PURA SUBAK KEDANGAN: KAJIAN BENTUK BANGUNAN DAN PERANNYA DALAM SISTEM SUBAK Dr. Wanny Rahardjo Wahyudi dan Ni Nengah Kristanti Supraba, S.Hum Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16431, Indonesia
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Skripsi ini membahas bangunan Pura Subak Kedangan dan perannya di dalam sistem irigasi subak. Tujuan penelitian ini untuk merekonstruksi kegiatan religi pada masa Bali kuno lewat peninggalan bangunan Pura Subak Kedangan dan mengetahui perannya terhadap kegiatan irigasi subak serta kegiatan-kegiatan religi yang dilakukan di pura ini. Di dalam skripsi ini dijabarkan mengenai konsep subak serta fungsinya dalam hal religi, bangunan Pura Subak Kedangan secara keseluruhan dan tinggalan-tinggalan arkeologi di dalamnya, fungsi setiap bangunan dan makna simbolik ornamen hiasnya, serta upacara-upacara ritual padi yang dilakukan. Melalui penjelasan mengenai bangunan pura dan ritual upacara yang dilakukan, dapat diketahui bagaimana peran Pura Subak Kedangan dalam sistem subak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Peran Pura Subak Kedangan sangat berkaitan dengan kesuburan serta kemakmuran kegiatan pertanian dan persawahan milik para penyungsungnya.
Pura Subak Kedangan: Study of The Building Form and Its Role in Subak System Abstract This thesis discusses Pura Subak Kedangan building and its role in the subak irrigation system. The purpose of this study to reconstruct the religious activities in the period of ancient Bali through Pura Subak Kedangan and know its role on subak irrigation activities and religious activities are performed in this temple. In this thesis described about subak concept and the religious function, Pura Subak Kedangan building overall and and archaeological remains in it, the function of every building dan symbolic meaning of the ornament, and rice (paddy) ritual ceremonies are performed. Through the description of the building of temples and ritual ceremonies, it can be seen how the role of Pura Subak Kedangan in subak system. Based on the survey results revealed that the role of Pura Subak Kedangan is associated with fertility and prosperity of agriculture and paddy fields belonging to local people. Keywords : Pura Subak (Subak Temple), Pelinggih, Ceremoy, Banten
I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Peninggalan arkeologi di Indonesia yang berupa karya arsitektur, di awal perkembangannya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur keagamaan, terutama agama Hindu. Salah satu karya arsitektur di Indonesia yang dipenuhi oleh unsur-unsur yang sifatnya sakral adalah arsitektur tradisional Bali, salah satunya adalah bangunan pura (Achmadi, 2009: 107). Dari sekian
banyak bangunan pura yang ada di Bali, ternyata setiap pura memiliki ciri khas dan susunannya sendiri yang tidak sama satu dengan yang lainnya (Soekmono, 1974: 306). Antara satu pura dengan pura yang lainnya tidak memiliki kesamaan dalam hal gaya arsitektur bangunan maupun penempatan bangunan di setiap halamannya (Rata, 1991: 89). Pola dasar dalam pembagian halaman suatu Pura terdiri dari tiga halaman yang mengacu pada letak gunung (kaja/utara) dan laut (kelod/selatan). Setiap
1 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
halaman pura memiliki fungsinya masing-masing dan halaman yang paling sakral adalah halaman yang terdapat di bagian dalam. Pura dibagi menjadi beberapa kategori sesuai dengan umat/penyungsung pura dan juga ikatan sosial. Salah satu kategori pura yang berperan penting bagi masyarakat Bali adalah pura subak. Perhatian yang cukup besar pada pelaksanaan upacara ritual di pura subak dikarenakan Bali merupakan daerah agraris yang menggantungkan kehidupannya pada pertanian (Rata, 1991: 41). Fungsi utama subak adalah mengatur pengairan dalam kegiatan pertanian pada persawahan yang meliputi, mengatur jaringan irigasi, mengatur pembagian air, mengatur penggiliran pola tanam, serta melaksanakan kegiatan upacara (Sirtha, 2008: 1). Lebih lanjut Sutawan (2008: 32) mengatakan bahwa, “ritual yang dilakukan oleh para petani yang tergabung dalam wadah organisasi subak, adalah kegiatan yang sangat penting bahkan mungkin terpenting dalam kehidupan subak.” Dari beberapa pura subak yang masuk ke dalam peninggalan sejarah dan purbakala propinsi Bali, terdapat salah satu pura subak kuno di Kabupaten Gianyar yaitu Pura Subak Kedangan. Pura Subak Kedangan sudah terinventarisasi sebagai peninggalan sejarah dan purbakala (benda tidak bergerak) Provinsi Bali dengan nomor 1754. pura subak ini juga memiliki peninggalanpeninggalan arkeologis yang ditempatkan pada bagian halaman dalamnya. Tidak mengherankan apabila pura subak yang berada di daerah Bedulu ini menyimpan benda-benda kuno karena merupakan bekas daerah perkembangan kerajaan Bali kuno yang berasal dari kurang lebih abad ke 8 sampai abad ke 14 (Soekatno, 1993: 6-7). Dari beberapa tinggalan arkeologi, arca Buddha boddhisattwa yang terdapat di Pura Subak Kedangan digolongkan sebagai arca yang berasal dari kurang lebih abad 8-10 M (Stutterheim, 1929: 30; Astawa, 2007: 49-52). Diperkirakan Pura Subak Kedangan berasal dari masa setelah itu, sekitar abad 14 pada saat perkembangan Kerajaan Bali kuno (Partiwi, 1981: 12). Arsitektur Pura Subak Kedangan sangat mungkin mewakili gaya arsitektur pura subak di Bali pada masa awal perkembangannnya atau sekitar abad 14. Selain itu, peletakkan bangunan pelinggih berdasarkan orientasi arahnya, alasan penempatan setiap arca di bangunan pelinggih, serta bentuk dan ragam hias setiap bangunan pelinggih di Pura Subak Kedangan menarik untuk dikaji karena menunjukkan kekhasan salah satu peninggalan arkeologi di abad 14. Belum banyak penelitian mengenai bentuk bangunan suatu pura subak dan seperti apa perannya bagi masyarakat penyungsung pura. Dari kajian mengenai bentuk bangunan Pura Subak Kedangan akan
mengarah pada fungsi bangunan serta kaitannya dengan kegiatan-kegiatan religi yang dilakukan. 1.2 Masalah Daerah Bedulu, lokasi Pura Subak Kedangan, merupakan daerah bekas perkembangan Kerajaan Bali Kuno sekitar abad ke-8 hingga abad ke-14. Pura Subak Kedangan yang diperkirakan berasal dari abad ke-14, adalah salah satu pura yang mendapat pengaruh konsep keagamaan baru dari Dang Hyang Nirartha tentang pemujaan kepada dewa lewat media pelinggih dan meletakkan arca dewa di pelinggih. Dari konsep baru itulah, pura tidak lagi menggunakan arca sebagai media pemujaan dan menggantinya dengan pelinggih (Boedhijono, 2001: 53). Dari penjelasan-penjelasan tersebut, permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan bentuk bangunan Pura Subak Kedangan, bangunan pelengkap upacara, serta peran Pura Subak Kedangan dalam sistem subak dilihat dari upacara ritual yang dilakukan dan konteksnya dengan saluran irigasi subak. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi kegiatan religi pada masa Bali kuno lewat peninggalan Pura Subak Kedangan. Dengan penjelasan mengenai penataan bangunan di halaman Pura Subak Kedangan dan bentuk bangunannya, diharapkan dapat mengetahui bentuk bangunan Pura Subak Kedangan secara keseluruhan. Tidak hanya unsur dari bentuk bangunan yang dijadikan tujuan dalam rencana penelitian ini, tetapi juga untuk mengetahui ragam hias baik ornamen maupun elemen-elemen bangunan, penataan bangunan berdasar konsep arah, dan fungsi masing-masing bangunan yang terdapat di Pura Subak Kedangan. Selain bertujuan untuk mengetahui arsitektur bangunan pura, tujuan lain yang ingin dicapai adalah mengetahui perannya terhadap kegiatan irigasi subak dan kegiatan-kegiatan religi yang dilakukan di pura ini.
II. Metode Penelitian 2.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan dilakukan dengan mencari literatur-literatur yang berisi informasi mengenai Pura Subak Kedangan. Literatur-literatur yang dikumpulkan berupa laporan-laporan penelitian yang dilakukan di Pura Subak Kedangan yang dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Bali, arsip-arsip berupa foto, sketsa Pura Subak Kedangan yang disimpan BP3, dan juga naskah ritual upacara padi pada masa bali kuno yang ditulis oleh Dukuh Banyol kepada Mpu Jagul. Pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan
2 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
pengambilan gambar, pengukuran, dan deskripsi secara keseluruhan. Selain itu juga dilakukan studi etnografi dan wawancara untuk pengumpulan data berupa kegiatan upacara ritual keagamaan yang berhubungan dengan pertanian dan pura subak. 2.2 Pengolahan Data Analisis data dimulai dengan deskripsi mengenai bentuk, ukuran, hiasan, orientasi, serta benda-benda arkeologi yang terdapat di dalamnya. Dari hasil deskripsi yang dilakukan tersebut data diklasifikasikan ke dalam tipe dan fungsi, lalu dapat dilakukan analisis mengenai bentuk bangunan pura dan fungsi masing-masing bangunan yang terdapat di dalamnya. Analisis lain juga dilakukan terhadap tata letak bangunan di Pura Subak Kedangan dengan membuat sketsa dan denah bangunan. Setelah analisis mengenai kajian bentuk bangunan pura secara keseluruhan, dilanjutkan dengan penelitian mengenai fungsi masing-masing bangunan dan upacaraupacara apa saja yang dilakukan di Pura Subak Kedangan ini. Beberapa informasi di dapat langsung dari kepala subak di desa tersebut dan juga literatur-literatur mengenai upacara-upacara padi yang ada di Bali. 2.3 Penafsiran Penafsiran dilakukan dengan melihat fungsi dari masing-masing pelinggih, upacara-upacara ritual yang dilakukan, serta melihat hubungan pura dengan bangunan irigasi subak. Penafsiran dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk bangunan Pura Subak Kedangan secara keseluruhan dan perannya terhadap kegiatan irigasi subak terutama di desa yang dinaunginya.
