Proceding Islam dan Pendidikan di Era Kontemporer Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung
Proceding Islam dan Pendidikan di Era Kontemporer Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)
Penanggungjawab Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons
Editor Dharma Setyawan, MA
ISBN : 978-602-74579-1-1
Diterbitkan oleh: Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro Lampung Telp. 0725-41507, fax 0725-47296 Email :
[email protected] Website : http://www.stainmetro.ac.id
Islam dan Pendidikan Perubahan masyarakat dewasa ini terasa begitu sangat cepat dan tidak terelakkan lagi. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat sudah tentu sangat berpengaruh pada aspek-aspek kehidupan yang lain termasuk di dalam aspek atau bidang pendidikan. Ahli-ahli pendidikan sangat sadar bahwa proses pendidikan tidak berlangsung di ruang kosong dan terisolasi, melainkan di tengah-tengah hiruk pikuk masyarakat yang berubah cepat. Ini artinya, apa yang terjadi dalam masyarakat cepat atau lambat hal itu akan berpengaruh secara signifikan terhadap bidang pendidikan. Bidang pendidikan itu sendiri cakupannya sangat luas, di dalamnya tercakup pula pendidikan agama, yang dimaksudkan untuk mengembangkan potensi religiusitas dan moralitas manusia atau peserta didik. Di era multikulturalisme seperti sekarang ini, pendidikan agama benar-benar dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan, antara lain dengan issu multikulturalisme, pandangan suatu agama terhadap keyakinan atau nilai-nilai yang berbeda tidak boleh hanya dari perspektif tunggal yakni dari pandangan agama yang bersangkutan saja, melainkan juga harus mampu mengakomodasi pandangan yang berbeda. Pandangan yang berperspektif tunggal tersebut tidak sejalan dengan semangat multikultural. Pendidikan adalah fenomena kemanusiaan yang bersifat universal. Artinya,, di mana ada manusia di sana ada pendidikan. Dalam kenyataannya, manusia sangat membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya, baik potensi individualitas, sosialitas, moralitas maupun religiusitasnya. Dalam konteks inilah pendidikan agama menjadi sangat relevan, yakni pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan potensi religiusitas dan moralitas manusia (peserta didik). Manusia meskipun telah dianugerahi berbagai kemampuan oleh sang penciptanya, baik kemampuan inderawi, mupun akalinya, ternyata masih membutuhkan bimbingan dari agama. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam memahami fenomena alam maupun dalam menghadapi kehidupannya, lebih-lebih kehidupan setelah kematian. Sebagai manusia yang beriman tentu sangat membutuhkan informasi dari ajaran agamanya sekaligus membutuhkan bimbingan dari Tuhan agar tidak tersesat baik di dunia maupun di akhirat kelak. Agama menurut Parsudi Suparlan (1980) secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai "seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya." Secara lebih khusus, agama dapat didefinisikan sebagai "suatu sistem keyakinan yang dianut, dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci." Secara sosiologis, agama juga dibedakan dari isme-isme lainnya, karena ajaran-ajaran
agama selalu bersumber pada wahyu yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan atau wangsit (dalam agama-agama primitif dan lokal). Agama bagi para penganutnya berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran tertinggi dan mutlak, tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat baik di dunia maupun di akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhannya, beradab, dan manusiawi, yang berbeda dari caracara hidup hewan atau makhluk-makhluk gaib yang jahat dan berdosa seperti setan dsb. Pada setiap agama memuat sistem keyakinan (aqidah), sistem peribadatan (syariah) dan sistem nilai baik buruk (akhlaq). Ini artinya, pada setiap agama ada keyakinan-keyakinan yang khas yang tidak dimiliki oleh keyakinan agama lain. Juga, sistem peribadatannya berbeda antara agama satu dengan agama lainnya. Akhirnya, sistem nilai baik buruk (ajaran moral/akhlak) dari masing-masing agama juga tidak sama. Dan inilah yang menjadikan penganut suatu agama terkesan eksklusif. Eksklusivisme dalam beragama akhirakhir ini mendapat tantangan dengan munculnya issu pluralisme dan multikulturalisme. Sebegitu pentingnya Islam memandang Pendidikan, maka beberapa tulisan dalam Proceeding ini mengulas mengenai Islam dan Pendidikan lewat sudut pandang dari berbagai penulis. Semoga bermanfaat, selamat membaca.[N]
Metro, Desember 2016
Redaksi
Daftar isi
MODEL ASSESMENT RESPONSI BUTIR Esty Apridasari
HASIL
BELAJAR
DENGAN
TEORI 1-9
MEMBUMIKAN CHARACTER BUILDING MELALUI NILAI KEISLAMAN DALAM KONTEKS PENDIDIKAN DI INDONESIA Syaripudin Basyar
10-19
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA UPAYA PENDEKATAN MULTI RELIGIUS DALAM PENEGAKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) 20-28 Juhri AM INTRUCTIONAL SUPERVISION MODEL AN ATTEMPT TO INCREASE THE TEACHER’S PROFESSIONALISM Adolf Bastian 29-38 IMPLIKASI PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP PENDIDIKAN DI LPTK DAN PELAYANAN KONSELING 39-50 Ida Umami PERAN PENDIDIKAN AGAMA DI ERA MULTIKULTURALISME PADA LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL 51-58 Ali Mashari KONTEKSTUALISASI PENDIDIKAN ISLAM: REFORMULASI ESSENSI DAN URGENSITAS PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERATRANSFORMASI INFORMASI 59-79 Buyung Syukron MEMBANGUN MANAJEMEN MUTU DENGAN PRINSIP SIX SGIMA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL 80-98 Dalmeri
MODEL ASSESMENT HASIL BELAJAR DENGAN TEORI RESPONSI BUTIR Esty Apridasari STAIN Jurai Siwo Metro Lampung Abstract There are two model test used to measure the students learning outcome, that is classic test theory and item response theory. At classic test theory result of test have the character of locally, consequently discrepancy occurs meaning at gained at the place of the other. The difference is possible because nature of classic test theory which depend on ability of test participant group. To overcome weakness of classic test theory is modern test theory or item response theory (IRT). This theory try to eliminate depended measuring instrument ably test participant group. Grains test the high unchanged and keep the high worked out by whoever. Item response theory to give result of better because problem item there no is irrespective of ability of test participant as happened at classic test theory. A. Pendahuluan Kualitas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari prosedur evaluasi pendidikan. Untuk memperbaiki kualitas pendidikan perlu diciptakan sistem evaluasi yang lebih baik. Sistem evaluasi (kegiatan pengukuran/pengujian, penilaian hingga kegiatan evaluasi) ini, selain prosedurnya yang harus sistematis, pelaksanaannyapun harus memiliki akuntabilitas yang tinggi, serta hasilnya diharapkan mendapatkan pengakuan dari stakeholders pendidikan. Kumaidi (2004) mengungkapkan bahwa peningkatan kualitas pendidikan memerlukan perbaikan proses pembelajaran di sekolah dengan menerapkan cara kerja sistematis yang salah satunya dapat dimulai dari pembenahan sistem penilaian (asesment). Pendapat ini bermakna bahwa untuk memperbaiki sistem pembelajaran di sekolah, diperlukan sejumlah informasi dari hasil kegiatan asesmen yang dilakukan secara sistematis dan profesional oleh guru, sekolah, maupun institusi pendidikan. Temuan Djemari Mardapi (1999) tentang beberapa hal yang membuat sistem evaluasi hasil belajar yang dilakukan di sekolah maupun di daerah dengan kualitas pendidikan belum berjalan secara optimal, antara lain: (1) kualitas tes buatan guru masih kurang memadai; (2) jaringan pengujian di daerah belum dimanfaatkan dengan baik; (3) pelaporan hasil penyelenggaraan ujian oleh guru kepada kepala sekolah belum terlaksana secara rutin; dan (4) hasil-hasil ujian belum dimanfaatkan secara optimal untuk perbaikan proses pembelajaran di kelas. Dari beberapa pendapat di atas, maka konteks penilaian hasil belajar tidak dapat dilepaskan dari tiga hal, yakni: (1) penilaian harus memiliki prosedur dan mekanisme yang baik; (2) hasil penilaian harus memberi informasi yang jelas kepada semua pihak, terutama guru dan siswa; dan (3) hasil penilaian harus memberikan gambaran tingkat penguasaan siswa terhadap sejumlah kompetensi yang dinyatakan dalam kurikulum.
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
Di beberapa negara, mekanisme dan prosedur penilaian pendidikan telah ditata sedemikian rupa dengan menggunakan instrument baku. Bahkan mekanisme dan prosedur pengujiannya pun sudah memanfaatkan sistem teknologi informasi (Chew Lee Chin, 1998). Pusat pengujian nasional, pengujian regional, maupun pelayanan-pelayanan pengujian di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, telah lama menggunakan komputer sebagai cara menerapkan mekanisme dan prosedur pengujian (Patty Farah, 2001). Di Indonesia telah ditetapkan Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengamanatkan kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada standar isi (SI) dan standar kompetensi lulusan (SKL). Kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang mengikuti SI dan SKL pada kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah penilaian (assessment). Pada pasal 57 ayat 2 Undang-undang Sisdiknas menyatakan bahwa “Evaluasi (penilaian) dilakukan terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan”. Pembelajaran di sekolah merupakan aplikasi pelaksanaan kurikulum dalam mencapai tujuan pendidikan, yaitu terjadinya perubahan perilaku peserta didik ke arah positif. Guna mengetahui tercapai tidaknya suatu tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum, maka dalam kegiatan pembelajaran diperlukan suatu alat ukur. Dalam pembelajaran alat ukur berfungsi sebagai alat untuk membantu mengungkapkan kemampuan-kemampuan laten yang berada dalam diri peserta didik. Hasil pengukuran merupakan input yang memberikan gambaran mengenai kemampuan peserta didik dan berfungsi sebagai indikator keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Mengukur hasil belajar dengan tes berbeda dengan yang nontes. S. Eko Putro Widoyoko (2011) mengemukkan bahwa mengukur hasil belajar lebih sulit dan memakan waktu dibandingkan dengan mengukur reaksi. Ada dua jenis tes yang biasa digunakan dalam pengukuran pendidikan, yaitu tes objektif dan tes uraian. Kedua jenis tes ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pembagian jenis tes berdasarkan cara peserta tes menjawab butir-butir pertanyaan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, butir-butir pertanyaan dalam tes telah disediakan jawabannya, sehingga peserta didik tinggal memilih jawaban (selected response test items). Kedua, butir-butir pertanyaan dalam tes tidak disediakan jawabannya, maka peserta tes perlu membuat jawabannya sendiri (constructed response test item). Kenyataan di lapangan banyak sekolah dalam melakukan pengukuran hasil belajar menggunakan tes objektif berbentuk selected response items, terutama pilihan ganda. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
2
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
Penggunaan bentuk tes objektif pilihan ganda hampir dilakukan di semua mata pelajaran dan di semua jenjang pendidikan dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Perbedaan penggunaan jenis tes objektif pada setiap jenjang pendidikan terletak pada perbedaan kompleksitas bentuk pilihan ganda serta jumlah pilihan jawaban atau butir soal yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pemilihan jumlah pilihan jawaban dan kompleksitas pertanyaan dalam butir tes tentunya disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik yang tercermin pada masing-masing jenjang pendidikan. Demikian juga dalam penyusunan butir tes pada alat tes, harus ada kecocokan antara kemampuan peserta didik dengan alat ukur yang digunakan serta tahap perkembangan kognitif agar diperoleh gambaran kemampuan yang sebenarnya. Sementara itu, dalam evaluasi dan penilaian hasil pembelajaran ada dua jenis model ujian yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan peserta didik dalam pembelajaran, yaitu teori ujian klasik dan teori responsi butir. B. Model Sekor Murni: Teori Ujian Klasik Teori ujian klasik (classical test theory) merupakan suatu teori penyusunan perangkat ukur yang butir tesnya dianalisis dengan teknik penyusunan tes yang pada umumnya sama dengan yang dilakukan oleh guru ketika membuat tes. Teori ujian klasik ini disebut juga dengan model sekor murni (true score model), karena dasar analisis menggunakan sekor murni. Perhitungan yang digunakan untuk pengujian persyaratan dan analisis butir tes pada teori ujian klasik berdasarkan sekor yang diperoleh dari responden dalam menjawab benar semua butir tes dengan menggunakan teknik statistika tertentu dan tidak berdasarkan model grafik. Pada teori ujian klasik hasil pengukuran berupa data kuantitatif yaitu sekor yang diperoleh peserta tes dinamakan dengan sekor amatan, dan dilambangkan dengan huruf A. Sekor amatan terdiri dari sekor murni dilambangkan dengan huruf M dan sekor keliru dilambangkan dengan huruf K. Secara sederhana struktur sekor amatan dapat dibuat suatu formula sebagai berikut: A = M + K (dimana: A = sekor amatan; M = sekor murni atau tulen; K = sekor keliru). (Budi Susetyo, 2011). Sekor amatan (A) adalah sekor yang diperoleh seorang peserta tes dalam menjawab benar seluruh butir tes yang dikerjakannya tidak peduli butir benar karena memang benar-benar mengerti (paham) atau tidak paham. Oleh karena itu, sekor amatan peserta tes yang diperoleh, belum tentu merupakan representasi kemampuan laten yang sebenarnya. Sekor murni (M) adalah sekor yang diperoleh seorang peserta tes dalam menjawab benar butir tes yang benarbenar dipahami oleh peserta tes atau berdasarkan kemampuannya sendiri. Sekor keliru (K) adalah sekor yang diperoleh seorang peserta tes dalam menjawab benar butir tes, tetapi jawaban benar bukan berdasarkan dari kemampuan Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
3
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
peserta tes sendiri. Sekor keliru ini hasilnya selalu berubah-ubah dan sulit untuk diketahui dalam prakteknya. Sekor ujian yang diperoleh dari perangkat tes pada teori ujian klasik ditemukan jawaban benar dan jawaban salah pada setiap butir dalam suatu ujian. Gabungan sekor jawaban benar dan jawaban salah dinamakan dengan sekor komposit. Sekor komposit ini dapat terjadi pada sekor responden atau amatan dan sekor pada butir tes. Besarnya sekor responden tergantung dari jumlah butir, dan sekor butir akan tergantung dari jumlah responden. Oleh karena itu, ciri butir tergantung pada kelompok responden, jika kelompok responden berubah mengakibatkan nilai ciri butir juga berubah, demikian sebaliknya. Dengan kata lain, nilai keberhasilan responden akan tergantung dari kelompok butir yang ada dalam perangkat tes dan taraf kesukaran butir akan tergantung pada kelompok responden. Hal ini mengakibatkan tidak dapat membahas ukuran kesukaran butir tanpa harus menyebutkan kelompok respondennya. Sekor pada teori ujian ini, perangkat tes dengan yang dikembangkan ada keterkaitan antara keadaan butir tes dengan kemampuan responden yang tidak terpisahkan. Bila dilihat dari hasil tes, butir mudah diberikan kepada kelompok kemampuannya rendah, maka diperoleh sekor tinggi. Butir yang sukar diberikan pada kelompok yang kemampuannya tinggi, maka diperoleh sekor tinggi. Dari hasil pada kelompok yang beda yaitu kelompok tinggi dan kelompok rendah, maka kemampuan tampak tidak berbeda dalam sekor, yaitu keduanya samasama tinggi. Inilah kelemahan utama dalam teori ujian klasik adalah perangkat tes yang disusun terikat pada kemampuan atau ability kelompok responden dengan tingkat kesukaran butir. Selain ketergantungan antara butir tes dengan kemampuan responden masih ada kelemahan yang lain yaitu tidak dapat mengukur kemampuan responden yang sesungguhnya. Beberapa kelemahan teori ujian klasik menurut Dali S. Naga (1992) adalah: (1) Statistik butir tes sangat tergantung pada subjek yang diuji; (2) Taksiran kemampuan peserta tes sangat tergantung pada butir tes yang diujikan; (3) Kesalahan baku penaksiran sekor baku untuk semua peserta tes, sehingga kesalahan baku pengukuran bagi setiapo peserta tes dan butir tes tidak ada; (4) Informasi yang disajikan terbatas pada menjawab benar/salah, tidak memperhatikan pada jawaban peserta tes; (5) Asumsi tes paralel sulit dipenuhi. Berdasarkan kelemahan ini, maka teori ujian klasik tidak dapat digunakan untuk melakukan pencocokan kemampuan responden dengan tingkat kesukaran butir karena keduanya dependen. C. Teori Responsi Butir: Model Assesmen Pembelajaran Modern Teori responsi butir (item response theory) atau IRT dikenal juga sebagai teori ujian modern (modern test theory). Teori ujian modern, digunakan untuk Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
4
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
mengatasi kelemahan yang terjadi pada teori ujian klasik. Perhitungan pada teori ujian klasik mengaitkan tingkat kesukaran dengan kemampuan kelompok responden (peserta tes) secara langsung. Sedangkan analisis pada teori responsi butir, tingkat kesukaran butir tidak dikaitkan langsung dengan kemampuan responden, tetapi tingkat kesukaran butir dikaitkan langsung dengan karakteristik butir. Tingkat kesukaran butir pada teori ujian modern diberi simbul b, maka tingkat kesukaran suatu butir tes terletak pada; P(θ) = Pmin + 0,5 (Pmin – Pmin) P(θ) = Pmin + 0,5 (1 - Pmin) Teori responsi butir memiliki karakteristik butir, yaitu perlu menentukan model karakteristik butir yang digunakan dalam melakukan analisis terhadap perangkat tes yang disusun. Model karakteristik butir atau lengkungan responsi butir dapat berbentuk satu parameter (1P), dua parameter (2P), tiga parameter (3P) atau model lain. Berdasarkan ciri parameter butirnya, terdiri dari tingkat kesukaran (b), daya beda (a), dan tebakan (c), maka model logistik terbagi tiga macam, yaitu: 1. L1P : P(θ) = f(b,θ), model ini hanya memiliki satu parameter butir yaitu tingkat kesukaran. 2. L2P : P(θ) = f(a, b, θ), model ini hanya memiliki satu parameter butir yaitu tingkat kesukaran dan daya beda. 3. L3P : P(θ) = f(a, b, c, θ), model ini hanya memiliki satu parameter butir yaitu tingkat kesukaran, daya beda dan tebakan. Angka yang menunjukkan bilangan satu, dua, dan tiga menunjukkan banyaknya parameter butir yang digunakan dalam melakukan analisis tes. Sedangkan parameter yang terdapat pada teori responsi butir ada dua, yaitu parameter kemampuan disebut juga theta (θ) dan parameter butir terdiri dari dan dua parameter akan memiliki tingkat kesukaran yang sama besarnya dengan kemampuan responden (b = θ), ketika peluang menjawab benar suatu butir tes terjadi pada P(θ) = 0,5. Sedangkan model tiga parameter yang terdiri dari tingkat kesukaran, daya beda, dan tebakan akan memiliki tingkat kesukaran sama besarnya dengan kemampuan responden (b = θ) ketika P(θ) = 0,5 (1+c). Tujuan teori responsi butir adalah membebaskan responden dan butir tes dari independensi, sehingga tingkat kesukaran butir tes tidak lagi tergantung (invarian) kepada kemampuan responden. Demikian juga sebaliknya kemampuan responden tidak lagi tergantung kepada tingkat kesukaran. Dengan adanya independensi di antara tingkat kesukaran butir dan kemampuan responden, maka dapat memilih butir yang cocok dengan responden pada saat pembuatan perangkat tes. Berdasarkan kecocokan di antara tingkat kesukaran butir dan kemampuan responden, jika tingkat kesukaran butir diketahui, maka kemampuan responden dapat ditentukan. Sebaliknya jika kemampuan responden diketahui, maka tingkat kesukaran butir dapat dicari atau dihitung. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
5
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
Teori responsi butir memiliki empat persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Model logistiik; (b) Unidimensi (c) Invariansi kelompok; (d) Independensi lokal. Pemeriksanaan model logistik dimaksudkan untuk melihat kecocokan data empiris pada setiap butir tes dengan model logistik. Teknik analisis yang digunakan untuk melihat kecocokan adalah Х2, dengan membandingkan parameter butir dengan kriteria pada table Х2 atau menggunakan scatterplot atau grafik model logistik. Unidimensi merupakan persyaratan variable yang diukur dengan perangkat tes yang dibuat hanya satu dimensi. Pemeriksaan dilakukan untuk menentukan apakah tes tersebut mengukur dimensi faktor kemampuan peserta tes dalam bidang tertentu. Invariansi kelompok mengartikan bahwa karakteristik butir adalah sama (invarian) untuk semua subkelompok atau homogen jika semua responden di dalam subkelompok itu memiliki kemampuan yang sama. Independensi lokal, menghendaki, pada lokasi yang sama dengan kemampuan responden yang sama, maka probabilitas menjawab benar P(θ) untuk butir berbeda adalah independen satu butir tes terhadap butir tes yang lainnya. D. Fungsi Informasi Butir dalam Analisis Butir Pada teori klasik analisis butir terbagi menjadi tingkat kesukaran, daya beda, pengecoh atau distraktor. Pada teori responsi butir analisis butir terbagi menjadi tingkat kesukaran, daya beda, dan tebakan yang ketiganya dinamakan dengan parameter butir. Istilah analisis butir dalam teori responsi butir dinamakan fungsi informasi butir. Frank Baker (2001) mendefinisikan fungsi informasi berkaitan secara timbal balik dengan ketepatan suatu parameter yang diukur. Secara statistik, ketepatan suatu parameter diukur dengan variable sekitar nilai parameter. Charles Hulin L., dkk., (1993) fungsi informasi butir berbanding terbalik dengan variansi kekeliruan pada estimasi parameter. Budi Susetyo (2011) menjelaskan bahwa fungsi informasi pada teori responsi butir merupakan perbandingan terbalik dengan ketidakpastian. Semakin tinggi ketidakpastian maka semakin rendah nilai fungsi informasi, sebaliknya semakin rendah ketidakpastian maka makin tinggi fungsi informasi. Menurut Dali S. Naga (1992), fungsi informasi merupakan perbandingan terbalik dengan variansi kekeliruan asimtotik, dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Ii(θ,X) = 𝑃𝑖
1 𝜃 𝑄𝑖(𝜃)
𝜕𝑃𝑖(𝜃) 2 ) 𝜕 (𝜃)
(
Dimana: Ii(θ,X) = fungsi informasi butir ke-i untuk pensekoran X Pi(θ) = peluang menjawab butir tes dengan benar Qi(θ) = peluang menjawab butir tes dengan salah Perhitungan fungsi informasi butir menggunakan kekeliruan baku sebagai dasar perhitungan, karena adanya kaitan erat antara fungsi informasi dengan kekeliruan baku. Variansi merupakan kekeliruan atau simpangan baku yang Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
6
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
dikuadratkan dan dapat juga menunjukkan penyebaran nilai. Semakin besar nilai variansi semakin besar bentangan nilai, yang berarti semakin rendah nilai fungsi informasi. Apabila kekeliruan baku terjadi pada butir, maka semakin besar bentangan nilai kekeliruan baku pada butir berarti semakin kecil nilai fungsi informasi butir. Dengan demikian dapat diartikan ada kekurang-cocokan antara parameter kemampuan dengan parameter butir, karena nilai fungsi informasi butirnya rendah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya nilai kesalahan baku menurut Ronald K (1985), yaitu jumlah atau banyaknya butir tes, kualitas butir dalam tes, kecocokan antara tingkat kesukaran dengan kemampuan peserta tes. Nilai fungsi informasi suatu butir rendah menunjukkan bahwa estimasi terhadap kemampuan peserta tes menjauhi nilai estimasi kemampuan peserta yang sebenarnya. Sebaliknya nilai fungsi informasi butir tes tinggi menunjukkan adanya kedekatan antara tingkat kesukaran dengan kemampuan peserta sebenarnya. Tingkat kesukaran butir tes yang semakin tinggi, maka semakin kecil pula probabilitas atau peluang butir tes dijawab benar oleh peserta tes. Adanya kecocokan antara tingkat kesukaran dengan kemampuan peserta memberikan nilai fungsi informasi butir yang tinggi. E. Standar Asesmen Pembelajaran Jenis asesmen yang dapat dipergunakan untuk menilai peserta didik dalam proses pembelajaran, yaitu Penilaian Berbasis Kelas (classroom based evaluation). Penilaian berbasis kelas, yakni penilaian yang dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran (pelatihan). Penilaian berbasis kelas ini terdiri atas dua kategori yaitu formatif dan sumatif. Assesmen pembelajaran yang dilakukan berkenaan dengan pendidikan formal harus memenuhi standar tertentu, agar hasil penilaian dapat mengungkap kemampuan peserta didik yang sesungguhnya. Menurut Joint Committee on Standards for Educational Evaluation (1981), ada beberapa standar asesmen atau penilaian yang perlu diperhatikan. 1. Standar Kegunaan (utility standards) Standar utilitas untuk menjamin bahwa suatu penilaian yang dilakukan memberikan informasi praktis yang dibutuhkan peserta didik. Beberapa aspek yang harus diperhatikan agar informasi hasil penilaian yang diperoleh dapat menjadi informatif, tepat dan mempunyai pengaruh meliputi: (1) Identifikasi peserta didik, (2) Kredibilitas evaluator, (3) Pemilihan dan ruang lingkup informasi, (4) Interpretasi penilaian, (5) Kejelasan laporan, (6) Diseminasi laporan, dan (7) Dampak evaluasi. 2. Standar Fisibilitas (feasibility standars) Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
7
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
Standar fisibility merujuk kepada pengertian bahwa dalam melakukan penilaian harus mengacu kepada prosedur yang mempermudah pelaksanaan, yakni praktis, realistis, diplomatis, dan efektif-efisien dalam pembiayaan dan mampu mengantisipasi posisipoisisi yang berbeda dari kelompok kepentingan yang bervariasi. 3. Standar Kesopanan (propriety standars) Penilaian harus dilakukan secara legal dan etis, karena menyangkut hak atas peserta didik yang dinilai dan harus dihargai sebagai individu yang mempunyai privasi. 4. Standar Akurasi (accuracy standars) Informasi yang diperoleh berdasarkan hasil penilaian suatu lembaga atau guru, secara teknis harus tepat (adequate) dan kesimpulan yang diambil harus terkait secara logis dengan data yang diperoleh di lapangan. F. Simpulan Ada dua model ujian yang dapat digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran peserta didik, yaitu teori ujian klasik dan teori responsi butir. Teori ujian klasik butir-butir tes dibuat oleh guru atau dosen. Oleh karenanya, hasil ujian umumnya bersifat lokal, akibatnya terjadi perbedaan makna terhadap suatu sekor yang diperoleh pada suatu tempat dengan tempat lainnya. Hasil tes dengan teori ujian klasik pada satu rombongan belajar akan berbeda dengan rombongan belajar pada kelompok yang lain. Perbedaan ini dimungkinkan karena sifat teori ujian klasik yang tergantung pada kemampuan kelompok peserta tes. Cara lain untuk mengatasi kelemahan teori ujian klasik adalah teori ujian modern atau teori responsi butir (item response theory). Teori responsi butir berusaha menghilangkan ketergantungan alat ukur dengan kemampuan kelompok peserta tes. Butir tes yang memiliki tingkat kesukaran tinggi tidak berubah (invariant) dan tetap tinggi dikerjakan oleh siapapun. Demikian pula sebaliknya, butir tes yang tingkat kesukaran rendah tetap mempunyai tingkat kesukaran rendah dikerjakan oleh mereka berkemampuan tinggi atau rendah. Teori responsi butir memberikan hasil yang lebih baik karena butir soal tidak ada ketergantungan dengan kemampuan peserta tes sebagaimana terjadi pada teori ujian klasik. Daftar Pustaka Budi Susetyo, 2011. Menyusun Tes Hasil Belajar. Bandung: Cakra. Charles Hulin L., dkk. 1993. Item Response Theory: Aplication to Psychological Measurement. Illionis: Dow Jones Irwin. Chew Lee Chin, 1998. Issue and practice of school-based-testing, and future challengers in innovative technology assessment in Singapore. (http://www.nies.org.htm). Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
8
Edi Kusnadi
Model Assesment Hasil…
Dali S. Naga, 1992. Pengantar Teori Sekor pada Pengukuran Pendidikan. Jakarta: Gunadarma Djemari Mardapi, 1999. Penyusunan Tes Hasil Belajar. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Frank Baker, 2001. The Basic of Response Theory. Illionis: State University Service. S. Eko Putro Widoyoko, 2011. Evaluasi Program Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Joint Committee on Standards for Educational Evaluation, 1981. Standars for Evaluation of Educational Programs, Projects, and Materials. New York: Mcgraw-Hill Book Company Kumaidi, 2004. Sistem assesmen untuk menunjang kualitas pembelajaran. Jurnal Pembelajaran, Volume 27 No. 02. Patty Farah, 2001. Computer based analysis of oral presentation assesement for item banking. Research Report. (http://www.whps.org.pdf.) Ronald K. Hambleton, 1985. Item Response Theory Principle Education. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishers.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
9
MEMBUMIKAN CHARACTER BUILDING MELALUI NILAI KEISLAMAN DALAM KONTEKS PENDIDIKAN DI INDONESIA Syaripudin Basyar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Abstrak Artikel ini membahas pentingnya nilai-nilai akhlak bagi pengembangan karakter anak didik di lembaga-lembaga pendidikan dasar dan menengah. Akhlak dalam pengertian sehari-hari sama dengan budi pekerti, kesusilaan, sopan santun, tata krama, atau moral serta etika. Dalam bahasa agama akhlak diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan pemikiran secara mendalam. Apabila kebiasaan menghasilkan perbuatan baik disebut akhlak al-karimah, bila menghasilkan perbuatan buruk disebut akhlak madzmumah Pendidikan akhlak sarat denegan inspirasi kriteria ideal dan makna karakter yang baik yang sangat dibutuhkan bagi penyelenggaraan pendidikan karakter lewat mana nilai-nilai spiritualitas menjadi entri point yang penting. Kata Kunci: Character Building, Pendidikan Islam A. Latar Belakang Penguatan pendidikan karakter dalam konteks sekarang sangat diperlukan untuk mengatasi krisis moral yang sedang terjadi di negara .Diakui atau tidak diakui saat ini terjadi krisis yang nyata dan perlu diawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan seks bebas, maraknya angka kekerasan, krisis kesantunan, kebiasaan menyontek, dan penyalahgunaan obatobatan, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying di sekolah, dan tawuran. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini telah menjurus kepada tindakan kriminal. Perilaku orang dewasa juga setali tiga uang, senang dengan konflik dan kekerasan atau tawuran, perilaku korupsi yang merajalela, dan perselingkuhan. Kondisi krisis dan dekadensi moral ini menandakan bahwa seluruh pengetahuan agama dan moral yang didapatkannya di bangku sekolah ternyata tidak berdampak terhadap perubahan perilaku manusia Indonesia. Bahkan yang terlihat adalah begitu banyaknya manusia Indonesia yang tidak konsisten, lain yang dibicarakan, dan lain pula tindakannya. Banyak orang berpandangan bahwa kondisi demikian diduga berawal dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Demoralisasi terjadi karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Pendidikanlah yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap situasi ini.
