POTENSI PEMBUATAN TEPUNG UMBI BENTUL (Colocasia esculenta (L.) Schott) DENGAN PENAMBAHAN NATRIUM METABISULFIT SEBAGAI FORTIFIKASI PRODUK PANGAN Ambar Fidyasari1, Lely Kusumawati Negri1 dan Wigang Solandjari2 1.2 Akademi Analis Farmasi Dan Makanan Putra Indonesia Malang jl. Barito No 5 Malang-56123 Penulis Korespondensi : email:
[email protected]
ABSTRAK Umbi bentul adalah salah satu umbi yang memiliki kandungan makronutrien, mikronutrien dan senyawa bioaktif, namun pemanfaatannya masih kurang. Keunggulan dari umbi bentul adalah kandungan polisakarida larut air dan Indeks Glikemik (IG) yang cukup rendah. Dengan kandungan zat gizi yang tinggi, bentul dapat diolah menjadi tepung yang nantinya dapat digunakan sebagai tambahan pada pembuatan pangan. Pada proses pembuatan tepung dengan bahan baku umbi, sering dijumpai masalah yang menyebabkan proses pencoklatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan natrium metabisulfit tehadap mutu tepung bentul. Dimana penelitian ini terdiri dari dua tahap. Pertama yaitu pembuatan tepung bentul. Kedua pengujian mutu fisik dan kimia tepung bentul. Data yang diperoleh dianalisis dengan metode Analysis of Variance (ANOVA). Parameter yang diamati meliputi pengujian organoleptis, rendemen, warna serta pengujian mutu kimia yaitu kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) memberikan pengaruh terhadap mutu fisik dan kimia yang meliputi warna (dengan nilai L berturut-turut (62,0, 63,7 dan 65,7), kadar abu (1,95%, 1,93% dan 2,27%), kadar air (7,42%, 8,97%, dan 8,63%) dan kadar karbohidrat (86,35%, 85,26% dan 85,17%) tepung bentul (Colocasia Esculenta L. Schott). Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5) dapat memperbaiki warna dari tepung yang dihasilkan.
Kata Kunci: Browning enzimatis, colocasia esculenta (L.) Schott, tepung bentul, natrium metabisulfit 1.
PENDAHULUAN
Umbi-umbian merupakan pangan yang dapat memberi banyak sumber karbohidrat. Banyak varietas umbi-umbian yang mudah diperoleh, seperti umbi jalar, umbi kayu atau singkong, umbi bentul, dan umbi ganyong Saat ini tingkat penggunaan bahan-bahan hasil pertanian selain padi, jagung, umbi kayu, umbi jalar masih tergolong rendah. Penggunaan selama ini hanya direbus, digoreng atau dibakar. Salah satu contoh umbi-umbian yang tersedia melimpah namun belum dimanfaatkan secara optimal adalah umbi bentul Colocasia esculenta (L.) Schott). Bentul merupakan tanaman umbi yang banyak memiliki kandungan yang bermanfaat. Pada penelitian Subhas et al., (2012) menyatakan Colocasia esculenta mengandung polisakarida larut air namun belum diketahui berapa kadar didalamnya. PLA memiliki beberapa manfaat bagi tubuh untuk mengobati penyakit degeneratif. Choi,et al (1998) asupan tinggi serat direkomendasikan bagi penderita diabetes. Melihat kandungan yang cukup potensial dari umbi bentul, maka umbi ini memiliki peranan cukup penting dalam diversifikasi pangan sehigga perlu dibuat sediaan dalam bentuk tepung. Menurut Uritani (1982) Pada proses pembuatan tepung dengan bahan baku umbi, seringkali dijumpai masalah yaitu timbulnya getah yang menyebabkan proses pencoklatan. getah umbi banyak mengandung senyawa-senyawa o-difenol yang berupa senyawa asam klorogenat, asam 240
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
isoklorogenat, asam kafeat dan turunannya. Oksidasi senyawa-senyawa fenol tersebut menghasilkan senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Hal ini menyebabkan tepung mempunyai warna kecoklatan dan kurang diminati masyarakat. Selain itu, proses terjadinya perubahan warna tidak diharapkan, karena akan menurunkan mutu tepung. Menurut Rosyida (2011) jenis umbi bentol sebagai salah satu jenis umbi umbian dapat digunakan sebagai pengganti nasi karena mengandung serat dan protein yang cukup tinggi, Cara yang efektif dalam pencegahan proses pencoklatan atau browning dalam pembuatan tepung ialah dengan penambahan natrium metabisulfit. Menurut Darmajana., 2010 penambahan natrium metabisulfit pada saat perendaman tepung jagung cara mencegah reaksi pencoklatan dari