POTRET BURAM SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA DAN TANTANGAN PENDIDlKAN ABAD XXI H. Dody Hermana Fakultas Ekonomi ~ Universitas Garut Jalan Cimanuk No. 285A, Garut
ABSTRAK Negara Indonesia mayoritas penduduknya masyarakat bermatapencaharian sebagai petani dan (tinggal di pedesaan, dimana kondisi ini memungkinkan untuk terjadinya ketimpangan-ketimpangan dari berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pendidikan sehingga mengakibatkan sumber daya manusianya menjadi lemah. Situasi sumber daya manusia Indonesia berada pada posisi transisi demografis dengan pertumbuhan yang tinggi, dan ketidakseimbangan antara penyediaan lapangan kerja dengan pertumbuhan angkatan kerja. Kinerja dan kualitas pendidikan nasional Indonesia sepanjang Republik ini ada, lebih-lebih ketika dilanda krisis ekonomi yang hingga kini belum menggejalakan perbaikan menunjukkan kondisi yang amat memprihatinkan.Pengelolaan pendidikan mengandung esensi proses pembelajaran dan pematangan bangsa dari segi kualitas iman, takwa, dan moral intelektual, ketenagakerjaan dengan berbagai dimensi lainnya menuju life quality, yang mensenyawakan rohani, jasmani, mental, intelektual, spiritual, dan material serta kebutuhan sosial lainnya.
Kata Kunci: Sumber Daya Manusia, Kinerja dan Kualitas Pendidikan, Budaya Pendidikan Prestatif.
1.
Kondisi Nyata Sumber Daya Manusia Indonesia
Dunia ini dihuni oleh segelintir negara-negara yang sangat kaya dan negara yang sangat besar jumlahnya adalah negara-negara yang sangat miskin, Negara-negara kaya dilandasi oleh pola perkembangan ekonomi yang berjalan terus menerus, sedangkan negara miskin dilandasi oleh pola perkembangan ekonomi yang sangat lamban bahkan mandeg. Jurang ketidakmerataan ekonomi antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin semakin bertambah. Negara Indonesia mayoritas penduduknya masyarakat bermatapencaharian sebagai petani dan tinggal di pedesaan, dimana kondisi ini memungkinkan untuk terjadinya ketimpangan-ketimpangan dari berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pendidikan sehingga mengakibatkan sumber daya manusianya menjadi lemah. Situasi sumber daya manusia Indonesia berada pada posisi transisi demografis dengan pertumbuhanyang tinggi, dan ketidakseimbangan antara penyediaan lapangan kerja dengan pertumbuhan angkatan kerja.
Kinerja dan kualitas pendidikan nasional Indonesia sepanjang Republik ini ada, lebih-lebih ketika dilanda krisis ekonomi yang hingga kini belum menggejalakan perbaikan menunjukkan kondisi yang amat memprihatinkan. Hal ini dicirikan antara lain: Pertama, penyediaan dana pendidikan belum sepenuhnya memperlihatkan sense of education, terbukti dana yang tersedia hingga saat ini belum mencapai angka 10 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau hanya 1,4% dari GNB. Dinegara-negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Taiwan masing-masing mengalokasikan dana pendidikan di atas 20% dari total anggaran negara, bahkan Norwegia mencapai 30% dari total anggaran yang sama (Salim, 1995:31). Memang dunia pendidikan nasional sempat tersegarkan oleh pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjanjikan akan meningkatkan kualitas pendidikan, namun harapan kesegaran itu ternyata tidak ditindaklanjuti oleh peningkatan dana pendidikan. Kedua, Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan Indonesia tertinggal 15 sampai 20 tahun oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia, Philipina, dan bahkan tertinggal 50 tahun oleh Singapura. Ini berarti bahwa dunia