam
perkara
gugat
cerai
pada
putusan
Nomor
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
D.
Kegunaan Penelitian Penelitian mengenai gugatan tidak dapat diterima mempunyai kegunaan untuk : 1.
Secara teoritis a.
Memperluas pengetahuan dan menambah referensi mengenai gugatan tidak dapat diterima.
b.
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan terhadap kajian-kajian dibidang hukum acara perdata.
2.
Secara praktis a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis dan dapat digunakan khususnya kepada hakim dalam mempertimbangkan materi muatan gugatan.
9
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan bagi para pihak dalam perkara, hakim, advokat, maupun masyarakat mengenai gugatan yang tidak dapat diterima.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Kompetensi Pengadilan Agama Kompetensi
seringkali
disebut
juga
dengan
“kekuasaan”.
“kompetensi” berasal dari bahasa Belanda “competentie”, yang terkadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan”, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna. Berbicara tentang kompetensi peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara perdata, biasanya menyangkut dua hal yaitu : 1.
Kompetensi Relatif Kompetensi relatif diartikan sebagai kompetensi pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kompetensi Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negeri Magelang dengan pengadilan negeri Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.4 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi : Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota
4
Rasyid Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.
11
kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Pada
penjelasan
pasal
4
ayat
(1)
berbunyi
:
pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada dikotamadya atau ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian. Sesuai dengan yang telah di uraikan di atas bahwasannya tiaptiapPengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif” tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang. Contoh, dikabupaten Riau kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi sulit. Yurisdiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehubungan dengan hak eksepsi tergugat. Menurut teori umum hukum acara perdata peradilan umum (tentang
tempat
mengajukan
mengajukan
gugatannya
ke
gugatan) Pengadilan
,
apabila Negeri
Penggugat mana
saja,
diperbolehkan dan Pengadilan Negeri tersebut masih boleh memeriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat)
12
memilih untuk berperkara dimuka pengadilan negeri mana saja yang mereka sepakati.Hal ini berlaku sepanjang tidak
tegas-tegas
dinyatakan lain. Pengadilan Negeri dalam hal ini, boleh menerima pendaftaran perkara tersebut disamping boleh pula menolaknya. Namun, dalam praktek, Pengadilan Negeri sejak dari semula sudah tidak berkenan menerima gugatan/ permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke Pengadilan Negeri mana seharusnya gugatan / permohonan itu di ajukan. Ketentuan umum Peradilan Umum tersebut berlaku juga untuk Pengadilan Agama sebagaimana ditunjuk oleh Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Sebelum Peradilan Agama mempunyai kompetensi absolut yang seragam diseluruh indonesia , Peradilan Agama tidak dapat menerima ketentuan umum Peradilan Umum di atas, sebab suatu jenis perkara yang misalnya enjadi kompetensi absolut Peradilan Agama di pulau sumatera belum tentu juga menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama di pulau jawa, misalnya dalam perkara waris.
2.
Kompetensi Absolut Kompetensi absolut artinya kompetensi pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
13
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.5 Misalnya, Pengadilan Agama yang berkompetensi memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. Banding dari Pengadilan Agama di ajukan Ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi. Terhadap kompetensi absolut ini, Pengadilan Agama diharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kompetensi absolutnya atau bukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk kompetensi absolutnya, pengadilan agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keberatan yang di sebut “eksepsi absolut” dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan saja, malahan sampai ditingkat banding atau ditingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolut ini termasuk salah satu diantara tiga alasan yang membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kompetensi absolutnya. 6
5 6
Ibid, Hal 27 Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2009
14
B.
Sumber Hukum Acara Peradilan Agama Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara untuk mewujudkan hukum materiil islam dalam batas-batas kekuasaannya. Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara dan fungsinya (menegakkan hukum dan keadilan) maka Peradilan Agama dahulunya, mempergunakan acara yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga acara dalam hukum tidak tertulis (maksudnya hukum formal islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia). Namun, kini setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 atas perubahan kedua Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989, yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, maka hukum acara Peradilan Agama menjadi kongkrit. Pasal 54 dari UndangUndang tersebut berbunyi: Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Menurut Pasal diatas, hukum acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu : (1) yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas
15
Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989, dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara perdata peradilan umum, antara lain: 1.
HIR (Het Herziene Inlandsche Regelement) atau disebut juga RIB (Regelement Indonesia Yang Di Perbaharui).
2.
RBg (Recht Regelement Buitegewesten) atau disebut juga Regelemen untuk daerah seberang, maksudnya untuk luar jawa-madura.
3.
Rsv (Regelement Op De Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman jajahan belanda dahulu berlaku untuk Raad Van Justitie.
4.
BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga kitab Undang-Undang Hukum Perdata Eropa.
5.
Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009, Tentang Peradilan Umum. Peraturan Perundang-Undangan tentang acara perdata yang sama-
sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah: 1.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
2.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 , Tentang Mahkamah Agung.
3.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaannya.7
7
Roihan Rasyid, Op-Cit. Hal 20-21
16
C.
Gugatan 1.
Pengertian Gugatan Menurut Darwan Prints, SH., gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan. Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH., mengemukakan bahwa gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting). Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut.8 Dalam hal gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak penggugat atau parapenggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para turut tergugat.
8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama, 2006, Prenanda Media Group, Jakarta, Hal. 1.
17
2.
Formulasi Surat Gugatan Formulasi surat gugatan adalah perumusan (formulation) surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, dalam uraian ini akan dikemukakan berbagai ketentuan formil yang wajib terdapat dan tercantum dalam surat gugatan. Syaratsyarat tersebut, akan ditampilkan secara berurutan sesuai dengan sistematika yang lazim dan standar dalam praktik peradilan. Memang benar, apa yang dikemukakan Prof.Soepomo. Pada dasarnya Pasal 118 HIR/ 142 RBg dan Pasal 120 HIR/144 RBg, tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan.9 Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem dagvaarding. 1.
Identitas para pihak (penggugat/ pemohon dan tergugat/ termohon :
9
a.
Nama (beserta bin/binti dan aliasnya),
b.
Umur,
c.
Agama,
d.
Pekerjaan
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradyana Paramita, Jakarta, 1993. Hal. 24
18
e.
Tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “Dahulu bertempat di....tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia.’
f. 2.
Kewarganegaraan (jika perlu).10
Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/ peristiwa dan penjelasan yang berhubugan dengan hukum yang dijadikan dasar/ asalan gugat. Posita memuat : a.
Alasan yang berdasarkan fakta/ peristiwa hukum.
b.
Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan
keharusan.
Hakimlah
yang
harus
melengkapinya dalam putusan nanti. 3.
Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat/ pemohon agar dikabulkan oleh hakim. Ketua/ hakim dapat membantu Penggugat / Pemohon atau
kuasanya dalam hal mengajukan gugatan / permohonan (Pasal 143 RBg / Pasal 119 HIR).11
3.
Tata Cara Mengajukan Gugatan Tata cara mengajukan gugatan di atur dalam Pasal 119 HIR atau Pasal 143 RBg, yaitu : 1.
10 11
Gugatan ditujukan kepada ketua pengadilan
Mukti Arto, Op.Cit. Hal.40 Mukti Arto, Loc.Cit.Hal. 41.
19
Gugatan “dialamatkan” kepada ketua pengadilan dengan permintaan, agar pengadilan: a.
Menentukan hari persidangan, dan
b.
Memanggil penggugat dan tergugat, serta
c.
Memeriksa perkara yang diajukan penggugat kepada tergugat.
2.
