ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK) ( Jurnal Skripsi )
Oleh: AGUNG PRIYANTO
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2014
ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor 604/Pid.B/2014/PN.TJK) Agung Priyanto, Firganefi, Rinaldy Amrullah. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Lampung Email:
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak yang positif, tetapi juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif adalah banyaknya terjadi penyebaran informasi bermuatan pornografi melalui media sosial. Penulis ingin mengetahui bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara residivis tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial dan penerapan sanksi pidana terhadap residivis tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara terhadap terdakwa menggunakan beberapa teori penjatuhan pidana antara lain, Teori Keseimbangan, Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, serta Teori Ratio Decidendi. Dalam penerapan sanksi pidana terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Inforamsi dan Transkasi Elektronik karena telah memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif yaitu terdakwa memiliki dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan dan terdakwa “dengan sengaja” mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik dalam hal ini yaitu gambar yang memuat bentuk tubuh manusia tanpa busana yang melanggar kesusilaan sehingga terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsideir 4 (empat) bulan pidana kurungan. Saran yang diberikan adalah Semestinya, Jaksa yang diberikan kewenangan dalam proses penuntutan terhadap terdakwa harus benar-benar teliti agar tidak merugikan pihak yang berperkara dan Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditanganinya harus lebih berani untuk menghukum terdakwa jauh lebih ringan atau lebih berat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari atas putusannya tersebut. Kata Kunci : Penerapan Pidana, Residivis, Penyebaran Pornografi.
ANALYSIS OF THE APPLICATION IN CRIMINAL SANCTIONS AGAINST THE RECIDIVIST OF CRIMINAL ACTS SPREAD PORNOGRAPHY (Study Verdict Number 604/Pid.B/2014/PN.TJK) Agung Priyanto, Firganefi, Rinaldy Amrullah. Science Course in Law, Faculty of Law University of Lampung Email:
[email protected]
ABSTRACT The use of internet is not only brings positive effect, but also it brings negative effect. One of the negative effect is there are many information about pornography content through social media. The writer would like to know the basic considerations in deciding a case of the recidivist criminal offense toward spread of pornography through social media and the application of criminal sanctions against the recidivist of criminal offense that spreads pornography through social media. Based on the results of research and discussion, the basic consideration of the Judge in deciding the case against the defendant using some theories criminal punishment include, Balance Theory, Theory approach of Art and Intuition and also Ratio Decidendi Theory. In the application of criminal sanctions defendant were proven legally and convince guilty of violating certainty Article 27 Paragraph (1) juncto Article 45 Law No. 11 of 2008 about informations and Electronic Transactions because it has fulfilled the objective and subjective element that is the defendant has an electronic document who violated decency and defendant “willfully” distributes, transmits, and make accessible electronic documents in this case that the image which contains the shape human body without clothes which is violation of decency so the defendant was sentenced to the prison for 3 (three) years and criminal fines Rp 100.000.000,- (one hundred million rupiah) a subsidiary of 4 (four) months of imprisonment. Advice given is, the Prosecutor should be given sufficient authority in the prosecution for defendant must be really careful in order not to adverse parties of litigants and The judge in deciding a case which handled should be more willing to convict a much lighter or heavier according to the actions committed in order to avoid mistakes in the future on its decision.
Key Word : The Application of Criminal, Residivis, Spreading Pornography.
