POLA PEMBIAYAAN USAHA KECIL (PPUK)
BUDIDAYA BANDENG (Pola Pembiayaan Konvensional)
BANK INDONESIA Direktorat Kredit, BPR dan UMKM Telepon : (021) 3818043 Fax : (021) 3518951, Email :
[email protected]
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan ................................ ................................ ............... 2 2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan ................................ ............... 3 a. Profil Usaha ................................ ................................ ............... 3 b. Pola Pembiayaan ................................ ................................ ........ 5 3. Aspek Pemasaran................................ ................................ ........ 7 a. Permintaan ................................ ................................ ................ 7 b. Penawaran................................ ................................ ................. 9 c. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha ................................ ......... 10 d. Harga Bandeng................................ ................................ ......... 12 e. Jalur Pemasaran ................................ ................................ ....... 15 f. Kendala Pemasaran ................................ ................................ ... 17 4. Aspek Produksi ................................ ................................ .......... 19 a. Proses Budidaya ................................ ................................ ....... 19 b. Tambak Bandeng ................................ ................................ ...... 20 c. Pembenihan ................................ ................................ ............. 26 d. Pendederan/Penggelondongan ................................ .................... 27 e. Pembesaran ................................ ................................ ............. 28 5. Aspek Keuangan ................................ ................................ ........ 31 a. Pemilihan Pola Usaha................................ ................................ . 31 b. Asumsi dan Jadwal Kegiatan ................................ ....................... 31 c. Struktur Biaya Investasi dan Biaya Operasional.............................. 33 d. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja .......................... 35 e. Produksi dan Pendapatan ................................ ........................... 37 f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point ................................ ...... 38 g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek ................................ ...... 38 h. Analisis Sensitivitas ................................ ................................ ... 39 6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan .......................... 41 a. Aspek Sosial Ekonomi ................................ ................................ 41 b. Dampak Lingkungan ................................ ................................ .. 42 7. Penutup ................................ ................................ ..................... 43 a. Kesimpulan ................................ ................................ .............. 43 b. Saran ................................ ................................ ..................... 44 LAMPIRAN ................................ ................................ ..................... 46
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
1
1. Pendahuluan Bandeng adalah jenis ikan konsumsi yang tidak asing bagi masyarakat. Bandeng merupakan hasil tambak, dimana budidaya hewan ini mula-mula merupakan pekerjaan sampingan bagi nelayan yang tidak dapat pergi melaut. Itulah sebabnya secara tradisional tambak terletak di tepi pantai. Bandeng merupakan hewan air yang bandel, artinya bandeng dapat hidup di air tawar, air asin maupun air payau. Selain itu bandeng relatif tahan terhadap berbagai jenis penyakit yang biasanya menyerang hewan air. Sampai saat ini sebagian besar budidaya bandeng masih dikelola dengan teknologi yang relatif sederhana dengan tingkat produktivitas yang relatif rendah. Jika dikelola dengan sistim yang lebih intensif produktivitas bandeng dapat ditingkatkan hingga 3 kali lipatnya. Dari aspek konsumsi bandeng adalah sumber protein yang sehat sebab bandeng adalah sumber protein yang tidak mengandung kolesterol. Bandeng presto, bandeng asap, otak-otak adalah beberapa produk bandeng olahan yang dapat dijumpai dengan mudah di supermarket. Selama sepuluh tahun terakhir permintaan bandeng meningkat dengan 6,33% rata-rata per tahun, tetapi produksi hanya meningkat dengan 3,82%. Budidaya bandeng tidak menimbulkan pencemaran lingkungan baik air kotor maupun bau amis. Pemeliharaan bandeng yang sehat mensyaratkan air dan tambak yang bersih serta tidak tercemar. Studi ini menjelaskan beberapa aspek budidaya bandeng yang dimulai dengan profil budidaya bendeng secara umum pada bab 2. Pemasaran di wilayah penelitian dan prediksi permintaan dan penawaran tingkat nasional dijelaskan pada bab 3. Aspek teknis pemeliharaan intensif disajikan pada bab 4. Bab 5 secara khusus menyajikan aspek keuangan budidaya bandeng pola pemeliharaan semi intensif. Bab 6 membahas peran budidaya bandeng dan masalah yang dihadapi, ditutup dengan bab 7 kesimpulan dan saran untuk pengembangan usaha budidaya bandeng.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
2
2. Profil Usaha dan Pola Pembiayaan a. Profil Usaha Bandeng merupakan jenis ikan yang bisa dibudidayakan pada tambak. Potensi tambak Indonesia tersebar di seluruh tanah air, hanya ada tiga propinsi yang tidak memiliki tambak yakni Sumatera Barat, DKI dan DIY. Propinsi Jawa Timur merupakan propinsi dengan tambak terluas. Tahun 2000 tambak Jawa Timur tercatat seluas 53.423 ha atau 15% dari luas tambak di tanah air (BPS, 2002). Sementara itu di Jawa Timur pusat tambak terletak di Kabupaten Gresik dan Sidoarjo dengan luas tambak masing-masing 38,44% dan 32,17% dari luas tambak Jawa Timur (Dinas Statistik Propinsi Jawa Timur, 2003). Mengacu pada data di wilayah Sidoarjo, lebih dari 60% tambak adalah tambak bandeng. Selama sepuluh tahun terakhir (1990-2003) pertumbuhan luas tambak maupun produksinya memiliki trend yang positif. Dari tahun 1990-2000 luas tambak tumbuh 2,97% rata-rata per tahun sedangkan pertumbuhan produksi tambak 3,16%. Sementara itu produktivitas tambak berfluktuasi dari tahun ke tahun tetapi berkisar pada angka 700-800 kg per ha. Luas dan produksi tambak tahun 1990-2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Luas Tambak Bersih dan Produksi, 1990-2003 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Luas (Ha)
Produksi (Ton)
432.156 469.839 486.611 492.879 500.468 499.818 523.818 551.778 n.a n.a
355 346 361 404 370 354 413 430 455 472
Sumber : BPS, 2002
Dalam buku ini, wilayah penelitian yang dipilih adalah usaha tambak bandeng di wilayah Sidoarjo dan Gresik yang merupakan usaha yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. Mula-mula usaha ini adalah usaha sambilan para nelayan yang tidak dapat pergi melaut, namun dalam perkembangannya usaha ini tidak lagi menjadi monopoli nelayan tetapi menjadi pencaharian utama masyarakat umumnya. Usaha tambak bandeng
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
3
dapat berkembang dengan baik di kedua wilayah ini sebab dari aspek teknis lingkungan kedua wilayah lebih cocok digunakan untuk tambak dari pada untuk lahan pertanian. Tambak lebih banyak digunakan untuk pemeliharaan bandeng sebab secara teknis memelihara bandeng relatif lebih mudah dibandingkan udang misalnya. Harga bandeng yang tidak terlalu mahal sebenarnya juga menjadi insentif tersendiri bagi petambak untuk mengusahakan tambak bandeng. Dengan harga yang relatif murah maka bandeng yang dipelihara di lokasi yang umumnya jauh dari pemukiman ini relatif aman dari gangguan pencuri. Aspek pemasaran juga mendukung berkembangnya budidaya bandeng tambak, walaupun permintaan bandeng tidak setinggi produk ayam tetapi informasi dari petambak menyatakan bahwa belum pernah terjadi petambak harus menjual bandeng dengan harga yang begitu murah sehingga menyebabkan kebangkrutan. Artinya selama ini belum pernah ada petambak bandeng yang sampai bangkrut baik karena pasar yang lemah ataupun karena gangguan penyakit. Dalam hal teknologi yang digunakan, sampai saat ini sebagian besar tambak bandeng masih menggunakan teknologi sederhana. Di Sidoarjo 93% pengelolaan tambak bandeng masih menggunakan pola tradisional dan semi intensif, 7% sisanya menggunakan pola intensif. Dengan sistim tradisional produktivitas tambak bandeng hanya 50-100 kg per ha setiap musim tebar. Dengan sistim intensif produktivitas tambak bandeng dapat ditingkatkan hingga mencapai 150 - 200 kg per ha per musim tebar. Perbedaan pengeloaan intensif dan tradisional terletak pada aspek bibit, pengelolaan tambak, sistim pengairan dan makanan. Secara rinci perbedaan pengelolaan tambak intensif dan tradisional dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pengelolaan semi intensif merupakan sistim pengelolaan yang sudah tidak tradisional tetapi belum intensif penuh, sehingga pola semi intensif bervariasi, yang terletak antara pola tradisional dan intensif. Sebuah contoh pengelolaan tambak semi intensif adalah, pengairan diatur secara sederhana, dilakukan pemberian pupuk dan makanan tambahan pada saat menjelang panen dengan kepadatan tebar 10.000 ekor per ha. Tabel 2.2. Perbedaan Perlakuan Budidaya Bandeng Kriteria Spesifikasi tambak Bibit (nener)
Kepadatan penebaran (ekor/Ha) Makanan
Tradisional Sederhana
Intensif Mengikuti aturan tertentu (lihat bab IV) Penangkapan tanpa Dari hatchery dan seleksi sehingga ukuran terseleksi sehingga tidak seragam ukuran seragam Rendah, Tinggi, 5.000 ekor Alami, apa
50.000 ekor yang Dipupuk dan
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
diberi
4
tersedia di tambak makanan tambahan Bergantung pada Diatur dengan bantuan pasang surut air laut peralatan
Pengairan
