Petikan Faedah dari Syarah AlQowa’idul Arba’ Syaikh Shalih AlFauzan, Bag-1 PETIKAN FAEDAH DARI SYARAH AL-QOWA’IDUL ARBA’ Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala ‐ ﻪون ﺑﺄنّ اﻟﺮﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‐ ﻣﻘ اﻟﻪ ‐ﺻﻠﻔّﺎر اﻟﺬﻳﻦ ﻗﺎﺗﻠﻬﻢ رﺳﻮل اﻟ أن ﺗﻌﻠﻢ أنّ اﻟ:اﻟﻘﺎﻋﺪة اﻷوﻟ
ﻣﻢُزُﻗﺮ ﻳﻦ ﻣ }ﻗُﻞ: ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟ: واﻟﺪﻟﻴﻞ، اﻹﺳﻼمﻠْﻬﻢ ﻓﺪْﺧ وأنّ ذﻟﻚ ﻟﻢ ﻳ،ِﺮﻖ اﻟﻤﺪﺑﺗﻌﺎل‐ ﻫﻮ اﻟﺨﺎﻟ ﻦ ﻦﻣ و اﻟْﺤﻦ ﻣِﺖﻴ اﻟْﻤﺨْﺮِجﻳِﺖِ وﻴ اﻟْﻤﻦ ﻣ اﻟْﺤﺨْﺮِج ﻳﻦﻣ وﺎرﺼﺑا وﻊﻤﻚُ اﻟﺴﻠﻤ ﻳﻦﻣضِ ارا وﺎءﻤاﻟﺴ 31: ﺗَﺘﱠﻘُﻮنَ{ ]ﻳﻮﻧﺲََﻓ ا ﻓَﻘُﻞﻪﻘُﻮﻟُﻮنَ اﻟﻴ ﻓَﺴﺮﻣ اِﺮﺪَﺑ]ﻳ
Kaedah Pertama: Hendaknya engkau mengetahui, bahwasanya orangorang kafir yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mereka mengakui bahwasanya Allah adalah Pencipta dan Pengatur (alam semesta). Dan bahwasanya hal tersebut tidak dapat memasukkan mereka ke dalam Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus:31) FAEDAH: Bahwasanya mengakui tauhid Rububiyah semata tidak lantas memasukkan seseorang ke dalam Islam. Karena dahulu orang-orang yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengakui tauhid Rububiyyah. Tapi nyatanya tidak memasukkan mereka ke dalam Islam, dan tidak membuat darah mereka haram ditumpahkan. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya tauhid dan syirik tidak hanya pada Rububiyah saja. Bahkan tidak ada yang menyekutukan Allah dalam
perkara Rububiyyah kecuali segelintir manusia. Seluruh umat mengakui tauhid Rububiyah. Tauhid Rububiyyah yang dimaksud di sini ialah, “Mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi rejeki, Menghidupkan dan Mematikan, dan Mengatur seluruh makhluk.” Hampir tidak didapati seorang pun yang meyakini adanya Pencipta, Pemberi Rejeki, dan Pengatur seluruh Makhluk bersama Allah. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sekalipun mengakui hal ini. Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang para Rasul diutus dengannya bukanlah tauhid rububiyyah. Hanya meyakini tauhid rububiyyah tidak akan bermanfaat bagi pelakunya. Karena kaum musyrikin dahulu juga mengakuinya, tapi tidak dapat mengeluarkan mereka dari kekufuran dan memasukkan ke dalam Islam. Kesalahan besar ketika memaknakan tauhid hanya dalam hal rububiyah. Sebagaimana dilakukan oleh ulama’ ahli kalam di dalam kitab-kitab mereka. barangsiapa yang meyakini hal ini, maka ia akan senantiasa berada di atas keyakinannya Abu Jahal dan Abu Lahab. Barangsiapa mengatakan, “Bahwasanya kesyirikan ialah ketika seseorang meyakini ada Pencipta dan Pemberi rejeki lain bersama Allah.” Maka ia sama dengan Abu Jahal dan Abu Lahab. Diringkas Oleh: Admin Warisan Salaf Insya Allah akan bersambung kepada Qo’idah Kedua.
