POLICY PAPER PENANGANAN KEMISKINAN DI SULAWESI SELATAN: Pendekatan dan Agenda Kebijakan
DR. AGUSSALIM, SE, MS.
[email protected]
Dibuat sebagai masukan bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam merumuskan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
Januari 2012
Agussalim
PENANGANAN KEMISKINAN DI SULAWESI SELATAN: Pendekatan dan Agenda Kebijakan1 Agussalim2
“Seperti halnya perbudakan dan aparteid, kemiskinan tidak bersifat alami. Ia adalah buatan manusia, dan karena itu, kemiskinan dapat diatasi dan diberantas oleh tindakan manusia”. Nelson Mandela, 2003
Prolog Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa hari lalu, bahwa jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan meningkat, sungguh mengejutkan. Dari hasil kalkulasi BPS, jumlah penduduk miskin meningkat dari 832.910 orang pada Maret 2011 menjadi 835.510 orang pada September 2011 atau bertambah sebesar 2.600 orang (0,31%) dalam enam bulan terakhir. Jika menggunakan perspektif linearitas, tentu saja peningkatan ini sungguh tidak terduga mengingat jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun secara konsisten. Meskipun dari segi persentase penduduk miskin cenderung menurun, yaitu dari 10,29 persen menjadi 10,27 persen (ini akibat total penduduk meningkat lebih cepat ketimbang jumlah penduduk miskin), peningkatan jumlah penduduk miskin secara absolut tetap harus direspon dengan serius. Sedikitnya ada empat alasan mengapa respon semacam itu diperlukan. Pertama, adagium yang terkenal luas di kalangan para ekonomi bahwa “pasang naik air laut akan mengangkat semua perahu” tampaknya tidak sepenuhnya berlaku di Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup impresif pada tahun 2010 dan triwulan I-III tahun 2011 ternyata tidak mampu mengangkat taraf hidup semua kelompok penduduk. Taraf hidup kelompok penduduk miskin justru tampak semakin memburuk yang diindikasikan oleh bertambahnya jumlah penduduk miskin.
Kedua, jika pertumbuhan ekonomi tidak memberi dampak terhadap penduduk
miskin, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh kelompok penduduk menengah-atas. Jika pertumbuhan ekonomi lebih bias ke kelompok penduduk klas menengah-atas ketimbang kelompok penduduk klas bawah, maka dapat dipastikan bahwa distribusi pendapatan cenderung semakin melebar dan timpang. Angka koefisien gini yang membesar, dari 0,36 pada tahun 2008 menjadi 0,40 pada tahun 2010, sesungguhnya hanya sekedar mengkonfirmasi fakta ini. Di 1
Policy paper ini dibuat sebagai masukan bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam menyusun dan mendesain kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan daerah. 2
Penulis adalah Ketua Program Magister Ekonomi Perencanaan dan Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin dan Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Manajemen (P3KM) Universitas Hasanuddin, Makassar. 1
Agussalim
kalangan penduduk miskin, situasi ini berpotensi menimbulkan efek psikologis, dimana mereka selalu menganggap dirinya semakin miskin meskipun secara absolut boleh jadi kehidupan mereka semakin membaik dibandingkan dengan sebelumnya.
Ketiga, secara implisit, pembengkakan jumlah penduduk miskin juga menegaskan
bahwa kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan secara massif dalam beberapa tahun terakhir tampaknya tidak cukup efektif untuk memperbaiki taraf hidup penduduk miskin. Dalam konteks ini, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan berbagai program pengentasan kemiskinan dapat dinilai – atau setidaknya dipersepsi - tidak berhasil di Sulawesi Selatan. PNPM boleh jadi berhasil pada tataran output (memperbaiki saluran irigasi, jalan desa, lingkungan pemukiman, dsb.), tetapi tentu saja tidak berhasil pada tataran impact (mengurangi jumlah penduduk miskin).
Keempat, penanganan kemiskinan di daerah ini, terutama dalam tiga-empat tahun
terakhir, sesungguhnya telah mengalami kemajuan signifikan. Dalam catatan penulis, daerah ini telah melakukan berbagai langkah konstruktif, diantaranya membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota untuk menurunkan angka kemiskinan 10 persen per tahun, mengimplementasikan kebijakan pendidikan dan kesehatan gratis, menempatkan pemenuhan hak-hak dasar sebagai substansi utama Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan sebagainya. Namun berbagai upaya tersebut tampaknya tidak berjalan paralel dengan penurunan angka kemiskinan, setidaknya untuk September 2011. Kondisi ini tampaknya kian menegaskan kembali bahwa “keberhasilan tidak berada di ranah rencana, tetapi di ranah tindakan”.
