QIJIS: Qudus International Journal of Islamic Studies Volume 4, Issue 1, February 2016
PERSEPSI KYAI PESANTREN TENTANG KONSEP PEMBAGIAN HARTA GONO GINI: Studi Kasus Kabupaten Demak
Abdullah Arief Cholil Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Central Java, Indonesia
[email protected] Abstract Legal issues often faced by the divorced wives are or husband died is unfair division of joint “gono gini“ property. Often the wife is disadvantaged and suffered injustices in the division of property “gono gini“ property. The injustice is related to the problem of conjugal standardization role in the compilation of Islamic law Article 79 section (1) which states that the husband is the head of the family and the wife is a housewife. The problem is how Kyai Pesantren Demak perspective on the division of property gono gini whether in compilation of Islamic law or faraidl,and what are their legal options. This research is classified into qualitative and includes as law research, analyzed by the method of sociology of law, it can be looked in point of view of traditional and modern societies. Kyai Pesantren Demak that the majority society guided by fiqh mu’tabar in the principle approved the compilation of Islamic law, although in the implementation of the division of inheritance “gono gini“ property, the majority of them practice and use faraidl. This study is interesting because the data revealed 78 % of Kyai Pesantren Demak agree on a compilation of Islamic
Abdullah Arief Cholil
law but in practice 69 % stated using faraidl. This is not surprising because the research data says 94 % of Kyai Pesantren Demak are more confidence to fiqh mu’tabar. Their reasons are equally the result of ijtihad, more confidence using ijtihad from ulama salaf that writedown in holy books of fiqh. Keywords: Kyai Pesantren, Gono gini property, and the Compilation of Islamic Law.
ABSTRAK Permasalahan hukum yang sering dihadapi para isteri yang bercerai atau ditinggal mati suaminya adalah tidak adilnya pembagian harta bersama atau gono gini. Seringkali pihak isteri dirugikan dan mengalami ketidakadilan dalam pembagian harta gono gini. Ketidakadilan ini terkait dengan masalah pembakuan peran suami isteri dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 79 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Yang menjadi masalah adalah bagaimana perspektif Kyai Pesantren Demak tentang pembagian harta gono gini apakah menggunakan Kompilasi Hukum Islam atau Faraidl, dan apa pilihan hukumnya. Penelitian ini tergolong kualitatif dan termasuk penelitian hukum, dianalisis dengan metode sosiologi hukum, terlihat pergumulan pemikiran masyarakat tradisional dan modern. Kyai Pesantren Demak yang mayoritas mempedomani fiqh mu’tabar pada prinsipnya menyetujui Kompilasi Hukum Islam, walaupun dalam pelaksanaan pembagian waris harta gono gini mayoritas mereka mengunggulkan dan menggunakan faraidl. Kajian ini menjadi menarik karena dalam data dinyatakan 78 % Kyai Pesantren Demak setuju pada Kompilasi Hukum Islam tetapi dalam praktiknya 69 % menyatakan 36
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
menggunakan faraidl. Hal ini tidak mengherankan karena data penelitian menyebutkan 94 % mereka lebih percaya kepada fiqh mu’tabar, alasannya adalah sama-sama hasil ijtihad, lebih mantab menggunakan ijtihad ulama-ulama salaf yang dituangkan dalam kitab-kitab fiqh.
Kata kunci: Kyai Pesantren, Gono Gini, dan Kompilasi Hukum Islam.
