PROBLEM RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN SOLUSINYA MENURUT KAJIAN BUKU KOMARUDDIN HIDAYAT (Analisis Bimbingan Konseling Islam)
SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)
SRI HIDAYATI 1103110
FAKULTAS DA'WAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
NOTA PEMBIMBING Lamp : 5 (eksemplar) Hal
: Persetujuan Naskah Usulan Skripsi Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Da’wah IAIN Walisongo Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudari: Nama NIM Jurusan
: Sri Hidayati :
1103110 : DAKWAH /BPI
Judul Skripsi :
PROBLEM RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN SOLUSINYA MENURUT KAJIAN BUKU KOMARUDDIN HIDAYAT (Analisis Bimbingan Konseling Islam
Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Wassalamu alaikum Wr. Wb.
Semarang,
Desember 2009
Pembimbing, Bidang Substansi Materi,
Bidang Metodologi & Tatatulis,
Drs. H. Solihan, M.Ag NIP. 19600601199403 1 002
Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd. NIP. 19680113199403 2 001
SKRIPSI PROBLEM RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN SOLUSINYA MENURUT KAJIAN BUKU KOMARUDDIN HIDAYAT (Analisis Bimbingan Konseling Islam) Disusun oleh Sri Hidayati 1103110 telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal: 30 Juni 2010 dan dinyatakan telah lulus memenuhi sarat Susunan Dewan Penguji Ketua Dewan Penguji/ Pembantu Dekan
Anggota Penguji,
Drs. Ali Murtadho M.Pd NIP. 19690818 199503 1 001
Drs. H. Djasadi M.Pd NIP. 19470805 196509 1 001
Sekretaris Dewan Penguji/ Pembimbing,
Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd. NIP. 19680113 199403 2 001
Baidi Bukhori, S.Ag, M.Si NIP. 19730427 199603 1 001
Pembimbing, Bidang Substansi Materi,
Bidang Metodologi & Tatatulis,
Drs. H. Solihan, M.Ag NIP. 19600601 199403 1 002
Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd. NIP. 19680113 199403 2 001
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka
Semarang, 09 Desember 2009 Tanda tangan,
SRI HIDAYATI NIM: 1103110
MOTTO
(
:
)
Artinya: Di mana pun kamu berada, niscaya maut akan menemui kamu sekalipun kamu berlindung di balik tembok yang tinggi dan kokoh," (QS An-Nisa [4]:78).
PERSEMBAHAN v Bapak dan ibuku tercinta (Bapak Karno dan Ibu Inasah), terimakasih atas kasih sayang dan perhatian serta doanya sehingga dapat sukses dalam hidup ini. v Kakak dan adikku (Madenar, Rusbianto dan Catur Kurniawan), Yang memotivasi dalam studi dan pembuatan skripsi. v Mas Anto yang selalu memotivasi dalam studi dan pembuatan skripsi. v Temen-temen (Anita, Dwik, Nadirin, Menik) semua kos Annisa, angkatan 2003 Jurusan BPI Fak.Dakwah, serta yang tak dapat kusebutkan satu persatu seperjuangan dalam meraih cita dan asa.
Sri Hidayati
ABSTRAKSI Realitas kematian adalah kepastian yang tidak bisa ditolaknya, setiap orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap. Dalam konsep filsafat Islam, kematian adalah awal kehidupan, kematian di dunia menjadi awal kehidupan di akhirat. Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri, barangkali karena riset tentang mati tidak pernah bisa dijalani oleh seseorang, dan karena tidak ada orang yang mati dapat hidup kembali. Buku Komaruddin Hidayat yang berjudul: Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme menjelaskan, kematian adalah sesuatu yang indah, manakala manusia mampu menyelami lautan hakikatnya membuat hidup semakin optimis. Perumusan masalah sebagai berikut: bagaimana pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap kematian? Bagaimana kematian harus disikapi secara ideal menurut Komaruddin Hidayat? Upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut dari kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam? Metode penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sumber primernya adalah buku karya Komaruddin Hidayat yang berjudul: Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Sumber sekunder berupa karya Komaruddin Hidayat yang lain. Adapun pengambilan data, peneliti menggunakan kepustakaan (library research) primer maupun sekunder, sedangkan metode analisis yang digunakan adalah analisis deskripsi. Hasil dari pembahasan menunjukkan apabila memperhatikan pendapat Komaruddin Hidayat, maka tampaknya konsep yang dikemukakannya dapat membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian, tetapi juga berbicara tentang sedikit rahasianya, dan yang lebih penting lagi menuntut umat manusia menjemput maut dengan hati yang tenang. Konsep Komaruddin Hidayat telah meruntuhkan bayang-bayang kematian yang amat menakutkan itu. Ternyata, seperti dijelaskan Komaruddin Hidayat ini, kematian adalah sesuatu yang indah. Menyelami lautan hakikatnya hidup manusia semakin optimis. Menurut Komaruddin Hidayat, kematian harus disikapi secara ideal. Menurutnya bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu merasa terikat dan memperoleh bimbingan Tuhan, kematian sama sekali tidak menakutkan karena dengan berakhirnya episode kehidupan duniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada tuhan yang selalu dicintai dan dirindukan. Sikap optimis menilai bahwa perjalanan manusia mencapai kesempurnaannya haruslah melalui pintu kematian. Unggas (seperti ayam) tidak dapat meraih kesempurnaannya kecuali dengan meninggalkan kulit telur yang menjadi tempatnya sebelum menetas. Hidup duniawi adalah "kulit telur" manusia. Kematian adalah tangga menuju keabadian, menuju hidup yang tanpa mati. Konsep Komaruddin Hidayat dapat dijadikan masukan dalam mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika yang sedang dihadapi dan dialami para konseli atau klien.
KATA PENGANTAR Assalamu'alaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang yang senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul
PROBLEM RASA
TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN SOLUSINYA MENURUT KAJIAN BUKU KOMARUDDIN HIDAYAT (Analisis Bimbingan Konseling Islam) . Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) bidang jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya,
para
sahabatnya,
dan
orang-orang
yang
mengikuti
jejak
perjuangannya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi penulis dengan baik. Oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Rektor IAIN Walisongo, yang telah memimpin lembaga tersebut dengan baik 2. Bapak Drs. H.M. Zain Yusuf, M.M., selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Bapak Drs. H. Solihan, M.A selaku dosen pembimbing I dan Dra. Maryatul Qibtiyah, M.Pd., selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan membimbing dengan keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu, waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan-pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang serta pengelola perpustakaan Fakultas Dakwah yang telah memberikan pelayanan kepustakaan dengan baik. 6. Ayahanda dan Ibunda yang tercinta, adinda. 7. Temen-temenku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya kepada mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Terutama ditujukan kepada teman-temanku di jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan yang ideal dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Semarang, 9 Desember 2009 Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING.......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iv HALAMAN MOTTO ................................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi ABSTRAKSI............................................................................................... vii HALAMAN KATA PENGANTAR............................................................ viii HALAMAN DAFTAR ISI.......................................................................... x BAB I
: PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................... …1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................. …7 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................... …7 1.4. Tinjauan Pustaka .................................................................. …8 1.5. Metode Penelitian ................................................................. ..12 1.6. Sistematika Penulisan .......................................................... ..14
BAB II:
RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 2.1. Kematian..............................................................................16 2.1.1. Pengertian Rasa Takut terhadap Mati..........................16 2.1.2. Teori tentang Kematian...............................................18 2.1.3. Dampak Mengingat Kematian.....................................21 2.2. Pengertian dan Metode Bimbingan Konseling Islam..............24 2.2.1. Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam................24 2.2.2. Obyek Bimbingan dan Konseling Islam ......................29 2.2.3. Metode Bimbingan dan Konseling Islam ....................31 2.2.4. Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam...........................................................................34
2.3. Bimbingan dan Konseling Islam dan Peranannya Mengatasi Rasa Takut Mati……………………………. .............................35 BAB III: KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG MENGUBAH RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN MENJADI OPTIMISME 3.1. Biografi Komaruddin Hidayat .................................................38 3.2. Konsep Komaruddin Hidayat tentang Mengubah Rasa Takut terhadap Kematian Menjadi Optimisme ........................41 3.2.1. Rasa Takut terhadap Kematian .....................................41 3.2.2. Mensikapi Kematian.....................................................45 3.2.3. Upaya Menyikapi Rasa Takut dari Kematian ................51 BAB IV: ANALISIS KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG MENGUBAH
RASA
TAKUT
TERHADAP
KEMATIAN
DITINJAU DARI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM 4.1. Pandangan Komaruddin Hidayat tentang Rasa Takut Terhadap Kematian.................................................................60 4.2.
Kematian
Harus
Disikapi
Secara
Ideal
Menurut
Komaruddin Hidayat...............................................................65 4.3. Upaya yang Harus Dilakukan Untuk Menyikapi Rasa Takut dari Kematian Menurut Komaruddin Hidayat Ditinjau dari Bimbingan dan Konseling Islam.........................73 BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan ...............................................................................85 5.2. Saran-Saran...............................................................................87 5.3. Penutup.....................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Manusia demikian asyik dengan kehidupannya, sehingga ia lupa
bahwa dari hari ke hari dan saat ke saat makin mendekati maut. Kenyataan yang tak tertolak, bahwa suatu ketika kehidupan itu akan sirna. Suatu kepastian yang tak mungkin diingkari, besok atau lusa, sebulan atau setahun, sepuluh atau beberapa puluh tahun lagi, tiap diri yang masih hidup akan mati. Dalam tiap kelahiran tersimpul sekalian kematian. Lahir sebagai awal selalu berujung pada maut sebagai akhir. Ini adalah hukum alam yang pasti berlakunya (Gazalba, 1972: 11). Kalau sudah sedemikian pastinya maut itu akan tiba, kenapa manusia selalu lalai menghadapi kedatangannya. Karena selalu dalam keadaan ketaksiapan, hampir selalu orang meninggal tanpa kesadaran. la tiba-tiba saja mati, tanpa sebelumnya menyadari bahwa ia akan mati. Maut seolah-olah menerkamnya dari belakang. Tanpa menyadari apa yang terjadi ia telah berlalu. Kalaupun kesadaran itu ada, datangnya terlambat sekali. Ia menyadari waktu ia telah diambang sakaratul maut. Sering pula orang telah memasuki sakaratul maut, tanpa sebelumnya sadar melangkah ke situ. Kadang-kadang pula tanpa sakaratul maut status hidup tiba-tiba saja sudah berubah menjadi status mati. Betapa banyak kejadian seseorang tiba-tiba saja telah berhenti jadi manusia, tanpa menduga peristiwa itu (Gazalba, 1972: 11).
Realitas kematian adalah kepastian yang tidak bisa ditolaknya, setiap orang pasti akan mengalami kematian, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap. Dalam konsep filsafat Islam, kematian adalah awal kehidupan, kematian di dunia menjadi awal kehidupan di akhirat. Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman tentang mati masih saja dipenuhi misteri, barangkali karena riset tentang mati tidak pernah bisa dijalani oleh seseorang, dan karena tidak ada orang yang mati dapat hidup kembali (Asy'arie, 2002: 243). Secara fisik barangkali riset kematian bisa dilakukan, melalui analisis medik mengenai kematian manusia, yang ditandai oleh berhentinya detak jantung, demikian juga sebab-sebab kematian yang mengakibatkan jantungnya berhenti berdetak yang dialami oleh seseorang, sehingga kematian dapat didefinisikan. Akan tetapi apakah kematian adalah akhir dari segala-galanya, atau justru sebaliknya menjadi awal adanya kehidupan sesudah kematian dan bagaimana kehidupan sesudah kematian itu, maka ilmu menghadapi batasbatasnya sendiri, yang tidak mungkin menjangkaunya. Oleh karena itu, jika saatnya kematian tiba tidak seorangpun yang bisa menundanya (Asy'arie, 2002: 244) . Al-Qur'an 16:61 menegaskan:
(
:
)
Artinya : Kalau sekiranya Allah menyiksa manusia karena kezaliman mereka, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di bumi sesuatu yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang ditentukan. Maka jika telah datang ajal
mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya sesaat pun dan tidak akan dapat juga memajukannya. (QS. al-Nahl: 61).
Sumber satu-satunya yang maha tahu tentang rahasia apa yang diikandung oleh mati ialah Tuhan. Tuhan itu Maha Mengetahui, Maha Kuasa, hidup dan mati adalah ciptaanNya. Tuhan memberi keterangan tentang mati dengan perantaraan ajaran agama. Tuhan mewahyukannya kepada Nabi sebagai Rasul/UtusanNya. Nabi menghimpunkan wahyu-wahyu itu dalam Kitab Suci. Kitab Suci yang memuat pokok-pokok ajaran agama itu disampaikan oleh Nabi kepada ummat manusia (Usman, 1970: 148). Di antara pikiran yang selalu menghantui manusia adalah pikiran tentang kematian dan berakhirnya kehidupan. Setiap manusia akan bertanya kepada dirinya. "Mengapa aku dilahirkan ke dunia? Dan mengapa aku harus meninggalkannya? Apa yang menjadi tujuan dibangun dan dihancurkannya semua ini? Bukankah perbuatan demikian merupakan kesia-siaan yang sama sekali tidak berfaedah (Muthahhari, 1981: 165). Ketakutan dan lari dari kematian merupakan salah satu sebab yang telah mendorong lahirnya filsafat pesimisme. Para filosof pesimistis menggambarkan kehidupan dan wujud ini sebagai sesuatu yang tidak memiliki tujuan, tidak berfaedah dan kosong dari kebijakan. Pandangan seperti ini telah membuat mereka gelisah dan bimbang, dan kadang-kadang menimbulkan pikiran untuk bunuh diri. Mereka berpikir, kalau seandainya harus berpisah dengan kehidupan ini, mengapa dilahirkan ke dunia ini? Sekarang, setelah dilahirkan ke dunia ini tanpa kehendak manusia, maka manusia harus
melakukan sesuatu untuk menghentikan kesia-siaan ini, dan dengan menghentikan segala kesia-siaan ini berarti telah melakukan sesuatu yang sangat penting (Muthahhari, 1981: 166). Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi siksa Allah (Shihab, 2002: 43). Sebagian dari penyebab takut di atas tidak memiliki dasar. Maut, pada hakikatnya serupa dengan tidur, ia nyaman, kecuali jika ada faktor lain yang menyebabkan tidak nyaman. Arah yang dituju pun jelas, manusia kembali kepada Allah, yang rahmat-Nya melimpah bahkan mengalahkan amarah-Nya. Kematian tidak mengakibatkan kepunahan. Kematian hanya mengakibatkan tidak berfungsinya organ-organ tubuh, tidak ubahnya seperti seorang tukang yang tidak menggunakan alat-alat profesinya (Shihab, 2002: 43).. Takut mati karena kuatir menyangkut nasib keluarga, juga tidak perlu terlalu dirisaukan. Sekian banyak anak yatim, setelah ditinggal ayah bundanya, namun ia bisa hidup sejahtera. Takut yang berkaitan dengan ini adalah takut yang berada dalam wilayah "mungkin". Yang merisaukan, dan yang wajar ditakuti adalah takut pada siksa Allah setelah kematian, ketakutan yang terjadi menjelang kematian, karena ketika itu sangat dikhawatirkan
jangan sampai segala upaya untuk menyingkirkan bahaya itu, tidak lagi dapat dilakukan, bukan karena pintu taubat telah tertutup, tetapi belenggu kebiasaan durhaka telah menyita seluruh kesadaran untuk bertaubat. Itulah takut yang pada tempatnya. Sehubungan dengan berbagai pandangan tersebut, Komaruddin Hidayat (2006: 118) seorang guru besar Filsafat Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2001 – sekarang), Direktur Program Pascasarjana UIN Jakarta (2005 – sekarang) menyatakan: Mengapa kematian begitu menakutkan sedangkan dunia sangat sayang untuk ditinggalkan? Terdapat beberapa kemungkinan jawaban muncul. Antara lain ialah, bagi sebagian orang yang merasa dimanjakan oleh kenikmatan yang telah dipeluknya selama ini. Dengan demikian memasuki hari tua berarti memasuki fase penyesalan sedangkan kematian adalah puncak kekalahan dan penderitaan. Jawaban lain, kematian ditakuti karena manusia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mati. Kalau saja seseorang bisa menghilangkan benih iman dan argumen filosofi akan adanya keabadian jiwa, sangat bisa jadi orang tak akan takut mati. Bukankah setelah kematian tidak ada kehidupan lagi? Tetapi persoalannya, manusia sulit untuk mengingkari kebenaran ajaran agama, rasa keadilan moral dan argumen filosofis bahwa keabadian jiwa dan hari perhitungan itu pasti terjadi. Alangkah absurd (tidak masuk akal) dan nistanya pengorbanan para pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan kalau saja setelah mati tidak ada perhitungan lanjut. Lalu apa bedanya antara pejuang dan pecundang jika setelah itu tidak akan ada lagi mahkamah pengadilan yang benar-benar adil? Jawaban lainnya lagi ialah, orang takut mati karena seseorang merasa banyak dosanya, lebih banyak amal kejahatannya ketimbang kebaikannya, sehingga takut akan imbalan siksa yang hendak diterimanya kelak.