Gugatan disampaikan kepada kepaniteraan pengadilan. Sekalipun gugatan ditujukan dan dialamatkan kepada ketua pengadilan,
tetapi
penyampaiannya
dimaksukkan
kepada
panitera pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 121 ayat (1) HIR atau Pasal 145 ayat (1) RBg. 3.
Pemohon wajib lebih dulu membayar ongkos perkara. Lebih lanjut Pasal 121 ayat (4) HIR atau Pasal 145 ayat (4) RBg menegaskan, salah satu syarat formal gugatan, agar penggugat telah membayar “panjar” ongkos perkara. Selama penggugat belum melunasi panjar ongkos perkara berdasar perhitungan yang diperkirakan pengadilan, gugatan tidak boleh didaftar dalam buku register perkara, dan gugatan dianggap belum ada. Perhitungan panjar ongkos perkara yang disebut dalam Pasal 121 ayat (4) HIR atau Pasal 145 RBg, berpatokan pada “taksiran” biaya kantor kepaniteraan dan ongkos-ongkos melakukan segala jenis panggilan dan pemberitahuan serta biaya materai.
Memperhitungkan
biaya
pemanggilan
atau
20
pemberitahuan
didasarkan
kepada
keadaan
setempat.
Tergantung pada jarak pihak-pihak yang hendak dipanggil. Jika jaraknya jauh, perhitungan sesuai dengan ongkos perjalanan yang umum. Jangan diambil perhitungan biaya transportasi yang mahal seperti taksi dan sebagainy, jika tempat itu dapat dicapai dengan pengangkutan bis umum. Ketentuan biaya perkara yang diatur dalam pasal HIR atau RBg, diperjelas lagi dalam Undang-Undang Nomor 50 Thun 2009 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Dalam pasal ini dirinci apa saja yang menjadi dasar perhitungan jumlah biaya perkara : a.
Biaya kepaniteraan dan biaya materai yag diperlukan untuk perkara itu ;
b.
Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara itu ;
c.
Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan lain yang diperlukan oleh pengadilan dalam perkara itu ;
d.
4.
Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain.
Perceraian Perceraian adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri yang telah melangsungkan pernikahan secara sah tidak dapat lagi
21
mempertahankan
perkawinannya
dengan
cara
mengajukan
permohonan cerai kepada pengadilan dikarenakan adanya sebab-sebab tertentu sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ada dua macam perceraian yang disebutkan dalam Pasal 39-41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu : a.
Cerai gugat Cerai gugat adalah terputusnyaikatan suami istri dimana dalam hal ini sang istri yang melayangkan gugatan cerai kepada suami.
b.
Cerai talak Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal ini sang suami memberikan talak kepada istri.
D.
Tata Cara Panggilan 1.
Pengertian Panggilan pengertian
panggilan
dalam
hukum
acara
perdata
:
menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yag terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau pengadilan. Menurut Pasal 388 dan Pasal 390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita. Hanya panggilan yang dilakukan juru sita yang di anggap sah dan resmi. Kewenangan juru sita ini, berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR/145
22
RBg di perolehnya lewat perintah ketua (Majelis hakim) yang dituangkan
dalam
pemberitahuan.
penetapat
Pemanggilan
hari
sidang
atau
atau
panggilan
penetapan
(convocation,
convocatie) dalam arti sempit dan sehari-hari sering diidentikan, hanya terbatas pada perintah menghadiri sidang pada hari yang ditentukan. Akan tetapi, dalam hukum acara perdata, sebagaimana dijelaskan Pasal 388 HIR, pengertian panggilan meliputi makna dan cakupan yang lebih luas, yaitu : a.
Panggilan sidang pertaa kepada penggugat dan tergugat;
b.
Panggilan menghadiri sidang lanjutan kepada pihak-pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah;
c.
Panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR (dalam hal mereka tidak dapat mengahdirkan saksi yang penting ke persidangan);
d.
Selain daripada itu, panggilan dalam arti luas, meliputi juga tindakan hukumpemberitahuan atau aanzegging (notification), antara laian : a)
Pemberitahuan putusan PT dan MA,
b)
Pemberitahuan permintaan banding kepada terbanding,
c)
Pemberitahuan memori banding dan kontra memori banding, dan
23
d)
Pemberitahuan permintaan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi.
Dalam hal ini, kepada seseorang disampaikan pesan atau informasi agar dia tahu tentang sesuatu hal yang hendak dilakukan oleh pihak lawan maupun suatu tindakan yang akan dilakukan pengadilan. Dengan demikian, oleh karena arti dan cakupan panggilan meliputi pemberitahuan, segala syarat dan tata cara yang ditentukan undang-undang mengenai tindakan hukum pemanggilan, sama dan berlaku sepenuhnya dalam pemberitahuan.12
2.
Tahap Pemanggilan Setelah dilampaui tahap pengajuan gugatan, pembayaran biaya, registrasi, penetapan hari majelis tentang hari sidang, tahap selanjutnya tindakan pemanggilan pihak penggugat dan tergugat untuk hadir didepan persidangan pengadilan (hearing) pada hari dan jam yang ditentukan. Terdapat berbagai permasalahan dan tindakan hukum yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan dan penerapan pemanggilan, seperti yang dimaksud di bawah ini : a.
Majelis Memerintahkan Panggilan Setelah menerima pelimpahan berkas dari ketua PA, majelis segera menetapkan hari sidang. Dalam penetapan diikuti
12
Yahya Harahap, Op.Cit Hal213-214
24
pencantuman perintah kepada panitera atau juru sita untuk memanggil kedua belah pihak (penggugat dan tergugat), supaya hadir didepan sidang pengadilan pada waktu yang ditentukan untuk itu. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR/ 145 RBg, pemanggilan itu meliputi perintah agar para pihak juga menghadirkan saksi-saksi mereka.13
b.
Yang Melaksanakan Panggilan Untuk mengetahui pejabat yang resmi berwenang melaksanakan atau melakukan pemanggilan, merujuk kepada ketentuan Pasal 388, jo. Pasal 390 ayat (1) HIR, dan Pasal 1 v : a)
Dilakukan oleh juru sita, sesuai dengan kewenangan relatif yang di milikinya;
b)
Jika orang yang hendak dipanggil berada diluar yurisdiksi relatif
yang
dimilikinya,
pemanggilan
dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 5 Rv, yaitu mendelegasikan pemanggilan kepada juru sita yang berwenang di wilayah hukum tersebut. Dari penjelasan di atas, kewenangan atau yurisdiksi relatif juru sita, mengikuti yurisdiksi relatif PN tempatnya berfungsi. Pemanggilan yang dilakukan juru sita diluar yurisdiksi relatif
13
Ibid, Hal. 219
25
yang dimilikinya, merupakan pelanggaran dan pelampauan batas wewenang (exceeding its power), dan berakibat : a)
Pemanggilan dianggap tidak sah (illegal), dan
b)
Atas alasan, karena pemanggilan dilakukan oleh pejabat juru sita yang tidak berwenang (unauthorized bailiff). Sesuai dengan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor
49 Tahun 2009, secara formil jabatan fungsional juru sita telah merupakan salah satu subsistem dalam organisasi PN. Fungsi utamanya, mambantu panitera melaksanakan pemanggilan, pemberitahuan, penyitaan, dan eksekusi.14
c.
