KONSELING RELIGI
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Jurusan Dakwah Program Studi Bimbingan Penyuluhan Islam SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH
KONSELING RELIGI
Jurnal Bimbingan Konseling Islam ISSN: 1907-7238
Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012 Susunan Redaksi Pelindung Ketua STAIN Kudus Penanggung Jawab Mubasyaroh Penyunting Ahli/Mitra Bestari Ahmad Hakim Nafis Julia Redaktur Ahmad Zaini Farida Mas’udi Penyunting / Editor Noor Ma’rufin Irzum Farihah Yuliyatun
Alamat Redaksi Kantor Jurusan Dakwah Program Studi Bimbingan Konseling Islam STAIN Kudus Jl. Conge Ngembalrejo PO BOX 51 Telp. (0291) 432677, Fax 441613 Kudus 59322 Jawa Tengah . Email:
[email protected]
Desain Grafis dan Fotografer Nur Ahmad Fatma Laili Khoirun Nida Muhamad Zainal Abidin Anas Marzuki Sekretariat Istikomatul Khassanah Ahmad Anif Santoso Nor Cholis Siti Muhajaroh
PENGANTAR REDAKSI
Bismillahirrahmanirrahim Teriring puji dan syukur ke hadirat Ilahi kemudian selawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, lentera bumi, penerbitan Jurnal Konseling Religi Jurusan Dakwah STAIN Kudus edisi Juli – Desember 2012, Volume 3, Nomor 2 ini dapat terlaksana. Keterlaksanaan penerbitan jurnal ini secara niscaya melibatkan berbagai pihak yang telah berkecimpung dengan intens untuk penerbitannya. Jurnal Konseling Religi sebagai jurnal yang bergerak dalam publikasi wacana-wacana bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam merupakan media utama segenap akademisi dan praktisi untuk mempublikasikan hasil karya ilmiah temuan masing-masing. Beberapa muatan jurnal (content analysis) dalam edisi ini secara eksplisit mengupas berbagai segmen yang menjadi cakupan bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam. Secara menyeluruh, cakupan pembahasan pada konsentrasi Jurnal Konseling Religi diarahkan untuk mengupas berbagai wacan atau hasil penelitian yang berhubungan dengan beberapa term tersebut. Pada edisi kali ini, redakur mencoba menampilkan berbagai tulisan yang bertemakan bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam. Misalnya, Farida mengkaji tentang “Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis; Kehebatan Motif Keibuan”, Ema Hidayanti menulis “Konseling Islam bagi
-v-
Individu Berpenyakit Kronis Morbus Hansen”. Ahmad Zaini dengan kajiannya “Salat sebagai Terapi bagi Pengidap Gangguan Kecemasan dalam Perspektif Psikoterapi Islam”. Agus Riyadi mengkaji tentang “Dakwah terhadap Pasien; Telaah terhadap Model Dakwah melalui Sistem Layanan Bimbingan Rohani Islam di Rumah Sakit. Mas’udi mencoba menelaah “Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam; Menyelia Determinasi Kontradiktif antara Penyuluh dan Konselor” dan masih banyak artikel-artikel lainnya yang dapat pembaca nikmati. Akhirnya, sebagai wujud pengabdian dan pengukuhan atas eksistensi Tri Dharma Perguruan Tinggi, segenap redaktur berkeinginan bahwa publikasi Jurnal Konseling Religi edisi ini menjadi tahapan yang berarti bagi pertumbuhan khazanah keilmuan kontemporer. Tanpa menepis adanya kealpaan sebagai manusia, perbaikan ke depan guna membumikan kajiankajian keislaman lebih progresif, segenap redaktur mengharap masukan, saran, dan kritik yang konstruktif dari para pembaca. Berikutnya, redaktur mengajak kepada segenap pembaca untuk menyumbangkan karya ilmiah dalam bidang-bidang kajian jurnal ini agar dikirimkan ke alamat email; dakwahstainkds@ gmail.com atau Jurusan Dakwah STAIN Kudus Gedung Barat Lt. 2. Jl. Conge, Ngembalrejo, PO. Box 51. Kudus, Jawa Tengah, Kode Pos 59322. Semoga bermanfaat!
Redaksi
- vi -
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi v Daftar Isi vii
BIMBINGAN KELUARGA DALAM MEMBANTU ANAK AUTIS (Kehebatan Motif Keibuan)
Oleh: Farida 1 - 28
KONSELING ISLAM BAGI INDIVIDU BERPENYAKIT KRONIS MORBUS HANSEN
Oleh: Ema Hidayanti 29 - 52
SALAT SEBAGAI TERAPI BAGI PENGIDAP GANGGUAN KECEMASAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOTERAPI ISLAM
Oleh: Ahmad Zaini 53 - 68
DAKWAH TERHADAP PASIEN(Telaah terhadap Model Dakwah Melalui Sistem Layanan Bimbingan Rohani Islam di Rumah Sakit)
Oleh: Agus Riyadi 69 - 96
BASIS EPISTEMOLOGI PENYULUH AGAMA ISLAM (Menyelia Determinasi Kontradiktif antara Penyuluh dan Konselor)
Oleh: Mas’udi 97 - 118
- vii -
DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN UMAT (Studi dalam Membangun Kesalehan Sosial Religius)
Oleh: Nur Ahmad 119 - 136
PERAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM DALAM MEMBANGUN KEBERAGAMAAN ANAK JALANAN
Oleh: Irzum Farihah 137 - 158
MEMBANGUN MOTIVASI BERPRESTASI PESERTA DIDIK MELALUI OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh: Edy Sutrisna 159 - 179
LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK DALAM MENGATASI PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA
Oleh: Fatma Laili Khoirun Nida 181 - 205
Pedoman Penulisan
- viii -
BIMBINGAN KELUARGA DALAM MEMBANTU ANAK AUTIS (Kehebatan Motif Keibuan) Oleh: Farida Dosen Jurusan Dakwah STAIN Kudus Abstrak Anak-anak kenal pertama kali dengan kedua orang tuanya dan mengalami tumbuh kembang dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah tempat pertama dan utama untuk tumbuh dan kembang anak (baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus, misalnya autis). Ciri utama anak autis adalah mengalami gangguan komunikasi dan interaksi sosial. Sehingga upaya orang tua, khususnya ibu (dengan motif keibuan yang dimiliki) dalam memberikan bimbingan pada anak autis dengan pembiasaan perilaku baik sampai pemahaman perilaku, penyesuaian perilaku secara keumuman/kelaziman dan dukungan keluarga akan membantu anak autis untuk tumbuh secara optimal, bahkan meraih prestasi yang sama atau bahkan melebihi anak-anak normal, seperti yang dialami Stephen Wiltshire. Kata Kunci: Bimbingan Keluarga, Anak Autis, Motif Keibuan.
A. Pendahuluan Rasulullah SAW menaruh perhatian yang demikian besar terhadap proses pertumbuhan anak sejak kecil (baik anak normal maupun anak yang berkebutuhan khusus) pada usia 0-5 tahun. Rasulullah menyuruh para orang tua memberikan bimbingan, pendidikan, pengawasan dan contoh-contoh yang baik agar tumbuh sifat-sifat terpuji dan sikap santun dalam diri anak sehingga menjadi pembiasaan yang akan tetap dilakukan di fase Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
1
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kehidupan berikutnya. Fase 5 tahun awal kehidupan manusia merupakan fase yang oleh psikologi modern dianggap penting (golden age) dalam pembentukan kepribadian anak. Karena fase anak memiliki pengaruh besar dalam membentuk perilaku dalam menghadapi tantangan kehidupan di masa selanjutnya (Najati, 2005). Untuk membantu autis (anak yang mempunyai kebutuhan khusus) juga dibutuhkan peran orang tua dalam membimbing dengan ekstra lebih, karena anak autis membutuhkan perlakuan yang lebih. Meskipun orang tua juga membutuhkan tenaga profesional di bidang treatment autis. Di pusat terapi autis, banyak cara yang digunakan oleh terapi anak autis agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya secara optimal. Selain terapi-terapi yang ditawarkan, ada juga terapi lain yang perlu dilakukan untuk mendukungnya. Seperti terapi obat-obatan, terapi diet, terapi wicara, terapi perilaku, dan lainnya yang disesuaikan kebutuhan anak autis. Namun yang lebih penting adalah penerimaan dan dukungan dari keluarga untuk membimbing “ekstra”, sehingga upaya keterlibatan keluarga untuk “kesembuhan” anak autis sangat dibutuhkan. Melalui berbagai terapi, diharapkan penyandang autis dapat menjalani hidup seperti halnya anak lain yang normal dan tumbuh menjadi mandiri serta berprestasi. Namun demikian, tidak berarti terapi diserahkan pada dokter dan terapis semata, melainkan justru orang tua harus melakukan terapi dan stimulasi setiap harinya di rumah (Nakita, 2003) karena waktu keluarga untuk membimbing lebih banyak di bandingkan di tempat terapi. Keluarga (khususnya orang tua) lebih tahu apa yang dibutuhkan dan apa yang harus dilakukan, karena dalam lingkungan keluarga anak-anak autis dapat tumbuh dan kembang secara alami dengan suasanan kekeluargaan. Menjadi bukti bahwa para ahli (terapis Autisme) yang dimaksud, tidaklah melulu harus yang bergelar medis. Orang tua pun dapat menjadi pembimbing dan pendidik yang andal selama orang tua mau belajar, mencoba dan pantang menyerah (Sarasvati, 2004) untuk memahamai anaknya yang memiliki kebutuhan
2
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
khusus. Hal tersebut dibuktikan berdasarkan pengalaman Sarasvati (2004) menyampaikan kepada orang tua lain, bahwa tidak mudah mengasuh anak-anak Autis. Namun buah dari kasih sayang yang tulus dan kesabaran orang tua dalam membimbing, sungguh terasa sangat manis. Jika mungkin, janganlah berputus asa atau melarikan diri dari kenyataan (menolak keberadaan anaknya yang autis). Anak-anak autis memerlukan bantuan bimbingan dan dukungan banyak pihak, terutama orang tua, lebih dari yang dibutuhkan anak-anak lain yang normal. Meskipun perilaku khusus itu sesuai dengan kebutuhan anak autis, karena jika berlebih (memanjakan) akan membuat anak autis tidak percaya diri dan senantiasa tergantung pada keluarga. Padahal anak autis akan mampu melakukan apa yang diinginkan sesuai dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, misalnya: memakai pakaian yang disukai, memilih tempat duduk untuk makan, memilih mainan yang diminati, memilih teman/ keluarga yang disukai, menentukan waktu untuk belajar dan lainlain. Menurut Suhadianto (2009) bahwa salah satu gangguan pada anak autis adalah ketidakmampuan mereka dalam berbahasa verbal dan non-verbal. Ketidakmampuan anak autis dalam berbahasa inilah yang menyebabkan kebanyakan orang yang terlibat dalam pendidikan anak autis, selalu mengatakan: “Dia (si autis) tidak dapat bicara, jadi dia tak dapat berkomunikasi”. Perkataan seperti itu tentu tidak sepenuhnya benar, kenapa demikian? bukankah semua tingkah laku anak dan ekspresi wajah adalah suatu bentuk komunikasi (non verbal). Sehingga yang perlu dilakukan oleh orang-orang disekitar anak autis adalah memahami bahasa non verbal anak autis dan yang terpenting adalah anak autis adalah “tetap manusia” meskipun berbeda dengan anak lainnya. Anak autis mempunyai kebutuhan (primer, sekunder, tertier) dan pengakuan eksistensi kemanusiaan yang sama dengan anak normal. Sehingga jangan sampai memperlakukan anak autis tidak manusiawi, misalnya seorang ibu yang selalu mengikat anak autisnya dengan rantai, supaya tidak berperilaku agresif, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
3
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
ini sungguh sangat memprihatinkan. Rasulullah mencontohkan bagaimana memperlakukan anak-anak dengan baik, seperti yang dikatakan Burairah: “Ketika Rasulullah SAW. sedang berkhutbah, datang Hasan dan Husain memakai pakaian merah. Keduanya berjalan dan kemudian terjatuh. Beliau turun dari mimbar kemudian menggendong keduanya dan mendudukkan dihadapannya. Kemudian beliau berkata: “Mahabenar Allah dengan firman-Nya, bahwa harta dan anak-anak kalian adalah ujian. Aku melihat kedua anak ini berjalan dan terjatuh. Aku tidak tahan hingga aku memutus khutbahku dan mengangkat keduanya” (Najati, 2005). Tomi (autis) selalu menutup telinga saat mendengar suara bising, Tomi selalu teriak jika dibawa ke kamar mandi, Tomi selalu meronta jika dipeluk. Ini semua adalah cara Tomi untuk mengatakan pada orang lain tentang hal-hal yang tidak dia sukai. Mungkin orang lain belum sepenuhnya setuju dengan pendapat tersebut. Masih menurut Suhadianto (2009) bahwa kebanyakan orang mengatakan anak autis sering melakukan perilaku-perilaku mal adaptif tanpa ada sebab, perkataan seperti ini tentu juga tidak sepenuhnya benar. Pada dasarnya semua perilaku anak autis tidak ada yang tanpa sebab. Semua dilakukan karena sebuah sebab yang jelas, hanya saja anda, dan sebagian besar dari masyarakat yang bergelut di bidang autis kurang dapat memahami penyebab dari kemunculan perilaku tersebut. Sebagai contoh, Ibu Tomi selalu bilang kalau anaknya selalu tertawa dan teriak tanpa sebab. Sebenarnya bukan tanpa sebab, hanya Ibu Tomi belum dapat menemukan sebab dari kemunculan perilaku tertawa dan teriak tersebut. Ini menjadi bukti bahwa keluarga sangat berperan dalam membantu kesembuhan anak autis agar dapat tumbuh dan kembang secara optimal. Menjadi tantangan bagi seorang ibu yang memiliki motif keibuan (mempunyai hubungan terdekat dengan anak-anak) untuk membimbing anak-anak karena orang yang sangat dekat dan paling “mengetahui anak”. Bahkan para tokoh pendidikan menyebut “sekolah bahasa ibu” untuk membimbing manusia pada fase anak. Karena kedekatan anak dengan ibu (khususnya
4
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
saat usia bayi: 0-2 tahun) maka muncul perilaku lekat (attachment) pada anak terhadap figur lekat (ibu). Dengan naluri keibuan, maka tantangan untuk membimbing anak-anak pada usia emas dapat dilakukan oleh ibu dengan bijaksana, penuh kasih sayang, sabar dan teliti. Segudang kemampuan yang perlu untuk senantiasa diaktualkan agar motif keibuan yang dimiliki dapat membantu tumbuh kembang anak dengan optimal. Salah satu manfaat dari perilaku lekat yang dimiliki anak akan menjadikan anak-anak percaya diri (modal berkompetisi untuk berprestasi). Cara-cara khusus bagaimana “diri” berkembang dan apakah menjadi sehat atau tidak dan mengalami gangguan atau tidak, tergantung pada cinta dan kasih sayang yang diterima anak (khususnya anak autis) pada masa kecil atau awal kehidupan untuk mengenal dunia. Penerimaan cinta, utamanya dari ibu dan bapak, tetapi dapat juga dari pengasuhan orang dewasa lain, misalnya: pengasuh bayi, kakek-nenek, pembantu bahkan tetangga (Baihaqi, 2008) yang akan membantu anak-anak tumbuh menjadi manusia sempurna. Sehingga peletakan dasar cinta dan kasih sayang pada anak autis dapat dilakukan oleh keluarga untuk menumbuhkan rasa percaya diri agar anak autis mampu menjawab tantangan hidup dengan tetap berprestasi. B. Pembahasan Manusia lahir ke dunia dan tumbuh serta berkembang menjadi besar dan dewasa melalui perjalanan waktu, pengalaman pergaulan dengan sesama manusia, alam sekitar, dan pendidikan. Kemudian bekerja dan selanjutnya melakukan pernikahan dan berketurunan (melahirkan generasi baru). Itulah siklus kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal. Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat. Keluarga (dalam arti rumah tangga) menurut Islam jelas-jelas merupakan suatu ikatan yang baru akan terbentuk manakala telah melalui (akad) perjanjian nikah. Keluarga pokok tersebut menjadi keluarga inti (nuclear family) jika ditambahi dengan adanya anak-anak. Dengan adanya pernikahan di antara laki-laki dan perempuan maka anak keturunan yang dihasilkan dari ikatan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
5
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
tersebut menjadi sah secara hukum agama sebagai anak, dan terikat dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berkaitan dengan pernikahan dan kekeluargaan. Tujuan pembentukan keluarga islami adalah kebahagiaan dan ketentraman hidup berumah tangga dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Karena akan tersalurkan naluri keibuan seorang wanita dan naluri kebapakan seorang lakilaki secara sehat, yakni dengan memperoleh dan memelihara keturunan, seperti yang tercermin dalam doa: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami, isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati” (Faqih, 2001: 75). Dan naluri keibuan akan semakin nyata ketika membimbing keturunannya. Rasulullah SAW mengisyaratkan perjuangan yang dialami seorang ibu saat mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya. Ibu rela tidak tidur demi menjaga dan melindungi anaknya. Sehingga ketika suatu hari seorang lelaki mengadu kepada Rasulullah SAW tentang keburukan ibunya. Lalu beliau berkata: “Ibumu tak pernah berlaku buruk selama mengandungmu sembilan bulan”. Lelaki itu berkata: “Sungguh, perilakunya sangat buruk”. Beliau bersabda: “Ibumu tidak pernah berlaku buruk selama menyusuimu dua tahun dan tidak pernah berlaku buruk saat engkau membuatnya tidak tidur malam untuk menjagamu dan saat engkau membuatnya haus pada siang hari”. Laki-laki itu berkata: “Tapi saya telah membalas kebaikannya itu”. Beliau bersabda: “Apa yang telah engkau lakukan untuknya?”. laki-laki itu berkata: “Saya telah menghajikannya dengan menggendongnya di punggungku”. Beliau berkata: “Engkau belum membalas kebaikannya sedikit pun” (Najati, 2005). Begitu banyak wujud dari motif keibuan, hingga tak cukup seumur hidup seorang anak untuk membalas motif keibuan yang telah dilakukan ibu sejak mengandung sampai anaknya lahir bahkan untuk mengenal dunia. Keluarga, yang menghadirkan anak ke dunia ini, secara kodrat bertugas mendidik dan membimbing anak. Sejak kecil, si anak hidup, tumbuh dan berkembang di dalam keluarga. Seluruh isi keluarga yang mula-mula mengisi pribadi anak. Orang tua
6
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
secara tidak direncanakan menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang di warisi dari nenek moyang dan pengaruh-pengaruh lain yang diterimanya dari masyarakat. Si anak menerima dengan daya peniruannya, dengan segala senang hati, sekalipun kadangkadang ia tidak menyadari benar apa maksud dan tujuan yang ingin di capai dengan pendidikan itu. Dengan demikian si anak akan membawa kemanapun juga pengaruh keluarga itu, meskipun si anak sudah mulai berpikir lebih jauh. Inilah yang membuktikan bahwa anak di dalam perkembangannya dipengaruhi oleh lingkungannya (keluarga dan khususnya orang tua). Pengaruh itu tidak akan hilang begitu saja, meskipun pada waktu besarnya si anak telah meninggalkan lingkungan (keluarga) dan hidup di lingkungan yang lain (Sujanto, dkk, 2001: 8). Berkeluarga, di samping sebagai sarana pemenuhan kebutuhan biologis-seksual, juga untuk memenuhi berbagai kebutuhan rohaniah (rasa aman, kasih sayang), dan secara kodrati diperlukan untuk menjaga kelestarian umat manusia (Faqih, 2001: 78). Dalam pengertian psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah “satu” persekutuan hidup yang di jalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua (dalam Shochib, 1998: 18). Keluarga yang dibentuk harus menjadi keluarga yang dalam istilah al-Quran disebut sebagai keluarga yang diliputi rasa sakinah, cinta mencintai/mawaddah dan kasih sayang/ rahmah (Faqih, 2001: 78). Karena keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama karena anak mengenal pendidikan pertama kali adalah di lingkungan keluarga, bahkan pendidikan tersebut dapat berlangsung pada saat anak masih berada didalam kandungan ibunya, artinya pembentukan identitas Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
7
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak diciptakan (Daradjat, 1995). Dalam hal ini pendidikan ditujukan kepada ibu yang sedang hamil, karena saat itulah kehidupan bayi yang masih dalam kandungan akan terpengaruh pengalaman ibu yang sedang hamil. Misalnya saja ibu yang sedang hamil merasa takut dan mengalami ketegangan-ketegangan terutama pada bulanbulan akhir masa kehamilannya, hal tersebut akan berpengaruh juga terhadap bayi yang sedang dalam kandungan karena dalam usia kehamilan tersebut bayi sudah dapat merekam apa yang terjadi atau apa yang dialami oleh ibu yang sedang hamil tersebut. Jadi ketegangan, ketakutan, kegelisahan dan gangguan-gangguan yang lainnya yang menyertai si bayi dalam merekam suasana itu akan terekam untuk selama-lamanya di dalam ingatan anak. Sebelum membahas lebih jauh tentang peran keluarga dalam membimbing dan mendidik, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut baligh-berakal. Karena itu perlu diketahui syarat-syarat pembentukan keluarga, sebelum berbicara tentang dasar-dasar pendidikan anak menurut Islam, diantaranya terdapat di dalam al-Quran sebagai berikut: 1. Larangan menikah dengan wanita yang dalam hubungan darah dan kerabat tertentu, seperti tersebut dalam surat anNisa`[4] ayat 22 dan 23. 2. Larangan menikah dengan orang yang berbeda agama disebutkan dalam surat al- Baqarah [2] ayat 221. 3. Larangan menikah dengan orang yang berzina diutarakan dalam surat an-Nur [24]: ayat 3 (Daradjat. 1995). Pemenuhan syarat dan ketentuan pembentukan keluarga dimaksudkan untuk menciptakan keluarga seimbang. Yang dimaksud dengan keluarga seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh keharmonisan hubungan (relasi) antara ayah dengan ibu, ayah dengan anak, serta ibu dengan anak. Dalam keluarga ini orang tua bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Setiap anggota keluarga saling menghormati dan saling memberi
8
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
tanpa harus diminta. Orang tua sebagai koordinator keluarga harus berperilaku proaktif. Jika anak menentang otoritas, segera ditertibkan karena didalam keluarga terdapat aturan-aturan dan harapan-harapan. Anak-anak merasa aman, walaupun tidak disadari. Diantara anggota keluarga saling mendengarkan “menghargai” jika bicara bersama, melalui teladan dan dorongan orang tua, dan setiap masalah dihadapi dan diupayakan untuk dipecahkan bersama melalui musyawarah mufakat (Shochib, 1998). Setelah terbentuknya keluarga muslim yang memenuhi persyaratan yang ditentukan Allah SWT, keluarga tersebut telah siap mendapatkan keturunan dan melaksanakan fungsinya untuk memberikan bimbingan, pendidikan, perawatan, dan perlindungan demi tumbuh kembangnya keturunan secara optimal. Problem-problem pernikahan dan keluarga amat banyak sekali, dari sekedar pertengkaran kecil sampai ke perceraian dan keruntuhan kehidupan rumah tangga yang menyebabkan timbulnya “broken home” penyebabnya bisa terjadi dari kesalahan awal pembentukan rumah tangga, pada masa-masa sebelum dan menjelang pernikahan, bisa juga muncul di saat-saat mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga (Faqih, 2001: 85). Kelainankelainan dalam keluarga itu, misalnya karena keadaan-keadaan sebagai berikut: ada keluarga yang miskin dan yang kaya, ada keluarga yang besar dan yang kecil, suasana yang terdapat dalam keluarga yang berlainan, ada keluarga yang beradat kuno dan ada yang beradat modern dan sebagainya. Ketika kelainan-kelainan keluarga tersebut dapat teratasi maka akan tercipta keluarga harmonis. Karena keluarga yang harmonis dan sehat merupakan sendi pula bagi kesehatan dan keharmonisan masyarakat (Ahmadi, 1982). Artinya keluarga merupakan sistem sosial yang alamiah, berfungsi membentuk aturan-aturan, komunikasi, dan negosiasi diantara para anggotanya. Ketiga fungsi keluarga ini mempunyai sejumlah implikasi terhadap perkembangan dan keberadaan para anggotanya. Keluarga melakukan suatu pola interaksi yang diulang-ulang melalui partisispasi seluruh anggotanya (Nurihsan, 2003). Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
9
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling kecil, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Dengan melihat unsur-unsur yang terkandung didalam pengertian keluarga, maka keluarga akan memiliki fungsi sebagai berikut: fungsi pengaturan, fungsi reproduksi, fungsi perlindungan dan pemeliharaan, fungsi pendidikan, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi dan rekreasi, fungsi ekonomi, dan fungsi status sosial. Keharmonisan seluruh fungsi keluarga tersebut merupakan bekal pembentukan dan perkembangan kepribadian semua anggota keluarga. Dengan demikian pendidikan didalam keluarga merupakan pendidikan kodrati, karena manusia dibekali dengan motif keibuan. Motif keibuan nampak jelas pada perilaku ibu kepada anaknya yang masih berusia balita. Sang ibu akan menunjukkan rasa cinta, kasih sayang, kelembutan dan perlindungan. Perilaku naluriah seorang ibu juga akan terlihat jelas pada sikap kebanyakan hewan yang memiliki anak, apalagi pada hewan yang memiliki kantong susu. Sang induk akan menyusui anak-anaknya dan melindunginya. Bahkan sang induk akan berjuang membela anaknya apabila mereka dalam bahaya (Najati, 2005). Dan setelah lahir, pergaulan diantara orang tua dan anak-anaknya yang diliputi rasa cinta kasih, ketentraman dan kedamaian, anak-anak akan berkembang ke arah kedewasaan dengan wajar dan normal. Didalam lingkungan keluarga segala sikap dan tingkah laku kedua orang tuanya (sebagai suri tauladan) sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, karena ayah dan ibu merupakan pendidik dalam kehidupan yang nyata, sehingga sikap dan tingkah laku orang tua akan diamati-ditiru-diimitasi oleh anak, tidak sebagai teori melainkan sebagai pengalaman langsung bagi anak yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak. Inilah mengapa orang Jawa mengatakan bahwa “Kacang, mangsa tinggala lanjaran” yang artinya tidak mungkin seorang anak tidak melakukan apa yang sejak kecil dicontohkan oleh orang tuanya. Demikian pula mengapa bangsa Inggris mengatakan “You can take the boy out of the country, but you can’t take the country out of the boy” yang artinya anak dapat lepas dari daerah kelahirannya tetapi
10
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
daerah itu tidak akan dapat lepas dari si anak itu (Sujanto, dkk, 2001: 9). Orang tua yang menjadi teladan bagi anak adalah yang pada saat bertemu atau tidak dengan anak senantiasa berperilaku yang taat terhadap nilai-nilai moral. Dengan demikian, mereka senantiasa patut dicontoh karena tidak sekedar memberi contoh. Orang tua yang mampu berperilaku seperti di atas telah menyadari bahwa perilakunya yang tidak disadari untuk dicontohkan, oleh anak dapat dijadikan bahan imitasi dan identifikasi. Artinya, anak sadar untuk menjadikan bahan imitasi dan identifikasi perilaku orang tua yang oleh orang tua tidak disadari sebagai bantuan bagi anak-anak. Misalnya: orang tua yang haus ilmu pengetahuan yang senantiasa membaca buku. Perilaku ini tidak disadari oleh orang tua dapat meningkatkan minat belajar anaknya, tetapi oleh anak dijadikan lahan imitasi dan identifikasi diri sehingga rajin belajar (Shochib, 1998). Jika orang tua selalu melakukan salat berjamaah dan berdoa bersama di rumah serta membiasakan untuk membaca al-Quran, secara otomatis anak-anak akan terbiasa untuk ikut serta. Bahkan anak-anak akan terbiasa berpuasa jika sejak kecil dilatih untuk berpuasa, mengucapkan salam setiap masuk/keluar rumah dan masih banyak contoh kebiasaan baik yang dapat di mulai dari perilaku orang tua dalam keluarga. Dapat diartikan bahwa pendidikan di dalam keluarga ini merupakan dasar bagi perkembangan dan pendidikannya pada saat berikutnya. Peranan ayah dan ibu sangat menentukan, justru mereka berdualah yang memegang tanggung jawab seluruh keluarga. Merekalah yang menentukan kemana keluarga itu akan dibawa, warna apa yang harus diberikan kepada keluarga itu, isi apa yang akan diberikan ke dalam keluarga itu. Anak-anak, sebelum dapat bertanggung jawab sendiri, masih sangat menggantungkan diri, masih meminta isi, bekal, cara bertindak terhadap sesuatu, menyelesaikan permasalahan dan cara berpikir dari orang tuanya. Dengan demikian maka jelaslah betapa mutlaknya orang tua harus bertindak se iya-sekata, seazas dan setujuan seirama dan bersama-sama terhadap anaknya. Perbedaan yang sedikit saja akan menyebabkan anak-anak selalu ragu-ragu, manakah Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
11
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
yang harus dianutnya dari orang tua (Sujanto, dkk, 2001). Dan akan sangat “membahayakan” ketika kedua orang tua berbeda keyakinan (beda agama). Sehingga perlu penciptaan suasana yang baik dan harmonis. Diantara langkah penciptaan suasana yang baik itu adalah usaha menciptakan terwujudnya saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling berkomunikasi, saling mempercayai dan saling menyayangi diantara suami-isteri dan antara seluruh anggota keluarga. Dengan pengertian, penerimaan, penghargaan, komunikasi, kepercayaan dan kasih sayang yang dilandasi oleh keimanan yang mendalam, yang terpantul ke dalam kehidupan sehari-hari, maka akan dapatlah dihindarkan berbagai masalah negatif yang kadang-kadang terjadi dalam tindakan dan sikap masing-masing atau salah seorang (suami atau isteri). Suami akan bekerja tenang dan penuh gairah, dalam menghadapi tugasnya, suami tidak akan pernah berpikir mencari sesuatu yang tidak diridhai Allah. Demikian juga isteri, dengan hati lembutnya (memberikan kasih sayang) yang penuh keimanan, dapat menerangi suasana keluarga sehingga menjadi cerah ceria. Karena suasana keluarga itu merupakan tanah subur bagi penyemaian tunas-tunas muda (generasi penerus) yang lahir dalam keluarga (Daradjat, 1995). Lebih jauh, tugas dan kewajiban orang tua adalah membantu anak yang baru lahir yang memerlukan bantuan darinya dan orang disekitarnya. Jika manusia yang baru lahir tidak memperoleh bantuan maka ia tidak dapat melangsungkan kehidupan sebagai manusia yang normal, bahkan tidak dapat melangsungkan kehidupan sama sekali. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa keluarga merupakan “pusat pendidikan” yang pertama dan terpenting karena sejak timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Disamping itu, orang tua dapat menanamkan benih kebatinan sesuai dengan kebatinannya sendiri ke dalam jiwa anak-anaknya. Inilah hak orang tua yang utama dan tidak bisa dibatalkan oleh orang lain. Karena tanpa pendidikan orang akan menghilangkan kesempatan manusia untuk hidup dengan
12
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
sesamanya sebagai makhluk sosial (Shochib, 1998). Pendapat Ki Hajar Dewantara di atas dapat dijadikan acuan semua orang tua untuk berperan dalam keberhasilan pendidikan anak-anak, terutama untuk menghadapi persaingan (kompetisi) masa depan yang semakin tinggi. Selain pendidikan, seorang anak membutuhkan kasih sayang perhatian yang baik dalam pengasuhan. Hal tersebut di tegaskan Rasulullah dengan mengajak kaum muslim untuk mencintai anak-anak. Beliau adalah teladan utama kaum muslim. Beliau mencintai, menyayangi dan mengasihi kedua cucunya, Hasan dan Husain. Beliau menggendong mereka di atas punggungnya. Anas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada Fathimah: “Panggillah kedua anakku!” Lalu (setelah mereka datang) beliau mencium dan mendekap keduanya”. Al-Barra berkata: “Aku melihat Rasulullah SAW digelantungi Hasan, dan beliau berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah ia” (Najati, 2005). Ini menunjukkan bahwa keluarga berfungsi memberi kasih sayang dan senantiasa berdoa untuk anak-anaknya sehingga anak berfungsi untuk menerima kasih sayang dan harus patuh pada kedua orangtuanya. Rasulullah SAW menasihati kaum muslim agar merawat anak-anak dengan baik, terutama anak perempuan. Beliau menjanjikan ampunan dan surga bagi orang yang memelihara anak perempuan dengan baik. Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa mempunyai anak perempuan kemudian tidak membebaninya, tidak melemahkannya dan tidak mengutamakan anak laki-laki atasnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga. Dan barangsiapa diuji dengan anak perempuan, lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka perbuatannya itu dapat menjadi dinding yang menghalanginya dari api neraka”. Rasa cinta seorang ayah kepada anak-anaknya mewujud dalam bentuk pemeliharaan, pembimbingan, pengarahan dan pendidikan yang baik terhadap anak-anaknya. Sehingga mereka tumbuh menjadi warga negara yang baik. Rasulullah SAW telah mewasiatkan dan mendorong kaum muslim agar mendidik anakKonseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
13
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
anak mereka dengan baik, dan memotivasi mereka dengan pahala yang besar. Jabir bin Samurah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: ”Usaha seseorang mendidik anaknya pasti lebih baik dibandingkan dengan ia bersedekah satu sha”. Bahkan Ayyub bin Musa meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada pemberian yang lebih utama dari seorang ayah kepada anaknya daripada pendidikan yang baik” (Najati, 2005). Ayah berkewajiban mencari nafkah dan penanggung jawab keluarga pada umunya tidak lebih banyak berkumpul dengan anak-anak, maka yang paling dekat dengan anak-anaknya adalah si ibu. Si ibu yang mengandungnya, yang paling berhak mengaku anak siapa itu, yang memberikan ASI, yang mengasuh hampir setiap detik atau setiap saat, sepatutnyalah bahwa sebagian besar hidup si anak itu bergantung kepada si ibu. Inilah sebabnya mengapa dikatakan surga anak adalah di telapak kaki ibu (Sujanto, dkk, 2001). Hal tersebut telah ditegaskan oleh Rasulullah yang dengan jelas menyebutkan adanya motif keibuan pada induk burung yang terus merawat dan mempertahankan anaknya yang masih kecil. Sang induk akan merasa gelisah ketika anaknya sakit atau disakiti. Abdurrahman bin Abdullah RA meriwayatkan, “Suatu hari, Rasulullah SAW singgah di sebuah tempat. Seorang lelaki sahabat pergi ke semak-semak, kemudian mengeluarkan satu telur burung yang masih merah dari semak tersebut. Tiba-tiba induk burung itu datang dan berputar-putar di atas kepala Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Beliau kemudian berkata, “Siapa diantara kalian yang telah mengganggunya?” Orang yang telah mengambil telur itu berkata: “Saya telah mengambil telurnya”. Beliau berkata: “Kembalikanlah!” Dalam riwayat lain, ”Kembalikanlah, kasihanilah ia!” (Najati, 2005). Keluarga dikatakan sempurna “utuh”, apabila di samping lengkap anggotanya, juga dirasakan lengkap oleh semua anggotanya terutama anak-anaknya. Jika dalam keluarga terjadi kesenjangan hubungan sehingga ketidakadaan ayah dan atau ibu di rumah tetap dirasakan kehadirannya dan dihayati secara
14
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
psikologis. Ini diperlukan agar pengaruh, arahan, bimbingan, dan sistem nilai yang direalisasikan orang tua senantiasa tetap dihormati, mewarnai sikap dan pola perilaku anak-anaknya. Dengan perkataan lain, setiap tindakan pendidikan yang diupayakan orang tua harus senantiasa dipertautkan dengan dunia anak. Dengan demikian, setiap peristiwa yang terjadi tidak boleh dilihat sepihak dari sudut pendidik, tetapi harus dipandang sebagai “pertemuan” antara pendidik dan anak didik dalam situasi pendidikan (Shochib, 1998). Hal tersebut perlu disadari bahwa keberhasilan pendidikan bukan hanya dari pihak pendidik (orang tua) tapi juga keberhasilan dari pihak terdidik (anak-anak). Saat ini muncul kecenderungan orang tua kurang memperhatikan pendidikan anak di dalam keluarga. Kurang perhatian dari orang tua, secara otomatis akan kesulitan penanganan jika ada masalah dalam pendidikan. Menurut Rachman (Merdeka, 2008) banyak faktor yang menjadi penyebab, misalnya kesibukan orang tua. Penyebab lain adalah kelemahan ekonomi orang tua dan kemunculan anggapan bahwa sekolah adalah tumpuan bagi pendidikan anak-anak, sehingga konsekuensinya banyak orang tua menyerahkan pendidikan pada sekolah. Namun, problem pendidikan kadang-kadang tumbuh dari pihak anak, dimana anak mogok dalam melanjutkan pendidikannya, atau yang lebih ringan bagi anak telah bersikeras memilih jurusan sekolah yang kurang disetujui oleh ayah ibunya. Baik problem pendidikan dari pihak orang tua maupun anak sebetulnya dapat diatasi asal antara anggota keluarga ada saling pengertian dan saling pengorbanan. Sehingga keluarga merupakan satu media yang mempunyai peran dan fungsi strategis dalam pembentukan keharmonisan hubungan di dalamnya. Terlepas dari banyaknya persoalan yang muncul dalam keluarga tersebut. Salah satu dari persoalan yang ada di keluarga dalam hal ini adalah adanya anggota keluarga yang mengalami autis (mempunyai anak autis). Autisme adalah penyakit dengan gangguan sistem syaraf dan jiwa yang ditandai oleh gangguan sosial dan komunikasi timbal balik yang disertai keterbatasan pola tingkah laku atau pengulangan tingkah laku yang terjadi sebelum berumur 3 Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
15
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
tahun dan biasanya menetap pada saat dewasa. Senada dengan pendapat Istiyanto (2008) bahwa autis merupakan kelainan psikis yang dimulai sejak anak-anak sampai dewasa karena kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi yang kurang. Autism adalah gangguan mental karena kelainan neurologis, yaitu ada gangguan di otak dan sistem syarafnya. Soekandar menemukan bahwa pada penderita autis, terdapat tiga bagian otak yang terganggu, yaitu: lobus frontalis, sistem limbik dan hemisfer kanan. Sehingga anak autis dapat berjam-jam sibuk dengan aktivitasnya sendiri yang itu-itu juga, seperti memutar-mutar bola terus menerus, atau menyusun kaleng minuman atau menderetkan boneka dan sebagainya. Autism dipercaya sebagai akibat dari mutasi (perubahan) genetik sehingga bisa terjadi pada anak siapa saja, termasuk yang orang tua dan seluruh keluarganya sehat. Ditemukan bahwa peluang laki-laki menderita autism lebih besar daripada perempuan. Ada yang mengatakan autism bisa terjadi karena salah obat, tetapi pendapat ini kontroversial dan belum ada bukti-bukti ilmiah yang mendukungnya. Biasanya, autism sudah terlihat sejak anak berumur 2-3 tahun. Tanda-tanda lain selain gerakan-gerakan yang berulang-ulang adalah tidak ada kontak mata dengan orang lain, dan kalau dipanggil tidak menyahut. Dampaknya adalah bahwa seorang autis bisa tidak peduli sama sekali dengan kejadian di sekitarnya sehingga bisa melakukan sesuatu tanpa memedulikan bahaya sama sekali, misalnya menyeberang jalan yang padat lalu lintas tanpa menengok kanan dan kiri dulu. Menurut Handojo (2003) mengingat autisme adalah jenis gangguan perkembangan pervasif yang mengakibatkan gangguan atau keterlambatan kognitif, bahasa, perilaku dan interaksi sosial bersifat berat. Kondisi ini tentu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak baik fisik maupun mental. Apabila penyandang autisme tidak mendapatkan penanganan secara dini, kondisi autis akan menjadi permanen. Oleh karena itu, tatalaksana koreksi atau terapi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, yaitu di bawah usia 3 tahun. Pada usia ini,
16
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
perkembangan otak berada pada tahap cepat dan mempunyai keberhasilan yang cukup tinggi terutama bagi anak autis murni tanpa penyakit lain. Autisme dapat mengenai siapa saja, tidak ada perbedaan status sosial-ekonomi, pendidikan, golongan, etnis ataupun bangsa. Biasanya autisme lebih sering ditemukan pada anak lakilaki dibanding anak perempuan dengan angka perbandingan 4:1. penyebab terjadinya autisme hingga saai ini belum diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan disebabkan oleh kelainan sistem syaraf dalam berbagai derajat berat ringannay penyakit (Yatim, 2002). Sebelum pengetahuan autisme berkembang, autisme dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Namun pada banyak kasus individu, faktor lingkunganlah (zat kimia beracun, kontaminasi logam berat, vaksinasi pada anak balita yang rentang, dan alergi) yang menjadi pemicu utama gen anak yang bersangkutan sehingga memunculkan kelainan tersebut. Autisme bukan suatu penyakit (autis bukan penyakit) tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala), misalnya: terjadi penyimpangan perkembangan sosial, gangguan kemampuan bahasa dan kepedulian terhadap sekelilingnya sehingga anak seperti hidup dalam dunianya sendiri. Dengan kata lain pada anak autisme terjadi kelainan emosi, perilaku, intelektual dan kemauan (Yatim, 2003). Dan banyak “tawaran” penanganan perilakuperilaku mal adaptif pada anak Autis, seperti teriak-teriak tanpa sebab (bagi orang yang melihat), agresif, tantrum (menyakiti diri sendiri), tertawa tanpa sebab, mengompol, dan perilaku-perilaku serupa lainnya. Menurut Casmini dan Siti Nur Khotimah (2009) berbagai macam gangguan yang dialami oleh anak autisme, mengharuskan upaya penanganan yang serius, meskipun anak autis tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dilakukan upaya terapi. Ini berarti diperlukan penanganan yang dapat terjangkau oleh semua orang karena masalah autisme merupakan masalah yang dapat terjadi pada anak, siapapun tanpa memandang perbedaan latar belakang baik sosial, ekonomi, budaya maupun etnik. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
17
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Memiliki anak yang menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan-gerakan aneh yg selalu diulang-ulang. Selain itu dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat-saat atau kondisi tertentu (Dewo, 2006). Namun bagi orang yang beriman, apapun keadaannya (anak autis) perlu disadari kembali bahwa anak adalah anugrah dan amanah. Sehingga perlu untuk disyukuri dan dijaga (dengan mendidik, membimbing, serta mengarahkan) agar menjadi generasi penerus keturunan. Di sisi lain, seorang autis bisa mempunyai bakat yang luar biasa, yaitu yang biasa disebut autis savant. Salah satu contoh autis savant Stephen Wiltshire. Pemuda keturunan India dilahirkan pada tahun 1974 di London yang sudah didiagnosis autis sejak kecil, ternyata mampu menggambar Times Square di pusat kota New York hanya dari memorinya dan menghasilkan lukisan yang mirip potret. Tema autis savant juga digunakan dalam film Mercury Rising, seorang anak kecil yang bisa menerobos kode kunci pertahanan Amerika Serikat (Sarwono, 2009: 256). Dari kenyataan autis savant, menunjukkan bahwa kelainan autis pun mampu memiliki kelebihan dan berprestasi. Jika dukungan keluarga (motif keibuan dan motif kebapakan) dan intensitas terapi (ada kesinambungan) maka anak-anak autis dapat tumbuh dan kembang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Untuk menghadapi semua ini (mempunyai anak autis), orang tua harus bersikap optimis dan membantu anak untuk bersikap optimis pula agar dapat tetap menjalani kehidupan dengan sukses. Sesuai dengan firman Allah “Janganlah kamu bersikap lemah (pesimis), dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamu adalah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (Qs. Ali Imran [3]: 139). Firman Allah tersebut memerintahkan pada manusia untuk selalu optimis dalam keadaan apapun. Menurut Muhajirin Abdul Qadir karena sesungguhnya Allah menjadi pergantian siang dan malam
18
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
untuk dijadikan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan [25]: 62,
ار ِخ ْل َف ًة ل َِم ْن َأ َر َاد َأ ْن َي َّذ َّك َر َأ ْو َّ َو ُه َو ا َّلذِ ي َج َع َل ال َّل ْي َل َو َ الن َه ورا ً َُأ َر َاد ُشك
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur”.
Penerimaan keluarga (khususnya orang tua) menjadi pintu awal untuk terapi bagi autis. Artinya Orang tuapun dapat menjadi pendidik yang andal selama orang tua mau belajar, mencoba dan pantang menyerah (Sarasvati, 2004). Hal tersebut dibuktikan berdasarkan pengalaman Sarasvati (2004) menyampaikan kepada orang tua lain, bahwa tidak mudah mengasuh anak-anak Autis. Namun buah dari kasih sayang yang tulus dan kesabaran orang tua dalam membimbing, sungguh terasa sangat manis. Jika mungkin, janganlah berputus asa atau melarikan diri dari kenyataan. Anakanak autis memerlukan bantuan dan dukungan banyak pihak, terutama orang tua, lebih dari yang dibutuhkan anak-anak lain. Psikoterapi adalah upaya intervensi oleh psikoterapis terlatih agar kliennya bisa mengatasi persoalannya. Sedangkan tujuan psikoterapi adalah untuk mengembalikan keadaan kejiwaan klien yang terganggu (mulai dari masalah ringan sampai gangguan mental berat) agar bisa berfungsi kembali dengan optimal sehingga klien (salah satunya adalah penderita autis) merasa bisa dirinya lebih sehat mental (Sarwono, 2009: 273). Keberhasilan psikoterapi adalah faktor luar, sehingga butuh semangat dan harapan dari si penderita untuk merasa mampu hidup seperti orang lain (normal), maka bimbingan serta dukungan keluarga sangat membantu keberhasilan anak-anak autis dapat tumbuh dan kembang setiap hari. Mengingat intensitas terapi, faktor yang mempengaruhi kesembuhan anak autis untuk mencapai hasil yang maksimal, anak autis harus ditangani selama anak bangun (bahkan 24 jam). Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
19
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Intensitas terapi atau penanganan anak autis yang ideal adalah 40 jam dalam satu minggu, dan rata-rata terapi yang dilakukan dalam satu hari adalah 8 jam. Pada anak yang masih berusia balita, terputusnya proses terapi satu minggu saja dapat menyebabkan regresi atau kemunduran perilaku yang sangat banyak. Jadi disamping terapi di institusi “tempat terapi autis”, dibutuhkan penanganan atau terapi di rumah sebagai kelanjutan terapi anak autis ditempat terapi (Handojo, 2003). Yang biasanya dilakukan oleh ibu, karena ibu adalah orang yang terdekat dengan seorang anak. Hubungan dan komunikasi sudah terjalin sejak anak masih ada di dalam kandungan ibu, bahkan tokoh pendidikan membagi usia anak dengan sebutan sekolah bahasa ibu. Artinya hanya ibu (yang dekat dengan anak) yang mampu memahami bahasa “celoteh” anak. Selain komunikasi sejak dalam kandungan, saat ibu menyusui ASI maka terjalin keakraban dan kasih sayang yang mempererat ikatan batin antara ibu dan anak. Meskipun autism tidak ada obatnya, namun pelatihan perilaku, penyesuaian lingkungan fisik dan sosialnya, perubahan gaya hidup serta pengertian dari keluarga akan membuat seorang autis bahkan berfungsi optimal seperti kasus Stephen Wiltshire. Bahkan beberapa kasusu autism diketahui sembuh sendiri (berkurang gejalanya) seiring dengan bertambahnya usia (Sarwono, 2009: 257). Dan perlu disadari oleh para orang tua dan keluarga sendiri juga perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak (Wikipedia, 24 Juli 2010). Salah satunya dengan pembiasaan baik di dalam keluarga, dengan bimbingan orang tua di rumah. Karena situasi dan kondisi yang tepat untuk memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki anak autis adalah suasana keluarga yang kondusif.
