JURNAL ILMU SOSIAL, Volume 10, No.3, Desember 2012
PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI DI MANOKWARI (1898 – 1962) Handono Kusumo* *Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNCEN Jayapura
Abstract : This study discusses the socio-economic changes in Manokwari in the period 1898-1962. The method used in this research is a method of historical research. This article aims to examine how social and economic living conditions of Manokwari until the early twentieth century, how the Dutch colonial government development policy in the Manokwari and how socio-economic changes in society Manokwari until the end of Dutch colonial rule in Papua. article the results of this study indicate that the presence of the Dutch colonial government in Manokwari with development policies, such as security and order, the economy, education and health have been enough to bring the indigenous life changes (Papua) in Manokwari, both social and economic aspects in the direction more advanced
Abstrak : Studi ini membahas tentang perubahan sosial ekonomi di Manokwari pada periode 1898-1962. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji bagaimanakah kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Manokwari hingga awal abad XX, bagaimanakah kebijakan pembangunan pemerintah kolonial Belanda di Manokwari dan bagaimanakah perubahan-perubahan sosial ekonomi masyarakat Manokwari hingga akhir masa pemerintahan kolonial Belanda di Papua. artikel hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Manokwari dengan berbagai kebijakan pembangunan, seperti bidang keamanan dan ketertiban, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan telah cukup membawa perubahan kehidupan masyarakat pribumi (Papua) di Manokwari, baik pada aspek sosial maupun ekonomi ke arah lebih maju.
Keywords : Social Change, Economic, Manokwari
Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah Hindia Belanda baru benar-benar secara nyata berkuasa atas wilayah West Nieuw Guinea (Papua) setelah mendirikan tiga pos pemerintahan di Manokwari dan Fakfak, keduanya pada tahun 1898, serta Merauke tahun 1902 (Bachtiar, 1963: 62). Pekabaran Injil yang telah dirintis oleh Carl W. Ottow dan Johaan G. Geissler sejak 1855 di wilayah Manokwari (Mamoribo, 1971: 5) hingga saat kehadiran pemerintah kolonial Belanda dapat dikatakan belum banyak memberikan hasil. Perikehidupan orang Papua di Manokwari pada masa itu seperti perang antarsuku, upacara dan kepercayaan lokal masih sukar ditinggalkan, dan sukar untuk tunduk pada ajaran Injil. Akan tetapi keadaan yang paling sulit diatasi adalah tidak adanya pemerin-tahan yang dapat mengatur kehidupan masyarakat setempat. Dengan didirikannya pos pemerintahan Hindia Belanda di Manokwari tentu diharapkan akan dapat membawa banyak perubahan ke arah kemajuan bagi masyarakat di daerah itu. Ketika roda pemerintahan di Manokwari telah berjalan, pemerintah kolonial kemudian mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan usaha membangun wilayah tersebut. Berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah
kolonial Belanda di Manokwari, justru telah mendorong banyak perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, perubahan dari corak kehidupan masyarakat tradisional kepada corak kehidupan modern. Boleh dikatakan bahwa kehadiran pemerintah kolonial Belanda telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat di Manokwari ke arah maju. Karena itu studi ini ingin mengetahui bagaimana proses perubahan itu berlangsung, terutama penulis akan memfokuskan perhatian pada perubahan sosial dan ekonomi. Kebijakan “pembangunan” pemerintah kolo-nial Belanda di Manokwari tampaknya lebih dititikberatkan pada kedua bidang tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang mengacu kepada langkah-langkah sebagai berikut: pertama mengumpulkan sumber (heuristik), kedua melakukan kritik sumber (kritik ekstern dan kritik intern), ketiga melakukan interpretasi sumber untuk menetapkan dan menyusun hubungan antar fakta sejarah, dan keempat penulisan sejarah (historiografi). (Garraghan. 1957; Gottschalk, 1975). 163
Handono Kusomo – Sosial Ekonomi di Manokwari
HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN Dalam pembahasan ini penulis akan mengemukakan kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Manokwari hingga awal abad XX, kebijakan “pembangunan” pemerintah kolonial Belanda di Manokwari, dan perubahanperubahan sosial ekonomi masyarakat Manokwari hingga akhir masa pemerintahan kolonial Belanda di Papua. Kondisi Kehidupan Sosial Penduduk yang mendiami Onderafdeling Manokwari hingga awal pemerintahan kolonial Belanda dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) golongan suku bangsa, yaitu : 1) Suku Numfor, adalah suku pendatang berasal dari Pulau Numfor yang mendiami daerah sekitar teluk Doreh (Manokwari) dan pantai Amberbaken; 2) Suku Arfak, adalah semua suku kecil yang mendiami daerah di sekitar pegunungan Arfak dan wilayah pesisir pantai Manokwari; 3) Suku Amberbaken, yang mendiami daerah Amberbaken; 4) Suku Kebar, adalah suku pedalaman yang mendiami lembah/ dataran tinggi Kebar. (Kamma, 1981: 57-81). Orang Numfor yang beberapa abad lalu bermigrasi ke teluk Doreh maupun pantai Amberbaken, sesungguhnya mereka berasal dari satu lingkungan sosio-kultural Biak-Numfor. Dalam masyarakat Biak-Numfor, kesatuan sosial yang terpenting adalah keret atau klen, yaitu sekelompok kekerabatan yang luas dan patrilineal, artinya yang memperhitungkan hubungan keluarga menurut garis keturunan orang laki-laki (ayah). (Budjang, 1963: 122 ; Mansoben, 1995: 279). Sebagai kesatuan sosial, suatu keret terdiri dari sejumlah keluarga batih (yang disebut sim) dan tinggal bersama dalam sebuah rumah besar (yang disebut rumah keret). Rumah keret dibangun di atas tiang (tonggak) dan dibagi-bagi ke dalam sejumlah kamar atau sim yang letaknya di sisi kiri-kanan lorong tengah yang memanjang dari depan hingga ke belakang. Jumlah kamar dalam suatu rumah keret adalah sama banyaknya dengan keluarga batih yang ada dalam keret dan tiap kamar didiami oleh satu keluarga batih. Oleh karena setiap keluarga batih menempati kamar atau bilik tertentu yang disebut sim, maka keluarga batih disebut juga sim. Satu rumah keret dapat menampung semua anggota klennya jika jumlahnya kecil. Dengan demikian dalam satu rumah keret, bisa terdapat anggota-anggota
keluarga yang berasal dari tiga bahkan empat generasi, yaitu ayah bersama keluarganya dan keluarga-keluarga dari anak-anaknya sendiri maupun keluarga-keluarga dari cucu-cucu mereka. (Kamma, 1981: 82 ; Mansoben, 1995: 279-280). Apabila jumlah anggota keluarga demikian banyaknya sehingga tidak dapat lagi tertampung dalam sebuah rumah keret, maka sebagian dari anggotanya, biasanya adik dari kepala rumah keret bersama isteri dan anak-anaknya yang sudah kawin, memisahkan diri dan membangun rumah keret baru di samping rumah keret lama. Satu rumah keret atau lebih yang terdapat di tempat itu disebut mnu. Pada dasarnya tiap mnu hanya didiami oleh anggota-anggota masyarakat yang berasal dari satu keret atau klen saja, namun tidak tertutup kemungkinan ada keret-keret lain yang bergabung dalam satu pemukiman atau mnu karena perkawinan atau bahaya perang yang sering terjadi di antara penduduk. Kelompok masyarakat berikutnya yang mendiami Manokwari dan dikenal sebagai penduduk asli daerah itu, yaitu suku Arfak. Yang dimaksud suku Arfak adalah semua suku kecil yang mendiami daerah sekitar pegunungan Arfak, baik di lereng-lereng maupun lembahlembah gunung, dan juga sebagian dari mereka mendiami daerah di sepanjang pesisir pantai timur maupun utara Manokwari. Secara umum suku pegunungan di Manokwari disebut suku Arfak, tetapi sesungguhnya mereka terdiri dari 4 (empat) sukubangsa yang masing-masing suku memiliki bahasa sangat berbeda. Meskipun di antara suku-suku itu tidak dapat saling berkomunikasi dengan bahasa mereka masingmasing, namun secara umum kebu-dayaan mereka hampir sama. Keempat suku bangsa tersebut adalah 1) Meyakh, 2) Hatam, 3) Moile, dan 4) Manikion (Sough). (Apomfires dan Sapulete, 1994: 139). Orang Arfak kebanyakan bertempat tinggal di lereng-lereng pegunungan yang tingginya antara 800-1000 meter di atas permukaan laut (Clercq, 1893:640). Rumah mereka dibangun dengan dinding dan lantai dasar yang ditutupi kulit pohon, dan dibagi dalam beberapa petak kamar. Selain tipe rumah yang berlantai dasar tanah, sebagian suku Arfak membangun rumah mereka di atas tiang atau tonggak tinggi tetapi di dalamnya hanya merupakan sebuah ruangan besar. Menurut Kamma kampung-kampung suku Arfak lebih tepat disebut dukuh, karena pada umumnya hanya terdiri dari beberapa rumah
JURNAL ILMU SOSIAL, Volume 10, No.3, Desember 2012