tepung jagung dan menghasilkan pati yang lebih putih. Senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat tinggi dan bersifat irreversibel, sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase (Eskin dkk., 1971). Dalam konteks pangan, pengujian mutu merupakan suatu proses menyeluruh yang meliputi semua aspek mengenai produk untuk menghasilkan produk dengan mutu terbaik dan menjamin produksi makanan secara aman dengan produksi yang baik. Pengujian mutu fisik tepung bentul meliputi organoleptis, rendemen, dan warna sedangkan mutu kimia meliputi kadar air, kadar karbohidrat, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Penelitian tentang mutu fisika dan kimia perlu dilakukan sehingga tepung bentul dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai fortifikasi produk pangan khususnya pangan fungsional dan sebagai bahan baku industri. 2.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bentul putih. Bahan pembantu pembuatan tepung bentul meliputi garam dapur (NaCl) dan natrium metabisulfit. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kompor gas, baskom, pengaduk, panci, loyang, timbangan, belender, dan ayakan 60 mesh. Metode Penelitian Penelitian pengolahan umbi bentul menjadi tepung bentul ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor yaitu konsentrasi natrium metabisulfit 0%, 0,3% dan 0,6%. Analisis meliputi rendemen dan warna (Yuwuno dan Susanto, 1998) serta analisis protein, kadar air, lemak abu dan karbohidrat (Sudarmadji, dkk. 1997), Tahapan Pembuatan Tepung Bentul Bentul dikupas, kemudian dicuci bersih untuk mengihilangkan zat-zat pengotor. Lalu bentul dipotong kecil-kecil untuk mepermudah pada proses pengeringan dan penghancuran. Selanjutnya, bentul direndam dengan menggunakan air garam untuk menghilangkan kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal pada mulut. Setelah direndam dengan air garam, bentul direndam kembali menggunakan larutan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0% b/v, 0,3% b/v dan 0,6% b/v. Kemudian bentul di blanching dengan menggunakan air panas selama 10-15 menit. Selanjutnya, bentul dikeringkan dibawah sinar matahari. Setelah kering bentul dihaluskan dengan menggunakan blender dan diayak dengan ayakan 60 mesh. Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
241
Pengamatan dan Analisa Data Tepung bentul yang dihasilkan diamati dan dianalisa mutu fisiknya yang meliputi organoleptis, rendemen dan warna serta mutu kimia yang meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat. Data yang diperoleh dari pengujian mutu kimia tepung bentul dianalisa dengan menggunakan metode analisa One Way Anova. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Organoleptis Tepung Bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schott) Pembuatan tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit ini dilakukan dengan merendam umbi bentul dengan menggunakan tiga konsentrasi natrium metabisulfit yang berbeda yaitu 0%, 0,3% dan 0,6%. Hal tersebut mengacu pada penelitian Purwanto dkk., (2013) dimana pemberian natrium metabisulfit dapat mencegah terjadinya reaksi pencoklat pada tepung labu kuning. Tepung bentul yang dihasilkan diamati organoleptisnya. Pengujian organoleptis tepung bentul meliputi bentuk, warna dan aroma. Adapun pengujian organoleptis tepung bentul tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Pengujian Organoleptis Tepung Bentul Parameter
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,3%
Konsentrasi 0,6%
Bentuk
Serbuk
Serbuk
Serbuk
Warna
Coklat muda
Coklat muda keputihan
Coklat muda hampir putih
Aroma
Bau khas
Bau khas
Bau khas