Bentuk Panggilan Berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 2 ayat (3) Rv, panggilan dilakukan dalam bentuk : a)
Surat tertulis (in writing),
b)
Lazim disebut surat panggilan atau relaas panggilan maupun berita acara panggilan, dan
c)
Panggilan tidak dibenarkan dalam bentuk lisan (oral), karena sulit membuktikan keabsahannya. Oleh karena itu, panggilan dalam bentuk lisan tidak sah menurut hukum. Sejauh mana cakupan, pengertian bentuk tertulis, perlu
diperhatikan perluasan jangkauan yang diatur dalam Pasal 2 ayat
14
Ibid, Hal. 219-220
26
(3) Rb sebagai pedoman. Pasal ini membenarkan bentuk tertulis, meliputi :
d.
a)
Telegram, dan
b)
Surat mencatat.15
Isi Surat Panggilan Pertama Kepada Tergugat Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 121 ayat (1) HIR/ 145 RBg dan Pasal 1 Rv yang menjelaskan, surat panggilan pertama berisi : a)
Nama yang dipanggil,
b)
Hari dan jam serta tempat tinggal,
c)
Membawa saksi-saksi yang diperlukan,
d)
Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan, dan
e)
Penegasan, dapat enjawab gugatan dengan surat. Isi surat panggilan bersifat kumulatif, bukan alternatif.
Sifat kumulatifnya adalah imperatif (memaksa) bukan fakultatif. Oleh karena itu, salah satu saja lalai mencantumkannya, mengakibatkan surat panggilan cacat hukum, dan dianggap tidak sah. Akan tetapi, untuk menghindari proses peradilan yang terlampau bercorak sempit dan kaku, jika salah satu di antaranya tidak tercantum, dapat ditolerir, asalkan kelalaian itu tidak
15
Ibid, Hal. 220
27
mengenai nama orang yang dipanggil dan hari, serta tempat sidang. Kalau jamnya yang tidak disebut, masih bisa ditolerir atas alasan, secara umum dan masuk akal sehat, semua orang tahu
jam
persidangan
pengadilan
menurut
kebiasaan
berlangsung dari jam 9 sampai 14. Bagaimana kalau yang dilalaikan itu mengenai mambawa saksi, surat-surat atau penjelasan dapat menjawab gugatan secara tertulis? Secara hukum kelalaian atas hal-hal tersebut, dapat dikategorikan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) tergugat tanpa alasan, panggilan telah melenyapkan hak-hak yang diberikan hukum kepadanya untuk membela dan mempertahankan haknya didepan persidangan pengadilan. Namun demikian, secara realitis, hal itu tidak mutlak mematikan HAM
tergugat.
Karena,
haknya
untuk
menjawab,
menghadapkan saksi, dan menyampaikan dokumen, tetap terbuka lebar, sejak proses persidangan dimulai. Oleh karena itu, secara realitis dan objektif, kelalaian yang demikian tidak mengakibatkan panggilan tidak sah. Selain itu, agar panggilan memenuhi syarat formil, Pasal 121 ayat (2) HIR dan Pasal 1 Rv mewajibkan juru sita untuk : a)
Melampiri surat panggilan dengan salinan surat gugatan, dan
28
b)
E.
Salinan tersebut, dianggap gugatan asli.16
Putusan Hakim 1.
Pengertian Putusan Menurut sistem HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Rbg (rechts reglement Buitengewesten) Hakim mempunyai peranan aktif memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatannya ke pengadilan (Pasal 119 HIR-143 Rbg) dengan maksud supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas persoalannya dan memudahkan Hakim dalam memeriksa perkara itu.17 Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, di ucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.18 Menurut Sudikno Mertokusumo putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
16
Ibid, Hal 221 Abdulkadir Mahmud, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.Hal 21. 18 Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit . Hal. 175 17
29
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan (Andi Hamzah, 1986: 485). Menurut Darwan Prints, putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan.19
2.
Putusan Gugur Bentuk putusan ini diatur dalam Pasal 124 HIR/Pasal 148 RBg. Jika penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut, dalam kasus yang seperti itu : •
Hakim
dapat
dan
berwenang
menjatuhkan
putusan
menggugurkan gugatan penggugat, •
Berbarengan dengan itu, penggugat dihukum membayar biaya perkara. Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut, dijelaskan
dalam pasal 77 Rv: 1)
Pihak tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud Putusan pengguguran gugatan yang didasarkan atas keinginan penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan meskipun pokok perkara secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri
19
Darwan Prints, Op.Cit.Hal 205
30
pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan pihak tergugat tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. 2)
Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Terhadap putusan tersebut, tertutup hak penggugat untuk mengajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya : a.
Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau find and binding.
b.
Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3)
Penggugat dapat mengajukan gugatan baru Satu-satunya jalan yang
dapat
ditempuh
penggugat
menghadapi
putusan
pengguguran gugatan, hanya: a.
Mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan pengguguran gugatan tidak melekat ne bis in idem, sehigga dapat lagi diajukan sebagai perkara baru.
b.
Dan untuk itu, penggugat dibebani membayar biaya perkara karena biaya yang semula telah dibayarkan untuk gugatan yang digugurkan.
31
Mengenai hal ini telah dibahas secukupnya dalam uraian pengguguran gugatan sebagai salah satu bagian dari pembahasan ruang lingkup gugatan contentiosa.20
3.
Putusan Verstek Bentuk putusan ini diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR/149 RBg. Pasal ini memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan verstek : •
Apabila pada sidang pertama pihak tergugat tidak hadir menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah,
•
Padahal sudah di panggil oleh juru sita secara patut, kepadanya dapat dijatuhkan putusan verstek. Putusan
verstek
merupakan
kebalikan
pengguguran
gugatan yakni sebagai hukuman yang diberikan undang-undang kepada tergugat atas keingkarannya menghadiri persidangan yang ditentukan. Bentuk hukuman yang dikenakan kepada tergugat atas keingkarannya yaitu : 1)
Dianggap mengakui dalil gugatan penggugat secara murni dan bulat berdasarkan Pasal 174 HIR, Pasal 1925 KUH Perdata,
2)
Atas dasar anggapan pengakuan itu, gugatan penggugat dikabulkan, kecuali jika gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar hukum.
20
Yahya Harahap, Op.Cit. Hal. 873-874
32
Cuma, kepada penggugat yang dijatuhi putusan verstek, masih : •
Diberi hak mengajukan perlawanan atau verzet,
•
Dan hal itu dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat.21
4.
Putusan Contradictoir Bentuk putusan ini dikaitkan atau ditinjau dari segi kehadiran para pihak pada saat putusan diucapkan. Ditinjau dari segi ini, terdapat dua jenis putusan kontradiktor. 1)
Pada saat putusan diucapkan para pihak hadir Pada waktu putusan dijatuhkan dan diucapkan hakim, pihak penggugat dan tergugat atau kuasa mereka sama-sama datang menghadiri persidangan namun •
Kemungkinan pada sidang-sidang yang lalu, salah satu pihak, penggugat atau tergugat pernah tidak datang menghadiri persidangan,
•
Dan pada saat putusan diucapkan, kedua belah pihak datang menghadiri persidangan maka bentuk putusan yang dijatuhkan berbentuk kontradiktor.