HAKEKAT ILMU SYAR’I DAN PEMAHAMAN MANUSIA YANG
KELIRU TENTANGNYA (SYAIKH ALI NASHIR AL-FAQIHI) Bismillahirrahmanirrahim. Sekelumit tentang Asy-Syaikh Ali Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala: Beliau adalah Asy-Syaikh Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala. Dilahirkan di Desa Al-Minjaroh, salah satu Desa di Kota Jazan (Saudi bagian selatan) pada tahun 1354 Hijriyah. Di Desa tersebut beliau tumbuh dan menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Tsanawiyah (di Indonesia, SMA). Dan melanjutkan hingga berhasil mendapatkan gelar Doktoral di Universitas Al-Malik Abdul ‘Aziz pada jurusan Syari’ah bagian Aqidah. Beliau belajar kepada beberapa ulama’ kibar, seperti Syaikh Abdullah Al-Qor’awi (penulis kitab Al-Jadid Syarah Kitab Tauhid), dan Syaikh Hafizh Al-Hakami (penulis kitab Ma’arijul Qabul). ====== Di dalam Syarah Ushul Sittah, ketika menjelaskan tentang Ilmu Syar’i dan pemahaman manusia yang salah tentangnya, beliau mengatakan, Ilmu Syar’i adalah: Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Dan yang teriwayatkan dari shahabat dengan riwayat yang shahih. Dan Ijma’ (kesepakatan ulama’) Dan Qiyas yang bersumber dari ushul di atas (yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi). Ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala, beliau menyatakan, “Inilah yang disebut ilmu.” AL-Fiqhu fid Dien Al-Fiqhu fid Diin (pemahaman ad-Diin). Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah pasti akan dipahamkan tentang urusan agamanya.” Dan Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam tentang Syafa’at (Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’atmu wahai Rasul? Tanya Abu Hurairah), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Ahmad, ” ِﺪِﻳﺚ اﻟْﺤَﻠﻚَ ﻋﺻﺮ ﺣﻦ ﻣﺖﻳاﺎ رﻤ ﻟ،َﻨْﻚ ﻣلوﺪٌ اﺣﺪِﻳﺚِ اﺬَا اﻟْﺤ ﻫﻦ ﻋﻟَﻨﺎﺴ ﻳ ا،َةﺮﻳﺮﺎ ﻫﺑﺎ ا ﻳﻟَﻘَﺪْ ﻇَﻨَﻨْﺖ “Sungguh wahai Abu Hurairah, aku telah menduga bahwasanya tidak ada yang bertanya tentang hadits ini seorang pun sebelum engkau, karena aku melihat betapa semangatnya dirimu terhadap hadits.” Hadits yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah ilmu, karena hadits bila disebutkan secara mutlak maka maknanya adalah ilmu, yaitu ilmu Al-Qur’an dan ilmu sunnah. Jenis ilmu inilah yang pantas untuk dinamakan dengan ilmu. Adapun ilmu dunia yang mana manusia mengambil manfaat darinya dalam hidupnya juga dinamakan ilmu, tapi selalu disebutkan dengan keterangan (yakni bukan ilmu mutlak), seperti ilmu kedokteran, ilmu tehnik, dan semua jenis ilmu ini selalu dikaitkan dengan sifatnya. Sedangkan ilmu mutlak (yakni tanpa penyandaran) adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya manusia pada masa-masa belakangan ini telah berpaling dari makna ini, dimana mereka memaknakan ilmu dan al-fiqhu sebagai ucapan manusia. Dan mereka sudah tidak lagi merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengadakan beragam kebid’ahan yang bukan bagian dari agama. Anehnya yang seperti ini justru mereka anggap sebagai ilmu. Parahnya lagi, sebagian mereka, yakni dedengkot ahli khurafat sampai mengatakan kepada Ahlussunnah yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, “Kalian mengambil ilmu kalian dari orangorang yang sudah meninggal, sedangkan kami mengambilnya langsung dari yang masih hidup.” (maksud mereka) mengambil ilmu dari orang-orang yang sudah meninggal adalah, dari ulama’ fulan, dari ulama’ fulan, dari ulama fulan, sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan mereka mengaku mengambil ilmu langsung dari Al-Lauhul Mahfuzh. Tentu saja makna ini adalah mereka meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu Syar’i dan hakekat ilmu yang diambil faedahnya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang diriwayatkan dari Shahabat Radhiallahu ‘anhum.
