PETUNJUK SKILL LAB MAHASISWA
BLOK 9 OROFACIAL PAIN AND TEMPOROMANDIBULAR DISORDER
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Islam Sultan Agung Alamat: JL. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang 50112 PO Box 1054/SM Telepon. (024) 6583584 ext. 592 Facsimile: (024) 6582455
BLOK 9 OROFACIAL PAIN AND TEMPOROMANDIBULAR DISORDER Copyright @ by Faculty of Dentistry, Islamic Sultan Agung University. Printed in Semarang Printed : September 2016 Designed by: team Blok Cover Designed by: Dedie Nugroho Published by Faculty of Dentistry, Islamic Sultan Agung University All right reserved
This publication is protected by Copyright law and permission should be obtained from publisher prior to any prohibited reproduction, storage in a retrieval system, or transmission in any form by any means, electronic, mechanical, photocopying, and recording or likewise
TIM PENYUSUN BLOK 9
Koordinator Blok : drg. Helmi Fathurrahman Sp Pros
: drg. Eko Hadianto, MDSc.
Kata Pengantar Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah, Rob seluruh alam yang telah memberikan karunia kepada kami hingga kami dapat menyelesaikan Blok Orofacial Pain Blok Orofacial Pain dan Temporo Mandibular Disorder menjelaskan konsep nyeri di daerah muka dan kepala dan kelainan kelainan sendi temporomandibular. Untuk dapat memahami materi ini, mahasiswa perlu mempelajari pengetahuan mengenai organ organ pada kepala, leher dan sistem stomatografi (blok 6). Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Blok ini. Oleh karena itu, saran-saran baik dari tutor maupun dari mahasiswa akan kami terima dengan terbuka. Semoga Blok ini dapat bermanfaat, dan membantu siapa saja yang membutuhkannya. Jazakumullhahi khoiro jaza’
Tim Penyusun Blok
VISI FKG UNISSULA Fakultas Kedokteran Gigi terkemuka yang menghasilkan tenaga ahli kedokteran gigi profesional yang mampu memahami, memanfaatkan dan mengembangkan Ilmu Kedokteran Gigi atas dasar nilai-nilai Islam untuk meningkatkan kesejahteraan umat dan merupakan bagian dari generasi khaira ummah.
MISI FKG UNISSULA a.
Menyelenggarakan proses pendidikan dan pengajaran terbaik di bidang Kedokteran gigi yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam dan berstandar international.
b.
Melaksanakan dan mengembangkan penelitian dan publikasi ilmiah dengan kualitas terbaik dalam rangka pengembangan ilmu Kedokteran Gigi dan nilai-nilai Islam.
c.
Menyelenggarakan dan meningkatkan pengabdian kepada masyarakat sebagai bagian integral dari aktifitas dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang dijiwai oleh nilai-nilai Islam.
d.
Mengembangkan aktifitas evaluasi secara reguler untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan proses pendidikan, pengajaran, penelitian dan publikasi ilmiah.
TATA TERTIB SKILLS LAB DAN PRAKTIKUM
1. Mahasiswa harus hadir di ruang skills lab pada waktu yang telah
ditentukan dengan batas toleransi keterlambatan maksimal 20 menit. 2. Mahasiswa diperbolehkan mengikuti skill lab/praktikum setelah lulus
pretest dengan nilai minimun 60. 3. Mahasiswa WAJIB berpakaian dan bersepatu rapi serta memakai jas
praktikum dan name tag. 4. Mahasiswa tidak diperkenankan meninggalkan ruangan tanpa seijin
pembimbing 5. Mahasiswa yang tidak hadir harus ijin pada pembimbing 6. Sebelum skills lab dilakukan, mahasiswa WAJIB membaca petunjuk
praktikum 7. Setiap praktikum harus membawa kain bersih (putih) +/- ukuran 40 x 40
cm yang akan di gunakan untuk alas pada meja praktikum. 8. Selama skills lab berlangsung mahasiswa wajib menjaga kebersihan dan
ketenangan ruangan 9. Mahasiswa wajib menjaga peralatan praktikum yang disediakan 10. Kerusakan / kehilangan yang terjadi harus segera dilaporkan kepada
petugas. Bila tidak dilaporkan, kemudian diketahui petugas/pembimbing, mahasiswa yang bersangkutan akan menerima sanksi tambahan. 11. Mahasiswa harus menulis nota peminjaman alat yang dibutuhkan dan
mengambilnya pada petugas yang telah ditunjuk. Jika mengembalikan harus tanda tangan di nota pengembalian. 12. Sebelum bekerja menggunakan alat-alat, wajib mempelajari terlebih
dahulu serta mengerti cara-cara penggunaannya
PENILAIAN SKILLS LAB Penilaian ditentukan berdasarkan: 1. Tes masuk secara tertulis 2. Hasil skills berupa jumlah nilai 3. Presensi / kerajinan 4. Kedisiplinan memenuhi tata tertib skills lab 5. Perilaku (attitude) selama skills lab
SANKSI : Pelanggaran skills lab akan dikenai sanksi sesuai kesalahan yang dilakukan mahasiswa yang bersangkutan.
PETUNJUK SKILL LAB 1. ANAMESA NYERI OROFACIAL
LBM 1 ANAMNESIS MASALAH NYERI OROFACIAL TEORI A.
Definisi Arti harfiah dari anamnesis yaitu mengingat kembali (a recalling). Wawancara, anamnesis atau interview berasal dari kata Perancis yang artinya: to see each other/to remember again. Anamnesis merupakan dasar ketrampilan klinik yang merupakan satu proses inter personal, dan sering dikaitkan dengan proses diagnosis, pengobatan maupun peningkatan kesehatan seseorang atau sekelompok. Anamnesis nyeri merupakan langkah penting dalam penatalaksanaan nyeri. Kegagalan klinikus dalam menggali informasi tentang nyeri pada pasiennya, akan diikuti kegagalan dalam menerima keluhan dan memberi tindakan yang tepat. Anamnsis nyeri sebenarnya sangat sederhana, tetapi saying sering tidak dilakukan dengan benar dan sistematis. Fokus utama dalam anamnesis nyeri adalah untuk mengidentifikasi penyebab nyeri dan mengklasifikasinya jenis nyerinya serta mengembangkan rencana penatalaksanaannya. Anamnesis Dilakukan untuk mendapatkan data-data selengkap mungkin mengenai masalah pokok yang menyebabkan pasien tersebut datang ke dokter untuk memeriksakan penyakitnya. Anamnesa yang baik dapat menghasilkan dugaan-dugaan sebelum pemeriksaan klinis dilakukan. Tujuan melakukan anamnesis antara lain: Membantu menentukan diagnosa dan rencana perawatan Menentukan prioritas dan jenis perawatan Dalam anamnesis alur fikiran atau kegiatan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
I.
Pendekatan sistematik (Isi Anamnesis) Alur fikiran yang perlu diperhatikan dalam anamnesis Untuk ini kita mengenal adanya dua konsep 1. Fundamental Four, yaitu : a. Riwayat Penyakit Sekarang (present illness) yang sering dipisahkan menjadi : 1. Keluhan Utama 2. Riwayat Penyakit Sekarang b. Riwayat Penyakit Terdahulu (past dental history dan medical history) c. Riwayat Penyakit Keluarga d. Riwayat Sosial-ekonomi 2. Sacred Seven
Untuk mendapatkan diskripsi yang jelas tentang penyakit penderita kita harus melakukan analisa keluhan dalam tujuh dimensi, yaitu analisa tentang : 1. Lokasi dan distribusi/penjalran nyeri : Dimana lokasi keluhan nyerinya Apakah lebih dari satu tempat Apakah ada penjalaran/ nyeri yang dijalarkan ke tempat lain/referred pain 2. Kualitas/deskripsi nyeri: Macam apa keluhannya dan apa sifat khasnya berdenyut, seperti ditutuk-tusuk, seperti terbakar, seperti kesetrum listrik 3. Kuantitas/severity : Bagimana frekuensinya/ seberapa sering Lamanya nyeri/durasi Sejauh mana hebat keluhannya/seberat apa nyerinya/ Intensitas nyeri 4. Kronologi : Perjalanan penyakitnya sejak timbul keluhan pertama kali sampai saat kita berjumpa dengan penderita 5. Onset : Bagaimana mulainya timbul keluhan pertama kali: akut, rekuren atau kronik 6. Faktor modifikasi : Apakah ada faktor-faktor yang memperberat atau meringankan keluhannya Faktor yang memperberat: bicara, menelan, minum panas/dingin Faktor yang memperingan: minum obat 7. Keluhan yang berkaitan atau menyertai: demam, mual/muntah, takikardi, mata merah, nyrocos/lakrimasi, berkeringat II.
Mulai berfikir atas organ mana yang terkena dan jangan berfikir akan penyakit apa. Dengan menggunakan pengetahuan Anatomi dan Fisiologi, maka anda akan sampai pada organ yang abnormal kerjanya.
III.
Mengingat waktu yang makin lama makin terbatas, maka kini tidak mungkin dikerjakan anamnesis yang menyeluruh lengkap, tetapi dikembangkan “Problem Centered Interview“.
IV. Anamnesis menggunakan ketrampilan interpersonal, dan untuk ini dibutuhkan pengetahuan Sosiologi, Psikologi maupun Antropologi. V.
Untuk mengerjakan wawancara dan mengetahui interpretasinya, anda perlu menggunakan beberapa konsep dasar.
Konsep Dasar Wawancara Klinik, membahas : 1. 2.
