PROSIDING SEMINAR HASIL LITBANG
ISBN 978-602-1681-17-6
PROSIDING SEMINAR HASIL LITBANG
Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Mayarakat Nusa Tenggara Timur Kupang, 16 Oktober 2012 Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi 2014
ISBN 978-602-1681-17-6
PROSIDING SEMINAR HASIL LITBANG
Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Mayarakat Nusa Tenggara Timur Kupang, 16 Oktober 2012 Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi 2014
PENYUNTING Penanggung Jawab
: Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Penyunting
: Prof. Rst. Dr.Ir. Pratiwi M.Sc Dr. Ika Heriansyah, S.Hut.,M.Agr Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si Dr. I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut.,M.Si Ir. Ragil Setio Budi Irianto, M.Sc Drs. Kuntadi, M.Agr
Sekretariat Redaksi Ketua Merangkap Anggota
: Ir. Harisetijono, M.Sc
Anggota
: Lukman Hakim, S.Hut.,MP Retno Kusumastuti Rahajeng, SH.,M.Hum
ii
KATA PENGANTAR Prosiding ini merupakan kumpulan hasil IPTEK dalam seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK Kupang) pada tanggal 16 Oktober 2012 merupakan salah satu pertanggungjawaban kepada publik atas dana yang digunakan. Seminar ini juga merupakan upaya penyebarluasan informasi atas hasil IPTEK yang dilakukan. Thema seminar adalah "Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Masyarakat Nusa Tenggara Timur." Diharapkan hasil-hasil IPTEK BPK Kupang dapat menjadi bahan pertimbangan para pihak dalam melaksanakan pembangunan kehutanan di wilayah semi arid untuk peningkatan pendapatan masyarakat. Akhirnya saya sampaikan apresiasi yang besar kepada panitia penyelenggara di BPK Kupang atas upaya yang konstruktif dalam penyebarluasan IPTEK yang dihasilkan. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Bogor, November 2014 Kepala Pusat
Ir. H. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002
iii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
iv
LAPORAN KETUA PANITIA
vi
RUMUSAN
viii
MAKALAH 1.
2.
3.
4.
UPAYA KONSERVASI DAN PELESTARIAN CENDANA: SEBUAH KAJIAN Sumardi , Hery Kurniawan, Misto ANALISIS FINANSIAL PENGEMBANGAN USAHA PERSEMAIAN CENDANA DI PULAU TIMOR S. Agung Sri Raharjo, Eko Pujiono, Retno Setyowati, Bernadus Ndolu KERAGAMAN SPESIES AVIFAUNA HUTAN PENELITIAN OILSONBAI - KUPANG, NTT Oki Hidayat PELUANG PENANGKARAN KURA-KURA LEHER ULAR ROTE (Chelodina mccordi,Rhodin 1994) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PENDAPATAN Kayat dan Grace S. Saragih
1
13
23
31
5.
EFEKTIFITAS PESTISIDA NABATI DAN HAYATI UNTUK PENGENDALIAN HAMA KUTU SISIK (Chionaspis sp.) PADA TANAMAN CENDANA (Santalum album linn) Rina Yuana Puspiyatun dan Heny Rianawati 43
6.
PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI BEBERAPA TIPE HUTAN DI PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR Dhany Yuniati, Hery Kurniawan, Eko Pujiono, Felipus Banani
53
HUTAN TANAMAN CENDANA DI OMTEL DAN AMAKLAT KABUPATEN ALOR NUSA TENGGARA TIMUR M. Hidayatullah
67
ANALISIS SPASIAL DEFORESTASI : STUDI CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS Eko Pujiono
81
POLA KEMITRAAN DALAM REHABILITASI MANGROVE : STUDI KASUS DI KECAMATAN BOLENG – KABUPATEN MANGGARAI BARAT M. Hidayatullah
93
7.
8.
9.
iv
10. POTENSI DAN NILAI EKONOMI EKOWISATA TAMAN NASIONAL LAIWANGGI WANGGAMETI DAN UPAYA PENINGKATANNYA Rahman Kurniadi
105
11. PEMANFAATAN KOTORAN SAPI DAN PENANAMAN TANAMAN CASUARINA PADA LAHAN KERING DI HAMBALA SUMBA TIMUR Ida Rachmawati
115
12. PERTUMBUHAN DAN GANGGUAN KESEHATAN TANAMAN CENDANA (Santalum album Linn) DI KHDTK SISIMENI SANAM Irfa’i 125 13. TEKNIK PENURUNAN KADAR AIR MADU DALAM RUANGAN MENGGUNAKAN DEHUMIDIFIER Saptadi Darmawan, Retno Agustarini, Nurul Wahyuni
LAMPIRAN Jadwal Acara Daftar Peserta
v
137
LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR HASIL PENELITIAN “ PERAN IPTEK HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR” KUPANG, 16 OKTOBER 2012
Yang terhormat Bapak Kepala Badan Litbang yang diwakili Kepala Pusat Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengelolaan Hasil Hutan ; Yang terhormat para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan di Kupang Yang terhormat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT Yang terhormat Para Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten dan Kota Se-NTT. Yang terhormat para pemakalah Penelitian, dan para undangan yang telah hadir.
Assalamu’alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua, Puji Syukur kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi hikmat dan karunia kepada kita semua sehingga dapat berkumpul di tempat ini untuk mengikuti dan berdiskusi dalam kegiatan seminar hasil penelitian. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada bapak/ibu sekalian yang telah hadir dan meluangkan waktunya untuk memenuhi undangan kami baik sebagai narasumber maupun peserta seminar hasil penelitian. Dasar pelaksanaan Seminar Hasil Penelitian ini adalah : Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (SP-DIPA) TA. 2012 Nomor 0380/029-07.2.01/22/2012 tanggal 9 Desember 2011. Thema yang akan diskusikan adalah : “Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu Untuk Kesejahteraan Masyarakat Nusa Tenggara Timur” . Seperti kita ketahui bersama bahwa Negara kita memiliki potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sangat besar oleh karenanya Balai Penelitian Kehutanan Kupang sebagai institusi penelitian telah melakukan dan menghasilkan berbagai hasil penelitian HHBK yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna.
vi
Para hadirin yang terhormat, Tujuan
diadakannya kegiatan seminar ini adalah untuk memasyarakatkan hasil – hasil
penelitian HHBK yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk menunjang kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Terkait dengan pemanfaatan HHBK, peserta yang diundang berasal dari UPT Kementerian Kehutanan di Kupang, Pengelola Ekosistem Hutan, Penyuluh, Peneliti, Akademisi, Dinas Kehutanan Propinsi NTT, Dinas Kehutanan Kabupaten- Kota se –NTT.
Materi yang akan di sampaikan meliputi : Kebijakan Pengelolaan HHBK di Propinsi NTT, Kelembagaan Pengelolaan HHBK di NTT, Strategi Pelestarian dan Upaya Konservasi Cendana, Analisis Finansial Berbagai Persemaian Cendana di Pulau Timor, Keragaman Spesies Avifauna Hutan Penelitian di Oelsonbai, Karakteristik Habitat, Efektifitas Pestisida Alami Untuk Pengendalian Hama Kutu Sisik Pada Tanaman Cendana di Ponaian Kab. Kupang, Pendugaan Simpanan Karbon di Beberapa Tipe Hutan di Propinsi NTT.
Para hadirin yang terhormat, Demikianlah yang dapat kami laporkan terkait dengan penyelenggaraan Seminar Hasil Penelitian. Kurang dan lebihnya mohon maaf.
Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
vii
RUMUSAN Seminar Hasil Litbang Balai Penelitian Kehutanan Kupang “Peran Iptek Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Masyarakat Nusa Tenggara Timur” Kupang, 16 Oktober 2012
Memperhatikan sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, arahan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), pemaparan pemateri dan diskusi yang berkembang dalam seminar ini, maka forum sepakat untuk membuat rumusan sebagai berikut: 1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki peran yang penting bagi sektor kehutanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. HHBK unggulan NTT antara lain adalah kutu lak (Laccifer lacca), lebah madu (Apis sp), ulat sutera (Bombyx mori), kemiri (Aleurites moluccana), asam (Tamarindus indica), cendana (Satalum album), gaharu (Aquilaria sp) dan bambu (Bamboosa sp). Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan HHBK adalah permasalahan pemasaran. Diperlukan penelitian berkaitan dengan permasalahan tersebut dan penelitian beberapa jenis HHBK potensial (Kemiri, Lontar) 2. Upaya pelestarian dan konservasi cendana mendesak untuk dilaksanakan oleh seluruh stakeholder, mengingat resiko kepunahan cendana semakin tinggi. Strategi pelestarian cendana antara lain adalah penggunaan benih berkualitas, pemilihan target lahan potensial, pengembangan cendana di lahan masyarakat dan pemberian insentif pengembangan cendana. Sedangkan strategi konservasi dapat dilakukan dengan konservasi tegakan tersisa, pengumpulan materi genetik dan pembuatan plot konservasi sumberdaya genetik. 3. Untuk lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pengelolaan cendana diperlukan pemberian insentif. Bentuk insentif dapat berupa pelatihan, bantuan bibit dan biaya pemeliharaan, maupun pemberian penghargaan bagi masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah perbaikan peraturan daerah tentang cendana serta peningkatan komitmen seluruh stakeholder cendana dalam pelaksanaan Masterplan Cendana. 4. Penyediaan bibit dalam jumlah dan kualitas yang baik sangat penting dalam upaya pengembangan cendana di NTT. Pembibitan cendana baik dalam skala kecil maupun besar mampu memberikan keuntungan finansial bagi para pengembangnya. Pemerintah perlu terus mendorong upaya pembibitan oleh swasta ataupun masyarakat dan menjamin ketersediaan pasar bibit cendana melalui kebijakan pengembangan cendana. 5. Di sekitar Hutan Penelitian Oeilsonbai dijumpai beragam jenis avifauna (33 spesies dari 20 famili). Akses jalan yang mudah dan dekat dengan Kota Kupang menjadikan lokasi tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata bird watching. 6. Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumberdaya alam khususnya fauna yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai pendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu spesies yang memiliki potensi yang cukup besar dan belum banyak dikembangkan di NTT adalah Kura kura leher ular (Chelodina mccordi). Penangkaran Kura kura asli Pulau Rote ini dapat dilakukan oleh masyarakat maupun swasta. Perlu penelitian berkaitan pakan kura-kura di penangkaran yang lebih murah dan mudah dibuat oleh masyarakat. viii
7. Pengendalian hama dan penyakit cendana dapat dilakukan dengan memanfaatkan pestisida alami. Beberapa bahan lokal yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian hama dan penyakit kutu sisik pada cendana adalah mimba dan kerinyu. Mimba memiliki efektifitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan kerinyu. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejarah serangan hama penyakit dan faktor genetik cendana. 8. Nusa Tenggara Timur menyimpan potensi karbon yang cukup besar. Hutan alam Ampupu (Eucalyptus urophylla) maupun hutan alam huek (Eucalyptus alba) yang merupakan jenis-jenis asli NTT memiliki rata-rata simpanan karbon perhektar yang lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon pada hutan tanaman jati (Tectona grandis) dan hutan tanaman ampupu (E. urophylla). Hal ini jika digarap dengan lebih serius akan memberikan manfaat ekonomi yang cukup besar bagi NTT. 9. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi Sumber Daya Hutan yang ada diperlukan dukungan kebijakan dan komitmen seluruh stakeholder yang ada di Provinsi NTT. Teknologi yang terus dikembangkan diharapkan dapat menjadi pendorong bagi terwujudnya pemanfaatan hutan dan kehutanan sebagai salah satu penopang perekonomian Wilayah NTT. Disinilah tantangan bagi Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk terus menghasilkan penelitian yang menunjang pengembangan dan pemanfaatan potensi daerah bagi kesejahteraan masyarakat.
Tim Perumus
ix
x
UPAYA KONSERVASI DAN PELESTARIAN CENDANA: SEBUAH KAJIAN Oleh : Sumardi, Hery Kurniawan dan Misto ABSTRAK Cendana (Santalum album Linn.) merupakan salah satu species dari famili Santalaceae yang mampu menghasilkan minyak atsiri dengan aroma khas dan bernilai enonomi tinggi. Jenis ini memiliki keunggulan kualitas lebih tinggi dalam produksi kayu teras dan kandungan minyak dibandingkan jenis lain dari genus Santalum yang juga mampu menghasilkan minyak atsiri. Populasi jenis ini telah mengalami penurunan produksi tajam akibat eksploitasi yang berlebihan dan tidak diikuti dengan upaya pelestarian. Penurunan populasi cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menurut kriteria dan kategori versi 3.1 tahun 2001 dari International Union for Conservation of Nature and Natural Recources (IUCN, 2001) termasuk katagori Critically Endanger (CR A1d). Dengan demikian perlu dilakukan upaya pelestarian dan konservasi untuk menjamin kelangsungan jenis ini di NTT. Berdasarkan kajian terhadap beberapa hasil penelitian dan studi pustaka, upaya konservasi dan pelestarian cendana yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan konservasi tegakan, pengumpulan materi genetik, demplot konservasi sumberdaya genetik, penggunaan benih berkualitas, pemilihan target lahan potensial, pengembangan di lahan masyarakat dan pemberian insentif pengembangan cendana. Kata Kunci : eksploitasi, strategi, pelestarian, konservasi sumberdaya genetik
I. PENDAHULUAN Cendana (Santalum album Linn.) telah lama dikenal sebagai komoditi bernilai ekonomi tinggi. Jenis ini memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selama kurun waktu 1989/1990–1999/2000, dengan kontribusi sebesar 40% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Darmokusumo et al., 2000). Namun demikian, eksploitasi berlebihan dan tanpa diimbangi dengan upaya rehabilitasi mengakibatkan penurunan potensi, bahkan tidak dapat memberikan kontribusi bagi PAD Provinsi NTT sejak tahun 2000. Disamping sebagai icon Provinsi NTT, cendana jenis S. album memiliki keunggulan kandungan minyak lebih tinggi dibanding dengan jenis lain pada genus Santalum. Seperti disampaikan oleh Srinivasan et al., 1992 dalam Barret & Fox, 1997, bahwa beberapa spesies dari genus Santalum lainnya juga menghasilkan minyak, namun S. album memiliki kualitas minyak lebih baik dari spesies lain dari genus Santalum. Rata-rata kandungan minyak pada kayu teras S. album sebesar 4,5-6,5%, lebih besar jika dibandingkan dengan kandungan minyak pada S. spicatum (1,5-3,0%) dan S. lanceolatum (1,8-2,5%) yang tumbuh di Australia (Weiss, 1997 dalam Doran et al., 2002). Dengan demikian, jelas bahwa cendana jenis S. album yang mampu tumbuh secara alami di NTT memiliki nilai ekonomi lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis lain pada genus Santalum, melestarikan dan mengembalikan peranan cendana dalam
1
pembangunan Provinsi NTT merupakan tantangan sekaligus kesempatan yang besar yang harus segera dilakukan. II. KONSERVASI CENDANA Pengelolaan sumberdaya alam atau biodiversitas perlu dikelola dan dijaga dengan baik pada semua tingkatan, baik pada tingkat ekosistem, spesies, maupun genetik. Upaya konservasi cendana merupakan hal mendesak yang harus dilakukan untuk menjamin kelangsungan jenis tersebut. Upaya konservasi yang dapat dilakukan pada cendana saat ini adalah dengan melakukan konservasi tegakan, pengumpulan materi genetik, dan demplot konservasi sumberdaya genetik. A. Konservasi Tegakan Akibat ekploitasi cendana yang berlebihan dan kesalahan kebijakan dalam pengelolaan cendana telah mengakibatkan terjadinya degradasi potensi cendana baik di alam
maupun
di
lahan-lahan
masyarakat.
Penurunan
populasi
ini
sangat
mengkhawatirkan terhadap eksistensi cendana. Kemerosotan populasi cendana menurut data hasil inventarisasi Dinas Kehutanan NTT tahun 1987-1988 dan 1997-1998 mencapai 85% dalam kurun waktu 10 tahun (William, 2001). Menurut kriteria dan kategori versi 3.1 tahun 2001 dari International Union for Conservation of Nature and Natural Recources (IUCN, 2001), pengurangan populasi ini termasuk kategori Critically Endangered (CR A1d) yang berarti populasinya menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi dalam waktu yang sangat dekat karena tingginya tingkat eksploitasi yang mengakibatkan penurunan luas wilayah yang ditempati, dan kualitas habitatnya menurun (Haryjanto, 2007). Berdasarkan hasil inventarisasi tahun 1987, sekitar 80 % pohon cendana berada di lahan masyarakat dan hanya sedikit yang berada di dalam kawasan hutan (Ndoen, 2003). Pada tahun 2011 dilakukan inventarisasi potensi dan habitat cendana, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata potensi cendana pada tingkat pohon di lahan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu berturut-turut adalah sebanyak 7, 1, dan 2 pohon/desa (Kurniawan, 2011). Potensi cendana yang masih tersisa, jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan akan segera hilang seiring dengan kebutuhan ekonomi pemiliknya. Cendana ukuran besar pada tingkat pohon umumnya ditemui di lahan masyarakat yang relatif dekat dengan tempat tinggal pemiliknya, hal ini berhubungan dengan keamanan dari pencurian pohon cendana yang diketahui memiliki nilai ekonomi tinggi. Tindakan 2
penyelamatan yang dapat dilakukan antara lain dengan pemberian insentif bagi pemilik cendana pada tingkat pohon atau pada ukuran diameter pohon tertentu yang dapat digunakan sebagai pohon induk. Dengan pemberian insentif tersebut, diharapkan masyarakat akan tetap menjaga keberadaan pohon induk tersebut sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat. Disamping itu pelatihan dan bimbingan teknis terhadap masyarakat tentang pemanenan biji cendana perlu dilakukan, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam pemanenan biji cendana. Dengan demikian selain insentif yang diberikan, masyarakat juga mendapat tambahan pendapatan dari hasil penjualan biji cendana hasil pemanenan di lahan miliknya. Cendana yang berada di dalam kawasan hutan jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan yang tumbuh di lahan masyarakat. Tindakan pemeliharaan dan pengamanan cendana di dalam kawasan hutan dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Bentuk pelibatan masyarakat setempat merupakan langkah pemberian insentif dalam bentuk gaji dari pemerintah sekaligus untuk menghindari perusakan dan pencurian pohon cendana oleh masyarakat sekitar. Pengamanan di dalam kawasan hutan untuk pohon cendana memiliki kekhususan perlakuan dibanding dengan pengamanan jenis pohon kayu lainnya, karena nilai ekonominya yang tinggi. B. Pengumpulan Materi Genetik Pemanenan kayu teras cendana selalu dilakukan dengan diikuti pemanenan akarnya, karena kandungan minyak cendana juga terdapat pada akarnya (Rao & Bapat, 1992). Hal tersebut sangat merugikan, karena tanaman tersebut sudah tidak mungkin lagi melakukan regenerasi menggunakan tunas akar. Konsekuensi lebih jauh dari tindakan tersebut adalah hilangnya beberapa genetik potensial untuk kepentingan program pemuliaan. Hasil penelitian jenis cendana menggunakan allozyme dan random amplified polymorphic DNA (RAPD) di Victoria, Australia menunjukkan bahwa regenerasi aseksual melalui tunas akar dapat meningkatkan ukuran populasi jenis tersebut (Trueman et al., 2001). Hal tersebut berkaitan dengan tetap terjaganya keragaman genetik dari populasi sebelumnya. Keragaman genetik diperlukan oleh setiap spesies untuk menjaga vitalitas reproduksi, ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan beradaptasi pada perubahan lingkungan (Haryjanto, 2007). Keragaman genetik merupakan faktor penting dalam program pemuliaan tanaman. Hal ini disebabkan karena keragaman genetik merupakan faktor penentu bagi peningkatan perolehan genetik dalam program pemuliaan tanaman. 3
Semakin luas keragaman genetik yang tersedia akan memberikan kemungkinan lebih besar pada peningkatan perolehan genetik. Besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka pendek dan evolusi dalam jangka panjang (Lande & Shannon, 1996 dalam Rimbawanto et al., 2007). Hal serupa juga disampaikan oleh Finkeldey & Hattemer, 2007, bahwa semakin tinggi keragaman genetik suatu tanaman semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan mencerminkan kemampuan suatu jenis untuk bertahan hidup dengan adanya perubahan lingkungan. Keragaman genetik sangat diperlukan dalam strategi konservasi secara efektif (Loveless, 1992 dalam Azees et al., 2009). Hasil penelitian Rimbawanto et al., 2007, dengan menggunakan materi dari 17 populasi cendana di NTT dan Jawa menunjukkan bahwa rerata keragaman genetik populasi cendana yang dianalisis sebesar 0,391, dengan rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,038. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik yang berada di dalam populasi adalah sekitar 96%. Dengan demikian keragaman genetik cendana di NTT dan Jawa lebih banyak berada di dalam populasi
dibanding
antar
populasi.
Dengan
demikian
untuk
menjaga
dan
menyelamatkan meteri genetik yang masih tersisa saat ini, dapat dilakukan dengan mengambil sebanyak-banyaknya materi genetik di dalam populasi yang masih ada. Individu di dalam populasi biasanya berbeda secara genetik satu dengan lainnya karena setiap individu memiliki gen yang berbeda. Tindakan tersebut dilakukan dengan harapan dapat menjaring sebanyak-banyaknya genetik yang masih tersisa pada populasi cendana untuk di konservasi untuk kepentingan program pemuliaan di masa mendatang. Materi yang berhasil dikumpulkan dari populasi cendana ditanam dalam satuan lahan dalam bentuk kebun konservasi sumberdaya genetik. Tujuan konservasi sumberdaya genetik hutan adalah melindungi kemampuan hutan untuk beradaptasi dari perubahan lingkungan dan menjadi populasi dasar untuk meningkatkan produksi dan keuntungan lain dari pertumbuhan pohon melalui seleksi dan aktivitas pemuliaan (Erriksson et al., 1993 dalam Skroppa, 2005). Sumberdaya genetik tersebut diharapkan akan aman untuk dimanfaatkan dimasa mendatang. Selain mengambil materi genetik sebanyak-banyaknya di dalam populasi cendana, hal yang harus diperhatikan adalah meminimalkan efek inbreeding yang memiliki efek negatif pada karakter-karakter penting untuk pemuliaan tanaman dan usaha menjaga variasi genetik jangka panjang. Untuk menjamin sampel materi tidak 4
berkerabat, maka penentuan jarak antar pohon induk perlu mempertimbangkan sistem penyerbukan dan penyebaran benih. Aturan umum jarak antar pohon induk sebaiknya lebih dari 100 m. Untuk konservasi sumberdaya genetik secara eksitu, standar keragaman genetik paling tidak mengkonservasi 90-95% semua allele dengan frekuensi alelle>0,05 (common allele) (Marshall & Brown, 1975 dalam Neel & Cummings, 2003). Kegiatan konservasi dengan menentukan sampling dari 5 populasi untuk spesies yang jarang dapat menangkap 90-95% common allele (Brown & Briggs, 1991). The Centre for Plant Conservation (1991) untuk melakukan konservasi genetik menggunakan standar yang disarankan Marshall & Brown (1975) untuk standar keragaman genetik paling tidak mengkonservasi 90-95% semua allele dengan frekuensi alelle>0,05 dan menggunakan standar yang disarankan Brown & Briggs (1991) untuk menerapkan 5 populasi target untuk koleksi materi genetik konservasi eksitu (Haryjanto, 2012). C. Demplot Konservasi Sumberdaya Genetik Demplot konservasi sumberdaya genetik secara eksitu diperlukan untuk menyelamatkan materi genetik yang telah berhasil dikumpulkan sebagai sumber materi bagi program pemuliaan cendana di masa mendatang. Pembangunan demplot mengikuti konsep konservasi sumberdaya genetik era ketiga menurut Soekotjo (2001), yaitu dengan penanaman sistem populasi terpisah untuk mencegah adanya hibridisasi antar populasi dan dengan tetap mempertahankan identitas famili dan individu di dalam populasi. Konsep dengan struktur yang demikian menguntungkan baik dari sudut pandang pemuliaan maupun konservasi. Desain yang digunakan menyesuaikan dengan kondisi lahan yang ada, namun diusahakan berbentuk bujur sangkar. Jika jenis yang dikonservasi lebih dari satu, maka penanaman dapat dilakukan dengan saling berdampingan antar jenis. Jenis yang berbeda sekaligus dimanfaatkan sebagai jalur isolasi bagi jenis yang lainnya. Upaya konservasi sumberdaya genetik cendana telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Populasi yang dikoleksi berasal dari Pulau Timor (11 populasi), Pulau Sumba (4 populasi), Pulau Alor (3 populasi), Pulau Jawa (1 populasi), Pulau Flores (2 populasi), Pulau Pantar (1 populasi) dan Pulau Rote (1 populasi). Hasil analisis Rimbawanto et al. (2007), dengan menggunakan materi dari 17 populasi cendana di NTT dan Jawa menunjukkan keragaman genetik yang berada di dalam 5
populasi sekitar 96%. Berdasarkan data tersebut Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang, berupaya untuk melakukan konservasi sumberdaya genetik cendana di NTT dengan sumber materi genetik yang lebih banyak diambil di dalam populasi yang masih ada, dengan mengikuti konsep konservasi sumberdaya genetik generasi ketiga. Konservasi sumberdaya genetik cendana juga dilakukan di Provinsi NTT dengan membangun plot konservasi sumberdaya genetik di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Konservasi tersebut melibatkan 3 populasi dari Pulau Timor yakni Populasi Pulau Timor Bagian Barat I (Bu’at), Populasi Pulau Timor Bagian Barat II (Netpala) yang mewakili populasi dataran tinggi Pulau Timor, dan Populasi Pulau Timor Bagian Timur (Belu) yang mewakili populasi dataran rendah Pulau Timor. Masing-masing populasi terdiri dari 25 famili, sehingga konservasi sumberdaya genetik cendana yang dilakukan pada tahun 2012 oleh BPK Kupang di Kabupaten TTU adalah sebanyak 75 famili.
III. STRATEGI PELESTARIAN CENDANA Cendana sebagai tanaman asli Provinsi NTT, sudah selayaknya untuk dikembangkan di daerah asalnya. Strategi pelestarian yang dapat dilakukan pada cendana selain penerapan teknik budidayanya saat ini adalah dengan penggunaan benih berkualitas, pemilihan target lahan potensial, pengembangan di lahan masyarakat, dan pemberian insentif pengembangan cendana. A. Penggunaan Benih Berkualitas Benih berkualitas akan menghasilkan pertanaman yang berkualitas, begitupun sebaliknya benih dengan kualitas rendah akan menghasilkan pertanaman dengan kualitas rendah. Untuk mendapatkan benih berkualitas dibutuhkan sumber benih berkualitas. Sumber benih untuk tujuan pemenuhan benih dalam jangka pendek dapat berupa tegakan benih teridentifikasi (TBT), tegakan benih terseleksi (TBS), maupun areal produksi benih (APB). Ketiga sumber benih tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih jangka pendek yang sifatnya sementara, sebelum tersedia sumber benih pada tingkatan lebih tinggi yakni tegakan benih provenan (TBP), kebun benih semai (KBS), kebun benih klon (KBK), dan kebun pangkas (KP). Benih yang dihasilkan dari sumber benih berkualitas, diharapkan merupakan benih yang dihasilkan dari perkawinan silang (cross-breeding) sehingga benihnya memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil perkawinan kerabat 6
(inbreeding) atau perkawinan sendiri (selfing). Daya adaptabilitas terhadap lingkungan pada pertanaman yang dihasilkan dari benih hasil perkawinan silang akan lebih tinggi, disebabkan oleh genetik penyusun yang dibawa dari induknya lebih bervariasi. Besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka pendek dan evolusi dalam jangka panjang (Lande & Shannon, 1996 dalam Rimbawanto et al., 2007). Benih yang dimanfaatkan pada pengembangan cendana saat ini sebagian besar berasal dari benih asalan, yang asal-usulnya tidak jelas. Benih yang demikian memiliki kecenderungan berasal dari hasil selfing atau inbreeding. Hal ini akan berdampak pada kualitas benih yang dihasilkan, benih tidak dapat berkecambah, dapat berkecambah tetapi tidak dapat bertahan hidup lama. Dalam upaya peningkatan kualitas benih cendana yang digunakan sebagai materi pembuatan tanaman, BPTH Bali dan Nusa Tenggara telah melakukan upaya melakukan sertifikasi beberapa sumber benih cendana di NTT. Sumber benih bersertifikat jenis cendana di diwilayah NTT hingga Mei 2012, disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Sumber benih cendana di diwilayah NTT hingga Mei 2012 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Lokasi Lew Oeleng Meredadana Kampung Wotok Adang Kokar Pagomogo Noenbila HTI Polen Pusu Netpala-Oelbubuk Oebatu
Kab./Kota Lembata Sumba Barat Daya Manggarai Alor Nagakeo Timor Tengah Selatan Timor Tengah Selatan Timor Tengah Selatan Timor Tengah Selatan Rote Ndao
Luas (Ha)
Kelas
2,50 2,03 0,75 5,55 4,09 1,60 0,10 1,17 4,09 5,34
TBT TBT TBT TBT TBT TBT TBT TBT APB TBT
Sumber : BPTH Bali dan Nusa Tenggara (dalam Sumardi, 2012)
Pada tahun 2012 pembangunan sumber benih cendana dilakukan pada klasifikasi sumber benih lebih tinggi yakni Kebun Benih Semai (KBS), melalui uji keturunan generasi pertama (F-1). Uji keturunan dilakukan di Kabupaten TTU dengan melibatkan sebanyak 70 famili yang berasal dari P. Timor dan P. Sumba. B. Pemilihan Target Lahan Potensial Pemilihan lahan potensial yang tepat untuk pengembangan cendana akan mengurangi resiko kegagalan atau kematian tanaman di lapangan. Cendana mampu tumbuh pada kondisi tapak yang bervariasi dan tumbuh secara alami pada daerah tropis (Sen-Sarma, 1977). Jenis ini dijumpai pada jenis tanah antara berpasir hingga tanah 7
berbatu, namun lebih sering dijumpai pada tanah merah liat (Troup, 1921). Meskipun kisaran tempat tumbuh cendana cukup luas, harus berhati-hati dalam memilih lokasi untuk penanaman cendana. Cendana akan tumbuh optimal pada daerah dengan curah hujan 600–1600 mm, temperatur tahunan minimum sekitar 100C dan maksimum sekitar 350C (Neil, 1990). Cendana termasuk tumbuhan semi parasit dimana selama hidupnya memerlukan inang untuk membantu menyerap hara melalui haustoria. Cendana mengambil unsur N, P dan asam amino dari inang, sedangkan unsur Ca dan K diambil dari akar cendana (Sen-Sarma, 1977). Berdasarkan hasil penelitian Sumardi, et al., 2011, luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana pada masing-masing kabupaten di Pulau Timor adalah seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi luasan lahan potensial untuk cendana pada masing-masing kabupaten/kota di Pulau Timor Wilayah Kabupaten/Kota Kabupaten Belu
Luasan Potensial untuk Cendana (ha) 125.216,69
Persentase dari Luasan Total Daratan (%) 51,32
Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)
163.554,16
61,26
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)
278.818,77
70,64
Kabupaten Kupang
263.677,77
44,73
8.994,48
49,89
Kota Kupang Sumber : Sumardi et al., 2011
Berdasarkan Tabel 1, wilayah kabupaten/kota yang memiliki luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana paling banyak adalah Kabupaten TTS yaitu seluas 278.818,77 ha atau 70,64% luas total daratan kabupaten tersebut. Persentase luasan lahan potensial untuk pengembangan dan budidaya cendana secara keseluruhan di Pulau Timor adalah seluas 840.261,87 ha atau sebesar 56,08% dari total keseluruhan luas daratan di Pulau Timor. Luasnya lahan potensial tersebut disebabkan oleh kondisi lahan di Pulau Timor yang merupakan habitat alami cendana, didukung dengan jenis tanaman cendana yang memiliki toleransi tinggi terhadap kondisi yang bervariasi (SenSarma, 1977). C. Pengembangan di Lahan Masyarakat Model pengembangan cendana di lahan masyarakat dapat dilakukan pada lahan atau lokasi di sekitar pekarangan rumah. Hal tersebut berhubungan dengan kemudahan dalam pemeliharaan dan keamanan dari pencurian. Cendana merupakan jenis tanaman
8
yang memerlukan pemeliharaan secara intensif, terutama pada saat umur tanaman masih muda. Penanaman cendana dapat dilakukan pada lahan kosong di sela-sela tanaman pekarangan yang sudah ada sebelumnya. Tanaman pekarangan dapat dimanfaatkan sebagai penaung awal bagi cendana yang ditanam dan sebagai inang sekunder jangka menengah dan panjang jika tanaman pekrangan merupakan jenis legum. Cendana membutuhkan penaung awal jika ditanam dilapangan, untuk menghindari tanaman layu akibar penguapan yang berlebih dan cendana yang baru ditanam dilapangan rentan terhadap cahaya matahari yang terlalu terik. Cendana di lahan pekarangan memungkinkan untuk dilakukan penyiraman karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah. D. Pemberian Insentif Pengembangan Cendana Pelaksanaan pengembangan cendana di lahan masyarakat dapat dilakukan berdasar atas keinginan masyarakat untuk mengembangkan cendana di lahan miliknya atau pengembangan cendana yang didasarkan pada program pemerintah untuk mendukung pemulihan cendana di NTT. Jika pengembangan didasarkan pada keinginan masyarakat maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan tersebut dengan menyediakan bibit dan membimbing masyarakat dalam penanamannya. Kegiatan pemeliharaan tentunya tidak memerlukan biaya dari pemerintah, karena masyarakat telah sadar dengan sendirinya untuk menanam dan mengembangkan cendana di lahan miliknya. Namun demikian penyediaan bibit masih memerlukan bantuan pemerintah karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki pengetahuan tentang pembibitan cendana. Pembinaan dan bimbingan kepada masyarakat harus dilakukan sampai masyarakat mampu untuk membuat bibit sendiri dan menguasai teknik penanaman cendana dengan benar. Pengembangan cendana yang didasarkan pada program pemerintah untuk mendukung pemulihan cendana di NTT, akan membutuhkan biaya yang lebih besar dibanding dengan pengembangan cendana yang didasarkan pada keinginan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat target belum tentu mau dan memiliki keinginan untuk menanam cendana, sehingga masyarakat akan menanam dan memelihara cendana jika ada kompensasi dalam bentuk upah bagi mereka. Untuk menumbuhkan minat dan keseriusan masyarakat dalam pengembangan cendana perlu dilakukan upaya terobosan seperti dalam bentuk pemberian insentif langsung kepada masyarakat yang berhasil 9
melakukan pengembangan cendana. Insentif tersebut dapat diberikan dari biaya upah pemeliharaan diubah dalam bentuk kompensasi bagi tanaman yang bertahan hidup hingga tahap evaluasi jangka waktu tertentu. Dengan demikian masyarakat akan berusaha menjaga dan memelihara cendana agar tetap hidup, dengan harapan mendapat uang kompensasi yang lebih banyak jika tanaman cendana mereka banyak yang bertahan hidup. Insentif langsung pada masyarakat dapat diatur dalam periode tertentu berdasarkan jumlah tanaman yang hidup yang telah dibudidayakan. Insentif ini sepertinya akan lebih efektif nilainya jika dibandingkan dengan pemberian upah tenaga kerja lapangan yang diberikan tanggung jawab untuk pemeliharaan tanaman cendana di lapangan. IV. PENUTUP Pelestarian dan konservasi cendana di NTT harus segera dilakukan karena status populasinya menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi dalam waktu dekat. Upaya
tersebut
dilakukan
bersama-sama
dengan
semua
stakeholder
tanpa
mengedepankan ego-sektoral. Strategi konservasi yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan konservasi tegakan yang masih tersisa dari berbagai ancaman dan gangguan, pengumpulan materi genetik untuk mengumpulkan semua materi genetik cendana yang masih tersisa dengan melakukan eksplorasi biji cendana dari semua lokasi di NTT, dan pembangunan demplot konservasi sumberdaya genetik sebagai populasi dasar yang akan sangat berguna bagi tindakan pemuliaan tanaman cendana dimasa yang akan datang. Sedangkan untuk strategi pelestariannya adalah dengan penggunaan benih berkualitas dalam setiap upaya pengembangan cendana sehingga akan didapatkan hasil tanaman dengan kualitas yang tinggi pula, pemilihan target lahan potensial untuk mengurangi resiko kegagalan akibat ketidaksesuaian lahan untuk budidaya cendana, pengembangan di lahan masyarakat sebagai salah satu upaya untuk menjaga keamanan tanaman dari pencurian dan intensitas pemeliharaan yang lebih baik dan pemberian insentif pengembangan cendana untuk merangsang minat masyarakat dalam menanam dan menjaga serta memelihara cendana sampai siap panen.
10
DAFTAR PUSTAKA Abdul Azeez S., Nilson R., Prasad B.A. 2008. Optimization of DNA Isolation and PCR in Santalum album L, Suitable for RAPD and Restriction Digestion. Res. J. Biotechnol. ISBT. 369-371. Barret D. R., Fox J.E.D. 1997. Santalum album: Kernel Composition, Morphological and Nutrient Characteristics of Pre-parasitic Seedlings under Various Nutrient Regimes. Annals of Botany 79: 59 - 66. Brown, A.H.D. & J. D. Briggs 1991. Sampling Strategies for Genetic Variation in Ex Situ Collections of Endangered Plant Species, GENETICS AND CONSERVATION OF RARE PLANTS.