III. Kajian Bentuk Bangunan Pura Subak Kedangan 3.1 Letak dan Kondisi Lingkungan Pura Secara administratif, Pura Subak Kedangan terletak di Dukuh Kedangan, Banjar Buruan, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Letak Pura Subak Kedangan cukup sulit dicapai karena lokasi pura yang berada di tengah-tengah areal persawahan. Untuk mencapainya, dapat ditempuh melalui perempatan Bale Banjar Buruan ke arah barat, lalu pada perempatan kantor Desa Buruan belok ke kanan hingga di ujung jalan akan sampai di Pura Desa. Dari Pura Desa, perjalanan dilalui dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang sudah disemen. Setelah berjalan menyusuri jalan tersebut yang berjarak sekitar 500 m, maka sampailah di Pura Subak Kedangan. Sesuai dengan namanya, Pura ini terletak di areal persawahan subak kedangan yang terhampar luas. Pura Subak Kedangan menaungi dua Desa di kecamatan Blahbatuh, yaitu Desa Buruan dan Desa Wanayu. Pura ini disungsung oleh 160 penyungsung subak Desa Buruan
dan 135 penyungsung subak Desa Wanayu (Purniti, 2008: 6-7). 3.2 Sejarah Singkat Pura Cukup sulit untuk mengetahui waktu pastinya Pura Subak Kedangan dibangun karena tidak terdapat sumber tertulis, baik prasasti maupun lontar yang menyebutkan tahun dibangunnya pura ini. Pura Subak Kedangan merupakan salah satu tinggalan benda tidak bergerak Provinsi Bali yang terletak di Kabupaten Gianyar dan menyimpan peninggalan arkeologi berupa arca, fragmen arca, lingga, dan lainnya. Arca yang menjadi pusat perhatian dan banyak diteliti yang tersimpan di pura ini adalah Arca BodhisatwaAvalokitesvara yang diperkirakan berasal dari masa Hindu-Bali, sekitar abad VIII-X Masehi (Astawa, 2007: 52). Jika dilihat dari perkiraan usia arca Bodhisatwa di Pura Subak Kedangan yang berasal dari sekitar abad VIII-X Masehi, maka dapat diperkirakan Pura Subak Kedangan dibangun pada masa atau abad setelah itu. Pura Subak Kedangan sering dikaitkan dengan cerita Ki Dukuh Gedangan yang sangat populer di daerah sekitar pura tersebut. Masyarakat sekitar meyakini apabila penamaan pura diambil dari nama Ki Dukuh Gedangan tersebut. Ki Dukuh Gedangan merupakan seorang dukuh/pendukuhan yang hidup saat Raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Benten dan berkuasa pada sekitar tahun 1300-an (Partiwi, 1981: 12). Dari pertanggalan yang telah disebutkan, dapat diperkirakan bahwa Pura Subak Kedangan telah ada sejak sekitar abad ke-14 Masehi. Namun untuk kepastian mengenai tahun berapa bangunan pura tersebut dibangun, perlu penelitian lebih lanjut dan kajian pustaka lebih dalam terutama dalam kajian lontar mengenai sejarah daerah Bedulu dan pura kuno disekitarnya. 3.3 Bangunan Pura Subak Kedangan Denah Pura Subak Kedangan secara keseluruhan berbentuk persegi panjang dengan luas kurang lebih 680 m2 berukuran 36,8 m x 18,5 m. Bangunan pura membentang dari arah timur/kangin ke barat/kauh dan berorientasi ke arah ke timur. Pura Subak Kedangan terdiri dari dua halaman, yaitu halaman luar atau jaba dan halaman dalam atau jeroan. Di halaman luar atau jaba terdapat bangunan yang bersifat profan dan sakral, yaitu Perantenan, Wantilan, dan Pelinggih Apit Lawang. Pada halaman dalam atau jeroan terdapat bangunanbangunan sakral sebagai pelinggih utama dan bangunan penunjang/pelengkap yang bersifat profan sebagai berikut: Pelinggih Ratu Masceti, Pelinggih Ratu Batu Klotok, Pelinggih Ratu Gunung Agung, Pelinggih Ratu Gunung Lebah, Peliyangan, Pelinggih Ratu Wanayu, Pesamuan Agung, Pelinggih Ratu Samuan Tiga, Pelinggih Ratu Rambut Siwi, Pelinggih Ratu Uluwatu, Pelinggih Ratu Sakenan, Panggungan, dan Piyasan. Antara halaman luar/jaba dan halaman dalam/jeroan
3 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
dipisahkan oleh tembok pembatas/penyengker dan pintu masuk atau gapura Kori Agung. Perantenan atau bangunan dapur suci berada di sisi selatan halaman luar atau jaba. Sesuai dengan namanya, bangunan ini berfungsi sebagai dapur untuk memasak yang biasanya digunakan pada saat persiapan upacara ritual. Perantenan berorientasi ke arah utara/kaja. Denah bangunan perantenan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 9,3 m x 4 m. Perantenan ditopang dengan tiang (saka) kayu berjumlah 8 dan berbentuk bangunan semi terbuka yang tidak memiliki pintu. Wantilan merupakan bangunan serbaguna yang biasa digunakan untuk bermusyawarah, berkumpul, atau kegiatan lain yang menyangkut persiapan upacara. Wantilan berada di sisi utara halaman luar atau jaba Pura Subak Kedangan. Bangunan ini berorientasi ke arah selatan/kelod menghadap perantenan. Denah wantilan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 10 m x 5,8 m. Wantilan ditopang dengan tiang (saka) kayu berjumlah 6 dan terdapat umpak pada bagian bawahnya. Bangunan ini berbahan dasar batu bata dan semen, lalu atapnya ditutupi dengan genteng dan rangka atapnya (iga-iga) dari bambu, sama halnya dengan perantenan. Di halaman luar Pura Subak Kedangan terdapat dua buah Pelinggih Apit Lawang. Pelinggih Apit Lawang terletak di depan pintu masuk atau gapura Kori Agung, tepatnya di sisi kiri dan kanan. Pelinggih Apit Lawang ini terletak di sisi barat halaman luar atau jaba dan berorientasi ke arah timur/kangin. Pelinggih Apit Lawang termasuk ke dalam tipe pelinggih beratap (tugu) yang memiliki ukuran 47 cm x 47 cm dan berbahan dasar batu padas. Pelinggih Apit Lawang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu kaki (bataran/bebaturan), tubuh (pepalihan), dan kepala atau atap. Terdapat hiasan di bagian kaki/bebaturan namun sudah aus berupa Patra BunBunan (hiasan jenis flora yang tergolong tumbuhan berbatang jalar). Pada bagian tubuh (pepalihan), keduanya juga memiliki bentuk yang sama yaitu berbentuk seperti tiang kubus tanpa hiasan yang menjulang ke atas dengan relung diatasnya. Pelinggih Apit Lawang berfungsi sebagai penjaga lingkungan Utamaning Mandala (halaman jeroan pura). Pada bagian kepala atau atap memiliki bentuk pelana kampyah atau limasan yang bertingkat 3. Puncak atap berupa paso atau murdha berornamen dengan bentuk menyerupai kuncup bunga. Murdha atau paso yang umum terdapat pada penutup puncak atap pelinggih merupakan suatu elemen pengikat. Dwijendra (2008: 95) mengatakan, “Elemen ini berfungsi untuk mengikat bagian-bagian dari pelinggih. Elemen pengikat tersebut adalah murdha. Karena itu, pelinggih ini dapat dikatakan memiliki pola yang memusat. Murdha selain elemen pengikat juga berfungsi sebagai elemen estetika
bangunan, dan sebagai corak dari gaya arsitektur tradisional Bali.” Pura Subak Kedangan sebagai pura subak yang penyungsungnya memiliki kepentingan yang sama yakni pengairan sawah, memiliki bangunan-bangunan yang didirikan khusus pada halaman dalam atau jeroan untuk kepentingan para penyungsungnya tersebut. Soekmono (1974: 307) mengatakan, “Pelinggih adalah bangunan yang disediakan untuk bertakhta para dewa yang mempunyai kekuasaan langsung dalam pura itu”. Karena Pura Subak Kedangan merupakan pura subak, maka pelinggih-pelinggih yang terdapat di halaman dalam atau jeroan pura diperuntukkan kepada Dewa/Dewi yang berkaitan dengan kesuburan maupun pengairan pada sawah yang dinaungi oleh pura ini. Gapura Kori Agung merupakan pintu masuk ke halaman dalam/jeroan sekaligus pembatas antara halaman luar atau jaba dengan halaman dalam atau jeroan. Gapura ini merupakan bangunan pasangan masif dengan lubang atau pintu masuk beratap. Gelebet (2002: 108) mengatakan, “Bangunan Pura umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangannya menghadap ke timur ke arah terbitnya matahari”. Hal ini berbeda dengan Pura Subak Kedangan yang memiliki pintu masuk atau Gapura Kori Agung berorientasi ke arah timur, dan memasuki pura menuju ke arah barat. Gapura Kori Agung memiliki ukuran panjang 1,2 m; lebar 2,35 m; dan tinggi 5,25 m. Gapura ini berbahan dasar batu padas, dilengkapi dengan pintu kayu dan tiga buah anak tangga. Pintu masuk yang terbuat dari kayu tersebut berukuran lebar 73 cm dan tinggi 2 m. Gapura Kori Agung terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian kaki/bebaturan, bagian tengah/badan, dan kepala/atap. Di bagian kaki/bebaturan, terdapat ornamen hias flora berupa Patra Bali yang memiliki bentuk seperti ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dan daun-daun dihias lengkung-lengkung harmonis (Gelebet, 2002: 335). Selain Patra Bali, terdapat pula ornamen fauna berupa Karang Gajah atau Karang Asti di sudut-sudut bebaturan Kori Agung. Karang Gajah ini menggambarkan bentuk kepala gajah dengan belalai dan taring gading, serta bermata bulat besar. Ornamen hias Karang Gajah atau Karang Asti memiliki makna yang sesuai dengan kehidupan gajah di tanah Karang Asti yang ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut kaki atau bebaturan bagian bawah (Gelebet, 2002: 360). Ornamen hias fauna Karang Gajah digambarkan menonjol keluar dari bebaturan atau berupa pahatan relief tinggi (haut relief) yaitu pemahatan relief dengan ketebalan pahatan ½ sampai ¾ media batu (Munandar, 2011: 7) dan dipahat secara detail. Pada bagian tubuh, terdapat ornamen hias fauna berupa Karang Bhoma yang terletak diatas lubang pintu