Potret Kemiskinan di Sulawesi Selatan Jika mengacu pada data BPS, tampak jelas bahwa, baik jumlah maupun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan, terus mengalami penurunan secara konsisten, setidaknya untuk rentang waktu 2007 s/d Maret-2011. Pada tahun 2007, jumlah penduduk miskin mencapai 1.083.400 orang atau 14,11 persen dari total penduduk. Dengan kata lain, setiap tujuh penduduk di Sulawesi Selatan, satu diantaranya terkategori miskin. Angka tersebut terus bergerak turun hingga menjadi 832.910 orang atau 10,29 persen pada Maret-2011. Membaiknya kinerja ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran terbuka, tingkat inflasi, serta meningkatnya nilai tukar petani (NTP) telah berkontribusi besar terhadap penurunan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan. Namun pada September 2011, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 835.910 orang atau meningkat 0,31 persen dari Maret 20113. Meskipun peningkatannya relatif 3
Seluruh angka kemiskinan ini didasarkan atas hasil perhitungan BPS. Garis kemiskinan yang digunakan oleh BPS untuk mengidentifikasi penduduk miskin di Sulawesi Selatan adalah Rp 185.736 per bulan per orang. Angka ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Garis Kemiskinan yang digunakan secara Nasional, yaitu Rp 243.729 per bulan per orang atau setara dengan US$1,2 (PPP) per orang per hari. Jika kita menggunakan kriteria Bank Dunia saat ini, US$2 (PPP) per orang per hari, angka kemiskinan di Sulawesi Selatan dan Nasional tentu saja akan jauh lebih besar. 2
Agussalim
kecil, namun peningkatan tersebut telah memberi citra dan persepsi kurang baik bagi efektifitas penanganan kemiskinan di Sulawesi Selatan.4 Peningkatan ini juga berpotensi memunculkan kesangsian atas berbagai klaim keberhasilan pembangunan ekonomi oleh pemerintah daerah. Gambar 1 – Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan, 2007-2011
Jumlah Penduduk Miskin
1,000,000 800,000
16.00
1,083,400 1,031,700 14.11 14.00 963,570 13.34 913,430 12.31 832,910 835,510 12.00 11.61 10.29 10.2710.00
600,000
8.00 6.00
400,000
4.00 200,000
2.00
0
Persentase Penduduk Miskin
1,200,000
0.00 2007
2008
2009
2010
Jumlah
2011-Mar 2011-Sept
Persentase
Sumber: Diolah dari BPS
Yang sedikit melegakan, meskipun jumlah penduduk miskin bertambah, namun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan cenderung menurun, yaitu dari 10,29 persen (Maret 2011) menjadi 10,27 persen (September 2011). Penurunan ini disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk meningkat lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk miskin. Capaian ini juga tampak bagus jika dibandingkan dengan angka Nasional (12,36%). Peningkatan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan menjadi kian menarik untuk diamati terutama jika dikaitkan dengan kinerja makro-ekonomi daerah, terutama pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan tingkat inflasi. Menurut data BPS, pada tahun 2010, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sebesar 8,18 persen dan capaian tersebut telah menempatkan Sulawesi Selatan dalam jajaran provinsi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi secara Nasional. Meskipun BPS memprediksi pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan sedikit melambat pada tahun 2011, namun masih berada di kisaran 8,00 persen. Tingkat pengangguran terbuka dan tingkat inflasi juga menunjukkan kinerja yang cukup, yaitu masing-masing 8,37 persen dan 2,87 persen, yang merupakan angka terendah dalam lima tahun terakhir. Situasi ini yang kemudian menimbulkan kesangsian, terutama dari kalangan pemerintah daerah, atas akurasi data BPS mengenai peningkatan jumlah penduduk miskin.
4
Fenomena ini cenderung melahirkan pandangan terbelah. Sebagian pihak, terutama pemerintah daerah, mempertanyakan dan meragukan data publikasi BPS tersebut. Namun sebagian lainnya, terutama pemerhati masalah kemiskinan, menganggap bahwa realitas tersebut seharusnya semakin memacu pemerintah daerah untuk bekerja lebih keras memerangi kemiskinan. 3
Agussalim Gambar 2 – Perbandingan jumlah dan persentase penduduk miskin di Pulau Sulawesi, 2011 832,910
Jumlah Penduduk Miskin
800,000 15.83
700,000 13.89
600,000 500,000
14.56 423,640
10.29
400,000
330,010
8.51
300,000
194,900
200,000
20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
18.75
164,870
198,270
100,000 0
Persentase Penduduk Miskin
900,000
Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Sulawesi Gorontalo Utara Selatan Barat Tenggara Tengah Jumlah Persentase Sumber: Diolah dari BPS
Jika angka kemiskinan di Sulawesi Selatan dikomparasikan dengan provinsi lainnya di Pulau Sulawesi, tampak bahwa jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan menempati urutan teratas, meskipun dari segi persentase menempati urutan kedua sesudah Sulawesi Utara. Pada tahun 2011, jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan dua kali lipat lebih besar dari Sulawesi Tengah dan empat kali lipat dari Sulawesi Utara dan Gorontalo. Namun persentase penduduk miskin di Sulawesi Selatan hanya setengah dari Gorontalo, dimana Gorontalo merupakan daerah dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Sulawesi. Jika diamati secara spasial, daerah yang menjadi konsentrasi penduduk miskin di Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Pangkep, Jeneponto, Bone, Toraja Utara, Luwu Utara. Luwu dan Maros5. Hampir setengah dari seluruh penduduk miskin di Sulawesi Selatan bermukim di daerah ini. Keseluruhan daerah ini memiliki jumlah dan persentase penduduk miskin yang relatif besar. Dari segi proporsi, persentase penduduk miskin di daerah ini rata-rata berada di atas 14 persen dari total penduduk. Kota Makassar dan Kabupaten Gowa meskipun memiliki jumlah penduduk miskin yang tergolong besar, namun persentasenya relatif kecil. Jika diamati lebih lanjut dalam perspektif wilayah (kota-desa), tampak jelas bahwa wilayah perdesaan merupakan tempat bermukim sebagian besar penduduk miskin, yaitu mencapai 84,01 persen dari total penduduk miskin. Artinya, setiap 10 orang penduduk miskin di Sulawesi Selatan, lebih dari 8 orang bermukim di perdesaan. Persentase penduduk miskin di perdesaan juga relatif cukup besar, yaitu mencapai 13,63 persen dari total penduduk perdesaan. Bandingkan dengan perkotaan yang hanya mencatat angka 4.48 persen.