Sumber : Murtidjo, 2002 b. Pola Pembiayaan Di wilayah Sidoarjo hanya ada satu bank yang memberikan kredit untuk petambak bandeng yakni PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Sidoarjo (selanjutnya disebut Bank BRI). Namun demikian tidak terdapat skema kredit khusus untuk usaha tambak bandeng. Pemberian kredit untuk usaha tambak bandeng sama dengan sistim pemberian kredit untuk usaha lainnya. Pinjaman untuk usaha diberikan dengan sistim Rekening Koran Murni. Dengan sistim ini ketika peminjam memerlukan kredit maka dia akan membuka rekening untuk diisi dananya oleh bank. Peminjam bebas mencairkan atau melunasi penjamannya setiap saat. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh peminjam adalah membayar bunga sejumlah pinjaman yang tersisa. Ketentuan lain berkaitan dengan kredit usaha ini dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3. Persyaratan Kredit Usaha Bank BRI Sidoarjo Persyaratan Kredit Investasi Modal Kerja Bunga (% per tahun) Masa bebas bunga (bulan) Jangka waktu (tahun) Dana sendiri (%) Sumber : Bank BRI Sidoarjo
14-18 6-12
14-15 Tidak ada
5 35 - 40
1-3 20-30
Di Bank BRI ada tiga petambak bandeng yang menerima kredit dari BRI dengan pola ini. Pemberian kredit kepada nasabah ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain: 1. Jaminan kredit yang diambil adalah sertifikat tanah. Sebenarnya inilah yang lebih penting bagi Bank BRI. Kasus salah satu nasabah yang memerlukan kredit tidak dapat dipenuhi sebab yang bersangkutan tidak lagi memiliki sertifikat tanah yang dapat dipakai sebagai agunan. 2. Petambak tersebut telah menjadi nasabah Bank BRI sejak lama (ratarata lebih dari 10 tahun). Selama mereka menjadi nasabah BRI selalu menunjukkan kinerja yang baik (tidak pernah bermasalah). 3. Mempunyai usaha lain selain tambak.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
5
Dengan kriteria tersebut nasabah tidak mengalami kesulitan jika sewaktuwaktu memerlukan uang baik untuk investasi (membel atau menyewa tambak) maupun untuk kredit modal kerja, tetapi bunga yang harus ditanggung usaha tambak bandeng lebih tinggi yakni 20%. Relatif tingginya bunga usaha tambak bandeng didasarkan pada tingginya resiko usaha ini. Dalam kenyataan kredit tidak pernah berjangka panjang, ketika petambak memiliki uang umumnya mereka segera melunasi hutangnya, sehingga ratarata masa kredit hanya berlangsung sekitar 1 tahun. Petambak melakukan hal ini karena ketika panen petambak mempunyai cukup pendapatan untuk menutup hutangnya. Disamping itu bunga kredit yang mencapai 20% dirasakan sebagai beban yang cukup berat bagi petambak.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
6
3. Aspek Pemasaran a. Permintaan Seperti halnya komoditas pertanian lain, data resmi permintaan bandeng tidak dapat diperoleh. Permintaan bandeng non bibit berasal dari permintaan konsumsi dan bandeng untuk umpan baik umpan hidup maupun umpan mati. Bandeng konsumsi umumnya mempunyai berat sekitar 3 ons atau 3 ekor per kg, sementara bandeng umpan lebih kecil yakni sekitar 1 ons atau 10-12 ekor per kg. Di Sidoarjo, permintaan bandeng konsumsi 91% berasal dari pasar lokal (kabupaten), 6% pasar provinsi, 3% pasar nasional dan tidak ada data bandeng yang dijual di pasar internasional (Bappekab Sidoarjo dan FE UNAIR, 2003). Namun demikian dari Statistik Sidoarjo dalam Angka tahun 1997, Kabupaten Sidoarjo mencatat ekspor bandeng sebanyak 5.880 ton dengan nilai lebih dari US $ 7 juta. Bandeng yang dipasarkan sebagian masuk ke pengolahan ikan, pada tahun 2002 tercatat produksi bandeng beku mencapai 1.077 ton atau 0,35% dari total ikan olahan (Dinas Statistik Jawa Timur, 2002). Bandeng dikonsumsi oleh seluruh golongan masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan (Tabel 3.1). Konsumsi bandeng penduduk pedesaan lebih rendah dari pada penduduk perkotaan dengan perbandingan 0,884 kg/kap/th dan 1,664 kg/kap/th. Hal ini terkait dengan ketersediaan bandeng di daerah perkotaan yang cukup memadai. Daerah produksi bandeng umumnya berada di pantai yang relatif dekat dengan daerah perkotaan sehingga bandeng tersedia dalam jumlah yang cukup. Sementara itu untuk wilayah pedesaan yang jauh dari daerah produksi relatif sulit ditemukan bandeng karena pemasaran bandeng yang masih dalam bentuk segar sangat rawan akan kerusakan. Makin tinggi pendapatan masyarakat makin tinggi pula tingkat konsumsi bandeng mereka, untuk masyarakat golongan bawah (< Rp 80.000 per kap per tahun) tidak/belum mengkonsumsi bandeng. Di daerah pedesaan ketika pendapatan mencapai Rp 500.000,- per kapita per bulan konsumsi bandeng mengalami penurunan, sementara di daerah perkotaan dengan pendapatan yang sama, sekalipun telah mencapai konsumsi yang cukup tinggi (3,016 kg/kap/th) konsumsi belum mengalami penurunan. Angka-angka ini seharusnya tidak diinterpretasikan sebagai kejenuhan konsumsi, sebab menurut standar kesehatan tingkat konsumsi protein hewani masyarakat belum memenuhi standar. Pada tahun 2003 konsumsi protein hewani baru mencapai 11,76 gram/kap/hari sementara standar yang dianjurkan adalah 15 gram per capita per hari.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
7
Tabel 3.1. Konsumsi Bandeng Per Kapita per Tahun Golongan Pendapatan (Rp 000/bulan) < 40 40-50 60- 79 80-99 100-149 150-199 200-299 300-499 >500 Rata-rata Sumber : BPS, 2003
Perkotaan
Pedesaan 0,624 0,624 1,196 1,404 2,600 3,016 1,664
0,052 0,208 0,624 1,092 1,612 1,716 1,404 0,884
Berdasar konsumsi per kapita dapat diperkirakan permintaan bandeng nasional. Konsumsi bandeng per kapita per tahun untuk tahun 1996 adalah 0,676 kg, tahun 1999 adalah 0,52 kg dan tahun 2003 adalah 1,664 kg. Berdasarkan kondisi perekonomian secara umum untuk menghitung permintaan nasional diasumsikan hal-hal berikut: 1. Tahun 1994-1997 adalah periode sebelum krisis maka tingkat konsumsinya dianggap mengikuti pola konsumsi tahun 1996. 2. Tahun 1998 - 2000 adalah periode krisis sehingga tingkat konsumsi diasumsikan sama dengan tahun krisis yakni konsumsi tahun 1999. 3. Tahun 2001 - 2003 merupakan periode pemulihan, oleh karena itu konsumsi tahun ini diasumsikan sama dengan tingkat konsumsi tahun 2003. Berdasar asumsi diatas maka perkiraan permintaan bandeng tahun 19942003 dapat dilihat pada Tabel 3.2. Melalui perkiraan permintaan ini dapat dilihat bahwa pertumbuhan permintaan bandeng nasional mencapai 6,33% rata-rata per tahun. Pertumbuhan yang cukup tinggi ini diduga terkait dengan beberapa aspek, antara lain: 1. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pemahamannya akan pola konsumsi yang sehat, itulah sebabnya konsumsi sumber protein hewani pun menjadi semakin tinggi. 2. Pendapatan. Sebagai sumber protein yang belum terpenuhi standar kecukupannya, konsumsi protein akan bertambah seiring dengan pertambahan pendapatan. Makin tinggi pendapatan yang berarti makin tinggi daya beli maka akan makin tinggi tingkat konsumsi protein, dan sebaliknya.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
8
Tabel 3.2. Permintaan Bandeng Nasional, 1994-2003 Penduduk Konsumsi Permintaan Tahun (000) (Kg/kap) (ton) 1994 192.216 0,676 129.938 1995 195.283 0,676 132.011 1996 198.342 0,676 134.079 1997 201.020 0,676 135.889 1998 203.735 0,520 105.942 1999 204.784 0,520 106.487 2000 205.843 1,196 246.188 2001 208.621 1,196 249.510 2002 212.003 1,196 253.555 2003 204.783 1,196 244.920 Sumber : BPS, 2003, diolah
b. Penawaran Besarnya jumlah penawaran bandeng dapat diperkirakan dengan mengasumsikan bahwa seluruh produksi bandeng terjual. Hasil utama tambak selain bandeng adalah udang. Pada sebagian kecil tambak kadang ditebar juga beberapa jenis ikan misalkan tawes atau gurami. Berikut disajikan data produksi tambak kabupaten Sidoarjo selama 6 tahun terakhir (Tabel 3.3) untuk menggambarkan jumlah penawaran bandeng. Tabel 3.3. Produksi Tambak Kabupaten Sidoarjo 1997-2002 (kg) Persentase Tahun Bandeng Udang Lainnya Total Bandeng dari Total 1997 10.829.600 5.998.800 867.000 17.695.400 61,20 1998 11.023.800 6.862.900 882.600 18.012.800 61,19 1999 11.108.000 6.180.700 889.600 18.150.300 61,20 2000 11.663.400 6.460.600 933.800 19.057.800 61,20 2001 13.552.200 6.008.300 1.050.700 20.611.200 65,75 2002 14.229.800 7.697.330 133.170 22.060.300 64,50 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sidoarjo, 2003 Dari data produksi tambak Kabupaten Sidoarjo terlihat bahwa bandeng merupakan komoditi yang paling banyak diproduksi (lebih dari 60%). Tahun 2001 produksi bandeng dan ikan lain meningkat cukup tinggi sebab pada periode ini terjadi kegagalan budidaya udang yang disebabkan serangan penyakit. Hingga saat ini penyakit udang bercak putih itu masih mengancam sejumlah daerah produksi udang (Kompas, 21 Juni 2004). Kegagalan udang membuat sebagian petambak beralih ke budidaya bandeng yang relatif tahan
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
9
terhadap penyakit, hal ini terlihat dari makin tingginya proporsi produksi bandeng terhadap udang dan ikan lainnya. Berdasarkan pola produksi tambak kabupaten Sidoarjo dapat diprediksi produksi bandeng nasional. Untuk itu ditetapkan asumsi sebagai berikut: 1. Proporsi produksi bandeng nasional tahun 1994-1996 adalah 61%, asumsi ini didasarkan pada data proporsi produksi bandeng di Sidoarjo sebelum tahun 2000 yang rata-rata berada pada kisaran 61%. 2. Proporsi produksi tahun 1997-2002 sesuai dengan proporsi produksi di Kabupaten Sidoarjo (tabel 3.3) 3. Seluruh produksi dijual. Dengan asumsi tersebut maka perkiraan penawaran bandeng nasional tahun 2002 mencapai 300.000 ton, dengan pertumbuhan penawaran 3,82% ratarata per tahun (Tabel 3.4) Tabel 3.4. Penawaran Bandeng Nasional, 1994 - 1995 Tahun
Produksi ton)
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Sumber : BPS, 1995 dan 2002, diolah
207.600 216.600 242.400 226.868 216.490 252.694 263.160 299.162 304.440
c. Analisis Persaingan dan Peluang Usaha Sebagai sumber protein hewani bandeng saling bersaing dengan beberapa jenis sumber protein lain. Tahun 2003 sepuluh sumber protein hewani yang terbanyak dikonsumsi penduduk Indonesia adalah produk ayam dan ikan (Tabel 3.5). Dari Tabel ini dapat dilihat bahwa produk yang berasal dari ayam (daging dan telur) lebih disukai masyarakat. Hal ini diduga terkait dengan beberapa hal diantaranya: 1. Harga bandeng (ikan secara umum) relatif lebih mahal dibandingkan produk ayam. 2. Produk ayam tersedia dekat dengan konsumen, artinya produk ayam baik yang segar maupun dalam bentuk olahan mudah diperoleh konsumen.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
10
3. Bandeng di pusat produksi cukup mudah diperoleh dengan harga yang relatif murah, tetapi makin jauh dari pusat produksi makin sulit menemukan bandeng yang baik. 4. Promosi terhadap produk ikan relatif sangat kurang dibanding produk ayam, sehingga produk ikan relatif kurang dikenal masyarakat, akibatnya tingkat konsumsinya rendah.