Darmokusumo, S. Nurgoho. A.A., Botu, E.U., Jehamat, A., Benggu, M. 2000. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomis Cendana di NTT. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Kajian terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L) sebagai Komoditi Utama Perekonomian Prop. NTT Menuju Otonomisasi. Pemda Tk. I NTT bekerjasama dengan LIPI di Jakarta. Jakarta. Doran, J.C., Thomson, L.A.J., Brophy, J.J. 2002. Sandalwood. Regional Workshop on Sandalwood Research, Development and Extension in the Pacific Islands and Asia. Noumea. New Caledonia. Finkeldey, R., Hattemer, H.H. 2007. Tropical Forest Genetics. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg. Haryjanto L. 2012. Pembangunan dan Pengelolaan Areal Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Areal Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Ditjen BPDASPS. Kementerian Kehutanan. Denpasar. Haryjanto L. 2007. Konservasi Sumber Daya Genetik Cendana (Santalum album Linn.). Prosiding Gelar Teknologi Cendana “Cendana untuk Rakyat: Pengembangan Tanaman Cendana di Lahan Masyarakat”. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 53-59. Kurniawan. 2011. Eksplorasi Ekologi Cendana (Santalum album L.) di Pulau Timor. Laporan Hasil Penelitian tidak dipublikasikan. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. Ndoen, M.J.S.. 2003. Perkembangan dan Pelestarian Pohon Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Pulau Timor) Nusa Tenggara Timur. Prosiding Promosi Hasil-hasil Penelitian Cendana. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. Neel, M.C. & Cummings, M.P.. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing genetic diversity. Conservation Biology. 17: 219-229. Neil, P.E. 1990. Growing Sandalwood in Nepal – Potential Silvicultur Methods and Research Priorities. USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-122. 72-75. Rao P.S., Bapat V.A. 1992. Micropropagation of sandalwood (Santalum album L.). In: Bajaj YPS, ed. Biotechnology in agriculture and forestry. Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag. 193–210. Rimbawanto A. 2007. Keragaman Genetik Santalum album dan Implikasinya Bagi Konservasi Sumberdaya Genetik. Prosiding Gelar Teknologi Cendana “Cendana
11
untuk Rakyat: Pengembangan Tanaman Cendana di Lahan Masyarakat”. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 33-41. Sen-Sarma PK. 1977. Sandalwood-its cultivation and utilisation. In: Attal CK, Kapoor BM, eds. Cultivation of medicinal and aromatic plants. RRL Jamu. 287-297. Skroppa, T. 2005. Ex situ conservation methode. In: Gubrek, T., and Turok, J. (eds). Conservation and Management of Forest Genetic Resources in Europe. Arbora Publisher. Zvolen. Soekotjo. 2001. The Status of Ex situ Conservation of Comercial Trees in Indonesia. 147–160. In: Thielges B.A., Sastrapraja S.D., Rimbawanto A. (eds). Proceding: Seminar on In situ and Ex situ Conservation of Comercial Tropical Trees. Gadjah Mada University and International Tropical Timber Organization. Yogyakarta. Sumardi, Hidayatullah M., Yuniati D. 2011. Pembuatan Peta Digital dalam Perencanaan Pengembangan Budidaya Cendana (Santalum album Linn.). Laporan Penelitian Program Insentif Riset dan Teknologi, tidak dipublikasikan. Kupang. Sumardi. 2012 Dukungan Kementerian Kehutanan Terhadap Pelestarian dan Pengembangan Cendana di NTT. Makalah disampaikan pada FGD Pelestarian dan Pengembangan Cendana, Hotel IMA Kupang, 1 Oktober 2012. Troup, R.S. 1921. The Silviculture of Indian Trees. Vol. III. Clarendon Press, Oxford. Trueman, S., Warburton, C., James, E., Fripp, Y., Wallace, H. 2001. Clonality in remnant populations of Santalum lanceolatum. Sandalwood Research Newsletter. 14: 14. William, A.M. 2001. Haumeni, Not Many: Renewed Plunder and Mismanagement in the Timorese Sandalwood Industry. Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No.29. Resource Management in Asia-Pacific Program. Australia National University.
12
ANALISIS FINANSIAL PENGEMBANGAN USAHA PERSEMAIAN CENDANA DI PULAU TIMOR Oleh: S. Agung Sri Raharjo, Eko Pujiono, Retno Setyowati dan Bernadus Ndolu ABSTRAK Kebutuhan bibit cendana untuk konservasi dan pengembangan cendana semakin meningkat. Namun kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ini terbatas. Di sisi lain, pengusaha masih enggan untuk mengembangkan cendana karena keterbatasan informasi mengenai teknik budidaya dan kelayakan finansial pembibitan cendana. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis kelayakan finansial dari berbagai model pembibitan cendana di beberapa lokasi di Pulau Timor. Pengumpulan data dilaksanakan dengan teknik survey dan observasi. Analisis data menggunakan perangkat lunak excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembibitan keseluruhan di Pulau Timor layak secara finansial. Model persemaian sederhana memberikan nilai BCR, NPV dan IRR terbesar. Biaya produksi perbibit pada persemaian tradisional adalah Rp 1.650,- sementara pada persemaian semi permanen dan permanen masingmasing Rp 2.270,- dan Rp 3.950,-. Kata kunci : persemaian, cendana, finansial, Pulau Timor
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan bibit cendana yang berkualitas baik dalam jumlah yang besar sangat diperlukan dalam upaya pengembangan cendana, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Salah satu strategi dalam Masterplan Pengembangan dan Pelestaran Cendana Provinsi NTT Tahun 2010-2030 adalah penanaman masal. Jika setiap kepala keluarga di Provinsi NTT diwajibkan menanam 4 pohon cendana maka akan dibutuhkan bibit sebanyak 4.000.000 bibit. Untuk mendapatkan bibit dalam jumlah besar tidak dapat hanya mengandalkan peran pemerintah saja, perlu peran serta swasta dalam menyediakan bibit cendana. Peran swasta pada saat ini belum berkembang. Padahal pada saat ini upaya pengembangan cendana di NTT sangat giat dilaksanakan. Hal ini merupakan peluang pasar bagi upaya pengembangan persemaian cendana. Peran swasta ini sangat erat kaitannya dengan investasi. Permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha adalah penguasaan teknik persemaian yang belum baik dan informasi
13
mengenai kelayakan investasi yang belum tersedia. Sangatlah rasional ketika pemilik modal akan melakukan pilihan antara menanamkan modalnya pada investasi proyek-proyek komersial atau dalam deposito. Untuk menetapkan pilihan diantara 2 alternatif tersebut maka pemilik modal memerlukan studi kelayakan investasi. Menurut
Basalamah
(1991)
studi
kelayakan
investasi
memiliki
kemanfaatan: (1) Memandu pemilik dana atau investor untuk mengoptimalkan penggunaan dana yang dimiliki; (2) Memperkecil resiko keputusan investasi, sekaligus memperbesar peluang keberhasilan; (3) Mengungkapkan alternatif investasi yang didukung oleh hasil analisis kuantitatif yang teruji kecermatannya, sehingga manajer puncak mudah mengambil keputusan yang akurat; (4) Mengungkapkan keseluruhan aspek proyek seutuhnya sehingga keputusan menerima atau menolak sebuah usulan proyek tidak hanya didasarkan atas kelayakan finansial saja, melainkan atas seluruh aspek yang berpengaruh. Beberapa aspek yang termasuk dalam studi kelayakan investasi adalah meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan produksi, aspek keuangan, aspek ekonomi dan sosial, aspek organisasi dan manajemen serta aspek hukum. Dengan informasi tentang kelayakan investasi yang lengkap, diharapkan dapat menarik minat investor sehingga maka pemilik modal akan tertarik dan bersedia melakukan investasi. Informasi mengenai kelayakan investasi persemaian cendana masih sangat kurang, hal ini merupakan salah satu faktor belum berkembangnya usaha persemaian cendana di Nusa Tenggara Timur (NTT) dapat berkembang. Dengan mengetahui nilai ekonomis dari bibit cendana, diharapkan dapat menjadi patokan harga bagi pengusaha pembibitan untuk menyediakan bibit cendana dan juga dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk memberikan besaran subsidi pembelian cendana kepada masyarakat. Pemberian subsidi ini diharapkan dapat membantu peningkatan peran serta masyarakat dalam mengembangkan tanaman cendana. Harga bibit bersubsidi yang murah diharapkan dapat memacu peningkatan kegiatan penanaman yang pada akhirnya dapat meningkatkan potensi cendana di alam.
14
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kelayakan finansial usaha pembibitan cendana yang sudah berkembang di Pulau Timor. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di beberapa lokasi persemaian di Pulau Timor, yaitu Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember 2009. B. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan nilai biaya (cost value methode). 1. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Survei lapangan/observasi Survei dilakukan terhadap para pengusaha pembibitan, meliputi tahapantahapan pekerjaan di persemaian, biaya persemaian mulai dari persiapan sampai dengan semai siap tanam, serta observasi pada teknis pembuatan persemaian. b. Pengumpulan data sekunder Data-data yang berkaitan dengan kegiatan persemaian, daftar harga bahan bangunan, bahan persemaian (polybag, tanah, pasir, benih cendana dll). 2. Analisis Data Perhitungan finansial dilakukan dengan membagi biaya produksi dengan jumlah semai yang hidup dan layak jual sampai dengan umur 8 bulan. Tahapan analisis data adalah sebagai berikut (Affianto, dkk. 2005):
Identifikasi kegiatan-kegiatan/tahapan pembuatan persemaian 1. Pengelompokan biaya; biaya dikelompokkan menjadi 2 yaitu biaya bahan dan biaya tenaga kerja. 2. Penyusunan aliran kas (cash flow) dengan format sebagai berikut : 15
3. Perhitungan biaya produksi persatuan bibit Biaya persatuan bibit
=
Total biaya Jumlah bibit
(1)
Jumlah semai berdasarkan pada jumlah semai yang hidup dan layak jual sampai dengan umur 8 bulan. Kelayakan finansial usaha pembibitan cendana diketahui dengan menghitung nilai net preset value (NPV), benefit cost ratio (BCR) dan internal rate of return (IRR) (Astana, 2005). n
NPV =
Bt Ct
¦ 1 i
(2)
t
t 0
n
Bt
¦ 1 i
t
B/C Ratio
t 0 n
Ct
¦ 1 i
(3)
t
t 0
IRR = i1
NPV1 i2 i1 NPV1 NPV2
(4)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Model Persemaian Berdasarkan hasil observasi terdapat tiga model persemaian yang sudah berkembang di Pulau Timor. Model tersebut adalah model sederhana, model semi permanen dan model permanen. Pengelompokan model ini didasarkan pada masa pakai persemaian yang ada. Model sederhana memiliki masa pakai 2 tahun. Persemaian terbuat dari bahan-bahan yang banyak dijumpai disekitar tempat tinggal pemilik persemaian. Pengelolaan persemaian sederhana dilakukan oleh pemilik lahan sekaligus pemilik persemaian. Model ini diwakili oleh persemaian Bapak M. Koenunu yang berlokasi di Kota SoE Kabupaten Timor Tengah Selatan dan persemaian milik PT. Fajar Indah Mandiri yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara. Persemaian bapak M. Koenunu beratapkan plastik bening berada dikebun dengan naungan tanaman pertanian (pisang, mangga). Media tanam yang digunakan adalah tanah isi. Sedangkan persemaian PT.Fajar Indah Mandiri dikabupaten TTU beratapkan pelepah kelapa dan berlokas di lahan yang terbuka. Media tanam yang 16
digunakan oleh PT Fajar Indah Mandiri adalah campuran tanah, sekam dan pupuk kandang. Model persemaian semi permanen dijumpai di persemaian milik Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang berlokasi di Stasiun Penelitian Bu’at di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Persemaian semi permanen ini memiliki daya tahan sampai dengan 5 tahun. Atap yang digunakan adalah alang-alang, atap ini setiap tahunnya diganti. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dan pasir. Sementara persemaian permanen diwakili oleh persemaian permanen yang ada di Balai Penelitian Kehutanan Kupang berlokasi di Kota Kupang . Persemaian memiliki umur pakai selama 10 tahun, atap terbuat dari seng plastik dengan media tanam berupa tanah isi pasir dan kompos.
B. Biaya Produksi Bibit Cendana pada Masing-masing Model Persemaian Biaya produksi selain dipengaruhi oleh bentuk bangunan persemaian juga dipengaruhi oleh lokasi persemaian. Perbedaan harga tersebut misalnya adalah harga 1 rit top soil di SoE (Kabupaten TTS) sebesar Rp 300.000,- di Kefa (Kabupaten Timor Tengah Utara) Rp 200.000,-, sedangkan di Kota Kupang mencapai Rp 350.000,-. Untuk keperluan analisis biaya produksi bibit cendana maka harga komponen persemaian digunakan harga yang sama yaitu harga di Kota Kupang. Biaya produksi bibit cendana dibagi kedalam empat kelompok biaya yaitu biaya bangunan persemaian, biaya media persemaian, biaya kelengkapan persemaian dan biaya pemeliharaan Komparasi biaya produksi bibit cendana untuk masing-masing bentuk persemaian selama umur produksi dapat dilihat pada Tabel 1.
17
Tabel 1. Biaya Produksi Bibit Cendana Selama 10 Tahun No
Komponen Biaya
A. B. C. D.
Bangunan Persemaian Media Semai Kelengkapan Persemaian Ongkos Kerja Jumlah Sumber: Data Primer (2009)
Model Persemaian Semi Sederhana Permanen permanen 750.000 4.760.000 6.770.000 13.000.000 15.000.000 16.500.000 7.365.000 7.400.000 7.550.000 25.750.000 24.750.000 23.000.000 46.865.000 51.910.000 53.820.000
Biaya produksi pada Tabel 1 menunjukkan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi bibit sebanyak 4.000 polybag/tahun selama 10 tahun. Umur cendana siap tanam adalah 8 bulan, sehingga dalam satu tahun setiap persemaian hanya menghasilkan satu kali produksi semai cendana. Persemaian sederhana berumur 2 tahun, sehingga setiap dua tahun sekali dilakukan pembuatan bangunan persemaian. Persemaian semi permanen berumur 5 tahun sehingga harus dilakukan pembuatan bangunan persemaian baru pada tahun ke 6. Persemaian permanen berumur 10 tahun sehingga pembuatan persemaian hanya dilakukan satu kali selama masa investasi. C. Analisis Finansial berbagai Model Persemaian Cendana Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial berbagai model persemaian cendana adalah harga bibit cendana Rp 2.500,-/bibit, persen jadi 80%, suku bunga bank sebesar 10%/tahun dan jangka waktu investasi selama 10 tahun. Dari analisis biaya dan pendapatan berbagai model persemaian cendana maka perbandingan biaya dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 2: Tabel 2. Nilai Keuntungan Finansial Persemaian Cendana selama 10 Tahun Nilai Finansial No Model Persemaian Biaya Pendapatan Keuntungan 1. Persemaian Sederhana 46.865.000 80.000.000 33.135.000 2. Persemaian Semi Permanen 51.910.000 80.000.000 28.090.000 3. Persemaian Permanen 53.820.000 80.000.000 26.180.000 Sumber : Data Primer, 2009 Dengan menggunakan asumsi tingkat suku bunga 10% dilakukan perhitungan terhadap BCR, NPV dan IRR masing-masing model persemaian. Perbandingan nilai NPV, BCR dan IRR dapat dilihat pada Tabel 3.
18
Tabel 3. Perbandingan Nilai BCR, NPV dan IRR Berdasarkan Model Persemaian No Model Persemaian BCR NPV IRR 1 Persemaian Sederhana 1,66 19.462.481 12,49 % 2 Persemaian Semi Permanen 1,50 16.426.061 9,75 % 3 Persemaian Permanen 1,39 13.723.510 7,65 % Sumber : Data Primer, 2009 Net benefit cost ratio (Net B/C) adalah perbandingan net benefit yang telah didiscount positif dengan net benefit yang telah didiscount negatif. Kriteria ini akan memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila Net B/C ratio>1, dan proyek ditolak jika Net B/C ratio<1(Harahap, 2006). Nilai BCR keseluruhan model persemaian cendana diatas 1, hal ini menunjukkan bahwa usaha persemaian cendana mampu memberikan keuntungan.
Nilai NPV
yang bervariasi
menunjukkan nilai manfaat dari investasi yang ditanamkan dalam berbagai model persemaian tersebut. Semakin besar nilai NPV dapat diartikan usaha tersebut menghasilkan keuntungan yang besar, namun nilai ini masih perlu memperhatikan besarnya nilai B/C ratio. Persemaian sederhana memperlihatkan nilai NPV terbesar hal ini dipengaruhi oleh investasi untuk membuat bangunan persemaian yang sederhana sehingga mampu mengurangi biaya produksi. Nilai IRR menunjukkan tingkat nilai suku bunga dimana nilai ekuivalen biaya sama dengan nilai ekuivalen penerimaan. Perhitungan di dasarkan pada nilai presen value. Nilai IRR persemaian sederhana (12,49 %) lebih besar dari pada asumsi suku bunga yang digunakan(10%), hal ini menunjukkan investasi model persemaian sederhana menguntungkan. Sementara itu nilai IRR model persemaian semi permanen (9,75 %) dan model persemaian permanen (7,65 %) lebih kecil dari asumsi nilai suku bunga yang digunakan(10 %), hal ini mengindikasikan investasi model persemaian semi permanen dan model persemian permanen tidak terlalu menguntungkan. Investasi di Bank dengan suku bunga 10% akan lebih menguntungkan walau usaha pembibitan cendana model persemaian semi permanen dan model permanen memberikan keuntungan (B/C ratio-nya > 1). Hasil analisis finansial di atas menunjukkan usaha persemaian cendana secara
finansial
mampu
memberikan
keuntungan.
Untuk
meningkatkan
keuntungan maka dapat dilakukan 2 langkah berkaitan dengan input-output. Langkah pertama adalah dengan menekan jumlah biaya input yang digunakan
19
usaha persemaian. Pemilihan model yang lebih sederhana akan memberikan keuntungan yang lebih banyak karena investasi lebih murah, selain itu teknologi yang diterapkan lebih sederhana sehingga dapat dilaksanakan secara optimal oleh tenaga kerja yang tersedia. Langkah kedua adalah dengan meningkatkan output sehingga pendapatan meningkat. Asumsi persen jadi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80 % dengan meningkatkan persen jadi diharapkan bibit yang dihasilkan akan lebih banyak sehingga pendapatan meningkat. Pemilihan model yang lebih sederhana akan memberikan keuntungan yang lebih banyak karena investasi lebih murah, selain itu teknologi yang diterapkan lebih sederhana sehingga dapat dilaksanakan secara optimal oleh tenaga kerja yang tersedia. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial yang meliputi NPV, BCR dan IRR, maka usaha pembibitan cendana pada semua lokasi kajiansecara finansial layak untuk dilaksanakan. Biaya produksi perbibit pada persemaian tradisional adalah Rp 1.650,- sementara pada persemaian semi permanen dan permanen masing-masing Rp 2.270,- dan Rp 3.950,-. Dengan suku bunga riil yang berlaku sebesar 10 %, maka harga minimum bibit yang layak bagi investor/pengembang pembibitan adalah Rp 4.000,-. Peran pemerintah daerah dalam upaya pengembangan cendana oleh masyarakat dapat dilakukan dengan memberikan subsidi harga bibit cendana. Alternatif lain dalam upaya pengembangan cendana adalah dengan memberikan bantuan bahan persemaian kepada kelompok masyarakat dan memberikan pelatihan persemaian serta pendampingan. Untuk meningkatkan keberhasilan pengembangan cendana diperlukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan mekanisme tata niaga dan penjaminan kualitas benih sehingga persen jadi bibit dapat meningkat.
20
DAFTAR PUSTAKA. Affianto, A., Susanti, A. dan Riyanto, S..2005. Nilai Finansial dan Ekonomi Tegakan Hutan. Bunga Rampai Hutan Rakyat, Petani, Ekonomi dan Konservasi. Aspek Penelitian dan Gagasan. Editor San Afri Awang. Pustaka Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta. hlm. 57-96. Astana, S. 2005. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya dan Penyulingan kayu Putih Skala Rakyat. Makalah disampaikan pada Acara Temu Lapang yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah di Semarang Tanggal 14 Desember 2005. Basalamah. 1991. Penilaian Kelayakan Rencana Penanaman Modal. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Harahap, S.S. 2006. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
21
22
KERAGAMAN SPESIES AVIFAUNA HUTAN PENELITIAN OILSONBAI, KUPANG, NTT Oleh: Oki Hidayat ABSTRAK Burung merupakan indikator yang sangat baik untuk mengetahui kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Populasi dan keanekaragaman burung dapat digunakan sebagai pengukur kelestarian kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis avifauna yang terdapat di Hutan Penelitian Oilsonbai. Metode yang digunakan berupa survai dan pengamatan langsung. Metode sensus dilakukan dengan membuat daftar jenis MacKinnon. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya 4 tipe habitat yaitu hutan campuran, hutan jati, ladang dan sungai. Spesies avifauna yang dijumpai mencapai 33 spesies dari 20 famili. Komposisi tertinggi pada hutan campuran mencapai 18 spesies, komposisi terendah pada hutan jati dan ladang, masing-masing hanya 8 spesies. Kata kunci : Avifauna, habitat, Oilsonbai
I. PENDAHULUAN Indonesia telah ditetapkan sebagai negara megadiversity ke dua terbesar di dunia (Mittermeier & Mittermeier 1997). Selanjutnya juga dikatakan pula bahwa di dunia tercatat ada 9.040 jenis avifauna (burung), 1.531 jenis diantaranya terdapat di Indonesia dengan 397 jenis (26%) endemik. Di Nusa Tenggara terdapat sekitar 400 jenis dengan 40 jenis di antaranya merupakan jenis endemik. Burung sudah menjadi sumber inspirasi bagi manusia selama berabad-abad, dan memiliki nilai istimewa dalam berbagai budaya masyarakat. Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk mengetahui kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Populasi dan keanekaragaman burung dapat digunakan sebagai pengukur kelestarian kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Coates et al., 2000). Keberadaan burung membawa banyak manfaat bagi alam termasuk manusia di dalamnya. Burung memiliki nilai ekonomi khusus, salah satunya sebagai penyebar biji tumbuhan. Rangkong, merpati dan burung paruh bengkok merupakan burung penyebar biji, sehingga keberadaannya turut melanjutkan keberadaan permudaan tumbuhan hutan sebagai plasma nutfah yang sangat tinggi nilainya (Hidayat, 2011). Jenis-jenis burung penghisap madu juga tak kalah pentingnya dalam ekosistem. Keberadaannya sebagai agen penyerbukan telah menjalankan sebuah proses penting perkembangan vegetasi yaitu regenerasi. Keanekaragaman jenis burung yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan perlu mendapat perhatian khusus, karena kehidupannya dipengaruhi oleh 23
faktor fisik, kimia, dan hayati. Faktor fisik dapat berupa suhu, ketinggian tempat, tanah, kelembaban, cahaya, dan angin. Faktor kimia antara lain berupa makanan, air, mineral dan vitamin, baik secara kuantitas maupun kualitas. Faktor hayati yang dimaksud diantaranya berupa tumbuhan, satwaliar, dan manusia (Peterson, 1980). Hutan Penelitian Oilsonbai merupakan hutan produksi terbatas yang ditetapkan menjadi hutan penelitian. Di lokasi tersebut terdapat stasiun penelitian dengan berbagai sarana penelitian di dalamnya. Pengelolaannya berada dibawah Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. Kawasan seluas 25 ha ini berada pada ketinggian 100 mdpl. Tipe habitat berupa hutan kering campuran yang merupakan hutan sekunder. Selain berfungsi sebagai lokasi demplot penelitian, kawasan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai macam satwaliar khususnya avifauna (burung). Informasi mengenai keragaman jenis burung diperlukan sebagai data potensi kawasan yang akan digunakan sebagai acuan dalam pengelolaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang keragaman jenis avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai, Kupang.
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus 2012 di Hutan Penelitian Oilsonbai, Desa Fatukoa, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Hutan Penelitian ini merupakan milik BPK Kupang. B. Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan adalah binokuler, kamera nikon DSLR D80, lensa sygma 150-500 mm, Global Positioning System (GPS), data sheet, dan alat tulismenulis. C. Metode Penelitian Pengumpulan data spesies avifauna dilakukan dengan survei dan pengamatan langsung. Pengamatan lapangan dilanjutkan analisis foto untuk memastikan identifikasi jenis. Penjelajahan dilakukan 3 kali dalam waktu yang berbeda sebagai ulangan. Metode sensus burung dilakukan dengan membuat 1 daftar jenis burung yang teramati di sepanjang jalur pengamatan. Setiap jenis baru dicatat hingga mencapai 10 jenis, lalu dibuat daftar baru lagi. Jenis yang sama tidak boleh dicatat 2 kali dalam 1 daftar. (MacKinnon dkk., 1991). 24
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keragaman Avifauna Jumlah spesies yang dijumpai selama pengamatan mencapai 33 spesies dari 17 famili. Tingkat perjumpaan spesies sepanjang waktu pengamatan tampak dalam Gambar 1. Daftar spesies selengkapnya dalam Lampiran 1. 35
Jumlah jenis
30
28
33
31
29
25 22
20
19
15
13
10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
Hari pengamatan Gambar 1. Akumulasi spesies avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai selama. Kecenderungan yang tampak selama pengamatan menunjukkan bahwa pertambahan jumlah spesies semakin sedikit seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan. Komposisi perjumpaan masing-masing famili tampak pada Gambar 2. Spesies-spesies yang dominan secara umum berasal dari famili Columbidae (kelompok merpati, punai, walik), Meliphagidae (kelompok pemakan madu), dan Plocidae (kelompok bondol-bondolan). Spesies masing-masing famili ini dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih banyak dari famili lainnya.
25
7 6 5 4 3 2 1 0
Famili
Jumlah jenis
Gambar 2. Komposisi famili avifauna yang dijumpai di Hutan Penelitian Oilsonbai selama pengamatan. Dari ke-33 spesies yang ditemukan terdapat tiga spesies endemik Timor yang merupakan burung penting di Timor. Ketiga spesies tersebut termasuk dalam famili Meliphagidae, spesies tersebut diantaranya cikukua timor (Philemon inornatus), myzomela timor (Myzomela vulnerata), dan isap-madu timor (Lichmera flavicans). Jumlah jenis famili Meliphagidae ditemukan sebanyak enam jenis. Anggota famili ini merupakan jenis burung pemakan madu/isap madu. Sebagai nektarifor, anggota famili ini banyak memanfaatkan berbagai macam pohon dalam proses pencarian makan. Umumnya jenis-jenis tersebut menyukai daerah-daerah tajuk pohon. Dimana terdapat banyak bunga (Trainor dkk, 2000). Jenis yang tidak umum dijumpai di hutan kering seperti di Oilsonbai adalah jenis isap-madu timor. Menurut Trainor dkk (2000) jenis ini menyukai daerah-daerah yang lebih basah dan lebih umum dijumpai di daerah ketinggian daripada di daerah yang lebih rendah dan kering. Hal ini terjadi disebabkan oleh persaingan dengan meliphaga dada-lurik dimana mereka memiliki relung habitat yang sama pada suatu habitat. Jenis pemakan biji-bijian yaitu famili Columbidae dan Plocidae menampati urutan kedua jenis yang banyak terdapat di Oilsonbai. Anggota famili Columbidae biasa ditemukan beraktifitas dipermukaan tanah dan di atas tajuk. Di permukaan tanah jenisjenis ini biasa mencari makan biji-bijian, terkadang mereka memakan batu atau pasir untuk membantu proses pencernaannya. Selain biji-bijian jenis ini senang memakan buah Ficus spp. Di Oilsobai anggota famili Plocidae yang paling melimpah adalah burung-gereja erasia (Passer montanus). Pada saat pengamatan ditemukan pula bekas sarang jenis famili Plocidae. 26
B. Perbedaan tipe habitat Berdasarkan kondisi tipe habitat yang dijumpai, Hutan Penelitian Oilsonbai sebagai lokasi pengamatan dibagi menjadi empat tipe yaitu hutan campuran, hutan jati, ladang dan sungai. Masing-masing tipe hutan tersebut dideskripsikan seperti dalam Tabel 1. Komposisi spesies dan famili yang dijumpai pada masing-masing tipe habitat tampak pada Gambar 3. Tabel 1. Deskripsi lokasi pengumpulan data avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai Kode Lokasi JU
Titik pengamatan Jalan Utama (Hutan campuran)
Hutan jati
LD
Ladang
SU
Sungai
Jumlah
HJ
Deskripsi - Jalan aspal dengan vegetasi campuran di sisi kanan kiri - Vegetasi utama: akasia (Acacia mangium), jati (Tectona grandis), kesambi (Scheichera oleosa) - Merupakan jalan desa dengan aktifitas kendaraan yang tidak terlalu ramai - Berada di sisi barat stasiun - Vegetasi utama jati (T. grandis) - Ladang milik penduduk yang berbatasan dengan pinggir kawasan - Vegetasi campuran berupa tanaman semusim, semak dan rumput - Sungai dengan vegetasi yang rapat - Vegetasi utama: jambu-jambuan (Eugenia spp), pandan (Pandanus spp), Ficus spp - Pada akhir kemarau biasanya debit air sangat kecil hingga kering - Terbentuk kolam kecil di bagian utara stasiun pada saat debit air kecil
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 Spesies Famili Spesies Famili Spesies Famili Spesies Famili JU
HJ
LD
SU
Gambar 3. Jumlah spesies dan famili avifauna yang dijumpai di Hutan Penelitian Oilsonbai berdasarkan titik pengamatan. 27
Berdasarkan grafik pada Gambar 3 tampak bahwa lokasi hutan campuran di sepanjang jalan umum memiliki komposisi spesies dan famili yang paling tinggi. Kondisi habitat yang terdiri dari berbagai macam jenis vegetasi memberikan kemungkinan ketersediaan pakan yang lebih beragam dari ketiga titik pengamatan lainnya. Sebagian besar jenis burung endemik bergantung pada habitat hutan. Pada dataran rendah savana atau area yang hutannya dibuka ditemukan burung-burung yang oportunistik, yang sebagian besar berasal dari Australia (Rombang dkk, 2002). Pada saat pengamatan ditemukan dua jenis burung daratan migran yaitu jenis wiwik rimba (Cacomantis variolosus) dan kirik-kirik australia (Merops ornatus). Kedua jenis tersebut dijumpai pada tipe hutan campuran. Spesies kunci pada habitat sungai di Hutan Penelitian Oilsonbai adalah jenis raja-udang erasia (Alcedo Atthis) dari famili Alcedenidae. Burung pemakan ikan dan serangga berukuran sedang/kecil ini berwarna cerah dengan paruh panjang, kokoh dan berbentuk seperti pisau belati (MacKinnon, 1991). Spesies ini menempati relung habitat yang berbeda dari spesies avifauna lainnya di Oilsonbai. Biasa ditemukan pada kolam kecil di utara stasiun. Di daratan Timor yang kering, beberapa spesies burung menggunakan sebagian besar atau seluruh waktunya di dalam hutan. Spesies-spesies burung ini sangat tergantung akan hutan, tidak adanya hutan dapat mempercepat proses kepunahannya. Distribusi dan persebaran spesies burung tersebut merupakan indikator yang kuat untuk melihat keberlanjutan kelestarian keanekaragaman di Timor Barat yang berhutan kering dan terpecah-pecah dalam blok hutan kecil yang tidak beraturan (Trainor dkk, 2000). Hutan Penelitian Oilsonbai dengan berbagai tipe habitat di dalamnya merupakan salah satu dari blok hutan kecil yang tidak beraturan tersebut. Keberadaannya sangat penting bagi keberlangsungan proses ekologi. Jika kepunahan terjadi maka akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Keragaman spesies avifauna yang dijumpai di Hutan Penelitian Oilsonbai menunjukkan adanya 33 spesies avifauna dari 20 famili yang tersebar pada tipe habitat hutan campuran, hutan jati, ladang dan sungai. 28
2. Komposisi spesies terbanyak yaitu di hutan campuran dengan 18 spesies dari 13 famili yang disebabkan beragamnya jenis pakan di daerah tersebut. B. Saran Penelitian ini merupakan studi awal pengumpulan informasi hayati di Hutan Penelitian Oilsonbai. Selanjutnya masih diperlukan pemantauan untuk avifauna, besar kemungkinan masih terdapat beberapa spesies yang belum tercatat. Selanjutnya diperlukan pengumpulan data dan informasi mengenai jenis mamalia, reptil, amfibi dan insekta, sebagai data dasar potensi kawasan.
DAFTAR PUSTAKA Coates J. Brian, Bishop K. David dan Gardner D. 2000. Panduan Lapangan BurungBurung di Kawasan Wallacea. Birdlife International Indonesia Programme. Bogor. Hidayat, O. 2010. Birdwatching (Pengamatan Burung) di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Warta Cendana Edisi III No.1, BPK Kupang. MacKinnon, J.1991) A Field Guide to The Birds of Java and Bali. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. M i tter m e ier, R A . & C G. M itter m e ier. 1 9 9 7. Megadiversity (Earth Biologicaly Weatlhiest Nations). C a n a da: Q u e bec or Pri ntin g I n c. Ci m e x. Peterson. 1980. Burung. Pustaka Alam”LIFE”. Tira Pustaka. Jakarta. Rombang, W.M., Trainor, C. dan Lesmana, D. 2002. Daerah Penting bagi Burung : Nusa Tenggara. PHKA/Birdlife Indonesia, Bogor. Trainor, C., Lesmana, D., dan Gatur, A. 2000. Arti Penting Hutan Di Daratan Timor Bagian Barat – Telaah Awal Informasi Keanekaragaman Hayati dan SosialEkonomi di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur. PKA/Birdlife International/WWF, Bogor. Laporan No. 13.
29
Lampiran 1. Jenis-jenis burung yang dijumpai di Pulau Moor selama pengamatan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Spesies Falco moluccensis Turnix maculosa Streptopelia chinensis Geopelia maugei Chalcophaps indica Ptilinopus regina Cacomantis variolosus Collocalia esculenta Alcedo atthis Merops ornatus Lalage sueurii Pycnonotus aurigaster Sphecotheres viridis Saxicola caprata Saxicola gutturalis Gerygone inornata Cisticola juncidis Zosterops citrinellus Rhipidura rufiventris Pachycephala orpheus Lanius schach Philemon inornatus Philemon buceroides Meliphaga reticulata Licmera indistincta Lichmera flavicans Myzomela vulnerata Nectarinia solaris Dicaeum maugei Passer montanus Taeniopygis guttata Lonchura molucca Lonchura punctulata
Keterangan: ENT : Endemik Nusa Tenggara ET : Endemik Timor
30
Nama Indonesia Alap-alap sapi Gemak totol Tekukur biasa Perkutut loreng Delimukan zamrud Walik ratu Wiwik rimba Walet sapi Raja-udang erasia Kirik-kirik australia Kapasan sayap-putih Cucak kutilang Burung-ara timor Decu belang Decu timor Remetuk timor Cici padi Kacamata limau Kipasan dada-lurik Kancilan timor Bentet coklat Cikukua timor Cikukua tanduk Meliphaga dada-lurik Isap madu australia Isap madu timor Myzomela timor Burung-madu matari Cabai lombok Burung-gereja erasia Pipit zebra Bondol taruk Bondol peking
Famili Accipitridae Turnicidae Columbidae Columbidae Columbidae Columbidae Cuculidae Apopidae Alcedinidae Meropidae Campephagidae Pycnonotidae Oriolini Turdidae Turdidae Silviidae Silviidae Zosteropidae Muscicapidae Pachycephalidae Laniidae Meliphagidae Meliphagidae Meliphagidae Meliphagidae Meliphagidae Meliphagidae Nectariidae Dicaeidae Ploceidae Ploceidae Ploceidae Ploceidae
ENT
ET
√
√ √ √
√ √ √ √ √ √
PELUANG PENANGKARAN KURA-KURA LEHER ULAR ROTE (Chelodina mccordi, Rhodin 1994) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PENDAPATAN Oleh : Kayat dan Grace S.Saragih ABSTRAK Kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi) adalah spesies endemik dari Pulau Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada tahun 1970-an satwa ini banyak sekali ditemukan di Pulau Rote. Pada tahun 1977 sampai 2001 kuota ekspor ditetapkan untuk spesies ini dan dalam kurun waktu tersebut tercatat sebanyak 259 ekor C. mccordi secara legal diekspor dari Indonesia. Namun karena banyak kegiatan eksploitasi ilegal yang mencapai ratusan bahkan ribuan ekor, maka sejak tahun 2002 kuota bagi C. mccordi dikurangi hingga mencapai 0 (nol) oleh Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), karena disadari bahwa spesies endemik ini berada di ujung kepunahan. sejak tahun 2002 International Union for Conservation of Nature and Natural Recources (IUCN) sudah mengkategorikan C. mccordi dalam status critically endagered. Penyebab ancaman kepunahan spesies ini adalah nilai ekonominya yang tinggi untuk dijadikan hewan peliharaan. Pada tahun 2005 seekor C. mccordi dapat dihargai Rp. 5.000.000,00 dan diperkirakan nilainya di pasaran internasional lebih tinggi lagi. Oleh karena itu usaha penangkaran untuk mengembalikan populasi C. mccordi dan sebagai sumber pendapatan perlu dilakukan. Saat ini usaha penangkaran C. mccordi sudah dilakukan PT. Alam Nusantara Jayatama (ALNUSA). sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan hampir semua jenis satwa liar mempunyai peluang untuk dikembangkan dan diperjualbelikan selama itu adalah hasil pengembangbiakan satwa liar generasi kedua (F2). Kata kunci: Chelodina mccordi, penangkaran, nilai ekonomi
I.
PENDAHULUAN Kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi) dideskripsikan oleh Anders G.J.
Rhodin sebagai spesies endemik Pulau Rote Indonesia pada tahun 1994. Rhodin menyatakan hal ini setelah mengamati koleksi 16 spesimen dari Pulau Rote yang dikumpulkan oleh Dr. William P. McCord serta 2 spesimen hasil koleksi Dr. Ten Kate yang ditangkaap di Danau Naluk pada tahun 1891, lalu dibandingkan dengan spesimen C. pritchardi, C. novaeguineae, C. longicollis, C. reimanni dan C. steindachneri (Rhodin, 1994). C. mccordi adalah kura-kura kecil berleher panjang, yang di Indonesia hanya ditemukan di lahan basah Pulau Rote. Pada tahun 2000, International Union for Conservation of Nature and Natural Recources (IUCN) red book mengkategorikan spesies ini ke dalam status kritis (critically endangered) dan dievaluasi berada di ambang kepunahan. Kura-kura spesies ini termasuk filum Chordata, kelas Sauropsida, ordo Testudines, sub ordo Pleurodira, famili Chelidae, genus Chelodina, spesies Chelodina mccordi. Spesies ini memiliki bentuk yang unik, berukuran kecil, kepala menyerupai ular, dan sisi kerapas yang melengkung ke atas. Panjang leher hampir sepanjang kerapas, sehingga untuk menyembunyikan kepalanya, leher harus dilipat 31
melingkar kerapas. Dalam konvensi dunia tentang perdagangan spesies satwa dan tumbuhan liar yang terancam punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), perdagangan satwa jenis ini sangat dibatasi oleh peraturan (Appendix II), baik nasional maupun internasional, antara lain hanya dapat dilakukan dari hasil penangkaran (Shepherd dan Bonggi, 2005). Pada tahun 1970-an satwa ini banyak sekali ditemukan di Pulau Rote, namun tahun 1997 sampai 2001 kuota ekspor ditetapkan untuk spesies ini, dan dalam kurun waktu tersebut 259 ekor C. mccordi secara legal diekspor dari Indonesia. Karena banyak kegiatan eksploitasi ilegal yang mencapai ratusan bahkan ribuan ekor, maka sejak tahun 2002 kuota bagi C. mccordi dikurangi hingga mencapai 0 (nol) oleh Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), karena spesies endemik ini berada di ujung kepunahan. Menurunnya populasi suatu jenis fauna di alam banyak disebabkan oleh perambahan yang berlebihan tanpa upaya pelestarian sehingga berdampak negatif bagi jenis fauna tersebut seperti yang terjadi pada C. mccordi. C. mccordi termasuk satwaliar yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga terjadi penangkapan secara terus-menerus yang menyebabkan populasinya menurun dan satwa ini sudah dinyatakan terancam punah. Karena merupakan salah satu jenis satwa yang bernilai ekonomis tinggi, satwa ini memiliki prospek yang menjanjikan untuk dibudidayakan (ditangkarkan) untuk tujuan komersial (ekspor). II. PROSPEK PENANGKARAN Dipandang dari kepentingan hidup manusia, satwa disebut bermanfaat apabila secara langsung dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia, yakni dapat dijadikan sebagai bahan penyedia pangan dan sandang atau dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Beberapa aspek terkait penangkaran C. mccordi adalah sebagai berikut : A. Kolam Penangkaran Penangkaran C. mccordi tidak memerlukan lahan yang luas, lahan dapat berukuran 1,5 x 3 m. Untuk kolam dibuat berukuran 1,5 x 2 x 0,6 m sebagai tempat C. mccordi melakukan berbagai aktivitas seperti makan, kawin, bermain dan perilaku lainnya. Sisanya seluas 1,5 x 1 m diperuntukkan sebagai tempat pendaratan, yang berguna sebagai tempat C. mccordi meletakkan telurnya pada saat umurnya memasuki usia reproduksi. Bagian atas dari tempat pendaratan ini diberi atap agar media penetasan 32
terlindungi dari cahaya matahari langsung sehingga suhu dan kelembabannya relatif stabil.