4 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
Kori Agung. Karang Bhoma digambarkan dengan mata bulat berukuran besar dan mulut terbuka dengan taring yang besar. Hiasan Karang Bhoma pada Kori Agung dimaksudkan untuk melindungi pura dari energi atau halhal yang sifatnya negatif dan juga dimaksudkan supaya orang yang bermaksud jahat masuk kedalam pura, dihalangi oleh kekuatan raksasa itu. Bagian atap Kori Agung berbentuk limasan atau pelana kampyah, dan di sudut-sudutnya terdapat hiasan yang menonjol dan sering disebut dengan gegodeg, bentuknya menyerupai tanduk yang diukir dengan hiasan sulur-suluran, terdapat di ujung tiap sisi atap dan berjumlah 4. Terdapat 11 bangunan pelinggih di halaman dalam atau jeroan Pura Subak Kedangan yang terdiri dari pelinggih utama dan pelinggih runtutan (pelinggih pelengkap dengan fungsi –fungsi tertentu di suatu pura). Pelinggih Ratu Masceti terletak di sisi timur halaman dalam atau jeroan. Pelinggih ini berdenah segi empat dengan ukuran panjang 91 cm, lebar 91 cm, dan tinggi 2,83 m. Pelinggih Ratu Masceti berbahan dasar batu padas dan berorientasi ke arah barat/kauh. Termasuk ke dalam jenis pelinggih beratap atau tugu yang bentuknya menyerupai tiang kubus yang mengerucut atau mengecil di bagian atapnya. Pelinggih Ratu Masceti terbagi menjadi 3 bagian, yaitu kaki (bataran/bebaturan), tubuh (pepalihan), dan kepala atau atap. Pada bagian kaki/bebaturan terdapat ornamen hias fauna berupa Karang Gajah, Ornamen hias ini dibuat tidak menonjol keluar dari bagian bebaturan atau dipahatkan relief rendah (bass relief) yaitu penggambaran relief berupa pahatan hanya pada ¼ ketebalan media batu (Munandar, 2011: 7). Tubuh pelinggih bagian bawah (diatas bebaturan) dihiasi dengan ornamen hias fauna berupa Karang Goak (lihat foto 3.14) yang berbentuk menyerupai kepala burung gagak atau goak, memiliki paruh yang lebar, dan bermata bulat besar serta dipahatkan secara bass relief. Hiasan ini ditempatkan pada bagian atas bebaturan atau tubuh pelinggih karena memiliki makna yang sesuai dengan kehidupan gagak sebagai binatang bersayap yang hidup di atas (Gelebet, 2002: 360). Dibagian atasnya terdapat ornamen hias patra wangga yang menyerupai kembang mekar atau kuncup bunga yang dilengkapi dengan daun-daun berukuran lebar yang divariasikan dengan lengkung-lengkung (Gelebet, 2002: 333). Dibagian atasnya, terdapat ornamen hias lain yaitu patra pae dan kakul-kakulan. Pada tubuh bagian atas terdapat relung yang digunakan sebagai tempat untuk meletakkan sesajen berupa bunga atau canang sari. Atap pelinggih memiliki bentuk berupa pelana kampyah atau limasan bertingkat dengan hiasan gegodeg (berbentuk menyerupai tanduk) di setiap sudutnya. Pelinggih Ratu Batu Klotok merupakan pelinggih beratap (tugu) yang berbahan dasar batu padas dan
berorientasi ke arah barat/kauh. Secara bentuk, orientasi, dan hiasan pelinggih ini tidak jauh berbeda dengan Pelinggih Ratu Masceti. Sama halnya dengan Pelinggih Ratu Masceti, pada bagian kaki/bebaturan terdapat ornamen hias fauna berupa Karang Gajah atau Karang Asti di setiap sudutnya yang dipahatkan secara bass relief. Perbedaan yang nampak jika dibandingkan dengan Pelinggih Ratu Masceti, di bagian atas bebaturan pelinggih ini tidak terdapat ornamen hias fauna Karang Goak. Namun dibagian tubuh, terdapat ornamen hias flora yang menyerupai Patra Wangga. Bagian atap atau kepala pelinggih, memiliki bentuk pelana kampyah atau limasan bertingkat 5. Di setiap sudutnya diberi hiasan gegodeg (hiasan menonjol berbentuk tanduk) dan pada puncak penutup atap diberi hiasan paso atau murdha yang berbentuk menyerupai kuncup bunga, sama seperti Pelinggih Ratu Masceti. Pelinggih Ratu Gunung Agung terletak di sudut halaman dalam atau jeroan, tepatnya di sisi timur laut. Pelinggih Ratu Gunung Agung berdenah segi empat dengan ukuran panjang 55 cm, lebar 55 cm, dan tinggi 2,9 m. Pelinggih Ratu Gunung Agung merupakan Pelinggih Taksu, yaitu pelinggih yang berbahan dasar batu padas pada bagian kaki/bebaturan, material kayu pada bagian badan (rangka ruang), dan atap yang terbuat dari ijuk atau alang-alang (Dwijendra, 2008: 109-110). Pelinggih ini terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian bawah/bebaturan, bagian tengah disebut rangka ruang, dan bagian atas/atap. Di sudut-sudut bebaturan terdapat ornamen hias fauna Karang Gajah dengan pahatan bass relief. Bagian tengah pelinggih ini terdiri dari 2 bagian, yaitu 4 buah saka (tiang penyangga) dan 1 rong (ruang tempat menghaturkan sesajen). Di bagian tengah ini tidak terdapat ornamen hias baik patra maupun kekarangan. Bagian atap memiliki bentuk limasan yang terbuat dari bahan ijuk dan pada puncak atapnya diberi penutup atau bubugan berbahan dasar tanah liat yang dibakar yang disebut dengan Gebeh Bale. Gebeh Bale berfungsi sebagai pencegah terjadinya kerusakan pada atap yang berbahan ijuk akibat air hujan. Bentuk Gebeh Bale pada pelinggih ini menyerupai periuk terbalik dan tidak memiliki hiasan. Pelinggih Ratu Gunung Lebah terletak di sisi utara halaman dalam atau jeroan, berdenah segi empat yang berukuran panjang 60 cm, lebar 60 cm, dan tinggi 2,9 m. Pelinggih ini berorientasi ke arah selatan/kelod dan termasuk ke dalam Pelinggih Taksu, sama halnya dengan Pelinggih Ratu Gunung Agung. Bagian bawah/bebaturan berbahan dasar batu padas dan memiliki tinggi 69 cm. Bagian ini langsung menempel dengan permukaan tanah dan di setiap sudutnya terdapat ornamen hias fauna Karang Gajah yang dipahatkan secara bass relief. Sama halnya dengan Pelinggih Ratu Gunung Agung, bagian tengah/rangka ruang pelinggih ini
5 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
memiliki bentuk persegi panjang yang berbahan dasar material kayu. Pada bagian puncak atap, gebeh bale pelinggih ini memiliki bentuk seperti mahkota bertanduk dengan hiasan garis-garis diagonal, vertikal, dan horizontal. Bentuknya seperti periuk terbalik dan diatasnya membentuk hiasan menyerupai mahkota atau bantala. Pelinggih Peliyangan terletak di sisi utara halaman dalam atau jeroan. Menurut Gelebet, peliyangan biasanya terletak di sisi atau di sebelah pelinggih utama (2002: 162). Pelinggih Peliyangan berorientasi ke arah selatan/kelod dan berdenah persegi panjang dengan ukuran panjang 75 cm, lebar 70 cm, dan tinggi 2,9 m. Di bagian bawah/bebaturan terdapat ornamen hias fauna berupa Karang Gajah. Pada bagian atas bebaturan terdapat ornamen hias flora Patra Wangga yang Pada bagian atas bebaturan terdapat ornamen hias flora Patra Wangga yang dipahatkan secara bass relief (relief rendah). Sama seperti bagian tengah Pelinggih Ratu Gunung Agung dan Pelinggih Ratu Gunung Lebah, juga terdiri dari 2 bagian, yaitu 4 buah tiang penyangga atau saka dan 1 ruang tempat menghaturkan sesajen atau rong. Yang membedakan, di bagian atasnya terdapat ruang yang ditopang dengan sepasang tiang (Saka Anda). Hal inilah yang menjadi pembeda antara Pelinggih Peliyangan sebagai Pelinggih Taksu Agung. Gebeh Bale Pelinggih Peliyangan memiliki bentuk yang serupa dengan Gebeh Bale Pelinggih Ratu Gunung Lebah. Yang berbeda, di bagian teratas dari Gebeh Bale ini terdapat hiasan yang disebut Cili. Bentuknya seperti orangorangan kecil, menyerupai perwujudan seorang perempuan berwajah cantik. Cili merupakan simbol atau manifestasi Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan di Bali (Widia, 1989: 9) Pelinggih Ratu Wanayu terletak di sisi tengah halaman dalam atau jeroan. Pelinggih ini berorientasi ke arah barat/kauh dan berdenah segi empat dengan ukuran panjang 2,2 m; lebar 2,2 m; dan tinggi 3,92 m (lihat foto 3.23). Pelinggih Ratu Wanayu merupakan bangunan bertipe Gedong. Umumnya, bangunan Gedong berdenah bujur sangkar dengan ukuran sisi sekitar 1 m dan tinggi 3 m. Pelinggih Ratu Wanayu terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian bawah/bebaturan, bagian tengah, dan bagian atas/atap. Bagian bebaturan memiliki tinggi 85 cm, berbahan dasar batu padas dan sedikit campuran batu bata sebagai batu tambahan. Di bagian bawah/bebaturan terdapat ornamen hias fauna berupa Karang Gajah yang dipahatkan secara bass relief (relief rendah). Dibagian atasnya terdapat ornamen hias patra wangga dan patra bun-bunan. Pada bagian tengah atau rangka ruang, berbahan dasar material kayu. Bentuknya menyerupai bale yang merupakan altar sesajen dengan tiang (saka) kayu berjumlah 4. Bale atau altar sesajen tersebut memiliki 3