Isi yang informatif tentang kesehatan, sakit dan penyakit. Proses wawancara, yaitu Teknik wawancara
Wawancara/anamnesis dapat berfungsi sebagai :
1. 2. 3. 4. 5.
Wahana untuk menggali informasi tentang sakitnya, keluhannya atau problemnya. Wahana dalam hal memberikan edukasi kesehatan atau hal lainnya. Wahana dalam hal mencegah penyakit. Promosi kesehatan. Deteksi penyakit secara dini.
Syarat-syarat Anamnesis : 1. 2. 3.
Relevan Valid Tidak mengandung bias
Relevansi Anamnesis Suatu anamnesis dikatakan tidak relevan bila informasi yang diperoleh selama anamnesis menyimpang dari tujuan anamnesis. Kriteria relevansi adalah menyimpang atau tidaknya pembicaraan dari topik yang sudah ditentukan. Sehingga harus diperhatikan apakah materi anamnesis sesuai dengan tujuan atau objek anamnesis. Valid dan Tidak Mengandung Bias Informasi, selain relevan juga harus valid. Suatu anamnesis adalah valid bila mencakup pendapat pasien sendiri tanpa ada pengaruh dari luar. Bias adalah pengaruh yang mengganggu, dengan demikian Bias mempengaruhi validitas anamnesis. Bias dapat berasal dari stimulus verbal atau non verbal. Upaya suatu anamnesis valid, pertanyaan tidak boleh mengandung bias. Contoh pertanyaanpertanyaan yang mengandung bias: 1.
Jangan sugestif : “Apakah anda sering merasa pusing ?”
2.
Jangan memberikan kemungkinan jawaban yang “Bagaimana nafsu makan anda, berkurang/tidak ?”
3.
Jangan menilai
terlalu
sempit
Memberikan penilaian atau meragukan apa yang dikatakan pasien “Apa memang benar demikian ?” “Ah, masa iya begitu“ 4.
:
:
Jangan membuat pra anggapan/praduga Menarik kesimpulan terlalu pagi “Pasien : Dok, saya merasa tidak enak badan“ “Dokter : Wah, tentunya pekerjaan anda menjadi terganggu, dan mungkin anda terserang flu“
TUGAS MAHASISWA: Carilah pasangan untuk berperan sebagai dokter-pasien berdasarkan skenario hasil resume anamnesis kasus yang ada. Mahasiswa yang berperan sebagai dokter harus bertanya mengenai keluhan nyerinya pada mahasiswa yang berperan sebagai pasien, dan jawaban dari pasien adalah resume anamnesis tersebut. Tugas: 1. Buatlah daftar perrtanyaan (sebagai dokter gigi) yang berkaitan dengan skenario yang meliputi identitas pasien dan pertanyaan untuk anamnesis yang berkaitan dengan skenario. Untuk nantinya akan saudara praktekkan secara berpasangan (30 menit pertama) 2. Anda berlatih mengajukan pertanyaan sesuai daftar pertanyaan yang anda buat dengan teman secara bergantian, sehingga terjadi komunikasi dokter-pasien. Latihan tsb dipandu oleh instruktur (50 menit kedua)
3. Pada 100 menit terakhir anda (sebagai dokter gigi) akan dievalusi oleh instruktur dalam melakukan wawancara dengan pasien. Kriteria penilaian sesuai dengan check list.
SKENARIO SKILL LAB Nama Kelamin Umur Agama Pekerjaan Alamat
: : : : : :
Anamnesis
:
tahun
Pemeriksaan Subjektif Riwayat Penyakit Sekarang : Keluhan Utama : nyeri pada gigi dan wajah Sejak dua minggu yang lalu penderita merasa sakit gigi kanan atas tetapi tidak jelas gigi yang mana. Satu minggu terakhir nyeri dirasakan berdenyut dan menjalar ke pelipis dan mata kanan. Tidak ada panas. Kadang nyeri dirasakan hebat dan tak tertahankan hingga penderita merasakan mual tetapi tidak sampai muntah. Keluhan nyeri ini sudah diobati dengan minum obat yang dijual di warung, tapi hanya berkurang sedikit. Sebelumnya penderita belum pernah sakit seperti ini. Riwayat Penyakit Dahulu : Past Dental history: (Menanyakan tentang riwayat penyakit gigi yang pernah dijalani pasien yang kemungkinan berhubungan dengan keluhan yang diderita pasien) ± 3 bulan yang lalu penderita menjalani cabut gigi Past Medical History: (Menanyakan penyakit-penyakit yang lalu untuk mengetahui ada hubungannya atau tidak dengan sakit sekarang, atau apakah keluhan yang sekarang ini merupakan lanjutan dari sakitnya di masa lalu) menderita darah tinggi dan tidak mengkonsumsi obat penurun tekanan darah Riwayat Penyakit Keluarga : (Untuk mengetahui apakah ini suatu penyakit menular dari anggota keluarga lain atau penyakit yang diturunkan dari anggota keluarga lainnya misal penyakit turun temurun dari ayah/ ibu/ kakek/ nenek.) Tidak ada anggota keluarga yang sakit serupa Riwayat Sosial-ekonomi : (Untuk mengetahui pendertia ini dari segi sosialekonominya, kebiasaan/ hobinya, dan lingkungan tempat tinggalnya) Penderita tinggal dalam rumah yang sempit dan banyak penghuninya. Penderita pekerja pabrik meubel. Penderita merokok satu bungkus sehari, jarang berolah raga, dan tidak mengkonsumsi alkohol.
PETUNJUK SKILL LAB 2. PEMERIKSAAN NEVUS CRANIALIS
LBM 2 PEMERIKSAAN NERVUS KRANIALIS TEORI Sistem sensoris memegang peranan penting menghantarkan informasi kepada sistem saraf sentral mengenai lingkungan di sekitarnya. Sensasi (sensibilitas) dapat dibagi 4 jenis, yaitu: 1. Superfisial (eksteroseptif): mengurus raba, nyeri dan suhu (sensibilitas protopatik) 2. Somatik dalam: mencakup gerak, sikap/posisi, getar dan tekan (sensibilitas proprioseptif) 3. Viseral (interoseptif): mencakup rasa lapar, mual dan nyeri pada organ visera 4. Khusus: menghirup (N.I), melihat (N.II), mendengar (N.VIII) dan mengecap (N.VII & N.IX) Gangguan sensorik bisa mengakibatkan gejala negatif (rasa baal/kebas, anestesi) dan gejala positif (rasa seperti ditusuk-tusuk, rasa terbakar, seperti kesetrum listrik). Lesi pada saraf perifer atau radiks saraf bisa menghasilkan gejala negatif atau positif. Syarat-syarat melakukan pemeriksaan sensoris: 1. Mata pasien tertutup 2. Daerah yang akan diperiksa tidak tertutup pakaian (pakaian harus dibuka bila memeriksa sensorik di badan) 3. Lakukan terlebih dahulu pada daerah yang normal, kemudian lokasi yang dicurigai terganggu. 4. Bandingkan kanan dan kiri atau bandingkan dengan daerah yang simetris 5. Bandingkan distal dan proksimal Alat-alat yang dibutuhkan adalah kapas untuk memeriksa sensasi raba, peniti atau jarum pentul untuk memeriksa sensasi nyeri, tabung yang berisi air hangat (40ºC), tabung berisi air dingin (10 ºC - 20 ºC) untuk memeriksa sensasi suhu, garputala untuk memeriksa sensibilitas getar. N. V: N. TRIGEMINUS Nervus Trigeminus bersifat campuran yaitu motorik dan sensorik. Bagian mayornya membawa serabut sensorik dari wajah, dan bagian yang lebih kecil membawa serat motorik untuk otot-otot pengunyah. Bagian sensorik berasal dari ganglion trigeminalis (ganglion semilunaris Gasseri), yang berkaitan dengan ganglion spinalis. Akson-akson perifer dari sel-sel ini berhubungan dengan reseptor untuk raba, diskriminasi, tekanan, nyeri dan suhu. Ditinjau dari cabang-cabang perifernya, N trigeminus bercabang menjadi tiga: 1. Saraf oftalmikus, yang berjalan melewati fissura orbita superior 2. Saraf maksilaris, yang menuju ke foramen rotundum 3. Saraf mandibularis, yang berlanjut melalui foramen ovale Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit dahi dan wajah, mukosa mulut,
hidung dan sinus; gigi maksilar dan mandibular. Saraf mandibularis, diantara impulsimpuls lain, membawa impuls proprioseptif dari otot-otot pengunyah dan dari atap mulut untuk mengendalikan kekuatan menggigit. Bagian motorik atau bagian minor dari saraf Trigeminus mempunyai nukleus di dalam tegmentum pons. Saraf motorik meninggalkan tengkorak bersama dengan saraf mandibularis. Saraf motorik ini mempersarafi otot masseter, pterigoideus temporalis, lateralis dan medialis, milohioideus, digastrikus anterior dan otot tensor veli palatini. PEMERIKSAAN N. V (TPIGEMINUS) A. Motorik: 1. Menggigit : Serabut motorik n. V hanya mengikuti cabang ketiga (cabang. Mandibularis). Otot yang dipersarafi adalah m. Messeter, temporalis, pterigoideus eksterna dan interna. Cara pemeriksaan: Pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya, selama pasien melaksanakan perintah ini, pemeriksa melakukan palpasi terhadap m. Maseter dan temporalis, adakah terasa suatu kontraksi. Bila ada kelumpuhan unilateral maka serabut motorik n. V yang ipsilateral tidak mampu mengkontraksikan m. Temporalis dan m. Maseter. 2.