pendidikan kita baru dalam aspek equity for opportunity yang sekalipun demikian tetap masih tertinggal jauh, apalagi berkenaan dengan peningkatan dan pemerataan kualitas equity for quality. Ketiga, masih rendahnya human development index. Dari laporan mutakhir UNDP berjudul Human Development Report (2000) ternyata Indonesia hanya memiliki skor 0,681. Skor ini menghantarkan Indonesia menempati peringkat 105 dari 174 negara, sedangkan negara-negara tetangga seperti Philipina berada pada peringkat 77, Malaysia ke-56, Brunei Darussalam ke-25 dan Singapura ke-23. Laporan ini menggambarkan betapa masih jauh kualitas sumber daya manusia Bangsa Indonesia. Padahal tanggungjawab utama peningkatan sumber daya Manusia berada pada lembaga pendidikan.Kondisi ini sekaligus dapat memperkuat dugaan betapa masih rendah kualitas pendidikan nasional kita (Noordin, 1995: 45). Keempat, rendahnya daya saing (conpetitiveness index) bangsa Indonesia juga mengundang keprihatinan. Laporan terakhir World Economic Forum (WEF) menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-37 dari 69 negara. Sedangkan beberapa negara tetangga seperti Singapura berada pada peringkat pertama, Philipina peringkat ke-33, Thailand ke-30 dan Malaysia ke-16. Rendahnya daya saing pada dunia pendidikan kita itu paling terasa terhadap lulusan Perguruan Tinggi, karena hingga tahun 1999 saja jumlah lulusan yang masih mencari pekerjaan mencapai jutaan orang. Diduga ketika krisis ekonomi yang kini belum menunjukkan perbaikan yang berarti, akan berdampak secara langsung kepada berkurangnya rekrutmen tenaga kerja, maka otomatis deret jumlah lulusan Perguruan Tinggi pencari kerja terus mengalami pembengkakan yang sangat signifikan. Kelima. rendahnya kualitas angkatan kerja terdidik yang pada tahun 2000-an menurut laporan Biro Pusat Statistik (BPS) angkatan kerja tarnatan S-1 hanya mencapai
0,80%, tamatan D-III baru 0,77%, D-II 0,4%, SLTA 11,1%, sedangkan tenaga kerja tidak terdidik SD atau tidak tamat SD mencapai angka 77,3% dari total angkatan kerja. Keadaan ini berakibat negatif terhadap seluruh sektor pembangunan dan perekonomian Indonesia, apalagi menghadapi ekonomi pasar bebas. Keenam, dunia pendidikan kita terjebak pada formalitas legalistik dan terjerembab pada tataran konsep yang"artifisial", hampa makna dan tidak visioner, bahkan seringkali terjadi educational mismatch, pada gilirannyawajar jika universitas atau institut hanya bermakna Perguruan Tinggi, bukan Pendidikan Tinggi; artinya, yang dihasilkan hanyalah lulusan, bukan out-come atau apalagi menghasilkan produk pendidikan tinggi yang sesuai dengan tuntutan kekinian dan kedisinian dalam segala konteks perubahan (Tilar, 2001 :4-5). Fakta sederhana di atas sekurang-kurangnya dapat mengandung pengertian: 1) pemerintah belum berani menempatkan pendidikan sebagai investasi bangsa yang strategis, terbukti dengan anggaran pendidikan yang jauh dari memadai. Krisis ekonomi tampaknya tidak harus "dikambinghitamkan", karena rendahnva dana pendidikan jauh terjadi sebelum krisis ini berlangsung; 2) rendahnya kualitas SDM, disebabkan lembaga pendidikan hanya dipandang sebagai terminal belaka, bukan "pabrik" pengolahan insan manusiayang bercirikan kemandinan intelektual, spiritual, ekonomi, sosial dll; 3) dunia pendidikan kita belum proaktif merumuskan paradigma dan orientasi pendidikan secara dinamis. Dengan demikian, dunia pendidikan kita harus segera mandiri dan berada di tengah-tengah harapan masyarakat pemakainya, bukan "menara gading" yang tercerabut dari realitas ( Sanusi,1998:291). 2.
