Pola Komunikasi dalam Keluarga Etnis Minangkabau di Perantauan dalam Membentuk Kemandirian Anak Heri Fitrianto Program Sarjana Strata Satu Psikologi (S1) Universitas Gunadarma Depok PERUM Bumi Cibinong Endah Jl. Tanjung Raya Blok D XI no 14, RT01/12. CibinongBogor 16913.
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman dan penerapan nilai-nilai etnis Minangkabau dalam keluarga subjek, serta bentuk pola komunikasi dalam keluarga etnis Minangkabau di perantauan dalam membentuk kemandirian anak dan faktorfaktor yang membantu pembentukan kemandirian. Tehnik pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah sebuah keluarga etnis Minangkabau yang telah berada di perantauan selama kurang lebih 5 tahun. Selain itu untuk memperoleh keakuratan data peneliti juga melakukan wawancara dengan significant other yang merupakan tetangga keluarga yang menjadi subjek penelitian. Kata Kunci : Pola Komunikasi, Keluarga, Minangkabau, Perantauan, Kemandirian
PENDAHULUAN Peran orangtua sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian seorang anak. Orangtua diharapkan bisa memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dengan demikian anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri. Untuk membentuk anakanak yang mandiri, orang tua perlu memberi kesempatan pada anak untuk mencoba sesuatu.Orang tua perlu memberikan kesempatan pada anak untuk terus berlatih. Di samping memberi kesempatan untuk mencoba, anak juga harus diberikan kesempatan untuk memilih dan Untuk itu diperlukan sebuah komunikasi yang efektif. Setiap orang yang hidup dalam masyarakat, sejak bangun tidur sampai tidur lagi, secara kodrati senantiasa terlibat dalam komunikasi. Terjadinya komunikasi adalah sebagai konsekuensi hubungan sosial (social relations). Untuk menimbulkan sebuah komunikasi paling sedikit dibutuhkan dua orang yang saling berhubungan satu sama lain dan menimbulkan sebuah interaksi sosial. Bagi kaum pria Minang, merantau sudah menjadi semacam keharusan baik itu hanya sekedar untuk mencari pengalaman (ilmu) atau peruntungan, sebetulnya hal ini tak jauh dari cara pendidikan yang diterapkan oleh keluarga bagi anak laki-laki. Dalam adat Minang sejak kecil anak lakilaki sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara perempuannya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi tinggal di rumah dengan ibunya, hal ini dikarenakan secara lahiriah dan rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita, kaum pria hanya menumpang. Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni rumah dalam adat Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anakanak wanita. Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surausurau, belajar silat, bergaul dengan pria
dalam segala tingkat usia sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan). Kehidupan keluarga yang seperti ini diperkirakan telah melahirkan watak perantau dan pengembara yang tangguh bagi kaum pria. Karena itu ada anggapan bahwa orang-orang (khususnya pria) etnis Minangkabau dituntut untuk mandiri, dan hal tersebut sudah ditekankan dari kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman dan penerapan nilai-nilai etnis Minangkabau dalam keluarga subjek, serta bentuk pola komunikasi dalam keluarga etnis Minangkabau di perantauan dalam membentuk kemandirian anak dan faktorfaktor yang menyebabkan terbentuknya kemandirian. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana pemahaman nilai-nilai etnis Minangkabau dalam keluarga subjek ? 2. Bagaimana penerapan nilai-nilai etnis Minangkabau pada keluarga subjek dalam membentuk kemandirian anak ? 3. Bagaimana bentuk pola komunikasi dalam keluarga subjek dalam membentuk kemandirian anak ? 4. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terbentuknya kemandirian pada anak ? TINJAUAN PUSTAKA KOMUNIKASI Komunikasi adalah proses yang dimiliki manusia untuk menyampaikan pesan kepada seseorang atau orang banyak baik langsung maupun tidak langsung dan bergantung pada penghimpunan, pertukaran, dan penyampaian pengetahuan. Effendy (1993) mendefinisikan komunikasi sebagai penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung
