Pramoedya Ananta Toer – Panggil Aku Kartini Saja: Seni Rakyat (hlm. 78-80) Rakyat belum merupakan pengertian lengkap, sebelum ditunggalkan dengan seninya – seni Rakyat. Kecintaan pada Rakyat selamanya dibuktikan pula dari kecintaannya pada seninya. Aksioma ini berlaku sepanjang sejarah umat manusia. Pernyataan-pernyataan cinta Rakyat tanpa bukti cintanya pada seninya tidak lain daripada suatu hipokrisi yang kasar. Kartini bukan hanya mencintai, bahkan membela Rakyatnya dari hinaan orang-orang Belanda serta pemerasannya, sudah pasti iapun mencintai seninya. Mula-mula ia bercerita: <>Kurang lebih seminggu sebelum menerima surat Nyonya, pada suatu malam kami duduk di luar di taman, bulan purnama waktu itu. Nyonya tahu, bukan, bahwa kanak-kanak Jawa menyukai terang bulan purnama, bermain dan menyanyi di pelataran. Di hadapan kami bermain serombongan bocah-bocah kecil semacam itu. Maka tahu-tahu masa kanak-kanak kami sendiri bermainlah dihadapan kami. Di sanalah tiba-tiba aku mendapat ilham untuk dapat membuat masa berbahagia itu tetap hidup tersimpan dalam kenang-kenangan kami. Aku keluarkan kertas dan potlot, dan di terang purnama itu aku catat dolanan dan nyanyian yang keluar dari mulut kanak-kanak itu<> (Surat 21 Juli 1902 kepada Nyonya Van Kol.) Tentang Gamelan ia mengatakan sesuatu dalam rangkaian pikiran yang sempurna dan mengharukan, suara dari Rakyatnya sendiri pada masa itu: <>Gamelan tidak pernah bersoral-sorak; sekalipun di dalam pesta yang paling gilapun, dia terdengar sayu dalam nyanyiannya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai! ………….. Malam waktu itu, jendela dan pintu-pintu terbuka, bunga cempaka berkembang di tentang kamar kami dan bersama dengan puputan angin segar, berdesah dengan dedaunannya serta mengirimkan kepada kami ucapan salamnya dalam bentuk bau harumnya – aku duduk di lantai, sebagaimana halnya sekarang ini, pada sebuah meja rendah, di kiriku dik Rukmini, juga sedang menulis, di kananku Annie Glaser, juga di lantai sedang menjahit, dan di hadapanku seorang wanita, yang menyanyikan kami sebuah cerita dari buku. Betapa indahnya! Suatu impian yang mengalun dalam suara-suara yang indah, kudus, jernih dan bening, yang mengangkat roh kami yang menggeletar ke atas ke dalam kerajaan makhluk-makhluk berbahagia.<> (Surat, 15 Agustus 1902 kepada E.C.Abendanon.) Kecintaannya pada seni Rakyat bukan tinggal menjadi cinta platonik. Ia pun tampil dalam setiap kesempatan untuk menunjukkannya, untuk membelanya. Ia menggabungkan diri dengan perkumpulan „Oost en West“ (Timur dan Barat) yang salah satu tujuannya ialah mengembangkan kerajinan tangan Pribumi. Dan buat kepentingan ini tanpa ragu-ragu ia hadapi orang sekecilkecilnya sampai orang yang setinggi-tingginya dalam masyarakat Hindia. Ia menolak terjadinya eksploitasi pedagang atas para artis. Ikut campurnya secara aktif dalam pameran internasional
maupun nasional untuk dapat terselenggaranya pameran tersebut yang memperkenalkan hasil seni Rakyat, nenunjukkan hal ini. (Lihat juga Bagian V, tentang musik). Kecintaan pada seni Rakyat berarti juga kecintaan pada watak-watak dan sifat-sifat Rakyat yang melahirkannya. Di tengah-tengah pergelaran seni Rakyat ini Kartini masih tetap mempergunakan pikirannya, menangkap segala dan menyimpulkan, mengabadikan suasana yang ditimbulkannya, bahkan di dalam saat-saat nikmat seni demikian, patriotismenya masih juga kuasa mendesaknya untuk mengajak sahabat-sahabatnya ikut serta dengannya menikmati segala itu: <>Betapa inginku waktu itu kau berada di tengah-tengah lingkungan kami, kau akan seperasaan dengan kami, sama-sama menikmati, sama-sama mengimpi. Mengimpi! Tapi