Selanjutnya Komaruddin Hidayat (2006: 119) menegaskan: Bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu merasa terikat dan memperoleh bimbingan Tuhan, kematian sama sekali tidak menakutkan karena dengan berakhirnya episode kehidupan duniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada tuhan yang selalu dicintai dan dirindukan. Sikap optimis menilai bahwa perjalanan
manusia mencapai kesempurnaannya haruslah melalui pintu kematian. Unggas (seperti ayam) tidak dapat meraih kesempurnaannya kecuali dengan meninggalkan kulit telur yang menjadi tempatnya sebelum menetas. Hidup duniawi adalah "kulit telur" manusia. Kematian adalah tangga menuju keabadian, menuju hidup yang tanpa mati
Kematian pada sebagian orang dianggap sebagai peristiwa yang menakutkan karena peristiwa tersebut belum pernah dialaminya. Manusia masih
bertanya-tanya,
adakah
kehidupan
selanjutnya
lebih
nyaman
dibandingkan dengan saat di dunia ini. Pertanyaan ini yang kerap memicu rasa cemas dan mencekam ketika terbayang dengan kematian. Problem akademiknya
bahwa
membahas
soal kematian
bisa
menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan dalam setiap jiwa manusia; yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba serta punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran ini lalu memunculkan sebuah protes berupa penolakan bahwa setiap orang tidak mau mati. Setiap orang berusaha menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu kematian. Adapun sebabnya penulis memilih tokoh Komaruddin Hidayat adalah karena pandangan-pandangan kesufian Komaruddin Hidayat sudah banyak dikenal, karena ia termasuk rajin berceramah tasawuf di berbagai forum. Kekuatan ceramah tasawuf pria penggemar olahraga tenis ini terletak pada metafor-metafor yang dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian direfleksikan ke dalam kehidupan aktual saat ini. inilah yang menyebabkan ceramahnya begitu hidup dan memikat siapa saja yang mendengarkannya. Bukan hanya ceramahnya, tulisan-tulisannya pun mengalir dan enak dibaca.
Mungkin karena tulisan-tulisannya itu lebih merupakan refleksi ketimbang analisis ilmiah yang kaku (Handrianto, 2007: 119). Berdasarkan uraian di atas, peneliti termotivasi memilih judul:: Problem Rasa Takut terhadap Kematian dan Solusinya Menurut Komaruddin Hidayat (Analisis Bimbingan Konseling Islam)
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi
permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap kematian? 2. Bagaimana kematian harus disikapi secara ideal menurut Komaruddin Hidayat? 3. Upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut dari kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap kematian 2. Untuk mendeskripsikan bahwa kematian harus disikapi secara ideal menurut Komaruddin Hidayat?
3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut dari kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam Manfaat Penelitian sebagai berikut: 1. Secara teoritis, yaitu diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan guna memperluas wawasan, khususnya untuk Fakultas Dakwah Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam 2. Secara praktis, yaitu dapat membangun mental yang sehat.
1.4.
Tinjauan Pustaka Berdasarkan Penelitian di perpustakaan IAIN Walisongo, didapatkan
adanya skripsi yang judulnya hampir sama dengan penelitian ini, di antaranya: Pertama, skripsi yang berjudul: Analisis Konsep M. Quraish Shihab tentang Berpikir Kematian Dapat Mempertebal Akidah, disusun oleh Liana Fuadah, tahun 2004 (Fakultas Ushuluddin). Pada intinya dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa kekhawatiran atau rasa takut, hadir bagi siapa yang menduga atau menantikan datangnya sesuatu yang buruk. Ini berarti takut menyangkut sesuatu yang bakal datang. la boleh jadi sangat besar dan berbahaya, dan boleh jadi kecil dan remeh. Bisa jadi juga hal tersebut merupakan keniscayaan, dan bisa juga ia berpotensi untuk terjadi dan tidak terjadi, dalam arti ia berada dalam wilayah "mungkin". Di sisi lain, penyebab terjadinya sesuatu yang ditakuti, boleh jadi diri yang bersangkutan sendiri, boleh jadi juga pihak lain.
Semua hal yang ditakuti, yang sifatnya berpotensi "mungkin", hendaknya tidak dipastikan terjadinya, sekaligus tidak perlu terlalu ditakuti. Rasa takut hendaknya disesuaikan dengan kemungkinan serta kadar ancamannya. Optimisme hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia. Ini semua jika penyebab yang ditakuti dari luar diri yang bersangkutan. Adapun bila yang Anda takuti bersumber dari diri Anda sendiri, maka hendaknya sejak dini penyebabnya dihindari. Selanjutnya, baik rasa takut yang bersumber dari diri Anda maupun di luar Anda, maka Anda berkewajiban untuk berusaha sekuat tenaga agar yang ditakuti itu tidak terjadi, dengan mengetahui tata cara menghindarinya. Ada cara untuk menghindari jatuhnya apa yang ditakuti dari Allah, yaitu dengan bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan ada juga cara menghindari bila sumber yang ditakuti dari manusia. Ketuaan, kelemahan dan kematian adalah keniscayaan. Anda tidak perlu menakutinya. Kelemahan dan ketuaan merupakan konsekuensi dari keinginan kita untuk bertahan lama di pentas bumi ini. Menurut M. Quraish Shihab bahwa berpikir kematian dapat mempertebal akidah. Kedua, skripsi yang disusun oleh Hasan Kurnia tahun 2002 berjudul: Kematian dalam Perspektif Murthada Muthahhari (Tinjauan Akidah Islam) (Fakultas Ushuluddin). Pada intinya dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa takut dan lari dari kematian adalah salah satu karakteristik manusia. Binatang tidak pernah berpikir tentang kematian. Binatang hanya memiliki naluri untuk menghindar dari bahaya dan mempertahankan hidup yang dimilikinya. Adalah jelas bahwa keinginan untuk tetap hidup dalam arti ingin mempertahankan
kehidupan yang dimiliki, mengharuskan adanya kemutlakan hidup. Tetapi manusia, di samping semuanya itu, juga menghendaki kehidupan yang akan datang dan abadi. Dengan kata lain, manusia memiliki cita-cita untuk bisa tetap abadi. Hal demikian jelas merupakan karakteristik khusus manusia. Citacita merupakan cabang dari konsepsi tentang masa depan, dan cita-cita keabadian merupakan cabang dari konsepsi tentang keabadian. Pemikiran dan konsepsi ini merupakan salah satu keistimewaan manusia. Dengan demikian, ketakutan manusia terhadap kematian yang membuat pikirannya terlibat tidak selamanya pada dirinya saja, adalah sesuatu yang berbeda dari naluri menghindari bahaya yang tidak lain hanyalah reaksi spontan dan tanpa dipikirkan, yang dilakukan setiap makhluk hidup saat menghadapi bahaya yang mengancamnya. Bayi manusia pun, dan sebelum ia memiliki cita-cita untuk tetap bertahan hidup dalam bentuk pikiran yang matang, maka berdasarkan naluri menghindari bahaya, ia tidak mau menjerumuskan diri dalam bahaya. Dengan demikian, lari dari kematian merupakan sesuatu yang lahir dari keinginan untuk tetap abadi. Sepanjang kita tidak menemukan adanya keinginan yang tidak bertujuan di alam ini, maka keinginan ini sendiri bisa kita jadikan bukti bagi kekalnya manusia sesudah mati. Ketiga, skripsi yang berjudul Maut dalam Pandangan Sidi Gazalba Relevansinya dengan Kesehatan Mental (Analisis Tasawuf Psikoterapi), disusun Joni Irsyadi tahun 2005 (Fakultas Ushuluddin). Pada intinya kesimpulan skripsi itu mengungkapkan bahwa tiap orang pasti akan mati dan
tiap-tiba yang mati pasti tidak hidup kembali, dapatlah dirumuskan sebagai hukum alam. Yang mati itu bukanlah manusia saja. Tetapi juga hewan dan tanaman. Hukum alam itu berlaku pula kepada kedua jenis makhluk hidup tersebut. Pendeknya hukum itu berlaku pada tiap-tiap makhluk hidup yang konkrit. Semenjak manusia pertama sebagai makhluk yang memiliki akal, maut itu telah jadi persoalan. Rahasia apakah yang dikandung oleh maut? Apa itu maut? Bagaimana dan kemana sesudah itu? Setelah sejuta tahun pengalaman. hidup, teka-teki teragung tetap tak terpecahkan oleh manusia. Hal ini tidak mengherankan, karena mati memang bukanlah pengalaman hidup. la adalah pengalaman diluar hidup. Pengetahuan manusia dewasa ini tak terkira volumenya. Hal ini juga tidak mengherankan, karena jumlah pengetahuannya dewasa ini adalah himpunan penemuan dan pendapatan paling kurang dari 15.500 generasi. Terutama perkembangan pengetahuan manusia 150 angkatan terakhir ini, yang hidup dalam kurun sejarah, tak terkira hebatnya. Pengetahuan itu telah menghujam kedalam peta bumi, dan telah melonjak tinggi ke ruang angkasa. Lapisan-lapisan tanah telah diteliti, dari perut bumi telah dikeluarkan bermacam khazanahnya. Bulan telah didatangi, planit terdekat tengah di arah. Semua yang berada diluar diri telah atau tengah dikaji manusia. Mengingat tentang kematian ada hubungannya dengan kesehatan mental. Apabila kematian disikapi dengan pasrah dan keimanan maka
menjelang kematian akan memposisikan seseorang berada dalam kondisi mental yang sehat. Dari uraian tersebut menunjukkan penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian saat ini. Perbedaan itu terletak pada tokoh yang menjadi fokus kajian dan pendekatan yang digunakannya. Penelitian terdahulu menggunakan pendekatan akidah dan tasawuf psikoterapi. Sedangkan penelitian yang penulis susun saat ini menggunakan pendekatan dakwah dan bimbingan konseling Islam.
1.5.
Metodologi Penelitian
1.5.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian a. Jenis Penelitian Penulisan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini tidak menggunakan angka-angka statistik melainkan hanya dalam bentuk kata atau kalimat (Moleong, 2006: 2). Dengan demikian penulis hendak menggambarkan konsep pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap kematian. b. Pendekatan Penelitian Berkaitan dengan judul yang diangkat, maka diperlukan pendekatan dalam melakukan penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi agama dan kesehatan mental. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut terhadap kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan konseling
Islam. 1.5.2. Data dan Sumber Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data berupa: Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat. Untuk itu sebagai jenis datanya sebagai berikut: a. Data Primer yaitu buku karya Komaruddin Hidayat yang berjudul: Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme dan wawancara dengan Komaruddin Hidayat b. Data Sekunder yaitu buku-buku lain yang ada hubungannya dengan tema skripsi ini. 1.5.3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, pengumpulan data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan penelitian kepustakaan (library research). Pendekatan ini diaplikasikan dengan cara menelaah buku-buku yang berkaitan dengan psikologi agama dan bimbingan konseling Islam, terutama pada waktu membahas landasan teori. Dengan demikian penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi diupayakan dengan memperhatikan tingkat kebaharuan kepustakaan tersebut di antaranya: buku-buku, bulletin, majalah, dan jurnal ilmiah. 1.5.4. Teknik Analisis Data Dalam menyusun skripsi ini, peneliti menggunakan analisis
deskripsi yaitu menggambarkan dan menguraikan upaya apa saja yang harus dilakukan untuk menyikapi rasa takut dari kematian menurut Komaruddin Hidayat ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam.
1.6.
Sistematika Penulisan Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka
penelitian disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini. Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metoda penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tentang rasa takut terhadap kematian dan bimbingan dan konseling Islam yang meliputi rasa takut terhadap kematian (pengertian takut terhadap mati, teori tentang kematian, dampak mengingat kematian. pengertian dan metode bimbingan dan konseling Islam (pengertian bimbingan dan konseling Islam, obyek bimbingan dan konseling Islam,
metode
bimbingan dan konseling Islam) Bab ketiga berisi konsep Komaruddin Hidayat tentang mengubah rasa takut terhadap kematian menjadi optimisme yang meliputi: Biografi Komaruddin Hidayat, konsep Komaruddin Hidayat tentang mengubah rasa takut terhadap kematian menjadi optimisme (rasa takut terhadap kematian, mensikapi kematian, upaya menyikapi rasa takut dari kematian). Bab keempat berisi analisis konsep Komaruddin Hidayat tentang
mengubah rasa takut terhadap kematian ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam. Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran yang layak dikemukakan.
BAB II RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
2.1 Kematian 2.1.1. Pengertian Rasa Takut terhadap Mati Takut adalah merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap mendatangkan bencana (Depdiknas, 2002: 1125). Mati adalah sudah hilang nyawanya, tidak hidup lagi (Depdiknas, 2002: 723). Dengan demikian rasa takut terhadap kematian berarti suatu perasaan mengerikan terhadap peristiwa terpisahnya ruh dari jasad. Kematian pada hakikatnya adalah kehidupan baru dengan aturan-aturan dan pengalaman-pengalaman baru Rakhmat (2006: 46). Sejalan dengan itu, menurut Shihab (2002: 36) kematian adalah bayang-bayang yang muncul dalam benak manusia yang mengancam hidupnya, hidup kekasih, anak dan sanak keluarganya.
(
:
)
Artinya: "Tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Luqman/31: 34) (Depag RI, 1986: 658).
Sesungguhnya pikiran tentang kehidupan dan kematian senantiasa ada di dalam hati, perasaan, dan perilaku setiap makhluk hidup. Makhluk hidup akan selalu menyelidiki berbagai sebab
kehidupan yang menjamin keberadaan dan keberlangsungannya serta berusaha melarikan diri dari kematian dan segala penyebabnya. Perilaku seperti ini merupakan perilaku biologis dan naluriah yang telah ditetapkan dalam unsur-unsur genetis pada setiap makhluk hidup (Syarif, 2002: 215). Demikian sebagaimana telah diungkapkan oleh ilmu pengetahuan sejak puluhan tahun saja, sesuai dengan firman-Nya;
( :
)
Artinya: Dialah Tuhan yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Mulk/67: 2) (Depaq RI, 1986: 955).
Misteri kematian itu gelap-gulita, pantaslah tiap orang yang memikirkannya menjadi takut. Apakah ini mungkin pula salah satu sebab, maka orang enggan memikirkan soal maut? Tetapi yang jelas ialah, semenjak manusia pertama sampai sekarang maut itu tetap menakutkan (Gazalba, 1972: 58).