20
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
Pembiasaan sering dilakukan dalam terapi perilaku (behavior), dasar teorinya adalah teori belajar dari J.B. Watson (Behaviorism) yang menyatakan bahwa perilaku bisa ditimbulkan atau dihambat dengan memberi ganjaran (reinforcement) yang positif (untuk mendorong) atau negatif (untuk menghambat). Meskipun kelemahan SAW ini adalah sewaktu-waktu bisa timbul kembali (Sarwono, 2009: 276) namun dengan dukungan bimbingan dan pengawasan keluarga maka pembiasaan perilaku dapat diupayakan dalam waktu 24 jam sehari. Sehingga seorang autis mampu berperilaku sesuai dengan ganjaran positif dan menghindari perilaku yang akan mendapatkan hukuman. Dengan pembiasaan tersebut maka seorang autis akan berperilaku sesuai norma-norma yang secara konsisten diterapkan, dan bahkan diharapkan munculnya kesadaran kognitif. Terapi perilaku kognitif biasanya digunakan untuk mengatasi kelemahan terapi perilaku. Dalam SAW terapi perilaku kognitif, semua emosi negatif terhadap sesuatu benda/hal tertentu, dibahas tuntas secara rasional (meskipun autis memiliki gangguan di lobus frontalis, sistem limbik dan hemisfer kanan) sampai akhirnya klien tidak lagi melihat alasan mengapa harus beremosi negatif dan akhirnya mengubah perilakunya menjadi lebih positif (Sarwono, 2009: 276). Selain pelatihan perilaku, para autis dapat diterpai dengan mengupayakan kemampuan penyesuaian diri. Sebagai sarana penyesuaian diri (coping), agama dapat memberi hasil, baik yang positif maupun negative pada individu. Hasil yang positif antara lain: 1. Secara psikologis memberi makna hidup, memperjelas tujuan hidup, dan memberikan perasaan bahagia karena hidup ini lebih berarti. 2. Secara sosiologis menjadikan lebih intim, dekat, dan akrab dengan keluarga, kelompok, dan masyarakat dan karenanya timbul perasaan terlindungi dan saling memiliki. 3. menemukan identitas diri, menemukan kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan diri dalam usahanya untuk mencapai Tuhan (Sarwono, 2005). Sehingga tidak ada alasan bagi anak autis untuk tidak “mencapai Tuhan”. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
21
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Setelah terapi perilaku, penyesuaian diri dan gaya hidup, juga perlu pengertian keluarga di rumah. Menurut Danuatmaja (2003) lingkungan rumah merupakan lingkungan terapi yang ideal bagi anak autis, kerena di rumah terdapat akses yang lebih besar untuk penyembuhan dirinya dan adanya timbal balik yang alami antara orang tua, keluarga dan anak. Selain menjadi peluang peningkatan kesempatan berkomunikasi dan menggeneralisasi keterampilan yang lain yang diajarkan ditempat terapi, serta mempercepat proses penyembuhan anak autis. Karena apa yang diajarkan di pusat terapi autis harus ada keberlangsungan dipraktekkan di rumah dengan bimbingan keluarga, khususnya ibu. Dengan motif keibuan maka akan membimbingan anak yang berkebutuhan khusus dengan ketelatenan, meskipun tetap harus mendapat dukungan dari ayah yang juga memiliki motif kebapakan yaitu keinginan untuk melindungi dan menyiapkan kebutuhan anggota keluarga. Bimbingan keluarga adalah proses bantuan yang sifatnya adalah memandirikan, sehingga terbentuk kepribadian yang matang yaitu: mampu menjalin komunikasi yang baik, mampu membedakan nilai-nilai yang pantas dan tidak pantas, boleh dan tidak boleh, kemampuan kreativitas yang senantiasa berkembang dan terlaksananya semua tugas perkembangan pada setiap fase usia. Yang kesemuanya terwujud dari adanya kerjasama orang tua (orang dewasa) di dalam keluarga, meskipun kebanyakan anak lebih dekat dengan ibu. Kedekatan anak kepada ibu yang sudah terjalin sejak di dalam kandungan merupakan peluang untuk membantu tumbuh kembang anak dengan penuh kasih sayang. Sehingga keberhasilan terapi autis dapat terwujud dengan kerja sama semua pihak. Karena permasalahan yang sering muncul di masyarakat meskipun anak autis telah mengikuti program terapi ditempat terapi autisme dan mendapat terapi obat-obatan, namun masih ditemukan anak autis yang tidak memperoleh kesembuhan secara optimal. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah intensitas penanganan autis di rumah (oleh keluarga) yang tidak efektif.
22
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
Menurut Chaerunnisa (2008) bahwa kunci sukses untuk membantu para orangtua atau keluarga agar penderita autis dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka seluruh anggota keluarga harus turut langsung membantu para penderita ini berusaha melakukan hal itu. Artinya untuk mencapai intensitas penanganan anak autis yang ideal diperlukan dukungan dan partisipasi dari seluruh keluarga (terutama ibu yang lebih berperan dalam mengasuh anak di rumah). Akan tetapi tidak semua ibu dapat berpartisipasi dalam penanganan anak autis secara khusus selama anak di rumah. Kemungkinan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan ibu tentang penangnan autisme dan sikap ibu yang lebih menyerahkan penanganan anaknya hanya ditempat terapi (seharusnya ibu bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam penanganan anak autis di rumah). Beberapa aspek psiko-fisik anak yang menjadi tanggung jawab orang tua untuk dibantu dan dibimbing, yaitu: 1. Keadaan fisik yang senantiasa mengalami pertumbuhan yang akan diikuti dengan kemampuan yang semakin berkualitas sesuai tahapan perkembangan dan ketrampilan: menolong diri sendiri (seperti berpakaian, makan, mandi), menolong orang lain (seperti membantu membersihkan tempat tidur dan lantai, membantu teman yang jatuh), ketrampilan dasar (seperti membaca, menulis, menggambar, berhitung), ketrampilan bermain (seperti bersepeda, bersepatu roda, berenang). 2. Kemampuan bahasa untuk memperluas lingkungan sosial anak. Karena komunikasi adalah kemampuan diri untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain. Meskipun ada kosa kata rahasia dalam berkomunikasi, misalnya: kode-kode, isyarat dan penggunaan jari-jari untuk mengkomunikasikan kata-kata. 3. Keadaan emosi yang perlu dilatih untuk dikendalikan. Karena emosi yang meledak-ledak kurang diterima di lingkungan sosial. Ketenangan emosi diperoleh dari: kejelasan peranan, permainan dan olah raga sebagai bentuk penyaluran emosi yang tertahan, dan ketrampilan menyelesaikan berbagai macam tugas. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
23
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
4. Sikap dan perilaku moral yang perlu dibiasakan agar anak-anak mulai menyadari aturan-aturan perilaku yang boleh, harus atau dilarang. Dan perlu kejelasan sanksi ketika melanggar aturan sehingga anak tidak akan bersikap baik dan bermoral (Budiamin dan Setiawati, 2009: 76). Yang kesemuanya juga harus dilatihkan pada anak autis. Baik di pusat terapi maupun di rumah. Agar anak autis pun mampu tumbuh secara normal. Sehingga tujuan utama orang tua melakukan terapi terhadap anak-anak mereka yang menderita autis adalah bahwa mereka menginginkan anak-anak dapat hidup normal kembali seperti anak-anak pada umumnya yang dapat berkomunikasi secara normal. Hal tersebut akan menjadi sulit jika anak-anak mereka tidak dapat berkomunikasi secara verbal (Istiyanto, 2008). Disadari atau tidak, pada akhirnya orang tualah yang akan menjadi tiang utama dari keberhasilan anak-anak ini. Para terapis, guru dan ahli medis adalah “penasihat” orang tua dalam mengambil keputusan dan membantu program pendidikan akademis dan sosial. Artinya, meningkatnya usia anak-anak autis, para terapis, guru dan ahli medis akan datang silih berganti sesuai kebutuhan anak autis. Disisi lain, orang tua tetap di tempat semula yaitu mengasuh, membimbing, mencurahkan kasih sayang dan bertanggung jawab sepenuhnya atas masa depan anak autis. Karena tidak jarang, dalam ketidaktahuan dan rasa putus asa, seringkali orang tua ingin mencari jalan pintas. Sayangnya, tidak ada satupun obat maupun terapi mujarab yang dapat menyembuhkan anak-anak ini dalam waktu singkat. Hanya dengan kesabaran, ketabahan dan pantang menyerah dalam mencari informasi dan memberikan yang terbaik untuk sang anak, orang tua akan dapat membantu anak-anak ini mendapatkan kemandirian dan rasa percaya diri. Dua hal ini, akan sangat membantu anak-anak autis dalam menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi dimasa yang akan datang (Sarasvati, 2004). Nah berikut ini yang dapat dilakukan untuk mendukung anak autisme di rumah, antara lain:
24
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
1. Habiskanlah waktu dengan sering bermain bersama anak setiap hari. 2. Perkenalkan anak pada berbagai aktivitas dan permainan, sesuai kesukaannya. 3. Tidak jarang anak tidak berespons terhadap bahasa verbal, janganlah putus asa. Lakukan pula kontak melalui bahasa tubuh dan ekspresi. 4. Gunakan juga berbagai gambar dan simbol dalam berkomunikasi dengan anak autis. 5. Ajarkan berbagai keterampilan sehari-hari yang penting, misalnya makan dan minum dengan baik atau berpakaian sendiri dan sebagainya. 6. Mengingat penanganan penyandang autis melibatkan banyak disiplin ilmu, berkomunikasi dan bekerjasama dengan mereka dalam merencanakan program terapinya. 7. Menangani dan merawat anak penyandang autis bukanlah hal yang ringan. Bergabunglah dengan kelompok para orang tua yang memiliki permasalahan sama agar dapat saling berdiskusi, berbagi pengalaman dan berbagi rasa. Dan saat ini telah banyak pula milis di internet untuk para orang tua yang anaknya mengalami masalah perkembangan (Nakita, 2003). Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga (khususnya ibu dengan motif keibuan) memiliki kesempatan dan kepekaan yang lebih tinggi untuk membantu kesuksesan terapis dalam membantu kesembuhan autis. Sehingga keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu anak autis untuk dapat ”kembali” hidup normal (tumbuh dan kembangnya). Karena keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam memberikan perawatan, bimbingan, pendidikan dan perlindungan kepada anak autis, karena mereka (autis) lebih banyak bersama dengan keluarga daripada berada di lokasi pusat terapi autis atau berkumpul dengan teman-teman sebaya yang normal (karena autis merasa berbeda atau teman-teman normal membedakan perlakuan pada anak autis).
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
25
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
C. Penutup Tulisan ini menjadi bahan informasi bagi masyarakat luas dan orang tua yang punya anak autis untuk dapat memberikan bimbingan. Karena autis bukan penyakit maka peran keluarga dalam membantu tumbuh kembang anak autis sangat mungkin dilakukan di lingkungan rumah meskipun terapis autis memiliki program-program untuk membantu autism. Gangguan komunikasi dan kemampuan sosial pada anak autis dapat dibantu dengan bimbingan ibu (dengan motif keibuan yang sangat memahami setiap tahap tumbuh kembang anak) yang membiasakan perilaku baik dalam keseharian, memahami komunikasi non verbal yang dipahami orang lain, mengupayakan gaya hidup sesuai kebutuhan anak autis dan yang terpenting adalah dukungan semangat dari keluarga serta harapan untuk dapat tumbuh dan kembang secara optimal untuk tetap berprestasi seperti anak-anak lainnya. Motif keibuan merupakan potensi kodrati untuk membimbing, mendidik dan mengawasi anak, sehingga bahasa non verbal yang digunakan anak autis pun dapat dipahami oleh ibu dan “diterjemahkan” dalam pergaulan sosial. Contohcontoh kesuksesan autis dapat menjadi motivasi bagi autis dan keluarganya untuk senantiasa berupaya mencapai cita-cita sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, kesukaan dan hal-hal yang menarik. Kerjasama semua pihak (keluarga, terapis, teman sebaya dan lingkungan sosial) akan mampu mewujudkan anak-anak autis tumbuh kembang secara optimal.
26
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Bimbingan Keluarga dalam Membantu Anak Autis (Farida)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. dan M. Umar, 1982, Psikologi Umum, Surabaya: Bina Ilmu Budiamin, Amin dan Setiawati, 2009, Bimbingan Konseling, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI Faqih, Aunur Rahim, 2001, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, Yogyakarta: UII Press Yogyakarta Casmini dan Siti Nur Khotimah, 2009, Terapi Anak Autisme di Yayasan Autistik Fajar Nugraha Yogyakarta, Jurnal Eksploria. Vol. VII, No.1 Chaerunnisa, 30 April 2008, Penanganan Tepat pada Anak Autisme Danuatmaja, B., 2003, Terapi Anak autis di Rumah, Jakarta: Puspa Swara Darajat, Zakiyah, 1995, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset Dewo, Emanuel Setio, 2006, Anak Autis Handojo, 2003, Autisme, Jakarta: Bhuana Ilmu Komputer Istiyanto, 5 Maret 2008, Metode Penyembuhan Baru bagi Anak Autis MIF Baihaqi, 2008, Psikologi Pertumbuhan (Kepribadian Sehat untuk Mengembangkan Kepribadian), Bandung: Remaja Rosdakarya Najati, Muhammad Utsman, 2005, Psikologi Nabi: Membangun Pesona Diri dengan Ajaran-Ajaran Nabi SAW), Bandung: Pustaka Hidayah Nurihsan, J., 2003, Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Bandung: Mutiara Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
27
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Sarasvati, 2004, Meniti Pelangi (Perjuangan Seorang Ibu yang Tak Kenal Menyerah dalam Membimbing Putranya Keluar dari Belenggu ADHD dan Autisme), Jakarta: PT Elex Media Komputindo (kelompok Gramedia) Sarwono, Sarlito W., 2009, Pengantar Psikologi Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Shochib, M., 1998, Pola Asuh Orang Tua: Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri, Jakarta: Rineka Cipta. Suhadianto, 2009, Autis Sujanto, A., Lubis, H. & Hadi, T., 2001, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Bumi Aksara Yatim, F., 2002, Autisme suatu Gangguan Jiwa pada Anak, Jakarta: Pustaka Populer Obor
28
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
KONSELING ISLAM BAGI INDIVIDU BERPENYAKIT KRONIS MORBUS HANSEN
Oleh: Ema Hidayanti Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang Abstrak Penderita kusta atau morbus hansen secara umum mengalami cacat ganda yaitu cacat fisik dan cacat psikososial. Komplesitas problem yang dihadapi penderita kusta ditanggani melalui program lintas terpadu, yang meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi mental psikologik, pendidikan kekaryaan dan rehabilitasi sosial. Bentuk rehabilitasi mental psikologis salah satunya bisa dilakukan melalui pemberian layanan konseling Islam sebagaimana yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo sebagai pusat rujukan kusta di Jawa Tengah. Berangkat dari fenomena tersebut, kajian ini mencoba menjawab dua permasalahan penting yaitu bagaimana kondisi psikologis dan bagaimana pelaksanaan konseling Islam bagi individu kronis morbus hansen di RSUD Tugurejo Semarang. Hasilnya kondisi psikologis pasien kusta sangat beragam antara mulai dari shock, stres, stigmatisasi diri, isolasi diri, keinginan bunuh diri, dan gangguan konsep diri. Sedangkan pelayanan konseling Islam diberikan secara rutin baik baik individu maupun kelompok, dan menerapkan model hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah. Kata Kunci: Konseling Islam, Individu Berpenyakit Kronis Morbus Hansen.
A. Pendahuluan Penderita kusta biasanya akan mengalami cacat ganda (fisik dan psikososial). Perkembangan selanjutnya, banyak dari mereka yang menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
29
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di masyarakat. Sehingga bila dikaji lebih lanjut permasalahan penyakit kusta merupakan masalah kemanusian seutuhnya bagi sebuah negara. Pemerintah pada tahun 1982 telah menyusun petunjuk pelakasanaan penanggulangan kusta nasional melalui program lintas terpadu, yang meliputi beberapa aspek rehabilitasi yaitu rehabilitasi medik, rehabilitasi mental psikologik, pendidikan kekaryaan dan rehabilitasi sosial. Dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai departemen antara lain, departeman kesehatan, departemen sosial, departemen tenga kerja, departemen agama, departemen trasmigrasi, departemen dalam negeri, dan departemen pendidikan dan kebudayaan (Djuanda, 1997: 101). Untuk memudahkan penanggulangan kusta secara terpadu pemerintah mendirikan pusat rehabilitasi medik di rumah sakit-rumah sakit di daerah. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi dengan angka penderita kusta cukup tinggi, selain Aceh, Sulawesi Selatan, Maluku, Jawa Timur dan Madura (http://www.tempointeraktif.com.html, “kasus lepra.di Indonesia. peringkat tiga dunia”). Rumah Sakit Kusta Tugurejo merupakan rumah sakit kusta yang dibangun tahun 1952 oleh Dinas Pemberantasan Penyakit Kusta Jawa Tengah. Pada perkembangan berikutnya berubah status menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan dan Sosial Nomor 1810/MenKesKesos/SK/XII/2000. Meskipun demikian, hingga sekarang rumah sakit ini masih memberikan pelayanan khusus pada penderita kusta baik melalui rawat jalan maupun rawat inap. Pasien kusta yang menjalankan rawat inap ditempatkan di ruang isolasi bangsal kenanga. Jumlah rata-rata pasien kusta yang menjalani rawat inap antara 15 sampai 20 orang pada tiap bulannya. Selama menjalani perawatan di rumah sakit selain mendapatkan perawatan medis, pasien kusta mendapatkan bimbingan dan konseling secara rutin. Kegiatan tersebut pada dasarnya merupakan bentuk rehabilitasi mental yang menjadi
30
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
tanggung jawab rumah sakit. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam “Pedoman Penanggulangan Kusta Lintas Sektoral” dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Sebagaimana tercantum pada bab II pasal 3 dan pasal 4, pedoman pelaksanaan penanggulangan kusta tentang pelayanan medik dan rehabilitasi mental/psikologik yang berbunyi: Pasal 3 “Kegiatan penyuluhan, penemuan dan pengobatan penderita kusta dalam rangka usaha pemutusan mata rantai penularan, perawatan penderita dan rehabilitasi medik menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan”. Pasal 4 “Kegiatan dan rehabilitasi mental/psikologik penderita kusta menjadi tanggung jawab Departemen kesehatan dibantu oleh Departemendepartemen lain seperti Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Penerangan dan lain-lain” (Depkes, 1983: 3). Lebih lanjut pada bagian penjelasan bab II pasal 4 disebutkan : “Untuk melakukan kegiatan rehabilitasi mental/psikologis dapat dibantu Departemen Agama melalui petugas-petugas di daerah juga pemuka-pemuka Agama di desa-desa. Dengan adanya kenyataan bahwa masyarakat kita tidak lebih dengan dan menaruh kepercayaan kepada pemuka-pemuka agama, maka kesempatan ini dapat membantu rehabilitasi mental kepada penderita dan masyarakat” (Depkes, 1983: 3).
Berdasarkan pasal di atas semakin menguatkan bahwa rumah sakit bertanggung jawab atas rehabilitasi medik, selain itu rumah sakit bertanggungjawab pula terhadap rehabilitasi mental-
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
31
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
psikologis bagi penderita kusta. Dimana dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan pemuka agama dengan pertimbangan masyarakat Indonesia yang religius memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap agama itu sendiri dan pemuka/tokoh agama yang menyampaikan pesan agama. Sebagai bukti pelaksanaan tanggung jawab tersebut, RSUD Tugurejo Semarang memberikan pelayanan bimbingan dan konseling khususnya bagi pasien muslim sejak tahun 1999. Suatu fenomena yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat masih sangat terbatas kajian bimbingan dan konseling setting rumah sakit. Kajian ini diawali dengan deskripsi singkat problematika psikologis penderita morbus hansen (kusta), kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan konseling Islam bagi pasien kusta di RSUD Tugurejo Semarang. Buah pikir sederhana ini diharapkan akan memberikan manfaat memperkaya khasanah ilmu dakwah khususnya konseling Islam. Sementara secara praktis dapat menjadi bahan masukan bagi para aktivis dakwah untuk memperhatikan mad’u yang memiliki kebutuhan khusus seperti pasien berpenyakit kronis di rumah sakit dan mad’u dengan karakteristik lainnya di masyarakat. B. Pembahasan 1. Reaksi Psikologis Pasien Kusta RSUD Tugurejo Semarang Kondisi psikologis pasien kusta ditinjau dari tiga faktor (demografi, predisposing, dan reinforsing) (Green, 2000 dan Notoadmodjo, 2007), secara umum menunjukkan kondisi psikologis pasien antara lain sebagai berikut: a) Pada awal dinyatakan terkena kusta pasien akan mengalami shock yang cukup serius. b) Kecemasan dan ketakutan akan terjadi kecacatan. c) Sebagian besar penderita mengalami stigmatisasi bahwa penyakit kusta merupakan aib yang memalukan. d) Mengalami kebosanan dan kejenuhan dalam menjalani perawatan dan pengobatan yang cukup lama. e) Beberapa pasien mengalami keputusasaan yang tinggi dan terkadang muncul pikiran ingin bunuh diri.
32
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
f) Stres karena penyakitnya berdampak pada perkawinan dan hubungan interpersonal. Dalam hal ini bagi yang lajang mengalami ketakutan dan keresahan masalah pernikahan (takut pasangan tidak bisa menerima penyakit yang diderita). Sementara bagi yang telah berstatus menikah mengalami ketakutan dan keresahan akan ditinggalkan pasangan (isteri atau suami) dan anak karena tidak bisa menerima kusta yang diderita. g) Sebagian pasien dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat. h) Konsep diri dan citra diri yang rendah terutama stigmatisasi diri sendiri, tidak bisa bekerja dan mulai mengalami cacat fisik. i) Menarik diri dari kehidupan sosial seperti mengurangi interaksi dengan teman dan masyarakat, lebih banyak mengurung diri di rumah. Berbagai kondisi psikologis yang dialami pasien sebagaimana di atas, semakin menguatkan bahwa penyakit kusta memberi pengaruh yang luas pada kehidupan penderita mulai dari perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan bisnis, sampai kehadiran mereka pada acara-acara keagamaan serta acara di lingkungan masyarakat (Leprosy Review, 2005). Hal ini sejalan dengana cacatan Depkes RI (2005: 8), penyakit kusta menimbulkan masalah yang kompleks, maksudnya bukan hanya masalah medis tetapi juga meluas sampai masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan ketahanan nasional (Depkes, 1983: 8). 2. Pelaksanaan Konseling Islam bagi Pasien Kusta RSUD Tugurejo Semarang Pelayanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu langkah rehabilitasi mental yang dibutuhkan bagi pasien kusta. Secara integral pelayanan ini, seharusnya diberikan kepada pasien bersamaan dengan terapi medis yang dijalani. Pada setiap kesempatan melakukan tindakan medis, sebenarnya perawat atau dokter mempunyai tanggung jawab memberikan motivasi agar pasien tekun menjalani pengobatan dan optimis sembuh Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
33
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
meskipun membutuhkan waktu yang lama. Namun karena berbagai keterbatasan tenaga, waktu dan pengetahuan, paramedis tidak bisa melakukan pelayanan tersebut sendiri, melainkan membutukan pihak ketiga (petugas khusus) untuk melakukan rehabilitasi mental psikologis pasien kusta (Wawancara dengan Kepala Perawat Bangsal Kusta, 19 Juni 2010). Sebelumnya konseling atau pembinaan bagi pasien kusta banyak dilakukan oleh Hj. Soedardjatmi, M. Kes (Fisioterapis). Menurutnya, “dahulu perhatian kepada penderita kusta masih sangat minim termasuk dari kalangan dokter dan perawat sendiri. Hal tersebut dikarenakan masih ada ketakutan yang luar biasa akan penyakit kusta menular (leprophobia). Sebagai fisioterapis tentunya saya sering bertemu dan berkomunikasi dengan penderita kusta. Intensitas ini yang membuat banyak pasien bercerita dan berkeluh kesah tentang hidup dengan penyakit kusta yang diderita. Terkadang mereka meminta waktu untuk bertemu dan meminta saran bahkan membantu memecahkan masalah yang dihadapi” (Wawancara, 20 Juni 2010). Pola interaksi yang demikian secara tidak langsung Ibu Soedardjatmi telah menerapkan peran yang seharusnya memang diberikan perawat kepada pasien yaitu sebagai konselor dan rehabilisator yaitu membantu klien meminimalisir gangguan emosi akibat sakit yang diderita dan beradaptasi dengan gaya hidup yang berkaitan dengan penyakit kronis yang dimiliki (Potter, 2005: 287). Namun sayangnya peran yang demikian sangat sulit diterapkan dengan kondisi lapangan yang lebih menuntut perawat lebih memperhatikan aspek medis daripada yang lain. Hal ini seringkali terjadi karena rasio jumlah perawat dan pasien yang tidak sebanding, sehingga peran sebagai rehabilitator, konselor lebih memungkinkan dilakukan pihak lain diluar perawat. Mulai tahun 1999, secara khusus dilakukan pembinaan, bimbingan dan konseling oleh Abdul Somad, S. Ag. yang memiliki latar belakang pendidikan sarjana agama (alumni Fakultas Dakwah Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam).
34
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
a) Waktu Pelayanan Konseling Bagi Pasien Kusta. Pelayanan bimbingan dan konseling Islam bagi pasien kusta dilakukan secara rutin setiap Jumat jam 09.00-11.00 WIB. Sebelum melakukan kegiatan pelayanan, petugas mendata nama-nama pasien dan berkomunikasi dengan perawat bangsal untuk mengetahui perkembangan kondisi umum pasien. Melalui komunikasi dengan paramedis baik perawat maupun dokter, petugas sering kali mendapatkan rekomendasi nama-nama pasien yang perlu mendapat perhatian dan pelayanan bimbingan dan konseling secara intensif dari petugas. Disamping jadwal yang telah ditetapkan, petugas dapat memberikan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pasien diluar jadwal yang ada (Wawancara dengan Abdul Somad, 21 Juni 2010). b) Materi Konseling Islam Materi pelayanan pada dasarnya merupakan semua aspek kehidupan yang dialami penderita. Dalam proses konseling, pasien dihadapkan pada beragam permasalahan yang berbeda sehingga materi yang diberikan bergantung pada masalah yang dihadapi pasien. Namun secara umum materi pelayanan yang disampaikan pada pasien ditekankan pada beberapa aspek berikut: 1) Pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang sakit menurut Islam. 2) Pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit kusta. Hal ini sangat penting dilakukan karena masih kuatnya pandangan sebagian pasien dan keluarganya bahwa penyakit kusta adalah kutukan dari Tuhan. 3) Ikhtiar dan tawakal. 4) Kisah-kisah teladan nabi dan auliya sebagai sumber motivasi bagi mereka dalam menjalani penyakit kusta yang diderita. Tujuan pemberian materi di atas menurut Abdul Somad S. Ag. adalah “memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang sakit dan penyakit kusta pada khususnya, memperkuat Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
35
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kondisi psikis pasien sebagai satu bentuk rehabilitasi mental pasien”. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa “tanpa pemahaman yang benar dan kesadaran diri pasien, akan sulit ditemui pasien yang taat dan sabar melakukan pengobatan yang membutuhkan waktu yang lama” (Wawancara, 21 Juni 2010). Hal ini senada dengan pendapat Djuanda (1997: 95) bahwa rehabilitasi mental bagi kusta harus sejalan dengan rehabilitasi medis yang dijalani. Karena hambatan yang sering kali muncul dalam proses rehabilitasi medis yang memakan waktu lama adalah dari diri pasien sendiri seperti perasaan malu, takut diketahui orang lain, takut usaha sia-sia, takut menjadi gunjingan orang karena penyakitnya (Djuanda, 1997: 95). Berbagai kondisi mental yang demikian akan menghambat penderita tekun atau enggan berobat, akibatnya resiko kecacatan akan lebih tinggi dan kesembuhan akan memakan waktu yang lebih lama. c) Teknik dan Jenis Pelayanan Konseling Islam Menurut Abdul Somad, masalah yang dihadapi pasien kusta sering kali cukup kompleks, sehingga bimbingan dan konseling yang dibutuhkan tidalah sama antara satu pasien dengan pasien lainnya (Wawancara, 21 Juni 2010). Hal ini dibenarkan pula oleh Sudardjatmi, pasien yang berbeda dari berbagai latar belakang baik pendidikan, status perkawinan, umur, bahkan jenis kelamin akan merespon sakit kusta yang diderita secara beragam. Lebih lanjut dijelaskan bahwa masalah yang dihadapinya juga berbeda-beda dari kurangnya pemahaman tentang penyakit yang diderita, perasaan minder, malu, stres, tidak bisa kerja, takut tidak mendapat suami atau isteri dan lain sebagainya. Selain itu Sudardjatmi (Wawancara, 15 Juni 2010), menjelaskan bahwa dalam memberikan konseling bagi penderita kusta diterapkan teknik PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) yaitu: 1) Pengetahuan Pengetahuan maksudnya seberapa jauh konselor dan penderita memahami tentang penyakit kusta itu sendiri. Sebagai konselor tentunya dibutuhkan pengetahuan yang
36
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
luas tentang penyakit kusta, sehingga dapat memberikan pemahaman yang tepat bagi pasien yang umumnya kurang mengerti dan memahami penyakit yang dideritanya. Demikian juga seorang konselor perlu mengetahui seberapa jauh pasien memahami tentang penyakitnya. Jika pasien masih sangat minim pengetahuan tentang penyakit kusta, maka tugas konselor yang pertama memberikan pengetahuan dan pemahaman secukupnya kepada pasien, meluruskan kesalahpahaman pasien tentang penyakitnya seperti penyakit kusta merupakan penyakit kutukan Tuhan, penyakit keturunan dan lain sebagainya. 2) Sikap Tahap berikutnya adalah pembentukan atau penanaman sikap. Sikap ini juga berlaku bagi konselor dan penderita. Konselor bagi pasien kusta perlu mengembangkan sikap berani, tidak jijik, ramah dan sabar kepada para pasien. Sikap-sikap ini sangat penting dalam menghadapi pasien yang memiliki tingkat sakit beragam (seperti ada yang cacat, kulit melepuh, terkadang bau yang tidak enak). Jika sikap-sikap tersebut dapat dikembangkan, konselor akan lebih mudah menjalin komunikasi dengan pasien. Sementara bagi pasien kusta perlu diterapkan berbagai sikap positif tentang penyakitnya dan penerimaan yang tinggi terhadap keadaan dirinya sekarang. Seorang konselor bertugas membantu pasien agar memiliki berbagai sikap positif tersebut seperti rajin berobat, menjaga kebersihan, mentaati perintah dokter, mengurangi beban pikiran agar tidak stres, percaya diri, membangun komunikasi dengan lingkungan masyarakat, tidak mengucilkan diri, optimis sembuh, rajin beribadah dan lain sebagainya. Berbagai sikap tersebut tentunya disesuaikan dengan kondisi pasien yang dihadapi. 3) Praktek Tahap ketiga adalah praktek. Dalam hal ini, konselor diharapkan mampu merancang berbagai cara atau treatmen Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
37
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
agar pasien dapat memimalisir sikap negatif yang dimiliki dan meningkatkan rasa penerimaan diri. Disinilah inti dari proses bimbingan dan konseling itu sendiri. Konselor dituntut untuk memberikan bantuan yang diharapkan atau disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Berbagai model konseling dapat diterapkan termasuk diantaranya mengajak pasien untuk saling berinteraksi lebih dekat dan berkomunikasi antar sesama pasien kusta. Pada tahap ini, konselor sering kali harus melibatkan keluarga pasien untuk lebih memberikan perhatian, motivasi dan dukungan pada pasien, karena hal ini menjadi sangat penting bagi pasien terutama jika sudah keluar dari rumah sakit. Peran dan pengawasan konselor, dokter dan perawat dapat digantikan oleh anggota keluarga pasien, sehingga diharapkan pasien tetap mengembangkan sikap-sikap positif yang telah dilatih selama rawat inap sehingga mendukung proses pengobatan yang dilakukan. Langkah-langkah tersebut dapat dijadikan pedoman pemberian pelayanan bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan pasien. Dari hasil wawancara dengan petugas diketahui belum ada pembagian khusus tentang bidang pelayanan bimbingan dan konseling yang diberikan pada pasien kusta. Meskipun demikian, dari hasil observasi terhadap pelayanan bimbingan dan konseling yang sudah berjalan telah menunjukkan adanya bidangbidang pelayanan BK yang telah dilakukan. Bidang-bidang tersebut memang sering kali tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Beberapa jenis bidang layanan konseling yang telah diberikan seperti : (a) Bidang Pribadi Layanan bidang ini antara lain masalah keagamaan dan pengembangan kepribadian. Secara umum diakui oleh Abdul Somad (Wawancara, 15 Juni 2010), bahwa pasien yang memiliki tingkat keagamaan yang baik akan lebih mudah menerima keadaan dirinya dari pada mereka yang rendah pemahaman
38
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
dan pengetahuan agamanya. Dicontohkan pula, AM seorang pasien dari Jepara berusia 25 tahun meskipun relatif masih sangat muda, ia memiliki tingkah kepasrahan yang luar biasa dalam menerima ujian dari Allah. Sementara pasien yang kurang keagamaanya akan cenderung sangat stres, menyalahkan Tuhan atas penyakit yang dideritanya dan tak jarang melakukan tindakan bunuh diri (Wawancara, 15 Juni 2010). Dalam beberapa kasus yang demikian, petugas berupaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang ajaran agama dan secara bersamaan juga membimbing pasien untuk mengembangkan pribadi yang lebih positif sehingga dapat menerima keadaan dirinya dan memberi makna yang lebih positif terhadap penyakit yang dideritanya. Pada tahap ini petuga,s pada dasarnya telah menerapkan fungsi konseling pemahaman dan pengembangan dengan tujuan untuk perubahan perilaku, kesehatan mental yang positif dan keefektifan pribadi. (b) Bidang Sosial Pelayanan bidang sosial adalah membantu klien mengoptimalkan perannya sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi dan komunikasi dengan orang lain. Secara umum pasien kusta memiliki masalah sosial seperti dikucilkan oleh masyarakat maupun mengucilkan diri dari orang lain, kehilangan peran sosialnya secara beragam baik ditingkatan keluarga maupun masyarakat dimana ia tinggal. Tugas konselor dalam hal ini adalah membantu pasien untuk menjalin kembali hubungan sosial dengan lebih baik di lingkungan keluarga, teman sebaya, dan masyarakat, membangun kembali kepercayaan diri pasien untuk kembali terlibat atau mengambil kembali peran sosialnya sebatas kemampuan yang dimiliki. Disini seorang petugas sedapat mungkin melibatkan keluarga dalam membantu pasien mengembalikan fungsinya Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
39
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
sebagai mahluk sosial sebagaimana anggota masyarakat pada umumnya. (c) Bidang Karir Bimbingan karir merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada individu agar dapat mengenal dan memahami dirinya, mengenal dunia kerjanya, dan mengembangkan masa depan sesuai yang diharapkan (Juantika, 2006: 15). Bimbingan bidang ini akan sangat penting diberikan bagi pasien kusta dengan tingkat pendidikan setara SMA atau Sarjana. Bagi pasien yang memiliki latarbelakang pendidikan sebagaimana disebutkan, menderita kusta merupakan pukulan yang luar biasa dalam hidupnya. Kusta yang diderita menghambat mereka untuk bekerja sesuai keahlian yang dimiliki bahkan menjadi sumber rendah diri yang besar. Menurut Ibu Soedardjatmi (Wawancara, 15 Juni 2010), berdasarkan pengalaman selama ini pasien kusta yang memiliki latar belakang pendidikan rendah akan menganggap kusta yang diderita sebagai penyakit yang biasa-biasa saja, tetapi bagi pasien dengan pendidikan yang tinggi menjadikan kusta sebagai sumber yang sangat mengancam masa depannya. Hasil wawancara mendalam selama penelitian ditemui pasien dengan tingkat pendidikan STM, ketiga pasien menyatakan belum dapat bekerja meskipun telah menamatkan STM karena kusta yang diderita. Penyakit kusta yang sering kali menimbulkan reaksi, bahkan tanpa disadari telah mematikan beberapa sistem saraf ditangan membuat mereka minder saat melamar kerja bahkan sulit mendapat pekerjaan. Apalagi jika terlalu capek dan stres, penyakit kusta yang ada mudah kambuh (Wawancara dengan Informan, 9 Juni 2010). d) Model Konseling Islam Dari hasil wawancara dan observasi, model konseling Islam yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
40
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
1) Model Mujadalah Model ini tepat diterapkan pada pasien yang memiliki keyakinan dan pandangan yang tidak tepat tentang penyakitnya seperti menyalahkan Tuhan atas penyakit kusta yang dideritanya, merasa bahwa sakitnya adalah aib sehingga pasien merasa sangat rendah diri dan tidak berguna, mendapatkan kutukan Tuhan dengan didera penyakit kusta yang menahun. Berbagai pandangan dan keyakinan yang demikian merupakan kesalahan yang harus diluruskan karena hal tersebut sangat merugikan diri pasien sendiri. Model konseling mujadalah sangat tepat dikembangkan untuk klien yang memiliki pandangan dan kepercayaan yang dinilai membahayakan dirinya baik bagi perkembangan jiwanya, akal fikirannya, emosional dan lingkungannya (Adz-Dzakky, 2000: 2003). Dicontohkan seorang pasien laki-laki P usia 40 tahun, ia memiliki keyakinan bahwa penyakitnya merupakan hukuman dari Allah yang tidak kunjung sembuh. Sehingga ia merasa bahwa ibadahnya sia-sia dan akhirnya meninggalkan kewajiban salatnya. Keyakinan dan pandangan yang salah tentang penyakit kusta membutuhkan waktu yang cukup lama untuk meluruskannya. Melalui dialog dengan pasien konselor dapat mengetahui latar belakang pemikiran. Keyakinan dan sikap yang dikembangkan selama ini, kemudian secara bertahap konselor dapat mengubah pandangan dan keyakinan pasien tersebut (Wawancara dengan Abdul Somad, 15 Juni 2010). 2) Model Mauidzah Hasanah Model ini secara umum selalu diberikan kepada semua pasien kusta. Sebagaimana dasar dari pengembangan model ini yaitu ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira peringatan, pesan-pesan positif (wasiat) yang dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
41
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
keselamatan dunia dan akhirat (Suparta, 2003: 17). Konseling Islam dengan model ini dikembangkan dengan cara mengambil pelajaran-pelajaran dari perjalanan kehidupan para Nabi, Rasul dan Auliya Allah. Penerapan model ini dilakukan petugas dengan memberikan materi berupa kisah-kisah para nabi dan sahabat seperti kisah Nabi Ayub AS yang diberi ujian sakit dalam waktu yang lama. Melalui materi ini petugas mencoba menjelaskan keteladanan yang dilakukan para nabi dalam menjalani setiap tahap kehidupan yang penuh ujian. Dengan demikian, diharapkan pasien akan dapat meneladani perilaku yang dicontohkan para nabi sehingga pasien secara bertahap mampu mengembangkan sikap dan perilaku yang lebih positif meskipun dalam keadaan sakit. (3) Model al-Hikmah Model konseling ini sangat cocok diterapkan bagi individu yang belum mampu menerima keadaan dirinya yang sedang mendapatkan ujian dari Allah. Model ini tepat digunakan untuk menghadapi pasien kusta yang mengalami shock, mental yang down atas vonis kusta yang diberikan dokter dan masa-masa transisi untuk beradaptasi dengan pola hidup baru dengan penyakitnya. Langkahlangkah melakukan konseling dengan model hikmah adalah: (a) Sebab-sebab terjadinya masalah dalam perspektif agama dan psikologis. (b) Membantu klien memahamai problem yang sedang dihadapi, membantu memberikan alternatif pemecahan masalah, dan membantu klien melakukan evaluasi diri berkaitan dengan kesalahan dan kekurangan yang pernah dilakukaan. (c) Membantu klien untuk memahami kembali ajaran Islam tentang kehidupan dan bagaimana mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
42
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
Beberapa langkah di atas dapat diterapkan dengan menekankan pada pasien tentang pengetahuan dan pemahaman sakit dalam Islam, menjelaskan berbagai tuntunan perilaku yang dianjurkan agama selama sakit, menyerahkan kesembuhan penyakitnya kepada Tuhan yang telah memberikannya dengan tetap melakukan iktiar secara maksimal diimbangi dengan tawakal (senantiasa berdoa agar secepatnya diberi kesembuhan). Melalui tahapan tersebut diharapkan pasien mampu menerima keadaan dirinya yang sekarang dan memberikan hikmah/ makna yang lebih positif terhadap musibah yang ada dan tetap istiqomah menjalankan pengobatan yang disarankan dokter. Implementasi model konseling sebagaimana telah disebutkan, seringkali tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain, dan penerapannya dapat dilakukan secara individual maupun kelompok. Konseling secara individual dikhususkan bagi pasien yang ada diruang isolasi dimana ia tidak melakukan interaksi dengan pasien yang lain, biasanya dikarenakan kusta yang parah ditandai dengan tingkat seringnya bereaksi. Bagi pasien lainnya yang keadaannya lebih baik akan mendapatkan bimbingan dan konseling secara berkelompok dalam bangsal yang terdiri dari 10 sampai 12 pasien. Pada perkembangannya tiga model konseling Islam yang memiliki makna yang sangat dalam di atas, dapat dipraktekkan dengan berbagai model konseling modern yang kini banyak dikembangkan sesuai kebutuhan klien. Hal ini pula yang bisa dijadikan alternatif pengembangan model yang bisa diterapkan dalam pelayanan konseling bagi pasien kusta RSUD Tugurejo Semarang. Menurut penulis, beberapa model konseling yang bisa diterapkan antara lain : a) Konseling dengan Teknik Modeling Penerapan konseling dengan teknik modeling ini dikembangkan dari teori besar konseling behavioristik Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
43
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
yang dikembangkan Bandura, dimana dalam mengubah perilaku seseorang perlu dilakukan rangsangan, contoh tentang perilaku yang diharapkan dari orang tersebut (Koeswara, 1995: 34). Modeling sendiri berati prosedur dimana seseorang dapat belajar melalui mengobservasi tingkah laku orang lain. Model dapat secara langsung atau simbolik (Abimayu, 1995: 256). Model langsung atau yang sesungguhnya adalah orang yaitu konselor, teman sebaya dan lain sebagainya. Sementara model simbolik dapat melalui material tertulis seperti buku pedoman, film, rekaman radio, video atau slide. Konseling dengan teknik ini akan sangat berguna mengajarkan klien tingkah laku yang sesuai, mempengaruhi sikap dan nilai-nilai, serta mengajarkan ketrampilan-ketrampilan sosial. Bagi pasien kusta teknik ini sangat sesuai terutama untuk menumbuhkan perilaku yang positif seperti melihat lawan bicara, dan tidak rendah diri/ lebih percaya diri, mengikis kepercayaan yang keliru atas penyakitnya, mengurangi stigamtisasi diri sendiri (menganggap diri sebagai aib sehingga menarik diri dari kehidupan sosial), mengembangkan ketrampilan berkomunikasi dengan orang lain seperti membuka diri, bertanya dan lain sebagainya. Penerapan teknik ini dapat melibatkan pasien sendiri atau beberapa pegawai RSUD Tugu yang eks-kusta. Konselor/petugas dapat menfasilitasi pasien untuk belajar dari pengalaman orang yang pernah terkena kusta dan akhirnya bisa sembuh dan menjalankan kehidupan seperti layaknya manusia yang lain. Model langsung dengan mendatangkan orang eks-kusta akan lebih efektif mendorong pasien kusta melakukan perubahan perilaku, sikap dan keyakinan yang selama ini telah dikembangkan dengan meniru apa yang telah dilakukan model tersebut.
44
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
Model simbolik dapat juga diterapkan misalnya untuk menguatkan pasien untuk taat berobat dan optimis sembuh. Melalui gambar-gambar atau buku panduan, konselor dapat menjelaskan bagaimana perbedaan pasien yang taat berobat dengan yang tidak, menjelaskan berbagai resiko kecacatan yang mungkin dialami jika terlambat atau tidak tekun berobat. Konseling dengan model akan lebih memudahkan pasien menerima dan memikirkan apa yang lihat dan didengar, apalagi didukung dengan contoh-contoh yang nyata membuat keinginan dan keyakinan untuk mencontoh model lebih besar. Model simbolik membutuhkan banyak perlengkapan dan peralatan, sehingga akan lebih memungkinkan diterapkan jika melibatkan pihakpihak terkait seperti dokter, perawat bahkan pihak RS sendiri terutama dalam hal pengadaan peralatan dan perlengkapan. Pada umumnya, kebanyakan pasien hampir tidak memiliki sumber pengetahuan tentang penyakitnya, kecuali bertanya langsung pada dokter atau perawat. Bagi mereka yang tidak aktif bertanya akan memiliki pengetahuan yang sangat minim tentang sakitnya. Jika tidak dibantu para perawat dan petugas bimbingan dan konseling mengenal penyakitnya dengan lebih baik, maka tidaklah heran banyak ditemui pasien yang memegang keyakinan dan pandangan yang salah tentang penyakit kusta yang dideritanya. (b) Konseling Kelompok Berdasarkan hasil pengamatan, kendati telah dilakukan rehabilitasi mental secara berkelompok, namun menurut hemat peneliti yang telah dilakukan lebih menampakkan bimbingan kelompok. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya partisipasi pasien pada setiap sesi kegiatan. Konselor lebih banyak mendominasi setiap sesi pertemuan dengan memberikan materi-materi
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
45
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
tertentu. Untuk melengkapi bimbingan kelompok yang telah berjalan sangat penting dikembangkan konseling kelompok bagi penderita kusta. Konseling kelompok merupakan salah satu bentuk konseling yang memanfaatkan dinamika kelompok untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi peserta kegiatan (Prayitno, 2004 : 1). Konseling kelompok bagi orang-orang yang mengalami penyakit kronis sangat penting dibentuk untuk membantu anggota kelompok agar mampu menghadapi stres yang disebabkan oleh tekanan perasaan ketakberdayaan selama sakit (Taufiq, 2005: 335). Dinamika dalam konseling kelompok mengandung ciri-ciri terapeutik seperti pengungkapan pikiran dan perasaan mendalam yang dialami, saling percaya, saling perhatian, saling pengertian dan saling mendukung (Winkels, 2004: 590). Ciri-ciri terapeutik tersebut sangat penting dalam membantu anggota untuk memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, mengembangkan kemampuan berkomunikasi, menetapkan dan menghayati makna hidup, dan memecahkan masalah yang dihadapi anggota (Winkels, 2004: 592). Konsep konseling kelompok yang demikian sangat tepat jika diberikan bagi pasien kusta yang memiliki beragam masalah mulai dari stres karena penyakit, kesulitan memberi makna terhadap hidupnya, menarik diri/kurang komunikasi, tertutup dan sebagainya. Melalui konseling kelompok ini, setiap pasien akan mendapatkan dukungan sosial dan motivasi dari pasien yang lain, dimana hal ini sangat penting bagi individu dengan penyakit kronis. Selain itu, pasien bisa saling bertukar informasi, pengetahuan, dan pengalaman tentang penyakitnya bahkan memecahkan masalah yang dihadapi salah satu pasien seperti cara mengatasi perubahan peran sosial, perubahan fisik dan lain sebagainya. Suasana kekeluargaan dan saling
46
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
membantu akan menciptakan hubungan yang saling menguatkan antar pasien terutama dalam selama rawat inap untuk menjalani terapi medis yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Konseling kelompok sepertinya akan lebih efektif membantu pasien yang tersigma, yaitu merasa dirinya rendah diri, memalukan, dan penuh aib karena penyakit yang dideritanya. Dinamika kelompok dalam konseling mampu membantu pasien untuk memperbaiki konsep dirinya dan yang lebih penting memimalisir berbagai stigmatisasi diri sendiri karena ternyata tidak hanya dirinya yang menderita kusta, tetapi ada orang lain yang bernasib sama dengannya. Kesadaran seperti ini sangat dibutuhkan pasien sebagai langkah awal melepas stigmatisasi diri yang biasa tidak mudah dilepaskan selama hidup dengan penyakitnya. (c) Peer Counseling Peer counseling atau konseling teman sebaya merupakan model konseling dengan mengupayakan konselor dari teman sendiri (Erhamwilda, 2005: 7). Konseling model ini akan mendorong semua pasien berkesempatan menjadi konselor bagi teman sendiri. Bagi penderita kusta yang cenderung tertutup dengan orang lain, model ini bisa dijadikan alternatif. Pasien kusta akan lebih mudah bercerita tentang masalahnya dengan pasien lainnya yang kemungkinan memiliki masalah yang sama dengan dirinya sebagai dampak dari penyakit yang dideritanya. Pasien yang menjadi ko-konselor dapat memberikan nasehat dengan mentransfer pengalaman yang pernah dilakukan. Dalam perjalanannnya, jika ko-konselor menemui kesulitan dapat berkonsultasi lebih lanjut dengan konselor. Model ini mengharuskan konselor melatih beberapa pasien untuk dapat membantu pasien lainnya yang membutuhkan. Konselor dapat mengamati pasien mana saja yang memungkinkan untuk dijadikan koKonseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
47
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
konselor. Dalam hal ini, tentunya dipilih pasien yang telah memiliki rasa penerimaan yang tinggi terhadap penyakitnya. Pasien yang seperti ini telah mampu melewati fase-fase sulit dalam hidupnya dengan penyakit kusta yang diderita selama ini. Kondisinya yang telah stabil ini menjadi modal penting bagi dirinya untuk menjadi helper bagi teman mereka (sesama penderita kusta). d) Konseling Keluarga Model konseling keluarga menjadi bisa terapkan bagi pasien yang merasa kurang mendapatkan dukungan dan perhatian dari keluarganya ataupun untuk memperkuat dukungan yang diberikan pada pasien selama ia sakit. Model ini bisa mengambil bentuk family therapy atau terapi keluarga, couples therapy atau terapi pasangan dan parent education (Surya, 2003: 168). Berbagai model terapi bisa dilakukan berdasarkan kebutuhan pasien. Penderita kusta sering dihadapkan pada masalah ditinggalkan pasangan dan tidak diakui oleh orang tua bahkan dibuang keluarga. Model ini bisa dijadikan upaya preventif terjadinya hal di atas. Cukup Banyak keluarga yang tidak tahu dan paham dengan penyakit yang diderita anggota keluarganya, selain itu masih dijumpai kesalahpahaman tentang penyakit kusta yang berdampak pada pendapat dan sikap yang tidak benar kepada penderita. Hal-hal semacam ini bisa secara dini diminimalisir oleh konselor dengan teknik mendatangkan pasangan atau keluargake rumah sakit atau dengan cara home visit (kunjungan ke rumah pasien). Bila konseling model ini bisa dilakukan, berarti pasien akan mendapat dua bantuan sekaligus yaitu terapi internal untuk menyelesaikan masalah yang bersumber dari dirinya sendiri dan terapi eksternal untuk menyelesaikan masalah dengan lingkungannya (terutama keluarga).