1
I. Pendahuluan Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan pemanfaatannya dalam berbagai bidang kehidupan menandai sebuah perubahan peradaban manusia menuju masyarakat informasi. Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Secara sederhana internet didefinisikan sebagai jaringan global yang mengkoneksikan jutaan computer. Melalui internet jutaan orang dapat saling berhubungan secara sistematis dalam dunia maya, sehingga saat ini dunia maya tidak hanya sebatas menghadirkan informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi sanggup memenuhi sejumlah kebutuhan manusia seperti pertemanan, penghargaan dan cinta Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat.1 Salah satu dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah penyebaran informasi bermuatan pornografi yang menjadi sebuah perhatian serius dari Pemerintah diberbagai Negara termasuk Indonesia.2 Media sosial telah memberikan andil yang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya penyebarluasan pornografi di masyarakat. Menjamurnya berbagai 1
Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.34 2 Ridwan Sanjaya, Parenting Untuk Pornografi di Internet, Jakarta, Elex Media Computerindo, 2010, hlm.4
media sosial seperti facebook, twitter, BBM, instagram, path, line, dan masih banyak lainnya dalam masyarakat yang dimanfaatkan sebagai sebuah sarana penyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya Pencegahan dan pemberantasan dalam penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 27 Ayat (1) menyatakan ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam Pasal 27 Ayat (1) UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kasus tersebarnya foto tanpa busana seorang wanita cantik yang merupakan anggota polisi di media jejaring sosial pertemanan Facebook beberapa waktu yang lalu sempat mengebohkan masyarakat dan para pengguna media sosial. Ternyata pelaku penyebaran tersebut adalah mantan kekasihnya sendiri yang melakukan penyebaran
2
foto syur polwan melaui jejaring pertemanan facebook lantaran merasa sakit hati terhadap korban. Akibat perbuatannya tersebut Majelis Hakim menyatakan terdakwa dianggap bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 jo Pasal 45 UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Majelis hakim yang diketuai Poltak Sitorus menjatuhkan vonis 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 4 (empat) bulan penjara.3 Belum selesai menjalani hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun atas kasus penyebaran foto bugil milik Briptu RS (polwan Polda Lampung). Bayu Perdana kembali menjadi terdakwa dalam kasus penyebaran foto syur milik FJ (polwan) yang menjadi Asisten Pribadi istri Kakorlantas Mabes Polri. Bayu dinyatakan bersalah melanggar Pasal 4 Ayat (1) huruf d UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi subsidair Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27 Ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Menyatakan terdakwa Bayu Perdana secara sah dan meyakinkan bersalah. Menjatuhi pidana penjara kepada terdakwa selama 3 (tiga) tahun," kata Ketua Majelis Hakim FX Supriyadi. Selain pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, Bayu juga dijatuhi denda sebanyak Rp 100 juta dengan hukuman pengganti 4 (empat) bulan penjara.4
3
http://www.radarlampung.co.id/read/bandarla mpung/hukum-a-kriminal/68223-divonis-tigatahun 4 http://lampung.tribunnews.com/2014/08/29/lag i-penyebaran-foto-bugil-polwan-divonis-tigatahun-bui
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku residivis tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial ? b. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku residivis perkara tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial ? II. Pembahasan A. Karakteristik Responden 1. Nama : Firza A, S.H. Jenis Kelamin : Laki-laki Umur : 45 Tahun Jabatan : Hakim Instansi : PN kelas 1A Tanjung Karang 2. Nama Jenis Kelamin Umur Jabatan Instansi