hidup bukanlah impian, tapi kenyataan-kenyataan yang dingin dan telanjang, tapi kenyataan itu pun tak perlu buruk kalau orang tidak menghendakinya, dia tidak buruk, dia adalah indah selama ada keindahan di dalam batin kita<> (Surat, 15 Agustus 1902 kepada E.C.Abendanon.) Selanjutnya Kartini menyimpulkan berdasarkan itu, bahwa pendidikan tanpa kesenian – seni Rakyat, berarti juga pendidikan tanpa pembentukan watak. <>Duh, karena itu aku inginkan, hendaknya di lapangan pendidikan itu pembentukan watak diperhatikan dengan tidak kurang baiknya akan dan terutama sekali pendidikan ketabahan. Dalam pendidikan ini harus dapat dikembangkan dalam diri kanak-kanak, terus, terus ….<> (Surat, 15 Agustus 1902 kepada E.C.Abendanon.) Jelaslah, bahwa pengetahuannya tentang Rakyat harus melingkungi bagian-bagiannya yang terpenting, yaitu seni Rakyat. Pada gilirannya dengan seni Rakyat itu orang lebih mudah memahami watak-watak dan sifat-sifat Rakyatnya sendiri, karena dia tiadalah lain daripada pernyataan watakwatak dan sifat-sifat itu. Mendidik Rakyat adalah juga mengembalikan seni Rakyat itu kembali pada Rakyat dalam bentuk yang sudah diperbaiki – perbaikan-perbaikan yang tidak lain daripada perbaikan-perbaikan atas kekurangan-kekurangan pada watak-watak dan sifat-sifat Rakyat itu. Dengan demikian buat pertama kali dalam sejarah modern Indonesia, seseorang telah mengetahui fungsi seni bagi pendidikan, dan fungsi seni sebagai jalan ke arah pengenalan watak dan sifat Rakyat, bahkan juga sejarahnya di masa silam. Orang ini adalah Kartini.
Di lapangan musik (hlm. 172-177) Di lapangan ini Kartini lebih tepat dikatakan hanya seorang peminat. Dan musik di sini terutama sekali musik tradisional: gamelan. Tetapi Kartini adalah lebih daripada hanya seorang peminat. Gamelan yang disukainya adalah „Ginonjing“ („Terayun-ayun“-pen.L), dan gamelan ini membawanya ke dunia yang lain, kehilangan segala seginya yang tajam daripada kenyataan seharihari. Katanya: <>Kalau saja aku dapat mengecilkan badanku, sampai dapat merangkak ke dalam sampul, tentulah aku akan pergi dengan surat ini kepadamu, Stella, kepada abangku yang tercinta dan terbaik dan kepada …. Diamlah! Jangan teruskan! Bukan salahku, Stella, kalau di sana-sini aku menulis beberapa ketololan. Gamelan kaca di pendopo itu dapat bercerita lebih banyak daripadaku. Mereka sedang mainkan lagi kesukaan kami bertiga. Itu lebih tepat bila dikatakan bukan lagu, bukan melodi, hanya nada dan bunyi, begitu lunak begitu lembut bertingkah dan menggetar campur aduk tanpa tujuan, membubung, tetapi betapa mengharukan, betapa mengharukan indahnya! Tidak, tidak, itu bukan bunyi-bunyian dari gelas, atau kuningan, atau kayu yang membubung di sana itu; itu adalah suara yang keluar dari jiwa manusia, yang bicara pada kami itu, sebentar mengeluh-ngeluh, kemudian meratap, dan kadang saja tertawa. Dan jiwaku sendiri melayang bersama dengan gemercik suara peraknya yang suci itu ke atas ke langit biru, ke mega kapas, ke bintang-bintang gemerlap; bunyi-bunyi gong yang dalam membubung ke langit, dan bunyi-bunyian itu membawa aku menyusuri lembah-lembah dan lurah-lurah gelap dan dalam, melewati hutan-hutan yang lengang, menerobosi belantara yang tak tertembusi! Sedang jiwaku gemetar dan meriut ketakutan , kesakitan dan dukacita! Telah ribuan kali kudengar „Ginonjing“, tapi tidak ada satu bunyi, tak ada satu nada pun dapat kutangkap. Sekarang setelah gamelan berhenti, tak ada satu pun bunyi yang dapat kuingat, semuanya jadi kabur dalam ingatanku; bunyi-bunyian yang indah-berduka itu, yang membuat aku berbahagia tidak terperi namun begitu sayunya sekaligus. Aku tak