ISSN 1410 – 8178
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Yogyakarta, 27 Juli 2011
BUKU II KELOMPOK KIMIA
Diterbitkan oleh :
PUSAT TEKNOLOGI AKSELERATOR DAN PROSES BAHAN BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL Jl. Babarsari Kotak Pos 6101 Ykbb Yogyakarta 55010 Telp. (0274) 488435 Faks. (0274) 487824, e-mail:
[email protected] website : http://www.batan.go.id/ptapb.html
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENILAI & EDITOR Prof. Ir. Syarip Prof. Drs. Samin Prajitno, S.Kom Dra. Elisabeth S., M.App.Sc Ir. Indra Suryawan Budi Setiawan, ST Rany Saptaaji, ST Eko Priyono, ST Ir. Eko Edy Karmanto Ir Gede Sutresna Wijaya, M.Eng
PENYUNTING & PROSIDING Heryuli Aditesna, A.Md Rahmat Khatib. A.Md Nur Hidayat Supriyanto, A.Md
ISSN 1410 – 8178
ii
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir yang telah diselenggarakan pada tanggal 27 Juli 2011 di Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan (PTAPB) BATAN Yogyakarta telah dapat diterbitkan. Seminar Nasional Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir ini diikuti oleh 92 orang pejabat fungsional Pranata Nuklir, Pengawas Radiasi, Teknisi Litkayasa, Perekayasa dan fungsional lain yang ada di lingkungan BATAN dengan tema
"PERANAN
PRANATA
NUKLIR
DALAM
UPAYA
UNTUK
MENINGKATKAN PRODUK SUBTITUSI IMPOR”. Prosiding ini memuat 100 karya tulis yang berkaitan dengan perkembangan dan pelaksanaan pengelolaan perangkat nuklir, yang diupayakan oleh sebagian besar para pejabat fungsional Pranata Nuklir, baik berupa kegiatan penelitian maupun kegiatankegiatan lain dalam ruang lingkup pengelolaan perangkat nuklir yang meliputi perencanaan, pengoperasian, studi kelayakan, perawatan dan perbaikan, rancang bangun dan rekayasa, konstruksi dan instalasi, modifikasi serta evaluasi unjuk kerja perangkat nuklir. Semoga prosiding ini bermanfaat sebagai bahan acuan untuk lebih memacu dan meningkatkan profesionalisme maupun kerjasama dalam mendukung pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi demi peningkatan kehidupan masyarakat.
Yogyakarta, 27 Oktober 2011 Editor
iii
ISSN 1410 – 8178
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
SAMBUTAN KEPALA PUSAT TEKNOLOGI AKSELERATOR DAN PROSES BAHAN Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tim Penyunting dan Editor maupun semua pihak yang terkait dalam penyelesaian dan penerbitan prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir yang telah diselenggarakan pada tanggal 27 Juli 2011 dengan tema " PERANAN PRANATA NUKLIR DALAM UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PRODUK SUBTITUSI IMPOR”. Prosiding ini merupakan dokumen karya ilmiah para pejabat fungsional Pranata Nuklir maupun pejabat fungsional yang lain. Di dalam prosiding ini dapat diketahui hal-hal yang mencakup kemajuan dan perkembangan pelaksanaan pengelolaan perangkat nuklir baik yang telah berusia cukup tua maupun perangkat nuklir baru, yaitu berupa kegiatan perencanaan, pengoperasian, studi kelayakan, perawatan dan perbaikan, rancang bangun dan rekayasa, konstruksi dan instalasi, modifikasi serta evaluasi unjuk kerja perangkat nuklir. Diharapkan prosiding ini dapat memberi gambaran yang lebih rinci atas kemajuan kegiatan yang dilaksanakan oleh para pejabat fungsional Pranata Nuklir pada khususnya maupun para pejabat fungsional yang lain pada umumnya. Akhirnya kami berharap semoga prosiding ini dapat menjadi acuan yang berguna bagi berbagai pihak yang memerlukan, dengan demikian dapat lebih mendalami dan mengembangkannya demi berhasilnya pembangunan nasional di bidang iptek nuklir dan ikut serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Yogyakarta, 27 Oktober 2011
ISSN 1410 – 8178
iv
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
DAFTAR ISI Halaman EDITOR
ii
PENGANTAR EDITOR
iii
SAMBUTAN KEPALA PTAPB-BATAN
iv
DAFTAR ISI
v – ix
CERAMAH UMUM Link And Match Antara Lembaga Riset Dan Dunia Usaha Dalam Peningkatan Nilai Tambah Dan Daya Saing Unggulan Daerah Ir. Christ Hamsi PT. SUNRISE INTERMEDICA INDO - JAKARTA 153
Pembuatan Samarium-EDTMP Untuk Terapi Kanker Tulang Metastasis Sri Hastini, Sudarsih, Robert DH, Suharmadi Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka-BATAN Sintesa Dan Karakterisasi Tetrofosmin: Bahan Radiofarmaka Perfusi Jantung Purwoko, Maskur dan Cecep Rustandi Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka- BATAN Iradiasi Paduan Platina Dan Iridium Untuk Bahan Baku Iridium-192 Seed Moch Subechi, Anung Pujiyanto Pusat Radioisotop Radiofarmaka-BATAN Suryo Rantjono Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir BATAN 32
x – xxiii
1–6
7 – 15
16 – 24
Pembuatan Nukleotida Bertanda [γ- p]Atp Sebagai Pelacak Mutasi Genetik Wira Y Rahman, Endang Sarmini, Herlina, Azmairit Aziz,Triyanto, Hambali Pusat Teknologi Nuklir Bahan Radiometri-BATAN
25 – 30
Pembuatan Kit Ria Aflatoksin B1 : Pembuatan Antibodi Aflatoksin B1 Di Pusat Radioisotop Dan Radiofarmaka Tahun 2010 Sri Setiyowati, Wening Lestari, Sutari, dan Triningsih Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka, BATAN
31 – 35
Penentuan Konstanta Kecepatan Reaksi Kalsinasi Itrium Hidroksida Menjadi Itrium Oksida Tri Handini, Tunjung Indrati Y, Purwoto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN
36 – 39
Ekstraksi Torium Dari Konsentrat Th,LTJ (Hidroksida) Menggunakan Solven Bis-2- Etil Heksil Phosphat Suyanti, Aryadi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN
40 – 47
Penyempurnaan Dan Uji Coba Kolom Gelasi Supardjono Mudjiman, Mashudi, Sutarni, Ariyani Kusuma Dewi dan Sri Rinanti Susilowati Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN
48 – 53
Pembuatan Kit MIBI Sebagai Penatah Jantung A Roselliana, Sudarsih, E Lestari, dan S Aguswarini Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka-BATAN
54– 59
v
ISSN 1410 – 8178
Daftar Isi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Halaman Identifikasi Gross β Dan Pengukuran Parameter Air Di Perairan Wonosari, Gunung Kidul Tri Rusmanto, Mulyono, Bambang Irianto. Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN
60 – 66
Pengembangan Sistem Monitoring Dosis Radiasi Interna Pekerja Radiasi Secara In-Vivo. Tri Bambang L, Sri Widayati, L.Kwin P Pusat Teknologi Limbah Radioakti-BATAN
67 – 70
Rancang Bangun Perangkat Preparator Skala Laboratorium Pada Unit Pengolahan Kimia Limbah Radioaktif Cair Endro Kismolo, Sukosrono, Nurimaniwathy Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN
71 – 76
Evaluasi Tingkat Radiasi Dan Kontaminasi Di Instalasi Radiometalurgi Tahun 2010 Suliyanto, Muradi, Endang Sukesi I Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir – BATAN
77 – 83
Pengukuran Dan Evaluasi Keselamatan Terhadap Bahaya Radiasi Eksterna Di PTAPB-BATAN Yogyakarta Suparno Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN
84 – 90
Uji Fungsi Alat Ar-2000 Radio-TLC Imaging Scanner Yayan Tahyan, Enny Lestari, Dadang Haffid dan Sri Setiyowati Pusat Radioisotop Dan Radiofarmaka – BATAN
91 – 97
Perancangan Sistem Pantau Udara Buang Di Instalasi Elemen Bakar Eksperimental Muradi, Suliyanto Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir – BATAN
98 – 103
Implementasi SK. BAPETEN Nomor : 01/KA-BAPETEN/V 1999, Tentang Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi Di Instalasi Nuklir. Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-BATAN
104 – 110
Adsorpsi Limbah Uranium Menggunakan Lempung Nanggulan Sunardi, Suparno, Wasim Yuwono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN
111 – 116
Analisis Unsur Se Dan As Dalam Sedimen Dengan Menggunakan Standar Primer Dan Sekunder Metoda AAN Sutanto.W.W, Mulyono, Iswantoro, Bambang Irianto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
117 – 122
Pengaruh Konsentrasi Uranium Dan Waktu Perendaman Dalam TCE Terhadap Luas Muka, Jari-Jari Rerata Dan Volume Total Pori Kernel U3o8 Pada Gelasi Internal Sri Rinanti Susilowati dan Hidayati Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
123 – 130
Pembuatan Konsentrat Zirkon Sebagai Umpan Menggunakan Shaking Table (Meja Goyang) Sajima, Sunardjo, Harry Supriyadi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
131 – 135
Daftar Isi
ISSN 1410 – 8178
Proses
Peleburan
vi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011 Halaman
Rancang Bangun Hoper Pengumpan Pada Peleburan Pasir Zirkon Sudaryadi, Wuntat Oktawijaya dan Moch. Rosyid Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
136 – 140
Penentuan Unsur Pengotor Di Dalam ZrOCl2 Dengan Metode Spektrografi Emisi Aryadi dan Sajima Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
141 – 150
Kajian Penurunan pH Air Produksi Resin IR-120Na Dan IRA-402Cl Sri Sukmajaya, Mudjilan, Tri Nugroho Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
151 – 155
99m
99
99m
Pemekatan Larutan Tc Hasil Elusi Generator (n,γ) Mo/ Tc Berbasis Poly Zirconium Compound Dengan Cara Ekstraksi Sriyono, Hotman L., Herlina, Yono S., Abidin, Adang HG., A. Mutalib, Rohadi A., Hambali, Sulaiman, M. Subur. Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka – BATAN
156 – 164
Penentuan Unsur Hf Pada Tenaga Karakteristik Dengan Metoda Analisis Aktivasi Neutron (AAN) Iswantoro, Suhardi, Rosidi, Sutanto WW, Sukadi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
165 – 171
Menentukan Konstante Kecepatan Reaksi Pada Ekstraksi Zirkonium-Hafnium Dengan Metoda Membran Emulsi Tri Handini, Bambang EHB, Purwoto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
172 – 179
Analisis Perhitungan Berat Kontainer Sumber Ir-192 Aktivitas 10 Ci Untuk Brakiterapi HDR Kristiyanti, Tri Harjanto Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir-BATAN Evaluasi Data Hasil Pemantauan Radioaktivitas Jatuhan (Fall Out) Di Kawasan Reaktor Kartini Tahun 2007 s/d 2010 Siswanti, A. Aris Munandar Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
180 – 184
Optimasi Rendemen Elektrodeposisi Th dan Anak Luruhnya Menggunakan Elektrolit NH3 Pekat Dan H2SO4 2M Untuk Spektrometri Alpha Bambang Irianto, Muljono, Tri Rusmanto. Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
232
194 – 198
Penentuan Radioaktivitas Pemancar Gamma Total Dan Beta Total Dalam Limbah Rumah Sakit Di Daerah Istimewa Yogyakarta Suhardi., Siswanti, Muljono., Iswantoro Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
199 – 204
Perbandingan Analisis Pengambilan Logam Fe Total Sedimen Sungai Muria Dengan Pelarut Hf Memakai “Teflon Bomb Digester” Sihono, J. Wasito dan Muljono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
205 – 213
Validasi HPLC Untuk Analisis Anion Fosfat Dan Sulfat Dalam Proses Pemurnian Torium Dari Pasir Monasit Budi Setiawan dan Dwi Purnomo Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
214 – 221
vii
ISSN 1410 – 8178
185 – 193
Daftar Isi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011 Halaman
Analisis Dan Konsep Mitigasi Problematika Gas Pengotor Pendingin Primer RGTT200K Sumijanto, Ign. Djoko Irianto Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir- BATAN
222 – 229
Optimasi Rancangan Assay Kit Triiodotyronine (T3) Metode Coated Tube Sutari,Veronika Yulianti S, Gina Mondrida,Triningsih, Agus Arianto, Puji Widayati Pusat Radioisotop Dan Radiofarmaka- BATAN
230 – 236
Mempelajari Pengaruh Logam Tanah Jarang Serium (Ce) dan Lantanum (La) Pada Analisis Torium Dengan Metoda Pendar Sinar-X Ratmi Herlani, Muljono, Sri Widiyati, Mujari Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
237– 248
Karakterisasi Elektroda Selektif Ion Kadmium Untuk Pengujian Cd Dalam Zirkonium A.Purwanto, Farida Ernawati, Sajima Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
249 – 257
Karakterisasi Faktor Hambat Lempung Kasongan Terhadap Migrasi Nuklida Uranium Sunardi, Endro kismolo, Suparno Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
258 – 262
Survei Radioaktivitas Udara Di Daerah Kerja Lingkungan PTAPB - BATAN Yogyakarta Suparno, Mahrus Salam, Sunardi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
263– 268
Evaluasi Hasil Pengukuran Radioaktivitas Beta Total Sekitar Reaktor Kartini Tahun 2009 Sri Artiningsih, Wijiyono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
Rumput Di
269 – 277
Control Chart Hasil Analisis Zn Dalam Serum Secara Aan Sebagai Pengendali Mutu. Rosidi, Muljono, Sutanto W. W., Sihono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
278 – 281
Evaluasi Dampak Radioaktivitas Udara Di Yogyakarta Pasca Kecelakaan PLTN Fukushima Jepang A.Aris Munandar dan Siswanti Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
282 – 287
Karakterisasi Limbah Radioaktif Cair Umpan Proses Evaporasi Endro Kismolo, Nurimaniwathy, Tri Suyatno Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
288 – 293
Evaluasi Keselamatan Radiasi Pengunjung Sementara Limbah Radioaktif L.Kwin Pudjiastuti Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN
Daftar Isi
Di
ISSN 1410 – 8178
Pada
Tempat
Penyimpanan
294 – 300
viii
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011 Halaman
Akurasi Metoda Analisis Aktivasi Neutron Pada Pengujian Se Dan As Dalam Limbah Padat Mulyono, Sukadi, Rosidi, Sihono, Bambang Irianto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN Penggunaan Unit Ozonizer Untuk Destruksi Sianida Dalam Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Sugeng Purnomo Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Pengukuran Radioaktivitas Beta Total Pada Sampel Tanah Di Kawasan Reaktor Kartini Tahun 2010 Sri Wahyuningsih, Siswanti, Sri Artiningsih Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan – BATAN
ix
ISSN 1410 – 8178
301– 307
308 – 313
314 – 320
Daftar Isi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ir. Christ Hamsi
ISSN 1410 – 8178
x
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
xi
ISSN 1410 – 8178
Ir. Christ Hamsi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ir. Christ Hamsi
ISSN 1410 – 8178
xii
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
xiii
ISSN 1410 – 8178
Ir. Christ Hamsi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ir. Christ Hamsi
ISSN 1410 – 8178
xiv
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
xv
ISSN 1410 – 8178
Ir. Christ Hamsi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ir. Christ Hamsi
ISSN 1410 – 8178
xvi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
xvii
ISSN 1410 – 8178
Ir. Christ Hamsi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ir. Christ Hamsi
ISSN 1410 – 8178
xviii
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
xix
ISSN 1410 – 8178
Ir. Christ Hamsi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ir. Christ Hamsi
ISSN 1410 – 8178
xx
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
xxi
ISSN 1410 – 8178
Ir. Christ Hamsi
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ir. Christ Hamsi
ISSN 1410 – 8178
xxii
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
xxiii
ISSN 1410 – 8178
Ir. Christ Hamsi
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
PEMBUA ATAN 153SA AMARIUM M-EDTMP P UNTUK TERAPI KANKER R TULAN NG META ASTASIS Sri Hastini, H Sudaarsih, Robertt DH, Suharm madi Pusat Radiooisotop dan Raadiofarmaka––BATAN, Kaw wasan PUSPIP PTEK Serpongg,Tangerang E-maail:prr@batan n.go.id
ABSTRAK 153
PEMBUATA P AN Sm-ED DTMP UNTU UK TERAPII KANKER TULANG M METASTASIS S. K Kanker stad dium lanjut dapat d menga akibatkan me etastasis ke tulang dan penderitany ya a akan merasa a sangat nye eri . Untuk meningkatkan m n kualitas hiidup penderiita metastasiis t tulang makka perlu dibu uat radiofarm maka 153Sm-DTMP. Pem mbuatan 153S Sm dilakukan 15 53 d dengan men ngiradiasi Sm Oksida a alam di RSG R GA Siwbessy S secara aktivas si n neutron. Pen nandan EDT TMP dengan 153SmCl3 diilakukan den ngan mereakksikan SmCll3 d dengan larutan EDTMP pada suhu kamar. Sen nyawa komp pleks 153Sm-E EDTMP yang t terbentuk dia atur pHnya menjadi m 7,0 – 8,5 kemudiian disaring dengan penyyaring bakteri M Millipore 0,22 µm. Hasil produk p radio ofarmaka diuj uji kemurnian n radiokimia, radionuklida a, s sterilitas, pirrogenitas, biodistribusi b dan uji klin nis. Pengujia an kemurnia an radiokimiia d ditentukan d dengan meto oda kromatog grafi lapis tip pis menggun nakan larutan n amoniak 25 % - air ( 1 : 9 ) sebagai pelarut. p Pen ngujian kemu urnian radion nuklida ditenttukan dengan a alat MCA (M Multi Channe el Analyzer). Uji sterilita as digunakan larutan pllat agar FTG G ( (Fluid Thio Glikolate). Uji pirogen nitas diguna akan kelinci,, pengujian biodistribus si d digunakan m mencit/tikus putih. Hasillnya memen nuhi persyarratan yakni : kemurnian r radiokimia > 95 % dan radionuklida a > 99 % , steril, beba as pirogen, d dan distribus si r radioaktivitas s terbesar te erhadap mencit terdapat di d tulang. Ujii klinis dilaku ukan terhadap p b beberapa pasien dengan berbaga ai jenis kanker membe erikan hasil yang cukup p sebagai rad m memuaskan diofarmaka pa aliatif pada penderita p kan nker tulang m metastasis. K Kata kunci :Pembuatan, : , 153Samarium m–EDTMP, kanker tulan ng metastatiss
ABSTRACT T P PREPARAT TION OF
153 3
Sm-EDTMP P FOR THE ERAPY OF BONE ME ETASTASES S.
Advanced cancer A c mayy lead to me etastasis to the bone and a the suffferer will fee el v very painfull. To improvve the qualiity of life of patients p witth bone metastases wiill n need to be e made rad diopharmace eutical 153SmS DTMP. Preparation P of 153Sm is i d done by irrradiating natural n oxid des in the RSG GA Siwbessy by neutron n 153 a activation . Labeling of o EDTMP with w Sm was w carried out by reactting 153SmCll3 ssolution to an a excess off EDTMP sollution at room m temperatu ure then pH a adjustment to t 153 7,0 – 8,5. The T Sm-ED DTMP comp plex was filte ered by Millilipore 0,22 µ µm filter. The q quality contrrol of this ra adiopharmace eutical includ ded : determ mination of rradiochemica al a and radionucclide purity, sterility, piro ogenity, biod distribution sttudies and clinical trials s. The radioche emical purityy was determ mined by thin layer chromatography m methode using a ammonia 25 5 % solution as solvent. The radionu uclide purity was determiined by MCA A ( (Multi Chann nel Analyzer) r). Sterility te est was carrie ed out by FT TG (Fluid Th hio Glikolate)). P Pirogenity te est was carrried out by rabbit. r Biodis stribution stu udies was ccarried out by m mice. The prroduct was fulfilled fu the re equirements such as : The T radioche emical purities m more 95 % and radionu uclide puritie es more 99 %, sterile, free of pirog gen, and the g greatest of radioactivity r distribution was in mice e bones.The clinical trialls have been c carried out for f variety ca arcinoma pattients and iti have been n shown in g good result as f paliatif bo for one metastasses. K words : Preparation Key n, 153Samariu um–EDTMP, bone metasstate
Sri Hasttini, dkk.
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 1
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
PENDA AHULUAN
P
enyyakit kanker masih terus meningkat baik b jeniis maupun juumlah penderiitanya di seluuruh dunia. Kita K tahu bahw wa penyembuhhan kanker yang y efektif belum tersediia untuk semuua jenis kankker. Pada um mumnya segaala jenis kankker pada stadiium lanjut (sstadium 4), mengalami m mettastasis ke tullang dan passien merasakaan rasa nyeri. Di Rumah Sakit obat kelomppok biasanyya dokter memberikan m narkotikk/morphin teetapi obat inni menimbullkan keterganntungan[1] dann peningkatann dosis sehinngga diperlukkan pengobaatan yang bersifat b sistem mik karena pengobatan lokal kuranng efektif dan membuutuhkan waktuu yang relatif lama. Hal inilah yang menjadikan m seediaan radiofaarmaka 153SmS EDTMP P mempunyaii peluang unttuk menunjukkkan keampuuhannya dalam m menangani penyakit kannker tulang. 153 Samarium m-Etilen diam min tetrametilen fosfonaat atau 153Sm--EDTMP adallah radiofarm maka untuk tujuan t terapi mengandungg senyawa kim mia organoffosfor sebagaai ligand pem mbawa (carrrier) yang seecara spesifik dan selektif terdistribusi atau a terserapp secara cepaat langsung kee tulang (targget), mengikkuti alur meetabolisme di d dalam tubbuh manusiaa. Metastasis tulang t yang multipek dan disertai rasa nyeri kaarena kemunggkinan terjadiinya fraktum m patologis memerlukan m p pengobatan y yang bersifatt sistemik karrena pengobattan lokal kurrang efektif dan membuutuhkan wakktu yang rellatif lama.[2] Berdasarkann pengamatann, para pendeerita kanker yang datang ke rumah sakkit atau ke dokkter p biaasanya sudah dalam stadiium untuk periksa lanjut (stadium 3 atau a 4) dan umumnya para p penderiita kanker ini datang dengan d berbaagai keluhann. Penggunaaan radionukliida untuk terrapi kanker telah banyaak dilakukan karena terbuukti radioisootop dapat meembunuh sel--sel kanker taanpa merusakk organ tubuh lainnnya. Hal ini menunjukkan bahw wa pandanggan masyaraakat terhadapp terapi kannker dengaan menggunaakan radionuuklida atau raadioisotop sekkarang ini cukkup positip Radiofarmakka dalam bentuk sediiaan farmasii yang menggandung sennyawa radioaaktif yang diberikan ke tubuh t manusiia untuk tujuan diagnossis atau terrapi, dan kannker marupaakan masalahh kesehatan diseluruh d duniia baik di neggara maju maupun m berkem mbang termassuk di Indonessia , kebanyaakan penderitta kanker mem mpunyai keluuhan yang berhubungan b dengan tum mor primernnya, metastaasis kanker merupakan m k keluhan sistem mik yang diitandai dengaan penurunan berat badan dan kelemahhan.
Buku II hal 2
Pusat Radiosiotop dan Radio ofarmaka BA ATAN Serponng telah lama melakukan peenelitian 153 sed diaan radioffarmaka Sm-EDTM MP dan did dukung kerjaasama dengann rumah sak kit yaitu RS SCM dan RS S Dr. Sardjitto. Pusat Rad dioisotop dan n Radiofarm maka telah m mampu memp produksi 153 Sm-EDTMP S yang diyakinni sangat berrmanfaat bag gi penderita kanker k khususnnya kanker metastasis m tulang, sediaann 153Sm ED DTMP ini apabila diin njeksikan ke tubuh pengiddap kanker metastasis m tulang maka peenderita akann merasakan manfaat kurrang lebih 2 jam setelaah pemakaiaan yang ditandai dengann hilangnya rrasa sakit. Daari hasil pen nelitian para penderita p kannker metastasiis tulang 153 yan ng telah menggunakkan Sm-E EDTMP meerasakan rasa nyaman n untukk waktu 3 bulaan.[1] Radioisotop 153Sm, mempunyai energi betta 0,8 MeV , waktu w paruh 1,95 hari atau u 47 jam adaalah waktu yaang cukup unttuk terapi (opttimalnya 1 – 3 hari), seelain memilikki energi betaa, 153Sm meemiliki energii gamma 1033 KeV. Partik kel beta tersebut mampu menembus jaaringan setebaal 3 mm, dan n diharapkan dapat membbunuh sel-sell kanker yan ng telah bermetastasis b ke tulang g serta meemberikan efeek paliatif (m mengurangi raasa nyeri tulang) yang sebbelumnya biassa digunakan obat o dari gollongan narkkotik. Kelem mahan obat tersebut meempunyai efe fek kecanduaan dan dosiis yang dib berikan makinn lama makin m meningkat[1]. 153 Radioisotop Sm diihasilkan darii iradiasi Sam marium oksidda 152Sm (alam m/diperkaya), iradiasi dilakukan di reaktor RSG G. G.A. Siw wabessy Serrpong Hasil iradiasi dilarrutkan dengaan asam klo orida, penanddaan samariuum klorida dengan ligand EDTMP terjadi pada ssuhu kamar dan d hasil yan ng diperolehh adalah larrutan 153Sm-E EDTMP seb bagai senyawaa kompleks raadiofarmaka. Pada maakalah ini, dissajikan produk k 153SmED DTMP yang teelah dihasilkaan Pusat Rad dioisotop dan n Radiofarmaaka periode 20009 – 2010 seerta hasil pen ncitraannya teerhadap hewann dan manusiaa. TA ATA KERJA Ba ahan dan Pe eralatan Sm2O3 alam (SIGM MA), EDTMP (TCO), HC Cl ( E Mercck), Amoniakk 25 % (E Merck), Aq quabides sterill dan bebas piirogen (IPHA)), NaOH (M Merck), plat agar FTG //Fluid Thio Glikolat pen nyaring baktteri Milliporre 0,22 µm,, kertas ind dikator pH uniiversal 1-14 (M Merck). Pemaanas (hot pla ate) yang dilenngkapi dengaan pengaduk magnetik m dan n stirrer baar (batang ppengaduk), pencacah p rad diasi gamma (Gamma ( Minii Assay) modeel 600 B ataau dengan alaat SCA (Singlle Channel An nalyzer), Ga amma Ionizzation Cham mber, Spekttrometer gam mma, pencacah saluran gaanda (Multi Channel Analyze/MCA) yang dilengkkapi dengan detektor
IS SSN 1410 – 81 178
Sri Hasstini, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
HP-Ge tipe N (Tennnelec ), tim mbangan anallitik (Mettlerr), ampul quuartz, tabung iradiasi, saruung tangan, masker, tutupp kepala sertaa peralatan gellas : vial, pippet ukur, gelaas ukur, syringge, spatula sem mua dalam keadaan stteril, serta container/perrisai timbal/P Pb, bejana gelas untuk uji kemurnnian radiokim mia dengan metode krom matografi keertas lapis tipis, t kertas Whatman nomor n I. Unntuk pemerikksaan biologgis digunakaan mencit/tiikus putih, peralatan p beddah, kantung-kantung plaastik kelinci, termometer, dan Gamma Camera. K Cara Kerja Proses s Pembuatan Laruta an Samarium Clorida a Samarium oksida o ditimbaang sebanyakk 40 mgram dimasukkann ke dalam m ampul kuuarz kemudiian dimasukkkan ke dalam tabung iradiiasi, selanjuttnya diiradiassi di reaktor selama 5 hari. h Samariuum hasil iraddiasi dilarutkaan dengan assam klorida 1 N kemudiian dibilas dengan aquabiides sampai volume kuraang lebih 6 ml. m Radioaktivvitas diukur dengan alat Gamma Ioniization Cham mber pada diial 18,3. Penentuan kemurnnian radionuklida dilakukkan dengan alat MCA (Multi Channnel Analyzeer ). Proses s Penandaan Dengan mennggunakan syyringe diambiil 1 ml laruttan SmCl3 kem mudian di maasukkan ke dalam vial ukkuran 20 ml. Sebanyak 3550 mgr EDT TMP ditimbaang kemudiann dilarutkan dengan laruutan Natrium m Hidroksida 1 N sampaai larut, ukur pH larutanddan ditambahhkan larutan HCl H atau NaaOH agar pH p menjaddi 9. Selannjutnya laruutan 153 Samaarium-klorida direaksikan dengan laruutan EDTMP P dengan caraa meneteskan secara perlahhanlahan larutan l EDTM MP pH 9 terrsebut ke dalam larutan 153Samarium m-klorida saambil dilakuukan pengaduukan dengaan menggunakan pengaduk magnet , periksa pH larutan 153Sam marium EDTM MP , pH laruutan yang dikkehendaki 6,55 - 8 pengatuuran pH dilaakukan dengaan menggunakkan larutan HCl H 1N sedangkan penngukuran pH H menggunaakan kertas pH p universal 1-14. 1 Encerkaan larutan denngan menambbahkan aquaabidest steril bebas pirogen sampai volume laruttan menjadi 10 1 hingga 15 ml, larutan diaduk selam ma 1 jam dengan pengaduk magnetik, reaksi peenandaan dillaksanakan pada p suhu kaamar dan secara aseptis (ssteril). Kemuddian larutan disaring dengan pennyaring bakkteri Millipoore 0,22 µm. Tahapan Pengujia an a. Pem meriksaan Kemurnian K Raadiokimia Penngujian kemuurnian radiokkimia dilakuukan dengan menggunakaan metode kroomatografi keertas lapis (TLC:Thin ( L Layer Chrom matography) dan Sri Hasttini, dkk.
bagai laruttan pengembbang (eluen) adalah seb laru utan amoniakk 25 % - air ( 1 : 9 ) sertaa sebagai fassa diam adaalah kertas W Whatman No omor I. Perralatan yanng digunakaan adalah bejana kro omatografi, Gamma G Mini Assay atau dengan SC CA. Kertas Whhatman dengaan ukuran 1 x 14 cm, dib beri tanda gariis dengan pennsil selebar 1 cm c dari 2 sampai s +12. b. Pemeriksaaan Kemurniaan radionukliida Pemeriksaann kemurnnian radio onuklida dilakukan dengaan meneteskaan larutan Saamarium Ch hlorida pada buundaran kertaas Whatman 1, setelah kerring diukur pada p alat spekktrometer gam ma yang telaah terkalibrasii . c.
Pemeriksaaan konsentraasi radioaktif Pemeriksaann konsentrasii radioaktif diilakukan den ngan menggunakan alat Gamma Io onization Ch hamber (GIC) d. Pemeriksaaan Biodistrib busi Pemeriksaann bidistribbusi menggunakan meencit/tikus puttih dimana laarutan 153Sm-E EDTMP den ngan aktivitaas 0,1 – 0,,2 mCi diinj njeksikan meelalui intravenna di ekornya. Setelah selan ng waktu terttentu (1 jaam) distribusii radioaktivittas pada org gan-organ meencit tersebuut ditentukan dengan alaat Gamma Minni Assay. e.
Pemeriksaaan Pirogenitaas Pemeriksaann pirogen ditentukan terhadap t kellinci dengan mengamati kkenaikan suh hu tubuh kellinci /mencit setelah s diinjekksi dengan larutan 153 Sm m-EDTMP. Bila B tidak terrjadi kenaikaan suhu kellinci/mencit secara s signifficant, maka sediaan tersebut dinyatakkan bebas piroogen. Pemeriksaaan Sterilitas Pemeriksaann sterilitas dilakukan dengan meeneteskan laruutan 153 Sm-EDTMP ke daalam vial yan ng berisi meddia cair TSB dan FTG, keemudian diaamati pertum mbuhan jam mur/mikroba, setelah sellang waktu teertentu (1 sam mpai 7 hari). Apabila tidak terjadi peertumbuhan jaamur/mikrobaa berarti sed diaan tersebut steril. f.
g.
Pemeriksaaan Derajad k keasaman (pH H) Pemeriksaann derajat kkeasaman diilakukan den ngan menggunnakan kertas ppH universal 1 - 14 HA ASIL DAN PEMBAHAS P SAN Proses pembuatan radioisotop 153Sm meenggunakan baahan sasaran Sm2O3 alam sebanyak 40 mgram diiraddiasi secara akktivasi neutron n selama 5 hari h di reaktoor G.A. Siw wabessy Serpo ong dan passca iradiasi, Samarium tersebut diilarutkan den ngan asam klorida k 1 N diperoleh larutan 153 samarium-klo s orida berupa larutan jernih, tidak berrwarna dengann pH 1 -3 volume larutan sekitar s 6 ml dengan aktivitas total 1 - 8 Curie.
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 3
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
Penentuan kemurnian k raddionuklida 1533Sm dilakukkan dengan menggunakan m a MCA (M alat Multi Channeel Analyzer) pada energi spektrum siinar gamma : 103 KeV ( 28,3 % ). Diperoleh D laruutan bulk 153Sm klorida deengan kemurnnian radionuklida di atas 99 9 % (syarat kemurnian k raddionuklida di atas a 99 %). Hasil penanndaan 153 Sm dengan EDT TMP diperoleeh larutan senyawa koompleks 153SmS EDTMP P, jernih, tidaak berwarna dengan pH 7,0 8,5 (meemenuhi perssyaratan pH). Pengukuran pH dilakukkan dengan keertas indikator pH universall 1 14 buattan Merck , laarutan akhir keemudian disarring dengan penyaring baakteri Milliporre 0,22 µm. Hasil penenttuan konsentrasi radioaktivvitas 153 Sm-E EDTMP meemenuhi perrsyaratan yaakni berkisarr antara 30 – 90 mCi//ml. Pengukuuran radioakktivitas dilakkukan dengan alat Dose D Calibraator ( Gamma Ionizatio Chaamber ) pada dial 18,3. Hasil pemerriksaan kemuurnian radiokim mia yang dlakukan denggan metoda kromatografi dan k diukur dengan Gam mma Mini Asssay memennuhi persyaratan yaitu diaatas 95 %. Gambar 1 memperlihaatkan pencitrraan pemerikksaan biologiis menggunakkan mencit/tiikus putih sehat s yang teelah diinjeksii dengan laruutan 153 Sm-E EDTMP. Hassil biodistribuusi yang teruukur dengan alat Gamma Cameraa, menunjukkkan distribuusi radioaktiviitas terbesar ada a di tulang. Hal ini mennunjukkan baahwa sediaan 153Sm-EDT TMP tersebutt secara selekktif dan spesiifik terakumuulasi di organn tulang.
Gambarr 1. Hasil penncitraan denggan gama cam mera pada meencit setelah 3 jam dilakuukan penyuntikan 153Samarrium EDTMP Pada pemerriksaan bebaas pirogen yang y dilakukkan terhadap kelinci k dengann menginjeksiikan larutan 153Sm-EDTM MP. Pasca injeksi, diam mati perubahhan suhu tuubuh kelinci, hasilnya tiidak terjadi perubahan p suhhu tubuh secaara signifikan, hal ini mennunjukkan bahwa sediaann tersebut teelah bebas pirogen. p Buku II hal 4
Pada pemeriksaan sterilitas terhadap t diaan 153Sm--EDTMP yanng diteteskaan pada sed meedia cair yanng menganduung FTG daan TSB settelah beberapaa waktu ( 1 – 7 hari ) tidak k terjadi perrtumbuhan jamur/mikrob j ba, berarti sediaan tersebut dinyatakkan steril. Gambarr 2 memperrlihatkan hasil dari Ga amma Camerra uji klinis yang dilaku ukan di Ru umah Sakit, paada gambar teerlihat 153Sm-E EDTMP yan ng terakumuulasi pada tuulang dari penderita p karrsinoma yangg sudah metasstase , 153Sm-E EDTMP terserap pada tuulang yang aada pada bahu u, tulang dad da, tulang pannggul, tulang llutut dan tulan ng kaki.
Gaambar 2.Hasiil pencitraan pengguna 153 SmEDT TMP dengan Gamma Cam mera di Rum mah Sakit. Radiofaarmaka tersebuut diinjeksikaan pasien den ngan berbagai jenis karrsinoma antaara lain karrsinoma payuudara, karsinooma leher rah him dan karrsinoma prosttat[2]. Dari paasien-pasien tersebut, t beb berapa pasien dengan lesi m metastatik pad da tulang yan ng multiple dan beberappa orang dengan lesi solliter. Sediaan 153Sm-EDTM MP yang dibu uat oleh PR RR-BATAN tersebut diinjeksikan secara intrravena dengaan dosis 0,50 – 1,0 mCi/ kilogram k berrat badan dillanjutkan denngan scanning g dengan Ga amma Cameraa pada selurruh tubuh settelah 24 jam m penyuntikaan. Dari hassil penelitian dengan parra penderita karsinoma k yanng telah menggunakan 153 Sm-EDTMP S rata-rata ppenderita meengalami berrkurangnya rasa r sakit yyang signifik kan dan beb berapa pasienn tidak merasaakan rasa sakit setelah meenggunakan 1553Sm-EDTMP P dan kehilang gan rasa sak kit itu bertahann sampai 3 buulan. Dibawaah 153Sm-EDT TMP yang diihasilkan PR RR-BATAN periode 2009 - 2010 beserta hasil uji ken ndali kualitas dan telah diigunakan di beberapa b Ru umah Sakit dissajikan pada taabel 1 dibawaah ini :
IS SSN 1410 – 81 178
Sri Hasstini, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
Tabel hasiil 1. Hasil prodduksi 153Sm-E EDTMP besertta hasil uji kuualitas No
No. Batch
pH 7 7
Kemuurnian Radiookimia 99,55 % 99,776 %
murnian Kem Radionuklida 999,99 % 999,99 %
Koonsentrasi Raadioaktivitas 655,6 mCi/ml 533,5 mCi/ml
1. 2.
Sm m.01.D.16.09 Sm m.02.F.18.09
3. 4. 5. 6.
Sm m.03.L.12.09 Sm m 04.G.16.09 Sm m.05.I.03.09 Sm m.06.K.12.09
7,5 7,5 7,5 7
99,776 % 99,008 % 99,556 % 99,001 %
999,99 % 999,99 % 999,99 % 999,99 %
544,9 mCi/ml 333,9 mCi/ml 877,05 mCi/ml 688,62 mCi/ml
7. 8.
Sm m.07.L12.09 Sm m.01.E.06.10
7 7,5
99,880 % 99,774 %
999,99 % 999,99 %
466,5 mCi/ml 700,5 mCi/ml
9.
Sm m.02.F.17.10
7
99,554%
999,99 %
700,15 mCi/ml
10.
Sm m.03.G.22.10
7
99,555 %
999,99 %
8 mCi/ml 80
11.
Sm m.04.H.19.10
7,5
99,556 %
999,99 %
81,05 mCi/ml
12.
Sm m.05.K.11.10
7,5
99,999 %
999,99 %
6 mCi/ml 61
13
Sm m.06.L.16.10
7
99,666 %
999,99 %
899,46 mCi/ml
Dari tabel 1 diketahui bahwa produk Sm-E EDTMP yang dihasilkan Pusat P Radioisootop dan Raadiofarmaka periode 20009 sampai 2010 memenuuhi persyratann yang ditentuukan. Kemurnnian radiokim mia > 95 %, % radionuklidda > 99 %, pH berada pada range 7 – 8, sehinggga semua produk tersebutt dapat digunnakan di bebeerapa rumah sakit di Indonnesia. 153
KESIM MPULAN 153 Hasil pembuatan Sm-EDT TMP memenuuhi syarat, konsentrasii radioaktivvitas berkisarr 30 – 90 mC Ci/ml, kemurnnian radionuklida > 99 %, kemurnian radiokimia r > 95 %, pH laruutan 7 – 8,5, steril daan bebas pirrogen dan pada p pemerikksaan biologiis dengan mencit/tikus m puutih distribuusi radioaktiviitas terbesarr terakumulasii di tulang serta s dari hasil uji klinis menunjukkan m h hasil efek paliatif (berkuurangnya rasa nyeri) pada p pasien dengan d karsinnoma yang berrmetastasis .
RS Sardjito RS CM RS PAD RS Dharmais RS Sardjito RS PAD RS CM RSCM RS Sardjito RS Dharmais RS CM
pat kami sebbutkan satu persatu dan terlibat dap dallam penyediiaan senyaw wa bertanda 153SmED DTMP. DA AFTAR PUSTAKA PUJO 1. BAGASWOTO OMARTONO,, SRI WAHYUNI ”Pemanfaaatan Rad dioisotop Samarium (SM-153) ( ED DTMP untuk k terapi paliatif tumoor tulang sekuunder di RS Sa ardjito”. Media Kita Edisi E 3/2005. 2. HASANUDD DIN dan C CHOLID BA ADRI, ” 153 Sebagai Penggunaan Sm m-EDTMP Radioterapi Internal Padda Metastasis Tulang, ” Perhimpunnan Onkologgi Radiasi In ndonesia, Rapat Kerjaa dan Temu Ilmiah I ”, di d Hotel Arya Duta, Jakarta, J 20 -222 April 2001.
TA ANYA JAWA AB
UCAPA AN TERIMA AKASIH yang sebeesar Ucapan teerimakasih besarnyya kepada rekan-rekan r s sejawat di Sub S Bidang Proses, Bappak Ir. Suhanndar selaku Ka Bidang Sarana Penuunjang dan Proses, P Ibu Anna A Roselliaana selaku Ka Sub Bidangg Proses, Rekkanrekan Bidang B Radiooisotop, Bapaak Purwoko, dan semua rekan-rekan di d PRR - BA ATAN yang tiidak Sri Hasttini, dkk.
Rumah Sakit Pengguna RS CM RS Sardjito RS CM RS CM RS Sardjito RS CM RS Karyadi RS CM RS PP RS HS RS Karyadi RS Dharmais
Sri Sukmajaya a Apakah SRM M Sm2O3 suddah diuji rad diokimia mampu menuurunkan isotopp 153Sm ? Mohon dibuatkan analisis ( modeel kimia kuantum )untuk energi m mengetahui pembentukann isotop 153Sm??
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 5
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
Sri Hastini H Suudah dari uji radionuklida dengan Gam mma 1 Sppektrometri dim mensi isotop 153 Sm pada 1003,4 keV, sedang unntuk memastikan Sm-EDT TMP dillakukan uji radionuklida dimana Sm mCl3 berada pada Rf R 0,0-0,1 denngan nilai leebih renndah dari 2 % dan 153Sm mEDTMP beraada paada rf 0,8-1,0 dengan d nilai % diatas 98 % Sm m2O3 (n,γ ) 153Sm2O3 + HCl H 153 Sm2O3 + HCll 153SmCl3 + H2O 153 SmCl3 dilabel dengan ED DTMP 153SmS ED DTMP D Setia awan Beraapa aktivitas jenis yang diperoleh dari d radiooisotop 153Sm m dengan mennggunakan tarrget Sm2O3 alam? Apa kelebihan dari d radioisotoop 153Sm ( non n 1888 carieer free) dibandding dengan radioisotop r Re (carier free) untukk terapi kankerr tulang? H Sri Hastini Akktivitas jenisnyya 200 mCi/mgr Keelebihan 188 Re diabndingg 153Sm adaalah energi β dari 1888 Re lebih bessar dibandinggkan 153 Sm sehingga mempunyai kemampuan k unntuk terrapi lebih baggus. Sri Pujji Ganefati Apa yang melatarbbelakangi (funngsi dan manfaat digunnakannya 1553Sm-EDTMP P untuk terrapi kankker tulang? Bagaaimana hasil evaluasinya? e Apakkah sudah diteeliti efeknya? Sri Hastini H Sm m mempunyai energi β 0,8 MeV yaang dihharapkan mampu m mennembus tullang sehhingga dapatt menghambaat perkembanggan sell-sel kanker Paasien merasakkan berkuranngnya rasa saakit untuk jangka 3 bulan b Beerdasarkan ujii klinis tidak ada a efek samping
Buku II hal 6
IS SSN 1410 – 81 178
Sri Hasstini, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
SIINTESA DAN D KARA AKTERISASI TETR ROFOSMIN N: B BAHAN R RADIOFAR RMAKA PERFUSI P J JANTUNG G P Purwoko, Maaskur dan Cecep Rustand di Pusat Radiooisotop dan Raadiofarmaka––BATAN, Kaw wasan PUSPIP PTEK Serpongg, Tangerang E-mail :
[email protected] ABSTRAK SINTESA DAN S D KARA AKTERISASII TETROFO OSMIN: BAHAN RADIIOFARMAKA A P PERFUSI JA ANTUNG. Te etrofosmin attau Myoview w adalah senyyawa ligan b bidentat netra al d dengan fosffor sebagai atom donorr serta meng gikat gugus eter, dapatt membentu uk s senyawa kom mplek kation nik dengan Tc-99m T dan telah diketah hui sebagai radiofarmak ka y yang mempu unyai keungg gulan untuk pencitraan perfusi p jantu ung (myocard dial perfusion i imaging agent. Telah dila akukan sintesa dan karak kterisasi liga an tetrofosmin n melalui dua t tahap sintessa, pertama adalah sinttesa senyaw wa 1,2 bis-(fo osfino) etana a dari reaks si t trietilfosfit d dengan 1,2 -dibromoeta ana didapat senyawa tetraetil t etile en difosfona at ( (fosforan), k kemudian dirreduksi deng gan Li Al H4 sehingga diperoleh ssenyawa 1.2 2b bis(fosfino)e tana. Reaksi subtitusi be erlangsung pada p suhu an ntara 145 sa ampai 150 0C s sedangkan r reduksi dilaku ukan pada suhu -5 samp pai 0 0C. Tah hap ke dua adalah sintesa l ligan tetrofossmin melaluii reaksi adiisi antara 1,2 2-bis(fosfino)) etana dan n etilvinil ete er d dengan alfaa azo isobutiro onitril sebaga ai katalisatorr, reaksi dilakkukan pada suhu antarra 6 -70 0C se 60 elama 8 jam m dalam suassana aliran gas g nitrogen. Karakterisa asi dari has sil s sintesa yang g dilakukan dengan d mengamati spek ktrum infra merah-FT-IR, m kromatografi c cair-HPLC, spektrum massa m GC-M MS dan protton-NMR me enunjukkan bahwa has sil s sintesa taha ap satu adallah senyawa a fosfin 1,2 bis-(fosfino)) etana bera at 2.80 gram m ( (yield: 35.4% %) dengan n kemurnian n kimia lebih h dari 98%, sedangkan hasil sintesa p pada tahap ke dua ada alah senyaw wa tetrofosm min berat 1.3 30 gram (yiield: 34.6 %) % d dengan kemurnian kimia 91.2%. K Kata kunci : sintesa -tettrofosmin-rad diofarmaka-p perfusi- jantun ng ABSTRACT T SYNTHESIS S S AND CH HARACTERIZ ZATION OF F TETROF FOSMIN: M MYOCARDIAL L P PERFUSION N AGENT. Tetrofosmin T or myoview is a neutra al bidentate donor ligand b based on ph hosphorous in i which con ntain ether lin inkages and cationic com mplexs of Tc c9 99m compriising this lig gand. It wass found as radiopharma aceutical sh how imprising p properties p particularly myocardial perfusion im maging age ent. The syynthesis and tion of tetroffosmine ligan c characteriza nd was carriied out thro ough two steps synthesis s, t the first wass synthezing g 1,2 bis-(phosphino) eth hane as starrting materia al by reaction t triethylphosp phite couple ed with 1 1,2-dibromoe ethane to give g tetraetthyl ethylene d diphosphona ate (phospho orane) follow wed reductio on by Li Al H4 gives th he phosphine c compound 1 1.2-bis(phosp phino)ethane e. Subtitutio on reaction was carried d out at the t temperature about 145 - 150 0C and d reduction was w done at -5 - until 0 0C C. The second s step was synthesis of o tetrofosm mine by ad ddition reacction between 1,2 bis s( (phosphino)e ethane and ethylvinyl e eth her using alph haazo isobutyronitrile as catalyst and t the reaction n was don ne at abo out 60 -70 0 0C for 8 hours a and nitrogen n a atmosphere. Characteriza ation of the product was s carried ou ut by observiing infra red s spectra FT T-IR, high performan nce liquid chromatog graphic HP PLC, mas ss s spectrofotom metric GC-MS S and proton n –NMR anallysis showed d that the first product was 1,2 bis-(phossphino)ethan ne (2.80 gram ms, yield : 35 5.4 %) with the chemica al purity morre t than 98 %, while the se econd produ uct was tetro ofosmine (1.3 30 grams, yyield: 34.6 %) % w with the che emical purity 91.2 %. K words : synthesis-te Key etrofosmin-ra adiopharmac ceutical- perffusion -myoccardial
Purwoko, dkk.
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 7
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
PENDA AHULUAN
P
engggunaan radiolligan untuk siidik jantung teelah bannyak dilaporkaan misalnya senyawa-senyaawa Isonitrill seperti 999mTc-MIBI, senyawa fossfor 9 seperti 99m Tc-DMPE dan lain-lain. Radioligan untuk sidik jantung lainnnya yang peerlu dikembbangkan adalaah senyawa liigan tetrofossmin dan senyyawa turunannnya. Tetrofosm min atau lebbih dikenal deengan nama Myoview M adaalah senyaw wa ligand biddentat netrall dengan fossfor sebagaii atom donor dan menganndung gugus eter terikat dengan d rumuss molekul (C2H5OCH2CH2)2PCH2CH H2 P (C2H5OC CH2CH2)2 [1].. Dari beberrapa laporann hasil peneelitian yang telah dilakuukan dikatakkan bahwa seenyawa ligan tersebut denngan teknesiuum akan meembentuk sennyawa komplleks Tc-katioonik yang mempunyai m potensi sebaagai radiofarrmaka untukk pencitraan perfusi jantuung (Myocaardial perfussion imagingg agent ) dan memberrikan keunggulan dalam m sidik jantuung dibandiing senyawa ligan yang laain bahkan daapat digunakkan untuk sidiik kanker payuudara[1, 2]. Beberapa Ruumah Sakit di d Indonesia yang y mempuunyai fasilitaas kedokteraan nuklir teelah m mengguunakan sediaan radioffarmaka 99m TcTetrofoosmin untuk sidik jantungg. akan tettapi, harganyya masih terlaalu mahal kareena harus diim mpor dari luaar negeri dalaam bentuk sediaan kit keriing. Untuk menanggulanngi keterganntungan sediiaan tetrofossmin darri luar negeeri, maka peerlu dilakukkan penelitian tentang sintesa dan karakterisasi senyawa ligan tetrofoosmin. Tetrofosminn dapat disinteesa melalui reaaksi adisi anntara senyawaa 1,2-bis(fosfinno)etana dan etil alfa--azo vinil eter denggan katalisator isobutirronitril[1]. Taahap pertam ma yang akan a dilakukkan dari penellitian ini adallah sintesa unntuk mendappatkan senyawa 1,2-biss(fosfino) ettana sebagaii starting mateerial dalam sinntesa tetrofosm min dan sennyawa turunannnya. Hal ini dilakukan d karrena senyaw wa tersebut tiddak diperdagaangkan, kalauppun ada hargganya sangat mahal. Senyawa 1,2-bis(fosfino)) etana disinttesa melaluii dua tahap reeaksi, yakni : reaksi substiitusi antara trietil t fosfit deengan 1,2-dibrromo etana akan a dihasilkkan senyawaa tetraetil etilen e difosfoonat (fosforaan). Kemudiaan, senyawa teersebut direduuksi dengan LiAlH4 untukk mendapatkaan senyawa 1,2bis(fosffino) etana (foosfin). Hal inni sesuai denngan proseduur yang dikem mbangkan oleh R.Craig Taailor dan Dooglas B. Walteer[ 3]. Tahap selannjutnya adalaah sintesa unntuk mendappatkan tetroffosmin melallui reaksi adisi a antara senyawa s 1,2-bbis(fosfino) etana (fosfin) dan etil vinnil eter denngan alfa azzo isobutironnitril
Buku II hal 8
seb bagai katalisator sesuai ddengan prosed dur yang dik kembangkan oleh o Kelly et.aal [1]. Karakteerisasi terhaadap hasil sintesa dilakukan denggan beberapa metoda antara lain adaalah analisa spektrofotom metri infra meerah FTIR. Metoda inii digunakan uuntuk melihaat gugus fun ngsi dari sennyawa kimia hasil sintesa dengan carra membandinngkan antara sspektrum pita serapan darri hasil pengujian dengann pustaka [4]. Untuk meelihat kemurrnian kimia dilakukan dengan meetoda kromatoografi cair ataau HPLC, sedangkan anaalisa dengann GC-MS m merupakan gabungan anttara metoda kromatografi gas-spektroffotometri maassa dan dappat digunakaan untuk men nentukan maassa atau beratt molekul dari senyawa kim mia hasil sin ntesa. Karaktterisasi lainnnya adalah dengan speektroskopi prooton-NMR, m metoda ini dig gunakan unttuk melihat struktur m molekul berd dasarkan ressonansi magnnet inti protonn atau atom H yang terdapat dalam molekul m tersebbut. Dalam makalah inni akan dillaporkan ten ntang hasil yanng telah diperroleh dari setiaap tahap reaaksi dari sinntesa startting materiall 1,2biss(fosfino) etaana sampai ddengan tahap sintesa sen nyawa ligan teetrofosmin. BA AHAN DAN TATA T KERJ JA Ba ahan dan pe eralatan Trietil fosfit yang digunakan diperoleh d darri Tokyo Kassei (TCI), bahhan kimia lain n seperti 1,2 2 dibromo etana, Lithium m Alumunium hidrida (LiiAlH4), asam m klorida (HC Cl), dietil eteer bebas air dan etil viinil eter dipeeroleh dari E.Merck E den ngan tingkaat kemurniann pereaksi analisa sed dangkan senyaawa alfa-azo iisobutironitril (AIBN) den ngan rumus molekul m C8H122N4 berasal daari Kanto Jep pang. adalah yang digunakan Peralataan perrangkat alat gelas destillasi lengkap dengan sisttem pendinggin air, pemaanas dan peengaduk, pom mpa vakum m, termom meter, man nometer, speekrofotometerr infra merahh (FT-IR Jassco-410) dig gunakan unttuk menentuukan gugus fungsi, kro omatografi gaas-spektrofotom meter massa (GC-MS ( -QP 5000 Shimaadzu) digunakkan untuk men nentukan maasa atau beratt molekul, allat kromatogrrafi cairHP PLC (Waters -484) digunakkan untuk men nentukan tingkat kemurniian kimia. Refractometer WAY-15 W Sab bata Osaka diigunakan untuuk menentukaan indek biaas dan NMR-pproton ( Varriian ) digunakaan untuk meenentukan struktur s moolekul berd dasarkan ressonansi magniit dari proton. Ta ata kerja Senyaw wa tetrofosmiin disintesa melalui duaa tahap sinteesa sesuai rreaksi kimia sebagai berrikut:
IS SSN 1410 – 81 178
Purwoko, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
Tahap I : sintesa 1,2--bis(fosfino) etana e 2 P(OC2H5 )3 Tri etill fosfit
+
Br CH H2 CH2 Br
145 s/d 150 0C
1,2 dib bromo etana ( C2 H5O )2 PO C2 H4 PO O ( C2 H5O )2 Tetrraetil etilen diffosfonat
2 ( C2 H5O )2 PO C2H4 PO ( C2 H5O )2 n difosfonat Tetraetil etilen
+
3 Li Al H4
2 H2 P C2 H4 PH2
+
+
2 C2 H5 Br etil bro omida
dietileter; HCll -5 s/d 0 0C
2 Li Al (O OC2H5 )4 + Li Al (OH)4
1,2 biss (fosfino)etana
I : sintesa tetrrofosmin Tahap II
2 H2P C2 H4 PH2
+ C2 H5 O CH= CH2
1,2 bis (ffosfino)etanaa 2(C2H5 O
sa senyawa tetra etil etilen difosfonat Sintes (fosforran) Ke dalam laabu destilasi leeher dua 250 ml, dimasukkkan 80 gr (00.42 mol) larrutan trietil foosfit dan 500 gr ( 0,25 mool) larutan 1,22 dibromo etaana. Larutann campuran didestilasi dengan suuhu penangaas parafin anttara 145-150 0C. Beberapa saat s setelah destilasi berlaangsung, desstilat etil brom mida sebagaii hasil reaksi mulai mennetes (suhu uap destilat 37-38 0C) dan pemannasan dihentiikan setelah destilat berheenti menetes. Proses pemuurnian dilakuukan dengan cara c destilassi fraksinasi teekanan rendahh (20-30 mmH Hg) pada suhu penanngas 160-165 0C. Produk merupaakan larutan residu dengaan berat 26.88 gr (yield: 37.7 3 %) Sintes sa senyawa 1,2-bis(fosfiino) etana Ke dalam laabu leher tigaa 500 ml yang y dan dilengkkapi dengan sistem koondensor pendinggin es (ice bath) serta aliran gas nitrogrren, dimasukkkan 200 ml pelarut dietiil eter bebas air. Setelah pelarut dietill eter mencapai suhu antaraa -5 sampai 0 0C, ditam mbahkan sediikit demi seddikit 8.0 gr (0.21 ( mole) LiAlH L mpai 4 sambil diaduk sam terjadi larutan l suspennsi. Ke dalam larutan l suspennsi ditambahhkan tetes deemi tetes laruutan dari 25 gr (0,082 mol) m tetraetill etilen difosffonat dalam 50 ml dietil eter bebas air, suhu tettap dipertahaankan antara -5 sampai 0 0C dann dalam aliraan gas nitroggen. Setelah penambahann tetraetil etilen e difosfoonat Purwoko, dkk.
alfa azo issobutironitril (AIIBN) Refluk, 60 6 s/d 70 0C , 8 jam j
C2H4 ) P CH2CH2 P (C2H4 O C2H5 ) 2 Tetrofosmin T sellesai, reaksi reeduksi dibiarkkan tetap berlangsung pad da suhu kam mar sampai 24 jam dan sambil diaaduk. Ke dalam d larutaan hasil reduksi, ditambahkan tettes demi tetes 40 ml larutan n HCl 6 N, reaksi hidroolisa dibiarkaan tetap berllangsung pad da suhu kamar selama 3 jam m dan sambil diaduk. d Ke dallam corong pisah, dim masukkan laru utan hasil hidrolisa kemuudian dipisahk kan fasa lap pisan dietil eter dan dikeringkan dengan meenambahkan 10 gr soddium sulfat kristal, dib biarkan selam ma 24 jam. K Kristal sodium m sulfat dip pisahkan dari fasa larutan ddietil eter deng gan cara meenyaring. 5 ml, Ke daalam labu destilasi 50 dim masukkan faasa larutan dietil eter kering kem mudian didesttilasi (suhu peenangas 40 0C ) untuk meemisahkan prroduk dengann pelarut dieetil eter. Suh hu penangas dinaikkan seecara bertahap p hingga meencapai 80 0C untuk mem misahkan etil alkohol hassil samping proses reduuksi. Larutan n residu meerupakan laruttan 1,2-bis(fossfino) etana (12.0 ml) yan ng masih menngandung penggotor. Ke dalaam labu destiilasi berbenttuk pear uku uran 25 ml, dimasukkann larutan resiidu 1,2biss(fosfino) etanna kemudiann dilakukan destilasi, d suh hu penangas dinaikan ssecara bertah hap dan desstilat 1,2-bis((fosfino) etanna keluar pad da suhu pen nangas mencaapai 115 0C dan diperoleh h produk mu urni 2.80 gr (yield: 35.4 % %).
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 9
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
Sintes sa senyawa ligan Tetroffosmin Ke dalam laabu pear 255 ml dimasukkkan berturutt-turut 5.0 ml (52.3 mmol) larutan etil vinil v eter, 1.0 ml (10mm mol) larutan 1.2 1 bis- (fosfiino) etana dan 0.1 mg (0.6 mmol) alfa azoisobbutironitril. Dipasang D sisteem pendingann air pada labbu tersebut daan dialiri gas nitrogen melalui slang dan d masuk ke k dalam sistem pendinggin. Kemudian direfluk selama 8 jam j pada suuhu penangaas air antara 60 sampai 70 7 0C, kemuddian didinginnkan sampaii pada suhuu kamar. Fraaksi ringan diuapkan deengan cara pemanasan p p pada tekanann rendah (20 mmHg). Reesidu atau fraaksi yang tertinggal meruupakan produkk tetrofosmin dan diperoleeh 1.3 gr (yielld: 34.6%). Penentuan senya awa tettraetil etilen difosfo onat (C10H24 gan meto oda 2 O6P2 deng kroma atografi gas--spektrum massa/GC-M m MS Diambil 100 μl laruttan contoh dan dilarutkkan dalam ettanol, kemuddian diinjeksiikan ke dalaam alat GC-M MS. Data spekktrum massa dari d larutan contoh dapat dilihat sepertti pada gambaar 1, hasil keeluaran berdaasarkan refereensi library dari d alat GC C-MS menunjjukkan bahwaa larutan conntoh adalah senyawa tetrraetil etilen difosfonat d (944%) dengan berat molekkul 302 dan rumus moleekul C10H24O6P2. Penentuan senyaw wa 1,2– bis((fosfino) eta ana dan tetrofosmin t dengan sp pektrofotome etri infra merah m FT-IR Untuk mem mbuat rekamann spektrum innfra merah dari senyaw wa 1,2 bis (foosfino) etana dan tetrofossmin maka masing-masing m g diambil 100 μl diencerkan dengan 10 1 ml klorofoorm. Kemudian, masing--masing conttoh diukur dengan FT T-IR dengan standar referensi khlorroform. H Hasil d masing--masing laruutan spektrum FT-IR dari contoh dapat dilihat seperti s pada gambar g 2 dan 4.
2 P(OC2H5)3 Tri etil fosfit f
+
Pe enentuan kemurnian 1 1,2 - Bis(ffosfino) eta ana dengan alat HPLC Di ambbil 10 μl laruutan contoh masingmaasing dari sennyawa 1,2 biss (fosfino) ettana dan tetrrofosmin dilaarutkan dalam m 10 ml caampuran meetanol / air ( 30:70), kemuddian 20 μl laru utan dari maasing-masing diinjeksikann ke dalam sistem injektor HPLC (waters -484)) dan di elusii dengan kon ndisi sebagai berikut b : : μ-Bondapakk C-18 (0.8 Cm Kolom m IDx30 Cm lengthh stainless steeel) Fasa gerak : metanol/air ( 30:70) Laju aliran : 1.0 ml/meniit Detektor : UV, 214 nm m ( waters mod del 484) Sensitifitas : 0.5 AUFS Semua larutan sebeelum diinjekssikan ke alaat HPLC dissaring dengann penyaring milipore m 0.4 45 μm. Hasil Kromatogram m dari masing g-masing laru utan contoh dapat d dilihat sseperti pada gambar g 3 dan n 5. Pe enentuan te etrofosmin dengan protonp NM MR Untuk membuat m rekaaman spektra protonNM MR, sejumlaah sampel ttetrofosmin (20 ( l) dilarutkan kedaalam 1-2 m ml CDCl3, keemudian diin njeksikan ke dalam sistem m injektor pada alat NM MR. Hasil reekaman spekktrum proto on-NMR dap pat dilihat padda gambar 6. HA ASIL DAN PEMBAHASA AN Tahap I (pertama) adalah tahap p sintesa unttuk mendapaatkan startingg material senyawa s 1,2 2- bis(fosfino))etana, diawali dengan mereeaksikan sen nyawa trietil fosfit f dan dibbromoetana paada suhu anttara 145 sam mpai 150 0C untuk mend dapatkan tetrraetil etilen difosfonat d (foosforan), reak ksi yang terjjadi adalah seebagai berikut:
Br CH C 2 CH2 Br
145 s/d 150 0C
1,2 dibromo d etanaa ( C2 H5O )2 PO C2 H4 PO ( C2 H5O )2 d Teetraetil etilen difosfonat
Reaksi yanng terjadi merupakan m reaaksi k substituusi, atom broomida sebagaai nukleofil kuat akan menyerang m sallah satu guguus etil dari triietil fosfit sehingga s terbbentuk -PO(OC2H5)2 yang y bermuaatan negatif kaarena kelebihhan elektron pada p atom P. Gugus inilaah yang mengggantikan poosisi atom brromida pada 1,2 dietil brromida sehinngga diperoleeh senyawa tetraetil t etilenn difosfonat dan etil brom mida. Dari haasil percobaann yang dilakukkan, Buku II hal 10
+
2 C2 H5 Br etil bromida
k pada ssuhu 37-380C telah desstilat yang keluar diidentifikasi deengan menenntukan indek biasnya dan n diperoleh 1..4213-1.4214.. Dari pustak ka Merck Ind dex (edisi 9, tahun 19766, USA) men nyatakan bah hwa indek bias dari ettil bromida adalah: 0 1.4 4242(pada 20 0C) dan titikk didihnya: 38.2 3 C, den ngan demikiaan destilat yyang dihasilkaan dapat dip pastikan adalaah etil bromidaa.
IS SSN 1410 – 81 178
Purwoko, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
Pada tahap pemurnian tetraetil etilen difosfonnat, destilasii fraksinasi tekanan renndah hanya dapat d dicapaii pada tekanaan 20-30 mm mHg dan suhhu penangas tetap t pada kissaran 155 sam mpai 160 0C, C sedangkann titik didihh dari senyaawa tersebutt adalah antaara 155 sampaai 157 0C/mm mHg [3] sehhingga hasil tetraetil t etilenn difosfonat yang y dimaksuud masih berada sebagaai residu. Hasil H reaksi samping daan pengotorr lainnya yang y mempuunyai titik diddih di bawah kondisi terseebut dapat teerpisah sebaggai destilat, sedang s sisa triietil fosfit kemungkinan k masih ada dan tercam mpur dengan produk karenna titik didihnnya yang ham mpir sama yaaitu 157 0C/m mmHg.
Untuk melihat m apakaah zat tersebu ut adalah tetrraetil etilen difosfonat, d maaka dilakukan n analisa pen ngujian denggan gabungann kromatograafi gasspeektrometri maassa ( GC-M MS). Interprettasi data speektrum massa dilakukann dengan melihat speektrum masa dan fragmenntasi hasil sib birannya darri senyawa contoh c sepertti yang terlih hat pada gam mbar 1. Dari data spektruum masa yang g diolah oleeh sistem koomputasi dan disesuaikan dengan staandar referensi library yanng ada pada alat a GCMS S dinyatakann bahwa sennyawa contoh h adalah sen nyawa yang mempunyai m beerat molekul 302 dan diidentifikasi seebagai senyaawa tetraetiil etilen diffosfonat (94%).
Gambar 1: spektrum s massa GC-MS darri tetraetil etileen difosfonat Hal serrupa juga teerjadi pula pada ion fraagmen m/e: 2557 (M-45) yaiitu ion fragmeen akibat pellepasan ion ettil (CH3-CH= = O+ H). Ion fragmen m/e: 257 ini berturut-turuut menghasilk kan ion fraagmen m/e: 229 dan m/ee: 201. Ion fragmen tersebut apabilaa dihubungkann akan sesuaii dengan uktur dari seenyawa tetraeetil etilen diifosfonat stru den ngan M.+ = 302 3 sesuai beerat molekul senyawa s tersebut. Tahap selanjutnya adalah tahap p untuk meendapatkan seenyawa 1.2 bis-(fosfino o) etana den ngan mereduuksi senyaawa tetraetill etilen diffosfonat denggan reduktor kkuat Li L Al H4 dallam pelarut dietil d eter bebbas air sesuaai reaksi berrikut:
Dari data spektrum maasa (gambar 1) menunjukkan bahwaa puncak ion molekul m senyaawa tetraetill etilen difosfoonat (M+ =3022) tampak sanngat lemah akan tetapi fragmentasinyya menunjukkkan puncak dasar dan puuncak lainnyaa yang lebih kuat. k Puncakk dasar terdaapat pada m//e : 165 akibat pemutuusan ikatan daan pelepasann ion molekul PO(OC C2H5)2. Disam mping itu pula p ditemuukan puncak ion fragmen pada m/e: 1337; m/e 109 dan m/e : 81 yang meerupakan ion fragmen akibat pelepassan CH2-CH2 secara berturrut-turut, karrena penyusuunan ulang attom intra moleekul Mc.Laffe ferty yang melibatkan m m migrasi atom hidrogen yang y dijembaatani oleh atom m oksigen.
2 ( C2 H5O )2 PO C2H4 PO ( C2 H5O )2 Teetraetil etilen difosfonat
+
3 Li Al H4
2 H2P C2 H4 PH2
dietileter; HCl H -5 s/d 0 0C
+ 2 Li Al (OC2 H5 )4 + Li L Al (OH)4
1,2 bis (fosfino)etan na
Reduksi berrlangsung padda suhu rendaah (5 samppai 0 0C) selaama 3 jam, dilanjutkan d p pada suhu kaamar selama 24 2 jam agar reaaksi sempurnaa. Purwoko, dkk.
Hidrolissa dengan H HCl 6N dimaaksudkan unttuk memecahh sisa reduktoor dan garam lainnya seh hingga terbenttuk endapan yyang dapat dip pisahkan
IS SSN 1410 – 81 178
Buku II hal 11
PROSIDIN NG SEMINA AR LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR PENEL Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
dengan produk yang terlarut dalam m dietil eter. Fasa F dietil eter e dilakukann destilasi dengan menaikkkan suhu penangas p secaara bertahap dengan makksud pelarut mauppun hasil reaaksi untuk memisahkan m
mping dengann produk 1,22 -bis(fosfino o) etana. sam Pro oduk 1,2 -bis(fosfino) etanna murni meerupakan desstilat pada suuhu 115 0C, kkemudian diilakukan karrakterisasi.
Gambar 2: spektra infr fra merah dari 1,2 -bis(fosfinno) etana. Karakterisassi terhadap produk 1,22 dilakukan dengan anaalisa bis(fosffino) etana spektrofotometri infra merahh FT-IR dan kromatoografi cair –HPLC. – Karaakterisasi denngan 31P-NM MR tidakk dapat dillakukan karrena keterbatasan keberaddaan alat tersebbut. Dari hasil reekaman spekttrum infra meerah (gambaar 2) senyaw wa 1,2 -biss(fosfino) ettana ditemukkan pita-pita serapan kuat pada 2300 Cm C 1 (P-H), puncak lainnnya adalah pada p 1040 dan 937 Cm m-1 (P-H2). Oleh O karena digunakan d CH HCl3 sebagaii pelarut, makka puncak-punncak serapann CH (strecching) pada 2800-3000 2 Cm m-1 dari senyaawa 1,2 -bis(fosfino) etana e tidak teramati karrena berimpiit dengan seraapan C-H dari pelarut. Karakterisassi 1,2 -biss(fosfino) ettana dengan kromatograafi cair-HPLC C dimaksuddkan untuk melihat tingkkat kemurniaan kimia dari d senyaw wa hasil sintessa, hasil krom matogram HP PLC dari seenyawa 1,2 -bis(fosfino) etana sepperti terlihat pada gambar 3 di bawah inni.
2 H2P C2 H4 PH2
+ C2 H5O CH H= CH2
1,2 bis (foosfino)etana 2(C2H5 O
Gaambar
3:Kroomatogram H HPLC dari 1,2 bis(ffosfino) etanaa) Dari hasil kromatograam HPLC (gaambar 3) tersebut tampakk adanya punccak tunggal dominan d den ngan waktuu retensi 4.231 men nit dan kem mungkinan adanya a sedikitt puncak keccil yang tidak dapat terppisahkan secaara baik oleh h pelarut yan ng digunakan.. Namun, hal ini dapat mem mberikan pettunjuk bahwaa produk 1,22 -bis(fosfino o) etana tersebut dapat diianggap murnni (lebih dari 98 9 %). Tahap II ( ke dua ) adalah tahap p sintesa unttuk mendapattkan tetrofosm min, diperoleh h melalui reaaksi sebagai beerikut : alfa a azo isobutironnitril (AIBN) Refluk, 60 s/d 700 0C , 8 jam
C2H4 ) P CH2CH2 P (C2H4 O C2H5 ) 2 Tetroffosmin
Reaksi yangg terjadi adaalah reaksi adisi a dengan alfa azo isobbutironitril sebbagai katalisaator. a reaksi-reaaksi Menuruut pustaka unntuk sintesa atau dengan menggunakkan bahan senyawa fosfin Buku II hal 12
4,231
perti pada sintesa tetroofosmin seh harusnya sep dilakukan denggan menggunnakan botol khusus Fissher pressuree bottle dann fume-hood khusus karrena sangatt beracun[1], namun karena
IS SSN 1410 – 81 178
Purwoko, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
keterbatasan maka sintesa dillakukan denngan mengguunakan alat refluk biasa dengan konndisi reaksi yang sama yakni pada suhu antara 60 sampai 70 0C dengaan waktu hanyya 8 jam (dalam pustakaa[1], 16 jam) dan d dalam koondisi aliran gas nitrogenn. Kemudian dilakukan penguapan p fraaksi ringan dengan cara destilasi tekaanan rendah (20 mmHg)) pada suhu 60 0C selam ma 6 jam. Fraaksi yang tertinggal beruppa cairan agakk kental (viscoous)
berrwarna kekuuningan dan merupakan produk tetrrofosmin. Karakteerisasi dari haasil sintesa diilakukan den ngan analisa spektrofotom metri infra meerah FTIR,, kromatografi cair- HP PLC dan peenentuan stru uktur dengan proton-NMR.. Hasil annalisa spektrofotometri infrra merah FT T-IR terhadapp tetrofosminn dapat dilih hat pada gam mbar 4 di baw wah ini .
Gam mbar 4 : spektra infra merah h dari Tetrofosmin Dari hasil reekaman spekttrum infra meerah (gambaar 4) ditem mukan pita-pitta serapan yang y sesuai dengan d strukttur senyawa tetrofosmin t p pada daerah frekuensi 9440 Cm-1, 14255 Cm-1 (CH2-P); 1085-11150 Cm-1 (C C-O-C, eter alifatik). Oleh O karena digunakan CHCl C ai pelarut, maka m 3 sebaga p puncak--puncak serrapan C-H (sstreching) pada 2800-30000 Cm-1 tiddak teramati karena berim mpit dengan serapan C-H dari pelarut. Sedangkan pada p daerah 3300 Cm-1 terrdapat puncakk lebar yang saama dengan pelarut. Dissamping itu terdapat punncak tajam pada p daerah 1625 1 Cm-1 yaang kemungkiinan berasal dari pengotorr. Hasil krom matogram daari pemerikssaan dengan kromatograafi cair -H HPLC terhaadap tetrofossmin dapat diilihat pada gaambar 5 dibaw wah ini . 3,515
Dari daata kromatogrram( gambar 5 ) di ataas tampak addanya satu puuncak dominaan yang meerupakan punccak dari tetroffosmin dengaan waktu retensi 3.515 menit (91..2%). Disamp ping itu terdapat pula puuncak kecil paada retensi 2.7 73 menit (8.76 %) yang kemungkinann adalah punccak dari pen ngotor yang berasal daari spesi kaatalisator iso obutironitril, sedangkan s peengotor dari senyawa s 1,2 2 bis(fosfino) etana tidakk tampak padaa retensi 4.2 23 menit. Kaatalisator alffa azo isobu utironitril meempunyai rum mus bangunn NC-CH(CH H3)-CH2N= =N-CH2-CH(C CH3)-CN yyang kemu ungkinan sellama reaksi mengalami pemutusan ikatan meenjadi spesi-spesi kimia diantaranya adalah NC C-C(CH3)2NH H2, sehingga daapat dikatakan n bahwa tetrrofosmin darii hasil sintesaa masih meng gandung pen ngotor, jadi masih m perlu dilakukan pemurnian lag gi. Hasil sppektra dari peenentuan proto on-NMR yan ng dilakukann terhadap tetrofosmin seperti terlihat pada gam mbar 6 di baw wah ini.
2.732 2
d Tetrofosm min Gambarr 5 : Kromatoggram HPLC dari
Purwoko, dkk.
IS SSN 1410 – 81 178
Buku II hal 13
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
G Gambar 6 : Sppektrum protoon-NMR dari tetrofosmin, t p pelarut CDCl 3. Dari hasil penentuan sttruktur denngan proton-N NMR ( gam mbar 6) diperroleh data -ddata sebagaii berikut: 1H-N NMR,(CDCl3), ) 1.119 (12H,, OCH2-CH H3, doublet of triplet); 1.4472 (4H, P-C CH2CH2-P, broad multipplet); 1.654 (8H, P-CH2-C CH2O-C2H5, broad trriplet); 2 2.029 (2H,N NH2C(CH3)2CN, broad triplet) ; 3.417 (8H, O-C CH2CH3, dooublet of quarrtet); 3.590 (88H , P-CH2-C CH2O-C2H5, broad muultiplet ). Daata-data terseebut sesuai dengan data yang diperooleh Kelly ett.al, hanya berbeda pada puncak peergeseran prooton 2.029 ppm. Dari estimasi melalui m progrram komputtasi menunjukkkan bahwa puncak terseebut merupaakan puncak pergeseran p prroton gugus NH N 2 (dari sppesi isobutironnitril). KESIM MPULAN Dari hasil peenelitian yangg telah dilakuukan dapat disimpulkan d bahwa telah dapat disinttesa senyaw wa ligan tetroofosmin melaalui reaksi adisi a antara senyawa s 1,2-bbis(fosfino)etaana dan etilvvinil eter dengan d alfaaazo isobutirronitril sebaagai katalisaator. Reaksi dilakukan d dengan cara reffluk selama 8 jam pada suhu antara 60 sampai 700 0C dalam lingkungan l gaas nitrogen daan telah diperooleh tetrofossmin 1.30 gr g (yield: 344.6 %) denngan kemurnnian kimia 91.2 %. Hasil H ini bellum mencappai persyaratann kemurnian kimia k minimaal (> 97%) seebagai bahan baku b sedian raadiofarmaka. Senyawa 1,2-bis(fosfino 1 o)etana sebaagai startingg material dallam sintesa teetrofosmin teelah dapat disintesa d mellalui dua tahhap reaksi yaitu reaksi subtitusi antara trietil foosfit dengan 1,2 dibromooetana, hasil dari reaksi teersebut direduuksi dengan reduktor kuatt Li Al H4 dann telah diperooleh (y 35.4 %) 1,2-bis((fosfino)etanaa 2.80 gr (yield: dengan kemurnian kiimia lebih darri 98%.
Buku II hal 14
UC CAPAN TER RIMAKASIH Pada keesempatan inii kami meng gucapkan terima kasih keepada Bapak DR. Abdul Mutalib (Ka PRR), DR. T. Genka daan DR. K. Haashimoto (daari JAERI Jeppang), Ibu Draa. Siti Darwatti, M.Sc. (Kepala Bidangg Radiofarm maka), Bapaak Drs. Ad dang Hardi Gunawan, G Aptt. (Kepala Ko olompok Bio odinamika) serta rekann-rekan yang g telah meembantu terlakksanakannya ppenelitian ini. DA AFTAR PUSTAKA 1. Kelly et.al.. : US Patent No.5,0 045,302, Sep.3,1991. 2. Gallowitsch H. J., Kogller D., Mikosch P., 99m Gomez L.: Tc-tetro ofosmine scintimammoography, A Prospective Study S in Primary Breast B Lessioons, Nuklearm medizin, 1996, 35, p. 225-229 2 3. Craig Tayllor, R., Doouglas, B.W W., 1,2Bis(phosphinno)ethane, Journal In norganic Syntheses, 1994, Volume 14, p.10-14. 4. John. A Dean, D Absorpption frequen ncies of micellaneouss bands, H Hand book organic chemistry, Mc.Graw-H Hill, Interrnational editions, p. 6-38,(1980) 6
TA ANYA JAWA AB Ind dra Suryawa an Usaha apa untuk meninngkatkan kemurnian tetrofosmin saampai lebih besar dari 97% %? Purwoko P Upaya-upay aya yang dilakkukan adalah dengan cara pemissahan secaraa kalor krom matografi namum bellum mendapaat pelarut yan ng tepat sehingga dapat memiisahkan Tetrrofosmin dengan penngotor.
IS SSN 1410 – 81 178
Purwoko, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
D Setia awan Apa kelebihan Tetrofosmin T d dibanding selain harganya dan cara penyiapan p sederrhana? Purw woko Keelebihan Tettrofosmin dibanding d addalah distribuusi pada orrgan hati renndah, lebihh cepat diekskresi d dikkeluarkan olleh tubuh, gambaran pencitraan yangg lebih bagus.
Purwoko, dkk.
MIBI M y yang
MIBI M leebih a atau a atau
IS SSN 1410 – 81 178
Buku II hal 15
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
IRAD DIASI PA ADUAN PL LATINA DAN D IRID DIUM UN NTUK BA AHAN BAK KU IRIDIU UM-192 SE EED Moch Subeechi[1], Anung g Pujiyanto[11], dan Suryo Rantjono[2] 1.P Pusat Radioisootop Radiofarrmaka BATAN N, kawasan pusspiptek Serpoong 2. Sekolah S Tingggi Teknologi Nuklir N BATAN N Jl. babarsarii Yogyakarta E-mail: Mobechi@yaho Mo oo.co.id
ABSTRAK IIRADIASI PADUAN P PLATINA DAN N IRIDIUM UNTUK U BAH HAN BAKU IRIDIUM-192 S SEED. Perk rkembangan teknologi prroduksi radio oisotop 192Ir sebagai sum mber tertutup p y yang dibuatt melalui akktivasi neutrron dengan reaksi 191Ir (n,)192Ir m makin banyak d digunakan u untuk pelayyanan keseh hatan, teruta ama untuk keperluan tterapi radias si b beberapa p penyakit me ematikan seperti s kank ker. Bahan baku irid dium dengan p pengkayaan tinggi sang gat mahal se ehingga pen nggunaan pa aduan antara a platina dan i iridium sebag gai bahan sa asaran pemb buatan 192Ir seed s mempu unyai nilai ekkonomis yang t tinggi. Padua an antara pllatina dan iri ridium denga an komposisii 75% : 25% % dan 70% : 3 30% serta kawat k iridium m 99,9% ini disiapkan dengan d cara diiradiasi m menggunakan n neutron di posisi p pneum matic system m (sistem ud dara berteka anan tinggi ) reaktor G.A A S Siwabessy selama 300 0 menit pad da fluks ne eutron sekita ar 1 × 10114 n.cm-2.dt-11. K Kemudian, d dilakukan pro oses pending ginan pasca iradiasi sela ama 26 hari d dan dilakukan p pengukuran radioaktivita as 192Ir meng ggunakan pe eralatan kam mar ionisasi g gamma. Has sil p pengukuran radioaktivita as 192Ir yang g terbentuk pasca irad diasi paduan n platina dan i iridium komp posisi 75% : 25% deng gan panjang 0,5 cm sebesar 5,88 m mCi dan 4,68 m mCi, panjang 1 cm seb besar 15,18 mCi dan 13 3,55 mCi, pa aduan platina a dan iridium m 70% : 30% dengan d panjjang 0,5 cm sebesar 8,8 81 mCi dan 7,08 mCi, p panjang 1 cm m s sebesar 19,2 26 mCi dan n 21,80 mC Ci, serta kaw wat iridium 99,9% 9 sebessar 22,8 mC Ci. H Hasil perhitu ungan menu unjukkan bah hwa waktu paruh radio oisotop 192Ir hasil iradias si p paduan platiina dan iridiu um 70% : 30% % dengan pa anjang 0,5 cm m sebesar 7 73,74 hari dan p panjang 1 cm c sebesar 74,51 hari, paduan pla atina dan irid dium 75% : 25% dengan p panjang 0,5 cm sebesar 72,95 hari dan d panjang 1 cm sebesa ar 74,51 hari ri, serta kawa at i iridium dengan panjang 0,5 0 cm sebessar 74,51 ha ari. Radionukklida pengoto or 191Pt,195mPt, 1 197 Pt,199Pt da an 194Ir yang semuanya mempunyai m waktu w paruh pendek tela ah mengalam mi p peluruhan te erlebih dahulu u setelah dila akukan proses pendingin nan pasca ira adiasi selama 2 hari dan 26 n mengalamii peluruhan selama 77 hari, sehing gga hasil akkhir diperoleh 1 192 Ir yang ha ampir murni dan d dari pusttaka diketahu ui waktu paru uh 192Ir adala ah 73,83 hari ri. K Kata kunci : Iradiasi, Pa aduan platina a dan iridium,, Peluruhan, Iridium-192 seed
ABSTRACT T IIRRADIATIO ON OF PLAT TINUM AND IRIDIUM AL LLOY FOR IRIDIUM-192 I 2 SEED RAW W M MATERIAL. The develo opment of ra adioisotope production p te echnology 1992Ir as sealed s source creatted through neutron acttivation with reaction 191Ir I (n, γ) 192Irr increasinglly w widely used for health se ervices, espe ecially for the e purpose off radiation the erapy severa al d deadly disea ases such as cancer. Raw material iridium with h high enrich hment is verry e expensive so o the use off platinum an nd iridium allo oys as targe et material manufacture of o 1 192 Ir seed ha as a high ecconomic valu ue. Platinum and iridium alloy with co omposition of o 75%: 25% and a 70%: 30 0% and 99.9 9% iridium wire w was pre epared by u using neutron i irradiated in pneumatic positioning p syystem (high pressure p air systems) Siiwabessy G.A A r reactor for 300 3 min at a neutron flu ux around 1 × 1014 n.cm m-2.dt-10. Then n the cooling p process is ca arried out fo or 26 days po ost-irradiation n and radioa activity meassurement 192Ir I u using gamm ma ionizatiion chamber equipme ent. The results of radioactivitty m measuremen nts 192Ir irrad diation forme ed the comp position of an a alloy of p platinum and Buku II hal 16
IS SSN 1410 – 81 178
Moch Sube echi, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
iiridium, 75% %: 25% with a length of 0.5 0 cm by 5.8 88 mCi and 4.68 mCi, 1 cm long and 13.55 mCi off 15.18 mCi, platinum an nd iridium allo oy 70%: 30% % of length 0..5 cm by 8.81 m and 7.08 mCi, the le mCi ength of 1 cm m at 19.26 mCi m and 21.8 80 mCi, and 9 99.9% iridium m w of 8.22 mCi. The an wire nalysis resultts the half-tim me radioisoto ope 192Ir irrad diation resultts p platinum and d iridium allo oy, 70%: 30% % with a leng gth of 0.5 cm m by 73.74 da ays and 1 cm m l length of 74..51 days, an n alloy of platinum and irridium, 75%: 25% with a length of 0.5 c by 72.95 cm 5 days and 1 cm length of o 74.51 days s, and iridium m wire with a length of 0.5 c by 74.51 cm 1 days. Radio onuclide imp purities 191Pt,, 195mPt, 197Pt, P 199Pt and 194Ir which all a h have short half-time has undergone decay d advan nce after coolling process is carried ou ut f 26 days post-irradiation and de for ecay for 77 days, so the e final resullt is obtained a almost pure 192Ir and literrature known n to the half-ttime of 192Ir iss 73.83 dayss. K words: Irradiation, platinum Key p and d iridium alloy y, Decay, Irid dium-192 see ed
PENDA AHULUAN
K
annker serviks menimbulkan m b beban kesehaatan, em mosional dan ekonomi baagi penderitaanya dan jugga berdampaak pada seluruh keluargaanya dan karena penyakit inii seringkali menjangkiti m dapat membunuh m perrempuan di usia u produktif 3050 tahhun[1]. Salah satu metodee terapi kannker mengguunakan tekniik brakiterappi yaitu sum mber radioakktif dalam bentuk seedd (mikrokapsul) dimasukkkan ke dalam m kanker melaalui jarum injeeksi dan dibbiarkan secarra permanen.. Selama dalam lokasi tersebut seed raddioisotop a akan memancarkan radiassi pengion yanng akan meruusak sel-sel kanker sehinggga akhirnya akan mengkeerut dan matti[2,3]. Paduan logaam merupakaan pencampuuran dari duaa jenis logam atau lebih unttuk mendapattkan sifat fissik, mekanik, listrik dan visual v yang leebih baik[4]. Paduan plattina dan iriddium merupaakan salah saatu bentuk paaduan logam yang digunaakan untuk bahan b baku peembuatan radiooisotop 192Ir seed s yang mempunyai m komposisi tertentu t sebaagai sediaann brakiterapi. teknollogi produuksi Perkembanggan radioisootop iridium-1192 seed yanng dibuat melalui aktivasii neutron makkin banyak diggunakan. Iridiuum192 meerupakan raddioisotop pem mancar beta dan gamma dengan wakktu paruh 73,,83 hari. Raddiasi beta maksimum m seebesar 675 keV, k sedanggkan radiasi gamma dengaan intensitas terbesar t memiiliki energi 317 3 keV denggan intensitas 82,8%. Iridiuum192 (1992Ir) adalah salah s satu beentuk radioisootop yang teelah banyak digunakan untuk u keperlluan radiomeedik dan radiooterapi[5]. Terapi raddiasi penyem mbuhan kannker dengan metode Intraacavitary braachytherapy teelah digunakkan dalam beentuk high doose rate (HD DR), medium m dose rate (MDR) dan low dose rate r (LDR). LDR memiliki laju doosis 0.4 Gy/jjam sampai dengan 2 Gy/jam G dengaan menggunaakan Moch Su ubechi, dkk.
sum mber radioisootop 192Ir[5]. MDR memilliki laju dossis 2 – 12 Gy//jam sedangkaan HDR memiliki laju dossis di atas 12 Gy/jam[55]. LDR mem mpunyai beb berapa keuntuungan dibanddingkan dengaan HDR (High Dose Ratte) antara lainn, yaitu: kebeerhasilan terapi kanker hampir sam ma, tidak dip perlukan perralatan yang mahal, m biaya ppengobatan jaauh lebih mu urah, pembuuatan dan ppenanganan sumber Irid dium-192 unntuk laju ddosis rendah cukup sed derhana[6]. Dengann adanya prodduksi sumber tertutup irid dium-192 seed yang seedang dikemb bangkan PR RR-BATAN sebagai s sum mber brakiterrapi laju dossis rendah, maka m diharappkan dapat menekan m meeningkatnya penderita kaanker di In ndonesia seh hingga dapat meningkatkaan harapan hidup h di Ind donesia. Penaanganan pennderita kankeer dapat dilaksanakan dii rumah-rumaah sakit daaerah di selluruh wilayyah Indonesia karena tidak meemerlukan perralatan yang rrumit dan mah hal serta dap pat menghemaat devisa negaara. DA ASAR TEOR RI 1. Radioterapi Radioteerapi merupakkan salah satu u metoda tindakan medis yang mengguunakan sumbeer radiasi terttutup dalam usaha untuk diagnosis daan terapi tum mor-tumor gannas di sampinng metoda lain n seperti pem mbedahan, kemoterapi serta imun noterapi. Pen ngembangan sarana ppengobatan dengan rad dioterapi maasih terus bberlangsung dengan dicciptakannya berbagai sarrana radiasi berupa pessawat-pesawaat penghasil rradiasi pengio on energi tinggi yang lebih cangggih beserta sarana pen ndukungnya. Semua uppaya ini terutama t berrtujuan untuuk memberiikan dosis radiasi sem maksimal munngkin pada tuumor dengan menekan m dossis seminim mal mungkin pada jaringan seh hat/normal seekitarnya sehiingga akan diperoleh d kem matian tumoor tanpa dissertai efek samping kerrusakan jarringan norm mal[7]. Intra acavitary
IS SSN 1410 – 81 178
Buku II I hal 17
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
brachyttherapy adallah terapi radiasi denngan memasuukkan sumbeer radiasi kee dalam ronngga tubuh. Termasuk diddalamnya adaalah rongga pada p sistem pernafasan dan reproduuksi. Salah satu s alternattif yang sedanng di kembanggkan untuk terrapi kanker di Indonesia adalah a brakiteerapi. Brakiterrapi adalah metode terapi dalam bidanng medis denngan menemppatkan sumbeer radioaktif secara s implanntasi sementaara atau tetaap pada jarinngan sakit atau a didekatkannya di daalam organ. Brakiterapi B teelah diterapkkan terhadapp kasus artriitis dan kannker antara lain, payudaara, otak, hatti, ovarium dan prostat. oduksi radio oisotop 2. Pro Pembuatan radioisotop melalui reaaksi dengan neutron dilakukan denggan mengiraddiasi (menyinnari) bahan sasaran denngan neutron di reaktor nuklir, inti atom yang ditembak d neuttron tersebutt akan beerubah menjjadi inti lain. Perbanddingan neutroon dan proton inti lain terseebut tidak seeperti semula,, sehingga intii tidak stabil dan bersifatt radioaktif [8]. Sebagiaan besar reaaksi aktivasii dengan neuutron di dalam m reaktor nuuklir mengguunakan neutrron termal sebagai partikel penembbak bahan sassaran. Reaksii dengan neuttron cepat leebih kecil keebolehjadiannyya, namun tiidak berarti tidak dapat dilakukan. Aktivasi A denngan neutronn lambat meenghasilkan radioisotop r y yang tidak bebas pengembban, yaitu radioisotop r y yang merupaakan isotop sejenis s dengaan isotop baahan unsur sasaran. Olleh karena itu, pembuaatan radioisootop melalui aktivasi a dengan neutron ceepat memerllukan proses pemisahan p passca iradiasi unntuk [9] memisaahkan produk dari bahan sasaran s . Dalam pembuaatan radioisootop melalui reaksi aktivvasi neutronn, besarnya aktivitas yang y diperooleh tergantuung pada, jumlah j inti atom sasarran, lamanya waktu iradiasi(Ti), waktu paaruh radioisootop yang terrbentuk (T1/22), fluks neuttron (Ф), dann penampang lintang reaksii (σ) [10]. Dalam prodduksi radioisootop ada 6 taahap yang harus dilakukaan untuk mem mperoleh produk radioisootop yang memenuhi m sppesifikasi yaaitu, kajian reaksi r inti nukklir, pemilihaan bahan sasarran, preparaasi pra iradiiasi, iradiasii, proses paasca iradiasi, dan pengujiaan kendali kuaalitas[5,11]. Dalam pem milihan bahann sasaran unntuk produkssi radioisotop harus dipertim mbangkan bahhwa bahan sasaran teersebut haruus mempunnyai kestabillan yang tingggi (tidak melleleh atau teruurai pada prroses iradiasi)), mudah dipeeroleh di pasarran, mempuunyai kemurnnian tinggi untuk u menceegah terbentuuknya nuklidda-nuklida laain yang tidak diinginkkan, sasarann pengkayaann tinggi unntuk mendappatkan radionnuklida dengaan aktivitas jeenis yang tiinggi, bentuk fisik atau leetak dari sasaaran Buku II hal 18
dip pilih sedemikiian rupa sehinngga depresi neutron fluxx-nya minimuum. Bentuk kimia bahan sasaran biaasanya dalam bentuk senyaw wa oksida ataau logam [12,13] . Selain persyaratan teersebut di ataas, juga harrus dilengkaapi data-dataa pendukung (nama sassaran, tujuan iradiasi, sifatt fisis, kimia dan inti ato om) dari bahann sasaran yangg akan diiradiasi[14]. Iridium--192 dapat diibuat melalui aktivasi neu utron dengan sasaran isottop iridium-19 91 yang terk kandung di dalam iriddium alam dengan kellimpahan 37.3% dengan reaksi penan ngkapan neu utron oleh inti i atom daan pelepasan radiasi gam mma yang dikenal d denggan reaksi (n,γ ( )[7]. 192 Meekanisme reaaksi pembenntukan Ir sebagai berrikut: 191
192 (n,γ) Ir (1) Akibat iradiasi neeutron pada bahan sassaran maka sebagian atoom sasaran menjadi rad dioaktif. Akaan tetapi, paada saat yan ng sama rad dionuklida yaang terbentukk meluruh, sehingga s laju u bersih pem mbentukan raddionuklida meerupakan sellisih antara laju produkksi total daan laju pelluruhannya. Secara S matem matis dapat diituliskan seb bagai berikut[15],
Ir I
d d d dtt dt prodduksi dt peluruhan p
(2)
n
Deengan: n = jumlah inti radioaktif r yangg terbentuk Ф= = fluks neutronn (neutron cm m-2 det-1) σ = tampang linttang atom (baarn=10-24cm2) N= = jumlah atom m sasaran λ = tetapan pelurruhan radionuuklida yang teerbentuk Persamaaan (2) meerupakan peersamaan differensial orde satu tingkat ppertama. Untu uk waktu iradiasi Ti dan sebelum s iradiiasi inti sasaraan stabil (n= =0 pada saaat Ti=0), maka peny yelesaian perrsamaan (2) addalah sebagai berikut[15],
n
φ x
σ x λ
N
1 e λ.Ti
(3)
Pada peersamaan (3), Ti menyatak kan lama waaktu iradiasi. Sehingga beesarnya radioaktivitas (A) dapat dinyaatakan dengann persamaan sebagai berrikut[15], A = λ . n = Ф . σ . N 1-e
-λTi
(4)
Harga A dalam peersamaan (4)) adalah rad dioaktivitas paada saat berakkhirnya iradiassi dalam waaktu iradiasi Ti. T Persamaann tersebut meerupakan perrsamaan umum m untuk meneentukan radioaktivitas hassil iradiasi meenggunakan nneutron. Dalam m proses pro oduksi radioissotop ada perrlakuan pasca iradiasi
IS SSN 1410 – 81 178
Moch Sube echi, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
yang meliputi m pemissahan, pemurnnian dan anallisis uji kuaalitas. Jumlah atom sasarann dapat dihituung dengan kesetaraan mol m menggunnakan persam maan sebagaii berikut[10], N
m
x
Na BA
x
a
(5)
dengan,, N = jumahh atom sasarran, m = berat sasaran (gr), NA= bilaangan Avogaddro (jumlah attom per mool, BA = berat atom sasaran, a = abundaance (kelimpahhan isotop di alam). a Kenyataan di d lapangan, efisiensi prooses produkssi radioisotopp tidak dapat mencapai 1000% sehinggga untuk penddekatan terhaddap produk yang y dihasilkkan perlu dipperhatikan tinggkat efisiensiinya (ε). Jaddi radioaktiviitas produk radioisotop r y yang dihasilkkan secara aktivasi neutron daapat [10] dinyatakan sebagai berikut b , A
a m Ef φ σ Na BA A
1e λ.Ti
eλ.td (6)
dengan,, Ф = fluks fl neutron (neutrom ( cm-22 det-1) σ = taampang lintanng atom (barn= =10-24cm2) λ = teetapan peluruhhan radionuklida yang t terbentuk m = berat b sasaran (gr) NA = bilangan b Avoogadro (jumlaah atom per mol) m BA= berat b atom sassaran a = abundance (keelimpahan isottop di alam) Ti = lama l waktu iraadiasi td = seelang waktu /w waktu tunda. BAHAN DAN TATA A KERJA 1. Ba ahan Bahan sasarran iradiasi yang digunaakan terbuat dari paduann platina daan iridium yang y mempuunyai kandunggan 75 % berrat platina : 255 % berat iridium yangg berbentuk kawat buaatan Herauess, German, paaduan platina dan iridium yang y mempuunyai kandunggan 70 % berrat platina : 300 % berat irridium yang berbentuk b kaw wat buatan Siggma Aldrichh, Amerika serikat, s kawaat iridium yang y mempuunyai kandunggan 99,9 % iridium, buaatan Sigma Aldrich, A Amerika serikat, kapsul k aluminiium iradiasi AA-1100, batang grafit iradiiasi, aluminiium foil, kertaas saring Whaatman-41. Baahan kimia yang digunaakan adalah aseton a buatann E Merck, aquabidest buatan b IPHA, Bandung. at 2. Ala Peralatan yang diguunakan dalam penelitiian ini adalah kamar ionisaasi gamma (D Dose Calibraator, Biodex, type Atom Lab 400), oven listrik, neraca annalitik, ultraasonic cleanner, pengaduuk magnetik, kontainer Pb,, perisai Pb, kaca k pembessar, gelas piala, pipet volum me buatan Iwaki, Moch Su ubechi, dkk.
gellas arloji, viial, pinset, pplanset, pipett mikro buaatan Eppenddorf, pemanaas listrik, lamp pu infra red d, dan glove box. 3. Tata Kerja Preparasi Bah han Sasaran n dan Iradia asi Bahan sasaran iradiiasi yang dig gunakan terb buat dari padduan platina dan iridium dengan kan ndungan 75 % berat plaatina : 25 % berat irid dium, 70 % berat platina : 30% beratt iridium serrta kawat iriddium dengann kandungan 99,9 % yan ng sudah dipotong-potongg dengan ukurran 0,1 cm m, 0,5 cm, dann 1 cm. Kem mudian, bahan n sasaran pad duan platina dan d iridium terrsebut dimasu ukkan ke dallam gelas piaala 25 ml yang sudah berissi aseton seb banyak 5 ml dan ddilakukan peencucian meenggunakan ultrasonic cleaaner selama 10 menit. Pem mbilasan baahan sasaraan menggunakan aqu uabidest sebbanyak 2 kkali dan diilakukan pen ngeringan dengan d oven listrik pada su uhu 110o C selama 15 menit. K Kemudian, diilakukan pen ndinginan bahhan sasaran ppada suhu kam mar dan ditimbang untuuk mengetahuui berat bahan n sasaran yan ng akan diiraddiasi mengguunakan neraca analitik sep perti yang dituunjukkan Tabeel 1. Tab bel 1. Berat bahan sasarann paduan platina dan iridium m yang akan ddiiradiasi. Baahan Sasaran Spesifikasi Paduan Platina:Iridium P ( 75% : 25%)
Heraus
Sigma Aldrich Paduan Platina:Iridium P ( 70% : 30%)
Irridium 99,9 % Sigma Aldrich
P Panjang Berat sasaran (cm) (grram) 0,5
0,00284
0,5
0,00253
1
0,00735
1
0,00723
0,5
0,00174
0,5
0,00153
1
0,00429
1
0,00457
0,5
0,00220
Bahan sasaran hasil penim mbangan dim masukkan ke dalam d batang grafit dan dib bungkus meenggunakan aluminium a fooil yang selaanjutnya dim masukkan ke dalam kapsuul yang terbuat dari alu uminum AA A -1100. Kemudian, kapsul alu uminium yanng berisi taarget bahan sasaran tersebut diiradiaasi selama 3000 menit mengg gunakan neu utron termal pada p fluks neuutron sekitar 1 × 1014 n.ccm-2. dt-1 di reaktor nuuklir pada pn neumatic sysstem dengann posisi tegakk (RS 1) di reaktor nuk klir Pusat Reaaktor Serba G Guna G.A. Siw wabessy Serrpong.
IS SSN 1410 – 81 178
Buku II I hal 19
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
Pengu ukuran Radio oaktivitas dan d Kemurnian Radion nuklida Bahan sasarran hasil iraddiasi yang suudah diluruhkkan selama 26 2 hari dilakkukan pencuccian mengguunakan asetoon sebanyakk 2 kali dan dikeringgkan mengggunakan lam mpu infra red. r Pengukkuran radioakktivitas bahann sasaran hasil h iradiasi dilakukan deengan peralataan kamar ionisasi gamma (Dose Calibrrator, Biodex,, Atom Lab 4000). L DAN PEMB BAHASAN HASIL Pengukuran radioaktivitaas 192Ir dari hasil h iradiasi bahan saasaran kawat iridium 99,99%, paduan antara plaatina dan iridium denngan kompossisi 75% beraat platina : 255% berat iridiium dan 700% berat plattina : 30% berat b iridium m di reaktor nuklir G.A A Siwabessy menggunaakan peralataan kamarr ionisasi gamma (D Dose Calibraator, Biodex, type Atom Lab 400). Hasil H penguku kuran radiooaktivitas 192Ir yang teelah
meengalami prooses pendingginan pasca iradiasi sellama 26 hari seperti ditunjjukkan pada Tabel T 2. Tuj ujuan utama dari d proses peendinginan in ni adalah produk meengurangi dan d menghiilangkan rad dionuklida waktu w paruh pendek darii reaksi sam mping yang dihasilkan darii reaksi 191Ir (n n,) 192Ir akiibat ketidak murnian m sasaraan. hasil Perbedaaan raadioaktivitas pen ngukuran padduan platina ddan iridium 75 5% berat plaatina : 25% beerat iridium daan 70% berat platina : 30% % berat iridiium, disebabbkan dari kan ndungan irid dium alam paada bahan saasaran paduan n platina dan n iridium 70% % berat platinaa : 30% beratt iridium leb bih besar jika dibandingkann dengan kan ndungan irid dium alam dari bahan sasaran paduan n platina dan n iridium 75% % berat platinaa : 25% beratt iridium seh hingga keboolehjadian raddionuklida 1922Ir yang terb bentuk dari paduan platinna dan iridiu um 70% berrat platina : 30% berat irridium menjaadi lebih bessar.
Tabel 22.Pengukuran radioaktivitaas 192Ir yang dihasilkan dari d Iradiasi di d Reaktor Nuuklir G.A. Siw wabessy selama 3000 menit mengggunakan alat kamar k ionisasii. Bahan Sasaran
Spesifikaasi
Panjang (ccm)
Beratt sasaran (gram))
Berat sasaran (gram)
Paaduan Platina:Iriddium ( 75 %: 25%)
Herauss
0,5
0,0284
5,88
0,5
0,0253
4,68
1
0,0735
15,18
1
0,0723
13,55
0,5
0,0174
8,81
0,5
0,0153
7,08
1
0,0429
19,26
1
0,0457
21,80
0,5
0,0220
22,8
Paaduan Platina:Iriddium ( 70 %: 30%)
Aktivitas iridum‐192 Aktivitas iridum 192 (mCi) (mCi)
Iridium 99,9 %
Sigma Aldrich
Sigma Aldrich
25 20 15 Sigma aaldrich 70%:30 0%
10 5 0 0.0153
0.0174
0.0429
0.0457
Berat sasaaran (gram)
Gambarr 6. Grafik Pengaruh Berat sasaran paduaan platina : iriidium 70% : 30% terhadap A Aktivitas iridiium-192 Buku II hal 20
IS SSN 1410 – 81 178
Moch Sube echi, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
Aktivitas iridum‐ 192(mCi)
25 20 15
Heraus 75% :30%
10 5 0 0.0253
0.0284 0.0723 Berat sassaran (gram)
0.0735
Gambar 7. Grafik G Pengaruuh Berat sasaraan paduan plaatina : iridium 75 % : 25 % terhadap A Aktivitas iridiuum-192. Gambar 6 dan 7 menuunjukkan bahhwa sasaran paduan plaatina dan iriddium 70% berat platina : 30% berat irridium yang mempunyai m berat 1 sasaran lebih kecil mempunyai m raadioaktivitas 192 Ir yang lebbih tinggi jikaa dibandingkaan dengan padduan platina dan iridium 75% 7 berat plaatina : 25% berat iridium dengan beraat sasaran yaang lebih beesar. Semakiin besar beratt sasaran, makka radioaktivvitas 192 Ir yaang dihasilkann akan semakkin besar. Hall ini sesuai dengan d persam maan 10, A = λ . n = Ф . σ . N [1-e -λTi ][155] sehingga raddioaktivitas yang y dihasilkkan berbandinng lurus dengaan berat sasaraan. 1 Hasil perhiitungan raddioaktivitas 192 Ir yang diihasilkan dari bahan sasaraan paduan plattina
dan n iridium denngan komposissi 75% berat platina : 25% % berat iridiuum dan 70% % berat platinaa : 30% berrat iridium dan d kawat iriidium 99,9% setelah pro oses pendingiinan pasca iraadiasi selama 26 hari ditu unjukkan padda Tabel 3. Daari Tabel terseb but hasil perrhitungan akttivitas 192Ir yang terbentuk k secara teo oritis lebih beesar. Hal ini bbisa disebabk kan fluks neu utron termal yang dihasilkkan di reakto or nuklir G.A A Siwabessyy Serpong tiddak selalu staabil dan hom mogen sampaai akhir waktu tu iradiasi[17]. Adanya efeek self-shieldding selama iradiasi daan selfabssorption sinaar dari baahan sasaran paduan plaatina dan iridium padda saat diilakukan pen ngukuran [16].
Taabel 3. Hasiil perhitungann radioaktivitaas bahan sasaaran setelah proses p pendinnginan iradiaasi selama 26 hari. Bahaan Sasaran Speesifikasi Paaduan Platinna:Iridium ( 755 %: 25%)
Paaduan Platinna:Iridium ( 700 %: 30%)
H Heraus
ma Aldrich Sigm
Iridiuum 99,9 % Sigm ma Aldrich
Panjjang (cm) Beraat sasaran (gram m)
Hasil peng gukuran aktivitass (mCi)
H Hasil perhitungaan aktivitas (mCi))
0,5
0,0284
5,888
10,61
0,5
0,0253
4,688
9,45
1
0,0735
15,118
27,45
1
0,0723
13,555
27
0,5
0,0174
8,81
7,8
0,5
0,0153
7,088
6,86
1
0,0429
19,226
19,23
1
0,0457
21,880
20,48
0,5
0,0220
22,88
32,87
Radionuklidda-radionuklidda yang terbenntuk pasca iradiasi akkan mengalaami penuruunan radioakktivitas sejalann dengan bertaambahnya wakktu. Hal ini terjadi karenaa radionuklidaa tersebut berssifat tidak sttabil dan selalu berusaha mencapai m konndisi stabil dan d melakukkan transform masi inti melalui Moch Su ubechi, dkk.
pascca
pelluruhan denggan memancaarkan partikel alpha, betta, sinar gaamma, sinar X atau sekaligus tergantung jenis gab bungan diiantaranya rad dionuklidanyaa. Gambarr 8, 9, dann 10 menu unjukkan hub bungan pelurruhan radioaaktivitas dan waktu.
IS SSN 1410 – 81 178
Buku II I hal 21
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
Dengann menggunakaan persamaan ln A = - λt + ln Ao[15], dan metode regresi liniier dalam suuatu persamaaan garis dengan ordiinat Y adaalah
dioaktivitas dan d absis X adalah wakttu (hari) rad paruh seh hingga dappat dihitunng waktu rad dioaktivitas 1922Ir.
4
ln A ln A
3 y = ‐0.0093x + 3 3.0796
2
1 Cm 0.5 Cm
2.1783 y = ‐0.0094x + 2
1 0 0
40 60 0 waktu (hari))
20
80
100
ln A
Gambarr 8. Kurva perrubahan radiooaktivitas 192Irr hasil iradiasii bahan sasaraan paduan plaatina dan iridiu um 70% : 30% sejjalan waktu. 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
y = ‐0.0093xx + 2.7240 0.5 Cm
y = ‐0.0095x + 1.5546 0
40
20
60
8 80
100 0
Waktu ( hari ) Gambarr 9.Kurva peruubahan radioaaktivitas192Ir hasil h iradiasi bahan b sasaran paduan platinna iridium 75% % : 25% sejalan waktu. w 4 4.0 ln A
3.0 y = ‐0.0093xx + 3.1309
2 2.0 1 1.0 0 0.0 0
20
40
60
80
100
Waktu ( H Hari ) 192
Gambarr 10. Kurva peerubahan radioaktivitas Irr hasil iradiasii bahan sasaraan iridium 99,99% sejalan waktu. w Berdasarkann persamaaan garis dari d Gambarr 8, diperolehh nilai waktu paruh p radioisootop 192 Ir hasil iradasi dengan d neutron termal padduan platina dan iridium yang mempuunyai 70% berat platina : 30% berat iridium untukk panjang 0,5 cm sebesar 73,74 hari daan untuk panjaang 1 cm sebeesar 74,51 hari. h Buku II hal 22
Berdasaarkan persamaaan garis dari Gambar op 192 Ir 9, diperoleh nillai waktu parruh radioisoto n platina hassil iradasi denngan neutron ttermal paduan dan n iridium yanng mempunyaii 75% berat platina p : 25% % berat iridiuum untuk pannjang 0,5 cm sebesar 72,,95 hari dan untuk u panjangg 1 cm sebesar 74,51 harri.
IS SSN 1410 – 81 178
Moch Sube echi, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
Berdasarkann persamaan garis g dari Gam mbar 1992 10, diperoleh nilai waktu w paruh radioisotop r Ir hasil iraadasi dengan neutron term mal bahan sasaaran iridium 99,9% untukk panjang 0,5 cm c sebesar 744,51 hari. Bahan sasaraan paduan plaatina dan iridiium dibiarkaan meluruh selama 266 hari seteelah dikeluarkan dari unnit rabbit syystem di reakktor bertujuaan untuk meminimallkan pengaaruh radionuuklida pengottor 194Ir (t1//2 = 19,15 jaam) dalam target. Radionuklida R pengotor ini merupaakan hasil saamping yang dihasilkan dari d 1 reaksi 193 Ir (n,) 194Irr karena bahaan sasaran buukan 192 Ir yaang diperkayya tetapi iriddium alam yang y menganndung kompoosisi 191Ir sebbesar 37.3% dan 193 Ir seebesar 63.7% %[15]. Selain itu, i radionuklida yang teerbentuk dari bahan sasarann paduan plattina dan iriddium adalah 1991Pt (t1/2 = 2,99 hari), 193mPt (t1/2 197 = 4,3 hari), h Pt (t1//2 =18,3 jam)) dan 199Pt (t1/2 1 = 30,8 menit) m adalahh hasil dari aktivasi neuttron terhadapp platina[15]. Dengan deemikian prooses pendingginan pasca iradiasi selama s 26 hari h terbuktii cukup effektif dalam meminimallkan radionuuklida pengotoor dan kemurnnian radionuklida 192 Ir hasil h iradiasi dapat d terpenuhhi untuk sediiaan radioterrapi dan radiomedik. Radioisotop 192Ir yang terbentuk paasca iradiasi dan setelah proses p pendinnginan selamaa 26 hari serrta mengalam mi peluruhan selama 77 hari h menunjukkan bahwaa waktu paruhh yang diperooleh sesuai dengan d waktuu paruh radiooisotop 192 Ir dari d pustakaa sebesar73,833 hari [15]. Penanganan radionuklidda 192Ir sebaagai sumber tertutup selam ma penelitian ini memerluukan kehati-hhatian, kecerrmatan dan ketelitian yang y ekstra tinggi t dan meematuhi petunnjuk keselamaatan kerja radiasi r dengaan memaham mi filosofi daasar keselam matan kerja radiasi, yaituu faktor wakktu, faktor jarak, faktoor bahan peelindung radiiasi. Paparann radiasi dari bahan sasaraan paduan plattina dan iriddium hasil iraadiasi ini sanggat tinggi > 3 Rad R sehinggga untuk uji kemurnian radionuklida mengguunakan spektrometri gammaa tidak dilakuukan dengan pertimbangaan keselamataan kerja raddiasi dan peddoman ALAR RA yaitu As Low Reasonaably Achievaable yang berarti b bekerjaa dengan raddiasi serendaah-rendahnya yang memuungkinkan unntuk dilaksannakan[18]. KESIM MPULAN Dari hasil penelitian diketahui d bahhwa Radiokttivitas 192Ir yang y terbentuuk pasca iraddiasi setelah proses pendiinginan selam ma 26 hari unntuk bahan sasaran s paduaan platina dann iridium ternyyata jumlah 192Ir yang terbentuk t sanngat dipengarruhi besar kaandungan Ir dalam d bahan sasaran s paduann Pt dan Ir, semakin besaar komposisi Ir dalam padduan Moch Su ubechi, dkk.
hasilkan. tersebut maka seemakin besar 192Ir yang dih Dissamping itu, semakin besaar jumlah beraat bahan sassaran maka semakin bessar pula 192Ir I yang dih hasilkan. Bahhan sasaran paduan platiina dan irid dium dengan komposisi k 70% % berat platin na : 30% berrat iridium mempunyai m ttingkat kebolehjadian 1192 terb bentuknya radioisotop r Ir yang paling opttimum. Akann tetapi, diisamping 1922Ir juga terb bentuk radioonuklida penngotor karenaa bahan sassaran bukan 191Ir murni. R Radionuklida pengotor p yan ng terbentuuk pasca iradiasi seemuanya meempunyai wakktu paruh penddek yaitu , 1944Ir (t1/2 = 19,,15 jam), 191Pt P (t1/2 = 2,9 hhari), 193mPt (tt1/2 = 4,3 197 harri), Pt (t1/2 =18,3 jam) dan 199Pt (t1/22 = 30,8 meenit) [15] dan masih m dibawaah waktu parruh 192Ir. Naamun, setelah mengalami ppeluruhan pad da proses pen ndinginan pasca iradiasi sselama 26 haari dan pelluruhan seelama 77 haari, maka diperoleh d rad dioisotop 192Ir I yang ham mpir murni. Hal ini terb bukti bahwa waktu paruh 192Ir yang diihasilkan adaalah 72,95 – 74,51 relaatif sama diibanding den ngan pustakaa yaitu waktuu paruh 192Irr adalah 73,,83 hari. DA AFTAR PUSTAKA 1. ANONIM,“P PernikahanDinniPotensiKank kerServi ks” Http:///www.sriwiayyapost.com/, diakses Sabtu, 26 Deesember 2009 19:23 WIB. 2. EBEN, ‘’Inttroducing the Latest Techn nological Advancemennt in Prosstate Cancerr Seed Brachytherappy’’, IsoRay M Medical Inc, 2007. 2 3. JAE WON JUNG, J ‘’142Prr Glass Seedss for the Brachytherappy of Proostate Canceer’’, A Dissertation,, Doctor of Phhilosophy in Hanyang H University, Korea, K 2007. 4. ANONIM, “Logam m#Paduan_Lo ogamS”, Http://Id.Wikkipedia.Org/W Wiki, diakses 11 Desember 20010. 5. VERA RUIIZ. H, ‘’M Manual for Reactor ’’, IAEA-TE Produced Radioisotopes’ R ECDOC1340, Viennna, 2003. 6. T. GENKA, W. REDIATN NING, A.MU UTALIB, “ Low Dosee Rate (LDR) Ir-192 Wire Sources for Brachythherapy “ Jourrnal Radioiso otop dan Radiofarmassi, Vol.2 No.1,2 hal 57-69, 1999. 7. ALATAS Z, Z ”Aplikasi Tehnik Nukllir Bagi Kesehatan”, Buletin A Alara 2 (3), 5-12, P3KRBIN, BATAN, B Jakarrta, 1999. 8. IBON SUPA ARMAN, ’’P Produksi Rad dioisotop dan Aspek Keselamatann Radiasi’’ DIKLAT D Proteksi R Radiasi, PU USDIKLAT-B BATAN, Jakarta, 20022. 9. S. SOENARYO, ’’Prodduksi Radioisotop’’, DIKLAT Proteksi P Raddiasi PUSDIKLATBATAN, Jakkarta, 2004.
IS SSN 1410 – 81 178
Buku II I hal 23
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
10. MA ASKUR, “Kom mputasi Produuksi Radioisootop dan Pendukungnyya Menggunakkan Turbo Passcal Winndows”, STTN N-BATAN, Yogyakarta, 20005. 11. ANO ONIM, ‘’B Brosur Pusaat Radioisootop Raddiofarmaka-BA ATAN’’, Puusat Radioisootop dan Radiofarmakka, BATAN, Serpong, S 2008. 12. IBO ON SUPARM MAN, HOT TMAN LUB BIS, ‘’Peengembangan dan Pendayyagunaan Produk dan Raddioisotop’’,Jurrnal Radiioisotop Raddiofarmaka,Vool 12, oktoberr, PRR-BATA AN, Serppong, 2009. 13. ANO ONIM, ‘’Maanual for Reeactor Produuced Raddioisotopes’’, IAEA- TECD DOC-1340, 1981 202, Vienna, 2003. 14. SRIIYONO, ABID DIN, HAMBA ALI,’’ Penyiaapan Sasaaran Iradiasi di PRR--BATAN unntuk Pem mbuatan Radiioisotop’’, Puusat Radioisootop dan Radiofarmakka, BATAN, Serpong, S 2009. Handbook off Radioisotoppe’’, 15. N. SAITOH, ‘’H Marruzen, Tokyo, 1996. 16. M. SAYAD, H. H LUBIS, R. R AWALUD DIN, MO OCH SUBECH HI, A. MUTA ALIB, T.GENK KA, ‘’1922Ir Laju Dosiis Rendah unntuk Brakiterapi: Prosses Iradiasi dan d Kendali Kualitas’’, K Puusat Pegembangan Raadioisotop dann RadiofarmaakaBAT TAN, Serpongg, 2002. 17. S. SOENARYO O,’’ Analisis Pengaktiivan dan Neuutron’’ Juurnal Raddioisotop Raddiofarmaka,Vool 11, oktoberr, PRR-BATA AN, Serppong, 2008. 18. WIS SNU ARYA WARDHAN NA, ”Teknollogi Nukklir Proteksi Radiasi daan Aplikasinnya” Penerbit Andi , Yogyakarta, Y 20007.
Buku II hal 24
TA ANYA JAWA AB Sri Puji Ganeffati Penggunaan untuk berapaa orang dan apakah sudah dilakukkan uji klinis?? Moch M Subec chi Penggunaaan 192-Ir seedd lebih dari 10 0 orang, belum dilakkukan uji kliniis. Ind dra Suryawa an Pada paduan Platina dan Irridium, mengaapa tidak murni Iridium m untuk menndapatkan ko omposisi 192-Ir yang besar? b Moch M Subec chi Ir yang mempunyai m keemurnian yan ng besar kandungannya 99,9 % Sri Muryani Apakah bahann ini sudah diiaplikasikan ke k pasien atau binatangg percobaan ? Moch M Subec chi Alat ini bellum diuji kliniss
IS SSN 1410 – 81 178
Moch Sube echi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PEMBUATAN NUKLEOTIDA BERTANDA [γ-32P]ATP SEBAGAI PELACAK MUTASI GENETIK. Wira Y Rahman, Endang Sarmini, Herlina, Azmairit Aziz,Triyanto, Hambali Pusat Teknologi Nuklir Bahan Radiometri- BATAN E-mail:
[email protected] ABSTRAK PEMBUATAN NUKLEOTIDA BERTANDA [γ-32P]ATP SEBAGAI PELACAK MUTASI GENETIK. Penyakit akibat infeksi atau ketidaknormalan genetik dapat didiagnosa dengan mendeteksi deret asam nukleatnya yang spesifik untuk setiap penyakit, diagnosa meliputi PCR (Polymerase Chain Reaction) dan hibridisasi dot blot menggunakan pelacak berlabel radioaktif P-32 yaitu nukleotida bertanda [γ-32P]ATP. Metode untuk mendeteksi gen tersebut menggunakan teknik Southern Blotting. Pembuatan nukleotida bertanda ini dilakukan dengan reaksi enzimatis yang merupakan bagian dari proses glikolisis, diawali dari fruktosa 1,6-diphosphat, nukleotida ADP dan H332PO4 dengan menggunakan enzim aldolase, gliseraldehid 3phosphat, 3-phosphogliseratkinase dan laktat dehidrogenase. Sementara karakterisasinya menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) PEI Cellulose dan Liquid Scintilation Counter (LSC). H332PO4 yang digunakan mempunyai kemurnian radiokimia 99,85% sedangkan ATP bertanda yang dihasilkan dengan penambahan air pada temperatur 36⁰C berada pada Rf 0,2 dengan hasil penandaan 33,46%. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai acuan produksi nukleotida bertanda lainnya. Kata kunci : nukleotida bertanda [γ-32P]ATP, reaksi enzimatis, proses glikolisis ABSTRACT PRODUCTION OF LABELED NUCLEOTIDE [γ-32P])ATP AS THE GENETIC MUTATION TRACKER. Infectious disease or genetic abnormality can be diagnosed by detecting the nucleic acid sequence that are specific to each disease, diagnostics includes PCR and dot blot hybridization using P-32 labeled tracer that is labeled nucleotide [γ-32P]ATP. The method to detect the gene using Southern Blotting technique. The preparation of labeled nucleotides is done by enzimatic reactions that are part of the glycolisis pathway, starting from fructose 1.6-diphosphate, ADP nucleotide, and H332PO4, using the enzym aldolase, glyseraldehide 3-phosphate, 3phosphoglycerate kinase, and lactate dehydrogenase. While its characterization using Thin Layer Chromatography (TLC) PEI Cellulose and Liquid Scintilation Counter (LSC). H332PO4 who used to have radiochemical purity of 99.85% while ATP labeled which is produced by adding water at a temperature of 36⁰C marked at Rf 0.2 with 33.46% tagging results. Labeled nucleotide [γ32P]-ATP which is resulted as basis for other labeled nucleotide synthesis. Key word : [γ-32P]ATP labeled nucleotide, enzimatic reaction, glycolysis pathways
PENDAHULUAN
S
elama dekade terakhir ini aplikasi radioisotop telah berkembang dengan cepat tidak hanya digunakan dalam pencitraan untuk memperoleh informasi fungsional suatu zat senyawa, juga untuk mendalami berbagai macam proses fisiologi dan patologi. Kendala utama dalam pengobatan penyakit infeksi adalah ditemukannya organisme yang tahan terhadap obat, antibiotika atau insektisida yang disebabkan adanya mutasi Wira Y Rahman, dkk.
genetik. Diagnosis penyakit infeksi dengan biologi molekul adalah mendeteksi asam nukleat mikroorganisme penyebab dengan menggunakan pelacak DNA. Untuk mendeteksi kelainan genetik yang diakibatkan oleh virus, kuman atau bakteri dapat dengan pelacak DNA/RNA menggunakan teknik Southern Blotting [1,4,5,6]. Dimana prinsip dari teknik tersebut adalah memisahkan sampel DNA utas ganda menjadi utas tunggal dan mentransfernya ke membran nilon. Saat diinkubasi dengan membran dalam larutan, pelacak mengikat
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 25
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
bagian-bagian yang merupakan pasangannya dalam DNA dan "melekat" pada membran. Setelah itu, dilakukan kontak antara membran dengan selembar film fotografis yang sensitif terhadap emisi radioaktif. Hanya bagian-bagian dari sampel tempat lokasi gen yang terlihat sebagai titik gelap pada film, karena hanya bagian itulah yang terikat pada pelacak radioaktif. Salah satu radioisotop yang bisa digunakan untuk pelacak DNA/RNA adalah P-32 Pemanfaatan dalam senyawa [γ-32P]ATP. teknologi nuklir [γ-32P]ATP dalam bidang kesehatan menggunakan teknik biologi molekul dengan cara mendeteksi DNA virus, kuman atau bakteri tersebut, melalui DNA virus bisa diketahui apakah virus tersebut menjadi penyebab kanker atau bukan, DNA kuman tersebut sudah resisten atau tidak dengan antibiotika yang akan digunakan [3,4,8] . Sehingga bisa diketahui lebih awal dan bisa ditentukan pengobatan yang tepat dan jangka waktu pengobatan sehingga pengobatan lebih efektif dan efisien. Proses pembuatan [γ-32P]ATP dapat dilihat pada Gambar 1., dimana sintesis [γ32 P]ATP dilakukan dengan penandaan senyawa nukleotida secara enzimatis, dengan memanfaatkan proses glikolisis. Diawali dari perubahan fruktosa -1, 6-difosfat yang memiliki 6 buah atom C menjadi 3-difosfogliseral-dehida (dengan 3 buah atom C) dan dihidroksi-asetonfosfat dengan bantuan enzim aldolase. Dihidroksi aseton fosfat kemudian menjadi 3- fosfogliseral-
dehida juga dengan pertolongan enzim glycerol -3phosphate dehydrogenase. Selanjutnya fosfogliseraldehida bersenyawa dengan suatu asam fosfat (H332PO4) dan berubah menjadi 1,3 – disfosfogliseraldehida. 1,3 – difosfogliseraldehida berubah menjadi asam 1,3 –difosfogliserat dengan bantuan enzim dehidrogenase serta ion – ion Mg++, membantu proses ini. Perubahan terakhir dalam glikolisis adalah pelepasan satu fosfat dari asam 2fosfoenol piruvat menjadi asam piruvat, sedang ADP meningkat menjadi ATP. Pada proses enzimatis ini ada faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim yaitu : temperatur, kadar air, pH (derajat keasaman), konsentrasi enzim dan substrat serta zat-zat penghambat (inhibitor) [1,2,3]. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan [γ-32P]ATP dari H332PO4 dengan reaksi enzimatis. H332PO4 direaksikan dengan campuran enzim dan diinkubasikan dengan memvariasikan waktu inkubasi, kadar air dan temperatur, diharapkan dari penelitian ini diperoleh senyawa nukleotida bertanda [γ-32P]ATP dengan kemurnian yang memenuhi persyaratan yang diizinkan. Sehingga penelitian ini bisa memenuhi kebutuhan senyawa nukleotida bertanda [γ-32P]ATP di Indonesia, dalam rangka pemberantasan penyakit mutasi genetik yang diakibatkan oleh virus, kuman atau bakteri. Dan juga akan sangat mendukung peningkatan kemampuan di bidang biologi molekul dan dapat mengurangi ketergantungan impor.
Gambar. 1. Bagian dari proses glikolisis dengan reaksi enzimatispembentukan ADP menjadi ATP dengan penambahan fosfat radioaktif (H332PO4) Buku II hal 26
ISSN 1410 – 8178
Wira Y Rahman, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TATA KERJA Bahan Yang Digunakan Bahan-bahan yang digunakan adalah H332PO4 bebas pengemban dengan kemurnian radiokimia diatas 97 % yang diperoleh dari pemurnian H332PO4 yang diproses di PTNBR Bandung. Enzim aldolase 9 unit/mg, 10 mg/ml, gliseraldehid-3-phosphat dehidrogenase 80 unit/mg, 10 mg/ml, phosphogliserat kinase 450 unit/mg, 10 mg/ml, fruktosa 1.6-bisphosphat, sodium pyruvat, dithiothreitol, Tris-HCL, EDTA dari Sigma Aldrich, laktat dehidrogenase 250 unit/mg, 5 mg/ml, ADP, β-NAD, magnesium klorida dari E.Merck. Bahan penunjang yang digunakan kolom kromatografi DEAE Sephadex dengan pendingin, TLC plastik PEI Cellulose dari E.Merck, kertas indikator pH universal serta peralatan gelas dan mikrotube. Alat Yang Digunakan Peralatan yang digunakan refrigerator sentrifus, penangas air Memmert, Mini TLC Scanner Bioscan AR-2000, dan LSC. 1. Preparasi pereaksi campuran yang digunakan Pembuatan larutan campuran A : 100 μl campuran berikut ini dibuat dalam satu mikrotube 500 mM Tris-HCl 120 mM Magnesium Klorida 1 mM EDTA 125 mM Natrium piruvat 200 mM Dithiothreitol 20 mM FDP 5 mM ADP 20 mM β-NAD 2.
3.
(pH 8.0) 50 μl 20 μl 15 μl 5 μl 5 μl 5 μl
Preparasi pereaksi campuran untuk pelarutan pellet enzim Pembuatan larutan campuran B : 50 μl larutan berikut disiapkan dalam satu miktotube 500 mM Tris-HCl 120 mM Magnesium Klorida (pH 8,0) 5 μl 1 mM EDTA 200 mM Dithiothreitol 1,5 μl air 43,5 μl Preparasi campuran enzim Pembuatan campuran enzim : 12 μl campuran enzim berikut dibuat didalam satu mikrotube Aldolase 6 μl (0,54 units) Glyceraldehydes 3-phosphate 2 μl (1,6 units) dehydrogenase Lactate dehydrogenase 2 μl (2,5 units) 3-phosphoglycerate kinase 2 μl (0,9 units)
Wira Y Rahman, dkk.
Campuran enzim tersebut disentrifuse pada kecepatan 15000 rpm selama 20 menit Setelah diambil cairan supernatantnya, endapannya dilarutkan dengan 10 μl larutan campuran B. 4. Proses penandaan [γ-32P]ATP Ke dalam mikrotube bervolume 1,5 ml dimasukkan 40 μl H332PO4 (aktivitas terukur) diatur pH 7 – 9 dengan larutan NaOH 5 M. Selanjutnya ke dalam larutan tersebut ditambahkan berturut-turut 40 μl larutan campuran A dan 10 μl campuran enzim. Inkubasi dilakukan selama (t) menit dan dicuplik setiap waktu tertentu selama 1 jam. Reaksi dihentikan dengan memasukkan mikrotub ke dalam penangas air pada temperatur 70⁰C selama 3 menit untuk menghentikan aktivitas enzim. 5. Pengujian hasil penandaan [γ-32P]ATP Hasil penandaan diuji dengan KLT PEI Cellulose sebagai fasa diam dan KH2PO4 0,5 M pH 3,5 sebagai fasa gerak. Kemudian ditentukan Rf-nya dengan Bioscanner. HASIL DAN PEMBAHASAN Radioisotop P-32, berupa larutan H332PO4 (dalam bentuk orto-fosfat) ternyata tidak stabil selama beberapa hari penyimpanan dan mudah berubah menjadi senyawa polifosfat. Hasil pemeriksaan H332PO4 dengan Bioscanner seperti ditampilkan pada Gambar 2., terlihat bahwa kemurnian H332PO4 86,48 % dan Rf-nya pada 0,7, dengan kemurnian di bawah 97% ini bisa mengakibatkan terjadinya proses inhibisi yang akan menghambat kerja enzim, sehingga proses sintesis [γ-32P]ATP tidak bisa maksimal. Untuk mengatasi hal tersebut H332PO4 yang akan digunakan harus dimurnikan terlebih dahulu ke dalam kolom penukar kation Dowex AG 50 (1 x 8) yang telah dikondisikan dengan HCl 1M, sehingga diperoleh larutan H332PO4 dengan kemurnian radiokimia yang tinggi dan layak digunakan untuk pembuatan nukleotida bertanda [γ-32P]ATP.
Gambar
ISSN 1410 – 8178
2. Radiokromatogram dari larutan H332PO4 sebelum proses pemurnian Buku II hal 27
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Pengujian kemurnian radiokimia dilakukan dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) PEI cellulose, dengan melewatkan larutan H332PO4 ke dalam kolom terjadi peningkatan kemurnian larutan H332PO4 dari 86,48 % menjadi 99,85 % seperti terlihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 3.Radiokromatogram dari larutan H332PO4 setelah proses pemurnian Larutan H332PO4 setelah proses pemurnian ini diinkubasikan dengan campuran enzim, selama reaksi enzimatik berlangsung pada tiap (t) menit inkubasi dicuplik untuk melihat pembentukan [γ32 P]ATP yang diuji dengan KLT PEI Cellulose. Hasil pemeriksaan KLT PEI cellulose menggunakan bioscanner dari reaksi inkubasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Pada gambar tersebut menunjukkan hasil penandaan [γ-32P]ATP 33,46 %, dengan nilai Rf 0,241. Selain itu dari hasil penandaan tersebut masih terdapat H332PO4 bebas dengan persentase 65,90% dengan Rf 0,608. Rendahnya hasil penandaan [γ-32P]ATP tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tidak maksimalnya daya kerja campuran enzim, yaitu kadar air dan temperatur.
Gambar 4. Radiokromatogram pembentukan [γ32 P]ATP setelah inkubasi (60) menit Pada Gambar 5. terlihat penambahan kadar air sebanyak 50 μl sangat berpengaruh terhadap persentase rendemen penandaan [γ32 P]ATP yang dihasilkan, dibandingkan dengan tanpa penambahan kadar air. Selain itu dari Gambar 5. terlihat pola yang hampir sama antara reaksi yang ditambahkan kadar air dan yang tidak ditambahkan kadar air untuk waktu inkubasi (t) 50 menit dan (t) 60 menit, dimana ADP telah terfosforilasi menjadi ATP sehingga pembentukan [γ-32P]ATP sudah stabil. Sedangkan pengaruh temperatur terhadap hasil penandaan [γ-32P]ATP ditampilkan pada Gambar 6., dari gambar tersebut menunjukan bahwa pada suhu 36⁰C mempunyai rendemen pembentukan lebih tinggi dibandingkan pada suhu kamar (22⁰C). Adanya perbedaan tersebut dikarenakan kerja enzim lebih maksimal dengan adanya penambahan air pada temperatur 36⁰C dengan persentase penandaan 33,46 %.
Gambar 5. Pengaruh penambahan kadar air (50 μl) pada hasil penandaan [γ-32P]ATP Buku II hal 28
ISSN 1410 – 8178
Wira Y Rahman, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 6. Pengaruh temperatur pada hasil penandaan [γ-32P]ATP
DAFTAR PUSTAKA
KESIMPULAN Larutan H332PO4 yang digunakan untuk pembuatan nukleotida bertanda [γ-32P]ATP dalam penyimpanannya tidak stabil mudah berubah menjadi senyawa polifosfat. Sebelum digunakan terlebih dahulu dimurnikan untuk meningkatkan kemurnian radiokimianya. Setelah dilakukan proses pemurnian didapatkan hasil pemurnian larutan H332PO4 meningkat menjadi 99,85%. Pembuatan nukleotida bertanda [γ-32P]ATP menggunakan larutan H332PO4 hasil pemurnian dengan campuran enzim menghasilkan rendemen pembentukan 33,46 % dengan Rf 0,241 setelah ditambahkan air dan temperatur inkubasi 36⁰C. Diharapkan rendemen hasil penandaan bisa mencapai diatas 90%. Hasil penandaan ini dipengaruhi oleh kadar air reaktan, temperatur dan waktu inkubasi. Untuk meningkatkan hasil penandaan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menaikkan aktivitas H332PO4 yang digunakan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada sejawat dari PTNBR – BATAN Bandung, atas kerjasamanya yang baik dalam penyediaan P-32 (H332PO4), Bapak Abdul Mutalib yang telah memberikan kepercayaan untuk melakukan penelitian ini, Ibu Santi Nurbaiti dari Kelompok Keahlian Biokimia, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam, ITB dan Bapak Sunarhadiyoso S. yang telah membantu dalam penulisan ini.
Wira Y Rahman, dkk.
1. Lehninger, A.L,”Dasar-dasar Biokimia Jilid I”, Erlangga, Jakarta, 1982 2. Roger A. Johnson, Timothy F. Walseth,”Enzymatic Process For Preparing [γ32 P]-Labeled Nucleotides”, United State Patent, 1980 3. F. Sakamoto, M. Izumo, K. Hashimoto, Y. Fuji,”Study of optimum condition for synthesis of [y-32P]ATP with high specific radioactivity”, Journal of Radioanalytycal and Nuclear Chemistry, Vol. 239, No.2 (1999) 423427. 4. Mukh Syaifudin dan Devita Tetriana, “ANALISIS MUTASI GEN inhA UNTUK UJI RESISTENSI M. tuberculosis TERHADAP ISONIAZID DENGAN METODE SSCP RADIOAKTIF”, Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, BATAN Jakarta 5. Maria Lina R, “Deteksi Resistensi Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Rifampisin Berdasarkan Mutasi Gen RPOO (RNA Polymerase Sub Unit B) Dengan Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) - Hibridasi DOT Blot dan PCR-Sekuensing, Jurnal Respir Indo, Vol 7, no. 3 Juli 2007 6. Suharsono, ”Struktur dan Ekspresi gen”, Jurusan Bilologi FMIPA Institut Pertanian Bogor. 7. Maria Lina R, Budiman Bela, dan Andi Yasmon, ”Deteksi Mutasi Gen KATG (Mycobacterium Tuberculosis) dengan Metode PCR (Polymerase Chain Reaction) – Hibridisasi Dot Blot menggunakan Pelacak Oligonukleotida Bertanda 32P”, Jurnal Ilmiah
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 29
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Aplikasi Isotop dan Radiasi Vol. 5 No. 1 Juni 2009. 8. Budiawan, ”Pengembangan Teknik 32PPostlabelling untuk Mendeteksi Dini Resiko Kanker”, Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi, 2000. 9. Wira Y Rahman, Endang Sarmini, Herlina, dkk, ”Sintesa ATP Bertanda P-32 Sebagai Perunut Biologi Molekul”, Pertemuan Ilmiah Radioisotop, Radiofarmaka dan Siklotron, 2010. 10. IAEA-TECDOC-1340,”Manual for Reactor Produced Radioisotop”, International Atomic Energy Agency, IAEA, January 2003.