3. Nama Jenis Kelamin Umur Jabatan Instansi
: Dr. Heni Siswanto, M.H : Laki-laki : 49 Tahun : Dosen Hukum Pidana : Universitas Lampung : Tri Wahyu A. Pratekta S.H. : Laki-laki : 35 Tahun : Jaksa Pratama : Kejari Bandar Lampung
3
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memberikan Putusan Terhadap Pelaku Residivis Perkara Penyebaran Pornografi Melalui Media Sosial. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.5 Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada orang yang menyebarkan pornografi melalui media sosial harus didasarkan pada tahap pembuktian sesuai dengan pedoman Pasal 183 KUHAP yang menjelaskan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali telah memiliki sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan yang ia yakini sendiri akan kebenarannya bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana tersebut. Pasal 184 Ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa dalam hal pembuktian, adapun alat bukti yang sah, yakni: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa 5
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm.102
Dalam menjatuhkan putusannya hakim telah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 184 KUHAP yaitu adanya lebih dari 2 (dua) alat bukti yang diajukan di persidangan oleh jaksa yaitu petunjuk berupa barang bukti 1 (satu) unit HP merk Samsung warna putih tipe GT-19500, IMEI 3555420004814124,S/N. RFI D47XVD1 L berikut simcard Telkomsel, 1 (satu) unit HP merk Blackberry warna merah jambu tipe 9300, IMEI 357437041457808 berikut simcard Telkomsel, 1 (satu) unit Memory card 2 GB, 1 (satu) buah Micro SD merk V-Gen kapasitas 4 GB, 1 (satu) bundel dokumen salinan yang sesuai aslinya hasil pemeriksaan barang bukti digital berupa HP Blackberry Tersangka Bayu Perdana, 1 (satu) bundel dokumen salinan yang sesuai aslinya hasil pemeriksaan barang bukti digital berupa HP Blackberry Saksi Reka Safitri,S.H serta adanya keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa di persidangan. Majelis hakim menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf f perlu dipertimbangkan dalam hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa dalam menjatuhkan putusan sebagai berikut: 1. Adanya hal-hal yang meringankan terdakwa adalah : a. Terdakwa menyesali perbuatannya dan mengakui perbuatannya; b. Terdakwa bersikap sopan dan tidak menyulitkan jalannya persidangan; c. Terdakwa berjanji tidak mengulangi perbuatannya;
akan
4
2. Adanya hal-hal yang memberatkan tersebut adalah : a. Terdakwa sudah pernah dihukum dalam tindak pidana yang sama; b. Perbuatan Terdakwa yang dapat meresahkan masyarakat; Pada perkara yang pertama dengan nomor: 09/PID.B/2014/PN.TJK., ketua majelis hakim telah menjatuhkan vonis terhadap terdakwa dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dan pidana denda 100 juta subsideir 4 (empat) bulan pidana kurungan dan untuk putusan kedua dengan perkara yang sama dengan nomor perkara: 604/PID.B/2014/PN.TJK.,ketua majelis hakim kembali menjatuhkan vonis yang sama terhadap terdakwa dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dan pidana denda 100 juta subsideir 4 (empat) bulan pidana kurungan. Firza Andriyansyah6 menyatakan mengapa bisa terjadi seperti ini karena adanya penilaian-penilaian bahwa sebenarnya perkara ini masih dalam satu tempo waktu terjadinya dimana ketika terjadi penyebaran foto itu juga sebenarnya berikut foto dari 2 (dua) orang korban yang dilakukan disaat terdakwa belum menjalani hukumannya tersebut. Tetapi dalam perkara ini dipisahkan antara perkara pertama dengan perkara yang kedua ini, bahwa yang dikatakan terjadinya suatu pengulangan apabila seandainya seseorang pernah dihukum kemudian setelah bebas dia melakukan kejahatan lagi, namun untuk terdakwa Bayu ini dia belum bebas karena masih dalam 6
Hasil wawancara pada tanggal 14 Oktober 2014.