48
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
Berbagai model konseling yang dikembangkan pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk menolong pasien kusta dengan beragam kondisi dan masalah. Hal ini dapat dipahami, sesungguhnya tidak ada model yang ideal untuk diterapkan tetapi setiap model akan sempurna dengan dipadukan dengan model lainnya untuk saling melengkapi. Dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam beragam model konseling dapat diterapkan dengan satu muara menolong pasien kusta dari berbagai masalah (psikologis, sosial, agama, dan keluarga) yang dihadapi selama hidupnya. Deskripsi singkat di atas, semakin memperkuat arti penting pelayanan bimbingan dan konseling Islam bagi Individu berpenyakit kronis morbus hansen. Dimana pelayanan ini merupakan bentuk rehabilitasi mental psikologis yang harus diberikan, selain rehabilitasi medis. Pasien dengan kondisi psikologis yang positif akan lebih rajin menjalankan pengobatan dan perawatan medis sehingga penyakitnya dapat sembuh total sebagaimana yang diharapkan. C. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat diambil simpulan: 1. Reaksi psikologis pasien kusta RSUD Tugurejo Semarang antara lain a). shock saat divonis kusta; b). kecemasan dan ketakutan akan terjadi kecacatan; c). mengalami stigmatisasi (penyakit kusta merupakan aib yang memalukan); d). kebosanan dan kejenuhan dalam menjalani perawatan dan pengobatan yang cukup lama; e). keputusasaan yang tinggi dan terkadang muncul pikiran untuk bunuh diri; f). stres karena penyakitnya berdampak pada perkawinan dan hubungan interpersonal; g). dikucilkan oleh keluarga dan masyarakat; h). konsep diri dan citra diri yang rendah; dan i). menarik diri dari kehidupan sosial seperti mengurangi interaksi dengan teman dan masyarakat, lebih banyak mengurung diri di rumah. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
49
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
2. Pelaksanaan konseling Islam bagi pasien kusta RSUD Tugurejo Semarang : a). waktu pelayanan konseling bagi pasien kusta dilakukan secara rutin setiap jum’at jam 09.00-11.00 WIB dan bergantung kepada kebutuhan pasien, baik secara individu maupun kelompok; b). teknik yang digunakan adalah teknik PSP (Pengetahuan, Sikap dan Praktek) dan jenis layanan yang diberikan adalah pelayanan bidang pribadi, bidang sosial dan bidang karir; dan c). model konseling Islam yang diterapkan adalah model al-hikmah, model mauidzah hasanah dan model mujadalah. D. Penutup Kajian sederhana ini menurut penulis memberikan arti signifikan bagi khasanah kelimuan bimbingan dan konseling (Islam), yang mana selama ini masih sangat minim digali. Upaya eskplorasi beragam pelayanan bimbingan dan konseling Islam yang sudah mulai dikembangkan di berbagai setting masyarakat menjadi hal yang sangat penting agar pelayanan bimbingan konseling religius khususnya Islam semakin familiar baik dalam segi teorik maupun praktis. Pelaksanaan bimbingan dan konseling Islam bagi pasien kusta di RSUD Tugurejo Semarang merupakan fenomena penting yang dapat dijadikan langkah kecil yang mengawali kajian yang lebih dalam berkaitan dengan tema-tema bimbingan konseling pada setting lainnya.
50
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Konseling Islam Bagi Individu Berpenyakit Kronis Morbus ... (Ema Hidayanti)
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soli, 1996, Laboratorium Bimbingan dan Konseling, Bandung: Refika Aditama Azwar, Saifuddin, 2007, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Depkes RI, 2005, Buku Petunjuk Pelasanaan Penanggulangan Kusta, Jakrata Depkes RI, 1981, Penyakit Kusta di Indonesia, Jakarta Djuanda, Adhi. dkk (ed), 1997, Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan, Jakarta: FK UI Erhamwilda, “Model Hipotetik “Peer Counseling” Dengan Pendekatan Realitas Untuk Siswa SLTA (Satu Inovasi Bagi Layanan Konseling Di Sekolah)”, Kumpulan Makalah Konferensi ABKIN Surabaya, 2005. Hamdany Bakran, Adz-Dzaky, 2000, Konseling dan Psikoterapi Islam, Bandung: Rizky Press Koeswara, 1995, Teori-teori Kepribadian, Yogyakarta: Kanisius Leprosy Review, 2005, A Journal Contribution to Better Understanding of Leprosy and Its Control, England: Volume 76, Number 2 Nurihsan, Achmad Juantika, 2006, Bimbingan Dan Konseling Dalam Berbagai Latar Kehidupan, Bandung: Refika Aditama Depkes RI, 1983, Panitia Bersama Penanggulan Kusta Antar Depatemen, Buku Petunjuk Pelasanaan Penanggulangan Kusta, Jakarta Potter, Patricia, dkk, 2005, Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik, penerjemah Yasmin Asih, dkk, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
51
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Prayitno, 2004, Bimbingan dan Konseling Kelompok, Universitas Negeri Padang
Padang:
Sugiyono, 2007, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta Suparta, Munzeir dan Hefni, Harjani (ed), 2003, Metode Dakwah, Jakarta: Rahmat Semesta Surya, Muhammad, 2003, Psikologi Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy Taufiq, Agus, 2005, “Konseling Kelompok bagi Individu Berpenyakit Kronis”, dalam Pendidikan dan Konseling di Era Global dalam Perspektif Prof. DR. M. Dahlan, Mamat Supriatna dan Achmad Juantika Nurihsan (ed), Bandung: Rizky Press Wawancara dengan Abdul Somad S, Ag., Petugas Bimbingan dan Konseling Islam RSUD Tugurejo Tgl 21 Juni 2010 Wawancara dengan Hj. Sudardjatmi, M. Kes., (Praktisi konseling bagi Pasein Kusta dan Ketua BLU RSUD Tugurejo), Tgl 15 Juni 2010 Wawancara dengan Kepala Perawat Bangsal Kusta, 19 Juni 2010 Winkels WS, 2004, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Yogyakarta: Media Abadi “kasus lepra di Indonesia peringkat tiga dunia”, http:// w w w. t e m p o i n t e r a k t i f . c o m / h g / n u s a / 2 0 0 9 / 0 6 / 2 5 / brk,20090625182778,id.html diunduh tanggal 31 Januari 2010 “Indonesia peringkat ketiga dunia penderita kusta terbanyak”, www.liputan6.com, diunduh 31 Januari 2010
52
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
SALAT SEBAGAI TERAPI BAGI PENGIDAP GANGGUAN KECEMASAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOTERAPI ISLAM Oleh: Ahmad Zaini Dosen Jurusan Dakwah STAIN Kudus
Abstrak Manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu fisik dan psikis. Substansi fisik adalah substansi material, tidak kekal dan berada dalam alam jasad. Sedangkan substansi psikis adalah substansi immaterial, kekal dan berasal dari dunia metafisik. Tabiat jiwa adalah mengenal Allah SWT dan senantiasa ingin mendekat kepada Allah SWT. Melupakan Allah SWT berarti penyimpangan dari tabiatnya, dan hal ini menjadi sumber gangguan jiwa (psikis). Orang yang terganggu jiwanya dapat dibantu melalui layanan psikoterapi Islam yaitu dengan mendudukkan semua persoalan yang dihadapinya pada tempatnya sehingga ia dapat mengukur dirinya dimana posisinya berada, dapat merencanakan sesuatu untuk meluruskan yang tidak benar, dan mengharapkan ampunan serta petunjuk Allah. Salah satu terapi yang digunakan adalah terapi salat. Ritual salat memiliki faidah yang sangat besar. Ibadah tersebut mampu menciptakan rasa tenang dan tenteram dalam jiwa, menghilangkan perasaan berdosa pada diri seseorang, menyingkirkan perasaan takut, gelisah, dan cemas, memberikan kekuatan spiritual yang dapat membantu proses penyembuhan berbagai penyakit fisik maupun psikis. Kata Kunci: Salat, Terapi, Gangguan Kecemasan, Psikoterapi Islam.
A. Pendahuluan Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari aspek jasmaniah lebih-lebih dari rohaniahnya. Karena kesempurnaannya itulah, maka untuk dapat memahami, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
53
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
mengenal secara mendalam dan totalitas dibutuhkan keahlian yang spesifik. Dan hal itu diperoleh melalui petunjuk dari alQuran dan Sunah di bawah bimbingan Allah dan Rasul-Nya (azdDzaky, 2002: 13). Secara etimologi (azd-Dzaky, 2002: 13-16) istilah “manusia” di dalam al-Quran ada empat kata yang dipergunakan. Pertama, ins, insan dan unas. Kata insan berasal dari uns yang memiliki arti jinak, tidak liar, senang hati, tampak atau terlihat, seperti dalam firman Allah SWT:
يم َ ال ْن َس ِ َْل َق ْد َخل َْق َنا إ ٍ ان فِي َأ ْح َس ِن َت ْق ِو
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Qs. at-Tin [95]: 4). Firman Allah yang mengandung kata ins, seperti:
ِس ِإ اَّل ل َِي ْع ُب ُدون ِ َْو َما َخل َْق ُت ال ِْج َّن َو إ َ ال ْن
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Qs. adz-Dzariyat [51]: 56).
Sedangkan firman-Nya yang menunjukkan kata unas:
ون َ اس َي َتطَ َّه ُر ٌ ِإ َّن ُه ْم ُأ َن
“… Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri” (Qs. al-A’raf [7]: 82).
Kedua, basyar. Kata ini berasal dari makna kulit luar yang dapat dilihat dengan mata kasar, bersifat indah dan cantik. Dan dapat menimbulkan rasa senang, bahagia dan gembira bagi siapa saja yang melihatnya, sebagaimana firman Allah SWT:
َاب َوال ُْحكْ َم َوال ُّن ُب َّو َة ُث َّم َي ُقول َ َما َك ُ َّان ل َِب َش ٍر َأ ْن ُي ْؤت َِي ُه ه َ الل الْكِ َت
ِ َّاس ُكو ُنوا عِ َب ًادا لِي م ِْن ُدونِ ه ين ِب َما ِ ِلن َّ ل َ الل َولَكِ ْن ُكو ُنوا َر َّبان ِِّي ون َ اب َو ِب َما ُك ْن ُت ْم َت ْد ُر ُس َ ُك ْن ُت ْم ُت َع ّل ُِم َ ون الْكِ َت
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan
54
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan ... (Ahmad Zaini)
penyembah Allah”, akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Qs. Ali Imran [3]: 79).
Ketiga, Bani Adam. Artinya ialah anak Adam atau putra Nabi Adam, seperti termaktub dalam ayat berikut:
ان َك َما َأ ْخ َر َج َأ َب َو ْيكُ ْم م َِن ال َْج َّن ِة ُ َالش ْيط َّ َيا َبنِي َآ َد َم اَل َي ْف ِت َن َّنكُ ُم
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga…” (Qs. al-A’raf [7]: 27).
Keempat, Dzurriyat Adam. Artinya keturunan Adam.
ين م ِْن ُذ ِّر َّي ِة َآ َد َم َوم َِّم ْن َ ُأو َلئ ُ َّين َأ ْن َع َم ه َّ الل َعل َْي ِه ْم م َِن َ الن ِب ِّي َ ِِك ا َّلذ وح ٍ َح َم ْل َنا َم َع ُن
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, Yaitu Para Nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh…” (Qs. Maryam [19]: 58).
Adapun gambaran al-Quran mengenai manusia dan kehidupannya banyak disebutkan dalam berbagai ayat (Bastaman, 2011: 55), diantaranya; manusia memiliki akal untuk memahami tanda-tanda keagungan-Nya (Qs. al-Hajj [2]: 46), kalbu untuk mendapat cahaya iman, nafsu yang paling rendah sampai yang tertinggi, ruh yang kepadanya Allah SWT mengambil kesaksian manusia mengenai keesaan Ilahi (Qs. al-A’raf [7]: 72-74), manusia berfungsi sebagai khalifah di bumi (Qs. al-Baqarah [2]: 30), diciptakan Tuhan bukan secara main-main (Qs. al-Mukminun [23]: 115), melainkan untuk mengembangkan amanah (Qs. al-Ahzab [33]: 72 dan untuk beribadah kepada-Nya (Qs. adz-Dzariyat [51]: 56). Manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu fisik dan psikis. Substansi fisik adalah substansi material, tidak berdiri sendiri, berbentuk komposisi, tidak kekal dan berada dalam alam jasad. Sedangkan substansi psikis adalah substansi immaterial, berdiri sendiri, tidak berbentuk komposisi, mempunyai Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
55
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
daya mengetahui dan menggerakkan, kekal dan berasal dari dunia metafisik. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kesadaran. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Kesadaran manusia berpusat pada psikis atau jiwa, dan bersifat langsung. Yang sadar bukan fisik melainkan psikis atau jiwa (an-nafs) esensi manusia (Sholeh dan Musbikin, 2005: 69-70). Tabiat jiwa adalah mengenal Allah SWT dan senantiasa ingin mendekat kepada Allah SWT. Melupakan Allah SWT berarti penyimpangan dari tabiatnya, dan hal ini menjadi sumber gangguan jiwa (psikis). Melalaikan Allah SWT dapat tejadi pada manusia jika daya-daya yang tertinggi yaitu akal tidak efektif dan lemah dalam mengendalikan nafsu syahwat dan amarahnya. Sehingga syahwat dan amarahnya yang menguasai akal (Sholeh dan Musbikin, 2005: 70). Orang yang terganggu jiwanya dapat dibantu melalui layanan psikoterapi Islam yaitu dengan mendudukkan semua persoalan yang dihadapinya pada tempatnya sehingga ia dapat mengukur dirinya dimana posisinya berada, dapat merencanakan sesuatu untuk meluruskan yang tidak benar, dan mengharapkan ampunan serta petunjuk Tuhan (Mubarok, 2002: 28). B. Pengertian Psikoterapi Islam Psikoterapi Islam adalah proses pengobatan dan penyembuhan suatu penyakit, baik mental, spiritual, moral maupun fisik melalui bimbingan al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Atau secara empirik adalah melalui bimbingan dan pengajaran Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, Nabi dan Rasul-Nya atau ahli waris para Nabi-Nya (Adz-Dzaky, 2002: 228). Berbeda dengan psikoterapi kontemporer sekuler yang menggunakan kemampuan intelektual untuk menemukan asasasas kejiwaan, psikoterapi Islam mendekati dengan memfungsikan akal dan keimanan sekaligus, yaitu daya nalar yang obyektifilmiah secara optimal dengan metodologi yang tepat, di samping merujuk kepada sumber formal al-Quran dan Sunah, atau pandangan ulama yang teruji. Ini bukan berarti menghapus
56
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan ... (Ahmad Zaini)
atau menganggap salah sama sekali wawasan, teori, sistem, metode, dan teknik yang sudah ada dan berkembang, melainkan psikoterapi Islam bertujuan menyempurnakan, melengkapi, dan memberi kerangka acuan bagi konsep psikoterapi yang sudah ada (Sholeh dan Musbikin, 2005: 251). Firman-firman Allah yang berkaitan dengan bimbingan dan pengajaran dapat ditelusuri dalam ayat-ayat berikut ini:
ِيم ُ َّالل َو ه ُ َّالل َو ُي َع ّل ُِمكُ ُم ه َ َّ َوا َّت ُقوا ه... ٌ الل ِبكُ ِّل َش ْي ٍء َعل
“… dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (Qs. al-Baqarah [2]: 282).
ِ َّيل َف ِإ َّن ُه َن َّزل َُه َعلَى َق ْل ِب َك ِب ِإ ْذنِ ه الل ُم َص ِّد ًقا َ ان َع ُد ًّوا ل ِِج ْب ِر َ ُق ْل َم ْن َك
ِين َ ل َِما َب ْي َن َي َد ْي ِه َو ُه ًدى َو ُب ْش َرى ِلل ُْم ْؤ ِمن
Katakanlah: “Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (al-Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (Qs. al-Baqarah [2]: 97).
ُ ُْه َو ا َّلذِ ي َب َع َث فِي أ يه ْم ًين َر ُس ا ِ ول ِم ْن ُه ْم َي ْتلُو َعل َْي ِه ْم َآ َيا ِت ِه َو ُي َز ِّك َ ال ّم ِِّي ين ٍ اب َوال ِْحكْ َم َة َو ِإ ْن َكا ُنوا م ِْن َق ْب ُل َلفِي َض اَللٍ ُم ِب َ َو ُي َع ّل ُِم ُه ُم الْكِ َت “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (asSunah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Qs. al-Jumu’ah [62]: 2).
Pada hakikatnya Allah Yang Maha Penyembuh, Maha Obat dan Maha Penyehat. Dan prosesnya adakalanya Dia langsung secara pribadi, adakalanya diutusnya malaikat-Nya, atau NabiNya atau ahli waris Nabi-Nya (Adz-Dzaky, 2002: 228-231). C. Pengertian Gangguan Kecemasan Kecemasan adalah suatu keadaan neurotik yang disertai dengan perubahan intern fisiologis yang berimplikasi pada gerakan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
57
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
eksternnya. Ia adalah ketakutan atas sesuatu yang tidak diketahui atau bahaya yang tidak bisa diprediksikan. Kecemasan memiliki tingkatan-tingkatan, yakni normal dan menyimpang. Kecemasan yang menyimpang adalah kecemasan yang tidak masuk akan, yang selalu menghantui seseorang dan ia tidak memahami penyebabnya. Sedangkan kecemasan yang dalam ambang abnormal adalah kecemasan yang bisa dipahami sebabnya hingga individu mampu meresponnya sesuati stimulusnya yang ada dan juga bisa menghilangkan kecemasan itu dengan menghilangkan penyebabnya. Pada umumnya kecemasan berdampak positif dalam kehidupan manusia, karena ia mampu mengeluarkan kekuatan kognitif dan motorik untuk dapat memberikan respon yang sesuai hingga sumber kecemasan pun dapat dihilangkan (Taufiq, 2006: 506). Kecemasan pada seseorang harus segera ditangani sebelum pengidapnya mengalami kecemasan yang lebih parah. D. Macam-Macam Kecemasan Kecemasan terjadi karena individu tidak mampu mengadakan penyesuaian diri terhadap diri sendiri di dalam lingkungan pada umumnya. Kecemasan timbul karena manifestasi perpaduan bermacam-macam proses emosi, misalnya orang yang sedang mengalami frustasi dan konflik. Kecemasan yang disadari misalnya rasa berdosa. Kecemasan di luar kesadaran dan tidak jelas misalnya takut yang sangat, tetapi tidak diketahui sebabnya lagi. Macam-macam kecemasan: 1. Kecemasan karena merasa berdosa atau bersalah. Misalnya seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya atau keyakinannya. Seorang pelajar/mahasiswa menyontek, pada waktu pengawas ujian lewat di depannya berkeringat dingin karena takut diketahui. 2. Kecemasan karena akibat melihat dan mengetahui bahaya yang mengancam dirinya. Misalnya kendaraan yang dinaiki remnya macet, jadi cemas kalau terjadi tabrakan beruntun dan ia sebagai penyebabnya.
58
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan ... (Ahmad Zaini)
3. Kecemasan dalam bentuk yang kurang jelas, apa yang ditakuti tidak seimbang, bahkan yang ditakuti itu hal/benda yang tidak berbahaya. Rasa takut sebenarnya suatu perbuatan yang biasa/ wajar kalau ada sesuatu yang ditakuti. Bila takut yang sangat, luar biasa dan tidak sesuai terhadap obyek yang ditakuti sebenarnya patologis yang disebut phobia. Phobia adalah rasa takut yang sangat atau berlebihan terhadap sesuatu yang tidak diketahui lagi penyebabnya (Sundari, 2005: 51-52). E. Faktor-Faktor yang Menimbulkan Kecemasan Umumnya, agak sulit untuk membedakan antara kecemasan normal dengan kecemasan yang menyimpang. Tak jarang, kecemasan normal mampu memicu munculnya kecemasan yang menyimpang. Penyebab umum suatu kecemasan dari kedua kecemasan di atas adalah sebagai berikut: Pertama, hereditas/bawaan. Untuk hipotesis awal, penyebab munculnya kecemasan karena faktor hereditas dapat diterima. Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor ini memberikan kontribusi tertentu yang memicu timbulnya suatu kecemasan. Kecemasan adalah satu emosi yang tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sekitar. Di saat stimulus kecemasan berjalan lambat, makan respon individu terhadapnya sangat cepat. Sebaliknya, di saat stimulusnya berjalan cepat, maka umumnya respon individu terhadapnya sangat lambat. Kedua, Lingkungan. Lingkungan adalah suatu jaringan yang berkaitan dengan factor eksternal dan kondisi yang melingkupinya untuk kemudian membentuk kepribadian individu dan membentu caranya merespon berbagai kondisi yang berbeda, mencakup di dalamnya hal-hal berikut. − Kondisi pertumbuhan fisik dan pola pikir. − Problematika keluarga dan sosial masyarakat, seperti tersebarnya penyakit, kebodohan dan juga kemiskinan. − Problematika perkembangan, yakni peralihan dari satu masa ke masa lainnya seperti peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa remaja, peralihan masa dewasa ke masa tua.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
59
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
− Krisis, traumatis, dan benturan yang dihadapi oleh individu dalam kehidupannya, yang mengancam ambisi dan menghalangi cita-citanya. − Perasaan bersalah dan takut akan suatu hukuman yang merupakan hasil dari perilaku yang memang dalam teks agama maupun undang-undang pantas mendapat hukuman. − Perasaan lemah untuk memahami teka-teki eksistensi dirinya dan merasa bodoh dalam menghadapi kehidupan serta merasa kehilangan makna dan tujuan hidup. Ketiga, Personal. Faktor ketiga ini hendaknya tidak diremehkan dalam kajian pembahasan tentang penyebab kecemasan. Problematika yang ada dalam diri individu tidak bertanggung jawab atas respon dirinya terhadap kecemasan. Pandangan dirinya atas problematika itulah yang justru menjadi stimulus adanya kecemasan. Terkadang satu kondisi direspon dengan banyak hal oleh manusia (Taufiq, 2006: 506-508). F. Gejala-Gejala Kecemasan Kecemasan memiliki gejala-gejala yang ditimbulkannya karena berbagai hal. Pertama, terkadang kecemasan merupakan satu gejala atas penyakit kejiwaan, dan terkadang pula penyakit fisik. Terkadang kecemasan adalah satu penyakit tersendiri. Betapa banyak orang yang mengalami gangguan kejiwaan menyebutkan gejala-gejala yang langsung dirasakannya dengan mengindahkan gejala lainnya yang bisa jadi itulah sebenarnya goncangan yang sebenarnya. Terkadang kecemasan adalah gejala adanya putus asa, migran ataupun rasa takut pada masa tua. Terkadang kecemasan timbul dari penyakit fisik, seperti keracunan makanan ataupun gagal ginjal. Kedua, tidak mungkin bisa dibedakan secara jelas antara kecemasan alami yang timbul dari penyebab-penyebab tematik dan kecemasan karena penyakit tanpa ada penyebabnya yang jelas. Umumnya, kecemasan itu sendiri lebih besar daripada penyebab yang menimbulkannya atau bahkan lebih lama rentang waktunya
60
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan ... (Ahmad Zaini)
dari stimulus yang diberikannya. Kecemasan lalu berdampat negatif pada keselarasan sosial masyarakat dan keseimbangan kejiwaan yang akhirnya menimbulkan suatu penyakit. Ketiga, kecemasan adalah satu emosi yang harus dapat diungkapkan oleh individu, hingga dirinya mampu memahami kehadirannya dan tingkatannya. Namun, ada gejala fisik dan juga psikis yang menyertai munculnya kecemasan. Di antara gejala fisik yang menyertai munculnya kecemasan yaitu rasa letih secara menyeluruh hingga ia merasa hilang tenaga, gangguan tidur, gangguan gerak seperti menggigil, berteriak dan gemetar, hilangnya nafsu makan dan berat badan. Adapun di antara gejala psikis yang menyertai munculnya kecemasan yaitu khawatir dan ragu tanpa sebab yang jelas, merasa takut yang berlebihan, mudah lupa dan sulit berkonsentrasi (Taufiq, 2006: 508-509). G. Makna Ibadah Salat dan Aspek Terapeutik Ibadah Salat Menunaikan ibadah yang dibebankan Allah SWT kepada kita baik ibadah salat, puasa, haji, dan zakat sebenarnya mampu membersihkan dan menjernihkan jiwa yang mengalami kecemasan. Semua rangkaian ibadah tersebut dapat membuat hati berkilau dan siap untuk menyerap cahaya, hidayah, dan hikmah yang berasal dari Allah. Allah SWT berfirman:
ِل ْس اَل ِم َف ُه َو َعلَى ُنورٍ م ِْن َر ِّب ِه َف َو ْي ٌل ُ ََّأ َف َم ْن َش َر َح ه ِ ْالل َص ْد َر ُه ل إ ِ َُّوب ُه ْم م ِْن ذ ِْك ِر ه ِ ِل ْل َق ين َ الل ُأو َلئ ٍ ِك فِي َض اَللٍ ُم ِب ُ اس َي ِة ُقل
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata” (Qs. az-Zumar [39]: 22). Menunaikan ibadah dapat melebur berbagai macam dosa. Menunaikan ibadah juga mampu membangkitkan harapan manusia untuk mendapatkan ampunan Allah. Ibadah akan menguatkan harapannya meraih puncak kesuksesan, yaitu masuk ke surga (Najati, 2003: 399). Salah satu ibadah yang diwajibkan Allah kepada kita adalah salat.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
61
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Salat dalam agama Islam menempati kedudukan yang tidak dapat ditandingi oleh ibadah lainnya. Ia merupakan tiang agama dan ia tidak dapat berdiri kokoh melainkan dengannya. Rasulullah SAW bersabda,
َ سا اد َ الص َ إل ْس ِ أل ْم ِر ا ُ ال ُة َوذ ِْر َو ُة َس َنا ِم ِه ال ِْج َه ُ ال ُم َو َع ُم َّ ود ُه ُ َر ْأ
“Kepala setiap perkara ialah Islam, sedangkan tiangnya ialah salat dan puncaknya adalah berjuang di jalan Allah” (HR. Tirmidzi).
Salat adalah ibadah pertama yang diwajibkan oleh Allah SWT yang perintahnya disampaikan Allah secara langsung tanpa perantara yaitu melalui dialog dengan Rasul-Nya pada malam Mi’raj (Sabiq, 2008: 125).Bagi orang muslim salat bukan hanya dilihat sebagai suatu kewajiban, atau menggugurkan kewajiban, melainkan kebutuhan mendasar bagi kehidupan. Banyak simbil hikmah yang dapat kita ambil dari postur, irama, gerak ritmik tubuh ketika kita salat. Mulai dari berdiri, mengucapkan takbir, rukuk, menunduk, sujud, dan terakhir salam. Seorang muslim yang benar-benar menghayati salatnya dengan ikhlas, tuma`ninah, dan khusyuk akan tenang dan terhindar dari kegelisahan, kecemasan, depresi dan semacamnya, dari problematika kehidupan yang serba sulit. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah salat untuk mengingat aku” (Qs. Thaha [20]: 14), ayat yang lainnya “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’d [13]: 28). Sebuah penelitian membuktikan bahwa ketenangan dapat meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, mengurangi resiko terkena penyakit jantung, dan meningkatkan usia harapan (Sholeh dan Musbikin, 2005: 185-187). H. Salat sebagai Terapi bagi Pengidap Penyakit Kecemasan Ritual salat memiliki pengaruh yang sangat luar biasa untuk terapi rasa galau, gundah, dan cemas yang bersemayan di dalam diri manusia. Dengan mengerjakan salat secara khusyuk, yakni dengan niat menghadap dan berserah diri secara total
62
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan ... (Ahmad Zaini)
kepada Allah serta meninggalkan semua kesibukan maupun problematika kehidupan, maka seseorang akan merasa tenang, tentram, dan damai. Rasa gundah, stres, cemas, dan galau yang senantiasa menekan kehidupannya akan sirna. Rasulullah SAW senantiasa mengerjakan salat ketika sedang ditimpa masalah yang membuat beliau merasa tegang. Diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah RA bahwa dia telah berkata,
هلل َعل َْي ِه َو َسل ََّم ِإ َذا َح َز َب ُه َأ ْم ٌر َصلَّى َ َك ُ الن ِب ُّى َصلَّى ا َّ ان
“Jika Nabi SAW merasa gundah karena sebuah perkara, maka beliau akan menunaikan salat” (HR. Abu Daud).
Hubungan seseorang dengan Tuhannya ketika salat akan menghasilkan kekuatan spiritual sangat besar yang memberikan pengaruh pada perubahan penting dalam fisik dan psikisnya. Kekuatan spiritual ini seringkali menghilangkan stress, menyingkirkan kelemahan, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Para dokter menyebutkan adanya penyembuhan yang begitu cepat untuk beberapa jenis penyakit ketika penderitanya berada di lokasi ibadah haji maupun lokasi ibadah yang lainnya (Najati, 2003: 402-403). Ritual salat memiliki pengaruh yang sangat penting untuk terapi perasaan berdosa yang menyebabkan rasa gundah dan menjadi penyebab utama penyakit jiwa. Hal ini dapat terjadi karena ritual salat bisa mengampuni dosa seseorang, membersihkan jiwa dari noda-noda kesalahan, dan menimbulkan harapan mendapatkan ampunan dan ridha Allah SWT. Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda,
َما، َي ْغ َتسِ ُل فِي ِه ُك َّل َي ْو ٍم َخ ْم ًسا،اب َأ َحدِ ُك ْم ِ َأ َر َأ ْي ُت ْم ل َْو َأ َّن َن َه ًرا ِب َب
َ َقالُوا.ِِك ُي ْبقِى م ِْن َد َر ِنه َ َقال.ال ُي ْبقِى م ِْن َد َر ِن ِه َش ْي ًئا َ َت ُقولُ َذل ِ الصل ََو الل ِب َها ال َْخطَ َايا َ َفذَ ل ُ َّ َي ْم ُحو ه،س ِ ات ال َْخ ْم َّ ِك ِم ْث ُل
“Apa pendapat kalian seandainya ada sebuah sungai berada di depan pintu rumah salah seorang di antara kalian? Dia mandi di sungai tersebut lima kali dalam sehari. Apa pendapat kalian tentang hal itu? Apakah masih ada kotoran yang tersisa pada tubuhnya?” Para Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
63
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
sahabat berkata, “Tidak ada kotoran sedikit pun yang tersisa padanya”. Rasulullah bersabda, “Hal itu ibarat salat lima waktu. Allah akan mengampuni berbagai kesalahan (yang diperbuat) olehnya (melalui ibadah tersebut)” (HR. Bukhari) (Najati, 2003: 404).
Rasulullah SAW mengajari para sahabatnya agar mereka meminta tolong kepada Allah melalui ritual salat untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan problem yang dihadapi. Ibadah salat yang diajarkan beliau kepada para sahabatnya diantaranya salat istisqa, tahajud, istikharah, dan sebagainya. Rasulullah mengajari para sahabatnya agar salat istikharah ketika mereka dihadapkan pada pilihan yang membuatnya ragu (Najati, 2003: 407). Karenanya, para terapis harus mengarahkan para pasien yang ditanganinya sesuai dengan berat dan ringan penyakit cemasnya agar terapi yang diterapkan sesuai dengan yang direncanakan dan berhasil sesuai dengan harapan. Rasulullah juga menganjurkan para sahabatnya untuk mengerjakan salat tahajud. Beliau bersabda,
الل َّْي ِل ِلدا ِء َّ ل
ام َ الصال ِِح َ ين َق ْبلَكُ ْم َو ِإ َّن ق َِي َّ الل َّْي ِل َف ِإ َّن ُه َد ْأ ُب ِ ِلس ِّي َئ ات َو َمطْ َر َد ٌة ِ َو َم ْن َها ٌة َع ِن ا ٌ إل ْث ِم َو َتكْ ف َّ ِير ل
ام ِ َعل َْيكُ ْم ِبق َِي ِ َُّق ْر َب ٌة ِإلَى ه الل َِع ِن ال َْج َسد
“Kerjakanlah salat malam, sebab ia merupakan kebiasaan orangorang salih sebelum kamu pada zaman dahulu. Ia juga merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebagai penebus amal kejahatan-kejahatanmu, pencegah dosa, dan penangkal penyakit pada badan” (HR. Tirmidzi).
Salat tahajud dapat dijadikan sebagai salah satu sarana yang terpenting untuk menghilangkan rasa gundah, galau, dan cemas. Salat tahajud memiliki banyak faidah dan manfaat yang benar-benar akan dirasakan bagi yang menjalankannya, maka hendaklah senantiasa mendirikan salat tahajud. Diantara faidah dan manfaat salat tahajud adalah: 1. Menguatkan Tali Hubungan dengan Allah Sesungguhnya seorang muslim jika menjaga salat malam dan membiasakannya, maka ia telah menguatkan
64
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan ... (Ahmad Zaini)
hubungannya dengan Allah. Jika memohon sesuatu, bertaubat, ingin menambah ketaatan, atau supaya rezekinya lancar, maka Allah akan memenuhinya. Itu semua disebabkan oleh keutamaan qiyamullail yang ia lakukan. 2. Menyucikan Ruh dan Menaikkannya pada Derajat Mulia Tidak diragukan lagi bahwa menjaga hubungan baik dengan Allah melalui salat malam dapat menaikkan dan menyempurnakan derajat pelakunya. Yaitu, kesempurnaannya sebagai hamba Allah yang taat beribadah kepada-Nya. 3. Membuat Gemar Beribadah dan Menjauhi Maksiat Seseorang yang menjalankan qiyamullail selalu memohon kepada Allah agar senantiasa dalam ketaatan dan dijauhkan dari kemaksiatan. Salat malam dapat mencegah dari kemungkaran dan jatuh ke lembah dosa. Rasulullah mengatakan bahwa qiyamullail itu mencegah dari dosa. 4. Melunakkan Hati Salat tahajud yang dilaksanakan pada keheningan malam, bermunajat kepada Allah, memperlama rukuk dan sujud, tidak diragukan lagi dapat melunakkan hati yang lagi gundah dan cemas. Meninggalkan salat tahajud dan menjauhinya menyebabkan hati menjadi keras. Sehingga, hati tidak akan tersentuh oleh ayat-ayat Allah dan zikir kepada Allah apa pun bentuknya. 5. Memperoleh Ridha Allah Hasil yang dicapai dari salam tahajud adalah sebagai sarana untuk meraih ridha Allah dan sarana untuk mendapatkan anugerah yang agung dari Allah yaitu masuk ke dalam surga-Nya. Allah SWT berfirman,
ٍ ِين فِي َج َّن اه ْم َر ُّب ُه ْم ِإ َّن ُه ْم َكا ُنوا ُ ين َما َآ َت َ ِ َآ ِخذ، ٍات َو ُع ُيون َ ِإ َّن ال ُْم َّتق َ ْ َو ِب أ،ون َ َق ْب َل َذل ِال ْس َحار ً َكا ُنوا َقل ا،ِين َ ِيل م َِن الل َّْي ِل َما َي ْه َج ُع َ ِك ُم ْحسِ ن ون َ ُه ْم َي ْس َت ْغف ُِر
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam tamantaman (surga) dan mata air-mata air. Sambil menerima segala
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
65
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar” (Qs. adz-Dzariyat [51]: 15-18). (Faris, 2005:149-150).
Pada intinya ritual salat memiliki faidah yang sangat besar. Ibadah tersebut mampu menciptakan rasa tenang dan tenteram dalam jiwa, menghilangkan perasaan berdosa pada diri seseorang, menyingkirkan perasaan takut, gelisah, dan cemas, memberikan kekuatan spiritual yang dapat membantu proses penyembuhan berbagai penyakit fisik maupun psikis, membekali semangat dan kemampuan untuk mengerjakan karya besar, serta menerangi hati sehingga siap untuk menerima ilmu Ilahi. I. Simpulan Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang paling sempurna, baik dari segi jasman dan rohaninya. Karena kesempurnaannya itulah, untuk dapat memahami, mengenal secara mendalam dan totalitas dibutuhkan keahlian yang spesifik. Dan hal itu diperoleh melalui petunjuk dari al-Quran dan Sunah di bawah bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi yaitu fisik dan psikis. Substansi fisik adalah substansi material, tidak berdiri sendiri, berbentuk komposisi, tidak kekal dan berada dalam alam jasad. Sedangkan substansi psikis adalah substansi immaterial, berdiri sendiri, tidak berbentuk komposisi, mempunyai daya mengetahui dan menggerakkan, kekal dan berasal dari dunia metafisik. Manusia adalah makhluk yang mempunyai kesadaran. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Kesadaran manusia berpusat pada psikis atau jiwa, dan bersifat langsung. Yang sadar bukan fisik melainkan psikis atau jiwa (an-nafs) esensi manusia. Tabiat jiwa adalah mengenal Allah SWT dan senantiasa ingin mendekat kepada Allah SWT. Melupakan Allah SWT berarti penyimpangan dari tabiatnya, dan hal ini menjadi sumber gangguan jiwa (psikis). Melalaikan Allah SWT dapat tejadi pada manusia jika daya-daya yang tertinggi yaitu akal tidak efektif
66
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Salat Sebagai Terapi Bagi Pengidap Gangguan Kecemasan ... (Ahmad Zaini)
dan lemah dalam mengendalikan nafsu syahwat dan amarahnya. Sehingga syahwat dan amarahnya yang menguasai akal. Salah satu penyakit gangguan kejiwaan adalah kecemasan. Kecemasan adalah suatu keadaan neurotik yang disertai dengan perubahan intern fisiologis yang berimplikasi pada gerakan eksternnya. Ia adalah ketakutan atas sesuatu yang tidak diketahui atau bahaya yang tidak bisa diprediksikan. Orang yang terganggu jiwanya dapat dibantu melalui layanan psikoterapi Islam. Salah satu terapi yang dapat membantu kesembuhan penyakit kecemasan adalah ibadah salat. Ritual salat memiliki pengaruh yang sangat luar biasa untuk terapi rasa galau, gundah, dan cemas yang bersemayam di dalam diri manusia. Dengan mengerjakan salat secara khusyuk, yakni dengan niat menghadap dan berserah diri secara total kepada Allah, maka seseorang akan merasa tenang, tentram, dan damai. Rasa gundah, stres, cemas, dan galau yang senantiasa menekan kehidupannya akan sirna. Pada hakikatnya ritual salat memiliki faidah yang sangat besar. Ibadah tersebut mampu menciptakan rasa tenang dan tenteram dalam jiwa, menghilangkan perasaan berdosa pada diri seseorang, menyingkirkan perasaan takut, gelisah, dan cemas, memberikan kekuatan spiritual yang dapat membantu proses penyembuhan berbagai penyakit fisik maupun psikis, membekali semangat dan kemampuan untuk mengerjakan karya besar, serta menerangi hati sehingga siap untuk menerima ilmu Ilahi.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
67
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Sholeh, Moh. dan Imam Musbikin, 2005, Agama sebagai Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, 2002, Konseling dan Terapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Taufiq, Muhammad Izzuddin, 2006, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, penerjemah Sari Narulita, dkk., Jakarta: Gema Insani Press Bastaman, Hanna Djumhana, 2011, Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, Yogyakarta: Yayasan Insan Kami dan Pustaka Pelajar Mubarok, Achmad, 2002 al-Irsyad an-Nafsy: Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara Najati, Muhammad Utsman, 2003, Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi SAW., penerjemah: Wawan Djunaedi Soffandi, Jakarta: Mustaqiim Faris, Abdul Qadir Abu, 2005, Menyucikan Jiwa, penerjemah Habiburrahman Saerozi, Jakarta: Gema Insani Press Sundari, Siti, 2005, Kesehatan Mental, Jakarta: Rineka Cipta
68
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
DAKWAH TERHADAP PASIEN
(Telaah terhadap Model Dakwah Melalui Sistem Layanan Bimbingan Rohani Islam di Rumah Sakit) Oleh: Agus Riyadi Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Abstrak Salah satu kegiatan dakwah yang perlu mendapat perhatian adalah dakwah terhadap pasien di rumah sakit. Dakwah terhadap pasien di rumah sakit seperti ini tentu memiliki cara (manhâj) dan pendekatan berbeda dengan dakwah kepada mad’u yang terbilang “normal”. Secara normatif Islam sangat menganjurkan melakukan kunjungan kepada orang sakit. Berdasar hasil beberapa penelitian juga ditunjukkan bahwa 91% pasien mencari bantuan spiritual dan kerohanian untuk membantu menyembuhkan penyakitnya. Penelitian yang lain melaporkan bahwa 70 % pasien percaya kekuatan do’a untuk penyembuhan, lebih dari 64 % pasien menyatakan bahwa para dokter hendaknya juga memberikan terapi psiko religius dan doa. Terlihat jelas bahwa pada dasarnya para pasien membutuhkan terapi keagamaan, selain terapi dengan obat-obatan dan terapi medis lainnya. Pentingnya memberikan bantuan spiritual bagi pasien seperti itu mendorong peningkatan dan pengembangan model layanan bimbingan dan konseling bagi pasien di rumah sakit. Kata Kunci: Dakwah, Pasien, Bimbingan Rohani Islam, Rumah Sakit.