Gambar 1. Lay out model kolam penangkaran C. mccordi. B. Pakan Pakan merupakan salah satu aspek yang sangat penting di dalam kegiatan penangkaran satwa liar, tak terkecuali C. mccordi. Hasil komunikasi secara pribadi dengan masyarakat di Desa Lida Besi, Kecamatan Rote Tengah yang pernah memelihara C. mccordi, menyatakan bahwa pakan alami yang diberikan tersedia di alam yaitu ikan kecil sejenis impun (Aplocheilus panchax, Hamilton 1822), beunteur (Rasbora argyrotaenia, Bleeker 1850) dan anak katak (Occidozyga lima Kuhl & van Hasselt, 1822). Menurut informasi dari masyarakat, jenis-jenis tersebut biasa dikonsumsi oleh kura-kura leher ular di habitat alaminya. Hasil penelitian Kayat dkk (2010) menunjukkan bahwa C. mccordi menyukai berbagai jenis ikan, baik ikan air laut maupun ikan air tawar, dengan palatabilitas berturut-turut lele, ikan kembung, ikan cakalang dan udang (Tabel 1).
33
1. 2. 3. 4.
Cakalang (C) Cakalang + ikan kembung (C+IK) Cakalang + udang (C+U) Cakalang + lele (C+L)
Sumber : Kayat dkk., 2010
12,6
Rata-rata IK/ Jum C U/L lah 0,0 11,3
38,5
100,0
61,5
0
7,8
8,4
4,9
9,6
11,3 6,4
14,8
13,0
Kura-kura 3 IK/ Jum C U/L lah 0,0 18,1
Kura-kura 4 IK/ Jum C U/L lah 0,0 9,6 8,1
6,4
4,9
9,1
18,1 3,9
10,3
12,3
Kura-kura 1 IK/ Jum C U/L lah 0,0 8,4
Kura-kura 2 IK/ Jum C U/L lah 0,0 9,1
8,1
8,4
4,2
24,4 70,3
8,8 15,2
75,6 29,7
2,2 10,7
8,8 15,5
6,7 4,5
3,2 11,4
7,8 16,1
5,6 4,1
2,1 10,6
9,1 15,7
5,7 5,5
L = Lele
1,9 11,7
9,5 13,3
U = Udang
7,2 4,0
1,4 8,9
IK = Ikan Kembung
8,1 4,4
Keterangan : C = Cakalang
34
Sedangkan hasil komunikasi pribadi dengan PT. Alam Nusantara Jayatama (ALNUSA), dinyatakan bahwa jenis pakan yang diberikan saat baru lahir sampai umur 1 bulan adalah cacing beku; umur 1 bulan sampai 6 bulan diberikan udang cincang; dan lebih dari 6 bulan diberi lele cincang. Anonimous (2009) menyatakan bahwa dalam perawatan kura-kura air beberapa hal yang harus diperhatikan adalah : (a) kura-kura ada yang bersifat pemakan tumbuhan (herbivora), pemakan daging (karnivora) atau campuran (omnivora); (b) kura-kura air hampir semua mendapatkan banyak nutrisi dari protein hewani, terutama bagi kura-kura berusia muda. Beberapa spesies seperti kura-kura slider dan painted, lebih bersifat karnivora ketika masih muda, namun menjadi vegetarian ketika dewasa; (c) kebanyakan kura-kura air adalah omnivora, yang berarti bahwa mereka pada dasarnya memakan apapun yang mereka temukan: tanaman akuatik, siput, serangga, ikan, katak, dan semacamnya. Karena mereka memakan binatang secara utuh, tulang-tulang dari mangsanya terkadang kalsium yang mereka perlukan dalam makanannya. Biasanya, orang yang memelihara kura-kura salah kaprah tentang bagaimana memperlakukan kura-kura air dengan baik adalah dengan hanya memberikan daging saja, tapi pada kenyataannya kura-kura air membutuhkan kalsium dari tulang mangsanya, atau suplemen kalsium yang bagus, supaya pertumbuhan tulang kura-kura air tumbuh dengan baik; (d) jika memberi makanan kura-kura air berupa ikan secara terus menerus tidak baik karena bisa menimbulkan masalah pada liver akibat tingginya kandungan lemak yang ada pada ikan serta menyebabkan kura-kura air kekurangan vitamin B akibat sebuah enzim yang ada dalam ikan. Jika dilihat dari jenis pakannya, C. mccordi termasuk hewan pemakan daging (karnivora). Hasil analisis proksimat pakan C. mccordi menunjukkan udang dan lele memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan cakalang dan kembung (Tabel 2). Ke depan disarankan untuk memberikan pakan segar barupa ikan lele, dimana pada saat diberikan lele tersebut dalam keadaan masih hidup kemudian disayat diambil dagingnya selanjutnya diberikan kepada kura-kura. Pakan yang sudah lama mati seperti ikan cakalang, ikan kembung dan udang dikhawatirkan mengandung bahan pengawet saat masih dijual di pasar.
35
Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan C. mccordi No
Jenis Bahan
1 2
Cakalang Ikan Kembung Lele Udang Ikan beunteur Anak katak
3 4 5 6
Bahan kering, Protein Lemak % kasar 27,92 68,92 7,84
% Bahan kering Serat BETN Abu kasar 0,92 - 22,32
4,44
Gross energi, P Kkal/kg 2,78 4578
Ca
24,86
71,22
4,17
0,36
-
24,25
0,23
1,28
4395
21,98 25,84
80,22 81,27
9,01 0,78
0,15 0,39
-
10,62 17,56
0,24 0,53
1,31 0,66
5168 4565
48,52
78,59
8,12
-
-
13,29
3,75
2,29
4985
54,26
76,49
6,73
-
-
16,78
3,13
2,53
4863
Sumber : Kayat dkk., 2010
C. Reproduksi Hal yang sangat penting dari aspek reproduksi adalah membedakan jenis kelamin antara jantan dan betina sehingga kita dapat menentukan sex ratio pada saat mengawinkannya. C. mccordi jenis kelamin jantan memiliki ciri fisik berupa ekor lebih panjang dan lebih kecil, sedangkan pada betina ekornya lebih pendek dan lebih besar. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang saat ini memiliki tiga ekor C. mccordi yang telah memasuki umur reproduktif dengan sex ratio 1 : 2, atau terdiri dari satu ekor jantan dan dua ekor betina.
Gambar 2. C. mccordi di Stasiun Penelitian Oilsonbai yang sudah memasuki umur reproduksi. C. mccordi mulai bereproduksi pada umur lima tahun. Jumlah telur pada saat pertama kali bertelur berkisar antara 8–10 butir. Sedangkan jika sudah berkali-kali bertelur, jumlah telur yang dihasilkan rata-rata sebanyak 20 butir per sekali bertelur, dan 36
C. mccordi bisa bertelur sebanyak 2 kali per tahun.
Gambar 3. Telur C. mccordi sedang ditetaskan di PT. ALNUSA. Media tempat bertelurnya pun mudah disediakan yaitu berupa campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 2 : 1. Namun jika memiliki jumlah dana yang cukup, media penetasan telur bisa menggunakan vermikulit. Keunggulan vermikulit adalah memiliki suhu dan kelembaban yang relatif stabil. Dari total telur yang ada, persentase penetasan mencapai 95% dengan masa penetasan mencapai 80-90 hari (± tiga bulan). Media penetasan di dalam inkubator berupa vermikulit. Suhu ruangan inkubator untuk menetaskan telur berkisar 28-31oC. Suhu sangat berpengaruh terhadap jenis kelamin kura-kura yang akan dihasilkan. Suhu yang tinggi akan menyebabkan jumlah jantan lebih banyak daripada betina, begitu juga sebaliknya. Berat lahir C. mccordi berkisar 6-8 gram/ekor. C. mccordi pada saat berumur 8 bulan sampai dengan sau tahun sudah mencapai panjang kerapas 5-7 cm. Persentase kematian 5-10% terjadi pada usia kurang dari tiga bulan setelah menetas.
37
Gambar 4. Tukik (anakan) C. mccordi
di PT. ALNUSA
D. Penyakit Literatur mengenai penyakit secara khusus pada C.mccordi masih sulit ditemukan namun diketahui ada beberapa jenis penyakit dan parasit yang dapat menyerang kura-kura air tawar, yaitu : lintah, cacing, infeksi cangkang, edema (infeksi mata), pneumonia, dan soft shell. Lintah dapat dilepaskan dengan cara merendam kura-kura dalam air dengan kadar garam tinggi selama beberapa menit. Cacing yang sering ditemukan pada kura-kura air tawar adalah cacing nematoda. Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan obat cacing dengan dosis yang direkomendasikan oleh dokter hewan. Adanya benda-benda tajam atau kasar di dalam atau sekitar kolam dapat menyebabkan luka gores pada kura-kura, apabila tidak segera diobati akan menyebabkan infeksi. Apabila ada luka pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan betadine. Soft shell umum terjadi pada tukik, asupan kalsium dan sinar matahari akan membantu pengerasan tempurung. Secara umum pencegahan terhadap penyakit dan parasit dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan dan kualitas air, menjaga nilai pH air dan pemberian pakan yang mencukupi nutrisi yang dibutuhkan kura-kura. Nilai pH yang berkisar antara 7,6 - 8,4 dapat menjaga kesehatan kulit dan mencegah penyakit. Selain itu, penambahan garam akuarium dengan perbandingan 50 gr : 10 liter akan mencegah infeksi kulit (Latta, 2009).
III. PELUANG EKONOMI PENANGKARAN C. mccordi Hasil wawancara dengan seorang pengumpul C. mccordi di Ba’a diperoleh informasi bahwa usahanya dimulai dari tahun 1988, saat itu C. mccordi dewasa dijual 38
dengan harga Rp 1.500,00. Dalam seminggu bisa dilakukan 2 kali pengiriman ke Kupang dengan jumlah 100 ekor per minggu. Tahun 1988-1990an merupakan masa puncak perdagangan C. mccordi karena pada masa itu hewan ini masih sangat mudah dijumpai sehingga banyak orang yang menangkap dan menjualnya. Pada tahun 2004 pengumpul tersebut menjual 7 ekor induk C. mccordi dengan harga Rp 1.500.000,00/ekor, ini adalah transaksi terakhir C. mccordi yang dilakukannya. C. mccordi memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti yang disampaikan oleh Direktur Utama PT. ALNUSA (komunikasi pribadi). Pihaknya sudah mengekspor C. mccordi hasil penangkaran ke berbagai negara di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Harga C. mccordi yang berukuran sekitar 5 cm, berumur sekitar 6-8 bulan, bisa dieskpor senilai 250 dolar AS atau sekitar Rp 2.250.000,00 per ekor, dan semakin besar ukurannya semakin mahal harganya. Jika dari satu ekor induk dihasilkan 20 butir telur per sekali bertelur (40 butir per tahun) dan yang berhasil menetas sebanyak 90% (18 ekor), maka dalam 1 tahun nilai ekonomi yang diperoleh sebesar Rp 85.000.000,00. Untuk mengetahui peluang penangkaran C. mccordi sebagai alternatif sumber pendapatan dapat dilakukan dengan membuat analisis ekonomi dengan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1. Penangkaran dimulai dengan sex ratio = 1 : 2. 2. C. mccordi mulai bertelur pada umur 6 tahun. 3. Pada periode pertama bertelur, jumlah telur sebanyak 10 butir. Selanjutnya tiap periode bertelur menghasilkan 20 butir. 4. Persentase telur menetas dan menjadi dewasa adalah 90%. 5. Peluang sex ratio tukik, jantan : betina = 2 : 3. 6. Suku bunga (discount factor) 12%. Tabel 3. Biaya Tetap Penangkaran No.
Jenis Pengeluaran
1.
Pembuatan 13 kandang @ Rp. 5.000.000
2.
Pembelian 3 ekor induk @ Rp. 5.000.000
3.
Perlengkapan penangkaran 1 paket @ Rp.500.000 Jumlah
Biaya (Rp.)
Keterangan
65.000.0000 15.000.000 1 jantan, 2 betina 500.000 Jaring, ember, aerator 80.000.000
39
Tabel 3. Biaya Tidak Tetap Penangkaran No.
Jenis Pengeluaran
1.
Pemeliharaan rutin
2.
Penggantian air kolam
3.
Pembelian vitamin
Biaya satuan Biaya Per Bulan (Rp.) (Rp.) 50.000 50.000
Biaya Per Tahun (Rp.) 600.000
500
500
6.000
1.000
1.000
12.000
Jumlah
618.000
Lain-lain (10%) Jumlah Total Jumlah Biaya Tetap + Tidak
61.800 679.800 80.679.800
Tetap
Berdasarkan asumsi-asumsi dan biaya usaha penangkaran C.mccordi tersebut diperoleh nilai kriteria investasi sebagai berikut (tabel penghitungan dilampirkan) : 1. IRR (Internal Rate of Return) sebesar 23 %. Nilai IRR 23% > 12 % menunjukkan bahwa usaha penangkaran ini dapat menghasilkan keuntungan. 2. NPV (Net Present Value) Rp. 151.768. 473. Nilai NPV > 0, berarti usaha penangkaran C.mccordi layak untuk dilakukan. 3. BCR (Benefit Cost Ratio) 4,03. Nilai BCR > 1 berarti usaha penangkaran C.mccordi layak untuk dilakukan. 4. BEP (Break Even Point) 9 tahun. Usaha penangkaran C.mccordi akan mencapai posisi total pendapatan sama dengan total biaya pada tahun ke-9.
IV. ASPEK PERATURAN Untuk melindungi C. mccordi, Ditjen PHKA juga bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagai Otoritas Ilmiah CITES di Indonesia, untuk memasukkan kura-kura berleher ular dari Pulau Rote ke dalam daftar spesies yang dilindungi penuh (Anonimous, 2006). Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar menyatakan hampir semua jenis satwa liar tak terkecuali C. mccordi mempunyai peluang untuk dikembangkan dan diperjualbelikan sesuai dengan Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi ”Spesimen hasil pengembangbiakan satwa liar generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya dari jenis yang dilindungi dapat dimanfaatkan untuk keperluan perdagangan dengan izin sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri 40
tersendiri”.
Penangkaran jenis yang termasuk dalam Appendix II dapat dilakukan
dengan ijin yang dikeluarkan oleh Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Penangkaran C. mccordi bisa dilakukan baik oleh perorangan maupun perusahaan. 2. Penangkaran C. mccordi memiliki prospek yang cukup menjanjikan sebagai sumber pendapatan. 3. Berdasarkan analisis ekonomi dan nilai-nilai indikator investasi, usaha penangkaran C.mccordi layak untuk dilakukan. IRR 23% > discount factor, NPV Rp. 151.768. 473 > 0, BCR 4,03 > 1 dan BEP 9 tahun.
B. Saran 1. Perlu kontribusi dan dukungan baik berupa pendanaan, peraturan dan lain sebaginya dari berbagai stakeholder baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk pelestarian dan pemanfaatan C. mccordi yang berkelanjutan. . DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2006. Kura-Kura Leher Ular Pulau Roti Terancam Punah. Diakses dari Internet pada tanggal 13 April 2010. Anonimous. 2009. Perawatan Umum Kura-Kura Air. Diakses dari Internet pada tanggal 13 April 2010. Kayat, G. S. Saragih dan R. Kurniadi. 2010. Kajian Habitat dan Sebaran Populasi Kura-Kura Leher Ular (Chelodina mccordi Rhodin, 1994). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. Latta, Craig. 2009. Caring For Australian Freshwater Turtles In Captivity. Diakses dari www.turtles.net.au. pada tanggal 13 April 2010 Shepherd, C. R. & B. Ibarrondo. 2005. The Trade of the Roti island Snake-necked Turtle Chelodina mccordi, Indonesia. TRAFFIC South East Asia. Petaling Jaya, Malaysia. Rhodin, A.G.J. 1994. Chelid Turtles of the New Australasian Archipelago : II. A New Species of Chelodina from Roti Island, Indonesia. Breviora Museum of Comparative Zoology. 2 February 1994. Number 498. Cambridge.
41
42
EFEKTIFITAS PESTISIDA NABATI DAN HAYATI UNTUK PENGENDALIAN HAMA KUTU SISIK (Chionaspis sp.) PADA TANAMAN CENDANA (Santalum album linn) Oleh: Rina Yuana Puspiyatun dan Heny Rianawati ABSTRAK Cendana merupakan jenis tanaman andalan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Upaya mengembalikan populasi cendana di NTT telah menjadi program dan komitmen bersama dari pemerintah dan masyarakat NTT, salah satunya adalah dengan pembangunan hutan tanaman cendana. Namun demikian, pertumbuhan tanaman cendana muda di lapangan dapat terhambat karena masih rentan terserang hama dan penyakit. Serangan hama kutu sisik yang terjadi di plot tanaman cendana di Kabupaten Kupang telah mengakibatkan kerugian yang cukup serius. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas beberapa pestisida nabati dan hayati untuk mengendalikan serangan hama kutu sisik pada tanaman cendana muda di lapangan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengendalian hama kutu sisik dengan menggunakan pestisida nabati dan hayati memiliki prospek yang baik. Hasil analisis ragam menunjukan adanya perbedaan nyata atas perlakuan yang diujikan pada taraf uji 5%. Formulasi pestisida yang menempati peringkat atas dalam mengendalikan serangan hama kutu sisik berturut-turut adalah mimba (88,1%), mimba++ (76,9%), dan kerinyu (76,3%). Kata Kunci: cendana, Santalum album , kutu sisik, Chionaspis sp., pestisida nabati dan hayati.
I. PENDAHULUAN Cendana (Santalum album Linn.) merupakan tanaman unggulan Nusa Tenggara Timur (NTT). Di daerah sebaran alaminya di Kepulauan NTT, cendana dikenal dengan nama hau meni atau ai nitu. Cendana memiliki nilai ekonomis sangat tinggi karena menghasilkan kadar minyak dan volume kayu teras yang terbaik di dunia sehingga banyak negara yang tertarik untuk mengembangkannya (Haffner, 1993). Tingginya eksploitasi kayu cendana sejak puluhan tahun lalu menyebabkan terancamnya populasi cendana di alam. Kondisi tersebut telah menggugah kesadaran berbagai pihak untuk mulai menggalakkan berbagai program demi mengembalikan populasi cendana di NTT. Upaya pengembalian populasi cendana dapat didukung antara lain dengan pembangunan hutan tanaman cendana. Namun demikian, terjadinya serangan hama menjadi salah satu kendala dalam upaya peningkatan kualitas pertumbuhan cendana. Kutu sisik (Chionaspis sp.) merupakan hama potensial yang menyerang tanaman cendana dan dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang serius. Kutu sisik cendana termasuk dalam famili Diaspididae yang merupakan famili scale insect terbesar (lebih dari 300 jenis di Amerika Utara) dan merupakan jenis hama yang sangat penting (Borror et al., 1992). Secara umum hama ini merupakan jenis kutu perisai (armored 43
scale), namun demikian di lapangan lebih dikenal dengan sebutan kutu sisik (scale insect). Chionaspis sp. bukanlah hama baru bagi tanaman cendana. Rostaman (2000) dan Surata dan Idris (2001) menyebutkan kutu sisik Chionaspis sp. sebagai salah satu hama penting yang sering menyerang cendana. Pada SNI bernomor 7497:2008 tentang Penanganan Benih dan Bibit Cendana telah disebutkan bahwa kutu sisik Chionaspis sp. adalah salah satu jenis hama yang harus dikendalikan. Kerusakan yang diakibatkan serangan hama kutu sisik ditandai dengan gejala pembentukan puru pada pucuk, pucuk mengeriting, daun gugur, dan akhirnya mati ranting. Tindakan pengendalian hama yang umum dilakukan selama ini adalah secara mekanis dengan pemangkasan pada bagian batang dan daun yang terserang atau secara kimiawi dengan penyemprotan insektisida berbahan aktif karbaril atau klorfirifos. Pengendalian secara mekanis harus diulang terus menerus sehingga kurang aplikatif ketika diterapkan pada jumlah individu dan luasan plot yang besar. Penggunaan pestisida kimiawi sudah semestinya dikurangi karena dalam jangka panjang dapat berakibat buruk pada lingkungan dan berpotensi menimbulkan terjadinya ledakan hama sekunder dan dapat menyebabkan resistensi hama (Waluyo, 2006). Akibat dampak negatif pengendalian secara kimiawi dan keterbatasan pengendalian secara mekanis perlu diupayakan alternatif pengendalian hama yang efektif dan ramah lingkungan. Pestisida nabati dan hayati dapat berfungsi sebagai penolak, penarik, antifidan, antifertilitas, racun syaraf dan pembunuh bagi organisme penggangu tanaman (OPT). Bahan aktif pestisida nabati dan hayati dapat berasal dari tumbuhan atau bagian tumbuhan, bakteri, jamur atau virus (Novrizan, 2002; Deciyanto dan Indrayani, 2008 dan Subiyakto, 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas beberapa jenis pestisida nabati dan hayati dalam mengendalikan serangan hama kutu sisik Chionaspis sp. pada tanaman cendana muda di lapangan. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi ilmiah dalam mencari alternatif pengendalian hama kutu sisik yang alami dan ramah lingkungan.
44
II. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian efektifitas pestisida nabati dan hayati untuk pengendalian hama kutu sisik dilaksanakan di plot cendana di Desa Ponain, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, NTT. Penelitian dilakukan pada bulan Juni – September 2011. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: tanaman cendana muda yang terserang kutu sisik, Metarhizium anisopleae, Bacillus thuringiensis, Beauveria bassiana, daun mimba (Azadirachta indica), daun kerinyu (Chromolaena odorata), cengkeh (Syzygium aromaticum), dringo (Acorus calamus), media PDA, aquades, alkohol 70%. Alat yang digunakan meliputi cawan petri, pinset, handcounter, termohigrometer, kaca pembesar, laminar air flow, mikroskop, autoklaf, timbangan, kamera, alat tulis dan sprayer. C. Metode Penelitian 1. Rancangan Penelitian Faktor yang diuji dalam penelitian ini adalah formulasi pestisida yang terdiri dari 10 perlakuan, yaitu: 1. Kontrol (P0), 2. Cendawan Metarhizium (P1), 3. Cendawan Beauveria (P2), 4. Campuran cendawan dengan bakteri Metarhizium + Beauveria + Trichorderma + B. thurigiensis (P3), 5. Pestisida mimba (P4, terbuat dari 100 g ekstrak daun mimba dalam 1 l air dan 3 g detergen), 6. Pestisida kerinyu (P5, terbuat dari 100 g ekstrak daun kerinyu dalam 1 l air dan 3 g detergen)), 7. Pestisida mimba + kerinyu (P6, komposisi 50 g ekstrak daun mimba + 50 g ekstrak daun kerinyu dalam 1 l air dan 3 g detergen ) 8. Pestisida kerinyu++ (P7, campuran dari 100 g ekstrak daun kerinyu+10 g cengkih+10 g dringo dalam 1 l air dan 3 g detergen) 9. Pestisida mimba++ ( P8, yang terbuat dari campuran 100 g ekstrak daun mimba, 10 g cengkih, 10 g dringo ditambah 1 l air dan 3 g detergen) 10. Pestisida kimiawi dengan bahan aktif khlorfirifus (P9) sebagai perbandingan. 45
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap berblok (RCBD) dengan 10 perlakuan dan 3 blok serta setiap blok terdiri dari 3 tanaman, sehingga jumlah total tanaman sebanyak 10 x 3 x 3 = 90 tanaman. Prosedur penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Menyiapkan tanaman cendana yang terserang kutu sisik dan memberi label pada tanaman sesuai dengan perlakuan yang telah ditentukan. b. Melakukan aplikasi pestisida untuk pengendalian hama sesuai perlakuan yang diujikan. Perlakuan diulang setiap 1 minggu sampai bulan ke-2. c. Mengamati kondisi kesehatan atau tingkat kerusakan tanaman (dari perkembangan sampel luas daun yang terserang kutu sisik) sebelum dan sesudah perlakuan. Sesudah aplikasi pestisida, pengamatan dilakukan setiap 1 minggu sekali sampai bulan ke-2. Mencatat data pendukung: suhu, kelembaban relatif dan kondisi paparan sinar matahari di lokasi pengujian. Parameter yang diamati adalah persentase serangan (PS) pada daun yang terserang kutu sisik sebelum dan sesudah perlakuan. Persentase serangan menunjukkan kuantitas tanaman atau bagian utama tanaman yang sakit dibandingkan dengan kuantitas total, misalnya pada daun, batang, cabang atau buah yang memperlihatkan gejala (Purnomo, 2007). Persentase serangan kutu sisik dihitung dengan rumus: PS =
Luas daun terserang Luas seluruh daun
x 100%
(1)
Keterangan: PS = Persentase Serangan
2. Analisis Data Analisis data menggunakan analisis varian dan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang nyata diantara perlakuan, pengelompokan dan peringkat masing-masing perlakuan. Dari pengamatan perbandingan persentase serangan pada masing-masing perlakuan dan kontrol sebelum dan sesudah aplikasi didapatkan persentase efektifitas (efikasi pestisida) yang dihitung dengan rumus Henderson dan Tilton (Martono, 1999; Direktorat Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian, 2011) sebagai berikut:
EI =
46
(1-
Ta Ca
x
Cb Tb
) x 100%
(2)
Keterangan : EI = efikasi pestisida yang diuji (%) Ca = persentase serangan pada kontrol setelah aplikasi pestisida Cb = persentase serangan pada kontrol sebelum aplikasi pestisida Ta = persentase serangan pada perlakuan setelah aplikasi pestisida Tb = persentase serangan pada perlakuan sebelum aplikasi pestisida
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Efektifitas pestisida nabati dan hayati yang diujikan pada penelitian memperlihatkan hasil yang bervariasi, dari yang terendah 47,2% sampai yang tertinggi 88,1%. Hal ini menjadi indikator positif bahwa pengendalian hama kutu sisik dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati dan hayati. Hasil analisis varian pada akhir pengamatan menunjukan adanya perbedaan nyata atas perlakuan yang diujikan pada taraf uji 5%. Hasil pengamatan efektifitas pestisida untuk pengendalian hama kutu sisik disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil pengamatan efektifitas pestisida untuk pengendalian hama kutu sisik pada tanaman cendana muda (umur 3 tahun) ns
Pengamatan ke-1 Efektifitas Perlakuan Pestisida (%) Metarhizium 57,3 Kerinyu 32,4 Mimba++ 31,5 Beauveria 29,0 Mimba+Kerinyu 28,6 Kerinyu++ 26,7 Mimba 25,7 Metarhizium++ 19,5 Pestisida Kimia 16,9 Kontrol 0
*
Pengamatan ke-2 Efektifitas Perlakuan Pestisida (%) Mimba 82,6a Kerinyu 62,1a Metarhizium 59,8a Mimba+Kerinyu 57,6a Kerinyu++ 54,3ab Beauveria 48,3ab Mimba++ 43,2ab Metarhizium+++ 40,4ab Pestisida Kimia 16,9bc Kontrol 0c
*
Pengamatan ke-3 Efektifitas Perlakuan Pestisida (%) Mimba 88,1a Mimba++ 76,9a Kerinyu 76,3a Mimba+Kerinyu 70,1a Kerinyu++ 68,6a Metarhizium 62,1ab Beauveria 52,1ab Metarhizium++ 47,2ab Pestisida Kimia 16,9bc Kontrol 0c
Keterangan: 1. ns = perlakuan tidak berbeda nyata 2. * = perlakuan berbeda nyata pada taraf uji 5% 3. Angka-angka yang diikuti dengan notasi huruf yang sama pada kolom efektifitas pestisida menunjukan perlakuan tidak berbeda nyata dalam uji lanjut DMRT.
Dari data yang diperoleh pada pengamatan diketahui bahwa sejumlah formulasi pestisida lebih efektif untuk mengendalikan hama kutu sisik dibandingkan dengan yang lainnya. Pada akhir pengamatan, formulasi pestisida yang menempati peringkat atas dalam efektifitas pengendalian serangan kutu sisik berturut-turut adalah mimba (88,1%), mimba++ (76,9%), dan kerinyu (76,3%). Dengan kata lain, manfaat yang diperoleh dari pengaplikasian ketiga perlakuan pestisida peringkat atas tersebut adalah
47
efektifitas pengedalian serangan hama dalam kisaran 76,3-88,1% dibandingkan dengan kondisi awal pengamatan sebelum dilakukan tindakan pengendalian. Sementara itu, penggunaan pestisida kimia berbahan klorfirifos dalam penelitian ini memiliki efektifitas pestisida sebesar 16,9% baik pada pengamatan ke-1, ke-2 dan ke-3. Efektivitasnya masih jauh dibawah perlakuan pestisida nabati berbahan dasar mimba dengan kisaran berturut-turut sebesar 25,7%, 82,6% dan 88,1% pada pengamatan ke-1, ke-2 dan ke-3. Martono (1999) menyebutkan bahwa nilai persentase efikasi pestisida yang umumnya dianggap baik adalah berada di atas 50%, sedangkan Direktorat Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian (2011) memberi batasan nilai persentase efikasi pestisida yang efektif adalah t 60%. Dengan demikian, pestisida nabati dari bahan dasar mimba dapat menjadi substitusi bagi pestisida kimiawi yang selama ini umum digunakan dalam pengendalian hama kutu sisik cendana. Pestisida nabati yang paling efektif mengendalikan serangan kutu sisik pada penelitian ini adalah pestisida dari bahan dasar ekstrak daun mimba (P4). Respon dari penggunaan pestisida berbahan dasar mimba ini adalah efektifitas pengendalian hama mencapai 25,7% (pengamatan ke-1), 82,6% (pengamatan ke-2) dan 88,1% (pengamatan ke-3). Dari pengamatan di lapangan, efektifitas pengendalian dapat diamati secara jelas dengan melihat indikator perubahan kumpulan hama kutu sisik yang menempel di daun (baik di permukaan atas maupun bawah daun), misalnya dari yang semula ¾ atau 75% dari luas daun menjadi ½ atau 50% dari luas daun. Dalam keadaan hidup, kutu sisik secara kasat mata dapat diamati sebagai kumpulan hama berwarna putih yang menempel di permukaan daun. Kematian kutu sisik ditandai dengan tubuh hama yang berwarna kecoklatan dan kering apabila disentuh hingga pada akhirnya terlepas dari permukaan daun. Kematian serangga kutu sisik diduga disebabkan oleh senyawa toksik azadirakhtin,
yang merupakan kandungan utama bahan aktif pestisida mimba.
Azadirakhtin dalam sistem metabolisme serangga dapat mengganggu sel neurosekretori yang menyebabkan gangguan pada stimulasi protein dan pengaturan metamorfosa. Gangguan yang berat akan menyebabkan mortalitas hama, sedang gangguan yang ringan menyebabkan pertumbuhan terhambat. Biji dan daun mimba selama ini memang dikenal sebagai bahan insektisida nabati dan hayati. Biji dan daun mimba mengandung 4 senyawa kimia nabati dan hayati yang aktif sebagai pestisida, yaitu azadirakhtin, salanin, meliatriol, dan nimbin. Senyawa kimia tersebut dapat berperan sebagai penghambat pertumbuhan serangga, penolak makan, dan repelen bagi serangga. Azadirakhtin tidak langsung mematikan 48
serangga, tetapi melalui mekanisme menolak makan, mengganggu pertumbuhan dan reproduksi serangga. Salanin bekerja sebagai penghambat makan serangga. Nimbin bekerja sebagai anti virus, sedangkan meliantriol sebagai penolak serangga (Subiyakto, 2009; Sunarto dan Nurindah, 2009). Dalam penelitian keunggulan mimba sebagai bahan pengendali hama, Subiyakto dan Sunarto dalam Subiyakto (2009) melaporkan efektifitas mimba sebagai larvasida (pembunuh larva) dan ovisida (pembunuh telur): ekstrak biji mimba menyebabkan mortalitas larva Achea janata 79,7% sampai 100%, larva ulat grayak (Spodoptera litura) dan ulat tembakau (Helicoverpa armigera) yang disemprot dengan ekstrak biji mimba 4 ml/ l air sampai 32 ml/ l air menghasilkan ngengat cacat atau mati. Dalam penelitian lain, kematian signifikan Helopeltis sp. karena penggunaan pestisida dari ekstrak biji dan daun mimba juga dilaporkan Wiryadiputra (1998): mortalitas serangan Helopeltis sp. mencapai 83,3% (ekstrak daun mimba dalam aquades, konsentrasi 5%) dan mencapai 96,2% (ekstrak biji mimba hasil perasan langsung, konsentrasi 2%). Sementara itu, hasil yang kurang baik dari pestisida hayati atau pestisida yang berasal dari bahan aktif mikroorganisme (jika dibandingkan dengan pestisida berbahan dasar mimba) diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan pada saat aplikasi pestisida kurang optimal. Pada akhir pengamatan ditemukan bahwa efektifitas pestisida dari bahan aktif mikroorganisme berturut-turut sebasar 62,1% (Metarhizibium), 52,1% (Beauveria)
dan
47,2%
(Metarhizibium+++).
Mahr
dalam
Khairani
(2007)
menyebutkan bahwa dalam penggunaan pestisida dari bahan aktif mikroorganisme, terjadinya mortalitas serangga hama akan dipengaruhi oleh kerapatan konidia, suhu dan kelembaban lingkungan. Cendawan
B. bassiana misalnya dapat tumbuh optimal
menginfeksi tubuh serangga pada kondisi lingkungan dengan kelembaban 92% dan akan meningkat pada suhu rendah. Sebagaimana entomopatogen lainnya, konidia B. bassiana dan M. anisopleae mudah diinaktifkan oleh paparan ultraviolet sinar matahari. Suhu yang cukup panas (25,9-31,1o C) dan kelembaban yang relatif rendah (66,5-69%) di lokasi penelitian juga dapat menyebabkan B. bassiana dan M. anisopleae tidak dapat tumbuh secara optimal untuk menginfeksi hama kutu sisik cendana.
49
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pestisida nabati dan hayati memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai pestisida alternatif dalam pengendalian hama kutu sisik cendana. 2. Pestisida nabati dan hayati yang efektif untuk mengendalikan serangan kutu sisik berturut-turut adalah mimba (88,1%), mimba++ (76,9%), dan kerinyu (76,3%). B. Saran 1. Perlu pengujian lebih lanjut dalam skala yang lebih luas untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat mengenai potensi pemanfaatan pestisida nabati dan hayati untuk pengendalian hama cendana. 2. Penggunaan pestisida nabati dan hayati yang ramah lingkungan sebagai alternatif pengganti pestisida kimia perlu disosialisasikan lebih giat lagi.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Eko B. Widayanto, MS., Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana Nusa Tenggara Timur, atas sumbangsih pemikiran dan kerjasama pembuatan formulasi pestisida nabati dan hayati yang digunakan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Borror, D.J., C.A. Triolehorn dan N.F. Johnson. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. UGM Press. Jogjakarta. Deciyanto, S. dan I.G.A.A. Indrayani. 2008. Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana: Potensi dan Prospeknya dalam Pengendalian Hama Tungau. Perspektif 8 (2): 6573. Direktorat Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian. Jakarta. 2011. Pedoman Umum Skrinning Pestisida. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Direktorat Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian. Jakarta. Hadi, M., J.W. Hidayat, K. Baskoro. 2000. Uji Potensi Ekstrak Daun Eupatorium odoratum sebagai Bahan Insektisida Alternatif: Toksisitas dan Efek Antimakan Terhadap Larva Heliothis armigera Hubner. Jurnal Sains dan Matematika. Fakultas MIPA Undip. Semarang. Hadi, M. 2008. Pembuatan Kertas Anti Rayap Ramah Lingkungan dengan Memanfaatkan Ekstrak Daun Kirinyuh (Eupatorium odoratum). Bioma 6 (2): 12-18.
50
Haffner, D. H. 1993. The Quantity and Quality of Heartwood in Two Species of Sandalwood. A Thesis for Degree Master of Forest Science. University of Melbourne. Khairani, N. 2007. Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) dan Daun Lantana camara terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimaea operculella Zell.) di Gudang. Skripsi. Universitas Sumatera Utara, Medan. Tidak dipublikasikan. Martono, E. 1999. Pertimbangan Fluktuasi Populasi dalam Perhitungan Efikasi Pestisida. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 5 (1): 6-66. Novrizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Agro Media Pustaka. Jakarta. Purnomo, B. 2007. Diktat Kuliah Epidemiologi Penyakit Tanaman. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rostaman. 2000. Inventarisasi Organisme Pengganggu Tanaman Cendana di Kupang. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Kajian terhadap Tanaman Cendana sebagai Komoditi Utama Perekonomian Propinsi NTT menuju Otonomisasi. Pemda Tingkat I NTT dan LIPI. Jakarta. Subiyakto. 2009. Ekstrak Biji Mimba Sebagai Pestisida Nabati: Potensi, Kendala dan Strategi Pengembangannya. Perspektif 8 (2): 108-116. Sunarto, D. dan Nurindah. 2009. Peran Insektisida Botani Ekstrak Biji Mimba untuk Konservasi Musuh Nabati dan hayati dalam Pengelolaan serangga Hama Kapas. Jurnal Entomologi Indonesia. 6 (1): 42-52. Surata, IK dan M.M. Idris. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur, Berita Biologi Edisi Khusus 5 (5), Pusat Penelitian Biologi LIPI. Waluyo, THT. 2006. Penggunaan Pestisida Nabati di Kehutanan. Informasi Teknis 4 (1). Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogjakarta. Wiryadiputra, S. 1998. Percobaan Pendahuluan Pengaruh Minyak Mimba dan Ekstrak Biji Srikaya terhadap Mortalitas Heliopeltis sp. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 4 (2): 97-105.
