1
Proceeding report
Intervensi pada Pelaku Sebagai Upaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
2
Proceeding report Intervensi pada Pelaku sebagai Upaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Penulis Farhanah Raka Ibrahim Editor Monique Soesman Rinaldi Ridwan Siska Dewi Noya Tia Fitriyanti Layout Zulfikar Arief Foto Cover Digispark Penerbit
Jl. Pejaten Barat No. 17B, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12510 Indonesia T: +62 21 719 1406 / 7179 3709 F: +62 21 718 0117 www.rutgerswpfindo.org Cetakan pertama, Februari 2016 Materi ini dapat diperbanyak, direproduksi, dan disimpan dalam format digital tanpa tujuan profit. Setiap kutipan terhadap materi ini harus mencantumkan Rutgers WPF Indonesia sebagai referensi.
3
Daftar Isi Daftar isi Pesan dari Penyelenggara Pembukaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Sambutan Irma S. Martam - Koordinator Eksekutif Yayasan Pulih Monique Soesman - Direktur Rutgers WPF Indonesia
3 4 6
8 10
Panel 1 “Siapa pelaku dan mengapa intervensi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak penting dilakukan-kaitkan dengan HAM?”
12
Panel 2 Pendekatan Intervensi Pelaku/Perubahan Perilaku Pelaku: siapa melakukan apa dan bagaimana hasilnya?
17
Panel 3 “Apakah pelaku sungguh bisa menghentikan kekerasan yang dilakukannya? Apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung terjadinya perubahan perilaku pada pelaku yang efektif dan adil?”
21
Annex 1 - Concept note Seminar Publik Intervensi pada Pelaku sebagai Bagian dari Upaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan : Hambatan dan Harapan
26
Annex 2 - Agenda Kegiatan
29
Annex 3 - Biodata narasumber dan moderator
31
Annex 4 - Daftar Peserta
32
Annex 5 - Digital engagement #KonselingLelaki #MenCare
34
Annex 6 - Media coverage
36
4
Pesan dari penyelenggara Di Rutgers WPF Indonesia, kami bekerja dengan penuh semangat dan passion untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan melalui pelibatan aktif laki-laki. Pelibatan laki-laki sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia karena sudah tren positif ini sudah mulai bergulir namun perlu didukung secara massif agar semakin banyak laki-laki yang mau terlibat. Kami percaya, laki-laki adalah aktor perubahan yang harus dirangkul untuk menghapus kekerasan. Kami mengkonfirmasi hal ini ketika mengorganisir seminar ‘Intervensi pada Pelaku sebagai Upaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’. Sebagai penyelenggara, kami mendapat banyak sekali pembelajaran mulai dari mengkonseptualisasikan program, pemilihan narasumber, hingga publikasi kegiatan. Hal yang kami sambut dengan antusias adalah jumlah peserta yang
membludak dan sangat beragam dan munculnya ragam pendapat dan dukungan khususnya dari lakilaki yang semakin memperkuat semangat kami untuk terus-menerus melakukan promosi pelibatan laki-laki untuk menghapus kekerasan. Kesemuanya menjadi masukan bagi kami agar program yang kami berikan dapat diakses dan diadaptasi oleh ragam pemangku kepentingan. Pengalaman ini sangatlah berharga. Bertemu dengan pengada layanan yang terus berdedikasi memberikan konseling, aktivis perempuan, anggota partai politik, pemerintah, mahasiswa, hingga pelaku kekerasan. Semua ini tidak mungkin bisa terwujud tanpa dukungan dari tim support Rutgers WPF Indonesia, tim Yayasan Pulih, vendor, hingga relawan yang bekerja dengan penuh suka cita mensukseskan kegiatan ini.
5
Pembukaan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Hadirin yang berbahagia, Persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan yang tertinggi. Persoalan KDRT dapat digambarkan melalui prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan oleh pasangan berkisar antara 16% hingga 39%.Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 menyatakan bahwa sekitar 16% perempuan yang telah menikah pernah mendapatkan kekerasan fisik (dipukul, ditendang, disundut rokok atau besi panas, dan lain-lain) dari pasangannya dan 19% pernah mengalami kekerasan emosi. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (KPP-PA), kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2012 dari 33 provinsi tercatat sejumlah 21.507 kasus. Sementara menurut Data Catatan Tahunan Tahun 2013 (Komnas Perempuan), jumlah kasus kekerasan seksual sebanyak 93.960 kasus dari total 400.939 kasus kekerasan, lebih dari 70.115 kasus kekerasan seksual terjadi di ranah personal, dan 22.284 kasus terjadi di ranah publik. Sementara data tahun 2013 dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, selama beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan jumlah perceraian yang sebagian besarnya terjadi karena kekerasan dalam rumah tangga (data tahun 2012 sejumlah 272. 794 kasus). Adapun kebijakan terkait dengan perlindungan hak perempuan dan anak, yaitu: kebijakan pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan.
6
1. Pencegahan,yaitu melakukan upaya-upaya preventif agar tidak terjadi tindak kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak Indonesia. 2. Pelayanan,yaitu memberikan minimal lima jenis pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan, yang meliputi: pelayanan penanganan pengaduan, pelayanan kesehatan, pelayanan rehabilitasi sosial, pelayanan penegakan dan bantuan hukum, dan pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial. 3. Pemberdayaan, yaitu dengan mensinkronkan program-program pemberdayaan ekonomi skala nasional dengan program-program pemberdayaan misalnya dalam skema PNPM Mandiri dll. Sejak disahkannya UU Penghapusan KDRT pada tanggal 14 September 2004, sehingga sudah hampir sebelas tahun diberlakukan, namun masih juga menimbulkan keprihatinan dan implementasinya pun dirasakan masih jauh dari yang diharapkan. Hasil evaluasi dan monitoring yang dilakukan berbagai lembaga studi maupun lembaga penyedia layanan memperlihatkan adanya kesenjangan antara UU dan praktek di lapangan. Tingginya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan hingga hari ini, di sisi lain juga memperlihatkan belum terpenuhinya perlindungan terhadap perempuan dari kasus-kasus kekerasan yang dialami perempuan. Hingga saat ini, kasus kekerasan dalam rumah tangga oleh sebagian masyarakat masih dianggap bukan tindak kriminal, bahkan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri juga masih dianggap sebagai suatu kewajaran dan merupakan suatu hal yang tabu untuk dibicarakan karena rumah tangga merupakan suatu wilayah pribadi (personal). Padahal akibat dari kekerasan dalam rumah tangga selain menimbulkan
penderitaan pada korban, juga berdampak sangat luas terhadap perkembangan jiwa anak-anak dalam keluarga. Sementara bagi pelaku ekonomi dapat menghambat kemajuan dan penurunan produktivitas, demikian juga terhadap keharmonisan danketahanan keluarga yang dapat mengalami kehancuran. Hadirin yang berbahagia... Dengan seminar ini diharapkan dapat teridentifikasi masalah-masalah dalam pelaksanaan UU-PKDRT dan upaya yang telah dan akan dilakukan serta memunculkan inisiatif-inisiatif dan terobosan baru dalam rangka pelaksanaan perundang-undangan terkait dengan kekerasan terhadap perempuan dan anak, dalam rangka memberikan perlindungan terhadap korban. Rekomendasi dari hasil seminar ini nantinya akan menjadi upaya penegakan sistem hukum yang responsif, baik melalui pembaharuan substansi, penguatan struktur dan pengembangan hukum. Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga kegiatan ini bermanfaat memenuhi perlindungan hak perempuan dan anak korban kekerasan di masa mendatang. Dengan mengucapkan bismillahir rohmanir rohim, acara Seminar Publik “Intervensi terhadap Pelaku sebagai Bagian dari Upaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” secara resmi saya nyatakan dibuka.
Agus Wiryanto Kepala Bidang Data dan Analisis Kebijakan Penanganan terhadap Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak
7
Sambutan Irma S. Martam
Koordinator Eksekutif Yayasan Pulih
Salam. Sebelumnya, terima kasih kepada pada narasumber yang menyempatkan waktunya untuk berbagi hari ini.Intervensi terhadap pelaku untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian usaha yang dilakukan dalam kegiatan MenCare+ bersama-sama dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia dan Rifka Annisa.Ini adalah tahun ketiga bagi kami dalam mengerjakan program di mana sudah terdapat fasilfasil muda untuk konseling pelaku dan juga pendidikan bagi ayah muda. Penting bagi kita untuk mendorong dan menyediakan pelayanan bagi konseling laki-laki karena banyak korban perempuan yang kembali lagi ke pasangannya dan mengalami pola kekerasan yang sama. Dalam proses ini, amatlah penting mendorong laki-laki untuk mengikuti konseling. Bukan hanya bagi pelaku kekerasan, namun juga bagi laki-laki pada umumnya. Namun tantangannya, laki-laki yang datang untuk konseling memang masih sedikit.Jangankan konseling bagi pelaku kekerasan, konseling untuk masalah sehari-hari pun tidak mudah bagi laki-laki. Maka dari itu, kami berharap seminar publik ini dapat mengawali upaya untuk perubahan ke depannya. Semoga hasil seminar ini menjadi sesuatu yang berguna bagi banyak orang.