Membuka mulut:
Setelah tes menggigit diperiksa, maka pasien disuruh membuka mulutnya. Pemeriksa berdiri di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien apakah simetris atau menyimpang. Pada kelumpuhan unilateral rahang bawah akan menyimpang ke sisi ipsilateral pada waktu mulut dibuka, karena m. Pterigodeus eksternus yang sehat akan mendorong mandibula ke depan tanpa diimbangi oleh sisi yang lain. 3. Trismus : Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang B. Sensibilitas : Sensibilitas wajah diperiksa di tiga daerah yang berbeda yaitu di atas, tengah, dan bawah, karena masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu cabang oftalmikus, cab.maksilaris, cab. Mandibularis
Alat-alat yang digunakan :
• Untuk perasaan nyeri superfisialis digunakan jarum pentul • Untuk perasaan halus digunakan kapas • Untuk perasaan termik digunakan air panas (40°- 45° C) dan air dingin (10- 15° C) Cara pemeriksaan: 1. Pasien harus kooperatif 2. Selama pemeriksaan sensibilitas, kedua mata harus ditutup agar pasien tidak tahu bagian tubuh yang sedang diperiksa. 3. Untuk mempermudah penilaian maka hendaklah perangsangan dimulai dari proksimal dan distal sehingga mudah teridentifikasi daerah dengan defisit sensorik dan daerah yang normal. 4. Selanjutnya perangsangan berjalan terus maju saling mendekat dari yang normal ke daerah yang defisit dan sebaliknya. 5. Mintalah respon yang tegas dari pasien. Bila pasien merasa ditusuk /digores maka pasien harus bilang ‘ya’. 6. Buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai.
Refleks kornea (tidak dilakukan) Reflek bersin (tidak dilakukan) Refleks Masseter/reflek rahang bawah (tidak dilakukan) Reflek Zigomatikus (tidak dilakukan)
VII. N.VII (FASIALIS) Pada pemeriksaan n. VII yang umum diperiksa adalah : 1. Pemeriksaan motorik : inspeksi wajah yaitu pada kerutan kulit dahi, kedipan mata, lipatan nasolabial, dan sudut mulut serta beberapa gerakan volunter dan involunter/reflektorik. 2. Pemeriksaan vasomotorik : misal lakrimasi 3. Pemeriksaan viserosensorik : yaitu citarasa lidah
Kerutan kulit dahi : 1. Perhatikan kulit dahi pasien apakah tampak kerutan atau tidak 2. Pada kelumpuhan n.VII perifer (hemifasialis), kerutan kulit dahi pada sisi yang lumpuh akan hilang 3. Tetapi pada kelumpuhan n.VII sentral (hemifasialis) kerutan kulit dahi masih akan tampak 4. Pasien disuruh mengerutkan dahinya. Pada kelumpuhan n. VII perifer pasien tidak mampu mengerutkan dahinya pada sisi yang lumpuh. 5. Pada kelumpuhan n.VII sentral pasien masih mampu mengerutkan dahinya. Kedipan mata : 1. Perhatikan apakah masih tampak kedipan mata 2. Pada sisi yang lumpuh kedipan matanya lambat, tidak gesit dan tidak adekuat, disebut sebagai Lagoftalmos. 3. Pada kelumpuhan sentral kedipan mata masih baik 4. Pasien disuruh menutup mata : pada kelumpuhan perifer mata tidak mampu menutup, pada kelumpuhan sentral unilateral mata masih dapat menutup. Dalam hal ini pasien disuruh menutup mata sekuat-kuatnya, kemudian pemeriksa mencoba membuka mata pasien tersebut. Akan didapatkan perbedaan tonus kanan dan kiri dimana pada lesi perifer, sisi yang lumpuh dengan mudah dapat dibuka
Lipatan nasolabial : 1. Lipatan nasolabial pada sisi yang lumpuh tampak mendatar baik kelumpuhan sentral maupun perifer. Sudut mulut : 1. Sudut mulut pada sisi yang lumpuh tampak lebih rendah 2. Meringis : Pasien disuruh meringis baik kelumpuhan sentral maupun perifer pada sisi yang lumpuh tidak dapat diangkat 3. Mengggembungkan mulut: Pasien disuruh menggembungkan pipi. Sisi yang lumpuh tampak tidak menggembung 4. Bersiul : Pasien disuruh bersiul. Adanya kelumpuhan n.VII baik sentral maupun perifer menyebabkan pasien tidak dapat bersiul Tik Fasialis (Spasmus Klonik Fasialis) : 1. Adalah gerakan volunter dimana sudut mulut terangkat dan kelopak mata terpejam beberapa kali dan berlebihan.
Laknimasi : 1. Dapat dinilai dari anamnesis maupun observasi langsung. 2. Adanya paralisis fasialis perifer menyebabkan hiperlakrimasi, tampak nyerocos. Daya kecap lidah 2/3 anterior : Diperlukan 4 rasa pokok yaitu : manis, asin, asam, dan pahit. Bahan rangsang sebaiknya berupa cairan 1. Pasien diminta menjulurkan lidahnya, satu persatu rasa tersebut diteskan. 2. Penderita tidak boleh menyebutkan rasa dengan berbicara, melainkan harus memberi kodeberupa tulisan yang sudah disiapkan. Hal ini untuk mencegah bias identifikasi. N. IX (GLOSSOFARINGEUS) Nervus glosofaringeus terdiri dari serabut sensorik dan motorik. Ganglion untuk bagian sensoriknya ialah ganglion petrosum. Serabut-serabut motoriknya berasal dari nukleus salivatorius inferior dan sebagian dari nukleus ambiguus. N glosofaringeus merupakan saraf motorik utama bagi farings yang memegang peran penting dalam mekanisme menelan. Ia mensarafi muskulus stilofaringeus yang bertugas memindahkan makanan dari mulut ke farings. Bagian sensoriknya menginervasi sensorik protopatik permukaan orofarings dan pengecapan sepertiga posterior lidah. Nervus glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan saraf asesorius pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen jugulare. Pada foramen tersebut, nervus IX mempunyai dua ganglion, ganglion intrakranialis superior dan ganglion ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen ini saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara otot stilofaringeus dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah. Saraf ini mempunyai cabang-cabang: 1. Saraf timpanikus: merupakan saraf sensorik untuk telinga tengah dan tuba eustakhius. 2. Cabang stilofaringeal: mensarafi otot stilofaringeal 3. Cabang faringeal: bersama dengan saraf vagus membentuk pleksus faringeal. Semua mempersarafi otot-otot serat lintang dari faring. 4. Cabang sinus karotikus 5. Cabang lingualis: mempersarafi pengecapan dari sepertiga posterior lidah. Perasa protopatik di kawasan sensorik nervus glosofaringeus. Persepsi rangsang nyeri, suhu dan raba di orofarings diurus oleh nervus glosofaringeus. Daerah-daerah yang berdampingan yaitu nasofarings dan rongga mulut merupakan kawasan perasa protopatik nervus trigeminus. Gangguan terhadap N glosofaringeus akan menimbulkan gangguan menelan, gangguan pengecapan dan gangguan perasa protopatik di sekitar orofarings
Neuralgia Glosofaringeal. Serupa dengan neuralgia trigeminus, nyerinya bersifat paroksismal dan sangat menusuk. Mula timbulnya mendadak dan biasanya berlangsung singkat. Nyeri paling sering dimulai pada basis lidah, pada daerah tonsil, atau pada palatum mole dan menjalar ke dalam telinga. Nyeri paroksismal ini dapat dicetuskan oleh menelan, mengunyah, batuk atau berbicara. PEMERIKSAAN N. IX (GLOSSOFARINGEUS) Secara klinis pemeriksaan fungsi n. IX tidak dapat dipisahkan dengan n. X, keduanya mempunyai fungsi yang bersamaan. Gangguan fungsi kedua saraf dalam klinik sering diungkapkan lewat anamnesis.
Arkus faring Pasien diminta membuka mulutnya lebar-lebar. Bila tidak bisa maka dapat kita bantu menggunakan tongue spatel untuk menekan lidah. Dengan demikian arkus faring, uvula, dinding belakang faring dapat terlihat jelas. Adanya paresis/paralisis ipsilateral n.IX/n.X menyebabkan asimetri (arkus faring sesisi menjadi lebih rendah dan tampak melengkung ke sisi yang lain). Asimetri dapat diperjelas bila pasien disuruh berfonasi, ujung uvula menunjuk ke arah yang sehat. Daya Kecap Lidah (1/3 lidah belakang) Cara pemeriksaan sama dengan pemeriksaan daya pengecap lidah bagian depan
Reflek Muntah Pembangkitan reflek ini merupakan pemeriksaaan penting untuk menilai fungsi kedua saraf ini. Sewaktu mulut masih terbuka lebar, sensibilitas orofaring kita periksa dengan menyentuh dinding posterior faring dengan tongue spatel. Akan timbul reflek muntah. Sengau Suara sengau menunjukkan adanya kelumpuhan unilateral / bilateral n.IX Tersedak Merupakan gejala kesukaran menelan yang berat. Karena epiglotis mengalami parese sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya makanan masuk ke laring dan menimbulkan reflek batuk (tersedak) Dysphagia Gangguan menelan. N.X (VAGUS) Nervus vagus juga mempunyai dua ganglion, yaitu ganglion superior atau jugularis dan ganglion inferior atau nodosum. Pada perjalanannya dari ganglion superior ke rongga abdomen, nervus vagus memberikan cabang-cabang berikut: 1. Cabang dura 2. Cabang aurikularis 3. Cabang faringeal 4. Cabang laringeal superior 5. Cabang laringeal rekuren (mensaraf pita suara) 6. Cabang kardiak servikal superior dan cabang-cabang kardiak torakalis 7. Cabang bronkhial 8. Cabang-cabang gastrikus antrior dan posterior, hepatikus dan renalis. PEMERIKSAAN N, X (VAGUS) Denyut nadi : Cara pemeriksaannya, yaitu palpasi a. Radialis. Bandingkan kanan dan kiri Arkus Faring Idem pemeriksaan n. IX Bersuara (fonasi) Perhatikan apakah ada suara serak/lemah. Terdepat paralisis laring, yang dipersarafi n. X (n. Laringeus superior, n. Laringeus rekurens) Menelan Gangguan menelan merupukan manifestasi dan gabungan gangguan n. IX, X dan VII. Karena mekanisme menelan merupakan hasil kerja integratif saraf-saraf tersebut.