51
52
PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI BEBERAPA TIPE HUTAN DI PROVINSI Nusa Tenggara Timur Oleh: Dhany Yuniati, Hery Kurniawan, Eko Pujiono dan Felipus Banani ABSTRAK Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagian besar wilayahnya merupakan semi arid, namun terdapat perbedaan tipe hutan yang sangat nyata pada sebagian wilayahnya. Beberapa tipe hutan tersebut diantaranya adalah tipe hutan alam dataran tinggi, hutan alam dataran rendah dan savana, serta hutan tanaman. Berkaitan dengan penyediaan data dalam rangka mitigasi perubahan iklim maka perlu dilakukan penelitian simpanan karbon terhadap seluruh tipe hutan yang ada di NTT. Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang telah melakukan beberapa penelitian terkait dengan pendugaan simpanan karbon di beberapa tipe hutan di NTT. Metode destructive dan non destructive sampling digunakan untuk mendapatkan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan alam dan savana yang bercampur dengan E. alba memiliki simpanan karbon relatif lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tanaman sehingga kegiatan konservasi terhadap hutan alam dan savana perlu dilakukan untuk meningkatkan simpanan karbon dan upaya mitigasi perubahan iklim. Simpanan karbon tertinggi dari berbagai tipe hutan yang ada di NTT terdapat pada hutan alam ampupu (Eucalyptus urophylla). Simpanan karbon antar kelas umur pada hutan tanaman jati (Tectona grandis) menunjukkan trend naik seiring naiknya kelas umur. Pada kondisi terjadinya gangguan terhadap hutan akan menurunkan simpanan karbon dan melepaskan emisi pada tingkat yang lebih tinggi. Kata kunci: simpanan karbon, Eucalyptus urophylla, Tectona grandis, Eucalyptus alba
I. PENDAHULUAN Sektor Kehutanan dalam konteks perubahan iklim termasuk ke dalam sektor Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) merupakan salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) (Wibowo, 2009). Emisi CO2 yang dilepaskan oleh sektor kehutanan dan perubahan tata guna lahan adalah sebesar 48% dari total emisi GRK di Indonesia tanpa kebakaran gambut (KLH, 2009). Dalam kaitannya dengan tata guna lahan, kehutanan merupakan sektor yang paling disorot dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Hutan dalam konteks perubahan iklim dapat berperan sebagai penyerap/penyimpan (sink) maupun sebagai pengemisi (source) karbon. Hutan merupakan penyimpan karbon tertinggi bila dibandingkan dengan Sistem Penggunaan Lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak (Hairiyah dan Rahayu, 2007). Stern (2007), mengungkapkan bahwa upaya mitigasi untuk mengurangi sumber emisi atau meningkatkan penyerapan emisi GRK yang berbasis tata guna lahan dipercaya merupakan kegiatan yang lebih murah dibandingkan dengan melakukan mitigasi emisi melalui kegiatan lain.
53
Menurut Hairiyah dan Rahayu, (2007), pengukuran jumlah karbon (C) yang disimpan dalam tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman, sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan karbon dioksida (CO2) yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran. Untuk kepentingan inventarisasi GRK kehutanan diperlukan data yang akurat dan metode yang diakui internasional untuk melaporkan perkembangannya. Komponen penting dalam inventarisasi GRK adalah data kegiatan (activity data) dan faktor emisi/serapan (emission factor). Faktor emisi/serapan adalah kemampuan untuk mengemisi atau menyerap GRK dari suatu unit/kategori lahan yang dikonversi (ton C/tahun dan ton C/ha). Faktor emisi/serapan memiliki tingkat kerincian (Tier). Terdapat 3 pilihan kerincian faktor emisi/serapan yaitu tier 1, 2 dan 3. Dalam Wibowo (2009) disebutkan bahwa Tier 1 (basic) memakai data yang diberikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (data default values) pada skala global. Tier 2 (intermediate) memakai data yang spesifik dari tiap negara (nasional/lokal) untuk beberapa jenis hutan yang dominan atau utama. Tier 3 (most demanding) memakai data cadangan karbon dari inventarisasi nasional, yang diukur secara berkala atau dengan modelling. Dalam kaitannya dengan penyediaan data dengan tingkat kerincian (Tier) 3 maka pendugaan cadangan karbon dimulai dengan pendugaan biomassa dengan modelling spesifik terhadap spesies dan tempat (site). Metode yang paling akurat untuk pendugaan biomassa adalah melalui pendekatan destruktif dengan menebang pohonpohon dan menimbang bobot keseluruhan bagian-bagiannya. Namun demikian, pada lokasi yang tidak memungkinkan untuk dilakukan penebangan, metode non destruktif masih cukup layak untuk diterapkan. Hingga saat ini berbagai persamaan allometrik untuk pendugaan biomassa di atas tanah untuk multispecies hutan tropis telah dipublikasikan. Ketterings et al. (2001) telah membangun persamaan allometrik pada hutan sekunder campuran di Sumatra. Brown (1997) telah membangun berbagai persamaan allometrik untuk hutan tropis berdasarkan data yang sebagian besar dikumpulkan di Kalimantan. Dalam Annex 4.2. IPCC Good Practice Guidance for LULUCF telah dipublikasikan allometrik untuk jenis jati (Tectona grandis) dan karet (Havea brasiliensis).
54
Provinsi NTT, meskipun sebagian besar wilayahnya merupakan semi arid, namun terdapat perbedaan tipe hutan yang sangat nyata pada sebagian wilayahnya. Beberapa tipe hutan tersebut diantaranya adalah tipe hutan alam dataran tinggi, hutan alam dataran rendah dan savana, serta hutan tanaman. Berkaitan dengan penyediaan data dalam rangka mitigasi perubahan iklim maka perlu dilakukan penelitian simpanan karbon terhadap seluruh tipe hutan yang ada di NTT. Untuk keperluan tersebut, maka BPK Kupang telah melakukan beberapa penelitian terkait dengan pendugaan simpanan karbon di beberapa tipe hutan di NTT.
II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu dan lokasi penelitian diuraikan sebagai berikut : 1.
Penelitian Kandungan Karbon Hutan Tanaman dan Hutan Alam Ampupu (Eucalyptus urophylla) di Pulau Timor dilaksanakan di Fatumnasi dan So’e, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) pada tahun 2009.
2.
Penelitian Potensi Stok Karbon Pada Hutan Tanaman Jati (T. grandis) di Kabupaten Kupang dan Belu, Provinsi NTT dilaksanakan di Kabupaten Kupang dan Belu pada tahun 2010.
3.
Penelitian Penyusunan Persamaan Allometrik Eucalyptus alba untuk Pendugaan Potensi Karbon Hutan Alam Savana di Provinsi NTT dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) pada tahun 2011.
4.
Penelitian Penyusunan Persamaan Allometrik Borassus flabelifer dan Corypha utan untuk Pendugaan Simpanan Karbon Hutan Savana di Propinsi NTT dilaksanakan di Kabupaten Kupang pada tahun 2012.
B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan tanaman dan hutan alam ampupu, hutan tanaman jati, tanaman E. alba pada beberapa kelas diameter dan tanaman B. flabellifer (lontar) dan C. utan (gewang) pada beberapa kelas tinggi. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan data dan sampel pohon di lapangan diantaranya adalah Global Positioning System (GPS), Phiband atau pita diameter, hagameter, pita meter, gergaji rantai (chainsaw), cangkul, linggis, parang, gergaji tangan, timbangan (kapasitas 100 kg dan 5 kg), patok kayu, karung plastik, terpal, kantung plastik, pita dan plastik label. 55
C. Prosedur Penelitian 1.
Pendugaan Potensi Simpanan Karbon pada Metode Non Destructive Sampling
a. Mengukur Biomassa Pool karbon yang diukur meliputi pohon, tumbuhan bawah dan seresah serta tanah. Pada metode non destructive biomassa pohon dan nekromas berkayu dapat dihitung langsung menggunakan persamaan yang telah dikembangkan oleh peneliti sebelumnya. Sedangkan pada seresah dan tumbuhan bawah kandungan biomasa dihitung dengan rumus sebagai berikut:
BK contoh (gr)
Total BK (gr) = Keterangan: BK BB
BB contoh (gr)
X Total BB (gr) (1)
= Berat kering = Berat basah
b. Estimasi Kandungan Karbon Estimasi kandungan karbon digunakan metode tidak langsung yakni dengan mengalikan nilai biomassa yang diperoleh dengan default value dari konstanta Brown yakni sebesar 0,50 Kandungan karbon pada pohon, seresah, tumbuhan bawah dan nekromasa berkayu dihitung dengan formula sebagai berikut:
Kandungan karbon (kg/m2) =
0,50 x total berat kering pohon/seresah/tumbuhan/bawah, nekromasa (kg) luas plot (m2)
(2)
c. Kandungan Karbon Tanah Kandungan karbon tanah (ton/ha) untuk masing-masing horizon (Sutaryo, 2009): Csi =
Keterangan:
T. BD.C 1-MFp Csi T BD MFp
(3) = = = =
simpanan karbon pada horizon i tebal horizon (cm) berat jenis (bulk density) (gr/cm3) faktor kelembaban (moisture factor)
Untuk mengetahui total simpanan karbon tanah, maka simpanan karbon pada masingmasing horizon dijumlahkan. 56
2.
Pendugaan Potensi Simpanan Karbon dengan Metode Destructive Sampling Destruktif Sampling Jenis Tdk Langsung (karbonasi & analisis C sampel)
Langsung (0,5 x Biomass)
Persamaan Allometrik untuk pendugaan biomasa karbon Kandungan karbon pada pohon Potensi hutan menyimpan karbon
57
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perbedaan Lokasi dan Metode Penelitian yang Digunakan Dalam menduga biomasa pada beberapa lokasi penelitian, maka digunakan beberapa persamaan allometrik sebagai berikut :
Tabel 1. Perbedaan lokasi dan metode yang digunakan Judul Lokasi Tahun Metode Kandungan Karbon Hutan Fatumnasi 2009 Non Tanaman dan Hutan Alam dan So’e, destructive Ampupu (Eucalyptus Timor urophylla ) di Pulau Timor Tengah (Tahun 2009) Selatan
Potensi Stok Karbon Pada Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) di Kabupaten Kupang dan Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur (Tahun 2010)
Kabupaten 2010 Belu dan Kupang
Penyusunan Persamaan Allometrik Eucalyptus alba untuk Pendugaan Potensi Karbon Hutan Alam Savana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Tahun 2011)
Kabupaten 2011 Timor Tengah Utara
B.
Non destructive
Persamaan Pohon bercabang: BK = 0,11.BJ.D2.62 Pohon tidak bercabang: BK = π.BJ.T.D2/40 Hairiah dan Rahayu, 2007 Ketterings, 2001: BK = 0.11*BJ*D2.62 Pérez, L.D. & Kanninen (2003): Y= 0.153 x DBH2.382
Destructive sampling
Allometrik
Kandungan Karbon Hutan Tanaman Ampupu dan Hutan Alam Ampupu (Eucalyptus urophylla) di Pulau Timor
1. Kandungan Karbon Hutan Tanaman Ampupu Pada Tabel 2, 3 dan 4 disajikan kandungan karbon hutan tanaman ampupu berumur 12 tahun, 26 tahun dan 27 tahun. Dari hasil pengukuran diperoleh data bahwa kandungan karbon hutan tanaman ampupu yang berumur 12 tahun sebesar 19,48 ton/ha (Tabel 2). Sebagian besar karbon tersimpan dalam bentuk pohon kecil. Sebagian besar tanaman yang ada di hutan tanaman yang berumur 12 tahun berdiameter kurang dari 30 cm.
58
Tabel 2. Kandungan karbon hutan tanaman ampupu berumur 12 tahun Biomasa (ton/ha) Plot
Pohon besar (>30 cm)
Pohon kecil (5-30 cm)
Tumbuhan bawah
Nekromasa
1 2 3 4
0 0 0 0
30,87 41,14 45,49 43,77
0 0 0 0
Ratarata
0
40,32
0
Total biomasa (ton/ha)
Total simpanan kabon (ton/ha)
0 0 0 0
33,19 43,05 47,27 45,84
15,27 19,80 21,74 21,09
0
42,37
19,48
Seresah kasar (>2 mm)
Seresah halus (< 2 mm)
0 0 0 0
2,32 1,91 1,78 2,07
0
2,02
Sumber: Data primer, 2009
Kandungan karbon hutan tanaman ampupu berumur 26 tahun (Tabel 3) sebesar 117,94 ton/ha. Sebagian besar karbon tersimpan pada pohon kecil yang berdiameter 530 cm. Sisanya dalam bentuk seresah kasar. Selain umur tanaman, kondisi lahan juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman sehingga pertumbuhan tegakan belum mencapai pohon besar. Tabel 3. Kandungan karbon hutan tanaman ampupu berumur 26 tahun Plot
Pohon besar (>30 cm) 0 0
Pohon kecil (5-30 cm) 156,52 343,45
1 2 Rata0 249,99 rata Sumber: Data primer, 2009
Biomasa (ton/ha) Tumbuhan Nekromasa bawah
(>2 mm)
(< 2 mm)
0 0
0 0
7,19 5,61
0 0
163,71 349,06
Total simpanan karbon(ton /ha) 75,31 160,57
0
0
6,40
0
256,39
117,94
Seresah kasar
Seresah halus
Total biomasa (ton/ha)
Kandungan karbon hutan tanaman ampupu yang berumur berumur 27 tahun (Tabel 4) sebesar 166,70 ton/ha. Sebagian besar kandungan karbon tersimpan dalam bentuk pohon besar dan pohon kecil. Sisanya dalam bentuk tumbuhan bawah dan seresah kasar. Tabel 4. Kandungan karbon hutan tanaman ampupu berumur 27 tahun Biomasa (ton/ha) Plot
Pohon besar (>30 cm) 49,32 12,65
Pohon kecil (5-30 cm) 295,42 343,45
1 2 Rata30,99 319,44 rata Sumber: Data primer, 2009
Seresah kasar
Seresah halus
Total biomasa (ton/ha)
Total simpanan kabon (ton/ha)
Tumbuhan bawah
Nekromasa
(>2 mm)
(< 2 mm)
6,83 5,07
0 0
8,27 3,79
0 0
359,84 364,97
165,53 167,88
5,95
0
6,03
0
362,40
166,70
59
2. Kandungan Karbon Hutan Alam Ampupu Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata kandungan karbon hutan alam ampupu di Gunung Mutis sebesar 606,19 ton/ha. Nilai karbon tersebut merupakan nilai karbon tersimpan yang ada di atas permukaan tanah. Sebagian besar nilai karbon tersimpan dalam bentuk pohon. Sisanya dalam bentuk tumbuhan bawah, nekromasa, dan seresah kasar. Tabel 5 menyajikan data rata-rata kandungan karbon hutan alam ampupu di Gunung Mutis Pulau Timor. Tabel 5. Kandungan karbon hutan alam ampupu Gunung Mutis Berat kering (ton/ha) Plot
Pohon besar
Kandungan karbon (ton/ha)
1
474,30
104,72
2,56
0
586,98
270,01
2
289,05
101,42
8,09
0
10,07
0
408,63
187,97
3
1.324,22
11,91
2,85
0
17,88
0
1.356,86
624,16
4
3.381,25
107,70
0
0
9,71
0
3.498,66
1.609,38
5
982,84
217,40
5,83
0,04
11,31
0
1.217,42
560,01
6
731,18
31,67
0
0,33
11,12
0
774,30
356,18
7
739,33
-
3,84
0
7,43
0
750,60
345,28
8
1.665,68
51,04
5,53
1,14
5,24
0
1.728,63
795,17
9
1.533,78
103,61
5,04
0,08
5,74
0
1.648,25
758,20
10
1.782,18
77,42
8,10
1,18
5,32
0
1.874,20
862,13
11
1.414,10
32,50
3,01
0
5,88
0
1.455,49
669,53
469,84
32,65
4,70
0
6,40
0
513,59
236,25
1.232,31
72,67
4,13
0,23
8,46
0
1.317,80
606,19
(>30 cm)
12 Ratarata
(5-30 cm)
Tumbuhan bawah
Nekromasa
Seresah halus (< 2 mm) 0
Jumlah (ton/ha)
Seresah kasar (>2 mm) 5,40
Pohon kecil
Sumber: Data primer, 2009
C. Potensi Stok Karbon pada Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) di Kabupaten Kupang dan Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur 1. Potensi Simpanan/Stok Karbon pada Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) di Kabupaten Kupang Tabel 6 menyajikan data rata-rata kandungan karbon hutan tanaman jati (T. grandis) di Kabupaten Kupang. Tabel 6. Stok karbon pada hutan tanaman jati (T. grandis) di Kabupaten Kupang berdasarkan kelas umur Kelas Umur KU III Lokasi Penputu KU III Lokasi Tuanamolo KU IV Lokasi Hapit KU IV Lokasi Butin KU V Lokasi Puanmanasi Sumber: Yuniati, dan Kurniawan (2011)
60
Simpanan/Stok C (ton/ha) Pérez, L.D. & Kanninen Ketterings 145,32 130,27 122,13 129,25 107,04
148,80 126,90 126,29 126,96 106,59
Stok karbon pada hutan tanaman jati di Kabupaten Kupang yang paling tinggi dalam satu kelas umur berada pada kategori pohon, baik yang berdiameter 30 cm ke atas maupun 5-30 cm. Sedangkan stok karbon tertinggi antar kelas umur berada pada KU III (Lokasi Penputu dan Tuanamolo), hal ini disebabkan nilai simpanan karbon dalam tanah pada kedua lokasi tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lain. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan C di dua lokasi tersebut paling tinggi diantara lokasi yang lain. Tabel 7. disajikan hasil perhitungan karbon tanah pada lokasi penelitian Tabel 7. Karbon tanah pada lokasi penelitian Lokasi Butin Hapit Penputu Puamnasi Tuanamolo Sumber : Analisis data primer
Karbon (ton/ha) 15,0 2,0 25,8 8,2 30,55
Gambar 1. Grafik stok karbon pada hutan tanaman jati di Kabupaten Kupang menurut allometrik Ketterings dan Pérez, L.D. & Kanninen.
Dari Gambar 1. terlihat bahwa trend simpanan karbon antar kelas umur menunjukan grafik yang mendatar atau hampir sama. Dari Gambar 1. juga terlihat bahwa antara allometrik Kettering dengan Pérez, L.D. & Kanninen memberikan hasil yang hampir sama terhadap perhitungan stok karbon pada hutan tanaman jati di Kabupaten Kupang.
61
2. Potensi Simpanan/Stok Karbon pada Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) di Kabupaten Belu Potensi simpanan karbon ada hutan tanaman jati (T. grandis) di Kabupaten Belu ditunjukkan pada Tabel 8 di bawah ini. Tabel 8. Stok karbon pada hutan tanaman jati (T. grandis) di Kabupaten Belu berdasarkan kelas umur pada setiap kelas umur Kelas Umur
Simpanan/Stok C (ton/ha) Pérez, L.D. & Kanninen
KU II KU IV KU V KU VI KU VII KU VIII Sumber : Yuniati, dan Kurniawan (2011)
110,61 69,29 157,13 170,72 170,42 203,43
Ketterings 112,78 63,65 143,76 184,23 178,26 205,41
Stok karbon pada hutan tanaman jati di Kabupaten Belu yang paling tinggi dalam satu kelas umur berada pada kategori pohon, baik yang berdiameter 30 cm ke atas maupun 5-30 cm. Sedangkan stok karbon tertinggi antar kelas umur berada pada KU VIII. Hal ini dimungkinkan karena pada kelas umur VIII tegakan yang ada memiliki diameter yang paling besar dibanding kelas umur di bawahnya mengingat komponen yang paling berpengaruh terhadap potensi simpanan/stok karbon adalah kategori pohon baik yang berdiameter 30 cm ke atas maupun 5-30 cm.
Gambar 2. Grafik stok karbon pada hutan tanaman jati di Kabupaten Belu menurut allometrik Ketterings dan Pérez, L.D. & Kanninen pada setiap kelas umur. Dari Gambar 2 terlihat bahwa trend simpanan karbon pada hutan tanaman jati di Kabupaten Belu menunjukkan kenaikan dengan naiknya kelas umur kecuali pada KU 62
IV terjadi penurunan. Dari Gambar 2 juga terlihat bahwa antara allometrik Kettering dengan Pérez, L.D. & Kanninen memberikan hasil yang hampir sama terhadap perhitungan simpanan/stok karbon pada hutan tanaman jati di Kabupaten Belu. C. Penyusunan Persamaan Allometrik Eucalyptus alba untuk Pendugaan Potensi Karbon Hutan Alam Savana di Provinsi Nusa Tenggara Timur 1. Persamaan Allometrik untuk Pendugaan Biomassa Eucalyptus alba Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis regresi, secara ringkas persamaan allometrik biomasa yang dihasilkan untuk masing-masing bagian pohon E. alba (daun, batang, cabang dan ranting), beserta koefisien determinasi (R2) dan Standard Error Estimation (SEE), disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Persamaan Allometri yang dihasilkan untuk pendugaan biomasa No 1. 2. 3. 4. Sumber:
Persamaan 1.76
Daun : y = 0.010x Batang : y = 7.725 e0.119x Cabang : y = 0.005x2.683 Ranting : y = 0.015x2.351 Data primer, 2011
Koefisien Determinasi (R2) 0,641 0,946 0,879 0,923
Standar Error Estimation (SEE) 0,860 0,405 0,568 0,443
Signifikansi 0,00 0,00 0,00 0,00
Keterangan : Variabel bebas (x) : tinggi total Variabel terikat (y) : biomassa
2. Persamaan Allometrik untuk Pendugaan Karbon E. alba Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis regresi, secara ringkas persamaan allometrik karbon yang dihasilkan untuk masing-masing bagian pohon E. alba (daun, batang, cabang dan ranting), beserta koefisien determinasi (R2) dan SEE, disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Persamaan Allometri yang dihasilkan untuk pendugaan karbon No
Persamaan 1.581
1. Daun : y = 42.44x 2. Batang : y = 18.58x2.641 3. Cabang : y = 8.054x2.390 4. Ranting : y = 16.29x2.175. Sumber: Data primer, 2011
Koefisien Determinasi (R2) 0,574 0,950 0,817 0,891
Standard Error Estimation (SEE) 0,888 0,396 0,644 0,558
Signifikansi 0,010 0,000 0,000 0,016
Keterangan : Variabel bebas (x) : tinggi total Variabel terikat (y) : biomassa
63
3. Potensi Karbon pada Savana E. alba Menurut Perhitungan Tidak Langsung Savana E. alba merupakan salah satu bentuk savana yang terdapat di wilayah semi arid NTT. Deskripsi savana di NTT dapat dilihat pada Gambar 3, dimana diantara padang rumput ditemukan juga pohon.
. Gambar 3. Kondisi tegakan E. alba pada salah satu hutan savana di NTT. Potensi biomasa pada areal yang belum terganggu cukup tinggi dengan reratanya mencapai 1074,36 ton/ha. Pada Tabel 11. disajikan hasil perhitungan potensi karbon per hektar menggunakan metode perhitungan tidak langsung. Tabel 11. Perhitungan potensi karbon per hektar menggunakan metode tidak langsung Biomasa Lokasi
Pohon
Teba Lapeom Noebaun Naiola
Nekromasa
898,42 1.115,54 690,63 1.490,19 1.048,70 Rerata Sumber : Data primer, 2011
7,98 0,99 0,71 1,10 2,70
Seresah 2,01 3,23 3,65 1,41 2,58
Tumbuhan 1,62 2,31 1,45 2,84 2,06
Tanah
Total Biomasa ton/Ha
5,80 9,00 12,94 45,60 18,34
915,85 1.131,07 709,38 1.541,14 1.074,36
Total C ton/Ha 457,92 565,53 354,69 770,57 537,18
Terlihat bahwa potensi karbon di Naiola adalah yang tertinggi, hal ini dapat dipahami karena lokasi tersebut merupakan lokasi yang paling rendah tingkat gangguannya dan memiliki tingkat kepadatan pohon huek yang relatif tinggi. Lokasinya yang berada di perbukitan dan jauh dari penduduk menyebabkan wilayah ini relatif sedikit mengalami gangguan. Adanya sumber penghasilan lain seperti pertanian lahan basah dan sektor perikanan diduga kuat ikut berpengaruh pada rendahnya tingkat gangguan.
64
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Pada kelas umur yang sama rata-rata simpanan karbon perhektar pada hutan tanaman jati (T. grandis) lebih tinggi dibandingkan dengan simpanan karbon pada hutan tanaman ampupu (E. urophylla). 2. Rata-rata simpanan karbon perhektar pada hutan alam ampupu (E. urophylla) dan hutan savana huek (E. alba) lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon pada hutan tanaman jati (T. grandis) dan hutan tanaman ampupu (E. urophylla). 3. Trend simpanan karbon antar kelas umur pada kawasan hutan jati di Kabupaten Kupang menunjukan grafik yang mendatar atau hampir sama pada setiap kelas umur. 4. Trend simpanan karbon antar kelas umur pada kawasan hutan jati (T. grandis) di Kabupaten Belu menunjukkan trend naik seiring naiknya kelas umur. B. SARAN 1. Dalam kaitannya dengan carbon sink di NTT, hendaknya manfaat ekonomi dari perdagangan karbon senantiasa dinilai secara seimbang dan proporsional dengan lebih memprioritaskan terpenuhinya manfaat atau jasa lingkungan yang dihasilkan dari peningkatan stok karbon dalam areal hutan, mengingat kondisi NTT yang beriklim semi arid. 2. Penebangan dalam jumlah besar di wilayah Pulau Timor hendaknya dihindari untuk alasan kepentingan lingkungan. Dalam kaitan dengan penelitian, penggunaan fungsi tapering dan modelling dengan menggunakan alat relaskop maupun teknologi lainnya dapat dilakukan untuk jenis-jenis monopodial yang relatif seragam, guna menghindari kerusakan lingkungan akibat penebangan pohon contoh dalam jumlah yang besar.
DAFTAR PUSTAKA Brown, Sandra, 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer. (FAO Forestry Paper – 134). FAO, Rome Hairiah, K. dan Rahayu, S., 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran ’Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Agroforestry Center-ICRAF, SEA Regional Office, University of Brawijaya (Unibraw). Bogor. 77 p.
65
Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. The Indonesian Second Communication to The UNFCC. Bahan Presentasi. Indonesia.
National
Ketterings, Q.M., Coe, R., Van Noordwijk, M. and Palm, C. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests. Forest Ecology and Management 146: 199209 Pérez, L.D. & Kanninen, M. 2003. Aboveground biomass of Tectona grandis plantations in Costa Rica. Journal of Tropical Forest Science 15(1):199-213. Stern, N. 2007. Stern Review : The Economics of Climate Change. dalam Ginoga, K.L. 2008. UKP Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim. Puslitsosek Bogor. Bogor Sutaryo, D., 2009. Penghitungan Biomassa : Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon. Wetland International Indonesia Programme. Bogor. Wibowo, A. 2009. RPI Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan. Puslitsosek Bogor. Bogor Yuniati, D., dan Kurniawan, H. 2011. Potensi Simpanan Karbon Hutan Tanaman Jati (Tectona grandis) Studi Kasus di Kabupaten Kupang dan Belu Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Volume 8 Nomor 2 Hlm 148 – 164. Bogor.
66
HUTAN TANAMAN CENDANA DI OMTEL DAN AMAKLAT KABUPATEN ALOR NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : M. Hidayatullah ABSTRAK Penebangan yang kurang terkendali serta masih rendahnya upaya penanaman cendana menyebabkan populasi cendana terus menurun, sehingga diperlukan upaya konkrit dalam bentuk pembangunan hutan tanaman. Untuk menghasilkan hutan tanaman cendana yang berhasilguna dan berdayaguna, diperlukan data dan informasi tentang kegiatan pembangunan hutan tanaman yang telah dilaksanakan dan selanjutnya dipergunakan untuk perbaikan dimasa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk menyampaikan data dan informasi tentang kegiatan pembangunan hutan tanaman cendana di Kabupaten Alor. Metode penelitian berupa wawancara dengan parapihak yaitu dinas kehutanan dan kelompok tani hutan atau masyarakat di dua lokasi penelitian serta dilengkapi dengan analisis sampel tanah untuk mengetahui kesesuaian tapak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam pengelolaan hutan tanaman cendana di Omtel dan Amaklat. Jarak tanam 3 x 5 meter pada hutan tanaman cendana Omtel dimanfaatkan oleh kelompok tani hutan (KTH) untuk melakukan kegiatan penanaman tanaman pangan (agroforestry) lebih lama dibandingkan pada kawasan Amaklat yang menggunakan jarak tanam 3 x 3 meter. Keberadaan anggota KTH yang melakukan kegiatan agroforestry, berimplikasi pada keamanan hutan tanaman cendana Omtel lebih terjamin karena anggota KTH terlibat dalam pemeliharaan dan pengamanan secara aktif. Hal tersebut tidak ditemui pada hutan tanaman cendana Amaklat karena aktifitas penanaman tanaman pangan hanya terbatas sampai tahun ke 3 setelah penanaman akibat terbatasnya ruang tumbuh bagi tanaman pangan. Dilihat dari aspek iklim dan tanah hutan Omtel memiliki kandungan bahan organik (C-Org, N dan C/N) yang lebih baik sehingga pertumbuhan tanaman juga lebih baik. Pemilihan jarak tanam yang tepat serta pelibatan KTH sangat efektif untuk mendukung kegiatan pembangunan hutan tanaman cendana. Disamping itu, disarankan untuk memberi perlakuan pemupukan bagi tanaman yang ditanam pada lahan dengan kandungan bahan organik rendah. Kata kunci : Hutan tanaman cendana, kelompok tani hutan, jarak tanam, syarat tumbuh, Omtel dan Amaklat
I. PENDAHULUAN Menurut sejarah, cendana (Santalum album, L.) sudah mulai diperdagangkan sejak abad III, terus berlanjut pada jaman Portugis, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan sampai saat ini. Walaupun beberapa negara, seperti Australia, Selandia Baru, Hawaii, Caledonia dan Papua New Guinea juga memproduksi cendana, namun hanya India yang merupakan pesaing Nusa Tenggara Timur (NTT) terutama karena memiliki spesies cendana yang sama. Sementara, negara produsen lain memiliki spesies yang berbeda dan umumnya memiliki kualitas keharuman dan kandungan minyak yang lebih rendah dibandingkan dengan S. album L (Harisetijono, 2002) Lebih jauh Harisetijono (2002) mengatakan bahwa produksi cendana di NTT berasal dari beberapa pulau yaitu pulau Timor, Sumba, Adonara, Alor, Solor, Lomblen dan Sawu. Pada dekade 1970-an, kemampuan Pulau Sumba sebagai sentra produksi
67
cendana sudah mulai menurun, bahkan pulau yang terkenal dengan sebutan “Sandalwood Island” ini sejak tahun 1980 tidak menjadi sentra produksi cendana lagi. Meskipun populasi cendana di pulau Alor tidak sebanyak di pulau Sumba dan Timor, namun lokasi ini menjadi salah satu wilayah sebaran alam cendana di NTT. Populasi cendana di Alor juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, hal ini terlihat dari kontribusi cendana terhadap PAD Kabupaten Alor juga terus menurun. Kegiatan penanaman yang masih terbatas serta keberhasilan penanaman yang masih rendah berkontribusi pada penurunan populasi cendana di wilayah ini. Kondisi ini mendorong semua pihak (stakeholders), untuk terlibat dan memberi perhatian untuk meningkatkan populasi cendana. Keberadaan cendana alam di kabupaten Alor yang semakin langka, nilai ekonomis yang tinggi serta belum mantapnya upaya pengamanan dan perlindungan menjadi penyebab utama penurunan populasi cendana terutama pada periode tahun 1970-an sampai dengan 1990-an. Hal ini mengindikasikan bahwa kepunahan cendana akan segera terjadi apabila tidak ada perubahan mendasar dalam pengelolaan dan pengamanan di lapangan.
Kepunahan akan semakin cepat apabila bentuk-bentuk
perusakan lain seperti pencurian dan pembabatan anakan cendana terus berlangsung. Menurut Harisetijono (2002) setidaknya ada 3 program yang dapat dilakukan untuk penyelamatan cendana di seluruh wilayah NTT yaitu : 1) Penunjukkan tegakan benih dan pembuatan kebun benih; 2) Penyelamatan tegakan tinggal dan 3) Ekstensifikasi melalui pembuatan hutan tanaman cendana di kawasan hutan produksi maupun pada lahan milik masyarakat. Kegiatan inventarisasi pohon cendana yang tersisa perlu dilakukan untuk mengetahui secara persis populasi cendana di alam, selanjutkan dapat dirumuskan arah kebijakan yang tepat untuk pengembangan cendana kedepan. Sementara itu kegiatan intensifikasi pembangunan hutan tanaman cendana dapat dilakukan pada kawasan hutan yang sudah memiliki status hukum yang pasti maupun di lahan milik masyarakat. Pelibatan masyarakat atau Kelompok Tani Hutan (KTH) secara aktif diharapkan mampu mendukung program pemerintah dalam rangka pembangunan hutan tanaman cendana di Kabupaten Alor. Tujuan dari tulisan ini adalah mengetengahkan data dan informasi tentang pembangunan hutan tanaman cendana di Kabupaten Alor.
68
II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada 2 (dua) kawasan hutan tanaman cendana yaitu di dusun Omtel, desa Adang Bouk, kecamatan Teluk Mutiara dan di dusun Amaklat, desa Prubur Utara, kecamatan Alor Barat Daya. Kedua lokasi tersebut masuk dalam wilayah kerja Dinas Kehutanan kabupaten Alor. Penelitian dilakukan pada tahun 2009. Hutan tanaman cendana di Omtel terletak pada ketinggian berkisar 710 – 800 m. dpl pada posisi 08011’984” Lintang Selatan (LS) dan 124028’984” Bujur Timur (BT). Kawasan seluas 50 ha ini ditanam pada tahun 1986/1987 atas prakarsa dari Dinas Kehutanan kabupaten Alor bersama stakeholder lain yang memiliki visi untuk mempertahankan keberadaan cendana di Alor. Kawasan hutan tanaman cendana Omtel berada sekitar 4,5 km dari pusat kota Kalabahi (ibukota kabupaten Alor), lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi darat. Sebagian besar penduduk desa ini adalah petani ladang/huma sedangkan sisanya adalah peternak (ayam dan sapi). Luas lahan di wilayah ini adalah 2.124 ha, dengan peruntukan sawah tegalan 1.270 ha, perkebunan 923,2 ha, tanah pekarangan 683,2 ha, hutan rakyat 5 ha dan hutan negara 108 ha (BPS Kabupaten Alor, 2009). Lahan pertanian yang tersedia digunakan untuk menanam jagung (Zea mays), ubi jalar (Ipomea batatas) dan kacang hijau (Phaseolus radiatus) karena lahan pertanian yang dimiliki bukan merupakan lahan sawah/sawah pengairan (Hidayat dan Sudaryanto, 2006). Hutan tanaman cendana Amaklat ditanam pada tahun 1987 dengan difasilitasi oleh dinas kehutanan setempat, kawasan ini berada pada ketinggian sekitar 563 m.dpl, dan koordinat 08020’479” LS dan 124026’231” BT. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani (70%), peternak (25%), dan sisanya bekerja sebagai nelayan dan pedagang. Sebagian besar lahan pertanian merupakan sawah tadah hujan yang ditanami jagung (Zea mays), ubi kayu (Manihot utilisima), ubi jalar (Ipomea batatas), kacang tanah (Arachis hypogaea) dan kacang hijau (Phaseolus radiatus). Sementara itu hanya sebagian kecil lahan yang dapat dilalui saluran irigasi dari cekdam dan embung yang ditanami tanaman sayuran seperti sawi (Brassica rapa), terong (Solanum molengena L), kacang panjang (Vigna sinensis) dan mentimun (Cucumis sativus).
69
B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan tanaman cendana pada dua lokasi dan anggota kelompok tani hutan. Sedangkan alat yang digunakan adalah peta lokasi, GPS, kamera, voice recorder, buku lapangan dan alat tulis menulis serta kelengkapan penelitian lainnya. C. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan Dinas kehutanan Kabupaten Alor dan anggota KTH pada 2 (dua) lokasi penelitian. Penentuan dan pemilihan responden dilakukan secara purposive atau terencana yaitu dari dinas kehutanan setempat dan anggota anggota KTH atau masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pembangunan hutan tanaman cendana pada masing-masing lokasi. Jumlah responden pada penelitian ini adalah sebanyak 12 orang dengan rincian 2 (dua) orang dari dinas kehutanan kabupaten Alor dan 5 (lima) orang anggota KTH/masyarakat pada masing-masing lokasi hutan tanaman cendana.
Pada kegiatan ini juga dilakukan
observasi untuk mengetahui kondisi aktual pada masing-masing lokasi.
Data dan
informasi yang diperoleh di lapangan, selanjutnya dianalisis dan disajikan dengan pendekatan kualitatif-deskriptif. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada masing-masing lokasi hutan tanaman cendana dengan kedalaman sampai dengan 30 cm menggunakan ring sample. Tanah bagian atas yang terdiri atas humus (horizon O) dan top soil (horizon A) dipisahkan dengan tanah bagian bawah/sub-soil (horizon B) dan dianalisa untuk mengetahui sifat kima tanah pada masing-masing lapisan pada kedua lokasi tersebut. Tanah dianalisis pada laboratorium tanah Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dan selanjutnya digunakan untuk mencari hubungannya dengan pertumbuhan tanaman. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Alor merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 15 pulau; 9 pulau diantaranya yang telah dihuni. Luas wilayah daratan 2.864,64 km², luas wilayah perairan 10.773,62 km² dan panjang garis pantai 287,1 km (Bappeda Pemkab Alor, 2005). Kondisi geografis daerah Alor merupakan wilayah dengan pegunungan yang tinggi, dibatasi oleh lembah dan jurang yang cukup dalam. Sekitar 60% wilayahnya mempunyai tingkat kemiringan di atas 40%. Dataran tinggi Alor merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan pertanian karena mempunyai tingkat kesuburan yang 70
tinggi, sedangkan daerah lereng dengan tingkat kesuburan sedang sampai rendah cocok untuk pengembangan cendana atau tanaman kehutanan lainnya. Iklim yang tidak menentu merupakan hambatan atau masalah yang klasik di Alor, dalam setahun musim hujan rata-rata lebih pendek dibandingkan dengan musim kemarau, curah hujan juga tidak menentu dan tidak merata. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 395,5 mm (BPS Kabupaten Alor, 2009). A. Persyaratan Tumbuh Cendana dan Hutan Tanaman Cendana Alor 1. Iklim Cendana pada umumnya dijumpai pada daerah dengan kisaran curah hujan 500 – 3.000 mm pertahun, temperatur antara 0 – 400C, ketinggian tempat hingga 1.800 m.dpl tergantung seberapa dingin daerah tersebut dan pada jenis tanah antara berpasir hingga tanah berbatu. Namun lebih sering dijumpai pada tanah merah liat (Troup, 1921). Sedangkan menurut Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi (1979) dikatakan bahwa pohon cendana dapat tumbuh subur pada beberapa jenis tanah termasuk tanah berbatu, kecuali tanah rawa, pada daerah kering dengan musim kemarau yang nyata yaitu sekitar 14 hari hujan selama 120 hari kering, dengan curah hujan ideal berkisar antara 1.000-2.000 mm/th. Pada curah hujan yang rendah menyebabkan adanya hutanhutan belantara yang tidak rimbun dan keadaan tersebut memberi peluang bagi pertumbuhan cendana. Meskipun kisaran tempat tumbuh cendana cukup luas, namun harus berhati-hati dalam memilih lokasi untuk penanaman cendana. Cendana memerlukan banyak cahaya, meskipun selama di persemaian dan tahap awal penanaman di lapangan memerlukan naungan terlebih dahulu untuk menghindari kekeringan dan panas terik matahari. Ketinggian tempat optimal untuk cendana antara 700 m.dpl hingga 1200 m.dpl (Neil, 1990).