Buku II hal 30
TANYA JAWAB Budi Setiawan Apa arti PCR ? Hasil Randemen 33,46% apakah sesuai target? Wira Y Rahman Arti PCR adalah Polymerase Chain Reaction, reaksi untuk melipatgandakan fragmenfragmen DNA yang sudah berhasil diisolasi Sebetulnya randemen pembentukan 33,46% belum mencapai target yang diinginkan, diharapkan rendemen pembentukannya adalah diatas 90% banyak faktor yang mempengaruhi randemen pembentukan tersebut, yang terutama adalah enzim-enzim yang digunakan, sama seperti radioisotop enzimpun mempunyai waktu paruh
ISSN 1410 – 8178
Wira Y Rahman, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PEMBUATAN KIT RIA AFLATOKSIN B1 : PEMBUATAN ANTIBODI AFLATOKSIN B1 DI PUSAT RADIOISOTOP DAN RADIOFARMAKA TAHUN 2010 Sri Setiyowati, Wening Lestari, Sutari, dan Triningsih Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK Serpong,Tangerang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK PEMBUATAN KIT RIA AFLATOKSIN B1 : PEMBUATAN ANTIBODI AFLATOKSIN B1 DI PUSAT RADIOISOTOP DAN RADIOFARMAKA TAHUN 2010. Hampir semua produk pertanian seperti kacang tanah, kedelai, gandum, sorgun dan jagung mengandung aflatoksin B1 yang bersifat toksik, sehingga diperlukan suatu teknik analisa yang mempunyai kespesifikan dan kepekaan yang tinggi untuk mengidentifikasinya. Salah satu teknik identifikasinya adalah teknik Radioimmunoassay (RIA) yang didasarkan pada reaksi imunologi antigen dan antibodi. Salah satu pereaksi penting dalam teknik RIA adalah antibodi. Dalam makalah ini dipaparkan pelaksanaan pembuatan antibodi poliklonal aflatoksin B1 dengan melakukan imunisasi berulang (booster) pada kelinci New Zealand. Dalam penelitian ini digunakan konjugat aflatoksin B1-BSA yang direaksikan dengan larutan NaCl fisiologis dan Freund’s Adjuvant. Antibodi poliklonal aflatoksin B1 diperoleh setelah booster ketujuh dengan 1: 8000 dengan nilai ikatan maksimum 56,9%. Hasil ini lebih baik dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu sebesar 40,5%. Kata Kunci : Aflatoksin B1, Radioimmunoassay (RIA), antibodi
ABSTRACT PRODUCTION OF ALFATOKSIN B1 RIA KIT : PRODUCTION OF AFLATOKSIN B1 ANTIBODIES IN THE CENTRE OF RADIOISOTOPE AND RADIOFARMAKA IN 2010. Almost agricultural products such as peanuts, soybeans, wheat, and corn Sorgun contain aflatoxin B1 which are toxic, so it requires an analysis technique that has high specificity and sensitivity to identify it. One technique is radioimmunoassay (RIA) which is based on immunological reaction of antigen and antibody. One of the important reagent in RIA is an antibody. In this paper presented the production of aflatoxin B1 polyclonal antibody which is done by repeat immunization (booster) in New Zealand rabbits. This study used aflatoxin B1-BSA conjugate is reacted with physiological saline and Freund's Adjuvant. Aflatoxin B1 polyclonal antibodies were obtained after the seventh booster with titer 1: 8000 and a maximum binding 56.9%. This result compares favorably with the results of previous studies of 40.5%. Key Words : Aflatoxin B1, Radioimmunoassay (RIA), antibody
PENDAHULUAN
A
flatoksin B1 (AfB1) termasuk senyawa paling toksik diantara semua kelompok aflatoksin. Senyawa aflatoksin diproduksi oleh Aspergillus Flavus dan Aspergillus Parasiticus[1,2]. Kandungan aflatoksin B1 banyak ditemukan pada hampir semua produk pertanian seperti Sri Setiyowati, dkk.
kacang tanah, kedelai, gandum, padi, sorgum, dan jagung [3]. Karena keberadannya hampir di semua produk pertanian maka diperlukan suatu teknik analisa yang menpunyai ketelitian dan kespesifikan tinggi untuk mengetahui kandungan aflatoksin B1 dalam sampel. Salah satu teknik yang sesuai adalah Radioimmunoassay (RIA).
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 31
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Pada dasarnya teknik RIA merupakan teknik analisa yang berprinsip immunologi dan menggunakan perunut radioaktif yang dikembangkan oleh Yalow dan Berson. Teknik ini spesifik karena didasarkan pada reaksi imunologi dimana terjadi ikatan antigen-antibodi yang spesifik hanya untuk antigen tertentu saja. Penggunaan zat radioaktif menjadikan teknik ini sangat peka, karena dapat diukur dengan peralatan yang sangat peka [2]. Oleh karena itu teknik RIA ini sangat peka dan spesifik serta pengerjaannya sederhana, teknik RIA sesuai digunakan untuk menganalisa kandungan aflatoksin B1. Pada prinsipnya teknik RIA didasarkan pada reaksi kompetisi antara antigen bertanda radioaktif (Ag*) dan Antigen tidak bertanda (Ag) yang ada dalam cuplikan/standar terhadap antibodi yang jumlahnya terbatas. Dalam analisis kuantitatif dengan menggunakan teknik RIA, jumlah antigen bertanda (Ag*) dan antibodi (Ab) adalah tetap, dalam satu seri standar yang jumlah antigen (Ag) nya bervariasi. Dalam hal ini jumlah kompleks Ag*-Ab yang terbentuk tergantung dari jumlah Ag yang terdapat dalam cuplikan/standar. Makin banyak antigen (Ag) yang ada dalam cuplikan / standar, makin sedikit kompleks Ag*-Ab yang terbentuk. Banyaknya Ag*-Ab yang terbentuk diukur dengan cara pencacahan (counting) dengan suatu alat pencacah (counter) radioisotop, setelah kompleks Ag*-Ab tersebut dipisahkan dari fraksi bebasnya (yang tidak bereaksi) dengan suatu sistem pemisahan tertentu. Dari hasil pencacahan Ag*-Ab dapat ditentukan perbandingan Ag*Ab/Ag* total (%B/T) atau Ag*-Ab/Ag* bebas ( B/F) yang mempunyai korelasi dengan jumlah Ag yang ada dalam standar atau cuplikan yang akan dianalisis. Dengan memplotkan %B/T atau B/F terhadap kadar standar, maka akan diperoleh kurva standar. Konsentrasi Ag dalam cuplikan dapat dibaca dari salah satu kurva standar tersebut, apabila cuplikan diperlakukan dengan cara yang sama dengan standar [4]. Dalam melakukan penentuan dengan teknik RIA, diperlukan beberapa pereaksi yang umumnya dirakit dalam suatu bentuk kit RIA. Pereaksi utama yang diperlukan dalam teknik RIA adalah : tracer (antigen bertanda radioaktif , Ag* ), antibodi, standar, cuplikan kontrol, pereaksi pemisah. Pereaksi tersebut dibuat dengan cara khusus dan harus memenuhi standar kualitas tertentu sebelum dirakit menjadi kit RIA. Antibodi adalah zat yang timbul dalam tubuh untuk melawan bibit penyakit atau benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Antibodi merupakan molekul Imunoglobulin (IgG) yang sebenarnya merupakan salah satu jenis protein. Setiap antibodi mempunyai posisi ikatan (binding Buku II hal 32
site) yang spesifik untuk suatu jenis molekul tertentu. Antibodi merupakan salah satu pereaksi dalam RIA yang memegang peranan yang sangat penting. Kespesifikan dan kepekaan assay tergantung pada mutu antibodi. Untuk keperluan RIA, terutama untuk analit dengan molekul kecil, antibodi yang digunakan adalah antibodi poliklonal karena kemungkinan terjadinya reaksi silang pada antibodi tersebut kecil. Antibodi poliklonal ini umumnya dibuat dengan cara menyuntikkan antigen ke tubuh hewan seperti kelinci atau marmut atau kambing. Untuk molekul kecil harus diikatkan pada molekul besar seperti bovine serum albumin, agar bersifat imunogen dan dapat memberikan respon pembentukan antibodi. Sebelum disuntikkan ke dalam tubuh hewan, imunogen harus dibuat menjadi emulsi terlebih dahulu agar pelepasannya ke dalam darah secara perlahan. Pembentukan emulsi dilakukan dengan mengocok larutan imunogen dengan Freund’s adjuvant, yaitu larutan minyak yang mengandung bakteri yang telah dilemahkan dan NaCl fisiologis. Disamping itu, Freund’s adjuvant juga berfungsi meningkatkan imunorespons. Freund’s adjuvant yang mengandung bakteri yang telah dilemahkan memberikan isyarat kepada sistem imun tubuh agar selalu siap siaga untuk membentuk antibodi apabila ada benda asing yang masuk ke tubuh hewan yang bersangkutan [5]. Dalam pembuatan antibodi harus dilakukan imunisasi ulang (booster) beberapa kali sampai diperoleh titer (konsentrasi) antibodi yang tinggi. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan pembuatan antibodi aflatoksin B1 dengan titer 1:8000 dengan ikatan maksimum 40,5%[6]. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan kualitas antibodi yang lebih baik. TATA KERJA Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan antara lain aflatoksin B1-BSA (sigma), larutan Freund Adjuvant (FA) Complete dan Incomplete dari Sigma, larutan NaCl fisiologis (IPHA), perunut aflatoksin B1 (125I-AfB1, disintesa di PRR), Goat Anti Rabbit Serum dengan titer 1:100 (GARS, disintesa di PRR), assay buffer ( yang dibuat dari dapar fosfat 0,05 M pH 7,4 yang mengandung 0,1% BSA), larutan assay buffer yang mengandung 18% Polyetilen Glicol (PEG) dan 10% Normal Rabbit Serum (NRS), kelinci putih jenis New Zealand, tabung polystiren polos (NUNC). Anti Aflatoksin B1 pembanding dari BARC (India). Alat yang digunakan antara lain pencacah gamma (The nucleus), mikro pipet (eppendorf),
ISSN 1410 – 8178
Sri Setiyowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Pengujian titer antibodi. Pengujian titer antibodi dilakukan dengan menggunakan teknik RIA, disiapkan tabung polisteren polos dan diberi nomor urut pada masing-masing tabung, kemudian masing-masing tabung ditambahkan 100 ul stamdar 0. Selanjutnya, ditambahkan 100 ul tracer aflatoksin dan ditambahkan 100 ul anti Aflatoksin B1 dengan variasi konsentrasi 1: 250, 1: 500, 1 : 1000, 1: 2000, 1: 4000, 1: 8000, 1: 16.000, 1: 32.000, 1: 64.000, 1: 128.000 dan 1: 256.000. Kemudian semua tabung diaduk dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu kamar. Selanjutnya ditambahkan 100 ul second antibodi (1:100) dan ditambahkan 1 ml PEG 18% yang mengandung NRS 10% dalam assay bufer dan diaduk. Semua tabung diinkubasi selama 15 menit pada suhu kamar dan disentrifuse selama 30 menit pada 3000 rpm. Selanjutnya didekantasi dan dicacah menggunakan pencacah gamma. .
vorteks (Thermolyne), sentrifuse (Beckman) dan syringe kaca ukuran 5 mL. Imunisasi Kelinci Larutan NaCl fisiologis dan FA (dengan perbandingan volume NaCl dan FA = 2:3) ditambahkan ke dalam 250 ug konjugat aflatoksin B1-BSA hingga volume 1 ml. Untuk imunisasi pertama digunakan FA complete dan untuk booster berikutnya digunakan FA incomplete. Kemudian larutan yang diperoleh dijadikan emulsi dengan menggunakan syringe kaca. Untuk mengetahui kesempurnaan emulsi, diteteskan sedikit larutan ke dalam air hingga tetesan tersebut tidak pecah. Emulsi yang telah diperoleh disuntikkan ke tubuh kelinci melalui bawah kulit (intradermal) pada 5-6 titik di bagian punggung. Dua minggu setelah imunisasi pertama dilakukan booster, dan untuk booster berikutnya dilakukan setiap satu bulan. Untuk mengetahui titer antibodi aflatoksin B1, diambil ± 1 ml darah kelinci melalui telinga dan disentrifuse untuk mendapatkan serumnya. Kemudian serum yang diperoleh diuji titernya dengan teknik RIA. Tabel 1: Penentuan titer antibodi aflatoksin B1
Titer antibodi Aflatoksin B1 1:250 1:500 1:1000 1:2000 1:4000 1:8000 1:16000 1:32000 1: 64000 1:128000 1:256000 Nomor tabung 1,2 Standar 0 (µl) 100 Ab-AfB1 (µl ) 100 125
I-AfB1 (µl)
100
3,4 100
5,6 100
7,8 100
9,10 100
11,12 100
13,14 100
15,16 100
17,18 100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
1000
1000
Inkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar GARS 100 100 100 100 100 100 100 100 100 1:100 (µl) Lart PEG 18% 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 Mengandung NRS10%(µl) %B/T maks 56,2 67,6 65,3 65,2 65,3 56,9 34,1 20,1 12,9 9,2 Titer terakhir Vortex, inkubasi pada temperatur kamar selama 15 menit Sentrifuse selama 15 menit pada 3000 rpm Buang supernatan Cacah
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam produksi antibodi diperlukan suatu senyawa dengan berat molekul yang lebih besar dari 5000 gram/mol agar senyawa tersebut bersifat immunogen. Sifat immunogen suatu senyawa dapat menimbulkan respon imunologi pada hewan percobaan. Senyawa aflatoksin B1 merupakan suatu molekul kecil (berat molekul aflatoksin B1 adalah 312 gram/mol) sehingga harus dikonjugasikan dengan molekul besar agar Sri Setiyowati, dkk.
19,20 100
21,22 100
7,7
aflatoksin B1 ini mempunyai respon immunologi. Molekul besar yang dapat digunakan antara lain poli-L-lisin, Bovine Serum albumin (BSA), Human Serum Albumin (HSA). Dalam penelitian ini digunakan konjugat aflatoksin B1-BSA yang diperoleh dari Sigma. Sebelum disuntikkan ke tubuh kelinci, konjugat aflatoksin B1-BSA dijadikan emulsi yaitu dicampur dengan larutan NaCl fisiologis dan Freund’s Adjuvant dengan perbandingan volume 2:3. Bentuk emulsi ini bertujuan agar pelepasan imunogen di dalam tubuh kelinci terjadi secara perlahan sehingga
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 33
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
diharapkan dapat menghasilkan antibodi aflatoksin B1 dengan sensitivitas tinggi. Setelah dilakukan imunisasi pertama, selang dua minggu dilakukan imunisasi berulang (booster) dan booster berikutnya dilakukan selang satu bulan. Imunisasi berulang ini dilakukan agar antibodi aflatoksin B1 yang dihasilkan mempunyai titer yang tinggi. Untuk mengetahui kenaikan titer dilakukan
pemantauan dengan cara mengambil darah kelinci guna mendapatkan serumnya. Pemantauan ini dilakukan setiap satu bulan sesuai dengan jadwal booster. Serum yang diperoleh kemudian diuji titernya dengan menggunakan metode Radioimmunoassay (RIA). Seperti yang terlihat pada tabel 1 dan hasil titer antibodi aflatoksin B1 ditampilkan pada gambar 1.
Gambar 1 : Titer antibodi aflatoksin B1 booster pertama sampai booster ketujuh Booster 1 minggu pertama, booster ke 2 dilakukan dua minggu kemudian, booster ke 3 (1 bulan setelah booster ke 2), booster ke 5 ( 3 bulan), booster ke 6 (4 bulan) dan booster ke 7 bulan ke 5. Nilai titer antibodi aflatoksin B1 yang optimum ditentukan dari grafik %B/T versus log konsentrasi (titer), dimana titik (titer) yang diambil adalah titik tengah antara titik tertinggi dan terendah pada kurva tersebut dengan nilai ikatan maksimun (%B/T) diatas 30%. Pada Gambar 1 tampak bahwa titer optimum pada booster pertama belum memperlihatkan kenaikan yang berarti. Setelah booster ke dua sampai kelima mempunyai nilai ikatan yang naik terutama pada titer yang rendah (1:250 sampai 1:32.000). Dari Gambar 1 juga tampak bahwa titer optimum untuk booster kedua diperoleh pada titer 1:4000 dengan %B/T sebesar 25,4%, dan mengalami kenaikkan titer pada booster ketiga, yaitu diperoleh titer pada 1:4000 dengan %B/T sebesar 47,5%. Pada booster keempat tidak dilakukan pemeriksaan karena serum booster ke empat kering. Booster ke lima terjadi kenaikan titer, dimana titer optimum yang diperoleh 1: 4000 dengan kenaikan nilai %B/T, menjadi 61 %. Pada booster keenam tidak terjadi kenaikan ataupun penurunan titer pada 1 : 4000. Pada booster ketujuh, diperoleh nilai %B/T sebesar 56,9% pada titer 1: 8000. Pada penelitian ini titer yang diperoleh mengalami kenaikan setiap booster, respon kelinci terhadap pembentukan antibodi pada pembuatan antibodi Aflatoksin ini Buku II hal 34
sangat baik. Pada booster ketujuh diperoleh nilai %B/T sebesar 56,9%. Dengan nilai %B/T tersebut antibodi aflatoksin B1 dapat digunakan untuk assay dengan teknik RIA sehingga dilakukan panen terhadap antibodi tersebut. Seperti terlihat pada tabel 2, Antibodi yang telah dipanen kemudian dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh dari India. Dari hasil assay diperoleh hasil bahwa antibodi hasil penelitian ini memberikan nilai ikatan maksimum sebesar 23,8% pada titer 1:4000 dan antibodi dari India memberikan nilai ikatan maksimum sebesar 24,2% pada titer 1:1000. Dilihat dari nilai ikatan maksimum antara antibodi hasil penelitian ini dan antibodi dari India tidak jauh berbeda tetapi titer yang diperoleh jauh berbeda, sehingga dengan volume antibodi yang sama, antibodi hasil penelitian ini dapat digunakan untuk assay yang lebih banyak daripada antibodi yang diperoleh dari India. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antibodi hasil penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh dari India.
ISSN 1410 – 8178
Sri Setiyowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Perbandingan Penentuan nilai ikatan maksimum pada anti Aflatoksin Produk PRR terhadap anti Aflatoksin Produk India No 1 2
Nama Anti Aflatoksin Produk PRR Anti Aflatoksin Produk India
1: 4000
Ikatan Maksimum 23,8%
1:1000
24,2%
Titer
KESIMPULAN Dari penelitian ini dihasilkan antibodi aflatoksin B1 dengan titer 1: 8000 yang diperoleh pada booster ke tujuh dengan nilai ikatan maksimum sebesar 56,9% dan lebih baik dari antibodi yang diperoleh sebelumnya 40,5% dan antibodi pembanding dari India sebesar 24,2% . DAFTAR PUTAKA 1. F. S. CHU dan I.UENO, Production of Antibody Against Aflatoxin B1, Applied and environmental Microbiology, Vol. 33, No. 5, halaman. 1125-1128,1977. 2. P. K. GAUR ,O.El-NAKIBb, dan F. S. CHU, Comparison of Antibody Production Against Aflatoxin B1 in Goats and Rabbits, Applied and environmental Microbiology, Vol. 40, No 3 halaman 678-680, 1980. 3. ANONIM, Aflatoksin, sumber: http://id.wikipedia.org, diakses pukul 14.00 tanggal 29 Agustus 2009. 4. REDIATNING W Dasar-Dasar RIA dan IRMA, Diklat Operator Radioimmunoassay (RIA), 1993. 5. DJAJUSMAN SUKIJATI, Pengantar Praktikum Pembuatan Antibodi (Antisera) yang disampaikan dalam Latihan Keahlian Radioimmunoassay (RIA) PPR-BATAN Serpong, Juli – Agustus 1990. 6. WENING L, SRI SETIYOWATI, dan SUTARI, Pembuatan kit RIA Aflaktosin B1 : Pembuatan antibodi Aflaktosin B1, Kolokium PRR Oktober 2009.
Sri Setiyowati, dkk.
TANYA JAWAB Budi Setiawan Spesifikasi atau jenis kelinci apa yang digunakan untuk peneliti ini? Sri Setiyowati Kelinci yang digunakan jenis New Zealand betina karena lebih sensitif, mempunyai respon yang lebih tinggi umur 10-16 minggu berat 2-3 kg. Aryadi Kenapa dalam kesimpulan titer 1:8000 yang paling optimal sementara dalam hasil komparasi dengan produk india titer 1:4000 Sri Setiyowati Saat di aplikasikan (diassay) % B/T sangat dipengaruhi oleh komponen-komponen (bahan assay seperti tracer,2dnd AB, NRS nya) diduga saat di assay salah satu komponen tersebut ada yang rusak Tri Handini Pada hasil terbaik % B/T adalah 67,6 tapi kenapa yang dipakai hasil yang 56,9 Sri Setiyowati Karena 67,6% pada titer 1:500 sedangkan 56,9 yang kita ambil mempunyai nilai titer dengan perbandingan 1:8000 jadi lebih irit dalam penggunaan antibody
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 35
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENENTUAN KONSTANTA KECEPATAN REAKSI KALSINASI ITRIUM HIDROKSIDA MENJADI ITRIUM OKSIDA Tri Handini, Tunjung Indrati Y, Purwoto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK PENENTUAN KONSTANTA KECEPATAN REAKSI KALSINASI ITRIUM HIDROKSIDA MENJADI ITRIUM OKSIDA. Telah dilakukan penelitian untuk menentukan harga konstanta kecepatan reaksi kalsinasi itrium hidroksida menjadi itrium oksida. Umpan proses kalsinasi adalah konsentrat itrium hasil olah pasir senotim. Pada proses kalsinasi parameter yang berpengaruh antara lain suhu dan waktu kalsinasi. Untuk menentukan harga konstanta kecepatan reaksi kalsinasi dilakukan kalsinasi pada suhu 700, 800 dan 900 0C dengan waktu kalsinasi 30, 60, 90, 120 dan 150 menit pada masing-masing suhu kalsinasi. Dari kurva hubungan antara waktu kalsinasi dengan –ln (1-x) diperoleh persamaan garis lurus yang menunjukkan bahwa reaksi kalsinasi adalah reaksi tingkat 1 dengan harga koefisien korelasi antara 0,95 – 0,98. Diperoleh harga konstanta kecepatan reaksi kalsinasi (k) suhu 700 0C = 0,0040/menit, suhu 800 0C = 0,0042/menit dan suhu 900 0C = 0,0048 / menit dan energi aktivasi sebesar 1,9998 kkal/mol0K.
ABSTRACT DETERMINATION CONSTANTA REACTION RATE OF CALCINATION YTTRIUM HYDROXIDE INTO YTTRIUM OXIDE. Studies have been conducted to determine the value of the calcination reaction rate constant of yttrium into yttrium oxide hydroxide. Feed calcination process is the result of a concentrated yttrium senotim sand. In the calcination process parameters that affect, among others, temperature and time of calcination. To determine the reaction rate constant values calcination, the process of calcination was conducted at temperature of 700, 800 and 900 0C with a calcination time was 30, 60, 90, 120 and 150 minutes at each calcination temperature. Equation of the straight line obtained at various calcination temperatures is done, the equation straight line relationship between the time of calcination with-ln (1-x) with the price of the correlation coefficient between 0.95 to 0.98 so that the calcination reaction is first order. the value of constants calcination reaction rate (k) at temperature 700 0C was 0.0040/minute, at temperature 800 0C was 0.0042/minute and at temperature 900 0C was 0.0048/minute. The activation energy was 1.9998 kcal/mol0K.
PENDAHULUAN
I
trium (Y) merupakan salah unsur yang terdapat dalam mineral logam tanah jarang (LTJ) yang dapat di manfaatkan untuk berbagai bidang industri. Dalam bentuk logam murni atau oksida itrium banyak digunakan sebagai pendukung industri elektronika, bahan katalisator, bahan superkonduktor dan bahan komponen sel bahan bakar oksida padat YSZ, disamping itu isotop itrium dapat dimanfaatkan dalam kedokteran nuklir(1). Unsur ini banyak terkandung dalam pasir
Buku II hal 36
senotim yang merupakan hasil samping dari penambangan PT Timah di pulau Bangka, Singkep dan Belitung(2). Itrium adalah logam yang sangat berguna untuk pengembangan material baru, karena mempunyai sifat unik yang sangat menguntungkan. Proses pemurnian memerlukan langkah-langkah proses yang cukup panjang yaitu proses dijesti, quenching, pengendapan pH 1,5, pengendapan total, pelarutan, pengendapan pH = 6 dan 8, pengeringan dan terakhir kalsinasi. Untuk memperoleh itrium oksida dilakukan dengan proses kalsinasi. Kalsinasi
ISSN 1410 – 8178
Tri Handini, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
merupakan pemanasan zat padat sampai suhu di bawah titik leleh yang mengakibatkan keadaan penguraian oleh panas untuk membentuk oksida. Pada penelitian ini umpan yang digunakan adalah konsentrat itrium hasil olah pasir senotim. Reaksi yang terjadi pada proses kalsinasi itrium hidroksida adalah : 2 Y(OH)3
Reaksi orde 1
dC A = k ' dt CA
-
→ Y2 O3 + 3 H2O
Dalam suatu reaksi kenaikan suhu akan mempercepat laju reaksi, perubahan suhu akan mempengaruhi konstanta kecepatan reaksi. Apabila suhu dinaikkan maka jumlah dan energi tumbukan antar molekul pereaksi semakin bertambah. Demikian juga semakin lama waktu reaksi maka frekuensi tumbukan akan semakin besar sehingga reaksi yang terjadi semakin besar. Namun setelah waktu tertentu konversi hampir konstan hal ini menunjukkan bahwa reaksi telah mencapai kondisi kesetimbangan. mA + nB → pC
dCA = k CAm CBn dt dCA r= = k' C A m dt
dC A o (1 − x) = k ' ∫ dt C A o (1 - x)
- ∫
-
∫
x
0
d (1 − x) = k ' ∫ dt (1 - x)
- ln (1 - x) = k ' t + C Tujuan dari penelitian ini adalah mencari harga konstanta kecepatan reaksi kalsinasi itrium hidroksida menjadi itrium oksida. TATA KERJA Bahan yang digunakan : Konsentrat itrium hasil olah pasir senotim, HCl dan amonia.
r= -
Peralatan yang digunakan : Pengaduk dan pemanas, timbangan, pH meter, oven, peralatan gelas laboratorium, kertas saring dan furnace.
k’ = kCBn Keterangan CAo CA m, n r k t x
Cara Kerja : 1. Membuat Y(OH)3 untuk umpan kalsinasi dengan melarutkan konsentrat itrium kedalam HCl pekat. Filtrat diendapkan dengan amoniak 15 % sampai pH = 6,1 kemudian disaring dan filtrat diendapkan lagi sampai pH ≥ 8. Endapan yang diperoleh dikeringkan dalam oven pada suhu 100 0C. 2. Ditimbang sebanyak 10 gram Y(OH)3 di kalsinasi pada suhu 700 0C dengan variasi waktu kalsinasi 30, 60, 90, 120 dan 150 menit. 3. Dilakukan juga kalsinasi pada suhu 800 dan 900 0C dengan variasi waktu yang sama.
: = Konsentrasi mula-mula = Konsentrasi setelah reaksi = Tingkat reaksi = Kecepatan reaksi = Tetapan kecepatan reaksi = Waktu reaksi = Konversi
Di sini tetapan k adalah reaksi pada suatu temperatur, jika konsentrasi zat-zat yang masingmasing sama dengan 1 dan tiap-tiap reaksi mempunyai harga k khusus dan tetap pada suhu tetap. Oleh karena itu k disebut juga kecepatan reaksi jenis. Harga k menyatakan kondisi yang menguntungkan reaksi, yaitu bahwa apabila makin besar afinitas antara zat-zat yang bereaksi maka makin besar pula harga k.
-
-
dC A m = k ' C A ; CA = CAo – CAo X = CAo (1-x) dt
dC A o (1 − x) m
C A o (1 - x)
m
= k ' dt
∫ d CAo 1-m (1-x)1-m = ∫ k’ dt
HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam suatu reaksi kenaikan suhu akan mempercepat laju reaksi, perubahan suhu akan mempengaruhi konstanta kecepatan reaksi. Apabila suhu dinaikkan maka jumlah dan energi tumbukan antar molekul pereaksi semakin bertambah. Demikian juga semakin lama waktu reaksi maka frekuensi tumbukan akan semakin besar sehingga reaksi yang terjadi semakin besar. Namun setelah waktu tertentu konversi hampir konstan hal ini menunjukkan bahwa reaksi telah mencapai kondisi kesetimbangan.
= k’t + C
Tri Handini, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 37
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 1. Harga konversi kalsinasi Y(OH)3 pada suhu 700 0C Konversi (x) 0,3038 0,3591 0,4008 0,5193 0,5568
1– x 0,6962 0,6409 0,5992 0,4807 0,4432
-ln (1-x) 0,3621 0,4449 0,5122 0,7325 0,8137
0.6
y = 0.004x + 0.215 R² = 0.958
0.4 0.2 0 0
30
60
90
120
150
180
Waktu, menit
Gambar 1. Hubungan antara waktu kalsinasi (menit) dengan -ln (1-x) pada suhu 700 0C Tabel 2. Harga konversi kalsinasi Y(OH)3 pada suhu 800 0C
- ln (1-x)
Waktu kalsinasi, menit 30 60 90 120 150
Konversi (x) 0,4420 0,4881 0,5413 0,6244 0,6537
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
1– x
-ln (1-x)
0,5580 0,5119 0,4587 0,3756 0,3463
0,5834 0,6696 0,7793 0,9792 1,0604
1
y = 0.0048x + 0.727 R² = 0.982
0.5 0 0
50
100
150
200
Waktu, menit
Gambar 3. Hubungan antara waktu kalsinasi (menit) dengan –ln (1-x) pada suhu 900 0C Pada Tabel harga konversi terlihat bahwa semakin lama waktu kalsinasi maka konversi semakin besar hal ini menunjuk pembentukan oksida semakin banyak. Dari ketiga gambar hubungan antara waktu kalsinasi (menit) dengan – ln (1-x) pada berbagai suhu diperoleh gambar garis lurus maka reaksi kalsinasi tersebut berorde 1. Dari grafik tersebut dapat dicari harga konstanta kecepatan reaksinya yaitu harga slope dari persamaan garis lurusnya. Harga konstanta kecepatan reaksi kalsinasi pada berbagai suhu tersebut terlihat semakin bertambah dengan bertambahnya suhu kalsinasi. Dari hukum Arhenius yang dalam penelitiannya menemukan hubungan antara k dengan suhu yang dinyatakan sebagai berikut : (1) k = A. e-E/RT ln k = - ln k =
+ ln A
(2)
- ln A
(3)
dengan : k = konstanta kecepatan reaksi A = faktor frekwensi E = energi aktivasi R = konstanta gas ideal = 1,98 cal/mol 0K T = suhu (0K)
y = 0.0042x + 0.435 R² = 0.978
Tabel 4. Hubungan antara suhu dengan k 0
30
60
90
120
150
Waktu, menit
Gambar 2. Hubungan antara waktu kalsinasi (menit) dengan -ln (1-x) pada suhu 800 0C Tabel 3. Harga konversi kalsinasi Y(OH)3 pada suhu 900 0C Waktu kalsinasi, menit 30 60 90 120 150 Buku II hal 38
Konversi (x) 0,5806 0,6371 0,7018 0,7295 0,7606
Suhu 1/T k ln k -ln k 0 0 K C K 700 973 0,001028 0,0040 -5,521461 5,521461 800 1073 0,000932 0,0042 -5,472671 5,472671 900 1173 0,000853 0,0048 -5,339139 5,339139 0
1– x
-ln (1-x)
0,4194 0,3729 0,2982 0,2705 0,2394
0,8689 0,9864 1,2100 1,3075 1,4296
6 6 y = 1010.x + 4.495 R² = 0.908
6
-ln k
- ln (1-x)
1 0.8
-ln (1-x)
Waktu kalsinasi, menit 30 60 90 120 150
2 1.5
5 5 5 5 0
0.0002 0.0004 0.0006 0.0008 0.001 0.0012
1/T, (K)
Gambar 4. Hubungan antara 1/T (0K) dengan –ln k
ISSN 1410 – 8178
Tri Handini, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dari Gambar 4. hubungan antara 1/T (0K) dengan –ln k diperoleh persamaan garis lurus y = 1010 x + 4,495 atau –ln k = 1010/T + 4,495 dengan faktor kelurusan atau koefisien korelasi = 0,908. Dari persamaan garis lurus tersebut diperoleh slope = E/R, maka : 1010= E/R 1010 = E/1,98 E = 1.999,8 cal/mol 0K E = 1,9998 kcal/mol 0K KESIMPULAN Dari data yang diperoleh terlihat bahwa suhu dan waktu berpengaruh pada harga konstanta kecepatan reaksi kalsinasi. Semakin tinggi suhu kalsinasi maka reaksi kalsinasi semakin cepat. Diperoleh harga konstanta kecepatan reaksi kalsinasi (k) suhu 700 0C = 0,0040/menit, suhu 800 0 C = 0,0042/menit dan suhu 900 0C = 0,0048 / menit dengan koefisien korelasi antara 0,908 – 0,982 dan energi aktivasi = 1,9998 kcal/mol 0K. Reaksi kalsinasi itrium hidroksida menjadi itrium oksida adalah reaksi yang bersifat endotermis. DAFTAR PUSTAKA 1. MOORE, C.M, “Rare Earth Element and Yttrium, Mineral Commodity Profiles”, Bureau of Mine United States Department of the Interior, Washington (1979). 2. ZUCHRI, “Proposal Pengolahan Biji Monasit/Xenotim”, PPBGN – BATAN, Jakarta (1987). 3. LEVENSPIEL O., “Chemical Reaction Engineering”, 2ed, Wiley Eastern Limited, Calcutai (1972).
Tri Handini, dkk.
TANYA JAWAB Aryadi Suhu kalsinasi yang dilakukan hanya sampai 900 oC mengapa tidak diteruskan ke suhu yang lebih tinggi? Apakah ini sudah maksimum/optimum atau keterbatasan alat? Tri Handini Suhu kalsinasi hanya sampai 900 oC karena keterbatasan alat saja, pembentukan Itrium Oksida sudah terbentuk mulai suhu 700 oC jadi pada suhu 900 oC sudah terbentuk oksida. Sriyono Berapa kadar Itrium pada pasir senotim dan berapa % rendemen Itrium yang bisa diambil dan dipisahkan ? Dengan pemanasan Itrium oksida dengan variasi waktu dan suhu tentunya diperoleh oksida yang berupa serbuk, berapa ukuran partikel serbuk tersebut? Tri Handini Kadar Itrium dalam pasir senotim sekitar 23% dan pada setiap tahapan proses terjadi kenaikan kadar Itriumnya dan sampai pada tahapan ini diperoleh kadar Itrium + 76 %. Diperoleh serbuk yang halus namun ukuran pertikel belum diukur/ dianalisis Sajima Apa ending/ tujuan dari penelitian ini? Tri Handini Diperoleh harga konstanta kecepatan reaksi (k) kalsinasi pada setiap suhu kalsinasi yang dilakukan. Purwoko Setelah mendapatkan data dan koefisien yang maksimal kemudian digunakan untuk apa? Tri Handini Data tersebut digunakan sebagai data harga kedalam perhitungan perancangan alat kalsinasi.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 39
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
EKSTRAKSI TORIUM DARI KONSENTRAT TH,LTJ (HIDROKSIDA) MENGGUNAKAN SOLVEN BIS-2- ETIL HEKSIL FOSFAT Suyanti, Aryadi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK EKSTRAKSI TORIUM DARI KONSENTRAT Th,LTJ (HIDROKSIDA) MENGGUNAKAN SOLVEN BIS-2- ETIL HEKSIL FOSFAT. Telah dilakukan ekstraksi torium dari konsentrat Th,LTJ(Hidroksida) hasil olah pasir monasit menggunakan solven Asam di-2-etil heksil fosfat atau Bis-2-etil heksil fosfat (D2EHPA) dalam kerosen. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh kondisi optimum ekstraksi torium menggunakan solven Bis-2-etil heksil fosfat (D2EHPA) dalam kerosen. Larutan umpan atau fasa air adalah konsentrat Th,LTJ hidroksida yang dilarutkan dalam suasana HNO3 dan fasa organik adalah D2EHPA dalam kerosen. Ekstraksi dan striping dilakukan dengan cara pengadukan menggunakan pengaduk magnit Ika mag. Hasil proses ekstraksi dan striping diendapkan sempurna dengan asam oksalat, endapan yang terbentuk dikeringkan, ditimbang dan dianalisa dengan spektrometer pendar sinar-x. Variabel yang dilteliti adalah variasi konsentrasi HNO3 dalam umpan dan tingkat ekstraksi. Penggunaan solven D2EHPA untuk ekstraksi Th dari konsentrat Th,LTJ(hidroksida) belum menghasilkan kadar Th maupun efisiensi ekstraksi yang tinggi. Kondisi optimum ekstraksi Th terjadi pada konsentrasi HNO3 6 M pada tingkat ekstraksi I fasa striping 2 (FS2). Pada kondisi tersebut diperoleh kadar Th = 26, 219%, efisiensi ekstraksi = 20,96% dengan faktor pisah (FP) Th-Ce =3,581; FP ThLa=49,051 dan FP Th-Nd = 31,538. Kata Kunci : konsentrat Th,LTJ hidroksida, torium, ekstraksi, Bis-2-etil heksil fosfat
ABSTRACT EXTRACTION OF THORIUM FROM Th, RE (HYDROXIDE) USING THE SOLVENTS OF BIS-2-ETHYL HEXYL PHOSPHATE. The extraction of thorium from Th, RE(Hydroxide) concentrate product from monazite sand treatment has been done using solvents of di-2-ethyl hexyl phosphate or Bis-2-ethyl hexyl phosphate (D2EHPA) in kerosene. The purpose of this research is to obtain the optimum condition of the thorium extraction using D2EHPA in kerosene. The aqueous phase was Th, RE hydroxide concentrate which was dissolved in HNO3 condition and organic phase was D2EHPA in kerosene. Extraction and stripping have been done by mixing using magnetic stirrer Ika mag. The result of the extraction and stripping processes were precipitated completely by using oxalate acid, the sediment which formed was drained, weighed and analyzed by using ray-X spectrometer. The variables that have been investigated were variation of HNO3 concentration in feed and extraction stages. The using of solvent of D2EHPA for extracting Th from Th, RE(hydroxide) ha sneither produced the percentage of Th nor high level efficiency of extraction. The optimum condition of the extraction of Th happened on HNO3 concentration of 6M in the stage extraction I stripping phase 2(FS2). In that condition the percentage of Th obtained = 26, 219%, extraction efficiency = 20, 96% with the separation factor(SF) Th-Ce = 3,581; SF Th-La=49,051 and SF Th-Nd = 31, 538. Keywords: concentrate Th, RE(Hydroxide), thorium, extraction, or Bis-2-ethyl hexyl phosphate
Buku II hal 40
ISSN 1410 – 8178
Suyanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Menurut Khopkar, beberapa cara dapat mengklasifikasikan sistem ekstraksi. Cara klasik adalah mengklasifikasikan berdasarkan sifat zat yang diekstraksi, sebagai khelat atau sistem ion berasosiasi. Ada sistim ekstraksi yang melibatkan pembentukan pasangan ion. Ekstraksi berlangsung melalui pembentukan spesies netral yang tidak bermuatan diekstraksi ke fasa organik. Bis – 2- etil heksil phosphat atau Asam di2-etil heksil fosfat (D2EHPA) merupakan donor yang kuat, yang mempunyai satu atom H yang dapat digantikan oleh ion-ion logam, sehingga senyawa ini biasa disebut dengan senyawa penukar ion. Di samping itu senyawa D2EHPA mempunyai gugus P=O yang dapat berkoordinasi dengan ion logam. Diketahui pelarut D2EHPA biasanya berada dalam dimer (H2X2) yang tersusun sebagai dua molekul D2EHPA. Pada keadaan ini akan saling mengadakan ikatan hidrogen intra molekuler dengan ion logam yang diekstraksi dengan hanya memutus satu atau dua ikatan hidrogen yang terjadi di dalam dimmer. Rumus struktur D2EHPA dapat dilihat pada Gambar 1.
PENDAHULUAN
M
onasit adalah mineral yang mempunyai bentuk ikatan fosfat yang mengandung Th dan logam tanah jarang ( LTJ )Ce, La , Nd , Pr, Gd dan Dy. Rumus kimia monasit adalah Th,(LTJ).(PO4), perbandingan Ln2O3 (lantanida) dibanding P2O5 = 70 : 30. Analisis monasit seringkali menunjukkan logam-logam pengotor seperti besi, alumunium, kalsium, magnesium, titanium, zirkonium dan silika. Penggunaan torium dioksida antara lain untuk bahan krus tahan suhu tinggi, menaikkan angka kekerasan, sebagai katalisator dan sebagai bahan bakar nuklir. Mengingat nilai ekonomis dan cukup tersedianya cadangan pasir monasit di Indonesia, maka sudah selayaknya pemisahan Th dari konsentrat Th,LTJ(hidroksida) hasil olah pasir monasit perlu dilakukan, disamping dapat meningkatkan nilai tambah juga mengurangi bahan buangan. Pemisahan Th dilakukan dengan proses ekstraksi pelarut. Ekstraksi pelarut menyangkut distribusi suatu zat terlarut (solut) di antara dua fasa air yang tidak saling bercampur(3). Teknik ekstraksi sangat berguna untuk pemisahan secara cepat dan “bersih” baik untuk zat organik maupun zat anorganik. Melalui proses ekstraksi, ion logam dalam pelarut air ditarik keluar dengan suatu pelarut organik (fasa organik). Secara umum, ekstraksi ialah proses pemisahan suatu zat terlarut dari larutannya di dalam air oleh suatu pelarut lain yang tidak dapat bercampur dengan air (fasa air). Tujuan ekstraksi ialah memisahkan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut. H+ + NO-
Gambar 1. Rumus struktur D2EHPA Reaksi kimia yang terjadi antara logam tanah jarang dengan D2EHPA adalah sebagai berikut:
HNO3
(1)
HNO3 (a) + (H2X2) (o)
HNO3(H2X2) (o)
(2)
M4+ + 4 (NO3)- + 4(H2X2) (o)
[M(NO3)44(H2X2)]org
(3)
LTJ(NO3) 3.4 (H2X2) + H2O
LTJ(NO3)3 + 4 (H2X2) + H2O
(4)
Th(NO3) 4.4(H2X2) + H2O
Th(NO3)4 + 4(H2X2)+ H2O
(5)
Pada banyak sistem ekstraksi, ekstraktan dilarutkan dengan suatu pengencer yang tidak saling bereaksi yang disebut diluen. Pemakaian diluen terutama untuk memperbaiki sifat fisika dari fasa organik. Pelarut organik sebagian besar mempunyai berat jenis dan kekentalan tinggi, maka menyebabkan sukarnya proses pemindahan solut dari fasa air ke fasa organik. Untuk mempermudah proses tersebut kekentalan fasa organik harus diturunkan dengan cara Suyanti, dkk.
menambahkan pengencer organik. Salah satu pengencer organik yang sering digunakan adalah kerosin. Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi pembagian kelarutan. Dalam praktek solut akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 41
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
pelarut tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
Co C2 atau Kd = Ca C1
Kd =
(6)
dimana Kd = koefisien distribusi dan C1, C2, Co, dan Ca masing-masing adalah konsentrasi solut pada pelarut 1, 2, organik, dan air. Dari rumus tersebut jika harga Kd besar, solut secara kuantitatif akan cenderung terdistribusi lebih banyak ke dalam pelarut organik, begitu pula terjadi sebaliknya. Sebagai ukuran keberhasilan untuk suatu proses ekstraksi sering digunakan besaran berupa faktor pisah (FP) yakni perbandingan antara koefisien distribusi suatu unsur dengan koefisien distribusi unsur yang lainnya. Persamaan untuk memperoleh FP adalah: FP =
Kd1 Kd 2
(7)
Kd1 adalah koefisien distribusi unsur 1 dan Kd2 adalah koefisien distribusi unsur 2. Efektifitas dalam proses ekstraksi dapat dinyatakan dengan persen solut yang terekstrak yang dapat diperoleh dengan persamaan sebagai berikut: E=
C2 x 100 % F
dengan E adalah efisiensi ekstraksi (%), C2 adalah konsentrasi solut dalam fasa organik, dan F adalah konsentrasi umpan untuk ekstraksi. Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan ekstraksi dengan tri butil fosfat 25% ( TBP ). Hasil yang diperoleh efisiensi ekstraksi Th total 99,76%. Kadar Th tertinggi diperoleh pada ekstraksi tingkat I fasa striping 2 (FS 2oks) dengan kadar Th 76,11%, serta pengotor Ce = 1,46 %, La = 0,77% , Nd = 0,28%. Faktor pisah (FP ) Th-Ce = 503,09 FP Th-La = 577,93 dan FP Th-Nd = 19,94.(9) Dalam penelitian ini umpan ekstraksi adalah konsentrat Th,LTJ hidroksida dengan kadar Th = 5,078%, Ce = 37,76%, La = 19,69% dan Nd = 8,24% yang berasal dari proses pengolahan pasir monasit yang dilarutkan dalam HNO3. Fasa organik yang digunakan adalah D2EHPA yang diencerkan dalam kerosen dengan kadar D2EHP 5%. Selama berlangsungnya proses ekstraksi, antara LTJ dan Th saling berkompetisi untuk berpindah dari fasa air ke fasa organik. Setelah terjadi proses ekstraksi, maka salah satu dari unsur-unsur LTJ tersebut diharapkan masuk ke dalam fasa organik dan unsur yang lain tetap berada dalam fasa air. Variabel yang diteliti adalah variasi konsentrasi HNO3 dalam umpan dan tingkat ekstraksi. Reaksi pelarutan unsur – unsur dalam konsentrat Th,LTJ(OH)4 dengan HNO3 adalah sebagai berikut :
(8)
Th(OH)4 + 4 HNO3 =======> Th ( NO3 )4+ 4 H2O M(OH)3 padat+ 2 HNO3 =======> M ( NO3 )3 larutan+ 3 H2O
(9) (10)
M = unsur logam tanah jarang yang lain ( La, Nd ,Y )
Ekstraksi bertingkat dilakukan beberapa kali sampai ekstraksi dianggap tidak efisien lagi. Untuk memungut kembali LTJ dan Th dari senyawa kompleks dilakukan reekstraksi atau striping memakai air dan asam oksalat encer.
Masing-masing tingkat ekstraksi dilakukan striping tiga kali. Hasil striping dengan air diendapkan dengan asam oksalat, reaksinya :
LTJ(NO3)4 + 2 H2C2O4 LTJ(C2O4)2 + 4 HNO3 Th(NO3)4 + 2 H2C2O4 Th(C2O4)2 + 4 HNO3 Reaksi yang terjadi pada striping dengan asam oksalat adalah:
(11) (12)
LTJ(NO3) 4.4D2EHPA + 2 H2C2O4 LTJ(C2O4)2 + 4 HNO3 + 4D2EHPA (13) Th(NO3) 4.4D2EHPA + 2 H2C2O4 Th(C2O4)2 + 4 HNO3 + 4 D2EHPA (14) Berdasar reaksi ( 1 ), maka dipelajari pengaruh molaritas asam nitrat dan jumlah tingkat estraksi.
Buku II hal 42
ISSN 1410 – 8178
Suyanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TATA KERJA Bahan yang digunakan Konsentrat LTJ hidroksida hasil olah pasir monasit , kerosen buatan Fisher, Bis-2- etil heksil phosphat (D2EHPA) buatan Merck, H2SO4 teknis, HNO3 teknis , asam oksalat (H2C2O4) teknis, air suling, NaOH teknis, kertas saring Alat yang digunakan Alat – alat gelas, timbangan analitik sartorius, lemari asam, pengaduk pemanas Ika Werke, oven, spektrometer pendar sinar- X, pH meter digital WTM. CARA KERJA 1.
Ekstraksi I dan striping a. Dibuat larutan umpan ekstraksi dengan melarutkan konsentrat logam tanah jarang hidroksida berat 5 gram dilarutkan dalam HNO3 14,4 M sebanyak 17,4 ml, sambil diaduk dan dipanaskan dengan alat pengaduk pemanas. Volume di tepatkan menjadi 50 ml dengan air suling maka diperoleh keasaman fasa air 5M sebagai fasa air (FA). Divariasi konsentrasi asam nitrat dalam umpan. b. Fasa air ditambah 50 ml campuran TBP dalam kerosen sebagai fasa organik (FO) yang divariasi konsentrasi D2EHPA 5%, perbandingan FA:FO = 1:1. c. Dilakukan ekstraksi selama 15 menit dengan kecepatan pengadukan 200 rpm. d. Fasa air atau FA dan fasa organik (FO) dipisahkan, diperoleh FA I dan FO I. Masing-masing ditampung dalam beker gelas, yang berisi FA I ditutup untuk proses ekstraksi tingkat II, sedang FO I distriping. e. Fasa organik (FO) I distriping (di reekstraksi) dengan menggunakan air suling sebanyak 50 ml, diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 5 menit, kemudian FO I dan fasa striping (FS1air) dipisahkan dengan corong pisah. FS1air, diendapkan dengan larutan asam oksalat jenuh kemudian disaring, dikeringkan dengan oven pada suhu 120oC, ditimbang dan dianalisis dengan spektrometer pendar sinar-x. f. Fasa organik (FO) I setelah distriping dengan air, distriping kembali dengan 50ml larutan asam oksalat 5% selama 5 menit. Fasa striping dipisahkan (diperoleh FS2oks dan FO I), FS2oks ditambah asam oksalat 5% sampai tidak terjadi endapan lagi. Endapan disaring, dikeringkan,
Suyanti, dkk.
ditimbang dan dianalisis dengan spektrometer pendar sinar-x. g. Fasa organik (FO) I distriping lagi dengan air suling 100 ml. Fase striping dipisahkan dari FO I diperoleh FS3air, diendapkan jika ada endapan disaring, dikeringkan, ditimbang dan dianalisis dengan spektrometer pendar sinar-x. 2. Ekstraksi tingkat II FA I dari ekstraksi I diekstraksi lagi dengan FO I (FO I yang telah distriping 3 kali dari ekstraksi I) dengan kecepatan pengadukan 200 rpm selama 15 menit, sehingga diperoleh FA II dan FO II. FA II kemudian diekstraksi lagi. 3. Ekstraksi tingkat III Ekstraksi tingkat III dilakukan seperti pada ekstraksi tingkat I maupun tingkat II. 4. Variasi konsentrasi HNO3 dalam umpan. Dibuat larutan umpan/fasa air seperti pada 1.a dengan keasaman umpan yang bervariasai yaitu 4M, 5M, 6M, 7M dan 8M. Kemudian dilakukan ekstraksi dan striping seperti pada tata kerja 1.b sampai dengan 2. Seluruh endapan hasil proses striping dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC sampai kering, ditimbang dengan timbangan sotorius dan dianalisis. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis konsentrat LTJ hidroksida menggunakan spektrometer pendar sinar-x adalah: Th = 5,078%, Ce = 37,76%, La = 19,69% dan Nd = 8,24% Kondisi proses yang dilakukan adalah: berat konsentrat Th,LTJ dalam umpan 5 gram, konsentrasi HNO3 dalam umpan : divariasi, solven : D2EHPA 5% dalam kerosen, kecepatan pengadukan 200 rpm, waktu ekstraksi 15 menit, perbandingan fasa air: fasa organik = 1:1, volume fasa air 50 ml. Pengaruh tingkat ekstraksi terhadap berat fasa striping (FS) Pada pelaksanaan penelitian proses striping dilakukan sebanyak tiga kali, striping pertama dengan air, striping kedua dengan larutan asam oksalat encer dan striping ketiga dengan air lagi. Pemakaian air sebagai fasa penstriping bertujuan untuk mengambil unsur yang senyawa kompleksnya paling mudah untuk dipecahkan sehingga akan mudah dipisahkan dengan unsur yang lain. Karena air merupakan agen penstriping yang sangat lemah memecah senyawa kompleks, sehingga akan terjadi kompetisi yang nyata antara
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 43
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Berat endapan (g)
2
4M 6M 8M
1.5
5M 7M
1 0.5 0 I FS1
I FS 2
II FS1
II FS 2
III FS1
III FS 2
Tingkat ekstraksi
Gambar 1. Grafik hubungan tingkat ekstraksi dengan berat endapan Fasa striping (Fs) pada berbagai keasaman HNO3. Hubungan tingkat ekstraksi terhadap berat fasa striping (FS) dapat dilihat pada Gambar 1. Endapan oksalat yang terbentuk pada fasa stripng mewakili perpindahan massa dari fasa ai (FA) ke fasa organik (FO). Fasa organik diwakili oleh fasa air (FS) karena semua unsur yang berada dalam fasa organik diambil lagi fasa striping dan diendapkan sempurna menggunakan asam oksalat. Semakin tinggi konsentrasi HNO3 dalam umpan maka semakin besar konsentrat Th,LTJ hidroksida yang dapat larut dan konsentrasi solute dalam umpan semakin besar. Tentu dengan semakin besarnya konsentrasi umpan, maka perpindahan massa semakin cepat dan akumulasi dari perpindahan massa dalam FO semakin banyak. Umumnya striping ke 2 atau FS2 pada berbagai keasaman diperoleh berat FS yang relatif tinggi dibanding pada striping pertama (FS1), yang ditandai dengan puncak-puncak grafik pada FS2 seperti terlihat pada Gambar 1. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan kompleks unsur dengan D2EHPA sangat kuat dan air kurang mampu untuk memecah kompleks tersebut, dan setelah distriping dengan asam oksalat yang merupakan pemecah komplek yang sangat kuat sehingga semua unsur akan mengendap sempurna sebagai FS2.
Buku II hal 44
30
4M 7M
Kadar Th (%)
25
5M 8M
6M
20 15 10 5 0 I FS1
I FS 2
II FS1
II FS 2
III FS1
III FS 2
Tingkat ekstraksi
Gambar 2. Grafik hubungan tingkat ekstraksi dengan kadar Th dalam fasa striping (FS) pada berbagai konsentrasi HNO3 dalam umpan Pada keasaman 4M samapai 7M, berat endapan FS yang terbentuk pada ekstraksi tingkat I paling besar dibanding tingkat ekstraksi selanjutnya. Berat FS semakin bertambah tingkat ekstraksi semakin kecil. Gambar 2. Menunjukkan kadar Th pada pada berbagai tingkat ektraksi. Pada berbagai konsentrasi asam nitrat dalam umpan kadar Th yang jauh lebih tinggi dibanding pada striping ke1 (FS1). Pengaruh konsentrasi HNO3 dalam umpan. Asam nitrat selain berfungsi untuk melarutkan konsentrat Th,LTJOH juga berfungsi sebagai pembentuk kompleks. Dengan melihat persamaan (1) sampai (5) dapat diketahui betapa pentingnya pemakaian HNO3. Semakin besar keasaman, jumlah mol nitrat semakin banyak, reaksi bergeser kekanan, sehingga hasil reaksi semakin banyak. Hal ini tampak pada Gambar 3 berikut ini. 2
Berat endapan (g)
unsur yang satu dengan unsur yang lain ketika bereaksi dengan fasa organik. Striping memakai asam oksalat bertujuan mengambil semua unsur yang tertinggal dalam fasa organik, karena asam oksalat merupakan agen penstriping yang sangat kuat untuk memecah senyawa kompleks dan sekaligus dapat untuk mengendapkan semua logam-logam, striping ketiga dengan menggunakan air bertujuan untuk membersihkan sisa oksalat dan logam-logam yang masih terdapat dalam fasa organik.
1.5
I FS1
I FS 2
II FS1
II FS 2
III FS1
III FS 2
1 0.5 0 4M
Gambar
5M
6M
Tingkat ekstraksi
7M
8M
3.Grafik hubungan konsentrasi HNO3dalam umpan dengan berat endapan Fasa striping (FS) pada berbagai tingkat ekstraksi
Tabel 1. Tampak bahwa pada berbagai konsentrasi HNO3 dalam umpan, Th dan logam tanah jarang yang telah terekstraks dengan D2EHPA membentuk ikatan kompleks yang sangat kuat sehingga air yang digunakan untuk striping tidak mampu memecah ikatan kompleks tersebut, hal ini ditandai dengan kadar unsur dan efisiensi ekstraksi yang terdapat dalam fasa striping 1 (FS1) pada berbagai tingkat ekstraksi relatif kecil dibanding pada FS2. Sebaliknya pada
ISSN 1410 – 8178
Suyanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
penggunakan larutan asam oksalat untuk striping sangat kuat memecah ikatan kompleks Th,LTJ dengan D2EHPA dan mengendap sempurna. Pada striping ke 3 pada berbagai konsentrasi HNO3 maupun tingkat ekstraksi tidak terjadi endapan. ini berarti seluruh solut yang terekstraksi telah
mengendap sempurna pada striping ke 2 dan pada striping ke 3 ini juga berfungsi untuk membersihkan sisa oksalat yang terdapat dalam fasa organik sehingga FO dapat digunakan lagi pada ekstraksi tingkat selanjutnya.
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi HNO3 dalam umpan terhadap kadar unsur dan efisiensi ekstraksi. Ekstraksi tingkat I Konsentrasi
Tingkat
HNO3 (M)
ekstraksi
Th
Ce
La
Nd
Th
Ce
La
Nd
4
FS1
≈0
7,424
0,558
1,148
≈0
0,380
0,055
0,269
FS.2
9,451
43,999
2,898
0,371
15,927
9,972
1,259
0,385
FS1
0,825
33,380
0,441
1,553
0,708
3,851
0,098
0,821
FS.2
2,400
62,910
0,441
≈0
6,750
23,791
0,320
≈0
FS1
≈0
5,378
≈0
1,172
≈0
1,162
≈0
1,161
FS.2
26,219
35,130
1,407
0,517
20,955
22,313
1,407
1,504
7
FS2
1,227
64,026
0,921
0,257
2,764
19,390
0,535
0,356
8
FS1
≈0
7,5859
4,337
1,409
≈0
1,609
1,764
1,370
FS.2
1,300
63,956
≈0
0,040
8,352
55,275
≈0
0,180
5
6
Kadar unsur, %
Efisiensi Ekstraksi, %
Ekstraksi tingkat II 4
II.FS1
7,997
7,200
≈0
0,924
1,669
0,202
≈0
0,119
II. FS 2
10,596
56,462
5,687
0,172
29,482
21,128
4,018
0,294
5
II. FS 2
5,897
66,217
≈0
0,150
2,480
3,746
≈0
0,237
6
II. FS 1
≈0
10,211
11,059
≈0
≈0
2,544
11,059
≈0
II. FS 2
9,664
49,413
2,931
1,099
35,464
24,387
2,931
2,487
II. FS 1
≈0
2,572
1,877
0,496
≈0
0,099
0,138
0,087
II. FS 2
2,871
65,857
≈0
0,034
9,124
28,152
≈0
0,067
II. FS 1
≈0
3,495
4,237
1,338
≈0
0,776
1,804
1,361
II. FS 2
13,251
53,205
4,914
0,472
49,494
26,726
4,933
1,132
7
8
Ekstraksi tingkat III 4
5
7
8
Suyanti, dkk.
III.FS1
≈0
2,984
1,842
1,691
≈0
0,078
0,092
0,202
III. FS 2
3.805
44,586
0,515
0,175
6,573
10,360
0,229
0,187
III. FS1
≈0
19,425
1,322
0,376
≈0
5,868
0,143
0,097
III,FS2
20,776
38,041
≈0
0,172
46,663
11,490
≈0
0,239
III, FS 1
≈0
11,089
6,400
2,208
≈0
0,412
0,456
0,376
III, FS 2
17,512
43,635
≈0
0,103
12,006
15.845
≈0
0,172
III. FS2
16,956
42,550
2,055
0,145
42,904
14,480
1,612
0,273
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 45
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Hasil proses ekstraksi menggunakan ekstraktan D2EHPA, kadar unsur dan efisiensi ekstraksi tersaji pada Tabel 1. Torium akan terekstrak lebih cepat daripada logam tanah jarang (Ce, La Nd) sehingga menghasilkan efisiensi ekstraksi yang lebih besar. Torium selain
mempunyai valensi empat juga mempunyai berat atom yang paling besar dibanding unsur logam tanah jarang, sehingga sesuai dengan pernyataan Teramoto, et al (1986:238) bahwa logam yang mempunyai nomor atom lebih besar akan terekstrak lebih cepat dengan ekstraktan D2EHPA.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi HNO3 dalam umpan terhadap Kd unsur dan faktor pisah Konsentrasi HNO3 , M 4
Kd Th
6 7 8
0,160 0,075 0,841 0,028 0,094
4 5 6 7 8
0,313 0,025 0,176 0,092 0,519
4 5 7 8
0,066 0,066 0,476 0,519
Ce
La Tingkat Ekstraksi I 0,104 0,013 0,276 0,004 0,235 0,017 0,257 0,005 0,839 0,018 Tingkat Ekstraksi II 0,213 0,041 ≈0,000 0,037 ≈0,000 0,269 0,283 0,001 0,367 0,067 Tingkat Ekstraksi III 0,104 0,003 0,174 0,001 0,163 0,002 0,174 0,016
Serium (Ce) mempunyai kadar paling besar dibanding unsur yang lain didalam larutan umpan, hal ini sangat berpengaruh terhadap transfer massa dari fasa air ke fasa organik, semakin besar solut dalam larutan semakin mudah mendifusi ke fasa organik, akibatnya Ce berkompetisi dengan Th. Akibatnya kompleks HNO3(H2X2) selain mmbentuk kompleks dengan Th akan membentuk kompleks dengan Ce. Pada data Tabel 1. Tampak bahwa selain Th dari proses ekstraksi dari ekstraksi tingkat I sampai ekstraksi tingkat III Ce dihasilkan kadar dan efisiensi yang besar. Hasil ekstraksi diperoleh kadar torium paling tinggi pada konsentrasi HNO3 6 M yaitu sebesar Th 26,219% dengan efisiensi ekstraksi 20,955%, sedangkan pada tingkat ekstraksi dan keasaman yang lain kadar Th-nya lebih kecil. Proses ekstraksi menggunakan ekstraktan D2EHPA menghasilkan koefisien distribusi dan faktor pisah (FP) seperti yang tersaji pada Tabel 2. Torium akan terekstrak lebih cepat daripada Serium (Ce) akan terekstrak lebih cepat daripada lantanum dan neodimium sehingga menghasilkan nilai koefisien distribusi atau harga Buku II hal 46
Nd
Faktor pisah (FP) Th dengan unsur Ce La Nd
0,007 0,008 0,027 0,004 0,015
1,548 0,271 3,581 0,108 0,112
12,325 17,967 49,051 5,197 5,347
24,506 9,136 31,538 7,807 6,087
0,004 0,002 0,025 0,002 0,025
1,469 0,666 0,653 0,325 1,413
7,681 ~ ~ 66,332 7,703
75,886 10,509 7,073 59,540 20,814
0,004 0,003 0,005 0,003
0,634 0,381 2,926 2,981
20,575 46,127 199,915 32,195
17,009 19,682 86,793 190,394
Kd yang besar karena selain mempunyai valensi empat juga kadar unsur dalam umpan paling besar sehingga terekstrak lebih banyak dari unsur yang lain. Hal tersebut sesuai dengan hukum hukum Fick. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap kecepatan perpindahan massa dari fasa air (FA) ke fasa organik (FO) adalah besarnya konsentrasi solut dalam umpan. Hal ini dapat dijelaskan dengan hukum Fick (Welty, 2002:8): JA,Z = -DAB
dc A dz
(15)
dengan : JA,Z = kecepatan transfer massa DAB = difusivitas massa c = konsentrasi z = lebar lapisan antar fasa Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa variabel konsentrasi berbanding lurus dengan kecepatan transfer massa, sehingga semakin besar konsentrasi akan semakin besar pula kecepatan perpindahan massa. Besarnya faktor pisah untuk variasi konsentrasi HNO3 dengan ekstraktan D2EHPA-
ISSN 1410 – 8178
Suyanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
kerosen dapat dilihat pada Tabel 2. Tampak bahwa semakin besar tingkat ekstraksi semakin besar pula faktor pisah antara Th dengan Ce, La dan Nd. Untuk menentukan kondisi optimum ekstraksi torium dengan ekstraktan D2EHPA, selain faktor pisah yang besar juga kadar Th dan efisiensi yang besar pula. Kondisi optimum ekstraksi Th terjadi pada konsentrasi HNO3 6 M pada tingkat ekstraksi I fasa striping 2 (FS2). Pada kondisi tersebut diperoleh kadar Th = 26, 219%, efisiensi ekstraksi = 20,955% dengan faktor pisah (FP) Th-Ce =3,581 FP Th-La = 49,051 dan FP Th-Nd = 31,538. KESIMPULAN Penggunaan solven bis 2 etil heksil phosphat atau D2EHPA untuk ekstraksi Th dari konsentrat Th,LTJ(hidroksida) belum menghasilkan kadar Th maupun efisiensi ekstraksi yang tinggi. Kondisi optimum ekstraksi Th terjadi pada konsentrasi HNO3 6 M pada tingkat ekstraksi I fasa striping 2 (FS2). Pada kondisi tersebut diperoleh kadar Th = 26, 219%, efisiensi ekstraksi = 20,955% dengan faktor pisah (FP) Th-Ce = 3,581 FP Th-La = 49,051 dan FP Th-Nd = 31,538. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar diperoleh efisiensi ekstraksi dan kadar Th yang tinggi misalnya dengan memvariasi konsentrasi D2EHPA, waktu pengadukan, kecepatan pengadukan, atau menggunakan solven yang lain UCAPAN TERIMAKASIH Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar diperoleh efisiensi ekstraksi dan kadar Th yang tinggi misalnya dengan memvariasi konsentrasi D2EHPA, waktu pengadukan, kecepatan pengadukan, atau menggunakan solven yang lain
Suyanti, dkk.
DAFTAR PUSTAKA 1. Daintith John (ed). Kamus Lengkap Kimia. Terjemahan SuminarAchmadi, Erlangga., Jakarta:, hal. 293, (1999 ): 2. Prakash Satya. Advanced Chemistry of Rare Elements. 4th edition. Ram Nagar, New Delhi: S. Chand and Co, PVT (1975). 3. Hanson, C. Reaction Advances in LiquidLiquid Extraction. First Edition.England: Pergamon Press. (1971 4. Khopkar, S.M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analisis. Terjemahan A.Saptorahardjo. Jakarta: UI-Press. 5. Teramoto, et al. (1986). Extraction of Lanthanoids by Liquid Surfactant Membranes. Separation Science and Technologi. Japan: Marcel Dekker. Inc.hal. :230, 1986 6. Cuthbert,F.L.Thorium Production Technology., Massachusetts, U.S.A: Addison-Wesley Publishing Company. INC.hal 122 (1958).). 7. Preston, J.S; Du Prees, A.C. Solvent-Extraction Processes For Separation of The Rare-Earth Metals. South Africa: Elsevier Science Publishers B.V. (1992). 8. Ladda, G.S; Degallesan, T.N. Transport Phenomena in Liquid Extraction.New York: Mc-Graw Hill Publishing, Co., LTD. Hal 20 (1976). 9. Suyanti dan Suprihati, ”Penggunaan Solven TBP Untuk Pembuatan Konsentrat Th Dari Hasil Olah Pasir Monasit Secara Ekstraksi” Proseding P3N PTAPB-Batan Yogyakarta (2009). 10. Welty, R. James; Wicks, E. Charles, Wilson, E. Robert; Rorrer Gregory. Dasar-Dasar Fenomena Transport. Volume 3. Edisi Ke-4. Terjemahan Gunawan Prasetio. Jakarta: Erlangga. (2004).
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 47
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENYEMPURNAAN DAN UJI COBA KOLOM GELASI Supardjono Mudjiman, Mashudi, Sutarni, Ariyani Kusuma Dewi dan Sri Rinanti Susilowati Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK PENYEMPURNAAN DAN UJI COBA KOLOM GELASI. Telah dilakukan penyempurnaan dan uji coba kolom gelasi. Kran-kran yang bocor dan penambahan sambungan ekspansi untuk mengurangi tegangan sehingga perlu disempurnakan. Sambungan elastis di instal untuk mengurangi tegangan sambungan. Alat pelindung dari gelas fiber untuk keselamatan dipasang diluar kolom gelasi dan juga dipasang sekat dari gelas fiber pada bagian bawah tempat penampungan gel yang terbentuk pada proses gelasi. Sebuah vibrator dipasang untuk menngetarkan nozzle sehingga akan didapatkan bentuk gel yang seragam. Uji coba dalam kolom gelasi yang lebih kecil dilakukan untuk mendapatkan parameter–parameter yang berpengaruh dalam pembuatan gel. Pembuatan sol dilakukan dengan hasil yang pernah dicapai pada penelitian sebelumnya. Jenis senyawa THFA (Tetra Hydro Furfural Alcohol) dan parafin divariasi untuk pembuatan sol. Kecepatan alir sol, frekuensi dan amplitudo dari vibrator divariasi untuk mendapatkan gel. Sol yang menggunakan larutan THFA akan lebih baik dari pada yang menggunakan parafin. Hasil gel yang didapat sudah memenuhi standar yaitu bulat dengan diameter gel antara 2,2-2,6 mm.
ABSTRACT IMPROVEMENTS AND TESTING OF GELATION COLUMN. The improvements and testing of gelation column have been done. Leaking taps and expansion connection additions to reduce stress were improved. Elastic connection hose was installed to reduce a stress connections. It was installed safety protective equipment of fiber glass outside of gelation column and it was also installed a fiber glass insulation on the bottom of the gel reservoir section which formed on the gelation process. A vibrator tool was installed which will vibrate the nozzles so that will be found uniform gel. Trials in smaller gelation column were carried out first in order to get influence parameters in forming gel. Sol manufacture was done by research found previously. Two kinds of substances THFA (Tetra Hydro Furfural Alcohol) and paraffin were varied for making sol. Adjusting flow rate of sol, frequency and amplitude of the vibrator were varied to obtain gel. Sol that using THFA solution would be better than sol that using paraffin. The obtained gel has already meet the standards where the gel spherical diameter was between 2.2 to 2.6 mm.
PENDAHULUAN
P
ada tahun 2009 telah dibuat dan diinstal alat unit gelasi dan masih ada kebocoran / kekurangan dan disempurnakan pada tahun 2010 antara lain dengan pemasangan SIK. Pada kegiatan ini akan dilakukan peyempurnaan dan uji coba alat gelasi. Pengamatan yang dilakukan pada alat SIK apa sudah berfungsi dan hasil proses gelasi apakah sudah memenuhi spek yang diharapkan. Buku II hal 48
Pembuatan bahan bakar kernel UO2 melalui tahapan-tahapan yaitu(1,2), proses pelarutan U3O8, pemurnian / ekstraksi, pengkondisian umpan pembuatan sol, pembuatan sol untuk proses gelasi, gelasi, aging, pencucian, pengeringan gel uranium, kalsinasi, reduksi, sintering, pelapisan dan molding. Proses pembuatan umpan sol yaitu dengan mencampur ADUN (Acid Defisiensi Uranil Nitrat), parafin, larutan PVA (Poly Vinyl Alcohol) dan SPAN 80 (mono sorbitol oleat) dengan komposisi tertentu dan mempunyai
ISSN 1410 – 8178
Supardjono Mudjiman, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
kekentalan tertentu agar dapat dibuat gel yang baik. Pada proses penetesan digunakan nozzle yang dialirkan dengan pompa peristaltik yang lubang nozzle nya digetarkan dengan vibrator pada frequensi dan amplitudo tertentu agar didapatkan bentuk gel yang bulat.
Gambar 5. Kemiringan nozzle sekitar 45 o
Gambar 1. Seperangkat alat unit gelasi hasil instalasi th. 2009
Gambar 6. Pengendali SIK unit gelasi
Gambar 7. Pompa peristaltik dengan roller 8 (modifikasi) Gambar 2. Pengumpan pada multitetes
kolom gelasi
Gambar 8. Pompa peristaltik dengan roller 4 buah Gambar 3. Vibrator
Gambar 4. Berbagai macam bentuk nozzle Supardjono Mudjiman, dkk.
Pembuatan gel Pembuatan gel dilakukan dalam kolom gelasi dengan meneteskan larutan sol dalam ammonium hidroksida sehingga terjadi gel ammonium di uranat (ADU). Penetesan menggunakan pompa pneumatik (persitaltik) diumpankan ke nozzle pada bagian atas kolom, di mana vibrator menggetarkan nozzle dari umpan sol. Butiran halus jatuh melalui udara di mana mereka mencapai bentuk bola sebagai akibat dari ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 49
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
tegangan permukaan. Tetesan yang berbentuk bola kemudian melewati atmosfer ammonia dimana ammonia gas ditiup langsung ke tetesan untuk membuat reaksi kimia dengan uranil nitrat pada permukaan tetesan. Uranil nitrat yang mengendap sebagai ADU di lapisan luar dalam tetesan, membentuk film pelindung. Film ini memungkinkan tetesan untuk mempertahankan bentuk bulat dan berdampak pada gel dengan tidak terjadi deformasi. Reaksi terus dilanjutkan dalam kolom gelasi, gel yang terbentuk sebagai ADU, dengan reaksi sebagai berikut : 2UO2(NO3)1.5(OH)0.5 (aq) + 2 NH4OH (aq) → (NH4)2U2O7 (s) + NH4NO3 (aq) + H2O. Gel kemudian ditampung dalam kolom penampung sampai mereka cukup kuat untuk diproses lebih lanjut. Banyak faktor yang mempengaruhi proses gelasi antara lain konsentrasi dari uranium dalam sol, jumlah zat additive pada larutan sol konsentrasi dari larutan media ammonia. Sedangkan dari segi peralatan adalah frekwensi dan amplitudo dari vibrator, tinggi kolom, diameter dari nozzle yang digunakan. Untuk menghindari kemampatan dari nozzle maka dipasang alat penghembus uap ammonia, sehingga pada saat penetesan sol tidak terjadi presolidifikasi pada ujung nozzle. Tinggi kolom akan mempengaruhi kesempurnaan reaksi pembentukan gel. Diharapkan waktu yang dicapai saat gel menetes sampai didasar kolom sudah tidak ada perubahan bentuk dari gel. Dari hasil perhitungan simulasi tinggi kolom sekitar 1,5 m pembentukan gel sudah tidak mengalami perubahan bentuk. Untuk kesempurnaan reaksi gelasi dilakukan proses aging. Pada proses aging sampai reaksinya sempurna. Pencucian gel menggunakan iso propil alkohol dan ammonia encer. Pencucian dimaksudkan untuk membersihkan /mengeluarkan NH4NO3 yang masih tersisa dalam gel. TATA KERJA A. Bahan 1. Larutan sol uranium (campuran uranil nitrat, span, paraffin/THFA dan PVA dengan komposisi tertentu). 2. Media gelasi NH4OH 7 N 3. Media aging NH4OH 7 N 4. Media pencuci iso propil alcohol, ABM, NH4OH encer B. Peralatan Seperangkat alat kolom gelasi yang terdiri dari : 1. Kolom gelasi Buku II hal 50
2. 3. 4. 5. 6.
Pengumpan multitetes Pompa peristaltik Vibrator Nozzle Penampung gel
C. Cara Kerja 1. Menghidupkan panel utama. 2. Menghidupkan blower penyedot gas ammonia 3. Memasukkan media ammonia 7 N dalam kolom gelasi dengan pompa ammonia sampai pada posisi overflow / luapan 4. Memasukan umpan sol dalam tangki pengumpan 5. Menghidupkan vibrator dan atur frekwensi dan ampitudo sesuai dengan yang diiginkan 6. Menghidupkan pompa peristaltik dan atur kecepatan alir sol 7. Mengamati pembentukan gel dalam kolom gelasi 8. Gel yang terbentuk dipindahkan ke tangki penampung untuk proses penuaan (aging) dan pencucian gel. 9. Gel terbentuk diamati bentuk fisiknya dan diukur diameternya. PEMBAHASAN Sebelum uji coba yang sebenarnya dilakukan percobaan dalam kolom gelas untuk mengetahui karakteristik dari pompa peristaltik, vibrator, nozzle yang digunakan dan mengetahui sifat / watak dari sol. Untuk penngunaan pompa peristaltik dicoba dengan dua macam pompa yaitu dengan roller 8 dan 4. Untuk yang mempunyai roller 4 sol keluar dari nozzle tidak terkendali bentuknya memanjang, sedangkan yang mempunyai roller 8 sol keluar dapat dikendalikan. Tabel 1. Pengaruh penggunaan jumlah roller pada pompa peristaltik terhadap hasil gel. Jumlah roller 4 Sol keluar putusnya panjang, tidak teratur
Jumlah roller 8 (modifikasi) Sol keluar dapat putus
Untuk percobaan selanjutnya dipakai pompa peristaltik 8 hasil modifikasi roller 4 yang dibuat oleh Balai Elektro Mekanik (BEM). Dengan mengubah jumlah rol yang digunakan makin banyak akan menyebabkan tekanan yang diakibatkan oleh pompa peristaltik akan lebih stabil atau pulsanya lebil baik. Hal ini disebabkan untuk pompa peristaltik yang mempunyai roller 8 akan lebih stabil / smooth.
ISSN 1410 – 8178
Supardjono Mudjiman, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Pengaruh viskostas terhadap bentuk gel yang dihasilkan digunakan pompa peristaltik dengan roller 8. Viskositas 105 c-stoke Gel berekor (gambar 10)
Viskositas 85 c-stoke Gel campuran : gepeng, lonjong dan bulat (gambar 11)
Pada percobaan dengan viskositas yang berbeda, pada viskositas yang tinggi didapatkan gel yang berekor dan panjang dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 11. Gel berekor panjang, d gel ≥ 2,5 mm
Gambar 12. Gel berekor pendek, d gel ≥ 2,5 mm Gambar 9. Gel berekor panjang, viskositas sol 105 c-stoke
Gambar 13. Gel , d gel 2,0 - 2,5 mm
Gambar 10. Gel campuran : gepeng, lonjong dan bulat Pada percobaan dengan nozzle dibuat miring dengan kemiringan sekitar 45 o hasil dapat dilihat dalam tabel 3 atau pada gambar 10, 11, 12 dan 13. Tabel 3. Pengaruh kecepatan alir sol pada gel urania hasil. Kondisi operasi Frekuensi 60 Hz, kemiringan sudut sudut nozzle 45 o , pompa peristaltik roller 8. Vibrator buatan BEM. Konsentrasi UN = 180 gram/liter, PVA = 5,5 g, parafin 1,4 ml, SPAN = 0,2 ml (sol 20 ml) Skala pompa 30
Skala pompa 10
Gel berekor panjang Diameter gel≥ 2,5 mm
Gel berekor pendek Diameter gel≥ 2,5 mm
Tabel 4. Kecepatan alir sol dan vibbrator terhadap hasil gel, pompa peristaltik roller 8 buah, sol urania 20 ml : Konsentrasi UN =220 gram U/liter, PVA = 4,5 gram, THFA = 2 ml, Tanpa vibrasi Kecepatan skala 5 (A) Kecepatan skala10 (B)
d gel = 2,2 mm,distribusi merata d gel = 2,2 mm,distribusi merata
Dengan vibrasi, F = 25 Hz, A=5A Kecepatan D gel = 2,2 skala 5 (C) mm,distribusi merata Kecepatan D gel = 2,2 skala 10 mm,distribusi (D) merata Kecepatan Tidak skala 15 terkontrol
Skala pompa 5 Gel baik Diameter gel 2,2 2,5 mm
Gambar 14. Gel d gel = 2,25 mm, distribusi merata (A)
Supardjono Mudjiman, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 51
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 5. Hubungan antara amplitudo dan frekuensi dengan hasil gel urania. Komposisi umpan sol : UN = 53 ml, konsentrasi UN =571 gr U/liter, pH UN = 1,9, PVA = 13,5 gram dan THFA = 3 ml
Gambar 15. Gel d gel = 2,2 mm, distribusi merata (B)
Sistim pengumpan sol Pompa peristaltik 8 roller
Amplitudo
Frekuensi
Keterangan
9,8 V
80 hZ
Pompa peristaltik 4 roller dengan pencabangan
9,5 V
75 Hz
Distribusi merata, ukuran diameter gel : 2,6–2,8 mm Distribusi merata, ukuran diameter gel : 1,8-2,6 mm
Gambar 16. Gel, d gel = 2,2 mm, distribusi merata (C) Gambar 18. Pencabangan pada sistim pengumpan
Gambar 17. Gel, d gel = 2,2 mm, distribusi merata (D) Dalam metoda pembuatan sol dengan THFA dan metoda dengan menambahkan parafin dari hasil gel yang didapat bahwa pembuatan sol dengan metoda penambahan THFA akan didapat gel yang lebih baik, yaitu tidak berekor, distribusinya merata serta relatif bulat. Pembuatan gel dengan cara divibrasi ternyata akan mempercepat pemutusan bola dan dari tabel 4 terlihat bahwa pada kecepatan alir yang besar skala yang lebih besar (10) akan didapat gel yang baik, tetapi bila skala pompa diperbesar maka pembentukan bola gel tidak terkontrol. Pada uji coba pada kolom gelasi hasil dapat dilihat dalam gambar 20 dan 21 atau pada tabel 5.
Buku II hal 52
Gambar 19. Pengumpan dengan nozzle 4 buah
Gambar 20. Gel, d gel = 2,2-2,6 mm, distribusi merata
ISSN 1410 – 8178
Supardjono Mudjiman, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 21. Gel, d gel = 2,2 -2,6 mm, distribusi merata Pada pengumpan sol dengan sistim pencabangan ternyata akan menyebabkan aliran gel yang keluar dari nozzle akan menjadi stabil hal ini karena akan memperkecil pulsa pada pompa peristaltik. KESIMPULAN Dari uji coba kolom gelasi dengan menambahkan sambungan ekspansi akan mengurang tegangan / stress pada konstruksi kolom gelasi. Dengan menggunakan penstabil tekanan pada pompa peristaltik dengan mengunakan pompa peristaltik dengan 8 roller lebih dapat terkendali. Pada pembuatan sol dengan metoda penambahan THFA yang berfungsi mengatur tegangan permukaan pada bola gel pada saat penetesan didapat gel yang lebih baik bila dibandingkan dengan penambahan paraffin. Dengan sistim pencabangan akan menyebabkan aliran gel yang terbentuk / keluar dari nozzle menjadi lebih stabil. Diameter gel yang dihasilkan antara 2,2 – 2,6 mm. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih ditujukan terutama kepada pada, VB. Suwondo, A.Md., Rr. Endang Nawangsih, A.Md., Rohyanto dan Bambang Pratikno yang telah membantu penelitian dan tim gelasi yang telah mendiskusikan masalah tersebut.
3. BILLOT P., BARBIER D., “Very High Temperature Reactor (VHTR) The French Atomic Energy Commission (CEA) R&D Program”, 2nd International Tropical Meeting on HIGH TEMPERATURE TECHNOLOGY, Beijing CHINA, September 22-24, 2004. 4. SENOR DJ et all., “A New Innovative Sperical Cermet Nuclear Fuel Element to Achieve an Ultra Long Core Life for use in Grid Apropriated LWRs.”, Prepared for the US Department of Energy under Contract DEAC05-76RL01830, December 2007. 5. WANG J., BALLINGER R.G., DIECKER J.T., “Design Optimization and Analysis of Coated Particles Fuel Using Advanced Fuel Performance Modeling Techniques”, 2nd International Tropical Meeting on HIGH TEMPERATURE TECHNOLOGY, Beijing CHINA, September 22-24, 2004. 6. KENDALL J.M., BULLOCK R.E., “Advanced Coated Particle Fuel Options”, 2nd International Tropical Meeting on HIGH TEMPERATURE TECHNOLOGY, Beijing CHINA, September 22-24, 2004.
TANYA JAWAB Triyono Apakah ada hubungannya antara jumlah roler pada pompa perilstatias terhadap hasil tetesan gel? Setiap selesai operasi apakah posisi vibrator diposisikan ke zero (OHZ) agar tidak terjadi lonjakan terhadap nozzle? Supardjono Mujiman Hubungan antara jumlah roller pada pompa peristaltik terhadap tetesan makin banyak jumlah roller aliran gel semakin stabil Setelah operasi selesai posisi vibrator di kembalikan ke posisi zero
DAFTAR PUSTAKA 1. V.N. NAIDYA, “Sol-gel process for ceramic nuclear fuels”, BARC, Newsletter. 2. ANNELEEN MÜLLER, “Establishment of the technology to manufacture uranium Dioxide kernels for PBMR fuels”, Proceedings HTR2006: 3rd International Topical Meeting on High Temperature Reactor Technology October 1-4, 2006, Johannesburg, South Africa.
Supardjono Mudjiman, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 53
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PEMBUATAN KIT MIBI SEBAGAI PENATAH JANTUNG A Roselliana, Sudarsih, E Lestari, dan S Aguswarini Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK Serpong,Tangerang E-mail :
[email protected]
ABSTRAK PEMBUATAN KIT MIBI SEBAGAI PENATAH JANTUNG. Penyediaan radioisotop dan radiofarmaka merupakan tugas dan fungsi dari Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka khususnya Sub.Bidang Proses (Bidang Sarana Penunjang dan Proses) yaitu melaksanakan proses pembuatan produk radiofarmaka. Untuk memenuhi kebutuhan sediaan radiofarmaka baik untuk penelitian di lingkungan BATAN maupun permintaan rumah sakit maka dilakukan proses pembuatan kit MIBI (Metoksi Isobutil Isonitril) lyophilized dengan cara dikeringkan (freeze drying). Kit MIBI buatan PRR ini akan digunakan untuk uji klinik di rumah sakit sebagai penatah perfusi miokardial (otot jantung ). Oleh karena itu, sediaan radiofarmaka Kit MIBI harus memenuhi persyaratan sebagai sediaan obat suntik dan lolos dari kendali mutu. Pengujian kualitas dilakukan dengan menggunakan parameter diantaranya sterilitas, apirogenitas, kemurnian radiokimia, biodistribusi, dan pencitraan jantung menggunakan gamma kamera. Hasil pengujian kualitas menunjukkan kit MIBI steril, bebas pirogen, kemurnian radiokimia rata-rata 99,45% akumulasi aktivitas tertinggi pada jantung mencit rata-rata 11,95 % per gram organ setelah 3 jam penyuntikan dan hasil rasio akumulasi 99m Tc-MIBI di jantung terhadap hati rata-rata 3,72 % serta pencitraan jantung sangat jelas. Hasil uji klinik di rumah sakit juga menunjukkan pencitraan jantung yang sangat jelas dan kontras. Proses pembuatan kit MIBI yang dikeringkan ini, menghasilkan kit dengan kekeringan yang baik dan stabil lebih dari 10 bulan. Kata kunci: Radiofarmaka, Kit MIBI , Penatah jantung, Uji klinik
ABSTRACT PRODUCTION OF 99m Tc- MIBI AS A CARDIAC IMAGING. Preparation of radioisotope and radiopharmaceutical is the duty of the Center of Radioisotope and Radiopharmaceutical especially Process Sub Division under Support Facility and Process Division of carrying out the process of radiopharmaceutical products. A production of MIBI kit were carried out in order to fulfil radiopharmaceuticals not only for research purposes in BATAN but also for hospital. Therefore lyophilized MIBI has been produced by Freeze dried method in PRR. This product will be used for clinical trial as myocardial perfusion scan (heart muscle). The requirement of MIBI kit as radiopharmaceutical has to fulfil requirement for injection medicine and quality control recommended. The Quality control is performed by using parameter of sterility, pirogenity, radiochemical purity, biodistribution, and cardiac imaging using gamma camera. The results of quality control showed that MIBI was sterile, pyrogen free, radiochemical purity was 99.45 %. The highest accumulation of activity in the heart of mice was 11,95 % i.d /g.organ at 3 hour post-injection and the ratio of 99mTc-MIBI accumulation in heart to liver on average 3.72 %, cardiac imaging was very clear. Result of clinical test from hospital showed that the image was very clear and contrast. Lyophilized MIBI by Freeze dried method producing good dryness and stabile for more than 10 months. Keywords : Pharmaceuticals, MIBI kit, cardiac imaging, clinical trial.
Buku II hal 54
ISSN 1410 – 8178
A Roselliana, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TATA KERJA
PENDAHULUAN
P
erkembangan teknologi aplikasi radioisotop dan radiofarmaka telah menghasilkan berbagai sediaan dalam bentuk kit kering radiofarmaka maupun dalam bentuk larutan senyawa bertanda radioaktif yang berguna untuk diagnosis ataupun terapi suatu penyakit tertentu di rumah sakit kedokteran nuklir. Salah satu penyakit penyebab kematian terbesar di dunia adalah penyakit jantung (arteri koroner). Timbulnya penyakit ini karena berkurangnya aliran darah ke otot jantung (miokardium) dan untuk mengetahuinya diperlukan sediaan radiofarmaka untuk pencitraan/melihat adanya kelainan fungsi jantung. Penderita penyakit jantung terus meningkat khususnya di negara kita, maka untuk menanganinya agar dapat mendiagnosis kelainan jantung secara tepat dan cepat diperlukan sediaan radiofarmaka kit MIBI. [1] Dalam rangka memenuhi permintaan sediaan radiofarmaka untuk penelitian di lingkungan BATAN maupun rumah sakit, perkembangan proses pembuatan produk radiofarmaka di PRR telah mampu menghasilkan sediaan radiofarmaka dalam bentuk kit kering MIBI. Kit kering MIBI yang dihasilkan PRR akan digunakan untuk uji klinik di rumah sakit kedokteran nuklir sebagai penatah jantung. Karena 99m Tc-MIBI merupakan sediaan obat suntik maka harus memenuhi persyaratan sebagai sediaan radiofarmasi yang meliputi sterilitas dan apirogenitas, kemurnian radiokimia, hasil pencitraan dari gamma kamera, stabilitas (berkaitan dengan masa kedaluwarsa kit) dan proses pembuatannya dilakukan secara aseptis dalam ruang proses yang aseptis sehingga dihasilkan sediaan radofarmaka steril. [2,3] Seluruh rangkaian pemeriksaan/pengujian kit MIBI telah dilakukan dan hasilnya memenuhi persyaratan ketetapan QC sebagai sediaan radiofarmaka, sehingga produk kit MIBI ini dapat digunakan untuk uji klinik di rumah sakit. Hasil yang memuaskan telah diperoleh sehingga dapat memenuhi rasa aman pengguna. Data uji klinik yang diperoleh dari kegiatan sosialisasi produk di beberapa rumah sakit adalah merupakan rangkaian proses pemeriksaan produk untuk memenuhi kelengkapan dokumen sediaan radiofarmaka 99mTc – MIBI, dengan harapan dapat dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dan dikomersialkan oleh pihak industri farmasi.
A Roselliana, dkk.
Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan adalah Tetra(2methoxy-2-methylpropyl1isocyanat) Cuppro(1+) tetraffuoroborat/Cu( MIBI)4BF4 (IAEA), DManitol( E.Merck), SnCl2 2H2 O (Aldrich), Lcystein Hidroklorid monohidrat (TCI), Sodium citrate dihidrat (E.Merck), Air steril untuk injeksi (IPHA), larutan HCl 1N, larutan NaOH 3N, gas N2, larutan Aseton ( E.Merck ), larutan Salin fisiologis (IPHA) dan larutan Perteknetat dari Generator 99mMo / 99mTc (PT. BATEK). Alat yang digunakan adalah peralatan gelas standar, syringe berbagai ukuran, pipet eppendorf, timbangan (Metler ), pH meter ( Fisher), penyaring bakteri (Millipore), Freeze Dryer (LABCONCO), Oven (ADVANTEC) , Autoclave (RAYPA), peralatan kromatografi TLC, Refrigerator, Radio Chromatografi Scanner (Veenstra type VPA-101), Gamma Counter (Gamma TEC II The Nucleus Model 600B) dan Gamma kamera (buatan India). Pembuatan kit MIBI Proses pembuatan kit kering MIBI dilakukan secara aseptis dan formula sediaan diperoleh dari IAEA -Tecdoc 805. Tiap 1 ml /vial kit MIBI mengandung 1 mg Cu-MIBI; 20 mg DManitol; 0,1 mg SnCl2 2 H2 O; 1 mg L-sistein, 2,6 mg Sodium sitrat dihidrat dan pH larutan adalah 5-6. [4] Pembuatan 50 vial kit MIBI dilakukan dengan cara melarutkan 50 mg Cu-MIBI dalam 20 ml air steril yang sudah dijenuhkan dengan gas Nitrogen. Kemudian, berturut-turut sebanyak 1000 mg D-manitol, 50 mg L-Sistein, 130 mg Sodium sitrat dihidrat ditambahkan ke dalam larutan secara bergantian diaduk sampai homogen dengan pengaduk magnetik. Sambil dialiri gas Nitrogen, 5 mg SnCl2 2H2O dimasukkan ke dalam campuran . Kemudian, pH larutan diatur menjadi 5-6 dengan menambahkan larutan HCl 4N atau larutan HCl 1N. Volume di tepatkan menjadi 50 ml dengan menambahkan air steril setelah itu larutan MIBI di jenuhkan dengan gas Nitrogen selama ± 1 jam. Larutan di dispensing masing-masing 1 ml kedalam vial 10 ml dan di keringkan dengan mengunakan Freeze Dryer selama ± 24 jam.[5] Proses pengeringan dilakukan dengan kondisi vakum dan pengaturan suhu -30 ◦C selama ± 17 jam dan pengaturan suhu 20 ◦C selama ± 6 jam . Penandaan Satu buah vial kit MIBI ditambahkan 1ml (10 - 20 mCi) larutan Perteknetat dari Generator 99m Mo /99mTc kemudian dipanaskan dalam penangas air sampai mendidih setelah itu didinginkan dalam suhu kamar.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 55
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Penentuan Kemurnian Radiokimia Penentuan kemurnian radiokimia dilakukan menggunakan metode kromatografi lapis tipis (TLC) dengan fasa diam digunakan TLC- Alumina dan fasa gerak Etanol. Pasca elusi akan terjadi pemisahan antara 99mTcO2 , 99mTcO4 dan 99m Tc-MIBI , dimana 99mTcO2 ( Rf = 0,0 ), 99m TcO4 ( Rf = 0,6 - 0,7 ) dan komplek 99m TcMIBI ( Rf= 0,8-1 ).[5] Setiap pengujian 99m TcMIBI dilakukan duplo dan sebagai kontrol Untuk dilakukan pengujian terhadap 99mTc. mendapatkan hasil yang akurat dan elusi dilakukan sampai jarak ± 10 cm dari permukaan pelarut. Kemudian, TLC-kromatogram tersebut diukur dengan Radiochromatography Scanner. Prosentase kemurnian radiokimia diperoleh dari perhitungan: % Kemurnian Radiokimia 99mTc-MIBI= Cacahan kompleks 99mTc - MIBI
x100%
Cacahan Total
Uji Biodistribusi Uji Biodistribusi dilakukan pada 3 ekor mencit dengan jumlah volume larutan 99m Tc-MIBI yang disuntikkan sebanyak ± 0,1– 0,2 ml ( maksimal 2 mCi ) melalui vena ekor. Setelah 3 jam penyuntikan, mencit tersebut dibius dan di scan dengan gamma kamera. Untuk biodistribusi diambil beberapa organ tubuh yang diperlukan yaitu jantung, hati, darah, paru, ginjal, karkas/tulang, asus dan lambung . Masing-masing organ tersebut ditimbang dan diukur menggunakan Gamma Counter, kemudian dihitung prosentase rasio 99m Tc-MIBI yang terakumulasi per gram organ di jantung terhadap hati dengan cara perhitungan sesuai data yang sudah terprogram pada komputer. Kriteria persyaratan yang harus dipenuhi jika hasil rasio akumulasi di jantung terhadap hati minimal 0,5 %. Uji Sterilitas Penentuan sterilitas kit MIBI dilakukan dengan menggunakan dua media cair yaitu FTG (Fluid-Thio-Glycolate) untuk mengetahui pertumbuhan bakteri dan TSB (Trypto-Soy-Broth) untuk mengetahui pertumbuhan jamur. Hasil sterilitas kit dinyatakan dengan adanya kekeruhan yang timbul setelah ± 14 hari penyimpanan dalam inkubator pada suhu 30-35 oC untuk FTG dan suhu 20-25 oC untuk TSB. Uji Pirogenitas Uji pirogenitas dilakukan menggunakan hewan kelinci. Sejumlah 1 ml larutan 99m Tc-MIBI disuntikkan pada masing-masing 3 ekor kelinci kemudian diamati ada atau tidaknya kenaikan suhu badan kelinci setelah ± 1 jam penyuntikan. Buku II hal 56
Apabila setiap 1 jam kenaikan suhu badan kelinci <0,6 °C dan total kenaikan suhu 3 kelinci <1,4 °C maka dinyatakan kit MIBI bebas pirogen. Uji Klinis Pengujian pada manusia dilakukan di beberapa rumah sakit menggunakan kit MIBI buatan PRR dan kit MIBI (Cardiolite) digunakan sebagai pembanding, pencitraan dilakukan dengan gamma kamera. Sejumlah 1 ml ( 10-20 mCi ) larutan 99m Tc -MIBI ( sesuai petunjuk dokter ) diinjeksikan melalui intravena setelah ± 1 jam kemudian di scan menggunakan gamma kamera. Uji Stabilitas Kit Kit kering MIBI disimpan dalam Refrigerator pada suhu 2-8 ◦C. Pengamatan stabilias dilakukan dengan pengujian kemurnian radiokimia kit setiap bulan. Apabila hasil menunjukkan kemurnian radiokimia 99m Tc- MIBI < 95% maka kit MIBI dinyatakan kedaluwarsa. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pecampuran larutan 99mTc-pertechnetat dengan kit MIBI di panaskan dalam penangas air selama ± 12 menit agar terjadi proses reaksi. Kit MIBI [Cu (MIBI)4 BF4 ] mengandung Cu, harus dapat digantikan oleh radionuklida 99mTc. Pada saat kondisi panas suhu (100 oC ) dan pH 5 – 6 terjadi reaksi pertukaran ligan Cu dari kit MIBI dengan radio nuklida 99mTc dari 99mTc-sodium pertechnetat dan dihasilkan kompleks 99mTc-MIBI. Struktur kimianya ditunjukkan pada gambar.1.
Gambar.1 Struktur kimia kompleks
99m
Tc-MIBI.
Gambar 2. dibawah ini menunjukkan bahwa pemeriksaan radionuklida 99mTc dari larutan sodium pertechnetat menggunakan kromatogafi kertas lapis tipis dengan fase diam kertas Whatman I dan fase gerak Etanol diperoleh kromatogram satu puncak dengan retention factor ( Rf= 0,0 – 1,0 ), Hal ini disimpulkan bahwa bahan baku radionuklida 99mTc murni dalam bentuk larutan 99m Tc – sodium pertechnetat.
ISSN 1410 – 8178
A Roselliana, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kemurnian Radiokimia 99mTc
BIODISTRIBUSI PADA MENCIT
15
cacahan
15000 10000 5000 0 -5000 0
-5
5
10
15
Per gram organ
20000
10 5 0
Jarak Migrasi
Gambar 2.Pola Kromatogram radionuklida 99mTc
2500000
Organ mencit
Gambar 4. Biodistribusi pada hewan mencit
99mTc-MIBI
2000000
Cacahan
1500000 1000000 500000 0 -4
-2 0 -500000
2
4
6
8
10
12
Gambar.3
Pola Kromatogram kompleks 99m Tc-MIBI. Pada gambar 3. hasil penentuan kemurnian radiokimia dengan menggunakan kromatografi TLC-Alumina sebagai fasa diam dan larutan etanol sebagai fasa gerak menunjukkan bahwa kompleks 99m Tc-MIBI diketahui dari radiokromatogram terdapat satu puncak dengan Rf sekitar 0,7-1,0. Pada gambar tersebut juga tidak terlihat adanya puncak lain sebagai pengotor TcO2 (Rf=0,0) ataupun 99mTcO4 bebas (Rf=0,5-0,6). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kit MIBI mempunyai kemurnian yang tinggi. Ketentuan syarat QC, % Kemurnian Radiokimia kompleks 99m Tc-MIBI adalah harus lebih besar dari 90 %, maka kit MIBI yang dihasilkan memenuhi syarat. Data hasil uji biodistribusi (gambar 4.) dilakukan pada hewan mencit setelah ± 3 jam penyuntikan menunjukkan bahwa prosentase akumulasi 99m Tc-MIBI tertinggi di jantung ratarata sebesar 11,95 % dan di Hati = 3,20 % . Rasio akumulasi 99m Tc-MIBI di jantung terhadap hati rata-rata 3,72 %. Ketentuan syarat QC yang harus dipenuhi > 0,5 % , maka kit MIBI yang dihasilkan memenuhi syarat. Pencitraan pada mencit dengan gamma kamera terlihat sangat jelas adanya akumulasi 99m Tc-MIBI pada organ jantung setelah 3 jam penyuntikan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.
A Roselliana, dkk.
Gambar 5. Pencitraan pada hewan mencit. Hasil pengujian sterilitas tidak menunjukkan adanya pertumbuhan mikroba (bakteri maupun jamur) selama 5 hari pengamatan (kondisi larutan tetap jernih), demikian juga hasil pengujian pirogenitas tidak menunjukkan adanya kenaikan suhu badan kelinci selama ± 1 jam pengamatan. Data menunjukkan bahwa kenaikan suhu badan tiap kelinci < 0,6 oC dan total kenaikan suhu badan 3 kelinci <1,4 oC. Hal ini menunjukkan bahwa kit MIBI dalam kondisi steril dan bebas pirogen sehingga kit tersebut dapat digunakan untuk uji klinik dirumah sakit. Data lengkap ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Data Kenaikan suhu badan hewan kelinci selama ± 1 jam. Kelinci (No.) 1 2 3
Kontrol 39,3 39,6 38,8
Suhu Badan Kelinci (°C ) ke 1 ke 2 ke 3 Total Kenaikan Suhu (±1 jam) 39,4 39,4 39,4 0,1 39,6 39,6 39,6 0 38,9 39,0 39,0 0,2
Uji klinis dilakukan terhadap beberapa orang di beberapa rumah sakit seperti RSHK, RSKD, dan RSHS. Dari hasil pencitraan gama kamera salah satu rumah sakit, menunjukkan pencitraan jantung yang yang sangat jelas dan kontras seperti ditunjukkan pada gambar 6 dan 7.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 57
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 6. Pencitraan menggunakan Kit MIBI (PRR -BATAN)
Gambar 7. Pencitraan menggunakan Kit MIBI (Cardiolite)
Tabel 2. Pengaruh waktu penyimpanan kit kering MIBI terhadap tingkat kemurnian radiokimia 99mTc – MIBI. Hasil Pengukuran %KR 99mTc-MIBI
Waktu Penyimpanan (Bulan) 4 5 6 7
1
2
3
99,45
-
99,49
Penentuan stabilitas kit MIBI dilakukan dengan menggunakan parameter kemurnian radiokimia dan penampilan/visual kit, menunjukkan hasil dengan prosentase kemurnian radiokimia hingga 10 bulan setelah pembuatan yaitu 99,93% dan kondisi larutan kit tetap jernih. Data lengkap ditunjukkan pada tabel 2. KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan proses pembuatan kit kering MIBI menunujukkan hasil sangat baik, yang didasarkan pada hasil pengujian kualitas seperti steril dan bebas pirogen, kemurnian radiokimia rata-rata diatas 95 %, biodistribusi hewan mencit yang terakumulasi di jantung rata-rata = 11,95 % , hasil rasio akumulasi 99m Tc-MIBI di jantung terhadap hati 3,72 % dan pencitraan dengan gamma kamera sangat jelas serta hasil uji klinis menunjukkan pencitraan yang sangat jelas dan kontras sama dengan kit MIBI produk lain (Cardiolite). Kestabilan kit MIBI yang dikeringkan mampu bertahan lebih dari sepuluh bulan karena menunjukkan hasil kemurnian radiokomia sebesar 99 % atau masih > 95 % (syarat QC). Kit MIBI yang di buat di PRR sama baiknya dengan buatan dari luar , sehingga dapat menggantikan produk luar di pasaran.
Buku II hal 58
-
-
-
-
8
9
10
99,72
99,81
99,93
DAFTAR PUSTAKA 1. WIDYASTUTI W et al, Jurnal Radioisotop dan Radiofarmaka Vol.2, No.12, Juli 1999, 1-18. 2. ANONIM, PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK, Edisi 2006. 3. ANONIM, PETUNJUK OPERASIONAL PENERAPAN CPOB, Edisi 2006. 4. ANONIMOUS, IAEA-TECDOC-805, ”Production of 99m Tc-radiopharmaceuticals for Brain, Heart and Kidney Imaging, IAEA, Juli 1995. 5. ANONIMOUS, TECHNICAL REPORTS SERIES No. 466, ”Technetium-99m Radiopharmaceuticals: Manufacture of Kits, 126-129, Th 2008.
TANYA JAWAB Sri Sukmajaya Apakah Fungsi L-cystein sebagai komponen MIBI ? Bagaimana reaksinya didalam sintesa MIBI? Anna Roselliana Fungsi L-Cystein sebagai komponen kit MIBI : yaitu merupakan salah satu zat utama (aktif) untuk proses pembuatan kit MIBI agar terbentuk senyawa/ligan MIBI dan fungsi nya
ISSN 1410 – 8178
A Roselliana, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
adalah sebagai Co-ligan atau transcelator untuk mengikat 99mTc membentuk 99mTcColiganyang nantinya akan disubstitusi oleh MIBI membentuk kompleks 99mTc-MIBI. Reaksi nya : Sn + 99mTc (VII) ----99mTc (IV) Sn 99mTc Sn + L- Cystein -----Cystein
99mTc -
99mTc systein akan digantikan oleh MIBi pada pemanasan suhu 100 C Suyanti Pada uji stabil KIT MIBI seperti terlihat pada hasil bahwa semakin lama waktu penyimpanan %KR 99mTc-MIBI semakin besar, fenomena apa yang terjadi dengan hal tersebut? Bagaimana expired (kadaluarsa) yang di tuliskan di dalam kemasannya bila fenomena KIT MIBI, semakin lama penyimpanan kemurnian KIT MIBInya semakin besar? Anna Roselliana Uji stabilitas kit MIBI menunjukkan bahwa semakin lama disimpan hasil % kemurnian radiokimia makin tinggi: menurut ketetapan QC batas toleransi 2 %, Jika selisih hasil % kemurnian radiokimia nya <2% maka hasil tersebut masih dianggap sama. Tidak ada fenomena.
A Roselliana, dkk.
Untuk menetapkan Expired Date kit MIBI (PRR): yaitu berdasarkan pengamatan dari QC apabila hasil % kemurnian radiokimia < 90 % dan terjadi kekeruhan pada larutan kit MIBI maka kit MIBI dinyatakan sudah kedaluarsa. Pada kemasan kit MIBI (PRR) ditulis masa ED nya 10 bulan karena sampai 10 bulan hasil % kemurnian radiokimia masih 99 % (>90%) dan kondisi larutan tetap jernih. Sri Rinanti S Pada pelarutan SnCl2 dengan menggunakan N2 agar tidak terjadi oksidasi apa akibatnya seandainya masih ada O2 dan SnCl2 teroksidasi? Jenis pengujian apa yang dapat mengidentifikasi bahwa SnCl2 teroksidasi/tidak? Anna Roselliana Pada penambahan Sn Cl2 kedalam larutan selalu digunakan gas N2 : tujuannya untuk mengusir/menghindari adanya O2 dalam larutan. Jika masih terdapat O2 dan Sn Cl2 teroksidasi maka Sn tersebut tidak dapat mereduksi 99mTc dari valensi VII menjadi valensi V atau IV, menyebabkan kit MIBI tidak terlabel oleh 99m Tc, karena 99mTc dapat berikatan dengan MIBI pada valensi IV. Jenis pengujian identifikasi SnCl2 teroksidasi : yaitu dengan cara penentuan kadar Sn dengan cara titrasi redoks.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 59
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
IDENTIFIKASI GROSS β DAN PENGUKURAN PARAMETER AIR DI PERAIRAN WONOSARI, GUNUNG KIDUL Tri Rusmanto, Mulyono, Bambang Irianto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected] ABSTRAK IDENTIFIKASI GROSS β DAN PENGUKURAN PARAMETER AIR DI PERAIRAN WONOSARI, GUNUNG KIDUL. Kualitas air diperairan Wonosari yang dikonsumsi penduduk tentunya harus dipantau agar tetap aman dan bersih dari pencemaran.Telah dilakukan identifikasi dan analisis parameter air yaitu pH, suhu, bau, warna, padatan terlarut (ss), kesadahan, kekeruhan, BOD, COD, bakteri E. Coli dan gross β di perairan Wonosari. Sampling dilaksanakan pada bulan maret dan Juli 2009 di 6 lokasi yaitu : Sumur bor Argobinangun, Tawarsari, Siono, Gelung , air sungai Pancuran, dan Winong. Hasil pengukuran parameter air dan besarnya radioaktivitas beta di perairan Wonosari yang khusus dikosumsi masyarakat ( air sumur bor ) berturut-turut yang terbesar adalah :ph = 8, bau = tak berbau, warna = tak berwarna, suhu = 30 oC, kesadahan = 323,20 mg/lt, kekeruhan = 1 mg/lt, padatan terlarut (SS)= 258 mg/lt, COD = 12 mg/lt, BOD = 2,8 mg/lt, E.Coli = 240 npm, gross-β = 0,17 + 0,09 Bq/lt (sumur bor), 0,21 + 0,09 ( air sungai).Semua parameter tersebut masih di bawah kadar maksimum menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No/214/KPTS/1991 dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002. Kata kunci: Wonosari, Parameter air, Spektrometer-β, Lingkungan.
ABSTRACT IDENTIFIKATION OF GROSS-β AND PARAMETERS MEASUREMENT OF WATER PARAMETERS TAKEN FROM WONOSARI WATER SUPPLY, GUNUNG KIDUL.. Water quality taken from Wonosariwater supply, Gunung Kidul consumed by the people should be monitored in order to be known the level of contaminants. The identifikation and parameter analisys has been, was pH, thermometer, smell,colour, suspended solid, alkalinity, muddiness, BOD, COD, Eserchia Colli and gross betta from Wonosari water supply. Sampling were caried aut at March 2009 and Yuly 2009, at bared wells or Argobinangun, Tawarsari, Siono, Gelung, Pancuran water river and Winong. The result show parameter and radioactivity-betta in the water samples were 0 pH : 8, smell : non smell, colour : non colour, themometer : 30 C, alkalinity : 323,20 mg/lt, muddiness : 1 ntu, suspended solid ; 258 mg/lt, COD : 12 mg/lt, BOD : 2,8 mg/lt, Eserchia colli : 240 npm/100 ml and gross-β : 0,17 + 0,09 Bq/lt (artesian well) and 0,21 + 0,09 ( river water ). All parameter were lower than maximum permisible decided by Governor Decision of Yogyakarta Special Region No/214/Kpts/1991 and Decree of the Minister of Public Health of Republic of Indonesia Number 907/Menkes/SK/VII/2002. Keyword: Wonosari, Parameters, Spectrometry-β, Enviromental.
PENDAHULUAN
W
ilayah Gunung Kidul yang dapat dikatakan identik dengan kekeringan,yang letak
Buku II hal 60
geografisnya terdiri dari banyak pegunungan kapur, dan dibawahnya banyak dialiri sungai bawah tanah. Pada tahun 1987, bencana kekeringan diderita oleh sekitar 193.900 jiwa di
ISSN 1410 – 8178
Tri Rusmanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
tujuh kecamatan wilayah Kabupaten Gunung Kidul. Untuk memenuhi kebutuhan akan air, penduduk kawasan ini rela melakukan apa saja. Mereka mengkonsumsi air dari telaga-telaga yang ada sekalipun di telaga tersebut juga berlangsung aktifitas mandi, cuci, dan memandikan ternak. Juga sumber-sumber air lainnya seperti gua-gua yang terdapat aliran sungai bawah tanah (1). Kondisi kekeringan di Gunung Kidul terutama terjadi pada daerah di sebelah selatan hingga ke pantai selatan. Hal ini tidak sesuai dengan bagian bawah permukaan tanah yang terdapat beberapa buah aliran sungai bawah tanah. Jumlah sungai bawah tanah secara pasti belum diketahui, namun dibeberapa lokasi seperti Bribin, Seropan, Ngobaran dan Baron terdeteksi aliran sungai-sungai tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih , maka harus dilakukan monitoring /pemantauan terhadap sumber air (sumur bor, sungai) yang ada, Beberapa parameter air yang perlu diketahui sebagai syarat air bersih seperti parameter suhu, pH, warna, bau, kekeruhan, padatan terlarut (SS), kesadahan, BOD, COD, Bakteri E.Coli, dan grosβ. Kualitas air sungai pada musim kemarau dipengaruhi terutama oleh kualitas sumber air
(belik/luweng) yang mengalir ke sungai. Pada musim penghujan, kualitas air sungai dipengaruhi oleh selain kualitas sumber air juga oleh kualitas air hujan yang masuk kesungai, baik yang langsung maupun setelah melewati lahan pertanian/perkebunan, area industri atau pekarangan rumah tangga. yang akhirnya masuk ke sungai bawah tanah atau mata air bawah tanah.. Diperkirakan kualitas air sungai pada musim penghujan memiliki harga BOD, COD, bakteri E.colli yang lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Adapun tujuan penelitian ini antara lain agar dapat dipunyai data kualitas air diperairan sungai Wonosari dengan parameter suhu, pH, warna, bau, kesadahan, kekeruhan, padatan terlarut (SS), BOD, COD, E.Coli dan Gross betta. Data hasil pengukuran parameter air tersebut kemudian dibandingkan dengan baku mutu air menurut Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No/214/KPTS/1991 mengenai Baku Mutu Air Golongan B[2] dan Keputusan Menkes RI Nomor 907 Tahun 2002[3]. Diharapkan data uji kualitas air perairan Wonosari ini dapat dipakai sebagai salah satu pertimbangan oleh Pemerintah setempat atau pihak yang berwenang dalam pemanfaatan air bersih di daerah Wonosari.
Gambar 1. Peta Pengambilan Sampel di daerah perairan Wonosari.
TATA KERJA
dan Winong, aquades, larutan EDTA, Larutan CaCO3 , dll.
Bahan dan Alat
Alat :
Bahan : Sampel air diperairan Wonosari yaitu Sumur bor Hargobinangun, Tawarsari, Siono, Gelung dan air sungai Besule di daerah Pancuran
Peralatan gelas, pH meter, termometer, timbangan, alat cacah unit spektrometer –β , Titrimetri, gravimetri, alat COD, alat BOD dan NPM untuk menentukan E.Coli.
Tri Rusmanto, dkk
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 61
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Cara Kerja: Pengambilan sampel air di perairan Wonosari dilakukan di 4 lokasi sumur bor dan 2 lokasi Sungai , sebagaimana terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Lokasi dan Jumlah sampel pada musim hujan dan kemarau No 1 2 3 4
Musim Hujan Sumur Bor .Argobinangun 2 x 5 lt Sumur Bor Tawarsari 2 x 5 lt 2 x 5 lt Sungai Pancuran 2 x 5lt Sungai Winong LOKASI Sampling
5 Sumur Bor Siono 6. Sumur Bor Gelung
Musim Kemarau 2 x 5 lt 2 x 5 lt 2 x 5 lt 2 x 5lt
2 x 5 lt
2 x 5 lt
2 x 5 lt
2 x 5 lt
Metoda pengukuran ; • Pengukuran suhu, pH diukur pada saat pengambilan sampel, dimasing-masing lokasi. • Preparasi sampel untuk pengukuran gross-β dilakukan dengan mengacu Agus Taftazani (2000)[4] . Metode pengukuran parameter dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Parameter Fisik: • Penentuan warna , dengan metode Visual + Spektrofotometer • .Penentuan bau dengan metode organoleptik. • Penentuan suhu, dengan termometer. • Penentuan padatan tersuspensi dengan metode gravimetri. • Penentuan radioaktivitas gross- β dengan alat cacah gross β (detektor GM)[4] Parameter Kimia: • Penentuan kesadahan dengan metode titrimetri (EDTA) • Penentuan COD dengan metode titrimetri. • Penentuan keasaman (pH) dengan metode potensiometri (pH-meter). Parameter Biologi: • Penentuan bakteri E. Colli dengan metode MPN. • Penetuan BOD hari kelima, dengan metode titrimetri. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi pengambilan sampel lingkungan diperairan Wonosari dapat dilihat dalam Tabel 1 & 2. Sebagai contoh uji kualitas perairan di Wonosari, dilakukan pengambilan sampel dibeberapa sumur bor dan air sungai yang melintasi kota Wonosari dan sekitarnya Buku II hal 62
.Pengambilan contoh uji dilakukan sesuai dengan metoda sampling, bisa mewakili seluruh perairan di daerah Wonoari. Diantaranya yaitu : Sumur bor Hargobinangun, Tawarsari, Siono, dan Gelung , sedang sungai yang melintasi kota Wonosari adalah Sungai Besule Dan contoh ujinya diambil di daerah Pancuran dan daerah Winong. sebagai daerah Hulu dan Hilir. Karena didaerh antara Pancuran dan Winong banyak kegiatan yang dilakukan masyarakat sekitar misal Home Industri, peternakan, pengecetan dan lain-lain yang bisa menimbulkan dampak lingkungan atau pencemaran air. Pengambilan sampel dilakukan pada musim penghujan sekitar bulan Maret 2009 dan pada musim Kemarau bulan Agustus 2009. Masing-masimg sampel diambil sebanyak 2 x 5 lt sebagai contoh uji, kemudian dipreparasi untuk dianalisis sesuai parameter-parameternya. Hasil pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi diperairan Wonosari dapat dilihat pada Tabel 2. Data perbedaan suhu udara dengan air masih < 3oC.Terlihat data pengamatan suhu, pH, SS dan bau pada Tabel 2 baik pada musim kemarau maupun penghujan masih dibawah ambang batas baku mutu menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No/214/KPTS/1991 mengenai Baku Mutu (3) Air Golongan B, untuk air rumah tangga/bahan air PAM, berarti air sungai tersebut masih baik dari segi parameter suhu, pH, bau dan warna. Terlihat harga SS pada musim kemarau > musim penghujan, hal ini disebabkan telah terjadi kontaminasi/pengenceran dari air hujan (yang langsung maupun yang telah lewat lahan industripertanian-rumah tinggal).Dengan adanya pengenceran , maka akan memperkecil harga SS tersebut. Penentuan kesadahan dengan Titrimeteri. Yaitu larutan EDTA 0,01 M sebagai titran , dimana harga dari 1 liter EDTA 0,01 M sesuai dengan 1 mg kesadahan yang dinyatakan sebagai CaCO3. Perhitungan kesadahan : Konsentrasi Ca2+ sebagai mg CaCO3/ Lt = A x 1,0009 x 1000 x f B A : ml titran EDTA yang digunakan. B : ml Sampel ( sebelum diencerkan), 1,0009 : ekivalensi antara 1ml EDTA 0,01 M dan mg kesadahan sebagai CaCO3. F :faktor perbedaan kadar larutan EDTA menurut standarisasi dengan CaCO3 (f <1). Terlihat data pengamatan kesadahan pada Tabel 2 baik pada musim kemarau maupun penghujan masih dibawah ambang batas Bakumutu air yaitu dibawah 500 mg/lt,. Sehingga
ISSN 1410 – 8178
Tri Rusmanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
air sungai tersebut masih baik dari segi angka kesadahannya. Harga COD pada sumur bor perairan Wonosari rata-rata masih berada dibawah ambang batas baku mutu yaitu 10 mg/lt , kecuali sumur bor Tawarsari dan Siono pada musim penghujan angka COD sebesar 12 mg/lt, hal ini disebabkan karena ada pencemaran air oleh air hujan yang melewati ladang pertanian, tempat industri , tempat tinggal, peternakan dan lain-lain yang masuk kedalam badan tanah ( mata air ).Sedang pada musim kemarau angka COD berada dibawah ambang batas yang diperbolehkan. Untuk angka COD air sungai berada diatas ambang batas , tetapi hal ini tidak berpengaruh karena air sungai tidak
dikosumsi oleh penduduk dan hanya dipergunakan untuk mandi, pertanian maupun peternakan. Sehingga untuk sumur bor masih cukup aman digunakan untuk kosumsi, tetapi sebaiknya sebelum digunakan untuk air minum harus diolah (diproses) lebih dulu seperti disaring atau diendapkan. Harga BOD perairan Wonosari pada musim kemarau maupun musim penghujan semuanya masih dibawah batas maksimum yang diperbolehkan, yaitu sebesar 5 mg/L. Sehingga masih cukup aman dari pencemaran air oleh adanya bakteri yang terbawa media air yang masuk kedalam tanah.
Tabel 2.Hasil analisis parameter air perairan Wonosari musim kemarau dan penghujan. Parameter
Satuan
S.B Argobinangun
S.B Tawarsari
S.B Siono
Penghujan
.Kemarau
Penghujan
Kemarau
Penghujan
Kemarau
pH
-
7
8
7
7,5
7
8
Suhu
0C
32
29
30
28
30
29
Bau
-
Tak bau
Tak bau
Tak bau
Tak bau
Tak bau
Tak bau
Warna
TCU
Tak warna
Takwarna
Takwarna
Takwarna
Takwarna
Takwarna
Kesadahan
Mg/lt
290,88
223,74
323,20
269,28
296,94
184,14
Kekeruhan
NTU
<1
1
<1
<1
1
<1
SS
Mg/lt
1
256
1
249
1
258
BOD
Mg/lt
1,0
2,1
1,9
1,7
1,5
2,8
COD
Mg/lt
<8
<7
12
<7
12
<7
E. Coli
MPN/100ml
-
2
-
-
-
-
Parameter
Satuan
S.B Gelung
S.Pancuran
S.Winong
Penghujan
.Kemarau
Penghujan
Kemarau
Penghujan
Kemarau
pH
-
7
8
7
7,5
7
7,5
Suhu
0C
30
29
31
30
31
30
Bau
-
Tak bau
Tak bau
Berbau
Berbau
Berbau
Berbau
Warna
TCU
Takwarna
Takwarna
2
2
5
5
Kesadahan
Mg/lt
278,76
150,48
327,24
211,86
331,28
146,42
Kekeruhan
NTU
1
1
3
2
3
3
SS
Mg/lt
1
247
2
257
3
278
BOD
Mg/lt
0,9
2,6
2,5
4,0
1,9
3,8
COD
Mg/lt
<8
<7
20
12
12
8
E. Coli
MPN/100ml
240
240
Tdk
Tdk
Tdk
Tdk
dianalisa
dianalisa
dianalisa
dianalisa
Tri Rusmanto, dkk
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 63
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Aspek Bakteriologis Jumlah maksimum yang dianjurkan untuk parameter bakteriogis (Esherichia Coli) adalah sebesar 2100 MPN/100 ml, Disini terlihat jumlah E.coli pada musim penghujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan yang signifikan disemua titik sumur bor hampir sama, kecuali di sumur bor gelung jumlah E.Coli lebih besar ( 240 mpn/ 100 ml) hal ini disebabkan karena letak sumur bor berdekatan dengan sungai gelung yang digunakan untuk aktivitas penduduk, sehingga sangat mempengaruhi kondisi sumur bor.Tetapi walaupun demikian kandungan bakteri E. Coli masih dibawah ambang batas baku mutu kualita air , jadi dapat dikatakan aman dari E.Coli. Aspek Radioaktivitas Untuk analisis gross- β perlu dilakukan metoda analisis yaitu : 1. Uji kestabilan spektrofotometer Untuk mengetahui apakah alat cacah dalam kondisi optimum, maka perlu dilakukan kestabilannya. Metoda statistik yang digunakan adalah chi-square, dimana jika distribusi yang diamati berada dalam wilayah distribusi teoritis, maka alat spektrofotometer bekerja dengan baik. Nilai hitung hi-square didefinisikan sebagai berikut : − 1 I x 2 = ∑ xi − x 2 1
2.
At
=Laju peluruhan/aktivitas sumber radioisotope standar pada saat t detik (dps/Bq) cpm = Laju cacah dpm = Aktivitas atau laju luruh. Untuk menghitung aktivitas jenis gross-β dalam sampel dihitung dengan persamaan : Ak-β = Cnet = Ctot − Cbegr , εβxL εβxL dimana : Ak-β = aktiivitas gross-β Cnet = Laju cacah netto, Ctot = Laju cacah total, Cbgr = Laju cacah background , εβ = Efisinsi deteksi ( %), L = Volume atau berat sampel. Dari hasil analisis dan perhitungan aktivitas gross betha terhadap sampel air dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan gambar : Lokasi 1 : Sumur bor Argobinangun Lokasi 3 : Sumur bor Siono Lokasi 2 : Sumur bor Tawarsari. Lokasi 4 : Sumur bor Gelung.
2
Dimana : xi = hasil cacah ke i X = rerata hasil cacah Untuk tingkat kepercayaan sebesar 95 % harga x harus terletak antara 2 harga batas yang telah ditentukan oleh jumlah pengukuran (n). Efisiensi pencacahan gross-β . Efisiensi gross-β dihitung berdasarkan nisbah laju cacah (cps) dan laju luruh aktivitas (dps) sumber radioisotop standar. Radioisotop standar yang digunakan adalah Sr-90. Persamaan yang digunakan adalah : Cns tan dar atau %εβ = x100% Ats tan dar cpm efisiensi = x100% dpm dengan : %εβ = Persentasi efisiensi pencacahan gross β (% cps/dps) Cn = Laju cacah netto sumber radioisotop standar (cps)
Gambar 2 . Besarnya aktivitas gross-betta dalam sumur bor diperairan Wonosari. Data hasil pengukuran radioaktivitas gross β dalam Gambar 2. menunjukan bahwa aktivitas pada musim penghujan dan kemarau tidak ada perbedaan yang signifikan, dan masih aman dari paparan radiasi betta, karena besar radioaktivitas gros β disemua titik lokasi masih dibawah batas ambang Baku Mutu . Badan Air Golongan B batas yang diperbolehkan Gross - β = 1,00 Bq/L. Sedang besarnya radioaktivitas gross betta dalam air sungai diperairan Wonosari dapat dilihat dalam gambar 3.
Keterangan : Lokasi 1 : Air sungai Pancuran Lokasi 2 : Air Sungai Winong
Gambar 3. Besarnya aktivitas gross betta dalam air sungai diperairan Wonosari. Buku II hal 64
ISSN 1410 – 8178
Tri Rusmanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Data hasil pengukuran radioaktivitas gross β menunjukan bahwa perairan sungai Wonosari baik pada musim kemarau maupun musim penghujan tidak ada perbedaan yang signifikan, sehingga dapat dikatakan aman dari segi gross β, karena besar radioaktivitas gros β disemua titik lokasi masih dibawah batas ambang baku mutu air. Badan Air Golongan B batas yang diperbolehkan Gross β = 1,00 Bq/L. KESIMPULAN Berdasarkan hasil-hasil pengukuran dan perhitungan pada sampel air dalam perairan Wonosari, antara lain sebagai berikut: 1. Setelah di identifikasi kualitas air bersih diperairan Wonosari sesuai dengan parameter air yang ada, untuk memenuhi keutuhan air bersih di perairan Wonosari, terutama dari sumur bor yang ada yaitu sumur bor Hargobinangun, Tawarsari, Siono dan Gelung rata-rata masih baik untuk dikosumsi, kecuali di sumur bor Tawarsari dan Gelung dalam musim penghujan angka COD lebih besar sedikit dari baku mutu air yang diperbolehkan yaitu 12 mg/lt, sehingga bila digunakan sebagai air kosumsi maka perlu dilakukan pengolahan/diendapkan lebih dulu. 2. Sampel air sungai Besule yang melewati kota Wonosari, diambil di daerah Pancuran hingga Winong, karena daerah itu banyak dilakukan kegiatan home industri, seperti pabrik tahu, pengecetan kendaraan, peternakan , limbah domestik dan lain-lain. Untuk parameter air seperti angka COD, BOD dan lain-lain cukup tinggi, sehingga air tersebut digunakan untuk lahan peternakan dan pertanian saja. 3. Untuk sumur bor Gelung kandungan E.Coli paling besar, karena daerah tersebut letaknya dekat dengan air sungai Gelung yang sering digunakan untuk aktivitas oleh penduduk setempat. 4. Hasil perhitungan parameter air perairan Wonosari adalah ph maksimum = 8, , kesadahan = 323,20 mg/lt, kekeruhan = 1 NTU, padatan terlarut (SS)= 258 mg/lt, COD = 12 mg/lt, BOD = 2,8 mg/lt, E.Coli = 240 npm, gross-β = 0,17 + 0,09 Bq/lt (sumur bor), 0,21 + 0,09 ( air sungai).Semua parameter tersebut masih di bawah kadar maksimum menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No/214/KPTS/1991 dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002. Kadar maksimumnya yaitu pH= 6,5-8,5, SS = 500 mg/lt, kesadahan= 500 mg/lt, COD = 10 mg/lt, BOD= 5 mg/lt, E.Coli= 2400 npm/100 ml, gross betta = 1,00 Bq/lt. Tri Rusmanto, dkk
DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, 2000, Laporan Pemanfaatan Sungai Bawah Tanah di Daerah Karst, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. 2. ANONIM, 1991, Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Prop DIY, Yogyakarta. 3. ANONIM, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. 4. AGUS TAFTAZANI, dkk, 2000, Pola Penyebaran Radioaktivitas α, β dan Kandungan Radionuklida dalam Cuplikan Kerang Hijau ( Mytilus Viridis L), Sedimen dan Air Laut di Pantai Cirebon dan Pantai Losari Jawa Barat, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM– BATAN, Yogyakarta.
TANYA JAWAB Nugroho Jika keamanan konsumsi air bersih mengacu pada keputusan menkes, kenapa yang diukur hanya air di perairan wonosari? Bagaimana dengan air sumur/kali yang ada disekitar PTAPB? Tri Rusmanto Pengukuran parameter air dilakukan di wonosari, karena ada kerjasama pihak BATAN dan Pemda wonosari dalam pemantauan air bersih Untuk air di sekitar PTAPB sudah dilakukan oleh Bidang K2 L Kwin P Baku mutu radioaktivitas air mengacu pada Kep Gub DIY dan Kep MenKes RI, kenapa tidak mengacu pula pada perka 02 BAPETEN tentang baku mutu radioaktivitas lingkungan? Tri Rusmanto Terimakaish masukannya, selanjutnya kami akan mengacu pada perka 02 BAPETEN tentang baku mutu radioaktivitas lingkungan Iswantoro Air dari sumur bor yang digunakan untuk konsumsi penduduk wonosari apakah sudah melalui water treatment sebelum masuk ke bak reservoir? Berapa Lt/dt debit air rata-rata yang diambil dari sumur bor oleh PDAM?
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 65
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Pada sungai Pancuran dan Winong kemungkinan besar bila terjadi pencemaran dari limbah apa? Apakah ada perbedaan hasil antara sampling pada bulan maret dan juli 2009? Jelaskan? Tri Rusmanto Air sumur bor yang digunakan untuk konsumsi penduduk, langsung diambil dari mata air/sungai bawah tanah dan diendapkan dalam reservoir/bak penampung. Karena air sumur bor rata-rata culup bersih dimana parameter yang ada masih dibawah baku mutu air menurut SK gubernur DIY tahun 1991 dan keputusan Menteri R.I no. 907 tahun 2002
Buku II hal 66
Debit rata-rata sumur bor di wonosari antara 25 s/d 40 Liter/detik Pada sungai pancuran dan winong kemungkinan terbesar pencemaran dari limbah pabrik tahu, pengecatan dan aktivitas manusia, sehingga logam-logam BOD, COD dan E. Coli cukup besar Pebedaan sampling pada bulan maret dan juli tentu berbeda karena bulan maret (musim penghujan) dan bulan juli(musim kemarau).Berdasarkan pengalaman pada musim penghujan angka COD, BOD dan E.Coli lebih besar disbanding musim kemarau
ISSN 1410 – 8178
Tri Rusmanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DOSIS RADIASI INTERNA PEKERJA RADIASI SECARA IN-VIVO Tri Bambang L, Sri Widayati, L.Kwin P Pusat Teknologi Limbah Radioaktif –BATAN, PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan, 15310 Email:
[email protected]
ABSTRAK PENGEMBANGAN SISTEM MONITORING DOSIS RADIASI INTERNA PEKERJA RADIASI SECARA IN-VIVO.Telah dilakukan pengembangan sistem monitoring dosis radiasi interna pekerja radiasi secara in-vivo berupa alat Whole Body Counter (WBC), Alat WBC sudah beroperasi sejak tahun 1990 dan sering mengalami masalah dalam pengoperasiannya.Pengembangan atau peremajaan alat ini akan sangat membantu kelancaran pemantauan dosis interna. Pengembangan sistem monitoring dosis radiasi interna secara in-vivo, dilakukan dengan cara mengupgrade software ABACOSdengan APEX-INVIVO, MCA NIM sistem diganti dengan MCA DSA-1000 ditambah genie-2000(S500U, S505U dan S534U serta motor controller). Hasil dari uji fungsi alat dan kalibrasi untuk effisiensi detector 25%, Resolusi 1,8Kev Co-60, Rentang energi 50 – 4000 Kev, MDA : 400 Bq (Co-60) t: 15 menit. Sedangkan untuk kalibrasi EnergiE : -0.138924 + 0.461622*ch – 1.30081e-07* ch^2, FWHM : 0.737255 Kev + 0.0305443*E ^1/2. Effisiensi : 0.00347282*E – 14.9924 + 10741.9/E – 4.3345e+06 / E^2 + 7.40917e+08 / E^3 – 4.30341e+10 / E^4. Dimana E adalah energy dalam keV. Kata kunci : Pengembangan, dosis interna, monitoring in-vivo, WBC, MCA
ABSTRACT DEVELOPMENT OF MONITORING SYSTEM INTERNAL RADIATION DOSE RADIATION WORKERS BY IN IN-VIVO. Monitoring system has been developed for internal radiation doses of radiation workers by in-vivo Whole Body Counter (WBC), WBC has been operating since 1990 and often have problems in the operation. Development or rejuvenation of this tool will greatly assist the smooth monitoring of internal dose. Development of internal radiation dose monitoring system in-vivo, carried out by software upgrade ABACOSS with APEX-vivo, the system is replaced with NIM MCA MCADSA-1000 plus Genie-2000 (S500U, S505U and S534U and motor controller). Results of test and calibration equipment functions for detector efficiency of 25%, Resolution 1.8 Kev Co-60, energy range 50-4000 Kev, MDA: 400 Bq (Co-60) t: 15 min. As for calibration of Energy E: -0.138924 + 0.461622 * ch - ch 1.30081e-07 * ^ 2, FWHM: Kev 0.737255 + 0.0305443 * e ^ 1 / 2. Efficiency: 0.00347282 * E - 14.9924 + 10741.9 / E - 4.3345e +06 / E ^ 2 + 7.40917e +08 / E ^ 3 4.30341e +10 / E ^ 4.WhereE is energy in keV. Keywords: Development, internal dose, in-vivo monitoring, WBC, MCA
PENDAHULUAN
K
egiatan di instalasi nuklir mempunyai potensi terjadinya paparan radiasi eksterna maupun kontaminasi radionuklida yang masuk kedalam tubuh pekerja (radiasi interna).Untuk menjaga Tri Bambang L, dkk.
keselamatan pekerja radiasi terhadap bahaya radiasi maka harus dilakukan pemantauan dosis radiasi yang diterima secara periodik[1]. Pemantauan dosis radiasi terhadap pekerja yang diperkirakan terkontaminasi radionuklida pemancar radiasi gama dilakukan secara in-vivo
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 67
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
yaitu mengukur langsung dengan alat Whole Body Counter (WBC). Satu-satunya alat WBC yang ada diKawasan Nuklir Serpong sudah berusia 20 tahun dan dalam pengoperasiannya terkadang mengalami hambatan, jika alat WBC tersebut rusak maka tidak ada penggantinya, berarti pemantauan dosis interna dengan in-vivo tidak dapat dilakukan. Mengingat pentingnya fungsi alat tersebut maka perlu dilakukan pengembangan (peremajaan) alat WBC agar pemantauan dosis interna terhadap pekerja radiasi dapat berjalan dengan lancar dan optimal[2]. Selain tujuan diatas pemantauan dosis radiasi internal secara in-vivo dilakukan untuk mengetahui apakah dosis yang diterima masih dalam batas yang aman sesuai dengan Nilai Batas Dosis (NBD) yang diperbolehkan[1,2]. Pengembangan (peremajaan) yang dilakukan adalah dengan mengganti beberapa komponen atau sistem 2280 MODULYNX-TOIDC CONTROLLER lengkap dengan Genie 2000 yang dipersyaratkan untuk paket diatas meliputi : S500 adalah sebagai dasar spektroskopi MultiInput Software-Minimum versi 3.2, S501 yaitu software untuk analisis gamma versi 3.2, S505 untuk jaminan kualitas dan motor controller upgrade kit[3]. APEX-S734 COUNTER IN-VIVO WORKSTATION, untuk menjalankan in-vivo counter diperlukan PC, Core 2 Duo E7500 atau spesifikasi yang telah ditentukan. DIGITAL SPECTRUM ANALYZER, Desktop MultiChannel Analyzer (MCA) : DSP based pulse processing, 16.000 chanenel spectral memory, multi range high voltage power supply, digital stabilizer, PHA and MCS modes, lengkap dengan DSA-1000 LAMP DRIVER UPDATE KIT [4,5,6]. TATA KERJA Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang dibutuhkan dalam kegiatan ini adalah Software APEX-In-vivo dan perangkat komputernya (PC), MCA DSA-100 LAMP DRIVER UPDATE KIT, Genie-2000 untuk S500U, S505U dan S534U, Motor controller upgrade kit (2280 MODULYNX-TO-IDC CONTROLLER), Mix gamma calibration source, QA calibration source dan phantom. Peralatan penunjang : AC 1PK, UPS 4000VA 48Volt, Stavol, Toolkit. Cara Kerja Pengembangan sistem monitoring dosis radiasi interna pekerja radiasi secara in-vivo WBC dengan cara mengupgrade, adapun pelaksanaan kegiatan tersebut meliputi :
Buku II hal 68
Persiapan • Pengumpulan data atau informasi mengenahi pengembangan/peremajaan yang didasari dengan studi literature. • Penentuan komponen-komponen fisik sistem monitoring dan pengadaannya. • Instalasi system, Uji fungsi sistem • Pengoperasian sistem dan pengambilan data • Evaluasi data dan pelaporan Perbaikan Sistem Canberra AccuScan WBC terdiri dari: MODULYNX-TO-IDC CONTROLLER Lengkap dengan Genie 2000 yang diprasyaratkan untuk paket di atas meliputi : S500 - Dasar Spektroskopi Multi-Input Software - Minimum Versi 3.2. S501 - Gamma Software-Minimum Analisis 3.2. S505 - Versi Jaminan Kualitas Perangkat Lunak-Minimum 1.3. Motor Controller Upgrade Kit Fitur Genie 2000 : Terpadu akuisisi data dan analisis Independen dukungan untuk masukan lebih dari 250 detektor Jaringan MCA didistribusikan untuk operasi dan Manajemen data yang terpusat Komprehensif dan kemampuan pengguna Pemrograman yang fleksibel Berbagai pilihan perangkat lunak tersedia untuk aplikasi Khusus spektroskopi Kompatibel dengan Windows XP Professional, SP2. APEX-S734 COUNTER IN-VIVO WORKSTATION Untuk menjalankan in vivo counter : PC, Core 2 Duo E7500. 2 GB RAM atau direkomendasikan lebih tinggi 320 GB HDD SATA CD-ROM (atau CD-kompatibel) drive, USB. Windows XP Pro atau, Windows Vista. DVD±RW, VGA Inyel GMA 4500 256MB (shared) Monitor LCD 18.5” . Printer HP Laser Jet 1050 (setara) DIGITAL SPECTRUM ANALYZER Desktop Multi-Channel Analyzer (MCA) 16,000 channel spectral memory Multi-range high voltage power supply Digital stabilizer USB and RS-232 serial interface PHA and MCS modes
ISSN 1410 – 8178
Tri Bambang L, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dari hasil kegiatan yang dilakukan dengan melalui beberapa tahapan untuk pengembangan sistem monitoring dosis radiasi interna secara invivo di KNS ditunjukan seperti pada Gambar 1. sebagai berikut.