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
Pendidikan formal di sekolah, bisa jadi salah satu penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau kognitif semata, sedangkan aspek soft skils atau nonakademik sebagai unsur utama pendidikan karakter belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan. Saat ini, ada kecenderungan bahwa target-target akademik masih menjadi tujuan utama dari hasil pendidikan, seperti halnya Ujian Nasional (UN), sehingga proses pendidikan karakter masih sulit dilakukan. Praktik pendidikan yang semestinya memperkuat aspek karakter atau nilai-nilai kebaikan sejauh ini hanya mampu menghasilkan berbagai sikap dan perilaku manusia yang nyata-nyata malah bertolak belakang dengan apa yang diajarkan. Dicontohkan bagaimana pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan agama pada masa lalu merupakan dua jenis mata pelajaran tata nilai, yang ternyata tidak berhasil menanamkan sejumlah nilai moral dan humanisme ke dalam pusat kesadaran siswa. Materi yang diajarkan oleh pendidikan agama termasuk di dalamnya bahan ajar akhlak, cenderung terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif), sedangkan pembentukan sikap (afektif), dan pembiasaan (psikomotorik) sangat minim. Pembelajaran pendidikan agama lebih didominasi oleh transfer ilmu pengetahuan agama dan lebih banyak bersifat hafalan tekstual, sehingga kurang menyentuh aspek sosial mengenai ajaran hidup yang toleran dalam bermasyarakat dan berbangsa. Dengan kata lain, aspek-aspek lain yang ada dalam diri siswa, yaitu aspek afektif dan kebajikan moral kurang mendapatkan perhatian. Koesoema menegaskan bahwa persoalan komitmen dalam menginte- grasikan pendidikan dan pembentukan karakter merupakan titik lemah kebijakan pendidikan nasional. Atas kondisi demikian, semua orang sepakat mengatasi persoalan kemerosotan dalam dimensi karakter ini. Para pembuat kebijakan, dokter, pemuka agama, pengusaha, pendidik, orang tua, dan masyarakat umum, semua menyuarakan kekhawatiran yang sama. B. Pembahasan Kata karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan, bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkarakter jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang. Seseorang bisa disebut orang yang berkarakter (a person of character) apabila perilakunya sesuai dengan kaidah moral. 1. Konsep Pendidikan Karakter Pendidikan karakter telah menjadi polemik di berbagai negara. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
11
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
Pandangan pro dan kontra mewarnai diskursus pendidikan karakter sejak lama. Sejatinya, pendidikan karakter merupakan bagian esensial yang menjadi tugas sekolah, tetapi selama ini kurang perhatian. Akibat minimnya perhatian terhadap pendidikan karakter dalam ranah persekolahan. Berkembangnya berbagai penyakit sosial di tengah masyarakat. Seyogianya, sekolah tidak hanya berkewajiban meningkatkan pencapaian akademis, tetapi juga bertanggung jawab dalam membentuk karakter peserta didik. Capaian akademis dan pembentukan karakter yang baik merupakan dua misi integral yang harus mendapat perhatian sekolah. Namun, tuntutan ekonomi dan politik pendidikan menyebabkan pene- kanan pada pencapaian akademis mengalahkan idealitas peran sekolah dalam pembentukan karakter. Pendidikan karakter diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah untuk membantu pengembangan karakter dengan optimal). Hal ini berarti bahwa untuk mendukung perkembangan karakter peserta didik harus melibatkan seluruh komponen di sekolah baik dari aspek isi kurikulum (the content of the curriculum), proses pembelajaran (the procces of instruction), kualitas hubungan (the quality of relationships), penanganan mata pelajaran (the handling of discipline), pelaksanaan aktivitas ko-kurikuler, serta etos seluruh lingkungan sekolah. Pendidikan karakter secara perinci memiliki lima tujuan. Pertama, mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Keempat, mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama. Pertama, fungsi pembentukan dan pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila. Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki dan Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
12
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Ketiga fungsi ini dilakukan melalui: (1) pengukuhan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, (2) pengukuhan nilai dan norma konstitusional UUD 45, (3) penguatan komitmen kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (4) penguatan nilai- nilai keberagaman sesuai dengan konsepsi Bhineka Tunggal Ika, dan (5) penguatan keunggulan dan daya saing bangsa untuk keberlanjutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia dalam konteks global. Dengan demikian, pendidikan karakter adalah segala upaya yang dilakukan guru, yang mampu memengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya membangun karakter bangsa mendesak untuk diterapkan. Pendidikan karakter menjadi vital dan tidak ada pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang dapat menghadapi tantangan regional dan global. Di antara karakter yang perlu dibangun adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang terbaik (giving the best) sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran. Inti karakter adalah kejujuran. Karakter dasar seseorang adalah mulia. Namun, dalam proses perjalanannya mengalami modifikasi atau metamorfosis, sehingga karakter dasarnya dapat hilang. Contohnya, hewan singa memiliki karakter dasar yang galak, tetapi karena mengalami proses modifikasi menjadi bagian dari pertunjukan sirkus, maka singa kehi- langan kegalakannya. Pendidikan karakter dari sisi substansi dan tujuannya sama dengan pendidikan budi pekerti, sebagai sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar, karena membawa perubahan individu sampai ke akar-akarnya. Istilah budi pekerti mengacu pada pengertian dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan sebagai moralitas. Moralitas mengandung beberapa pengertian, antara lain: adat-istiadat, sopan santun, dan perilaku. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
13
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
intinya merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak dan tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama). Budi pekerti adalah watak atau tabiat khusus seseorang untuk ber- buat sopan dan menghargai pihak lain yang tercermin dalam perilaku dan kehidupannya. Adapun watak itu merupakan keseluruhan doron- gan, sikap, keputusan, kebiasaan, dan nilai moral seseorang yang baik, vang dicakup dalam satu istilah sebagai kebijakan. Secara operasional, pendidikan budi pekerti merupakan upaya untuk membekali peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan selama pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai bekal masa depannya, agar memiliki hati nurani yang bersih, berperangai baik, serta menjaga kesusilaan dalam melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan dan sesama makhluk. Dengan demikian, terbentuknya pribadi seutuhnya yang tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, kerja dan hasil karya berdasarkan nilai-nilai agama, norma, dan moral luhur bangsa. Pendidikan karakter perlu mengadopsi dan menginovasi pola pelaksanaan pendidikan budi pekerti. Inovasi yang dilakukan, antara lain dengan memberikan penguatan proses pengembangan ranah afektif secara tuntas, bertahap dan kontinu baik pada lembaga pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Ranah afektif (affective domain) maksudnya kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, dan kepatuhan terhadap moral. Pendidikan karakter perlu dikembangkan pada diri setiap orang. Pendidikan karakter dimanifeskan ke dalam sebuah proses atau tahapan kegiatan membina makna-makna yang esensial, karena hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk mempela jari dan menghayati makna esensial yang sangat penting bagi kelang sungan hidup manusia. Pendidikan karakter pada intinya melakukaj penanaman nilai dengan cara membimbing pemenuhan kehidupa manusia melalui perluasan dan pendalaman makna yang menjami kehidupan yang bermakna manusia. Pendidikan karakter berusaJ membina pribadi yang utuh, terampil berbicara, menggunakan lambang dam isyarat yang secara faktual Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
14
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
diinformasikan dengan baik, manusia berkreasi dan menghargai estetika ditunjang oleh kehidupan yang kaya dan penuh disiplin. 2. Hubungan Pendidikan Karakter dengan EQ dan SQ Mungkin banyak pihak yang mempertanyakan apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari be- ?erapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah ruletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian lain juga mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar dua puluh persen oleh hard skill dan sisanya delapan puluh persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan .ebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter untuk peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Pendidikan karakter hakikatnya merupakan pengintegrasian antara kecerdasan, kepribadian, dan akhlak mulia. Pendidikan karakter merupakan upaya membantu peserta didik untuk inemahami, peduli, dan berbuat atau bertindak berdasarkan nilainilai dan etika. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, dengan melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success mengompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor risiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
15
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik akan dapat dikenali melalui lima komponen dasar sebagai berikut: a. Self-awareness (pengenalan diri), kemampuan mengenali emosi dan penyebab atau pemicu emosi tersebut. Orang tersebut mampu mengevaluasi dirinya dan mampu mendapatkan informasi untuk melakukan suatu tindakan. b. Self-regulation (penguasaan diri), kemampuan seseorang untuk mengontrol dalam membuat tindakan secara berhati-hati. Orang itu mampu memilih untuk tidak diatur oleh emosinya. c. Self-motivation (motivasi diri), ketika sesuatu berjalan tidak sesuai rencana, seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi tidak akan bertanya “apa yang salah dengan saya atau kita?” Sebaliknya ia bertanya, apakah yang dapat saya lakukan agar kita dapat memperbaiki masalah ini?” d. Empathy (empati), kemampuan untuk mengenali perasaan orang ' ain dan merasakan apa yang orang lain rasakan jika dirinya sendiri yang berada pada posisi tersebut. e. Effective relationship (hubungan yang efektif), adanya empat Kemampuan tersebut, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain secara efektif. Kemampuan untuk memecahkan masalah bersama-sama lebih ditekankan dan bukan pada konfrontasi yang tidak penting yang sebenarnya dapat dihindari. Orang yang mempunyai kemampuan intelgensia yang tinggi mempunyai tujuan yang konstruktif dalam pikirannya. Kecerdasan emosi ini secara garis besar meliputi: self-awareness kesadaran tinggi), mood management (manajemen suasana hati), . -motivation (motivasi diri), impulse control (pengendalian hawa nafsu), dan people skill (keterampilan bermasyarakat). Daniel Goleman menvatakan bahwa Emotional Intelligence (El) memiliki lima ranah sebagai berikut: a. Knowing your emotions; b. Managing your own emotions; c. Motivating yourself; d. Recognizing and understanding other people‟s emotions; and e. Managing relationships, ie„ managing the emotions of others Kecerdasan emosional diperlukan agar seseorang bisa sukses dalam rergaul, berinteraksi, bekerja, dan berkarier dalam kehidupannya. Atas г ertimbangan ini, kecerdasan emosional perlu menjadi bagian penting aalam penanaman karakter bagi peserta didik secara terintegrasi ber- fama kecerdasan intelektual, dan kecerdasan spiritual Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
16
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
C. Hubungan Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Akhlak Pendidikan akhlak sarat dengan informasi kriteria ideal dan sumber karakter yang baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas. Pola bentukan definisi “akhlak” di atas muncul sebagai mediator yang menjembatani komunikasi antara Khalik (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) secara timbal balik, yang kemudian disebut sebagai hablum minallah. Dari produk hablum minallah yang verbal, biasanya lahirlah pola hubungan antar sesama manusia yang disebut dengan hablum minannas (pola hubungan antarsesama makhluk). Ibnu Athir dalam bukunya an-Nihayah menerangkan bahwa hakikat makna khuluq tersebut ialah gambaran batin manusia yang tepat (yaitu jiwa dan sifat-sifatnya), sedang khalqu merupakan gambaran bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, dan tinggi rendah tubuhnya)”. Senada dengan pendapat Ibnu Athir ini, Imam al-Ghazali menyatakan bahwa bilamana orang mengatakan si A itu baik khalqu-пуа dan khuluq-пуа, berarti si A itu baik sifat lahir dan sifat batinnya”. Berpijak pada sudut pandang kebahasaan, definisi akhlak dalam pengertian sehari-hari disamakan dengan “budi pekerti”, kesusilaan, sopan santun, tata krama (versi bahasa Indonesia) sedang dalam bahasa Inggrisnya disamakan dengan istilah moral atau ethic. Al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu perangai (watak/tabiat) yang menetap dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa dipikirkan atau direncanakan sebelumnya”. Pengertian akhlak seperti ini hampir sama dengan yang dikatakan oleh Ibn Maskawih, yang mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan jiwa yang menyebabkan timbulnya perbuatan tanpa melalui pertimbangan dan dipikirkan secara mendalam. Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak. Kehendak merupakan ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedang kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari dua kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang besar inilah yang bernama akhlak. Apabila kebiasaan menghasilkan suatu perbuatan baik disebut akhlakul karimah, bila menghasilkan perbuatan buruk disebut akhlakul mazmumah. D. Penutup Kondisi yang mengkhawatirkan terkait dengan merosotnya karakter anak bangsa terlihat pada sikap kasar anak-anak yang lebih kecil; mereka semakin kurang hormat terhadap orang tua, guru, dan sosok-sosok lain yang berwenang; Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
17
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
kebiadaban yang meningkat, kekerasan yang bertambah, kecurangan yang meluas, dan kebohongan yang semakin lumrah. Peristiwa ini sangat mencemaskan dan masyarakat pun harus waspada. Sebagian orang tua mulai mulai mengirim anaknya ke sekolah khusus, sementara sebagian lain mendidik anaknya di rumah. Persoalan karakter atau moral memang tidak sepenuhnya :erabaikan oleh lembaga pendidikan. Akan tetapi, dengan fakta-fakta ;eputar kemerosotan karakter pada sekitar kita menunjukkan bahwa ada kegagalan pada institusi pendidikan kita dalam hal menumbuhkan manusia Indonesia yang berkarakter atau berakhlak mulia. Hal ini karena apa yang diajarkan di sekolah tentang pengetahuan agama ian pendidikan moral belum berhasil membentuk manusia yang rerkarakter. Padahal apabila kita tilik isi dari pelajaran agama dan moral,, semuanya bagus, dan bahkan kita dapat memahami dan menghafal apa maksudnya. Untuk itu, kondisi dan fakta kemerosotan karakter ian moral yang terjadi menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan rentingnya pendidikan karakter pada para siswa. Selain itu, dalam masa-masa penuh persoalan seperti sekarang ini, orang tua perlu berusaha keras dalam ikut mendidik karakter ataupun moral anakanaknya agar mereka bisa berpikir, bersikap, dan bertindak fesuai dengan norma-norma moralitas. Pendidikan karakter perlu iimulai dengan penanaman pengetahuan dan kesadaran kepada anak akan bagaimana bertindak sesuai nilainilai moralitas, sebab jika anak tidak tahu bagaimana bertindak, perkembangan moral mereka akan terganggu. Lagi pula telah kita ketahui bahwa karakter dapat dilihat dari “tindakan” bukan hanya dari pemikiran. Dengan meningkatkan kecerdasan moral anak, diharapkan mereka tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga bertindak benar dan diharapkan juga akan terbangun- nya karakter yang kuat. Cara terbaik mengembangkan kemampuan karakter atau moral anak merupakan langkah paling tepat melindungi kehidupan moralnya sekarang dan selamanya. Karakter seseorang yang positif atau mulia akan menjadikan meng- angkat status derajat yang tinggi dan mulia bagi dirinya. Kemuliaan seseorang terletak pada karakternya. Karakter begitu penting karena dengan karakter yang baik membuat kita tahan, tabah menghadapi cobaan, dan dapat menjalani hidup dengan sempurna. Karakter membuat perkawinan berjalan langgeng, sehingga anak-anak dapat dididik menjadi individu yang matang, bertanggung jawab dan produktif. Pengembangan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) secara seimbang dan terpadu dalam pendidikan dewasa ini sangatlah penting sehingga perlu memperoleh perhatian secara sungguh-sungguh dan penanganan serius oleh semua pihak. Pendidikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat maupun negara perlu Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
18
Syaripudin Basyar
Membumikan Character Building…
mencurahkan perhatian, pikiran, dan tindakan untuk membentuk dan mengembangkan secara seimbang dan terpadu antara ketiga potensi kecerdasan ini. Selama ini pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi ditengarai lebih menekankan pada aspek akademik, yaitu sebuah proses mendapatkan pengetahuan (pengajaran), kecerdasan otak atau usaha mengembangkan potensi intelektualitas saja. Padahal lebih dari itu, pendidikan tentang kecerdasan emosional yang mencakup integritas, kejujuran, komitmen, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, dan penguasaan diri masih terabaikan. Dalam diri seseorang, pembentukan karakter yang memiliki sifat seperti kerendahan hati, menahan diri, kesetiaan, tenggang rasa, kesabaran, keadilan, dan kesederhanaan. Dapat digaris bawahi bahwa pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang sangat urgen untuk dilakukan dengan memer- hatikan keutuhan kepribadian manusia yang disangga oleh tiga kecerdasan (IQ, EQ, dan SQ). Pendidikan karakter harus berupaya untuk menumbuhkan kemampuan dalam memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
19
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA UPAYA PENDEKATAN MULTI RELIGIUS DALAM PENEGAKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) Juhri AM Universitas Muhammadiyah (UM) Metro Lampung Abstrak Sebagai bangsa yang multi religius dan multi keyakinan dalam menjalankan keragaman keyakinan dalam beragama diperlukan upaya untuk tetap tumbuhnya kesatuan dan persatuan yang harmonis, utuh, penuh toleransi, dan kokoh demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bersatu dan berdaulat dalam satu ikatan “Bhinneka Tunggal Ika”. Upa tersebut dapat diwujudkan melalui proses pendidikan karakter dengan menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila khususnya pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan penanaman nilai-nilai karakter kepribadian Nabilyullah Muhammad saw. Kata Kunci: Caracter, Multy Relegi A. Pendahuluan Salah satu upa untuk menumbuhkan sikap salinbg memahami dan toleransi dalam kehidupan beragama, sebagaimana telah diamanatkan dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” terjabar dalam butir-butir sila pertama tersebut seperti tertuang dalam TAP MPR RI No. I/2003, adalah: (1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Manusia Indonesia percaya dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasingmenurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) mengembangkan sikap hurmat dan menghurmati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (5) Agama dan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa; (6) Mengembangkan sikap saling menghurmatikebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing; dan (7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain. Sementara itu dalam “Sila Persatuan Indonesia” diamanahkan butir-butir antara lain: (1) mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingfan pribadi dan golongan; (2)San ggup dan rela berkorban untuk kepentingan negaradan bangsa apabila diperlukan; (3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa; (4) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar “Bhinneka Tunggal Ika”; dan (5) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Suatu hal lagi yang wajib kita jalankan kaitannya dengan kerukunan beragama ini, sebagaimana di amanatkan pada “Sila Kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” salah satu butirnya
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
adalah: “Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan”. Apa sebenarnya makna Proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 tahun 1945, adalah mencerminkan tekat luar biasa berbagai kelompok masyarakat khususnya generasi muda yang memiliki kemajemukan latar belakang bahasa, agama, kesukuan, budaya, dan tradisi dalam kesamaan cita-cita dalam usaha mencapai kemajuan dan kesejahteraan serta keinginan luhur yang sederajad dengan bangsa-bangsa lain yang sudah mencapai kemerdekaan lebih dahulu. Kesamaan cita-cita luhur ini mendorong terwujudnya persatuan melalui semangat yang bulat merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dengan penuh semangat persatuan tanpa memandang adanya perbedaan agama sekalipun peralatan senjata apai, mortir, granat yang dimiliki alakadarnya yaitu dengan bambu runcingnya. Tekad dan semangat yang bulat ini, mengumandangan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai ungkapan menggemuruh di angkasa raya di seluruh nusantara bumi Indonesia yang merupakan keinginan luhur bangsa Indonesia tetap dalam satu kesatuan walaupun tersusun dalam berbagai unsur kemajemukan bangsa Indonesia yang tepat dan relevan sampai kapanpun dalam perjalanan bangsa Indonesia. Namun, seiring dengan perjalanaan waktu, perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan informasi, pergantian generasi dari generasi yang berada dalam perubahan dan perkembangan IPTEK mendorong adanya perubahan perilaku individu generasi di era ini yang nampak memudar rasa nasionalisme, kesatuan, dan kebersamaannya bahwa kita masih dalam satu ikatan “Bhinneka Tunggal Ika” yang tidak pernah rapuh karena adanya desakan eksternal yang berusaha keras untuk memecah belah bangsa yang memiliki kemajemukan ini. Perjuangan kita selalu berada dalam satu “ikatan emosional” yang utuh dan kuat. Ikatan emosional generasi sekarang dalam meneruskan pembangunan bangsa yang pluralis ini tidak dapat dipaksakan harus sama dengan ikatan emosional pada generasi berikutnya. Dalam konteks ini harus diupayakan terus menerus untuk dapat mempertahankan ikatan emosional sebagai penyubur kesatuan tekad dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentu, jangan sampai terjadi adanya suatu kesalahan sekecil apapun yang akan mengikis ikatan emosional tadi, dapat memicu munculnya bibit-bibit konflik yang menimbulkan perpecahan yang dapat mengancam dis integrasi keutuhan NKRI. Seperti contoh sederhana, situasi di Aceh, Ambon, Papua, dan Riau misalnya merupakan contoh kongkrit yang harus terus menerus diwaspadai. Untuk ini, tentu diperlukan adanya langkah-langkah pengamanan yang sungguh-sungguh, konseptual, dan sistematis dengan penuh kearifan dan kebijakan. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
21
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
Masih dalam kaitannya dengan hubungan ikatan emosional bangsa Indonesia yang majemuk ini, mendorong seluruh warga masyarakat Indonesia untuk tetap mencintai keutuhan NKRI, dan hal ini harus terus menerus diwaspadai. Setiap ditemukan adanya aktivitas dari kelompok tertentu yang menjurus ke arah usaha memecah belah kesatuan dan keutuhan bangsa, harus segera diatasi dengan tindakan yang arif dan bijak. Kuatnya aktivitas provokasi yang dilancarkan sekelompok orang penulis melihatnya diawali dari adanya pemahaman yang sempit atau keliru tentang keberadaan daerah wilayah nusantara atau suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Sekilas kita melihat, sejak sebelum menjadi NKRI, berbagai daerah dengan suku bangsa yang mendiaminya memang telah ada. Keberadaan mereka tetap tidak terhapus dengan terbentuknya wadah NKRI. Konsekuensi dari NKRI ini adalah setiap warga masyarakat yang tinggal dan mau menyatakan diri sebagai warga Negara Indonesia, tanpa memandang daerah, agama, dan kesukuan, adalah warga Negara Republik Indonesia yang bebas berada di manapun dalam wilayah NKRI dengan hak dan kewajiban yang disandangnya. Tetapi, kenyataan yang ada sering kali ditemukan di berbagai daerah tertentu adanya sedikit bertentangan yang dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Disadari atau tidak, sengaja atau tidak, diciptakan atau ditumbuhkan persepsi untuk membedakan warga asli (pribumi) atau bukan asli, putra daerah atau bukan putera daerah adalah merupakan gerakan provokasi yang diciptakan untuk mengikis rasa nasionalis dan persatuan bangsa. Dalam konteks ini, tanpa menyadari bahwa siapapun dan di manapun warga negara Indonesia berada, mereka punya hak dan kewajiban yang pada hakikatnya sama. Sentimen kedaerahan melalui isu putra daerah dan kesukuan semacam inilah yang harus dihapuskan untuk mendudukkan permasalahan pada tempat yang semestinya. Dalam makalah ini masalah kedaerahan, kesukuan, keagamaan, dan lainnya yang bisa dilihat secara supervisial dari tanda-tanda fisik akan dikupas dari konsep “pendidikan karakter bangsa” sebagai upaya pendekatan keragaman dalam penegakan NKRI. Tulisan sederhana ini semoga akan menjadi bahan untuk didiskusikan dalam rangka mewujudkan tegaknya sikap nasionalisme yang memiliki semangat tetap tegaknya keutuhan dan kedaulatan NKRI. B. Pendidikan Karakter Bangsa Melemahnya ikatan emosional bagi bangsa Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya perbedaan yang nampak dalam perilaku diri setiap pribadi bangsa Indonesia yang telah kehilangan nilai-nilai karakter yang melekat pada diri bangsa ini. Kita sadari bahwa bangsa yang memiliki kemajemukan yang telah terikat dalam komitmen bangsa “Bhinneka Tunggal Ika” yang sebenarnya merupakan cerminan dari sunatullah “hablum minannas” yaitu adanya kewajiban untuk tetap terjalinnya hubungan baik antar manusia tanpa Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
22
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
memandang perbedaan status sosial, agama, kepercayaan, adat istiadat, suku, dan lainnya. Bukti inilah yang menunjukkan bahwa sikap nasionalisme, kesatauan, kebersamaan, kemanunggalan suatu warga negara Indonesia harus tercipta sebagaimana yang diteladankan dalam sifat Rosulullah saw. yaitu sifat amanah, sidiq, fathonah, dan tabligh. Namun, dalam realitasnya keempat sifat Rosulullah saw. yang masih tetap relevan untuk dimiliki seluruh umat manusia tanpa membedakan agama dan kepercayaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Sifat-sifat ini telah terkikis, semakin menghilang dari setiap pribadi bangsa Indoensia sebagai bangsa yang mayoritas memiliki keyakinan dalam memeluk agama yang dianutnya masing-masing. Secara yuridis formal keyakinan bangsa Indonesia terhadap agama yang dipeluk telah tertuang dalam kontitusional sebagaimana tercantum dalam diktum pasal 29 ayat (2) UUD 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selanjutnya apada pasal 30 (1) UUD 1945 mengamanatkan: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”. Sikap yang mencerminkan nilai-nilai karakter suatu warga negara sebagai bangsa Indonesia yang memiliki pluralis agama, suku, bahasa, dan budaya ini harus dapat memberikan suatu jawaban atas pertanyaan: Hai para generasi penerus bangsa, “jangan bertanya apa yang negara dapat lakukan untukmu, tetapi tanyakanlah pada dirimu, apa yang bisa kau lakukan untuk negaramu?” adalah sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik dan memerlukan sebuah jawaban yang didasari pada karakteristik suatu bangsa yang menjunjung tinggi religius yaitu adanya pengakuan terhadap keberadaan Tuhan yang menjadi keyakinannya untuk disembah dan dipercayai keberadaannya sebagai tempat berharap, memuji, bergantung, dan berserah diri, sebagai hamba yang lemah tiada berdaya dengan menunjukkan adanya ketaatan dalam menjalankan syareat agama yang dianutnya secara khusuk. Karakter bangsa Indonesia seharusnya mengikuti konsep Islam dan/atau agama yang syah berlaku di negeri ini alasan logisnya mayoritas penduduk di negeri ini memeluk agama Islam tanpa mengesampingkan ketentuan agama lain. Senantiasa meneladani empat sifat Rosulullah saw yang yang kini sudah semakin menjauh dari perilaku hidup bagi para pemeluk agama Islam. Semestinya harus dijadikan sebagai pondasi yang kokoh dalam bertingkah laku, bertindak, dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meneladani keempat sifat Rosulullah ini tentu akan menjadi moral post, pengendali, dan menjadi benteng yang kokoh bagaikan tembok berlin yang memiliki ketangguhan menjadi “tameng” kuatnya pengaruh eksternal yang merusak keyakinan dan keimanan yang sudah terpatri dalam sanubari bangsa Indonesia sejak lama. Karakteristik sifat Rosulullah itu yang harus tetap diteladani oleh para pengikutnya khususnya umat Islam, dan umumnya masyarakat Indonesia harus Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
23
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
tetap dijunjung tinggi, dijaga eksistensinya, dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keempat sifat yang menjadi karakter Rosulullah saw. ini apabila diamalkan secara mendalam dalam praktek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tentu tidak pernah akan ditemukan di tengah-tengah yang memiliki kemajemukan ini adanya tindakan-tindakan umat manusia yang nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila yang dijadikan dasar filosofi suatu bangsa Indonesia dan nilai-nilai agama yang menjadi panutan bagi setiap pemeluk agama yang diyakininya bagi seluruh warga negara Republik Indonesia. Pendidikan karakter sebagaimana tertuang dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pengembangannya bersumber dari karakteristik perilaku Rosulullah yang terakumulasi pada konsep Siddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh. Sifat Siddiq; berarti memiliki sifat benar dan jujur, sebagai seorang Nabi sekaligus sebagai Rosul dipastikan memiliki sifat benar dan jujur dalam semua aspek hidupnya, tutur kata dan tingkah lakunya. Tutur katanya benar karena ia mengemban misi untuk menyampaikan firman Allah swt. Semua kata yang terucap dari mulut Nabi atau Rosul pasti benar, demikian pula dalam tingkah lakunya karena dia menjadi contoh keteladanan seluruh umat manusia. Selain sifat kebenaran ini, dia adalah seorang yang sangat jujur dan tidak pernah berdusta. Kebenaran dan kejujuran laksana dua sisi mata uang dalam diri seorang nabi. Kebenaran itu semata-mata dari Allah swt. Tuhan semesta alam. Allah menghunjamkan kebenaran itu ke hati para Nabi dan Rosul sehingga mereka berkata benar dan jujur. Dasar hukumnya Al Qur‟an Surat Albaqoroh: 147, artinya: “kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itujangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. Mencari kebenaran dan kejujuran di dunia sekarang ini, laksana mencari secuil berlian di lautan padan pasir. Sangat sulit dilakukan, untuk menghasilkan kebenaran dan kejujuran ini kegiatan pendidikan termasuk kegiatan dialog ini akan melahirkan manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Sifat Amanah; berarti tanggungjawab (akuntabilitas) dan dapat dipercaya tidak pernah khianat. Dalam Al Quran seluruh Nabi dan Rosul adalah orang manusia yang menjadi contoh bagi manusia lainnya dalam bertutur kata dan berperilaku. Orang yang amanah menyadari apapun yang mereka dapatkan sebagai sesuatu yang pasti akan dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan Penguasa Alam Semesta. Jabatan yang dimiliki seseorang, kepandaian, kesehatan, harta yang dimiliki, kekayaan, bahkan diri mereka sendirimerupakan sesuatu yang mesti dipertanggungjawabkan. Orang yang amanah berarti dalam dirinya setiap saat ada pengawasan tidak tergantung adanya pengawasan dari luar, atasan, dan/atau dari siap0a saja. Seorang yang amanah merasa hidupnya senantiasa dalam pengawasan Allah, Tuhan semesta Alam, cirinya mereka selalu bekerja optimal dan berkarya maksimal. Seluruh energi yang ada pada dirinya dikerahkan untuk memelihara amanah yang Allah b erikan kepadanya berupa: Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
24
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
kepandaian, kesehatan, kekayaan, kedudukan, jabatan dan lainnya. Hal ini didasarkan pada surat Al-Anfal: 27, yang artinya: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menghianati Allah dan jangan pula mengfhianati Rosulullah serta jangan pula menghianati amanah kalian padahal kalian mengetahuinya”. Ketika amanah itu dikhianati, maka bersiap-siaplah menyambut datangnya kerugian, bencana, musibah, yang terjadi secara berantai dan saling terkait. Ketika rahmat dan keberkahan dicabut Allah, maka hilang sudah rasa nyaman, aman, dan tenteram yang ada adalah kegelisahan, waswas, saling curiga, mudah tersinggung, dan mudah marah. Sifat Fathonah; yang berarti kapabilitas, profesionalitas, cerdas, pintar, terampil, dan cakap. Orang bisa disebut fathonah karena dia memiliki kecerdasan, kecakapan, kepandaian, dan profesionalitas di posisi manapun ia ditempatkan atau ditugaskan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Namun pwerlu diperhatikan bahwa sifat fathonah bukan semata-mata, cerdas, mahir, ataupun profesional, tetapi ifat ini harus didasari oleh moralitas yang tinggi dan akhlaq yang mulia. Landasan inilah yang tidak terkandung dalam kata maka “kecerdasan”, “kemahiran”, atau “kepandaian” dalam bahasa lain. Sifat fathonah tidak harus selalu merupakan hasil lembaga pendidikan formal semata. Sifat fathonah ini muncul karena integritas diri yang kuat. Orang yang fathonah memiliki antusiasme tinggi untuk senantiasa berada dalam keadaan belajar dan berproses. Setiap saat dalam hudupnya adalah momen paling baik untuk menambah ilmu, pengetahuan, dan wawasan. Landasan dalam beraktivitas adalah akhlaq mulia, membuat ia menjadi orang cerdas yang senantiasa mencerdaskan dirinya. Artinyaseluruh kecerdasan, kepandaian, kemahiran, atau profesionalitasnyamembawa manfaat juga untuk orang lain. Dasar hukumnya terdapat pada Al Qur‟an Surat Al-Isra‟: 84, yang artinya: “tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannyamasing-masing”. Dengan demikian, fathonah adalah kecerdasan yang menyeluruh (komprehensif), kecerdasan yang meliputi intelektual, emosional, spiritual, kreatif, dan inovatif. Sifat Tabligh; berarti keterbukaan (transparansi), di era global seperti sekarang ini keterbukaan menjadi suatu kelaziman dalam sebuah organisasi atau dalam diri pribadi. Sebuah oraganisasi atapakah itu lembaga negara ataupun lembaga swasta, selalu dituntut untuk selalu terbuka, terutama yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan. Sehingga kemudian muncul lembaga lain yang bertugas mengawasi atau mengaudit. Sesungguhnya keterbuakaan adalah bagian dari fitrah manusia, sebagai makhluq sosial, tidak mungkin manusia itu dapat hidup sendiri dan memenuhi kebutuhan hidup kesehariannya secara mandiri. Maksudnya, manusia harus membuka diri untuk hadirnya orang lain. Kalau manusia itu egois, asyik dengan dirinya sendiri, maka dia tidak mungkin bisa lama bertahan hidup. Adanya sistem audit di dunia modern seperti sekarang sesungguhnya meneladani sifat Tabligh Rosulullah saw. Dasar hukumnya Al Qur‟an Al-Isra‟: 13, yang artinya: ”dan tiap-tiap manusia itu telah Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