A. Pendahuluan Rumah Sakit sebagai lembaga pelayanan kesehatan yang didorong oleh permintaan pelanggan menyebabkan layanan rumah sakit tidak hanya memperhatikan profesionalisme dibidang medis dan perawatan, tetapi juga pelayanan penunjang Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
69
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
medik. Fungsi pelayanan penunjang medik seperti radiologi, laboratorium, rehabilitasi medis, medical check up, rekam medis, farmasi, gizi, dan pelayanan spiritual adalah untuk mendukung pelayanan medis. Adapun yang dimaksud dengan pelayanan spiritual disini adalah identik dengan pelayanan bimbingan rohani kepada pasien. Hal ini menjadi penting karena pasien akan dibantu dengan adanya perhatian (attention), dukungan (sustaining), bimbingan (guilding), penyembuhan luka batin (inner-healing), serta do’a (praying). Apabila pasien terlayani aspek rohaninya maka akan terjadi keseimbangan dalam hidup dan berdampak positif untuk menjalani pengobatan penyakitnya (www.rsboromeus.com/pastoralcare). Sebagai lembaga pelayanan kesehatan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kerohanian seharusnya diperuntukkan bagi setiap pasien dan keluarganya tanpa membedakan suku, agama, bangsa, ras, jenis kelamin, golongan, maupun status sosial. Perbedaan tersebut justru harus dihormati untuk dapat memberikan asuhan yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan keluarganya secara lebih tepat untuk mengantarkan pemahaman diri kepada Allah, terutama yang menderita sakit supaya menemukan makna hidup yang paling dalam yakni kedekatan diri dengan Allah, asal dan tujuan hidup melalui peristiwa hidup sehari-hari dalam ujian yang sedang dialami. Tujuan pelayanan bimbingan rohani di rumah sakit yaitu untuk membantu pasien yang mengalami problem psikis, sosial dan religius yang sebagian besar juga dialami pasien disamping penyakit fisik yang diderita. Layanan bimbingan rohani yang berupa pemberian nasehat, dan motivasi sampai pada pemecahan masalah pribadi pasien diharapkan dapat mengatasi problemproblem diluar jangkaun medis sehingga pada akhirnya pasien dapat mencapai kesehatan yang menyeluruh baik dari aspek fisik, psikis, sosial dan religius serta diharapkan dapat menciptakan loyalitas pelanggan untuk komunitas beragama (Depkes RI, 2007). Adapun mekanisme pelaksanaan bimbingan rohani yang dilakukan di rumah sakit kebanyakan adalah dengan cara petugas
70
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
rohaniawan mengunjungi satu persatu pasien ke bangsal-bangsal rawat inap dengan memberikan dorongan moral dan spiritual atau nasehat keagamaan, membimbing pasien dalam berdoa dan beribadah. Kunjungan dilakukan secara rutin setiap hari oleh petugas kerohanian dengan tujuan untuk saling mengenal, dilanjutkan dengan kunjungan untuk menjalin kedekatan, mengobservasi dan mengerti sejauh mana perkembangan kondisi pasien dalam hal perbaikan kondisinya. Ada banyak pelayanan yang dilakukan oleh petugas rohani seperti: 1) pendampingan dengan konseling untuk yang menghendaki, 2) pemberian support bagi yang takut, khawatir, cemas dan lesu, 3) pendampingan khusus pasien terminal dengan menemani dan membimbingnya untuk menyebut asma-asma Allah, 4) kegiatan berdoa dan membaca al-Quran, 5) memberi renungan dan menjelaskan penyakit dari aspek rohani dan jasmani, 6) memberikan buku tuntunan dan doa bagi orang sakit, 7) ceramah melalui media audio setiap pagi dan sore, serta 7) memandikan jenazah. Bimbingan rohani terhadap pasien di rumah sakit selain untuk memberikan motivasi, pelaksanaan bimbingan rohani tersebut juga sekaligus sebagai sarana dakwah Islam. Hal tersebut secara teoritik merupakan ajakan kepada orang-orang (individu, kelompok, masyarakat, bangsa) ke jalan Allah (Qs. al-Nahl [16]: 125) atau untuk berbuat kebaikan dan menghindari keburukan (Qs. Ali Imran [3]: 104) (Kuntowijoyo, 1994: 229). Dakwah terhadap pasien di rumah sakit seperti ini tentu memiliki cara (manhaj) dan pendekatan berbeda dengan dakwah kepada mad’u yang terbilang “normal”. Jika terhadap mad’u yang terbilang “normal” bisa diterapkan metode ceramah, maka kurang tepat bila diterapkan untuk pasien. Cara berdakwah yang tepat untuk orang sakit adalah dengan cara atau pendekatan yang memungkinkan dirinya mendapatkan motivasi, hiburan, dukungan, sugesti, empati dan berbagai hal yang menyangkut aspek kejiwaan (Basit, 2006: 141). Dakwah terhadap pasien menjadi penting, mengingat persoalan yang dihadapi pasien terbilang komplek. Selain
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
71
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
merasakan sakit yang tak kunjung reda, mereka dihadapkan berbagai persoalan yang pelik. Banyaknya persoalan tersebut terkadang menyebabkan jiwanya tertekan, dan dampaknya adalah sakit yang dideritanya tidak kunjung reda. Pentingnya dakwah terhadap pasien seperti ini juga didasarkan pada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa “salah satu kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya yang lain adalah menjenguknya ketika sakit”. Selain itu, berdasarkan Survey dari Nation Intitute for Health Care Research di Amerika menunjukkan bahwa 70% dari populasi pasien yang diteliti menginginkan kebutuhan spiritual mereka dilayani sebagai bagian dari pelayanan medis. Survey lain menunjukkan bahwa 91% dokter melaporkan bahwa pasien mereka mencari bantuan spiritual dan kerohanian untuk membantu menyembuhkan penyakitnya (Subandi& N. Hasanat, 1999: 7). Keadaan pasien bukan saja merasakan sakit secara fisik, tetapi psikisnya pun telah menjadi sakit, mindset-nya terganggu, bahkan spiritualnya juga terimbas sakit. Karena itu, aspek-aspek yang harus diperhatikan untuk membantu penyembuhan pasien seperti itu bukan saja terfokus pada aspek fisik, tetapi juga perlu menyentuh aspek-aspek lain seperti dimensi psikis, sosial, maupun religiusnya. Berdasarkan paradigma kesehatan holistik WHO tahun 1984, disepakati bahwa kesehatan itu memiliki empat dimensi yang sama-sama penting bagi kehidupan seseorang. Keempat dimensi tersebut meliputi dimensi fisik, psikis, sosial, dan religius. Karena itu, bantuan terapi yang diberikan kepada seseorang yang sakit seharusnya meliputi empat dimensi tersebut, yaitu: terapi fisik atau biologis, terapi psikologi, terapi psikososial, dan terapi spiritual atau psikoreligius (Hawari, 1999: 28). Guna memenuhi kebutuhan terapi pasien tersebut, tentunya dibutuhkan sumber bantuan yang tepat. Jika ada perubahan gejala penyakit fisik, maka dokter sebagai sumber bantuan yang paling tepat. Jika timbul persoalan seperti kecemasan, dan problem psikis lainnya, maka bentuk bantuan tersebut dapat diperoleh di klinik bimbingan, klinik kesehatan mental, biro konsultasi psikologi dari psikiater atau psikolog (Hawari, 2004: 126)
72
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
Sejalan dengan uraian di atas, kegiatan pelayanan bimbingan rohani (Musnamar, 1992: 5) di rumah sakit memiliki peran strategis dalam rangka mendukung upaya penyembuhan penyakit oleh kedokteran modern. Namun pelaksanaan bimbingan rohani yang ada dirumah sakit apabila diamati belum bisa secara maksimal, karena pelaksanaan bimbingan rohani yang ada masih pada dataran pemberian nasehat atau bimbingan dan do’a belum bisa pada dataran pemecahan masalah. Maka dalam hal ini perlu adanya formulasi model bentuk layanan bimbingan rohani yang ada di rumah sakit. B. Pembahasan 1. Model Pelaksanaan Bimbingan Rohani dalam Sistem Layanan Pasien di Rumah Sakit Kondisi orang sakit, baik secara fisik maupun kejiwaan sangat beragam. Sebagian ada yang berada dalam taraf akut, sebagian yang lain sudah berada dalam tingkat yang kronis. Begitu juga, jenis penyakit yang dialami pun beraneka ragam, mulai dari jenis-jenis penyakit yang telah dikenal hingga penyakit baru yang belum ditemukan penanggulangannya, pengobatan bahkan penyebabnya. Selain itu, di antara jenis-jenis penyakit yang diderita tersebut ada yang sampai berkepanjangan. Semua keadaan seperti ini sering memunculkan respon emosional dari para penderitanya, seperti respon penolakan, cemas, depresi, dan rasa putus asa hingga ada yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya (Damaiyanti, 2008: 139). Seorang pasien biasanya mengalami goncangan psikis akibat penyakit yang mulai menyerang tubuhnya. Dalam menghadapi pasien seperti ini, tugas seorang konselor (petugas ruhani rumah sakit) adalah berupaya mengatasi tekanan psikis (stres, cemas dsb), mengembangkan sikap hidup yang positif dan ketahanan diri mengahadapi penyakit, menerima dan pasrah terhadap kondisi yang dialami, serta tidak putus asa dan tetap bersemangat menjalankan ikhtiar pengobatan untuk mencapai kesembuhan. Bagi pasien yang diketahui memiliki masalah khusus Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
73
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
(pribadi) yang berdampak pada kesehatan, seperti konflik dengan keluarga, masalah pekerjaan, problem sosial dan lain sebagainya, tugas konsleor adalah mengupayakan bantuan agar pasien (klien) dapat mengatasi masalah yang dihadapi dengan melalui layanan konseling yang bertahap sehingga pada akhirnya pasien dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dan dapat mempercepat kesembuhan yang diinginkan. Karena itu, pelaksanaan layanan bimbingan rohani bagi pasien seperti itu pada dasarnya dapat dikategorisasikan menjadi dua model atau pola: pertama, tahapan layanan bimbingan dan kedua, tahapan layanan konseling. Tahapan layanan bimbingan diarahkan pada upaya peningkatan motivasi dan keyakinan pasien untuk sembuh melalui pemberian nasehat untuk selalu mendekat kepada Tuhan dan berdo’a meminta kesembuhan dariNya, pemberian nasehat untuk selalu bersabar dan bertawakal. Melalui layanan bimbingan seperti ini dimaksudkan agar respon emosional berupa rasa penolakan, cemas, dan putus asa yang melanda diri pasien dapat terminimalisir, sehingga proses kesembuhan pasien menjadi lebih cepat. Sedang tahapan layanan konseling dimaksudkan untuk membantu penemuan core problem yang menjadi akar penyebab bertambah parahnya sakit yang diderita pasien. Berdasarkan penelitian di dunia medis disebutkan bahwa respon-respon emosional berupa penolakan, rasa cemas, stress, depresi, dan putus asa seperti di atas dapat memperparah keadaan sakit seseorang. Respon-respon emosional seperti itu dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang bersifat degeneratif (Hawari, 2004: 127-129) semakin bertambah parah. Melalui layanan konseling, pasien diajak untuk mengurai akar penyebab yang dapat memicu tingginya respon emosional yang dialami, apakah bersumber dari dimensi fisiknya, psikhisnya, sosialnya, ataukah bersumber dari dimensi spiritual atau religiusitasnya. Dengan demikian, pasien dapat terbantu untuk memenejnya, sehingga sakit yang dideritanya bisa cepat sembuh. Namun demikian, tahapan layanan bimbingan konseling seperti ini bersifat pragmatis-kondusional, artinya dalam pelaksanaannya selalu mempertimbangkan keadaan pasien
74
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
yang memerlukan layanan. Dalam konteks ini, seorang petugas bimbingan konseling pasien memerlukan informasi yang cukup mengenai keadaan pasien baik dari para tenaga medis yang ada maupun psikolog. Jika keadaan respon emosional serta keyakinan pasien untuk sembuh sudah tidak bermasalah, maka pasien tersebut cukup diberi tahapan layanan bimbingan untuk semakin menguatkan motivasi dan keyakinannya. Sebaliknya, jika secara medis atau psikologis keadaan emosional pasien tersebut masih saja belum terdeteksi, maka pemberian tahapan layanan konseling terhadap pasien seperti ini sangat dibutuhkan. Tentu, keadaan pasien yang memerlukan layanan konseling seperti ini harus dalam keadaan sadar. Sementara, untuk pasien-pasien yang berada dalam keadaan koma atau belum sadarkan diri, cukup diberi layanan bimbingan terlebih dahulu, dan baru setelah dirinya sadar dan yang bersangkutan memerlukan layanan konseling atau dokter yang menangani pasien tersebut merekomendasikan pemberian layanan konseling, tahapan layanan konseling baru bisa diterapkan kepadanya. Pemberian layanan bimbingan dan konseling seperti ini perlu juga diberikan kepada keluarga pasien. Idealnya keluarga mampu menjadi sumber motivasi dan dukungan sosial bagi pasien karena dua hal ini merupakan sumber copying destruktif bagi pasien dalam menghadapi penyakitnya (Rasmi, 2001: 16). Namun tidak bisa dipungkiri bahwa sedikit banyak keluarga pasien juga ikut terkena ekses negatif dari pasien (Potter, 2005: 23-24). Mereka ikut menanggung beban material maupun spiritual, yang terkadang bisa mengganggu kesehatan dirinya. Melalui layanan bimbingan konseling bagi keluarga pasien seperti ini, beban yang mereka tanggung dapat ikut terpecahkan. Pemberian layanan bimbingan konseling seperti ini lebih diarahkan pada penguatan dimensi spiritual dan sosial pasien. Perlu diketahui bahwa kekuatan spiritual/kerohanian mampu membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme berupa harapan sembuh dari diri pasien. Dua hal ini sangat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit disamping terapi psikofarmasi dan tindakan medis lainnya (Hawari, 2000: 487). Konselor atau Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
75
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
seorang petugas rohani rumah sakit, dalam praktek pemberian layanan selalu menggunakan pendekatan sosial-religius, dan tetap memperhatikan kondisi psikologis. Karena itu pendekatan yang mereka pakai tersebut dapat menciptakan sistem pelayanan holistik bagi pasien di rumah sakit. Konselor dapat bertugas memberikan motivasi agar dapat membangkitkan automotivasi pasien agar ia cepat sembuh, memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar tetang sakit dalam ajaran agama, lebih dari itu petugas rohani dapat menjadi tempat curahan hati pasien tentang segala problem yang sedang dihadapi pasien dan keluarga, dan sebagainya. Tidak sebatas itu saja, konselor (petugas rohani) juga dapat memberikan pelayanan pasca opnam di rumah pasien sebagai bagian dari terapi sosial sampai batas waktu dimana dapat dipastikan bahwa lingkungan tempat tinggal benar-benar dapat mendukung kesehatan pasien setelah masa pengobatan. Peran dan fungsi yang diberikan Konselor/ petugas rohani yang demikian, akan mendorong semakin terciptanya sistem pelayanan holistik yang belum dapat dicapai selama ini oleh kebanyakan rumah sakit. Adapaun tahapan layanan konseling tersebut terbagi dalam tiga tahapan, yakni tahap awal, tahap pertengahan, dan tahap akhir. Dalam tahap awal, konselor dituntut untuk dapat menciptakan hubungan yang baik dan memiliki kreativitas yang tinggi agar dapat membawa klien pada proses konseling secara aktif. Tahap awal ini dapat disebut pula sebagai tahap eksplorasi, karena pada tahap ini konselor harus dapat menerapkan berbagai teknik agar klien dapat secara bebas dan terbuka mengemukakan masalah yang sedang dihadapi. Beberapa tehnik konseling yang diterapkan pada tahap ini adalah : pertama, melalui teknik empati, yakni berupa kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa berpikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan bersamaan dengan attending. Dengan kata lain tanpa perilaku attending tidak ada empati. Untuk dapat melakukan empati konselor harus mampu: (1) mengosongkan perasaan dan pikiran egoistik, (2) memasuki dunia dalam klien,
76
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
(3) melakukan empati primer, dan (4) melakukan empati tingkat tinggi. Kedua, melalui teknik attending, yakni berupa bentuk penampilan konselor yang menampakkan komponen-komponen perilaku nonverbal bahasa lisan, dan kontak mata. Karena komponen-komponen ini tidak mudah maka perlu dilatihkan bertahap dan terus menerus. Perilaku attending yang ditampilkan konselor seperti ini akan mempengaruhi kepribadian klien yaitu: 1) Meningkatkan harga diri klien, sebab melalui sikap dan perilaku attending memungkinkan konselor menghargai klien, sehingga harga diri kien meningkat. 2) Dapat menciptakan suasana aman bagi klien, karena klien merasa ada orang yang dapat dipercayai, teman untuk berbicara, dan merasa terlindungi secara emosional. 3) Memberikan keyakinan kepada klien bahwa konselor adalah tempat untuk mencurahkan segala isi hati dan perasaanya. Ketiga, melalui teknik bertanya dengan pertanyaan atau pernyataan terbuka, yang memungkinkan mendorong dan menstimulasi klien untuk meneruskan pembicaraannya dengan memberi-kan lebih bnayak uraian yang telah dikemukakan sebelumnya. Misalnya kepada ibu yang putus asa karena anaknya kecanduan narkoba, seorang konselor dapat mengatakan “bagaimana perasaan ibu ketika melihat dia benar-benar kecanduan obat terlarang itu ?” atau melalui pengajuan pertanyaan seperti ini “usaha-usaha apa yang telah ibu lakukan untuk mengatasi ketergantungannya pada obat terlarang itu?”. Pertanyaan-pertanyaan terbuka seperti ini sangat penting pada tahap-tahap awal wawancara. pertanyaan lainnya dapat menggunakan kata tanya, Apa, kapan, bagaimana dan mengapa. Jawaban dari pertanyaan yang terbuka dapat dijadikan informasi untuk melakukan tindak lanjut. Keempat, melalui teknik refleksi atau para-phrese. Paraphrese adalah mengatakan dengan cara lain isi pikiran yang diucapakn oleh klien dengan menggunakan kata-kata konselor sendiri. Kata yang diungkapkan oleh konselor itu mengenai perasaan klien maka Cormier dan Cormier (1985) menamaKonseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
77
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kannya reffleksi. Paraphrese dan refleksi bukan pengulangan kata yang sembarangan tetapi harus diplih kata-kata yang tepat sehingga mampu meningkatkan pemahaman klien tentang apa yang dialami dan dirasakan. Tujuan penerapan teknik ini adalah untuk menunjukkan bahwa konselor benar-benar memahami sisi dan perasaan yang dikomuni-kasikan oleh klien, agar klien dapat mengelaborasi perasaan dan pikiran kunci yang ia kemukakan, agar klien dapat berkonsentrasi pada pikiran perasaan, tigkah laku dan kejadian tertentu, dan untuk mem-bantu klien mebuat keputusan. Kelima, melalui teknik eksplorasi, yakni suatu ketrampilan konselor untuk menggali perasaan, pengalaman, dan pikiran klien. Hal ini penting karena kebanyakan klien menyimpan rahasia batin, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya dengan terus terang. Barang kali dia hadir karena terpaksa sehingga enggan mengemukakan perasaan atau pikirannya. Melalui teknik eksplorasi seperti ini sangat memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan, dan terancam. Teknik eksplorasi ini ada tiga yaitu : 1) Teknik eksplorasi perasaan yaitu ketrampilan untuk menggali perasaan klien yang tersimpan, seperti melalui penggunaan beberapa kalimat berikut, saat seorang konselor hendak memulai melakukan teknik eksplorasi: a) bisakah saudara menjelaskan perasaan bingung yang anda dimaksudkan ? b) saya kira rasa sedih anda begitu dalam akibat peristiwa tersebut, dapatkah anda kemukakan perasaan anda lebih jauh? 2) Teknik eksplorasi pengalaman yaitu ketrampilan konselor untuk menggali pengalaman-pengalaman yang telah dilalui konselor. Misal, seorang konselor saat berkomunikasi dengan pasien atau klien, berusaha mengatakan, “saya sangat terkesan dengan pengalaman anda yang lalu, namun saya ingin memahami lebih jauh tentang peng-alaman tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan anda?”.
78
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
3) Teknik eksplorasi pikiran, yakni ketrampilan seorang konselor untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien. Misalnya, seorang konselor saat berhadap-hadapan ia mengatakan kalimant; “saya yakin saudara dapt menjelaskan lebih jauh ide anda tentang sekolah sambil bekerja” atau dengan mengguakan kalimat “saya kira pendapat anda mengenai hal itu baik sekali. Dapatkah saudara menguraikan lebih lanjut?”. Tahapan layanan konseling kedua adalah tahap kerja. Tahap kerja merupakan tahap kerja yang ber-tujuan mengolah atau mengerjakan masalah klien yang telah didefinisikan dalam tahap awal. Pada tahap ini berbagai proses analisis, sintesa, diagnosa dan prognosa konseling secara berurut-turut dilaku-kan oleh seorang konselor, sebelum melangkah pada tahap terakhir, pemberian treatment atau pelaksanaan konseling itu sendiri. Proses analisis merupakan langkah untuk memahami kehidupan individu yaitu dengan meman-faatkan data yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber dalam proses eksplorasi masalah (Sukardi, 1985: 106). Dalam kegiatan layanan konseling di rumah sakit, kegiatan pengumpulan data dimaksud selain dapat bersumber langsung dari pasien, dapat pula menggunakan data lain berkenaan dengan riwayat sakit, kehidupan keluarga, kehidupan emosional, pekerjaan, karakter yang dapat menghambat dan mendukung kesembuh-an pasien. Alat yang digunakan untuk mengumpul-kan data ini antara lain berupa rekam medis, pedoman wawancara dan observasi. Adapun sumber data yang diharapkan berasal dari keluarga, dokter, atau perawat. Berikutnya adalah proses sintesa, yakni proses pengorganisasian dan perangkuman data-data yang terhimpun sehingga nampak dengan jelas gejala atau keluhan-keluhan klien/ pasien, serta hal-hal yang melatar belakangi masalah pasien. Rangkuman data harus dibuat berdasarkan data yang diperoleh dan hasil analisa di atas (Sukardi, 1985: 107). Proses selanjutnya adalah proses diagnosa, yakni berupa langkah interpretasi data dalam kaitannya dengan gejala masalah, kekuatan dan kelemahan pasien. Dalam proses penafsiran data Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
79
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dalam kaitannya dengan perkiraan penyebab masalah, konselor haruslah menentukan penyebab masalah yang paling mendekati kebenaran atau menghubungkan sebab akibat yang paling logis dan rasional. Inti masalah yang diidentifikasi oleh konselor dalam langkah diagnosis seperti ini mungkin saja lebih dari satu, namun untuk kemudian harus ditetapkan secara pasti hasil diagnosa klien karena hal ini sangat menentukan keberhasilan layanan konseling. Proses selanjutnya adalah prognosa, yakni berupa langkah meramalkan akibat yang mungkin timbul dari masalah itu dan menunjukkan perbuatan-perbuatan yang dapat dipilih. Dalam arti lain proses prognosis adalah satu langkah mengenai alternatif bantuan yang dapat atau mungkin diberikan kepada pasien sesuai dengan masalah yang dihadapi, sebagaimana ditemukan dalam langkah diagnosis. Dalam proses prognosa ini seorang konselor sudah mulai menetapkan berbagai alternatif treatmen yang akan dilakukan untuk membantu klien mengatasi masalah. Dalam proses ini, seorang konselor perlu memperhatikan strategi pemberian bantuan atau intervensi yang bersifat, (1) mudah dilaksanakan, (2) sesuai dengan sifat-sifat unik dan kesukaan klien, (3) sesuai dengan sifat-sifat masalah dan faktor-faktor yang berhubungan, (4) lebih bersifat positif daripada hukuman, (5) mendorong perkembangan ketrampil-an mengatur diri sendiri, (6) memperkuat harapan kien tentang keefektifan pribadi atau kemajuan diri, (7) didukung oleh literatur, (8) dapat dilaksanakan dengan praktis, (9) jangan menimbulkan masalah tambahan bagi klien dan orang-orang yang terdekat dengan klien, (10) jangan membebani klien atau orang-orang terdekat dengan klien dengan banyak hal yang harus dilakukan, (11) jangan menuntut diluar batas kemmapuan konselor untuk melakukan dan bertanggungjawab terhadapnya, dan (12) jangan mengulangi cara pemecahan masalah yang tidak berhasil yang pernah dilakukan. Selain itu, pada tahap kerja ini seorang konselor juga harus menerapkan teknik-teknik konseling sebagai berikut, yakni : a) Memimpin (leading). Teknik ini dibutuhkan agar pembicaraan dalam proses wawancara konseling tidak melantur atau
80
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
b)
c)
d)
e)
f)
menyimpang. Seorang konselor harus mampu memimpin arah pem-bicaraan sehingga mencapai tujuan. Memfokuskan (focusing). Teknik ini dibutuhkan agar pokok pembicaraan atau fokus perhatian hanya terpusat pada apa yang dikatakan klien, tidak menyimpang ke arah pembicaraan lain. tidak menambah atau mengurangi isi pembicaraan klien. Konfrontasi (confrontation). Konfrontasi adalah tehnik konseling yang menantang klien untuk melihat adanya diskrepansi atau inkonsistensi antara perkataan dengan bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan dan sebagainya. Tujuan teknik ini adalah (1) mendorong klien mengadakan penelitain diir secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien, dan (3) membawa klien kepada kesadaran adanya diskrepansi, konflik, atau kontradiksi dalam dirinya. Selain itu, dalam penerapan teknik ini seorang konselor harus memperhatikan hal-hal berkut, (a) memberi komentar khusus terhadap klien yang tidak konsisten debngan cara tepat waktu (b) tidak menilai apa lagi menyalahkan, dan (c) dilakukan konselor dengan perilaku attending dan empati. Menginformasikan (informing), yakni prinsip pemberian informasi. Jika konselor tidak me-miliki informasi, sebaiknya dengan jujur mengatakan bahwa tidak mengetahui hal itu. Memberi nasehat (advising). Pemberian nasehat sebaiknya dilakuakn jika klien memintanya, walaupun demikian, konsleor tetap harus mempertimbangkannya pakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam membri nasehat tetap dijaga agar tujuan konsleing yakni ke-mandirian klien harus tetap tercapai. Menyimpulkan sementara (summarizing), yakni tindakan penyimpulan sementara. Supaya pem-bicaraan maju secara bertahap dan arah pembicaraan makin jelas, maka setiap periode waktu konselor bersama klien perlu menyimpulkan sementara. Kebersamaan ini amat diperlukan agar klien mempunyai pemahaman bahwa ke-putusan mengenai dirinya menjadi tanggung jawab klien, sedangkan konselor
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
81
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
g)
h)
i)
j)
k)
hanyalah membantu. Mengenai kapan suatu pembicaraan akan disimpulkan banyak tergantung kepada feeling konselor. Tujuan menyimpulkan semen-tara (summarizing) ini adalah (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan (2) untuk menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap (3) untuk meningkatkan kualitas diskusi dan (4) mempertajam fokus wawancara konseling. Menjernihkan, yakni suatu ketrampilan untuk menjernihkan ucapan-ucapan yang samar, kurang jelas dan agak meragukan. Tujuannya adalah (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas, ungkapan dengan kata-kata yang tegas, dan alasan-alasan logis, dan (2) agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya. Memudahkan, yakni ketrampilan membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas, sehingga komunikasi dan partisipasi meningkat, dan proses konseling pun dapat berjalan efektif. Mengarahkan (directing). Teknik ini bertujuan untuk mengajak klien berpartisipasi secara penuh dalam proses konseling, perlu ada ajakan dan arahan dari konselor. Ketrampilan dimaksud adalah suatu ketrampilan konseling untuk mengatakan kepada klien agar dia berbuat sesuatu. Misalnya menyuruh klien untuk ber-main peran dengan konsleor atau mengkhayalkan sesuatu. Interpretasi, yakni berupa upaya konselor untuk mengulas pemikiran, perasaan, dan perilaku/ pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, dinamakan tehnik interpretasi. Jadi, jelas bahwa sifat-sifat subjektif konselor tidak ter-masuk interpretasi. Tujuan utama tehnik ini adalah memberikan rujukan, pandangan atau perilaku klien, agar mengerti dan berubah melalui pemahaman dan hasil dari rujukan baru tersebut. Mengambil inisiatif. Mengambil inisiatif perlu dilakukan konselor manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara,
82
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
sering diam, dan kurang partisipatif. Konselor mengucapkan kata-kata yang mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Tehnik ini dilaku-kan pada saat 1). Jika klien kurang bersemangat; 2). Jika klien lambat berpikir untuk mengambil keputusan; 3). Jika klien kehilangan arah pembicaraan. l) Dorongan minimal. Suatu isyarat angukan, sepatah kata atau suara tertentu, gerakan badan atau pengulangan kata-kata kunci yang menujuk-kan bahwa konselor memiliki perhatian dan mengikuti pembicaraan klien. Dorongan minimal dapat meningkatkan eksplorasi diri karena kegunaannya dapat meningkatkan keleluasaan klien untuk berbicara, dan makin memotivasi klien untuk terus mengemukakan pikiran dan perasaan berkaitan dengan masalah yang dihadapi (Willis, 2004: 174-175). Sedangkan tahapan akhir dari pelaksanaan layanan bimbingan konseling adalah berupa tahapan tindakan yang bertujuan agar klien mampu menciptakan tindakan-tindakan positif seperti perubahan perilaku dan emosi serta perencanaan masa depan. Tahap ini merupakan pemeliharaan yang berupa inti pelaksanaan konseling yang meliputi berbagai bentuk bantuan yang telah direncanakan untuk membantu klien. Pada tahap ini konselor dan klien telah membuat kesepakatan bersama tentang berbagai hal seperti jadwal pertemuan dan keputusan (alternatif bantuan) yang telah dipilih klien untuk mengatasi masalahnya. Pada tahap ini konselor sudah memulai melaksanakan evaluasi secara berkala yaitu melalui bentuk progress raport klien, yang kemudian akan menjadi acuan bagi pelaksanaaan layananlayanan konseling berikutnya. Pada tahap akhir ini, dibutuhkan teknik-teknik berikut : 1) Menyimpulkan. Pada akhir sesi konseling, konselor membantu klien untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut, (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat itu terutama mengenai kecemasan (2) memantapkan rencana
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
83
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
klien, dan (3) pokok-pokok yang akan dibicara-kan selanjutnya pada sesi berikutnya. 2) Merencanakan. Menjelang akhir sesi konseling seorang konsleor harus dapat membantu klien untuk dapat membuat rencana berupa suatu program untuk action, perbuatan nyata yang produktif bagi kemajuan dirinya. Suatu rencana yang baik adalah hasil kerjasama seorang konselor dengan klien. 3) Menilai atau mengevaluasi. Tujuan penilaian dalam konseling adalah : a) Untuk menaksir hasil dari konseling. Penilaian membantu konselor dan klien menentukan tipe, arah, dan banyaknya perubahan tingkah laku, baik yang nampak maupun yang tidak nampak yang ditujukan selama dan setelah konseling. b) Untuk menilai proses konseling. Secara spesifik data yang dikumpulkan selama konseling dapat digunakan untuk memonitori apakah suatu strategi membnatu klien-klien dalam cara yang ditentukan, dan apakah klien menggunakan strategi secara akurat dan sistematis (Abimanyu, 1996: 206). Dalam proses evaluasi atau penilaian ini terdapat dua bentuk penilaian dalam konseling yaitu penilaian proses dan penilaian hasil konseling. Pada penilaian proses konseling, biasanya konseling akan dilakukan dalam beberapa sesi/ pertemuan sehingga secara bertahap konselor sudah dapat melakukan penilaian secara berkala terhadap perubahan dan perkembangan klien dari waktu ke waktu sampai pada akhir sesi. Penilaian ini dapat dilakukan dengan mencatat dalam lembar progress raport yang telah disiapkan. Sementara penilaian hasil konseling secara sederhana dapat dilakukan dengan menyimpulkan hasil dari progress raport yang telah dibuat selama proses konseling berlangsung. Cara lain untuk mengetahui hasil konseling adalah dengan membuat angket sederhana untuk menilai perubahan yang tejadi pada klien
84
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
yang diisi oleh klien sendiri untuk meng-gambarkan secara singkat penialian dirinya terhadap sesi yang baru saja dilalui. Evaluasi proses dan hasil pada dasarnya sama-sama mengumpulkan data selama proses konseling. Perbedaanya adalah bahwa evaluasi hasil menilai meniali tujuan, sedangkan evaluasi proses berusaha memonitor strategi penanganan dan tindakan. Evaluasi proses berusaha menjawab pertanyaan “Apa yang terjadi atau apa yang telah saya lakukan dalam menolong klien mencapai hasil yang diinginkan”. Hasil dari evaluasi proses ini dapat digunakan konselor untuk merencanakan penanganan selanjutnya menentukan faktor-faktor penting apa yang perlu dilakukan pada pertemuan berikutnya, dan bagaimana melakukannya. 4) Mengakhiri konseling. Merupakan akhir dari rangkain kegiatan konseling pada tahap ini, konselor telah dapat mamastikan bahwa memang konseling layak diakhiri dengan melakukan kesepakatan dengan klien karena klien telah dapat mengatasi masalahnya. Untuk mengakhiri proses konseling yang ditandai adanya wawancara antara konselor dan klien dapat dilakukan dengan tehnik-tehnik berikut: a) Merujuk kepada keterbatasan waktu. Konselor mengingatkan klien jika waktu telah habis misalnya dengan ungkapan “waktu kita hampir habis, kapan anda akan datang lagi?’, baiklah pertemaun hari ini, cukup sampai disi dulu”. b) Meringkaskan, misalnya ungkapan “nah, bagaimana kesan Anda?”, wawancara kita telah berakhir, dapatkah anda menyatakan kembali hal-hal penting yang telah kita bicarakan?” c) Merujuk pada yang akan datang, misalnya dengan berkata “waktu kita hampir habis, kapan anda ingin kembali?, apakah kamu mau bertemu lagi pada waktu yang sama”. d) Berdiri merupakan tehnik persuasif untuk mengakhiri wawancara. e) Gerak isyarat halus, misalnya dengan melihat jam.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
85
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
f) Catatan ringkasan. Konselor dapat menyuruh klien membuat ringkasan pertemaun pada waktu itu. g) Pekerjaan rumah. Konselor dapat menyuruh klien mengerjakan sesuatu yang disesuaikan dengan masalah yang dihadapi (Lesmana, 2008: 144-152). Secara singkat tahapan konseling di atas dapat digambarkan dalam bagan berikut :
Tahap awal
¾ ¾ ¾ ¾ ¾
Tahap pertengahan
Tahap akhir
empati attending bertanya terbuka refleksi pengalaman/perasaan eksplorasi pengalaman/perasaan
¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾
memimpin fokus mengarahkan menafsirkan Gambar 1 memperjelas konfrontasi mendorong informasi nasehat menyimpulsementara bertanya
¾ ¾ ¾ ¾ ¾
menyimpulkan mendorong merencana menilai mengakhiri proses
Definisi masalah
Tahap kerja dengan definisi masalah
Tahap Tindakan
SkemaȱPelaksanaanȱBimbinganȱRohaniȱterhadapȱPasienȱȱ
Skema Pelaksanaan Bimbingan Rohani terhadap Pasien
2. Formulasi Model Ideal Dakwah Melalui Layanan Bimbingan Rohani Islam di Rumah Sakit Pengetahuan yang cukup mengenai gambaran tentang variasi reaksi pasien terhadap keadaan sakit yang diderita seperti
86
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
di atas merupakan bekal yang sangat penting bagi konselor/ petugas pelayanan bimbingan dan konseling Islam dalam merancang jenis bantuan yang dibutuhkan oleh setiap pasien. Pengetahuan tersebut juga dapat menjadi penentu bagi pemilihan model layanan yang tepat untuk diberikan kepada pasien, apakah model layanan bimbingan, layanan model konseling, ataukah perlu melakukan penggabungan di antara keduanya. Hal ini sesuai hasil forum diskusi dengan petugas rohaniawan dan beberapa dokter serta dengan pihak rumah sakit yang dilakukan oleh Komarudin dkk diperoleh beberapa kesepakatan mengenai formulasi ideal layanan bimbingan dan konseling Islam bagi pasien di rumah sakit. Beberapa item kesepakatan tersebut adalah (Komarudin,dkk., 2010: 89): 1) Layanan bimbingan dan konseling Islam tidak hanya sekedar memberikan layanan do’a atau bimbingan ibadah. 2) Seorang petugas layanan atau konselor perlu mengetahui hasil diagnosa sakit pasien serta menguasai persoalan psikologis pasien sehingga yang bersangkutan mampu membangkitkan psikologis pasien 3) Pelaksanaan kegiatan layanan perlu memperhatikan variasi keadaan pasien, baik dari aspek umur, psikhis, jenis penyakit, jenis pasien, dan jika perlu status sosial ekonomi pasien. 4) Bidang kerja layanan bimbingan dan konseling Islam harus memiliki wilayah garapan yang jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan bidang-bidang layanan yang lain, seperti bidang tugas layanan dokter, perawat, ataupun psikolog yang dimiliki rumah sakit. 5) Jenis layanan yang memungkinkan dari efisiensi waktu adalah model layanan bimbingan, sedangkan model layanan konseling hanya bersifat situasional karena membutuhkan waktu yang lebih lama. 6) Khusus untuk pemberian layanan konseling perlu mendapatkan persetujuan dari pihak pasien dan keluarga pasien, seperti dengan mengajukan inform concern yang perlu ditandatangi pihak pasien atau keluarga.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
87
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
7) Dalam pelaksanaan semua jenis layanan bimbingan dan konseling Islam perlu dilakukan pencatatan dengan baik dan benar, sebagaimana yang terdapat dalam layanan medis. 8) Performa petugas pasien harus meyakinkan dan selalu berusaha tampil menarik, penuh simpati, dan respek di mata pasien. Pelaksanaan kegiatan layanan seperti ini jika digabungkan dengan kerangka desain teoretis layanan bimbingan dan konseling Islam, akan menghasilkan formulasi model layanan BKI sebagai berikut : Pemberian nasehat dan motivasi/keyyakinan Bimbingan do’a a dan dzikr Mo odel Layanan Bimbingan B
Bimbingan Ibadah Bimbingan/Pendamp pingan sakarattul maut
Layanan ideall BKI Mod del Layanan Konseling K
Pembe erian bantuan menemukan m co ore prob blem pasien, melalui tahapan-onseling tahapan ko
Mode el Gabungan Laya anan Bimb. & Kons.
Bisa diawali dengan layanan bimbin ngan nan lalu diikuti dengan pemberian layan u sebaliknya konseling, atau
Skema Model Ideal Pelayanan Bimbingan Konseling Islam bagi Pasien
Model layanan bimbingan berisikan pemberian bantuan kepada seseorang agar yang bersangkutan mampu memahami lingkungannya dan mengembangkan potensi yang dimiliki. Tehnik bimbingan yang dapat diterapkan pada setting rumah sakit antara lain berupa bimbingan ibadah, pemberian nasehat, pemberian motivasi, bimbingan doa dan sebagainya. Berbagai
88
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
bimbingan tersebut dapat diberikan kepada pasien, dengan tujuan-tujuan berikut: 1) Menyakinkan pasien untuk optimis terhadap kesembuhan penyakitnya. 2) Meyakinkan pasien untuk mengikuti proses perawatan dengan baik sampai sembuh. 3) Menyadarkan pasien perihal berbagai konsep sehat dan sakit menurut ajaran Islam. 4) Memahamkan pasien bahwa kondisi kejiwaan sangat berpengaruh terhadap kesehatan jasmani. 5) Mengajak pasien untuk bersikap tenang dan sabar sebagai wujud terapi untuk mempercepat kesembuhan. 6) Membantu individu menyesuaikan diri terhadap gangguan kesehatan sepanjang siklus hidupnya. 7) Memberi pertolongan kepada pasien yang mengalami kegelisahan dalam menghadapi sakitnya. 8) Memberikan bimbingan tentang makna sakit secara agamis. 9) Mengajarkan kepada pasien untuk berikhtiar dalam menghadapi sakit yaitu berobat pada ahlinya (berikhtiar dengan cara-cara yang benar). 10) Mengingatkan pasien agar tetap mejalankan ibadah sesuai dengan kemampuannya. 11) Mengusahakan agar pasien memperhatikan berbagai hal yang mendukung kesembuhan seperti kebersihan pakaian dan tempat tidur. 12) Memberikan kekuatan moril kepada pasien yang akan menjalani operasi atau sedang kesakitan Sementara bagi pasien yang sudah tidak mungkin mendapatkan bimbingan rohani karena kondisinya yang tidak memungkinkan, seperti pasien di ICU, maka doa merupakan bentuk bimbingan yang paling tepat. Sedangkan bagi pasien yang mendekati ajal atau yang mengalami sakaratul maut, petugas dapat mendampingi dengan membimbing kalimah t}ayyibah agar pasien meninggal dalam khusnul khatimah. Pada dua situasi ini perlu sekali memberikan pula bimbingan kepada keluarga agar Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
89
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
mereka menyiapkan mental menerima resiko terburuk yang mungkin terjadi pada pasien, dengan tetap berdoa agar kondisi pasien lebih baik dan menerima dengan ikhlas jika memang pada akhirnya pasien meninggal dunia. Sementara model layanan konseling secara spesifik berupa layanan khusus sesuai dengan kebutuhan, masalah, lingkungan baik fisik maupun perilaku klien, yakni pasien. Layanan konseling merupakan proses timbal balik, kerjasama yang saling menghargai, memperhatikan situasi interpersonal sesuai dengan sosial budaya klien menuju pencapaian tujuan. Dengan demikian, konseling adalah pelayanan khusus dan unik yang tidak sama antara satu pasien dengan pasien yang lain. Salah satunya dapat diberikan kepada pasien kronis atau terminal yang secara umum memiliki “psychogical strenght” yang lemah (Surya, 2003: 41). Dalam prakteknya layanan konseling yang dilakukan dapat bertujuan untuk mencapai kesehatan mental yang positif, yaitu konselor melakukan upaya pengembangan sikap serta ketahanan diri pasien dalam berjuang melawan penyakitnya. Kualitas mental inilah diharapkan pasien dapat membantu dirinya sendiri; mengurangi beban penderitaannya dan pada akhirnya pasien mampu menjalani hidupnya dengan lebih baik. Jika pasien memilki kondisi mental yang positif, maka klien akan mampu menjadi pribadi yang efektif meskipun memiliki keterbatasan akibat penyakit yang diderita. Pasien juga akan lebih mudah melakukan perubahan perilaku yaitu beradaptasi dengan pola hidup yang harus dijalani demi mencapai kesembuhan bahkan sampai pada kemampuan mengambil berbagai keputusan penting dalam hidupnya baik berkaitan dengan penyakitnya maupun masalah lainnya seperti keluarga, pekerjaan dan lain sebagainnya. Selain itu, layanan konseling seperti ini juga dapat diberikan pada pasien yang memiliki problem sosial (seperti pekerjaan, keluarga, hubungan interpersonal dan lain sebagainya) yang membutuhkan penyelesaian (problem solving), dimana hal ini dapat mempengaruhi kondisi psikologis pasien dan menghambat proses kesembuhannya.
90
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
Layanan konseling seperti ini berbeda dengan layanan bimbingan yang lebih bersifat general, yakni dapat diberikan kepada semua pasien tanpa harus mendapatkan persetujuan dari keluarga pasien atau rekomendasi dari dokter atau perawat. Konseling bukanlah interogasi, pengarahan, pemberian nasehat, perbincangan, atau pemberian doa, sebagaimana dipahami banyak orang. Dalam prakteknya layanan konseling dapat diberikan kepada pasien atas rekomendasi dari perawat, dokter atau keluarga pasien. Jika tidak dengan cara demikian pada perjalanan memberikan bimbingan kepada pasien, konseling bisa kemudian diberikan kepada pasien yang terdeteksi memiliki masalah. Untuk dapat melakukan hal tersebut, tentunya dibutuhkan petugas bimbingan rohani Islam yang secara praktis memahami berbagai skill untuk membantu dalam konseling, karena bukan menjadi perkara yang mudah untuk mengetahui seseorang memiliki problem atau tidak. Apalagi kebanyakan pasien sering kali bersikap ekstrovert terhadap masalah yang sangat privasi. Dengan berbagai tehnik konseling yang diterapkan, seorang konselor akan benar-benar mampu menemukan core problem pasien dan pada tahap selanjutnya mampu memberikan treatmen-treatmen yang dibutuhkan pasien dalam menyelesaikan masalahnya. Selain itu layanan bimbingan dan konseling Islam seperti itu juga perlu diberikan kepada keluarga pasien, karena keluarga merupakan pihak yang berperan penting dalam mengambil keputusan terhadap status kesehatan pasien. Keluarga juga sering kali mendapat ekses negatif bila salah satu anggota keluarganya ada yang sakit. Dengan demikian keluarga dapat menjadi klien untuk layanan bimbingan rohani Islam. Keluarga seharusnya menjadi pihak pertama yang memberikan dukungan sosial yang dibutuhkan pasien selama menjalani perawatan. Untuk dapat melakukan perannya dengan baik sebagai sumber dukungan sosial tersebut, konselor dapat membantu keluarga pasien untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi seperti perubahan peran dan dinamika dalam keluarga, atau berbagai kekhawatiran/
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
91
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
ketakutan terhadap nasib salah satu anggota keluarganya yang sakit. Dalam hal ini, seorang konselor bisa menerapkan model konseling keluarga. Model ini bisa diterapkan untuk membangun dukungan keluarga terhadap pasien ataupun untuk memperkuat dukungan yang sudah ada, membantu keluarga untuk beradaptasi dengan perubahan peran / dinamika keluarga yang berubah karena salah satu anggotanya sakit, mendampingi keluarga pada masa-masa sulit seperti ketika pasien kritis atau masa duka (pasien meninggal). Model ini bisa mengambil bentuk family therapy atau terapi keluarga, couples therapy atau terapi pasangan dan parent education (Surya, 2003: 168). Berbagai tehnik tersebut bisa secara dini dilakukan oleh konselor dengan mendatangkan pasangan atau keluarga atau dengan cara home visit yakni kunjungan ke rumah pasien. Bila dirasa konseling individual dan keluarga perlu dilakukan, berarti pasien akan mendapat dua bantuan sekaligus yaitu terapi internal untuk menyelesaikan masalah yang bersumber dari dirinya sendiri dan terapi eksternal untuk menyelesaikan masalah dengan lingkungannya. Selain pemberian layanan yang tepat, proses pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi pasien dan keluarga perlu disertai dengan kedisiplinan dalam pencatatan terhadap hal-hal yang terkait dengan proses dan keadaan pasien yang menerima bimbingan. Melalui pencatatan yang tertib akan terlihat dengan jelas bentuk-bentuk bantuan yang telah diberikan kepada pasien serta berbagai tahapan layanan yang telah dan sedang berlangsung, serta penentuan agenda tahapan konseling berikutnya yang harus dilakukan. Hal ini juga akan menghindarkan berbagai bentuk pengulangan materi yang ditanyakan kepada pasien saat melakukan layanan, yang dapat menimbulkan suasana kurang enak dalam diri pasien. Hal-hal yang perlu dicatat dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling Islam seperti itu meliputi: pertama, data identitas pasien, yakni terdiri dari nama pasien, jenis kelamin pasien, alamat tempat tinggal pasien, riwayat atau jenis sakit pasien, dokter yang menangani pasien, dan ruang bangsal pasien. Kedua, data proses layanan bimbingan dan konseling Islam, yakni
92
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
terdiri dari pemberian model dan jenis layanan, hasil analisa problem pasien, treatment yang diberikan, dan catatan hasil perkembangan keadaan psiko-sosio-religius pasien. Ketiga, data mengenai respon dan tanggapan pasien terhadap pelaksanaan layanan yang diterimakan kepadanya, sebagai bahan koreksi dan masukan untuk penyempurnaan pelaksanaan kegiatan layanan bimbingan dan konseling Islam bagi pasien di rumah sakit. Hasil-hasil catatan mengenai problem pasien yang diperoleh melalui model layanan konseling bersifat rahasia. Seorang petugas layanan konseling pasien memiliki kewajiban menjaga sifat kerahasiaan catatan problem-problem yang diutarakan oleh pasien tersebut dari orang-orang yang tidak memiliki kewenangan secara yuridis maupun medis untuk membantu kesembuhan pasien. Oleh karena itu, semua hasil catatan terkait data pasien, problem pasien, dan respon pasien, keseluruhan tertuang dan teradministrasikan secara baik dalam “data rekam problem klien”. Jika dalam kesempatan lain pasien yang mendapat layanan bimbingan dan konseling Islam tersebut kembali masuk ke rumah sakit, hasil “data rekam problem klien” tersebut bisa dilihat kembali oleh petugas layanan untuk dijadikan sebagai salah satu bahan analisa terhadap persoalan yang dialami pasien. Dengan demikian, keadaan pasien tersebut bisa dianalisa secara mendalam dan komprehensif, sehingga core problem yang dimiliki pasien dapat dideskripsikan lebih jelas. Dalam melakukan analisis terhadap core problem pasien, seorang petugas layanan perlu mendapatkan informasi menyeluruh mengenai keadaan pasien, baik informasi mengenai keadaan sakit pasien, keadaan psikologis pasien, keadaan dukungan sosial pasien, serta keadaan religius pasien. Karena itu tugas pelaksanaan kegiatan layanan konseling bagi pasien betulbetul perlu melibatkan berbagai pihak, terutama keluarga pasien. Informasi yang jujur dan obyektif dari keluarga amat penting untuk membantu kepentingan analisa terhadap core problem yang dimiliki pasien, sehingga bantuan yang diberikan oleh petugas layanan bisa berjalan secara efektif.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
93
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Lebih lanjut, tidak jarang keluarga pasien juga mengalami beban psikologis yang demikian berat juga saat mereka harus menunggui anggota keluarganya yang sedang sakit di rumah sakit. Oleh karena itu, layanan bimbingan dan konseling Islam seperti ini juga perlu diberikan kepada keluarga pasien. Pemberian layanan bimbingan dan konseling bagi keluarga seperti ini sekaligus sebagai upaya menyingkap dimensi sosial pasien. Boleh jadi salah satu akar penyebab sakit pasien bermula dari masalah keluarga atau lingkungan kerja pasien, sehingga analisis terhadap keadaan core problem pasien pun menjadi terbantu dengan baik. C. Penutup Demikianlah formulasi layanan ideal bimbingan dan konseling Islam bagi pasien semestinya diterapkan. Bukan sekedar berupa pemberian layanan doa, nasehat, atau bimbingan ibadah saja, tetapi juga disertai layanan konseling yang difokuskan untuk membantu pasien menemukan core problem yang alami serta membantunya terlepas dari core problem-nya tersebut. Semua proses kegiatan layanan seperti itu harus pula tercatat dan teradministrasi dengan rapi dan baik, sehingga pelaksanaannyapun dapat dipertanggungjawabkan baik secara profesional maupun ilmiah.
94
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah Terhadap Pasien ... (Agus Riyadi)
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Soli, 1996, Laboratorium Bimbingan dan Konseling, Bandung: Refika Aditama Basit, Abdul, 2006, Wacana Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Damaiyanti, Mukhripah, 2008, Komunikasi Terapeutik Dalam Praktek Keperawatan, Bandung: Refika Aditama Hawari, Dadang, 1999, Al-Quran Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa ______________, 2004, Kanker Payudara Dimensi Psikoreligius, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia http://www.rsboromeus.com/pastoralcare. Kepmenkes RI No. 812/Menkes/SK/VII/2007 tentang Kebijakan Terapi Paliatif. Depkes RI. Jakarta. Komarudin,dkk, 2010, Implementasi Dakwah Melalui Optimalisasi Layanan Bimbingan Dan Konseling Islam (BkI) Bagi Pasien Rawat Inap Rumah Sakit Pemerintah Di Jawa Tengah, Penelitian kelompok Diktis Kuntowijoyo, 1994, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan Lesmana, Jeanatte Murad, 2008, Dasar-Dasar Konseling, Jakarta: Universitas Indonesia Press Mashudi, 2007, Peran Rohaniawan dalam Proses Penyembuhan Pasien, Kumpulan Makalah Workshop Pendekatan Spiritual Yang Efektif Bagi Pasien Hotel Patrajasa Semarang Musnamar, Tohari, 1992, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam, Yogyakarta: UII Press Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
95
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Potter, Patricia, dkk, 2005, Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik, Alih bahasa Yasmin Asih, dkk, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Rasmi, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga, Jakarta: CV. Sagung Seto Subandi, M. & Hasanat, N., 1999, Pengembangan Model Pelayanan Spiritual Bagi Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Umum, Laporan Penelitian, (tidak diterbitkan),Fakultas Psikologi, UGM, Yogyakarta Sukardi, Dewa Ketut, 1985, Pengantar Teori Konseling (Suatu Uraian Ringkas), Jakarta : Ghalia Indonesia Surya, Muhammad, 2003, Psikologi Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy Willis, Sofyan, 2004, Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung: Alfabeta
96
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
BASIS EPISTEMOLOGI PENYULUH AGAMA ISLAM
(Menyelia Determinasi Kontradiktif antara Penyuluh dan Konselor) Oleh: Mas’udi Dosen Jurusan Dakwah STAIN Kudus Email:
[email protected] Abstract The intersection between instructor and counselor is two aspect studies usually appear in Dakwah study. The label of da’i missionary in the unity of Dakwah study used to be annunciated as counselor. The reality was disagreed with the terminology of Dakwah as subject to send the message of Islamic principles to create the tranquility for publics. Meanwhile, this terminology was included in the unity term of instructor. For the consequence of two paradigms, all determination is deviates from public constituent. The terminology of instructor was shadowed cause lost trendy than terminology of counselor. Key Words: Instructor, Counselor, Epistemology, Missionary, Islamic Principles.