Tabel 3.5. Konsumsi 10 Sumber Protein Terpenting (per kapita per tahun) Perkotaan Pedesaan Sumber Protein Jumlah Jumlah Nilai (Rp) Nilai (Rp) (Kg) (Kg) Daging ayam ras 5,148 60.892 1,508 18.460 Telur ayam 5,980 5.356 10,29 7.436 kampung 5,876 45.760 3,38 26.780 Telur ayam ras 2,280 21.164 1,248 9.672 Ikan kembung 2,080 19.604 2,440 16.484 Ikan tongkol 1,612 12.272 1,352 8.372 Ikan mujaer 1,664 16.848 0,884 7.904 Ikan bandeng 1,248 11.960 0,624 6.240 Ikan mas 0,884 12.740 0,260 2.964 Udang 0,780 27.092 0,364 9.100 Daging sapi Sumber : BPS, 2003, diolah Persaingan bandeng dengan sumber protein lain cukup ketat, tetapi jika dilihat secara makro maka peluang pasar untuk bandeng pada dasarnya masih terbuka lebar, hal ini didasarkan pada beberapa indikator berikut: 1. Bandeng merupakan barang konsumsi hampir seluruh golongan masyarakat, hal ini dapat dilihat dari tabel 3.1 yang menunjukkan bahwa dari masyarakat berpendapatan rendah sampai yang berpendapatan tinggi mengkonsumsi bandeng. 2. Sebagian besar masyarakat golongan pendapatan menengah dan rendah (dibawah Rp 500.000,- per kapita per bulan) tingkat konsumsi protein hewaninya masih sangat rendah sehingga perlu ditingkatkan. 3. Pertumbuhan penawaran bandeng 3,82% sedangkan tingkat pertumbuhan permintaan mencapai 6,33% ini merupakan peluang yang sangat besar. 4. Bandeng adalah sumber protein yang sehat sehingga masyarakat golongan menengah keatas yang telah cukup protein pun dapat mengkonsumsi bandeng sebagai konsumsi yang sehat.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
11
d. Harga Bandeng Harga bandeng ditentukan oleh berapa faktor, antara lain: 1. Wilayah produksi dan daerah pemasaran. Makin jauh bandeng dari wilayah produksi maka makin mahal harganya. 2. Kualitas bandeng yang dihasilkan. Semakin bagus kualitas bandeng makin mahal harganya. Pengecekan kualitas badeng dapat dilihat dari beberapa cara yakni: a. Rupa : cemerlang sampai kotor b. Bau : amis spesifik sampai busuk c. Tekstur : elastis kompak sampai lunak sekali d. Mata : cembung, transparan, pupil hitam sampai kornea putih, kotor, pupil putih tenggelam e. Insang : merah cerah, filamen teratur, amis segar, tidak berlendir sampai memutih kotor, bau, filamen menyempit f. Daging : pinkish agak transparan, bening, cemerlang sampai elastis kompak tak ber-air lengket dan mudah membubur. 3. Ukuran bandeng. Semakin besar ukuran bandeng semakin tinggi harga setiap kg-nya. Di wilayah Sidoarjo dikenal beberapa ukuran bandeng yakni: a. Bandeng umpan/balian : 10-12 ekor per kg b. Bandeng biasa/normal : 3 - 4 ekor per kg c. Bandeng super : 1 - 2 ekor per kg d. Bandeng super besar : 1 ekor 4 kg Bandeng umpan, biasa dan super diproduksi dan diperdagangkan secara rutin setiap saat. Pada masa tertentu dihasilkan pula bandeng super besar dengan ukuran sekitar 4 kg per ekor. Bandeng super besar yang masa pemeliharaannya mencapai 4 tahun tidak sulit dijumpai di pasar pada harihari besar Islam yang biasanya menjadi hari pesta bagi sebagian masyarakat. Bandeng super besar ini juga menjadi komoditi yang dilombakan pada hari-hari tertentu dan dilelang. Setiap tahun di Sidoarjo bandeng super besar yang dilelang menghasilkan pendapatan jutaan rupiah bagi pemiliknya. Berbagai ukuran bandeng konsumsi dapat dilihat pada foto 1 sampai foto 3.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
12
Foto 1. Beberapa Ukuran Bandeng Kecil
Ket: paling kanan bandeng umpan dan paling kiri bandeng normal Foto 2 Bandeng Ukuran Besar
Ket: paling kanan bandeng ukuran 1 kg, tengah 0,5 kg dan kiri 3 ons
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
13
Foto 3 Bandeng Super Besar dengan Berat Mencapai 4 kg per ekor
Mengikuti jalur pemasaran yang umum maka ada tiga tingkatan harga yang terjadi, yaitu: 1. Harga yang terbentuk di TPI yaitu harga yang diterima petambak. Pada tingkat ini harga terbentuk sepenuhnya berdasar kekuatan permintaan dan penawaran. 2. Harga yang terbentuk di tingkat pedagang besar. Harga pada tingkat ini ditentukan oleh pedagang besar. 3. Harga di tingkat konsumen. Pada tingkat ini kembali harga ditentukan oleh kekuatan tawar antara penjual (pedagang pengecer) dan pembeli (konsumen). Pada saat penelitian, akhir Mei 2004, harga bandeng berbagai ukuran dapat dilihat pada Tabel 3.6. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar ukuran bandeng maka semakin tinggi harganya dan semakin besar margin yang diterima pelakunya. Namun demikian ukuran yang paling disukai konsumen umumnya adalah bandeng ukuran normal. Sementara itu jika bandeng telah diolah harganya dapat meningkat beberapa kali lipat. Sebagai gambaran, harga bandeng asap atau bandeng presto ukuran normal yang telah dikemas sehingga rapi dan tahan lama adalah Rp. 22.000,- per ekor. Artinya melalui proses pengolahan bandeng ukuran normal yang harganya Rp 8.000,- per 3 ekor menjadi Rp 66.000,-
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
14
Tabel 3.6. Harga Bandeng Berbagai Ukuran dan pada Berbagai Tingkatan Pemasar (Rp per kg) Ukuran Pedagang Pelelangan Pengecer Bandeng Besar Balian/umpan 2.200 3.000 3.500 10-12 ekor Normal 6.000 7.000 8.000 3-4 ekor Super 8.000 10.000 12.000 1-2 ekor Sumber : Data primer
e. Jalur Pemasaran Jalur pemasaran bandeng di wilayah Sidoarjo relatif pendek (Gambar 3.1). Bandeng dari tambak sebagian besar (84%) dibawa oleh petambak ke tempat pelelangan ikan /TPI (Bappekap Sidoarjo dan FE UNAIR, 2003). TPI bisa berlokasi di tempat khusus yang telah dibangun dan disediakan pemerintah atau di tepi-tepi tambak tertentu. Aktivitas di TPI umumnya berlangsung pagi sekali atau sore sekali. Dalam sebuah TPI biasanya terdapat beberapa agen yang akan menjadi juru lelang, tetapi ada juga TPI yang hanya mempunyai satu agen. TPI dengan banyak agen lebih disukai petambak karena petambak memiliki alternatif tempat penjualan sehingga kekuatan agen untuk menekan petambak menjadi berkurang.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
15
Gambar 3.1 Jaringan Pemasaran Bandeng Sidoarjo
Bandeng yang telah sampai di agen selanjutnya akan dilelang oleh agen kepada pedangang besar. Di sini petambak hanya bisa menyaksikan transaksi tanpa dapat mempengaruhi apapun, bahkan siapa pembeli bandengnya petambak tidak mengetahui. Jika bandeng telah terjual maka petambak hanya akan menerima nota bahwa bandeng seberat sekian terjual dengan harga sekian. Sementara itu pembayaran dilaksanakan paling cepat satu minggu setelah transaksi. Sebagai juru lelang agen akan menerima pendapatan 5% dari nilai transaksi. Bandeng yang telah dibeli pedagang besar selanjutnya didistribusikan ke restoran, perusahaan pengolahan ikan dan pedagang pengecer di pasarpasar tradisional. Distribusi ke restoran dan perusahaan pengolahan umumnya berdasarkan pesanan oleh karena itu jika pedagang besar telah memperoleh pesanan mereka akan melakukan sortir bandeng sesuai pesanan yang diterima. Dengan demikian bandeng yang didistribusikan kepada pedagang pengecer adalah sisa bandeng pesanan. Bandeng akan dijumpai konsumen di pasar tradisional, pasar kering (supermarket) atau restoran/toko penjual oleh-oleh khas Sidoarjo. Di pasar tradisional bandeng dijual secara eceran sesuai selera pembeli dan tawar menawar menjadi ciri khas pasar tradisional. Sementara jika bandeng telah
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
16
berada di pasar kering maka konsumen hanya bisa menerima harga yang telah ditentukan penjual. Bandeng yang tidak dijual melalui TPI bisa mengalir langsung ke pengecer atau ke konsumen. Bandeng yang dijual langsung ke pengecer tercatat hanya 4% sedangkan yang langsung ke konsumen 12% (Bappekab Sidoarjo dan FE UNAIR, 2003). Penjualan langsung ke pengecer atau konsumen tidak mudah dilakukan petambak mengingat besarnya volume barang yang harus dijual sementara petambak tidak memiliki keahlian untuk memasarkan bandengnya. Foto 4. Suasana Pelelangan Bandeng
f. Kendala Pemasaran Proses penjualan melalui lelang merupakan proses yang cukup adil mengikuti fluktuasi permintaan dan penawaran. Ketika musim panen tiba maka bandeng yang disetor ke TPI jumlahnya cukup melimpah, pada saat seperti ini harga yang terbentuk cenderung rendah. Sebaliknya ketika bandeng yang dihasilkan petambak relatif sedikit harga yang terbentuk cenderung tinggi. Kelemahan pemasaran bandeng adalah tingginya biaya transaksi yang muncul dari sistim pembayaran kepada petambak yang ditetapkan oleh agen. Ketika transaksi terjadi petambak hanya menerima nota yang berisi jumlah bandeng yang terjual dan harganya. Dalam nota tidak disebutkan kapan pembayaran akan dilakukan. Dengan demikian waktu pembayaran menjadi tidak pasti. Ketika petambak datang untuk meminta bayaran dengan sangat mudah agen mengatakan belum ada uang dan petambak tidak dapat melakukan apapun untuk menagih uangnya. Menghadapi hal ini maka yang dilakukan petambak adalah menunggu di TPI. Seminggu setelah transaksi
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
17
petambak akan datang ke TPI untuk menunggu dan mengamati agennya. Ketika dilihat ada pedagang yang melakukan pembayaran maka petambak akan segera datang untuk menagih pembayaran bandengnya. Posisi yang sangat lemah pada petambak ini sangat merugikan, sebab tidak jarang terjadi ketika ada petambak yang sangat memerlukan uang dia akan meminta pembayaran tanpa menunggu ada pedagang yang membayar. Pada kasus ini agen akan melakukan pembayaran tetapi petambak harus rela dipotong nilai penjualannya sebesar 25% dari nilai transaksi sebagai biaya karena meminta pembayaran yang dianggap lebih cepat. Pedagang besar tidak membayar tunai kepada agen, tetapi karena pedagang besar terikat dengan kegiatan lelang berikutnya agen memiliki kekuatan tawar yang relatif tinggi kepada pedagang besar. Jika pedagang besar tidak membayar bandeng yang telah dibawa maka agen akan melarang pedagang ini untuk ikut lelang di tempatnya. Kendala berikutnya dalam pemasaran bandeng adalah kendala umum yang dihadapi komoditi pertanian, yakni cepat rusaknya barang. Dengan cepat rusaknya barang sementara petambak tidak memiliki alat pengolahan bandeng maka kekuatan tawar petambak tetap pada posisi yang lemah. Kendala pemasaran lainnya adalah duri bandeng. Bandeng memiliki duri halus yang cukup mengganggu jika tidak dihilangkan. Sampai saat ini hanya konsumen tradisional yang menyukai bandeng dengan duri itu, sementara konsumen umum lebih menyukai bandeng olahan seperti bandeng presto atau otak-otak. Kurang bervariasinya produk bandeng juga menjadi hambatan peningkatan permintaan.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
18
4. Aspek Produksi a. Proses Budidaya Bandeng konsumsi pada dasarnya dihasilkan melalui tiga tahap budidaya yakni pembenihan, pendederan dan pembesaran. Gambar 4.1 menyajikan tahap kegiatan budidaya bandeng dan produk yang dihasilkan. Gambar 4.1 Tahapan Budidaya Bandeng Konsumsi
Keterangan: Bidang persegi : proses Bidang oval : output
Bandeng konsumsi dihasilkan dari tambak pembesaran. Bibit tambak pembesaran adalah glondongan yang dihasilkan dari tambak pendederan. Tambak pendederan memelihara nener yang dihasilkan oleh pembenihan. Teknologi pemeliharaan bandeng dapat dilakukan secara tradisional, semi intensif dan intensif. Sementara pola pemeliharaannya bisa monokultur dan polikultur. Terkait dengan tahap budidaya, teknologi yang digunakan dan pola pemeliharaannya maka terdapat berbagai variasi budidaya yang dapat dipilih, Tabel 4.1 menyajikan variasi budidaya bandeng.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
19
Tahap Pemeliharaan
Tabel 4.1. Berbagai Variasi Budidaya Bandeng Pola Pemeliharaan Tradisional Semi Intensif Intensif Mono Poli Mono Poli Mono Poli Ya Ya ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak ya Tidak Ya Tidak Ya Ya ya Ya Ya Tidak
Pembenihan Pendederan Pembesaran Pendederan dan Ya Pembesaran Sumber : Data primer
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Pola pemeliharaan tradisional umumnya dilakukan secara monokultur dan polikultur untuk berbagai tahap pemeliharaan. Pola pemeliharaan secara intensif dan semi intensif pada umumnya dilakukan secara monokultur, tetapi dijumpai juga pengelolaan secara polikultur. Pola polikultur semi intensif umumnya tidak dilakukan dengan sesama ikan melainkan dengan hewan lain misalnya ayam. Berdasarkan kondisi optimal maka studi ini selanjutnya memfokuskan pada pola pemeliharaan intensif sebagai pola yang seharusnya dijalankan untuk mendapatkan hasil optimal. Uraian pada bab ini sebagian besar bersumber dari pustaka yang berhasil dihimpun.