Krisis Ekonomi dan Tantangan Pendidikan Indonesia
Sumber daya manusia yang unggul akan meningkatkan produktivitas dan pada akhirnya akan meningkatkan daya saing. Peningkatan daya saing berbasis produktivitas akan jauh lebih sustainable dibanding daya saing berbasis upah buruh yang murah (PR, 26/07/2004, hal. 22). Pentingnya perhatian produktivitas SDM Indonesia terutama karena besarnya mentalitas kontra produktif khas manusia yang dimanjakan alam. Dinamika globalisasi dan perkembangan teknologi secara cepat mengharuskan sumberdaya manusia Indonesia mampu mengikuti, mengikutii, mengendalikan, atau bahkan menciptakan dinamika tesebut serta meningkatkan core of competence. Krisis ekonomi yang masih menimpa bangsa Indonesia disinyalir akibat salah urus dalam bidang pendidikan. Soedjatmoko (1999:25) mengatakan bahwa mengurus pendidikan mengandung esensi proses membelajarkan dan mematangkan bangsa dari segi kualitas iman dan takwa, moral intelektual, ketenagakerjaan dan berbagai dimensi lainnya menuju life quality, yang mensenyawakan rohani dan jasmani, mental dan intelektual, spiritual dan material serta ekonomi dan kebutuhan sosial lainnya. Kesalahurusan pendidikan dengan demikian berarti kekeroposan daya pembelajaran dan melemahnya pematangan aspek-aspek tersebut, yang berakibat
langsung ataupun tidak terhadap pengawetan "kebodohan dan kemiskinan" baik dalam aspek material, moral maupun mental". Pendidikan kita melahirkan kerenggangan antara pandangan hidup dengan praktek kehidupan, antara tujuan idealis dengan realitas materialis dan kesenjangan antara aspek kognisi dan afeksi. Kerenggangan dan kesenjangan inilahsecara common sense yang menjadi sumber petaka dunia pendidikan (Mursidin, 2000:9). Kondisi dunia pendidikan yang masih memprihatinkan ini, meniscayakan bangsa Indonesia berada dalam kubangan krisis yang mengerikan. Kondisi ini layak dicatat sebagai faktor internal bangsa yang tak sekedar berdimensi mengawetkan krisis ekonorni, namun sekaligus sebagai pendorong rendahnya kualitas daya saing Sumber Daya Manusia. Ujung masalah inilah akhirnya melahirkan kesadaran pentingnya reformasi pendidikan nasional. Apabila kondisi di atas tidak segera dibenahi dimungkinkan rasa pesimis kebangsaan kita kian jelas tertorehkan. Dan rasa pesimis itu kian mengemuka secara transparan apabila menengok percepatan perubahan dunia global dalam abad XXI yang tengah makin merapatkan identitas dan pengisian globalisasi informasi, komunikasi dan teknologi, mengakomodasi berbagai budaya-budaya se-dunia dalam satu piring peradaban serta kini makin ditegaskan oleh liberalisasi perdagangan yang kapitalistik. Dalam percaturan dunia global tersebut, bangsa Indonesia tak bakal direlakan atau bisa mengelakkan diri.Bangsa yang mampu survival, produktif dan berkualitas (life quality) pada abad XXI adalah bangsa yang mampu melahirkan kualitas sumber daya manusia yang mandiri (interindependent) serta cukup-cakap berkompetisi dalam pasar global, namun tetap bisa action pada tingkat lokal atau nasional (think globally act locally). Penyiapan sumber, daya manusia yang demikian hanya mungkin terlahir jika lembaga pendidikan apapun nama dan levelnya, mampu mengembangkan akademik dan wira-profesionalisme-kekaryaan secara konsisten dan futuristik (Mursidin, 2000:10). Urgensi wira-profesionalisme-kekaryaan seyogyanya mempakan setting institusi pendidikan yang berproses dan akseleratif dalam menumbuhkan citra kesigapan bersanding dan bersaing pada tatar perubahan apapun. Agar tuntutan ini tercapai maka sejak dini lembaga pendidikan tidak lagi hanya mempersiapkan perangkat konseptual dan praktis ke arah tercapainya link and match tetapi harus pula mempersiapkan dan memiliki kerangka konseptual ke arah kemampuan membangun basis keilmuan yang mengakar pada konteks sosial budaya, peka dalam menerjemahkan potensi-potensi peluang kekaryaan dan tidak tercerabut dari akarprofesinya. Basis keilmuan warga negara pada abad XXI merupakan substansi pendidikan sebagai praktek pembebasan keterpasungan manusia dalam mengembangkan imajinasi dan kekuatan intelektual serta menemukan karya baru. Makna pendidikan yang demikian inilah yang membangkitkan rasa optimisme bangsa Indonesia dari kungkungan krisis ekonomi dan dari tantangan abad XXI. Pada abad XXI ini intelektualitas bukan semata mata penjaga dan penglipur kegalauan, tetapi intelektualitas yang terindustrikan, yakni