A. Perspektus Epistemologi atau yang dikenal dengan istilah filsafat pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan ruang-lingkup pengetahuan serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Dengan pengungkapan asas epistemologi inilah, nantinya seseorang akan memahami apakah pengetahuanpengetahuan yang dimilikinya hanya merupakan kemungkinankemungkinan ataukah sebuah kepastian? Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
97
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Sebagai bagian dari struktur Ilmu Dakwah, Penyuluh Agama Islam (PAI) merupakan suatu eksistensi yang tidak dapat dinisbikan keberadaannya. Penyuluh Agama Islam (PAI) memiliki kontribusi besar terhadap nilai-nilai keberagamaan umat. Eksistensinya yang lebih dikenal sebagai dai berperan besar atas penentuan arah kehidupan sosial-agama masyarakat. Partisipasi Penyuluh Agama Islam (PAI) dalam pembentukan sosial-agama memiliki dampak yang sangat luas terhadap formulasi-formulasi kehidupan beragama. Pemahaman agama yang tertanam pada masing-masing individu secara niscaya akan memiliki dampak signifikan atas keberlanjutan realitas kehidupannya; baik aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, dan agama sendiri. Membincang kenyataan inilah, penggunaan istilah konselor yang bersinonim dengan istilah penyuluh, menjadi fakta yang harus didefinisikan kembali. Penafian kontradiksi epistemologis terhadap kedua istilah tersebut telah menjadikan salah satu di antara keduanya mendominasi bagian yang lain. Para akademisi “seakan-akan” lebih merasa common atau familiar untuk menggunakan istilah konselor daripada penyuluh. Tidak ketinggalan pula, para sarjana sebagai output dari program studi penyuluh lebih merasa ‘nyaman’ untuk menyebutkan predikat kesarjanaannya sebagai konselor. Padahal, jika hendak ditelusuri secara mendetail, predikat yang telah diraih mengukuhkan para sarjana tersebut sebagai sarjana penyuluh. B. Lintasan Sejarah Epistemologi sebagai Ilmu Plato menyatakan bahwa embrio dari epistemologi adalah rasa kagum. Tidak ada seorangpun yang dapat berfilsafat apabila ia tidak memiliki rasa kagum. Rasa kagum di sini tidak diartikan kekaguman terhadap hal-hal yang asing atau mengerikan, tetapi kepada hal-hal yang bersifat nature, biasa, sehari-hari (Hadi, 1994:14). Bebarapa pandangan para filosof dengan hasil temuannya sebenarnya merupakan representasi dari sebuah rasa kagum. Sebagai contoh Aristoteles yang mengawali metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari kodratnya ingin tahu”. Hal yang berbedapun dilakukan seorang ahli filosof sebelumnya
98
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
yaitu Socrates yang menyatakan “tidak seorangpun yang memiliki pengetahuan”. Kedua pernyataan di atas menunjukkan bahwa para filosof berangkat dari sebuh rasa kagum. Pernyataan yang pertama merujuk pada sebuah afirmasi atau penegasan atas keinginan umum untuk tahu dan keinginan tersebut dapat direalisasikan. Sementara pernyataan yang kedua menegaskan ketidaktahuan umum sebagai kodrati manusia (Hadi, 1994: 13). Dari sisi etimologi, epistemologi berasal dari Bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan sejati, pengetahuan, pengetahuan sistematik lawan dari doxa (Tim Penulis Rosda, 1995:96). Sementara logos berarti ucapan, diskursus, pemikiran, nalar, kata, makna, kajian tentang, prinsip-prinsip dan metodemetode yang digunakan untuk menjelaskan fenomena dalam disiplin ilmu tertentu. Dalam bahasa Inggris kata logos berasal dari logy, kata ini digunakan sebagai bentuk gabungan dalam kata-kata, seperti psycho-logy, geo-logy dan lain sebagainya (ibid., 189). Selanjutnya dari sisi terminologi, epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan (Bagus, 2002: 212), atau juga cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran pengetahuan; teori pengetahuan-pengetahuan (Partanto dan Al-Barry, 1994: 157). Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa epistemologi merupakan suatu disiplin ilmu dalam wilayah filsafat yang membahas tentang teori-teori pengetahuan ataupun kebenaran. Lalu timbullah pertannyaan apa hakikat pengetahuan itu? Amsal Bahtiar menjawab bahwa pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental (mental state). Mengetahui terhadap sesuatu berarti menyusun pendapat tentang suatu objek. Artinya menyusun gambaran dalam akal tentang fakta yang ada di luar akal. Persoalannya adalah apakah gambaran itu sesuai dengan fakta atau tidak? Apakah gambaran itu benar? Atau, apakah gambaran itu dekat dengan kebenaran atau bahkan jauh dari kebenaran? Bahtiar menambahkan, bahwa ada dua teori untuk mengetahui hakikat kebenaran, yaitu (a) realisme dan (b) idealisme. Realisme merupakan pandangan realistis terhadap alam. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
99
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Pengetahuan adalah gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah kopi dari yang asli yang terdapat di luar akal. Sementara itu, idealisme menandaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan pandangan subjektif, bukan objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai sesuatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subjek). Maka, perbedaan di antara keduanya adalah realisme. Mempertajam benang merah di antara yang mengetahui dan diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Baginya dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan, layaknya organ tubuh dengan bagian-bagian yang lain. Dunia merupakan satu kebulatan, bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organik, sehingga satu dari bagiannya dipandang kebulatan logis, dengan makna sebagai inti di dalamnya (Bahtiar, 1999: 37-40). Berpijak kepada beberapa argumentasi tersebut dapat diungkapkan bahwa eksistensi epistemologi sebagai media penyambung di antara aspek ontologi dan aksiologi pengetahuan berimplikasi kepada pengukuhan keutuhan dari pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, di atas realita eksistensialnya, epistemologi sebagai satuan ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai teoritis untuk mengantarkan dirinya kepada prinsip saintifik yang utuh. Pada koridor inilah, Titus, et.al., (1984:237) menjelaskan beberapa prinsip teoritis yang mengejawantah dalam teori epistemologi. Pertama, Teori Koresponden (Ujian Persamaan dengan Fakta). Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri. Kebenaran mempunyai hubungan erat dengan
100
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
pernyataan atau pemberitaan terhadap sesuatu. Sebagai contoh, apabila saya mengatakan Madura itu berada pada daerah ujung timur Pulau Jawa, maka menurut pendekatan ini, pernyataan tadi itu benar bukan berdasarkan pernyataan-pernyataan-pernytaan sebelumnya, tetapi pernyataan itu benar kerena sesuai detak geografi yang sebenarnya. Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh karena kebenaran atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yang sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan itu benar. Jika tidak, maka pertimbangan itu salah. Apabila ada yang mengatakan “Menara Eiffel di Perancis itu indah dan menakjubkan”, maka pernyataan tersebut dapat diuji kebenarannya dengan penyelidikan empiris. Teori ini merupakan teori yang paling banyak diterima oleh kelompok realis. Kedua, Teori Koherensi (Ujian tentang Konsistensi) (Titus, et.al., 238-240). Teori ini menganggap bahwa sebuah pertimbangan itu benar apabila pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang telah diterima kebenaran pertimbangannya. Pertimbangan yang koheren, menurut logika, dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang relevan. Bentuk yang paling sederhana dari teori koherensi memerlukan konsistensi yang dalam dan formal dalam sistem yang dipelajari tanpa ada hubungannya dengan interpretasi dunia sebagai keseluruhan. Teori ini banyak diikuti oleh kaum idealis. Mereka menyatakan bahwa setiap teori kebenaran yang memadai, di samping harus memenuhi beberapa syarat, harus pula menerangkan “relativitas kebenaran”, artinya bagaimana suatu kepercayaan dapat dianggap benar pada suatu waktu dan salah pada waktu yang lain. Ketiga, Teori pragmatik (Ujian Kemanfaatan) (Titus, et.al., 241). Berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi yang bertitik tumpu kepada premis logis atas suatu realita, pragmatisme sebagai salah satu bagian dari teori kebenaran, hadir mewujudkan keberadaannya dengan menggunakan metode ilmiah modern sebagai dasar suatu filsafat. Penganut paradigma ini menyimpulkan bahwa kebenaran tidak dapat menjadi Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
101
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
kesesuaian dengan realitas, karena pada hakikatnya yang akan diketahui oleh setiap individu adalah pengalaman dirinya sendiri. Di dalam pengakuannya, pengikut pragmatisme berkeyakinan bahwa seseorang tidak dapat mengetahui substansi, esensi serta realitas tertinggi (ultimate reality). Pragmatisme menentang segala otoritarianisme, intelektualisme dan rasionalisme. Para pengikut aliran ini bersikap empiris dalam memberi tafsiran kepada pengalaman-pengalaman. Kebenaran itu dapat terbentuk dalam proses manusia menyesuaikan diri. Menurut William James, ide yang benar adalah ide yang dapat diasimilasikan, yang dapat disahkan, dapat dibenarkan dan dibuktikan kebenarannya. Dalam hakikatnya pragmatisme menukik kepada metode dan pendirian daripada doktrin filsafat yang sistematis. Ia merupakan metode penyelidikan eksprimental yang dipakai dalam segala bidang pengalaman manusia. Ia sangat dekat dengan sains, khususnya biologi dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, dan bertujuan untuk memakai jiwa ilmiah dan pengetahuan ilmiah dalam menghadapi problema-problema manusia termasuk juga etika dan agama. Kelompok pragmatis bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti seperti bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme, dan realism (Titus, et.al., 340). Mehdi Ha’ri Yazdi, professor filsafat di Universitas Teheran, menambahkan bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi, korespondensi dan pragmatisme, tetapi ada tambahannya, yaitu hudhuri/iluminasi. Keempat, Teori Hudhuri/Iluminasi (Anugerah Tuhan) (Bahtiar, 1999: 35-37). Teori Hudhuri adalah pengetahuan dengan kehadiran, ia ditandai oleh keadaan neotic. Ilmu hudhuri ini berbeda dengan korespondensi. Kalau dalam korespondensi membutuhkan objek di luar diri, seperti meja dan kursi. Adapun ilmu hudhuri tidak memiliki objek di luar dirinya, tetapi objek itu sendiri ada pada dirinya. Para sufi pada umumnya mengakui keberadaan konsep iluminatif ini. Oleh sebagian sufi ilmunisasi dikatakan sebagai anugerah Tuhan. Mereka dalam hal ini memiliki pernyataan yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa ilmu ini berarti terbukanya hijab antara dirinya dengan Tuhan, sehingga pengetahuan dan rahasianya dapat diketahui, sebagian sufi juga
102
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
menyatakan adanya rasa cinta yang sangat dalam kepadaNya, sehingga tidak ada rahasia di antara keduanya. Teori ini lebih kita kenal dengan istilah ilmu ladunni, ilmu yang hanya dimiliki orang-orang tertentu, orang-orang pilihan. Melengkapi struktur yang niscaya mewujud di dalam prinsip epistemologi, beberapa sumber berikut akan senantiasa eksis pada pembentukannya. Pertama, rasionalisme. Pada domain rasionalisme diyakini bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Hal ini bukan berarti bahwa rasionalisme meniadakan pengalaman, akan tetapi posisi pengalaman adalah sebagai perangsang bagi pikiran atau pelengkap bagi akal. Bagi penganut rasionalisme, kebenaran dan kesesatan terletak pada ide, bukan pada benda. Jika kebenaran (ipso, facto dan pengetahuan) mengandung makna dan sesuai dengan kenyataan, maka kebenaran hanya terletak dalam dataran ide saja yang dapat diperoleh dengan akal budi. Akal budi di sini dapat dipahami dengan pertama, sebagai sejenis perantara khusus yang mampu mengenal kebenaran. Kedua, sebagai teknik deduktif yang menjadi perantara untuk mencari kebenaran, dengan kata lain melalui penalaran (Kattsoff, 1989:139-141). Dari sini dapat dipahami bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang mana ia dapat menurunkan kebenaran bagi dirinya sendiri dan rasionalisme meempatkan pengalaman (empiri) sebagai penopang bagi pengetahuan yang diperoleh oleh rasio (akal). Kedua, empirisme. John Locke menyatakan bahwa sewaktu manusia dilahirkan ke dunia, akalnya seperti kosong (tabula rasa), di dalamnya tercatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurutnya pengetahuan diperoleh berdasarkan hasil dari indera, pengalaman (empiri). Akal hanya semajah wadah untuk menampung hasil dari suatu penginderaan. Pengalaman tiada lain merupakan akibat suatu obyek yang merangsang alat inderawi, yang kemudian menimbulkan rangsangan syaraf yang diteruskan ke otak. Di sinilah dibentuk tanggapan-tanggapan terhadap hasil inderawi (Ibid., 136-138). Sebagai konklusi dari empirisme bahwa sumber pengetahuan adalah kebenaran nyata, pengalaman (empire), rasio di sini pasif sifatnya, berbeda dengan rasionalisme di atas, karena rasio tidak melahirkan pengetahuan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
103
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dari dirinya sendiri, tetapi ia ada karena refleksi dari indera. Selanjutnya, David Hume berpendapat bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan di dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan mampu memberikan kesan (impression) dan ide (idea). Kesan di sini dimaksudkan sebagai pengalaman langsung yang diterima oleh pengalaman lahiriah atau bathiniah. Sementara ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samar-samar dan kemudian terefleksikan dalam kesadaran. Ia juga menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan disbanding kesimpulan yang dihasilkan rasio atau kausalitas. Dengan demikian kausalitas tidak dapat digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terdahulu (Bahtiar, 1999: 42-43). Untuk menghubungkan teori rasionalisme dan empirisme Kant berusaha menjelaskan dengan tingkatan pengenalan roh, dari tingkat terendah sampai pada tingkat tertinggi. Maksud dari pengenalan yang terendah adalah pengamatan inderawi kemudian akal, dilanjutkan dengan budhi. Akal berfungsi mengatur datadata inderawi, yaitu dengan mengemukakan putusan sintesis yang teratur. Sementara fungsi budhi adalah penghubung batin yang transenden antara serapan inderawi dan akal. Menurutnya budhi adalah daya pencipta pengetian yang dapat diperoleh dengan pengalaman (empire) (Bahtiar, 1999: 49). C. Prinsip-prinsip Epistemologi 1. Kritisisme Kritisisme muncul untuk menjembatani antara rasionalisme dan empirisme. Penganut kritisisme berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh dari pengalaman yang kemudian pengalaman-pengalaman (empiri) tersebut diolah di dalam rasio. Metode yang digunakan di dalam kritisisme yaitu: deduktif, di mana metode ini manarik kesimpulan khusus dari hal-hal yang bersifat umum, sebaliknya induktif, menarik kesimpulan umum dari hal-hal yang khusus.
104
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
Immanuel Kant, seorang tokoh kritisisme berpendapat bahwa untuk mendapat pengetahuan yang benar, seseorang harus mampu membedakan empat macam pengetahuan, yaitu analitis a priori, sintesis a priori, analitis a posteriori dan sintesis a posteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang tidak tergantung kepada adanya pengalaman atau yang ada sebelum pengalaman, sedangkan pengetahuan a posteriori terjadi akibat pengalaman. Pengetahuan analitis merupakan hasil analisis, sedangkang sintesis merupakan hasil dari keadaan yang mempersatuakan dua hal yang biasanya terpisah (Bahtiar, 1999: 47). 2. Positivisme Positivisme muncul pertama kali di Perancis, oleh A. Comte. Menurut Comte, untuk mencapai hidup yang teratur, manusia harus memiliki jiwa atau budi yang luhur, di mana budi ini mempunyai tiga tingkatan. Pertama, tingkat teologi yang menerangkan tentang adanya hubungan kausalitas. Kedua, tingkat metafisika yang menerangkan tentang adanya sesuatu dengan abstraksi. Ketiga, tingkat positif yang hanya memperdulikan kesungguhan dan kausalitas yang telah ditentukan. Ilmu jiwa, politik, kesusastraan dan sosiologi pada hakikatnya menjadikan positivisme dari keempat ilmu di atas. Di antara tokoh positivisme adalah Emille Durkhem (1858-1917), Jhon Stuart Mill (1806-1873). Positivisme, diambil dari asal kata “positif”. Positif ini berarti sesuatu yang berdasarkan fakta-fakta. Pengetahuan posisinya tidak pernah melebihi posisi fakta-fakta. Positivisme menganggap ilmu pengetahuan, termasuk filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta. Positivisme juga mengutamakan pengalaman (empire) seperti empirisme, tapi perbedaannya adalah positivisme hanya terfokus kepada pengalaman yang bersifat obyektif (Bertens, 1975: 72). Positivisme pada hakikatnya menuju kepada sebuah generalisasi fakta dengan berpijak kepada pengetahuan nyata dan pandanganpandangan ilmiah. Hal ini terbukti adanya ia mengakui bahwa pengetahuan itu dapat diperoleh dengan pengalaman (empire) yang objektif.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
105
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
3. Fenomenologi Fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial tentang apa yang ada. Ia menganggap sesuatu dapat dijelaskan melalui kesadaran murni. Fenomenologi berusaha untuk menyajikan filsafat sebagai metode yang pokok dan otonom. Pengetahuan diperoleh dari mengetahui dan mengalami (Titus, et.al., 1984: 399). Adanya pengamatan terhadap sesuatu bertujuan untuk menemukan sebuah hakikat melalui perantara dengan menghubungkan antara kesadaran murni dengan objek, atu antara subjek dengan objeknya. Hal inilah sebenarnya hakikat dari fenomenologi. Fenomenologi memiliki dua fungsi, yaitu sebagai metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomena murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana ia mengungkap suatu bentuk kesadaran. Sementara sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Objek dari fenomenologi adalah kesadaran murni. Aspek fenomenologi Husserl yang berusaha menggali perangkat hukum kesadaran manusiawi yang esensial serta suatu hubungan keterikatan disebut dengan fenomenologi transedental (Hardiman, 2002: 88-89). D. Fungsi Ilmu Pengetahuan dalam Pengukuhan Nilai-nilai Kepenyuluhan Lasio (Diktat Kuliah, 2007) mengatakan bahwa ada empat fungsi ilmu pengetahuan, yaitu; pertama, penjelasan deduktif; kedua, penjelasan probabilistik; ketiga, penjelasan fungsional atau teleologis; dan keempat, penjelasan genetik. Penjelasan deduktif adalah penjelasan dengan cara berpikir untuk memahami suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya. Artinya mengambil sebuah kesimpulan khusus dari hal yang umum. Fungsi yang kedua, yaitu penjelasan probabalistik adalah penjelasan yang ditarik dari sebuah kasus namun tidak pasti, hanya ada kemungkinan
106
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
dan hampir tidak dapat dipastikan. Selanjutnya, fungsi ilmu pengetahuan yang ketiga adalah penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan dengan cara meletakkan unsur dalam hubungannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai arah perkembangan tertentu dan yang keempat penjelasan genetik, yaitu penjelasan yang mempergunakan faktorfaktor yang timbul sebelumnya untuk menjelaskan gejala yang muncul. Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa ilmu pengetahuan sangat berperan penting, baik untuk individu maupun secara umum. Sementara sesuatu dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan, yaitu apabila ia memiliki beberapa cirri; (a) measurable, yaitu suatu ilmu pengetahuan dapat diukur atau dapat diuji kebenarannya; (b) exact, yaitu ilmu pengetahuan dapat diamati; (c) clear dan distinct, yakni ilmu pengetahuan harus memiliki teori yang jelas dan tidak tumpang tindih dengan ilmuilmu yang lain. Harus muncul di antara masing-masing saling keterkaitan. Dan (d) pragmatisme, bahwa ilmu pengetahuan harus memiliki sinkronisasi antara ide dan pengalaman (empire). Keterpaduan antara ide dengan pengalaman sebagai kesatuan dari nilai dasar suatu asas epistemologi menjadi dasar utama tegaknya penyuluhan dalam bingkai dakwah Islam. Kenyataan ini terpatri dengan jelas dalam struktur dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. As-Sinqithi (1992: 9) mencatat bahwasannya formulasi utama Nabi Muhammad SAW adalah pengukuhan ide dan pengalaman. Basis utama formulasi dakwah Nabi SAW adalah penyampaian pokok-pokok kebijaksanaan (al-hikmah), yang dilanjutkan dengan nasehat kepada kebaikan (al-mau’idhah), dan dipurnakan dengan debat (al-mujaadalah) untuk meluruskan semua keraguan. Metode dakwah Nabi SAW sebagai pengukuh asas epistemik pesan-pesan kerasulannya mengarah kepada prinsipprinsip toleransi antar pemeluk agama. Hal ini tercermin dengan jelas ketika melakukan ajakan untuk memeluk Islam kepada masyarakat Yahudi di Madinah. Ketika ajakan yang disampaikannya belum mendapatkan jawaban kepastian, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
107
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Rasulullah SAW menjaga keselamatan dan keamanan mereka (As-Sinqithi, 1992: 10). Melanjutkan formulasi dakwah Rasulullah SAW sebagai pengejawantahan dirinya penyuluh utama tegaknya ajaran Islam tergambar kuat dalam proses penyebaran syariat Allah SWT ini di kalangan masyarakat Arab. Muhyidin dan Safei (2002: 106) mencatat bahwa langkah-langkah yang dikembangkan oleh Rasulullah Saw. dalam membangun nilai-nilai dakwah di masyrakat Arab dengan beberapa fase; pertama, peneliti masyarakat; kedua; pendidik masyarakat; ketiga; negarawan dan pembangun masyarakat. Sebagai peneliti, Rasulullah SAW senantiasa melakukan perjalanan ribuan mil ke sebelah Utara Jazirah Arab. Secara otomatis, dalam perjalanan yang dilakukan ini ditemukan berbagai bangsa, suku, agama, bahasa, tradisi, dan kebudayaan dengan berbagai watak dan sifat. Dari perjalanan ini dibuatnya absraksi tentang masyarakat dengan berbagai dinamika kehidupan mereka. Menurut Muhyidin dan Safei (ibid.) hal ini mewujud sebagai pengalaman dan pengetahuan Nabi Saw. tentang aspek geografis, sosiologis, etnografis, religius, psikologis, antropologis masyarakat Arab dan sekitarnya. Setelah menginventarisir beberapa struktur sosial masyarakat Arab, maka aktivitas merenung (tafakur), bersemedi, berkhalwat (tahannus) di suatu tempat sunyi (Gua Hira) senantiasa dilakukan. Dari perenungan dan berkhalwat serta bersemedi inilah ditemukannya jalan untuk melakukan pendidikan dan pembinaan akhlak masyarakat yang berlandaskan kepada nilai ketauhidan (La ilaaha illa Allah). Sementara itu, sebagai negarawan dan pembangun masyarakat dijalankannya aktivitas dakwah tepatnya di Kota Madinah. Di kota ini, Rasulullah SAW memberikan acuan-acuan pokok sistem muamalah antara kaum muslim dan non-muslim. Sebagaimana dijelaskan oleh Muhyidin dan Safei (2002: 107) bahwa ayat-ayat al-Quran yang turun di Madinah lebih menitikberatkan pada masalah muamalah, system kemasyarakatan, kenegaraan, hubungan antaragama (toleransi), ta’awun, dan ukhuwah.
108
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
E. Penyuluh dan Konselor; Determinasi Istilah yang Dibuat Kontradiktif Dinamisasi istilah konselor untuk labelisasi penyuluh menjadi fenomena umum (common sense) yang dipergunakan. Secara otomatis, kenyataan ini menuai polemik besar para akademisi yang berada di bawah payung satuan akademik penyuluh. Secara niscaya, labelisasi konselor atas penyuluh telah mengundang determinasi kontradiktif dalam peristilahan (contradictio determinis). Kontradiksi tersebut mengarah kepada naturalisasi istilah konselor sebagai payung akademis bagi para alumni program studi atau jurusan bimbingan dan penyuluhan Islam. Bagi beberapa akademisi, naturalisasi istilah konselor sebagai kesatuan determinasi atas penyuluh adalah ihwal yang biasa. Namun, ketika hendak ditelusuri secara mendetail, akan ditemukan bahwa kedua terminologi ini memiliki ruang lingkup yang berbeda. Secara sederhana dapat diungkapkan bahwa terminologi penyuluh ditinjau pada dimensi epistemologis berkorelasi signifikan dengan dakwah. Sebagai tema sentral, dakwah memiliki cakupan penting untuk menghadirkan Islam sebagai sebuah kesatuan hidup kepada segenap mad’u yang masih kabur pemahamannya (Zaidan, 2001: 7). Dalam kerangka inilah kehadiran Islam sebagai eksistensi dari tema sentral dakwah hadir sebagai pengukuh atas moralitas umat manusia agar terhapus kebodohan hidup dari masing-masing pribadi. Islam menghadirkan konvergensi hidup umat manusia guna membangun kesetaraan hak, baik sosial, ekonomi, dan politik (Dwairy, 2006: 4). Mengamati kenyataan ini, rumus peta ilmu dakwah yang disampaikan oleh Saputro (2011: 225-226) menengahi eksistensinya dalam kajian keislaman. Saputro menjelaskan bahwa dakwah sebagai proses informasi nilai-nilai keislaman membutuhkan proses pengkomunikasian. Kandungan ajaran Islam yang didakwahkan merupakan sekumpulan pesan-pesan yang dikomunikasikan kepada manusia. Transfer pesan-pesan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
109
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
keislaman sebagaimana dirumuskan oleh Saputro menjelaskan bahwa eksistensi dakwah berhubungan erat dengan kenyataan komunikasi yang dikenal juga sebagai terminologi retorika. Hal ini dijelaskan oleh Arifin (2010: 10) bahwa perkembangan Ilmu Komunikasi Massa menjadi Ilmu Komunikasi dan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah retorika adalah kenyataan yang berhubungan erat dengan istilah tabligh dalam Ilmu Dakwah. Lebih lanjut Saputro (2011: 227) menjelaskan bahwa dakwah dalam kerangka proses komunikasi di berbagai istilah Islam disebut sebagai tabligh. Istilah tabligh sendiri menjadi inti dari komunikasi dakwah. Penggunaan istilah tabligh dalam kerangka ini menurut Saputro harus dipahami secara lebih luas. Alasannya, tabligh pada makna sebenarnya adalah proses penyampaian pesan keagamaan secara keseluruhan, bukan semata-mata pengajian umum sebagaimana selama ini menjadi pandangan umum masyarakat common sense. Meninjau titik pemahaman dakwah sebagaimana dirumuskan juga sebagai aktivitas tabligh oleh Saputro dan Arifin di atas hal itu menunjuk kepada suatu ajakan atau panggilan. Fakta ini dirumuskan oleh Mauleman (2011: 236) bahwa kata dakwah secara literal berafiliasi kepada ajakan atau panggilan. Istilah dakwah di atas juga dijelaskan oleh Mauleman mencakup di dalamnya usaha untuk mengubah nonmuslim menjadi seorang muslim. Aktivitas dakwah secara pokok tertuju kepada usaha memperkuat dan memperdalam keyakinan seorang muslim serta membantu mereka menjalankan dinamika kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman. Gambaran fakta dakwa di atas menyiratkan adanya kegiatan mengajak seraya memberikan jalan penerang baru bagi orang lain dalam dinamika kehidupan kaum muslim. Jalan penerang baru dalam dinamika kehidupan muslim mengarah kepada usaha seorang dai dalam lintasan dakwah menyampaikan pesan keagamaan kepada orang lain (mad’u). Seorang muslim yang hendak menyampaikan dakwah, khususnya da’i seyogianya memiliki kepribadian yang baik untuk menunjang keberhasilan dakwah, baik kepribadian yang bersifat rohaniah (psikologis) atau kepribadian yang bersifat jasmaniah (fisik) (Saputro, 2011: 262).
110
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
Kenyataan ini secara tegas mengarahkan kepada hakikat seorang dai yang dituntut memiliki kemenyeluruhan perilaku sebagai teladan bagi orang lain. Melihat deskripsi dakwah dan dai yang berperan di dalamnya menyiratkan adanya usaha-usaha keduanya untuk memberikan solusi-solusi terhadap dinamika kehidupan kaum muslim. Berpijak kepada beberapa argumentasi di atas pula dapat diungkapkan bahwa terminologi dakwah berkonotasi sinergis dengan penyuluh sebagai pribadi yang memiliki prinsip-prinsip transformatif. Enjang dan Tajiri (2009: 85) menyebutkan bahwa dakwah merupakan sebuah sistem untuk mengubah sistem pemahaman, keyakinan dan cara hidup dari kehidupan yang tidak baik menuju sistem pemahaman dan keyakinan akan kehidupan yang lebih baik. Hal ini seperti dakwah yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menciptakan kondisi masyarakat yang beradab dengan menanamkan keyakinan akan keesaan Allah Swt. yaitu suatu keyakinan kepada-Nya yang tidak terbagi dan tidak menempati ruang dan waktu. Formulasi dari pengesaan ini adalah kalimat Laa Ilaaha Illa Allah, tidak ada yang lebih berkuasa dan pantas berkuasa atas segalanya kecuali Allah dan ketaatan kepada-Nya menjadi kebajikan dan mengalir daripadanya segala pintu kebaikan. Pengabdian kepada-Nya melahirkan perilaku shaleh, perilaku humanis, dan peduli terhadap sesama. Kupasan tentang eksistensi seorang penyuluh dalam lintasan dakwah dapat dilihat secara relasional dengan prinsip dasar ajaran Islam yang memadukan akan dan wahyu. Hal ini dapat diamati dari pernyataan Enjang As dalam Aep Kusnawan dengan mengutip pernyataan Nursamad (2004: 104) bahwa prinsip-prinsip epistemologi dalam al-Hikmah filsafat didasarkan kepada wahyu dan keimanan dengan alasan; (1) karena tanpa wahyu niscaya manusia mengalami keputusasaan untuk mencapai kebenaran yang pasti; (2) wahyu dipandang sebagai stimulan bagi potensi-potensi intelektual ibarat air hujan menyuburkan tanah kering; (3) berdasarkan hubungan dan keterikatan interaksi antara wahyu dengan potensi pengetahuan, integritas, dan harmonisasi pengetahuan-pengetahuan empirik, rasional, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
111
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dan intuitif dapat terjalin dengan baik; (4) pengetahuan yang diperkenalkan melalui al-Hikmah adalah pengetahuan berdimensi intelektual dan moral. Dalam taraf inderawi, manusia menyerap pesan-pesan wahyu yang kemudian terobsesi melakukan observasi (perenungan dan pengamatan) dalam taraf rasional manusia yang kemudian meletakkan dasar-dasar keilmuan bagi kegiatan perenungan tersebut, dan dalam taraf intuisi manusia menghayati penemuannya; dan (5) seluruh proses pengetahuan dan al-Hikmah ditentukan oleh kegiatan pembersihan diri karena bentuk dan jenis pengetahuan apapun yang tercapai, kiranya merupakan gejala jiwa yang pada dasarnya tidak terlepas dari tiga macam kecenderungan, yaitu; ego, hawa nafsu (termasuk godaan syetan), dan bisikan Ilahi. Deskripsi tersebut menyebut sepenuhnya kepada hal-hal yang niscaya hadir dalam diri para da’i sebagai penyuluh bagi keberagamaan umat manusia. Sementara itu, istilah penyuluh memiliki akar kata dari Bahasa Arab, yaitu ‘as-sulhu’. Ahmad Warson Munawwir (1997: 788) memberikan sinonim kata ‘as-sulhu’ dengan kalimat ‘as-silmu’ dengan makna perdamaian. Selanjutnya, dalam Bahasa Indonesia istilah ini memperoleh kata tambah ‘pe’ sebagai kata tunjuk pada subjek yang melakukan sebuah aktifitas, yaitu penyuluh. Sepintas lalu, pemaknaan istilah penyuluh dalam koridor ini dapat diungkap sebagai pribadi yang bertanggung jawab memberikan prinsip-prinsip perdamaian bagi setiap individu demi tercapainya kesejahteraan sosial. Perdamaian itu sendiri akan terwujud ketika keberperanan elemen-elemen pembentuknya bersatu dalam satu kesatuan aktifitas guna menggapainya. Pada aspek terminologis kalimat perdamaian menuntut partisipasi masing-masing individu dalam upaya mewujudkan eksistensinya. Untuk melihat keterpisahan yang menjurang dan ‘seakanakan’ menjadikan dinamisasi penyuluh dan konselor, perlu melihat pula pengertian dari istilah konseling. Menurut Bruce Shretzer dan Shelly C. Stone yang dikutip oleh Komaruddin (Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 26, No.1, Januari 2006: 75) dijelaskan bahwa konseling adalah An interaction process which facilitate meaningful
112
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
understanding of self and environment and result in the establishment, and or clarification of goals and values for future behavior (proses interaksi yang memfasilitasi kesempurnaan pemaknaan tentang diri dan lingkungan dan keberhasilan dalam pembangunan, dan atau penjelasan atas tujuan serta nilai dari perilaku di masa depan). Adapun penggunaan istilah konselor sebagai konvergensi penyebutan atas penyuluh berasal dari Bahasa Inggris ‘counselor’ atau ‘counsellor’ (Ba’albakiy, 1973: 222 dan A. Farah, et.al. 2004: 207-208). Munir Ba’albakiy dan A. Farah, et.al., memaknai istilah ini dengan sebutan ‘an-naashih’ dan ‘al-mustasyar’. Dilihat pada aspek etimologi, dapat diungkap bahwa kalimat ‘an-naashih’ bermakna pemberi nasehat (Munawwir, 1424), sementara kalimat ‘al-mustasyar’ bermakna pemberi pendapat (Munawwir, 750). Meninjau secara terminologis makna dari konseling sebagaimana penjelasan tersebut di atas dapat diungkap bahwa konseling memiliki suatu keutuhan untuk melakukan bimbingan terhadap klien. Bimbingan dalam hal ini dilihat sebagai persamaan dari kata guidance yang berasal dari Bahasa Inggris dan memiliki unsur kesamaan dengan kata counseling. Guidance memiliki kata dasar to guide artinya, menuntun, mempedomi, menjadi penunjuk jalan, mengemudikan (Umar dan Sartono, 1998: 9). Sementara itu, penekanan terhadap pengertian guidance dikemukakan oleh Demos dan Grant dalam Gunarsa (1996: 34) dengan rumusannya bahwa guidance adalah pertemuan langsung, saling bertatap muka antara seseorang yang mencari bantuan dan orang lain yang telah terlatih secara profesional untuk memberikan bantuan. Dalam kerangka inilah dapat distrukturisasikan bahwa pemberian bantuan moril maupun spiritual kepada klien ditujukan sepenuhnya untuk membangun kemandirian. Senada atas hal tersebut Smith mengatakan bahwa bimbingan merupakan proses yang terjadi dalam hubungan pribadi antara seseorang yang mengalami kesulitan dengan seseorang yang profesional di mana latihan dan pengalamannya mungkin dapat dipergunakan untuk membantu orang lain
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
113
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
mampu memecahkan persoalan pribadi (Gunarsa, 1996: 19). Fakta ini tidak jauh berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Wingkel yang dikutip oleh Umar dan Sartono (1998: 11) dengan pernyataannya bahwa bimbingan berarti pemberian bantuan kepada orang atau sekelompok orang dalam membuat pilihan-pilihan secara bijaksana dan mengadakan penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan hidup. Bantuan tersebut bisa berupa unsur-unsur yang bersifat psikis (kejiwaan), medis, dan sebagainya. Dengan adanya bantuan ini, seseorang akhirnya dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya sekarang dan menjadi lebih mampu untuk menghadapi masalah yang akan dihadapi kelak.” Beberapa pernyataan tersebut sebagai penegasan peran yang perlu dijalankan oleh seorang pembimbing bagi keberlangsungan kliennya untuk menuju ke arah yang lebih sempurna dan mapan. Bimbingan yang diberikan seyogyanya tidak sepenuhnya bertumpu pada aspek material, akan tetapi bimbingan tersebut harus diwujudkan dalam kondisinya yang berhaluan kepada dimensi psikis (kejiwaan) individu. Sementara itu, ditinjau dari sudut pandang Islam bimbingan memiliki suatu langkah penekanan yang berupaya membangun pemahaman yang kuratif atau pemecahan masalah yang dihadapi seseorang. Secara islami, bimbingan keagamaan adalah membantu individu menyadari atau kembali ke keberadaan atau eksistensinya sebagai makhluk Allah, sebagai ciptaan yang diciptakan-Nya untuk senantiasa mengabdi kepada-Nya sesuai dengan ketentuan dan petunjuk-Nya (Faqih, 2001: 62). Seseorang yang menyadari eksistensinya sebagai makhluk Allah sesuai dengan ketentuanNya berarti menyadari bahwa di dalam dirinya Allah telah menyertakan fitrah untuk beragama Islam, dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, secara formulatif makna dari bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu agar dengan potensi yang dimiliki mampu mengembangkan diri secara optimal dengan jalan memahami diri, memahami lingkungan, mengatasi hambatan guna menentukan rencana masa depan lebih baik (Umar dan Sartono, 1998: 9).
114
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
F. Simpulan Eksistensi dakwah dalam kehidupan kaum muslim adalah kenyataan yang tiada mungkin dinafikkan keberadaannya. Aktivitas ini merupakan kesatuan yang menghidupkan dinamika kehidupan kaum muslim dalam keberagamaan mereka. Keberadaan seorang dai dan mad’u dalam lintasan dakwah menjelaskan bahwa kedua komponen dakwah ini adalah hakikat yang harus senantiasa bertemu. Ibarat relasi antara komunikan dan komunikator dalam prinsip-prinsip dasar ilmu komunikasi kedua unsur tersebut niscaya disinambungkan. Lintasan dakwah yang sangat panjang menjadikan masing-masing pelaku di dalamnya berdinamika pula dalam menjelaskan sifat dari keberadaan mereka. Terminologi muballigh, dai, penyuluh, dan konselor berlomba mengambil tempat untuk membatasi aktivitas dakwah yang diberlakukan. Dalam lintasan keilmuan, terminologi penyuluh dan konselor yang senantiasa dikontestasikan labelisasinya dalam kajian Ilmu Dakwah. Implikasi logis dari kenyataan tersebut munculnya istilah penyuluh dan konselor Islam. Secara de facto, terminologi penyuluh merupakan induk utama dari hakikat dakwah guna menyampaikan pesanpesan keislaman. Terminologi penyuluh berhubungan erat dengan konsep dakwah dalam kajian keislaman. Sementara itu, terminologi konselor lebih menginduk kepada aktivitas menasehati dan membimbing dengan rumus kebahasaan dalam Bahasa Inggris to guide. Melihat dua struktur etimologi yang menaungi terminologi kedua kata tersebut dapat dilihat secara mendasar bahwa antara penyuluh dan konselor memiliki ruang lingkup yang berbeda namun berdekatan. Kebenaran keduanya mengarah kepada usaha memberikan solusi-solusi kemaslahatan bagi orang lain. Akan tetapi, epistemologi yang tercipta di antara keduanya berbeda antara satu dan lainnya. Meninjau pada aspek kebahasaan penyuluh lebih menitikberatkan kepada eksistensi pelakunya sebagai teladan dengan nilai-nilai kedamaian yang dibawa as-Silmu. Sementara itu, konselor pada sudut kebahasaan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
115
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
menjelaskan kepada al-mustasyar, yakni pribadi yang memberikan petunjuk. Secara de jure, kedua istilah ini terpisah pada aspek fisik dan psikologis. Penyuluh lebih menitikberatkan kepada aspek intrinsic dai, sementara konselor lebih mengisayarat kepada nilainilai exstrinsic para dai.
116
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Basis Epistemologi Penyuluh Agama Islam ... (Mas’udi)
DAFTAR PUSTAKA
A. Farah, et.al., 2004, The Dictionary: English-Arabic with Pronunciation Transcription. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah Munawwir, Ahmad Warson, 1997, Kamus al-Munawwir: ArabIndonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif Faqih, Ainur Rahim, 2001, Bimbingan dan Konseling dalam Islam. Yogyakarta: UII-Press As-Sinqithiy, Muhammad bin Sayyidi bin al-Habib. Manhaju arRasuulu Saw. Fi Dakwati Ahl al-Kitab. Jeddah: Dar al-Qiblah li ats-Tsaqaafah al-Islamiyah, 1992. Bagus, Lorens, 2002, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bahtiar, Amsal, 1999, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu Bertens, K., 1975, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kansius Dwairy, Marwan Adeeb, 2006, Counseling and Psychotherapy with Arabs and Muslims: A Culturally Sensitive Approach, New York dan London: New Teachers College Gunarsa, Singgih D., 1996, Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: BPK Gunung Mulia Hadi, P. Hardono, 1994, Epistemologi, Yogyakarta: Kansius Hand Out Bapak Lasio, Kuliah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Hardiman, F. Budi, 2002, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kansius Katsoff, Lois O, 1989, Pengantar Filsafat, Mutiara Wacana
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
117
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Meuleman, Johan, 2011, “Dakwah, Competition for Authority and Development” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Valkenkunde. Vol. 167. No. 2-3 Muhyidin, Asep dan Agus Ahmad Safei, 2002, Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia Ba’albakiy, Munir, 1973, Al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary. Beirut: Dar El-ilm Lil-Malayien Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al-Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola Rosda, Tim penulis, 1995, Kamus Filsafat, Bandung: Remaja Rosdakarya Saputro, Wahidin, 2011, Pengantar Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajagrafindo Persada Titus, Nolan Smith, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj., H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang Umar dan Sartono, 1998, Bimbingan dan Penyuluhan, Bandung: Pustaka Setia Zaidan, Abdul Karim, 2001, Ushul ad-Da’wah,. Beirut: Resalah Publishers
118
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
DAKWAH DAN PEMBERDAYAAN UMAT
(Studi Dalam Membangun Kesalehan Sosial Religius) Oleh: Nur Ahmad Dosen Jurusan Dakwah STAIN Kudus
Abstrak Islam adalah agama yang mempertautkan antara kesalehan yang bersifat sosial dan kesalehan yang bersifat religius. Ketaatan ritual suatu ibadah haruslah melahirkan kesalehan sosial dan semua ibadah formal harus mampu membentuk pribadi-pribadi muslim yang berkualitas juga ditandai dengan penampilan yang bersih, tutur kata yang santun, berprilaku bijak, wajah yang senantiasa berseri dan bersahabat, hati yang jernih, nalar yang cerdas, jasmani yang kuat, jiwa yang sehat, sehingga terciptalah sebuah umat yang berkualitas. Al-Quran menunjukkan beberapa pilar yang harus dipenuhi jika umat ingin memberdayakan dirinya, yaitu iman, amal shaleh, ilmu pengetahuan, jihad, dakwah dan sabar. Berbekal itulah maka untuk membangun paradigma Kesalehan sosial terlebih dalam pemberdayaan umat dalam setiap ibadah-ibadah formal harus menjadi wahana pendidikan yang siap mencetak generasi unggul dan bersifat religius, memiliki kekuatan tekad, ketulusan amal, kematangan dalam bersikap dan kelestarian semangat juang. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa Kesalehan sosial merupakan bentuk aktualisasi atau perwujudan iman dalam praktik kehidupan sosial bermasyarakat, bernegara, dan berbudaya. Kata Kunci: Dakwah, Pemberdayaan Umat, Kesalehan Sosial.