secara lisan, maupun tak langsung melalui media. Komunikasi adalah hubungan kontak antar dan antara manusia, baik individu maupun kelompok (Djamarah, 2004) Menurut Djamarah (2004) berdasarkan kasuistik perilaku orangtua dan anak yang sering muncul dalam keluarga, maka pola komunikasi yang sering terjadi dalam keluarga mempunyai tiga pola, yaitu Model Stimulus-Respon (SR), Model ABX, dan Model interaksional. a. Model Stimulus - Respon Pola komunikasi yang biasanya terjadi dalam keluarga adalah model stimulus – respon (S-R). Pola ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses aksi - reaksi yang sangat sederhana. Pola S – R mengasumsikan bahwa kata-kata verbal (lisan – tulisan), isyarat-isyarat nonverbal, gambar-gambar dan tindakantindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu. b. Model ABX Pola komunikasi lainnya yang sering terjadi dalam komunikasi antara anggota keluarga adalah model ABX yang dikemukakan oleh Newcomb (dalam Djamarah, 2004) dari perspektif psikologi sosial. Newcomb menggambarkan bahwa seseorang (A) menyampaikan informasi kepada seseorang lainnya (B) mengenai sesuatu (X). Model tersebut mengasumsikan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan terhadap X saling bergantung, dan ketiganya merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat orientasi, yaitu: (1) Orientasi A terhadap X, yang meliputi sikap terhadap X sebagai objek yang harus didekati atau dihindari dan atribut kognitif (kepercayaan dan tatanan kognitif), (2) Orientasi A terhadap B dalam pengertian yang sama, (3) Orientasi B terhadap X, (4) Orientasi B terhadap A. Model ini lebih jelas dapat digambarkan sebagai berikut:
X
A B Gambar 1. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga (Sumber: Djamarah, 2004) Menurut Mulyana (dalam Djamarah, 2004), bila A dan B mempunyai sikap positif terhadap satu sama lain dan terhadap X (orang, gagasan, atau benda) hubungan itu merupakan simetri. Bila A dan B saling membenci atau salah satu menyukai X, sedangkan yang lainnya tidak, hubungan itu juga merupakan simetris. Akan tetapi, bila A dan B saling menyukai, namun mereka tidak sependapat mengenai X, atau bila mereka saling membenci, namun sependapat mengenai X, maka hubungan mereka bukan simetris. Dalam konteks ini menurut Mulyana (dalam Djamarah, 2004), ketegangan mungkin akan muncul yang menuntut mereka untuk mencari keseimbangan dengan cara mengubah sikap terhadap pihak lainnya, atau sikap mereka terhadap X. Maka dapat dipahami, bila seorang pria yang memutuskan untuk menikahi seorang wanita yang menurut sebagian orang kurang pantas baginya, terus saja dia meminta pendapat orang lain yang kira-kira mendukung keputusannya itu dan menghindari pendapat yang bertegangan. c. Model Interaksional Model Interaksional ini berlawanan dengan model S – R. Sementara Model S – R mengasumsikan manusia adalah pasif, model Interaksional menganggap manusia
jauh lebih aktif. Komunikasi disini digambarkan sebagai pembentukan makna, yaitu penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain oleh peserta komunikasi. Beberapa konsep penting yang digunakan adalah diri sendiri, diri orang lain, simbol, makna, penafsiran, dan tindakan. KELUARGA Menurut Soekanto (1997) sebuah keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Sebuah keluarga lazimnya terdiri dari suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Menurut Goode (1985) sebuah keluarga adalah sebuah lembaga atau institusi yang sah dalam masyarakat yang terdiri dari pribadi-pribadi yang membentuk suatu jaringan sosial serta mempunyai peranannya masing-masing. Menurut Poerwadaminta (1984) keluarga adalah orang-orang atau individu yang mempunyai pertalian darah baik dari keturunan maupun dari perkawinan. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah sebuah lembaga atau institusi dalam sebuah masyarakat yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu serta terdiri dari pribadi-pribadi yang memiliki peranan masing-masing, serta mempunyai pertalian darah, baik dari keturunan maupun dari perkawinan. Fungsi Pokok Keluarga Fungsi-fungsi pokok dari sebuah keluarga menurut Soekanto (1997) adalah sebagai berikut : a. Sebagai wadah berlangsungnya sosialisasi primer, yakni dimana anak-anak dididik untuk memahami dan menganuti kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat b. Sebagai unit yang mengatur hubungan seksual yang seharusnya.
