Petikan Faedah dari Syarah AlQowa’idul Arba’ Syaikh Shalih AlFauzan, Bag-2 PETIKAN FAEDAH DARI SYARAH AL-QOWA’IDUL ARBA’ Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan (Kaedah Ke 2)
‐ ﻓﺪﻟﻴﻞ اﻟﻘُﺮﺑﺔ ﻗﻮﻟﻪ،ﺑﺔ واﻟﺸﻔﺎﻋﺔﻬﻨﺎ إﻟﻴﻬﻢ إﻻ ﻟﻄﻠﺐ اﻟﻘُﺮ ﻣﺎ دﻋﻮﻧﺎﻫﻢ وﺗﻮﺟ: أﻧّﻬﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮن:اﻟﻘﺎﻋﺪة اﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺎ ﻣ ﻓﻢﻨَﻬﻴ ﺑﻢﺤ ﻳﻪنﱠ اﻟ اَ زُﻟْﻔﻪ اﻟَﻟﻮﻧَﺎ اِﺑﻘَﺮﻴ ﻟ اﻢﺪُﻫﺒﺎ ﻧَﻌ ﻣﺎءﻴﻟو اﻪوﻧ دﻦ اﺗﱠﺨَﺬُوا ﻣاﻟﱠﺬِﻳﻦ }و:‐ﺗﻌﺎﻟ 3:{ ]اﻟﺰﻣﺮﻔﱠﺎر ﻛﺎذِب ﻛﻮ ﻫﻦﺪِي ﻣﻬ ﻳ ﻪنﱠ اﻟﻔُﻮنَ اﺨْﺘَﻠ ﻳﻴﻪ ﻓﻢ ]ﻫ. ﻧَﺎﺎو ﺷُﻔَﻌءﻮﻘُﻮﻟُﻮنَ ﻫﻳ وﻢﻬﻨْﻔَﻌ ﻳ وﻢﻫﺮﻀ ﻳ ﺎ ﻣﻪونِ اﻟ دﻦﺪُونَ ﻣﺒﻌﻳ }و:‐ودﻟﻴﻞ اﻟﺸﻔﺎﻋﺔ ﻗﻮﻟﻪ ‐ﺗﻌﺎﻟ :ﺘﺔﺔ وﺷﻔﺎﻋﺔ ﻣﺜﺒ ﺷﻔﺎﻋﺔ ﻣﻨﻔﻴ: واﻟﺸﻔﺎﻋﺔ ﺷﻔﺎﻋﺘﺎن، [18:{ ]ﻳﻮﻧﺲﻪﻨْﺪَ اﻟﻋ ﺎﻬﻳﺎ ا }ﻳ:‐ ﻗﻮﻟﻪ ‐ﺗﻌﺎﻟ: واﻟﺪﻟﻴﻞ،ﻪ اﻟﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﻘﺪر ﻋﻠﻴﻪ إﻻﺔ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﺖ ﺗٌﻄﻠﺐ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ اﻟﻓﺎﻟﺸﻔﺎﻋﺔ اﻟﻤﻨﻔﻴ ﻢونَ ﻫﺮﺎﻓْاﻟﺔٌ و ﺷَﻔَﺎﻋ ﺧُﻠﱠﺔٌ و وﻴﻪ ﻓﻊﻴ ﺑ مﻮ ﻳﺗﺎنْ ﻳ اﻞ ﻗَﺒﻦ ﻣﻢزَﻗْﻨَﺎﻛﺎ رﻤﻘُﻮا ﻣﻧﻔﻨُﻮا ا آﻣاﻟﱠﺬِﻳﻦ . [254:ﻮنَ{ ]اﻟﺒﻘﺮةﻤاﻟﻈﱠﺎﻟ ﻗﻮﻟﻪﻪ اﻟ ﻣﻦ رﺿ: واﻟﻤﺸﻔﻮع ﻟﻪ، ﺑﺎﻟﺸﻔﺎﻋﺔمﺮ واﻟﺸّﺎﻓﻊ ﻣ،ﻪ ﺗُﻄﻠﺐ ﻣﻦ اﻟ اﻟﺘ:ﺘﺔ ﻫواﻟﺸﻔﺎﻋﺔ اﻟﻤﺜﺒ 255:{ ]اﻟﺒﻘﺮةﻪذْﻧ ﺑِﺎ اﻨْﺪَه ﻋﺸْﻔَﻊ ذَا اﻟﱠﺬِي ﻳﻦ }ﻣ:‐ ]وﻋﻤﻠﻪ ﺑﻌﺪ اﻹذن ﻛﻤﺎ ﻗﺎل ‐ﺗﻌﺎﻟ. Kaedah Kedua: Mereka berkata: “Kami tidak berdo’a kepada mereka (orangorang shalih yang telah meninggal) dan mengharap kepada mereka kecuali agar kami bisa dekat dengan Allah dan agar mereka bisa memberikan syafa’at kepada kami.” Dalil (bahwa tujuan mereka) untuk mendekatkan diri ialah firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. AzZumar:3)
Dan dalil (bahwa tujuan mereka) untuk (meminta) syafa’at ialah firman Allah Ta’ala, “Mereka menyembah tuhan-tuhan dari selain Allah yang tidak dapat memberikan musibah dan mendatangkan manfaat kepada mereka. Dan mereka berkata, mereka ini adalah para pemberi syafa’at kami di sini Allah.” ( Yunus:18) Syafa’at terbagi menjadi dua: Syafa’at Manfiyyah yaitu syafa’at yang diminta dari selain Allah dalam hal yang tidak dimampui kecuali Allah. Dalilnya ialah firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah:256) Dan syafa’at mutsbatah yaitu syafa’at yang diminta dari Allah. Pemberi syafa’at dimuliakan dengan syafa’at tersebut, dan yang diberi syafa’at adalah orang yang diridhai Allah baik ucapan dan perbuatannya setelah mendapat izin (dari Allah). Sebagaimana firman Allah Ta’aa, “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah:255) Faedah: Sesungguhnya kaum musyrikin yang telah dijamin kekal di dalam neraka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala hanyalah menyekutukan Allah dalam tauhid uluhiyyah bukan tauhid rububiyyah. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bisa menciptakan dan memberi rejeki bersama Allah. Mereka juga tidak pernah meyakini bahwa tuhantuhan mereka dapat memberi manfaat atau menolak musibah dan mengatur alam semesta bersama Allah. Kaum musyrikin menyembah tuhan-tuhan mereka dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Agar tuhan-tuhan tersebut yang merupakan orang shalih dapat memberikan syafa’at bagi mereka. Hal ini sebagaimana yang Allah nyatakan, “Mereka menyembah tuhan-tuhan dari selain Allah yang tidak dapat memberikan musibah dan mendatangkan manfaat kepada mereka. Dan mereka berkata, mereka ini adalah para pemberi syafa’at kami di sini Allah.” ( Yunus:18) Dan maksud pemberi syafa’at di sini ialah, penengah yang akan menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah. Kaum musyrikin ketika memberikan sesajian berupa sembelihan, atau
ketika bernazar bukan dikarenakan mereka meyakini bahwa tuhan-tuhan tersebut dapat menciptakan dan mengatur alam semesta, tapi karena semata-mata tuhan tersebut yang menyampaikan kebutuhan mereka kepada Allah dan memberi syafa’at bagi mereka. Oleh karena itu ketika anda mencoba berdiskusi dengan Kuburiyyun, mereka pasti akan menjawab dengan jawaban yang persis seperti di atas, “Aku tahu bahwa orang shalih ini tidak dapat memberi manfaat dan mudharat. Akan tetapi dia adalah orang shalih, dan aku hanya ingin agar ia memberikan syafa’at bagiku.” Syafa’at ada yang benar dan ada yang bathil. Syafa’at yang benar ialah yang terpenuhi dua syarat: Pertama: Harus seijin Allah. Kedua: Yang diberi syafa’at adalah orang-orang yang bertauhid, maksudnya orang bertauhid yang berbuat maksiat . Jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi maka syafa’at tersebut adalah batil. Allah berfirman, {ﻪذْﻧ ﺑِﺎﻻ اﻨْﺪَه ﻋﺸْﻔَﻊﻦ ذَا اﻟﱠﺬِي ﻳ}ﻣ “Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. AlBaqarah:255) {ﺗَﻀ ارﻦﻤ ﻟﻮنَ اﺸْﻔَﻌ ﻳ}و “Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiyah:28) Orang-orang kafir dan musyrikin tidak bermanfaat bagi mereka syafa’atnya para pemberi syafa’at. Allah berfirman, “Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya.” ( Ghafir: 18) Mereka hanya mendengar tentang syafa’at tanpa memahami maknanya. Dengan santainya mereka meminta syafa’at dari orang-orang yang telah meninggal tanpa seijin Allah. Parahnya, sebagian orang yang mereka
mintai syafa’at adalah musyrik (pelaku kesyirikan, bukan orang shalih). Syafa’at ada dua: Pertama: Syafa’at Manfiyyah (Syafa’at yang ditiadakan), yaitu syafa’at tanpa seijin Allah atau ditujukan kepada orang musyrik. Tidak ada orang yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah kecuali yang diberi izin. Sebagai makhluk termulia sekaligus penutup para Nabi yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika hendak memberi syafa’at kepada manusia di padang mahsyar pada hari kiamat, beliau terlebih dahulu bersujud di hadapan Allah sembari berdo’a dan memuji-Nya. Beliau tidak henti-hentinya bersujud hingga dikatakan kepada beliau, “Angkat kepalamu, bicaralah engkau akan didengar, berilah syafa’at engkau akan diizinkan memberi syafa’at.” Kedua: Syafa’at Mutsbatah (Syafa’at yang ditetapkan), yaitu syafa’at setelah izin dari Allah dan diperuntukkan bagi ahli tauhid.
Petikan Faedah dari Syarah AlQowa’idul Arba’ Syaikh Shalih AlFauzan, Bag-1 PETIKAN FAEDAH DARI SYARAH AL-QOWA’IDUL ARBA’ Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafizhahullahu Ta’ala ‐ ﻪون ﺑﺄنّ اﻟﺮﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‐ ﻣﻘ اﻟﻪ ‐ﺻﻠﻔّﺎر اﻟﺬﻳﻦ ﻗﺎﺗﻠﻬﻢ رﺳﻮل اﻟ أن ﺗﻌﻠﻢ أنّ اﻟ:اﻟﻘﺎﻋﺪة اﻷوﻟ ﻦ ﻣﻢُزُﻗﺮ ﻳﻦ ﻣ }ﻗُﻞ: ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟ: واﻟﺪﻟﻴﻞ، اﻹﺳﻼمﻠْﻬﻢ ﻓﺪْﺧ وأنّ ذﻟﻚ ﻟﻢ ﻳ،ِﺮﻖ اﻟﻤﺪﺑﺗﻌﺎل‐ ﻫﻮ اﻟﺨﺎﻟ ﻦﻣ و اﻟْﺤﻦ ﻣِﺖﻴ اﻟْﻤﺨْﺮِجﻳِﺖِ وﻴ اﻟْﻤﻦ ﻣ اﻟْﺤﺨْﺮِج ﻳﻦﻣ وﺎرﺼﺑا وﻊﻤﻚُ اﻟﺴﻠﻤ ﻳﻦﻣضِ ارا وﺎءﻤاﻟﺴ 31: ﺗَﺘﱠﻘُﻮنَ{ ]ﻳﻮﻧﺲََﻓ ا ﻓَﻘُﻞﻪﻘُﻮﻟُﻮنَ اﻟﻴ ﻓَﺴﺮﻣ اِﺮﺪَﺑ]ﻳ
Kaedah Pertama: Hendaknya engkau mengetahui, bahwasanya orangorang kafir yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mereka mengakui bahwasanya Allah adalah Pencipta dan Pengatur (alam semesta). Dan bahwasanya hal tersebut tidak dapat memasukkan mereka ke dalam Islam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus:31) FAEDAH: Bahwasanya mengakui tauhid Rububiyah semata tidak lantas memasukkan seseorang ke dalam Islam. Karena dahulu orang-orang yang diperangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengakui tauhid Rububiyyah. Tapi nyatanya tidak memasukkan mereka ke dalam Islam, dan tidak membuat darah mereka haram ditumpahkan. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya tauhid dan syirik tidak hanya pada Rububiyah saja. Bahkan tidak ada yang menyekutukan Allah dalam perkara Rububiyyah kecuali segelintir manusia. Seluruh umat mengakui tauhid Rububiyah. Tauhid Rububiyyah yang dimaksud di sini ialah, “Mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Pemberi rejeki, Menghidupkan dan Mematikan, dan Mengatur seluruh makhluk.” Hampir tidak didapati seorang pun yang meyakini adanya Pencipta, Pemberi Rejeki, dan Pengatur seluruh Makhluk bersama Allah. Bahkan kaum musyrikin yang diperangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sekalipun mengakui hal ini. Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang para Rasul diutus dengannya bukanlah tauhid rububiyyah. Hanya meyakini tauhid rububiyyah tidak akan bermanfaat bagi pelakunya. Karena kaum musyrikin dahulu juga mengakuinya, tapi tidak dapat mengeluarkan mereka dari kekufuran dan memasukkan ke dalam Islam. Kesalahan besar ketika memaknakan tauhid hanya dalam hal rububiyah. Sebagaimana dilakukan oleh ulama’ ahli kalam di dalam kitab-kitab mereka. barangsiapa yang meyakini hal ini, maka ia akan senantiasa
berada di atas keyakinannya Abu Jahal dan Abu Lahab. Barangsiapa mengatakan, “Bahwasanya kesyirikan ialah ketika seseorang meyakini ada Pencipta dan Pemberi rejeki lain bersama Allah.” Maka ia sama dengan Abu Jahal dan Abu Lahab. Diringkas Oleh: Admin Warisan Salaf Insya Allah akan bersambung kepada Qo’idah Kedua.