b. Tambak Bandeng 1. Fisik Tambak Bentuk tambak berbeda untuk setiap daerah dan setiap tahap budidaya yang dipilih. Di Jawa Timur bentuk fisik tambak relatif lebih rumit dibanding Jawa Barat. Gambar 4.2 adalah bentuk fisik tambak Jawa Timur untuk pengelolaan intensif yang dimulai dari pendederan. Petak pendederan digunakan untuk membesarkan nener sampai nener mencapai ukuran glondongan. Petak pembuyaran digunakan untuk memelihara glondongan dan petak pembesaran untuk memelihara bandeng sampai usia konsumsi. Petak peneneran juga berfungsi sebagai petak untuk melakukan panen. Petak pembagi air adalah petak yang pertama menerima air dari saluran irigasi selanjutnya air dibagikan ke petak lainnya. Saluaran air adalah irigasi (sungai) tempat tambak mengambil dan membuang air. Pada pinggiran tambak umumnya dibuat semacam selokan (lantai tambak lebih dalam dari lainnya) yang disebut caren. Caren berfungsi sebagai tempat bandeng berteduh ketika cuaca panas dan penampung lumpur.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
20
Gambar 4.2 Tambak Model Jawa Timur
Jika budidaya hanya usaha pembesaran atau pendederan maka petak tambak hanya dua yakni petak pembagi air yang sekaligus berfungsi sebagai areal pemanenan dan tambak pemeliharaan. Demikian juga untuk tambak yang dikelola secara tradisional, walaupun budidaya dimulai dari menebar nener namun tidak dilakukan pemisahan untuk berbagai umur bandeng. Pematang adalah bagian penting dari tambak yang berfungsi sebagai benteng ketika terjadi badai pasang, dan menjadi jalan untuk pengangkutan sarana produksi maupun hasil tambak. Dengan demikian yang terpenting dari pematang adalah kekuatan tambak, pada umumnya pematang utama dibangun dengan lebar antara 2 sampai 2,5 meter dengan ketinggian 0,5m diatas air pasang tertinggi. Sementara itu pematang antara bisa dibuat lebih sempit, umumnya 0,5 sampai 1,5 m dengan ketinggian sekitar 0,25m. Saluran air dibuat sedemikian rupa sehingga aliran air menjadi lancar. Untuk membuat dan melengkapi tambak diperlukan beberapa bahan dan peralatan. Bambu dan pipa paralon adalah bahan yang diperlukan untuk membuat saluran air dari petak satu ke petak lainnya. Sementara di tambak juga terdapat peralatan yang diperlukan untuk kelancaran usaha antara lain, Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
21
jaring hapa, seser/serok, ember plastik, tong fiber glass, keranjang, plastik lembaran, cangkul, arit, timbangan, linggis dan pompa air. Pada tambak pendederan diperlukan pula tabung gas untuk pengemasan saat panen. Perlengkapan tambak yang lainnya adalah rumah pandega/penjaga. Foto 5 Tambak Pendederan Lengkap dengan Rumah Pandeganya
2. Syarat Lahan dan Air Tambak Untuk mendapatkan hasil optimal maka air dan tanah yang digunakan untuk tambak harus memenuhi beberapa syarat. Tabel 4.2 menyajikan mutu air dan tanah optimal untuk pemeliharaan nener. Syarat teknis lahan dan air untuk pembesaran tidak berbeda dengan peneneran. Tabel 4.2. Mutu Air Optimal Bagi Pemeliharaan Nener di Petak Pendederan Ambang Peubah Kisaran atas Optimum bawah Oksigen terlarut (mg/l) 2,0 Sekitar jenuh Amoniak (mg/l)
0,0
0,1 0
Asam belerang (mg/l)
0,000
0,001 0
Bahan Organik total (mg/l)
10,0
30,0 15,0- 20,0
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
22
pH
7,5
9,0
8,0-8,3
Temperatur(0C)
26,0
32,0
29-30
Salinitas (ppt)
20,0
35,0
29-32
Transparansi (cm)
30 50,0 Sumber : Ahmad dkk, 2002
35,0-40
3. Pengelolaan Tambak Agar tambak berfungsi optimal maka tambak harus memenuhi syarat lingkungan biologi (Tabel 4.2), salah satu cara agar tambak dapat memenuhi syarat lingkungan biologi adalah melakukan pengelolaan tambak. Pengelolaan tambak meliputi pengolahan lahan dan pemberian unsur tambahan serta pengaturan pengairan (1). Pengolahan lahan Tujuan pengolahan lahan tambak adalah: (a). Menghilangkan lumpur yang berlebihan terutama di daerah caren yang merupakan arena mengendapnya lumpur. (b). Menghilangkan bahan organik yang merugikan. (c). Menutup lubang-lubang yang biasanya ada disisi tambak yang bisa menjadi jalan masuk binatang pemangsa dan menjadi jalan keluar bagi bandeng. (d). Memacu pertumbuhan bahan makanan alami bandeng, untuk itu yang dilakukan adalah pengeringan tambak dan pembalikan lahan. Pengolahan lahan dilakukan setiap habis panen (menjelang masa tebar berikutnya). Pengeringan yang dilakukan tergantung kepada kondisi lahan. Jika lahan dalam kondisi buruk pengeringan bisa dilakukan sampai tanah dasar menjadi pecah-pecah. Jika kondisi lahan normal maka pengeringan dilakukan sampai tanah terbenam 1 cm jika diinjak. Setelah pengeringan dilakukan pembalikan tanah melalui proses brojul (bahasa jawa). (2). Perbaikan dan pengontrolan pH Tujuan pengontrolan pH adalah untuk menormalkan asam bebas dalam air, menjadi penyangga dan menghindari terjadinya guncangan pH air/tanah yang mencolok, memberi dukungan kegiatan bakteri pengurai bahan organik dan mengendapkan koloid yang mengapung dalam air sehingga kejernihan air terjaga. Perbaikan pH dilakukan dengan dua cara yakni melalui pengeringan dan pemberian kapur. Dengan pengeringan pH yang turun pada saat pemeliharaan dapat ditingkatkan kembali. Pemberian kapur dilakukan saat pengeringan yakni saat pembalikan lahan. Prosesnya, sebelum lahan dibalik
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
23
(dibrojul) taburkan kapur kemudian dilakukan pembalikan lahan, dengan cara ini maka kapur akan tersebar merata. Untuk lahan yang berpasir maka 3 ton kapur untuk setiap ha lahan adalah optimal, tetapi jika lahan semakin liat maka kapur yang diperlukan semakin banyak. (3). Pemupukan Tujuan pemupukan adalah menumbuhkan makanan alami bandeng yakni klekap (lab-lab), lumut dan fitoplankton dan menjaga kecerahan air. Jika yang diharapkan tumbuh adalah klekap maka yang diperlukan adalah pupuk kandang dengan dosis 350 kg/ha. Untuk lumut diperlukan pupuk compund (NPK) dengan dosis 20 gram per m3 air. Untuk pedoman praktis pemberian dilakukan 2 minggu sekali dengan dosis 2 kg urea dan 15 kg TSP untuk setiap ha tambak. Untuk fitoplankton flagellata dan fitoplankton diatoma pemberian pupuk diberikan dengan perbandingan N dan P tertentu. Sebagai bahan makanan alami, fitoplankton diatoma lebih disukai oleh bandeng. (4). Oksigen terlarut dan suhu air Oksigen terlarut sangat penting untuk orgasnisme air, jika oksigen terlalu banyak maka akan ada gelembung di lamela bandeng sedangkan jika terlalu sedikit maka bandeng akan mati lemas. Oksigen paling rendah terjadi pada waktu pagi yakni sesaat setelah matahari terbit. Sementara oksigen tertinggi terjadi sekitar jam 14.00-17.00. Untuk menjaga oksigen dalam kondisi optimal perlu dilakukan pengadukan air sekitar jam 13.00-15.00 dan pada malam hari. Pengadukan dan penambahan oksigen bisa dilakukan dengan menggunakan aerator. Oksigen dan suhu air saling berhubungan, pada saat suhu naik maka oksigen turun. Pada suhu 120C bandeng akan mati kedinginan. Untuk menjaga agar suhu dan oksigen dalam keadaan optimal dilakukan pembuatan caren, sehingga saat suhu tinggi bandeng bisa bersembunyi dalam caren yang relatif lebih dalam dengan suhu yang lebih rendah dan oksigen tercukupi. (5). Amonia dan asam belerang Dua zat ini terbentuk dari sisa pakan, kotoran ikan maupun plankton dan bahan organik tersuspensi. Kedua zat ini bersifat meracuni bandeng. Makin tinggi suhu kemungkinan makin besar kandungan kedua zat ini. Oleh karena itu penjagaan suhu air sangatlah penting. Cara lain untuk menghilangkan kedua zat ini adalah dengan melakukan pengadukan dan pembuatan caren, pergantian air dan pengeringan lahan. (6). Salinitas Salinitas adalah tingkat keasinan atau ketawaran air, walaupun bandeng termasuk hewan air yang relatif bandel tetapi jika budidaya dilakukan secara intensif maka tingkat salinitas harus diperhatikan. Pada salinitas optimal Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
24
energi yang digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan tubuh dan air tambak cukup rendah sehingga sebagian besar energi asal pakan dapat digunakan untuk pertumbuhan. Pengaturan salinitas bisa dilakukan dengan cara penambahan air tawar dengan bantuan aerator. Melalui pengaturan ini tingkat salinitas bisa dihitung dengan rumus berikut:
Dimana: S1 adalah salinitas air tawar (ppt) S2 adalah salinitas air laut (ppt) S3 adalah salinitas air yang diharapkan (ppt) M1 adalah massa air tawar (m3) M2 adalah massa air asin (m3) (7). Logam berat dan pestisida Logam berat dan pestisida berasal dari limbah pabrik atau sawah yang telah menggunakan sistim perairan intensif sehingga menghasilkan residu zat kimia. Kandungan logam berat dan pestisida akan menyebabkan kematian bandeng secara masal. Jika bandeng tahan terhadap pencemaran ini dan tidak mati maka akan menyebabkan keracunan bagi mereka yang mengkonsumsi bandeng yang terkontaminasi. Solusi dari masalah ini hanya menjauhkan tambak dari sumber polusi. (8). Hama dan penyakit Ada empat golongan hama tambak yakni: 1. Predator/pemangsa yang terdiri dari ikan buas dan liar, kadal, kepiting dan berang-berang 2. Kompetitor/ pesaing yang terdiri dari ikan liar dan siput 3. Hama yakni penggali organisme pelapuk kayu dan kerang-kerang. 4. Penyakit parasiter, yakni penyakit yang disebabkan oleh virus bakteri dan protozoa. Penyakit ini umumnya menyerang hewan air, tetapi sampai saat ini belum dijumpai kasus penyakit ini dalam tambak budidaya bandeng. Predator masuk ke dalam tambak melalui saluran air atau lubang yang terdapat pada dinding tambak. Pengeringan tambak adalah cara
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
25
pengendalian kompetitor dan hama. Untuk hama yang masuk melalui lubang air harus dilakukan penyaringan air pada saat memasukkan air ke dalam tambak. Saringan harus cukup kecil agar supaya tidak hanya binatangnya yang tidak masuk melainkan telurnya pun tidak masuk. Foto 6. Tambak yang Sedang Dikeringkan