sisi terbuka dan dinding tertutup di sisi belakangnya. Di setiap bagian bawah saka atau tiang, terdapat hiasan patung fauna berupa patung singa (berwujud singa bersayap yang juga disebut Singa Ambara Raja yang melambangkan keagungan) berjumlah empat yang bermata bulat besar dan mulut terbuka dengan gigi taring. Patung singa ini memiliki fungsi sebagai umpak/sendi alas saka (tiang) dari keempat tiang penyangga. Bagian atap Gedong terdiri dari konstruksi kayu yang ditutupi dengan ijuk dan Gebeh Bale pada bagian penutup puncak atapnya. Konstruksi atap Gedong Pelinggih Ratu Wanayu terdiri dari Lambang, Sineb, Usuk/Iga-Iga, dan Petaka. Balok belandar (memanjang) disekeliling rangkaian tiang-tiang tepi disebut dengan Lambang. Lambang rangkap disatukan, dan lambang yang dibagian atas disebut dengan Sineb. Usuk-usuk atau rangka atap tradisional Bali disebut dengan Iga-Iga. Ujung atasnya menyatu dengan puncak atap, dan batang simpul yang menyatu di satu titik puncak itu yang disebut Petaka. Pesamuan Agung terletak di sisi utara halaman dalam atau jeroan. Pesamuan Agung berasal dari kata Pesamuan atau Peparuman yang berarti rapat atau pertemuan, sedangkan Agung berarti besar. Dalam hal ini, Pesamuan Agung secara simbolis sebagai tempat berkumpul, bertemu, dan berdialognya para Dewa Bhatara (Budhiartini, 2000: 36). Pesamuan Agung ini merupakan bangunan pelinggih utama di Pura Subak Kedangan. Pesamuan Agung berorientasi ke arah selatan/kelod dan berdenah segi empat dengan ukuran panjang 3,2 m; lebar 3,2 m; dan tinggi 4,53 m. Pesamuan Agung juga termasuk bangunan gedong yang terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian bawah/bebaturan, bagian tengah atau badan ruang, dan bagian atas/atap. Bagian kaki/bebaturan ini memiliki tinggi 90 cm dan di bagian depannya terdapat 4 buah anak tangga untuk menaiki pelinggih ini. Bebaturan berbahan dasar batu padas dan memiliki hiasan baik di bagian bawah, tengah, maupun atasnya. Ornamen hiasnya berupa Karang Gajah, Patra Wangga, dan Patra Punggel yang dipahatkan secara bass relief. Di bagian tengah atau badan ruang memiliki bentuk bangunan semi terbuka dengan sisi depan terbuka tanpa dinding sedangkan ketiga sisi lainnya tertutup dengan dinding yang terbuat dari bahan batu padas. Bagian tengah ditopang dengan 4 buah tiang (saka) kayu dan pada setiap bagian bawah tiang tersebut terdapat hiasan patung singa. Badan ruang pelinggih ini memiliki bentuk yang berundak, pada bagian bawah merupakan tempat diletakkannya rantasan (sesajen berupa kain yang diletakkan pada sebuah wadah yang disusun bertingkat). Di bagian atasnya, merupakan tempat diletakkannya lima buah arca dan fragmen arca yang dulunya ditemukan di pura ini. Bagian atap Pesamuan Agung memiliki bentuk
6 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
yang sama dengan Pelinggih Ratu Wanayu yang merupakan bangunan gedong. Konstruksi atap Pesamuan Agung terbuat dari kayu yang terdiri dari Lambang, Sineb, Usuk/Iga-Iga, dan Petaka. pada penutup puncak atapnya terdapat hiasan murdha atau paso berbentuk menyerupai mahkota atau disebut juga dengan bantala. Pelinggih Ratu Samuan Tiga terletak di sisi barat laut halaman dalam atau jeroan. Pelinggih ini berorientasi ke arah selatan/kelod dan berdenah persegi panjang dengan ukuran panjang 1,80 m; lebar 1,70 m; dan tinggi 2,92 m. Pelinggih Ratu Samuan Tiga termasuk dalam tipe Pelinggih Gedong, pada bagian kaki dibuat dari bahan batu padas, bagian tengah atau badan dari konstruksi kayu, dan bagian atap dari alang-alang. Pelinggih Ratu Samuan Tiga terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian kaki/bebaturan, bagian tengah atau badan ruang, dan bagian kepala/atap. Pada bebaturan bagian bawah terdapat ornamen hias fauna Karang Gajah yang dipahatkan bass relief (relief rendah), ditengahnya terdapat ornamen hias flora bujur sangkar berupa Patra Wangga, dan ornamen hias Patra Pae pada bagian paling atas bebaturan. Bagian tengah atau badan ruang merupakan perpaduan dari konstruksi batu dan kayu. Bagian badan ruang ini terdiri dari 4 saka (tiang) kayu yang ditopang dengan umpak batu pada bagian bawahnya. Bentuknya menyerupai bagian tengah Pesamuan Agung yakni semi terbuka, sisi depannya terbuka, dan ketiga sisi lainnya tertutup. Sama seperti Pelinggih Gedong lainnya, bagian atap terbuat dari bahan alam berupa alang-alang atau raab. Bentuknya bukan limasan seperti pelinggih lainnya, namun berbentuk trapesium. Bagian konstruksi atap Pelinggih Ratu Samuan Tiga terbuat dari bambu dan batang kelapa (seseh) yang terdiri dari Lambang, Sineb, Usuk/Iga-Iga, dan Dedeleg. Pelinggih Ratu Rambut Siwi terletak di sisi barat halaman dalam atau jeroan. Pelinggih ini berorientasi ke arah timur/kangin dan berdenah persegi panjang dengan ukuran panjang 2,35 m; lebar 2,20 m; dan tinggi 3,10 m. Sama halnya dengan Pelinggih Ratu Samuan Tiga, Pelinggih Ratu Rambut Siwi juga termasuk dalam tipe Pelinggih Gedong, dimana bagian kaki dibuat dari bahan batu padas, bagian tengah atau badan dari konstruksi kayu, dan bagian atap dari alang-alang. Secara bentuk dan hiasan secara keseluruhan, Pelinggih Ratu Rambut Siwi serupa dengan Pelinggih Ratu Samuan Tiga. Pelinggih Ratu Rambut Siwi terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian kaki/bebaturan, bagian tengah atau badan ruang, dan bagian kepala/atap. Bagian bawah/bebaturan terbuat dari batu padas dan memiliki tinggi 1 m. Pada bebaturan bagian bawah terdapat ornamen hias fauna Karang Gajah, Patra Wangga pada bagian tengah, dan Patra Pae pada bagian atas yang dipahatkan bass relief. Pada bagian atap, tidak nampak adanya perbedaan antara
pelinggih ini dengan Pelinggih Ratu Samuan Tiga. Bagian atap berupa raab dan bentuknya juga sama, yaitu trapesium. Pelinggih Ratu Uluwatu terletak di sisi selatan halaman dalam atau jeroan. Pelinggih ini memiliki ukuran panjang 1,65 m; lebar 1,60 m; dan tinggi 3,15 m. Pelinggih Ratu Uluwatu merupakan pelinggih beratap (tugu), yang membedakan adalah pada bagian bawah/bebaturan dibuat lebih lebar dari bagian tengah/badan. Pelinggih ini berbahan dasar batu padas dan berorientasi ke arah utara/kaja. Pelinggih Ratu Uluwatu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu kaki (bataran/bebaturan), tubuh (pepalihan), dan kepala atau atap. Pada bagian bebaturan, tidak terdapat ornamen hias berupa kekarangan ataupun patra. Di sudut-sudut bebaturan bagian atas dan bawahnya dihiasi dengan garis-garis yang dipahatkan lebih menonjol dari permukaannya. Pada bagian tubuh/pepalihan bentuknya berupa relung berukuran lebar 70 cm dan tinggi 70 cm. Pada bagian tengah ini tidak terdapat ornamen hias baik kekarangan ataupun patra. Bagian atas relung dihiasi dengan lekukan-lekukan menyerupai kurva. Relung digunakan sebagai tempat diletakkannya beberapa buah fragmen arca, sementara sesajen atau bunga (canang sari). Bagian atap memiliki bentuk limasan atau pelana kampyah bertingkat 5. Pada sudut-sudut atap diberi hiasan gegodeg (berbentuk menyerupai tanduk) dan penutup puncak atapnya berupa murdha atau paso. Pelinggih Ratu Sakenan terletak di sisi selatan halaman dalam atau jeroan. Pelinggih ini berdenah persegi panjang dan berukuran panjang 2,60 m; lebar 1,70 m; dan tinggi 1,30 m. Pelinggih ini memiliki bentuk yang berbeda dengan semua pelinggih di halaman dalam atau jeroan karena tidak memiliki bagian kepala/atap dan hanya terdiri dari bagian bawah/bebaturan serta bagian badan. Bagian bebaturan berbahan dasar batu bata merah dan sama sekali tidak dihiasi dengan ornamen hias, baik berupa kekarangan maupun patra. Bagian tengah berbentuk bangunan semi terbuka, dimana sisi depan terbuka dan ketiga sisi lainnya ditutupi dinding batu bata. Bagian tengah ini merupakan tempat diletakkannya tiga buah batu alam berukuran besar. Bangunan pelengkap upacara di halaman jeroan yaitu panggungan dan piyasan. Panggungan terletak di bagian tengah halaman dalam atau jeroan. Bangunan ini berukuran panjang 2,60 m; lebar 3 m; dan tinggi 3,44 m. Panggungan digunakan untuk meletakkan banten atau sesajen besar pada saat piodalan atau upacara-upacara besar yang dilakukan di pura ini. Selain itu, panggungan juga digunakan untuk menyimpan peralatan upacara, seperti periuk/kendi dari tanah liat yang digunakan untuk menampung air suci/tirtha. Panggungan merupakan bangunan terbuka tanpa dinding yang ditopang dengan 4 tiang/saka kayu. Bagian atap panggungan menyerupai
7 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
atap Pelinggih Ratu Samuan Tiga dan Pelinggih Ratu Rambut Siwi, memiliki bentuk trapesium dan terbuat dari bahan alam berupa alang-alang atau istilah tradisional Bali disebut raab. Piyasan atau Bale Piyasan terletak di sisi tenggara halaman dalam atau jeroan. Bangunan ini berdenah persegi panjang berukuran panjang 5,85 m; lebar 3,5 m; dan tinggi 4 m. Gelebet (2002: 163) mengatakan, “Fungsinya untuk tempat penyajian sarana-sarana upacara atau keaktifan serangkaian upacara”. Piyasan juga berfungsi sebagai tempat sulinggih/pedanda (pemimpin upacara) memimpin jalannya upacara ritual dan juga tempat meletakkan banten/sesajen besar. Di bagian tengah terdapat dua buah bale bambu yang berfungsi sebagai tempat duduk sulinggih/pedanda saat upacara dan juga untuk meletakkan sesajen. Bangunan piyasan terdiri dari 6 buah tiang (saka) kayu yang ditopang dengan umpak di setiap bagian bawah tiangnya. Bagian atap piyasan ditutupi dengan genteng dan berbentuk trapesium. Konstruksi atapnya atau rangka atapnya (iga-iga) dari bahan bambu.