8
Sambutan Monique Soesman
Direktur Rutgers WPF Indonesia
Jumlah kekerasan terhadap perempuan kian meningkat setiap tahun. Data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan peningkatan kasus pada tahun 2014 dibandingkan tahun sebelumnya. Jika pada 2013 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 279.688 kasus, pada 2014 jumlah tersebut meningkat menjadi 293.220 kasus. Kabar baiknya, pemerintah kita sudah memiliki sejumlah terobosan dalam menanggulangi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mewajibkan pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengikuti program konseling. Hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Penghapusan KDRT no. 23/2004 Pasal 50 yang berbunyi: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari
9
pelaku; penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.” Seiring berjalannya waktu, berbagai program intervensi pada pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak mulai bermunculan. Rutgers WPF Indonesia pun turut memelopori program penyediaan konseling bagi lakilaki pelaku kekerasan. Rutgers WPF Indonesia bersama mitra-mitranya, termasuk Yayasan Pulih, berkontribusi merintis intervensi terhadap pelaku kekerasan bersama sejak tahun 2007. Selain itu, melalui program MenCare+ juga telah membuat kampanye untuk mendorong laki-laki agar terlibat dalam pengasuhan. Kampanye tersebut dilakukan melalui berbagai saluran, termasuk iklan televisi (TVC). Seiring berbagai upaya melalui program dan kampanye, sejumlah tantangan pun masih perlu ditaklukan. Meskipun kita sudah memiliki Undang-Undang Penghapusan KDRT, namun belum terdapat undangundang yang mengakomodir kekerasan seksual secara spesifik dan komprehensif. Munculnya berbagai usulan
solusi bagi pelaku kekerasan seksual tidak didasari dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan tidak menyasar akar masalah. Seperti solusi kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang hingga hari ini masih menjadi bahan perdebatan. Untuk menghentikan lingkaran kekerasan, tak hanya terhadap korban, kita pun mesti bekerja dengan dan untuk pelaku. Kita perlu melibatkan laki-laki agar mampu mengubah perilaku dan pola pikirnya mengenai kekerasan. Bekerja di sisi pelaku adalah bekerja di akar permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Oleh karena itu, konseling laki-laki perlu diadopsi seluas-luasnya. Semoga hasil seminar publik ini dapat memantik lebih banyak solusi terbaik bagi pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Monique Soesman Direktur Rutgers WPF Indonesia
10
Panel 1
“Siapa pelaku dan mengapa intervensi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak penting dilakukan-kaitkan dengan HAM?” Narasumber: Mariana Amiruddin (Komnas Perempuan); Asrorun Niam (Ketua KPAI); Kombes. Pol Sri Rumiati (Kepala Unit PPA Mabes Polri); Moderator: Nathanael Sumampouw (Psikolog Yayasan Pulih dan dosen F. Psikologi UI)
11
Panel 1 “Siapa pelaku dan mengapa intervensi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak penting dilakukan-kaitkan dengan HAM?” Narasumber: Mariana Amiruddin (Komnas Perempuan); Asrorun Niam (Ketua KPAI); Kombes. Pol Sri Rumiati (Kepala Unit PPA Mabes Polri); Moderator : Nathanael Sumampouw (Psikolog Yayasan Pulih dan dosen F. Psikologi UI) **** Momok kekerasan seksual memang selayaknya mendorong kita untuk berbicara lebih serius ihwal penanganan dan konseling bagi korban. Kedua hal ini pun berfungsi sebagai metode kuratif untuk memulihkan korban dari trauma – baik fisik maupun mental. Namun, seperti yang ditekankan oleh ketiga pemateri dalam panel pertama, pendekatan kepada korban ini akan jadi lebih efektif apabila dibarengi dengan intervensi pada pelaku. Meski fokus dan prioritas utama tentunya dilimpahkan kepada korban, ada mata rantai yang terputus bila pelaku tidak ikut ditengok oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan berwajib. Sekedar menghukum pelaku tidak akan cukup, tutur Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan. Kita perlu sekalian memahami akar masalah yang menyebabkan seseorang berdevolusi menjadi pelaku kekerasan. Penting untuk diingat bahwa seseorang – baik laki-laki maupun perempuan – tidak terlahir sebagai pelaku, namun menjadi pelaku karena kebiasaan dan kecenderungan-kecenderungan yang ia tangkap dari sekitarnya. Data Mitra Perempuan, yang dikutip oleh Mariana, menunjukkan bahwa kekerasan cenderung dilakukan oleh pria berusia muda, tidak bekerja, tidak dalam ikatan hubungan yang sah, dan pernah mengalami atau terpapar pada kekerasan dalam keluarga saat ia masih kecil dan kebanyakan profil korban rata-rata perempuan. Trauma pribadi yang dialami pelaku pada masa kecilnya dapat mempengaruhi bagaimana ia memandang relasi antar manusia – lebih lagi relasi dengan pasangan. Perlahan-lahan, mereka seolah terbiasa dengan
kekerasan dan memandangnya sebagai penyelesaian masalah yang umum. Kerangka berpikir ini turut difasilitasi oleh masyarakat dan pola bimbing patriarkis yang memaklumi – bahkan menuntut – agresi, kekuatan fisik, dan dominasi sebagai bagian identitas laki-laki. Lantas, kekerasan pada pasangan menjadi cara pelaku untuk melampiaskan rasa frustrasi atau kehendak mereka akan kendali pada sosok yang dianggap inferior, yakni perempuan. Mariana melanjutkan bahwa terdapat tiga jenis pelaku yang umum ditemui: Cyclically emotional volatile perpetrators, pelaku yang mengalami siklus gejolak emosional dan memiliki ketergantungan pada keberadaan pasangannya; Overcontrolled perpetrators, yang lebih condong kepada kontrol dan kekerasan psikologis daripada kekerasan fisik; serta Psychopathic perpetrators, pelaku psikopat yang tidak memiliki emosi atau rasa penyesalan dan cenderung terlibat juga dalam kekerasan antar pria maupun perilaku kriminal lainnya. Sebagai contoh kasus, Mariana mengajak FM (nama disamarkan), seorang klien konseling lakilaki yang pernah melakukan kekerasan fisik kepada pacarnya untuk berbagi pengalaman. Usai didekati oleh perwakilan-perwakilan Komnas Perempuan dan Yayasan Pulih, ia setuju mengikuti konseling lakilaki meski awalnya tidak memahami apa gunanya konseling tersebut bagi dirinya. Meskipun begitu, ia mengaku bahwa ia mengikuti konseling secara sukarela karena rasa penasarannya tentang dampak konseling tersebut. FM lantas mengaku bahwa emosinya memang cenderung bergejolak, dan ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ketat dan terbiasa melihat kekerasan dalam keluarga secara rutin. Ketika terjadi cekcok yang sebetulnya remeh dengan pasangannya, kekerasan fisik seolah menjadi solusi pamungkas yang paling wajar baginya. Pemahaman mengenai jenis-jenis pelaku dan konteks yang ‘menciptakan’ mereka ini penting untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh.Belum lagi, dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran atau pernikahan, pasangan yang menjadi korban cenderung ingin kembali pada pasangannya karena masih ada rasa cinta atau keterikatan lain, seperti anak.Oleh
12
Asrorun Niam (Ketua KPAI)
karena itu, orientasi pelaksanaan hukuman kepada pelaku perlu bergeser dari sekedar menimbulkan efek jera.Hukuman justru perlu mendidik dan menyadarkan pelaku bahwa perilakunya adalah tindakan kejahatan, dan membantu mereka berintegrasi dengan masyarakat. Hanya dengan mereformasi pola pikir dan sikap perilaku, kita bisa betul-betul memastikan bahwa korban – terlepas dari ia akan kembali pada pasangannya atau tidak – akan aman di masa depan. Dalam proses ini, ada banyak pendekatan yang dapat dipilih. Metode paling umum adalah pendekatan konfrontasional, di mana pelaku diintimidasi dan dihadapkan pada kesalahannya sendiri agar ia merasa malu. Namun, menurut penelitian, cara ini dianggap tidak produktif. Penting sekali, tutur Mariana, untuk membuat klien-klien seperti FM merasa seperti manusia yang dihargai martabatnya. Konselor yang menunjukkan empati terbukti lebih efektif dalam mengubah pola pikir pelaku ketimbang konselor yang konfrontatif. Oleh karena itu, metode intervensi pelaku semestinya bergeser ke metode-metode lainnya seperti pendekatan client-centered yang menggali pengalaman pribadi pelaku untuk membangun kedekatan, pendekatan pacing and leading yang mengajak pelaku merefleksikan