intelektual yang memenuhi kebutuhan pribadi (rohani dan jasmani serta spiritual dan material) dan yang dibutuhkan oranglain dalam kerangka investasi ekonomis, sosial dan agama (beramal). Pendidikan Indonesia di tengah krisis, dan yang sedang berada pada masa transisi menuju demokrasi serta abad global, layak menginsyafi model pendidikan. Brazilia sebelum memasuki ke kesadaran baik sebagaimana dikemukakan oleh Azevedo (1976:238), bahwa sebagai suatu pendidikan yang telah menindas kebebasan, hanya melakukan pendiktean ide-ide, memaksakan suatu perintah dan menekan warga negara untuk tidak berbuat dan menciptakan hal-hal baru. Atas dasar contoh ini maka : Akhirnya masa transisi membawa kita untuk menghadapi realitas dengan cara yang sistematis. Memanfaatkan masa transisi ini, penulis tergerak untuk mencoba membersihkan pendidikan kita dari kecenderungan verbal, dan tiadanya kepercayaan terhadap murid dan kemampuannya untuk berdiskusi, bekerja dan mencipta. Demokrasi dan pendidikan demokratis dibangun diatas kepercayaan kepada manusia. Kepercayaan bahwa manusia tidak hanya dapat menonton, melainkan harus mendiskusikan problem-problem yang dihadapi negerinya, benuanya, pekerjaannya dan problem-problem demokrasi itu sendiri. Kutipan di atas sangat berarti bagi pengisian dan pemaknaan pendidikan bagi bangsa Indonesia dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yakni pendidikan yang memiliki esensi memberi muatan moral, intelektual, kebebasan, kemampuan warga negara mencipta dan mandiri, juga suatu pendidikan yang memiliki orientasi untuk pemecahan masalah-masalah dan pemenuhan kebutuhan "pasar" nasional, regional dan internasional. Konteks ini membawa kepada pemahaman bahwa pendidikan abad XXImemiliki dua corak sekaligus, yakni corak ke-Indonesiaan dan corak global (Zanlroni, 2000:90). 3.
Budaya Pendidikan Prestatif
Pendidikan nasional suatu bangsa secara ideal diselenggarakan bukan sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang dan meligitimasi politik bangsa, tetapi pendidikan secara ideal berfungsi memenuhi tuntutan perubahan dunia baru. Karena itu, pendidikan harus terintegrasi dalam proses pembudayaan. Dalam mencapai proses tersebut maka pelaksanaan pendidikan memiliki beberapa dimensi semangat. Pertama, penemuan dan invensi (discovery and invention). Tanpa penemuan-penemuan baru dan invensi, suatu pendidikan akan kehilangan bagian jati diri yang paling esensial. Kedua, difusi (pembauran). Pada abad XXI kesadaran akan difusi menjadi niscaya, baik dalam aspek materi dan metode, maupun proyeksi peluangpeluang pendidikan. Ketiga, akulturasi. Pendidikan abad XXI harus tersadarkan adanya pertukaran dan pembauran budaya antar etnik, kelompok sosial, agama-agama dan bangsa-bangsa, Keempat, asimilasi. Pendidikan harus memiliki kesadaran asimilasi sebagai hal yang tak terelakkan dalam dunia global. Pada asimilasi terjadi pembauran antar etnik sebagai pertukaran yang bersifat geneologis melalui perkawinan sehingga akan terjadi pula pertukaran budaya yang saling menyerap dan legitimasi. Keenam,
inovasi. Dalam abad teknologi dewasa ini inovasi mempakan ciri manusia pendidikan yang dapat survive dan dapat bersaing. Ketujuh, fokus Hal ini menjadi trend abad XXI, dimana pengetahuan dan kemampuan manusia akanterarahkan pada spesialisasi dan profesionalisasi. Kedelapan, visi masa depan. Pendidikan harus mampu memproyeksikan masa depan dan mempersiapkan infrastruktur untuk mengantisipasi dan mengisi setiap perubahan yang tak semata berdimensikan social broker, namun yang lebih penting adalah social change. Dari berbagai dimensi pendidikan dalam proses pembudayaan di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan harus menjadi wahana bagi pengembangan kebudayaan. Dalam konteks abad XXI dan memasuki globalisasi ekonomi, maka budaya yang patut dikembangkan dengan skala prioritas meliputi: 1) budaya moral; 2) budaya profesional; 3) budaya kewirausahaan; dan 4) budaya kreatif. Macam-macam skala prioritas ini bermuara pada pendidikan prestatif. Melalui pengembangan budaya ini pula diharapkan dapatmemberikan jawaban terhadap tiga hal: 1) problem krisis moral; 2) problem krisis ekonomi; 3) menjawab rendahnya kualitas dan daya saing warga negara Indonesia. Bagi dunia pendidikan tampaknya empat dimensi pengembangan budaya itu tidak seluruhnya mendapatkan prioritas. Pada budaya moral umpamanya, secara. kognisi tujuan pendidikan serta muatan materi pendidikannya selama ini telah banyak memberikan porsi. Kondisi secara afeksi perlu ditingkatkan, namun adanya gejala kepercayaan masyarakat bahwa dengan memasukan anaknya ke dalam lembaga pendidikan karena memang pendidikan ini memiliki tujuan dan target pokok menciptakan manusia yang bermoral. Harapan ini rnerupakan gejala dasar bahwa masyarakat paling tidak telah memiliki pandangan bahwa pendidikan memiliki integritas moral. Maka aspek kognisi dan afeksi moral selama ini dapat diasumsikan telah memenuhi standar minimal. Sekalipun bukan tanpa masalah sama sekali, sebab dalam prosesnya masih menunjukkan indoktrinasi moral, tanpa dilengkapi dengan pendekatan dan proses bagaimana suatu nilai moral diperoleh: sumber, cara dan metode menanamkan moral pada orang lain, sehingga kesadaran moral bukan semata-mata individualistik tapi hendaknya jadi kesadaran kolektif dan sosial sertaberkembang secara dinamis. 4.