Energy (keV)
HASIL DAN PEMBAHASAN
5 4 3 2 1 0
Y-Energy (keV) Linear (YEnergy (keV))
0
500
1000
1500
2000
Chanel FWHM
Gambar 3, Kurva kalibrasi FWHM 7.00E-04 6.00E-04
Efficiency %
5.00E-04 4.00E-04 3.00E-04
Y-Efficiency %
2.00E-04 1.00E-04 0.00E+00
Gambar 1. Alat Whole Body Counter
0
Uji fungsi alat dilakukan dengan dua tahapan yaitu uji fungsi secara parsial dan uji fungsi sistem. Uji fungsi secara parsial dilakukan pada masing-masing komponen secara terpisah/perbagian dan dilakukan sebelum uji fungsi sistem. Bagian-bagian tersebut adalah: 2280 Modulynx-to-IDC Controller, Apex-S734 Counter In-Vivo Workstation, Digital Spectrum Analyzer, Sedangkan Uji fungsi Sistem dilakukan secara satu kesatuan/keseluruhan pada sistem monitoring yang telah dikembangkan. Sinar gamma yang dipancarkan dari dalam tubuh diterima dan diukur oleh detektor. Respon detektor terhadap radiasi gamma yang diterima perlu dikalibrasi terlebih dahulu agar analisis jenis dan jumlah radiasi terdeteksi dapat dilakukan dengan mencacah sumber standar gamma dalam phantom, dalam hal ini phantom sebagai pengganti manusia. Kalibrasi dilakukan terhadap energi, FWHM dan Efisiensi dengan sumber standar Eu152, Assay Date 9 Februari 1998, Activity 574 kBq. Gambar 2, menunjukkan kurva kalibrasi energi, sedangkan kalibrasi FWHM dan kalibrasi Effisiensi ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Y-Energy (keV) Energy (keV)
2000
y = 0.482x - 52.42 R² = 0.995
1500
Y-Energy (keV)
Linear (YEnergy (keV))
1000 500 0 0
1000
2000
3000
Chanel
Gambar 2, Kurva kalibrasi energi Tri Bambang L, dkk.
4000
500
1000
1500
Energy (keV)
Gambar 4, Kurva kalibrasi Efisiensi Hasil Uji fungsi dan kalibrasi diperoleh untuk effisiensi detektor 25%, Resolusi 1,8 Kev Co-60, Rentang energi 50 – 4000 Kev, MDA : 400 Bq (Co-60) waktu t: 15 menit. Sedangkan untuk kalibrasi Energi E : -0.138924 + 0.461622*ch – 1.30081e-07* ch^2, FWHM : 0.737255 Kev + 0.0305443*E ^1/2. Effisiensi : 0.00347282*E – 14.9924 + 10741.9/E – 4.3345e+06 / E^2 + 7.40917e+08 / E^3 – 4.30341e+10 / E^4, dimana E adalah energi. Berdasarkan hasil uji fungsi alat ini menunjukan dalam kondisi baik karena diperoleh nilai-nilai yang masih dalam batas toleransi , dan dapat digunakan untuk pemantauan rutin dosis pekerja radiasi secara in-vivo di KNS. Prinsip kerja alat WBC pada dasarnya sama dengan sistem spektrometri gamma. Alat ini dilengkapi dengan detektor Germanium kemurnian tinggi (HP Ge) sehingga diperlukan nitrogen cair sebagai media pendingin. Perangkat seperti Amplifier, HV, power Supply, dan referensi pulser diganti dengan DSA 1000. Software yang digunakan adalah APEX-INVIVO dilengkapi dengan Genie 2000 ( S500, S501, S505, Motor Controller upgrade kit). Spektrometri adalah cara pengukuran dan identifikasi zat-zat radioaktif dengan jalan mengamati spectrum karakteristik yang ditimbulkan oleh foton gama yang dipancarkan oleh zat-zat radioaktif tersebut dengan materi detector. Gejala radioaktifitas tak dapat langsung diamati dengan panca indra manusia. Untuk mengukur radioaktifitas diperlukan detektor dan sistem yang dapat berinteraksi secara cukup efisien dengan sinar radioaktif yang dipantau.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 69
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Peralatan ini nantinya dapat dioperasikan sehingga kebutuhan pemantauan rutin dosis radiasi interna perseorangan terpenuhi yang sesuai dengan PP No. 63 Tahun 2000. KESIMPULAN Pengembangan sistem monitoring dosis radiasi interna pekerja secara in-vivo di Kawasan Nuklir Serpong telah selesai dilakukan setelah melalui beberapa tahapan dan komosioning. Dari hasil uji fungsi dan kalibrasi alat WBC, dapat disimpulkan bahwa alat/sistem yang telah dilakukan pengembangan/peremajaan dapat berfungsi dengan baik seperti yang diharapkan. DAFTAR PUSTAKA 1. User’s Manual Apex- InVivo, Productivity Software 1.0 7065586. CANBERRA. 2009 2. Genie 2000 3.2 Operations manual Spectroscopy Software. CANBERRA. 2009 3. Genie 2000 3.2 Customization Tools Manual. CANBARRA. 2009 4. Genie 2000 3.2 Tutorials Manual. CANBERRA. 2009 5. Genie 2000 3.2 Read Me First. CANBERRA. 2009 6. Genie 2000 3.2 Geometry Composer Manual. CANBERRA. 2009
Buku II hal 70
TANYA JAWAB Rosidi Sistem monitoring WBC setahu saya bekerja secara otomatis. Bagaimana teknis penggantian dengan software Genie? Tri Bambang L Teknis penggantiannya, software yang lama ABACOS masih berbentuk DOS, sedangkan untuk software yang baru yaitu APEXINVIVO sudah berbentuk windows. Jadi secara teknis tidak ada masalah, tinggal mengganti software yang baru dan perangkatnya. ABACOSS -- APEX INVIVO MCANM – MCA-DSA 1000 Ditambah dengan Genie 2000(S500u, S505u and S534u dan motor controller) Suliyanto Sistem monitoring dosis radiasi interna ini setelah dilakukan pengembangan dikatakan menjadi lebih baik, jelaskan alasannya? Tri Bambang L Karena sistem tersebut sudah dilakukan uji fungsi dan kalibrasi (Energi, effisiensi), selanjutnya diterapkan pada sumber standart atau sampel untuk melihat hasil cacahannya apakah setelah dilakukan konveksi effisiensi hasil pengukuran (aktivitas) memenuhi standart (<20%)
ISSN 1410 – 8178
Tri Bambang L, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
RANCANG BANGUN PERANGKAT PREPARATOR SKALA LABORATORIUM PADA UNIT PENGOLAHAN KIMIA LIMBAH RADIOAKTIF CAIR Endro Kismolo, Sukosrono, Nurimaniwathy Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK RANCANG BANGUN PERANGKAT PREPARATOR SKALA LABORATORIUM PADA UNIT PENGOLAHAN KIMIA LIMBAH RADIOAKTIF CAIR. Telah dilakukan rancang bangun perangkat preparator pada unit pengolahan limbah radioaktif cair. Kegiatan ini bertujuan untuk menyiapkan data rancang bangun perangkat preparator pada penyempurnaan unit pengolahan kimia limbah radioaktif cair. Dari kegiatan diperoleh bentuk model teknis preparator sesuai kebutuhan teknis pada fasilitas pengolahan kimia untuk reduksi limbah radioaktif cair untuk debit aliran 100,0 ml/ menit, yaitu dengan dimensi tangki pengenap berbentuk silinder dengan diameter = 20,00 cm, tinggi tangki = 32,00 cm dan tinggi efektif = 31,00 cm. Untuk dimensi kolom filtrasi berbentuk silinder dengan diameter kolom = 17 cm, tinggi kolom = 68,00 cm dan tinggi efektif = 60,00 cm. Kata kunci : Preparator Skala Laboratorium
ABSTRACT THE DESIGN CONSTRUCTION FOR LABORATORY SCALE OF PREPARATOR UTILITY ON CHEMICAL TREATMENT OF LIQUID RADIOACTIVE WASTE UNIT. The design construction for laboratory scale of preparator utility on chemical treatment of liquid radioactive waste has been done. The activity to prepare the data in the design construction of preparator utility for improving chemical treatment unit of radioactive waste. From the activity can be obtained a performance of technical preparator model was appropriate of technical needed on chemical treatment facility for reducing of liquid radioactive wastes for the flow rates are 100.0 ml/ minute, that are dimention of settled tank on diameter cylinder = 20.00 cm, tangk height = 32.00 cm and effective height = 31.00 cm. Column dimention for filtration wich here cylinder shepe with diameter column 17.00 cm, column height 68.00 cm and effective height = 60.00 cm. Keywords : Preparatory 0f Laboratory Scale
PENDAHULUAN
P
erangkat pengolahan kimia limbah radioaktif cair fase air pada umumnya meliputi tangki umpan, reaktor koagulasi, reaktor flokulasi dan unit filtrasi. Efisiensi pemisahan radionuklida yang diperoleh sangat ditentukan pada kondisi limbah (pH dan konsentrasi radionuklida) dan pemilihan bahan kimia pengolah (koagulan/flokulan) yang digunakan. Kualitas hasil pengolahan kimia ditentukan oleh karakteristik kadar radionuklida dalam beningan efluen yang Endro Kismolo, dkk.
diperoleh. Dari data pengoperasian perangkat pengolahan kimia limbah radioaktif cair fase air, secara kontinyu, efektivitas koagulan-flokulan cukup tinggi jika kondisi limbah umpan memiliki keseragaman kadar radionuklida, pH dan kadar zat padat terlarut (1,2). Sedangkan efisiensi pemakaian bahan koagulan-flokulan sangat ditentukan pada karakteristik umpan limbah yang diolah, sehingga penyempurnaan penanganan limbah umpan menjadi sangat penting, yaitu dengan melengkapi perangkat preparator.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 71
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TEORI Preparator dirancang sebagai perangkat proses pada perangkat pengolahan kimia limbah radioaktif cair untuk menindaklanjuti larutan limbah hasil pengaturan pH, karena limbah radioaktif cair fase air biasanya kondisinya sangat variatif baik pH, kadar radionuklida dan kadar zat padat terlarut di dalamnya. Perangkat preparator terdiri dari reaktor pengaturan pH dan unit filtrasi. Reaktor pengenapan berfungsi untuk mengendapkan limbah radioaktif cair fase air hasil pengatur pH, sehingga diperoleh limbah radioaktif cair yang memiliki pH dan kadar zat padat terlarut sesuai kondisi proses koagulasi-flokulasi yang akan dilakukan. Limbah radioaktif cair fase air hasil pengaturan pH yang diumpankan ke dalam reaktor pengenapan biasanya memiliki pH basa dan kadar radionuklida bervariasi. Sedangkan unit filtrasi digunakan untuk memisahkan endapan dan parikel kasar yang masih ada di dalam limbah over flow dari reaktor pengenapan (2,3). Pada perangkat pengolahan kimia yang telah ada saat ini, pengaturan pH dan penambahan bahan kimia koagulan-flokulan dijadikan satu pada reaktor koagulasi-flokulasi. Dari data yang ada, dengan metode ini mengakibatkan pengaturan dosis bahan koagulan-flokulan menjadi sulit karena endapan yang terjadi sangat kompleks. Pada pengaturan pH ke arah basa biasanya timbul endapan cukup banyak, pada penambahan flokulan-koagulan timbul endapan baru dan terjadi penggumpalan akibat terjadinya flok yang terkoagulasi akibat proses stabilisasi butir-butir flok. Proses ini menjadi sulit terkontrol karena endapan yang terjadi sangat kompleks, berikut adanya endapan terflotasi dan kadar zat padat terlarut yang cukup tinggi yang sulit dipisahkan, sehingga perlu dilakukan inovasi metode melalui penyediaan perangkat baru untuk preparasi umpan (4) . Melalui penyediaan perangkat proses preparasi, endapan yang timbul akibat pengaturan pH tidak lagi terjadi pada proses flokulasikoagulasi, karena melalui proses filtrasi akan diperoleh filtrat yang memiliki pH sesuai kondisi proses flokulasi-koagulasi. Dengan demikian efektivitas pemakaian bahan flokula-koagulan pada proses flokulasi-koagulasi menjadi lebih tinggi, karena selain tingkat selektivitas flokulankoagulan menjadi lebih tinggi, dan pemakaian bahan kimia flokulan-koagulan diduga akan dapat dihemat. Hal ini diduga karena beban reaksi yang ada sebagian sudah terjadi pada proses pengaturan pH, dan beban endapan telah direduksi pada perangkat preparator. Karena selektivitas flokulan-koagulan meningkat, maka efisiensi pemisahan radionuklida akan meningkat (5,6,8). Buku II hal 72
Reaktor pengenapan dirancang berbentuk silinder-dasar konis dilengkapi pengaduk tunggal berbentuk singgle blade (7,8). Sedangkan unit filtrasi dirancang menggunakan sistem penyaringan cepat menggunakan teknik vakum. Melalui kegiatan ini diduga mampu meningkatkan efisiensi pemisahan radionuklida pada pengolahan kimia limbah radioaktif cair, dan mampu menekan kebutuhan bahan kimia flokulan-koagulan. METODE RANCANG BANGUN 1. Bahan : a. Data Primer Merupakan data yang didapatkan dengan pengukuran atau observasi langsung di lapangan. Dalam rancang bangun ini, yang termasuk data primer yaitu meliputi kualitas dan karakteristik limbah, kuantitas limbah dan rencana pemanfaatan perangkat. b. Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian terdahulu atau hasil observasi pustaka. Dalam rancang bangun ini, yang termasuk data sekunder antara lain teori - teori yang berkaitan dengan pengolahan limbah radioaktif cair fase air dan nilai efisiensi reduksi radionuklida yang direncanakan. 2. Langkah dan Tahapan Kegiatan Rancang Bangun a. Tahap Persiapan Menginventarisasi hal-hal yang berkaitan dengan proses sedimentasi, filtrasi dengan melakukan studi pustaka maupun data tertulis lainnya yang kemudian dicantumkan dalam kajian teori sebagai landasan untuk penyusunan rancang bangun. b. Tahap Pelaksanaan 1. Menentukan rencana desain instalasi sesuai fungsinya. 2. Menyusun diagram alir kuantitatif dan kualitatif yang melukiskan langkahlangkah penting dalam proses preparasi. 3. Menyusun neraca massa seluruh sistem dan masing-masing unit pengolahan yang merupakan perbandingan jumlah massa masuk dan jumlah massa keluar yang menjelaskan kesetimbangan massa selama proses pengolahan berlangsung dalam satuan (g/menit). HASIL RANCANG BANGUN a. Spesifikasi bahan dan rencana kemampuan reduksi radionuklida dan endapan hasil reaksi
1. Reaktor pengenapan Reaktor pengenapan berfungsi untuk mengenapkan endapan yang berasal dari
ISSN 1410 – 8178
Endro Kismolo, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
limbah umpan. Tangki reaktor pengenapan dibuat dari bahan plat stainless steel 316 yang dilengkapi dengan pengaduk tunggal bebentuk singgle blade, kran limpahan out-put untuk memudahkan pengaturan debit aliran limbah cair, dan kran pengeluaran (drain) sisa proses pada dasar tangki. Berdasarkan kasus yang mungkin terjadi pada bak elektrokoagulasi, maka pada reaktor pengenapan direncanakan mampu membentuk endapan yang mengikat TSS diatas 85 % dalam bentuk endapan baru, kadar U terenapkan sekitar 70 % dan pH = 8,0. 2. Unit filtrasi Unit filtrasi berfungsi untuk memisahkan fraksi beningan filtrat dan partikel padat (endapan) dari proses pengaturan pH. Unit filtrasi dibuat berbentuk kolom terbuka dari bahan plat stainless steel 316 yang dilengkapi dengan sistem vakum. Bagian partikel padat/ endapan dipisahkan dengan kertas saring teknis yang diletakkan pada bidang konis berpori. Berdasarkan kasus yang mungkin terjadi pada unit filtrasi, maka pada unit filtrasi direncanakan mampu menurunkan nilai kadar zat padat terlarut (TSS = Total Solute Solvent) sebesar 97,0 %, kadar U 66,60 % dan pH = 8,0. b. Diagram Alir Kuantitatif Diagram alir kuantitatif kontaminan (bahan pencemar) dapat dilihat dari gambar sebagai berikut : 1
3
No Bahan
Filtrasi
2
4
TSS
350
300
50
1,5
48,5
U
0,50
0,35
0,15
0,05
0,10
pH
8,0
8,0
8,0
8,0
8,0
Bagan 1. Diagram Alir Kuantitatif. c. Diagram Alir Kualitatif Diagram alir kualitatif bahan pencemar dapat dilihat dari gambar sebagai berikut :
Reaktor pengenapan
1
1
28
28 Filtrasi
Bagan 2. Diagram Alir Kualitatif. Endro Kismolo, dkk.
1.
Tangki pengenapan :
Tabel. 1. Neraca bahan pada tangki pengadukan pengaturan pH Output Bahan H2 O TSS U pH Total
2.
Input 688,50 350 0,50 8,0 1039 g/menit
Akumulasi (endapan) 240,975 299,25 0,35 8,0 540,555 g/menit
Beningan over flow 447,525 50,75 0,15 8,0 498,445 g/menit
Kolom filtrasi :
Tabel. 2. Neraca Bahan pada tangki filtrasi Output Bahan
Input
H2 O TSS
Beningan filtrat
447,525 50,75
Akumulasi (fraksi tertahan) 22,377 49,227
425,148 1,522
U
0,15
0,099
0,051
pH
8,0 498,445
8,0 71,703
8,0 426,721
g/menit
g/menit
g/menit
5
1 2 3 4 5 (mg/jam) (mg/jam) (mg/jam) (mg/jam) (mg/jam)
28
Neraca Bahan dan Perhitungan Neraca Bahan Basis debit (Q) limbah : 1000 ml/ menit dan berat jenis limbah cair sebesar 1,039 g/cm3
Total
Reaktor
1
d.
e. Perhitungan Dimensi Alat (6) ; Tangki reaktor pengenapan Tangki reaktor pengenapan berfungsi untuk : - mengenapkan partikel kasar dalam bentuk endapan hasil perubahan pH limbah - sesuai dengan fungsinya, maka diambil H : D =1:1 Kriteria perancangan : a. Waktu tinggal (t) = 60 menit b. Densitas cairan = 1,039 g/cm3 c. Tangki berbentuk silinder dengan dasar konis 1. Perhitungan volume tangki : Flow rate limbah (Fv) = m / ρ =100g/menit/1.039 g/cm3 =96,246 cm3/menit Volume tangki (Vt) = Fv. T = 96,246 cm3 / menit x 60 menit = 5774,76 cm3
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 73
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
t= (
Asumsi volume cairan= 80 % Volume cairan = Vt x 80 % = 5.774,76 cm3 / 0,8 = 7.218,45 cm3 = 7,2 liter 2.
0,7100 x9,6 ) + 0,125 in 34,955.0,8 − 0,6.0,4733 = 0,124 in t = 0,3159 cm Tebal plat tangki diambil = 0,30 cm
Perhitungan dimensi tangki Diambil bentuk silinder dengan H : D = 1:1
Over flow
π 2 V= D H 4 π 3 V= D 4 3 D = (4V/ π )
Plat SS-316-0,3 cm
Drain
= (4 x 7.218,45 cm3) / = (28.873,8 cm3) /
3.
π ) 1/ 3
π ) 1/ 3
Diameter tangki (D)= 20,95 cm . Tinggi tangki (H) =Diameter tangki (D) = 20,95 cm Asumsi teknis tinggi tangki (H = 1,5 D) = 31,42 cm Tinggi tangki (H) diambil = 32,00 cm Koreksi teknis dalam bentuk konis diambil 10,0 cm Perhitungan tebal tangki Persamaan yang dipakai (Brownell & Young, 1959)
Gambar 1. Desain teknis tangki pengatur pH(ukuran dalam sentimeter) 4.
p.ri f .E − 0,6 p dengan : t = tebal dinding tangki minimum, in p= tekanan, psi E= efisiensi sambungan las F= tekanan maksimum yang diijinkan, psi C = korosi yang diijinkan, (in) Menghitung tekanan sistem : P = (P desain + P hidrostatis) – P udara P desain = 1 atm = P udara luar t =
Menghitung tekanan hidrostatis P hidrostatis= p . L = 1,04 g/cm3 x 32,00 cm = 33,28 g/cm2 = 33,28 g/cm2 / 70,301 psi/g.cm-2 = 0,4733 psi Bahan konstruksi tangki dipilih plat stainless steel AISI - 316 (530400), dengan f = 34,955 psi E = 0,8 (double welded joint) Maka :
Buku II hal 74
ISSN 1410 – 8178
Perhitungan asumsi dimensi tangki filtrasi Tangki filtrasi diambil bentuk silinder terbuka dengan menggunakan filter jenis kertas saring teknis. Karena hanya melayani aliran over flow dari tangki pengenapan, ukuran kolom filtrasi dihitung atas dasar kecepatan penyaringan, maka dapat diambil kondisi kecepatan penyaringan dan aliran over flow maksimum sesuai kebutuhan sebagai berikut (BLACKADDER, DKK): Kecepatan penyaringan = 10 – 25 gpm/ft2 Diambil = 20 gpm/ft2 Aliran over flow maks = 5,774 liter / jam = 1,525 gpm Sesuai dengan kondisi umpan awal ,dimana: Volume tangki (Vt) = Fv. T = 96,246 cm3 / menit x 60 menit Flow rate limbah (Fv) = 5.774,76 cm3 / jam = 5,774 liter / jam Tetapi
Luas penampang (A)=1,525gpm/20 gpm/ft2 = 0,0762 ft2 = 70,808 cm2
Endro Kismolo, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Diambil bentuk silinder, maka : Diameter (D)kolom filtrasi =
70,808cm
2
= 8,414 cm = 50 % = 8,414 cm2 / 0,5 = 16,828 cm Diameter (D) kolom filtrasi= 17,00 cm Tinggi kolom (H) filtrasi = 4 D = 4 x 17,00 cm = 68 cm Tinggi kolom (H) Efektif = 80 % x 68 cm = 60 cm Tebal plat kolom filtrasi minimum sama dengan tebal tangki pengenapan = 0,30 cm Untuk menahan tekanan minus, cross handled (NORMAN N.Li.Si.D) pada kolom filtrasi, berupa plat silang yang dipasang pada kolom bagian dalam. Diameter (D) asumsi
2. AUSTIN,G.T.,(1984), Shreve’s Chemical Process Industries, 5th Edition, McGrow Hill Book Company, New York. 3. SK DIRJEN BATAN No 11/Dj/1986 SK DIRJEN BATAN No 11/Dj/1986 Tentang Ketentuan Keselamatan untuk Pengelolaan Limbah Radioaktif, Badan Tenaga Atom nasional, Jakarta, (1986). 4. ENDRO KISMOLO, DKK, Inovasi Teknik Preparasi Limbah Uranium Cair Fase Air Umpan Proses Evaporasi Menggunakan Evaporator .Prosiding SeminarNasional P3N, PTAPB – Batan, (2006). 5. RONODIRDJO, S, Diktat Kuliah Pengolahan Sampah Radioaktif, Bagian Teknik Nuklir Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, (1982). 6. NURIMANIWATHY, DKK, Pengolahan Awal Limbah Uranium Cair Fase Air Untuk Umpan Proses Evaporasi, Prosiding SeminarNasional P3N, pTAPB – BATAN, (2008. 7. BLACKADDER, DKK, “ A Hand Book Of Unit Operation”, Academic Press, London And New York, 1981. 8. NORMAN N.Li.Si.D, “Recent Development In Separation Science”, Vol I, New Jersey, CRT – Press, 1979.
TANYA JAWAB
Gambar 2. Desain teknis kolom filtrasi (ukuran dalam sentimeter) KESIMPULAN Dari data perhitungan melalui asumsi karakteristik limbah, karakteristik proses dan kemampuan perangkat untuk setiap unit di atas, untuk debit aliran limbah sebesar 100,0 ml/ menit dapat diambil kesimpulan bahwa dimensi tangki pengenap berbentuk silinder dengan dasar konis dengan ukuran alat adalah diameter 20,0 cm; tinggi tangki 32,0 cm, dengan tinggi efektif 31,0 cm. Sedangkan dimensi kolom filtrasi berbentuk silinder dengan ukuran alat adalah diameter kolom 17, 0 cm; tinggi kolom 68,0 cm dengan tinggi kolom efektif 60,0 cm.
Suyanti Untuk menentukan jenis bahan untuk suatu reaktor harus diketahui sifat bahan yang direaksikan, dengan demikian dipilih laju korosi bahan tersebut dan jangka waktu / umur alat tersebut dikehendaki untuk berapa lama, baru bisa menentukan jenis bahan reaktor yang dibuat. Sementara bapak telah menentukan jenis bahan untuk reaktornya, bagaimana penjelasannya? Endro Kismolo Pada kegiatan ini diambil kondisi bahan yang telah diaplikasikan pada unit pengolahan limbah radioaktif (SS.316) dalam menentukan jenis bahan yang digunakan, karena ini untuk melengkapi perangkat yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA 1. Sugiharto, 1987, Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah, UI Press, Jakarta.
Endro Kismolo, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 75
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
LAMPIRAN Dudukan motor pengaduk Umpan masuk Multiplex 18 mm
Tangki pengatur pH Kolom filtrasi 68
Besi Siku 3/3
80
Gambar 3. Desain teknis model perletakan perangkat preparator unit pengolahan kimia limbah radioaktif cair (ukuran alat menyesuaikan kapasitas yang ada).
Buku II hal 76
ISSN 1410 – 8178
Endro Kismolo, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
EVA ALUASI TINGKAT T RADIASII DAN KO ONTAMIN NASI D INSTAL DI LASI RAD DIOMETAL LURGI TA AHUN 201 10 Suliyanto, Muradi, M End dang Sukesi I Pusat Teknoologi Bahan Bakar B Nuklir – BATAN, Kaw wasan PUSPIP PTEK Serponng,Tangerang E-mail:
[email protected] ABSTRAK EVALUASI E TINGKAT T RADIAS SI DAN NASI DI SI INSTALAS KONTAMIN R RADIOMETA ALURGI TA AHUN 2010 0. Evaluasi tingkat radiiasi dan ko ontaminasi di d I Instalasi Rad diometalurgi (IRM) tahun n 2010 telah h dilakukan. Evaluasi bertujuan untu uk tindakan prroteksi radiassi yang diperrlukan, agar personil dap m memberikan pat terlindung d dari bahaya radiologi. Metoda M yang g digunakan adalah mem mbandingkan n batas yang g d diizinkan de engan hasil pemantaua an daerah radiasi r dan kontaminassi IRM. Has sil p pemantauan n paparan radiasi di R-13 36, R-140 da an R-143 di bawah Nilaii Batas Dosiis ( (NBD) 25 µSv/jam. µ Pap paran radiassi di R-135 (FH), (F di atas NBD 25 µ µSv/jam tetap pi m masih di baw wah batas yang ya diizinkan n (< 150 µS Sv/jam) terha adap sumberr radiasi yang g d dikeluarkan dari hotcell. Untuk meng gurangi papa aran radiasi, maka dipasa ang sejumlah b balok Pb dan n membatassi waktu kerjja dengan su umber radiassi tersebut. R Radioaktivitas d udara R-135, R-136, R-140, di R di ba awah batas yang y diizinkan untuk zona a II yaitu < 20 3 B Bq/m (α) da an < 200 Bq//m3 (β). Rad dioaktivitas di d udara R-1 143, di bawah batas yang g 3 d diizinkan unttuk zona III yaitu ≤ 20 Bq/m B (α) dan ≤ 200 Bq//m3 (β). Rad dioaktivitas di d u udara R-135 5 relatif leb bih besar dibandingkan d ruangan la ain, tetapi h hasil analisiis m menggunaka an MCA yan ng ditemuka an hanya ra adionuklida dari d alam ya yang berumu ur p pendek. Rad dioaktivitas di permukaa an lantai R-135, R-136, R-140, di bawah batas 2 y yang diizinkkan untuk zona z II yaitu u < 0,37 Bq/cm B (α) dan < 3,7 Bq/cm2 (β)). R Radioaktivita as di permukkan lantai R-143, di bawa ah batas yan ng diizinkan u untuk zona III y yaitu 0,37-3,,7 Bq/cm2 (α α) dan 3,7-3 37 Bq/cm2 (β β). Kesimpu ulan dari eva aluasi, bahw wa t tingkat radiasi dan konta aminasi di IR RM tahun 201 10 di bawah batas yang diizinkan dan d dikendalikan n. K Kata kunci: evaluasi, rad diasi, permukaan, radioa aktivitas, udara. ABSTRACT T EVALUATIO E ON OF RA ADIATION AND CON NTAMINATIO ON LEVEL LS IN THE E R RADIOMETA ALLURGY INSTALLAT TION IN 20 010. Evalua ation of ra radiation and c contaminatio on levels in the Radiom metallurgy In nstallation (IIRM) in 201 10 has been c conducted. T evaluatio The on aims to provide p the necessary rad diation protection actions s, s that perso so onnel can be e protected from radiolog gical hazard ds. The meth hod used was t compare the to t limits allo owed by the results of monitoring m rad diation and ccontamination a areas IRM. Results R of mo onitoring of radiation r exp posure in the R-136, R-14 40 and R-143 u under Dosag ge Limit Vallue (NBD) 25 2 μSv/h. Ra adiation exposure in the e R-135 (FH H) a above NBD 25 μSv/h bu ut still below the t allowed limit l (<150 μSv/h) μ toward ds the source o radiation released fro of om hotcell. To T reduce ex xposure to ra adiation, the en mounted a n number of blocks Pb and d limit workin ng time with the radiation n source. Ra adioactivity in i a R-135, R--136, R-14, under air u the lim mit allowed fo or the zone II, ie < 20 Bq/ q/m3 (α) and < 2 Bq/m3 (β 200 β). Radioacttivity in air R-143, R under the limit allo owed for the zone III, ie ≤ 2 Bq/m3 (α)) and ≤ 200 20 0 Bq/m3 (β). Radioactivity y in air R-135 is relatively ly higher than o other rooms,, but the ana alysis using the t MCA whiich is found only o natural radionuclides f from the sho ort-lived. Ra adioactivity on o the surfac ce of the flo oor R-135, R R-136, R-140 u under the lim mit allowed for the zon ne II, ie <0.3 37 Bq/cm2 (α) ( and < 3..7Bq/cm2 (β)). R Radioactivity y on the surfa face of the flo oor R-143, under u the limiit allowed forr the zone III, i 0.37 to 3.7 Bq/cm2 (α)) and 3.7 to 37 Bq/cm2 (β). ie ( The con nclusion of th he evaluation n, t that the leve el of radiatio on and conta amination in the IRM in 2010 underr the allowed l limits and co ontrolled. air, contamiination, evalu K Keywords: uation, radiattion, surface..
Suliyantto, dkk
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 77
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
PENDA AHULUAN
I
nstalaasi Radiomettalurgi (IRM)) didesain unntuk dan melakksanakan p program p pengujian pengem mbangan uji Post P Irradiatiion Examinattion (PIE), proses penngujian dilakkukan di dalam hotcell. Hotcell meerupakan suaatu fasilitas yang y didesainn untuk peenanganan bahan b radioaaktif aktivitaas tinggi dengan sistem jaraak jauh (remoote), sehinggga tidak ada kontak k langsunng dengan baahan uji. Penngamanan suumber radiasii di luar hottcell dilaksannakan dalam Glovebox (GB), ( Fumehood (FH) dan d lemari beesi berperisaii radiasi. Dessain ruangann kerja IRM dan d fasilitas untuk u pemroseesan zat raddioaktif (hotceell, GB dan FH), dilengkkapi dengan sistem ventillasi bertekanaan negatif. Unntuk menceggah kontaminaasi pada saat pemindahan zat radioakktif, maka dilakukan pembungkuusan mengguunakan plastikk khusus. Paada GB biasaanya terdapat suatu lobbang (tranfe fer port) yang y menyeddiakan plastikk pembungkuus zat radioakktif, jika dippindahkan[1]. Evaluasi beertujuan untuuk memberiikan tindakann proteksi raadiasi yang diperlukan, agar a personil dapat terlinndung dari bahaya b radioloogi. Pemanttauan atau peengukuran unntuk pengawaasan tingkat radiasi dan kontaminasi dilakukan pada p Zona-III, terutama ruaang 135/R-135, R-136 dann R140, seerta zona-III yaitu R-143. Tingkat raddiasi dan konntaminasi padda ruangan teersebut diketaahui dari hassil pemantauaan yang dilakuukan semingggu 1 kali. Pemantauan paparan p radiasi menggunaakan surveym meter padda ruang kerjja yang terdaapat sumber radiasi, serrta permukaaan luar dindding hotcell, GB dan FH H. Apabila terdapat t papaaran radisi tinggi, makaa dilakukan tiindakan proteeksi radiasi. Pemantauan radioaktivitass udara dilakuukan secara tidak t langsungg dengan menncuplik udara (air samplerr) di posisi seekitar 1,5 m dari lantai (daeerah pernapaasan/breathingg area). Pemantaauan radioakktivitas lantaai dilakukann secara tiidak langsunng dengan mengusap m peermukaan lanntai (smear test). Hasil cuplikan c konttaminan, dicaacah mengguunakan pencaacah radiasi α / β secara total (gross counting). Apabila terdapat t tinggkat kontam minasi udara atau lantai diketahui cukkup maka tinggi, p perlu dilakkukan anallisis
meenggunakan Multi M Channeerl Analyzer (MCA) agaar dapatt diketahhui unsu ur-unsur kon ntaminannya[1]. TE EORI Berdasaarkan fungsi dan risiko bahaya rad diasi, IRM dibbagi dalam em mpat zona atau u daerah kerrja, yaitu [1]: Zo ona I:daerahh tidak akktif, seperti ruang perkanntoran/adminsstrasi. Zo ona II : daerahh radiasi rendaah (D ≤ 25 Sv/jam), seperti Laboratoriuum kimia/anallisis dan daerahh operasi hotcell. Zo ona-III : daeraah radiasi sedaang (25 Sv/jjam < D ≤ 30000 Sv/jam), seperti daeraah sevice untuk hotcell, rruang penyiimpanan limbahh radioaktif daan ruang filterr. Zo ona-IV: daerahh radiasi tingggi (D >3000 Sv/jam), seperti ruang bagiaan dalam hotccell baja dan beeton, Gloveboox dan Fumeho ood. Zona I (zona putih)) tidak mend dapatkan perrlakuan khusuus dalam sisstem ventilasii nuklir. Zo ona II (zona hijau) h diantarranya: R-135,, R-136, serrta Operating area hotcell ((R-140) mend dapatkan cattu ventilasi daari zona I. Zoona III (zona kuning), yaiitu service arrea hotcell (R-143) mend dapatkan cattu ventilasi daari zona yang lebih rendah.. Zona I adaalah daerah bebas b radiasi m maupun konttaminasi. Pad da zona II, raddioaktivitas uddara yang diizzinkan < 20 Bq/m3 (α) dan d < 200 B Bq/m3 (β); sedangkan rad dioaktivitas permukaan yaang diizinkan < 0,37 Bq q/cm2 (α) dann < 3,7 Bq/cm m2 (β). Pada zona z III, rad dioaktivitas uddara yang diizzinkan ≤ 20 Bq q/m3 (α) dan n ≤ 200 Bq//m3 (β); sedaangkan radioaktivitas perrmukaan yangg diizinkan 00,37 - 3,7 Bq//cm2 (α) dan n 3,7 - 37 Bq//cm2 (β). Bila terjadi Radioaktivitas udaara melampaaui batas ttersebut, mak ka laju perrgantian udarra diperbesarr dan person nil harus meenggunakan masker m debu. Seluruh hotceell dapat meenahan radiasii hingga tinggkat paparan radiasi di daeerah kerja menjadi m lebihh rendah dan n dalam battas-batas keseelamatan. Tabbel 1, memperrlihatkan dessain tebal dann tingkat lajuu paparan radiiasi atau kem mampuan perisai radiasi paada sisi-sisi lu uar untuk dalam kap pasitas muuat maksim mum di hottcell.………… ……………… ……………
Taabel 1. Tebal dan d perkiraan laju paparan sisi-sisi s luar dinding hotcelll Posisi Dinding Sisi operasi Sisi Intervensi Sisi langit-langgit (atas) Sisi lantai Sisi tengah (intermediatee wall) Buku II hal 78
[1]
Tebal (mm) 1200 1200 950 1000
< 10 µSv/jam < 50 µSv/jam < 100 µSv/jam m < 100 µSv/jam m
operatingg area R-140 0,5 m dari dinding di R--143 0,5 m dari lantai atap di R-143 0,5 m dari dinding lantaii
900
< 500 µSv/jam m
Sisi sel di d sebelahnya
Laju Paparan
IS SSN 1410 – 81 178
Keterangan
Suliya anto, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
Paparan radiasi maksimuum untuk sum mber radiasi yang dikeluarrkan dari hotccell dibatasi < 15 mRem/jjam (< 150 µSv/jam). Unntuk menguraangi paparann radiasi terhaadap personil, maka sejum mlah balok-bbalok Pb dipassang di GB ataau FH. Undang Unndang nomor 10 tahun 1997 tentang ketenaganuukliran, menyyatakan: bahhwa setiap kegiatan yang berkkaitan denngan pemanffaatan tenaga nuklir wajibb memperhatiikan keselam matan, keam manan, dann ketentram man, kesehattan pekerja dan d anggota masyarakat m serta perlinduungan terhadaap lingkungann hidup [2]. Peraturan peemerintah R.I Nomor 33 tahhun 2007, tentang t kesellamatan radiaasi pengion dan keamannan sumber raadioaktif, mennyatakan: bahhwa keselam matan Radiaasi adalah tindakan yang y dilakukkan untuk melindungi m p pekerja, angggota masyaraakat, dan linngkungan hiddup dari bahhaya radiasi [3]. Pemegaang Izin, unttuk memastiikan bahwa Nilai Batas Dosis D (NBD) bagi pekerja dan masyaraakat tidak terlampaui, maka wajib melakukan [3]: a. peembagian daerrah kerja; b. peemantauan Paparan Raadiasi dan/aatau koontaminasi raddioaktif di daeerah kerja; c. peemantauan raddioaktivitas linngkungan di luar l faasilitas atau instalasi; dan d. peemantauan Doosis yang diterrima pekerja. Pasal 6 ayaat 1 Peraturann Pemerintah RI Nomor 33 Tahun 2007, mennyatakan: bahhwa Pemegaang Izin meerupakan pennanggung jaw wab utama keselamatan k raadiasi [3]. Berdasarkann keputusan keepala BAPET TEN Nomor 01/Ka-B BAPETEN/V--99, Daeerah pengenddalian didefinnisikan sebaggai suatu daeerah yang beerada dibawaah aturan khusus untuk tujuan proteksi terhadap radiasi penggion, dan lalu lintasnyya dikendalikkan. Ketentuuan keselamaatan kerja dimaksudkan sebagai persyaratan p b bagi mereka yang bekeerja dengan sumber raddiasi pengionn di bidang keesehatan, induustri, pendidikkan, penelitiian dan lain-laain. Sebagai ketentuan um mum dalam bekerja denggan radiasi perlu dilakuukan beberappa hal yaittu: pembatassan penyinarran, pemantauan dan peencatatan dossis radiasi, serta pengaw wasan kesehataan pekerja raddiasi. Pembataasan penyinaaran untuk tuj ujuan proteksi radiasi melipputi pembaggian daerah kerja, k dibedaakan menjadi: Daerah Pengawasann dan Daeraah Pengendalian. Daerah Pengawasann meliputi: Daerah Raddiasi Sangat Rendah daan Daerah Radiasi R Renddah. Daerah Pengendaliann meliputi: Daaerah Radiasi dan Daerah Kontaminaasi. Daerah Radiasi daapat dibedakkan menjadi: Daerah Radiiasi Sedang, dan Daerah Radiasi Tinnggi. Daerah Radiasi Sedaang, adalah daerah kerja k yang memungkinnkan seseoranng yang bekeerja secara teetap pada daeerah Suliyantto, dkk
itu menerima dosis d 15 mSvv (1500 mrem) atau leb bih dan 50 mS Sv (5000 mreem) dalam sattu tahun unttuk seluruh tubuh. Daerrah Radiasi Tinggi, adaalah daerahh kerja yaang memun ngkinkan sesseorang yang bekerja secarra tetap dalam m daerah itu menerima dosis d 50 mSvv (5000 mrem) atau leb bih dalam satuu tahun. Daeraah Kontaminaasi dapat dib bedakan menjadi: Daerah K Kontaminasi Rendah, Daaerah Kontaaminasi Seddang, dan Daerah Ko ontaminasi Tinnggi [4]. Aktivitaas sumber raddioaktif adalah h jumlah dissintegrasi nukklir yang terrjadi di sum mber per sattuan waktu. Namun, T Terlepas darii lokasi dilakukannya pengukuran, ada tigaa jenis pen ngukuran yaang berbedaa tujuannya, yaitu: Pen ngukuran Keselamataan, Pen ngukuran Pen ngawasan dann Pengukuran statistik. Pen ngukuran Keeselamatan berfungsi b untuk menu unjukkan lan ngsung atau tidak langsuung terhadap bahaya rad diologi yang nyata di lookasi tertentu u secara um mum, dan radionuklidany r ya telah diiketahui. Pen ngukuran Keselamatan dillakukan untuk k tujuan pro oteksi radiasii langsung. Bila melebih hi batas terttentu, maka tindakan yang sesuai haru us dapat diaambil dengann segera. Pengukuran Peng gawasan dilakukan untukk memeriksaa bahwa kon nsentrasi maaksimum yanng diizinkann tidak dillampaui. Keesulitan dengaan pengukuraan jenis Pen ngukuran Pen ngawasan addalah bahwa komposisi aktivitas biaasanya tidakk diketahuii. Secara umum, Pen ngukuran Penngawasan hanyya akan menu unjukkan bah hwa konsenttrasi maksim mum yang diizinkan d unttuk nuklida tertentu beluum terlampaui. Jika terlampaui, maaka penyelidikkan yang lebih h akurat dip perlukan unntuk menilaii potensi bahaya. Pen ngukuran stattistik dimaksuudkan untuk menilai kon nsentrasi aktiivitas yang ddapat mengak kibatkan pem maparan raddiasi terhadaap kelompok k besar pen nduduk, terleepas dari apaakah terlampaaui atau tidak terlampauuai terhadap batas kon nsentrasi maaksimum yangg diizinkan [5]. TA ATA KERJA Metodaa adalah digunakan yang meembandingkann batas yang ddiizinkan deng gan hasil pem mantauan daeerah radiasi dan kontaminaasi IRM. Ev valuasi dilakuukan pada setiap akhirr bulan terh hadap hasil pemantauan seetiap minggu. Namun bila terdapat haasil pantau seetiap minggu tersebut meelebihi batas yang diiziinkan, maka segera dib berikan tinddakan proteeksi radiasii yang dip perlukan. Pem mantauan papaaran radiasi diilakukan pad da R-135 (posisi FH), R--136 (posisi FH), F R140 0 (posisi A, B, B C dan GB)), serta R-143 3 (posisi A, B dan C). Pemantauan raddioaktivitas dan di udaara maupun di lantai dillakukan secarra tidak lan ngsung. Pemaantauan dilakuukan pada R--135, R-
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 79
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
136, R--140 (posisi A, A B dan C), seerta R-143 (poosisi A, B daan C). 1. Bahan dan ala at : Alat Graeetz X-5-DE E yang teelah terkalibbrasi dengan skala s laju papaaran dari 0 nS Sv/h sampai 19,9 mSv/h digunakan unntuk pemantaauan paparann radiasi γ. Alat pencuuplik udara Air samplerr High volumee air sampler (buatan Stapllex) dengan kapasitas debbit pompa hissap udara sebeesar 15 - 35 lpm (liter per-menit). Filter pencupplik berbenttuk bulat terrbuat dari keertas serat kaca k (glass fiber f paper), tiipe GF-8 Schlleicher & Schuell diameteer 58 mm untuk cuplikkan udara serta diameteer 52 mm unttuk cuplikan permukaan. Alat A cacah cuplikan c Portaable Scaler Raatemeter (PSR R-8) dengan probe α dann β. Multi Channel C Analyyzer (MCA) digunakan apabila a diangggap perlu unntuk mengetahui unsur-unnsur kontaminnan yang terdaapat di dalam m cuplikan. 2. Cara kerja : Pemantauan paparan raddiasi γ dilakuukan sesuai dengan d jadwaal di posisi pantau yang teelah ditentukkan (Gambarr 1). Pengukkuran dilakuukan dengan cara mengaarahkan kepaala detektor ke medan radiasi, kemuudian catat hasil h pemantaauan paparann radiasi tersebut. Pemantaauan radioakktivitas dann di udara dimulai denngan pencupllikan udara dengan d memassang kertas fiilter udara pada p filter hollder pada alatt pencuplik uddara High volume v air saampler (Stapllex). Debit hiisap diatur 30 3 l/menit deengan waktu pencuplikan (30 menit). Setelah waktu w pencupplikan tercaapai, keluarkkan kertas filter untuuk pencacaahan radioakktivitas dan . Pencacahaan latar dilakuukan terlebihh dahulu, seebelum pencaacahan cupliikan dengan menggunakaan alat cacah cuplikan PSR R-8 terhadapp radiasi α ataau β, catat hassil cacah cupliikan tersebutt.
Gambarr 1. Posisi peemantauan tinngkat radiasi dan kontaminnasi di IRM
Buku II hal 80
Perhitunngan radioakktivitas α daan β di udaara, menggunakan rumus seebagai berikutt [6] : A Nx Ak
1 1 x V E
.(1)
den ngan : Ak k= radioaktivittas α/β dalam satuan Bq/m3 N = cacah nettoo cuplikan daalam satuan caacah per menit V = volume udaara yang dihisaap dalam satuaan m3 E =efisiensi = alaat cacah (untuuk detektor α sebesar 36,95 % dan untuk detekttor β sebesar 24,22 2 %) Pemantaauan radioakktivitas daan di lan ntai, dimulai dengan d menguusap permukaaan lantai (sm mear test) menggunakaan filter peencuplik meemutar dari titik awal kke luar mem mbentuk lingkaran (dengaan jari-jari 5 - 6 cm). Luass usapan seb besar ±100 cm2 denngan fraksii yang teccuplik/terambiil oleh filter pencuplik dittetapkan 10 %. Pencacahhan latar dilakkukan terlebih h dahulu, seb dengan belum penncacahan cuplikan meenggunakan allat cacah cuplikan PSR-8 terhadap t rad diasi α atau β, catat hasil cacah cuplikan tersebut. t Perrhitungan raddioaktivitas α dan β di perrmukaan lan ntai menggunaakan rumus seebagai berikut [6] : Ak k N
1 1 1 A E P
(2)
den ngan : 2 Ak k = aktivitas radioaktif r α ddalam satuan Bq/Cm B N = cacah nettto cuplikan daalam satuan cacah/menit (cps) A = luas perm mukaan yang ddi usap dalam satuan 100 cm2 E = efisiensi alat a cacah untuuk detektor allpha sebesar 21,34 % dan unntuk detektorr beta sebesar 222,06 %) P = fraksi yanng diambil daalam tes usap (10%). ( HA ASIL DAN PEMBAHASA AN Hasil peemantauan papparan radiasi daerah pen ngendalian IR RM yang dilakkukan setiap minggu m 1 kalli, diambil yanng tertinggi unntuk data hasiil pantau settiap bulan padda tahun 20100, terlihat pad da Tabel 2. Seluruhh ruangan yaang aktif meelakukan keg giatan seperti R-136, R1400 dan R-143,, terukur pap paran radiasi dibawah baatasan yang diiizinkan. Pap paran radiasi di R-135 (possisi FH) di attas NBD seb besar 25 µSvv/jam, tetapi m masih di bawah batas yan ng diizinkan (< 150 µSvv/jam) untuk sumber rad diasi yang dikeluarkan d ddari hotcell. Hal ini dissebabkan adaanya cuplikann bahan bakaar bekas yan ng mengandunng Cs di dalaam Fume Hoo od R-135 (Gambar 2).
IS SSN 1410 – 81 178
Suliya anto, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R PENELIITIAN DAN N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
Tabel 2. Paparan P radiaasi di IRM taahun 2010 Bulan
Paaparan radiasi (µSv/jam), rata-rata R-135
R R-136
R-140
R-143
1
19,325 ± 3,9661
0,1008 ± 0,039
0,156 ± 0,086
0,1127 ± 0,015
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
20,725 ± 3,2003 19,328 ± 3,8007 26,725 ± 7,0220 26,050 ± 3,3884 26,510 ± 1,4997 21,410 ± 0,4553 18,140 ± 1,9337 18,010 ± 4,0334 14,925 ± 3,7881 10,863 ± 0,6555 5,850 ± 0,4544
0,115 ± 0,013 0,112 ± 0,015 0,119 ± 0,012 0,116 ± 0,015 0,113 ± 0,007 0,117 ± 0,008 0,115 ± 0,007 0,1440 ± 0,014 0,114 ± 0,006 0,1221 ± 0,012 0,1009 ± 0,009
0,154 ± 0,088 0,162 ± 0,085 0,149 ± 0,083 0,153 ± 0,091 0,163 ± 0,086 0,161 ± 0,089 0,160 ± 0,086 0,159 ± 0,087 0,156 ± 0,088 0,158 ± 0,086 0,157 ± 0,089
0,1127 ± 0,010 0,1135 ± 0,018 0,1123 ± 0,018 0,1130 ± 0,012 0,1131 ± 0,010 0,1128 ± 0,014 0,1124 ± 0,013 0,1130 ± 0,015 0,1130 ± 0,012 0,1126 ± 0,011 0,1126 ± 0,013
tersebut yang ditemukan d hannya jenis radio onuklida darri alam yang berumur penndek. Hal in ni terjadi kem mungkinan kaarena sistem Ventilasi dan n A.C di dallam R-135 kurang k makssimal, sehing gga laju perrgantian udaraa harus diperbbesar.
Gambarr 2.
Sumbber radiasi dari hotcell di Fumeehood R-135.
Pemantauan Radioaktiviitas dan di udara dilakukan d setiiap minggu 1 kali, kemuddian diambill rata-rata setiiap bulan untuuk evaluasi hasil h pantau (Tabel 3). Seluruh ruanngan yang aktif a melakukan kegiatan (R-135, R-1336, R140 dann R143), terukur radiooaktivitas dii bawah bataasan yang diiizinkan 20 Bq/m3 untuk dan 200 Bqq/m3 untuk β. β Namun dem mikian radioaaktivitas di uddara R-135 relatif lebih besar dibanddingkan ruanngan lain (R R-136, R-1400 dan R-143). Berdasarrkan desain IRM seharuusnya kemunngkinan poteensi kontam minasi sedang atau melam mpaui batas yang y diizinkaan terdapat pada service R-143 R (zona III), I karena daerah ini meendapatkan caatu ventilasi dari d zona-zoona yang lebbih rendah. Untuk U mengetaahui unsur-uunsur yang ada a pada koontaminan, maka m dilakukkan analisis menggunakaan MCA. Hasil H analisiss secara kualiitatif spektrum m γ dari cupliikan udara R-135 R adalahh nuklida Pb--212, Pb-214, Tl208, Bii-214, Ac-2288 dan K-40 (G Gambar 3). Dari D hasil annalisis secara kualitatif mennggunakan MCA M
Suliyantto, dkk
Gaambar 3. Spekktrum gamma cuplikan udarra R-135 mengggunakan MC CA Pemantaauan Radioaaktivitas dan di perrmukaan lantaai dilakukan ssetiap minggu u 1 kali, kem mudian ambiil yang tertinnggi untuk daata hasil pan ntau setiap bulan b (Tabel 4) untuk dieevaluasi. Seccara keseluruuhan radioakttivitas di perrmukaan lan ntai R-135, R-136 R dan R-1140 berada di d bawah battas yang diizinnkan, yaitu < 0,37 Bq/cm2 (α) dan < 3,7 Bq/cm2 (β). Sedangkkan radioaktiivitas di perrmukaan lanttai R-143 berrada di bawaah batas yan ng diizinkan, yaitu antara 00,37 - 3,7 Bq q/cm2 (α) 2 dan n 3,7 - 37 Bq//cm (β).
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 81
PROSIDIN NG SEMINA AR PENEL LITIAN DAN N PENGELO OLAAN PER RANGKAT NUKLIR Pusat Tekno ologi Aksele erator dan Proses P Baha an Yogyakarta a, 27 Juli 201 11
Tabel 3. Radioaktivittas (gross dan di udaraa IRM tahun 2010 2 rad.
Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β
R-1135 1,595 ± 1,215 4,819 ± 0,762 2,137 ± 0,686 8,190 ± 1,156 2,118 ± 1,362 6,325 ± 2,933 2,936 ± 0,507 13,3655±2,984 2,044 ± 0,688 6,080 ± 0,823 2,570 ± 0,169 9,183 ± 0,720 1,796 ± 0,825 9,140 ± 1,904 1,728 ± 1,194 8,755 ± 1,012 1,923 ± 0,688 9,115 ± 1,172 1,128 ± 0,416 9,322 ± 1,425 1,194 ± 0,217 8,250 ± 1,543 1,834 ± 1,297 8,475 ± 1,797
Radioaktivitas udara (Bq/m3), rata-rata R-136 R-1140 0,460 ± 0,127 0,586 ± 0,310 2,670 ± 0,715 1,583 ± 0,494 0,627 ± 0,117 0,668 ± 0,329 3,245 ± 1,316 2,620 ± 0,915 0,325 ± 0,160 0,632 ± 0,292 1,378 ± 1,091 2,539 ± 0,863 0,229 ± 0,044 1,946 ± o,750 3,310 ± 0,832 4,902 ± 1,370 0,393 ± 0,115 0,735 ± 0,350 2,579 ± 0,755 1,686 ± 0,519 1,047 ± 0,428 0,921 ± 0,202 5,192 ± 1,062 2,630 ± 0,341 1,170 ± 0,305 1,794 ± 0,930 3,415 ± 1,322 2,790 ± 1,254 1,308 ± 0,671 0,846 ± 243 6,124 ± 1,330 5,470 ± 1,772 0,619 ± 0,134 1,060 ± 0,131 4,155 ± 1,057 5,364 ± 1,690 0,804 ± 0,262 1,167 ± 0,488 6,477 ± 1,686 5,360 ± 1,004 0,944 ± 0,312 0,797 ± 0,352 3,151 ± 1,509 2,680 ± 0,716 0,748 ± 0,492 0,711 ± 0,372 2,522 ± 1,626 3,096 ± 1,233
R-143 0,501 ± 0,087 1,319 ± 0,590 1,635 ± 0,789 2,698 ± 0,689 0,972 ± 0,504 4,828 ± 1,126 1,570 ± 0,416 7,130 ± 2,128 0,893 ± 0,642 1,799 ± 0,588 1,765 ± 0,405 6,284 ± 1,105 1,283 ± 0,304 7,660 ± 1,463 1,612 ± 0,675 6,457 ± 1,277 1,865 ± 0,478 9,059 ± 1,611 1,244 ± 0,160 8,554 ± 0,698 1,382 ± 0,511 4,343 ± 1,124 1,250 ± 0,369 5,615 ± 1,985
Tabel 4. 4 Radioaktivittas (gross dan di perm mukaan lantai IRM I tahun 2010 Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
rad. grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β grossα gross β
Buku II hal 82
R-1135 0,009 ± 0,007 0,029 ± 0,018 0,005 ± 0,002 0,024 ± 0,013 0,007 ± 0,004 0,035 ± 0,018 0,005 ± 0,002 0,030 ± 0,013 0,006 ± 0,002 0,025 ± 0,007 0,006 ± 0,003 0,026 ± 0,015 0,005 ± 0,001 0,030 ± 0,012 0,012 ± 0,002 0,051 ± 0,011 0,009 ± 0,001 0,034 ± 0,010 0,005 ± 0,002 0,032 ± 0,010 0,006 ± 0,002 0,019 ± 0,005 0,010 ± 0,003 0,026 ± 0,005
Radioaktivitas lantai l (Bq/m3), rata-rata R-136 R-1140 0,010 ± 0,009 0,005 ± 0,002 0,010 ± 0,009 0,026 ± 0,011 0,004 ± 0,001 0,006 ± 0,003 0,030 ± 0,028 0,035 ± 0,012 0,005 ± 0,002 0,007 ± 0,002 0,025 ± 0,004 0,031 ± 0,012 0,005 ± 0,002 0,005 ± 0,002 0,031 ± 0,027 0,036 ± 0,026 0,006 ± 0,004 0,006 ± 0,004 0,020 ± 0,005 0,023 ± 0,011 0,005 ± 0,002 0,005 ± 0,002 0,015 ± 0,008 0,012 ± 0,006 0,005 ± 0,001 0,006 ± 0,002 0,020 ± 0,008 0,019 ± 0,007 0,007 ± 0,002 0,004 ± 0,001 0,033 ± 0,002 0,029 ± 0,014 0,006 ± 0,002 0,004 ± 0,001 0,021 ± 0,013 0,040 ± 0,009 0,005 ± 0,002 0,004 ± 0,001 0,024 ± 0,008 0,030 ± 0,016 0,004 ± 0,001 0,006 ± 0,002 0,013 ± 0,005 0,016 ± 0,002 0,013 ± 0,002 0,010 ± 0,002 0,028 ± 0,009 0,018 ± 0,007 IS SSN 1410 – 81 178
R-143 0,005 ± 0,002 0,021 ± 0,015 0,007 ± 0,004 0,036 ± 0,025 0,006 ± 0,003 0,026 ± 0,009 0,005 ± 0,002 0,048 ± 0,016 0,005 ± 0,002 0,024 ± 0,014 0,006 ± 0,002 0,026 ± 0,016 0,007 ± 0,002 0,041 ± 0,009 0,006 ± 0,002 0,067 ± 0,009 0,010 ± 0,004 0,039 ± 0,014 0,004 ± 0,001 0,060 ± 0,021 0,007 ± 0,004 0,020 ± 0,004 0,011 ± 0,003 0,031 ± 0,010 Suliya anto, dkk
P PROSIDING G SEMINAR R N PENGELOLAAN PERA ANGKAT N NUKLIR PENELIITIAN DAN P Pusat Teknologi Akselerator dan Prroses Bahan n Y Yogyakarta, 27 Juli 2011 1
KESIM MPULAN Paparan raddiasi di R-1366, R-140 dann R143 di bawah nilai batas b dosis (N NBD), sedanggkan di FH R-135 melebbihi NBD. Unntuk menguraangi paparann radiasi, makka dipasang seejumlah balokk Pb di FH R-135, R dan membatasi m waaktu kerja denngan sumber radiasi tersebbut. Radioakttivitas α dan β di udara dan d permukaaan lantai R-1335, R-136, R-140 dan R--143 di baawah batas yang diizinkkan. Radioakktivitas α dann β di udara R-135 R relatif leebih besar dibandingkan d n ruangan laain, tetapi hasil h analisiss menggunakkan MCA yang y ditemuukan hanya radionuklida dari alam yang berum mur pendek. Kesimpulann dari evaluassi, bahwa tinggkat radiasi dan kontamiinasi di IRM M tahun 20100 di bawah batas b yang diiizinkan dan diikendalikan. DAFTA AR PUSTAK KA 1. TIM M LAK-PT TBN, ”Lapporan Anallisis Keselamatan Insttalasi Radiom metalurgi (IRM M)”, No. Dok. KK20J009002, revisi 6, 2006. 2. ANO ONIM, U Undang-Undan ng Repubblik Indoonesia nomoor 10 tahun 1007, tenttang keteenaganukliran, 1997. 3. ANO ONIM, Peratuuran pemerinttah RI Nomorr 33 tahuun 2007 teentang kesellamatan raddiasi penggion dan keeamanan sum mber radioakktif, 2007. 4. BAP PETEN, Kepputusan Keppala BAPET TEN Nom mor 01/Kaa-BAPETEN/V V-99, tenttang keteentuan keselam matan kerja terhadap radiiasi, 1999. 5. KIE EFER H. AND D MAUSHAR RT R., “Radiattion prottection meassurement”, Pergamon P Prress, Oxfo ford, 1996. 6. MA ARTIN A. AN ND HARBIN NSON S.A, “An “ introoduction too radiationn protectioon”, Chaapman & hall, third edition,, London, 19887.
Suliyantto, dkk
TA ANYA JAWA AB Nu ugroho Di dalam kesimpulan, k tingkat radiaasi dan kontaminasi di dawah battas dan diken ndalikan. Bagaimana metode m pengenndaliannya? Suliyanto S Dari dataa pantau tiingkat radia asi dan kontaminassi di bawaah MPC. Metode pengendaliannya dari bbatas yang diijinkan, d Bila melaampau bataas yang diijinkan d dilakukan tindakan prooteksi radiasi berupa pemasangaan Pb dann pembatas waktu pengerjaann. Bila kontam minasi melebih hi MPC, dilakukan pengukuran p m menggunakan n MCA. Bila kontaminasi melebbihi MPC, diilakukan dekontaminnasi L Kwin K P Waktu pencuuplikan udaraa 30 menit, apakah untuk memantau tidak terlaalu lama radioaktivitass udara daerahh kerja? Dalam rumuss perhitungann, yang ada effisiensi e alat saja, appakah faktor kalibrasi alaat tidak berpengaruh?? Batasan raddioaktivitas uudara daerah h kerja 20Bq/m3 (alffa) dan 200B Bq/m3 (beta) diambil dari mana? Suliyanto S Yang dibuttuhkan adalah debit udara ruang kerja yang dihisab dalam m m3 Alat cacahh dikalibrasi di PTKMR dengan efisiensi prrobe alfa 36,995% dan pro obe beta 24,22% Batasan grross alfa dann beta diambil dari perka bapeten No. 1 thn 1999
IS SSN 1410 – 81 178
Buku u II hal 83
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA Suparno Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected] ABSTRAK PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA. Telah dilakukan pengukuran dan evaluasi keselamatan terhadap bahaya radiasi eksterna di daerah kerja / laboratorium aktif lingkungan PTAPB BATAN Yogyakarta. Tujuan pengukuran ini adalah untuk mengetahui tingkat radiasi eksterna yang terjadi akibat pemanfaatan zat radioaktif dan atau sumber radiasi. Pengukuran menggunakan Surveimeter monitor 4, faktor kalibrasi 0,99. Hasil pengukuran paparan rerata ruangan paling tinggi di 16 lingkungan kerja / laboratorium aktif selama 6 bulan bertu-turut adalah. Bulan Juni: 1,66 μSv/jam di gedung 09, Bulan Juli: 1,78 μSv/jam di gedung 09, Bulan Agustus: 1,68 μSv/jam di gedung 02.I.22, Bulan September: 2,62 μSv/jam di gedung 09, Bulan Oktober: 1,32 μSv/jam di gedung 09 dan Bulan November di gedung 02 laboratorium nomor 02.I.22 sebesar 2,32 μSv/jam. Hasil yang diperoleh di 16 ruang kerja / laboratorium aktif tersebut diatas termasuk dalam lingkup daerah pengawasan, yaitu daerah radiasi sangat rendah dimana daerah kerja yang memungkinkan seorang pekerja menerima dosis 1 mSv (100 mrem) atau lebih dan kurang dari 5 mSv ( 500 mrem) dalam satu tahun. Dosis tersebut masih dibawah nilai batas maksimum yang diijinkan olehICRP sebesar 20 mSv/tahun, sehingga tidak membahayakan. Kata kunci: Evaluasi keselamatan radiasi ABSTRACT THE MEASUREMENT AND SAFETY EVALUATION TO THE DANGER OF EXTERNAL RADIATION AT PTAPB-BATAN YOGYAKARTA. The measurement and safety evaluation to ward the danger of external radiation in the working area or active laboratory environment at PTAPB-BATAN Yogyakarta has been done. The purpose of this measurement is to know the external radiation level as result of the radioactive or radiation source usage. The measurement is using survey meter Monitor 4, factor of calibration 0,99. The highest room average measurement result in 16 working areas / active laboratory for 6 months continuously are: in June 1.66 μSv/hour at building 09 , in July 1,78 μSv/hour at building 09, in August 1,68 μSv/hour at building 02.I.22, in September 2,62 μSv/hour at building 09, in October 1,32 μSv/hour at building 09 and November 2,32 μSv/hour at building 02. I .22. The result from each 16 working areas / active laboratory above is included in the monitoring area, that is area which has the lowest radiation where the working area is available for a worker to get 1 mSv dosage (100 mrem) or more and less than 5 mSv (500 mrem) in a year. The dosage above is still below the maximum permissible dose acceptant that allowed by ICRP no.60 / 1990 that is 20 mSv every year, so it would not be endangered. Keywords: The evaluation of safety radiation
PENDAHULUAN
S
Partikel alfa, partikel beta, sinar gamma, sinarX dan neutron adalah jenis radiasi pengion,
Buku II hal 84
tetapi tidak semua memiliki potensi bahaya radiasi eksterna. Partikel alfa memiliki daya ionisasi besar sehingga jangkauanya diudara sangat pendek (beberapa cm) dan tidak dianggap sebagai bahaya
ISSN 1410 – 8178
Suparno, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
eksterna karena tidak dapat menembus lapisan kulit luar manusia. Partikel beta memiliki daya tembus lebih tinggi dibanding dengan partikel alfa. Daya tembus partikel beta dipengaruhi oleh besar energi. Partikel beta yang berenergi tinggi mampu menjangkau beberapa meter di udara dan dapat menembus lapisan kulit luar sedalam beberapa mm; misalnya partikel beta berenergi sekitar 1 MeV mampu menembus kulit luar sampai 5 mm, memiliki bahaya radiasi eksterna kecil, kecuali untuk mata(1,2). Sinar-X dan sinar gamma adalah gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek dan memiliki kemampuan menembus semua organ tubuh sehingga mempunyai bahaya radiasi eksternal yang signifikan. Neutron juga memiliki daya tembus yang sangat besar, Neutron melepaskan energi di dalam tubuh karena neutron dihamburkan oleh jaringan tubuh. Neutron memiliki potensi bahaya radiasi eksternal yang tinggi sehingga memerlukan penanganan yang sangat hati-hati. 1. Teknik Proteksi Radiasi Eksterna(2,3)) Proteksi terhadap radiasi eksterna dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau beberapa teknik berikut ini: a. Waktu: Pengaturan waktu adalah metode penting untuk mengurangi penerimaan dosis. Mengurangi waktu bekerja dengan radiasi, dosis yang diterima dapat diminimisasi, dapat digambarkan dengan rumus di bawah : ..• (1)
D=Dt
Dengan: D = dosis yang diterima D = laju dosis T = waktu penyinaran Untuk laju dosis yang sama, apabila waktu penyinaran lebih singkat, maka dosis yang diterima semakin kecil. b. Jarak: Semakin besar jarak dari sumber radiasi, laju dosis di tempat tersebut semakin berkurang. Hubungan besar laju dosis untuk sumber titik terhadap jarak dari sumber dikenal sebagai hukum kuadrat jarak terbalik atau secara matematika dapat di tulis : (2) D1 r12 = D2 r22 Dengan: D1 = laju dosis pada jarak r1 dari sumber D2 = laju dosis pada jarak r2 dari sumber Sumber radiasi dianggap sebagai sumber titik apabila jarak dari sumber paling sedikit 10 kali dimensi sumber. ..•
Suparno, dkk.
c. Penahan Radiasi: Dengan menggunakan penahan radiasi laju dapat dikurangi, sementara pekerjaan dapat diselesaikan dengan baik pada jarak tidak terlalu jauh dari sumber. Apabila sinar gamma berinteraksi dengan bahan, radiasi tersebut tidak diserap seluruhnya oleh bahan. Sebaliknya radiasi tersebut akan mengalami atenuasi atau pengurangan intensitas. Proses atenuasi ini mengikuti fungsi eksponensial atau secara matematika ditulis sebagai : DX = Do e-µx (3) Dengan: Dx = laju dosis setelah melewati penahan setebal x Do = laju dosis tanpa penahan X = tebal penahan µ = koefisien atenuasi linear Koefisien atenuasi linear tergantung pada jenis bahan dan energi sinar gamma. Koefisien ini dinyatakan dalam mm-1 atau cm-1 Pembagian Daerah Karja a. Daerah pengawasan yaitu daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis radiasi kurang dari 15mSv (1.500 mrem) dalam satu tahun dan bebas kontaminasi. b. Daerah pengawasan dapat dibagi lagi menjadi : 1. Daerah radiasi sangat rendah yaitu daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis 1 mSv atau lebih dan kurang dari 5 mSv dalam satu tahun. Dalam hal ini diharuskan adanya pengaturan. 2. Daerah radiasi rendah yaitu daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis 5 mSv atau lebih dan kurang dari 15 mSv dalam satu tahun untuk seluruh tubuh atau nilai yang sesuai untuk organ tertentu. c. Daerah pengendalian yaitu daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis radiasi 15 mSv atau lebih dalam satu tahun. d. Daerah pengendalian dibagi lagi menjadi : 1. Daerah radiasi sedang, yaitu daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis 15 mSv atau lebih dan kurang dari 50 mSv dalam satu tahun untuk seluruh tubuh atau nilai yang sesuai untuk organ tertentu. 2. daerah radiasi tinggi, yaitu daerah yang memungkinkan seseorang menerima dosis 50 mSv atau lebih dalam satu tahun atau nilai yang sesuai terhadap organ tertentu. Constraint Dose (dosis pembatas), dosis ini diterapkan pada masing-masing fasilitas radiasi sebagai pembatas dan ditetapkan dosis yang lebih rendah dari Nilai Batas Dosis (NBD), menurut
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 85
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
International Commission on Radiological Protection (ICRP) no.60 / 90 NBD direkomendasikan 20 mSv/tahun(4). Dosis ini digunakan dalam hal proses optimasi fasilitas dengan tujuan untuk menyakinkan bahwa NBD tidak terlampui. Constraint dose terkait erat dengan laju dosis radiasi eksterna di ruangan/daerah kerja seperti digambarkan pada rumus (1) makin besar laju dosis yang terjadi di ruang kerja makin besar pula kemungkinan dosis yang diterima oleh seorang pekerja radiasi. Pada pemantauan ini dilakukan pengukuran tingkat paparan radiasi eksterna di 16 ruang kerja / laboratorium aktif lingkungan PTAPB-BATAN Yogyakarta. Setiap ruangan/laboratorium diukur 5 sampai 10 titik daerah kerja seperti almari asam, meja, wastafel, lantai, glove box, permukaan drum/wadah limbah akktif, rak sampel, unit-unit proses dan alat-alat pendukung lainnya, hal ini digunakan untuk menentukan paparan rerata ruangan. Ruangan yang diukur dituliskan dalam bentuk nomor gedung seperti: 02.I.17 artinya gedung 02 lantai 1 nomor ruang 17. ALAT DAN CARA KERJA Alat yang digunakan. Alat yang digunakan adalah surveimeter Monitor 4. alat ini digunakan untuk mendeteksi dan mengukur besarnya tingkat radiasi eksterna. Speksifikasi alat: jangkauan: 0-50 mR/jam, faktor Kalibrasi : 0,99 pada skala 10 kali. Prinsip kerja alat ini adalah dimana suatu detektor akan
berbunyi apabila ada radiasi yang tertangkap dan akan terbaca pada display Cara Kerja Menggeser tombol ”ON” ke kanan untuk tes batery dan mengatur posisi skala pengukuran misalnya 10 dan 100 sesuai dengan perkiraan paparan radiasi yang dipantau, mulai dari skala yang terrendah. Pengukuran dilakukan dengan mengarahkan alat Monitor 4 ke daerah yang dipantau. Mengukur paparan / laju dosis latar (background) sebelum melakukan pengukuran di daerah yang dipantau, angka yang terbaca pada display dikalikan dengan angka dimana posisi tombol skala pengukuran itu berada, dalam satuan mR/jam. Dipindahkan skala yang lebih tinggi, apabila pengukuran menunjuk pada angka lebih besar dari skala tertinggi (over scale). Untuk menghitung laju dosis adalah: Laju dosis = Laju dosis netto x faktor kalibrasi(mR/jam)
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL ANALISIS Pengukuran paparan radiasi eksterna di 16 ruang kerja lingkungan PTAPB- BATAN Yogyakarta periode bulan Juni sampai dengan November 2010 di sajikan dalam bentuk Tabel 1 sampai 6 dan gambar 1. Hasil yang diperoleh setelah dikurangi dengan paparan latar atau background menunjukkan bahwa paparan radiasi eksterna yang terjadi setiap bulan tidak selalu sama, bisa naik dan bisa turun, hal ini tergantung pada volume pekerja dalam penggunaan zat radioaltif dan atau sumber radiasi.
Tabel 1. Hasil pemantauan tingkat radiasi eksterna pada bulan Juni 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Buku II hal 86
No.gedung / ruangan yang diukur 02.I.17 02.I.18 02.I.19 02.I.22 02.II.13 02.II.18 04.I.05 04.I.07 06.I.hall timur 06.I.hall barat 07.I.04 07.I.hall selatan 07.I.lab selatan 08.I.02 08.I.5 lab 09.gud. limbah
Bacaan pada alat monitor (μSv/jam) 3,83 3,48 0,87 2,78 3,13 0,7 0,61 1,39 0,52 0,61 3,31 3,83 2,44 2,26 2,78 4
Bacaan pada alat monitor x f.k (μSv/jam ) 3,79 3,44 0,86 2,75 3,1 0,69 0,6 1,37 0,52 0,6 3,27 3,79 2,41 2,24 2,76 3,96
ISSN 1410 – 8178
Alat/benda yang terukur paparan radiasi tertinggi Almari bahan Meja 2 Oven Statif Almari asam Almari asam Meja Rak bahan 2 Almari asam Meja 3 Rak 1 Glove box 2 Desikator Rak sampel Almari asam Lantai ruangan
Paparan radiasi Rerata ruangan (μSv/jam) 0,82 1,51 0,6 1,63 0,83 0,49 0,36 0,59 0,28 0,34 1,32 1,08 0,1 0,5 0,56 1,66
Suparno, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Hasil pemantauan tingkat radiasi eksterna pada bulan Juli 2010 No.gedung&ruangan yang diukur
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
02.I.17 02.I.18 02.I.19 02.I.22 02.II.13 02.II.18 04.I.05 04.I.07 06.I.hall timur 06.I.hall barat 07.I.04 07.I.hall selatan 07.I.lab. selatan 08.I.02 08.I.5 lab 09.gud. limbah
Bacaan pada alat monitor (μSv/jam) 4,18 3,31 0,87 3,65 2,61 0,78 0,7 2,96 1,39 0,7 3,74 4 3,31 1,74 2,44 3,83
Bacaan pada alat monitor x f.k (μSv/jam) 4,13 3,24 0,85 3,58 2,58 0,77 0,68 2,89 1,36 0,68 3,7 3,96 3,27 1,72 2,41 3,79
Alat/benda yang terukur paparan radiasi tertinggi Almari bahan Meja 2 Lantai Meja 2 Lemari asam Almari asam Glove box Rak bahan 2 Almari asam Meja 2 Rak sampel Glove box 2 Rak sampel Rak bahan Almari asam Kayu pembatas
Paparan radiasi rerata ruangan (μSv/jam) 0,86 1,31 0,61 1,59 0,55 0,47 0,37 0,59 0,38 0,46 1,09 1,32 1,00 0,50 0,65 1,78
Tabel 3. Hasil pemantauan tingkat radiasi eksterna pada bulan Agustus 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
No.gedung&ruangan yang diukur 02.I.17 02.I.18 02.I.19 02.I.22 02.II.13 02.II.18 04.I.05 04.I.07 06.I.hall timur 06.I.hall barat 07.I.04 07.I.hall selatan 07.I.lab hall selatan 08.I.02 08.I.5 lab 09.gudang limbah
Bacaan pada alat monitor (μSv/jam) 3,83 0,87 1,04 3,83 1,04 0,87 0,7 2,61 1,04 0,61 2,78 2,96 2,78 1,57 2,26 3,48
Bacaan pada alat monitor x f.k (μSv/jam) 3,79 2,58 1,03 3,79 1,03 0,86 0,69 2,58 1,03 0,6 2,75 2,93 2,76 1,55 2,24 3,44
Alat/benda yang terukur paparan radiasi tertinggi Almari bahan Meja 2 Oven Meja 2 Almari asam Lantai Glove box Rak bahan Almari asam Wastafel Meja 1 Glove box 1 Rak sampel Rak bahan Almari asam Ruangan
Paparan radiasi rerata ruangan (μSv/jam) 0,77 1,33 0,57 1,68 0,57 0,51 0,38 0,58 0,44 0,27 0,99 1,06 1,13 0,69 0,54 1,46
Tabel 4. Hasil pemantauan tingkat radiasi eksterna pada bulan September 2010 No
No.gedung&ruangan yang diukur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
02.I.17 02.I.18 02.I.19 02.I.22 02.II.13 02.II.18 04.I.05 04.I.07 06.I.hall timur 06.I.hall barat 07.I.04 07.hall selatan 07.lab selatan 08.I.02 08.I.5 lab 09.gud. limbah
Suparno, dkk.
Bacaan pada alat monitor (μSv/jam) 4 3,31 0,87 3,31 3,04 0,78 0,52 1,39 1,04 0,52 3,83 4 2,78 2,61 2,26 3,48
Bacaan pada alat monitor x f.k (μSv/jam) 3,96 3,27 0,86 3,27 3,01 0,77 0,52 1,38 1,03 0,52 3,79 3,96 2,76 2,58 2,24 3,44
ISSN 1410 – 8178
Alat/benda yang terukur paparan radiasi tertinggi Almari bahan Rak 1 Lantai Rak sampel Almari asam Almari asam Wastafel 1 Meja 2 Almari asam Wastafel Rak 1 Glove box 1 Rak sampel Rak bahan Almari asam Kayu pembatas
Paparan radiasi rerata ruangan (μSv/jam) 0,66 1,64 0,57 1,72 0,96 0,47 0,39 0,74 0,49 0,34 1,29 1,34 0,98 1,09 0,7 2,62
Buku II hal 87
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 5. Hasil pemantauan tingkat radiasi eksterna pada bulan Oktober 2010 No
No.gedung&ruangan yang diukur 02.I.17 02.I.18 02.I.19 02.I.22 02.II.13 02.II.18 04.I.05 04.I.07 06.I.hall timur 06.I.hall barat 07.I.04 07.hall selatan 07.lab selatan 08.I.02 08.I.5 lab
Bacaan pada alat monitor (μSv/jam) 3,31 3,48 3,31 1,74 2,61 0,52 0,78 0,7 0,96 0,43 3,48 2,44 1,39 1,39 1,65
Bacaan pada alat monitor x f.k (μSv/jam) 3,27 3,44 3,27 1,72 2.58 0,52 0,77 0,69 0,95 0,42 3,44 2,41 1,38 1,38 1,63
Alat/benda yang terukur paparan radiasi tertinggi Almari bahan Almari bahan Almari bahan Rak sampel Almari asam Meja 3 Glove box Meja 2 Almari asam Lantai Meja 2 Glove box 1 Rak sampel Rak bahan Almari asam
Paparan radiasi rerata ruangan (μSv/jam) 0,59 1,14 0,61 0,93 0,55 0,28 045 0,33 0,29 0,22 1,09 0,78 0,65 0,73 0,68
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
09.gud. limbah
4,18
4,13
Permukaan drum
1,32
Tabel 6. Hasil pemantauan tingkat radiasi eksterna pada bulan November 2010 No
No.gedung&ruang an yang diukur 02.I.17 02.I.18 02.I.19 02.I.22 02.II.13 02.II.18 04.I.05 04.I.07 06.I.hall timur 06.I.hall barat 07.I.04 07.hall selatan 07.lab selatan 08.I.02 08.I.5 lab
Bacaan pada alat monitor (μSv/jam) 3,5 1,2 2,8 3,2 1,5 0,8 1,2 2,5 0,90 0,5 2,5 3,3 2,4 1,8 2,2
Bacaan pada alat monitor x f.k (μSv/jam) 3,47 1,18 2,77 3.18 1.47 0,79 1,19 2,48 0,88 0,47 2,48 3,27 2,38 1,78 1,18
Alat/benda yang terukur paparan radiasi tertinggi Almari bahan Almari bahan Almari bahan Rak sampel Almari asam Meja 3 Glove box Meja 2 Almari asam Meja lab Meja Glove box Rak sampel Rak bahan Almari asam
Paparan radiasi rerata ruangan (μSv/jam) 1.17 0.90 0.66 2.32 0.72 0.51 0.63 1.44 0.45 0,26 1.50 1.22 1.50 0.82 1.10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
09.gud. limbah
3,9
3,86
Permukaan drum
1.76
Gambar 1. Grafik hubungan antara paparan radiasi eksterna rerata dengan ruangan di lingkungan kerja pada bulan Juni - November 2010 Buku II hal 88
ISSN 1410 – 8178
Suparno, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PEMBAHASAN Bulan Juni 2010 tingkat radiasi tertinggi terdapat di permukaan lantai bagian dalam ruang gedung 09 sebesar 3,96 μSv/jam (Tabel 1). Diantara 16 daerah kerja atau laboratorium aktif, tingkat radiasi rerata ruangan yang paling tinggi terdapat di ruang yang sama, yaitu gedung 09 sebesar 1,66 μSv/jam (Tabel 1) karena di ruang ini tersimpan banyak limbah aktif baik bentuk padat maupun cair. Bulan Juli 2010 tingkat radiasi tertinggi terdapat di permukaan almari bahan ruang 02.I.17 sebesar 4,13 μSv/jam (Tabel 2), sedangkan besarnya tingkat radiasi rerata tetinggi terdapat di gedung 09 gudang limbah sebesar 1,78 μSv/jam (Tabel 2). Pada bulan Agustus 2010 tingkat radiasi eksterna tertinggi di ruang 02.I.17 sebesar 3,79 μSv/jam yang terdapat di permukaan almari bahan (Tabel 3), sedangkan tingkat radiasi reratanya di ruang 02.I.22 sebesar 1,68 μSv/jam yang terdapat di permukaan meja 2 (Tabel 3). Di ruang 02.I.22 tingkat radiasi eksterna lebih besar apabila dibandingkan dengan bulan- bulan sebelumnya, karena di ruang atau laboratorium ini terdapat banyak sampel aktif. Pada bulan September 2010 tingkat radiasi tertinggi terdapat di ruang 02.I.17 sebesar 3,96 μSv/jam terdapat di permukaan almari asam (Tabel 4) dimana almari asam tersebut terdapat beberapa sampel aktif yang baru dikerjakan sedangkan tingkat radiasi rerata pada ruangan tersebut hanya 0,66 μSv/jam (Tabel 4). Tingkat radiasi rerata yang paling tinggi diantara 16 daerah kerja atau laboratorium aktif terdapat di ruang gedung 09 gudang limbah sebesar 2,62 μSv/jam pada bulan September (Tabel 4). Di ruang ini terdapat kenaikkan sekitar 79% dari bulan sebelumnya, karena mendapatkan kiriman limbah radioaktif dari Bidang Kimia dan Teknologi Proses Bahan (BKTPB). Bulan Oktober 2010 tingkat radiasi eksterna tertinggi terdapat di permukaan drum sebesar 4,13 μSv/jam di gedung 09 gudang limbah (Tabel 5), namun di titik-titik yang lain mengalami penurunan. Sedangkan tingkat radiasi rerata ruangan turun menjadi 1,32 μSv/jam. Di ruang ini terjadi penurunan tingkat radiasi eksterna sebesar 49%, Terjadinya penurunan ini karena tidak lepas dari sifat zat radioaktif itu sendiri yang meluruh setiap saat seperti anak turun U-238, U235 dan Th-232, namun demikian tetap saja menduduki rangking pertama tertinggi tingkat radiasi eksternanya apabila dibandingkan dengan laboratorium lainnya. Bulan November 2010 tingkat radiasi eksterna tertinggi terdapat di permukaan drum sebesar 3,86 μSv/jam di gedung 09 gudang limbah (Tabel 6), Sedangkan tingkat radiasi rerata ruangan menjadi 2,32 μSv/jam di ruang 02.I.22. Suparno, dkk.
Hubungan tingkat radiasi rerata ruang dengan daerah kerja atau laboratorium aktif dapat dilihat pada grafik gambar 1. Terlihat pada grafik bahwa tingkat radiasi yang terjadi masing-masing ruangan setiap bulan mengalami kenaikan dan penurunan, hal ini tergantung besar kecilnya tingkat radioaktivitas bahan yang digunakan. Untuk bulan Juni sampai dengan bulan November 2010, terlihat bahwa perbedaan tingkat radiasi rerata ruangan setiap bulan relatif kecil, seiring dengan pekerjaan yang dilakukan, kecuali pada gedung 09 namun apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya tidak terjadi perbedaan yang berarti yang besarnya 2,3 μSv/jam (5) . Gedung 09 sering mendapatkan kiriman limbah radioaktif dari fasilitas lain, sehingga menyebabkan peningkatan paparan radiasi. Dalam pemantauan yang dilakukan selama 6 bulan berturut- turut hasil yang diperoleh di 16 daerah kerja / laboratorium aktif diatas paparan rerata ruangan paling tinggi 2,32 μSv/jam di ruang 02.I.22 (selain gedung 09), apabila seseorang bekerja di ruang tersebut selama 1 tahun (2000 jam) maka dimungkinkan kena paparan radiasi sebesar 4640 μSv/tahun atau 4,64 mSv/tahun. Gedung 09 paparan rerata ruangan paling tinggi 2,62 μSv/jam, di tempat ini kegiatan dilakukan hanya pada saat-saat tertentu seperti pewadahan, penimbangan dan sortir limbah aktif, waktu yang dibutuhkan 1 tahun tidak lebih dari 1000 jam, sehingga dimungkinkan seseorang yang bekerja di daerah tersebut kena paparan radiasi tidak lebih dari 2620 μSv/tahun atau 2,62 mSv/tahun. KESIMPULAN Dari hasil pemantauan tingkat radiasi eksterna di 16 ruang kerja lingkungan PTAPBBATAN Yogyakarta selama 6 bulan bertu-turut (bulan Juni – November 2010) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat radiasi eksterna rerata ruangan tertinggi, bulan Juni: 1,66 μSv/jam di gedung 09, bulan Juli: 1,78 μSv/jam di gedung 09, bulan Agustus: 1,68 μSv/jam di ruang 02.I.22, bulan September: 2,62 μSv/jam di gedung 09, bulan Oktober: 1,32 μSv/jam di gedung 09 dan bulan November di gedung 02.I.22 sebesar 2,32 μSv/jam. 2. Hasil yang diperoleh di 16 lingkungan kerja / laboratorium aktif tersebut diatas termasuk dalam lingkup daerah pengawasan, yaitu daerah radiasi sangat rendah dimana daerah kerja yang memungkinkan seorang pekerja menerima dosis 1 mSv (100 mrem) atau lebih dan kurang dari 5 mSv ( 500 mrem) dalam satu tahun, dosis ini masih dibawah Nilai Batas
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 89
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dosis yang direkomendasikan oleh ICRP no.60 tahun 1990 yang besarnya 20 mSv rata-rata tiap tahun selama 5 tahun, sehingga tidak membahayakan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr Agnes Murwanti, Mahrus Salam, S.Si dan Wahyu Cahyanto SMK Negeri Depok, Sleman Yogyakarta yang telah membantu terselenggaranya pengukuran ini. DAFTAR PUSTAKA 1. PERATURAN PEMERINTAH RI NO.33, TAHUN 2007, ”Tentang Keselamatan Radiasi Pengion & Keamanan Sumber Radioaktif”, Jakarta, (2007). 2. BAPETEN, ”Materi Rekualifikasi Petugas Proteksi Radiasi Bidang Instalasi Nuklir”, BAPETEN, Jakarta, (2006) 3. Surat Keputusan BAPETEN No.1/ka.BAPETEN/V/99, ”tentang ketentuan keselamatan kerja terhadap Radiasi”, Jakarta, (1999)
Buku II hal 90
4. ICRP-60, ”International Commission on Radiological Protection”, Recommendations of the International Commission on Radiological Protection, (1990). 5. ANONIM, “ Buku Pengawasan Laboratorium PTAPB” RK 10 E / APB.5.1 / 09, Yogyakarta, 2009
TANYA JAWAB Suliyanto Hasil pemantauan paparan radiasi rerata setiap bulan, apakah tidak dihitung deviasinya? Alasannya? Suparno Diharapkan dari rancangan ini segera dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yaitu anggaran 2011 oleh karena itu agak menjurus ke rancang bangun.
ISSN 1410 – 8178
Suparno, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
UJI FUNGSI ALAT AR-2000 RADIO-TLC IMAGING SCANNER Yayan Tahyan, Enny Lestari, Dadang Haffid dan Sri Setiyowati Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka–BATAN, Kawasan PUSPIPTEK Serpong,Tangerang E-mail :
[email protected] atau
[email protected]
ABSTRAK UJI FUNGSI ALAT AR-2000 Radio-TLC IMAGING SCANNER. Sistem mutu pengujian ISO/IEC 17025:2008 mensyaratkan peralatan dan piranti lunak yang digunakan dalam pengujian harus menghasilkan presisi dan akurasi yang baik. Uji fungsi diperlukan untuk menilai ketelitian dan akurasi alat dalam pengujian. Peralatan AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner di bidang kedokteran nuklir digunakan dalam pengujian kemurnian radiokimia. Ketelitian ditetapkan dengan nilai koefisien variasi (%CV) dan akurasi membandingkan hasil pengujian dengan peralatan yang sejenis. Alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner memberikan nilai koefisien variasi (%CV) < 4,26% dan nilai kalibrasi linieritas < 3mm. Serta mempunyai beberapa keuntungan antara lain: alat bekerja secara komputerisasi, kapasitas jumlah sampel yang diuji 8 kali lebih banyak, waktu pengerjaan lebih singkat, serta seluruh data pengujian dapat disimpan. Kata kunci: Uji fungsi, TLC Imaging Scanner, ketelitian
ABSTRACT FUNCTION TEST EQUIPMENT AR-2000 Radio-TLC IMAGING SCANNER. Testing quality system ISO / IEC 17025:2008 requires that equipment and software used in testing have to give good precision and accuracy. Function test is needed to assess the precision and accuracy of the equipment and testing. In the field of nuclear medicine, the equipment AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner in used for radiochemical testing. Precision is determined by the value of the coefficient of variation (% CV) and accuracy of test results compared with similar devices. AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner gives a coefficient of variance (% CV) < 4.26% and calibration plate values < 3mm. The equipment also has some advantages such as working in a computerized system, the number of samples tested 8 times more, shorter processing time and all of the testing data can be stored. Key words: function test, TLC Iamging Scanner, precision.
PENDAHULUAN
U
ntuk menunjang kegiatan Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka (PRR) BATAN yang mempunyai tugas pendayagunaan hasil penelitian dan pengembangan radioisotop dan radiofarmaka, diperlukan alat yang mampu menunjang kegiatan tersebut di atas. Menurut sistem mutu pengujian SNI ISO/IEC 17025-2008 Klausul 5.5 bahwa peralatan dan piranti lunak yang digunakan untuk pengujian harus mampu menghasilkan akurasi yang diperlukan dan sesuai dengan spesifikasi yang relevan dengan pengujian yang dimaksud[1]. Yayan Tahyan, dkk.
Hal ini berarti setiap alat uji yang baru atau selesai diperbaiki dan mengalami penggantian suku cadang harus dilakukan uji fungsi. Uji fungsi alat diperlukan untuk menilai ketepatan dan ketelitian alat dalam pengujian sehingga didapatkan hasil pengujian yang dapat dipercaya dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan sehingga memberikan jaminan terhadap mutu dan keakuratan data hasil uji sekaligus menjamin kompetensi laboratorium penguji. Peralatan AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner merupakan peralatan yang digunakan
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 91
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
untuk analisa hasil kromatogram dalam pengujian kemurnian radiokimia dalam bidang kedokteran nuklir. AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner ini dilengkapi pula dengan detektor yang dapat mendeteksi pemancar sinar Beta dan Gamma[2]. Peralatan ini merupakan alat baru yang dibeli dengan menggunakan dana DIPA PRR tahun 2010. Pada makalah ini disajikan teknik uji fungsi alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner untuk mementukan nilai presisi (ketelitian). Presisi ditentukan dengan menghitung nilai Koefisien Variasi (%CV) alat terhadap standar Carbon-14. Nilai Koeffisien Variasi ( %CV) dihitung dengan menggunakan rumus : ∑x X rata-rata = -------n SD =
( x –X)2 --------------n–1
CV =
SD --------------- x 100 % X rata-rata
Dimana,
X = nilai rata-rata x = nilai data n = jumlah data SD = Standar Deviasi CV = Koefisien Variasi[5]
TATA KERJA Bahan yang digunakan. Larutan Sediaan 153Sm-EDTMP, diperoleh dari Laboratorium Proses Bidang Sarana Penunjang dan Proses –PRR BATAN. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan pipet ependorf 50 uL dan dimasukkan ke dalam vial 1 ml. Bahan kimia Amoniak 25% RG dari E. Merck. Aqua Bidest berasal dari IPHA. Untuk fasa diam kromatografi digunakan Kertas Whatman 1 buatan E.Merck yang dipotong dalam ukuran 1,0 cm x 14 cm dan ditandai setiap jarak1 cm. Untuk pengambilan sampel digunakan mikropipet ependorf 1 uL. Sumber standar Carbon-14 dengan aktifitas 15 µCi (555 kBq) buatan dari Erckert & Ziegler Isotope Product California. Alat yang digunakan.
AR2000 radio-TLC Imaging Scanner dan setelah itu diukur dengan pencacah gamma Kromatogram diukur dengan alat
counter Model 600B Gamma Tec II The Nucleus. Setiap analisis dilakukan duplo/triplo.[3] Buku II hal 92
Cara Kerja. 1. Pemeriksaan Tabung Gas P-10. Sebelum pengoperasian alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner terlebih dahulu diperiksa kondisi gas P-10 dengan membuka katup utama pada tabung gas dan pastikan bahwa gas tersebut mempunyai tekanan yang cukup untuk menghidupkan detektor (indikator tekanan pada regulator tabung gas harus berada antara 20 – 25 psi). 2. Uji Fungsi kerja detektor Seluruh kabel power yang diperlukan disambungkan pada sumber arus PLN , kemudian tombol pada detektor dipindahkan ke ON yang diindikasikan dengan menyalanya lampu hijau pada panel detektor. Tombol HOME ditekan untuk memastikan bahwa detektor akan kembali ke tempat semula. Kemudian tombol NEXT TAB ditekan sehingga detektor akan bergerak menuju tempat indikator tab diletakkan. Untuk mengembalikan detektor ke posisi semula ditekan kembali tombol HOME. Detektor juga dapat digeser ke atas, ke bawah, ke kanan maupun ke kiri sesuai kebutuhan. 3. Kalibrasi Posisi Linieritas. Sumber standar C-14 diletakkan pada sample holder kemudian dicacah selama satu menit dan dilihat nilai centroid puncak kesatu (27 mm), kedua (100 mm), dan ketiga (172 mm). Nilai centroid yang diperoleh dari hasil pencacahan tidak boleh melebihi dari ± 3mm.[2] 4. Pengukuran sampel. Komputer dihidupkan kemudian dipilih ikon WinScan3 pada dekstop. Ditekan menu File, pada display akan menampilkan user loggin dan harus memasukan User Name (bioscan) dan password (su). Pilih menu Acquisition, New Method untuk mebuat menu baru, Edit Method untuk mengedit metoda yang telah tersedia dan Quick Start untuk menjalankan program yang telah tersedia. Pada display akan tampil dialog Method yang harus diisi sesuai dengan Method Name yang dipilih. Data File Name diketik misal dengan 01 untuk cuplikan yang akan dicacah, Max Time 1.00 min, Max Count diisi dengan angka nol, Lane Number disesuaikan dengan jumlah cuplikan yang dicacah pada setiap kali pencacahan. Print Report diklik untuk mencetak langsung hasil pencacahan setiap cuplikan. Starting Point : klik Next Tab, Comment : Isi sesuai dengan komentar yang diinginkan dalam tampilan hasil kromatogram. Cuplikan yang akan dicacah diletakkan pada
ISSN 1410 – 8178
Yayan Tahyan, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
sample holder yang tersedia. Bila semua sudah siap lalu ditekan OK. Perhatikan posisi aliran gas P-10 sewaktu alat mencacah sampel. Pastikan aliranya harus berada pada 2.0 – 2.5 LPM. Jika tekanan kurang atau lebih lakukan penyetelan pada regulator . Setelah selesai pencacahan cuplikan, klik File dan klik Logout. Klik lagi File dan klik Exit. Kemudian isi log book pemakaian alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner pada buku yang tersedia. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada gambar 1. memperlihatkan perangkat alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner yang dilengkapi dengan dekstop yang didalammya terpasang program WinSCan versi 3. Alat AR2000 radio-TLC Imaging Scanner dilengkapi detektor wire anode yang bekerja dengan bantuan gas P-10 (campuran gas Argon 90% dan Methane 10%) .
Gambar 1.
Alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner Gambar 2. memperlihatkan hasil kromatogran yang dihasilkan dari pencacahan sumber standar Carbon-14 yang ditampilkan pada monitor, dimana terlihat ada tiga puncak kromatogram dari sumber standar Carbon-14.
Gambar 2. Tampilan kromatogran pencacahan sumber standar Carbon-14
Yayan Tahyan, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 93
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 3. Hasil cetak (print out) dari pencacahan sumber standar Carbon-14 Sedangkan pada gambar 3. merupakan hasil cetak (print out) dari pencacahan sumber standar Carbon-14. Pada hasil cetakan akan didapatkan beberapa informasi diantaranya : 1. Intrument Parameters tampilan yang menggambarkan method yang dipakai, File, tanggal pengerjaan, waktu cacah, resolution, 2. Comment : sesuai dengan judul pengerjaan yang dimasukan
3. Analysis Parameters : latar belkang, total cacahan 4. Region Analysis : menampilkan informasi tentang jumlah kromatogram yang dicacah lengkap dengan jumlah cacahan dan persen ROI (Region Of Interest) Hasil cetak (print out) pencacahan sumber standar Carbon-14 dapat dilihat secara jelas pada lampiran 1.
Tabel 1. Data hasil pencacahan sumber standar Carbon-14
Dalam tabel 1 didapatkan nilai puncak kromatogram kesatu berada pada centroid 28,1 mm, puncak kedua pada centroid 100,1 mm dan puncak ketiga pada centroid 172,4 mm. Dengan demikian untuk puncak kesatu mempunyai selisih nilai 1,1 mm, puncak kedua 0,1 mm dan puncak ketiga 0,4 mm. Selisih nilai tersebut masih berada pada nilai yang diperbolehkan yaitu ± 3 mm.[2] Jika selisih nilai yang didapat melebihi 3 mm maka harus dilakukan penyetelan kembali terhadap alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner. Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari
Buku II hal 94
rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil. Presisi biasanya dinyatakan dalam Coeffisient of Variation (CV) atau Relative Standard Deviation (RSD).[5] Dalam tabel 2 memperlihatkan bahwa pengukuran berulang terhadap standar Carbon 14 memberikan nilai koefisien variasi (%CV) antara 2,65 % - 4,26%. Nilai presisi yang dihasilkan ini sangat baik untuk alat yang digunakan dalam suatu laboratorium pengujian. Nilai koefisien variasi (%CV) yang masih dapat diterima 15 -20% (menurut Washington Conference Report on bioanalytical method validation).[5]
ISSN 1410 – 8178
Yayan Tahyan, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Data hasil pencacahan standar Carbon-14 pada puncak kedua. Sample yang dicacah
Jumlah Data
Rerata (x)
SD
% CV
Carbon-14 peak ke-2
10
10057,90
296,97
2,95
Carbon-14 peak ke-2
7
10317,14
439,02
4,26
Carbon-14 peak ke-2
5
12126,20
496,14
4,09
Carbon-14 peak ke-2
7
11858,86
482,32
4,07
Carbon-14 peak ke-2
7
11737,00
310,56
2,65
Carbon-14 peak ke-2
15
11602,27
493,76
4,26
Carbon-14 peak ke-2
10
12074,70
439,59
3,64
Carbon-14 peak ke-2
14
11819,00
448,67
3,80
Laboratorium pengujian. Nilai koefisien variasi (%CV) yang masih dapat diterima 15 -20% (menurut Washington Conference Report on bioanalytical method validation).[5] Pada penentuan nilai akurasi alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner, tidak dapat ditentukan dikarenakan tidak mempunyai bahan standar yang dapat diukur dengan dua alat yang berbeda. Akan tetapi pengujian akurasi alat telah dilakukan dengan pengujian satu sample menggunakan dua alat yang berbeda dan hasilnya dapat terlihat pada tabel 3. Pada tabel tersebut disajikan perbandingan hasil pengujian kemurnian radiokimia, hasil ini merupakan hasil pengujian cacahan kromatogram yang diukur dengan alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner dibandingkan dengan hasil cacahan menggunakan
alat gamma counter Model 600B Gamma Tec II The Nucleus. Nilai kemurnian radiokimia dengan menggunakan alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner memberikan nilai hasil yang hampir sama ( selisih pembacaan berada pada kisaran 1,16% 3,10%). Akan tetapi beberapa keuntungan yang didapat jika pencacahan kromatogram menggunakan alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner antara lain :alat telah bekerja secara komputerisasi sehingga waktu pencacahan lebih singkat, jumlah sampel yang dicacah lebih banyak ( 8 sampel dalam satu kali perintah),hasil pencacahan (kromatogram) bisa langsung dicetak dengan lebih banyak meberikan informasi parameter yang disajikan seperti terlihat dalam lampiran 1, serta seluruh data pengujian dapat disimpan dalam data file.
Tabel 3. Data Perbandingan Hasil Pengujian Kemurnian. Sample yang diuji
% Radiokimia dng
% Radiokimia dng Gamma
TLC Scanner
Counter
Selisih Pembacaan
153Sm-EDTMP
99,89 %
98,73 %
1,16 %
125I-Aflatoksin
1
99,40 %
96,30 %
3,10 %
125I-Aflatoksin 125I-Aflatoksin
2 3
99,50 % 98,60 %
96,50 % 96,60 %
3,00 % 2,00 %
125I-Aflatoksin
4
78,00 %
79,40 %
1,40 %
94,20 %
91,60 %
1,60 %
125I-PSA
KESIMPULAN Uji fungsi alat AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner memberikan nilai presisi yang baik yaitu (%CV) < 4,26% dan nilai posisi kalibasi linieritas < 3 mm. Serta memberikan hasil yang sama jika dibandingakan dengan alat gamma counter (selisih pembacaan anatara 1,16% Yayan Tahyan, dkk.
3,10%. Akan tetapi alat ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain alat telah bekerja secara komputerisasi sehingga waktu pengerjaan lebih singkat, kuantitas sampel yang diuji lebih banyak 8 kalinya, data pangujian dapat disimpan dalam bentuk data file serta hasil cetakan (print out) yang lebih banyak memberikan informasi parameter pengujian.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 95
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
UCAPAN TERIMAKASIH Kami haturkan terimakasih kepada Bpk. Ir. Suhandar selaku Kepala Bidang Sarana Penunjang dan Proses, Ibu Anna Roselliana selaku Kepala Sub Bidang Proses. Serta teman sejawat Sub Bidang Proses yang telah banyak membantu dalam penyusunan makalah ini.
5. ASEP RAHMAT HIDAYAT,”Validasi Metode”, Pelatihan Pengelolaan Laboratorium Pengujian/Kalibrasi berdasarkan ISO 17025:2005, Tangerang 22-23 Juli 2008.
TANYA JAWAB DAFTAR ACUAN. 1. ANONIM, “Persyaratan Umum dan Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi”, SNI ISO/IEC 17025:2008, Badan Standardisasi Nasional. 2. ANONIM, “Manual AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner”, Presented by QT Instruments (S) Pte Ltd, Bioscan 2010 3. YAYAN TAHYAN,”Intruksi Kerja Pengoperasian AR-2000 radio-TLC Imaging Scanner”, PRR-BATAN, 04 Oktober 2010. 4. YAYAN TAHYAN, ENNY LESTARI, ”Intruksi Kerja Pemeriksaan dan Pengujian Mutu 153Sm-EDTMP”, PRR-BATAN, 04 Februari 2009.
Buku II hal 96
Sugeng Purnomo Mohon penjelasan adanya 3 peak pada kromotogram C-14 Yayan Tahyan Karena dalam standart C-14 untuk penentuan kalibrasi posisi linearitas ada 3 puncak yaitu puncak ke 1 pada posisi 27mm, posisi ke 2 pada 100mm, dan puncak ke-3 pada posisi 172mm.
ISSN 1410 – 8178
Yayan Tahyan, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
LAMPIRAN
Yayan Tahyan, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 97
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PERANCANGAN SISTEM PANTAU UDARA BUANG DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL Muradi, Suliyanto Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir – BATAN, Kawasan PUSPIPTEK Serpong,Tangerang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK PERANCANGAN SISTEM PANTAU UDARA BUANG DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL. Perancangan sistem pantau udara buang di Instalasi Elemen Bakar Eksperimental (IEBE) telah dilakukan. Tujuan perancangan adalah untuk memantau lebih akurat radioaktivitas udara buang IEBE, secara kontinyu, dapat diketahui dari ruang kontrol dan lobby. Metoda yang digunakan adalah perancangan pemantau udara kontinyu dan perancangan ulang pencuplik udara. Hasil perancangan pemantau udara kontinyu, terdiri dari: alat pantau dengan debit pompa hisap 20 - 50 lpm; rumah pantau; kabel yang dibutuhkan; komputer PC di ruang kontrol; serta LCD video TV dan Strobe lamp alarm di ruang lobby. Hasil perancangan ulang pencuplik udara terdiri dari 12 buah pipa Stainless Steel 304 (SS 304) berdiameter 0,5 inch, dengan jari-jari bagian lengkung dan panjang bagian lurus masing-masing 2,5 inchi. Pipa pencuplik dipasang di dalam cerobong vertikal pada ketinggian ± 5 m. Dapat disimpulkan, bahwa sistem pantau udara buang IEBE dapat dibuat sesuai dengan hasil perancangan pemantau udara kontinyu dan hasil perancangan ulang pencuplik udara. Kata kunci: IEBE, pemantau, perancangan, radioaktivitas, udara buang.
ABSTRACT DESIGN OF THE EXHAUST AIR MONITORING SYSTEM IN EXPERIMENTAL FUEL ELEMENT INSTALATION. Design of the exhaust air monitoring system in Experimental Fuel Element Installation (IEBE) has been done. Design purpose is to more accurately monitor the exhaust air radioactivity IEBE, continuously accessible from the control room and lobby. The method used is the design of continuous air monitors and redesigned of the air sample. The design result of continuous air monitors, consist of: monitoring device a tool to monitor with suction pump flow 20-50 lpm; house monitor; cable required; portable PC in the control room, and the video LCD TVs and Strobe lamp alarm in the hall lobby. The result of redesigning the air sample consists of: 12 pieces pipe Stainless Steel 304 (SS 304) 0.5-inch diameter, with a radius of curvature and length of the straight portion of each 2.5 inches. Sample pipe installed in a vertical stack at an altitude of ± 5 m. It can be concluded, that the exhaust air monitoring system IEBE can be made in accordance with the results of continuous air monitors design and redesign the air sample. Keywords: air exhaust, IEBE, design, monitoring, radioactivity.
PENDAHULUAN
I
nstalasi Elemen Bakar Eksperimental (IEBE) adalah suatu instalasi nuklir dalam Kawasan Nuklir Serpong yang digunakan untuk melaksanakan penelitian dan pengembangan (litbang) teknologi produksi bahan bakar nuklir. Buku II hal 98
Limbah radioaktif yang timbul merupakan limbah akibat adanya kontaminasi U terhadap materi yang dipakai dalam kegiatan IEBE. Limbah radioaktif tersebut dapat berupa limbah aerosol (partikulat radioaktif yang terdispersi ke udara), yang berasal dari kegitan IEBE disaring dengan dua tingkat filtrasi sebelum di buang ke udara luar. Filter
ISSN 1410 – 8178
Muradi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
tingkat pertama dengan prefilter dan tingkat kedua disebut after filter menggunakan filter HEPA (High Efficiency Particulate Air) yang mempunyai efisiensi penyaringan minimal sebesar 99,97 % untuk partikulat berdiameter 0,3 µm. Pembuangan udara ke luar melalui sistem cerobong dengan tinggi dari permukaan tanah ± 25 m dan kapasitas alir udara (debit) yang melalui cerobong buang berdasarkan desain IEBE sebesar ± 24.500 m3/jam. Buangan udara yang melalui cerobong buang (Stack) ke lingkungan ini harus dimonitor aktivitas radioaktifnya. Pengambilan cuplikan udara buang pada saat ini dilakukan hanya dengan mencuplik udara dengan menggunakan air sampler dari saluran udara buang (cerobong) pada posisi udara buang turbulent (Gambar 1).
Gambar 1. Pipa pencuplik udara buang (lama) pada cerobong IEBE Batas pelepasan efluen radioaktif dalam bentuk aerosol dari IEBE ke luar atau lingkungan adalah cerobong IEBE yang tingkat radioaktivitasnya selalu terpantau [1]. Pemantauan udara buang yang baik, dilakukan secara kontinyu melalui pipa pencuplik yang dapat mewakili distribusi partikulat di dalam saluran udara buang pada posisi laminar. Disain pencuplik udara buang IEBE telah dilakukan berdasarkan standar ISO 2889. Dari perhitungan didapat jumlah pipa pencuplik kecil sebanyak 8 buah dengan diameter bagian dalam pipa sebesar 9,47 mm. Panjang pipa pencuplik utama sepanjang 2,2 m dengan diameter bagian dalam 35 mm. Pemasangan pipa cuplikan udara ideal di posisi 2 m ke bawah dari posisi tertinggi /puncak cerobong. Pipa yang digunakan sebaiknya pipa SS, karena pipa SS mempunyai permukaan yang halus dengan demikian diharapkan lajur alir partikulat tidak Muradi, dkk.
terhambat dan pipa SS bersifat lebih tahan korosi jika dibandingkan dengan pipa galvanis. [2]. Tujuan perancangan adalah untuk memantau lebih akurat radioaktivitas udara buang IEBE, secara kontinyu dapat diketahui dari ruang kontrol dan lobby. Oleh karena itu perlu dirancang sistem pantau udara buang IEBE tersebut, agar dapat segera direalisasikan. Perancangan sistem pantau udara buang IEBE meliputi perancangan pemantau udara kontinyu dan perancangan ulang pencuplik udara. Perancangan ulang pencuplik udara dilakukan, sesuai dengan ukuran diameter cerobong yang sebenarnya dan debit pompa hisap alat pantau udara kontinyu yang dibutuhkan. TEORI Alat pantau udara kontinyu (Continuous Aerosol Monitor) dengan menggunakan teknologi state-of-the-art suatu spektrum untuk analisis pengukuran dalam waktu singkat, merupakan suatu kemajuan nyata dalam teknik deteksi partikulat alfa. Alat pantau yang menggunakan algoritma puncak isotop yang cocok terbukti lebih akurat daripada menggunakan metoda lainnya, sehingga respon akan lebih cepat, lebih akurat dan lebih dapat diandalkan. Alat pantau harus secara kontinyu memonitor partikulat alfa dan beta yang disimpan pada filter statis terpasang dengan detektor jenis solid state dengan efisiensi tinggi. Udara dihisap melalui filter oleh pompa vakum eksternal atau didistribusikan oleh pompa vakum utama. Alat pantau harus mampu secara akurat menentukan background (Radon) untuk membatasi adanya alarm palsu. Alat pantau harus dapat member kompensasi suhu dan tekanan udara, sehingga memungkinkan stabilisasi spektrum alfa. Stabilisasi tersebut memberikan kontribusi menurunkan pergeseran spektrum yang disebabkan oleh perubahan suhu dan tekanan udara, sehingga membantu meningkatkan akurasi deteksi [3]. Pengambilan cuplikan udara yang dapat mewakili adanya partikulat radioaktif didalam cerobong, sehingga dalam pemilihan titik pengambilan harus memperhatikan dimensi pipa pencuplik yang digunakan. Titik pengambilan cuplikan dalam saluran cerobong harus dipilih berasarkan beberapa faktor, diantaranya pada daerah saluran siku-siku atau terdapat transisi aliran yang kuat, aliran keras penuh olakan (turbulent ) harus dihindari. Pengambilan untuk daerah saluran siku-siku atau daerah transisi aliran yang kuat, kesatuan titik-titik pengambilan cuplikan harus berada minimum sama dengan lima kali (5x) diameter saluran ventilasi dan lebih baik sepuluh kali (10x) atau lebih dari daerah siku-siku. Titik pengambilan cuplikan udara di cerobong udara buang (Stack) harus ditentukan berdasarkan
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 99
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
standar yang berlaku di instalasi nuklir, dimana pada umumnya berdasarkan ISO 2889:1975 [4]. Pemilihan untuk mencuplik udara buang diutamakan pada daerah arus vertikal dibandingkan pada daerah arus horizontal. Pengambilan cuplikan pada saluran pembuangan udara harus dilakukan dengan saksama untuk menghindarai kemungkinan pencapaian partikulat yang tidak merata. Posisi yang dianggap baik adalah dimana aliran udara di dalam saluran buang tersebut dalam kondisi stabil tidak bergolak (laminar) dengan harapan gas buang yang berada di saluran tersebut bersifat homogen. Secara prinsip perhitungan pengambilan cuplikan udara harus setimbang antara debit aliran gas buang dengan debit pompa untuk menghisap udara buang yang akan digunakan [4,5]. Pengambilan cuplikan harus dilaksanakan pada beberapa titik, dimana jumlah titik pengambilan cuplikan pada cerobong berbentuk lingkaran/silender dapat dilihat pada pada Tabel 1. Penentuan ukuran diameter pipa pencuplik udara buang didalam cerobong dapat menggunakan persamaan [4,5]: (1)
Dengan : ∅ = diameter pipa pencuplik (m). Q = jumlah debit udara yang akan diambil (m3/jam). T = suhu udara buang (0K). V= kecepatan alir udara kondisi isotonik (m/jam). N = jumlah titik pengambilan cuplikan. Kecepatan alir udara dihitung menggunakan persamaan [4,5]:
(2) Dengan : D = kapasitas alir udara buang (m3/ jam). A = luas tampang cerobong (πr2). Penentuan jari-jari bagian lengkung (R) dan panjang bagian lurus (L) dari pipa pencuplik menggunakan persaman [4,5]: R ≥ 5. ∅ dan L ≈ 5. ∅
(3)
Dengan : R = jari-jari bagian lengkung pipa pencuplik L = Panjang bagian lurus pipa pencuplik ∅ = diameter dalam dari pipa pencuplik
Buku II hal 100
Tabel 1. Jumlah minimum titik pengambilan cuplikan cerobong lingkaran/silinder [4,5].
mm
inchi
Jumlah Minimum Titik Pengambilan Cuplikan
1
50 s/d 200
2 s/d 8
1
2
201 s/d 305
8 s/d 12
2
3
306 s/d 457
12 s/d 18
3
4
458 s/d 711
18 s/d 28
4
5
712 s/d 1219
28 s/d 48
5
6
≥ 1220
≥ 48
6
No.
Diameter Cerobong
TATA KERJA Metoda yang digunakan adalah perancangan pemantau udara kontinyu dan perancangan ulang pencuplik udara. Perancangan pemantau udara kontinyu, dilakukan untuk menghubungkan pencuplik udara dengan alat pantau, kemudian dari alat pantau ke ruang kontrol serta lobby IEBE. Sebelum perancangan pemantau udara kontinyu dilakukan, alat pantau yang sesuai dengan kebutuhan dipilih terlebih dahulu. Tentukan kebutuhan tambahan untuk menghubungkan alat pantau ke ruang kontrol serta lobby IEBE. Selanjutnya dibuat gambar perancangan pemantau udara kontinyu tersebut. Sebelum perancangan ulang (redesign) pencuplik udara, terlebih dahulu lakukan pengukuran diameter pipa cerobong udara buang IEBE secara langsung di atas stack. Selanjutnya mencari data kapasitas alir udara (debit) cerobong berdasarkan desain IEBE. Debit pompa hisap ditetapkan sebesar 2 m3/jam atau ± 33,33 lpm. Lakukan perhitungan kecepatan alir udara buang. Setelah itu lakukan perkiraan suhu udara buang, dan tentukan jumlah titik pengambilan cuplikan sesuai diameter cerobong. Hitung berturut-turut ukuran diameter pipa pencuplik, jari jari bagian lengkung serta panjang bagian lurus dari pipa pencuplik. Dari hasil perancangan tersebut tentukan kebutuhan pembuatan pipa pencuplik, serta buat gambar perancangan ulang dan posisi pemasangan pipa hisap di dalam cerobong IEBE. HASIL DAN PEMBAHASAN Perancangan pemantau udara kontinyu, dimulai dengan menentukan perkiraan debit hisap udara buang yang akan ditarik oleh pompa alat pantau. Alat continuous aerosol monitor yang akan dipilih memonitor radioaktivitas udara buang, kirakira mempunyai debit hisap sebesar 2 m3/jam atau 33,33 lpm. Sistem pompa hisap (vacuum carbon
ISSN 1410 – 8178
Muradi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
vane) pada alat pantau, mempunyai kisaran debit 20 - 50 lpm. Detektor solid state beresolusi tinggi, daerah aktif 450 mm2, kisaran pengukuran 1.10-2 1.105 Bq/m3 (2,7.10-13 - 2,7.10-6 µCi/ml) Alpha dan efisiensi detector biasanya 22.5% tergantung jenis isotop. Signal processor digital untuk sitem detektor, sebagai berikut: 1. Windows CE dan Touchscreen LCD back-lit 2. MCA:1024 saluran Analog ke Digital Converter (ADC). 3. suara alarm: 1800Hz, 80dB. 4. visual alarm: Xenon strobe. 5. kalibrasi energi dan perawatan rutin lainnya: secara otomatis
6. outputs: RS485 /RS232, TCP/IP, Analog (420mA) atau digital output. 7. suhu operasi: - 10 0C sampai 50 0C (140 0F – 122 0F). 8. catu daya: AC single phase (90 – 264 V), dengan battery backup 30 menit. 9. sumber Standard alpha: Am-241. Secara lengkap perancangan pemantau udara kontinyu yang menghubungkan alat pantau ke ruang kontrol dan lobby IEBE, dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perancangan pemantau udara kontinyu. Spesifikasi tambahan untuk rumah untuk alat pantau, ruang kontrol dan ruang lobby yang dibutuhkan, sebagai berikut : 1. rumah (housing system) alat pantau, dibawah cerobong berukuran pxlxt = 2x2x3, dengan Air Conditioner (AC) 0,5 PK. 2. kabel outdoor untuk menghubungkan alat pantau dengan ruang kontrol. 3. Kabel beldon 8104 untuk menghubungkan alat pantau dengan Komputer PC di ruang kontrol. 4. Kabel beldon 8104 untuk menghubungkan alat pantau dengan Strobe lamp alarm di ruang lobby. 5. Ethernet cable-CAT5 untuk menghubungkan Komputer PC dengan LCD video TV yang di gantung di ruang lobby. Muradi, dkk.
6. komputer PC di ruang kontrol: Pentium intel Processor, 2.33Hz, 1Gb RAM, 19” LCD Monitor, 250GB Hard Drive,Windows OS. 7. LCD video TV wide screen 30” dan Strobe lamp alarm di ruang lobby Perancangan ulang pencuplik udara, dimulai dengan mengukur diameter cerobong udara buang IEBE secara langsung. Cerobong udara buang IEBE berbentuk silinder, dengan ukuran diameter cerobong ± 3,5 m. Berdasarkan desain cerobong udara buang IEBE berkapasitas alir udara (debit) sebesar 24.500 m3/jam. Sehingga perkiraan kecepatan alir udara buang dapat dihitung menggunakan rumus: V = (24.500)/3,14 x (1,75)2 = 23.874 m/jam.. Perkiraan suhu udara buang yang mengalir sebesar 25 0C atau 298 0K.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 101
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Beradasarkan literatur, bila diameter cerobong ≥ 1220 mm jumlah minimum titik pengambilan cuplikan sebanyak 6 buah. Diameter cerobong IEBE 3,5 m, sehingga mm jumlah titik pengambilan cuplikan (n) ditentukan sebanyak 12 buah, dengan jarak masing-masing 25 cm. Debit hisap dari alat pantau udara buang secara kontinyu, ditentukan sebesar 2 m3/jam atau 33,33 lpm Sehingga ukuran diameter pipa pencuplik udara buang didalam cerobong dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:
∅ = 0,0126 m = 12,6 mm ≈ 0,5 inchi. Diameter pipa pencuplik (∅) dari hasil perhitungan tersebut ditetapkan sebesar 0,5 inchi. Jari jari bagian lengkung pipa pencuplik ditetapkan ≈ 2,5 inchi. Panjang bagian lurus pipa pencuplik ditetapkan ≈ 2,5 inchi. Pipa pencuplik yang dimasukan ke dalam cerobong dipasang pada
posisi ± 5 m atau di tengah cerobong vertikal, sehingga diharapkan udara buang sudah laminar dan tidak turbulent. Sehingga radioaktivitas yang terpantau secara kontinyu dapat mewakili distribusi partikulat yang sebenarnya dari udara buang IEBE. Pencuplik udara hasil rancangan, terdiri dari pipa-pipa pencuplik, pipa utama dan pipa penghubung. Pipa pencuplik sebanyak 12 buah pipa Stainless Steel 304 (SS 304) berdiameter 0,5 inchi (lihat Gambar 3), yang di las pada pipa utama. Antara pipa pencuplik satu dengan lainnya dipasang berjarak ± 25 cm. Pipa utama, sebanyak 1 buah pipa SS 304 berdiameter 1 inchi. Pipa penghubung yang dibutuhkan sebanyak ± 3 batang pipa SS 304 berdiameter 0,5 inchi. Pipa penghubung untuk menghubungkan pipa utama dengan pompa pemantau udara pada alat continuous aerosol monitor pada rumah pantau yang berada di bawah cerobong. Perancangan ulang pencuplik udara secara lengkap, dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pipa pencuplik dan posisi pemasangannya pada cerobong.
KESIMPULAN Hasil perancangan pemantau udara kontinyu, terdiri dari: alat pantau dengan debit pompa hisap 20 - 50 lpm; rumah pantau; kabel yang dibutuhkan; komputer PC di ruang kontrol; serta LCD video TV dan Strobe lamp alarm di ruang lobby. Hasil perancangan ulang pencuplik udara terdiri dari 12 buah pipa Stainless Steel 304 Buku II hal 102
(SS 304) berdiameter 0,5 inch, dengan jari-jari bagian lengkung dan panjang bagian lurus masingmasing 2,5 inchi. Pipa pencuplik dipasang di dalam cerobong vertikal pada ketinggian ± 5 m. Dapat disimpulkan, bahwa sistem pantau udara buang IEBE dapat dibuat sesuai dengan hasil perancangan pemantau udara kontinyu dan hasil perancangan ulang pencuplik udara.
ISSN 1410 – 8178
Muradi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA
TANYA JAWAB
1. TIM LAK-PTBN, ”Laporan Analisis Keselamatan (LAK) Instalasi Elemen Bakar Eksperimental (IEBE)”, Pusat Teknologi bahan bakar Nuklir, Nomor Dokumen KK20J09003, Revisi 6, Serpong, 2006. 2. BUDI PRAYITNO, “Disain Pencuplik Udara Buang Instalasi Elemen Bakar Eksperimental”, Urania Vol. 13 No. 2 April 2007: 46-98 , ISSN 0852-4777, Serpong, 2007. http://www.labimpex.com/eu, 3. ANONIM, “Alpha/Beta Particulate in Air Monitor”, Laboratory Impex Systems Ltd, Dorset, England, 2008. 4. ANONIM, ISO 2889:1975, “General principles for sampling airborne radioactive materials”, International Organization for Standardization, Geneva, 1975. 5. PERRY JH., Chemical Engineers Hand Book, 6th edition Mc. Graw Hill, Koga Kusha, 1984.
Adi wijayanto Prinsip interface menggunakan apa? Max jarak berapa? Data base menggunakan apa? Apakah bisa digunakan web base Data dari monitor radiasi berupa data apa? Decimal atau digital biner? Muradi Tidak menggunakan interface, tapi menggunakan kabel fiber optic Program sudah ada pada alat monitor yang akan dibeli produk Lab. Impex/PC Data digital dari kontaminasi kadar buang
Muradi, dkk.
Nugroho Dalam rancangan ini menggunakan sistem pengukuran satu unit/sistem terpisah? Mengapa dipilih demikian? Muradi Menggunakan sistem satu unit
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 103
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
IMPLEMENTASI SK. BAPETEN NOMOR : 01/KA-BAPETEN/V 1999, TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI DI INSTALASI NUKLIR. Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir-BATAN, Kawasan PUSPIPTEK Serpong,Tangerang E-mail:
[email protected]
ABSTRAK IMPLEMENTASI SK. BAPETEN NOMOR : 01/KA-BAPETEN/V-1999, TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI DI INSTALASI NUKLIR. Berdasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 16 ayat 1 berbunyi : Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan dan ketentraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. Selanjutnya dari Undang-Undang ini diturunkan lebih lanjut ke SK. BAPETEN Nomor : 01/KA-BAPETEN/V-1999, yaitu tentang : Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi. Dalam Surat keputusan tersebut hanya berisikan aturan secara umum tentang keselamatan kerja yang berhubungan dengan pengelolaan radiasi, khususnya di Instalasi Nuklir. Tujuan dari Implementasi SK. BAPETEN Nomor : 01/KA-BAPETEN/V-1999 untuk memberikan gambaran secara lebih jelas, terutama kepada Pengusaha Instalasi Nuklir (PIN) yaitu : Tentang penanganan yang harus dilakukan dalam mengendalikan bahaya radiasi dan kontaminasi di Instalasi Nuklir tersebut serta pelayanan kesehatan yang harus diberikan kepada Pekerja Radiasi. Metoda yang dilakukan dengan .mempelajari Undang-Undang Ketenaganukliran dan SK. BAPETEN Nomor : 01/KA-BAPETEN/V1999 serta pelaksanaannya di Instalasi Nuklir. Kesimpulan menunjukkan keselamatan radiasi dan kesehatan pekerja radiasi harus menjadi prioritas pertama. Kata Kunci : Keselamatan, kontaminasi, radiasi, udara buang, paparan.
ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF SK. BAPETEN NUMBER: 01/KA-BAPETEN/V-1999, ON THE SAFETY OF RADIATION AT NUCLEAR INSTALLATIONS. Under the Act of the Republic of Indonesia Number 10 year 1997 about Nucleur Power, Article 16 paragraph 1 says: Any activities related to the use of nuclear energy must concern the safety, security and tranquility, workers and public health, as well as environmental protection. Furthermore, the Act is clarified further to the Decree of BAPETEN Number: 01/KA-BAPETEN/V-1999, about the Regulation of Working Safety to the Radiation. This Decree only contains general rules about safety relating to the management of radiation, particularly in the nuclear installation. The purpose of implementation of this decree of BAPETEN Number: 01/KA-BAPETEN/V-1999 is to provide more detailed guidance, especially to the Master of Nuclear Installation (PIN), i.e.: Radioactive handling should be done in controlling the hazards of radiation and contamination in Nuclear Installation and health services to be provided to Radiation Workers. The method is done by learning Nucleur Power Act and SK. BAPETEN Number: 01/KA-BAPETEN/V-1999 and their implementation in a nuclear installation. The conclusion shows the radiation safety and health of radiation workers should be first priority. Keywords : Safety, contamination, radiation, air exhaust, exposure.
Buku II hal 104
ISSN 1410 – 8178
Budi Prayitno
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENDAHULUAN
U
ndang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Pasal 16 ayat 1 berbunyi : Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan dan ketentraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup[1]. Penjelasan lebih lanjut dari pasal ini ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan tenaga nuklir yaitu keselamatan pekerja dan lingkungannya dari bahaya radiologi. Bahaya radiologi dapat dicegah sedini mungkin dengan cara selalu memonitor zat radioaktif yang dipergunakan. Dari undang-undang ketenaganukliran ini diturunkan surat Keputusan Kepala BAPETEN diantaranya tentang SK. BAPETEN Nomor : 01/KA-BAPETEN/V-1999, yaitu : Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi [2] dan Keputusan Kepala BAPETEN Nomor : 02/Ka-BAPETEN/V-99, Tentang Baku Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan [3]. Selain itu juga Keputusan Kepala BAPETEN Nomor : 03/Ka-BAPETEN/V-99, Tentang Ketentuan Keselamatan Untuk Pengelolaan Limbah Radioaktif [4]. Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Keselamatan Instalasi Nuklir Non Reaktor, Pasal 1 berbunyi : Instalasi Nuklir Non Reaktor yang selanjutnya disingkat INNR adalah instalasi yang digunakan untuk pemurnian, konversi, pengayaan bahan nuklir, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengolahan ulang bahan bakar nuklir bekas, dan/atau penyimpanan sementara bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas, instalasi penyimpanan lestari serta instalasi lain yang memanfaatkan bahan nuklir[5] . Selanjutnya Instalasi Nuklir di makalah ini adalah kegiatan yang dilakukan di Instalasi Nuklir seperti : Pabrik Elemen Bakar Nuklir, Produksi Radioisotop, Reaktor Nuklir, Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif dan Penambangan Uranium, perlu selalu dipantau kegiatannya dari bahaya kontaminasi zat radioaktif, bahaya paparan radiasi, pemantauan kontaminasi permukaan, pemantauan udara buang dan pemantauan limbah radioaktif. Disamping itu pekerja radiasi yang bekerja di instalasi nuklir tersebut harus diperhatikan dengan masalah kesehatannya [1,2]. Berdasarkan Ketentuan keselamatan kerja ini merupakan ketentuan yang berlaku di Indonesia dalam bidang keselamatan nuklir. Dasar filosofi ketentuan keselamatan kerja ini adalah pengendalian terhadap risiko akibat radiasi pada seseorang melalui penetapan nilai Budi Prayitno
batas, penyinaran diusahakan serendah-rendahnya, dan manfaat penggunaan radiasi tersebut. Walaupun disadari sepenuhnya bahwa proteksi radiasi mutlak tidak akan dapat dicapai. Dibuatnya ketentuan keselamatan kerja ini dimaksudkan sebagai persyaratan bagi mereka yang bekerja dengan sumber radiasi pengion di bidang kesehatan, industri, pendidikan, penelitian dan lain-lain. Ketentuan ini merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi. Secara keseluruhan memuat ketentuan tentang organisasi proteksi radiasi dan nilai batas dosis antara lain mengatur tentang sistem pembatasan dosis, pembatasan dosis untuk pekerja, keadaan khusus yang direncanakan, masyarakat umum dan nilai batas turunan untuk pekerja radiasi. Selain itu Ketentuan Keselamatan ini memuat pula Ketentuan umum proteksi radiasi bagi pekerja radiasi [2]. Pengusaha Instalasi Nuklir (PIN) mempunyai tanggung-jawab tertinggi terhadap keselamatan personel dan anggota masyarakat lain yang mungkin berada di dekat instalasi di bawah pengawasannya. Mengingat ketentuan mengenai keselamatan radiasi ini masih bersifat umum dan pada bab penjelasannyapun sulit untuk dipahami, maka sangat diperlukan adanya pemahaman bagi PIN apa yang harus dilakukan dalam penanganan keselamatan radiasi di instalasi nuklirnya. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberi gambaran kepada PIN apa yang minimal harus dilakukan untuk melindungi Pekerja Radiasi dan masyarakat agar terhindar dari bahaya radiasi dan kontaminasi akibat dari kegiatan Instalasi Nuklirnya. Metoda yang dilakukan ialah dengan cara mempelajarai dan memahami surat keputusan Kepala BAPETEN tentang ketentuan mengenai keselamatan kerja terhadap radiasi dan undang-undang ketenaganukliran serta peraturan lainnya dari BAPETEN yang berhubungan dengan keselamatan radiasi. Kemudian dari pemahaman ini diimplementasikan kewajiban yang harus dilakukan oleh PIN dalam pengelolaan keselamatan radiasi di Instalasi Nuklirnya. TATA KERJA Bahan : Bahan yang digunakan dalam penulisan makalah ini ialah berupa dokumen dokumen yang tertulis di daftar pustaka. Peralatan : Peralaratan yang digunakan berupa computer. Cara Kerja : Guna memberikan gambaran yang jelas bagi PIN dipelajarilah ketentuan mengenai keselamatan kerja terhadap radiasi berdasarkan SK. BAPETEN Nomor : 01/KA-BAPETEN/V1999. Selain itu juga mengacu kepada kegiatan yang dilakukan oleh Instalasi Nuklir, seperti : Pabrik Elemen Bakar Nuklir, Produksi
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 105
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Radioisotop, Reaktor Nuklir, Instalasi Pengolahan Limbah Radioaktif dan Penambangan Uranium. Penanganan keselamatan radiasi tersebut meliputi : pemantauan paparan radiasi, pemantauan kontaminasi permukaan, kontaminasi udara, penanganan limbah radioaktif, pemantauan udara buang dan penanganan kesehatan bagi Pekerja Radiasi. Mengingat luasnya persoalan keselamatan radiasi di Instalasi Nuklir, maka gambaran penjelasan ini masih bersifat umum. Teknis pelaksanaannya secara rinci tidak dijelaskan di makalah ini. Namun demikian gambaran ini tentunya akan memberikan secara jelas apa yang harus dilakukan oleh PIN di Instalasi Nuklirnya dalam pengendalian bahaya radiasi dan kontaminasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemahaman dari Implementasi Sk. BAPETEN Nomor : 01/Ka-Bapeten/V-1999, Terhadap Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi di Instalasi Nuklir, PIN sebagai pengemban tugas harus melakukan : A. Pemantauan Paparan Radiasi. Suatu Instalasi Nuklir harus selalu melaksanakan pemantauan paparan radiasi γ yang terdapat di Instalasi Nuklirnya, hal ini dapat dilakukan secara langsung menggunakan detektor paparan radiasi. Pemantauan dapat dilakukan pada permukaan sumber radiasi atau jarak tertentu dari sumber radiasi sesuai dengan keperluannya. Banyak jenis dan tipe detektor untuk mengukur paparan radiasi. Namun yang perlu diperhatikan adalah masa kalibrasi dari detektor tersebut. Pemilihan dari alat ukur paparan radiasi ini biasanya disesuaikan dengan perkiraan besarnya paparan dan energi radiasi yang akan diukur. Biasanya dalam bacaan alat ukur tersebut terdapat untuk beberapa skala pengukuran, misalnya untuk skala pengukuran orde ηSv/jam, μSv/jam dan mSv/jam. Untuk skala bacaan yang dipergunakan harus terkalibrasi. Manfaat dari pemantauan ini agar dapat diketahui berapa besar paparan radiasi yang terdapat di Instalasi tersebut, sehingga secara dini apabila melebihi batasan yang diperbolehkan dapat dilakukan pengamanan terhadap sumber radiasi tersebut. Nilai Batas Dosis (NBD) tahunan dari SK. BAPETEN Nomor : 01/Ka-Bapeten/V-1999 adalah sebesar 50 mSv/tahun [2] yang kemudian di implementasikan di Instalasi Nuklir sebesar 25 µSv/jam dengan anggapan Pekerja Radiasi bekerja dalam satu hari 8 jam, per minggu 5 hari kerja, dalam 1 tahun 50 minggu.
Buku II hal 106
B. Pemantauan Kontaminasi Permukaan. Pemantauan kontaminasi permukaan dimaksudkan untuk mengetahui secara dini apakah permukaan pada daerah kerja misalnya : Lantai, meja kerja, peralatan yang dipergunakan tidak terkontaminasi oleh zat radioaktif. Pemantauan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara pengukuran langsung atau dengan cara pengukuran tidak langsung. Pengukuran secara langsung sangat praktis karena hasil kontaminasi langsung diketahui. Namun demikian adakalanya tidak dapat dilakukan pengukuran secara langsung. Pengukuran tak langsung biasanya dilakukan karena benda/lantai yang terkontaminasi tersebut tidak memungkinkan untuk diukur kontaminasinya secara langsung, sebab lokasinya sulit dijangkau atau latar radiasinya tinggi sehingga mempengaruhi hasil pengukuran. Pengukuran kontaminasi permukaan secara tidak langsung atau biasa disebut juga dengan smear test sering dilakukan di Instalasi Nuklir dengan alasan hasil dari tes usap tersebut selain dapat diketahui besarnya kontaminasi permukaannya juga dapat diketahui jenis radionuklida kontaminan dengan bantuan Multy Channel Analyzer (analisis kualitatif). Kelemahan dalam pelaksanaan tes usap diantaranya hasil dari pengukurannya tidak begitu akurat karena fraksi yang terangkat dalam tes usap sangat dipengaruhi banyak faktor. Faktor yang paling dominan adalah cara petugas yang melaksanakan tes usap, jenis kontaminan dan jenis kertas usap yang dipakai. Di samping itu pengambilan tes usap sifatnya tidak bisa diulang (Reproductsible). Berdasarkan literatur[4] untuk jenis permukaan licin nilai fraksi/prosentasi kontaminan yang terangkat besarnya sekitar 10 %. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga prosentasi kontaminan yang terangkat ini diantaranya cara pengambilan, jenis kontaminan padat/cair, jenis kertas usap, diameter kontaminan dan faktor kelembaban ruangan tersebut [6].
Pengukuran tak langsung kontaminasi zat radioaktif dipermukaan dihitung dengan menggunakan Persamaan (1) [6] : Ak = N ×
1 1 1 × × A E P
(1)
dengan : Ak = aktivitas kontaminasi radioaktif, Bq/Cm2 N = cacah netto cuplikan, Cps A = luas permukaan yang di usap,100 Cm2 E = efisiensi alat cacah, % P = fraksi yang diambil dalam tes usap (10%)
ISSN 1410 – 8178
Budi Prayitno
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Perhitungan nilai fraksi yang terambil (P) dalam pelaksanaan tes usap, diambil besarnya 10 %. Nilai inilah yang selalu menjadi bahan diskusi apakah nilai sebesar 10 % ini cukup meyakinkan. Mengingat bahaya radiasi interna lebih disebabkan oleh radiasi α, maka umumnya detektor yang dipakai adalah detektor α. Dalam aturan SK. BAPETEN Nomor : 01/Ka-BAPETEN/V-1999, batasan untuk kontaminasi permukaan lantai, daerah kerja dan peralatan terbagi atas daerah kontaminasi rendah, sedang dan tinggi. Batasan kontaminasi permukaan lantai, daerah kerja dan peralatan tersebut ialah[2] : 1. Daerah kontaminasi rendah, lebih kecil dari 0,37 Bq/cm2 untuk pemancar α (untuk β lebih kecil dari 3,7 Bq/cm2 ). 2. Daerah kontaminasi sedang, untuk pemancar α ≥ 0,37 Bq/cm2 tetapi < 3,7 Bq/cm2, untuk pemancar β > 3,7 Bq/cm2 tetapi < 37 Bq/cm2 3. Daerah kontaminasi tinggi, batasan untuk α≥ 3,7 Bq/cm2 dan untuk β > 37 Bq/cm2 .