c. Pembenihan Benih bandeng disebut nener. Sebagian besar nener sampai saat ini masih diperoleh dengan cara penangkapan secara alamiah, hanya sebagian kecil benih nener yang dihasilkan oleh budidaya (hatchery). Potensi benih nener alami tersebar di seluruh pantai Indonesia dengan konsentrasi di 15 provinsi mulai dari Aceh, Lampung, Kaltim, Kalsel, Jabar, Jatim, Jateng, Bali, NTB, NTT, Sulsel, Sulteng, Sulut, Sulawesi Tenggara dan Maluku. Diperkirakan potensi nener alami mencapai 1,5 miliar ekor setiap tahun, padahal yang dimanfaatkan baru berkisar pada angka 1 milyar ekor setiap tahun. Nener yang dijual untuk dipelihara umumnya berumur antara 21 hari sampai 28 hari. Secara fisik besar nener dengan umur tersebut adalah seukuran jarum dan tubuhnya transparan dengan panjang sekitar 12 -13 mm. Nener mempunyai tiga titik ditubuhnya yakni dua mata dan satu di perut. Nener yang ditangkap berasal dari laut dalam. Bandeng dewasa melepaskan telurnya ditengah laut yang berjarak sekitar 9 km dari garis pantai. Telur itu mengambang dan dibawa ombak, dalam perjalanan telur menetas dan terbawa ke pantai atau muara sungai. Nener inilah yang ditangkap, penangkapan nener tidak sulit walaupun nener bergerak lincah sebab umumnya nener berenang dalam kelompok. Di pasar lokal saat ini (tahun 2004) nener berukuran 12-13 mm dihargai Rp 70.000, per rean .
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
26
d. Pendederan/Penggelondongan Pendederan adalah proses budidaya dari nener menjadi glondongan. Pola pemeliharaan tahap pendederan umumnya dilakukan secara intensif atau semi intensif. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengatur waktu panen sehingga sesuai dengan siklus permintaan tambak pembesaran. Glondongan dijual dalam berbagai ukuran tergantung permintaan. Variasi output pendederan di wilayah Gresik dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Berbagai Ukuran Glondongan dengan Usia dan Harganya Lama Istilah Ukuran (Cm) pemeliharaan Harga (Rp/rean) setempat (minggu) Glondongan 2-4 2 200.000 Kasaran Semi Semi Super Balian Sumber : Data primer
4-6
4
500.000
8-10
6
800.000
10-12
8
1.200.000
12-14
10
dijual kiloan
Pemeliharaan nener umumnya dilakukan sejak nener ditebar sampai umur 8 minggu. Sebelum nener ditebar sebaiknya tambak ditancapi rumpon yang berfungsi sebagai pelindung nener dari sengatan matahari dan dilakukan aklimatisasi terhadap nener. Aklimatisasi atau penyesuaian terhadap lingkungan merupakan hal yang penting dalam pemindahan dari tahap satu ketahap berikutnya. Hal ini untuk mencegah stress yang menyebabkan kematian. Aklimatisasi dapat dilakukan dengan cara membiarkan kantong plastik mengapung di air tambak, setelah temperatur, keasaman air dan salinitas air hampir sama, kantong plastik bisa dibuka. Umumnya waktu yang diperlukan untuk aklimatisasi adalah setengah hari. Pada saat penebaran nener usahakan agar salinitas berada pada kisaran 10-15 permil. Penebaran nener sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari saat suhu masih rendah. Selama dalam pendederan 10% air diganti setiap hari dengan waktu pergantian paling baik pada pukul 11.00-15.00. Pemberian makanan untuk pendederan perlu dilakukan jika nener yang ditebar lebih dari 5.000 ekor. Makanan tambahan berupa makanan jadi yang berbentuk tepung dangan cara ditabur. Makanan diberikan setiap 4 jam sekali dengan jatah sesuai umurnya.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
27
Angka kematian untuk pendederan berkisar pada 10% sampai 20%, tergantung pada manajemen tambak. Jika tambak dikelola dengan baik maka tingkat kematian bisa ditekan hingga 5%. Pemanenan nener pada umumnya dilakukan secara aktif dan tidak serentak. Artinya nener dipanen sesuai permintaan pasar. Ketika ada permintaan maka nener di jaring ke petak penampungan, selanjutnya nener dihitung dengan menggunakan piring plastik untuk glondongan dan serok kecil untuk kasaran dan semi. Hasil hitungan langsung dimasukkan dalam plastik pengemas dan diberi oksigen murni dengan isi 250 ekor per plastik. Glondongan yang sudah siap di plastik kemudian diangkut dengan sepeda motor atau mobil untuk jarak dekat menuju tambak pembesaran. Jika tambak pembesaran berjarak jauh misalnya sampai keluar pulau maka pengangkutan dilakukan dengan menggunakan truk tangki yang juga harus dilengkapi dengan oksigen murni.
Foto 7 Ukuran Glondongan dan Glondongan yang Telah Dikemas dalam Plastik
e. Pembesaran Output budidaya pembesaran adalah bandeng konsumsi atau bandeng untuk umpan. Bandeng umpan umumnya berukuran 1 ons atau 10 ekor per kg, ukuran ini juga bisa dihasilkan dari tambak pendederan yang disebut balian. Untuk konsumsi umumnya bandeng dipanen ketika ukurannya mencapai 2,5 sampai 3 ons atau 3-4 ekor per kg. Bandeng yang dipanen pada ukuran diatas 0,5 kg per ekor biasa disebut bandeng super kualitas prima. Pada pengelolaan secara intensif tingkat produksi yang diinginkan ketika panen dapat dihitung dan diperkirakan dengan mudah, jika diketahui tingkat kematiannya. Berdasarkan pengamatan di lapangan tingkat kematian pada
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
28
tahap pembesaran adalah 40% untuk glondongan umur 21 hari dan 25% untuk glondongan umur 28 hari. Sementara itu indeks pertumbuhan bandeng adalah 0,0005. Dengan data ini maka tingkat produksi yang diinginkan dapat diperoleh dengan rumus berikut :
Pembesaran dapat berasal dari tambak yang terintegrasi maupun pembesaran yang memang hanya dirancang untuk tambak pembesaran. Jika pembesaran dilakukan dari tambak yang terintegrasi maka yang harus dilakukan hanyalah membuka tutup petak tambak dari petak pembuyaran. Dalam melakukan pembukaan dari pembuyaran maka beberapa hal harus diperhatikan: 1. Pemindahan dilakukan saat bulan waktu pasang surut paling besar. 2. Pemindahan sebaiknya dilakukan malam hari dengan menggunakan cahaya untuk menarik bandeng muda ke arah pintu air petakan yang berhubungan langsung dengan petak pembuyaran atau pembesaran. 3. Mengubah kondisi tambak untuk membuat bandeng muda menjadi aktif dan siap untuk dipindahkan ke petak buyaran atau pembesaran. Caranya ialah dengan menurunkan ketinggian air tambak sehingga temperatur air tambak meningkat. Jika pembesaran dilakukan tidak terintegrasi maka penebaran ke tambak pembesaran juga harus dilakukan melalui aklimatisasi. Cara aklimatisasi penebaran nener dapat digunakan disini. Dalam tambak pembesaran, 10% air tambak setiap hari harus diganti, penggantian dilakukan dengan pompa dan pipa air sehingga air yang terbuang dapat diatur dari bawah. Panen dari tambak pembesaran dapat dilakukan dengan dua cara yakni panen selektif dan panen total. Pada panen selektif dapat digunakan jaring jala, atau penangkap elektrik. Untuk panen total dapat digunakan jaring kantong atau dengan melakukan pengeringan secara bertahap. Untuk mendapatkan bandeng kualitas baik maka panen sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan bandeng dalam keadaan lapar. Bandeng yang dipanen dalam keadaan kenyang akan cepat menjadi busuk. Setelah ditangkap bandeng segera dimatikan dan dicuci bersih. Pengelolaan pasca panen yang baik dilakukan dengan cara berikut: 1. Pencucian dilakukan tiga tahap, pertama bandeng dicuci secara keseluruhan dengan air dingin yang ditambah klorin konsentrasi 10
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
29
ppm. Kedua, untuk mengeluarkan kotoran pada ingsang dan mulut lakukan pencucian dengan hati-hati. Ketiga untuk menghilangkan bau klorin lakukan pencucian ulang dengan air dingin, 2. Setelah dicuci dengan seksama bandeng dimasukkan ke dalam kotak khusus ukuran 0,5x0,5x0,5 m yang bagian bawahnya diberi lubang. Untuk menghindari gesekan maka dasar dan dinding kotak diberi alas daun pisang/daun jati dan plastik. Caranya letakkan daun dengan ketebalan sekitar 10 cm kemudian tutup plastik. Di atas plastik letakkan es setebal 10 cm. Letakkan bandeng diatasnya 2 lapis selanjutnya es lagi demikian seterusnya. Pada bagian paling atas diberi lapisan es setebal 15 cm kemudian ditutup daun dan plastik, bandeng siap diangkut. Foto 8 Panen Bandeng Konsumsi
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
30
5. Aspek Keuangan a. Pemilihan Pola Usaha Seperti dijelaskan pada bab IV bahwa budidaya bandeng terdiri dari 3 kegiatan yang dapat dilakukan secara terpisah atau bersamaan tergantung kepada kemampuan pengelolaan pengusaha. Dalam pola pembiayaan ini dipilih usaha gabungan dari dua kegiatan yakni, (a). pendederan dan (b). pembesaran dengan pola usaha monokultur. Tingkat teknologi yang digunakan adalah semi intensif dengan kriteria sebagai berikut, (a). spesifikasi tambak lebih sederhana dari pada tambak intensif penuh (b). pemberian pupuk sesuai standar tambak intensif (c). pemberian pakan adalah 60% dari pemberian pakan secara intensif. Skala usaha dilihat dari tambak kotor adalah 20.000 m2, lahan tersebut 70% untuk tambak dan 30% sisanya untuk pematang dan peruntukan lainnya. Dari luas tambak bersih, 14.000 m2 dibagi menjadi 4 petak tambak masingmasing seluas 3.500 m2. Satu petak (3.500 m2) digunakan untuk pendederan dan 10.500 m2 untuk tambak pembesaran. Hasil panen pendederan yang berupa glondongan sebagian dijual dan sebagian lagi untuk dipelihara di tambak pembesaran. Hasil tambak pembesaran yang berupa bandeng konsumsi seluruhnya dijual. Pemilihan tingkat teknologi dan luas tambak tersebut didasarkan pada kenyataan di Kabupaten Sidoarjo. Dalam skala yang bervariasi masyarakat petambak Sidoarjo sebagian besar menggunakan pola pemeliharaan dengan sistim semi intensif. Sementara luas tambak didasarkan pada rata-rata pemilikan tambak per rumah tangga. b. Asumsi dan Jadwal Kegiatan Analisis keuangan suatu proyek mengharuskan ketepatan parameter yang digunakan, untuk itu diperlukan asumsi-asumsi yang sejauh mungkin didasarkan pada kenyataan di lapangan. Asumsi yang digunakan dalam analisis keuangan ini disajikan pada Tabel 5.1.