c. Sebagai unit sosial-ekonomis yang membentuk dasar kehidupan socialekonomis bagi anak-anak. d. Sebagai wadah tempat berlindung, agar supaya kehidupan berlangsung secara tertib dan tenteram, sehingga manusia hidup dalam kedamaian. Peranan Keluarga Berdasarkan Bentuknya Dilihat dari bentuknya, peranan sebuah keluarga dibagi menjadi dua (Djamarah, 2004), yaitu keluarga kecil dan keluarga besar. a. Keluarga Kecil Sebuah keluarga kecil biasanya memiliki jumlah anak lebih dari tiga.orang. sebuah keluarga kecil memiliki ciri sebagai berikut : 1) Sebuah keluarga kecil biasanya merupakan hasil suatu perencanaan. Sehingga pendidikan berlangsung menurut program tertentu. 2) Proses pendidikan dari orang tua berlangsung lebih insentif daripada ekstensif. Terhadap setiap anak orangtua dapat mencurahkan atensi dengan sepenuhnya. 3) Interaksi berlangsung secara kooperatif dan demokratis. Dengan demikian dapat dikatakan, peranan sebuah keluarga kecil terhadap pendidikan anak-anak mereka sangatlah besar. Apabila keluarga kecil tersebut kehidupanya sangat terpengaruh oleh lingkungan psikologi social dan budaya yang ada, maka dengan sendirinya pengaruh besar itu akan berlangsung pula terhadap anak. b. Keluarga Besar Keluarga besar adalah yang jumlah anggota keluarganya atau anaknya banyak. Cirinya adalah sebagai berikut :
1) Proses pendidikan dilangsungkan secara ekstensif. 2) Anak-anak secara secara lebih langsung berhubungan dengan realitas pergaulan hidup diluar lingkungan keluarga yang bersangkutan. 3) Kepatuhan sangat dipentingkan dalam keluarga yang besar. 4) Pendidikan cenderung berlangsung secara massal KEMANDIRIAN Menurut Barnadib (dalam Mu’tadin,2002) kemandirian adalah perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Menurut Kartini & Dali (1987) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri. Reber (dalam Mu’tadin, 2002) bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Berdasarkan definisi diatas kemandirian dapat disimpulkan sebagai sikap atau perilaku yang bebas dari pengaruh orang lain dan mampu mengatasi permasalahan sendiri, percaya diri,serta dapat mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Aspek Kemandirian Havighurst (dalam Mu’tadin, 2002) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu: emosi, ekonomi, intelektual, sosial. a. Emosi Aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak tergantungnya kebutuhan emosi dari orang tua.
b. Ekonomi Aspek ini ditunjukan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak tergantungnya kebutuhan ekonomi pada orang tua. c. Intelektual Aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. d. Sosial Aspek ini ditunjukan dengan kemampuan untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak tergantung atau menunggu aksi dari orang lain. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Sobur (1991) mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian seperti usia, lingkungan, pengalaman, dan kematangan intelektual. a. Usia b. Lingkungan 1. Lingkungan Keluarga 2. Lingkungan Sosial c. Pengalaman d. Kematangan Intelektual ETNIS MINANGKABAU Menurut Hidayah (1997) asal-usul nama Minangkabau sangat beragam, nama Minangkabau, secara umum diambil dari kata manang kabau ( menang kerbau ) karena ada adanya kebiasaan atau adat dalam suatu perayaan diadakan suatu pertandingan adu kerbau. Namun ada juga yang beranggapan bahwa kata Minangkabau diambil dari nama sebuah senjata tajam yang dipasang pada tanduk kerbau. Ada pula yang membantah bahwa asal nama itu bukan dari adu kerbau, tapi sudah ada sejak dulu. Yang jelas bangunan rumah adat Minangkabau mencirikan tanduk kerbau dan hewan ini banyak dipelihara untuk dipelihara dan untuk korban upacara adat. Orang Minangkabau lebih suka menyebut daerah
mereka Ranah Minang (Tanah Minang ) bukan Ranah Kabau ( Tanah Kerbau ). Dalam pergaulan antar suku bangsa orang Minangkabau dengan sesamanya menyebut diri mereka Urang Awak ( Urang Kita ). Suku bangsa Minangkabau memiliki 3 daerah wilayah adat yang mereka sebut Luhak Nantiga (wilayah yang tiga) yaitu, Luhak Agam, Luhak Limapuluh, dan Luhak Tanah Datar. Dan dari ketiga wilayah adat atau luhak tersebutlah kebudayaan Minangkabau tersebar ke daerah sekitarnya. Jumlah Penduduk Etnis Minangkabau Jumlah penduduk Etnis Minangkabau pada tahun 2000 berjumlah 5,475 juta jiwa, dengan rata-rata pertumbuhan penduduknya 1,45 persen per tahun (Suryadinata dkk, 2003). Sumatera Barat merupakan propinsi asal Etnis Minangkabau dengan persentase sebesar 68,44 persen dari seluruh Etnis Minangkabau, namun persentase tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan persentase Etnis Jawa dan Sunda yang tinggal di Provinsi asal mereka. Kondisi tersebut menunjukan bahwa Etnis Minangkabau mungkin lebih banyak yang berimigrasi keluar dibandingkan dengan dua Etnis lainnya. Etnis Minangkabau yang tinggal di Jakarta sebanyak 3,18 persen dari semua warga di Indonesia di Provinsi tersebut, dan merupakan kelompok migran dari Sumatra ke Jakarta urutan kedua setelah Etnis Batak (Suryadinata dkk, 2003). Sistem Kekerabatan Menurut Simanjuntak (2000) garis keturunan masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis ibunya atau matrilineal. Lebih lanjut Amir (2003) mengatakan bahwa dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan yaitu : a. Garis keturunan menurut garis ibu b. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok
sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal. c. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan dan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga. Kelompok kekerabatan terkecil dalam masyarakat Minangkabau disebut saparinduan (satu ibu), tapi dulu tidak jelas batasnya. Pertama karena menganut paham matrilineal dalam keluarga, dimana peranan ayah dalam rumah tangganya amat kecil, sebaliknya saudara laki-laki istrinyalah yang lebih banyak berperan. Menurut Syarifudin (1984) tanggung jawab untuk memperhatikan sebuah keluarga terletak pada seorang atau beberapa orang mamak ( saudara kandung pria dari ibu ). Sifat-Sifat Orang Minang Menurut Amir (2003) sifat dasar masyarakat Minang adalah “kepemilikan bersama” (komunal bezit). Tiap individu menjadi milik bersama dari kelompoknya. Sebaliknya, tiap kelompok itu (suku) menjadi milik semua individu yang menjadi anggota kelompok itu. Rasa saling memiliki ini menjadi sumber dari timbulnya rasa setia kawan yang tinggi, rasa kebersamaan , dan rasa tolong menolong. Pola Pikir Orang Minang Menurut Amir (2003) pada dasarnya semua ketentuan adat Minang yang terhimpun dalam pepatah-petitih, adalah rasional atau masuk akal. Oleh karena itu, hal-hal yang irasional seperti ilmu klenik, mistik, dan tahayul kurang berkembang di Minangkabau. Penerapan Adat Orang Minang Sebagai aturan yang mengatur hidup bermasyarakat, maka penerapan adat dapat kita kelompokan dalam empat lingkungan hidup, sebagai berikut : lingkungan pemerintahan adat, lingkunan pergaulan masyarakat (sosial), lingkungan kehidupan
berdunsanak dan berkorong kampong (Amir, 2003) Etnis Minangkabau di Perantauan Menurut data sensus yang dilakukan (Suryadinata. dkk, 2003), urutan komposisi etnis Minangkabau mengalami penurunan, dari keempat pada tahun 1930 menjadi keenam pada tahun 2000. Namun, secara absolut jumlahnya meningkat lebih dari dua kalinya, dari 1,989 juta jiwa pada tahun 1930 menjadi 5,475 juta jiwa pada tahun 2000, dengan rata-rata pertumbuhan penduduknya 1,45% per tahun. Sumatera Barat merupakan provinsiasal etnis Minangkabau, dengan persentase sebesar 68,44% dari seluruh etnis Minangkabau. Namun persentase tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan persentase etnis Jawa dan Sunda yang tinggal di provinsi asal mereka. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa etnis Minangkabau mungkin lebih banyak yang bermigrasi keluar dibanding dua etnis tersebut. Dibandingkan dengan etnis lain di Sumatera Barat, etnis Minangkabau mempunyai persentase yang terbesar (88,35%) dari jumlah penduduk provinsi tersebut. Di luar Sumatera Barat, persentase terbesar etnis Minangkabau terdapat di provinsi yang berdekatan, yaitu Riau (9,77%) dan Sumatera Utara (5,60%), dan di Jawa persentase terbesar terdapat di Jakarta (4,83%) dan Jawa Barat (3,09%). Etnis Minangkabau yang tinggal di Jakarta terhitung sebanyak 3,18% dari semua warga negara Indonesia di provinsi tersebut, dan merupakan kelompok migran dari Sumatera ke Jakarta terbesar kedua setelah etnis Batak.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan bentuk studi kasus. Menurut Yin (1994) studi kasus adalah salah satu metode penelitian ilmuilmu sosial. Menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 1998) pendekatan ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman yang mendalam (Verstehen), mengerti dan mengunterpretasi apa yang ada dibalik peristiwa, latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya serta bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi di dalamnya serta bagaimana manusia melakukan makna pada peristiwa yang terjadi tersebut. Bahwa tujuan kualitatif adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Menurut Heru Basuki (2006) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian kuantitatif dengan positivismenya. Dalam melakukan penelitian kualitatif tergantung pada kemampuan peneliti yaitu : 1. Dalam merinci fokus masalah yang benar-benar manjadi pusat perhatian untuk ditelaah secara mendalam. 2. Mencatat, mengorganisasikan setiap data yang relevan untuk masingmasing fokus masalah yang ditelaah.