yang letaknya berpencaran (Kamma, 1981: 82). Rumah-rumah orang Arfak yang berdiri dalam kelompok-kelompok terpencar pada lerenglereng pegunungan yang sulit dimasuki, terutama disebabkan oleh kondisi tidak aman khususnya peperangan antar kelompok dalam suku mereka. Selanjutnya penduduk asli Manokwari lainnya adalah suku Amberbaken, yang mendiami daerah Amberbaken. Kebanyakan dari suku Amberbaken tinggal di pedalaman dan di lereng-lereng pegunungan di pinggir pantai. Selain suku Amberbaken, sebagian wilayah Amberbaken didiami pula oleh suku pendatang dari Biak dan Numfor, dan kebanyakan tinggal di pantai bagian barat (Oosterzee, 1906:142). Orang Amberbaken kebanyakan tidak biasa tinggal atau menetap di tempat yang sama, namun selalu berpindahpindah dan membangun rumah mereka di puncak atau di lereng-lereng pegunungan yang hampir tidak dapat dimasuki. Hal ini terutama diakibatkan adanya perompakan dan serangan suku-suku lain terhadap penduduk Amberbaken. (Oos-terzee, 1906:144; Miedema, 1984:9). Kemudian penduduk asli lainnya yang mendiami wilayah onderafdeling Manokwari, yaitu suku Kebar. Suku Kebar adalah suku pedalaman yang mendiami lembah Kebar. Daerah ini terletak ± 25 km di selatan Amberbaken. Miedema yang mengutip laporan A. A. Bruyn tahun 1877, menge-mukakan bahwa suku Kebar adalah petani besar, yang menanam ubi, sayuran, dan tembakau (Miedema, 1984: 24). Ekonomi Kehidupan ekonomi masyarakat Manokwari hingga awal abad ke-20 terutama bertumpu pada sektor pertanian tradisional dan perdagangan pertukaran (barter), disamping berburu, mencari ikan, dan mengumpulkan hasil hutan. Sistem pertanian tradisional yang dikenal adalah bercocok tanam di ladang secara berpindahpindah. Ladang atau kebun-kebun orang Numfor dan sebagian orang Arfak terdapat di datarandataran pantai dan bukit-bukit di sekitar wilayah Manokwari. Kebanyakan dari orang Arfak membuka kebun-kebun mereka di lereng-lereng pegunungan. Demikian juga orang Amberbaken. Sementara orang Kebar dapat bercocok tanam pada lahan-lahan kebun yang lebih luas dan lebih datar. Tanaman-tanaman yang dihasilkan ialah terutama ubi (ubi jalar dan ketela), keladi, pisang, dan sayur-sayuran. Di samping itu, tebu dan beberapa jenis buah-buahan juga ditanam.
Hasilnya pada umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari (subsistem), mengingat luas lahan yang diusahakan juga tidak besar. Kemudian jika ada kelebihan produksi, barulah dijual atau ditukarkan dengan bahan makanan lainnya yang dibutuhkan, terutama ikan dan daging. Untuk memenuhi kebutuhan ikan, kebanyakan penduduk pantai dalam mencari ikan masih menggunakan caracara yang sangat tradisional yaitu dengan tombak atau kail (alat pancing). Hasil yang diperoleh pun hanya cukup untuk dikonsumsi sendiri. Kemudian bagi pemenuhan kebutuhan daging, para pemburu binatang liar biasanya menggunakan busur dan panah, tombak, atau jerat, untuk memperoleh binatang buruannya. Binatang yang diburu di antaranya ialah babi hutan, kangguru, atau kasuari (burung unta). Selain dikenal tanaman palawija dan sayuran, orang Amberbaken telah menanam padi. Daerah Amberbaken telah lama dikenal sebagai penghasil padi (beras) satu-satunya di wilayah onderafdeling Manokwari, bahkan mungkin di seluruh Nieuw Guinea pada masa itu. Penduduk menanamnya cukup luas di ladang-ladang mereka. Menurut cerita, bahwa beberapa abad lalu salah satu dari beberapa orang Halifur yang menyertai suku Numfor dalam perjalanan menuju Tidore untuk membawa upeti kepada Sultan, ada di antara rekan mereka saat itu yang membawa serta segenggam padi dan ditaburkan ketika telah kembali ke Amberbaken. (Ooster-zee,1906:143). Sejak saat itu orang-orang Amberbaken mulai mengusahakan tanaman padi di ladang-ladang mereka, dan beras kemudian menjadi salah satu komoditi perdagangan yang penting, terutama dalam hubungan perdagangan dengan orangorang Numfor dari Doreh. Demikian pula orang Kebar telah mengenal dan menanam tembakau. Tembakau Amberbaken, yang telah lama menjadi komoditi perdagangan penting dan telah diperjualbelikan hingga ke daerah-daerah di sekitar teluk Geelvink (sekarang teluk Cenderawasih), bahkan mungkin ke seluruh Nieuw Guinea, sesungguhnya berasal dari Kebar. Miedema (1984:17-18) yang mengutip A. A. Bruyn menyatakan bahwa suku Kebar selain menanam ubi dan sayuran, juga menanam tembakau dalam jumlah besar. Jumlah tembakau yang setiap tahun diberikan oleh suku Kebar kepada suku Karon dan Amberbaken untuk ditukarkan sangat besar. Suku Karon (tetangga dekatnya yang berada di sebelah barat Kebar) 165
Handono Kusomo – Sosial Ekonomi di Manokwari
membeli tembakau dari suku Kebar untuk digunakan sendiri, dan juga kembali dijual kepada para pedagang. Demikian juga suku Amberbaken wajib mendatangi suku Kebar untuk membeli tembakau dan menjualnya kembali di pantai Amberbaken. Pada umumnya penduduk Manokwari juga mengerjakan berbagai industri atau kerajinan tradisional dari bahan-bahan setempat, seperti membuat jala ikan dari serat akar pohon pandan hutan, keranjang pikulan dari rotan atau bambu, tikar dari daun pandan, tas dari kulit kayu atau serat pohon, serta berbagai anyaman gelang dan kalung dari sejenis rumput. Barang-barang kerajinan ini kebanyakan dijual untuk memenuhi beberapa kebutuhan pokok sehari-hari. Selain usaha kerajinan ini, sebagian penduduk terutama yang mendiami daerah pantai mengumpulkan hasil laut seperti teripang, kerang, kura-kura. (Kamma, 1981:101). Di samping itu, sebagian penduduk juga ada yang memelihara babi. Dalam perdagangan pertukaran (barter) yang terjadi di Manokwari dan daerah-daerah lain, orang-orang Biak dan Numfor memainkan peranan penting. Dengan barang-barang kerajinan dari logam, seperti gelang dan kalung dari tembaga, kapak, parang, dan pisau dari besi, orang-orang Biak-Numfor mendapatkan barangbarang dari penduduk pedalaman berupa beras, tembakau, burung cenderawasih, dan beberapa hasil hutan seperti getah damar, kulit kayu bakau, dan sedikit rotan; yang kemudian dijual kembali kepada para pedagang yang datang dari Maluku, terutama orang-orang Ternate dan Tidore. (Ibid. 59). Pada masa-masa kemudian juga banyak orang Cina yang datang menetap di daerah ini untuk berdagang, dan sebagai pemburu burung cenderawasih. Dari pedagang-pedagang Maluku maupun Cina, orang Biak dan Numfor memperoleh kain timur (tenun ikat), kain cita, sarung, porselin (keramik), manik-manik, yang kemudian dijual kembali kepada penduduk pesisir maupun pedalaman Manokwari, dan barang-barang tersebut (orang menyebutnya barang-barang pantai) kemudian menjadi barang yang sangat berharga, terutama digunakan sebagai alat pembayaran mas kawin atau bagi pembayaran denda. Selain perdagangan pertukaran (barter) dengan barang-barang yang telah disebutkan di atas, perdagangan budak di pantai utara Nieuw Guinea sudah sejak lama dikenal. Menurut Van Leur sejak abad ke-10 perburuan budak di Papua dikenal, dan di Jawa serta tempat lain ditemukan
budak Papua (Miedema, 1984:73). Dalam hal perdagangan budak di Manokwari, orang-orang Doreh (suku Biak-Numfor) memegang peranan penting. Budak-budak yang diperolehnya kebanyakan berasal dari daerah Amberbaken. Budak-budak yang diperoleh dari Amberbaken, baik melalui cara pembelian maupun perompakan kemudian dijual kepada orang-orang Maluku, atau dibawa ke teluk Doreh untuk dijual di sana. Seperti diberitakan oleh pendeta Van Hasselt bahwa di Manokwari (Doreh) terdapat sebuah kampung budak, yaitu Farsirido : banyak orang Doreh dan Mansinam mengirim budak-budaknya ke sana untuk membuka kebun bagi mereka, dan kebanyakan budak-budak itu berasal dari Amberbaken. Budak-budak yang dibeli selain dipekerjakan di kebun-kebun mereka, juga dapat berfungsi sebagai alat pembayaran mas kawin (Kamma, 1981:63). Akan tetapi setelah pemerintah Hindia Belanda menempatkan pos pemerintahannya di Manokwari sejak 1898, larangan perdagangan budak maupun praktek perbudakan terus dilakukan, maka pada tahuntahun berikutnya praktek perbudakan agaknya mulai dapat dihapuskan. Aktivitas perdagangan antara penduduk pribumi Manokwari dengan orang-orang luar (Eropa, Cina, Indonesia Timur) semakin meningkat setelah pada tahun 1891 pantai utara Nieuw Guinea mulai dilayari dan disinggahi kapal milik KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) secara tetap tiap tiga bulan, dan di kemudian hari jadwal itu diubah menjadi tiap bulan (A Campo, 1992:-18). Akibat yang ditimbulkan dari pelayaran itu terhadap masyarakat pantai utara Nieuw Guinea berlipat ganda, yaitu orang dapat dengan mudah pergi ke barat, di samping itu ikut juga arus pedagang bersama barang-barangnya yang ditukar dengan hasil bumi. Kebijakan-kebijakan “Pembangunan” Keamanan dan Ketertiban Sebagaimana telah diketahui bahwa perang antar suku, pengayauan, perompakan, perbudakan, aksi saling membalas dendam dan sebagainya, tidak dapat diatasi oleh para zendeling yang bertugas di daerah itu. Oleh karena itu sejak penegakan pemerintahan di Manokwari, maka langkah pertama yang ditempuh pemerintah adalah menegakkan keamanan dan ketertiban.