TUGAS MAHASISWA: Carilah pasangan untuk berperan sebagai dokter-pasien. Tugas: 1. Pada 20 menit pertama akan dilakukan pretest 2. Pada 30 menit kedua mahasiswa memperhatikan dengan seksama instruksur memperagakan cara pemeriksaan N. V, VII, IX dan X. 3. Pada 50 menit ketiga mahasiswa berlatih berpasangan dengan temannya, satu sebagai dokter gigi sedang yang lainnya sebagai pasien secara bergantian. 4. Pada 100 menit terakhir mahasiswa memperagakan cara pemeriksaan N. V, VII, IX dan X dan instruktur menilai sesuai check list yang telah tersedia.
PETUNJUK SKILL LAB 3. PEMERIKSAAN KLINIS INTRAORAL
Hal yang dilakukan setelah melakukan anamnesa pada pasien adalah melakukan pemeriksaan, mengevaluasi data yang didapat disertai pengetahuan akan gejala dan riwayat perjalanan penyakit untuk menegakkan diagnosa. setelah diagnosa suatu penyakit ditegakkan disertai dengan pengetahuan, indikasi, fasilitas, sosial ekonomi penderita maka dibuatlah rencana perawatan bagi pasien. Tahap yang harus dilakukan: 1. Pemeriksaan lengkap dan akurat 2. Penegakan diagnosis yang tepat dan benar 3. Rencana perawatan yang tepat sesuai kondisi pasien Dalam melakukan pemeriksaan harus dilakukan dengan seksama, teliti, bertanggung jawab, dan hati-hati. Operator harus siap dan tahu pasti akan apa yang harus dilakukan pada pasien tersebut (siap mental, psikologis, dan pengetahuan). Manusia tidak sama dengan phantom, operator tetntunya harus dapat mempertanggungjawabkan hasil pemeriksaan secara ilmiah dan moral, memperhatikan umur dan psikologis pasien, melakukan tindakan dengan pasti dan tanpa ragu, menggunakan alat-alat pemeriksaan seperlunya, dan menggunakan kata-kata yang sederhana, komunikatif, dan mudah dipahami pasien. Pemeriksaan lengkap meliputi: Riwayat Pasien Keluhan utama (chief complain) Riwayat perjalanan penyakit Riwayat kesehatan pasien (umum dan dental) dan keluarga Riwayat sosial ekonomi Pemeriksaan klinis Vital signs Ekstra Oral Intra Oral Pemeriksaan penunjang/ tambahan (laboratorium, rontgen) Diagnosis penyakit Rencana perawatan Pemeriksaan Intra Oral adalah pemeriksaan dari bagian rongga mulut yang meliputi pemeriksaan jaringan keras seperti gigi dan tulang serta jaringan lunak rongga mulut seperti mukosa (bibir, mulut, palatum, gingiva). Tujuannya ialah mengidentifikasi kelainan yang ada pada gigi dan mulut. Cara pemeriksaan : a. Inspeksi 1. Melihat secara langsung warna/ perubahan warna gigi, misal adanya stain 2. Melihat secara langsung gigi-gigi yang ada pada rongga mulut seperti adanya karies, abrasi, atrisi, cracking (retak). 3. Melihat apakah ada tambalan pada gigi-gigi di rongga mulut 4. Melihat apakah ada mukosa rongga mulut yang mengalami pembengkakan 5. Sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut sebaiknya kavitas/ lubang gigi dibersihkan terlebih dahulu dari sisa-sisa makanan dan dikeringkan.
b. Sondasi 1. Dengan menggunakan sonde setengah lingkaran, bagian ujung sonde yang tajam digoreskan pada dasar kavitas 2. Perhatikan respon pasien apakah merasakan sensasi ngilu atau sakit atau tidak terasa sensasi apapun c. Perkusi 1. Melakukan vertikal perkusi, biasanya dilakukan dengan menggunakan handle instrumen/ bagian ujung kaca mulut 2. Mula-mula ketukaan ujung instrumen pada beberapa gigi sehat lalu ke gigi yang berlubang di bagian oklusal atau incisal gigi. 3. Tanyakan bagaimana sensasi yang dirasakan pasien pada ketukan yang dilakukan pada tiap-tiap gigi. Apakah terasa sakit atau tidak. 4. Tujuan melakukan perkusi addalah mengetahui kesehatan jaringan periodontal gigi
d. Palpasi 1. Dengan menggunakan jari telunjuk (bimanual), rabalah sepanjang mukosa fasial dan lingual di atas region apikal gigi 2. Rasakan konsistensi jaringan yang diraba apakah terasa lunak, kenyal, atau keras. 3. Rasa nyeri pada area yang dipalpasi dapat menunjukkan adanya suatu abses pada jaringan atau di dalam tulang alveolar
e. Tes mobilitas 1. Dilakukan dengan cara menggerakkan suatu gigi ke arah lateral dari soketnya dengan menggunakan jari atau hand instrument (dua tangkai kaca mulut) 2. Mobilitas gigi alami biasanya terjadi pada gigi sulung sebagai akibat adanya proses fisiologis atau resobsi akar gigi karena benih gigi permanen yang akan erupsi. 3. Mobilitas gigi patologis disebabkan karena resobsi akar atau tulang atau keduanya. Kondisi ini dapat menyebabkan gigi menjadi non vital dan dapat ditandai dengan adanya area radiolusensi periapikal atau interadukular atau furkasio pada raiogram. 4. Tes ini digunakan untuk menguji keutuhan ligamen dan jaringan periodontal, mengevaluasi integritas attachment apparatus, dan menentukan apakah gigi terikat kuat atau longgar pada alveolusnya. 5. Jumlah gerakan menunjukkan kondisi periodonsium, semakin besar gerakan yang terjadi pada gigi tersebut maka semakin jelek status periodontalnya. 6. Terdapat bberapa klasifikasi mobilitas gigi (derajat 1, 2, dan 3).
f. Tes vitalitas 1. Tes vitalitas merupakan hal yang penting dalam memastikan adanya kondisi nekrosis pada daerah sekitar pulpa atau jaringan sekitarnya 2. Untuk mengetahui apakah gigidalam kondisi vital atau tidak dilakukan uji vitalitas dengan Chlor Etil (CE).
3.
Stimulus dingin diperoleh dengan menyemprotkan CE pada cotton pellet lalu diaplikasikan pada bagian cemento enamelo junction 4. Jika terdapat respon positif (nyeri) maka dapat diansumsikan bahwa suplai saraf masuh baik, dan gigi tersebut masih vital. 5. Jika memnerikan respon negatif, dapat diartikan bahwa gigi tersebut sudah hampir tidak memperoleh suplai saraf. 6. Tes CE dapat terpengaruh oleh kondisi-kondis tertentu seperti: Gigi dengan restorasi dan suatu bahan dasar proteksi pulpa yang luas Gigi yang belum lama mengalami trauma Gigi yang belum lama erupsi dengan pembentukan akar yang tidak lengkap Obat-obat sedatif yang digunakan pasien Pasien dengan rasa ambang sakit yang luar biasa g. Membau 1. Dengan menggunakan pinset, ambillah cotton pellet lalu masukkan ke dalam kavitas gigi yang sakit. 2. Jika tercium bau busuk maka, hasil positif h. Pemeriksaan penunjkang: rontgen foto sebagai alat bantu menegakkan diagnosa dan laboratorium bila diperlukan sebagai informasi tambahan Persiapan Alat dan Bahan dalam Tindakan Pemeriksaan Intra Oral Persiapan Alat : a. Kaca mulut b. Sonde c. Excavator d. Pinset e. Dapen disk Persiapan Bahan : a. Kartu status (odontogram) b. Cotton roll c. Cotton pellet d. Kapas e. Chlor Etil f. Alkohol g. Masker h. Handskun
Pemeriksaan intra oral meliputi pemeriksaan terhadap: 1. Pemeriksaan terhadap gigi, antara lain: a. Gigi yang hilang b. Keadaan gigi yang tinggal: 1. Gigi yang mudah terkena karies 2. Banyaknya tambalan pada gigi 3. Mobility gigi 4. Elongasi 5. Malposisi 6. Atrisi c. Oklusi : diperhatikan hubungan oklusi gigi atas dengan gigi bawah yang ada. Angle klas I, II, dan III. Dari hasil pemeriksaan subjektif dan objektif dapat ditentukan : a. Diagnosa b. Rencana perawatan c. Prognosa
TUGAS MAHASISWA: Carilah pasangan untuk berperan sebagai dokter-pasien. Tugas: 1. Pada 20 menit pertama akan dilakukan pretest 2. Pada 30 menit kedua mahasiswa memperhatikan dengan seksama instruksur memperagakan cara pemeriksaan inspeksi rongga mulut, sondari, perkusi, palpasi, tes mobilitas, dan tes vitalitas dengan Chlor Etil
3. Pada 50 menit ketiga mahasiswa berlatih berpasangan dengan temannya, satu sebagai dokter gigi sedang yang lainnya sebagai pasien secara bergantian. Mahasiswa akan diberikan lembar odontogram dan mengisi dengan lengkap odontogram sesuai dengan kondisi rongga mulut teman yang menjadi pasiennya. 4. Pada 100 menit terakhir mahasiswa memperagakan cara pemeriksaan pemeriksaan sondari, perkusi, palpasi, tes mobilitas, dan tes vitalitas dengan Chlor Etil pada gigi partner yang ditentukan oleh instruktur serta menyerahkan lembar odontogram ke pada instruktur dan instruktur menilai sesuai check list yang telah tersedia.