Penggunaan batasan pantauan kontaminasi radionuklida di udara harus diperhatikan beberapa persyaratan yang ada, diantaranya [2] : 1. Jika komposisi radionuklida campuran tidak diketahui, tetapi radionuklida tertentu diketahui jelas tidak ada, digunakan batas dosis terendah untuk radionuklida yang mungkin ada; 2. Jika komposisi radionuklida campuran tidak diketahui secara pasti tetapi jenis radionuklida yang terdapat di dalamnya diketahui, digunakan batas dosis terendah radionuklida yang ada; 3. Jika kadar dan toksisitas salah satu radionuklida dalam campuran lebih dominan dari pada yang lain digunakan batas masukan tahunan radionuklida yang lebih dominan tersebut. 4. Jika campuran radionuklida diketahui komposisinya, maka untuk menentukan nilai batasan pantauan yang diizinkan dapat digunakan salah satu persamaan (3) atau (4) ini untuk campuran radionuklida :
C. Pemantauan Kontaminasi Udara. Pemantauan radioaktivitas yang terdapat di udara dilakukan berdasarkan keperluannya. Di Instalasi Nuklir umumnya pengukuran awal dilakukan secara gross α, dengan pertimbangan radiasi α ini penyebab bahaya radiasi interna. Hasil pengambilan cuplikan partikulat yang tertangkap oleh kertas filter di udara, dapat langsung dilakukan pencacahan atau dengan penundaan tergantung keperluannya. Pencacahan langsung akan lebih baik, karena radioaktivitas berumur pendek yang tertangkap oleh kertas filter belum sempat meluruh dan dapat dicacah. Kerugiannya hasil cacahan akan relatif lebih besar, sementara umumnya radioaktivitas yang berumur pendek ini relatif tidak berdampak kepada bahaya radiasi interna. Untuk mengatasi keadaan tersebut, akan lebih sempurna jika pencacahan dilakukan segera dan diulangi setelah 3,5 jam kemudian. Hal ini mengingat laju pertumbuhan Radon-222 yang berasal dari Radium-226 setimbang setelah 3,5 jam partikulat ditangkap dengan kertas filter[7]. Adapun untuk menghitung besarnya kontaminasi udara tersebut menggunakan persamaan [6] :
Batasan pantauan pantauan ≤ 1
Ak = N ×
1 1 × V E
(2)
dengan : Ak = aktivitas kontaminasi radioaktif alpha, Bq/m3 N = cacah netto cuplikan, Cps V = volume udara yang dihisap, m3 E = efisiensi alat cacah, %
Budi Prayitno
Batasan pantauan = pantauan ≥ 1
=
Ij
∑ Ij, L
untuk
i
Cj
∑ Cj, L i
untuk
batas (3) batas (4)
dengan : Ij = pemasukan tahunan radionuklida j Ij,L = batas masukan tahunan radionuklida j Cj = kadar rata-rata tahunan di udara radionuklida j Cj,L = nilai batas turunan kadar radioaktivitas di udara radionuklida Adanya persyaratan ini, pemakaian nilai batasan pantauan secara cepat boleh diambil persyaratan yang nomor 2, namun apabila komposisi radionuklidanya diketahui maka batasan pantauan dihitung dengan persamaan (3) atau (4). Batasan untuk keberadaan radioaktivitas di udara ini mengacu kepada SK. BAPETEN Nomor : 01/Ka-BAPETEN/V-1999. Untuk Instalasi Nuklir yang bahan baku utamanya berasal dari uranium-235 atau uranium-238 (Contoh : IRM dan IEBE) dapat dipakai batasan radioaktif α yang terdapat di udara sebesar 20 Bq/m3. Namun demikian apabila jenis radionuklidanya diketahui acuan yang dipakai adalah berdasarkan batasan untuk radionuklida tersebut.[2]. D. Penanganan Limbah Radioaktif. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2002, Tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif pada Bab I mengenai Ketentuan Umum Pasal 1 dan Bab III mengenai
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 107
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Klasifikasi Limbah Radioaktif Pasal 5 yang berbunyi : Bab I. Ketentuan Umum Pasal 1 [4] : Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1. Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi pengion yang tidak dapat digunakan lagi. 2. Limbah radioaktif tingkat rendah adalah limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat aman (clearance level) tetapi di bawah tingkat sedang, yang tidak memerlukan penahan radiasi selama penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan. 3. Limbah radioaktif tingkat sedang adalah limbah radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat rendah tetapi di bawah tingkat tinggi yang tidak memerlukan pendingin, dan memerlukan penahan radiasi selama penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan. 4. Limbah radioaktif tingkat tinggi adalah limbah radioaktif dengan tingkat aktivitas di atas tingkat sedang, yang memerlukan pendingin dan penahan radiasi dalam penanganan pada keadaan normal dan pengangkutan, termasuk bahan bakar nuklir bekas. Bab III mengenai Klasifikasi Limbah Radioaktif Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 berbunyi : 1. Limbah radioaktif diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi. 2. Pengklasifikasian limbah radioaktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas. Selanjutnya pada Pasal 6 mengatakan : Limbah radioaktif yang telah diklasifikasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus dikelompokkan berdasarkan kuantitas dan karakteristik limbah radioaktif yang meliputi : a. Aktivitas; b. Waktu paro; c. Jenis radiasi; d. Bentuk fisik dan kimia; e. Sifat racun; dan f. Asal limbah radioaktif. Perlu diketahui Keputusan Kepala BAPETEN Nomor : 03/Ka-BAPETEN/V-99, Tentang Ketentuan Keselamatan Untuk Pengelolaan Limbah Radioaktif ini lahir terlebih dahulu yaitu tahun 1999, sedangkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun Buku II hal 108
2002 baru lahir pada tanggal 13 Mei tahun Adanya aturan ini secara jelas PIN melakukan pengelolaan limbah radioaktif ditimbulkan akibat dari kegiatan dilakukannya.
2002. harus yang yang
E. Pemantauan Udara Buang. Keputusan Kepala BAPETEN Nomor : 02/Ka-BAPETEN/V-99, Tentang Baku Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan Pasal 3 ayat 1 berbunyi : Setiap Pengusaha Instalasi harus menjamin agar kadar radioaktivitas yang terlepas dari instalasinya tidak mengakibatkan radioaktivitas lingkungan melampaui Baku Tingkat Radioaktivitas sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini [3]. Adanya aturan ini secara jelas menunjukkan pemantauan udara buang dari cerobong instalasi nuklir harus dilakukan. Pemantauan udara buang yang melalui cerobong buang Instalasi Nuklir dilakukan dengan menggunakan air sampler yang bekerja secara terus menerus dan dihubungkan langsung dengan alat cacah radiasi. Hasil pantauan langsung terbaca di alat monitor ini. Alat monitor udara buang ini dapat berupa αβ aerosol, αγ aerosol atau tergantung keperluan di Instalasi Nuklir tersebut. Data ukur yang terbaca di instrumen tersebut dalam satuan aktivitas radiasi persatuan volume (misal : Curie/m3, Bq/m3). Pada alat monitor udara buang ini dilengkapi batasan peringatan dini (pre alarm) dan batasan peringatan utama (main alarm). Pengaturan (setting) batasan pre alarm dan main alarm disesuaikan dengan keperluan Instalasi Nuklir, namum pada dasarnya untuk batasan radionuklidanya harus mengacu kepada aturan Keputusan Kepala BAPETEN Nomor : 02/KaBAPETEN/V-99, Tentang Baku Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan[3]. Misal untuk Instalasi Nuklir yang bahan baku utamanya adalah uranium-238 dan uranium-235 baku mutu yang dipakai adalah sebesar 0,2 Bq/m3 . Dari nilai baku mutu sebesar 0,2 Bq/m3 ini diturunkan besarnya radioaktif yang diizinkan atau Batas Pelepasan Maksimum (BPM) yang dapat dibuang melalui cerobong buang Instalasi Nuklir. Untuk penentuan BPM digunakan model distribusi pencemaran udara dengan Persamaan Gauss yang dikenal dengan Persamaan Pasquill, disesuaikan dengan tinggi cerobong buang, katagori udara, kecepatan angin dan baku mutu zat radioaktif dipermukaan[8,9]. Dalam makalah ini tidak dibahas bagaimana cara menentukan BPM, hal ini mengingat perlu pembahasan secara khusus. Secara umum batasan untuk radionuklida yang keluar dari stack monitor dan sampai diterima masyarakat yaitu batas masukan tahunan
ISSN 1410 – 8178
Budi Prayitno
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
melalui pernapasan dapat mengacu pada Tabel 1. Namun apabila diperlukan lebih akurat batasan yang dipakai mengacu kepada tiap jenis radionuklidanya [3]. Tabel 1. Kadar tertinggi campuran radionuklida yang diizinkan dalam udara campuran [3] CAMPURAN
CAMPURAN Batas Masukan Tahunan Melalui Pernafasan (Bq/Th)
Tidak terdapat sumber radiasi alfa dan sumber radiasi 90 Sr, 129 I, 210 Pb, 227 Ac, 228 Ra, 230 Pa, 241 Pu, 249 Bk
4 x 10-3
Tidak terdapat sumber radiasi alfa dan sumber radiasi 210 Pb, 227 Ac, 228 Ra, 241 Pu
4 x 10-4
Tidak terdapat sumber radiasi alfa dan sumber radiasi 227 Ac
4 x 10-5
Tidak terdapat sumber radiasi alfa dan sumber radiasi 227 Ac, 230 Th, 231 Pa, 238 Pu, 239 Pu, 240 Pu, 242 Pu, 249 Cf
4 x 10-6
Tidak terdapat sumber radiasi alfa dan sumber radiasi 239 Pu, 231 Pa, 240 Pu, 242 Pu, 249 Cf
3 x 10-6
Komposisi tidak diketahui
2
x 10-6
F. Penanganan Kesehatan Bagi Pekerja Radiasi. Sesuai dengan Undang-Undang Ketenaganukliran, Pasal 16 ayat 1, kesehatan seorang Pekerja Radiasi harus diperhatikan. Penjabaran dari aturan ini diatur dalam SK. BAPETEN Nomor : 01/Ka-Bapeten/V-1999, yaitu : Pengawasan kesehatan terhadap pekerja radiasi harus didasarkan pada prinsip-prinsip pemeriksaan kesehatan pada umumnya. Pengawasan kesehatan ini meliputi pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan berkala selama masa kerja dan pemeriksaan kesehatan pada waktu pemutusan hubungan kerja.Pemeriksaan kesehatan yang dimaksud adalah pemeriksaan khusus, disamping pemeriksaan umum yang disyaratkan untuk pengangkatan pegawai negeri atau tenaga kerja pada umumnya [2]. Untuk menentukan keadaan umum kesehatannya, harus dilakukan juga pemeriksaan khusus pada organ yang dianggap peka terhadap radiasi dipandang dari jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh calon pekerja misalnya pemeriksaan haematologi, dermatologi, ophtalmologi, paru-paru, neurology dan atau Budi Prayitno
kandungan [2] . Sebagai contoh untuk Instalasi Nuklir milik BATAN yang berada di Serpong, pemeriksaan kesehatanan bagi Pekerja Radiasinya dilakukan setiap tahun dan apabila diperlukan. Pemeriksaan kesehatan tersebut meliputi : Pemeriksaan darah, urine, rontgen, Ultrasonografi (USG), Elektrokardiogram (EKG), gigi dan fisik. Guna mendukung pemeriksaan apakah Pekerja Radiasi tersebut terkena bahaya radiasi interna dilakukan pemeriksaan Whole Body Counter (WBC) dan radionuklida yang terdapat di urine Pekerja Radiasi tersebut. Selanjutnya setiap pekerja radiasi harus memiliki kartu kesehatan dan selalu dimutahirkan sepanjang ia masih sebagai pekerja radiasi. Kartu tersebut harus disimpan dalam arsip untuk jangka waktu sekurang kurangnya 30 tahun sejak berhenti bekerja dengan radiasi [2]. Setelah dipelajari isi daripada surat keputusan BAPETEN nomor : 01/kaBAPETEN/V-1999 ini masih bersifat sangat umum. Namun demikian dari hal yang sangat umum tersebut dapat diuraikan apa yang harus dilakukan oleh PIN, yaitu meliputi : pemantauan paparan radiasi, pemantauan kontaminasi permukaan, kontaminasi udara, penanganan limbah radioaktif, pemantauan udara buang dan penanganan kesehatan bagi Pekerja Radiasi (A sampai dengan F). Kewajiban PIN dalam pengelolaan keselamatan radiasi ini harus membentuk organisasi Proteksi Radiasi. Tugas dari anggota organisai proteksi radiasi ini ialah berkewajiban membantu PIN dalam melaksanakan tanggung-jawabnya di bidang proteksi radiasi. Dari gambaran mengenai implementasi surat keputusan BAPETEN nomor : 01/ka-BAPETEN/V-1999, tentang Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi Di Instalasi Nuklir ini akan lebih mudah dipahami apa yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang PIN dalam pengelolaan Instalasi Nuklir yang menjadi tanggung-jawabnya. Walaupun uraian dalam bahasan ini masih bersifat hal-hal yang pokok dalam penanganan radiasi di Instalasi Nuklir, namun diharapkan dapat menjadi pegangan bagi PIN dalam pengelolaan Instalasi Nuklir yang menjadi tanggung-jawabnya. Hal ini mengingat bahwa keselamataan radiasi dan kesehatan Pekerja Radiasi harus menjadi prioritas pertama. KESIMPULAN Implementasi surat keputusan BAPETEN nomor : 01/ka-BAPETEN/V-1999, tentang Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi Di Instalasi Nuklir telah diuraikan secara garis besar pada makalah ini. Peran seorang PIN sangat menentukan keselamatan radiasi di Instalasi Nuklir yang dipimpinnya. Selain peran dari PIN, masalah
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 109
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
keselamatan radiasi merupakan prioritas pertama dan juga merupakan tanggung-jawab bersama pegawai yang bekerja di Instalasi Nuklir tesebut. Adanya kerja sama yang baik antara PIN dengan pegawainya dalam pelaksanaan penanganan keselamatan radiasi akan mendukung keselamatan radiasi di Instalasi Nuklir tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. BAPETEN, “Undang-undang no. 10 tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran”, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jakarta, Tahun 1997. 2. BAPETEN, ”Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi nomor : 01/KaBAPETEN/V-1999”, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jakarta, . Tahun 1999. 3. BAPETEN, “Baku Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan Nomor : 02/Ka- BAPETEN/V1999”, Jakarta, Tahun 1999. 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2002, Tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, Tahun 2002.
Buku II hal 110
5. BAPETEN, Peraturan Kepala BAPETEN Nomor 11 Tahun 2007, Tentang Ketentuan Keselamatan Instalasi Nuklir Non Reaktor, Tahun 2007. 6. ALAN MARTIN AND SAMUEL A. HABIRSON, “An introduction to radiation protection”, London, 1986. 7. SOEDOJO, PETER, 1983, “Mekanisme Transport Dan Distribusi Gas Radon Alam”, Disertasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Tahun 1983. 8. TAKEISHI, MINORU., 1996, “Determination of Derived Emission Limits for Airborne and Liquid”, PNC,JAERI, Japan, 1996. 9. BUDI PRAYITNO, ”Perhitungan Radioaktif Alpha Yang Terdeposisi Di Permukaan Tanah Dari Udara Buang Instalasi Elemen Bakar Eksperimental”, Prosiding Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir , ISSN 1978-0176, Tahun 2008.
ISSN 1410 – 8178
Budi Prayitno
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
ADSORPSI LIMBAH URANIUM MENGGUNAKAN LEMPUNG NANGGULAN Sunardi, Suparno, Wasim Yuwono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK ADSORPSI LIMBAH URANIUM MENGGUNAKAN LEMPUNG NANGGULAN. Pada Kegiatan ini dilakukan dengan penyerapan menggunakan lempung dari Nanggulan Kulonprogo Jogjakarta. Penyerapan dilakukan dengan cara mencampur lempung dan limbah cair dengan kandungan uranium 50 s/d 800 ppm. Campuran diaduk menggunakan magnetik stirer pada kecepatan pengadukan 50 s/d 300 rpm, waktu 5 s/d 30 menitt dan suhu 30 s/d 60 oC. Setelah penyaringan filtrat dianalisis kandungan uraniumnya menggunakan spektrofotometer. Dari percobaan diketahui hasil yang paling baik adalah pada kandungan uranium 200 ppm waktu pengadukan 25 menit dengan kecepatan pengadukan 50 rpm, suhu 30 oC,Pada kondisi ini diperoleh faktor dekontaminasi 98,1300.
ABSTRACT THE ADSORPTION OF URANIUM WASTE USING NANGGULAN CLAY. The activity wot done by absorption using clay fron Nanggulan Kulonprogo Jogjakarta. The absorption wot done by mixing of clay and liquid watter the uranium contrite are 50 to 800 ppm. To mixing on the magnetic stirrer on the speed stiring 50 to 300 rpm, on time 5 to 30 minuts and temperature 30 to 60oC. From the experiment the best of data on uranium contrite 200 ppm, on time of stiring 25 minuts, speed mixing 50 rpm, temperature 30 oC. On the condition wot obtain of decontaminaton factor are 98.1300.
PENDAHULUAN
P
ada saat ini teknologi nuklir semakin banyak digunakan di berbagai bidang diantaranya adalah untuk industri, kedokteran, pertanian, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan sebagainya. Dengan semakin banyaknya penggunaan teknologi nuklir, maka perlu dicermati kemungkinan timbulnya limbah radioaktif. Timbulnya limbah radioaktif akan berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan. Oleh karena itu perlu dicari solusi teknis yang paling tepat agar tidak terjadi pencemaran lingkungan yaitu dengan cara mengolah limbah tersebut secara tepat. Pengolahan limbah radioaktif pada prinsipnya adalah untuk memisahkan zat radioaktif dari dalam limbah dan mereduksi jumlah limbah agar pada pengelolaan lanjut menjadi mudah. Uranium adalah salah satu limbah radioaktif yang banyak ditimbulkan oleh karena itu perlu dicari solusi teknis yang paling tepat agar tidak terjadi Sunardi, dkk.
pencemaran lingkungan yaitu dengan cara mengolah limbah tersebut secara tepat. Salah satu metode pengolahan limbah uranium cair yang banyak adalah pengolahan secara kimia menggunakan bahan penyerap seperti magnesium hidroksida, natrium hidoksida, tawas, kapur, lempung dan lain-lain. Penyerapan menggunakan lempung sangat efisien dalam menurunkan kadar uranium dalam limbah cair. Oleh karena itu dalam percobaan ini digunakan lempung dari Nanggulan Kulonprogo Jogjakarta untuk menyerap limbah uranium cair. Lempung adalah mineral lokal yang secara ekonomis dapat digunakan sebagai bahan penyerap uranium dalam limbah cair. Salah satu faktor penting berkaitan dengan penggunaan mineral lokal lempung untuk penyerap zat berbahaya dalam limbah industri adalah kemampuan lempung dalam hal pertukaran ionnya. Selain harganya murah, pemakaian mineral lokal untuk mengolah limbah cair, memiliki kemudahan
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 111
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
dalam pengolahan lanjut misalnya dalam proses solidifikasi pasca penjerapan, misalnya dengan metode sementasi atau metode keramikisasi. Kemampuan lempung sebagai adsorben karena di dalam mineral lempung mengandung senyawa alumunium silikat yang memiliki struktur kerangka tiga dimensi terbentuk oleh tetrahedral AlO45- dan SiO44- dengan rongga di dalamnya terisi ion-ion logam biasanya logam alkali tanah (Na, K, Mg, Ca dan Fe) dan molekul air yang dapat bergerak bebas. Lempung diduga juga mengandung monmorilonit cukup besar, sehingga diperkirakan dapat digunakan sebagai adsorben yang efisien, terlebih setelah dilakukan pengaktifan fisika maupun pengaktifan kimia. Karakter adsorben mineral lokal pada umumnya terjadi karena adanya pembentukan kerangka struktur molekuler dari penggabungan molekul-molekul tetrahedral membentuk celah dan saluran yang teratur sehingga menyebabkan adanya struktur berpori. Celah dan saluran dalam struktur yang terjadi memungkinkan suatu molekul yang mungkin melewatinya dapat terperangkap di dalamnya. Sifat-sifat ini yang menjadikan mineral lokal lempung dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam berbahaya dalam limbah cair, penyaring molekul dan sebagai penukar ion. Penyerapan uranium dalam limbah cair menggunakan mineral lokal lempung sebagai adsorben, perlu terus dikembangkan mengingat adanya kemudahan dari pengolahan lanjut dari metode ini, misalnya dengan sementasi dan atau metode keramik limbah. Dengan pertimbangan tersebut diatas dilakukanlah percobaan penyerapan menggunakan lempung Nanggulan Kulonprogo Jogjakarta. DASAR TEORI Pengertian Dasar Limbah Radioaktif Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan bekas serta alat-alat yang terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena dipergunakan dalam kegiatan nuklir dan tidak dapat dipergunakan lagi. Bahan bekas tersebut dapat berupa benda padat, seperti jarum suntik bekas, kain pembersih bekas, kertas penyerap, peralatan gelas untuk penanganan zat radioaktif atau pernah digunakan untuk menampung larutan zat radioaktif, binatang percobaan, resin penukar ion bekas, peralatan bekas dari pabrik pemurnian uranium. Untuk yang berupa cairan seperti dari air cucian, benda padat yang terkontaminasi atau cairan zat radioaktif yang sengaja dibuang baik untuk percobaan, maupun sisa cairan dari pabrik
Buku II hal 112
pengolahan uranium dari olah ulang bekas nuklir(1). Sumber Limbah Radioaktif Limbah radioaktif pada dasarnya bersumber dari paparan radiasi, setelah radiasi dimanfaatkan oleh instalasi nuklir sehingga dari instalasi olahan bahan bakar nuklir ini akan menimbulkan limbah radioaktif(1). JENIS RADIOAKTIF. Radioaktif berdasarkan terjadinya dapat dibedakan menjadi 2: 1. Radioaktif alam. Radioaktif alam sudah ada sejak terbentuknya bumi dari alam semesta , batuan dan tanah di bumi mengandung sejumlah kecil elemen radioaktif uranium dan thorium dengan hasil turunannya. Untuk kalium-40 dalam lapisan litoster memberikan kontribusi terbanyak sehingga terjadinya radioaktif didalam batuan. 2. Radioakti buatan. Radioaktif buatan ditimbulkan akibat buatan proses manusia, diantaranya dari pembedahan fisi, reaksi inti, dan debu-debu radioaktif dari hasil ledakan bom nuklir. Beberapa sumber radioaktif buatan dapat terjadi melalui: a. Pembelahan (Reaksi fisi). Pembelahan (reaksi fisi) dilakukan didalam reaktor nuklir atau ditimbulkan dari percobaan senjata nuklir. Beberapa bahan yang dapat bereaksi fisi adalah U238, U235, U233, dan PU239. b. Hasil Aktivasi Diakibatkan aktifasi dari teras reaktor dimana hasil dari reaksi fisi termasuk elemen nuklir, misalnya peralatan untuk produksi radioisotop termasuk juga di dalamnya bahan struktur reactor, air pendingin dan sebagainya. c. Hasil kontaminasi. Dihasilkan akibat kontak langsung antara radio nuklida dengan benda atau alat yang digunakan untuk menampung bahan bakar radioaktif(1). Radioaktif pada ahirnya akan menjadi limbah radioaktif, maka diperlukan pengolahan yang sesuai. Limbah Radioaktif Cair Limbah radioaktif cair adalah limbah yang paling banyak dihasilkan oleh instalasi yang menggunakan fasilitas nuklir, karena hampir pada setiap bagian instalasi nuklir menggunakan air sebagai bahan untuk proses ataupun pencucian. Dari bahaya yang ditimbulkan limbah radioaktif
ISSN 1410 – 8178
Sunardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
cair dapat dibagi menjadi tiga, yaitu limbah cair konsentrasi tinggi, limbah cair konsentrasi menengah dan limbah cair konsentrasi rendah(1). Pengolahan Limbah Cair Tujuan pengolahan limbah cair adalah untuk menurunkan kadar zat pencemar yang terkandung di dalam air limbah sampai memenuhi persyaratan efluen yang berlaku(1). Pengolahan Limbah Uranium Pengolahan limbah uranium pada dasarnya adalah untuk meminimasi pencemaran uranium yang ada, maka diperlukan suatu proses. Proses pengolahan limbah uranium diantaranya adalah: Absorpsi, penukar ion, evaporasi, sementasi dan sebagainya. Absorpsi Pada prinsipnya proses absorpsi sama dengan proses dekontaminasi dan penukar ion, tetapi pada proses absorpsi menggunakan mineral (sorbent) sehingga lebih ekonomis. Sifat sorpsi yang penting diantaranya adalah: 1. Sorpsi kapasitas. 2. Sorpsi kinetik. 3. Pengaruh ion. 4. Porositas 5. Sifat-sifat hidrodinamika. Kriteria tersebut sebagai dasar untuk memilih sorben yang sesuai untuk dekontaminasi radionuklida yang ada dalam limbah(1). Lempung Lempung adalah mineral lokal yang secara ekonomis dapat digunakan sebagai bahan penyerap uranium dalam limbah cair. Salah satu faktor penting berkaitan dengan penggunaan mineral lokal lempung untuk penyerap zat berbahaya dalam limbah industri adalah kemampuan lempung dalam hal pertukaran ionnya. Selain harganya murah, pemakaian mineral lokal untuk mengolah limbah cair, memiliki kemudahan dalam pengolahan lanjut misalnya dalam proses solidifikasi pasca penjerapan, misalnya dengan metode sementasi atau metode keramikisasi. Kemampuan lempung sebagai adsorben karena di dalam mineral lempung mengandung senyawa alumunium silikat yang memiliki struktur kerangka tiga dimensi terbentuk oleh tetrahedral AlO45- dan SiO44- dengan rongga di dalamnya terisi ion-ion logam biasanya logam alkali tanah (Na, K, Mg, Ca dan Fe) dan molekul air yang dapat bergerak bebas (2,3). Lempung diduga juga mengandung monmorilonit cukup besar, sehingga diperkirakan Sunardi, dkk.
dapat digunakan sebagai adsorben yang efisien, terlebih setelah dilakukan pengaktifan fisika maupun pengaktifan kimia. Karakter adsorben mineral lokal pada umumnya terjadi karena adanya pembentukan kerangka struktur molekuler dari penggabungan molekul-molekul tetrahedral membentuk celah dan saluran yang teratur sehingga menyebabkan adanya struktur berpori. Celah dan saluran dalam struktur yang terjadi memungkinkan suatu molekul yang mungkin melewatinya dapat terperangkap di dalamnya. Sifat-sifat ini yang menjadikan mineral lokal lempung dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam berbahaya dalam limbah cair, penyaring molekul dan sebagai penukar ion. Penyerapan uranium dalam limbah cair menggunakan mineral lokal lempung sebagai adsorben, perlu terus dikembangkan mengingat adanya kemudahan dari pengolahan lanjut dari metode ini, misalnya dengan sementasi dan atau metode keramik limbah (4,5,6). Perhitungan 1. Menentukan factor dekontaminasi. Untuk menentukan factor dekontaminasi digunakan rumus(1). (1) FD = A0 A1 FD = Faktor dekontaminasi (ppm/ppm) A0 = Aktivitas sebelum diolah (ppm) A1 = Aktivitas sesudah diolah (ppm) 2. Menentukan Efisiensi pemisahan. Untuk menentukan efisiensi pemisahan digunakan rumus(1) (2) EP = A0-A1 x 100% A0 EP = Efisiensi Pemisahan (%) A0 = Aktifitas sebelum diolah (ppm) A1 = Aktifitas sesudah diolah (ppm) TATA KERJA Bahan yang digunakan 1. Uranium nitrat UO2(NO3)2.6H2O 2. Mineral lokal lempung dari Nanggulan, Kulonprogo Yogyakarta dengan ukuran butiran 100 mesh. 3. Aquades. Peralatan yang digunakan 1. Lumpang / alat penumbuk 2. Ayakan 3. Neraca analitis 4. Peralatan gelas 5. kertas saring 6. Perangkat Jar Test 7. Spektrometer, UV
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 113
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Cara kerja 1. Preparasi mineral lempung Lempung kering dari Nanggulan ditumbuk dalam lumpang besi sampai hancur menjadi serbuk halus. Selanjutnya serbuk diayak hingga diperoleh serbuk dengan ukuran butir lolos (100 mesh), selanjutnya disimpan dalam wadah yang rapat. 2. Proses sorpsi a. 4 gelas beker 100 ml yang berisi limbah cair uranium 10 ml (kadar uranium = 100 ppm) ditambahkan serbuk lempung hasil pengayaan dengan ukuran butir 100 mesh sebanyak 0,5 gram, selanjutnya campuran diaduk menggunakan Jar Tes pada kecepatan pengadukan 50 rpm selama 30 menit. Dan suhu 30 oC Hasil pengadukan dienapkan selama 60 menit, disaring, beningan dianalisis kadar uraniumnya menggunakan spektrofotometri. b. Dengan cara yang sama dilakukan variasi waktu pengadukan (30,25,20, 15, 10 dan 5 menit ) c. Dengan cara yang sama dilakukan variasi suhu (30,35, 40, 50 dan 60 oC) d. Dengan cara yang sama dilakukan variasi konsentrasi awal uranium 50, 100, 200, 400 dan 800 ppm e. Dengan cara yang sama dilakukan variasi kecepatan pengadukan (50,100, 150, 200 dan 250 rpm ) HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini ukuran butir lempung sebagai penyerap ditentukan yaitu butiran dengan ukuran lolos 100 mesh. 1. Menentukan pengaruh waktu pengadukan terhadap hasil absorpsi. Pada percobaan pengaruh waktu pengadukan terhadap hasil absorpsi menggunakan limbah awal dengan kandungan uranium 100 ppm dan pengadukan divariasi 5 s/d 30 menit. Waktu pengadukan mempunyai pengaruh yang signifikan pada proses absorpsi limbah uranium menggunakan lempung. Hal ini dapat dimengerti karena pada waktu yang lama maka kontak antara penyerap dengan uranium menjadi semakin sempurna. Dari data yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa semakin lama waktu pengadukan yang dilakukan, akan menghasilkan penyerapan limbah uranium yang semakin baik sehingga kadar uranium didalam limbah menurun dan efisiensi pemisahan semakin besar. Apabila waktu pengadukan terus dinaikkan maka kadar
Buku II hal 114
uranium dalam beningan terus menurun dan mencapai hasil maksimum pada waktu pengadukan 25 menit. Pada waktu pengadukan 25 menit apabila waktu pengadukan terus ditambah hasilnya tetap sama, Sehingga kadar uranium didalam limbah dan efisiensi pemisahannya sama juga, sehingga ditetapkan bahwa kondisi proses absorpsi limbah uranium menggunakan absorben lempung Nanggulan terbaik dicapai pada waktu pengadukan selama 25 menit. Data dari pengaruh waktu pengadukan terhadap hasil absorpsi dapat dilihat seperti pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh waktu pengadukan terhadap hasil absorpsi. No 1 2 3 4 5 6
Waktu Pengadukan (menit) 5 10 15 20 25 30
Konsentrasi U dalam beningan (ppm) 31,35 14,64 12,17 8,34 1,87 1,87
Efisiensi Pemisahan (%) 68,65 85,36 87,83 91,66 98,13 98,13
Dari tabel 1 menunjukan bahwa apabila waktu pengadukan dinaikkan maka kadar uranium dalam beningan terus menurun sedangkan efisiensi pemisahannya meningkat dan mencapai hasil maksimum pada waktu pengadukan 25 menit. Pada waktu pengadukan 25 menit apabila waktu pengadukan terus ditambah hasilnya tetap sama, Sehingga kadar uranium didalam limbah dan efisiensi pemisahannya juga sama, sehingga ditetapkan bahwa kondisi proses absorpsi limbah uranium menggunakan absorben lempung Nanggulan terbaik dicapai pada waktu pengadukan 25 menit. 2. Pengaruh suhu dan konsentrasi awal terhadap faktor dekontaminasi. Dalam proses penyerapan (absorpsi) terdapat dua media yang saling berinteraksi, yaitu adsorben sebagai media penyerap dan adsorbat sebagai media terserap. Pada penelitian ini lempung merupakan adsorben dal larutan uranium sebagai adsorbat. Absorpsi adalah pembentukan lapisan gas, cair atau padat diatas permukaan suatu zat padat. Pada proses absorpsi akan terjadi pertukaran ion, sehingga ada kemungkinan proses ini akan terpengaruh oleh suhu Dalam penelitian ini dilakukan percobaan penyerapan dalam beberapa macam suhu dan beberapa macam konsentrasi awal uranium. Dari hasil penelitian diperoleh hasil seperti pada tabel 2.
ISSN 1410 – 8178
Sunardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Pengaruh suhu pengadukan dan konsentrasi awal terhadap faktor dekontaminasi No 1 2 3 4 5 6
Suhu oC 30 35 40 45 50 60
Faktor Dekontaminasi (FD) pada Konsentrasi awal uranium dalam limbah cair 50 ppm 98,1300 46,3926 34,7732 10,6345 7,5799 6,8656
100 ppm 98,1300 46,3926 34,7732 10,6345 7,5799 6,8656
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi awal yang besar akan semakin menurunkan faktor dekontaminasi hal ini dapat terjadi karena konsentrasi awal yang semakin besar akan semakin pekat yang mengakibatkan kemampuan lempung menyerap semakin turun sehingga menurunkan faktor dekontaminasi dan jika konsentrasi awal diturunkan akan semakin memperbesar faktor dekontaminasi karena konsentrasi awal yang kecil lebih encer sehingga kemampuan lempung menyerap semakin besar yang mengakibatkan faktor dekontaminasi semakin besar pula. Apabila konsentrasi awal terus diturunkan faktor dekontaminasi akan terus meningkat dan mencapai hasil maksimum pada konsentrasi awal 200 ppm, hasilnya tetap sama, Pada saat konsentrasi awal 200 ppm jika terus diturunkan terus sudah tidak berpengaruh lagi dan hasilnya tetap sama dan faktor dekontaminasi sama juga sehingga.ditetapkan bahwa konsentrasi awal terbaik adalah 200 ppm. Sedangkan suhu 30 oC memperoleh hasil terbaik apabila suhu dinaikan akan semakinmenurunkan faktor dekontaminasi hal ini terjadi karena jika suhu dinaikan limbah akan menguap sehingga konsentrasi uranim semakin besar yang mengakibatkan faktor dekontaminasi semakin turun. 3. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap hasil absorpsi. Pada percobaan Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap hasil absorpsi menggunakan limbah awal dengan kandungan uranium 100 ppm sedangkan kecepatan pengadukan divariasi 50 s/d 300 rpm. Kecepatan pengadukan berpengaruh cukup besar terhadap hasil absorpsi. Semakin cepat kecepatan pengadukan akan menghasilkan beningan dengan kadar uranium yang semakin besar sehingga menurunkan faktor dekontaminasi. Data dari pengaruh kecepatan pengadukan terhadap hasil absorpsi dapat dilihat seperti pada tabel 3.
Sunardi, dkk.
200 ppm 98,1300 46,3926 34,7732 10,6345 7,5798 6,8656
400 ppm 22,4096 21,1287 19,9495 16,1637 15,0569 12,9826
800 ppm 16,4752 14,5286 12,,5879 12,0181 11,6953 10,1862
Tabel 3. Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap hasil absorpsi. No 1 2 3 4 5 6
Kecepatan Konsentrasi U Pengadukan dalam beningan (rpm) (ppm) 50 1,40 100 1,45 150 1,96 200 2,42 250 3,10 300 3,35
Faktor Dekontaminasi (ppm/ppm) 71,43 68,97 51,02 41,32 32,26 29,85
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa apabila kecepatan pengadukan dinaikan maka kandungan uranium pada beningan akan semakin besar sehingga faktor dekontaminasi menurun hal ini dapat terjadi karena kecepatan pengadukan yang tinggi akan mengakibatkan kehomoginan cairan berkurang yang mengakibatkan kandungan uranium pada beningan akan semakin besar sehingga faktor dekontaminasi menurun dari hasil penelitian diperoleh hasil terbaik adalah kecepatan pengadukan 50 rpm yang menghasilkan beningan 1,40 ppm dan faktor dekontaminasi 71,43 ppm/ppm. Pada penelitian ini untuk perbandingan limbah cair dengan penyerap yang digunakan adalah 0,5 gram lempung pada 10 ml limbah uranium. KESIMPULAN Dari hasil percobaan dapat disimpulkan : 1. Lempung dari Nanggulan dapat digunakan untuk bahan absorben yang efektif untuk mengolah limbah uranium aktivitas rendah. 2. Dari percobaan diketahui hasil yang paling baik adalah pada waktu pengadukan 25 menit, kecepatan pengadukan 50 rpm, suhu 30 oC, dengan konsentrasi awal uranium 200 ppm, yang memberikan faktor dekontaminasi 98,1300.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 115
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PUSTAKA 1. Ronodirdjo, S, Diktat Kuliah Pengolahan Sampah Radioaktif, Bagian Teknik Nuklir Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, (1982). 2. ANONIM, “Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup tentang, Standrat Baku Mutu air Limbah di Indonesia, Jakarta, (1999) 3. OTHMER, KIRK, “Molecular Sieve “, Encyclopedia of Chemical Technology, Third Edition, Volume 15, John Whiley and Sons, p.14, (1981) 4. ENDRO.K, DKK, " Pengolahan Kimia Limbah Khrom Menggunakan Teknologi Flokulasi Koagulasi", Prosiding Pertemuan dan Presentasi Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir, ISSN : 1420, Yoyakarta, (2000). 5. NURIMANIWATHY, DKK, Pengolahan Konsentrat Limbah Cair Khrom Menggunakan Natrium Hidroksida dan Natrium Bikarbonat, Prosiding Seminar Penelitian Pengelolaan Perangkat Nuklir, ISSN : 1410, Yogyakarta, (2001) 6. ENDRO, DKK, “Optimasi Pengolahan Limbah Uranium Residu Proses Recovery Uranium Menggunakan Kalsium Karbonat”, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah , Yogyakarta, (2002).
TANYA JAWAB Hari Prayitno Mengapa didalam judul makalah anda menggunakan istilah lempung, padahal ada istilah baku yaitu tanah liat? Sunardi Makalah ini sudah dikoreksi beberapa orang tim KPTF dan ketua KPTF tidak ada koreksi tentang istilah lempung, karena lempung sudah lazim digunakan didalam bahasa Indonesia dan didalam penulisan-penulisan ilmiah dan lebih popular dibanding istilah tanah liat. Sugeng Tambahan : Lempung sudah merupakan istilah baku bahasa Indonesia dan sudah popular pada penulisan ilmiah Bagaimana kelanjutan penelitian ini Sunardi Terimakasih tambahannya yang memperkuat jawaban saya pada bapak Hari Prayitno. Buku II hal 116
Penelitian ini akan terus dikembangkan dan ditindak lanjuti. Rosidi Apa ada variabel ukuran butir lempung. Sunardi Didalam makalah ini tidak ada variable ukurann butir, ukuran butir yang digunakan mesh –100 +200 karena berdasarkan penelitian sebelumnya ukuran butir yang terbaik mesh –100 +200 Nugroho Luhur Bagaimana kalau limbah kandungan uraniumnya tidak sama dengan hasil terbaik seperti pada penelitian tersebut? Sunardi Apabila kandungan uranium didalam limbah kurang dari 200 ppm, bisa langsung diolah dengan cara ini karena hasilnya sama bagusnya, sedangkan bila kandungan uranium didalam limbah lebih dari 200 ppm sebaiknya diolah dengan cara yang lain. Fajar Panuntun Kandungan apa yang membuat lempung dapat menyerap uranium Apakah bisa diekstraksi diambil zat yang berguna saja Sunardi Lempung dapat menyerap uranium karena lempung mengandung senyawa alumunium silikat yang memiliki struktur kerangka tiga dimensi terbentuk oleh tetrahedral AlO45- dan SiO44- dengan rongga di dalamnya terisi ionion logam alkali tanah (Na, K, Mg, Ca dan Fe) dan molekul air yang dapat bergerak bebas, lempung juga mengandung monmorilonit cukup besar sehingga dapat menyerap uranium,penyerapan juga terjadi karena adanya pembentukan kerangka struktur molekuler dari penggabungan molekul-molekul tetrahedral membentuk celah dan saluran yang teratur sehingga menyebabkan adanya struktur berpori. Tidak mungkin karena penyerapan terjadi justru karena penggabungan molekul-molekul dan zat-zat tersebut. Adi Wijayanto Bagai mana cara pengukurannya Sunardi Pengukurannya menggunakan alat spektrometri, dibuat kurva standart kemudian diukur limbah sebelum diolah dan limbah sesudah diolah.
ISSN 1410 – 8178
Sunardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
ANALISIS UNSUR Se DAN As DALAM SEDIMEN DENGAN MENGGUNAKAN STANDAR PRIMER DAN SEKUNDER METODA AAN Sutanto. W.W, Mulyono, Iswantoro, Bambang Irianto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan-BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK ANALISIS UNSUR Se DAN As DALAM SEDIMEN DENGAN MENGGUNAKAN STANDAR PRIMER DAN SEKUNDER METODA AAN. Telah dilakukan penentuan unsur Se dan As terkandung dalam sedimen laut dengan metoda AAN (analisis aktivasi neutron). Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan konsentrasi unsur Se dan As dalam sedimen menggunakan standar primer dan sekunder. Standar primer menggunakan SRM No 2702 inorganics in marine sediment sedangkan standar sekunder dibuat dengan menggunanakan standar cair Se dan As dicampur dalam serbuk selulosa. Untuk menganalisis unsur As dan Se dalam sedimen menggunakan kedua standar mempunyai perbedaannya berkisar 5 % sampai 9 % untuk unsur As maupun Se. Hasil analisis konsentrasi As dalam sedimen adalah 29,938 mg/kg sampai dengan 51,959 mg/kg, sedangkan unsur Se adalah 1,367 sampai dengan 3,120 mg/kg untuk semua lokasi sampling. Kata kunci : Unsur Se dan As, sedimen laut, AAN
ABSTRACT ANALYSIS OF Se AND As ELEMENTS IN SEA SEDIMENT BY NAA METHODE USING PRIMARY AND SECONDARY STANDARDS. Determination of Se and As contained in sea sediment by AAN method has been performed. The object of this experimental was to know the concentration of Se and As in sea sediment by using primary and secondary standards. The primary standard was SRM No 2702 inorganics in marine sediment. The secondary standard was prepared by mixing the standard solutions of Se and As in cellulose as the medium. The different result between Se and As analyzed using primary standard and Se and As analyzed using secondary standard were 5 % to 9 %. The results showed that concentration of As were 29,938 mg/kg to 51,959 mg/kg and Se were 1,363 to 3,3120 mg/kg for sampling location. Keywords: Element of Se and As, sea sediment, NAA
PENDAHULUAN
S
edimen laut sering tercemar oleh komponen anorganik maupun organik, diantaranya berbagai unsur berbahaya dan beracun. Beberapa unsur tersebut banyak digunakan dalam berbagai keperluan, oleh karena itu diproduksi secara rutin dalam skala industri. Unsur-unsur yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan terutama adalah unsur merkuri Arsen (As), selenium (Se) dan banyak unsur lainnya. Menurut FARDIAZ [1] dan PALAR [2] unsur-unsur tersebut diketahui dapat
Sutanto. W.W, dkk
mengumpul di dalam tubuh suatu organisme dan tetap tinggal dalam tubuh dengan jangka waktu lama sebagai racun yang terakumulasi. Untuk mengetahui konsentrasi unsurunsur yang terkandung dalam sedimen telah dilakukan pengujian dengan menggunakan metoda analisis aktivasi neutron instrumental (AANI), yaitu metoda analisis unsur berbasis teknik nuklir. Metoda ini mempunyai keunggulan antara lain tidak memerlukan perlakuan kimia, menganalisis unsur dengan serentak (multiunsur), memiliki
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 117
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
sensitivitas dan selektivitas tinggi serta mampu menganalisi unsur dalam orde ng/kg sampai dengan mg/kg. Prinsip dasar AANI adalah apabila suatu bahan cuplikan yang terdiri dari berbagai unsur kimia dibombardir dengan neutron termal, maka akan terjadi penangkapan neutron oleh inti unsurunsur tersebut sehingga unsur-unsur menjadi radioaktif. Menurut KRUGER [3] dan TOJO [4] proses pembebtukan radioaktif akibat reaksi ini disebut aktivasi neutron. Reaksi yang paling sering terjadi dan yang paling banyak digunakan dalam AAN adalah reaksi neutron gamma (n, γ). Selain reaksi neutron gamma dapat juga terjadi reaksireaksi jenis lain seperti reaksi (n, p), (n, α), (n, 2n) dan sebagainya(4,5,6). Pemilihan reaksi yang tepat akan mempertajam kemampuan analisis unsurunsur yang dikehendaki dan menekan reaksi aktivasi unsur-unsur lain yang bisa menggangu. Pengunaan standar primer pada umumnya mudah dilakukan karena kadar unsur telah diketahui dan tertera dalam sertifikat, penggunaan standar harganya mahal. Untuk pengunaan standar buatan dan sering disebut standar sekunder harga murah akan tetapi dibuat dari larutan dipadatkan dengan melalui pencampuran ke dalam selulosa. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi hasil analisis unsur Se dan As dalam sedimen menggunakan standar primer yaitu Standar primer SRM No 2702 inorganics in marine sediment sedangkan standar sekunder dibuat dengan menggunanakan standar cair Se dan As dicampur dalam serbuk selulosa. Analisis unsur Se dan As yang terdapat dalam sedimen menggunakan metoda analisis aktivasi neutron (AAN).
Cara kerja Preparasi sedimen laut : 1. Sedimen dijemur dalam ruang pada suhu kamar, setelah kering dibersihkan dari kotoran, ditumbuk dan diayak 2. Semua cuplikan ditimbang dengan berat 100 mg. 3. Semua cuplikan yang telah dimasukkan dalam vial (setandar primer, standar sekunder, blanko berisi selolosa, dan sedimen laut), diberi kode atau nomor. 4. Semua cuplikan (3) diiradiasi dalam reaktor nuklir Kartini. 5. Pencacahan dan perhitungan menurut acuan yang telah dibuat SUKIRNO [6]. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan standar sekunder Pembuatan padatan standar sekunder unsur As dan Se dengan konsentrasi As = 50 mg/kg dan Se =10 mg/kg dalam serbuk selulosa 1.
2.
TATAKERJA Peralatan 1. Dregger 2. Plastik klip 3. Sarung tangan 4. Mikropipet (Eppendorf) 5. Timbangan analitik Ohaus-GT 410 6. Ayakan Karl Kolb 100 mesh 7. Vial polietilen dan alat pembusuk stainless steel ( baja tahan karat) 8. Alat-alat gelas 9. Alat iradiasi dan pencacahan. Reaktor riset Kartini berdaya 100 kw fasilitas Lazy Suzan dengan fluks neutron 0,58.1011 n cm-2. det-1 [6]. Spektrometer gamma : detektor Ge(Li) Ortec, MCA Spektrum Master ORTEC 92X, dengan software Maestro
Buku II hal 118
Bahan 1. Cuplikan sedimen laut 2. Aquabidest 3. HNO3 65% 4. Larutan standar : Se, As, buatan Merck 1000 mg/l 5. Selulosa powder 6. sumber standar multigamma (Eu-152) dan Standar Reference Material (SRM No 2702 inorganics in marine sediment sebagai standar primer.
3.
Persiapkan larutan induk As dan Se masingmasing dengan konsentrasi 1000 mg/L. Dibuat larutan konsentrasi Se dan As, masingmasing As = 50 mg/L dan Se =10 mg/L Timbang serbuk selulosa 10 g (tepat) dalam gelas beker (ditimbang 34,124 g), berat total gelas + selulosa = 44,124 g. No (2) dimasukkan larutan standar No (1) dan setiap pemipetan 1000 µL ditimbang beratnya (10 kali). 1) 1,201; 2) 1,203; 3) 1,202; 4) 1,203; 5) 1,198; 6) 1,197; 7) 1,202; 8) 1,202; 9) 1,201; 10) 1,199 kemudian diratarata adalah 12,007 g. Berarti berat jenis standar adalah = 12,007 g/ 10 mL = 1,2007 g/mL Berat gelas beker + selulosa + larutan standar menjadi : 44,124 g + 12,007 g = 56,131 g, dilaukan pengadukan sampai campuran merata. Cuplikan No (3), kemudian air diuapkan (didiamkan) pada suhu kamar, setiap hari cuplikan timbang sampai berat mencapai berat 46,131 g, berat tercapai setelah pengeringan
ISSN 1410 – 8178
Sutanto W. W, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
4.
10 hari. Hal ini menunjukkan berat selulosa menjadi terkontaminasi dengan unsur As dan Se menjadi = 46,131 g - 34,124 g = 12,007 g, sama dengan berat larutan campuran As dan Se yang dicampur dalam selulosa sehingga berat ini adalah kandungan As dan Se dalam sellulosa masing-masing 50 mg/kg dan 10 mg/kg. Kandungan As dan Se dalam sellulosa masing-masing 50 dan 10 mg/kg dapat digunakan sebagai standar sekunder untuk cuplikan maupun matrik yang mengandung As dan Se dengan metoda AAN.
Identifikasi unsur secara kualitatif Penentuan unsur secara kualitatif dilakukan dengan menentukan tenaga dari puncakpuncak spektrum kemudian mencocokkan dengan tabel isotop, pada umumnya isotop mempunyai lebih dari satu tenaga(5) dan dipilih yang mempunyai probabilitas yang paling besar. Pada Tabel 1, disajikan hasil analisis kualitatif unsur yang diperhatikan dalam cuplikan lingkungan laut dan reaksi yang paling sering terjadi dan yang paling banyak digunakan dalam AAN adalah reaksi neutron gamma (n, γ).
Tabel 1. Analisis kualitatif reaksi neutron gamma (n,γ) analisis aktivasi netron Unsur
Reaksi
Isotop
Tenaga (KeV)
Umur paro
Pobabilitas (%)
Se
74Se(n, γ) 75Se
Se-75
136,0
121 h
30
γ) 76As
As-76
559,2
26,3 j
75
CAs
75As(n,
Penentuan secara kuantitatif Setelah analisis kualitatif terhadap cuplikan sedimen, dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui konsentrasinya, dengan cara relatif yaitu metoda komparatif unsur-unsur dalam cuplikan dibandingkan dengan unsur-unsur yang ada dalam standar sekunder dan primer. Ada 3 (tiga) lokasi sedimen laut yang dianalisis yang berasal dari semenajung Muria yaitu daerah Beringin, Beji dan Lemahabang. Hasil analisis dapat dilihat pada perbandingan histogram, terlihat bahwa analisis menggunakan standar sekunder untuk ketiga sedimen laut mempunyai konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan standar primer. Pada histogram sedimen laut Bringin dengan konsentrasi tertinggi 51,959 mg/kg menggunakan standar sekunder sedangkan menggunakan standar primer 49,122 mg/kg, perbedaannya sekitar 8,84 %. Untuk keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2 dimana perbedaannya berkisar 5 % sampai 9 %, Perbedaan ini dibawah 10 % hal untuk analisis kimia metoda
Konsentrasi As, mg/kg
Sekuder 60
32.732
29.938
analisis aktivasi neutron (AAN) masih cukup baik dipandang dari hasinya analisis konsentrasi unsur Se dan As dalam sedimen. Perbedaan ini bisa dipandang berasal dari hasil pembuatan standar sekunder dari awal pemipetan standar larutan induk untuk pembuatan kosentrasi yang diinginkan sampai dengan penimbangan serbuk selulosa yang telah terkontaminasi As dan Se dengan konsentrasi yang dinginkan pada pembuatan As dengan konsentrasi 50 mg/kg dan Se 10 mg/kg dalam selulosa. Keuntungan memakai standar primer terutama konsentrasinya dalam sertifikat sudah akurat karena diukur dengan berbagai metoda, akan tetapi harganya sangat mahal dan bila mau membeli atau dipesan butuh waktu yang lama. Sedangkan memakai setandar sekunder keuntungannya mudah pembuatannya dan dapat dibuat setiap saat bila standarnya telah habis dan tentunya harganya murah, kerugiannya pembuatanya mempunyai ketelitian yang tinggi dan kemungkinan kekurangan akurat dibangdingkan dengan standar primer.
Primer 51.776
48.321
51.959
49.122
40 20 0
Beji
Lemahabang
Bringin
Lokasi Sampling Sedimen Laut
Gambar 1. Histogram konsentrasi unsur As dalam sedimen laut menggunakan standar sekunder dan perimer. Sutanto W. W, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 119
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kandungan unsur Se dalam sedimen di ketiga lokasi tidak jauh berbeda dimana konsentrasi terendah 1,367±0,18 mg/kg analisis menggunakan standar primer sedangkan menggunakan standar sekunder konsentrasi unsur Se adalah 1,498±0,14mg/kg yang terdapat dalam sedimen lokasi Beji dapat dilihat pada Gambar 2 atau Tabel 4 di lampiran.
Konsentrasi Se (mg/kg)
3.09
Sekunder
3.5
Perbedaan keduan standar adalah 8,78 %.. Konsentrasi tertinggi adalah sedimen lokasi Bringin dengan konsentrasi 3,120±0,12 mg/kg standar sekunder sedang setandar primer 2,813±0,22 mg/kg, perbedaan kedua standar adalah 8,84 %.
2.92
3.12
2.813
Primer
3 2.5 2
1.498
1.367
1.5 1 0.5 0 Beji
Lemahabang
Bringin
Lokasi Sampling Sedimen laut
Gambar 2. Histogram konsentrasi unsur Se dalam sedimen laut menggunakan standar sekunder dan perimer. Tabel 2. Perbedaan konsentrasi unsur Se dan As dengan menggunakan standar primer dan sekunder. Lokasi
KonsentrasiUnsur As Sekuder Primer
Konsentrasi Unsur Se Sekuder Primer
Perbedaan (%) As Se
Beji
32,732
29,938
1,498
1,367
8,54
8,74
Lemahabang
51,776
48,321
3,090
2,930
6,67
5,18
Bringin
51,959
49,122
3,120
2,813
5,46
8,84
KESIMPULAN 1.
2.
Untuk menentukan unsur Se dan As dalam sedimen laut digunakan metoda komparatif dengan menggunakan standar primer dan sekunder. Perbedaan kedua standar untuk unsur As berkisar dari 5,46 % sampai dengan 8,54 % sedangkan untuk unsur Se berkisar 5,18 % sampai dengan 8,84 %, perbedaan kedua standar masih dibawah 10,0 % sehingga kedua standar dapat digunakan untuk menentukan unsur Se dan As di dalam sedimen laut. Keuntungan memakai standar primer konsentrasi keakuratannya dalam sertifikat sangat vailid, akan tetapi harganya mahal, sedangkan standar sekunder harganya murah dan mudah dibuat dari standar larutan akan tetapi keakuratan harus diperhatikan.
Buku II hal 120
3.
Konsentrasi As dalam sedimen laut yang terdeteksi menggunakan standar primer berkisar (29,938-49,122) mg/kg menggunakan standar primer, unsur Se berkisar (1,367-2,813) mg/kg. Menggunakan standar sekunder As berkisar (23,732-51,959) mg/kg dan unsur Se berkisar (1,498-3,120) mg/kg.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3.
FADIAZ SRIKANDI., Polusi air dan udara., Penerbit Kanisius. Yogyakarta (1992) PALAR. H., Pencemaran dan Toksikologi logam berat. Rineka Cipta. Jakarta (1994) PAUL KRUGER., Principle of Activation Analysis., Wiley Interscience. Toronto (1971)
ISSN 1410 – 8178
Sutanto W. W, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
4.
5.
6.
TOJO. T, Instrmental Neutron Activation Analysis. BATAN-JAERI. Training Course on Radiation Measurement and Nuclear Spectroscopy. Jakarta (1998)ERDTMANN. G., and SOYKA. W., The Gamma Rays of The Radionucledes. New York (1979) SUSETYO. W. Spektrometri Gamma dan Penerapannya dalam AAN. Gajah Mada University Press. Yogyakarta (1988) SUKIRNO, IRIANTO.B., ’Kajian Logam Medium dan Berat Dalam Air dan Sedimen Code Daerah Hulu dengan Teknik” AAN. PPI, PTAPB-Batan, Yogyakarta (2006)
Sutanto W. W, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 121
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
LAMPIRAN Tabel 3. Hasil analisis Se menggunakan standar sekunder unsur Se dengan 3 kali pengulangan dan hasil rerata serta setandar deviasinya. Konsentrasi Se (mg/kg) Lokasi
1
2
3
Rerata
± SD
Beji
1,433
1,341
1,719
1,498
0,14
Lemahabang
2,332
3,444
3,444
3,090
0,50
Bringin
2,948
3,265
3,148
3,120
0,12
Tabel 4. Hasil analisis Se menggunakan standar primer unsur Se dengan 4 kali pengulangan dan hasil rerata serta setandar deviasinya. Konsentrasi Se (mg/kg) Lokasi
1
2
3
4
Rerata
± SD
Beji
1,247
1,697
1,123
1,402
1,367
0,18
Lemahabang
3,114
2,897
3,001
2,708
2,930
0,13
Bringin
2,637
2,573
2,882
3,162
2,813
0,22
Tabel 5. Hasil analisis As menggunakan standar sekunder unsur As dengan 3 kali pengulangan dan hasil rerata serta setandar deviasinya. Konsentrasi Se (mg/kg) Lokasi
1
2
3
Rerata
± SD
Beji
29,210
32,919
36,067
32,732
2.35
Lemahabang
48,739
51,678
54,912
51,776
2.09
Bringin
54,198
56,772
44,907
51,959
4.70
Tabel 6. Hasil analisis As menggunakan standar primer unsur AS dengan 4 kali pengulangan dan hasil rerata serta setandar deviasinya. Konsentrasi Se (mg/kg) 1
2
3
4
Rerata
± SD
Beji
Lokasi
32,062
30,792
28,534
23,563
29,938
3,68
Lemahabang
47,471
48,340
50,254
47,217
48,321
0,97
Bringin
45,098
42,614
51,957
48,817
49,122
3,906
Buku II hal 122
ISSN 1410 – 8178
Sutanto W. W, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENGARUH KONSENTRASI URANIUM DAN WAKTU PERENDAMAN DALAM TCE TERHADAP LUAS MUKA, JARIJARI RERATA DAN VOLUME TOTAL PORI KERNEL U3O8 PADA GELASI INTERNAL Sri Rinanti Susilowati, Hidayati Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK PENGARUH KONSENTRASI URANIUM DAN WAKTU PERENDAMAN DALAM TCE TERHADAP LUAS MUKA, JARI-JARI RERATA DAN VOLUME TOTAL PORI KERNEL U3O8 PADA GELASI INTERNAL. Telah dilakukan penelitian Pengaruh Konsentrasi Uranium dan Waktu Perendaman dalam TCE (trichloroethylene) terhadap Kernel U3O8 Gelasi Internal. Larutan umpan yang digunakan adalah ADUN (Acid DeficienUranyl Nitrate) dengan konsentrasi Uranium yang divariasi 450-700 g/L. Laruan sol dibuat dengan menambahkan Urea dan HMTA pada suhu 0-10oC. Sol diteteskan kedalam kolom gelasi 3 m yang berisi TCE pada suhu 60-65oC. Gel UO3 direndam dalam TCE dengan variasi waktu 15-150 menit. Setelah perendaman, gel dicuci dengan larutan NH4OH dan air bebas mineral lalu dikeringkan dan kalsinasi. Kernel U3O8 dianalisis fisis meliputi kerapatan, porositas dan diameter . Kernel yang terbaik diperoleh dari sol dengan variasi konsentrasi U 550 g/L adalah luas muka 7,166 m2/g, volume total pori 5,730.10-3cc/g dan jari-jari rerata pori 15,993 Ao.Sedangkan pada variasi waktu perendaman TCE 120 menit adalah luas muka 7,737 m2/g, volume total pori 5,807.10-3cc/g dan jari-jari rerata pori 15,011Ao. Kata kunci : gelasi internal, luas muka, kernel U3O8, jari-jari rerata pori , volume total pori
ABSTRACT THE INFLUENCE OF URANIUM CONCENTRATION AND SOAKING TIME IN TCE FOR SURFACE AREA, TOTAL VOLUME PORE, AVERAGE PORE RADIUS OF U3O8 KERNEL IN INTERNAL GELATION. It has been done research the influence of concentration of uranium and soaking time in TCE (trichloroethylene) to surface area , total pore volume, and average pore radius of U3O8 kernel in internal gelation. ADUN (Acid Deficien Uranyl Nitrate) was used as feed solution with uranium concentration vary on 450-700g/L.The sol was made by added Urea and HMTA on temperature of 010oC. Sol was dropped in gelation colom 3 m tha filled with Trichloroetylene on temperature of 60-65oC. Gel UO3 was soaked TCE with time vary on 15-150 minutes. After that gel was washed with NH4OH solution and washed with free mineral water and then was dried and calcinations. U3O8 kernel was analyzed physically form and density, porocity , gel and kernel diameter. The best kernel was got from sol with concentration of 550 g/L the U3O8 kernel with the surface area 7,166 m2/g, total pore volume 5,730.10-3cc/g and average pore radius 15,993 Ao. The bst kernel from soaking time of TCE 120 minutes the U3O8 kernel with surface area 7,737 m2/g, total pore volume 5,807.10-3cc/g and average pore radius 15,011Ao. Keywords: internal gelation, surface area,U3O8 kernel, average pore radius, total pore volum
Sri Rinanti Susilowati, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 123
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENDAHULUAN
K
ecelakaan nuklir yang terjadi di Fukushima Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 membuat kita berfikir ulang tentang keselamatan reaktor jenis BWR. Reaktor yang mempunyai prospek yang sangat baik untuk pembangkit tenaga listrik dan lain-lain adalah reaktor temperatur tinggi (HTR). Reaktor ini menggunakan bahan bakar berupa butiran kecil yang disebut partikel terlapis. Bagian yang paling dalam dari partikel berlapis disebut kernel. Kernel yang digunakan dapat berupa senyawa UO2, campuran (U+Th) oksida maupun campuran (U+Pu) oksida. Kernel ini dilapisi 4 lapisan secara berturut-turut yaitu: lapisan pyrocarbon kerapatan rendah, lapisan pyrocarbon kerapatan tinggi (PyC), lapisan silicon carbida (SiC) dan lapisan pyrocarbon kerapatan tinggi sebagai lapisan luar(1). Ada berbagai macam proses pembuatan kernel UO2 salah satunya adalah proses sol-gel. Proses sol-gel mempunyai arti penting untuk pengolahan bahan bakar nuklir yang merupakan salah satu metode pembuatan kernel UO2 melalui proses basah. Prinsip dasar proses ini adalah bila suatu larutan sol diteteskan dalam zat organik panas maka tetes sol tersebut akan berbentuk bola kemudian dengan menambah zat pengendap atau dengan mengambil air dalam sol akan diperoleh UO2(NO3)2 + 2 CO(NH2)2
{UO2[CO(NH2)2]2}2+ +2NO3-
Apabila tidak ada urea, penambahan HMTA ke dalam larutan umpan uranil nitrat akan terjadi UO2(NO3)2 + (CH2)6N
Buku II hal 124
(2)
Heksametilen tetraamin dicampur sampai homogen dengan larutan uranil nitrat-urea pada suhu 0oC. Tujuan dari penambahan HMTA adalah sebagai donor ammonia yang pada suhu tinggi akan terhidrolisis. HMTA akan terdekomposisi pada suhu di atas 10oC, reaksi dekomposisinya(5):
4 NH3 + 6CH2O
Oleh karena itu larutan umpan dipertahankan maksimum 10oC. Ada berbagai variabel yang menentukan keberhasilan pembuatan kernel UO2 antara lain penentuan jenis medium organik yang digunakan sebagai medium gelasi, kadar Uranium dalam larutan sol, waktu perendaman dalam TCE. Ada beberapa macam medium organik yang digunakan sebagai medium gelasi dalam pembuatan gel UO3
(1)
endapan yang sukar larut sebelum proses gelasi seperti reaksi berikut ini(4):
{UO2(NO3)2(CH2)6N4}
Pelarutan urea dapat dilakukan pada suhu 50 oC selama 5 jam dengan tujuan agar nitrit yang terbentuk dari hasil proses pelarutan urea dalam larutan uranil nitrat hilang sehingga dapat dihasilkan butiran gel yang baik.
(CH2)6N4 + 6H2O
endapan berbentuk bola yang cukup stabil yang dinamakan gel (2). Pembuatan gel UO3 merupakan suatu tahapan yang diperlukan dalam proses fabrikasi elemen bakar reaktor temperatur tinggi. Tahapan ini mempunyai kedudukan penting pada proses pembuatan kernel UO2 karena dalam tahap ini bentuk bola terjadi. Jadi pembuatan gel UO3 merupakan salah satu proses yang menentukan keberhasilan terbentuknya kernel yang dikehendaki. Oleh karena itu gel UO3 yang dibuat harus benar-benar terbentuk dari bahan dan proses yang tepat dengan komposisi yang tepat pula. Pada penelitian ini, pembuatan gel UO3 sebagai tahap awal pembentukan kernel UO2 dilakukan dengan metode gelasi internal dengan mengacu dari laboratorium ORNL (Oak Ridge National Laboratory) di Amerika, dengan menggunakan larutan umpan gelasi Acid Deficien Uranyl Nitrate (ADUN) dengan ditambah HMTA dan Urea. Penambahan urea bertujuan untuk membentuk komplek {UO2[CO(NH2)2]2}2+ yang mencegah terjadinya endapan uranil nitrat-HMTA, menghambat reaksi dekomposisi HMTA dan mencegah gelasi prematur pada waktu penambahan HMTA (3). Pelarutan urea ke dalam larutan uranil nitrat dilakukan pada suhu 50oC selama 5 jam. Reaksi pelarutan yang terjadi:
(3)
antara lain: minyak parafin, minyak silikon, trikloroetilen. Pada penelitian ini medium gelasi yang digunakan adalah trikloroetilen. Trikloroetilen mempunyai kerapatan dan tegangan permukaan yang tinggi sehingga dari sifat tersebut dapat diperoleh kernel yang baik dengan spesifikasi yang sesuai dengan yang dikehendaki. Titik didih trikloroetilen rendah membuat tetesan sol terdehidrasi pada suhu yang rendah. Spesifikasi
ISSN 1410 – 8178
Sri Rinanti Susilowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
kernel yang diinginkan antara lain mempunyai densitas yang tinggi (10,49g/cm3), sphericity <1,2, O/U 2,01 dan porositas tertentu dengan volume pori 1-10 µm. Oleh karena pentingnya porositas dan volume pori untuk diketahui maka penelitian ini dilakukan. Hasil kernel sinter UO2 yang porous tidak dikehendaki, namun bukan berarti porositas harus nol karena pada batas porositas tertentu berfungsi untuk menampung hasil fisi.
endapan yang tidak larut. Dianalisis konsentrasi uranium dengan metode titrimetri (titrasi menggunakan titran standar K2Cr2O7 0,1 N, indikator larutan barium difenil sulfonat, katalisator larutan FeCl3 serta reduktor TiCl3). Konsentrasi uranium dalam larutan dihitung dengan rumus sebagai berikut:
TATA KERJA
U = Konsentrasi uranium dalam larutan g/L V1 = Volume larutan K2Cr2O7 0,1 N yang dibutuhkan titrasi sampel Vb = Volume larutan K2Cr2O7 0,1 N yang diutuhkan titrasi blangko N1 = Normalitas larutan standar K2Cr2O7 Vs = Volume larutan sampel yang dititrasi 119 = Massa ekivalen Uranium Diukur keasaman larutan umpan gelasi dengan kertas pH. apabila telah mencapai pH > 2, kemudian dianalisis angka banding NO3-/U dengan metode titrasi spektrofotometri. Apabila telah mencapai pH >2, kemudian dianalisis angka dengan metode titrasi banding NO3-/U spektrofotometri.
Peralatan 1. Serbuk UO3 hasil proses PTAPB BATAN 2. HNO3 3. H2SO4 4. TiCl3 kristal 5. FeCl3 kristal 6. Barium difenilsulfonat Kristal 7. Asam sulfamat Kristal 8. Larutan Titrisol K2Cr2O7 0,1 N 9. Air bebas mineral 10. HMTA 11. Urea 12. Es batu 13. NH3 pekat 14. Aceton
Proses Gelasi Internal Diambil larutan ADUN dengan konsentrasi U 700g/L sebanyak 5 ml atau lebih sesuai kebutuhan dengan pipet volum, kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker 10 ml. Kemudian urea ditimbang sesuai perbandingan mol Urea/U = 1,25 dengan rumus sebagai berikut :
Bahan 1. Gelas beker 2. Neraca analitik 3. seperangkat alat untuk proses gelasi 4. cawan porselin 5. kertas saring 6. termometer 7. pengaduk magnet 8. muffle furnace 9. piknometer 10. mikroskop optic 11. kamera 12. gelas arloji 13. spectronic 20 14. kertas pH 15. sendok tanduk 16. seperangkat alat gelas.
Murea = U.r.V.Mrurea Murea= Berat urea yang dibutuhkan U = Konsentrasi uranium dalam larutan umpan r = Perbandingan mol Urea/U yang dikehendaki V = Volume larutan umpan Mrurea= Massa molar urea (60,06 gram/mol)
Cara kerja Pembuatan larutan uranil nitrat defisien asam Ditimbang serbuk UO3 sebanyak 150 g dengan neraca analitik,kemudian diambil larutan asam nitrat 7 N sebanyak ± 65 mL dengan pipet volum kemudian dimasukkan ke dalam beker 250 mL dan dipanaskan pada suhu 60º C di dalam almari asam. Dimasukkan serbuk UO3 ke dalam larutan HNO3 7N sedikit demi sedikit sambil terus diaduk dan dipanaskan pada suhu 60ºC di dalam almari asam. Setelah pelarutan dianggap cukup, larutan disaring untuk menghilangkan pengotor maupun sisa Sri Rinanti Susilowati, dkk
U = (V1 – Vb). N1. 119 Vs
Ditimbang urea sejumlah yang dibutuhkan dengan neraca analitik, kemudian dicampur dengan larutan ADUN pada suhu 50º C selama 5 jam sambil diaduk. Larutan umpan didinginkan dengan es batu hingga suhu larutan umpan ± 0ºC.Ditimbang HMTA sesuai jumlah yang dibutuhkan dengan neraca analitik, kemudian dicampurkan dengan larutan ADUN yang telah dicampur dengan urea terlebih dahulu sambil didinginkan pada suhu 0ºC dan diaduk sampai homogen. Berat HMTA yang harus ditimbang dihitung sesuai perbandingan mol HMTA/U = 1,25 dengan rumus sebagai berikut : MHMTA = U.r.V.MrHMTA MHMTA = Berat HMTA yang dibutuhkan
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 125
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
U = Konsentrasi uranium dalam larutan umpan r = Perbandingan mol HMTA/U yang diinginkan
V = Volime larutan umpan MrHMTA = Massa molar HMTA (140,19 gram/mol)
Larutan umpan diteteskan dengan menggunakan alat penetes (pipet mata dengan diameter lubang ± 2 mm kedalam kolom gelasi sepanjang 3 m yang berisi trichloroetilena dan dipanaskan pada suhu 60º C. Gel yang diperoleh didiamkan dalam kolom gelasi selama 2 jam pada suhu 60º C. Butiran gel UO3 yang telah direndam dalam medium gelasi selama 2 jam dikeluarkan dari kolom gelasi lalu direndam dalam larutan NH4OH 2,5 % selama 17 jam. Butiran gel yang telah direndam dalam larutan NH4OH 2,5 % selama 17 jam kemudian dicuci dengan larutan NH4OH 2,5 % sebanyak 5 kali. Ulangi pekerjaan di atas dengan ADUN konsentrasi U 650; 600; 550; 500; 450 g/L.Pada
variasi waktu perendaman gel dalam TCE, gel dibagi 6 masing-masing direndam dengan TCE selama 15; 30; 60; 90; 120; 150 menit. Proses Pengeringan Proses pengeringan ini dilakukan selama 2 kali, yaitu pengeringan pada suhu kamar dan pengeringan menggunakan oven. Pengeringan pertama yang dilakukan adalah pengeringan pada suhu kamar. Butiran gel ADU dikeringkan terlebih dahulu pada suhu kamar selama 2 hari. Setelah itu dikeringkan pada oven pada suhu 100oC secara bertahap, yaitu 50oC selama 1 jam kemudian 70oC selama 1 jam dan 100oC selama 2 jam.
Serbuk UO3 Larutan HNO3 7N
Pelarut
Lar ADUN
Penambahan HMTA/U + Urea/U =1,25 Trikloroetilen 60oC
Analisis konsentrasi U Analisis perbandingan mol NO3-/U
Penambahan zat aditif pada + 0OC
Gelasi internal dalam medium organik panas pada suhu + 60OC Perendaman dalam medium gelasi pada suhu 60OC
Pencucian dan perendaman dalam larutan NH4OH 2,5% pada suhu kamar Pengeringan bertahap: 1. Suhu kamar, 24 jam 2. 100OC, 2 jam
Analisis kondisi fisik butiran (warna, bentuk, dan keutuhan)
Kalsinasi pada suhu +600OC, 2 jam
Kernel U3O8 Analisis kerapatan, porositas, diameter Gambar 1. Diagram Alir Proses Gelasi Internal dalam Medium Trikloroetilen Buku II hal 126
ISSN 1410 – 8178
Sri Rinanti Susilowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Proses Kalsinasi
Penentuan luas permukaan dilakukan dengan menggunakan Surface Area Analyzer NOVA – 1000. Pertama kali sampel dikeringkan pada suhu 120º – 240ºC untuk menghilangkan uap air dan zat volatil. Setelah itu ditimbang 1 – 3 g dan dimasukkan dalam tempat sampel pada suhu nitrogen cair. Untuk memperoleh print out, Surface Area Analyzer diprogram terlebih dahulu sehingga diperoleh hasil analisisnya.
Langkah kerja proses kalsinasi adalah sebagai berikut: Butiran-butiran gel diletakkan pada cawan porselin atau krus porselin yang tahan panas tinggi kemudian dimasukkan dalam muffle furnace Kemudian panaskan secara bertahap, yaitu 100oC selama 1 jam, 200oC selama 1 jam, 300oC selama 1 jam, 400oC selama 1 jam, 500oC selama 1 jam, 600oC selama 1 jam kemudian 700oC selama 2 jam. Setelah mencapai suhu 700oC selama 2 jam tersebut, pemanasan dimatikan dan dibiarkan dingin sampai suhu kamar, selanjutnya dilakukan proses pengamatan fisik dan analisis.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada analisis luas permukaan dengan menggunakan alat Surface Area Analyzer selain data luas permukaan diperoleh juga data volume pori total dan jari-jari rerata pori. Hasil analisis butiran U3O8 dengan variasi konsentrasi uranium dalam larutan umpan yang diperoleh dari analisis menggunakan surface area analyzer dapat dilihat pada tabel 1 dan gambar 2.
Karakteristik kernel U3O8 : Karakteristik kernel U3O8 meliputi : Analisis luas muka, jari-jari rerata pori, volume total pori kernel U3O8
Tabel 1. Data analisis luas permukaan spesifik, volume pori total, dan jari–jari rerata pori butiran U3O8 Nama sampel
1.a b c d e f
U – 450 U – 500 U – 550 U – 600 U – 650 U – 700
luas permukaan (m2/g)
No.
Luas permukaan spesifik ( m2/g ) 11,307275 9,891854 7,165908 9,467290 7,330324 9,781240
Volume total pori (10-3 cc/g)
jari – jari rerata pori (Angstrom)
12,215014 11.074480 5,730261 9,054708 7,643681 10,625079
22,391112 21,725422 15,993118 20,854962 19,128407 21,605583
12 11.307275
11 10
9.891854
9.46729
9
9.78124
8 7.330324
7.165908
7 6 400
450
500
550
600
650
700
750
konsentrasi U (g/L)
Gambar 2. Grafik hubungan antara luas permukaan butiran U3O8 vs konsentrasi uranium Berdasarkan tabel 1 dan gambar 2, yaitu hasil analisis luas permukaan butiran U3O8, luas permukaan spesifik teringgi diperoleh dari butiran U3O8 yang berasal dari umpan yang mempunyai konsentrasi 450 g/L dan luas permukaan yang Sri Rinanti Susilowati, dkk
paling rendah dihasilkan dari butiran U3O8 yang berasal dari larutan umpan yang mempunyai konsentrasi uranium sebesar 550 g/L. Hal ini dikarenakan butiran yang dihasilkan dari larutan umpan dengan konsentrasi uranium 450 g/L
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 127
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
mempunyai kerapatan yang paling rendah demikian pula pada konsentrasi uranium 550 g/L mempunyai kerapatan yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi uranium 550g/L perbandingan banyaknya uranium dengan zat aditiv pas sehingga terjadi reaksi yang sempurna. Kerapatan tinggi menunjukkan bahwa porositasnya relativ kecil, demikian pula dengan kerapatan yang rendah maka porositasnya relativ tinggi. Sehingga porositas yang tinggi mempunyai luas muka yang tinggi demikian juga kernel
dengan porositas yang rendah luas muka relativ rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada butiran U3O8 yang mempunyai kerapatan rendah, terdapat pori yang banyak dan mempunyai jari-jari pori yang besar pula , sehingga porositasnya menjadi tinggi. Hasil Analisis luas permukaan spesifik, volume pori total, jari-jari rerata pori untuk variasi waktu perendaman dalam trikloroetilen dapat dilihat pada tabel 2 .
Tabel 2. Data analisis luas muka spesifik, volume pori total dan jari – jari rerata pori butiran U3O8 untuk variasi waktu perendaman gel dalam trikloroetilen Luas muka Volume total jari – jari rerata No. spesifik pori Nama sampel pori (Angstrom) 2 -3 ( m /g ) (10 cc/g) a b c d e f
TCE – 15 TCE – 30 TCE – 60 TCE – 90 TCE – 120 TCE – 150
11,139856 15,983285 10,247909 10,258867 7,737647 11,525295
11,687801 16,850573 8,228450 8,282080 5,807746 13,610130
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa luas permukaan, volume pori total, jari-jari rerata pori yang rendah diperoleh dari butiran dengan waktu perendaman trikloroetilen selama 120 menit. Sedangkan luas permukaan, volume total pori, jari-jari rerata pori yang tinggi diperoleh dari butiran dengan waktu perendaman trikloroetilen
20,983756 23,617842 16,041635 16,163454 15,011659 21,085245
selama 30 menit. Hal ini menunjukkan bahwa pada perendaman gel dalam TCE selama 120 menit proses gelasinya sudah sempurna, sehingga terjadi pertumbuhan butir selama proses perendaman. Sedangkan pada waktu perendaman 30 menit waktunya belum cukup untuk pertumbuhan butir.
luas permukaan (m2/g)
18 16
15.983285
14
11.525295
12
10.247909 10.258867
10
11.139856
8
7.737647
6 0
30
60
90
120
150
180
waktu perendaman dalam TCE
Gambar 3. Grafik hubungan antara luas permukaan butiran U3O8 vs waktu perendaman gel dalam TCE Berdasarkan grafik hubungan antara luas permukaan vs waktu perendaman gel dalam trikloroetilen pada gambar 3, mula-mula luas permukaan tinggi pada waktu perendaman gel selama 15 menit, kemudian turun perlahan –lahan sampai perendaman selama 120 menit lalu naik Buku II hal 128
lagi setelah 150 menit. Pada penelitian ini dipilih waktu perendaman terbaik adalah 120 menit karena butiran U3O8 yang dihasilkan tidak pecah setelah proses kalsinasi, mempunyai kerapatan tertinggi, luas muka, volume pori total maupun jari-jari pori rerata rendah.
ISSN 1410 – 8178
Sri Rinanti Susilowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
2.
3. Gambar A. Gel UO3
4.
5.
Reactor Fuel Development Program. Julich: Kernforschungsanlage WARDAYA; MASDUKI,B (1990). Pembuatan Kernel UO2 Melalui Proses Gel. dalam Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir: Yogyakarta PPNY-BATAN MASDUKI,B DAN WARDAYA (1994). Pabrikasi Elemen Bakar Reaktor Suhu Tinggi (RST), Pemilihan Proses Sol gel dan Penelitian Pembuatan Kernel. Seminar Teknologi dan Aplikasi Reaktor Temperatur Tinggi Jakarta 31-1-1994: Jakarta PPkTN BATAN HIDAYATI, BANGUNWASITO, NUR WIJAYADI, ENDANG NAWANGSIH, ARI HANDAYANI (2001). Pengaruh Kondisi Pencampuran Urea + Uranium Pada Pembuatan Gel UO3. dalam Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 7-8 Agustus 2001: Yogyakarta P3TM-BATAN HAAS,P. A.; BEGOVICH,J. M.; RYON, D. dan VAVRUSKA, J.S. (1979). Consolidated Fuel Recycle Program – Refabrication. Chemical Flowsheet Condition for Prepairing Urania Spheres by Gelation. Tennessee: ORNL
TANYA JAWAB Gambar B. Kernel U3O8 KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan, kernel setelah dikalsinasi yang terbaik adalah pada variasi konsentrasi uranium 550g/L dengan kondisi kernel U3O8 sebagai berikut: luas muka yang terendah yaitu 7,166 m2/g, volume total pori 5,730.10-3cc/g dan jari-jari rerata pori 15,993 Ao.Sedangkan pada variasi waktu perendaman kernel yang terbaik dihasilkan pada variasi waktu 120 menit dengan kondisi kernel U3O8 sebagai berikut luas muka 7,737 m2/g, volume total pori 5,807.10-3cc/g dan jari-jari rerata pori 15,011Ao. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada sdr Tacuk Bewantjoko yang telah banyak membantu dalam melakukan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. NICKEL, H. (1970). Development of Coated Fuel Particles. KFA Contribution Whithin the Frame of the German High Temperatur
Sri Rinanti Susilowati, dkk
Suliyanto Apakah ada pengaruh lain selain konsentrasi U dan waktu terhadap luas muka, jari-jari dan volume botol pori yang diinginkan, jelaskan! Sri Rinanti Ada, pengaruh lain selain konsentrasi U dan waktu perendeman adalah perbandingan mol NO3-/U, waktu perendaman dalam NH4OH (ageing). Mujari Apakah pertimbangannya dipilih bahan TCE untuk perendaman dan bahan-bahan lain apa yang biasa mempengaruhi waktu perendeman? Sri Rinanti TCE dalam penelitian ini adalah sebagai medium poses gelasi, jadi maksud perendeman dalam TCE untuk menyempurnakan proses gelasi. Pertimbangannya dipilih TCE karena densitas dari TCE mendekati densitas larutan sol sehingga waktu tinggal tetesan sol dalam kolom gelasi lebih lama maka proses gelasinya lebih sempurna.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 129
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
A.Supriyanto Bagaimana pengaruh saat perendeman dalam TCE terhadap luas muka jika kurang dari 120 menit atau lebih dari 120 menit ? Sri Rinanti Jika waktu perendeman kurang dari 120 menit pengaruhnya terhadap luas muka, jarijari dan volume total pori hasilnya belum optimasi karena dari grafik (gbr.3) dalam makalah masih menunjukkan penurunan terhadap luas muka dll. Sedangkan lebih dari 120 menit perendeman dianggap tidak efisien, karena kami melakukannya hingga 150 menit dan itu tidak memberikan perubahan yang signifikan.
Buku II hal 130
Sukidi Dengan melakukan variasi waktu perendeman, berapakah waktu perendeman hasil yang terbaik? Apakah yang terjadi jika konsentrasi U yang dibutuhkan kurang ? Sri Rinanti Dengan variasi waktu perendeman, hasil yang terbaik yaitu 120 menit. Jika konsentrasi U yang dibutuhkan kurang maka gel yang dihasilkan tidak bulat, lonjong / pipih dan kernel yang dihasilkan keropos bahkan pecah pada proses pemanasan.
ISSN 1410 – 8178
Sri Rinanti Susilowati, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PEMBUATAN KONSENTRAT ZIRKON SEBAGAI UMPAN PROSES PELEBURAN MENGGUNAKAN SHAKING TABLE (MEJA GOYANG) Sajima, Sunardjo, Harry Supriyadi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK PEMBUATAN KONSENTRAT ZIRKON SEBAGAI UMPAN PROSES PELEBURAN MENGGUNAKAN SHAKING TABLE (MEJA GOYANG). Telah dibuat konsentrat zirkon sebagai umpan peleburan menggunakan meja goyang. Bahan baku yang digunakan adalah pasir zirkon Kalimantan. Meja goyang digerakan dan air sebagai media dialirkan pada kecepatan 15 liter permenit. Pasir zirkon dalam tangki pengumpan (feeder) dialirkan dalam kecepatan 17 kg perjam. Konsentrat, meddling dan tailing dikeringkan kemudian ditimbang. Hasil proses dianalisis menggunakan XRF. Diperoleh konsentrat dengan komposisi ZrO2 (60,9%), TiO2 (5,6%), SiO2 (5,6%), Fe2O3 (2,7%), SnO2(1,0%), Cr2O3 (0,6%), AlO2 (0,5%), NbO2(0,2%) dan MnO2(0,3%). Kata kunci : pasir zirkon, konsentrat, umpan, peleburan, meja goyang
ABSTRACT MANUFACTURING OF ZIRCON CONCENTRATE AS FUSION PROCESS FEED USING SHAKING TABLE. Zircon concentrate as a feed for fusion using a shaking table has been done. Kalimantan zircon sand has been used as raw materials. Shaking table was driven and water as the medium was flowed at a speed of 15 liters per minuties. Zircon sand in the feeder was flowed in the speed of 17 kg per hours. The concentrate, meddling and tailings are dried and then weighed. The results were analyzed using XRF. Retrieved concentrate with the composition of ZrO2 (60.9%), TiO2 (5.6%), SiO2 (5.6%), Fe2O3 (2.7%), SnO2 (1.0%), Cr2O3 (0.6%), Al2O3 (0.5%), NbO2 (0.2%) and MnO2 (0.3%). Key words : zircon sands, concentrate, a feed, fusion, shaking table
PENDAHULUAN erkembangan bahan-bahan maju berbasis zirconia (ZrO2) maupun produk derivatnya mengalami peningkatan sehingga pemrosesan bahan ini memiliki prospek yang sangat besar[1]. Bahan baku yang digunakan adalah mineral zirkon sebagai ikutan mineral timah dengan kadar zirkon rendah (marginal) antara 35 - 50 % sehingga perlu dilakukan peningkatan kadar (beneficiation) (2) dengan pemisahan . Pemisahan mineral dapat dilakukan dengan cara Konsentrasi Grafitasi (Gravity Concentration) berdasarkan perbedaan berat jenis dengan perkiraan Kriteria konsentrasi[3]. Kriteria konsentrasi oleh Taggart dirumuskan (4) secara impiris sebagai berikut :
P
Sajimo, dkk
KK =
( SG partikel berat − SG media) ( SG partikel ringan − SG Media)
dimana : KK = Kriteria Konsentrasi SG = Spesific Gravity Konsentrasi Gravitasi adalah proses pemisahan material-material yang berharga dan tidak berharga dalam suatu bahan galian akibat gaya-gaya dalam fluida berdasarkan / tergantung pada perbedaan density, bentuk dan ukuran[3]. Perangkat yang sering digunakan pada proses ini, antara lain; Shaking Table (Meja Goyang), Jig, Panning, Sluice Box, Humprey Spiral atau
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 131
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Hydrocyclone. Meja Goyang merupakan perangkat yang tipis (Flowing Film Concentration) pada suatu meja bergoyang yang dilengkapi dengan 5) reffile (penghalang)( . Prinsip Kerja Shaking Table adalah perbedaan berat dan ukuran partikel terhadap gaya gesek akibat aliran air tipis.
pemisahan material dengan cara mengalirkan air Faktor yang mempengaruhi kinerja Shaking Table antara lain : 1. Ukuran dari feed. 2. Operasional (roughing/cleaning). 3. perbedaan Spesifik Grafity.
Tabel 1. Kandungan mineral utama timah dan ikutannya No
Nama mineral
Rumus kimia
(2)
Massa Jenis
Kemagnetan
Kelistrikan
g/cm3
1
Zirkon
ZrSiO4
4,6 - 4,7
Non magnetis
Non Konduktor
2
Kasiterit
SnO2
6,8 – 7,1
Non magnetis
Konduktor
3
Kwarsa
SiO2
2,6 -2,7
Non magnetis
Non Konduktor
4
Pirit
FeS2
4,8 – 5,1
Non magnetis
Konduktor
5
Ilmenit
FeTiO2
4,5 – 5,0
Magnetis
Konduktor
6
Rutil
TiO2
4,1 – 4,3
Non magnetis
Konduktor
7
Hematit
Fe2O3
4,9 – 5,3
Non magnetis
Konduktor
8
Monasit
(Ce,La,Y,Th)PO4
4,9 – 5,3
Non magnetis
Non Konduktor
9
Xenotim
YPO4
4,5 – 4,6
Magnetis
Non Konduktor
10
Tourmalin
Na(Mg,Fe)Al6
3,0 – 3,2
Non magnetis
Non konduktor
Non magnetis
Konduktor
(BO3)(Si6)18(OH)14 11
Galena
PbS
7,5
12
Topaz
Al2SiO4(OH,F)2
3,4-3,6
(5)
Pada pemisahan menggunakan meja goyang, distribusi partikel dipengaruhi oleh sifat-sifat riffle, permukaan deck, water supply, perbedaan bentuk, ukuran partikel dan ada tidaknya material yang termasuk middling atau material interlog atau partikel dengan sebagian material berat dan (5) sebagian material ringan . Riffle (penghalang) merupakan perangkat dukung yang berfungsi untuk membentuk turbulensi dalam aliran sehingga partikel ringan diberi kesempatan berada diatas dan partikel berat relatif dibawah. Gaya yang bekerja pada meja goyang antara lain gaya dorong alir dan gaya gesek. Gaya dorong alir merupakan fungsi kecepatan relatif aliran air dan partikel Dalam prosesnya, partikel bergerak dengan kecepatan yang dipengaruhi oleh kedalaman air. Gaya Gesek terjadi antara partikel (4) dengan dasar deck (alas alat) . Berdasarkan pada ukuran besar butir material yang dipisahkan, meja goyang dapat dibedakan menjadi “sand table” dan “slime Buku II hal 132
table” . Perbedaan pada kedua alat ini terletak pada Jumlah dan Jarak antar Riffle. Jumlah riffle pada Sand Table sangat banyak sedangkan jumlah riffle pada Slime Table sedang. Jarak antar riffle sand Table antara ¼ hingga 1 ¼ inch sedangkan Slime Table lebih besar daripada Sand Table. Selain itu Sand Table, ada bagian deck yang tidak diberi riffle digunakan untuk slime sedangkan pada Slime Table, ada bagian deck yang tidak dipasang riffle. Kapasitas shaking table (meja goyang) tergantung pada jumlah air, jumlah Strore, sifat bijih, slope, meja dan ukuran feed. Macam Meja Goyang yang lain adalah Willey Table, Butcher Table, Card Tabel. Card Field Table, Plat of Table, dan Dister Diagonal Overslorm Table. Meja Goyang Willey Tabel terdiri dari deck berbentuk segi empat dan “Headmotion” sebagai penggeraknya. Ketinggian (5) riffle minimal ½ feed dan lebar ¼ feed . Meja Goyang Bucher Table mempunyai bentuk hampir sama dengan Willey, tapi memiliki watch plinger untuk mencuci. Posisis riffle terbagi menjadi zone
ISSN 1410 – 8178
Sajimo, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
stratifikasi, cleaning zone dan dischange zone. Mekanisme kerjanya, material bergerak ke kiri dan air bergerak ke kanan, sehingga material ringan akan terbawa arus air sedang material berat akan berjalan terus. Meja Goyang Card Table yakni meja goyang dengan riffle dibuat dengan mengerat deck dengan bentuk segitiga dan headmotion. Meja goyang Dister Diagonal Overslorm Table yakni meja goyang dengan berbentuk Deck Rombahedral. Pemisahan antara konsentrat,
middling dan tailing tidak jelas / berdekatan sekali Meja Goyang Card Field Table yakni meja goyang dengan berbentuk Wafley Table yang ditutupi seluruhnya oleh riffle, sedangkan meja goyang Plat of Table meja goyang yang mempunyai ciri utama di atas deck ada tiga macam riffle dan terdapat tiga zona dari riffle yaitu zone Stratifikasi, (5) zone Intermediate Plan dan zone Lipper .
TATAKERJA Bahan Pasir zirkon berasal dari daerah pertambangan Kalimantan sebagai bahan baku Air digunakan sebagai media.
Peralatan Satu set meja goyang sebagai perangkat pemisahan Timbangan digunakan menimbang umpan (feed) maupun hasilnya. XRF digunakan untuk analisis umpan mapun hasil proses
Gambar 1. Satu set meja Goyang Langkah Kerja Meja goyang disiapkan dengan cara motor penggerak meja dan motor pengatur umpan dihidupkan. Air sebagai media dialirkan dan diatur kecepatannya pada 15 liter permenit. Ditimbang pasir zirkon seberat 50 kg dan dimasukkan ke dalam tangki pengumpan (feeder). Pasir dialirkan dan diatur kecepatannya pada 17 kg perjam. Hasil proses diambil dan dilakukan penimbangan dilanjutkan analisis menggunakan XRF.
Sajimo, dkk
HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dilakukan peningkatan kadar untuk memperoleh konsentrat zirkon menggunakan perangkat meja goyang yang dilengkapi reffile dengan air sebagai media. Kosentrat zirkon sebagai salah satu mineral ikutan yang memiliki nilai ekonomis tinggi sehingga dapat dipasarkan secara komersial.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 133
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 2. Proses pemisahan memakai meja goyang dengan media air Hasil pemisahan menggunakan meja goyang dan dianalisis mengunakan XRF disajikan pada tabel berikut. Tabel 1. Analisis hasil proses pemisahan menggunakan XRF (%) ZrO2
Ti O2
Si O2
Fe O2
Sn O2
Cr O2
Al2 O3
Nb O2
Mn O2
Head sample
54,1
5,4
21,1
2,4
0,6
0,5
0,4
0,1
0,1
Konsentrat
60,9
5,6
5,6
2,7
1,0
0,6
0,5
0,2
0,3
Medeling
40,3
13,1
6,6
3,5
1,2
0,7
1,2
0,3
0,2
Tailing
36,1
10,6
16,3
8,6
0,3
1,4
0,8
0,5
0,4
Pada Tabel 1. tampak bahwa kandungan zirkon dalam konsentrat (60,9 %) lebih besar dibanding dalam head sample atau pasir zirkon yang belum diproses (54,1 %) hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi adanya pemisahan antar partikel. Selain itu, silikon (SiO2) dalam konsentrat (5,6%) lebih rendah dibanding pada middling (6,6%) maupun di tailing (16,3%), hal ini menunjukkan bahwa pengotor silikon yang terletak pada permukaan mineral zirkon dapat dipisahkan. Terpisahnya silikon karena massa jenis Si sangat rendah atau ringan yaitu 2,33 g/cm3 jauh lebih rendah dibandingkan dengan zirkon (6,51g/cm3) atau unsur lainnya (Ti, Fe, Sn, Cr, Al, V, Mn, Nb) sehingga mudah terdorong / terbawa lebih cepat dari partikel berat searah aliran. Keberadaan silikon dalam konsentrat yang masih banyak, diduga silikon ini melekat menjadi satu dengan zirkon membentuk zirkonat (ZrO2.SiO2). Pengotor Si ini diharapkan dapat dipisahkan pada tahap lanjutan (proses kimia) yakni pelindian menggunakan air.
Buku II hal 134
Pengotor pengotor seperti Ti, Fe, Sn, Cr, Al, V, Mn, Nb diharapkan dapat dipisahkan secara metode fisika lainnya misalnya sifat kemagnetannya dengan konsentrasi magnetic, perbedaan sifat kelistrikan digunakan konsentrasi elektrostatikdan perbedaan sifat permukaan partikel untuk proses flotasi atau cara kimia lainnya. KESIMPULAN Pasir zirkon yang berasal dari hasil samping pertambangan emas masih banyak mengandung mineral ikutan yang perlu dipisahkan. Komposisi konsentrat berdasarkan analisis menggunakan XRF hasil pemisahan menggunakan meja goyang adalah ZrO2(60,9%), Ti O2(5,6%), Si O2(5,6%), Fe O2(2,7%), Sn O2(1,0%), Cr O2(0,6%), Al O2(0,5%), Nb O2(0,2%) dan Mn O2(0,3%). Konsentrat hasil pemisahan dengan meja goyang perlu ditingkatkan kemurniannya misalnya menggunakan magnetic separator berdasarkan sifat kemagnetannya atau perbedaan sifat permukaan partikel untuk proses flotasi.
ISSN 1410 – 8178
Sajimo, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA 1. SUDARTO, DYAH KALLISTA, DEDI HERMAWAN., Kajian Teknis Aspek Pengawasan Bahan Nuklir Dalam Pasir Zirkon., Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi – II, Universitas Lampung 17-18 November 2008. 2. FAHRIZAL ABUBAKAR., Pengelolaan Zirkon di PT Timah Tbk., Workshop Keselamatan dan Keamanan Pertambangan Zirkon Bagi Pekerja, Masyarakat dan Lingkungan., Yogyakarta, 24 Juni 2009. 3. NURHAKIM., Dasar-Dasar Pengolahan Bahan Galian., Teknik Kimia diakses tanggal 3 April 2011. 4. SUPRIYONO., Pemisahan dan Ekstraksi ZrHf dari Tailing Pencucian Timah Bangka., Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, 2006. 5. RIZKY., Peningkatan Kadar atau Konsentrasi., Materi kuliah pertambangan dan Geologi, diakses tanggal 02 Maret 2011. 6. YUSTINA, NOGUCHI., Application of Nuclear Technique in Industry & Environment (XRF Analysis and NAA)., Joint Training Course on Application of Nuclear Technique in Industry and Environment Available for the Safety of Nuclear Facility, June 29 - July 10, 2009.
Sajimo, dkk
TANYA JAWAB Triyono Mohon penjelasan meja goyang yang digunakan untuk penelitian mengenai spesifikasinya Sajimo Meja goyang (shaking table) merupakan perangkat pemisahan mineral berdasakan perbedaan sifat fisika yang dalam penelitian ini akan dipisahkan untuk mineral zirkon dengan lainnya. Misal Si dalam bentuk mineralnya. Karena mineral zirkon mempunyai BJ=±6 g/cm3 sedangkan Si dalam bentuk mineral kwarsa BJ=2-3 g/cm3. Sriyono Spesifikasi konsentrat zirkon yang diperlukan untuk umpan proses peleburan pasir berapa % kandungan ZrO2 nya? Sajimo Persyaratan yang digunakan konsentrat zirkon untuk dapat digunakan sebagai umpan dalam peleburan antara lain, kadar ZrO2 cukup tinggi ≥ 60%. Pengotor-pengotor pada permukaan mineral harus serendah mungkin agar hemat berapa pemurnian secara kimia.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 135
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
RANCANG BANGUN HOPER PENGUMPAN PADA PELEBURAN PASIR ZIRKON Sudaryadi, Wuntat Oktawijaya, Moch. Rosyid Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK RANCANG BANGUN HOPER PENGUMPAN PADA PELEBURAN PASIR ZIRKON. Telah dilakukan rancang bangun dan pembuatan hoper pengumpan pada peleburan pasir zirkon. Rancang bangun dilakukan dengan cara menghitung volume hoper dan kapasitas pengumpanan ke tungku peleburan menggunakan adjusman valve dengan motor penggerak untuk mengatur kecepatan volume pengumpanan. Hoper pengumpan diperlukan untuk melengkapi proses peleburan secara kontinyu. Bahan umpan pasir zirkon dan NaOH ditampung dalam screw feeder selanjutnya masuk ke mixer. Campuran pasir zirkon dan NaOH dengan perbandingan 1 : 1,1 dari mixer masuk ke hoper pengumpan selanjutnya ke tungku peleburan untuk dipanaskan sampai dengan suhu 900 0C selama satu jam. Selain suhu pada proses peleburan yang sangat berpengruh adalah: waktu tinggal, konsentrasi campuran antara pasir zirkon dengan NaOH dan volume sampel. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah hoper dengan kemampuan pengumpanan 2,1 kilo gram per jam pada proses peleburan dengan hasil leburan 1,8128 kilo gram. Kata kunci : Hoper, Pengumpan, kontinyu
ABSTRACT DESIGN AND CONSTRUCTION OF FEEDER HOPER FOR ZIRCON SAND FOUNDRIES. The feeder hoper for zircon sand foundry has been designed and constructed. Design and construction carried out by calculating the volume of the feed hoper and furnace melting capacity using adjusman valve with the motor to adjust the speed of feeding volume. Hoper feeder is required to complete the melting process continuously. Zircon sand feed material and accommodated in a screw feeder NaOH then enter into the mixer. Zircon sand mixture and NaOH in the ratio 1: 1.1 from the mixer into the next feeder hoper furnace melting to be heated up to temperatures of 0 900 C for one hour. In addition to the temperature of the melting process is very influence are: residence time, concentration of a mixture of zircon sand with NaOH and the sample volume. The results of this study is the ability to feed hoper with 2.1 kilo gram per hour at the melting process with the fused 1.8128 kilo gram. Key words: hoper, feeder, continuous
PENDAHULUAN
H
oper adalah sebuah alat yang dipergunakan untuk mengatur aliran bahan yang berbentuk serbuk. Hoper biasanya berbentuk segi empat atau lingkaran pada bagian atas dan mengerucut dibagian bawah untuk mempermudah aliran bahan(2). Tujuan digunakan hoper pada tungku peleburan ini adalah untuk mengatur kontinyuitas pengumpanan pasir Zr sehingga diperoleh hasil Buku II hal 136
peleburan yang baik karena pemanasannya merata. Proses peleburan merupakan langkah awal pada penelitian ini yaitu pasir zirkon dicampur NaOH dengan perbandinngan (1 : 1,1) dan diaduk hingga merata. Bahan baku yang dipakai untuk mendapatkan zirkonium adalah pasir zirkon (ZrSiO4) dengan susunan dan kadar yang berbedabeda. Bahan ini murah dan mudah diperoleh di Indonesia, jika diolah lebih lanjut mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai
ISSN 1410 – 8178
Sudaryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
industri. Dalam industri nuklir, bahan ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan struktur reaktor nuklir dan sebagai kelongsong bahan bakar karena mempunyai sifat yang unggul antara lain tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap korosi, mempunyai serapan neutron yang kecil (0,18 – 0,2 barn) dan dapat menaikkan sifat fisik logam paduannya. Manfaat zirkonium dalam industri non nuklir antara lain sebagai bahan elektrolit oksida padat dalam sel bahan bakar oksida padat, karena merupakan penghantar ionik yang baik(4) Mineral zirkon yang dimiliki Indonesia sangat mudah didapatkan karena berada pada permukaan dengan kandungan zirkonium antara 35 hingga 50 % . Salah satu metode pengolahan pasir zirkon adalah metode proses basah. Adapun metode proses basah adalah pasir zirkon dilebur bersama pereaksi NaOH padat (soda api), silikat oksida dipisahkan dari mineral zirkon dan dilanjutkan proses pemurnian dengan berbagai cara (1). Reaksi yang terjadi dalam proses peleburan adalah :
2. 3. 4. 5. 6. 6.
ZrSiO4 + 4 NaOH → Na2ZrO3 + Na2SiO3 + 2H2O
HASIL DAN PEMBAHASAN.
Peleburan merupakan langkah awal dalam pengolahan pasir zirkon menjadi logam zirkonium pada metode proses basah. Proses ini digunakan tungku yang dilengkapi dengan hoper pengumpan yang berbentuk silinder tegak pada bagian atas dan mengerucut bagian bawah yang dilengkapi dengan ajusman valve digerakkan dengan motor untuk mengatur pengumpanan. Volume hoper dihitung dengan rumus: V= Dimana : V m p
m p
= Volume hoper (m3) = Kapasitas umpan (Kg) = Massa jenis umpan (Kg/m3)
skit match mesin las mesin roll roll meter mesin potong stop watch.
Langkah Kerja Cara kerja yang dilakukan sebagai berikut : - Dilakukan penghitungan volome hoper, kecepatan pengumpanan dan daya motor yang diperlukan - Dilakukan pembuatan hoper meliputi : Shell, konis, rumah impeler, impeler - Dilakukan instalasi hoper pada tungku peleburan. - Dilakukan ujicoba operasi dan diamati volume pengumpanan yang dihasilkan berdasarkan putaran motor penggerak - Dicatat data hasil ujicoba hoper pengumpan dan dievaluasi sebagai laporan.
I. Perancangan hoper pengumpan 1. Menentukan ukuran Hoper Volume hoper ditentukan berdasarkan berat jenis dari pasir zirkon = 3,2871 g/cm3 = 206,6839 lb/ft3, kapasitas 50 kg/jam = 110,25 lb/jam, maka dipilih hoper berupa tangki berbentuk silinder tegak bagian bawah berbentuk konis bersudut 450. Volume konis : 1/3 x luas alas x tinggi (dimana t = 0,5 D) Vk = 1/3 x luas alas x 0,5 D = 1/3 x Л /4 x D2 x 0,5 D = Л /24 x D3 Vshel = Л /4 x D2 x H, jadi vol. Hoper = Л /4 x D2 x H + Л /24 x D3 , diambil D= H maka
TATA KERJA V = Л /4 x D2 x D + Л /24 x D3 = Л x 7/24 x D3
Bahan 1. pasir zirkon 2. NaOH 3. plat SS 4. pipa SS 5. besi siku 6. Elektrode 7. Filler 8. gas Argon
D
t
PERALATAN 1. mesin bubut Sudaryadi, dkk
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 137
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Fb (factor bearing) = 4,4. Faktor ini berdasarkan jenis barang seperti yang ditunjukkan pada lampiran 1
Volume = 110,25 / 206,6839 = 0,5334 ft3/jam Basis 1 jam operasi = 0.5334 ft3/jam x 1jam = 0,5334 ft3.
N = 4 rpm Hpp =
Jadi 0,5334 = Л x 7/24 x D3 D = 0,835 ft. = 24,15 cm (diambil 24 cm) H = D = 24 cm dan t = 0,5 D = 12 cm. 2.
Menentukan dimensi dan ukuran Adjusment Valve
Diameter pipa keluar ditentukan = 2 ” = 50,8 mm Diameter adjusment valve = 3” = 76,2 mm Jumlah sirip (kipas) = 8 buah 3.
Menghitung Putaran ( N ) N=
Vol / menit (Vol / putaran).k
k = prosentase kapasitas yang dialirkan ( dilihat berdasarkan lampiran 1 dan lampiran 5 ) Untuk pasir zirkon Kapasitas yang diinginkan =1 kg/jam, ρ pasir zirkon = 4,8 gr/cm3 jadi kapasitas = 1000 gr/jam : 4,8 gr/cm3 = 208,333 cm3/jam
Q 60 208,333 3 cm /mnt Vol per menit = 60
Vol per menit =
N=
3,472 = 3,965 ≈ 4 (5,8378).0,15
Buku II hal 138
L.N .Fd .Fb 1x10 6
0,00774 ft 3 / jamx1,0826 ftx 251,33lb / ft 3 x1x1,7 x1 1x106 Hpm = 3,5804 x 10-6 Hptotal =
( Hp p + Hp m ).Fbl e
Fbl (factor beban lebih) = 3. Hoper_ ini ditunjukkan pada lampiran 6e (efisiensi penggerak) = 0,94. Hoper_ ini berdasarkan jenis reducer yang digunakan, seperti yang ditunjukkan pada lampiran 7
0,94
Hptotal = 0,013 HP Daya motor terendah di pasaran 0,18 HP. Sehingga hoper ini memakai motor dengan daya 0,18 HP
4. Menghitung daya motor yang dibutuhkan (HP)
Hpp =
C.L..W .Fr.Fm.Fp 1x10 6
C (kapasitas) = 1 kg/jam = 0,00774 ft3/jam Fr (factor jarak) = 1. Faktor ini berdasarkan flight type yang digunakan standar, seperti yang ditunjukkan pada lampiran 3 Fm (factor material) = 1,7. Faktor ini berdasarkan jenis material, seperti yang ditunjukkan pada lampiran 4 Fp (factor paddle) = 1. Faktor ini ditunjukkan pada lampiran 5 W = 4,56 gr/ml = 251,33 lb/ft3
Hptotal =
Jadi untuk mendapatkan kapasitas 1 kg/jam Zr, dibutuhkan putaran motor 4 rpm
Untuk pasir Zr.
Hpm =
(0,428 x 10 -3 + 3,5804 x10 −6 ).3
Vol per menit = 3,472 cm3
Vol / menit (Vol / putaran).k
Hpp = 0,428 x 10-3
Hpm=
Di mana :
N=
1,0826 ftx 4 x18 x 4,4 1x10 6
Hoper sebagai pelengkap pada prose kalsinasi dapat berbentuk segi empat atau silinder sesuai dengan keperluan. Kebanyakan digunakan hoper silinder tegak dengan bagian bawah berbentuk konis dengan sudut 45 0, diameter dan tinggi shell sama, sedangkan tinggi konis diambil 0,5 diameter. Volume shell (Vs) = Л /4 x D2 x H Volume konis (Vk) = 1/3 x luas alas x 0,5 D = 1/3 x Л /4 x D2 x 0,5 D = Л /24 x D3 Jadi volume hoper = Л /4 x D2 x D + Л /24 x D3 = Л x 7/24 x D3
ISSN 1410 – 8178
Sudaryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
las argon dan disambung antara shell dan konisnya. Selanjutnya dibuat impeler dan rumah impeler sebagai unsur utama pada hoper pengumpan, rumah impeler dibuat dengan pipa berdiameter 3” dan impeler dengan diameter 2” denga 8 sirip untuk memindahkan pasir zirkon dari shell ke tungku peleburan. Hoper dijalankan dengan motor penggerak 0,25 pk yang dilengkapi dengan inverter untuk mengatur kecepatan motor yang mempengruhi jumlah pengumpanannya.
II. Proses pembuatan hoper pengumpan. Pembuatan hoper pengumpan dimulai dari penyiapan bahan, peralatan dan alat pendukung lainnya. Pertama plat SS tebal 2 mm dipotong sesuai dengan ukuran kemudian diroll untuk membuat shell (tabung) dengan diameter 24 cm dan tinggi 24 cm, berikutnya dibuat konis dengan ukuran disatu sisi diameter 24 cm dan sis lain diameter 6,6 cm tinggi 12 cm, plat dilas dengan
Gambar 1. Hopper pengumpan III. Ujicoba hoper pengumpan. Setelah hoper pengumpan diinstal dilakukan ujicoba dan didapat data sebagai berikut: Tabel 1. ujicoba kapasitas pengumpanan hoper pengumpan. No 1.
2,50
Put. Impeler (put/mnt) 1
2.
4,06
2
392
3.
6,04
3
602
4.
9,06
4
810
5.
10,00
5
998
Sudaryadi, dkk
Skala Inverter
ISSN 1410 – 8178
Kap. Pengumpanan (gr) 197
Ket.
Buku II hal 139
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Skala inverter berpengaruh terhadap putaran motor dan impeler yang berhubungan dengan kapasitas pengumpanan, jadi semakin besar skala inverter yang digunakan semakin besar pula kapasitas pengumpanan yang dihasilkan. KESIMPULAN
2. Google : Http//www.el. wikipedia. Org/wki/zirconium (IV) hydroxide. 3. Lutsman B And Kerze,. Jr., The Metalurgy of Zirconium., 1st ed, Mc Graw Hill Book Company, inc, New york (1950). 4. Sudarsono K., Proses Fabrikasi Zirkonium dan Kelongsong Zircalloy., Buletin, Vol VIII, No 3 1987.
Dari hasil pembuatan hoper pengumpan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Hoper pengumpan dibuat untuk melengkapi proses peleburan pasir zirkon menggunakan tungku rotary kiln secara kontinyu dengan kapasitas umpan peleburan (campuran pasir zirkon dan NaOH) seberat 2 kilo gram per jam. Hoper hasil rancang bangun dengan ukuran tinggi dan diameter sama yaitu 24 cm, tinggi konis bagian bawah : 12 cm dengan kapasitas pengumpanan 197 gram tiap menit dan dilengkapi dengan skala inverter untuk mengatur kapasitas pengumpanan yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Benjamin.M.MA. Nuclear Reactor Materials and Aplications,Van Nostrand, Reinhold Co. New York. 1983.
Buku II hal 140
TANYA JAWAB Triyono Mohon dijelaskan data inverter yang digunakan untuk pengaturan kecepatan motor penggerak impeller, sehingga diperoleh range pengaturan keluaran hopper sesuai yang diinginkan. Mohon diinformasikan apakah motor penggerak yang digunakan berupa motor 3~atau motor 1 ~. Sudaryadi Data yang diperoleh dari uji coba hoper sbb: skala inverter 2,5 pada putaran motor 1 rpm, kapasitas pengumpan: 197 gram. Inverter yang digunakan : Hitachi x200 Motor penggerak yang digunakan 1~ dengan daya : 0,25 PK
ISSN 1410 – 8178
Sudaryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENENTUAN UNSUR PENGOTOR DI DALAM ZrOCl2 DENGAN METODE SPEKTROGRAFI EMISI Aryadi, Sajima Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK PENENTUAN UNSUR PENGOTOR DI DALAM ZrOCl2 DENGAN METODE SPEKTROGRAFI EMISI. Telah dilakukan analisis penentuan unsur pengotor B, Mn, Cr, Mg, Cu, Fe, Ni, dan Cd di dalam ZrOCl2 hasil proses pelindian pasir zirkon produksi PTAPBBATAN dengan metode spektrografi emisi. Ditimbang 80 mgr standar dan cuplikan ZrOCl2 dieksitasi dengan menggunakan kondisi optimum yang telah dioptimasi yaitu kuat arus 11 amper, waktu eksitasi 35 detik dan jarak elektrode 3 mm. Hasil eksitasi diamati intensitas masing-masing unsur dan dibuat kurva kalibrasi standar. Masing-masing kurva standar dilakukan uji signifikansi dan linieritasnya, sedangkan hasilnya menunjukkan bahwa semua kurva standar telah memenuhi persyaratan digunakan untuk menghitung kadar cuplikan. Dilakukan pula perhitungan simpangan baku, uji ketangguhan dan batas minimum deteksi. Dari analisis dan perhitungan yang telah dilakukan didapatkan hasil kadar unsur pengotor di dalam ZrOCl2 adalah sebagai berikut : B = 2.19 ± 0,136 ppm ; Mn = 82.881 ± 2,4524 ppm ; Cr = 942.13 ± 19,6314 ppm ; Mg = 641.65 ± 5,3848 ppm ; Cu = 1101.61 ± 24,416 ppm ; Fe = 1404.1 ± 29,529 ppm ; Ni = 131.06 ± 4,410 ppm ; Cd = 0.6102 ± 0,170 ppm , serta batas deteksi minimum unsur B, Mn, Cr, Mg, Cu, Fe, Ni, dan Cd berturut-turut adalah : 1.401 ppm ; 0.805 ppm ; 3.048 ppm ; 1.646 ppm ; 13.174 ppm ; 20.681 ppm ; 21.494 ppm dan 4.662 ppm.
ABSTRACT DETERMINATION OF IMPURITIES ELEMENTS IN ZrOCl2 BY EMISSION SPECTROGRAPH METHOD, Determination of impurities elements of B, Mn, Cr, Mg, Cu, Fe, Ni, and Cd in ZrOCl2 from zircon sand found from leaching process in PTAPB-BATAN with emission spectrograph method was carried out. It was weight 80 mg standards and samples each was excited in optimum condition were current was 11 A, time of excitation 35 seconds and gap between electrodes was 3 mm. Excitation curve was checked in significance and linearity, fortunately, each calibration curve was good for concentration calculation. Standard deviation and minimum limit were. It were found that B = 2.19 ± 0,136 ppm ; Mn = 82.881 ± 2,4524 ppm ; Cr = 942.13 ± 19,6314 ppm ; Mg = 641.65 ± 5,3848 ppm ; Cu = 1101.61 ± 24,416 ppm ; Fe = 1404.1 ± 29,529 ppm ; Ni = 131.06 ± 4,410 ppm ; Cd = 0.6102 ± 0,170 ppm , meanwhile minimum detection limit of B, Mn, Cr, Mg, Cu, Fe, Ni, and Cd as follows: 1.401 ppm ; 0.805 ppm ; 3.048 ppm ; 1.646 ppm ; 13.174 ppm ; 20.681 ppm ; 21.494 ppm and 4.662 ppm
PENDAHULUAN
Z
irkonium adalah logam yang banyak digunakan sebagai kelongsong bahan bakar nukJir di dalam reaktor nuklir, karena zirkonium mempunyai sifat tahan panas, tampang lintang serapan neutron kecil dan tidak mudah terkorosi di Aryadi, dkk.
dalam reaktor nukhr. Zirkonium dan paduan yang digunakan untuk pembuatan kelongsong bahan bakar reaktor nuklir harus mempunyai tingkat kemurnian yang tinggi (nuclear grade), Meskipun di dalam produk zirkonium tersebut masih mengandung logam-logam pengotor tetapi tidak boleh melebihi dari spesifikasi yang telah
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 141
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
ditentukan untuk pembuatan kelongsong bahan bakar reaktor nuklir, Oleh karena itu produk yang dihasilkan harus dikenai uji kendali kualitas yang sangat ketat, misalnya untuk mengetahui kandungan unsur-unsur pengotornya, Unsur-unsur pengotor yang menyertai bahan nuklir antara lain unsur : Mn, Ni, B, Cd, Mg, Cr, Cu, Li, Fe, Zn, dan Co, Adanya unsur-unsur pengotor yang melebihi dari spesifikasi yang telah ditentukan dapat menurunkan kualitas dari bahan bakar nuklir tersebut, Sebagai contoh unsur Cd mempunyai tampang serap neutron yang tinggi, sehingga akan mengganggu operasi di dalam reaktor, Berkenaan dengan sifat netronik tersebut maka kandungan unsur pengotor harus dibatasi jumlahnya dalam bahan bakar, Dengan demikian keberadaan unsur(1,2) unsur tersebut betul-betul harus diperhatikan, Di alam, zirkonium biasanya ada didalam pasir zirkon terikat dalam bentuk ZrSiO4 atau ZrO2SiO2 yang tercampur dengan pengotorpengotor lain. Untuk mengolah pasir zirkon menjadi zirkon murni yang dapat digunakan dalam berbagai keperluan dapat dilakukan dengan beberapa proses yaitu : 1. Proses Basah Pada proses ini dilakukan beberapa tahap yaitu peleburan, pelindian, pemekatan, pengkristalan, pemurnian, dan kalsinasi. 2. Proses Kering Proses ini meliputi peleburan, klorinasi, pemurnian, dan reduksi. Kedua proses diatas masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Proses basah prosesnya relatif lebih sederhana, dikerjakan pada suhu rendah tetapi prosesnya panjang, membutuhkan banyak bahan, dan menghasilkan banyak limbah. Pada proses kering, prosesnya lebih pendek, dikerjakan pada suhu tinggi, sedikit alat, bahan dan limbah dihasilkan juga lebih sedikit. Pengolahan pasir zirkon dengan metode proses kering merupakan pemendekan proses dari proses basah. Dengan adanya pemendekan proses ini diharapkan adanya efisiensi biaya operasional dan hasil yang meningkat. Tahapan pengolahan pasir zirkon dengan metode kering adalah klorinasi, pemurnian, dan reduksi. Pada proses klorinasi, pasir zirkon dan karbon dicampur dan dimasukkan kedalam reaktor khlornisasi dan dipanaskan pada suhu kurang lebih 900oC sambil dialiri gas Cl2. Pada proses ini hasilnya masih rendah. Pada penelitian yang lalu telah dilakukan satu tahapan proses sebelum dilakukan yaitu pemanasan pasir zirkon pada suhu ≥1800oC. Zirkon dan karbon dicampur dan dipanaskan pada suhu ≥1800oC, sehingga didapatkan hasil zirkon karbida ZrC. Buku II hal 142
ZrSiO4 + 4C → ZrC + SiO↑ + 3CO↑ Silikon oksida (SiO2) berbentuk gas bewarna putih yang menguap dan menyublim menjadi silikon dioksida (SiO2). Pemanasan pasir zirkon dikerjakan dalam tungku busur listrik. Tungku pemanas ini terdiri dari 2 bagian yang penting yaitu pembangkit listrik (trafo) dan pembangkit panas (elektrode). Prinsip kerja dari alat ini adalah bila kutub positif dan kutub negatif didekatkan pada jarak tertentu akan terjadi loncatan elektron yang berupa busur listrik. Busur ini merupakan sumber panas yang akan digunakan pada tungku pemanas. Agar busur listrik selalu terjadi, jarak elektrode ke bahan baku harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu dekat maupun tidak terlalu jauh. Jika terlalu dekat akan terjadi hubungan singkat sementara dan jika terlalu jauh tidak akan terjadi busur . Mineral utama yang mengandung unsur zirkonium adalah zirkon/zirkonium silika (ZrO2.SiO2) dan baddeleyit/zirkonium oksida (ZrO2). Kedua mineral ini dijumpai dalam bentuk senyawa dengan hafnium. Keberadaan unsur zirkonium selalu dibarengi dengan hafnium, karena kedua unsur tersebut mempunyai sifatsifat kimia yang mirip. Untuk memperoleh kemurnian ZrO2, maka harus dilakukan pemisahan. Pemisahan zirkonium dan hafnium dapat melalui beberapa cara antara lain : (3) 1. Pengendapan bertingkatmparsial 2. Kristalisasi bertingkat 3. Distilasi bertingkat 4. Dechlorinasi fase uap 5. Reduksi parsial 6. Ekstraksi bertingkat 7. Ion Exchange 8. Adsorpsi Zirkonium komersil mengandung 1- 3% hafnium. Zirkonium memiliki absoprsi neutron cross-section yang rendah sehingga digunakan untuk aplikasi energi nuklir. Pusat pembangkit listrik nuklir sekarang ini mengkonsumsi 90% logam zirkonium. Reaktor-reaktor nuklir komersil yang sekarang ini dibuat, dapat menggunakan setengah juta kaki pipa campuran logam zirkonium. Zirkonium dapat menyerap panas yang lebih rendah sehingga industri tenaga nuklir menggunakan zirkonium dalam mengisi reaktor nuklir sebagai pemantul. Logam Zirkonium digunakan dalam teras reaktor nuklir karena tahan korosi dan tidak menyerap neutron. Pada proses pemurnian zirkon melalui berbagai tahapan antara lain peleburan, pelindian, ekstraksi, kalsinasi dan lain sebagainya. Pada
ISSN 1410 – 8178
Aryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
tahapan proses pelindihan diahasilkan ZrOCl2. Untuk mengetahui kadar unsur lain selain Zr dan Si, maka dilakukan analisis terhadap ZrOCl2 hasil proses pelindian. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk analisis tersebut adalah Spektrograf Emisi. Analisis terhadap kadar Zr dan Si menggunakan alat lain misalnya dengan pendar sinar x, AAS, ICP-MS atau alat lain, karena spektrograf emisi hanya digunakan untuk analisis unsur pengotor yang kadarnya dalam orde ppm sehingga apabila Zr dan Si dianalisis dengan metode spektrografi emisi, maka hasilnya kurang akurat karena kadarnya besar dan merupakan unsur mayor. Spektrograf Emisi adalah alat analisa yang telah lama dikembangkan sejak penemuan Bunsen dan Kirchoff (1860) bahwa garam-garam logam didalam nyala menghasilkan spektrum berwarna. Warna spektrum tersebut adalah karakteristik untuk (4) setiap unsur logam. Spektrograf yang dilengkapi pencatat automatik mampu menentukan unsur secara serempak dalam waktu hanya beberapa menit. Untuk analisa kuantitatif, spektrograf emisi mampu menentukan unsur logam kurang dari 0.001% dan beberapa unsur bukan logam seperti : P, Si, As, C, dan, B yang terkandung didalam beberapa mg cuplikan. Analisa kuantitatif metode spektrografi emisi umumnya memerlukan sedikit bahan kimia serta waktu analisa lebih singkat dari pada metode kimia larutan. Untuk keperluan rutin, metode analisa spektrografi emisi lebih menguntungkan dari pada metode kimia larutan. Beberapa metoda analisis telah dilakukan untuk menganasis unsur takmurnian di dalam zirkonium, akan tetapi kurang memuaskan karena harus melalui isolasi matriks dari unsur (5) talkmurnian kemudian baru dilakukan analisis.
TATA KERJA Peralatan 1. Spektografi Emisi Jarrell-Ash 3,4M, 2. Densitometer Jarrell-Ash, 3. Neraca Analitik Sartorius 2405, 4. Lumpang dan mortar, 5. Spatula, 6. Vial polietilen tempat standar, 7. Ampel
Bahan 1. ZrOCl2 Standar (Merck), 2. Campuran Unsur (49 unsur @ 1,27%) Spex Industries, Inc, 3. Plat emulsi fotografi Kodak SA ukuran 9 x 24 cm, 4. Elektroda grafit (anoda dan katoda) Spex Industries Inc, 5. Air bebas mineral (ABM), 6. Larutan alkohol teknis, 7. Film torax, 8. Kodak developer D19B, 9. Kodak rapit fixer Cara Kerja • Eksitasi Standar dan cuplikan: Sumber arus : DC-Arc gratting : 590 grows/mm Kuat Arus : 11 Amper Waktu eksitas : 35 detik Jarak elektrode : 3 mm • Pencucian film dilakukan di ruang gelap dengan cara sebagi berikut : Direndam di dalam developer selama 40 detik kemudian dibilas dengan air mengalir lalu dimasukkan kedalam larutan fixer selama 2 menit dan terakhir dicuci dengan air mengalir lalu dikeringkan pada suhu kamar • Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan standar kualitatif pada alat densitometer sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengukur densitas dari ketebalan spektrum unsur yang dianalisis, Hasil yang didapat adalah % transmitansi (%T), HASIL DAN PEMBAHASAN Pada proses eksitasi meggunakan kondisi operasi pada analisis impuritas ZrO2 yang telah dioptimasi yaitu : Kuat Arus : 11 Amper, waktu eksitas : 35 detik dan jarak elektrode : 3 mm, Film hasil rekam spektrum unsur saat eksitasi setelah diproses secara fotografi lalu dikeringkan dan diamati/diukur ketebalan atau densitas dari masing-masing unsur yang dianalisis dengan alat densitometer. Dari hasil pengukuran unsur-unsur yang dianalisis didapatkan data % transmitansi (%T) Untuk membuat kurva kalibrasi standar, maka dari data %T diubah menjadi intensitas dengan rumus umum :
I = log
Aryadi, dkk.
ISSN 1410 – 8178
1 T
Buku II hal 143
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Hasil perhitungan data %T menjadi intensitas (I), masing-masing unsur dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 1. Nilai intensitas unsur pengotor di dalam ZrOCl2 Konsentrasi Intensitas (ppm) (I) Si
Mn
Cr
Mg
Cu
Fe
Ni
Cd
0,5
0,107
0,197
0,221
0,191
0,148
0,199
0,090`
0,118
0,017
0,7
0,112
0,200
0,226
0,194
0,154
0,200
0,096
0,124
0,021
1
0,123
0,203
0,234
0,198
0,160
0,211
0,101
0,130
0,009
3
0,165
0,228
0,252
0,224
0,188
0,246
0,121
0,150
0,040
5
0,236
0,239
0,275
0,247
0,214
0,284
0,144
0,174
0,098
7
0,315
0,255
0,299
0,282
0,252
0,318
0,161
0,197
0,155
10
0,364
0,284
0,341
0,313
0,279
0,377
0,195
0,229
0,235
y = 0.0285x + 0.0926
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
2
R = 0.9864 Intensitas
Intensitas
B
0
5
0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
10
6
Konsentrasi (ppm)
Intensitas
Intensitas
R2 = 0.9913
4
8
0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
y = 0.0131x + 0.1848 R2 = 0.9964
0
10
5
10
Konsentrasi (ppm)
Gambar 3. : Kurva kalibrasi standar unsur Mg
Buku II hal 144
10
Gambar 2. : Kurva kalibrasi standar unsur Mn
y = 0.014x + 0.1448
2
5 Konsentrasi (ppm)
Gambar 1. : Kurva kalibrasi standar unsur B
0
R2 = 0.9955
0
Konsentrasi (ppm)
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
y = 0.0121x + 0.217
Gambar 4. : Kurva kalibrasi standar unsur Cr
ISSN 1410 – 8178
Aryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
0.25 R2 = 0.997
0.15 0.1
R2 = 0.9992
0.3
Intensitas
Intensitas
0.2
y = 0.0186x + 0.1897
0.4
y = 0.0107x + 0.0882
0.2 0.1
0.05
0
0 0
5 Konsentrasi (ppm)
0
10
Gambar 5. : Kurva kalibrasi standar unsur Fe
5
10
Konsentrasi (ppm)
Gambar 6. : Kurva kalibrasi standar unsur Cu
0.25
0.15
Intensitas
Intensitas
0.2 y = 0.0114x + 0.1158
0.1
R2 = 0.9977
0.05
0.25
y = 0.0233x - 0.0084
0.2
R2 = 0.9758
0.15 0.1 0.05 0
0 0
2
4 6 Konsentrasi (ppm)
8
0
10
5
10
Konsentrasi (ppm)
Gambar 7. : Kurva kalibrasi standar unsur Ni.
Gambar 8. : Kurva kalibrasi standar unsur Ni
Berdasarkan kurva kalibrasi standar tersebut, konsentrasi/kadar dari masing-masing unsur dapat dihitung. Perhitungan kadar unsur pengotor di dalam ZrOCl2 menggunakan
persamaan garis linier dari masing-masing unsur yang dihasilkan dari kurva kalibrasi standar. Untuk menghitung kadar unsur di dalam cuplikan, maka densitas spektrum unsur tersebut diukur dan diubah menjadi intensitas.
Tabel 2. Hasil pengamatan dan perhitungan konsentrasi unsur pengotor di dalam ZrOCl2 No.
Unsur
Transmitansi Rata-rat (%)
Intensitas Rata-rata (I)
Konsentrasi (ppm)
Pengenceran
1
B
70.07
0.154
2.196
1x
Konsentrasi Sesungguhnya (ppm) 2.19
2
Mn
59.3
0.226
0,8288
100 x
82.881
3
Cr
49.27
0.307
9,4213
100 x
942.13
4
Mg
58.23
0.235
6,4165
100 x
641.65
5
Gu
60.63
0.217
11,0161
100 x
1101.61
6
Fe
59.1
0.228
100 x
7
Ni
54.93
0.260
0,14041 1,3106
100 x
1404.1 131.06
8
Cd
96.737
0.014
0.6102
1x
0.6102
1. Uji Signifikansi Korelasi X dan Y dan linieritas a. Uji Signifikansi Korelasi X dan Y untuk unsur boron Dari masing-masing kurva kalibrasi standar dilakukan uji signifikansi (r) untuk mengetahui Aryadi, dkk.
apakah ada korelasi/hubungan yang signufikan antara konsentrasi sebagai sumbu X dan intensitas sebagai sumbu Y. Dalam hal ini hanya ditampilkan satu contoh cara perhitungannya yaitu unsur boron, sedangkan unsur yang lain hanya ditampilkan hasilnya.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 145
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 3. Data dasar statistik standar unsur boron λ 2497,33 Å No
r
r(1)
=
X
Y
X2
Y2
XY
(ppm)
(intensitas)
1
0.5
0.107
0.25
0.0114
0.054
2
0.7
0.112
0.49
0.0125
0.078
3
1
0.123
1
0.0151
0.123
4
3
0.165
9
0.0272
0.495
5
5
0.236
25
0.0557
1.180
6
7
0.315
49
0.0992
2.205
7
10
0.364
100
0.1325
3.640
∑
27.2
1.422
184.740
0.3538
7.775
n(∑ XY ) − (∑ X )(∑ Y )
[n(∑ X
2
][
) − (∑ X ) 2 n(∑ Y 2 ) − (∑ Y ) 2
]
7(7,775) − (27,2)(1,422)
=
[7(184,74) − (27,2) ][7(0,3538) − (1,422) ] 2
2
= 0,9930
Harga r(1) hitung adalah 0,9930 lebih besar daripada harga r tabel untuk jumlah data 7 pada taraf signifikansi 1 % yaitu 0,874, Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikasi antara variable X dan Y, (7)
Uji signifikansi korelasi X dan Y untuk unsur Mn, Cd, Mg, Cu, Fe, Ni, Cd dan Cr menggunakan rumus dan metode yang sama.
Tabel 4. Hasil uji signifikansi unsur pengotor di dalam ZrOCl2 UNSUR B
r-hitung
0,9930
Mn
Cr
Mg
Cu
Fe
Ni
Cd
0.9977
0.9981
0.9956
0.9996
0.9984
0.9988
0.9878
Dari Tabel 3. Dapat disimpulkan bahwa uji signifikansi korelasi kurva unsur B, Mn, Cd, Mg, Cu, Fe, Ni, Cd dan Cr diperoleh nilai r-hitung yang nilainya semua lebih besar daripada nilai r-tabel dengan n = 7 pada taraf signifikansi 1% yaitu 0,874, Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang signifikansi antara intensitas unsur teranalisis (B, Mn, Cd, Mg, Cu, Fe, Ni, Cd dan Cr ) dengan berat cuplikan.
Buku II hal 146
b. Uji Linieritas Garis Regresi Uji ini digunakan untuk menentukan apakah garis regresi yang diperoleh linier atau tidak, jika linier maka persamaan garis tersebut dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi unsur boron (B) di dalam cuplikan ZrOCl2 dengan cara menhitung harga F regresi, Besarnya harga F regresi dihitung dengan langkah-langkah sebagai berikut : Uji linnieritas unsur boron menggunakan data dari Tabel.
ISSN 1410 – 8178
Aryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
∑x = 2
(∑ X ) 2
∑X 2
= 184,74-
∑y
n
2
(27,2) 2 7
= 0,3538-
=
-
(∑ Y ) 2
∑ xy
n
(1,422) 2 7
(∑ xy ) 2
∑x
=
2
=1
RJKreg
=
RJKres
=
Freg
=
dbreg
(∑ X )(∑ Y ) n
(27,2)(1,422) 7
(7,775) 2 184,74
JKres
=
∑y
2
- JKreg
= 0,422 - 0,3272 = 0,0948
dbres
JK reg
∑ XY -
= 2,2495
= 0,3272
dbreg
=
= 7,775-
= 0,064931
= 79,0486
JKreg
∑Y
=
2
=
= n-1-1 = 7-1-1 = 5
dbtotal = n-1 = 7-1 = 6
0,3272 = 0,3272 1
JK res 0,0948 = = 0,01896 dbres 5 RJK reg RJK res
=
0,3272 = 17,2574 0,01896
Harga F hitung = 17,2574 lebih besar jika dibandingkan dengan harga F tabel dengan db pembilang = 1 dan db penyebut = 5 pada taraf signifikansi 1 % yaitu 16,26, Hal ini menunjukkan bahwa persamaan Y = 0,0885X + 0,2452 merupakan persamaan garis regresi linier.(7) Dari hasil hitung uji signifikansi korelasi dan linieritas kurva standar unsur boron, maka
persamaan regresi dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi boron di dalam cuplikan. Uji linieritas garis regresi terhadap kurva unsur Mn, Cd, Mg, Cu, Fe, Ni, Cd dan Cr perhitungannya menggunakan rumus dan metode yang sama dengan perhitungan pada uji linieritas garis regresi unsur B.
Tabel 5. Data hasil perhitungan harga F hitung pada kurva unsur pengotor di dalam ZrOCl2 UNSUR B
Fhitung
17,2574
Aryadi, dkk.
Mn 17.69831
Cr 21.63939
Mg 18.34572
Cu 18.59157
ISSN 1410 – 8178
Fe 22.19929
Ni 18.66733
Cd 351.0987
Buku II hal 147
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
2. Penentuan Uji Batas Ketangguhan a. Penentuan Simpangan Baku Konsentrasi (SB) Sebagai salah satu contoh perhitungan simpangan baku (SB) konsentrasi boron ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
SB =
∑ Xi − X
2
n −1
Tabel 6 : Statistik dasar perhitungan simpangan baku konsentrasi boron (B). 2
No
Konsentrasi (ppm)
X−X
X−X
1
2,2329
0.03691
0.001363
2
2,1886
0.0074
0,000055
3
2,1665
0.02951
0.000871
∑
6,5881
-4.4409E-16
0.002288
X
2,1960
∑ Xi − X
SB =
n −1
2
=
0,2288 = 0,00338 3 −1
b. Penentuan Batas Ketangguhan Konsentrasi Boron (B) α = 0,01
t = 6,96
µ= X ±t
SB
= 2,1960 ± 6,96
0,00338
= 2,1960 ± 0,1359
3
n
Jadi konsentrasi boron di dalam cuplikan ZrOCl2 adalah 2,1960 ± 0,1359 ppm. Dengan menggunakan metode yang sama, maka harga simpangan baku dan batas ketangguhan masing-masing unsur dapat dihitung dengan data intensitas masing-masing unsur.
Tabel 7. Hasil perhitungan simpangan baku (SB) dan batas ketangguhan (µ) UNSUR
Buku II hal 148
B
Mn
Cr
Mg
Cu
Fe
Ni
Cd
SB
0.034
6.103
48.854
13.400
6.076
7.348
1.097
0.042
µ
0.136
2,452
19,631
5,384
24.416
29.529
4.410
0.170
ISSN 1410 – 8178
Aryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
3. Penentuan Batas Deteksi Minimum. Perhitungan statistik selanjutnya adalah menentukan batas deteksi Tabel 8. Data statistik konsentrasi dan intensitas unsur boron untuk perhitungan batas deteksi
Konst, 0.5
Intensitas ukur Y
Intensitas riil Ψ
0.107
0.10685 0.11255
0.7
0.112
1
0.123
3
0.165
5
0.315
10
0.364
Sy/x
Yid
Xid
0.01330958
1.33E-01
3.048
2.25E-08 3.02E-07 3.61E-06 1.72E-04
0.1211 0.1781 0.2351
0.236
7
(Y-Ψ)2
0.2921 0.3776
8.10E-07 5.24E-04 1.85E-04
Σ−Ψ(Ψ)2=
8.86E-04
Ψ = Intensitas sebenarnya (dari persamaan regresi). Persamaan regresi B - Y=0.0285x+0.0926
Sy/x
=
∑( y − Ψ ) 2 = (n − 2)
Yid = b + 3 Sy/x
X1d =
8.86 E − 04) 2 = 0.01330958 (7 − 2)
= 0,0926 + (3 x 0,01330958)
Yid − b = 1,401 a
= 1,33 x 10-1
Jadi batas deteksi minimum boron =1,401 ppm
Tabel 9. Hasil perhitungan nilai batas deteksi unsur pengotor di dalam ZrOCl2 Unsur
Batas Deteksi
B
Mn
Cr
Mg
Cu
Fe
Ni
Cd
1.401
0.805
3.048
1.646
13.174
20.681
21.494
4.662
KESIMPULAN Dari hasil perhitungan uji signifikansi korelasi dan linieritas kurva standar, persamaan regresi dari semua unsur yang dianalisis dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi masingmasing. Hasil analisis kuantitatif unsur pengotor di dalam ZrOCl2 dengan metode spektrgrafi emisi adalah sebagai berikut : B = 2.19 ± 0,136 ppm ; Mn = 82.881 ± 2,4524 ppm ; Cr = 942.13 ± 19,6314 ppm ; Mg = 641.65 ± 5,3848 ppm ; Cu = 1101.61 ± 24,416 ppm ; Fe = 1404.1 ± 29,529
Aryadi, dkk.
ppm ; Ni = 131.06 ± 4,410 ppm ; Cd = 0.6102 ± 0,170 ppm Batas deteksi unsur B, Mn, Cr, Mg, Cu, Fe, Ni, dan Cd berturut-turut adalah sebagai berikut : 1.401 ppm ; 0.805 ppm ; 3.048 ppm ; 1.646 ppm ; 13.174 ppm ; 20.681 ppm ; 21.494 ppm dan 4.662 ppm. UCAPAN TERIMAKASIH Diucapkan terimaksih kepada saudara Ibnu Masngud Siswa SMK Negeri 1 Panjatan Kulonprogo Yogyakarta yang telah membantu penelitian ini hingga selesai.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 149
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5.
6.
7.