JURNAL ILMU SOSIAL, Volume 10, No.3, Desember 2012
Sejalan dengan dikeluarkannya keputusan tentang pembentukan pemerintahan di Nieuw Guinea, Gubernur Jenderal Hindia Belanda juga mengeluarkan beberapa keputusan yang menyangkut bidang keamanan dan keter-tiban. Dalam keputusan tanggal 9 Juni 1898 No.4 Gubernur Jenderal menetapkan mengenai pembentukan korps polisi bersenjata bagi setiap afdeling di Nieuw Guinea (Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 187 Tahun 1898). Sebagai realisasi dari keputusan tersebut, maka pada bulan Oktober 1898 sebanyak 24 petugas polisi bersenjata telah ditempatkan di Manokwari sebagai anggota korps kepolisian yang telah dibentuk bagi afdeling Nieuw Guinea Utara, untuk melaksanakan tugas keamanan dan ketertiban di wilayah itu (Galis, 1949:144). Di Manokwari aparat kepolisian ini selalu ditugaskan untuk mengadakan patroli-patroli keamanan guna menciptakan keadaan aman dan mencegah terjadinya kembali aksi-aksi seperti perompakan, pembalasan dendam, ataupun perang antar suku. Dengan dibentuknya sebuah korps polisi bersenjata setidaknya dapat mengurangi/mengekang berbagai tindak kejahatan yang selama sebelum penegakan pemerintahan kolonial Belanda di Manokwari sering terjadi. Ekonomi Untuk mewujudkan pembangunan di Onderafdeling Manokwari, pemerintah kolonial juga mengeluarkan berbagai kebijakan di bidang perekonomian. Pertama-tama pemerintah harus membangun sejumlah infra-struktur yang diperlukan bagi daerah yang baru saja didirikan pos pemerintahan, seperti jaringan jalan, listrik, air minum, pos, telegraf dan telepon, pelabuhan laut/udara, dan lain sebagainya. Ketika pos pemerintahan didirikan pada tahun 1898, pemerintah kemudian segera membuka sebuah kantor pos pembantu di Manokwari (Staatsblad van Nederlandsch-Indië No.319 Tahun 1898). Sejak 1908 telah dibangun saluran air minum dan pada tahun 1934 sebuah perusahaan pembangkit listrik swasta mulai bekerja di Manokwari (Galis, 1949:145). Pihak pemerintah juga membangun pembangkit listrik tegangan rendah yang hanya dapat digunakan pada malam hari, namun sejak 1954 telah dimulai pemasangan jaringan listrik tegangan tinggi, sehingga sejak saat itu Manokwari memiliki aliran listrik siang- malam (Assink, 1956). Untuk menunjang kelancaran komunikasi dengan daerah-daerah lain di Nieuw Guinea
maupun di Hindia Belanda pada umumnya, di Manokwari pada tahun 1926 oleh pemerintah didirikan stasiun pemancar radio, baik sebagai stasiun pengirim maupun penerima (Anonim, 1937:266). Di Nieuw Guinea sejak pertengahan 1936 telah terdapat 6 stasiun pemancar dan penerima (Manokwari, Merauke, Tanah Merah, Fak-Fak, Serui, Sorong) dan beberapa stasiun penerima yang didirikan pemerintah (antara lain, Hollandia, Sarmi, Bosnik, Kaimana, Mimika, Okaba, Muting). Bagi sarana komunikasi lain yang juga telah dibangun pemancarnya selain stasiun radio adalah radio-telepon dan telepon. Guna memperlancar arus komunikasi dan transportasi di daerah Manokwari, pemerintah kolonial juga membangun jaringan jalan. Pemerintah berupaya memperbaiki/memperlebar jalan-jalan yang sudah ada dan membuka jalanjalan baru yang dapat menghubungkan berbagai tempat di Manokwari. Pada awalnya jalan yang di-bangun adalah jalan yang menghubungkan Manokwari-Andai, dan Manokwari-Rendani. Untuk anggaran pembangunan tahun 1936 dan 1937 pemerintah daerah ini telah menyediakan dana sebesar f 3.000 bagi pem-bangunan jalan dan jembatan (Kuipers, 1937). Di bidang perhubungan laut, pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1891 telah membuka jalur pelayaran bagi KPM untuk menyinggahi Doreh (Manokwari) dalam tiap tiga bulan, dan pada tahun 1915 menjadi tiap bulan. Sementara perbaikan di bidang perhubungan pantai dicapai sejak 1953 dengan kemunculan kapal-kapal pantai pemerintah untuk kepentingan afdeling Nieuw Guinea Barat. Pelayaran ini oleh pemerintah dimaksudkan bukan semata-mata mencari laba, namun untuk memberikan rangsangan bagi peningkatan produksi ekspor penduduk. (Maurenbrecher dalam Miedema dan Stok-hof, 1953:160). Perhubungan udara baru diusahakan kem-bali oleh pemerintah setelah Perang Dunia II. Menjelang perang pemerintah membangun lapangan udara Rendani, namun akibat pemboman tentara Sekutu lapangan ini rusak berat sehingga tidak dapat dipergunakan lagi. Pada tahun 1952 barulah pemerintah mulai membangun lagi landasan baru di Rendani. (Jansen, 1952). Untuk mengembangkan usaha di sektor pertanian, pemerintah sebelum melangkah mendahuluinya dengan mengadakan penelitian terhadap kesuburan tanah di sekitar Manokwari dan daerah Amberbaken. Bodemkundig Instituut 167
Handono Kusomo – Sosial Ekonomi di Manokwari
(Lembaga Penelitian Tanah) Hindia Belanda pada tahun 1932 mengirim suatu ekspedisi di bawah pimpinan F.A. Wentholt untuk meneliti keadaan tanah di sekitar Manokwari, dan pada tahun 1933 mereka melakukan penelitian di sekitar daerah pegunungan Amberbaken (Wiradi et al., 1962: 37). Terhadap pengembangan sektor pertanian, pemerintah terutama mendorong pihak swasta untuk mengembangkan selain tanaman pangan, juga tanaman ekspor. Kepada pihak swasta yang menjalankan usaha di Manokwari ataupun daerah-daerah lainnya di Nieuw Guinea oleh pemerintah pada umumnya disetujui untuk menyewa tanah milik penduduk pribumi maksimum selama masa 20 tahun. ( Ryan, 1972:280). Sejak tahun 1934 pemerintah telah menempatkan seorang konsultan pertanian (dari Dinas Penerangan Pertanian) di Manokwari. Tujuannya membantu para petani baik pribumi maupun pendatang untuk mendapatkan berbagai informasi mengenai pertanian. Produk pertanian yang dikembangkan terutama sayuran,buahbuahan, dan tanaman pangan. (Kuipers, 1937). Di bidang peternakan, pemerintah sejak tahun 1952 menempatkan seorang ahli peternakan di Manokwari, yang diberi tugas mengawasi dan mengatur pembiakan ternak. Terutama ternak sapi dan babi dikembangkan dengan mengimpor bibit dari Belanda. Dalam tahun 1952 pemerintah telah men-datangkan dari Belanda 6 ekor sapi perah, 2 ekor sapi jantan, dan 7 ekor babi (Jansen, 1952). Bidang perikanan juga cukup mendapat perhatian pemerintah. Di Manokwari sebuah kantor cabang Perikanan Laut telah dibuka dan sejak bulan November 1952 memiliki sebuah kapal penangkap ikan “Hollandia” (Ibid.). Untuk meningkatkan usaha perikanan di daerah ini pemerintah merangsangnya dengan pemberian kredit bagi pembelian motor tempel (untuk perahu motor) kepada nelayan pribumi yang serius. Mengenai bidang kehutanan di Nieuw Guinea Belanda, pemerintah membagi menjadi lima daerah pengelolaan hutan, yaitu daerah-daerah pengelolaan hutan Hollandia, Manokwari, Sorong, Fak-Fak dan Merauke. Bagi hutan Manokwari, pemerintah memprioritaskan pada pembukaan usaha penggergajian kayu di Manokwari. (Assink, 1956).