HAKEKAT ILMU SYAR’I DAN PEMAHAMAN MANUSIA YANG KELIRU TENTANGNYA (SYAIKH ALI NASHIR AL-FAQIHI) Bismillahirrahmanirrahim. Sekelumit tentang Asy-Syaikh Ali Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala: Beliau adalah Asy-Syaikh Ali bin Muhammad bin Nashir Al-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala. Dilahirkan di Desa Al-Minjaroh, salah satu Desa di Kota Jazan (Saudi bagian selatan) pada tahun 1354 Hijriyah. Di Desa tersebut beliau tumbuh dan menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Tsanawiyah (di Indonesia, SMA). Dan melanjutkan hingga berhasil mendapatkan gelar Doktoral di Universitas Al-Malik Abdul ‘Aziz pada jurusan Syari’ah bagian Aqidah. Beliau belajar kepada beberapa ulama’ kibar, seperti Syaikh Abdullah Al-Qor’awi (penulis kitab Al-Jadid Syarah Kitab Tauhid), dan Syaikh Hafizh Al-Hakami (penulis kitab Ma’arijul Qabul). ====== Di dalam Syarah Ushul Sittah, ketika menjelaskan tentang Ilmu Syar’i dan
pemahaman manusia yang salah tentangnya, beliau mengatakan, Ilmu Syar’i adalah: Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits Nabi Dan yang teriwayatkan dari shahabat dengan riwayat yang shahih. Dan Ijma’ (kesepakatan ulama’) Dan Qiyas yang bersumber dari ushul di atas (yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi). Ini disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala, beliau menyatakan, “Inilah yang disebut ilmu.” AL-Fiqhu fid Dien Al-Fiqhu fid Diin (pemahaman ad-Diin). Ar-Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menyatakan, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah pasti akan dipahamkan tentang urusan agamanya.” Dan Ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Syafa’at (Siapakah orang yang paling beruntung dengan syafa’atmu wahai Rasul? Tanya Abu Hurairah), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Ahmad, ” ِﺪِﻳﺚ اﻟْﺤَﻠﻚَ ﻋﺻﺮ ﺣﻦ ﻣﺖﻳاﺎ رﻤ ﻟ،َﻨْﻚ ﻣلوﺪٌ اﺣﺪِﻳﺚِ اﺬَا اﻟْﺤ ﻫﻦ ﻋﻟَﻨﺎﺴ ﻳ ا،َةﺮﻳﺮﺎ ﻫﺑﺎ ا ﻳﻟَﻘَﺪْ ﻇَﻨَﻨْﺖ “Sungguh wahai Abu Hurairah, aku telah menduga bahwasanya tidak ada yang bertanya tentang hadits ini seorang pun sebelum engkau, karena aku melihat betapa semangatnya dirimu terhadap hadits.” Hadits yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah ilmu, karena hadits bila disebutkan secara mutlak maka maknanya adalah ilmu, yaitu ilmu Al-Qur’an dan ilmu sunnah. Jenis ilmu inilah yang pantas untuk dinamakan dengan ilmu. Adapun ilmu dunia yang mana manusia mengambil manfaat darinya dalam hidupnya juga dinamakan ilmu, tapi selalu disebutkan dengan keterangan (yakni bukan ilmu mutlak), seperti ilmu kedokteran, ilmu tehnik, dan semua jenis ilmu ini selalu dikaitkan dengan sifatnya. Sedangkan ilmu mutlak (yakni tanpa penyandaran) adalah kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwasanya manusia pada masa-masa belakangan ini telah berpaling dari makna ini, dimana mereka memaknakan ilmu dan al-fiqhu sebagai ucapan manusia. Dan mereka sudah tidak lagi merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan mengadakan beragam kebid’ahan yang bukan bagian dari agama. Anehnya yang seperti ini justru mereka anggap sebagai ilmu. Parahnya lagi, sebagian mereka, yakni dedengkot ahli khurafat sampai mengatakan kepada Ahlussunnah yang selalu berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, “Kalian mengambil ilmu kalian dari orangorang yang sudah meninggal, sedangkan kami mengambilnya langsung dari yang masih hidup.” (maksud mereka) mengambil ilmu dari orang-orang yang sudah meninggal adalah, dari ulama’ fulan, dari ulama’ fulan, dari ulama fulan, sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan mereka mengaku mengambil ilmu langsung dari Al-Lauhul Mahfuzh. Tentu saja makna ini adalah mereka meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ilmu Syar’i dan hakekat ilmu yang diambil faedahnya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan yang diriwayatkan dari Shahabat Radhiallahu ‘anhum. ===== Demikian Faedah Ringkas yang kami sarikan dari Penjelasan Al-Ushul AsSittah, pertemuan ke empat, oleh Asy-Syaikh Ali bin Nashir AL-Faqihi Hafizhahullahu Ta’ala. Admin Warisan Salaf
HUKUM SEPUTAR NAZAR (Bersama Syaikh Ubaid Al-Jabiri) Berikut kami ringkaskan hukum seputar nazar yang dijelaskan oleh Syaikh Ubaid Al-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala dalam Syarah Tsalatsatul Ushul:
Pembahasan tentang Nazar meliputi 3 hal: 1. Defenisinya 2. Hukumnya 3. Syarat-syaratnya
Defenisinya adalah: Secara bahasa: al-ilzam (mengharuskan/mewajibkan) Secara istilah: Seorang mukallaf mengilzamkan dirinya melakukan ibadah yang pada dasarnya tidak wajib baginya.
HUKUM NAZAR: Hukum nazar terbagi dua: 1. Nazar Syar’i (Nazar yang ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala) 2. Nazar Syirik (Nazar yang ditujukan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala) Nazar Syar’i terbagi menjadi dua: 1. Munajaz (mutlak) 2. Mu’allaq Nazar Munnajaz atau mutlak adalah nazar yang tidak terikat dengan sesuatu apapun, contohnya: “Wajib bagiku untuk umrah pada tahun ini.” Atau “Wajib bagiku mensedekahkan seribu dinar”. Nazar Mu’allaq adalah nazar yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Contohnya seseorang mengatakan, “Jika Allah menyembuhkan penyakitku maka aku akan berpuasa ini dan itu” atau “Jika Allah mengembalikan barangku yang hilang maka aku akan bersedekah demikian.” Atau “Jika aku berhasil dalam ujian ini maka aku akan mengadakan pesta.”
FAEDAH: Sebagian ahlul ilmi berpendapat bahwasanya hukum bernazar adalah haram. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya Nazar tidak datang dengan kebaikan. Dan ia (nazar) tidaklah dikeluarkan melainkan dari orang yang bakhil.” Mereka (yakni ahlul ilmi) menyatakan, ini adalah celaan (dzam). Dan celaan dalam perbuatan merupakan bentuk larangan far’iyah. Sedangkan hukum asal pelarangan ( )ﻧﻬadalah haram.” Tapi yang benar, bahwasanya nazar tidak haram, akan tetapi lebih utama ditinggalkan. Barangsiapa yang terlanjur bernazar maka harus dilaksanakan dengan ketentuan syarat-syarat yang akan disebutkan.