pengalaman pribadi dan mengarahkan ke perilaku baru, atau client-centered group formats yang mempercayakan kemampuan individu untuk sembuh dari luka masa kecil. Namun, penting juga untuk menilik konteks yang lebih luas. Intervensi terhadap pelaku memang perlu, ucap Asrorun Niam, namun harus bersifat holistik.Jika aspek ekonomi diidentfiikasi sebagai salah satu faktor penting dalam memicu terjadinya kekerasan, maka intervensi secara ekonomi perlu dilakukan.Pun, pihak yang berwajib dapat melakukan intervensi di bidang sosial maupun hukum, apabila memang dibutuhkan.Terutama dalam kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak – baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku – pelaku perlu mendapat pemulihan, tidak sekedar hukuman. Secara hukum, jelas Niam, semua pihak yang terlibat dalam kasus tersebut sudah terikat untuk berkomitmen pada restorative justice, atau hukum yang memulihkan. Intervensi pelaku terkait kekerasan seksual ke anak mensyaratkan terjadinya reformasi legal. Penghapusan UU Kekerasan Seksual, contohnya, adalah wacana bagus untuk mengangkat restorative justice. Selain itu, semestinya vonis kepada pelaku juga menyertakan
13
kewajiban pelaku mengikuti konseling. Menempatkan ABH dalam lembaga pemasyarakatan khusus yang berbeda dengan pelaku dewasa dianggap penting, karena seringkali anak yang dicampur dengan orang dewasa di Lapas justru “belajar” mengenai tindakantindakan kriminal lain dari orang dewasa. Bagi Niam, media pun turut andil dalam gagalnya upaya untuk melindungi dan merehabilitasi pelaku. Demi mengangkat berita secara sensasional, media dianggap rentan melanggar kode etiknya sendiri. Misalnya, jika pelaku masih terhitung anak-anak, semestinya identitas pelaku tidak dibuka ke publik. Namun, meski tidak secara spesifik menyebut nama, media mengungkapkan tempat tinggal pelaku, keluarga pelaku, dan detail pribadi lainnya yang membuat pelaku rentan menghadapi stigma di masa depan. Banyak persoalan infrastruktur dan hukum yang juga belum memfasilitasi pemulihan pelaku, terutama anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). Menurut Kombes. Pol Sri Rumiati, setiap Polres dulu punya ruang pelayanan khusus untuk anak. Namun, ruangruang itu tergeser, beralih fungsi, dan kini hanya tersisa di Jakarta Timur. Selain itu, kasus ABH yang ancaman hukumannya lebih dari 7 tahun masih diadili bersamaan dengan orang dewasa. Jumlah Polwan yang khusus menangani kasus kekerasan pada perempuan dan anak juga masih terlalu sedikit. Padahal, polisi tak hanya wajib untuk menyelidiki dan menangani kasus. Mereka juga wajib melakukan pemeriksaan psikologis terhadap tersangka, korban, dan saksi. Selain itu, terang Rumiati, keterangan ahli psikologi masih belum menjadi bukti yang setara dengan visum et repertum secara kekuatan hukum. Imbasnya, aparat hukum cenderung kurang memprioritaskan pemeriksaan psikologis, dan fokus pada penyelidikan kasus. Padahal dari pengalaman Rumiati menghadapi saksi korban dan tersangka, setiap insiden kekerasan memiliki dampak psikologis yang besar. Penting agar penilaian psikologis jadi alat bukti yang sama kuatnya di mata pengadilan. Dampak psikologis inilah yang membuat kasuskasus kekerasan seksual menjadi isu penting bagi masyarakat maupun pihak yang berwajib. Berbagai wacana pun diungkit ihwal cara terbaik mencegah kekerasan. Ideologi kekerasan dan ruang untuk berbuat
Kombes. Pol Sri Rumiati (Kepala Unit PPA Mabes Polri
14
perlu sama-sama ditumpas, tukas Niam. Namun, cara terbaik untuk memangkas peluang tersebut masih menjadi kontroversi. Wacana hukum kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak, misalnya, sempat ditanggapi oleh Niam.Kekerasan seksual terhadap anak dinilai sebagai kejahatan luar biasa, sehingga butuh sanksi hukum dan mekanisme pemulihan korban yang luar biasa pula.Wacana ini dinilai bisa menjadi semacam “monster tak terlihat” yang membuat pelaku berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan seksual. Adanya ancaman ini, ujar Niam, terbukti efektif karena angka ABH turun drastis semenjak wacana tersebut mulai digulirkan. Namun, penilaian ini pun sempat dipertanyakan oleh salah satu peserta seminar. Turunnya angka ABH belum tentu berarti angka kekerasan seksual lantas turun. Bisa jadi, tudingnya, jumlah pelapornya saja yang menurun karena pelaku semakin keras mengancam korban. Meski perdebatan mengenai apa metode intervensi yang paling efektif akan terus bergulir, tidak diragukan lagi bahwa intervensi tersebut betul-betul perlu. Adanya contoh klien seperti FM yang mulai
menunjukkan tanda-tanda pemulihan menjadi bukti bahwa dalam menangani kekerasan seksual, mata kita semestinya tak hanya tertuju pada pemulihan korban semata namun juga perubahan perilaku pelaku setelah mendapatkan konseling. Merehabilitasi pelaku bukan berarti membela atau mencari-cari pembenaran atas tindakannya. Justru, rehabilitasi dilakukan untuk memastikan bahwa setelah korban lepas dari rumah singgah, lepas dari ruang pemeriksaan dan proses pengadilan, ia kembali pulang ke lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi dirinya. Sesi Tanya Jawab (Panel 1) Pemaparan para pembicara memancing berbagai tanggapan dan pertanyaan kritis dari peserta diskusi. Salah satunya dari Lis Dedeh (perwakilan Partai Demokrat), yang mengungkapkan kepercayaannya bahwa KDRT kerap dilihat sebagai masalah internal dalam keluarga, sehingga peraturan yang ada sulit diimplementasikan karena dianggap mengintervensi ruang pribadi. Ani, perwakilan Kementerian Sosial, lantas berbagi pengalamannya tentang seorang pelaku anak berusia 16 tahun yang telah melakukan kekerasan seksual pada 8 korban. Sesuai
15
hukum diversi, anak ini hanya dijatuhi hukum rehabilitasi dan bebas. Bagi Ani, perlu dipertanyakan bagaimana mekanisme pemantauan pelaku yang direhabilitasi agar kasus kekerasan seksual tak terulang kembali. Menanggapi ini, Asrorun Niam menerangkan bahwa meski diversi dilakukan, bukan berarti pelaku terbebas dari mekanisme hukum. Diversi semata-mata merupakan bagian dari prinsip pemulihan pelaku. Karena itulah, baginya penting untuk melakukan intervensi sosial secara holistik melalui berbagai instrumen - tidak saja bergantung pada instrumen hukum untuk menghukum pelaku demi efek jera yang toh belum tentu tercapai. Nurul Eka, perwakilan IPSI, lantas melempar pertanyaan kepada Fedri untuk menggali respon keluarga Fedri terhadap pengakuannya bahwa ia melakukan kekerasan kepada pasangannya. Fedri menjelaskan bahwa keluarganya sempat marah, namun melunak ketika tahu bahwa ia telah rutin mengikuti konseling dan memiliki niat yang sungguh-sungguh untuk berubah. “Saya bicara di sini secara sukarela, apapun pandangan orang,” terangnya. “Saya datang di sini sebagai laki-laki yang peduli.” Mariana Amiruddin lantas mengimbuhi pengakuan Ferdi. Baginya, masih ada stigma di kalangan aktivis perempuan dan kekerasan seksual bahwa intervensi pelaku sama dengan membela pelaku. Kasus Ferdi membuktikan bahwa intervensi justru dapat perlahan-lahan memutus lingkar kekerasan. Lebih jauh lagi, Nurul Eka mempertanyakan klaim Asrorun Niam bahwa ancaman hukuman kebiri telah menjadi momok tak tampak yang menurunkan angka kekerasan seksual. Bagi Nurul, siapa tahu ancaman itu justru membuat pelaku lebih gencar mengintimidasi korban agar tidak melapor - dan berujung pada angka laporan kasus kekerasan seksual yang menurun. Bunga dari LBH Jakarta mengimbuhi bahwa persoalan sesungguhnya terletak pada penegakan hukum yang belum baik. Ia mempertanyakan, apakah pendekatan KPAI dalam menciptakan ancaman kebiri bisa betulbetul efektif, apalagi membantu penanganan kasus yang sejauh ini masih mandek. Salah satu bentuk macetnya penanganan kasus yang digarisbawahi oleh Rizal Bachrun, seorang psikolog,
adalah fakta bahwa visum et repertum psychiatricum, atau evaluasi psikologis, belum dianggap setara kekuatan hukumnya dengan visum et repertum. Kekhawatiran ini, bagi Rizal, perlu disampaikan dan diperjuangkan oleh Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI). Sri Rumiati menjawab dengan menerangkan bahwa pemeriksaan psikologis perlu disesuaikan dengan konteks dan proses hukum, tidak bisa hanya dilakukan secara akademis. Hasil pemeriksaan psikologis perlu memberikan informasi yang relevan bagi proses hukum - misalnya, memastikan apakah pelaku waras atau tidak. Meskipun begitu, Rumiati mengakui bahwa memang banyak persoalan yang dihadapi oleh Polri dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Saat ini, ia mulai mewajibkan kehadiran minimal 2 Polwan di setiap polsek untuk khusus menangani kasus KTPA, namun ia terkendala infrastruktur pendidikan bagi polwan tersebut yang masih kurang. Ia pun menerangkan bahwa Polri pernah menandatangani MoU dengan Kemenkes, Kemensos, dan KPPA, namun setelah MoU tersebut turun gaungnya, ruang-ruang pemeriksaan khusus bagi kasus KTPA justru hilang.
16
Panel 2
Pendekatan Intervensi Pelaku/ Perubahan Perilaku Pelaku: siapa melakukan apa dan bagaimana hasilnya?