Pendidikan Mengenai perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap pendidikan di Manokwari, terutama partisipasi langsung pemerintah dalam membangun sekolah hingga masa sebelum Perang Dunia II dapat dikatakan sangat terbatas. Sampai tahun 1925 di Manokwari hanya dapat dijumpai sebuah Sekolah Rendah Pribumi Kelas Dua (Standard School) milik pemerintah dan sebagian besar sekolah rendah diselenggarakan oleh pihak zending (Graaff, 1991:10-11). Perhatian pemerintah lebih banyak diarahkan pada pemberian subsidi kepada sekolah-sekolah rendah swasta milik zending, berupa penyediaan sarana belajar dan subsidi gaji guru. Pada tahun 1916 terdapat enam sekolah rendah milik zending di Manokwari yang menerima subsidi dari pemerintah (Kolonial Verslag 1916). Dalam upaya memperluas pendidikan dasar bagi kepentingan seluruh rakyat pada semua lapisan (baca: Politik Etis), maka Sekolahsekolah Desa (Volksschool) mulai dibentuk/ didirikan di Manokwari pada tahun 1936. Pada tahun tersebut Sekolah Pribumi Kelas Dua yang sudah lama berdiri di Manokwari oleh pemerintah statusnya diubah menjadi Sekolah Desa (Volksschool) dan selanjutnya Sekolah Sambungan (Vervolg-school) dibuka. (Kuipers, 1937). Sekolah-sekolah “pengadaban” atau pembudayaan (Beschavingsschool) yang telah lebih dahulu didirikan para penginjil zending oleh pemerintah statusnya disamakan dengan Sekolah Desa (Volksschool) dengan ketentuan wajib mengikuti semua peraturan yang ditetapkan mengenai sekolah jenis ini. Selain itu, pemerintah juga telah membuka sebuah Sekolah Rendah Eropa atau ELS (Europese Lagere School) Negeri dengan sejumlah murid. (Ibid.). Untuk memenuhi tenaga guru pada Sekolahsekolah Pengadaban/Desa, pihak zending (F.J.F. van Hasselt) sejak 1917 mendirikan Sekolah Pendidikan Guru (Normalleergangen) yang bertaraf lebih sederhana daripada Sekolah Normal (Normaalschool) di Mansinam. Pemerintah dalam hal ini memberikan subsidi bagi penyelenggaraannya. Sekolah ini kemudian dipindahkan ke Miei (Teluk Wandamen) pada tahun 1925 dan diperuntukkan hanya bagi muridmurid pribumi/Papua (sebelumnya terdapat murid-murid yang berasal dari Ambon dan Sangir). (Kamma, 1994: 413-414). Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga guru bagi sekolah-sekolah desa yang jumlahnya semakin meningkat, pemerintah mendorong upaya untuk
JURNAL ILMU SOSIAL, Volume 10, No.3, Desember 2012
mendirikan Sekolah-sekolah Pendidikan Guru Desa (OVVO, Opleidingsschool voor Volksonderwijzers) dan Kursus-kursus Pendidikan Guru di berbagai tempat di Nieuw Guinea, yang menerima murid-murid lulusan dari Sekolah Pribumi Kelas Dua dan kemudian dari Sekolahsekolah Sambungan (Vervolgschool). Dalam rangka menyiapkan tenaga kerja pribumi terdidik yang dibutuhkan untuk menjadi pegawai rendahan di berbagai dinas pemerintah kolonial, maka pihak pemerintah, juga zending maupun missi mulai mendirikan sekolah-sekolah lanjutan dan kejuruan, serta kursus-kursus, dengan mengutamakan pemakaian bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di sekolahsekolah tersebut. Di Manokwari sejak 1955 oleh pemerintah dibuka MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, semacam Sekolah Lanjutan Pertama), dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Assink, 1956). Selanjutnya pemerintah juga membuka PMS (Primaire Middelbare School, Sekolah Menengah Pertama) pada tahun 1958 (Winia, 1958). Sementara itu kursus bahasa Belanda juga dibuka di Manokwari oleh sebuah Yayasan Pendidikan Kejuruan sejak 1958, dan kursus ini mendapat subsidi pemerintah. Bagi lulusan pendidikan dasar di Manokwari yang berminat meneruskan pelajarannya, dapat pula melanjutkan ke berbagai sekolah lanjutan dan kejuruan, serta kursus-kursus yang di buka oleh pemerintah di Hollandia (sekarang Jayapura). Pendidikan lanjutan yang dibuka pemerintah di antaranya, MULO, PMS, dan OSIBA (Oplei-dingschool voor Inheemsche Bestuursam-btenaren). Sekolah yang disebut terakhir merupakan jenis Sekolah Latihan bagi para calon Pejabat Pribumi. Pendidikan Kejuruan di antaranya Sekolah Pertukangan Eropa (Europese Ambachtschool) dan Sekolah Teknik Rendah (Lagere Technischeschool). (Dubois, 1961). Kesehatan Hingga masa sebelum Perang Dunia II Manokwari berada di bawah pengawasan DVG (Dienst der Volksgezondheid, Dinas Kesehatan Rakyat) di Ambon. Inspektur DVG dari Ambon selalu melakukan peninjauan secara teratur ke Manokwari. (Kuipers, 1937). Selain itu, pemerintah telah mendirikan sebuah rumah sakit umum di Manokwari di bawah pimpinan seorang dokter pemerintah, yang dibantu oleh sejumlah staf kesehatan (mantri dan perawat kesehatan).