GRITTER, J, ROY (1991), Pengantar Kromatografi, Bandung : ITB DAY JR, UNDERWOOD, A, L, (1986), Analisis Kimia Kuantitatif, Yogyakarta : Erlangga, ANWAR MUSAFAR, “Production of Hafnium free Zr Tetra Chloside” Nuclear Material Devision, Pakistan Institute of Nuclear Science Technology, Nilore, Rawalpindi, 1977. . RUKIHATI, 1986, Diklat Keahlian Dasar Bidang Tenaga Atom : Spektrografi Emisi, PUSDIKLAT-BATAN, Jakarta. RUKIHATI 1985, “Pengguanan Pengemban Sulingan Pada Penentuan Dy, Eu, Gd dan Sm Dalam Bahan Bakar Nuklir ThO2 Secara Spektrografi Emisi” Tesis Pasca Sarjana UGM MEGGERS, W,F,, CORLISS, C,H,, AND SCRIBNER, B,F,, 1962, Tables of Spectral Line-Intensities, U,S, Government Printing OffiY USA, 1072 p, SUTRISNO HADI 2002, “Analisis regresi” Yogyakarta, Penerbit Andy Ofset
Buku II hal 150
TANYA JAWAB Rosidi Bagaimana cara menghitung batas deteksi? Bisakah spektograf emisi untuk analisis cuplikan cair, bagaimana caranya? Aryadi Cara menghitung batas deteksi ada dalam makalah secara detil Spektograf emisi bisa untuk analisis cuplikan cair caranya yaitu standart permbandingnya juga dalam bentuk cairan Sudaryadi Mengapa unsur Si tidak dianalisis Pengenceran cuplikan menggunakan apa? Apakah sama dengan media standartnya? Aryadi Unsur Si tidak dianalisis karena di dalam cuplikan ZrOCl2 kadarnya sangat tinggi, sementara alat spektograf emisi hanya untuk analisis unsur-unsur dengan kadar kecil. Apabila pengenceran terlalu banyak, maka kesalahan juga semakin tinggi. Pengenceran cuplikan menggunakan ZrOCl2 murni (produksi merck), jadi sama dengan standar
ISSN 1410 – 8178
Aryadi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
KAJIAN PENURUNAN pH AIR PRODUKSI RESIN IR-120Na dan IRA-402Cl Sri Sukmajaya, mudjilan, Tri Nugroho Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK KAJIAN PENURUNAN pH AIR PRODUKSI RESIN IR-120Na dan IRA-402Cl.Tujuan kajian untuk mengetahui langkah pemilihan resin dan kualitas produksi air penambah(make up), terutama penurunan pH produksi air. Metode yang dipakai untuk penelitian awal adalah dengan mengukur kapasitas resin memakai larutan standar Perak Nitrat (prosedur IAEA),pengukuran kapasitas Ca2+,kapasitas Cl- dan tegangan muka. Penentuan Densitas dan volume resin kosong. Kapasitas Resin: Amberlite IR120(Na+): 1,905 eq/l, Amberlite IRA402(Cl-): 1,358 eq/l. Ukuran butir resin kation IR120Na dan resin anion IRA402Cl = 16-50mesh, sedang resin yang tertahan sekitar 5%. Kapasitas Kation untuk Ca2+: untuk resin IR120Na = 0,996 mol/l. Densitas basah IR120Na=2,232g/ml dan IRA402Cl=2,095g/ml. Volume resin kosong IR120Na=33,916% dan IRA402Cl=34,129%.
ABSTRACT STUDY OF DECREASE pH WATER PRODUCTION OF IR-120Na AND IRA-402Cl. The purpose of this study to identify steps selection of resin and make up water quality product,especially water product pH drops. The method used for initial research is to measure the capacity of the resin using standard solution of Silver Nitrate (IAEA procedure), measurrement of Ca2+ capacity, Cl- capacity and the surface tension. Determination of resin volum voids and density. Resin capacity of Amberlite IR120 (Na+): 1.905 eq / l. IRA402Cl Amberlite (Cl-): 1.358 eq/l. Cation resin IR120Na and anion resin IRA402Cl grain size = 16-50 mesh, while resin retained approximately 5%. Cations for the Ca2+ capacity: for resin IR120Na = 0.996 mol/l. True density of IR120Na=2,232g/ml and IRA402Cl=2,095g/ml. Resin volum voids IR120Na=33,916% and IRA402Cl=34,129%.
PENDAHULUAN
P
enukar ion berfungsi menggantikan ion yang tidak diinginkan di dalam air dengan ion yang diinginkan. Hal ini dapat dilakukan oleh aliran air yang melewati tumpukan butiran resin Penukar Ion. Penukar Kation adalah kumpulan butiran resin paduan polimer styrene dan DiVinyl Benzene yang disulfonasi untuk menghilangkan kation yang tidak diinginkan. Penukar Anion didasarkan pada keduanya adalah kopolimer styrene DVB yang diaminasi, atau suatu aminasi acrylat, yang menjadi basis resin untuk menghilangkan anion yang secara potensial menggagalkan proses. Proses penghilangan pengotor air disebut demineralisasi atau deionisasi. Di dalam demin Sri Sukmajaya, dkk.
air penambah (sistem make up) pengotor kation ditukar oleh hidrogen (H+) dengan sistem penukar kation siklus H+, dan pengotor anion ditukar oleh ion hidroksil OH- dengan sistem penukar anion siklus hidroksil OH-. Proses pertukaran ion berjalan bolak balik, maka sesudah resin di-pakai berulang (jenuh) unit ini tidak efisien untuk pemakaian lebih lama karena kecepatan kebocoran pengotor. Untuk itu bidang penukar ion perlu dikembalikan lagi ke bentuk yang dapat dipakai semula. Proses pengubahan kembali resin sepenuhnya disebut sebagai regenerasi. Regeneran untuk resin kation biasanya (H2SO4) atau (HCl), dan regeneran untuk resin anion dipakai (NaOH). Terdapat 4 tipe resin: resin kation asam kuat dan asam lemah, dan resin anion basa kuat dan basa lemah.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 151
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
Resin kation kuat dan resin anion kuat menghilangkan semua spesies kation dan anion di dalam air umpan. Resin kation lemah dan resin anion lemah hanya menghilangkan kation dan anion tertentu dengan sifat spesifik. Penukar kation lemah mempunyai ciri penukaran hanya untuk kation tertentu yang berhubungan dengan kebasaan dan secara khusus dipakai untuk mereduksi kesadahan tetap (Ca dan Mg). Penukar anion basa lemah tidak mengganti asam yang berhubungan,seperti asam karbonik dan asam siliceous , tetapi ditekankan pada kapasitas tinggi terhadap anion asam kuat (Cl-) dan (SO4--). Faktor faktor yang meningkatkan koefisien selektivitas: Selektivitas ion yang khas dari resin adalah fungsi muatan ion dan radius terhidrasi, serta interaksi grup fungsional dengan ion kimia. Kebanyakan kasus muatan ion lebih tinggi akan meningkatkan afinitas bidang penukaran resin. Radius terhidrasi ion lebih kecil meningkatkan afinitas. Hal ini tergantung pada % tampang lintang resin. Alasan bahwa radius terhidrasi mempunyai efek pada selektivitas dimana ruang pori makro recticular mempunyai volume yang terbatas yang ditentukan oleh %tampang lintang. Sejumlah ion yang dipertukarkan, secara nyata mengakibatkan penggelembungan resin. Kejadian ini dapat merubah bentuk resin. Penggelembungan resin mengakibatkan tekanan balik yang mereduksi kecenderungan ion untuk peningkatan radius terhidrasi. TATAKERJA Bahan 1. Resin kation IR120Na dan resin anion IRA402Cl 2. HCl pekat 25%, 3. KCl, 4. NaCl, 5. KOH, 6. NaOH, 7. K2CrO4, 8. HNO3, 9. NH3, 10. AgNO3, 11. H2SO4 95%, 12. CaCO3, 13. CaSO4. Peralatan 1. Buret 50 ml, 2. Magnetic Stirrer, 3. pH meter,
Buku II hal 152
Cara Kerja A. Penentuan Ukuran butir. Ditimbang 10g resin kation IR120Na dan 10g resin anion IRA402Cl, lalu dimasukkan ke screening ukuran -25 mesh, -50mesh dan 100mesh. B. Prosedur Pengukuran Kapasitas Resin dengan standar Perak Nitrat. Pembuatan air Uji Penukar Ion D (10meq/l), dilarutkan 0,585g NaCl kering t 105oC di dalam 1l air suling. Rata rata 25ml larutan diperlukan untuk uji tunggal. Untuk standarisasi Cl- , dipipet 3x100ml air uji penukar ion dimasukkan ke dalam beker, ditambahkan 1 tetes indikator MO dan 1 tetes PP. Lalu dinetralkan dengan HNO3 (1+9) sampai perubahan warna dari kuning ke oranye, diikuti oleh penambahan NH4OH (1+19) untuk mengembalikan ke warna kuning. Ditambahkan 1ml larutan K2CrO4 (50g/l) , lalu dititrasi dengan larutan standar 0,1N AgNO3 sampai warna supernatant larutan berubah dari kuning-merahoranye dan tetap tidak berubah selama 30 detik dengan pengadukan cepat. Formula perhitungan tegangan larutan dalam meq// Cl- : Cl , meq/l = V x N x 10, dengan: V= ml Larutan AgNO3 yang diperlukan untuk titrasi, N=normalitas larutan AgNO3. Prosedur Pengukuran Densitas Basah Ditimbang 5g resin lalu direndam air 24jam, disaring kemudian dipindahkan ke piknometer yang sudah dikalibrasi dengan air. Piknometer ditempatkan dalam vakum desikator untuk menghilangkan kelebihan udara. Piknometer yang sudah bersih diisi dengan air mendidih,dan ditimbang lagi. Densitas dihitung sebagai berikut: Berat resin basah+berat piknometer yang hanya diisi dengan air=W1. Berat piknometer yang diisi dengan resin basah=W2. Berat resin=W3. Berat air yang digantikan=W1-W3=W4. Densitas=W3/W4. Prosedur Pengukuran Densitas Kering Prosedur diatas dapat dilakukan untuk mengukur densitas kering dengan mengganti air memakai Toluene. Sebelumnya resin dikeringkan di dalam oven suhu 115oC sampai berat konstan. Prosedur Pengukuran Volume Kosong %Volume Kosong = (1- Densitas Kering/Densitas Basah)x100%.
ISSN 1410 – 8178
Sri Sukmajaya, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
HASIL PENGAMATAN
1.
Standardisasi larutan AgNO3 N Ag = 0,25/0,05845 x 44,8 = 10,47424 meq/l., Perubahan warna dari kuning ke merah. Tegangan Larutan Cl- dalam 100ml (Larutan AgNO3 diperlukan 10,3; 10; 9,9ml). Maka rata rata Cl- = (10,3+10+9,9/3) x 10,47424 x 10 x 1/100 = 10,44407 meq/l. Dipipet 100 ml larutan standar AgNO3, diencerkan air suling sampai tepat 1000 ml. Kalibrasi larutan standar AgNO3 (II), dengan menitrasi 20ml larutan Cl- dibutuhkan larutan AgNO3 21,75ml. Maka N larutan standar AgNO3 (II) : 20 x 10,44407 = 21,75 x N, sehingga diperoleh N = 100/1000 x 9,603742 = 0,960374 meq/l.
2.
Amberlite IR120(Na+): Tamp.lintang DVB=10%; bentuk gel; ukuran butir 16-50 mesh; bentuk ion Na+; kadar air 40%; suhu operasi 121oC; pH 0-14. Amberlite IRA400(Cl-): Tamp.lintang DVB=8%; bentuk gel; ukuran butir 16-50 mesh; bentuk ion Na+; kadar air 45%; suhu operasi 60-77oC;pH 0-14.
Densitas kering (apparent): Resin IR120Na : 1,475g/ml Resin IRA400Cl: 1,380g/ml Densitas Basah(true): Resin IR120Na : 2,232g/ml Resin IRA400Cl: 2,095g/ml Kadar Air: Resin IR120Na : 45,905% Resin IRA400Cl: 45,130%
Perhitungan data: Kapasitas Resin: 1. Amberlite IR120(Na+): 1,905 eq/l, atau 0,238 meq/ml, atau 0,952 eq/g. 2. Amberlite IRA400(Cl-): 1,358 eq/l, atau 0,170 meq/ml, atau 0,679 eq/g.
KadarVolume Kosong(%voids) Resin IR120Na : 33,916% Resin IRA400Cl: 34,129% Kapasitas Kation Ca++(Prosedur Hellferich): Resin IR120Na : 0,996mol/l. Ref.: 0,900mol/l. Kapasitas Anion Cl-(Prosedur IAEA): Resin IRA400Cl: 0,172mol/l. Kapasitas Kerja Anion Cl-(Prosedur Kuhne): Resin IRA400Cl: 0,595mol/l. Ref.: 0,900mol/l.
Referensi Supelco: 1. Resin Amberlite IR120(Na+): 2,1 meq/ml, atau 4,400 meq/g. 2. Resin Amberlite IRA 400(Cl-): 1,4 meq/ml, atau 3,80 meq/g. Ukuran Mesh: Ukuran butir resin kation IR120Na dan resin anion IRA402Cl = 16-50mesh, sedang resin yang tertahan sekitar 5%. Referensi Supelco: Tabel 1. Hasil Pengukuran Konduktivitas dan pH. Data
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Kon.awal
371
358
395
287
444
394
0,9
Kon.akhir
0,7
0,9
1,3
1
0,8
0,9
1,3
pHawal
7,1
6,7
7,2
7
6,5
6,8
5,3
pHakhir
4,7
5,5
4,7
4,8
4,8
5,3
5,1
IRN15
IRN15
SM60
SM60
SM60
IRN150+10%An
IRN150+20%An
0
0
0
0
0
exIRN150
exIRN150
Resin
Sri Sukmajaya, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 153
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
Pengamatan dilakukan pada Desember 2008. Keterangan kode cuplikan: P1:air sumur dangkal P2:air sumur dalam P3:air sumur dangkal P4:air sumur dalam P5:air aqua P6:air sumur dalam P7:air bebas mineral PEMBAHASAN Dengan membaca data diatas, terdapat 4 spesifikasi teknis yang tidak dipenuhi oleh resin operasional, yaitu: a. Kapasitas resin IR dan IRA jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan referensi Supelco. b. Kadar Air cukup tinggi,umumnya dibawah 42%. c. Volume kosong resin tinggi, seharusnya lebih kecil dari 25%. d. Kapasitas Kerja Anion Cl rendah ibandingkan dengan referensi. Maka dengan melihat perbedaan spesifikasi ini dimungkinkan unjuk kerja resin dalam hal kapasitas penukaran ion,khususnya anion Cl rendah sehingga air lebih cenderung mempunyai pH rendah. Kadar air dan volume kosong yang tinggi menyebabkan penggelembungan resin (swelling). Penggelembungan resin mengakibatkan tekanan balik yang mereduksi kecenderungan ion untuk peningkatan radius terhidrasi. Data pH dan konduktivitas air penambah (make up) menunjukkan gejala penurunan pH dari persyaratan yang ditetapkan (pH5,5-7),meskipun konduktivitasnya memenuhi syarat (lebih kecil dari 3microSiemens/cm). Pengamatan insitu air make up KOTTERMAN: Untuk resin Amberlite IR120Na (kode 0091874171) yang diregenerasi dengan HCl 1:120, dan resin Amberlite IRA402Cl yang diregenerasi dengan NaOH 4g/liter. pH awal air sumur 6,3 dengan konduktivitas 270 uSiemens/cm, setelah air keluar dari unit kation pH 2,5 dengan konduktivitas 1,0 uSiemens/cm. Selanjutnya air langsung dilewatkan unit anion dengan pH akhir 5,5 dan konduktivitas lebih kecil dari 3,0 uSiemens/cm. Pada Unit Perlakuan Air Penambah (make up) merk Kotterman, yang disusun seri dari kolom kation ke kolom anion dalam 1bulan operasional meng hasilkan air 1m3. Air sumber diambil dari air tanah dengan pH awal rata rata 6,8 dan konduktivitas diatas 250uSiemens/cm. Setelah melewati unit kolom pH nya menjadi 5,5 dengan konduktivitas 1-3uSiemens/cm. Sedang Buku II hal 154
kondisi pH air pada tangki penampungan air penambah pH 5,6 dan konduktivitasnya dibawah 1uSiemens/cm. Air penambah ini akan dimasukkan ke fasilitas Demineralizer secara berkala sesuai kebutuhan rata rata 10%volum air demin dengan pH5,5 dan konduktivitas 1uSiemens/cm. Dengan memperhatikan pengujian ini dapat dipastikan bahwa persoalan penurunan pH air terletak di dalam fasilitas air demin yang mengganti resin mixbeds IRN150 Quarternary Ammonium buatan Perancis dengan lisensi Rohm and Haas, diganti dengan resin mixbeds (IRN150) Trimethyl Ammonium buatan China dengan lisensi sama. Penyebab yang lain adalah sumber air sumur dalam maupun dangkal teroksidasi oleh sinar UV dari matahari,dengan membentuk gelatin berwarna kuning kecoklatan. Disarankan untuk melakukan oksidasi memakai lampu UV dan adsorben karbon aktip sebelum air make up diumpankan ke unit penukar ion. KESIMPULAN Unjuk kerja resin IR120Na dan IRA400Cl dalam hal kapasitas penukaran ion, khususnya anion Cl rendah sehingga air lebih cenderung mempunyai pH rendah. Kadar air dan volume kosong yang tinggi menyebabkan penggelembungan resin (swelling). Penggelembungan resin mengakibatkan tekanan balik yang mereduksi kecenderungan ion untuk peningkatan radius terhidrasi. pH dan konduktivitas air penambah (make up) yang dialirkan melalui resin mixbed IRN150 menunjukkan penurunan pH dari persyaratan yang ditetapkan (pH 5,5-7),meskipun konduktivitasnya memenuhi syarat (lebih kecil dari 3microSiemens/cm). Penurunan pH disebabkan oleh penggantian gugus fungsional resin anion (IRN150), dari quarternary ammonium dengan trimethyl ammonium. Penyebab lain adalah sumber air sumur dalam maupun dangkal teroksidasi oleh sinar UV dari matahari,dengan membentuk gelatin berwarna kuning kecoklatan. Disarankan untuk melakukan oksidasi memakai lampu UV dan adsorben karbon aktip untuk menghilangkan pengotor senyawa organik. Selanjutnya air penambah (make up) sebelum unit kolom resin kation IR120Na dan resin anion IRA402Cl (paralel) diaktipkan dengan HCl dan NaOH, maka terlebih dahulu dilakukan prosedur awal regenerasi memakai larutan garam NaCl. Tujuan pemberian larutan garam adalah agar ion Na mendorong keluar ion ion Ca dan Mg, yang merupakan kation kesadahan tetap, yang semula jenuh dan masih terikat pada unit resin kation. Demikian halnya
ISSN 1410 – 8178
Sri Sukmajaya, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
pada unit resin anion, bahwa ion Cl- akan mendorong keluar anion SO4-- yang semula terikat pada resin. Pemberian larutan garam, yang kemudian diikuti dengan regenerasi memakai HCl dan NaOH tidak berdampak negatip terhadap kualitas air yang diinginkan, karena garam lemah NaCl akan digantikan oleh ion kuat H+ dan OH-.
TANYA JAWAB
DAFTAR PUSTAKA 1. Palo Alto,C.A.,”Electric Power Research Institute/Steam Generator Owners Group,Dec.2006,US Export Administration Regulations. 2. IAEA,.”Standard Test Method for Column Capacity of Particulate Mixed Bed Ion Exchange Materials 1,Designation D337595a,American Society for Testing and Materials,http://.docs.ksu.edu.sa/ksu_AFCS/H atem%20ibrahim/D3375.pdf 3. Kunin & Myers,R,.”Ion Exchange Resins”,John Wiley & Sons Inc.,IIIed printing,1952,USA. 4. Anonim,.”Chemistry of Ion Exc.” ,www.google.com. 5. Igarashi.H.,Ohsumi K.,Uchida S., Matsui T.,:”Effect of Organic Impurities on BWR Water Chemistry,(2)Effects on Shut Down Dose Rate,Nuc.Power Plant Eng.Depart.,Nuc.Syst.Div.,Power&Indust.Syst em Lab.,Hitachi Eng. Co and Nuc.Eng.Dept.,Nagoya Univ.,1998. 6. Alchin D,.”Ion Exchange Resins”,.XIII-waterD-Ion Exchange Resins-1,Service Chemist,Drew New Zealand,2000. 7. Joko Sardjono,Y,.”Data Diagnostik Anomali Air Pendingin Reaktor Kartini” Lab.PTAPB,BATAN,2008.
Sri Sukmajaya, dkk.
8. Ana Maria SO,.”Discrimation Among Several Kinetic Models for OH-/Cl- Ion Exchange in a Strong Base Anion Exchanger, Dept.of Inorganic Chemistry,Univ.of Polytechnica,Bucharest,Rumania,2003.
A.Supriyanto Bagaimana upaya untuk menjaga agar pH air tidak turun dari ring 5,5-7 dengan resin kation IR 120Na dan resin anion IRA 402 Cl? Sri Sukmajaya Mengukur kapasitas resin, kapasitas kerja, % VOIDS, tekanan 3 atm. Mengolah air sumur untuk menghilangkan polutan organic, misal trichloro ethylene yang potensial menurunkan pH air pada reaksi radiolisis Sriyono Penggunaan resin IR-120Na dan IRA-402Cl untuk mempertahankan pH air tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Apa langkah selanjutnya apakah perlu penggantian resin? Sri Sukmajaya Resin sudah diganti dengan jenis sama dari produk ROHMXHASS France Perlu prosedur pemilihan, pengelolaan, pengukuran dan regenerasi resin
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 155
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PEMEKATAN LARUTAN 99mTc HASIL ELUSI GENERATOR (n,γ)99Mo/99mTc BERBASIS POLY ZIRCONIUM COMPOUND DENGAN CARA EKSTRAKSI Sriyono, Hotman L., Herlina, Yono S., Abidin, Adang HG., A. Mutalib, Rohadi A., Hambali, Sulaiman, M. Subur. Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka – BATAN,PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan 15310 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK PEMEKATAN LARUTAN 99mTc HASIL ELUSI GENERATOR (n,γ)99Mo/99mTc BERBASIS POLY ZIRCONIUM COMPOUND DENGAN CARA EKSTRAKSI. Radioisotop Teknesium99m (99mTc) merupakan anak luruh dari radionuklida molibdenum-99 (99Mo) yang dikemas dalam kolom generator dan banyak digunakan di bidang medis untuk diagnosa berbagai jenis penyakit. Dalam penelitian ini radionuklida induk 99Mo yang digunakan adalah hasil aktivasi neutron terhadap sasaran MoO3 di dalam reaktor melalui reaksi nuklir 98Mo(n,γ)99Mo dan dalam kegiatan ini dilaporkan proses pemekatan larutan 99mTc hasil elusi kolom generator (n,γ)99Mo/99mTc berbasis poly zirconium compound dengan cara ekstraksi methyl ethyl ketone, kolom kromatografi alumina basa dan alumina asam. Radionuklida 99Mo dengan aktivitas jenis 971 mCi/g Mo diserapkan pada 45 g poly zirconium compound (PZC) kemudian diloading ke dalam kolom generator ukuran diameter 2,54 cm x tinggi 30 cm dan dibiarkan selama ± 24 jam untuk masa pertumbuhan 99mTc. Kolom generator tersebut kemudian dielusi dengan 150 ml larutan salin (NaCl 0,9%) untuk mengeluarkan perteknetat (99mTcO4-) yang terbentuk. Hasil elusi selanjutnya dilakukan pemekatan dengan cara ekstraksi menggunakan larutan methyl ethyl ketone (MEK) dan hasil ekstraksi dilewatkan ke dalam kolom kromatografi diameter 1 cm x tinggi 20 cm yang berisi alumina basa dan dilewatkan lagi ke dalam kolom kromatografi yang berisi alumina asam. Dari 3 kali proses pemekatan larutan 99m Tc diperoleh konsentrasi aktivitas masing-masing sebesar 46,76 mCi/ml, 26,70 mCi/ml, dan 33,49 mCi/ml lebih besar dari sebelum dilakukan pemekatan 3,34 mCi/ml, 3,34 mCi/ml, dan 3,38 mCi/ml. Penentuan kemurnian radionuklida dan kemurnian radiokimia dari larutan 99mTc hasil pemekatan menunjukkan tingkat kemurnian yang tinggi yaitu 99,90 % dan 97,78 %. Kata Kunci : Generator (n,γ)99Mo/99mTc, PZC, Radioisotop 99mTc, Konsentrasi radioaktif, Radionuklida, Radiokimia.
ABSTRACT CONCENTRATION OF 99mTc SOLUTION FROM ELUATE BASED POLY ZIRCONIUM COMPOUND (n,γ)99Mo/99mTc GENERATOR BY EXTRACTION. Radioisotope Technetium99m (99mTc) is a daughter of the radionuclide molybdenum-99 (99Mo) are packed in a column generator and is widely used in the medical field for diagnosis of various types of diseases. In this study, the parent radionuclide 99Mo used is the result of neutron activation to the MoO3 target in a reactor by nuclear reaction 98Mo(n,γ)99Mo and in this activity reported concentration proccess of 99mTc solution from eluate based poly zirconium compound (n,γ)99Mo/99mTc generator with methyl ethyl ketone extraction, column chromatography on basic alumina and acidic alumina. Radionuclide 99Mo of specific activity 971 mCi/g Mo was adsorbed on 45 g of poly zirconium compound (PZC) and then loaded on a column 2.54 cm (dia.) x 30 cm (H) and left for ± 24 hours for the growth of 99mTc. The generator column is then eluted with 150 ml of saline solution (NaCl 0.9%) to remove pertechnetate (99mTcO4-) is formed. Eluate then concentrated by extraction using methyl ethyl ketone (MEK) solution and the result is passed into the chromatographic column 1 cm (Dia.) x 20 cm (H) containing basic alumina and passed again into the chromatography column containing acidic alumina. Three times of the concentration of 99mTc solution proccess obtained activity concentration of 46.76 mCi/ml, 26.70 mCi/ml, and 33.49 mCi/ml respectivelly, greater than prior to the concentration Buku II hal 156
ISSN 1410 – 8178
Sriyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
3.34 mCi/ml, 3.34 mCi/ml, and 3.38 mCi/ml. Determination of radionuclide purity and radiochemical purity of 99mTc solution of the concentration results show a high level of purity of 99.90% and 97.78%. Key Words : (n,γ)99Mo/99mTc Generator, PZC, Radioisotope of 99mTc, Concentrated radioactivity, Radionuclide, Radiochemical.
PENDAHULUAN adalah jenis eknesium-99m (99mTc) radioisotop yang mempunyai waktu paro pendek (t½ = 6 jam), pemancar gamma murni energi rendah pada 140 keV dan bebas pengemban serta dapat terikat dengan berbagai senyawa radiofarmaka sehingga banyak digunakan di bidang medis untuk mendiagnosa berbagai jenis penyakit.[1] Radioisotop ini merupakan anak luruh dari radionuklida Molibdenum-99 (99Mo) yang diserapkan ke dalam kolom generator kemudian dielusi dengan larutan biologis (NaCl 0,9%) untuk mengeluarkan 99mTc dalam bentuk perteknetat (99mTcO4-). Generator 99Mo/99mTc yang selama ini didistribusikan ke beberapa rumah sakit di Indonesia adalah generator berbasis alumina yang diproduksi oleh PT. BATAN Teknologi menggunakan 99Mo hasil belah uranium-235 (235U) pengkayaan tinggi (HEU = High Enriched Uranium, >92,5% 235U) yang mempunyai aktivitas jenis tinggi (>104 Ci/g Mo).[2] Uranium pengkayaan tinggi (HEU) sebagai bahan baku pembuatan 99Mo yang dimiliki PT. BATAN Teknologi sudah habis sejak akhir tahun 2010 dan untuk mendapatkannya lagi sangat sulit sejak adanya Kongres Amerika Serikat yang membatasi penggunaan HEU untuk bahan bakar reaktor riset dan keperluan produksi radionuklida 99Mo dalam upaya mencegah penyalahgunaan pemakaiannya untuk senjata nuklir.[3,4,5] Ini mengakibatkan pasokan Generator 99Mo/99mTc ke beberapa rumah sakit di Indonesia akan terganggu. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka PT. BATAN Teknologi akan menggunakan uranium pengkayaan rendah (LEU = Low Enriched Uranium, <20% 235U) sebagai pengganti uranium pengkayaan tinggi.[6] Disamping itu, radonuklida 99Mo juga bisa diproduksi dengan cara aktivasi terhadap sasaran MoO3 alam menggunakan neutron thermal di dalam reaktor melalui reaksi nuklir 98 Mo(n,γ)99Mo, tetapi 99Mo yang dihasilkan akan mempunyai aktivitas jenis yang rendah karena tidak bisa dipisahkan dari Mo non aktif sebagai sasarannya. Radionuklida 99Mo hasil aktivasi apabila diserapkan ke dalam kolom yang berisi
T
Sriyono, dkk.
alumina akan membutuhkan alumina yang cukup banyak dan ukuran kolom yang besar karena setiap satu gram alumina hanya mampu menyerap ± 20 mg molibdenum. Untuk itu Adang H.G., dkk. telah melakukan pembuatan Generator 99 Mo/99mTc berbasis Poly Zirconium Compound (PZC) menggunakan 99Mo hasil aktivasi neutron dengan aktivitas >5 Ci melalui kerjasama antara Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka - BATAN dengan JAEA/Chiyoda Japan Tahun 2010 dalam upaya mencegah kelangkaan radioisotop 99mTc untuk keperluan medis di berbagai rumah sakit. Poly Zirconium Compound (PZC) disini berperan sebagai pengadsorpsi 99Mo yang mempunyai kapasitas serap tinggi (± 250 mg Mo/g PZC) sebagai pengganti alumina yang hanya mampu menyerap ± 20 mg Mo setiap gramnya.[7,8,9] Konsentrasi 99mTc dalam larutan hasil elusi dari Generator (n,γ)99Mo/99mTc yang dibuat oleh Adang H.G., dkk. masih sangat encer yaitu 600-1500 mCi/150 ml (4-7 mCi/ml). Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan larutan 99m Tc konsentrasi tinggi hasil elusi dari Generator 99 Mo/99mTc berbasis Poly Zirconium Compound (PZC) menggunakan 99Mo hasil reaksi (n,γ) dengan aktivitas >5 Ci. Dalam makalah ini dilaporkan proses pemekatan 99mTc dari hasil elusi Generator (n,γ)99Mo/99mTc berbasis Poly Zirconium Compound dengan aktivitas 99Mo sebesar 9,35 Ci menggunakan 150 ml larutan NaCl 0,9% dengan cara ekstraksi Methyl ethyl ketone, kolom kromatografi alumina basa dan kolom kromatografi alumina asam. Parameter yang diamati terhadap larutan 99mTc hasil pemekatan adalah meliputi konsentrasi keradioaktivan, kemurnian radionuklida, dan kemurnian radiokimia. TATA KERJA Bahan dan peralatan Larutan 99mTc yang akan dilakukan pemekatan diperoleh dari hasil elusi kolom generator 99Mo/99mTc berbasis PZC menggunakan 99 Mo hasil reaksi (n,γ) aktivitas 9,35 Ci yang dilakukan oleh Adang H.G., dkk., serbuk alumina basa dan serbuk alumina asam diperoleh dari CTC-Japan, larutan salin (NaCL 0,9%) dan aquabidest dari IPHA Laboratories Bandung,
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 157
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
larutan ethyl methyl keton (MEK) dan NaOH pellet dari E. Merck. Sedangkan perangkat ekstraksi dan kolom kromatografi dipasok dari JAEA/Chiyoda-Japan. Untuk mengukur aktifitas 99mTc hasil pemekatan digunakan dose calibrator ATOMLAB 100plus dari BIODEX dan untuk menentukan kemurnian radionuklida digunakan spektrometri gamma yang dilengkapi dengan analisator saluran ganda model Canberra 1000 dan detektor Germanium kemurnian tinggi (HPGe) dari Canberra Industries Inc., serta perangkat lunak MCA Genie 2000 VDM. Sistem spektrometri sinar γ dikalibrasi menggunakan standar sumber tertutup 133Ba (302,85 keV, 356,01 keV), 137Cs (661,64 keV) dan 60Co (1173,23 keV dan 1332,51 keV) dari Du Pont. Sedangkan untuk menentukan kemurnian radiokimia dilakukan dengan cara kromatografi kertas dan pencacahannya menggunakan AR-2000 Imaging Scanner dari Bioscan.
Gambar 1 : generator 99Mo/99mTc berbasis PZC dan alumina menggunakan 99Mo hasil reaksi (n,γ) dengan aktivitas 9,35 Ci
Cara Kerja Kolom generator 99Mo/99mTc berbasis Poly Zirconium Compound menggunakan 99Mo hasil reaksi (n,γ) dengan aktivitas 9,35 Ci (Gambar 1) dielusi dengan 150 ml larutan salin (NaCl 0,9%) untuk mengeluarkan perteknetat (99mTcO4-). Dari larutan 99mTc hasil elusi tersebut diambil ± 500 mCi dimasukkan ke dalam gelas piala 250 ml dan diencerkan hingga volume menjadi 150 ml dengan larutan NaCl 0,9% sehingga konsentrasi radioaktivitas 99mTc menjadi ± 3,3 mCi/ml. Ke dalam gelas piala tersebut ditambahkan 30 g NaOH pellet sambil dilakukan pengadukan hingga larut sempurna dan selanjutnya dipindahkan ke dalam bejana ekstraksi. Ke dalam bejana ekstraksi ditambahkan 30 ml larutan methyl ethyl ketone (MEK) kemudian diekstraksi selama 5 menit (Gambar 2) dan didiamkan selama 15 menit sampai membentuk dua lapisan fase air dan fase organik (MEK-99mTc). Fase organik (MEK-99mTc) lapisan bagian atas dipisahkan dari fase air kemudian dicuplik sebanyak 0,5 ml menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam botol vial 2,5 ml 99m Tc-nya kemudian diukur aktivitas menggunakan dose calibrator ATOMLAB 100plus pada dial 33,6 dan hasilnya digunakan untuk menentukan % yield ekstraksi.
Buku II hal 158
Gambar 2 : Ektraksi 500 mCi 99mTc dalam 150 ml NaCl 0,9% dan 30 g NaOH dengan 30 ml larutan Methyl Ethyl Ketone (MEK) tersebut Selanjutnya larutan MEK-99mTc dilewatkan ke dalam kolom kromatografi yang berisi alumina basa (Gambar 3) dan eluatnya dicuplik lagi sebanyak 0,5 ml dan diukur aktivitas 99m Tc-nya dengan cara seperti di atas. Kemudian eluat MEK-99mTc dari kolom alumina basa tersebut dielusikan lagi ke dalam kolom kromatografi yang berisi alumina asam (Gambar 4). Eluat dibuang sebagai limbah dan kolom alumina asam tersebut dibilas dengan mengelusikan 10 ml aquabidest untuk menghilangkan larutan MEK yang masih tersisa di dalam kolom alumina asam dan eluatnya ditampung dalam botol vial 10 ml kemudian diukur aktivitas 99mTc yang lolos dengan dose calibrator. Selanjutnya 99mTc yang tertahan dalam kolom alumina asam dikeluarkan dengan dielusi secara fraksinasi menggunakan larutan salin (NaCl 0,9%).
ISSN 1410 – 8178
Sriyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 3 : Elusi fase organik (MEK-99mTc) hasil ekstraksi ke dalam kolom alumina basa
Gambar 4 : Elusi MEK-99mTc dari eluat kolom alumina basa ke dalam kolom alumina asam
Masing-masing fraksi dari eluat 99mTc hasil 10 x fraksinasi kolom alumina asam dengan larutan salin diukur aktivitasnya menggunakan dose
calibrator kemudian fraksi yang aktivitasnya besar disatukan lalu dianalisis untuk menentukan kemurnian radionuklida dan radiokimianya.
HASIL DAN PEMBAHASAN perteknetat (Na99mTcO4) dengan aktivitas masingmasing 1.002 mCi, 834 mCi, dan 633 mCi dengan konsentrasi radioaktivitas masing-masing sebesar 6,68 mCi/ml, 5,56 mCi/ml, dan 4,22 mCi/ml seperti yang terlihat pada Tabel 1.
Dari tiga kali elusi kolom generator berbasis Poly Zirconium (n,γ)99Mo/99mTc Compound (PZC) aktivitas 99Mo = 9,35 Ci dengan 150 ml larutan NaCl 0,9% pada hari ke-1, ke-2 dan ke-5 diperoleh larutan sodium
Tabel 1. Larutan 99mTc hasil elusi generator (n,γ)99Mo/99mTc berbasis PZC Elusi
Volume (ml)
Total aktivitas (mCi)
Konsentrasi (mCi/ml)
Hari ke-1
150
1.336
6,68
Hari ke-2
150
778,4
5,56
Hari ke-5
150
633
4,22
Hasil dari 3 kali elusi tersebut kemudian diambil masing-masing ± 500 mCi dan diencerkan menjadi 150 ml dengan larutan salin sehingga konsentrasi radioaktif 99mTc masingmasing menjadi ± 3,33 mCi/ml kemudian larutan 99m Tc tersebut dilakukan pemekatan awal dengan
Sriyono, dkk.
cara ekstraksi menggunakan larutan methyl ethyl ketone selama 5 menit dan diperoleh yield ekstraksi sebesar 95,72 %, 91,16% dan 88,43% serta konsentrasi aktivitas meningkat menjadi ± 15 mCi/ml seperti yang terlihat pada Tabel 2.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 159
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Ekstraksi 99mTc dalam larutan salin menggunakan methyl ethyl ketone No
Volume 99mTc sebelum ekstraksi Aktivitas 99mTc sebelum ekstraksi
(ml) (mCi)
3.
Konsentrasi aktivitas 99mTc sebelum ekstraksi Volume 99mTc setelah ekstraksi
(mCi/ml) (ml)
5. 6. 7.
506,4
3,34
3,34
3,38
I
1. 2.
4.
501
Percobaan II 150 500,4
Parameter
Aktivitas
99mTc
setelah ekstraksi
Konsentrasi aktivitas ekstraksi Yield ekstraksi
99mTc
setelah
30
(mCi)
479,57
456,14
447,82
(mCi/ml) (%)
15,99
15,21
14,93
95,72
91,16
88,43
asam berfungsi untuk menahan 99mTcO4- sehingga yang keluar sebagai eluat adalah larutan MEK saja. Perteknetat yang tertahan dalam kolom alumina asam kemudian dielusi dengan 5 – 10 ml larutan salin (NaCl 0,9%) dengan cara fraksinasi dan masing-masing fraksi diukur aktivitas 99mTcnya menggunakan dose calibrator untuk menentukan profil elusinya dan hasilnya bisa dilihat pada Gambar 5
Peningkatan konsentrasi radioaktivitas 99mTc hasil ekstraksi tersebut belum bisa digunakan karena masih dalam kondisi methyl ethyl ketone maka perlu dilakukan proses pemekatan lanjutan dengan cara kolom kromatografi menggunakan alumina basa dan alumina asam dengan berat yang bervariasi. Kolom alumina basa disini berfungsi sebagai penahan lolosan 99Mo yang masih terbawa dalam larutan fase organik (MEK99m Tc) hasil ekstraksi sedangkan kolom alumina
Konsentrasi 99mTc (mCi/ml)
III
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
No. Fraksi
(a). Profil Elusi 99mTc pada Percobaan I
Konsentrasi 99mTc (mCi/ml)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
No. Fraksi
(b). Profil Elusi 99mTc pada Percobaan II Buku II hal 160
ISSN 1410 – 8178
Sriyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
200 175 150 125 100 75 50 25 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
No. Fraksi
(c). Profil Elusi 99mTc pada Percobaan III Gambar 5. Profil Elusi 99mTc dari fraksinasi kolom alumina asam Proses pemekatan larutan 99mTc hasil elusi kolom generator (n,γ)99Mo/99mTc dengan cara ekstraksi dan kolom kromatografi membutuhkan waktu 2,5 jam pada percobaan I dan II serta 2,0 jam pada percobaan III seperti yang terlihat pada Tabel 3. Pada Tabel tersebut diperoleh larutan 99mTc hasil pemekatan menggunakan kolom kromatografi 3 g alumina basa dan 1 g alumina asam dengan konsentrasi 46,76 mCi/ml sedangkan pada kolom
3 g alumina basa dan 2 g alumina asam diperoleh larutan 99mTc dengan konsentrasi 26,70 mCi/ml serta dengan menggunakan kolom 2 g alumina basa dan 2 g alumina asam diperoleh konsentrasi sebesar 33,49 mCi/ml sehingga pada percobaan I, II dan III diperoleh peningkatan konsentrasi keradioaktivan 99mTc masing-masing sebesar 14 kali, 8 kali dan 10 kali dari konsentrasi awal sebelum proses pemekatan.
Tabel 3 : Pemekatan larutan 99mTc dengan kolom kromatografi alumina basa dan alumina asam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Parameter Volume MEK-99mTc yang dielusikan ke dalam kolom alumina basa (ml) Aktivitas 99mTc dalam MEK-99mTc yang dielusikan ke dalam kolom alumina basa (mCi) Aktivitas 99mTc dalam eluat kolom alumina basa (mCi) Aktivitas 99mTc dalam air bilasan kolom alumina asam (mCi) Aktivitas 99mTc yang terserap dalam Kolom alumina asam (mCi) Volume 99mTc hasil elusi kolom Alumina asam (ml) Aktivitas 99mTc hasil elusi kolom Alumina asam (mCi) Konsentrasi aktivitas 99mTc akhir (setelah proses pemekatan) (mCi/ml)
Percobaan I 3 g alumina basa dan 1 g alumina asam
Percobaan II 3 g alumina basa dan 2 g alumina asam
Percobaan III 2 g alumina basa dan 2 g alumina asam
26
27,5
26
415
418,13
388,11
381,77
342,07
348,96
49,81
58,72
0,07
331,96
283,35
384,89
5
10
10
233,78
267,02
334,93
46,76
26,70
33,49
9.
Peningkatan konsentrasi
(kali)
14
8
10
10.
Waktu proses pemekatan
(jam)
2,5
2,5
2,0
Sriyono, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 161
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Larutan 99mTc hasil pemekatan selanjutnya dicacah menggunakan spektrometri gamma untuk melihat pengotor berupa lolosan 99Mo dan untuk mentukan kemurnian radionuklidanya. Hasil pencacahan seperti yang terlihat pada Gambar 6. Disamping itu juga ditentukan kemurnian
radiokimianya dengan cara kromatografi kertas Whatman sebagai fase diam dan larutan methanol 85% sebagai fase gerak kemudian dicacah menggunakan AR-200 Imaging Scanner dari Bioscan dan hasilnya bisa dilihat pada Gambar 7.
Gambar 6. Pencacahan larutan 99mTc hasil pemekatan menggunakan spektrometri gamma Dari Gambar 6 terlihat bahwa hanya muncul satu puncak energi pada 140 keV yang merupakan energi gamma yang dipancarkan oleh radioisotop 99m Tc sedangkan puncak energi dari pengotor 99Mo
pada 739 keV tidak terlihat. Ini menunjukkan bahwa larutan 99mTc tersebut mempunyai kemurnian radionuklida yang tinggi yaitu 99,90%.
Gambar 7. Pencacahan larutan 99mTc hasil pemekatan menggunakan Imaging Scanner AR-2000
Buku II hal 162
ISSN 1410 – 8178
Sriyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dari Gambar 7 hanya terlihat satu puncak 99mTc dalam bentuk perteknetat (99mTcO4-) dan tidak terlihat senyawa lain, ini menunjukkan bahwa larutan 99mTc hasil pemekatan mempunyai tingkat kemurnian yang tinggi yaitu 97,78%.
International Meeting on Reduced Enrichment for Research and Test Reactors October 18-23, 1998, São Paulo, Brazil 5.
KESIMPULAN Dari tiga kali proses pemekatan larutan Tc hasil elusi kolom generator (n,γ)99Mo/99mTc dengan cara ekstraksi dan kolom kromatografi alumina basa dan alumina asam diperoleh larutan 99m Tc dengan konsentrasi masing-masing sebesar 46,76 mCi/ml, 26,70 mCi/ml, dan 33,49 mCi/ml. Ini menunjukkan bahwa konsentrasi bisa meningkat 14 kali, 8 kali, dan 10 kali lebih besar dari konsentrasi awal sebelum pemekatan yaitu 3,34 mCi/ml, 3,34 mCi/ml, dan 3,38 mCi/ml. Penentuan kemurnian radionuklida terhadap lolosan 99Mo dalam larutan 99mTc hasil pemekatan menunjukkan kemurnian yang cukup tinggi yaitu 99,90% dan hasil pengukuran kemurnian radiokimia dengan cara kromatografi kertas diperoleh tingkat kemurnian hingga 97,78%. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa pemekatan larutan 99mTc dengan cara ekstraksi methyl ethyl ketone dan kolom kromatografi alumina basa dan alumina asam bisa dilakukan. 99m
2.
3.
4.
A.SEMYONOVA, D.STEPCHENKOV, G.DAVYDOV, A.SOKOLOV., Technetium-99m Generator of High Activity for Nuclear Medicine, Clinical Application with Cold Kits, State Scientific Center of Russion Federation – Institute of Physics and Power Engineering (SSC RF IPPE), Medical Radiological Research Center of Russian Academy of Medical Sciences (MRRC RAMS), Obninsk, Russia, 7th International Symposium on Technetium and Rhenium Science and Utilization, Moscow, 4-8 July, 2011. H.I. KOMALA, ADANG H. GUNAWAN, IBON SUPARMAN, ”Pengujian Kualitas pada Produk 99Mo Hasil Belah 235U”, Hasil Penelitian Pusat Produksi Radioisotop, No. 1, (1994) 61 – 73. G.F. VANDEGRIFT, at. al., Converting Targets and Processes for Fission Product 99 Mo From High– To Low–Enriched Uranium, Chapter for IAEA TECHDOC, August 1997. MUTALIB, at. al., Full-Scale Demonstration of the Cintichem Process for the Production of Mo-99 using a Low Enriched Target, Presented at the 1998
Sriyono, dkk.
7.
8.
DAFTAR PUSTAKA 1.
6.
9.
ISSN 1410 – 8178
C. CONNER, at. al., Production of Mo-99 From LEU Targets-Acid Side Processing, Presented at the 2000 Meeting on Reduced Enrichment for Research and Test Reactors, Oktober 1 – 6, 2000, Las Vegas, Nevada. SRIYONO, A.H. GUNAWAN, H. LUBIS, A. MUTALIB, ABIDIN, HAMBALI, BUDI BRIYATMOKO DAN BOYBUL, Pengembangan Produksi 99Mo Hasil Belah 235U Menggunakan Sasaran Foil Uranium Pengkayaan Rendah Buatan BATAN Sebagai Pengganti Sasaran Uranium Pengkayaan Tinggi, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir 2010, Buku III, Yogyakarta 2010, ISSN : 0216-3128. S. CHATTOPADHYAY, M.K. DAS, S.K. SARKAR, P. SARASWATHY, N. RAMAMOORTHY., A novel 99mTc delivery system using (n,γ)99Mo adsorbed on a large alumina column in tandem with Dowex-1 and AgCl column.,Applied Radiation and Isotopes, 57, (2002), 7-16. M. TANASE, K. TATENUMA, K. ISHIKAWA, K. KUROSAWA, M. NISHINO and Y. HASEGAWA, A 99mTc Generator using a New Iorganic Polymer Adsorbent for (n,) 99Mo. Appl. Radiat. Isot. Vol. 48, No. 5, pp. 607-611, 1997 ADANG H.G., ABDUL MUTALIB, HOTMAN L., ROHADI A., SRIYONO, MUHAMAD SUBUR, YONO S., SULAIMAN, HERLINA, ABIDIN, HAMBALI., Unjuk kerja generator Mo99/Tc-99m berbasis PZC (Poly Zirconium Compound) menggunakan Mo-99 hasil aktivasi neutron dari Mo alam dengan aktivitas Mo-99 >5 Ci, Hasil litbang PRRBATAN kerja sama dengan JAEA/Chiyoda Japan Tahun 2010, Dalam proses penerbitan.
Buku II hal 163
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TANYA JAWAB Rosidi Tc99m mohon dijelaskan nilai plus dari radioisotop tsb? Sriyono Radioisotop Tc99m adalah radioisotop bebas pengemban yang mempunyai waktu paruh pendek (6jam), pemancar gamma murni energy rendah (140keV) dan mudah bersenyawa dengan banyak sediaan radiofarmaka sehingga banyak digunakan di bidang medis untuk mendiagnosis berbagai macam jenis penyakit. Sajima Apa saja spesifikasi PZC yang digunakan? Apakah PZC adapt diproduksi sendiri? Sriyono Mempunyai daya serap tinggi terhadap 99 Mo, tidak larut dalam air PZC di pasok dari jepang, sekarang sudah bisa membuat sendiri, namun kualitas belum sebaik dari jepang Sri Sukmajaya Reaksi ligand NaCl terhadap MoO3 pada PZC Bisakah produk anda dimodelkan dengan kimia kuantum untuk mengetahui energy ikat 98Mo Dukungan data analisis Sriyono 3 jam Mo-99+PZC Mo-PZC 90oC meluruh
99m
Tc+NaCl
Na99mTcO4
Dukungan analisis terhadap produk 99mTc yang digunakan menggunakan spektroskopi gamma dan kromatografi kertas untuk kemurnian radiokimia dengan bio scanner.
Buku II hal 164
ISSN 1410 – 8178
Sriyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENENTUAN UNSUR Hf PADA TENAGA KARAKTERISTIK DENGAN METODA ANALISIS AKTIVASI NEUTRON (AAN) Iswantoro, Suhardi, Rosidi, Sutanto WW, Sukadi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK PENENTUAN UNSUR Hf PADA TENAGA KARAKTERISTIK DENGAN METODA ANALISIS AKTIVASI NEUTRON (AAN). Unsur Hf memiliki sifat-sifat kimia yang sama, sehingga kuantifikasi kedua unsur tersebut sulit dilakukan secara kimia biasa. Salah satu metode analisis yang cocok untuk kuantifikasi Zr dan Hf adalah analisis aktivasi neutron. Unsur Hf mempunyai tenaga tenaga karakteristik 133,05 keV, 345,95 keV, 482,16 keV dan 618,90 keV. Unsur Hf yang dianalisis adalah pasir sirkon berasal dari Kalimatan, sedangkan standar yang digunakan adalah Standard Reference Material (SRM) pasir sirkon yang dibuat oleh laboratorium PTAPB. Sampel dan standar diiradiasi bersama-sama dalam satu kelongsong dalam reaktor nuklir pada daya 100 kW (fluk neutron termal sekitar 0,585 × 1011 n. m-2.det-1) selama 12 jam pada fasilitas LazySuzan. Hasil percobaan menunjukkan pada tenaga 133,05 keV menghasikan hasil rerata konsentrasi 0,7650 % dan pada tenaga 482,16 keV menghasilkan hasil konsentarsi rerata sebesar 0,7652 %, dan masing-masing mempunyai probabilitas 43,0 % dan 86,0 %. Kata kunci : Analisis aktivasi neutron, tenaga karakteristik, unsur Hf
ABSTRACT DETERMINATION OF Hf ELEMENT AT CHARACTERISTIC ENERGY BY NEUTRON ACTIVATION ANALYSIS (NAA). Hf and Zr elements have same chemical behavior, to the two elements are difficult to quantity separate by conventional chemical technique. The suitable technique Hf quantitative analysis is neutron activation analysis. Hf has γ energies of 133.05 keV, 345.95 keV, 482.16 keV and 618.90 keV. Hf is contained in zircon sand sample come from Kalimantan, while the standard was the reference material of zircon sand produced by PTAPB laboratory. One sample and one standard were irradiated together in one capsule for 12 hours in Lazy Suzan irradiation facility, with reactor power of 100 KW and thermal neutron flux of 0,585 × 1011 n. m-2.sec-1). The results showed that by using energy of 133,05 keV, concentration of Hf 0,7560 %, and by energy of 482,16 keV the concentration was 0,765 %. The probability ware 43,0 % for 133,05 keV and 86,0 % for 482,16 keV. Keywords : Neutron Activation Analysis, characteristic energy, element of Hf
PENDAHULUAN
K
egiatan industri yang memanfaatkan bahan hasil penambangan, pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan pengambilan dan pengolahan bahan baku yang berasal dari dalam kerak bumi. Dalam kegiatan tersebut, unsurunsur atau logam alam yang terkandung di dalam kerak bumi akan diproses selama pengolahan Iswantoro, dkk.
berlangsung. Salah satu produknya adalah pasir zirkon. Pasir zirkon ini mengandung unsur Hf cukup tinggi yang sudah ada di alam. Pasir Zirkon (ZrSiO4) yang terdapat dalam jumlah banyak di Kalimantan Selatan sampai saat ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Namun potensi yang cukup besar ini belum disertai dengan pemanfaatan dan pengolahan yang optimal untuk menghasilkan
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 165
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
produk yang mempunyai nilai tambah. Untuk menkonversi pasir zirkon (ZrSiO4) menjadi zirkon oksida (ZrO2) berderajat nuklir (murni nuklir) maka salah satu persyaratan pokok adalah memisahkan kandungan hafnium dari zirkon oksida sedemikian sehingga kandungannya maksimal 100 ppm(1). Permasalahannya adalah proses pemurniannya agar supaya Hf yang ada bersama Zr dapat dipisahkan sedemikian sehingga Zr dapat diperoleh dalam kondisi murni nuklir tersebut. Oleh sebab itu diperlukan dukungan metode analisis yang mampu menentukan kadar kemurnian hasil pemisahan tersebut. Hafnium adalah suatu unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Hf dan nomor atom 72. Logam transisi ini memiliki sifat kimia yang mirip dengan zirkonium. Hafnium digunakan sebagai campuraN alloy wolfram pada filamen dan elektroda, dan juga berperan sebagai penyerap neutron pada pembangkit listrik tenaga nuklir. Hafnium hasil pemisahan dapat dilakukan pengambilan kembali (recovery) karena menurut beberapa ahli ternyata hafnium dalam bentuk paduan dapat dimanfaatkan untuk nozle roket pendorong, juga dapat dimanfaatkan untuk Unsur meningkatkan ketahanan korosi(1). zirconium dan hafnium mempunyai sifat-sifat kimia yang mirip bahkan hampir sama sehingga sulit untuk menentukan kandungan kedua unsur tersebut apabila dilakukan metode analisis kimia biasa. Zirkonium dan hafnium mempunyai perbedaan sifat fisis yaitu tampang lintang serapan neutronnya, masing-masing sebesar 0,18 barn dan 108 barn, waktu paro Hf-181 = 44,6 hari, Zr-95 = 65 hari, tenaga gamma puncak Hf181 = 133 keV; 345 keV dan 481,85 keV sedang Zr-95 = 724,20 keV dan 756,72 keV(2,3). Salah satu metode analisis yang dapat dilakukan adalah suatu metode analisis yang dapat menganalisis Hf berdasarkan beda harga tampang lintang serapan neutronnya, dan perbedaan tenaga gamma yang cukup jauh yaitu metode AAN (Analisis Aktivasi Neutron). Dengan teknik Analisis Aktivasi Neutron ini, dapat ditentukan kadar suatu unsur Hf dalam suatu cuplikan dimana dengan teknik ini secara khusus dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur dalam jumlah kecil dalam orde ppm bahkan ppb. TATA KERJA Peralatan 1. Seperangkat alat spektrometer gamma dengan detektor Ge(Li) dan maestro ortec 7010. 2. Timbangan digital ohaus BT-410 Buku II hal 166
3. Ayakan karl kalb 100 mesh 4. Penumbuk dan lumpang penumbuk yang terbuat dari bahan stainless steel grinder agath blander 5. Vial poly ethylene. 6. Tempat pasir zirkon halus 7. Alat homogenisasi Bahan 1. Pasir Zirkon dari kalimatan 2. SRM serbuk pasir sirkon buatan PTAPB 3. Eu-152 (untuk kalibrasi tenaga) Cara kerja Praparasi sampel dan standar 1. Sampel pasir zirkon ditumbuk halus 2. Sampel (1) diayak sampai lolos semuanya dengan ukuran 100 mesh 3. Dilakukan homogenisasi sampai diperkirakan campuran merata 4. Dilakukan penyimpanan sampel (3) dalam wadah bersih 5. Penempatan sampel (4) diberi tanggal dan kode sampel 6. Sampel (5) ditimbang 0,1 gram dalam vial dimasukan dalam plastik klip dan diberi kode, dan sampel ini siap dilakukan proses iradiasi dalam reaktor dilakukan 3 kali penimbangan (3 sampel) 7. Dilakukan juga penimbangan standar 0,1 g standar dimasukan dalam plastik klip diberi kode yang telah dipersiapkan 8. Semua cuplikan dalam vial, sampel, standar dan blanko dimasukkan dalam kelongsong dan diberi nomor dikirim ke Bidang Reaktor dengan pengantar surat permohon iradiasi. Iradiasi dan pencacahan 1. Sampel dalam kelongsong dimasukan dalam teras iradiasi untuk proses iradiasi pada daya 100 KW (fluk neutron termal sekitar 0,585 × 1011 n. m-2.det-1) selama selama 12 jam pada fasilitas LazySuzan. 2. Setelah selesai iradiasi didiamkan selama lebih kurang 2 hari kemuadian diambil dan dibawa ke laboratorium dengan menggunakan kontainer berlapis timbal. 3. Dilakukan penggantian plastik klip dengan yang baru 4. Didiamkan dengan waktu tunda tertentu, kemudian dilakukan pencacahan sampel dan standar pertama. 5. Dilakukan perhitungan konsentrasi atau kadar Hf yang pertama, perhitungan dilakukan dengan metoda komparatif 6. Dilakukan pencacahan kedua dengan waktu tunda yang berbeda dan dilakukan perhitungan seperti langkah (5).
ISSN 1410 – 8178
Iswantoro, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kalibrasi tenaga Sebelum dilakukan analisis spektrum, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi tenaga yang digunakan untuk analisis kualitatif dengan cacah pulsa-pulsa yang mempunyai tinggi sama dicatat dalam suatu salur sebanding dengan tenaga sinar gamma. Pencacahan sumber radioaktif standar dengan menggunkan standar Eu 152 yang mempunyai tenaga yang sudah tepat, kemudian dibuat plot tenaga sinar γ standar dengan nomor salur puncak. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk menentukan Hf dalam pasir zirkon setelah dilakukan proses iradiasi diidentifikasi melalui tenaga karakterstik 133,05 keV mempunyai probabilitas 43,0 %, 345,95 keV mempunyai probabilitas 14,0 %, 482,16 keV mempunyai probabilitas 86,0 %dan 618,90 keV mempunyai probabilitas 0,25 %. Perhitungan konsentrasi Hf dalam pasir sirkon dilakukan dalam dua periode atau 2 kali waktu tunda pencacahan. Pada saat proses iradiasi dihentikan tanggal 14 Juli 2010, tepat pada jam 14.15 WIB (dengan kode sampel A34 pada log book). Pada pencacahan pertama kali tanggal 21 Juli 2010 jam 07.32, sehingga waktu tunda pertama adalah 9704 menit. Pada saat pencacahan kedua tanggal 9 Agustus 2010 jam 08.36 WIB (dengan kode sampel A190 pada log ook) sehingga waktu tunda pencacahan ke adalah 38565 menit, hasil perhitungan ini dapat dilihat pada Tabil 1 dan Tabel 4 sampai Tabel 9 di lampiran. Pada Tabel 1 tersaji hasil pengukuran pertama (1) dari pengukuran 6 kali pengulangan, terlihat hasil cacah terbesar pada tenaga 133,05 keV probabilitas 43,0 % mempunyai nilai cacah 202877 pada waktu cacah 10 menit. Pada tenaga
karakteristik 618,9 keV probabilitas 0,25 % mempunyai nilai cacah 302 dengan waktu cacah 10 menit, hasil ini sangat mencolok bibandingkan dengan yang mempunyai probabilitas lebih besar. Pada tenaga 482,16 keV mempunyai probabilitas 86,0 % sesungguhnya mempunyai hasil cacah terbesar dibandingkan tiga tenaga lainya, akan tetapi setelah dilakukan pencacahan berulang kali tetap hasil cacah terbesar pada tenaga 133,0 keV. Hal ini bila dilihat dari hasil cacah cukup besar sehingga tidak begitu berpengaruh hasil ralatnya. Cacah per menit pada waktu pencacahan (Cpm-T) dihasilkan dari hasil cacah dikurangi hasil cacah blanko dibadi dengan waktu cacah. Pada Tabel 1, diambil tenaga 133,05 keV, Cpm-T adalah (202877/10 – 26/10) = 20285,1. Hasil Cpm dirubah menjadi Cpm-0 yaitu pada saat proses iradiasi dihentikan. Perubahan ini dipengaruhi oleh waktu tunda (td), dan umur paroh radionuklida (T1/2) setelah unsur Hf menjadi radioaktif dengan menggunakan rumus :
cpmo = cpmt .e
−0 , 636
td T 1/ 2
Bila bilangan semua dimasukan dalam rumus tersebut diatas untuk cuplikan pada tenaga 133,05 keV maka didapatkan nilai Cpm-0
cpmo = 20285,1.e
−0 , 636
9704 64224
Cpm-0 (cuplikan) = 22524,33 Untuk standar dengan tenaga yang sama didapat hasil nilai Cpm-0 standar sebesar
cpmo = 19506.e
−0 , 636
9714 64224
Cpm-0 (cuplikan) = 19506
Tabel 1. Data pencacahan dan hasil cacah per menit (cpm) pada waktu T cacah dan cpm-0 Standar
HasiL cacah
Blanko
T-Cacah
Cpm-T
T, tunda
tenaga
Probabilitas
T1/2
Cpm-0
133,05
43,00
26
202877
10
20285,1
9704
64224
22524,33
345,95
14,00
26
38498
10
3847,2
9704
64224
4271,88
482,16
86,00
26
59521
10
5949,5
9704
64224
6606,25
618,9 Sampel tenaga
0,25
26
302
10
27,6
9704
64224
30,65
133,05
43,00
26
195086
10
19506
9714
64224
21661,57
345,95
14,00
26
36014
10
3598.8
9714
64224
3996,49
482,16
86,00
26
57593
10
5756.7
9714
64224
6392,86
618,9
0,25
26
295
10
26.9
9714
64224
29,87
Probabilitas
Iswantoro, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 167
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dengan menggunakan metoda komparatif yaitu perbadingan cacah per menit pada saat nol sampel dibandingkan cacah per menit pada saat nol standar dapat diketahui atau dapat ditentukan kadar atau konsentrasi Hf dalam pasir sirkon. Dengan memasukan nilai-nilai dalam rumus komparatif akan didapat hasil hitung
Hf dalam pasir seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2. Sebagai contoh diambil pada tenaga karakteristik 133,05 keV mendapatkan hasil konsentrasi Hf adalah 0,7345 %. Hasil ini merupakan hasil pencacahan pertama untuk tenaga karakteristik masing-masing, ada 4 tenaga.
Tabel 2. Hasil perhitungan konsentrasi Hf dalam pasir sirkon berasal dari Kalimatan Tenaga
No
Cacach per menit-0 (Cpm-0)
Kadar (%)
keV
Standar
Sampel
Standar
Sampel, hitung
1
133,05
22524,33
21661,57
0,7637
0,7345
2
345,95
4271,88
3996,49
0,7637
0,7145
3
482,16
6606,25
6392,86
0,7637
0,7390
4
618,9
30,65
29,87
0,7637
0,7444
Contoh
Wsampel =
Hitung
Wsampel =
CpmSampel CpmS tan dar
.WS tan dar
Rumus, komparatf
21661,57 .0,7637% = 0,7345% 22524,33
Pada Tabel 3 hasil perhitungan konsentrasi (%) dengan 6 sampel pencacah menghasilkan hasil rerata mendekati sama, atau dengan kata lain tidak ada hasil beda secara mencolok. Dari hasil rerata dapat dilihat yang mendekati hasil rerata yaitu tenaga 133,05 keV menghasikan hasil rerata konsentrasi 0,7650 % dan mempunyai standar deviasi 0,019 %, pada tenaga 482,16 keV menghasikan hasil rerata sebesar 0,7652 % dan mempunyai standar deviasi 0,025 %, sehingga untuk menentukan konsentrasi Hf dengan radioaktivitas Hf-181 dapat dilakukan dengan
Hasil hitung
mengambil dua tenaga yaitu tadionuklida Hf-181 pada tenaga karakteristik 133,05 keV dan 483,16 keV dan masing-masing mempunyai probabilitas 43, % dan 86 %. Pada Tenaga 345,95 keV radionuklida Hf-181 tidak diperlukan lagi karena sudah cukup baik dan terwakili untuk tenaga karakteristik kedua tersebut diatas, begitu juga untuk tenaga karakteristik 618,9 keV yang mempunyai probabilias sangat kecil yaitu 0,25 %, pada tenaga ini bila konsentrasi dalam ppm atau mg/kg maka puncak spektrumnya tidak muncul.
Tabel 3. Hasil perhitungan konsentrasi (%) dengan 6 sampel pencacah dan hasil rerata serta standar deviasi perhitungan. No
Hasil perhitungan konsentrasi (%)
Tenaga
Standar
1
2
3
4
5
6
Rerata
Deviasi
133,05
0,7345
0,7820
0,7384
0,7761
0,7714
0,7881
0,7650
0.019
345,95
0,7145
0,7537
0,7383
0,7796
0,7728
0,7867
0,7576
0.022
482,16
0,7390
0,7746
0,7160
0,8003
0,7822
0,7793
0,7652
0.025
618,9
0,7444
0,7128
0,7329
0,7702
0,7425
0,7043
0,7345
0.018
keV
Buku II hal 168
ISSN 1410 – 8178
Iswantoro, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
KESIMPULAN 1. Penentuan Hf dilakukan dengan menentukan puncak spektrum radionuklida Hf-181 pada tenaga karakteristik: 133,05 keV, 345,95 keV, 482,16 keV dan 618,9 keV 2. Dari pengamatan untuk tenaga133,05 keV menghasikan hasil rerata konsentrasi 0,7650 % dan pada tenaga 482,16 keV menghasikan hasil rerata sebesar 0,7652 %. Dengan hasil yang sangat mendekati maka untuk menentukan konsentrasi Hf dengan radioaktivitas Hf-181 dapat dilakukan dengan mengambil dua tenaga yaitu tadionuklida tersebut. DAFTAR PUSTAKA 1. WISJACHUDIN dan SUTISNA. Validasi Analisis Kandungan Zr dan Hf Dalam Fasa Air Dengan Metoda Ko AAN. Proseding Forum AANI BATAN, Serpong (2010). 2. ERDTMANN.G.and, SOYKA.W., The Gamma rays of the Radionuclides, New York (1979) 3. ERDTMANN.G. Neutron Activation Tables. New York (1976).
Iswantoro, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 169
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
LAMPIRAN Tabel 4. Data pencacahan dan hasil cacah per menit (cpm) pada waktu T cacah dan cpm-0, sampel 2 Standar Blanko
HasiL cacah
TCacah
Cpm-T
T, tunda
T1/2
kadar SRM
tenaga
Probabilitas
cpm-0
133,05
43,00
26
202877
10
20285,1
9812
64224
22550,60
0,7637
345,95
14,00
26
38498
10
3847,2
9812
64224
4276,86
0,7637
482,16
86,00
26
50327
10
5030,1
9812
64224
5591,87
0,7637
618,9 0,25 Sampel . 2 tenaga Probabilitas
26
237
10
21,1
9812
64224
23,45
0,7637
133,05
43,00
26
207822
10
20779.6
9779
64224
23092.1
0,7820
345,95
14,00
26
38010
10
3798.4
9779
64224
4221.113
0,7537
482,16
86,00
26
51061
10
5103.5
9779
64224
5671.454
0,7746
618,9
0,25
26
223
10
19.7
9779
64224
21.89236
0,7128
Kadar Hitung
Tabel 5. Data pencacahan dan hasil cacah per menit (cpm) pada waktu T cacah dan cpm-0, sampel 3 Standar Blanko
HasiL cacah
TCacah
T, tunda
Cpm-T
T1/2
cpm-0
kadar SRM
tenaga
Probabilitas
133,05
43,00
26
21105
10
2107.9
9812
64224
2345,34
0,7637
345,95
14,00
26
41850
10
4182.4
9812
64224
4653,52
0,7637
482,16
86,00
26
53557
10
5353.1
9812
64224
5956,09
0,7637
618,9 0,25 Sampel 3 tenaga Probabilitas
26
251
10
22.5
9812
64224
25,03
0,7637
133,05
43,00
26
20386
10
20384.1
9779
64224
2267,51
0,7384
345,95
14,00
26
40470
10
4044.4
9779
64224
4498,95
0,7383
482,16
86,00
26
50225
10
5019.9
9779
64224
5584,09
0,7160
618,9
0,25
26
242
10
21.6
9779
64224
24,03
0,7329
Kadar Hitung
Tabel 6. Data pencacahan dan hasil cacah per menit (cpm) pada waktu T cacah dan cpm-0, sampel 1 Standar
TCacah
T1/2
cpm-0
kadar SRM
9812
64224
44555.46
0,7637
6580.4
9812
64224
9976.434
0,7637
15
7377.333
9812
64224
11184.65
0,7637
15
15
9812
64224
22.74125
0,7637
Probabilitas
133,05
43,00
26
440865
15
29388.53
345,95
14,00
26
98743
15
482,16
86,00
26
110697
618,9 0,25 Sampel 3 tenaga Probabilitas
26
262
133,05
43,00
26
448206
15
29877.93
9779
64224
45281.31
0,7761
345,95
14,00
26
100833
15
6719.733
9779
64224
10184.05
0,7796
482,16
86,00
26
116052
15
7734.333
9779
64224
11721.72
0,8003
618,9
0,25
26
264
15
15.13333
9779
64224
22.93522
0,7702
Buku II hal 170
Blanko
HasiL cacah
tenaga
Cpm-T
T, tunda
Kadar Hitung
ISSN 1410 – 8178
Iswantoro, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 7. Data pencacahan dan hasil cacah per menit (cpm) pada waktu T cacah dan cpm-0, sampel 2 Standar Blanko
HasiL cacah
TCacah
Cpm-T
T, tunda
T1/2
cpm-0
kadar SRM
tenaga
Probabilitas
133,05
43,00
26
440865
15
29388.53
9812
64224
44587.2
0,7637
345,95
14,00
26
98743
15
6580.4
9812
64224
9983.541
0,7637
482,16
86,00
26
158010
15
10531.53
9812
64224
15978.06
0,7637
618,9
0,25
26
255
15
14.53333
9812
64224
22.04944
tenaga
Probabilitas
0,7637 Kadar Hitung
133,05
43,00
26
445371
15
29688.93
9779
64224
45034.7
0,7714
345,95
14,00
26
99934
15
6659.8
9779
64224
10102.15
0,7728
482,16
86,00
26
161874
15
10789.13
9779
64224
16365.87
0,7822
618,9
0,25
26
249
15
14.13333
9779
64224
21.43864
0,7425
Tabel 8. Data pencacahan dan hasil cacah per menit (cpm) pada waktu T cacah dan cpm-0, sampel 3 Standar
TCacah
Probabilitas
133,05
43,00
26
486372
15
32422.33
345,95
14,00
26
99807
15
6651.333
482,16
86,00
26
148254
15
618,9
0,25
26
270
15
tenaga
Probabilitas
133,05
43,00
26
502203
345,95
14,00
26
482,16
86,00
618,9
0,25
Iswantoro, dkk.
Blanko
HasiL cacah
tenaga
Cpm-T
kadar SRM
T1/2
cpm-0
9812
64224
49307.95
0,7637
9812
64224
10115.36
0,7637
9881.133
9812
64224
15027.25
0,7637
15.53333
9812
64224
23.62312
0,7637 Kadar Hitung
15
33477.73
9779
64224
50886.09
0,7881
102861
15
6854.933
9779
64224
10419.49
0,7867
26
151360
15
10088.2
9779
64224
15334.04
0,7793
26
252
15
14.33333
9779
64224
21.78664
0,7043
ISSN 1410 – 8178
T, tunda
Buku II hal 171
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
MENENTUKAN KONSTANTE KECEPATAN REAKSI PADA EKSTRAKSI ZIRKONIUM-HAFNIUM DENGAN METODA MEMBRAN EMULSI Tri handini, Bambang EHB, Purwoto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK MENENTUKAN KONSTANTE KECEPATAN REAKSI PADA EKSTRAKSI ZIRKONIUM-HAFNIUM DENGAN METODA MEMBRAN EMULSI. Telah dilakukan penelitian ekstraksi zirkon (Zr) dari Hafnium (Hf) dengan metode membran emulsi dengan tujuan mencari harga konstante kecepatan reaksi zirkon dengan solven. Membran terdiri dari solven Tributil fosfat (TBP) 10%, pengencer kerosin 37,5%, surfaktan span-80 2,5% dan fasa air internal 50% dan semua dalam % volume. Diperoleh kondisi ekstraksi relatif baik pada waktu ekstraksi 15 menit, kecepatan pengadukan 300 rpm dan konsentrasi umpan 5100 ppm Zr. Didapat harga konstante kecepatan reaksi (k) untuk konsentrasi Zr 1500 ppm = 0,001/menit, konsentrasi Zr 3250 ppm = 0,005/menit, konsentrasi Zr 5100 ppm = 0,002/menit, konsentrasi Zr 6250 ppm = 0,001/menit dan konsentrasi Zr 7290 ppm = 0. Kecepatan pengadukan 300 rpm, waktu pengadukan 15 menit, untuk umpan konsentrasi Zr ± 5100 ppm memberikan konversi relatif baik dengan Zr yang terekstraksi ± 2315 ppm.
ABSTRACT DETERMINATION OF REACTION RATE CONSTANTS ZIRCONIUM-HAFNIUM EXTRACTION WITH MEMBRANE EMULSION METHOD. Extraction studies have been conducted for zircon (Zr) of Hafnium (Hf) with emulsion membrane method in order to find the value of zircon constant reaction rate with solvent. Membranes composed of solvent Tributil phosphate (TBP) 10%, 37.5% kerosene diluent, surfactant span-80 2.5% and 50% of internal water phase and all in% by volume. Relatively good extraction conditions was obtained at extraction time of 15 min, stirring speed of 300 rpm and feed concentration of 5100 ppm Zr. Constant value of reaction rate (k) was obtained for the concentration of 1500 ppm Zr = 0.001/min, the concentration of 3250 ppm Zr = 0.005/min, the concentration of 5100 ppm Zr = 0.002/min, the concentration of 6250 ppm Zr = 0.001/min and the concentration of 7290 ppm Zr = 0. Stirring speed of 300 rpm, the stirring time of 15 minutes, for feed concentrations of 5100 ppm Zr ± gave relatively good conversion with was extracted in Zr ± 2315 ppm.
PENDAHULUAN
P
emisahan Zirkon (Zr) dari Hafnium (Hf) melalui proses ekstraksi cair-cair dengan bermacam jenis solven telah banyak dilakukan. Meskipun demikian hasil yang diperoleh seperti yang diinginkan yaitu kandungan Hf < 100 ppm dalam Zr belum begitu kelihatan. Untuk mengatasi hal ini maka akan dicoba ekstraksi dengan metoda membran emulsi yaitu mengubah
Buku II hal 172
solven yang dipakai menjadi bentuk membran. Hal ini karena proses membran dipertimbangkan sebagai teknik pemisahan, hanya untuk campuran yang sulit untuk dipisahkan dengan cara konvensional seperti destilasi, absorpsi, adsorpsi, eksterksi cair-cair atau kristalisasi.(1,2) Usaha untuk memisahkan Zr dari Hf perlu terus dilakuan sebab begitu pentingnya Zr untuk berbagai keperluan karena sifat sifat-sifatnya antara lain tahan terhadap korosi, kekuatan mekaniknya
ISSN 1410 – 8178
Tri handini, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
tinggi, mempunyai titik leleh tinggi, dan rendah ± 0,18 barn, sehingga bisa ipakai sebagai batang kendali reaktor juga bisa digunakan sebagai bahan bakar reaktor dalam bentuk paduan U-Zr. Untuk Hf mempunyai sifat-sifat kimia yang mirip dengan Zr hanya berbeda tampang lintang serapan neutronnya yaitu ± 105 barn dengan demikian Zr memang sangat sulit dipisahkan dari Hf. Proses ekstraksi dengan metoda membran emulsi yaitu solven diubah menjadi bentuk membran emulsi yaitu sistem koloid dengan kondisi zat pendispersi dan zat terdispersinya cair. Emulsi merupakan suatu sediaan yang mengandung dua zat cair tidak saling campur biasanya air dan minyak, yang satu terdispersi sebagai butir-butir kecil di dalam cairan yang lain. Dispersi ini tidak stabil yaitu butir-butir kembali bergabung, sehingga membentuk dua lapisan air dan minyak yang terpisah. Disini fasa minyak terdiri dari solven dan pengencernya sedangkan fasa air yaitu cairan yang mengandung agen penstripping (re-ekstraksi) dan agar emulsi bisa stabil, maka dibutuhkan bantuan zat ketiga sebagai zat pemantab yaitu surfaktan. Surfaktan merupakan molekul amphifili yaitu mempunyai bagian yang bersifat lipofil (benci air) dan bagian hidrofil (cinta air) sehingga surfaktan cenderung
mempunyai tampang lintang serapan neutron memusatkan diri pada antar muka air-minyak sebagai film monomolekuler yang mampu menurunkan tegangan antar muka sehingga emulsi tidak segera pecah dan terpisah lagi. Dalam proses ekstraksi memakai membran emulsi maka logam yang berada di dalam umpan/fasa air eksternal (FAe) akan terekstrak masuk ke dalam fasa organik, kemudian masuk ke fasa air internal (FAi) yang mengandung agen penstripping (untuk reekstraksi). Reaksi yang terjadi adalah logam yang berupa kation bereaksi dengan solven membentuk senyawa komplek yang akan terdekomposisi masuk ke fasa air internal. Di sini terjadi ekstraksi pada antarfasa air eksternal-organik dan reekstraksi pada antar muka organik-fasa air internal secara berkesinambungan. Proses ekstraksi dan re-ekstraksi secara berkesinambungan menghasilkan pemisahan secara cepat dan hanya memerlukan lebih sedikit solven dalam fasa membran jika dibandingkan ekstraksi cair-cair. Prinsip ekstraksi membran emulsi cair berdasarkan pada distribusi zat terlarut atau solut dalam tiga pelarut yaitu asa zir eksternal asa organik dan fasa air internal dan hal ini bisa digambarkan sebagai berikut:
Fasa Air Internal
Solut
Fasa Organik
Gambar 1. Membran Emulsi
Butanol
Fasa Organik di daur ulang dengan + F. Air internal
Umpan/Fasa eksternal
Solut di dalam F. Air internal (hasil)
Membran Sisa Umpan Gambar 2. Skema ekstraksi dengan metoda membran emulsi. Tri handini, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 173
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Seandainya zat pelarut ( solven) adalah S- dan ion logam Mn+ , maka ekstraksi akan berlangsung sebagai berikut.: Mn+ + nS-
MSn
MSn [M n + ][S- ]n
MSn [M n + ]
(3)
(2)
Dengan bertambahnya konsentrasi pelarut akan meningkatkan hasil ekstraksi, tetapi polimerisasi berlangsung lebih cepat pada penambahan pelarut, sehingga penambahan pelarut tidak selalu linier dengan harga koefisien distribusi.
Antarfasa I
Antarfasa II S-
Umpan
Sehingga Kd dapat dituliskan = K [S-]n
(1)
Pada temperatur tertentu, konstanta kesetimbangan K dari reaksi tersebut adalah :
K =
Koefisien distribusi K d =
Mn+
Mn+ MSn
Agen pen “stripping”
Membran
Lapisan film I
L
Lapisan film II
Gambar 3. Skema transport ion logam Mn+ Keterangan 1. Kation-kation dalam umpan mendifusi melalui lapisan film menuju ke antarfasa I. 2. Kation diekstraksi oleh pelarut di antarfasa I membentuk komplek. 3. Komplek-komplek logam yang terbentuk pada antarfasa menembus melalui fasa membran menuju ke antarfasa II. 4. Komplek terdekomposisi di antarfasa II, mendifusi melalui lapisan film II ke fasa air internal dan ini merupakan hasil yang diperoleh.(8,9)
Dalam ekstraksi dengan metoda membran,maka keberhasilan ekstraksi dinyatakan oleh efisiensi ekstraksi (Ee) yaitu banyaknya massa yang masuk ke fasa membran dibagi massa dalam umpan. Efisiensi re-ekstraksi (Er) yaitu perbandingan antara banyaknya massa yang terambil dalam fasa air internal dengan massa di dalam membran.
Kemungkinan reaksi yang terjadi adalah : ZrO+2 + 4 NO3+ + 2H+ + 2 TBP ↔ Zr(NO3)4. 2TBP + H2O HfO+2 + 4 NO3 + + 2H+ + 2 TBP ↔ Hf(NO3)4. 2TBP + H2O Ada reaksi lain: H+ NO3+ ↔ HNO3TBP
Buku II hal 174
ISSN 1410 – 8178
Tri handini, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TATA KERJA
dengan suatu bilangan sesuai dengan koefisienkoefisien dalam persamaan reaksinya.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tributil fosfat (TBP), pengencer kerosin, surfaktan span-80, butanol, larutan Na2CO3, HNO3, Aquades dan es batu. Sedangkan alat yang digunakan adalah Pengaduk berkecepatan tinggi Torrax T-50, pengaduk magnet, pH meter, neraca analitik, stop watch, alat-alat gelas, dan alat analisis pendar sinar X. Cara kerja 1. Pembuatan membran emulsi yang terdiri dari 10% TBP, 37,5% kerosin, 2,5% surfaktan span-80 dan 50% larutan Na2CO3 pH 11, semua dalam % volume. Campuran diaduk pada kecepatan 9500 rpm selama 20 menit, dan untuk mempertahankan suhu, di luar tempat membran dibuat diberi bongkahan es batu. Setelah pengadukan selesai, membran dibiarkan beberapa waktu untuk ceck mengenai kestabilan membran. 2. Proses ekstraksi dilakukan setelah di dapat membran emulsi yang cukup stabil. Fasa air eksternal (umpan) yang mengandung Zr dan Hf sebanyak 20 ml dikontakkan dengan 20 ml membran diaduk pada kecepatan 300 rpm dengan waktu pengadukan yang divariasi dari 5 sampai 20 menit. Setelah pengadukan, didiamkan beberapa saat sampai kira-kira tercapai keadaan setimbang dan baru dipisahkan fasa membran dari eksternalnya. Membran dipecah memakai butanol dengan pengadukan pada kecepatan rendah, kemudian dipisahkan fasa organik dari fasa air internal. Umpan, fasa air ekaternal sesudah ekstraksi dan fasa air internal dianalisis memakai alat pendar sinar X. 3. Pekerjaan No. 2 diulangi untuk variasi kecepatan pengadukan dari 100, 300, 500, 700 dan 800 rpm, selama waktu pengadukan yang memberikan hasil ekstraksi relatif baik dari percobaan No.2. Umpan mengandung 7290 ppm Zr dan 342 ppm Hf. 4. Pekerjaan No. 2 diulangi untuk variasi konsentarsi umpan dari 1500, 3250, 5100, 6255, dan 7290 ppm Zr dengan waktu dan kecepatan pengadukan dari hasil percobaan N0. 2 dan No. 3 yang memberikan hasil ekstraksi relatif baik.
+ nB → pC dCA = k C m C n A B r= dt Konsentrasi Solven CB >> Sehingga mA
r= -
dCA = k' C A m dt
k’ = kCBn CAo = Konsentrasi Zr mula-
Keterangan : mula CA = Konsentrasi Zr setelah reaksi m, n = Tingkat reaksi r = Kecepatan reaksi k = Tetapan kecepatan reaksi t = Waktu reaksi x = Konversi
Di sini tetapan k adalah reaksi pada suatu temperatur, jika konsentrasi zat-zat yang masingmasing sama dengan 1 dan tiap-tiap reaksi mempunyai harga k khusus dan tetap pada suhu tetap. Oleh karena itu k disebut juga kecepatan reaksi jenis. Harga k menyatakan kondisi yang menguntungkan reaksi, yaitu bahwa apabila makin besar afinitas antara zat-zat yang bereaksi maka makin besar pula harga k.
dC A m = k ' C A ; CA = CAo – CAo X = CAo (1-x) dt dC A o (1 − x) = k ' dt m C A o (1 - x) m -
∫ d CAo 1-m (1-x)1-m = ∫ k’ dt = k’t + C
-
Reaksi orde 1
dC A = k ' dt CA
-
dC A o (1 − x) = ∫ k ' dt C A o (1 - x)
- ∫ -
∫
x
0
d (1 − x) = ∫ k ' dt (1 - x)
- ln (1 - x)
x 0
= [k ' t ]t0 + C
HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk suatu sistem reaksi pada suatu temperatur, maka kecepatan reaksinya berbanding lurus dengan konsentrasi zat-zat yang bereaksi, dan masing-masing konsentrasi dipangkatkan Tri handini, dkk.
C merupakan tetapan Diambil anggapan reaksi kekiri diabaikan karena sangat kecil sehingga dianggap reaksi satu arah. Apabila dibuat grafik untuk orde 1
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 175
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
yaitu - ln (1-xA) versus t dan diperoleh garis lurus maka reaksi mempunyai tingkat reaksi (orde 1), k merupakan slope atau angka arah dari
grafik tersebut dan tetapan C merupakan harga dari perpotongan curve dengan sumbu y (intersep).
Tabel 1. Hubungan antara waktu pengadukan dan konversi, umpan mengandung Zr 7290 ppm, dan Hf 362 ppm. Kecepatan pengadukan 300 rpm. Waktu, mnt
CA,ppm
Konversi (x)
Orde 1 - ln (1-x)
Efisiensi, %
3 5 10 15 20
5759,10 5533,10 5336,30 5416,50 5431,05
0,210 0,241 0,268 0,257 0,255
0,236 0,276 0,312 0,297 0,294
21,00 24,10 26,80 25,70 25,50
Gambar 4. Hubungan Waktu Pegadukan terhadap x
Gambar 5. Hubungan Waktu Pegadukan terhadap –ln(1-x)
Gambar 6. Hubungan Waktu Pegadukan terhadap efisiensi
Buku II hal 176
ISSN 1410 – 8178
Tri handini, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dari Tabel 1. dan Gambar 4. bisa dilihat bahwa waktu yang cukup relatif baik pada pengadukan 10 menit dan dengan bertambahnya waktu pengadukan mengalami penurunan. Pada ekstraksi memakai metoda membran, jika pengadukan makin lama mungkin ada sebagian film pelindung butir-butir terdispersi yang dibentuk oleh surfaktan
mulai rusak, sehingga hasil menurun. Keadaan ini bisa menyebabkan konversi menurun dengan melihat Gambar 4 setelah pengadukan 10 menit. Gambar 5. menunjukkan hubungan waktu ekstraksi terhadap harga –ln (1-x) dan diperoleh garis lurus, sehingga menunjukkan bahwa tingkat reaksi adalah 1.
Tabel. 2. Hubungan waktu pengadukan terhadap variasi konsentrasi Zr dalam umpan, kecepatan pengadukan 300 rpm.
Waktu, menit 5 10 15 20
1500 1205 1176 1173 1170
3250 2780 2711 2694 2543
CA, ppm 5100 3925 3870 3812 3788
6250 4941 4910 4875 4833
7290 5875 5830 5801 5786
1500 0,200 0,216 0,218 0,220
3250 0,145 0,166 0,171 0,216
Konversi (x) 5100 6250 0,230 0,210 0,240 0,215 0,253 0,221 0,257 0,227
7290 0,200 0,200 0,204 0,206
Gambar 7. Hubungan waktu ekstraksi dengan konversi pada berbagai konsentrasi Zr di dalam umpan.
Tabel. 3. Hubungan waktu pengadukan terhadap variasi konsentrasi Zr dalam umpan, kecepatan pengadukan 300 rpm. Waktu, Konversi (x) -ln (1-x) menit 1500 3250 5100 6250 7290 1500 3250 5100 6250 7290 5 0,200 0,145 0,230 0,210 0,200 0,2231 0,1567 0,2614 0,2357 0,2231 10 0,216 0,166 0,240 0,215 0,200 0,2433 0,1815 0,2744 0,2421 0,2231 15 0,218 0,171 0,253 0,221 0,204 0,2460 0,1875 0,2917 0,2497 0,2282 20 0,220 0,216 0,257 0,227 0,206 0,2485 0,2433 0,2971 0,2575 0,2307
Tri handini, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 177
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 8. Hubungan waktu ekstraksi dengan –ln (1-x) pada berbagai konsentrasi Zr di dalam umpan. Dari Tabel 2 dan Gambar 8 bisa diamati bahwa pada kenaikan konsentrasi umpan meskipun ada kenaikan hasil tetapi tidak begitu signifikan. Hal ini mungkin karena pemakaian TBP yang sudah tertentu dalam jumlah jauh lebih sedikit jika dibandingkan ekstraksi cair-cair yang bisa mencapai 60% volume. Keadaan ini ada keterkaitan dengan kestabilan membran yang relatif baik untuk ekstraksi. Jumlah solven hanya relatif lebih sedikit sebab seakan–akan solven
hanya untuk lewat solute dari fasa air eksternal menuju ke fasa air internal yang mengandung agen penstripping, sehingga kenaikan konsentrasi solute di dalam umpan untuk waktu pengadukan yang divariasi juga hanya memberikan kenaikan yang tidak begitu besar. Hasil relatif baik diperoeh pada konsentrasi Zr dalam umpan 5100 ppm dengan melihat besar konversinya.
Tabel. 4. Hubungan waktu ekstraksi terhadap konversi pada variasi kecepatan pengadukan. Waktu, CA, ppm Konversi (x) menit 100 rpm 300 rpm 500 rpm 700 rpm 100 rpm 300 rpm 500 rpm 5 4191,75 4520,00 4079,50 4811,40 0,425 0,398 0,440 10 4838,40 3760,20 3695,30 3273,21 0,336 0,484 0,393 15 4359,42 2784,78 2891,20 2661,20 0,402 0,618 0,603 20 5081,13 2443,00 2770,20 4152,40 0,303 0,521 0,620
700 rpm
0,340 0,551 0,418 0,430
Gambar 9. Hubungan Waktu Ekstraksi terhadap Konversi pada variasi Kecepatan Pengadukan.
Buku II hal 178
ISSN 1410 – 8178
Tri handini, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Untuk mengontakkan dua fasa yang tidak saling campur dibutuhkan tenaga dari luar berupa pengadukan, sehingga ekstraksi bisa berlangsung karena kondisi kontak yang lebih baik. Tenaga yang diberikan sistem dengan memberikan aliran yang secara fisis disebutkan sistem diberi tegangan geser dan kontak kedua fasa terjadi pada saat tegangan geser mengalahkan tegangan antar muka kedua fasa, sehingga umpan (fasa air) tersebar masuk ke fasa membran dan terjadilah kontak zat terlarut dengan pelarut/solven. Kontak kedua fasa akan semakin efektif jika kecepatan pengadukan bertambah besar dan pada kecepatan tertentu akan memberikan hasil pemisahan yang relatif baik dengan melihat harga konversinya. Pada ekstraksi memakai membran emulsi, maka kecepatan pengadukan perlu diteliti karena jika terlalu tinggi maka hasil eksraksi cenderung turun yang disebabkan sebagian film pelindung butir-butir terdispersi rusak. Disini kecepatan pengadukan masih dalam batas aman dan diambil pada kecepatan 300 rpm pada waktu pengadukan 15 menit meskipun bisa juga dipakai kecepatan 500 rpm yang memberikan hasil hampir sama tetapi demi menjaga kestabilan membran, maka dipilih 300 rpm dan konsentrasi Zr yang bisa terekstrak sebesar 2315,22 ppm dari konsentrasi Zr di dalam umpan 5100 ppm. KESIMPULAN Reaksi yang terjadi mempunyai tingkat reaksi orde 1 dengan harga k merupakan slope atau tangent arah dari kurve Gambar 8. yaitu untuk konsentrasi 1500 ppm k = 0,001/menit, 3250 ppm k = 0,005/menit, 5100 ppm k = 0,002/menit, 6250 ppm k = 0,001/menit dan 7290 ppm k = 0. Kecepatan pengadukan diambil 300 rpm, waktu pengadukan 15 menit, konsentrasi Zr dalam umpan 5100 ppm karena memberikan konversi relatif baik yaitu mengambil Zr ± 2315 ppm. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Ir. A. Ninik Bintarti yang telah membantu dalam pembuatan makalah.
Tri handini, dkk.
DAFTAR PUSTAKA 1.
BENYAMIN LUSTMAN and FRANK KERE. J.R., The Metalurgy of Zirconium., First Edition 512 Mc Graw-Hill Book Co. Inc. New York (1955).
2.
ANWAR MUZEFFAR, N.A. SHUGHTAL, BNH ZAIDI., “Production of Hafnium free Zirconium tetra Chloride”, Nuclear Material Division Pakistan Institute of Nuclear Science and Technology, Nilore Rawalpindi, November (1977).
3.
ABAU NEMEH and VAN PATHEGEN., Membrane Recycling The Liquid Surfactant Membrane Process., Ind. Eng. Chem. Res pp 32.143.47. (1993).
4.
LONG. J T, “Engineering for Nuclear Fuel Reprocessing”, ANS., Oak Ridge Tenese. (1978)
5.
MOH. ANIF ., Emulsi., Fak. Farmasi UGM Yogyakarta (1982).
6.
HAYWOTRH, H.C. BURNS, W.A.., Extraction of uranium from wet Process Phosphoric Acid by Liquid Membrane,. Cep. Sci. Technol. (1983).
7.
R. VOIGHT. , Buku Pelajaran Teknologi Farmasi., UGM Press. (1994).
8.
JOHANES. H., Pengantar Kimia Koloid dan Kimia Permukaan., UGM Press., Yogyakarta .(1973).
9.
LEVENSPIEL. S.O., Chemical Reaction Engineering., Wiley, Easterm Limited, New Delhi (1972).
TANYA JAWAB Bambang L. Ada berapa metode pemisahan Zr dari Hafnium(Hf)? Yang Paling efektif dangan cara/metode apa? Trihandini Ada beberapa cara antara lain dengan ekstraksi, kristalisai dan pertukaran ion Yang relatif paling efektif adalah dengan pertukaran ion
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 179
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
ANALISIS PERHITUNGAN BERAT KONTAINER SUMBER Ir-192 AKTIVITAS 10 Ci UNTUK BRAKITERAPI HDR Kristiyanti, Tri Harjanto Pusat Rekayasa Perangkat Nuklir-BATAN,PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan, 15310 Email :
[email protected]
ABSTRAK ANALISIS PERHITUNGAN BERAT KONTAINER SUMBER Ir-192 AKTIVITAS 10Ci UNTUK BRAKITERAPI HDR. Telah dilakukan perhitungan berat kontainer sumber Ir192 aktivitas 10 Ci untuk Brakiterapi HDR (High Dose Rate). Tujuan dari analisis untuk membandingkan berat kontainer dari bahan Timbal (Pb), Tungsten (W), dan Depleted Uranium (DU) yang berfungsi sebagai perisai radiasi. Perhitungan berat kontainer berdasarkan laju paparan dari sumber gamma (γ) yang diasumsikan berbentuk titik setelah melewati perisai radiasi dengan tebal tertentu sehingga memenuhi ketentuan dari BAPETEN yaitu 0,05 mRem/jam. Dari hasil perhitungan berdasarkan daya serap yang sama dengan kontainer berbentuk silinder yang mempunyai panjang sama dengan diameter, maka berat kontainer dari bahan Pb = 71 kg, W = 39 kg dan DU = 16,8 kg. Bisa disimpulkan bahwa bahan perisai dari Pb mempunyai berat yang lebih besar, sehingga bila dikehendaki lebih ringan bisa dipilih dari bahan W atau DU. Kata kunci : Brakiterapi, Kontainer, perisai radiasi, bahan, daya serap
ABSTRACT A CALCULATION ANALYSIS OF SOURCE CONTAINER WEIGHT FOR Ir-192 HDR BRACHYTHERAPY OF 10Ci ACTIVITY. Analysis calculations has been carried out for the container weight of Ir-192 sourcef 10 Ci of activity for Brachytherapy HDR (High Dose Rate). The purpose of the analysis is to compare the weight of containers among the materials Lead (Pb), Tungsten (W), and Depleted Uranium (DU) that serve as a radiation shield. The container weight calculation is based on the rate of exposure of the source gamma (γ) which is assumed to be a point after passing through the radiation shield with a certain thickness so that it meets the provisions of the Bapeten 0.05 mRem/hour. From the results of the calculations based on absorption with a cylindrical container having a length equal to the diameter, the weight of containers of materials Pb = 71 kg, W = 39 kg and DU = 16.8 kg. It can be concluded that the shielding material of Pb weight is heavier, so if a lighter container is required, W or DU can be selected. Key words : Brachyterapi, Container, shielding, material, absorption.
PENDAHULUAN rakiterapi adalah alat untuk terapi kanker. Salah satu jenis terapi yang dapat dilakukan menggunakan alat ini adalah kanker leher rahim. Alat ini penting untuk dikembangkan di Indonesia, karena penyakit tersebut termasuk penyebab kematian nomor satu bagi wanita Indonesia. Cara kerja alat Brakiterapi adalah mematikan sel-sel kanker dengan cara menyinari langsung sel-sel
B
Buku II hal 180
kanker secara lokal dengan isotop radioaktip yang memancarkan radiasi gamma (γ) dengan aktivitas tertentu. Penggunaan aktivitas sumber radiasi untuk terapi brakiterapi menurut International Commisien on Radiation Unit Measurement (ICRU) terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan aktivitasnya yaitu [1] : - Low Dose Rate (LDR) dengan aktivitas 0,4 – 2 Gy h-1.
ISSN 1410 – 8178
Kristiyanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
-
Medium Dose Rate (MDR) dengan aktivitas 2 – 12 Gy h-1. - High Dose Rate (LDR) dengan aktivitas > 12 Gy h-1. Untuk mudahnya biasa dinyatakan : LDR 10 Gy/d ; MDR 10 Gy/h ; HDR 10 Gy/min. Dalam perancangan ini, brakiterapi yang akan dibuat adalah jenis HDR. Jenis radiasi γ yang digunakan berasal dari Iridium-192 (Ir-192) dengan aktivitas 10 Ci. Sumber radiasi disimpan dalam suatu kontainer. Kontainer berfungsi untuk menyerap radiasi sehingga memenuhi ketentuan yang berlaku. Sesuai dengan SK dari BAPETEN No 7 Th 2009 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Peralatan Radiografi Industri dimana perisai harus bisa menahan radiasi hingga dosis efektif yang diterima oleh pekerja Radiasi tidak melampaui 10 mSv atau 0,05 mRem/jam [2]. Pemilihan bahan kontainer sebagai perisai berdasarkan nilai koefisien serapan liniernya terhadap radiasi sinar γ. Semakin besar koefisien serapan linier, maka bahan itu semakin baik digunakan sebagai perisai radiasi sinar γ. Telah dirancang kontainer Brakiterapi dengan menggunakan bahan Timbal (Pb) tetapi berat sehingga disini perlu dibandingkan dengan bahan lain yang mempunyai koefisien linier tinggi yaitu tangsten (W) dan Depleted Uranium (DU). Dari hasil perhitungan daya serapnya didapatkan bahwa kontainer Brakiterapi dengan mempertimbangkan berat bahan didapatkan tebal kontainer bahan dari Timbal 10 cm dengan berat 71 kg, dari bahan tungsten mempunyai tebal 6,8 cm dan berat 39 kg, sedangkan dari bahan Depleted Uranium tebal 5,6 cm berat 16,8 kg. TEORI. Sistem peralatan Brakiterapi terdiri dari [3]: 1. Aplikator digunakan untuk memasukkan sumber kedalam rahim. 2. Slang pengarah sumber digunakan untuk mengambil sumber radiasi dari kontainer dan untuk memasukkan slang pembawa sumber ke dalam aplikator. 3. Slang pembawa sumber digunakan untuk membawa sumber dari penyimpanan ke dalam aplikator. 4. Sistem kendali digunakan untuk mengendalikan gerak masuk dan keluar sumber baik dari container, penyimpan sumber dan aplikator. 5. Kontainer digunakan sebagai tempat sumber. Kontainer harus memenuhi kriteria keselamatan radiasi. Paparan radiasi yang masih dapat menembus dinding kontainer harus sekecil Kristiyanti, dkk.
mungkin, sehingga operator brakiterapi yang menerima paparan tersebut masih dalam ketentuan yang berlaku.
Shielding
Sumber radias i didalam aplikator
Aplikator Flexible tubing
Motor Penggerak
Gambar 1. Seket mekanisme brakiterapi
Gambar 1. mekanisme Brakiterapi Ir-192 sebagai sumber radiasi mempunyai macam energi yang cukup banyak yaitu ada 13 macam energi radiasi dan prosentase pancaran berbeda untuk tiap energi seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Energi radiasi gamma dari Ir-192 dan prosentasenya [4]. Energi Prosen Energi Prosen (MeV) pancaran (MeV) pancaran (%) (%) 29,5 0,316 0,6 0,885 11,85 0,308 2,8 0,613 10,85 0,296 7,1 0,604 0,6 0,283 2,85 0,588 0,8 0,206 1,2 0,484 0,4 0,201 22,7 0,468 0,136 6,2 0,416 Dalam perhitungan ini energi yang digunakan adalah 0,604 MeV [4], karena energi ini yang berpengaruh pada keselamatan radiasi . Jika energi ini teratasi maka yang lain pun akan teratasi. Perhitungan tebal kontainer berdasarkan laju paparan dari sumber γ yang diasumsikan berbentuk titik dinyatakan dalam persamaan [5]:
D
xA r2
(1)
dengan : D = Laju paparan (R/jam). Г=konstanta γ (Rm2/Ci jam) A= Aktivitas sumber (Ci). r = jarak pengukuran (m)
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 181
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel.2 merupakan daftar harga konstante γ dari beberapa sumber radiasi yang sering digunakan.
I e x I0
Tabel 2. Konstanta γ spesifik sumber radiasi yang sering digunakan [4]. Isotop Kγ (R/Ci.jam) 3,3 Cs-137 13,2 Co-60 4,8 Ir-192 6,8 Ta-182 18,4 Na-22 0,04 Kr-85 9,8 Sb-124 8,25 Ra-226
I I X 100% DS 0 I0
Besar kecilnya paparan radiasi yang keluar dari kontainer, tergantung pada koefisien serapan linier bahan (μ) pada energi tersebut dan ketebalannya. Pengurangan paparan atau intensitas radiasi setelah melewati kontainer dapat dinyatakan : I = I0 e -μx.
(2)
I I DS 0 X 100% I0 I0
DS 1 e x X 100%
(5)
dengan : DS = daya serap μ = koefisien serapan linier bahan cm-1. x = tebal dinding kontainer cm. Daya serap kontainer dari bahan timbal dan tungsten direncanakan sama sehingga dari persamaan (5) dapat dirumuskan :
μtimbal. xtimbal = μtungten.xtungsten
(6)
dengan : I = Intensitas radiasi setelah melewati kontainer. I0 = Intensitas radiasi sebelum melewati kontainer μ = koefisien serapan linier bahan cm-1. x = tebal dinding kontainer cm.
dengan : μtimbal = koefisien serapan linier timbal cm-1. xtimbal = tebal dinding kontainer timbal cm. μtungten= koefisien serapan linier tungsten cm-1. xtungsten= tebal dinding kontainer tungsten cm.
Jika I diinginkan menjadi separonya maka persamaan menjadi :
HASIL DAN PEMBAHASAN
I/I0 = e -μx. 0,5 = e -μx. x = 0,693/ μ
(3)
Nilai ketebalan yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan metode tersebut masih harus ditambah dengan nilai tebal paro (HVL), agar memenuhi kriteria keselamatan radiasi Dengan mempertimbangkan Build-Up faktor (B) dimana nilainya tergantung pada energi radiasi [7] I = I0 x Be -μx.
(4)
Untuk membandingkan penggunaan bahan kontainer sebagai perisai radiasi antara bahan timbal dan tungsten maka digunakan prinsip daya serap (DS) berdasarkan persamaan 2.
Perhitungan tebal kontainer dari bahan Pb jika diasumsikan sumber Ir-192 berbentuk titik dengan dengan Aktivitas 10 Ci konstanta ketetapan γ 0,48 R m2/jam Ci maka paparan pada jarak 1 meter dengan menggunakan persamaan (1) didapatkan laju paparan 4,8 R/jam atau 4.800 mRem/jam. Jika dikehendaki setelah melalui perisai paparannya tinggal 0,05 mRem/jam dengan koefisien serapan linier (μ) diambil 1,356 cm -1 maka dengan menggunakan persamaan (2) didapatkan tebal :
0,05 m Re m / jam e 1, 356 t 4 .800 m Re m / jam t = 8,46 cm Tebal yang didapat masih harus ditambah 0,5 dari HVL dengan persamaan (3) HVL = 0,693/μ = 0,693/1,356 = 0,51 cm. Tebal menjadi x1 = 8,46 + (0,5 x 0,51) = 8,715 cm μ x1=(1,356)(8,715) = 11,817 cm
Buku II hal 182
ISSN 1410 – 8178
Kristiyanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dengan menggunakan grafik antara energi dan μ x1 didapatkan nilai B sama dengan 2,5 cm, sehingga dengan menggunakan persamaan (4) besarnya paparan : X = 4.800 x 2,5 e –11,817. mRem/jam = 0,09 mRem/jam. Dengan ketebalan 8,715 cm belum cukup karena paparan yang didapat yaitu 0,09 mRem/jam masih lebih besar dari 0,05 mRem/jam, sehingga ketebalan perlu ditambah lagi dengan menambahkan 2 HVL : 11
x = 8,46 + (2 x 0,51) =9,48 cm. μ x11=(1,356)(9,48) = 12,854 cm. Dengan menggunakan grafik antara energi dan μ x1 didapatkan nilai B sama dengan 2,8 sehingga : X = 4.800 x 2,8 e –12,854. mRem/jam = 0,035 mRem/jam. Besar paparan 0,035 mRem/jam sudah lebih kecil dari 0,05 mRem/jam sehingga tebal 9,48 cm sudah bisa memenuhi. Untuk mudahnya diambil tebal Pb 10 cm. Akan dibandingkan kebutuhan tebal kontainer bila menggunakan bahan dari : - Timbal (Pb) - Tungsten (W) - Depleted Uranium (DU). Dengan asumsi daya serap dari bahan tersebut sama, bisa dihitung tebal untuk W dan DU berdasarkan harga koefisien serapan liniernya pada energi 0,6 Mev seperti disajikan pada Tabel 3: Tabel 3. Koefisien serapan linier Pb, W dan DU pada energi 0,6 Mev [6]. Jenis Pb W DU
μ/ρ (cm2/gr) 0,120 0,103 0,140
ρ (gr/cm3) 11,34 19,3 19,1
μ (cm-1) 1,3608 1,9879 2,618
Kontainer diasumsikan berbentuk silinder pejal dengan tinggi silinder sama dengan diameter sehingga tebal atau jari-jari silinder bisa dihitung. Untuk tebal Pb sama dengan 10 cm maka tebal kontainer dari W bisa dihitung dengan menggunakan persamaan (6). μ Pb X Pb = μ W X W . (1,3608)(10) = (1,9879) X W . X W = 6,8454
Kristiyanti, dkk.
Jadi untuk tebal Pb (X Pb) = 10 cm maka didapatkan tebal W (X W ) = 6,8454 cm . Begitu seterusnya untuk mencari tebal DU (X DU). Dengan diketahui tebal kontainer maka bisa dihitung volume kontainer sehingga berat masing-masing kontainer bisa dihitung. Hasil perhitungan berat kontainer seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perhitungan berat kontainer dengan daya serap yang sama. Jenis μ/ρ (cm2/gr) ρ (gr/cm3) μ (cm-1) Pb
0,120
11,34
1,3608
W
0,103
19,3
1,9879
DU
0,140
19,1
2,618
Untuk keperluan preparasi dimana sumber akan dimasukkan dalam kontainer didalam main hole, maka jika ukuran kontainer besar dan berat akan mengalami kesulitan. Sehingga perlu dipertimbangkan kontainer dari bahan Tungsten atau Depleted Uranium. KESIMPULAN Kontainer Pb mempunyai berat yang lebih besar yaitu 71 kg, sehingga akan sulit dalam preparasi sumber. Jika digunakan kontainer dari Depleted Uranium ada kendala pengadaan bahan bakunya. Pemilihan bahan dari Tungsten diperkirakan akan lebih menguntungkan karena mempunyai berat yang lebih ringan dan mudah dalam pengadaan bahannya. DAFTAR PUSTAKA 1. ALAIN GERBAUTLED.CS ”THE GEC ESTRO Handbook of Brachytherapy” ESTRO course, Paris, 2002. 2. Keputusan Kepala Bapeten No 7 Th 2009 tentang Keselamatan Radiasi dalam penggunaan peralatan Radiografi Industri. 3. TRI HARJANTO, “ Prototipe system mekanik Brakiterapi LDR serviks”, PRPN, BATAN, 2010. 4. S.RUMYANTSEV “Industrial Radiology” MIR.Publisher, Moscow, 5. Pelatihan Proteksi Radiasi – BATAN “Dosimetri”, Pusat Pendidikan dan Pelatihan BATAN, Jakarta, 2008. 6. R.G.JEAGER CS, Engineering Compendium on Radiation Shielding” Volume 1, Shielding Fundamentals and methods, Springer-Verlag, BerlinHeidelberg New York, 1968 7. Data on Shielding from ionizing Radiation, ‘Shielding from gamma radiation”, British Standards Instituation, London, 1996.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 183
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TANYA JAWAB Suyatno Tebal 10 cm apakah sudah cukup aman? Kristiyanti Sesuai dengan ketentuan keselamatan kerja dari BAPETEN sudah aman, jad laju paparan setelah melewati kontainer sudah kurang dari o,o5 mRem/jam.
Buku II hal 184
ISSN 1410 – 8178
Kristiyanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
EVALUASI DATA HASIL PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS JATUHAN (FALL OUT) DI KAWASAN REAKTOR KARTINI TAHUN 2007 S/D 2010 Siswanti, A. Aris Munandar Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK EVALUASI DATA HASIL PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS JATUHAN (FALL OUT) DI KAWASAN REAKTOR KARTINI TAHUN 2007 S/D 2010. Telah dilakukan evaluasi hasil pemantauan radioaktivitas jatuhan (fall out) dikawasan reaktor Kartini tahun 2007 s/d 2010. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui fluktusi data radioaktivitas jatuhan di sekitar reaktor Kartini. Pemantaua radioaktivitas Jatuhan dilakukan pada 2 lokasi yaitu Maguwoharjo(1500m) dan PTAPB (100m) dari reaktor Kartini. Sampel jatuhan ada 2 macam yaitu jatuhan basah berupa air hujan serta embun dan jatuhan kering yang berupa debu. Sampel jatuhan basah yang berupa air diaduk atau dibuat homogen, diukur volume keseluruhan dan diambil sebanyak 2 liter, sedangkan jika volumenya ≤ 2 liter maka diambil keseluruhan yang ada. Sampel jatuhan kering diambil dengan melarutkan debu yang menempel di permukaan penampung dengan air suling. Sampel diuapkan didalam cawan dengan kompor listrik, sampai volumenya tinggal ± 10 ml. Cuplikan tersebut dicacah dengan alat cacah Low Background Counter (LBC) selama 30 menit. Hasil pengukuran radioaktivitas beta total jatuhan di 2 lokasi ini berkisar 2 2 antara 1,18 ± 0,95 Bq/m /bln sampai dengan 47,44 ± 1,11 Bq/m /bln. Sedangkan data radioaktivitas beta total sampel jatuhan sebelum reaktor komisioning berkisar antara 0,7178 – 57,276 Bq/m2/bln. Dari data pengukuran radioaktivitas beta total berada di dalam nilai rona awal radioaktivitas sebelum reaktor Kartini komisioning, sehingga dengan beroperasinya reaktor Kartini tidak mempengaruhi kondisi lingkungan sekitar. Kata kunci : Radioaktivitas, fall out, beta total
ABSTRACT EVALUATION DATA RESULTS OF FALL OUT RADIOACTIVITY MONITORING AROUND KARTINI REACTOR IN THE PERIODE FROM 2007 UNTIL 2010. The results of radioactivity monitoring fall-out around reactor in the periode from 2007 until 2010 has been evaluated. The purpose of this activity is to determine the data fluctuation of fallout radioactivity in the vicinity of reactor. Monitoring radioactivity fallout was done each months at two locations at Maguwoharjo (1500.m) and PTAPB (100m) from the reactor. There are two kinds of samples fallout there are wet fallout and dry fallout in the form of dust. Sample wet fallout in the form of water is stirred or made homogeneous, the overall volume was measured and taken as much as 2 liters, whereas if the volume is≤ 2 liters then taken overall there. Dry fallout samples were taken by dissolving the dust on the surface of the reservoir with distilled water. Samples were evaporated in a petri dish with electric stove, until the volume of living ± 10 ml. Samples are counted with a Low Background Counter (LBC) for 30 minutes. Results of measurement of gross beta radioactivity in 2 locations of fallout ranged between 1.18 ± 0.95 Bq/m2/bln to 47.44 ± 1.11 Bq/m2/bln. While the gross beta radioactivity data samples fallout before the commissioning of the reactor ranged from 0.7178 to 57.276 Bq/m2/bln. From the measurement of data radioactivity gross beta in the initial conditions of radioactivity before the reactor commissioning, the operation of reactor does not affect the condition of the surrounding environment. Key words: Radioactivity, fall out, the total beta Siswanti, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 185
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENDAHULUAN
P
usat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan mempunyai tugas melakukan penelitian dasar dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir. Dalam pelaksanaan tugas tersebut PTAPB memiliki sebuah reaktor Kartini dengan desain daya 250 KW, beserta laboratorium penunjang lainnya antara lainyang berada di bidang- bidang : BKTPB, BTNFA, BR dan BEM. Pelaksanaan kegiatan tersebut melibatkan penggunaan bahan berbentuk padat, cair maupun gas yang bersifat kimiawi, fisis baik bersifat radioaktif maupun non radioaktif, yang berpotensi untuk menimbulkan dampak negatif pada kualitas lingkungan. Kemungkinan penyebaran zat kimia/radioaktif pada lingkungan tergantung besarnya konsentrasi/tingkat radioaktivitas zat tersebut.(1) Operasi Reaktor Kartini kemungkinan memberikan dampak terhadap lingkungan, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah kemungkinan peningkatan radioaktivitas ke lingkungan. Adanya peningkatan radioaktivitas yang ditimbulkan oleh pengoperasian reaktor di lingkungan akan memberikan sumbangan penerimaan dosis radiasi bagi masyarakat dan makhluk hidup lain di lingkungan, melalui jalur pernafasan, pencernaan maupun penyerapan melalui kulit (2). Oleh karena itu pemantauan secara rutin terhadap radioaktivitas lingkungan sekitar reaktor perlu dilakukan, misalnya pemantauan terhadap jatuhan, rumput, tanah, maupun air karena semua itu merupakan jalur (pathway) zatzat radioaktif dapat mencapai manusia (6) Pengumpulan jatuhan yang dilakukan memakai metode “ penampungan terbuka” atau Total jatuhan, yaitu dengan menampung debu/ air hujan dalam periode 1 bulan dengan suatu penampung terbuka. Debu air hujan ini dikeringkan menjadi suatu cuplikan yang diukur aktivitasnya. Pengukuran radioaktivitas cuplikan dilakukan dengan sistim pencacahan radioaktivitas latar rendah dengan menggunakan alat cacah Low Background Counter (LBC). Sejak berdirinya reaktor Kartini telah dilakukan pemantauan radioaktivitas jatuhan secara rutin dan berkesinambungan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat radioaktivitas jatuhan di lingkungan reaktor Kartini. Adapun cuplikan yang diambil adalah jatuhan (Fall out) setiap bulan di 2 lokasi yang telah ditentukan yaitu di gedung PTAPB BATAN dan di wilayah Maguwoharjo. Mengingat bahwa reaktor Kartini termasuk tipe reaktor riset dengan desain daya hanya 250 kw, maka dampak radioaktivitas lingkungannya relatif sangat kecil. Adanya Buku II hal 186
radioaktivitas lingkungan antara lain dari debu jatuhan radioaktif alam seperti K-40 yang berasal dari pelapukan mineral yang mengandung radionuklida primordial. Pelaksanaan pengukuran radioaktivitas lingkungan ini dilakukan dengan cara tidak langsung yaitu dengan pengambilan sampel di lapangan. Sampel jatuhan ada 2 macam, yaitu jatuhan basah berupa air hujan dan embun serta jatuhan kering yang berupa debu, diambil 1 (satu) bulan sekali. Sampel jatuhan basah diaduk atau dibuat homogen, diukur volumenya di lokasi sampling. Jika volumenya ≥ 2 liter tidak diambil seluruhnya tetapi hanya diambil 2 liter saja, sedangkan jika volumenya ≤ 2 liter maka diambil semua. Sampel jatuhan kering diambil dengan melarutkan debu yang menempel di permukaan penampung dengan air suling. Sampel yang telah diambil dipreparasi dengan menuangkannya ke dalam cawan porselin dan diuapkan menggunakan kompor listrik, sampai volumenya tinggal ± 10 ml. Untuk analisis curah hujan dilakukan pengukuran menggunakan gelas ukur di tempat lokasi. Preparasi sampel dilakukan di laboratorium dan dilakukan pencacahan untuk memperoleh hasil radioaktivitasnya. Pengukuran radioaktivitas yang diukur hanya radioaktivitas beta total karena metode ini cukup sederhana namun memenuhi persyaratan untuk seleksi cuplikan. Jika diperlukan analisis lanjut dapar dilakukan dengan analisis secara kimia atau dengan spektrometri gamma. (6) Penentuan radioaktivitas beta total cuplikan jatuhan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : C×VT×100 Aktivitas beta total =
Bq/m2/ bln
Vo×E×Ø Dengan : C = Cacah cuplikan (cps) E = Efisiensi alat cacah (%) VT = Volume total Vo = Volume yang diolah Ø = Luas penampang tampungan (0,09 m2)
TATAKERJA Peralatan 1. Alat pencacah beta LBC 2. pencatat waktu 3. planset 4. cawan porselin 5. jirigen 6. kompor listrik
ISSN 1410 – 8178
Siswanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
7. timbangan analitik 8. hot plate 9. gelas ukur Bahan Cuplikan sedimen laut Aquabidest HNO3 65% Larutan standar : Se, As, buatan Merck 1000 mg/l Selulosa powder sumber standar multigamma (Eu-152) dan Standar Reference Material (SRM No 2702 inorganics in marine sediment sebagai standar primer. Cara kerja Sampel jatuhan ada 2 macam yaitu jatuhan basah berupa air hujan dan embun serta jatuhan kering
yang berupa debu. Sampel jatuhan basah diaduk atau dibuat homogen, diukur volumenya, jika volumenya ≥ 2 liter, hanya diambil sebanyak 2 liter saja; sedangkan jika volumenya ≤ 2 liter diambil semua dan sampel jatuhan kering diambil dengan melarutkan debu yang menempel di permukaan penampung dengan air suling kemudian dituangkan ke dalam cawan porselin dan diuapkan menggunakan kompor listrik sampai volumenya tinggal sekitar 10 ml, selanjutnya residu tersebut dimasukkan ke dalam planset yang sudah diketahui beratnya dan dikeringkan dengan hot plate. Untuk melarutkan residu yang masih tertinggal digunakan air suling dan setelah kering cuplikan ditimbang dan akhirnya dicacah dengan alat cacah latar rendah atau Low Background Counter .
Sampel Jatuhan (Fall Out)
Sampel Jatuhan 2 liter dituang ke dalam cawan porselin & dipanaskan di atas kompor listrik
Residu dituang ke atas planset sedikit demi sedikit & dikeringkan di atas hot plate
Residu di dalam cawan porselin dibersihkan menggunakan asam nitrat 0,1 N
Setelah kering, didinginkan & cuplikan siap dianalisis
Gambar. 1. Diagram Alir Preparasi Jatuhan
Siswanti, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 187
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari pengukuran radioaktivitas sampel jatuhan tahun 2007 – 2010 yang telah dilakukan diperoleh hasil seperti pada Table 1. Berikut Tabel 1. Data radiaktivitas sampel jatuhan tahun 2007 – 2010 No
Bulan
Aktivitas (Bq/m2/bln)
Lokasi Sampling
Max
2007 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 39,27
Min
3,88
1.
Januari
2.
Pebruari
3.
Maret
4.
April
5.
Mei
6.
Juni
7.
Juli
8.
Agustus
9.
September
10.
Oktober
11.
Nopember
12.
Desember
PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo PTAPB Maguwoharjo
19,06 23,54 11,77 23,32 33,24 25,69 6,33 9,52 6,54 7,62 4,08 3,94 22,29 27,16 5,71 4,46 5,68 5,20 3,88 5,54 34,57 39,07 37,05 39,27
1,21 1,20 1,17 1,22 1,31 1,31 1,03 1,09 1,09 1,11 1,80 1,70 1,77 1,77 1,75 1,74 1,74 1,73 1,65 1,81 1,61 1,82 1,35 1,42
39,04 27,40 41,58 34,41 42,66 34,56 39,46 31,70 22,73 29,66 5,16 5,04 5,16 4,82 5,24 4,70 4,26 4,23 3,65 4,35 27,80 26,06 21,49 36,15
2008 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 42,66 3,65
1,16 1,15 1,45 1,37 1.23 1,19 1,34 1,32 1,22 1,21 1,35 1,38 1,40 1,40 1,37 1,32 1,48 1,49 1,27 1,49 1,35 1,38 1,06 1,38
2009 ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 18,29 ± 43,61 39,04 27,40 23,30 30,99 20,89 18,20 34,67 28,66 43,61 38,36 2,73 2,95 1,70 1,18 5,82 6,04 2,29 2,72 2,87 1,96 2,47
1,18
1,16 1,15 1,10 1,18 1,13 1,16 1,16 1,20 1,02 1,09 0,95 1,00 0,83 0,95 1,23 1,24 1,10 1,14 1,07 1,01 1,11 1,11
2010 ± 37,74 ± 17,32 ± 21,38 ± 47,44 ± 24,43 ± 2,95 ± 2,45 ± 16,81 ± 23,67 ± 36,13 ± 13,99 ± 47,44 29,49
1,21 1,18 1,00 1,14 1,11 1,19 1,06 0,85 1,05 1,12 1,22 0,86
2,45
Catatan : Mulai bulan November 2009 sampai tahun 2010 sampel jatuhan di lokasi Maguwoharjo tidak diambil.
Buku II hal 188
ISSN 1410 – 8178
Siswanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 2. Radioaktivitas beta total Jatuhan sekitar reaktor Kartini Ulangan
2007
2008
2009
2010
Kontrol
1
19,06
39,04
39,04
29,49
2
11,7
41,58
23,30
37,74
3
33,24
42,66
20,89
17,32
4
6,33
39,46
34,67
21,38
5
6,54
22,73
43,61
47,44
6
4,08
5,16
2,73
24,43
7
22,29
5,16
1,70
1,70
8
5,71
5,24
5,82
2,29
9
5,68
4,26
2,29
16,81
10
3,88
3,65
2,87
23,67
11
34,57
27,80
2,47
36,13
12
37,05
21,49
18,29
13,99
X1
190,2
258,23
197,68
273,8
175.6
X rerata
15,85
21,51
16,47
22,81
14.63
15,35 7,98 34,62 10,25 21,43 11,32 8,45 6,75 15,87 13,21 17,64 12,73
Tabel. 3. Hasil Perhitungan Uji-t untuk Cuplikan Jatuhan Uji-t
S
t hitung
T tabel
2007
10,613
0,286
1,782
2008
12,745
0,220
1,782
2009
12,41
0,363
1,782
2010
10,97
0,304
1,782
Tahun
Siswanti, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 189
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Data Radioaktivitas S ampel J atuhan T ahun 2007 - 2010
50 K ons entras i (B q/m 2/bln)
45 40 35 30
P TAP B
25
Maguwoharjo
20
MAX
15
MIN
10 5 Jan Feb mar apl mei jun Jul agt Sept Oct Nov Des Jan Feb mar apl mei jun Jul agt Sept Oct Nov Des Jan Feb mar apl mei jun Jul agt Sept Oct Nov Des Jan Feb mar apl mei jun Jul agt Sept Oct Nov Des
0 2007
2008
2009
2010
Gambar 2. Grafik Radioaktivitas sampel jatuhan 2007-2010 Pengukuran radioaktivitas lingkungan di sekitar Reaktor Kartini telah dilakukan sejak sebelum Reaktor Kartini beroperasi dari tahun 1975 s.d. 1978 dan setelah reaktor itu beroperasi pada tahun 1979 hingga sekarang. Pengukuran radioaktivitas lingkungan sebelum reaktor beroperasi untuk mendapatkan data rona awal radioaktivitas. Data rona awal radioaktivitas ini akan digunakan sebagai pembanding terhadap radioaktivitas lingkungan di sekitar Reaktor Kartini setelah reaktor itu beroperasi. Dari perbandingan data pemantauan radioaktivitas lingkungan sebelum dan sesudah reaktor beroperasi, akan dapat diketahui ada tidaknya kenaikan radioaktivitas lingkungan yang disebabkan beroperasinya Reaktor Kartini. Sejak berdirinya Reaktor Kartini Yogyakarta telah dilakukan pemantauan radioaktivitas jatuhan secara rutin dan berkesinambungan. Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat radioaktivitas jatuhan ( fall out) di lingkungan Reaktor Kartini. Pengukuran radioaktivitas yang dilaksanakan pada sampel jatuhan yaitu pengukuran radioaktivitas beta total yang merupakan teknik pengukuran kuantitatif yang menentukan jumlah kandungan radionuklida pemancar beta. Pengukuran radioaktivitas jatuhan menggunakan alat cacah Low Background Counter (LBC), yaitu pengukuran radioaktivitas beta secara kuantitatif, jadi tidak dapat membedakan berasal dari radionuklida mana radioaktivitas yang tercacah. Metode gross beta total adalah salah satu metode pengukuran kadar radioaktivitas yang Buku II hal 190
mengukur aktivitas beta keseluruhan dari satu atau lebih radionuklida. Metode ini mengukur aktivitas beta dari suatu sampel, tanpa membedakan berasal dari radionuklida yang mana (6) , sehingga yang terukur adalah semua aktivitas beta dari campuran radionuklida dalam sampel. Pengukuran ini dilakukan karena kebanyakan radioaktivitas lingkungan berasal dari jatuhan hasil belah percobaan ledakan nuklir yang pada umumnya merupakan pemancar beta (7). Alasan lain adalah pengukuran ini dapat dilakukan dengan cepat untuk cuplikan yang sangat banyak jumlahnya, serta karena pengukuran ini cukup layak untuk digunakan dalam membandingkan tingkat aktivitas dan untuk memilih cuplikan yang dapat dianalisa lebih lanjut. Pemantauan radioaktivitas beta total ini dilakukan pada sampel jatuhan yang ada di sekitar reaktor Kartini PTAPB-BATAN Yogyakarta. Dari data hasil pemantauan radioaktivitas jatuhan yang dilakukan dari tahun 2007 sampai dengan 2010 diperoleh hasil yang berfluktuatif pada setiap tahunnya. Dilihat pada grafik dari tahun ke tahun terlihat bahwa grafik radioaktivitas maksimumnya mengalami sedikit peningkatan, sedangkan grafik minimumnya berfluktuatif, namun demikian kesemua data yang diperoleh hasilnya masih di bawah batas ambang yang diijinkan . Data maksimum pada tahun 2007 sampai dengan 2010 sebesar 47,44 ± 1,11 Bq/m2/bln terjadi tahun 2010 bulan Mei pada lokasi PTAPB Gd. 16, sedangkan data
ISSN 1410 – 8178
Siswanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
minimumnya 1,18 ± 0,95 Bq/m2/bln yaitu pada tahun 2009 bulan Juli di lokasi Maguwoharjo. Dilihat dari segi jarak lokasi pengambilan di PTAPB yang ditempatkan di atas Gedung 16 yang jaraknya lebih dekat dengan reaktor Kartini dan lokasi di Maguwoharjo hasil pengukurannya berfluktiatif, jadi tidak mesti lokasi yang dekat dengan reaktor di PTAPB hasilnya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hasil radioaktivitasnya kemungkinan tidak berasal dari pengaruh beroperasinya reaktor Kartini, tetapi kemungkinan dari radioaktivitas alam atau pengaruh dari luar. Unsur yang mempengaruhi radioaktivitas tidak dapat dikendalikan, karena penyebaran unsur radioaktivitas dipengaruhi oleh keadaan meteorologi seperti kondisi cuaca, angin dan lain-lain. Hasil pengukuran radioaktivitas rerata pada sampel jatuhan sekitar reaktor Kartini selama tahun 2007-2010 dari bulan Januari s/d Desember berkisar antara 1,18 s/d 47,44 Bq/m2/bln, sedangkan data radioaktivitas jatuhan sebelum reaktor beroperasi berkisar antara 0,7178 – 57,276 Bq/m2/bln. Nilai radioaktivitas pada sampel jatuhan yang diambil pada tahun 2007 -2010 berfluktuatif. Semua data hasil pengukuran radioaktivitas jatuhan pada periode 2007 s/d 2010 masih berada di di dalam range nilai rona awal radioaktivitas sebelum reaktor Kartini beroperasi tahun 1979 yang digunakan sebagai pembanding yaitu 0,7178 – 57,276 Bq/m2/bln Untuk menganalisis data tersebut dilakukan uji-t untuk melihat apakah ada pengaruh/perubahan terhadap sampel jatuhan . Hasil uji-t dapat dilihat pada tabel 3, pada hasil ujit menunjukan bahwa t hasil perhitungan lebih kecil dari t tabel, hal ini menunjukan bahwa tidak ada perubahan tingkat radioaktivitas dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan beroperasinya reaktor Kartini sampai tahun 2010 tidak mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya. Diduga emisi radionuklida di sekitar reaktor Kartini tersebut hanya berasal dari radionuklida alam. KESIMPULAN
3.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4. 5. 6.
7.
8.
Berdasarkan hasil evaluasi radioaktivitas gross beta jatuhan selama tahun 2007-2010, dapat disimpulkan sbb : 1. Hasil evaluasi radioaktivitas beta total pada jatuhan di sekitar reaktor Kartini tahun 20072010 berkisar antara 1,18 ± 0,95 sampai dengan 47,44 ± 1,11 Bq/m2/bln. Data tertinggi pada bulan Mei 2010 sebesar 47,44 ± 1,11
Siswanti, dkk.
2.
Bq/m2/bln dan yang terendah pada bulan Juli 2009 sebesar 1,18 ± 0,95 Bq/m2/bln. Hasil pemgukuran raioaktivitas jatuhan dari tahun ke tahun dilihat pada grafik radioaktivitas maksimumnya mengalami sedikit peningkatan kemungkinan dipengaruhi oleh tingginya curah hujan, sedangkan grafik minimumnya berfluktuasi, namun demikian kesemuanya masih di bawah batas ambang yang diijinkan . Semua data hasil evaluasi radioaktivitas gross beta pada tahun 2007-2010 masih berada di dalam nilai rona awal radioaktivitas sebelum reaktor Kartini beroperasi yaitu antara 0,7178 emisi – 57,276 Bq/m2/bln. Diduga radionuklida di sekitar reaktor Kartini berasal dari radionuklida alam, sehingga dengan beroperasinya reaktor Kartini sampai dengan tahun 2010 tidak mempengaruhi kondisi lingkungannya .
Dokumen Level I tentang Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Abidin, Z. 1996. Evaluasi Data Pemantauan Radioaktivitas Lingkungan di Daerah Kawasan Reaktor Kartini. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Skripsi. Agus dan Muryono. 2006. Penentuan Faktor Transfer Radioaktivitas Dari Tanah ke Tumbuhan di Daerah Pemantauan Reaktor Kartini. Prosiding PPI – PDIPTN, PTAPB BATAN Cember, H. 1983. Pengantar Fisika Kesehatan. IKIP Semarang. Semarang. Suratman. 1997. Pengukuran Radioaktivitasβ, PPNY-BATAN. Yogyakarta. Wardhana, W.A. 1984. Pengantar Teknik Analisis Radioaktivitas Lingkungan. Jurusan Teknik Nuklir Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wardhana, W.A. 1994. Teknik Analisis Radioaktivitas Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta. Eva Yosida, Sekripsi 1992. Studi Pencemaran Zat Radioaktif Pada Saluran Pembuangan Sebelum dan Sesudah Melewati Instalasi Nuklir PPNY-BATAN.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 191
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TANYA JAWAB Sutari Bagaimana cara sampling (pengambilan) jatuhan bila musim kemarau, karena sampel yang diolah berupa cairan? Siswanti Jatuhan ada 2 macam yaitu jatuhan basah yang berasal dari air hujan atau embun dan jatuhan kering berasal dari debu. Untuk jatuhan basah, dengan menghomogenkan air yang tertampung pada bak penampung kita ambil sebanyak 2l selanjutnya dipreparasi. Sedangkan untuk musim kemarau tentunya berupa debu. Debu yang menempel pada bak penampung dilarutkan menggunakan air Aquades, dari debu yang terlarut tsb baru diambil seluruhnya dan dipreparasi di laboratorium.
Buku II hal 192
Tri Bambang Latar belakang dilakukan pemantauan radioaktivitas lingkungan (jatuhan)? Siswanti UU RI. No.10 Th. 1997 tentang ketenaga nukliran dinyatakan bahwa setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki ijin (PS.17) PP. RI. No.33 Th. 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Sumber Radioaktif. Pengusaha Instalasi Nuklir harus menamin keselamatan dah kesehatan pekerja radiasi, masyarakat dan lingkungan.
ISSN 1410 – 8178
Siswanti, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
LAMPIRAN Perhitungan : TP-A 2007
TP-B Kontrol
Nx X rerata ∑X ∑X2
Ny Y rerata ∑Y ∑Y2
= 12 = 15,85 = 190,2 = 4850,75
( x ) + y − (∑ y ) ∑x − ∑ ∑ N N 2
2
2
s=
s=
= 12 = 14.63 = 175.6 = 3206.85
2
x
y
Nx + N y − 2
4850.753 −
(190.2)2 + 3206.85 − (175.6)2 12
12
22
= 10,613
t = s
x − y 1 1 + Nx Ny
t = 15,85 − 14,63 1 1 10 , 613 + 12 12
= 0,286
Siswanti, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 193
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
OPTIMASI RENDEMEN ELEKTRODEPOSISI 232Th DAN ANAK LURUHNYA MENGGUNAKAN ELEKTROLIT NH3 PEKAT DAN H2SO4 2M UNTUK SPEKTROMETRI ALPHA Bambang Irianto, Muljono, Tri Rusmanto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK OPTIMASI RENDEMEN ELEKTRODEPOSISI 232Th dan ANAK LURUHNYA MENGGUNAKAN ELEKTROLIT NH3 PEKAT dan H2SO4 2M UNTUK SPEKTROMETRI ALPHA. Telah dilakukan percobaan untuk mengetahui prosentase rendemen 232Th dan anak luruhnya, menggunakan elektrolit NH3 pekat dan H2SO4 2M untuk spektrometri alpha. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan proses elektrodeposisi larutan Th (IV) menggunakan media NH3 pekat dan H2SO4 2M untuk analisis secara spektrometri alpha. Dari hasil percobaan tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi optimum rendemen elektrodeposisi yaitu selama 2 jam pada arus 195 mA,. Isotop yang terdeteksi adalah 232Th dengan randemen endapan tertinggi 981,346 mgr atau 96,852 ± 4,744 % dan anak luruhnya 212Po, 228Th serta 224 Ra. Dengan demikian metoda elektrodeposisi ini cukup peka dan biaya rendah untuk mendeteksi isotop pemancar α. Kata kunci : elektrodeposisi, isotop, rendemen, peka.
ABSTRACT 232
TH ELECTRO-DEPOSITION AND ITS FISSION YIELD OPTIMATION OF PRODUCT BY USING HIGHT CONCENTRATED OF NH3 ELECTROLYTE AND H2SO4 2M FOR ALPHA SPECTROMETRY. An experiment has been carried out to determine the yield percentage of 232Th and its child decay by using heavy concentrated of NH3 electrolyte and H2SO4 2M for alpha spectrometry. The purpose of this study was to optimize the process of electrodeposition of Th (IV) solution by using a heavy concentrated NH3 media and H2SO4 2M for alpha spectrometry analysis. From the experiment results can be concluded that the optimum condition of electrodeposition yield was within 2 hours at the current of 195 mA. Isotopes detected was 232Th with the highest deposition yield of 981.346 mgr or 96.852 ±4.744% and the child decay were 212Po, 228th and 224 Ra. Therefore, elektrodeposition method is enough sensitive and low expense to detect the α transmitter isotope Keyword: electrodeposition, isotope, yield, sensitive.
PENDAHULUAN horium (232Th) merupakan salah satu unsur logam radioaktif pemancar alpha (α) atau unsur yang mengandung zarah alpha, mempunyai nomor atom tinggi yaitu 90 dan berat atom 231,038. Thorium mempunyai bilangan oksidasi +4 larut dalam HCl dan HNO3 (Othmer ,1969). Unsur ini mempunyai titik leleh 1740-1760 0C
T
Buku II hal 194
dan titik didih 4760-4800 0C. Isotop – isotop Thorium mempunyai nomor massa antara 212 – 234. Thorium mempunyai anak luruh, 228Ac, 228 Th, 224Ra, 220Rn, 216Po, 212Bi, 212Po. Isotop thorium (232Th) juga merupakan sumber bahan bakar nuklir yang sangat penting selain Uranium. 232 Th dapat disebut bahan pembiak (breeder material) yang dapt membelah 232U dengan cara menangkap neutron (Simbolon, S., 1993). Zarah alpha memiliki massa dan muatan yang relatif
ISSN 1410 – 8178
Bambang Irianto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
besar, sehingga zarah tersebut dapat berinteraksi dengan materi secara efektif. Akibatnya zarah alpha tersebut mempunyai jarak jangkau pendek (daya tembus kecil) atau tidak tembus halangan materi walaupun sangat tipis. Butir-butir atom thorium yang saling bertumpukan antara satu dengan yang lainnya sangat sulit dideteksi secara keseluruhan, karena atom-atom yang terletak di bawah tertutupi oleh atom-atom yang berada di atasnya sehingga tidak dapat dicacah secara sempurna, karena tenaga zarah alpha mudah diserap oleh bahan yang dilewatinya, mengakibatkan zarah alpha yang dipancarkan dari bagian dalam tidak akan keluar dari sumbernya, sehingga hasil cacahannya tidak menyatakan aktifitas sumber yang sebenarnya (1,2) Untuk mengatasi kendala tersebut, sebaiknya dilakukan pengendapan thorium secara tipis dan merata dengan metoda elektrodeposisi pada kondisi optimum sebagai penyiapan cuplikan untuk dideteksi dengan detektor SSB secara spektrometri alpha.(1,3) 2. Zarah Alpha Zarah alpha adalah suatu zarah yang terdiri dari 2 proton dan 2 neutron sehingga sebenarnya merupakan inti Helium. Dipancarkan dalam proses peluruhan alpha, reaksi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut : Z
XA
Z-2
YA-4 + 2 α4
(1)
A = nomor massa = jumlah proton + neutron Z = nomor atom = jumlah proton Sebagai contoh dapat dilihat pada reaksi peluruhan U235: 92U
235 90
Th231 + 2 α4
(2)
Didalam inti atom yang besar ada kecenderungan kuat untuk terjadinya ikatan antara 2 proton dan 2 neutron oleh karena gugus inti helium ini sangat stabil. Hal ini dapat diterangkan dari fakta bahwa tenaga ikat inti per nukleon dalam inti 4He jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nuklida-nuklida lain yang mempunyai nomor massa berdekatan.(1,2) 3. Elektrodeposisi Elektrodeposisi adalah suatu proses pelapisan suatu logam atau senyawa logam dari larutan elektrolit pada elektroda dengan bantuan arus listrik searah. Penelitian ini, merupakan salah satu metode pengendapan unsur-unsur yang mengandung nuklida-nuklida pemancar sinar alpha (mengandung zarah alpha). Metode elektrodeposisi pada hakekatnya adalah proses elektrolisa, sama dengan cara-cara pelapisan elektrokimia (penyepuhan/galvanisasi). Hanya Bambang Irianto dkk.
saja dalam metode ini perlu dilakukan sedemikian rupa hingga diperoleh hasil pelapisan tipis dan merata. Pada elektrodeposisi yang terjadi adalah proses pelapisan katodik, sehingga reaksi yang terjadi adalah reaksi reduksi dengan reaksi umum sebagai berikut : M+n + n e-
M0 (mengendap di katoda)(3)
Jarak katoda anoda sebaiknya cukup dekat yaitu antara 0,5 cm sampai dengan 1 cm dan sistem alat elektrodeposisi harus cukup stabil. Randemen pelapisan semacam ini dapat mencapai 90 % (1,4,5,6,)
4. Spektrometri Alpha dan detektor SSB. Spektrometri alpha adalah suatu cara analisis cuplikan radioaktif pemancar alpha berdasarkan pengukuran tenaga dari intensitas zarah alpha yang dipancarkan oleh cuplikan tersebut. Tenaga sinar alpha yang terukur dipakai sebagai dasar analisis kuantitatif. Efek serapan diri merupakan kendala yang harus dihilangkan pada analisis secara spektrometri alpha, karena dapat memperkecil daya tembus zarah alpha yang diterima oleh detektor Silikon Surface Barrier (detektor sawar muka silikon), disingkat SSB. Untuk tujuan analisis kualitatif diperlukan kalibrasi tenaga, sedangkan untuk tujuan analisis kuantitatif tidak diperlukan kalibrasi efisiensi detektor seperti pada spektrometri gamma, mengingat efisiensi detektor sawar muka silikon tersebut dianggap sama untuk berbagai macam tenaga zarah alpha(1,2). Jadi untuk keperluan analisis kuantitatif dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut :
Aktivitas = cps . 4 Aktivitas cps S r
π . S2 π. r 2
(4)
= aktifitas cuplikan atau standar (dps) = laju pencacahan tiap detik = Jarak sumber dengan detektor (cm) = ruji detektor (cm)
Jika dikehendaki, harga ini dapat dikembalikan pada harga dps pada suatu waktu tertentu dengan menggunakan rumus dasar peluruhan radioaktivitas sebagai berikut :
At At A0 t T
=
A0
−0,693
. e
t T
(5)
= aktivitas pada saat t (dps) = aktivitas pada saat t=0 (dps) = waktu peluruhan (detik) = waktu paro (detik)
Untuk menentukan efisiensi digunakan rumus sebagai berikut :
ISSN 1410 – 8178
pencacahan
Buku II hal 195
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Efisiensi =
dps pengukuran x 100 % dps perhitungan
(6)
Untuk menghitung aktivitas cuplikan (analisis kuantitatif) digunakan rumus sebagai berikut : area net Aktivitas =
Aktivitas Area net t. count Efisiensi
t. count efisiensi
(7)
= aktivitas cuplikan (dps) = laju pencacahan (cacah) = waktu pencacahan (detik) = efisiensi detektor (%)
Untuk mengetahui berat radio nuklida dalam cuplikan dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut : N (8) W =
6,02 x 10 23 A . T N = 0,693
x
BA
(9)
N = cacah butir atom A = aktifitas radionuklida dalam cuplikan (dps) T = waktu paro radionuklida (detik) BA = berat atom W = berat radionuklida dalam cuplikan (gram) T.232Th = 1.405.1010 tahun. Kemudian untuk menentukan % berat radionuklida yang terendapkan, menggunakan rumus sebagai berikut : Berat radionuklida yang mengendap X 100 % (10) Berat radionuklida dalam cuplikan mula-mula
TATA KERJA Bahan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Larutan Th.N.H atau Th(NO3)4.5H2O, NH3pekat, H2SO4 2M, Aquabidest, alkohol 96 %, standar campuran (233U, 239Pu, 241Am), standar 241Am.