21
Ibid, Hal. 874
33
Jadi yang menentukan apakah putusan
itu berbentuk
kontradiktor adalah faktor kehadiran para pihak pada saat putusan diucapkan hakim. 2)
Pada saat putusan di ucapkan salah satu pihak tidak hadir. Bentuk ini merupakan variabel dari putusan kontradiktor yang pertama, dan rujukannya mengacu pada ketentuan Pasal 127 HIR/ 151 Rbg dengan tata cara sebagai berikut: •
Baik pada sidang pertama maupun pada sidang-sidang berikutnya, pihak yang bersangkutan selalu hadir dalam persidangan atau mungkin juga pada salah satu sidang tidak
hadir,
sehingga
hakim
menerapkan
proses
pemeriksaan op tegenspraak atau pada sidang-sidang yang lain selalu hadir, •
Akan tetapi pada saat putusan diucapkan, pihak tersebut atau salah satu pihak tidak hadir, maka dalam kasus yang seperti ini, putusan yang dijatuhkan adalah berbentuk putusan kontradiktor, bukan putusan verstek. Misalkan, pada saat putusan diucapkan, pihak tergugat
atau penggugat tidak hadir dalam persidangan, ketidakhadiran itu tidak merubah putusan dari bentuk kontradiktor menjadi verstek. Oleh karena itu, Pasal 127 HIR/ 151 RBg dan Pasal 81 Rv memperingatkan, terhadap putusan kontradiktor yang dijatuhkan tanpa dihadiri salah satu pihak :
34
•
Tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet,
•
Upaya hukum yang dapat diajukan adalah permintaan banding atau upaya hukum biasa.22
5.
Kekuatan Putusan HIR (Het herziene indonesisch reglement) tidak mengatur tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan: a.
Kekuatan mengikat Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat kedua belah pihak (Pasal 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.
b.
Kekuatan pembuktian Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tulisan, yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaannya. Arti putusan itu sendiri dalam hukum
22
Yahya Harahap, Loc.Cit, Hal. 874-875
35
pembuktian ialah bahwa dengan putusan itu telah diperoleh suatu kepastian tentang sesuatu.
c.
Kekuatan eksekutorial Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya saja,
melainkan
juga
realisasi
atau
pelaksanaannya
(eksekusinya) secara paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi putusanputusan pengadilan di Indonesia.
6.
Sifat Putusan Menurut Darwan Prints, putusan diklasifikasikan sebagai berikut : 1)
Interlocotoir Vonis
36
Interlocotoir Vonis (putusan sela), adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotoir Vonis) itu dapat berupa : a.
Putusan Provisional (Tak Dim) Putusan Provisionil (Tak Dim), adalah putusan yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri menggugat suaminya, dimana gugatan pokoknya adalah “mohon cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami yang digugat itu telah melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya itu, maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar nafkah kepada istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan cerai itu. Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang untuk berperkara secara cuma-Cuma (Pro Deo) sesuai Pasal 235 HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional.
b.
Putusan Prepatoir Putusan
Prepatoir,
adalah
putusan
sela
guna
mempersiapkan putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/ mengabulkan pengunduran sidang, karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat diterima (AT. Hamid 1984:
37
209). Dalam praktek seringkali terjadi perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat dengan tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu. c.
Putusan Insidental Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah satu pihak (AT. Hamid 1984 : 269). Terhadap putusan sela atau belum merupakan putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1974). Logika pelarangan permohonan banding terhadap putusan sela secara terpisah dari pokok perkara, adalah untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara dipengadilan.
2)
Putusan Akhir Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa : a.
Niet Onvankelijk Verklaart Niet onvankelijk verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima. Adapun alasan-
38
alasan pengadilan mengambil keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah : a)
Gugatan tidak berdasar hukum;
b)
Gugatan tidak patut;
c)
Gugatan
itu
bertentangan
dengan
kesusilaan/
ketertiban umum;
b.
d)
Gugatannya salah;
e)
Gugatannya kabur;
f)
Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;
g)
Objek gugatannya tidak jelas;
h)
Subjek gugatannya tidak lengkap;
i)
Dan lain-lain
Tidak berwengan mengadili suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang,
bukan
menyangkut
kompetensi
absolut
maupun kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. c.
Gugatan dikabulkan Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila gugatan terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya
39
terbukti sebagian, maka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat dibuktikan itu. Adakalanya pula suatu gugatan yang dikabulkan ternyata menjadi nihil, dan tidak dapat dilaksanakan; karena adanya suatu kelemahan dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh pengadilan. d.
Gugatan ditolak Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya didepan pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja.23
7.
Susunan Dan Isi Putusan Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaimana putusan hakim harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal. 183, 184, 187 HIR (Pasal 194, 195, 198 rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, 27 RO, 61 Rv. menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu : a.
Kepala Putusan Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ke-
23
Darwan Prints, Op-Cit. hal. 206-209
40
Tuhanan Yang Maha Esa”. Kepala putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan. b.
Identitas Para Pihak Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak, maka didalam putusan harus dimuat identitas para pihak lain antara lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau ada.
c.
Pertimbangan Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang hukumnya.
d.
Amar Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang merupaka amar atau diktum. Ini berarti bahwa hukum, merupakan tanggapan terhadap petitum.24
8.
Putusan Pengadilan Agama Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan kehakiman UndangUndang Nomor
50 Tahun 2009 perubahan kedua atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, pada prinsipnya tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Dalam menjalankan fungsi
24
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit. Hal.220-225
41
peradilan ini, para hakim peradilan agama harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapat perhatian yang seimbang secara profesional, meskipun dalam praktik sangat sangat sulit untuk mewujudkannya. Hakim harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas tersebut diatas. Jangan sampai ada putusan hakim yang justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi pencari keadilan. Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna mengakhiri sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang berperkara tidak lagi menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk putusan tertulis maupun lisan. Setiap putusan pengadilan agama harus dibuat oleh haki dalam bentuk tulisan dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim
42
anggota yang ikut memeriksa perkara sesuai dengan penetapan majelis hakim yang dibuat oleh ketua pengadilan agama, serta ditandatangani pula oleh panitera pengganti yang ikut sidang sesuai penetapan panitera (Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970). Apa yang diucapkan oleh hakim dalam sidang haruslah benar-benar sama dengan apa yang tertulis, dan apa yang dituliskan haruslah benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang pengadilan. Putusan yang bersifat perdata, Pasal 178 ayat (2) HIR dan Pasal 189 ayat (2) RBg mewajibkan para hakim untuk mengadili semua tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Haki dilarang menjatuhkan
putusan
terhadap
sesuatu
yang
tidak
dituntut
sebagaimana tersebut dalam Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 189 ayat (3) R.Bg. kecuali apabila hal-hal yang tidak dituntut itu disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana tersebut dlaam Pasal 41c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintan Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam.
43
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang tertutup otonom, terlepas dari perilaku kehidupan masyarakat dan mengabaikan norma hukum.25 Peneliti mencoba memfokuskan dan menjawab permasalahan dari segi kaca mata hukum dan mengabaikan norma lain selain hukum. B. Metode Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada didalam penelitian ini, pendekatan yang dipergunakan adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach) dan Pendekatan Analitis (Analytical Approach). C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah prespektif26, yaitu menganalisis persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum.
25 26
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1988. Hal 13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Group, Jakarta, 2010, Hal.22.
44
D. Sumber Bahan Hukum 1.
Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer yaitu semua aturan hukum yang dibentuk dan/ atau
dibuat secara resmi oleh suatu lembaga Negara, dan/ atau badan-badan pemerintahan yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang dilakukan secara resmi pula oleh aparat Negara. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah: a.
HIR (Het Herzine Indonesich Reglement),
b.
RBg (Recht Regelement Buitegewesten),
c.
KUH Perdata,
d.
Peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki kaitan dengan objek penelitian (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Praturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Undang-Undang Nomor. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989),
e.
Putusan Pengadilan Agama Nomor 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
2.
Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer berupa literatur atau pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
45
3.
Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier adalah bahan hukumm yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.27
E. Metode Penyajian Hukum Bahan hukum dalam penelitian ini akan disajikan dengan cara teks normatif yaitu penyajian dalam bentuk uraian yang mendasarkan pada teori yang disusun secara logis dan sistematis. Keseluruhan bahan hukum yang diperoleh dihubungkan sedemikian rupa satu dengan yang lainnya dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti untuk menjawab permasalahan yang ada.