5
Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, Kabupaten Pangkep mencatat persentase penduduk miskin paling tinggi, sedangkan Kota Makassar paling rendah. Dari segi jumlah penduduk miskin, Kabupaten Bone mencatat angka paling besar, sedangkan Kota Pare-Pare paling kecil. 4
Agussalim Gambar 3 – Penyebaran penduduk miskin menurut kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, 2011 20.00 Toraja Utara
18.00
Enrekang Luwu Utara Luwu Maros Tana Toraja
16.00 Tingkat Kemiskinan (%)
Jeneponto Pangkep
Selayar
14.00 12.00
Bone
Soppeng Barru Sinjai Kota Palopo Takalar Bantaeng Wajo Pinrang Luwu Timur Bulukumba Sidrap Kota Parepare
10.00 8.00 6.00
Gowa
Kota Makassar
4.00 2.00 0.00 0
20,000
40,000 60,000 Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa)
80,000
100,000
Sumber: Diolah dari BPS
Gambar 4 – Penyebaran penduduk miskin menurut wilayah di Sulawesi Selatan, 2011-Sept.
15.99%
84.01%
perkotaan perdesaan
Sumber: Diolah dari BPS
Fakta yang paling menarik adalah bahwa pembengkakan jumlah penduduk miskin di Sulawesi Selatan dikontribusi oleh wilayah perdesaan. Berbeda kontras dengan wilayah perkotaan yang mengalami penurunan baik jumlah maupun persentase penduduk miskin, wilayah perdesaan justru menunjukkan peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode Maret s/d September 2011. Akibatnya, proporsi penduduk miskin di perdesaan cenderung semakin membesar. Secara implisit fakta ini menegaskan bahwa penduduk miskin di wilayah perdesaan tidak memperoleh manfaat dari kemajuan ekonomi yang dicapai oleh Sulawesi Selatan.
5
Agussalim Gambar 5 – perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan, 2011-Sept 3.00 2.60 2.50
P1
2.44
P2 2.08
1.91
2.00
1.61
1.59
1.50 1.00
0.68
0.67
0.55
0.49
0.50
0.40
0.39
0.00 2007
2008
2009
2010
2011-Mar 2011-Sept
Sumber: Diolah dari BPS
Fakta berikutnya yang juga menarik untuk diamati adalah pergerakan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Sulawesi Selatan. Sampai dengan Maret 2011, baik P1 maupun P2, menunjukkan penurunan yang konsisten, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Ini mengindikasikan bahwa, baik jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin ke garis kemiskinan maupun ketimpangan (gap) pengeluaran antara penduduk miskin itu sendiri, semakin membaik. Namun pada September 2011, P1 dan P2 menurun di wilayah perkotaan, tetapi justru meningkat di wilayah perdesaan. Artinya, secara rata-rata pengeluaran penduduk miskin semakin menurun dan ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin semakin memburuk di wilayah perdesaan.
Perspektif dan Pendekatan Baru Realitas kemiskinan di Sulawesi Selatan sebagaimana dikemukakan di atas, melahirkan banyak implikasi. Pertama, desain perencanaan dan penganggaran yang diperuntukkan bagi kaum miskin ternyata tidak bekerja efektif, setidaknya untuk periode Maret-September 2011. Seluruh strategi-kebijakan-program penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan di Sulawesi Selatan pada tahun 2011 terbukti tidak cukup ampuh untuk menurunkan angka kemiskinan. Pembengkakan jumlah penduduk miskin sekitar 2.600 orang (netto) pada periode Maret-September 2011 memberi sinyal kuat atas ketidakberhasilan strategi-kebijakan-program penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan. Dalam dunia perencanaan dikenal sebuah adagium: “failing to plan is planning to fail”.
Kedua, paradigma perencanaan dan penganggaran yang dipraktekkan selama ini
tampaknya belum bergeser dari “apa yang akan dilakukan” menuju “apa yang akan dicapai”. Pembahasan intensif masih terpusat pada grand design dan master plan penanganan, formulasi strategi dan kebijakan, rumusan program dan kegiatan, yang kesemuanya itu mengarah pada paradigma “apa yang akan dilakukan”. Sebaliknya, 6
Agussalim
pembahasan mengenai sasaran dan target yang mau dicapai, validasi kelompok sasaran, ketepatan sasaran, akurasi intervensi, efektifitas penanganan, yang merupakan bagian dari paradigma “apa yang akan dicapai”, belum mendapat ruang pembahasan yang memadai. Stephen R. Covey dalam bukunya yang terkenal, The Seven Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa satu dari tujuh kebiasaan orang yang sangat efektif adalah bekerja dengan sasaran, sejak dari awal kegiatannya (start with the end in mind).