dapat dengarkan Ginonjing, tanpa sangat terharu. Sudah pada nada-nada permulaan dari bagian pembukaan itu, aku telah hilang lenyap tenggelam, bila Ginonjing terdengar olehku. Tak mau aku dengarkan lagu yang sayu itu, namun aku harus, harus dengarkan pada suara-suaranya yang berbisik-desah, yang bercerita padaku tentang masa lalu, tentang hari depan, dan seakan nafas suara-suara keperak-perakan yang menggetar itu meniup lenyap tabir yang menutup kegaiban hari depan. Dan sejelas halnya dengan masa kini ber-araklah gambaran-gambaran hari depan di hadapan mata batinku. Maka menggigillah aku, bila nampak olehku gambaran-gambaran sayu-gelap muncul di hadapanku. Tak mau aku melihatnya, tapi mataku itu tinggal terbeliak lebar, dan pada kakiku menganga ke dalam jurang yang terbitkan gamang, tapi kalau kutebarkan pandangku ke atas, terbentanglah di sana langit biru muda di atasku dan cahaya matari yang keemasan bermain-main dengan mega-mega putih dan di dalam hatiku kembali terbit terang.<> (Surat, 12 Januari 1900, kepada Estelle Zeehandelaar.) Ginonjing bagi Kartini – seorang yang sama sekali bukan teoritikus ataupun praktikus musik ini bukan saja mengandung mata rantai-mata rantai sejarah dengan pertautannya satu dengan yang lain, sejarah masa gelap yang lalu, kenyataan ragu masa kininya serta kegemilangan masa depan yang masih jauh tinggi di langit, sejarah yang dikisahkan dengan bunyi dan nada, tapi lebih dari siapapun Kartini merasai adanya pukauan daya-mistik pada musik tersebut. Bagi orang, yang tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, kegiatan batinnya tidak pernah dapat lepas daripada patriotisme,
kecintaan pada Rakyat, pada bangsa dan negerinya. Tulisannya tentang Ginonjing tersebut hanya reaksi lain saja daripada ceritanya tentang sejarah Rakyat, bangsa dan negerinya pada masa lalu, pada masa hidupnya, dan pada waktu-waktu mendatang. Adalah mengherankan betapa dalam ia mampu menyelami gamelan. Kartini bukan saja seorang pecinta tetapi lebih tepat dapat dikatakan pemuja gamelan. „Musik sangat berpengaruh atas kami,“ (Surat, 12 Desember 1902, kepada Abendanon.) katanya pada suatu kesempatan. Musik – maksudnya gamelan – selalu membawanya pada alam kenang-kenangan, pada masa silam. <>Ingatkah kau pada malam tropik sejuk dan cerah, pabila semuanya tenang, dan kesenyapan hanya diganggu oleh derai angin pada tajuk-tajuk kelapa, angin malam yang membawakan padamu harum kemuning, cempaka dan melati ke dalam nafasmu? Nyanyian seorang Jawa, yang menyanyikan cinta, kepahlawanan, keindahan, pria dan wanita yang cantik, bijaksana dan berkuasa, putri-putri dan pangeran-pangeran dari jaman dahulu kala? Menyanyi buat keluarga dan para tetangganya? Semua buku kami tertulis dalam syair dan dibaca dengan nyanyi. Maka adalah jam-jam yang paling manis, kalau seorang Jawa, setelah menyelesaikan pekerjaannya sehari-hari, melepaskan lelah dalam nyanyi, dan seluruh kesulitannya pun lenyaplah di dalamnya, merasuklah ia ke dalam masa lalu yang gilang-gemilang, ke jaman yang ia nyanyikan. “Rakyat Jawa adalah Rakyat yang hidup dalam kenang-kenangan,“ kata seorang sahabat muda dengan tepatnya. „Maka adalah indahnya bagi mereka hilang tenggelam di dalam mimpi-jiwa tidur berabad mereka.