A. Pendahuluan Diantara sisi keindahan Islam adalah menjadikan setiap aktivitas dapat bernilai ibadah. Sementara itu ketaatan ritualitas Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
119
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
harus senantiasa menjadi cermin kesalehan sosial dan setiap ibadah formal harus menjadi wahana pendidikan yang mampu mencetak generasi unggul, berbudi pekerti luhur, serta mempunyai karakteristik semangat juang yang tinggi. Masalah sosial menurut Kartono, jika aktivitas melanggar adat-istitiadat, berseberangan, mengganggu, tak dikehendaki, berbahaya dan merugikan masyarakat disebabkan oleh masalah sosial antara lain faktor politik, religi, sosial budaya, ekonomi dan faktor yang saling mempengaruhi antar komponen. Bentuk kategori masalah sosial tersebut disebabkan sikap hidup yang salah, terjadinya penyimpangan struktur sosial, maupun tingkah laku umat dan sekaligur interaksi sosial yang keliru (Kartono, 1992: 8). Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia mulai dari sandang, pangan, papan harus selalu diperhatikan. Islam juga mengatur semua aspek kehidupan manusia mulai dari kehidupan pribadi sampai pada kehidupan yang berhubungan kepada orang lain, baik di rumah maupun dalam setiap pekerjaannya atau bahkan dalam semua hal ihwalnya. Islam menetapkan aturan yang terpadu bagi setiap aspek kehidupan manusia dan senantiasa menilai kepatuhan terhadap aturan tersebut sebagai ibadah jika disertai niat tulus karena Allah. Menurut Badruzaman, dalam Islam terdapat hukum dan tata aturan bermuamalah dan beramal saleh, tujuannya adalah mengatur kehidupan manusia, membebaskan mereka dari konflik sosial serta mengarahkan mereka ke tujuan hidup yang lebih baik. Beliau juga mengatakan bahwa Islam terhadap jihad dan perang melawan musuh tujuannya tidak lebih hanyalah mempertahankan diri atau supaya tidak ada fitnah dan penganiayaan sehingga ketaatan hanya semata-mata untuk Allah. Islam juga selalu mengajak serta mendorong umatnya untuk mencari rezeki yang halal dan baik, tujuannya adalah agar bersyukur atas nikmat Allah sehingga dapat menunaikan hak-Nya dan masih banyak lagi (2010 : 42). Sesuai firman Allah yang artinya: “Makanlah olehmu dari rizki yang dianugrahkan Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-
120
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
Nya. Negerimu adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang maha pengampun” (Qs. Saba`[34]: 15). Sementara itu Akidah Islam, hukum-hukumnya dan seluruh ajaranya yang dimiliki semuanya bertujuan untuk membahagiakan umat manusia, memperhatikan dan mengayomi hidupnya. Senada dengan itu Rasulullah sendiri adalah cerminan seorang basyar sekaligus insan, beliaulah yang menyampaikan agama ini kepada kita dari Allah SWT. Seperti dalam firman Allah yang artinya: Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa” (Qs. Fushshilat [41]: 6). Melihat contoh ayat diatas jelaslah bagi kita bahwa Syari’at Islam, dengan semua ajarannya baik ibadah sosial, ibadah spiritual maupun muamalah lainnya akan selalu berorientasi pada manusia serta menjadikan setiap aktivitas dapat bernilai ibadah. Selanjutnya ketaatan yang bersifat ritualitas harus senantiasa menjadi cermin kesalehan sosial di setiap ibadah, tidak lain adalah demi terwujudnya dakwah Islam dan pemberdayaan umat dalam membangun sebuah kesalehan sosial. B. Karakteristik Islam Sebagai agama fitrah, Islam memiliki beberapa karakteristik yang merupakan ciri khas dalam membentuk suatu pemberdayaan umat melalui dakwahnya demi terciptanya bangunan kesalehan sosial. Karakteristik tersebut diantaranya adalah rabbaniyah (ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan), Syumul (komprehensif), wasathiyah (pertengahan), waqi’ah (realitas) dan wudhuh (jelas), (Badruzaman 2010: 41). 1. Rabbaniyah Islam merupakan ajaran sekaligus sumber asal dan tujuannya adalah dari dan hanya kepada Allah. Syariat Islam bersifat rabbaniyah bisa lelalui dua sisi, pertama adalah merupakan sumber asal dan jalan yang ditempuhnya. Jalan yang ditempuh Islam untuk sampai kepada maksud dan tujuannya murni jalan rabbani. Sumber tersebut adalah wahyu, yakni jalan Islam bukan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
121
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
lahir dari keinginan seseorang, kelompok, golongan bahkan suku tertentu. Jalan Islam lahir atas kehendak Allah yang menghendaki hidayah. Kedua adalah tujuan dan arahnya, tujuan akhir Islam dan maksud yang kita harapkan adalah terciptanya hubungan yang baik dengan Allah dan meraih ridha-Nya. Inilah tujuan Islam yang juga sesungguhnya merupakan tujuan akhir dan puncak harapan serta usaha manusia demi terwujudnya kesalehan sosial juga spiritual. 2. Insaniyah Ini merupakan karakteristik Islam yang kedua, dimana yang dimaksud dengan insaniyah adalah bahwa manusia dikaruniai serta memiliki kedudukan yang agung dalam Islam. Hukumhukum serta Akidah Islam juga setiap ajaran yang diikutinya semuanya bertujuan demi kebahagiaan seluruh umat manusia terlebih lagi bagi umat Islam. Esensi insaniyah ini bisa kita lihat melalui ajaran yang disampaikan melalui semua rasul, dimana beliau selalu mengajak umatnya untuk mengesakan Allah (tauhid), seruan untuk selalu beribadah hanya kepada Allah, perhatian terhadap manusia beserta segala kebutuhannya serta meluruskan jalan hidupnya. Orang mencermati seruan-seruan para rasul yang dikisahkan dalam al-Quran akan mendapatkan bahwa diantara prioritas dakwah mereka adalah meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di masyarakat. Segala etika dan nilai moral yang melindungi kemuliaan serta kehormatan manusia dijunjung tinggi. Berikut adalah beberapa penghargaan yang yang diberikan Islam kepada umat manusia: a) Manusia dijadikan sebagai Khalifah (pemimpin) di bumi. Allah memuliakan manusia dengan memberikan mereka tugas khalifah di bumi. Untuk memikul tugas itu, Allah memberikan manusia ilmu dan akal agar manusia dapat menjaga kelestarian dimuka bumi ini. b) Manusia diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah menciptakan manusia dan bentuk yang terindah
122
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
serta terbaik, dengan penciptaan seperti itu Allah juga telah memuliakan manusia diatas mahluk-mahluk lain. Seperti firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Qs. at-Tin [95] : 4). Ditegaskan lagi dalam ayat lainnya yang artinya: “Allah-lah yang menjadikan bumi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta memberi kamu rezeki dengan sebahagian yang baik-baik, yang demikian itu adalah Allah tuhanmu, Maha Agung Allah, Tuhan semesta alam” (Qs. Ghafir [40] : 64). Dan masih banyak lagi. 3. Syumul Ke-syumul-an Islam tercermin dalam hal-hal berikut ini: a) Syumul mencakup seluruh manusia sampai hari akhir. Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW merupakan agama bagi seluruh manusia sampai hari kiamat. Islam adalah risalah bagi seluruh alam, bukan hanya untuk bangsa Arab atau bangsa tertentu saja melainkan bagi seluruh alam. b) Syumul mencakup seluruh fase hidup manusia. Islam telah menetapkan aturan bagi hidup manusia semenjak ia berada dalam kandungan ibunya sampai ia lanjut usia. Islam memperhatikan manusia mengatur kehidupannya semenjak kelahiran hingga kematiannya. c) Syumul mencakup semua aspek kehidupan. Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi dan hubungannya dengan orang tua, dalam rumah maupun dalam pekerjaannya serta dalam semua hal ihwal manusia. Islam menetapkan aturan yang terpadu bagi setiap aspek kehidupan manusia dan menilai kepatuhan terhadap aturan sebagai ibadah jika disertai niat tulus karenaNya. 4. Wasathiyah Islam adalah agama anggun dan nyaman, artinya agama yang tidak ekstrim atau tidak berat sebelah dan tidak melampaui batas. Wasathiyah memiliki beberapa arti : Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
123
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
a) Adil (seimbang) dalam menuntut hak dan menunaikan kewajiban. b) Lurus, tidak menyimpang dari ajarannya, lihat Qs. al-Fatihah [1]: 6-7. c) Ajarannya berisi kebaikan dan kebenaran, lihat Qs. al-Baqarah [2]: 143. d) Seimbang dalam ajarannya, baik antara akidah maupun ibadahnya. 5. Waqi’iyah Sebagai ajaran yang punya karakteristik waqi’iyah, Islam selalu memperhatikan realitas dimana manusia hidup di dalamnya. Ajaran-ajaran Islam selaras dengan fitrah, realitas dan kehidupan manusianya. Islam tidak membebani manusia diluar kemampuannya. Ibadah-ibadah dalam Islam akan terasa ringan dan mudah. Islam tidak melarang seseorang atas sesuatu yang benarbenar ia perlukan, seperti halnya Islam tidak membolehkan seseorang atas sesuatu yang benar-benar mendatangkan kemudaratan atas baginya. Ke-waqi’iyah-an Islam juga tidak terlihat bahwa ia mengakui sesungguhnya manusia memiliki kecendrungan kepada hiburan, permainan maupun refresing. Islam kemudian menata dan mengarahkan kecendrungan itu, atau tidak melarang atau meredamnya melainkan meluruskannya. Maka Islam pun membolehkan setiap permainan yang bebas dari hal-hal yang diharamkan dan melarang permainanyang mengandung hal-hal yang diharamkan. 6. Jelas dan Mudah Karakteristik Islam lainnya adalah kejelasan akidah, syariah dan muamalah. Semua kalangan memahaminya, tidak ada kesamaran dan ketidakjelasan di dalamnya. Tidak ada dalam Islam dogma, “tutup mata dan yakini saja” akan tetapi seorang muslim meyakini ajaran agamanya segaligus dia juga paham apa yang diyakininya (Badruzaman 2010: 41). Diantara kejelasan akidah Islam seperti surga, neraka, dan sifat-sifat Tuhan semuanya logis. Makna-maknanya jelas dan
124
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
dapat diterima oleh akal manusia. Bidang syariah umpamanya, kejelasan Islam terlihat bahwa semua bentuk ibadahnya baik yang bersifat badaniyah (kegiatan fisik) maupun maliyah (harta), semuanya jelas dan mudah kita pahami hal inilah yang sematamata kita maksud untuk membangun kesalehan sosial yang ada dalam kehidupan kita. C. Menimbang Arti Kesalehan Sosial Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum Muslim, sementara orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan, kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Dengan kesalehan ritual mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadah mahdlah, ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan salat, puasa, dan seterusnya, namun tidak peduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablum minallah. Sedangkan yang mereka maksud dengan kesalehan sosial adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadah seperti salat dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minannas. Boleh jadi hal itu memang bermula dari fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadah, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat “kebal” terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah umat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan ibadah pribadinya. Padahal semuanya tahu tentang hablun Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
125
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
minallah dan hablun minannas. Semuanya membaca ayat, udkhuluu fissilmi kaffah tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total. Apakah mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu. Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad SAW berpuasa dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajaran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kecenderungan perhatian seseorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain. D. Mengembalikan Keindahan Kesalehan Sosial Selain karakteristik Islam di atas, agar dapat tercipta kesalehan sosial maka Islam sendiri banyak mengandung pesan moral yang luar biasa. Pertama yakni berawal dari cahaya perdamaian maka peradaban Islam bisa digulirkan. Kedua tumbuh dan berkembangnya Islam dibelahan dunia hingga kini bukan dengan tindakan serba kebetulan atau tindakan afensif, akan tetapi melalui perembesan akulturasi dan adaptasi yang dibingkai sedemikian rupa sehingga tercipta sesuai dengan kesalehan sosial masyarakat dan umat pada umumnya. Ketiga bukan dengan gemuruh peluru, pedang, bahkan senapan yang menakutkan atau lewat stigma kekerasan lainnya akan tetapi dengan kesantunan serta kearifan dakwah Islam yang dibangun sedemikian rupa sehingga tercipta keindahan Islam yang saleh rahmatan lil ‘alamin (Rafi’udin 1997: 75). Ironisnya hal tersebut seakan terbalik. Eksistensinya Islam saat ini justru dimanifestasikan oleh sekelompok orang yang mempunyai sikap egoistis seperti terorisme dan berbagai aksi destruktif lain yeng terjadi dalam kurun waktu yang berdekatan dan seakan masih terus berlanjut. Tentunya hal ini harus kita cegah karena tidak menutup kemungkinan akan dapat merusak
126
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
citra kemajemukan kultur budaya yang eksotis terlebih merusak mozaik kesalehan khasanah Islam. Bercermin pada kekerasan lusa sungguh sangat menyedihkan baik media cetak maupun elektronik dipenuhi berita kekerasan, dari tragedi kekerasan pada komunitas Ahmadiyah, tindakan anarkis antar agama seperti di Temanggung, tindak kekerasan kepada santri pesantren di Bangil, Pasuruhan. Kejadian demi kejadian kekerasan tersebut seakan silih berganti, belum lagi hilang dari kejadian di atas muncul kekerasan dengan modus baru, yaitu paket bom buku dialamatkan kebeberapa orang yang dianggap melakukan penyelewengan ajaran agama Islam kemudian bom bunuh diri yang menurut kami sangat naif karena dilakukan di tempat ibadah justru pada saat salat Jumat dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan lain terjadi di negeri kita. Beberapa kejadian kekerasan silih berganti dengan membawa bendera agama, sebenarnya sangat memalukan karena dalam ajaran agama Islam maupun yang lainnya tidak ada aturan tentang bentuk kekerasan kepada golongan lain. Kekerasan yang berujung pada pada konflik sebagai suatu fenomena dalam masyarakat dapat ditimbulkan oleh berbagai macam persoalan yang muncul sebagai akibat interaksi sosial yang tidak sehat. Kerukunan hidup dan saling menyelamatkan pada dasarnya merupakan tujuan dan cita-cita bersama umat manusia di dunia, namun dalam mewujudkan ternyata tidak mudah. Islam merupakan agama yang mengibarkan bendera perdamaian rahmatan lil’alamin. Islam mampu menyikapi berbagai persoalan dengan kepala dingin dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mementingkan kepentingan umum sehingga dapat terjalin humanism social dalam sebuah masyarakat dan terus terefleksi diri kearah yang lebih baik dengan pola keberagamaan Islam secara kontekstual dalam merespon problematika umat. Selain itu Islam harus hadir dengan penuh keramahan, pluralis dan toleran sehingga mampu memberikan nafas kesalehan bagi seluruh alam semesta. Senada dengan itu, Hasyim Asy’ari juga pernah mengatakan Islam tidak hanya memberikan pencerahan kepada umat manusia Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
127
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
melalui spiritualitas melainkan juga harus mampu menumbuhkan semangat dakwah dalam setiap aktivitas kehidupan, baik ekonomi, social maupun politik. Menurutnya, seorang muslim sejati harus membangun persaudaraan yang tulus ikhlas. Jika ada hal-hal yang menghambat persaudaraan sejatinya bisa dihindari dengan cara membangun komunikasi persahabatan (Paradigma, 2011). Wajah Islam yang damai perlu kita kembalikan, kita pelihara dan kita wujudkan, sebab Islam baik dari segi ajarannya maupun dari tata cara dakwahnya sebenarnya minus kekerasan. Untuk mengembalikan Islam dalam wajah salehnya, maka setidaknya kita bisa bercermin kembali pada baginda Nabi Muhammad SAW serta tuntunan yang pernah disampaikan para Walisongo dengan dakwah kulturalnya. Meski memiliki dakwah amar ma’ruf nahi munkar tapi mereka enggan dengan kekerasan dalam setiap dakwahnya. Dakwah merupakan salah satu cara melakukan perubahan sosial. Perilaku masyarakat yang melanggar norma dan etika yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat harus diluruskan agar dampak buruknya tidak menyebar dan menjadi penyakit masyarakat yang lain. Masyarakat harus selalu dibimbing dan diarahkan kepada hal-hal positif yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya, tetapi juga harus bermanfaat bagi orang lain. Secara ilmu sosiologis perilaku, norma dan etika yang melanggar akan dapat memporak porandakan tatanan masyarakat dan citra keislaman yang mestinya dapat merebut hati dan dambaan umat. Agama yang seharusnya dapat membuat tenang dan tentram berubah menjadi racun atau momok yang ditakuti umatnya sendiri (Eka, 2010: 1). Bila kita mau meneropong kearifan sejarah masa silam bagaimana masuknya Islam dalam kehidupan kita, maka kita akan menemukan wajah Islam yang khasanah, damai, serta anggun dalam bersikap dan berprilaku dengan begitu niscaya membangun Kesalehan sosial spiritual melalui pendekatan dakwah dan pemberdayaan umat akan dapat terwujud. E. Memaknai Kesalehan Sosial Seorang telah dianggap berbuat saleh seakan-akan sama
128
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
dengan berbuat kebaikan. Padahal, kesalehan itu sama sekali sangat jauh persamaannya dengan kebaikan. Kesalehan adalah perbuatan yang berdampak positif kesudahannya. Ada nilainilai kebajikan yang didapatkan sesudah mengamalkan suatu perbuatan yang wajib, sunah, boleh dan baik. Kita belum tentu saleh apabila telah berbuat baik menurut pandangan kebanyakan orang. Misalnya, kita membantu seorang nenek menyeberangi jalan raya, atau membuang duri di jalanan. Perbuatan yang telah kita lakukan itu bukan amal saleh, melainkan amal kebaikan. Amal kebaikan ditekankan untuk tidak berlaku diam bila kita sanggup melakukannya tanpa menyoal apakah ada kebajikan sesudahnya. Contoh di atas, kita sebatas membantu menyeberangkan seorang nenek agar terhindar dari kecelakaan atau membuang duri agar tidak mengganggu bagi pengguna jalan. Sesudah nenek di seberang tidak lagi memperhatikan bagaimana sikap, perbuatan, aktivitas dan sebagainya dari nenek tersebut. Tetapi, kita akan diberi pahala oleh Allah karena turut membantu nenek yang sudah lanjut usia selamat dari bahaya lalu lintas di jalan raya. Perbuatan kita akan menjadi saleh dari contoh tersebut bila anda memahami adakah nenek tersebut akan menjadi lebih sehat ketika sampai di rumah, bagaimanakah nenek tersebut bila tidak ada yang menjaganya, adakah setiap hari dia dapat memperoleh makan, lalu kita memberikan perhatian sepenuhnya untuk nenek tersebut sebagaimana yang anda perhatikan. Artinya, kita tidak sebatas menolong nenek menyeberangi jalan, tetapi memperhatikan lebih untuk membantu kesudahan nenek tersebut dalam menjalani kehidupan di lingkungan keluarganya. Amal perbuatan kita dapat dikategorikan amal kesalehan yang bersifat sosial bila mengamalkan seperti contoh tersebut di atas. Jadi, kesalehan sosial bermakna sebagai perbuatan yang dapat mendatangkan kebajikan sesudah suatu perbuatan yang bersifat sosial itu dilaksanakan. Banyak kalangan, baik dari pemerintah maupun masyarakat dan swasta, berbuat kebaikan tetapi tidak berdampak positif sesudahnya. Sepertinya telah menolong, tetapi menjadikan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
129
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
yang ditolongnya tak mampu untuk berubah secara positif (baik). Ambil contoh program pengentasan kemiskinan. Satu sisi, pemerintah merasa bertanggung jawab untuk mendistribusikan kesejahteraan rakyat, maka digulirkan program bantuan modal usaha untuk kelompok usaha menengah ke bawah. Syaratnya adalah yang menerima modal betul-betul wiraswasta. Modalnya juga disesuaikan dengan perkembangan usahanya. Akan tetapi, program ini tidak di follow up (tindak lanjut) bagaimana manajemen wirausahanya, pemasarannya, kualitas produknya dan sebagainya. Kita pasti kebingungan sekiranya usaha kita tidak berkembang dapat perguliran bantuan modal tetapi tidak ada pembinaan dari pemerintah lebih lanjut. Kita hanya mengolah modal tanpa memiliki starategi usaha yang dapat berkembang. Singkat kata, usaha kelompok menengah ke bawah mengalami stagnasi dan kebingungan. Sebenarnya konsep keberpihakan kepada masyarakat sudah dilakukan, tetapi tidak berdampak positif kesudahannya, usaha yang dibantu dengan permodalan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Pemerintah telah beramal baik secara sosial, tetapi tidak dapat disebut sebagai berbuat kesalehan sosial. Sementara itu menurut Islam, amal saleh itu merujuk kepada perintah dan larangan Allah. Contoh, perintah Allah SWT kepada kaum beriman untuk mengingat Allah sebanyak-banyaknya agar hatinya menjadi tenang. Maka, sekiranya seorang mukmin berzikir lalu hatinya tidak tenang berarti zikirnya belum berdampak positif kesudahannya. Zikirnya dapat pahala bila dilakukan, tetapi hakikatnya belum tercapai, ketenangan jiwa (hati). Kita seharusnya menjadi semakin tenteram atau tenang bila berzikir kepada Allah. Sekiranya terjadi sebaliknya, berarti ada yang salah dalam berzikir. Kemudian yang menjadi pertanyaan patutkah seorang mukmin berzikir tetapi akalnya masih mendominasi perbuatan jahat? Ketenteraman hati bagi seorang pelaku zikir apabila hatinya lah yang berzikir, bukan semata-mata lisannya. Zikir yang menenangkan adalah zikir yang berdampak langsung kepada hati. Maka, sekiranya lisannya berzikir sementara hatinya tidak, yang terjadi tetap tidak mengukuhkan ketenteram hati.
130
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
Zikir jasmaniah (lisan) sangat jauh berbeda dengan zikir ruhaniah hati atau ruh (Amin, 2004: 69). Allah SWT mendengarkan suara hati yang sedang berzikir, sekali pun tidak ada orang lain yang mendengarkannya. Ada nilai yang paling utama dari zikir di hati (zikir khafi). Pendekatan kepada Allah Azza wa Jalla dengan penghampiran lahiriah cenderung diajak tidak sebagaimana hakikatnya. Setiap amal lahiriah berdampak lebih cenderung jasmaniah bila belum mengetahui hakikatnya. Sekiranya salat masih bersifat jasmaniah (adanya bacaan dan gerak), maka sulit menjangkau dampak ruhaniahnya. Akan tetapi, sekiranya salat dilakukan secara jasmaniah (adanya gerak dan bacaan shalat) dan secara ruhaniah (berupaya memaknai setiap bacaan shalat di dalam hati atau ruh), maka dampak shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar (hakikat shalat). Ada dampak positif kesudahannya. Inilah amal saleh dari suatu perbuatan yang bersifat ruhaniah. F. Batasan Wilayah Kesalehan Sosial Adapun wilayah kesalehan sosial sangatlah luas sebagaimana luasnya wilayah kehidupan. Ada beberapa penjelasan mengenai kesalehan sosial dalam wilayah kehidupan bermasyarakat, berbisnis, pengembangan profesi, berbangsa dan bernegara, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta lingkungan hidup maupun pengembangan seni budaya (2011: 92). Kesalehan sosial dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya, setiap muslim menjalin persaudaraan dengan sesama anggota masyarakat lainnya dengan memelihara hak dan kehormatan, baik dengan sesame muslim maupun dengan non muslim. Menunjukkan keteladanan bersikap kepada tetangga, memelihara kemuliaan atau memuliaakan tetangga, bermurah hati kepada sesama, bersikap pemaaf bila ada orang lain punya salah. Kesalehan sosial dalam berbisnis diantaranya, dalam kegiatan berbisnis barang atau jasa sebaiknya harus yang halal dan jujur tentunya menurut syariat atas dasar Islam. Prinsip suka Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
131
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
rela dan adil merupakan prinsip penting yang harus kita pegang, baik dalam lingkungan intern maupun ekstern. Kesalehan sosial dalam melestarikan hidup, artinya lingkungan hidup sebagai alam sekitar dengan segala isi yang terkandung di dalamnya merupakan ciptaan dan anugerah allah yang harus diolah atau dimakmurkan, dipelihara dan tidak boleh kita rusak. Memasyarakatkan dan mempraktikkan budaya bersih, sehat dan indah dilingkungan disertai kebersihan fisik dan jasmani menunjukkan keimanan dan Kesalehan tersendiri dan masih banyak lagi. G. Dakwah Melalui Pemberdayaan Umat Dakwah melalui pemberdayaan umat menghajatkan perangkat pokok. Yakni tiang penyangga dan pilar utama yang diperlukan bagi dilangsungkannya upaya pemberdayaan. Selaras dengan al-Quran menunjukan beberapa pilar utama yang harus terpenuhi jika umat ini ingin memberdayakan dirinya, yaitu: iman, amal saleh, ilmu pengetahuan, jihad, dakwah dan sabar, (Badruzaman 2010: 117). 1. Iman Iman merupakan tiang agama atau penyangga utama dan pertama. Tanpa iman pilar dan perangkat apapun tidak ada nilainya. Oleh karena itu al-Quran sendiri mendahulukannya atas yang lain. Seperti firman Allah,
ِ الصال َِح ات ل ََي ْس َت ْخ ِل َف َّن ُه ْم فِي ُ ََّو َع َد ه َ ِالل ا َّلذ َّ ين َآ َم ُنوا ِم ْنكُ ْم َو َعمِ لُوا َ ْأ ين م ِْن َق ْبل ِِه ْم َول َُي َم ِّك َن َّن ل َُه ْم دِي َن ُه ُم َ اس َت ْخل ِ ال ْر َ َِف ا َّلذ ْ ض َك َما ا َّلذِ ي ْار َت َضى ل َُه ْم َول َُي َب ِّدل ََّن ُه ْم م ِْن َب ْعدِ َخ ْوف ِِه ْم َأ ْم ًنا َي ْع ُب ُدو َننِي اَل ِ ِك ُه ُم ا ْل َف ون َ ِك َف ُأو َلئ َ ون ِبي َش ْي ًئا َو َم ْن َك َف َر َب ْع َد َذل َ اس ُق َ ُي ْش ِر ُك
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengganti (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada
132
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik” (Qs. an-Nur [24]: 55).
Menurut Ibn Qayim, Iman adalah hakikat yang terdiri dari pengetahuan yang mendalam tentang apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah, lalu membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, tunduk dan patuh pada suka cita dan kerelaan, mengamalkan nya lahir batin, kemudian menyerukannya kepada orang lain. Iman yang pantas dijadikan penyangga utama adalah iman yang mampu memberdayakan umat, bukan iman yang hanya berupaya pengetahuan nalar, atau sebatas ungkapan dan kata-kata tentang Tuhan. Bukan pula berupa kecakapan bermain lisan dalam mendebat orang lain tentang hal-hal itu. Iman yang kita harapkan adalah iman yang tumbuh dan berkembang lalu terpancang kuat lewat tafakur tentang semesta alam dan ayatayat-Nya untuk mengenali dan menggali rahasia-rahasia yang dikandungnya. Iman yang dituntut adalah iman yang mampu mendamaikan hati, menenangkan jiwa, menciptakan insan-insan unggulan yang menjadi panutan bukan saja bagi semestanya tetapi juga bagi seluruh pengisi alam ini sehingga pemberdayaan umat benar-benar terealisasi. 2. Amal Saleh Merujuk pada surat (al-Anbiya`[21]: 105) “Sesungguhnya bumi ini dipusakai oleh hamba-hamba-Ku yang saleh”. Allah menegaskan bahwa umat yang pantas mewarisi bumi adalah mereka yang mempunyai kualifikasi as-saleh. As-saleh disini mempunyai cakupan makna yang sangat luas lebih dari sekadar gerakan rakaat salat atau berlapar-lapar puasa. Amal saleh merupakan ladang yang amat luas, tempat dimana orang-orang muslim berlomba untuk menegakkan keadilan, membebaskan kaum lemah, menghapuskan penindasan, meratakan kemakmuran, menjamin ketentraman dan kedamaian, menghormati kebebasan nalar pikir dan akal budi serta menyediakan iklim shaleh yang kondusif bagi pengembangan berbagai potensi positif. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
133
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Amal saleh dalam pengertian ini merupakan kunci utama bagi pengentasan berbagai krisis yang menimpa umat saat ini. Lebih jauh lagi amal shaleh merupakan jalan menuju kemajuan, asas berpijak bagi keunggulan hidup serta satu-satunya cara untuk mencapai kebangkitan. Masih jauh lagi amal saleh perlu dibangun satu kekuatan kembali diatas bumi yakni amar makruf nahi munkar. Ini merupakan konsepsi Islam menyuruh yang makruf mencegah yang munkar, mencegah kejahatan melalui bingkai pemberdayaan umat yang saleh dengan tali Allah dan tali persaudaraan niscaya akan terjalin rapat untuk membina kehidupan umat sejahtera warabbun al-ghafur (Hasjmy, 1994: 60). Berpijak melalui amal saleh memang suatu tugas yang tidak mudah, apalagi ketika kita melihat dan memperhatikan kepada watak yang tidak punya karakter religiusitas, mereka juga tidak mempedulikan karakter budaya yang religi dan nurani mereka hanya menuruti watak keji, tega, angkuh, serakah dan masih banyak lagi. Umat tidak akan bahagia bila hal itu terus berlanjut dalam kehidupan kita. Sekali lagi amal shaleh ada dampak positif pada ranah kesudahannya dan amal shaleh berangkat dari suatu perbuatan yang bersifat ruhaniah. Kesalehan merupakan perbuatan yang berdampak positif. Kemudian amal saleh ada juga nilai-nilai kebajikan yang didapatkan sesudah mengamalkan suatu perbuatan. H. Simpulan dan Penutup Diantara indahnya Islam adalah menjadikan setiap aktivitas dapat bernilai ibadah. Setiap ibadah formal yang kita lakukan haruslah melahirkan efek positif terhadap aspek spiritual, moral, akal dan nalar. Sementara ketaatan ritual suatu ibadah dapat melahirkan kesalehan sosial dan semua ibadah formal mampu membentuk pribadi-pribadi muslim yang berkualitas dan ditandai dengan penampilan yang bersih, tutur kata yang santun, berprilaku bijak, wajah yang senantiasa berseri dan bersahabat, hati yang jernih, nalar yang cerdas, jasmani yang kuat, jiwa yang sehat, sehingga terciptalah sebuah umat yang berkualitas.
134
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Dakwah dan Pemberdayaan Umat ... (Nur Ahmad)
Ketaatan ritual harus senantiasa menjadi cermin kesalehan sosial dan di setiap ibadah formal harus menjadi wahana pendidikan yang mampu mencetak generasi unggul, berbudi pekerti luhur, serta mempunyai karakteristik semangat juang yang tinggi menuju suatu tatanan masyarakat yang saleh disetiap kehidupannya. Paradigma yang harus dalam melakukan setiap bentuk ibadah ritual adalah paradigm akhlak. Menurut kata Kang Jalal, kesalehan sosial diukur dengan akhlak bukan diukur dari kesetiaan pada fikih. Ibadah-ibadah formal harus menjadi wahana pendidikan yang siap mencetak generasi unggul, ulet, tekat yang kuat, kematangan dalam bersikap, ketulusan dalam beramal dan kelestarian dari semangat juang. Islam memiliki beberapa karakteristik dimana karakteristik tersebut merupkan ciri khas dalam membentuk suatu pemberdayaan umat melalui dakwahnya demi terciptanya bangunan kesalehan sosial. Karakteristik tersebut diantaranya adalah rabbaniyah (ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan), syumul (komprehensif), wasathiyah (pertengahan), waqi’ah (realitas) dan wudhuh (jelas) Alhasil, Syari’at Islam dengan semua ajarannya baik ibadah sosial, ibadah spiritaual maupun muamalah lainnya akan selalu berorientasi pada manusia serta menjadikan setiap aktivitas dapat bernilai ibadah. Selanjutnya ketaatan yang bersifat ritualitas tersebut harus senantiasa menjadi cermin kesalehan sosial di setiap ibadah, tidak lain adalah demi terwujudnya dakwah Islam dan pemberdayaan umat dalam membangun sebuah kesalehan sosial yang religius.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
135
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin, 2005, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Jakarta: Raja Grafindo Persada Badruzaman, Abad, 2010, Kesalehan Sosial, Yogyakarta: Teras Khadiq, 2009, Islam dan Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat, Yogyakarta, Teras Kartono, Kartini, 1992, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Pres. Kahmad, Dadang, 2011, Potret Agama dalam Dunia Konflik Pluralisme dan Modernisme Kajian Sosiologi Agama, Bandung: Pustaka Pelajar Maman, Rafi’udin, 1997, Prinsip dan Strategi Dakwah, Semarang: Pustaka Setia Okrizal, Eka, 2010, Pemikiran Teologi Salafiyah, Penagama edisi Januari-April, Yogyakarta, UIN Yogyakarta Syukur, Amin, 2004, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
136
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
PERAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM DALAM MEMBANGUN KEBERAGAMAAN ANAK JALANAN Oleh: Irzum Farihah Dosen Jurusan Dakwah STAIN Kudus Abstrak Islam memandang bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi untuk mengabdi kepada-Nya. Tulisan ini, memaparkan bagaimana peran konselor Islam dalam membantu anak jalanan mengembalikan fitrahnya sebagai hamba Allah yang taat. Hal tersebut tentunya tidak mudah, perlu beberapa metode yang digunakan para konselor. Ada tiga metode yang ditawarkan yaitu: al-hikmah, mauidzah hasanah dan mujadalah yang nantinya mampu membantu konseli (anak jalanan) kembali kepada fitrah beragamanya. Kata Kunci: Bimbingan Konseling Islam, Konselor, Anak Jalanan, Fitrah.
A. Pendahuluan Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, agama bukan saja semata-mata kepercayaan pribadi yang dipilih secara suka rela, tetapi sebagai identitas yang mengatur hidupnya sejak lahir sampai mati. Rakyat mempunyai hak untuk memilih agama sesuai dengan hati nuraninya. Kebanyakan manusia mengikuti agamanya sebagai identitas pokok. Pancasila menyatukan agama dalam gagasan kepercayaan kepada Ke-Tuhanan yang Maha Esa, tetapi setiap kelompok agama menafsirkan makna gagasan itu sesuai dengan jaringan makna yang dibentuk oleh sejarahnya. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
137
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Individu dan istitusi dari agama yang sama mempunyai “jaringan makna” masing-masing yang berbeda. Agama sebagai suatu sistem nilai dan sistem laku bersifat universal. Universal di sini berarti agama dalam kebenaran mutlak yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu yang belum bersentuhan oleh ruang interpretasi manusia. Agama yang bersifat universal, selanjutnya akan menjadi singular ketika berdialektika dengan daya cipta rasa karsa manusia dalam konteks realitas sosial yang ada. Meskipun perhatian umat tertuju sepenuhnya kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat), namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia ini (Nottingham, 1992: 4). Agama senantiasa digunakan untuk menanamkan keyakinan ke dalam hati sanubari para pemeluknya terhadap berbagai permasalahan yang tidak mampu dijangkau akal fikiran manusia. Manusia beragama untuk melakukan norma-norma yang ada dalam ajaran agama tersebut, namun dalam kenyataannya banyak masyarakat yang hanya mengedepankan simbol-simbol dan ritual keagamaan saja. Manusia lebih banyak berlindung kepada topeng agama namun perilakunya tidak menunjukkan sebagai umat yg beragama. Dengan demikian agama belum menjadi nilai yang harus ditransformasikan ke dalam bentuk perilaku kesalehan sehari-hari. Apabila agama sudah menjadi nilai, maka kejadian pertikaian di negeri ini tidak akan pernah terjadi. Setiap individu maupun masyarakat baik dari kelas borjuis maupun kelas buruh (proletar) pasti memiliki agama, yang membedakan satu dengan lainnya adalah tingkat pemaknaan dan mengimplementasikan ajaran agama tersebut, yang kemudian disebut dengan keberagamaan. Keberagamaan seseorang, masyarakat atau kelas tertentu sangat memungkinkan berbeda dan memiliki varian-varian yang berbeda pula baik secara paradikmatik maupun dalam praksisnya. Hal ini tentunya dipengaruhi banyak faktor yang melingkupinya, mulai dari letak geografis, pendidikan, kondisi sosial budaya bahkan ekonomi.
138
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
Faktor ekonomi seringkali menjadi seseorang memandang agama sebelah mata, atau agama diletakakan pada porsi sekunder, hal ini dikarenakan kebutuhan ekonomi yang memaksa mereka berbuat demikian, contohnya anak jalanan, di mana waktu mereka hampir dihabiskan di jalan dengan kehidupan yang sangat keras dan terlihat jauh dari melaksanakan ajaran agama. Keberadaan anak jalanan sudah lazim kelihatan pada kotakota besar di Indonesia. Kepekaan masyarakat kepada mereka nampaknya tidak begitu tajam. Padahal Anak merupakan karunia Ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional, karena itu pembinaan dan pengembangannya (pemberdayaan) dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa, negara dan agama. Masa anak-anak pada dasarnya sangat membutuhkan pengetahuan dasar dalam agama. Namun ketika melihat aktivitas anak-anak jalanan yang hampir setiap hari waktunya dihabiskan di jalan, kecil kemungkinan mereka mempunyai pemahaman dasar ajaran agama dengan baik. Ketika ajaran agama tidak mereka peroleh ketika masa kecil dengan baik, maka kemungkinan akan mempengaruhi konsep diri terhadap agama yang mereka miliki. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan dan bimbingan serta penanaman nilai-nilai agama Islam dan pembiasaan-pembiasaan yang baik sejak lahir. Hal tersebut dimaksudkan agar dapat membentuk kepribadian manusia yang berakhlak karimah yang sesuai dengan ajaran agama. Islam merupakan sumber utama dalam membentuk pribadi seorang muslim yang baik. Dengan berlandaskan al-Quran dam as-Sunah, Islam mengarahkan dan membimbing manusia ke jalan yang diridhai-Nya dengan membentuk kepribadian yang berakhlak karimah. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Nabi diutus oleh Allah untuk membimbing dan mengarahkan manusia kearah kebaikan yang hakiki dan juga sebagai figur
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
139
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
konselor yang sangat mumpuni dalam memecahkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan jiwa manusia agar manusia terhindar dari segala sifat-sifat yang negatif. Manusia diharapkan dapat saling memberikan bimbingan sesuai dengan kapasitasnya, sekaligus memberikan konseling agar tetap sabar dan tawakal dalam menghadapi perjalanan kehidupan yang sebenarnya. Melalui pendekatan Islami, maka pelaksanaan konseling akan mengarahkan klien ke arah kebenaran dan juga dapat mebimbing dan mengarahkan hati, akal dan nafsu manusia untuk menuju kepribadian yang berkhlak karimah yang telah terkristalisasi oleh nilai-nilai ajaran Islam, serta mengarahkannya untuk membentuk insan kamil yang memiliki kepribadian berakhlak karimah (almasakbar45.blogspot.com diakses pada tanggal 27 September 2012). B. Agama dan Keberagamaan Pengertian agama dapat dilihat dari dua sudut, yaitu doktriner dan sosiologis psikologis. Secara doktriner agama adalah suatu ajaran yang datang dari Tuhan yang berfungsi sebagai pembimbing kehidupan manusia agar mereka hidup berbahagia di dunia dan di akhirat. Sebagai ajaran, agama adalah baik dan benar dan juga sempurna. Akan tetapi kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan suatu agama belum tentu bersemayan di dalam jiwa pemeluknya. Agama yang begitu indah dan mulia secara otomatis membuat pemeluknya menjadi indah dan mulia. Adapun pengertian agama secara sosiologis psikologis adalah perilaku manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan, yang merupakan getaran batin yang dapat mengetur dan mengendalikan perilaku manusia, baik dalam hubungan dengan Tuhan (ibadah) maupun dengan sesama manusia, diri sendiri dan terhadap realitas lainnya (Mubarok, 2002: 4). Agama menurut Hamka (1987: 75) adalah buah atau hasil kepercayaan dalam hati, yaitu ibadah yang sudah dilaksanakan karena adanya i’tikad (keyakinan) terlebih dahulu. Maka tidaklah dinamakan ibadah apabila tidak adanya pembenaran (tasdiq) dan tidak muncul kepatuhan (khulu’) apabila tidak adanya ketaatan
140
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
yang muncul, lantaran adanya tashdiq (membenarkan), atau iman. Istilah keberagamaan dalam pandangan Islam adalah fitroh, yaitu sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya, sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Rum ayat 30, yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitroh itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Adapun fungsi agama dalam kehidupan individu sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum, norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehupan individu serta di pertahankan sebagai bentuk ciri khas (Darajat, 1993: 127). Pada diri manusia terdapat sejumlah potensi untuk memberi arah dalam kehidupan manusia. Potensi tersebut adalah: 1). Hidayah al-ghaziriyyat (naluriyah): 2). Hidayah al-hissiyat (inderawi): 3) Hidayat al-aqliyat (nalar): dan 4) hidayat al-diniyyat (agama). Melalui pendekatan ini agama sudah menjadi potensi fitrah yang dibawa sejak lahir. Pengaruh lingkungan terhadap seseorang adalah memberi bimbingan kepada potensi yang dimilikinya itu. Dengan demikian, jika potensi fitrah itu dapat dikembangkan sejalan dengan pengaruh lingkungan, akan terjadi keselarasan. Sebaliknya, jika potensi itu dikembangkan dalam kondisi yang dipertentangkan oleh kondisi lingkungan, akan terjadi ketidak seimbangan pada diri seseorang (Arifin, 2008: 14). Beragama merupakan fitrah yang mengalami perkembangan secara alamiah dan ada yang berkembang sesuai kehendak Allah. Secara umum kriteria kematangan dalam kehidupan beragama menurut Syamsu Yusuf dalam Rita Hidayah (2009: 16) antara lain: 1) Memiliki kesadaran bahwa setiap perilakunya baik yang tampak maupun tersembunyi tidak terlepas dari pengawasan Allah. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
141
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
2) Mengamalkan ibadah ritual secara ikhlas dan mampu mengambil hikmah dari ibadah tersebut dalam kaitannyadengan kehidupan sehari-hari 3) Memiliki penerimaan dan pemahaman secara positifakan irama/romantika kehidupan yang ditetapkan Allah. 4) Bersyukur pada saat mendapatkan anugerah baik dengan ucapan (hamdalah) ataupun dengan perbuatan (sedekah, zakat) 5) Bersabar saat menerima musibah 6) Memperkokoh ukhuwah islamiah dan insaniah 7) Senantiasa menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Terdapat beberapa pendapat ulama tentang maksud kata fitrah seperti tertulis pada surat ar-Rum ayat 30. Ada yang berpendapat bahwa (1) fitrah yang dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah SWT. Yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. (2) fitrah sebagai perintah kebenaran dan kemantapan individu dalam pemerintahannya, (3) fitrah sebagai keadaan atau kondisi penciptaan yang terdapat dalam diri manusia yang menjadikannya berpotensi, sehingga melalui fitrah itu mampu mengenal Tuhan dan syari’atnya, dan (4) fitrah sebagai unsurunsur dan sistem yang Allah anugerahkan kepada setiap makhluk. Fitrah yang dimaksud adalah fitrah sebgai unsur-unsur dan sistem yang dianugrahkan Allah kepada setiap manusia, unsur-unsur itu mencakup jasmani, rohani, dan nafs; di mana fitrah berupa “iman kepada Allah” menjadi inti-nya. Potensi iman dipandang sebagai “inti” karena jika iman seseorang telah berkembang dan berfungsi dengan baik, maka potensi-potensi yang lain (jasmani, rohani, dan nafs) akan berkembang dan berfungsi dengan baik pula (Sutoyo, 2009: 25). Sedangkan fungsi agama dalam masyarakat menurut Arifin (2008: 149-151). a) Edukatif, para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyuruh dan melarang.
142
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
b) Penyelamat, keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang dipatuti dua alam, yaitu dunai dan akhirat. c) Pendamai, melalui agama seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin malalui tuntunan agama, yaitu dengan cara bertaubat. d) Social control, ajaran agama oleh penganutnya di anggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini, agama berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok. e) Pemupuk rasa solidaritas, para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam satu kesatuan, iman, dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perseorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. f) Transformatif, ajaran agama dapat mengubah kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. g) Kreatif, ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. h) Sublimatif, ajaran agama menguduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agam ukhrawi, melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia, selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, apabila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah. Kesadaran beragama adalah segi agama yang terasa dalam fikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman beragama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Dalam mengukur keberagamaan tersebut, kita mengenal tiga dimensi dalam Islam yaitu aspek Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
143
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
akidah (keyakinan), syariah (praktik agama, ritual formal) dan akhlak (pengamalan dari akidah dan syariah). Keberagamaan diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika malakukan aktivitas lain yang mendorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagamaan seseorang akan meliputi berbagai macam sisi dan dimensi. Kehidupan keberagamaan masyarakat kita terlihat semarak dan hidup. Simbol-simbol agama digelar di mana-mana, baik yang berupa individu, maupun yang bersifat kemasyarakatan. Namun, apabila dilihat dengan reaksi pelaksanaan ajaran agama sehari-hari nampaknya masih kita lihat kekosongan ruhani dalam masyarakat kita. Sehingga ritual agama yang dilakukan seseorang maupun kelompok masyarakat hanya sebagai formalitas belaka tanpa makna. Menurut Khozin (2004: 52), keislaman masyarakat kita saat ini masih pada taraf kulit luarnya saja. Islam belum dihayati sebagai agama yang mengajarkan kejujuran, kasih sayang dan segala macam ajaran moral. Moralitas Islam belum dapat diejawantahkan dalam perilaku sehari-hari. Oleh karena itu Allah mengingatkan dalam surat al-Ma’un tentang orang-orang yang lupa dalam salatnya, yang artinya: “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama, Itulah orang yang menghardik anak yatim. Tidak memberi makan kepada orang miskin. Maka, kecelakaan bagi orangorang yang salat. Yaitu, orang-orang yang lupa dalam salatnya”. Begitupula dalam surat al-Ankabut ayat 45 Allah berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan jahat dan tidak baik”. Dalam sebuah hadis Qudsi juga disebutkan, yang artinya:“Salat yang kuterima hanyalah shalat yang membuat pelakunya merendahdiri terhadapkebesaran-Ku, tidak berlaku sombong terhadap makhluk-Ku, tidak keras menentang perintah-Ku, tetapi senantiasan ingat kepada-Ku dan menaruh kasih kasih sayang kepada orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan perempuan yang ditinggal mati suaminya dan orang yang ditimpa kesusuhan”.
144
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
Pada ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa setiap ibadah yang dalam hal ini adalah salat harus melahirkan tingkah laku sosial yang positif. Nilai-nilai sosial salat yang harus terpancarkan dalam tingkah laku sehari-hari oleh pelakunya dalam lingkungannya. Dengan demikian menunjukkan bahwa, orang yang menjalankan salat dalam kesehariannya adalah orang yang jujur, tidak korupsi, berlaku adil, tidak mengambil milik orang lain, tidak menahan hak orang lain, dan memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi terhadap lingkungannya. Tanpa buah hasil yang baik, maka ibadah dapat dikatakan muspro (siasia), atau tidak mengandung makna apa-apa baik bagi pelakunya maupun lingkungan sosialnya. C. Anak Jalanan Permasalahan anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan. Berbicara masalah kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: pertama, kemiskinan kultural dan kedua, kemiskinan struktural (Arif, 2000: 289). Kedua model tersebut tidak bisa diberi cara pandang yang sama, demikian juga dalam cara menghadapinya. Cara yang dipergunakan untuk mengentaskan kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur yang timpang tentu saja berbeda dengan kemiskinan akibat karakter budaya dan etos kerja yang rendah. Masing-masing model kemiskinan memiliki pendekatan yang berbeda satu sama lainnya. Secara sosiologis, dimensi struktural kemiskinan dapat ditelusuri melalui institusional arrangements yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Asumsi dasarnya bahwa kemiskinan tidak semata-mata berakar pada kelemahan alami, sebagaimana dipahami dalam perspektif kultural (Usman, 1998: 131). Sedangkan apabila terjadi ketidakcermatan dalam menanggapi keduanya, hal itu tidak saja membuat program menjadi terasa ambigu tapi juga akan mengalami kesulitan untuk meraih hasil yang dikehendaki. Upaya penanggulangan kemiskinan harus senantiasa didasarkan pada penentuan garis kemiskinan yang tepat, dan pemahaman komprehensif mengenai Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
145
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
sebab timbulnya persoalan tersebut. Setiap upaya penanggulangan kemiskinan yang mengabaikan dua hal tersebut, tidak hanya cenderung tidak efektif, tapi pada tempatnya untuk dicurigai sebagai retorika belaka (Revrisond Baswir dalam Arif, 2000: 290). Permasalahan yang penting untuk dikemukakan adalah bagaimana cara menentukan garis kemiskinan. Sebelum menentukan garis kemiskinan, harus disebutkan kriteria kelayakan minimumnya. Sedangkan angka kelayakan minimum yang ditetapkan harus memiliki jumlah yang sama antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Sementara itu, dalam menetukan tingkat kelayakan hidup minimum yang sebuah masyarakat, terlebih dahulu harus dilakukan penentuan capabilicity vector-nya. Faktor-faktor kelayakan tersebut pada umumnya berkaitan dengan kemampuan ekonomi seseorang. Faktor-faktor kelayakan minimum dapat diukur dari kemampuan rakyat berpartisipasi dalam kehidupan sebagai bentuk aktualisasi diri, pemilikan tempat tinggal yang layak dan sebagainya. Dengan demikian, penentuan garis kemiskinan tidak dapat dilakuakan secara arbitrer. Sebelum menentukan garis kemiskinan perlu ada kesepakatan tertentu mengenai tingkat kelayakan hidup minimum. Setelah itu menentukan jumlah pendapatan minimum dalam rangka mencapai tingkat kelayakan hidup minimum tersebut. Anak Jalanan belakangan selalu menjadi suatu fenomena sosial yang sangat penting dalam kehidupan kota besar. Kehadiran mereka seringkali dianggap sebagai cermin kemiskinan kota, atau suatu kegagalan adaptasi kelompok orang tersebut terhadap kehidupan dinamis kota besar. Pemahaman tentang karakteristik kehidupan mereka, seperti apa kegiatan dan aspirasi yang mereka miliki, keterkaitan hubungan dengan pihak dan orang-orang yang a d a d i s e k i t a r lingkungan hidup mereka, memungkinkan kita m e n e m p a t k a n m e r e k a secara lebih arif dan bijaksana dalam konteks permasalahan kehidupan kota besar (id.wikipedia.org/ wiki/Anak_jalanan, di akses pada tanggal 3 Mei 2012).