A. Pendahuluan Perkawinan yang disyari’atkan ialah perkawinan selamalamanya yang diliputi rasa kasih sayang dan saling cinta mencintai yang diridhai Allah SWT. (Muhtar, 1974: 25). Perkawinan mempunyai akibat hukum, tidak hanya terhadap diri pribadi mereka yang melangsungkan pernikahan, serta hak dan kewajiban yang mengikat pribadi suami isteri, tetapi lebih dari itu berakibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut. Hubungan hukum kekeluargaan dan kekayaannya terjalin demikian eratnya, sehingga keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum kekayaan keluarga (Satrio, 1991: 5). Dalam perkawinan masing-masing pihak dari suami isteri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Harta yang diperoleh selama perkawinan disebut harta bersama atau gono gini. Meskipun harta gono gini tersebut dihasilkan hanya dari suami yang bekerja dengan berbagai usahanya, sedangkan isteri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan hanya mengurus rumah tangga dan anakanaknya. Suami maupun isteri mempunyai hak yang sama untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya tersebut selama untuk kepentingan rumah tangganya, tentunya dengan persetujuan kedua belah pihak (Ramulyo, 1999: 231 dan Yunanto, 2009: 71-75). Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
37
Abdullah Arief Cholil
Berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan pada ayat (2) Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara warisan atau hadiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan bersama (Bahari, 2012: 154). Di Indonesia masalah perkawinan diatur dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun dalam perkembangannnya agar hukum tersebut mampu mengatur secara spesifik bagi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Islam, maka dikeluarkanlah Inpres No. 1 Tahun 1991 berupa Kompilasi Hukum Islam yang mengatur secara khusus mengenai keluarga bagi pemeluk agama Islam. Salah satu bahasan dalam Kompilasi Hukum Islam ialah tentang perkawinan yang mengatur harta kekayaan dalam perkawinan di mana di dalamnya membahas mengenai ketentuan pembagian harta gono gini dalam perkawinan, misalnya pembagian harta gono gini yang menyangkut perceraian menurut pasal 97 Kompilasi Hukum Islam ditetapkan bahwa bagi janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak memperoleh seperdua dari harta gono gini sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dalam ketentuan pembagian harta gono gini pada Kompilasi Hukum Islam di atas, belum tentu dirasakan keadilannya oleh para pihak yang berselisih. Sekalipun dalam aturan hukum tidak memperhatikan harta tersebut atas upaya siapa dan atas nama siapa, dalam kenyataannya di lapangan masih banyak yang tidak bisa melepaskan jasa-jasa selama perkawinan, sehingga hal tersebut dirasakan tidak adil bagi salah satu pihak yang bersengketa. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang Nomor 7 tahun 38
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
1989 tentang Peradilan Agama serta Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, umat Islam Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang cukup memadai untuk mengatur masalah-masalah keluarga; perkawinan, perceraian dan warisan. Sementara sebagian ulama tradisional Indonesia atau para kyai pesantren masih ada yang belum sepenuhnya dapat menerima berbagai peraturan perundangan karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitabkitab fiqh. Tidak terkecuali bagi sebagian tokoh masyarakat atau kyai pesantren di kabupaten Demak, masih ada yang memberikan penilaian miring terhadap kehadiran peraturan perundangan tersebut, sehingga masih saja terjadi hal-hal yang menyimpang dari aturan yang ada di dalam beberapa masalah. Pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, seringkali berseberangan dengan apa yang tertuang dalam kitab-kitab fiqh sebagai literatur hukum baku yang ada, -walau jumlahnya relatif kecil- masih saja ada sebagian tokoh masyarakat atau kyai pesantren yang dengan sengaja berjalan sendiri sesuai keyakinan yang dimiliki untuk melakukan hal-hal yang sesungguhnya bertentangan dan berseberangan dengan peraturan perundangan yang ada. Baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits memang tidak dibicarakan tentang harta bersama atau gono gini, akan tetapi dalam kitab-kitab fiqh ada pembahasan yang dapat diartikan sebagai pembahasan tentang harta bersama, yaitu yang disebut Syirkah atau Syarikah. Para pakar hukum Islam di Indonesia berbeda pendapat tentang dasar hukum harta bersama itu. Sebagian berpendapat bahwa al-Qur’an tidak mengaturnya dan untuk itu diserahkan sepenuhnya kepada para ahli. Pendapat ini dikemukakan oleh Hazairin, Anwar Haryono dan Abdoel Rooef. Sebagian lain pakar hukum Islam mengatakan bahwa suatu hal yang aneh jika agama Islam tidak mengatur harta bersama, sedangkan hal-hal lain yang kecil saja diatur secara rinci oleh agama Islam dan ditentukan kadar hukumnya. Tidak ada satupun yang tertinggal, semuanya termasuk dalam ruang lingkup pembahasan hukum Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
39
Abdullah Arief Cholil