===== Demikian Faedah Ringkas yang kami sarikan dari Penjelasan Al-Ushul AsSittah, pertemuan ke empat, oleh Asy-Syaikh Ali bin Nashir AL-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala. Admin Warisan Salaf
HUKUM SEPUTAR NAZAR (Bersama Syaikh Ubaid Al-Jabiri) Berikut kami ringkaskan hukum seputar nazar yang dijelaskan oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala dalam Syarah Tsalatsatul Ushul: Pembahasan tentang Nazar meliputi 3 hal: 1. Defenisinya 2. Hukumnya 3. Syarat-syaratnya
Defenisinya adalah: Secara bahasa: al-ilzam (mengharuskan/mewajibkan) Secara istilah: Seorang mukallaf mengilzamkan dirinya melakukan ibadah yang pada dasarnya tidak wajib baginya.
HUKUM NAZAR: Hukum nazar terbagi dua:
1. Nazar Syar’i (Nazar yang ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala) 2. Nazar Syirik (Nazar yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) Nazar Syar’i terbagi menjadi dua: 1. Munajaz (mutlak) 2. Mu’allaq Nazar Munnajaz atau mutlak adalah nazar yang tidak terikat dengan sesuatu apapun, contohnya: “Wajib bagiku untuk umrah pada tahun ini.” Atau “Wajib bagiku mensedekahkan seribu dinar”. Nazar Mu’allaq adalah nazar yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Contohnya seseorang mengatakan, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa ini dan itu” atau “Jika Allah mengembalikan barangku yang hilang maka aku akan bersedekah demikian.” Atau “Jika aku berhasil dalam ujian ini maka aku akan mengadakan pesta.”
FAEDAH: Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya hukum bernazar adalah haram. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Nazar tidak datang dengan kebaikan. Dan ia (nazar) tidaklah dikeluarkan melainkan dari orang yang bakhil.” Mereka (yakni ahlul ilmi) menyatakan, ini adalah celaan (dzam). Dan celaan dalam perbuatan merupakan bentuk larangan far’iyah. Sedangkan hukum asal pelarangan ( )ﻧﻬadalah haram.” Tapi yang benar, bahwasanya nazar tidak haram, akan tetapi lebih utama ditinggalkan. Barangsiapa yang terlanjur bernazar maka harus dilaksanakan dengan ketentuan syarat-syarat yang akan disebutkan.
SYARAT-SYARAT NAZAR
Syarat-syarat Nazar secara global: 1. Taklif (yakni mukallaf mencakup sudah baligh dan berakal) 2. Nazar keta’atan 3. Yang diNazarkan adalah miliknya. 4. Yang Dinazarkan Memungkinkan untuk Diterapkan (khusus nazar mu’allaq). 5. Mampu melaksanakan.
Permasalahan Penting: Bila seseorang tidak melaksanakan nazar keta’atan, maka dia harus membayar kaffaroh. Dan kaffarohnya seperti kaffarotul yamin (kaffaroh sumpah). Yaitu: Memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian. Membebaskan budak mukmin Kalau tidak mampu maka berpuasa 3 hari. Adapun nazar maksiat, maka pendapat yang shahih menurut kami (yakni Syaikh Ubaid) bila seseorang tidak melaksanakan Nazar maksiat tidak membayar kaffaroh.
TAMBAHAN FAEDAH: Firman Allah Ta’ala: اﻴﺮﺘَﻄﺴ ﻣهﺎنَ ﺷَﺮﺎ ﻛﻣﻮﺨَﺎﻓُﻮنَ ﻳﻳﻮﻓُﻮنَ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺬْرِ وﻳ “Mereka menunaikan Nazar dan (mereka) takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan:7) Ayat ini menunjukkan bahwasanya nazar tidak haram. Bentuk pendalilannya adalah, konteks ayat ini sebagai pujian bagi orang-orang yang baik. Ayat sebelumnya adalah: 6) اﺎ ﺗَﻔْﺠِﻴﺮوﻧَﻬِﺮﻔَﺠ ﻳﻪ اﻟﺎدﺒﺎ ﻋ ﺑِﻬبﺸْﺮﻨًﺎ ﻳﻴ( ﻋ5) اﺎﻓُﻮرﺎ ﻛﻬاﺟﺰﺎنَ ﻣسٍ ﻛﺎ ﻛﻦﻮنَ ﻣﺑﺸْﺮ ﻳارﺮﺑنﱠ ا)ا
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (5) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” Ayat ini dalam konteks pujian atau celaan? Dalam konteks pujian. Berarti ayat ini sebagai dalil bahwasanya nazar tidak haram, dan menunaikan nazar keta’atan merupakan sifatnya orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abror).
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang melakukan kebaikan.
Disarikan dari Durus Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Ubaid AL-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala.
Admin Warisan Salaf