PETUNJUK SKILL LAB 4. IDENTIFIKASI ANATOMI MAKSILA, MANDIBULA DAN TMJ
Anatomi Temporomandibular Joint
Temporomandibular joint ( TMJ ) adalah persendiaan dari kondilus mandibula dengan fossa gleinodalis dari tulang temporal. Temporomandibula merupakan sendi yang bertanggung jawab terhadap pergerakan membuka dan menutup rahang mengunyah dan berbicara yang letaknya dibawah depan telinga. Sendi temporomandibula merupakan satu-satunya sendi di kepala, sehingga bila terjadi sesuatu pada salah satu sendi ini, maka seseorang mengalami masalah yang serius. Masalah tersebut berupa nyeri saat membuka, menutup mulut, makan, mengunyah, berbicara, bahkan dapat menyebabkan mulut terkunci. Kelainan sendi temporomandibula disebut dengan disfungsi temporomandibular. Salah satu gejala kelainan ini munculnya bunyi saat rahang membuka dan menutup. Bunyi ini disebut dengan clicking yang seringkali, tidak disertai nyeri sehingga pasien tidak menyadari adanya kelainan sendi temporomandibular. Susunan anatomi normal dari Temporomandibula joint ini dibentuk oleh bagian – bagian:
1. fossa glenoideus 2. prosessus koronoideus 3. ligamen 4. rongga sinovial
5. diskus artikularis
2. Fossa Glenoidalis atau fossa mandibularis dari tulang temporal. Bagian anterior berhubungan dengan eminensia artikularis, merupakan artikulasi dari fossa glenoidalis. Bagian posterior dari fossa glenoidalis merupakan dataran tympani dari tulang temporal. 3. Prosesus kondiloideus dari tulang mandibula. Merupakan tulang yang berbentuk elips yang mempunyai kepala dan leher. 4. Ligamen. Fungsi dari ligamen yang membentuk Temporomandibula joint ini adalah sebagai alat untuk menghubungkan tulang temporal dengan prosesus kondiloideus dari tulang mandibula serta membatasi gerak mandibula membuka, menutup mulut, pergerakan
ke
samping,
dan
temporomandibula joint terdiri dari : a. Ligamen temporo mandibular b. Ligamen spheno mandibular c. Ligamen stylo mandibular
gerakan
lain.
Ligament
yang
menyusun
5. Rongga Synovial. Terdiri dari dua bagian yaitu bagian superior dan bagian inferior. Fungsi dari rongga synovial ini adalah menghasilkan cairan pelumas yang berguna untuk pergerakan sendi. 6. Diskus Artikularis. Merupakan tulang fibro kartilago di dalam persendian temporomandibular yang terletak di antara prosesus kondiloideus dan fossa glenoidalis. Diskus Artikularis ini merupakan bantalan tulang rawan yang tidak dapat menahan sinar x sahingga gambarannya radiolusen 7. Pergerakan temporomandibula joint ini dibagi menjadi dua gerak utama yaitu: a. Gerak Rotasi Ketika caput processus condylaris bergerak pivot dalam kompartemen sendi bagian bawah dalam hubungannya dengan discus articularis. b. Gerak meluncur atau translasi Dimana caput mandibula dan discus articularis bergerak disepanjang permukaan bawah Os. Temporale pada kompartemaen sendi bagian atas. Kombinasi gerak sendi dan meluncur diperlukan agar cavum oris dibuja lebar – lebar. Gerak sendi pada individu dewasa yang normal mempunyai kisaran 20 – 25mm antara gigi geligi anterior atas dan bawah. Bila dikombinasikan dengan gerak meluncur kisaran gerak membuka mulut yang normal akan meningkat menjadi 35 – 45mm
ANATOMI MUSCULUS MASTICATORI 1. Muskulus Temporalis Musculus temporalis merupakan otot berempal dua dengan origo berbentuk kipas dan tendon yang sangat besar, kuat. Serta berinsersio ke dalam prosesus koronoideus, Krista temporalis profunda dan batas anterior ramus mandibula. Besar dan panjang serabut lebih kecil daripada yang telah diuraikan secara klasik, tetapi lebih panjang daripada serabut-serabut pterygoideus dan masseter. Meskipun itu adalah otot mandibula yang paling besar namun biasanya tidak sebagai salah satu otot kuat yang melekat pada mandibula.
Origo : Os. Temporale di bawah linea temporalis inferior, lapisan dalam fascia temporalis.
Insersio : Apex dan permukaan medial proc. Coronoideus mandibulae.
2. Muskulus Masseter Musculus masseter adalah suatu massa otot yang tebal, berbentuk empat persegi panjang di sebelah pinggir wajah. Melekat di antara permukaan lateral dari ramus mandibula dan arcus zygomaticus, persis di bawah kulit. Empat persegi panjang itu letaknya diagonal dengan satu sudut yang sangat membulat untuk menyesuaikan dengan garis bentuk yang membulat dari sudut mandibula.
Origo : Pars superficialis pada dua pertiga anterior margo inferior arcus zygomaticus (tendo), sedangkan Pars profunda pada sepertiga posterior permukaan dalam arcus zygomaticus.
Insersio : Pars superficialis pada angulus mandibulae (tuberositas masseterica), sedangkan Pars profunda pada margo inferior mandibulae.
3. Muskulus Pterygoideus Medialis Pterygoideus medialis adalah suatu massa jaringan otot yang kuat, tebal, empat persegi panjang, terletak pada sisi medial dari ramus mandibula. Otot ini tidak selebar dan setebal masseter. Batas posteriornya tersusun serupa dengan batas
posterior dari masseter pada proyeksi lateral, tetapi batas anteriornya terletak lebih kearah dorsal. Pada potongan horizontal, separuh atas dari pterygoideus medialis berbentuk baji dengan pinggir yang tipis manghadap kea rah belakang, setengah bawahnya berbentuk oval.
Origo :
Fossa pterygoidea, permukaan medial lamina lateralis proc. Pterygoidei, proc. Pyramidalis ossi palatine.
Insersio :
Margo inferior mandibulae, tuberositas pterygoidea. 4. Muskulus Pterygoideus Lateralis Otot pterygoideus lateralis menempati suatu posisi yang dalam dan tersembunyi, yaitu terletak dalam pada ramus mandibula dan otot temporalispada dinding samping nasofaring. Otot ini terletak persis di bawah dasar tengkorak , posterior terhadap maksila dan anterior terhadap batas posterior dari ramus mandibula.
Origo :
Caput superius pada permukaan luar lamina lateralis proc. Pterygoidei (tuber maxillae), sedangkan caput inferius pada facies temporalis alae majoris ossis sphenoidalis.
Insersio :
Caput superius pada discus et capsula articulationis temporomandibularis, sedangkan Caput inferius pada fovea pterygoidea proc. Condylaris mandibulae.
Referensi Ogus , H.D dan P.A. Toller. 1990 . Gangguan Sendi Temporomandibula. Hipokrates. Jakarta D, D.dixon. 1993. Anatomi untuk Kedokteran Gigi. Hipokrates. Jakarta Houston, W.J.B. 1991. Diagnosis Ortodonti. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta Liebgott, Bernard, D.D.S,M.Sc. D, Ph. D. 1994. Dasar-Dasar Anatomi Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC McDevitt, W. E. 2001. Anatomi Fungsional Dari Sistem Pengunyahan. Jakarta: EGC
TUGAS MAHASISWA 1. 20 menit pertama akan diadakan pretest 2. 30 menit kedua mahasiswa memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh instruktur masing-masing 3. 50 menit ketiga masing-masing mahasiswa berlatih mengenati materi yang akan dijelaskan kepaad tutornya 4. 100 menit terakhir masing-masing mahasiswa menjelaskan kepada Tutor mengenai: a. Anatomi maksila b. Anatomi mandibula c. Komponen penyusun tmj d. Vaskularisasi dan inervasi pada maksila dan mandibula
PETUNJUK SKILL LAB 5. PEMERIKSAAN FISIK TEMPORO MANDIBULAR JOINT
PENDAHULUAN
Anatomi Sendi Temporomandibula Sendi temporomandibula merupakan suatu sendi atau perlekatan yang bilateral
dan dapat bergerak yang menghubungkan antara mandibula dengan tulang tengkorak. Sendi temporomandibula didukung oleh : 1). Artikulasi tulang Sendi temporomandibula terdiri dari persendian yang dibentuk oleh tulang, yang terdiri dari fosa glenoidalis dan prosesus kondilaris mandibula. Prosesus kondilaris ini berbentuk elips yang tidak rata apabila dilihat dari potongan melintang. Sedangkan permukaan artikular dari persendian dilapisi oleh jaringan fibrokartilago yang lebih banyak dibanding kartilago hialin. 2). Diskus Artikularis Diskus tersusun dari tiga bagian, yaitu pita posterior dengan ketebalan 3 mm, zona intermediat yang tipis, dan pita anterior dengan ketebalan 2 mm. 3). Kapsula Kapsula merupakan ligamen tipis yang memanjang dari bagian temporal fosa glenoidalis di bagian atas, bergabung dengan tepi meniskus, dan mencapai bawah leher prosesus kondilaris untuk mengelilingi seluruh sendi. 4). Ligamen Ligamen-ligamen yang terdapat pada sendi temporomandibula yaitu ligamen temporomandibula, ligamen sphenomandibula,ligamen stylomandibula, dan ligamen malleolar mandibula. Ligamen tersebut berfungsi sebagai pelekat tulang dengan otot dan dengan tulang yang lain. 5). Suplai pembuluh darah dan saraf Suplai saraf sensoris ke sendi temporomandibula didapat dari nervus aurikulotemporalis dan nervus masseter cabang dari nervus mandibularis. Jaringan pembuluh darah untuk sendi berasal dari arteri temporalis superfisialis yang merupakan cabang dari arteri carotis eksterna.