3. Menyatakan apa yang dimengertinya secara bulat tentang suatu masalah yang diteliti. Kasus ini memiliki sifat yang spesifik karena masalah yang akan diteliti bersifat spesifik yaitu unit keluarga dalam kaitannya mencari bentuk pola komunikasi dalam keluarga etnis Minangkabau diperantauan dalam membentuk kemandirian anak. Subjek Penelitian Kriteria subjek penelitian dalam penelitian ini adalah : keluarga Etnis Minangkabau di Jabodetabek yang telah tinggal dan menetap di daerah tersebut minimal selama 5 tahun. Batasan 5 tahun ini digunakan agar dapat melihat apakah keluarga Etnis Minangkabau tersebut masih menerapkan nilai-nilai etnis mereka atau tidak dalam kehidupan sehari-hari. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah satu keluarga, yaitu keluarga Etnis Minangkabau di perantauan. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara berstruktur dengan mempersiapkan daftar pertanyaan namun, peneliti juga akan mengikuti alur dari wawancara apabila timbul suatu pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya tidak terdapat dalam daftar pertanyaan untuk dapat menggali lebih dalam informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi partisipan dan sistematik, karena peneliti ingin melihat secara langsung dan nyata dalam melakukan pengamatan terhadap faktor-faktor yang telah disusun dan akan diteliti dalam kehidupan subjek.
HASIL DAN PEMBAHASAN Bagaimana pemahaman nilai-nilai etnis Minangkabau dalam keluarga subjek ? Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemahaman nilai-nilai etnis atau sifat-sifat etnis Minangkabau dalam keluarga subjek hanya secara garis besarnya saja, dalam hal ini agama terutama agama Islam. Menurut hasil penelitian, keluarga yang menjadi subjek penelitian hanya memahami sebagian saja nilai-nilai etnis Minangkabau dan menganggap nilainilai etnis tersebut adalah bagian dari agama dalam hal ini agama Islam, hal ini dikarenakan isi dari nilai-nilai etnis Minangkabau tersebut semuanya ada dalam agama Islam dan hal pertama yang diajarkan orangtua kepada anak-anaknya adalah nilainilai agama. Oleh karena itu, keluarga yang menjadi subjek penelitian hanya menerapkan nilai-nilai agama saja dari pada nilai-nilai etnis Minangkabau. Sebagai contoh, subjek A berpendapat bahwa nilainilai etnis Minangkabau adalah perpanjangan dari nilai-nilai agama Islam karena nilai-nilai Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Minang serta kebudayaannya. Bagaimana penerapan nilai-nilai etnis Minangkabau pada keluarga subjek dalam membentuk kemandirian anak ? Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai budaya atau sifat-sifat etnis Minangkabau tidak semuanya diterapkan didalam keluarga yang menjadi subjek penelitian, keluarga tersebut hanya menerapkan sebagian saja dan hanya mendasar pada nilai agama, terutama agama Islam dengan alasan bahwa isi dari nilainilai budaya atau sifat-sifat etnis Minangkabau semuanya mendasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Sebagai contoh, sejak subjek A dan subjek B kecil hal
pertama yang diajarkan oleh orangtua subjek A dan subjek B adalah agama. Oleh karena itu subjek A dan subjek B menerapkan hal yang sama kepada anak-anak mereka (subjek C dan subjek D), subjek A dan subjek B selalu mengajari anak-anak mereka sholat, mengaji dan berbagai macam hal yang ada dalam agama dengan harapan anak-anak mereka akan menjadi pribadi lebih yang baik. Bagaimana bentuk pola komunikasi dalam keluarga subjek dalam membentuk kemandirian anak ? Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa keluarga yang menjadi subjek penelitian selalu berkomunikasi dengan berbagai macam cara, baik secara verbal maupun non verbal. Selain itu di keluarga ini juga terjadi pola komunikasi yang sangat intens dan memiliki kualitas yang sangat baik walaupun pertemuan antar anggota keluarga hanya terjadi pada malam hari dan hari libur, hal ini terlihat dari cara orangtua memberikan nasihat, teguran atau hanya sekedar bermain dengan anak yang tidak memperlihatkan figur yang berkuasa tetapi dengan memperlihatkan figur yang mengayomi, melindungi, serta menyayangi anak. Pola komunikasi dalam keluarga ini tidak