25
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagamana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka”. Orang-orang mempunyai sifat tabligh pastilah pribadinya menyenangkan, karena mereka adalah pribadi yang hangat, akrab, dan terbuka.Kehadiran mereka ditengah-tengah masyarakat menjadi panutan dan selalu dapat dibanggakan. C. Pendidikan Karakter Tanggungjawab Siapa? Adalah sebuah pertanyaan yang harus kita jawab dan jawabannya sesungguhnya ada pada diri kita masing-masing. Di dalam masyarakat adanya kecenderungan untuk mengatakan bahwa apabila terjadi kerusakan moraldari suatu generasi, yang harus bertanggungjawab adalah pendidikan, lebih khusus lagi tanggungjawab utamana adalah pendidik (guru). Demikian pula dengan pendidikan karakter, pada saat muncul berbagai pendapat tentang maraknya korupsi dan perilaku negatif yang terjadi di negeri ini disimpulkan bahwa semua itu terjadi akibat buruknya karakter suatu bangsa, lagi-lagi yang dipersalahkan adalah lembaga pendidikan yang tidak berhasil membangun karakter lulusan yang baik. Sangat eronis memang. Ketika lembaga pendidikan telah berusaha maksimal menyelenggarakan pendidikan yang berkarakter, sebagian siswa, pelajar, dan atau mahasiswa ada kecenderungan enggan untuk dibentuk menjadi lulusan-lusan yang menguasai pengetahuan di atas pondasi nilai-nilai tanggungjawab, disiplin, jujur, dan taat terhadap nilai-nilai yang dijunjung tinggi lembaga penyelenggara pendidikan yang berorientasi pada lulusan yang berkarakter. Menghadapi kenyataan tersebut, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia terus dilakukan pembenahan dengan memperbesar porsi penggemblengan mental, moral, dan spiritual sehingga anak didik mempunyai karakter yang baik. Karena itu, pendidikan harus bertanggungjawab terhadap kemerosotan moral dan lunturnya nilai-nilai kebaikan sebagaimana diamanatkan dalam nilai-nilai luhur Pancasila. Sesungguhnya tidaklah tepat dikatakan bahwa buruknya karakter para lulusan dari lembaga pendidikan ini menjadi kesalahan pendidikan sematamata. Tanggungjawab pendidikan sebgaimana diamanatkan dalam konstitusi kita berada ditangan pendidikan formal (lembaga sekolah), pendidikan di luar sekolah (pendidikan masyarakat), dan pendidikan dalam keluarga (lembaga keluarga). Anak didik dibangun karakternya untuk jujur dan hidup sederhana, namun setiap hari mereka melihat tayangan berita korupsi melalui TV RI dan media massa mengenai tampilan mewahnya para pejabat di negeri ini. Ketika anak di rumah atau lingkungan keluarga, orang tualah yang bertanggungjawab sepenuhnya untuk membimbing, mendidik, dan memberikan keteladanan sehingga anak tumbuh dan berkembang dengan karakter yang baik. Jika orang Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
26
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
tua menghendaki anaknya memiliki karakter yang baik setidaknya ada empat peran yang dapat dilakukan oleh orang tuanya. 1. Orang tua mendampingi dengan penuh kasih sayang terhadap anaknya, sehingga tumbuh dan berkembang dalam pantauan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, 2. Orang tua membimbing anaknya agar tumbuh dan berkembang sesuai harapan, dengan cara memberikan petunjuk, dan nasihat untuk menempuh jalan yang baik dan benar. 3. Orang tua mendidik anak-anaknya agar berkembang menjadi generasi yang berkarakter baik. Dalam lingkungan keluarga ini yang bertanggungjawab sepenuhnya adalah orang tuanya. 4. Orang tua menjadi teladan bagi anaknya agar tumbuh dan berkembang dengan karakter yang baik, inilah yang sangat penting dalam dunia pendidikan yakni memberikan keteladanan. Selain lembaga pendidikan di sekolah dan lembaga keluarga, lembaga pendidikan masyarakat seperti melalui organisasi karangtaruna, kelompok tani, kelompok pedagang, club olah raga, UPGK, kelompok kesenian, dan bentukbentuk organisasi sosial lainnya yang menjadi wadah pengembangan bakat, kreativitas, budaya, seni, dan olah raga. Apabila peran lembaga ini difungsikan secara optimal, dapat menghasilkan karakter suatu generasi penerus bangsa yang memiliki sikap kebersamaan, persatuan, dan nilai-nilai patriotisme dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa dan siap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sekalipun berasal dari keragaman agama, suku, bangsa, bahasa, ras, dan budaya yang sudah berabad-abad lamanya. Pertanyaan yang menanyakan siapa yang bertanggungjawab terdapat pendidikan karakter generasi penerus bangsa maka terjawablah suadah. Bahwa pendidikan karakter bangsa menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan, lemabaga keluarga, dan lemabaga pendidikan di lingkungan masyarakat. Sebagai akhir dari tulisan ini, saya ingin mengenengahkan sekelumit mengenai anggapan adanya konsep tentang pribumi dan non-pribumi. Pemahaman konsep istilah pribumi atau non-pribumi, penduduk asli atau penduduk tidak asli bukan merupakan istilah asing yang terdengar di telinga kebanyakan orang Indonesia. Adalah suatu istilah yang dapat menimbulkan dikotomi dalam “status” kependudukan dan selanjutnya kewarganegaraan ini muncul semasa penjajahan dan semakin mapan karena adanya perbedaan perlakuan oleh penjajah Belanda terhadap penduduk jajahannnya dibanding kaum pendatang. Proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945 dan angkat kakinya Belanda dari Bumi Indonesia tidak sendirinya menghilangkan predikat yang untuk sementara orang menimbulkan ketidaknyamanan. Kenyataan menunjukkan bahsa sampai sekarang istilah “pribumi dan non-pribamu” tetap eksis dan nampaknya dianggap sebagai suatu keniscayaan yang tidak perlu dirisaukan. Padahal pengalaman berbangsa dan bernegara sejak proklamasi Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
27
Juhri AM
Pendidikan Karakter Bangsa…
kemerdekaan sampai sekarang, banyak peristiwa menyedihkan yang berawal dari cara pandang dikhotomis terhadap sesama warga negara Indonesia. Ingat.... kita adalah satu bangsa yang terikat dalam untaian “Bhinneka Tunggal Ika” berasal dari kemajemukan, semestinya tidak akan dapat terpecah belah akibat dari gerakan provokasi yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan bahwa bangsa ini menjadi terpecah belah, rapuh, dan tidak memiliki kekuatan apa-apa. Saya melihatnya hal ini disebabkan oleh lemahnya moral, mental, dan karakter bangsa disebabkan oleh kurang berfungsinya lembaga pendidikan untuk memainkan peran dalam menumbuhkan dan mengembangkan bangsanya. D. Penutup Semoga tulisan sederhana ini dapat dijadikan sebagai bahan diskusi untuk mencari solusi pendidikan karakter seperti apa yang dapat dilaksanakan yang menerapkan dengan pendekatan Multy Relegi sdupaya tetap tegaknya Negara Republik Indonesia (NKRI) mengingat pada akhir-akhir ini bangsa Indonesia rentan dengan terjadinya konflik horizontal. Pendidikan dengan penanaman nilai karakter yang di teladankan Rosulullah saw. dipastikan dapat merekatkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa yang Bhennika Tunggal Ika dalam kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
28
INTRUCTIONAL SUPERVISION MODEL AN ATTEMPT TO INCREASE THE TEACHER’S PROFESSIONALISM Adolf Bastian FKIP Universitas Lancang Kuning Pekanbaru Abstract Execution of study supervision, addressed to increase the quality of teacher through expansion of teacher professional, shall also be executed professionally, that is by professional supervisor in supervision area and science area supervised by it. Instructional supervision, as professional service to change perception, position and behavior of teacher causing earns realizes professional teacher, hence need to be designed as a requirement of basic teacher, not as supervisor’s instruction which must be obeyed by teacher, but as a change idea which stems from under, submitted persuasively, and collaboratively between teachers and supervisor. Under color of the is designed by study supervision as an improvement effort of professional teacher. Supervision executed by supervisor is understood about supervision duties, and understanding about matter supervised, which is not only limited to class visit and administrative and it is executed ongoing basis. Key Word: Supervision Model, Professional Service, Bottom up, Persuasive, and collaborative A. Background of Study The implementation of instructional supervision, which is addressed to increase the quality of teacher through professionalism development, should be conducted by professional and competent supervisor in the field of supervision and the knowledge of area he/she supervises. One of obstacles to increase the quality of learning is lack of supervisor who has educational background of what he/she supervises and unavailability of special supervision for specific subject. The main requirement to be supervisor is mastering competence and professional ability in the field he/she supervises. The other obstacle is the attempts to introduce innovation are not relevant to development of supervisor‟s competence. This is showed by teacher training that does not involve supervisor.1 Therefore, the learning betterment must be conducted thoroughly, continuously, and skillfully. The teachers, who have already participated in innovation training, have not implemented the result of training in their learning process in the class. This means that they have not understood the nature and the vision of the innovation although the innovator or instructor has conveyed and demonstrated spiritedly. This is caused by unavailability of motivation within the teachers themselves. They just have fear and obedience toward their superior. 1 Ebmeier. H. & Nicklaus. J. (2001). The Impact of Peer and Principal Collaboration Supervision on Theachers‟ Trust. Commitment. Desire for Collaboration. and Efficacy. Journal of Curriculum and Supervision. 14 (4). 351-378. ASCD. [Online]. Tersedia: http://www. ascd.org/readingroom/jcs/summer/ebme ier.html
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
Qualitatively, school graduates are not ready yet to take a part in job opening or continue to the higher education. Quantitatively, the quality of education showed in National Final Examination (UAN), which called NEM before, is still low although it is often manipulated by certain people. Specifically for science education, NEM for science is generally still far from what is expected. More worriedly, there is not a significant score improvement for the latest years even though it has spent much budget. In Indonesia, school‟s supervision system is still only restricted at physical aspects and formal administrative aspects such as the frequency of laboratory use, the teachers‟ attendance. In contrast, supervision toward study organizing still needs to be paid more attention. This does not mean that those aspects do not need to be supervised, but it is important to pay appropriate attention to least learning process. The lack of attention to instructional supervision organizing is showed by the lack of supervision, even there is no subject supervision which is organized by supervisor with the background of subject he/she supervises. In addition, the supervisors are those who have working period renewal or who are going to be retired. In line with nowadays knowledge development, the aspects related to learning process has been also developed, for example, there are many results of learning research which are recommended as learning innovation. However, has this case been noticed in supervision system now? Are the supervisors who are going to be retired still notice the learning innovations? This does not mean there is no supervisor who pays attention to the learning innovations, but the problem is how many supervisors who consider this case. Also, the supervisors who are going to be retired do not directly experience the latest development of education, especially the development of learning. The tendency of instructional supervision which only focuses on one of supervision techniques, namely class visit supervision, does not provide the supervisors chance to introduce learning innovations to the teachers. Due to the above supervisions condition, let alone introducing, getting the information about learning innovation is not reachable for them. The other obstacle is the attempt to introduce the innovation to the teachers is not relevant to the improvement of supervisor‟s ability related to the innovation.2 This is showed by teacher training which does not involve learning supervisor or headmaster. They just know there is training for lesson teachers. In our education system, the attempts to implement innovation in the term of thoughts, ideas, or alternative problem solving, usually come hierarchically from the National Education Department (Depdiknas) from the center to each region. Likely, the innovation implementation attempts are in the term of special Smith, J. 2001. Some Thoughts on Definitions of Innovation. The Innovation Journal. [Online]. Tersedia: http://www.innovation.cc/discussion_papers/ thoughts_innovation. Htm 2
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
30
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
“project”. Meaning to say, without the project, it is hardly any attempt to implement the innovations even though the innovations have been clearly distinguished based on the research. Nevertheless, the fact shows that school graduates are not qualitatively ready to have a job or to continue to the higher education. Quantitatively, the quality of education which is showed through NEM so called National Final Examination (UAN), which is although often manipulated by certain people, is still low and far from what is expected. It goes worse when there is not a significant score improvement for the latest years even though it has spent much budget. Furthermore, the teachers, who have already participated in innovation training, have not completely implemented what they have got from the training in their learning process. This means that they have not understood the nature and the vision of the innovation although the innovator or instructor has conveyed and demonstrated very enthusiastically. This is probably caused by unavailability of motivation within the teachers themselves. They just follow and obey what their superior asks. The change ideas coming from the bottom up part, persuasive communication, collaboration between the teacher and information provider or supervisor play an important role in improving the quality of learning. It is addressed to help the teachers to better learning process through their competence and professionalism improvement. This places the teachers as a very urgent performer in implementing the innovations.3 Socializing the innovation and supervising the learning process are two duties with the same mission, namely increasing the quality of learning. Similarly, the supervisor must have the competence and professionalism in the field of innovation and instructional supervision. Based on the above description, this article elevates the issue of Teaching Supervision Model: an Attempt of Increasing Teacher‟s Professionalism, which is bottom up in nature. It, which was conducted persuasively and collaboratively, was addressed to increase teacher‟s competence and professionalism. The supervision can be organized the Subject Teacher Summit (MGMP) because MGMP activities are relevant to the instructional supervision goals and activities, namely the improvement of teachers‟ competence and professionalism. B.
Discussion Education supervision is activity related to attempts to correct and increase the quality of education generally and learning specifically. The quality of learning evolves learning input, process, output, and outcome. In general, Supervision is controlling directly the progress and productivity toward 3 Fidler, Brian. (2002). Strategig Management for School Development; Leading Your School‟s improvememnt Strategy. Paul Chapman Publishing.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
31
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
approved goal, controlling the conditions supporting motivation, work ethos observation, giving the feedback, also other guidance, administering assessment regularly, discussing work problems, and ensuring appropriate appreciation. 4 The quality of learning process greatly depends on teacher‟s teachers‟ classroom management ability. Meanwhile, the quality of learning result which is showed by the students‟ achievement is the outcome of learning process. If the learning process is qualified, the learning result will be qualified. The quality of learning process or the teachers‟ classroom management ability is highly influenced by the teacher‟s professionalism. To make learning process can attain the expected quality, it is necessary to attempt teachers‟ professionalism improvement. One of the attempts is increasing the quality of instructional supervision implementation. The quality of supervision implementation depends on the supervisor‟s professionalism. In the other words, instructional supervision implementation is, which is addressed in teacher‟s ability betterment and improvement through the development of teachers‟ competence and professionalism, should administered by supervisors who have competence and professionalism in the field the supervises. Regarding to instructional supervision, Sullivan, S. & Glanz, J. maintains that supervision is to improve the quality of learning of students. The supervision exists due to one reason, namely repairing teaching and learning activities. Meanwhile, Sullivan & Glanz states that supervision is professionalism service and guidance for the teachers with all attempts to give help, support, and opportunity to increase their professionalism in order to be able to do their main duty.5 In other words, academic supervision is learning correction and improvement activities. In line with that, Suharsimi Arikunto , highlights that the main objectives of supervision is helping the teachers to get self-direction and learn how to solve their problem imaginatively and creatively. The target is the development of initiatives from the teacher is not only appropriate with superior‟s instruction but also with the applied rules.6 In this case, the innovation which is intended to repair and improve learning process and result through the development of teachers‟ professionalism will come up from the bottom without superior‟s instruction. It is mentioned in the guidelines of supervision implementation which is provided by Depdiknas that supervision is a help for all staffs of school to develop better teaching and learning atmosphere and to increase the school management in order to attain the best teaching and learning activities. 4 Piet A Sahertian. (2008). Fundamental Concept & Technik Educational Supervision. Jakarta: Rineka Cipta 5 Sullivan, S. & Glanz, J. (2001) Alternative Approach to Supervision: Cases from the Field. Journal of Curriculum and Supervision. 15 (3). 212-235. ASCD. http://www.ascd. org/readingroom/jcs/00spring/sullivanab.html. 6 Suharsimi Arikunto. (2012). Fundamentals of Educational Evaluation. Jakarta: Bumi Aksara
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
32
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
In line with that, Mega (2001) highlights that hierarchy is the enemy of change, and the innovation obstacle. Likely, Sanusi (1998:45) describes that the successfulness of education policy implementation is inseparable from, hierarchy model of bureaucracy structure, mindset, and manager‟s administrative attitude, information technology and telecommunication, teaching process, and students‟ learning activity. Generally, the administrative-bureaucratic flow in our governmental system is now top down and complicated in nature. So that, it goes very slowly even it is stopped. The project of innovation which is grounded on the instruction must be accepted by all aspects of Depdiknas including schools and teachers as the top part of our education system. The follow-up step is organizing upgrading or training for the teachers who are involved in classroom learning process. This is based on assumption that school with good quality will create good quality of education. Consequently, upgrading the quality of school is a strategic point to create a good quality of education. Based on the assumption, school (system) with good quality will produce the graduates with good quality. The change ideas which come from the bottom is very important in supervising learning to help the teacher to repair learning process. This condition places the teacher very importantly in implementing the innovation. This idea also brings the implication for the teachers to be more creative. Meaning to say they can identify the problems they face and find out the best alternative solution; it is held individually, collectively, and continuously with supervisor‟s help. A very important duty is how to organize innovation spreading process in order to accomplish the expected target. Here, the role of supervisor is required in which the supervisors, as the system and organization executor, have to socialize learning innovations. Socializing learning innovation is the function of instructional supervision which has mission to support the development of learning quality. In addition, it is addressed to increase the students‟ learning quality. To be implemented, an innovation needs socialization process. The socialization starts from mastering knowledge and understanding about the function of innovation, character building of agreement and disagreement, accepting or refusing the innovation, and adopting the innovation. Those duties have to be attempted by a supervisor. Instructional supervision is basically an attempt to change the teachers‟ cognitive, character, and attitude in repairing and increasing their learning quality. The change will be more easily attained if the teachers are directly involved in the learning process which stimulate the change; this kind of change
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
33
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
is called bottom up change. Coleman, Marianne and Peter Earley, describes that No longer can we accept a "top-down" approach to supervision.7 Instructional supervision is basically human interaction, namely interaction between the information providers of innovation and innovation acceptors, or between supervisor and teacher. Both interactions are aimed at influencing someone‟s cognitive which is expected to create behavioral change, or action that the information provider or supervisor want. The communication which occurs in the interaction is called persuasive communication. Instructional supervision is addressed in changing the teachers‟ cognitive, attitude, and behavior in instructional process. As a result, this activity is held by information providers of innovation and innovation acceptor or between supervisor and teacher. They are expected to have the same goal and chance to take a part. Also, they have the same position to organize all available activities. This activity is called collaboration. Instructional supervision which is addressed in increasing the teachers‟ professionalism must be conducted by qualified person in the field of instructional supervision. The requirement of good supervisor is having specialization of certain discipline (which is supervised) and understanding generally all education programs. Additionally, the supervisor works because of attempt from the lower level (bottom-up) not because of instruction from the superior. Also, the information about innovation itself should be accepted by the teacher through persuasive and collaborative ways to reach the purpose of instructional innovation, namely increasing the teachers‟ competence and professionalism. This case is obvious because a teacher, as the instructional process executor, becomes the main focus and plays an important role in increasing the quality of education, school, and graduates. Instructional supervision, in giving professional support for the teachers, must consider the aspects of learning process which enable to actualize effective learning process. Therefore, the supervisor needs to continuously learn the development of instructional process and because of the reason; they give professional support or service. he professional conception of evaluation is not based on an inspection system featuring supervisors bearing checklists on brief visits to classrooms. Rather, evaluation is an ongoing set of experiences in which teachers examine their own and each others' work, determine its effectiveness, and explore alternative strategies.8 In fact, a professional structure for teaching may not include traditional, bureaucratic supervision, defined as the one-to-one
7 Coleman, Marianne and Peter Earley. (2005). Leadership and Management in Education Cultures, Change and Context. Oxford University Press.
George F. Madaus, Daniel L. Stufflebeam, (2002). Evaluation in Education and Human Services. New York: Massachusetts, Kluwer Academic Publishers 8
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
34
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
relationship between a worker and a presumably more expert super ordinate that is charged with overseeing and correcting the work. Furthermore, Hill maintains that the teachers who are qualified in curriculum and instructional process must be involved in planning and improving learning activities. They provide good consideration related to effective learning strategies and they must get space to work together to increase other teachers‟ skill.Supervisors organize control hierarchically, either headmaster or the center officials, are antithetic for the teachers. Meanwhile, supervision which means controlling the officials‟ work is also antithetic for the teachers. Whereas, teachers, students, and parents feel that they control their own actions and concepts. They are feeling like responsible, smart, ingenious, and prestigious people who can discuss, investigate and make decision to reform and support meaningful education. Besides that, the change of views about supervision as collegial process which is founded on reflection, uncertainty, and problem solving has been accepted at school so that they reappoint the role and the responsibility of teacher. In many issues, Made Pidarta describes that reformation of instructional supervision is not only addressed to improve teaching and learning activities, but also to change the bureaucracy in administering school and instructional activities. In some places, the community of regional teachers (MGMP) takes a part as supervision executors. In addition, whatever the reformation that occurs, manager and officials must redefine the role and relationship about professional standard of teaching.9 In the interaction between supervisor and teacher, Brian highlights that a supervisor is required to always be close to the teachers and place her/himself as a part of instructional system. Therefore, a supervisor must realize his/her position as determinant of learning success. They must always be close to the teachers because they are the main single substance in instructional process. Likely, the teachers are component which greatly determine the quality of education generally and instructional process specially.10 Regarding to the supervisor‟s duty, Suharsimi Arikunto, describes four important roles which is necessarily done by learning and teaching supervision, namely identifying teaching problems, being a keynote person, having skill in conducting communication among individuals, and being “agent of change” in school system. A supervisor will be considered effective if he/she understands the issues related to instructional process embracing the principles and elements of supervision, giving favor and service which are relevant to the needs and the problems the teachers face, either individually or collectively. In other words, a Made Pidarta. (2009). Supervision In Educational Contect. Jakarta: Rineka Cipta Brundage, S. E. (2001). What Kind of Supervision Do Veteran Teachers Need? An Invitation To Expand Collegial Dialogue and Research. Journal of Curriculum and Supervision. 12 (1). 90-94. ASCD. http://chatserver.ascd. org/cgi-shl/as_web. 9
10
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
35
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
supervisor must have competence and professionalism in the field of instructional supervision he/she administers. Learning supervisor is professionally considered in instructional supervision if he/she understands the elements of teachers‟ competence and professionalism toward understanding on learning materials. Meaning to say, instructional supervision must be organized by a supervisor who has educational background. McKean and Miles (in Satori, 1989:97) describes that a professional supervisor must have: (1) broad general education, (2) professional education, (3) skill in teaching, (4) clear perception of their role in the educative process, (5) skill in leadership, (6) knowledge of instructional material and methods, (7) ability to evaluate and interpret factors in productive learning and teaching, (8) awareness of the importance of process and product, (9) proficiency in experimentation and research, and (10) willingness and ability to continue personal and professional growth. According to George at.,al, the quality of learning depends on the quality of teacher‟s teaching. As a consequence, the supervision gives the main attention to the improvement of teachers‟ professionalism which will increase the quality of teaching and learning process. Furthermore, he states that the function of supervision is to promote the teacher’s professional growth, to achieve better learning through better teaching. Instructional supervision can be administered in bottom-up way. That reformation from the bottom part is very important to help the teachers to repair the learning process. Thoughts, ideas, or alternative problem solving will come up from the bottom without the superior‟s instruction. This bottom-up idea places the teachers as a very important subject in implementing the innovation. The objective of instructional supervision is to repair learning atmosphere so that the students know, the process, the product, the technology application, and the responsibility toward themselves and the society. This learning betterment should be organized thoroughly and continuously. Based on the objective of supervision, the responsibility of supervisor is to increase the quality of learning by increasing the teachers‟ mastery on content knowledge or subjectmatter knowledge, pedagogical content knowledge, and curricular knowledge. The responsibility of supervisor is showed on the effective coordination in developing learning program, developing in-service or regular programs for teachers and building the teachers spirit in implementing the changes to increase learning quality and also stimulating the teachers to be members and can participate in the organization of educational profession. The attempts need to be continuously examined, analyzed, and revised. Some attempts related to instructional supervision are among other: the use of peer teaching which provides positive result on teachers‟ teaching commitment, confidence, and the implementation of supervision using collegial dialogue
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
36
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
between teacher and supervisor.11 As a result, the implementation of supervision should not be organized to score teachers‟ work by superior, but should be corporation attempt and help one another between learning observers, repair and improve learning quality. Instructional supervision should consider the innovation that is needed by the teachers to solve their problems and needs and to increase their competence and professionalism. The learning supervisor, therefore, must play a role as innovation source and also as innovation initiator in teaching and learning process. The effectiveness of the supervisor‟s work, from the student‟s perspective, can be evaluated through significant changes on the students‟ behavior. Those changes can be seen from academic attitude, skill, applied knowledge, problem solving ability, the attendance, and the achievement. From the teacher‟s perspective, it can be evaluated through teaching commitment, commitment for the school, collaboration desire, improvement expectation, and the better result expectation. As a consequence, the supervisor‟s function is to identify those behaviors, and this case absolutely needs the supervisor‟s professionalism. The teachers‟ competence is teachers‟ capability which is founded on skill, knowledge, and teaching material mastery, including educational material mastery, learning material mastery, and evaluating the learning progress. Competence is the teachers‟ descriptive and qualitative behavior which is related to use their ability to integrate their ideas. C. Conclusion and Suggestion Instructional supervision model can support to increase the teachers‟ professionalism. The successfulness of instructional supervision by MGMP is supported by variables; the planned changes from the lower part (bottom-up), persuasive communication, collaborative interaction, which are founded on and addressed for the development of teachers‟ professionalism. MGMP‟s supervision model will reach its planned goal if each university which develops the faculty of teaching and education organizes corporation with the school in its region to help and corporate in increasing the teachers‟ professionalism one another. The faculty of teaching and education should play a role as the change agent. This means every lecturers of the university should always observes and examines the result of research to produce implemented innovations in learning process at school. Depdiknas from the center level till regional levels should create a conducive atmosphere through regulations for MGMP productivity, like the presented model above, without being burdened by centralistic instruction. Regan, B.W. (2001). Diffusion Research at Iowa State University: The Model. [Online].available: (http://www.webreference.com/content/java/diffuse.html 11