Peralatan 1. 2. 3. 4.
Perangkat elektrodeposisi, statif, alat-alat gelas, perangkat spektrometer alpha.
Cara kerja • Pengendapan Thorium Buku II hal 196
1.
Membuat larutan Th N.H dalam Aquabidest dengan konsentrasi 1000 mgr/l 2. Menyiapkan planset SS 316 berdiameter 2,5 cm yang bersih dan bebas dari lemak. 3. Meletakkan planset SS 316 (katoda) pada dasar sel elektrodeposisi dan disekrupkan pada silinder teflon. 4. Memasukkan larutan NH3 pekat dan H2SO4 2M 10 ml (sebagai larutan media) kedalam tabung Teflon 5. Meneteskan 1-2 tetes indikator metal merah kedalam larutan media hingga warna merah jambu jernih. 6. Memasukkan beberapa ml larutan NH3 pekat kedalam larutan media hingga berubah warnanya menjadi kuning jernih. 7. Memasukkan beberapa ml larutan H2SO4 2M kedalam larutan media hingga berubah warnanya menjadi merah muda jernih dengan pH 2-3. 8. Meneteskan cuplikan 0,1 ml larutan larutan Th.N.H kedalam larutan media. 9. Memasang elektroda platina (anoda) pada jarak 0,8 cm di atas katoda 10. Kondisi elektrodeposisi diatur pada arus elektrodeposisi, waktu elektrodeposisi dan konsentrasi cuplikan yang telah ditentukan di atas. 11. Sebelum arus dimatikan, dimasukkan bertetes-tetes larutan NH3 kedalam larutan Th.N.H 12. Arus unit elektrodeposisi dimatikan, kemudian planset dibersihkan dengan aquabidest dan alkohol 96 % dan dikeringkan di bawah lampu pemanas. • Variabel Penelitian Waktu elektrodeposisi : 1 jam ; 1,5 jam ; 2 jam ; 2,5 jam ; 3 jam. • •
Analisis (Pencacahan) Setelah dilakukan pengendapan Th.N.H diatas planset SS 316 be plated dengan variasi arus, kemudian dilakukan pencacahan menggunakan perangkat spektrometer alpha selama 7200 detik setiap cuplikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter tetap : 1. Arus elektrodeposisi : 195 mA 2. Jenis zat yang diendapkan : Th.N.H 3. Konsentrasi Th.N.H : 1000 mgr/l aquabidest 4. Volume cuplikan : 0,1 ml 5. Jarak katoda-anoda : 0,8 cm 6. Media : larutan NH3 pekat dan H2SO4 2M, 10 ml 7. pH media : 2-3 ISSN 1410 – 8178
Bambang Irianto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 1 : Perubahan waktu elektrodeposisi cuplikan Th.N.H untuk 232Th, pada arus 195 mA dan tegangan 4,52 Volt. Waktu Deposisi (jam) 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0
Tenaga (MeV)
W (mgr/l)
W (%)
3,954 3,954 3,954 3,954 3,954
356,119 671,048 981,346 772,306 716,511
35,971 67,783 96,852 78,010 72,375
Tabel 2 : Perubahan waktu elektrodeposisi cuplikan Th.N.H untuk 212Po, pada arus 195 mA dan tegangan 4,52 Volt. Waktu Deposisi (jam) 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0
Tenaga (MeV)
W (mgr/l)
W (%)
8,784 8,784 8,784 8,784 8,784
3,869.10-23 2,516.10-23 2,052.10-22 1,906.10-23 3,075.10-23
3,797.10-21 2,468.10-21 2,015.10-20 1,870.10-21 3,017.10-21
Dari tabel 1sampai dengan 4 diperoleh kondisi optimum pengendapan Th.N.H sebesar 195 mA, selama 2 jam. Jika dilihat dari data percobaan yang dilakukan untuk perubahan waktu elektrodeposisi, lamanya waktu elektrodeposisi yang digunakan memegang peranan cukup signifikan yaitu waktu semakin lama, endapan nuklida yang didapatkan juga semakin banyak, ditandai dengan jumlah aktivitas yang semakin tinggi. Tetapi setelah waktu tertentu yaitu mulai 2,5 jam, 195 mA jumlah aktivitas yang diperoleh justru menurun. Hal itu disebabkan oleh absorbsi diri zarah alpha dari cuplikan itu sendiri yang ditunjukkan oleh bentuk spektrum yang semakin melebar dan banyaknya titik-titik dengan jumlah tertentu dengan letak yang acak dibawah batas bentuk spektrum pada layar MCA. Pada percobaan perubahan waktu elektrodeposisi 2 jam dan arus sebesar 195 mA ini terjadi endapan 232Th sebanyak 981,346 mgr/l atau 96,852 % berat, 212 Po sebanyak 2,052.10-22 atau 2,015.10-20 % berat, 224Ra sebanyak 2,468.10-10 atau 2,422.10-08 %, 228Th sebanyak 1,238.10-07 atau 1,303.10-05 % berat.
Bambang Irianto dkk.
Tabel 3 : Perubahan waktu elektrodeposisi cuplikan Th.N.H untuk 224Ra, pada arus 195 mA dan tegangan 4,52 Volt. Waktu Deposisi (jam) 1,0
Tenaga (MeV)
W (mgr/l)
W (%)
5,685
1,161.10-10
1,139.10-08
1,5
5,685
1,369.10-10
1,344.10-08
2,0
5,685
2,468.10-10
2,422.10-08
2,5
5,685
2,251.10-10
2,218.10-08
3,0
5,685
1,681.10-10
1,649.10-08
Tabel 4 : Perubahan waktu elektrodeposisi cuplikan Th.N.H untuk 228Th, pada arus 195 mA dan tegangan 4,52 Volt. Waktu Deposi si (jam) 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0
Tenaga (MeV)
W (mgr/l)
W (%)
5,340 5,340 5,340 5,340 5,340
2,727.10-08 3,038.10-08 1,238.10-07 1,387.10-08 3,575.10-08
2,675.10-06 2,982.10-06 1,303.10-05 1,360.10-06 3,507.10--6
KESIMPULAN Berdasarkan, percobaan, pengamatan dan analisis data dapat disimpulkan bahwa : 1. Penyediaan cuplikan untuk analisis secara spektrometri alpha dapat dilakukan dengan metode elektrodeposisi. 2. Kondisi optimum terjadi pada arus 195 mA selama 2 jam, diketahui adanya radioisotop 232 Th dengan randemen endapan tertinggi 981,346 mgr atau 96,852 ± 4,744 % dan anak luruhnya 212Po, 228Th serta 224Ra. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
SIMBOLON, S., ARYADI, NGASIFUDIN, “Metode Analisis UnsurUnsur Pengotor di Dalam Torium dengan Spektrograf Emisi”, Jurnal Nusantara Kimia 93.1.1., 1993. SUSETYO WISNU, “Spektrometri Alpha” , Program Pendidikan dan Latihan Instrumentasi Kimia I, Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta Badan Tenaga Atom Nasional, 1983.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 197
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
3.
4.
5.
6.
7.
EGGEBERT, W.S., PLENNIG,G., MUNZEL,H., NEGENIUS,K.H., „Chart of nuclides tableau., Kernforschungszentrum Karlsruhl Isoldenstr, 38.D-8000 Munchen Gmbh, Germani. ZANTUTI.E., AL-MEDEHEM.B., SHIN.V.L., PERETRUKHIN.V.F., Electrodeposition of actinide traces from aqueous alkaline solution and tributyl phosphate., Journal of radioanalytical and nuclear chemistry, Vol147., no1, p.5158, 1991 MERLIANI, “Analisis Kandungan Torium Dalam Sedimen Laut di Sekitar Pantai Barat Makassar”, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar, 2001 DOS SANTOS.LR., SBAMPATO, M.E., (2004) Characterization of electrodeposited uranium films, Journal of radioanalytical and nuclear chemistry., Vol.261,no.1, p.203-209,. MIHAI,L., GEORGESCU.I.I.,DANIS.A., (2004)., Information obtained by three different methods of U and Th determination in sediment and algae sample from the romanian sector of Danube river and the Black Sea Coast., Journal of radioanalytical and nuclear chemistry., Vol.244,no.1, p.153157.
TANYA JAWAB
Bambang Irianto Media yang dapat digunakan untuk mengendapkan radionuklida secara elektrodeposisi adalah larutan NH4CH3COO (amonium accetat) 4M; NH4Cl jenuh. Kelebihan menggunakan NH4Cl adalah mudah dan cepat pelaksanaannya kekurangan timbul gas chlor. Kelebihan menggunakan NH3p dan H2SO4 2M adalah tidak timbul gas tetapi pelaksanaannya lebih lama daripada menggunakan NH4Cl Kelebihan menggunakan NH4CH3COO 4 M adalah tidak timbul gas, kekurangannya adalah menggunakan t deposisi lebih lama Nurimaniwaty Apakah arus dan voltase yang digunakan adalah arus dan voltase yang stabil atau berubah-ubah? Bagaimana menjaga kondisi agar arus dan voltase yang digunakan sesuai yang dikehendaki artinya terbentuk endapan tipis dan merata? Bambang irianto Arus dan Voltase yang digunakan adalah arus dan voltase DC yang stabil. Untuk menjaganya adalah digunakan pencatu daya DC yang constant current dan constant volt, disamping menggunakan itu juga digunakan stabilize r arus AC
Wijiyono Menurut pendapat saudara, media apa saja yang dapat digunakan untuk mengendapkan radio nuklida secara elektrodeposisi, disamping NH3p dan H2SO4 2M ? Sebutkan keunggulan (kelebihan) dan kekurangan masing-masing !
Buku II hal 198
ISSN 1410 – 8178
Bambang Irianto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENENTUAN RADIOAKTIVITAS PEMANCAR GAMMA TOTAL DAN BETA TOTAL DALAM LIMBAH RUMAH SAKIT DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Suhardi, Siswanti, Muljon, Iswantoro Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected] ABSTRAK PENENTUAN RADIOAKTIVITAS PEMANCAR GAMMA TOTAL DAN BETA TOTAL DALAM LIMBAH RUMAH SAKIT DI YOGYAKARTA. Telah dilakukan penentuan radioaktivitas cuplikan limbah cair dan padat berasal dari rumah sakit Dr. Sardjito, Panti Rapih, Bethesda, PKU Muhammadiyah, dan Wirosaban (RSUD Yogyakarta). Penentuan ini dilakukan dengan tujuan mengetahui radioaktivitas total β dan γ dalam limbah cair dan padat rumah sakit disekitar Yogyakarta. Pengambilan cuplikan, preparasi maupun analisisnya mengacu pada prosedur analisis cuplikan radioaktivitas lingkungan. Pengukuran radioaktivitas dalam limbah cair dan padat dilakukan dengan menggunakan alat cacah total β dan γ dengan detektor Geiger Muller (GM) dan spektrometer γ dengan detektor Ge(Li). Hasil yang diperoleh menunjukkan konsentrasi radiaktivitas pemancar total β dan γ dalam air bekisar (0,12-0,23) mBq/l dan (0,018-0,029) mBq/l. Kata kunci : Radioaktifitas gamma (γ) dan beta (β) total, rumah sakit ABSTRACT DETERMINATION OF GAMMA AND BETA GROSS RADIOACTIVITY IN HOSPITAL LIQUID AND SOLID WASTES AT YOGYAKARTA. Radioactivity in liquid and solid waste samples from hospital of Sarjito, Panti Rapih, Bethesda, PKU Muhammadiyah, dan Wirosaban (RSUD Yogyakarta) has been studied for first year. This determination was carried out to know each the radioactivity of β, γ gross on the liquid and solid hospital area Yokyakarta. Sampels taken preparation and analysis based on the procedures of environmental radioactivity analysis. The radioactivity on the liquid and solid wastes were detected by beta gross spectrometer with Geiger Muller (GM) and gamma spectrometer with Ge(Li) detector. The result indicates that concentration of beta and gamma gross are (0,12-0,23) mBq/l and (0,018-0,029) mBq/l respectively. Key words: Radioactivity of gamma (γ), beta (β) gross, hospital
PENDAHULUAN
B
agian sanitasi lingkungan rumah sakit merupakan tempat pengolahan berbagai macam limbah. Menurut Arifin(1) limbah klinis dikategorikan sebagai limbah radioaktif, limbah kimia, limbah infeksius dan limbah benda tajam. Selain limbah klinis, dari kegiatan penunjang rumah sakit juga menghasilkan limbah non klinis berupa limbah yang berasal dari kantor atau administrasi (berupa kertas), unit pelayanan (berupa karton, kaleng, botol), tempat pencucian pakaian, sampah dari ruang pasien, sisa makanan
Suhardi, dkk.
buangan; sampah dapur (sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain). Pengelolaan limbah rumah sakit yang tidak baik akan memicu resiko terjadinya pencemaran lingkungan. Pengelolaan limbah dikelompokan sesuai dengan jenisnya; limbah cair organik dan anorganik , limbah padat organik dan anorganik. Oleh karena itu untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit dan sekitarnya perlu kebijakan sesuai manajemen keselamatan dan kesehatan kerja(1). Kebijakan yang dilakukan adalah dengan melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah rumah sakit sebagai salah satu indikator penting yang perlu diperhatikan.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 199
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Penelitian ini menggunakan metode analisis radionuklida secara kualitatif dan kuantitatif, salah satunya dengan metode spektrometri gamma. Spektrometri gamma adalah metode analisis yang didasarkan pada interaksi antara detektor dengan sinar/energi gamma yang dipancarkan oleh inti yang teraktivasi menjadi inti dalam keadaan dasar(2,3). Spektrometer gamma mempunyai keunggulan antara lain dapat digunakan untuk menganalisis secara serentak tanpa didahului pemisahan kimia yang rumit dan menghemat waktu pencacahan karena pengukuran puncak gamma dari tenaga rendah sampai dengan tenaga tinggi dapat dilakukan secara bersamaan. Zat radioaktif pemancar gamma dapat berupa cairan, padatan, gas dan lumpuran, sehingga analisis dengan spektrometer gamma tidak merusak bahan serta cocok untuk semua wujud sampel. Partikel beta adalah elektron berkecapatan tinggi dipancarkan dari inti atom yang tidak stabil. Elektron positip (positron) atau elektron negatip (negatron) mungkin dipancarkan dari satu radionuklida(4). Pemancar beta termasuk didalamnya pancaran positron, sehingga partikel beta adalah positron dan elektron. Massa kedua partikel beta adalah sama, mempunyai muatan listrik yang sama tetapi berlawanan. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengukuran alami dalam sampel limbah cair dan padat berupa abu hasil pembakaran yang terdeteksi oleh spektrometer gamma dan beta, dan untuk mengetahui kualitas radioekologis di lingkungan pengolahan limbah Rumah Sakit berdasarkan Keputusan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No 214/KPTS/1991 tahun 1991, Yoyakarta (1991)(5) dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Jakarta (2004)(5). TATA KERJA Peralatan 1. Seperangkat Spektrometer Gamma (γ) dengan detektor Ge(Li) dan software Maestro II EG&G Spektrometer γ Ortec. 2. Alat cacah beta latar rendah (Low Background Counter LBC). 3. Cawan porselin 1000 ml, 4. gelas ukur 1000 ml, 5. gelas ukur 25 ml, 6. corong, 7. kertas saring, 8. penumbuk,
Buku II hal 200
9. 10. 11. 12. 13. 14.
wadah sampel limbah cair (water sampler), wadah sampel limbah padat (grag sampler), kontainer plastk, jerigen 5000 ml, ayakan,nampan, t imbangan digital Ohaus GT 410 dan kompor listrik
Bahan 1. Sampel limbah cair dan padat rumah sakit, 2. sumber standar multigamma Eu-152, 3. sumber tandar Cs-137 KCL merck untuk penentuan kalibrasi efisiensi pencacahan, 4. Sr-90 untuk kesetabilam alat cacah. Cara kerja 1. Sampel limbah cair sebelum dan sesudah diolah diambil di bagian sanitasi rumah sakit, tepatnya di lokasi IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) sebanyak 5 Liter. Pengambilan sampel dilakukan di lima Rumah Sakit Yogyakarta, yang didatangkan dari rumah sakit Dr. Sardjito, rumah sakit Panti Rapih, rumah sakit Bethesda, rumah sakit PKU Muhammadiyah, dan rumah sakit Wirosaban (RSUD Yogyakarta) 2. Diambil 1 (satu) liter kemudian dilakukan preparasi sampel meliputi proses penyaringan dan pemekatan penguapan air hingga volume limbah cair dari 1000 mL menjadi sekitar 25 mL. 3. Hasil pemekatan dimasukkan kedalam wadah pencacahan diberi kode atau nomor dan siap dilakukan pencacahan dicacah selama 28800 detik 4. Sampel limbah padat berupa abu diambil di bagian sanitasi rumah sakit, tepatnya di lokasi pembakaran limbah padat (Incineration) sebanyak 5 Kg, kemudian dilakukan preparasi sampel meliputi proses pengayakan dan penimbangan sebanyak 100 gram dalam wadah pencacahan dan siap dilakukan pencacahan. Hasil penimbangan dimasukkan kedalam container plastic dan siap dicacah selama 28800 detik atau 8 jam 5. Sampel limbah cair pekat dan padat Nomor (3) dan (4) dicacah dengan menggunakan spektrometer gamma, untuk dilakukan aktivitas gamma total. 6. Untuk keperluan beta total, larutan pekat nomor (2) dituang berlaha-lahan ke dalam planset dan dikeringkan dengan bantuan lampu pemanas, cuplikan ini ditimbang dan siap untuk dilakukan pengukuran aktivitasnya dengan menggunakan alat cacah
ISSN 1410 – 8178
Suhardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
total β dengan detektor Geiger Muller (GM) dan pencacahan total beta adalah 30 menit. 7. Pengukuran latar juga dilakukan dengan waktu 30 menit sama dengan waktu pencacahan dan dicatat hasil pencacahannya. 8. Limbah padat ditimbang seberat 1 gram dalam planset dan kemudian dilakukan pencacahan beta total dengan menggunakan alat cacah total β dengan detektor Geiger Muller (GM) dan pencacahan total beta adalah 30 menit. Persamaan yang dipakai untuk mengukur radioaktivitas sinar γ dan β Untuk menentukan kalibrasi tenaga dan efisiensi detektor (ε %) menggunakan sumber eksitasi Eu-152 yang telah diketahui aktivitasnya dari hasil cacah akan dapat diketahui efisiensi disetiap puncak tenaga. Perhitungan dan penentuan efisiensi serta radioaktivitas total gamma dan menggunakan persamaan yang telah dilakukan oleh SUKIRNO dkk(6,7) yaitu persamaan (2) dengan menggunakan alat spektrometer gamma dengan detektor Ge(Li). Pencacahan sampel di lakukan dengan menggunakan alat cacah beta latar rendah dengan detekor Geigger Muller (GM) selama 30 menit. Setelah selesai pencacahan, dicacat hasil cacah dan dilakukan perhitungan menggunakan persamaan (1).
Aβ = Aγ =
C t β − C bβ
(60 . E . L ) Csγ − CB E.Py.L
gambar histogram 1, 2 dan 3. Ada sedikit peningkatan radioaktifitas limbah sebelum memasuki lingkungan Ruma Sakit dan sesudah keluar dari lingkungan Rumah Sakit. Berdasarkan hasil penelitian, besarnya radioaktifitas gamma total dan beta total dalam limbah Rumah Sakit, besar-kecilnya volume kegiatan masing-masing Rumah Sakit sesuai dengan klasifikasinya; radioaktifitas limbah yang dihasilkan tidak menunjukkan peningkatan radioaktifitas yang signifikan. Hasil pengukuran konsentrasi total limbah cair sebelum maupun sesudah diolah berada di bawah baku mutu menurut keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No 214/KPTS/1991 tahun 1991, yaitu (1,0 Bq/l)(4). Pada Gambar 1 terlihat jelas konsentrasi total radionuklida pemancar β dalam air bekisar 0,11 Bq/L sampai dengan 0,23 Bq/L. Hasil ini dapat juga dilihat pada lampiran Tabel 2 yang tersaji menunjukkan bahwa limbah cair rumah sakit masih tidak membahayakan dan memberikan informasi bahwa konsentrasi radioaktivatas total β (beta) limbah cair merupakan radioaktivitas latar belakang, dan ditinjau dari radioekologi untuk pemancar totol beta pada saat ini masih aman dan belum tercemar oleh kegiatan manusia.
(1)
(2)
di mana : Aβ= aktivitas total β (Bq/l) atau Bq/kg Aγ= aktivitas total γ (Bq/l) atau Bq/kg Ctβ= laju cacah total β (cps) Cbβ= laju cacah latar total β (cps) CSγ= laju cacah total γ (cps) CBγ= laju cacah latar total γ (cps) L= ukuran cuplikan (liter) atau kg E= efisiensi (%) Py= Probabilitas
Gambar 1.
Histogram radiaktivitas beta total limbah cair rumah sakit sebelum dan sesudah diolah
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil analisis radioaktivitas limbah cair dan padat limbah rumah sakit untuk total beta dan gamma dimana limbah cair merupakan limbah cair yang belum diolah dan setelah diolah pada intalasi pengolahan limbah rumah sakit, sedangkan limbah padat berupa hasil pembakaran yaitu berupa abu. Hasil analisis dapat dilihat pada Suhardi, dkk.
Gambar 2. Histogram konsentrasi limbah padat berupa abu hasil pembakaran untuk konsentrasi beta total
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 201
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Hasil pencacahan radioaktivitas total gamma dari kelima limbah cair dari lokasi sampling dapat dilihat pada perbandingan histogram Gambar 3. Pada gambar tersebut terlihat jelas perbandingan besaran konsentrasi aktivitas total gamma setiap rumah sakit, konsentrasi aktivitas total gamma untuk kelima rumah sakit tidak mencolok berkisar dari 0,018 Bq/L konsentrasi terkecil terdapat dirumah sakit Pati Rapih sampai dengan 0,029 Bq/L terdapat dirumah sakit Wirosaban Kodya Yogyakarta. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi total radioaktivitas pemancar gamma dalam limbah cair sebelum maupun sesudah masih berada di bawah baku mutu menurut keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 yaitu sebesar (4,0 Bq/l)(5). Hal ini memberikan informasi bahwa konsentrasi radioaktivatas total gamma limbah cair sebelum maupun sesudah merupakan radioaktivitas latar belakang.
Gambar 3. Histogram radiaktivitas gamma total limbah cair rumah sakit sebelum dan sesudah diolah
Gambar 4. Histogram konsentrasi limba padat berupa abu hasil pembakaran untuk konsentrasi gamma total Limbah padat yang detentukan merupakan limbah padat berupa abu hasil pembakaran, dimana hasil dapat dilihat pada
Buku II hal 202
histogram Gambr 4. Hasil menunjukkan ada 4 limbah padat yang dilakukan pengukuran, dimana konsentrasi tertinggi adalah 5,358 Bq/kg limbah rumah sakit Panti Rapih dan yang terendah adalah 2,518 Bq/kg terdapat pada limbah hasil pembakaran rumah sakit Dr. Sardjito. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa konsentrasi total radioaktivitas pemancar gamma dan beta dalam limbah padat belum ada baku mutunya.
KESIMPULAN Distribusi radioaktivitas total β dan γ dalam limbah cair sebelum dan sesudah pengolahan merata dan tidak ada yang mencolok diantra limbah rumah sakit, radioaktivitas total β mempunyai aktivitas (0,12 Bq/L sampai dengan 0,23 Bq/L dan radioaktivisa γ mempunyai konsentrasi 0,018 bq/L sampai dengan 0,029 Bq/L. Keseluruhan radioaktivitas beta dan gamma dalam limbah cair masih berada di bawah baku mutu menurut keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No 214/KPTS/1991 tahun 1991, yaitu (1,0 Bq/L). Radioaktiftas limbah yang dihasilkan dari kegiatan masing-masing Rumah Sakit sesuai dengan klasifikasinya menurut hasil penelitian yang kami lakukan, peningkatan radioaktifitas limbah sebelum dan sesudah melalui lingkungan rumah sakit relatif sama besarnya. DAFTAR PUSTAKA 1. ARIFIN.M, Pengaruh Limbah Rumah Sakit Terhadap Kesehatan. FKUI. Jakarta (2008) 2. WISNU. S. Spektrometri Gamma. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.(1988) 3. ERDTMANN, G.,. The Gamma Rays of the Radionuclides., New York (1979) 4. WARDANA W.A., Teknik Analisis Radioaktivitas Lingkungan., Andi Offset, Yogyakarta (1994) 5. ANOMIM., Keputusan Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No 214/KPTS/1991 tahun 1991, Yoyakarta (1991) 6. ANOMIM., Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004. Jakarta (2004 7. SUKIRNO. SUDARMADJI., “Pengukuran Radioaktivitas Gamma, Beta dan Identifikasi Radionuklida dalam Sedimen dan Air Sungai”. Prosiding PPI_PDIPTN, P3TM-BATAN. Yogyakarta (2001)
ISSN 1410 – 8178
Suhardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
8. SUKIRNO,. IRIANTO.B,. MURNIASIH. S., “Evaluasi Radioaktivitas Alam dalam Air dan sedimen Sungai Gajahwong Yogyakarta. Prosiding PPI-PDIPTN, P3TM-BATAN. Yogyakarta (2007).
TANYA JAWAB Untung Margono Mohon dijelaskan kalibrasi alat LBC? Suhardi Kalibrasi peralatan cacah beta latar rendah (LBC) dilakukan menggunakan sumber standar Sr-90. Pencacahan dilakukan sebanyak 10 kali dengan waktu cacah 1 (satu) menit kemudian di hitung harga chikuadrat (X2), Bilangan harga X2 adalah antara : 3,6 – 16,3 Wagirin Hasil Aktivitas gross Beta pada sampel padat > 1 Bq, Mohon dijelaskan? Suhardi Baku mutu (aktivitas /Kadar tertinggi yang di ijinkan)= 1Bq/L Baku mutu tersebut adalah untuk sampel air/cairan, sehingga untuk sampel padat belum ada baku mutunya
Suhardi, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 203
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
LAMPIRAN Tabel 1. Berat cuplikan, pencacahan, laju cacah cuplikan limbah cair aktivitas beta Cuplikan
Berat
T,cacah
Jumlah cacah
Laju cacah (cpm)
gr
menit
Cupl
Latar
Cuplikan
Latar
Netto
Sarjito, sebelum
0,089
30
112
93
3,73
3,10
0,63±0,47
Sarjito, Sesudah
0,096
30
116
93
3,86
3,10
0,67±0,48
Bethesda, Sebelum
0,129
30
119
93
3,96
3,10
0,86±0,48
Bethesda, Sesudah
0,141
30
121
93
4,03
3,10
0,93±0,48
P. Rapi, Sebelum
0,127
30
116
93
3,86
3,10
0,76±0,48
P. Rapih, Sesudah
0,120
30
120
93
4,00
3,10
0,90±0,48
PKU, Sebelum
0,200
30
120
93
4,00
3,10
0,90±0,48
PKU, Sesudah
0,195
30
127
93
4,23
3,10
1,13±0,49
Wirosaban, Sebelum
0,167
30
122
93
4,06
3,10
0,96±0,49
Wierosaban, Sesudah
0,151
30
131
93
0,36
3,10
1,26±0,49
Tabel. 2. Hasil akhir pengukuran aktivitas beta total atau konsentrasi limbah cair Cuplikan
Efisiensi, %
Laju peluruhan (dpm)
Aktivitas (Bq/L) Cair
Aktivitas (Bq/kg) Padat
Sarjito, sebelum
9,65
6, 53±4,87
0,11±0,08
-
Sarjito, Sesudah
9,65
7,88± 4,97
0,13±0,08
0,134±0,13
Bethesda, Sebelum
10,52
8,17±4,56
0,14±0,07
-
Bethesda, Sesudah
10,52
8,84±4,56
0,15±0,07
-
P. Rapi, Sebelum
10,52
7,22±4,56
0,12±0,07
-
P. Rapih, Sesudah
10,51
8,55±4,56
0,14±0,07
0,426±0,14
PKU, Sebelum
8,34
10,97±5,75
0,18±0,09
PKU, Sesudah
8,34
13,55±5,86
0,23±0,09
Wirosaban, Sebelum
10,90
8,81±4,50
0,15±0,07
Wierosaban, Sesudah
10,90
11,56±4,50
0,19±0,07
0,341±0,0,14
0,267±0,0,13
Klasifikasi Rumah Sakit Yogyakarta. NO. Nama Rumah Sakit 1. RSUP. Dr. Sardjito 2. RS. Panti Rapih 3. RS. Bethesda 4. RS. PKU Muhammadiyah 5. RSUD. Yogyakarta Http. : ll Klasifikasi RS. Yogyakarta. Buku II hal 204
Jumlah Tempat Tidur 500 – 1000 300 - 5000 300 - 5000 100 - 500 100 - 500
ISSN 1410 – 8178
Klasifikasi B2 B1 B1 C C
Suhardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PERBANDINGAN ANALISIS PENGAMBILAN LOGAM Fe TOTAL SEDIMEN SUNGAI MURIA DENGAN PELARUT HF MEMAKAI “TEFLON BOMB DIGESTER” Sihono, J. wasito, Muljono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK PERBANDINGAN ANALISIS PENGAMBILAN LOGAM Fe TOTAL SEDIMEN SUNGAI MURIA DENGAN PELARUT HF MEMAKAI ”TEFLON BOMB DIGESTER”. Telah dilakukan pengambilan total logam Fe dalam sedimen sungai di daerah Muria dengan asam fluorida. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengambilan total logam Fe dari sedimen sungai di daerah Muria. Berdasarkan hasil perbandingan analisis total logam Fe dalam sedimen sungai memakai AAS dan XRF, bahwa semakin tinggi konsentrasi HF pengambilan Fe dengan ”Teflon Bomb Digester” semakin tinggi pula. Hal ini berlaku untuk sedimen sungai Kancilan = ± 2298,37 ppm; Suru = ± 735,8696 ppm dan sedimen sungai Wareng = ± 825,5435 ppm. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk sedimen sungai Balong dan Dombang. Hal ini terlihat pada perbandingan linier antara XRF dan AAS, harga R2 sedimen sungai Balong = 0,0082 dan R2 sedimen sungai Dombang = 0,591.
ABSTRACT COMPARISON OF ANALYSIS. OF THE TOTAL Fe FROM SEDIMENT OF RIVER MURIA WITH HF ACID USE OF “TEFLON BOMB DIGESTER”. Comparison of analysis. of the total fe from sediment of river muria by HF acid by teflon bomb digester have been done. The aim of this research is to know the desorption of total Fe from river sediment Muria by HF Acid. Base on comparation of total analysis Fe in river sediment by AAS and XRF, that increases of concentration HF acid the intake of Fe by "Teflon Bomb Digester" also increases. This matter was valided for the sediment of Kancilan river was ± 2298.37 ppm; Suru ± 735.8696 ppm and sediment of river Wareng ware ± 825.5435 ppm. But this matter is not applicable for the sediment of river of Balong and Dombang. This Matter were seen at linear comparison between XRF and AAS comparation, that the vaue of R2 of sediment river Balong was 0.0082 and R2 of sediment of river Dombang was only 0.591.
PENDAHULUAN
K
egiatan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di lingkungan Semenanjung Muria merupakan persyaratan penting untuk dapat dibangunnya PLTN di Indonesia yang telah dicanangkan sejak tahun 1977. Salah satu aktivitas AMDAL yang perlu dilakukan adalah untuk memperoleh data sebaran logam berat terhadap sungai-sungai di sekitar perairan Muria. Walaupun pembangunan PLTN tersebut belum dimulai aktivitasnya, tetapi dataSihono, dkk.
data AMDAL tersebut setelah lima tahun harus diperbaharui sebagai data ”background level” 5 tahunan. Kegiatan rutin ini penting karena untuk mengevaluasi pencemaran khususnya pencemaran akibat logam berat di Daerah Aliran Sungai (DAS) sekitar Muria. Akibat dari kegiatan AMDAL ini diharapkan gejolak peningkatan atau penurunan logam berat di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Muria dapat lebih awal diketahui, sehingga pengambil keputusan PEMDA setempat dapat mencegah atau melokalisir.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 205
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kegiatan AMDAL adalah satunya adalah monitoring yang berguna untuk menentukan konsentrasi kontaminan awal atau rona awal dari polutan berbahaya di suatu wilayah tertentu Menurut Ziwart dan (”background area”)(1). Trivedi (2), dampak dari kegiatan pemantauan diharapkan dapat melakukan identifikasi ancamanancaman yang potensial terhadap kesehatan manusia dan ekosistem alam (ekotoksikologi). Hasil data yang didapat selanjutnya dilakukan evaluasi untuk pemenuhan terhadap beberapa standar pemerintah (PP No. 7 1999) ataupun beberapa standar internasional seperti WHO, IAEA, ISD, dan lain-lain. Keluaran kegiatan pemantauan dapat dipakai oleh pengambil keputusan (Pemerintah), untuk diinformasikan kepada masyarakat tentang kualitas lingkungan sungai, selanjutnya dapat dikembangkan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat akan isuisu lingkungan. Kegiatan pemantauan dipilih daerah atau area dengan radius 2 km hingga 5 km dari calon tempat dibangunnya PLTN pertama di Indonesia yaitu Ujung Lemahabang. Daerah dengan luasan radius 2 km hingga 5 km tersebut yang diperkirakan sebagai sumber utama penyebab pencemaran selain PLTN sendiri adalah sungaisungai yang melewati di daerah tersebut. Sungaisungai yang terdapat pada 2 km hingga 5 km seperti Sungai Kancilan, Sungai Balong, Sungai Suru, Sungai Dombang dan Sungai Wareng. Sungai-sungai tersebut diperkirakan membawa polutan ion logam yang berasal dari pelapukan batuan dan mineral, limbah pertanian (pestisida dan pupuk), industri kayu dan limbah domestik yang dibawa dari daerah yang lebih luas radiusnya. Pada daerah radius 2 km hingga 5 km dimana muara kelima sungai-sungai tersebut berada, diperkirakan akan terakumulasi pencemar ion logam dari tahun ketahun akan terus bertambah. Jadi dengan mengambil sampel dari kelima sungai-sungai tersebut untuk ditentukan rona awalnya diharapkan telah memenuhi syarat pemantauan sesuai dengan persyaratan oleh Canter, 1996 (3). Untuk melakukan pemantauan sesuai persyaratan, diperlukan data-data kandungan unsur yang ada dalam kelima sedimen sungai. Salah satu metoda yang dapat digunakan adalah metoda nyala spektrometri serapan atom (SSA). Pada metoda SSA, cuplikan sedimen diubah menjadi bentuk larutan melalui proses ekstraksi padat-cair. Menurut Murray, C.N. and Murray, L. (4) desorpsi yang terjadi pada ekstraksi padat-cair merupakan peristiwa keluarnya analit yang terkandung di dalam ”bulk” sedimen (padatan) ke dalam larutan. Beberapa faktor yang berpengaruh Buku II hal 206
adalah waktu kontak, konsentrasi pelarut, konsentrasi zat terlarut dalam sedimen, spesiasi zat terlarut, kandungan organik/anorganik dalam sedimen dan salinitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelarut asam HF yang digunakan pada proses ekstraksi padat-cair sehingga terjadi proses desorpsi (pelepasan) logam dari padatan ke bentuk cair. Penelitian ini juga untuk mengetahui seberapa besar desorpsi (pelepasan) logam setelah dilakukan ekstraksi secara padat-cair menggunakan HF. Analisis unsur dapat dilakukan oleh berbagai alat, tergantung unsur apa saja yang akan dianalisis. Spektrometer pendar sinar-X merupakan salah satu alat yang populer digunakan untuk analisis unsur mayor dan minor, dan cuplikan dapat berupa padat dan cair dan penanganan sampel dan pengoperasiannya tidak rumit. Sedangkan SAA lebih rumit dalam pengoperasian maupun preparasi sampelnya, mengingat sampel yang akan dianalisis harus berupa cairan bening dan analisis unsur tergantung dari tersedianya lampu yang akan digunakan, maka pada penelitian ini akan membandingkan analisis pengambilan logam Fe total sedimen sungai Muria dengan pelarut HF memakai ”Teflon Bom Digester”. Pada penelitian ini sengaja dipilih pengambilan logam Fe dalam 5 (lima) sedimen sungai di daerah Muria. Karena Fe merupakan unsur mayor dan esensial bagi tanaman, tetapi dapat berupa racun apabila berlebihan dan masuk ke dalam air sungai pada musim hujan. TATA KERJA Bahan Blanko (aquadest/air suling), standar: Fe (Eisen-standard, 1000 mg Fe, no. 1.09972. Titrisol), buatan Merck. Bahan kimia antara lain : asam nitrat dan asam fluorida. Cuplikan sedimen sungai Kancilan (A), Balong (B), Suru (C), Dombang (D) dan Wareng (E), dari Muria. Lokasi dan letak astronomis pengambilan cuplikan, seperti disajikan pada Tabel 1. Selain itu diperlukan pula standar unsur Fe, Cu dan Sr (dalam bentuk serbuk). Tabel 1. Lokasi dan letak astronomis pengambilan cuplikan. Tabel 1. Lokasi dan letak astronomis pengambilan cuplikan. Sedimen Bujur Timur Lintang Selatan Sungai Kancilan (A) 110o, 46’, 40,3” 06o, 30’, 04,5” o Balong (B) 110 , 47’, 47,5” 06o, 28’, 04,8” o Suru (C) 110 , 48’, 48,5” 06o, 26’, 43,5” o Dombang (D) 110 , 49’, 43,1” 06o, 28’, 57,8” o Wareng (E) 110 , 50’, 14,7” 06o, 27’, 48,6”
ISSN 1410 – 8178
Sihono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Cuplikan diencerkan 500 (lima ratus) kali. Cuplikan siap untuk dilakukan pengukuran/analisis. c) Persiapan pengoperasian spektrometer nyala serapan atom, meliputi : optimasi kondisi analisis untuk unsur Fe. d) Pengoperasian spektrometer nyala serapan atom, meliputi : analisis standar dan cuplikan. Pengukuran logam Fe dapat dibaca langsung pada tampilan komputer yang telah di-set dengan seperangkat spektrometer nyala serapan atom. Pengukuran/analisis dilakukan masing-masing 3X (tiga kali) untuk Blanko, Standar maupun Cuplikan. Hasil yang diperoleh berupa data dalam print out. Kondisi operasi Spektrometer nyala serapan atom, disajikan pada Tabel 2.
Peralatan 1. Spektrometer Nyala Serapan Atom (Flame Atomic Absorption Spectrometer, AAS) Seperangkat spektrometer nyala serapan atom (SpectrAA-300), buatan Varian, Techtron, Australia. Teflon bomb digester, Peralatan gelas, antara lain : labu takar kaca dan teflon 10 mL, gelas beker teflon 50 mL, pipet mikro 10 – 100 µL, 50 – 250 µL, dan 100 – 1000 µL. 2. Spektrometer Pendar Sinar-X (X-Ray Fluorescence, XRF) Alat penumbuk cuplikan yang terbuat dari stainless steel; Timbangan OHAUS GT 410. Sumber eksitasi : Cd-109; Drop out relay.; Stabilizer “Philips PE1414 line conditioner 1.5 kVA”.; Detector Si(Li) “Canberra Model SL 30170” beserta perangkatnya yang terdiri atas : Bin power supply “Canberra Model 2000”, HV power supply “Canberra Model 31020” (diset 0.50 = 500 Volt), Spectroscopy amplifier “Canberra Model 2020” (Coarse gain 100, Fine gain 9.30=0,93 dan Shapping time 6 µsec.), Pre amplifier (perangkat awal) “Canberra Model 2008B”. Seperangkat computer yang terdiri atas : CPU Simbadda “Model Sim-X”, Key board “Model Millenia”, Monitor LG “Model Flatron L 1553 S”. Cara Kerja 1. Spektrometer Nyala Serapan Atom (Flame Atomic Absorption Spectrometer, AAS) a) Penyiapan Blanko (aquadest/air suling), standar: Fe (Eisen-standard, 1000 mg Fe, no. 1.09972. Titrisol), buatan Merck. Cuplikan sedimen sungai Kancilan (A), Balong (B), Suru (C), Dombang (D) dan Wareng (E), dari Muria yang diambil pada 16 Juli 2007. Preparasi standar dan cuplikan, meliputi : pembuatan standar dan penimbangan cuplikan, masing-masing kurang lebih 0,100 gram. b) Masing-masing cuplikan dimasukkan ke dalam ”Teflon Bomb Digester”, ditambah HNO3 65% masing-masing sebanyak 1 mL (tetap untuk setiap cuplikan); ditambah HF (variasi persentase: 8%, 24% dan 40%) 0,5 mL dan aquades secukupnya.. Ditutup rapat-rapat, dimasukkan ke dalam oven, dipanaskan dengan suhu 150oC selama 3 jam. Setelah dingin, dibuka dan dilanjutkan dipanaskan secara terbuka di atas plat panas (hot plate) untuk menghilangkan asam dengan cara menambahkan air suling/aquadest dan dipanaskan lagi beberapa kali. Ditepatkan sampai tanda garis dalam labu takar teflon 10 mL dengan air suling/aquadest. Sihono, dkk.
Tabel 2. Kondisi operasi Spektrometer nyala serapan atom Logam Besi (Fe) Kondisi operasi Lebar celah (Slit width)
0,2 nm
Panjang gelombang (Wave length)
248,3 nm
Nyala (Flame)
Air acetylene
Arus lampu (Lamp curent)
5 mA
Tinggi pembakar (Burner)
14 mm
Lajju alir udara (Air flow)
13,5 L/menit
Laju alir acetylene (Acetylene flow)
2,47 L/menit
Laju alir cuplikan
4,5 mL/menit
2.
Spektrometer Pendar Sinar-X (X-Ray Fluorescence, XRF) a). Preparasi Cuplikan ditumbuk/dihaluskan dengan menggunakan peralatan stainless still. Disaring dengan ayakan lolos 100 mesh, dihomogenkan, ditimbang ± 1 gram, menggunakan Timbangan OHAUS GT 410. Sebagai wadah/tempat cuplikan digunakan pralon PVC diameter Ø = ½ ” tinggi 1 cm dan diberikan alas plastik milar serta dijepit menggunakan pralon PVC. Standar yang digunakna adalah : Standar BRS dengan Kode BRS. b).Kalibrasi tenaga, pencacahan dengan sumber eksitasi Cd-109 Diletakkan Sumber standar unsur Fe, Cu dan Sr (dalam bentuk serbuk) di atas sumber eksitasi Cd-109. Selanjutnya pencacahan dilakukan dengan cara : mengklik kiri pada mause, dimana anak panah pada layar monitor menunjuk Start.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 207
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Maka perangkat spektrometer pendar sinar-X mulai mencacah. Setelah 300 detik atau lima menit, maka pencacahan secara otomatis berhenti. Dicatat nomor salur (X) dan tenaga (Y) untuk masing-masing puncak Fe, Cu dan Sr. Hasil pencacahan disajikan pada Tabel 3. Data pencacahan dibuat grafik dengan menggunakan program excel. Dimasukkan data hasil pencacahan sumber standar masing-masing
nomor salur (X) dan tenaga, KeV (Y). Persamaan garis lurus yang merupakan grafik kalibrasi tenaga dapat diperoleh dan ditampilkan dalam program excel tersebut. Selain dari itu persamaan garis lurus (Y = bX + a) dan harga koefisien korelasinya (R2) dapat ditampilkan pula dalam gambar tersebut. Kurva kalibrasi tenaga disajikan pada Gambar 1.
Tabel 3.Hasil pencacahan standar unsur Fe, Cu dan Sr (dalam bentuk serbuk) untuk kalibrasi spektrometer pendar sinar-X menggunakan detektor Si(Li) dengan sumber eksitasi Cd-109, waktu pencacahan lima menit. No. Unsur Tenaga, KeV (Y) Nomor salur (X) 1.
Fe
2. 3.
Cu
4. 5.
Sr
6.
6,403
119
7,057
131
8,047
149
8,904
165
14,164
261
15,834
292
Lalibrasi Tenaga (sumber Eksitasi Cd-109) 15 y = 0,0546x - 0,09 R2 = 1
Tenaga (KeV)
13 11
9 7 5 100
150
200
250
300
Nomor Salur Gambar 1.
Kurva kalibrasi tenaga unsur Fe, Cu dan Sr (dalam bentuk serbuk) spektrometer pendar sinar-X menggunakan detektor Si(Li) dengan sumber eksitasi Cd-109, waktu pencacahan lima menit
c). Analisis Analisis dilakukan dengan menggunakan Spetrometer pendar sinar-X. Sumber eksitasi yang digunakan antara lain adalah : Cd-109 (menganalisis unsur-unsur logam yang
Buku II hal 208
mempunyai tenaga antara 5 sampai dengan 20 KeV). Analisis dilakukan dengan cara pencacahan cuplikan dan standar. Cuplikan diletakkan di atas sumber eksitasi, waktu pencacahan 1000 detik. Hasil pencacahan disimpan di dalam hard disc.
ISSN 1410 – 8178
Sihono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
d).Perhitungan hasil analisis Kadar Cuplikan, digunakan Rumus Baku : Net Area Cuplikan Net Area Coumpton Kadar log am dalam cuplikan =
Net Area S tan dar Net Area Coumpton
Berat Cuplikan
x Kadar S tan dar
Berat S tan dar
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis baik dengan metoda AAS maupun XRF, disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Untuk memperjelas hasil analisis setiap cuplikan
sedimen sungai, maka ditampilkan pula Gambar 4 sampai dengan Gambar 8.
Kons. Fe (ppm), dalam cuplikan dengan AAS
2500
Kons. Fe (ppm)
2000
1500
1000
500
0 Kancilan
Balong
Suru
Dombang
Wareng
Cuplikan Hf=8%
Gambar 2.
Hf=40%
Hasil analisis Fe total pada beberapa cuplikan sedimen sungai Muria dengan AAS.
Hasil analisis Fe total pada beberapa cuplikan sedimen sungai Muria dengan AAS, disajikan pada Gambar 2. Dalam Gambar 2, terlihat bahwa di dalam sedimen sungai Kancilan, konsentrasi Fe tertinggi dapat terambil dengan konsentrasi HF 40%, sedangkan pada konsentrasi HF 8% dan 24% pengambilan logam Fe kurang baik. Dengan kata lain, Fe dalam sedimen Sungai Kancilan lebih
Sihono, dkk.
Hf=24%
mudah diambil dengan konsentrasi HF = 40%. Karena pengambilan optimum pada 40%, maka diperkirakan Fe total ikut di dalam sedimen yang mengandung SiO2 (mineral Fe, Si) atau sedimen Sungai Kancilan kemungkinan merupakan mineral paduan antara Fe dan Si. Karena SiO2 sangat mudah larut dalam HF.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 209
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kons. Fe (ppm) dalam Cuplikan dengan X-Ray 3000
Kons. Fe (ppm)
2500
2000
1500
1000
500
0 Kancilan
Balong
Suru
Dombang
Wareng
Cuplikan Hf=8%
Hf=24%
Hf=40%
Gambar 3. Hasil analisis Fe total pada beberapa cuplikan sedimen sungai Muria dengan XRF. Demikian juga hasil analisis dengan menggunakan XRF, pengambilan total Fe dalam sedimen sungai Kancilan terbaik adalah pada konsentrasi HF = 40%, sedangkan pada konsentrasi HF 8% dan 24% pengambilan Fe kurang baik. Hal ini dapat dilihat pada Hasil analisis Fe total pada beberapa cuplikan sedimen sungai Muria dengan XRF, yang disajikan pada Gambar 3. Selanjutnya pada Gambar 2 dan 3, untuk sedimen sungai Balong,
Suru, Dombang dan Wareng, hasil analisisnya baik analisis AAS (Gambar 2) dan XRF (Gambar 3) mempunyai pola yang hampir sama, kecuali sedimen sungai Balong yang mempunyai pola berlainan antara AAS dan XRF. Untuk memperjelas fenomena ini dapat dilihat dengan analisis regresi hubungan antara AAS dan XRF dapat dilihat pada Gambar 4, 5, 6, 7 dan 8.
Kadar Fe (ppm) dalam Sedimen Sungai Kancilan 2300 y = 0,764x + 302,12 R2 = 0,9536
AAS
2100
1900
1700
1500 1600
1800
2000
2200
2400
2600
XRF
Gambar 4. Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Kancilan dengan menggunakan AAS dan XRF.
Buku II hal 210
ISSN 1410 – 8178
Sihono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kadar Fe (ppm) dalam Sedimen Sungai Balong 1500 1450
y = -0,2001x + 1589,2 R2 = 0,0082
1400
AAS
1350 1300 1250 1200 1150 1100 1200
1250
1300
1350
1400
XRF
Gambar 5. Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Balong dengan menggunakan AAS dan XRF. Pada Gambar 4: Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Kancilan dengan menggunakan AAS dan XRF, terlihat hubungan linier antara hasil analisis AAS dan XRF pada sedimen sungai Kancilan. Hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi HF, akan semakin tinggi pula konsentrasi logam Fe yang dapat diambil. Pada Gambar 5: Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Balong dengan menggunakan AAS dan XRF, terlihat bahwa
ketidak linieran antara analisis XRF dan AAS. Hal ini dapat dilihat pada harga R2 = 0,0082. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara konsentrasi HF dalam pengambilan logam Fe, untuk logam Fe yang terkandung di dalam sedimen sungai Balong. Berdasarkan penelitian (5), dinyatakan bahwa spektra infra red sedimen sungai Balong mempunyai kandungan silikat tinggi, kemungkinan tidak dapat diambil dengan HF.
Kadar Fe (ppm) dalam Sedimen Sungai Suru 1100
y = 1,3422x - 360,31
AAS
1000
2
R = 0,9867
900
800
700 800
900
1000
1100
XRF
Gambar 6. Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Suru dengan menggunakan AAS dan XRF. Pada Gambar 6: Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Suru dengan menggunakan AAS dan XRF, terlihat bahwa terdapat hubungan linier antara analisis XRF dan AAS, dengan R2 = 0,9867.
Sihono, dkk.
Berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi HF, akan mengakibatkan pengambilan logam Fe di dalam sedimen sungai Suru semakin besar pula.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 211
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kadar Fe (ppm) dalam Sedimen Sungai Dombang 700 y = 0,4295x + 323,58 R2 = 0,591
AAS
650
600
550
500 600
650
700
750
800
XRF
Gambar 7. Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Dombang dengan menggunakan AAS dan XRF. Pada Gambar 7: Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Dombang dengan menggunakan AAS dan XRF, terlihat bahwa ketidak linieran antara analisis XRF dan AAS. Hal ini dapat dilihat pada harga R2 = 0,591. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara konsentrasi HF dalam pengambilan logam Fe, untuk logam Fe yang
terkandung di dalam sedimen sungai Dombang. Berdasarkan penelitian (5), untuk sedimen sungai Dombang mempunyai kandungan silikat lebih tinggi dari pada sedimen sungai Balong, dengan demikian sedimen sungai Balong dan Dombang mempuntai karakteristik yang berbeda dengan sungai Kancilan, Suru dan Wareng.
Kadar Fe (ppm) dalam Sedimen Sungai Wareng 1100 1050
AAS
1000 950
y = 1,1284x - 189,91
900
R2 = 0,8415
850 800 750 700 700
750
800
850
900
950
1000
1050
1100
XRF
Gambar 8. Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Wareng dengan menggunakan AAS dan XRF. Adapun pada Gambar 8: Hasil analisis Fe dalam cuplikan sedimen Sungai Wareng dengan menggunakan AAS dan XRF, terlihat bahwa terdapat hubungan linier antara analisis XRF dan
Buku II hal 212
AAS, dengan R2 = 0,8415. Berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi HF, akan mengakibatkan pengambilan logam Fe di dalam sedimen sungai Wareng semakin besar pula.
ISSN 1410 – 8178
Sihono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
KESIMPULAN Berdasarkan hasil perbandingan analisis total logam Fe dalam sedimen sungai memakai HF, bahwa semakin tinggi konsentrasi HF, pengambilan Fe dengan ”Teflon Bomb Digester” semakin tinggi pula. Hal ini berlaku untuk sedimen sungai Kancilan = ± 2298,37 ppm; Suru = ± 735,8696 ppm dan sedimen sungai Wareng = ± 825,5435 ppm. Tetapi hal ini tidak berlaku untuk sedimen sungai Balong dan Dombang. Hal ini terlihat pada perbandingan linier antara XRF dan AAS, harga R2 sedimen sungai Balong = 0,0082 dan R2 sedimen sungai Dombang = 0,591.
7. Iswani S., “Mempelajari Pengaruh Variasi Butiran Partikel Terhadap Analisa Kuantitatip Zr Metoda Spektrometri Pendar Sinar – X”, Kolokium Teknologi Elemen Bakar Nuklir Teknologi Reaktor & Penggunaan Reaktor, Bandung, 13 – 15 Oktober 1982. 8. Sahat Simbolon, “Penentuan Zr Di Dalam Monazit Dengan Spektrometri Sinar – X Radioisotop”, Kolokium Teknologi Elemen Bakar Nuklir Teknologi Reaktor & Penggunaan Reaktor, Bandung, 13 – 15 Oktober 1982. 9. Program microsoft Excel 2003.
DAFTAR PUSTAKA 1. ANONIM, Guidance for Environmental Background Analysis., vol. II. Sediment., NFECS user guide UG-2054-ENV., Naval Facilities Engineering Command., Washington DC 203745065, 2003. 2. ZIWART.D., AND TRIVEDI.R.C., manual on intergrated water quality evaluation., report 802023003, Biomonitoring Indian River II., RIVM proyect 754192 IN/92/021, 1994. 3. CANTER.L.W., “Environmental Impact Assessment”., McGraw-Hill, Inc., New York, 1996. 4. MURRAY.C.N., AND MURRAY, L., “Adsorption-desorption aquilibria of some radionuclides in sedimen-fresh-water and sedimen-seawater systems”, Proceeding of a symposium seattle, 10 – 14 Juli 1972. 5. Supriyanto C., Muzakky, “Proses Desorpsi Logam Berat Pada Sedimen Sungai Daerah Muria Dengan Pelarut Asam”, Jurnal Iptek Nuklir, “Ganendra”, ISSN : 1410-6957, Volume 13 Nomor 1 Januari 2010. 6. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengelolaan Perangkat Nuklir, Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, ISSN : 1410 – 8178, Yogyakarta, 5 September 2007.
Sihono, dkk.
TANYA JAWAB Sri Artiningsih Bagaimana cara analisis cuplikan dengan menggunakan dua perangkat analisis ? Sihono Analisis cuplikan dilakukan dengan preparasi cuplikan yang sama. Jadi cuplikan Dianalisis dengan AAS, setelah selesai analisis cuplikan dengan AAS maka dilanjutkan dengan analisis XRF. Untung Margono Bagaimana cara pengambilan cuplikan ? Sihono prosedurnya : Pengambilan cuplikan dilakukan pada lokasi dan titik tertentu. Pengambilan sedimen dengan peralatan dari plastik, kemudian dimasukkan kedalam plastic clip, pengambilan cuplikan kurang lebih 1 kg
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 213
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
VALIDASI HPLC UNTUK ANALISIS ANION FOSFAT DAN SULFAT DALAM PROSES PEMURNIAN TORIUM DARI PASIR MONASIT Budi Setiawan, Dwi Purnomo Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK VALIDASI HPLC UNTUK ANALISIS ANION FOSFAT DAN SULFAT DALAM PROSES PEMURNIAN TORIUM DARI PASIR MONASIT. Pasir monasit merupakan mineral yang mempunyai bentuk ikatan fosfat, yang mengandung torium, sehingga dalam proses pemurnian torium setelah proses peleburan dengan asam sulfat, akan terdapat kandungan fosfat yang cukup tinggi. Pada proses ekstraksi untuk mengambil torium, kandungan anion fosfat sangat mengganggu, untuk itu dilakukan proses pengendapan fosfat, sehingga diharapkan kandungan fosfat akan semakin berkurang. Untuk mengetahui jumlah fosfat yang ada maka perlu dilakukan analisis fosfat yang ada sebelum proses ekstraksi. Sistem kromatografi HPLC dengan kolom IC PAK anion, eluen natrium borat glukonat : butanol : asetonitril (1:1:2) dengan resolusi 2,7 dan detektor konduktivitas, mampu menganalisis fosfat pada proses pemurnian torium dari pasir monasit dengan batas deteksi 2,800 ppm serta sulfat dengan batas deteksi 0,658 ppm .
ABSTRACT HPLC VALIDATION FOR ANION PHOSPHATE AND SULPHATE ANALYSIS IN THORIUM PURIFICATION PROCESS FROM MONAZITE SAND. Monazite sand is a mineral with thorium bearing phosphate bind therefore its process of thorium purification after dissolution with sulfate acid will have high phosphate content. In the extraction process to acquire thorium, anion phosphate content is very disturbing therefore phosphate deposition should be conducted to minimize the phosphate content. To find the amount of phosphate, an analysis of phosphate content before the extraction is necessary. HPLC chromatography with column of IC PAK anion, eluen natrium borat glukonat : butanol : asetonitril (1:1:2) with resolution 2,7 and conductivity detector system is able to analyze phosphate in the thorium purification process from monazite sand with 2,800 ppm detection limit with 0,658 ppm sulphate detection process.
PENDAHULUAN
P
asir monasit merupakan hasil samping dari proses penambangan dan pengolahan alumunium, pada mulanya pasir monasit ini hanya dibuang atau untuk reklamasi pantai. Tetapi dengan diketahuinya adanya kandungan logam tanah jarang (LTJ) dan torium (Th), maka pasir ini mulai menjadi incaran industri, meskipun pengolahan untuk mendapatkannya harus melalui proses yang panjang dan rumit.
Buku II hal 214
Proses pengolahan pasir monasit dapat dilakukan dengan menggunakan dua metoda : 1. Metoda asam Pada metode ini digunakan asam sulfat untuk melebur pasir monasit pada suhu 210o C. Hasil peleburan ditambah Na2SO4 untuk memisahkan kelompok Seria dan Ytria, endapan yang terjadi dilebur menggnuakan NaOH untuk menghilangkan sisa fosfat
ISSN 1410 – 8178
Budi Setiawan, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
2. Metode basa o
Peleburan pada suhu 140 C digunakan pada proses ini dengan penambahan NaOH. Proses ini dimaksudkan untuk memecah struktur monasit sehingga diharapkan pada tahap awal sudah ridak terdapat sisa fosfat. Proses kedua lebih cepat tetapi menjadi mahal karena perlu penambahan NaOH cukup banyak. Pada penelitian ini dimaksudkan mendukung proses satu, yang menggunakan peleburan asam. Karena proses yang akan dilakukan berikutnya yaitu ekstraksi mempersayaratkan kandungan fosfat seminimal mungkin. Maka perlu diketahui kandungan fosfat sebelum memasuki proses ekstraksi. Apabila fosfat masih tinggi maka diendapkan dengan penambahan NaOH1 Kromatografi adalah suatu metode pemisahan yang berdasarkan pada perbedaan migrasi komponen-komponen antara dua fasa, yaitu fasa diam dan fasa gerak 2. Secara teori pemisahan kromatografi yang paling baik akan diperoleh, jika fasa diamnya mempunyai luas sebesar-besarnya, sehingga terjadi keseimbangan yang baik antar fasa. Kemudian untuk fasa geraknya adalah yang mampu bergerak dengan cepat sehingga terjadi difusi sekecil-kecilnya. Untuk memperoleh luas muka fasa diam yang luas, digunakan serbuk dengan ukuran mikro, kemudian untuk memeperoleh laju yang tinggi dari fasa gerak melewati fasa diam dilakukan dengan tekanan yang tinggi. Persyaratan tersebut telah dapat dipenuhi oleh HPLC (High Performance Liquid Chromatography)2,3 Pada sistem HPLC, fasa diam berupa serbuk berukuran µm, ditempatkan pada kolom secara mampat dengan diameter 0,5 cm dengan
panjang 5 – 50 cm. Fasa gerak berupa cairan murni atau campuran ataupun larutan, untuk menggerakkan fasa gerak dengan tekanan tinggi digunakan pompa. Sistem analisis dengan HPLC terus berkembangan, terutama dengan dibuatnya berbagai instrument analisis seperti Detektor Konduktivitas serta pengembangan kolom anion. Sehingga analisis anion termasuk sulfat bisa lebih cepat, akurat dengan batas deteksi lebih kecil. Pada awalnya untuk analisis sulfat digunakan detektor Indek Bias, yang memang secara umum setiap jenis bahan mempunyai indek bias yang berbeda, tetapi sistem ini batas deteksinya cukup besar4. Dasar Kromatografi Ion Modern diperkenalkan oleh Small, Stevens dan Bauman pada tahun 1975 dengan menggunakan dua buah kolom untuk pemisahan secara bertahap dan detektor konduktivitas. Dari sistem dua kolom tersebutnya akhirnya bisa dibuat kolom tunggal dengan sistem kolom yang lebih padat, sehingga secara efisien mampu melakukan pemisahan5. Detektor Konduktivitas Waters 431 mempunyai lima elektroda yang tersusun sebagai sebuah rangkaian dalam sebuah cell dan semua eluen yang mengalir akan kontak dengan kelima elektroda tersebut. Hal ini berbeda dengan detektor konvensional yang hanya mempunyai 2 elektroda. Detektor Konduktivitas Waters 431 dua elektroda referensi, dua elektrode deteksi, dan satu elektroda khusus yang berfungsi sebagai ground. Sistem ini akan mampu mengeliminasi gangguan elektrik dan sejenisnya. Untuk menghindari gangguan perubahan suhu cell ditempatkan pada sebuah heat exchanger block yang akan meminimalkan gangguan perubahan temperatur. 6
Elektrode Aktiv Elektrode Deteksi Elektrode Penjaga
Aliran Unit Sel Kotak Penukar Panas
Gambar 1. Sel Konduktivitas
Budi Setiawan, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 215
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Penggunaan detektor ini memerlukan kondisi eleuen yang sesuai serta membutuhkan waktu kestabilan yang cukup lama untuk penyesuaian antara daya hantar listrik eluen dengan detektor. Fasa gerak yang digunakan berupa campuran natrium borat glukonat : butanol : asetonitril dengan perbandingan tertentu serta kolom IC Pak Anion, maka dapat dianalisis anion fosfat dan sulfat. Karena perbandingan fosfat dan solfat dalam cuplikan sangat tinggi, maka sebagian besar cuplikan harus dianalisis dua kali dengan pengenceran yang berbeda. TATA KERJA Bahan 1. Cuplikan dari hasil proses olah pasir monasit, 2. akuatrides (HPLC grade), 3. natrium glukonat, 4. asam borat, 5. natrium tetraborat, 6. gliserin, 7. setonitril, 8. butanol. Alat 1. Bejana ultrasonik (Branson 32210), 2. Solvent Preparation Kit, 3. Sample Preparation Kit, 4. Norganic Water Treatment Kit, 5. seperangkat alat kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) yang terdiri dari : pompa model 6000 A (Waters Associates Inc.), injector 100 µL (Rheodyne 7161), detektor konduktivitas 431 (Waters), rekorder (Servogor 120), kolom IC Pak Anion 4,6 x 50 mm (Millipore), guard kolom (kolom pelindung), peralatan laboratorium umumnya. Cara Kerja : Pembuatan eluen 1. Dibuat larutan induk natrium borat glukonat sebanyak 1 liter. Ke dalam labu takar 1 liter dimasukkan 16 gram natrium glukonat, 18 gram asam borat, dan 25 gram natrium tetraborat. Kemudian ditambahkan akuatrides 500 mL, dikocok hingga larut semua, lalu ditambahkan 50 mL gliserin dan akuatrides sampai tanda, dikocok. Larutan natrium borat glukonat ini dapat disimpan dalam waktu 6 bulan dalam lemari pendingin. 2. Dari larutan induk natrium borat glukonat ini dibuat variasi eluen untuk optimasi. Larutan natrium borat glukonat sebanyak x mL, butanol x mL, asetonitril x mL, diencerkan dengan penambahan akuatrides hingga Buku II hal 216
volume 1 liter kemudian disaring menggunakan kertas saring 0,45 µm HA dan dihilangkan udara yang terlarut menggunakan bejana ultra sonik selama 5 menit. Variasi dibuat untuk perbandingan 1:1:2, 1:1:4, 1:1:6 Pembuatan larutan standar Dibuat Larutan induk Fosfat (HPO42-) 6000 ppm dengan menimbang 0,854 gram KH2PO4, dan Sulfat (SO42-) 4000 ppm dengan menimbang 0,592 gram Na2SO4, masing-masing dilarutkan dalam 100 ml akuatrides, selanjutnya dibuat deret campuran larutan standar Fosfat (HPO42-) dan Sulfat (SO42-) : 5;10; 15; 20; 40 ppm. Penyiapan cuplikan hasil olah proses monasit Ditimbang padatan hasil olah pasir monasit sebanyak 0,100 gr dan diencerkan dengan air hangat, setelah larut kemudian diencerkan sebanyak 10 ml dalam labu volumetrik. Optimasi Eluen Masing-masing komposisi eluen dicoba untuk operasi HPLC, pada kondisi operasi : Flow rate : 1,2 ml/mnt Tekanan : 900 psi Vol injeksi : 100 µl Kolom : IC pak Anion 4,6 x 50 mm Detektor : - Sensitivitas = 0,01 - Base Range : 500 µS Recorder : CS 1cm/mnt Standar fosfat, sulfat dan cuplikan diinjeksikan pada sistem HPLC. Uji Resolusi Untuk mendapatkan faktor pemisahan yang baik, dilakukan uji resolusi antara puncak fosfat dan sulfat menggunakan variasi eluen Uji Recovery Uji Recovery ini digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu alat dalam memperoleh kembali konsentrasi sampel yang dianalisis. Yaitu konsentrasi yang terukur mendekati konsentrasi cuplikan yang dibuat. Secara umum hasil analisis dapat diterima bila mempunyai nilai deviasi ≤ 10% dari nilai sebenarnya. Sebanyak 2 ml cuplikan (simulasi) dan 0,15 ml standar sulfat 4000 ppm dilarutkan dengan akuatrides hingga 10 ml. Campuran tersebut diinjeksikan dan dihitung dengan memasukkan luas puncak kromatogram pada persamaan regresi yang telah ada. Dengan cara yang sama juga untuk fosfat
ISSN 1410 – 8178
Budi Setiawan, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Uji batas deteksi Batas deteksi yang merupakan kionsentrasi analit terendah yang masih terukur atau konsentrasi analit yang memberikan sinyal (respon) sebesar sinyal blanko ditambah 3 kali simpangan baku blanko. Hal ini dinyatakan dalam persamaan respon batas deteksi : Yb = a + 3 Sy/x, dan nilainya dihitung dari persamaan regresi linier kurva kalibrasi standar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari kromatogram standar fosfat dan sulfat pada Gambar 2, dengan menghitung dan memperbandingkan jarak (tR), lebar (L), dan tinggi (h) masing-masing puncak dapat dihitung resolusinya.
Sulfat Fosfat
Gambar 2. Kromatogram Fosfat dan sulfat
Komponen 1
Komponen 2
tanggapan
tR.2 tR.1
2σt.1
Puncak injeksi tR0
W0,5.1
w0,5.2.
2σt.1
sulfat t’R.1
wb.1
fosfat t’R.2
wb.2
Gambar 3. Perhitungan Resolusi Budi Setiawan, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 217
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Perhitungan resolusi seperti pada Gambar 3., dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
R=
1,177(t R 2 − t R1 ) W0.5, 2 + W0.5,1 Tabel 1. Perhitungan Nilai Resolusi sesuai variasi eluen
Eluen
Fosfat
Sulfat
R
tR
h
W 0,5
L
tR
H
W 0,5
L
1:1:2
7.5
4.1
0.7
2.87
11.4
4.2
1
4.2
2.700
1:1:4
7.5
4.2
0.6
2.52
11
4.2
1
4.2
2.575
1:1:6
7.6
4.2
0.7
2.94
11.2
4.3
1
4.3
2.492
1:1:8
8.7
4
0.7
2.8
12.6
4.5
1
4.5
2.700
1 : 1 : 10
8
4
0.7
2.8
11.6
4.2
1
4.2
2.492
Dari tabel dengan memperhatikan waktu retensi (tR) dan resolusi maka dipilih eluen 1 : 1 : 2 untuk penelian selanjutnya.
Untuk uji batas deteksi hasilnya seperti pada Tabel 2 A dan 2 B.
Tabel 2 A. Perhitungan Batas Deteksi Anion Fosfat X 5 10 15 20 40 60 80 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Buku II hal 218
Y 0.68 1.30 1.90 2.68 5.33 7.93 10.63 13.33 16.64 19.92 23.28 26.40 29.88 33.30 36.45 39.78
Y^ 0.659 1.324 1.987 2.649 5.298 7.946 10.595 13.244 16.555 19.866 23.177 26.488 29.799 33.110 36.421 39.732
(Y-Y^)2 0.0003 0.0006 0.0075 0.0007 0.0010 0.0003 0.0010 0.0066 0.0072 0.0029 0.0106 0.0077 0.0066 0.0361 0.0008 0.0023
SB
YB
BD
0.0784
0.1327
2.8000
ISSN 1410 – 8178
Budi Setiawan, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
X 5 10 15 20 40 60 80 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Tabel 2 B. Perhitungan Batas Deteksi Anion Sulfat Y Y^ (Y-Y^)2 SB YB 1.70 1.799 0.0098 2.89 2.972 0.0067 4.17 4.145 0.0004 5.36 5.318 0.0014 10.00 10.010 0.0001 14.80 14.702 0.0096 19.35 19.394 0.0019 23.50 24.086 0.3435 0.16197 0.2347 29.90 29.951 0.0026 35.88 35.816 0.0041 41.63 41.681 0.0026 47.61 47.546 0.0041 53.37 53.411 0.0021 59.22 59.276 0.0037 65.13 65.141 0.0001 70.98 71.006 0.0007
Dari tabel tersebut dapat diketahui batas deteksi untuk Fosfat, 2,800 ppm dan Sulfat 0,658 ppm.
BD
0.658851
Dikarenakan sulitnya didapat SRM untuk anion dalam air, maka digunakan uji recovery, dengan menggunakan sampel simulasi, dan didapat hasil seperti pada Tabel 3 A dan B.
Tabel 3 A. Perhitungan Uji Recovery Fosfat Anion
PO43- 15 ppm
h
W
Luas 2
Konsentrasi
(cm)
(cm)
(cm )
Terukur
1.95 1.95 2 1.95 2 2 1.95
2 2 2 2 2 2 2
1.95 1.95 2 1.95 2 2 1.95
14.867 14.867 15.246 14.867 15.246 15.246 14.867
Dibuat
15
Recover y
Standar
(%)
Deviasi
97.348 97.348 104.924 97.348 104.924 104.924 97.348 100.595
-2.652 -2.652 4.924 -2.652 4.924 4.924 2.652 1.353
Recover y (%) 99.632 99.632 99.632 99.632 99.632 103.717 103.717 100.799
Standar Deviasi 0.368 0.368 0.368 0.368 0.368 3.717 3.717 1.325
Tabel 3 B. Perhitungan Uji Recovery Sulfat Anion
SO42- 15 ppm
Budi Setiawan, dkk.
h (cm) 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.25 3.25
W (cm) 2 2 2 2 2 2 2
Luas (cm2) 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.25 3.25
Konsentrasi Terukur Dibuat 14.982 14.982 14.982 15 14.982 14.982 15.186 15.186
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 219
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dari uji recovery didapat untuk fosfat deviasi 100,595 ± 1,353% dan sulfat 100,799 ± 1,325%, keduanya menunjukkan simpangan < 10%, dari nilai sebenarnya.
Variasi Proses Sampel Pengendapan Fraksional : - Pasir Monasit +H2SO4, diencerkan, disaring. - Leburan encer ps monasir, diendapkan dg NH4OH 20% - pH 0,25 endap an disaring
pH
Tabel 4 A. Perhitungan Sampel Pengendapan Fraksional Kadar (HPO4) Kadar (SO4) FP x [C] FP (kali) [C] ppm FP (kali) [C] ppm FP x [C] ppm ppm
pH = 0,25
500
28.841
14420.290
5000
26.401
132006.518
pH = 0,85
500
23.768
11884.058
5000
22.142
110707.635
pH = 1,25
500
17.971
8985.507
5000
31.429
157146.182
pH = 1,75
500
13.233
6616.499
5000
24.795
123975.791
pH = 2,5
500
11.895
5947.603
5000
21.699
108496.276
pH = 3,5
500
11.226
5613.155
5000
20.535
102676.909
pH = 8
500
11.226
5613.155
5000
23.911
119553.073
Tabel 4 B. Perhitungan Sampel Pelarutan EF Kadar (HPO4) FP (kali) [C] ppm FP x [C] ppm FP (kali)
Proses Sampel Pelarutan EF : pH = 0,85 pH = 0,25B pH = 0,85B pH = 1,25B pH = 1,75B pH = 2,5B pH = 3,5B pH = 8,0B
5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000 5000
NaOH (gram) Dijesti Piro Fospat dg NaOH variasi perbandingan berat (Th pirofospat berat tetap)
Umpan
Buku II hal 220
20.870 22.319 44.169 27.391 21.929 24.604 24.604 0.000
104347.826 111594.203 220847.269 136956.522 109643.255 123021.182 123021.182 0.000
500 500 500 500 500 500 500 500
Kadar (SO4) [C] ppm FP x [C] ppm 14.250 22.142 21.094 7.034 7.547 7.966 0.000 20.535
Tabel 4 C. Perhitungan Sampel Dijesti Kadar (HPO4) FP x [C] FP (kali) [C] ppm ppm FP (kali)
Proses Sampel
Leburan
Untuk analisis sample pada proses olah pasir monasit, dikarenakan perbandingan antara fosfat sangat tinggi, sehingga harus dilakukan elusi dua kali dengan pengenceran yang berbeda.
2 3 4 6 8 pH = 0,25 pH = 0,85
7125.233 11070.764 10547.020 3517.225 3773.277 3982.775 0.000 10267.691
Kadar (SO4) [C] FP x ppm ppm
[C]
500 500 500 500 500
0 8.551 10.725 8.551 12.174
0 4275.362 5362.319 4275.362 6086.957
5000 5000 5000 5000 5000
5.335 3.543 6.220 4.730 5.871
26675.978 17714.153 31098.696 23649.907 29352.886
500 500 500
25.217 21.594 19.420
12608.696 10797.101 9710.145
5000 5000 5000
28.333 20.372 58.990
141666.667 101862.197 294948.790
ISSN 1410 – 8178
Budi Setiawan, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Optimasi pada pemilihan eluen dilakukan dengan memvariasi asetonitril. Eluen mengandung ion lawan yang akan bersaing dengan ion cuplikan (nitrat) berinteraksi dengan ion penukar. Ion lawan pada eluen Na Borat Glukonat didapat dengan menambahkan asam borat dan ion borat ke dalam natrium glukonat.
Asam borat dan ion borat berkesetimbangan sebagai berikut 5 : OH
OH B
OH B
HO
OH
OH
COONa
H
OH
H
OH
HO
OH
HO
OH
H
OH
H
OH
+ 2H2O
+ OH
OH B
OH
OH
COONa
HO
OH +
OH B
H
OH
H
CH2OH
DAFTAR PUSTAKA 1.
N(CH3)+(B-L) - + OH-
Adanya ion NO3- akan merubah kesetimbangan menjadi : N(CH3)+(B-L) - + (PO4)-
OH
CH2OH
Ketika eluen dialirkan ion lawan akan berkesetimbangan dengan gugus fungsi sebagai berikut : N(CH3)+OH- + (B-L)-
OH
N(CH3)+( PO4)- + (B-L)-
Penambahan asetonitril akan menurunkan waktu retensi (tR) fosfat. Pelarut organik dalam eluen berfungsi untuk mengikat gugus hidrofobik dari matrik eluen, gugus hidrofobik dapat diserap oleh bahan isian kolom, yang akhirnya akan menurunkan angka resolusi. Tetapi perlu diperhatikan penambahan pelarut organik yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya endapan garam komplek yang akan sangat mengganggu kinerja kolom.
2.
3. 4.
5.
6.
WIDIASTUTI, INDRI. 2008. Analisis Sifat Fisis Hasil Olah Pasir Monasit, SMTI, Yogyakarta DJOKOWIDODO, Kromatografi, Kursus Instrumentasi Dasar Kimia, FMIPA, IKIP, Yogyakarta, 1992 MARKUS LAUBLI, Ion Chromatography, Metrohm Monograph PAUL HADDAD AND PETER EJ, Ion Chromatography, Dept of Analytical Chemistry University of NSW, Australia, 1990 WATERS, Waters IC-Pak Column and Guard Column, Care and Use Manual, Milipore Corporation, Masachusset, 1994 WATERS, Waters 431 Conductivity Detector, Milipore Corporation, Masachusset, 1989
KESIMPULAN
TANYA JAWAB
Berdasar hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa penambahan asetonitril pada eluen akan mempercepat atau menurunkan waktu retensi (tR) dari ion fosfat. Untuk analisis fosfat dan sulfat pada proses pengolahan pasir monasit dapat digunakan campuran Na Borat Gloknat : Butanol : Asetonitri = 1 : 1: 2. Batas deteksi minimum pengujian fosfat dalam proses pengolahan pasir monasit adalah 2,800 ppm dan sulfat 0,658 ppm dengan recovery untuk fosfat deviasi 100,595 ± 1,353% dan sulfat 100,799 ± 1,325%,
Rosidi Kenapa fosfat mesti dilakukan oada proses ini Pengaruh perubahan eluen pada analisis dengan HPLC? Budi Setiawan Karena fosfat akan menggangu pada proses pemurnian atau proses ekstraksi Perubahan eluen yaitu penambahan Asetnitril , akan merubah waktu sekaligus resolusi
Budi Setiawan, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 221
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
ANALISIS DAN KONSEP MITIGASI PROBLEMATIKA GAS PENGOTOR PENDINGIN PRIMER RGTT200K Sumijanto, Ign. Joko Irianto Pusat Teknologi Reaktor dan Keselamatan Nuklir -BATAN, PUSPIPTEK Serpong, Tangerang, 15310 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK ANALISIS DAN KONSEP MITIGASI PROBLEMATIKA GAS PENGOTOR PENDINGIN PRIMER RGTT200K. Reaktor berpendingin Gas Temperatur Tinggi 200 MWt Kogenerasi (RGTT200K) adalah konsep reaktor daya inovatif yang dirancang untuk berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik, air bersih dan energi termal untuk industri. Energi termal hasil reaksi fisi dalam teras reaktor dibawa oleh gas helium sebagai pendingin primer digunakan untuk pembangkit listrik, proses industri dan desalinasi. Adanya gas pengotor dalam sistem pendingin primer merupakan problematika yang harus diselesaikan karena akan mempengaruhi sistem keandalan dan keselamatan operasi reaktor. Pada makalah ini diuraikan tentang potensi munculnya gas pengotor serta konsep mitigasi problematika adanya gas pengotor dalam sistem pendingin primer.Tujuan penelitian ini adalah untuk menyiapkan data dukung desain konseptual sistem pemurnian gas helium sebagai pendingin primer RGTT200K yang akan dibangun di Indonesia. Dari hasil analisis diperoleh bahwa penyebab utama munculnya gas pengotor adalah water ingress, dan air ingress dalam sistem pendingin primer pada saat proses perawatan, penggantian bahan bakar dan operasi reaktor. Sistem pemurnian gas helium merupakan sistem yang memitigasi problematika gas pengotor dalam pendingin primer. Batas maksimum laju peningkatan konsentrasi gas pengotor yang meliputi gas H2O, CO2,H2,CO,CH4,N2 adalah 0,45; 1,35; 7,00; 7,00; 1,15; 4,50; 4,50 µmol/kg/detik. Desain konseptual sistem pemurnian gas helium dalam siklus sistem pendingin primer harus mampu menjamin laju peningkatan konsentrasi gas pengotor dibawah batas maksimum tersebut. Kata Kunci : RGTT200K, gas pengotor, pendingin primer.
ABSTRACT ANALYSIS AND MITIGATION CONCEPT OF IMPURITIES GAS PROBLEMS ON RGTT200K PRIMARY COOLANT. High Temperature Gas-cooled Reactor 200 MWt for Cogeneration (RGTT200K) is an innovative concept of power reactor designed to contributes in fulfilling the energy needs for electricity, desalination and thermal energy for industry. Thermal energy results in a fission reactor core carried by helium gas as the primary coolant is used for power generation, industrial processes and desalination. The presence of impurities gas in the primary cooling system become a problem that must be resolved since it will affect the system reliability and safety of reactor operation. This paper elaborated on the potential appearance of pollutant gases and concept to mitigate the problematic of impurities gas in the primary cooling system. The purpose of this research was to prepare the data to support the conceptual design of helium gas purification systems of RGTT200K that will be built in Indonesia. From the analysis result obtained that the main cause of the appearance of pollutant gases is water ingress and air ingress in the primary cooling system during the process of maintenance, fuel replacement and operation of the reactor. Helium purification system is the mitigation system of Buku II hal 222
ISSN 1410 – 8178
Sumijanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
the impurities problem in the primary coolant gas. The maximum rate of increase in gas impurities concentrations consisting of H2O, CO2, H2, CO, CH4, N2 is 0.45, 1.35, 7.00, 7.00, 1.15, 4.50, 4.50 μmol/kg/sec. Conceptual design of helium gas purification system in the primary cooling system must be able to guarantee the rate of increase of gas impurities concentration below the maximum limit. Keywords: RGTT200K, gas impurities, the primary coolant.
PENDAHULUAN
R
eaktor berpendingin Gas Temperatur Tinggi 200 MWt Kogenerasi (RGTT200K) adalah konsep reaktor daya inovatif berbasis VHTR (Reaktor temperatur sangat tinggi) yang dirancang untuk berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik, air bersih dan energi termal untuk industri di Indonesia ke depan. Sistem kogenerasi yang diterapkan adalah kogenerasi produksi hidrogen (H2), pembangkit listrik dan desalinasi air laut. Dengan kapasitas daya 200 MW termal maka reaktor ini dirancang mampu menghasilkan energi listrik sekitar 80 MW dan mampu memasok energi untuk produksi hidrogen dan desalinasi. Implementasi reaktor ini merupakan salah satu opsi dalam diversifikasi pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia terutama di luar JAMALI (Jawa Madura Bali). Penyiapan implementasi pembangunan RGTT200K dilakukan melalui berbagai tahapan perencanaan yang meliputi desain konseptual, desain dasar, desain detail, instalasi demonstrasi atau prototipe, dan operasi komersial. Gas helium dipilih sebagai fluida pendingin reaktor RGTT200K karena sifatnya yang inert (tidak mudah berinteraksi dengan material lain) sehingga struktur reaktor tidak menuntut penggunaan material dan teknologi yang spesifik. Sedangkan bahan bakar RGTT200K dirancang menggunakan partikel bahan bakar berlapis TRISO yang terdiri dari kernel UCO yang dilapisi oleh lapisan-lapisan material resistansi temperatur tinggi, seperti silikon karbida (SiC) atau zirkonium karbida (ZrC) dan grafit pirolitik (PyC). Struktur bahan bakar dibentuk ke dalam pebble atau bola yang siap dimanfaatkan dalam teras reaktor pebble bed . Didalam teras reaktor, moderator dan reflektor semuanya dirancang menggunakan bahan grafit yang tahan terhadap temperatur tinggi [1]. Produksi hidrogen memanfaatkan energi termal temperatur tinggi yang dibawa oleh helium dari reaktor melalui IHX ( Intermediate Heat Exchanger) untuk seluruh proses produksi hidrogen, selanjutnya energi termal digunakan Sumijanto, dkk.
untuk pembangkitan listrik melalui turbin gas dan generator listrik. Sedangkan proses desalinasi air laut memanfaatkan energi termal melalui precooler sebelum gas helium masuk kompresesor. Selama operasi reaktor, berbagai problematika dalam sistem pendingin primer diprediksikan akan muncul dikarenakan oleh adanya peningkatan konsentrasi gas pengotor akibat adanya water ingress, ataupun air ingress, kedalam sistem. Spesi-spesi pengotor tersebut pada temperatur tinggi akan terurai dan bereaksi dengan unsur karbon dalam teras menghasilkan spesi pengotor H2, H2O, CH4, CO, CO2, N2, dan O2 yang sangat agresif terhadap material struktur dan komponen reaktor [3]. Selain hal tersebut bahan bakar TRISO dalam teras selama operasi akan saling bergesekan satu sama lain, mengakibatkan sebagian pelapis karbon akan terlepas ke pendingin helium berupa partikel padat karbon / debu karbon yang aktif. Debu karbon yang terbawa aliran pendingin helium dengan kecepatan yang tinggi berpotensi mengikis sudu turbin serta permukaan logam struktur reaktor sehingga mengakibatkan adanya korosi erosi. Selain hal tersebut, partikel radio aktif (karbon 14), dan produk fisi juga akan menimbulkan problematika yang cukup serius dalam sistem primer karena karbon 14 atupun produk fisi yang terlepas dari sistem bahan bakar TRISO akan masuk ke dalam pendingin primer yang selanjutnya mengendap pada komponen sistem primer sehingga menyulitkan perawatan dan perbaikan. Dalam rangka mempersiapkan disain konseptual RGTT200K maka problematikaproblematika tersebut dianalisis serta dicari konsep solusinya sehingga keselamatan dan keandalan operasi reaktor yang akan dibangun dapat diperoleh. Dalam makalah ini dianalisis tentang problematika gas pengotor dan konsep mitigasinya selanjutnya data hasil analisis akan digunakan sebagai data dukung dalam pembuatan disain konseptual sistem kontrol inventori helium pendingin primer RGTT200K. Analisis problematika gas pengotor meliputi analisis sumber gas pengotor dalam pendingin primer, degradasi material struktur
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 223
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
melalui proses karburasi dan dekarburasi, oksidasi serta strategi proses pemurnian helium sebagai Konsep mitigasi yang dimaksud adalah merupakan strategi urutan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menekan atau menurunkan konsentrasi gas pengotor dan partikel radioaktif dalam pendingin primer RGTT200K sehingga berada dalam rentang konsentrasi yang di persyaratkan. VHTR (Reaktor Temperatur Sangat Tinggi) VHTR adalah sistem energi nuklir termal dengan siklus bahan bakar uranium sekali lewat yang dikarakterisasi oleh operasi reaktor yang aman dan efisien. Secara ideal VHTR memiliki temperatur
mitigasi peningkatan pengotor dalam sistem pendingin primer. outlet mendekati 1000oC. Kondisi temperatur ini penting karena memungkinkan untuk memproduksi hidrogen dan listrik secara simultan. VHTR merupakan salah satu kandidat terdepan dari 6 konsep desain reaktor Generasi IV yang modul demonstrasinya diproyeksikan mulai dibangun awal tahun 2016. Partikel bahan bakar VHTR berlapis TRISO menjadi tipe bahan bakar nuklir utama yang dipertimbangkan untuk digunakan. Kernel bahan bakar berlapis TRISO untuk disain teras VHTR prismatik dan komposisinya seperti ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Parameter kernel bahan bakar berlapis TRISO. Parameter Radius (×10-2 cm) Densitas (g/cm3)
Komposisi material
Kernel bahan bakar
1,75
10,50
UC.5O1.5
Grafit penyangga
2,75
1,00
C
Pirolitik dalam
3,10
1,90
C
Silikon karbida
3,45
3,20
SiC
Pirolitik luar
3,85
1,87
C
Diameter total kernel
7,70
Tabel 2. Parameter elemen bakar VHTR. Parameter
Besaran
Jarak flat ke flat (cm)
36,0
Tinggi aksial (cm)
79,0
Densitas grafit (g/cm3)
1,74
Batang bahan bakar Jumlah per elemen bakar
210
Radius (cm)
0,6225
Kompak bahan bakar per bahan bakar Fraksi packing
15 33,50%
Kanal pendingin Jumlah per elemen bakar
108
Radius (cm)
0,6225
Komposisi material
Buku II hal 224
He
ISSN 1410 – 8178
Sumijanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Konfigurasi elemen bakar VHTR yang diinsersikan ke dalam teras disajikan Gambar 1.
Gambar 1 . Kernel bahan bakar berlapis. Dari Gambar 1, Tabel 1 dan 2 dapat diamati bahwa, partikel bahan bakar berlapis TRISO terdiri dari kernel UCO berdiameter 0,78 mm yang dilapisi oleh lapisan-lapisan material resistansi temperatur tinggi, seperti silikon karbida (SiC) atau zirkonium karbida (ZrC) dan grafit pirolitik (PyC). Struktur dibentuk ke dalam pebble atau bola yang siap dimanfaatkan dalam teras
pebble bed atau kompak sebagai bahan bakar teras VHTR. KONSEP SISTEM PRIMER KOGENERASI RGTT200K
DAN
Konsep sistem primer dan kogenerasi RGTT200K berbasis VHTR (Reaktor temperatur sangat tinggi) seperti ditunjukan pada Gambar 2 [2].
Gambar 2. Konsep sistem primer dan kogenerasi RGTT200 Sumijanto, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 225
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Dari Gambar 2 dapat dipastikan bahwa helium sebagai pendingin primer akan kontak langsung dengan komponen-komponen sestim primer yang meliputi sistem pipa, intermadiate heat exchanger (IHX), turbin (T), kompresor (K), precooler dan rekuperator. Dalam operasi reaktor komponen-komponen tersebut berpotensi berkontribusi terhadap peningkatan pengotor. Munculnya gas pengotor baik yang bersifat radioaktif dan non radioaktif akan menimbulkan permasalahan dan gangguan dalam operasi ataupun perawatan reaktor. Disamping hal tersebut pengotor juga akan mengakibatkan degradasi material struktur reaktor. Oleh karena itulah perlu dialkukan analisis sampai sejauh mana permasalahan dan gangguan ini berpengaruh terhadap reaktor. HASIL DAN PEMBAHASAN RGTT200K adalah konsep reaktor daya inovatif berbasis VHTR dirancang beroperasi menggunakan pendingin primer gas helium bertekanan 5MPa dan temperatur 950 0C. Problematika munculnya gas pengotor dalam pendingin primer diprediksikan terjadi pada saat perawatan dan pemeliharaan komponen sistem primer yaitu masuknya H2O, dan O2 yang dikenal dengan istilah water ingress dan air ingress [5]. Spesi tersebut (H2O, dan O2) akan berinteraksi dengan grafit dalam teras reaktor bertemperatur tinggi menghasilkan gas pengotor baru yaitu CO, H2, CO2, dan CH4 menurut reaksi sebagai berikut, C + H 2O C + ½ O2 ½ O2 + CO C + CO2 C + 2 H2 ½ O 2 + H2
→ → → → → →
CO + H2 CO CO2 2 CO CH4 H 2O
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kuantitas gas pengotor baru dalam pendingin primer sangat bergantung pada besar kecilnya laju ingress, serta laju interaksi berantai antara spesi H2O, dan O2 dengan unsur karbon dalam teras. Dari data reaksi 1 dan 2 tersebut dapat diketahui bahwa air dan oksigen yang terkandung dalam udara berinteraksi dengan grafit baik sebagai kelongsong bahan bakar ataupun sebagai reflektor ataupun moderator pada temperatur tinggi menghasilkan gas hidrogen (H2) dan gas karbonmonoksida (CO). Selanjutnya reaksi berantai berlangsung dalam sistem primer seperti pada reaksi 3 sampai 6 menghasilkan gas pengotor berikutnya yaitu CO2, dan CH4. Gas pengotor terutama CH4 dan CO dalam helium akan menyebabkan reaksi karburasi material struktur dan komponen sistem primer. Proses Buku II hal 226
karburasi terjadi ketika potensial karbon dalam material lebih rendah dari potensial karbon dalam gas pengotor. Jika kondisi ini terjadi maka karbon akan masuk kedalam material dan membentuk senyawa karbida. Jenis senyawa karbida yang mungkin terbentuk adalah C6Cr23 [3]. Komposisi dan stoikiometri karbida bergantung pada komposisi paduan logam dan kelarutan karbon. Metana (CH4) pada temperatur tinggi (800 0C) tidak stabil sehingga mudah berekasi dengan Cr dalam logam, demikian juga karbonmonoksida (CO) menurut reaksi berikut : 23 Cr + 6 CH4 ↔ C6 Cr23 + 12 H2 27 Cr + 6 CO ↔ C6 Cr23 + 2 Cr2O3
(7) (8)
Senyawa karbida yang terbentuk di dalam logam akan mengakibatkan logam menjadi rapuh (brittle) atau kekuatan mekaniknya menurun dan dengan beban tertentu menyebabkan korosi retak (stress corrosion creaking) . Gas pengotor H2O akan memberikan dampak yang berbeda dengan CH4 ataupun CO terhadap logam yaitu bahwa dekarburasi H2O akan menghasilkan karbonmonoksida oleh adanya gelembung gas yang dihasilkan menurut reaksi berikut. (9) H2O + C ↔ CO + H2 Reaksi dekarburasi ini akan berlangsung terus sehingga kandungan karbon dalam logam menjadi sangat rendah, senyawa karbida (khromium karbida/ C6Cr23) yang terbentuk pada proses karburasi menjadi tidak stabil dan akan terlarut menurut reaksi berikut. MyCx ↔ yM + xC
(10)
Secara global reaksi karbida dan air adalah sebagai berikut. C6Cr23 + 6 H2O ↔ 23 Cr + 6 CO + 6 H2
(11)
Jika reaksi dekarburasi ini terjadi maka sifat-sifat mekanik logam juga akan terdegradasi. Hal inilah yang perlu dihindari agar integritas material struktur reaktor dapat dipertahankan. Dalam sistem primer gas pengotor H2O juga akan mendegradasi logam melalui proses oksidasi menurut reaksi berikut : yM + x H2O ↔ MyOx + x H2 2/3 Cr + H2O ↔ 1/3 Cr2O3 + H2
(12) (13)
Proses oksidasi ini tidak akan terjadi bila lapisan oksida pelindung dari logam struktur masih baik. Namun bila lapisan oksida pelindung rusak akibat
ISSN 1410 – 8178
Sumijanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
porous atau retak maka oksidasi ini atau oksidasi logam dan karburasi akan terjadi. Proses oksidasi ini akan mengakibatkan sifat-sifat mekanik logam menurun dan dampak yang serius adalah terjadinya inisiasi retakan pada intergranular oxides pada temperatur tinggi. Keberadaan karbon 14 (6C14) dalam sistem pendingin primer akan menimbulkan dampak radiologis pada personil saat melakukan perawatan ataupun perbaikan komponen sistem primer. Kemunculan karbon 14 sebagai pemancar β (yang mempunyai umur paruh = 5730 tahun ) mengikuti reaksi berikut: 14 6C
→
7N
14
+
0 -1β
(14)
Sumber utama karbon 14 adalah berasal dari gas pengotor N2 dan O2 yang ada dalam pendingin primer. N2 dan O2 bereaksi dengan neutron dalam teras menghasilkan karbon 14 menurut reaksi berikut,
Konsep mitigasi problematika gas pengotor dalam pendingin primer RGTT200K dirancang dengan memasang unit pemurnian gas helium dan langkah-langkah serta persyaratan sebagai berikut : Pada saat kegiatan perawatan komponen ataupun pemuatan bahan bakar reaktor maka helium sebagai pendingin primer diusahakan masih menutupi material dan tekanannya dibawah atmosferik sehingga tidak akan meninggalkan permukaan logam/komponen yang dirawat. Pada komponen lain yang tidak dilakukan perawatan maka dapat diisolasi dengan tetap mempertahankan gas helium pada tekanan relatif tinggi. Hal tersebut untuk menghindari water ingress dan air ingress. Unit pemurnian helium harus mampu membersihkan seluruh gas pengotor yang terdapat dalam pendingin primer sehingga memenuhi persyaratan kualitas yang telah ditetapkan.
(15) (16)
Strategi Proses Pemurnian Pendingin Primer RGTT200K
12 (6C12) yang mayoritas digunakan sebagai moderator, reflektor, dan kelongsong bahan bakar memang mempunyai tampang lintang adsorbsi netron yang rendah sehingga tidak menghasilkan karbon 14 saat ketemu netron di teras reaktor. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa gas pengotor yang terdapat dalam pendingin primer bermula dari adanya air ingress (O2, CO2, N2, H2O) dan water ingress (H2O) yang masuk saat dilakukannya perawatan ataupun perbaikan komponen serta pemuatan bahan bakar ke dalam teras reaktor. Selanjutnya dalam teras reaktor spesi pengotor tersebut berinteraksi dengan karbon menghasilkan gas pengotor baru yaitu CH4, H2, dan CO. Selama operasi reaktor, gas pengotor tersebut berinteraksi dengan material struktur yang dapat berakibat terdegradasinya kekuatan material struktur dan selanjutnya mempengaruhi kehandalan dan keselamatan operasi reaktor. Disamping itu, munculnya karbon 14 (6C14) yang menempel pada permukaan logam juga akan menimbulkan dampak radiologis sehingga mempengaruhi kegiatan perawatan ataupun perbaikan komponen. Untuk menjamin kehandalan dan keselamatan operasi reaktor maka telah diberikan batasan laju peningkatan gas pengotor dalam sistem pendingin primer berdasarkan pengalaman operasi VHTR sebagai berikut : Batasan maksimum laju peningkatan konsentrasi gas pengotor dalam helium yang meliputi gas H2O, CO2,H2,CO,CH4,N2 adalah 0,45; 1,35; 7,00; 7,00; 1,15; 4,50; 4,50 µmol/kg/detik.
Untuk memperoleh kualitas gas helium yang memenuhi persyaratan maka diperlukan strategi proses pemurnian gas helium pendingin primer RGTT200K sebagai berikut : Pada dasarnya gas pengotor pendingin primer terdiri dari partikel padat berukuran kecil dan gas pengotor hasil reaksi berantai antara udara dan grafit yaitu H2, H2O, CH4, CO, CO2, dan N2. Ukuran molekul gas pengotor ini sebagian hampir mendekati ukuran molekul gas helium, sehingga pemisahannya perlu dilakukan menggunakan strategi yang tepat [6]. Konsep pemisahan gas pengotor yang terkandung dalam gas helium ditunjukan pada Gambar 3. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam unit pemurnian helium adalah memisahkan partikel padat berukuran kecil yang terdapat dalam helium, biasanya adalah debu karbon/grafit yang berbentuk aerosol. Teknik pemisahannya menggunakan filtrasi membran atau cartride filter. Dari proses ini diharapkan semua partikel padat dapat dipisahkan. Langkah kedua adalah oksidasi gas pengotor. Pada langkah ini gas pengotor yang berukuran kecil seperti hidrogen (H2) dan karbonmonoksida (CO) dioksidasi oleh oksida logam MxOy sedemikian sehingga hidrogen akan menjadi air dan kobonmonoksida menjadi korbondioksida menurut reaksi berikut . (17) H2 + MxOy → H2O + MxO y-1 (18) CO + MxOy → CO2 + MxO y-1 Dengan demikian maka jenis gas pengotor yang ada adalah H2O, CH4, CO2, N2, dan O2.
0n
1
+ 1 0n +
7N
14
8O
16
→ →
Karbon
Sumijanto, dkk.
14 6C 14 6C
+ 1p1 + 2He3
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 227
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
He + gas-gas pengotor (H2, CO, CO2, H2O, N2, O2, NOx, CH4, ….) + partikel
Partikel - partikel
Filtrasi
Oksidasi H2 + MxOy H2O + MxOy-1 CO + MxOy CO2 + MxOy-1
H2O
Kondensasi
Adsorpsi Molecular sieve
H2O - CO2 - NOx - CH4
Adsorpsi Karbon aktif Kondisi Cryogenic
N2, - O2, - spesi residual lainnya
He murni He sesuai rekomendasi
H2O - H2 - CO
Gambar 3 . Konsep pemurnian pendingin primer RGTT200K.
Langkah ketiga adalah kondensasi / pendinginan, pada proses ini sebagian besar air akan terkondensasi dan terpisah dari senyawa gas yang lain. Gas yang tertinggal adalah H2O sisa, CH4, CO2, N2, dan O2. Langkah keempat adsorbsi dan penyaringan molekuler. Pada langkah ini molekul besar yang akan dipisahkan adalah H2O, CH4, dan CO2. Bahan penyaring molekuler dapat digunakan membran ataupun alumonium oksida sedangkan untuk bahan adsorbsi dapat digunakan karbon aktif. Gas pengotor yang masih tertinggal adalah N2, dan O2. Langkah kelima adalah adsorbsi dengan karbon aktif tetapi pada kondisi cryogenic (kondisi sangat dingin), pada proses ini maka oksigen dan nitrogen akan terkondensasi sedangkan helium masih dalam kondisi gas sehingga mudah dipisahkan. Untuk mendapatkan kondisi helium sebagai pendingin primer maka langkah-langkah tersebut harus diakomodasi atau terimplementasikan dalam desain konsptual sistem kontrol inventori helium RGTT200K. Buku II hal 228
KESIMPULAN Dari hasil analisis diperoleh bahwa keberadaan gas pengotor akan mempengaruhi integritas material struktur dan keselamatan reaktor. Sistem pemurnian gas helium merupakan mitigasi terhadap problematika gas pengotor dalam pendingin primer. Batasan maksimum laju peningkatan konsentrasi gas pengotor yang meliputi gas H2O, CO2,H2,CO,CH4,N2 adalah 0,45; 1,35; 7,00; 7,00; 1,15; 4,50; 4,50 µmol/kg/detik. Dari batasan tersebut digunakan untuk memberikan gambaran tentang seberapa besar kapasitas minimal yang harus dimiliki oleh sistem pemurnian gas helium yang mampu memberikan mitigasi laju peningkatan konsentrasi gas pengotor. Untuk memperoleh kualitas gas helium yang memenuhi persyaratan maka diperlukan unit pemurnian helium yang di pasang pada sistem pendingin primer. Desain konseptual sistem pemurnian gas helium harus mampu menjamin laju peningkatan konsentrasi gas pengotor dibawah batas maksimum yang
ISSN 1410 – 8178
Sumijanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
dipersyaratkan. Untuk memperoleh kualitas gas helium yang memenuhi persyaratan maka diperlukan lima langkah strategi proses pemurnian gas helium sebagai pendingin primer RGTT200K. Strategi proses pemurnian gas helium tersebut harus diakomodasi atau terimplementasikan dalam desain konsptual sistem kontrol inventori helium RGTT200K. DAFTAR PUSTAKA 1. J.W. STERBENTZ, et al., “Reactor Physics Parametric and Depletion Studies in Support of TRISO Particle Fuel Specification for the Next Generation Nuclear Plant”, INEEL/EXT-04-2530, September 2004 2. MOHAMAD DHANDHANG PURWADI, “Desain Konseptual Sistem Reaktor Daya Maju Kogenerasi Berbasis RGTT” Seminar Nasional Teknologi Dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir Ke 16, Surabaya, 2010. 3. KACZOROWSKI,D, CHAOVOLOFF, J., “Material Degradation In High Temperature, The AREVA –NP Corrosion Loop”, Proceedings HTR 2006, 3 rd International Topical Meeting On High temperature Reactor Technology, Johannesburg, South Africa, 2006.
Sumijanto, dkk.
4. United States Subcommittee on Generation IV Technology Planning on A Technology Roadmap for Generation IV Nuclear Energy Systems, Report to Nuclear Energy Research Advisory Committee, Washington: Technical Roadmap Report, 2003 5. R.NIEDER, K. VEY, “Chemical Reactions During Nuclear Drying Of The AVR Primary Circuit Following A Water Ingress”, Arbei tsgemeinschaft Versuchsreaktor AVR Julich, Federal Republic Of Germany. 6. GASTALDI,O, et all, “Helium Purification”, Proceedings HTR 2006, 3 rd International Topical Meeting On High temperature Reactor Technology, Johannesburg, South Africa, 2006.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 229
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
OPTIMASI RANCANGAN ASSAY KIT TRIIODOTYRONINE (T3) METODE COATED TUBE Sutari, Veronika Yulianti S, Gina Mondrida,Triningsih, Agus Arianto, Puji Widayati Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka – BATAN,PUSPIPTEK Serpong, Tangerang 15310 E-mail :
[email protected] ABSTRAK OPTIMASI RANCANGAN ASSAY KIT TRIIODOTHYRONINE (T3) METODE COATED TUBE. Triiodothyronine (T3) adalah salah satu hormon yang diekskresikan oleh kelenjar tiroid. Sernyawa T3 dianggap sebagai molekul biologis paling aktif yang diproduksi hingga sekitar 80% melalui deiodinasi tetraiodothironin (T4) di dalam jaringan pheripheral.Teknik Untuik mendeteksi adanya hormon pada kelenjar tiroid ini, diperlukan suatu yang dapat mengukur jumlah hormon dengan konsentrasi yang sangat kecil dalam darah. Teknik radioimmunoassay (RIA) mempunyai kesensitifan dan kespesifikan yang tinggi, sangat sesuai untuk kebutuhan ini. Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka (PRR) Badan Tenaga Nuklir Nasional sejak tahun 1995 telah mengembangkan kit RIA-T3 dengan metode Coated tube. Pada penelitian ini dilakukan optimasi kondisi assay kit RIA-T3 PRR. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan kit RIA-T3 yang handal dengan rancangan dan kondisi assay yang optimum. Optimasi dilakukan dengan mencari nilai ikatan maksimum dari variasi berbagai komponen kit meliputi volume standar,Cacahan perunut, volume perunut dan volume assay buffer. Hasil yang optimum diperoleh pada volume standar 50 µl dengan cacahan perunut sekitar 20000 cpm, volume perunut 50 µl dan volume assay buffer 250 µl. Kondisi assay yang optimum dicapai dengan inkubasi pada suhu ruang sambil diaduk dengan memakai shaker selama 2 jam. Pada assay dengan kondisi optimum tersebut di atas, diperoleh ikatan maksimum (maximum binding) sebesar 71,50 % ± 3,00 dan non spesifik binding (NSB) 1,43%. Kata kunci : Optimasi,Triiodothyronine, Radioimmunoassay. Coated Tube ABSTRACT OPTIMATION ASSAY DESIGN OF TRIIODOTHYRONINE (T3) RIA KIT COATED TUBE METHOD..Triodothyronine (T3) is one of hormones that is secreted by thyroid gland. The T3 is a biologicaly active molecule that is produced up to 80% by deiodination tetraiodothironine (T4) in pheriperal tissue. In order the measure the existeence of this hormone, a method is needed to detect this sustance at a very low concentration in blood. Radioimmunoassay (RIA) offers a highly sensitive and spesific method is suitable for this demand. Therefore, since 1995 the Centre Radioisotope and Radiopharmaceuticals - National Nuclear Energy Agency has developed T3 RIA kit coated tube method. The aim of this research is optainednan reliable T3 RIA kit - with optimum design and condition of assay. Data obtained from optimation of kit component, optimum condition was obtained using 50 µl of standard solution , 50 µl tracer at ± 20000 cpm and 250 µl assay buffer. This optimum assay condition was performed by incubating the assay sistem in room temperatur while shaking for two hours, giving maximum binding valued 71,50 % ± 3,00 and non spesific binding 1.43 %. Keywords: Optimation, Triiodothyronine, Radioimmunoassay,Coated Tube
PENDAHULUAN
T
riiodothyronine (T3) adalah salah satu hormon yang diekskresi oleh kelenjar tiroid. T3 dianggap sebagai molekul biologis yang paling Buku II hal 230
aktif yang diproduksi hingga sekitar 80% melalui deiodinasi tetraiodothironin (T4) di dalam jaringan pheripheral[1]. Tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin dengan berat kurang lebih 2-3 gram pada anak dan 18-20 gram pada orang
ISSN 1410 – 8178
Sutari, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
dewasa. Kelenjar ini ditemukan pada leher terbatas. Dalam analisis kuantitatif jumlah antigen berbentuk seperti kupu-kupu. Hormon T3 dalam bertanda dan antibodi adalah tetap, maka jumlah serum normal berkisar antara 1,4 - 3,3 nmol/L antigen tak bertanda yang ada dalam standar untuk wanita dan 1,0 – 2,6 nmol/L untuk pria. bervariasi. Makin banyak antigen tak bertanda Jika fungsi kelenjar tiroid terganggu maka (Ag) yang ada dalam cupplikan/standar, makin sirkulasi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam darah sedikit kompleks Ag*-Ag yang terbentuk. akan tidak normal, sehingga akan menyebabkan Banyaknya Ag*-Ab yang terbentuk diukur dengan [3,4,5] beberapa penyakit tiroid seperti: gangguan pada pencacah gamma. janin,abortus cacat bawaan, retardadasi mental , Pada teknik RIA, setelah kesetimbangan bisu tuli kelumpuhan dan kerdil. Ketidaknormalan reaksi dicapai, maka perlu dilakukan tahap tersebut pada anak-sekolah dapat ditunjukkan pemisahan dimana ligan yang terikat dan yang dengan prestasi dan IQ anak yang kurang, bebas harus dipisahkan. Ada dua sitem pemisahan sedangkan pada orang dewasa dapat pada teknik RIA yaitu pereaksi pemisah fasa cair menyebabkan gangguan pada gondok dan segala yaitu dengan menambahkan pereaksi pengendap, jenis komplikasinya bahkan sampai terjadi kanker misalnya larutan polyetilenglikol (PEG), tetapi [1,2] kelenjar tiroid. metode ini sudah ditinggalkan karena Keberadaan T3 secara signifikan pengerjaannya kurang effisien. Sedang pereksi diketahui pada daerah euthyroid, dan total kadar pemisah fasa padat dengan mengimobilisasi T3 dapat digunakan untuk skrining terhadap antibodi ke fasa padat, misalnya magnetig, gangguan tiroid setelah dilakukan dengan polystiren bead ( coated bead) atau tabung beberapa tes pengujian. Untuk menentukan kadar polystiren (coated tube). hormon T3 pada kelenjar tiroid diperlukan suatu Teknik RIA sangat cocok untuk mendeteksi metode yang dapat mengukur jumlah hormon adalanya hormon T3 pada kelenjar tiroid dalam tubuh pasien secara invitro dengan mudah, dalam konsentrasi yang sangat kecil, salah sederhana, sensitif dan mempunyai ketelitian tinggi satunya adalah dengan menggunakan teknik serta spesifik karena menggunakan antigen yang radioimmunoassay (RIA). [1,8] ditandai dengan radioaktif. Pada teknik ini Teknik RIA merupakan teknik pengukuran menggunakan sistem pemisah fasa padat yaitu yang didasarkan pada reaksi immunologi yaitu dengan menempelkan antibodi kedalam tabung reaksi antigen dan antibodi dengan menggunakan reaksi polystiren berdasar bintang (coated tube), radioisotop sebagai perunut, sehingga mudah karena dengan metode ini pengerjaan mudah, cepat dideteksi. Teknik RIA dikembangkan oleh Yalow , sederhana dan effisien. Konsentrasi T3 yang & Berson didasarkan pada reaksi kompetisi antara terdapat dalam sampel dapat dihitung dengan antigen bertanda radioaktif (Ag*) dan antigen tak rumus: [5,6] bertanda (Ag) yang terdapat dalam cuplikan/standar terhadap antibodi yang jumlahnya Cacahan fase terikat-BG % ikatan dari masing-masing standar (B/T) = ────────────── X 100% (1) Cacahan Total -BG Cacahan fase terikat-BG % ikatan Non Spesifik Bounding (B/T) = ────────────── Cacahan Total % Pusat Radioisotop dan Radifarmaka BATAN mempunyai fungsi dan tugas pokok untuk mengembangkan Radioisotop dan Radiofarmaka termasuk Teknik Radioimmunoassay (RIA) salah satunya kit RIA125 I-T3. Beberapa Rumah sakit di Indonesia dalam pekerjaannya menggunakan kit RIA-125I-T3 untuk menentukan kadar T3, namun kit tersebut masih diimpor dari luar negeri sehingga harganya menjadi mahal. Untuk menanggulangi hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang produksi kit RIA-125I-T3. Setiap kit yang diproduksi perlu dilakukan optimasi dan rancangan assay dari kit tersebut agar diperoleh
Sutari, dkk.
X 100%
(2)
kit yang berkualitas baik dan dapat digunakan untuk penentuan T3. Optimasi rancangan assay komponen kit dilakukan dari mengoptimasikan volume standar, cacahan perunut , volume perunut dan volume assay buffer. Sedang optimasi kondisi assay yaitu dengan mengoptimasikan kondisi inkubasi pada suhu ruang sambil diaduk menggunakan shaker selama waktu tertentu. [5,6,7] Dalam makalah ini akan dilaporkan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari setiap tahap yang telah dilakukan sampai dengan hasil optimasi yang diperoleh dalam penelitian ini.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 231
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TATA KERJA Bahan dan Peralatan Tabung coated tube T3 PRR , Standar T3 PRR, perunut (T3-125 I) PRR, assay buffer (dengan melarutkan 1,82 gram Trizma Base dari Sigma dalam 100 ml aquades dan diatur pHnya menjadi 8,25). Peralatan yang digunakan antara lain: Pipet mikro berbagai ukuran (Eppendorf) beserta tipnya. Rak tabung (lokal), Vortex buatan (Fisher Scientific), Shaker (Fisher Scientific), Neraca analitik (Mettler AE 160), Gamma Managemen System buatan DPC, Inkubator (EYELA) Cara Kerja Optimasi Assay Volume Larutan Standar Diambil Coated tube (tabung bersalut antibodi T3) yang telah diberi nomor 1 sampai dengan 6 dan 1 tabung NSB ( tabung bukan coated tube ) dibuat 4 set. Dipipet standar nol dengan variasi volume untuk tabung NSB, kemudian dipipet ke tabung coated tube yang sudah diberi nomor masing-masing secara berurutan dimasukkan standar 0 nmol/L, 1 nmol/L, 2 nmol/L,3 nmol/L, 5 nmol/L dan 10 nmol/L dengan variasi volume : 25 µl, 50 µl, 100 µl dan 150 µl. Ke dalam semua tabung ditambah 50 µl perunut (T3-125 I) dengan cacahan kira-kira 40.000 cpm dan 500 µl assay buffer. Campuran dihomogenkan dengan vorteks kemudian diaduk dengan shaker selama 2 jam pada suhu ruang. Tabung didekantasi dan biarkan sampai kering kemudian diukur radioaktivitasnya memggunakan pencacah gamma selama satu menit. Persentase ikatan dari masing-masing standar (B/T) dihitung menggunakan persamaan (1) kemudian dibuat kurva konsentrasi standar VS %B/T yang hasilnya terlihat pada gambar 1. Sedang %NSB dihitung menggunakan persamaan (2) Optimasi Assay Cacahan Tracer Diambil Coated tube (tabung bersalut antibodi T3) yang telah diberi nomor 1 sampai dengan 6 dan 1 tabung NSB ( tabung bukan coated tube ) dibuat 4 set. Dipipet 50 µl standar 0 nmol/L ke semua tabung NSB , kemudian kedalam masing-masing tabung coated tube yang sudah diberi nomor secara berurutan dipipet 50 µl standar 0 nmol/L, 1 nmol/L, 2 nmol/L,3 nmol/L, 5 nmol/L dan 10 nmol/L. Ke dalam masing-masing tabung ditambah 50 µl perunut (T3-125 I) dengan Variasi cacahan kira-kira 10.000, 20.000 40.000 dan 80.000 cpm dan 500 µl assay buffer ke semua tabung. Campuran dihomogenkan dengan vortek kemudian diaduk dengan shaker selama 2 jam pada suhu ruang. Buku II hal 232
Tabung didekantasi dan biarkan sampai kering kemudian diukur radioaktivitasnya memggunakan pencacah gamma selama satu menit. Persentase ikatan dari masing-masing standar (B/T) dihitung menggunakan persamaan (1) kemudian dibuat kurva konsentrasi standar VS %B/T yang hasilnya terlihat pada gambar 2. Sedang %NSB dihitung menggunakan persamaan (2). Optimasi Assay Volume Tracer Diambil Coated tube (tabung bersalut antibodi T3) yang telah diberi nomor 1 sampai dengan 6 dan 1 tabung NSB ( tabung bukan coated tube ) dibuat 4 set. Dipipet 50 µl standar 0 nmol/L ke semua tabung NSB, kemudian kedalam masing-masing tabung coated tube yang sudah diberi nomor secara berurutan dipipet 50 µl standar 0 nmol/L, 1 nmol/L, 2 nmol/L, 3 nmol/L, 5 nmol/L dan 10 nmol/L. Ke dalam masing-masing tabung ditambah perunut (T3-125I) dengan cacahan kira-kira 20.000 cpm dengan variasi volume: 25 , 50 , 100 dan 150 µl dan 500 µl assay buffer ke semua Tabung. Campuran dihomogenkan dengan vortek kemudian diaduk dengan shaker selama 2 jam pada suhu ruang. Tabung didekantasi dan biarkan sampai kering kemudian diukur radioaktivitasnya memggunakan pencacah gamma selama satu menit. Persentase ikatan dari masing-masing standar (B/T) dihitung menggunakan persamaan (1) kemudian dibuat kurva konsentrasi standar VS %B/T yang hasilnya terlihat pada gambar 3. Sedang % NSB dihitung menggunakan persamaan (2). Optimasi Assay Volume Assay Buffer Diambil Coated tube (tabung bersalut antibodi T3) yang telah diberi nomor 1 sampai dengan 6 dan 1 tabung NSB ( tabung bukan coated tube ) dibuat 4 set. Dipipet 50 µl standar 0 nmol/L ke semua tabung NSB , kemudian kedalam masing-masing tabung coated tube yang sudah diberi nomor secara berurutan dipipet 50 µl standar 0 nmol/L, 1 nmol/L, 2 nmol/L, 3 nmol/L, 5 nmol/L dan 10 nmol/L. Ke dalam semua tabung ditambah 50 µl perunut (T3-125 I) dengan cacahan kira-kira 20.000 cpm dan assay buffer dengan variasi volume : 250, 500 dan 1000 µl.. Campuran dihomogenkan dengan vortek kemudian diaduk dengan shaker selama 2 jam pada suhu ruang. Tabung didekantasi dan biarkan sampai kering kemudian diukur radioaktivitasnya memggunakan pencacah gamma selama satu menit. Persentase ikatan dari masing-masing standar (B/T) dihitung menggunakan persamaan (1) kemudian dibuat kurva konsentrasi standar VS
ISSN 1410 – 8178
Sutari, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
%B/T yang hasilnya terlihat pada gambar 4. Sedang %NSB dihitung menggunakan persamaan (2). Optimasi Kondisi Inkubasi Diambil Coated tube (tabung bersalut antibodi T3) yang telah diberi nomor 1 sampai dengan 6 dan 1 tabung NSB ( tabung bukan coated tube ) dibuat 4 set. Dipipet 50 µl standar 0 nmol/L ke semua tabung NSB, kemudian kedalam masing-masing tabung coated tube yang sudah diberi nomor secara berurutan dipipet 50 µl standar 0 nmol/L, 1 nmol/L, 2 nmol/L, 3 nmol/L, 5 nmol/L dan 10 nmol/L. Ke dalam semua tabung ditambah 50 µl tracer (T3-125 I) dengan cacahan kira-kira 20.000 cpm dan 500 µl assay buffer . Campuran dihomogenkan dengan vortek kemudian dinkubasi 2 jam pada suhu 37°C, diaduk dengan shaker selama 2 jam pada suhu ruang dan inkubasi 2 jam pada suhu ruang tanpa diaduk dengan shaker Tabung didekantasi dan biarkan sampai kering kemudian diukur radioaktivitasnya memggunakan pencacah gamma selama satu menit. Persentase ikatan dari masing-masing standar (B/T) dihitung menggunakan persamaan (1) kemudian dibuat kurva konsentrasi standar VS %B/T yang hasilnya terlihat pada gambar 5. Sedang %NSB dihitung menggunakan persamaan (2). . Optimasi Waktu Pengadukkan Diambil Coated tube (tabung bersalut antibodi T3) yang telah diberi nomor 1 sampai dengan 6 dan 1 tabung NSB ( tabung bukan coated tube ) dibuat 4 set. Dipipet 50 µl standar 0 nmol/L ke semua tabung NSB , kemudian kedalam masing-masing tabung coated tube yang sudah diberi nomor secara berurutan dipipet 50 µl standar 0 nmol/L, 1 nmol/L, 2 nmol/L, 3 nmol/L, 5 nmol/L dan 10 nmol/L. Ke dalam semua tabung ditambah 50 µl perunut (T3-125 I) dengan cacahan kira-kira 20.000 cpm dan 500 µl assay buffer . Campuran dihomogenkan dengan vortek kemudian dinkubasi sambil diaduk dengan shaker dengan variasi waktu 1, 2, 3 dan 4 jam pada suhu ruang. Tabung didekantasi dan biarkan sampai kering kemudian diukur radioaktivitasnya memggunakan pencacah gamma selama satu menit. Persentase ikatan dari masing-masing standar (B/T) dihitung menggunakan persamaan (1) kemudian dibuat kurva konsentrasi standar VS %B/T yang hasilnya terlihat pada gambar 6. Sedang % NSB dihitung menggunakan persamaan (2).
Sutari, dkk.
HASIL DAN PEMBAHASAN Optimasi dilakukan dengan tujnuan untuk mencari kondisi yang optimum, dalam arti yang menguntungkan. Dalam pembuatan kit RIA, optimasi assay sangat diperlukan karena berpengaruh dalam karakterisasi assay.[5] Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam optimasi assay (Wayan Rediating,2004) yaitu limit deteksi harus sesuai dengan konsentrasi yang diukur sehingga mampu menganalisis cuplikan pada batas konsentrasi yang dikehendaki dengan ketelitian tinggi, persen B/T diatas 30%, NSB (Non spesific binding) diusahakan sekecil mungkin,ketelitian maksimal terletak di daerah kurva standar, pengerjaan mudah dan cepat, biaya murah. Dalam penelitian ini telah dilakuakn optimasi assay komponen dan kondisi assay Kit RIA-125I-T3. Hasil dari optimasi yang dilakukan tercanrum sebagai berikut: Optimasi volume larutan standar menggunakan variasi volume (25 µl, 50 µl, 100 µl dan 150 µl) serta menggunakan 50 µl perunut dengan cacahan ± 40.000 cpm dan 500 µl assay buffer dengan hasil dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Profil kurva standar pada optimasi assay kit T3 dengan variasi volume standar. Terlihat bahwa volume larutan standar 50 µl memberikan ikatan maksimum (B/T) tertinggi 70,51 % ± 4,55 (std 0 nmol/L) dan terendah 16,99% ± 3,36 (std 10 nmol/L ) dengan NSB 1,42 %. Profil kurva volume standar 50 µl terlihat paling baik bila dibanding dengan lainnya, sehingga kurva ini dipilih karena mempunyai rentang nilai paling lebar. Untuk volume standar 25 µl memberikan nilai ikatan maksimum (B/T) lebih tinggi dari pada volume standar 50 µl, tetapi profil kurvanya tidak curam. Sedangkan volume 100 dan 150 ul hampir sama dengan kurva volume 50 uL, tetapi tidak dipakai sebagai standar yang optimum karena memerlukan volume larutan standar yang lebih banyak., atau dengan kata lain tidak ekonomis.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 233
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Optimasi penggunaan cacahan tracer dilakukan dengan variasi cacahan perunut kirakira 10.000 cpm, 20.000 cpm , 40.000 cpm dan 80.000 cpm dengan volume perunut 50 µl menggunakan standar 50 µl dan 500 µl assay buffer. Disini tidak memberi pengaruh terhadap nilai ikatan maksimum (B/T) yang dihasilkan, dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 3. Profil kurva standar pada optimasi assay kit T3 dengan variasi volume tracer dengan cacahan tetap.
Gambar 2. Profil kurva standar pada optimasi assay kit T3 dengan variasi cacahan perunut. Pada gambar 2, terlihat pada cacahan perunut kira-kira 20.000 cpm dengan rata-rata %B/T tertinggi 74,66 ± 1,98 sedangkan % B/T terendah 16,44 ± 1.24 dan NSB 1,43%. Dari keduanya diperoleh rentang nilai paling besar yaitu 58,22 ( selisih angka % B/T tertinggi dikurangi % B/T terendah) , yang merupakan daerah kerja optimum. Sedangkan untuk perunut dengan cacahan kira-kira 10.000 cpm, 40.000 cpm dan 80.000 cpm daerah kerjanya lebih pendek sehingga kurang sensitif. Pada optimasi volume perunut yang dilakukan dengan variasi volume 25 µl, 50 µl , 100 µl dan 150 µl dengan cacahan kira-kira 20.000 cpm menggunakan volume larutan standar 50 µl dan 500 µl assay buffer, volume tracer 50µl menghasilkan nilai ikatan maksimum (B/T) tertinggi dibanding dengan lainnya dan diperoleh rata-rata % B/T tertinggi 71,42 ± 2,45, terendah 18,49 ±1,97 dan NSB 1,35 %. Dari kedua nilai tersebut diperoleh rentang nilai 52,93 atau daerah kerja paling lebar. Profil kurva volume tracer 50µl lebih curam dibanding kurva lainnya seperti terlihat pada gambar 3.
Buku II hal 234
Optimasi pemakain assay buffer dilakukan dengan variasi volume 250 µl, 500 µl dan 1000 ul mengunakan larutan standar 50µl dan perunut 50 µl dengan cacahan kira-kira 20.000 cpm. Dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Profil kurva standar pada optimasi assay kit T3 dengan variasi volume assay buffer. Dari gambar.4 optimasi assay buffer optimum pada volume assay buffer 250 µl, dengan rata-rata % B/T tertinggi 73,49 ± 1,55 dan terendah 18,96 ± 0,06 dengan NSB 1,29 %. Dari profil kurva optimasi assay buffer pada penggunaan volume 250 µl bila dibandingkan dengan 500 µl memberikan profil kurva yang sangat mirip, tetapi untuk menghemat penggunaan pereaksi tersebut maka dipilih volume 250 µl. Selain optimasi komponen kit yang juga dilakukan optimasi perlakuan atau langkahlangkah yang berpengaruh terhadap kit T3 yaitu variasi inkubasi dan variasi waktu pengadukan. Variasi yang dilakukan meliputi inkubasi pada suhu ruang (± 25ºC tanpa pengadukan), suhu ruang sambil diaduk menggunakan shaker, dan pada suhu 37ºC. Ketiga kondisi dilakukan dengan waktu 2 jam. Dari percobaan diperoleh pada suhu
ISSN 1410 – 8178
Sutari, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
ruang sambil diaduk memberikan nilai paling optimum dengan %B/T tertinggi 71,51 terendah 16,61 dengan rentang nilai 55,5 dan NSB 0,95 %. Profil kurva variasi inkubasi dapat dilihat pada gambar 5.
yang hampir mirip. Dipilih pada waktu pengadukan 2 jam karena waktu assay lebih cepat, diperoleh %B/T tertinggi 67,57 dan terendah 16,73 dengan NSB 1,43% atau rentang nilai 50,84. Kondisi ini akan dipakai untuk assay selanjutnya. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Kit RIA-125I-T3 dengan metode coated tube optimum pada rancangaan assay volume larutan standar 50 µl, volume perunut 50 µl dengan cacahan ± 20.000 cpm dan volume assay buffer 250 µl dengan kondisi inkubasi pada suhu ruang (± 25ºC) sambil diaduk menggunakan shaker selama 2 jam. UCAPAN TERIMA KASIH
Gambar 5. Profil kurva standar pada optimasi assay kit T3 dengan variasi kondisi inkubasi Dari gambar 5. terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara inkubasi sambil diaduk menggunakan shaker bila dibandingkan dengan yang lain. Hal ini diduga saat inkubasi sambil diaduk semua antibodi dapat diikat oleh antigen tak bertanda dan yang kemudian berikatan dengan antigen bertanda dan membentuk komplek AgAb-Ag* yang sempurna. Setelah diperoleh optimasi inkubasi pada suhu ruang sambil diaduk maka dilakukan variasi waktu pengadukan dengan shaker selama 1, 2, 3 dan 4 jam, yang dapat dilihat pada gambar 6.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Siti Darwati M.Sc selaku Kepala Bidang Radiofarmaka yang telah membimbing terlaksananya penelitian ini, serta semua teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3.
4.
5. Gambar 6. Profil kurva standar pada optimasi assay kit T3 dengan variasi waktu pengadukkan. Untuk waktu pengadukan 1 jam terlihat perbedaan yang nyata (antara ikatan dari larutan standar nol dengan larutan standar lainnya rendah), tetapi untuk sistem dengan pengadukan selama 2,3 dan 4 jam memberikan nilai ikatan Sutari, dkk.
6.
”Http://id.wikipedia.org/wiki/thyroid kelenjar gondok. GINA MONRIDA, S.DARWATI,AGUS ARIYANTO, SUTARI DKK,”Pembuatan Komponen Kit RIA T3 Untuk Deteksi Hormon Tiroid Dengan Metode Coated Tube.” Prosiding Seminar Penelitian Dan Pengembangan Perangkat Nuklir, PTAPBBATAN 28 September 2010. WAYAN REDIATNING M.Sc,” Dasar-dasar RIA dan IRMA, Diklat operator Radioimmunoassay (RIA)”, PPR –Batan Serpong Januari 1993 halaman 8-9. WAYAN REDIATNING M.Sc,”Prinsip Dasar Radioimmunoassay, Pelatihan Radiofarmasi untuk Staf Pengajar Perguruan Tinggi Indonesia .” Pusat Pengembangan Radioisotop dan Radiofarmaka Batan 27 September s/d 1 Oktober V.YULIANTI SUSILO, G. MONDRIDA, S. SETYOWATI, SUTARI,W.LESTARI,” Pengaruh waktu dan suhu inkubasi pada optimasi assay kit RIA Mikroalbuminuria.” Jurnal Radioisotop dan Radiofarmaka DARLINA,” Pembuatan standar dan pereaksi pemisah kit-RIA-T3”, Jurnal Radioisotop dan Radiofarmaka .Vol.1.NO.2.1998.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 235
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
7.
PUJI WIDAYATI;TR NGSIH; SRISETYOWATI; FITRIYUNITA .” OPTIMASI ASSAY KIT IRMA CA15.3 UNTUK DETEKSI KANKER PAYUDARA.” Prosiding Seminar Nasional XII.”Kimia Dalam Pembangunan” Hotel Santika Yogyakarta,06 Agustus 2009. 8. Institute Of Isotopes Co., Ltd 1535 Budapest, Pf,:851,”Protokol Assay Kit RIA T3, Produksi tahun 2009 Lot No. 90527C “.
Buku II hal 236
ISSN 1410 – 8178
Sutari, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
MEMPELAJARI PENGARUH LOGAM TANAH JARANG SERIUM (Ce) dan LANTANUM (La) PADA ANALISIS TORIUM DENGAN METODA PENDAR SINAR-X Ratmi Herlani, Muljono, Sri Widiyati, Mujari Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK MEMPELAJARI PENGARUH LOGAM TANAH JARANG SERIUM (Ce) DAN LANTANUM (La) PADA ANALISIS TORIUM DENGAN METODA PENDAR SINARX. Telah dilakukan penelitian pengaruh logam tanah jarang serium (Ce) dan lantanum (La) pada analisis torium di dalam larutan torium nitrat, Th(NO3)4. Larutan Ce dan La dengan berbagai konsentrasi ditambahkan ke dalam larutan torium nitrat dengan konsentrasi 10.000 ppm. Pada penambahan larutan Ce maupun larutan La saja tidak terpengaruh pada intensitas torium, akan tetapi dengan penambahan Ce dan La dengan konsentrasi dari 100 ppm sampai 500 ppm secara bersama-sama ke dalam larutan torium nitrat akan berpengaruh pada intensitas torium. Kata kunci : logam tanah jarang, pendar sinar-X, intensitas.
ABSTRACT STUDYING INFLUENCE OF RARE EARTH ELEMENTS CERIUM (Ce) AND LANTHANUM (La) ON THORIUM ANALYSIS USE OF X-RAY FLUORESCENCE METHOD. Influence of rare earth elements cerium (Ce) and lantanum (La) on thorium nitrate, Th(NO3)4 solution was carried out. Cerium and lanthanum solution in various of concentration were added to thorium nitrate solution where its concentration was 10,000 ppm. When cerium or lanthanum solutions were added respectively to thorium solution would not influence on thorium intensity, however, when cerium and lanthanum solution in 100 ppm until 500 ppm were added together, thorium intensity would be influenced. Keywords : rare earth elements, X-ray fluorescence, intensity.
PENDAHULUAN
M
ineral monasit merupakan salah satu sumber untuk memperoleh unsur torium. Torium dalam bentuk oksida dapat digunakan sebagai salah satu bahan bakar di dalam reaktor nuklir. Di dalam mineral monasit mengandung unsur torium dalam bentuk oksida atau garam torium-fosfat yang selalu disertai dengan unsurunsur logam tanah jarang dengan konsentrasi relatif tinggi ataupun yang konsentrasinya rendah(4). Unsur-unsur logam tanah jarang dengan konsentrasi relatif tinggi yaitu antara lain lantanum (La) dan serium (Ce)(8). Proses pelarutan dan ekstraksi merupakan bagian rangkaian proses di dalam daur bahan bakar nuklir torium. Torium dengan kemurnian yang tinggi didapatkan melalui pelarutan mineral Ratmi Herlani, dkk.
monasit dan ekstraksi dengan menggunakan tri butil fosfat (TBP)(4). Produk hasil antara di dalam daur bahan bakar nuklir torium tidak kalah pentingnya untuk diketahui sebelum diperoleh hasil akhir sebagai torium murni. Proses pemurnian torium tidaklah mudah dilakukan karena selalu disertai adanya unsur-unsur logam tanah jarang yang sifat kimianya hampir mirip satu sama lainnya(3). Kandungan unsur-unsur di dalam proses daur bahan bakar torium juga sangat perlu diketahui, oleh karena itu metoda analisis kimia yang cepat dan handal perlu dikembangkan. Metoda analisis kimia yang dapat digunakan untuk mengetahui konsentrasi torium di dalam daur bahan bakar nuklir torium diantaranya adalah metoda pendar sinar-x. Metoda pendar sinar-x tidak memerlukan perlakuan khusus karena
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 237
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
cuplikan bisa berbentuk cair, padat maupun lumpuran dan setidaknya konsentrasi torium di dalam cuplikan dapat diketahui secara semikuantitatif(9). Disamping metoda sinar-x mempunyai kelebihan mudah dikerjakan, juga ada kelemahannya yaitu masalah matriksnya. Metode pengenceran matriks berfungsi mereduksi serapan pengkayaan cuplikan dan standar sampai batas tertentu dengan penambahan suatu pengencer atau (diluent) sehingga diharapkan intensitas garis spektra unsur yang dianalisis dari cuplikan yang telah diencerkan sebanding dengan konsentrasi unsur dan kurva kalibrasinya linier (menurunkan dampak pengkayaan dengan mereduksi konsentrasi unsur matriks atau menaikkan serapan garis spektra unsur yang dianalisis). Hal ini dapat diatasi dengan cara sebelum dilakukan analisis kimia dengan metoda sinar-x menggunakan cuplikan hasil pelarutan maupun ekstraksi perlu dilakukan suatu penelitian dengan cuplikan yang dibuat matriksnya mirip dengan standar daur bahan bakar torium hasil yang sesungguhnya. Oleh karenanya terlebih dahulu dibuat perbandingan matriks yang mendekati dengan keadaan sebenarnya, agar deteksi pencacahan intensitas spektra akibat interaksi atom antar unsur baik dengan kemungkinan terjadinya absorbsi/reduksi serapan dari spektra pancaran radiasi sinar-x bisa lebih tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh unsur-unsur logam tanah jarang dalam hal ini matriks serium dan lantanum terhadap pemurnian torium dengan menggunakan alat x-ray fluoresence (X-ray F). Untuk menghasilkan kepekaan maksimum terhadap suatu cuplikan perlu diperhatikan sumber eksitasi secara tepat. Sumber eksitasi dengan tenaga rendah memberikan kepekaan maksimum untuk analisis cuplikan yang mengandung unsur-unsur dengan nomor atom rendah, sedangkan untuk sumber pengeksitasi dengan tenaga tinggi lebih peka untuk cuplikan yang mengandung unsur dengan nomor atom besar atau unsur berat. Disamping hal tersebut perlu diketahui pula besarnya tenaga (energi) dari unsur yang dianalisis harus disesuaikan dengan rentang tenaga dari sumber pengeksitasi. Pada penentuan unsur serium dam lantanum yang mempunyai tenaga 33 keV(5) dan 34 keV(6) digunakan sumber pengeksitasi Am-241 karena rentang tenaga Am241 berkisar antara 25 keV sampai 57 keV. Sedangkan untuk torium walaupun mempunyai tenaga pada 12,9 keV(7) akan tetapi digunakan pada konsentrasi yang tinggi yaitu 2.000 ppm sampai
Buku II hal 238
10.000 ppm maka dapat digunakan sumber yang sama. Spektrometri Pendar Sinar-X Pada analisis emisi spektrometri sinar-x atau lazim disebut analisis pendar sinar-x, sinar dari sumber pengeksitasi akan mengenai cuplikan dan menyebabkan interaksi fotolistrik, hamburan Compton dan pembentukan pasangan. Metode analisis spektrometri pendar sinar-x terbagi menjadi analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif didasarkan pada pengukuran tenaga sinar-x, sedangkan analisis kuantitatif didasarkan pada pengukuran intensitas spektra sinar-x. Pada analisis kualitatif yang dicatat nomor salur dari puncak-puncak spektra sinar-x, kemudian dengan bantuan persamaan garis kalibrasi tenaga yang telah dibuat sebelumnya dan dengan bantuan tabel tenaga, maka dapat dihitung tenaga puncak sinar-x dan dapat menentukan unsur apa saja yang terdapat di dalam cuplikan. Analisis kualitatif ini mempunyai kemampuan menganalisis secara serempak unsurunsur di dalam cuplikan yang tenaganya berada di rentang tenaga sumber radioisotop yang digunakan. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui jumlah kandungan unsur yang ada di dalam cuplikan dengan cara mengukur luas puncak yaitu jumlah cacah dalam semua salur yang berada di bawah puncak tersebut. Intensitas garis spektrum unsur di dalam cuplikan diinterpolasikan ke dalam kurva kalibrasi standar yang dibuat antara intensitas garis spektrum unsur terhadap konsentrasi. Persamaan kurva standar ini dapat dirumuskan secara matematik dan merupakan garis lurus y = ax + b, dengan y adalah intensitas (cacah/Compton) dan x adalah konsentrasi (ppm)(9). Prinsip kerja spektometri pendar sinar-X Secara umum cara kerja dari spektometri pendar sinar-x adalah sebagai berikut : Sinar-x dari sumber pengeksitasi akan mengenai cuplikan dan menyebabkan interaksi antara sinar-x dengan cuplikan yang menimbulkan sinar-x yang karakteristik untuk setiap unsur. Sinar-x tersebut selanjutnya mengenai detektor Si(Li) yang akan menimbulkan pulsa listrik yang lemah. Pulsa listrik yang lemah kemudian diperkuat dengan preamplifier dan disalurkan pada penganalisis salur ganda (Multi Channel Analyzer). Tenaga sinar-x yang karakteristik tersebut, dapat dilihat pada tabel tenaga, sehingga dapat diketahui unsur-unsur yang ada dalam cuplikan yang dianalisis.