Islam. Jika tidak disebutkan al-Qur’an maka ketentuan itu pasti ada dalam al-Hadits, dan al-Hadits ini merupakan sumber hukum Islam juga. (Jafizham, 1977: 119) Dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono gini antara suami isteri tidaklah dibagi kecuali masingmasing mendapat 50 %. Dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam disebutkan : “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Namun ketentuan Kompilasi Hukum Islam ini bukanlah suatu putusan hukum yang final, jika suami isteri sepakat membagi harta dengan prosentase tertentu, maka kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan (Kompilasi Hukum Islam pasal 97, Lihat: Zein, 2004: 59-75). Secara umum masyarakat Demak dikenal sebagai masyarakat yang warganya memiliki ketaatan dalam menjalankan syari’at Islam. Hal ini tentu berkaitan nilai-nilai sejarah panjang kota Demak dengan berdirinya kerajaan Islam yang cukup tangguh, yang jejak-jejak kehidupan sosial keagamaannya masih dapat kita lihat dan runut sampai saat ini. Identitas kota Demak dapat dilihat dari aspek fisik berupa bangunan Masjid Agung Demak dengan alun-alunnya yang mencerminkan kebesaran budaya Islam pada zaman para wali. Hal ini berkaitan dengan sejarah kota Demak pada awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa melalui para wali dan kesultanan Demak. Dalam perkembangan selanjutnya Demak dikenal memiliki budaya masyarakat yang agamis, yang didukung dengan aktivitas relegius berupa banyaknya pendidikan keagamaan dan kegiatan-kegiatan dalam memperingati hari besar keagamaan Islam (Bappeda Demak, 2002: II/1, 2011: 12). Sebagaimana umumnya masyarakat Islam Indonesia, masyarakat Demak memandang fiqh identik dengan hukum Islam dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai akibatnya, maka fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. Dengan cara pandang demikian itu maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum 40
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa diubah, maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan tetapi adalah sebagai buku agama itu sendiri. Sebagai akibatnya, menurut penulis, sering terjadi gesekan ketika seseorang secara fanatik memegangi dan mempertahankan pendapat dalam kitab fiqh, sementara yang lain menghendaki adanya perubahan pemahaman, di lain pihak ada aturan-aturan yang mengikat secara formal, maka yang terjadi adalah gegap gempitanya pemikiran dan pelaksanaan. Masyarakat Demak kebanyakan berpendidikan model pesantren, sehingga secara umum dapat dilihat ketika mereka diterpa problematika, tidak selalu diselesaikan dan dipecahkan sendiri tetapi ada komunikasi dan konsultasi kepada figur dan tokoh ulama atau kyai yang “dianggap” dapat membantu dan menyelesaikan persoalan. Dari persoalan ibadah, muamalah sampai munakahat dapat dipastikan, secara umum penyelesaian persoalan selalu kepada figur dan tokoh ini. Sebenarnya penyelesaian masalah dengan melibatkan pihak ketiga merupakan hal yang lazim dilakukan tetapi nuansa ketergantungan dan harapan akan fatwa yang selalu dalam bingkai fiqh oriented inilah yang akhirnya menjadi warna, pilihan dan simbol bagi masyarakat.
B. Fiqh dan Gono Gini Pengertian harta bersama atau gono gini menurut para ahli hukum mempunyai kesamaan satu sama lain. Menurut Sayuti Thalib, harta perolehan selama ikatan perkawinan yang didapat atas usaha masing-masing secara sendiri-sendiri atau didapat secara usaha bersama merupakan harta bersama bagi suami isteri tersebut (Thalib, 2001 : 92). Menurut Hazairin, harta yang diperoleh suami dan isteri karena usahanya adalah harta bersama, baik mereka bekerja bersama-sama ataupun suami saja yang bekerja sedangkan isteri hanya mengurus rumah tangga dan anakanak di rumah, sekali mereka itu terikat dalam suatu perjanjian perkawinan sebagai suami isteri maka semuanya menjadi bersatu baik harta maupun anak-anaknya (Ramulyo, 2006: 34). Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
41
Abdullah Arief Cholil
Gono gini dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dibahas pada Bab VII dengan judul Harta Benda dalam Perkawinan, masuk pada pasal 35, 36 dan 37; dan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991, masalah gono gini diatur dalam Bab XIII tentang harta kekayaan dalam perkawinan dalam pasal 85 sampai pasal 97. Diterangkan pula bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Menurut Subekti benda adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh seseorang (1994: 60). Dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991), diberi pengertian bahwa harta bersama atau syirkah atau gono gini yaitu harta yang diperoleh sendiri-sendiri atau bersama-sama suami isteri selama perkawinan menjadi harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun (Pasal 1 Huruf (f)). Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa masa dalam ikatan perkawinan menjadi suatu hal yang penting untuk menentukan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kecuali harta yang diperoleh dari hibah, hadiah dan warisan, sepanjang tidak ditentukan lain oleh para pihak. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 86). Ketentuan ini memberi pemahaman bahwa harta yang dibawa suami isteri ke dalam ikatan perkawinan tetap menjadi harta pribadi masing-masing selama yang bersangkutan tidak menentukan lain lewat perjanjian perkawinan. Perjanjian sebagaimana tersebut di atas harus dilaksanakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat dalam bentuk akta authentik di muka notaris. Akta ini sangat penting, karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-masing suami isteri. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan dilaksanakan, maka terjadi pembauran semua harta suami dan isteri dan hal ini dianggap harta bersama atau gono gini.