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
37
Adolf Bastian
Intructional Supervision Model…
Bibliograpy Brundage, S. E. (2001). What Kind of Supervision Do Veteran Teachers Need? An Invitation To Expand Collegial Dialogue and Research. Journal of Curriculum and Supervision. 12 (1). 90-94. ASCD. http://chatserver.ascd. org/cgi-shl/as_web. exe?jcs+D+12923 Brian Fidler. (2002). Strategic Management for School Development. Paul Chapman Publishing. Coleman, Marianne and Peter Earley. (2005). Leadership and Management in Education Cultures, Change and Context. Oxford University Press. Ebmeier. H. & Nicklaus. J. (2001). The Impact of Peer and Principal Collaboration Supervision on Theachers‟ Trust. Commitment. Desire for Collaboration. and Efficacy. Journal of Curriculum and Supervision. 14 (4). 351-378. ASCD. [Online]. Tersedia: http://www. ascd.org/readingroom/jcs/99summer/ ebme ier.html Made Pidarta. (2009). Supervision In Educational Contect. Jakarta: Rineka Cipta Fidler, Brian. (2002). Strategig Management for School Development; Leading Your School‟s improvememnt Strategy. Paul Chapman Publishing. George F. Madaus, Daniel L. Stufflebeam, (2002). Evaluation in Education and Human Services New York: Massachusetts, Kluwer Academic Publishers Oermann, Marilyn . (2009). Evaluation and Testing --3rd ed: New York: Springer Publishing Company, LLC Piet A Sahertian. (2008). Fundamental Concept & Tecnik Educational Supervision. Jakarta: Rineka Cipta Regan, B.W. (2001). Diffusion Research at Iowa State University: The Model.[Online].available:http://www.webreference.com/content/java/ diffuse.html Smith, J. 2001. Some Thoughts on Definitions of Innovation. The Innovation Journal.[Online].Tersedia:http://www.innovation.cc/discussion_papers/ thoughts_innovation.html Suharsimi Arikunto. (2012). Fundamentals of Educational Evaluation. Jakarta: Bumi Aksara Sullivan, S. & Glanz, J. (2001) Alternative Approach to Supervision: Cases from the Field. Journal of Curriculum and Supervision. 15 (3). 212-235. ASCD. http://www.ascd. org/readingroom/jcs/00spring/sullivanab.html.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
38
IMPLIKASI PENDIDIKAN INKLUSIF TERHADAP PENDIDIKAN DI LPTK DAN PELAYANAN KONSELING Ida Umami Pascasarjana Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro
Abstract Education of inclusive is one of alternative of education for child having requirement specially executed at education of public. One of reason of education of inclusive is executed in Indonesia is to increase educative rights and participant prestige having special requirement become equivalent through the same opportunity giving with educative participant which ' normal'. This is line with USPN No. 20 year 2003 chapters III Verse 4. Guidance and counseling especially in formal education today is increasingly perceived benefits, especially in the context of personal development and potential learners. In addition, many problems experienced by learners who cannot be solved just by good learning process though. Alleviation of these problems will be conducted properly and optimally when counselors are able to realize their role through the implementation of various types of services and support activities in various fields guidance. It is particularly well perceived by children with special needs are educated in formal education for normal students. Therefore, the counselor's role in providing much needed counseling services. Keyword: Education of inclusive and Counseling Services A. Pendahuluan Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai tanpa memandang gender, ras, fisik maupun agama. Hal ini memperlihatkan bahwa setiap Negara wajib menjamin hak setiap warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan, dan dalam UUD‟45 juga telah ditetapkan bahwa Negara menjamin hak setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan. Lebih jauh, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 29 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Pendidikan harus mencakup semua orang tanpa terkecuali. Pendidikan seharusnya tidak memandang ras, suku, etnik, dan atau agama. Selain itu mendidik juga harus tidak ada diskriminasi seperti antara mereka yang „normal‟ dan yang memiliki kebutuhan khusus, antara perempuan dan laki-laki, serta antara masyarakat kurang beruntung dalam bidang ekonomi dengan masyarakat yang berekonomi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam mendapatkan pendidikan secara adil. Dewasa ini, Jumlah anak penyandang cacat di Indonesia cukup besar. Anak-anak penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kesulitan dalam belajar, berbicara, dalam hal fisik, kognitif, pendengaran, pancaindarea, dan
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
emosional. Sebagian besar dari anak-anak ini tidak bersekolah, atau keluar masuk sekolah, karena berbagai sebab. Menurut data World Bank terdapat sebanyak 115 juta anak-anak yang tidak sekolah membutuhkan pendidikan khusus. Masih banyak anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan hak tersebut dengan berbagai alasan. Di antaranya ada yang secara perlahan dan dengan keputusan sendiri keluar dari sekolah karena sekolah tidak sensitif terhadap cara belajar mereka maupun latar belakang kehidupan mereka. Selain itu, dengan alasan kasihan, beberapa anak dikelompokkan ke dalam kategorikategori dan ditempatkan di sekolah-sekolah khusus, jauh dari anak-anak sebayanya yang lain.12 Hal ini pula yang mendorong pemerintah untuk membuat dua sistem pendidikan yang berbeda, satu diperuntukkan bagi mereka yang dianggap “normal”, satu lagi diperuntukan bagi mereka yang dianggap “tidak normal” atau berbeda dengan anak-anak yang lainnya, sehingga mereka yang terakhir ini menjadi terpisah dari lingkungan yang seharusnya mereka geluti untuk hidup bermasyarakat. Pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajara yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan. Terkait dengan kondisi di atas, UNESCO pada tahun 1994 mengeluarkan sebuah deklarasi yang menyatakan perlunya penerapan Pendidikan Inklusif agar mereka yang selama ini tersegregasi bisa mendapatkan pendidikan yang sama dan secara bersama-sama dengan mereka yang memperoleh pendidikan di sekolah regular. Dalam Deklarasi Salamanca tersebut ditekankan hal-hal sebagai berikut: 1. Hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan kontemporer dan permanent untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah 2. Hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya dalam kelaskelas inklusif 12 Peters, Susan.J. 2003. Inclusive Education: An EFA Strategy for All Children. World Bank. www.worldbank.org h. 5
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
40
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
3. Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual 4. Pengayaan dan manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan pendidikan inklusif 5. Hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan berkualitas yang bermanfaat bagi tiap indovidu 6. Keyakinan bahwa pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya pada keefektifan biaya. 7. Semua anak dapat dididik walaupun mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang sangat berat 8. Pendidikan inklusif harus memberikan pendidikan yang akan mencegah anak-anak mengembangkan harga diri yang buruk serta konsekuensi yang dapat ditimbulkannya. 9. Pendidikan inklusif bertujuan untuk menciptakan kerjasama bukannya persaingan. Di antara mereka yang termasuk pada anak-anak yang berkebutuhan kontemporer dan permanent itu adalah mereka yang „tidak normal” karena : 1. Kondisi social emosional, dan/atau 2. Kondisi ekonomi, dan/atau 3. Kondisi politik, dan/atau 4. Kecacatan bawaan, dan/atau 5. Kecacatan yang didapat pada awal kehidupan atau kemudian.13 Pendidikan inklusif ini adalah salah satu alternatif pendidikan bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus, tetapi belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia, meskipun pendidikan ini telah dilaksanakan di beberapa Negara maju. Pendidikan inklusif ini merupakan salah satu pilihan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Masih menurut World Bank, ketika Pendidikan Inklusif diterapkan, penelitian terkini menunjukkan adanya peningkatan prestasi dan kemajuan pada semua anak. Berbagai manfaat dilaporkan seperti manfaat pribadi, sosial, dan ekonomi diperoleh dengan mendidik anak-anak usia sekolah dasar yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah umum. Dan ternyata cara ini membutuhkan biaya yang lebih kecil, secara keseluruhan, dibandingkan jika harus menyediakan sekolah-sekolah khusus, seperti Sekolah Luar Biasa (SLB). Salah satu alasan pendidikan inklusif dilaksanakan di Indonesia adalah untuk meningkatkan hak dan martabat peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus menjadi sama melalui pemberian kesempatan yang sama dengan peserta didik yang „normal‟. Tujuan pendidikan inklusif ini sejalan dengan USPN 13 Skjorten,M.D. 2003. Menuju Inklusi dan Pengayaan. Dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar. Johnsen(ed.). Seri Menuju Inklusi I. UPI Bandung. h. 15
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
41
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
(Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional) tahun 2003 bab III Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi ”pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.”. Begitu pula dengan apa yang menjadi hasil dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua tahun 1990, yang menyatakan: 1. Every person – child, youth and adult, shall be able to benefit from educational opportunities designed to meet their basic learning needs. 2. The learning needs of the disabled demand special attention. Steps need to be taken to provide equal access to education to every category of disabled person as an integral part of the education system.14 Pendidikan inklusif yang menjadi suatu isu atau pertimbangan adalah penyatuan pendidikan khusus dan pendidikan regular menjadi suatu system pendidikan yang beragam dan mempertegas pernyataan bahawa pendidika n khusus adalah bagian integral dari system pendidikan, lebih memperkuat tentang keberadaan anak yang memiliki kebutuhan khusus di sekolah regular, dengan memperhatikan kebhinekaan mereka sebagai landasan untuk memperkaya dan meningkatkan kemampuan mereka, yang bertujuan agar semua siswa memperoleh: sLife long learning 1. Equity dan equality 2. Learning and thinking 3. School-home partnership 4. Living and learning in community 5. Academic and social competence Salah satu implikasi yang harus menjadi perhatian adalah tenaga kependidikan yang akan terlibat langsung dalam proses pembelajaran yang dilalui oleh anak-anak tersebut. Ada dua hal yang berhubungan dengan tenaga kependidikan ini, yaitu apa yang seharusnya didapatkan oleh calon guru pada saat mengikuti pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, dan bagaimana guru mampu melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kode etik yang menjadi rambu-rambu dalam pelaksanaan tugasnya. B. Implikasi Pendidikan Inklusif Terhadap Pendidikan di LPTK Dalam Semiloka Implementasi dan Pengembangan Ilmu Pendidikan di LPTK di Padang, 2004, salah satu hasil kajiannya adalah bahwa pada saat calon guru ini mengikuti pre-service training di LPTK, mereka belum sepenuhnya memahami esensi dari Ilmu Pendidikan. Padahal seharusnya justru hal itulah 14 Mitchell, D. 1994. Inclusive Education in Asia : Policies, Problems and Possibilities. Hamilton: Univ. in Waikato, School of Education PP no. 39/1992
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
42
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
yang menjadi modal dasar mereka agar dapat melaksanakan tugas kependidikannya kelak. Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK) yang mereka dapatkan masih belum mampu membangkitkan pemahaman yang menyeluruh terhadap Ilmu Pendidikan itu, yang akan berakibat pada saat mereka melaksanakan Prorgam Pengalaman Lapangan (PPL), di mana aplikasi ilmu yang mereka lakukan di sekolah-sekolah hanya sebatas mentransfer ilmu pengetahuan semata. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) merupakan lembaga penghasil tenaga pendidik yang diharapkan telah mengetahui, memahami dan mampu mengapresiasikan ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya Ilmu Pendidikan, ke dalam proses belajar mengajar yang dilaksanakannya. Di LPTK para calon pendidik diajarkan dan „digembleng‟ untuk memahami dan mampu mempraktekkan hubungan pendidikan secara baik dan benar. Para calon pendidik dilatih untuk memiliki kepekaan mendidik yang harus mereka kembangkan dalam melaksanakan proses belajar mengajar nantinya dan mengusai alat pembelajaran. LPTK merupakan satu-satunya lembaga yang seharusnya betul-betul memahami ilmu pendidikan, baik dalam istilah pedagogy, andragogy, maupun lifelong learning, sehingga mata kuliah kependidikan memiliki kedudukan sentral dalam keseluruhan kurikulum. Para lulusan LPTK seharusnya telah memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara menentukan tujuan dan sasaran penyelenggaraan pendidikan, bagaimana menyusun kurikulum serta pendekatan yang sesuai, bagaimana mengatur dan memimpin sebuah institusi pendidikan, baik mengenai pembiayaannya maupun masalah administrative lainnya, serta bagaimana mengajak msayarakat untuk berperan serta dalam memajukan sebuah institusi pendidikan. Hal ini tercermin dari hakekat ilmu pendidikan yang harus dipahami oleh seorang peserta didik di LPTK baik berkenaan dengan landasan konseptualnya, strukturalnya maupun sosialnya. Dengan demikian diharapkan, pada saat lulusan LPTK menyebar diberbagai institusi pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah formal, tujuan pendidikan untuk menggali dan mengembangkan potensi diri peserta didik dapat tercapai. Para pendidik atau guru yang dihasilkan seyogyanya mampu melaksanakan hubungan pendidikan yang baik, mampu menumbuhkan keinginan peserta didik untuk belajar lebih lanjut dan mampu menghasilkan manusia-manusia terdidik yang sadar akan lingkungannya. Tidak lupa mampu membangun sebuah institusi pendidikan yang kuat dan mantap dalam menyelenggarakan proses pendidikan yang sesuai dengan sasaran pendidikan yang ingin dicapai. Sesungguhnya secara ideal, yang harus didapatkan oleh para calon guru ini di LPTK adalah esensi dari Ilmu Pendidikan itu, yang akan mengarahkan dan membimbing mereka dalam mendidik dan melayani para siswa kelak. Hal itu Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
43
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
akan membantu mengembangkan kepribadian seorang calon guru menjadi seorang guru yang mampu memahami kebutuhan anak didiknya. Prayitno, 2002, memperkenalkan apa yang disebutnya dengan ‟alat pendidikan‟, yaitu kewibawaan, kasih sayang dan kelembutan, keteladanan, penguatan dan ketegasan yang mendidik.15 Dikaitkan dengan program penerapan pendidikan inklusif, yang menekankan pada proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan melihat siswa sebagai individu yang berbeda satu sama lainnya dengan keunikan dan kelebihannya masing-masing, maka LPTK dituntut untuk lebih memberikan penekanan kepada pemahaman akan esensi dari Ilmu Pendidikan dan melatih calon guru untuk dapat lebih meng‟eksplorasi‟ alat pendidikan yang ada pada masing-masing mereka. MKDK yang selama ini diberikan memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih serius pada saat disampaikan kepada mahasiswa LPTK. Disamping itu perlu dilakukan pengkajian secara lintas sektoral dengan pendidikan bagi calon guru Pendidikan Luar Biasa, yang selama ini telah difokuskan untuk menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus. Mengingat dalam pendidikan inklusif ini setiap anak memiliki hak yang sama untuk belajar di sekolah reguler, maka guru-guru reguler juga akan dituntut untuk mampu memahami siswa yang selama ini hanya menjadi tanggungjawab guru pendidikan luar biasa. Program Pengalaman Lapangan juga harus dikaji ulang dengan memasukkan pengalaman mengajar bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Lebih jauh lagi, LPTK harus mampu menghasilkan lulusan yang benarbenar telah memahami, memiliki dan menguasai Kompetensi Utama Minimal sebagai seorang guru, yaitu: 1. Kompetensi Pengembangan Kepribadian (KPK), yaitu kompetensi yang berkenaan dengan pengembangan pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian mantap, mandiri dan berjiwa wira-usaha, serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan 2. Kompetensi Landasan Keilmuan dan Keterampilan (KPK), yaitu kompetensi yang berkenanaan dengan bidang keilmuan sebagai landasan keterampilan yang hendak dibangun. 3. Kompetensi Keahlian/keterampilan Berkarya (KKB), yaitu kompetensi berkenaan dengan kemampuan keahlian berkarya dengan penguasaan keterampilan yang tinggi dalam melaksanakan kegiatan pelayanan. 4. Kompetensi Perilaku Berkarya dalam kehidupan Profesi (PKB), yaitu kompetensi berkenaan dengan perilakuk berkarya berlandasakan etika profesi guru.
15
Prayitno. 2002. Hubungan Pendidikan. Padang: UNP. h. 15
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
44
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
5. Kompetensi Berkehidupan bermasyarakat profesi (KBB), yaitu kompetensi berkenaan dengan pemahaman kaidah berkehidupan bersama dalam masyarakat profesi (antara profesi guru bersama profesiprofesi lainnya.16 Masalah yang paling penting dalam penerapan pendidikan inklusif ini adalah bahwa: 1. Anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas yang sesuai dengan potensi dan kebutuhannya 2. Kebutuhan tersebut kadang-kadang dapat dikhususkan, sehingga kita harus berhati-hati untuk tidak mengurangi kualitasnya karena khawatir akan adanya ”labelling” 3. Anak mempunyai hak berada di kelas bersama dengan teman sebayanya. Hal di atas memperlihatkan bahwa LPTK harus berani memperkenalkan perubahan yang radikal untuk menyiapkan guru-guru agar dapat memenuhi tantangan itu. C. Implikasi Pendidikan Inklusif Terhadap Pelayanan Konseling Definisi pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah” “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”. Definisi ini memperlihatkan bahwa sesungguhnya pendidikan itu bukan hanya sebuah proses belajar mengajar biasa, namun di dalamnya terkandung tujuan yang amat mulia, yaitu untuk mengembangkan potensi diiri dari peserta didik. Kenapa hal tersebut menjadi penekanan pada UU no 20/2003 ini? Tidak lain adalah karena yang lebih banyak terjadi pada saat ini hanyalah proses belajar mengajar yang sering mengabaikan potensi diri peserta didik. Dan hal tersebut dapat tergambar dari berbagai permasalahan yang ada pada saat ini, dimana terdapat gejala ketidakcerdasan bangsa, antara lain ketidakcerdasan dalam berekonomi, ketidakcerdasan dalam hukum, ketidakcerdasan dalam budaya, ketidakcerdasan dalam bermasyarakat, bahkan ketidakcerdasan dalam beragama, yang semua ketidakcerdasan ini berasal dari tidak digalinya potensi diri peserta didik, tidak disadarinya apa sebenarnya tujuan mulia dari pelaksanaan proses pendidikan tersebut.
Prayitno. 2005. Esensi Ilmu Pendidikan dalam Pendidikan Makro dan Pendidikan Mikro: Hubungan Pendidikan dan Pembelajaran. Seminar dan Lokakarya Pengembangan dan Implementasi Ilmu Pendidikan di LPTK, Padang 29-31 Maret 2004. 16
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
45
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
Ada berbagai versi tentang tujuan pendidikan ini, yang semuanya dapat dirangkum dalam satu kalimat yang sangat komprehensif, yaitu untuk memuliakan kemuliaan manusia. Proses pendidikan tersebut diharapkan mampu mengarahkan manusia sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, apa yang mampu dilakukannya baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Sebuah tujuannya yang sesungguhnya sangat sakral, yang sama dengan apa yang maksud oleh Allah SWT yang menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini, yang bukan hanya sebagai yang berkuasa, namun juga sebagai makhluk yang mampu mengayomi dan melindungi apa yang ada disekitarnya. Sementara yang kita lihat sekarang adalah keberadaan manusia, yang telah menjalani proses pendidikan, justru banyak yang melakukan berbagai tindakan pengrusakkan di muka bumi ini, justru tidak mampu mengendalikan berbagai situasi yang dihadapinya secara rasional, bahkan cenderung apatis dengan keadaan di sekitarnya. Dalam UU No. 20/2003 dinyatakan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan tujuan pendidikan. Dengan demikian tugas seorang konselor tidaklah hanya mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, melatih, mengarahkan dan menggerakkan siswa untuk mencapai tujuan luhur pendidikan. Oleh sebab itu seorang guru pemb pembimbing dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa memikirkan kepentingan pihak-pihak tertentu dan tanpa membeda-beda siswa yang menjadi anak didiknya. Posisi dan kedudukan layanan bimbingan dan konseling semakin kuat dengan tercantumnya konselor sebagai salah satu dari tenaga kependidikan sebagaimana tercantum secara implisit dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003. Ketentuan ini menjadi dasar legal bagi pelaksanaan peran dan fungsi konselor di samping ketentuan-ketentuan lain yang sudah diberlakukan sebelumnya. Bimbingan dan konseling terutama pada jalur pendidikan formal dewasa ini semakin dirasakan manfaatnya terutama dalam rangka pengembangan diri dan potensi peserta didik. Selain itu, banyak permasalahan yang dialami oleh peserta didik yang tidak dapat diatasi walau hanya dengan proses pembelajaran yang baik sekalipun. Pengentasan permasalahan tersebut akan dapat terlaksana dengan baik dan optimal apabila konselor mampu mewujudkan perannya dengan baik melalui pelaksanaan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung dalam berbagai bidang bimbingan. Hal ini terutama sekali juga dirasakan oleh anak-anak berkebutuhan khusus yang menempuh pendidikan pada jalur pendidikan formal untuk siswa-siswa normal. Oleh karena itu, peran konselor dalam memberikan pelayanan konseling sangat diperlukan. Untuk Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
46
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
melaksanakan peran tersebut, diperlukan konselor yang memiliki profesionalisme tinggi, yang terwujud melalui wawasan yang luas, pengetahuan yang mendalam, keterampilan yang tinggi, pengamalan nilai-nilai profesi dan kode etik yang mantap serta sikap yang positip terhadap bimbingan dan konseling. Namun demikian, pada kenyataannya profesionalisme konselor sebagaimana yang diharapkan tersebut masih jauh dari harapan. Fenomena di sekolah menunjukkan adanya gejala-gejala kurang profesionalnya konselor dalam melaksanakan peran dan fungsi utamanya. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya konselor yang bertugas sebagai petugas piket/keamanan, praktik peta kelas, mencari pencuri atau praktik polisi sekolah dan sebagainya. Sekolah merupakan lembaga yang sepenuhnya melaksanakan upaya pelayanan pendidikan kepada peserta didik. Melalui penyelenggaraan proses pembelajaran dengan muatan substansi berbagai mata pelajaran pelayanan pendidikan itu dilaksanakan. Para guru mata pelajaran menggunakan hampir seluruh waktu yang disediakan untuk kepentingan proses pembelajaran. Dalam kaitan proses pembelajaran oleh guru mata pelajaran itu, pertanyaan muncul yaitu: karena guru-guru tersebut melakukan proses pembelajaran (yang adalah pendidikan), apakah itu berarti mereka juga telah melaksanakan pelayanan konseling? Secara singkat, jawaban atas pertanyaan itu adalah: belum, karena proses pembelajaran yang mereka laksanakan itu belum menggunakan modus-modus pelayanan konseling. Modus-modus pelayanan konseling,. yang berbeda dari modus pengajaran mata pelajaran, akan jelas terlihat pada berbagai jenis layanan konseling dan kegiatan pendukungnya, dengan SKM (standar kompetensi minimal) dan SPO (standar prosedur operasional) nya. Para guru mata pelajaran itu tidak melaksanakan berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung konseling demikian itu. Jika para guru itu belum melaksanakan pelayanan konseling, pertanyaan berikutnya muncul, yaitu: apa dan bagaimana posisi pelayanan konseling di sekolah? Posisi pelayanan konseling adalah dalam kerangka pengembangan diri peserta didik secara totalitas. Dalam kaitan ini, proses pembelajaran dengan fokus hanya mata pelajaran belum sepenuhnya menjangkau keseluruhan wilayah pengembangan diri peserta didik. Pelayanan konselinglah yang memungkinkan pengembangan diri peserta didik menjadi wajar, total, dan optimal. Dalam kaitan inilah pelayanan pengembangan (yang di dalamnya termasuk kegiatan pengajaran) merupakan pelayanan “pra konseling”. Dengan pelayanan pengembangan yang optimal, masalah-masalah individu yang memerlukan pelayanan konseling akan tercegah dan dikurangi. Kondisi riil pelaksanaan peran dan fungsi konselor sebagaimana tersebut di atas patut menjadi perenungan dan perhatian berbagai pihak. Hal ini searah Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
47
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
dengan tuntutan akan profesionalisasi pelayanan konseling yang semakin gencar, kental dan mengkristal. Pelayanan ini terarah untuk semua sasaran layanan pada setting sekolah, maupun luar sekolah yang secara keseluruhan mencakup spektrum yang amat luas. Pelayanan ini tidak lain ialah untuk mengembangkan diri individu secara total dan optimal demi kehidupan yang membahagiakan. Oleh karena itu, berbagai upaya harus segera dilakukan untuk memenuhi tuntutan profesionalisme konselor di atas, sehingga konselor memiliki daya potensial optimal dan upaya maksimal sebagai bagian integral dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dalam Pendidikan inklusif, pelayanan konseling berada di dalam keseluruhan pelayanan bagi perkembangan dan kebahagiaan hidup kemanusiaan. Dengan berbagai potensi, kebutuhan dan kondisi dirinya, setiap individu dikehendaki untuk berkembang secara optimal, menjalani dan mencapai taraf kehidupan yang bermartabat serta membahagiakan. Untuk terwujudnya hal-hal yang dimaksudkan itu diperlukan berbagai pelayanan. Ada tiga tingkatan pelayanan secara menyeluruh, yaitu pelayanan dasar, pelayanan pengembangan, dan pelayanan bantuan teraputik. Pelayanan dasar dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar individual agar eksistensi kehidupan terjamin. Pelayanan pengembangan dimaksudkan agar individu berkembang dan terhindar dari berbagai permasalahan yang mungkin timbul, serta terbukanya kesempatan bagi perkembangan potensi dan masa depan. Dengan pelayanan dasar dan perkembangan yang memadai individu akan dapat berkembang dan menjalani kehidupannya secara minimal wajar. Dengan pelayanan demikian, timbulnya masalah dapat tercegah seminimal mungkin. Pelayanan bantuan teraputik termasuk untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam oendidikan inklusif, hanya diperlukan apabila individu mengalami masalah (dalam eksistensi dan perkembangan kehidupannya seharihari) yang benar-benar mengganggu atau serius. Pelayanan bantuan teraputik dimaksudkan untuk mengentaskan permasalahan tersebut dan mengembalikan individu ke perkembangan yang wajar dan kehidupan yang efektif. Secara khusus, pelayanan konseling berada pada pelayanan bantuan teraputik. Meskipun demikian, pelayanan konseling juga berperanan dalam pelayanan pengembangan, bahkan dalam pelayanan dasar. Untuk ini diperlukan pendekatan dan teknik-teknik pelayanan yang benar-benar profesional guna menjamin suksesnya pengentasan masalah (dalam pelayanan bantuan teraputik), serta mencegah timbul dan berkembangnya masalah pada tingkat pelayanan dasar dan pelayanan pengembangan. D. Simpulan Pendidikan inklusif sebagai sebuah program pendidikan yang diusung guna mencapai tujuan Pendidikan untuk Semua (Eduacation for All), pada Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
48
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
dasarnya mengajak kita untuk kembali menggali dan merenungkan apakah proses pembelajaran yang kita laksanakan selama ini telah berjalan sesuai dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Tuntutan-tuntutan terhadap sikap, metode dan teknik mengajar yang diterapkan oleh seorang guru bukanlah merupakan hal-hal baru yang memang seharusnya dikuasai oleh guru. Namun demikian, dengan dituntutnya pelaksanaan pendidikan inklusif ini, mau tidak mau LPTK harus lebih serius dalam menangani proses pendidikan calon guru, baik secara teoritis (MKDK) maupun praktis (PPL). Dengan lebih beragamnya siswa, menuntut keterampilan, keahlian dan kepribadian guru yang lebih matang dan profesional dalam memandu proses pembelajaran. Dan jika perlu, LPTK, seperti yang disarankan oleh Skjorten, harus berani melakukan perubahan yang radikal dalam menyiapkan guru-guru yang mampu menjawab tantangan pendidikan inklusif ini. Sementara dalam perspektif profesionalisme, kode etik guru yang menjadi panduan bagi guru dalam melaksanakan tugasnya pada prinsipnya sejalan dengan tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sebagai penutup dapat dikemukakan bahwa konselor yang profesional harus menguasai tiga tingkatan pelayanan secara menyeluruh, yaitu pelayanan dasar, pelayanan pengembangan, dan pelayanan bantuan teraputik. Konselor sebagai pendidik juga harus mampu menerapkan kaidah-kaidah keilmuan pendidikan melalui modus pelayanan konseling dengan sisi kekhususan pelayanan konseling secara amat kental diwarnai oleh kaidah-kaidah psikologi dan unsurunsur budaya pihak-pihak yang dilayani. Oleh karena itu, paradigma konseling dilukiskan sebagai: pelayanan psikopaedagogik dalam bingkai budaya. Seorang konselor harus senantiasa mau dan mampu meningkatkan wawasan, pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap (WPKNS) terhadap layanan bimbingan dan konseling, baik melalui pelatihan, seminar, lokakarya, temu ilmiah maupun melakukan diskusi-diskusi dengan teman sejawat tentang bimbingan dan konseling. Daftar Pustaka Mitchell, D. 1994. Inclusive Education in Asia : Policies, Problems and Possibilities. Hamilton: Univ. in Waikato, School of Education PP no. 39/1992 Peters, Susan.J. 2003. Inclusive Education: An EFA Strategy for All Children. World Bank. www.worldbank.org Peters, Susan.J. 2004. Inclusive Education: Achieving Education for All by including those with disabilities and special education needs. World Bank. www.worldbank.org Prayitno. 2002. Hubungan Pendidikan. Padang: UNP Prayitno. 2004. Esensi Ilmu Pendidikan dalam Institusi Pendidikan. Seminar dan Lokakarya Pengembangan dan Implementasi Ilmu Pendidikan di LPTK, Padang 29-31 Maret 2004 Prayitno. 2005. Esensi Ilmu Pendidikan dalam Pendidikan Makro dan Pendidikan Mikro: Hubungan Pendidikan dan Pembelajaran. Seminar dan Lokakarya Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
49
Ida Umami
Implikasi Pendidikan Inklusi...
Pengembangan dan Implementasi Ilmu Pendidikan di LPTK, Padang 2931 Maret 2004. Skjorten,M.D. 2003. Menuju Inklusi dan Pengayaan. Dalam Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar. Johnsen(ed.). Seri Menuju Inklusi I. UPI Bandung. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (1989) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
50
PERAN PENDIDIKAN AGAMA DI ERA MULTIKULTURALISME PADA LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL Ali Mashari Al Islam Tunas Bangsa Tanjung Karang Lampung Abstrak Education religion at formal education is important in forming of attitude to life believes for student. Education religion in instituting education formal impressed giving is more information about problems religious from at inculcating awareness for the importance of position to believe and experience of religion teaching. This doesn't mean transfer of of knowledge no important. Transfer of of knowledge clearly hardly is required, because the matter meant as science bases basing on student in acts and practices. Education ought to of the religion doesn't desist at cognate level as of eye, but always is strived with inculcates value and position to believe in correct passed practice and internalization of Iesson matter. Key Words: Pendidikan Agama, Multikulturalisme, Pendidikan Formal A. Pendahuluan Perubahan masyarakat dewasa ini terasa begitu sangat cepat dan tidak terelakkan lagi. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat sudah tentu sangat berpengaruh pada aspek-aspek kehidupan yang lain termasuk di dalam aspek atau bidang pendidikan. Ahli-ahli pendidikan sangat sadar bahwa proses pendidikan tidak berlangsung di ruang kosong dan terisolasi, melainkan di tengah-tengah hiruk pikuk masyarakat yang berubah cepat. Ini artinya, apa yang terjadi dalam masyarakat cepat atau lambat hal itu akan berpengaruh secara signifikan terhadap bidang pendidikan. Bidang pendidikan itu sendiri cakupannya sangat luas, di dalamnya tercakup pula pendidikan agama, yang dimaksudkan untuk mengembangkan potensi religiusitas dan moralitas manusia atau peserta didik. Di era multikulturalisme seperti sekarang ini, pendidikan agama benar-benar dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan, antara lain dengan issu multikulturalisme, pandangan suatu agama terhadap keyakinan atau nilai-nilai yang berbeda tidak boleh hanya dari perspektif tunggal yakni dari pandangan agama yang bersangkutan saja, melainkan juga harus mampu mengakomodasi pandangan yang berbeda. Pandangan yang berperspektif tunggal tersebut tidak sejalan dengan semangat multikultural. B. Pendidikan Agama Bagi Manusia Pendidikan adalah fenomena kemanusiaan yang bersifat universal. Artinya,, di mana ada manusia di sana ada pendidikan. Dalam kenyataannya, manusia sangat membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya, baik potensi individualitas, sosialitas, moralitas maupun religiusitasnya. Dalam konteks inilah pendidikan agama menjadi sangat relevan, yakni pendidikan yang dimaksudkan untuk mengembangkan potensi religiusitas dan moralitas manusia (peserta didik).
Ali Mashari
Peran Pendidikan Agama...