Sementara itu, Hamzah (1976) menambahkan bahwa habitat asli cendana
biasanya mempunyai musim kering yang lama dan hujan yang pendek, 2-3 bulan per tahun. Curah hujan yang terbatas tidak menjadi kendala utama dalam usaha penanaman cendana karena species ini tidak membutuhkan air dalam jumlah yang besar. Cendana membutuhkan air yang cukup pada tahun pertama sampai tahun ketiga penanaman, setelah itu kebutuhan akan air sangatlah kecil. Jika curah hujan pada awal-awal penanaman terlalu tinggi, dapat menyebabkan warna kuning pada daun bahkan kematian pada tanaman. 71
Cendana memang dapat tumbuh dan beradaptasi dalam kondisi tapak yang sangat bervariasi, kondisi iklim pada dua lokasi hutan tanaman cendana di kabupaten Alor termasuk dalam iklim tipe F berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951) dengan jumlah bulan kering berkisar 7-9 bulan dan kisaran suhu 26,5–320C, lahan kering di daerah ini lebih banyak dibandingkan dengan lahan basah. Curah hujan rata-rata pada dua lokasi mencapai 1.916,6 mm/tahun. Dalam sejarahnya Kabupaten Alor merupakan salah satu daerah sentra produksi cendana setelah pulau Sumba dan Timor. Hal ini menunjukkan bahwa tipe iklim F juga dapat menjadi daerah pertumbuhan cendana, meskipun Surata (2004) mengatakan bahwa tipe iklim D merupakan
tipe iklim yang cocok untuk pertumbuhan cendana.
Intensitas
pemeliharaan, pengelolaan yang tepat serta kondisi tapak yang cocok menjadi prasyarat utama dalam mendukung keberhasilan pembuatan tanaman cendana. Berdasarkan persyaratan tumbuh cendana, maka wilayah Omtel dan Amaklat cocok untuk pembangunan tanaman cendana karena rata-rata curah hujan pada kedua wilayah 1916,6 mm/tahun dan temperatur berkisar 26,5–320C. Demikian juga jika ditinjau dari aspek ketinggian tempat dimana Omtel terletak pada ketinggian 710-800 m.dpl dan Amaklat berada pada ketinggian sekitar 560 m.dpl. 2. Tanah Menurtu Hamzah (1976) cendana tidak menyukai daerah tergenang air, terutama pada saat tanaman masih muda. Daerah yang selalu basah kurang baik untuk pertumbuhan cendana. Tanah-tanah di pulau Timor umumnya didominasi tanah lempung (clay) yang berat dan berasal dari endapan di laut. Kenyataan menunjukkan banyak cendana tumbuh baik di atas tanah dangkal yang berbatu dan hasil kayu terbaik diperoleh dari cendana yang tumbuh di hutan terbuka pada tanah kurang subur dan berbatu. Cendana dapat tumbuh dengan baik pada tanah sarang (berdrainase baik), reaksi tanah alkalis, solum tanah tipis-dalam. Pada wilayah NTT cendana tumbuh pada daerah batuan induk berkapur-vulkanis, tanah dangkal berbatu, tekstur tanah lempung, pH tanah netral-alkalis, warna tanah hitam, merah-cokelat, jenis tanah umumnya litosol, mediteran dan tanah kompleks (Surata, 2004). Cendana dapat tumbuh pada tanah dangkal yang berbatu-batu (± 30 cm) atau pada tanah liat dan galuh, akan tetapi lebih baik di tanah galuh. Selang pH tanah kecil sekali, mulai dari dibawah netral sampai sedikit alkalis, dengan kadar nitrogen dalam tanah dari rendah sampai sedang. Sementara itu warna yang baik untuk pertumbuhan cendana adalah dari warna hitam, 72
merah sampai cokelat, pada tanah putih pertumbuhan cendana kurang baik. Ini berarti cendana menyukai tanah litosol dan red mediteran, pada umumnya cendana dapat tumbuh pada tanah yang miskin cadangan mineral. Material penyusun tanah yang berbeda akan berpengaruh terhadap komposisi dan tekstur tanahnya, sehingga respon yang diberikan tanaman dalam pertumbuhannya besar kemungkinan juga berbeda. Hal ini terlihat dari pengamatan di lapangan bahwa terdapat perbedaan diameter pohon cendana antara dua lokasi, pada hutan Omtel memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter lebih baik dibandingkan dengan hutan Amaklat. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh tersebut diperlukan penelitian yang komprehensif. Analisis sifat kimia tanah pada dua lokasi terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis tanah di kawasan hutan tanaman cendana Omtel dan Amaklat No
Lokasi
H2O
KCL
Analisis Kimia Tanah C-Org N
Omtel Tanah Bagian Atas 5,26 5,00 6,68 0,87 Tanah Bagian Bawah 5,51 5,11 6,45 0,59 2. Amaklat Tanah Bagian Atas 4,27 4,10 0,42 0,41 Tanah Bagian Bawah 5,22 5,05 1,00 0,26 Sumber : Hasil Analisis laboratorium Tanah Universitas Nusa Cendana Tahun 2009
C/N
1.
7,68 10,93 0,58 3,85
Menurut Hardjowigeno, (1995) berdasarkan tabel kriteria sifat kimia tanah, diketahui bahwa kondisi pH H2O tanah pada lokasi hutan tanaman cendana Omtel, baik pada tanah bagian atas maupun pada tanah bagian bawah bersifat masam. Begitu juga halnya pada hutan tanaman cendana Amaklat, tanah bagian bawahnya bersifat masam, sedangkan tanah pada bagian atasnya bersifat sangat masam. Sifat tanah yang sangat masam pada bagian atas di Amaklat salah satunya disebabkan oleh letak lahan yang berlereng sehingga proses pencucian dan erosi tanah lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di Omtel. pH tanah menggambarkan tingkat ketersediaan unsur hara makro maupun mikro dalam tanah yang akan menjadi unsur tersedia bagi pertumbuhan tanaman. pH tanah yang berada pada kisaran netral dapat memberikan ketersediaan unsur hara tanah pada tingkat optimum karena sebagian besar unsur hara mudah larut dalam air.
Sinaga dan Surata (1997) mengatakan bahwa tanah dengan pH netral
merupakan tanah yang sesuai untuk pertumbuhan cendana, seperti kebanyakan pada pulau timor yang menjadi daerah sebaran alami cendana
73
Kandungan C-organik pada dua lokasi menunjukkan perbedaan yang signifikan, berada pada tingkat sangat rendah sampai sangat tinggi. Bila dipadukan dengan kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (1995), maka lokasi hutan tanaman cendana Omtel memiliki kandungan bahan organik yang sangat baik. Kandungan C-organik yang rendah merupakan indikator rendahnya jumlah bahan organik yang tersedia dalam tanah. Salah satu penyebab rendahnya kandungan bahan organik pada lokasi di Amaklat diduga karena letak lahan yang berlereng sehingga terjadi pencucian unsur hara yang cukup tinggi pada saat hujan, hal ini berakibat pada partikel-partikel tanah yang dibutuhkan oleh tanaman ikut terhanyut. Sementara itu kawasan hutan tanaman cendana Omtel berada pada wilayah yang relatif datar. Ketersediaan unsur N dan C/N di wilayah Omtel juga tinggi, sehingga sangat mendukung pertumbuhan tanaman cendana. Sementara itu ratio unsur C/N pada wilayah Amaklat sangat rendah sehingga berdampak pada terganggunya proses pertumbuhan tanaman cendana.
Perbedaan yang terjadi tidak terlepas dari perbedaan
yang terdapat pada dua lokasi penelitian, seperti pemanfaatan, bahan penyusun tanah, keragaman jenis tanaman, kondisi topografi maupun pemeliharaannya. Tanah litosol, red-mediteran dan tanah yang miskin kandungan unsur hara disebutkan dapat menjadi tempat pertumbuhan cendana, sehingga jenis tanah pada dua lokasi dengan kandungan bahan organik yang beragam dapat menjadi lokasi pengembangan cendana, meskipun pengaruhnya terhadap pertumbuhan cendana akan berbeda.
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada 2 (dua) lokasi
tanahnya berwarna hitam serta merupakan tanah dangkal berbatu. Perbandingan antara persyaratan tumbuh cendana dengan kondisi hutan tanaman cendana pada 2 (dua) lokasi berdasarkan faktor iklim dan tanah secara ringkas dapat dilihat dalam tabel 2. Tabel 2. Perbandingan antara persyaratan tumbuh cendana dan kondisi site hutan tanaman cendana Alor No 1. 2. 3. 4.
Parameter Curah Hujan Ketinggian Temperatur Tanah
Persyaratan Tumbuh 500 – 3000 mm/tahun (a) 700 – 1200 m dpl (b) 00 – 400 C (a) Tanah berpasir hingga berbatu, tanah merah liat (a), tanah dangkal berbatu, tanah kurang subur dan berbatu dan tanah lempung (c), litosol, mideteran, kompleks, tanah lempung, tanah dangkal berbatu, warna tanah hitam, merah dan coklat (d),
Hutan Tanaman Cendana Omtel Amaklat 1916 mm/tahun 710–800 mdpl 563 mdpl 26,50 - 320 C tanah dangkal tanah berbatu dan berbatu dan berwarna berwarna hitam hitam
Keterangan : a = Troup, (1921), b = Neil, (1990), c = Hamzah, (1976), d = Surata, (2004). 74
Selain faktor lahan potensial dengan kondisi biofisik yang memenuhi persyaratan tumbuh, faktor pemeliharaan terutama selama masa persemaian dan pada awal penanaman di lapangan, keberhasilan budidaya cendana juga sangat ditentukan oleh
keberadaan tanaman inang yang membantu mensuplai beberapa unsur hara
esensial bagi pertumbuhan cendana. Menurut Surata (1997) inang primer yang dapat digunakan selama tanaman di persemaian adalah Althernanthera sp, Desmanthus virgatus dan Crotalaria juncea, sedangkan inang di lapangan (inang sekunder) antara lain Casuarina junghuhniana, Cassia siamea, Dalbergia latifolia, Accacia villosa, Leucaena leucocephala dan Sesbania grandiflora. B. Model Pengelolaan Hutan Tanaman Cendana 1. Omtel Pengelolaan hutan tanaman cendana Omtel banyak melibatkan KTH dalam merawat dan memelihara tanaman cendana. KTH yang bernama Uhe Doy ini pada satu sisi diperbolehkan untuk melakukan kegiatan budidaya tanaman pangan maupun pemungutan biji cendana.
Jarak tanam 3 x 5 m menyebabkan penutupan tajuk cendana
relatif tidak terlalu rapat. Pada sisi lain KTH diberi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga tanaman cendana sampai berhasil tanpa adanya intensif dari pemerintah. Pola pendekatan yang dilakukan oleh dinas kehutanan Kabupaten Alor ini dianggap mampu mendukung keberhasilan kegiatan pembuatan hutan tanaman cendana. Anggota KTH yang berjumlah 50 orang ini rutin melakukan penanaman berbagai jenis tanaman pangan, beberapa diantaranya : mentimun (Cucumis sativus), ubi jalar (Ipomea batatas), ubi kayu (Manihot utilisima), kacang tanah (Arachis hypogaea), kacang panjang (Vigna sinensis) dan kacang hijau (Phaseolus radiatus).
Sampai
dengan saat ini masyarakat masih melakukan aktivitas tersebut pada sela-sela tanaman cendana. Dengan melibatkan masyarakat seperti ini, tingkat pencurian dan perusakan cendana di dalam kawasan dapat ditekan sampai pada tingkat nol persen. Hal ini sangat mendukung upaya pemerintah kabupaten dalam rangka mengembalikan potensi jenis andalan ini. Penyerahan tanggung jawab pengelolaan kepada KTH ini sekaligus dapat mencapai 2 keuntungan yaitu: 1). masyarakat sebagai pengelola dapat memenuhi kebutuhannya melalui penanaman tanaman pangan, 2). keamanan cendana dapat dijamin anggota KTH.
75
Sejalan dengan pertambahan waktu, sebagian dari kawasan hutan tanaman cendana Omtel telah ditunjuk oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH) Bali dan Nusa Tenggara sebagai sumber benih cendana dengan nomor sumber benih 53.07.001, seluas 5,4 Ha dengan status sebagai kelas benih teridentifikasi. 2. Amaklat Hal yang berbeda terjadi pada hutan tanaman cendana Amaklat, keberadaan KTH hanya berlangsung hingga tahun ke 3 setelah penanaman. Terdapat 2 (dua) KTH yang terlibat dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan hutan tanaman cendana Amaklat yaitu KTH Melati I dan KTH Melati II. Jarak tanam yang tidak terlalu lebar (3 x 3 meter) menyebabkan terbatasnya ruang untuk kegiatan budidaya tanaman pangan, sehingga memasuki tahun ke 4 setelah penanaman, aktifitas penanaman tanaman pangan dihentikan. Dalam perkembangannya hutan tanaman ini tidak murni lagi karena di dalam kawasan tersebut banyak sekali tumbuh/ditanam spesies-spesies tanaman lain seperti: mangga, pinang, jati dan cengkeh. Kawasan di Amaklat ini relatif tidak aman karena tidak adanya pengamanan baik dari masyarakat, anggota KTH maupun dinas kehutanan setempat. Lokasi yang jauh dari pemukiman penduduk menyebabkan keberadaan hutan tanaman cendana ini rawan terjadi gangguan, terutama dalam beberapa tahun terakhir setelah cendana memiliki gubal/isi. Gangguan pada kawasan Amaklat ini setidaknya disebabkan oleh 2 faktor yaitu : 1). Pengamanan dari Dinas Kehutanan kabupaten Alor yang masih rendah, kegiatan pengamanan hanya dilakukan setelah adanya laporan dari masyarakat bahwa terdapat indikasi pencurian, 2). Tidak adanya aktifitas KTH di dalam kawasan seperti halnya di kawasan Omtel. Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan cendana pada 2 (dua) lokasi terlihat adanya perbedaan rata-rata tinggi dan diameter pohon. Meskipun kedua lokasi ditanam pada tahun yang sama, akan tetapi pada lokasi Omtel terlihat mempunyai rata-rata tinggi dan diameter lebih baik bila dibandingkan dengan di Amaklat.
Pengaruh
pemeliharaan dan kandungan bahan organik tanah yang berbeda berdampak pada adanya perbedaan respon pertumbuhan pada dua lokasi. Pada tanah dengan kandungan hara yang terbatas sangat diperlukan pemberian pupuk untuk mendukung pertumbuhan tanaman termasuk cendana. Namun demikian kebutuhan masing-masing tanah dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya. Menurut Soemarno (2011) bahwa aplikasi pupuk ke tanah dimaksudkan untuk meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah, sehingga diharapkan akar tanaman dapat 76
menyerap lebih banyak hara dari dalam tanah. Bahan pupuk yang diaplikasikan ke tanah akan mengalami serangkaian reaksi fisik, kimia dan biologi, sehingga unsur hara yang dikandungnya secara bertahap akan dilepaskan ke tanah dalam bentuk yang tersedia bagi akar tanaman atau dapat diserap oleh akar tanaman. Pemupukan pada tanaman cendana di lapangan dapat dilakukan untuk merangsang pertumbuhan cendana, terutama pada tanah-tanah yang miskin hara. Jenis pupuk yang umumnya digunakan adalah pupuk majemuk yaitu pupuk NPK. Menurut Surata, I. K (2006) bahwa pemupukan terhadap cendana dapat dilakukan 1 kali setahun terutama pada musim hujan dengan dosis pupuk NPK 60 gr/pohon pada umur 2 bulan dan 120 gr/pohon pada umur 1-3 tahun setelah tanam. Pemupukan dilakukan dengan membuat larikan dengan kedalaman 10 cm dan radius 20 cm di sekitar pohon, bekas larikan pupuk selanjutnya ditimbun dengan tanah.
Selain melalui pemupukan,
pemilihan jenis tanaman pangan (pola agroforestry) yang tepat juga dapat mendorong pertumbuhan cendana yang lebih baik. Menurut Juliao (2011), bahwa agroforestry cendana, turi (Sesbania grandiflora), jagung (Zea mays), kacang gude (Cajanus cajan, Mill). dan labu (Cucurbita, sp) (AF 1) menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter cendana yang lebih baik dibandingkan agroforestry cendana, jati (Tectona grandis), mahoni (Swietenia mahagoni), gaharu (Aquilaria sp), jagung, kacang gude dan labu (AF 2) serta agroforestry cendana, jati, jagung dan singkong (Manihot utilissima) (AF 3).
IV. KESIMPULAN Cendana dapat hidup pada kisaran tempat tumbuh yang cukup luas, dari tanah berpasir, tanah merah liat, bahkan pada tanah berbatu jenis ini dapat tumbuh dengan baik. Tanah dengan tingkat kesediaan unsur yang cukup, kondisi pH mendekati netral serta kadungan bahan organik yang baik seperti tanah pada hutan tanaman cendana Omtel akan direspon oleh cendana dengan pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan tanah yang miskin hara seperti di Amaklat. Selain faktor tapak atau tempat tumbuh, keberhasilan pembangunan hutan tanaman cendana juga dapat dipengaruhi pola tanam yang digunakan, pelibatan masyarakat atau kelompok tani hutan sangat berperan dalam mendukung keberhasilan kegiatan. Pemilihan jarak tanam 3 x 5 m seperti pada hutan tanaman cendana Omtel memberi ruang bagi KTH untuk melakukan penanaman tanaman pangan pada sela-sela cendana, sehingga pada satu sisi menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan pada 77
sisi lain mereka turut menjaga keberadaan cendana dari berbagai gangguan. Pelibatan KTH ini berimplikasi pada tingkat keberhasilan kegiatan pembangunan hutan tanaman cendana lebih tinggi seperti pada hutan tanama cendana Omtel, sedangkan pada hutan tanaman cendana Amaklat potensi gangguan terus meningkat seiring dengan penambahan umur cendana. Pelibatan stakeholders dalam kegiatan pembangunan hutan nanaman cendana perlu mendapat perhatian ditengah upaya pemulihan cendana yang terus digalakkan oleh pemerintah NTT dalam beberapa tahun terakhir ini. Keterlibatan semua pihak diharapkan dapat menjadi sebuah modal, sehingga koordinasi antara pihak dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki. Salah satu pihak yang juga sangat menentukan keberhasilan kegiatan penanaman cendana adalah masyarakat lokal atau kelompok tani hutan, karena pada akhirnya merekalah yang akan menjadi garda terdepan dalam pemeliharaan dan penjagaan tanaman di lapangan. Dengan demikian dalam pembangunan hutan tanaman cendana atau upaya pemulihan populasi cendana kedepan, selain faktor site atau tempat tumbuh, pelibatan stakeholders perlu mendapat perhatian yang serius sehingga kegiatan yang dilakukan menjadi tanggung jawab bersama dan keberhasilan penanaman menjadi lebih baik. Pada lahan yang kurang subur, pemberian pupuk NPK dengan dosis 60 gr/tanaman pada umur 2 bulan dan 120 gr/tanaman pada umur 1-3 tahun setelah tanam akan sangat membantu mencukupi kebutuhan unsur-unsur pertumbuhan yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. DAFTAR PUSTAKA Bappeda Pemerintah Kabupaten Alor. 2005. Pokok-pokok Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah dalam rangka percepatan dan pemantapan pelaksanaan pembangunan daerah tertinggal Kabupaten Alor tahun 2005-2009 (Materi Expose Bupati Alor pada Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen/Lembaga terkait lainnya di Jakarta pada tanggal, 31 Mei 2005). Pemerintah Kabupaten Alor, Bappeda 2005. BPS Kab. Alor. 2009. Kabupaten Alor dalam Angka tahun 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Alor. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1979. Petunjuk Teknis Pembuatan Tanaman Cendana. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Jakarta Hamzah, Z. 1976. Sifat Silvika dan Silvikultur Cendana (Santalum album L) di Pulau Timor. Laporan No.227. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Hardjowigeno, S. 1990. Ilmu Tanah. Edisi revisi. Penerbit Akademika Pressindo. Jakarta
78
Harisetijono. 2002. Analisis Kebijakan Pengelolaan Cendana Di NTT. Prosiding ekspose/diskusi hasil-hasil penelitian BPPKBNT. 23 November 2002 Kupang. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Hidayat, E. W dan Sudaryanto, A. 2006. Prospek Pembangunan Sumberdaya Alam Kabupaten Alor. Juliao, D. A. 2011. Pertumbuhan Tanaman Pokok Cendana pada Sistem Agroforestry di Desa Samirin, Kecamatan Balibo Kabupaten Bobonaro – Timor Leste. Skripsi Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Neil, P.E. 1990. Growing Sandalwood in Nepal – Potential Silvicultur Methods and Research Priorities. USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-122. 72-75. Schmidt. F G and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Dry and Wet Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhandelingen No. 42. Jawatan Meteorologi dan Geofisika. Indonesia. Sinaga, M dan Surata, I. K, 1997. Pedoman Budidaya Cendana. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Aisuli Volume I, No. 3. Kupang. Surata, I K. 1997. Laporan Perkembangan Penelitian Cendana. Laporan Teknis Intern. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. (Tidak dipublikasikan). Surata, I. K. 2004. Teknik Budidaya Cendana. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Aisuli, Nomor :18. Kupang Surata, I. K. 2006. Teknik Budidaya Cendana. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Aisuli, Nomor :21. Kupang Sumarno, 2011. Dasar-Dasar Rekomendasi Pupuk. Bahan kajian MK Pupuk dann Pemupukan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Troup, R.S. 1921. The Silviculture of Indian Trees. Vol. III. Clarendon Press, Oxford.
79
80
ANALISIS SPASIAL DEFORESTASI: STUDI KASUS CAGAR ALAM GUNUNG MUTIS Oleh: Eko Pujiono
ABSTRAK Cagar Alam (CA) Gunung Mutis merupakan salah satu dari hutan yang tersisa di Pulau Timor yang dinyatakan mengalami deforestasi dan degradasi. Sayangnya informasi mengenai dimana lokasi hutan yang terdeforestasi, berapa laju deforestasinya dan faktor apa yang paling berpengaruh terhadap deforestasi masih sangat terbatas. Tujuan dari studi ini adalah untuk menentukan laju deforestasi dan lokasi deforestasi, mengembangkan model spasial yang menggambarkan faktor yang mempengaruhi deforestasi di CA Gunung Mutis. Laju deforestasi ditentukan dengan menerapkan metode deteksi perubahan pada beberapa citra satelit yang berbeda tahun perekaman datanya. Sedangkan model spasial deforestasi disusun menggunakan data-data spasial hasil dari analisa citra dan penerapan Geographic Information System (GIS) analisis pada data lainnya. Regresi logistik digunakan sebagai alat analisis untuk mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh dalam deforestasi. Model yang dihasilkan dari analisa regresi logistik juga bisa digunakan untuk menentukan probabilitas terjadinya deforestasi. Dari hasil analisa, didapatkan bahwa pada interval 1989 - 1999 deforestasi di CA Gunung Mutis adalah 720,72 ha dengan laju deforestasi 0,8% per tahun sedangkan pada interval 1999 - 2009, deforestasi adalah 1.059,12 ha dengan laju deforestasi tahunan 1,3%. Untuk analisa model spasial, jarak dari pemukiman merupakan faktor yang paling banyak berpengaruh pada terjadinya deforestasi di CA Gunung Mutis. Data dan informasi tentang laju deforestasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya diharapkan bisa dijadikan acuan bagi pengambil kebijakan dalam rangka memerangi dan mencegah terjadinya deforestasi. Kata kunci : analisis spasial, deforestasi, Cagar Alam Gunung Mutis
I. PENDAHULUAN Cagar Alam (CA) Gunung Mutis, bagian dari Kelompok Hutan Mutis Timau, adalah salah satu dari hutan yang tersisa di Pulau Timor yang dinyatakan mengalami deforestasi dan degradasi. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa luas hutan di CA Gunung Mutis menurun dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh pengumpulan kayu, masalah tata batas dan sengketa tanah, ternak lepas dan perluasan lahan pertanian (Lentz et al., 1998; Fisher et al., 1998; Eghenter, 2000; Fisher et al., 2003). Meskipun deforestasi di CA Gunung Mutis adalah sebuah fakta yang diakui kebenarannya, namun informasi mengenai dimana lokasi hutan yang terdeforestasi dan berapa laju deforestasinya masih sangat terbatas. Disamping itu, informasi terkait dengan faktor mana yang paling berpengaruh terhadap deforestasi juga masih sangat terbatas. Untuk menganalisis kontribusi faktor-faktor yang mendorong terjadinya deforestasi, perlu dilakukan penyusunan model deforestasi. Kaimovitz dan Angelsen (1998) telah mereview sekitar 146 model deforestasi beserta asumsi yang digunakan, metodologi, hasil, kekuatan dan kelemahannya. Berdasarkan hasil review mereka, 81
model berbasiskan statistik adalah model yang paling banyak digunakan. Model yang berbasis statistik relatif mudah untuk disusun (Koomen and Stillwell, 2007). Modelmodel statistik ini mempunyai kelemahan dalam hal ketersediaan informasi spasial. Kombinasi model berbasis statistik dengan model yang berbasis data spasial kemudian mulai dikembangkan untuk mengatasi kelemahan ini. Beberapa penelitian terdahulu di berbagai negara dengan tingkat deforestasi yang cukup tinggi menerapkan kombinasi model statistik dan spasial ini, seperti: Apan and Peterson (1998) di Philiphina; Mertens and Lambin (2000) dan Shu (2003) di Kamerun bagian selatan; Mertens et al. (2004) di Bolivia; Gaveau et al. (2009) dan Prasetyo et al. (2009) di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, studi ini bertujuan untuk: (a) mengidentifikasi dan mengkuantifikasi lokasi dan tingkat deforestasi di CA Gunung Mutis, (b) menyusun model spasial untuk menganalisis faktor yang berperan dalam deforestasi.
II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Secara administrasi CA Gunung Mutis terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) (Gambar 1). Secara keseluruhan topografi di CA Gunung Mutis adalah berbukit-bukit dan sebagian besar wilayahnya memiliki kemiringan lebih dari 60%. Puncak tertinggi adalah Gunung Mutis dengan ketinggian 2.427 m. CA Gunung Mutis merupakan hutan pegunungan yang unik yang didominasi oleh tegakan ampupu (Eucalyptus urophylla), padang rumput dan beberapa sungai/anak sungai.
82
Gambar 1. Lokasi studi yang digambarkan dengan citra Landsat tahun 2009
Hutan di CA Gunung Mutis memegang peranan penting baik di tingkat lokal, regional maupun internasional (Lentz et al., 1998). Di tingkat lokal, masyarakat menggunakan areal hutan untuk padang penggembalaan. Selain itu, hutan juga menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat yang berasal dari pengumpulan hasil hutan bukan kayu, kayu bakar dan lain-lain. Di tingkat regional, hutan di CA Gunung Mutis berperan sebagai daerah tangkapan air dan di tingkat internasional, keunikan ekologi tegakan ampupu dan keanekaragaman hayati di dalamnya berperan penting untuk konservasi jenis-jenis tesebut dan menjaganya dari kepunahan. Berdasarkan hal-hal di atas maka CA Gunung Mutis dipilih sebagai lokasi studi.
B. Bahan dan Alat Beberapa data yang digunakan dalam studi ini disajikan pada Tabel 1.
83
Tabel 1. Sumber-sumber data untuk input penelitian Data Waktu Pengambilan Data Landsat TM, Path 110 Row 67, L1G1, 20/09/1989 resolusi 30 m Landsat ETM, Path 110 Row 67, L 08/09/1999 1G1, resolusi 30 m Landsat TM, Path 110 Row 67, L 1G1, 13/10/2009 resolusi 30 m Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), 1993, 1999, 2001 skala: 1:25.000 Peta Digital Elevation Model (DEM), 2009 grid 30 m Peta Batas CA Gunung Mutis 1999
Sumber USGS2 USGS2 USGS2 Bakosurtanal3 ASTER GDEM4 Dephut5
Keterangan: 1 L1G = level 1G (terkoreksi secara sistematik), koreksi radiometrik dan geometrik 2 USGS = United State Geological Survey, Amerika Serikat. 3 Bakosurtanal = Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional 4 ASTER GDEM = The Advanced Space-borne Thermal Emission and Reflection Radiometer Global Digital Elevation Model, dikembangkan oleh Japan-Amerika 5 Dephut= Departemen Kehutanan
C. Prosedur Penelitian 1. Prosedur Penginderaan Jauh untuk Menentukan Lokasi dan Tingkat Deforestasi 1.1 Klasifikasi citra Klasifikasi citra menggunakan metode klasifikasi supervisi dengan teknik Maximum Likelihood Classification (MLC) (Lillesand, et al., 2004; Jensen, 2005). Dari klasifikasi ini, kita akan mendapatkan beberapa kelas penutupan lahan yang kemudian dikategorikan ke kelas hutan dan non hutan. 1.2 Analisis deteksi perubahan untuk menentukan lokasi dan tingkat deforestasi Laju dan tingkat deforestasi dapat dihitung dengan membandingkan luas areal hutan pada tahun yang berbeda (Puyravaud, 2003). Lokasi perluasan areal yang terdeforestasi dapat ditentukan berdasarkan hasil klasifikasi citra dengan analisis deteksi perubahan dari hutan ke non hutan. Tingkat deforestasi dapat dihitung dengan formula atau persamaan (Persamaan 1) yang disarankan oleh FAO, Food and Agriculture Organization (1995). Untuk mendapatkan satuan ukuran dalam persen, persamaan 1 dikalikan dengan 100. Jadi satuan pengukuran tingkat deforestasi adalah persen per tahun (%/tahun).
84
R
>(
A2 1 /(t 2 t1 ) A1
)
@
1 u100
(1)
Keterangan: R = tingkat deforestasi tahunan (%/ tahun) t1 and t2 = tahun ke-1 and tahun ke-2 A1 and A2 = luas hutan pada t1 and t2
2. Penyusunan Model Deforestasi 2.1 Penentuan variabel Data dan informasi tentang deforestasi yang didapatkan dari prosedur sebelumnya digunakan sebagai variabel bergantung dalam penyusunan model deforestasi. Data deforestasi dalam bentuk piksel (satuan unit pengukuran citra satelit) diklasifikasikan ke dalam bentuk binary/variabel dikotomi (hanya terdapat dua kemungkinan outcome) yang diberi kode “1”(piksel yang terdeforestasi) dan “0”(piksel yang tidak terdeforestasi). Sementara untuk variabel bebasnya adalah faktor-faktor yang mendorong terjadinya deforestasi. Identifikasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya deforestasi didasarkan pada penelitian-penelitian terdahulu. Geist and Lambin (2001; 2002) menyebutkan bahwa faktor pendorong deforestasi diklasifikasikan ke tiga kategori, yaitu: penyebab proksimitas/kedekatan jarak (proximate causes), penyebab tak langsung (underlying causes) dan faktor penyebab lainnya. Dalam studi ini, kita hanya menggunakan penyebab proksimitas karena keterbatasan ketersedian data spasial. Lima macam penyebab proksimitas yaitu jarak dari jalan, jarak dari pemukiman, jarak dari areal pertanian, kemiringan lahan dan ketinggian tempat digunakan sebagai variabel tidak bergantung dalam penyusunan model. Tiga faktor yang pertama bisa didapatkan dengan menggunakan perangkat analisis spasial pada software pemetaan ArcGIS. Dengan bantuan software ini kita bisa menghitung jarak euclidean (euclidean distance) yang dihitung dengan teknik buffering atau pelebaran satu demi satu piksel dari data jalan, pemukiman dan areal pertanian. Sedangkan dua faktor terakhir didapatkan dari peta Digital Elevation Model (DEM) dengan menggunakan perangkat ArcGIS. 2.2 Analisa statistik Studi ini menggunakan regresi logistik, yaitu suatu bentuk regresi yang digunakan ketika variabel bebasnya bertipe dikotomi (binary) dan variabel bergantungnya bisa bertipe apapun (Hosmer dan Lemeshow, 2000; Garson, 2011). Regresi logistik ini dinilai cocok untuk memprediksi kemungkinan ada atau tidaknya 85
deforestasi berdasarkan beberapa variabel-variabel bebas yang merupakan penyebab terjadinya deforestasi. Persamaan 2 merupakan bentuk umum dari regresi logistik (Hosmer dan Lemeshow, 2000; Garson, 2011). p
e(D E1 X1 E 2 X 2 .... E n X n ) 1 e(D E1 X1 E 2 X 2 .... E n X n )
(2)
Keterangan: p adalah probabilitas terjadi atau tidaknya variabel bergantung α adalah intersep β1, β2,…, βn adalah slope X1, X2,…, Xn a adalah variabel prediktor e adalah logaritma natural (nilainya sekitar 2.718)
2.3 Validasi model Model deforestasi yang didapatkan kemudian divalidasi dengan mengoverlay peta kemungkinan terjadinya deforestasi dengan peta deforestasi. Model akan dikategorikan baik atau kurang baik didasarkan atas ambang batas yang menggunakan angka 50% (Shu, 2003).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Lokasi dan Laju Deforestasi 1. Penutupan Lahan Hutan dari Hasil Klasifikasi Citra Hasil dari analisis klasifikasi citra menunjukkan bahwa hutan masih mendominasi penutupan lahan di areal CA Gunung Mutis, dengan proporsi penutupan lahan 66% pada tahun 1989, 61% pada tahun 1999 dan 53% pada tahun 2009 (Gambar 2).
86
Gambar 2. Penutupan lahan di CA Gunung Mutis pada: (a) 1989, (b) 1999 and (c) 2009 Peta hasil klasifikasi citra mempunyai akurasi masing-masing 82%, 86% dan 84% untuk tahun 1989, 1999 dan 2009. 2. Analisis Perubahan Lahan Hutan dan Deforestasi Analisis perubahan penutupan lahan (Tabel 2) menunjukkan bahwa areal hutan cenderung berkurang selama dua interval waktu analisis (1989-1999 dan 1999-2009). Pada interval waktu 1989-1999, 85% areal hutan tidak berubah, 11% areal hutan berubah menjadi semak belukar dan 4% areal hutan berubah menjadi padang rumput. Pada interval waktu 1999-2009, 81% areal hutan tidak berubah, 11% and 8% areal hutan masing-masing berubah menjadi semak belukar dan padang rumput. Total laju deforestasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 2. Analisis perubahan penutupan lahan ‘dari-ke’ untuk: (a) 1989-1999 dan (b) 1999-2009 (a) Analisa perubahan penutupan lahan1989-1999 (ha) Kelas penutupan lahan tahun 1999 Kelas penutupan Total 1989 lahan tahun 1989 Hutan Semak Padang rumput Hutan 7.940,16 1.001,70 353,97 9.295,83 Semak 355,05 981,45 523,17 1.859,67 Padang rumput 279,90 689,94 2.037,42 3.007,26 Total 1999 8.575,11 2.673,09 2.914,56 14.162,76 (b) Analisa perubahan penutupan lahan 1999-2009 (ha) Kelas penutupan lahan tahun 2009 Kelas penutupan Total 1999 lahan tahun 1999 Hutan Semak Padang rumput Hutan 6.977,43 934,29 663,39 8.575,11 Semak 419,58 853,11 1.400,40 2.673,09 Padang rumput 118,98 531,54 2.264,04 2.914,56 Total 2009 7.515,99 2.318,94 4.327,83 14.162,76
87
Tabel 3. Total dan laju deforestasi untuk interval waktu 1989-1999 dan 1999-2009
Parameter Total deforestasi (ha) Deforestasi tahunan (ha) Laju deforestasi tahunan (%)
Interval waktu 1989-1999 1999-2009 720,72 1.059,12 72,07 105,91 0,80 1,31
Sebagaimana digambarkan pada Tabel 3, keseluruhan areal hutan yang hilang selama 1989-1999 sebesar 720,72 ha dengan laju deforestasi tahunan sebesar 0,80%. Sedangkan selama 1999-2009, laju deforestasi tahunan sedikit lebih tinggi (1,31%) dan hutan yang terdeforestasi sebesar 1.059,12 ha. Areal hutan CA Gunung Mutis yang terdeforestasi disajikan pada Gambar 3.
(a)
(b)
Gambar 3. Peta deforestasi: (a) 1989-1999; (b) 1999-2009 3. Penyusunan model deforestasi Hasil dari analisa regresi logistik disajikan pada Tabel 4. Tabel ini menyajikan nilai dari parameter dengan nilai standard error, chi-square statistics dan tingkat signifikasi. Parameter yang memiliki nilai negatif menunjukkan semakin besar variabel bebasnya akan menurunkan kemungkinan terjadinya deforestasi, sedangkan jika positif akan sebaliknya. Dalam studi ini, peningkatan jarak dari pemukiman dan peningkatan ketinggian tempat akan menurunkan kemungkinan terjadinya deforestasi. Nilai Wald chi-square mengindikasikan bobot relatif dari variabel bebas dalam model dan menunjukkan kita seberapa besar peranan masing-masing variabel bebas. Peranan yang 88
lebih besar akan diwakili oleh nilai Wald chi-square yang lebih besar. Sebagai contoh, dengan membandingkan nilai Wald chi-square pada variabel jarak dari pemukiman dengan nilai Wald chi-square variabel lainnya dimana nilainya lebih besar, maka variabel jarak dari pemukiman memegang peranan yang lebih penting daripada variabel yang lain. Tabel 4. Hasil analisa regresi logistik (a) Menggunakan data 1989-1999 Parameter Estimates Jarak dari pemukiman -0,0007* Elevasi -0,0008* -0,2380* Slope
Standard Error 0,0001 0,0002 0,0900
Wald Chisquare 46,7360 18,8420 6,8940
Significance Probability 0,0001 0,0001 0,0090
Constant 1,8110* 0,5460 32,6790 0,0010 (b) Menggunakan data 1999-2009 Parameter Std Error Wald ChiSignificance Estimates square Probability Jarak dari pemukiman -0,0011* 0,0001 116,0620 0,0001 Elevasi -0,0014* 0,0001 50,6260 0,0001 -0,0122 0,0903 0,0180 0,8922 Slope Constant
3,2516*
0,5690
32,6790
0,0001
Jumlah observasi 1989-1999: 1038 piksel, Nagelkerke R2: 0,12 Jumlah observasi 1999-2009 data: 970 piksel, Nagelkerke R2: 0,24 * menunjukkan parameter signifikan pada tingkat kepercayaan 0,05
Dari kedua model yang disajikan di atas, model deforestasi yang didapat dari data pada tahun 1999-2009 lebih baik daripada model deforestasi yang didapat dari data pada tahun 1989-1999. Penilaian ini didasarkan pada tingkat kesederhanaan model dan nilai koefisien determinasi, dimana model 1999-2009 memiliki struktur model yang lebih sederhana (hanya memiliki 2 variabel bebas, dibandingkan dengan 3 variabel pada model 1989-1999) dan nilai koefisien determinasinya lebih tinggi daripada model 19891999. Dari model yang didapatkan, kemungkinan terjadinya deforestasi dapat dihitung menggunakan formula sebagaimana disajikan di persamaan 3. p
e (3.2516( 0.0011*dist _ set )( 0.0014*elevation)) 1 e (3.2516( 0.0011*dist _ set )( 0.0014*elevation))
(3)
89
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Dari hasil analisa, didapatkan bahwa pada interval 1989-1999 deforestasi di CA
Gunung Mutis adalah 720,72 ha dengan laju deforestasi 0,8% per tahun sedangkan pada interval 1999-2009, deforestasi adalah 1.059,12 ha dengan laju deforestasi tahunan 1,3%. Untuk analisa model spasial, jarak dari pemukiman merupakan faktor yang paling banyak berpengaruh pada terjadinya deforestasi di CA Gunung Mutis. B.
Saran Data
dan
informasi
tentang
laju
deforestasi
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya diharapkan bisa dijadikan acuan bagi pengambil kebijakan dalam rangka memerangi dan mencegah terjadinya deforestasi.