42
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
Menurut pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo pasal 94 ayat (2) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, suami dan isteri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi masing-masing. Mereka bebas menentukan harta tersebut tanpa campur tangan suami atau isteri untuk menjual, menghibahkan atau mengagunkan. Ketentuan ini dapat dilihat dalam pasal 86 Kompilasi Hukum Islam di mana ditegaskan bahwa tidak ada percampuran antara harta pribadi suami isteri karena perkawinan. Baik harta isteri maupun harta suami tetap mutlak menjadi hak isteri dan hak suami dikuasai penuh oleh masing-masing suami dan isteri. Pembakuan istilah harta bersama sebagai terminus hukum yang berwawasan nasional baru dilaksanakan pada tahun 1974 dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sebelum pembakuan itu, terdapat berbagai macam istilah yang dipengaruhi hukum adat seperti barang gawaan di Jawa Tengah, barang usaha di Betawi, barang sulur di Banten, harta tuha atau harta pusaka di Aceh dan parimbit di Ngaju Dayak (Manan, 1997: 59). Nilai-nilai hukum baru yang terdapat dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, kemudian dipertegas lagi dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Bab XIII di mana dikemukakan bahwa harta bersama atau gono gini adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa. Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Yang berwujud dapat meliputi benda bergerak, benda tidak bergerak, dan berupa surat-surat berharga sedangkan yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban (Bahari, 2012: 154). Semua harta kekayaan yang diperoleh suami isteri selama dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama atau gono gini, baik harta tersebut diperoleh secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Demikian juga dengan harta yang dibeli selama ikatan perkawinan berlangsung adalah menjadi harta bersama,
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
43
Abdullah Arief Cholil
tidak menjadi soal apakah isteri atau suami yang membeli, tidak menjadi masalah apakah isteri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu dan juga tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan (Damanhuri, 2012: 37) Sebagaimana diketahui bahwa adat perkawinan dan hukum adat kewarisan sangat erat hubungannya dengan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, harta benda dalam perkawinan sebagai salah satu dari akibat perkawinan dengan sendirinya tidak dapat lepas kaitannya dengan kekeluargaan itu. Jika ditinjau secara historis terbentuknya harta bersama atau gono gini, telah terjadi perkembangan hukum adat terhadap harta bersama didasarkan pada syarat ikut sertanya isteri secara aktif dalam membantu pekerjaan suami. Jika isteri tidak ikut secara fisik dan membantu suami dalam mencari harta benda, maka hukum adat lama, menganggap tidak pernah terbentuk harta bersama dalam perkawinan. Dalam perjalanan sejarah lebih lanjut, pendapat tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan ahli hukum sejalan dengan berkembangnya pandangan emansipasi wanita dan arus globalisasi di segala bidang. Dalam perspektif fiqh, sebagian ulama menganggap bahwa harta gono gini sebagai harta syirkah, sebagaimana dijelaskan di muka. Memang benar termasuk syirkah, tetapi, ada yang menyatakan, bukan syirkah akad (syirkah ‘uqud), seperti syirkah abdan, syirkah ‘inan, dan syirkah mudharabah, melainkan syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak). Adapun definisi syirkah kepemilikan ini adalah kepemilikan bersama atas suatu barang di antara dua orang atau lebih yang terjadi karena adanya salah satu sebab kepemilikan (seperti jual beli, hibah, wasiat dan waris), atau karena adanya percampuran harta benda yang sulit untuk dipilah-pilah dan dibedakan. Syirkah kepemilikan ini misalnya ada satu pihak yang menghibahkan suatu harta kepada dua orang, lalu keduanya menerimanya. Maka kepemilikan itu dalam fiqh disebut syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak). Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana 44