Manusia meskipun telah dianugerahi berbagai kemampuan oleh sang penciptanya, baik kemampuan inderawi, mupun akalinya, ternyata masih membutuhkan bimbingan dari agama. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam memahami fenomena alam maupun dalam menghadapi kehidupannya, lebih-lebih kehidupan setelah kematian. Sebagai manusia yang beriman tentu sangat membutuhkan informasi dari ajaran agamanya sekaligus membutuhkan bimbingan dari Tuhan agar tidak tersesat baik di dunia maupun di akhirat kelak. Agama menurut Parsudi Suparlan (1980) secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai "seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya." Secara lebih khusus, agama dapat didefinisikan sebagai "suatu sistem keyakinan yang dianut, dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai gaib dan suci." Secara sosiologis, agama juga dibedakan dari isme-isme lainnya, karena ajaran-ajaran agama selalu bersumber pada wahyu yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan atau wangsit (dalam agama-agama primitif dan lokal).1 Agama bagi para penganutnya berisikan ajaran-ajaran tentang kebenaran tertinggi dan mutlak, tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat baik di dunia maupun di akhirat, yaitu sebagai manusia yang bertaqwa kepada Tuhannya, beradab, dan manusiawi, yang berbeda dari caracara hidup hewan atau makhluk-makhluk gaib yang jahat dan berdosa seperti setan dsb. Pada setiap agama memuat sistem keyakinan (aqidah), sistem peribadatan (syariah) dan sistem nilai baik buruk (akhlaq). Ini artinya, pada setiap agama ada keyakinan-keyakinan yang khas yang tidak dimiliki oleh keyakinan agama lain. Juga, sistem peribadatannya berbeda antara agama satu dengan agama lainnya. Akhirnya, sistem nilai baik buruk (ajaran moral/akhlak) dari masing-masing agama juga tidak sama. Dan inilah yang menjadikan penganut suatu agama terkesan eksklusif. Eksklusivisme dalam beragama akhirakhir ini mendapat tantangan dengan munculnya issu pluralisme dan multikulturalisme. C. Pendidikan Multikultural dan Pluralisme Issu pluralisme di Indonesia dewasa ini mulai marak, baik pluralisme ras, suku, kelompok budaya maupun pluralisme agama. Di Amerika sendiri sudah lama muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting-pot sampai multikulturalisme. Pluralisme model melting-pot (arena kehidupan) utamanya politik dijadikan ajang meleburnya berbagai kelompok 1 Suparlan, Parsudi " Kata Pengantar" dalam terjemahan karya Robertson, Roland (Ed.). 1980. Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Penerbit Rajawali Press.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
52
Ali Mashari
Peran Pendidikan Agama...
etnik/kultural; Pluralisme model lain disebut mainstreaming/ assimilation, yang pada intinya budaya induk yang statusnya lebih tinggi dipakai sebagai standar, kelompok-kelompok lain mengikuti budaya induk, kalau perlu diupayakan kompensasi-kompensasi utamanya terhadap kelompok yang lemah dan berkekurangan. Sedangkan pluralisme model yang ketiga adalah model multikultural, di mana masing-masing kelompok etnik/kultural memiliki kedudukan yang sama dan didorong untuk berkembang dan pada saat yang sama upaya-upaya struktural diciptakan sebagai basis bersama membangun masyarakat bangsa (Suyata, 2001). 2 Dalam kaitannya dengan pluralitas agama, Harold Coward (1989: 5), menyatakan bahwa dunia selalu memiliki pluralitas keagamaan. Bahkan, mulai tahun 1980-an dunia mengalami sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu hancurnya batas-batas budaya, rasial, bahasa dan geografis. Dunia Barat tidak dapat lagi menutup diri. Juga, tidak dapat lagi menganggap dirinya sebagai pusat sejarah dan budaya, dan sebagai pemilik agama yang cara peribadatannya paling absah. Hal yang sama juga berlaku bagi Dunia Timur. Dewasa ini setiap orang adalah tetangga dekat dan tetangga rohani yang lain. Ini artinya, masing-masing agama tidak dapat mengklaim dirinya yang paling benar. Istilah "multikulturalisme" sendiri secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary, sebagaimana dikutip oleh El-Ma‟hadi (2004), istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural". Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multikultural dan multi-lingual".3 Pendidikan multicultural didefinisikan oleh Paul Gorski (2003:4) sebagai "a prgressive approach for transforming education that holistically critiques and addresses current shortcomings, failing, and discremantory practices in education." Dari definisi tersebut, tampak jelas bahwa dengan pendidikan multikultural ini diharapkan dapat mengurangi atau bahkan dapat menghilangkan kelemahan, kegagalan dan praktek-praktek diskrimasi dalam pendidikan. Pendekatan ini didasarkan pada ide keadilan sosial, hak memperoleh pendidikan, dan sebuah upaya untuk memfasilitasi pengalaman pendidikan seluruh peserta didik agar dapat mengembangkan seluruh potensinya sebagai pelajar dan sebagai makhluk yang secara sosial aktif dan sadar, baik lokal, nasional maupun internasional. Dari pandangan Gorski ini, seolah-olah kita diingatkan untuk menengok kembali Pembukaan UUD‟45
2 Suyata. 2001. Pendidikan Nasional dalam Perspektif Lintas Budaya. Makalah disampaikan pada Pertemuan FIP/JIP Se Indonesia, yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Makasar tanggal 11-13 Oktober 2001. 3 El-Ma‟hadi, Muhaemin (2004). Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. http://artikel.us/muhaemin6-04.html.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
53
Ali Mashari
Peran Pendidikan Agama...
beserta batang tubuhnya, bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah kewajiban negara dan memperoleh pendidikan adalah hak warga negara. Pendidikan dewasa ini, semestinya tidak menjadi semakin elitis, dan kurang populis. Pendidikan semestinya tidak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat tertentu (saja), sementara bagi sekelompok masyarakat lainnya menjadi sebuah mimpi belaka, akibatnya muncul diskriminasi baru dan menjadi tidak adil. Sudah tentu hal ini juga tidak sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa kita utamanya nilai kemanusiaan dan nilai keadilan sosial. Berbeda dengan Gorski, James Banks (Baker, 1994) memahami pendidikan multikultural sekurang-kurangnya dari tiga hal: pertama, dipahami sebagai sebuah gagasan atau konsep; kedua, dipahami sebagai sebuah gerakan reformasi pendidikan; dan ketiga, dipahami sebagai sebuah proses. Pendidikan multikultural juga memadukan gagasan bahwa seluruh peserta didik dengan tidak memandang jenis kelamin, kelas sosial, dan etnik, ras atau pun karakteristik budaya mereka, seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di sekolah.4 Kita perlu memulai dengan mengenal masyarakat kita yang beragam itu, demikian saran Baker (1994: 8-9). Kita tidak hanya hidup dalam sebuah dunia, melainkan juga hidup di sebuah negara yang didiami oleh individu-individu yang memiliki banyak perbedaan etnik dan kelompok budaya. Atas dasar itu, maka masuk akal jika kita berharap lembaga pendidikan mampu menolong kelompok dari budaya yang berbeda itu tidak hanya dapat berada bersama, melainkan juga dapat hidup bersama dalam suatu keharmonisan. Dengan demikian, pendidikan multikultural itu tidak hanya dipandang sebagai program melainkan juga proses. Dengan kata lain, semua pendidikan seharusnya adalah multikultural yakni mengajarkan dan menanamkan kesadaran kepada para peserta didiknya tentang adanya keragaman dan perbedaan, baik dari segi ras, etnik, kelompok budaya maupun agama. Hal ini berarti, pendidikan pada umumnya harus dipandang sebagai proses untuk mengenal latar belakang semua peserta didik yang beragam. D. Pendidikan Agama dan Permasalahannya Dewasa ini, pembicaraan mengenai pendidikan multikultural di Indonesia seolah-olah sedang laris-manis dengan berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses pembelajaran yang mengubah perspektif monokultural yang esenisal, penuh prasangka dan diskriminatif ke arah perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka, baik keragaman dan perbedaan dari segi ras, etnik, karakteristik budaya maupun Baker, Gwendolyn C. (1994). Planning and Organizing for Multicultural Instruction. Second Edition. California: Addison-Wesley Publishing Company. 4
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
54
Ali Mashari
Peran Pendidikan Agama...
agama. Sebagai bagian dari masyarakat ilmiah atau akademik, kita yang berada di pendidikan tinggi tidak boleh terasing dari perbincangan realitas multikultural, karena bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Permasalahan yang dihadapi pendidikan agama adalah kesan masyarakat yang sudah terlanjur menganggap pelajaran/mata kuliah Pendidikan Agama itu lebih merupakan pengajaran agama daripada pendidikan agama, karena kenyataan di lapangan banyak peserta didik yang nilai pelajaran/mata kuliah pendidikan agamanya 8 bahkan 10, tetapi sikap dan perilaku kesehariannya tidak mencerminkan nilai yang diperoleh di lembaga pendidikan tempat mereka sekolah/kuliah. Ini dapat ditafsirkan pendidikan agama lebih mengutamakan aspek kognitif peserta didik daripada aspek afektif (sikap), aspek konatif (kemauan), maupun aspek psikhomotorik (ketrampilan). Permasalahan lain yang juga menghadang pendidikan agama adalah datang dari lingkungan pendidikan, baik dalam lingkungan keluarga, lebih-lebih lingkungan masyarakat. Dari lingkungan keluarga sering kali tidak ikut mendukung apa yang diajarkan atau dididikan guru/dosen di sekolah/kampus. Nilai-nilai yang diajarkan dan ditanamkan di lembaga pendidikan seringkali mendapat tantangan justru datang dari lingkungan keluarga sendiri, baik yang menyangkut sikap, maupun perilaku keseharian. Misalnya: guru mengajarkan dan menanamkan cara makan yang sopan menurut ajaran agama yakni dengan tangan kanan dan dengan duduk manis (untuk anak TK dan SD), tetapi conoth di rumah justru sebaliknya. Hal ini diperparah dengan tantangan yang berasal dari masyarakat luas, baik dari media massa utamanya TV yang banyak menayangkan pornografi dan pornoaksi yang tidak sejalan dengan apa yang diajarkan dan ditanamkan di lembaga pendidikan. Selain kedua permasalahan di atas, tantangan global, yakni dengan munculnya issu multikulturalisme, meskipun dalam ajaran agama itu sendiri juga berisi nilai-nilai multikultural seperti: dalam Islam tidak memandang warna kulit, ras, etnik , budaya atau pun asal-usulnya. Yang dinilai mulia di sisi Allah adalah kualitas ketaqwaannya. Masing-masing agama memiliki sistem keyakinan, sistem peribadatan, dan sistem nilai-nilai moral. Dan ini seringkali memicu para penganut agama yang bersangkutan bersikap ekslusif. Sikap ekslusif terkadang dapat menjadi sumber konflik antar penganut agama yang sama, lebih-lebih antara penganut agama yang berbeda. Dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul, setidaktidaknya ada tiga sudut pandang: pertama, sudut pandang primordialis; kedua, sudut pandang instrumentalis; dan ketiga, sudut pandang konstruktivis. Kelompok pertama beranggapan bahwa perbedaan yang berasal dari genetika seperti : suku, ras dan juga agama merupakan sumber utama lahirnya benturanbenturan kepentingan etnis, maupun agama. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
55
Ali Mashari
Peran Pendidikan Agama...
Pandangan lain beranggapan bahwa suku, agama dan identitas lainnya dianggap sebagai alat atau instrumen yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam wujud material maupun wujud non material. Anggapan ini lebih banyak digunakan oleh politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok identitas. Sedangkan kelompok ketiga beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana dipegang oleh kaum priomordialis. Etnisitas bagi kelompok ketiga ini dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Oleh karena itu, etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Bagi kelompok ini, persamaan adalah anugerah dan perbedaan adalah berkah. Dalam konteks pandangan konstruktivis inilah terdapat ruang bagi wacana multikulturalisme dan pendidikan multikultural sebagai sarana membangun toleransi atas keragaman. Ekslusivisme dalam beragama dewasa ini mendapat tantangan di era multikulturalisme dan dalam pendidikan multikultural, karena pendidikan multikultural justru mendorong agar peserta didik lebih inklusif, mau bersanding hidup bersama dengan sesama manusia, warga negara, bahkan tetangga yang berbeda agama, ras, etnik maupun kelompok budaya. E. Urgensi Pendidikan Multikultural Wacana pendidikan multikulturalsemakin menggema dewasa ini. Hal ini antara lain timbul karena selama ini pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia; lebih dari 38 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka; dan paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai ke Timur, dari Utara ke Selatan. Kita dan dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslovakian, Zaire hingga Rwandha, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan. Dari Srilangka, India hingga Indonesia. Berbagai konflik yang cukup panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama. Pengalaman bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa, kita mendapat informasi bahwa bangsa Indonesia telah mempraktekkan konsep lama yang menyatakan bahwa integritas suatu masyarakt harus mensyaratkan adanya homoginitas di antara komponen-komponen masyarakat tersebut, sehingga tindakan penyeragaman di sana sisni ditetapkan. Kenyataan menunjukkan bahwa komponen-kompnen masyarakat tersebut memiliki hubungan yang sering tidak seimbang, utamanya dalam pengalokasian dan pendistribusian sumber-sumber masyarakat. Persyaratan homoginitas bagi terwujudnya integritas masyarakat, kini mendapat sanggahan. Kesatuan dan persatuan nasional tidak perlu diusahakan lewat homoginisasi masyarakat. Indonesia dapat menyatu di dalam heteroginitas yang saling mendukung, mempercayai, Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
56
Ali Mashari
Peran Pendidikan Agama...
hormat menghormati, saling menguntungkan, kesetaraan dan kebersamaan. Dan yang terakhir inilah yang sejalan dengan "multi-cultural model". Kita dapat belajar dari pengalaman Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaan 4 Juli 1776. Ketika itu sangat disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh sebab itu, Amerika mencoba mencari terobosan baru dengan menempuh strategi yakni dengan menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, Amerika Serikat berhasil membangun bangsanya, yang dalam perkembangannya melebihi dan melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Dalam hal ini, Amerika Serikat menggunakan sistem demokrasi dalam pendidikan ala Dewey untuk mensosialisasi dan membudayakan nilai-nilainya, yang pada intinya adalah toleransi yang diperuntukkan bukan hanya untuk kepentingan bersama, tetapi juga untuk menghargai kepercayaan pihak lain dan juga berinteraksi dengan anggota masyarakat. Pengalaman bangsa-bangsa lain dan juga dari pengalaman bangsa kita sendiri, memberikan bukti bahwa ternyata bangsa Indonesia yang notabene tergolong multikultur sangat membutuhkan paradigma, model atau pendekatan baru dalam mensikapi pluralitas dan perbedaan etnik, ras, budaya maupun agama. Sudah tentu tidak cukup hanya menyadari realitas multikultural, tanpa upaya lanjutan yakni bagaimana agar masing-masing etnis, ras, kelompok budaya dan kelompok agama mampu mengakses dan terlibat secara bersama membangun Indonesia yang lebih baik. Kita pun dapat mencontoh Amerika dalam memanfaatkan lembaga pendidikan untuk dijadikan tempat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai yang kita cita-citakan bersama itu. Pengertian dan definisi pendidikan multikultural di atasjuga menekankan bahwa pendidikan multikultural sebagai gagasan, gerakan reformasi pendidikan dan sebagai proses, termasuk dimensi-dimensi yang ada di dalamnya yang satu sama lain saling terkait, sebenarnya sudah terlihat dengan jelas apa yang menjadi tujuan dari pendekatan pendidikan multikultural tersebut secara eksplisit menunjukkan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan multikultural, yaitu: 1. Menolong para peserta didik menjadi lebih sadar terhadap mereka sendiri sebagai individu-individu, dan sadar terhadap budaya mereka sendiri. 2. Menolong individu–individu mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap budaya orang lain. 3. Mendorong individu-individu untuk berpartisipasi dalam banyak budaya yang berbeda sebanyak yang mereka pilih. 4. Menolong individu-individu mengembangkan seluruh potensi mereka sehingga mereka dapat mengontrol kehidupan mereka sendiri dan dengan cara demikian menjadi lebih berdaya. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
57
Ali Mashari
Peran Pendidikan Agama...
Dalam konteks pendidikan agama, pendidikan multikultural diharapkan dapat: 1. Menolong peserta didik menjadi lebih sadar terhadap ajaran agama mereka sendiri dan sadar terhadap adanya realitas ajaran agama lain. 2. Menolong peserta didik mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap agama orang lain. 3. Mendorong peserta didik untuk berpartisipasi dalam kegaiatan sosial yang di dalamnya terlibat berbagai penganut agama yang berbeda. 4. Menolong peserta didik mengembangkan seluruh potensi mereka sendiri termasuk potensi keberagamaan mereka sehingga mereka dapat mengontrol kehidupan mereka asendiri, dan dengan cara demikian mereka lebih berdaya. Meskipun secara eksplisit tujuan pendidikan multikultural menurut Baker lebih difokuskan pada individu (baca: peserta didik), diharapkan juga dapat memberikan dampak pada lingkungan yang lebih luas, sehingga dengan pendidikan multikultural ini mampu membangun kebersamaan dalam keragaman sekaligus dapat meredakan ketegangan sosial yang diakibatkan oleh latar belakang yang berbeda. Daftar Pustka Baker, Gwendolyn C. (1994). Planning and Organizing for Multicultural Instruction. Second Edition. California: Addison-Wesley Publishing Company. Comard, Harold. 1989. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. El-Ma‟hadi, Muhaemin (2004). Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural. http://artikel.us/muhaemin6-04.html. Gorski, Paul. Defining Multicultural Education. http://www.mhhe.com/socscience/education/multi/define.html Suparlan, Parsudi " Kata Pengantar" dalam terjemahan karya Robertson, Roland (Ed.). 1980. Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. Jakarta: Penerbit Rajawali Press. Suyata. 2001. Pendidikan Nasional dalam Perspektif Lintas Budaya. Makalah disampaikan pada Pertemuan FIP/JIP Se Indonesia, yang diselenggarakan oleh universitas Negeri Makasar tanggal 11-13 Oktober 2001.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
58
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
KONTEKSTUALISASI PENDIDIKAN ISLAM: REFORMULASI ESSENSI DAN URGENSITAS PENDIDIKAN ISLAM DALAM ERATRANSFORMASI INFORMASI Buyung Syukron Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro
[email protected] Abstrak Pendidikan adalah cara untuk menyiapkan generasi yang unggul dan memiliki daya saing. Tak terkecuali bagi pendidikan Islam. Pendidikan Islam yang bertujuan untuk menbentuk insan kamil dihadapkan pada permasalahan pelik akan derasnya globalisasi yang ditandai dengan era transformasi informasi. Mutu pendidikan Islam harus mendominasi, agar bersifat resisten dan fleksibel dengan perkembangan zaman.Untuk membentuk pendidikan Islam yang kokoh diperlukan berbagai macam langkah. Rekonstruksi essensi dan urgensitas pendidikan Islam merupakan cara untuk meredam dikotomi ilmu, karena pada hakikatnya semua ilmu menurut Islam bersumber dari satu otoritas. Pendidikan yang berwawasan pluralisme perlu dilakukan agar umat Islam tidak terbentur dalam praktik monopoli keyakinan. Dengan memahami dan menerima keberagaman, maka sifat toleransi dan inklusif semakin matang sehingga umat Islam mampu melakukan tukar pikiran demi kemajuan bersama.Term “rekonstruksi” di dalam paper ini mengindikasikan bahwa sebelumnya telah ada paradigma yang digunakan dalam pendidikan Islam. Hanya saja, paradigma tersebut kini harus dirancang atau diperbaharui kembali agar pendidikan Islam mampu membangun masyarakat yang demokratis, religius, inovatif, dan siap untuk menghadapi tantangan transformasi informasi yang begitu hebat dan pesat. Kata Kunci: Pendidikan Islam, Essensi dan Urgensitas Pendidikan Islam, Transformasi Informasi, Pendidikan Islam dan Transformasi Informasi
A. Pendahuluan Sebagai agent of change, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Secara proses, Pendidikan Islam tidak dan bukan saja diidentikkan dan dikonsepsikan pada sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force)21 dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi. 21
Una Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai, (Jakarta: P3P, 1990), h. 1
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
59
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
Globalisasi yang ditandai dengan transformasi informasi, merupakan tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab dan dipecahkan dalam upaya memanfaatkan transformasi informasisebagai media dalam upaya mencapai kepentingan kehidupan ummat manusia di muka bumi ini. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi harus dikonotasikan sekaligus dikonsepsikan sebagai sebuah sinyalitas yang mempercepat akselerasi proses pendewasaan pendidikan Islam dalam memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan yang tidak saja berkarakter, tetapi juga adaptabel dan awareness22terhadap perkembangan teknologi informasi. Proses perkembangan globalisasi pada awalnya ditandai kemajuan bidang teknologi informasi dan komunikasi. Kontekstualisasi Pendidikan Islam sebagai salah satu format pendidikan secara umum, harus dipahami sebagai salah satu agentof change yang memiliki essensi dan urgensitas dalam sebuah perubahan. Oleh sebab itu dalam perspektif yang lebih luas, kontekstualisasi pendidikan Islam harus dipandang sebagai suatu variabel yang menunjukkan eksistensi dan peran penting pendidikan Islam dalam memberikan warna dan nilai-nilai utuh serta totalitas terhadap sebuah kebutuhan pendidikan yang mampu memberikan perubahan.Tanpa pendidikan yang memadai, akan sulit bagi masyarakat mana pun untuk mencapai kemajuan. Karena itu banyak ahli pendidikan berpandangan bahwa “pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu ke arah modernisasi.Untuk mencapai titik yang optimal dari kontekstualisasi pendidikan Islam itu sendiri, maka keyword nya adalah pendayagunaan semua komponen, dalam hal ini potensi insan dan non-insani yang terlibat di dalamnyaharus di maksimalkan.Peluang dan kesempatan harus disediakan seluas-luasnya kepada semua komponen tersebut.23 Dalam kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses era transformasi informasi dianggap berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan.Dalam alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima facie norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa „pertemuan‟ (encounter) pendidikan Islam dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul
Geertz, Clifford, “Modernization in A Moslem Society: The Indonesia Case”, da‟am Quest, vol. 39 (Bombay: 1963). Hadi S, Qamarul, Membangun Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif, Bandung, 1986 23 Ismail, SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 31 22
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
60
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
adalah mitos-mitos ketakutan yang membentuk kesan bahwa era transformasi informasi menyebabkan posisi pendidikan Islam berada di pinggiran.24 Selama ini pendidikan Islam diasumsikan bahkan dikonsepsikan kurang berhasil dalam menggarap sikap dan perilaku berjalan bersama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan non agama.Dalam frame ini, Pendidikan Islam kurang atau belum mampu bahkan dianggap tidak memiliki relevansi sikap yang jelas terhadap perubahan teknologi yang terjadi sekarang ini atau kurang kontekstual terhadap perkembangan teknologi informasi.Dengan kata lain, Pendidikan Islamakontekstual dan belum bisa lepas dari sejarah yang cenderung menganut paham anomali berfikir dalam mensikapi trend modernitas yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi. Anomali berfikir pendidikan Islam ini pada akhirnya bermuara pada ketidaksiapan lembaga pendidikan Islam dalam menyambut, menghadapi dan mengantisipasi derasnya kemajuan transformasi teknologi dan Informasi. Realitas faktual tersebut juga ikut andil dalam memperparah buruknya pendidikan Islam dalam melahirkan output (peserta didik) yang qualified dan memiliki daya saing kuat berbasis informasi. Bahwa transformasi informasi sangat berpengaruh (baca: memiliki efek negatif) terhadap penyelenggaraan pendidikan Islam itu sendiri, memang harus kita yakini sebagai sebuah keniscayaan. Pengaruh yang sangat mungkin dimunculkan pada pendidikan Islam akan terlihat dan nampak terhadap tujuan, proses, hubungan guru dan murid, etika, metode ataupun yang lainnya. Bahwa perlu juga diakui,ekses negatif yang muncul dari transformasi informasi (khususnya dalam pendidikan Islam) adalah munculnya kecenderungan perubahan entitas keber-agama-an, yang kesemuanya ini berpengaruh pada keberlangsungan perkembangan identitas, pengamalan, dan nilai-nilai agama.25Tentu saja ini semua tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kalangan agamawan, pemikir, pendidik, bahkan penguasa harus merespon secara konstruktif terhadap berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengaruh transformasi informasi ini. Akan tetapi, kita juga tidak boleh menutup mata bahwa era informasi menjadikan semuanya lebih transparan. Apa yang terjadi dibelahan dunia yang satu, dan dibelahan dunia yang lain dapat dengan cepat diketahui. Hubungan seseorang dengan yang lainnya. Teknologi dan komunikasi menjadi sedemikian dekat, gampang, dan mudah. Dengan transformasi Informasi, pengetahuan dan lain-lainnya dengan mudah kita dapatkan dari berbagai media baik radio, televisi, internet, koran, majalah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, banyak 24 Ali Ashraf, Crisis ini Moslem Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1398 H), h. 44. Lihat juga, Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), h. 172, Omar Mohammad al Thoumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terjemah oleh Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 22-24 25 Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terjemah oleh Dahlan dan Soelaiman, (Bandung: CV. Diponegoro, 2002), h. 47
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
61
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
pula hal positif yang dapat diperoleh Pendidikan Islam (baik secara sistem dan Institusional) untuk meningkatkan kualitas. Konteks problematika di atas, tentu bukan sebagai sebuah upaya menconstruct pendidikan Islam menjadi Pendidikan yang sekular, dan bukan pula menjadikan pendidikan Islam alergi atau apriori bahkan fatalis terhadap perkembangan zaman yang ditandai oleh era transformasi informasi, akan tetapi bagaimana menjadikan pendidikan Islam menjadi solutor yang berorientasi distingtif26dalam merespons transformasi informasi dan memposisikan pendidikan Islam sebagai media yang memiliki essensi dan urgensitas dalam membangun sebuah peradaban dunia.Hal tersebut dapat dimulai dari upaya melakukan Reformulasi terhadap Essensi dan Urgensitas Pendidik Islam Dalam Era Transformasi Informasidalam sebuah bingkai konstruksi pendidikan Islam yang memiliki formulasi yang lengkap antara teori dan praktek.Dalam perspektif transformasi informasi, Pendidikan Islam harus memiliki visi, misi, dan tujuan yang kontekstual terhadap arus global. Sejatinya, Pendidikan Islam harus mampu menghilangkan sekat dan batas yang bersifatdikotomik menuju pendidikan Islam yangintegralistik. KONTEKSTUALISASI REFORMULASI PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan konservatif. Menurut pengamatan Amin Abdullah, bahwa kebanyakan pendidikan Islam masih menggunakan pola konvensionaltradisional, tidak saja yang terjadi dilembaga pendidikan non formal seperti pondok pesantren, akan tetapi juga di sekolah Islam, madrasah dan perguruan tinggi. Oleh karena itu harus dicari terobosan baru dan inovasi yang relevan dengan zaman, sehingga pendidikan Islam menjadi aktual-kontekstual. Dengan demikian, secara imlementatif pendidikan Islam akan relevan dan sesuai dengan gerak perubahan dan tuntutan zaman. Kajian epistemologis dalam wilayah keilmuan apapun tidak bisa dihindarkan dari mempersoalkan kontekstualitas konstruksi cara berfikir dan mentalitas keilmuan. Sedang cara berfikir itu, dipengaruhi oleh gerak perubahan zaman yang melingkarinya serta corak tantangan kehidupan yang dihadapi oleh setiap generasi. Secara historis pendidikan Islam memiliki pengalaman dan 26 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modrnisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), h.53. Pendapat Azyumardi Azra di atas mewakili berbagai pandangan pembaruan pendidikan Islam dapat diimplementasikan pada aspek materi sehingga para pendidik diharapkan menyusun rencana pembelajaran dengan memperhatikan formula di atas. Namun demikian tentu saja belum cukup. Reformulasi pendidikan Islam harus menyentuh pula aspek filosofis dan metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya. Sampai saat ini masih terdapat beberapa kesalahpahaman umum (salah kaprah) tentang pendidikan yang terus mempengaruhi pemikiran banyak pihak. Kesalahpahaman tersebut disebabkan oleh adanya pemahaman parsial dan mekanistik tentang proses pendidikan Islam itu sendiri.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
62
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
budaya yang sebetulnya itu menjadi nilai berharga untuk menata kembali gerak dan dinamika pendidikan Islam yang berkualitas.Konstruksi epistemologis yang bergerak inilah yang membutuhkan corak pemikiran dan mentalitas yang kreatif, inovatif–positif seperti yang diisyaratkan Fazlur Rahman. Sehingga secara aktif konstruktif akan selalu berupaya dan berusaha membangun kerangka berfikir baru, adaptatif terhadap seluruh perkembangan zaman yang terjadi di sekitarnya, serta tidak merasa puas dengan anomali-anomali yang melekat pada kerangka tradisional yang selama ini telah berjalan secara konvensional–tradisional. Pendidikan Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban-sebagai seorang hamba (abd) dihadapan Khaliq-nya dan sebagai “pemelihara” (khalifah) pada semesta. Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan), sebagai tujuan akhir dari pendidikan. Pendidikan Islam bersumber pada nilai-nilai agama Islam di samping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut27. Pendidikan Islam memiliki watak dan corak yang selalu berkembang dengan sangat dinamis. Hal itu telah dibuktikan dalam perjalanan sejarah panjangnya. Jika dulu barat belajar ke Islam, kini malah terjadi titik balik (turning point). Dalam putaran sejarah saat ini, pendidikan Islam telahtertinggal jauh. Barangkali jika pendidikan Islam menginginkan kemajuan, maka peniruan cara barat dalam menyerap ilmu dari Islam, menjadi sebuah keniscayaan. Transformasi informasi secara besar-besaran terhadap ilmu pengetahuan yang meski era sekarang pendidikan Islam dihadapkan kepada isu globalisasi yang kian membiaskan nilai, norma, dan etika, kesemuanya merupakan tantangan terberat yang harus dihadapi.28 Pergeseran nilai pendidikan Islam dewasa ini menjadi boomerang dalam dunia pendidikan Islam. Individu muslim yang seharusnya beretika, dan bermoral kini telah mengalami demoralisasi atas apa yang dilahirkan dari pendidikan. Kemorosotan moral yang terjadi merupakan Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (terj.) oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge, (Bandung: Pustaka, 2004), ed.revisi, h. 65. Paradigma ini berangkat dari postulat bahwa prinsip asasi dalam pendidikan Islam adalah “tidak menyekutukan Allah” (tauhid). Dengan asas ini pada hakikatnya memerdekakan manusia dari otoritas-otoritas selain Allah. Pemerdekaan manusia semacam ini dapat menumbuhkan semangat dinamis dan kreatif dalam diri peserta didik, sehingga memiliki kemampuan potensial untuk menjadi khalifah di muka bumi. Melalui asas tersebut peserta didik dapat mengembangkan kepribadian di atas kesadarannya yang fitri dan hanif (cenderung terhadap kebenaran ilahi), sehingga di dalam dirinya tertanam jihad, dalam arti mampu mengubah tatanan dunia fisik dan mengembangkan intelektualnya sendiri dalam menjawab dunia yang senantiasa berubah dengan cepat. Manusia yang demikian ini adalah manusia yang secara potensial memiliki keberdayaan atau kebebasan sejati. 28 Jenie, Umar A., Paradigma dan Religiositas Perkembangan Iptek, dalam buku Religiusitas Iptek, (Yogyakarta: t.p., 1998), cet. Ke-1, h. 67 27
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
63
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