IV.
Peran Pura Subak Kedangan dalam Sistem Subak
4.1 Fungsi Pelinggih Pelinggih yang terdapat di pura ini diklasifikasikan ke dalam 2 tipe yaitu pelinggih beratap atau tugu dan Pelinggih Gedong. Selain itu, ada pula pelinggih yang tidak diklasifikasikan berdasarkan bentuk, melainkan fungsinya yaitu pelinggih taksu. Masingmasing pelinggih ditujukan kepada satu manifestasi Tuhan atau Ida Bhatara yang berstana di suatu pura dan pelinggih tersebut sebagai perwakilan dari Dewa/Ida Bhatara di Pura Subak Kedangan. Mengingat Pura Subak Kedangan adalah pura subak, maka seluruh pelinggih yang terdapat di dalamnya ditujukkan bagi kemakmuran dan kesuburan kegiatan pertanian yang dilakukan para penyungsungnya. Pelinggih Ratu Masceti masuk ke dalam jenis/tipe pelinggih beratap atau tugu. Fungsi dasar Pelinggih Tugu adalah sebagai pelinggih atau tempat berstananya sarwa bhuta, khala, dan roh-roh halus lainnya. Biasanya Pelinggih Tugu diletakkan di bagian depan atau di bagian teben kelod/kauh (Gelebet, 2002: 157). Pelinggih ini sebagai tempat bersemayamnya Ida Bhatara Pura Masceti yang berkaitan erat untuk memohon keselamatan pada lahan sawah mereka agar terhindar dari serangan hama atau penyakit. Pelinggih Ratu Batu Klotok ditujukan kepada Ida Bhatara di Pura Batu Klotok (Klungkung) dan pemujaan terhadap Dewa Brahma sebagai dewa pencipta dan juga untuk memohon keselamatan pada tanah pertanian atau persawahan.
Pelinggih Ratu Gunung Agung merupakan salah satu Pelinggih Taksu di halaman dalam atau jeroan Pura Subak Kedangan. Pelinggih Taksu termasuk ke dalam pelinggih runtutan atau dalam istilah candi disebut perwara/pendamping. Menurut agama Hindu, Pelinggih Taksu merupakan pelinggih batu yang dibangun untuk memuja roh leluhur. Pelinggih Ratu Gunung Agung ditujukan kepada Ida Bhatara di Gunung Agung. Gunung Agung merupakan Mahamerunya pulau Bali yang sangat disakralkan dan dijadikan sebagai arah hadap dan orientasi suatu bangunan suci, serta diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Pelinggih Ratu Gunung Lebah juga termasuk Pelinggih Taksu. Pelinggih ini ditujukan kepada Ida Bhatara di Pura Gunung Lebah (Ubud) dan pemujaan kepada Sang Hyang Btari Danuring Gunung Batur. Pelinggih Gunung Agung dan Gunung Lebah merupakan simbolisme Sang Hyang Widhi yang menciptakan Rwa Bineda atau dua hal yang selalu bertolak belakang seperti, lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma (baik dan buruk), dan sebagainya. Peliyangan merupakan pelinggih runtutan yang biasanya terletak di sisi pelinggih utama. Peliyangan berasal dari kata liyang yang berarti senang atau bahagia. Pelinggih Peliyangan memiliki fungsi sebagai pelinggih yang dipuja guna mendapat kesenangan atau kebahagiaan bagi penyungsung pura terutama dalam hal kegiatan pertanian dan persubakan. Pelinggih Ratu Wanayu termasuk ke dalam bangunan pelinggih bertipe Gedong. Fungsi dari Gedong menyesuaikan pada dimana letak Gedong itu berada, apakah di pura atau di pemerajan (pura keluarga). Letaknya juga disesuaikan dengan siapa yang dipuja di Gedong tersebut. Pelinggih Ratu Wanayu ditujukan kepada Ida Bhatara atau dewa yang dipuja di Pura Gunung Sari (Bedulu, Gianyar). Pelinggih ini menjadi tempat berstananya (bersemayamnya) Ida Bhatara Pura Gunung Sari di Pura Subak Kedangan. Pesamuan Agung merupakan pelinggih yang juga termasuk dalam tipe Pelinggih Gedong. Pesamuan Agung di halaman dalam atau jeroan Pura Subak Kedangan sebagai pelinggih utama ditujukan kepada Dewi atau Ida Bhatara Sri yang merupakan dewi dari sumber kemakmuran. Seperti yang telah dikatakan pada bab sebelumnya bahwa pura subak merupakan pura yang didirikan di areal persawahan yang dipersembahkan kepada dewi padi atau Dewi Sri yang merupakan sakti Dewa Wisnu (Pringle, 2004: 20-21 dalam Estudiantin, 2003: 36). Di Pelinggih Pesamuan Agung inilah tempat berstananya (bersemayamnya) Dewi Sri yang dipuja oleh para penyungsung Pura Subak Kedangan. Pelinggih Ratu Samuan Tiga juga termasuk dalam tipe Pelinggih Gedong. Pelinggih ini ditujukan kepada Ida Bhatara di Pura Samuan Tiga (Gianyar). Pelinggih
8 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
ini memiliki fungsi untuk pemujaan terhadap kekuatan alam dan juga nenek moyang. Pelinggih terakhir yang juga termasuk dalam tipe Pelinggih Gedong adalah Pelinggih Ratu Rambut Siwi. Pelinggih Ratu Rambut Siwi ditujukan kepada Ida Bhatara di Pura Rambut Siwi (Kabupaten Jembrana). Pelinggih ini berfungsi untuk pemujaan terhadap Tuhan sebagai Ida Bhatara Rambut Siwi guna memohon terciptanya kehidupan agraris yang harmonis dan tetap menjaga agar bumi, udara, dan air tetap dalam fungsinya. Pelinggih Ratu Uluwatu ditujukan kepada Ida Bhatara Pura Uluwatu (Desa Pecatu). Pura Uluwatu adalah pura yang berperan sebagai salah satu Pura Kahyangan Jagat dan Pura Sad Kahyangan. Sebagai Pura Kahyangan Jagat, Pura Uluwatu merupakan pura yang ditujukan bagi pemujaan terhadap Tuhan sebagai Bhatara Rudra, penguasa arah barat daya (Purna, 2002: 150). Pelinggih terakhir adalah Pelinggih Ratu Sakenan, yang ditujukan kepada Ida Bhatara di Pura Sakenan yang merupakan pura di pulau serangan sekitar 8 km ke arah selatan Denpasar. Pura Sakenan merupakan pura yang dulunya digunakan sebagai tempat para anggota atau krama subak memohon berkat dari Tuhan. Pelinggih Ratu Sakenan, selain sebagai tempat berstananya Ida Bhatara Pura Sakenan juga dipuja agar terhindar dari segala macam penyakit yang dapat merusak tanaman di sawah seperti walang sangit maupun tikus, serta untuk memohon kesejahteraan hidup para penyungsung Pura Subak Kedangan. 4.2 Bangunan Irigasi dan Awig-Awig Subak Dilihat dari konteksnya, Pura Subak Kedangan merupakan pura yang berada di areal persawahan atau disebut juga persubakan. Di sekitar dan juga berbatasan langsung dengan bangunan pura, terdapat bangunan atau saluran irigasi subak (telabah) yang dibuat oleh para penyungsung Pura Subak Kedangan dari Desa Buruan dan Desa Wanayu. Bangunan/saluran irigasi (telabah) yang dibahas dalam hal ini adalah saluran/telabah yang terdapat di sisi utara dan sisi selatan Pura Subak Kedangan. Saluran irigasi dimulai dari Telabah Pemaron, yaitu saluran pembawa sekunder yang mengairi satu bagian tertentu dari wilayah persawahan subak, lalu Telabah Pemaron Cenik yang merupakan saluran pembawa tersier yang mengairi bagian-bagian dari wilayah yang lebih kecil lagi dari bagian wilayah subak yang diairi oleh Telabah Pemaron Gede, sampai ke Telabah Pengalapan yang merupakan saluran kuarter yang mengairi satu atau lebih blok sawah milik petani perorangan. Saluran pembagi air/telabah yang terdapat di sisi utara Pura Subak Kedangan merupakan Telabah Pemaron. Saluran ini membagi air ke dalam 2 tenah (saluran) di wilayah Desa Buruan/Subak Kedangan Buruan, yaitu sub subak/tempek kelompok timur dan sub subak/tempek kelompok barat. Lebar saluran tersebut
adalah 3 m, saluran yang mengalirkan air ke wilayah barat lebarnya 110 cm, dan saluran yang mengalirkan air ke wilayah timur lebarnya 124 cm. Di tengah-tengah saluran tersebut terdapat bangunan pelinggih berupa pelinggih tugu dengan tinggi sekitar 2 m yang dibuat pada tahun 2007. Dari saluran pembagi air tempek wilayah timur, air mengalir melalui telabah sampai ke sisi selatan Pura Subak Kedangan. Sekitar 100 m ke arah selatan Pura Subak Kedangan, terdapat Telabah Pemaron Cenik. Saluran ini membagi air di wilayah tempek kelompok timur menjadi beberapa saluran lagi. Saluran pembagi pertama yang lebarnya 3,4 m membagi 2 aliran air. Pada saluran pembagi ini terdapat bangunan Pelinggih Pangulun Empelan. Saluran air di sebelah barat lebarnya 160 cm, dan saluran air di sebelah timur lebarnya 54 cm. Saluran air di sebelah timur yang lebarnya 54 cm ini dibentuk menyerupai kolam berbentuk segi empat dan dibagi lagi menjadi 3 saluran pembagi air, yang masingmasing lebarnya 50 cm, 40 cm, dan 10 cm. Di saluran air yang lebarnya 40 cm, dibuat menyerupai kolam lagi yang bentuknya segitiga dan membagi air ke 2 saluran yang masing-masing lebarnya 30 cm dan 50 cm. Dari saluran terakhir tersebut, air mengalir ke Telabah Pengalapan pada setiap petak-petak sawah. Pembagian air pada saluran-saluran yang mengairi hingga ke petak-petak sawah merupakan pembagian yang didasarkan atas pembagian pertenah (saluran) atau satu ayahan. Setiap pemilik sawah, berapa pun jumlah petak yang dimilikinya, meletakkan pelinggih yang disebut dengan Sanggah Catu di salah satu petak sawah miliknya tersebut (lihat foto 4.5). Sanggah Catu merupakan lokasi yang digunakan oleh petani secara perorangan atau lebih sering digunakan oleh istri/kaum perempuan untuk menyelenggarakan ritual tanam padi. Sanggah Catu diletakkan di dekat sawah pengalapan, yaitu petak sawah milik petani perorangan yang dekat dengan Tembuku Pengalapan. Awig-awig merupakan peraturan subak yang dibuat secara otonomi oleh pemimpin/kepala/kelian subak. Di Desa Buruan, awig-awig subak dikenal juga dengan sebutan perarem atau peraturan. Perarem subak Desa Buruan berlaku bagi 133 anggotanya yang sekarang. Perarem yang ada sekarang merupakan aturan yang telah ada sejak lama dan buku yang memuat perarem tersebut hanya disimpan dan diturunkan kepada pemimpin/kelian subak. Perarem tersebut berisi aturan serta sanksi yang didapat bila melanggar yang terdiri dari Masalah air (Indik Toya), Masalah Pematang Sawah (Indik Pundukan), Masalah Kesusilaan (Indik Memitra), Masalah Ternak (Indik Wewalungan), Masalah Penanaman Selain Padi (misalnya: kelapa, pisang, dan tanaman pagar-pagaran), Masalah Saluran Air (Indik