F.Metode Analisa Bahan Hukum Berdasarkan norma hukum yang tertulis saja tidak cukup untuk langsung diterapkan dalam fakta hukum. Rumusan norma masih abstrak sehingga diperlukan kegiatan penemuanHukum (rechtsvinding). Hakim dalam menemukan hukum ada tiga metode yaitu penafsiran hukum atau interpretasi, argumentasi dan konstruksi hukum.28
27
Amirudin, Dan H.Zainal, Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal 32. 28 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal. 76
46
1.
Interpretasi atau penafsiran, merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenaiteks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu secara: a.
Metode interpretasi subsumtif adalah penerapan suatu teks perundangundangan terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan silogisme.
b.
Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran yang yang menafsirkan undang-undang menurut arti katakata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hakim wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.
c.
Metode interpretasi secara Sistematis atau Dogmatis yaitu penafsiran yang
menafsirkan
peraturan
perundang-undangan
dihubungkan
dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena, terbentuknya suatu undangundang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlakusehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
47
d.
Metode interpretasi secara Historis yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya peraturan undang-undang yang bersangkutan.
e.
Metode interpretasi secara Teleologis atau Sosiologis yaitu cara penafsiran suatu ketentuan undang-undang untuk mengetahui makna atau yang didasarkan pada tujuan kemasyarakatan.
f.
Interpretasi Komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional.
g.
Interpretasi Antisipatif atau Futuristis yaitu cara penafsiran yang menjelaskan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.
h.
Interpretasi Restriktif adalah sebuah perkataan diberi makna sesuai atau lebih sempit dari arti yang diberikan pada perkataan itu dalam kamus atau makna yang dilazimkan dalam pada perkataan itu dalam kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.
i.
Interpretasi Ekstensif adalah sebuah perkataan diberi makna lebih luas ketimbang arti yang diberikan pada perkataan itu menurut kamus atau makna yang dilazimkan dalam percakapan sehari-hari.
j.
Interpretasi Otentik atau secara resmi dilakukan oleh pembuat undangundang sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan di dalam suatu peraturan. Hakim tidak diperkenankan
48
melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apayang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. k.
Interpretasi Interdisipliner biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.
l.
Interpretasi Multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lainnya di luar ilmu hukum. Dengan perkataan lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari dari disiplin ilmu yang berbeda-beda.
m.
Interpretasi dalam Kontrak atau Perjanjian adalah menentukan makna yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul kareananya.
n.
Interpretasi dalam Perjanjian Internasional yaitu penafsiran dalam perjanjian-perjanjian internasional, baik yang diatur dalam Konvensi, pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan.
2.
Metode Argumentasi yaitu metode penemuan hukum yang diguanakan hakim apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Metode dalam argumentasi: a.
Metode Konstruksi Analogi (Argumentum Per Analogian) yaitu merupakan metode penemuan hukum dengan cara memasukan suatu perkara ke dalam lingkup pengaturan yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan.
49
b.
Argumentum a contratio atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
c.
Penyempitan Hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang ksusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciriciri.
3.
Konstruksi Hukum yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum) yang merupakan alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.
Bahan hukum yang telah diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan interpretasi atau penafsiran. Hal ini dilakukan, karena pada dasarnya baik hukum materill maupun hukum formil sudah memberikan pengaturan hukum terhadap suatu hubungan hukum yang ada dalam masyarakat.
50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN a.
Hasil Penelitian Hasil penelitian ini didasarkan pada data sekunder yaitu Putusan Nomor
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi, yang akan diuraikan sebagai berikut: 1.
Para Pihak Yang Berperkara 1.1. Ibu Rumah Tangga (Istri), umur 60 tahun, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal kota jambi, selanjutnya disebut sebagai pihak Penggugat. MELAWAN 1.2.
Laki-laki (Suami), umur 58 tahun, agama islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di kota jambi, selanjutnya disebut sebagai pihak Tergugat.
2.
Duduk Perkara 2.1. Dalam surat gugatan Penggugat Tertanggal 07 Maret 2013, yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jambi pada tanggal 07 Maret 2013 mengemukakan sebagai berikut: 2.1.1.
Bahwa antara penggugat dan tergugat adalah suami istri yang sah dan telah melangsungkan pernikahan di jawa pada tanggal 21 Mei 1980, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat
Nikah
Kantor
Urusan
Agama
(KUA)
51
sebagaimana bukti berupa Buku Kutipan Akta Nikah, yang dikeluarkan oleh KUA Semendo, Jawa Timur. 2.1.2.
Bahwa pada waktu akad nikah, penggugat berstatus perawan sedangkan tergugat berstatus jejaka dan sesaat setelah akad nikah, Tergugat mengucapkan sighat taklik talak yang isinya sebagaimana tercantum di dalam Buku Kutipan Akata Nikah;
2.1.3.
Bahwa setelah akad nikah Penggugat dan Tergugat hidup bersama sebagai suami istri dengan bertempat tinggal dirumah orangtua Penggugat di Jawa Timur lebih kurang selama 2 (dua) tahun, kemudian pada tahun 1982 pindah ke Jambi seperti alamat Penggugat tersebut diatas, kemudian pisah;
2.1.4.
Bahwa selama ikatan pernikahan, Penggugat dan Tergugat telah melakukan hubungan layaknya suami istri (ba’da dukhul), dan telah dikaruniai seorang anak bernama ANAK PENGGUGAT DAN TERGUGAT 1,, umur 31 tahun, sudah berkeluarga;
2.1.5.
Bahwa keadaan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat sebenarnya berjalan rukun dan harmonis, akan
tetapi
meninggalkan
pada
tahun
Penggugat
2007 tanpa
Tergugat
pergi
memberitahu
52
Penggugat kemana tujuan alamatnya sampai sekarang lebih kurang 6 (enam) tahun lamanya; 2.1.6.
Bahwa selama kepergiaannnya tersebut, Tergugat tidak pernah memberi nafkah wajib maupun kabar kepada Penggugat tentang keberadaannya, sedangkan Tergugat tidak meninglkan sesuatu yang dapat Penggugat manfaatkan sebagai nafkah;
2.1.7.
Bahwa penggugat telah berusaha mencari Tergugat, antara lain menanyakan kepada teman-temannya akan tetapi mereka tidak mengetahuinya dimana Tergugat berada;
2.1.8.
Bahwa atas sikap dan/atau perbuatan Tergugat tersebut, Penggugat telah sangat menderita baik lahir maupun bathin , dan oleh karenanya Penggugat tidak rela;
2.1.9.
Bahwa dengan demikian, Tergugat telah melanggar sighat taklik talak yang pernah diucapkannya, dan oleh sebab itu Penggugat mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Jambi;
2.2. Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan Agama jamb c/q Majelis Hakim untuk memeriksa
dan
mengadili
perkara
ini
serta
menjatuhkan putusan sebagai berikut: 2.2.1.
Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
berkenan
53
2.2.2.
Memutuskan hubungan perkawinan Penggugat dan Tergugat putus karena perceraian;
2.2.3.