Pendidikan dalam Perubahan Sosial Menuju SDM Berkualitas .
Salah satu karakreristik utama kebanyakan negara berkembang adalah komitmen dan konsisten terhadap pembangunan nasional. Pembangunan Nasional pada prinsipnya merupakan pembahan sosial yang besar dari suatu situasi ke situasi lain yang lebih bernilai, dari statis ke dinamis, masyarakat tradisional menuju masyarakat industri atau modern. Pembangunan sebagai proses perubahan yang terencana dalam rangka perbaikan tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat bersifat multidisipliner, komprehensif dan integral yang berakar pada suatu konfigurasi lingkungan sosial budaya. Perubahan sosial yang diwarnai oleh dinamika perilaku masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sistem sosial, baik yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal
sistem sosial. Perubahan sosial terjadi dalam sistem sosial harus memenuhi persyaratan fungsional, yaituadaption (penyesuaian diri), goal attainment (mencapai tujuan), integration (integrasi), dan latent maintenance (pemeliharaan pola) dalam kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Mengingat masyarakat terdiri dari subsistem budaya, subsistem sosial dan subsistem kepribadian berupa individu-individu. Sistem budaya berisi nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan dan kepercayaan atau keyakinan hidup yang dianut bersama (shared). Dalam sistem sosial terdapat struktur peran yang perilaku yang diharapkan dan dilakukan seseorang sesuai dengan status sosialnya (role expectation).Sedangkan sistem kepribadian, setiap individu memiliki keperluan yang lahir atau dibentuk saat berlangsungnya proses sosialisasinya bagi dirinya (parson, dalam Adiwikarta, 1988). Sistem sosial merupakan salah satu wujud dari kebudayaan, disamping wujud idiil dan fisik, sehingga sistem sosial bersifat kompleks Sifat kompleks dari sistem sosial, karena mencerminkan aktivitas pola perilaku dari setiap individu berdasarkan struktur, norma, nilai, dan kepercayaan dan lain sebagainya dalam masyarakat. Sistem sosial budaya menumt komponennya dapat membentuk yaitu: keluarga, ekonomi, pemerintahan, agama, pendidikan dan kelas atau lapisan masyarakat. Komponenkomponen tersebut dapat dipengaruhi oleh: a. Ekologi, tempat dan geografi di mana masyarakat berada; b. Demografi, menyangkut populasi, susunan penduduk, dan ciri-ciri penduduknya; c. Kebudayaan, menyangkut nilai-nilai sosial, sistem kepercayaan, dan normanorma dalam masyarakat; d. Kepribadian, meliputi sikap mental, semangat, temperamen, dan ciri-ciri psikologis masyarakat; e. Waktu, sejarah dan latar belakang masa lampau masyarakat tersebut (Margono, 1995). Toennies (dalam Margol1o, 1986) mengemukakan suatu masyarakat dapat mengalami fase Gemeinschaft atau fase Gesselschaft. Sifat dan masyarakat Gemeinschaft yaitu adanya keterikatan yang bersifat emosional dibandingkan dengan Gesselschaft yang bersifat rasional. Masyarakat Gemeinschaft lebih berorientasi ke masa silam, bersikap fatestik, dan dogmatik. Sebaliknya masyarakat Gesselschaft berorientasi ke masa depan dan bersifat objektif. Durkhein mengatakan bahwa adanya proses perubahan sosial disebabkan oleh solideritas mekanik dan solideritas organik. Solideritas mekanik, manusia dilahirkan dalam lingkungan sosialnya yang akan membentuk ikatan emosional. Bentuk perubahan atas solideritas organik, manusia sebagai alat untuk mencapai tujuan, seperti terlihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar 1 Masyarakat Sebagai Sistem Sosial
Etziona (1974) berpendapat bahwa terdapat hubungan erat antara ekonomi dengan perubahan struktur sosial, karena sistem ekonomi memerlukan dan dilandasi oleh suatu struktur masyarakat tertentu. Dengan perkataan lain setiap struktur sosial merupakan ekologi dari bentuk sistem ekonomi sekaligus bersifat penggodaan struktur sosial baru yang menunjangnya. Pendekatan semacam ini adanya "adaptasi" dan "keharusan" instrumen teknologi sebagai pengganti tenaga manusia telah mengubah struktur sosial masyarakat. Sejak dekade tahun 1980 kehidupan dunia ditandai oleh adanya krisis dehumanisasi kemiskinan, kerusakan sistem lingkungan dan struktur sosial sebagai implikasi dari nuklir. Pada dekade tahun 1990 dan menjelang abad .ke-21 