Bentuk dari ketiga tepung bentul yang dihasilkan adalah sama yaitu berbentuk serbuk. Warna yang dihasilkan dalam pembuatan tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit 0% lebih gelap dibandingkan dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6%. Tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan dengan penambahan konsentrasi 0%, namun warna yang dihasilkan lebih gelap dibanding dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,6%. Pada penelitian ini, semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan maka akan menghasilkan tepung bentul yang memiliki warna yang lebih putih. Hal tersebut dikarenakan senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat tinggi dan bersifat irreversibel, sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase. Penggunaan sulfit dalam pencegahan reaksi browning melalui cara mereduksi secara langsung hasil 242
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
oksidasi quinon menjadi senyawa fenolat sebelumnya. Warna coklat pada tepung akan teratasi dengan penambahan larutan natrium metabisulfit yang dianjurkan untuk produk pangan. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka tepung memiliki warna yang lebih putih. Menurut Syarief dan Irawati, (1998), selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi ini akan mengikat melanoida sehingga mencegah timbulnya warna coklat. Selain itu, aroma yang dihasilkan dari masing-masing tepung bentul memiliki aroma yang khas yaitu berbau khas umbi bentul. Namun, dengan penambahan natrium metabisulfit, aroma dari tepung bentul lebih tajam. Hal tersebut dikarenakan sifat dari natrium metabisulfit yang memiliki bau khas seperti gas sulfur dioksida dan sedikit asam. Pengujian Rendemen Tepung Bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schott) Rendemen merupakan berat bahan setelah proses dibandingkan dengan berat bahan sebelum proses. Pembuatan tepung bentul ini dilakukan dengan menggunakan tiga konsentrasi natrium metabisulfit yang berbeda. Konsentrasi pertama adalah 0%, 0,3% dan 0,6%. Umbi bentul yang digunakan dalam pembuatan tepung bentul adalah sebanyak 300 gram. Air yang digunakan masing-masing adalah sebanyak 1000 mL. Hasil pengujian rendemen tepung bentul adalah sebesar 29,33%. Hasil rendemen yang kecil diakibatkan kandungan air yang besar yang terdapat pada umbi bentul yaitu 69,2 gram per 100 gram. Pada proses pengeringan, air pada umbi bentul akan menguap sehingga rendemen yang dihasilkan akan rendah. Pengujian Mutu Kimia Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) Pengujian mutu kimia tepung bentul meliputi pengujian tentang kadar protein, kadar lemak, kadar air, kadar abu serta kadar karbohidrat dari masing-masing tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0%, 0,3% dan 0,6%. Adapun hasil pengujian mutu kimia tepung bentul dapat dilihat pada tabel 2 Tabel 2 Pengujian Mutu Kimia Tepung Bentul (Colocasia Esculenta (L) Schott) dalam 65 gram Parameter Konsentrasi Konsentrasi Konsentrasi 0% 0,3% 0,6% Protein (%)
4,00
3,50
3,58
Lemak (%)
0,28
0,34
0,35
Air (%)
7,42
8,97
8,63
Abu (%)
1,95
1,93
2,27
Karbohidrat (%)
86,35
85,26
85,17
Kadar Protein Kadar protein pada tepung bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schoot) yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit (Na2S2O3) pada proses perendaman memberikan hasil yang tidak Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
243
berbeda jauh dengan tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit. Kadar protein tepung bentul yang dihasilkan tanpa penambahan natrium metabisulfit ialah 4,00 % sedangkan kadar protein tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6% berturut-turut adalah 3,50% dan 3,58%. Hasil kadar protein pada tepung bentul penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan umbi Dioscorea alata ungu dan kuning sebesar 1,57 % dan 2,71 % pada penelitian Fahmi dan Antarlina, 2007. Kadar protein dalam tepung diperlukan untuk aplikasinya, apabila tepung berkadar protein tinggi maka dalam aplikasinya tidak perlu menambahkan substitusi lagi (Richana, 2004). Berdasarkan hasil analisa data one way anova, konsentrasi natrium metabisulfit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar protein tepung bentul dengan nilai sig 0,084 (Sig > 0,05). Hal tersebut menunjukkan, bahwa tepung perlakuan pendahuluan baik berupa blanching maupun perendaman dalam natrium metabisulfit tidak memberi pengaruh besar terhadap kadar protein dalam tepung bentul.