Moderator: Siska Dewi Noya (PM Mencare+ Rutgers WPF Indonesia) Narasumber: Ismi Nuraini (Koordinator RPTC Cabang Bambu Apus Kementerian Sosial)* Dr. Suryo Dharmono, SpKJ (Ketua Ikatan Psikiatri Indonesia)* Aditya Putra K (Konselor Male Counselling, Women’s Crisis Centre Rifka Anissa)
17
Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tak bisa berhenti pada tataran hukum semata. Proses hukum yang hanya menimbulkan efek jera tak mampu mencabut akar permasalahan. Maka, diperlukan sebuah metode preventif yang mampu memutus siklus kekerasan di kemudian hari. Pendekatan intervensi terhadap pelaku telah dilaksanakan oleh sejumlah pihak, baik pemerintah maupun lembaga lainnya. Di antaranya adalah program rehabilitasi sosial yang dijalankan oleh Kementerian Sosial dan upaya pemeriksaan psikiatri terhadap pelaku kekerasan seksual oleh Kementerian Kesehatan. Kementerian Sosial melalui program rehabilitasi sosial bagi korban kekerasan juga menyediakan rehabilitasi bagi pelaku.Rehabilitasi yang dimaksud oleh Kemensos adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.Program tersebut dilaksanakan dengan menyediakan Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC), Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), dan Rumah Perlindungan Sosial Wanita (RPSW).RPTC adalah suatu lembaga yang memberikan layanan perlindungan awal dan pemulihan psikososial serta pemulihan kondisi traumatis yang dialami korban tindak kekerasan.“Konsepnya beda dengan panti yang waktunya lama. Ada yang cuma memerlukan rumah perlindungan, ada yang mengalami trauma.”, jelas IsmiIsmi Nuraini. Sejauh ini Kemensos memang belum menyediakan tempat khusus bagi pelaku dewasa karena lebih banyak melakukan rehabilitasi sosial kepada korban. Namun, Kemensos mengakui bahwa rehabilitasi sosial yang dilakukan kepada pelaku dipandang perlu agar tidak terjadi kekerasan yang berulang di masa mendatang.Beberapa kasus kekerasan, khususnya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang ditangani RPTC juga pernah melakukan intervensi terhadap pelaku terkait bagaimana memperbaiki hubungan dalam rumah tangga.Selain itu, juga sudah ada ruang bagi pelaku anak melalui panti yang disebut Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP).Panti ini dibuat khusus untuk menangani anak-anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendampingi upaya kerja dari Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) yang bekerja di sisi korban (anak).
Selain dari sisi sosial dan kejiwaan, ilmu kedokteran pun telah turut menambah barisan memutus rantai kekerasan pada perempuan dan akan melalui intervensi terhadap pelaku melalui psikiatri. “Korban selalu mendapat treatment yang berkesinambungan, namun kami tidak pernah tahu bagaimana kelanjutan pelaku. Apakah mereka butuh proses rehab yang membutuhkan keterlibatan kami lagi dan sebagainya? Evaluasi pelaku harus menghasilkan rekomendasi treatment spesifik untuk pelaku, sebagaimana ada treatment dan konseling untuk korban.”, jelas Suryo Dharmono, Ketua Seksi Psikiatri Komunitas Bina Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan. Lanjutnya lagi, pemeriksaan psikiatri perlu untuk menentukan apakah pelaku memiliki gangguan kejiwaan yang bisa meringankannya. Dalam salah satu kasus, ditemukan bahwa tersangka dianggap waras, sehingga ini menandakan bahwa pelaku cakap untuk menghadapi proses hukum. Melalui treatment khusus bagi pelaku, kita juga dapat memahami bahwa faktor seorang pelaku melakukan kekerasan seksual sangat luas dan tidak bisa dipukul rata.Misalnya, hanya karena seseorang punya kecenderungan pedofil (kecenderungan minat seksual terhadap anak), bukan berarti dia lebih besar kemungkinanya melakukan kekerasan seksual daripada yang tidak paedofil.Karena masalah terjadi ketika seseorang mengekspresikan minatnya tersebut. Belum lagi treatment psikiatri terhadap pelaku yang tampak disederhanakan.Seperti etiologi medis yang mengidentifikasi akar dari perilaku kekerasan seksual secara medisbiologis. Misalnya saja, ditemukan bahwa amygdala (pusat integrasi emosi) dari pelaku terlalu aktif sehingga diberikan obat tertentu dianggap akan menyelesaikan masalah. Padahal tidak bisa sesederhana itu karena pelaku akan berhubungan dengan lingkungannya yang bisa memicu perilaku kekerasan kembali kapan saja jika tidak ada intervensi yang lebih komprehensif. Yang menjadi masalah selama ini adalah berbagai penanganan yang ada hanya terfokus pada efek jera, padahal Suryo Dharmono menekankan berkalikali bahwa rehabilitasi terhadap pelaku seharusnya menjadi rekomendasi yang wajib. Namun, selama ini belum ada tools yang bisa mengukur bahwa dia tidak hanya jera, tapi juga perilakunya berubah dan
18
tindakannya tak akan diulang. Setelah menjalankan hukum pidananya, salah satu kriteria bahwa pelaku bisa mendapat keringanan atau bisa dianggap aman adalah proses rehabilitasi yang terukur. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang khusus melakukan rehabilitasi terhadap pelaku kekerasan. Setelah keluar dari rehabilitasi, harus ada tindak lanjut dari aparat demi memastikan bahwa kecenderungan pelaku untuk melakukan kekerasan lebih minim. Tujuan penting lain dari rehabilitasi juga adalah destigmatisasi. Destigmatisasi ini akan menjadi formula bagi pelaku berupa “jika saya berubah, kami akan tetap menjadi bagian dari masyarakat.” Tentu saja pelaksanaan intervensi terhadap pelaku yang cukup ideal semacam ini bukan hal yang mudah dan memerlukan upaya yang menyeluruh dari pelaksana hukum.Tim terpadu ini perlu ada baik dari sejak di penjara sampai di luar penjara, terdiri dari kepolisian, hukum, sampai akademisi.Setelah sistem
ini dibangun, barulah kita bisa mengatakan bahwa pencegahan kekerasan seksual telah dilakukan.Suryo menekankan kembali bahwa, “Efek jera bukanlah prevensi.Tidak ada bukti bahwa semakin lama orang dihukum, dia semakin tidak akan mengulangi.” Selain pemerintah, lembaga swadaya masyarakat pun turut serta dalam upaya intervensi terhadap pelaku, seperti yang dilakukan oleh Rifka Annisa, lembaga yang fokus pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Selama rentang tahun 2000-2006, Rifka Annisa mencatat 67% kekerasan terhadap istri, sepuluh persennya dibawa ke proses hukum (dilaporkan). Dari jumlah tersebut, banyak korban yang mencabut laporannya dan mimilih rujuk meski sadar tetap terjadi kekerasa sehingga mereka masih hidup dalam siklus tersebut. Sementara selama ini program penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak masih ditujukan untuk perempuan, padahal perempuan bukanlah sumber masalahnya. Tentu sulit menyelesaikan masalah sekadar dari terasnya, maka pada tahun 2007, konseling laki-laki pun digagas oleh Rifka Annisa. Bukan hal yang mudah memulainya, terlebih ketika hasil survey internal menyatakan 90% tidak percaya metode ini akan berhasil. Namun, metode pun tetap dicoba dengan keyakinan bahwa pelibatan laki-laki dalam konseling mendesak untuk dilakukan. Apalagi sebelumnya Rifka Annisa juga telah melakukan kajian maskulinitas dan menciptakan ruang diskusi bagi laki-laki mengenai maskulinitas. Konseling yang termodul ini dimaksudkan untuk membantu laki-laki untuk mencari alternatif pemecahan masalah dalam rumah tangga tanpa kekerasan serta mengubah cara pandang, sikap dan perilaku kekerasan menjadi lebih respek terhadap perempuan. Aditya Putra, konselor Male Counselling dari Rifka Annisa memaparkan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh Rifka Annisa setelah enam tahun program layanan ini berdiri adalah sedikitnya jumlah klien laki-laki yang mengakses layanan konseling dibandingkan jumlah laporan kekerasan terhadap istri yang ditangani.
Dr. Suryo Dharmono, SpKJ (Ketua Ikatan Psikiatri Indonesia)
Perbandingan jumlah klien laki-laki dan perempuan yang mengakses konseling periode tahun 2007-2013.