Ketiga, penanganan kemiskinan sepertinya tidak didasarkan pada hasil “diagnosis”
kemiskinan yang valid dan akurat. Tampak jelas, penanganan kemiskinan masih bertumpu pada “resep”. Padahal kita semua tahu bahwa mujarabnya “resep” sangat tergantung pada keakuratan “diagnosis”. Dengan kata lain, tidak mungkin “resep” akan bekerja optimal ketika “diagnosis” tidak akurat. Mal praktek dalam dunia kedokteran, selalu terjadi karena kesalahan melakukan diagnosis.6 Ulasan di atas kian menegaskan perlunya diinjeksi perspektif dan pendekatan baru dalam penanganan kemiskinan di Sulawesi Selatan. Perspektif dan pendekatan baru dimaksud antara lain: Pergeseran paradigma. Pertumbuhan ekonomi konvensional (kenaikan PDRB riil) tampaknya tidak bisa lagi sepenuhnya diandalkan untuk menurunkan angka kemiskinan. Hubungan korelasional antara pertumbuhan ekonomi konvensional di satu sisi dan pengentasan kemiskinan, perbaikan distribusi pendapatan, dan perbaikan taraf hidup masyarakat di sisi lain, seperti yang dipahami dalam paradigma efek menetes ke bawah (trickle down effect), ternyata juga tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi konvensional semakin diragukan efektifitasnya seiring dengan terjadinya divergensi antara pertumbuhan ekonomi dengan perbaikan taraf hidup masyarakat klas bawah. Pada titik ini, kesangsian atas pertumbuhan ekonomi konvensional, termasuk angka statistik yang menyertainya, menjadi tak terelakkan. Pertumbuhan ekonomi konvensional yang bertumpu pada variabel makro-ekonomi, terutama arus penanaman modal dan peningkatan ekspor, memang seringkali tidak memiliki kaitan yang kuat dengan pengentasan penduduk miskin. Kaitan tersebut menjadi semakin lemah, ketika arus penanaman modal tersebut lebih banyak bergerak pada usaha padat modal (misalnya, industri telekomunikasi) dan sektorsektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang rendah (misalnya, sektor lembaga keuangan; hotel dan restoran; listrik, air bersih dan gas). Oleh karena itu, pertumbuhan inklusif (inclusive growth) ataupun pertumbuhan berkualitas (the quality of growth) ataupun pertumbuhan yang berpihak kepada kaum miskin (pro-poor growth), sebagai sebuah terminologi baru dalam wacana pembangunan dewasa ini, perlu didorong dan diintensifkan di Sulawesi Selatan, baik pada tingkatan rencana maupun pada tingkatan implementasi. Konsep ini lebih mementingkan “dampak” ketimbang sekedar angka statistik. Pertumbuhan ekonomi dikatakan inklusif, berkualitas atau berpihak kepada kaum miskin jika mampu mengurangi angka kemiskinan, menurunkan angka pengangguran, memperbaiki 6
Pandangan-pandangan pembangunan daerah.
ini
didasarkan
atas
hasil 7
olahan
sejumlah
dokumen
perencanaan
Agussalim
distribusi pendapatan, mengangkat taraf hidup masyarakat klas bawah, dan seterusnya. Pertumbuhan ekonomi Cina yang fantastik misalnya, ternyata tidak sepenuhnya diapresiasi oleh para penggiat pembangunan karena dianggap tidak propoor. Penyebabnya, karena kelompok penduduk klas atas mengalami kenaikan pendapatan yang jauh lebih cepat ketimbang kelompok penduduk klas bawah. Artinya, distribusi pendapatan semakin timpang di Cina. Secara konseptual, pertumbuhan inklusif lebih mementingkan indikator-indikator kesejahteraan (welfare) ketimbang pertumbuhan (growth). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi konvensional dan pendapatan per kapita, yang selama puluhan tahun telah dijadikan sebagai indikator utama pembangunan, dianggap sudah tidak relevan lagi dan perlu segera dikoreksi. Sebaliknya, kemampuan daya beli dan konsumsi, akses terhadap pangan dan pekerjaan, akses terhadap layanan pendidikan dan kesehatan, akses terhadap sumberdaya ekonomi dan kepemilikan asset, lingkungan perumahan dan pemukiman yang sehat, dianggap sebagai indikator pembangunan yang lebih realistik karena lebih mencerminkan kualitas pembangunan yang sesungguhnya. Pergeseran arah studi. Dalam banyak kasus, kemiskinan selalu dipandang dari perspektif makro. Studi-studi kemiskinan pada umumnya lebih fokus pada aspek relasional antara kebijakan makro dan kemiskinan, misalnya dampak subsidi BBM terhadap kemiskinan, dampak BLT terhadap taraf hidup penduduk miskin, dampak kenaikan harga beras terhadap angka kemiskinan, dan seterusnya. Hasil studi semacam ini potensial melahirkan debat dan polemik. Kita tidak pernah sepenuhnya yakin hasil studi LPEM-UI beberapa waktu lalu, yang menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap peningkatan angka kemiskinan. Kita juga tetap menyangsikan kesimpulan Bank Dunia yang menyatakan bahwa kenaikan harga beras menjadi penyebab utama terjadinya pembengkakan jumlah penduduk miskin. Kita bahkan menuduh bahwa Bank Dunia telah melakukan simplifikasi yang berlebihan atas kompleksitas masalah kemiskinan. Mengandalkan studi makro memang seringkali tidak memuaskan. Informasi yang dihasilkan hampir tidak pernah akurat dan valid. Studi semacam ini tidak pernah sanggup menyediakan informasi rinci mengenai: (i) dimana persisnya orang miskin tersebut bermukim?; (ii) bagaimana karakteristik dan profil penduduk miskin?; (iii) faktor-faktor apa menyebabkan mereka miskin?; (iv) bagaimana mengamati perubahan taraf hidup orang miskin dari waktu ke waktu?; (v) siapa saja orang miskin yang berhasil dientaskan dan siapa saja yang masih berkutat dengan kemiskinan?; (vi) mengapa kebijakan, program, dan anggaran tidak bekerja efektif bagi kaum miskin; dan seterusnya. Akibatnya, program dan kegiatan pengentasan kemiskinan yang tidak tepat sasaran, ketidak-jelasan target, bias ke orang nonmiskin, menjadi berita lumrah. Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan di atas hanya bisa ditemukan jawabannya ketika studi kemiskinan dilakukan pada level mikro. Keunggulan studi semacam ini adalah keakurasiannya dalam mengindentifikasi karakteristik penduduk miskin, sehingga pada gilirannya sangat memudahkan dalam implementasi program dan kegiatan pengentasan kemiskinan serta melakukan evaluasi atas kemajuan yang dicapai dalam 8