“ <> ( Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly Van Kol.) Dan dengan demikian Kartini lebih merasuk lagi ke dalam filsafat musik yang terpadu dengan sejarah. Dengan lain perkataan ia hanya hendak menyatakan, bahwa Rakyatnya dahulu punya sejarah yang gilang-gemilang, dan Rakyat kini, yang tidak rela kehilangan kegemilangan masa lalu dan dipaksa merasai tusuk dan cungkilnya gerigi kenyataan masa kini, lebih suka menenggelamkan diri ke dalam kegemilangan leluhurnya. Tidak dapat tidak pengetahuan Kartini tentang ini tidak lain daripada pengalamannya sendiri yang ditemukan pada seluruh Rakyatnya. Juga Kartini dalam gamelan itu merasai kegemilangan masa lalu. Tetapi lebih daripada siapapun pada masanya, ia telah sampai pada suatu keinsafan, bahwa bagaimanapun indahnya impian itu, bagaimanapun nikmatnya impian itu, „ … impian tinggal impian. Orang harus membuatnya menjadi lebih indah, lebih nikmat, dengan mencoba membuatnya jadi kenyataan.“ (Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly Van Kol.) Tiadalah mungkin tanpa kecintaan pada gamelan seseorang bisa mendalaminya sedemikian rupa. Tapi di lapangan ini ia masih merasai kekurangan, yaitu ia masih belum dapat menyampaikan segala kenikmatan itu kepada orang-orang lain yang tidak mengenal gamelan, ia merasai kekurangan peralatan untuk menyampaikannya, lebih-lebih kekurangan istilah musik yang memudahkan ia menerangkan apa yang dikehendakinya. Demikianlah maka waktu ada seorang Eropa, yang telah 20 tahun lamanya bekerja menghimpun seni rakyat Pribumi dalam segala bentuknya, antara lain juga pantun, waktu menyatakan hasratnya hendak memperkaya koleksinya dengan beberapa buah nyanyian Jawa, musik gamelan, iapun mengulurkan tangan patriotiknya, sekalipun ia insaf, bahwa pertolongannya sia-sia belaka, karena ternyata ia tidak mampu mencatat nada-nadanya. <>Gamelan memang luar biasa sulitnya, tetapi sebaliknya nyanyian kanak-kanak di waktu dolanan dan dalam dongeng-dongengan sangat sederhana. Beberapa daripadanya kami telah coba memainkannya pada piano dan berjalan lancar; semuanya pada kruis dan mol.
…… Kami akan sangat menyesal kalau gagal, karena justru nyanyian-nyanyian itu yang memanterai permainan dan dongeng-dongengan itu. Sebagai kanak-kanak kami tidak suka kalau si pendongeng tidak menyanyi.<> (Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly Van Kol.) Musik Jawa selalu membawa Kartini pada masa silam. Satu segi lain yang nampak pada tulisan tersebut adalah, bahwa Kartini juga bermain piano. Ini sungguh-sungguh mengherankan mengingat kecintaannya yang luar biasa pada gamelan dan lebih mengherankan lagi karena hanya sekali itu saja dalam Door Duisternis tot Licht ia bicara tentang bermain piano. Adakah sebuah piano di kabupaten? Besar kemungkin tidak, karena memang ia tidak pernah menyebutkannya. Dari sumber-sumber lain pun tidak pernah tersebut akan kebiasaannya bermain atau adanya piano di kabupaten. Tetapi dalam tulisannya tersebut sengaja ia tidak mempergunakan kata „aku“, tetapi justru „kami“. Jadi dapat diduga ia memainkannya tidak di kabupaten, tetapi di tempat salah seorang kawannya. Yang memainkan juga bukan dirinya, tetapi besar kemungkinan kawannya itu juga. Tulisannya tersebut dibuatnya pada tahun 1902, pada waktu ia telah mendapatkan kebebasan secukupnya. Jadi bahwa ia memainkan musik dengan peralatan Barat buat sementara terpaksa ditinggalkan. Bahwa ia pun suka pada musik Barat, bahkan musik-berat, tak dapat diragukan lagi. Sudah tentu apresiasinya pada musik Barat didapatnya dari sahabat-sahabatnya orang Barat yang tinggal di Jepara, terutama sekali keluarga Ovink, sewaktu ia masih kanak-kanak. Khususnya tentang musik Barat ini pernah ia menulis, antara lain demikian: <>aku terkenang pada suatu malam belum lama berselang. Seorang kenalan membawa kami berdua mengunjungi sebuah konserta di gedung kesenian di Semarang. Itulah buat pertama kali dalam seluruh hidup kami, bahwa kami berdua, tanpa membawa si adik, tanpa Ayah, tanpa Ibu, berada di tengah-tengah lautan manusia. Kami berasa sendiri, sangat sendirian di antara orang-orang yang sama sekali tidak kami kenal. Dan tiba-tiba kami berpikir: Beginilah bakalnya hidup kita di kemudian hari! Kita hidup seorang diri di tengah-tengah lautan kehidupan yang besar!