merupakan periode "human society" atau periode karakteristik perjuangan kelangsungan hidup, yang ditandai oleh gejala globalisasi dan arus informasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perubahan masyarakat seperti ini memerlukan strategi pembangunan yang berwawasan sosial. Tekanan upaya pertumbuhan selama ini memerlukan perombakan strategi pada transforrnasi pembangunan sosial yang memperhatikan probabilitas institusi/kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai, sikap dan perilaku manusia yang konsisten dengan lingkungan dari realita sosial. Strategi transformasi sosial tersebut dilandasi oleh tiga kebutuhan dasar dari globalisasi sosial berupa "justice, sustainabilty and inclusiveness" (David c. Korten, 1989). Berkenaan dengan asumsi dasar tersebut, menunjukkan bahwa perubahan sosial biasanya mempunyai akses terhadap kemampuan institusi pemerintah dan institusi sosial dalam proses perubahan struktur, perilaku, nilai dalam lingkungan sosial untuk
mengantisipasi kritis pertumbuhan penduduk, kemiskinan, kebodohan, dan pertumbuhan ekonomi. Masalah kemiskinan, keterbelakang dan kebodohan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, dipengaruhi oleh faktor sumber daya manusia, sumberdaya alam, teknologi, lapangan kerja, permodalan dan kelembagaan yang saling berkaitan dan ketergantungan satu sama lain yang bersifat ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Perubahan sosial masyarakat mempunyai relevan dengan perubahan ekonomi, politik, kebudayaan, termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui proses peodidikan secara timbal balik. Pendidikan dapat membantu mempercepat terjadinya perubahan teknologi, sosial ekonomi, politik dan budaya. Perubahan pendidikan masyarakat dapat menghasilkan perubahan sosial dalam berbagai aspek dengan laju perubahan yang beraneka ragam yang terjadi dalarn masyarakat sebagai sistem sosial. Perubahan sosial demikian fase inovasi, dan konsekuensi nilai yang direncanakan atau tidak, evolusi clan revolusi, internal sistem maupun eksternal sistem sosial. Konsepsi Basil dan Cook (dalam Margono, 1996) menggambarkan bentuk mekanisme perubahan sosial yang disebabkan oleh transformasi pendidikan dan teknologi kepada masyarakat sehinga terdapat hubungan kontributor sosio-ekonomi utama dalam pertumbuhan nasional adalah seperti terlihat dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 2 Pendidikan dan Teknologi Dalam Perubahan Sosial
Keunggulan bidang pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis dan jalur pendidikan akan memberi kontribusi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap peningkatan kualitas manusia diiringi dengan produktivitas kerja, profesional maupun kemandirian dalam proses peningkatan kesejahteraannya. Dalam dinamika proses berlangsungnya hubungan kontribusi tersebut, dipengaruhi oleh sistem tata nilai,
aspirasi serra kerangka kelembagaan masyarakat pada waktu berlangsungnya proses perubahan sosial. Perubahan sosial dapat dilihat pula melalui perubahan dalam distribusi status masyarakat dan perubahan dalam peran-peran yang mencakup hak dan kewajiban,serta perubahan dalam norma antar warga dengan masyarakat, perubahan seperti ini lebih konsisten pada perubahan, pengetahuan, norma serta adat kebiasaan serta berbagai perilaku yang telah membudaya untuk diwariskan melalui proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya, Dalam proses regenerasi terdapat dua peran pendidikan dalamperubahan sosial, yaitu: Pertama, pendidikan berperan dalam upaya mewariskan kebudayaan dan sistem sosial; dan kedua peranan pendidikan sebagai pembawa atau pelaku perubahan masyarakat atau agent of change. Kedua, peran pendidikan tersebut dalam rangka perubahan yang cepat, biasanya dikaitkan dengan teknologi, karena penerapan teknologi merupakan sumber utarna perubahan sosial bila dibandingkan dengan aspek perubahan mental dan rohani. Apabila tidak seimbang antara penerapan teknologi dengan aspek kehidupan mental dan rohani dalam proses perubahan sosial dalam bentuk seperti ini biasanya dapat menimbulkan culture lag. Terdapat indikator yang sangat kuat adanya pemberdayaan atan "empowerment" masyarakat dalam perubahan sosial ekooomi melalui pendidikan terutama bagi