DAFTAR PUSTAKA Apan, A.A. and Peterson, J.A. 1998. Probing Tropical Deforestation: The Use of GIS and Statistical Analysis of Georeferenced Data. Applied Geography, 18(2): 137-152. Eghenter, C. 2000. Mapping Peoples 'Forests: The Role of Mapping in Planning Community-Based Management of Conservation Areas in Indonesia. Washington DC.: Biodiversity Support Program (BSP). Food and Agriculture Organization (FAO). 1995. Forest Resources Assessment 1990. Global Synthesis. FAO, Rome. Fisher, L. M., 1998. Cattle, Cockatoos, Chameleons and Ninja Turtles. 1998. Seeking Sustainability in Forest Management and Conservation in Nusa Tenggara, Indonesia. International CBNRM Workshop. Washington D.C. Fisher, L., Moeliono, I. and Wodicka, S. 2003. The Nusa Tenggara Upland, Indonesia: Multiple-site Lessons in Conflict Management. In D. Buckles (Ed.), Cultivating Peace - Conflict and Collaboration in Nature Resources Management (p. 300 pp). Ottawa, Canada: International Development Research Center (IDRC). Garson, G.D. 2011. Logistic Regression. Retrieved at 28 September 2011. http://faculty.chass.ncsu.edu/garson/PA765/logistic.htm. Gaveau, D.L.A., Wich, S., Epting, J., Juhn, D., Kanninen, M. and Williams, N.L., 2009. The future forests and orangutans (Pongo abelii) in Sumatra: predicting impact of oil palm plantations, road constructions, and mechanism for reducing carbon emissions from deforestation. Environmental Research Letters, 4: 11pp Geist, H. and Lambin, E.F. 2001. What Drives Tropical Deforestation? A MetaAnalysis of Proximate and Underlying Causes of Deforestation Based on Subnational Case Study Evidence. LUCC International Project Office 2001. Geist H.J. and Lambin, E.F. 2002. Proximate Causes and Underlying Driving Forces of Tropical Deforestation. BioScience, 52 (2), 142-150. Hosmer D.W and Lemeshow, S. 2000. Applied Logistic Regression (2nd Edition ed.). Canada: John Wiley and Sons, Inc. 90
Jensen, J. 2005. Introductory Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective (3rd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. Kaimovitz, D. and Angelsen, A., 1998. Economic model of deforestation: A review. Central for International Forestry Research, Bogor. Indonesia. Koomen, E. and Stillwell, J. 2007. Modelling land use: Theories and Methods. In Koomen, E., Stilwell, J., Bakema, A., and Scholten, H.J. (Eds.). Modelling LandUse Change: Progress and Applications. GeoJournal Library, 90: 1-21. Lentz, C., Malo, M. and Bowe, M. 1998. Environmental Management in Gunung Mutis. International Association for the Study of Common Property, 10-14 June. Vancouver, Canada. Lillesand, T.M., Kiefer, R. W. and Chipman, J.W. 2004. Remote Sensing and Image Interpretation (5th ed.). Hoboken, NJ: John Willey & Sons, Inc. Mertens, B. and Lambin E.F. 2000. Land-Cover-Change Trajectories in Southern Cameroon. Annals of Association of American Geographers, 90(3): 467-494. Mertens, B., Kaimowitz, D, Puntodewo, A., Vanclay, J. and Mendez, P. 2004. Modelling Deforestation at Distinct Geographic Scales and Time Periods in Santa Cruz, Bolivia. International Regional Science Review, 27(3): 271-296. Prasetyo, L.B., Kartodihardjo, H., Adiwibowo, S., Okorda, B. and Setiawan, Y. 2009. Spatial Model Approach on Deforestation of Java Island, Indonesia. Journal of Integrated Field Science, 6: 37-44. Puyravaud, J. 2003. Standardizing the Calculation of The Annual Rate Of Deforestation. Forest Ecology and Management, 177: 593-596. Shu, G.N. 2003. Detection and Analysis of Land Cover Dynamics in Moist Tropical Rainforest of South Cameroon. Master Thesis, International Institute for GeoInformation Science and Earth Observation, Enshede, The Netherland.
91
92
POLA KEMITRAAN DALAM REHABILITASI MANGROVE: STUDI KASUS DI KECAMATAN BOLENG - KABUPATEN MANGGARAI BARAT Oleh: M. Hidayatullah ABSTRAK . Konversi hutan mangrove untuk pemukiman, kegiatan budidaya tambak maupun tujuan pengunaan lain merupakan penyebab semakin menurunnya kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove. Di sisi lain, kegiatan penanaman yang masih terbatas dan belum melibatkan para pihak belum mampu memperbaiki kualitas hutan mangrove. Kemitraan bersama masyarakat dalam rehabilitasi diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan kegiatan penanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan dan kendala dalam kegiatan rehabilitasi mangrove pada pola kemitraan di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara dengan para pihak yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan observasi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran kelompok tani sangat dominan dalam semua tahapan kegiatan rehabilitasi, termasuk penentuan lokasi, pemilihan jenis dan luas area penanaman. Koordinasi kegiatan yang dilakukan Dinas Kehutanan Manggarai Barat terbatas pada anggota kelompok tani mitra, sedangkan masyarakat lainnya hanya ditempatkan sebagai tenaga upah harian, demikian juga dengan keterlibatan aparat desa dan kecamatan yang sangat terbatas. Namun demikian, hasil penilaian tim independen menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan rehabilitasi mencapai 90%. Keterlibatan semua pihak diperlukan untuk mendukung dan meningkatkan keberhasilan kegiatan rehablitasi. Alternatif pemanfaatan sumberdaya mangrove seperti untuk bahan pembuatan makanan dan obat-obatan juga perlu menjadi perhatian, demikian juga dengan implementasi konsep silvofishery untuk perbaikan produktifitas tambak. Kata kunci: kemitraan, rehabilitasi, pemanfaatan, mangrove, Manggarai Barat.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dan memiliki karakter yang khas. Menurut Anwar dan Subiandono (1996) mangrove merupakan komunitas yang tumbuh di tempat yang tergenang diwaktu air laut pasang dan menjadi kering diwaktu air surut. Kondisi tersebut menurut Nybakken (1992) yang menyebabkan kawasan hutan mangrove mempunyai varietas komunitas yang unik dan didominasi oleh spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada perairan asin. Banyak fungsi dan manfaat yang dapat diperoleh dari keberadaan hutan mangrove dalam mendukung keperluan hidup manusia diantaranya sebagai pelindung garis pantai, tempat berpijah aneka biota laut, sebagai pengatur iklim mikro, penyedia keperluan rumah tangga dan industri, termasuk bibit ikan, pariwisata, penelitian dan pendidikan serta manfaat-manfaat yang lainnya. Keberadaan hutan mangrove menjadi berkah bagi masyarakat karena dapat membantu pemenuhan kebutuhan hidupnya, namun seringkali masyarakat kurang memperhatikan eksistensi keberadaan hutan 93
mangrove. Meningkatnya pembangunan ekonomi dewasa ini telah menempatkan wilayah pesisir cukup strategis untuk kegiatan perikanan tambak, industri, pemukiman dan rekreasi. Hal tersebut mendorong terjadinya pencemaran bibir pantai sehingga mengakibatkan pertumbuhan mangrove ikut terganggu, bahkan sampai pada batas tertentu pencemaran ini dapat menyebabkan kematian pada tanaman. Adanya urbanisasi maupun perluasan wilayah untuk pemukiman dan pembangunan infrastruktur jalan sehingga dilakukan pembukaan kawasan untuk tujuan tersebut, juga menjadi penyebab terjadinya kerusakan hutan mangrove. Pemanfaatan wilayah pesisir yang semakin meningkat ini selain memberi dampak positif melalui peningkatan taraf hidup dan kesempatan kerja bagi masyarakat, juga memberi dampak negatif karena pemanfaatan yang kurang terkendali serta tidak diimbangi dengan kegiatan pemeliharaan. Rendahnya pemahaman dan kesadaran akan keberadaan hutan mangrove menyebabkan semakin menurunnya kualitas hutan mangrove. Pemanfaatan yang berlebihan, misalnya konversi areal mangrove menjadi areal tambak, penebangan pohon untuk kebutuhan bahan bangunan dan kayu bakar dapat mengganggu kelestarian hutan mangrove. Luas hutan mangrove di Nusa Tenggara Timur (NTT) mencapai 40.615,11 ha, dari jumlah tersebut sebagian besar telah mengalami kerusakan dengan tingkat kerusakan yang beragam yaitu: sebanyak 8.283,10 ha atau 20,41% (kategori rusak berat), sebanyak 19.550,44 ha atau 48,16% (kategori rusak) dan 12.774,57 ha atau 31,43% (kategori baik) (Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah I Bali, 2011). Dari data tersebut diketahui bahwa lebih dari separuh jumlah hutan mangrove di NTT mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan penanaman kembali agar fungsi dan manfaat hutan mangrove dapat dipertahankan. Berdasarkan data dari BPHM Wilayah I Bali, (2011) disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi mangrove di NTT masih sangat minim, kondisi tersebut juga ditambah dengan tingkat keberhasilan penanaman yang belum maksimal sehingga laju kerusakan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pola kemitraan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan kegiatan penanaman, hal tersebut terjadi karena masyarakat dilibatkan secara aktif sehingga rasa memiliki dan turut menjaga dapat ditumbuhkan dalam masyarakat. Pada kasus di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, masyarakat dalam hal ini kelompok tani penanam mangrove terlibat dalam kegiatan rehabilitasi 94
untuk mereklamasi hutan mangrove yang rusak akibat pemanfaatan yang melebihi kapasitas pemulihan. Insentif program dari pemerintah pada tahun 2004 melalui skema gerhan (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) seluas 50 ha, kemudian dari Dinas Kehutanan provinsi pada tahun 2011 dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 1 seluas 100 ha. Pelibatan masyarakat turut berperan dalam mendukung keberhasilan program rehabilitasi tersebut. Masyarakat sudah mulai menikmati hasil kegiatan penanaman tahun 2004, dimana hasil tangkapan udang serta kepiting bakau menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. B. Tujuan Tulisan ini bertujuan untuk menyampaikan informasi tentang keberhasilan dan kendala dalam kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat. II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Sepang dan Golo Sepang, Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat yang merupakan salah satu wilayah dengan kawasan hutan mangrove terluas di Kabupaten Manggarai Barat. Penelitian dilakukan pada bulan April – Mei 2012. B. Alat dan Bahan Peralatan penelitian adalah GPS, voice recorder, kamera, quisioner serta alat tulis menulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah area kawasan hutan mangrove. C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan 2 pendekatan sesuai dengan data dan informasi yang dibutuhkan yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data primer diperoleh melalui beberapa cara yaitu: ¾ Observasi Observasi ke lokasi kegiatan penanaman tahun 2004 seluas 50 ha dan penanaman tahun 2011 seluas 100 ha. Dari kegiatan ini diharapkan diperoleh data dan informasi tentang tingkat keberhasilan tanaman hasil rehabilitasi. ¾ Wawancara Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan
95
mekanisme kerja, kendala dan permasalahan dalam tahapan kegiatan rehabilitasi mangrove, maupun yang terkait dengan pembagian tugas dan tanggung jawab masingmasing pihak. Wawancara ini dilakukan terhadap masyarakat umum, tokoh masyarakat dan tokoh adat, kelompok tani penanam mangrove, Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat maupun Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Benain Noelmina sehingga diperoleh informasi secara lengkap. 2. Data sekunder Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dokumentasi hasil-hasil penelitian serta peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Manggarai Barat memiliki luas wilayah 2.947,5 km2 atau hanya sekitar 6,22% dari luas Propinsi NTT, terdiri dari beberapa pulau besar seperti daratan Pulau Flores, Komodo, Rinca, Longos serta beberapa pulau kecil lainnya. Suhu udara rata-rata di kabupaten ini berkisar antara 26,8o C - 28,5o C (BPS Kabupaten Manggarai Barat, 2011). Kecamatan Boleng merupakan salah satu dari 5 kecamatan yang mempunyai wilayah desa pesisir di Kabupaten Manggarai Barat. Wilayah kecamatan ini mempunyai hutan mangrove terluas di Kabupaten Manggarai Barat. Memiliki wilayah 5 desa pesisir dari 9 desa, sehingga hal tersebut menyebabkan kecamatan ini mempunyai garis pantai yang lebih panjang dan kawasan mangrove yang relatif lebih besar dibandingkan dengan wilayah kecamatan yang lain. Berdasarkan data dari BPDAS Benain Noelmina (2007), luas hutan mangrove di Kabupaten Manggarai Barat mencapai 7.810,91 ha atau 19,21% dari total luas hutan mangrove di NTT. Desa Sepang dan Golo Sepang merupakan desa-desa dengan komposisi hutan mangrove terluas di Kecamatan Boleng, meskipun belum ada data kuantitatif dan survei detail tentang luasan mangrove di 2 (dua) desa ini, namun dari beberapa studi terdahulu dan observasi dapat diketahui bahwa potensi hutan mangrove merupakan yang terbesar di Kecamatan Boleng. Desa Sepang merupakan desa pemekaran dari Desa Golo Sepang, dimana kedua desa merupakan daerah pesisir dengan ketinggian tempat kurang dari 500 m dari permukaan air laut. Desa Sepang dengan luas 14 km2 atau 4,61% dari luas kecamatan sedangkan Desa Golo Sepang sebagai desa induk memiliki luas 57,88 96
km2 atau 19,05% dari luas kecamatan. Sebagian besar penduduk kedua desa ini bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan peternak. B. Pola kemitraan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove Keberadaan mangrove bagi masyarakat di Kecamatan Boleng mempunyai nilai dan arti penting, karena banyak aktifitas masyarakat baik secara langsung atau tidak berhubungan dengan mangrove. Pengambilan hasil dari hutan mangrove seperti kepiting dan udang merupakan salah satu aktifitas yang secara langsung dapat menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat serta tidak mengganggu ekosistem hutan mangrove. Keberadaan mangrove dengan segala fungsinya di kecamatan ini terancam dengan adanya penurunan luasan sebagai akibat dari pembabatan mangrove untuk berbagai keperluan. Penurunan kuantitas mangrove tersebut jelas terlihat dari observasi lapangan, banyak lahan yang dulunya merupakan kawasan hutan mangrove, saat ini menjadi tambak-tambak yang sudah tidak berproduksi lagi. Sebagai upaya untuk pemulihan kondisi tersebut, pemerintah melakukan kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Boleng melalui program gerhan tahun 2004 seluas 50 ha seperti tercatat dalam lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.02/MenhutV/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Kegiatan Penanaman tahun 2011 seluas 100 ha. Kegiatan rehabilitasi tahun 2004 tersebut terlaksana dengan baik, tidak lepas dari peran masyarakat dan semua stakeholder yang ada, karena mereka menyadari adanya kecenderungan penurunan kualitas hutan mangrove dari tahun ke tahun. Penurunan kualitas hutan mangrove selain terjadi karena adanya konversi hutan menjadi tambak, juga adanya penebangan pohon untuk keperluan bahan bangunan dan sebagai kayu bakar. Hal ini dapat dilihat dari lahan bekas tebangan yang tidak dimanfaatkan serta dapat dirasakan oleh masyarakat melalui tingkat kesulitan yang semakin tinggi untuk mendapatkan kepiting dan udang bakau. Proses pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi sudah dimulai sejak awal mulai dari penentuan lokasi, pembibitan, penanaman dan pemeliharaan hingga saat ini. Proses pelibatan tersebut terbangun dengan baik karena semua pihak dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Pelibatan masyarakat ini dapat disebut sebagai bentuk kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah dalam mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih baik. Canter dalam Arimbi (1993) 97
mengatakan bahwa kemitraan pada esensinya adalah sebuah bentuk kerjasama dari berbagai pihak atau dikenal dengan istilah gotong royong, baik secara individual maupun kelompok yang memiliki kesamaan tujuan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat diketahui bahwa terbangunnya kemitraan antara masyarakat dengan pemerintah ini terjadi karena masing-masing pihak memegang teguh prinsip-prinsip kemitraan adalah 1). Persamaan atau equality, 2). Keterbukaan atau transparency dan 3). Saling menguntungkan atau mutual benefit. Kemitraan antara masyarakat dan pemerintah dalam perbaikan ekosistem mangrove di Kecamatan Boleng mulai terbangun dari adanya sekelompok orang yang merintis penanaman mangrove secara sukarela pada beberapa titik/lokasi bekas tebangan, selanjutnya hal tersebut mendapat perhatian dari Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Barat dan pada akhirnya terbangun komunikasi yang baik antara mereka. Pihak dinas kehutanan menyarankan kepada kelompok untuk membuat pembibitan mangrove dari jenis yang sesuai dengan kondisi setempat, sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai bahan untuk kegiatan gerhan, hal tersebut disambut baik oleh anggota kelompok dengan swadana membuat pembibitan mangrove. Setelah beberapa kali ujicoba, pada akhirnya kelompok dapat membuat pembibitan dengan persentase hidup yang cukup tinggi, menurut anggota kelompok dikatakan bahwa keberhasilan persemaian mencapai 89%. Kelompok tani yang selanjutnya diberi nama Kelompok Lestari Alam ini menjadi mitra Dinas Kehutanan Manggarai Barat dalam berbagai kegiatan kehutanan termasuk program gerhan tahun 2004. Koordinasi dan sosisalisai kegiatan kegiatan gerhan oleh dinas kehutanan pada akhirnya lebih banyak dilakukan bersama kelompok, sedangkan masyarakat umum termasuk aparat desa dan kecamatan tidak mendapatkan informasi yang memadai. Hal ini sebenarnya dapat mengurangi nilai kemitraan yang seharusnya dapat merangkul semua pihak untuk terlibat dalam kegiatan tersebut. Kondisi ini berdampak pada timbulnya ketidakharmonisan di dalam masyarakat akibat kecemburuan dan kecurigaan dari masing-masing pihak terutama berkaitan dengan nilai ekonomi yang muncul dari kegiatan gerhan. Hal ini sejalan dengan hasil kajian Dade (2006) yang mengatakan bahwa untuk terciptanya sebuah kemitraan yang baik maka harus terbangun rasa saling percaya dan keterbukaan dari semua pihak sehingga potensi kekacauan yang dapat terjadi dapat ditekan sampai pada titik paling rendah. Dinas kehutanan pada akhirnya lebih banyak melakukan koordinasi dengan 98
kelompok, sedangkan masyarakat ataupun aparat desa dan kecamatan kurang mendapatkan informasi yang memadai. Masyarakat hanya dilibatkan dalam proses pembuatan persemaian, pengangkutan bibit dan penanaman saja atau kegiatan-kegiatan yang menempatkan mereka sebagai tenaga upah (buruh harian), sedangkan proses pemilihan lokasi dan jenis yang digunakan mereka tidak diikutsertakan. Sementara itu menurut pihak dinas kehutanan kabupaten bahwa sudah dilakukan sosialisasi terkait dengan kegiatan tersebut, akan tetapi karena tanggapan dari masyarakat kurang baik maka kegiatan sepenuhnya diserahkan ke kelompok Lestari Alam.
Menurut Dade
(2006) bahwa untuk terciptanya sebuah kemitraan yang baik maka harus terbangun rasa saling percaya dan keterbukaan dari semua pihak sehingga potensi kekacauan yang dapat terjadi dapat ditekan sampai pada titik paling rendah. Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan dalam semua proses dan tahapan kegiatan tersebut, satu hal yang perlu dicatat bahwa kegiatan gerhan mangrove tersebut dapat dikatakan berhasil karena menurut tim penilai independent dan Dinas Kehutanan Manggarai Barat, termasuk masyarakat setempat mengatakan bahwa tingkat kebehasilan penanaman mencapai 80%. Saat ini tanaman tersebut sudah mencapai tinggi ± 3 m dalam keadaan air pasang, sehingga sudah mulai terlihat tegakan mangrove hasil rehabilitasi. Manfaat dari kegiatan rehabilitasi tersebut juga sudah mulai dinikmati oleh masyarakat dimana jumlah kepiting dan udang yang dapat ditangkap oleh masyarakat dari habitat mangrove semakin banyak dalam 1 – 2 tahun terakhir. C. Informasi tentang pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat Aktifitas keseharian masyarakat di Desa Sepang dan Golo Sepang, Kecamatan Boleng tidak dapat dilepaskan dari keberadaan mangrove. Nilai sosial - ekonomi mangrove bagi masyarakat sangat tinggi karena keberadaan mangrove memegang peran penting bagi aktifitas warga. Letak geografis desa dengan ketinggian tidak lebih dari 50 m dan lokasi pemukiman yang berbatasan langsung dengan bibir pantai menyebabkan keberadaan mangrove sangat vital untuk melindungi desa dari abrasi dan gemburan ombak. Adanya jalur penyeberangan yang menghubungkan kecamatan Boleng dengan daerah-daerah luar termasuk menuju ibukota kabupaten yang diapit oleh habitat mangrove memberikan perlindungan perahu/kapal yang melewati muara tersebut dari gempuran ombak sekaligus memberikan pertunjukkan yang sangat menghibur bagi masyarakat yang melewati jalur tersebut. Hal ini merupakan salah satu manfaat yang dapat diperoleh masyarakat terkait dengan keberadaan hutan mangrove. Selanjutnya 99
bila dikelola dan dikembangkan dengan baik keberadaan hutan mangrove di daerah ini dapat menjadi alternatif tempat wisata yang menarik. Hasil wawancara diketahui bahwa pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat pada umumnya dilakukan dengan pengambilan kayu untuk keperluan bahan bangunan atau untuk peruntukan lainnya. Kayu-kayu dari jenis mangrove diyakini oleh masyarakat mempunyai daya tahan dan masa pakai yang relatif lama, sehingga kayu mangrove selalu menjadi pilihan bagi masyarakat untuk keperluan bahan bangunan. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Anwar dan Gunawan (2006) bahwa kayu mangrove terutama dari jenis Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza sangat cocok untuk digunakan sebagai bahan bangunan seperti untuk tiang atau kaso karena batangnya lurus dan bertahan lama bahkan sampai 50 tahun. Pengambilan kayu mangrove untuk keperluan kayu bakar juga masih kerap terjadi terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, hal tersebut dilakukan karena kayu bakar menjadi barang yang sangat penting bagi masyarakat di tengah harga bahan bakar minyak yang semakin tinggi (Inoue et al., 1999). Menurut Anwar dan Gunawan (2006) bahwa kayu mangrove dapat menghasilkan arang dengan kualitas yang sangat baik terutama dari jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. mucronata dan B. gymnorrhiza karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Kegiatan penangkapan udang, kepiting dan ikan pada areal hutan mangrove merupakan primadona bagi masyarakat karena jumlah kepiting dan udang yang melimpah. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa setidaknya terdapat sekitar 20 Kepala Keluarga (KK) yang biasa melakukan penangkapan kepiting dan udang sebagai sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pada umumnya masyarakat juga memanfaatkan kayu mangrove dari jenis tertentu untuk membuat racun yang akan digunakan untuk menangkap ikan, selain itu masyarakat juga membuat tanin dari kulit kayu atau perangkap dari akar kayu mangrove untuk menangkap ikan. Menurut Ahmad (2011), pemanfaatan mangrove untuk menangkap ikan biasanya dari jenis yang mengandung saponin yaitu dari jenis Aeqiceras corniculatumi untuk membuat racun ikan, sedangkan yang menggunakan tanin dari jenis Xylocarpus moluccenensis dan akar untuk membuat jala biasanya dari jenis R. apiculata. Beberapa aktifitas diatas merupakan bentuk-bentuk pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat, baik yang sifatnya tidak mengganggu kelestarian maupun yang berdampak pada perubahan kualitas mangrove. Selain beberapa manfaat tersebut, 100
sebenarnya masih banyak lagi manfaat lain dari keberadaan hutan mangrove, sehingga kesimbangan ekosistemnya harus tetap dijaga. Menurut Hiariey (2009), manfaat yang umumnya dapat diperoleh dari hutan mangrove adalah manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu bakar), manfaat satwa, dan penangkapan ikan (kepiting, udang dan ikan) serta manfaat tidak langsung berupa breakwater dan tempat penyedia pakan, maupun manfaat pilihan berupa nilai keragaman hayati dan manfaat eksistensi. D. Informasi tentang Silvofishery Kegiatan budidaya perikanan tambak di Desa Sepang dan Golo Sepang, Kecamatan Boleng kurang berkembang. Kendala utama terletak pada permasalahan modal, harga jual yang rendah dan pasar yang belum teridentifikasi. Masyarakat di 2 desa merupakan petani dan nelayan dengan pendapatan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga kegiatan budidaya perikanan tambak yang memerlukan modal tidak dapat berkembang. Dalam sejarahnya 2 desa ini mulai membuat tambak pada akhir tahun 1980-an dengan melakukan pembagian hutan mangrove untuk dikonversi menjadi tambak berdasarkan kesepakatan seluruh masyarakat dan tetua adat. Berdasarkan penuturan masyarakat bahwa tambak-tambak tersebut hanya dapat berproduksi dengan baik sekitar 5 – 6 tahun saja, jumlah produksi bandeng terus menurun dari tahun ke tahun sampai akhirnya masyarakat menghentikan kegiatan budidaya perikanan tambak ini. Pada saat ini sebagian besar areal tambak tersebut sudah tidak berproduksi lagi, sehingga menyisakan hamparan lahan yang tidak bervegetasi. Walaupun secara geografis lokasi tambak cukup cocok untuk dikembangkan menjadi area budidaya perikanan tambak. Secara umum konsep silvofishery dengan segala kelebihannya belum dikenal oleh masyarakat sehingga mereka hanya melakukan usaha budidaya perikanan tambak secara tradisional. Konsep tersebut baru dikenal oleh beberapa orang termasuk anggota kelompok penanam mangrove, namun masih sebatas informasi sehingga pada tataran prakteknya belum ada yang mengembangkan pola yang juga dikenal sebagai sistem empang parit tersebut.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pola kemitraan yang digunakan dalam kegiatan rehabilitasi mangrove adalah dengan menempatkan kelompok tani penanam mangrove sebagai mitra kerja merupakan 101
salah satu kunci sukses keberhasilan kegiatan penanaman mangrove di kecamatan Boleng. Namun demikian peran kelompok Lestari Alam sangat dominan dalam semua tahapan kegiatan, sehingga masyarakat beserta aparat pemerintah desa dan kecamatan yang semestinya diharapkan dapat berpartisipasi untuk mendukung kegiatan tersebut belum berjalan dengan baik karena akses mereka sangat terbatas. Pemanfaatan hutan mangrove oleh masyarakat masih sebatas pengambilan kayu untuk bahan bangunan, kayu bakar, pengambilan hasil ikan, udang dan kepiting serta pemanfaatan tanaman mangrove untuk penangkapan ikan. Sedangkan manfaatmanfaat lain seperti penggunaan mangrove untuk obat dan budidaya perikanan tambak dengan pola silvofishery belum dilakukan oleh masyarakat. Manfaat lain untuk tujuan wisata juga sebenarnya dapat dikembangkan jika didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Kegiatan budidaya perikanan tambak belum berkembang dengan maksimal karena berbagai hambatan, sehingga produktifitas tambak terus menurun. Implementasi konsep silvofishery dapat dikembangkan untuk mendukung rehabilitasi lahan sekaligus dapat mempertahankan produktifitas tambak. B. Saran 1. Pelibatan para pihak dalam kegiatan rehabilitasi mangrove di Manggarai Barat perlu dimaksimalkan untuk dapat lebih meningkatkan keberhasilan kegiatan, termasuk koordinasi dengan aparat pemerintahan setempat. 2. Tambak-tambak yang sudah tidak berproduksi dan atau berproduktifitas rendah dapat diaktifkan kembali dengan menggunakan konsep silvofishery, dengan komposisi yang seimbang dan menjamin kelestarian ekologi dan ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, M. A. 2011. Jenis dan Ciri-ciri Mangrove. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Khairun. Ternate. Anwar, C. dan E. Subiandono. 1996. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Info Hutan No. 65/1996. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Anwar, C. dan H. Gunawan. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Prosiding Seminar Hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumber daya Hutan. Padang, 20 September 2007. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
102
Arimbi. 1993. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan. Walhi. Jakarta. BPS Kabupaten Manggarai Barat. 2011. Kabupaten Manggarai Barat dalam Angka tahun 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat. BPDAS Benain Noelmina. 2007. Statistik Pembangunan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina tahun 2006. BPHM Wilayah I. 2011. Statistik Pembangunan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, Denpasar – Bali. Dade, A. 2006. Kemitraan Pemerintah, Masyarakat dan Swasta dalam Pembangunan : Studi Kasus Sektor Kehutanan di Kabuaten Pasuruan. Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 4, Nomor 3 Tahun 2006. LIPI. Hiariey, L.S. 2009. Identifikasi Nilai Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Tawiri, Ambon. Jurnal Organisasi dan Manajemen 5(1): 23-34. Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi, K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta. Kementerian Kehutanan. 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.02/MenhutV/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Kementerian Kehutanan, Jakarta. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M. Eidman., Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
103
104
POTENSI DAN NILAI EKONOMI EKOWISATA TAMAN NASIONAL LAIWANGI WANGGAMETI DAN UPAYA PENINGKATANNYA Oleh : Rahman Kurniadi
ABSTRAK Ekowisata merupakan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan dari Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW) untuk meningkatkan perekonomian masyarakat tanpa merusak lingkungan taman nasional. Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai ekonomi ekowisata TNLW dan upaya peningkatannya. Penelitian menggunakan metode biaya perjalanan (Travel Cost Method). Penelitian dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan Agustus tahun 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi ekowsiata TNLW sebesar Rp. 374.931.220,00/tahun. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomi ekowisata antara lain meningkatkan pelayanan, memperbaiki dan meningkatkan sarana/prasarana wisata, dan memberikan informasi wisata di TNLW. Kata kunci : Ekowisata, Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, nilai ekonomi
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Taman nasional (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, dan dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, pengembangan budaya dan pariwisata dan rekreasi (Undang-Undang No.5 tahun 1990). Taman nasional merupakan suatu hamparan ekosistem alamiah dengan batas-batas yang jelas di dalam dimensi ruang ekologi, sosial, ekonomi, budaya, dan kewenangan tertentu, yang ditetapkan pemerintah untuk mempertahankan fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati serta mengoptimalkan fungsi sosial ekonominya melalui pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari. Salah satu TN yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah Taman Nasional Laiwangi Wanggameti (TNLW). Secara geografis, TNLW berada di wilayah Sumba Timur. TNLW ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 576/Kpts-II/1998, tanggal 3 Agustus 1998, dengan luas mencapai ± 47.014,00 ha. Sebelumnya TNLW berstatus sebagai kawasan cagar alam (CA) dan hutan wisata seluas ± 131.890 ha, hutan lindung (HL) seluas ± 667.601 ha, dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas ± 398.954 ha. TNLW
memiliki
berbagai
manfaat
lingkungan
yang
berguna
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan tanpa mengganggu fungsi 105
kawasan. Salah satu manfaat TNLW adalah sebagai lokasi ekowisata. Kegiatan ekowisata memiliki nilai ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan ekowisata. Nilai ekonomi yang besar akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap jasa lingkungan. Dengan demikian pengembangan ekowisata di TNLW dapat berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan akan mendorong masyarakat untuk melestarikannya. Saat ini manfaat jasa lingkungan TNLW dari ekowisata belum optimal. Diperlukan pengembangan ekowisata di TNLW untuk meningkatkan manfaat dari TNLW. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji nilai ekonomi ekowisata dari TNLW dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkannya.
II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di TNLW dan lokasi-lokasi wisata terdekat di sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011. B.Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain kuisioner, alat tulis, dan alat perekam. C. Metode Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara terhadap wisatawan yang ada di TNLW, Pantai Londalima, dan Pantai Tarimbang. Wawancara juga dilakukan terhadap petugas penjaga wisata yang berada di TNLW untuk mengetahui jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNLW. Hal ini dilakukan karena data sekunder tentang jumlah pengunjung ke TNLW tidak tersedia. Data yang dikumpulkan meliputi, biaya perjalanan wisatawan, persepsi wisatawan terhadap ekowisata di TNLW, daya tarik wisata TNLW, dan jumlah wisatawan tahun sebelumnya.
D. Analisis data Nilai ekonomi ekowisata diduga dengan metode biaya perjalanan (Travel Cost Method). Metode tersebut telah digunakan oleh Bahruni (1993) untuk menaksir nilai
106
ekonomi ekowisata pada kawasan konservasi di Jawa. Dengan metode ini nilai ekonomi ekowisata TNLW sebanding dengan biaya perjalanan para wisatawan. Biaya perjalalanan rata-rata wisatawan diperoleh dengan formula sebagai berikut: n ∑ ei ē = i=1 n
(1)
Keterangan: ē : biaya perjalanan rata-rata wisatawan (Rp) ei: biaya perjalanan wisatawan ke–i (Rp) n : jumlah responden
Nilai ekonomi ekowisata TNLW diperoleh dengan formula sebagai berikut: E=ēxJ
(2)
Keterangan: E : nilai ekonomi ekowisata (Rp/tahun) ē :biaya perjalanan rata-rata (Rp/orang) J : jumlah wistawan (orang/tahun)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Objek Daya Tarik Wisata TNLW Objek wisata yang berada pada TNLW berorientasi pada keindahan alam, antara lain : 1. Air Terjun Laiputi Air terjun Laiputi merupakan air terjun alami yang berada di TNLW. Secara administrasi air terjun ini berada di Desa Praingkareha, Kecamatan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur. Air terjun ini mengalir sepanjang tahun. Air terjun Laiputi merupakan objek wisata utama yang berada di TNLW. 2. Keanekaraman Flora dan Fauna TNLW merupakan perwakilan semua tipe hutan di Pulau Sumba, termasuk hutan elfin yang jarang terdapat dan memiliki keanekaragaman jenis bernilai cukup tinggi, terutama yang terdapat pada ketinggian 800 mdpl. Menurut Departemen Kehutanan (2003), jenis tumbuhan yang terdapat di kawasan TNLW antara lain jambu hutan (Syzygium sp.), pulai (Alstonia scholaris), beringin (Ficus sp.), kenari (Canarium oleosum), kayu manis (Cinnamomum 107
zeylanicum), honggi (Myristica littoralis), suren (Toona sureni), taduk (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa) dan hangkang (Palaquium obovatum). TNLW merupakan habitat dari beberapa satwa liar seperti kera ekor panjang (Macaca fascicularis fascicularis), babi hutan (Sus sp.), biawak (Varanus salvator), ular sanca timor (Phyton timorensis), dan ayam hutan (Gallus gallus). Selain itu, TNLW merupakan habitat utama burung walik rawamanu (Ptilinopus dohertyi), punai sumba (Treron teysmannii), dan berbagai jenis burung lainnya seperti gemak sumba (Turnix everetti), kakatua cempaka (Cacatua sulphurea citrinocristata), nuri (Lorius domicella), sikatan sumba (Ficedula harterti), kepodang-sungu sumba (Coracina dohertyi), dan madu sumba (Nectarinia buettikoferi). Tercatat sebanyak 43 jenis kupu-kupu terdapat di TNLW, lima di antaranya merupakan jeni endemik di Nusa Tenggara, yaitu kupu-kupu halipron (Troides haliphron naias), Elimnias amoena, Sumalia chilo, Ideopsis oberthurii dan Athyma karita. Keanekagaman hayati yang tinggi merupakan salah satu objek wisata di TNLW. Adapun jenis wisata yang dapat dilakukan antara lain: a. Bird watching Keanakeragaman burung di TNLW dapat dijadikan daya tarik untuk kegiatan wisata burung (bird watching). Bird watching adalah kegiatan wisata mengamati dan menikmati kehidupan burung-burung di alam liar. Objek kegiatan wisata ini adalah suara burung dan bentuk burung. Kegiatan wisata burung sangat disukai oleh para pecinta burung, karena bentuk dan suara yang indah berdampak positif terhadap kejiwaan orang yang melakukan wisata ini. Saat ini kegiatan bird watching telah menjadi bisnis wisata tersendiri. Beberapa agen wisata telah menawarkan paket wisata burung kepada para wisatawan. Bird watching juga banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti asing.
b. Atraksi Satwa Selain burung, satwa langka yang ada di TNLW dapat dijadikan objek wisata. Wisatawan biasanya akan merasa senang apabila dapat melihat satwa secara langsung di alam liar, bahkan banyak di antaranya yang rela mengeluarkan biaya perjalanan yang besar hanya untuk melihat satwa-satwa unik dan langka.
108
Satwa langka di TNLW pada umumnya berada di zona inti. Karena itu, untuk dapat melihat satwa langka para wisatawan harus masuk jauh ke tengah hutan. Umumnya mereka yang melakukan wisata ini merupakan wisatawan yang berjiwa petualang dan mempunyai kemampuan fisik yang prima. c. Kuburan Kuno Di sekitar TNLW banyak dijumpai kuburan kuno yang diukir dengan beberapa motif seperti kuda, kerbau, orang lelaki dan wanita. Pada kuburan kuno melekat simbol dan status sosial dari keluarga yang ditinggalkan. Bagi kalangan tertentu, kuburan kuno dapat menjadi obyek wisata khusus (Dinas Pariwisata Provinsi NTT, 2012). B. Nilai Ekonomi Ekowisata TNLW TNLW dikunjungi wisatawan asing dan domestik. Tabel 1 memperlihatkan nilai ekonomi ekowisata TNLW berdasarkan metode biaya perjalanan (travel method cost). Tabel 1. Nilai ekonomi ekowisata TNLW Rata-rata biaya No Asal Wisata perjalanan (Rp/orang) 1 Asing 22.750.701 2 Domestik 86.000 Jumlah
Jumlah wisatawan (Orang/tahun) 16 220
Nilai ekonomi (Rp/tahun) 356.011.220 18.920.000 374.931.220
Sumber : Wawancara, 2011
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke TNLW masih sedikit. Wisatawan hanya dijumpai pada saat-saat tertentu dalam bentuk rombongan. Berdasarkan perhitungan dengan metode biaya perjalanan, nilai ekonomi ekonomi ekowisata TNLW bernilai Rp. 385.251.220. Sebagian besar nilai ekonomi tersebut dalam bentuk tiket pesawat dari negara asal menuju TNLW. Masyarakat Indonesia turut menikmati nilai ekonomi ekowisata umumnya dalam bentuk jasa penginapan dan makanan. TNLW memiliki keanekaragaman yang tinggi dan mempunyai keindahan alam yang unik. Namun demikian jumlah pengunjung ke TNLW masih minim. Selain keindahan alam dan keanekaragaman hayati, faktor-faktor lain juga memengaruhi jumlah kunjungan wisata ke TNLW. Menurut Syahadat (2006), jumlah kunjungan wisatawan dipengaruhi secara simultan oleh faktor pelayanan, faktor sarana dan prasarana, faktor objek wisata/daya tarik wisata, dan faktor keamanan. Secara parsial faktor keamanan merupakan faktor dominan yang memengaruhi jumlah kunjungan wisata. Dari hasil wawancara diketahui bahwa umumnya wisatawan tidak mau berkunjung ke TNLW dikarenakan alasan biaya, jarak, dan sarana jalan (Tabel 2). 109
Untuk mencapai TNLW diperlukan waktu 4 jam perjalanan dari kota Waingapu dengan kondisi jalan yang tidak memadai. Hal tersebut menyebabkan biaya transportasi yang tinggi dan kurang nyamannya perjalanan, sehingga berimbas pada kurangnya minat wisatawan berkunjung ke TNLW.