hanya terjadi satu arah tetapi ke segala arah dan hal ini sesuai dengan model pola komunikasi dalam keluarga yang dikemukakan oleh Djamarah (2004) yang mencakup tiga model pola komunikasi yaitu : model stimulus-respon, model ABX, dan model interaksional. Ketiga model komunikasi tersebut digunakan dalam berkomunikasi sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi, adakalanya orangtua memberikan dorongan atau stimulus kepada anak yang bertujuan untuk memperoleh respon yang diinginkan oleh orangtua. Sebagai contoh, orangtua dalam keluarga ini terkadang menjanjikan kepada anaknya sesuatu agar anaknya mau rajin belajar. Dalam hal ini orangtua
memberikan stimulus untuk mendapatkan respon yang diinginkan dari anak. Lalu dalam keluarga ini orangtua juga membiasakan anak-anaknya untuk mengemukakan pendapat atau menyampaikan keinginan mereka walaupun belum tentu orangtua akan memenuhi keinginan anak, hal ini merupakan salah satu bentuk model pola komunikasi yaitu model ABX. Keluarga ini juga sering terjadi saling bertukar pikiran, saling bercerita, bahkan bermain bersama baik antara anak dengan orangtua, orangtua dengan orangtua maupun antar anak dengan anak, dimana hal ini sesuai dengan model pola komunikasi interaksional, dimana sesama anggota keluarga sama-sama aktif, reflektif dan kreatif dalam berkomunikasi. Setiap komunikasi yang terjadi dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian selain bertujuan untuk saling berinteraksi antar anggota keluarga, juga bertujuan untuk mengajarkan anak-anak dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian agar dapat menjadi lebih mandiri dalam berbagai hal. Hal ini terlihat ketika orangtua mengajari anak-anaknya sesuatu, misalnya membersihkan kamar, mencuci piring setelah makan, mandi, mencuci baju dan lain sebagainya. Orangtua mengajari anak-anaknya dengan bahasa atau dengan menggunakan contoh yang mudah dimengerti oleh anak-anak. Dengan harapan anak-anak dapat melakukan atau paling tidak meniru apa yang dicontohkan oleh orangtuanya, tetapi dalam melakukan hal tersebut orangtua juga menyesuaikan dengan tingkat kemampuan anak-anak. Faktor-faktor apa saja yang membantu pembentukan kemandirian pada anak ? Berdasarkan hasil penelitian serta faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian, dapat dilihat bahwa kemandirian dipengaruhi oleh usia, lingkungan (lingkungan keluarga dan
lingkungan sosial), pengalaman dan kematangan intelektual (Sobur, 1991). Dapat dilihat bahwa anak-anak dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian memiliki tingkat kemandirian yang berbeda sesuai dengan tingkatan usia dan kematangan intelektualnya. Sebagai contoh, subjek C sudah dapat mencuci baju sendiri, membersihkan rumah, serta dapat menerima tanggung jawab yang diberikan oleh orangtuanya, seperti menjaga rumah dan adiknya ketika orangtuanya tidak ada. Sedangkan subjek D walau sudah bisa melakukan apa yang dilakukan oleh subjek C tetapi masih memiliki keterbatasan dalam melakukannya serta belum dapat menerima tanggung jawab seperti subjek C. Selain usia dan kematangan intelektual, hal yang juga mempengaruhi kemandirian seseorang adalah lingkungan (lingkungan keluarga dan lingkungan sosial) dan pengalaman. Contoh, anak-anak dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian selalu mendapatkan dorongan serta motivasi dari orangtuanya agar menjadi lebih mandiri, selain itu lingkungan sosial juga memberikan turut memberikan pengaruh terhadap pembentukan kemandirian mereka. Selain lingkungan, anak-anak dapat menjadi lebih mandiri melalui pengalaman yang terjadi dalam hidup mereka, misalnya ketika subjek C kecil kalau mandi sendiri masih suka ada sabun yang belum terbilas tapi sekarang sudah tidak. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemahaman nilai-nilai etnis atau sifat-sifat etnis Minangkabau dalam keluarga subjek hanya secara garis besarnya saja, dalam hal ini agama terutama agama Islam. Menurut hasil penelitian, keluarga yang menjadi subjek