Kematian adalah suatu peristiwa yang pasti, tidak satu jiwa pun mampu menghindarinya. Kemana pun manusia menghindar, namun kematian pasti akan dialami siapa pun. Al-Qur'an pun menggunakan kalimat serupa, "Setiap seorang di antara mereka menginginkan seandainya dia diberi umur seribu tahun...," (QS. Al-Baqarah [2]: 96). Bahkan bukan hanya seribu tahun. Yang diinginkan adalah kekekalan selama-lamanya. Keinginan itulah yang digunakan Iblis untuk menipu Adam dan pasangannya sehingga mereka berdua memakan buah
pohon yang dinamai sang penggoda syajarat al-khuld (Pohon Kekekalan) (QS Thaha (20): 120). 2.1.2. Teori tentang Kematian Berbicara tentang kematian dibahas dalam salah satu cabang filsafat yaitu eskatologi. Secara etimologis, eskatologi berasal dari eschalos artinya "yang terakhir", "yang selanjutnya", "yang paling jauh". Secara umum merupakan keyakinan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian akhir hidup manusia seperti kematian, hari kiamat, berakhirnya dunia, saat akhir sejarah, dan lain-lain (Musa, 2002: 239). Eskatologi adalah paham yang bercorak kefilsafatan yang berusaha menjangkau kehidupan jangka panjang, dengan cara hidup meninggalkan
kepentingan-kepentingan
dorongan-dorongan
darah
dan
duniawi,
daging
dan
menekan
tubuhnya,
dengan
mengutamakan kepentingan kehidupan akhirat, serta mengikuti secara total bimbingan spiritualitas. Dalam konsep filsafat Islam, eskatologi sesungguhnya
menjadi
upaya
pemikiran
transendental
untuk
menyingkap kehidupan sesudah mati (Musa, 2002: 239). Ada dua konsep tentang kematian yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran eskatologi, yaitu konsep pertama yang berpandangan bahwa kematian adalah "netral" ("neutral" death), yaitu tidak ada siksaan maupun pahala. Pandangan ini berkembang di Persia kuno pada pertengahan millenium ketiga sebelum masehi, sedangkan konsep kedua menyatakan bahwa kematian adalah "bermoral"
("moral" death), yang akan dinilai menurut standar kriteria tertentu apakah mendapat siksa (hukuman) atau pahala. Pandangan ini muncul pada pertengahan milenium kedua di Mesir yang kemudian berkembang di Yunani (Musa, 2002: 243). Membahas
soal
kematian
bisa
menimbulkan
sebuah
pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia. Yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran ini memunculkan sebuah protes berupa penolakan bahwa masing-masing individu tidak mau mati. Setiap orang berusaha menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu kematian. Jiwa selalu mendambakan keabadian. Pemberontakan dan penolakan akan kematian ini telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, sebut saja mazhab religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah mati itu ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi, seseorang yang religius menjadikan kehidupan akhirat sebagai objek dan target paling tinggi. Kehidupan dunia selayaknya dinikmati, tetapi bukan tujuan akhir dari kehidupan. Apa pun yang dilakukan di dunia dimaksudkan sebagai investasi kejayaan di akhirat (Hidayat, 2006: xvi). Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin akan adanya kehidupan setelah mati. Secara psikologis keduanya memiliki kesamaan, yaitu spirit heroisme (kepahlawanan) yang mendambakan
keabadian hidup agar dirinya selalu dikenang sepanjang masa. Untuk memenuhi keinginan ini, setiap orang ingin menyumbangkan suatu yang besar dalam hidupnya, minimal untuk keluarganya. Syukursyukur pada bangsa dan dunia. Setiap orang berusaha untuk meninggalkan warisan seperti halnya potret diri, karya tulis, kuburan, dan ada yang membuat patung besar. Ini semua secara psikologis menceritakan satu hal: bahwa setiap orang sesungguhnya menolak kematian. Setiap orang ingin hidup abadi. Setiap orang ingin dikenang sebagai pahlawan agar jiwanya tetap hidup (Hidayat, 2006: xvii). Dalam pandangan mazhab religius, dorongan untuk hidup abadi ini jika tidak disalurkan ke jalan yang benar, maka yang akan menguat adalah sikap egoisme-nihilisme. Yang selalu dikejar adalah bagaimana memperoleh self-glory yang berujung pada pesimisme dan tragedi. Disebut pesimisme dan tragedi karena apa pun yang dikejarkejar selama hidupnya akhirnya akan berakhir dengan kefanaan. Apa pun yang dibanggakan, sejak dari wajah tampan, ilmu pengetahuan, harta, kedudukan, dan popularitas semuanya akan lenyap dan berpisah selamanya ketika dipisahkan oleh maut. Oleh karena itu, dorongan dan ambisi bawah sadar untuk menyangkal kematian bisa melahirkan dua orientasi hidup yang berbeda. Bagi orang yang beriman, keabadian hidup akan selalu dikaitkan dengan janji Tuhan akan balasan di akhirat sehingga mendorong untuk selalu berbuat baik dan menjalani hidup dengan optimis (Hidayat, 2006: xvii).
Sebaliknya,
bagi
yang
mengingkari
kehidupan
akhirat
kenikmatan duniawi merupakan target puncak. Namun begitu, secara garis besar, kelompok ini masih bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, meskipun tidak peduli dengan kehidupan akhirat mereka masih berusaha meninggalkan nama baik agar dikenang sejarah. Banyak dermawan yang membangun gedung-gedung untuk kepentingan sosial agar namanya tidak pernah mati. Kedua, ada yang kemudian menjadi pemuja kehidupan hedonistis mumpung masih hidup tanpa peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah (Hidayat, 2006: xvii). 2.1.3. Dampak Mengingat Kematian Dalam kehidupan di dunia, ternyata banyak orang memikirkan tentang kehidupan dan amat sedikit untuk memikirkan kematian. Mungkin karena membicarakan mati, selalu tidak mengenakkan perasaan, bagaimana harus berpisah dan meninggalkan apa yang dicintainya, anak, istri dan kekayaan yang dicintainya, apalagi kalau hidupnya enak, rasanya ia ingin hidup abadi. Akan tetapi bagi orang yang hidupnya amat susah, seringkali terjerumus dalam rasa putus asa, sehingga mati dianggapnya sebagai jalan terakhir untuk melepaskan dan mengakhiri suatu penderitaan. Padahal kematian bukan akhir dari segala-galanya, karena di balik kematian manusia akan dihidupkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya ketika ia hidup di dunia, sebagai pengadilan yang dijamin keadilannya
oleh Tuhan sendiri, karena semua anggota tubuhnya akan menjadi saksinya (Musa, 2002: 247). Dengan demikian keterangan tersebut menjadi petunjuk, mengingat kematian ada manfaatnya selama individu tidak salah memahaminya. Mengingat kematian dapat menimbulkan gairah untuk beramal baik dan menghindari segala maksiat. Sejalan dengan itu, Imam Ghazali (2000: 358) menyatakan: Ketahuilah, bahwa kematian itu sesuatu yang hebat dan tidak ada yang lebih hebat darinya. Dalam mengingat kematian terdapat manfaat yang besar. Karena ia mempersempit kehidupan dunia dan membuat hati membencinya. Benci dunia adalah pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia adalah pangkal segala dosa. Bagi orang yang arif mengingat kematian akan mendapatkan dua faedah: Pertama, menjauhi dunia. Kedua, merindukan akhirat. Orang yang mencintai itu pasti merasakan rindu. Kerinduan pada hal-hal yang konkrit berarti menyempurnakan khayalan untuk mencapai pada penyaksian. Karena sesuatu yang dirindukan pasti terjangkau melalui khayalan dan hilang dari pandangan.
Mati adalah satu kejadian yang paling berat, paling menakutkan dan paling mengerikan. Satu kejadian yang pasti akan dihadapi dan dialami oleh setiap manusia, satu kejadian yang tak dapat dihindari dengan cara bagaimanapun juga. Para nabi dan rasul, jin dan malaikat sekalipun tidak dapat menghindarkan diri dari mati. Bila mati dikatakan satu peristiwa paling hebat yang pasti terjadi atas diri tiaptiap manusia, maka melupakan mati, atau tidak mengingat akan mati, adalah benar-benar satu kebodohan, satu perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan (Arifin, 1998: 77).
Mengingat satu peristiwa yang hebat yang pasti akan dialami setiap manusia, bukanlah satu kebodohan, tetapi adalah merupakan satu kesadaran, satu pengertian tentang diri dan hidup. Seorang manusia yang 100% melupakan mati, sedang dia pasti akan mengalami mati berarti dia telah melupakan jati dirinya. la adalah ibarat seorang musafir yang akan menempuh satu daerah yang tak pernah dipelajari dan dipikirkannya, dalam keadaan gelap gulita pula. Sudah pasti dia tidak akan dapat melangkah satu langkahpun di alam yang gelap itu, sudah pasti dia akan dihinggapi oleh perasaan getir dan takut, bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Begitulah keadaan roh seorang manusia yang sudah mati, yang tak pernah mengingat-ingat akan mati, dan tak pernah mempelajari masalah mati, atau keadaan sesudah mati. Dalam keadaan gelap gulita, takut, getir dan bingung terus menerus, bukan dalam sehari dua hari, tetapi terus menerus dalam masa berabad-abad sampai kiamat. Untuk menghindarkan
nasib
yang
demikian
itulah,
agama
Islam
menganjurkan kepada kita manusia semasa hidup jangan lupa mati, agar mempelajari pula hakikat mati itu, agar dapat menempuh mati yang hebat itu dengan penuh pengertian dan kesadaran (Arifin, 1998: 77).
2.2 Pengertian dan Metode Bimbingan Konseling Islam 2.2.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling Islam Gerakan bimbingan di Amerika Serikat dimulai dengan bimbingan pekerjaan oleh Parsons. Gerakan ini berpengaruh besar terhadap banyak negara, seperti Filipina, Malaysia, India, dan Indonesia (Gunawan, 1987: 21). Karena itu perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di negara asalnya Amerika Serikat. Bermula dari banyaknya pakar pendidikan yang telah menamatkan studinya di negeri Paman Sam itu dan kembali ke Indonesia dengan membawa konsep-konsep bimbingan dan konseling yang baru. Hal itu terjadi sekitar tahun 60-an sehingga tidak dapat dibantah bahwa para pakar pendidikan itu telah menggunakan dasar-dasar pemikiran yang diambil dari pustaka Amerika Serikat (Willis, 2004: 1) Bimbingan dapat diartikan secara umum sebagai suatu bantuan atau tuntunan. Namun menurut Jumhur dan Surya (1975: 25 ) bahwa untuk sampai kepada pengertian yang sebenarnya harus diingat bahwa tidak setiap bantuan atau tuntunan dapat diartikan sebagai guidance (bimbingan). Atas dasar itu, berbagai batasan tentang bimbingan dapat ditemui dalam buku-buku kepustakaan. Aneka macam batasan ini disebabkan oleh perbedaan filsafat yang mendasari penulisan buku itu. Sering pula perbedaan itu terjadi karena para penulis buku itu tidak sama berat penekanannya pada aspek kemanusiaan tertentu yang
menjadi pusat perhatian pembahasan mereka masing-masing (Jumhur dan Surya, 1975: 25 ). Walaupun demikian, pada umumnya terdapat kesesuaian dalam batasan-batasan itu. Kesesuaiannya ialah bimbingan (1) bukan pemberian arah atau pengaturan kegiatan orang lain, (2) bukan pemaksaan pandangan seseorang kepada orang lain, (3) bukan pengambilan keputusan bagi orang lain, dan (4) bukan pemikulan beban orang lain. Bukan empat hal yang baru disebutkan ini, melainkan kebalikannya. Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan oleh orang yang berwewenang dan terlatih baik kepada perseorangan dari segala umur untuk (1) mengatur kegiatannya sendiri, (2) mengembangkan pandangannya sendiri, (3) mengambil keputusannya sendiri, dan (4) menanggung
bebannya
sendiri.
Demikianlah
antara
lain
yang
dikemukakan oleh Grow sebagaimana dikutip Wijaya (1988: 88). Menurut Natawidjaja (1972: 11) bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara terusmenerus (continue) supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyarakat umumnya.
Menurut Walgito (1989: 4), “Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya” Dengan
memperhatikan
rumusan
tersebut,
maka
dapat
disimpulkan bahwa bimbingan merupakan pemberian bantuan yang diberikan kepada individu guna mengatasi berbagai kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya. Dalam hubungannya dengan konseling, bahwa dalam berbagai literatur diuraikan konseling dalam bermacam-macam pengertian. Sebagian ahli memaknakan konseling dengan menekankan pada pribadi klien, sementara yang lain menekankan pada pribadi konselor, serta berbagai variasi definisi yang memiliki penekanan sendiri-sendiri. Perbedaan ini terjadi karena setiap ahli memiliki latar belakang falsafah yang berbeda (Latipun, 2005: 5) Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa AngloSaxon,
istilah
konseling
berasal
dari
“sellan”
yang
berarti
“menyerahkan” atau “menyampaikan” (Prayitno dan Amti, 2004: 99)
Konseling diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. (Priyatno dan Amti, 1999: 93-94). Menurut Mappiare, (1996: 1) konseling (counseling), kadang disebut penyuluhan karena keduanya merupakan bentuk bantuan. Ia merupakan suatu proses pelayanan yang melibatkan kemampuan profesional pada pemberi layanan. Ia sekurangkurangnya melibatkan pula orang kedua, penerima layanan, yaitu orang yang sebelumnya merasa ataupun nyata-nyata tidak dapat berbuat banyak dan setelah mendapat layanan menjadi dapat melakukan sesuatu. Mengenai kedudukan dan hubungan antara bimbingan dan konseling terdapat banyak pandangan, salah satunya memandang konseling sebagai teknik bimbingan, sebagaimana dikemukakan oleh Arthur J. Jones yang dikutip oleh Ahmadi dan Rohani (1991: 28), bahwa konseling sebagai salah satu teknik dari bimbingan, sehingga dengan pandangan ini maka pengertian bimbingan adalah lebih luas bila dibandingkan dengan konseling , konseling merupakan bagian dari bimbingan. Dengan kata lain, konseling berada di dalam bimbingan. Pendapat lain menyatakan: bimbingan terutama memusatkan diri pada pencegahan munculnya masalah, sementara konseling memusatkan diri pada pencegahan masalah yang dihadapi individu. Dalam pengertian
lain, bimbingan sifat atau fungsinya preventif, sementara konseling bersifat kuratif atau korektif. Dengan demikian bimbingan dan konseling berhadapan dengan obyek garapan yang sama, yaitu problem atau masalah. Perbedaannya terletak pada titik berat perhatian dan perlakuan terhadap masalah tersebut. Bimbingan titik beratnya pada pencegahan, konseling menitik beratkan pemecahan masalah. Perbedaan selanjutnya, masalah yang dihadapi atau digarap bimbingan merupakan masalah yang ringan, sementara yang digarap konseling yang relatif berat (Musnamar, 1992: 3 – 4) . Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud adalah yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi arti lebih dahulu. Biasanya kata Islam diterjemahkan dengan “penyerahan diri”, penyerahan diri kepada Tuhan atau bahkan kepasrahan (Arkoun, 1996: 17). Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Ali (1977: 2), Islam mengandung arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Berdasarkan uraian tersebut, maka yang dimaksud bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 5). Adapun konseling dalam Islam menurut Adz-Dzaky (2002: 189) adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana
seharusnya
seorang
klien dapat
fikirannya,
kejiwaannya,
mengembangkan potensi akal
keimanan dan keyakinan
serta dapat
menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan AsSunnah Rasulullah SAW. Menurut Musnamar (1992: 5) konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sedangkan menurut Lubis (2007: 98) konseling Islami adalah layanan bantuan konselor
kepada
klien/konseli
untuk
menumbuh-kembangkan
kemampuannya dalam memahami dan menyelesaikan masalah serta mengantisipasi masa depan dengan memilih alternatif tindakan terbaik demi mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat di bawah naungan ridla dan kasih sayang Allah 2.2.2 Obyek Bimbingan dan Konseling Islam Bimbingan dan konseling Islami berkaitan dengan masalah yang dihadapi individu, yang mungkin dihadapi individu, atau yang sudah dialami individu. Masalah itu sendiri, dapat muncul dari berbagai faktor atau bidang kehidupan. Jika dirinci, dengan pengelompokan, masalahmasalah itu dapat menyangkut bidang-bidang: 1. Pernikahan dan keluarga
Anak dilahirkan dan dibesarkan (umumnya) di lingkungan keluarga, entah itu keluarga intinya (ayah dan ibunya sendiri), entah itu keluarga lain, atau keluarga besar (sanak keluarga). Keluarga lazimnya diikat oleh tali pernikahan. Pernikahan dan ikatan keluarga di satu sisi merupakan manfaat, di sisi lain dapat mengandung mudarat atau menimbulkan kekecewaan-kekecewaan. Dalam pada itu pernikahan dan kekeluargaan sudah barang tentu tidak terlepas dari lingkungannya (sosial maupun fisik) yang mau tidak mau mempengaruhi kehidupan keluarga dan keadaan pernikahan. Karena itulah maka bimbingan dan konseling Islami kerap kali amat diperlukan untuk menangani bidang ini (Musnamar, 1992: 41). 2. Pendidikan Semenjak lahir anak sudah belajar, belajar mengenal lingkungannya. Dan manakala telah cukup usia, dalam sistem kehidupan dewasa ini, anak belajar dalam lembaga formal (di sekolah). Dalam belajar (pendidikan) pun kerapkali berbagai masalah timbul, baik yang berkaitan dengan belajar itu sendiri maupun
lainnya.