No
Tabel 5.1. Asumsi dan Parameter untuk Analisis Keuangan Asumsi Satuan Jumlah Keterangan
1
Periode proyek
2
Pola dan Skala Usaha
Semester
8
a. Jenis usaha
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
Persemester 6 bln
Pendederan dan
31
pembesaran b. Teknologi
3
4
5
6
Semi intensif
c. Luas tanah
M2
20.000
d. Luas tambak total
M2
14.000
- Pendederan
M2
3.500
- Pembesaran
M2
10.500
Terdiri dari tiga petak
- Pendederan
Bulan
3
Tebar s/d panen
- Pembesaran
Bulan
4
Tebar s/d panen
- Pendederan
%
70
Larva s/d Glondongan
- Pembesaran
%
80
Glondongan s/d bandeng konsumsi
- Pendederan
Ekor/M2
30
- Pembesaran
Ekor/M2
1
a. Nener
Rp/ekor
14
Di tingkat budidaya
b. Glondongan
Rp/ekor
200
Di tingkat budidaya
- Ukuran
Jml/kg
3
Normal
- Harga
Rp/kg
6.000
Di tingkat pembudidaya
- Kapur
Kg/M2
0,03
- Urea
Kg/M2
0,05
-TSP
Kg/M2
0,01
Siklus usaha
Survival Rate
Padat penebaran
Harga bandeng
c. Bandeng konsumsi
7
Pupuk a. Penggunaan awal
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
32
Kg/M2
0,03
Sumber : Lampiran 1. Periode proyek adalah 4 tahun, sesuai dengan lamanya waktu sewa tambak. Lama sewa tambak optimal 4 sampai 5 tahun, hal ini berkaitan dengan pengolahan tambak pada periode awal. Pengolahan tambak memerlukan biaya yang cukup besar, biaya pengolahan itu dianggap ekonomis jika tambak digunakan minimal selama 4 tahun. Penebaran nener dan glondongan pada tiap petak tambak diatur sedemikian rupa agar supaya setiap bulan dapat diperoleh pendapatan. Pada awal periode penebaran pertama dilakukan bersamaan untuk kolam pendederan dan pembesaran petak pertama. Sekitar sebulan kemudian menebar pada petak ke dua tambak pembesaran. Bulan berikutnya berikutnya menebar pada kolam pembesaran petak ketiga dan panen dari petak pendederan. Bulan berikutnya menebar nener di petak pendederan dan panen dari petak pembesaran pertama. Mulai bulan ke lima, penebaran pada petak pembesaran dilakukan selang 13 hari untuk setiap petaknya (aspek teknis produksi dan jadwal tebar panen secara lengkap lihat Lampiran 2 dan Lampiran 3). Survival Rate untuk pendederan adalah 70% relatif lebih rendah dibanding pembesaran yang mencapai 80%. Nener yang disebar pada tambak pendederan masih relatif lemah sehingga rentan terhadap gangguan. Sementara itu glondongan yang ditebar pada petak pembesaran telah cukup besar sehingga relatif lebih tahan terhadap lingkungan. Kepadatan penebaran adalah 30.000 ekor per ha untuk pendederan dan 10.000 ekor per ha untuk pembesaran. Harga yang digunakan sebagai patokan adalah harga di tingkat pembudidaya, yakni Rp 6.000 per kg untuk bandeng konsumsi dan Rp 200 per ekor untuk glondongan sebab harga inilah yang dihadapi dan diterima oleh pembudidaya. c. Struktur Biaya Investasi dan Biaya Operasional 1. Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya tetap yang harus dikeluarkan oleh petambak untuk memulai usahanya. Biaya investasi meliputi biaya perijinan, sewa tambak dan pengolahan tambak serta pembelian peralatan (Tabel 5.2). Biaya perijinan bernilai nol sebab biaya itu telah dibayar pemilik pada saat membuat tambak. Total biaya investasi yang diperlukan untuk tambak seluas 2 ha sekitar Rp 8 juta dengan biaya terbesar pelengkapan tambak. Biaya perlengkapan tambak adalah biaya untuk membeli pompa air dan membuat rumah pandega. Rumah pandega diperlukan sebab tambak berada di lokasi yang relatif jauh dari pemukiman sehingga diperlukan tempat untuk
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
33
penunggu tambak. Tambak disewa selama 4 tahun, tetapi pembayaran sewa dilakukan setiap tahun. Sewa tambak saat penelitian adalah Rp 1.250.000 per ha per tahun. Pengolahan tambak memerlukan biaya yang besar terutama untuk biaya tenaga kerja. Peralatan antara lain adalah jaring, ember dan serok. Rincian biaya investasi dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 5.2. Biaya Investasi Pendederan dan Pembesaran Bandeng No Jenis Biaya Nilai (Rp) Penyusutan (Rp) 1
Perijinan
0
0
2
Sewa tambak
2.500.000
2.500.000
3
Pembenahan tambak
2.135.000
427.000
4
Peralatan tambak
507.000
262.000
5
Perlengkapan tambak
3.180.000
1.288.250
Jumlah biaya investasi
8.322.000
4.477.250
Sumber : Lampiran 7 2. Biaya Operasional Biaya operasional adalah biaya yang harus dikeluarkan ketika tambak dioperasikan untuk memelihara bandeng. Budidaya bandeng memerlukan bibit dan pakan. Untuk menambah sediaan makanan alami maka diperlukan pemupukan pada tambak. Untuk mengelola tambak diperlukan tenaga kerja (Tabel 5.3). Biaya operasional terbesar (lebih dari 50%) adalah biaya pakan. Salah satu ciri penting pengelolaan tambak semi intensif adalah pemberian pakan. Biaya pakan menjadi cukup besar sebab pakan yang diberikan adalah pakan buatan pabrik yang saat ini harganya masih sangat tergantung pada harga bahan baku pakan yang sebagian besar masih didatangkan dari pasar luar negeri. Biaya kedua terbesar (sekitar 10%) adalah biaya tenaga kerja. Tenaga yang diperlukan adalah 2 tenaga upahan tetap dan 1 tenaga pemilik, dengan upah sesuai jumlah produksi dan tenaga tidak tetap yang diperlukan saat panen. Upah semester 1 lebih tinggi dari pada semester 2 sebab pada semester ini rata-rata pendapatan dari tambak relatif lebih tinggi dibanding semester 2. Dua tenaga upahan bertugas untuk mengelola tambak sekaligus menjaga tambak selama 24 jam. Pemilik tambak diasumsikan menerima upah yang sama dengan pekerjanya. Informasi dari petambak menyatakan bahwa sebagai pemilik pekerjaan yang harus dilakukan hanyalah mengawasi pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pekerjanya dan mengatur administrasi tambak yang tidak dilakukan secara formal (tidak ada
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
34
pembukuan yang dilakukan). Dengan demikian upah itupun telah memadai bahkan upah ini sudah termasuk biaya untuk membayar listrik penerangan tambak dan biaya administrsi lain. Itulah sebabnya biaya administrasi tidak lagi diperhitungkan tersendiri.
No
Tabel 5.3. Biaya Operasional Pendederan dan Pembesaran Bandeng Semester 1 Semester 1 Semester 2 Jenis Biaya Tahun 1 Tahun 2-4 Tahun 1-4
1
Benih
5.040.000
5.040.000
5.040.000
2
Pupuk
5.082.525
5.082.525
4.356.450
3
Pakan
21.325.000
22.335.005
23.324.088
4
Tenaga kerja
11.325.000
11.535.000
8.730.000
42.962.813
40.392.530
41.450.538
Jumlah
Sumber : Lampiran 8
d. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja Modal yang diperlukan untuk mengoperasikan tambak seluas 2 ha adalah Rp 29.010.776 dengan porsi 28,68% biaya investasi dan 71,32% modal kerja. Modal kerja adalah modal yang diperlukan untuk mengoperasikan tambak pada periode awal. Dalam studi ini modal kerja meliputi biaya pembelian bibit, pakan, pemupukan dan tenaga kerja bulan pertama sampai bulan ke tiga.