Agussalim
berbagai upaya pengentasan kemiskinan. Dengan studi mikro, para pengambil kebijakan tidak perlu lagi gagap setiap kali ditanya, dimana persisnya terjadi penurunan angka kemiskinan, apa yang menyebabkan penurunan tersebut, upayaupaya apa yang signifikan mengurangi angka kemiskinan, bagaimana efektifitas kebijakan dan program yang diimplementasikan, dst. Perubahan pola pananganan. Arus besar (mainstream) penanganan kemiskinan secara global, termasuk yang dipraktekkan di Indonesia, berorientasi pada dua skema: pertama, menurunkan atau memperkecil beban pengeluaran penduduk miskin. Skema ini muncul dalam bentuk bantuan sosial (misalnya, BLT, Raskin, dll.), pembebasan biaya (misalnya, pendidikan dan kesehatan gratis), dan pemberian subsidi (misalnya, pupuk dan sarana produksi lainnya). Kedua, meningkatkan produktivitas dan pendapatan penduduk miskin. Skema ini muncul terutama dalam bentuk pembangunan infrastruktur perdesaan (misalnya irigasi, pasar, jalan desa, dsb), penyediaan skim bantuan modal usaha, dll. Selama puluhan tahun, pola penanganan lebih menekankan pada skema pertama. Namun dalam beberapa tahun terakhir, skema kedua mulai memperoleh porsi yang lebih besar. Ini setidaknya bisa diamati dari Program PNPM yang memberi perhatian signifikan pada dimensi pemberdayaan dan peningkatan produktivitas masyarakat, misalnya melalui penguatan kelembagaan masyarakat, perbaikan infrastruktur sosial ekonomi masyarakat, penyediaan skim bantuan modal usaha mikro dan kecil, dll. Meskipun demikian, salah satu catatan paling krusial terkait program ini adalah grand design-nya masih sangat sentralistik, meskipun dikatakan bahwa program ini sudah menggunakan dan mempraktekkan pendekatan partisipatif. Pendekatan yang cenderung sentralistik, menyimpan sedikitnya empat masalah, yaitu: pertama, memperlakukan karakteristik kemiskinan secara seragam dan mengasumsikan tipologi kemiskinan cenderung serupa untuk semua wilayah dan daerah; kedua, memungkinkan terjadinya tupang tindih (over lapping) penanganan antar berbagai tingkatan pemerintahan, baik dari segi program maupun anggaran; ketiga, pemahaman pemerintah pusat atas kondisi masyarakat lokal relatif terbatas, setidaknya jika dibandingkan dengan pemerintah daerah; dan keempat, inisiatif dan kreasi pemerintah dan masyarakat lokal sulit bertumbuh di dalam era sentralisasi. Lalu, apakah penangangan kemiskinan yang desentralistik merupakan pilihan terbaik? Mungkin tidak, namun pendekatan ini masih jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penanganan yang sentralistik. Argumentasi penting dibalik usulan ini, antara lain, pemerintah daerah memiliki pemahaman yang relatif baik tentang kondisi masyarakat lokal; ruang bagi masyarakat miskin untuk menyampaikan preferensinya relatif semakin luas; proses dan mekanisme penanganan (perencanaan, implementasi, koordinasi, monitoring, dan evaluasi) relatif lebih mudah, singkat, dan sederhana; keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam perumusan agenda penanganan relatif lebih mudah dibangun; tumpang tindih program dan anggaran antar berbagai tingkatan pemerintahan dapat dieliminasi; dsb. Pembaharuan desain perencanaan. Pendekatan terkini dalam perencanaan pembangunan lebih menekankan pada efisiensi dan efektifitas. Perencanaan tidak 9
Agussalim
lagi bertumpu pada “apa yang akan dilakukan” melainkan “apa yang mau dicapai”. Dalam ranah perencanaan, ini disebut dengan “perencanaan berbasis sasaran”, atau biasa juga disebut “perencanaan berbasis kinerja (performance based planning)”. Cara kerja pendekatan ini, pertama kali, menetapkan sasaran-sasaran terukur yang ingin dicapai. Dalam konteks kemiskinan, sasaran dimaksud dapat berupa, misalnya, jumlah penduduk miskin menurun sebesar 10.000 orang, pendapatan penduduk miskin meningkat sebesar 25 persen, 100 rumah tangga miskin memulai usaha mikro keluarga, 50 persen penduduk miskin memiliki rumah yang layak huni, dsb. Tentu saja, sasaran-sasaran terukur ini hanya bisa ditetapkan jika perencana memiliki pemahaman yang utuh dan informasi yang akurat mengenai kondisi penduduk miskin. Setelah sasaran yang ditetapkan sudah clear, langkah berikutnya adalah merancang bentuk intervensi dan upaya untuk mencapai sasaran. Dalam dunia perencanaan, bentuk intervensi dimaksud diformulasi ke dalam bentuk strategi-kebijakan-programkegiatan. Namun perumusan strategi-kebijakan-program-kegiatan dimaksud sebaiknya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk kaum miskin. Tahapan berikutnya adalah implementasi strategi-kebijakan-program-kegiatan. Dalam tahapan ini harus betul-betul bisa dipastikan bahwa strategi-kebijakanprogram-kegiatan tersebut sungguh-sungguh fokus ke kelompok sasaran, tidak bias ke non-miskin, tidak terjadi kebocoran anggaran, benar-benar sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin, dst. Tahapan terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Tahapan ini deperlukan untuk memastikan bahwa strategi-kebijakan-program-kegiatan dan anggaran kemiskinan benar-benar efektif bekerja bagi kaum miskin. Tahapan ini juga diperlukan untuk memberi umpan balik (feed back) bagi pengambil kebijakan dalam rangka merevisi, memperbaharui, dan merekonstruksi penanganan kemiskinan di masa yang akan datang. Perubahan metodologi. Kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan seyogyanya