Sendi temporomandibula tidak luput dari kelainan seperti yang terjadi pada sendi sinovial lain. The National Institute of Dental Research mengklasifikasikan kelainan sendi temporomandibula dalam 3 kategori, yaitu kelainan otot pengunyahan, kelainan pada kompleks kondilus-diskus, dan penyakit degeneratif sendi. Kelainan sendi temporomandibula yang paling sering terjadi adalah disebabkan oleh kelainan otot, yang disebut sebagai nyeri miofasial, dan disfungsi sendi temporomandibula. Schwartz merupakan orang pertama yang menemukan bahwa terdapat sejumlah pasien yang mempunyai masalah dengan sendi temporomandibula ternyata juga menunjukkan gejala spasme dari otot-otot pengunyahan. Spasme otot ini menyebabkan rasa sakit dan keterbatasan dalam pergerakan mandibula. Schwartz (I960) menyebutnya
dengan
sindroma
disfungsi
nyeri
sendi
temporomandibula
(temporomandibular joint pain-dysfunction syndrome} atau yang lazim disebut dengan istilah sindroma disfungsi nyeri miofasial (myofascial paindysfunction syndromel MPD). Disfungsi sendi temporomandibular disebabkan oleh banyak faktor, antara lain disebabkan oleh beban pengunyahan pada gigi yang terlalu besar, pengecilan otot rahang, dan ketegangan dari otot-otot pendukung sendi temporomandibula. Juga disebabkan oleh, sikap tubuh yang salah, kebiasaan oral yang buruk, kerusakan fascia yang disebabkan oleh trauma atau penyakit. Fascia adalah jaringan fibrosa yang membentuk pembungkus otot dan berbagai organ tubuh. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa rasa sakit, bunyi kliking saat membuka mulut, dan kesulitan saat akan membuka mulut dengan lebar.
1. MEMBUKA MULUT 1.1 Otot-otot yang berperan pada saat membuka mulut M.pterigoideus lateralis O: lateral spenoidalis, lateral pterigoid I : kondilus mandibula, anterior diskus N: pterigoid dari n.mandibula Kelompok m.suprahioid ( m.digastrikus, m.mylohyoid, m.geniohyoid, m.stilohyoid) 1.2 Mekanisme membuka mulut M.pterygoideus lateralis menarik processus condilaris ke depan menuju eminentia articularis. Pada saat bersamaan serabut posterior M. Temporalis harus relaks dan keadaan ini diikuti dengan relaksasi M. Masseter, serabut anterior M. Temporalis dan M. Pterygoideus Medialis yang berlangsung cepat dan lancar. Keadaan ini akan memungkinkan mandibula berotasi di sekitar sumbu horizontal sehingga proseccus condilaris akan bergerak ke depan sedang angulus mandibula bergerak ke belakang. Dagu akan terdepresi, keadaan ini dibantu dengan gerak membuka yang kuat oleh M. Digastricus, M. Geniohyoideus, dan M. Mylohyoideus yang berkontraksi terhadap os. Hyoid.
2. MENUTUP MULUT 2.1 Otot-otot yang berperan pada saat menutup mulut M.maseter O: arkus Zigomatikus
I : angulus mandibula lateral
N: n.maseter dari n.mandibula /n.v
M.temporalis O: fosa temporalis
I: prossesus koronoid mandibula
N: n.mandibula
M.pterigoideus medialis O: medial pterigoid prossesus piramidal palatina
I:medial angulus mandibula
N: n.pterigoid medialis dari n.mandibula
2.2. Mekanisme menutup mulut
Otot-otot penggerak utama dalam proses menutup mulut yaitu M. Masseter, M. Temporalis, M. Pterygoideus Medialis. Rahang dapat menutup pada berbagai posisi. Mulai dari menutup pada posisi protusi penuh sampai menutup pada keadaan Processus Condylaris berada pada posisi paling posterior dalam fossa Mandibula. Pada posisi protusi memerlukan kontraksi M. Pterygoideus Lateralis yang dibantu M. Pterygoideus Medialis. Caput Mandibula akan tetap pada posisi ke depan Eminentia Articularis. Pada gerak menutup retrusi, serabut posterior M. Temporalis akan bekerjasama dengan M. Masseter untuk mengembalikan Processus Conylaris ke dalam Fossa Mandibula, sehingga
gigi
geligi
dapat
saling
kontak
pada
oklusi
normal.
Pada gerak menutup Cavum Oris, kekuatan yang dikeluarkan otot penguyahan akan diteruskan terutama melalui gigi geligi ke rangka wajah bagian atas m. pterygoideus Lateralis dan serabut posterior M. Temporalis cenderung menghilangkan tekanan dari caput mandibula saat otot-otot ini berkontraksi. Keadaan ini berhubungan dengan fakta bahwa sumbu rotasi mandibula akan melintas di sekitar ramus.
3. PERGERAKAN MANDIBULA 3.1 Protrusi mandibula 1. Kedua kondilus bergerak ke depan mengikuti lereng eminentia artikularis 2. Sliding contact gigi-gigi 3. Kontraksi m. pterygoideus lateralis & medialis 4. Kontraksi m. masseter & serabut anterior m. temporalis 5. Relaksasi serabut posterior m. temporalis 3.2 Retrusi mandibula 1. Kedua kondilus bergerak ke belakang ke bagian posterior fossa glenoid 2. Sliding contact gigi-gigi 3. Kontraksi serabut posterior m. temporalis
4. Relaksasi m. pterygoideus 3.3 Pergerakan lateral
Kondilus pada sisi arah pergerakan tetap terletak pada fossa glenoid oleh karena kontraksi otot-otot pada sisi tersebut a. Kondilus berotasi pada sumbu vertikal b. Berotasi dan sliding kecil ke arah lateral, depan dan bawah menyusuri eminentia artikularis (movement of Bennett)
Pada sisi lain, kondilus tertarik ke depan oleh kontraksi m. ptrygoideus lateralis, sedangkan serabut posterior m. temporalis relax
PEMERIKSAAN TEMPORO MANDIBULAR JOINT a. Auskultasi: Dengan menggunakan stetoskop mendengar adanya krepitasi atau kliking pada area depan telinga yang akan diperiksa.Selanjutnya di instruksikan pasien untuk menggerakkan (membuka dan menutup) mulut
b. Palpasi: Cara 1: dengan palpasi bimanual pada area depan telingaa kanan dan kiri selanjutnya instruksikan pasien untuk membuka dan menutup mulut. Periksa kelancaran pergerakanTMJ. Cara 2 : Masukkan jari kelingking pada Meatus Akustikus(telinga) pada kanan dan kiri, selanjutnya instruksikan pasien untuk membuka dan menutup mulut.
Referensi Peterson U. Oral and Maxillofacial Surgery. 3rd ed. St Louis: Mosby-Year Book, Inc. 2003. Uppgaard RO. Taking Control of TMJ. Oakland: New Harbinger Publications Inc. 1999. Schwa rtz L Disorders of Temporomandibular. Philadelphia and London: W.B. Saunders Co. 1960. Bell WE. Temporomandibular Disorders, Classification, Diagnosis, Management 3rd ed. Chicago-London-Boca Raton-Littleton, Mass: Year Book Medical Publisher, Inc. 1990:18-75, 138-139, 232-252. Ofceson JP. Management of Temporomandibular Disorders and Occlusion. 4th ed. St Louis: Mosby-Year book, Inc. 1998. Dorland. Kamus Kedokteran. Jakarta; EGC. 1996. Smith S. Atlas of Temporomandibular Orthopedics. Philadelphia: Philadelphia College of Osteopathic Medicine Press. 1981.
TUGAS MAHASISWA: Carilah pasangan untuk berperan sebagai dokter-pasien. Tugas: 1. Pada 20 menit pertama akan dilakukan pretest 2. Pada 30 menit kedua mahasiswa memperhatikan dengan seksama instruksur memperagakan cara pemeriksaan TMJ 3. Pada 50 menit ketiga mahasiswa berlatih berpasangan dengan temannya, satu sebagai dokter gigi sedang yang lainnya sebagai pasien secara bergantian. 4. Pada 100 menit terakhir mahasiswa memperagakan cara pemeriksaan TMJ dan instruktur menilai sesuai check list yang telah tersedia.