Problem-problem
yang
berkaitan
dengan
pendidikan ini sedikit banyak juga memerlukan bantuan bimbingan dan konseling Islami untuk menanganinya. 3. Sosial (kemasyarakatan) Manusia merupakan makhluk sosial yang hidup dan kehidupannya sedikit banyak tergantung pada orang lain. Kehidupan
kemasyarakatan (pergaulan) ini pun kerapkali menimbulkan masalah bagi individu yang memerlukan penanganan bimbingan dan konseling Islami (Musnamar, 1992: 41) 4. Pekerjaan (jabatan) Untuk memenuhi hajat hidupnya, nafkah hidupnya, dan sesuai dengan hakekatnya sebagai khalifah di muka bumi (pengelola alam), manusia harus bekerja. Mencari pekerjaan yang sesuai dan membawa manfaat besar, mengembangkan karier dalam pekerjaan, dan sebagainya, kerapkali menimbulkan permasalahan pula, bimbingan
dan
konseling
Islami
pun
diperlukan
untuk
menanganinya. 5. Keagamaan Manusia merupakan makhluk religius. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya manusia dapat jauh dari hakekatnya tersebut. Bahkan dalam kehidupan keagamaan pun kerapkali muncul pula berbagai masalah yang menimpa dan menyulitkan individu. Hal ini memerlukan penanganan bimbingan dan konseling Islami. Sudah barang tentu masih banyak bidang yang digarap bimbingan dan konseling Islami di samping apa yang tersebut di atas. (Faqih, 2001: 45). 2.2.3 Metode Bimbingan dan Konseling Islam Dalam pengertian letterlijk, metode adalah jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan, karena kata metode berasal dari
meta yang berarti melalui dan hodos berarti jalan (M. Arifin, 1994: 43). Metode lazim diartikan sebagai jarak untuk mendekati masalah sehingga diperoleh hasil yang memuaskan, sementara teknik merupakan penerapan metode tersebut dalam praktek. Dalam pembicaraan ini akan terlihat
bimbingan
dan
konseling
sebagai
proses
komunikasi.
Karenanya, berbeda sedikit dari bahasan-bahasan dalam berbagai buku tentang bimbingan dan konseling, metode bimbingan dan konseling Islam ini akan diklasifikasikan berdasarkan segi komunikasi tersebut. Metode bimbingan dan konseling Islam berbeda halnya dengan metode dakwah. Metode dakwah meliputi : metode ceramah, metode tanya jawab, metode debat, metode percakapan antar pribadi, metode demonstrasi, metode dakwah Rasulullah SAW, pendidikan agama dan mengunjungi rumah (silaturrahmi) (Syukir, 1983: 104). Demikian
pula
bimbingan
dan
konseling
Islam
bila
diklasifikasikan berdasarkan segi komunikasi, pengelompokannya menjadi: metode komunikasi langsung atau disingkat metode langsung dan metode komunikasi tidak langsung atau metode tidak langsung. 1. Metode langsung Metode langsung (metode komunikasi langsung) adalah metode di mana pembimbing melakukan komunikasi langsung (bertatap muka) dengan orang yang dibimbingnya. Metode ini dapat dirinci lagi menjadi: (Musnamar, 1992: 49) a. Metode individual
Pembimbing dalam hal ini melakukan komunikasi langsung secara individual dengan pihak yang dibimbingnya. Hal ini dapat dilakukan dengan mempergunakan teknik: 1) Percakapan pribadi, yakni pembimbing melakukan dialog langsung tatap muka dengan pihak yang dibimbing; 2) Kunjungan ke rumah (home visit), yakni pembimbing mengadakan dialog dengan kliennya tetapi dilaksanakan di rumah klien sekaligus untuk mengamati keadaan rumah klien dan lingkungannya; 3) Kunjungan dan observasi kerja yakni pembimbing/konseling jabatan
melakukan
percakapan
individual
sekaligus
mengamati kerja klien dan lingkungannya. b. Metode kelompok Pembimbing melakukan komunikasi langsung dengan klien dalam kelompok. Hal ini menurut Faqih (2001: 54). dapat dilakukan dengan teknik-teknik: 1) Diskusi kelompok, yakni pembimbing melaksanakan bimbingan dengan cara mengadakan diskusi dengan/bersama kelompok klien yang mempunyai masalah yang sama. 2). Karya wisata, yakni bimbingan kelompok yang dilakukan secara langsung dengan mempergunakan ajang karya wisata sebagai forumnya. 3). Sosiodrama, yakni bimbingan/konseling yang dilakukan dengan cara bermain peran untuk memecahkan/mencegah timbulnya masalah (psikologis) (Musnamar, 1992: 49-51). 4). Psikodrama, yakni bimbingan/konseling yang dilakukan dengan cara bermain peran untuk memecahkan/mencegah timbulnya masalah (psikologis).
5). Group teaching, yakni pemberian bimbingan/konseling dengan memberikan materi bimbingan/konseling tertentu (ceramah) kepada kelompok yang telah disiapkan. Di dalam bimbingan pendidikan, metode kelompok ini dilakukan pula secara klasikal, karena sekolah umumnya mempunyai kelaskelas belajar.
2. Metode tidak langsung Metode tidak langsung (metode komunikasi tidak langsung) adalah metode bimbingan/konseling yang dilakukan melalui media komunikasi massa. Hal ini dapat dilakukan secara individual maupun kelompok, bahkan massal (Musnamar, 1992: 49-51). 2.2.4 Tujuan dan Fungsi Bimbingan dan Konseling Islam Secara garis besar atau secara umum tujuan Bimbingan dan Konseling Islam itu dapat dirumuskan sebagai membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Individu yang dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling, baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau kedudukannya sebagai
makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya. Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia bisa seperti yang tidak dikehendaki yaitu menjadi manusia seutuhnya. Dengan kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan masalah atau problem, yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat. Karena itu, tujuan akhir bimbingan dan konseling Islam adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu jangan sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan. Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik bimbingan.(Musnamar, 1992: 33-34)
2.3 Bimbingan dan Konseling Islam dan Peranannya Mengatasi Rasa Takut Mati Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 5). Menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW. Berdasarkan pengertian tersebut, bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan salah satu upaya untuk menyikapi rasa takut dari kematian. Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi siksa Allah (Shihab, 2002: 43). Berdasarkan penjelasan tersebut, bimbingan dan konseling Islam bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun
akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar (1992: 5) konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat ditegaskan, konsep kematian bermaksud agar manusia tidak merasa takut secara berlebihan dalam menghadapi kematian. Apabila ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam bahwa bimbingan dan konseling Islam dapat memberi bantuan kepada individu berupa nasihat agar individu yang bersangkutan menerima suatu kenyataan bahwa kematian merupakan peristiwa yang pasti terjadi dan manusia tak kuasa menolaknya. Bimbingan dan konseling Islam dapat menjelaskan pada individu bahwa agar tidak ada rasa takut menghadapi kematian maka individu harus beribadah sebagai bekal di akhirat. Selain itu harus sering bertobat, beramal kebaikan dan menghindari setiap maksiat. Bantuan ini dapat menenangkan individu dan keyakinan bahwa kematian tidak harus ditakuti. Bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan salah satu upaya untuk mengubah rasa takut terhadap kematian. Rasa takut dari kematian tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan manusia dalam menghayati makna hidup, peran dan fungsi hidup di dunia. Dari sini tampak rasa takut terhadap kematian adalah sebagai akibat pelanggaran manusia terhadap petunjuk Allah Swt.
Rasa takut adalah suatu keadaan dimana seseorang jiwannya tercekam oleh kegelisahan yang menyangkut rohani. Solusinya adalah pembersihan diri dari dosa. Metode bimbingannya adalah secara individual, langsung dan dialogis. Jika dikaitkan antara rasa takut dengan bimbingan dan konseling maka bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan sarana untuk menghilangkan rasa takut.
BAB III KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG MENGUBAH RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN MENJADI OPTIMISME
3.1 Biografi Komaruddin Hidayat Komaruddin Hidayat lahir di Muntilan, Pabelan, Magelang, 18 Oktober 1953, menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta, 2006-2010 dan Ketua Panitia Pengawas Pemilu 2004. Pendidikannya mulai dari Ponpes Pabelan, Magelang (1969), Sarjana Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta (1981), Master and PhD Bidang Filsafat pada Middle East Technical University, Ankara, Turki (1995), Post Doctorate Research Program di Harfort Seminary, Conecricut, AS, selama satu semester (1997), International Visitor Program (IVP) ke AS (2002). Adapun pengalaman kerja Komaruddin Hidayat diantaranya sebagai berikut: Guru Besar Filsafat Agama, UIN Jakarta (2001sekarang), Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina (1996-2000), Associate Trainer/Consultant bidang HRD pada Vita Niaga, Colsultant (1999-sekarang), dosen Tetap Institut Bankir Indonesia (2000-sekarang), Dosen Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (2003-sekarang), Advisory Board Member of Common Ground Indonesia (2001-sekarang), Ketua Panitia Pengawas Pemilu Pusat (2003-2004), Chairman pada Indonesia Procurement Watch (2002sekarang), Direktur Eksekutif Pendidikan Madania (2001-sekarang), Dewan Pertimbangan Pendidikan DKI Jakarta (2004-sekarang), Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (2005-sekarang), Anggota
Badan Standar Nasional Pendidikan Rl (2005-sekarang), Ketua Panitia Pengawas Pemilu pada tahun 2004, Rektor UIN Jakarta pada tahun 2006-2010 (Handrianto, 2007: 117). Adapun karya-karya Komaruddin Hidayat sebagai berikut: • Memahami Bahasa Agama (1996) • Masa Depan Agama (1995) Tragedi Raja Midas (1998) • Tuhan Begitu Dekat (2000) • Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi (2002) • Menafsirkan Kehendak Tuhan (2003) • Psikologi Kematian (2005) (Handrianto, 2007: 118). Komaruddin Hidayat adalah nama yang tidak asing lagi di dunia dakwah Islam, khususnya dakwah dengan pendekatan sufistik. Sejak menyelesaikan S3-nya dalam bidang filsafat di Universitas Ankara, Turki pada 1990, pria yang biasa dipanggil Mas Komar ini bergabung dengan Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta. Dari Paramadina inilah ia mulai mengguratkan
namanya
sebagai
cendekiawan
Muslim
yang
cukup
diperhitungkan (Handrianto, 2007: 118). Memulai karirnya sebagai dosen dan kemudian Direktur Eksekutif Paramadina, ia lalu dipercaya menjadi Ketua Yayasan yang didirikan cendekiawan Nurcholish Madjid tersebut. Sejak Januari 2005, Komaruddin Hidayat resmi diangkat sebagai Direktur Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciri pandangan kesufiannya sudah banyak dikenal, lantaran ia termasuk rajin berceramah tasawuf di berbagai forum. Kekuatan ceramah tasawuf pria penggemar olah raga tenis ini terletak pada metafor-metafor yang dinukil dari kisah-kisah sufi klasik kemudian direfleksikan ke dalam kehidupan aktual saat ini. Inilah yang menyebabkan ceramahnya begitu hidup dan memikat siapa saja yang mendengarkannya. Bukan hanya ceramahnya, tulisan-tulisannya pun mengalir dan enak dibaca. Mungkin karena tulisantulisannya itu lebih merupakan refleksi ketimbang analisis ilmiah yang kaku (www.hidayatullah.com, diakses 5 Oktober 2009). Tentang kepiawaannya dalam menulis, Komaruddin mengaku karena memang sejak remaja (di pesantren) sudah membiasakan diri berlatih menulis. Bekal keterampilan menulis itu ia asah terus hingga kuliah. Ketika menjadi mahasiswa sampai lulus S1, ia pernah menjadi wartawan majalah Panji Masyarakat selama 4 tahun (1978-1982). Komaruddin Hidayat adalah orang yang percaya bahwa masa kecil seseorang menentukan akan menjadi apa orang tersebut kelak. Dan ia merasa beruntung karena sejak kecil orangtuanya telah mengarahkannya ke jalan yang kini ia yakini sebagai 'benar' (www.hidayatullah.com, diakses 5 Oktober 2009). Komaruddin Hidayat lahir di Magelang Jawa Tengah pada 18 Oktober 1953 di lingkungan keluarga yang taat beragama. Dari namanya saja tampak bahwa keluarganya adalah keluarga santri. Begitu juga riwayat pendidikannya. la lulus pesantren Pabelan, Magelang pada 1969; kemudian melanjutkan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan lulus
sarjana S1 pada 1981. Cendekiawan Prof. DR. M. Dawam Rahardjo pernah menilai Komaruddin Hidayat sebagai cendekiawan yang unik, lantaran penguasaannya pada bidang kajian Bahasa Agama, suatu bidang yang jarang digeluti orang lain. Keahliannya di bidang bahasa agama ini dituangkannya dalam sebuah buku berjudul Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, yang diterbitkan Paramadina pada 1996 (www.hidayatullah.com diakses 5 Oktober 2009). 3.2
Konsep Komaruddin Hidayat tentang Mengubah Rasa Takut terhadap Kematian Menjadi Optimisme 3.2.1. Rasa Takut terhadap Kematian Hidayat dalam bukunya yang berjudul: Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial menyatakan, wacana tentang agama dan kehidupan beragama selalu akan muncul baik dalam forum ilmiah maupun percakapan populer (Hidayat, 2003: 151). Demikian masalah kematian telah memnjadi perdebatan para ahli khususnya dalam menyikapi adanya sebagian orang yang selalu dirundung rasa takut terhadap datang nya kematian. Seorang arif berpetuah, "Biarkanlah orang tertawa ketika engkau keluar dari rahim ibumu dan memulai kehidupan ini dengan jeritan tangis. Tetapi buatlah mereka menangis sedangkan engkau tertawa ketika engkau mengakhiri hidupmu di dunia ini, tatkala ajal menjemputmu." Mengapa dan bagaimana mengakhiri hidup dengan suka cita? Karena kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan garis transisi, maka bagi mereka yang
ketika hidupnya telah banyak berbuat kebaikan, kematian adalah pintu gerbang untuk memasuki kehidupan baru yang lebih indah, sebuah kebahagiaan yang sejati. Ibarat anak sekolah, lewat kematian, sesungguhnya arwah dari orang-orang yang hidupnya penuh kesalehan akan dinaikkan kelasnya (Hidayat, 2006: 115). Semua fase-fase kehidupan merupakan rangkaian skenario Tuhan agar hamba-hamba-Nya bisa mengenyam makna kebebasan dan perjuangan yang dari sana seseorang akan mengenyam suka dan duka atau makna kebahagiaan sejati. Tuhan selalu berjanji untuk melipat-gandakan imbalan bagi mereka yang berbuat baik, sedangkan jika seorang hamba berbuat dosa, maka siksanya hanya sebesar yang dilakukannya. Artinya, kasih dan ampunan Tuhan jauh melebihi kemurkaan-Nya. Seorang sufi pernah menasihati muridnya, "Tuhan adalah Maha Pengampun. Karena kemahaanNya maka ampunan Tuhan selalu memanggil-manggil dan mengejar setiap pendosa untuk dibersihkan semua dosa-dosanya. Hanya saja mereka yang buta dan tuli mata hatinya malah mengelak dari kejaran rahmat dan ampunan llahi." Demikianlah, seperti difirmankan oleh Tuhan sendiri, Tuhan sekali-kali tidak akan menyakiti hamba-hamba-Nya, melainkan manusia sendiri yang berbuat aniaya atas dirinya. "Kasih-Ku akan mensalahkan kemarahan-Ku," sabda Allah dalam Al-Qur'an (Hidayat, 2006: 116). Tidak ada misteri yang selalu mengguncang akal dan batin manusia kecuali misteri kematian. Bagi kaum eksistensialisme-ateisme, kematian
adalah suatu derita dan musuh bebuyutan manusia yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Bahkan mereka merasa kalah serta putus asa menghadapinya. Prestasi akal-budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek supercanggih tetap tidak mampu menelusuri jejak malaikat maut. Sejak zaman dulu orang telah meyakini adanya keabadian jiwa, tetapi pengetahuan manusia tidak ada artinya ketika dihadapkan pada misteri kematian dan alam arwah. Jangankan untuk mengetahui perjalanan ruh selepas dari tubuhnya, ketika seseorang masih hidup saja pengetahuan tentang ruhnya sendiri tetap terbungkus misteri (Hidayat, 2006: 116). Tanpa disadari, keyakinan bahwa setiap saat bisa dijemput kematian memiliki pengaruh yang amat besar bagi kehidupan seseorang. Begitu pun keyakinan adanya kelanjutan hidup setelah kematian. Dengan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat kelak, maka raja-raja Mesir kuno membangun piramid dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga. Sementara raja-raja Tiongkok ketika meninggal dan jasadnya dikubur, berbagai perhiasan yang paling disukai disertakannya ke dalam sebuah bangunan yang kokoh dan megah karena yakin bahwa kematian adalah sebuah transisi untuk memasuki kehidupan baru yang lebih agung dan abadi. Dalam pada itu Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi dari amal kebaikannya (Hidayat, 2006: 117).