masyarakat tradisional. Pemberdayaan merupakan strategi pendidikan yang umumnya diterapkan dalam upaya pemerataan, relevansi dan tujuan pendidikan tingkat pembangunan, dengan tujuan menghubungkan modernisasi dan pembangunan, dengan tujuan mendukung “gross national product” dan “rate of growth” untuk kemajuan sosial ekonomi dan peningkatan kualitas hidup yang di mana dikembangkan tahun 1980 oleh Albert O. Hischman (Supriatoa, 2000:75). Alasannyapendidikan bagi masyarakat dalam rangka pemberdayaan dan dinamika sosial adalah: adanya energi sosial untuk ditingkatkan kualitasnya bagi tujuan sosial ekonomi, pengembangan pendidikan yang relevan dengan dunia kerja dan bisnis, sikap dan perilaku individu secara kerja sama dan integrasi merupakan bentuk kelangsungan budaya, pendidikan merupakan akar pembangunan dari kekuasaan sentral dalam kehidupan maupun elit yang berkuasa harus konsen terhadap pemberdayaan sebagai perwujudan dari "nature collective or comunal". Salah satu karakteristik kerja yang dapat mengentaskan kemiskinan dan memberantas pengangguran, setiap individu anggota masyarakat dengan dilandasi kemampuan pendidikan upaya jiwa kewiraswastaan suatu keterampilan ekonomik untuk dapat mengembangkan kandungan potensi sumberdaya alam setempat atau kandungan ukuran dan seni, masyarakat Tasikmalaya dengan kerajinan tangan, masyarakat Padang dengan restorannya, dan sebagainya. Kemampuan budaya semacam itu, sudah barang tentu setiap orang dilandasi dengan minat, keterampilan, kemahiran dan keahlian sesuai dengan profesinya yang
berlaku bagi kelompok masyarakat tertentu (petani, pendidik, pedagang, pengrajin, peternak, akuntan, dokter dan lain-lain) memiliki etika sesuai dengan pengalaman, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelihara dan dikembangkan sesuai dengan tatakrama kerja. Kemampuan semacam ini manusia dituntut untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar kehidupannva, Kartasasmita (2000) meugungkapkan, bahwa penyiapan SDM dalam menghadapi abad XXI mengacu pada konsep dasar dari manusia yang terdiri dari tiga kornponen yaitu: jasmani, akal dan kalbu. Sumber daya manusia adalah segenap porensi jasmani, alkal dan kalbu yang satu sama lain mendukung dan dapat didayagunakan manusia untuk melakukan berbagai kegiatan guna mencapai tujuan hidupnya. Kualitas SDM sangat ditentukan oleh kualitas jasmani, akal dan kalbu. Kualitas jasmani diukur dengan derajat kesehatan. Kualitas akal diukur dengan derajat kecerdasan dan penguasaan ilmu pengetalman serta kemampuan berpikir. Kualitas qalbu diukur dengan keimanan dan ketaqwaan, budi pekerti, moral dan akhlak serta kepedulian dan kepekaan sosial. Maka dari itu, sumber daya manusia yang berkualitas adalah manusia yang sehat jasmani, cerdas, berilmu pengetahuan luas berdaya pikir sehingga mampu menerapkan, menguasai dan mengembangkan llmu pengetahuan dan teknologi guna kemaslahatan umat manusia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, bermoral dan berakhlak mulia, selalu condong dan berpihak kepada keadilan dan kepekaan sosial sehingga memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan yang tinggi. Manusia seperti itu manusia pembangunan yang efektif yang berguna bagi dirinya, keluarga dan masyarakat. Untuk mewujudkan kualitas sumber daya manusia tersebut faktor pendidikan sangat penting, terutama bagi penduduk miskin, karena gejala penduduk kemiskinan pada desa tertinggal ditandai oleh kurangnya atau tidak memiliki pendidikan yang memadai. Karena itu, pengembangan sumber daya manusia melalui pembangunan pendidikan (formal, informal, dan nonformal) yang dirumuskan dalam kebijaksanaan di bidang pendidikan yang berakses pada: 1. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang mengandung makna terhadap: a) kesempatan (equiry of opportunity), b) aksebilitas (accesbility)dan c) keadilan dan kewajaran (equity ) 2. Relevan pendidikan yang erat kaitannya perubahan nilai yang didasari oleh kebutuhan iman, takwa, Iptek atau budaya dengan kebutuhan sektor dan program pembangunan. 3. Kualitas proses dan produk pendidikan untuk menciptakan sumberdaya manusia bagi kepentingan pembangunan. 4. Efisiensi pendidikan yang erat kaitannya dengan tujuan pendidikan baik secara makro maupun mikro.