<> (Bandingkan juga dengan pandangan Mr. St. Takdir Alisyahbana dalam uraiannya di Simposium Sastra Indonesia Modern di Amsterdam, 1953.) Dan adalah mengherankan, bahwa ramalannya ini timbul dalam suasana musik Barat. Juga musik Barat secara naluriah juga membawa Kartini pada ruang waktu dan di dalam ruang waktu itu kembali ia temukan Rakyatnya, bangsanya dan negerinya. Keanehan dalam pandangan Kartini adalah di sini, bahwa dengan gamelan itu ia hidup di jaman kegemilangan nenek moyangnya, sedang dengan musik Barat ia hidup di jaman keyatimpiatuan modern di masa-masa mendatang. Impian kegemilangan masa lalu memang indah, tetapi orang harus membuat menjadi lebih indah lebih nikmat, dengan mencoba membuatnya jadi kenyataan. Apakah musik Barat dengan keyatimpiatuan modern itu kenyataan yang harus dibuat sesuai dengan konsep Kartini? Sedikit atau banyak sejarah setelah meninggalnya Kartini kelak memang menjurus ke arah ramalannya, dan masih terus menjurus. Terkecuali di bidang musik, yang juga sedikit sekali bahan tentangnya, Kartini pun penggemar taritarian tradisional. Gamelan menyebabkan tubuhnya tertarik untuk bergerak dan hanya dengan kekerasan saja ia tidak dapat tolak kekuasaannya. Gamelan itu „ … menuangkan arus api ke dalam nadi-nadi kami ...“ (Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly Van Kol.)
dan itulah sebabnya waktu kecil, waktu itu belum mempunyai cukup kekuatan menolak kekuasaannya, artinya sewaktu ia masih kecil, suka sekali ia menari segera gamelan berbunyi: menari dengan sendirinya, sebagaimana halnya dengan bocah-bocah kecil lainnya. Malah Kartini pernah berangan-angan hendak jadi penari, dan bersahabatan dengan para penari kabupaten. <>Sangat sering Ibu mendandani kami sebagai seorang penari, dan kemudian menarilah sampai jatuh kelelahan. Duh! Kesucian yang kudus; dengan kepercayaan penuh kami tenggelamkan diri di dalam pelukan para penari itu; kami kagumi keseniannya dan merekapun sangat baiknya terhadap kami. (Kedudukan penari tradisional di dalam masyarakat Jawa dianggap rendah di masa itu berdasarkan alasan-alasan kesusilaan.) Lama, lama kemudian kami belajar memahami, siapa mereka sesungguhnya, mereka, mereka yang kami kagumi itu, dan kami pun surutkan kekaguman itu karena pengetahuan kami tentang dunia manusia semakin menjadi lengkap, maka kamipun merasa malu karena menginginkan menjadi penari. Dan jauh, jauh kemudian kami belajarlah memisahkan seni daripada orang yang mengudinya…. <> (Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly Van Kol.) Dan sampai di sini orang dapat melihat, bahwa Kartini telah mengetahui kemurnian seni, serta kekurangan manusia. Seniman tidak selamanya seindah, sekudus dan semurni seni yang dikerjakannya. Baik di bidang ukir, musik maupun tari yang melihat tiadanya kesatuan ekonomisosial dan susila antara seni dan seniman. Dan ini tidak lain disebabkan karena tiadanya pimpinan, tiadanya didikan susila sesuai dengan tuntutan jaman modern, tiadanya pendidikan. Namun, betapapun kekurangan para seniman itu, Kartini menghargai mereka karena seninya yang secara langsung ikut memuliakan dan meningkatkan prestisenya di antara bangsa-bangsa lain di dunia. Di antara cabang-cabang kesenian ini sastralah yang paling masak digarapnya sendiri. Di sini dapat dikemukakan seni di tangan seorang yang tanpa lelah-lelahnya mendidik dirinya sendiri di bidang pemikiran dan kesusilaan.