Gambar 1. Grafik Kadar Protein
Proses blanching dapat mencegah atau mengurangi kehilangan nutrisi selama proses pengolahan sedangkan perendaman dalam larutan natrium metabisulfit diduga dapat mencegah terjadinya pemecahan senyawa protein menjadi asam-asam amino (Kumalaningsih dkk, 2009). Selain itu, blanching merupakan salah satu proses pemanasan. Proses pemanasan dapat mendenaturasi dan merubah struktur protein yang ada. Meskipun demikian kandungannya tetap karena dengan analisa kadar protein yang diketahui sebenarnya adalah jumlah dari N total, sehingga proses pemanasan hanya dapat mengakibatkan denaturasi struktur protein saja, namun kadar N dalam bahan masih dalam jumlah yang tetap. Kadar Lemak Besarnya konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O3) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kadar lemak tepung bentul. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil analisa data yang diperoleh nilai Sig 0,050 (Sig > 0,05). Pada tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit konsentrasi 0% memiliki kandungan kadar lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak pada tepung bentul dengan konsentrasi natrium metabisulfit 0,3% dan 0,6%.
244
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Gambar .2 Grafik Kadar Lemak
Kadar lemak pada tepung bentul yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan penambahan natrium metabisulfit. Kadar lemak pada tepung bentul berkisar antara 0,28 – 0,35. Hasil tersebut hampir sama dengan penelitian Lebo et al., (2005) yang mendapatkan kadar lemak pada tepung ubi kelapa sekitar 0,2 – 0,5 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi natrium metabiulfit yang digunakan dalam proses perendaman umbi bentul maka semakin besar kandungan lemak yang dihasilkan dikarenakan proses sulfitasi dapat menyebabkan sel-sel jaringan pada bahan menjadi berlubang sehingga diduga menyebabkan lemak dalam umbi bentul memecah menjadi asam-asam lemak yang terdeteksi pada proses analisis lemak (Rahman dan Parera, 1998). Dari kandungan lemak yang rendah tersebut menyebabkan umbi bentul ini menjadi bahan makanan pokok yang cocok untuk diet atau penyakit degenerative. Kadar Air Kadar air tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6% berturut-turut adalah 8,97% dan 8,63%. Penambahan natrium metabisulfit memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kadar air yang dihasilkan pada masing-masing tepung bentul. Berdasarkan hasil analisa data one way anova, nilai sig yang dihasilkan adalah 0,001 (Sig < 0,05 ). Hasil kadar air tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit (Na2S2O5), maka kadar air yang terkandung akan semakin rendah. Rendahnya kadar air disebabkan karena natrium metabisulfit dapat merusak jaringan pada umbi bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schoot). Perendaman dalam natrium metabisulfit mengakibatkan sel-sel jaringan pada bahan menjadi berlubang sehingga mempercepat proses pengeringan, proses pengeringan yang cepat tersebut menyebabkan air dalam bahan cepat teruapkan. (Purwanto., 2013). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan Herudiyanto, dkk (2007) bahwa rendahnya kadar air pada tepung bentul berkaitan dengan perusakan bahan oleh natrium metabisulfit.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
245
Gambar.3 Grafik Kadar Air