penelitian hanya memahami sebagian saja nilai-nilai etnis Minangkabau dan menganggap nilai-nilai etnis tersebut adalah bagian dari agama dalam hal ini agama Islam, hal ini dikarenakan isi dari nilai-nilai etnis Minangkabau tersebut semuanya ada dalam agama Islam dan hal pertama yang diajarkan orangtua kepada anak-anaknya adalah nilai-nilai agama. Oleh karena itu, keluarga yang menjadi subjek penelitian hanya menerapkan nilai-nilai agama saja dari pada nilai-nilai etnis Minangkabau. Sebagai contoh, subjek A berpendapat bahwa nilainilai etnis Minangkabau adalah perpanjangan dari nilai-nilai agama Islam karena nilai-nilai Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Minang serta kebudayaannya. 2. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai budaya atau sifat-sifat etnis Minangkabau tidak semuanya diterapkan didalam keluarga yang menjadi subjek penelitian, keluarga tersebut hanya menerapkan sebagian saja dan hanya mendasar pada nilai agama, terutama agama Islam dengan alasan bahwa isi dari nilainilai budaya atau sifat-sifat etnis Minangkabau semuanya mendasarkan pada nilai-nilai agama Islam. Sebagai contoh, sejak subjek A dan subjek B kecil hal pertama yang diajarkan oleh orangtua subjek A dan subjek B adalah agama. Oleh karena itu subjek A dan subjek B menerapkan hal yang sama kepada anak-anak mereka (subjek C dan subjek D), subjek A dan subjek B selalu mengajari anak-anak mereka sholat, mengaji dan berbagai macam
hal yang ada dalam agama dengan harapan anak-anak mereka akan menjadi pribadi lebih yang baik. 3. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa keluarga yang menjadi subjek penelitian selalu berkomunikasi dengan berbagai macam cara, baik secara verbal maupun non verbal. Selain itu di keluarga ini juga terjadi pola komunikasi yang sangat intens dan memiliki kualitas yang sangat baik walaupun pertemuan antar anggota keluarga hanya terjadi pada malam hari dan hari libur, hal ini terlihat dari cara orangtua memberikan nasihat, teguran atau hanya sekedar bermain dengan anak yang tidak memperlihatkan figur yang berkuasa tetapi dengan memperlihatkan figur yang mengayomi, melindungi, serta menyayangi anak. Pola komunikasi dalam keluarga ini tidak hanya terjadi satu arah tetapi ke segala arah. Setiap komunikasi yang terjadi dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian selain bertujuan untuk saling berinteraksi antar anggota keluarga, juga bertujuan untuk mengajarkan anak-anak dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian agar dapat menjadi lebih mandiri dalam berbagai hal. Hal ini terlihat ketika orangtua mengajari anak-anaknya sesuatu, misalnya membersihkan kamar, mencuci piring setelah makan, mandi, mencuci baju dan lain sebagainya. Orangtua mengajari anak-anaknya dengan bahasa atau dengan menggunakan contoh yang mudah dimengerti oleh anak-anak. Dengan harapan anak-anak dapat melakukan atau paling tidak meniru apa yang dicontohkan oleh orangtuanya, tetapi
dalam melakukan hal tersebut orangtua juga menyesuaikan dengan tingkat kemampuan anak-anak. 4. Dapat dilihat bahwa anak-anak dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian memiliki tingkat kemandirian yang berbeda sesuai dengan tingkatan usia dan kematangan intelektualnya. Sebagai contoh, subjek C sudah dapat mencuci baju sendiri, membersihkan rumah, serta dapat menerima tanggung jawab yang diberikan oleh orangtuanya, seperti menjaga rumah dan adiknya ketika orangtuanya tidak ada. Sedangkan subjek D walau sudah bisa melakukan apa yang dilakukan oleh subjek C tetapi masih memiliki keterbatasan dalam melakukannya serta belum dapat menerima tanggung jawab seperti subjek C. Selain usia dan kematangan intelektual, hal yang juga mempengaruhi kemandirian seseorang adalah lingkungan (lingkungan keluarga dan lingkungan sosial) dan pengalaman. Contoh, anak-anak dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian selalu mendapatkan dorongan serta motivasi dari orangtuanya agar menjadi lebih mandiri, selain itu lingkungan sosial juga turut memberikan pengaruh terhadap pembentukan kemandirian mereka. Selain lingkungan, anak-anak dapat menjadi lebih mandiri melalui pengalaman yang terjadi dalam hidup mereka, misalnya ketika subjek C kecil kalau mandi sendiri masih suka ada sabun yang belum terbilas tapi sekarang sudah tidak.