dampak dari pada belum berhasinya pendidikan secara umum, khususnya pendidikan Islam. Sehingga dengan berbagai persoalan yang membuat buram wajah pendidikan Islam saat ini perlu adanya rekonstruksi pendidikan Islam yang berbasis modernis-religiusitas. Dalam perspektif kontekstualisasi, ketertinggalan pendidikan Islam salah satunya- juga dikarenakan oleh terjadinya penyempitan terhadap pemahaman pendidikan Islam yang hanya berkisar pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Dengan kata lain pendidikan Islam masih memisahkan antar akal dan wahyu, ayat qouliyah dan ayat kauniyah29 serta pikir dan zikir. Konstelasi ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan paradigma, yaitu kurang berkembangnya konsep humanisme religius dalam dunia pendidikan Islam, yang disebabkan karena pendidikan Islam lebih berorientasi pada konsep abdullah (manusia sebagai hamba), ketimbang sebagai konsep khalifatullah (manusia sebagai khalifah Allah) sebagaimana yang terurai di atas. Kontekstualitas yang dibuktikan dengan eksistensi pendidikan Islam jika ditinjau dari kelembagaan maupun dari nilainilai yang ingin dicapainya, masih terbatas pada pemenuhan tuntutan yang bersifat formalitas dan bukan sebagi tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk menghasilkan pribadi-pribadi aktif penggerak sejarah dan pemain yang tangkas dan gesit sebagai pelopor dan produsen peradaban Islam dimasa mendatang. Kontekstualisasi saat ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam berada pada posisi antara determinisme historik dan realisme. Term ini menunjukkan bahwa, satu sisi pendidikan Islam berada pada penggalan cerita dan romantisme historis masa lalu, di mana mereka (baca: pendidikan Islam) bangga karena pernah memiliki para pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan besar dan mempunyai kontribusi yang besar pula bagi pembangunan peradaban dan ilmu pengetahuan dunia serta menjadi transmisi bagi perkembangan khazanah dunia, namun di sisi lain mereka menghadapi sebuah kenyataan, bahwa pendidikan Islam tidak berdaya ketika dihadapkan kepada realitas masyarakat industri dan teknologi modern. Hal ini pun didukung dengan pandangan sebagian umat Islam yang kurang meminati ilmu-ilmu umum dan bahkan sampai pada tingkat “diharamkan”. Hal ini berdampak pada pembelajaran dalam sistem pendidikan
29 Mudjia Rahardjo, Menjejaki Model-model Pengembangannya, dalam buku Quo Vadiss Pendidikan Islam (ed.) (Malang: Cendekia Paramulya, 2002), h.20. Untuk menghindari dikhotomi, pendidikan Islam harus kontekstual sesuai dengan persoalan hidup seperti yang diajarkan alQur‟an dan Sunnah Nabi. Kontekstualisasi pendidikan dengan persoalan zaman adalah pilihan strategis dan rasional yang relevan dengan semangat dan spirit doktrin Islam. Pendidikan Islam harus mengambil pola-pola yang modern, tetapi tidak mengesampingkan nilai-nilai spiritualitas dan akhlakul karimah.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
64
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
Islam yang masih berkutat pada apa yang oleh Syed Hossein Nasr30, sebagai epistemologi bayani, atau disebut dengan hadharah an-nash (budaya agama yang semata-mata mengacu pada teks), di mana pendidikan hanya bergelut dengan setumpuk teks-teks keagamaan yang sebagian besar berbicara tentang permasalahan fikih semata, tanpa perduli dengan derasnya arus globalisasi yang ditandai dengan munculnya era informasi di sekelilingnya. Semua faktor kelemahan tradisi ilmiah dikalangan umat Muslim dan problematika yang komplek dalam pendidikan Islam, menyebabkan pendidikan Islam selalu berada dalam ketertinggalan dan secara teoritis tidak akan mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalis dan humanisasi. Oleh karena itu, keterlanjuran krisis ini jangan hanya dilihat dalam prespektif negatif, tetapi harus dilihat dalam kaca mata dinamika ilmu pengetahuan Islam, dengan jalan merekonstruksi bangunan yang masih menggunakan paradigma yang lama untuk diganti dengan paradigma yang baru sesuai dengan konteks (kebutuhan) sekarang atau kekinian. Dengan asumsi inilah perlu dicoba sebuah upaya untuk mengungkap berbagai permasalahan dalam pendidikan Islam, kemudian dicarikan alternatif baru -reformasi- pemikiran yang tentunya lebih realistis, inovatif, tegas dan dinamis kedepannya. Akan tetapi paling tidak konstruksi terhadap kontekstualisasi pendidikan Islam akan menjadi sesuatu yang menarik apabila respons yang diberikan adalah dengan melakukan gerakanpemikiran yang konstruktif pula untuk menjawab realitas di atas, dan itu dapat dilakukan dengan cara antara lain: pertama,menghilangkan paradigma dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, ilmu tidak bebas nilai, tetapi bebas untuk dinilai, mengajarkan agama lewat bahasa ilmu pengetahuan, dan tidak mengajarkan sisi tradisional saja, tetapi sisi rasional. Selain itu, perlu ditambahkan lagi dengan penggunaan indera dan akal pada wilayah obyek ilmu, sedangkan wahyu memberikan bimbingan atau menuntun akal untuk mewarnai ilmu itu dengan keimanan dan nilai-nilai spiritual. Kedua, Merubah pola pendidikan Islam yang indoktrinasi menjadi pola partisipatif yang memberikan ruang dan akses penuh kepada pendidikan Islam secara institusional untuk mengembangkan pola berpikir kritis, optimis, dinamis, inovatif, serta adaptatif terhadap munculnya perkembangan pengetahuan berbasis teknologi informasi. Ketiga, merubah paradigma idiologis menjadi paradigma ilmiah yang berpijak pada wahyu Allah SWT. Sebab, paradigma idiologis ini -karena otoritasnya-dapat mengikat kebebasan tradisi ilmiah, kreatif, terbuka, dan dinamis.Praktis paradigma idiologis tidak memberikan ruang gerak pada penalaran atau pemikiran bebas bertanggung jawab secara argumentatif.Padahal, wahyu sangat memberikan keleluasaan bagi akal manusia 30 Hossein Nasr, Syed, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Mizan, 2003), h. 27
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
65
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
untuk mengkaji, meneliti, melakukan observasi, menemukan, dan menerima ilmu pengetahuan (ayat kauniyah)31 dengan petunjuk wahyu Allah SWT.Karena itu, agar epistemologi pendidikan Islam terwujud, maka konsekuensinya harus berpijak pada wahyu Allah. Keempat, mengharmoniskan kembali relasi Tuhan dan manusia dalam bentuk pendidikan yang teoantroposentris dengan titik tekan bahwa manusia itu makhluk Tuhanyang mulia.Kelimat, mengharmoniskan antara iman dengan ilmu dimana keduanya tersebut tidak boleh dipisahkan.Keenam, Mengharmoniskan antara pemenuhan kebutuhan rohani (spiritual-ukhrawi) dengan pemenuhan kebutuhan jasmani (material-duniawi).Ketujuh, mengharmoniskan antara wahyu dengan daya intelektual (berfikir, kritis dan rasional). B. Essensi Pendidikan Islam Di Era Transformasi Informasi Setiap substansi mengandung pengertian esensi, tetapi tidak setiap esensi mengandung pengertian substansi. Substansi dapat ditafsirkan sebagai yang membentuk sesuatu atau yang pada dasarnya merupakan sesuatu. Esensi adalah hakekat barang sesuatu. Essensi dari pendidikan Islam adalah pendidikan tauhid (keimanan) dan pendidikan akhlak atau moral. Untuk mewujudkan hamba Allah dan khalifah fil al ardh32, manusia harus beriman dan berakhlak baik. Manusia yang beriman dan berakhlak mulia dengan berbagai potensinya ia akan dapat menggunakan ilmunya untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian pendidikan Islam merupakan sutu proses bertahap dalam membentuk manusia berdasarkan potensi yang dimilikinya agar sesuai dengan maksud penciptaaanya dan eksistensinya. Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Sementara keberadaan manusia di muka bumi adalah untuk mengurus urusan dunia (khalifah fil al ardh). Kita tidak menginginkan kemajuan sains dan teknologi serta kekayaan pemikiran, tetapi mengalami kemiskinan rohani dan kegersangan batin. Keprihatinan Negara dan masyarakat industri maju seperti eropa dan jepang 31 Ayat kauniyah adalah salah satu ayat Allah atau tanda-tanda kebesaran-Nya, Alam semesta ini menyimpan sejuta ilmu dan rahasia dibaliknya. Tidak akan mengetahui ilmu-ilmu dalam sunnatullah tersebut kecuali dengan cara melakukan penelitian, pengamatan, penemuan dan mengembangkan. Dari penelitian terhadap alam semesta (ciptaan-Nya ini), maka manusia menemukan berbagai ilmu pengetahuan, seperti kimia, biologi, astronomi, sosial, antropologi, giologi, kedokteran, dan lain sebagainya. Semua ilmu itu bersumber dari Allah dan dipergunakan oleh manusia untuk menjalankan tugasnya sebagai kholifatullah dan sebagai Abdullah untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. 32 Qamarul Hadi, S., Membangun Insan Seutuhnya, (Al-Ma'arif: Bandung, 1996), h. 67. Tujuan pendidikan Islam merupakan kelanjutan misi besar yang terkadung dalam wahyu ilahi dan sunnah Nabi Muhammad saw. Merujuk pada dua sumber utama itulah, pendidikan Islam harus bersentuhan dengan segala dimensi kehidupan. Tidak hanya seputar pendidikan agama, melainkan juga menyentuh persoalan-persoalan sosial, kultural, ekonomi, politik, dan sebagainya. Pendidikan tidak ingin melahirkan generasi yang berat sebelah. Artinya suatu genarasi yang hanya mementingkan satu dimensi keilmuan, sementara yang lain dipandang tidak penting. Model pendidikan Islam semacam ini justru akan terjebak pada formulasi yang mengarah terjadinya dikhotomi ilmu.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
66
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
sudah cukup memberikan pelajaran bagi kita untuk menyongsong tahap industrialisasi masa depan. Al Qur'an berulang kali menyuruh kita melakukan kajian kesejarahan, dengan kata – kata " Siru Fil Ardl " dan " Fanzhuru Kaifa Kana 'Aqibatu….." . hampir semua peradaban yang ditunjuk oleh Al Qur'an sebagai obyek penelitian dan kajian adalah obyek yang mencapai tingkat kemajuan fisik, atau kemajuan keilmuan, namun dalam kehancuran moral keimanan. Fenomena di atas tentu bukan untuk mematikan dan menghentikan langkah pendidikan Islam dalam upaya merespons konsekwensi dan konsistensi yang muncul dari perkembangan teknologi informasi. Stigma berfikir yang terbangun tentu tidak boleh menjadi stigma yangterbalik, yang melihat bahwa setiap euforia perkembangan -khususnya teknologi informasi- yang terjadi menjadi sesuatu yang belum tentu baik bagi Islam (khususnya pendidikan Islam), bukankah Islam melalui proses pendidikan yang dibangunnya memiliki keluhuran dan kemuliaan tujuan, yang tidak lain adalah menciptakan intelektualitas muslim yang adaptabel terhadap perkembangan zaman, tetapi tetap kokoh menjunjung tinggi keagungan dan kemuliaan Islam itu sendiri. Dalam konteks di atas, essensi pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan masalah yang selalu menarik dan penting untuk dikaji, karena penyelenggaraan pendidikan Islam sekarang ini mengalami proses dikotomi, yaitu menerapkan metode dan muatan pendidikan barat dengan menambah beberapa mata pelajaran agama Islam dengan metode dan muatan Islami yang berasal dari zaman klasik yang belum dimodernisasi secara mendasar33. Penyelenggaran pendidikan Islam belum mengacu dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah, tetapi hanya menjaga dan melestarikan segala warisan yang bersifat klasik. Pendidikan Islam masih terkonotasi menjadi “cagar budaya” yang hanya berperan merawat dan menjaga tradisi leluhur tanpa berperan melihat sisi prospektifitas yang muncul dalam upaya membangun tradisi pendidikan Islam yang lebih modernis. Essensi “Pendidikan Islam", sebagaimana dikemukakan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, bukan dan tidaklah memaksudkan perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik atau kuasi-fisik pengajaran seperti buku-buku yang diajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, tetapi adalah apa yang Syed Muhamad,Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1987), h. 86. Tesis tersebut di atas tidak berlebihan, karena dibalik kebesaran dan keluasan kapasitas, peran dan fungsi pendidikan Islam itu sendiri, pendidikan Islam belum berani menunjukkan berfikir yang distingtif. Dengan kata lain, pendidikan Islam pada semua jenjang harus mampu menatap dan “menjejakkan” kiprah dan kontribusinya untuk menunjukkan nalar kritis dalam menghadapi modernitas zaman. Sekali lagi, penyelenggaran pendidikan Islam bukan sekedar merawat “cagar budaya” ajaran-ajaran Islam semata, tetapi yang lebih penting menciptakan output yang memiliki daya saing tinggi dihadapan Bangsanya sendiri (internal) dan seluruh Bangsa di dunia (eksternal). Kesemuanya itu dibangun oleh fenomenalisme ilmu pengetahuan yang tidak bisa tidak harus diikuti oleh pendidikan Islam. Oleh karena itu ditinjau dari aspek pengamalannya, pendidikan Islam harus berwatak akomodatif kepada tuntutan kemajuan zaman yang tentu saja ruang lingkupnya masih berada pada tataran dan kerangka yang mengacu pada norma-norma ke-Islaman. 33
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
67
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai "intelektualisme Islam", dan bagi Syed Muhammad Naquib al-Attas inilah esensi pendidikan Islam. Intelektualisme Islam merupakan pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Perumusan pemikiran pendidikan Islam haruslah didasarkan kepada metoda penafsiran dan pemahaman yang benar terhadap al-Qur'an, yang berfungsi sebagai petunjuk atau inspirasi bagi seluruh komponen yang berkepentingan terhadap kemajuan pendidikan Islam dan Pendidikan Islam yang berkemajuan, khususnya dalam upaya mengakomodir perkembangan teknologi informasi. Dari konteks di atas, pada pokoknya seluruh masalah “modernisasi” dalam pendidikan Islam, diupayakan dan dilandasi oleh semangat dalam upaya membuatnya mampu untuk mem-produktsi intelektual-intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha dengan tetap menjaga keterkaitan yang serius kepada Islam. Modernisasi pendidikan Islam bukan pada perlengkapan dan peralatan-peralatan fisik pengajaran seperti buku-buku, tetapi upaya modernisasi lebih pada membangun intelektualisme Islam. Untuk itu, perumusan pendidikan tinggi Islam haruslah didasarkan pada metode penafsiran yang benar terhadap al-Qur‟an, karena al- Qur‟an harus ditempatkan sebagai titik intelektualisme Islam. Pemahaman yang benar dan mendalam terhadap al-Qur‟an yang berfungsi sebagai petunjuk dan inspirasi bagi generasi muda Islam. Dengan kata lain, al-Qur‟an bukanlah Kitab Suci yang hanya dipandang sebagai sebuah Kitab dari dimensi teks semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek kontekstual, yang memberikan kesempatan, ruang, gerak, bagi pendidikan Islam untuk berimprovisasi dalam turut membangun dan membuktikan keterlibatannya dalam pembangunan peradaban yang berbasis teknologi, khususnya informasi. Dari apa yang diuraikan di atas, terlihat bahwa essensi pendidikan Islam dibangun atas beberapa konsep sebagaimana gambar berikut. KURIKULUM YANG TERBUKA
PARADIGMA KEUNGGULAN
SPIRITUAL
KAJIAN FILOSOFIS
INTELEKTUAL
SOCIAL SCIENCE
MORAL
TEKNOLOGI INFORMASI
Melihat gambar di atas, maka uraian singkat yang dapat kita lihat adalah: (1) Perumusan pemikiran konsep pendidikan tinggi Islam yang hendak Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
68
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
dikembangkan haruslah dibangun di atas sebuah paradigma yang kokoh spritual, unggul secara intelektual, dan agung secara moral dengan al-Qur'an sebagai acuan yang pertama dan utama. Paradigma model inilah, orang boleh berharap bahwa peradaban yang akan datang tidak berubah menjadi kebiadaban yang liar dan brutal. (2) Tawaran kurikulum yang sifatnya terbuka bagi kajiankajian filsafat, sain-sain sosial, dan Teknologi informasi. Pendidikan Islam harus sudah dan selayaknya membangun paradigma orientaso yang menekankan peranan filsafat sebagai kegiatan kritis analtis dalam melahirkan gagasangagasan yang bebas. Dalam hal ini filsafat berfungsi menyediakan alat-alat intelektual bagi teologi dalam menjalankan tugasnya "mem-bangun suatu pandangan dunia berdasarkan al-Qur'an" dan memandang bahwa penting dan menjadi sebuah keniscayaan untuk melibatkan sains-sains sosial dan Teknologi Informasi dalam disain pendidikan tinggi Islam ke depannya. Kitatidak boleh lagi melabelisasiapalagi memberi sekat-sekat pendididkan Islam padasebuah konotasi yang hanya dibatasi dan dimaknai pada pendidikan agama Islam semata. Pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada ruang lingkup yang hanya berbicara tentangtauhid, fiqih, tarikh Nabi, membaca alquran, tafsir, hadist, dan lain-lain.Tetapi paradigma PendidikanIslam harus mampu memberikan warna dan orientasi yang lebih mendunia yang terbangun secara komprehensif dan terintegratif. Termasuk membangun sekaligus memiliki “arkeologi”34 pemikiran sendiri dengan modifikasi gaya pendidikan yang lebih konstruktif dengan mengakomodir perkembangan transformasi informasi yang terjadi, yang pada akhirnya mampu memberikan kesadaran dan kontribusi nyata. Perkembangan Informasi harus dijadikan sebagai sebuah momentum penting bagi Pendidikan Islam untuk bisa memaksimalkan peran dan fungsinya dalam upaya berkontribusidari aspek pemikiran dan tindakan terhadap berbagai fakta dan problem yang dihadapi Bangsa dan dunia saat ini.Inilah jawaban atas tantangan sekaligus harapan atas sebuah perubahan stigma dan pemikiran terhadap essensi pendidikan Islam yang sebenarnya diinginkan saat ini. C. Urgensitas Pendidikan Islam Di Era Transformasi Informasi Pendidikan Islam merupakan cerminan masa depan sekaligus katalisator pembaharuan suatu bangsa. Karena itu, transformasi pendidikan Islam ke arah peningkatan mutu, efisiensi, dan efektifitas adalah sebuah keniscayaan. Dan menjadi sebuah keniscayaan pula, bahwa transformasi mutu, efesiensi dan efektifitas pendidikan Islam tidak akan bisa dilepaskan dari proses transformasi infomasi yang terjadi saat ini. Pertanyaannya: “bagaimana urgensitas pendidikan Islam ditengah deras dan pesatnya transfomasi informasi tersebut?”.
34 Abdul Munir Mulkhan, Rekosntruksi Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, dalam buku Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), h. 87
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
69
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
Untuk menjawab pertanyaan di atas, cukup menarik apa yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo, bahwa ada lima program reinterpretasi untuk memerankan kembali urgensitas rasional dan empirisme pendidikan Islam yang bisa dilaksanakan saat ini dalam rangka menghadapi modernisasi dan transfomasi informasi. 1. Perlunya dikembangkan penafsiran social structural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan tertentu di dalam Al-Qur‟an. 2. Mengubah cara berpikir subjektif ke cara berpikir objektif. Contoh ketentuan zakat, secara subjektif, tujuan zakat memang diarahkan untuk pembersihan jiwa. Akan tetapi, sisi objektif tujuan zakat adalah tercapainya kesejahteraan sosial. 3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis. Jika berhasil, banyak disiplin ilmu yang secara orisinal dapat dikembangkan menurut konsepkonsep Al-Qur‟an. 4. Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis. Selama ini kisahkisah yang ditulis dalam Al-Quran cenderung bersifat ahistoris, padahal kisah-kisah itu adalah justru agar kita berpikir historis. 5. Merumuskan formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi-formulasi yang spesifik dan empiris. Misal, Allah mengecam sirkulasi keuntungan hanya di orang-orang kaya saja. Secara spesifik, sebenarnya Islam mengecam monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi-politik.35 Pendapat Kuntowijoyo di atas sebenarnya mengandung makna implisit tentang bagaimana urgensitas pendidikan Islam harus senantiasa diupayakan agar mampu menciptakan produktivitas intelektual muslim yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaitan yang serius kepada Islam. Urgensitas pendidikan Islam adalah apa yang disebut dengan “intelektualisme Islam”, artinya mempunyai makna pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai yang dapat dan harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan dan kegagalan sebuah sistem pendidikan Islam. Di sini diperlukan kemampuan dan metode yang tepat dalam memahami al-Qur‟an sebagai titik intelektualisme Islam, sebab al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi umat manusia (hudan linnas).
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, (Bandung: Mizan, 2001), h.357. Kuntowijoyo melihat bahwa urgensitas pendidikan Islam adalah mengadakan penyelidikan terhadap ilmu pengetahuan, ketikan pendidikan Islam diposisikan pada ugensitas ini, maka akan terlihat kelezatan padanya. Oleh karena itu, tujuan mempelajari ilmu pengetahuan adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Ghazali, ihya’Ulumiddin I, h.13. Pernyataan itu menyiratkan kesan bahwa penelitian, penalaran, dan pengkajian yang mendalam dengan mencurahkan tenaga dan pikiran (Ijtihad) adalah mengandung kelezatan intelektual kepada mereka dalam mencari hakikat pendidikan Islam. 35
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
70
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
Untuk mempertegas rancangan urgensitas pendidikan Islam tersebut, AlFaruqi menjelaskan bahwa terdapat lima sasaran yang harus menjadi target yang sebenarnya dari urgensitas pendidikan Islam, antara lain: (1) menguasai disiplindisiplin ilmu modern, (2) menguasai khazanah Islam, (3) menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, (4) mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern, dan (5) mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintas yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah36. Tentunya tidak semua orang muslim bisa menerapkan langkah-langkah yang ditawarkan oleh Al-Faruqi tersebut. Yang paling pas untuk melakukan itu barangkali adalah Lembaga Pendidikan Agama Islam (secara institusional). Dalam hal ini Sayid Ali Asyraf dan Hamid Hasan Bilgrami dalam buku mereka The Concept of Islamic University menulis bahwa tujuan utama urgensitas pendidikan Islam yang benar-benar harus dipahami adalah “melakukan sebuah terobosan inovatif-modernis terhadap semua cabang ilmu pengetahuan, inovatifmodernisterhadap buku-buku ajar dan bahkan metode-metode pengajarannya. Akan tetapi pada saat yang sama ia juga harus mempertahankan sifat keterbukaan yang esensial pada universitas tersebut”37. Pada posisi ini, kekuatan informasi menjadi sesuatu yang tidak bisa terbantahkan. Mengapa? Karena akan menjadi ambiguitas apabila kita berbicara tentang inovasi-modernisasi pada pendidikan Islam, akan tetapi di sisi lain, pendidikan Islam “alergi” terhadap perkembangan infomasi yang terjadi dewasa ini. Dibutuhkan integralistik pemahaman agar urgensitas pendidikan Islam yang dibangun pada masa kini tidak di claim sebagai urgensitas yang “durhaka”. Dalam perspektif transformasi informasi, urgensitas pendidikan Islam harus dipandang dalam sudut pandang yang luas. Bahwa pendidikan Islam yang (baca:inovatif-modernis) ideal di masa mendatang tentu tetap harus merujuk kepada al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber utama kegiatan pendidikan Islam, itu menjadi sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. Namun demikian, kedua sumber tersebut tetap harus didialogkan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini. Tanpa itu, urgensitas pendidikan Islam bisa jadi tidak relevan lagi dan tidak mampu menjawab persoalan-persoalan krusial yang dihadapi umat Islam di era transformasi informasi saat ini. Dalam konteks dan perspektif fungsi, menghadapi era globalisasi dan transformasi informasi, urgensitas pendidikan Islam perlu ditingkatkan. 36 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan.., h. 85. Lebih lanjut dikemukakan oleh alFaruqi, bahwa konotasi pendidikan Islam adalah proses pendidikan yang tidak boleh berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis, verbalis, kognitif dan misi pendidikan telah misleading. Tidak heran jika ada kesan bahwa praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Pendidikan Islam dianggap tidak cukup efektif memberikan memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. 37 Hamid Hasan Bilgrami & Syed Ali Asyraf, The Concept Of Islamic University (Cambridge: Hodder and Stoughton & The Islamic Academy, 1985), h. 76
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
71
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
Tuntutan globalisasi dan transformasi informasitidak mungkin dihindari. Dalam hal ini Ziaduddin Sardar,38 menawarkan solusi untuk menghilangkan ambivalensi orientasi pendidikan Islam, yakni dengan cara meletakkan epistemologi dan teori sistem pendidikan Islam yang modernis menjadi sifat yang mendasar. Untuk menghilangkan sistem yang dikhotomis di dunia pendidikan Islam, HAR. Tilaar menawarkan beberapa rumusan urgensitas pendidikan Islam yang diharapkan bisa dijadikan alternatif di dalam menghadapi transformasi informasi, antara lain: 1. Dari segi epistemologi, Ummat Islam harus berani mengembangkan kerangka pengetahuan masa kini yang terartikulasi secara sepenuhnya. Ini berarti kerangka pengetahuan yang dirancang dan dikembangkan harus aplikatif, tidak sekedar teoritis saja. Kerangka pengetahuan dimaksud setidaknya dapat menggambarkan metode dan pendekatan yang tepat sekaligus dapat membantu pendidikan Islam dalam mengatasi keterbelakangan informasi. 2. Diperlukan kerangka teoritis ilmu yang berbasis teknologi informasi yang memberikan gambaran konkrit akan sebuah model dan metode ilmiah yang sesuai dengan keinginan dan tinjauan dunia serta merefleksikan nilai-nilai dan budaya Muslim. 3. Perlu diciptakan teori tentang sistem pendidikan yang memadukan ciriciri terbaik sistem tradisional dan sistem modern yang berbasis teknologi informasi. Sistem pendidikan integralistik ini secara sentral harus tetap mengacu pada konsep ajaran Islam. Dengan kata lain, sistem integralistik ini harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat muslim secara multidimensional akan masa depan yang terjamin. 4. Menampilkan visi, misi, dan dan tujuan pendidikan Islam yang lebih dinamis, kreatif dan inovatif. 5. Menampilkan pendidikan Islam yang lebih ramah, sejuk, sekaligus menjadi pencerah bagi munculnya kegairahan hidup yang lebih mdernis. 6. Menampilkan revivalitas pendidikan Islam yang tidak saja berorientasi intensif ke dalam, tapi juga bersifat ekstrinsik dan eksoteris, dengan memabangun dan mengembangkan sisi peradaban kemajuan teknologi informasi.39 Dengan memperhatikan aspek-aspek di atas, maka urgensitas Pendidikan Islam sebagai pengejawantahan nilai-nilai al-Qur‟an dan haditsharus diformulasijuga untuk adaptatif terhadap trend era informasi. Sehingga sudah Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, terj. AE Priyono, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 79 39 HAR. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor : t.p., 1999), h. 3 38
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
72
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
selayaknya pendidikan Islam dari dimensi urgensitas diposisikan pada bagaimana membangun pemahaman yang terintegratif. Formulasi urgensitas yang dapat dibangun dan dikembangkan adalah: Pertama,membangun sinergitas pemahaman tentang betapa pentingnya upaya peningkatan mutu pendidikan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan secara kontinyu agar dapat digunakan sebagai wahana dalam membangun pribadi dan watak bangsa (nation character building) serta agar dapat mengelola dan menyesuaikan dengan perkembangan globalisasi melalui arus informasi ini, yang akhirnya pendidikan mampu berkembang secara produktif dan kreatif. Kedua, pendidikan Islam adalah sebagai aset yang paling berharga karena merupakan modal untuk membangun bagsa ini, dan untuk membangun aset tersebut, dibutuhkan peran yang terintegratif dari teknologi informasi sebagai media dan sarananya. Ketiga, pendidikan Islam harus diformulasi dalam upaya mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal. D. Reformulasi Essensi Dan Urgensitas Pendidikan Islam Dalam Era Transformasi Infromasi Era transformasi informasi yang berkembang saat ini tidak mungkin untuk ditolak eksistensinya, sebab era tersebut merupakan keniscayaan yang harus dihadapi oleh semua pihak termasuk pendidikan Islam. Melihat realitas seperti yang tertulis di atas, maka dibutuhkan solusi yang konstruktif dalam rangka menata atau merekonstruksi kembali seluruh komponen pendidikan Islam. Reformulasi atau dengan kata lain penataan kembali pendidikan Islam bukan sekedar modifikasi atau tambal sulam, tapi memerlukan rekonseptualisasi dan reorientasi, sehingga pendidikan Islam dapat memberikan sumbangan besar bagi pencapaian tahap tinggal landas. Secara komprehensif, ada beberapa tawaran yang bersifat konstruktif yang dapat dijadikan sebagai alternatif terbaik dalammemformulasi pendidikan Islam agar memiliki kecenderungan dan kemampuan bersaing dalam era transformasi informasi.Konstruksivitas argumentatif-solutif yang dapat dijadikan sebagai agenda ke depan bagi pendidikan Islam dalam upaya membangun pendidikan yang aware dan care terhadap transformasi informasi dari aspek essensi dan urgensitas dapat dimuali dari Pertama, perlu pengkajian ulang terhadap sistem pendidikan Islam yang saat ini berjalan dengan tetap mengedepankan semangat ajaran Islam. Bahwa semangat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk upaya mendialogkan kembali teks-teks suci keagamaan terhadap setiap kenyataan yang terjadi dalam semangat globalisasi transformasi informasi.Konsep pendidikan Islam tersebut atau yang disebut juga multi cultural education sudah mulai dan selayaknya diorientasikan pada implementasi pendidikan Islam yang memiliki padangang mendunia. Dengan berpandangan bahwa upaya menanamkan pandangan dan Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
73
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
pemahaman tentang dunia kepada seluruh komponen yang terlibat di dalamnya, dengan menekankan pada saling keterkaitan antar budaya, umat manusia dan planet bumi. Kedua, Pendidikan Islam harus mulai menekankan arti penting tentang berfikir kritis dengan fokus substansi pada hal-hal yang mendunia yang semakin bercirikan interpendensi, serta bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, skill, dan sikap yang diperlukan untuk hidup di dunia yang sumber dayanya kian menipis, ditandai keragaman etnis, pluralisme budaya dan saling ketergantungan. Ketiga, mempersiapkan sumberdaya manusia yang lebih matang dan berkualitas berbekal kemampuan komprehensif. Keempat, memperteguh kembali peran seluruh elemen dalam pendidikan Islam yaitu, individu, keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan Islam dan negara. Kelima, perlunya menyatukan spiritual Islam dengan Ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai basis yang kuat untuk menghadapi arus globalisasi yang semakin menghimpit, sebab dalam tradisi intelektual Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubungan antarberbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan (keesaan) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah iman dan pengalaman keagamaan, tetapi juga dalam dunia pengetahuan. Sebagaimana kita ketahui, ditemukannya tingkatan dan hubungan yang tepat antar-berbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga filosof, dari sufi hingga sejarawan, yang banyak di antara mereka mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu. Keenam, membangun jaringan pendidikan Islam dari skala lokal, nasional dan global sebagai bentuk komunikasi aktif dan sharing informasi antar negara tentang perkembangan pendidikan Islam diseluruh belahan bumi ini, sehingga tidak terjadi ketimpangan konsepsi dan pandangan terhadap pendidikan Islam. Ketujuh, mempertahankan potensi culture lokal yang dimiliki masyarakat sekaligus jembatan komunikasi dengan tetap memegang teguh semangat keislaman. Sustainabilty (Keberlanjutan) nyata atas apa yang penulis uraikan di atas, maka dalam mereformulasi essensi dan urgensitas pendidikan Islam agar menjadi pendidikan Islam yang modern dan dapat menjadi solusi dalam berbagai persoalan kehidupan yang saat ini di alami oleh umat Islam, maka upaya reformulasi tersebut dimulai dari me-review atau bahkan merubah essensidan urgensitas pendidikan Islam dari sebuah “tampilan” wajah yang tradisional-konvensional, menjadipendidikan Islam dengan performance yang lebih modernis dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam. Reformulasi essensi dan urgensitas harus diorientasikan dalam upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global, modern, fleksibel dan Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
74
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
dinamis40. Memang bukan sebuah perkara yang mudah untuk melakukan reformulasi ini, apalagi menyangkut essensi dan urgensitas sebagai ruh dari pendidikan Islam itu sendiri. Karena pada waktu yang bersamaan pula, pendidikan Islam memiliki kewajiban untuk melestarikan dan menanamkan nilai-nilai ajaran Islam, sementara disisi lain pendidikan Islam secara essensial dan urgensitas diharapkan juga mampu memiliki karakter kuat berbasis modernitas sebagai imbas dari transformasi informasi yang mau tidak mau harus diintegrasikan dan diimplementasikan dalam sistem, struktur, proses, dan prosedur pendidikan Islam itu sendiri. Dan ini tentu saja harus menjadi sebuah budaya. Dengan melihat peta konsep dikhotomis sebagaimana dikemukakan di atas, maka pendapat Hujair AH. Sanaky41 patut kita fikirkan. Menurutnya ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk memformulasikan kembali pendidikan Islam sebagaimana mestinya, yaitu : 1. Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah : a. Model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja sudah sesuai dengan perubahan zaman, b. Model kurikulumnya sudah integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama c. Model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsepkonsep Islam, d. Menolak apapun produk pendidikan barat e. Pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah. 2. Pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni : a. Dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan a. Dimensi ketundukan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai dengan pendekatan hati. Untuk menghindari terjadinya gesekan paradigma dan stigma negatif dalam upaya mereformulasi essensi dan urgensitas pendidikan Islam yang berwawasan transformasi informasi, maka pendidikan Islam harus benar-benar A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Indonesia, (Yogyakarta: Nida, 1999) Hujair A.H. Sanaky, Paradigma Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: MSI-UII, 2003), h. 47 40 41
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
75
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
melaksanakannya dengan langkah-langkah yang terencana strategis.Langkah-langkah kosntruktif tersebut, sebagai berikut.