Pada tepung bentul yang dihasilkan tanpa penambahan natrium metabisulfit atau dengan konsentrasi 0%, hasil kadar air yang diperoleh semakin rendah yaitu 7,42%. Hal tersebut dikarenakan tepung bentul tersebut tidak melalui proses perendaman dengan natrium metabisulfit yang dapat merusak sel-sel jaringan sehingga dapat mempercepat proses pengeringan. Pada proses pengeringan tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit memerlukan waktu yang lebih lama yaitu 2 hari dibandingkan dengan tepung bentul yang dihasilkan dengan penambahan natrium metabisulfit baik dengan konsentrasi 0,3% dan 0,6% yang memerlukan waktu lebih singkat yaitu 1 hari. Oleh karena itu, akibat memerlukan waktu yang lebih lama umbi bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit melalui proses pengeringan dalam kurun waktu 2 hari. Hal tersebut mengakibatkan semakin berkurangnya kandungan air pada tepung bentul yang dihasilkan. Kandungan air tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan kandungan air dalam tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit baik dengan konsentrasi 0,3% atau dengan konsentrasi 0,6%. Kadar air mempengaruhi efektifitas pengemasan dan juga daya simpan bahan. Semakin tinggi kadar air, bahan akan semakin mudah rusak. Sedangkan Standar kadar air tepung ubi jalar di Indonesia adalah 7-8%, (Ambarsari, 2009) dan standar tepung oleh SNI (3751-2009) kadar air tepung maksimal adalah 14% (BSN, 2009). Artinya kadar air tepung umbi bentul pada penelitian ini masuk dalam persyaratan yang ditentukan. Kadar Abu Kadar abu menunjukkan kandungan mineral dalam suatu bahan, dan kadarnya tergantung pada jenis tanah, kadar air, serta kematangan saat panen. Penambahan natrium metabisulfit pada proses perendaman dalam umbi bentul mempengaruhi kadar abu dari tepung bentul yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisa data one way anova, nilai sig yang dihasilkan adalah 0,05 (Sig < 0,05 ). Kadar abu yang terdapat pada tepung bentul dengan konsentrasi natrium metabisulfit 0% atau tanpa penambahan natrium metabisulfit adalah sebesar 1,95%. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan kadar abu yang terkandung dalam tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit konsentrasi 0,3%. Kadar abu yang diperoleh dari konsentrasi tersebut adalah sebesar 1,93%.
246
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
Gambar. 4 Grafik Kadar Abu
Kandungan kadar abu lebih besar pada tepung bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit dibandingkan dengan kadar abu yang dihasilkan tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,3%, hal tersebut diduga dikarenakan akibat proses pembuatan tepung bentul. Pada proses pembuatan tepung bentul, umbi bentul tanpa penambahan natrium metabisulfit (konsentrasi 0%) memiliki waktu kering yang lebih lama. Hal tersebut dapat mengakibatkan kadar abu yang diperoleh semakin besar karena adanya mineral yang ikut terkandung dalam tepung bentul yang dihasilkan, seperti pada saat pengolahan, pengeringan dll. Nilai kadar abu pada tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,6% merupakan nilai kadar abu yang paling besar yaitu 2,27%. Hal tersebut menunjukkan natrium metabisulfit dapat mempengaruhi kadar abu dalam hasil tepung bentul yang dibuat karena adanya kandungan mineral Na dan S pada natrium metabisulfit (Rahman, 2007). Seperti yang telah diketahui bahwa kadar abu suatu bahan berhubungan dengan kandungan mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Kadar Karbohidrat Pada pengujian kadar karbohidrat, tepung bentul yang dibuat tanpa penambahan natrium metabisulfit memiliki kadar yang lebih tinggi yaitu 86,35% dibandingkan dengan tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit, baik dengan konsentrasi 0,3% maupun 0,6%. Berdasarkan hasil analisa data one way anova, penambahan natrium metabisulfit berpengaruh terhadap kadar karbohidrat dari tepung yang dihasilkan, hal tersebut dikarenakan nilai signifikannya 0,018 (Sig < 0,05).