Doktrin ini secara ekspresif dan dramatis menurut Hidayat diperagakan dalam seremoni ibadah haji yang semuanya mengenakan kain ihram. Rangkaian ibadah haji itu memberikan pesan kuat pada seluruh manusia bahwa pada akhirnya dunia ini suatu saat, mau tidak mau, siap tidak siap, pasti akan ditinggalkan dan tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam disket ruhani yang nantinya akan di-print-out di akhirat kelak. Yang menarik, keyakinan semacam ini tidak saja ditemukan di kalangan agamawan melainkan juga di kalangan filosof serta memperoleh dukungan ilmiah seperti yang secara panjang lebar dikemukakan oleh Frank J. Tipler dalam bukunya The Physics of Immortality (1994). Maka, mengutip orang bijak, tersenyumlah engkau ketika Malaikat Maut menjemputmu meskipun keluarga yang engkau tinggalkan akan menangis. Sebaliknya, alangkah malangnya jika engkau hadapi kehadiran maut dengan tangis penuh ketakutan sementara orang-orang di sekitarmu tersenyum gembira karena merasa risih akan keberadaanmu di tengah mereka (Hidayat, 2006: 117). Mengapa kematian begitu menakutkan sedangkan dunia sangat sayang untuk ditinggalkan? Menurut Hidayat: Terdapat beberapa kemungkinan jawaban muncul. Antara lain ialah, bagi sebagian orang yang merasa dimanjakan oleh kenikmatan yang telah dipeluknya selama ini. Dengan demikian memasuki hari tua berarti memasuki fase penyesalan sedangkan kematian adalah puncak kekalahan dan penderitaan. Jawaban lain, kematian ditakuti karena manusia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mati. Kalau saja seseorang bisa menghilangkan benih iman dan argumen filosofi akan adanya keabadian jiwa, sangat bisa jadi orang tak akan takut mati. Bukankah setelah kematian tidak ada kehidupan lagi? Tetapi persoalannya, manusia sulit untuk mengingkari kebenaran ajaran
agama, rasa keadilan moral dan argumen filosofis bahwa keabadian jiwa dan hari perhitungan itu pasti terjadi. Alangkah tidak masuk akal dan nistanya pengorbanan para pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan kalau saja setelah mati tidak ada perhitungan lanjut. Lalu apa bedanya antara pejuang dan pecundang jika setelah itu tidak akan ada lagi mahkamah pengadilan yang benar-benar adil? Jawaban lainnya lagi ialah, orang takut mati karena seseorang merasa banyak dosanya, lebih banyak amal kejahatannya ketimbang kebaikannya, sehingga takut akan imbalan siksa yang hendak diterimanya kelak (Hidayat, 2006: 118). 3.2.2. Mensikapi Kematian Menurut Hidayat: Bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu merasa terikat dan memperoleh bimbingan Tuhan, kematian sama sekali tidak menakutkan karena dengan berakhirnya episode kehidupan duniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada Tuhan yang selalu dicintai dan dirindukan. Dunia adalah amanat dan rahmat llahi. Meyakini bahwa dunia adalah amanat llahi, maka prestasi apa pun yang diraih, entah harta ataupun kedudukan, semuanya harus dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Tuhan. Jangankan harta duniawi, nyawa yang merupakan sumber kehidupan itu sendiri akhirnya akan kembali ke asalnya. Karena itu, melupakan bahwa dunia ini adalah amanat dan rahmat Tuhan akan membuat seseorang berpandangan nihilistik dan pesimis serta negatif terhadap hidup dan kehidupan. Seseorang akan mudah merasa takut memasuki hari tua, hari pensiun, dan lebih jauh lagi takut membayangkan dan menghadapi kematian karena semua itu akan dipandangnya sebagai hari-hari yang penuh derita (Hidayat, 2006: 120). Siapkah seseorang jika maut sewaktu-waktu menghampiri dan menjemput? Siap tidak siap, suka tidak suka, tegas Al-Quran, bayangan itu pasti terjadi dan seseorang tidak mampu mengelak sekalipun berlindung di balik tembok yang kokoh. Keyakinan dan konsep kematian tidak pernah hilang dari kesadaran manusia baik secara individual mau kelompok. Justru karena umur manusia di dunia terbatas, maka hidup lalu menjadi sangat berharga. Sadar akan keterbatasan umur manusia, maka setiap peristiwa
kematian selalu mengungkapkan pesan pada manusia bahwa dunia ini anugerah yang harus disyukuri, tetapi sekali-kali jangan dijadikan berhala yang dipuja-puja dan jangan sampai melupakan peta dan agenda perjalanan kita yang masih jauh lagi (Hidayat, 2006: 121). Drama perintah Tuhan pada Ibrahim untuk menyembelih Ismail (versi iman Kristen adalah Ishaq), menurut Hidayat sesungguhnya mengungkapkan pesan yang amat dalam bahwa manusia boleh saja mencintai dunia (disimbolkan pada anak), tetapi jangan sampai cinta dunia itu memalingkan seseorang dari cintanya pada Tuhan, Pemilik semesta alam. Jika memang Allah menghendaki, anak yang menjadi pujaan hati itu oleh Ibrahim siap untuk disembelih. Terbukti bahwa cinta Ibrahim pada Tuhan melebihi cintanya pada kenikmatan duniawi, dan ternyata dalam dada Ibrahim tak ada yang dipertaruhkan kecuali Allah, maka Allah akhirnya memberikan pada Ibrahim kenikmatan yang berlipat ganda. Ismail bukannya disembelih, melainkan digantikan dengan kambing dan dari keturunan Ishaq dan Ismail itu lahir sekian banyak pemimpin dunia pengubah sejarah, termasuk Nabi Musa, Nabi Isa, dan Muhammad Rasulullah (Hidayat, 2006: 121). Dengan mengutip pendapat Sigmund Freud, Hidayat menjelaskan bahwa setiap orang dalam bawah sadarnya menyimpan kerinduan yang dalam akan pengalaman indah yang hilang, yaitu ketenangan hidup dalam alam rahim sang ibu. Sedemikian dalamnya kerinduan itu sehingga meninggalkan beban kejiwaan yang amat berat yang tak bisa dihapuskan.
Sebagai gantinya, tanpa disadari, seseorang selalu menciptakan substitusi (pengganti) dan kompensasi dengan cara membangun imajinatif ke depan, berupa bayangan surga. Menurut teori Freud, secara psikologis, gagasan mengenai Tuhan dan surga itu semata ciptaan manusia itu untuk meringankan beban psikis yang bersifat laten (tersembunyi) (Hidayat, 2006: 123). Jadi, gagasan tentang surga dan Tuhan muncul karena kondisi jiwa yang tidak sehat. Bagi orang beriman tentu saja teori ini dibantah. Namun demikian, menurut Hidayat jika Freud berbicara sebatas gejala kejiwaan, maka sampai batas tertentu argumentasinya bisa dipahami secara proporsional. Di kalangan sufi paham kerinduan akan masa lalu yang indah yang juga sangat populer, namun lebih jauh dari teori Freud, pengalaman indah yang dirindukan kembali itu adalah suasana surgawi ketika ruh belum bersatu dengan jasmani. Dalam pada itu Al-Qur'an mengisyaratkan bahwa sebelum turun ke alam jasmani, ruh pernah mengadakan perjanjian primordial (mendasar) dengan Tuhan untuk selalu mengingat dan mencintaiNya dan sekali-kali tidak akan menyembah kecuali pada-Nya. Itulah sebabnya, menurut kalangan sufi, kerinduan akan Tuhan itu sedikit terobati dan hati menjadi tenang ketika seseorang berdoa dan merasakan keintiman dengan Tuhan. Tak ada suasana batin yang paling tenang dan membahagiakan kecuali perasaan intim dan rasa saling mencinta antara sesama mukmin dan dengan Tuhan Sang Kekasih. Sebaliknya, perbuatan maksiat adalah pengingkaran dari ikatan kasih Tuhan dan akibatnya nurani
seseorang akan gelisah karena terganggunya ikatan kasih dengan Tuhan. Situasi demikian ini disebut kufur, dekat sekali dengan kata cover dalam bahasa Inggris. Yaitu tertutupnya jalur dan pancaran kasih Tuhan pada hati hamba-Nya akibat manusia sendiri yang berpaling (Hidayat, 2006: 123). Luka akibat kerinduan pada kenikmatan ruhani yang hilang bisa juga terlupakan sejenak ketika manusia memperoleh kenikmatan fisik dan psikis yang ditawarkan oleh kenikmatan duniawi. Tetapi, kata Freud pengalaman hidup menunjukkan bahwa perjalanan seseorang selalu diiringi oleh rangkaian kekecewaan akibat perpisahan dan kehilangan dari orang dan objek yang paling dicintai. Dimulai dari masa kanak-kanak, sang bayi sudah ditimpa kekecewaan akibat dipisah dari susuan sang ibu. Kekecewaan itu disusul oleh serangkaian kekecewaan yang lain yang paling tragis adalah ketika ditinggal mati oleh orang terdekat. Namun demikian, justru dengan pengalaman pahit itu pribadi seseorang bisa tumbuh menjadi kuat dan akan memperoleh makna hidup. Bahwa berbagai objek dan orang yang paling dicintai suatu saat pasti akan sirna dan lepas. Kalau begitu, apa yang paling bermakna dari semua yang kita miliki? (Hidayat, 2006: 124). Dari sudut pandang agama semua yang dimiliki manusia hanyalah berfungsi sebagai fasilitas instrumental untuk sesuatu yang lebih maknawi. Dalam
terminologi
agama,
yaitu
kualitas
iman
yang
kemudian
teraktualisasikan ke dalam amal saleh. Jadi ketika seseorang memiliki semua fasilitas instrumental, sejak dari harta, jabatan, dan bahkan ilmu, kalau tidak membuahkan amal kebajikan bagi sesama manusia sebagai
aktualisasi rasa syukur dan pengabdian pada Tuhan, maka sesungguhnya telah tertipu oleh pandangan hidup yang berskala pendek atau duniawi. Dalam bahasa Arab, dunia artinya pendek dan rendah, sedangkan ukhrawi artinya realitas yang berada di seberang yang melampaui batas-batas kekinian dan kedisinian. Hal ini berkait erat dengan makna dan konsep pada kualitas dan produktivitas seseorang dalam memanfaatkan fasilitas waktu, bukan panjangnya usia, yaitu seberapa jauh seseorang memproduksi kemakmuran. Jika kemakmuran itu bersifat imateri, semisal seni, ilmu pengetahuan dan peradaban, maka dalam terminologi Islam produk itu disebut 'umran. Sedangkan bangunan fisik sebagai simbol dan monumen kemakmuran disebut imarah (Hidayat, 2006: 125). Dengan begitu, panjang dan pendeknya umur seseorang akan diukur oleh kualitas iman dan amal salehnya. Sekalipun orang telah meninggal jika ia mewariskan ilmu dan amal yang berdaya guna secara langsung bagi masyarakat yang ditinggalkan, maka orang itu masih berumur, masih hidup amalnya atau populer disebut 'amal jariyah. Sebaliknya seseorang yang merasa panjang usianya, banyak ilmu dan hartanya, tetapi jika tidak disertai iman dan amal kebajikan untuk sesama, maka ia mengalami kebangkrutan dalam umurnya. Visi dan ayunan langkah hidupnya yang tidak mampu menembus alam ukhrawi, telah menempatkan dirinya terkurung oleh tembok duniawi yang lingkupnya amat pendek dan sempit. Salah satu bentuk kebangkrutan umur, ialah godaan oleh kenikmatan sesaat. Akan tetapi mendatangkan penyesalan jangka panjang. Contoh yang paling riil
dari bentuk kebangkrutan umur sehingga memalingkan diri dari uluran kasih Tuhan adalah mereka yang mabuk harta dan kekuasaan sebagaimana anak remaja yang mabuk harta (Hidayat, 2006: 126). Dalam hidup ini tak ada orang yang tidak takut kehilangan. Bawah sadar seseorang yang menyimpan rangkaian kenangan pahit masa lalu menuntut kompensasi dan substitusi. Bagi sementara orang, bisa jadi kompensasi itu diproyeksikan dalam limpahan materi, jabatan, kekuasaan, dan popularitas. Ketika kesemuanya telah berada di tangan, terdapat kekuatan bawah sadar yang memberikan dorongan untuk memeluknya eraterat karena kenangan pahit masa lalu yang tidak lagi disadari akibat kehilangan obyek yang dicintai. Kekuatan bawah sadar itu bekerja sangat efektif dalam mempengaruhi perilaku seseorang. Ironisnya, kompensasi kenikmatan duniawi yang diharapkan sebagai penawar neurosis (gangguan jiwa) yang diderita dalam bawah sadarnya, kadang kala malah melipatgandakan neurosisnya. Orang yang dilanda perasaan takut kehilangan bisa berperilaku aneh-aneh yang semuanya menunjukkan kepribadian yang tidak matang dan jiwa yang tidak sehat. Bisa kalap, rakus, pelit, egois, dan semacamnya (Hidayat, 2006: 126). Bahkan sejarah mencatat, banyak tragedi sosial-politik yang memakan banyak korban manusia dan harta semata karena ulah seseorang atau kelompok yang takut kehilangan kekuasaan yang telah lama dipeluknya. Namun ada juga fenomena lain, karena seseorang menyadari benar betapa sempitnya usia manusia dan kesempatan berbuat baik, maka
kesempatan yang ada dimanfaatkan secara optimal beramal saleh maupun menebus dosa dan kesalahan masa lalu (Hidayat, 2006: 127). 3.2.3. Upaya Menyikapi Rasa Takut dari Kematian Menurut Hidayat jangan mengira bahwa meninggal mendadak tanpa sakit itu merupakan kematian paling baik dan menyenangkan. Hidayat memberi contoh bahwa ia mempunyai seorang teman yang amat baik, sukses dalam karir di kantor dan sukses dalam membina rumah tangga. Ke mana pun dia pergi dan bertemu teman ataupun keluarga selalu saja mampu menciptakan suasana menjadi hidup penuh gelak tawa. Hal itu ia temui dan rasakan sendiri berulang kali. Menurut Hidayat orang itu tinggal di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekali-sekali rumahnya dijadikan tempat diskusi keislaman, dihadiri oleh teman-teman sekantor serta tetangga (Hidayat, 2006: 128). Suatu hari menurut Hidayat bahwa ia memperoleh berita bahwa teman tadi meninggal dengan mendadak di rumahnya, sementara anak dan istrinya sedang bepergian. Semua keluarga sepakat bahwa sebelumnya tak ada tanda-tanda dan isyarat sedikit pun kalau suami ataupun ayahnya akan meninggal, mengingat badannya sehat, karirnya di kantor berjalan mulus, dan hubungan sosial dengan teman-temannya juga sangat baik (Hidayat, 2006: 128). Bagaimana respons keluarga yang ditinggalkan? Yang pertama dirasakan istri adalah sebuah duka dan penyesalan yang amat berat. Dia merasakan dan memandang suaminya amat baik, tetapi mengapa ketika
pergi untuk selamanya tidak sempat melihat dan melepasnya, sedangkan setiap pagi mau ke kantor saja istrinya selalu menyiapkan sarapan dan kemudian melepaskan sampai halaman rumah. Itu sudah berjalan puluhan tahun (Hidayat, 2006: 129). Dalam pengakuannya, Hidayat belum sempat meminta maaf dan menyampaikan terima kasih atas kebaikannya selama ini. Ia ingin sekali membalas kebaikannya, paling tidak ketika sakit Hidayat ingin merawat dan melayaninya. Tetapi semua itu hanya bayangan dan kesedihan yang akhirnya didapatkan," tuturnya sambil terisak. Sepekan kemudian Hidayat ketemu, biji matanya bagaikan hendak keluar karena tak sanggup menahan duka dan tangis, bahkan air matanya pun telah kering. "Kalau tahu memang sudah tiba ajalnya, saya ingin suami saya sakit dahulu barang sehari atau tiga hari agar saya dan semua keluarga bisa berkumpul, saling memaafkan dan mendoakan bersama," katanya (Hidayat, 2006: 129). Demikianlah, singkat cerita sungguh tidak mudah bagi istri dan keluarga tadi untuk menghilangkan duka akibat merasa tidak diberi kesempatan untuk saling memaafkan, mendoakan dan membalas kebaikan budinya sebelum berpisah untuk selamanya. Di sisi lain mungkin saja keluarga merasa lega karena sang ayah atau suami meninggal dengan mulus tanpa didahului penderitaan. Tetapi, ibarat seseorang mau bepergian, lebih enak kenangannya kalau anggota keluarga diajak untuk ikut membuat persiapan dan kemudian melepaskan. Bukankah peristiwa kematian tak ubahnya seperti orang mau bepergian? Beberapa teman dekat dari almarhum
