Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan masalah anak Jalanan
39
POLARISASI PENEGAKAN HUKUM DALAM PENANGANAN MASALAH ANAK JALANAN Oleh: Sri Zanariyah Dosen Tetap Fakultas Hukum USBRJ ABSTRAK
Keberadaan anak jalanan merupakan fenomena sosial yang menunjukkan adanya ketidakberdayaan orang tua ataupun keluarga mereka untuk mencegah dan mengatasi penyebab dari timbulnya anak tersebut hidup di jalan dengan segala aktifitasnya. Faktor ekonomi selalu dijadikan alasan pembenar, sehingga keberadaan anak di jalan bertujuan untuk mencari nafkah membantu orang tua, ataupun untuk mengatasi kebutuhan hidup mereka sendiri. Meskipun peraturan perundang-undangan sudah mengatur tentang tanggung jawab pemerintah dalam menangani anak terlantar, namun karena begitu kompleksnya persoalaan masyarakat, sehingga belum dapat secara maksimal mengatasi problema anak jalanan, oleh karena itu perlu adanya pola-pola penanganan yang dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat disekitarnya, agar dapat ikut aktif membantu mengatasi masalah anak jalanan.
______________________________ Keywords : Polarisasi, Anak Jalalan
PENDAHULUAN Fenomena anak jalanan dapat kita saksikan pada jalan-jalan utama di daerah perkotaan maupun di tempat-tempat umum lainnya, sepertinya merupakan hal yang biasa. Mereka hadir dengan segala aktifitasnya, sebagai pengamen dengan alat apa adanya, sebagai pedagang asongan, penjaja koran, ada juga yang berprilaku sebagai pengemis atau sekedar berkeliaran tanpa tujuan yang pasti. Masalah anak jalanan bukan hanya problematika daerah tertentu saja, seperti yang dapat kita saksikan di sekitar jalan Propinsi Lampung. Masalah anak jalanan merupakan persoalan yang dihadapi negaranegara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Anak jalanan merupakan suatu istilah, sebagaimana telah dirumuskan dalam Lokakarya Nasional Anak Jalanan tahun 1995,
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47 (2010)
yang bermakna anak yang melakukan aktifitas di jalan dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan/atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya (Departemen Sosial RI, 1995). Dilihat dari batasan usia maka anak jalanan adalah anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Masalah anak jalanan merupakan suatu hal yang cukup dilematis, pada satu sisi kebebasan mereka beraktifitas di jalan apabila dibiarkan tanpa ada penanganan akan menjadikan mereka berkembang tanpa kepastian masa depan. Pada sisi lain membiarkan prilaku mereka di jalan akan mengganggu lingkungan sekitarnya, tatanan perkotaan akan berubah fungsi, sehingga dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan pihak lain, pada
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
akhirnya ketertiban umum dapat terganggu dan kehidupan anak jalanan rentan terhadap masalahmasalah sosial. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa di antara anakanak jalanan ada yang terlibat dalam penggunaan narkoba meskipun pada tingkat rendah dengan menghirup lem (inhelen). Benda yang dihirup sangat murah dan mudah untuk didapat, tersedia diberbagai tempat perbelanjaan swalayan maupun warung-warung kecil, penggunaan inhelen ini bisa membuat pecandu menggunakan narkoba jenis lain yang lebih tinggi tingkatannya (Bovie Kawulusan dalam Jurnal Sains dan Inivasi, 2005). Memperhatikan berita di media massa ataupun media elektronik, betapa banyak kasus-kasus yang berkaitan dengan anak jalanan, sebagai contoh eksploitasi anak, kebebasan sek (seks yang menyimpang), penculikan, perdagangan anak dan sebagainya. Dalam bulan Agustus 2005, ada informasi terbongkarnya sindikat perdagangan anak di wilayah hukum Tanggerang, yang sudah berjalan cukup lama dan terkoordinir dengan rapi. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyisakan berbagai persoalan hingga saat ini belum terselesaikan, diantaranya meningkatnya jumlah anak jalanan. Khusus di daerah Propinsi Lampung laju peningkatan jumlah anak jalanan mencapai 12,5 % pertahun. Keberadaan anak jalanan lebih banyak berpusat di kota. Berdasarkan data pemetaan anak jalanan yang disampaikan oleh Forum Komunikasi Rumah Singgah (FKRS)
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
40