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
247
Gambar. 5 Grafik Kadar Karbohidrat
Penurunan kadar karbohidrat diduga dikarenakan selama proses perendaman dengan natrium metabisulfit, dinding sel dari umbi bentul larut dalam air. Umbi bentul akan mengembang dan bersifat semipermiabel, sehingga molekul-molekul senyawa organik seperti gula dengan bebas dapat menembus dinding-dinding sel masuk ke air. Selama proses perendaman akan terjadi pelarutan zat-zat yang dapat larut seperti karbohidrat dan vitamin (Goupy, 1995). Hal tersebut berarti bahwa semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan untuk proses perendaman dalam pembuatan tepung bentul maka semakin kecil kadar karbohidrat yang dihasilkan. Pengujian Warna Tepung Bentul (Colocasia Esculenta (L.) Schott) Pengujian warna pada tepung bentul dengan penambahan natrium metabisulfit dilakukan untuk mengetahui tingkat kecerahan yang dihasilkan dari masing-masing tepung bentul tersebut. Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan alat colour reader. Alat ini membedakan warna berdasarkan tiga nilai yaitu L* (Lightness atau kecerahan), a* (Redness atau tingkat kemerahan) dan b* (Yellowness atau tingkat kekuningan). Hasil pengujian tingkat kecerahan dari masing-masing tepung bentul dengan penambahan natrium metabislufit dengan konsentrasi 0%, 0,3% dan 0,6% terdapat pada tabel 3
Parameter
Konsentrasi 0%
Konsentrasi 0,3%
Konsentrasi 0,6%
Warna. L
62,0
63,7
65,7
a*
15,6
15,5
15,4
b*
13,6
12,5
11,9
Tabel 3 Pengujian Warna Tepung Bentul (Colocasia esculenta (L.) Schott) Penambahan natrium metabisulfit pada proses pembuatan tepung bentul memberikan pengaruh terhadap nilai L* , a* dan b* pada warna tepung bentul yang dihasilkan. L* menyatakan warna kecerahan, dengan nilai 0 (hitam gelap) sampai 100 (putih terang). Penambahan natrium metabisulfit 248
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
dengan konsentrasi 0,6% menghasilkan nilai L* (Lightness atau kecerahan) yang paling tinggi dibandingkan dengan penambahan natrium metabisulfit konsentrasi 0% dan 0,3%. Hal tersebut disebabkan oleh fungsi sulfit yang dapat menghambat reaksi pencoklatan yang dikatalis enzim fenolase dan dapat memblokir reaksi pembentukan senyawa 5-hidroksi metal furfural dari D-glukosa penyebab warna coklat (Fenema, 1996).
Gambar 4.5 Grafik Pengujian Warna
Penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 0,6% menghasilkan nilai a* (Redness atau tingkat kemerahan) dan nilai b* (Yellowness atau tingkat kekuningan) yang lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi 0% dan 0,3%. Pengaruh tersebut didukung dengan hasil analisa data yang menghasilkan nilai Sig 0,000 (Sig < 0,05). Hal tersebut dapat dikatakan bahwa semakin besar konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan dapat mencegah reaksi pencoklatan enzimatis. Kesimpulan 1. Penambahan Natrium Metabisulfit pada tepung bentul dapat mempengaruhi sifat fisik dari tepung bentul. Penambahan natrium metabisulfit dengan konsentrasi paling tinggi yaitu 0,6% menghasilkan warna terbaik. Pengujian warna dengan colour reader konsentrasi 0,6% didapatkan hasil terbaik dengan data L*,a* dan b* yaitu 65,7, 15,4 dan 11,9. 2. Penambahan Natrium Metabisulfit pada tepung bentul mempengaruhi sifat kimia dari tepung bentul. Dimana hasil protein, dan lemak tidak berpengaruh signifikan dengan penambahan Natrium Metabisulfit. Sedangkan kadar air, abu dan karbohidrat berpengaruh signifikan dengan penambahan Natrium Metabisulfit. DAFTAR REFERENSI [1]Ambarsari, I, Sarjana, dan A. Choliq., 2009. Rekomendasi Dalam Penetapan Standar Mutu Tepung Ubi Jalar. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah. [2]Choi YS, Choi SY, Kim HJ, Lee HJ. 1998. Effect of soluble dietary fibers on lipid metabolism and activities of intestinal disaccharidases in rats. J Nutr Sci Vitaminol 44 (5): 591-600.