Membebankan biaya perkara menurut hukum yang berlaku;
2.3. Apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya; 2.4. Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan, Penggugat tidak hadir menghadap dipersidangan dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakil atau kuasanya, ternyata berdasarkan berita acara relaas panggilan tanggal 18 april 2013 Nomor: 0225/Pdt.G/2013/PA.Jambi yang dibacakan dipersidangan, Penggugat tidak bertempat tinggal sesuai dengan surat gugatan Penggugat; 2.5. Menimbang, bahwa oleh karena alamat Penggugat tidak jelas, maka majelis berpendapat gugatan Pengguggat dinyatakan tidak dapat diterima (NO); 2.6. Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapat ini cukuplah Pengadilan menunjuk kepada berita acara perkara ini yang untuk selanjutnya dianggap termuat dan menjadi yang tak terpisahkan dari penetapan ini;
54
3.
Tentang Pertimbangan Hukumnya 3.1. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana yang telah diuraikan di atas; 3.2. Menimbang, bahwa oleh karena alamat Penggugat tidak jelas berdasarkan berita acara relaas panggilan, maka majelis berpendapat perkara Nomor : 0225/ Pdt.G/2013/PA.Jambi dinyatakan NO; 3.3. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) UndangUndang Nomor. 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 terakhir dengan perubahan Undang-Undang Nomor. 50 Tahun 2009, Maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat; 3.4. Mengingat segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hukum syara’ yang berkaitan dengan perkara ini;
4.
Putusan 4.1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard); 4.2. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dihitung sebesar Rp. 241.000,- (dua ratus empat puluh satu ribu rupiah).
55
b.
Pembahasan 1.
Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Gugatan Tidak Dapat Diterima Dalam Perkara Gugat Cerai Pada Putusan Nomor. 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi Proses penyelesaian perkara perdata melalui jalur pengadilan diawali dengan pengajuan gugatan oleh pihak yang merasa haknya terganggu atau dirugikan oleh pihak lain.Berdasarkan HIR dan RBg yang berlaku, penggugat bebas merumuskan surat gugatannya, sebab tidak diatur secara tegas oleh HIR dan RBg tentang syarat-syarat pembuatan suatu gugatan. Akan tetapi di dalam prakteknya, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam merumuskan sebuah gugatan. Beberapa ketentuan tersebut memang harus diperhatikan dalam merumuskan gugatan yang akan diajukan ke pengadilan yang berwenang sebab sangat mempengaruhi kesempurnaan gugatan. Sempurna tidaknya sebuah gugatan akan
berimplikasi terhadap
pertimbangan hakim dalam menilai sinkronisasi antara uraian yang menjadi
dasar
gugatan dengan tuntutan yang dimohonkan ke
pengadilan. Semakin jelas sebuah gugatan semakin memudahkan proses pemeriksaan. Kesempurnaan sebuah gugatan merupakan salah satu langkah awal penggugat untuk meyakinkan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut terkait dalil yang diuraikan
56
dalam surat gugatan. Gugatan yang dikatakan sempurna adalah surat gugatan dengan formulasi yang memenuhi syarat. Pasal 118/ 142 RBg dan Pasal 120 HIR/144 RBg, tidak menetapkan syarat formulasi atau isi gugatan.29 Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan praktik, ada kecenderungan yang menuntut formulasi gugatan yang jelas fundamentum petendi (posita) dan petitum sesuai dengan sistem dagvaarding. 1.
Identitas para pihak (penggugat/ pemohon dan tergugat/ termohon : a.
Nama (beserta bin/binti dan aliasnya),
b.
Umur,
c.
Agama,
d.
Pekerjaan
e.
Tempat tinggal. Bagi pihak yang tempat tinggalnya tidak diketahui hendaknya ditulis, “Dahulu bertempat di....tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia.’
f. 2.
Kewarganegaraan (jika perlu).30
Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/ peristiwa dan penjelasan yang berhubugan dengan hukum yang dijadikan dasar/ asalan gugat. Posita memuat : a.
29 30
Alasan yang berdasarkan fakta/ peristiwa hukum.
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradyana Paramita, Jakarta, 1993. Hal. 24 Mukti Arto, Op.Cit, Hal.40
57
b.
Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan
keharusan.
Hakimlah
yang
harus
melengkapinya dalam putusan nanti. 3.
Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh penggugat/ pemohon agar dikabulkan oleh hakim. Ketua/ hakim dapat membantu Penggugat / Pemohon atau
kuasanya dalam hal mengajukan gugatan / permohonan (Pasal 143 Rbg / Pasal 119 HIR).31 Gugatan yang syarat formilnya tidak terpenuhi maka gugatan tersebut dapat di katakan cacat formil.Terdapat berbagai macam cacat formil yang menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan akhir dengan dictum menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaar). Cacat formil yang dapat di jadikan dasar oleh hakim menjatuhkan putusan akhir yang bersifat negatif dalam bentuk amar menyatakan gugatan tidak dapat diterima, antara lain sebagai berikut :32 a.
Yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa khusus berdasarkan syarat yang diatur dalam Pasal 123 HIR jo. SEMA No.1 Tahun 1971 jo. SEMA No. 4 tahun 1996.
b.
31 32
Gugatan mengandung error in persona.
Mukti Arto.Loc.Cit.Hal 41. Yahya Harahap, 2011, Op.Cit. Hlm 888
58
Kemungkinan
adanya
cacat
seperti
ini
bisa
berbentuk
sebagai berikut :33 a)
Diskualifikasi in person, yakni yang bertindak sebagai penggugat tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Dalam kuasa yang demikian, penggugat tidak memiliki persona standi in judicio di depan PN atau terhadap perkara tergugat alasan
tersebut.
Dalam
hal
demikian,
dapat mengajukan exception in persona, atas diskualifikasi in person,
yakni
orang
yang
mengajukan gugatan bukanlah orang yang berhak dan mempunyai kedudukan hukum untuk itu. b)
Gemis aanhoedanigheid,
yakni pihak
yang ditarik
sebagai tergugat keliru. Misalnya, terjadi perjanjian jual beli antara A dan B. Kemudian A menarik C sebagai tergugat
agar C memenuhi perjanjian. Dalam kasus
tersebut, tidakan menarik C
sebagai
pihak
tergugat
adalah keliru, karena C tidak mempunyai hubungan hukum dengan A. c)
Plurium litis consortium, yakni yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Masih ada orang yang harus ikut dijadikan sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang
33
Ibid. Hlm. 438
59
dipersoalkan
dapat diselesaikan secara tuntas dan
menyeluruh. b.
Gugatan di luar yurisdiksi absolut atau relatif pengadilan. Apa yang disengketakan berada di luar kompetensi atau yurisdiksi absolut
peradilan
yang bersangkutan,
karena
perkara yang disengketakan termasuk kewenangan absolut peradilan lain. Kewenangan absolut merupakan kewenangan mengadili berdasarkan badan pengadilan dalam memerikasa jenis perkara tertentu. Misalnya, pengadilan tata usaha negara untuk sengketa tata usaha negara, pengadilan negeri dan pengadilan agama. Sedangkan kompetensi relatif merupakan kewenangan mengadili berdasarkan
wilayah
hukumnya.
Misalnya, gugatan diajukan ke PN tempat tinggal tergugat apabila objek sengketa adalah benda bergerak, untuk objek sengketa yang merupakan benda tetap, gugatan diajukan ke PN tempat benda tersebut berada, dan lain sebagainya.34 c.
Gugatan obscuur libel. Mengandung cacat
obscuur libel
yaitu gugatan penggugat
kabur, tidak memenuhi syarat jelas dan pasti (duidelijke en bepaalde conclusie) sebagaimana asas process doelmatigheid (demi kepentingan beracara). Hal tersebut juga diatur dalam
34
Ibid. Hlm. 889
60
Pasal 8 Rv. Makna gugatan yang kabur memiliki spektrum yang sangat luas, diantaranya bisa berupa : a)
Dalil
gugatan
atau
fundamentum
petendi,
mempunyai dasar hukum yang jelas. Suatu
tidak gugatan
dianggap kabur apabila dalil gugatan tidak menjelaskan dasar
hukum
dan
peristiwa
yang melatarbelakangi
gugatan. Misalnya, gugatan tidak menjelaskan
sejak
kapan dan atas dasar apa penggugat memperoleh objek sengketa. Tidak menjelaskan siapa saja yang berhak atas
harta
warisan.