Diharapkan rumah sakit ini dapat memberikan pelayanan kesehatan kepada segenap lapisan masyarakat di daerah itu. Penyakit-penyakit yang sering diderita penduduk Manokwari adalah malaria, TBC, filariasis, influenza,dan penyakit kulit. Malaria dikenal sebagai penyakit yang sering menimbulkan banyak kematian di Manokwari. Seorang mantri malaria di rumah sakit Manokwari ditugasi selain melakukan upaya penyembuhan (pengobatan), juga melakukan pemberantasan penyakit malaria dengan mengkampanyekan kebersihan lingkungan sekitarnya. Kemudian kontrolir Assink sejak mulai menjalankan tugasnya di Manokwari (1953) membentuk sebuah tim pemberantasan malaria, yang terdiri dari seorang pengawas, seorang mantri malaria, dan sepuluh orang penyemprot DDT (Assink, 1956). Untuk memperluas pelayanan kesehatan di Manokwari pemerintah membuka beberapa poliklinik. Satu di antaranya terdapat di Saukorem (Amberbaken) yang dibuka mulai tahun 1956, sedang lainnya akan segera dibuka di Andai dan Kebar. Upaya menyiapkan tenaga perawat kesehatan, pemerintah melalui Rumah Sakit Umum Manokwari sejak 1955 mendidik para calon perawat kesehatan selama satu tahun, dan untuk tahun kedua para siswa dikirim ke Hollandia (sekarang Jayapura) untuk belajar lebih jauh. (Assink, 1956). Perubahan Kondisi Ekonomi Pertanian dan Perkebunan Kebijakan di bidang ekonomi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Manokwari turut memberikan pengaruh terhadap tumbuhnya berbagai sektor usaha, di antaranya sektor pertanian dan perkebunan. Kedatangan para kolonis Eropa/ Indo-Eropa di Manokwari sejak tahun 1930 di antaranya banyak yang membuka usaha di bidang pertanian/perkebunan, namun dalam skala yang tidak besar. Meskipun demikian kehadiran mereka sangat penting artinya dalam memacu perkembangan di sektor usaha pertanian dan perkebunan, yang pada masa sebelumnya sektor ini tidak pernah mengalami peningkatan. Sampai pada tahun 1952 di Manokwari telah dibuka lahan pertanian/perkebunan seluas 371 hektar, yang meliputi daerah Wosi, Sowi, Pasir Putih, Fanindi, Amban, dan Manggoapi. Lahan persil yang ditanami telah mencapai 185 hektar. 169
Handono Kusomo – Sosial Ekonomi di Manokwari
Dari areal lahan yang ditanami, lebih dari 100 hektar ditanami tanaman tahunan (terutama untuk tanaman ekspor), dan sisanya ditanami tanaman jangka pendek. Lahan yang sudah dibuka dan belum ditanami sebagian besar digunakan untuk penggembalaan ternak. (Jansen, 1952). Jumlah usahawan di sektor pertanian/ perkebunan ketika itu tercatat 69 orang, dan 128 orang mendapatkan penghasilan tambahan dari sektor ini. Luas lahan yang dibuka untuk usaha di sektor ini terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1956 luas lahan yang dibuka untuk usaha pertanian/perkebunan seluruhnya mencapai sekitar 500 hektar. (Assink, 1956). Jenis tanaman yang diusahakan untuk penyediaan kebutuhan rumah tangga di antaranya, yaitu sayur-sayuran (kacang panjang, buncis, bayam, tomat, ketimun, cabe), ubi, padi, jagung, kacang ijo, kedelai, dan pohon buah (pisang, pepaya, nanas, jeruk manis). Untuk ekspor diusahakan terutama tanaman coklat dan kopi. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Manokwari dari tahun ke tahun hingga menjelang akhir penjajahan, meningkat pula kebutuhan akan sayuran dan buah-buahan. Kebun-kebun sayuran dan pohon buah yang diusahakan orang Eropa/Indo-Eropa sejak kedatangan mereka ternyata memberikan hasil cukup baik, sehingga dapat memenuhi kebutuhan penduduk Manokwari. Pada tahun 1960 sekitar 15 hektar kebun sayuran dan buah milik orang Eropa/Indo-Eropa dapat menghasilkan sampai 20 ton per bulan. (Peters, 1961). Hal ini ikut pula mendorong penduduk pribumi untuk berproduksi. Di sekitar Manokwari banyak penduduk pribumi yang terlibat dalam produksi sayuran dan buah-buahan. (Ibid.). Usaha penanaman coklat di Manokwari memberikan pula hasil sangat baik. Sampai tahun 1961 sebanyak 35 usahawan Eropa/ Indo-Eropa telah mencapai penanaman 76,6 hektar, dan 20 hektar di antaranya telah berbuah. Penduduk pribumi yang menanam coklat di antaranya terdapat tiga orang kepala suku pribumi (Papua), yang masing-masing menanam satu hektar pada tahun 1956. Upaya pembinaan penduduk pribumi di bidang pertanian/perkebunan mulai ditingkatkan ketika pada tahun 1959 pemerintah mendorong pembukaan kebun-kebun pribumi di daerah Wosi, Warmare, Minyambau, Amberbaken dan Kebar, yang ditanami dengan berbagai tanaman pangan, pohon buah, coklat, kopi, dan kelapa (untuk daerah pantai). Di sekitar
Manokwari ketika itu sudah ada 13 hektar lahan yang ditanami coklat oleh orang-orang Papua pengunungan (Arfak). (Peters dalam Schoorl, 1996: 175). Meskipun usaha pertanian/perkebunan penduduk pribumi belum mengalami peningkatan secara berarti sampai masa akhir penjajahan Belanda, namun munculnya areal pertanian dan perkebunan orang-orang Eropa/ Indo-Eropa di Manokwari telah mendorong penduduk pribumi untuk ikut berproduksi di sektor ini dengan orientasi komersial. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah penduduk pribumi dapat mengenal berbagai jenis tanaman baru yang sebelumnya tidak dikenal. Peternakan dan Perikanan Pendatang Eropa/Indo-Eropa mulai membuka usaha peternakan di Manokwari tahun 1935. Hewan yang dipelihara terutama sapi, babi, dan unggas (ayam, itik, kalkun). Sapi terutama didatangkan dari Bacan dan Bali. (Kuipers, 1937). Kemudian mereka juga memelihara kambing dan domba. Sementara penduduk pribumi kebanyakan memelihara babi dan ayam, namun belum dikekola secara baik sehingga hasilnya belum seberapa. Peternakan kaum pendatang (Eropa/IndoEropa) kebanyakan memberikan hasil cukup baik karena dikelola secara serius. Sampai pada tahun 1958 terdapat sekitar 30 orang pendatang yang melibatkan diri pada usaha peternakan, 5 orang di antaranya membuka usaha pemotongan dan pemerasan susu sapi. Menurut laporan pada tahun itu jumlah ternak mereka terdiri dari 100 ekor sapi perah, 218 ekor sapi pedaging, 304 ekor babi, 12 ekor domba, 60 ekor kambing, dan 2.400 ekor ayam. (Winia, 1958). Perkembangan kota Manokwari yang semakin pesat dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, membuka peluang yang baik bagi penjualan hasil ternak, terutama untuk daging dan telur ayam. Melihat peluang ini sebagaimana dimanfaatkan oleh peternak pendatang, penduduk pribumi juga kemudian terdorong untuk meningkatkan usaha ternak mereka terutama babi dan ayam. Dari pemeliharaan ayam, peternak pribumi kebanyakan memberikan perhatian pada produksi telur. Sebagaimana yang dilaporkan mereka dapat menghasilkan telur ayam sekitar 30.000 butir per bulan (atau berkisar 900 sampai 1200 butir per hari). Produk ini kebanyakan dijual untuk lokal (toko, rumah, dan pabrik kue), dan sebagian diekspor ke daerah lain (ke Biak
JURNAL ILMU SOSIAL, Volume 10, No.3, Desember 2012