Tabel 2. Alasan responden tidak berkunjung ke TNLW No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Alasan tidak berkunjung ke TNLW Jarak Biaya Kesibukan Sarana Transportasi Daya tarik wisata/objek wisata Keamanan
Jumlah responden 19 19 3 19 0 0
Keterangan
Sumber: Wawancara,2011
Menurut Kurniawati (2007), faktor keamanan berpengaruh terhadap jumlah kunjungan wisata secara nasional. Isu-isu keamanan sangat berpengaruh dan sering berdampak buruk terhadap kunjungan wisata di semua objek wisata di Indonesia. Pada saat muncul isu keamanan terjadi penurunan jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia, termasuk ke TNLW. Namun demikian isu-isu keamanan tidak berpengaruh kepada jumlah kunjungan wisatawan domestik. Nilai ekonomi ekowisata di TNLW berbanding lurus dengan jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat tersebut. Makin besar jumlah pengunjung maka nilai ekonominya makin besar. Nilai ekonomi tersebut dinikmati masyarakat dari mulai kedatangan sampai kepulangan wisatawan. Menurut Amanda (2009), kegiatan ekowisata berdampak positif terhadap perekonomian masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung berupa pendapatan pemilik usaha dan dampak tidak langsung berupa penyerapan tenaga kerja. Dampak ekowisata di TNLW terhadap perekonomian masyarakat sekitar hutan masih kecil. Di sekitar TNLW belum ada usaha-usaha kecil yang menunjang kegiatan ekowisata di daerah tersebut. Sedangkan penyerapan tenaga kerja terbatas pada jasa guide yang berada di lokasi wisata. Sebagian besar nilai ekonomi ekowisata TNLW dinikmati oleh masyarakat di luar TNLW. Masyarakat yang menikmati nilai ekonomi ekowisata TNLW antara lain penyedia jasa penerbangan dari negara asalnya sampai ke negara Indonesia, penyedia jasa hotel dan penginapan di kota Waingapu dan di Tarimbang, dan penyedia jasa angkutan darat. 110
Adanya objek wisata lain merupakan salah satu faktor yang memengaruhi nilai ekonomi ekowisata di TNLW. Di kota Waingapu terdapat beberapa objek wisata yang lebih kompetitif dibandingkan dengan TNLW. Objek wisata tersebut antara lain Pantai Londalima dan objek wisata Matawai. Kedua objek wisata tersebut lebih dekat ke kota sehingga lebih menarik bagi wisatawan. Menurut Igunawati (2010), biaya perjalanan, jarak, dan informasi wisata merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kunjungan wisata. Para wisatawan cenderung memilih objek wisata yang memiliki biaya perjalanan yang rendah. Itulah sebabnya para wisatawan lebih memilih objek wisata Pantai Londalima dan Matawai daripada TNLW. Pada beberapa aspek TNLW kalah bersaing dengan objek wisata lainnya. Upaya-upaya peningkatan nilai ekonomi ekowisata TNLW hanya dapat dilakukan dengan memperkuat potensi yang ada dan mengurangi kelemahan dari TNLW. C. Upaya Peningkatan Nilai Ekonomi Ekowisata TNLW Dari hasil penelitian, beberapa faktor yang memengaruhi jumlah kunjungan ekowisata tidak dapat diubah. Faktor –faktor tersebut antara lain jarak lokasi ekowisata dan objek/daya tarik wisata. Faktor-faktor lainnya dapat diubah untuk dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisata, antara lain faktor pelayanan, sarana wisata, dan sarana jalan. Perbaikan faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisata ke TNLW. Sarana dan prasarana ekowisata merupakan salah satu faktor yang memengaruhi jumlah kunjungan wisata. Saat ini sarana ekowisata di TNLW sangat minim. Aksesibilitas menuju TNLW masih sulit karena sarana jalan yang kurang memadai. TNLW juga tidak memiliki sarana hotel, sehingga mempersulit wisatawan untuk memperoleh penginapan. Jumlah wisatawan yang sangat minim menyebabkan pihak swasta enggan menanamkan modalnya pada bidang perhotelan. Sebaliknya, sarana hotel yang tidak memadai juga menyebabkan wisatawan enggan berkunjung ke TNLW. Karena itu, untuk tahap awal, hanya pemerintah yang dapat membantu adanya sarana hotel di TNLW, karena secara finansial usaha tersebut belum menguntungkan. Faktor keamanan merupakan salah satu faktor yang dapat diubah. Pemeliharaan keamanan lokal maupun nasional dapat memengaruhi jumlah kunjungan wisatawan asing ke TNLW. Untuk meningkatkan nilai ekonomi ekowisata ke TNLW maka perlu pemeliharaan keamanan wisatawan secara terus menerus.
111
Informasi wisata merupakan salah satu faktor yang memengaruhi permintaan ekowisata (Igunawati, 2010). Peningkatan nilai ekonomi ekowisata Laiwangi Wanggameti dapat dilakukan dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat tentang ekowisata di TNLW. Para pengusaha wisata dapat membantu memasarkan jasa ekowisata di TNLW. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai ekonomi ekowisata pada TNLW sebesar Rp. 385.251.220/tahun. Pengembangan ekowisata di TNLW dapat dilakukan dengan cara melakukan perbaikan terhadap faktor-faktor yang dapat diubah. Faktor-faktor yang dapat diperbaiki antara lain, sarana wisata, pelayanan, dan sarana transportasi. B. Saran Pemerintah Daerah perlu mendorong peningkatan kunjungan wisata ke TNLW dengan mengalokasikan biaya perbaikan prasarana jalan ke TNLW, pelayanan wisata, serta membantu menyediakan sarana penginapan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.
DAFTAR PUSTAKA Amanda, M. 2009.Analisis Dampak Wisata Bahari terhadap Pendapatan Masyarakat Lokal; Studi Kasus Pantai Bandulu, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Skripsi IPB. Tidak diterbitkan. Bahruni. 1993. Penilaian Manfaat Wisata Alam Kawasan Konservasi dan Perananannya terhadap Pembangungan Wilayah. Tesis. IPB. tidak diterbitkan. Departemen Kehutanan. 2003. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti. http://www.dephut.go.id/informasi/tn%20indo-english/tn_laiwangi.htm. Diakses tanggal 21 September 2012. Dinas Pariwisata Propinsi Nusa Tenggara Timur. 2012. Destinasi Pariwisata Nusa Tenggara Timur. Tidak diterbitkan. Igunawati, D. 2010. Analisis Permintaan Objek Wisata Tirta Waduk Cacaban, Kabupaten Tegal. Skripsi. UNDIP. Tidak diterbitkan. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/kpts-II/1998 tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Cagar Alam, Hutan Lindung Dan Hutan Produksi Terbatas Seluas ± 134.998,09 (Seratus Tiga Puluh Empat Ribu Sembilan
112
Ratus Sembilan Puluh Delapan, Sembilan Perseratus) Hektar Menjadi Kawasan Taman Nasional Manupeu-Tanah Daru, tanggal 3 Agustus 1998. Kurniawati, W. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jumlah Wisatawan di Bali Tahun 2000-2005. Skripsi. IPB. Tidak diterbitkan. Syahadat, E. 2006. Faktor -faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan di Taman Nasional Gede Pangrango. Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan 3 (1): 1-27 Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
113
114
PEMANFAATAN KOTORAN SAPI DAN PENANAMAN TANAMAN CASUARINA PADA LAHAN KERING DI HAMBALA SUMBA TIMUR Oleh: Ida Rachmawati ABSTRAK Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hambala di Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu wilayah yang didominasi oleh lahan kering. Wilayah ini mempunyai daya dukung yang rendah terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan cenderung mengalami degradasi setiap tahun. Degradasi lahan yang terjadi terutama disebabkan oleh pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan dan belum mempraktekkan kaidah konservasi tanah dan air dengan benar. Konservasi tanah dapat dilakukan dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai sumber bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah serta pemilihan jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi setempat. Penelitian dilakukan di KHDTK Hambala dengan perlakuan penelitian Casuarina tunggal + kotoran sapi 2 kg/lubang (A), Casuarina tunggal + kotoran sapi 3 kg/lubang (B), Casuarina tunggal + Leucaena+ kotoran sapi 2 kg/lubang (C), Casuarina tunggal + Leucaena+ kotoran sapi 3 kg/lubang (D), Casuarina tunggal + Acacia vilosa+ kotoran sapi 2 kg/lubang (E), Casuarina tunggal + A. vilosa+ kotoran sapi 3 kg/lubang (F), Leucaena tunggal (G), dan A vilosa tunggal (H). Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Berblok dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kotoran sapi dengan dosis 2 kg/lubang dan 3 kg/lubang mampu memperbaiki sifat fisik dan kimia wilayah penelitian di Hambala. Tanaman Casuarina tumbuh baik yang ditunjukkan dengan pertumbuhan diameter tanaman dan tinggi tanaman pada perlakuan pemupukan dengan kotoran sapi dan interaksinya dengan tanaman Leucaena (CD) dibandingkan interaksinya dengan Acacia vilosa pada semua tingkat pemupukan kotoran sapi. Acacia vilosa menjadi pesaing dalam penggunaan faktor tumbuh bagi Casuarina, dosis pupuk 3 kg/ha lebih baik pengaruhnya terhadap perbaikan sifat fisik dan kimia tanah dibandingkan pemberian 2kg/lubang pada semua model interaksinya. Kata kunci: degradasi lahan, konservasi tanah dan air, pupuk kotoran sapi, Casuarina, Leucaena dan Acacia vilosa
I. PENDAHULUAN Pada umumnya lahan kering di Sumba Timur mempunyai daya dukung yang rendah. Hal ini disebabkan karena kondisi lingkungannya yang mempunyai beberapa hambatan untuk dapat mendukung produktivitas lahan seperti rendahnya curah hujan, lahan peka terhadap erosi, tingkat kesuburannya rendah, sifat fisik tanahnya yang kurang baik, seperti struktur yang padat, lapisan tanah atas (top soil) dan lapisan bawah (sub soil) memiliki kelembaban yang rendah, sirkulasi udara terhambat, porositas tinggi, kemampuan menyimpan air relatif rendah dengan kemampuan mencekam air yang tinggi. Kondisi daya dukung yang rendah ini cenderung terus meningkat sebagai akibat pemanfaatan lahan tidak sesuai dengan kemampuan lahan, pengelolaan lahan belum memenuhi kaidah konservasi tanah dan air dengan benar seperti praktek perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar yang tidak terkontrol, peternakan lepas, dan penebangan liar yang dilakukan baik pada hutan primer, sekunder, dan tertier 115
menyebabkan merosotnya daya dukung fisik, kimia tanah, dan biologi tanah. Sanchez (1993) menyatakan bahwa pemadatan tanah oleh injakan berat ternak dapat meningkatkan kerapatan lindak yang mengakibatkan turunnya aerasi, laju peresapan dan perkembangan akar. Penurunan kemantapan agregat tanah, kemampuan pengikatan air serta meningkatnya laju limpasan permukaan sampai pada terjadinya erosi. Kondisi ini akan berpengaruh secara langsung terhadap ketersediaan sumberdaya air dan daya dukung lahan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Usaha konservasi yang dilakukan hendaknya disesuaikan dengan karakteristik lahan dengan kondisi lingkungan terkait. Salah satu usaha konservasi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah adalah pemanfaatan kotoran sapi sebagai sumber bahan organik. Bahan organik yang bersumber dari sisa tanaman dan kotoran hewan sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah yakni: 1) terhadap sifat fisik tanah (warna, aerasi, tekstur, struktur, dan peningkatan penyerapan air), 2) terhadap sifat kimia tanah KTK (Kapasitas Tukar Kation), kandungan bahan organik, dan hara lainnya), dan 3) terhadap sifat biologi tanah (sebagai sumber energi bagi mikroorganisme tanah sehingga meningkatkan aktivitasnya dan mempercepat proses di kotoran sapi) (Purwendro dan Nurhidayat, 2007, Lingga, 2010, Marsono dan Sigit, 2001). Salah satu sumber bahan organik kotoran hewan yang ketersediaannya melimpah di Sumba Timur adalah kotoran sapi. Kotoran sapi dengan takaran antara 10 - 20 ton per hektar (pemberian takaran tersebut tergantung dari jenis tanahnya dan tanaman yang ditanam) mampu menjadi perekat granulasi tanah menjadi agregat, memperbaiki kemampuan serap air, menyediakan hara yang cukup lengkap, dan menjadi sumber energi bagi mikroorganisme. Pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai dengan kondisi lingkungan setempat merupakan tindakan konservasi tanah dan air yang diharapkan mampu mendukung perbaikan karakteristik lahan melalui pemberian bahan organik. Pemilihan jenis tanaman sebagai usaha konservasi tanah dan air tergantung pada kemampuan adaptabilitas tinggi terhadap kondisi kering dan tahan bakar, mampu berfungsi pula sebagai sumber bahan organik, sebagai sumber pakan, dan mampu berinteraksi positif dengan tanaman lain. Sejumlah tanaman yang sesuai dengan kriteria tersebut dan nampaknya dapat dikembangkan di wilayah Sumba Timur adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana), Leucaena leucochepala, dan Acacia vilosa. Jenis-jenis tanaman ini mampu beradaptasi dengan kondisi kering, mampu mengikat nitrogen, 116
mampu berfungsi sebagai sumber bahan organik, dan salah satu sumber pakan. Namun kemampuan adaptasi ketiga jenis tanaman tersebut akan tergantung pula pada interaksinya terhadap perubahan kondisi lingkungan mikro yang terbentuk sebagai pengaruh dari pemberian bahan organik kotoran sapi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan kotoran sapi dan penanaman tanaman C. junghuhniana, L. leucochepala, dan A. vilosa sebagai usaha konservasi tanah dan air di wilayah Sumba Timur khususnya di Hambala.
II. BAHAN DAN METODE A.Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hambala, Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Kambaneru, Kecamatan Kambajawa, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari tahun 2010 s/d tahun 2012.
B. Bahan dan Alat Bahan penelitian berupa bibit Casuarina, Leucaena, Acacia vilosa, pupuk kotoran sapi, media tanam topsoil, polybag, label tanaman, aluminium foil. Alat - alat yang dipergunakan antara lain: alat tulis kantor, meteran/penggaris, kaliper, besi gali, parang, sabit, ring sampel, kamera, dan alat-alat laboratorium untuk proses analisa tanah.
C. Prosedur Penelitian Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Berblok (lahannya mempunyai tingkat kesuburan yang berbeda), (Yitnosumarto, 1990) yang terdiri atas 3 (tiga) ulangan dan terdiri atas 8 (delapan) perlakuan yaitu: 1. Casuarina tunggal + kotoran sapi 2 kg/lubang, 2. Casuarina tunggal + kotoran sapi 3 kg/lubang, 3. Casuarina tunggal + Leucaena+ kotoran sapi 2 kg/lubang, 4. Casuarina tunggal + Leucaena+ kotoran sapi 3 kg/lubang, 5. Casuarina tunggal + A. vilosa+ kotoran sapi 2 kg/lubang, 6. Casuarina tunggal + A vilosa+ kotoran sapi 3 kg/lubang, 7. Leucaena tunggal, dan 8. A. vilosa tunggal. Parameter pengamatan adalah tinggi dan diameter tanaman yang diamati setiap 4 bulan sejak tanaman berumur 4 bulan setelah ditanam di lapangan. Peubah pengamatan 117
dianalisa dengan analisa varian yang dilanjutkan dengan Uji Ortogonal Kontras. Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan analisa awal terhadap sifat kimia (N, P, K, C organik) dan fisik lahan (struktur, dan kerapatan lindak tanah) diwilayah penelitian.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Fisik dan Kimia Lahan Penelitian Hasil analisis terhadap sifat fisik dan kimia tanah pada wilayah penelitian menunjukkan bahwa di lokasi penelitian Hambala mempunyai struktur prisma kasar, tekstur agak berpasir dan bahan induknya mengandung batu gamping, kandungan Corganik rendah sampai sedang (1,63 - 2,40%), kandungan N total tergolong rendah (0,15 - 0,20%), kandungan P tersedia (20,50 - 30,50 ppm) tergolong rendah sampai sedang dan K tersedia tergolong rendah sampai sedang (0,25 - 0,50 ppm). Hal ini terutama disebabkan oleh kondisi fisiografi lahan yang berbukit-bukit, bergelombang dengan usaha konservasi lahan yang minim sehingga banyak sumber bahan organik yang tergerus oleh limpasan air permukaan. Hasil analisis terhadap kerapatan lindak tanah menunjukkan bahwa rata-rata lahan di lokasi penelitian mempunyai nilai kerapatan lindak tanah yang rendah (1,10 - 1,23 g/cc) yang berarti kemampuan menangkap air rendah dan kemampuan mencekam dan berpengaruh terhadap penyediaan unsur hara menjadi rendah.
B. Pertumbuhan Tanaman Casuarina (Diameter dan Tinggi Tanaman) Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata dari variabel yang diuji terhadap pertumbuhan Casuarina (diameter dan tinggi tanaman) pada semua umur pengamatan. Hasil uji Ortogonal Kontras (Tabel 1 dan Tabel 2) diameter tanaman menunjukkan bahwa pada semua umur pengamatan tanaman Casuarina yang ditanam bersama Leucaena dengan pemberian pupuk kotoran sapi 2 kg/lubang mempunyai diameter lebih besar dibandingkan Casuarina tunggal dengan pemupukan 2 kg/lubang. Hasil ini menunjukkan bahwa peranan Leucaena sebagai tanaman penambat nitrogen mampu memperbaiki kandungan N tanah yang rendah di wilayah penelitian. Sumbangan N ini nampaknya berhubungan dengan kemampuan kotoran sapi dalam memperbaiki karakteristik fisik tanah karena bahan organik yang terdekomposisi menjadi perekat
yang mengikat butir-butir tanah menjadi agregat; mampu
meningkatkan KTK tanah, dan mampu meningkatkan aktivitas mikroorganisme (Purwendro dan Nurhidayat, 2007). 118
Tabel 1. Diameter tanaman (mm) pada setiap umur pengamatan Umur Pengamatan (bulan) Perlakuan 8 bulan 12 bulan 16 bulan 20 bulan Casuarina tunggal + kotoran sapi 2 7,83 11,93 14,45 21,88 kg/lubang (A) Casuarina tunggal + kotoran sapi 3 8,34 12,06 13,96 23,44 kg/lubang (B) Casuarina tunggal + Leucaena+ 7,77 12,45 15,21 25,07 kotoran sapi 2 kg/lubang (C) Casuarina tunggal + Leucaena+ 8,19 12,64 16,00 25,87 kotoran sapi 3 kg/lubang (D) Casuarina tunggal + A vilosa+ 7,83 9,77 11,73 19,16 kotoran sapi 2 kg/lubang (E) Casuarina tunggal + A vilosa+ 8,07 11,63 14,23 21,30 kotoran sapi 3 kg/lubang (F) Leucaena tunggal (G) 3,12 3,40 3,62 3,67 A. vilosa tunggal (H) 3,61 3,38 3,82 4,54
Tabel 2. Uji ortogonal kontras taraf 1% (**) dan 5% (*) dari diameter tanaman pada setiap umur pengamatan Tingkat Nyata Taraf 1% (**) dan 5% (*) Ortogonal Kontras 8 bulan 12 bulan 16 bulan 20 bulan CxD tn tn tn tn ExF tn tn tn tn AxC ** ** ** ** BxD tn tn tn tn AxE tn * tn tn BxF tn tn tn tn (CD) x(EF) tn ** * * (CD) x G ** ** * tn (EF) x H ** ** * tn (AB) x (CD) ** ** ** ** (AB) x (EF) ** ** ** ** Keterangan: ** berbeda sangat nyata taraf 1%, * berbeda nyata taraf 5%, tn= tdak nyata; A,B,C,D,E,F adalah pengaturan pola tanam dan dosis pemberian kotoran sapi (lihat padaTabel 1)
Kemampuan Leucaena dipadukan dengan pemberian pupuk kotoran sapi (CD) mampu memacu pembentukan diameter dibandingkan tanpa hadirnya Leucaena dengan pemberian pupuk yang sama (AB). Hasil ini menunjukkan bahwa Leucaena dapat memberikan sumbangan N lebih baik setelah fisik tanah dapat diperbaiki dengan pemberian kotoran sapi. Bahkan lebih baik pula dibandingkan peranan A. vilosa dengan perlakuan pemupukan kotoran sapi yang sama (EF) pada kontras CD x EF. Hasil ini menunjukkan pula bahwa Leucaena mampu berinteraksi positif dengan Casuarina 119
dibandingkan dengan A. vilosa pada kondisi lahan di Hambala. Kehadiran A. vilosa ternyata menciptakan persaingan tersendiri dengan Casuarina dalam penggunaan faktor tumbuh seperti hara, air dan CO2. Hal ini ditunjukkan pada kontras AB x EF, dimana rerata diameter Casuarina lebih besar dengan pemupukan kotoran sapi pada semua tingkat pemberian (2 kg atau 3 kg/lubang) tanpa adanya tanaman A. vilosa. Kondisi ini terutama disebabkan A. vilosa memerlukan jumlah hara N yang sama dengan Casuarina sehingga perbaikan sifat fisik dengan pemberian pupuk kotoran sapi justru menciptakan persaingan akan kebutuhan hara yang sama, sedangkan Leucaena sama seperti Casuarina mampu menghasilkan N sendiri melalui fiksasi N yang dilakukanya. Analisa terhadap pertumbuhan tinggi tanaman, menunjukkan pula pola yang sama dengan analisa terhadap diameter tanaman. Rerata Casuarina mampu tumbuh dengan tinggi tanaman yang lebih baik (Tabel 3 dan Tabel 4) dengan perlakuan penanaman bersama Leucaena dengan pemberian pupuk kotoran sapi 2 kg/lubang dibandingkan Casuarina tunggal dengan pemupukan 2 kg/lubang. Bahkan pada semua tingkat pemupukan (2 kg dan atau 3 kg/lubang) dengan kehadiran Leucaena, Casuarina lebih tinggi dibandingkan tanpa Leucaena (kontras AB x CD). Hal ini menunjukkan pula bahwa perbaikan sifat tanah melalui perbaikan kemampuan granulasi dan kerapatan lindak tanah mampu menciptakan mikro kondisi dalam tanah yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Casuarina dan Leucaena.
Tabel 3. Tinggi tanaman (cm) pada setiap umur pengamatan Umur pengamatan (bulan) Perlakuan 8 bulan 12 bulan 16 bulan 20 bulan Casuarina tunggal + kotoran sapi 2 119,91 140,52 182,7 237,11 kg/lubang (A) Casuarina tunggal + kotoran sapi 3 112,40 136,29 174,88 232,78 kg/lubang (B) Casuarina tunggal + Leucaena+ kotoran 115,78 136,24 186,21 254,97 sapi 2 kg/lubang (C) Casuarina tunggal + Leucaena+ kotoran 112,54 138,02 202,61 267,84 sapi 3 kg/lubang (D) Casuarina tunggal + A. vilosa+ kotoran 117,26 125,71 156,58 209,46 sapi 2 kg/lubang (E) Casuarina tunggal + A. vilosa+ kotoran 119,22 141,35 173,65 234,22 sapi 3 kg/lubang (F) Leucaena tunggal (G) 30,5 33,90 37,33 43,78 A.vilosa tunggal (H) 43,67 42,27 47,80 67,00
120
Tabel 4. Uji Ortogonal Kontras taraf 1% (**) dan 5% (*) dari tinggi tanaman pada setiap umur pengamatan Tingkat nyata taraf 1% (**) dan 5% (*) Ortogonal Kontras 8 bulan 12 bulan 16 bulan 20 bulan CxD tn tn tn tn ExF tn ** tn tn AxC ** ** ** ** BxD tn tn tn tn AxE tn ** tn tn BxF tn tn tn tn (CD) x (EF) tn tn * * (CD) x G ** ** tn tn (EF) x H ** ** ** ** (AB) x (CD) ** ** ** ** (AB) x(EF) ** ** ** ** Keterangan: ** berbeda sangat nyata taraf 1%, * berbeda nyata taraf 5%, tn= tdak nyata
Pola yang sama ditunjukkan pada kontras CD x EF menunjukkan bahwa interaksi Casuarina dengan Leucaena mampu tumbuh lebih tinggi dibandingkan interaksinya dengan tanaman A. vilosa pada semua tingkat pemupukan. Bahkan kehadiran A. vilosa menjadi pesaing bagi Casuarina dalam menggunakan faktor tumbuh yang kondisinya terbatas di wilayah penelitian. Hal ini ditunjukkan pada perlakuan pada kontras AB mampu memacu pertumbuhan tinggi Casuarina lebih baik dibandingkan perlakuan dengan kontras EF (Tabel 4). Pada kondisi kesuburan tanah yang rendah tanaman dengan karakteristik yang sama akan bersaing dalam menggunakan faktor tumbuh (CO2, hara dan air) (Hardjowigeno, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa pemberian kotoran sapi mampu memperbaiki sifat fisik tanah yang ditunjukkan dengan perbaikan granulasi tanah dan perbaikan kerapatan lindak tanah sehingga mampu menciptakan kondisi mikro tanah yang baik bagi ketersediaan unsur hara tanaman (perbaikan KTK). Hasil ini ditunjukkan pada analisa pertumbuhan tanaman (diameter dan tinggi tanaman) pada uji kontras pemberian pupuk kotoran sapi 2 dan 3 kg/lubang lebih baik dibandingkan tanpa pemberian pupuk kotoran sapi. Hasil ini sesuai dengan beberapa studi yang menunjukkan bahwa bahan organik seperti kotoran sapi akan meningkatkan pengikatan antar partikel tanah dan meningkatkan kemampuan mengikat air. Selain memperbaiki sifat fisik tanah pupuk organik juga memperbaiki sifat kimia tanah yaitu dengan membantu proses pelapukan bahan mineral, meningkatkan pH tanah dan mampu meningkatkan KTK tanah. Bahan organik juga memberikan makanan bagi kehidupan 121
mikroba dalam tanah. Bahan organik dalam tanah mempengaruhi jumlah mikroba yang ada dalam tanah (Lingga, 2010; Sutanto, 2003; Hardjowigeno, 2007). Pemberian dosis 3 kg/lubang (B) mampu memberikan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah lebih baik pada semua kombinasi perlakuan dibandingkan pemberian dosis 2 kg/ha (A). Hal ini sangat erat hubungannya dengan kondisi wilayah penelitian di Hambala yang mempunyai kandungan hara rendah (N, P, K dan C organik) dengan sifat fisik tanah struktur prisma kasar, tekstur agak berpasir dan bahan induknya mengandung batu gamping.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal yaitu: 1) Pemanfaatan kotoran sapi dengan dosis 2 - 3 kg/lubang dan interaksinya dengan tanaman Casuarina dan Leucaena dengan model tanam tertentu dapat digunakan sebagai salah satu cara konservasi tanah dan air di wilayah kering seperti di KHDTK Hambala, Sub DAS Kambaneru, Sumba Timur. 2) Pemberian pupuk organik kotoran sapi mampu memperbaiki karakteristik fisik tanah di Hambala sehingga mampu memperbaiki kondisi ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman Casuarina. 3) Tanaman Leucaena mampu berinteraksi positif dengan Casuarina pada semua tingkat pemupukan kotoran sapi (2 kg/lubang dan 3 kg/lubang) dibandingkan interaksinya dengan tanaman A. vilosa. 4) Tanaman A. vilosa menjadi pesaing bagi Casuarina dalam penggunaan faktor tumbuh (N, P, K, C organik) yang kondisinya rendah seperti di KHDTK Hambala 5) Pemberian pupuk kotoran sapi 3 kg/lubang mampu memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah lebih baik dibandingkan pemberian 2 kg/lubang pada semua model interaksi antara Casuarina, Leucaena, dan A. vilosa.
122
B. Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1) Penggunaan kotoran sapi sebagai cara memperbaiki sifat fisik tanah dapat ditingkatkan sesuai dengan umur tanaman sampai pada fase tertentu dimana sistem perakaran tanaman Casuarina sudah mampu mengekplorasi kelapisan yang lebih dalam, dalam menggunakan faktor tumbuh. 2) Pemakaian jumlah yang banyak pada kotoran sapi dapat dikurangi sesuai dengan pertumbuhan tanaman Casuarina dengan cara mengganti pupuk padat dengan pupuk cair, baik dari tanaman maupun dari pupuk kotoran hewan yang dicairkan, agar lebih efisien dalam penyediaan unsur hara dan biaya.
DAFTAR PUSTAKA Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademik Pressindo. Jakarta. Lingga, 2010. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta. Marsono dan P. Sigit, 2001. Pupuk Akar: Jenis dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta Purwendro, S dan Nurhidayat. 2007. Mengolah Sampah Untuk Pupuk dan Pestisida Organik. Penebar Swadaya, Jakarta. Sanchez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB Bandung Sutanto, S. 2003. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Kesuburan dan Kelestarian Tanah. Jurnal Teknologi, Bandung. Yitnosumarto, S. 1990. Percobaan: Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Brawijaya Program MIPA. Malang
123
124
PERTUMBUHAN DAN GANGGUAN KESEHATAN TANAMAN CENDANA (Santalum album Linn.) DI KHDTK SISIMENI SANAM Oleh: Irfa’i ABSTRAK Populasi tanaman cendana (Santalum album Linn.) di daerah sebaran asalnya Nusa Tenggara Timur, semakin menurun dari tahun ke tahun karena berbagai faktor. Upaya pemulihan cendana perlu dilakukan secara terpadu oleh semua pihak baik masyarakat, swasta, maupun pemerinta. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Balai Diklat Kehutanan Kupang adalah membangun tanaman cendana dalam sebuah demplot di KHDTK Sisimeni Sanam. Tegakan yang ada saat ini berumur antara 4-5 tahun. Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter cendana adalah 3,27 m dan 4,37 cm. Penyakit dan hama yang menyerang tanaman cendana adalah: embun jelaga oleh jamur Capnodium sp, kutu sisik oleh Chionaspis sp, serangan ulat bulu (Lymantria dispar) dan rayap tanah. Kata Kunci: cendana, Santalum album, penyakit dan hama
I.
PENDAHULUAN Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai penghasil cendana (Santalum
album Linn). Saat ini cukup sulit untuk menemukan cendana dalam bentuk tegakan dan luasan yang kompak, baik di lahan pemerintah maupun lahan milik. Kalau pun ada, biasanya berupa individu-individu pohon yang tersebar. Harjanto (2010) menyebutkan bahwa populasi cendana cenderung menurun disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: 1). kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat pada masa lalu, 2). tidak adanya keseimbangan antara pemanenan dan penanaman, 3). ketidakseimbangan antara permintaan dan
persediaan, 4). kegiatan konservasi belum
maksimal. Penyebab lain menurunnya populasi cendana karena penetapan target tebangan yang tinggi, tingginya tingkat pencurian, gangguan kebakaran, dan ternak, serta kurang diimbangi dengan keberhasilan regenerasi baik di hutan tanaman maupun hutan alam. Sebagai tanaman yang memiliki nilai penting, khususnya bagi masyarakat NTT, maka kelestarian cendana perlu dijaga melalui berbagai upaya regenerasi dan konservasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa populasi tanaman cendana sangat rendah, karena banyak dicari orang dan umumnya dimanfaatkan untuk industri minyak atsiri dan kerajinan tangan (handycraft). Data yang dirilis oleh Dinas Kehutanan Propinsi NTT menyatakan bahwa pada tahun 1987 masih terdapat sekitar 685.527 pohon di sebaran alamnya, dan pada tahun 2007 hanya tersisa 250.940 pohon. Terjadi penurunan hampir 2/3 nya selama dua puluh tahun. 125
Pemerintah Propinsi NTT telah melakukan berbagai upaya, terutama dibidang kebijakan untuk mengembalikan kejayaan cendana seperti dimasa lalu. Tujuan mulia tersebut dapat terwujud jika didukung oleh berbagai pihak, baik pemda (kota/kabupaten), Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tentu saja masyarakat di level bawah. Balai Diklat Kehutanan Kupang juga telah berupaya untuk mengembangkan cendana di Hutan Diklat Sisimeni Sanam sejak tahun 2007. Hal ini merupakan wujud kepedulian untuk memulihkan dan melestarikan cendana, sekaligus bisa dijadikan sebagai media pembelajaran bagi banyak pihak, terutama peserta diklat.
II. TUJUAN Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran pertumbuhan cendana di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Sisimeni Sanam di Camplong yang ditanam pada tahun 2007/2008, terutama pertumbuhan tinggi dan diameternya, jenis-jenis gangguan pertumbuhan, dan upaya yang bisa dilakukan. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapang merupakan data awal tentang pertumbuhan tanaman cendana pada demplot Cendana. Belum pernah dilakukan pengukuran untuk mengevaluasi pertumbuhan maupun kondisi tegakan cendana yang ada. Semestinya,
pengukuran
pertumbuhan
tegakan
cendana
bisa
dilakukan
secara
periodik/berkala, sehingga dapat diketahui dinamika pertumbuhan yang terjadi. Hasil pengamatan di lapang, diharapkan bisa menjadi bahan rujukan dalam mengembangkan tanaman cendana, identifikasi jenis gangguan pertumbuhan cendana, serta kegiatan pemeliharaan yang perlu ditindaklanjuti ke depannya.
III. METODE PENELITIAN Pengamatan dilakukan pada demplot/tegakan cendana di KHDTK Sisimeni Sanam di Camplong pada bulan Juli 2012. Pengamatan dilakukan pada pohon-pohon cendana yang ditanam pada tahun 2007/2008. Luas lahan yang akan diperuntukkan untuk demplot cendana lebih kurang 7 ha., namun sampai saat ini baru ditanami sekitar 3 ha. Dari luasan tersebut, tanaman yang ditanam secara seragam pada tahun akhir 2007 dan awal 2008, selanjutnya tanaman ditanam secara bertahap pada saat ada kegiatan praktek di KHDTK Sisimeni Sanam.
126
Tanaman cendana ditanam dengan jarak tanam yang teratur, yakni 3 x 4 meter. Topografi umumnya datar, sedikit bergelombang. Jenis tanahnya didominasi jenis Kambisol. Kondisi areal tegakan cukup terbuka, dengan kondisi tanaman inang di lapangan yang bervariasi, diantaranya asam (Tamarindus indicus), mangga (Mangifera indica), bidara (Ziziphus mauritiana), kelapa (Cocos nucifera), gamal (Glyricidea sepium), johar (Cassia siamea), dan sebagainya. Jumlah individu tanaman cendana yang diamati sebanyak 164 batang. Hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan pada demplot cendana yang ada ditemukan sebanyak jumlah tersebut. Sedangkan tanaman yang berupa sulaman tidak dilakukan pengukuran, karena pertumbuhan jauh dibawah kondisi tanaman yang seumur. Informasi yang diamati adalah pertumbuhan tanaman cendana (tinggi total dan diameter setinggi dada/dbh). Selain itu juga dilakukan identifikasi jenis-jenis gangguan terhadap pertumbuhan tanaman cendana, baik oleh gangguan karena penyakit maupun hama tanaman. Deskripsi dari masing-masing jenis gangguan dan tingkat serangan dilakukan dengan sistem skoring (rendah, sedang, dan tinggi). Peralatan yang digunakan adalah alat pengukur tinggi (galah), phiband/pita meter, lembar pengamatan, GPS, papan lapangan, alat tulis, dan alat dokumentasi lapangan.
IV. HASIL PENGAMATAN PERTUMBUHAN CENDANA A. Pertumbuhan Tinggi dan Diameter Tanaman Cendana Pertumbuhan tinggi tanaman cendana pada kawasan/demplot cendana pada KHDTK Sisimeni Sanam Camplong dengan rerata umur 4-5 tahun (tahun tanam 2007/2008), menunjukkan variasi pertumbuhan antara 1,5 – 7 m dengan rerata tinggi 3,27 m, sebagaimana tersaji dalam Gambar 1.
127
Jumlah Pohon (Btg)
60 50 40 30 20 10 0 < 2,99
3,00 - 3,99
4,00-4,99
> 5,00
Kelas Tinggi Pohon (m)
Gambar 1. Pertumbuhan tinggi cendana di KHDTK Sisimeni Sanam, Camplong Pada kegiatan pengukuran tinggi pohon cendana dilakukan pengukuran tinggi total yang dimulai dari bagian pangkal batang cendana sampai dengan tajuk tertinggi. Berdasarkan pengamatan pertumbuhan batang di lapang, diperoleh hasil bahwa pertumbuhan cendana umumnya tumbuh normal (1 batang utama), disamping itu juga dilihat beberapa batang tanaman yang berbatang ganda. Sebagian kecil saja tanaman cendana yang memiliki batang majemuk (lebih dari 2 batang). Pertumbuhan tajuknya bervariasi, dalam arti pertumbuhan tajuk normal (silindrismembulat) dan beberapa pertumbuhan tajuk mengerucut. Untuk tanaman yang pertumbuhannya kurang normal ditunjukkan dengan penampakan tajuk yang ringan (ramping). Pertumbuhan diameter tanaman cendana pada saat dilakukan pengukuran, diperoleh kisaran diameter antara 1,27-10,19 cm dengan rerata sebesar 4,27 cm, sebagaimana tersaji dalam Gambar 2.
128
70
Jumlah Pohon (Btg)
60 50 40 30 20 10 0 < 2,00
2-3,99
4-5,99
6-7,99
>8
Kelas Diameter (cm)
Gambar 2. Pertumbuhan diameter cendana di KHDTK Sisimeni Sanam, Camplong Informasi awal mengenai pertumbuhan riap (tinggi dan diameter tanaman) pada tanaman cendana dirasakan masih sangat kurang. Mengingat bahwa tanaman cendana pada umumnya tumbuh dari hasil regenerasi alami. Kalupun ada data pengamatan riap cendana yang ditemui penulis umumnya data hasil pengukuran pada tegakan umur awal pertanaman, sekitar 1-2 tahun. Padahal sebenarnya model pertumbuhan dan hasil (growth and yield models) diperlukan dalam rangka memproyeksikan struktur dan produksi tanaman cendana pada tempat tumbuh tertentu dan berbagai alternatif perlakuan silvikultur yang diperlukan untuk perbaikan manajemen jangka panjang. Dari hasil pengukuran sementara (awal) di lapang terhadap riap cendana pada umur 5 tahun, menunjukkan bahwa rerata pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 3,27 m dan diameter sebesar 4,37 cm. Bila dibandingkan dengan jenis yang lain, hasil ini termasuk lebih rendah pertumbuhan riapnya. Sebagai pembanding, hasil penelitian yang dilakukan Susila dan Ahmad (2002) terhadap jenis johar (Cassia siamea) diperoleh pertumbuhan rerata tinggi dan diameter tanaman johar pada umur 4 tahun sebesar 6 m dan 9 cm. Sedangkan untuk jenis mahoni (Swietenia macrophylla) pada umur 5 tahun diperoleh rerata tinggi 7 m dan diameter sebesar 8 cm. Padahal awal pertumbuhan tegakan cendana dilakukan pada saat tegakan berumur lima tahun, artinya tahap penyesuaian terhadap tempat tumbuh tanaman mestinya sudah
129
berakhir sehingga pertumbuhan tanaman akan meningkat setiap tahun sampai batas waktu tertentu. Penyebab ketidaknormalan pertumbuhan disebabkan
antara lain oleh faktor
kualitas lahan yang tidak optimal, yang biasa disebut sebagai faktor pembatas. Alrasjid (1991) dalam Susila dan Ahmad (2002) mengemukakan bahwa faktor kualitas lahan yang berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah kandungan humus/hara, ketinggian tempat, drainase tanah, ketebalan tanah, curah hujan, dan faktor tekstur tanah.