19
Aditya Putra K (Konselor Male Counselling, Women’s Crisis Centre Rifka Anissa) Jumlah Klien Laki-Laki
Jumlah Klien Perempuan
2007
8
242
2008
10
213
2009
16
203
2010
15
226
2011
22
219
2012
27
226
2013
21
254
Total
119
1583
Tahun
Sumber: Rifka Annisa, 2013
Melihat data tersebut di mana masih jauh angka antara klien perempuan dan laki-laki yang konseling, maka menurut Aditya, penting untuk merancang hukum yang sifatnya mewajibkan para pelaku kekerasan agar bersedia mengubah perilaku kekerasannya.Aturan hukum ini juga dapat memberikan kesempatan bagi pelaku kekerasan untuk memperbaiki diri dalam berhubungan dengan pasangannya di rumah tangga.Bahkan sebenarnya hal ini pun telah diatur dalam pasal 50 UUPKDRT yang mewajibkan pelaku kekerasan melakukan konseling Namun sayangnya, pidana tambahan tersebut berjalan jika korban (pelapor) tidak mencabut lagi pelaporannya. Kabar baiknya, berdasarkan laporan Rifka Annisa tahun 2012, dari 79 klien laki-laki yang mengikuti konseling pada periode 2007-2012, sebanyak 34% yang bersedia
meneruskan proses konseling menunjukkan perubahan perilaku yang positif terhadap pasangannya. Meski jumlahnya tidak besar, namun perubahan kecil tetaplah perubahan. Seperti yang ditekankan kembali oleh Siska Noya sebagai moderator diskusi, bahwa konseling laki-laki tak sekadar aspek hukum saja, namun adanya perubahan relasi antara perempuan dan laki-laki. Sesi Tanya Jawab (Panel 2) Penanya pertama, Anita dari Koalisi Perempuan, menanyakan bagaimana intervensi tersebut dapat diterapkan di tingkat organisasi masyarakat terkecil. Dalam posisinya sebagai POKJA PKK di Bogor, ia secara spesifik mempertanyakan bagaimana Kementerian Sosial dapat bekerjasama dengan organisasi di tingkat akar rumput seperti PKK. Pertanyaan ini disambut baik oleh Ismi Nuraini, yang berujar bahwa Dinas Sosial memiliki program PKSK (Praja Kesejahteraan Sosial Kecamatan) dan penyuluh sosial yang bergerak di tingkat masyarakat. Ia pun menawarkan bantuan dan membuka kanal komunikasi dengan pihak PKK. Ismi menerangkan bahwa berdasarkan pengalamannya melakukan sosialisasi ke komunitas PKK dan Koperasi, masih banyak dari mereka yang minim pemahamannya mengenai kekerasan dan hak-haknya sebagai manusia. Berikutnya, seorang peserta bernama Marisna menanyakan apakah ada faktor individual atau
20
situasional tertentu yang memperbesar kemungkinan seseorang melakukan kekerasan, atau mengecilkan peluangnya untuk berubah. Selain itu, ia juga ingin tahu apakah konseling kepada laki-laki harus dilakukan oleh konselor laki-laki pula. Bagi Ismi, kadang ada faktor kejiwaan dari pelaku yang mendorong ia menjadi rentan terhadap stres atau tekanan, yang mewujud dalam perilaku kekerasan pada anak atau istri. Proses penyembuhan akan lebih cepat jika ada kesadaran dari pelaku - dan dibantu konselor - untuk mengidentifikasi bersama apa masalah dan pemecahannya. Lebih lanjut, biasanya proses konseling lebih cepat jika pasangannya mendukung dan memahami. Misalnya, suami ini akan terseulut emosinya jika ia langsung ditanya tentang hal yang tidak disukai setelah pulang kerja. Maka, pola komunikasi antar pasangan perlu diintervensi. Proses pemahaman dan dialog itu yang harus didapatkan dari kedua belah pihak. Ismi kemudian menerangkan bahwa konselor pada pelaku laki-laki tidak harus laki-laki juga. Namun, disesuaikan dengan kenyamanan klien. Suryo Dhamono menambahkan bahwa karakter masing-masing klien bisa mempengaruhi efektivitas konseling. Klien yang datang pada psikiater, terangnya, adalah orang yang memang merasa sakit. Proses konseling akan lebih mudah dijalani dan diterima olehnya jika ia tidak memiliki posisi tawar yang baik - misalnya, jika ia didesak mertua atau keluarga untuk ikut konseling. Adhitya Putra Kurniawan mengimbuhi bahwa cara pandang klien mengenai relasinya dengan pasangan adalah salah satu faktor kunci. Ketika konselor berhasil menggeser cara pandangnya, barulah ia mau mengambil tanggung jawab. Sayangnya, kadang ada klien yang mendatangi konselor untuk mendapat pembenaran dan pemakluman atas sikapnya.
Siska Dewi Noya (Program Manager MenCare+ (RutgersWPF)
Padahal, sebagaimana yang diingatkan oleh moderator pada penghujung acara, konseling laki-laki bukan saja soal pemenuhan aspek hukum. Namun, juga untuk mengubah relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki.
21
Panel 3 “Apakah pelaku sungguh bisa menghentikan kekerasan yang dilakukannya? Apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung terjadinya perubahan perilaku pada pelaku yang efektif dan adil?”
Narasumber: Dr. Kristi Poerwandari (Psikolog Yayasan Pulih dan dosen Fak. Psikologi dan Kajian gender UI): “Kajian perspektif biopsikososial-budaya pelaku kekerasan terhadap perempuan dan intervensi apa yang perlu dilakukan” Dra. Ni Made Martini Putri, M.Si (dosen Kriminologi FISIP UI dan peneliti PUSKA Perlindungan Anak UI): “Kajian perspektif kriminologi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan intervensi apa yang perlu dilakukan” Nur Hasyim (Pendiri Aliansi Laki-Laki Baru): “’Laki-laki, pelaku atau mitra?’- kewajiban etis dan peran laki-laki dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan” Moderator: Syaldi Sahude (Koordinator Aliansi Laki-Laki Baru)
22
Nur Hasyim (Pendiri Aliansi Laki-Laki Baru) Dalam kasus kekerasan, hubungan antara korban dan pelaku tak dapat dipandang dengan hitam putih. Ada begitu banyak faktor yang mendorong seseorang menjadi pelaku, dan begitu banyak konstruksi yang mesti diretas sebelum kita bisa benar-benar memutus siklus kekerasan. Seperti perempuan, laki-laki juga tumbuh dalam konstruksi gender yang kaku dan dimulai sejak awal kehidupannya. Tak hanya soal baju apa yang seharusnya dikenakan dan mainan apa yang sebaiknya dinikmati, laki-laki pun tumbuh dengan aturan ketat soal bagaimana mereka harus merespon hal-hal yang terjadi di kesehariannya. Menurut Kristi Poerwandari, kita dapat melihat contohnya dari bagaimana lakilaki dan perempuan diajarkanuntuk menanggapi emosi. Ketika anak perempuan menangis, terang Kristi, orang tua cenderung lebih merespon dengan simpatik. Sementara, anak laki-laki diajarkan untuk merepresi emosinya, dan dihadapkan dengan sanksi sosial seperti dituduh ‘cengeng’ dan ‘anak mami’ bila masih bergantung pada orang tua untuk mendapat dukungan moral. Ketika anak – yang sejatinya masih membutuhkan dampingan dan afeksi – diajarkan untuk menjarakkan dirinya dari kebutuhan mendasar tersebut, ia mengalami apa yang disebut Kristi sebagai ‘trauma keterpisahan.’ Anak laki-laki mulai dibiasakan untuk berlagak kuat dan dingin, serta jarang mengekspresikan emosi yang dianggap feminin seperti rasa takut, cemas, dan sedih.
Alih-alih mengekspresikan emosi feminin, anak laki-laki diajarkan untuk berkelindan erat dengan ekspresi yang dianggap lebih maskulin, seperti agresi, sikap kompetitif, dan kekuatan fisik.Budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai calon pemimpin yang mutlak, sehingga laki-laki merasa dikondisikan untuk menjadi pihak dominan.Cara kita mendidik laki-laki, ucap Kristi, tidak mengajarkan pria bertekun, bersabar, dan berada di posisi bawah. Pengistimewaan pada laki-laki, baginya, menjadi merugikan karena laki-laki yang tidak mampu memenuhi kriteria tersebut merasakan tekanan dan tak melihat cara alternatif untuk menjadi “laki-laki” yang baik. “Karena itu, semakin ada krisis identitas dalam definisi maskulinitas,” ujar Kristi, menyimpulkan. Bila laki-laki tumbuh dalam konstruksi seperti ini, lanjut Kristi, mereka akan sulit untuk menerima perempuan sebagai pihak yang setara dan memiliki otoritas sama dengan laki-laki. Karena itulah gerakan perempuan, ide kesetaraan gender, dan semakin merdekanya perempuan dari ranah domestik dianggap sebagai ancaman terhadap hegemoni laki-laki. Bagi laki-laki, yang terancam bukan hanya posisi dominan mereka, namun hakikat mereka sebagai laki-laki yang – dalam pengertian mereka – seharusnya ‘memimpin’ dan memegang kendali. Laki-laki yang frustrasi lantas berupaya merebut lagi kuasa akan masyarakat dan identitas mereka. Dalam ranah domestik, kehendak ini dapat terejawantahkan dalam kekerasan fisik, psikis, maupun verbal. Bagi laki-laki yang kebingungan dan merasa terancam, kekerasan menjadi jalan pintas
23
untuk mengukuhkan kembali dominasinya, sekaligus cara “mengingatkan” perempuan siapa yang sebenarnya berkuasa. Berbagai trauma dan kebingungan ini mewujud dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda.
sama dilempar ke perempuan, mereka hampir selalu menjawab iya.Itu privilese laki-laki!”. Selubung privilese inilah yang harus disingkapkan dalam intervensi terhadap laki-laki. Namun, apa metode yang sesuai?
Oleh karena itu, pemberdayaan perempuan saja tidak cukup.Intervensi terhadap laki-laki perlu untuk meretas pola pikir patriarki yang sudah kelewat mapan.“Laki-laki tidak pernah menyadari bahwa kekuasaannya adalah privilege (dianggap istimewa),” ucap Nur Hasyim, akrab disapa Boim dari Aliansi Laki-Laki Baru.“Karena itu mereka merasa semua yang mereka miliki adalah mutlak dan tak bisa dikritisi.”Ini yang membuat laki-laki merasa bahwa dilayani dan membuat keputusan tanpa meminta pendapat pasangan adalah haknya, serta protes perempuan terhadap perlakuan tidak adil itu dianggap “pembangkangan.” Contoh lain yang sekilas tampak lumrah dipaparkan oleh Boim, saat ia mengisahkan ulang pengalaman Aliansi Laki-Laki Baru mewawancarai beberapa laki-laki terkait peran laki-laki dalam masyarakat. “Ketika mereka ditanyakan apakah mereka khawatir dilecehkan di tempat umum, apakah mereka harus minta izin saat keluar rumah dan sebagainya, mereka otomatis menjawab tidak,” tutur Boim.“ Sementara saat pertanyaan yang
Cara-cara konfrontasi telah terbukti tidak efektif untuk menyelesaikan masalah, terang Kristi. Jika laki-laki mendadak dihadapkan pada teriakan lantang kesetaraan gender dan feminisme, mereka cenderung bersikap defensif dan menganggap intervensi sebagai satu lagi upaya untuk meruntuhkan ‘kelaki-lakian’nya. Cara-cara persuasif dianggap lebih efektif untuk mencapai pelaku, dan lebih melekat dan mampu menggeser pola pikir laki-laki.“Dengarkan mereka, biarkan mereka menjelaskan perspektif mereka agar terbangun rasa percaya dan penerimaan,” ujar Kristi.“Baru kemudian kita bisa memasukkan nilainilai baru.”Membantu laki-laki menerima dirinya sendiri dan ikut lepas dari kungkungan patriarki, terang Kristi, adalah langkah pertama yang harus ditempuh lebih dahulu sebelum kita memberi pemahaman mengenai sanksi. Namun, bagaimana jika pelaku dan korbannya masih anak-anak?ABH, ucap Ni Made Martini Putri, bukan sekedar pelaku, melainkan korban dari sistem yang
24
seksualitas, dan tak mendapat informasi yang akurat. Seksualitas, ujar Ni Made, dianggap sebagai topik yang nantinya akan dipahami oleh anak “secara alamiah.” Tanpa ada pendidikan dan dialog yang bisa memberi pengertian yang benar, anak berpaling pada mitosmitos dan materi pornografi yang didapat melalui berbagai cara. Mitos dan pornografi lantas membentuk pemahaman yang meleset mengenai seks dan relasi antara laki-laki dan perempuan, dan berujung pada mulai berkembangnya budaya kekerasan seksual dan pola hubungan yang tidak sehat.