200 – 400 butir setiap minggu, ke Sorong/FakFak ekspor mencapai 3.000 – 4.000 butir per bulan). Untuk meningkatkan usaha penangkapan ikan, pemerintah melalui Kantor Cabang Perikanan Laut di Manokwari mendatangkan kapal penangkap ikan “Hollandia” pada tahun 1952. Dari hasil penangkapan ikan menggunakan kapal ini, kebutuhan akan ikan di Manokwari segera teratasi. Namun kemudian aktivitas penangkapan ikan laut dengan kapal “Hollandia” dihentikan karena biaya operasinal yang tinggi, sementara keuntungan yang didapat kecil. (Jansen, 1952). Seperti diketahui bahwa usaha penangkapan ikan di laut memerlukan investasi modal yang cukup besar. Karena itu pemerintah kembali mencoba mendorong usaha penangkapan ikan laut dengan memberikan bantuan kredit kepada nelayan pribumi yang serius, bagi pembelian motor tempel (untuk perahu motor) yang dimulai pada tahun 1959. Dengan ditunjang perlengkapan perahu motor, kemudian terbukti para nelayan pribumi dapat meningkatkan hasil tangkapannya. Pada tahun 1960 misalnya, ikan dijual di pasar Jalan Industri (Manokwari) setiap bulan rata-rata 3.868 kg (atau rata-rata 129 kg per hari). Pada tahun itu tercatat 31 nelayan pribumi di Manokwari telah memiliki perahu motor, baik diperoleh melalui bantuan kredit maupun membeli sendiri secara tunai. (Peters,1961). Transportasi dan Komunikasi Demi kepentingan urusan pemerintahan dan pembangunan perekonomian kolonial, pemerintah kolonial Belanda telah membangun berbagai sarana dan prasarana perhubungan di Manokwari. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sejak 1891 pemerintah membuka jalur pelayaran bagi KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij atau Perusahaan Pelayaran Paket Kerajaan) untuk menyinggahi beberapa daerah di Nieuw Guinea, termasuk Manokwari dalam tiap tiga bulan, dan pada tahun 1915 diubah menjadi setiap bulan. Dengan pembentukan jalur pelayaran KPM di sepanjang pantai utara Nieuw Guinea, maka semakin terbukalah daerah Manokwari dengan dunia luar. Kemudian dirasakan oleh penduduk Manokwari arus pedagang (Eropa, Cina, Indonesia Timur) dengan barang-barang dagangan mereka semakin meningkat memasuki Manokwari, sehingga orang dengan mudah dapat melakukan transaksi perdaga-ngan dengan
mereka. Penduduk pribumi dapat menjual produk ekspor yang telah mereka kumpulkan (seperti hasil hutan, hasil laut), yang ditukarkan dengan berbagai macam produk impor. Demikian pula dengan pengoperasian kapalkapal milik pemerintah maupun swasta untuk melayari daerah-daerah pantai di Manokwari, maka perhubungan antara kampung-kampung di daerah pantai dengan kota dapat dipenuhi. Kapalkapal pantai milik pemerintah seperti “Cycloop” dan “Tilai” melakukan pengangkutan pantai yang menghubungkan kampung-kampung sekitar pantai Manokwari dengan kampung-kampung daerah pantai lainnya di Teluk Geelvink (sekarang Teluk Cenderawasih). Juga ada kapal “Arfak”, yang melayani hubungan daerah pantai Amberbaken (daerah onderafdeling Manokwari) dengan daerah-daerah pantai bagian barat Kepala Burung (Sorong, Raja-Ampat, dan Fak-Fak). (Winia, 1958). Untuk perhubungan darat pemerintah juga telah membangun jaringan jalan beraspal maupun yang hanya dikeraskan di daerah kota Manokwari, yang dihubungkan dengan daerahdaerah pusat kolonisasi orang-orang Eropa/IndoEropa, seperti Fanindi, Pasir Putih, Amban, Pami, Warbambu, Mang-goapi, Wosi, Sowi, Rendani, Andai, dan Maruni. Juga dengan daerah lainnya seperti Sanggen (yang menjadi pusat industri penggergajian kayu dan galangan kapal). Ada juga jalan mobil yang menghubungkan Manokwari dengan daerah-daerah di onderafdeling Ransiki. Dengan telah dibangunnya jaringan jalan yang menghubungkan berbagai tempat di Manokwari, swasta maupun pemerintah kemudian mendatangkan berbagai jenis sarana angkutan untuk menunjang kelancaran usaha ataupun tugas-tugas mereka di Manokwari, yang setiap tahun jumlahnya terus bertambah. Menurut laporan, sejak pertengahan 1953 sampai 1956 jumlah sarana angkutan di Manokwari (milik pemerintah maupun swasta) naik dari 109 buah menjadi 141 buah, yang terdiri atas kendaraan roda empat (mobil) seperti Landrover, Jeep, Truk, Pickup, dan kendaraan roda dua (sepeda motor). (Assink, 1956). Jelaslah bahwa dengan adanya jaringan jalan yang menghubungkan pusat kota dan daerahdaerah sekitarnya, dan ditunjang dengan cukup tersedianya sarana angkutan bermotor, maka interaksi desa-kota semakin meningkat. Dampaknya perekonomian kota maupun desa ikut berkembang, dan tentu sebaliknya arus 171
Handono Kusomo – Sosial Ekonomi di Manokwari
perpindahan penduduk desa ke kota (urbanisasi) semakin meningkat pula (terutama untuk mencari pekerjaan di kota). Setelah berakhirnya Perang Dunia II pemerintah juga mulai membangun kembali lapangan udara di Rendani pada tahun 1952 yang rusak akibat pemboman Sekutu. Sampai masa sebelum selesainya pembangunan lapangan udara tersebut, Manokwari dilayani oleh MLD (Marine Luchtvaart Dienst atau Dinas Penerbangan Angkatan Laut), yang menerbangkan sekali dalam sebulan pesawat amphibi Catalina dengan rute perjalanan : Biak – Manokwari – Fak-Fak (malam hari) – Sorong – Ayamaru – Sorong – Ayamaru – Manokwari – Biak. (Maurenbrecher dalam Miedema dan Stokhof, 1953:218). Kemudian sejak lapangan udara Rendani diresmikan pengunaannya pada bulan April 1955, Manokwari mulai dilayani oleh maskapai De Kroonduif dengan pesawat jenis Dakota, dengan rute penerbangan : Biak – Manokwari – Sorong – Manokwari – Biak, dalam tiga kali penerbangan seminggu. Maskapai ini juga melayani penerbangan Manokwari – Ransiki pergi-pulang sekali dalam seminggu. (Assink, 1956). Kemudian pada tahun 1958 maskapai De Kroonduif meningkatkan frekuensi penerbangannya, sehingga Manokwari selain tetap mendapatkan penerbangan tiga kali dalam seminggu untuk Biak – Manokwari dan Sorong, mendapat lagi dua kali penerbangan, yaitu satu kali untuk Biak – Manokwari – Ransiki dan Kaimana ; dan satu kali untuk Biak – Manokwari – Kebar – Manokwari – Ransiki – Manokwari – Biak. (Winia, 1958). Sejak kehadirannya di Manokwari pemerintah kolonial juga telah membangun berbagai sarana dan prasarana komunikasi, seperti pos, telegraf, telepon, dan stasiun pemancar radio. Pada permulaan penegakan pemerintahan kolonial Belanda, telah dibangun sebuah Kantor Pos Pembantu di Manokwari. Dalam perkembangan selanjutnya Kantor Pos ini dapat melayani sepenuhnya pengiriman surat, barang, dan uang (poswesel) ke berbagai kota di Nieuw Guinea maupun di Hindia Belanda pada umumnya. Setelah Perang Dunia II Kantor Pos Manokwari dapat melayani/ menerima pengiriman pos-pos internasional. (Paban IV Ass-I KASAD, 1961:168). Kantor Telegraf di Manokwari dapat berhubungan langsung melalui radio-telegraf ke Hollandia, Biak, Sorong, Fak-Fak, dan Merauke. Jaringan telepon juga terdapat di kota Manokwari. Selanjutnya stasiun/pemancar radio
telah dibangun di Manokwari sejak 1926, yang dalam perkembangan selanjutnya siaran-siarannya dapat diterima di Biak, Serui, Hollandia, Sorong, Fak-Fak, Merauke, dan di beberapa stasiun penerima lainnya yang dibangun di wilayah pedalaman Nieuw Guinea. Siaran-siaran radio disampaikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Melayu (Indonesia) dan bahasa Belanda. Dengan dibangunnya sarana dan prasarana komunikasi di beberapa daerah di Nieuw Guinea, setidaknya dapat memperkecil isolasi informasi terhadap perkembangan situasi dunia pada umumnya. Perdagangan dan Industri Kegiatan perdagangan di Manokwari meningkat pesat setelah pengakuan kedaulatan RI. Pemerintah Nieuw Guinea Belanda mulai membuka hubungan langsung dengan luar negeri, terutama dengan Singapura dan Australia setelah hubungan perdagangan dengan Indonesia terputus. Periode ini ditandai dengan reorientasi dalam perdagangan. Berbagai kebijakan ekonomi diterapkan terhadap berbagai sektor : pertanian/ perkebunan, peternakan, perikanan, perdagangan, industri, guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik dalam rangka ekspor maupun impor. Menjelang akhir tahun 1949 orang-orang Eropa/Indo-Eropa dalam jumlah besar pindah ke Nieuw Guinea. Sampai pertengahan 1950 di Manokwari tercatat 1.713 orang Eropa/ IndoEropa (779 keluarga) yang tiba dengan kapal KPM “Waibalong” untuk mengungsi dari wilayah Indonesia. (Jansen, 1952). Di Manokwari banyak di antara mereka yang kemudian membuka usaha di sektor pertanian/perkebunan dan perdagangan bersama para kolonis Indo-Eropa yang telah lebih dahulu menetap di sekitar Manokwari sebelum perang. Kelas menengah Eropa/Indo-Eropa kemudian memegang posisi penting di bidang perdagangan bersama pengusaha Cina. Mereka telah membuka berbagai macam usaha di Manokwari, seperti toko, restoran/ rumah makan, dan industri kecil. Pada tahun 1952 sebanyak 40 toko/ restoran/industri kecil dengan berbagai ukuran dapat ditemukan di Manokwari. Jumlah usaha di sektor ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1956 jumlah usaha toko/restoran/ industri kecil telah mencapai 55 buah, dan pada akhir 1960 meningkat menjadi 69 buah. (Assink, 1956: Peters, 1961). Di bidang usaha, kelas menengah pribumi (Papua)