bercerita kepada Hidayat, kondisi istri yang ditinggalkan sungguh sangat mengundang iba. Sangat berat untuk mengembalikan kondisi jiwanya agar merelakan suaminya yang telah meninggal karena yang tergores adalah sebuah luka dan penyesalan, mengapa tidak diberi kesempatan untuk saling maaf memaafkan dan mengurusnya ketika sakit menjelang wafatnya (Hidayat, 2006: 129). Di saat seseorang sakit dan sudah memiliki insting akan datangnya kematian, Rasulullah mengajarkan agar dia senantiasa berprasangka baik pada Tuhan. Apa pun yang terjadi, termasuk sakit yang dideritanya, hendaknya disikapi sebagai anugerah Tuhan agar seseorang semakin khusyuk dan benar-benar pasrah pada-Nya. Sakit menjelang kematian adalah
tali penghubung
seseorang
dengan
Tuhan-Nya
jika
yang
bersangkutan senantiasa pasrah, berdoa, mohon ampun, dan selalu bersangka baik pada-Nya. Rasulullah bersabda, jika seseorang sakit menjelang kematian lalu dia mensikapinya dengan penuh kepasrahan dan kesabaran, maka dosa-dosanya akan berguguran bagaikan seseorang yang mandi sehingga kotoran yang melekat pada badan akan lepas. Doa yang diajarkan pada kita adalah: Ya Allah, ringankanlah dan mudahkanlah urusan kami di saat sakaratul maut, dan tolonglah kami untuk bisa mengakhiri hidup dengan husnul-khatimah (akhir yang bagus) (Hidayat, 2006: 130). Oleh karena itu, ajaran Islam melarang praktik mercy killing, yaitu mengakhiri hidup dengan bunuh diri melalui obat akibat tidak tahan menanggung penyakit yang menimpanya. Percaya atau tidak, beberapa
orang yang pernah mengalami Near Death Experience atau mati suri bercerita bahwa ruhnya sangat menderita di alam kubur. Alam kubur menolak kehadirannya karena dianggap pendatang illegal, sementara pulang kembali ke bumi tidak bisa karena telah dinyatakan mati, pintunya telah tertutup (Hidayat, 2006: 131). Menurut Hidayat dalam psikologi dikenal istilah insting kematian (death instinct). Yaitu seseorang memiliki firasat akan datangnya kematian dalam waktu dekat. Fenomena ini sering kali dijumpai dalam masyarakat. Namun firasat ini biasanya baru disadari setelah kematian tiba. Banyak ragam cerita dan kesaksian seputar firasat kematian ini yang bisa dihimpun. Misalnya, belum lama ini menurut Hidayat dirinya mempunyai keponakan, Muhtadin namanya, meninggal mendadak karena terkena sengatan listrik waktu kerja bakti desa memotong bambu yang mengganggu kabel listrik. Kematian yang begitu mendadak tentu saja membuat semua keluarga kaget dan sangat berat menerima kenyataan itu (Hidayat, 2006: 132). Belief it or not, percaya gak percaya, seminggu sebelum kejadian itu perilaku dan ucapan Muhtadin sudah menunjukkan keanehan. Dia sudah menyerahkan semua pekerjaan di kantornya, layaknya orang yang serah terima jabatan. Juga kepada istrinya sudah berpesan andaikan anaknya menjadi yatim, agar diasuh dengan baik-baik. Kepada keluarga dia mengatakan dalam waktu dekat ini ingin pergi berjihad dan silaturahim dengan sesama saudara dan teman-teman dekatnya. Ternyata tak lebih dari sepuluh hari kemudian, Muhtadin menemui ajalnya dengan perantaraan
tersengat listrik ketika kerja bakti desa. Apa yang dia kemukakan sebelumnya ternyata jadi kenyataan. Keluarga kaget dan teringat akan firasat yang sudah diceritakan sebelum meninggal (Hidayat, 2006: 133). Ketika Hidayat bertanya pada ayah-ibunya, perlukah saya urus ke PLN untuk ikut bertanggung jawab karena lengah tidak mematikan salah satu aliran listriknya, keduanya menjawab: kematian itu sudah merupakan ketentuan Allah. Terkena listrik itu hanya sekadar penyebab lahiriahnya saja. Setiap orang mesti rida menerima takdir llahi, tak perlu menuntut siapa pun agar almarhum tenang di akhirat. manusia mesti bersyukur, yang dicabut hanya nyawanya, tetapi bukan imannya (Hidayat, 2006: 133). Cerita semacam itu menurut Hidayat banyak beredar dalam masyarakat. Ada orang yang sebelum meninggal telah mempersiapkan segala keperluannya, bagaikan seseorang mau bepergian jauh ataupun mau memiliki hajat besar. Utang-utangnya dilunasi, bersilaturahim minta maaf pada teman-teman lamanya, membersihkan rumah dan halamannya karena, katanya, akan ada tamu berdatangan. Ada lagi yang firasatnya berupa mimpi berjumpa saudara-saudaranya yang telah meninggal (Hidayat, 2006: 133). .Demikianlah, cerita nyata ini bisa diperpanjang karena masyarakat banyak menyaksikan dan merekam seputar insting kematian dengan segala ragam peristiwa yang aneh, dan semua itu baru disadari setelah seseorang meninggal. Pertanyaan yang sering muncul, bagaimana manusia memahami fenomena ini? Mengapa seseorang sering berperilaku aneh sebelum
meninggal? Adakah itu tanda-tanda husnul-khatimah (akhir yang baik) sebagai isyarat kebahagiaan akhirat telah menanti? (Hidayat, 2006: 134).. Dalam
sebuah riwayat
disebutkan,
orang
yang
saleh dan
memperoleh husnul-khatimah adalah mereka yang hati dan bibirnya selalu berzikir mengingat Allah ketika sakaratul maut sampai datangnya malaikat Izrail menjemput ruhnya. Tanda-tanda lain adalah wajahnya tampak tenang, bagaikan seseorang tertidur, tidak menunjukkan rasa takut dan tertekan. Bahkan sisa senyumnya terlihat di wajahnya, tanda saling sapa antara dirinya dengan Izrail yang datang menjemput, bagaikan calon pengantin wanita yang dijemput untuk dinikahkan dengan calon suaminya yang sudah lama dirindukan (Hidayat, 2006: 134). Cerita
lain
yang
menarik
direnungkan,
seringkali terdapat
keterkaitan tempat dan penyebab kematian seseorang dengan doa yang selalu dipanjatkan pada Allah di kala sehat dan jauh sebelum kematian tiba. Misalnya, salah seorang dosen, Hafidz Dasuki, jauh-jauh sebelum ajal tiba, kata istrinya, ingin sekali kalau meninggal disalatkan oleh para santri yang banyak. Rupanya doanya terkabul, almarhum meninggal di Pesantren Gontor Ponorogo yang sangat dicintai dan dibanggakan (Hidayat, 2006: 134). Menurut Hidayat membahas soal ruh dan peristiwa kematian memang banyak menyisakan misteri yang sulit diterangkan secara ilmiah. Al-Quran memperingatkan, hakikat ruh itu urusan Allah, manusia hanya mampu menangkap efek kehadirannya, tetapi bukan hakikatnya. Karena ruh
tidak mati, dan ruh bukan benda materi, maka sangat mungkin ruh manusia mampu berkomunikasi dengan makhluk yang serupa, yaitu malaikat. Hanya saja kepekaan dan kemampuan berkomunikasi dengan malaikat ini tidak dimiliki atau tidak terjadi pada semua orang, Namun sekedar bahan analisis bisa memperhatikan fenomena anak kecil ataupun hewan yang belum atau tidak dibebani oleh endapan emosi dan pikiran negatif, mereka mampu melihat dan berkomunikasi dengan dunia lain, yang orang tua sulit memahami (Hidayat, 2006: 135). Coba saja amati perilaku hewan yang sering bermain di kuburan, ada kalanya hewan itu lari ketakutan dan berteriak dengan bahasa mereka. Di duga kuat hewan itu melihat dunia ruh yang menakutkan mereka. Sebagian pekerja penggali kubur biasanya juga telah memiliki rekaman pengalaman dan firasat kalau akan kedatangan calon mayat. Mereka memiliki tanda yang beraneka ragam. Ada yang mendengar suara keranda memanggil-manggil, ada burung-burung yang ramai berkicau di sekitar kuburan, dan sekian tanda lain yang familiar dengan mereka. Tentu saja semua firasat dan insting tadi tidak bisa dijadikan formula pasti, tetapi sekadar dugaan (Hidayat, 2006: 135). Pada anak kecil ketajaman dan kemampuan jiwanya untuk berkomunikasi dengan dunia gaib juga sering dijumpai. Misalnya, bayi yang sering tersenyum dan tertawa gembira, seakan sedang bermain-main dengan teman-temannya, padahal orangtua tidak melihat ada orang lain. Bahkan ada anak yang asyik sendiri main di halaman rumah. Ketika ditanya oleh
orangtuanya, katanya sedang bermain dengan teman-temannya yang sangat baik. Cerita semacam ini juga sering ditemui dalam masyarakat. Orangtua mengatakan, mereka sedang bermain dengan para malaikat (Hidayat, 2006: 136). Kepekaan ruhani untuk berkomunikasi dengan malaikat semakin tumpul ketika seseorang telah menginjak dewasa. Tetapi ada pribadi-pribadi tertentu yang dianugerahi kemampuan berkomunikasi dengan penghuni alam ruhani. Cerita yang paling sahih adalah ketika Rasulullah melakukan isra dan mi'raj. Lalu ada pula orang-orang yang pernah mengalami Near Death Experience atau mati suri yang kemudian bercerita melihat alam kubur dan berjumpa dengan para arwah yang telah lebih dahulu meninggalkan dunia. Dalam ajaran Islam kematian itu selalu diingatkan setiap saat, terutama menjelang tidur. Jika hati senantiasa ingat Allah dan ingat kematian sebagai jalan kedekatan pada-Nya, maka apa pun yang dilakukan dan di mana pun berada, di setiap saat dan tempat sesungguhnya manusia tengah menapaki batu bata menuju kematian. Bagaimana penyebab kematian akan dipengaruhi doa dan pilihan jalur yang ditempuh manusia. Maka berdoalah dan pesanlah pada Tuhan, jalan apa dan di mana untuk bertemu Izrail, pasti Allah mendengarkan permohonan setiap hamba-Nya (Hidayat, 2006: 136). Menurut Hidayat yang sesungguhnya bermanfaat untuk direnungkan dan diambil hikmahnya adalah berbagai isyarat yang terjadi ketika seseorang menunaikan ibadah haji atau umrah. Begitu banyak peristiwa-
peristiwa unik yang merupakan isyarat Allah, namun sering kali kita tidak memahaminya. Misalnya saja, seorang teman yang kebetulan sedang menjabat sebagai direktur sebuah bank pergi haji. Di sana, berulang kali ke mana pun pergi selalu saja menginjak kotoran manusia. Anehnya lagi, ketika membuka kopornya di kamar hotel ditemukan bau kotoran manusia. Demikianlah, setelah pulang ke tanah air, tak lama kemudian yang bersangkutan masuk tahanan karena terbukti korupsi. Dia tersadar, rupanya sewaktu haji kotoran manusia itu isyarat dari Allah bahwa harta yang dihimpun selama ini tidak halal, tetapi dia tidak segera bertobat menyelesaikan semua urusannya sehingga ujungnya masuk tahanan (Hidayat, 2006: 137). Sekali lagi menurut Hidayat, sangat banyak berbagai isyarat kehidupan yang nalar kita sering kali menganggap remeh, namun manusia baru tersadar dan menyesal ketika semua telah berlalu dan kita tidak mengambil hikmah yang terkandung (Hidayat, 2006: 137).
BAB IV ANALISIS KONSEP KOMARUDDIN HIDAYAT TENTANG MENGUBAH RASA TAKUT TERHADAP KEMATIAN DITINJAU DARI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
4.1. Pandangan Komaruddin Hidayat tentang Rasa Takut terhadap Kematian Adanya peristiwa kematian pada sebagian orang dianggap sebagai peristiwa yang menakutkan karena peristiwa tersebut belum pernah dialaminya. Manusia masih bertanya-tanya, adakah kehidupan selanjutnya lebih nyaman dibandingkan dengan saat di dunia ini. Pertanyaan ini yang kerap memicu rasa cemas dan mencekam ketika terbayang dengan kematian. Rasa
cemas
dan
ketakutan
ini
dapat
dijadikan
masukan
dalam
mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika rasa takut terhadap kematian. Menurut Hidayat, membahas soal kematian bisa menimbulkan sebuah pemberontakan yang menyimpan kepedihan pada setiap jiwa manusia. Yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan punahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran ini lalu memunculkan sebuah protes berupa penolakan bahwa masing-masing kita tidak mau mati. Setiap orang berusaha menghindari semua jalan yang mendekatkan ke pintu kematian.
Jiwa
kita
selalu
mendambakan
dan
Pengantar
Wacana
membayangkan keabadian. Pemberontakan dan penolakan akan kematian ini
telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, sebut saja mazhab religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah mad itu ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi, seseorang yang religius menjadikan kehidupan akhirat sebagai objek dan target paling tinggi. Kehidupan dunia selayaknya dinikmati, tetapi bukan tujuan akhir dari kehidupan. Apa pun yang dilakukan di dunia dimaksudkan sebagai investasi kejayaan di akhirat (Hidayat, 2006: xvi). Kedua, mazhab sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin akan adanya kehidupan setelah mati. Namun secara psikologis keduanya memiliki kesamaan, yaitu spirit heroisme yang mendambakan keabadian hidup agar dirinya selalu dikenang sepanjang masa. Untuk memenuhi keinginan ini, setiap orang ingin menyumbangkan suatu yang besar dalam hidupnya, minimal untuk keluarganya. Syukur-syukur pada bangsa dan dunia. Maka setiap orang berusaha untuk meninggalkan warisan seperti halnya potret diri, karya tulis, kuburan, dan ada yang membuat patung besar. Ini semua secara psikologis menceritakan satu hal: bahwa setiap orang sesungguhnya menolak kematian. Setiap orang ingin hidup abadi. Setiap orang ingin dikenang sebagai pahlawan agar jiwanya tetap hidup. Dalam pandangan mazhab religius, dorongan untuk hidup abadi ini jika tidak disalurkan ke jalan yang benar, maka yang akan menguat adalah sikap egoisme-nihilisme. Yang selalu dikejar adalah bagaimana memperoleh self-glory yang berujung pada pesimisme dan tragedi. Disebut pesimisme dan tragedi karena apa pun yang dikejar-kejar selama hidupnya akhirnya akan
berakhir dengan kefanaan. Apa pun yang dibanggakan, sejak dari wajah tampan, ilmu pengetahuan, harta, kedudukan, dan popularitas semuanya akan lenyap dan berpisah selamanya ketika dipisahkan oleh maut. Oleh karena itu, dorongan dan ambisi bawah sadar untuk menyangkal kematian bisa melahirkan dua orientasi hidup yang berbeda. Bagi orang yang beriman, keabadian hidup akan selalu dikaitkan dengan janji Tuhan akan balasan di akhirat sehingga mendorong untuk selalu berbuat baik dan menjalani hidup dengan optimis. Sebaliknya menurut Hidayat, bagi yang mengingkari kehidupan akhirat kenikmatan duniawi merupakan target puncak. Namun begitu, secara garis besar, kelompok ini masih bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, meskipun tidak peduli dengan kehidupan akhirat mereka masih berusaha meninggalkan nama baik agar dikenang sejarah. Banyak dermawan yang membangun gedung-gedung untuk kepentingan sosial agar namanya tidak pernah mati. Kedua, ada yang kemudian menjadi pemuja kehidupan hedonistis mumpung masih hidup tanpa peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah (Hidayat, 2006: xvii). Apabila
memperhatikan pendapat
Komaruddin Hidayat,
maka
tampaknya konsep yang dikemukakannya dapat membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian, tetapi juga berbicara tentang sedikit rahasianya, dan yang lebih penting lagi menuntut umat manusia menjemput maut dengan hati yang tenang.
Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi siksa Allah. Sebagian dari penyebab takut di atas tidak memiliki dasar. Maut, pada hakikatnya serupa dengan tidur, ia nyaman, kecuali jika ada faktor lain yang menyebabkan tidak nyaman. Arah yang dituju pun jelas. Kita kembali kepada Allah, yang rahmat-Nya melimpah bahkan mengalahkan amarah-Nya. Kematian tidak mengakibatkan kepunahan. Kematian hanya mengakibatkan tidak berfungsinya organ-organ tubuh, tidak ubahnya seperti seorang tukang yang tidak menggunakan alat-alat profesinya. Takut mati karena kuatir menyangkut nasib keluarga, juga tidak perlu terlalu dirisaukan. Sekian banyak anak yatim, setelah ditinggal ayah bundanya, yang hidup sejahtera. Takut yang berkaitan dengan ini adalah takut yang berada dalam wilayah "mungkin". Yang merisaukan, dan yang wajar ditakuti adalah takut pada siksa Allah setelah kematian, ketakutan yang terjadi menjelang kematian, karena ketika itu sangat dikhawatirkan jangan sampai segala upaya untuk menyingkirkan bahaya itu, tidak lagi dapat dilakukan, bukan karena pintu taubat telah tertutup, tetapi belenggu kebiasaan durhaka telah menyita seluruh
kesadaran untuk bertaubat. Itulah takut yang pada tempatnya. Semoga kita terlindungi oleh-Nya. Ada seorang sahabat Nabi yang sebelum masuk Islam ia hidup serba berkecukupan. Setelah masuk Islam, dagangnya mengalami kerugian terusmenerus. Maka yang disalahkan adalah Islamnya. Lalu datanglah ia kepada Rasulullah Saw, "Ya Rasulullah, sudah hilang hartaku, sakit pula tubuhku." Nabi menjawab, "Ti'dak ada baiknya seorang manusia yang tak pernah sakit dan tak pernah hilang hartanya. Karena kalau Allah mencintai seorang hamba, maka
diberi-Nya
ujian
dan
kesabaran
menghadapinya."
Kesabaran
menghadapi musibah itulah at-tamhish. Musibahnya datang dari Allah. Selain taubat, yang datang dari kita dan dapat membersihkan dosa, adalah perbuatan baik seperti bersedekah, mendatangkan kebahagiaan pada orang lain, berkhidmat memenuhi keperluan manusia, melakukan berbagai ibadah seperti haji, puasa, dan zikir. Namun tidak semua dosa bisa dihapuskan dengan ibadah-ibadah di atas. Malah yang paling malang, banyak ibadah terhapus karena dosa-dosa yang dilakukan. Dosa-dosa yang menghapuskan ibadah adalah dosa-dosa sosial. Misalnya, zikir itu bisa menghapus dosa, tetapi riya akan membatalkan seluruh amal zikir itu. Menggerutu dan memaki-maki dapat menghapuskan pahala sedekah (AI-Baqarah [2]: 264); berkata kotor, menyakiti hati, dan berdusta menghapuskan ibadah haji (AI-Baqarah [2]: 197); mengeraskan suara di depan Rasulullah Saw (atau ketika sabdanya disampaikan) menghapus seluruh amal kita (AI-Hujurat [49]: 2). "Kedengkian menghapuskan amal
seperti api menghabiskan kayu bakar". Menyakiti tetangga dengan lidah menghapuskan pahala puasa dan shalat malam menurut beberapa hadis yang kita kenal. Ada orang yang ketika maut menjemputnya, masih banyak dosa-dosa yang belum terhapus, baik oleh taubat maupun musibah. Umumnya orang yang ahli maksiat itu sehat-sehat. Mereka tidak mendapat musibah. Dagangnya untung terus. Kalau berbuat salah, pengadilan pun tak sanggup menuntutnya.
Musibah-musibah
jarang
menimpanya.
Sakit
yang
menghapuskan dosa, juga tak dialaminya. Haji pun jarang dilakukannya dan seterusnya. Maka saat kembali, di pintu kerajaan Tuhan itu, seperti anak kecil tadi, masih penuh kotoran dan debu. Pendeknya mereka membutuhkan proses penyucian lagi. Maka kematian itu termasuk juga proses penyucian. Imam AIHadi mengibaratkan kematian dengan kamar mandi. Saat menghadapi orang yang takut kematian, ia berkata, "Apakah kamu enggan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di tubuhmu?"
4.2. Kematian Harus Disikapi Secara Ideal Menurut Komaruddin Hidayat Konsep Komaruddin Hidayat telah meruntuhkan bayang-bayang kematian yang amat menakutkan itu. Ternyata, seperti dijelaskan Komaruddin Hidayat ini, kematian adalah sesuatu yang indah. Menyelami lautan hakikatnya hidup manusia semakin optimis. Konsep Komaruddin Hidayat ini sejalan dengan keterangan para pakar, di antaranya:
Menurut Syarif, 2002: 215-216) seandainya pikiran tentang kematian dan kehidupan tidak menciptakan problem perilaku, psikologis, dan filosofis apa pun pada seluruh makhluk hidup yang telah dikendalikan Allah, maka kehidupan dan kematian memiliki sejumlah makna yang beragam bagi manusia yang berakal, karena ia diberikan kebebasan untuk memilih; tidak sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Naluri manusia untuk mencintai kehidupan dan kekekalan serta pemeliharaanya tidak jarang memunculkan penyakit takut mati pada manusia yang berakal. Penyakit ini merupakan penyakit yang paling utama dan paling sulit baginya. Berbagai aliran filsafat, psikologi, atau materialisme yang mencoba menjelaskan makna kehidupan dan mengusahakan obat yang menyembuhkan bagi penyakit takut mati dan semisalnya telah gagal dalam menemukan penyelesaian yang memuaskan. Hanya Islam yang mampu memberikan penyelesaian yang logis dan menyembuhkan bagi penyakit itu melalui undang-undangnya, yaitu Al-Qur'an dan Hadis Nabi yang mulia. Menurut Musa Asy'arie (2002: 240) dorongan munculnya kehidupan asketik, didasarkan pada penghayatan atas adanya realitas kematian, ketidakpastian kehidupan dan adanya pertanggungjawaban kehidupan sesudah kematian di dunia ini. Pengalaman kehidupan seseorang selalu mengalami pasang surut kegagalan dan kesuksesan silih berganti, banyak kejadian yang dialami, bahkan dijalaninya dalam kehidupan ini, tanpa pernah ia merencanakannya terlebih dahulu, sementara apa yang sudah dirancang dan dicita-citakannya sejak kecil, bahkan tidak tercapai, gagal total.
Dalam kaitan ini, pengalaman iman mengajarkan tentang adanya realitas perkasa yang penuh dengan kegaiban, yang sesungguhnya sangat menentukan dalam kehidupan manusia. Hari-hari silih berganti tanpa dapat diprediksi secara pasti, dan melalui kepasrahan total yang penuh dengan landasan ketulusan hati, seringkali justru menghadirkan kekuatan dahsyat, seakan-akan orang itu menyerap kekuatan perkasa yang penuh kegaiban, sehingga oleh kesadaran imannya, membuat hidupnya tak pernah putus asa, selalu berusaha, dan pada ujung-ujungnya ia kembali lagi kepada kepasrahan total. Suatu ritme kehidupan yang penuh kesederhanaan yang cerdas. Memang nampak sikap asketik tersebut, seperti berlawanan dengan rasio, tetapi sesungguhnya sikap hidup asketik itu lahir dari penglihatan batin yang sangat tajam, bersih dan bercahaya, sehingga semakin jelas cahaya hakikat kehidupan itu terlihat, maka akan menjadi semakin tidak menariknya kepentingan-kepentingan duniawi itu, apalagi, oleh dorongan-dorongan darah daging tubuh yang sebentar saja akan hancur. Akhirnya hanya iman yang bisa mengatasi berbagai kemelut dan kompleksitasnya kehidupan ini, karena ilmu dan teknologi yang canggih sekalipun tidak berdaya menghadapi kepentingan-kepentingan duniawi, apalagi oleh kuatnya dorongan-dorongan daging darah tubuhnya. Bahkan bukan hanya tidak berdaya saja, tetapi ilmu dan teknologi jatuh di bawah kekuasaan kepentingan-kepentingan duniawi. Kegelisahan, keragu-raguan, kecurigaan hanya akan hilang oleh iman. Iman sesungguhnya mengandung elemen kecerdasan yang menghantarkan kemampuan intelek manusia
memasuki wacana gaib, menyatu dalam spiritualitas Ilahi yang Maha Indah, menakjubkan dan menawarkan kerinduan yang dalam, untuk bertemu kembali dengan cahaya Ilahi. Sesungguhnya perjalanan hidup asketik adalah perjalanan hijrah, yaitu hijrah mental, dari sikap mental yang cenderung kepada wacana keduniaan berpindah ke wacana keakhiratan, yang dijalaninya secara bersungguhsungguh, karena merupakan jalan lurus menuju kepada Allah yang sesungguhnya. Al-Qur'an surat al-Anfal/8:74 mengatakan:
(
:
)
Artinya: Dan orang-orang yang beriman, yang berhijrah, yang bersungguh-sungguh pada jalan Allah, orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan, merelai itulah orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (QS. alAnfal/8:74) (Depaq RI, 1986: 265). Iman yang cerdas dapat mengambil makna simbolik yang ditampilkan oleh realitas gaib yang seringkali sangat membingungkan orang-orang yang gelisah hatinya karena redupnya pancaran cahaya kecerdasan iman. Iman yang cerdas dapat mengenali secara langsung dengan melompati analisis rasional terhadap makna-makna simbolik dibalik suatu realitas multi dimensi yang kelihatannya saling bertentangan. Al-Qur'an surat Ali Imran/3:7 mengatakan:
( :
)
Artinya: Dialah yang menurunkan-'Kitab kepadamu, di antaranya ada ayat-ayat yang terang maknanya, itulah induk Kitab, dan yang lain tidak terang maknanya. Maka orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang tidak terang maknanya untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman dengannya, semuanya itu dari sisi Tuhan kami, dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang mempunyai kecerdasan hati (QS. Ali Imran: 7) (Depaq RI, 1986: 75).
Jika pada saat kelahirannya, seseorang secara individual tidak berdaya dan tidak dapat menentukan apa saja yang berkaitan dengan kelahirannya, maka demikian pula yang terjadi dengan kematian yang sudah pasti terjadi itu, seseorang secara individual tidak tahu di bumi mana akan mengalami kematian, dan dengan cara bagaimana, ketika waktunya sudah tiba/ di manapun kematian akan menjemputnya. Al-Qur'an QS. Luqman/31:34 mengatakan:
(
:
)
Artinya: Sesungguhnya Allah di sisi-Nya ilmu kiamat, dan Dia menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tidak ada seorang pun mengetahui apa yang dikerjakan besok dan tidak ada seorangpun mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti (QS. Luqman: 34) (Depaq RI, 1986: 658).
. Dalam konsep filsafat Islam, rahasia kematian dan kehidupan ada di tangan Tuhan, bukan di tangan manusia, manusia tidak lebih sekadar menerima kenyataan keduanya tanpa persetujuannya terlebih dahulu, suka atau tidak suka, terpaksa atau tidak terpaksa, menghidupkan dan mematikan adalah bagian dari kehendak-Nya dan bagi manusia itu sebagai ujian untuk berkarya lebih baik. Al-Qur'an QS. Mulk/67:1-2 mengatakan:
{ } ( - :
)
Artinya: Maha suci yang di tangan-Nya semua kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan kematian dan kehidupan, untuk menguji kamu siapa yang lebih baik amal perbuatannya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Mulk: 1-2) (Depaq RI, 1986: 955). Sesungguhnya kehidupan dan kematian adalah pasangan-pasangan tunggal yang tidak bisa saling meniadakan, seperti pasangan siang dan malam/ penderitaan dan kebahagiaan, kebenaran dan kesalahan, kesuksesan dan kegagalan, dan bagi iman yang cerdas, dapat memahaminya sebagai penampakan tanda-tanda kebesaran Ilahi yang harus disyukuri. Syukur diwujudkan tidak dengan cara bersukaria menghadapi kesuksesan dan kebahagiaan atau sebaliknya bersedih hati menghadapi kegagalan dan penderitaan, tetapi pada upaya melakukan peningkatan kualitas batinnya untuk menghadapi sesuatu yang akan datang yang mungkin lebih besar lagi. AlQur'an QS. an-Naml/27:40 mengatakan:
(
:
)
Artinya: Berkata seorang yang baginya ilmu kitab; Aku akan mendatangkan kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihatnya berada di hadapannya, dia berkata : Ini adalah karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau ingkar, dan siapa yang bersyukur maka untuk dirinya, dan siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya dan Maha Mulia (QS. an-Naml/27:40) (Depaq RI, 1986: 595). Oleh karena itu, bagi iman yang cerdas, datangnya kematian tak pernah lagi merisaukannya, karena melalui kematian ia akan naik kelas yang lebih tinggi lagi, untuk memperoleh kehidupan lain yang lebih baik lagi, kematian adalah terminal-terminal panjang menuju Tuhan, dan ia sudah belajar menghadapinya berkali-kali dalam kehidupan kesehariannya di dunia, melalui fenomena kematian-kematian kecil yang mulai meggerogoti satuansatuan anggota, tubuhnya, sejak mulai rontoknya rambut tanggalnya gigi, kurangnya penglihatan dan pendengaran, yang dapat menumbuhkan wawasan tajam batinnya untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik lagi. Sehingga orang yang wawasan batinnya mengalami kebutaan, maka sesungguhnya ia hidup dalam kematian, hidup dalam kegelapan. Dalam kehidupan di dunia, ternyata banyak orang memikirkan tentang kehidupan dan amat sedikit untuk memikirkan kematian. Mungkin karena membicarakan mati, selalu tidak mengenakkan perasaan, bagaimana harus
berpisah dan meninggalkan apa yang dicintainya, anak, istri dan kekayaan yang dicintainya, apalagi kalau hidupnya enak, rasanya ia ingin hidup abadi. Akan tetapi bagi orang yang hidupnya amat susah, seringkali terjerumus dalam rasa putus asa, sehingga mati dianggapnya sebagai jalan terakhir untuk melepaskan dan mengakhiri suatu penderitaan. Padahal kematian bukan akhir dari segala-galanya, karena di balik kematian manusia akan dihidupkan kembali untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya ketika ia hidup di dunia, sebagai pengadilan yang dijamin keadilannya oleh Tuhan sendiri, karena semua anggota tubuhnya akan menjadi saksinya. Kekhawatiran atau rasa takut, hadir bagi siapa yang menduga atau menantikan datangnya sesuatu yang buruk. Ini berarti takut menyangkut sesuatu yang bakal datang. la boleh jadi sangat besar dan berbahaya, dan boleh jadi kecil dan remeh. Bisa jadi juga hal tersebut merupakan keniscayaan, dan bisa juga ia berpotensi untuk terjadi dan tidak terjadi, dalam arti ia berada dalam wilayah "mungkin". Di sisi lain, penyebab terjadinya sesuatu yang ditakuti, boleh jadi diri yang bersangkutan sendiri, boleh jadi juga pihak lain. Semua hal yang ditakuti, yang sifatnya berpotensi "mungkin", hendaknya tidak dipastikan terjadinya, sekaligus tidak perlu terlalu ditakuti. Rasa takut hendaknya disesuaikan dengan kemungkinan serta kadar ancamannya. Optimisme hendaknya selalu menghiasi jiwa manusia. Ini semua jika penyebab yang ditakuti dari luar diri yang bersangkutan. Adapun bila yang Anda takuti bersumber dari diri Anda sendiri, maka hendaknya sejak dini penyebabnya dihindari. Selanjutnya, baik rasa takut yang bersumber dari diri
Anda maupun di luar Anda, maka Anda berkewajiban untuk berusaha sekuat tenaga agar yang ditakuti itu tidak terjadi, dengan mengetahui tata cara menghindarinya. Ada cara untuk menghindari jatuhnya apa yang ditakuti dari Allah, yaitu dengan bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya, dan ada juga cara menghindari bila sumber yang ditakuti dari manusia. Ketuaan, kelemahan dan kematian adalah keniscayaan. Anda tidak perlu menakutinya. Kelemahan dan ketuaan merupakan konsekuensi dari keinginan kita untuk bertahan lama di pentas bumi ini.