Dra. Ni Made Martini Putri, M.Si (dosen Kriminologi FISIP UI dan peneliti PUSKA Perlindungan Anak UI) gagal melindungi anak-anak.Ada begitu banyak persoalan sistemik dan pendidikan yang begitu mengakar, namun berperan besar dalam terjadinya kasus kekerasan seksual antara anak-anak.Seringkali, kita keburu melekatkan stereotip yang tak benar terhadap ABH.Dan dalam mengukuhkan stereotip ini, kita justru luput untuk memahami dan menangani masalah yang sebenarnya.Menurut riset, anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual belum tentu berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan penuh kekerasan.Latar belakang mereka, terang Ni Made, banyak berasal dari keluarga yang sekilas terlihat harmonis dan lurus-lurus saja.Namun, hampir semua ABH yang diwawancarai dalam riset mengaku bahwa seksualitas dan kesehatan reproduksi adalah topik yang tabu untuk dibicarakan di keluarga dan lingkungan sekitarnya.Anak dianggap tidak sopan ketika mengekspresikan rasa ingin tahunya mengenai
Ketika kasus terjadi, semua pihak sejatinya rugi. Di Indonesia, ungkap Ni Made, anak berusia 12 tahun sudah dianggap mampu bertanggungjawab untuk tindak kriminal sehingga bisa dituntut, kontras dengan angka lebih tinggi di negara-negara lain seperti Vietnam, yang menetapkan angka 16 tahun. Belum lagi, kurangnya pendidikan seks membuat mereka kadang tidak memahami bahwa perbuatan mereka salah.Ketika ABH hadir di ruang sidang, kekerasan tersebut mungkin dianggap perkosaan menurut hukum, namun dianggap “suka sama suka” oleh ABH yang tidak paham. Ketika ia dikirim masuk lembaga pemasyarakatan khusus anak, tidak ada program pembinaan khusus yang membedakan ABH pelaku pencurian, kekerasan seksual, pembunuhan, dan tindak kriminal lainnya. Sementara, anak yang menajdi korban tetap tidak bisa berbuat apaapa karena kebanyakan proses hukum dan pengambilan keputusan akan didominasi oleh orang tua, tanpa banyak berkonsultasi pada anak. Korban, ucap Ni Made, seolah mengalami “viktimisasi ganda.” Karena itu, intervensi seharusnya tak hanya dilakukan setelah kasus kekerasan terjadi. Masyarakat – terutama keluarga – berperan penting untuk menanamkan nilainilai yang bisa menjadi alternatif untuk patriarki. “Kita perlu menawarkan cara lain untuk ‘menjadi laki-laki’ dan menggeser konsep maskulinitas.” Ucap Boim. Karena persoalan yang dihadapi dalam kasus kekerasan sangat beragam, mulai dari personal sampai makro, maka intervensi harus menyasar berbagai aspek tersebut. Ni Made, misalnya, melihat bahwa keluarga perlu menawarkan pola pengasuhan anak yang “lebih androgin” dan tidak memaksakan peran dan atribut gender tertentu pada anak. Selain itu, orang tua harus semakin berani memecah tabu dan membicarakan
25
hal-hal yang saat ini mulai diketahui oleh anak muda di luar pengawasan orang tua.Pola pengasuhan anak yang berasumsi bahwa anak adalah makhluk aseksual, menurut Ni Made, perlu dibongkar.Orang tua, misalnya, tidak boleh takut berbicara secara terbuka mengenai LGBT, seksualitas, dan pornografi.Dalam diskusi tersebut, orang tua dapat menyisipkan nilai-nilai kesetaraan gender, penghargaan terhadap sesama manusia, dan mengajak anak terbiasa tak menolerir kekerasan seksual. Intervensi menyeluruh ini perlu dilakukan agar kita tidak sekedar menangani kasus kekerasan seksual, namun juga memutus mata rantai kekerasan dan patriarki. “Yang kita lawan bukan laki-laki, melainkan perilakunya.” Ujar Boim, menyimpulkan. “Dengan bekerja dengan laki-laki dan pelaku, kita bekerja di jantung persoalan.”Baginya, sudah saatnya laki-laki tidak menjadi masalah, melainkan menjadi bagian dari pemecahan masalah. Sesi Tanya Jawab (Panel 3) Sesi ini memantik diskusi yang menarik antara peserta dengan para pemateri. Meri, seorang dosen dari Universitas Bhayangkara, bertanya seberapa jauh orang tua perlu dilibatkan untuk melawan konsep maskulinitas dan femininitas yang telah turun temurun. Nur Hasyim menjelaskan bahwa persoalan relasi antara maskulinitas dan feminitas sangat berlapis, mulai dari tingkat personal sampai makro. Karena itu, intervensi diperlukan di setiap tingkatan tersebut termasuk lewat nilai-nilai kesetaraan yang ditanamkan sejak dini melalui keluarga. Ni Made Martini Putri menambahkan bahwa kita perlu mensosialisasikan konsep maskulinitas baru, karena mencegah selalu lebih baik daripada terus menerus mengobati. Banyak mitos lama yang perlu diruntuhkan dan nilai-nilai baru yang perlu dianamkan, misalnya mengajarkan nilai kesetaraan gender dan toleransi nol pada kekerasan sejak awal. Orang tua juga perlu memberikan pola asuh yang lebih androgin, selain juga membuka diri pada percakapan terkait seksualitas sehingga terbangun kepercayaan dan kedekatan antara orang tua dan anak. Penanggap dari Partai Demokrat, Lis Dede, menerangkan bahwa intervensi ini perlu dibarengi juga dengan kesadaran bahwa kekerasan seksual
tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor pribadi dan psikologis. Banyak anak di kondisi rentan dan marjinal tinggal di rumah petak atau perkampungan sempit dan kumuh, sehingga banyak yang terpapar pada aktivitas dan isu-isu seksual di usia terlalu dini. Persoalan struktural dan hukum ini diamini oleh Dr. Ni Made. Baginya, merebaknya konten pornografi juga merupakan contoh kebijakan hukum dan sosial bagi anak yang belum komprehensif. Negara masih belum menanggapi isu seksualitas secara baik. Contoh lainnya, usia minimal untuk berhubungan seksual (age of consent) di Indonesia masih rancu - perempuan berusia 16 tahun sudah diperbolehkan menikah menurut undang-unadng, padahal undang-undang lain menyebut bahwa orang berusia 18 tahun ke bawah tergolong masih anak-anak. Siti Nurjanah, perwakilan dari Perempuan Berbagi, mengutarakan kekhawatirannya tentang intervensi terhadap pelaku kekerasan - terutama kasus pemerkosaan. Banyak intervensi yang disebut sejak awal acara, menurutnya, berada dalam konteks kasus kekerasan antara dua orang yang memiliki hubungan dekat - misalnya, antara suami dan istri. Namun, bagaimana dengan kasus-kasus pemerkosaan di mana korban belum tentu mengenal pelaku? Bagaimana kondisi psikologis korban ketika mendengar bahwa pelakunya mendapat konseling? Ia khawatir bahwa intervensi kepada pelaku lebih cepat dilakukan daripada intervensi kepada korban. Namun, bagi Nur Hasyim, jika mekanisme hukum berjalan sebagaimana semestinya, kekhawatiran Siti Nurjanah mestinya tak terwujud. Konseling pelaku yang dilakukan oleh Rifka Annia, misalnya, memang banyak menyasar kekerasan di ranah domestik. Karena itulah, perubahan perilaku dalam konteks domestik menjadi sasaran utama, dan dukungan pasangan jadi salah satu faktor penentu keberhasilan konseling. Karena itulah dalam sistem hukum luar negeri, KDRT tidak masuk dalam pidana, namun ditangani oleh Family Court (pengadilan keluarga), di mana pelaku KDRT diwajibkan mengikuti konseling. Dalam konteks kekerasan seksual karena tindak pidana - yang digambarkan oleh Siti - konteks HAM perlu diaplikasikan. Pelaku harus tetap mendapat konseling, namun dilakukan di dalam rumah tahanan setelah proses pengadilan terjadi.