SYARAT-SYARAT NAZAR Syarat-syarat Nazar secara global: 1. Taklif (yakni mukallaf mencakup sudah baligh dan berakal) 2. Nazar keta’atan 3. Yang diNazarkan adalah miliknya. 4. Yang Dinazarkan Memungkinkan untuk Diterapkan (khusus nazar mu’allaq). 5. Mampu melaksanakan.
Permasalahan Penting: Bila seseorang tidak melaksanakan nazar keta’atan, maka dia harus membayar kaffaroh. Dan kaffarohnya seperti kaffarotul yamin (kaffaroh sumpah). Yaitu: Memberi makan 10 orang miskin atau memberi pakaian. Membebaskan budak mukmin Kalau tidak mampu maka berpuasa 3 hari.
Adapun nazar maksiat, maka pendapat yang shahih menurut kami (yakni Syaikh Ubaid) bila seseorang tidak melaksanakan Nazar maksiat tidak membayar kaffaroh.
TAMBAHAN FAEDAH: Firman Allah Ta’ala: اﻴﺮﺘَﻄﺴ ﻣهﺎنَ ﺷَﺮﺎ ﻛﻣﻮﺨَﺎﻓُﻮنَ ﻳﻳﻮﻓُﻮنَ ﺑِﺎﻟﻨﱠﺬْرِ وﻳ “Mereka menunaikan Nazar dan (mereka) takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (QS. Al-Insaan:7) Ayat ini menunjukkan bahwasanya nazar tidak haram. Bentuk pendalilannya adalah, konteks ayat ini sebagai pujian bagi orang-orang yang baik. Ayat sebelumnya adalah: 6) اﺎ ﺗَﻔْﺠِﻴﺮوﻧَﻬِﺮﻔَﺠ ﻳﻪ اﻟﺎدﺒﺎ ﻋ ﺑِﻬبﺸْﺮﻨًﺎ ﻳﻴ( ﻋ5) اﺎﻓُﻮرﺎ ﻛﻬاﺟﺰﺎنَ ﻣسٍ ﻛﺎ ﻛﻦﻮنَ ﻣﺑﺸْﺮ ﻳارﺮﺑنﱠ ا)ا “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (5) (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.” Ayat ini dalam konteks pujian atau celaan? Dalam konteks pujian. Berarti ayat ini sebagai dalil bahwasanya nazar tidak haram, dan menunaikan nazar keta’atan merupakan sifatnya orang-orang yang berbuat kebaikan (al-abror).
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang melakukan kebaikan.
Disarikan dari Durus Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Ubaid AL-Jabiri Hafizhahullahu Ta’ala.
Admin Warisan Salaf
Adab di Masjid 2: Masuk Menggunakan Kaki Kanan Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para shahabatnya ketika masuk masjid ialah mendahulukan kaki kanan. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, ىﺮﺴﻚَ اﻟْﻴﻠ ﺑِﺮِﺟﺪَانْ ﺗَﺒ اﺖﺟذَا ﺧَﺮا وَﻨﻤﻚَ اﻟْﻴﻠ ﺑِﺮِﺟﺪَانْ ﺗَﺒﺠِﺪَ اﺴ اﻟْﻤﺧَﻠْﺖذَا د اﻨﱠﺔ اﻟﺴﻦ ﻣ. “Termasuk sunnah (Nabi[1]), apabila kamu masuk masjid agar mendahulukan kaki kananmu, dan apabila keluar agar mendahulukan kaki kirimu.” [2] ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata, “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam suka mendahulukan bagian yang kanan[3] ketika bersuci, menyisir rambut, dan memakai sandal.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwasanya perbuatan-perbuatan yang mengandung kehormatan atau memiliki kemuliaan sebaiknya dimulai dengan (bagian yang) sebelah kanan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, bersiwak, bercelak, dan yang lainnya.[5] Diriwayatkan juga dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan kaki kiri ketika keluar. ================ [1] Diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah bahwa ucapan Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, “Termasuk sunnah” adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Fathul Baari, 2/146) [2]HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi,dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani,lihat AshShahihah, no.2478, Lihat pula Al-Irwa’ hal.132, dalam Ats-Tsamar hal.601
beliau berkata: ‘Maka hadits ini adalah hadits hasan, Insya Allah Ta’ala.’.” [3]Yaitu melakukan sesuatu dengan tangan kanan, kaki kanan, dan tubuh bagian kanan. (Syarah Nawawi) [4]HR. Al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah [5]Syarhu An-Nawawi ’ala Muslim (3/160)
ADMIN WARISAN SALAF
Adab Di Masjid 1: Membaca Do’a Masuk Masjid Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah.. Kita tahu bahwa setiap muslim pasti dalam kesehariannya selalu berinteraksi dengan Masjid. Setidaknya 5 Kali dalam sehari ia melangkahkan kakinya menuju masjid. Tentu kita tahu bahwa masjid adalah Rumah Allah; tempat yang paling afdhal di muka bumi. Tempat kaum mukminin beribadah kepada Allah. Kalau saja, seseorang tidak boleh berbuat sembarangan saat berkunjung ke rumah orang lain, walaupun itu rumah kerabatnya sendiri. Maka barang tentu Rumah Allah lebih berhak untuk dijaga hak-haknya. Tapi sangat disesalkan ketika masih banyak kaum muslimin yang belum paham hak-hak yang harus dia lakukan ketika berada di masjid, sehingga tak jarang berbagai pelanggaran mereka lakukan. Mengingat pentingnya permasalahan ini, maka kami berupaya berturut serta mencurahkan usaha yang kami miliki dengan menjelaskan adab-adab ketika seorang muslim berada di masjid. Semoga usaha kami ini diberi balasan
kebaikan yang berlipat di sisi Al-Maula Azza wa Jalla. Pembahasan ini akan terus berlanjut, setiap pembahasan kami cukupkan satu Bab Permasalahan. =============
Membaca Do’a Masuk Masjid Membaca do’a sebelum masuk masjid adalah Sunnah. Adapun lafazh do’any ialah sebagai berikut:
َﻚﺘﻤﺣ رابﻮﺑ ا ﻟ اﻓْﺘَﺢﻢاﻟﻠﱠﻬ Allahummaftahli Abwaba Rohmatika “Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” [1]
Boleh juga membaca do’a yang lebih panjang seperti berikut,
ِﻄَﺎن اﻟﺸﱠﻴﻦ ﻣ، اﻟْﻘَﺪِﻳﻢﻪﻠْﻄَﺎﻧﺳ و،ﺮِﻳﻢْ اﻟﻬِﻪﺟﺑِﻮ و،ﻴﻢﻈ اﻟْﻌﻪﻮذُ ﺑِﺎﻟﻋا ابﻮﺑ ا ﻟ اﻓْﺘَﺢﻢ اﻟﻠﱠﻬ،ٍﺪﻤﺤ ﻣَﻠ ﻋﻢّﻠﺳ وﻞ ﺻﻢ اﻟﻠﱠﻬﻪ اﻟﻢ ﺑِﺴ،ﺟِﻴﻢاﻟﺮ َﻚﺘﻤﺣر ِﻄَﺎن اﻟﺸﱠﻴﻦ ﻣ اﻟْﻘَﺪِﻳﻢﻪﻠْﻄَﺎﻧﺳ وﺮِﻳﻢْ اﻟﻬِﻪﺟﺑِﻮ وﻴﻢﻈ اﻟْﻌﻪﻮذُ ﺑِﺎﻟﻋا ابﻮﺑ ا ﻟ اﻓْﺘَﺢﻢ اﻟﻠﱠﻬ،ٍﺪﻤﺤﻣَﻠﻋﻢّﻠﺳوﻞﺻﻢاﻟﻠﱠﻬ،ﻪاﻟﻢ ﺑِﺴ،ﺟِﻴﻢاﻟﺮ َﻚﺘﻤﺣر “A’Udzu billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaf ftahlii abwaba rahmatika (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-