SARAN 1. Sebaiknya keluarga yang menjadi subjek penelitian lebih memiliki waktu luang bersama mengingat kedua orangtua dalam keluarga yang menjadi subjek penelitian sama-sama bekerja agar tercipta pola komunikasi yang lebih intens dan mendalam antar anggota keluarga serta keluarga yang menjadi subjek penelitian agar tidak melupakan nilai-nilai etnis mereka dan mengajarkannya kepada generasi berikutnya. 2. Untuk masyarakat secara umum agar lebih memperhatikan bentuk komunikasi yang baik agar terjalin sebuah komunikasi yang baik dan tidak terjadi salah arti dalam berkomunikasi serta dalam mendidik anak untuk menjadi lebih mandiri agar memperhatikan tingkat usia, tingkat kematangan intelektualitas anak, kondisi lingkungan (keluarga maupun sekitar) dan pengalaman, agar anak dapat menjadi lebih mandiri secara bertahap dan tidak memaksa anak untuk mandiri sebelum waktunya. 3. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar dapat menggali lebih dalam lagi mengenai Pola Komunikasi Keluarga Etnis Minangkabau di Perantauan Dalam Membentuk Kemandirian Anak, misalnya dengan menambah jumlah subjek penelitian menjadi dua atau lebih keluarga etnis Minangkabau, membandingkan pola komunikasi keluarga etnis Minangkabau di perantauan dengan etnis lain yang juga berada di perantauan (Jawa, Melayu, Sunda, Bugis, dan lain-lain) dalam membentuk kemandirian anak
atau membandingkan pola komunikasi keluarga etnis Minangkabau di perantauan dengan etnis Minangkabau yang berada di daerah asal mereka dalam membentuk kemandirian anak. DAFTAR PUSTAKA Amir, M.S. 2003. Adat Minangkabau : Pola dan tujuan hidup orang Minang. Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. Andriyani, A. 2009. Kemandirian remaja ditinjau dari peran jenis kelamin dan tahap perkembangan. www.kesimpulan.co.cc/kemandirianremaja-ditinjau-dari-peran.html Anonim. 2004. Tehnik komunikasi. http://eni20000.tripod.com/karya.html Basuki, A.M, H. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta : Gunadarma Burhan. 2004. Lima hukum komunikasi. www.freewebs.com/gqmedan/5hukum.h tml Daryanto,S.S. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya : Apollo. Djamarah, S.B. 2004. Pola komunikasi orangtua dan anak dalam keluarga. Jakarta : PT Rineka Cipta Effendy, O.U. 1995. Ilmu komunikasi: Teori dan praktek. Bandung : Remaja Rosda Karya. Goode, W.J. 1985. Sosiologi keluarga. Jakarta : Bina Aksara Hidayah, Z. 1997. Ensiklopedi suku bangsa di Indonesia. Jakarta : LP3ES. Koentjaraningrat. 2003. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan Manhitu,Y. 2001. Tradisi keluarga dan perkembangan mental anak. http://www.geocities.com/johnmanhitu2 001/Tradisi_Keluarga_dan_Perkembang an_Mental_Anak.doc Marshall, C & Rossman. 1995. Designing
qualitative research. London : Sage Publications Moloeng, L.J. 1996. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Mulyana, D & Rakhmat, J. 2003. Komunikasi antarbudaya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Mu’tadin, Z. 2002. Kemandirian pada remaja.www.e-psikologi.com/remaja Patton, M.Q. 1990. Qualitativ evaluation and research metode Newbury Park : Sage Publication. Poerwadaminta, W.J.S. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : PN. Balai Pustaka. Poerwandari, E.K. 1998. Pendekatan kualitatif dalam penelitian Psikologi. Depok : Universitas Indonesia Riyanto, Y. 1996. Metodologi penelitian. Surabaya : SIC Robbins, S.P. 2001. Perilaku organisasi : Konsep kontroversi aplikasi edisi 8. Jakarta : Prenhallindo. Simanjuntak, P. 2000. Antropologi Sekolah Menengah Umum kelas tiga. Jakarta : Erlangga Suryadinata, L. Arifin, E.N, & Ananta, A. 2003. Penduduk Indonesia: Etnis dan agama dalam era perubahan politik. Jakarta : LP3ES Suryani, A. 2006. Internet sebagai jembatan komunikasi dalam pembelajaran Bahasa Inggris. http://users.monash.edu.au/~hwatt/stude nts/A Suryani_Jurnal I Komunikasi_2006.pdf Sobur, A. 1991. Komunikasi orang tua dan anak. Bandung : Angkasa Soekanto, S. 1997. Sosiologi keluarga : Tentang ihwal keluarga, remaja dan anak. Jakarta : Rineka Cipta. Yasyin, S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta : Amanah.