9 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
Tembuku), dan Masalah Pembayaran Pupuk (Indik Naur Pupuk). 4.3 Siklus Upacara Ritual Padi Siklus upacara ritual padi dibagi menjadi 2, yaitu Upacara Ritual Secara Kolektif dan Upacara Ritual Perorangan. Upacara ritual secara kolektif disini maksudnya adalah upacara ritual yang melibatkan banyak subak, baik yang masih dalam lingkungan satu subak maupun yang dilakukan lintas kecamatan dan kabupaten. Upacara secara kolektif ini dikoordinasikan penyelenggaraannya oleh kepala subak atau kelian subak. Ritual dilakukan menggunakan perhitungan wariga atau pertanggalan Bali. Ngusaba merupakan ritual subak terpenting bagi seluruh subak-subak yang terdapat di Bali. Ritual ngusaba dilakukan pada purnama kedasa (april/mei) di Pura Ulun Danu Batur. Pura Ulun Danu Batur berperan sebagai pengendali dan pemegang koordinasi pengelolaan irigasi dalam penanaman padi di sebagian besar subak-subak yang ada di Bali, khususnya wilayah Bangli, Gianyar, dan Badung. Para kepala/kelian subak sebagai perwakilan dari setiap subak yang menghadiri ritual ini biasanya membawa sesajen berupa sorohan bebangkit dan suwinih, yaitu beras, kelapa, itik dan ayam, serta babi. Persembahan tersebut ditujukan kepada Dewi Danu agar selalu diberkahi dan tidak kekurangan air, serta memberi restu dan perlindungan sehingga pekerjaan yang dilakukan berjalan lancar. Setelah upacara selesai, maka kelian/kepala subak dari masing-masing subak akan mendapatkan tirtha (air suci) yang dibawa ke subaknya masing-masing. Tirtha dari Pura Ulun Danu kemudian dicampurkan dengan Tirtha dari pura subak dan dibagikan kepada masing-masing anggota subak untuk dipercikkan ke sawah, saluran irigasi, dan lumbung padi. Upacara pakelem merupakan ritual yang dilakukan dengan mengaturkan korban suci yang ditujukan kepada Dewa Wisnu sebagai dewa air agar air selalu berlimpah. Upacara ini dilakukan pada tilem keenem (bulan mati desember/januari). Upacara Magpag Toya memiliki tujuan yang sama dengan upacara pakelem, yaitu ditujukan kepada Dewa Wisnu agar ketersediaan air selalu melimpah. Upacara ini juga disebut dengan upacara “menjemput kedatangan air” yang dilakukan di dekat sumber air ataupun bendungan menjelang pengolahan tanah. Ngerestiti adalah upacara yang dilakukan untuk memohon kesuburan pada tanaman yang ditanam di sawah. Upacara ini dilakukan di Pura Besakih dan dilakukan setahun sekali. Maturan Tipat merupakan upacara dengan mengaturkan ratusan ketupat setiap tahun sekali. Tujuannya untuk memanjatkan puja dan puji sebagai ucapan syukur kepada Tuhan karena telah diberikan hasil panen yang baik dan juga memohon agar panen berikutnya dapat melimpah. Nangluk Merana
merupakan ritual yang dilakukan untuk menolak hama atau penyakit pada tanaman yang ada di sawah. Upacara dilakukan berkaitan dengan pura yang memiliki hubungan dengan penguasa hama. Nyungsung merupakan ritual yang dilakukan di pura masceti tertentu setiap tahun sekali pada sasih karo bulan purnama (agustus). Upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan di subak, dan memohon hasil panen yang melimpah (Wenten, 1994: 150-153; Sutawan, 2008: 348). Upacara ritual selain dilakukan secara kolektif, juga dilakukan oleh para petani di lahan sawah milik mereka masing-masing. Upacara yang dilakukan lebih sederhana, namun tetap menghaturkan sesajen/banten yang telah ditentukan sesuai tingkatan upacaranya. Upacara yang dilakukan perseorangan ini dilakukan dari sebelum menanam tanaman padi hingga setelah panen. Ritual perorangan ini dilakukan di berbagai tempat seperti di sanggah/pura keluarga, di sawah, pelinggih/sanggah catu yang terdapat di sawah, dan di lumbung padi/jineng milik masing-masing. Ritual pertama adalah Ngendagin/Nuasen Tedun/Ngendag amacul tur amaluku. Ritual ini diadakan pada saat mulai pengolahan tanah seperti menggemburkan tanah dan mengairi tanah. Setelah benih di tabur di pesemaian, dilakukan ritual Pengwiwit/Ngurit. Ketika akan mengurit/mengarit, banten yang dihaturkan adalah kojongan dan segehan putih kuning yang ditujukan kepada Dewi Gangga. Bayuan merupakan ritual sebelum menanam padi. Banten yang dihaturkan adalah pada ritual ini adalah Banten Duasa. Selain bayuan, ritual lain yang dilakukan sebelum menanam padi adalah ritual nandur/nuasen. Ngeroras merupakan ritual yang dilakukan pada saat padi berumur 12 hari atau sama saja dengan 12 hari setelah dilakukannya ritual nandur/nuasen. Banten yang dihaturkan saat ritual ini adalah panghurip rong (2) kepel yang dimasukkan dalam wadah tamas dan juga canang tampelan. Pada saat padi telah berumur 15 hari dilakukan ritual mubuhin. Banten yang dihaturkan adalah daun ron atau daun yang berasal dari pohon penghasil kolangkaling. Ketika padi berumur 1 bulan (1 bulan dalam pertanggalan Bali = 35 hari) dilakukan ritual neduh. Nyungsung juga disebut dengan ngiseh, ngelanus, dan dedinan. Nyungsung merupakan ritual yang dilakukan pada saat padi berumur 42 hari (1 bulan 7 hari). Pada saat padi berumur 60 hari dilakukan ritual Nunas Ica. Ritual ini dilakukan untuk memohon agar padi yang nantinya akan berbuah/berisi akan baik. Banten yang dihaturkan pada saat ritual ini adalah ajuman putih kuning yang diletakkan di pelinggih dekat aliran air. Banten tersebut ditujukan kepada Bhatara/Dewi Sri. Banten lainnya yang juga dihaturkan adalah segehan berumbun (5 warna) dan
10 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
segehan selem (hitam). Segehan selem ditujukkan kepada pengawal Dewa Wisnu. Biukukung/Ngiseh merupakan ritual yang dilakukan pada saat padi telah berisi/bunting, yaitu ketika padi berumur sekitar 70 hari. Ketika tanaman padi telah berisi, banten yang dihaturkan adalah mahiseh lanangwadon, maduluran, pras, tulung sesayut, panyujugnia endong ring klawasan. Biukukung merupakan upacara ritual daur hidup pertanian masyarakat subak yang ditujukan kepada Dewi Nini atau Dewi Sri untuk memohon agar padi berisi dan berhasil (Swarsi, 2000: 6). Pada saat bunga padi mulai keluar dilakukan ritual Nyiwa Sraya. Mluspusin merupakan ritual yang dilakukan pada saat padi mulai menguning dan akan keluar. Pada saat menyambut panen dilakukan ritual Ngusaba/Mesaba/Ngusaba Nini. Dalam rangkaian menyambut panen, dilakukan upacara-upacara ritual dengan membuat cili. Cili merupakan perwujudan seorang wanita yang diumpamakan sebagai Dewi Sri. Cili dibuat dari daun lontar dengan bentuk alat kelamin perempuan yang biasanya dilengkapi dengan lafal berbunyi “psu, psu, jrom, bolehlah mebutoh”. Cili juga dibuat dari 54 batang padi yang didapat dari sawah milik masing-masing dan diletakkan di lumbung guna mendapat hasil panen yang melimpah. Tuwuh Telu Bulanan merupakan upacara pada saat padi berumur 3 bulan (105 hari dalam bulan bali). Pada saat panen berlangsung, dilakukan ritual Mebanten (mengaturkan banten) Manyi. Manyi dalam bahasa Bali berarti panen padi. Banten yang dihaturkan berupa sasayut pengambeyan, dapetan pras panyeneng, sesari artha (uang kepeng) 9 buah, tumpeng guru, sasayut ardhanareswarya, sodan putih kuning, payasan asoroh, rantasan sarangkep, tur nanceb penjor swang-swang. Setelah panen dilakukan ritual ngerasakin sebagai ucapan rasa syukur. Banten yang dihaturkan biasanya berupa babi guling. Setelah panen, biasanya padi diletakkan di lumbung/jineng untuk disimpan. Pada saat padi diletakkan di lumbung tersebut, dilakukan ritual mantenin atau odalan ring jineng (upacara di lumbung). Biasanya para petani langsung menanam tanaman padi lagi setelah masa panen selesai. Mebanten Cawu merupakan ritual yang dilakukan apabila akan menanam padi kembali setelah panen. Banten yang dihaturkan berupa Banten Cawu. Banten tersebut diletakkan di peliyangan yang terdapat di sanggah/pura keluarga. 4.4
Upacara Ritual di Pura Subak Kedangan Terdapat beberapa upacara ritual yang dilaksanakan di Pura Subak Kedangan, diantaranya adalah mecaru, piodalan, Ngenteg Linggih, dan upacara persembahyangan baik yang dilakukan perseorangan maupun secara bersama-sama. Mecaru atau caru merupakan ritual yang tergolong dalam Bhutayajna.