tidak melihat orang miskin sebagai orang yang serba tidak memiliki, melainkan orang yang memiliki potensi (sekecil apa pun potensi itu), yang dapat digunakan dalam mengatasi kemiskinannya. Cara pandang baru ini tidak lagi melihat “apa yang tidak dipunyai orang miskin” melainkan lebih menekankan pada “apa yang dimiliki orang miskin”. Asset perseorangan dan sosial merupakan potensi penting yang dimiliki kaum miskin, dan oleh karena itu, penanganan kemiskinan harus diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas asset tersebut. Di kalangan para pengambil kebijakan dewasa ini, muncul persepsi yang kuat bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan upaya cerdas untuk memperbaiki “asset” kaum miskin. Diyakini bahwa dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas ”asset” tersebut akan sanggup memperbaiki taraf hidup mereka dalam jangka panjang. Mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dengan proporsi yang memadai, dianggap sebagai salah satu strategi terbaik untuk mereduksi kemiskinan. Dengan strategi ini diharapkan pengeluaran kaum miskin 10
Agussalim
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dapat dikurangi, misalnya dengan cara menyediakan biaya pendidikan dan kesehatan secara gratis dan meningkatkan akses penduduk miskin terhadap fasilitas sosial dan ekonomi7. Dalam jangka panjang, upaya seperti ini diharapkan akan mampu meningkatkan produktivitas penduduk miskin sehingga pada gilirannya mereka mampu melepaskan diri dari jeratan kemiskinan. Pergeseran cara pandang. Semakin kuat disadari bahwa masalah kemiskinan tidak akan pernah selesai hanya karena menggunakan cara pandang ekonomi dan sosial. Dimensi moral penting digunakan dalam memandang persoalan kemiskinan. Proses pembangunan yang berlangsung selama ini telah melahirkan fenomena kemiskinan dengan ciri sosial-moral yang amat kental, misalnya keterbelakangan, keterpencilan, ketidakberdayaan dan ketersisihan. Ciri ini, bahkan seringkali dianggap sebagai derivasi paling buruk dari fenomena kemiskinan. Ciri ini hanya bisa dieliminasi jika dimensi moral lebih dikedepankan dalam memandang persoalan kemiskinan. Ketika kemiskinan dilihat dari perspektif moral, defenisi kemiskinan juga mengalami perluasan. Kemiskinan didefenisikan sebagai suatu keadaan ketika seseorang kehilangan harga diri, terbentur pada ketergantungan, terpaksa menerima perlakuan kasar dan hinaan, serta tak dipedulikan ketika sedang mencari pertolongan. Bagaimanapun, proses pembangunan yang terlalu ekonomi-sentris seperti yang dipraktekkan selama ini, telah menyebabkan rapuhnya nilai-nilai sosial (social values) dan memudarnya kohesi sosial (social cohesion) dalam masyarakat. Kita dengan mudah dapat menyaksikan berbagai kerusuhan sosial (social unrest), konflik vertikal dan horizontal, perampasan, kriminalitas, dan seterusnya. Di sisi lain, semangat individualistik dan kehidupan hedonisme, semakin menemukan bentuknya. Akibatnya, solidaritas sosial dan sikap empati menjadi sesuatu yang mahal dan langka. Di tengah situasi seperti itu, solusinya adalah menumbuh-kembangkan sikap hidup sosial yang lebih egaliter, sebuah sikap yang lebih menghargai persamaan dan distribusi pendapatan yang lebih merata antar lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah bagaimana membangun sebuah mekanisme yang mampu menumbuhkan keinginan masyarakat untuk ”menyerahkan” sebagian dari total pendapatannya guna mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih egaliterian.8 Dalam pandangan egalitarian income distribution yang diperkenalkan oleh Sir Hugh Dalton, seorang profesor keuangan publik di London School of Economics, seluruh
7
Patut dicatat bahwa cara pandang ini masih menyimpan kelemahan karena masih melihat kemiskinan sebagai kemiskinan individu dan kurang memperhatikan kemiskinan struktural. Sistem pengukuran dan indikator yang digunakannya terfokus pada kondisi atau keadaan kemiskinan berdasarkan faktorfaktor ekonomi yang dominan. Pendekatan ini juga belum menjangkau variabel-variabel yang menunjukkan dinamika kemiskinan. 8
Penjelasan lebih jauh mengenai konsep ini dapat ditelusuri pada Joseph E. Stiglitz, Economics of the
Public Sector, Third Edition, W.W. Norton and Company, New York/London, 2000. 11
Agussalim
masyarakat sesungguhnya menghendaki pemerataan, persamaan hak, dan keadilan sosial yang lebih baik guna mewujudkan kehidupan sosial yang lebih harmonis.9
Agenda Kebijakan Jika pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki keinginan kuat untuk menekan angka kemiskinan ke level yang lebih rendah, maka agenda kebijakan harus difokuskan pada:
Pertama, pada tingkatan makro, mesin pertumbuhan (engine of growth) harus
digeser dari sektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang rendah (misalnya, sektor lembaga keuangan, telekomunikasi, hotel dan restoran) ke sektor yang memiliki elastisitas penyerapan tenaga kerja yang tinggi (misalnya, sektor pertanian, pertambangan, industri pengolahan, dan perdagangan). Implikasinya, seluruh desain kebijakan pembangunan daerah harus berorientasi pada upaya mendorong dan menfasilitasi berkembangnya sektor-sektor ekonomi yang disebutkan terakhir. Melalui upaya semacam ini, diharapkan kesempatan kerja bisa ditingkatkan dan angka pengangguran bisa ditekan, sehingga pada gilirannya angka kemiskinan dapat diturunkan. Bersamaan dengan upaya tersebut, tingkat kenaikan harga (inflasi), terutama untuk barang-barang konsumsi rumah tangga penduduk miskin, perlu terus dikendalikan. Ini penting, bukan hanya untuk mempertahankan “daya beli” masyarakat miskin, tetapi juga untuk menjaga posisi “nilai tukar” penduduk miskin atas barang-barang konsumsi.