Konstruksi I
dan
• Membangun Konsep Ilmu Pegetahuan, Islamisasi Pengetahuan dan Karakter Ilmu
• Empiric Experience Konstruksi II
• Berorientasi doing Konstruksi III
a. Membangun essensi dan urgensitas pendidikan Islam yang berpijak pada sebuah desain dengan mempertimbangkan konsep ilmu pengetahuan, Islamisasi ilmu pengetahuan42 dan karakter ilmu dalam perspektif Islam yang tidak saja bersandar pada kekuatan spiritual yang memiliki hubungan harmonis antara akal dan wahyu, interdependensi akal dengan intuisi dan terkait nilai-nilai spiritual, tetapi juga atas dasar perkembangan dan tuntutan zaman. Essensi dan urgensitas pendidikan Islam seperti ini, menjadi tumpuan harapan dalam membangun kehidupan umat Islam yang lebih baik dengan suatu peradaban Islam yang lebih mapan dan stabil. Reformulasi Essensi dan urgensitas pendidikan Islam sepertiini harus diorientasikan danditekankan pada bangunan totalitas yang didasarkan atas pengalaman dan kenyataan (empirisme) serta menganjurkan banyak cara untuk mempelajari alam (rasionalisme), sehingga ilmu yang diperoleh mampu memberikan keseimbangan antara intelektual, skill, dan spiritual serta moralitasnya. b. Reformulasi essensi dan urgensitas pendidikan Islam selain berbasis proses tauhid, juga memprirotaskan empiric experience43, di mana dari realitas empirik ini kemudian diamati, dikaji, dan diteliti dengan mengandalkan metode observasi dan eksperimentasi. Langkah ini menekankan bahwareformulasi essensi dan urgensitas pendidikan Islam harus dimaknai sebagai proses, 42 Paradigma ini pertama kali di-launching oleh Ismail Rajil Al-Faruqi dari lembaga Pemikiran Islam Internasional (International Institute of Islamic Thought) di Amerika Serikat menjelang 1980-an. Hal yang sama juga dilakukan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas (Malaysia), Fazlur Rahman (Pakistan), dan belakangan 43 Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual..., h. 85. Paradigma ini berangkat dari postulat bahwa prinsip asasi dalam pendidikan Islam adalah “tidak menyekutukan Allah” (tauhid). Dengan asas ini pada hakikatnya memerdekakan manusia dari otoritas-otoritas selain Allah. Pemerdekaan manusia semacam ini dapat menumbuhkan semangat dinamis dan kreatif dalam diri peserta didik, sehingga memiliki kemampuan potensial untuk menjadi khalifah di muka bumi. Melalui asas tersebut peserta didik dapat mengembangkan kepribadian di atas kesadarannya yang fitri dan hanif, sehingga di dalam dirinya tertanam jihad, dalam arti mampu mengubah tatanan dunia fisik dan mengembangkan intelektualnya sendiri dalam menjawab dunia yang senantiasa berubah.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
76
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
prosedur, cara atau kerja dalam upaya mencapai pengetahuan baru, bukan essensidan urgensitas dalam makna sumber atau alat untuk mencapai pengetahuan. c. Penggunaan muatan-muatan teologis atau hegemoni teologi atas essensidan urgensitas harus dihilangkan sedemikian rupa sehingga pendidikan Islam menjadi independen atau berdiri sendiri. d. Essensi dan urgensitas pendidikan Islam perlu dirubah ke arah orientasi pendidikan Islam yang menekankan pada doing, aktivitas dan kreativitas, atau kerja profesional yang menjadikan pendidikan Islam lebih progressif dalam merespons perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam proses doing, aktivitas dan kreativitas tetap bersandar pada nilai-nilai spiritual dan moralitas, sehingga di samping pendidikan Islam mampu mengeksplor ilmu pengetahuan baru,pada sisi lain pendidikan Islam juga mengakses nilai-nilai spiritual secara bersamaan. Menjadi sebuah keniscayaan, apabila reformulasi essensi dan urgensitas pendidikan Islam sebagaimana terurai di atas dapat terlaksana secara optimal, maka kekhawatiran terhadap transformasi informasi yang dapat melunturkan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam akan terhapus dengan sendirinya. Justru sebaliknya, perubahan yang dihasilkan dari reformulasi essensi dan urgensitas pendidikan Islam, akan mampu memberikan warna dan dinamika yang mengandung tingkat kemaslahatan yang tinggi, atau paling tidakakan memunculkan rumusan pendidikan Islam yang diharapkan bisa dijadikan alternatif di dalam memajukan pendidikan Islam itu sendiri. E. Kesimpulan Dari uraian di atas, ada sebuah catatan menarik yang perlu disampaikan dalam kesempatan ini yaitu pentingnya formulasi essesni dan urgensitas pendidikan Islam.Pembenahan essesni dan urgensitas pendidikan Islam yang harus dilakukan secara holistik. Dengan merombak pendidikan Islam secara holistik maka akan memunculkan paradigma baru yang kontekstual dan relevan dengan perubahan zaman. Karena itu, pendidikan Islam harus selalu merefromulasi secara terus menerus dan jangan sampai berhenti untuk mengerjakan sesuatu yang terbaik bagi masa depan. Reformulasi essensi dan urgensitas pendidikan Islam sangat diperlukan, dikarenakan pendidikan, khususnya pendidikan Islam mempunyai banyak masalah yang muncul. Diantara yaitu: a) mutu pendidikan, b) pemerataan pendidikan, dan c) masuknya budaya westernisasi. Sehingga ada beberapa alternatif formulasi pendidikan Islam yang dapat diterapkan, diantaranya yaitu: a) pembelajaran yang bertumpu pada teks (nash) perlu diimbangi dengan analisa yang mendalam dan cerdas terhadap konteks dan realitasnya, b) pengajaran tasawuf atau pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual sangat diperlukan dan pelaksanaan pendidikan Islam tidak terlalu menekankan pada Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
77
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
aspek kognitif siswa (intelektual), c) pendidikan agama Islam tidak hanya diarahkan kepada pembentukan “kesalehan individual” tetapi juga mengembangkan pembentukan “kesalehan sosial”, Karena hingga saat ini masih ditengarai bahwa essensi dan urgensitas pendidikan Islam belum mampu menghadapi perubahan dan menjadi counter ideas terhadap globalisasi transformasi informasi. Sebagai contoh, pola pengajaran maintenance learning yang selama ini dipandang terlalu bersifat pasif harus segera ditinggalkan. Dengan begitu, maka pendidikan Islam setiap saat dituntut untuk selalu melakukan reformulasi pemikiran kependidikan dalam rangka mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi.Kegagalan pendidikan Islam kontemporer secara umum juga disebabkan oleh faktor perumusan visi dan misi yang tidak kompatibel dengan konsep ideal dan kondisi empiriknya. Setidaknya hal ini disebabkan oleh empat alasan berikut: Pertama, kebanyakan yang diajarkan adalah sesuatu yang yang tidak relevan dengan kehidupan riil, seperti kebutuhan dan tantangan yang akan mereka hadapi. Kedua,pendidikan Islam lebih cenderung terpusat pada pengajaran (teaching) bukan pada belajar (learning).Masih mengentalnya sistem pengajaran maintenance learning yang bercirikan lamban, pasif dan menganggap selalu benar terhadap warisan masa lalu.Ketiga, Adanya pandangan dikotomis ilmu secara substansial (ilmu agama dan ilmu umum).Keempat, pengajaran kita tidak mempersiapkan anak-anak kita dengan keterampilan riil (real life skills) yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat modern saat ini.Selain itu, pendidikan Islam kontemporer (dan juga pendidikan pada umumnya) secara tipikal tidak memiliki pemahaman yang benar tentang perkembangan anak baik secara moral, sosial, psikologis maupun pedagogis.Subject matter pendidikan Islam masih bersifat normatif, verbalistik dan tekstual. Sementara itu pada sebagian besar masyarakat kita sekarang ini juga masih muncul anggapan, bahwa “agama” dan “ilmu” merupakan entitas yang berbeda dan tidak bisa ditemukan, keduanya dianggap memiliki wilayah sendiri-sendiri baik dari segi objek formal-material, metode, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing. Sistem pendidikan Islam diharapkan tidak terjebak pada aspek rutinitas, alami dan salah kaprah.Sehingga dibutuhkan kerja extra keras dan cerdas dalam menyikapi pelbagai perubahan dan perkembangan yang selalu berkembang, serta bersikap proaktif dan antisipasif dalam pengembangannya. Dalam ayatayat al-qur‟an, selalu diingatkan supaya kita senantiasa berlomba-lomba (kompetisi) dalam kebaikan (fastabiqu al-khairat), memperhatikan hal-hal apa yang hendak dilaksanakan untuk hari esok. Hal ini berarti agar setiap kegiatan pendidikan Islam mesti memperhatikan masa depan, mempunyai pandangan yang progesif, dan hal itu dapat ditempuh, manakala dengan melakukan pengembangan atau pembenahan yang sadar dan cerdas. Untuk menghindari model formulasi dikhotomik, pendidikan Islam harus kontekstual sesuai dengan persoalan hidup seperti yang diajarkan alProceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
78
Buyung Syukron
Kontekstualisasi Pendidikan Islam…
Qur‟an dan Sunnah Nabi.Kontekstualisasi pendidikan dengan persoalan zaman adalah pilihan strategis dan rasional yang relevan dengan semangat dan spirit doktrin Islam.Pendidikan Islam harus mengambil pola-pola yang modern, tetapi tidak mengesampingkan nilai-nilai spiritualitas dan akhlakul karimah. Daftar Bibliografi A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern Di Indonesia, Yogyakarta: Nida, 1999 Abdul Munir Mulkhan, Rekonstruksi Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, dalam buku Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Aditya Media, 1997 Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terjemah oleh Dahlan dan Soelaiman, Bandung: CV. Diponegoro, 2002 Ali Ashraf, Crisis ini Moslem Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1398 H ArmaiArief, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD, 2005 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modrnisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999 CliffordGeertz, “Modernization in A Moslem Society: The Indonesia Case”, da‟am Quest, vol. 39, Bombay: t.p., 1963 Hadi S. Qamarul, Membangun Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif, Bandung, 1986 Hamid Hasan Bilgrami & Syed Ali Asyraf,The Concept Of Islamic University Cambridge: Hodder and Stoughton & The Islamic Academy, 1985 HAR. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Bogor : t.p., 1999 Hujair A.H. Sanaky, Paradigma Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Yogyakarta: MSI-UII, 2003 Ismail, SM, dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (terj.) oleh Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge, ed.revisi, Bandung: Pustaka, 2004 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 2001 Mudjia Rahardjo,Menjejaki Model-model Pengembangannya, dalam buku Quo Vadiss Pendidikan Islam (ed.).,Malang: Cendekia Paramulya, 2002 Omar Mohammad al Thoumy Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, terjemah oleh Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1997 Qamarul Hadi, S., Membangun Insan Seutuhnya, Al-Ma'arif: Bandung, 1996 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998 Syed MuhamadNaquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Bandung: Mizan, 1987 Syed Hossein Nasr, Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Mizan, 2003 Umar A.Jenie, Paradigma dan Religiositas Perkembangan Iptek, dalam buku Religiusitas Iptek, cet. Ke-1, Yogyakarta: t.p., 1998 Una Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai, Jakarta: P3P, 1990 Ziauddin Sardar,Jihad Intelektual Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, terj. AE Priyono, Surabaya: Risalah Gusti, 2000
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
79
MEMBANGUN MANAJEMEN MUTU DENGAN PRINSIP SIX SGIMA PADA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBAL Oleh: Dalmeri Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Abstrak Perguruan tinggi agama Islam (PTAI) sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional tidak bisa melepaskan diri dari perubahan paradigma baru perguruan tinggi yang saat ini sedang gencar terjadi. Ada paradigma baru ini, kebijakan pengelolaan perguruan tinggi harus lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Saat ini PTAI menghadapi dua permasalahan serius, yakni kualitas lulusan yang dihasilkan dan sumbangan PTAI pada pengembangan ilmu agama Islam. Pada konteks kualitas lulusan, kapasitas intelektual dan keilmuan para lulusan PTAI menunjukkan bahwa banyak dari para lulusan PTAI yang belum sanggup menjawab setiap permasalahan keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Masalah kedua di atas disebabkan karena geliat yang ada di dalam kampus saat ini lebih banyak yang bersifat politis daripada ilmiah. Selain itu, tradisi menulis karya ilmiah atau penelitian di kalangan kampus PTAI juga terkesan dipaksakan. Tulisan ini berupaya menwarkan gagasan untuk membangun Managemen Penjaminan Mutu dengan Prinsip Six Sgima pada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) untuk Merespon Tantangan Nasional dan Global. Mengacu pada semangat paradigma baru Perguruan Tinggi dan problem yang dihadapi oleh PTAI ini, maka keberadaan jaminan mutu (quality assurance) di PTAI penting dilakukan. Selama ini, mayoritas PTAI tidak memiliki lembaga atau unit penjaminan mutu karena dua alasan. Pertama, khusus bagi PTAIN sebagai lembaga yang selalu disubsidi pemerintah, selama ini merupakan “anak manja” yang keberadaannya terjamin APBN, bagaimanapun kualitasnya. Kedua, sebagai akibat dari alasan pertama, pada umumnya pimpinan PTAI melihat proses penjaminan mutu sebagai tugas manajemen dirinya. Kata Kunci: Six Sigma, Manajemen Mutu, Penjaminan Mutu, Total Quality Pendahuluan Ada suatu perspektif perkembangan nasional dan global, pengembangan paradigma baru bagi Perguruan Tinggi di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Sebagaimana dikemukakan di dalam “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century,”1 dalam dunia yang tengah berubah sangat cepat, terdapat kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru. Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan, diharapkan kepercayaan publik terhadap 1UNESCO,
Higher Education in the Twenty-First Century: Vision and Action. (Paris: UNESCO, 1998). Terkait dengan masalah ini Kementerian Riset DIKTI mengidentifikasi ciri dalam satu tata kehidupan masyarakat masa depan adalah perubahan, baik perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Kementerian Riset dan DIKTI, Naskah Akademik Sistem Akreditasi Program Magister. (Jakarta: Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, 2012).
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
Perguruan Tinggi meningkat serta dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang selalu berkembang. PTAI sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari kondisi real di atas.2 Hal ini disebabkan, di PTAI juga terdapat dana publik yang ditarik dari masyarakat melalui sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) dan yang dialirkan dari APBN. Dengan melakukan perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel akan menunjukkan komitmen PTAI dalam menjaga amanat para orang tua dan pemerintah. Bila tidak, maka PTAI akan digilas oleh zaman dan semakin ditinggal oleh masyarakat. Menurut Afandi Mukhtar,3 saat ini PTAI menghadapi dua permasalahan serius, yakni: (1) kualitas lulusan yang dihasilkan dan (2) sumbangan PTAI pada pengembangan ilmu agama Islam. Terkait dengan kualitas lulusan, kapasitas intelektual dan keilmuan para lulusan PTAI menunjukkan bahwa banyak dari para lulusan PTAI yang belum sanggup menjawab setiap permasalahan keagamaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Berkaitan dengan minimnya sumbangan PTAI pada pengembangan ilmuilmu Islam, Khamami Zada4 menyarankan perlunya pencarian yang ideal tentang studi Islam di kalangan PTAI, terutama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam yang adiluhung. Orientasi studi Islam yang dilakukan oleh PTAI di Indonesia saat ini juga masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan. Penelitian ini berupaya untuk menawarkan gagasan tentang membangun manajemen mutu dengan prinsip six sigma pada lembaga pendidikan Islam dalam menjawab tantangan globalisasi yang semakin kompleks dengan persaingan terbuka, dan sangat kompetitif dengan mengunakan pendekatan manajemen mutu dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam. Beberapa Permasalahan yang Dihadapi oleh Lembaga Pendidikan Islam Minimnya kajian dan kualitas keilmuan di kalangan PTAI membuat prihatin banyak kalangan. Satu di antaranya, Abdurrahman Mas‟ud5 yang berpendapat bahwa dalam lima tahun belakangan memang belum ada perubahan yang impresif terhadap peningkatan kualitas keilmuan di kalangan Azyumardi Azra, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi. Dimuat dalam Jornal PERTA Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama, 2004. 3Dari kedua masalah ini, PTAI dapat dikategorikan kurang berhasil. Menurutnya, hal ini dapat dilihat pada indikasi banyaknya lulusan PTAI yang tidak menguasai program ilmu-ilmu keislaman. Affandi Mukhtar, 2004. Dua Agenda PTAI yang Masih Terabaikan: Tantangan untuk Meraih SuksesKegiatan Berikutnya. Swara Ditpertais No. 11 Tahun II 17 Juli 2004. 4Statemen ini dimuat di Harian Pagi Fajar tanggal 1 Desember 2006 dengan judul Tradisi Keilmuan dalam Islam Belum Bangkit dan juga di Center for Moderate Muslim Indonesia (Humanity, Social Justice and Democracy tanggal 02 Februari 2007. 5Pembaca dapat menemukan ini di Harian Pagi Fajar tanggal 1 Desember 2006 dengan judul Tradisi Keilmuan dalam Islam Belum Bangkit, Center for Moderate Muslim Indonesia (Humanity, Social Justice and Democracy tanggal 02 Februari 2007, dan Republika on-line tanggal 24 Nopember 2006 dengan judul Tradisi Keilmuan dalam Islam Masih Minim. 2
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
81
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
PTAI. Bahkan, kalaupun ada geliat di dalam kampus, hal tersebut lebih banyak yang bersifat politis daripada ilmiah. Abdurrahman juga menyayangkan tradisi menulis karya ilmiah atau penelitian di kalangan kampus PTAI yang terkesan dipaksakan. Penulisannya hanya dilakukan sebagai syarat demi kepentingan naik pangkat. Kedua permasalahan yang dihadapi PTAI di atas, menurut Afandi Mukhtar6 disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, lemahnya kemampuan para mahasiswa PTAI memahami ilmu-ilmu keislaman secara tahqiq. Hal ini disebabkan karena sebelum mereka masuk PTAI, mayoritas dari mereka yang diterima di PTAI tidak memiliki kemampuan dasar materi-materi keislaman. Misalnya tidak mampu membaca al-Qur‟an dengan tartil, menguasai bahasa Arab, dan memahami dasar-dasar pendekatan ilmu-ilmu keislaman. Kedua, PTAI kurang memiliki komitmen baik dalam menjaring calon mahasiswa maupun menjaring calon dosen. Sebagai contoh sederhana, dalam penjaringan mahasiswa baru di IAIN Sunan Ampel Surabaya selama 3 tahun terakhir dapat dilihat betapa longgarnya proses penjaringan mahasiswa baru, seperti terlihat pada Tabel 1. Kondisi ini tentu tidak berbeda jauh dengan PTAI lain yang ada di Indonesia. Akibatnya, calon mahasiswa yang diterima tidak memiliki dasar materi keislaman yang diharapkan. Hasan Asari8 melihat kelemahan lain pada PTAI yakni masalah anggaran yang dialokasikan ke Kementerian Agama jauh lebih kecil dibandingkan dengan Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai akibat dari kondisi ini adalah dana operasional IAIN sangat terbatas. Faktor lain yang mempengaruhi juga diungkap oleh Shahrin9: “…now the most crucial thing to be done is a comprehensive internal reorganization in IAIN. IAIN has not undertaken serious reconstruction to all its internal institutions. So far, IAIN still has many weaknesses even in basic matters; many activities do not have proper manuals, weak discipline among teaching and administrative staff, and so on …. Another problem is recruitment of teaching staff.” Terkait dengan penilaian dan kelemahan terhadap PTAI ini, Qodry A. Azizy10 berpendapat bahwa pihak PTAI tidak perlu berkecil hati. Hal ini disebabkan karena penilaian ini bukan untuk menjelek-jelekkan PTAI, akan tetapi dalam rangka instropeksi diri guna lebih baik dalam melaksanakan program selanjutnya. Untuk itu, PTAI harus mampu menciptakan, memperoleh, dan mentransfer pengetahuan dengan cara melakukan klarifikasi tujuan, 6Affandi Mokhtar, Dua Agenda PTAI yang Masih Terabaikan: Tantangan untuk Meraih SuksesKegiatan Berikutnya. Swara Ditpertais No. 11 Tahun II 17 Juli 2004. 8 Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Mizan, 1994), h. 45. 9Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Medan dan Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara dan Tiara Wacana, 1998), h. 26. 10 Pembaca dapat membaca di Affandi Mukhtar, 2004. Dua Agenda PTAI yang Masih Terabaikan: Tantangan untuk Meraih SuksesKegiatan Berikutnya. Swara Ditpertais No. 11 Tahun II 17 Juli 2004.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
82
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
kelengkapan fasilitas penunjang, proses kerja yang efisien dan evaluasi yang efektif.11 Mengacu pada semangat paradigma baru Perguruan Tinggi dan problem yang dihadapi oleh PTAI di atas, maka PTAI perlu dikelola sebagai sebuah lembaga yang sehat dan menggunakan sistem berdasarkan merit, transparansi, dan akuntabilitas publik. Sebuah lembaga pendidikan tinggi dikatakan sehat apabila memenuhi beberapa kriteria sebagaimana berikut. (1) proses pembelajaran yang efektif, (2) pendidikan tepat waktu, (3) staf dan mahasiswa disiplin, (4) ada relevansi antara pengajaran dan penelitian, (5) lulusan banyak diterima di masyarakat, dan (6) efisien dalam penggunaan sumber daya dan dana.12 Di bagian lain, Kementerian Riset dan DIKTI13 melontarkan isu strategis berupa RAISE untuk menjaga keberlangsungan dan pengembangan institusi pendidikan tinggi dan ini juga dapat dijadikan rujukan untuk pengembangan PTAI. Relevance (relevansi) merupakan cerminan dari tingkat sensitivitas institusi PTAI terhadap lingkungan di mana PTAI tersebut berada. Tingkat sensitivitas ini dapat dilihat dari berbagai aktivitas yang dilakukan oleh PTAI tersebut dalam memberikan respon pada lingkungannya dan sangat bergantung pada disiplin atau bidang keilmuan, bentuk-bentuk keterkaitan dan kapasitas yang dimiliki oleh institusi tersebut. Untuk IAIN, relevansi ditinjau dari 2 (dua) sisi yaitu (1) sisi mutu lulusan dan (2) keterserapan lulusan pada segmen dunia kerja. Academic atmosphere (suasana akademik) yang kondusif merupakan persyaratan yang mutlak untuk terjadinya suatu interaksi yang sehat antara dosen dan mahasiswa, antar sesama dosen, dan antar sesama mahasiswa. Suasana akademik yang sehat akan menjamin terjadinya kepuasan dan memacu motivasi serta kreativitas di kalangan sivitas akademika dalam menjalankan kegiatan akademik yang pada gilirannya akan menghasilkan produk akademik yang berkualitas. Suasana akademik yang kondusif ditandai dengan terjadinya interaksi yang optimal antara dosen dan mahasiswa baik di dalam maupun di luar ruang kuliah, para dosen seyogyanya merupakan model panutan untuk penegakan nilai-nilai dan norma akademik, kebebasan mimbar, dan sistem
11Harapan
ini disampaikan Soekarwo pada Semiloka Pendamping Kemahasiswaan, Pembantu Rektor, Pembantu Dekan, Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan UIN, IAIN, dan PTAIS se Jatim, Bali, dan NTB. PTAI juga dituntut mampu melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan menyebarkan nilai-nilai Islam pada masyarakat. 12Pernyataan ini sebagian diambil dari Proposal Pendirian Kantor Jaminan Mutu (Quality Assurance Office) di IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang diajukan ke Rektorat bulan Februari 2006. Badan Monitoring dan Evaluasi (BME) Universitas Brawijaya Malang juga membuat ciri-ciri organisasi yang sehat dan mirip dengan yang diuraikan oleh tim IAIN Sunan Ampel surabaya, meliputi: pendidikan tepat waktu, proses pembelajaran yang efektif, staff and student yang lebih disiplin, relevant teaching-research, employable graduates, dan efisien dalam penggunaan sumberdaya dan dana. 13RAISE merupakan singkatan dari Relevance, Academic Atmosphere, Internal Management and Organization, Sustainability, Efficiency dan Productivity.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
83
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
pengambilan keputusan yang didasarkan pada azas pemilihan yang terbaik (merit sistem), adil dan transparan. Internal management and organization (manajemen internal dan organisasi). Komitmen untuk meningkatkan sistem manajemen dan organisasi yang mengarah pada suatu penyelenggaraan program pendidikan yang efektif dan efisien merupakan salah satu aspek yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas penyelenggaraan program pendidikan. Termasuk di antaranya adalah upaya peningkatan kinerja dan motivasi di kalangan staf, pembenahan sistem perencanaan dan penganggaran yang mencerminkan prioritas, pengembangan sistem dan pengawasan internal serta evaluasi, sistem prosedur dan pengambilan keputusan yang efisien, serta kiat-kiat yang menjamin terjadinya pengelolaan institusi yang transparan dan pemanfaatan sumber daya yang efisien dan efektif. Sustainability (keberlanjutan), pada dasarnya terdiri dari 3 (tiga) hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu (1) aspek keberlanjutan yang menjamin eksistensi institusi, (2) aspek keberlanjutan yang menjamin tingkat kualitas yang telah dicapai melalui program pengembangan dan (3) aspek keberlanjutan atas sumber daya yang telah diadakan (invested resources). Aspek eksistensi institusi diperlihatkan dari dana operasional yang berhasil didapatkan dari berbagai sumber, seperti dari masyarakat, pemerintah, dan stakeholder. Aspek tingkat kualitas, diperlihatkan dari seberapa banyak praktek-praktek baik yang diadopsi untuk dilaksanakan pada pelaksanaan kegiatan yang bersifat rutin dan berkesinambungan. Aspek sumber daya yang diadakan, diperlihatkan dari usaha yang dilakukan oleh institusi tersebut dalam memelihara dan mempertahankan sumber daya. Memperhatikan uraian di atas, keberadaan jaminan mutu (quality assurance) di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) penting dilakukan. Lembaga/unit ini perlu mendapatkan tugas untuk: (1) menentukan kualitas yang harus dicapai dalam segala hal, (2) menentukan prosedur kerja untuk mencapai kualitas itu, (3) melakukan uji standar mutu ke PT dalam dan luar negeri, dan (4) berperan sebagai mitra dalam memberikan saran perbaikan mutu bagi pimpinan PTAI dari hulu sampai hilir. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengkaji kegiatan penjaminan mutu yang sudah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi umum (PTU) di Indonesia dan juga memaparkan pengalaman IAIN Sunan Ampel Surabaya dalam mengimplementasikan penjaminan mutu selama satu tahun lebih. Paparan ini dimaksudkan sebagai bahan benchmark bagi PTAI dan mengkritisi praktek-praktek yang sudah berjalan selama ini. Selain itu, diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pengelola PTAI untuk selalu meningkatkan mutu akademik melalui kegiatan penjaminan mutu.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
84
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
Paradigma Six Sigma dalam Manajemen Mutu 1. Pengertian Six Sigma Bila membahas mengenai pengertian Six Sigma, maka kita tidak dapat hanya merumuskan Six Sigma menjadi satu pengertian atau satu definisi. Karena Six Sigma mempunyai banyak pengertian ditinjau dari berbagai konteks. Bahkan setiap perusahaan mempunyai definisi tersendiri mengenai Six Sigma ini. Dari sekian banyak pengertian-pengertian yang ada, penulis berusaha untuk mengolah dan menyajikan beberapa pengertian Six Sigma yang paling relevan dengan manajemen mutu dan paling tepat mendefinisikan pengertian Six Sigma ini. Six Sigma dapat diartikan sebagai suatu metode yang digunakan oleh para insinyur dan statistikawan dalam memperbaiki atau mengembangkan proses atau produk. Six Sigma dapat diartikan demikian karena kunci utama perbaikan Six Sigma adalah menggunakan metode-metode statistik. Secara sederhana Six Sigma pada beberapa organisasi dapat diartikan sebagai suatu ukuran kualitas yang bergerak ke arah kesempurnaan. Maksudnya adalah Six Sigma merupakan suatu disiplin, pendekatan melalui data dan suatu metodologi untuk mengurangi atau meniadakan kesalahan (defects) dalam produksi dalam semua proses, mulai dari proses manufaktur hingga transaksi dan dari produk ke pelayanan (service). Sigma, merupakan simbol standard deviasi pada statistik, suatu ukuran untuk menyatakan variance atau variasi, atau ketidaktepatan sekelompok item atau proses. Tujuan dari Six Sigma adalah untuk mengurangi variasi pada output sehingga tidak akan melampaui enam standard deviasi (Six Sigma) antara ratarata (mean) dan batas spesifikasi terdekat. Proses-proses Six Sigma harus dapat menghasilkan kesalahan kurang dari 3,4 per juta peluang (per million opportunities). Apabila tercapai, maka Six Sigma akan dapat memastikan bahwa keseluruhan proses produksi berjalan pada efisiensi yang optimal. Six Sigma adalah suatu pendekatan ke arah kostumer atau pelanggan (customer based approach) yang menyadari bahwa kesalahan produksi merupakan biaya yang mahal. Tingkat kesalahan yang rendah mengakibatkan penurunan dari segi biaya dan meningkatkan loyalty atau kesetiaan pelanggan. Produsen dengan biaya yang terendah dan penilaian yang tinggi dari pelanggan merupakan produsen yang paling kompetitif dalam penyediaan produk dan jasa. Maka six sigma merupakan suatu alat untuk mencapai strategi bisnis ini. Dari sekian banyak pengertian di atas, maka dapat disederhanakan menjadi satu definisi yang lengkap danjelas, yaitu: Six Sigma merupakan suatu sistem yang komprehensif dan fleksibel untuk mencapai, memberi dukungan dan memaksimalkan proses usaha, yang berfokus pada pemahaman akan kebutuhan pelanggan dengan menggunakan fakta, data, dan analisis statistik serta terus menerus memperhatikan pengaturan, perbaikan dan mengkaji ulang proses usaha. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
85
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