146
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
Meskipun demikian fenomena anak jalanan bukan hanya merupakan monopoli negara-negara sedang berkembang tetapi di negara-negara maju juga terjadi. Dalam istilah sosiologi gejala ini sering dinamakan deviant behavior atau perilaku yang menyimpang dari tatanan masyarakat. Namun kalau ditinjau lebih mendalam, menurut Nugroho (2003: 97) fenomena anak jalanan bisa merupakan akibat dari dua hal. Pertama, problema sosiologis yaitu karena orang tua yang kurang perhatian kepada anak-anaknya sehingga para anak mencari perhatian di luar rumah atau di jalanan. Kedua, karena problem kemiskinan maka orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya yang berakibat pada munculnya gejala anak jalanan. Yang harus diingat adalah kalau kita menggunakan istilah “anak jalanan” maka ada dua pengertian yang harus dipahami. Pertama, pengertian sosiologis yaitu menunjuk pada ktivitas sekelompok anak yang keluyuran di jalan-jalan, orang awam mengatakan sebagai kenakalan anak, dan perilaku mereka di anggap mengganggu keterlibatan sosial. Kedua, pengertian ekonomi menunjuk pada aktivitas sekelompok anak (pekerja anak) yang terpaksa mencari nafkah di jalanan karena kondisi ekonomi orang tua yang miskin. Anak jalanan atau sering disingkat ANJAL adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dapat dijadikan acuan bagi semua pihak. Di tengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan anak jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu anak-anak yang turun ke jalanan dan anak-anak yang ada di jalanan. Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori, yaitu anak-anak dari keluarga yang ada di jalanan. Pengertian untuk kategori pertama adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
147
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari, dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin. Kategori kedua adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orangtua atau keluarganya. Kategori ketiga adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kategori keempat adalah anak berusia 5-17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja dijalana, dan/atau yang bekerja dan hidup dijalanan yang menghabiskan sebagaian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari (id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan, di akses pada tanggal 3 Mei 2012). D. Kebutuhan Anak Konseling Islam
Jalanan
Terhadap
Bimbingan
dan
Kata bimbingan dan konseling merupakan pengalihan bahasa dari istilah Inggris guidance and counseling. Pengertian Bimbingan secara etimologi adalah menunjuk, membimbing, atau membantu. Sedangkan pengertian bimbingan secara terminologi menurut Moh Surya (1986) bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengerahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Sedangkan pengertian konseling secara etimologi adalah nasehat, anjuran dan ajaran. Dengan demikian konseling dapat diartikan sebagai pemberian nasehat, pemberian anjuran dan pembicaraan dengan bertukar pikiran (Bakran, 2002: 179). Hakikat bimbingan dan konseling Islami adalah upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada fitrah, dengan cara memberdayakan (enpowering)
148
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
iman, akal, dan kemauan yang dikaruniakan Allah swt. Kepadanya untuk mempelajari tuntunan Allah dan rasul-Nya, agar fitrah yang ada pada individu itu berkembang dengan benar dan kokoh sesuai tuntunan Allah SWT. Konseling Islami adalah aktifitas yang bersifat “membantu”, dikatakan membantu karena pada hakekatnya individu sendirilah yang perlu hidup sesuai tuntunan Allah (jalan yang lurus) agar mereka selamat. Karena posisi konselor bersifat membantu, maka konsekuensinya individu sendiri yang harus aktif belajar memahami dan sekaligus melaksanakan tuntunan Islam (al-Quran dan sunah Rasul-Nya). Pada akhirnya diharapkan agar individu selamat dan memperoleh kebahagiaan yang sejati di dunia dan akhirat, bukan sebaliknya kesengsaraan dan kemelaratan di dunia dan akhirat. Pihak yang membantu adalah konselor, yaitu seorang mu’min yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang tuntunan Allah dan mentaatinya. Bantuan itu terutama berbentuk pemberian dorongan dan pendampingan dalam memahami dan mengamalkan syari’at Islam. Dengan memahami dan mengamalkan syari’at Islam itu diharapkan segala potensi yang dikaruniakan Allah kepada individu bisa berkembang optimal. Akhirnya diharapkan agar individu menjadi hamba Allah yang muttaqin mukhlasin, mukhsinin, dan mutawakkilin; yang terjauh dari godaan syetan, terjauh dari tindakan ma’siat, dan ikhlas melaksanakan ibadah kepada Allah. Manusia sebagai hamba Allah yang sangat sempurna memiliki dua predikat, yaitu sebagai ‘abdullah atau hamba Allah dan sebagai Khalifah atau wakil Allah dimuka bumi. Predikat pertama menunjukkan kelemahan, kekecilan dan keterbatasan serta ketergantungan manusia kepada yang lain sehingga setiap manusia potensil untuk mengidap masalah, sedangkan predikat kedua menunjukkan kebesaran manusia sekaligus besarnya tanggung jawab yang dipikul dalam kehidupannya dimuka bumi. Menurut Mubarok (2002: 24-25) bahwa urgensi bimbingan dan konseling bagi manusia merujuk kepada dua predikat tersebut. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
149
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
1) Sebagai makhluk yang lemah (‘abdun) suatu ketika manusia tidak tahan menghadapi realita kehidupan yang pahit, sempit dan berat. Dalam kondisi fisik tak berdaya, orang membutuhkan bantuan orang lain, dokter misalnya- untuk memulihkan kesehatannya. Demikian pula dalam kondisi mental yang kacau (lihat bab jenis-jenis gangguan jiwa) seseorang membutuhkan bantuan kejiwaan, untuk memuluhkan rasa percaya dirinya, meluruskan cara berfikir, cara pandang dan cara merasanya sehingga ia kembali realistis, mampu melihat kenyataan yang sebenarnya dan mampu mengatasi problemnya dengan caracara yang dapat dipertanggung jawabkan. 2) Sebagai khalifah Allah, manusia dibebani tanggung jawab menyangkut kebaikan dirinya maupun untuk masyarakatnya. Setiap manusia diberi kebebasan untuk memutuskan sendiri apa yang baik untuk dirinya, asal bukan kegiatan maksiyat yang dilakukan secara terang-terangan. Sebagai khalifah Allah yang dibebani tangggung jawab untuk kemaslahatan masyarakatnya, maka seorang muslim harus merasa terpanggil untuk memelihara ketertiban masyarakat. Oleh karena itu ia terpanggil untuk meluruskan hal-hal yang menyimpang, menata hal-hal yang salah tempat,mendorong hal-hal yang mandeg dan menghentikan kekeliruan-kekeliruan yang berlangsung. Dalam perspektip Bimbingan dan Konseling, seorang muslim sebagai khalifah Allah terpanggil untuk membantu orang lain yang sedang mengalami gangguan kejiwaan yang menyebabkan orang itu tak mampu mengatasi tugas-tugasnya dalam kehidupan. Kedudukan Bimbingan dan Konseling Agama, dalam prespektip keilmuan keilmuan maupun prespektif agama Islam, Sekurangnya perlu diketahui lebih dahulu empat hal, yaitu : 1) Bahwa kodrat kejiwaan manusia membutuhkan bantuan psikologis. 2) Gangguan kejiwaan yang berbeeda-beda membutuhkan terapi yang tepat.
150
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
3) Meskipun manusia memiliki fitrah kejiwaan yang cenderung kepada keadilan dan kebenaran, tetapi daya tarik kepada keburukan lebih banyak dan lebih kuat tarikannya sehingga motif kepada keburukan lebih cepat merespond stimulus keburukan, mendahului respon motif kepada kebaikan atas stimulus kebaikan. 4) Keyakianan agama (keimanan) merupakan bagian dari struktur kepribadian, sehingga getar batin dapat dijadiakn penggerak tingkah laku (motif) kepada kebaikan. E. Peran Bimbingan Konseling Islam dalam Membangun Keberagamaan Anak Jalanan Islam memandang bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan sebagai khalifah di muka bumi untuk mengabdi kepada-Nya. Dari hal tersebut dapat dirumuskan bahwa tujuan dari bimbingan dan konseling Islami adalah untuk meningkatkan dan menumbuhkan kesadaran manusia tentang eksistensinya sebagai makhluk dan khalifah Allah SWT di muka bumi ini, sehingga setiap aktifitas dan tingkah lakunya tidak keluar dari tujuan hidupnya, yakni menyembah atau mengabdi kepada Allah SWT. Secara kodrati, manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk religius yang memiliki keeksistensiannya dan hidup secara bersama-sama. Manusia dilahirkan sebagai makhluk monopluralis yang berunsurkan jasad dan ruh dengan disertai akal, hati nurani dan hawa nafsu diberi kebebasan untuk berkehendak. Akan tetapi hal tersebut menuntut adanya tanggung jawab yang harus dipikulnya. Oleh karena itu, dengan bimbingan dan konseling dimaksudkan agar manusia mampu memahami potensi-potensi insaniahnya, dimensi-dimensi kemanusiaanya, termasuk memahami berbagai persoalan hidup dan mencari alternati pemecahannya (Tohirin, 2007: 51). Konseling Islami adalah suatu usaha membantu individu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama yang dimiliki manusia, sehingga ia kembali menyadari peranannya sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
151
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
menyembah kepada Allah SWT, akhirnya tercipta kembali hubungan baik dengan Allah, manusia dan alam semesta. Begitu pula dengan konteks anak jalanan, yang hariharinya banyak dihabiskan di jalan, baik yang berprofesi sebagai pengamen, pengemis maupun pedagang asongan. Waktu yang dihabiskan mereka di jalanan pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarga semata. Sedangkan kebanyakan dari mereka banyak yang menomorduakan urusan yang berkaitan dengan agama mereka. Ketika hal tersebut kita kaitkan dengan pendapat Karl Marx dalam Kahmad (2002: 135), bahwa kelas bawah atau kelas buruh memilih agama adalah agama yang mampu membebaskan dirinya dari keterpurukan atau dari penghisapan tenaga kerja secara berlebihan, khususnya keterpurukan dalam ekonomi yang mereka alami. Meskipun demikian, bukan berarti anak jalanan dibiarkan begitu saja tanpa diberikan imun tentang ajaran agama yang mampu mengembalikan fitrah mereka, sehingga mereka dapat menemukan jalan yang ma’ruf. Dalam hal ini, tentunya dibutuhkan para konselor yang mampu membimbing mereka dengan penuh kesabaran dan tentunya menggunakan beberapa metode dan strategi yang mampu diterima oleh mereka dengan baik. Allah berfirman dalam al-Quran yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (Qs. an-Nahl [16]: 125). Ayat tersebut menjelaskan beberapa metode dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling. Metode-metode tersebut sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Hamdani Bakran (2002) adalah sebagaimana berikut: 1. Metode Al-Hikmah Kata hikmah seringkali dimaknai bijaksana, yaitu pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah
152
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, konflik, maupun rasa tertekan. Dalam bahasa komunikasi disebut sebagai frame of reference, field of reference, dan field of experience, yaitu situasi total yang memepengaruhi sikap pihak komunikasi (Tasmara, 1987: 37). Hikmah juga bisa dimaknai sebuah pedoman, penuntun dan pembimbing untuk memberi bantuan kepada individu yang sangat membutuhkan pertolongan dalam mengembangkan eksistensi dirinya hingga ia dapat menemukan jati diri dan citra dirinya serta dapat menyelesaikan atau mengatasi berbagai permasalahan hidup secara mandiri. Proses aplikasi konseling teori ini sematamata dapat dilakukan oleh konselor dengan pertolongan Allah, baik secara langsung maupun melalui perantara, di mana ia hadir dalam jiwa konselor atas izin-Nya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa hikmah mampu mengajak anak-anak jalanan menuju jalan Allah tidak terbatas pada perkataan lembut, memberi semangat, sabar, ramah, dan lapang dada, tetapi juga tidak melakukan sesuatu melebihi ukuran/kemampuan dari anak-anak jalanan dalam menerima ajaran agama. Seperti mengajarkan bacaan shalat tidak langsung diberikan dalam satu kesempatan dan anak-anak dipaksakan untuk menghafal dalam batasan waktu tertentu. Namun, dalam menghafal bacaan salat dapat diberikan secara bertahap dan selalu diulang-ulang sesuai dengan kemampuan menghafal masingmasing dari anak jalanan tersebut. Sehingga, mereka tidak merasa terbebani dan menganggap bahwa mempelajari bacaan shalat itu tidak sulit. 2. Metode Al-Mauidhoh Hasanah Yaitu memberikan nasehat kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di hati, menyentuh perasaan, lurus dipikiran dan menghindari sikap kasar (Amin, 2009: 99). Metode ini juga bisa dikatakan sebagai bimbingan atau konseling dengan cara mengambil pelajaran-pelajaran dari perjalanan kehidupan para Nabi dan Rasul. Bagaimana Allah Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
153
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
membimbing dan mengarahkan cara berfikir, cara berperasaan, cara berperilaku serta menanggulangi berbagai problem kehidupan. Bagaimana cara mereka membangun ketaatan dan ketaqwaan kepada-Nya (Bakran, 2002: 201). Al-Mau’idzh Al-Hasanah yang dimaksud di sini ialah pelajaran yang baik dalam pandangan Allah dan Rasul-Nya, yaitu dapat membantu klien (dalam hal ini anak jalanan) untuk menyelesaikan atau menanggulangi problem yang sedang dihadapinya. Sehingga setiap masalah yang dihadapinya ketika berada dijalanan tidak diselesaikan dengan cara kekerasan, sebagaimana dengan kondisi lingkungan mereka di jalanan. Sebagai konselor Islam harus mampu mengarahkan mereka kembali kepada fitroh dengan cara yang baik, sebagaimana yang diajaran dalam Islam. Konselor dalam hal ini harus benar-benar menguasai materi-materi yang mengandung pelajaran-pelajaran yang sangat bermanfaat bagi klien. Konselor harus mempunyai refrensi yang cukup banyak tentang materi yang disampaikan. Dengan demikian, mampu mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam kehidupan pribadi atau masyarakat dapat terwujud. 3. Metode Mujadalah yang baik Yaitu metode konseling yang terjadi di mana seorang klien sedang dalam kebimbangan. Metode ini biasa digunakan ketika seorang klien ingin mencari suatu kebenaran yang dapat menyakinkan dirinya, yang selama ini ia memiliki problem kesulitan mengambil suatu keputusan dari dua hal atau lebih; sedangkan ia berasumsi bahwa kedua atau lebih itu lebih baik dan benar untuk dirinya. Padahal dalam pandangan konselor hal itu dapat membahayakan perkembangan jiwa, akal pikiran, emosional, dan lingkungannya. Apabila dikontekkan pada permasalahan anak jalanan, seringkali mengalami kebimbangan dalam dirinya yang berkaitan dengan menjalankan aturan agama. Satu sisi mereka berhadapan dengan kehidupan di jalanan sangat keras yang cenderung menjauhkan dari penerapan ajaran agama Islam
154
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
yang sebenaranya. Sisi lain, sebagai makhluk beragama tentunya mereka mengingat Tuhannya dan ingin mengembalikan dirinya kepada kefitrohannya. Oleh karena itu, seorang konselor harus mampu membantu mengembalikan mereka (anak jalanan) kepada fitrohnya dengan cara yang sangat hati-hati, sopan santun dan lemah lembut. Sehingga ajaran agama bisa diterimanya dengan baik tanpa ada perdebatan yang berakibat penolakan ajaran agama. Anak jalanan sebagai individu dipandang sebagai “hamba Allah” yang harus selalu tunduk dan patuh kepada-Nya. Manusia diciptakan bukan hanya untuk bersenang-senang, tetapi di sana ada perintah yang harus dilakukan dan larangan yang harus dijauhi, dan ada peraturan yang harus ditaati. Oleh sebab itu dalam kegiatan bimbingan, individu (anak jalanan) perlu dikenalkan siapa sebenarnya dia, dan aturan yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dijauhi, serta tanggung jawab dari apa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia. Dalam belajar memahami diri dan memahami aturan Allah yang harus dipatuhi tidak jarang mereka mengalami kegagalan, oleh sebab itu mereka membutuhkan bantuan khusus yang disebut “konseling”. Arang yang ditempuh adalah menuju pada pengembangan fitrah dan atau kembali kepada fitrah. Dengan demikian dapat difahami bahwa dorongan dan atau pendampingan belajar tersebut dimaksudkan agar secara bertahap individu (anak jalanan) mampu mengembalikan fitrah dan sekaligus kembali pada fitrah yang dikaruniakan Allah kepadanya (Sutoyo, 2009: 24). F. Simpulan Pendekatan Islami dalam bimbingan dan konseling pada anak jalanan, sudah semestinya menjadi tanggung jawab para konselor Islam. Hal ini diharapkan mampu mengembalikan mereka pada fitroh sebagai hamba Allah dalam menjalankan aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam agama yang banyak mereka tinggalkan. Memberikan bimbingan dan konseling Islami pada anakanak jalanan bukan perkara mudah. Oleh karena itu dibutuhkan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
155
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
metode dan strategi dalam mendekati mereka. Metode dan strategi tersebut tentunya disampaikan dengan cara yang halus dan mudah dimengerti, yaitu dengan menggunakan tiga metode: al-Hikmah, Mau’idzah Hasanah dan Mujadalah. Dengan demikian, diharapkan mampu membangun keberagamaan yang baik, sesuai dengan yang diajarakan dalam agama sehingga mereka menjadi hamba-hamba yang muttaqin.
156
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Peran Bimbingan Konseling Islam ... (Irzum Farihah)
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Saiful, 2000, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Amin, Samsul Munir, 2009, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah Arifin, Bambang Syamsul, 2008, Psikologi Agama, Bandung: Pustaka Setia Bakran, Hamdani, 2002, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Rajawali Pers Darajdat, Zakiyah, 1993, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), 1987, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas Kahmad, Dadang, 2011, Sosiologi Agama (Potret dalam Dinamika Konflik, Pluralisme dan Modernitas, Bandung: Pustaka Setia Khozin, 2004, Refleksi Keberagamaan dari Kepekaan Teologis Menuju Kepekaan Sosial, Malang: UMM Press Mubarok, Ahmad, 2000, Konseling Agama Teori dan Kasus, Jakarta: Bina Rena Pariwara Mu’awanah, Elfi, dan Rita Hidayah, 2009, Bimbingan Konseling Islami di Sekolah Dasar, Jakarta: Bumi Aksara Nottingham, Elizabeth K., 1985, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali Pers Nugraha, Heru, Menumbuhkan Ide-Ide Kritis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sutoyo, Anwar, 2009, Bimbingan dan Konseling Islam Teori dan Praktik, Semarang: Widya Karya Tasmara, 1987, Komunikasi Dakwah, Jakarta: Media Pratama
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
157
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Thohirin, 2007, Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: UII Pers Usman, Sunyoto, 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar almasakbar45.blogspot.com diakses pada tanggal 27 September 2012. id.wikipedia.org/wiki/Anak_jalanan, di akses pada tanggal 3 Mei 2012.
158
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
MEMBANGUN MOTIVASI BERPRESTASI PESERTA DIDIK MELALUI OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER Oleh: Edy Sutrisna Guru SMP Negeri 1 Jakenan, Kabupaten Pati Abstract Achievement is a gain required by each educational institution. All school’s resources are directed for gaining achievement, starting human resources, fund, instruments, messages and time. Generally student’s achievement is built through standard activities; they are routine learning activity, counseling activity, and students’ motivation for increasing their learning. Of course, those standard activities are unable to increase students’ achievement, because the main factor is from outside. Therefore, it is necessary to find a concept for improving motivation in gaining achievement through optimal character education. Character is a component in human being that is able to build personality. Strong character will build strong personality and only one who has it will be able to gain proudly achievement. Through this concept, although achievement can not be achieved instantly, but the results will be internalized deeply in students’ personality and it will be strong foundation in student’s personality. Key words: Motivation for Gaining Achievement, Character Education.
A. Pendahuluan Di dunia pendidikan berbagai upaya dikerahkan agar peserta didik dapat mencapai prestasi tinggi. Semua sumber daya dikerahkan dalam manajemen sekolah. Muaranya tidak lain adalah prestasi. Namun demikian pencapaian prestasi bagi Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
159
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
peserta didik bukanlah pekerjaan yang mudah. Berbagai upaya di lakukan mulai dari pencarian calon peserta didik sebagai bahan mentah (raw material) yang unggul, penambahan sarana dan prasarana pembelajaran, perbaikan proses pembelajaran, pengiriman guru ke berbagai pelatihan, dan sebagainya. Namun, dunia pendidikan dan stake holder-nya masih merasakan kualitas hasil pendidikan tak memuaskan. Bahkan penerapan prinsip pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam pembelajaran dengan menerapkan Kriteria Ketuntasan Belajar (KKM) yang diharapkan dapat memacu kualitas proses pembelajaran justru malah menjadi kontra produktif. Penerapan KKM justru menjadikan siswa semakin dimanjakan dengan nilai hasil pembelajaran yang tinggi tetapi tak sesuai dengan kemampuan siswa sesungguhnya. Sebagian guru mengambil jalan pintas dengan langsung memberikan nilai tinggi tanpa melalui proses remedial. Padahal melalui penerapan KKM diharapkan peserta didik benar-benar dapat mencapai ketuntasan dalam pencapaian Kompetensi Dasar dan Standar Kompetensi yang telah ditetapkan, melalui pemberian remidial baik dalam proses pembelajaran (remedial teaching) maupun remedial dalam kegiatan penilaian. Penerapan sistem KKM yang tidak prosedural (tidak taat azas) justru menjadikan siswa merasa dimanjakan dengan pemberian nilai hasil belajar yang tinggi. Akibat lebih lanjut adalah siswa semakin kehilangan semangat belajar, karena tanpa belajar sungguh-sungguhpun hasil belajar yang dicapai sudah tinggi. Kondisi ini semakin diperparah juga antara lain dengan “legitimasi” praktik-praktik curang dalam kegiatan ujian, terutama ujian nasional. Jika dicermati secara mendalam kebanyakan upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun prestasi peserta didik adalah upaya-upaya yang berasal dari luar peserta didik. Masih terlalu sedikit upaya-upaya yang dilakukan dengan memberdayakan faktor-faktor internal yang ada pada diri peserta didik. Perlu dicapai keseimbangan antara upaya dari dalam diri peserta didik dan upaya dari luar diri peserta didik, sehingga tidak
160
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
muncul kesan bahwa prestasi yang dicapai peserta didik adalah kebutuhan sebuah lembaga pendidikan saja, bukan kebutuhan peserta didik. Perlu dibangun paradigma yang lebih mantap bahwa prestasi merupakan kebutuhan setiap individu. Prestasi akan dicapai secara optimal jika pendidik dan konselor di sekolah mampu menyeimbangkan antara pemberian motivasi intrinsik dan ekstrinsik pada diri siswa. Motivasi ekstrinsik mampu memberikan rangsangan (stimulan), sedangkan motivasi intrinsik mampu menggandakan stumulus dan kapasitas yang dimiliki oleh peserta didik. Dalam praktik pendidikan sehari-hari di sekolah dapat dengan mudah diamati bahwa banyak peserta didik yang kurang berprestasi dengan baik bukan semata-mata disebabkan oleh intelegensi yang rendah tetapi justru disebabkan karena rasa kurang percaya diri, lemah semangat, merasa tidak mampu, ketergantungan pada orang lain, kurang cermat, dan sejenisnya. Pendek kata, prestasi mereka disebabkan oleh lemahnya karakter yang dimilikinya. Oleh karena itulah perlu dilakukan berbagai upaya agar karakter peserta didik dikembangkan dengan sungguh-sungguh agar mampu meraih prestasi yang optimal di sekolah. B. Pembahasan 1. Motivasi Berprestasi Dalam dunia pendidikan, prestasi yang dicapai peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik maupun dari luar diri peserta didik. Salah satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan dalam pencapaian prestasi seseorang adalah motivasi. Motivasi menyangkut daya dorong yang ada pada diri peserta didik. Semakin kuat daya dorong yang dimiliki, maka semakin besar kemungkinan peserta didik mencapai prestasi. Prestasi menggambarkan tingkat kesuksesan seseorang. Seorang peserta didik kesuksesannya antara lain ditunjukkan dengan nilai hasil belajar yang tinggi, menjadi juara di kelas dan di sekolahnya, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
161
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
mencapai kejuaraan pada berbagai lomba di berbagai tingkatan, menjadi ketua OSIS, dan sebagainya. Sebagai salah satu faktor penentu dalam meraih prestasi, motivasi perlu ditumbuhkan di kalangan peserta didik di sekolah sejak dini. Pendidik, sebagi pengajar dan konselor harus mencari berbagai upaya agar proses penumbuhan motivasi tak pernah berhenti selama peserta didik mengikuti program pendidikan di sekolah. Pendidik juga harus menghindarkan cara-cara yang dapat mematahkan motivasi peserta didik, baik melalui ucapanucapan verbal, maupun ungkapan-ungkapan non verbal, seperti mimik dan gerakan-gerakan tubuh. Dalam kaitan dengan penumbuhan motivasi berprestasi ini, sangat tepat jika pendidik secara seksama mencermati berbagai teori dalam pengembangan prestasi. Salah satu teori yang sangat populer adalah teori N-Ach. N-Ach merupakan kependekan dari istilah Need for Achievement. Konsep dan teori ini dicetuskan oleh David C Mc Clelland. Berdasarkan teori ini kesuksesan seseorang maupun sekelompok orang ditentukan oleh seberapa besar motivasi mereka untuk mencapai sesuatu (berprestasi). Semakin besar motivasi berprestasi maka semakin besar kemungkinan untuk sukses mencapai sesuatu. Dengan kata lain, kunci pencapaian puncak prestasi adalah adanya dorongan/ hasrat yang kuat. N-Ach menurut Mc Clelland merupakan semacam virus. Jika seseorang terjangkiti virus ini, maka perilakunya menjadi penuh semangat dan bermotivasi. Motivasi ini tidak saja timbul karena ingin mendapatkan imbalan-imbalan yang bersifat materi belaka, tetapi jauh lebih penting adalah motivasi timbul karena ia ingin mendapatkan kepuasan lahir dan batin. Bagi Mc Clelland, orang-orang yang kebutuhan prestasinya tinggi, selalu berorientasi kepada karya atau hasil karya itu sendiri, bukan kepada hal-hal yang mengiringinya seperti ganjaran-ganjaran (Pelly, 1994: 187). Maka seseorang yang terkenal virus N-Ach ini akan selalu bekerja secara perfect, karena kesempurnaan akan menjadikan seseorang itu mendapatkan kepuasan batin yang tak tergantikan dengan materi.
162
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
Teori Mc Clelland ini diperoleh melalui pembuktianpembuktian yang luar biasa. Menurut Chasan (2007: 75) Mc Clelland sebelumnya melakukan pembuktian-pembuktian sejarah. Dokumen-dokumen kesejarahan dari Yunani Kuno seperti puisi, drama, pidato penguburan, surat yang ditulis oleh para nahkoda kapal, kisah epik, dan sebagainya dipelajari. Karya-karya tersebut dinilai oleh para ahli yang netral, apakah di dalamnya terdapat semangat N-Ach. Kalau karya-karya tersebut menunjukkan optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, tidak cepat menyerah, dan sebagainya berarti memiliki N-Ach yang tinggi. Sebaliknya, bila tidak maka nilainya rendah. Dari data dan hasil penelitian ini ditemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu didahului oleh N-Ach yang tinggi dalam karya sastra yang ada pada saat itu. Jika karya-karya sastra tersebut menunjukkan N-Ach yang rendah, pertumbuhan ekonominya juga akan mengalami penurunan. Dalam konteks masyarakat modern, Mc Clelland juga melakukan penelitian yang sama. Mc Celland mengambil cerita anak-anak sebagai bahan untuk mengukur N-Ach sebuah masyarakat modern. Alasannya, di semua negara pasti dijumpai cerita anak yang diajarkan di sekolah atau diceritakan oleh orangtua mereka sebelum tidur. Cerita-cerita anak juga belum dipengaruhi oleh kepentingan politik, sehingga masih murni. Oleh karena itu, dikumpulkanlah sekitar 1300 cerita anak-anak yang beredar pada 1925 dari 21 negara, dan dari yang beredar pada 1950 dari 39 negara. Cerita-cerita ini diberi nilai oleh para ahli berdasarkan kriteria tinggi rendahnya nilai N-Ach-nya. Hasilnya tidak berbeda dengan pembuktian-pembuktian sebelumnya. Misalnya, korelasi antara tingkat N-Ach pada cerita anak-anak tahun 1925 dan pertumbuhan pemakaian listrik di negara tersebut antara tahun 1925 sampai dengan 1950 sebesar 0,53. Secara statistik nilai ini dianggap cukup tinggi (Chasan, 2007: 76). Dalam konteks kegiatan belajar, maka keberhasilan belajar akan ditentukan oleh seberapa jauh peserta didik memiliki semangat yang sempurna untuk belajar. Apakah ia memiliki kebutuhan dan semangat untuk berhasil. Maka, menjadi tugas Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
163
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
pendidiklah bagaimana agar peserta didik secara terus-menerus memiliki semangat untuk belajar dan berhasil dalam kegiatan belajarnya. 2. Pendidikan Karakter di Dunia Pendidikan Karakter dapat diberi pengertian sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Pusat Kurikulum, 2010: 3). Karakter merupakan kelengkapan unsur kemanusiaan di dalam diri manusia yang memiliki fungsi luar biasa, karena mempengaruhi cara pandang, pola pikir, pilihan-pilihan dalam bersikap, bertindak, dan mengambil keputusan. Meskipun karakter merupakan faktor internal dalam diri manusia, namun pembentukannya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam hidupnya. Karakter tidak serta merta terbentuk dengan mudah, karena proses pembentukannya memerlukan proses yang panjang, bahkan terbentuk terus menerus sepanjang pengalaman hidup manusia. Helen Keller (dalam Soedarsono, 2006: 22) menyatakan “character cannot be developed in easy and quiet; only trhough experience of trial and suffering can that soul be strength, vision cleared, ambition inspired, and success achieved (karakter tidak dapat dibangun dengan mudah dan santai; hanya melalui pengalaman yang penuh percobaan dan pengorbanan hati dapat dkuatkan, visi dapat dijernihkan, ambisi tersemangati, dan sukses teraih). Helen Keller adalah seorang wanita penderita cacat buta dan tuli. Namun dia berjuang keras melawan kecacatannya dengan tidak mudah berputus asa, mengkompensasi amarah dan kekecewaan atas kekurangannya tersebut dengan berbagai cara. Dia mengoptimalkan indera-indera yang lain. Energi yang muncul dari amarah dan rasa kecewa atas kecacatannya tersebut disalurkannya dalam benetuk berbagai tulisan, kuliah, dan presentasi mengenai kondisi penderita cacat ganda seperti yang dialaminya. Walhasil,
164
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
dia menjadi penderita cacat dengan karakter yang demikian kuat, sehingga mampu meraih gelar doktor pada usia 50 tahun. Melalui berbagai forum dan media dengan mudah dapat disaksikan betapa secara kasat mata telah terjadi degradasi nilai yang luar biasa. Sehingga muncul pertanyaan-pertanyaan keprihatinan yang demikian mendalam: benarkah kita ini masih layak disebut bangsa yang besar jika para pelajar tak lagi mengenal para pahlawan bangsanya, benarkah bangsa kita ini layak disebut sebagai bangsa yang ramah jika setiap saat tersaji di hadapan kita berita-berita mengenai perkelahian antar kampung yang boleh jadi disebabkan oleh permasalahan yang sepele, benarkah bangsa kita layak disebut bangsa yang pantang menyerah jika atlet-atlet kita selalu menderita kegagalan di berbagai turnamen tanpa menunjukkan semangat bertanding yang menggebu, dan sebagainya pertanyaan yang menggugat stempel kebajikan bangsa kita di masa lalu sebagai bangsa yang besar, bangsa yang ramah, bangsa yang pantang mundur, bangsa yang jujur, bangsa yang berketuhanan, bangsa yang cinta damai, dan seterusnya. Rupanya memang telah terjadi proses pelemahan karakter bangsa yang jika tidak segera diatasi bisa menghancurkan tata nilai yang telah terbangun sejak nenek moyang bangsa ini. Lembaga yang paling strategis untuk mengatasi permasalahan ini adalah lembaga pendidikan karena di lembaga inilah disiapkan tunas-tunas bangsa yang kelak di kemudian hari akan melanjutkan proses pembangunan bangsa. Lembaga pendidikanlah yang memiliki tanggung jawab dan kewenangan untuk mengelola potensi insaniah bangsa di berbagai unit pendidikan sejak pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi. a. Nilai-Nilai yang Dikembangkan dalam Pendidikan Karakter Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dirumuskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
165
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Rumusan tersebut secara jelas menggambarkan kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh satuan-satuan pendidikan dalam proses pendidikannya. Dalam dunia pendidikan terjadi proses enkulturasi, yakni proses “mempelajari” budaya bangsanya. Di sinilah terjadi proses pewarisan nilai-nilai dan prestasi masa lalu bangsa kepada generasi mendatang. Nilai-nilai tersebut merupakan kebanggan bangsa, karena telah mengantarkan bangsa ini dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Melalui dunia pendidikanlah nilai-nilai yang terwariskan tersebut kemudian dikembangkan agar sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Di sini juga diharapkan dapat dikembangkan prestasi-prestasi baru yang membanggakan yang akan menjadi karakter baru bangsa. Dengan demikian pendidikan karakter dan budaya bangsa merupakan inti dari sebuah proses pendidikan. Proses tersebut dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya dan karakter bangsa, artinya adalah bahwa nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter adalah nilainilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Kementerian Pendidikan Nasional terdapat sejumlah nilai yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikan karakter di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, yaitu: 1) Religius, yakni sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran
166
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2) Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3) Toleran, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4) Disiplin, yaitu tindakan yang Religius menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5) Kerja Keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6) Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7) Mandiri, yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugastugas. 8) Demokratis, yaitu cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9) Rasa Ingin Tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10) Semangat kebangsaan, yaitu cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11) Cinta Tanah Air, yaitu cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12) Menghargai Prestasi, yaitu Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
167
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13) Bersahabat/Komunikatif, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14) Cinta Damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15) Gemar Membaca, yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16) Peduli Lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17) Peduli Sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18) Tanggung Jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai tersebut di atas tentu tidak diajarkan kepada peserta didik secara monolitik, artinya pendidikan karakter tidak perlu dijadikan sebagai mata pelajaran tersendiri yang justru akan menambah beban belajar peserta didik yang pada gilirannya dapat menghambat pencapaian kompetensi dasar mata pelajaran yang telah ada. Pendidikan karakter diberikan kepada peserta didik secara terintegrasi ke dalam mata pelajaran dan berbagai kegiatan lain di sekolah. Dalam Buku Pedoman Sekolah untuk Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Puskur, 2010: 11-14) dicantumkan mengenai beberapa prinsip yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter di sekolah.
168
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
1) Berkelanjutan Pendidikan karakter dilakukan secara berkelanjutan, artinya adalah bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan, yakni dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun. 2) Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah Pendidikan karakter merupakan proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler. Budaya sekolah juga perlu diciptakan sedemikian rupa sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi pengembangan nilainilai budaya dan karakter bangsa 3) Tidak diajarkan tapi dikembangkan Materi nilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan pelajaran yang harus diajarkan sebagai sebuah pokok bahasan tertentu seperti mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, dan fakta dalam berbagai mata pelajaran yang ada. Dalam hal ini, mata pelajaran digunakan sebagai media untuk melatihkan dan mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada peserta didik. 4) Dilakukan oleh peserta didik secara aktif dan menyenangkan Proses pendidikan nilai budaya dan karakter harus dilakukan sendiri oleh peserta didik, bukan oleh guru. Tugas guru adalah membuat perencanaan dan melaksanakan proses pembelajaran yang di dalamnya terkandung penanaman nilai-nilai budaya dan karakter dalam suasana pembelajaran yang aktif dan menyenangkan, misalnya Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
169
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
merancang pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif merumuskan pertanyaan, memecahkan masalah melalui berbagai sumber, mengolah informasi-informasi yang telah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, dan nilai, menyajikan hasil rekonstruksi, dan sebagainya. Guru menerapkan prinisp Tut Wuri Handayani. b. Saluran-saluran Pendidikan Karakter di Sekolah Sebagai garda terdepan dalam proses pengembangan nilai karakter, maka semua program dan kegiatan di sekolah idealnya dikondisikan bagi terlaksananya proses pendidikan karakter. Sesederhana apapun program sekolah sebaiknya memberikan ruang bagi terlaksananya pendidikan karakter di kalangan peserta didik. Ada tiga saluran pokok untuk melaksanakan pendidikan karakter di sekolah. 1) Melalui Proses Pengintegrasian dalam Mata Pelajaran Pendidikan Karakter bukanlah mata pelajaran yang berdiri sendiri secara monolitik, karena karakter bukanlah nilai yang diajarkan tetapi dikembangkan sehingga harus dilakukan melalui proses yang mampu menginternalisasi nilai-nilai kebajikan ke dalam diri peserta didik. Melalui mata pelajaran, nilai-nilai karakter dapat ditanamkan pada diri peserta didik. Semua mata pelajaran dijadikan sebagai media dalam penanaman nilai-nilai karakter, meskipun tidak setiap nilai karakter dan budaya bangsa dapat dikembangkan dalam semua mata pelajaran. Nilai jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, gemar membaca, dan tanggung jawab misalnya tentu dapat dikembangkan melalui semua mata pelajaran; namun nilai cinta tanah air dan semangat kebangsaan tentu sangat sulit jika dikembangkan pada mata pelajaran matematika dan IPA, tetapi lebih tepat jika dikembangkan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Oleh karena itulah maka diperlukan kejelian guru dalam melakukan pemetaan mengenai nilainilai mana saja yang seharusnya dikembangkan dalam
170
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
setiap Kompetensi Dasar yang diajarkan kepada peserta didik. Yang sangat penting adalah bagaimana agar guru merancang pengalaman belajar peserta didik yang beragam, tidak terbatas pada penerapan pendekatan pembelajaran yang ekspositoris, tetapi juga pendekatan-pendekatan pembelajaran aktif lain yang memacu siswa untuk aktif seperti diskusi, kerja kelompok, mengajukan pertanyaan, mencari informasi dari berbagai sumber, menganalisis informasi, mengkonstruksi pengalaman-pengalaman awal menjadi pengalaman baru, presentasi, dan sebagainya. 2) Melalui Kegiatan Pengembangan Diri Pendidikan di sekolah tidak saja dilakukan melalui proses-proses yang bersifat kurikuler, namun juga kegiatankegiatan lain yang bersifat pengembangan diri, baik melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin, kegiatan spontan, keteladanan, maupun pengkondisisn. a) Kegiatan Rutin Sekolah Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lainlain) setiap hari Senin, beribadah bersama atau shalat bersama setiap dhuhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru, tenaga kependidikan, atau teman. b) Kegiatan Spontan Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
171
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
akan melakukan tindakan yang tidak baik itu. Contoh kegiatan itu: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh. Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olah raga atau kesenian, berani menentang atau mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji. c) Keteladanan Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilainilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan. d) Pengkondisian Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu. Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.
172
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
3) Melalui Budaya Sekolah Budaya sekolah mencakup dimensi yang sangat luas, yakni menyangkut berbagai program, kegiatan, suasana, dan lingkungan sekolah. Di dalam budaya sekolah juga terkandung ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antarkomponen di sekolah. Maka budaya sekolah harus diciptakan sedemikian rupa agar berbagai nilai karakter dapat ditanamkan ke dalam diri peserta didik secara optimal. 3. Menumbuhkan Motivasi Berprestasi Melalui Pendidikan Karakter Motivasi berkaitan engan karakter seseorang. Hubungan antara keduanya digambarkan oleh Stoltz (dalam Soedarsono, 2006: 88-91) sebagai pendaki gunung yang digolongkan menjadi tiga, yaitu mereka yang berhenti (quitters), berkemah (campers), dan mereka yang terus mendaki (climbers). Quitters adalah orang-orang yang takut sebelum melaksanakan sesuatu (memilih menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti). Mereka golongan orang yang kalah sebelum bertanding, tak mau mengambil kesempatan yang membentang. Campers adalah orang-orang yang memutuskan berhenti di tengah jalan dan memilih berteduh atau berkemah karena merasa sudah puas. Bagi kelompok ini, tidak ada lagi dorongan untuk terus mendaki ketika di hadapannya telah terhampar tempat datar dan nyaman sebagai tempat bersembunyi dari situasi yang tidak bersahabat. Campers merupakan golongan yang telah berusaha meskipun hanya untuk mencapai posisi pada tingkat tertentu saja. Posisi inila yang disebut sebagai sebuah “kesuksesan”. Bagi para campers, kesuksesan adalah sebuah “hasil”, oleh karena itulah mereka berhenti ketika sampai pada titik ini. Climbers adalah mereka yang sepanjang hidupnya terus berusaha untuk mendaki, meskipun mereka tahu betapa susahnya mencapai puncak. Mereka tak terhalang oleh umur, jenis kelamin, kecacatan fisik dan mental, dan hambatan lain Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
173
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
apapun. Dalam pandangan mereka, kesuksesan adalah proses yang tak ada habisnya. Mereka meyakini manfaat-manfaat jangka panjang yang akan diperolehnya. Sekecil apapun yang dilakukan pada saat sekarang ini akan berpengaruh pada kemajuan yang diperolehnya di kemudian hari. Quitters merupakan golongan orang dengan karakter terlemah yang ditunjukkan dengan rendahnya motivasi. Campers adalah golongan orang dengan tingkat karakter yang cukup tinggi, karena mereka menunjukkan pengorbanan-pengorbanan tertentu untuk mencapai kesuksesan. Sedangkan climbers adalah golongan dengan karakter yang paling kuat, yang ditunjukkan dengan usaha terus menerus guna memperoleh kesuksesan yang tak ada titik akhirnya. Jika ilustrasi pendaki gunung tersebut diimplementasikan dalam dunia pendidikan, maka menjadi kewajiban bagi pendidik dan tenaga kependidikan di setiap satuan pendidikan untuk membentuk peserta didik menjadi para climbers, meminimalisasi proses menjadi campers, dan menghilangkan etos budaya sebagai quitters. Kesuksesan bagi peserta didik adalah prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang harus terus menerus di kejar, karena prestasi hendaklah dipandang sebagai proses, dan tak cukup hanya sekadar dipandang sebagai hasil. Sebagai sebuah proses, prestasi senantiasa diusahakan secara terus menerus melalui berbagai sumber belajar. Sumber belajar sebagai sumber prestasi tak hanya terbatas ada pada diri guru, buku-buku paket dan buku ajar, tetapi jauh lebih luas ada di buku-buku referensi, media massa, masyarakat, alam sekitar, bahkan di internet. Proses-proses yang selama ini terjadi, yang seolah-olah menjadikan guru sebagai satusatunya sumber belajar dan menjadikan buku paket dan buku ajar sebagai “kitab suci” (karena telah dijadikan semacam buku wajib) telah memberikan kontribusi bagi proses pengkerdilan atau pembonsaian karakter peserta didik untuk berprestasi lebih jauh. Sudah bukan lagi saatnya sekarang ini untuk memandang prestasi peserta didik hanya dengan ukuran angka-angka (skor) hasil belajar, apalagi jika yang diukur secara kuantitatif adalah segala sesuatu yang hanya bersifat kognitif. Pendidikkan
174
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
adalah proses kemanusiaan yang menyeluruh, tidak hanya mengedepankan olah pikir, tetapi juga olah raga, olah rasa, dan olah hati. Oleh karena itulah maka karakter yang dikembangkan juga tidak hanya kebajikan (virtues) yang terkait dengan pengembangan pikir. Tak dapat dipungkiri bahwa keterbatasan waktu di lingkungan sekolah memang menjadi salah satu kendala bagaimana menanamkan karakter menyeluruh mengenai kualitas manusia Indonesia yang tergambar dalam tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itulah dibutuhkan strategi dan langkahlangkah yang sistematis untuk mewujudkannya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh satuan pendidikan antara lain adalah: a. Membangun komitmen bersama Salah satu titik lemah dalam penanaman pendidikan karakter adalah komitmen. Komitmen penanaman pendidikan karakter idealnya adalah komitmen bersama, artinya semua warga sekolah, utamanya kepala sekolah, para pendidik, dan semua tenaga kependidikan harus membangun tekad bersamasama untuk mewujudkan kekuatan karakter pada diri siswa. Hal ini menjadi kunci utama, karena jika hanya minoritas warga sekolah yang memiliki komitmen, apalagi hanya seorang kepala sekolah maka upaya itu tak akan berhasil. Tahap inilah yang justru menjadi titik lemah proses yang selama ini terjadi. Mayoritas warga sekolah dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik hanya sekadar menggugurkan kewajiban belaka. Para pendidik seolaholah hanya bertindak sebagai “tukang”, masuk kelas, menyampaikan bahan ajar sesuai KD, ulangan, membuat laporan nilai rapor, dan selesai. Oleh karena itulah, maka perlu dibangun kesadaran yang setinggi-tinginya bahwa dunia pendidikan adalah dunia Sumber Daya Manusia. Proses-proses yang berlangsung di dalamnya tidak boleh disamakan dengan proses-proses di dunia perusahaan yang memproses barang atau jasa. Kekeliruan dalam proses pendidikan bisa berakibat fatal, karena akibatnya menyangkut nilai-nilai kemanusiaan, masa depan generasi dan bangsa. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
175
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Warga sekolah perlu dibangunkan kesadarannya bahwa rendahnya prestasi yang dicapai sebagian besar peserta didik antara lain disebabkan karena lemahnya karakter peserta didik yang cenderung mudah putus asa, takut menghadapi tantangan, tidak suka bekerja keras, tidak percaya diri, kurang cermat, kurang disiplin, suka menikmati kemapanan, dan sebagainya. Prestasi secara perlahan namun pasti bisa diraih jika dalam diri peserta didik telah ditanamkan “hasrat untuk berubah”. b. Merumuskan nilai-nilai karakter yang realistis Setelah komitmen bersama terbangun dengan baik, maka dilakukanlah proses penyusunan perencanaan, yaitu perencanaan yang realistis, tidak mengada-ada. Karena jika rumusan perencanaannya mengada-ada maka akan sulit dilaksanakan. Perencanaan tersebut harus tertuang dalam Kurikulum Sekolah (KTSP), baik dalam dokumen 1 maupun dokumen 2. Perencanaan juga harus dibuat secara sistematis, artinya menunjukkan keterkaitan mulai dari visi, misi, tujuan jangka panjang, tujuan jangka menengah, tujuan jangka pendek, rumusan dalam silabus, dan rumusan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Tak kalah pentingnya, rumusan perencanaan tersebut juga harus tertuang dalam setiap rencana kegiatan pada masing-masing cabang Pengembangan Diri. c. Penanaman dan pemeliharaan nilai-nilai karakter Tahap ini merupakan tahap yang paling krusial, karena menjadi tahap paling menentukan apakah penanaman nilai karakter itu berlangsung dengan baik atau tidak. Sebagamana yang tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (2010: 15 – 20), maka pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu dalam tiga jalur sekaligus, yaitu jalur pengembangan diri, jalur pembelajaran melalui mata pelajaran, dan jalur budaya sekolah. Penanaman nilai tentu tidak dapat hanya dilakukan dalam satu atau dua kali kegiatan, tetapi merupakan kegiatan yang terus-menerus, dan bahkan berulang-ulang. Nilai adalah
176
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
sesuatu yang bersifat gradual, mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi, penghayatannya pun senantiasa mengalami pasang surut. Maka prinsip pengulangan dan prinsip kesinambungan menjadi sangat penting dalam proses penanamannya. Jika fase penanaman telah berlangsung dengan baik, langkah selanjutnya adalah pemeliharaan. Inilah yang terkadang terlupakan. Pemeliharaan merupakan kegiatan untuk mempertahankan kondisi yang telah terbentuk agar tidak mengalami degradasi nilai. Proses ini antara dapat dilakukan melali penerapan sistem punishmen and reward, monitoring, dan pembimbingan. d. Evaluasi, refleksi dan rencana tindak lanjut Langkah evaluasi, refleksi, dan penyusunan rencana tindak lanjut merupakan langkah terakhir yang juga penting. Evaluasi dan refleksi dilakukan untuk menilai apakah rencana yang telah disusun dapat terlaksana dengan baik dan memenuhi asas ketercukupan. Jawaban atas hasil evaluasi dan refleksi akan dirumuskan ke dalam rencana tindak lanjut yang selanjutnya dilaksanakan pada masa-masa selanjutnya. C. Penutup Upaya untuk menciptakan prestasi di kalangan peserta didik menjadi kebutuhan bagi setiap satuan pendidikan. Kebanggaan sebuah satuan pendidikan terjadi jika sekolah mampu meraih prestasi di berbagai bidang. Prestasi satuan pendidikan merupakan akumulasi dari prestasi-prestasi warga sekolah, yaitu prestasi pendidiknya, tenaga-tenaga kependidikannya, dan utamanya adalah prestasi para peserta didiknya. Pada umumnya para pendidik dalam membangun prestasi belajar peserta didiknya adalah melalui seruan-seruan untuk belajar dengan giat, melalui pembimbingan dan pengajaran. Namun upaya-upaya tersebut seringkali menemui kegagalan, bahkan peserta didik sering mengkompensasi kegagalannya dalam prestasi melalui kegiatan-kegiatan negatif seperti minuman
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
177
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
keras, tawuran, kebut-kebutan motor di jalanan, mendirikan geng motor, dan bahkan mengkonsumsi narkoba. Oleh karena itulah maka perlu dibangun budaya baru dalam dunia pendidikan yakni membangun karakter (characrter building) yang kuat, yakni disiplin, jujur, tanggung jawab, pantang menyerah, percaya diri, tidak mudah putus asa, dan sebagainya. Karena melalui pembangunan budaya seperti itu maka motivasi berprestasi di kalangan peserta didik dapat dikondisikan dengan baik. Mungkin perlu waktu yang lebih lama, tetapi cenderung akan terinternalisasi lebih mendalam pada diri setiap peserta didik. Tentu saja membangun motivasi berprestasi melalui optimalisasi pendidikan karakter di sekolah bukan pekerjaan yang mudah, karena dibutuhkan strategi dan langkah-langkah yang sistematis. Langkah yang dipandang menjadi fondasi adalah bagaimana membangun komitmen secara bersama-sama. Selanjutnya dilakukanlah perumusan perencanaan yang realistis, kemudian diikuti dengan komitmen pelaksanaannya, dan proses evaluasi-refleksi secara terus-menerus guna menyusjn rencana tindak lanjut.