Bhutayajna adalah kurban suci yang ditujukan kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk yang derajatnya lebih rendah dibandingkan manusia (Surayin, 2003: 1). Biasanya dalam mewujudkan bhutayajna ini, umat Hindu melakukan ritual caru/mecaru. Mecaru yang dilakukan disuatu pura biasanya dilaksanakan di halaman jaba/luar ataupun di halaman jeroan/dalam namun pada bagian bawah atau di tanah. Hal ini dikarenakan mecaru merupakan upacara/ritual yang ditujukan kepada bhutakala. Mecaru dilakukan bukan karena umat Hindu menyembah bhutakala, tetapi dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan yang harmonis dengan cara memberi kurban suci agar bhutakala tersebut puas dan tidak mengganggu ketentraman hidup manusia. Piodalan atau odalan merupakan hari jadi atau hari ulang tahun suatu pura yang dihitung berdasarkan pertanggalan Bali atau wariga setiap 210 hari. Pada saat piodalan, biasanya para umat mengaturkan sesajen atau banten yang telah ditentukan dan banten tersebut ditujukan kepada Ida Bhatara atau Dewa yang dipuja di pura tersebut. Piodalan Pura Subak Kedangan jatuh pada hari raya anggara kasih prangbakat. Pada saat piodalan yang jatuh pada hari anggara kasih prangbakat tersebut, seluruh penyungsung Pura Subak Kedangan melakukan ritual upacara dan menghaturkan sesajen/banten yang ditentukan berdasarkan sasih jatuhnya hari piodalan tersebut. Beberapa hari sebelum piodalan, biasanya kelian subak membagikan kertas berisi banten apa saja yang harus dipersiapkan untuk piodalan. Selain di pelinggih, pada saat piodalan juga diletakkan banten berupa nasi telepokan yang berisi saur/serundeng dan sarin taluh/kuning telur. Banten tersebut diletakkan di keempat sudut sisi sawah (banten bilang bucu) milik masing-masing penyungsung pura. Ngenteg Linggih merupakan ritual yang dilaksanakan setelah pelinggih di suatu pura dibangun. Upacara ini dimaksudkan untuk mensthanakan Beliau (Dewa/Ida Bhatara) yang dibuatkan pelinggihnya. Dengan kata lain, upacara ini adalah upacara untuk mempersilahkan Beliau yang dipuja untuk bersemayam di pelinggih yang dibuatkan tersebut. Pura Subak Kedangan hanya melakukan satu kali ritual Ngenteg Linggih dan sudah lama sekali, tidak diketahui kapan pastinya upacara ini dilakukan di pura ini. Dapat diperkirakan bahwa upacara Ngenteg Linggih yang dilakukan di pura ini setelah dibangunnya pura ini atau sekitar abad 15 dan tidak pernah dilakukan lagi. Hal ini sangat mungkin dikarenakan tidak adanya penambahan pelinggih di halaman dalam atau jeroan dan Pura Subak Kedangan merupakan bangunan hidup/living monument yang masih digunakan sebagai bangunan keagamaan hingga sekarang sejak awal dibangunnya. 4.5 Peran Pura Subak Kedangan
11 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
Peran Pura Subak Kedangan dapat dilihat dari fungsi pelinggih yang terdapat di halaman dalam pura. Semua pelinggih tersebut ditujukkan kepada Dewa atau Ida Bhatara yang berhubungan dengan kesuburan dan kemakmuran. Ada pelinggih yang ditujukan untuk memohon keselamatan pada lahan sawah agar terhindar dari serangan hama atau penyakit, ditujukkan bagi kemakmuran dan kesuburan kegiatan pertanian, ditujukkan bagi penguasa air, dan yang terpenting adalah pelinggih utama yang ditujukkan kepada dewi padi atau dewi kesuburan, yaitu Dewi Sri. Selain digunakan sebagai Pura Subak, Pura Subak Kedangan juga digunakan oleh klen keluarga tertentu sebagai Pura Kawitan. Peran pura subak apabila dilihat dari konteksnya terwujud dari lokasi bangunan pura dengan saluran irigasi subaknya. Lokasi Pura Subak Kedangan berada tepat ditengah dari bangunan saluran irigasi subak kedangan buruan yang mengalir dari hulu ke hilir. Saluran irigasi tersebut pun melewati bagian depan halaman luar atau jaba pura dan menjadi batas di sisi timur pura. Lokasi pura dijadikan sebagai patokan untuk membuat saluran irigasi air atau dikenal dengan telabah milik subak kedangan buruan. Hal terpenting yang perlu diingat adalah mengenai keberadaan pura yang telah ada sebelum terbentuknya organisasi subak dan pembukaan sawah di Desa Buruan. Sangat mungkin apabila fungsi pura pada awalnya digunakan sebagai pura kawitan, lalu kemudian karena pembangunan subak difungsikan juga sebagai pura subak.
V. Kesimpulan Kajian mengenai bentuk bangunan secara detail dari Pura Subak Kedangan dijelaskan baik dilihat secara horizontal yaitu pembagian halaman dan masing-masing bangunan di dalamnya, serta secara vertikal yaitu pembagian bangunan mulai dari bagian kaki, tubuh, dan atap. Tidak sampai disitu, dalam kajian arkeologi tentunya melihat juga makna simbolik dari masingmasing bagian bangunan dan juga ornamen penghias bangunannya. Orientasi atau arah hadap masing-masing bangunan tidak diletakkan sembarang karena didasari dengan konsep arah kaja-kelod kauh-kangin dan huluteben. Penempatan bangunan didasari juga dengan konsep Rwa Bhineda, dimana bangunan-bangunan yang dianggap sakral diletakkan pada hulu, sedangkan yang profan diletakkan pada teben. Setiap ornamen hias pun juga didasari oleh konsep pembagian alam, misalnya pada bagian kaki dihiasi ornamen Karang Gajah karena sesuai dengan kehidupan gajah di tanah Karang Asti, ornamen Karang Goak diletakkan pada bagian bebaturan atas karena kehidupan gagak yang hidup di atas atau di angkasa, dan murdha yang diletakkan di puncak atap berfungsi sebagai elemen pengikat bangunan.