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
249
[3]
[4] [5] [6] [7]
[8]
[9]
[10]
[11]
[12]
[13] [14]
[15] [16]
[17] [18] [19]
Darmajana, D.A, 2010. Upaya Mempertahankan Derajat Putih Pati Jagung Dengan Proses Perendaman Dalam Natrium Metabisulfit. Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B01) : 1-5 Dewan Standarisasi Nasional (DSN). 2009. Tepung Terigu (SNI 01-3751-2009). Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Eskin, N.A.M., H.M Henderson. 1971. Biochemistry of Food. New York : Academic Press Fahmi, A. dan Antarlina S.S.. 2007. Ubi Alabio: Sumber Pangan Baru dari Lahan Rawa. Balai Penelitian Lahan Rawa. Tabloid Sinar Tani 24 Januari 2007 Goupy, P., AMrot M.J., Richard Forget F., Duprat F., Aubert S. and Nicholas J. (1995). Enzymatic Browning of Model Solutions and Apples Phenolic Contents by Apple PPO. J. of Food Sci. 60 (3), 497450. Kumalaningsih, S. Harijono dan Amir. 2009. Pencegahan pencoklatan umbi ubi jalar (ipomoea batatas (l). Lam.) Untuk pembuatan tepung : Pengaruh kombinasi konsentrasi asam askorbat Dan sodium acid pyrophosphate. Jurnal. Tek. Pert Vol.5 No. 1: 11 19 Harijono, Estiasih, T., Sunarharum, W. B., & Suwita, I. K. 2012. Efek Hipoglikemik Polisakarida Larut Air Gembili (Dioscorea esculenta) yang Diekstrak dengan Berbagai Metode. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Herudiyanto, Marleen, Debby M. Sumanti dan Ria Nurul Ahadlyah. 2007. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Dalam Larutan Natrium Metabisulfit (Na 2S2O5) Terhadap KarakteristikTepung Bawang Merah (Allium ascalonicum L) Varietas Sumenep. Jurnal Teknotan Vol. 1 No. 1 Januari 2007 Purwanto. C. C., dkk. 2013. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Tepung Labu Kuning (Cucurbita maxima) dengan Perlakuan Blanshing dan Perendaman dengan Natrium Metabisulfit. Universitas Sebelas Maret. Surakarta Prabowo, A. Y., Estiasih, T., & Purwantiningrum, I. 2014. Umbi Gembili (Dioscorea esculenta L.) sebagai Bahan Pangan Mengandung Senyawa Bioaktif : Kajian Pustaka. Jurnal Pangan dan Agroindustri , 129-135. Putri, Widya Dwi Rukmi, Elok Zubaidah dan N. Sholahudin. 2004. Ekstraksi Pewarna Alami Daun Suji, Kajian Pengaruh Blanching dan Jenis Bahan Pengekstrak. J. Tek. Pert. Vol 4 (1) : 13 – 24. Rahman, A. M. 2007. Mempelajari Karakteristik Kimia dan Fisik Tepung Tapioka dan Mocal (Modified Cassava Flour) sebagai Penyalut Kacang pada Produk Kacang Salut. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Skripsi. Richana, N. dan T. C. Sunarti. 2004. Karakterisasi sifat fisikokimia tepung umbi dan tepung pati dari umbi ganyong, suweg, ubi kelapa dan gembili. Jurnal Pascapanen. 1(1): 29-37 Rosyida, N. 2011. Efek Hipokolesterolemik Polisakarida Larut Air dari Gadung (Dioscorea Hispida Dennst.) yang Diekstrak dengan Berbagai Metode. Skripsi. Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya. Malang Syarief, R dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Subhas, C.S, and Singh Jaybardahn. 2012. Phytochamical Screening of Garhwal Himalaya Wild Edible Tuber Colocasia esculenta. International Research Journal of Pharmacy 3 (3) Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Lyberty.
250
SENASPRO 2016 | Seminar Nasional dan Gelar Produk
[20] Uritani, I. 1982. Postharvest Physiology and Pathology of Sweet Potato from The Biochemical View Point. In Sweet Potato. Proc. of The First International Simposium. Villareal, R.L. and T.D. Griggs (Eds.), 421428. AVRDC, Shanhua, Tainan, Taiwan, China. [21] Yuwono, S. S. dan Susanto. 1998. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang
Seminar Nasional dan Gelar Produk | SENASPRO 2016
251