Propinsi Lampung hingga Mei 2004 khusus di Kota Bandar Lampung jumlah anak jalanan mencapai 9874 anak, dengan persentase 67 % lakilaki, 33 % perempuan. Umumnya anak jalanan berusia 2,5 tahun sampai 18 (Lampost, Rabu 23 Maret 2005). Jika dibandingkan dengan 2,5 tahun sebelumnya berdasarkan hasil penelitian jumlah anak jalanan di Kota Bandar Lampung baru mencapai 1975 (UNIKA Atmadjaya, 1999), ini berarti selama 5 tahun terakhir di Kota Bandar Lampung meningkat sekitar 5 kali lipat. Berbagai penyebab terbentuknya anak jalanan dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik masingmasing dalam beberapa kelompok berikut ini: 1. Kelompok anak yang hidup dan bekerja di jalanan: hubungan dengan orang tua biasanya terpustus, putus sekolah, sehingga seluruh waktunya berada di jalanan. 2. Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan: hubungan dengan orang tua masih ada tetapi tidak harmonis, rata-rata pulang ke rumah setiap hari atau seminggu sekali, sebagian putus sekolah. 3. Kelompok anak jalanan yang bekerja di jalanan akibat urbanisasi yang berasal dari desa, pulang ke desa antara 1 sampai 3 bulan sekali dan umumnya sudah putus sekolah. 4. Kelompok remaja yang bermasalah, berasal dari keluarga yang tidak harmonis: sebagian sudah putus sekolah, terlibat masalah narkotika atau obat-obatan
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
terlarang lainnya, sebagian melakukan seks bebas, pada anak perempuan rentan terlibat prostitusi (Badan Kesejahteraan Sosial Nasional , 2000). klasifikasi dan karakteristik anak jalanan tersebut di atas, menunjukkan bahwa masalah kemiskinan ekonomi keluarga dapat menjadi salah satu faktor timbulnya anak jalanan, anak terpaksa membantu orang tua atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan ada anak yang harus putus sekolah karena ketidakmampuan orang tua untuk membiayai kebutuhan sekolah itu sendiri. Masalah anak jalanan harus diatasi secara sistematik, karena masalah anak jalanan berkaitan dengan masalah-masalah sosial lainnya, maka salah satu pemecahannya adalah melalui penegakan hukum dengan memperhatikan pola atau bentuk penegakan hukum dari kaidah-kaidah hukum atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, hal ini menarik untuk dilakukan kajian dalam rangka untuk mengetahui bentuk penegakan hukum dengan melakukan beberapa pendekatan dalam menangani masalah anak jalanan. PEMBAHASAN Penegakan Hukum Penegakan hukum sebagaimana pendapat Purbacaraka adalah: ”....kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah menilai yang mantap
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
41
dan mengejawantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1983). Dari pengertian penegakan hukum yang dikemukakan di atas, ini berarti bahwa penegakan hukum bukan hanya melaksanakan hukum tertulis dalam arti undang-undang saja, tatapi termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, bukan hanya melihat hukum dalam arti yuridis semata, tetapi harus dilihat dalam arti sosialogis (efektifitas hukum) maupun hukum dalam arti filosofis (cita-cita hukum). Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1983) paling sedikit ada 4 (empat) faktor, yaitu: (1) kaidah hukum atau peraturan itu sendiri, (2) petugas yang menegakkan (aparat penegak hukum), (3) fasilitas yang dapat mendukung pelaksanaan penegakan hukum, serta (4) masyarakat dengan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai yang mempengaruhinya. Penegakan hukum dalam konteks ini dilihat dari fungsi hukum itu sendiri (Rule of law). Bila dikaitkan dengan masalah kemiskinan yang menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan maka fungsi hukum selain sebagai sarana pengendalian sosial (social control)dan sebagai sarana perubahan (social engineering), juga harus dikembangkan fungsi hukum sebagai pemberdayaan masyarakat
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
(social empowering), untuk mendorong masyarakat mandiri dan mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi, harus ada perubahan orientasi perspektif dari konsep hkum yang bersifat responsif terhadap kebutuhan sosial termasuk keadilan sosial, konsep hukum responsif merupakan perkembangan dari tipe hukum yang refresif dan hukum yang otonom (Pters dan Koesriani, 1990) Memperhatikan konteks penegakan hukum di atas dikaitkan dengan penanganan masalah anak jalanan, tentu sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat, baik secara langsung oleh Pemerintah RI maupun sebagai bentuk kewajiban negara meratifikasi ketentuanketentuan internasional (Konvensi) yang menyangkut hak-hak anak pada umumnya. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 telah mengamanatkan pada Pasal 34 yang mengatur bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Selanjutnya dalam bentuk peraturan perundangundangan berkaitan dengan hak-hak anak dan perlidungan terhadap anak, diantaranya sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 2. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 3. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Batas Usia Minimum Untuk Anak Diperbolehkan Bekerja. 4. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
42
Mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 6. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 7. Keputusan Presiden RI Nomor 36 tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (KHA) Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa sudah cukup banyak peraturanyang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hakhak anak karena masalah hak-hak anak sudah menjadi pengawasan dunia Internasional. Konvensikonvensi Internasional harus diratifikasi di negara-negara yang ikut menandatangani kesepakatan tersebut termasuk Indonesia, sebagai bentuk kepedulian bangsa terhadap hak-hak anak, namun beberapa aturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut masih menjadi ”PR” bagi pemerintah agar dapat berjalan secara efektif. Efektif tidaknya peraturan perundang-undangan tidak terlepas dengan aspek-aspek yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penanganan masalah anak jalanan dapat menggali nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Masyarakat akan lebih mengenal norma-norma yang berlaku dalam kehidupan seharihari, norma-norma yang dimaksud adalah norma agama, norma sosial dan norma adat atau hukum kebiasaan yang masih berlaku dan dijunjung tinggi oleh masyarakat
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
adatnya. Beberapa pendekatan sosial yang dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan terhadap anak jalanan akan diuraikan berikut ini. Pendekatan Hukum Adat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 25 diatur bahwa tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Selanjutnya pada Pasal 26 berisikan tentang kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua, apabila orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini menandakan bahwa terhadap perlindungan anak tanggung jawab utama ada pada orang tua, selanjutnya adalah keluarga. Berkaitan dengan masalah kemiskinan yang dapat menjadi penyabab anak jalanan, sehingga hak anak dapat terabaikan, sementara pemerintah belum dapat sepenuhnya menyelenggarakan apa yang diamanatkan undang-undang, tentu hal ini apabila pada masyarakat yang ikatan kekerabatannya masih kuat dapat teratasi oleh kerabat masingmasing. Pada masyarakat Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem kekerabatan yang berlaku dalam hubungan kekeluargaan, sistem kekerabatan
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
43
yang dimaksud adalah sistem kekerabatan Patrilinial yang menarik garis keturunan laki-laki (Lampung, Batak, Bali dan sebagainya), sistem kekerabatan Materilineal menarik garis perempuan (Minangkabau, Semendo Sumatera Selatan), dan sistem kekerabatan parental yang menarik garis laki-laki dan perempuan/bebas (Jawa, Aceh, Kalimantan dan sebagainya). Sistem kekerabatan yang melekat pada masyarakat adat masing-masing akan menunjukkan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan, kedekatan kerabat akan menjadikan antar keluarga saling tolong, bahu membahu dalam mengatasi setiap persoalan hidup, sehingga dapat meminimalkan untuk anak yang berada pada keluarga (orang tua) yang tidak mampu menjadi anak jalanan. Apabila dikaitkan dengan kepentingan umum maka prinsipprinsip yang dianut pada masyarakat Lampung adalah terdapat pada ”piil pesenggiri, sakai sembayan dan prinsip nemui nyimah”. Hal ini tentu dapat ditemukan pada masyarakat adat lainnya di Indonesia, sehingga dapat dijadikan sarana untuk pengendalian sosial, sarana perubahan dan sarana untuk pemberdayaan masyarakat, sebagaimana fungsi hukum yang terdapat pada kaidah hukum tertulis. Peran tokoh adat merupakan salah satu bagian yang termasuk dalam Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagaimana tercantum pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tentunya dapat berjalan tidaknya
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
fungsi hukum adat tergantung pada tingkat kepatuhan masyarakat adat itu sendiri. Pendekatan Dari Aspek Norma Keagamaan Keterlibatan masyarakat melalui tokoh agama dapat lebih efektif dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan, bukankah dalam hukum agama terdapat aturan-aturan, selain menyangkut aturan yang mengatur hbungan manusia dengan Tuhannya (ibadah), juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (muamalah) termasuk hubungan antara warga masyarakat dengan negara. Anak merupakan anugerah dan sekaligus amanah dari Tuhan Yang Maha esa, yang harus dijaga, dipelihara, dididik dan dilindungi, sebagai manusia dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak yang harus dijunjung tinggi. Sebagai amanah kelak dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Untuk saling membantu dalam kehidupan bermasyarakat tolongmenolong merupakan perbuatan yang mengandung nilai ibadah, bukan hanya nilai sosial kemasyarakatan semata. Sebagai contoh dalam agama Islam terdapat lembaga zakat, amal dan sedekah, memberikan sebagian rizki di samping sebagai perbuatan membersihkan hartanya juga merupakan kewajiban untuk membantu sesama yang diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya, sehingga ketentuan ini dapat menjadi salah satu aturan untuk mengatasi problem anak jalanan karena faktor ekonomi.