Kedua, pada tingkatan mikro, program-program yang diarahkan untuk menekan
beban pengeluaran penduduk miskin di satu sisi, dan meningkatkan produktivitas penduduk miskin di sisi lain, harus terus diintensifkan. Program layanan pendidikan dan kesehatan untuk rumah tangga miskin perlu terus dilanjutkan dengan memperluas jangkauan dan meningkatkan aksessibilitas. Program semacam ini, disamping dapat menekan beban pengeluaran penduduk miskin dalam jangka pendek, juga dapat memperbaiki kapasitas dan kapabilitas sumberdaya manusia penduduk miskin dalam jangka panjang. Menyertai usaha tersebut, program-program yang diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas penduduk miskin juga harus terus diupayakan dan ditingkatkan intensitas dan jangkauannya, misalnya melalui pemberian kredit mikro, program padat karya perdesaan, pelatihan keterampilan, dan sebagainya.
Ketiga, pada tataran kelembagaan, perlu dibangun sinergitas antara pemerintah
provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota, terutama untuk kabupaten/kota dengan jumlah dan persentase penduduk miskin yang relatif besar (misalnya Kota Makassar, Kabupaten Bone, Jeneponto dan Pangkep), untuk mendesain kebijakan, strategi, program, dan penganggaran penanggulangan kemiskinan. Pada saat bersamaan, koordinasi dan sinergitas program antar SKPD perlu lebih ditingkatkan mengingat penanggulangan kemiskinan bersifat outcome based yang membutuhkan keterlibatan
9
Fakta empiris membuktikan bahwa konflik dan kerusuhan sosial ( social unrest) di berbagai belahan dunai seringkali mengalami ekskalasi luas karena dipicu oleh ketimpangan dan ketidakadilan sosial. 12
Agussalim
dan partisipasi multi-pihak. Lembaga donor internasional juga perlu digiring dan diarahkan untuk bekerja pada ranah pemberdayaan masyarakat miskin.
Keempat, pada tataran proses, perumusan program penanggulangan kemiskinan
harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terutama penduduk miskin. Harus bisa dipastikan bahwa penduduk miskin terlibat secara aktif dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari tahapan penyusunan rencana, implementasi, pengendalian dan evaluasi, hingga tahapan penganggaran. Jika diamati sekilas, PNPM Mandiri sebetulnya sudah mencoba mempraktekkan pendekatan inklusif semacam ini, namun hasilnya belum optimal karena masih seringkali terjebak pada sekedar ritualformalistik.
Kelima, pada tataran lokus, program penanggulangan kemiskinan perlu diarahkan di
wilayah-wilayah perdesaan di Kabupaten Pangkep, Jeneponto, Toraja Utara, Bone, Luwu Utara, Luwu, dan Maros, yang selama ini menjadi tempat bermukim sebagian besar penduduk miskin. Reformasi agraria, perbaikan infrastruktur dasar perdesaan, peningkatan aksessibilitas, peningkatan layanan dasar, pemberian skim kredit mikro, pemenuhan hak-hak dasar, pengembangan program padat karya, dan sebagainya, merupakan sejumlah program yang layak direkomendasikan di masa depan. Program semacam ini, di banyak tempat, terbukti efektif mengurangi angka kemiskinan dan memperbaiki taraf hidup masyarakat, terutama di perdesaan yang menjadi wilayah konsentrasi penduduk miskin.
Keenam, pada tataran horizon perencanaan, strategi penanggulangan kemiskinan
dalam perspektif jangka menengah dan jangka panjang harus bertumpu pada upaya peningkatan kemampuan dan kapabilitas penduduk miskin untuk mengakses sumberdaya ekonomi. Dalam persepktif ini, pengentasan kemiskinan perlu dikorelasikan dengan perbaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Upaya semacam ini akan sanggup memperbaiki produktivitas, mengurangi ketergantungan, menekan kerentanan, dan meningkatkan kemandirian penduduk miskin.