4.3.Upaya yang Harus Dilakukan untuk Menyikapi Rasa Takut dari Kematian Menurut Komaruddin Hidayat Ditinjau dari Bimbingan dan Konseling Islam Bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 5). Menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Berdasarkan pengertian tersebut, bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan salah satu upaya untuk menyikapi rasa takut dari kematian. Takut menghadapi kematian, hanya lahir dari siapa yang tidak mengetahui hakikat maut, atau tidak mengetahui ke mana ia akan pergi, atau yang menduga bahwa ia akan punah dengan kematian, atau ia menduga bahwa kematian mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang dikenal atau didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang bersangkutan sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi siksa Allah (Shihab, 2002: 43). Berdasarkan penjelasan tersebut, bimbingan dan konseling Islam bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar (1992: 5) konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat ditegaskan, konsep Komaruddin Hidayat bermaksud agar manusia tidak merasa takut secara berlebihan dalam menghadapi kematian. Apabila ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam bahwa bimbingan dan konseling Islam dapat memberi bantuan kepada individu berupa nasihat agar individu yang bersangkutan menerima suatu kenyataan bahwa kematian merupakan peristiwa yang pasti terjadi dan manusia tak kuasa menolaknya. Bimbingan dan konseling Islam
dapat menjelaskan pada individu bahwa agar tidak ada rasa takut menghadapi kematian maka individu harus beribadah sebagai bekal di akhirat. Selain itu harus sering bertobat, beramal kebaikan dan menghindari setiap maksiat. Bantuan ini dapat menenangkan individu dan keyakinan bahwa kematian tidak harus ditakuti. Bimbingan dan konseling Islam dapat dijadikan salah satu upaya untuk mengubah rasa takut terhadap kematian. Rasa takut dari kematian tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan manusia dalam menghayati makna hidup, peran dan fungsi hidup di dunia. Dari sini tampak rasa takut terhadap kematian adalah sebagai akibat pelanggaran manusia terhadap petunjuk Allah Swt. Berdasarkan penjelasan tersebut, bimbingan dan konseling
Islam
bermaksud agar manusia memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat, hal ini sebagaimana dikemukakan Musnamar (1992: 5) bimbingan dan konseling Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Melihat pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya peristiwa rasa ketakutan manusia terhadap kematian dapat dijadikan masukan dalam mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika kematian yang harus dihadapi dan dialami.
Bimbingan dan konseling Islam dapat mengupayakan agar seseorang tidak takut menghadapi kematian, karena itu upaya mengubah rasa takut terhadap kematian adalah sesuai dengan tujuan dan fungsi bimbingan Islam, yaitu Secara garis besar atau secara umum tujuan bimbingan Islam itu dapat dirumuskan sebagai membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bimbingan sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Individu yang dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling, baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras
perkembangan
unsur
dirinya
dan
pelaksanaan
fungsi
atau
kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya. Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia bisa seperti yang tidak dikehendaki. Dengan kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan masalah atau problem, yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat.
Karena itu, tujuan akhir bimbingan dan konseling Islam adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bimbingan berusaha membantu jangan sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan. Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik bimbingan.(Musnamar, 1992: 3334) Dengan memperhatikan tujuan umum dan khusus bimbingan Islam tersebut, dapatlah dirumuskan fungsi (kelompok tugas atau kegiatan sejenis) dari bimbingan itu sebagai berikut: 1. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. 2. Fungsi kuratif atau korektif; yakni membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya. 3. Fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good).
4. Fungsi developmental atau pengembangan; yakni membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya (Rahim, 2001: 37-41). Untuk mencapai tujuan seperti disebutkan di muka, dan sejalan dengan fungsi-fungsi bimbingan Islam tersebut, maka bimbingan Islam melakukan kegiatan yang dalam garis besarnya dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Membantu individu mengetahui, mengenal dan memahami keadaan dirinya sesuai dengan hakekatnya, atau memahami kembali keadaan dirinya, sebab dalam keadaan tertentu dapat terjadi individu tidak mengenal atau tidak menyadari keadaan dirinya yang sebenarnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa bimbingan Islam mengingatkan kembali individu akan fitrahnya.
( :
)
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. Ar Rum, 30: 30). Fitrah Allah dimaksudkan bahwa manusia itu membawa fitrah ketauhidan, yakni mengetahui Allah SWT Yang Maha Esa, mengakui
dirinya sebagai ciptaan-Nya, yang harus tunduk dan patuh pada ketentuan dan petunjuk-Nya. Manusia ciptaan Allah yang dibekali berbagai hal dan kemampuan, termasuk naluri beragama tauhid (agama Islam). Mengenal fitrah berarti sekaligus memahami dirinya yang memiliki berbagai potensi dan kelemahan, memahami dirinya sebagai makhluk Tuhan atau makhluk religius, makhluk individu, makhluk sosial dan juga makhluk pengelola alam semesta atau makhluk berbudaya. Dengan mengenal dirinya sendiri atau mengenal fitrahnya itu individu akan lebih mudah mencegah timbulnya masalah, memecahkan masalah, dan menjaga berbagai kemungkinan timbulnya kembali masalah (Musnamar, 1992: 35). 2. Membantu individu menerima keadaan dirinya sebagaimana adanya, segi-segi baik dan buruknya, kekuatan serta kelemahannya, sebagai sesuatu yang memang telah ditetapkan Allah (nasib atau taqdir), tetapi juga menyadari bahwa manusia diwajibkan untuk berikhtiar, kelemahan yang ada pada dirinya bukan untuk terus menerus disesali, dan kekuatan atau kelebihan bukan pula untuk membuatnya lupa diri (Rahim, 2001: 39). Dalam satu kalimat singkat dapatlah dikatakan sebagai membantu individu tawakal atau berserah diri kepada Allah. Dengan tawakal atau berserah diri kepada Allah berarti meyakini bahwa nasib baik buruk dirinya itu ada hikmahnya yang bisa jadi manusia tidak tahu.
...
(
:
)
Artinya: Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi juga kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Baqarah, 2 : 216).
(
:
)
Artinya: (Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al Baqarah, 2 : 112).
) (
:
Artinya: Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkanmu. Jika Allah membiarkanmu (tidak memberi pertolongan), siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah sajalah orang-orang mukmin bertawakkal. (Q.S. Ali lmran, 3 :160).
{ } ( -
:
)
Artinya: Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempattempat yang tinggi di dalam syurga yang mengalir sungaisungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah
sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal, yaitu yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya (Q..S. Al-Ankabut, 29: 58- 59). 3. Membantu individu memahami keadaan (situasi dan kondisi) yang dihadapi saat ini. Kerap kali masalah yang dihadapi individu tidak dipahami si individu itu sendiri, atau individu tidak merasakan atau tidak menyadari bahwa dirinya sedang menghadapi masalah, tertimpa masalah.
Bimbingan
merumuskan
masalah
dan
konseling
yang
Islam
dihadapinya
membantu dan
individu
membantunya
mendiagnosis masalah yang sedang dihadapinya itu. Masalah bisa timbul dari bermacam faktor. Bimbingan dan konseling Islam membantu individu melihat faktor-faktor penyebab timbulnya masalah tersebut.
{ } ( - :
)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu, dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan disisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S.At Tagabun, 64:14-15).
(
:
)
Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anakanak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Q.S. Ali Imran, 3 :14).
(
:
)
Artinya: Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan. (Q.S. Al-Fajr.89:20). Sumber masalah demikian banyaknya antara lain disebutkan dalam firman-firman Tuhan tersebut, yakni tidak selaras antara dunia dan akhirat, antara kebutuhan keduniaan dengan mental spiritual (ukhrawi). Dengan memahami keadaan yang dihadapi dan memahami sumber masalah, individu akan dapat lebih mudah mengatasi masalahnya (Rahim, 2001: 41). Dalam konteksnya dengan penerapan bimbingan Islam dalam upaya dakwah mengubah rasa takut terhadap kematian bahwa bimbingan Islam sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Berdasarkan hal itu maka bimbingan Islam mempunyai fungsi preventif, kuratif atau korektif, preservatif dan developmental. Fungsi preventif; yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara konselor memberi nasihat atau petunjuk kepada konseli tentang peristiwa kematian yang harus dihadapi dan tidak perlu takut. Bersamaan dengan itu
bimbingan Islam memiliki fungsi kuratif atau korektif; yakni membantu individu memecahkan masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya. Masalah yang dipecahkan yaitu bisa saja berupa penerangan tentang bagaimana agar aktivitas yang dilakukan konseli tidak menibimbulkan dosa, maksiat dan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Fungsi ini dapat membantu individu menyadari akan kekeliruannya selama ini sehingga individu bisa menginsyafi kesalahannya. Karena itu bimbingan Islam mempunyai fungsi preservatif; yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) menjadi baik (terpecahkan) dan kebaikan itu bertahan lama (in state of good). Bimbingan yang telah diberikan menunjukkan fungsi developmental atau
pengembangan;
yakni
membantu
individu
memelihara
dan
mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik, sehingga tidak memungkinkannya menjadi sebab munculnya masalah baginya. Hal ini berarti individu yang sudah menyadari arti pentingnya alam sesudah kematian akan mendorong untuk beramal saleh. Melihat pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa konsep Komaruddin Hidayat dapat dijadikan masukan dalam mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika yang sedang dihadapi dan dialami para konseli atau klien. Sehubungan dengan itu, menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan
pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW. Ralph Linton (1978: 78) dalam bukunya The Study of Man menyatakan bahwa "all man are born equal" (seluruh manusia dilahirkan dalam keadaan sama) bersamaan dengan itu, manusia pasti mengalami kematian. Sesuatu hal yang tidak bisa dihindari manusia adalah kematian. Berdasarkan hal itu maka Imam al-Ghazali (1969: 230) dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa kematian adalah sebuah proses pendahuluan dimana manusia harus mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya. Bagi yang amalnya baik tentu saja menjemput kematian merupakan sesuatu hal yang diterima secara ikhlas, namun bagi manusia yang selalu berbuat dosa tanpa melakukan tobat akan mengalami kesengsaraan yang sulit digambarkan dalam pandangan duniawi.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab satu sampai dengan bab empat sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 5.1.1. Pandangan Komaruddin Hidayat tentang rasa takut terhadap kematian dapat ditegaskan bahwa apabila memperhatikan pendapat Komaruddin Hidayat, maka tampaknya konsep yang dikemukakannya dapat membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian, tetapi juga berbicara tentang sedikit rahasianya, dan yang lebih penting lagi menuntut umat manusia menjemput maut dengan hati yang tenang. Konsep Komaruddin Hidayat telah meruntuhkan bayang-bayang kematian yang amat menakutkan itu. Ternyata, seperti dijelaskan Komaruddin Hidayat ini, kematian adalah sesuatu yang indah. Menyelami lautan hakikatnya hidup manusia semakin optimis. 5.1.2. Menurut Komaruddin Hidayat, kematian harus disikapi secara ideal. Menurutnya bagi mereka yang hati, pikiran, dan perilakunya selalu merasa terikat dan memperoleh bimbingan Tuhan, kematian sama sekali tidak menakutkan karena dengan berakhirnya episode kehidupan duniawi berarti seseorang setapak menjadi lebih dekat pada tuhan yang selalu dicintai dan dirindukan. Sikap optimis menilai bahwa perjalanan
manusia mencapai kesempurnaannya haruslah melalui pintu kematian. Unggas (seperti ayam) tidak dapat meraih kesempurnaannya kecuali dengan meninggalkan kulit telur yang menjadi tempatnya sebelum menetas. Hidup duniawi adalah "kulit telur" manusia. Kematian adalah tangga menuju keabadian, menuju hidup yang tanpa mati 5.1.3. Konsep Komaruddin Hidayat dapat dijadikan masukan dalam mengembangkan bimbingan dan konseling Islam oleh para konselor sehingga dapat menjadi solusi terhadap problematika yang sedang dihadapi dan dialami para konseli atau klien. Sehubungan dengan itu, menurut Adz-Dzaky (2002: 189) konseling dalam Islam adalah suatu aktifitas memberikan bimbingan, pelajaran dan pedoman kepada individu yang meminta bimbingan (klien) dalam hal bagaimana seharusnya seorang klien dapat mengembangkan potensi akal pikirannya, kejiwaannya, keimanan dan keyakinan serta dapat menanggulangi problematika hidup dan kehidupannya dengan baik dan benar secara mandiri yang berparadigma kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW. Solusinya ditinjau dari fungsi bimbingan yang bersifat preventif yaitu bimbingan dan konseling Islam hendaknya dapat menjelaskan tentang apa arti hidup, dan hendak kemana akhir kehidupan manusia. Selain itu perlu pula dijelaskan tentang hakikat makna kematian yaitu bahwa setiap manusia pasti akan mengalami kematian. Hal itu merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak. Atas dasar itu perlu bagi manusia mengadakan pembersihan
diri dari semua dosa. Diosa yang dimaksud bisa kecil maupun dosa besar, nmelalui pembersihan diri maka manusia tidak lagi ada rasa takut dengan kematian. 5.2 Saran-saran Dengan memperhatikan konsep Komaruddin Hidayat tentang problem rasa takut terhadap kematian dan solusinya, maka hendaknya konsep Komaruddin Hidayat dikaji dan dikembangkan lebih jauh karena relevan dengan perkembangan manusia saat ini yang makin memerlukan bimbingan rohani menuju tercapainya manusia sempurna agar dapat mengembangkan potensi insaniahnya secara harmonis. 5.3 Penutup Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah Swt yang dengan karunia dan rahmat-Nya telah mendorong penulis hingga dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat disadari sedalam-dalamnya bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi materinya jauh dari kata sempurna.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran. 2002. Konseling dan Psikoterapi Islam Penerapan Metode Sufistik, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Ahmadi, Abu dan Ahmad Rohani. 1991. Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta. Al-Ghazali, Imam. 2000. 40 Prinsip Dasar Agama. Jakarta: Pustaka Amani. Ali, Maulana Muhammad, 1977. Islamologi, (Dinul Islam), Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Arifin, Bey. 1998. Hidup Sebelum Mati. Jakarta: Kinanda. Arifin. 1978. Pokok-Pokok Pikiran tentang Bimbingan dan Penyuluhan Agama (di Sekolah dan Luar Sekolah), Jakarta: Bulan Bintang -------. 1994. Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama. Cet 5, Jakarta: PT.Golden Trayon Press. -------. 2000. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi, Jakarta: Bumi Aksara Arkoun, Mohammad, 1996. Rethinking Islam, Yogyakarta: LPMI bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Asy'arie, Musa. 2002. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI. Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Echols, John M. dan Hassan Shadily. 2000. Kamus Inggris Indonesia An EnglishIndonesia Dictionary, Jakarta: PT. Gramedia. Faqih, Aunur Rahim. 2002. Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Yogyakarta: UII Press. Gazalba, Sidi. 1972. Maut Batas Kebudayaan dan Agama. Indonesia: Tintamas.
Handrianto, Budi. 2007. 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Hujjah Press, Hidayat, Komaruddin. 2006. Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, Jakarta: Mizan Publika. Mappiare, Andi. 1982. Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.
-------. 1996. Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada. Moelong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Musnamar, Thohari, (eds), 1992, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press. Muthahhari, Murtadha. 1981. Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, Terj. Agus Efendi, Bandung: Mizan anggota IKAPI. Natawidjaja, Rochman. 1972. Bimbingan Pendidikan Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang.
dalam
Sekolah
Prayitno, Erman Amti, 2004, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: PT Rineka Cipta. Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Memaknai Kematian. Jakarta: Pustaka Iman. Shihab, Quraish. 2002. Menjemput Maut Bekal Perjalanan Menuju Allah Swt. Jakarta: Lentera Hati. Syarif, Adnan. 2002. Psikologi Qurani, Bandung: Pustaka Hidayah. Syukir, Asmuni, 1983, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: al Ikhlas Usman, Ali. 1970. Manusia Menurut Islam Melalui Empat Alam, Bandung: DUA.R Walgito, Bimo, 1989, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Andi Offset Willis, Sofyan. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: CV Alfabeta. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1986. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Depaq RI.