178
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Membangun Motivasi Berprestasi Peserta Didik ... (Edy Sutrisna)
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1986, Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Chasan, Mas’ud, 2007, Sukses Bisnis Modal Dengkul. Yogykarta: Pustaka Pelajar. Danandjaja, James, 1988, Antropologi Psikologi: Teori Metode, dan Sejarah Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Pers Pelly, Usman dan Asih Menanti, 1994, Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Kurikulum, 2010, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Kementerian Pendidikan Nasional Soedarsono, Soemarno, 2006, Hasrat Untuk Berubah: Jatidiri Refleksi Empiris. Jakarta: PT Gramedia Soekanto, Soerjono, 1983, Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Ghalia Indonesia. Wikipedia Indonesia, Ensiklopedi bebas Berbahasa Indonesia. Zikrullah, Adam Y., tt., Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
179
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
180
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING KELOMPOK DALAM MENGATASI PERILAKU DELINKUEN PADA REMAJA Oleh: Fatma Laili Khoirun Nida Dosen Jurusan Dakwah STAIN Kudus Abstrak Remaja merupakan kelompok usia yang memiliki karakter unik dan penuh kegoncangan dalam pola perkembangan mereka. Dinamika yang fluktuatif dalam aspek perkembangan remaja kerap mengakibatkan remaja menjadi permasalahan bagi masyarakat. Perilaku delinkuen merupakan salah satu permasalahan sosial yang menjadi bagian dari kehidupan remaja. Delinkuensi pada remaja yang identik dengan perilaku anti sosial dapat disebabkan oleh konformitas yang menjadi karakter perkembangan remaja. Konformitas sebagai produk dari kohesifitas remaja dalam kehidupan berkelompok sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian remaja yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Pengaruh buruk dari kelompok yang memiliki norma moral yang buruk akan menjadi pemicu utama dalam munculnya perilaku delinkuen. Kecenderungan untuk berkelompok dalam pola perkembangan social remaja menjadi peluang untuk mengadakan layanan bimbingan dan konseling kelompok dalam rangka mensikapi fenomena perilaku delinkuen pada remaja. Dengan mengoptimalkan peran antara unsur yang terdapat dalam layanan bimbingan konseling kelompok dengan konselor maka diharapkan remaja sebagai salah satu unsur yang terlibat dalam layanan bimbingan konseling kelompok mampu memperoleh solusi, pengayaan wawasan, motivasi dan kemandirian dalam beradaptasi dengan dirinya, orang lain dan lingkungan mereka sehingga melahirkan generasi yang bermental sehat dan kontributif dalam dinamika kehidupan bermasyarakat sebagai tujuan dari diadakannya layanan bimbingan dan konseling. Kata Kunci: Bimbingan Konseling Kelompok, Remaja Delinkuen Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
181
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
A. Pendahuluan Kompleksitas permasalahan sosial yang terus melaju cepat mengiringi perkembangan era teknologi telah melahirkan stressor pada mayoritas masyarakat yang telah semakin jenuh dan tidak tahu pada sisi mana mereka harus memulai suatu perubahan dalam rangka memperbaiki krisis multi dimensi yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini. Beragam penyakit sosial yang semakin kronis memenuhi dinamika peradaban yang kian maju dan modern. Modernitas peradaban tersebut kerap membawa dampak psikososial. Fenomena sosial yang cukup mencengangkan ketika banyak pemberitaan dari media massa menyebutkan bahwa pada tahun 2012, sebanyak tiga belas pelajar di wilayah Jabodetabek meninggal akibat tawuran antar pelajar (Kompas, 26/9/2012). Hal tersebut merupakan salah satu contoh kecil bentuk perilaku yang menyimpang pada generasi muda yang seharusnya mereka berperan aktif sebagai elemen utama dalam sebuah pembangunan. Kenakalan remaja merupakan salah satu permasalahan sosial yang sudah tidak asing lagi meskipun hingga saat ini tidak pernah menemukan solusi yang efektif dalam pengentasannya. Hal ini terjadi karena remaja merupakan individu yang memiliki karakter yang unik dalam proses perkembangannya sebagai manusia. Proses pencarian identitas diri yang kerap tanpa disadari oleh para remaja itu sendiri telah membawa pada perilakuperilaku mereka yang terkadang tidak kondusif bagi lingkungan mereka yang dapat berupa perilaku kriminal seperti pencurian, tawuran, pembunuhan, pemerkosaan dan perilaku-perilaku yang bersifat destruktif, baik bagi diri remaja itu sendiri maupun lingkungannya yang dikenal dengan perilaku delinkuen. Telah disepakati oleh setiap elemen masyarakat bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah terletak pada masyarakatnya yang sehat baik secara fisik maupun mental. Kesehatan mental suatu masyarakat tercermin pada kesehatan mental remajanya. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin tinggi angka delikuensi suatu negara maka dapat
182
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
dipastikan bahwa kesehatan mental masyarakat tersebut masih rendah. Untuk itu perlu diadakan suatu tindakan yang berupaya mencegah (preventif) maupun menangani (kuratif) terkait dengan fenomena delinkuensi pada remaja. Perilaku delinkuen kerap menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Beragam upaya telah dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat mulai dari lembaga terkecil seperti keluarga sampai pada lembaga pendidikan sebagai upaya penanggulangan perilaku delinkuen dengan tujuan untuk mencapai stabilitas suatu kehidupan masyarakat. Salah satu elemen yang memiliki peran dominan dalam mensikapi perilaku delinkuen pada remaja adalah lembaga bimbingan konseling. Eksistensi konselor dalam suatu lembaga bimbingan konseling baik dalam wadah lingkungan pendidikan formal maupun yang berstatus independent memiliki kontribusi yang cukup positif dalam rangka menjembatani permasalahan-permasalahan remaja yang dikhawatirkan akan berdampak negatif apabila tidak kunjung menemukan solusi dalam pengentasannya. Kompleksitas permasalahan remaja perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius sebagai upaya menekan laju kenakalan atau delinkuensi pada remaja sebagai akibat ketidakpuasan yang mereka rasakan terhadap kehidupan pribadi mereka. Kehadiran lembaga bimbingan dan konseling yang menawarkan beragam metode konseling sebagai upaya pendekatan bagi para remaja dalam mensikapi perkembangan beragam aspek psikisnya tentulah sangat berkontribusi bagi kehidupan remaja itu sendiri. Salah satu metode konseling yang terdapat dalam suatu kegiatan bimbingan dan konseling adalah metode bimbingan konseling kelompok. Kebersamaan remaja dalam suatu kelompok bimbingan dan konseling diharapkan akan memberi kontribusi yang positif dalam membangun persepsi dan konsep diri yang positif bagi remaja tersebut sehingga diharapkan akan menjadi kontrol bagi mereka dalam berperilaku sosial yang efektif bagi suatu pembangunan.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
183
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
B. Perkembangan Remaja 1. Definisi Remaja Remaja merupakan suatu kelompok usia yang sering mendapat perhatian baik dikalangan sosiolog, psikolog, pendidik maupun bidang keilmuan lainnya. Secara global, kelompok kategori remaja adalah mereka yang berada dalam usia 12 sampai 21 tahun, dengan pembangian 12 sampai 15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18 sampai 21 tahun merupakan masa remaja akhir (Monks, Knoers, Haditono, 1999: 262). Menurut Hurlock masa remaja adalah masa peralihan dari anak menuju dewasa, disebut masa peralihan karena pada fase ini remaja secara fisik telah mengalami perkembangan sebagaimana layaknya orang dewasa dan perkembangan fisik ini selanjutnya mengarahkan remaja kepada pembentukan dan pencarian identitas dirinya. Anna Freud (dalam Hurlock, 1992) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orang tua, dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan mereka (Yusuf, 2000). Perkembangan fisik yang menyerupai fisik orang dewasa membuat remaja merasa dirinya telah dewasa dan harus mendapat peran yang sama sebagaimana orang dewasa dalam membuat keputusan, menentukan kegiatan, menentukan tempat sekolah dan lain sebagainya. Sementara disisi lain perkembangan fisik yang telah matang pada remaja tersebut tidak diikuti dengan kematangan emosi, kognitif dan ranah psikologis yang lain, sehingga para orang dewasa masih menganggap mereka sebagai anak-anak yang membutuhkan pengasuhan bukan dukungan, yang membutuhkan perlindungan bukan bimbingan dan membutuhkan sosialisasi bukan pengarahan. Kekaburan peran ini menjadikan masa remaja menjadi masa yang penuh dengan
184
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
goncangan (sturm und drung), masa peralihan dan masa pencarian identitas (Hurlock, 1992). Lewin (dalam Monks, 1999: 260) menyebut posisi remaja merupakan posisi marginal. Pendapatnya didasari oleh argumen bahwa remaja belum memenuhi syarat untuk dapat dikatakan dewasa sekalipun secara fisik mereka telah memiliki ciri yang terdapat pada orang dewasa. Dipandang dari segi social memang remaja memiliki posisi yang marginal dimana mereka belum mampu menjalankan fungsi yang dimiliki orang dewasa namun disisi lain mereka tidak lagi pantas untuk memiliki status kanakkanak. Hal inilah mempertegas bahwa remaja masuk pada kelompok transisi atau peralihan. Kekaburan status ini sebagai akibat posisi yang sebagian diberikan orang tua dan sebagian diperoleh melalui usaha remaja itu sendiri dalam rangka memenuhi dorongan pribadi. Pada dasarnya, secara fisik remaja memiliki kondisi yang sangat optimal karena masa remaja merupakan masa dimana organ fisiologis suatu individu mencapai puncak kematangan perkembangannya. Namun, kondisi ini tidak sejalan dengan aspek psikososial remaja itu sendiri, dimana pada fase remaja kerap muncul permasalahan baik yang menyangkut diri remaja itu sendiri maupun dengan lingkungan disekitar mereka. 2. Tugas Perkembangan Pada Remaja Havinghurst mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas tersebut harus dapat dilakukan oleh semua individu sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan yang berlaku pada lingkungan dimana individu tersebut berada. Tugas inilah yang biasa disebut sebagai tugas perkembangan individu (Monks, 1999: 22). Pada remaja, tugas perkembangan difokuskan pada upaya untuk meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa (Asrori, 2005: 10). Tugas perkembangan yang terjad pada remaja sangat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
185
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dimana kematangan kognitif akan sangat membantu remaja untuk dapat menjalankan tugas perkembangan mereka dengan baik. Adapun tugas perkembangan pada remaja meliputi : a. Masa remaja awal (12-15 tahun) Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak bergantung pada orang tua. Fokus yang terjadi pada tahapan ini adalah penerimaan terhadap perubahan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dalam hubungan mereka dengan teman sebaya. b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun) Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Teman sebaya memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan sosial mereka, meskipun sudah mulai tampak kemampuan mereka untuk mengarahkan diri sendiri (self directed). Pada masa ini, individu mulai mampu untuk mengembangkan tingkah laku, membuat keputusankeputusan yang berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai. Pada masa ini pula mulai terjadi penerimaan terhadap keberadaan lawan jenis. c. Masa remaja akhir (19-22 tahun) Pada masa akhir ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran orang dewasa. Dalam fase ini remaja berusaha menetapkan tujuan dari hidupnya dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan mereka sangat kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa. 3. Perkembangan Emosi Dan Sosial Pada Remaja Dari beberapa dimensi psikis yang terdapat pada perkembangan individu, aspek emosi dan sosial memiliki dinamika yang tinggi pada diri remaja. Masa remaja merupakan puncak emosionalitas yakni dimana pada masa ini aspek emosi sangat bergejolak dalam perkembangannya. Pertumbuhan fisik terutama pada organ seksual berpengaruh pada perkembangan emosi mereka sehingga memunculkan perasaan dan dorongan-
186
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
dorongan baru yang sebelumnya tidak pernah mereka rasakan terutama menyangut motivasi untuk mengenal lawan jenis mereka. Pada remaja awal, emosi mereka cenderung bersifat negatif dan temperamental sehingga mereka sangat mudah untuk marah atau sekedar tersinggung. Fluktuasi emosi yang terjadi pada diri remaja disebabkan oleh beberapa hal yang diantaranya adalah keterbatasan kemampuan kognitif mereka dalam mengolah perubahanperubahan yang terjadi pada diri mereka. Hal tersebut kadang diperburuk oleh beragam pengaruh sosial yang juga senantiasa berubah seperti tekanan dari teman sebaya, media masa dan minat pada lawan jenis, yang semuanya menuntut kemampuan pengendalian dan pengaturan baru atas perilakunya (Muzdalifah, 2009: 51). Kondisi ini juga kerap sejalan dengan pola perkembangan aspek sosial mereka. Kemampuan mereka dalam memahami orang lain dan menjalin persahabatan mendorong mereka untuk cenderung berteman dengan individu yang memiliki sifat dan kualitas psikologis yang relatif sama. Perkembangan sikap yang cukup mengkhawatirkan yang terdapat pada pola perkembangan remaja adalah munculnya sikap komformis (comformity) yaitu kecenderungan untuk menyerah dan mengikuti apa yang dilakukan oleh teman sebaya mereka. Dalam beberapa penelitian sosial telah menunjukkan bahwa kesamaan sikap, nilai-nilai, sifat pribadi dan sifat-sifat demografis akan berpengaruh pada munculnya kohesivitas yang tinggi dalam masing-masing individu dalam suatu kelompok social. Kohesivitas atau yang biasa diasumsikan sebagai ketertarikan antar individu dimana mereka saling memberikan respon yang positif dalam interaksinya. Secara teoritis, kelompok yang kohesif akan terdorong untuk melakukan penyesuaian terhadap norma kelompok sebagai bentuk pola penyesuaian diri mereka dan selalu merespon positif terhadap anggota kelompok mereka. Festinger, Schachter dan Back (dalam Shaw, 1979) mendapati bahwa anggota kelompok yang kohesif di University Housing Units cenderung memiliki opini yang sama dan umumnya mereka memiliki pola Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
187
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
penyesuian diri yang mengikuti standar kelompok (Walgito, 2006: 49-50). Memahami perilaku kohesif yang banyak terjadi di setiap kelompok sosial tentu tidak dapat melepaskan diri kita dari pola interaksi sosial yang terdapat pada diri remaja. Konformitas sosial sebagai produk dari kohesifitas yang terjadi antar mereka telah menciptakan pola interaksi yang kuat antar diri remaja dalam dinamika kebersamaan mereka. Seringkali nilai, sikap, kepribadian dan orientasi hidup mereka merupakan manifestasi dari pola konformis dan kohesifitas yang terjadi pada diri mereka sebagai upaya proses pencarian self identity. Tidak sedikit pula perilaku negatif merupakan bentuk dari konformitas sosial yang sudah menginternalisasi pada diri mereka yang mengatasnamakan kesetia kawanan, kekompakan dan solidaritas sekalipun. C. Perilaku Delinkuen pada Remaja Menurut kamus Psikologi, perilaku delinkuen memiliki definisi perilaku yang dimiliki seorang anak muda yang mereka umumnya berada dibawah usia 18 tahun, dimana sifat dari perilaku tersebut adalah melanggar norma, atau mengandung dosa serta identik dengan perbuatan yang salah, atau perilku yang mengandung unsur pelanggaran, serangan, kesalahan atau kejahatan yang relatif minor melawan undang-undang legal, khususnya dilakukan oleh anak-anak muda yang belum dewasa (Chaplin, 2000: 128). 1. Penyebab Delinkuensi Begitu banyaknya persoalan yang dihadapi para remaja kerap menjadikan remaja tersebut mengalami hambatanhambatan yang bersifat psikososial. Perasaan dilemma yang muncul pada diri mereka terkait kebimbangan akan dorongan yang kuat dari keinginan untuk mandiri namun disisi lain masih memiliki ketergantungan yang kuat pada sosok orang tua, kerap mendatangkan perilaku adaptasi yang tidak efektif. Notosoedirdjo (dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2002: 190) menyatakan bahwa remaja yang mengalami kesalahan dalam proses penyesuaian diri kerap melakukan perilaku yang tidak realistis bahkan cenderung
188
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
lari dari tanggung jawabnya. Perilaku lari dari tanggung jawab ini dapat berbentuk perilaku delikuensi. Perilaku tersebut dapat dilihat pada fenomena yang terjadi di hampir semua negara dimana di dalamnya banyak remaja yang terlibat dalam perilaku tawuran masal, tindakan anarkis, serta perbuatan yang mengandung unsur kriminalitas. Ada banyak argument yang mengungkapkan mengapa seorang remaja melalukan perilaku delinkuen. Beberapa teori yang membahas mengenai sebab-sebab terjadinya perilaku kenakalan remaja (delikuen) pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: a. Teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir bagaikan kertas putih (tabula rasa) yang dipelopori oleh John Locke. b. Teori yang mendasarkan pada pandangan bahwa manusia lahir telah membawa potensi psikis yang biasa disebut dengan aliran nativisme. Penjabaran dari teori diatas membuahkan teori-teori yang meliputi: 1) Teori Biologis Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku sosiopatik atau delinkuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang. Perilaku delinkuen juga dapat timbul karena adanya cacat jasmaniah yang diderita oleh individu sejak lahir. Pewarisan sifat dari induk pada anak pada teori ini dapat terjadi dengan perantara: a) Melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan, atau melalui kombinasi gen; dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen-gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan perilaku, dan anak-anak menjadi delinkuen secara potensial. b) Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delinkuen. Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
189
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
c) Melalui pewarisan kelemahan konstitusional jasmaniah tertentu yang menimbulkan perilaku delinkuen atau sosiopatik. Misalnya cacat jasmaniah bawaan bracydactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes mellitus (sejenis penyakit gula) yang kerap berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental lainnya (Kartono, 2001). Jensen (1985) yang dikutip oleh Sarlito Wirawan Sarwono berpendapat bahwa, menurut teori psikogenik menyatakan bahwa kelainan perilaku disebabkan oleh kelainan fisik atau genetik (Sarwono, 2001). Searah dengan Jensen, Sheldon dalam teori konstitusinya beranggapan bahwa faktor-faktor genetik dan faktor-faktor biologis lainnya memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan individu. Sheldon menjelaskan bahwa ada sejenis struktur biologis hipotesis (morfogenotipe) yang mendasari jasmani luar yang bisa diamati (fenotipe) dan yang memainkan peranan penting tidak hanya dalam menentukan perkembangan jasmani, tetapi juga dalam membentuk tingkah laku (Hall, 1993). 2) Teori Psikogenesis Teori ini menekankan sebab-sebab perilaku delinkuen dari aspek psikologis. Antara lain faktor inteligensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversial, kecenderungan psikopatologis dan lain-lain. Menurut Sigmund Freud, sebab-sebab kejahatan dan keabnormalan adalah karena pertempuran batin yang serius antara ketiga proses jiwa (Id, Ego, Superego) sehingga menimbulkan hilangnya keseimbangan dalam pribadi tersebut. Ketidakseimbangan itu menjurus pada perbuatan kriminal yang disebabkan karena fungsi Ego untuk mengatur dan memecahkan persoalan secara logis menjadi lemah (Mulyono, 1995). Argumen sentral dari teori ini adalah sebagai berikut: delinkuen merupakan bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik batin dalam menanggapi
190
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
stimuli eksternal atau sosial dan pola-pola hidup keluarga yang patologis (Kartono, 1998). 3) Teori Sosiogenis Teori ini mencoba mencari sumber-sumber penyebab kenakalan remaja pada faktor lingkungan keluarga dan masyarakat. Termasuk dalam teori sosiogenis ini adalah teori Broken Home dari Mc. Cord, dkk (1959) dan teori “penyalahgunaan anak” dari Shanok (1981) (dalam Sarwono, 2001). Sutherland menyatakan bahwa anak dan para remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya ditengahtengah suatu lingkungan sosial, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efesien untuk mengatasi kesulitan hidupnya (dalam Kartono, 1998). Healy dan Bronner meneliti tentang sebab-sebab sosiogenis kenakalan remaja. Mereka sangat terkesan oleh kekuatan kultural dan disorganisasi sosial dikota-kota yang berkembang pesat, dan banyak membuahkan perilaku delinkuen pada anak, remaja serta pola kriminal pada orang dewasa (Dalam Sarwono 2001). Argumen sentral dari teori ini menyatakan bahwa perilaku delinkuen pada dasarnya disebabkan oleh stimulus-stimulus yang ada diluar individu. Dari penjabaran beberapa teori diatas, pada dasarnya remaja merupakan sosok yang tidak pernah bisa lepas dari peranan tiga dimensi sosial yang oleh Hawari (dalam Hawari, 1997) disebut sebagai tiga kutub kehidupan remaja yang meliputi: keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga kutub tersebut saling berinteraksi yang sangat berdampak pada warna perkembangan remaja itu sendiri. Keberhasilan interaksi yang efektif dari ketiga kutub tersebut akan terlihat dari lahirnya remaja-remaja yang berkualitas dan berprestasi baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik serta spiritual. Dan sebaliknya, interaksi yang buruk dari ketiga kutub tersebut akan berdampak pada buruknya warna perkembangan remaja yang dapat terealisasi dalam bentuk perilaku anti sosial atau delinkuensi dikalangan remaja.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
191
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
2. Bentuk Delinkuensi pada Remaja Dalam realisasinya, delinkuensi pada remaja memiliki tingkat dan karakter yang berbeda-beda. Beberapa pandangan teori mengenai perilaku delinkuen menyatakan bahwa pada diri remaja terdapat empat kelompok delinkuen, yaitu (dalam Kartono, 1998): a. Delinkuensi individual, yaitu perilaku delinkuen sebagai gejala personal atau individual dengan ciri-ciri khas jahat, disebabkan oleh predisposisi dan kecenderungan penyimpangan tingkah laku (psikopat, psikotis, neurotis, a-sosial) yang diperparah oleh kondisi stimulus yang berasal dari lingkungan sosial dan budaya yang ada disekitar mereka. b. Delinkuensi situasional, yaitu delinkuensi yang dilakukan oleh anak yang normal, namun mereka banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan situasional, stimuli sosial, dan tekanan lingkungan, yang semuanya memberikan pengaruh pada anak untuk berbuat buruk meskipun perilaku tersebut mereka lakukan dengan kondisi tertekan dan terpaksa. c. Delinkuensi sistematik, yaitu delinkuensi yang telah terorganisir secara sistematis dalam suatu organisasi atau biasa disebut genk. Semua kejahatan dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh anggota gang, sehingga kejahatannya menjadi terorganisir dan bersifat sistematis. d. Delinkuensi kumulatif, yaitu delinkuensi yang sudah tersebar secara merata hampir diseluruh daerah baik dikota besar maupun di pinggiran desa. Delinkuensi pada kategori ini merupakan produk dari konflik budaya. Hampir sama dengan pembagian jenis perilaku delinkuen diatas, Dadang Hawari & Marianti Soewandi dalam bukunya Remaja dan Permasalahannya membagi remaja yang melakukan perilaku delinkuen dalam tiga kategori, yaitu (Hawari, tt.): a. Mereka yang berbuat nakal, disebabkan oleh karena memang kepribadiannya sudah “cacad” (psychopatic personality), sebagai akibat “deprivasi emosional” semasa kecilnya.
192
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
b. Mereka yang berbuat nakal hanya karena ikut-ikutan, sebagai dampak dari masa remaja, sedangkan pada dasarnya anak itu sendiri baik (pengaruh lingkungan yang kurang baik). c. Mereka yang nakal sebagai dampak dari kerusakan pada susunan syarafnya sehingga dapat dikategorikan delinkuensi akibat adanya suatu penyakit syaraf yang dideritanya, misalnya pada penderita epilepsy. Ernest R.Hilgard dalam bukunya “Introduction to Psychologi” mengelompokkan delinkuensi remaja dilihat dari pelaku perilaku tersebut kedalam dua golongan, yaitu (Andreyana, 1991): a. Social delinquency, yaitu delinkuen yang dilakukan oleh sekelompok remaja, misalnya “gang”. b. Individual delinquency, yaitu delikuensi yang dilakukan oleh seorang remaja sendiri tanpa teman. Wright membagi jenis kenakalan remaja dalam beberapa keadaan (Bisri, 1995): a. Neurotic delinquency, dalam kasus ini remaja bersifat pemalu, terlalu perasa, suka menyendiri, gelisah dan mempunyai perasaan rendah diri. Mereka mempunyai dorongan yang kuat untuk berbuat suatu kenakalan seperti: mencuri sendirian, melakukan tindakan agresif secara tiba tanpa alasan karena dikuasai oleh fantasinya sendiri. b. Unsocialized delinquency, suatu sikap yang suka melawan kekuasaan seseorang, rasa bermusuhan dan pendendam. c. Pseudosocial delinquency, remaja atau pemuda yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap kelompok atau gang sehingga sikapnya tampak patuh, setia dan kesetiakawanan yang baik. Jika melakukan perilaku kenakalan bukan atas kesadaran diri sendiri yang baik tetapi karena didasari anggapan bahwa ia harus melaksanakan sesuatu kewajiban kelompok yang digariskan. Jensen (1985) yang melihat perilaku delinkuen dari sigi bentuk dan dampak kenakalan, menggolongkan perilaku delinkuen dalam empat jenis, yaitu (Kartono, 1998): Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
193
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lainlain. b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban difihak orang lain: pelacuran, penyalah gunaan obat, hubungan seks pra-nikah. d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara kabur dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. Beragam bentuk kenakalan yang terjadi pada diri remaja baik merugikan diri sendiri maupun orang lain serta lingkungannya merupakan bagian dari dinamika perkembangan pada remaja. Melihat dari jenis perilaku delinkuen, menunjukkan bahwa peran lingkungan sangat besar dalam memberi warna perkembangan mereka. Bila kita menelaah kembali pada pembahasan sebelumnya tentang karakter perkembangan pada diri remaja, maka dapat diasumsikan bahwa pemberi kontribusi yang cukup besar terhadap munculnya perilaku delinkuen adalah kondisi remaja itu sendiri baik dilihat dari faktor eksternal maupun internal. Pola perkembangan remaja yang identik dengan fase kegoncangan yang dapat dilihat dari dinamika aspek psikis mereka khususnya pada aspek emosi dan sosial memberi kontribusi yang cukup besar terhadap lahirnya perilaku delinkuen. Secara emosional, remaja sedang mengalami ketegangan emosi yang cukup kuat sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormonal tentu saja menciptakan sensitivitas yang cukup tinggi dalam merespon segala stimulus yang ada disekitar mereka. Remaja yang sedang menjalani pencarian jati diri akan mudah sekali terpancing emosinya sehingga mereka mudah marah, berperilaku agresif dan bertindak negatif sebagai reaksi mereka dalam mempertahankan eksistensinya.
194
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
Monks dan Haditono (1999: 281) telah menjelaskan bahwa pada masa awal dari perkembangan remaja kohesifitas kelompok begitu kuat sehingga tingkah laku remaja sangat ditentukan oleh norma kelompoknya. Kecenderungan remaja yang lebih besar terhadap teman sebaya mereka dibandingkan terhadap orang tua atau keluarga mereka kerap berdampak negatif apabila teman sebaya yang dipilih oleh remaja sebagai sosok yang dapat memberikan rasa nyaman ternyata memiliki nilai, sikap hidup dan orientasi yang tidak ideal dalam proses pembangunan mental yang sehat. Kohesivitas yang menimbulkan konformitas sosial yang tinggi yang terjadi pada remaja terhadap kelompok yang salah akan berdampak pada lahirnya sikap, nilai hidup dan orientasi yang buruk pada diri remaja. Hal inilah yang kerap muncul pada kelompok remaja yang memiliki warna delinkuensi dalam perilakunya. Mereka terkadang tidak menyadari bahwa perilaku delinkuensi mereka telah merusak dirinya secara pribadi dan juga merusak lingkungan disekitar mereka. Ketergantungan mereka yang tinggi untuk memperoleh identitas diri dari kelompok mereka menyebabkan mereka harus mengikuti segala pola yang diberlakukan oleh kelompok mereka sekalipun berkontribusi buruk dan menghambat proses pencapaian kehidupan yang lebih baik bagi masa depan mereka. D. Bimbingan Konseling Kelompok Bimbingan dan konseling memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan fungsinya sebagai tindakan preventif maupun kuratif dalam mengatasi permasalahan remaja. Peran bimbingan dan konseling dalam wilayah pendidikan sudah menjadi satu kesatuan yang saling berkontribusi dalam menciptakan generasi yang ideal bagi dari segi perkembangan kognitif, afektif maupun aspek perkembangan yang lain. Keberadaan konselor dan seperangkat metode pendampingan dalam suatu proses konseling sangat membantu dalam pembentukan karakter, pengentasan masalah dan pencapaian keberhasilan individu terhadap masa depan mereka baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Hambatan dalam hubungan antara guru dengan murid, orang tua Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
195
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dengan anak, merupakan pemicu munculnya perilaku delinkuen pada diri remaja, yang hal tersebut menjadi tugas bagi konselor dalam proses pendampingan untuk menjembatani problem tersebut melalui bimbingan dan konseling. Menurut Halen (Halen, 2002: 3), bimbingan adalah proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menentukan dan mengembangkan kemampuannya agar memperoleh kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial. Sedangkan konseling menurutnya adalah suatu teknik yang terdapat dalam layanan bimbingan dimana proses pemberian bantuan tersebut berlangsung melalui proses wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara guru pembimbing atau konselor dengan klien, dengan tujuan agar klien mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya kearah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial (Halen, 2002: 8). Menurut Bakran (2002: 179), konseling merupakan kegiatan pemberian nasehat, anjuran dan sarana bertukar fikiran. Maka dapat disimpulkan bahwa makna dari bibingan dan konseling adalah suatu kegiatan pemberian bantuan dari seorang ahli (konselor) terhadap kliennya yang berupa nasehat, anjuran dan kesempatan untuk bertukar fikiran terkait permasalahan psikis maupun sosial yang sedang dihadapi klien dengan harapan agar klien dapat menemukan solusi dari masalah yang sedang ia hadapi serta dapat muncul kemampuan dirinya untuk menggali potensi yang mereka dimiliki klien sehingga ia dapat menjadi individu berbahagia karena mampu beradaptasi dan member kemanfaatan baik terhadap dirinya, orang lain, dan lingkungannya Salah satu bentuk layanan yang terdapat dalam kegiatan bimbingan dan konseling adalah model bimbingan konseling kelompok. Dalam perspektif bimbingan konseling Islam, bimbingan konseling Islam kelompok adalah layanan bimbingan
196
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
konseling yang memberikan kesempatan bagi kliennya untuk bersama-sama memperoleh materi bimbingan dari nara sumber (konselor) untuk mereka diskusikan melalui kegiatan dinamika kelompok. Tema yang mereka angkat menitikberatkan pada hal-hal yang menunjang kehidupan keseharian mereka serta berindikasi pada tujuan pengembangan klien secara individu maupun sosial terutama menyangkut kemampuan untuk mempertimbangkan dan memutuskan suatu masalah atau tindakan tertentu (Halen, 2002: 86). Faqih (2001: 4) menambahkan bahwa untuk pendekatan bimbingan konseling Islam, maka serangkaian materi dan metode yang digunakan selalu berlandaskan al-Quran dan sunah Rasul sehingga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam definisi di atas disebutkan bahwa dalam proses layanan bimbingan dan konseling kelompok tersebut dilakukan melalui kegiatan dinamika kelompok. Posisi dinamika kelompok dalam hal ini adalah sebagai stimulus yang menjadi media bagi klien yang terlibat didalamnya untuk mendiskusikan solusi dan hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang diangkat sebagai tema. Peran dinamika kelompok sangat efektif dimana dalam proses keberlangsungannya akan menjadi sarana bagi klien untuk memilih beberapa alternatif sebagai solusi yang disampaikan rekan diskusi mereka yang tentunya akan memperkaya wawasan mereka terkait permasalahan yang sedang dihadapi. Penjelasan diatas searah dengan tujuan dari diadakannya kegiatan layanan bimbingan kelompok yang meliputi: a. Berdasarkan prosesnya: peranan bimbingan kelompok berpengaruh terhadap pengembangan pribadi peserta, dari pada sekedar kesimpulan hasil bahasan b. Berdasarkan isi (materi), bimbingan kelompok dapat memberi berbagai pemahaman, informasi dan wawasan, kesadaran akan nilai-nilai dan sikap serta berbagai alternative pemecahan masalah (Faqih, 2001: 68-69). Dengan tanpa mengecilkan model yang terdapat pada layanan bimbingan konseling perorangan, orientasi dan layanan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
197
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
penempatan, peran bimbingan konseling kelompok memberi gambaran bahwa model bimbingan ini cukup efektif dalam penanganan problematika sosial dan psikis yang dialami oleh remaja. Hal ini disebabkan oleh sifat dari layanan bimbingan kelompok yang meliputi; informatif, terapeutik dan adjustif (Sukmadinata, 2003: 243). Ketiga sifat layanan konseling kelompok di atas sangat ditentukan oleh unsur-unsur yang terlibat didalamnya yang terdiri dari: pemimpin kelompok; tujuan kelompok yang berisi pengembangan pribadi semua peserta dan peralihan lainnya melalui perubahan dan pendalaman topik; anggaota kelompok; serta aturan kelompok yang terdiri dari berbagai ketentuan yang hendaknya dijalankan dan dipatuhi semua anggota kelompok dan pemimpin kelompok (Prayitno, 2004: 69). Dengan mengoptimalkan sinergi keempat unsur yang terdapat dalam kelompok konseling, maka tujuan utama dalam sebuah proses konseling yang telah disebutkan dalam definisi bimbingan konseling akan dapat tercapai, dimana aspek informasi yang berindikasi terapi akan sangat membantu klien untuk memperoleh kemampuan dalam beradaptasi dengan dirinya, orang lain dan nilai-nilai yang terdapat pada lingkungan mereka dengan cara mengoptimalkan berbagai kegiatan yang ditawarkan kelompok melalui diskusi, belajar kelompok, sosiodrama, dan lain sebagainya. Indikator keberhasilan suatu kelompok konseling dalam model bimbinga konseling kelompok menurut perspektif Islam terdapat pada kemandirian individu dalam menghadapi permasalahan mereka serta kemampuan individu untuk menjalani hidup sesuai dengan syariat Islam. E. Bimbingan Konseling Kelompok sebagai Layanan Lonseling bagi Remaja Delinkuen Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya mengenai karakter perkembangan pada remaja, bahwa remaja memilki karakter perkembangan yang unik dan penuh kegoncangan. Hal tersebut salah satunya karena dipicu oleh
198
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
keterbatasan kemampuan kognitif mereka utuk memahami segala perubahan yang terdapat pada kondisi fisik dan lingkungannya. Demikian juga pada warna perkembangan sosial remaja yang kerap menghadirkan beragam problem yang rumit bagi masyarakat. Pada umumnya, kehidupan seorang remaja akan beralih dari anggota keluarga menjadi anggota kelompok sebaya. Dengan bergaul dengan teman sebaya mereka akan mengalami kebersamaan sosial sekaligus individualitas mereka dalam kelompok tersebut. Dengan demikian mereka akan berkembang jadi orang yang lebih dewasa (dalam Gerdald, 2008: 218). Dorongan yang begitu besar yang dirasakan oleh remaja untuk untuk membentuk suatu kelompok dan melepaskan diri dari pengaruh orang tua dan orang dewasa lainnya cukup mengancam dinamika bermasyarakat apabila iklim yang terdapat dalam kelompok tersebut bersifat negatif dan destruktif bagi remaja yang bersangkutan maupun bagi lingkungan sekitar mereka. Dalam suatu kelompok remaja dengan kohesivitas yang tinggi maka berkembang didalamnya suatu iklim kelompok dan norma kelompok tertentu yang oleh Ewert (dalam Monks dan Haditono, 1999: 282) disebut sebagai pemberian norma tingkah laku oleh kelompok teman. Norma tersebut sangat ditentukan oleh pemimpin kelompok tersebut, sehingga hal tersebut akan berdampak buruk pada proses pembentukan identitas diri pada remaja. Pada umumnya, moral yang ditentukan oleh sebuah kelompok remaja berbeda jauh dengan moral yang dikenal dan dibawa remaja yang mereka peroleh dari orang tua atau keluarganya. Hal ini sangat berpengaruh buruk pada pola perkembangan karakter dari remaja apabila moral yang mereka serap dari kelompok tersebut buruk dan terdapat norma di dalam kelompok tersebut untuk membatasi mereka untuk menggunakan rasionalitas dalam menyerap moral yang diajarkan oleh pemimpin kelompok, sehingga remaja secara otomatis hidup dibawah ancaman dan paksaan kelompok mereka dalam berfikir, bertindak dan memutuskan masalah. Keadaan di atas sering menjadi salah satu proses yang terjadi pada anak dengan perilaku delinkuen selain juga karena Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
199
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
dipicu oleh ketidaknyamanan mereka di lingkungan sekolah, rumah atau ketidak mampuan mereka dalam beradaptasi dengan warna kehidupan yang tidak mereka inginkan. Meskipun pada umumnya penyebab delinkuensi pada remaja adalah disebabkan oleh ketidak harmonisan keluarga (broken home) maupun dari pola asuh orang tua yang salah, namun tidak sedikit pula remaja mengadopsi keburukan moral terhadap perilakunya dari norma yang diajarkan kelompok mereka atas kehendak mereka sendiri maupun karena paksaan atau ancaman dari kelompok mereka. Maka banyak fenomena dalam pemberitaan di media bahwa pelaku maupun korban dari tawuran masal, pelecehan seksual, pecandu narkoba maupun perilaku anti sosial lainnya, berasal dari keluarga yang harmonis, berperilaku santun dalam kesehariannya bahkan memiliki prestasi dalam lingkungan sekolah. Hal inilah yang kerap menjadikan sebagian orang tua maupun guru merasa shock ketika kejadian buruk yang tidak pernah dibayangkan dan diduga sebelumnya tiba-tiba terjadi pada remja mereka. Memanfaatkan kecenderungan remaja untuk berkelompok dalam mengatasi krisis originalitas dalam proses pencarian jati diri dengan mengoptimalkan eksistensi layanan bimbingan konseling kelompok adalah salah satu alternatif dalam mengantisipasi, menekan maupun menangani perilaku delikuensi pada remaja. Menumbuh kembangkan kelompok-kelompok konseling bagi remaja dalam mewadahi aktualisasi dari potensi mereka yang secara fitrah adalah kreatif, aktif dan dinamis merupakan salah satu solusi dalam menekan tingkat delinkuensi pada remaja. Dalam suatu kelompok konseling yang menonjolkan dinamika kelompok sebagai salah satu metode untuk menstimulasi anggotanya dalam menyusun ide, mengupas permasalahan dan menawarkan beragam alternatif sebagai solusi, menegaskan bahwa model layanan konseling kelompok cukup memenuhi kriteria yang seiring dengan warna perkembangan remaja. Dengan dinamika kelompok dalam suatu proses layanan bimbingan konseling kelompok akan sangat membantu remaja untuk menemukan jati diri mereka, memacu kreatifitas mereka, menambah kepercayaan diri bagi mereka serta memperkaya wawasan yang sangat
200
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
bermanfaat bagi perkembangan kognitif remaja itu sendiri. Di sisi lain, kebutuhan mereka yang sangat besar untuk berkompetisi secara sehat sebagai sarana untuk mencapai kepuasan dalam kebutuhan aktualisasi diri tentunya sangat terbantukan dengan adanya kelompok bimbingan dan konseling. Eksistensi pemimpin dalam suatu kelompok apapun tentunya sangat berpengaruh pada dinamika kelompok tersebut dengan seperangkat tujuannya. Demikian juga untuk kelompok konseling. Pada suatu model layanan bimbingan dan konseling kelompok tentu sangat besar peranan seorang konselor untuk menjembatani, memotivasi dan memberi arahan bagi kelompok yang terbentuk agar sesuai dengan tujuan dari kelompok itu diadakan. Kepercayaan dan motivasi yang diberikan oleh konselor terhadap pemimpin suatu kelompok akan sangat berpengaruh pada model kepemimpinan dari pemimpin kelompok konseling tersebut. Sinergi yang positif antara konselor, pemimpin kelompok dan anggota kelompok dalam layanan bimbingan dan konseling kelompok akan berdampak pada perubahan perilaku kelompok sebagai klien dalam kehidupan mereka. Demikian juga dalam mensikapi perilaku delinkuensi pada remaja. Dinamika kelompok dalam suatu model layanan bimbingan dan konseling kelompok akan memberi kontribusi yang positif dalam mengantisipasi dan mengatasi perilaku delinkuensi remaja. Dalam kelompok konseling, remaja akan distimulasi untuk membagi permasalahan mereka, mendiskusikan permasalahan mereka serta mencari solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan tersebut secara bersama-sama dalam iklim yang dinamis, bersahabat berdasarkan norma yang berlaku dalam kelompok konseling. Dengan tahapan perkembangan yang relatif sama, tujuan yang sama, dan dimungkinkan pula dengan permasalahan yang relatif sama pada diri remaja serta didukung oleh pendekatan yang efektif dari konselor diharapkan dapat menekan perilaku delinkuensi pada mereka. Ciri khas kebersamaan yang dimiliki oleh suatu kelompok akan menjadi stimulus bagi munculnya kohesifitas diantara remaja dalam suatu kelompok konseling. Homanas (dalam Monks dan Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
201
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
Haditono, 1999: 282) menyatakan bahwa dalam tiap kelompok kecenderungan kohesi akan bertambah dengan bertambahnya frekuensi interaksi. Hal ini menjadi peluang bagi seorang konselor untuk memberi warna yang positif bagi remaja dalam kelompok konseling, khususnya bagaimana mereka mengatasi masalah yang terjadi, bagaimana mereka menjadi pribadi yang ideal sesuai dengan norma masyarakat dilingkungan mereka serta bagaimana mereka mensikapi kehidupan baik yang bernilai baik maupun buruk. Perubahan pola pikir yang negatif menjadi positif, ketergantungan menjadi kemandirian, pola perkembangan emosi yang stabil, kemampuan adaptasi dan kreatifitas yang tinggi serta kepercayaan diri adalah beberapa indikator dari keberhasilan remaja dalam melewati serangkaian tugas perkembangan melalui pendampingan layanan konseling kelompok. Indikator tersebut akan menjadi langkah awal bagi terbentuknya generasi yang sehat, prososial dan produktif dalam suatu pembangunan. Dengan gambaran tentang peran layanan konseling kelompok tersebut diatas akan menjadi solusi alternatif dalam mensikapi perilaku delinkuen pada remaja. F. Simpulan Remaja merupakan individu yang memiliki pola perkembangan yang unik dan penuh gejolak. Segala perubahan baik pada dimensi fisik maupun psikis yang terjadi pada remaja sering menjadi pemicu munculnya perilaku negatif apabila mereka tidak mampu secara kognitif untuk beradaptasi didalamnya. Salah satu bentuk perilaku yang negatif yang umumnya terdapat pada diri remaja adalah perilaku delinkuen. Remaja delinkuen selalu menampakkan perilaku yang anti sosial. Hal ini banyak dipicu oleh faktor internal seperti karena faktor genetik, maupun faktor eksternal seperti lingkungan sosial yang buruk. Remaja dengan pola perkembangan sosial yang cenderung berkelompok dan konformis terhadap kelompoknya akan menjadi ancaman bagi masyarakat apabila kelompok yang ia pilih memiliki
202
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
norma yang buruk secara moral. Maka tidak dapat dihindari bahwa salah satu pemicu delinkuensi adalah fenomena tersebut Di sisi lain, kecenderungan remaja untuk berkelompok dapat dimanfaatkan dengan mengoptimalkan peran layanan bimbingan dan konseling kelompok. Kebersamaan mereka yang merasa dalam tahap perkembangan yang relatif sama, jenis permasalahan yang sama dan tujuan yang sama akan menciptakan kohesifitas diantara mereka. Kohesifitas tersebut akan berdampak pada perubahan perilaku dan pola pikir yang sangat ditentukan oleh kemampuan seorang konselor dalam memberi stimulus dalam bentuk materi diskusi yang sangat berkontribusi pada pembentukan perilaku positif sebagai tujuan konseling kelompok diadakan. Dalam layanan konseling kelompok, perilaku delinkuen dapat dicegah maupun di atasi melalui metode dinamika kelompok sebagai salah satunya. Dalam proses pelaksanaannya, remaja akan memperoleh sarana untuk membagi pengalaman dan permasalahan, pengayaan wawasan, perubahan pola pikir, nilai-nilai kehidupan, gagasan-gagasan kreatif dan motivasi yang diharapkan akan berkontribusi besar dalam membentuk pribadi yang kreatif, mandiri, dan produktif baik bagi dirinya maupun lingkungannya.
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
203
Jurnal Bimbingan Konseling Islam
DAFTAR PUSTAKA
Andreyana, Raema, 1991, Masalah-Masalah Delinkuensi Remaja dalam Kartini Kartono, Bimbingan Bagi Anak Dan Remaja Yang Bermasalah, Jakarta: Rajawali Press Asrori & Ali, 2005, Psikologi Remaja, Jakarta: Bumi Aksara Bakran, Hamdani, 2001, Konseling dan Konseling Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Bisri, Hasan, 1995, Remaja Berkualitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Chaplin,JP., 2000, Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Gerdald, Kathryn, 2008, Membantu Memecahkan Masalah Orang Lain Dengan Teknik Konseling, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Calvin S.Hall & Gardner Lindzey, 1993, Teori-Teori Sifat dan Behavioristik, Yogyakarta: Kanisius Faqih, Ainurrahim, 2001, Bimbingan dan Konseling Dalam Islam, Yogyakarta, LPPAI Hallen, 2002, Bimbingan Dan Konseling, Jakarta: PT. Intermasa Hawari, Dadang, 1997, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa Hawari, Dadang & CM. Marianti Soewandi, Remaja Dan Permasalahannya, t.t., Surabaya: Badan Pelaksana Penanggulangan Narkotika dan Kenakalan Anak-Anak Remaja Jawa Timur Hurlock, E.B, 1992, Personality Development, New Delhi Kaplan & Sadock, 1997, Sinopsis Psikiatri jilid 1, terjemahan oleh Widjaja Kusuma, Jakarta: Bumi Aksara
204
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok ... (Fatma Laili Khoirun Nida)
Kartono, Kartini, 2001, Patologi Sosial 2, Jakarta: Radja Grafindo Persada Kompas, 26 September 2012 Mulyono, Y.Bambang., 1995, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja Dan Penanggulangnya, Yogyakarta: Kanisius Notosoedirdjo dan Latipun, 2001, Kesehatan Mental Konsep dan Penerapan, Malang: UMM Press Prayitno dan Erman Amti, 2004, Dasar-dasar Bimbingan Dan Konseling, Jakarta: PT. Rineka Cipta Rahman, Muzdalifah, 2009, Stress dan Penyesuaian Diri Remaja, Yogyakarta: Idea Press Sarwono, Sarlito Wirawan, 2001, Psikologi Remaja, Jakarta: Radja Grafindo Persada Sukmadinata, Nana Syaodih, 2003, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Walgito, Bimo, 2006, Psikologi Kelompok, Yogyakarta: Andi Offset Yusuf L.N., 2000, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Konseling Religi, Volume 3, Nomor 2, Juli - Desember 2012
205
PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL
Jurnal Konseling Religi menerima tulisan dalam bentuk artikel, resensi hasil penelitian, analisis teori, yang berkaitan dengan tema konseling religi. Tulisan yang masuk akan diseleksi oleh redaksi. Tulisan harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Tulisan mengacu pada pengembangan teori dan aplikasi ilmu bimbingan, penyuluhan, dan konseling Islam 2. Banyaknya tulisan antara 15-25 halaman dengan ukuran kertas A4 (kuarto), spasi 1,5, dan bentuk font Times New Roman 3. Kerangka tulisan meliputi: Judul, nama penulis (tanpa gelar), instansi penulis, abstrak (100-150 kata), kata kunci (key words), pendahuluan, pembahasan, penutup, dan daftar pustaka. Contoh penulisan Daftar Pustaka: Buku: Yunus, Muhammad, 1983, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: P3A Depag RI Artikel: Adlin, A. dan I. Suryolaksono, 2000, “Reduksi Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum Pada Era Pramodernisme, Modernisme, dan Postmodernisme”, Journal of Psyché, Vol. 1 4. Abstrak dalam bahasa Inggris kalau naskahnya bahasa Indonesia. Kalau naskah berbahasa asing, abstrak berbahasa Indonesia. 5. Kutipan ditulis dalam middle note (nama belakang penulis, koma, tahun, titik dua, halaman). Contoh: (Muthahhari, 2001: 195) 6. Tulisan diserahkan ke redaksi dalam bentuk print out, atau kirim lewat email:
[email protected]