Yang menarik adalah semua ornamen hias baik patra ataupun kekarangan yang terdapat di semua pelinggih dipahatkan secara bass relief atau relief rendah tidak menonjol keluar dari bagian bebaturan dan pepalihan. Jika dibandingkan dengan pahatan ornamen pada pura lainnya baik yang sejaman ataupun sekarang, pahatan ornamennya dibuat menonjol keluar (haut relief/relief tinggi) dari bagian tubuh baik bebaturan ataupun tengah/pepalihan. Pada pelinggih-pelinggih Gedong, di bagian bebaturannya tidak terlalu banyak hiasan, hanya dibagian sudut dan tengah, sementara bagian lain dibiarkan kosong tanpa hiasan. Beberapa bentuk bangunan pelinggih yang terdapat di halaman dalam (jeroan) Pura Subak Kedangan memiliki bentuk yang tambun seperti pada bangunan Gedong Pelinggih Samuan Tiga dan Ratu Rambut Siwi. Bentuk tersebut tidak asing ditemukan pada pura lainnya di daerah Gianyar dan sekitarnya. Hal itu dikarenakan adanya kekhasan lokal di daerah Gianyar. Jika dilihat proporsi bangunan-bangunan pelinggih yang didukung dengan sketsa konstruksi bangunan, bangunan pelinggih yang terdapat di halaman dalam (jeroan) Pura Subak Kedangan sesuai dengan aturan Asta Kosala-Kosali. Jika terdapat beberapa perbedaan dengan bangunan Bali lainnya yang dibuat berdasar Asta Kosala Kosali, hal tersebut dikarenakan waktu pembangunan pura yang diperkirakan pada abad ke-14 dimana aturan mengenai pembuatan suatu bangunan masih terus berkembang dan sangat mungkin apabila Asta Kosala Kosali bukan merupakan aturan yang ‘pakem’ atau baku pada sebuah bangunan pura, khususnya pura subak pada masa itu. Sangat mungkin juga apabila peralihan fungsi pura yang semula merupakan Pura Kawitan lalu menjadi Pura Subak karena konteksnya berubah dan tidak ada satupun bangunan yang diubah, membuat Pura Subak Kedangan tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai pura subak bahkan hingga sekarang. Dari bentuk bangunan, terungkap mengenai fungsi masing-masing pelinggih di halaman dalam yang erat kaitannya dengan kesuburan dan kemakmuran, bangunan irigasi subak di sekitar pura, serta upacara-upacara ritual padi. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai peran Pura Subak Kedangan yang sangat penting dalam hal pertanian dan juga perannya dapat dilihat dari konteksnya yang berada di tengah areal persawahan dan bangunan irigasi subak.
Daftar Acuan Achmadi, Amanda. (2009). Melampaui Arsitektur Bali Tradisional, dalam Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
12 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
Agung, Dewa A Gede. (1999). Sistem Subak, Pancausaha Tani dan Perkembangan Pertanian di Kabupaten Bangli. Tesis. Program Pascasarjana Bidang Ilmu-Ilmu Budaya Universitas Indonesia Arsana, I.G Ketut Gde. (1992). Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang Pada Masyarakat di Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Artadi, I Ketut. (1981). Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya. Denpasar: CV Sumber Mas Bali bekerja sama dengan Bagian Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Udayana Arwati, Ni Made Sri. (2005). Perwujudan Upakara Untuk Upacara Agama Hindu. Denpasar Astawa, A.A Gede Oka & I Wayan Redig (Ed). (2007). Agama Buddha di Bali. Balai Arkeologi Denpasar: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Boedhijono, S. Kusparyati. (2001). Arca-Arca Kuna Tokoh Dewa Hindu Di Bali: Sebuah Kajian Ikonografi dan Ikonologi. Disertasi. Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Budhiartini, Pan Putu. (2000). Rangda dan Barong Unsur Dua Listik Mengungkap Asal-Usul Umat Manusia. Lampung Tengah: Dharma Murti Budiarto, Eri dkk. (2009). Dewa-Dewi Masa Klasik Jawa Tengah. Klaten: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah Budihardjo, Eko. (1991). Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Covarrubias, Miguel. (1972). Island of Bali. Kuala Lumpur, Singapore, Djakarta: Oxford University Press/ PT.Indira Davidson, Julian dan Bruce Granquist. (1999). Balinese Temples. Jakarta: Periplus Dherana, Tjokorda Raka. (1983). Garis-Garis Besar Pedoman Penulisan Awig-Awig Desa Adat. Bali: Proyek Pemantapan Lembaga Adat dan Pengembangan Museum Subak Dwijendra, Ngakan K. Acwin. (2003). Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali dalam Jurnal Permukiman “Natah” Vol 1. Fakultas Teknik Universitas Udayana . (2008). Arsitektur Bangunan Suci Hindu Berdasarkan Asta Kosala Kosali. Denpasar: Udayana University Press Estudiantin, Nusi Lisabilla. (2003). Penataan Halaman dan Bangunan pada Pura Kuno di Bali Diperbandingkan dengan Candi Panataran dan Punden Berundak di Gunung Penanggungan. Tesis. Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Fox, James J. (2002). Indonesian Heritage: Agama dan Upacara. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Groiler International, Inc Gelebet, I Nyoman, I Wayan Meganada, dkk. (2002). Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali Hasnawati, Shella D. (2012). Kajian Arsitektur dan Pengaruh Akulturasi di pura Beji Sangsit, Buleleng, Bali. Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Helmi, Rio & Barbara Walker. (1999). Bali Style. Singapore: Times Editions Kempers, A.J. Bernet. (1959). Monumental Bali: Introduction to Balinese Archaeology and Guide to The Monuments. Singapura: Periplus Editions Mario, Iwan. (2006). Asta Kosala Kosali (Studi Kasus Hunian Bali di Jakarta). Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Indonesia Miksic, John, dkk. (2002). Indonesian Heritage: Ancient History. Singapura: Archipelago Press Munandar, Agus Aris. (2003). Karya Arsitektur dalam Kajian Arkeologi, dalam Cakrawala Arkeologi Persembahan untuk Prof. Dr. Mundardjito. Depok: Jurusan Arkeologi FIB Universitas Indonesia . (2005). Istana Dewa Pulau Dewata Makna Puri Bali Abad ke-14 – 19. Depok: Komunitas Bambu .(2011). Catuspatha Arkeologi Majapahit. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Partiwi, Anak Agung Sagung. (1981). Beberapa Temuan Arkeologi di Pura Subak Kedangan Wanayu. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Udayana Purna, I Made & S. Swarsi. (2002). Peranan Pura luhur Uluwatu Pada Masyarakat Bali (Perspektif Sosial Budaya), dalam Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Edisi Ketujuh. Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Purniti, Komang Aniek & I.G.N Swastika. (2008). Laporan Inventarisasi dan Penetapan Benda Cagar Budaya/Situs di Kawasan Bedulu. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT Putra, I Gusti Ngurah & I Dewa M.P. (1993). Laporan Konservasi Benda Cagar Budaya di Pura Subak Kedangan, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Propinsi Bali-NTB-NTT-Timtim
13 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
Rata,
Ida Bagus. (1980). Konsepsi Dasar dan Perkembangan Fungsi Pura di Bali, dalam Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi II, Jakarta 25-29 Februari 1980. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) , I Gusti G. Ardana, dkk. (1988). Pura Ulun Danu Batur. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali . (1991). Pura Besakih Sebagai Kahyangan Jagat. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia Rigg, Jonathan. (2002). Indonesian Heritage: Manusia dan Lingkungan. Jakarta: Buku Antar Bangsa untuk Groiler International, Inc Setiawan, I Ketut. (1995). Subak: Organisasi Irigasi Pada Pertanian Padi Sawah Masa Bali Kuno. Tesis. Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Sidharta. (1991). Identitas Budaya dan Arsitektur Tradisional, dalam Eko Budiharjo (Penyunting) Jati Diri Arsitektur Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni Sirtha, Nyoman. (2008). Subak Konsep Pertanian Religius Perspektif Hukum, Budaya, dan Agama Hindu. Surabaya: Paramita Snyder, James C. dan Anthony J. Catanese. (1989). Pengantar Arsitektur. Jakarta: Erlangga Soekatno, Endang Sri H. (1993). Arca Tidak Beratribut Dewa di Bali: Sebuah Kajian Ikonografis dan Fungsional. Disertasi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya: Universitas Indonesia. Soekmono. (1974). Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia Stuart-Fox, David J. (2002). Pura Besakih Temple, Religion, and Society in Bali. Leiden: KITLV Press Stutterheim, W.F. (1929). Oudheden Van Bali. Singaradja: Uitgegeven Door De Kirtya LiefrinckVan Der Tuuk Suadnya, I Gusti Made. (1970). Upacara-Upacara Padi (Upapira Pantun). Museum Subak Tabanan Suardana, I Nyoman Gde. (2011). Figur-Figur Arsitektur Bali. Denpasar: Your Inspiration Inc. Suhardono, Edy. (1994). Teori Peran Konsep, Derivasi, dan Implikasinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Surayin, Ida Ayu Putu. (2002). Bahan dan Bentuk Sesajen (Seri II Upakara Yajna). Surabaya: Paramita . (2003). Bhuta Yajna (Seri IV Upakara Yajna). Surabaya: Paramita
Sutawan, Nyoman. (2008). Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. Denpasar: Pustaka Bali Post Swarsi, S. (2000). Kearifan Lokal Dalam Paradigma Harmoni Kebudayaan Bali, dalam Jnana Budaya Edisi Keempat. Denpasar: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Titib, I Made. (2003). Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita Utomo, Srie Saadah. (1989). Sistem Subak di Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wahyudi, Wanny Rahardjo. (2012). Tembikar Upacara di Candi-Candi Jawa Tengah Abad Ke-8-10. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Wenten, Nyoman. (1994). Dampak Sosial Budaya Akibat Menyempitnya Lahan Pertanian Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wiana, I Ketut. (2007). Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita Widia, Wayan & Putu Budiastra. (1989). Cili Sebagai Lambang Dewi Kesuburan di Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Pembinaan Permuseuman Bali Wikarman, I Nyoman Singgin. (1998). Mlaspas dan Ngenteg Linggih Maksud dan Tujuannya. Surabaya: Paramita Windia, Wayan. (2006). Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Konsep Tri Hita Karana. Denpasar: Pustaka Bali Post Wiryani, Rai. (1980). Hasta Kosali, Salah Satu Dasar Arsitektur Tradisional Bali, dalam Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi II, Jakarta 25-29 Februari 1980. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Sumber Elektronik: Mengukur Kwalitas Triguna dengan Karma Pala. Maret 2013. www.parisada.org Nawasandhi, Rsi Bhagawan Dwija. “Makna Upacara Ngenteg Linggih”. 2011. http://stithidharmaonline.com. April 2013. Sudiana, I Made. (2008, November). I Rare Angon, dalam Satua Bali. Maret 2013. http://imadesudiana.wordpress.com/2008/11/01/irare-angon-w-suardiana www.babadbali.com/pewarigaan/uku/07wariga.htm (April, 2013) www.babadbali.com/pura/swagina.htm (Juni, 2013)
14 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia
15 Pura Subak..., Ni Nengah Kristanti Supraba, FIB UI, 2013.
Universitas Indonesia