proses menjalani masa hukuman tetapi masuk perkara baru yang sama dengan yang sebelumnya, yang sebenarnya masih dalam waktu yang bersamaan, karena terdakwa belum selesai menjalaninya jadi seolah-olah terdakwa melakukan pengulangan (residivis). Heni Siswanto7 menyatakan bahwa dalam ilmu hukum residive diartikan sebagai pengulangan yang perkara pertama sudah dijatuhi pidana yang memiliki kekuatan hukum tetap sehingga harus diterapkan residivis karena orang itu sudah mendapatkan putusan pada perkara sebelumnya dan kembali melakukan kejahatan. Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa seseorang dikatakan residive karena sudah ada putusan pengadilan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan sebelumnya8. Penulis juga menambahkan untuk perkara ini dimana terdakwa sudah pernah mendapatkan putusan dari pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atas perbuatan sebelumnya dan terdakwa kembali mendapatkan putusan pengadilan atas perbuatannya, maka terdakwa sudah dikatakan sebagai residivis karena terdakwa melakukan pengulangan yang sebelumnya sudah pernah dijatuhi putusan pengadilan maka seharusnya majelis hakim melihat hal itu sebagai dasar pertimbangan untuk memberatkan hukuman terhadap terdakwa. Penulis juga menambahkan terlepas dari kelalaian atau bukan yang 7
Hasil wawancara pada tanggal 14 Oktober 2014. 8 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012, hlm.192
5
dilakukan jaksa penuntut umum yang telah memisahkan perkara tersebut dalam berkas dakwaan yang berbeda pada penuntutannya, seharusnya hakim yang memutus perkara ini harus lebih berani menajatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap terdakwa karena telah terjadi pengulangan yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan putusan pengadilan sehingga hakim menjadikan putusan sebelumnya sebagai dasar pemberatan dalam menjatuhkan putusan. C. Penerapan Sanski Pidana Terhadap Pelaku Residivis Tindak Pidana Penyebaran Pornografi Melalui Media Sosial. Salah satu dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah penyebaran informasi bermuatan pornografi yang menjadi perhatian serius dari Pemerintah di berbagai Negara termasuk Indonesia. Media sosial telah memberikan andil yang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya penyebarluasan pornografi di masyarakat. Menjamurnya berbagai media sosial seperti facebook, twitter, BBM, instagram, path, line dan masih banyak lainnya yang berisi gambar, foto, tulisan, ilustrasi dan bentuk pesan lainnya yang secara eksplisit maupun secara terang-terangan memuat kecabulan atau eksploitasi seksual dan melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat adalah sebab kenapa media sosial mempunyai andil yang besar dalam penyebaran pornografi di masyarakat. Dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pelaku penyebaran
pornografi melalui media sosial, pemerintah Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yaitu Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang ITE “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Pasal diatas menegaskan bahwa penyebarluasan dilarang dan telah diatur dalam UU ITE, yang diatur dalam Pasal 45 tentang ketentuan pidana yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan Ayat (3), atau Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Tri Wahyu A.Pratekta juga menambahkan bahwa untuk perkara yang kedua ini dengan nomor perkara 604/Pid.B/2014/PN.TJK., kami tim penuntut umum yang dilimpahkan wewenang melakukan penuntutan terhadap terdakwa menjerat terdakwa dengan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 4 Ayat (1) juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44
6
Tahun 2008 tentang Pornografi dengan tuntutan pidana penjara 5 (lima) tahun 10 (sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar 250 juta Berdasarkan pendapat responden, penulis menganalisis bahwa jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa penyebaran pornografi melalui media sosial dengan melihat kondisi terdakwa yang sudah pernah dan sedang menjalani masa hukuman atas perbuatan yang sama (pengulangan) dimana sebelumnya sudah diputuskan oleh pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap serta akibat perbuatan terdakwa yang menyebabkan nama baik korban beserta keluarga tercemar dan perbuatan terdakwa telah meresahkan masyrakarat atas penyebaran pornografi melalui media sosial sehingga jaksa menjadikan itu sebagai dasar pemberatan dalam penuntutan terhadap terdakwa. Ketua Majelis Hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Bayu Perdana, S.H. alias Bayu Bin Bambang Sahrun, Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” dan Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar RP 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar dapat diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan.