No 1
2
Tabel 5.4. Kebutuhan Dana untuk Investasi dan Modal Kerja Total Biaya Rincian Dana Proyek (Rp) Dana investasi yang bersumber dari a. Kredit
5.825.400
b. Modal sendiri
2.496.600
Jumlah dana investasi
8.322.000
Dana Modal Kerja yang bersumber dari a. Kredit
10.344.388
b. Modal sendiri
10.344.388
Jumlah Dana Modal Kerja
20.688.776
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
35
3
Total Dana Proyek yang bersumber dari a. Kredit
16.169.788
b. Modal Kerja
12.840.988
Jumlah Dana Proyek
29.010.776
Sumber : Lampiran 09
Untuk memenuhi kebutuhan dana investasi dan modal kerja sebagian dana diperoleh dari pinjaman (kredit). Dalam studi ini 70% biaya investasi berupa dana kredit dan sisanya modal sendiri, sementara untuk modal kerja 50% pinjaman dan 50% dana sendiri (Tabel 5.4). Merujuk pada temuan lapangan dana dari bank umumnya dilunasi dalam jangka pendek, oleh karena itu dalam analisis keuangan ini dana dari bank diangsur dalam jangka 2 tahun dengan bunga menurun. Bunga yang harus dibayar adalah 20% per tahun, bunga yang relatif tinggi ini terkait dengan resiko yang tinggi pada usaha tambak bandeng. Pada semester awal total angsuran yang harus dibayar adalah Rp 6 juta dan menurun pada semestersemester berikutnya. Nilai angsuran ini jauh lebih kecil dari nilai pendapatan kotor yang setiap semesternya berkisar pada angka Rp 50 juta (Tabel 5.5).
Tahun
Tabel 5.5. Angsuran Pokok dan Bunga Kredit Angsuran Angsuran Total Periode Pokok Bunga Angsuran
Saldo Akhir
1. Kredit Investasi Rp Tahun 1
Tahun 2
Semester 1
1.456.350
546.131
2.002.481 4.369.050
Semester 2
1.456.350
400.496
1.856.846 2.912.700
Semester 1
1.456.350
254.861
1.711.211 1.456.350
Semester 2
1.456.350
109.226
1.565.576
Semester 1
2.586.097
969.786
3.555.883 7.758.291
Semester 2
2.586.097
711.177
3.297.274 5.172.194
Semester 1
2.586.097
452.567
3.038.664 2.586.097
Semester 2
2.586.097
193.957
2.780.054
0
2. Kredit modal Kerja Rp Tahun 1
Tahun 2
0
Sumber : Lampiran 10.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
36
e. Produksi dan Pendapatan Hasil produksi usaha ini adalah bandeng bibit (glondongan) dan bandeng konsumsi. Untuk glondongan setiap semester dihasilkan 147.000 ekor bandeng. Sementara produksi bandeng konsumsi mencapai 8.400 ekor pada semester pertama tahun pertama kemudian meningkat menjadi 11.200 ekor pada semester ke dua. Dengan tingkat produksi itu usaha tambak badeng semi intensif ini menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 44 juta pada tahun ke 1 semester1 dan lebih dari Rp 50 juta pada periode berikutnya (Tabel 5.6).
Tahun
Tabel 5.6. Produksi dan Pendapatan Kotor Per Semester Uraian Satuan Semester 1 Semester 2
1. Bandeng glondongan 1-4
a. Luas tambak per panen
M2
3.500
3.500
b. Frekuensi panen
Kali
2
2
c. Produksi per panen
Ekor
73.500
73.500
d. Total produksi
Ekor
147.000
147.000
- Dibesarkan sendiri
Ekor
7.000
3.500
- Dijual
Ekor
140.000
143.500
Rp
28.000.000
28.700.000
a. Luas tambak per panen
M2
3.500
3.500
b. Frekuensi panen
Kali
3
4
c. Produksi per panen
Ekor
2.800
2.800
d. Total produksi
Ekor
8.400
11.200
Kg
2.800
3.733
e. Pendapatan kotor
Rp
16.800.000
22.400.000
a. Frekuensi panen
Kali
5
4
b. Total produksi
Ekor
14.000
11.200
Kg
4.667
3.733
Rp
28.000.000
22.400.000
e. Pendapatan kotor 2. Bandeng konsumsi 1
2-4
c. Pendapatan kotor
Sumber : Lampiran 11
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
37
f. Proyeksi Laba Rugi dan Break Even Point Studi ini menunjukkan bahwa usaha tambak bandeng semi intensif mampu menghasilkan keuntungan. Pada semester pertama mengalami kerugian sebesar Rp 8.198.427, tetapi semester berikutnya tambak telah menghasilkan keuntungan, dimulai dengan keuntungan puluhan ribu rupiah menjadi jutaan rupiah pada periode-periode berikutnya. Pada akhir periode proyek keuntungan yang diperoleh adalah Rp 17.706.739 (Lihat Lampiran 13). Secara rata-rata margin yang dapat diperoleh usaha tambak bandeng adalah 4,24% per semester. Rata-rata margin yang rendah disebabkan karena margin pada semester pertama tahun pertama adalah nol dan semester 2 tahun pertama adalah Rp 15.379. Margin yang rendah pada periode awal (semester 1 sampai semester 4) terkait dengan pembayaran angsuran kredit yang harus dilakukan. Semester 5 dan seterusnya menunjukkan bahwa margin yang diperoleh cukup tinggi sebab pada periode ini petambak tidak lagi harus membayar angsuran. Dengan memperhitungkan biaya tetap dan biaya variabel serta hasil penjualan maka didapat nilai rata-rata BEP penjualan usaha ini adalah adalah Rp 37.941.305 per semester, jauh lebih rendah dari nilai penjualan per semester. Perhitungan BEP hanya meliputi BEP nilai penjualan sebab produk yang dihasilkan adalah glondongan dan bandeng konsumsi yang harga dan ukuran produknya bervariasi cukup tinggi, yakni Rp 200 per ekor untuk glondongan dan Rp 6.000 per kg untuk bandeng konsumsi. Dengan demikian perhitungan dalam bentuk rata-rata jumlah produksi dan harga per kg menjadi tidak tepat. g. Proyeksi Arus Kas dan Kelayakan Proyek Menurut kriteria kelayakan proyek, usaha tambak bandeng layak untuk dilaksanakan. Dengan suku bunga 20% dan masa proyek 4 tahun, usaha pendederan dan pembesaran bandeng semi intensif menghasilkan NPV sebesar Rp 17.661.201 dan Net B/C Ratio 1,68, IRR 53,02% serta PBP 5 bulan (tabel 5.7). NPV yang positif menyatakan bahwa aliran kas usaha bandeng ini adalah positif dari waktu ke waktu. Angka ini juga menyatakan bahwa manfaat dari usaha bandeng lebih besar dari biaya yang ditanggung. Hal ini diperkuat dengan nilai Net Benefit Cost Rasio yang mencapai angka 1,68. Bunga kredit usaha bandeng adalah 20%, sementara IRR yang diperoleh adalah 53,02%, artinya proyek ini menguntungkan. Masa pengembalian investasi adalah 5 bulan, jauh lebih rendah dari jangka waktu proyek yang 4 tahun dengan demikian proyek ini layak untuk dilaksanakan.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
38
Tabel 5.7. Kelayakan Budidaya Pendederan dan Pembesaran Bandeng No Kriteria Kelayakan Nilai 1
NPV pada DF 20% (Rp)
2
Net B/C Ratio 20%
3
IRR (%)
4
PBP (tahun / bulan)
17.661.201 1.68 53.02 0/5
Sumber : Lampiran 14
h. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas digunakan untuk menguji sensitivitas usaha bandeng terhadap perubahan lingkungan yang berdampak pada penurunan pendapatan dan kenaikan biaya operasional. Simulasi dilakukan untuk melihat dampak penurunan pendapatan, peningkatan biaya operasional serta penurunan pendapatan sekaligus peningkatan biaya terhadap indikator penilaian investasi. Hasil simulasi terhadap masing-masing variabel disajikan pada Tabel 5.8, 5.9, dan 5.10. Penurunan pendapatan sebesar 5% tidak membuat budidaya bandeng kehilangan kelayakannya. Tetapi jika penurunan pendapatan mencapai 7% budidaya bandeng tidak layak lagi untuk dilaksanakan. Berdasar informasi dari petambak harga bandeng relatif stabil dari periode ke periode. Selama satu tahun terakhir harga bandeng konsumsi di tingkat petambak berkisar pada angka Rp 6.000 sampai Rp 8.000. Per kg. Studi ini menggunakan harga bandeng konsumsi sebesar Rp 6.000, sehingga analisis ini adalah kondisi paling buruk yakni harga bandeng konsumsi turun lebih rendah dari Rp. 6000.
No
Tabel 5.8. Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario 1 Penerimaan Turun Kriteria Kelayakan 5% 7%
1
NPV pada DF 20% (Rp)
3.617.906
(1.999.413)
2
Net B/C Ratio 20%
1,14
0,93
3
IRR (%)
26,86
16,17
4
PBP (tahun / bulan)
1/9
2/1
Sumber : Lampiran 15 dan Lampiran 16
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
39
Budidaya bandeng lebih tahan terhadap kenaikan harga input dibandingkan penurunan pendapatan. Pada kenaikan biaya operasional sebesar 8% budidaya bandeng baru tidak layak untuk dilaksanakan. Biaya operasional terbesar adalah biaya untuk pakan. Dari lapangan diperoleh informasi bahwa harga pakan berfluktuasi mengikuti nilai tukar rupiah terhadap nilai dolar. Selama satu tahun terakhir harga pakan bandeng pembesaran umur 3 bulan (menjelang panen) berfluktuasi disekitar harga Rp 2.400 sampai Rp 2.700. Tetapi harga lebih sering berada pada angka Rp 2.500, dengan demikian fluktuasi harga pakan adalah sekitar 4% sampai 8%.
No
Tabel 5.9. Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario II Biaya Operasional Naik Kriteria Kelayakan 5% 8%
1
NPV pada DF 20% (Rp)
6.105.242
(828.334)
2
Net B/C Ratio 20%
1,23
0,97
3
IRR (%)
31,44
18,44
4
PBP (tahun / bulan)
1/8
2/1
Sumber : Lampiran 17 dan Lampiran18 Simulasi ketiga adalah simulasi untuk keadaan pandapatan turun sekaligus biaya operasional naik. Dalam kondisi demikian maka budidaya bandeng sudah tidak layak lagi untuk dilaksanakan ketika keduanya berubah sebesar 4%. Berdasar informasi dari petambak kondisi ini tidak sering terjadi, walaupun dalam bilangan waktu yang pendek kadang terjadi penurunan harga bandeng konsumsi bersamaan dengan naiknya harga pakan.