Hal tersebut
ditegaskan dalam
Putusan MA No. 239 K/SIP/1968, bahwa oleh karena gugatan yang diajukan tidak berdasar hukum, harus dinyatakan tidak dapat diterima bukan ditolak. b)
Objek sengketa yang tidak jelas. Kekaburan objek sengketa sering terjadi mengenai tanah. Menurut M. Yahya Harahap, bahwa terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah, yaitu :35 1.
Tidak disebutnya batas-batas objek sengketa. Gugatan yang tidak menyebutkan batas objek tanah sengketa gugatan
35
Ibid. Hlm. 459
dinyatakan
tidak diterima.
obscuur Namun,
libel,
dan
penerapan
61
mengenai hal itu haruslah hati-hati dan kasuistik. Tidak dapat dilakukan secara generalisasi. Tidak semua gugatan yang tidak menyebut batas-batas secara rinci langsung dinyatakan kabur. Misalnya, objek sengketa terdiri dari tanah yang memiliki sertifikat. Dalam kasus demikian, penyebutan No. sertifikat, secara inklusif meliputi penjelasan secara terang dan pasti letak, batas dan luas tanah. Tidak ada . 2.
Luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat. Penerapan mengenai perbedaan luas tanah yang disebut dalam gugatan dengan hasil pemeriksaan setempat generalisasi
pun tidak tetapi
bisa
dilakukan secara
perlu dilakukan
secara
kasuistik. Sebagaimana kasus yang terdapat dalam Putusan MA No. 497 K/Pdt/1983. Dalam kasus tersebut, MA berpendapat bahwa PT telah salah dalam menerapkan hukum, karena menyatakan gugatan cacat atas alasan terdapat perbedaan luas yang mencolok mengenai ukuran tanah sengketa. Dalam gugatan disebutkan luas tanah 1.300 m2 , sedangkan dalam hasil pemeriksaan setempat luas tanah
adalah 8.900 m2, oleh karena
itu
objek
62
gugatan dikatakan kabur. Menurut MA, pendapat PT
tersebut
menyebut
tidak
tepat
batas-batas
pemeriksaan setempat
sebab gugatan
tanah,
dan
batas-batas
telah
pada itu
saat
disetujui
bersama oleh penggugat dan tergugat. Dengan begitu kekeliruan penggugat tidak mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima alasan
obscuur
dengan
libel. MA berpendapat bahwa
penetapan dan pengabulan luas tanah yang lebih besar (8.900 m2) dari yang disebut dalam gugatan (1.300
m2) dalam perkara
melanggar
asas
ultra
tersebut,
petitum
tidak
partium yang
digariskan Pasal 178 Ayat (3) HIR, karena luas yang dikabulkan masih dalam lingkup batas-batas tanah sengketa yang disebut dalam gugatan. 3.
Tidak disebutnya letak tanah. Mereka yang bersikap formalistic menghendaki penyebutan dengan jelas desa, kecamatan, dan kabupaten tempat tanah terletak. Apabila lalai menyebutnya,
gugatan
dianggap obscuur
libel.
Hal tersebut ditegaskan dalam putusan MA No. 1149 K/SIP/1975. Namun, ketika telah disebutkan No. Sertifikat dari objeksengketa tersebut, maka
63
secara inklusif didalam sertifikat, tercantum batas, letak desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan luas tanah. 4.
Tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang dikuasai tergugat. Tanah yang dikuasai tergugat ternyata tidak sama batasbatas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, oleh karena itu gugatan tidak dapat
diterima. Sikap
tersebut tertuang
dalam
putusan MA No. 81K/SIP/1971. c)
Petitum gugatan tidak jelas.Bentuk petitum yang tidak jelas antara lain sebagai berikut :36 1.
Petitum tidak rinci. Pada prinsipnya, petitum primair harus rinci. Apabila petitum primair ada secara rinci, baru boleh dibarengi dengan petitum subsidair secara rinci bono).
atau
berbentuk kompositur (ex aequo et
Pelanggaran
terhadap
hal
tersebut
mengakibatkan gugatan tidak jelas. 2.
Kontradiksi antara posita dengan petitum. Posita
dengan
petitum
gugatan harus saling
mendukung. Tidak boleh saling bertentangan atau 36
Ibid. Hal. 452
64
kontradiksi. Sehubungan dengan itu, hal-hal yang dapat dituntut dalam petitum,
harus
mengenai
penyelesaian sengketa yang didalilkan. Hanya yang didalikan dalam posita yang dapat diminta dalam petitum. 3.
Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem.Sesuai dengan Pasal 1917 KUHPerdata, apabila yang digugat telah pernah diperkarakan dengan kasus serupa dan putusan tentang itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap (res judicata) maka tidak boleh diajukan kembali untuk kedua kalinya.37
d)
Gugatan Masih Prematur. Sifat atau keadaan prematur melekat pada batas waktu untuk menggugat sesuai dengan jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian atau dengan kata lain, gugatan yang diajukan masih terlampau dini.
e)
Gugatan telah daluwarsa. Pasal
1941
KUHPerdata,
selain
merupakan
dasar
untuk memperoleh hak, juga menjadi dasar hukum untuk membebaskan (release) seseorang dari perikatan apabila telah lewat jangka waktu tertentu. Jika gugatan yang
37
Ibid.Hal.890
65
diajukan penggugat telah melampaui batas waktu yang ditentukan undang-undang untuk menggugatnya, berarti tergugat telah terbebas untuk memenuhinya. Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata gugat cerai dengan
Nomor
Register
Perkara
:225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini dapat dilihat dalam pertimbangan hakim pengadilan agama bahwa ternyata berdasarkan berita acara relaas panggilan tanggal 18 April 2013 Nomor :0225/Pdt.G/2013/PA.Jambi yang dibacakan dipersidangan, alamat penggugat tidak jelas. Berdasarkan pertimbangan hakim diatas dapat dianalisa, bahwa permohonan gugat cerai yang di ajukan oleh penggugat tidak memenuhi syarat formil yaitu tidak dicantumkannya alamat penggugat dalam surat gugatan Penggugat maka surat gugatan Penggugat tersebut menjadi cacat formil. Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata gugat cerai dengan
Nomor
Register
Perkara
:
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini mengenai ketidak hadiran Penggugat dalam persidangan yang telah ditentukan. Ketidak hadiran penggugat dalam persidangan yang telah ditentukan oleh majelis hakim dikarenakan alamat penggugat tidak jelas. Penggugat hanya menuliskan dalam surat gugatannya bahwa tempat tinggalnya berada di Kota Jambi tanpa menuliskan alamat
66
lengkapnya. Seperti yang kita ketahui bahwasannya kota jambi itu adalah sebuah kota yang wilayahnya sangat luas yang berada di Provinsi Jambi. Akibat dari penggugat tidak menuliskan alamat tempat tinggalnya dengan jelas dalam surat gugatan penggugat, Hakim dapat memberikan Putusan Gugatan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaart) karena surat gugatan penggugat tidak memenuhi syarat formil sebuah gugatan.Namun, karena dalam kasus ini yang menjadi pertimbangan hakim adalah ketidak hadiran Penggugat dalam persidangan seperti yang tercantum dalam putusan perkara
Nomor.