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
44
Pendekatan Secara Informal Institusional Rumah Singgah adalah suatu wahana yang dipersiapkan sebagai perantara antara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu dan memberikan suasana resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penanganan yang dilakukan melalui Rumah Singgah ada 3(tiga) pendekatan yang saling berhubungan, yaitu: (1) pendekatan yang berpusat di jalan (street based), (2) pendekatan berpusat di panti (center based) dan (3) pendekatan yang berpusat di masyarakat (community based). Dalam Buku Petunjuk penanganan anak jalajan melalui Rumah Singgah (Depsos RI, 1998), Fungsi Rumah Singgah adalah sarana untuk melakukan pemberdayaan anak jalanan melalui program-program yang telah dipersiapkan secara bertahap, dengan tujuan membentuk sikap mental dan prilaku anak berdasarkan normanorma yang berlaku dalam masyarakat, mengupayakan agar anak dapat kembali kepada orang tua atau keluarga. Jika tidak memungkinkan anak-anak tersebut akan ditempatkan pada panti-panti sosial yang dikelola oleh negara maupun lembaga masyarakat, menyiapkan berbagai alternatif pelayanan untuk memenuhi kebutuhan anak dalam rangka membantu anak untuk mempersiapkan masa depan dan menjadi warga masyarakat yang produktif. Tahapan pemberdayaan anak jalanan melalui Rumah Singgah di
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
mulai dari tahap penjangkauan (Outreach) pada kantong-kantong anak jalanan, dengan cara mendekati, mengajak dan mengumpulkan mereka untuk di berikan pengarahan. Tahap berikutnya adalah tahap penelusuran (problem assessment), tahap ini adalah tahapan untuk mendata /mengidentifikasi untuk mengetahui asal atau latar belakang mereka menjadi anak jalanan). Tahap ketiga adalah tahap memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada anak jalanan tentang dampak atau akibat dari keberadaan mereka menjadi anak jalanan. Selanjutnya adalah tahap pemberdayaan, merupakan wujud nyata dalam menangani anak jalanan sebagai upaya untuk mengatasi masalah anak jalanan, dengan cara memberikan pengetahuan, memberikan bea siswa agar mereka bisa lebih konsentrasi pada pentingnya pendidikan, juga kepada orang tua mereka diajak bekerja sama untuk mengatasi anak jalanan dengan cara memberikan modal usaha jika faktor ekonomi merupakan penyebab anak turun menjadi anak jalanan, memberikan keterampilan serta menyalurkan bakat melalui kegiatan yang positif. Langkah selanjutnya adalah tahap terminasi, ini merupakan tahap pasca rumah singgah, anak akan dikembalikan pada orang tua atau keluarga, atau ke panti-panti sosial, jika memungkinkan dapat disalurkan ke dunia kerja, dengan memperhatikan usia dan kemampuan serta keterampilan yang dimiliki. Upaya pemberdayaan anak jalanan di atas, pada awal program
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
45
penanganan anak jalanan melalui Rumah Singgah memperoleh dana bantuan dari badan internasional Health And Nutrition Sector Develovment Programe (HNSDP) melalui Asian Develovment Bank (ADB) (Depsos RI-Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, 1998). Pendekatan Dari Aspek Pemerintah Berbagai cara yang dapat dilakukan dalam penanganan masalah anak jalanan sebagai mana telah diuraikan di atas, namun tetap memerlukan kepedulian langsung dari aparat pemerintahan, sebagaimana telah diamanahkan oleh UUD 1945 yakni pada Pasal 34 yang termasuk dalam bagian Kesejahteraan Sosial. Bukan berarti pemerintah tidak pernah berbuat, namun banyaknya persoalan yang dihadapi sehingga kebijakan yang diambil kadang kala tidak sesuai dengan harapan. Upaya mengatasi masalah anak jalanan di khususnya yang dapat dilihat di kota Bandar Lampung sebagai ibu kota propinsi, pada tahun 2005 Gubernur Propinsi Lampung pernah mengeluarkan suatu instruksi yang ditujukan kepada Walikota Bandar Lampung dengan Nomor 440/0576/07/2005 tentang Penertiban Anak Jalanan. Isi instruksi tersebut adalah bahwa keadaan anak jalanan sudah sedemikian rupa mengganggu ketertiban umum yang dikaitkan dengan keindahan kota dan fungsi fasilitas umum lainnya, sehingga perlu ditertibkan. Penertiban yang dimaksud adalah termasuk dalam hal penanganan anak jalanan itu sendiri dengan memberikan suatu solusi
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
alternatif yang dapat diterima oleh kelompok anak jalanan. Oleh karena itu Instruksi Gubernur tersebut perlu ditindaklanjuti secara terencana dan sistematik, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dengan suatu tujuan agar dapat menangani suatu persoalan yang tidak menimbulkan persoalan baru setidaknya persoalan lama tidak muncul kembali. Keberadaan anak di jalan dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi ataupun sebagai sarana melepaskan masalah yang mereka hadapi dalam lingkungan keluarga bukanlah jalan terbaik. Menyelesaikan suatu persoalan tidak untuk menimbulkan persoalan baru yang lebih besar risiko untuk ditanggung. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, terhadap penanganan masalah anak jalanan dapat disimpulkan bahwa penyelesaiannya dapat dilakukan melalui penegakan hukum dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis dalam peraturan perundangundangan. Untuk lebih menumbuhkan kepedulian masyarakat secara luas, perlu pula pendekatan hukum adat dan hukum agama yang dianut dalam kehidupan masyarakat. Tanggung jawab mengatasi masalah sosial khususnya masalah anak jalanan, bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata.