JURNAL ILMU SOSIAL, Volume 10, No.3, Desember 2012
tampaknya masih sulit berkembang, terutama disebabkan kurangnya modal, inisiatif, dan terbatasnya pengetahuan yang memadai mengenai perdagangan. Hingga akhir 1960 hanya terdapat seorang kelas menengah pribumi yang mem-buka sebuah toko makanan. Selain usaha dagang yang disebutkan di atas, beberapa industri besar di buka di Manokwari, yaitu sebuah industri galangan kapal dan dua buah industri penggergajian kayu. Perusahaan galangan kapal dibuka untuk melayani perbaikan kapal-kapal milik pemerintah maupun swasta yang beroperasi di Nieuw Guinea. Sementara perusahaan penggergajian kayu di Manokwari bertujuan menghasilkan kayu-kayu balok/papan dengan berbagai ukuran, untuk memenuhi kebutuhan bagi pembangunan gedung-gedung pemerintah maupun untuk ekspor. Penggergajian ini mengusahakan kayu dari jenis kayu besi dan matoa. (Peters, 1961). Perubahan Kondisi Sosial Pendidikan Ketika pemerintah kolonial Belanda telah menegakkan kekuasaannya di Manokwari, perhatian pemerintah terhadap pendidikan semula ditujukan kepada pemberian subsidi bagi sekolah-sekolah “pengadaban” milik zending yang dimulai pada tahun 1911. Sekolah-sekolah “pengadaban” yang didirikan pihak zending di Manokwari pada waktu itu kualitasnya tentu masih jauh dari Volksschool atau sekolah desa yang diintro-dusir oleh pemerintah. Oleh karena itu sejak pemerintah membentuk Volksschool di Manokwari (1936), semua sekolah “pengadaban” diinstruksikan untuk menyesuaikan kurikulumnya dengan kurikulum Volks-school. Meskipun demikian sekolah-sekolah “pengadaban” zending yang telah ada pada saat itu oleh pemerintah disejajarkan dengan Volksschool, sambil sekolah-sekolah tersebut membenahi kurikulumnya dan meningkatkan pula kualitasnya. Para lulusan sekolah desa kemudian dapat meneruskan pelajarannya ke sekolah sambungan (Vervolgschool). Di kota Manokwari ketika itu hanya ada satu Sekolah Sambungan (Vervolgschool), yang didirikan bersamaan dengan pembentukan Volksschool untuk menggantikan Sekolah Rendah Pribumi Kelas Dua (Standard School) pada tahun 1936. (Kuipers, 1937). Sekolah-sekolah rendah berkualitas yang terdapat di Manokwari terutama Sekolah-sekolah
Rendah Eropa (Europese Lagere School atau ELS) dengan lama belajar enam tahun, yaitu sebuah ELS Negeri dan sebuah ELS Katolik. Sebuah sekolah sejenis itu yang didirikan oleh zending, yaitu ALS (Algeme-ene Lagere School atau Sekolah Rendah Umum), dengan lama belajar juga enam tahun. Jika ELS selain dimasuki anak-anak Eropa, sekolah ini kebanyakan muridnya juga berasal dari anakanak orang “Amberi” (Cina, Maluku, dan orang Indonesia lainnya). Sementara ALS hampir seluruh muridnya anak-anak penduduk pribumi (Papua). Selain itu, sebuah Sekolah Cina telah berdiri di Manokwari dengan lama belajar enam tahun dan mempergunakan bahasa Cina (Winia, 1958). Kemudian sekolah-sekolah lanjutan juga dibuka di Manokwari mulai tahun 1955. MULO (Meer Uitgebried Lager School atau Sekolah Lanjutan Pertama) dibuka pada tahun 1955 dan PMS (Primaire Middelbare School atau Sekolah Menengah Pertama) pada tahun 1958. Kedua sekolah ini adalah sekolah lanjutan negeri (milik pemerintah). Tujuan pembukaan sekolah lanjutan adalah sesuai dengan program pemerintah kolonial pada masa itu, yaitu untuk mempersiapkan mereka memasuki pekerjaan pada dinas-dinas pemerintah. Bagi para lulusan pendidikan dasar di Manokwari dapat pula melanjutkan ke sekolah-sekolah kejuruan yang di buka di Hollandia (sekarang Jayapura). Diantaranya OSIBA (Opleidingschool voor Inheemsche Berstuursambtenaren) atau Sekolah Latihan bagi para calon Pejabat Pribumi. Pendidikan kejuruan lainnya yaitu Sekolah Pertukangan Eropa (Europese Ambachtschool) dan Sekolah Teknik Rendah (Lagere Technischeschool). Sementara kursus-kursus seperti pendidikan/kursus untuk para calon pegawai negeri, pendidikan kepolisian umum, kursus perikanan, pendidikan pelayaran, kadaster, keuangan, perawat kesehatan, dan kehutanan juga terdapat di Hollandia. Dalam rangka meningkatkan pendidikan kaum pribumi (Papua), pemerintah Nieuw Guinea Belanda mendapat jatah cukup besar untuk bidang pendidikan dalam anggaran-anggaran pemerintah Belanda, yang pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan mencapai 11 % dari seluruh pengeluaran tahun 1961. (Granaut dan Manning, 1979:19). Sampai akhir masa penjajahan Belanda, di onderafdeling Manokwari telah berdiri lembagalembaga pendidikan seperti 66 Sekolah Desa atau Volksschool (sebuah milik Negeri, sebuah milik 173
Handono Kusomo – Sosial Ekonomi di Manokwari
missi, 44 buah milik zending); Sebuah Sekolah Sambungan (Vervolgschool) Negeri; Sebuah ELS Negeri; Sebuah ELS Katolik; Sebuah ALS Zending; Sebuah Sekolah Rendah Cina; dan 2 buah Sekolah Lanjutan Pertama Negeri (MULO dan PMS). Kesehatan Usaha pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan di Onderafdeling Manokwari pada awalnya mengalami banyak kendala, terutama kebanyakan masyarakat pribumi masih hidup terpencar-pencar (sulit dijangkau), dan belum tersedia prasarana/ sarana serta tenaga medis yang memadai. Pelayanan kesehatan oleh pemerintah baru dapat terlaksana dan mengalami peningkatan ketika sebuah rumah sakit dibuka di pusat kota Manokwari sekitar tahun 1930-an dan kemudian poliklinikpoliklinik pemerintah pada tahun 1950-an. Berdasarkan laporan tahun 1956, Rumah Sakit Umum di Manokwari memiliki kapasitas 95 tempat tidur, 4 orang dokter, 9 orang juru rawat, 8 orang pembantu perawat, 57 perawat siswa, 1 orang analis, dan 1 orang asisten apoteker. (Assink. 1956). Untuk melayani kesehatan bagi mas-yarakat di luar kota Manokwari, salah seorang dokter di rumah sakit ini selalu ditugaskan keliling ke perkampungan-perkampungan penduduk. Rumah sakit ini sejak 1955 telah dapat melakukan pembedahanpembedahan dan pemeriksaan rontgen. (Apandi, 1962:236). Hingga akhir masa kolonial poliklinik-poliklinik pemerintah juga telah terdapat di Andai, Sanggeng, Saukorem (Amberbaken), dan Senopi (Kebar). Pelayanan kesehatan di Manokwari terutama diarahkan terhadap penyakit-penyakit yang sering diderita penduduk, yaitu Malaria, TBC, filariasis, influenza, dan penyakit kulit. Malaria merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian. Untuk pemberantasan penyebab malaria pemerintah mengkampanyekan program kebersihan lingkungan, yaitu pembersihan tempat-tempat ber-kembangbiaknya nyamuk anopheles (sejak 1937) dan penyemprotan DDT ke rumah-rumah penduduk (sejak 1953), maka upaya mencegah wabah malaria di Manokwari mulai mengalami banyak kemajuan. (Jansen, 1952). Selain itu, berbagai penyakit lainnya yang diderita penduduk Manokwari juga mulai mendapat pelayanan pemerintah. Sejak tahun 1956 seorang dokter pemerintah ditempatkan di