Penulis menganalisis bahwa untuk menilai suatu putusan itu dikatakan sesuai atau tidak tentu akan berbeda pendapat karena kita harus melihat keadilan itu bagi korban atau terdakwa yang sedang berperkara di pengadilan karena dengan hukuman berat bagi korban merasa telah sesuai namun di sisi lain menurut terdakwa itu tidak sesuai ataupun sebaliknya sehingga dalam menjawab sesuai atau tidak harus sesuai dengan peruntukannya dalam melihat keadilan tersebut. Firza Andriyansyah9 menjelaskan Perkara ini sebenarnya bisa dijadikan dalam satu berkas tuntutan apabila jaksa penuntut umum di dalam dakwaannya menyertakan bahwa terdapat 2 (dua) orang yang menjadi korban sehingga proses persidangannya hakim bisa untuk menjadikan dalam satu persidangan sebelumnya. Apabila dalam berkas perkara yang bertumpuk kita ketahui bahwa ancaman perkara itu tinggi dan berkas perkara itu dibuat terpisah-pisah karena terjadi lebih dari satu perkara dan masing-masing diputus lalu dijumlahkan tentu akan menjadi berat untuk terdakwa, kecuali apabila dia melakukan tindak pidana yang berbeda tentu tidak masalah berkas perkara dipisahkan namun untuk kasus yang terdakwanya sama dan perkaranya juga yang sama lebih baik apabila dijadikan satu berkas. Penulis menganalisis bahwa menurut ketentuan Pasal 10 Ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2008 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “pengadilan dilarang 9
Hasil wawancara pada tanggal 14 Oktober 2014.
7
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Sehingga hakim yang diberikan kewenangan untuk menangani suatu perkara wajib memeriksa dan mengadilinya apabila ada yang kurang jelas dalam suatu perkara maka hakim wajib untuk bisa menggalinya seperti yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) “hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat”. Penulis menganalisis bahwa penunut umum dalam melakukan penuntutan terhadap terdakwa dengan cara memisahkan masing-masing perkara (Splitsing) atas perbuatan terdakwa yang seharusnya bisa dijadikan dalam satu dakwaan karena terjadinya disaat terdakwa belum dijatuhkan hukuman oleh pengadilan. Sehingga penulis berpendapat bahwa sesorang yang melakukan beberapa perbuatan dalam satu tindak pidana, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri dalam persidangan sebagai suatu tindak pidana (concursus realis) tentu yang merasa dirugikan adalah dari pihak terdakwa. Idealnya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, majelis hakim menggunakan mekanisme musyawarah mufakat untuk memutus suatu perkara. Namun, terkadang musyawarah majelis tidak mencapai kesepakatan karena ada beberapa hakim anggota yang menyatakan pendapat berbeda. Anggota majelis hakim dapat mengajukan dissenting opinion apabila menganggap ada yang tidak sesuai dalam putusan
majelis hakim. Dissenting opinion adalah pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim. III. Simpulan 1. Dalam pertimbangannya hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum terhadap terdakwa karena melihat kasus ini terjadinya hampir bersamaan dan sikap terdakwa dipersidangan yang sopan dan mengakui perbuatannya, seharusnya majelis hakim melihat perkara ini sebagai pengulangan kejahatan yang dilakukan terdakwa dimana atas perbuatan sebelumnya sudah pernah dijatuhi putusan pengadilan sehingga hal itu bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk memberatkan hukuman terhadap terdakwa karena sudah dikatakan sebagai residivis. 2. Dalam penerapan pidana Majelis Hakim menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar hukum dalam memutus perkara ini. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena telah memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif yaitu terdakwa memiliki
8
dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan dan terdakwa “dengan sengaja” mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik dalam hal ini yaitu gambar yang memuat bentuk tubuh manusia tanpa busana yang melanggar kesusilaan.
IV. Daftar pustaka Literatur Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Raharjo, Agus. 2002. Cyber Crime Pemahaman Pencegahan
dan
Upaya Kejahatan
Berteknologi. Citra Aditya Bakti. Bandung. Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Sanjaya, Ridwan. 2010. Parenting Untuk Pornografi di Internet. ElexMedia Computerindo. Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sumber Lain http://www.radarlampung.co.id http://lampung.tribunnews.com