PETUNJUK SKILL LAB 6. PEMERIKSAAN FISIK MYOFACIAL
Pengertian Nyeri myofascial adalah titik-titik yang hiper-iritasi, memiliki ciri khas tersendiri, terasa bunyi bila ditekan, yang terletak pada taut band otot skeletal. Nyeri myofascial merupakan nyeri myogenous regional yang ditandai dengan jaringan otot yang hipersensitif dan area lokal keras yang disebut trigger point (titik cetus). Trigger points ini sangat nyeri bila ditekan dan dapat menghasilkan nyeri rujukan (reffered pain), disfungsi motorik dan fenomena autonom (keringat yang kurang di daerah yang nyeri). Trigger point merupakan region yang terbatas dimana hanya ada sedikit motor unit yang berkontraksi. Jika semua motor unit berkontraksi, akan terjadi pemendekan otot. Kondisi ini disebut myospasme karena trigger point hanya terdapat beberapa motor unit yang berkontraksi, tidak terjadi pemendekan otot. Trigger point yang menghasilkan reffered pain kadang tidak berhubungan dengan penjalaran saraf. Kondisi ini terkadang dikenal sebagai myofascial trigger point paint. Hal ini merupakan kelainan yang belum sepenuhnya dimengerti, tetapi biasa terjadi pada pasien dengan keluahan myalgia. Asal dari trigger points tidak diketahui. Tetapi, diperkirakan karena adanya ujung saraf di otot tersensitisasi oleh substansi algogenik yang menghasilkan zona hipersensitif. Mungkin terjadi peningkatan suhu lokal di situs trigger point, menunjukkan adanya peningkatan permintaan metabolic, reduksi aliran darah, atau keduanya. Karakteristik yang unik adalah trigger point merupakan sumber nyeri yang konstan dan oleh sebab itu dapat menghasilkan efek eksitatori sentral. Jika trigger point mengeksitasi grup interneuron aferen, referred pain akan terjadi, biasanya terjadi pada pola yang dapat diprediksi sesuai dengan lokasi trigger point yang terlibat. Pasien seringkali mengeluhkan nyeri kepala. Penyebab nyeri myofasial sangat kompleks. Travell dan Simons menggambarkan faktor lokal dan sistemik yang diperkirakan berhubungan dengan nyeri seperti trauma, hipovitamiosis, kondisi umum yang buruk, kelelahan, infeksi viral. Faktor lain yang penting anatara lain stress emosional dan nyeri. Penyebab dari nyeri myofascial dibagi menjadi dua yaitu mekanik dan ergonomic. Penyebab mekanik yang dimaksudkan disini adalah terjadinya trauma akut atau repetitive mikrotrauma. Trauma ini biasanya disebabkan karena postur tubuh yang jelek (scoliosis,
lordosis, kyposcoliosis), defisiensi vitamin, gangguan tidur dan problem pada sendi. Sedangkan penyebab secara ergonomic misalnya posisi tidur yang jelek, posisi kerja yang buruk, sering memakai sepatu dengan hak tinggi, dan sebagainya. Gejala klinis yang paling umum dari nyeri myosfascial adalah keberadaan jaringan otot yang keras dan hipersensitif. Meskipun palpasi dari trigger points menghasilkan nyeri, sensitivitas otot lokal bukan keluhan umum pasien. Keluhan yang paling umum biasanya berhubungan dengan efek eksitasi sentral yang dihasilkan oleh trigger points. Gejala dari nyeri myofascial biasanya muncul di sekujur tubuh dari kepala sampai kaki. Di daerah kepala, nyeri ini sering mengakibatkan terjadinya nyeri kepala, migraine, leher tegang, vertigo, nyeri bahu sampai tangan (yang sering disalahartikan dengan asam urat). Di daerah punggung, nyeri ini sering mengakibatkan terjadinya nyeri pinggang (Low Back Pain/LBP), nyeri menjalar sampai kaki, dan sebagainya. Otot adalah organ penggerak aktif. Otot potensial sekali untuk terjadi trigger point. Trigger point sering terjadi pada otot-otot yang berperan mempertahankan postur tubuh, seperti otot-otot leher, bahu, lumbal, pelvic girdle. Adanya buldel yang hipersensitif atau nodul pada serabut otot yang lebih keras dari konsistensi normal maka secara khas berkaitan dengan trigger point. Palpasi pada trigger point dapat menimbulkan nyeri secara langsung diatas area yang terkena dan/atau menyebabkan radiasi nyeri kearah zona referensi dan timbul respon local twitch (kejang local). Nyeri myofascial dapat dirasakan dengan mudah jika otot tersebut diregang sekitar 2/3 dari panjang maksimal. Menurut John Halford, terdapat tiga jenis trigger point yang berkembang dalam otot, ligament dan kapsul sendi, yaitu : 1. Inactive trigger point : kondisi ini seperti gunung berapi yang tidak lagi aktif 2. Latent trigger point : kondisi ini seperti gunung berapi yang bergemuruh 3. Active trigger point : kondisi ini seperti gunung berapi yang aktif dan bergemuruh
Pada banyak keadaan, pasien hanya menyadari referred pain dan bahkan tidak menyadari trigger points. Contohnya adalah pasien yang mengalami nyeri myofascial trigger point pada otot trapezius menghasilkan referred pain ke regio temple. Keluhan utamanya adalah nyeri temporal, dengan kesadaran sedikit pada trigger point di bahu. Presentasi klinis dapat mengalihkan perhatian dokter dari sumber masalah. Pasien akan mengarahkan perhatian dokter ke daerah nyerinya yaitu temporal dan bukan sumbernya. Dokter harus selalu ingat bahwa pengobatan akan efektif jika langsung diarahkan pada sumbernya. Maka, dokter harus selalu mencari sumber nyerinya. Karena trigger poitns dapat nenyebabkan efek eksitatori sentral, sangat penting untuk menyadari semua kemungkinan manifestasi klinisnya. Efek eksitatori sentral dapat muncul sebagai referred pain, hiperalgesia sekunder, protektif ko-kontraksi, atau respon anatomik. Kondisi ini harus diperhatikan saat mengevaluasi pasien.
Referred pain tergantung pada sumbernya, palpasi dari trigger point yang aktif seringkali meningkatkan rasa nyeri. Meskipun tidak selalu ada, karakteristik ini sangat membantu dalam diagnosis. Pada keadaan laten, trigger point tidak lagi sensitif terhadap palpasi, maka tidak menghasilkan referred pain. Ketika trigger point berada dalam keadaan laten, sumber ini tidak dapat ditemukan dengan palpasi dan pasoen tidak mengeluhkan nyeri kepala. Pada beberapa keadaan, dokter perlu meminta pasien untuk kembali jika nyeri kepalanya muncul sehingga konfirmasi mengenai nyeri kepalanya dapat diverifikasi dan dapat ditegakkan diagnosis. Diperkirakan trigger point tidak berkurang dengan pengobatan. Bahkan trigger point dapat menjadi laten dan dorman dan keluhan referred pain dapat hilang sementara. Trigger point dapat diaktivasi oleh beberapa faktor, misalnya penggunaan otot, strain dari otot, stress emosional, dan infeksi saluran pernafasan. Ketika trigger point teraktivasi, nyeri kepala akan muncul kembali. Hal ini biasa ditemukan pada pasien dengan keluhan nyeri kepala siang hari setelah hari yang melelahkan. Sejalan dengan referred pain, efek eksitatori sentral dapat dirasakan oleh pasien. Ketika hiperalgesia sekunder muncul, biasanya akan terjadi peningkatan sensitivitas ketika kulit kepala disentuh. Beberapa pasien akan mengatakan rambutnya terasa nyeri atau terasa sakit saat menyisir rambutnya. Ko-kontraksi merupakan kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri myofascial. Trigger point pada bahu atau otot servikal dapat menghasilkan ko-kontraksi pada otot mastikasi. Jika hal ini berlanjut, soreness pada otot mastikatori dapat muncul. Dapat disimpulkan, gejala klinis nyeri myofascial umumnya berhubungan dengan efek eksitatori sentral yang dihasilkan dari trigger point dan bukan hanya trigger point saja. Dokter harus menyadari hal ini dan menemukan trigger point. Ketika teraba, trigger point merupakan area hipersensitif, sering terasa sebagai pita taut dalam otot. Tidak ada nyeri lokal ketika otot dalam keadaan beristirahat, tetapi nyeri dapat dirasakan saat otot digunakan. Seringkali disfungsi struktural terluhat pada otot yang terdapat trigger point. Hal ini sering dilaporkan sebagai ”stiff neck”. Pemeriksaan myofasial pada otot-otot wajah, mulut, dan leher Otot wajah terbagi atas : a.
Otot mata (Muskulus rektus okuli) dan otot bola mata sebanyak 4 buah.
b.
Muskulus oblikus okuli / otot bola mata sebanyak 2 buah, fungsinya memutar mata.
c.
Muskulus orbikularis okuli / otot lingkar mata terdapat di sekeliling mata, fungsinya sebagai penutup mata atau otot sfingter mata.
d.
Muskulus levator palpebra superior terdapat pada kelopak mata. Fungsinya menarik, mengangkat kelopak mata atas pada waktu membuka mata.
Otot mulut / bibir dan pipi, terbagi atas : a.
Muskulus triangualis dan muskulus orbikularis oris / otot sudut mulut, fungsinya menarik sudut mulut ke bawah.
b.
Muskulus quadrates labi superior, otot bibir atas mempunyai origo pinggir lekuk mata menuju bibir atas dan nasal.
c.
Maskulus quadrates labi inferior, terdapat pada dagu merupakan kelanjutan pada otot leher. Fungsinya menarik bibir ke bawah atau membentuk mimik muka ke bawah.
d.
Muskulus buksinator, membentuk dinding samping rongga mulut. Origo pada prosesus sifoid mandibula dan insersi muskulus orbikularis oris. Fungsinya untuk menahan makanan waktu mengunyah.
Otot pengunyah / otot yang bekerja waktu mengunyah, terbagi atas : a.
Muskulus maseter, fungsinya mengangkat rahang bawah pada waktu mulut terbuka.
b.