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
46
Pemerintah hendaknya dalam mengambil kebijakan agar mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dengan melihat akar permasalahan dalam setiap persoalan yang muncul, dan melakukan musyawarah dengan melibatkan masyarakat melalui tokohtokoh masyarakat termasuk tokoh adat dan tokoh agama, pada akhirnya suatu kebijakan dapat diambil berdasarkan kemufakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat, sehingga bentuk-bentuk penegakan hukum dalam penanganan masalah anak jalanan dapat dilakukan melalui pendekatan hukum agama, hukum adat serta melalui pendekatan kelembagaan masyarakat yang bersifat informal, selain pendekatan berdasarkan hukum yang tertulis yang berlaku secara umum di Indonesia. Saran Diakhir tulisan ini penulis dapat memberikan saran, bahwa kepada seluruh tokoh masyarakat, tokoh agama, maupun tokoh adat pada masyarakat adat masing-masing agar dapat berperan secara aktif untuk lebih peduli terhadap anggota masyarakatnya atau dalam lingkup kehidupan masing-masing, sehingga anggota masyarakat akan saling memperhatikan terutama yang mempunyai hubungan sosial terdekat mulai dalam hubungan di lingkungan keluarga batih, antar keluarga batih, saudara dan kerabat, serta tatangga dan lainnya, sehingga dapat mengetahui kelemahan serta kekurangan dan permasalahan yang dihadapi dapat saling mengetahui,
Sri Zanariyah: Polarisasi Penegakan Hukum Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan
selanjutnya sedikit apapun yang dapat berberbuat sesuatu yang dapat dilakukan sesuai kemampuan, sehingga persoalan yang menyebabkan anak turun ke jalan menjadi anak jalanan sekecil-kecilnya dapat ditekan. Kepada aparat pemerintah kiranya tindakan penertiban anak jalanan bukan hanya mengusir, menangkap saja, namun ada solusi yang dapat dilakukan, dengan melakukan langkah nyata yaitu membina dan memberdayakan mereka serta keluarganya dengan menggali permasalahan apa yang dihadapi. DAFTAR PUSTAKA Fadjar, A. Mukthie. 1996. Pembangunan Hukum dan Hukum Pembangunan. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang. Hardjasoemantri, Koesnadi. 2000. Hukum Tata Lingkungan. Edisi ketujuh. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Keating, Michael. 1996. Bina Lestari Menuju Abad 21. Konpalindo. Jakarta. Peter, A.A.G., Koesriani, S 1990 Hukum dan Perkembangan Sosial. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Jurnal Sains dan Inovasi 6(1)39–47(2010)
47
Departemen Sosial RI. 1998. Pedoman Penyelenggaraan Pembinaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah. Jakarta Kawulusan, Bovie. 2005. Faktor Penentu Pengguna Inhalen Pada Anak-Anak Di Kota Bandar Lampung. Jurnal Sains Dan Inovasi. Volume 1 Nomor 1. Bandar Lampung. PKPM UNIKA Atmadjaya. 1999. Laporan Pemetaan dan Survei Anak Jalanan di Kota Bandar Lampung. Jakarta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Harvindo. Jakarta. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja. Harvindo, Jakarta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak. Sinar Grafika, Jakarta. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sinar Grafika, Jakarta. Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (KHA).