No
Tabel 5.10. Hasil Analisis Sensitivitas Proyek Skenario III Pendapatan Turun dan Biaya Operasional Naik Kriteria Kelayakan 3%
4%
2.301.648
(2.818.205)
1,09
0,90
1
NPV pada DF 20 %
2
Net B/C Ratio
3
IRR (%)
24,35
14,63
4
PBP (tahun/bulan)
1 / 10
2/4
Sumber : Lampiran 19 dan Lampiran 20
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
40
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan a. Aspek Sosial Ekonomi Tambak bandeng bukanlah usaha yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam 5 ha tambak hanya diperlukan 2 orang penjaga dan 5-10 orang untuk melakukan panen. Namun demikian tambak setidaknya menjadi sumber penghidupan bagi ribuan keluarga Indonesia, tahun 2000, 186.485 keluarga hidup dari tambak. Angka ini merupakan 14,73% dari seluruh keluarga perikanan (lihat tabel 6.1). Jumlah petambak dari tahun ke tahun terus meningkat demikian juga dengan perannya terhadap total rumah tangga perikanan. Dengan melihat rata-rata luas tambak per keluarga dapat dilihat bahwa peningkatan rumah tangga petambak tidak menyebabkan terpecahnya pemilikan tambak. Pada periode 1995-2000 rata-rata pemikilan tambak berkisar pada angka 2 ha. Tabel 6.1. Jumlah Rumah Tangga Tambak dan Luas Penguasaan Tambak per Rumah Tangga, 1995-2000 Persentase Luas Tambak Jumlah Rumah Tahun dari Keluarga per Keluarga Tangga Perikanan (Ha) 1995
125.705
10.14
2.11
1996
131.910
10.50
1.81
1997
127.534
10.08
1.74
1998
144.411
13.58
2.29
1999
183.173
15.41
2.22
2000
186.485
14.73
2.29
Sumber : BPS, 1997 dan 2002 Di Kabupaten Sidoarjo budidaya tambak merupakan usaha yang telah dijalani sebagian masyarakat secara turun menurun. Secara ekonomis mengusahakan tambak untuk bandeng cukup menguntungkan, dengan demikian pada dasarnya tambak bandeng merupakan alternatif pekerjaan yang cukup baik. Namun demikian keberadaan tambak Sidoarjo saat ini mengalami ancaman yang bersumber dari beberapa masalah, antara lain: 1. Anak-anak petambak yang secara turun temurun mengusahakan tambak mulai tidak tertarik mengelola tambak. Anak-anak petambak yang telah berhasil menempuh pendidikan tinggi dengan bidang studi yang umumnya jauh dari masalah tambak sehingga enggan meneruskan usaha tambak.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
41
2. Bagi petambak baru membeli tambak atau membuat tambak baru memerlukan investasi besar, padahal sumber pembiayan semacam bank pada umumnya tidak bersedia mendanai usaha pertanian termasuk tambak karena resiko usaha yang dianggap masih sangat tinggi. 3. Tambak berlokasi di pantai, perkembangan kota telah membuat beberapa wilayah pantai mengalami reklamasi dan dijadikan areal pabrik. Hal ini menimbulkan dampak penciutan lahan tambak dan pencemaran air dan tanah serta tidak teraturnya ketinggian pasang surut air laut. 4. Sistim pertanian intensif yang terus menerus menggunakan pupuk dan pembasmi hama telah membuat lahan semakin miskin kesuburan alami. Akibatnya residu pupuk dan pembasami hama akan meresap ke dalam tanah atau terbawa air, hal ini menyebabkan pencemaran pada lahan tambak sebab kedua kegiatan ini saling berdampingan dan menggunakan sumber air yang sama.
b. Dampak Lingkungan
Tambak, baik bandeng maupun udang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan sebab:: 1. Air yang digunakan hanya dialirkan ke tambak kemudian dikeluarkan lagi tanpa ditambah / dicampur bahan kimia. 2. Pemupukan tambak dilakukan dalam jumlah yang realtif rendah dibandingkan dengan pemupukan di lahan sawah, sehingga kemungkinan terjadinya pencemaran relatif rendah. 3. Obat pembasmi hama diberikan dengan sangat hati-hati agar tidak mematikan bandeng sehingga pemberian obat pembasmi hama dapat dipastikan dalam dosis aman. 4. Tambak mensyaratkan air bersih yang terus mengalir walaupun dalam jumlah hanya 10% sehigga tambak bebas dari bau amis yang berlebihan.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
42
7. Penutup a. Kesimpulan 1. Potensi pengembangan tambak cukup besar, hampir semua pantai di Indonesia potensial untuk pengembangan tambak. Sampai saat ini pola pengelolaan tambak umumnya baru pada taraf semi intensif yang masih dekat dengan pola tradisional sehingga produktivitas masih relatif rendah. Hal ini disebabkan untuk mencapai pola yang lebih intensif diperlukan biaya yang besar untuk pembelian pakan yang harganya relatif mahal. 2. Di Wilayah penelitian (Sidoarjo) ada 1 bank yang memberikan kredit untuk usaha tambak bandeng yakni Bank BRI cabang Sidoarjo. Namun demikian pemberian kredit tersebut masih belum sepenuhnya kredit berdasarkan usaha tambak bandeng tetapi kredit umum, yakni kredit yang mensyaratkan sertifikat atau deposito sebagai jaminannya dan usaha lain diluar tambak serta catatan reputasi dan karakter yang baik sebagai penguatnya. 3. Potensi pasar bandeng cukup besar. Selama sepuluh tahun terakhir pertumbuhan permintaan mencapai 6,33% rata-rata per tahun sementara pertumbuhan produksi adalah 3,82% per tahun. Kesenjangan permintaan dan produksi ini masih ditambah dengan beberapa potensi permintaan antara lain : o
Bandeng dikonsumsi semua golongan masyarakat
o
Tingkat konsumsi protein masyarakat masih perlu ditingkatkan. Tingkat konsumsi protein tahun 2003 adalah 11 gram per capita per hari sementara standar minimal yang seharusnya dipenuhi adalah 15 gram per capita perhari.
o
Bandeng adalah sumber protein yang sehat (non kolesterol) sehingga masyarakat yang telah jenuh dengan lemakpun masih dapat mengkonsumsi bandeng dengan aman.
o
Harga bandeng relatif stabil dan pemasarannya pun yang relatif mudah.
4. Ada dua masalah terkait dengan pemasaran bandeng yakni : o
Lemahnya posisi petambak berhadapan dengan pembeli (Agen/ pedagang besar). Agen membeli bandeng dari petambak dengan cara kredit, tetapi tidak dipastikan kapan pembayaran dilakukan dan petambak tidak memiliki kekuatan untuk memaksa agen memenuhi kewajibannya.
o
Duri bandeng menghalangi masyarakat untuk menyukainya.
5. Teknis pemeliharaan bandeng tidak sulit. Secara tadisional bandeng hanya dilepas begitu saja di tambak tanpa perlu perawatan maupun pemberian pakan. Produktivitas pemeliharaan sistim tradisional ini rendah. Jika produktivitas ingin ditingkatkan maka pemeliharaan harus
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
43
semakin intensif. Salah satu ciri penting dari pemeliharaan intensif adalah pemberian pakan buatan. Pemeliharaan dikatakan intensif penuh jika pemberian pakan diatur sedemikian rupa sehingga kebutuhan pakan bandeng tercukupi secara teknis. Pemeliharaan dikatakan semi intensif jika dilakukan pemberian pakan tetapi tingkat pemberian dan teknis pemberiannya tidak sebanyak dan serumit pemeliharaan intensif. 6. Berdasarkan analisis kelayakan finansial budidaya bandeng layak untuk diusahakan. Dengan masa proyek 4 tahun dan tingkat discount rate sebesar 20% usaha bandeng memberikan NPV sebesar Rp 17.661.201, Net B/C ratio sebesar 1,68 dan IRR sebesar 53,02% serta PBP 5 bulan. Artinya budidaya bandeng secara finansial layak dilaksanakan sampai tingkat suku bunga 53,02 % dengan tingkat pengembalian modal kurang dari 1 tahun. 7. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan menunjukkan bahwa dengan penurunan penerimaan sebesar 7% dengan asumsi biaya operasional konstan membuat usaha bandeng tidak lagi layak untuk dilakukan, berdasarkan penilaian kelayakan kriteria investasi. 8. Analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya menunjukkan bahwa dengan peningkatan biaya sebesar 8% dengan asumsi penerimaan tidak berubah membuat usaha bandeng tidak lagi layak untuk dilakukan, berdasarkan penilaian kelayakan kriteria investasi. 9. Analisis sensitivitas terhadap perubahan penerimaan dan biaya menunjukkan bahwa dengan penurunan penerimaan dan peningkatan biaya sebesar 4% membuat usaha bandeng tidak layak untuk diusahakan, berdasarkan penilaian kelayakan kriteria investasi 10.Masalah yang terkait dengan usaha bandeng adalah semakin sempitnya tambak akibat dari semakin berkembangnya pembangunan kota. Disamping itu pencemaran dari pabrik dan pertanian intensif juga menjadikan keberadaan tambak terancam. Secara sosial tambak juga terancam oleh kurang tertariknya lagi generasi muda untuk mengelola tambak.
b. Saran 1. Untuk meningkatkan mutu produk maka rasionalitas petambak perlu ditingkatkan. Pada dasarnya petambak juga pengusaha yang rasional namun demikian seringkali pengambilan keputusannya didasarkan pada ruang pengambilan keputusan yang sempit. Untuk itu maka selain pembekalan pengetahuan terhadap aspek teknis produksi dan teknologi pasca panen juga perlu dilakukan pemberian pengertian yang terus menerus pentingnya menghasilkan mutu produk yang lebih baik dan meningkatkan daya tawar. 2. Peningkatan daya tawar petambak dalam pemasaran bandeng dapat dilakukan dengan membuat aturan lelang menjadi lebih jelas, dalam
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
44
hal ini yang diperlukan adalah ketepatan tentang waktu pembayaran. Hal ini terkait dengan kebutuhan likuiditas petambak untuk biaya hidup dan pembayaran kredit serta biaya operasional tambak. 3. Untuk meningkatkan permintaan (konsumsi) bandeng setidaknya diperlukan dua kegiatan, yakni: o
Melakukan promosi keunggulan bandeng dibandingkan sumber protein lain dan membuat produk bandeng lebih dekat dengan konsumen.
o
Untuk menghilangkan hambatan duri seharusnya lembaga penelitian pangan mampu mengembangkan teknologi pengolahan bandeng sehingga dihasilkan produk bandeng yang lebih bervariasi tanpa menghilangkan rasa bandengnya dengan harga yang terjangkau.
4. Secara makro pembangunan wilayah harus memperhatikan aspek lingkungan termasuk keberadaan tambak yang secara tradisional terletak di tepi pantai. Hal ini terkait dengan pencemaran yang ditimbulkan oleh pembangunan itu, misalkan pencemaran pabrik, rumah tangga maupun sistim pertanian yang intensif. Karena itu maka tambak yang baik dan sehat adalah tambak yang terletak jauh dari berbagai sumber pencemaran tersebut. 5. Secara sosial diperlukan upaya yang sungguh-sunguh dan terpadu agar tambak tidak ditinggalkan oleh generasi muda. Insentif adalah salah satu variabel yang mungkin menarik generasi muda untuk menekuni bidang tambak, utamanya tambak bandeng. Secara bisnis insentif dapat diberikan melalui berbagai kemudahan untuk mendapatkan modal untuk usaha tambak misalnya. Secara sosial nilai tambak dapat ditingkatkan dengan aplikasi teknologi tepat guna sehingga tambak tidak identik dengan gengsi yang rendah.
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
45
LAMPIRAN
Bank Indonesia – Budidaya Bandeng (Konvensional)
46