Annex 1 - Concept note Seminar Publik
Intervensi1 pada Pelaku sebagai Bagian dari Upaya untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan : Hambatan dan Harapan Kamis, 10 Desember 2015 Hotel Oria, Jakarta Dalam Rangka Kampanye 16 HAKTP
Istilah intervensi dalam konteks ini digunakan secara bebas untuk mengacu pada pengertian segala bentuk penanganan pada pelaku kekerasan yang bertujuan agar pelaku dapat menghentikan kekerasan yang dilakukannya, merubah perilakunya dan dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik sebagai manusia yang bermartabat. Termasuk di dalamnya intervensi yang dilakukan oleh negara setelah putusan ataupun sebelum putusan pengadilan, dalam hal ini sering disebut sebagai rehabilitasi pelaku, maupun inisiatif lembaga non pemerintah yang dilakukan pada pelaku, misalnya pelaku atau yang beresiko tinggi melakukan kekerasan datang ke layanan konseling, baik inisiatif sendiri maupun dorongan dari orang lain.
1
27
Latar belakang Dalam beberapa tahun terakhir ini, intervensi pada pelaku kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai upaya yang penting dalam menangani dan mencegah kekerasan terhadap perempuan. Seiring dengan upaya untuk memperjuangkan pemulihan dan keadilan bagi perempuan korban kekerasan, intervensi pada pelaku juga diupayakan dengan tujuan agar pelaku jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya, selain pemenjaraan, juga melalui berbagai proses rehabilitasi. Diharapkan fokus dan perhatian pada intervensi pada pelaku dapat memberikan solusi karena kontrol pada terjadinya kekerasan sebenarnya terletak pada pelaku kekerasan tersebut. Pada tahun 2014, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan menurut laporan akhir tahun Komnas Perempuan adalah sebesar 293.220, meningkat dibanding tahun 2013 yang mencapai 279.688 kasus. Salah satu terobosan untuk perlunya intervensi lebih lanjut, selain sanksi pemenjaraan pada pelaku, sudah tertuang dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23/2004, dimana ada pengaturan tentang program konseling bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 50 UU PKDRT 23/2004, mengatur tentang pemberian sanksi hukum bagi pelaku yang terbukti telah melakukan KDRT diantaranya mewajibakan pelaku untuk mengikuti program konseling dengan tujuan agar terjadi perubahan perilaku pada diri terpidana pelaku KDRT. Lebih lanjut diatur dalam UU tersebut mengenai kewenangan seorang hakim pengadilan yang dapat menjatuhkan hukuman pidana tambahan kepada pelaku berupa perintah untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Selain itu, negara juga sudah membuat komitmen untuk melakukan proses rehabilitasi pada pelaku usia anak yang lebih mengedepankan kepentingan terbaik anak dan menerapkan prinsip perlindungan anak melalui diberlakukannya UU Sistem Peradilan Pidana Anak No 11 tahun 2012, menggantikan UU yang lama UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hal ini bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Namun terlepas dari terobosan-terobosan yang sudah dilakukan untuk intervensi pada pelaku, masih
diperlukan sebuah tinjauan seberapa jauh hal ini sudah diimplementasikan dan apakah intervensi pada pelaku ini sudah menuju pada perubahan perilaku yang dapat berkontribusi pada penghentian kekerasan terhadap perempuan, seperti dalam konteks KDRT ataupun kekerasan seksual, termasuk pada anak pelaku kekerasan seksual. Intervensi pada pelaku dalam bentuk rehabilitasi menjadi bagian penting dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Berkaitan dengan itu, pada tahun 2007 RutgersWPF bersama dengan WCC Rifka Annisa, Yogyakarta dan WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, mengembangkan program konseling bagi laki-laki yang bertujuan untuk membimbing laki-laki yang melakukan kekerasan dalam hubungan personal demi mengakhiri kekerasannya dan menjadi pasangan yang saling menghargai dan menghormati. Pada tahun 2013, Yayasan PULIH, PKBI Lampung, PKBI Jawa Timur, WCC DAMAR Lampung dan WCC Sahabat Perempuan Magelang mulai bergabung mengembangkan konseling perubahan perilaku ini sampai pada tingkat komunitas. Semuanya di atas ini dilakukan untuk merespon terhadap meningkatnya angka kekerasan seksual di Indonesia dan UU yang mengatur tentang kekerasan seksual saat ini tidak bisa menjawab kompleksitasnya masalah kekerasan seksual yang terjadi. Berangkat dari keprihatinan yang sama akhir-akhir ini pemerintah mengeluarkan wacana mengenai pengebirian sebagai hukuman pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra, terutama mendapatkan pertentangan dari LSM karena tindakan itu sendiri merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak atas kesehatan seksual dan reproduksinya dan dibuat atas dasar pemahaman yang keliru mengenai kekerasan seksual, yaitu bahwa kekerasan seksual semata-mata terjadi karena masalah libido dan penggunaan alat kelamin. Keprihatinan-keprihatinan tersebut di atas, baik dari pemerintah maupun dari LSM, mengarah ke perlunya sebuah pendekatan yang holistik dan terintegrasi untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Terlepas dari hal tersebut, baik pemerintah dan warga masyarakat lainnya sebenarnya sependapat akan
28
perlunya intervensi pada pelaku kekerasan terhadap perempuan. Akan tetapi, dari berbagai diskusi dan pendapat yang berkembang akibat wacana kebiri tersebut, menyisakan berbagai pertanyaan refleksi apakah kita masyarakat sudah memahami dengan benar apa itu kekerasan terhadap perempuan utamanya kekerasan seksual, apakah kita sudah memiliki pemahaman yang memadai mengenai pelaku, mengapa pelaku melakukan kekerasan tersebut, sehingga intervensi apa yang kemudian paling tepat untuk diterapkan pada pelaku kejahatan terhadap perempuan agar intervensi yang dilakukan memang dapat menghentikan kekerasan yang dilakukannya? Bagaimana intervensi di level personal tersebut dapat membawa perubahan pada level makro struktural dan mencapai tatanan kehidupan yang lebih baik, baik bagi korban, bagi pelakunya sendiri, serta laki-laki dan perempuan secara umum? Untuk itu, Yayasan Pulih sebagai sebuah LSM non profit pemberi layanan psikososial bagi korban dan pelaku kekerasan dan RutgersWPF sebagai pusat keahlian dalam hal HKSR yang terbebas dari kekerasan, mengadakan sebuah seminar publik mengenai intervensi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan kegiatan ini merupakan rangkaian dari kampanye 16 HAKTP. Selain itu, Yayasan Pulih dan RutgersWPF Indonesia tergabung dalam program pelibatan laki-laki yang disebut MenCare+ / Laki-Laki Peduli dan juga anggota Aliansi Laki-Laki Baru. Dalam program tersebut pelibatan laki-laki sendiri dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan diutamakan dan untuk mewujudkan kesetaraan gender, dimana kami menghimbau agar pelaku kekerasan atau yang beresiko melakukan kekerasan terhadap perempuan bersedia mengikuti program intervensi untuk menghentikan perilaku kekerasan. Lebih jauh lagi, laki-laki perlu terlibat untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan melalui perubahan norma-norma maskulinitas yang mendorong terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Tujuan Kegiatan seminar ini memiliki tujuan untuk: 1) berpartisipasi dalam kampanye 16 HAKTP 2) menyediakan ruang diskusi bersama dengan pemerintah dan anggota masyarakat mengenai jenis-jenis intervensi yang terbaik dan tepat pada pelaku kekerasan terhadap perempuan 3) mensosialisasikan berbagai bentuk inisiatif intervensi pada pelaku dengan hambatan dan harapan 4) menginisiasi pembentukan jejaring stakeholder (pemerintah, masyarakat) yang berkomitmen dan berperspektif dalam upaya intervensi terhadap pelaku Output yang diharapkan 1. Adanya jejaring stakeholder (pemerintah, masyarakat) yang berkomitmen dan berperspektif dalam upaya intervensi terhadap pelaku 2. Adanya komitmen dari instansi pemerintah terkait tentang usulan mandatori konseling bagi pelaku kekerasan. 3. Terkumpulnya beberapa gagasan mengenai intervensi yang fokus
29
Annex 2 - Agenda Kegiatan Waktu
Materi
Narsum
08.30-09.00
Pendaftaran peserta
Panitia
09.00-09.10
Sambutan dan pengarahan KPP&PA
Agus Wiryanto Kepala Bidang Data dan Analisis Kebijakan Penanganan terhadap Perempuan (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)
09.10-09.20
Sambutan RutgersWPF
Monique Soesman (Direktur)
09.20-09.30
Pengantar Yayasan Pulih
Irma S. Martam (Koordinator Eksekutif)
Sesi panel 09.30-10.45 (@15 menit)
Panel 1: Siapa pelaku dan mengapa intervensi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak penting dilakukan-kaitkan dengan HAM? 1. Komnas Perempuan : memahami kompleksitas penyebab KTPA, profil pelaku dan korban, mengapa perlu ada rehabilitasi/penanganan pelaku, bagaimana konsepnya? – dikaitkan dengan terobosan upaya RUU PKS dan UU PKDRT
Moderator : Nathanael Sumampouw (Psikolog Yayasan Pulih dan dosen F. Psikologi UI)
2. KPAI : konsep intervensi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana bila pelakunya adalah anak-anak? – profil pelaku dan kaitkan dengan restorative justice.