Keuntungan dari penerapan Six Sigma berbeda untuk setiap perusahaan, tergantung pada usaha yang dijalankannya, visi dan misi serta strategi perusahaan bersangkutan. Tetapi umumnya dengan penerapan six sigma akan ada perbaikan dalam hal-hal berikut ini: 1. Pengurangan biaya 2. Perbaikan produktivitas 3. Pertumbuhan pangsa pasar 4. Pengurangan waktu siklus 5. Retensi pelanggan atau loyalitas pelanggan 6. Pengurangan kesalahan pada produk atau produk cacat 7. Perubahan budaya kerja 8. Pengembangan produk atau jasa Six Sigma mempunyai kesamaan dengan prinsip-prinsip dan alat-alat kualitas yang dikembangkan oleh W. Edwards Deming dan Joseph Juran. Hal-hal yang terselubung di balik penerapan Six Sigma adalah sebagai berikut: 1) Six Sigma meliputi sekumpulan praktik dan ketrampilan usaha yang merupakan kunci menuju kesuksesan dan perkembangan ke arah yang lebih baik. Six Sigma dapat diterapkan di bidang usaha apa saja mulai dari perencanaan strategi sampai operasional hingga pelayanan kepada pelanggan. 2) Ada banyak pendekatan Six Sigma, karena setiap perusahaan akan mempunyai pendekatan yang berbeda dengan perusahaan lainnya, sesuai dengan budaya kerja serta visi misi perusahaan tersebut. Keuntungan Six Sigma akan terlihat kita memimpin keseluruhan organisasi atau departemen dalam perusahaan kita. 3) Six Sigma sangat berpotensi diterapkan pada bidang jasa atau nonmanufakturing di samping lingkungan yang bersifat teknikal. Misalnya pada bidang manajemen, keuangan, pelayanan pelanggan, pemasaran, logistik, teknologi informasi, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan: Aktivitas-aktivitas ini merupakan kunci yang mendukung keberhasilan kompetitif suatu perusahaan, seperti produk yang terukur berubah menjadi komoditi dalam pemesanan jangka pendek. Ada banyak kelebihan lainnya, karena biasanya aktivitas non-manufaktur hanya mempunyai efektivitas sebesar 70%. Jadi Six Sigma dimaksudkan untuk berperan dalam bidang komersial transaksi dan administrasi yang memerlukan pendekatan khusus. 4) Six Sigma sebagai keberhasilan individu dan keberhasilan teknikal. Kreativitas, kolaborasi, komunikasi, dan dedikasi merupakan hal-hal yang lebih mempengaruhi keberhasilan perusahaan. Ide-ide pokok Six Sigma dapat memberi inspirasi dan memotivasi ide-ide dan kinerja yang lebih baik dari karyawan-karyawan, dan menciptakan strategi yang mendayagunakan kemampuan pribadi karyawan dan kemampuan teknikal. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
86
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
5) Six Sigma bila ditinjau dari segi perolehan finansial akan terlibat pada keuntungan intangible (tak terukur). Perubahan sikap dan budaya kerja perusahaan yang diperoleh dari perbaikan proses dan karyawan-karyawan yang telah diberi pelatihan mengenai Six Sigma akan memberi keuntungan kepada perusahaan bukan berupa uang, tetapi berupa hal lain yang lebih berharga. 2. Prinsip Manajemen Six Sigma Manajemen Six Sigma dalam jangka panjang akan bersatu dalam suatu sistem loop-tertutup yang memerlukan feedback atau umpan balik berupa sekumpulan informasi internal dan eksternal yang akan menginformasikan kepada para manajer bagaimana kinerja perusahaan harus dipertahankan dan bagaimana perusahaan dibawa ke arah pertumbuhan yang lebih baik. Sistem loop-tertutup yang baik akan bertahan walaupun perusahaan harus menghadapi masalah dan ketidakpastian yang melanda perusahaan di dalam atmosfir bisnis yang serba tidak menentu ini. Penerapan Six Sigma dengan sistem loop-tertutup ini akandapat mengurangi arah yang tidak menentu pada perusahaan dan tetap menjaga kestabilan kinerja serta keberhasilan perusahaan. Pada perusahaan, stimuli internal adalah pengukuran aktivitas bagian dalam proses, sedangkan elemen feedback eksternal adalah hal-hal apa saja yang diinformasikan kepada perusahaan mengenai keberhasilannya mencapai tujuan atau tetap berada di jalur yang tepat, termasuk keuntungan yang berhasil diperolehnya, serta kepuasan pelanggan dan berbagai sumber data lainnya. Dalam Six Sigma, ketidakpastian atau arah yang tak menentu ini disebut variasi. Variasi buruk yang berpengaruh negatif pada pelanggan disebut cacat. Pendekatan yang digunakan untuk membuat, memonitor, dan memperbaiki sistem bisnis loop tertutup disebut manajemen proses, perbaikan proses, dan desain ulang proses. Cusromer, Market info Process Data Future Insights
Company
Results
Strategic & Operational Decisions
Gambar 1. Sistem Loop Tertutup
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
87
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
Penguraian konsep sistem loop-tertutup secara aljabar Organization/Process
X Inputs
X
X
Products Y
X Gambar 2. Model Proses Bisnis Gambar di atas menunjukkan pada sebelah kiri adalah input dari proses atau sistem. Tengah adalah organisasi atau proses, melukiskan peta proses atau bagan arus. Sebelah kanan adalah produk hasil output dari sistem atau proses, serta akan meliputi pelanggan penting dan juga keuntungan yang akan diraih. Ada penambahan sedikit kata-kata berupa huruf X dan Y pada gambar di atas yang mewakili pengukuran atau variabel pada bagian-bagian yang berbeda di dalam sistem. “X” menunjukkan masukan dan aliran proses sebagai petunjuk perubahan pada bagian upstream dari sistem. Sedangkan “Y” menunjukkan pengukuran kinerja usaha. Rumus Y = f (x) yang dapat dibaca Y adalah fungsi dari x, adalah cara matematis untuk menyatakan perubahan atau variabel di dalam masukan dan proses sistem akan sangat menentukan skor akhir atau Y. Y bisa berarti tujuan strategi, kebutuhan pelanggan, keuntungan, kepuasan pelanggan, serta efisiensi bisnis secara keseluruhan. Sedangkan X bisa berarti tindakan penting untuk mencapai tujuan strategi, kualitas hasil kerja, pengaruh inti pada kepuasan pelanggan, variabel-variabel proses seperti waktu siklus, teknologi, sumber daya dan lain-lain, serta kualitas masukan pada proses dari pelanggan maupun supplier. Selama ini banyak perusahaan yang belum dapat memahami hubungan antara variabel X da Y. Tetapi dengan Six Sigma, perusahaan akan dapat memahami sistem dan variabel mana yang dapat dimonitor dan direspon balik dengan cepat, serta dapat secara otomatis mengenali tanda-tanda prosesnya, pemasoknya, karyawannya terutama pelanggan dan pesaing, sehingga akan dapat mencapai kekuatan dan kinerja yang baru serta efektif. Keuntungan penerapan Six Sigma ditinjau dari segi manajemen, antara lain adalah: 1) Six Sigma mengukur permintaan dalam arti yang sebenarnya dari apa yang dibutuhkan pelanggan. Hal ini akan menguntungkan kedua belah pihak
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
88
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
dalam memikirkan apa saja yang benar-benar signifikan dalam proses bisnis ini. 2) Menyediakan pengukuran yang sifatnya konsisten. Dengan berfokus pada cacat atau kemungkinan terjadinya cacat, pengukuran Six Sigma dapat digunakan untuk mengukur dan membandingkan proses-proses yang berbeda di dalam organisasi. Begitu kebutuhan dapat didefinisikan secara jelas, maka akan dapat didefinisikan cacat dan mengukur hampir semua aktivitas dan proses usaha. 3) Menyatukan tujuan yang penuh ambisi dengan memusatkan perhatian seluruh organisasi pada tujuan kinerja 99,997 %. Maka perbaikan yang cukup signifikan dalam perusahaan akan dapat tercapai. Hal-hal logis seputar penerapan Six Sigma adalah: 1) Agar penerapan Six Sigma efektif, diperlukan pedoman-pedoman yang jelas. Hal ini untuk mencegah jalan perusahaan menuju ke arah yang tidak konsisten dan berpotensi untuk menjadi tidak seimbang, yaitu di mana terdapat dua kelompok yang saling membandingkan asumsi yang berbedabeda. 2) Sifat Six Sigma adalah tidak statis (dinamis). Maksudnya adalah Six Sigma selalu berubah mengikuti keadaan dan kondisi perusahaan. Misalnya apabila kebutuhan pelanggan berubah, maka kinerja Six Sigma juga akan berubah untuk mengakomodasi perubahan tersebut. 3) Seperti halnya pengukuran yang lain, Six Sigma juga membutuhkan waktu dan sumber daya. Manajemen harus dapat membuat prioritas apa yang harus diukur terlebih dahulu. Strategi Manajemen dan Perbaikan Six Sigma Sistem Six Sigma akan berhasil dengan baik apabila terdapat pengetahuan akan kebutuhan pelanggan dan pengukuran yang efektif. Sistem Six Sigma digerakan atas dasar tiga strategi dasar, dan semua strategi tersebut berfokus kembali pada proses organisasi perusahaan tersebut. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas mengenai tiga strategi Six Sigma, yaitu: 1) Perbaikan Proses (Process Improvement): Menemukan solusi untuk mencapai target. Meliputi strategi untuk mengembangkan solusi yang menghilangkan akar penyebab masalah pada kinerja usaha. Disebut juga “Continuous Improvement” atau perbaikan yang berkesinambungan, “Incremental Improvement” atau perbaikan tambahan, dan Kaizen, suatu bentuk perbaikan berkesinambungan ala Jepang. 2) Desain atau Desain Ulang Proses (Process Design/Redesign) : Membangun bisnis yang lebih baik. Tujuan dari desain atau desain ulang proses bukan untuk menyesuaikan suatu proses, tetapi cenderung menempatkan suatu proses atau sebagian Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
89
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
proses dengan proses yang baru. Juga serng disebut dengan desain Six Sigma, yaitu prinsip-prinsip Six Sigma digunakan untuk membuat produk atau jasa baru yang berhubungan erat dengan kebutuhan pelanggan dan divalidasikan dengan data serta pengujian yang memadai. 3) Manajemen Proses (Process Management) : Infrastruktur kepemimpinan Six Sigma. Strategi ketiga ini merupakan strategi yang paling evolusioner, karena melibatkan perusahaan dari kesalahan dan arah fungsi hingga pemahaman dan pemudahan proses, yang merupakan aliran kerja yang melibatkan nilai pelanggan dan pemegang saham. Pada manajemen proses ini, kebijakan dan metode Six Sigma menjadi bagian yang menyatu dalam menjalankankan usaha, yaitu: a) Proses dicatat dan diatur secara end-to-end dan tanggung jawab dibuat sedemikian rupa untuk menjamin adanya manajemen proses lintas fungsional atau cross-functional yang kritis. b) Kebutuhan pelanggan diartikan secara jelas dan selalu diperbaharui (update) secara teratur. c) Pengukuran keluaran, aktivitas proses dan masukan yang menyeluruh dan berarti. d) Manajer dan bawahannya, termasuk orang yang bersangkutan dalam proses tersebut, menggunakan pengukuran dan pemahaman proses untuk menilai kinerja pada saat yang tepat dan mengambil tindakan untuk mengetahui permasalahan dan peluang apa yang muncul. e) Perbaikan proses dan desain atau desain ulang proses yang dilaksanakan bersamaan dengan alat-alat perbaikan Six Sigma digunakan secara terus menerus untuk meningkatkan kinerja, daya saing dan profitabilitas perusahaan. 3. Model-Model Perbaikan Proses Six Sigma a. PDCA atau PDSA Merupakan metode berdasarkan langkah-langkah yang dikembangkan oleh W. Edwards Deming. PDCA merupakan singkatan dari Plan-Do-Check-Action, sedangkan PDSA adalah Plan-Do-Study-Act. PDCA/PDSA merupakan suatu flowchart untuk mempelajari dan memperbaiki proses. 1) Plan Merupakan awal dari siklus PDCA/PDSA. Di sini, manajemen meninjau ulang kinerja sekarang untuk diangkat sebagai permasalahan. Kemudian mengumpulkan data atas pokok permasalahan yang ada dan mengidentifikasi serta menetapkan akar-akar penyebab masalah. Kemudian memberikan solusi-solusi yang mungkin dijalankan dan merencanakan pelaksanaan pengujian atas solusi yang paling berpotensi. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
90
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
2) Do Mengeluarkan perubahan atau pengujian menjadi skala kecil. Do berfungsi sebagai pilot atau secara perlahan mengikuti Plan, karena kalau tidak demikian, proses pembelajaran tidak akan berhasil. 3) Check/Study Melakukan pengukuran atas hasil pengujian untuk melihat apakah hasil yang diinginkan sudah tercapai atau belum. Bila masalah muncul lagi, maka harus dicari hambatan apa yang telah mengacaukan usaha perbaikan ini. 4) Act Dengan berdasarkan solusi dan evaluasi pengujian, maka solusi yang sudah terbentuk akan diperbaharui dan diperluas agar permanen, dan menyatukan pendekatan baru lainnya bila memungkinkan. Kemudian mengambil perubahan yang terjadi atau diabaikan, atau kembali lagi ke dalam siklus. Siklus PDSA ini sesuai bila diterapkan dalam lingkungan yang stabil. Karena yang dijalankan adalah semua rencana yang diperbaiki secara kontinu dengan mempelajari hasil yang diperoleh bila rencana tersebut dilaksanakan, dan kemudian mengubah rencana tersebut untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Tetapi PDSA kurang berhasil apabila diterapkan ke dalam sistem yang jauh lebih kompleks seperti di pasar ekonomi. Maka dikembangkan model baru yaitu, model SEA (Select-Experiment-Adapt). b. SEA Pada kehidupan nyata, eksperimen terus berjalan dengan mengandalkan kinerja yang dipacu secara aktif melalui perolehan data dari lingkungan sekitar. Melakukan penelitian atas suatu hal, atau mendorongnya berdasarkan observasi terdahulu dan memutuskan tindakan apa yang paling baik. Tindakan yang diambil sebagai tanggapan dari data disebut aturan kinerja. Adaptasi dilakukan dengan menyesuaikan kekuatan aturan kinerja yang berdasarkan hasil yang ingin dicapai. c. SEA vs PDSA vs SEL 1) SEA digunakan bila eksperimen formal yang terkendali sedang berlangsung. Dengan mengikuti strategi mini-max; minimasi perencanaan dan pengendalian pusat ke kemungkinan perluasan maksimum. Memperbolehkan kebebasan bereksperimen maksimum bagi karyawan dan mengubah lingkungan dan proses kerja mereka untuk mencari cara yang lebih baik untuk melakukan sesuatu. 2) Bila proses dipengaruhi feeback positif dari bagian lain, maka gunakan model SEA dan SEL. Menghapus strategi perencanaan jangka panjang dan berusaha memperkuat lingkungan dengan kemampuan maksimum menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. 3) Bila proses berada atau dekat dengan titik ekuilibrium dan tidak dipengaruhi loop feedback positif, maka akan lebih baik menerapkan PDSA. Karena PDSA Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
91
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
berdasarkan perencanaan, penggunaan tim resmi, alat-alat pengendalian proses, desain eksperimen, dan sebagainya. d. DMAIC Model pendekatan six sigma yang paling umum digunakan sekarang adalah DMAIC (Define – mendefinisikan, Measure – mengukur, Analyze – menganalisis, Improve – memperbaiki, Control – mengendalikan). Berikut ini adalah tinjauan strategi perbaikan proses dan desain atau desain ulang proses pada model DMAIC: Perbaikan Proses Desain/Desain Ulang Proses Define Identifikasi masalah Identifikasi masalah tertentu Mendefinisikan kebutuhan Menetapkan tujuan
Definisi tujuan/perubahan misi Perjelas jangkauan dan kebutuhan pelanggan
Measure
Pertegas masalah/proses Ukur kinerja kebutuhan Membenarkan pengetahuan Kumpulkan data secukupnya tujuan Ukur langkah-langkah inti atau masukan
Analyze
Kembangkan hipotesis Identifikasi akar penyebab utama Validasi hipotesis
Identifikasi praktek terbaik Nilai desain proses Pertambahan nilai atau tidak Bottleneck/disconnect Alternatif lainnya Perjelas kebutuhan
Improve
Kembangkan ide untuk menghilangkan akar penyebab permasalahan Uji solusi Tetapkan solusi atau hasil pengukuran
Desain proses baru Asumsi-asumsi yang mendukung Kreativitas Kebijakan proses kerja Jalankan proses, struktur dan sistem baru
Control
Buat standar pengukuran Buat pengukuran dan kaji untuk memelihara kinerja ulang untuk memelihara kerja kinerja Bereskan permasalahan Bereskan permasalahan sesuai dengan tujuan yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan diinginkan
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
92
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
Ada tiga kualifikasi dasar yang harus dipenuhi bila akan menggunakan metode DMAIC, yaitu: 1) Ada celah antara kinerja sekarang dengan yang diharapkan. Pertama-tama perlu ditentukan permasalahan apa yang harus dipecahkan, atau kesempatan apa yang akan diraih. Pada kasus desain proses, ada aktivitas baru yang diluncurkan di mana tidak ada proses yang muncul. 2) Penyebab masalah tidak dipahami secara benar. Pihak manajemen mungkin hanya mengerti permasalahan secara teoritis, tetapi tidak mengetahui akar penyebab masalah. 3) Solusi belum ditetapkan. Bila pihak manajemen telah merencanakan perubahan jangka pendek, masih ada waktu untuk menerapkan Six Sigma. Penerapan Six Sigma secara cepat dapat menghemat waktu untuk analisis yang lebih akurat. Bila suatu usaha secara signifikan telah dijalankan untuk menjembatani celah tersebut, penerapan Six Sigma tidak akan berguna. 4. Six Sigma versus Total Quality Management (TQM) TQM (Total Quality Management) adalah suatu pendekatan terhadap mutu atau kualitas, yaitu produsen berjuang menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan pekerja menghasilkan produk yang sempurna (zero defects). Adapun kelemahan TQM dibandingkan dengan Six Sigma, adalah: a. Kualitas sering merupakan aktivitas sampingan, terpisah dari isu kunci dari strategi usaha dan kinerja. b. Pada banyak organisasi, kualitas dirasakan bersifat temporer dan apabila pemimpin yang memprakarsainya meninggalkan perusahaan, kualitas kemudian diabaikan. c. Kebingungan terhadap TQM berasal dari kata kuaitas itu sendiri.kata kualitas mempunyai banyak arti, tergantung dari bagaimana kita memandangnya. Kualitas merupakan suatu departemen yang ada dengan tanggung jawab khusus untuk pengendalian kualitas, di mana disiplin tersebut cenderung lebih berfokus kepada proses stabilisasi daripada memperbaiki proses. Ide keseluruhan dari filosofi kualitas juga membuat konsep secara keseluruhan tampak misterius bagi kebanyakan orang. Pendekatan-pendekatan baru seperti ISO 9000 atau reengineering tidak terintegrasi ke dalam usaha kualitas yang ada. d. Banyak perusahaan yang membuat kualitas lebih kabur atau tida jelas dengan menetapkan tujuan yang tampak positif tanpa memilki cara untuk memonitor kemajuan pencapaian tujuan tersebut. e. TQM merupakan aktivitas yang bersifat hanya di dalam departemendepartemen di banyak perusahaan. Masing-masing departemen mempunyai kebijakannya secara sendiri-sendiri, sehingga tidak mencakup keseluruhan organisasi. f. TQM mengajarkan incremental atau perkembangan yang sedikit (small improvement), bukan perkembangan secara radikal (radical improvement) Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
93
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
sehingga banyak pemimpin korporat tidak sabar setelah munculnya konsep reengineering. Reengineering adalah desain atau desain ulang bisnis yang mirip dengan process redesign, meskipun prakteknya mencakup skala yang lebih besar. Keunggulan konsep Six Sigma dibandingkan dengan TQM adalah: a. Organisasi Six Sigma menjadikan pengelolaan proses, perbaikan, dan pengukuran ke dalam tindakan sebagai bagian dari tanggung jawab seharihari, terutama bagi manajer operasi. Dengan menggunakan sistem insentif, akan membantu memperkuat keyakinan bahwa Six Sigma merupakan bagian dari pekerjaan. b. Sasaran yang ditentukan untuk dicapai dengan konsep Six Sigma lebih jelas. Sasaran dalam Six Sigma dinyatakan dalam hasil 99,997% sempurna, dengan tingkat kesalahan 3,4 per juta peluang. c. Six Sigma merupakan suatu cara untuk menciptakan dan menjalankan suatu organisasi yang leih berhasil. Six Sigma membutuhkan diversitas ketrampilan yang lebih besar, tidak hanya keahlian teknis. d. Six Sigma mengakui baik perbaikan kecil ataupun perubahan besar, keduaduanya merupakan bagian yang penting dari kelangsungan hidup dan keberhasilan bisnis. e. Six Sigma tidak hanya berfungsi dalam proses jasa, tetapi juga menawarkan banyak peluang dalam manufakturing. f. Perusahaan Six Sigma menetapkan standar persyaratan untuk pembelajaran, dengan dukungan investasi pada waktu dan uang untuk membantu karyawan memenuhi standar tersebut. g. Six Sigma mencairkan rintangan organisasional. Disiplin dari pengelolaan proses adalah sangat penting dalam sistem Six Sigma sebagai cara untuk mengukur dan memperbaiki proses. h. Six Sigma merupakan suatu sistem yang menyeluruh dan fleksibel untuk mencapai, mempertahankan, dan memaksimalkan keberhasilan perusahaan. Six Sigma secara unik digerakkan oleh pemahaman yang dekat dengan kebutuhan pelanggan, penggunaan yang disiplin atas fakta, data, analisis statistikal, dan perhatian yang tekun dalam mengelola dan memperbaiki proses usaha. Manajemen Penjaminan Mutu Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Selama ini, mayoritas PTAI tidak memiliki lembaga atau unit penjaminan mutu karena 2 (dua) alasan. Pertama, khusus bagi PTAIN sebagai lembaga yang selalu disubsidi pemerintah, selama ini merupakan “anak manja” yang keberadaannya terjamin APBN, bagaimanapun kualitasnya. Memang melalui BAN PT, pemerintah memiliki mekanisme tersendiri dalam menilai kualitas PTAI. Penilaian seperti ini bersifat top-down, global, tidak sinambung, dan hanya mengutamakan formalitas. Kedua, sebagai akibat dari alasan pertama, pada Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
94
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
umumnya pimpinan PTAI melihat proses penjaminan mutu sebagai tugas manajemen dirinya. Bila perkuliahan lancar, tidak ada gejolak di kalangan dosen, subsidi pemerintah berjalan terus, dan pimpinan terpilih kembali, maka mutu pendidikan dianggap baik. Ini semua sesungguhnya bukan indikator mutu, tetapi sekedar indikator manajemen PTAI yang belum tentu menjamin perbaikan kualitas pendidikan. Akibat dari kedua hal di atas, penjaminan mutu hanya dianggap sebagai mekanisme inheren, sehingga pengawasan mutu dilakukan oleh pimpinan dari rektor sampai ketua jurusan/program studi. Dalam prakteknya mereka lebih berperan sebagai kelompok administrator eksekutif yang kurang memiliki kultur evaluatif. Setahun sekali PTAIN juga dimonitor tim inspektorat, namun monitoring ini lebih berfokus pada formalitas administratif bukan pada kualitas. 14
Penjaminan mutu berbeda dari mekanisme budaya monitoring tim inspektorat dalam beberapa aspek.15 Pertama, bottom-up bukan top-down, artinya penentuan kualitas yang hendak dicapai harus disesuaikan dengan kekuatan saat itu. Dalam hal ini budaya evaluasi diri menjadi niscaya. Lembaga penjaminan mutu akan selalu menyarankan untuk meningkatkan kualitas program studi atau fakultas yang ada daripada mengumbar nafsu membuka jurusan/program studi dan fakultas baru. Kedua, kolaboratif bukan instruktif. Semua pihak berjamaah dalam menentukan kualitas minimal dan prosedur kerja. Kesiapan jurusan A berbeda dengan B, sehingga masing-masing memiliki pencapaian target yang berbeda, tetapi semuanya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas dengan prosedur kerja yang relatif sama. Ketiga, lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Ini berarti bahwa keputusan itu diambil berdasarkan data-data kualitatif secara holistik. Kunjungan ke berbagai unit, wawancara dengan berbagai orang, dan pengumpulan dokumen sebagai bukti kegiatan atau portofolio harus dilakukan untuk menyepakati kualitas minimal dan standar operasional proses. Keempat, berorientasi pada proses bukan hasil. Proses pendidikan yang berkualitas adalah kegiatan yang terorganisir demi tercapainya kualitas. Segala kegiatan harus tunduk dan taat pada kualitas sebagai “komando” tertinggi. Segala kegiatan dilembagakan dan tidak diserahkan kepada inisiatif dosen atau staf secara perorangan. Kelima, berbasis bukti bukan janji atau prestise. Demi kualitas, hasil yang akan dicapai dinyatakan dalam hasil (outcome). Sebagai contoh, indikator kualitas dosen perguruan tinggi X antara lain terbitnya sekitar 1000 judul publikasi setiap tahun. Bukti-bukti proses pendidikan yang berkualitas itu adalah dokumentasi. Tanpa dokumentasi tidak ada prestasi. Menurut A. Chaedar Alwasilah penjaiman mutu merupakan kegiatan sistematis melalui monitoring, inspeksi, pengetesan, kaji ulang, pengecekan, penyesuaian, dan coba ulang. Pernyataan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat tanggal 12 Oktober 2005. 15 Ibid 14
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
95
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
Sering disebut bahwa untuk mengejar kualitas itu ada 3 (tiga) P, yaitu Paper, People, dan Process. Berdasarkan uraian di atas, dapat digambarkan betapa beda antara penjaminan mutu dengan penilaian dari inspektorat. Karena itu, untuk memberikan inspirasi kepada para pengelola PTAI, marilah kita cermati beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan Kementerian Riset dan DIKTI dalam penjaminan mutu bagi perguruan tinggi. Adapun penjaminan mutu perguruan tinggi merupakan konsep multi stakeholders.16 Sistem penjaminan perguruan tinggi dilakukan atas dasar penjaminan mutu internal, penjaminan mutu eksternal, dan perijinan penyelenggaraan program. Penjaminan mutu internal merupakan penjaminan mutu yang dilakukan oleh institusi perguruan tinggi dengan cara yang ditetapkan perguruan tinggi yang bersangkutan. Parameter dan metode mengukur hasil ditetapkan oleh perguruan tinggi sesuai dengan visi dan misinya. Dengan menjalankan penjaminan mutu internal, maka perguruan tinggi tersebut perlu melakukan evaluasi internal berupa evaluasi diri secara berkala. Evaluasi diri dimaksudkan untuk mengupayakan peningkatan kualitas berkelanjutan. Penjaminan mutu eksternal merupakan penjaminan mutu yang dilakukan oleh badan akreditasi seperti BAN PT, ISO 9001:2000 atau lembaga lain dengan cara yang ditetapkan oleh lembaga akreditasi yang melakukan. Parameter dan metode mengukur hasil ditetapkan oleh lembaga akreditasi yang melakukan. Akreditasi oleh lembaga ini dimaksudkan guna melakukan evaluasi ekternal untuk menilai kelayakan program institusi pendidikan tinggi. Selain menilai kelayakan program, akreditasi juga dimaksudkan untuk pemberian saran peningkatan dalam mengupayakan peningkatan kualitas berkelanjutan. Perijinan penyelenggaraan program diberikan oleh Ditjen Dikti untuk satuan pendidikan yang memenuhi syarat penyelenggaraan program pendidikan. Tata cara dan parameter yang digunakan ditetapkan oleh Ditjen Dikti. Perijinan selain dimaksudkan sebagai evaluasi eksternal juga untuk menilai kelayakan kepatuhan penyelenggaraan program. Dengan demikian, penjaminan mutu perguruan tinggi secara keseluruhan dimaksudkan untuk melakukan peningkatan kualitas institusi pendidikan tinggi secara berkelanjutan. Menurut Dikti, ada beberapa keuntungan perguruan tinggi melakukan penjaminan mutu, antara lain:17 (1) dapat memberikan pelayanan akademik terbaik bagi para mahasiswanya, (2) perguruan tinggi dapat mengelola program dan sumberdaya yang dimiliki secara optimal, (3) sebagai 16 Stakeholder yang dimaksud mencakup (1) masyarakat luas, setempat, sekitar, nasional, dunia, (2) institusi pendidikan tinggi, dan (3) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dikti Depdiknas, 2003. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Depdiknas. 17 Dikutip dari pernyataan Toni Atyanto Dharoko ketua KJM UGM pada saat memberikan materi seminar “Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi dan Permasalahannya” di Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) tangal 27 Juli 2006.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
96
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
pertanggungjawaban perguruan tinggi kepada masyarakat, (4) melalui penjaminan mutu, peningkatan kualitas berkelanjutan akan lebih jelas, terarah dan mudah dilaksanakan, dan (5) perguruan tinggi mampu dan siap memasuki era kompetisi secara nasional dan global. Penutup Berdasarkan uraian di atas dan pengalaman pelaksanaan penjaminan mutu di lembaga pendidikan Islam terutama perguruan tinggi agama Islam (PTAI) selama lebih dari satu tahun, maka kegiatan penjaminan mutu di perguruan tinggi agama Islam dapat berjalan diperlukan beberapa syarat. Syaratsyarat tersebut di antaranya (1) komitmen dari seluruh pimpinan baik rektorat, dekan, ketua jurusan/program studi serta tim kantor penjaminan mutu yang ditunjuk. Tanpa adanya komitmen dari semua pihak tersebut, akan sulit terlaksana target dan kebijakan-kebijakan akademik yang telah digariskan, karena tidak mudah mengubah paradigma pimpinan dan seluruh sivitas akademika di kampus, (2) sikap mental para pimpinan di kampus, dari budaya ningrat menjadi budaya pekerja. Tidak mudah mencapai target yang ditetapkan dalam penjaminan mutu tanpa diikuti kerja keras dan tidak semua pimpinan mempunyai sikap mental mau bekerja keras. Tidak sedikit para pimpinan di PTAI yang hanya berharap mendapat uang banyak akan tetapi jarana yang mau kerja keras, (3) pengorganisasian. Sebagian besar PTAI tidak memasukkan Kantor Jaminan Mutu dalam statunya, sehingga tidak mudah membentuk unit/lembaga ini dalam struktur organisasi dalam kampus. Perlu dilakukan langkah kreatif dan inovatif untuk menyiasati kondisi ini, sehingga anggaran pun dapat dipenuhi. Mengingat, anggaran ádalah masalah krusial yang sering menjadi masalah dalam kegiatan penjaminan mutu.
DAFTAR PUSTAKA Kementerian Riset dan DIKTI, Nazca Akademik Sistem Akreditasi Program Magíster (Buku I). Jakarta: Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Kementerian Riset dan DIKTI. 2012. Rahayuningsih, Edia, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Materi Sosialisasi Kantor Pengendali Mutu IAIN Sunan Ampel tanggal 17 April 2006. UNESCO, Higher Education in the Twenty-First Century: Vision and Action. Paris: UNESCO. 1998. Azra, Azyumardi, IAIN di Tengah Paradigma Baru Perguruan Tinggi. Dimuat dalam Jornal PERTA Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Kementerian Agama. 2004. Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
97
Dalmeri
Membangun Manajemen Mutu…
Mokhtar, Affandi, Dua Agenda PTAI yang Masih Terabaikan: Tantangan untuk Meraih SuksesKegiatan Berikutnya. Swara Ditpertais No. 11 Tahun II 17 Juli 2004. Asari, Hasan, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-Lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan. 1994.
Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) STAIN Jurai Siwo Metro
98