Manokwari untuk memberantas penyakit lepra. Pada akhir 1957 pemberantasan penyakit TBC di mulai dan diikuti pemberian vaksinasi BCG bagi balita. (Winia, 1958). Mobilitas Sosial Mobilitas sosial secara horizontal atau disebut juga mobilitas geografis/migrasi dapat terjadi sebagai dampak daya tarik kota atau karena keadaan kurang menguntungkan di desa/ kampung. Tampaknya kota Manokwari dengan beberapa pusat pertanian/ perkebunan serta industri telah menjadi daya tarik para migran dari kampung-kampung di sekitarnya, bahkan para migran dari luar Manokwari. Tidak dapat disangsikan bahwa tempat-tempat itu tersedia lapangan pekerjaan bagi mereka. Rupanya upah kerja yang cukup baik ditawarkan oleh proyekproyek pembangunan pemerintah, perusahaan swasta atau pusat-pusat perdagangan maupun pusat-pusat pertanian/perkebunan dan industri di Manokwari, telah mendorong kebanyakan penduduk kampung di sekitarnya meninggalkan kampung-kampung mereka menuju tempattempat tersebut untuk memperoleh nafkah. (Maurenbrecher dalam Miedema dan Stokhof, 1953:218). Para migran yang datang ke kota atau ke pusat-pusat perkebunan dan industri di Manokwari pada umumnya kemudian membentuk perkampungan. Tidak heran jika perkampungan-perkampungan baru para migran muncul di mana-mana di kota Manokwari. Oleh karenanya jumlah penduduk kota Manokwari juga terus meningkat tajam, yaitu mencapai hampir 10.000 jiwa pada tahun 1960, di antaranya 7.000 orang Papua, 2.000 orang Eropa/Indo-Eropa, 400 orang Indonesia, dan 200 orang Tionghoa. (Peters dalam dalam Schoorl, 1996: 151). Hadirnya berbagai lembaga pendidikan formal oleh pihak swasta milik zending maupun missi dan pemerintah, dari sekolah rendah hingga sekolah lanjutan umum/ kejuruan, telah memunculkan kelas terdidik pribumi (Papua) di Manokwari. Para lulusan pribumi tersebut kemudian banyak yang bekerja sebagai pegawai baik di kantor pemerintah maupun swasta. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai guru, penginjil, pendeta, perawat kesehatan, polisi, pelaut, montir (ahli mesin), juru tulis atau pegawai administrasi, dan anggota pamong praja. Meskipun demikian hingga akhir masa penjajahan Belanda baru sedikit sekali penduduk
JURNAL ILMU SOSIAL, Volume 10, No.3, Desember 2012
pribumi (Papua) yang memegang jabatan-jabatan administatif “tingkat menengah” dalam birokrasi pemerintahan kolonial. Di onderafdeling Manokwari baru pada tahun 1959 seorang Papua memimpin distrik Amberbaken dengan pangkat hulpbestuursassistent I. Di distrik Manokwari pada waktu itu di bawah kepala distrik, terdapat satu bestuursassistent orang Papua, dan dua kandidaat-bestuurs-assistent orang Papua (lulusan sekolah pemerintahan di Hollandia).
PENUTUP Kehadiran pemerintah kolonial Belanda di Manokwari pada prinsipnya turut mendorong terjadinya perubahan sosial dan ekonomi. Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial seperti pembangunan berbagai prasarana dan sarana transportasi, komunikasi, pertanian, perdagangan, perindustrian, pendidikan, dan kesehatan, telah membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat pribumi (Papua) di Manokwari ke arah lebih maju, dari ke-hidupan tradisional ke kehidupan yang lebih modern.
DAFTAR PUSTAKA A Campo, J.N.F.M., Koninklijke Paketvaart Maatschappij : Stoomvaart en staatsvorming in de Indonesische archipel 1888-1914, Hilversum: Uitgerij Verloren,1992. Anonim, “Radiostations in Nederlandsch Nieuw Guinea”, Tijdschrift Nieuw Guinea, Aflevering 5, 15 Februari 1937, hlm. 266-267. ANRI, Memorie van Overgave Controleur Manokwari, W. Kuipers, 7 Desember 1937. ANRI, Memorie van Overgave Controleur Manokwari, F.R.J. Eibrink Jansen, 1952. ANRI, Memorie van Overgave Controleur Manokwari, H.W. Assink, Pertengahan 1956. ANRI, Memorie van Overgave Controleur Manokwari, W.G.F. Winia, 31 Agustus 1958. ANRI, Memorie van Overgave Controleur Manokwari, F.H. Peters, Awal 1961. ANRI, Memorie van Overgave Controleur Hollandia, J.J.W. Dubois, 1961. Apandi, A. et al., Mengenal Sebagian dari Tanah Air Kita Irian Barat, Edisi Ketiga, Jakarta: Staf Penguasa Perang Tertinggi, 1962. Apomfires, F. dan K. Sapulete, “Masyarakat Arfak di Anggi Kabupaten Manokwari”, dalam Koentjaraningrat et al., Irian Jaya Mem-bangun Masyarakat Majemuk, Jakarta: Djambatan, 1994. Bachtiar, Harsja W., “Sejarah Irian Barat”, dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (ed.), Penduduk Irian Barat, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1963. Budjang, Anis, “Orang Biak-Numfor”, dalam Koentjaraningrat dan Harsja W. Bachtiar (ed.), Penduduk Irian Barat, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1963. Clercq, F.S.A. de, De West en Noordkust van Nederlandsch Nieuw-Guinea, Leiden: E.J. Brill, 1893. Galis, K.W., “Manoekwari 50 Jaar Bestuurspost“, (II), Tijdschrift Nieuw-Guinea, Aflevering 5, Januari 1949, hlm. 142-149. Garnaut, Roos dan Chris Manning, Perubahan Sosial Ekonomi di Irian Jaya, terj. M. Saleh Arief dan Peter Hagul, Jakarta: Gramedia, 1979. Garraghan, Gilbert J, A Guide to Historical Method, New York: Fordam University Press, 1957. Gazalba, Sidi, Islam dan Perubahan Sosialbudaya: Kajian Islam tentang Perubahan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1983. Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, penerj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1986. Graaff, W. van de, “Memorie van Overgave van de Afdeeling Noord Nieuw-Guinea, Manokwari 1925”, dalam J. Miedema dan W.A.L. Stokhof (eds.), Irian Jaya Source Materials No.2 Series A - No.1 : Memories van Overgave van de Afdeling Noord Nieuw-Guinea, Leiden: DSALCUL/IRIS, 1991. Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, 3 Jilid (I/1981, II/1982 dan III/1994), Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia. Mamoribo, J., Ottow dan Geissler, Rasul Irian Barat .Jayapura: Gereja Kristen Injili, 1971. 175
Handono Kusomo – Sosial Ekonomi di Manokwari
Mansoben, Johszua Robert, “Ritus K’bor dalam Masyarakat Biak-Numfor di Teluk Cenderawasih”, dalam Koentjaraningrat et al., Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta: Djambatan, 1994. --------------, Sistem Politik Tradisional di Irian Jaya, Jakarta: LIPI – RUL, 1995. Maurenbrecher, L.L.A., “Memorie van Overgave over de Afdeling West Nieuw-Guinea, 1953”, dalam J. Miedema dan W.A.L. Stokhof (eds.), Irian Jaya Source Materials No. 6 Series A - No. 3 : Memories van Overgave Afdeling West Nieuw-Guinea, Part II, Leiden: DSALCUL/ IRIS, 1993. Miedema, Jelle, De Kebar 1855-1980: Sociale Structuur en Religie in De Vogelkop van West Nieuw Guinea, Dordrecht: Foris Publications, 1984. Oosterzee, L. A. van, “Het Landschap Amberbaken op de Noordkust van Nieuw-Guinea”, TAG, Deel XXIII, Leiden: E.J. Brill, 1906, hlm. 142-145. Paban IV Ass-I KASAD, Tinjauan Situasi Irian Barat, Jakarta: Ass-I KASAD, 1961. Parsudi Suparlan, “Perubahan Sosial”, Makalah disampaikan pada Penataran Pengajaran ISD di Bukittinggi, 1985. Peters, F.H., “HPB Manokwari : Besturen over een grote bandbreedte” dalam Pim Schoorl (ed.), Besturen in Nederlands-Nieuw-Guinea 1945-1962: Ontwikkelingwerk in een periode van politieke onrust, Leiden: KITLV Uitgeverij, 1996. Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. Ryan, Peter (ed.), Encyclopaedia of Papua and New Guinea, Vol. 1, Victoria: Melbourne University Press, 1972. Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 187 Tahun 1898. Staatsblad van Nederlandsch-Indië No.319 Tahun 1898. Wiradi, Gunawan et al., Mengenal Sebagian dari Tanah Air Kita Irian Barat, Edisi Kedua, Jakarta: Staf Penguasa Perang Tertinggi, 1962. .