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
membagi harta gono gini. Islam hanya memberikan ramburambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, di antaranya adalah : Pembagian harta gono gini tergantung kepada kesepakatan suami dan isteri. Kesepakatan ini di dalam al-Qur’an disebut dengan istilah “al-Shulhu” yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami isteri) setelah mereka berselisih. Allah berfirman : “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)” (Surat al-Nisa’ 128). Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami isteri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya; pada ayat di atas, isteri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah SAW : “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram“ (HR. Abud Daud, Ibnu Majah dan di sahihkan oleh Tirmidzi). Begitu juga dalam pembagian harta gono gini, salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya kadang harus merelakan sebagian hak-haknya demi untuk mencapai suatu kesepakatan. Umpamanya: suami isteri yang sama-sama bekerja dan membeli barang-barang rumah tangga dengan uang mereka berdua, maka ketika mereka berdua melakukan perceraian, mereka sepakat bahwa isteri mendapat 40 % dari barang yang ada, sedang suami mendapat 60 %, atau isteri 55 % dan Suami 45 %, atau dengan pembagian lainnya, semua diserahkan kepada kesepakatan mereka berdua. Memang di dalam kompilasi hukum Islam pasal 97 menyebutkan : “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50 %, seperti dalam Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
45
Abdullah Arief Cholil
Kompilasi Hukum Islam di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami dan isteri. Jika suami isteri bekerja, maka yang dihasilkan isteri adalah milik isteri dan yang dihasilkan oleh suami adalah milik suami. Jika keduanya melakukan hal yang sama dan bersama-sama, maka bisa disepakati bahwa hasilnya adalah milik bersama dan akan dibagi sama, atau disepakati jumlah tertentu sesuai dengan saham dan tanggungjawab masing-masing. Lalu siapa yang bertanggungjawab soal kebutuhan rumah tangga ?, jawabannya tetap suami. Baik suami berpenghasilan lebih sedikit atau lebih banyak. Namun demikian isteri boleh-boleh saja membantu. Konsep harta gono gini beserta segala ketentuannya memang tidak ditemukan dalam kajian fiqh. Masalah gono gini merupakan persoalan hukum yang belum tersentuh atau belum terfikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulama-ulama fiqh terdahulu, karena masalah harta gono gini baru muncul dan banyak dibicarakan pada masa modern ini. Dalam kajian fiqh klasik, isuisu yang sering diungkapkan adalah masalah pengaturan nafkah dan hukum waris. Dua hal inilah yang banyak menyita perhatian kajian fiqh klasik. Secara umum fiqh tidak melihat adanya gono gini. Fiqh lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan isteri. Apa yang dihasilkan oleh suami adalah harta miliknya, begitu pula sebaliknya, apa yang dihasilkan isteri, merupakan harta miliknya. Masalah harta gono gini tidak disinggung secara jelas dan tegas dalam kajian fiqh. Dengan kata lain, masalah harta gono gini merupakan wilayah hukum yang belum terpikirkan dalam fiqh. Sehingga oleh karena itu, terbuka bagi ahli hukum Islam untuk melakukan ijtihad dengan pendekatan qiyas. Ijtihad diperkenankan asalkan berkaitan dengan masalah-masalah yang belum ditemukan dasar hukumnya. Masalah harta gono gini merupakan salah satunya, dimana didalamnya merupakan hasil ijtihad para ulama yang pada intinya memasukkan semua harta 46
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
yang diperoleh dalam ikatan perkawinan dalam kategori harta gono gini.