Epilog Dengan menggunakan kerangka evaluatif, pertanyaan yang patut diajukan kemudian adalah apakah desain strategi-kebijakan-program-kegiatan pembangunan daerah selama ini, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, sudah diarahkan untuk memperbaiki indikator-indikator kesejahteraan. Apakah strategi dan kebijakan pembangunan daerah sudah didesain sedemikian rupa untuk lebih berpihak pada wilayah perdesaan-pertanian-tradisional yang merupakan wilayah konsentrasi penduduk miskin. Apakah anggaran pemerintah daerah sudah dialokasikan dan distribusikan sedemikian rupa untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat klas bawah. Apakah sudah terbangun persepsi yang sama di kalangan para pemangku kepentingan (eksekutif, legislatif, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, lembaga donor, organisasi kemasyarakatan, dsb.) bahwa “manusia” harus menjadi muara dari keseluruhan tindakan yang mengatasnamakan pembangunan.
13
Agussalim
Jika kita sudah menyediakan jawaban cerdas atas seluruh pertanyaan di atas, dan pada saat yang sama, seluruh agenda kebijakan yang ditawarkan di atas sudah dapat direalisasikan secara konsisten dan berkelanjutan, maka sangat boleh jadi kita semua akan semakin yakin, sebagaimana keyakinan Nelson Mandela, bahwa ternyata kemiskinan bukanlah sesuatu yang mustahil untuk diberantas.
Makassar, Medio Januari 2012
Daftar Bacaan Agussalim, 2011. Pengentasan Kemiskinan di Sulawesi Barat; Sebuah Pencapaian yang Impresif. Makalah yang Disampaikan pada Forum Bappeda Provinsi Sulawesi Barat, 18 Juli 2011, di Wonomulyo, Polewali Mandar. Agussalim, 2010. Merekonstruksi Penanganan Kemiskinan di Provinsi Gorontalo. Policy Paper untuk Pemerintah Provinsi Gorontalo. Tidak Dipublikasikan. Agussalim, 2010. Kemiskinan: Bencana Bisu Kemanusian. Makalah yang Disampaikan pada Seminar Nasional Review Kemiskinan di Provinsi Gorontalo. Hotel Quality Gorontalo. 17 Februari 2010. Agussalim. 2009. Mereduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal Baru untuk Indonesia. Penerbit: Nala Cipta Litera dan PSKMP UNHAS. Makassar. Januari 2009. Agussalim. 2009. Reducing Poverty. Majalah Bakti News. ISSN 1979-777X. Vol. IV April 2009 Edisi 45. Agussalim. 2007. Pengentasan Kemiskinan; Sebuah Proposal Baru untuk Nanggroe Aceh Darussalam. Makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional Pembangunan Aceh Kedua ”From A Bitter Past Towards A Better Prospect”. Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. 29-30 Desember 2007. Agussalim. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pengurangan Angka Kemiskinan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Surabaya. ISSN: 1410-9204 (Akreditasi B). Volume 9. Nomor 2. Juni 2007. Hal. 169-184. Agussalim. 2006. Kemiskinan dan Gender: Perspektif Perencanaan dan Penganggaran. Makalah yang Disampaikan pada Seminar dan Workshop ”Pengentasan Kemiskinan Melalui Pengarusutamaan Gender”. kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan UNDP. Hotel Marannu Makassar, 4 dan 8 Mei 2006. Agussalim. 2005. Sanggupkah Pertumbuhan Ekonomi Memperbaiki Ketimpangan dan Mereduksi Kemiskinan. Makalah Terpilih pada Calls for Papers Simposium Riset Ekonomi II: Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan. ISEI Surabaya. Surabaya, 23-24 November 2005. Agussalim, 2005. The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap Perencanaan Pembangunan, Majalah Simpul Perencana. Pusbindiklatren BAPPENAS. ISSN 1656-4229. Volume 5. Tahun 3. Juni 2005. Hal. 28-32.
14
Agussalim
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2010. Laporan Pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010. Bank Indonesia. 2010. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Sulawesi Selatan, Berbagai Seri. Booth, Anne. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment. Bulletin of Indonesian Economics Studies. Vol. 36. No. 1. April 2000. Biro Pusat Statistik (BPS). Data dan Informasi Kemiskinan. Berbagai Seri. Committee for Poverty Alleviation. 2003. A Process Framework of Strategic Formulation for Long Terms Poverty Alleviation. Interim Poverty Reduction Strategy Paper. March 2003. Jakarta. Kementerian Koordinator Kesejahteraan Sosial. Berbagai Data Mengenai Kemiskinan di Indonesia. www.data.menkokesra.go.id. Payne K. Ruby. 2005. A Framework for Understanding Poverty by. Fourth revised edition. Inc., Highlands, Texas. Sachs, Jeffrey D. 2005. The End of Poverty, How We Can Make in Happen in Our Lifetime. Penguin Books. New York. Sen, Amartya. 2000. Development As Freedom. Anchor Books. New York. Son, H. and N. Kakwani, 2003. Poverty Reduction: Do Initials Conditions Matter?, Mimeo, The World Bank. Stiglitz, Joseph E. 2000. Economics of the Public Sector. Third Edition. W.W. Norton and Company, New York/London Thomas, Vinod et. al. 2000. The Quality of Growth. The World Bank. Washington D.C. UNDP. 2006. Partnership to Fight Poverty: UNDP in Indonesia. UNDP Indonesia. Jakarta. UNDP, Bappenas, BPS. 2004. The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. Indonesia Human Development Report 2004. World Bank. 2001. Indonesia: Constructing a New Strategy for Poverty Reduction. Report No. 23028-IND. October. World Bank Brief for the Consultative Group on Indonesia. 2001. Indonesia: The Imperative for Reform. Report No. 23093-IND. November. World Bank, 2003. Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions, Growth, and Quality of Life. World Development Report 2003. Oxford University Press. World Bank. 2006. Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Ikhtisar. Jakarta.
15