B.
Identifikasi Jenis Gangguan Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan.
Pada pengamatan pertumbuhan cendana dilakukan pengamatan terhadap jenis gangguan pertumbuhan tanaman, terutama tingkat kesehatan tegakan, berupa ada tidaknya serangan oleh hama ataupun penyakit pada kondisi tegakan yang diamati. Hasil pengamatan kondisi kesehatan tegakan cendana disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Pengamatan Jenis-jenis Gangguan Pertumbuhan Cendana di KHDTK Sisimeni Sanam Camplong No
Jenis Gangguan
Jumlah & persentase
Keterangan
1
Pohon sehat
42 btg (25,61%)
Tidak ditemukan gangguan pertumbuhan
2
Embun jelaga
82 btg (50,00%)
Tingkat serangan: rendah-sedang-tinggi
3
Kutu sisik
26 btg (15,85%)
Umumnya nampak dari daun yang
4
Lain-lain: hama ulat,
14 btg (8,54%)
menggulung & mengeriting
rayap, keong
Adanya sarang ulat, sarang rayap, dijumpai hama keong pada ranting atau daun tanaman
(Sumber: Data primer diolah, 2012)
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan adanya beberapa gejala gangguan pertumbuhan oleh hama ataupun penyakit, diantaranya: 1). gangguan oleh serangan embun jelaga yang menyerang pada tanaman cendana sebanyak 82 tanaman (50,00%), serangan kutu sisik yang menyerang tanaman cendana sebanyak 26 tanaman (15,85%), serangan lain-lain diantaranya oleh hama keong, gulma, serangan ulat sebanyak 16 tanaman (9,76%). Dari tegakan yang diamati, sebanyak 42 tanaman (25,61%) menunjukkan pertumbuhan yang sehat atau tidak dijumpai adanya serangan oleh hama maupun penyakit. 130
C. Deskripsi Jenis-Jenis Gangguan Pertumbuhan Cendana 1.
Serangan Cendawan Embun Jelaga Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Capnodium sp., dan termasuk ke dalam
Kelas Ascomycetes. Gejala serangan penyakit ini umumnya terlihat pada ranting atau daun cendana yang tertutupi lapisan miselium berwarna hitam (Gambar 3). Warna hitam dari embun jelaga disebabkan karena adanya pigmen melanoid pada dinding sel hifa yang membentuk koloni (miselium). Miselium tumbuh di permukaan daun sehingga menutupi stomata (mulut daun) dan masuk ke dalam jaringan daun. Miselium terbentuk dari hifa yang menjalin dan menenun.
(a)
(b)
Gambar 3. Serangan embun jelaga pada tanaman cendana: a). daun bagian tajuk bawah dan; b). daun bagian tajuk atas (Foto: Irfai, 2012)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kenneth (2012) pada pertanaman kopi menyebutkan bahwa cendawan embun jelaga memiliki dinding sel mucilaginous yang berfungsi menyerap kelembapan untuk pertumbuhan C. coffeae. Hasil ekskresi dari serangga penghisap berupa madu dan kotorannya dimanfaatkan sebagai media tumbuh C. coffeae. Kotoran dari serangga penghisap mengandung gula, asam amino, protein, mineral dan vitamin. Kandungan tersebut sangat diperlukan untuk pertumbuhan jamur. Jamur juga dapat tumbuh pada hasil eksudat yang diproduksi oleh kelenjar trikoma (rambut daun). Pengamatan di lapang menunjukkan bahwa serangan embun jelaga ini menyerang hampir pada sebagian besar tanaman cendana sebesar 50,00%. Pengamatan dilakukan pada 131
musim kemarau, ternyata penyakit embun jelaga ini cukup dominan menyerang tanaman cendana. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Kenneth (2012) yang menjelaskan bahwa apabila kondisi udara kering miselium dapat lepas dari daun dan pecah menjadi bagian-bagian kecil yang terhembus angin. Jamur akan berkembang biak cepat pada musim kemarau dan berkurang pada musim hujan. Perkembangan jamur dipengaruhi oleh jarak tanaman yang terlalu rapat, naungan yang terlalu banyak, kondisi hangat, suhu tinggi, dan kering. Tingkat serangan embun jelaga pada tanaman cendana memiliki intensitas serangan mulai dari tingkat rendah, sedang, dan sampai tingkat tinggi. Tingkat serangan rendah diartikan bahwa serangan embun jelaga umumnya menyerang pada tajuk bagian bawah (sedikit). Tingkat serangan sedang diartikan tingkat serangan lebih luas pada bagian tajuk bagian bawah, atau bagian tengah. Sedang tingkat serangan tinggi diartikan bahwa serangan embun jelaga hampir menyerang pada seluruh bagian tajuk tanaman.
2.
Serangan Kutu Sisik Serangan kutu sisik disebabkan oleh Chionaspis sp. yang termasuk ke dalam
Ordo Homoptera, Famili Diaspididae. Kutu sisik umumnya menyerang bagian permukaan atas dan bawah daun cendana. Dalam pengamatan di lapang, juga dijumpai serangan kutu sisik terdapat pada bagian batang dan ranting tanaman cendana, terutama pada umur muda (Gambar 4). Hama ini menyerang tanaman dengan cara menusuk dan mengisap cairan tanaman inang cendana. Sebagai akibatnya pada permukaan daun akan muncul gejala bercak-bercak perubahan warna (klorosis) dari hijau menjadi kekuningan. Bercak menebal dan membentuk semacam tumor. Pada daun muda yang terserang dapat berakibat menjadi berkerut-kerut, layu, dan akhirnya daun menjadi kasar dan tanaman mati (Anonim, 1991). Serangan lanjut dapat menyebabkan bercak meluas dan berwarna kuning kecoklatan. Daun juga mengalami perubahan bentuk menjadi menggulung dan mengeriting. Serangan umumnya dimulai pada bagian atas tanaman (pucuk), sebagai akibatnya tanaman cendana mengalami mati pucuk, daun gugur atau bahkan kematian (Windyarini dan Anggraini, 2011). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Griffiths et al. dalam Windyarini dan Anggraini (2011) menyebutkan bahwa Chionaspis sp. diketahui menjadi salah satu hama potensial yang menyerang Santalum spp. pada daerah tropis yang kering di Australia. 132
Sedangkan Anonim (1991) menjelaskan bahwa hama kutu sisik memiliki banyak jenis tanaman sebagai inangnya (polyfag), diantaranya pinus, kelapa, jeruk, kakao, karet, dan mangga.
a
b
c
Gambar 4. Serangan kutu sisik pada cendana a). ujung daun (terminal); b). daun cendana; dan c) bagian percabangan cendana (Foto: Irfai, 2012)
Hasil penelitian yang dilakukan Windyarini dan Anggraini (2011) menunjukkan bahwa serangan kutu sisik pada tingkat persemaian mampu mencapai 20,66% dan tanaman cendana muda umur empat bulan setelah tanam sebesar 10,07%. Hasil penelitian pada tanaman cendana berumur lima tahun menunjukkan tingkat serangan hama kutu sisik sebesar 15,85%.
3. Ulat Daun (Lymantria dispar) dan Rayap Tanah
Hama ulat daun (Lymantria dispar) merupakan hama pemakan daun dan pucuk daun. Serangan hama ini pada musim kemarau dapat menyebabkan tanaman menjadi gundul. Ulat umumnya membuat sarang pada bagian batang bawah atau percabangan dan menyerang daun pada waktu malam hari (Gambar 5).
133
a
b
Gambar 5. Serangan hama lain pada tanaman cendana: a). sarang ulat daun dan; b). sarang rayap (Foto: Irfai, 2012)
D. Upaya Pengendalian Gangguan Kesehatan Tanaman Cendana Pertumbuhan tegakan cendana yang sudah berumur 5 tahun menunjukkan bahwa pada umur-umur tersebut ternyata masih dijumpai adanya gangguan pertumbuhan oleh hama maupun penyakit. Jika dilihat dari jumlah individu pohon yang terserang, gangguan embun jelaga nampaknya lebih dominan dijumpai pada tegakan yang ada. Namun sebagaimana disebutkan di depan bahwa pengaruh dari gangguan ini tidak sampai mematikan tanaman. Serangan hama kutu sisik (yang menyerang tanaman muda) dan hama kutu putih yang menyerang anakan baru, perlu mendapat perhatian khusus dan memerlukan tindakan pengawasan yang lebih ketat berupa pemeliharaan yang lebih intensif. Jika dimungkinkan untuk menghindari kerugian yang lebih besar, pengamatan maupun pengendalian oleh kedua jenis hama tersebut bisa dilakukan per individu tanaman. Berbagai alternatif pengendalian yang bisa dilakukan didasarkan atas pertimbangan resiko kerugian, ketersedian tenaga pengawas, ketersediaan alat dan bahan. Upaya penanggulangan gangguan oleh hama/penyakit dapat dikelompokkan menurut kebutuhannya. Menurut Sumardi dan Widyastuti (2004) pengendalian terhadap penyakit bisa dikelompokkan menjadi lima, yaitu: 1). pengendalian melalui bercocok tanam, 2). pengendalian melalui lingkungan, 3). pengendalian hayati, 4). pengendalian kimiawi, dan 5) pengendalian dengan perturan perundangan.
134
Pengendalian serangga hama bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan yang terjadi pada tanaman hutan atau hasil hutan. Tujuan pengendalian dapat dicapai melalui pengaturan populasi serangga dengan menggunakan pendekatan teknik silvikultur. Pengendalian hama berupa penyemprotan dengan insektisida (nabati maupun kimiawi) bisa dilakukan secara berkala. Sedangkan kegiatan pembersihan tumbuhan bawah bisa dilakukan untuk menghindari persaingan oleh gulma terutama pada musim penghujan. Sebagai contoh kasus pengendalian penyakit embun jelaga yang dilakukan pada pertanaman kopi (Kenneth, 2012) adalah dengan mencuci bagian daun yang diserang jika tingkat serangan masih sedikit atau menyemprot daun tanaman dengan deterjen jika serangannya telah meluas. Pengendalian terhadap embun jelaga yang paling efektif adalah dengan mengendalikan serangga yang melakukan ekskresi dengan tanaman inang. Pengendalian tersebut antara lain: penyemprotan pada tanaman inang dengan menggunakan air selama periode ekskresi serangga penghisap; memotong/membuang bagian tanaman yang terserang;
membersihkan dan mencuci bagian tanaman yang
terserang serangga penghisap dengan larutan deterjen (1 kg deterjen : 15 liter air). Jika serangga penghasil madu (serangga penghisap) dapat dikendalikan, maka selanjutnya dihembus menggunakan tepung belerang pada seluruh permukaan daun yang terkena jamur embun jelaga untuk mempercepat hilangnya jamur tersebut. Teknik pengendalian hama maupun penyakit ini umumnya dilakukan dengan cara manual, berupa pemangkasan bagian batang dan daun yang terserang berat. Pemangkasan sebaiknya menggunakan gunting atau alat pemotong yang tajam. Hal tersebut dilakukan jika tingkat serangan masih ringan. Sedang alternatif pengendalian dengan penyemprotan bahan kimia dan penggunaan musuh alami dengan predator apabila tingkat serangan cukup berat.
PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Pertumbuhan tinggi dan diameter cendana pada umur 5 tahun sebesar 3,27 m dan 4,37 cm.
2.
Hama dan penyakit yang ditemukan pada tanaman cendana umur 5 tahun yaitu embun jelaga, kutu sisik, rayap, keong, dan ulat.
135
B. Saran 1.
Untuk meningkatkan keberhasilan penanaman cendana, perlu adanya tindakan pemeliharaan yang lebih intensif dan jika memungkinkan sifatnya kepada individu per pohon, terutama terkait dengan pengendalian hama/penyakit pada pertanaman tegakan cendana, sehingga tindakan penanganannya lebih terfokus.
2.
Perlu adanya pengukuran data lapangan secara berkala, sehingga diperoleh data (time series) yang menggambarkan dinamika pertumbuhan cendana di KHDTK Sisimeni Sanam secara lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Teknik Budidaya Cendana. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Harjanto, 2010. Upaya Pengembangan Cendana di Hutan Diklat Sisimeni Sanam. Artikel Majalah Kabesak Edisi 10/III/2010. Hlm 4-6. Balai Diklat Kehutanan Kupang. Kupang. Kenneth, J. K. 2012. How To Recognize And Control Sooty Molds. United States Departemen of Agriculture Forest Service http://www.na.fs.fed.us/ spof/pubs/ howtos /ht_sooty/ht_sooty.htm diakses tanggal 5 Oktober 2012. Sumardi dan SM Widyastuti. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Susila, IWW dan C. Akhmad. 2002. Riap/Pertumbuhan Hutan Tanaman di Sumbawa. AISULI Nomor 17 Tahun 2002. Balai Litbanghut Bali & Nusra. Kupang. Windyarini, E. dan Anggraini,I. 2011. Silvikultur Intensif Pengembangan dan Konservasi Cendana di NTT (Silvikultur Cendana dengan Tumpangsari di Ponain, Amarasi). Laporan Tahunan Buku II-2009. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang.
136
TEKNIK PENURUNAN KADAR AIR MADU DALAM RUANGAN MENGGUNAKAN DEHUMIDIFIER Oleh: Saptadi Darmawan, Retno Agustarini, Nurul Wahyuni
ABSTRAK Madu termasuk salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan di Kementerian Kehutanan dan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), namun sejauh ini kualitasnya belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) karena kadar air masih di atas 22%. Kandungan air yang tinggi akan memengaruhi kualitas madu secara keseluruhan. Penelitian penurunan kadar air madu telah dilakukan menggunakan bangunan kedap udara, pengatur suhu ruang, dan alat di Desa Batudulang, Kecamatan Batulantek, Kabupaten Sumbawa, NTB. Proses penurunan KA madu dilakukan melalui pengaturan ketebalan madu (2, 4 dan 6 cm). Hasil penurunan diuji menggunakan standar SNI. Berdasarkan hasil penelitian, ketebalan simpan 2 cm mampu menurunkan kadar air tertinggi dibanding pada ketebalan 4 dan 6 cm tetapi dari analisis statistik perbedaan tersebut tidak nyata. Perlakuan optimal diperoleh pada ketebalan 4 cm dengan kadar air dan beberapa parameter lain telah memenuhi SNI. Secara keseluruhan kualitas madu dari hasil penurunan kadar air lebih baik dibandingkan kontrol Kata kunci : madu, kadar air, dehumidifier, ketebalan simpan
I.
PENDAHULUAN Madu adalah cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber
nektar. Madu telah dikenal manusia sejak zaman purbakala sebagai bahan pangan, obatobatan, dan perlengkapan upacara keagamaan. Kini, penggunaan madu semakin luas hingga ke produk kosmetik. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3545-2004 mensyarakatkan kadar air madu maksimal 22% (Badan Standarisasi Nasional, 2004). Secara alamiah kadar air dari madu tergantung dari sumber nektar, iklim, dan jangka waktu pemanenan, biasanya berada sekitar 15 - 25%. Kadar air madu sangat berpengaruh terhadap potensi terjadinya proses fermentasi di dalam madu. Kadar air yang rendah akan menjaga madu dari kerusakan untuk jangka waktu relatif lama (Gojmerac, 1980 dalam Siregar, 2002). Madu di Sumbawa sebagian besar dihasilkan oleh lebah hutan Apis dorsata. Meskipun merupakan madu asli, namun akibat kadar air yang tinggi menyebabkan kualitas madu lebah hutan Sumbawa masih tergolong rendah. Kandungan air madu hutan alam Sumbawa di atas 22 %, masih di atas ambang batas maksimal persyaratan SNI (Handoko, 2006). Kondisi iklim Sumbawa yang mempunyai kelembaban udara tinggi mencapai 68-84% dan jumlah hari hujan sebanyak 151 hari (Bappeda NTB, 2007) merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingginya kadar air madu hutan alam Sumbawa. 137
Selama ini pengolahan pasca panen madu oleh sebagian besar petani dan pengumpul madu hutan baru berlangsung pada tahap ekstraksi, penyaringan, dan pengemasan. Proses pengurangan kadar air madu belum menjadi prioritas karena keterbatasan pengetahuan dan alat yang tersedia. Perhatian ke arah tersebut mulai berkembang seiring meningkatnya kesadaran untuk menjaga kualitas madu. Salah satu teknik menurunkan kadar air madu yaitu menggunakan dehumidifier pada ruang penyimpanan madu yang kedap udara. Makalah ini membahas hasil uji coba penurunan kadar air madu dengan sistem dehumidifier.
II.
BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Oktober 2012. Uji penurunan kadar air madu dilakukan di Desa Batu Dulang, Kecamatan Batu Lantek, Kabupaten Sumbawa NTB. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan adalah madu hutan dari lebah A. dorsata dengan kadar air rata-rata sebesar ± 22%. Peralatan yang digunakan di antaranya bangunan penurun kadar air berukuran 4,5 x 2 x 2,5 m3, dehumidifier merk E-tech kapasitas 16 ltr, alat tulis, wadah plastik, dan refraktometer kadar air.
C. Metode Penelitian 1. Rancangan Percobaan Percobaan dilakukan dengan menguji perlakukan ketebalan madu terhadap laju penurunan kadar air selama waktu tertentu di dalam kondisi ruangan kedap udara dengan dehumidifier terpasang. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakukan tebal madu, yaitu 2, 4 dan 6 cm, masing-masing tiga ulangan. Madu ditempatkan dalam wadah aluminium berukuran 30 x 27 x 7 cm dengan ketebalan madu sesuai perlakuan. Wadah madu ditempatkan pada rak dengan susunan penempatan perlakuan seperti pada Gambar 1. Sebagai kontrol adalah madu dari sumber yang sama yang disimpan di suhu kamar tanpa perlakuan.
138
Gambar 1. Lay out perlakuan
Ruang penyimpanan madu yang kedap udara digunakan dalam kondisi bersih. Kondisi suhu ruangan diatur pada suhu 25°C menggunakan air conditioner (AC) serta kelembaban pada dehumidifier diatur 40%. 2. Pengumpulan Data Pada penelitian ini proses penurunan kadar air madu ditetapkan selama enam hari. Data yang dikumpulkan meliputi kecepatan penurunan kadar air madu dan rendemen berat madu. Selain itu, juga dilakukan uji mutu madu berdasarkan standar SNI terhadap contoh madu kontrol dan salah satu contoh madu yang telah melalui proses penurunan kadar air. Pengujian mutu madu dilakukan di Balai Besar Industri Agro (BBIA) Bogor. Kecepatan penurunan kadar air madu yaitu nilai rata-rata persentase penurunan kadar air madu per hari. Kecepatan penurunan kadar air madu dihitung berdasarkan selisih nilai kadar air madu awal dan kadar air madu akhir dibagi lama proses penurunan. Pengukuran kadar air awal dan kadar air madu akhir dilakukan pada semua contoh madu menggunakan refraktometer. Rendemen berat madu adalah persentase bobot madu yang diperoleh setelah proses penurunan kadar air. Pengukuran rendemen madu dilakukan dengan menghitung persentase hasil penimbangan madu setelah penurunan kadar air terhadap hasil penimbangan madu pada kondisi awal (b/b). Hasil akhir pengukuran rendemen madu adalah rata-rata rendemen madu yang diperoleh dari pengukuran ke tiga ulangan dari masing-masing perlakuan ketebalan madu.
139
3. Analisis Data Data rendemen dan hasil penurunan kadar air madu masing-masing dianalisis menggunakan sidik ragam. Apabila hasilnya menunjukkan berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji tukey dengan taraf signifikan 95%.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Proses penurunan kadar air madu berlangsung selama enam hari dengan rata-rata penurunan sebesar 2,31–4,02%. Informasi mengenai kadar air madu pada tiga macam ketebalan simpan dapat di lihat di Gambar 2.
kadar air madu (%)
30.00 22.44
21.44
21.87
20.00 18.42
19.13
19.25
kondisi awal kondisi akhir
10.00
0.00 2
Gambar 2.
4
ketebalan simpan madu (cm)
6
Persentase kadar air madu sebelum dan sesudah proses penurunan pada ketiga perlakuan tebal simpanan madu
Pada gambar 2 terlihat bahwa semakin tinggi kondisi awal kadar air madu maka laju penurunan kadar air yang terjadi semakin besar. Pada ketebalan 2 cm, kondisi awalnya 22,44% menjadi 18,42% dan, sebaliknya, pada ketebalan simpan madu 4 cm dari 21,44% menjadi 19,13%. Menurut Stanford (2003), madu dengan kadar air rendah akan lebih sulit dikeringkan (dikurangi kadar airnya) daripada madu dengan kadar air tinggi. Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini di mana laju penurunan kadar air madu lebih cepat pada madu yang mengandung air tinggi. Untuk mengetahui laju penurunan kadar air madu dilakukan pengujian secara statistik. Hasil sidik ragam menunjukkan ketebalan simpan tidak berpengaruh nyata (P = 95%) terhadap penurunan kadar air madu tersebut. Nilai F hitung 3,97 (Pr > F 0,0798) dengan R2 0,569437 dan koefisien variasinya 26,5 (perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1a). Walaupun rerata laju penurunan kadar air madu pada
140
tiga level ketebalan simpan terlihat ada perbedaan, namun secara statistik tidak berbeda (Lampiran 1b). Berdasarkan perhitungan langsung terhadap berat madu awal dan akhir proses penurunan kadar air (primer) terjadi pengurangan berat sebesar 2,70–4,29% dengan rata-rata 3,13% (Tabel 1) dan penurunan kadar air rata-rata sekitar 2,98%. Pada sampel pengamatan, rata-rata berat madu awal sebesar 4.239 g turun menjadi 4.116 g, yaitu terjadi pengurangan sebesar 122,78 g. Apabila penurunan berat dihitung berdasarkan konversi kadar air maka diperoleh penurunan berat madu sekitar 118,02 g. Dari kedua cara penentuan pengurangan berat madu (primer dan sekunder) terdapat selisih sebesar 4,76 g.
Tabel 1. Pengurangan berat setelah perlakuan penurunan kadar air madu Ketebalan Madu (cm)
2.1
Selisih Perhitungan Langsung Berdasarkan Perhitungan dari Konversi Berat (Primer) Penurunan KA (Sekunder) Perhitungan PrimerAwal Akhir Selisih Penurunan Selisih Sekunder % (g) (g) (g) KA (%) (g) (g) 2.400 2.300 100,00 4,17 3,72 89,28 10,72
2.2
2.400
2.300
100,00
4,17
4,92
118,08
-18,08
2.3
2.200
2.100
100,00
4,55
3,42
75,24
24,76
Rerata
2.333
2.233
100,00
4,29
4,02
94,20
5,80
4.1
4.250
4.100
150,00
3,53
2,94
124,95
25,05
4.2
4.000
3.950
50,00
1,25
2,04
81,60
-31,60
4.3
4.200
4.100
100,00
2,38
1,96
82,32
17,68
Rerata
4.150
4.050
100,00
2,39
2,31
96,29
3,71
6.1
6.200
6.000
200,00
3,23
1,52
94,24
105,76
6.2
6.300
6.145
155,00
2,46
3,38
212,94
-57,94
6.3
6.200
6.050
150,00
2,42
2,96
183,52
-33,52
Rerata
6.233 4.239
6.065 4.116
168,33 122,78
2,70 3,13
2,62 2,98
163,57 118,02
4,77 4,76
Sampel
2
4
6
Rerata
Penurunan berat madu yang didapatkan dari metode primer dan sekunder, mengalami perbedaan (Gambar 3). Ini mengindikasikan bahwa terjadi pengurangan berat madu yang berbeda. Seharusnya, berat madu yang hilang akibat pengurangan kadar air adalah berat madu berdasarkan penghitungan kadar air (sekunder), namun, pada akhir pengamatan, berat madu yang hilang dengan penimbangan (primer) lebih besar. Hal tersebut membuktikan bahwa selama proses perlakuan terjadi juga penurunan berat selain dari kandungan air pada madu. Pengurangan berat dapat berasal dari penguapan bahan madu yang terfermentasi. 141
berat (g) 225.00 168.33 150.00
163.57 100.00
75.00
100.00
96.29
penimbangan
94.20
konversi kadar air 0.00
2
4
6
ketebalan simpan madu (cm)
Gambar 3. Penurunan berat madu setelah proses pengurangan kadar air Data rendemen pengurangan berat madu berdasarkan ketebalan simpan hasilnya tidak berbeda nyata (P = 95%) setelah dianalisis menggunakan uji sidik ragam (Lampiran 2). Selisih pengurangan berat madu yang hilang sekitar 4,76 g. Berdasarkan pengamatan tidak terdapat perbedaan secara statisik penggunaan ketebalan simpan madu dalam proses penurunan kadar air madu, begitu juga dengan penurunan berat madu. Oleh karena itu, secara teknis pelaksanaan (SOP), lebih efektif menggunakan ketebalan 4 cm. Sebab jika menggunakan ketebalan 6 cm, penurunan berat madu akan makin banyak dan madu yang disimpan terlampau memenuhi wadah (Tabel 1), sehingga kerugian petani madu akan semakin besar. Sebaliknya, jika menggunakan ketebalan 2 cm terlalu sedikit kapasitas madu yang akan diturunkan. Oleh karena itu penggunaan tebal 4 cm lebih ideal. Dan untuk lebih menguatkan hasil pengamatan, dilakukan uji laboratorium terhadap sampel madu hasil perlakuan dan kontrol sebagai pembanding. Pengujian laboratorium dilakukan di BBIA dengan parameter sesuai standar SNI ditambah dengan cemaran logam (kadnium, timah dan raksa) dan cemaran mikroba. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
142
Tabel 2. Hasil pengujian berdasarkan SNI sampel madu hasil penurunan KA dengan sistem dehumidifikasi Parameter
Satuan
SNI
Aktifitas enzim diastase HMF Air Abu Gula Pereduksi Sukrosa Keasaman Padatan yg tak larut air Cemaran Logam : - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Kadnium (Cd) - Timah (Sn) - Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran Mikroba : - Angka lempeng total 30°C 72 jam - Coliform - Kapang - Khamir
DN mg/kg % % % % ml N NaOH1N/kg %
min. 3 maks. 50 maks. 22 maks. 0,5 min. 66 maks. 5 maks. 50 maks. 0,5
mg/kg mg/kg
maks. 1 maks. 5
mg/kg koloni/gram APM/gram koloni/gram koloni/gram
Perlakuan Tebal Kontrol 4 cm 0,95 1,04 0,00 0,00 23,20 21,00 0,83 0,84 73,80 74,40 5,93 3,69 94,70 80,80 0,02 0,07
maks. 0,5
<0,042 0,170 <0,003 < 0,800 <0,005 < 0,003
<0,042 0,530 <0,003 < 0,800 <0,005 < 0,003
< 5 x 10³ <3 < 1 x 10¹ < 1 x 10¹
3,2 x 102 <3 <10 <10
2,2 x 102 <3 <10 <10
Sumber : Data primer hasil analisis laboratorium di BBIA, Bogor (2012)
Kadar air pada perlakuan dehumidifier dengan tebal simpan madu 4 cm telah memenuhi standar SNI, sedangakan pada kontrol belum memenuhi standar. Hasil uji menunjukkan 21% untuk kadar air pada perlakuan tebal 4 cm dan 23,2% pada kontrol. Aktivitas enzim diastase menjadi salah satu kriteria untuk menentukan kualitas madu, yaitu sebagai penanda adanya pemanasan terhadap madu atau penyimpanan yang terlalu lama. Kadar HMF biasanya meningkat sedangkan aktivitas enzim diastase menurun sejalan dengan lama penyimpanan (Krauze & Krauze, 1991). Enzim diastase sangat sensitif terhadap kenaikan suhu. Semakin tinggi suhu, maka semakin rendah aktivitas enzim diastase (White, 1979). HMF adalah produk antara (intermediate) dari dua reaksi, yaitu dehidrasi heksosa yang dikatalisis oleh asam dan dekomposisi 3deoxyosone karena reaksi Maillard (Fallico et al., 2008). Semakin tinggi nilai HMF berarti madu telah mengalami proses pemanasan pada suhu yang lebih tinggi. Berdasar hasil pengujian, terlihat aktivitas enzim diastase tidak memenuhi standar yang ditentukan karena masih di bawah 3 DN, tetapi kadar HMFnya telah memenuhi standar SNI. Ini mengindikasikan bahwa madu yang digunakan tidak mengalami pelakuan pemanasan. Rendahnya aktivitas enzim diastase dapat disebabkan dari sampel 143
madu yang telah disimpan dalam waktu lama. Namun, bila dicermati lebih lanjut, terlihat ada peningkatan aktifitas enzim diastase dari 0,95 DN (kontrol) menjadi 1,04 DN (perlakuan dehumidifikasi). Sistem penurunan kadar air dengan dehumidifikasi tidak menggunakan panas yang dapat merusak enzim diastase, bahkan diduga selama proses dehumidifikasi tercipta kondisi yang mendukung perubahan enzim inaktif (zimogen) atau prekrusor enzim menjadi enzim yang aktif (Winarno, 1985). Gula pereduksi madu
merupakan hasil aktivasi enzim diastase
yang
menghidrolisis polisakarida menjadi karbohidrat atau gula pereduksi yang lebih sederhana (maltosa) serta aktivitas enzim intervase yang memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (White, 1979; Mayes, 1983). Kadar gula pereduksi kedua sampel telah memenuhi standar SNI (Tabel 2), tetapi terdapat perbedaan nilai antara kontrol dan perlakuan. Penurunan kadar air dengan sistem dehumidifikasi dapat meningkatkan gula pereduksi (74,4%) dibandingkan kontrol (73,8%). Peningkatan gula pereduksi terrjadi akibat perombakan sukrosa yang ditandai dengan penurunan kadar sukrosa (3,69%). Selain itu, kenaikan kadar gula pereduksi ini kemungkinan juga disebabkan oleh kenaikan kadar bahan kering akibat penurunan kadar air. Kandungan sukrosa dalam madu seharusnya rendah karena kandungan sukrosa madu yang tinggi kemungkinan madu tersebut telah mengalami pencampuran. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan sukrosa madu yang diuji memiliki variasi antara sampel kontrol dan perlakuan, masing-masing sebesar 5,93 dan 3,69%. Sampel kontrol tidak sesuai dengan standar mutu SNI karena melebihi batas maksimal yakni 5% (Tabel 2). Tingginya kandungan sukrosa pada kontrol kemungkinan disebabkan karena madu yang telah disimpan lama (Anklam, 1998). Untuk parameter keasaman, walaupun secara hasil uji kadar keasaman kedua sampel masih di atas batas normal SNI, namun terlihat metode dehumidifikasi yang digunakan menurunkan kadar dari nilai keasaman 94,7% pada kontrol menjadi 80,8% pada sistem dehumidifikasi. Proses penurunan kadar air tidak berpengaruh terhadap keasaman madu (Ghazali & Sin, 1986; Siregar, 2002). Berkaitan dengan parameter lainnya seperti abu dan padatan yang tidak larut dalam air pada kedua sampel masih di atas prasyarat SNI. Namun parameter lainnya seperti cemaran logam dan cemaran mikroorganisme masih di bawah ambang batas.
144
IV. KESIMPULAN 1. Semakin tinggi kondisi awal kadar air madu maka laju penurunan kadar air yang terjadi semakin besar. Sementara itu ketebalan simpan madu tidak berpengaruh terhadap laju penurunan kadar air. Pengurangan berat madu terendah dihasilkan dari penyimpanan pada ketebalan 2 dan 4 cm sehingga untuk aplikasi atau teknis pelaksanaan sebaiknya menggunakan ketebalan simpan 4 cm. 2. Kadar air madu kontrol sebesar 23,20% mampu diturunkan menjadi 21,00% dalam waktu 6 hari pada ketebalan simpan 4 cm sehingga telah memenuhi standar SNI.
DAFTAR PUSTAKA Anklam E. 1998. A review of the analytical methods to determine the geographical and botanical origin of honey. Food Chemistry. 63. 549-562. Badan Standarisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia SNI 01-3545-2004. Jakarta. Bappeda NTB. 2007. Sumberdaya alam spasial daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi NTB. Fallico B., Arena E., & Zappala M. 2008. Degradation of 5 -hydroxymethylfurfural in honey. Journal of Food Science 73 (9): 625-631. Ghazali HM & Sin MK. 1986. Coconut honey : the effect of storage temperature on some of its physical properties. J. Agric. Res. 25 (25) : 109 - 112 Handoko C. 2006. Teknologi peningkatan kualitas madu di NTB. Laporan Penelitian (Publikasi Terbatas). Balai Penelitan dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang. Krauze A. & Krauze J. 1991. Changes in chemical composition of stored honeys. Acta Alimentaria Polonica 17 (2) : 119 - 126 Mayes PA. 1983. Karbohidrat. Dalam : Martin DW, Mayes PA & Rodwell VW (eds.). Biokimia (Harper’s Review of Biochemistry). Edisi ke-19. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Siregar HCH. 2002. Pengaruh Metode Penurunan Kadar Air, Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Madu Randu. Tesis : Program Pascasarjana. IPB Bogor. Stanford MT. 2003. Mouister in honey. This document is ENY130, one of a series of the Entomology and Nematology Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. http://edis.ifas.ufl.edu. White JW. 1979. Composition of honey. In : Crane E. (ed.). Honey : an comprehensive Survey. Heinemann, London Winarno F.G. 1985. Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
145
Lampiran 1a. Hasil uji ANOVA terhadap selisih penurunan kadar air pada berbagai ketebalan simpan
Lampiran 1b. Hasil uji lanjut Tukey terhadap selisih penurunan kadar air pada berbagai ketebalan simpan
Lampiran 2a. Hasil uji ANOVA terhadap penurunan berat madu
146
Lampiran 2b. Hasil uji lanjut Tukey terhadap rendemen penurunan berat madu
147
148
-$':$/$&$5$
WAKTU 07.30 – 08.00 08.00 – 08.10 08.10 – 08.20 08.20 – 08.40 08.40 – 09.10 09.10 – 09.30 Sesi I 09.30 – 09.45 09.45 – 10.00 10.00 – 10.15 10.15 – 10.30 10.30 – 12.00 12.00 – 13.00 Sesi II 13.00 – 13.15 13.15 – 13.30 13.30 – 13.45
13.45 – 14.00 14.00 – 15.15 15.15 – 15.45 15.45 – 16.00 16.00 – 16.30
ACARA Registrasi Doa Laporan Kabalai Sambutan Arahan Kabadan/Pembukaan Rehat Kopi
PETUGAS Panitia/MC Kepala BPK Kupang Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT Kabadan Litbang Kehutanan MC
Makalah 1 – Kebijakan Pengelolaan HHBK di Provinsi NTT Makalah 2 – Kelembagaan Pengelolaan HHBK di NTT Makalah 3 – Strategi Pelestarian dan Upaya Konservasi Cendana Makalah 4 – Analisis Finansial Berbagai Persemaian Cendana di Pulau Timor Diskusi Ishoma
Dinas Kehutanan Provinsi NTT ITTO
Makalah 5 – Keragaman Spesies Avifauna Hutan Penelitian Oilsonbai Makalah 6 – Peluang Penangkaran KuraKura Leher Ular Rote (Chelodina Mccordi) Sebagai Alternatif Sumber Pendapatan Makalah 7 – Efektifitas Pestisida Alami untuk Pengendalian Hama Kutu Sisik pada Tanaman Cendana di Ponain Kabupaten Kupang Makalah 8 – Pendugaan Simpanan Karbon di Beberapa Tipe Hutan di Provinsi NTT Diskusi Rehat kopi/Perumusan Pembacaan rumusan Penutupan
Oki Hidayat, S.Hut
Sumardi S.Hut, M.Sc S. Agung Sri Raharjo, S.Hut, MT Moderator MC
Grace S.Saragih, S.Hut/ Oki Hidayat, S.Hut Rina Yuana Puspiyatun, S.Hut/ Heny Rianawati, S.Hut Dhany Yuniati, S.Hut Moderator MC Moderator Kepala BPK Kupang
DAFTAR PESERTA No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 `14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 No 43 44
Nama Kristina M. Rapelegi Yaved Maubanu Zandy Wulansari M. Tottong Saul T . Takalapeta Marliana C Sujarwo Sujatmoko Nurul Wahyuni Silfiana N Arief Mahmud Yamres Yongki Erli Valeri Aqusto Tanti Dewi Toh Yanto Agus Nurjana Valen Dandri Hendro S Edwin Y W Helen Saputra Nelly K Novi Haba Mercy Leo Decky T Indry Pena Putera P Elisabeth Lukas Alrid R. Nokas Meliana Nababan Siti Aisyah Irfa’i Heru B Hariany Siapa Esther Martha Petrus CH T Saptadi Darmawan Cecep Handoko Abdul Jafar Nama Wayan WS Adi Djoe Mehe
Instansi BBKSDA NTT Mahasiswa Undana Mahasiswa Undana BBKSDA NTT (PEH) Mahasiswa Undana BBKSDA NTT Pustekola Peneliti – BPTAHBK BBKSDA –NTT (PEH) BBKSDA – NTT PGRI Politani Undana Mhsw Undana UNIKA UNIKA Univ. Kristen Artha Wacana Undana PGRI Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Masyarakat Peserta Peserta Mhsw Peserta Peserta Peserta Pustekola FC ITTO Kasie PPHK BPKH (PEH) BPKH (PEH) BDK (WI) BDK (WI) BBKSDA (PEH ITTO BBKSDA BPTHHBK Mataram BPTHHBK Mataram BPTHHBK Mataram Instansi BPTHHBK Mataram Dishut Sumba Timur
45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 No 87 88 89 90 91
R Dadang Yohanes Buay Markus Mesakh Paulus K Burih Hasnia Roberth Laisina Andre Theodorus L M.A.V. Tabelak Toni Rudi L Aminah Mario Juan Edwin Oki Hidayat Dani P M. Hidayatullah Kristoforus C Rahman K Sumardi Heny R Vinsen F Eko P Dhany Yuniati Hery K Mariany D.S Ferdy Radja Angela M. D Seran Upik P Sigit B.P Oskar O Theofilus S Marianus E.E Naiaki Samuel Bahas Jhon J Modena Henci Amtiran Frans Bana Leonard B Gerson Geish F Yos Bria Nama Suranto Sem N Nithanael Liu S Adjam Retno S
Kabid BLHD Kabid Kelembagaan BPDAS Wartawan Pos Kupang BBKSDA NTT BP3K Kota Wartawan Media Nusantara DISNAK Prov. DISNAK Prov. Pengusaha Dis9hut NTT BBKSDA NTT Peserta Peserta Peserta Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Teknisi BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Teknisi BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg Peneliti BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg Instansi BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg Peneliti BPK Kpg
92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116
Hendrik A.LP Kristina Y Misto Frida Fidrahman A M . Azis R Ushul B Obet Meto Marthen Bees Feri W Andrias N Merry B Meos Ola Nithanael B Lamek P Merry D Edy S Cornelia F Bernadus N Azis U Nurhuda Adi P Ida R Tipuk P Piter Bell Agus Liu
BPK Kpg BPK Kpg Ka balai BPK Kpg Peneliti BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPTHHBK Mataram BPK Kpg BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg Peneliti BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg BPK Kpg