Nya Yang Mulia, dan kekuasaan-Nya yang kekal dari (gangguan) syaithan yang terlaknat. Dengan menyebut Nama Allah. Ya Allah, shalawat dan salam curahkanlah kepada Muhammad. Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu).” [2] Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Tempat ke delapan dari tempat-tempat (yang disyari’atkan) bershalawat kepada Nabi e adalah ketika akan masuk masjid dan ketika akan keluar darinya.” [3] ============= [1]Dari Shahabat Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari –Semoga Allah meridhai keduanya-, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda, ”Apabila salah seorang kalian hendak masuk masjid maka bacalah, ”Allahummaftahli Abwaba Rohmatika (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. Muslim no. 713) [2] Dalil-dalil untuk gabungan do’a di atas adalah: Dalil Isti’adzah:Abdullah bin Amr bin ‘Ash menuturkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila masuk masjid mengucapkan: “A’Udzu billahil ‘adzim wa biwajhihil karim wa sulthonihil qadim minasy syaithanir rajim. Bismillah. Allahumma shalli wa sallim ‘ala Muhammad. Allahummaf ftahlii abwaba rahmatika (Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dan (berlindung) dengan wajah-Nya Yang Mulia, dan kekuasaanNya yang kekal dari (gangguan) syaithan yang terlaknat.” Beliau r bersabda: “Apabila seseorang membacanya, syaithan berkata, ‘dia telah dijaga dariku sepanjang hari ini.” (HR. Abu Daud no.466, dishahihkan oleh Asy-Syaikh AlAlbani dalam Al-Misykah no.749, Shahih wa Dha’if Sunan Abi Daud no.466, dan Ats-Tsamarul Mustathob hal.603) Dalil Shalawat dan Salam, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu, Nabi e jika masuk masjid mengucapkan, “Bismillah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad,” dan apabila keluar mengucapkan, “Bismillah, allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam atas Muhammad).” Makna serupa juga diriwayatkan dari Fathimah, Abu Hurairah, Abu Humaid dan Abu Usaid Al-Anshari. (Lihat Ats-Tsamarul Mustathob hal 604-609) [3] Dinukil dari ‘Aunul Ma’bud(2/93)
===================== Admin Warisan Salaf
Menelisik Berbagai Tradisi di Bulan Muharram Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram dalam Islam, bulan ini berada pada urutan pertama penanggalan hijriyah sejak diresmikan oleh Khalifah Umar bin KhattabRadhiallahu ‘anhu. Pada mulanya, terjadi silang pendapat di antara para shahabat dalam menentukan awal masuk kalender Islam, dengan bulan apa dimulai? Sebagian mereka mengusulkan dimulai dengan bulan Rabi’ul Awwal, sebagian lagi mengusulkan dengan bulan Ramadhan. Namun, Khalifah Umar dan sejumlah shahabat lainnya lebih memilih bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam kalender Islam, dengan alasan bahwa di bulan inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membulatkan tekadnya untuk berhijrah ke negeri Madinah. Oleh karena itu, penanggalan Umar ini disebut penanggalan hijriyyah. (Al-Bidayah wa An-Nihayah) Bulan Muharram Menurut Islam Muharram termasuk salah satu dari empat bulan suci dalam Islam yang tersebut dalam Al-Qur’an, مﺮﺔٌ ﺣﻌﺑرﺎ اﻨْﻬ ﻣضراﻻاتِ وﺎوﻤ اﻟﺴ ﺧَﻠَﻖمﻮ ﻳﻪﺘَﺎبِ اﻟ ﻛا ﻓﺮ ﺷَﻬﺸَﺮ اﺛْﻨَﺎﻋﻪﻨْﺪَاﻟﻮرِﻋﺪﱠةَاﻟﺸﱡﻬنﱠ ﻋا “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.” (QS. At-Taubah: 36) Keempat bulan itu adalah: Muharram, Rajab, Dzulqo’dah, dan Dzulhijjah, sebagaimana yang dideklarasikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam pada saat haji perpisahan. Disebut bulan haram karena ia mengandung kemuliaan lebih (dari bulan-bulan lainnya) dan karena pada bulan-bulan ini diharamkan untuk berperang. (Tafsir As-Sa’di, hal.192) Cukuplah menunjukkan kemuliaan bulan Muharram ini ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjulukinya sebagai bulan Allah, beliau bersabda, “… yaitu bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982) Kata para ulama’, segala sesuatu yang disandarkan kepada Allah itu memiliki kemuliaan lebih dari yang tidak disandarkan kepada-Nya, seperti baitullah (rumah Allah), rasulullah (utusan Allah), dll. Dalam Islam, bulan Muharram memiliki nilai historis (sejarah) yang luar biasa; pada bulan ini, tepatnya pada tanggal sepuluh, Allah menyelamatkan Nabi Musa dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya serta menenggelamkan mereka di laut merah. Di bulan ini juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertekad kuat untuk berhijrah ke negeri Madinah, setelah mendengar bahwa penduduknya siap berjanji setia membela dakwah beliau. Walaupun tekad kuat beliau ini baru bisa terealisasi pada bulan Shafar. Selain itu, di bulan ini terdapat ibadah puasa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai puasa terbaik setelah Ramadhan, beliau bersabda: مﺮﺤ اﻟْﻤﻪ اﻟﺮﺎنَ ﺷَﻬﻀﻣﺪَ رﻌ ﺑﺎمﻴ اﻟﺼﻞﻓْﻀا “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah berpuasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim, no.1982 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Beliau ` juga bersabda ketika ditanya tentang keutamaannya: “Menghapuskan dosa-dosa tahun yang lalu.” (HR. Muslim, no.1977 dari shahabat Abu Qotadah Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu) Berkaitan dengan puasa Asyuro, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca kembali pada edisi sebelumnya.