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi.
Hakim
harusnya
memberikan putusan gugur bukan putusan gugatan tidak dapat diterima (niet Onvankelijk Verklaart). Pasal 124 HIR/ 148 RBg. Jika penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan, atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadiri padahal telah dipanggil dengan patut, dalam kasus yang seperti itu : •
Hakim
dapat
dan
berwenang
menjatuhkan
putusan
menggugurkan gugatan penggugat, •
Berbarengan dengan itu, penggugat dihukum membayar biaya perkara.
Akibat hukum yang timbul dari putusan tersebut, dijelaskan dalam pasal 77 Rv:
67
1.
Pihak tergugat, dibebaskan dari perkara dimaksud Putusan pengguguran gugatan yang didasarkan atas keinginan penggugat menghadiri sidang pertama, merupakan putusan akhir (eind vonnis) yang bersifat menyudahi proses pemeriksaan meskipun pokok perkara secara formil. Artinya, putusan itu mengakhiri pemeriksaan meskipun pokok perkara belum diperiksa. Itu sebabnya undang-undang menyatakan pihak tergugat tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet.
2.
Terhadap putusan pengguguran gugatan tidak dapat diajukan perlawanan atau verzet. Terhadap putusan tersebut, tertutup hak penggugat untuk mengajukan perlawanan atau verzet. Sifat putusannya : a.
Langsung mengakhiri perkara, karena itu langsung pula mengikat kepada para pihak atau find and binding.
b.
Selain terhadapnya tidak dapat diajukan perlawanan, juga tertutup upaya hukum, sehingga tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
3.
Penggugat dapat mengajukan gugatan baru Satu-satunya jalan yang
dapat
ditempuh
penggugat
menghadapi
putusan
pengguguran gugatan, hanya: a.
Mengajukan gugatan baru dengan materi pokok perkara yang sama, karena dalam putusan pengguguran gugatan
68
tidak melekat ne bis in idem, sehigga dapat lagi diajukan sebagai perkara baru. b.
Dan untuk itu, penggugat dibebani membayar biaya perkara karena biaya yang semula telah dibayarkan untuk gugatan yang digugurkan.38
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata gugat cerai dengan
Nomor
Register
Perkara
:
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi
ditemukan fakta hukum bahwa hakim langsung memberikan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaart) setelah melakukan panggilan relaas tanggal 18 April 2013 kepada penggugat tanpa memanggilnya sekali lagi untuk hadir dalam persidangan. Hal ini tidak sesuai dengan Pasal 126 HIR/150 RBg yang menyatakan bahwa sebelum menjatuhkan putusan, Hakim dapat memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir untuk hadir dalam persidangan selanjutnya yang telah ditentukan waktu dan tanggalnya. Berdasarkan hal yang telah di uraikan diatas dapat kita ketahui bahwa mengenai pertimbangan hukum hakim atas ketidak hadiran Penggugat dalam persidangan yang telah ditentukan pada putusan Nomor:225/Pdt.G/2013/PA.Jambi, hakim seharusnya memberikan putusan gugur karena penggugat telah dipanggil secara patut untuk hadir dalam persidangan namun tidak hadir dan tidak pula menyuruh wakil atau kuasanya untuk hadir. Hal ini sesuai dengan Pasal 124
38
Yahya Harahap.Op.Cit.Hal 873-874
69
HIR/148 RBg yang mengatakan bahwa ketika penggugat tidak hadir dalam persidangan setelah di panggil secara patut oleh majelis hakim maka akan di putus gugur.
2.
Akibat Hukum Terhadap Gugatan Yang Tidak Dapat Diterima Dalam
Perkara
Gugat
Cerai
Pada
Putusan
Nomor.
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi Mendasarkan kepada pembahasan rumusan masalah yang pertama, yang pada intinya bahwa hakim seharusnya menjatuhkan putusan gugur karena ketidak hadiran penggugat dalam persidangan yang telah ditentukan. Akan tetapi, majelis hakim pengadilan Agama jambi berpendapat lain dan menjatuhkan putusan terhadap perkara Nomor. 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi yang amarnya sebagaimana data 4.1. dan 4.2. Didalam hukum acara perdata dikenal suatu adagium bahwa hakim tidak dapat dipersalahkan oleh putusan yang dijatuhkan walaupun itu nyata-nyata dalam penerapan hukum yang termuat dalam pertimbangannya keliru/tidak tepat atau dengan kata lain putusan hakim harus dianggap benar (res judicato pro veritate habetur). Akibat dari putusan hakim yang menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaart) dalam perkara perdata gugat
cerai
dengan
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi,
Nomor Penggugat
Register dapat
Perkara: mengajukan
70
gugatannyakembali ke Pengadilan Agama Jambi setelah memperbaiki gugatannya.
71
BAB V PENUTUP A.
SIMPULAN 1.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jambi dalam memutus perkara Nomor. 225/Pdt.G/2013/PA.Jambi tidak cermat karena pertimbangan hukum hakim atas ketidakhadiran Penggugat dalam persidangan yang telah dipanggil secara patut makaseharusnya hakim menggunakan Pasal 124 HIR/148 RBg yakni menjatuhkan putusan gugur dan membebankan kepada penggugat untuk membayar ongkos perkara bukan putusan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet Onvankelijk Verklaart) .
2.
Akibat hukum dari gugatan tidak dapat diterima pada putusan perkara Nomor.
225/Pdt.G/2013/PA.Jambi,
mengajukan
gugatan
kembali
ke
maka
penggugat
persidangan
dengan
dapat jalan
memperbaiki atau menghilangkan cacat formil yang terdapat pada gugatan.
72
B.
SARAN 1.
Majelis Hakim Pengadilan Agama Jambihendaknya lebih cermat dan teliti dalam memberikan pertimbangan hukum dan memutus suatu perkara dalam perkara gugat cerai.
2.
Hakim harus memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai yaitu ilmu hukum, pandai, cermat dan memiliki kompetensi sebagai hakim agar putusan yang dihasilkan tidak salah atau keliru.
3.
Penggugat yang hendak mengajukan gugatan ke pengadilan harus melengkapi syarat formil gugatan serta mengikuti dengan serius persidangan yang berlangsung.
73
DAFTAR PUSTAKA LITERATUR
Abdul Manan, 2006, Penerapan Hukum Acara Perdata Dilingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Prenanda Media Group. Bakri A. Rahman Dan Ahmad Sukardja, 1981, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam, Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Perdata/Bw, Jakarta: Hidakarya Agung. Cholil Mansyur, 1994, Sosiologi Masyarakat Kota Dan Desa, Surabaya: Usaha Nasional. Halim, Ridwan, 1996, Hukum Acara Perdata (Dalam Tanya Jawab), Jakarta: Ghalia Indonesia. Harahap, M. Yahya, 2004, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Johnny,2005,
Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Surabaya: Bayu Media. Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Merzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Media Group. Mukti Arto, 1996, Praktek-Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
74
Prints, Darwan, 1997,Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, Cetakan Ketiga Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti. Slamet Abidin Dan Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia. Rasyid Roihan, 2001, Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada. Rony Hanintijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Jakarta: Ghalila Indonesia. Soekanto Soerjono, Mamudji Sri, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sutiyoso, Bambang,2007, Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: Uii Press.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
..............,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaannya
..............,
Kompilasi Hukum Islam
75
WEBSITE http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/03/pengertian-perceraian.html pada tanggal 21 maret 2014 http://fyoonamyart.blogspot.com/2012/10/perceraian-definisi-faktorpenyebab.html diakses pada tanggal 27 maret 2014
diakses