3. Kombes. Pol. Sri Rumiati, M.Si (Kepala Unit PPA Mabes Polri)
1. Mariana Amirudin (Komisioner Komnas Perempuan) 2. Asrorun Niam (Ketua KPAI)
3. Kepolisian: memberikan gambaran kasus-kasus KTPA dan pelakunya, terutama profil pelaku KTPA. Diskusi dipandu oleh moderator 10.45-11.00
Break
Panitia
11.00-12.30
Panel 2: Pendekatan Intervensi Pelaku/Perubahan
(@ 15 mnt)
Perilaku Pelaku: Siapa melakukan apa dan bagaimana
Moderator : Siska Dewi Noya (Program Manager Mencare+ RutgersWPF)
hasilnya? 1. Kemensos : konsep rehabilitasi pelaku kekerasan terhadap perempuan, kegiatan intervensi, hambatan, hasil, kerjasama dengan siapa saja
1. Ismi Nuraini (Koordinator Rumah peduli Trauma Center-Kementerian Sosial)
2. Kemenkes : Konsep rehabilitasi pelaku kekerasan terhadap perempuan, hambatan, hasil, kerjasama dengan siapa. 3. LSM : Konsep intervensi, apa saja yg dilakukan termasuk konseling pelaku dan modul, hambatan, dan hasil, kerjasama dengan siapa saja Diskusi dipandu oleh moderator
2. dr. Suryo Dharmono, SpKJ (Ketua I Ikatan Psikiatri Indonesia) 3. Aditya Putra K (Peneliti Rifka Anissa)
30
Waktu
Materi
Narsum
12.30-13.30
ISHOMA
Panitia
13.30-15.00
Panel 3: Apakah pelaku sungguh bisa menghentikan
Moderator : Syaldi Sahude (Ketua Aliansi
kekerasan yang dilakukannya? Apa saja yang
Laki-Laki Baru)
(@ 15-20 mnt)
dibutuhkan (psikologis, hukum, sosial, ekonomi, budaya, dll) untuk mendukung terjadinya perubahan perilaku pada pelaku yang efektif dan adil (saran/ rekomendasi)? 1. Kajian perspektif biopsikososial-budaya pelaku kekerasan terhadap perempuan dan intervensi apa yang perlu dilakukan 2. Kajian perspektif kriminologi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan intervensi apa yang perlu dilakukan
1. Dr. Kristi Poerwandari (Psikolog Yayasan Pulih dan dosen Fak. Psikologi dan Kajian gender UI) 2. Dra. Ni Made Martini Putri, M.Si (dosen Kriminologi FISIP UI dan peneliti PUSKA Perlindungan Anak UI) 3. Nur Hasyim (Pendiri Aliansi Laki-Laki Baru)
3. Aliansi Laki-Laki Baru : “Laki-laki, pelaku atau mitra?”- kewajiban etis dan peran laki-laki dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan Diskusi dipandu oleh moderator 15.00-15.15
Rangkuman dan Penutupan
31
Annex 3 - Biodata narasumber dan moderator
Panel 1 “Siapa pelaku dan mengapa intervensi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak penting dilakukankaitkan dengan HAM?” Moderator: Nathanael Sumampouw (Psikolog Yayasan Pulih dan dosen F. Psikologi UI) Narasumber: Mariana Amiruddin (Komisioner Komnas Perempuan); Intervensi Pelaku: Bagian Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan
dr. Suryo Dharmono, SpKJ (Ketua Ikatan Psikiatri Seluruh Indonesia); Peran Psikiatri Pada Tata Laksana Pelaku Kekerasan Seksual “ Dimanakah”? Aditya Putra Kurniawan (Peneliti Rifka Anisa); Konseling Perubahan Perilaku Laki-laki Pelaku Kekerasan ---------------------------------------------------------
Panel 3: Apakah pelaku sungguh bisa menghentikan kekerasan yang dilakukannya? Apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung terjadinya perubahan perilaku pada pelaku yang efektif dan adil?
Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA(Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia);Pendekatan Pemulihan Dalam Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana
Moderator: Syaldi Sahude (Koordinator Aliansi Laki-Laki Baru)
Kombes. Pol Sri Rumiati (Kepala Bagian Pengkajian Administrasi Kepolisian PPITK Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ); Polri dalam Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Narasumber: Dr. Kristi Poerwandari (Psikolog Yayasan Pulih dan dosen Fak. Psikologi dan Kajian gender UI): “Kajian perspektif biopsikososial-budaya pelaku kekerasan terhadap perempuan dan intervensi apa yang perlu dilakukan”
---------------------------------------------------------
Panel 2: Pendekatan Intervensi Pelaku/ Perubahan Perilaku Pelaku: siapa melakukan apa dan bagaimana hasilnya? Moderator: Siska Dewi Noya (Manajer Program Mencare+ dan SGBV Specialist, RutgersWPF Indonesia) Narasumber: Ismi Nuraini (Koordinator RPTC Cabang Bambu Apus Kementerian Sosial); Rehabilitasi Sosial Korban tindak kekerasan
Dra. Ni Made Martini Putri, M.Si (Dosen Kriminologi FISIP UI dan peneliti PUSKA Perlindungan Anak UI): “Kajian perspektif kriminologi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan intervensi apa yang perlu dilakukan” Nur Hasyim (Pendiri Aliansi Laki-Laki Baru): “’Laki-laki, pelaku atau mitra?’- kewajiban etis dan peran lakilaki dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan”
Annex 4 - Daftar Peserta • Perwakilan Lembaga Pemerintah • Perwakilan Lembaga PBB • Perwakilan NGO & INGO • Jurnalis Media
Annex 5 – Digital engagement #KonselingLelaki #MenCare
36
37
Annex 6 - Media coverage
JUMLAH kekerasan terhadap perempuan meningkat setiap tahunnya. Pada 2014, angkanya mencapai 293.220 kasus, meningkat dibanding 2013 sebanyak 279.688 kasus (Komnas Perempuan). Namun, sudah ada terobosan kebijakan oleh pemerintah untuk penanggulangan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Salah satunya mewajibkan pelaku KDRT untuk mengikuti program konseling agar bisa mengubah perilakunya. Hal ini diamanatkan dalam UU Penghapusan KDRT No 23/2004 Pasal 50, selain tentunya juga hukuman penjara bagi pelaku. Perkembangan terkini, organisasi sosial kemasyarakatan juga menyadari perlunya intervensi terhadap pelaku dalam bentuk rehabilitasi menjadi bagian penting dalam
upaya mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Berkaitan dengan itu, sejak 2007 Rutgers WPF bersama mitra- mitranya mengembangkan program konseling bagi laki-laki yang bertujuan membimbing lakilaki yang melakukan kekerasan dalam hubungan personal demi mengakhiri kekerasannya serta menjadi pasangan yang saling menghargai dan menghormati. “Permasalahan kekerasan terhadap perempuan sangatlah kompleks. Selama ini fokus banyak program tertuju pada perempuan sebagai korban saja dan belum banyak program menyasar laki-laki pelaku kekerasan. Jika kita ingin menghapus kekerasan, kita juga harus bekerja dengan pelaku. Kita harus melibatkan laki-laki dan dengan demikian berusaha mengubah perilakunya agar laki-laki mengerti diri sendiri dan tidak melakukan kekerasan lagi.
38
Semua ini untuk melindungi perempuan dan anak. Inovasi berupa konseling laki-laki adalah hal baru dan perlu diadopsi seluas mungkin, mengingat kasus kekerasan terhadap perempuan malah semakin meningkat setiap tahunnya,” tutur Irma S Martam selaku Koordinator Eksekutif Yayasan Pulih, lembaga yang memberikan layanan konseling laki-laki. Namun, terlepas dari terobosan-terobosan yang sudah dilakukan untuk intervensi kepada pelaku, masih diperlukan sebuah tinjauan seberapa jauh hal ini sudah diimplementasikan dan apakah intervensi pada pelaku ini sudah menuju pada perubahan perilaku yang dapat berkontribusi pada penghentian kekerasan terhadap perempuan. Seperti dalam konteks KDRT ataupun kekerasan seksual, termasuk pada anak pelaku kekerasan seksual. “Kami bersama mitra sudah melatih komunitas ayah agar mampu mengidentifikasi kekerasan terhadap perempuan dan merujuk laki-laki yang berperilaku demikian agar bisa mengikuti konseling. Wilayah cakupan program konseling laki-laki saat ini menjangkau Lampung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, serta Aceh. Banyak pembelajaran yang kami dapatkan selama berproses mengembangkan inovasi ini. Salah satunya, pentingnya kesadaran masyarakat mengetahui apa itu kekerasan dan beragam bentuk kekerasan agar kita bisa saling mengingatkan serta melindungi perempuan dan anak sebagai kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan,” tandas Monique Soesman, Direktur Rutgers WPF Indonesia. (Sri noviarni)
39
40
Rutgers WPF Indonesia adalah pusat keahlian dalam bidang kesehatan reproduksi, seksualitas, penanggulangan kekerasan berbasis gender dan seksualitas. Rutgers WPF Indonesia mengembangkan berbagai program yang menjamin remaja mendapatkan akses pendidikan seksualitas yang komprehensif, layanan kesehatan seksual dan reproduksi, dan pelibatan laki-laki yang diimplementasikan bersama mitra lokal di Indonesia. Rutgers WPF Indonesia memiliki rekam jejak yang sudah terbukti dan inovatif dalam advokasi kebijakan, penelitian, pendekatan gender transformatif dan mendukung kerjasama dengan mitra lokal. Saat ini Rutgers WPF Indonesia bekerja dengan lebih dari 20 mitra di 10 provinsi di Indonesia.
Head office Jl. Pejaten Barat Raya 17B Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12510 Indonesia e.
[email protected] rutgerswpfindo.org