Akhirnya, semoga SDM Indonesia harus mampu meningkatkan tingkat produktivitas seperti di negara lain, hal ini bisa terjadi apabila pemerintah Indonesia memiliki komitmen, visi jangka panjang, strategi yang kongkrit untuk mewujudkan visi tersebut, dan betul-betul melaksanakan law enforcement secara konsisten serta mampu menyatukan seluruh potensi terbaik bangsa untuk kemajuan sumber daya manusia kita, sehingga sumber daya manusia bangsa Indonesia mampu berdiri tanpa dimandori oleh bangsa lain yang pada akhimya akan menggadaikan/menjajah bangsa kita ini.
5.
Kesimpulan.
Keadaan ekonomi negara Indonesia yang mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani masih lemah dan kondisi pendidikan yang masih kurang, sehingga mengakibatkan sumber daya manusianya menjadi tertinggal. Pendidikan nasional suatu bangsa secara ideal diselenggarakan bukan sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang dan meligitimasi politik bangsa, tetapi pendidikan secara ideal berfungsi memenuhi tunturan perubahan dunia baru. Pengelolaan pendidikan mengandung esensi proses pembelajaran dan pematangan bangsa dari segi kualitas iman, takwa, dan moral intelektual, ketenagakerjaan dengan berbagai dimensi lainnya menuju life quality, yang mensenvawakan rohani, jasmani, mental, intelektual, spiritual, dan material dan kebutuhan sosial lainnya. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah manusia yang sehat jasmani, cerdas, berilmu pengetahuan luas, berdaya pikir kuat, berbudi pekerti luhur, bermoral, berakhlak mulia, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga mampu menerapkan, menguasai, dan mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi unruk kemaslahatan umat manusia, serta selalu condong dan berpihak kepada keadilan dan kepekaan sosial dan memiliki rasa tanggugn jawab kemasyarakatan, kebangsaan dan kemanusiaan yang tinggi. Semoga.
Daftar Pustaka 1. 2.
3. 4.
David C. Korten, 1980. Community Organization and Rural Development a Learning Process Approach. Public Administration Review. Kartasasmita, Ginanjar. 2000. Makalah Seminar Kebijaksanaan Pendidikan, Pengembangan Iptek dan Transformasi Sosial. Dies Natalis UGM. Yogyakarta: UGM (Universitas Gajah Mada) Margono, Slamet, 1996. Metodoiogi Pengabdian Maryarakat. Jakarta: Depdikbud. Mursidin, 2001. Wahana Introspeksi dan Proyeksi Mahasiswa LAIN Fakultas Tarbiyaah. Bandung: Tunas Nusantara.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Noordin, Mohd, Wain Moh Zahid, 1995. Wawasan Pendidikan Agenda Pengisian. Kualalumpur: Nurin Interpresie. Khan, M. Waishullah, 1975. Education and Society in the Muslim World. Canselor East West University, Chicago. Salim, Emil, 1995. Sumber Daya Manusia dalam Perspektif. Jakarta: Grasindo. Sanusi, Ahmad, 1998. Pendidikan Alternatif. Bandung: Media Pratarna. Soedjatmiko, 1991. Manusia dan Dunia yang Sedang Berubah. Jakarta: Grasindo. Sudardja Adiwikarta, 1988. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan Hipotesis tentang Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud. Supriatna, Tjahya, 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta: Rineka Cipta. Tilar, H.A.R., 2001. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya. Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bighraf Pubishing.
Dokumen Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung, Sabtu, 26 Juli 2004, hal 22