ISSN 1410 – 8178
Ratmi Herlani, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Atom dari suatu unsur yang dikenai radiasi dengan tenaga lebih besar dari tenaga ikat elektron di dalam atom tersebut akan mengakibatkan elektron di dalam atom tersebut terpental meninggalkan tempatnya sehingga terjadi kekosongan (lowong). Tempat kosong yang ditinggalkan oleh elektron tersebut akan diisi oleh elektron dari kulit yang lebih luar. Tempat kosong pada kulit yang dihasilkan karena elektronnya mengisi kekosongan pertama akan diisi dari kulit yang lebih luar. Atom akan kembali ke keadaan dasar secara bertahap dan setiap tahap akan terjadi loncatan elektron dari tingkat tenaga yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah. Kelebihan energi ini dipancarkan dalam bentuk sinar-x dan tenaga sinar-x yang dipancarkan adalah karakeristik untuk setiap atom dari unsur yang memancarkannya. Sinar-x tersebut kemudian mengenai detektor sehingga menimbulkan pulsa listrik yang akan diperkuat oleh amplifer dan kemudian disalurkan ke alat analisis salur ganda HV
(MCA) yamg mempunyai kemampuan memilahmilah pulsa sesuai dengan tenaga sinar-x yang dihasilkan cuplikan (9).Untuk menghasilkan sinar-x yang karakteristik dapat dipergunakan sumber eksitasi sinar-x yang berasal dari tabung sinar-x maupun sumber-sumber radioisotop. Sumber radioisotop adalah isotop-isotop tertentu yang dapat dipergunakan untuk mengeksitasi cuplikan sinar-x yang karakteristik. Perangkat Spektrometri Pendar Sinar-X Perangkat alat analisis spektrometri pendar sinar-x terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut(1) : Detektor Si(Li), Sumber pengeksitasi, Penguat awal, Alat analisis salur ganda, Sistem pencatat dan Printer. Rangkaian spektrometri pendar sinar-x dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Alat Analisis Salur Ganda (MCA)
Penguat Awal
Penguat
Pengisian N2
N2 Cair
Printer
Gambar 1. : Rangkaian Spektrometri Pendar Sinar - x Logam Tanah Jarang Kelompok unsur yang mempunyai nomor atom mulai 57 (lantanum) sampai 71 (lutesium), ditambah unsur yang mempunyai nomor atom 21 (skandium), dan 39 (itrium) biasa dikenal dengan sebutan unsur-unsur logam tanah jarang (Rare Earth Elements) (2). Kelompok unsur ini dalam sistem periodik unsur menempati golongan III B pada periode 6, kecuali skandium berada pada periode 4 dan unsur itrium berada pada periode 5. Kelompok unsur ini dikelompokkan terpisah dari unsur lain dan diberi nama kelompok unsur lantanida. Unsur skandium (Sc) dan itrium (Y) sebenarnya tidak termasuk dalam logam tanah jarang tetapi karena sifat-
Ratmi Herlani, dkk.
sifatnya yang mirip maka dimasukkan dalam kelompok ini. Unsur-unsur logam tanah jarang mempunyai sifat fisika dan sifat kimia yang mirip satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan unsur logam tanah jarang mempunyai perbedaan konfigurasi elektron pada sub kulit 4f saja. Unsur Sc dan Y termasuk dalam kelompok logam tanah jarang meskipun tidak termasuk dalam deret lantanida karena sifat skandium dan itrium yang mirip dengan logam tanah jarang. Logam tanah jarang adalah logam yang stabil dan terdapat di alam walaupun dalam jumlah sedikit(2).
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 239
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Torium Torium termasuk deret logam aktinida yang bersifat radioaktif, dalam sistem periodik mempunyai simbol Th dengan berat atom 232,038 g/mol, nomor atom 90 dan tingkat bilangan oksidasinya +4. Sifat-sifat fisik yang dimiliki torium (Th) antara lain titik leleh 2028 °K, titik didih 5060 °K, berat jenis 11,72 g/cm3. Torium di alam terdapat pada lapisanlapisan bumi dan dalam jumlah sedikit, torium ditemukan dalam mineral monazite, thorite (torium silikat), orangite dan thorianite (mineral
radiokatif yang tersusun dari torium oksida dan uranium). Torium merupakan bahan fertil yaitu bahan yang dapat digunakan untuk membuat bahan bakar nuklir setelah mengalami penembakan oleh neutron (0n1). Jika torium ditembak oleh neutron akan menghasilkan bahan fisil U233 yang merupakan bahan untuk membuat bahan bakar nuklir. Reaksi yang terjadi antara Th dengan neutron sebagai berikut (4):
menit ) hari ) Th 232 + 0 n1 →90Th 233 β( t1/2= 22,2 →91 Pa 233 β( t1/2= 27,0 →92 U 233 −
−
90
Torium berpotensi digunakan sebagai sumber bahan bakar nuklir, siklus bahan bakar torium-uranium dipelajari oleh ahli sebagai altenatif pengganti siklus bahan bakar uraniumplutonium. Pemisahan logam dari pengotor logam lain dapat dikerjakan dengan mengubah logam tersebut menjadi senyawa kompleks yang dapat larut dalam fase organik dan bersifat netral. Senyawa kompleks dibentuk dengan menambahkan pelarut atau pengkompleks. Pembentukan kompleks yang dapat diekstraksi tergantung dari ikatan koordinasi logam yang akan diekstraksi. Logam alkali dan alkali tanah tidak mudah membentuk kompleks karena tidak mempunyai orbit yang kosong. Sebaliknya unsur transisi dapat membentuk senyawa koordinasi dan mudah diekstraksi. Pembentukan kompleks torium : Th+4 + NO3
ThNO3
Dan Th+4+2NO3
Th(NO3)2+2
Jumlah garam nitrat akan bertambah banyak apabila NO3- bertambah banyak. Torium nitrat apabila diekstraksi akan membentuk senyawa koordinasi dengan TBPKerosin dan terikat menurut persamaan sebagai berikut(3) : Th+4 + 4 NO3 + 2 TBP
Th(NO3)4.2TBP
Ikatan torium dengan TBP-Kerosin ini dapat larut dalam fase organik, sehingga dapat dipisahkan dengan pengotor-pengotornya yang masih tinggal dalam fase air.
Buku II hal 240
Serium Serium merupakan salah satu unsur logam transisi golongan III B dalam deretan unsur lantanida yang lunak berwarna abu-abu. Serium disimbolkan dengan Ce. Di alam, serium terdapat pada lapisan-lapisan bumi dalam bentuk mineralmineral seperti monazite, bastnasite, cerite dan allanite yang sangat jarang. Sifat-sifat serium antara lain: memiliki massa atom 140,12 sma, mempunyai nomor atom 58, dalam senyawa mempunyai bilangan oksidasi +3 dan +4, titik didih 3715 °K, titik lebur 1017 °K dan massa jenis 6,77 g/cm3. Serium mempunyai tampang lintang (crosssection) sebesar 0,63 ± 150 barn (Erdtmann Gerhand). Serium dalam bentuk senyawa nitrat digunakan sebagai obat-obatan, sedangkan dalam bentuk senyawa sulfat digunakan sebagai oksidator. Serium digolongkan unsur logam tanah jarang dan termasuk melimpah diantara logam tanah jarang lainnya. Radioisotop serium diperoleh dari pembelahan U, Th dan Pu(2). Lantanum Lantanum merupakan salah satu unsur logam transisi golongan III B yang terdapat dalam deret unsur lantanida. Lantanum ditemukan pada tahun 1893 oleh seorang kimiawan dari Swedia yang bernama Carl Mosander. Lantanum termasuk kelompok tanah jarang yang berupa logam putih kebiruan yang lunak. Lantanum lebih melimpah daripada emas maupun platina. Lantanum selalu terdapat diantara produk pembelahan uranium, torium dan plutonium. Lantanum ditemukan di alam pada mineral-mineral seperti apatite, monazite, calsit dan fluorspar. Lantanum disimbolkan dengan La, mempunyai nomor atom 57, massa atom
ISSN 1410 – 8178
Ratmi Herlani, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
relatifnya 138,9 sma dan tingkat oksidasinya adalah +2 dan +3. Sifat-sifat fisik lantanum antara lain meleleh pada suhu 1191 °K, titik dididh 3737 °K, berat jenis 6,1545 g/cm3. Tampang lintang (cross-section) lantanum sebesar 9,2 ± 0,3 barn (Erdtmann Gerhand; 1976). Lantanum biasa digunakan sebagai bahan layar sinar-x, lensa gelas, fiber optik, baterai kapasitor, dan keramik(2). TATA KERJA Alat dan bahan : Bahan Th(NO3)4.5H2O (torium nitrat), Ce(NO3)3.6H2O (serium nitrat), La(NO3)3.6H2O (lantanum nitrat), ABM dan Metanol. Peralatan Spektrometri Pendar Sinar–x (x-Ray F), Vial, Milar, Peralatan gelas laboratorium dan Tissue. Cara kerja : 1. Pembuatan Larutan Standar Torium Ditimbang serbuk Th(NO3)4.5H2O sebanyak 6,142583 gram, dilarutkan dengan ABM 250 ml dan ditepatkan hingga tanda batas. 2. Pembuatan Larutan Standar Serium Ditimbang serbuk Ce(NO3)3.6H2O 7,747466 gram, dilarutkan dengan ABM 250 ml dan ditepatkan hingga tanda batas. 3. Pembuatan Larutan Standar Lantanum Ditimbang serbuk La(NO3)3.6H2O 7,793175 gram, dilarutkan dengan ABM 250 ml dan ditepatkan hingga tanda batas . 4. Persiapan Standar dan Cuplikan : - Standar Th Disiapkan lima buah vial yang masing-masing ditandai dengan nomor urut 1 sampai dengan 5, vial dibersihkan dengan metanol. Preparasi larutan standar Th 10.000 ppm dengan berbagai variasi mulai dari 2.000 ppm, 4.000 ppm, 6.000 ppm dan 8.000 ppm. Dari larutan standar yang telah dipreparasi diambil 5 ml dari setiap konsentrasi larutan tersebut kemudian ditutup dengan milar.
konsentrasi larutan tersebut kemudian ditutup dengan milar. - Standar La Disiapkan lima buah vial yang masingmasing ditandai dengan nomor urut 1 sampai dengan 5. Preparasi larutan standar La 10.000 ppm dengan berbagai variasi konsentrasi mulai dari 2.000 ppm, 4.000 ppm, 6.000 ppm, dan 8.000 ppm. Dari larutan standar yang telah dipreparasi diambil 5 ml dari setiap konsentrasi larutan tersebut kemudian ditutup dengan milar. - Cuplikan campuran Th dan Ce Larutan standar Th 10.000 ppm dan Ce 10.000 ppm dipreparasi dengan perbandingan volume (ml) masing-masing sebagai berikut : Tabel 1. Perbandingan volume larutan standar Th dan Ce. Standar Ce 10.000 ppm Standar Th 10.000 ppm (ml) (ml) 0,5
4
1
3,5
1,5
3
2
2,5
2,5
- Cuplikan campuran Th dan La Larutan standar Th 10.000 ppm dan La 10.000 ppm dipreparasi dengan perbandingan volume (ml) masing-masing sebagai berikut: Tabel 2. Perbandingan volume larutan standar Th dan La. Standar La 10.000 ppm Standar Th 10.000 ppm (ml) (ml)
- Standar Ce Disiapkan lima buah vial yang masing-masing ditandai dengan nomor urut 1 sampai dengan 5. Preparasi larutan standar Ce 10.000 ppm dengan berbagai variasi konsentrasi mulai dari 2.000 ppm, 4.000 ppm, 6.000 ppm, dan 8.000 ppm. Dari larutan standar yang telah dipreparasi mengambil 5 ml dari setiap
Ratmi Herlani, dkk.
4,5
ISSN 1410 – 8178
4,5
0,5
4
1
3,5
1,5
3
2
2,5
2,5
Buku II hal 241
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
-Cuplikan campuran Th + La + Ce (dengan perbandingan Ce tetap)
Tabel 5. Perbandingan volume larutan Th dengan Ce dan La sama.
Larutan standar Th 10.000 ppm, Ce 10.000 ppm dan La 10.000 ppm diambil dengan volume (ml) masing-masing sebagai berikut : Tabel 3. Perbandingan volume larutan Th, La dengan Ce tetap. Th 10.000 ppm (ml)
Ce 10.000 ppm (ml)
La 10.000 ppm (ml)
4,4
0,5
0,1
4,3
0,5
0,2
4,2
0,5
0,3
4,1
0,5
0,4
4,0
0,5
0,5
-Cuplikan campuran Th + La + Ce (dengan perbandingan La tetap) Larutan standar Th 10.000 ppm, Ce 10.000 ppm dan La 10.000 ppm diambil dengan volume (ml) masing-masing sebagai berikut : Tabel 4. Perbandingan volume larutan Th, Ce dengan La tetap. Th 10.000 ppm Ce 10.000 La 10.000 ppm (ml) ppm (ml) (ml) 4,4
0,1
0,5
4,3
1,2
0,5
4,2
0,3
0,5
4,1
0,4
0,5
4,0
0,5
0,5
Th 10.000 ppm (ml) 4,5 4,6
Ce 10.000 ppm (ml)
La 10.000 ppm (ml)
0,25 0,20
0,25 0,20
4,7
0,15
0,15
4,8
0,10
0,10
4,9
0,05
0,05
Analisis dengan menggunakan alat pendar sinar-x : Larutan standar dan cuplikan yang telah dipreparasi dianalisis dengan cara sebagai berikut : diletakkan vial yang berisi standar atau sampel di atas detektor, dinyalakan alat pendar sinar-x dan ditunggu beberapa saat. Pengaturan kondisi operasi alat pendar sinar (oleh operator). Dilakukan pencacahan standar dan sampel selama 5 menit, masing-masing dengan 3 kali pengukuran kemudian . dicatat hasil pencacahannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini hal pertama yang dilakukan adalah pencacahan terhadap masingmasing standar baik standar torium, serium, maupun lantanum. Pencacahan standar ini berguna sebagai perbandingan analisis pada saat larutan torium ditambahkan pengotor serium dan lantanum dalam berbagai variasi konsentrasi. Hasil dari pencacahan masing-masing standar tersebut diperoleh hasil persamaan garis sebagai berikut : 1. Standar torium y = 0,6574 x + 775,63
-Cuplikan Th + La + Ce ( dengan perbandingan Ce dan La sama)
2. Standar serium y = 5,8817 x + 2159
Larutan standar Th 10.000 ppm, Ce 10.000 ppm dan La 10.000 ppm diambil dengan volume (ml) masing-masing sebagai berikut :
3. Standar lantanum y = 4,755 x + 1984
Buku II hal 242
dengan y : banyaknya cacah rata-rata standar (torium, serium, lantanum) x : adalah besarnya konsentrasi (ppm)
ISSN 1410 – 8178
Ratmi Herlani, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Ketiga persamaan tersebut diatas diperoleh dari hasil grafik linier yang menunjukkan bahwa pada masing-masing standar belum terdapat matriks yang mengganggu proses
pencacahan pada standar, seperti ditunjukkan pada Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4 sebagai berikut :
1. Standar torium
Rata-rata luasan cacah (cps)
Standar Th y = 0,6574x + 775,63 R2 = 0,9959
8000 7000
7216 6135,333333
6000 5000
4767,666667
4000
3539
3000 2000
1940,666667
1000 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
Konsentrasi (ppm)
Gambar 2. Hubungan variasi konsentrasi torium terhadap rata-rata pencacahan
2. Standar serium
Rata-rata luasan cacah (cps)
Standar Ce 70000 y = 5,8817x + 2159 R2 = 0,9993
60000 50000
60583 49218,5
40000
38112,5
30000
25913,5
20000 13418,5
10000 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
Konsentrasi (ppm) Gambar 3. Hubungan variasi konsentrasi serium terhadap rata-rata pencacahan
Ratmi Herlani, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 243
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
3.Standar Lantanum
Rata-rata luasan cacah (cps)
Standar La 60000
y = 4,755x + 1984
50000
48686,5
R2 = 0,9979 40724
40000 31042
30000 21238
20000 10879,5
10000 0 0
2000
4000
6000
8000
10000
Konsentrasi (ppm) Gambar 4. Hubungan variasi konsentrasi lantanum terhadap hasil pencacahan Langkah selanjutnya dilakukan variasi terhadap perbandingan torium dan serium dalam larutan campuran berkonsentrasi 10.000 ppm. Perbandingan konsentrasi torium dimulai dari 5.000-9.000 ppm sedangkan untuk matriks serium dimulai dari 1.000-5.000 ppm. Untuk larutan torium yang ditambahkan matriks serium diperoleh persamaan garis linier yaitu y= 0,6132 x + 782,33 yang ditunjukkan pada gambar 5, sedangkan untuk larutan yang ditambahkan matriks lantanum diperoleh persamaan garis linier
yaitu y= 0,5992 x + 1.010,2 yang ditunjukkan pada gambar 6. Dari kedua grafik pada Gambar 5 dan 6 berikut dapat dilihat bahwa tidak terjadi perubahan yang signifikan antara hasil pada saat pencacahan standar dengan hasil pencacahan ketika larutan torium telah ditambahkan matriks serium dan lantanum. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi matriks yang ditambahkan masih dalam kapasitas kecil sehingga konsentrasi torium lebih mendominasi hasil pencacahan pada kedua kondisi tersebut.
4. Sampel campuran torium dan serium
Rata-rata luasan cacah (cps)
Th + Ce 7000
y = 0,6132x + 782,33 R2 = 0,9851
6000
6201,333333 5698,333333 5214
5000 4551 4000
3709
3000 5000
6000
7000
8000
9000
Konsentrasi (ppm) Gambar 5. Hubungan variasi konsentrasi campuran Th dan Ce sebagai pengotor terhadap hasil pencacahan torium Buku II hal 244
ISSN 1410 – 8178
Ratmi Herlani, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
5.Sampel campuran torium dan lantanum
Rata-rata luasan cacah (cps)
Th + La 7000 y = 0,5992x + 1010,2 2 R = 0,9937
6000
5729,333333 5271,333333
5000 4000
6404
4688,333333 3928,666667
3000 5000
6000
7000
8000
9000
Konsentrasi (ppm) Gambar 6. Hubungan variasi konsentrasi campuran Th dan La sebagai pengotor pencacahan torium. Variasi berikutnya adalah pencampuran torium, serium, lantanum dengan konsentrasi serium dibuat tetap yaitu 1.000 ppm. Dalam sampel ini perbandingan konsentrasi dimulai dari 8.000 ppm, 8.200 ppm, 8.400 ppm, 8.600 ppm, hingga 8.800 ppm. Untuk lantanum dimulai dari konsentrasi 200 ppm, 400 ppm, 600 ppm, 800 ppm, hingga 1.000 ppm. Konsentrasi serium dibuat tetap dengan tujuan untuk mengetahui
terhadap hasil
pengaruhnya terhadap hasil cacah torium. Pada variasi ini diperoleh hasil grafik linier seperti halnya pada grafik standar awal penelitian (Gambar 2, 3 dan 4). Hal ini menunjukkan bahwa pengotor serium dengan konsentrasi tetap dan konsentrasi lantanum bervariasi tidak begitu mempengaruhi hasil pencacahan torium. Hubungan interaksi ketiga unsur tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 berikut :
6. Sampel campuran torium, lantanum dengan perbandingan serium tetap
Rata-rata luasan cacah (cps)
Campuran Th + La + Ce dengan konsentrasi Ce tetap 6300 6250 6200 6150 6100 6050 6000 5950 5900 5850 5800
y = 0,488x + 1955,4 R2 = 0,9865
6239 6153 6084
5939 5858
8000
8200
8400
8600
8800
9000
Konsentrasi (ppm) Gambar 7. Hubungan antara campuran torium, lantanum, serium (Ce konsentrasi tetap) dengan rata-rata hasil pencacahan torium
Ratmi Herlani, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 245
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Apabila dilakukan variasi terhadap konsentrasi torium, lantanum, dan serium dengan lantanum tetap hasilnya tidak sama dengan ketika konsentrasi Ce yang dibuat tetap. Perbandingan konsentrasi ini merupakan kebalikan dari variasi
sebelumnya. Hubungan interaksi antara torium, serium dan lantanum dengan perbandingan lantanum tetap dapat dilihat pada Gambar 8 sebagai berikut:
7. Sampel campuran torium, serium dengan perbandingan lantanum tetap
Rata-rata luasan cacah (cps)
Campuran Th + La + Ce dengan konsentras i La tetap y = 0,6393x + 719,4 R2 = 0,9682
6400 6300
6345,666667 6256
6200 6100 6047
6000 5900
5932 5868,333333
5800 8000
8200
8400
8600
8800
9000
Konsentrasi (ppm) Gambar 8. Hubungan antara campuran torium, lantanum, serium (La konsentrasi tetap) dengan rata-rata hasil pencacahan torium Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa matriks lantanum dengan konsentrasi tetap dapat mempengaruhi hasil pencacahan torium sehingga grafik yang diperoleh tidak linier yaitu pada saat konsentrasi torium 8.400 ppm seharusnya mengalami kenaikan seiring bertambahnya konsentrasi namun pada Gambar 8 ini grafik menunjukkan sedikit penurunan, karena torium mengalami absorbsi dari pengaruh matriks yang ditambahkan. Dalam hal ini pada konsentrasi torium 8.400 ppm dengan lantanum tetap 1.000 ppm sedangkan serium variasi konsentrasi 200 ppm, 400 ppm, 600 ppm, 800 ppm, hingga 1000 ppm. Untuk melihat ada tidaknya kompetisi kedua unsur matriks (Ce dan La) dalam pengaruhnya terhadap keberadaan torium dibuat
Buku II hal 246
variasi konsentrasi pengotor (serium dan lantanum) dengan komposisi yang sama, sedangkan konsentrasi torium dibuat berbeda dengan yang sebelumnya yaitu 9.000 ppm, 9.200 ppm, 9.400 ppm, 9.600 ppm dan 9.800 ppm. Perbandingan konsentrasi serium dan lantanum dibuat sama yaitu 100-500 ppm. Pengaruh kedua matriks tersebut semakin besar terhadap hasil pencacahan torium. Hal ini terlihat pada hasil pencacahan yang tidak linier yaitu untuk konsentrasi 9.000 ppm dan 9.200 ppm pencacahan mengalami kenaikan, pada konsentrasi 9.400 ppm hasil pencacahan mengalami penurunan, kemudian mengalami kenaikan kembali pada konsentrasi 9.600 ppm dan 9.800 ppm. Pengaruh campuran kedua matriks dengan konsentrasi sama (100-500 ppm) terlihat Gambar 9 berikut :
ISSN 1410 – 8178
Ratmi Herlani, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
8. Sampel campuran torium, lantanum, serium dengan perbandingan La dan Ce sama
Rata-rata luasan cacah (cps)
Campuran Th + La + Ce (La dan Ce sama) y = 0,8057x - 898,33 R2 = 0,8813
7000
6872,333333
6800 6637,666667 6545
6600 6400
6315,666667 6200 6000 9000
9200
9400
9600
9800
10000
Konsentrasi (ppm)
Gambar 9. Hubungan antara campuran torium, lantanum, serium (konsentrasi La dan Ce sama) dengan ratarata hasil pencacahan torium Pada Gambar 9 terlihat bahwa adanya unsur serium dan lantanum sebesar 100 ppm – 500 ppm telah mempengaruhi besarnya intensitas torium pada analisis karena hasil pencacahan didapatkan intensitas mengalami penurunan. Oleh karena itu terjadi kondisi absorbsi serapan pengkayaan dari cuplikan torium.
2. 3.
4.
KESIMPULAN Dalam penelitian dengan berbagai konsentrasi baik pada larutan standar torium, larutan standar serium, larutan standar lantanum maupun variasi berbagai konsentrasi diperoleh hasil bahwa pengaruh adanya matriks serium dan lantanum pada intensitas torium terjadi pada campuran sampel torium, serium dan lantanum dengan konsentrasi sama yaitu antara 100 ppm - 500 ppm. Pada kondisi campuran tersebut grafik yang diperoleh tidak linier, hal ini menunjukkan bahwa matriks yang ditambahkan pada pencacahan torium telah cukup mengganggu analisis. Analisis yang dilakukan dengan alat pendar sinar-x dapat melihat gangguan absorbsi torium oleh adanya karena matriks serium dan lantanum bersama-sama.
5.
6.
7.
8.
9. DAFTAR PUSTAKA 1.
Benedict, M.,1981, ”NUCLEAR CHEMICAL ENGINEERING”, Mc.Graw-Hill Book Company, USA.
Ratmi Herlani, dkk.
http://id.wikipedia.org/wiki/”Rare Earth Elements” , 2010. Puji Lestari, 2002, “PENYIAPAN UMPAN EKSTRAKSI DALAM PEMISAHAN THORIUM DARI KONSENTRAT CERIUM”, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Surya Adi Ari Nugroho, 2004, ”PEMISAHAN CERIUM DAN THORIUM DARI KONSENTRAT CERIUM NITRAT HASIL OLAH PASIR MONASIT DENGAN METODE EKSTRAKSI MEMBRAN EMULSI CAIR”, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Thomsen, V. and Schatzlein, D., “THE XRAY SPECTRUM OF CERIUM”, www.spectroscopyonline.com, 2010. Thomsen, V. and Schatzlein, D., “THE XRAY SPECTRUM OF LANTHANUM”, www.spectroscopyonline.com, 2010. Thomsen, V. and Schatzlein, D., “THE XRAY SPECTRUM OF THORIUM”, www.spectroscopyonline.com, 2010. Trisna Fadliyah, 2007, ”PENINGKATAN KADAR Ce KONSENTRAT Ce(NO3)4 DENGAN METODE EKSTRAKSI MENGGUNAKAN EKSTRAKTAN TOPO”, Sekolah Menengah Analisis Kimia Makassar, Makassar. Uripatmamimindari, 1995, ”ANALISIS LANTANIDA DARI PEMISAHAN PENUKAR ION DENGAN METODE SPEKTROMETRI PENDAR SINAR-X”, Institut Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Yogyakarta.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 247
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
TANYA JAWAB Sutrisno Apa yang dimaksud dengan monasit? Ratmi Herlani Monasit yaitusalah satu jenis pasir yang mengandung oksida mineral setperti ThO2, SiO2, dll dengan logam-logam tanah jarang seperti Ce, La, Nd dan lain-lain Aris Munandar Pada analisis Torium dengan metode pendar sinar-X ini untuk mempelajari pengaruh logam tanah jarang Ce dan La digunakan sumber apa? Ratmi Herlani Dalam hal ini digunakan sumber Amerisium(Am-241)
Buku II hal 248
ISSN 1410 – 8178
Ratmi Herlani, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
KARAKTERISASI ELEKTRODA SELEKTIF ION KADMIUM UNTUK PENGUJIAN Cd DALAM ZIRKONIUM A.Purwanto, Farida Ernawati, Sajima Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK KARAKTERISASI ELEKTRODA SELEKTIF ION (ESI) KADMIUM UNTUK PENGUJIAN Cd DALAM ZIRKONIUM. Dipelajari uji karakter elektrode selektif ion (ESI) kadmium (Cd+2) menggunakan potensiometer Metrohm dengan elektroda pembanding Hg/Hg2Cl2. Parameter kinerja ESI yang ditentukan adalah waktu tanggap elektroda, faktor Nernst, daerah linieritas. Kinerja elektroda (ESI) kadmium, ditentukan dengan mengukur seri larutan Cd+2 konsentrasi 0,02, 0,05, 0,2 0,5 2,0 dan 5,0 ppm dalam larutan KNO3 0,1 M pH 3-6, dari 8 kali pengulangan diperoleh bahwa pada trayek pengukuran 0,02-5,0 ppm, faktor Nernst 26,040 + 1,291 mV/dekade, waktu tanggap elektroda 5 menit, diperoleh linieritas antara log [Cd+2] terhadap potensial. Pengaruh unsur mayor zirkonium pada perbandingan 40 kalinya menganggu, sensitivitasnya menurun. Uji validitas metode dengan menentukan presisi dari perhitungan koefisien variansi larutan Cd 0,5 ppm 8 kali pengulangan, diperoleh koefisien variansi 4,9 %. Batas deteksi ditentukan dari standar deviasi 9 larutan blanko diperoleh 0,01 ppm. Cuplikan ZrO2 dilarutkan dalam campuran asam-asam pekat HF, HCl dan HNO3 menggunakan bomb digester pada suhu 150 oC selama 4-5 jam. Untuk memisahkan kadmium dari zirkonium dilakukan ekstraksi dengan pelarut 30 % Tri-n-oktilamin 70% kerosen dalam media H2SO4 0,5 M. Fase air mengandung unsurunsur pengotor dianalisis kadar Cd-nya. Sedangkan gangguan dari ion sulfat dikurangi dengan cara penguapan hampir kering. Dari hasil analisis diperoleh kadar Cd dalam cuplikan rata-rata 1,385 + 0,039 mg/g. Kata kunci : Elektrode selektif ion kadmium
ABSTRACT THE CHARACTERIZATION OF CADMIUM ION SELECTIVE ELECTRODE FOR THE DETERMINATION OF CADMIUM ION IN ZIRCONIUM SAMPLE. The characterization of cadmium ion selective electrode using Metrohm potentiometer with Hg/Hg2Cl2 reference electrode was studied. This research is aimed to know the character of Cadmium Metrohm ISE and apllication for the determination of cadmium ion in zirconium samples. The first step were calibration of ion selective electrode cadmium to determine of respon time, Nernst factor (RT/nF) and linearitas from standard calibration curve between potential (mV) versus cadmium concentration 0,02, 0,05, 0,2 0,5 2,0 and 5,0 ppm in ionic strength adjuster (ISA) solution of 0.1 M KNO3 at pH 3-6. It was found that from 8th the cadmium electrode calibrations gave Nernst factor average 26.040 + 1.291mV/dekade at cadmium ion concentration ranges of 0.02 to 50 ppm, response time of 5 minutes. Coefisien of variation is 4.9 % respectively, limit of detection from determined with standard deviasi from nine blanks is 0,01 ppm. Sample dissolution with mixed concentrated HF, HCl and HNO3 with bomb digester at 150 oC for 4-5 hours. To separated Cd from Zr with solvent extraction 30 % Tri-n-oktilamin 70% kerosen in H2SO4 0.5 M. The solution was evaporated almost to dryness to minimize interference from sulfate ion. The analysis of cadmium concentration in samples were done calculated by standard addition method. The cadmium (Cd+2) concentration results in sample is 1.385 + 0.039 mg/g. Keyword : Cadmium ion selective electrode
A. Purwanto, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 249
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENDAHULUAN
L
aboratorium pengujian yang mengadopsi peraturan SNI-17025-2005 data hasil uji dikatakan absah apabila mempunyai presisi dan Validasi merupakan akurasi yang baik(1). konfirmasi melalui pengujian dan pengadaan bukti yang obyektif bahwa persyaratan tertentu untuk tujuan khusus dipenuhi. Laboratorium harus memvalidasi metode tidak baku, metode yang dikembangkan, dan metode baku yang digunakan di luar lingkup yang dimaksudkan(1). Sistem mutu dalam SNI–17025–2005 antara lain adanya prosedur operasional baku, peralatan laboratorium dilakukan kalibrasi secara berkala, metode pengujiannya memenuhi SNI atau tervalidasi, mempunyai program jaminan mutu, mempunyai sistem pengarsipan dan laporan pengujian serta dikerjakan oleh analisis yang mempunyai kompetensi dalam bidangnya. Ketelitian dan ketepatan hasil pengujian di laboratorium sangat tergantung pada ketepatan dan ketelitian alat ukur dan alat ujinya, oleh sebab itu harus dilakukan kalibrasi secara berkala oleh laboratorium kalibrasi terakreditasi berwenang yang telah ditunjuk oleh KAN. Metoda pengujian yang memenuhi kriteria SNI maka validasi metode yaitu presisi, akurasi, batas deteksi, sensitivitas, selektivitas, rentang kerja perlu untuk dilakukan. Elektrode selektif ion (ESI) kadmium adalah membran kristal padat yang dirancang untuk mendeteksi ion kadmium (Cd+2) dalam larutan fase air. Metode tersebut diharapkan dapat diterapkan untuk pengujian kadmium dalam zirkonium. Dalam zirkonium murni nuklir konsentrasi unsur-unsur pengotor maksimum yang diperbolehkan adalah 100 µg/g, sedangkan untuk kadmium kurang dari 0,4 µg/g, karena mempunyai tampang lintang serapan neutron yang besar(2). Dithizone-methhylisobutylketone (MIBK), dithizone-chloroform dan sodium diethyl dithiocarbamate-chloroform digunakan untuk memisahkan kadmium dalam zirkonium(2). Kadmium dalam fase organik distripping dengan asam, kadmium setelah kembali ke fase air kemudian dianalisis. Tujuan dari penelitian ini untuk memperoleh metode elektroda selektif ion yang valid untuk pengujian kadmium (Cd+2). Untuk verifikasi dan kalibrasi alat dan metode elektroda selektif ion ditentukan terlebih dahulu waktu tanggap elektroda dan faktor Nernst : 2,303 RT/nF dengan harga 26 + 3 mV pada 25 0C(4,56). Validasi metode elektroda selektif ion meliputi akurasi dan presisi, batas deteksi, sensitivitas,
Buku II hal 250
selektivitas serta rentang konsentrasi analisis. Presisi dan akurasi metode dilakukan dengan mengukur potensial larutan yang mengandung kadmium dari larutan standar (spiked, uji recovery). Sensitivitas merupakan rasio kenaikan potensial untuk setiap kenaikan konsentrasi analit, sedangkan selektivitas merupakan kemampuan metode uji untuk memberikan respon tanpa adanya ion lain. Berdasarkan data-data yang diperoleh dievaluasi keandalan alat dan metode uji, dan diharapkan dapat diaplikasikan untuk uji kadmium dalam Zirkonium. Metode uji memegang peranan yang sangat penting dalam memperoleh hasil uji dengan akurasi dan presisi tinggi. Alat uji perlu dikalibrasi untuk mengetahui presisi dan linieritasnya, dan dilanjutkan dengan penentuan validasi metode uji. Salah satu alat uji yang mendukung laboratorium penguji PTAPB BATAN adalah Potensiometer dengan elektroda selektif ion (ESI) kadmium buatan Metrohm Switzerland. Tujuan penelilian ini adalah melakukan karakterisasi, uji unjuk kerja alat dan validasi metode ESI kadmium untuk mengetahui kemungkinannya dapat digunakan untuk analisis kadar Cd+2 dalam zirkonium hasil pemurnian. Metoda elektroda selektif ion merupakan salah satu metode analisis elektrokimia yang dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Penggunaan elektroda selektif ion dalam analisis kimia sangat luas karena sensitifitas dan selektivitasnya tinggi, relatif murah, mudah pengoperasiannya dan dapat digunakan untuk pengujian anion maupun kation. Dalam keperluan analisis dapat dipergunakan untuk senyawa anorganik, asam amino, bahkan molekul organik. ESI mempunyai kelebihan antara lain selektivitas tinggi sehingga dalam pengukuran tidak perlu melakukan pemisahan terlebih dahulu dan mampu mengukur ion dalam konsentrasi yang cukup rendah. Metode ESI menjadi alternatif pengganti metode analisis yang telah ada karena efisiensi dan kesederhanaan dalam pengukurannya, akan tetapi kelemahan metode ESI ini kestabilannya rendah. (3) Elektroda selektif ion berdasarkan jenis ion sensitif membran yang digunakan dalam konstruksinya digolongkan menjadi 3, yaitu : elektroda membran padat (solid-state) membran cair (liquid) dan membran gelas. Elektroda ion selektip kadmium termasuk dalam elektroda membran cair (liquid) ion-exchange berisi plastik inert porous substrat yang dijenuhkan dengan air tidak bercampur (immisible) dengan pelarut organik yang mengandung garam anorganik dari ion yang diukur(4).
ISSN 1410 – 8178
A. Purwanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
DASAR TEORI Respon dari suatu elektroda selektif ion adalah potensial, sistem ini adalah sebagai fungsi dari aktivitas ion atau konsentrasi dalam larutan. Bila aktivitas atau konsentrasi naik maka potensial elektroda menjadi lebih positip bila elektrodanya adalah sensor kation, menjadi lebih negatif jika elektroda sensor untuk anion. Bila potensial elektroda dari suatu elektroda diukur terhadap elektroda pembanding, diperoleh harga potensial sebanding dengan logaritma aktivitas/konsentrasi ion. Potensial elektroda ditentukan dengan persamaan Nernst sebagai berikut : E = E a + 2,303
RT log a nF
dengan E adalah total potensial dari sistem yang diukur, Ea adalah bagian dari total potensial terhadap elektroda pembanding dalam larutan, R adalah konstante gas umum (8,314 J.K-1.mol-1), T adalah derajat Kelvin, n muatan ion, F adalah bilangan Faraday (96,485 C.mol-1) dan a adalah aktivitas ion dalam larutan cuplikan.(5) Untuk sepuluh kali perubahan dalam aktivitas ion, potensial elektroda (pada 25 0C) berubah dengan 59,2 mV jika ion yang diukur adalah monovalen dan 29,6 mV jika yang diukur adalah divalen. Akan tetapi dalam prakteknya sering diperoleh slope elektroda yang lebih kecil atau kurang dari teori dan hal ini menyebabkan kesalahan pengukuran jika kompensasi tidak dipenuhi.(5,6) TATAKERJA Bahan 1. Larutan standar Cd dari Cd(NO3)2.4.H2O , 2. larutan ISA (Ionic Strength Adjustor) 3. KNO3 0,1 M, 4. ZrO2, 5. ZrOCl26.H2O, 6. HNO3, 7. HF, 8. HCl, 9. H2SO4, 10. NaF, 11. hidoksilamin hidroklorida, tri-n-oktilamin (TNOA), 12. kerosen, semua bahan buatan Merck berkualitas p.a., akuabides.
A. Purwanto, dkk.
Peralatan : Alat uji yang digunakan adalah Potensiometer 654 pH buatan Metrohm dilengkapi dengan elektroda selektif ion kadmium, elektroda pembanding Hg/Hg2Cl2 double junction, motor pengaduk magnet. Alat– alat pendukung adalah neraca analitik Sartorius, bomb digester, oven, kompor listrik, mikro pipet, labu takar, beker polietilen, corong pisah, stop watch, serta alat – alat laboratorium lainnya. Cara Kerja Pembuatan larutan a. Larutan pengatur kuat ion (ionic strength adjustor, ISA) KNO3 2,5 M Ditimbang KNO3 25,256 gram, dilarutkan dalam akuabides hingga volume 100 mL b. Larutan Cd(NO3)2 0,01 M Ditimbang 0,3085 gram kristal Cd(NO3)2.4.H2O dilarutkan dalam akuabides hingga volume 100 mL c. Larutan standar Cd 1000 ppm Ditimbang 0,27719 gram kristal Cd(NO3)2.4.H2O dilarutkan hingga volume 100 mL dengan akuabides dalam suasana keasaman HNO3 0,1 N. Pengkondisian elektroda Sebelum sel elektrokimia digunakan untuk pengujian ion kadmium perlu dilakukan pengkondisian dengan cara elektroda dicelupkan sambil diaduk ke dalam larutan larutan Cd(NO3)2 0,01 M, selama 1-2 jam, lama perendaman tergantung elektroda itu baru pertama digunakan atau periode lama tidak digunakan. Kemudian sel dicuci dengan akuabides berulangkali, akuabides diukur potensialnya demikian pula untuk larutan blanko. Untuk pengukuran berikutnya diusahakan agar potensial larutan blanko mirip dengan potensial blanko pada pengukuran-pengukuran sebelumnya. Kinerja elektroda dipelajari berdasarkan harga potensial elektroda selektif ion, relatif terhadap elektroda pembanding Hg/Hg2Cl2. Kinerja tersebut adalah penentuan nilai sensitivitas, linieritas kurva, waktu tanggap elektroda. Menentukan waktu tanggap (respon time) Waktu tanggap ion kadmium terhadap elektrode selektif ion ditentukan dengan cara mengukur potensial larutan standar Cd+2 pada berbagai variasi konsentrasi. Masing-masing diukur potensialnya untuk selang waktu tertentu 1 hingga 10 menit dan ditentukan waktu pada saat potensialnya telah konstan.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 251
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Menentukan Faktor Nernst. Faktor Nernst adalah slope atau kemiringan dari kurva standar merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. Harga faktor Nernst dengan persyaratan dalam rentang 26 ± 3 mV. Sebelum digunakan perlu dilakukan verifikasi apakah slope memenuhi persyaratan, apabila tidak memenuhi perlu dievaluasi apakah sensor elektrodanya kurang peka, kotor atau sistem larutan yang diukur. Kalibrasi elektrode selektif ion Cd+2 Dibuat satu deret larutan standar kadmium dalam larutan ISA KNO3 0,1 M, dengan variasi konsentrasi adalah : 0,02 s/d 5,0 ppm. Larutan dituangkan ke dalam beker plastik (polipropylen) 50 mL, diaduk dengan motor pengaduk magnit dan dilakukan pengamatan potensial masing–masing larutan untuk selang waktu 1 hingga 10 menit. Dibuat kurva kalibrasi antara potensial (mV) terhadap logaritma konsentrasi ion Cd+2 (ppm) dan harga slope dari persamaan garis kurva kalibrasi merupakan faktor Nernst. Harga faktor Nernst memenuhi persyaratan bila dalam kisaran 26 ± 3 mV atau 27 + 2 mV perdekade.(5,6,7) Dipelajari pula untuk konsentrasi rendah Cd (low level) dengan kisaran konsentasi 0,02 hingga 0,6 ppm dalam ISA KNO3 0,01 M. Penentuan batas deteksi Dilakukan dengan cara menentukan standar deviasi konsentrasi analit dari minimal 7 buah larutan blanko yang dihitung dari kurva kalibrasi standar. Harga limit of detection (L.o.d) dihitung dari harga rerata konsentrasi analit ditambah 3 kali simpangan baku blanko. Uji presisi Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Presisi dapat dinyatakan sebagai repeatability (keterulangan). Presisi ditentukan dengan menghitung simpangan baku (Sd) dari tujuh pengujian larutan, dan koefisien variasi (CV) dihitung sebagai berikut : %CV = S d x 100 X
Uji selektivitas Selektivitas atau spesifisitas suatu metode secara umum adalah kemampuannya yang hanya mengukur zat tertentu saja secara cermat dan seksama dengan adanya komponen lain yang mungkin ada dalam matriks sampel. Selektivitas seringkali dapat dinyatakan sebagai derajat penyimpangan (degree of bias) metode yang dilakukan terhadap sampel yang mengandung Buku II hal 252
bahan matriks yang ditambahkan., dan dibandingkan terhadap hasil analisis yang tidak mengandung matriks yang ditambahkan. Dalam penelitian ini dipelajari pengaruh zikonium terhadap ESI kadmium, dan cara minimalisasi gangguan dari Zirconium. Pelarutan dan ekstraksi Zikonium oksida sukar larut dalam asamasam pekat sehingga serbuk ZrO2 dilarutkan menggunakan bomb digester dalam tabung teflon. Cuplikan ZrO2 ditimbang tepat antara 0,400 – 0,500 g dimasukkan ke dalam tabung teflon, kemudian ditambah asam-asam pekat : 1 mL HF, 3 mL HCl dan 1 mL HNO3. Tabung teflon dimasukkan ke dalam tabung stainless-steel bertutup ulir, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 150 oC, selama 4-5 jam. Larutan dipindah secara kuantitatif ke dalam beker teflon kemudian dipanaskan, diuapkan beberapa kali untuk menurunkan kadar keasaman. Larutan dipidah kuantitatif ke dalam labu takar 10 mL, ditambah akuades hingga tanda tera. Larutan ZrO2 dipipet 5 mL, dimasukkan ke dalam labu takar 20 mL, ditambah H2SO4 pekat 0,5 mL, kemudian ditambah akuades hingga tanda tera. Larutan yang terjadi dengan konsentrasi Zr + 10 g/L dalam media asam sulfat 0,5 M. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam erlenmeyer, ditambah 20 mL larutan 30% Tri-n-oktilamin dalam kerosen kemudian diekstraksi selama 15 menit. Larutan dipisahkan antara fase organik dan fase air menggunakan corong pisah. Fase air diuapkan beberapa kali untuk menurunkan keasaman, kemudian fase air dianalisis kadar Cd-nya. Penentuan konsentrasi Cd dengan cara standar adisi Dipipet 100 ∆L larutan cuplikan dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL, ditambah 2 mL KNO3 2,5 M, ditambah 1 mL larutan NaF, larutan diencerkan dengan akuabides hingga batas sehingga larutan ISA konsentrasi 0,1 M. Larutan diukur potensialnya pada waktu tanggap 5 menit. Selanjutnya ke dalam larutan contoh tersebut di adisi dengan larutan standar ion kadmium 100 ppm, volume tertentu (∆L) sehingga konsentrasi kadmium yang ditambahkan (∆C) : 0,2, 0,4, 0,6, 0,8 dan 1,0 ppm, setiap penambahan standar diukur potensialnya, konsentrasi ion Cd+2 dalam contoh uji (Cs) dihitung dengan persamaan : Cs = ∆C 10
1 ∆E / S
− 1
Dengan Cs adalah konsentrasi spesies yang diukur, ∆C adalah perubahan konsentrasi
ISSN 1410 – 8178
A. Purwanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
disebabkan kenaikan atau penurunan konsentrasi elektroda, ∆E adalah perubahan potensial oleh karena perubahan konsentrasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kinerja elektroda dipelajari berdasarkan harga potensial elektroda selektif ion (ESI), relatif terhadap elektroda pembanding Hg/Hg2Cl2. Kinerja tersebut adalah penentuan nilai sensitivitas, linieritas kurva, waktu tanggap kisaran konsentrasi yang memenuhi pers. Nernst. Kurva standar Cd+2 dibuat dengan kisaran konsentrasi 0,1-5,0 ppm dalam larutan ISA KNO3, 0,1 M pH 3-6. sedangkan waktu tanggap adalah 5 menit. Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon proporsional
ion analit, S adalah faktor Nernst atau slope terhadap konsentrasi analit. Diperoleh hubungan linier antara Log [Cd+2] terhadap potensial, pada kisaran konsentrasi 0,02-5,0 ppm dengan koef, korelasi (r) = 0,999. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. Contoh data pengamatan potensial (mV) terhadap konsentrasi ion Cd+2 yang diamati dari menit pertama hingga 10 menit ditunjukkan pada Tabel 1. Pada trayek pengukuran konsentrasi 0,02 - 5,0 ppm, dari 8 kali pengulangan diperoleh faktor Nernst 26,040 + 1,291 mV/dekade, harga ini masuk dalam kisaran yang dipersyaratkan dalam acuan yaitu 26 + 3 mV/decade.
Tabel 1. Potensial (mV) yang diamati dari menit ke 1 hingga 5 menit untuk konsentrasi ion kadmium : 0,02 – 5,0 ppm dalam KNO3 0,1 M [ Cd+2 ] (ppm=g/mL)
Log [Cd+2]
Potensial Elektroda (mV) diamati menit ke 2 3 4
1
Blank
5
-302,5
-302,4
-301,9
-302,0
-302,0
0,02
-1,699
-288,6
-288,4
-288,3
-288,3
-288,3
0,04
-1,398
-281,7
-281,7
-281,6
-281,6
-281,6
0,06
-1,222
-277,2
-277,2
-277,1
-277,1
-277,1
0,08
-1,097
-273,7
-273,7
-273,6
-273,6
-273,6
0,10
-1,000
-271,0
-271,0
-270,9
-270,9
-270,9
0,20
-0,699
-262,6
-262,5
-262,5
-262,5
-262,5
0,30
-0,523
-257,2
-257,2
-257,2
-257,2
-257,2
0,40
-0,398
-253,5
-253,4
-253,4
-253,4
-253,4
0,50
-0,301
-250,5
-250,4
-250,4
-250,4
-250,4
1,00
0,000
-241,7
-241,7
-241,8
-241,8
-241,8
2,00
0,301
-233,1
-233,1
-233,2
-233,2
-233,2
3,00
0,477
-228,3
-228,3
-228,3
-228,3
-228,3
4,00
0,602
-224,9
-224,9
-225,0
-225,0
-225,0
5,00
0,699
-222,4
-222,4
-222,4
-222,4
-222,4
28,357
28,324
28,228
28,228
28,228
Intercept ( A )
-242,057
-242,036
-242,072
-242,072
-242,072
Koef. Korelasi ( r )
0,99956
0,99951
0,99952
0,99952
0,99952
F. Nernst, Slope ( B )
Pers. Regresi pada menit ke 5 :
A. Purwanto, dkk.
Y = 28,228 X - 242,072
ISSN 1410 – 8178
r =0,9995
Buku II hal 253
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kurva standar hubungan antara log [Cd+2] terhadap potensial (mV) ditunjukkan pada gambar 1.
-200,0
Potensial (mV)
-220,0 -240,0 -260,0 y = 28,228x - 242,07 R2 = 0,999
-280,0 -300,0 -2,00
-1,50
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
Log [ Cd+2 ], ppm
Gambar 1. Kurva standar konsentrasi Cd+2 0,02 – 5,0 ppm lawan potensial (mV) ditunjukkan pada Tabel 2. Dari percobaan diperoleh bahwa pada konsentrasi rendah sensitivitas dan linieritas masih memenuhi persyaratan.
Dipelajari pula kinerja elektrode selektif ion kadmium untuk konsentrasi rendah (low level) dengan kisaran konsentasi 0,02 hingga 0,6 ppm dalam ISA KNO3 0,01 M, data percobaan
Tabel 2. Potensial (mV) yang diamati dari menit ke 1 hingga 5 menit untuk tingkat konsentrasi rendah (low level) ion kadmium : 0,02 – 0,6 ppm dalam KNO3 0,01 M [ Cd +2 ]
Log [Cd]
Pembacaan Potensial (mV) Menit Ke
(ppm)
1
2
3
4
5
Blank
-314,0
-316,4
-318,2
-319,5
-320,3
0,02
-1,699
-311,0
-310,8
-310,9
-310,9
-310,9
0,04
-1,398
-303,8
-303,7
-303,7
-303,6
-303,6
0,06
-1,222
-299,4
-299,4
-299,3
-299,2
-299,2
0,20
-0,699
-290,0
-289,8
-289,7
-289,6
0,40
-0,398
-277,5
-277,2
-277,0
-276,9
-277,0
0,60
-0,222
-271,3
-271,2
-271,1
-271,1
-271,0
Slope( B ) =
26,037
26,086
26,231
26,233
26,943
Intercept ( A ) =
-267,703
-267,507
-267,304
-267,235
-265,728
Korelasi ( r ) =
0,99042
0,99061
0,99084
0,99108
0,99937
Pers. Regresi : 1 Mnt 4 Mnt 5 Mnt
Buku II hal 254
Y = 26,037 X - 267,703 Y = 26,233 X - 267,235 Y = 26,943 X- 265,728
r = 0,9904 r = 0,9911 r = 0,9994
ISSN 1410 – 8178
A. Purwanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Potensial (mV)
-260,0 -270,0 -280,0 -290,0 -300,0
y = 26,943x - 265,73 2 R = 0,9987
-310,0 -320,0 -1,8
-1,6
-1,4
-1,2
-1,0
-0,8
-0,6
-0,4
-0,2
+2
Log [ Cd ], ppm
Gambar 2. Kurva standar untuk konsentrasi Cd+2 0,02–0,6 ppm lawan potensial (mV) Uji presisi Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang
dari campuran yang homogen. Presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Presisi dapat dinyatakan sebagai repeatability (keterulangan).
Tabel 3. Analisis larutan Cd 0,5 ppm dalam ISA KNO3 0,1 M No
E 5'(mV)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
-272,4 -272,5 -272,9 -273,4 -272,9 -272,6 -273,7 -272,7 -273,9 = 0,528
Xrerata
Log C* Reg
Xi (ppm)
-0,255 -0,259 -0,275 -0,295 -0,275 -0,263 -0,307 -0,267 -0,315 Sd = 0,026 % CV =
0,557 0,552 0,532 0,508 0,532 0,547 0,494 0,542 0,485 4,89
*) dihitung dengan pers : Y = 25,105 X - 265,997 Dari analisis 9 buah larutan Cd 0,5 ppm diperoleh konsentrasi rata-rata 0,528 ppm, standar deviasi 0,026 ppm, sehingga koefisien variasi (CV) 4,9 %. Penentuan batas deteksi Metode analisis yang spesifik untuk penentuan kuantitatif suatu unsur pengotor di dalam suatu matrik dalam cuplikan kimia sering dihadapkan pada masalah limit deteksi. Limit deteksi dinyatakan dengan satuan konsentrasi atau kadar suatu zat yang menerangkan konsentrasi atau jumlah terendah dari suatu zat yang dapat
A. Purwanto, dkk.
ditentukan dan secara statistik memiliki harga yang berbeda dengan blanko analitiknya. Salah satu keuntungan cara analisa dengan instrumen adalah karena dengan cara ini mampu mendeteksi dan menemukan kuantitas analit yang jauh lebih sedikit dari pada yang dilakukan dengan analisis konvensional. Perhitungan batas deteksi yang ditentukan dari simpangan baku konsentrasi analit minimal 7 buah larutan blanko dari persamaan regresi kurva standar ditunjukkan Tabel 4. Persamaan regresi : Y = 28,228 X - 242,07 r = 0,9995
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 255
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 4. Batas deteksi dihitung dari Sd konsentrasi analit larutan blanko Larutan Blanko
E, 5' (mV)
log [Cd+2] (regresi)
1 2 3 4 5 6 7 8
-323,4 -324,6 -324,3 -322,0 -323,6 -321,6 -323,6 -326,7
-2,145 -2,188 -2,178 -2,095 -2,152 -2,081 -2,152 -2,264
[ Cd+2 ] (ppm)
Xi (ppm)
0,0072 0,0065 0,0066 0,0080 0,0070 0,0083 0,0070 0,0055 X rerata = Sd =
0,0072 0,0065 0,0066 0,0080 0,0070 0,0083 0,0070 0,0055 0,0070 0,00089
Batas deteksi (L.o.d) = Xr +3 Sd = 0,011 ppm Penentuan konsentrasi ion Cd+2 dengan cara adisi standar Larutan contoh di adisi dengan larutan standar Cd+2 100 ppm, sejumlah volume tertentu (µL) sehingga konsentrasi ion Cd+2 yang ditambahkan (∆C) : 0,2 0,4 0,6 0,8 dan 1,0 ppm,
setiap penambahan standar diukur potensialnya, konsentrasi Cd+2 dalam contoh uji (Cs) dihitung 1 dengan persamaan : C = ∆C 10
s
∆E / S
− 1
data percobaan dan perhitungan ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar ion Cd dalam cuplikan ZrO2, ditentukan dengan cara adisi standar. E (mV)
∆E (mV)
10∆E/S-1
(µL)
∆C (ppm)
Cs (ppm)
Cs x P (µg/mL)
Cs (mg/g)
100
0,0 0,2
-255,5 -242,5
13,0
1,8673
0,107
53,553
1,339
200
0,4
-236,5
19,0
3,6624
0,109
54,608
1,365
300
0,6
-233,0
22,5
5,1913
0,116
57,789
1,445
400
0,8
-229,5
26,0
7,2214
0,111
55,391
1,385
500
1,0
-227,1
28,4
8,9862
0,111
55,641
1,391
Cd 100 ppm
Csrerata = 1,385
Sd = 0,039
% CV = 2,826
Uji validitas metode dengan menentukan presisi berdasarkan perhitungan koefisien variansi terhadap larutan Cd konsentrasi 0,5 ppm dengan 9 kali pengulangan, diperoleh harga koefisien variansi 4,9 % sedangkan menurut acuan < 2%. KESIMPULAN Dari hasil percobaan yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa unjuk kerja elektroda selektif ion Cd+2 linier pada kisaran konsentrasi 0,2 - 5,0 ppm, dengan waktu tanggap 5 menit, diperoleh harga faktor Nernst 26,040 + 1,291 mV/dekade. Presisi yang ditentukan dari koefisien variasi terhadap larutan ion Cd+2 konsentrasi 0,5 ppm 9 kali pengulangan, diperoleh koefisien variasi 4,9 Buku II hal 256
%. Batas deteksi metode ESI kadmium yang ditentukan dari pengukuran larutan blanko diperoleh 0,01 ppm. Pengaruh Zr terhadap analisis 0,5 ppm Cd+2 pada variasi perbandingan konsentrasi Zr terhadap Cd 1:1 hingga 1:40, diperoleh bahwa adanya Zr menyebabkan sensitivitasnya menurun. Untuk memisahkan kadmium dari zirkonium dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut 30 % Trin- oktilamin -70 % kerosen dalam media H2SO4 0,5 M. Hasil uji kadar ion Cd+2 dalam contoh uji ZrO2 diperoleh konsentrasi rata-rata 1,385 + 0,039 mg/g.
ISSN 1410 – 8178
A. Purwanto, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA 1.
ANONIM, Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Pengujian dan Laboratorium Kalibrasi SNI 19- 17025-2005, Badan Standardisasi Nasional. 2. BURD, R.M., The Determination of Cadmium as an Impurity in Zirconium and Zircaloy, Westinghouse Electric Corp. Bettis Plant, Pitsburgh, 1958 3. JING, LU SHANG and BARNES, RAMON M., Determination of Cadmium in Pure Zirconium by Inductively Coupled Plasma-Atomic Emission Spectroscopy, Applied Spectroscopy, Vol.38, (1984) 4. ANONIM., Ion Selective Electrodes (ISE)., Metrohm Ion Analysis, CH-9100 Herisau (Switzerland) 5. RUNDLE CHRIS C., Operating Instructions for ELIT Ion-Selective Electrodes, http://www.nico2000.net, Last update: 24 April 2009 6. ANONIM., Technical Specifications for the Cadmium Ion-Selective Electrode (ELIT 8241)., http://www.nico2000.net 7. ANONIM., Cadmium Ion Electrodes, Instruction Manual, ISE-8730 and ISE-8732. 8. ANONIM., Ion Selective Electrode, http://en.wikipedia.org/wiki/Ion_selective_el ectro, last modified on 23 November 2008 9. ANIL K. MUKHERJI, Analytical Chemistry of Zirconium and Hafnium, Pergamon Pess, 1968. 10. MAREK TROJANOWICZ, PETER W. ALEXANDER, and D. BRYNN HIBBERT., Flow-Injection Potentiometric Determination of Free Cadmium Ions With a Cadmium Ion-Selective Electrode, Analytica Chimica Acta, Volume 370, Issues 2-3, 7 September 1998
A. Purwanto, dkk.
TANYA JAWAB Aris Munandar Terkait karakterisasi electrode selektif ion cadmium, persyaratan apa yang perlu diperhatikan agar dapat digunakan untuk analisis? Purwanto A. Karakteristik ESI Kadmium yang ditentukan adalah Nernst, waktu tanggap respon electrode, daerah linieritas besaran konsentrasi, yang perlu diperhatikan adalah factor Nernst, merupakan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu dengan harga Faktor Nernst 26±3 mV/decade pada suhu 25°C. Pada saat pengujian suhu ruang di jaga sekitar 25°C±1°C Sutari Metode ini digunakan untuk analisis Cd dalam zirkonium bagaimana pengaruh unsur mayor zirkonium apakah mengganggu dalam analisis? Purwanto A. Metode analisis Cd menggunakan electrode selektif ion ini dalam keadaan murni, tanpa adanya unsur pengganggu sangat peka, mampu mendeteksi <1,0 ppm, Akan tetapi dengan adanya zirkonium mengganggu dengan menurunkan sensitivitas. Adanya zirkonium 40 kalinya telah mengganggu. Kadmium dipisahkan dari zirkonium dengan ekstrasi pelarut.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 257
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
KARAKTERISASI FAKTOR HAMBAT LEMPUNG KASONGAN TERHADAP MIGRASI NUKLIDA URANIUM Sunardi, Endro Kismolo, Suparno Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK KARAKTERISASI FAKTOR HAMBAT LEMPUNG KASONGAN TERHADAP MIGRASI NUKLIDA URANIUM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel fisis lempung Kasongan dan fluktuasi kecepatan alir linear terhadap karakteristik migrasi seperti Koefisien distribusi(Kd) Faktor retardasi R, dan Kecepatan migrasi Vr,. Percobaan dilakukan secara diam dalam kolom berisi lempung Kasongan pada kondisi jenuh air, kemudian dialiri larutan Uranil Nitrat dengan konsentrasi = 300 ppm. variasi Ukuran butir lempung Kasongan divariasi –20+40; 40+60; -60+80; -80+100; -100+200 dan –200+325 mesh dan suhu pemanasan 28;50; 100; 150; 200; 250 oC. Aktivitas Nuklida uranium dalam efluen (Ct) dianalisis dengan alat spektrofotometer. Dari percobaan menunjukkan bahwa ukuran butir lempung Kasongan –100+200 mesh memberikan karakteristik migrasi yang terbaik dengan Kd =40,6068 cm3/g, R = 65,3836 dan Vr = 2,5286x10 -4 cm/detik. Dan pada pemanasan 50 oC memberikan nilai Kd = 57,1063 cm3/g, R = 89,8231 dan Vr = 2,0297x10 -4 cm/detik. Kata Kunci: Karekterisasi Lempung Kasongan.
ABSTRACT CHARAKTERISATION BARIER FACTOR OF KASONGAN CLAY ON THE MIGRATION OF URANIUM NUCLIDE. Theaim of this reslasth are to know the phyonal influence of Kasongan clay and liniary speed flow fluctuation on the distribution coefition (Kd), retardation factor (R), migration factor (Vr). The experiement by fixed bed metarde in the coloumn with speed Kasongan clay fully water. Uranieum nitride was flowed on concentration = 300 ppm. The side of Kasongan clay on – 20 + 40 ; -4- + 60 ; - 60 + 80 ; - 80 + 100 ; - 100 + 200 and –200+325 mesh, and temperature of heating on 28;50 ; 100 ; 150 ; 200 ; 250 0C. Activity uranieum nitride in the efluen to andyred by spectro photometer. From the experiement war thowed ar the sise of Kasongan clay – 100 + 200 mesh, war giving the best migration characterisasion with the Kd = 40, Cm3/g, R = 65,3836 and Vr = 2,5286 x 10-4Cm/detik And effeot of heating on 50 0C war giving valve of Kd = 57,1063 cm3/g, R = 89,8231 dan Vr = 2,0297x10 -4 cm/skon. Keywords: Charakterisation Kasongan Clay.
PENDAHULUAN
L
empung Kasongan adalah bahan mineral alam yang mempunyai kapasitas pertukaran kation dan plastisitasnya cukup tinggi. Konduktivitas hidrauliknya rendah dan tidak mudah tersuspensi dalam air. Rendahnya konduktivitas hidraulik lempung Kasongan dimaksudkan untuk Buku II hal 258
menghambat intrusi air tanah ke wadah limbah, dengan demikian akan menunda korosi wadah limbah. Ukuran partikel lempung Kasongan berpengaruh terhadap karakteristik fisis lempung Kasongan seperti porositas (ε), bulk density (ρb), konduktivitas hidraulik (K), dan kecepatan linear Karakteristik fisis lempung superficial (Vw).
ISSN 1410 – 8178
Sunardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Kasongan, peristiwa kimia fisis seperti adsorpsi dan pertukaran ion dalam bahan urug lempung Kasongan berpengaruh pada kemampuan menghambat migrasi radionuklida. Kemampuan media padat berpori untuk menghambat migrasi radionuklida biasanya dinyatakan dengan faktor retardasi (R). Faktor retardasi mempunyai peran penting untuk digunakan dalam pengkajian unjuk kerja penghalang rekayasa (engineered barrier) sistem penyimpanan limbah radioaktif. TEORI Peristiwa kimia fisis seperti absorpsi dan pertukaran ion dalam bahan urug lempung Kasongan biasanya dinyatakan dengan koefisien distribusi (Kd), yaitu perbandingan distribusi solut dalam media sorpsi dengan distribusi solut dalam cairan pada keadaan setimbang. Penentuan koefisien distribusi solut pada proses diam dalam kolom berisi lempung dinyatakan dengan persamaan (1):
Kd =
t e . Q. Co − t i . Q. ∑ Ci t e . Q . t i . Q. ∑ Ci ρb . v b
ρb Kd ε
(2)
Vw R
(3)
Sedangkan penentuan Vw dapat didekati dari kecepatan linear air tanah berdasarkan persamaan (6) :
Vw =
K ∆h . ε ∆L
(4)
dengan K = permebilitas atau konduktivitas hidraulik (cm/detik), ∆h/∆L = gradien hidraulik, ∆h = head loss (cm), ∆L = tinggi unggun partikel padat dalam kolom (cm).
Sunardi, dkk.
V.L A. t . h
(5) 3
dengan V = volume efluen dalam waktu t (cm ), L = tinggi unggun partikel padat dalam kolom (cm), A = luas penampang kolom terisi partikel padat (cm2), t = waktu penampungan V (detik), h = head loss (cm). Migrasi radionuklida pada daerah aliran jenuh lebih mudah dianalisis dan diprediksi daripada Migrasi pada daerah aliran tak jenuh (3). radionuklida dipengaruhi oleh konveksi dan dispersi. Konveksi adalah gerakan radionuklida yang terlarut dengan kecepatan air tanah dalam pori rerata. Dispersi adalah merupakan kombinasi difusi molekuler yang terjadi karena adanya gradien konsentrasi dan difusi hidrodinamik yang terjadi karena adanya gerakan solut dalam solven melalui tortuositas atau gabungan pathway mikroskopis yang berbeda yang disebabkan karena pengadukan atau aliran air tanah. TATA KERJA
dengan R = Faktor retardasi, ε = porositas lempung Kasongan. Hubungan antara kecepatan migrasi radionuklida (Vr) dengan kecepatan linear air tanah (Vw) menggunakan persamaan (5) :
Vr =
K=
(1)
dengan te = waktu kesetimbangan pada saat Ct/Co = 1 (detik), Q = debit aliran (ml/detik), ti = interval waktu alir (detik), ΣCi = akumulasi konsentrasi solut dalam efluen sampai Ct = Co (cpm/ml), ρb = rapat massa curah (bulk density) lempung Kasongan (g/ml), vb = volume unggun lempung Kasongan dalam kolom (cm3). Faktor retardasi media berpori dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2,3,4) :
R = 1+
Permeabilitas dapat ditentukan secara constant head dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
Bahan 1. Lempung Kasongan Bantul Yogyakarta. 2. Larutan uranium nitrat UO2(NO3)2.6H2O 300 ppm. Peralatan 1. Oven, 2. penggerus, 3. pengayak, 4. neraca analitis, 5. peralatan gelas, 6. buret, 7. tabung infus, 8. kolom gelas, 9. penggaris, 10. statip, 11. stopwatch, 12. transpipet, 13. lampu pengering, 14. pengaduk listrik, 15. flowmeter, 16. pompa dosis, 17. spektrofotometer. Cara Kerja :
1. Penggerusan dan pengayakan lempung a.
Sruweng Bongkahan kecil lempung Kasongan dikeringkan dalam oven, kemudian digerus sampai menjadi serbuk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 259
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
b.
Serbuk diayak dengan ayakan standar ASTM ISO 565-R20 disusun dari atas ke c.
2. a.
b. c.
Penentuan porositas lempung Kasongan Kolom gelas yang berisi lempung Kasongan dialiri akuades volume unggun Vu = pengurangan akuades dalam buret. Vp = volume pori-pori partikel dan rongga antar partikel lempung Kasongan. Porositas lempung Kasongan (ε) ditentukan dengan persamaan : ε = Vp / Vu . (7)
3.
Penentuan rapat massa curah lempung Kasongan a. Akuades dialirkan dari buret ke dalam wadah silindris sampai penuh. b. Serbuk lempung Kasongan dimasukkan ke dalam wadah. Vu = volume wadah Mk = berat wadah Mk dan Mb = berat wadah + lempung c. Rapat massa curah lempung Kasongan (ρb) ditentukan dengan persamaan : ρb = (Mb - Mk) / Vu. (8) 4. a.
Penentuan konduktivitas hidraulik secara constant head Kolom gelas dengan diameter dalam d = 1,33 cm dilengkapi pipa overflow diisi lempung
b.
c.
d. 5. a.
b.
bawah yaitu -20+40; -40+60; -60+80; 80+100; -100+200 mesh dan –200+325 mesh. Mesin pengayak dihidupkan selama 30 menit dengan ukuran butir mesh 100 tinggi L = 4 cm. Akuades dialirkan dari penampung T dengan tinggi h = 95,6 cm sampai volume V = 25 cm3 dan waktu dicatat (t) = detik. Dilakukan langkah percobaan seperti di atas untuk ukuran mesh -20+40; -40+60; -60+80; 80+100 ; -100+200 dan –200+325 mesh . Dilakukan perhitungan permeabilitas dengan menggunakan persamaan (5). Penjenuhan lempung Kasongan dalam kolom Dialirkan akuades dari buret ke dalam kolom berisi lempung Kasongan dengan arah aliran dari bawah kolom. Langkah di atas diteruskan sampai lempung Kasongan dalam kolom jenuh.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengaruh variasi ukuran butiran terhadap karakteristik (ρ,ε,R,K,Vr). Karakteristik fisis lempung Kasongan pada variasi ukuran butir -20+40; -40+60; -60+80; -80+100 -100+200 dan –200+325 mesh. disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Pengaruh ukuran butir lempung Kasongan terhadap karakteristik fisis lempung Kasongan. Ukuran Butir
Kd (ml/gr) Koef. Distr
ε Porositas
R F. Retardas
K (cm/det) Permeabilit
Vr(cm/det) Kecep rad
-20+40 -40+60 -60+80 -80+100 -100+200 -200+325
3,7478 5.8459 8,9626 15,2390 40,6068 40,6068
0,5657 0,5625 0,5500 0,5125 0,5027 0,5026
6,4420 9,9781 15,7419 26,3756 63,3814 63,3814
7,8068.10-3 6,2136.10-3 4,8554.10-3 3,3069.10-3 1,5312.10-3 1,5311.10-3
4,9683.10-3 3,1429.10-3 1,9849.10-3 1,1297.10-3 2,5286.10-4 2,5285.10-4
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa lempung Kasongan dengan ukuran mesh yang semakin kecil, maka porositasnya semakin besar. Hal ini dapat dipahami karena jumlah rongga antar partikel dalam volume unggun tertentu bertambah besar. Semakin kecil ukuran butiran lempung Kasongan menyebabkan ukuran pori antar butiran menjadi lebih kecil. Pori antar butiran saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk tortuositas yaitu saluran kecil (kapiler) yang berbelit dan berkelok. Dengan semakin kecil ukuran butiran lempung Kasongan menunjukkan bahwa permeabilitas dan kecepatan alir superficial semakin kecil. Hal ini disebabkan karena semakin
Buku II hal 260
sempitnya kapiler yang terbentuk dari rongga antar pori yang saling berhubungan tersebut. Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa lempung Kasongan dengan ukuran butiran yang semakin kecil, maka koefisien distribusi (Kd) semakin besar. Hal ini disebabkan luas bidang kontak pada permukaan partikel semakin besar dengan bertambahnya jumlah partikel untuk setiap volume unggun lempung Kasongan dalam kolom, yaitu ditandai dengan semakin besar nilai rapat massa curah (bulk density) seperti pada Tabel 1. Pengaruh ukuran butiran lempung Kasongan terhadap karakteristik migrasi Nuklida uranium antara lain dapat diwakili oleh beberapa besaran
ISSN 1410 – 8178
Sunardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
yang mempengaruhinya, yaitu besaran dari mekanisme sorpsi yaitu koefisien distribusi Kd, ditunjukkan dalam Tabel 1 sebagai berikut : Kontak atau ikatan antara Nuklida uranium dengan partikel lempung Kasongan terjadi pada permukaan, ujung dan kisi-kisi kristal lempung Kasongan. Tertariknya kation Nuklida uranium pada lempung Kasongan karena adanya muatan negatif pada partikel lempung Kasongan yang disebabkan oleh substitusi Si4+ oleh Al3+pada lapisan tetrahedral dan Al3+oleh Mg2 pada lapisan oktahedral. Ukuran butiran lempung Kasongan yang semakin kecil berpengaruh cukup besar terhadap faktor retardasi R. Hal ini disebabkan oleh pengaruh kemampuan sorpsi dan filtrasi lempung Kasongan semakin besar. Sedangkan pengaruhnya terhadap kecepatan migrasi dan koefisien dispersi hidrodinamik cukup kecil. Ternyata untuk lempung Kasongan ukuran 100+200 mesh memberikan harga faktor retardasi (R) yang paling besar yaitu 2406,25, sehingga kecepatan radionuklida paling kecil. Sedangkan pada ukuran butir yang lebih kecil yaitu ukuran butir –200+325 hasilnya tetap sama, sehingga
besaran dari mekanisme sorpsi dan filtrasi yaitu faktor retardasi R, dan kecepatan migrasi Vr. yang dipilih lempung Kasongan ukuran butir –100+200 karena pengerjaannya lebih mudah. 2. Pengaruh variasi suhu terhadap karakteristik fisis lempung (ρ,ε,R,K,Vr). Semakin besar suhu pemanasan maka porositas akan semakin besar, Sedangkan koefisien distribusi akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena dengan adanya porositas yang besar maka kecepatan cairan yang melewati lempung akan semakin besar sehingga banyak radionuklida yang lolos atau tidak terserap oleh lempung. Karena mengecilnya koefisien distribusi maka dengan sendirinya faktor retardasi akan semakin kecil juga, Dengan menurunnya koefisien distribusi maka kecepatan radionuklida akan bertambah besar. Untuk mengetahui pengaruh pemanasan terhadap sifat-sifat lempung Kasongan, maka suhu pemanasan divariasi suhunya pada suhu: Suhu kamar (28 oC), 50, 100, 150, 200 dan 250 oC. Adapun hasil dari percobaan tersebut tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2 Pengaruh pemanasan lempung Kasongan terhadap karakteristik fisis lempun Kasongan. Suhu oC Pemanas
28 50 100 150 200 250
K (cm/det) Permeabilit 1,7978.10-3 1,6964.10-3 1,8442.10-3 1,9192.10-3 1,9404.10-3 1,9992.10-3
Vw(cm/det) K. air tanah
R F. Retardas
Kd (ml/gr) Koef. Distr
88,9325 89,8231 68,9080 63,5013 53,4511 34,8121
56,2254 57,1063 43,8592 46,3821 41,4384 34,8121
Porositas 1,99343.10-2 1,8232.10-2 2,1128.10-2 2,3494.10-2 2,8316.10-2 2,9508.10-2
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa Semakin besar suhu pemanasan maka porositas akan semakin besar, Sedangkan koefisien distribusi akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena dengan adanya porositas yang besar maka kecepatan cairan yang melewati lempung akan semakin besar sehingga banyak radionuklida yang lolos atau tidak terserap oleh lempung. Karena mengecilnya koefisien distribusi maka dengan sendirinya faktor retardasi akan semakin kecil juga, Dengan menurunnya koefisien distribusi maka kecepatan radionuklida akan bertambah besar. Dari tabel 2 menunjukan bahwa suhu 500C memberikan hasil terbaik dengan menghasilkan Permeabilitas (K) = 1,6964.10-3 cm/detik, permebilitas air tanah (Vw) = 1,8232.10-2, Porositas (ε) = 0,5000, Faktor Retardasi (R) = Sunardi, dkk.
ε
0,5050 0,5000 0,5050 0,5780 0,6250 0,6250
89,8231, Koefisien Distribusi (Kd) = 57,1063 ml/gr, sedangkan apabila tidak dipanaskan (suhu kamar 280C) hasilnya kurang baik hal ini dikarenakan sifat lempung yang belum stabil, begitu juga apbila suhunya dinaikan lebih dari 500C hasilnya juga kurang baik. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Ukuran partikel lempung Kasongan berpengaruh cukup besar terhadap permeabilitas (K), kecepatan linear superficial air (Vw), dan faktor retardasi untuk radionuklida Nuklida uranium.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 261
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
2.
3.
4.
5.
6.
Lempung Kasongan hasil saringan (-100 + 200 mesh) memberikan karakteristik migrasi yang terbaik dengan Kd =40,6068 cm3/g, R = 65,3836 dan Vr = 2,5258x10 4 cm/detik. Lempung Kasongan ukuran butir -200 + 325 mesh hasilnya sama dengan – 100+200 mesh tetapi pengerjaannya lebih sulit sehingga dipilih lempung Kasongan –100+200 mesh yang pengerjaannya lebih mudah. Akibat pemanasan terhadap lempung Kasongan akan menurunkan faktor retardasi. Pada pemanasan 50 oC memberikan hasil terbaik yaitu dengan harga Kd = 57,1063 cm3/g, R = 89,8231 dan Vr = 2,0297x10 4 cm/detik. Pada suhu kamar 28 oC (tidak dipanaskan) dan jika dipanaskan lebih dari 50 oC hasilnya kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. BAESTLE, 2.
3.
4.
5.
6.
L., Physicochimie de la Migration de Cations dans le Sol, Euratom Eur 141 f, 1962. AOKI, M.M.M, TAKIZAWA, M. and TAKAHASHI, M., Ion Migration Through Lempung Sruwenge/Zeolite and Lempung Sruwenge/Quartz Sand Mixture, Waste Management 2, 495-501 (1984). SCHNEIDER, K., Site Investigation for Repositories for Solid Radioactive Wastes in Shallow Ground, Technical Report Series No. 216, Vienna (1982). CHAMP, D.R., MOLTYANER, G.L., YOUNG, J.L. and LAPCEVIC, P., A Downhole Column Technique for Filed Measurement of Transport Parameter, AECL8905 (1985). MORGAN, J.M., JAMISON, D.K. and STEVENSON, J.D., Ground Disposal of Radioactive Waste Conference 2, 17-64, 303321, AECL TID-7628 (1962). SASAKI, N., YUI, M., HARA, K., ISHIKAWA, H. and TSUBOYA, T., Studies on Material Properties and Structural Mechanics of Engineered Barrier for HLW Geological Isolation, 138, 189-201 (1992).
TANYA JAWAB Muhamad Rosid Hasil terbaik pada suhu 500C bagaimana dengan suhu yang lain? Sunardi Pada suhu kamar 280C (suhu kamar) hasilnya kurang baik karena belum adanya kesetabilan lempung, sedang kan pada suhu diatasnya yaitu 100, 150, 200 dan 2500C hasilnya juga kurang baik karena Semakin besar suhu pemanasan maka porositas akan semakin besar, Sedangkan koefisien distribusi akan semakin kecil. Hal ini disebabkan karena dengan adanya porositas yang besar maka kecepatan cairan yang melewati lempung akan semakin besar sehingga banyak radionuklida yang lolos atau tidak terserap oleh lempung. Hari Prayitno Mengapa didalam judul makalah anda menggunakan istilah lempung, padahal ada istilah baku yaitu tanah liat? Sunardi Makalah ini sudah dikoreksi beberapa orang tim KPTF dan ketua KPTF tidak ada koreksi tentang istilah lempung, karena lempung sudah lazim digunakan didalam bahasa Indonesia dan didalam penulisan-penulisan ilmiah dan lebih popular disbanding istilah tanah liat. Wijiono Hasil terbaik ukuran butir mesh – 100 + 200 bagaimana ukuran butir yang lain Sunardi Ukuran butir mesh -20+40; -40+60;-60+80; -80+100 hasilnya kurang baik karena ukuran butiran yang semakin kecil, maka koefisien distribusi (Kd) semakin besar. Hal ini disebabkan luas bidang kontak pada permukaan partikel semakin besar, sedangkan ukuran butir mesh –200 + 325 hasilnya sama ukuran butir mesh – 100 + 200 tetapi pengerjaan ukuran butir mesh –200 + 325 lebih sulit dan lebih lama disbanding dengan pengerjaan ukuran butir mesh – 100 + 200 yang lebih mudah dan lebih cepat .
Buku II hal 262
ISSN 1410 – 8178
Sunardi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
SURVEI RADIOAKTIVITAS UDARA DI DAERAH KERJA LINGKUNGAN PTAPB - BATAN YOGYAKARTA Suparno, Mahrus Salam, Sunardi Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected] ABSTRAK SURVEI RADIOAKTIVITAS UDARA DI DAERAH KERJA LINGKUNGAN PTAPB BATAN YOGYAKARTA. Telah dilakukan pengukuran tingkat radioaktivitas udara di daerah kerja / laboratorium aktif lingkungan PTAPB BATAN Yogyakarta. Survei bertujuan untuk memperoleh data tingkat radioaktivitas udara yang terjadi akibat pemanfaatan zat radioaktif atau sumber radiasi periode Juni-November 2010. Pengambilan sampel menggunakan pompa vakum tinggi dengan filter udara selulosa TFA 3133, kemudian filter dicacah menggunakan alat cacah Geiger Muller ORTEC, efisiensi pencacahan 14 %, debit udara masuk 36 x 303 cc/menit dan faktor perkalian luasan filter 6,612 Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat radioaktivitas udara yang terjadi masih dalam orde 10-7Bq/cc pada interval (1,10 – 65,37) 10-7 Bq/cc. Tingkat radioaktivitas udara paling tinggi (65,37 ± 0,08) 10-7 Bq/cc di gedung 09 dan paling rendah (1,10 ± 0,008) 10-7Bq/cc di ruang 02.II.19, masih berada dibawah batas spesifikasi teknis ruang reaktor yang telah disetujui dan tertuang pada Laporan Analisis Keselamatan Reaktor Kartini yang besarnya 4 x 10-5 Bq/cc. Kata kunci: Gross beta udara ABSTRACT THE AIRBORNE SURVEY IN THE WORKING AREA ENVIRONMENT AT PTAPBBATAN YOGYAKARTA. The measurement of air radioactivity level in the working area or active laboratory in the environment of PTAPB-BATAN Yogyakarta has been done. The purpose of the survey is to get the air radioactivity level data as the result of the radioactive or radiation source usage on June – November 2010. The sample was take by using high vacuum pump, the air passed through the filter cellulose TFA 3133, then is counted by Geiger MullerOrtec, the detector efficiency is 14 %, the air flows 36 x 303 cc/minute and the area factor of filter is 6,612. The analysis result shows that the air radioactivity level is still in the orde 10-7Bq/cc at interval (1,10 – 65,37) 10-7 Bq/cc. The highest level of the air radioactivity is (65,37 ± 0,08) 10-7 Bq/cc in building 09 and the lowest level is (1,10 ± 0,008) 10-7Bq/cc in the area 02.II.19. the radioactivity level is still below the limit of reactor area technical specification that has been approved and declared on Safety Analysis Report of Kartini reactor that is 4 x 10-5 Bq/cc. Keywords: Gross beta in the air
PENDAHULUAN
P
engawasan radioaktivitas udara di ruang kerja / laboratorium pada instalasi nuklir harus selalu dilakukan meskipun prosedur kerja, cara kerja, ruangan kerja maupun peralatan kerja telah direncanakan dengan baik. Adanya pemantauan radioaktivitas udara sangat penting karena sangat Suparno, dkk.
berkaitan erat dengan potensi bahaya radiologis yang berasal dari kontaminasi permukaan. Kontaminan yang mengendap dipermukaan dapat terangkat ke udara bisa menyebabkan terjadinya kontaminasi di udara. Akibat dari kontaminasi udara sangat membahayakan manusia khususnya bahaya radiasi interna. Bahaya radiasi interna adalah bahaya yang ditimbulkan akibat adanya
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 263
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
partikulat radioaktif di dalam tubuh yang masuk melalui pernafasan, pencernaan makanan, minuman, pori-pori kulit maupun bagian kulit yang terluka(1). Partikulat terdiri atas partikel-partikel padat dan cair dengan diameter lebih besar dari pada diameter molekul. Partikulat padat dikelompokkan dalam asap, beluk (fumes) dan debu, sedangkan cair berupa kabut. Bentuk lain dari partikel di udara adalah aerosol yang merupakan gabungan antara partikel padat dan cair yang membentuk suspensi. Kontaminasi udara sering dijumpai dalam bentuk kombinasi antara gas dan partikulat. Partikelpartikel di udara memiliki waktu hidup berkisar antara beberapa detik sampai beberapa bulan. Kecepatan mengendap partikel tergantung dari ukuran partikel, massa jenis, arah dan kecepatan angin serta faktor fisik lainnya(1,2). Radioaktivitas udara berasal dari radionuklida alam dan buatan. Radioaktivitas alam sudah ada sejak terbentuknya bumi dan alam semesta. Sedang radioaktivitas buatan timbul sejak perkembangan pemanfatan teknologi nuklir, Radioaktivitas udara di alam sudah menjadi bagian dari lingkungan hidup manusia, yang ada karena keberadaan kandungan deret uranium dan torium dalam tanah. Radioisotop U-238 dan Th-232 merupakan radionuklida alam, memiliki rantai peluruhan panjang. Salah satu anak turunnya berupa gas mulia. Radionuklida primordial yang memberi kontribusi besar pada radioaktivitas udara adalah anak turun Rn-22 dan Rn-220. Aktivitas mereka bervariasi dalam jangkau yang cukup besar sebagai fungsi dari letak geografi dan waktu. Hal ini terjadi diduga karena radium yang dikandung oleh tanah terdistribusi secara tidak seragam dan karena mereka tidak membebaskan radon maupun toron pada tempat yang sama. Aktivitas di setiap lokasi bervariasi dengan variabel meteorologi seperti arah angin dan kecepatannya, temperatur dan kelembaban. Anak turun radon dan toron yang berupa gas dan partikel di udara, merupakan debu atmosferik berukuran antara 0,005 hingga 0,04 mikro inci(3). Mereka dapat ditangkap oleh filter dan aktivitas mereka dapat diketahui bila dicacah sesegera mungkin setelah pengambilan cuplikan udara. Bila pencacahan dilakukan dengan waktu tunda beberapa saat setelah pengambilan cuplikan udara, radioaktivitas terukur akan jauh lebih rendah, karena umur paro anak turun radon dan toron yang relatif pendek. Radioaktivitas didefinisikan sebagai peristiwa terpancarnya sinar radioaktif secara spontan oleh inti-inti yang tidak stabil menjadi inti yang stabil. Ketidak stabilan inti ini disebabkan karena komposisi jumlah proton dan neutronnya tidak seimbang, maka inti tersebut akan berubah dengan memancarkan radiasi alfa(α) atau Buku II hal 264
radiasi beta(β). Bila ketidak stabilannya disebabkan karena tingkat energinya yang tidak berada pada keadaan dasar, maka akan berubah dengan memancarkan radiasi gamma(γ). Proses peluruhan yang terjadi akibat dari perubahan inti secara spontan antara lain peluruhan alfa, beta dan gamma.(3,4). Persamaan peluruhan suatu inti radioaktif (5) :
At = Ao.e − λt dengan : At = aktivitas pada waktu t Ao = aktivitas awal λ = tetapan peluruhan t = waktu pengukuran Peluruhan beta(β) terjadi pada inti tidak stabil yang relatif ringan. Dalam peluruhan ini akan dipancarkan partikel beta yang mungkin bermuatan negatif (β-) atau bermuatan positif (β+), pada umumnya disertai dengan radiasi gamma. Partikel β- identik dengan elektron sedangkan β+ identik dengan positron, secara international telah disepakati suatu satuan aktivitas yang disebut becquerel , disingkat Bq. Satu becquerel didefinisikan satu disintegrasi inti per sekon(dps)(4). Untuk menjaga keselamatan para pekerja perlu dilakukan pengukuran radioaktivitas udara secara rutin, sehingga radioaktivitas udara yang terjadi masih dalam batas aman. Pada pemantauan ini dilakukan pengukuran tingkat radioaktivitas udara di 11 ruang kerja / laboratorium aktif lingkungan PTAPB-BATAN Yogyakarta. Ruangan yang diukur dituliskan dalam bentuk nomor gedung seperti: 02.I.17 artinya gedung 02 lantai 1 nomor ruang 17. ALAT DAN TATA KERJA ALAT Filter udara model TFA nomor seri: 2133 dipakai untuk menampung atau tempat menempelnya partikulat-partikulat udara pada saat penghisapan. Gunting digunakan untuk memotong filter sesuai dengan luasan detektor alat cacah. Pompa vakum tinggi merk STAPLEX untuk menghisap udara dan Alat cacah Geiger Muller merk Ortec digunakan untuk menghitung kandungan radioaktivitas. TATA KERJA. 1. Penghisapan cuplikan udara. Pegambilan cuplikan udara dihisap lewat filter, menggunakan filter model TFA nomor seri 2133 dengan pompa hisap vakum tinggi merk Staplex . Debit pompa (Q): 36 x 303 cc / menit, Pengisapan udara dilakukan selama 20 menit, posisi/letak pompa Staplex kira-kira 50 cm diatas
ISSN 1410 – 8178
Suparno, dkk.
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
permukaan lantai. Dipotong filter dengan diameter 3.5 cm (sesuai diameter tabung GM). Luas filter yang dipersiapkan ini adalah 1/7 dari luas keseluruhan filter, faktor perkalian luasan filter (A): 6,612. Pencacahan filter udara menggunakan alat cacah beta Geiger Muller Ortec, efisiensi pencacahan 14 %, lama pencacahan 10 menit. Hasil pencacahan dihitung untuk menentukan tingkat radioaktivitas udara. 2. Menghitung kandungan radioaktivitas udara Perhitungan radioaktivitas di udara, digunakan persamaan empiris(5): Radioaktivitas gross β udara ( X ) =
Cpm ×100 × A ± σ u Bq / cc E × Q × 60 × t
dengan: X : radioaktivitas udara, dalam satuan Bq/cc Cpm : netto cacah filter, dalam menit A : faktor perkalian luasan keseluruhan filter : 6,612 Q : kecepatan aliran udara (debit), dalam cc /menit (= 36 x 303)
E t
: efisiensi pencacahan (=14 % ) : waktu pemompaan, dalam menit (=20 menit) 100 : seratus persen 60 : konversi menit menjadi detik : simpangan / ralat σu HASIL PENGUKURAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENGUKURAN. Hasil pengukuran tingkat radioaktivitas udara di daerah kerja / laboratorium aktif lingkungan PTAPB-BATAN Yogyakarta periode bulan Juni sampai dengan bulan November 2010, disajikan dalam bentuk tabel dan grafik Radioaktivitas udara yang diukur adalah kandungan gross β, pengukuran dilakukan secara kuantitatif yaitu menentukan jumlah kandungan radionuklida pemancar β. Untuk pengukuran ini cuplikan tidak memerlukan proses pemisahan, sehingga yang terukur adalah semua radioaktivitas β dari campuran radionuklida yang ada.
Tabel 1. Pengukuran Radioaktivitas udara di laboratorium aktif PTAPB BATAN Yogyakarta bulan Juni 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tanggal pengukuran 24-06-10 24-06-10 25-06-10 25-06-10 25-06-10 28-06-10 28-06-10 29-06-10 29-06-10 30-06-10 30-06-10
Lokasi pengukuran Gd. 08 ruang proses Gd 09 gudang limbah r a Gd 07.I.4 Laboratorium Gd.07 ruang proses selatan Gd 07 ruang proses utara Gd 06 ruang proses timur Gd 02.I.17 Laboratorium Gd. 02.I.18 Laboratorium Gd 02.II.18 Laboratorium Gd 02.II.19 Laboratorium Gd 04.I.5 Laboratorium
Cacah netto (cpm) 6,4 31,5 11,9 6,4 7,9 6,6 2,9 2,5 2,5 1,4 7,8
Radioaktivitas udara (x 10-7 Bq/cc) 7,82 ± 0,01 38,49 ± 0,02 14,54 ± 0,01 7,82 ± 0,01 9,65 ± 0,01 8,06 ± 0,01 3,54 ± 0,009 3,05 ± 0,009 3,05 ± 0,009 1,71 ± 0,008 9,53 ± 0,01
Tabel 2. Pengukuran Radioaktivitas udara di laboratorium aktif PTAPB BATAN Yogyakarta bulan Juli 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Suparno, dkk.
Tanggal pengukuran 02-07-10 02-07-10 06-07-10 06-07-10 07-07-10 08-07-10 09-07-10 14-07-10 16-07-10 20-07-10 28-07-10
Lokasi pengukuran Gd. 08 ruang proses Gd 09 gudang limbah r a Gd 07.I.4 laboratorium Gd.07 ruang proses selatan Gd 07 ruang proses utara Gd 06 ruang proses timur Gd 02.I.17 laboratorium Gd. 02.I.18 Laboratorium Gd 02.II.18 Laboratorium Gd 02.II.19 Laboratorium Gd 04.I.5 Laboratorium
ISSN 1410 – 8178
Cacah netto (cpm) 7,8 50,1 8,7 6,2 7,8 5,6 3,6 7,7 1,4 10,1 7,4
Radioaktivitas udara (x 10-7 Bq/cc) 9,53 ± 0,01 61,22 ± 0,02 10,63 ± 0,01 7,58 ± 0,01 9,53 ± 0,01 6,84 ± 0,01 4,4 ± 0,009 9,41 ± 0,009 1,71 ± 0,009 12,34 ± 0,008 9,04 ± 0,01
Buku II hal 265
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 3. Pengukuran Radioaktivitas udara di laboratorium aktif PTAPB BATAN Yogyakarta bulan Agustus 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tanggal pengukuran 02-08-10 02-08-10 04-08-10 04-08-10 06-08-10 06-08-10 10-08-10 10-08-10 12-08-10 12-08-10 23-08-10
Lokasi pengukuran Gd. 08 ruang proses Gd 09 gudang limbah r a Gd 07.I.4 laboratorium Gd.07 ruang proses selatan Gd 07 ruang proses utara Gd 06 ruang proses timur Gd 02.I.17 laboratorium Gd. 02.I.18 Laboratorium Gd 02.II.18 Laboratorium Gd 02.II.19 Laboratorium Gd 04.I.5 Laboratorium
Cacah netto (cpm) 4,07 18,2 11,9 9,2 6,5 4,7 5,6 10,9 8,5 5,9 6,9
Radioaktivitas udara (x 10-7 Bq/cc) 4,97 ± 0,01 22,24 ± 0,02 14,54 ± 0,01 11,24 ± 0,01 7,94 ± 0,01 5,74 ± 0,01 6,84 ± 0,009 13,32 ± 0,009 10,39 ± 0,009 7,21 ± 0,008 8,43 ± 0,01
Tabel 4. Pengukuran Pengukuran Radioaktivitas udara di laboratorium aktif PTAPB BATAN Yogyakarta bulan September 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Tanggal pengukuran 01-09-10 03-09-10 03-09-10 17-09-10 17-09-10 21-09-10 21-09-10 23-09-10 24-09-10 27-09-10 27-09-10
Lokasi pengukuran Gd. 08 ruang proses Gd 09 gudang limbah r a Gd 07.I.4 laboratorium Gd.07 ruang proses selatan Gd 07 ruang proses utara Gd 06 ruang proses timur Gd 02.I.17 laboratorium Gd. 02.I.18 Laboratorium Gd 02.II.18 Laboratorium Gd 02.II.19 Laboratorium Gd 04.I.5 Laboratorium
Cacah netto (cpm) 9,2 20,8 13,5 12,2 6,5 5,9 9,5 21,9 5,8 4,5 11,2
Radioaktivitas udara (x 10-7 Bq/cc) 11,24 ± 0,01 25,42 ± 0,02 16,50 ± 0,01 11,91 ± 0,01 7,94 ± 0,01 7,21 ± 0,01 11,61 ± 0,009 26,76 ± 0,009 7,09 ± 0,009 5,50 ± 0,008 13,69 ± 0,01
Tabel 5. Pengukuran Radioaktivitas udara di laboratorium aktif PTAPB BATAN Yogyakarta bulan Oktober 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Buku II hal 266
Tanggal pengukuran 04-10-10 04-10-10 06-10-10 06-10-10 19-10-10 19-10-10 21-10-10 22-10-10 25-10-10 28-10-10 28-10-10
Lokasi pengukuran Gd. 08 ruang proses Gd 09 gudang limbah r a Gd 07.I.4 laboratorium Gd.07 ruang proses selatan Gd 07 ruang proses utara Gd 06 ruang proses timur Gd 02.I.17 laboratorium Gd. 02.I.18 Laboratorium Gd 02.II.18 Laboratorium Gd 02.II.19 Laboratorium Gd 04.I.5 Laboratorium
Cacah netto (cpm) 6,5 5,5 4,9 9,5 5,9 2,4 4,2 2,7 4,5 0,9 5,9
ISSN 1410 – 8178
Radioaktivitas udara (x 10-7 Bq/cc) 7,94 ± 0,01 6,72 ± 0,02 5,99 ± 0,01 11,61 ± 0,01 7,21 ± 0,01 2,93 ± 0,01 5,13 ± 0,009 3,30 ± 0,009 5,50 ± 0,009 1,10 ± 0,008 7,21 ± 0,01
Suparno, dkk.
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 6. Radioaktivitas udara di laboratorium aktif PTAPB BATAN Yogyakarta bulan November 2010 Tanggal pengukuran 22-11-10 22-11-10 22-11-10 22-11-10 22-11-10 23-11-10 23-11-10 23-11-10 23-11-10 23-11-10 24-11-10
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Cacah netto (cpm) 1,9 53,5 19,4 11,3 8,2 9,1 17,4 2,2 1,9 22,7 7,6
Lokasi pengukuran Gd. 08 ruang proses Gd 09 gudang limbah r a Gd 07.I.4 laboratorium Gd.07 ruang proses selatan Gd 07 ruang proses utara Gd 06 ruang proses timur Gd 02.I.17 laboratorium Gd. 02.I.18 Laboratorium Gd 02.II.18 Laboratorium Gd 02.II.19 Laboratorium Gd 04.I.5 Laboratorium
Radioaktivitas udara (x 10-7 Bq/cc) 2,32 ± 0,002 65,37 ± 0,08 23,7 ± 0,03 10,02 ± 0,01 13,81 ± 0,02 11,12 ± 0,01 21,26 ± 0,03 2,69 ± 0,003 2,32 ± 0,009 27,74 ± 0,04 9.29 ± 0,01
70
R adioaktivitas Udara ( x 10-7 B q/c c )
60
J uni J uli
50 Ag us tus
40
S eptember Oktober
30
Nopember
20
10
0 08 R . p ro ses
09 G d . l i mb a h r a
07.I.4 L ab.
07.R . 07.R .u ta ra06.R .ti mu r 02.I.17 sel a ta n L ab.
02.I.18 L ab.
02.II.18 L ab.
02.II.19 04.I.5.L a b . L ab.
No.G d/R ua ng
Gambar 1. Grafik hubungan antara tingkat radioaktivitas udara dengan ruangan di lingkungan kerja pada bulan Juni - November 2010
PEMBAHASAN Kandungan radioaktivitas udara di 11 daerah kerja / laboratorium aktif adalah sebagai berkut : Pengukuran pada bulan Juni 2010 pada interval (1,71 – 38,49) 10-7 Bq/cc yang paling tinggi (38,49 ± 0,02) 10-7 Bq/cc di gedung 09 gudang limbah radioaktif (Tabel 1). Pengukuran tingkat radioaktivitas udara pada bulan Juli 2010 pada interval (1,71 – 61,22) 10-7 Bq/cc, di gedung 09 ada kenaikan 59 % menjadi (61,22 ± 0,02) 10-7 Bq/cc (Tabel 2). Pada bulan berikutnya di gedung 09 terjadi penurunan 63 % namun masih pada posisi tertinggi kandungan radioaktivitas udaranya (22,24 ± 0,02) 10-7 Bq/cc. Terjadinya kenaikan dan Suparno, dkk.
penurunan kandungan radioaktivitas udara ini tidak terlepas dari faktor lingkungan, karena pengenceran udara ruangan kurang, sedangkan banyaknya bahan berbahaya dan beracun (B3), zat radioaktif maupun volume pekerjaan yang besar di laboratorium tersebut juga akan memberikan kontribusi yang cukup untuk menaikkan adanya kandungan partikelpartikel yang ada. Bulan Agustus data yang didapatkan pada interval (4,97 – 22,24) 10-7 Bq/cc (Tabel 3). Pengukuran yang dilakukan pada bulan September 2010 pada interval (5,50 – 26,76) 10-7 Bq/cc yang paling tinggi (26,76 ± 0,009) 10-7 Bq/cc di gedung 02.I.18, sedangkan di gedung 09 terjadi kenaikan relatif kecil (Tabel 4). Pengukuran yang dilakukan pada bulan Oktober 2010 pada interval
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 267
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
(1,10 – 11,61) 10-7 Bq/cc yang paling tinggi (11,61 ± 0,01) 10-7 Bq/cc di gedung 07 ruang proses selatan, sedangkan di gedung 09 yang biasanya paling tinggi turun cukup jauh mencapai 73 % yaitu (6,72 ± 0,02) 10-7 Bq/cc (Tabel 5). Pengukuran yang dilakukan pada bulan November 2010 pada interval (2,32 – 65,37) 10-7 Bq/cc, gedung 09 kembali menduduki urutan paling tinggi (65,37 ± 0,08) 10-7 Bq/cc disusul gedung 02.II.19 sebesar (27,74 ± 0,08) 10-7 Bq/cc dan 9 ruangan/laboratorium lainnya berada dibawahnya (Tabel 6). Naik turunnya tingkat radioaktivitas udara dapat digambarkan dengan grafik hubungan antara radioaktivitas udara dengan daerah kerja/laboratorium pada gambar 1. Kandungan radioaktivitas udara masih dapat diturunkan dengan cara menambah ventilasi atau memfungsikan blower yang ada, sehingga udara bisa berganti 4 sampai 5 kali setiap jam. Tingkat radioaktivitas udara yang terdeteksi merupakan anak turun Radon dan Thoron yang terdifusi dari dalam bahan-bahan bangunan yang ada Gedung 09 sangat menonjol disekitarnya(3) besarnya kandungan radioaktivitas udara, namun apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya hasil ini tidak jauh berbeda yang besarnya (36,8 ± 0,003) 10-7 Bq/cc(6). Perlu diketahui bahwa gedung 09 merupakan gudang penampung sementara limbah, pengumpulan limbah, tempat sortir/pemisahan limbah, pengelompokan limbah, pewadahan dan pengepakan limbah radioaktif dan dimungkinkan udara di dalam gudang akan mengandung partikulat radioaktif. Untuk meminimalisasi potensi bahaya radioaktivitas udara di dalam ruangan, blower untuk sirkulasi udara harus selalu dihidupkan. Apabila mangacu pada batas spesifikasi teknis untuk gedung reaktor Kartini yang telah disetujui oleh BAPETEN dan tertuang dalam Laporan Analisis Keselamatan (LAK) revisi 6 tahun 2005 BAB XVII halaman 25 besarnya 4 x 10-5 Bq/cc(7), maka hasil survei ini masih berada jauh dibawahnya KESIMPULAN Hasil pemantauan tingkat radioaktivitas udara di daerah kerja / laboratorium aktif lingkungan PTAPB – BATAN Yogyakarta periode Juni – November 2010 dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat radioaktivitas udara yang terjadi dalam orde 10-7Bq/cc pada interval (1,10 – 65,37) 10-7 Bq/cc, paling tinggi (65,37 ± 0,08) 10-7 Bq/cc di gedung 09 dan paling rendah (1,10 ± 0,008) 10-7Bq/cc di ruang 02.II.19.
Buku II hal 268
2.
3.
Hasil survei ini masih berada jauh dibawah spesifikasi teknik ruang reaktor Kartini yang telah disetujui oleh BAPETEN dan tertuang dalam Laporan Analisis Keselamatan (LAK) revisi 6 tahun 2005 BAB XVII halaman 25 besarnya 4 x 10-5 Bq/cc(7). Dapat tersedianya data mengenai tingkat radioaktivitas udara di daerah kerja / laboratorium aktif lingkungan PTAPB – BATAN Yogyakarta periode bulan Juni – November 2010.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr Agnes Murwant dan Erwin Pratitis SMK Negeri Depok, Sleman Yogyakarta yang telah membantu terselenggaranya survei ini. DAFTAR PUSTAKA 1. IAEA, .”Inhalation Risks From Radioactive Contaminants” Vienna, 1993 2. PERATURAN PEMERINTAH RI NO.33, TAHUN 2007, ”Tentang Keselamatan Radiasi Pengion & Keamanan Sumber Radioaktif”, Jakarta, (2007). 3. Djokolelono Mursid, “Radioaktivitas udara dalam Ruangan dan Lingkungan”, PPGM BATAN, Yogyakarta 1977 4. BAPETEN, ”Materi Rekualifikasi Petugas Proteksi Radiasi Bidang Instalasi Nuklir”, BAPETEN, Jakarta, (2006) 5. Suratman, ”Pengukuran Radioaktivitas gross Beta” Pusat Penel;itan Nuklir Yogyakarta 1997. 6. Suparno, “Pengaruh Blower Terpasang Terhadap Radioaktivitas Gross Beta Udara di Gedung 09” Prosiding Seminar Penelitian Dan Pengelolaan Perangkat Nuklir, Yogyakarta, 2009 7. ANONIM, “Laporan Analisis Keselamatan Reaktor Kartini” BAB XVII, halaman 25, nomor dokumen; C7/05/B2/LAK/2005, revisi 6. 2005 TANYA JAWAB Aris Munandar Hasil Analisis gross-β ini apabila di bandingkan dengan periode sebelumnya bagaimana? Partikel-partikel alfa juga penting dan berbahaya, mengapa tidak dilakukan pengukuran? Suparno Tidak jauh berbeda yaitu (36,8 ± 0,003) 10 -7 Bq/cc Sudah direncanakan dan masih terkendala faktor teknis
ISSN 1410 – 8178
Suparno, dkk.
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
EVALUASI HASIL PENGUKURAN RADIOAKTIVITAS BETA TOTAL PADA RUMPUT DI SEKITAR REAKTOR KARTINI TAHUN 2009 Sri Artiningsih,Wijiyono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK EVALUASI HASIL PENGUKURAN RADIOAKTIVITAS BETA TOTAL PADA RUMPUT DI SEKITAR REAKTOR KARTINI TAHUN 2009. Telah dilakukan evaluasi hasil pengukuran radioaktivitas beta total pada rumput di sekitar reaktor Kartini pada tahun 2009. Tujuan sampling dilakukan dengan metode acak. Rumput diambil 5 x ulangan secara acak sebanyak ± 200 gram di sekitar reaktor Kartini. Preparasi dilakukan dengan cara rumput dibersihkan, kemudian dikeringkan, dibakar dan dibuat arang lalu diabukan dengan Furnace pada suhu 4500C selama 24 jam. Pencacahan radioaktivitas rumput menggunakan Low Background Counter selama 20 menit dengan efisiensi alat = 8,11%. Hasil evaluasi hasil pengukuran radioaktivitas beta total pada rumput setiap Tri wulan di sekitar reaktor Kartini tahun 2009 data tertinggi pada Tri wulan I bulan Maret di lokasi Kalasan ( 5000-3), dengan posisi koordinat 07°47’03 S 110°26’23 E, Elevasi :134 m dpl, sebesar dan pada Tri wulan II pada bulan Mei di lokasi Hotel 5.41 ± 0.43 Bq/g Ambakrukmo (1500-2) dengan posisi koordinat 07°47’38 S 110°24’39 E, ‘Elevasi 130 m dpl sebesar 6.68 ± 0.46 Bq dan Tri wulan III pada bulan Agustus di lokasi Perum. Yadara dengan posisi koordinat : 07°46’16 S 110°24’58 E. ‘Elevasi : 168 .m dpl sebesar 6.68 ± 0.46 Bq/g dan pada Tri wulan IV pada bulan Desember di lokasi Dayu (5000-3) dengan posisi koordinat : 07°43’44 S 110°24’34 E. ‘Elevasi :219 m dpl sebesar 6.68 ± 0.46 Bq/g Hasil uji statitistik tiap Triwulan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) tidak ada beda nyata karena faktor hitung < faktor tabel yaitu 2,97 < 3, 48 ( pada tingkat kesalahan 5 %) atau tingkat ketelitian 95 %. Dari evaluasi ini dapat disimpulkan bahwa tidak menunjukkan adanya korelasi antara jarak terhadap reaktor dengan aktivitas beta total semakin dekat dengan reaktor tidak selalu menunjukkan akativitasnya semakin besar.
ABSTRACT THE EVALUATION RESULT OF Gross β RADIOACTIVITY MEASUREMENT OF THE GRASS SAMPLES OF REACTOR KARTINI AROUND IN 2009. The evaluation of gross β radioactivity meansurement of the grasss samples of the reactor Kartini around in 2009 were done. Grass sample, about 200 g, were from some point stations area with 5 replicates. Grass samples were dried and carbonized on the hot electric stove and ashed in furnace on 250o C for 24 hours. Each ash samples of grass were weight 1 g and filled into aluminium planchet. The samples were for 20 minutes by GM detector in LBC system, with 8,11% of efficiency. It was found that the gross β radioactivity of the grasss samples of the Kartini reactor in 2009 the higher of gross β radioactivity on first Three months on March at Kalasan location ( 5000-3), by cordinat position 07°47’03 S 110°26’23 E, ‘Elevation : 134 m from ocean, abaut 5.41 ± 0.43 Bq/g and on second Three months on May at Ambakrukmo Hotel location (1500-2) by coordinat position 07°47’38 S 110°24’39 E, ‘Elevation 130 m from ocean about 6.68 ± 0.46 Bq/g and on third Three months on August at Perum Yadara location by coordinat position : 07°46’16 S 110°24’58 E. ‘Elevation : 168 .m from ocean about Sri Artiningsih, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 269
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
6.68 ± 0.46 Bq/g and on fourth Three months on December at Dayu location (5000-3) by coordinat : 07°43’44 S 110°24’34 E. ‘Elevation : 219 m from ocean Result of statitic every third months by Complette about 6.68 ± 0.46 Bq/g Radomiced Designer (CRD) no siqnificant because calculated factor < table factor namly 2,97 < 3, 48 (on 5 % error degree or 95 % accuratted degree. From the evaluation that is no correlation between the distance from reactor with gross beta radioactivity The closer distance from reactor it is not mean the higher gross beta activity measurement.
PENDAHULUAN
S
etiap sampel rumput yang berada disekitar reaktor Kartini pada umumnya mengandung radioaktif. Hal ini berhubungan dengan siklus hidup rumput yang membutuhkan air dan udara untuk proses hidupnya. Pelepasan zat radioaktif yang dipekirakan akibat aktivitas reaktor dapat mencemari air dan udara di sekitar kawasan itu. Sementara rumput membutuhkan air sebagai sarana transportasi unsur hara menuju ke daun untuk proses fotosintesis. Maka air yang tercemar akan terserap pada rumput. Sedangkan udara juga dibutuhkan rumput untuk berespirasi. Maka udara yang mungkin tercemar dari pelepasan zat radioaktif akibat kegiatan reaktor nuklir bisa meningkatkan radioaktivitas β total pada rumput, akan tetapi tidak menutup kemungkinan kontribusi β total pada rumput bisa berasal dari radioaktivitas alam. Dari data yang diperoleh dapat diketahui kemungkinan ada tidaknya peningkatan radioaktivitas β total pada rumput yang disebabkan beroperasi reaktor Kartini, atau peningkatan radioaktivitas β total pada rumput berasal dari radioaktivitas alam. Oleh karena itu perlu setiap 3 bulan sekali kita lakukan analisis data untuk mengetahui secara pasti apakah setiap 3 bulan sekali ada peningkatan atau perubahan radionuklida di lingkumhan reaktor Kartini tersebut. Jika ternyata ada indikasi yang menunjukkan adanya perubahan terhadap lingkungan, maka dapat ditentukan langkah dan tindakan yang diperlukan demi kelangsungan hidup manusia. Dengan beroperasinya reaktor Kartini Yogyakarta, dilakukan pemantauan rumput di sekitar reaktor mulai jarak 100 m, 200 m hingga radius 5000 m dari pusat kegiatan reaktor. Rumput merupakan komponen lingkungan yang tidak kalah pentingnya bila dibandingkan komponen lingkungan lainnya seperti air, tanah, udara dan debu jatuhan (fall out). Pemantauan ini dilakukan sehubungan dengan Undang-Undang
Buku II hal 270
No. 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran, yang bunyinya bahwa setiap kegiatan yang melibatkan berbagai bahan radioisotop, diharuskan melakukan pemantauan dan pengawasan masalah radioaktivitas lingkungan.(1) Pemantauan dilakukan untuk melindungi manusia dan alam sekitarnya terhadap kemungkinan bahaya dari radiasi. Lingkungan adalah bagian alam yang berhubungan dengan kehidupan manusia setiap hari, seperti udara (atmosfir), tanah, sawah-ladang, air, hewan, tanaman dan lain sebagainya.(2) Pada dasarnya zat radioaktif dapat memancarkan partikel alpa, beta dan gamma. Partikel-partikel ini akan berbahaya apabila mengenai manusia pada dosis tinggi. Meskipun gas buang yang terlepas dari cerobong reaktor sudah dikelola dengan penyaringan menggunakan filter hingga dapat menekan aktivitas sekecil mungkin sehingga aman terhadap lingkungan sekitarnya namun pemantauan radioaktivitas rumput di sekitar reaktor masih perlu dilakukan. Hal ini berguna untuk mengetahui lebih dini bila terjadi kenaikan radioaktivitas pada rumput disekitar reaktor, agar penduduk terhindar dari bahaya radiasi akibat adanya reaktor nuklir di tempat itu. Tujuan dari evaluasi ini untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan radioaktivitas β total pada rumput yang diakibatkan lepasan radionuklida dari reaktor Kartini, dan membantu kegiatan pemantauan rutin tumbuhan di sekitar reaktor Kartini. Adapun lokasi sampling seperti pada tabel 1. Rumput merupakan sumber kehidupan yang dibutuhkan oleh beberapa ternak yang hidup di sekitar reaktor. Seperti pada daur penyebaran radionuklida alam dapat mencemari udara dan air selanjutnya terabsorbsi pada tanaman termasuk rumput lalu dimakan hewan dan akhirnya sampai pada manusia sebagai konsumen terakhir. Seperti pada (Gambar 1). Sehingga jelas bila mana terjadi pencemaran pada rumput maka akibatnya akan sampai pada ternak yang mengkonsumsi dan tidak menutup kemungkinan akan sampai pada manusia. Kemungkinan meningkatnya pencemaran
ISSN 1410 – 8178
Sri Artiningsih, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
lingkungan dari komponen rumput di sekitar reaktor bisa dari akibat kegiatan reaktor Kartini, tapi juga bisa karena radionuklida alam. Karena radioaktivitas dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu radioaktivitas buatan dan radioaktivitas alam. Radioaktivitas buatan berasal dari hasil reaksi
pembelahan yang dibuat oleh manusia, dari debudebu radioaktif dan ledakan bom nuklir. Sedangkan radioaktivitas lingkungan merupakan bagian dari alam misalnya batuan dari tanah yang mengandung sejumlah kecil elemen radioaktif uranium dan thorium serta hasil turunannya.(1)
Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel rumput di sekitar reaktor Kartini pada tahun 2009
No.
Radius
Latitude/
Nama Lokasi
(meter) 1.
100-1
Akselerator (PTAPB BATAN)
2.
100-2
Utara gedung Bengkel
3.
200-1
Sahid Hotel
4.
500-1
Ngentak
5.
500-2
Kledokan
6.
500-4
Yadara
7.
1000-2
JEC (Janti)
8.
1000-4
Seturan
9.
1000-6
Demangan
10.
1000-8
Tambak Bayan
11.
1500-2
Ambarukmo Hotel
12.
1500-4
Depok
13.
5000-1
Krapyak Ndayu
14.
5000-2
Pokoh (Nomporejo)
15.
5000-3
Kalasan
16.
5000-4
Warungbata
Radionuklida yang terlepas ke alam seringkali tersebar dan terlarut, tetapi dapat pula tertimbun dalam organisme hidup dan selama pertukaran rantai makanan dengan berbagai jalan. Senyawa radionuklida dapat pula terkumpul di dalam air, tanah, endapan, dan rumput. Bila masukannya melebihi batas kecepatan penguraian radioaktif dalam jumlah yang amat tinggi dan Sri Artiningsih, dkk.
Longitude 07°46’41 S 110°24’44 E 07°46’37 S 110°24’43 E 07°46’51 S 110°24’44 E 07°46’36 S 110°24’42 E 07°46’32 S 110°24’42 E 07°46’16 S 110°24’58 E 07°46’49 S 110°24’31 E 07°46’20 S 110°24’19 E 07°46’27 S 110°25’35 E 07°47’01 S 110°25’06 E 07°47’38 S 110°24’39 E 07°46’38 S 110°25’25 E 07°43’44 S 110°24’34 E 07°43’46 S 110°26’06 E 07°47’03 S 110°26’23 E 07°47’56 S 110°24’25 E
Ketinggian (mdpl) 154 156 144 156 156 168 151 159 143 136 130 157 219 220 134 126
alam akan mengembalikannya kepada kita sebagai paket yang mematikan. Zat radioaktif pada akhirnya akan sampai pada manusia melalui jalur rantai makanan. Oleh karena itu diperlukan pengaturan dan pengawasan radioaktivitas lingkungan dengan baik. Selain itu perlu diketahui jalur kritis sebaran radioaktivitas di lingkungan, sehingga dengan memperhatikan
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 271
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
jalur tersebut dapat dilakukan pengambilan contoh-contoh lingkungan untuk ditentukan dan dianalisa radioaktivitasnya. Jalur penyebaran
radionuklida dilingkungan dapat dilihat pada gambar dibawah ini (3).
Zat radioaktif
udara
Air
Tanaman
Hewan
Manusia Gambar 1. Daur Penyebaran Radioaktivitas Lingkungan Radiasi alam tidak dibuat oleh manusia tetapi sudah ada sejak terbentuknya bumi dan alam semesta ini. Radiasi Primordial adalah radiasi alam yang berasal dari dalam bumi. Jenis radiasi ini sering juga disebut dengan radiasi terrestrial. Adapun jenis radiasi yang berasal dari mineralmineral yang ada dalam batu-batuan dan dari dalam tanah antara lain sederet nuklida hasil peluruhan alam yang terdiri dari deret uranium, actinium dan thorium(3) Pengoperasian akibat
reaktor Kartini tidak menutup kemungkinan akan melepaskan zat yang mengandung radionuklida buatan yang dapat meningkatkan pencemaran lingkungan. Namun perlu diingat bahwa radioaktivitas yang terdapat pada rumput yang tumbuh disekitar reaktor Kartini bisa juga dari mineral-mineral yang mengandung radionuklida promordial (alam). Adapun mineral-mineral yang mengandung radionuklida primordial seperti pada tabel 2 .
Tabel 2. Contoh mineral yang mengandung radionuklida primordial. Radionuklida primordial & t1/2 Uranium-238 (Deret Uranium) 4,5 x 109 tahun Uranium-235 (Deret Aktinium) 7,1 x 108 tahun Kalium-40 1,28 x 109 tahun
Nuklida turunannya
Rubidium-87 4,7 x 1010 tahun
Strontium-87
Buku II hal 272
Timbal-206 Timbal-207 Argon-40
ISSN 1410 – 8178
Terdapat pada mineral (pasir dan batuan) Zirkon Uraninite Pitchblende Zirkon Uraninite Pitchblende Muscovite Biotite Hornblende Glauconite Sanidine Semua batuan gunung berapi Muscovite Biotite Lepidolite Microcline Glauconite Semua batuan metamorfosis Sri Artiningsih, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Maka perlu diteliti dan diawasi dengan cara melakukan evaluasi radioaktivitas baik buatan maupun alam tersebut pada rumput. Dari data yang diperoleh dapat diketahui kemungkinan ada tidaknya pencemaran zat radioaktif ke lingkungan, selanjutnya dari analisis data yang diperoleh akan dapat ditentukan langkah dan tindakan yang diperlukan demi kelangsungan hidup manusia.(4) Mengingat daya dukung alam sangat menentukan bagi kelangsungan hidup manusia, maka kemampuan daya dukung alam tersebut harus dijaga agar tidak rusak dan berakibat buruk bagi manusia(2) . Sedangkan tujuan dari evaluasi ini untuk mengetahui pengaruh radioaktif pada rumput yang ditimbulkan dari sinar beta dan memperoleh data dukung pemantauan radioaktif lingkungan.
TATA KERJA Bahan : Bahan analisis yang digunakan dalam pengukuran radioaktivitas ini adalah sampel rumput yang diambil di sekitar reaktor Kartini Pengambilan sampel rumput sebulan sekali selama tahun 2009. Peralatan : Alat-alat yang digunakan antara lain : Gelas ukur dan pipet, timbangan sartorius, planset aluminium, penumbuk mortir dan alat cacah Low Background Counter (LBC), GPS, kamera, peta, kantong plastik, alat tulis.
Gambar 2 Cara pengambilan sampel pada titik lokasi Cara Kerja Cara pengambilan sampel
dengan GPS. Cara pengambilan sampel rumput seperti pada gambar 2.
1. Pengambilan Sampel Rumput Sampel rumput diambil di sekitar rekator Kartini berdasarkan titik pengambilan sampel yang sudah ditentukan. Sampel diambil ± 100 g kemudian dimasukkan ke dalam plastik, diberi label dan ditutup rapat. Adapun sampel yang diambil adalah rumput dari lokasi tebuka Rumput (lampiran 1 Gb. 3). Rumput diambil dan dipotong kira-kira 2-5 cm dari tanah pada luasan sekitar 1m2 . Cara penentuan titik pengambilan sampel dilapangan adalah dengan sistem random sampling. Data diambil dari beberapa titik pengambilan cuplikan sebanyak 16 lokasi, kemudian ditentukan sebagai data radioaktivitas rumput. Efisiensi yang digunakan dalam pencacahan rumput sebesar 8,45 %. Masing-masing lokasi diambil dari 5 ulangan secara acak dan diketahui koordinat posisinya
2. Preparasi Cuplikan Tujuan preparasi agar cuplikan siap untuk dianalisis. Tahapan yang harus dilakukan : 1. Pengeringan yaitu dikeringkan-anginkan di udara. 2. Pengabuan. Sampel rumput yang tadinya dikeringkan harus dibakar dahulu agar kadar air yang terkandung didalamnya benar-benar hilang. Untuk penentuan radioaktivitas cuplikan diambil seluruh bagian, ditimbang dan dibakar dengan tungku pemanas sampai menjadi arang (lampiran 1 Gb. 4 ). Arang kemudian diabukan dengan furnuce pada suhu 450 0 C selama 24 jam. (lampiran 1 Gb. 5 ). 3. Pencacahan Sampel Cuplikan abu halus diambil 1 g ditaruh kedalam planset alumunium (lampiran 1 Gb.6. dan Gb. 7 ) kemudian diberi air suling sedikit
Sri Artiningsih, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 273
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
demi sedikit sampai bercampur homogen. Sampel didalam planset dikeringkan diatas hotplate baru kemudian sampel itu siap untuk dianalisis (lampiran 1 Gb. 9). Pencacahan radioaktivitas s β total dilakukan dengan alat cacah β Ortec/ LBC (Low Background Counter) (lampiran 1 Gb. 10) dengan tegangan kerja 1150 volt dan waktu cacah 20 menit. Efisiensi alat cacah β dicari dengan menggunakan radionuklida baku K-40 dalam KCL. Didapatkan nilai efisiensi alat cacah : 8,45 %
4. Perhitungan total radioaktivitas gross Total radioaktivitas gross dengan persamaan sbb :
=
β
β dapat dihitung
C × 100 Bq / gram E
(1)
C = cacah cuplikan-cacah latar (cpm) E = efisiensi alat 8,11% dengan standar K-40 dari KCL).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran β total pada sampel rumput setiap Tri wulan sekali seperti pada tabel berikut: Tabel 3. Hasil pengukuran beta total pada rumput di sekitar reaktor Tri wulan I. tahun 2009 Bulan
No. 1. 2. 3.
Januari Februari Maret
Kode Lokasi
Lokasi Sampling
Tertinggi (Bq/g)
500-2 5000-3 5000-3
Kledokan Kalasan Kalasan
5.41 ± 0.43 5.06 ± 0.41 5.41 ± 0.43
Tabel 4. Hasil pengukuran beta total pada rumput di sekitar reaktor Tri wulan II tahun 2009 Bulan
No. 1. 2. 3.
April Mei Juni
Kode Lokasi
Lokasi Sampling
Tertinggi (Bq/g)
1000-1 1500-2 1500-4
Janti Hotel Ambarukmo Depok
5.06 ± 0.41 6.68 ±0.46 5.41 ± 0.43
Tabel 5 Hasil pengukuran beta total pada rumput di sekitar reaktor Tri wulan III. tahun 2009 No.
Bulan
Kode Lokasi
Lokasi Sampling
Tertinggi (Bq/g)
1. 2. 3.
Juli Agustus September
5000-2 500-3 1000-2
Nompo Rejo Perum. Yadara Seturan
5.06 ± 0.41 6.68 ±0.46 6.68 ±0.46
Tabel 6 Hasil pengukuran beta total pada rumput di sekitar reaktor Tri wulan IV. tahun 2009 No.
Bulan
1. 2. 3
Oktober Nopember Desember
Kode Lokasi 1500-3 1500-1 5000-1
Analisis data dilakukan setiap Tri wulan sekali sehingga selama 12 bulan akan diperoleh 4 Tri wulan (4x pemantauan). Maka setiap pengamatan terdiri dari 3 bulan yang diperinci bulan 1 sebagai ulangan 1, bulan 2 sebagai ulangan 2 dan bulan 3 sebagai ulangan 3. Radioaktivitas β total sampel rumput baik terendah maupun tertinggi pada setiap Tri wulan
Buku II hal 274
Lokasi Sampling Maguwo Harjo Pengawat Rejo Dayu
Tertinggi (Bq/g) 5.41 ± 0.43 5.06 ± 0.41 6.68 ±0.46
sekali dari masing-masing lokasi memang berbeda-beda. Maka dalam hal ini umtuk membuktikan apakah setiap Tri wulan sekali dari, masing-masing lokasi ada perbedaan yang nyata. Maka perlu dilakukan uji statistik data tertinggi pada setiap Tri wulan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tingkat kepercayaan 95 % .(5)
ISSN 1410 – 8178
Sri Artiningsih, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 7. Pemantauan Radioaktivitas β total pada rumput setiap Tri wulan sekali di sekitar reaktor Kartini pada tahun 2009 Radioaktivitas tertinggi β total rumput di sekitar reaktor Kartini Ulangan
Tri wulan 1
Tri wulan 2
Tri wulan 3
Tri wulan 4
Kontrol
(Bq/g)
(Bq/g)
(Bq/g)
(Bq/g)
(Bq/g)
5.41
5.06
5.06
5.41
5.06
6.68
6.68
5.06
Y1
5.41 15..88
5.41 17.13
6.68 18.42
6.68 17.15
18,43 = 87,01
Y
5,29
5,71
6,14
5,71
6,14
1. 2. 3.
5,18 6,17 7,08
Perhitungan : FK JKT
87,01 2 = ------------------- = 504,21 15 = 5.41 2 + 5,06 2 +……………6,68 2 = 531,83 - 504,21 = 27,62
15,88 2 +17,13 2 + 18,42 2 + 17, 15 2 + 18,432 JKP = ------------------------------------------------------- = 472,67-504,21 = 172,42 3 JKGP = JKP - JKT =172,42 - 27,62 = 144,80 Tabel Anova SK Perilaku
Db P-1
JK
KT
I : hitung
172,42
172.42/4 =43,10
43,10/14,48 =
1%
5%
2,97
5,99
3,48
5-1 = 4 Galat Perilaku
n-p
144,80
Tabel
144,80/10 = 14,48
15-5 = 10 Dari hasil uji statistik bila mana terbukti ada beda nyata maka perlu dilanjutkan dengan test Duncan`s , untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan hasil analisis tersebut. Namun apabila uji statistik tidak menunjukkan beda nyata, tidak perlu dilanjutkan dengan test Duncan`s. Sedangkan hasil uji statistik untuk data tertinggi pada setiap Tri wulan dari masing-masing lokasi tidak ada beda nyata. Karena faktor hitung masih lebih kecil dari pada faktor tabel yaitu 2,97 < 3, 48 pada tingkat kesalahan 5 %. Radionuklida yang kemungkinan terlepas dari cerobong akan terbawa aliran angin dan akan jatuh kepermukaan tanah bersamaan dengan air hujan dan akan mengendap pada tanah yang merupakan media tumbuh dari pada rumput. Akan tetapi bisa juga dari radionuklida alam seperti 226Ra yang terdapat didalam tanah atau batuan, 232Th, 40K , 214Pb ataupun radionuklida alam pemancar β lainnya. Yang terakumulasi dalam rumput Data radioaktivitas yang diperoleh masing-masing lokasi setiap Tri wulan berfluktuasi. Data yang Sri Artiningsih, dkk.
berfluktuasi kemungkinan dipengaruhi oleh cuaca dan angin. Unsur radioaktif yang berada di udara lingkungan tidak terkendali. Pada waktu musim kemarau, unsur radioaktif tersebut akan terbawa oleh angin, terdistribusi dan mengendap pada tempat yang sesuai dengan arah dan kecepatan aliran angin, sedangkan pada musim hujan dapat mengendapkan unsur radioaktif di udara ke permukaan tanah. Di ilustrasikan bahwa radionuklida baik alam maupun buatan dapat meresap pada air dan mengendap pada tanah yang merupakan media tumbuh rumput. Sehingga dapat memberikan kontribusi radioaktivitas pada rumput. Distribusi radioaktivitas beta total yang diperkirakan dari aktivitas reaktor belum menunjukkan adanya korelasi jauh dekatnya terhadap reaktor, karena aktivitas Beta total semakin dekat dengan reaktor tidak selalu menunjukkan akativitas semakin besar. Namun bersifat acak misalnya di lokasi Dayu dengan radius 5000 m dari reaktor sebesar 6,68 ±0.46 Bq/g > lokasi Kledokan yang jaraknya hanya 500
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 275
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
m dari pusat kegiatan reaktor yaitu sebasar 5.41 ± 0.43 Bq/g. Kejadian semacam itu menunjukkan bahwa aktivitas β total di sekitar reaktor belum tentu semata-mata dari lepasan radionuklida dari reaktor, akan tetapi bisa saja dari radionuklida alam yang ada disekitar reaktor, karena hasil pengukuran β total pada rumput di sekitar reaktor bersifat acak . KESIMPULAN Dari hasil evaluasi beta total pada rumput di sekitar reaktor Kartini pada tahun 2009 dapat di simpulkan sbb : 1. Data tertinggi Tri wulan I pada bulan Maret di lokasi Kalasan ( 5000-3), dengan posisi koordinat 07°47’03 S 110°26’23 E, ‘Elevasi :134 m dari permukaan laut, sebesar 5.41 ± 0.43 Bq/g dan Tri wulan II pada bulan Mei di lokasi Hotel Ambakrukmo (1500-2) dengan posisi koordinat 07°47’38 S 110°24’39 E, ‘Elevasi 130 m dari permukaan laut sebesar 6.68 ± 0.46 Bq . 2. Tri wulan III pada bulan Agustus di lokasi Perum. Yadara dengan posisi koordinat : 07°46’16 S 110°24’58 E. ‘Elevasi : 168 m dari permukaan laut sebesar 6.68 ± 0.46 Bq/g dan pada Tri wulan IV pada bulan Desember di lokasi Dayu (5000-3) dengan posisi koordinat : 07°43’44 S 110°24’34 E.
Buku II hal 276
3.
‘Elevasi :219 m dari permukaan laut sebesar 6.68 ± 0.46 Bq /g. Uji statitistik dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) tidak ada beda nyata karena faktor hitung masih lebih kecil dari pada faktor tabel yaitu 2,97 < 3, 48 (tingkat kesalahan 5 %).
DAFTAR PUSTAKA 1. SURATMAN Pengukuran Radioaktivitas Beta.Yogyakarta : P3TM-BATAN. (1997). 2. THOYIB. Radionuklida Pencemaran Lingkungan Dan Ekologinya. Yogyakarta : Penerbit Pusat Dosimetri dan Standarisasi BATAN. (1985). 3. WARDANA. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset. (2001). 4. DAKLAN, A. Kajian Terhadap Kadar Pb, Ca, Fe dan Tingkat Radioaktivitas Beta Total Dalam 3 Jenis Sayuran Yang Yang Dihasilkan oleh Petani. Diterbitkan oleh Pusat Dosimetri Dan Standararisai Badan Tenaga atom Nasional. (2002) 5. SUKAWATI, Rancangan Percobaan (Rancob) Pada Tugas Akhir yang berjudul Pengaruh Radiasi Sinar Gama Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedele (Soya Bean) Pada Akademi Pertanian Yogyakarta (1991)
ISSN 1410 – 8178
Sri Artiningsih, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
LAMPIRAN
Gb. 3. sampel rumput
Gb. 5 alat oven
Gb. 7 Sampel diabukan
Gb 9. Sampel siap cacah
Sri Artiningsih, dkk.
Gb. 4. alat pengarangan sampel
Gb. 6. Alat LBC
Gb. 8 .Sampel sudah digerus
Gb 10. Alat Pencacah
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 277
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
CONTROL CHART HASIL ANALISIS Zn DALAM SERUM SECARA AAN SEBAGAI PENGENDALI MUTU Rosidi, Muljono, Sutanto W.W., Sihono Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK CONTROL CHART HASIL ANALISIS Zn DALAM SERUM SECARA AAN SEBAGAI PENGENDALI MUTU.Teknik analisis aktivasi neutron instrumental (AANI) merupakan salah satu teknik analisis nuklir untuk penentuan unsur-unsur yang memiliki akurasi tinggi dan merupakan teknik yang komplementer dengan teknik non nuklir lainnya seperti ICP-MS atau AAS. Dalam era globalisasi, jaminan mutu dari hasil pengukuran merupakan suatu tuntutan pasar. Pada penelitian ini ditentukan control chart dari hasil analisis unsur Zn secara AANI (analysis aktivasi neutron instrumental ) dalam sampel serum yang dianalisis sebanyak 5 kali pengulangan untuk masing-masing sampel dan % recovery analisis Zn secara AANI dalam sampel serum yang telah dilakukan selama 12 bulan. Zink dianalisis pada puncak tenaga sinar γ 1115 keV. Control chart ini termasuk pengendalian mutu statistical (SQC) sesuai dengan asesmen pada ketidakpastian hasil berdasarkan pada metode dan pengalaman praktis yang harus dilakukan oleh setiap laboratorium sebagai jaminan mutu. Dapat disimpulkan bahwa dengan control chart suatu masalah dapat dirunut. Analisis dengan ketelitian tinggi data diluar UWL dan LWL tidak dapat diterima, sedangkan apabila tidak diperlukan ketelitian tinggi maka data diluar UCL dan LCL tidak dapat diterima. Demikian pula untuk % recovery. Dari control chart yang diperoleh dapat terlihat bahwa hasil analisis Zn dalam sampel serum berada dalam batas kendali berarti cukup terkontrol terkendali oleh karena itu hasil analisis dapat diterima dan sertifikat analisis dapat diterbitkan. Kata kunci : Control chart, Zink, NAA
ABSTRACT CONTROL CHART OF Zn ANALYTICAL RESULTS IN SERUM BY NAA AS A QUALITY CONTROL. Instrumental Neutron Activation Analysis (INAA) is a nuclear analytical technique used for elements determination with high accuracy. This technique is complementary with others non nuclear analytical techniques such as ICP-MS, AAS etc. In globalization era, quality assurance of analytical technique is the marketing demands. This experiment control chart of Zn element concentration and % recovery data of sea water samples determined by INAA technique. Each samples were analyzed for 5 times, and % recovery were also determined for 5 times per sample , done during 12 months. Zink was measured at peak of 1155 keV. Control chart is the one tool of statistical quality control (SQC), the uncertainty assessment of analytical results, is the tool of quality assurance based on the method and practical experience that should be done by all of laboratories. The problems can be traced by using control chart. It can be concluded that analytical results of Zn in serum samples by INAA is in controlled, so the certificate of this data can be issued. The problems can be known by using control chart. Key word : Control chart, Zink, NAA
Buku II hal 278
ISSN 1410 – 8178
Rosidi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENDAHULUAN
T
eknik Analisis Aktivasi Neutron Instrumental (AANI) merupakan salah satu teknik analisis nuklir untuk penentuan unsur-unsur yang memiliki akurasi tinggi dan merupakan teknik yang komplementer dengan teknik non nuklir lainnya seperti ICP-MS atau AAS. Teknik ini telah lama dikembangkan di BATAN khususnya di unit-unit yang memiliki fasilitas iradiasi neutron dan unitunit lain yang mempunyai tupoksi berkaitan dengan Analisis unsur. Dalam era globalisasi, jaminan mutu dari hasil pengukuran merupakan suatu tuntutan pasar. Penyajian data pengukuran yang akurat dan presisi adalah sebagai salah satu syarat bagi laboratorium pengujian untuk mendapat pengakuan dari user (pengguna) maupun lembaga yang menerbitkan sertifikasi.(!) Untuk memperoleh data pengukuran yang akurat dan presisi maka diperlukan suatu metode analisis yang telah diuji validitasnya. Untuk mengetahui validitas suatu metode, laboratorium harus melakukan beberapa hal sbb.: 1. Melakukan kalibrasi menggunakan standar acuan atau bahan acuan 2. Melakukan pembandingan hasil yang diperoleh dengan metode lain 3. Melakukan uji banding antar laboratorium 4. Melakukan asesmen yang sistematis pada 5. faktor-faktor yang mempengaruhi hasil. 6. Asesmen pada ketidakpastian hasil berdasarkan pemahaman ilmiah dari prinsip teoretis metode dan pengalaman praktis. Ada 7 alat dasar untuk pengendalian mutu statistikal yaitu flow chart, diagram sebab akibat, diagram pareto, histogram, run chart, grafik hubungan, dan control chart. Flow chart menggambarkan proses dan identitas setiap fungsi secara sederhana dan berguna untuk menjaga pengakuan terhadap metode yang digunakan, batasan dan level personil yang terlibat. Diagram sebab akibat (fishbone diagram)(2) digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis suatu proses atau situasi dan menemukan kemungkinan penyebab suatu masalah. Diagram ini dapat memisahkan penyebab dan gejala, fokus pada halhal yang relevan sehingga dapat diterapkan pada setiap masalah. Diagram pareto digunakan untuk mengklasifikasi masalah menurut sebab dan gejalanya. Masalah didiagramkan menurut prioritas kepentingannya. Histogram adalah diagram yang menggambarkan penyebaran atau standar deviasi suatu proses, digunakan untuk menentukan masalah dengan melihat dispersi, nilai rata-rata dan sifat dispersi. Run chart dan control chart menggambarkan kecenderungan yang terjadi dengan jalan memetakan data selama periode Rosidi, dkk.
waktu tertentu. Kecenderungan tersebut berguna dalam memisahkan sebab dan gejala. Sedangkan diagram hubungan / korelasi menggambarkan korelasi antara dua buah variabel yang sesuai. Diagram ini berguna dalam mempelajari faktorfaktor yang berpengaruh. Untuk menjaga mutu, suatu laboratorium perlu secara rutin melakukan inspeksi, pengendalian mutu statistikal (SQC), jaminan mutu (QA) dan manajemen strategis. Pada penelitian ini ditentukan control chart dari hasil analisis unsur Zn dalam sampel serum yang dianalisis sebanyak 5 kali pengulangan untuk masing-masing sampel. Control chart ini termasuk pengendalian mutu statistical (SQC) sesuai dengan asesmen pada ketidakpastian hasil berdasarkan pada metode dan pengalaman praktis yang harus dilakukan oleh setiap laboratorium seperti disebutkan diatas.. TATA KERJA Bahan dan Peralatan 1. Sampel serum 2. Standar Zn 3. Vial polietilen 1 ml 4. Pipet eppendorf 5. Reaktor Kartini 6. Spektrometer Gamma Cara Kerja 1. Data analisis Zn secara AANI (analisis aktivasi neutron instrumental secara relative) dari 2 sampel serum masing-masing 5 kali pengukuran, dihitung rata-rata (= x), upper control limit (UCL), upper warning limit (UWL), lower warning limit (LWL) dan lower control limit (LCL) 2. Zink (Zn) dalam sampel serum dianalisis secara AANI dengan metode standar adisi. Pengulangan dilakukan sebanyak 5 kali. Ratarata % recovery dihitung. 3. No.2 dilakukan setiap bulan selama 12 bulan. 4. Dihitung rata-rata % recovery (= x), upper control limit (UCL), upper warning limit (UWL), lower warning limit (LWL) dan lower control limit (LCL) 5. Selanjutnya dibuat control chart 6. Evaluasi control chart. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam analisis dengan AANI, pengukuran Zn ditentukan pada tenaga sinar γ 1115,1 keV. (3) Control chart gambar 1 dan 2 memberi batasan bahwa dalam analisis sampel tersebut
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 279
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
apabila diperlukan analisis dengan ketelitian tinggai maka data di luar UWL dan LWLtidak dapat diterima, sedangkan apabila tidak diperlukan
ketelitian tinggi maka data diluar UCL dan LCL tidak dapat diterima.(1).