Muskulus temporalis , fungsinya menarik rahang bawah ke atas dan ke belakang.
c.
Muskulus pterigoid interus dan eksternus, fungsinya menarik rahang bawah ke depan.
d.
Otot lidah sangat berguna dalam membantu panca indra untuk mengunyah, terbagi atas : 1. Muskulus genioglosus, fungsinya mendorong lidah ke depan. 2. Muskulus stiloglosus, fungsinya menarik lidah ke atas dan ke belakang.
Otot Leher, terbagi atas 4 bagian: a.
Muskulus platisma, terdapat di samping leher menutupi sampai bagian dada. Fungsinya menekan mandibula, menarik bibir ke bawah dan mengerutkan kulit bibir.
b.
Muskulus sternokleidomstoid di samping kiri kanan leher ada suatu tendo sangat kuat. Fungsinya menarik kepala ke samping, ke kiri dan ke kanan, memutar kranium dan kalau keduanya bekerja sama merupakan fleksi kranium ke depan di samping itu sebagai alat bantu pernapasan.
c.
Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan semispinalis kapitis. Ketiga otot ini terdapat di belakang leher, terbentang dari belakang kranium ke prosesus spinalis korakoid. Fungsinya untuk menarik kranium ke belakang, menggelengkan cranium.
d.
Muskulus trapezius menarik bahu ke belakang ketika digunakan secara menyeluruh dan juga menarik skapula ke atas dan ke bawah, ketika bagian atas dan bagian bawah digunakan secara terpisah
TUGAS MAHASISWA: Carilah pasangan untuk berperan sebagai dokter-pasien. Tugas: 1. Pada 20 menit pertama akan dilakukan pretest 2. Pada 30 menit kedua mahasiswa memperhatikan dengan seksama instruksur memperagakan cara pemeriksaan myofasial
3. Pada 50 menit ketiga mahasiswa berlatih berpasangan dengan temannya, satu sebagai dokter gigi sedang yang lainnya sebagai pasien secara bergantian. 4. Pada 100 menit terakhir mahasiswa memperagakan cara pemeriksaan myofasialdan instruktur menilai sesuai check list yang telah tersedia.
PETUNJUK SKILL LAB 7. REDUKSI JAW LOCK
Introduction The temporomandibular joint (TMJ) is located just in front of the lower part of the ear. This joint allows the lower jaw to move. It is a ball-and-socket joint, just like the hip or shoulder. When the mouth opens wide, the ball (called the condyle) comes out of the socket and moves forward. It goes back into place when the mouth closes. The TMJ becomes dislocated when the condyle moves too far. Then, it can get stuck in front of a section of bone called the articular eminence. The condyle can't move back into place. This happens most often when the ligaments that normally keep the condyle in place are somewhat loose. The surrounding muscles often go into spasm and hold the condyle in the dislocated position. Jaw Lock in mandible The jaw locks in an open position and you cannot close your mouth. You may have discomfort until the joint returns to the proper position. If one’s lower jaw (known as the ‘mandible’) is stuck in either a closed or open position, it is commonly called a ‘jaw lock’. If the jaw closes OK, to get the teeth together, but cannot open the mouth very far, it may be a ‘closed lock’. Normal opening should allow about 2 inches (50 mm) between front teeth. Limited opening of about 1 inch (less than 30 mm) may indicate a closed lock. Open locks typically occur at over 2 inches between front teeth; but it can happen at much less in some instances. If your mouth is open, but are unable to get the teeth back together, then it is called an “open lock” (Raman P, 2011). A jaw lock may occur suddenly with no prior history, after an injury to jaw or following a history of ‘catching’ or ‘intermittent jaw locking’. This is a condition where the jaw gets stuck momentarily either in a closed or wide open position but then gets unstuck immediately. Most times people ignore this ‘catching’ since they are able to function once the jaw gets unstuck readily and because this is usually a pain-less condition at that point (Raman P, 2011). There are four different positions of jaw dislocation: posterior, anterior, superior and lateral. The most common position is anterior. Anterior dislocation shifts the lower jaw forward if the mouth excessively opens. This type of dislocation may happen bilaterally or unilaterally after yawning. The muscles that are affected during anterior jaw
dislocation are the masseter and temporalis which pull up on the mandible and the lateral pterygoid which relaxes the mandibular condyle. Posterior dislocation is common for people who get injured after being punched in the chin. This dislocation will push the jaw back affecting the alignment of the mandibular condyle and mastoid. Superior dislocations occur after being punched as the mouth remains open. Since great force occurs in a punch, the angle of the jaw will be forced upward moving towards the condylar head. Lateral dislocations move the jaw away from the skull and are likely to happen with other jaw fractures. Are all ‘limited opening’ due to “closed locks”? There are many causes of limited mouth opening including pericoronitis (infection around a partially erupted molar tooth such as a wisdom tooth), myositis (inflammation of a jaw muscle – for example, that was injured from repeated dental anesthetic injections), jaw muscle spasms (like a Charlie horse), Disc Displacement without Reduction (“Closed Lock”) and others. This can cause pain, prevent normal chewing or speaking and adequate oral hygiene. When the mandible is unable to have normal range of motion it can lead to headaches, neck pain etc (Raman P, 2011). What causes “jaw popping” and “closed locks”? Inside the jaw joint located in front of the ear hole, there is a cartilage –known as the ‘articular disc’, between the ‘socket’ which is part of the temporal bone of the skull and the ‘ball’ called condylar head that is part of the mandible. Normally tough collagen fibers -collateral ligaments, tie down the discs on top of the condylar head. It is like a cap on a person’s head if it were tied down to both ears allowing it to slide on top of the head within limits. The disc is also tied down in the back of the socket like a tether and in the front to a small muscle that moves the disc as the jaw opens (Raman P, 2011). The disc can only slip out when some of the fibers of this collateral ligament are torn. If it slips in front or medial side of the condylar head when teeth are together but yanked back into place, on top of the ‘ball’ by the ‘tether’ in the back of the socket, with a popping sound as the mouth is opened slightly, then it is called ‘Disc Displacement with Reduction”. This is the common jaw popping that many people casually report since there is no pain. Many dentists that are uninformed of the process of tearing of the
ligament and damage to the joint over time, also dismiss this as “normal” since it does not hurt and relatively common in our modern population (Raman P, 2011). If an articular disc slips in front or medial side of the condylar head when teeth are together, bunches up to prevent opening of the mouth, then it is called a Disc Displacement without Reduction (“Closed Lock”) (Raman P, 2011). Prevention TMJ dislocation can continue to happen in people with loose TMJ ligaments. To keep this from happening too often, dentists recommend that people limit the range of motion of their jaws. For example, someone with this problem should place a fist under the chin when yawning to keep the mouth from opening too widely. Conservative surgical treatments can help to prevent the problem from returning. Some people have their jaws wired shut for a period of time. This causes the ligaments to get tighter and restricts their movement. In certain cases, surgery may be necessary. One procedure is called an eminectomy. It removes the articular eminence so the ball of the joint no longer gets stuck in front of it. What are the options to fix “closed locks”? The dentist bases the diagnosis on the position of your jaw and whether you are able to close your mouth. X-rays confirm the clinical diagnosis. Patients often hear that the only way to fix it is through surgery. But we have successfully treated joint locks without surgery for several years. All joint surgical procedures have associated risks including infection and anesthesia risks. Long term success rate is mixed since the surgical procedures do not usually address the underlying cause that led to the Disc Displacement without Reduction. Non surgical options include Neuromuscular dental protocol of precisely diagnosing the optimal alignment of the mandible to the head and temporarily correcting the jaw alignment with an orthotic to get the disc in place (Raman P, 2011).
Treatment The muscles around the TMJ need to relax so that the condyle can return to its normal position. To make this happen, some people need an injection of local anesthesia
in the jaw joint. This may be followed by a muscle relaxant similar to diazepam (Valium) to stop the spasms. The muscle relaxant is given intravenously (into a vein in the arm). If the jaw muscles are relaxed enough, a doctor or dentist can move the condyle back into the correct position. He or she will pull the lower jaw downward and tip the chin upward to free the condyle. Then the ball is guided back into the socket. Rarely, someone may need to have the dislocation fixed in the operating room under a general anesthetic. In this case, it may be necessary to wire the jaws shut or use elastics between the top and bottom teeth to limit the movement of the jaw after the dislocation has been fixed. You should follow a soft or liquid diet for several weeks afterward. This reduces jaw movement and stress. Avoid foods that are hard to chew, such as tough meats, carrots, hard candies or ice cubes. Also, be careful not to open your mouth too wide. If your TMJ becomes dislocated, visit your doctor, dentist or hospital emergency room right away to have the joint put back in place. You may be referred to an oral and maxillofacial surgeon for treatment. The outlook is excellent for returning the dislocated ball of the joint to the socket. However, in some people, the joint may continue to become dislocated. If this happens, you may need surgery.
Anterior Dislocation
Posterior Dislocation
Superior Dislocation
Lateral Dislocation
Alat dan bahan yang diperlukan pada skill lab: 1. Masker dan sarung tangan 2. Kain kasa 3. Phantom rahang
TUGAS MAHASISWA 1. 20 menit pertama akan diadakan pretest 2. 30 menit kedua, instruktur akan memperagakan langkah-langkah melakukan jawlock.
3. 50 menit ketiga, masing-masing mahasiswa berlatih melakukan jawlock dengan alat dan bahan yang telah disediakan 4. 100 menit terakhir, masing-masing mahasiswa memperagakan cara melakukan jawlock dihadapan instruktur dan dinilai sesuai dengan check list yang ada