Bulan Muharram Menurut Masyarakat Jawa Bagi masyarakat Jawa, bulan Muharram atau yang lebih dikenal dengan bulan suro memiliki nilai religi yang tinggi. Bulan ini dianggap sebagai bulan keramat yang tidak boleh dibuat pesta dan bersenang-senang, sehingga banyak aktivitas yang ditunda atau bahkan dibatalkan. Lebih dari itu, mereka meyakini siapa yang mengadakan hajatan pada bulan ini akan ditimpa musibah dan malapetaka. Sebagai contoh adalah pernikahan, masyarakat Jawa pada umumnya, enggan menikahkan putra atau putri mereka di bulan ini karena khawatir ditimpa petaka dan kesengsaraan bagi kedua mempelai. Ketika ditanya mengenai alasan mereka menilai bulan Muharram sebagai bulan keramat nan penuh pantangan, tidak ada Jawaban berarti dari mereka selain, ‘Beginilah tradisi kami’ atau‘Beginilah yang diajarkan bapak-bapak kami’. Para pembaca rahimakumullah, sikap mengikuti tradisi atau leluhur tanpa bimbingan Islam adalah terlarang, bahkan sikap seperti ini termasuk sifat orangorang jahiliyyah dan para pembangkang yang hidup jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Berkaitan dengan orang-orang Jahiliyyah, Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an menyebutkan Jawaban orang-orang Quraisy ketika diajak oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam untuk meninggalkan kesyirikan, kata mereka: َﺘَﺪُونﻬ ﻣﻢﺛَﺎرِﻫ اَﻠﻧﱠﺎ ﻋا وﺔﻣ اَﻠﻧَﺎ ﻋﺎءﺑﺪْﻧَﺎ اﺟﻧﱠﺎ وا “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 22) Demikian pula Fir’aun, ketika diajak oleh Nabi Musa ‘Alaihis Salam agar beriman kepada Allah, ia malah berkata: ﻧَﺎﺎءﺑ اﻪﻠَﻴﺪْﻧَﺎ ﻋﺟﺎ وﻤﺘَﻨَﺎ ﻋﺘَﻠْﻔﺘَﻨَﺎ ﻟﺟِﯩﻗَﺎﻟُﻮ اا “Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” (QS. Yunus: 78) Kemudian, anggapan sial untuk melakukan aktivitas di bulan Muharram yang diyakini oleh keumuman masyarakat Jawa saat ini dalam ajaran Islam
disebut Tathoyur atau Thiyaroh, yaitu meyakini suatu keburuntungan atau kesialan didasarkan pada kejadian tertentu, atau tempat tertentu. Anggapan seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman jahiliyah. Setelah Islam datang, maka ia dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus ditinggalkan. Allah berfirman: “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131) Dalil yang menunjukkan bahwa Thatoyur atau Thiyaroh termasuk kesyirikan adalah sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam:
كٌ ﺛَﻼﺛًﺎﺮةُ ﺷﺮﻴّكٌ اﻟﻄﺮةُ ﺷﺮﻴّاﻟﻄ “Thiyaroh adalah kesyirikan”, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘anhu) Apabila kita telah tahu bahwa anggapan sial atau keberuntungan seperti itu termasuk kesyirikan, kewajiban kita selanjutnya adalah menjauhinya dan menjauhkannya dari anak dan istri kita. Sehingga kita beserta keluarga kita tidak terjerembab kedalam kobangan dosa besar yang paling besar, yaitu dosa syirik. Bulan Muharram Menurut Syi’ah Berbeda halnya dengan orang-orang syi’ah, apabila keumuman masyarakat Jawa menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pantangan untuk melakukan aktivitas tertentu, justru orang-orang syi’ah menjadikannya sebagai hari berkabung. Pada setiap tanggal 10 Muharram, orang-orang syi’ah di Iran mengadakan pawai akbar untuk memperingati hari terbunuhnya cucu RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam, Husein bin Ali Radhiallahu ‘anhuma di padang Karbala. Acara rutin mereka tersebut dimulai sejak tanggal 1 sampai tanggal 10 Muharram. Pada tanggal 1 Muharram sampai tanggal 9 Muharram mereka mengadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju Al-Huseiniyah. AlHuseiniyah adalah tempat ibadah syi’ah, kalau kaum muslimin menyebutnya masjid, tetapi biasanya Al-Huseiniyyah digunakan untuk makam Imam, bukan untuk shalat, sedang shalat dilakukan di luar bangunan. Penamaan ini diambil dari nama Imam syi’ah ke 3, yaitu Al-Imam Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu. Peserta pawai hanya mengenakan celana atau sarung saja sedangkan badannya
terbuka. Selama pawai, mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga meninggalkan luka memar yang mencolok. Kemudian, pada acara puncak, mereka mengenakan kain berwarna putih dan ikat kepala berwarna putih pula. Setelah itu, mereka menghantamkan pedang, pisau, atau benda tajam lainnya ke kepala dan dahi mereka sehingga darah pun bercucuran. Darah yang mengalir ke kain putih membuat suasana semakin haru dan duka, bahkan tak sedikit di antara mereka yang menangis histeris. Demikianlah gambaran ringkas tentang aktivitas syi’ah di bulan Muharram. Seperti yang telah kami sebutkan, tujuan utama mereka adalah untuk mengenang terbunuhnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Para pembaca rahimakumullah, sebagai seorang muslim tentu kita juga sangat bersedih dengan peristiwa tragis nan menyayat hati yang menimpa cucu RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam itu. Namun, Islam melarang pemeluknya yang tertimpa musibah untuk berucap atau berbuat sesuatu yang menunjukkan ketidak-ridhaan kepada keputusan Allah, seperti, merobek baju, menampar pipi, menjambak rambut, menangis histeris, apalagi menyayat kepala dan dahi seperti yang dilakukan orang-orang syi’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan dari golongan kami barang siapa yang menampar pipi, menyobek baju, atau meratap dengan ratapan jahiliyah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu) Lebih dari itu, bagi wanita peratap yang mati dan belum bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan pakaian dari tembaga yang meleleh, sebagaimana dijelaskan RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam haditsnya yang diriwayatkan Al-Imam Muslim dari Abu Malik Al-Asy’ari Radhiallahu ‘anhu. Maka tahulah kita bahwa apa yang dilakukan orang-orang syi’ah tersebut bukan hanya tidak ada dasarnya dalam Islam, bahkan ia bertolak belakang dengan ajaran Islam. Lebih parah lagi, di Lahore, kota terbesar kedua di Pakistan, orang-orang syi’ah menutup acara mereka itu dengan ‘malam gembira’ berupa mut’ah (baca; zina) masal. Na’audzu billahi min dzalik.