Gambar 1. Control chart konsentrasi Zn hasil analisis sampel serum A dengan metoda AANI, pengulangan 5 kali.(1)
Gambar 2. Control chart konsentrasi Zn hasil analisis sampel serum B dengan metoda AANI, pengulangan 5 kali.(1)
Gambar 3. Control chart % recovery hasil analisis Zn dalam sampel serum selama 12 bulan, masingmasing titik adalah rata-rata % recovery hasil analisis secara AANI, dengan pengulangan 5 kali Gambar 3 menunjukkan kondisi system analisis Zn secara AANI di laboratorium AAN PTAPB. Persen (%) recovery diluar UCL dan LCL tidak dapat diterima untuk analisis dengan ketelitian rendah dan diluar UWL dan LWL % recovery
Buku II hal 280
tidak dapat diterima untuk analisis dengan ketelitian tinggi. Control chart adalah suatu grafik yang terdiri dari suatu nilai ekspektasi (nilai rata-rata) dan suatu rentang data yang dapat diterima dinyatakan sebagai batas kendali (control limits). Grafik ini dapat digunakan sebagai dokumen
ISSN 1410 – 8178
Rosidi, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
ketidakpastian pengukuran dan variasi aspek proses pengukuran misalnya sensitivitas instrumen. Pembuatan control chart dimulai dengan memilih suatu metode uji untuk standar dengan mengkoleksi data uji ,jumlah pengulangan yang optimum adalah 12 – 30 titik . Data-data harus diplotkan sesuai dengan urutan waktu koleksi data. Untuk selanjutnya dihitung nilai rata-rata (x) dan standar deviasi n(SD), batas kendali atas (UCL), batas peringatan atas (UWL), batas peringatan bawah (LWL) dan batas kendali bawah (LCL). Rumus yang digunakan adalah : x = rata-rata hasil yang diperoleh(1,4) UCL = x + 3 SD UWL = x +2 SD LWL = x – 2 SD LCL = x – 3 SD Data yang dipersiapkan untuk pembuatan control chart sebagai kendali mutu dalam makalah ini berupa rata-rata konsentrasi Zn hasil analisis dan % recovery dari hasil beberapa kali analisis Zn selama 12 bulan. Dari control chart dapat terlihat bahwa hasil analisis berada dalam batas kendali berarti cukup terkontrol / terkendali oleh karena itu hasil analisis dapat diterima dan sertifikat analisis dapat diterbitkan. Kondisi dinyatakan tidak terkontrol apabila data-datanya terdiri dari: - 1 titik diatas 3 SD - 2 dari 3 titik diatas 2 SD - 4 dari 5 titik diatas 1 SD - 8 titik berturut-turut diatas garis tengah - 1 titik di bawah 3 SD - 2 dari 3 titik di bawah 2 SD - 4 dari 5 titik di bawah 1 SD - 8 titik berturut-turut dibawah garis tengan - 15 titik berada didalam + 1SD - 8 titik berada diluar + 1SD Apabila data uji diplotkan pada control chart berada diluar batas peringatan kendali, maka perlu uji ulang kembali. Apabila data pengulangan masih tetap berada diluar batas peringatan kendali, maka perlu dilakukan tindakan koreksi dan gunakan control chart. Control chart ini sangat diperlukan untuk suatu mutu produksi. Dengan control chart suatu masalah dapat ditelusuri. Cara menentukan letak masalah adalah pada posisi hasil produksi. Bila hasil produksi berada diluar batas kendali, masalah kemungkinan berasal pada proses produksi atau pada metode ujinya. Untuk itu perlu dicek dengan mengambil sampel yang sama untuk dianalisis kembali. Jika data hasil uji tetap diluar peringatan kendali maka diperiksa SOP nya. Bila SOP sudah benar hasilnya tetap diluar peringatan kendali maka permasalahan ada di proses produksinya.
Rosidi, dkk.
KESIMPULAN 1. Control chart sangat diperlukan untuk suatu proses analisis. Dengan control chart suatu masalah dapat ditelusuri. 2. Gambar 1 dan 2 memberi batasan bahwa dalam analisis Zn dalam sampel serum apabila diperlukan analisis dengan ketelitian tinggi maka data di luar UWL dan LWL tidak dapat diterima, sedangkan apabila tidak diperlukan ketelitian tinggi maka data di luar UCL dan LCL tidak dapat diterima. 3. Gambar 3 menunjukkan kondisi system analisis Zn secara AANI di laboratorium AAN PTAPB. Persen (%) recovery diluar UCL dan LCL tidak dapat diterima untuk analisis dengan ketelitian rendah dan di luar UWL dan LWL % recovery tidak dapat diterima untuk analisis dengan ketelitian tinggi. 4. Dari control chart yang diperoleh dapat terlihat bahwa hasil analisis Zn dalam serum berada dalam batas kendali berarti cukup terkontrol terkendali oleh karena itu hasil analisis dapat diterima dan sertifikat analisis dapat diterbitkan. DAFTAR PUSTAKA 1. TIM AKREDITASI KAN, Control Chart. BSN, Jakarta ( 2009) 2. KUCERA J, BODE,P, STEPANEK,V. The 1993 ISO Guide to The Expression of Uncertainty in Measurement Applied to Neutron Activation Analysis. J. Radioanalytical Chemistry 245 (2000) 115-122 3. ERDMANN, G. Neutron Activation Tables, Kernchemie in Einzeldarstellungen Volume 6, Verlag Chemie, New York. (1976). 4. Soedyartomo S, dkk, Instrumentasi Kimia I Pusdiklat BATAN (1988) p.137-176.dan 321343
TANYA JAWAB Sriyono Mengapa anda memilih unsur Zn dalam tulisan ini? Rosidi Zn terdapat dalam tubuh kita terdapat dalam serum darah dan kadarnya dalam skala sangat kecil, sehingga metode analisis yang optimal adalalah AAN, metode XRF tidak akan mampu untuk analisis Zn dalam darah. Zn dalam darah mempunyai peran penting dalam metabolism dan punya daya mengeliminasi kemungkinan terjadi kanker sehingga sangat urgen untuk dicermati
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 281
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
EVALUASI DAMPAK RADIOAKTIVITAS UDARA DI YOGYAKARTA PASCA KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA JEPANG A.Aris Munandar, Siswanti Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK EVALUASI DAMPAK RADIOAKTIVITAS UDARA DI YOGYAKARTA PASCA KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA JEPANG. Telah dilakukan evaluasi dampak tingkat radioaktivitas udara di Yogyakarta pasca kecelakaan PLTN Fukushima Jepang. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi dampak tingkat radioaktivitas udara di Indonesia khususnya Yogyakarta pasca kecelakaan PLTN Fukushima Jepang. Sampel diambil pada 4 tempat yang telah ditentukan seperti pada pengukuranpengukuran sebelum terjadinya kecelakaan. Pengukuran dilakukan dengan metode penghisapan menggunakan alat pompa volume tinggi STAPLEX. Udara dihisap lewat filter selulose tipe TFA-2133 selama 20 menit dengan debit 1500 l/menit, selanjutnya filter digunting seukuran luas permukaan aktif detektor dan dicacah dengan alat cacah beta LBC dengan efisiensi 6,73 %. Dari hasil pengukuran diperoleh tingkat radioaktivitas udara berkisar antara (3,30 ± 0,30 )x10-4 Bq/l sampai dengan (17,90 ± 0,70 )x 10-4 Bq/l. Hasil ini masih dibawah tingkat yang diijinkan sesuai SK BAPETEN No 2/KA BAPETEN/1999 sebesar 4.10-3 Bq/l. Dibandingkan dengan pengukuranpengukuran sebelum kecelakaan tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dari data-data hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Jepang tidak menyebabkan dampak peningkatan radioaktivitas udara yang signifikan bagi lingkungan di Yogyakarta. Hal ini memberi keyakinan bahwa Indonesia tidak akan mengalami dampak yang berarti pasca terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima karena adanya faktor jarak, aliran udara dan arah angin yang mempengaruhinya. Kata Kunci : Radioaktivitas, udara, gross beta
ABSTRACT EVALUATION OF RADIOACTIVITY IN THE AIR AROUND YOGYAKARTA AFTER ACCIDENT NPP FUKUSHIMA JAPAN. The concentration of air radioactivity has been evaluated around Yogyakarta after accident NPP Fukushima Japan. The purpose of this study was to evaluate the level of gross beta radioactivity in environmental air around in Yogyakarta Indonesia after Japan's Fukushima nuclear power plant accident. Samples taken from 4 places that have been determined before that accident. Measurements were taken by suction method using a high volume pump STAPLEX. The air passed through cellulose filter type TFA-2133 for 20 minutes with a debit 1500 l / min, then filter cut-size detector active surface area and counted by beta counting equipment LBC with 6.73% efficiency. From the results obtained by monitoring the air radioactivity levels ranged between (3.30 ± 0.30) x10-4 Bq / l to (17.90 ± 0.70) x 10-4 Bq / l. These results are still below the level allowed under Decree No. 2/KA BAPETEN/1999 BAPETEN of 4.10-3 Bq / l. Compared with measurements before the accident did not show significantly different. From these data indicate that Japan's Fukushima nuclear power plant accident has not caused a significant impact to air radioactivity in the environment of Yogyakarta. This gives confidence that Indonesia will not significantly affected by Fukushima nuclear power plant accident because of distance, air flow and wind direction. Key words: Radioactivity, air, gross beta Buku II hal 282
ISSN 1410 – 8178
A.Aris Munandar, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENDAHULUAN
K
ecelakaan Nuklir Fukushima 1 akibat terjadinya gempa dan tsunami di Jepang sudah berlangsung sejak tanggal 11 Maret dan hingga sekarang masih menyisakan potensi bahaya yang dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia, baik bagi penduduk yang berada di sekitar PLTN maupun penduduk yang jauh dari dari wilayah PLTN Fukushima 1, bahkan mungkin dampak ke luar negara Jepang. Hal ini terjadi karena bahan radioaktif yang terlepas dari instalasi PLTN masuk ke udara dan membentuk awan radioaktif yang bergerak mengikuti arah angin. Awan radioaktif ini akhirnya akan turun ke permukaan bumi hingga sampai ke manusia. Besarnya awan radioaktif yang tersebar di udara ini semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah pelepasan dari reaktor yang mengalami kecelakaan yaitu Fukushima unit 1, unit 3, unit 2 dan unit 4 berturut-turut pada tanggal 12 Maret 2011, 14 Maret 2011dan diikuti kebakaran pada penyimpanan bahan bakar bekas yang berpotensi melepaskan bahan radioaktif. Dengan semakin besarnya paparan radioaktif yang terlepas ke udara akan semakin besar pula dampak radiologi yang mungkin mengenai penduduk di sekitar PLTN maupun di negara lain dengan jarak yang cukup jauh termasuk Indonesia.1) Walaupun kecelakaan yang terlihat adalah dalam bentuk ledakan hidrogen, namun pengamatan menunjukkan adanya lepasan radioaktif yang menyebabkan naiknya laju dosis di lokasi. Tercatat pada tanggal 15 Maret pukul 00.00 laju dosis sebesar 11.9 milliSievert (mSv) per-jam dan enam jam kemudian yaitu pada tanggal 15 Maret pukul 06.00 tercatat dosis sebesar 0.6 mSv. Hal ini menunjukkan penurunan. Akan tetapi sebelumnya telah dilaporkan hasil pengamatan laju dosis sebesar 100 milliSievert dan 400 mSv di lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pelepasan bahan radioaktif di PLTN Fukushima sangat fluktuatif sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di teras reaktor ke empat reaktor yang mengalami kecelakaan. Sampai pada tanggal 17 Maret 2011 Badan otoritas Jepang masih mengklasifikasikan kejadian di Fukushima Unit satu berada pada level 4 International Nuclear and Radiological Event Scale (INES) “Kecelakaan dengan konsekuensi lokal.” Akan tetapi pada tanggal 18 Maret 2011 Badan otoritas Jepang telah menetapkan klasifikasi kejadian Fukushima Unit 1 berada pada level 5 yaitu ”Kecelakaan dengan dampak yang lebih luas”. Artinya ada kemungkinan terjadi kerusakan berat pada teras reaktor dan disertai dengan peningkatan jumlah paparan yang significant mengenai penduduk. A.Aris Munandar, dkk.
Dengan semakin besarnya paparan radioaktif yang terlepas ke udara akan semakin besar pula dampak radiologi yang akan mengenai penduduk di sekitar PLTN maupun di negara lain yang cukup jauh akan terkena paparan termasuk ke Indonesia. Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan kajian tentang besarnya lepasan radioaktif yang telah menyebar di kota-kota di Jepang dan analisis kemungkinan dampaknya ke Indonesia. Dampak radiologi terhadap manusia dan lingkungan (sebagai end-point) terjadi oleh adanya proses interaksi antara radiasi pengion yang berasal dari luar (external) maupun dalam tubuh (internal) dengan bahan sel biologi. Interaksi tersebut akan menyebabkan perubahan pada DNA sel biologi seperti kematian sel atau mutasi sel. Akan tetapi secara ilmiah setiap sel memiliki kemampuan untuk memperbaiki perubahan yang terjadi pada DNA. Hal ini berarti sebagian besar perubahan yang terjadi pada molekul tidak menimbulkan kerusakan, kecuali untuk sel yang gagal melakukan perbaikan 3). Bila dampak radiasi terjadi secara langsung terhadap sel penerima disebut dampak somatik, akan tetapi bila dampak atau efek baru muncul pada keturunannya disebut juga akibat herediter atau genetik. Ditinjau dari sifatnya dampak biologi dibagi dalam dampak deterministik (non-stokastik) dan akibat stokastik. Akibat deterministik ditandai dengan adanya dosis minimum tertentu yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tingkat kerusakan bertambah oleh bertambahnya dosis, dan adanya keterkaitan yang jelas antara penyebab dan akibat. Akibat stokastik adalah akibat yang terjadi berdasarkan kemungkinan (probabilitas) yang dapat dialami oleh penerima, atau dalam hal genetik, yang dialami oleh salah satu keturunan. Probabilitas kejadian berbanding linier dengan dosis namun tingkat keparahannya tidak tergantung dari dosis, contoh efek karsinogenik dan hereditary 3). Efek stokastik umumnya dinyatakan dalam jumlah kasus kejadian kanker (morbidity) atau kanker fatal (mortality) per unit dosis. Hingga tanggal 18 Maret 2011 tercatat dosis radiasi rata-rata tertinggi di kota di luar Fukushima adalah sebesar 0.204 μSv/jam yaitu di kota Mito, Ibaraki yang berjarak 153 km dari Fukushima dan pada bagian Selatannya. Sedang bagian yang terendah adalah sebesar 0.020 μSv/jam yaitu di kota Aomori dengan jarak 336 km di sebelah utara Fukushima. Besaran dosis ini memiliki trend menurun sejalan dengan semakin jauhnya jarak seperti yang terlihat pada Gambar 1 dibawah ini: 1)
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 283
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 1. Dosis radiasi sebagai fungsi jarak yang diukur di berbagai kota di Jepang Sesuai dengan peraturan internasional dan nasional, masyarakat tidak dibolehkan menerima dosis rata-rata 1 mSv per tahun atau 1000 μSv/tahun, sementara itu, pekerja di kawasan radiasi ditetapkan tidak boleh menerima lebih dari 50mSv per tahun atau 50000 μSv/tahun. Hal ini berarti dosis yang sampai ke lokasi sekitar PLTN Fukushima masih berada dibawah standard yang ditetapkan. Oleh karena itu belum secara nyata mendapat akibat dari paparan dosis radiasi yang sampai di setiap kota di Jepang. Sesuai dengan catatan pengukuran bahwa di Fukushima pernah tercatat dosis sebesar 100 miliSv dan 400 miliSv di lokasi PLTN, hal ini telah diantisipasi dengan melakukan evakuai penduduk menjauhi radius 30 km. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa dosis radiasi rata-rata di Yamagata yang berjarak 55 km dari Fukushima adalah sebesar 0.044 μSv/jam, artinya dosis ini telah jauh manurun dibandingkan dengan catatan dosis di Fukushima itu sendiri. Upaya penanggulangan (protective action) bagi penduduk dekat dengan Fuskushima telah diawali dengan mencari tempat perlindungan (sheltering) sementara kemudian diikuti dengan evakuasi dari jarak 3 km, 10 km, 20 km dan saat ini mencapai 30 km. Langkah ini adalah untuk Buku II hal 284
menghindarkan penduduk dari dampak segera radioaktif berdosis tinggi. Dalam waktu bersamaan juga kepada masyarakat disekitar Fukushima diberikan Tablet Iod untuk menangkap unsur Yodium yang masuk melalui sistem pernafasan sehingga terhindar dari kanker gondok. Bagaimana antisipasi penanggulangan dampak radiologi di Indonesia? Walaupun kemungkinan terkena paparan langsung dari pelepasan radioaktif Fukushima sangat kecil sekali, namun langkah antisipatif harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui langkah evaluasi radioaktivitas lingkungan. Langkah evaluasi terhadap lingkungan dilakukan dengan melakukan perkiraan dosis secara teoritik dan pengukuran (IAEA 1997). Kemudian hasil pengukuran ini dibandingkan terhadap dosis tingkat interfensi operational (Operational Intervention Level, OIL). Evaluasi radioaktivitas lingkungan dilakukan untuk memonitor dosis yang sudah sampai ke lingkungan, sehingga dapat diketahui laju dosis ambang di sekitar lokasi pemantauan, konsentrasi radionuklida di udara, peta penyebaran unsur 131I dan 137Cs dan secara khusus Tritium (H3), Carbon-14 dan Krypton-85, campuran isotop yang terdeposisi dan konsentrasi radionuklida pada
ISSN 1410 – 8178
A.Aris Munandar, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
contoh makanan. Adapun lokasi pengukuran yang disarankan untuk dilakukan di wilayah-wilayah Indonesia yang relatif dekat dengan sumber pelepasan Fukushima yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Irian Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak peningkatan radioaktivitas beta total sampel udara di 4 titik lokasi pengambilan yang telah ditentukan yaitu disekitar PTAPB BATAN Yogyakarta yang dilakukan pasca terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang. Hal ini berguna untuk mengetahui ada tidaknya dampak peningkatan radioadioakvitas yang berasal dari kecelakaan nuklir di Jepang tersebut terhadap kondisi lingkungan di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Dari data hasil pengukuran yang diperoleh dapat dibandingkan dengan ambang batas yang diijinkan menurut SK BAPETEN No.02/Ka BAPETEN/V-1999 tentang Baku Mutu Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan 4) yaitu 4.10-3 Bq/l . Sedangkan pada kondisi normal disekitar PTAPB BATAN diperoleh data pengukuran tingkat radioaktivitas yang dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan yaitu pengukuran pada tahun 2010, hasilnya antara 8,00.10-4 Bq/l sampai dengan 27,43.10-4 Bq/l. Pengambilan sampel udara dilakukan pada 4 titik lokasi yang telah ditentukan seperti pada pengukuran-pengukuran sebelumnya yaitu dilakukan dengan menghisap udara di suatu lokasi dengan alat pompa vakum merek STAPLEX lewat filter udara. Setelah selesai penghisapan dalam waktu tertentu, filter udara yang telah mengandung partikel dipotong sesuai ukuran detektor alat cacah beta. Sedangkan pengukuran radioaktivitas beta secara kuantitatif dilakukan dengan alat cacah latar rendah ( Low Background Counter ) di Laboratorium Keselamatan dan Kesehatan PTAPB BATAN.
2. Menghitung kandungan radioaktivitas udara Perhitungan radioaktivitas digunakan persamaan empiris :
X=
Bahan dan alat Bahan Kertas filter selulose tipe TFA-2133 untuk tempat menempelnya partikel- partikel pada cuplikan udara. Alat Pompa hisap udara merk Staplex digunakan untuk mengambil sampel udara, Transfomator step down untuk menurunkan tegangan listrik dari 220 volt ke 110 volt; Stop watch untuk pengukur waktu penghisapan udara; gunting kertas; petridisc; pinset; kabel listrik dan alat cacah beta Low Background Counter ( LBC ).
di
udara,
C× A ± σ u Bq / l E × Q × 60 × t
Keterangan: X : radioaktivitas gross beta udara, dalam C A Q
TATA KERJA
A.Aris Munandar, dkk.
Cara kerja 1. Penghisapan cuplikan udara. Pengambilan cuplikan udara dihisap lewat filter, menggunakan filter selulose tipe TFA 2133 yang telah diketahui beratnya, dihisap dengan pompa vakum tinggi merk Staplex dengan debit (Q): 1500 l /menit. Penghisapan udara dilakukan di 4 titik pos pengambilan pada jarak ± 100 m dari reaktor Kartini dengan waktu penghisapan 20 menit. Setelah selesai secepatnya filter dipotong seluas planset atau seluas permukaan detektor dan dicacah dengan alat cacah LBC. Luas filter yang dicacah ini adalah 1/7 dari luas keseluruhan filter, sehingga faktor perkalian luasan filter (A): 6,612. Pencacahan cuplikan dalam filter udara menggunakan alat cacah beta LBC dengan efisiensi pencacahan 6,73 %, HV power supply 1,15 KV dengan waktu pencacahan 20 menit dan dilakukan pencacahan latar.2) Hasil pencacahan dihitung untuk menentukan tingkat radioaktivitas beta total sampel udara di lingkungan sekitar reaktor.
E t 60
σu
satuan Bq/l : netto cacah cuplikan filter perdetik = (cps cuplikan – cps latar ) :faktor perbandingan luasan filter (total/dicacah) : 6,612 : kecepatan aliran udara (debit pompa) = 1500 l /menit : Efisiensi pencacahan = 6,73 % : waktu pemompaan/penghisapan = 20 menit : Konversi menit menjadi detik ( 1 menit = 60 detik ) : Simpangan / ralat
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pemantauan radioaktivitas gross beta dari sampel udara di sekitar PTAPB BATAN Yogyakarta paska kecelakaan PLTN Fukushima Jepang adalah sebagai berikut:
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 285
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 1. Data radioaktivitas udara sekitar PTAPB paska kelakaan PLTN Fukushima Jepang Tanggal pengambilan
31 Maret 2011
Lokasi dari reaktor Kartini
Koordinat
Cacah Sampel (cpm)
Cacah Ltr. (cpm)
Barat
07o46.668’LS 110o24.784’BT
11,2
3,2
8.0
4,34 ± 0,34
Timur
07o46.687’LS
110o24.891’BT
12,5
3,2
8,3
5,05 ± 0,37
Utara
07o46.701’LS
110o24.786’BT
11,9
3,2
8,7
4,75 ± 0,36
07o46.644’LS 110o24.831’BT
15,6
3,2
12,4
6,77±0,43
Barat
07o46.668’LS
110o24.784’BT
9,7
3,0
6.7
3,66 ± 0,32
Timur
07o46.687’LS 110o24.891’BT
9,5
3,0
6,5
3,52 ± 0,31
Utara
07o46.701’LS
110o24.786’BT
9,1
3,0
6,1
3,30± 0,30
Selatan
07o46.644’LS 110o24.831’BT
9,2
3,0
6,2
3,38 ± 0,30
Barat
07o46.668’LS 110o24.784’BT
26,9
3,1
23,8
13,02± 0,60
Timur
07o46.687’LS
110o24.891’BT
25,7
3,1
22,6
12,34± 058
Utara
07o46.701’LS
110o24.786’BT
24,9
3,1
21,8
11,90± 057
07o46.644’LS 110o24.831’BT
25,5
3,1
22,45
12,25± 0,52
Barat
07o46.668’LS
110o24.784’BT
31,9
3,2
28,7
15,64 ± 0,65
Timur
07o46.687’LS 110o24.891’BT
36,0
3,2
32,8
17,90 ± 0,70
Utara
07o46.701’LS
110o24.786’BT
19,6
3,2
16,4
8,98 ± 0,70
07o46.644’LS 110o24.831’BT
31,2
3,2
29
15,31 ± 0,65
Selatan
14 April 2011
2 Mei 2011
Selatan
20 Mei 2011
Selatan
Pengambilan cuplikan udara dengan metode filtrasi menggunakan filter selulose tertentu tipe TFA-2133 dan pencacahan dilakukan dengan alat cacah Low Background Counter (LBC) untuk menentukan radioaktivitas beta totalnya. Metode filtrasi dipilih karena memiliki kelebihan yaitu lebih sederhana konsetrasi yang diambil lebih banyak dan dapat dicacah ditempat lain mengingat alat cacah yang digunakan terpisah dengan tempat pengambilan sampel. Hasil filtrasi udara pada kertas filter dapat langsung ditentukan radioaktivitasnya setelah dikoreksi dengan pecacahan latar. Radioaktivitas gross beta diukur secara kuantitatif yaitu menentukan jumlah kandungan radionuklida pemancar beta. Untuk pengukuran ini cuplikan tidak memerlukan proses pemisahan, sehingga yang terukur adalah semua radioaktivitas β dari campuran radionuklida yang ada. 2) Dilihat dari segi jarak antara lokasi kejadian di Fukushima Jepang dengan tempat terdekat di Indonesia yaitu Sulawesi Utara sekitar 4850 km, sedangkan di Yogyakarta sekitar 6000 km maka dengan perhitungan sederhana saja dapat Buku II hal 286
Cacah Aktivitas Udara Netto (x 10-4 Bq/l) (cpm)
Ket.
Terendah
Tertinggi
dikatakan dampak tersebut kemungkinan tidak ada. Apalagi dengan aliran udara yang harus melewati daerah tropis yang relatif lebih panas dan bertekanan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sub tropis di Jepang yang menyebabkan sulitnya awan radioaktif mencapai Indonesia. Demikian juga arah angin yang umumnya menuju ke Utara atau Timur membuat lepasan radioaktif menjauh dari arah Indonesia dan membuat pelepasan bahan radioaktif sampai ke Indonesia semakin sulit.1) Demikian pula umumnya dispersi pelepasan bahan radioaktif di udara dibatasi hanya pada jarak 1000 km dari sumber emisi, sehingga dampaknya diperhitungkan untuk zona lokal ( < 100 km ) dan regional ( < 1000 Km ) 3) . Hanya sedikit bahan radioaktif seperti Tritium (H-3), Carbon-14 dan Krypton yang mungkin terdispersi melalui atmosfir dan laut global. Walaupun kemungkinan terkena dampak langsung dari pelepasan radioaktif Fukushima sangat kecil sekali, namun langkah antisipasi harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia termasuk
ISSN 1410 – 8178
A.Aris Munandar, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PTAPB BATAN melalui langkah evaluasi radioaktivitas lingkungan. Dari hasil pengukuran radioaktivitas udara lingkungan di sekitar PTAPB BATAN yang telah dilakukan diperoleh data yaitu data terendah (3,30 ± 0,30) 10-4 Bq /l dan data tertinggi (17,90 ± 0,70) 10-4 Bq/l. Dilihat dari data hasil pengukuran yang dilakukan pada tanggal 20 Mei 2011, data yang diperoleh relatif lebih tinggi dari pada data-data pengukuran sebelumnya. Hal ini terjadi karena pada tanggal 20 Mei 2011 tersebut sudah masuk musim kemarau, sehingga pada pengukuran tersebut keadaan udara lebih kering dan banyak partikel debu radioaktif yang beterbangan yang tertangkap filter pada Staplex. Sedangkan pada pengukuran sebelumnya curah hujah masih tinggi, sehingga udara relatif bersih dan tidak banyak partikel debu yang tertangkap filter. Dari semua data yang diperoleh ternyata masih di bawah ambang batas yang diijinkan menurut SK BAPETEN No 02/Ka Bapeten/V1999 yaitu 4x10-3 Bq/l. Tetapi bila hasilnya melebihi ambang batas maka perlu analisa lebih lanjut, misalnya dengan identifikasi radionuklidanya menggunakan Spektrometri gamma. Dilihat dari data hasil pengukuran tersebut pada pengambilan pada hari yang sama data hasil radioaktivitas yang diperoleh relatif hampir sama atau tidak ada perbedaan data yang signifikan, sedangkan bila dibandingkan dengan data hasil pengukuran pada saat yang berbeda akan terjadi perbedaan hasil yang nyata. Contohnya: pengukuran di lokasi sebelah Barat reaktor pada tanggal 31 Maret 2001 Kartini yang diambil pada tanggal 31 Maret 2011 dalam kondisi curah hujan masih tinggi hasilnya 4,34 ± 0.34 Bq/l, dibandingkan pengambilan tanggal 24 Mei 2011 dalam kondisi udara kering hasilnya 15,64 ± 0,65 Bq/l. Dari hasil tersebut menunjukkan perbedaan hasil yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa radioaktivitas sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca dan musim. Pada pengukuran radioaktivitas udara yang dilakukan secara rutin setiap bulan sebelum terjadinya kecelakaan PLTN Fukshima ( tahun 2010 ) hasilnya antara 8,00.10-4 Bq/l sampai dengan 27,43.10-4 Bq/l, sehingga data pengukuran paska kecelakaan tersebut tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan relatif sama dengan pengukuran radioaktivitas sebelum kejadian. Sehingga dapat di simpulkan bahwa keadaan lingkungan alam di Indonesia khususnya Yogyakarta tidak terpengaruh dengan terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima Jepang.
A.Aris Munandar, dkk.
KESIMPULAN Dari pengukuran radioaktivitas udara yang dilakukan diperoleh data tingkat radioaktivitas udara di 4 pos pengambilan sekitar PTAPB BATAN pasca kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang seperti tabel 1, dengan data terendah (3,30 ± 0,30) 10-4 Bq /l dan data tertinggi (17,90 ± 0,70) 10-4 Bq/l. Data–data tersebut ternyata masih di bawah ambang batas yang diijinkan menurut SK BAPETEN No 02/Ka Bapeten/V-1999 yaitu 4x103 Bq/l. Data pengukuran radioaktivitas udara pasca kecelakaan Fukushima Jepang tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan relatif sama dengan pengukuran radioaktivitas sebelum kecelakaan terjadi yang diukur tahun 2010 yang hasilnya antara 8,0.10-4 Bq/l sampai dengan 27,4.10-4 Bq/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Jepang tidak menyebabkan dampak peningkatan radioaktivitas udara yang signifikan bagi lingkungan di Indonesia khususnya Yogyakarta. Hal ini memberi keyakinan bahwa sampai penelitian ini dibuat di Indonesia tidak akan mengalami dampak yang berarti dengan adanya kecelakaan PLTN Fukushima karena dipengaruhi faktor jarak, aliran udara dan arah angin. Namun masih terus diperlukan kewaspadaan mengingat adanya perkembangan tingkat kecelakaan saat ini telah mecapai level 7, walaupun secara teoritis penyebaran bahan radioaktif tersebut tidak akan sampai ke Indonesia Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai antisipasi adalah dengan melakukan pengukuran pengukuran lanjutan terutama terhadap radioaktivitas udara dan air laut di daerah-daerah terdekat dengan sumber kecelakaan nuklir Fukushima yaitu wilayah Sulawesi Utara dan Irian Utara. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
3. 4.
5. 6.
Th.. A. Bambang Sucipto; Kecelakaan PLTN Fukushima dan dampaknya terhadap wilayah Indonesia; 2011. Suratman; Pengukuran Radioaktivitas β; Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta,; BATAN; Yogyakarta; 1997. Wiryosimin,S; Mengenal Azas Proteksi Radiasi; Penerbit ITB Bandung;1995. SK BAPETEN No.02/Ka BAPETEN/V1999; Baku Mutu Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan; 1999. Markandya A, Taylor T; The External Cost of Nuclear Accidents; IAEA;Vienna; 1999. IAEA; Generic Procedures For Determining Protective Actions During Reactor Accidents; TECDOC-995; IAEA ; Vienna; 1997.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 287
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
KARAKTERISASI LIMBAH RADIOAKTIF CAIR UMPAN PROSES EVAPORASI Endro Kismolo, Nurimaniwathy, Tri Suyatno Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail :
[email protected] ABSTRAK KARAKTERISASI LIMBAH RADIOAKTIF CAIR UNTUK UMPAN PROSES EVAPORASI. Kegiatan ini bertujuan menyiapkan data perancangan model pemanas evaporator untuk mengurangi endapan dan buih pada evaporasi limbah radioaktif uranium cair fase air. Inovasi dilakukan dengan cara menambahkan EDTA ke dalam limbah cair setelah proses preparasi. Percobaan dilakukan dengan memanaskan limbah uranium cair fase air secara bath dengan konsentrasi EDTA 1,0 sampai 10,0 ppm dan pH limbah divariasi dari pH = 5,0 sampai pH 8,5 dalam gelas petridisk sampai kering dan pengujian hasil preparasi dilakukan menentukan kadar zat padat dalam limbah setelah pemanasan secara gravimetri. Dari percobaan diperoleh data bahwa timbulnya buih dapat dikurangi dengan penambahan EDTA sampai dengan 10,0 ppm, , pada pH = 7,0, yaitu memberikan kadar zat padat dalam limbah sebesar 0,008 g/l sampai 0,026 g/l. Kata kunci : Karakterisasi, Evaporator - EDTA ABSTRACT CHARACTERIZATION OF THE RADIOACTIVE LIQUID WASTE FOR THE FEEDING OF EVAPORATION PROCESS. The activity to prepare the data in the design of evaporator heater model for reduced of sediment and foam on the evaporation process of liquid radioactive uranium waste. The innovation was carried out by adding of EDTA on the liquid waste after preparation process. The experiment was done by heating liquid radioactive waste on batch process with concentration of EDTA was 1.0 to 10.0 ppm and pH of waste was varied are pH 5.0 to pH = 8.5 in the petridisc glass up to dry, and the tested of preparation was done by determination of solid contain in the liquid radioactive waste after heated by gravimetry methode. From the experiment can be obtain data are foam floating can be reduced with the adding EDTA and lower total solid contain was achieved on pH of waste are 5.0, concentration of EDTA to 10.0 ppm, and pH= 7.0, that is given solid contain in the waste are 0.08 g/L to 0.026 g/l. Key words : characterization, Evaporator- EDTA
PENDAHULUAN
P
roses penyiapan limbah umpan merupakan tahap penting pada proses evaporasi limbah radioaktif cair fase air. Penyiapan limbah umpan secara fisika melalui pengenapan dan penyaringan ganda sudah memberikan hasil yang cukup baik yaitu menghasilkan beningan limbah dengan kadar antara 1,50 g/l sampai 2,50 g/l. Sedangkan preparasi dengan pengaturan pH limbah dapat mereduksi kadar zat padat dalam limbah sampai 98,0 % dengan kadar zat padat dalam limbah sekitar 0,015 g/l (1).
Buku II hal 288
Pada proses evaporasi limbah radioaktif cair fase air, unsur keselamatan proses perlu perhatikan mengingat didalamnya terdapat variabel panas, tekanan dan pendinginan. Masalah utama dampak pemanasan sampai titik didih biasanya adalah terjadinya buih akibat cairan limbah yang Dalam proses evaporasi dididihkan(2). menggunakan perangkat evaporator gelas terjadinya buih dapat terlihat jelas, sehingga kondisi limbah cair yang diuapkan harus sedemikian rupa sehingga dalam operasinya tidak menimbulkan kesulitan teknis misalnya terjadinya
ISSN 1410 – 8178
Endro Kismolo, dkk.
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
carry over yang diakibatkan timbulnya buih yang terlalu banyak pada proses pemanasan. Biasanya buih diakibatkan adanya senyawa organik yang terkandung dalam limbah atau senyawa-senyawa lain yang mudah membentuk gelembung pada pemanasan. Timbulnya buih dalam proses evaporasi sangat merugikan, karena efisiensi evaporasi menjadi rendah. Hal ini terjadi karena timbulnya buih dapat memacu timbulnya proses carry over, yang akhirnya terjadi perpindahan massa padatan atau bahan radioaktif ke dalam destilat. Selain itu timbulnya buih yang terlalu besar dalam proses evaporasi, akan menurunkan pemisahan fraksi air dalam limbah sebagai destilat sehingga konsentrasi uranium dalam destilat menjadi tidak minimum (3,4,). Untuk meminimasi terjadinya buih dan carry over dalam proses evaporasi, dapat dilakukan inovasi penyiapan limbah umpan (preparasi) yaitu diantaranya dengan menambahkan Ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) ke dalam limbah radioaktif uanium cair fase air setelah proses penyaringan. Dengan mengatur konsentrasi EDTA, pH proses evaporasi diharapkan dapat diperoleh destilat yang memenuhi syarat untuk umpan proses pertukaran ion yaitu kadar radionuklida uranium dan total zat padat di dalamnya cukup rendah. Ethylene diamine tetraacetic acid (EDTA) merupakan senyawa kompleks yang pada pemanasan dapat menekan terjadinya proses sedimentasi dan dapat Dengan mendistruksi bahan organik (5,6). mereduksi terjadinya buih dan proses sedimentasi, pengaturan proses evaporasi menjadi lebih mudah dan fraksi air yang terpisahkan menjadi optimum. Hal ini ditandai dengan menurunnya fraksi padatan dalam destilat. Dengan dilakukannya kegiatan ini diharapkan dapat diperoleh pengoperasian perangkat evaporator yang aman dan stabil pada berbagai kecepatan kondisi operasi dan tidak terjadi kegagalan proses evaporasi secara keseluruhan.
Cara kerja 1. Preparasi limbah cair Diambil 5000 ml limbah radioaktif uranium cair fase air (pH = 8,50), beningan hasil pengolahan kimia menggunakan kalsium hidrofosphat, dimasukkan ke dalam ember teflon 10,0 liter melalui penyaringan dengan kertas saring teknis. Sambil diaduk perlahan kedalamnya ditambahkan larutan asam nitrat encer hingga mencapai pH = 5,0 dan setelah proses pengenapan selama 150 menit dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring teknis. Pekerjaan ini juga dilakukan sehingga diperoleh limbah dengan pH = 5,50 sampai 8,50. Dengan cara yang sama, kedalam sampel uji ditambahkan EDTA sebanyak 1,0 sampai 10,0 ppm. 2. Pengujian hasil preparasi. Diambil 20,0 ml limbah radioaktif uranium cair fase air hasil preparasi dimasukkan ke dalam gelas petridisk volume 50 ml yang sudah diketahui beratnya. Selanjutnya dipanaskan di bawah lampu pemanas hingga kering udara. Setelah dingin dilakukan penimbangan menggunakan neraca analitis. Pekerjaan ini dilakukan terhadap semua sampel limbah uji baik yang tidak melalui proses pengenapan maupun yang melalui proses pengenapan selama 150 menit. 3. Aplikasi penambahan EDTA pada proses evaporasi Aplikasi penambahan EDTA untuk proses evaporasi dilakukan dengan menambah EDTA kedalam limbah radioaktif uranium cair fase air umpan proses evaporasi pada kondisi pH = 7,0, dan waktu pendidihan sampai 180menit. HASIL DAN PEMBAHASAN
TATA KERJA Peralatan Perangkat penyaring dan kertas saring teknis digunakan untuk memisahkan fraksi padat dalam limbah cair setelah pengolahan kimia menggunakan kalsium hidrofosphat. Petridisk gelas volume 20 ml dan lampu pemanas digunakan untuk memanaskan sampel limbah. Neraca analitis digunakan untuk penentuan kadar zat padat dalam limbah secara gravimetri. Bahan Limbah radioaktif uranium cair fase air hasil pengolahan kimia menggunakan kalsium Endro Kismolo, dkk.
hidrofosphat yang memiliki pH = 8,50 dan kadar total zat padat terlarut sekitar 6,314 g/L. Asam nitrat encer (0,50 N) digunakan sebagai bahan pengatur pH limbah dan EDTA digunakan sebagai anti foaming agent.
1.
Pengaruh pH limbah pada proses penyiapan limbah terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah, tanpa proses pengenapan.
Pengaruh pH limbah pada proses penyiapan limbah terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah, tanpa proses pengenapan dapat dilihat pada Tabel 1 dan atau Gambar 1. Dari Tabel 1 dan atau Gambar 1 dapat diperoleh data bahwa perubahan pH limbah berpengaruh terhadap karakteristik limbah khususnya terhadap kadar zat padat dalam limbah.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 289
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 1.
Pengaruh pH terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah tanpa proses pengenapan pasca pengaturan pH, pada kondisi limbah awal memiliki pH = 8,50 dan kadar total zat padat terlarut awal = 6,314 g/L. No.
Kadar total zat padat terlarut dalam limbah (g/L)
pH
Tanpa EDTA
Dengan EDTA = 1,0 ppm
8,50
6,115
5,865
2.
7,50
2,121
1.446
3.
7,00
1,162
0.626
4.
6,50
0.442
0.229
5.
6,00
0.116
0.087
6. 7.
5.50 5,00
0.074 0.035
0.024 0.014
Kadar zat padat terlarut dalam limbah (g/L)
1.
7.000 6.000 T anpa EDT A 5.000
Dengan EDT A : 1,0 ppm
4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
pH Limbah
Gambar 1.
Grafik hubngan pengaruh pH terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah tanpa proses pengenapan pasca pengaturan pH, pada kondisi limbah awal memiliki pH = 8,50 dan kadar total zat padat terlarut awal = 6,314 g/L.
Hal ini diduga karena di dalam limbah hanya mengandung garam-garam yang larut dalam asam nitrat, sehingga pada perubahan ke arah asam semuanya larut. Dari percobaan ini juga dapat dilihat bahwa EDTA mampu mereduksi kadar zat padat dalam limbah. Dari percobaan juga diamati dengan penambahan EDTA juga mampu mereduksi terjadinya buih selama pemanasan. Hal ini diduga kompleks EDTA yang berfungsi sebagai anti buih dapat membentuk kompleks dengan garam-garam yang terdapat dalam limbah, sehingga penambahan EDTA menjadi semakin efektif pada perubahan pH asam. Pada percobaan Buku II hal 290
dengan bahan limbah tanpa perlakuan pengenapan pasca pengaturan pH , diperoleh kadar zat padat dalam limbah terendah pada pH 5.0 yaitu sebesar 0,035 g/L dan 0,014 g/L untuk limbah yang ditambahkan EDTA 1,0 ppm. Untuk melihat fungsi EDTA secara nyata, percobaan selanjutnya digunakan limbah pH = 7,00. 2.
Pengaruh konsentrasi EDTA dan proses pengenapan pada preparasi limbah terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah, pada kondisi limbah pH = 7,0. Pengaruh konsentrasi EDTA dan proses pengenapan pada preparasi limbah terhadap
ISSN 1410 – 8178
Endro Kismolo, dkk.
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah, tanpa proses pengenapan dapat dilihat pada Tabel 2 dan atau Gambar 2. Dari Tabel 2 dan atau Gambar 2, dapat dilihat penambahan EDTA ke dalam limbah berpengaruh terhadap karakteristik nilai total kadar zat padat terlarut yang diperoleh, yaitu semakin banyak EDTA yang ditambahkan maka kadar zat padat dalam limbah cenderung semakin rendah. Hal ini terjadi karena pada pH limbah ke arah netral, terdapat pergeseran sifat kelarutan beberapa garam-garam yang terdapat dalam limbah yang angka kelarutannya tinggi pada pH asam, sehingga dengan penambahan EDTA
Pengaruh konsentrasi EDTA dan proses pengenapan terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah pada kondisi pH limbah = 7,00. No.
EDTA (ppm)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
0,0 1,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0
Kadar total zat padat terlarut dalam limbah (g/L) Tanpa Pengenapan 2,167 1,162 0,825 0,14 0,096 0,046 0,026
Dengan Pengenapan 150 menit 1,425 0,823 0,411 0,094 0,046 0,014 0.008
3.000
Kadar zat padat terlarut dalam limbah (g/l)
Tabel 2.
sifat tersebut dapat diperkecil sehingga pembentukan endapan dapat ditekan. Hal ini secara fisis dapat dibuktikan terjadinya buih pada proses pemanasan semakin kecil. Dari percobaan diperoleh data bahwa penambahan EDTA sebanyak 1,0 ppm sampai 10,0 ppm telah menghasilkan limbah umpan evaporator dengan kadar zat padat terlarut cukup rendah yaitu sebesar 0,026 g/L untuk proses preparasi tanpa pengenapan dan 0,008 g/L atau mengalami reduksi total endapan sampai 99,57 % untuk preparasi dengan pengenapan 150 menit.
Tanpa proses pengenapan
2.500
Dengan pengenapan 150 menit
2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
Konsentrasi EDTA (ppm)
Gambar 2.
Grafik hubungan pengaruh konsentrasi EDTA dan proses pengenapan terhadap karakteristik kadar zat padat dalam limbah pada kondisi pH limbah = 7,00.
Kondisi ini sudah memenuhi persyaratan sebagai limbah umpan proses evaporasi yaitu harus memiliki kadar zat padat antara 0,05 g/L sampai 0,5 g/L. Dari dua percobaan diatas dapat diperoleh informasi bahwa penambahan EDTA selain Endro Kismolo, dkk.
mampu mereduksi kadar zat padat di dalam limbah, juga diduga mampu mereduksi timbulnya buih dalam aplikasi proses evaporasi.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 291
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
3.
Uji aplikasi penambahan EDTA pada proses evaporasi limbah radioaktif cair uranium cair pada kondisi limbah pH = 7,0. Data pengaruh penambahan EDTA pada proses evaporasi limbah radioaktif uranium cair fase air terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah, tanpa proses pengenapan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dilihat penambahan EDTA ke dalam limbah Tabel 3.
berpengaruh positif terhadap berjalannya proses eveporasi dan karakteristik nilai total kadar zat padat terlarut dalam destilat yang dihasilkan. Pada aplikasi proses evaporasi pada kondisi pendidihan selama 180 menit, kualitas proses evaporasi dan destilat cukup baik. Selama pendidihan tidak terjadi carry over karena gelembung pendidihan yang terjadi relatif kecil.
Pengaruh waktu operasi evaporasi pada aplikasi penambahan EDTA pada proses evaporasi limbah radioaktif uranium cair fase air (proses semi kontinu) terhadap karakteristik kadar zat padat terlarut dalam limbah pada kondisi pH limbah = 7,00, konsentrasi EDTA : 2,0 ppm, dan suhu operasi 100 oC. Waktu evaporasi/ Kadar zat padat terlarut rerata No pendidihan dalam destilat evaporasi(g/l) (menit) 1.
30
0,024
2.
60
0,027
3.
90
0,027
4.
120
0,032
5.
150
0,032
6.
180
0,034
Dari data aplikasi penambah EDTA tersebut tampak bahwa ada kenaikan nilai kadar zat padat terlarut dalam destilat setelah operasi evaporasi berlangsung selang waktu tertentu. Hal ini terjadi karena pada percobaan ini dilakukan dengan proses semi kontinyu sehingga ada kemungkinan keterlambatan memasukkan umpan pada saat proses pendidihan, sehingga kepekatan larutan limbah yang diproses meningkat sesaat, dan pada aphirnya nilai kadar zat padat terlarut dalam destilat mengalami sedikit kenaikan. Dari uji pelikasi penambahan EDTA sebanyak 2,0 ppm tersebut memberikan gambaran bahwa kondisi evaporasi dapat dikendalikan dengan bahan bantu seperti halnya EDTA.
cair fase air, yaitu memberikan nilai kadar zat padat yang telah memenuhi persyaratan limbah untuk umpan proses evaporasi. Pada kondisi ini diperoleh reduksi kadar zat padat sebesar 99,57 % dengan nilai kadar zat padat sebesar 0,026 g/L untuk preparasi tanpa pengenapan dan 0,008 g/L untuk preparasi dengan pengenapan selama 150 menit. DAFTAR PUSTAKA 1.
2.
KESIMPULAN 3. Dari percobaan inovasi proses preparasi limbah radioaktif cair untuk umpan proses evaporasi maka dapat diambil kesimpulan bahwa inovasi penyiapan / preparasi limbah radioaktif uranium cair fase air dengan EDTA untuk umpan proses evaporasi berhasil mereduksi kadar zat padat terlarut dalam limbah dan timbulnya buih pada uji pemanasan secara bath, dan penambahan EDTA sebanyak 1,0 ppm sampai 10,0 ppm dan pH limbah antara pH = 6,50 sampai pH = 7,00 cukup baik untuk proses preparasi limbah radioaktif uranium Buku II hal 292
4.
5.
BUCHI, “Operating Instruction For Rotavapor”, Laboratoriums Tecknik, CH9230 Flawil/ Schewiz, Germany, 1992 BLACKADDER, DKK, “ A Hand Book Of Unit Operation”, Academic Press, London And New York, 1981. NORMAN N.Li.Si.D, “Recent Development In Separation Science”, Vol I, New Jersey, CRT – Press, 1979. ENDRO K, DKK, Preparasi Limbah Untuk Umpan Rotavapor”, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Pranata Nuklir, P3TM Batan, Yogyakarta, 1999. ENDRO K, DKK, Reduksi Volume Limbah Uranium Cair Fase Organik Menggunakan Rotavapor”, Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah, PPNY - Batan, Yogyakarta, 1999.
ISSN 1410 – 8178
Endro Kismolo, dkk.
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
6. ENDRO K, DKK, “ Pengaruh Penambahan EDTA Pada Reduksi Volume Limbah Uranium Cair Fase Air Menggunakan Rotavapor” Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah, PPNY - Batan, Yogyakarta, 1997.
TANYA JAWAB Suwarto Apakah nilai kadar reduksi 99,57% dapat dikaitkan dengan efisiensi pengukuran/preparatory? Endro Kismolo Ya, nilai reduksi sebesar itu (99,57%) merupakan nilai efisiensi proses preparasi meliputi penyaringan dan penyerapan terhadap efisiensi hasil pengolahan kimia limah radioaktof cair Suprihati Bagaimana pengaruh timbulnya buih yang berlebihan pada proses evaporasi? Endro Kismolo Akan membuat efistensi pemisahan rendah karena akan terjadi carry over yaitu terjadinya perpindahan massa padatan/zat radio aktif ke destilat.
Endro Kismolo, dkk.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 293
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
EVALUASI KESELAMATAN RADIASI PENGUNJUNG DI TEMPAT PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH RADIOAKTIF L. Kwin Pudjiastuti Pusat Teknologi Limbah Radioaktif –BATAN, PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan, 15310 E-mail :
[email protected] ABSTRAK EVALUASI KESELAMATAN RADIASI PENGUNJUNG DI TEMPAT PENYIMPANAN SEMENTARA LIMBAH RADIOAKTIF. Evaluasi keselamatan radiasi di Interm Storage -1 (IS-1) dilakukan dengan tujuan untuk memperkirakan penerimaan dosis radiasi pengunjung ke tempat penyimpanan limbah radioaktif. Evaluasi dilakukan dengan cara melakukan pemetaan IS-1 dengan mengukur laju dosis menggunakan surveymeter dan dosis kumulatif menggunakan TLD. Pengukuran dilakukan pada 5 titik pada jarak 1 meter dan 5 meter dari limbah yang disimpan. Dosis kumulatif diukur selama 1 bulan, selanjutnya diproses menggunakan TLD reader model 6600. Hasil pengukuran laju dosis rata-rata pada jarak 1 m dan 5 m masing-masing adalah 2,37 µSv/jam dan 1,06 µSv/jam, sedangkan dosis kumulatif selama 1 bulan rata-rata sebesar 1,48 mSv dan 0,72 mSv masing-masing pada jarak 1 dan 5 m dari tempat limbah. Dari hasil pemantauan dapat diperkirakan bahwa pekerja atau pengunjung di IS -1 pada jarak 2 - 3 m dari limbah akan menerima dosis rata-rata 0,6 - 0,5 µSv apabila berada di IS-1 selama 20 menit. Hal ini masih jauh dari batasan yang diperkenankan yaitu sebesar 10 µSv untuk pekerja radiasi dan 0,5 µSv untuk masyarakat. Kata Kunci : Keselamatan radiasi, pengunjung, limbah radioaktif, pemetaan, dosis radiasi ABSTRACT EVALUATION OF RADIATION SAFETY FOR VISITORS IN THE RADIOACTIVE WASTE INTERM STORAGE. Evaluation of radiation safety has been done in Interm Storage -1 (IS-1) with purpose to estimate the radiation dose recived by visitors to the radioactive waste storage. Evaluation is done with mapping IS-1 by measurement of the dose rate and cumulative dose using surveymeter and TLD. There are 5 points of measurement at the distance of 1 meter and 5 meters from the waste stored. The cumulative dose was measured during 1 month, then it was processed using TLD reader model 6600. The results of average dose rate measurement at distance of 1 m and 5 m are 2.37 μSv/h and 1.06 μSv/h respectively, where as the average of cumulative dose during the 1 month are 1.48 and 0.72 mSv at distance of 1 and 5 m respectively from the waste places. From the results of monitoring can be concluded that the workers or visitors in the IS -1 at the distance of 2 - 3 m from the waste is expected to receive dose average is 0.6 - 0.5 µSv if they are in the IS-1 for one hour. It is still far from the limits allowed that is equal to 10 µSv for radiation workers and 0.5 µSv for the public. Keywords : Radiation safety, visitor, radioaktive waste, mapping, radiation dose
PENDAHULUAN
S
etiap industri akan menghasilkan limbah dan limbah ini harus dikelola dengan baik sehingga tidak mengganggu lingkungan baik manusia Buku II hal 294
maupun ekosistem. Demikian pula dengan industri atau yang menggunakan sumber radioaktif misal PLTN, limbah yang ditimbulkan harus dikelola
ISSN 1410 – 8178
L. Kwin Pudjiastuti
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
dan diproses dengan baik sehingga dampak radiasi tidak akan merugikan masyarakat dan lingkungan sekelilingnya. Menurut Undang-undang Nomor 10 tentang Ketenaganukliran, pasal 23, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) merupakan badan pelaksana yang mengelola limbah radiaoktif di Indonesia, secara teknis pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan oleh Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR)[1]. Limbah radioaktif yang dikelola PTLR berupa limbah hasil penelitian dan kegiatan instalasi yang ada di BATAN baik yang berlokasi di Kawasan Nuklir Serpong, Pasar Jumat, Bandung dan Yogyakarta. Disamping itu juga dikelola limbah yang berasal dari industri dan Rumah Sakit yang memanfaatkan sumber radioaktif untuk kegiatannya. Selain limbah radioaktif tersebut di atas, PTLR juga mengelola limbah radioaktif yang berupa bahan bakar nuklir bekas maupun bahan bakar nuklir eksperimen, yang dapat menimbulkan berbagai radionuklida hasil fisi. Limbah bahan bakar nuklir ini berasal dari Reaktor Serba Guna G.A. Siwabessy yang berada di Kawasan Nuklir Serpong (KNS) dan dari
Instalasi Radiometalurgi di Pusat Teknologi Bahan bakar Nuklir (IRM-PTBN). Limbah bahan bakar nuklir bekas disimpan dalam kolam penyimpanan sementara bahan bakar nuklir bekas, pengangkutannya dari PRSG maupun dari IRM PTBN dilakukan melalui kanal hubung. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 1 tahun 2010, tentang pemasyarakatan PLTN, maka masyarakat semakin ingin tahu tentang pemanfaatan radiasi sehingga beberapa kalangan atau kelompok masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pejabat Pemerintah Daerah, institusi pemerintah, lembaga legislatif maupun akademisi ingin mengetahui lebih jauh kesiapan teknologi dan sumber daya manusia dalam persiapan pembangunan PLTN di Indonesia. Keingin tahuan ini diwujudkan dengan melihat secara langsung lebih dekat fasilitas reaktor nuklir dan bagaimana pengelolaan limbahnya di fasilitas pengelolaan limbah radioaktif, salah satu diantaranya adalah kunjungan Dewan Pertahanan Nasional di IS-1 ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kunjungan Dewan Pertahanan Nasional (Wantanas) di IS-1 Untuk melindungi masyarakat dari bahaya radiasi, Peraturan Pemerintah nomor 33 tahun 2007 tentang keselamatan radiasi pengion dan keamanan sumber radioaktif pada pasal 21 dan 34, mengatur tentang limitasi proteksi radiasi untuk mengupayakan besarnya dosis yang diterima pekerja/ masyarakat serendah mungkin yang dapat dicapai dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi[2]. sehingga penelitian ini dilakukan sebagai usaha untuk mengetahui apakah penataan limbah hasil olahan di Interm Storage-1 ( IS-1) aman bagi pengunjung yang ingin mengetahui secara dekat pengelolaan limbah radioaktif dengan menentukan dosis yang diterima pengunjung di IS1 jauh dibawah batasan batasan yang diijinkan. L. Kwin Pudjiastusti
Penelitian tingkat radiasi di IS-1 dilakukan dengan mengukur dosis kumulatif selama satu bulan menggunakan Thermoluminisence Dosimeter (TLD) sebanyak lima titik sampling pada jarak 1 m dan 5 m dari penempatan limbah yang telah diolah, dan sebagai pembanding dilakukan pengukuran langsung laju dosis pada titik pengukuran dan jarak yang sama menggunakan surveymeter. TATA KERJA Bahan dan peralatan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah dosimeter TLD tipe 0220 dan holdernya, tali dan penjepit holder. Sedangkan peralatan yang
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 295
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
digunakan adalah tiang penyangga, TLD reader model 6600, dan pengolah data. Metode 1. Pesiapan bahan dan alat Sebelum melakukan pengukuran disiapkan terlebih dahulu alat dan bahan yang akan digunakan, meliputi kartu TLD jenis 0220 dengan holdernya, memastikan alat TLD reader dapat beroperasi dengan baik, tali, statif, radiameter dapat beroperasi dan telah terkalibrasi. Kartu TLD sebelum dipasang di Interm Storage-1 dilakukan annealing terlebih dahulu untuk menghilangkan sisa-sisa radiasi yang terperangkap di dalam chip TLD, sehingga hasil pembacaan annealing di bawah nilai 1 nC. Kartu TLD yang telah dilakukan annealing dimasukkan ke dalam holder TLD dan dilengkapi dengan penjepit, bagian depan holder diberi label kode jarak dan titik pengukuran. Disiapkan tali sepanjang 10 m dan di pasang di interm storage-1. Tali dipasang pada jarak 1 m dan 5 m dari tempat penyimpanan limbah radioaktif yang telah diproses secara paralel, masing-masing ujungnya diikatkan pada
tiang penyangga. Tali dipasang pada ketinggian satu meter dari lantai 2. Pengukuran dosis kumulatif Pengukuran dosis kumulatif dilakukan dengan memasang TLD pada tali yang telah disiapkan dengan jarak 1 m dan 5 m dari penyimpanan limbah. Setiap jarak 2 m pada tali, dipasang TLD dengan menghadap ke tempat limbah. Pengukuran dilakukan didepan limbah padat yang telah dikemas dalam drum 200 liter dan limbah semi cair yang telah dikemas dalam shell beton 950 liter yang disajikan pada Gambar 2. Pengukuran dosis kumulatif dilakukan selama 30 hari (1 bulan), kemudian diambil dan dilakukan pembacaan dosis yang terakumulasi dalam TLD menggunakan alat pembaca dosis TLD Reader model 6600. Data hasil pembacaan dilakukan analisis serta dievaluasi sehingga diperoleh dosis radiasi kumulatif di tempat penyimpanan sementara limbah radioaktif yang telah diolah yang ditangkap oleh elemen TLD selama satu bulan. Hasil pengukuran ini dibandingkan dengan hasil pengukuran menggunakan surveymeter.
Limbah dalam shel shellshell P5-
P1-5
Limbah dalam drum
P5-4
P1-4 P5-3
P1-3 P1-2
P5-2 10 m
1m
P1-1
P5-1
5m
Gambar 2. Posisi pengukuran laju dosis dan dosis kumulatif di IS-1 P1-1 = Posisi Pengukuran jarak 1 m dan titik pengukuran 1 P1-2 = Posisi Pengukuran jarak 1 m dan titik pengukuran 2 P1-3 = Posisi Pengukuran jarak 1 m dan titik pengukuran 3 P1-4 = Posisi Pengukuran jarak 1 m dan titik pengukuran 4 P1-5 = Posisi Pengukuran jarak 1 m dan titik pengukuran 5 P5-1 = Posisi Pengukuran jarak 5 m dan titik pengukuran 1 P5-2 = Posisi Pengukuran jarak 5 m dan titik pengukuran 2 P5-3 = Posisi Pengukuran jarak 5 m dan titik pengukuran 3 P5-4 = Posisi Pengukuran jarak 5 m dan titik pengukuran 4 P5-5 = Posisi Pengukuran jarak 5 m dan titik pengukuran 5 Buku II hal 296
ISSN 1410 – 8178
L. Kwin Pudjiastuti
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Secara visula titik-titik penempatan TLD pada jarak 1 m dan 5 m dari tempat penyimpanan
limbah dalam shell beton dan drum di tampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Pemasangan TLD pada jarak 1 m dan 5 m dari limbah radioaktif 3. Pengukuran laju dosis Laju dosis diukur dengan menggunakan alat digital radiameter FAG model FH40F2 yang memiliki rentang pengukuran 0,01 µSv/jam – 9,99 mSv/jam dan dengan rentang energi antara 45 keV - 1,3 MeV. Alat ini telah terkalibrasi dan memiliki faktor kalibrasi 1,06. Pengukuran dilakukan secara langsung pada tempat-tempat dan jarak sama
dengan tempat pengukuran dosis kumulatif. Hasil pengukuran dikalikan dengan faktor kalibrasi, sehingga diperoleh laju dosis terukur.[4] . HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran dosis kumulatif menggunakan TLD selama 30 hari di IS-1 pada jarak 1 m dan 5 m ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva pengukuran dosis kumulatif pada berbagai titik Dari Gambar 4 di atas, menggambarkan perbedaan pengukuran dosis kumulatif pada jarak 1 m dan 5 m, pada titik pengukuran 1, 2, 3, dan 4 hampir dua kali lipat, sedangkan pengukuran pada titik 5 pada jarak 1 m dan 5 m tidak beda jauh. Pengukuran dosis kumulatif pada jarak 1 m besarannya bervariasi, sedangkan pada jarak 5 m pada titik 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak beda jauh, hal ini karena pada jarak 1 m paparan radiasi yang diterima TLD terbatas pada sudut elevasi yang kecil dari pusat sumber dan tergantung dari aktivitas limbah yang paling dekat, sedangkan pada jarak 5 m, TLD dapat menerima paparan dari
L. Kwin Pudjiastusti
berbagai sumber limbah dengan sudut elevasi yang lebih lebar, sehingga hasil pengukuran antara titik satu dengan yang lainnya tidak beda jauh. Pada titik pengukuran 5, pengukuran pada jarak 1 m dan jarak 5 m, tidak beda nyata hal ini karena posisi titik 4 dan 5 berada pada limbah dalam shell beton, sedangkan titik 1,2 dan 3 titik pengukuran pada limbah dalam drum 200 l. Penahan radiasi dalam bentuk beton lebih baik dibandingkan dengan sementasi dalam drum. Hasil pengukuran laju dosis pada 5 titiktitik pemantauan pada jarak 1 m, dan pada jarak 5 m ditunjukkan pada Gambar 5.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 297
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 5. Pengukuran laju dosis pada 5 titik pemantauan dengan jarak 1m dan 5 m Dari Gambar 5 di atas terlihat bahwa besaran laju dosis pada berbagai titik pengukuran pada jarak 1 m dari limbah memberikan hasil lebih tinggi rata-rata dua kali hasil pengukuran laju dosis pada titik-titik pengukuran dengan jarak 5 m dari limbah. Hasil pengukuran rata-rata sebesar 2,37 µSv/jam pada jarak 1 m dan rata-rata sebesar 1,056 µSv/jam pada jarak 5 m dari tempat penyimpanan limbah. Laju dosis pada titik pengukuran 4 dan 5 lebih kecil dibandingkan dengan titik pengukuran 2 dan 3. Titik 4 dan 5 adalah titik pengukuran limbah yang dikondisioning menggunakan shell beton 950 liter, sedangkan titik pemantauan 1,2 dan 3 adalah titik pemantauan limbah yang dikompaksi dan dikondisioning menggunakan wadah drum 200 liter. Dari kelima titik pemantauan, maka titik 2 dan titik 3 perlu dilakukan perhitungan untuk dapat mengetahui
dosis yang diterima pengunjung, sedangkan pada titik 1, 4 dan 5, relatif kecil. Pengukuran dosis menggunakan TLD dan pengukuran laju dosis daerah kerja memberikan kurva yang simetris, sehingga pengukuran laju dosis menggunakan surveymeter dapat dipergunakan untuk memperkirakan dosis secara cepat. Untuk lebih jauh dalam memperkirakan penerimaan dosis radiasi bagi pekerja radiasi maupun pengunjung di tempat penyimpanan limbah radioaktif, maka dilakukan pengukuran laju dosis pada titik-titik pengukuran dan pada jarak 1, 2 , 3 , 4 , dan 5 m dari limbah radioaktif hasil olahan. Hasil pengukuran untuk memperkirakan penerimaan dosis pada berbagai jarak dengan waktu 60, 30 dan 20 menit yang ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Kurve perkiraan penerimaan dosis pada berbagai jarak dan waktu
Buku II hal 298
ISSN 1410 – 8178
L. Kwin Pudjiastuti
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 6. Menunjukkan perbandingan perhitungan perkiraan penerimaan dosis rata-rata pada waktu yang berbeda yaitu 60 menit, 30 menit dan 20 menit pada berbagai jarak, terlihat bahwa pada jarak 2 m perkiraan penerimaan dosis sebesar 1,8 µSv, sedangkan untuk waktu 20 menit perkiraan penerimaan dosis sebesar 0,6 µSv pada jarak 2 m. Untuk mengetahui jarak yang aman bagi pengunjung, berdasarkan pengukuran laju dosis dapat diperhitungkan dan membandingkan dengan batasan yang diperbolehkan untuk masyarakat, maka dengan mengambil batasan penerimaan dosis selama satu tahun sebesar 20 mSv, untuk pekerja radiasi diperbolehkan menerima dosis 0,01 mSv selama satu jam dengan bekerja sehari 8 jam. Sedangkan hasil perhitungan rata-rata pekerja hanya menerima dosis 2,3 µSv pada jarak 1 meter atau 1,8 µSv pada jarak 2 m dari tempat penyimpanan limbah.
Pekerja radiasi berada di IS-1 hanya untuk menyimpan limbah, sedangkan kegiatan lainnya tidak ada, sehingga dosis yang diterima pekerja tentu lebih kecil dari perkiraan perhitungan. Untuk masyarakat umum (tamu /pengunjung), dengan pembatas dosis 1/20 dari batasan dosis yang diperkenankan, atau setara dengan 1 mSv/tahun atau 0,5 µSv/jam. Apabila dibandingkan dengan hasil perkiraan perhitungan seperti pada Gambar 6 diatas, jika berada pada jarak 2 m dari limbah selama 1 jam dosis yang diterima akan melebihi dari batasan yang diperkenankan, namun pengunjung biasanya hanya berada di IS-1 sekitar 10-20 menit saja dan tidak pada satu titik. Berikut ditunjukkan kurve perkiraan dosis pada berbagai jarak dan titik pengkukuran selama 20 menit, ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Kurve perkiraan dosis pada berbagai jarak dan posisi pada waktu 20 menit. Gambar 7. Menunjukkan perhitungan perkiraan penerimaan dosis yang diterima pekerja/ pengunjung yang berada di IS-1 selama 20 menit, berdasarkan hasil pengukuran laju dosis pada berbagai jarak dan berbagai titik. Kurve P1 adalah kurve pada titik pengukuran 1 pada jarak 1 , 2 , 3 , 4 , dan 5 m dari limbah, demikian pula pada kurve P2, P3, P4 dan P5 dan perhitungan rerata pada berbagai titik pengukuran. Perkiraan penerimaan dosis pekerja/pengunjung rata-rata pada jarak 2-3 m berkisar antara 0,6 – 0,5 µSv, sehingga pengunjung/ masyarakat berada di tempat penyimpanan limbah yang telah diolah selama 20 menit perkiraan penerimaan dosis masih aman. KESIMPULAN Dari hasil pengukuran laju dosis dan dosis kumulatif menggunakan TLD di IS-1, dapat L. Kwin Pudjiastusti
dipergunakan sebagai perkiraan penerimaan dosis, Pengukuran menggunakan surveymeter lebih cepat untuk memperkirakan penerimaan dosis. Meskipun hasil pengukuran tidak melebih batasan bagi pekerja radiasi, namun perlu dilakukan pengaturan jarak dan waktu bagi pengunjung sehingga dosis yang diterima tidak melebihi batas yang diperkenankan yaitu dibawah 1/20 dari batasan yang diperkenankan. DAFTAR PUSTAKA 1. ANONIM, Undang Undang No. 10 Tahun 1997 tentang “Ketenaganukliran”. 2. ANONIM, Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 tentang “Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif” 3. ANONIM, Keputusan Kepala BAPETEN No. 01/Ka-BAPETEN/V-99 tentang “Ketentuan Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi”.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 299
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
4. ANONIM, Dokumen No. PLR/7/PeDK/II/001/01/2006, tentang “Prosedur Pemantauan Daerah Kerja”. 5. ANONIM.”Pedoman Proteksi Radiasi Kawasan Nuklir Serpong” revisi 1, 2010.
TANYA JAWAB Eddy Sumadi Paparan di sekitar tumpukan limbah seberapa besar dibandingkan dengan yang diijinkan BAPETEN dan IAEA? Bagaimana pengolahan limbah lestari dilakukan? L. Kwin Pudjiastuti Paparan di sekitar tumpukan limbah sebesar rata-rata 2,37 μSv/jam pada jarak satu meter dari limbah, jika dibandingkan dengan batasan perka BAPETEN No.01/1999 sebesar 25 μSv/jam, sedangkan menurut KRP-60 Nilai Batas Dosis turun menjadi 10 μSv/jam. Sampai saat ini limbah radioaktif masih disimpan di gudang penyimpanan sementara (intern storage), penyimpanan lestari dalam penelitian tapak. Jumari, S.ST Berapa paparan radiasi setelah melalui pengolahan limbah radioaktif, apakah sudah aman? L. Kwin Pudjiastuti Paparan radiasi setelah melalui pengolahan limbah maksimum diperbolehkan 20 μSv/jam, sedangkan hasil pengukuran rata-rata sebesar 2,37 μSv/jam, sehingga masih jauh dari batas yang diijinkan.
Buku II hal 300
ISSN 1410 – 8178
L. Kwin Pudjiastuti
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
AKURASI METODA ANALISIS AKTIVASI NEUTRON PADA PENGUJIAN Se DAN As DALAM LIMBAH PADAT Mulyono, Sukadi, Rosidi, Sihono, Bambang Irianto Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :
[email protected]
ABSTRAK AKURASI METODA ANALISIS AKTIVASI NEUTRON PADA PENGUJIAN Se DAN As DALAM LIMBAH PADAT. Telah dilakukan akurasi untuk keandalan metoda analisis aktivasi neutron (AAN) dan peralatan yang digunakan di PTAPB BATAN dengan menganalisis bahan standar acuan standard reference material (SRM) with inorganic marine sediment 2702. Pengukuran unsur dilakukan dengan menggunakan spektrometer gamma pencacah salur ganda (MCA) Ortec yang dirangkaikan dengan detektor semikonduktor Ge(Li). Dari hasil percobaan diperoleh bahwa alat spektrometri gamma dengan metoda AAN layak digunakan sebagai alat uji, dengan perolehan nilai akurasi relatif As = 95,399 % dan Se = 94,296 % serta presisi untuk unsur As = 3,88 % dan Se = 4,99 %. Aplikasi metoda uji pada penentuan konsentrasi logam dalam limbah padat untuk As adalah (2,815-16,471) mg/kg, dan konsentrasi unsur dalam sedimen untuk Se adalah (0,595-2,235 mg/kg. Kata kunci: Akurasi, AAN, limbah padat, logam As dan Se
ABSTRACT ACCURACY OF NEUTRON ACTIVATION ANALYSIS METHOD ON Se AND As DETERMINATION IN SLUDGE. The accuracy of the neutron activation analysis (NAA) and used equipment at PTAPB BATAN standard reference material (SRM) with inorganic marine sediment 2702. The measurement was done using an gamma spectrometer equipped with a Ortec program of multi channel analyzer combined with Ge(Li) semiconductor detectors. The validation of instrument gamma spectrometer by NAA method still valid with obtained of relative accuracy of As = 95,399 %, Se = 94,296 % and precision for metals of Fe = 3,88 % and Ba = 4,99 %. The application of method at the termination of major metal concentration in the solid wastes for As was (2,815-16,471) mg/kg, and manor metal concentration for Ba was (0,595-2,235 mg/kg. Keyword : accuracy, NAA, solid waste, element of As and Se
PENDAHULUAN
U
ntuk menguji kemampuan metoda analisis aktivasi neutron (AAN) logam tertentu yang dianalisis dalam suatu sampel, maka perlu dilakukan pengujian antaralain akurasi dan presisis). Pengujian presisi perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran besar kesalahan acak dalam suatu analisis. Sedangkan pengujian akurasi perlu dilakukan untuk mendapat gambaran ketepatan penyimpangan data hasil analisis terhadap harga sesungguhnya(1,2).
Mulyono, dkk.
Presisi atau kecermatan suatu metode adalah tingkat kedapat-ulangan suatu set hasil uji diantara hasil-hasil itu sendiri. Presisi berhubungan dengan hasil suatu metode bila pengukuran itu diulang-ulang pada sampel yang homogen pada kondisi yang terkontrol. Presisi suatu metode dapat diuji dengan pengulangan analisis, apabila variasi hasilnya kecil, maka dikatakan bahwa kecermatan pengukuran tersebut tinggi. Presisi didefinisikan sebagai seberapa dekat hasil-hasil pengujian atau analisis yang
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 301
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
saling tidak mempengaruhi satu sama lain, yang diperoleh pada suatu kondisi tertentu. Presisi tidak ada hubungannya dengan nilai yang sebenarnya atau nilai acuan lain, ini hanya tergantung kepada adanya distribusi kesalahan acak saja. Presisi menunjukkan kesesuaian antara beberapa hasil pengukuran yang diukur dengan cara yang sama. Presisi sangat perlu dilakukan untuk menguji kualitas hasil analisis dari suatu perhitungan pencacahan cuplikan dengan spektrometer gamma. Uji kualitas hasil dapat dilihat dari hasil presisi. Akurasi adalah kesesuaian antara hasil suatu analisis dan nilai benar analit/ logam, karena nilai hasil analisis pada kenyataannya merupakan perkiraan nilai benar dengan memperhitungkan nilai ketidakpastiannya. Akurasi (accuracy) mempunyai dua aspek metode analisis yaitu kebenaran atau dan presisi ialah akurasi nilai rata-rata dengan suatu nilai acuan yang dapat diterima. Nilai tersebut berupa estimator dari nilai yang sebenarnya. Nilai “bias” atau penyimpangan ialah nilai yang dipergunakan untuk mengukur kebenaran hasil analisis, yaitu menyatakan perbedaan antara hasil analisis yang diharapkan, dengan nilai acuan yang merupakan estimator nilai yang sebenarnya. Perhitungan akurasi dapat digunakan dengan menggunakan persamaan seperti acuan yang telah dilakukan(3). Metode AAN (Analisis Aktivasi Neutron) telah banyak diaplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu seperti fisika, kimia, lingkungan, kedokteran, biologi, farmasi, industri dll. Limbah padat (sludge) adalah padatan hasil samping limbah industri, limbah rumah sakit, limbah yang dihasilkan dari sutu proses kegiatan manusia (yang ditampung) yang dapat langsung mengendap jika didiamkan tidak terganggu selama beberapa waktu. Padatan yang mengendap tersebut terdiri dari partikel-partikel padatan yang mempunyai ukuran relatif besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Sludge dapat juga terbentuk dari padatan terlarut. Padatan ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang larut dalam air, mineral dan garam-garamnya. TATA KERJA Peralatan 1. Reaktor Kartini, 2. Spektrometri γ yang terdiri dari MCA Maestro II type 92X 3. Timbangan analitik terkalibrasi 4. Greger (alat sampling padatan) 5. Vial polietilen, dan wadah sampel 6. Lumpang tahan karat, 7. Ayakan Karl Colb 100 mesh, 8. Homogenizer dan nampan Buku II hal 302
Bahan 1. Sludge merupakan limbah padat rumah sakit, kode L21 sludge RS Dr Sarjito; L22 sludge Bathesda; L23 Nurrohman dan L24 sakit Panti Rapih 2. SRM 2702 Inorganic in Marine Sediment dengan kadar As = 45,3±1,8 mg/kg dan Se = 4,95±0,46 mg/kg Preparasi Contoh 1. Contoh sludge (limbah padat) dihaluskan, dihilangkan dari kotoran dan dikeringkan pada suhu kamar 2. Diayak sampai lolos 100 mesh 3. Ditempat dalam wadah sampel dan diberi kode dan tanggal 4. Persipan standar Perlakuan cuplikan 1. Ditimbang standar primer SRM 2702 Inorganic in Marine Sediment seberat 0,1 g dimasukkan ke dalam vial volume 0,5 ml ditutup rapat. 2. Ditimbang sludge (limbah padat) seberat 0,1 g dan dimasukkan ke dalam vial volume 0,5 ml dan 3. Dipersiapkan vial kosong dan berisi selulosa sebagai blanko. 4. Semua cuplikan (1,2 dan 3) dimasukkan dalam plastik klip diberi kode dan atau nomor contoh, kemudian cuplikan tersebut masukan dalam kelongsong iradiasi dan siap untuk diiradiasi 5. Cuplikan dalam kelongsong diiradiasi dalam reaktor nuklir Kartini, selama 2x6 jam Pencacahan cuplikan 1. Setelah didinginkan selama 3-5 hari, masingmasing vial dicacah selama 750 detik menggunakan alat spectrometer γ yang dilengkapi dengan MCA, 2. Setelah pencacahan no (1) cuplikan semuanya didiamkan dicacah didiamkan lagi selama 14 30 hari, kemudian dicacah lagi dengan spektrometer γ pada tenaga untuk penentuan radioaktivitas yang mempunyai umur panjang dalam hal ini radionuklida Se-75. Semua hasil cacah disimpan dalam file komputer dengan kode tertentu. Setelah selesai pencacahan keseluruhan dilakukan pengambilan data yang tersimpan. 3. Hasil pencacahan, sampel, standar dan blanko, dikembalikan pada saat reaktor shut down yaitu saat pencacahan tO dengan menggunakan persamaan (1)
ISSN 1410 – 8178
Mulyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
4.
Perhitungan kadar As dan Se yang terdeteksi dalam contoh dapat dilakukan secara komparatif dengan perbandingan kadar unsur yang ada dalam standar primer dengan unsur yang ada dalam contoh dengan menggunakan persamaan.
terhadap suatu contoh homogen dengan pengambilan contoh berganda menurut prosedur yang telah ditetapkan. Presisi (tergantung pada tingkat konsentrasi) hasil pengujian, baik (lolos) apabila memenuhi syarat persamaan (1). Perhitungan uji presisi diperoleh melalui persamaan(4):
Pengujian presisi dan akurasi Presisi adalah ukuran kedekatan antara hasil analisis individu dalam serangkaian pengukuran 2 2 U sertifikat + U analisis x 100% ≤ N N sertifikat analisis
2 U sertifikat + (σ )2 x 100% H N sertifikat
Nilai Usertifikatt adalah nilai konsentrasi yang diperoleh dari sertifikat resmi SRM sedangkan nilai Uanalisis adalah konsentrasi hitung dari analisis SRM dengan metoda AAN. Standar deviasi (σ) merupakan fungsi Horwitz dengan nilai σH = 0,02 x C0,8495 dimana C adalah konsentrasi dari sertifikat. Akurasi adalah kesesuaian antara hasil suatu analisis dan nilai benar analit/unsur, karena nilai hasil analisis pada kenyataannya merupakan perkiraan nilai benar dengan memperhitungkan
(1)
nilai ketidak pastiannya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (rekoveri), ketetapan menunjukkan kedekatan hasil analisis suatu analit dengan nilai sebenarnya. Nilai rekoveri menunjukkan besarnya kesalahan sistematik yang mungkin terjadi selama proses pengujian. Akurasi hasil pengujian baik (lolos) apabila penerimaan memenuhi persamaan berikut(4):
2 NilaiT arg et − Nilai Analisis ≤ 1,95 x U T2 arg et + U Analisis
(2)
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi unsur secara kualitatif Penentuan unsur secara kualitatif dilakukan dengan menentukan tenaga dari puncakpuncak spektrum kemudian mencocokkan dengan tabel isotop, pada umumnya isotop mempunyai lebih dari satu tenaga(5) dan dipilih yang mempunyai probabilitas yang paling besar. Pada
Tabel 1, disajikan hasil analisis kualitatif unsur yang diperhatikan dalam cuplikan lingkungan limbah padat dan reaksi yang paling sering terjadi dan yang paling banyak digunakan dalam AAN adalah reaksi neutron gamma (n, γ).
Tabel 1: Analisis kualitatif reaksi neutron gamma (n,γ) analisis aktivasi netron Unsur
Reaksi
Isotop
Tenaga (KeV)
Umur paro
Pobabilitas (%)
As
75As(n,
γ) 76As
As-76
559,2
26,3 Jam
75
Se
74Se(n, γ) 75Se
Se-75
264,6
121 hari
30
Penentuan secara kuantitatif Secara kuantitatif pada penentuan awal unsur-unsur As dan Se dapat dilihat pada pada Tabel 2. Pada tabel tersebut mengunakan standar sekunder dengan kode SRM 2704 dan SRM 2702 dan menggunakan cuplikan limbah padat dengan kode L-22. Logam As diidentifikasi melalui puncak spektrum nuklida As-76 pada tenaga 559,2 Mulyono, dkk.
keV dan logam Se diidentifikasi melalui tenaga karakteristik 264,6 keV untuk nuklida Se-75. Pengukuran cacah per menit (cpm) dilakukan hasil cacah sampel dikurangi dengan blanko dibagi dengan waktu masing-masing pencacahan. Hasil cpm ini dapat dilihat pada Tabel 1, hasil hitung diwakili dari cuplikan SRM 2704.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 303
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
Tabel 2. Hasil pencacahan cuplikan untuk menentukan cacah per menit (cpm). Tenaga keV
Nuklida
Berat
Blanko
Hasil cacah
T, cacah menit
SRM-2704 SRM 2702 L-22
559,2 559,2 559,2
As-76 As-76 As-76
0,09992 0,10003 0,10001
6 6 6
1048 1921 627
12,5 12,5 12,5
SRM-2704 SRM 2702 L-22
264,6 264,6 264,6
Se-75 Se-75 Se-75
8 8 8
32 107 43
16.667 16.667 16.667
Kode Sampel,
0.10001 0.09992 0.10003
Untuk menentukan cacah per menit pada saat 0 (Cpm0) yaitu pada saat dihentikannya pengoperasian iradiasi cuplikan di dalam reaktor nuklir dan penentuan konsentrasi logam dalam cuplikan disajikan pada Tabel 3. Hasil pengukuran Cpm0 ditentukan setelah dilakukan pengukuran Cpm, hasil masing-masing Cpm0 disajikan pada Tabel 2. Untuk menentukan konsentrasi logam As dan Se dalam cuplikan dilakukan dengan metoda komparatif dengan menggunakan rumus yang ada dalam tabel, dengan mengetahui konsentrasi atau kadar logam dalam setandar dan Cpm0 untuk standar (Cpmstd) dan sampel atau cuplikan (CpmS), maka konsentrasi dapat ditentukan seperti terlihat pada Tabel 3. Untuk keperluan akurasi dilakukan pengukuran SRM 2704 dan SRM 2702 untuk menentukan konsentrasi sebenarnya, sedangkan keperluan konsentrasi dalam cuplikan dilakukan pengukuran antara SRM 2702 dan cuplikan L-22. Untuk akurasi sebagai standar adalah SRM 2704 dengan konsentrasi As dan Se masing-masing
Cpm sampel, Cacah – blanko =(1048-6)/12,5 = 83,427 153,154 49,675 =(32-8)/16,667 = 1,440 5,939 2,099
adalah 23,4 mg/kg dan 1,12 mg/kg, sedang cuplikan yang akan ditentukan konsentrasi As dan adalah SRM 2702. Dengan mengetahui Cpm0 untuk logam As, setelah dilakukan perhitungan untuk Cpm0 standar 1886,482 dan Cpm0 (SRM 2702) cuplikan 3484,383 maka konsentrasi dapat ditentukan dengan nilai 43,220 mg/kg, hasil ini akan dibandingkan dengan konsentrasi sebenarnya 45,3 mg/kg sehingga akan diketahui nilai akurasi yang ditentukan dengan cara yang sama logam Se dapat juga ditentukan akurasi logam Se. Konsentrasi As dan logam Se dalam cuplikan limbah padat dengan kode L-22 dapat ditentukan seperti diatas. Sebagai standar digunakan SRM 2704 mempunyai nilai Cpm0 untuk logam As 3484,383 dengan konsentrasi 45,3 mg/kg dan nilai Cpm0 untuk L-22 sebesar 1116,927 maka hasil konsentrasi dapat ditentukan dengan nilai 14,521 mg/kg. As yang terkandung dalam limbah padat seperti yang disajikan pada Tabel 3, begitu juga untuk logam Se dapat ditentukan konsentrasi dalam limbah padat.
Tabel 3. Hasil pengukuran Cpm0 dan pengukuran konsentrasi logam As dan Se dalam cuplikan Kode
T, tunda menit
T1/2 menit
SRM-2704
7155
1590
Konsentrasi mg/kg
penentuan konsentrasi
As = 23,4 = 1886,482
SRM 2702
7169
1590
= 3484,383
45,3 = 43,220
L-22
7142
1590
= 1116,927 = 14,521
SRM-2704
22709
303840
SRM 2702
22727
303840
= 1,518 = 6,254
Se = 1,12
4,95
= 4,615
L-22
22746
303840
= 2,211
= 1,750
Buku II hal 304
ISSN 1410 – 8178
Mulyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Untuk menentukan akurasi dilakukan perhitungan hasil analisis (hitung) dibandingkan dengan nilai konsentrasi yang ada dalam sertifikat. Misalkan diambil contoh untuk run-1 logam As,
nilai konsentrasi terukur (analisis) adalah 46,742 mg/kg, sedangkan nilai yang ada dalam sertifikat 45,3 mg/kg. Untuk menentukan pada run 1 ini adalah menggunakan persamaan sebagai berikut:
Dari perhitungan Tabel 3, selanjutnya dilakukan pengukuran akurasi dengan 8 (delapan) kali pengulangan setiap run dilakukan perhitungan akurasi, sehingga ada delapan kali penghitungan akurasi kemudian dirata-rata sihingga didapat akurasi rerata. Pada Tabel 4 akurasi untuk logam As mempunyai nilai akurasi dari 89,572 % sampai dengan 99,246 % dengan nilai rerata 95,399 % dengan standar deviasi 2,120 sehingga akurasi dapat ditulis dengan nilai 95,399±2,12 %. Untuk
logam Se nilai akurasi berkisar dari 86,233 % sampai dengan 98,645 %, dengan rerata akurasi adalah 94,296 dengan standar deviasi 4,031 sehingga akurasi logam Se dapat ditulis dengan nilai 94,296±4,03 %. Presisi untuk logam As dengan nilai 3,88 % dan Logam Se dengan nilai 4,99 %, dimana nilai presisi ini cukup baik karena dibawah 10 %, sehingga alat yang digunakan untuk menentukan konsentrasi logam As dan Se cukup memadai.
Tabel 4. Pengukuran akurasi untuk logam As dan Se Hitung, Se
RUN
Hitung, As
1
46,742
45,3
96,915
4,889
4,95
98,752
2
48,115
45,3
94,149
4,351
4,95
86,233
3
50,574
45,3
89,572
4,852
4,95
97,98
4
45,644
45,3
99,246
4,499
4,95
89,976
5
48,745
45,3
92,933
4,875
4,95
98,462
6
43,368
45,3
95,545
5,168
4,95
95,782
7
43,918
45,3
96,853
5,018
4,95
98,645
8
44,401
45,3
97,975
4,441
4,95
88,539
Rerata
46,438
45,3
95,399
4,762
4,95
94,296
SD
1,804
1,80
2,120
0,238
0,46
4,031
SRM 2702
Presisi
sertifikat
Akurasi
=(1,804/46,438)X100 % = 3,88 %
Hasil pengujian presisi menggunakan persamaan (1) disajikan pada Tabel 4, terlihat pada tabel tersebut untuk As dan Se hasil yang baik. Hasil pengujian akurasi menggunakan persamaan (2) disajikan pada Tabel 4, terlihat semua hasil perhitungan dengan hasil yang baik. Hasil pengujian akurasi maupun presisi sangat dipengaruhi dengan nilai standar deviasi, sehingga uji presisi dan akurasi memeliki unsur ketelitian. Validasi tergantung pada penentuan kriteria nilai presisi dan akurasi yang memenuhi syarat
Mulyono, dkk.
sertifikat
Akurasi
=(0,238/4,762)X100 % = 4,99 % persamaan yang digunakan. Pada penelitian ini kriteria nilai presisi dapat diterima semua, begitu juga kriteria presisi pada reference material dengan SRM 2704 dan SRM 2702. Dari persamaan (2), pada Tabel 5 nilai presisi tercatat 5,557 < 51,194 atau ruas kiri < ruas kanan untuk logam As dengan kondisi tersebut maka presisi dapat diterma dan hasilnya cukup baik. Untuk logam Se nilai yang didapat 10,566<12,121 atau ruas kiri < ruas kanan, maka logam ini juga diterima nilai presisinya.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 305
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27Juli 2011
Tabel 5. Hasil Presisi menggunakan acuan standar SRM 2702 Konsentrasi (N), mg/kg
Standar deviasi (U)
Nuklida
Sertifikat
Analisis
Sertifikat
Analisis
As-75
45,3
46,438
1,80
1,804
Se-76
4,95
4,762
0,46
0,238
σH =0.02*(45.3)0.8495 = 0,5104
σH = 0,02 x C0,8495 Rumus
U sertifikat N sertifikat
U sertifikat N sertifikat
2 2 U analisis + x 100% ≤ N analisis
2 + (σ H )2 x 100%
1,80 2 2 + (0,5104) x 100% 45,30
1,80 2 1,804 2 x 100% ≤ + 45,30 46,438
As
5,557 < 51,194
ruas kiri < ruas kanan
diterima
Se
10.566<12,121
ruas kiri < ruas kanan
diterima
Hasil pengujian akurasi menggunakan persamaan (2) disajikan pada Tabel 4, terlihat pada tabel tersebut untuk logam As dan logam Se hasil yang baik. Pada penelitian ini kriteria nilai akurasi diterima karean ruas kiri lebih kecil dari pada ruas
kanan atau kata lain 1,138 < 3,702, nilai ini dari perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3. Untuk logam Se nilai 0,33 < 1,629 sehingga niali ini diterima.
Tabel 6. Hasil akurasi menggunakan acuan standar SRM 2702 Akurasi 2 NilaiT arg et − Nilai Analisis ≤ 1,95 x U T2 arg et + U Analisis
Nilai Sertifikat − Nilai Analisis
Nuklida
|45,3 -46,438| = 1,138 |4,95-4,762| = 0,33
As-75 As-76
Status
2 2 1,95 x U Sertifikat + U Analisis
1,95 x (1,80+1,804)0,5 =3,702 1,95 x (0,46+0,238)0,5 = 1,629
Pada Tabel 7 disajikan konsentrasi As dalam limbah padat dengan empat sampel dan kemudian dirata-rata didapatkan hasilnya untuk limbah dengan kode L21 = 2,815±0,09 mg/kg, L22 =
Diterima Diterima
14,357±0,56 mg/kg, L23 = 6,253±0,34 mg/kg dan L24 = 16,471±0,77 mg/kg. Untuk menentukan konsentrasi ini telah diperagakan pada Tabel 3 di atas.
Tabel 7.. Hasil pengukuran konsentrasi logam As dalam limbah padat. Konsentrasi, mg/kg Kode sampel
1
2
3
4
Rerata
std deviasi
L21
2,778
2,676
2,958
2,848
2,815
0,09
L22
14,528
13,231
15,149
14,521
14,357
0,56
L23
6,190
5,637
6,901
6,284
6,253
0,34
L24 17,113 15,817 Pada Tabel 8 disajikan konsentrasi Se dalam limbah padat dengan empat sampel dan kemudian dirata-rata didapatkan hasinya untuk limbah dengan kode L21 = 0,595±0,07 mg/kg, L22
Buku II hal 306
17,368 15,585 16,471 0,77 = 1,723±0,13 mg/kg, L23 = 2,235±0,29 mg/kg dan L24 = 1,048±0,08 mg/kg. Konsentrasi ini satu sama lain tidak ada perbedaan yang mencolok.
ISSN 1410 – 8178
Mulyono, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Tabel 7.. Hasil pengukuran konsentrasi logam Se dalam limbah padat. Kode sampel
Konsentrasi, mg/kg
std deviasi
1
2
3
4
Rerata
L21
0,535
0,517
0,613
0,716
0,595
0,07
L22
1,455
1,873
1,833
1,750
1,723
0,13
L23
2,23
1,658
2,781
2,271
2,235
0,29
L24
1,176
0,893
1,036
1,087
1,048
0,08
KESIMPULAN 1. Hasil perhitungan dengan bantuan komputer program Excel bahwa nilai akurasi untuk logam As adalah 95,399 % dan logam Se nilai akurasinya adalah 94,296%, sedangkan nilai presisi untuk unsur As dan Se masing-masing adalah 3,88 % dan 4,99 %. Dari uji kelayakan untuk kriteria nilai presisi dan akurasi logam As dan Se memenuhi syarat 2. Hasil analisis kuantitatif limbah padat diketahui logam mempunyai konsentrasi As bekisar (2,815-16,471) dan logam Se berkisar (0,5952,235) mg/kg. kriteria nilai presisi dan akurasi yang memenuhi syarat persamaan yang digunakan. Pada penelitian ini kriteria nilai prsisi dapat diterima semua, begitu juga kriteria presisi pada reference material dengan SRM 2704 dan SRM 2702. Dari persamaan (2), pada Tabel 5 nilai presisi tercatat 5,557 < 51,194 atau ruas kiri < ruas kanan untuk logam As dengan kondisi tersebut maka presisi dapat diterma dan hasilnya cukup baik. Untu logam Se nilai yang didapat 10.566<12,121 atau 194 atau ruas kiri < ruas kanan, maka logam ini juga diterima nilai presisinya. DAFTAR PUSTAKA 1.
ANONIM., Persyaratan Umum Kompetensi Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi, Badan Standardisasi. Jakarta (2001)
Mulyono, dkk.
2.
3.
4.
5.
ANWAR HADI. Pemahaman dan penerapan ISO/IEC 17025: 2005. Persyaratan umum kompentensi laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi. PT Granmedia Pustaka Utama, Jakarta 2007M MULYONO. SUKADI. ISWANTORO. Akurasi dan Presisi Metoda spektometri Gamma pada Pengujian Radionuklida K-40 Menggunakan SRM IAEA 3115. S SUKIRNO dan SRIMURNIASIH., Validasi AAN Untuk Pengujian Uranium dan Torium dalam Pasir Zirkon. Prosiding Forum AANI, BATAN, Serpong (2010. ERDTMANN.G., SOYKA.W., The Gamma rays of the Radionuclides, New York (1979)
TANYA JAWAB Setyo Atmodjo Mengapa dilakukan analisis kandungan As dan Se pada limbah padat Rumah Sakit ? Mulyono As dan Se merupakan logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan pemonitoran lingkungan khususnya dari limbah rumah sakit agar tidak tercemar.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 307
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENGGUNAAN UNIT OZONIZER UNTUK DESTRUKSI SIANIDA DALAM LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN Sugeng Purnomo Pusat Teknologi Limbah Radioaktif –BATAN, Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15310 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK PENGGUNAAN UNIT OZONIZER UNTUK DESTRUKSI SIANIDA DALAM LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN. Sianida seringkali merupakan komponen toksik dalam limbah bahan berbahaya dan beracun. Destruksi sianida dilakukan dengan menguraikannya melalui proses oksidasi menggunakan ozon yang dibangkitkan unit ozonizer skala laboratorium. Produksi ozon diukur dengan metode iodometri, untuk pasokan oksigen skala 2 - 4 pada oxygen concentrator dihasilkan 1,23 - 1,65 mg ozon per detik. Destruksi sianida yang dapat dicapai tergantung pada konsentrasinya, kondisi difusi ozon dalam cairan limbah dan kuantitas pasokan ozon. Penyisihan sianida yang dicapai ≥ 95 % untuk konsentrasi sianida < 20 ppm. Katakunci: ozonizer, destruksi sianida
ABSTRACT UTILIZATION OF OZONIZER UNIT FOR CYANIDE DESTRUCTION IN HAZARDOUS WASTE. Cyanide usually found as toxic component in hazardous waste. Cyanide destruction had been done by oxidation process using ozon generated from laboratory scale ozonizer unit. Ozon production was measured by iodometry method, for oxygen feeding scale 2 - 4 in oxygen concentrator was produced 1.23 - 1.65 mg ozon per second. Cyanide destruction depend on its concentration, condition of ozon diffusion in liquid waste and quantity of ozon feeding. The value of cyanide elimination ≥ 95 % for cyanide concentration < 20 ppm. Keywords: ozonizer, cyanide destruction.
PENDAHULUAN
B
erdasarkan Peraturan Ka. BATAN No. 392/KA/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja BATAN, Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) mempunyai tugas melakukan pengelolaan limbah radioaktif sekaligus limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) internal BATAN[1]. Limbah B3 adalah limbah yang mengandung bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya[2]. Sifat-sifat berbahaya yang dimaksud adalah sifat mudah meledak, mudah terbakar, reaktif, beracun, korosif, menyebabkan infeksi. Limbah B3 ditimbulkan sebagai konsekuensi dari kegiatan proses kimia di Buku II hal 308
instalasi nuklir maupun kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di laboratorium. Ragam limbah B3 antara lain berupa cairan bekas proses (efluen) dan bermacam pereaksi (reagen) kedaluwarsa. Pengolahan adalah bagian inti dari rangkaian kegiatan pengelolaan limbah, dengan metode pengolahan yang tepat maka akan dicapai tingkat keselamatan dan keamanan yang baik dalam pengelolaan limbah tersebut. Pengolahan limbah B3 bertujuan menghilangkan sifat berbahaya dan beracun atau mencegah dampak negatif dari limbah tersebut terhadap manusia dan lingkungan. Hal pertama yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan metode pengolahan suatu jenis limbah B3 adalah kemungkinan limbah tersebut diubah (dikonversi) melalui proses atau reaksi kimia menjadi
ISSN 1410 – 8178
Sugeng Purnomo
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
bahan/senyawa tak berbahaya atau sekurangkurangnya menjadi bahan/senyawa dengan tingkat bahaya dan toksisitas lebih rendah ataupun menjadi bentuk yang mudah ditangani lebih lanjut. Untuk jenis limbah yang tidak dapat dikonversi maka dilakukan rekonsentrasi yang kemudian dilanjutkan dengan proses stabilisasi atau solidifikasi guna mencegah atau meminimalisir terjadinya penyebaran komponen berbahaya ke lingkungan serta dampak negatifnya bagi manusia. Pengubahan komponen berbahaya sebagaimana tersebut di atas dapat dilakukan dengan proses oksidasi senyawa B3 yang merupakan komponen limbah, sedangkan proses pengendapan atau flokulasi akan mengubah komponen berbahaya menjadi endapan atau sludge agar lebih mudah ditangani lebih lanjut[3]. Penelitian ini mempelajari proses ozonisasi untuk menguraikan sianida. Sianida merupakan konstituen kimia beracun (berbahaya) yang umum terkandung dalam limbah B3, termasuk kategori super toxic. Sianida dan garam sianida memberikan efek racun yang cepat, dalam dosis 60-90 mg dapat menyebabkan kematian manusia. Penggunaan hidrogen sianida sebagai pestisida, fumigant serta pemakaian larutan garam sianida dalam sintesis kimiawi dan pemrosesan logam berpotensi menyebabkan pemaparan terhadap manusia. Pemaparan gas hidrogen sianida (HCN) dapat pula terjadi dari pembakaran polimer yang mengandung nitrogen[4]. TEORI Sianida merupakan konstituen anorganik limbah B3 yang sangat utama. Diantara senyawa sianida anorganik berbahaya (menurut Environmental Protection Agency) adalah hidrogen sianida, asam hidrosianat, serta sianida dari barium, kalsium, nikel, kalium, perak, natrium, dan seng. Sianida terdapat dalam limbah B3 dalam bentuk[4]: - gas hidrogen sianida - hidrogen sianida terlarut dalam air (tidak terionisasi) - ion sianida (CN-) terlarut - garam sianida, seperti NaCN, KCN - sianida kompleks seperti [Fe(CN)6]4- atau [Ni(CN)4]2Potensi bahaya paling besar dari sianida adalah toksisitasnya dalam bentuk larutan atau gas. Beberapa kompleks sianida tidak terlalu toksik. Anion kompleks metal-sianida seperti [Fe(CN)6]4tidak terikat kuat dalam tanah melalui pertukaran ion dan cenderung bermigrasi bersama lindihan limbah, berbeda dengan kation logam terhidrasi Sugeng Purnomo
seperti [Fe(H2O)6]2+. Sianida tidak terkompleks dalam limbah seperti NaCN, KCN, atau Ca(CN)2 adalah pembebasan gas hidrogen sianida dalam suasana asam kuat sesuai reaksi: NaCN + H+ → HCN + Na+
(1)
Penghirupan HCN dalam dosis relatif kecil sudah dapat memberikan akibat yang fatal. Gas sianogen (NCCN), cairan volatil sianogen bromide (BrCN), dan highly volatile sianogen klorida (ClCN, titik didih 13,1 °C) merupakan senyawa reaktif khususnya terhadap oksidator. Senyawa-senyawa ini bersifat toksik dan irritant terhadap saluran pernafasan. Reaksi dengan uap atau air menghasilkan hidrogen sianida dan asam oksihalogenida[4]: ClCN + H2O → HOCl + HCN
(2)
Adapun sianogen dan air menghasilkan asam sianida dan asam sianat HOCN. NCCN + H2O → HOCN + HCN
(3)
Toksikologi sianida menjelaskan bahwa di dalam tubuh sianida mengikat besi III yang dikandung enzim ferricytochrome oxidase, menghambat proses reduksi menjadi besi II dalam proses fosforilasi oksidatif, yaitu proses Enzim penggunakan O2 dalam tubuh. ferrouscytochrome oxidase yang dibutuhkan untuk reaksi dengan O2 tidak terjadi dan penggunaaan oksigen dalam sel terhambat sehingga proses metabolisme terganggu[5]. Keracunan sianida dan beberapa bahan seperti merkuri, arsen, talium, karbamat, organofosfat, karbon mono-oksida, dapat menyebabkan abnormalitas warna kulit, kelembaban / kebasahan berlebih ataupun sebaliknya kekeringan kulit. Warna kulit kebiruan karena defisiensi oksigen dalam darah (gejala sianotik) dapat menjadi bukti keracunan sianida, karbon mono-oksida atau nitrit. Sedangkan efek fisiologis sianida berupa peningkatan ataupun penurunan laju pernafasan, sama halnya dengan pemaparan karbon mono-oksida[5]. Bermacam jenis limbah organik maupun anorganik dapat diolah dengan reaksi reduksioksidasi, sifat berbahaya ataupun beracun dari limbah tersebut akan menurun atau hilang sama sekali sejalan dengan perubahan ikatan persenyawaan atau perubahan tingkat oksidasinya. Limbah yang mengandung bahan oksidator dapat juga dimanfaatkan untuk mengolah limbah yang dapat dioksidasi (seperti sianida) dalam medium
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 309
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
air. Hasil akhir yang diharapkan adalah terjadinya berbahaya menjadi bentuk tak berbahaya atau bentuk lain yang dapat diisolasi secara fisik. Ozon (O3) merupakan salah satu oksidator kuat yang praktis digunakan karena mudah diproduksi langsung di tempat penggunaannya yaitu dengan melewatkan udara kering kaya oksigen melalui kolom bertegangan listrik tinggi (high voltage) sehingga terjadi reaksi pembentukan ozon: O2 O+O High voltage electrical discharge
(4)
konversi limbah atau konstituen limbah yang merupakan polutan udara sehingga penggunaannya perlu pengukuran yang cermat guna memperkecil lepasan ozon[3]. Peruraian sianida melalui reaksi oksidasi dengan ozon dapat dituliskan sebagai berikut[6]: 6CN- + 5O3 + 3H2O → 6HCO3- + 3N2
Kemungkinan lain reaksi yang terjadi adalah dua tahap oksidasi, sianida menjadi sianat kemudian menjadi bikarbonat dan nitrogen : 2CN- + 2O3 → 2CNO- + 2O2
O 2 + O → O3
(5)
Pengolahan dengan ozon konsentrasi 1-2 % berat dalam udara atau 2-5 % dalam oksigen dapat dilakukan terhadap beragam effluent limbah ataupun sludge yang mengandung kontaminan yang dapat dioksidasi, misalnya senyawa organik (alkohol tak jenuh, fenol, aldehida), spesies anorganik (H2S, NO2- menjadi NO3- sehingga toksisitas menurun, CN-, dan Fe2+ menjadi Fe3+ yang tidak larut). Ozon dapat pula digunakan dalam pengolahan efluen gas toksik dan senyawa organik penyebab bau. Manfaat lain sebagai desinfektan, penjernih warna, pengatur citarasa, dan penghilang bau air minum di perkotaan. Di samping aneka fungsi tersebut, ozon sendiri
(6)
(7)
2CNO- + O3 + H2O → 2HCO3- + N2 +
(8)
2CN- + 3O3 + H2O → 2HCO3 + N2 + 2O2
(9)
-
Tinjauan stoikhiometri terhadap kedua reaksi, tampak bahwa nilai rasio molar sianida terhadap ozon pada reaksi (6) lebih besar daripada reaksi (9), dengan demikian konsumsi ozon lebih efisien pada reaksi (6); yaitu dengan kuantita molar tertentu dari ozon akan lebih banyak sianida dapat didestruksi. Dalam percobaan reaksi (6) maupun reaksi (9) dapat berlangsung serentak menghasilkan ion bikarbonat dan nitrogen yang tidak bersifat toksik. Peralatan yang digunakan dalam percobaan ozonisasi disajikan dalam Gambar berikut:
Oxygen concentrator
Ozonizer unit
Gambar 1. Peralatan yang digunakan dalam ozonisasi Buku II hal 310
ISSN 1410 – 8178
Sugeng Purnomo
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Bahan 1. Kalium sianida, 2. Kalium iodida, 3. Natrium tiosulfat, 4. Kalium dikromat. Metode A. Pengukuran Produksi Ozon A.1. Persiapan Larutan Kalium Iodida 1. Disiapkan larutan KI (50 g/250 mL). 2. Dipipet masing-masing 5, 10, 15, 20, 25, 30 mL ke dalam labu takar 100 mL, diencerkan sampai tanda tera (sebagai larutan 1, 2, 3, 4, dan 5). 3. Dipindahkan ke dalam botol reagen. A.2. Ozonisasi Larutan Kalium iodida 1. Oxygen concentrator dioperasikan, slang outlet dihubungkan ke unit ozonizer, set debit O2 pada skala 2. 2. Ozonizer dioperasikan, dibiarkan beberapa saat sehingga produksi ozon stabil. 3. Ujung slang outlet ozon dicelupkan ke dalam larutan kalium iodida (larutan 1) selama 5 detik. 4. Dilakukan ozonisasi untuk larutan kalium iodida berikutnya (larutan 2 s/d 5). 5. Diulangi langkah 3 dan 4 dengan lama waktu ozonisasi 10, 15, 20, 25, dan 30 detik untuk seluruh variasi konsentrasi larutan. 6. Diulangi langkah 3 s/d 5 dengan setting oxygen concentrator pada skala 3 dan 4. 7. Iodium yang dibebaskan dititrasi dengan larutan tio 0,1 N yang telah distandarisasi menggunakan larutan kalium dikromat. 8. Dihitung produksi ozon yang dihasilkan ozonizer. B. Percobaan Penyisihan Sianida B.1. Persiapan Larutan Sianida 1. Dibuat larutan sianida 1000 ppm dari garam kalium sianida. 2. Diencerkan sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi sianida; 10, 20, 30, s/d 100 ppm, masing-masing sebanyak 250 mL. 3. Dicuplik masing-masing larutan sebanyak 2 x 100 mL, ditempatkan dalam botol reagen. B.2. Ozonisasi Sianida 1. Oxygen concentrator dioperasikan, slang outlet dihubungkan ke unit ozonizer, set debit O2 pada skala 2. 2. Ozonizer dioperasikan, dibiarkan beberapa saat sehingga produksi ozon cukup stabil. 3. Ujung slang outlet ozon dicelupkan kedalam larutan sianida selama 5 menit, kemudian Sugeng Purnomo
diganti dengan larutan sianida berikutnya sampai selesai 1 set variasi konsentrasi sianida. 4. Dianalisis kadar sianida dalam masing-masing larutan tersebut (1 set sampel murni dan 1 set sampel pasca ozonisasi) menggunakan ionmeter Metrohm 781. C. Analisis Sianida dengan Ion-Meter Metrohm 781 1. Dibuat larutan standar sianida 2, 4, 6 ppm. 2. Dipipet masing-masing 20 mL kedalam beakerglass 50 mL, ditambah 2,0 mL NaOH 1N. 3. Dilakukan kalibrasi ion-meter menggunakan larutan tersebut; dicelupkan elektroda sianida dan elektroda reference ke dalam larutan, dioperasikan ion-meter sesuai prosedur sehingga diperoleh korelasi linier mV terhadap log konsentrasi sianida. 4. Dianalisis konsentrasi sianida dalam sampel murni dan sampel pasca ozonisasi (cara preparasi sesuai dengan penanganan terhadap larutan standar). HASIL DAN PEMBAHASAN Laju produksi ozon ditentukan oleh debit oksigen yang diumpankan dari oxygen concentrator dan kemampuan kolom tegangan tinggi unit ozonizer membangkitkan ozon. Pada Gambar 2 tampak produksi ozon meningkat secara gradual (pasokan oksigen skala 2 – 4). Ekstrapolasi grafis untuk pasokan oksigen < 2 dan > 4 memberikan gambaran kurva yang berangsur melandai sampai batas maksimal, fenomena ini menunjukkan bahwa kapasitas konversi kolom tegangan tinggi pada unit ozonizer merupakan faktor penentu dari kedua faktor tersebut. Produksi ozon (mg/det)
TATA KERJA
2 1.5 1 0.5 0 1
2
3
4
Skala oxygen concentrator
Gambar 2. Produksi ozon sebagai fungsi setting suplply oksigen.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 311
5
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Konsentrasi sianida awal dan pasca ozonisasi ditunjukkan pada Gambar 3. Pada konsentrasi sianida rendah (≤ 30 ppm) diperoleh penurunan sehingga konsentrasi sianida akhir < 5 ppm, sedangkan pada limbah dengan konsentrasi sianida > 30 ppm diperoleh penurunan sehingga
100
ppm CN awal ppm CN akhir ppm CN terurai
90 80
ppm Sianida
konsentrasi sianida akhir pada kisaran > 5 ppm dengan kecenderungan yang meningkat sesuai dengan konsentrasi sianida dalam limbah. Pola penurunan konsentrasi sianida tersebut menunjukkan adanya hubungan antara jumlah sianida yang dapat diuraikan dengan dosis ozon.
70 60 50 40 30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Seri percobaan
Gambar 3. Konsentrasi sianida sebelum dan setelah ozonisasi.
Kuantitas sianida terurai mempunyai kecenderungan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasinya dalam limbah dari 10 ppm sampai dengan 60 ppm kemudian menunjukkan nilai yang relatif tetap untuk
konsentrasi 80 sampai dengan 100 ppm. Hal ini menunjukkan adanya harga maksimum terurainya sianida (± 55 ppm) pada kondisi proses ozonisasi yang dilakukan.
ratio CN awal/sisa, % CN terurai
120
% CN terurai
100
Ratio C N awal/sisa
80 60 40 20 0 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
ppm sianida
Gambar 4. Ratio konsentrasi sianida sebelum dan setelah ozonisasi serta prosentase sianida yang terurai.
Buku II hal 312
ISSN 1410 – 8178
Sugeng Purnomo
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Efisiensi stoikhiometri (%)
Gambar 4 menunjukkan bahwa prosentase sianida terurai ≥ 95 % untuk konsentrasi 10 - 20 ppm; mendekati 80 % untuk 40 - 60 ppm; kemudian berangsur turun antara 70 - 55 % untuk 80 - 100 ppm. Ratio konsentrasi sianida sebelum dan pasca ozonisasi mempunyai harga relatif tinggi (> 25) untuk limbah dengan sianida rendah ≤ 20 ppm, sedangkan untuk limbah dengan sianida ≥ 40 ppm ratio tersebut berharga < 5. Pada Gambar 5 tampak peningkatan efisiensi stoikhiometri peruraian sianida konsentrasi 10
sampai 80 ppm mencapai 0,4 – 2,26 % untuk (grafik A) dan 0,72 – 4,08 % (grafik B) selanjutnya efisiensi tetap berkisar pada masingmasing nilai maksimum tersebut sampai konsentrasi 100 ppm. Ini menunjukkan peningkatan konsentrasi sianida meningkatkan intensitas oksidasi pada bidang batas antara gelembung ozon dan cairan/larutan sampai pada nilai tertentu.
5 A B
4 3 2 1 0 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
ppm sianida Gambar 5. Efisiensi stoikhiometri peruraian sianida didasarkan pada kuantitas ozon. (A berdasarkan ekivalensi molar reaksi 1, B berdasarkan ekivalensi molar reaksi 2) KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Laju produksi ozon oleh unit ozonizer ditentukan oleh pasokan oksigen dari oxygen concentrator serta kapasitas konversi kolom tegangan tinggi pada unit ozonizer tersebut. Dosis ozon yang diberikan perlu disesuaikan dengan beban proses oksidasi yang berkaitan dengan jenis limbah yang diolah. Proses ozonisasi merupakan metode pengolahan yang potensial untuk diterapkan dalam penyisihan senyawa bahan berbahaya dan beracun yang dapat dioksidasi. Dengan parameter proses sebagaimana diuraikan dalam percobaan ini, penyisihan sianida mencapai ≥ 95 % untuk konsentrasi awal < 20 ppm, dengan efisiensi stoikhiometri 2,26% atau 4,08% bergantung pada asumsi reaksi redoks yang terjadi.
1.
Sugeng Purnomo
2.
3.
4.
5.
6.
Peraturan Ka. BATAN No. 392/KA/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja BATAN. Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun. STANLEY E. MANAHAN., ”Hazardous Waste Chemistry, Toxicology and Treatment”, Lewis Publishers, Inc. Michigan 1990. STANLEY E. MANAHAN., ”Toxicological Chemistry”, Lewis Publishers, Inc. Michigan 1989. ROBERT E. GOSELIN, ROGER P. SMITH., Clinical Toxicology of Commercial Products”, 5th ed. Baltimore 1984. LUNN, GEORGE, SANSONE, “Destruction of Hazardous Chemical in the Laboratory”, John Wiley and Sons, New Jersey, 1990.
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 313
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
PENGUKURAN RADIOAKTIVITAS BETA TOTAL PADA SAMPEL TANAH DI KAWASAN REAKTOR KARTINI TAHUN 2010 Sri Wahyuningsih, Siswanti, Sri Artiningsih Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:
[email protected] ABSTRAK PENGUKURAN RADIOAKTIVITAS BETA TOTAL PADA SAMPEL TANAH DI KAWASAN REAKTOR KARTINI TAHUN 2010. Kegiatan yang dilaksanakan di Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan perlu didukung kegiatan pemantauan radioaktivitas lingkungan. Pemantauan radioaktivitas lingkungan antara lain dilakukan dengan pengambilan sampel tanah di sekitar reaktor Kartini mulai dari radius 100 m sampai dengan 5000 m, Sampel tanah diambil secara acak sebanyak ± 100 gram pada tanah lapisan atas di tempat terbuka, selanjutnya di keringkan dan dibersihkan dari kotoran, kemudian dihaluskan menggunakan Ball Maill, hingga homogen disaring dengan ayakan lolos 100 mesh. Ditimbang 1 gram tanah halus tersebut ke dalam planset yang telah diketahui beratnya, lalu distabilkan menggunakan aquades dan dikeringkan. Cuplikan tersebut dicacah dengan alat cacah Low Background Counter (LBC) selama 30 menit. Hasil pengukuran radioaktivitas beta total sampel tanah di sekitar reaktor Kartini periode Januari s/d Desember 2010 berkisar antara antara 0,24 ± 0,15 /g s/d 0,87 ± 0,16 Bq/g . Sedangkan data radioaktivitas beta total sampel tanah sebelum reaktor komisioning berkisar antara 0,1854 s/d 1,087 Bq/g. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hasilnya tidak ada perbedaan yang signifikan dengan data pengukuran sebelum reaktor komisioning. Pengoperasian Reaktor Kartini tidak memberi dampak radiologi terhadap lingkungan. ABSTRACT MEASUREMENT OF GROSS BETA RADIOCTIVITIES ON SOIL SAMPLE IN THE SUROUNDING OF KARTINI REACTOR AT 2010. Environment radioactivity monitoring were need to backup of all activites in the Center for Accelerator and Material Proces Technology. Monitoring of radioactivity environment were done by collecting samples in the radius of 100 m to 5000 m surrounding of Kartini reactor. Soil samples were collected by randomized methode at opened area, 100 grams of soil sample were dried, cleaned and crushed with Ball Maill. The homogened samples were filtered with 100 mesh of filter fine. 1 gram of sample filled in to the plancet, dropped with aquadest and dried. Sample in the plancet were counted by Low Background Counter (LBC) detector 30 minutes. It was found that gross beta radioactivity of soil samples in the surrounding of Kartini Reactor on January to December 2010 periode were 0,10 ± 0,14 to 0,84 ± 0,16 Bq/g. The gross beta radioactivity of soil samples before reactor commissioning were 0,1854 to 1,087 Bq/g. There is no difference of gross beta radioactivity of soil samples between before and after commissioning significantly, there is no effects to the environment radioactivity. The operation of nuclear Kartini reactor does not give radioactivity impact to the environment. Keywords: ozonizer, cyanide destruction.
PENDAHULUAN
P
usat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan mempunyai tugas melakukan penelitian dasar
Buku II hal 314
dan pengembangan Ilmu Teknilogi Nuklir. Dalam
ISSN 1410 – 8178
Pengetahuan dan pelaksanaan tugas Sri Wahyuningsih, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
tersebut PTAPB memiliki sebuah reaktor Kartini dengan desain daya 250 KW, beserta laboratorium penunjangnya antara lain: Bidang Teknologi Proses, Lab. Teknofisikokimia, Lab. Pengelolaan Limbah, Lab. Akselerator dan Balai Elektromekanik. Kegiatan utama PTAPB yang mungkin menimbulkan dampak terhadap lingkungan ialah kegiatan penelitian di antaranya; kegiatan reaktor Kartini, pemurnian bahan nuklir (uranium), analisis, pengolahan limbah, perbengkelan, penelitian di bidang instrumentasi nuklir dan penelitian di bidang fisika nuklir dan atom(1). Pelaksanaan kegitan tersebut melibatkan penggunaan bahan berbentuk padat, cair maupun gas yang bersifat kimiawi, fisis baik bersifat radioaktif maupun non radioaktif, yang berpotensi untuk menimbulkan dampak negatif pada kualitas lingkungan. Kemungkinan penyebaran zat kimia/radioaktif pada lingkungan tergantung besarnya konsentrasi/radioaktivitas zat tersebut.(1) Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran dinyatakan bahwa setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki ijin (pasal 17)(2). Selanjutnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2007 Tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif(10) mengharuskan pengusaha instalasi nuklir untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja radiasi, masyarakat dan lingkungan, untuk itu perlu dilakukan kegiatan rutin pemantauan radioaktivitas lingkungan, yang meliputi pengambilan sampel lingkungan di sekitar reaktor Kartini mulai dari radius 100 m sampai dengan radius 5000 m. Salah satunya adalah pemantauan radioaktivitas tanah lingkungan di sekitar reaktor Kartini dengan alasan bahwa tanah merupakan tempat hidup tumbuhan tempat mengendapnya jatuhan debu radioaktif, disamping juga mengandung radioaktif alam(4). Pengambilan contoh tanah umumnya dikaitkan dengan adanya tumbuhan yang tumbuh di atasnya dan hewan-hewan yang hidup dipermukaan tanah tersebut(8). Cuplikan tanah yang diambil kebanyakan pada lokasi persawahan maupun tegalan yang ditumbuhi tanaman pangan dengan alasan bahwa tumbuhan tersebut akan dikonsumsi oleh manusia karena itu kemungkinan debu-debu radioaktif yang jatuh ke tanah kemudian terserap oleh tumbuhan jika dikonsumsi akan dapat sampai kepada manusia, baik yang langsung akan dimakan atau melalui hewan terlebih dahulu dan kemudian barulah sampai pada manusia. Jatuhan debu radioaktif akan terkumpul pada daun atau buah karena proses penyerapan makanan dari tanah oleh akar-akarnya Sri Wahyuningsih, dkk.
Pemantauan radioaktivitas beta total tanah di lingkungan reaktor Kartini telah dilakukan sejak sebelum reaktor commissioning, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan data radioaktivitas latar di sekitar reaktor tersebut. Data tersebut digunakan sebagai pembanding terhadap data lingkungan yang diperoleh setelah reaktor komisioning, sehingga diharapkan dapat mengetahui kemungkinan perubahan radioaktivitas lingkungan yang disebabkan oleh beroperasinya reaktor Kartini maupun fasilitas nuklir lainnya. Pemantauan radioaktivitas beta total tanah di lingkungan meliputi daerah dengan radius dari 100 meter sampai dengan 5.000 meter dari reaktor Kartini, dengan pos pengambilan cuplikan sebanyak 17 tempat. Diambilnya cuplikan tanah disebabkan karena komponen lingkungan tersebut merupakan jalur kritis dimana zat radioaktif dapat mencapai tubuh manusia. Batas aktivitas di lingkungan ditentukan dalam Keputusan Kepala BAPETEN No.02/KaBAPETEN/V-99 tentang Baku Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan.(9) Kegiatan ini bertujuan untuk melakukan pemantauan aktivitas cuplikan tanah lingkungan di kawasan reaktor Kartini dengan radius 100 m – 5.000 m, sehingga didapatkan data pemantauan radioaktivitas tanah lingkungan di sekitar reaktor Kartini yang dapat dipakai sebagai tolok ukur keselamatan pengoperasian reaktor Kartini terhadap lingkungan sekitarnya. Pengukuran radioaktivitas yang dilaksanakan pada pemantauan yaitu pengukuran radioaktivitas beta total yang merupakan teknik pengukuran kuantitatif yang menentukan jumlah kandungan radionuklida pemancar beta. Metode ini cukup sederhana, namun cukup memenuhi persyaratan untuk seleksi cuplikan dan jika diperlukan dapat dilakukan analisis lebih lanjut misalnya dengan Spektrometri gamma. Pengukuran kadar radioaktivitas beta secara kuantitatif ini dilakukan dengan menggunakan alat cacah Low Background Counter (LBC). Metode pengukuran radioaktivitas beta total adalah salah satu metode pengukuran kadar radioaktivitas dengan mengukur aktivitas beta keseluruhan dari satu atau lebih radionuklida. Metode ini dapat untuk mengukur aktivitas beta dari suatu sampel, tanpa membedakan berasal dari radionuklida yang mana(7), sehingga yang terukur adalah semua aktivitas beta dari campuran radionuklida di dalam sampel. Pengukuran ini dilakukan karena kebanyakan radioaktivitas lingkungan berasal dari jatuhan hasil belah percobaan ledakan nuklir yang pada umumnya merupakan pemancar beta, sehingga kemungkinan tanah akan menerima jatuhan dari debu radioaktif. Alasan lain adalah
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 315
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
pengukuran ini dapat dilakukan dengan cepat untuk cuplikan yang sangat banyak jumlahnya, serta karena pengukuran ini cukup layak untuk digunakan dalam membandingkan tingkat aktivitas dan untuk memilih cuplikan yang dapat dianalisa lebih lanjut. Adanya hasil belah yang dihasilkan dapat diperkuat dengan analisa spektrofotometri gamma (8). TATA KERJA Bahan 1. Sampel tanah, 2. Aquadest Peralatan 1. Alat cacah beta latar rendah LBC ( Low Background Counter ), 2. pencatat waktu, 3. planset,
4. 5. 6. 7. 8. 9.
lumpang porselin/ ball mail, vial plastik, neraca analitik, ayakan ukuran 100 mesh, cetok planset
Cara Kerja a. Pengambilan sampel Pengambilan sampel tanah dilakukan pada 17 titik lokasi daerah pemantauan dengan radius sampai dengan 5 km di sekitar Reaktor Kartini yang telah ditentukan. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah metode random sampling (acak). Dari setiap lokasi yang telah ditentukan dibuat petakan seluas ± 1 m2, sampel tanah diambil 5 ulangan secara acak sebanyak ± 100 gram dimasukan ke dalam vial plastik selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dilakukan preparasi.
Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel pada 17 titik lokasi daerah pemantauan sekitar Reaktor Kartini Yogyakarta Radius Latitude/ No. Nama Lokasi (meter) Longitude 1
Utara Gd. Bengkel
100
07o46.632’LS 110o24.787’BT
2
Sahid Hotel
200
07o46.772’LS 110o24.809’BT
3
Ngentak
500
07o46.826’LS 110o24.740’BT
4
Kledokan
500
07o46.621’LS 110o24.695’BT
5
Perum. Yadara
500
07o46.461’LS 110o24.849’BT
6
Janti
1000
07o47.175’LS 110o24.548’BT
7
Seturan
1000
07o46.356’LS 110o24.307’BT
8
Ds. Demangan
1000
07o46.429’LS 110o25.516’BT
9
Tambak Bayan
1000
07o46.990’LS 110o25.093’BT
10
Pengawat Rejo
1500
07o47.647’LS 110o24.638’BT
11
Htl. Ambarukmo
1500
07o46.839’LS 110o24.218’BT
12
Maguwoharjo
1500
07o44.832’LS 110o24.627’BT
13
Depok
1500
07o46.256’LS 110o25.727’BT
14
Dayu
5000
07o43.920’LS 110o24.001’BT
15
Nomporejo
5000
07o44.197’LS 110o26.072’BT
16
Kalasan
5000
07o46.850’LS 110o27.144’BT
17
Warung Boto
5000
07o48.438’LS 110o23.888’BT
Buku II hal 316
ISSN 1410 – 8178
Sri Wahyuningsih, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Gambar 2. Peta lokasi sampling Preparasi / pembuatan cuplikan : Sampel tanah dikeringkan dengan bantuan lampu pemanas atau sinar matahari (dijemur) dan dibersihkan dari kotoran, akar tumbuhan dan lainlain. Setelah kering dihaluskan dengan digerus menggunakan lumpang porselin/ ball mail dan dibuat homogen. Selanjutnya dibuat cuplikan dengan menimbang sampel seberat 1 gram di dalam planset alumunium dan distabilkan dengan air suling (aquades) secukupnya, diratakan dan dikeringkan di atas hot plate. Cuplikan dicacah dengan alat cacah beta latar rendah ( LBC) dengan waktu cacah 30 menit. c. Analisis data Pengukuran radioaktivitas beta total sampel tanah digunakan alat cacah latar rendah (LBC) dengan waktu cacah 30 menit. Perhitungan radioaktivitas beta total digunakan rumus (5) :
C . 100 A=
Bq/g E.W
dimana : Sri Wahyuningsih, dkk.
A = radioaktivitas C = neto cacah = cacah cuplikancacah latar (cps) E = efisiensi alat cacah (%) dengan standar K-40 dari KCl W = berat sampel yang dicacah (1 Dps = 1 Bq) HASIL DAN PEMBAHASAN Setiap aktivitas yang melibatkan fasilitas nuklir akan mempunyai kemungkinan pelepasan zat radioaktif ke lingkungan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan radioaktivitas lingkungan meliputi sampel yang berasal dari tanah, air, tanaman di sekitar fasilitas nuklir yang berada pada radius 100 m, 200 m, 1000 m, 1500 m dan 5000 m. Pengukuran radioaktivitas lingkungan sekitar reaktor Kartini telah dilakukan sejak sebelum reaktor Kartini beroperasi dari tahun 1975 s.d. 1978 dan setelah reaktor itu beroperasi pada tahun 1979 hingga sekarang. Pengukuran radioaktivitas lingkungan sebelum reaktor beroperasi untuk mendapatkan data radioaktivitas latar di lingkungan sekitar reaktor. Data radioaktivitas latar ini akan digunakan sebagai
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 317
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
pembanding terhadap radioaktivitas lingkungan di sekitar reaktor Kartini setelah reaktor itu beroperasi. Dari perbandingan data pemantauan radioaktivitas lingkungan sebelum dan sesudah reaktor beroperasi, akan dapat diketahui ada
tidaknya kenaikan radioaktivitas lingkungan yang disebabkan beroperasinya Reaktor Kartini. Data hasil pengukuran radioaktivitas beta total dari bulan Januari sampai dengan Desember 2010 disajikan pada Tabel. 2 dan Gb. 1 berikut:
Tabel 2 Data hasil pengukuran radioaktivitas beta total sampel tanah pada bulan Januari s/d Desember tahun 2010 Radioaktivitas Radioaktivitas Tertinggi Terendah No. Bulan Kode Lokasi Sampling Aktivitas Kode Lokasi Aktivitas Lokasi (Bq/g) Lokasi Sampling (Bq/g) 1. Januari 1500 Maguwoharjo 0,66 ± 0,16 5000 Kalasan 0,28 ± 0,15 2. Pebruari 1000 Ds.Demangan 0.71 ± 0.16 5000 Warung Boto 0,30 ± 0,14 3. Maret 5000 Nomporejo 0.60 ± 0.15 1500 Htl. Ambrkmo 0,24 ± 0,15 4. April 500 Perum.Yadara 0.60 ± 0.15 5000 Warung Boto 0.38 ± 0.15 5. Mei 200 Sahid Htl. 0,66 ± 0.15 5000 Dayu 0.25 ± 0.15 6. Juni 1000 Ds.Demangan 0.72 ± 0.16 1000 Janti 0.36 ± 0.14 7. Juli 1500 Maguwoharjo 0.76 ± 0.15 1500 Depok 0,27 ± 0,14 8. Agustus 5000 Nomporejo 0,73 ± 0,16 200 Sahid Htl. 0,31 ± 0,15 9. September 500 Kledokan 0,66 ± 0,15 500 Perum. Yadara 0,29 ± 0,14 10. Oktober 1000 Ds.Demangan 0,78 ± 0,16 5000 Warung Boto 0,31 ± 0,15 11. Nopember 1000 Ds.Demangan 0,87 ± 0,16 5000 Warungboto 0,32 ± 0,15 12. Desember 1500 Htl. Ambrkmo 0,74 ± 0,16 5000 Warungboto 0,35 ± 0,14 Tertinggi 0,87 ± 0,16 Terendah 0,24 ± 0,15
Tertinggi
0.9
Terendah 0.8
Aktivitas (Bq/g)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Jan.
Feb.
Mart.
Aprl.
Mei
Juni
Juli
Agust.
Sept.
Okt.
Nov.
Des.
Bulan
Gambar. 1. Grafik Aktivitas Tanah 2010
Buku II hal 318
ISSN 1410 – 8178
Sri Wahyuningsih, dkk
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
Hasil pengukuran radioaktivitas beta total pada sampel tanah di sekitar Reaktor Kartini pada bulan Januari s/d Desember 2010 yaitu antara 0,24 ± 0,15 /g s/d 0,87 ± 0,16 Bq/g. Data tertinggi terdapat pada bulan November pada lokasi Ds. Demangan (1000-3 sebesar 0,87 ± 0,16 Bq/g dan yang terendah pada bulan Maret pada lokasi Hotel Ambarukmo (1500-2) 0,24 ± 0,15 Bq/g . Sedangkan data radioaktivitas beta total sampel tanah dari masing-masing lokasi yang diambil pada bulan Januari s/d Desember 2010 hasilnya berfluktuatif. Pada musim kemarau maupun penghujan unsur radioaktif tersebut akan terbawa oleh angin, terdistribusi dan mengendap pada tempat dan yang sesuai dengan arah dan kecepatan angin mengendap pada permukaan tanah, tanaman dan terlarut ke dalam air, sehingga dapat memberikan kontribusi radioaktivitas di tempat mengendap yang baru dan mengurangi radioaktivitas tempat yang ditinggalkan. Pada musim hujan, air hujan juga dapat mengendapkan unsur radioaktif di udara ke permukaan tanah. Hujan dapat membuat lapisan permukaan tanah
berubah, sehingga unsur radioaktif yang berada pada permukaan tanah juga berubah . Dari semua data hasil pengukuran radioaktivitas beta total sampel tanah yang diperoleh pada bulan Januari s/d Desember 2010 masih berada di dalam jangkauan data hasil pengukuran sebelum reaktor Kartini komisioning yaitu antara 0,1854 s/d 1,087 Bq/g. Data hasil pengukuran radioaktivitas beta total sampel tanah pada bulan Januari s/d Desember 2010 tidak mengalami kenaikan dibandingkan data sebelum reaktor komisioning. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi kenaikan radioaktivitas pada sampel tanah lingkungan akibat dari beroperasinya reaktor Kartini, sehingga lingkungan di kawasan reaktor Kartini antara sesudah dengan sebelum reaktor komisioning dapat dikatakan aman bagi masyarakat sekitar. Semua data hasil pengukuran radioaktivitas beta total pada tahun 2010 masih berada di bawah nilai radioaktivitas latar sebelum reaktor Kartini beroperasi (digunakan sebagai batas ambang) yaitu disajikan pada tabel 3 berikut ini:
Tabel.3 Data gross beta sebelum Reaktor Kartini Beroperasi No.
Jenis Cuplikan
Data awal
1
Air
0,0074 – 1,184 Bq/l
2
Tanah
0,1854 – 1,087 Bq/g
3
Tanaman
0,4784 – 10,931 Bq/g
Jatuhan
0,7178 – 57,276 Bq/g
4 Sumber: BATAN (1979)
Data pemantauan menunjukkan bahwa tidak terjadi kenaikan radioaktivitas lingkungan, yang berarti di kawasan reaktor Kartini antara sesudah dengan sebelum beroperasinya reaktor tersebut. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa unsur radioaktivitas tidak dapat dikendalikan oleh karenanya penyebaran unsur radioaktivitas sangat dipengaruhi oleh keadaan meteorologi seperti kondisi cuaca, angin dan lain-lain. Reaktor Kartini dengan daya 100 kW sampai saat ini belum menunjukan pengaruh adanya peningkatan radioaktivitas beta total dari sampel tanah yang diakibatkan oleh kegiatan operasi reaktor Kartini maupun penggunaan fasilitas perangkat nuklir lainnya, sehingga diduga sebagian besar radioaktif berasal dari radionuklida alam. Sumber radioaktif alam antara lain sinar kosmis dan radionuklida primordial yang terdiri dari K-40, Rb-87, deret U-238, (U-238, U-234, Th230, Ra-226, Rn-222, Pb-210, Po-210, Po-214),
Sri Wahyuningsih, dkk.
deret Th-232 (Th-232, Ra-228, Ra-224, Rn-220, Tl-208)(3). KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengukuran radioaktivitas beta total pada bulan Januari s/d Desember 2010, dapat disimpulkan sbb : Dari hasil pengukuran radioaktivitas beta total selama tahun 2010 yaitu berkisar 0,24 ± 0,15 Bq/g s/d 0,87 ± 0,16 Bq/g sehingga tidak ada indikasi terjadinya pelepasan zat radioaktif dari reaktor Kartini ke lingkungan khususnya tanah sehingga dapat dikatakan aman bagi masyarakat sekitar, data hasil pemantauan radioaktivitas pada sampel tanah di sekitar reaktor tidak melebihi data rona awal jangkau hasil pengukuran radioaktivitas beta total sebelum reaktor Kartini komisioning yaitu 0,1854 – 1,087 Bq/g .
ISSN 1410 – 8178
Buku II hal 319
PROSIDING SEMINAR PENELITIAN DAN PENGELOLAAN PERANGKAT NUKLIR Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan Yogyakarta, 27 Juli 2011
DAFTAR PUSTAKA 1. Dokumen Level I tantang Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) 2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran 3. Agus dan Muryono. 2006. Penentuan Faktor Transfer Radioaktivitas Dari Tanah ke Tumbuhan di Daerah Pemantauan Reaktor Kartini. Prosiding PPI – PDIPTN. 4. Cember, H. 1983. Pengantar Fisika Kesehatan. IKIP Semarang. Semarang. 5. Suratman. 1977. Pengukuran Radioaktivitasβ. PPNY-BATAN. Yogyakarta. 6. Abidin, Z. 1996. Evaluasi Data Pemantauan Radioaktivitas Lingkungan di Daerah Kawasan Reaktor Kartini. Fakultas Teknik Jurusan Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Skripsi. 7. Wardhana, W.A. 1984. Pengantar Teknik Analisis Radioaktivitas Lingkungan. Jurusan Teknik Nuklir Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Buku II hal 320
8. Wardhana, W.A. 1994. Teknik Analisis Radioaktivitas Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta. 9. Keputusan Kepala BAPETEN No.02/KaBAPETEN/V-99 tentang Baku Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan. 10. Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 Tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif .
TANYA JAWAB Sihono Apakah pernah terjadi peningkatan Radioaktivitas pada sampel asil Analisis gross-β ini apabila di bandingkan dengan periode sebelumnya bagaimana? Sri Wahyuningsih Selain Reaktor kartini beroperasi belum terjadi lonjakan Radioaktivitas. Di duga sebagian besar Radiaktivitas berasal dari alam
ISSN 1410 – 8178
Sri Wahyuningsih, dkk