Para pembaca rahimakumullah, peringatan 10 Muharram untuk mengenang terbunuhnya Imam Husein tidak hanya diadakan di Iran saja, tetapi juga di negara-negara lainnya, seperti India, Pakistan, Lebanon, dan juga Indonesia, hanya saja tata caranya berbeda. Di Indonesia, contohnya, sudah menjadi acara rutin tahunan bagi syi’ah mengadakan acara ini yang mereka istilahkan dengan arba’in-an, yaitu mengenang 40 hari syahidnya Imam Huseinradhiallahu ‘anhu. Yang paling ‘unik’ adalah yang dilakukan orang-orang syi’ah dari kota Lawang, Bondowoso, Situbondo, dan beberapa daerah lainnya beberapa tahun silam, mereka menyelenggarakan ritual tahunan itu di Gereja Berzicht di kota Lawang, Jawa Timur. La haula wala quwwata illa billah. Penutup Para pembaca rahimakumullah, itulah fenomena yang terjadi di tengah-tengah umat seputar perbedaan menyikapi bulan Muharram. Sebagai seorang muslim seharusnya kita bisa membedakan antara syari’at dan perkara adat. Tentunya Syari’at harus dikedepankan walaupun menyelisih adat. Sebaliknya, adat harus disingkirkan ketika menyelisihi syari’at, demikianlah Islam. Karena dengan sikap inilah Islam akan jaya. Adapun jika umat masih mengedepankan adat dan tradisi, walaupun bertentangan dengan syari’at, maka pada saat itulah mereka akan ditimpa kehinaan dan kerendahan. Inilah makna hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: ﺮِيﻣ ا ﺧَﺎﻟَﻒﻦ ﻣَﻠ ﻋﻐَﺎراﻟﺼ اﻟﺬِّﻟﱠﺔُ وﻞﻌﺟو “Dan dijadikan kerendahan dan kehinaan bagi siapa saja yang menentang syari’atku.” (HR. Al-Bukhari, dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma) Semoga tulisan ringkas ini bisa memberikan tambahan ilmu bagi saudarasaudaraku seiman dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Rabbal ‘alamin… Ditulis oleh Admin Warisan Salaf Untuk Buletin Al-Ilmu
Pentingnya Al-Ilhah (Merengek) Ketika Berdo’a Di antara adab penting di dalam berdo’a adalah mengulang-ulang hajat yang ia butuhkan atau merengek. Merengek merupakan salah satu sebab dikabulkannya do’a, karena itu pertanda bukti sangat butuhnya seseorang kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Imam Ibnu Majah meriwayatkan di dalam Sunan-nya sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, «ﻪﻠَﻴ ﻋﺐﻐْﻀ ﻳﻪلِ اﻟﺎﺴ ﻳ ﻟَﻢﻦ»ﻣ “Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah, Dia akan murka kepadanya.” Dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘annu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,”Janganlah kalian lemah di dalam berdo’a. Karena sesungguhnya tidak seorangpun akan binasa bersama do’a.” Al-Auza’i menyebutkan sebuah riwayat dari Az-Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang yang merengek dalam do’anya.” Di dalam kitab Az-Zuhd karya Al-Imam Ahmad, disebutkan sebuah Atsar dari Qotadah, dari Muwarriq, “Aku tidak mendapati permisalan yang tepat bagi seorang mukmin, kecuali ibarat seseorang yang berada di tengah lautan yang hanya berpegangan sebatang kayu. Lalu ia berdo’a, “Wahai Rabbku, Wahai Rabbku..” Ia berharap Allah akan menyelamatkannya.” Maksudnya adalah, seorang mukmin hidupnya di dunia dipenuhi dengan rasa butuh kepada Allah, ia selalu berdo’a dalam setiap kebutuhannya. Dan di dalam berdo’a dia seperti seorang yang berada di tengah lautan yang hanya berpegangan kepada sebatang kayu. Keadaan darurat tersebut membuat ia
sangat khusyu’ dan mengulang-ulang permintaannya. Sumber panduan: Al-Jawabul Kaafi (hal.11)
Ulasan Surat Al-Fatihah: Mewujudkan Ayat “IYYAKA NA’BUDU“ Dengan Empat Hukum (Ibnul Qoyyim) Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in adalah ayat ke lima dari surat Al-Fatihah. Setiap muslim yang taat pasti membacanya setiap hari, minimalnya 17 kali dalam shalat lima waktu. Ayat ke lima tersebut yang berbunyi,
إﻳﺎك ﻧﻌﺒﺪ وإﻳﺎك ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ artinya adalah, “Hanya kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah dan hanya kepada-Mu (ya Allah) kami memohon pertolongan.” Di dalam ayat di atas seorang muslim mengikrarkan diri sebagai hamba yang hanya beribadah serta memohon pertolongan kepada Allah dan tidak kepada selain-Nya. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, menjadi hamba yang benar-benar beribadah kepada Allah -seperti tersebut dalam ayat di atas- hanya akan terealisasi dengan empat perkara. Bila berhasil memenuhi keempatnya berarti dia masuk dalam golongan ayat tersebut. Tapi Jika ternyata tidak, berarti ikrar dia di dalam setiap raka’at shalatnya adalah fatamorgana. Ke empat perkara yang kami maksudkan adalah apa yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim di dalam kitabnya Madarijus Salikin. Di Jilid ke 1 halaman 120 beliau meletakkan sebuah Fasal yang sangat berharga. Dengan Fasal ini kita akan
benar-benar paham maksud yang terkandung dalam ayat tersebut. Beliau berkata, “Fasal: Membangun Iyyaka Na’budu di atas Empat Kaedah” Kata beliau, “Dan Iyyaka Na’budu “Hanya kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah” dibangun di atas empat kaedah, yaitu mengamalkan Perkaraperkara yang dicintai dan diridhai Allah dan Rasul-Nya, berupa: 1. Ucapan Lisan. 2. Dan (ucapan) hati. 3. Amalan hati, 4. Dan (amalan) anggota tubuh.” Inilah makna peribadahan yang sesungguhnya. Seorang muslim yang benar-benar mengaku hanya beribadah kepada Allah harus membuktikan dengan melaksanakan empat perkara di atas. Ibnul Qoyyim melanjutkan, “Al-‘Ubudiyyah adalah semua nama yang mencakup empat tingkatan ini. Maka orang-orang yang mengucapkan Iyyaka Na’budu ( ) إﻳﺎك ﺗﻌﺒﺪyang sesungguhnya ialah yang merealisasikannya (yakni mangamalkan empat kaedah tersebut,pen).” Kemudian Ibnul Qoyyim mulai merinci makna dari empat perkara tersebut: “Maka (yang dimaksud) ucapan hati ialah, meyakini (dengan sesungguhnya) berita-berita yang telah Allah sampaikan melalui lisan Rasul-Nya terkait tentang diri-Nya, nama dan sifat-sifat-Nya, malaikatmalaikat dan pertemuan dengan-Nya.” “Sedangkan ucapan lisan ialah, menyebarkan berita-berita tersebut, mendakwahkannya, membelanya, dan menjelaskan batilnya kebid’ahan yang menyelisihinya, serta selalu berdzikir kepada-Nya, dan menyampaikan perintah-perintah-Nya.” Adapun amalan hati ialah, seperti rasa cinta kepada-Nya, hanya bertawakkal kepada-Nya, kembali (taubat) kepada-Nya, takut dan berharap hanya kepada-Nya, ikhlas dalam beragama, bersabar di dalam melakukan perintah-perintah-Nya, dan (bersabar) dari (menjauhi) larangan-larangan-Nya, dan (bersabar) di dalam menjalani ketentuan
(takdir)Nya, ridho terhadap takdir yang baik dan yang jelek, menumbuhkan kecintaan karena-Nya dan bermusuhan karena-Nya pula, merendahkan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya, ikhbat kepadaNya, thuma’ninah kepada-Nya, dan amalan-amalan hati lainnya yang mana amalan hati yang fardhu lebih fardhu dari amalan anggota tubuh, dan amalan mustahabnya lebih dicintai Allah ketimbang amalan mustahab anggota tubuh, karena amalan anggota tubuh tanpa disertai amalan hati bisa jadi tidak bermanfaat atau ada manfaatnya tapi sedikit. Dan amalan anggota tubuh ialah, seperti shalat, jihad, mengayunkan langkah menuju shalat jum’at dan (shalat) jama’ah, menolong orang yang lemah, berbuat baik kepada sesama, dan selain itu. Berarti, seorang yang mengikrarkan diri “hanya beribadah kepada Allah” tapi tidak mau beriman kepada berita-berita yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits nabi, baik menolaknya secara langsung atau dengan alasan-alasan tertentu, seperti menolak Nama atau sifat Allah dengan alasan Allah tidak sama dengan makhluknya, atau memusuhi orang-orang yang mendakwahkan kebenaran, atau perkara-perkara lain yang telah disebutkan Ibnul Qoyim di atas menunjukkan bahwa orang itu tidak jujur dalam ikrarnya. Dan itu juga menunjukkan bahwa dia masih beribadah kepada selain Allah, dalam hal ini beribadah (tunduk dan patuh) kepada hawa nafsu, guru, atau kepada syaithan.. Kemudian Ibnul Qoyyim menutup penjelasannya, “Maka IYYAKA NA’BUDU merupakan keharusan (mengamalkan) empat hukum ini dan meyakininya.”
Lihat Madarijus Salikin (1/121) Admin Warisan Salaf ———–
Begini Caranya Agar Terhindar dari Bisikan Syaithan (Syaikh Abdul Aziz bin Baaz) Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya, “Do’a apa yang bisa dibaca oleh seseorang agar terhindar dari bisikan Syaithan?” Beliau menjawab, “Seseorang dapat berdo’a dengan do’a-do’a yang Allah mudahkan baginya (seperti), “Ya Allah lindungi aku dari syaithan” “ya Allah selamatkan aku dari syaithan” “ya Allah jagalah aku dari syaithan” “ya Allah bantulah aku untuk berdzikir mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah kepada-Mu dengan ibadah yang bagus” “ya Allah jaga diriku dari tipu daya musuhmu yaitu syaithan” Dan hendaknya ia memperbanyak berdzikir mengingat Allah, memperbanyak bacaan Al-Qur’an, dan berlindung kepada Allah ketika mendapati bisikan syaithan. Apabila mendapati bisikan (syaithan) hendaknya ia berlindung kepada Allah dari (gangguan) syaithan yang terkutuk. Walaupun itu terjadi di dalam shalat. Apabila (bisikan dari syaithan) mengalahkannya hendaknya ia meniup (disertai semburan ludah) ke arah kirinya (sebanyak) tiga kali dan berlindung kepada Allah dari (godaan) syaithan tiga kali pula. Telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya shahabat Utsman bin Abil ‘Ash Ats-Tsaqofi Radhiallahu ‘anhu mengeluhkan kepada Nabi apa yang ia dapati dari gangguan syaithan di dalam shalatnya. Maka beliau memerintahkannya agar meniup (disertai semburan ludah) ke arah kirinya (sebanyak) tiga kali dan berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan, dan itu dilakukan ketika shalat. Lantas beliapun melaksanakan hal itu dan hilanglah
gangguan tersebut dari dirinya.” (HR. Muslim no.2203) Alhasil, bila seorang mukmin dan mukminah diuji dengan perkara ini hendaknya ia bersungguh-sungguh memohon keselamatan kepada Allah, dan banyak berlindung kepada Allah dari godaan Syaithan, dan bersungguh-sungguh memeranginya jangan sampai merasa tenang dengannya di dalam shalat atau di selainnya. Jika ia sudah berwudhu’ maka yakinlah kalau sudah berwudhu’, jangan sampai mengulangi wudhu’nya (karena bisikan syaithan). Jika ia sudah shalat maka yakinlah kalau sudah shalat, dan jangan sampai mengulangi shalatnya (karena bisikan syaithan). Jika ia sudah bertakbir maka yakinlah kalau sudah bertakbir dan jangan sampai mengulangi takbirnya dalam rangka menyelisihi (bisikan) musuh Allah (yaitu syaithan) dan (dalam rangka) memeranginya. Demikian seharusnya setiap mukmin untuk selalu menjadi musuh yang siap memerangi dan melawan syaithan, dan tidak pernah tunduk kepada (bisikanbisikan)nya. Apabila syaithan membisikkan kepadamu bahwa dirimu belum berwudhu’ atau belum shalat, padahal engkau yakin sudah berwudhu’ dan sudah shalat, dan engkau masih melihat tanganmu basah (karena air wudhu’) yang dengannya engkau yakin telah shalat maka jangan sampai engkau mengikuti (bisikan) musuh Allah tersebut. Yakinlah bahwa engkau sudah berwudhu’ dan jangan mengulanginya. Berlindunglah kepada Allah dari musuh Allah tersebut yaitu syaithan. Demikian seharusnya seorang mukmin, ia harus kuat dalam memerangi dan melawan musuh Allah, agar tidak dikuasai dan disakiti (oleh syaithan). Karena ketika syaithan berhasil menguasai seseorang, maka orang itu akan dipermainkan hingga seperti orang gila. Maka kewajiban seorang mukmin dan mukminah adalah waspada dari musuh Allah dan berlindung kepada Allah dari kejahatan dan tipu dayanya. Dan agar selalu kuat dan sabar (di dalam menghadapinya), agar tidak mentaatinya untuk mengulangi shalat, atau mengulangi wudhu’, atau mengulangi takbir, atau yang lainnya.
Demikian juga bila ia berkata kepadamu, “bajumu najis” atau “tempat ini najis” atau “kamar mandi ini najis” atau “tanah yang engkau injak najis” atau “tempat shalatmu ini demikian” maka jangan sampai engkau mengikuti (bisikannya). Telah dusta musuh Allah tersebut. Berlindunglah kepada Allah dari kejahatannya, dan shalatlah di tempat yang biasa engkau shalat, dan (sujudlah) di atas sejadah yang biasa engkau gunakan untuk shalat, dan di tanah yang biasa engkau injak dan engkau tahu kesuciannya, kecuali bila engkau melihat ada najis yang masih basah engkau injak maka cucilah kakimu, walhamdulillah. Adapun bisikan-bisikan musuh Allah janganlah diikuti. Ketahuilah bahwa hukum asal dari sesuatu adalah suci. Ini hukum asalnya. Maka janganlah engkau mengikuti (bisikan-bisikan) musuh Allah dalam hal apa pun kecuali engkau benar-benar yakin dengan melihat dan menyaksikan langsung dengan kedua matamu. Agar engkau tidak dikalahkan oleh musuh Allah. Kami memohon kepada Allah agar semua diselamatkan (dari bisikan Syaithan).
Sumber: FATAWA NUUR ‘ALA AD-DARB LIBNI BAAZ (1/78)