C. Fiqh Perspektif Masyarakat Demak Masyarakat Demak dalam khazanah antropologi dikenal sebagai masyarakat tradisional, bagian dari masyarakat Jawa yang tinggal di pesisir utara Jawa; mereka juga dikenal sebagai masyarakat pesisir yang lebih bersifat egaliter dibanding dengan masyarakat Jawa di wilayah pedalaman yang dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai subkultur negari gung. Secara umum masyarakat Demak dikenal sebagai masyarakat yang warganya memiliki ketaatan dalam menjalankan syari’at Islam dengan ketat. Hal ini tentu berkaitan nilai-nilai sejarah panjang kota Demak dengan berdirinya kerajaan Islam yang cukup tangguh, yang jejak-jejak kehidupan sosial keagamaannya masih dapat kita lihat dan runut sampai saat ini. Identitas kota Demak dapat dilihat dari aspek fisik berupa bangunan Masjid Agung Demak dengan alun-alunnya yang mencerminkan kebesaran budaya Islam pada jaman para wali. Hal ini berkaitan dengan sejarah kota Demak pada awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa melalui para wali dan kesultanan Demak. Dalam perkembangan selanjutnya Demak dikenal memiliki budaya masyarakat yang agamis, yang didukung dengan aktivitas relegius berupa banyaknya pendidikan keagamaan dan kegiatan-kegiatan dalam memperingati hari besar keagamaan Islam (Bappeda, 2002: 1). Secara sosio-kultural, masyarakat Demak merupakan bagian dari keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Dari sinilah kita tahu bahwa masyarakat Demak memiliki potensi sosio-budaya yang khas yang berbeda dari masyarakat lainnya, yang harus dipahami memiliki masalah dan tantangannya sendiri (Rohidi, 2001: 3). Sebagaimana umumnya masyarakat Islam Indonesia, kyai pesantren Demak memandang fiqh identik dengan hukum Islam dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai akibatnya, maka fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. Dengan cara pandang demikian Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
47
Abdullah Arief Cholil
itu maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa diubah, maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan tetapi adalah sebagai buku agama itu sendiri. Sebagai akibatnya sering terjadi gesekan ketika seseorang secara fanatik memegangi dan mempertahankan pendapat dalam kitab fiqh, sementara yang lain menghendaki adanya perubahan pemahaman, di lain pihak ada aturan-aturan yang mengikat secara formal, maka yang terjadi adalah gegap gempitanya pemikiran dan pelaksanaan. Pendidikan masyarakat Demak relatif masih di bawah standar dan mayoritas masyarakatnya berpendidikan model pesantren, sehingga secara umum dapat dilihat ketika mereka diterpa problematika, tidak diselesaikan dan dipecahkan sendiri tetapi selalu ada komunikasi dan konsultasi kepada figur dan tokoh ulama atau kyai yang “dianggap” dapat membantu dan menyelesaikan persoalan. Dari persoalan ibadah, muamalah sampai munakahat dapat dipastikan, secara umum penyelesaian persoalan selalu kepada figur dan tokoh ulama ini. Sebenarnya penyelesaian masalah dengan melibatkan pihak ketiga merupakan hal yang lazim dilakukan tetapi “nuansa ketergantungan” dan harapan akan “fatwa” yang selalu dalam bingkai fiqh oriented inilah yang akhirnya menjadi warna dan simbol bagi masyarakat.
D. Pandangan Kyai Pesantren Demak tentang Konsep Pembagian Harta Gono Gini Pada dimensi keagamaan, ulama atau kyai menjadi ”tokoh penting” pewaris risalah nabi. Sebagai ahli waris risalah nabi, para ulama itu merasa mempunyai legitimasi untuk memposisikan diri sebagai ”perantara” Tuhan di bumi untuk menyampaikan (ajaran) agama yang ”benar” . Klaim itu menghadirkan wajah agama (1) bercorak eksklusif, (2) dan selanjutnya, corak kehidupan keagamaan itu seringkali diwarnai oleh pandangan (worldview) dan ”selera” ulama-ulama yang bersangkutan. Eksklusifitas agama di sini tidak saja mengenai faham dan ajaran agama yang dianggap 48
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
benar yang dibedakan dengan faham dan ajaran agama yang tidak benar, tetapi juga eksklusifitas pemeluk atau pengikutnya untuk dibedakan dengan yang berada di luarnya. Di sinilah ulama atau kyai, dalam dimensi sosial, mengambil strategi yang tidak selalu sama di dalam tugas dan peran keagamaan yang dijalankan. Sebagian ulama mengambil sikap ”kitab kuning oriented” yaitu tetap berpegang teguh kepada pemahaman agama menurut kitab-kitab klasik untuk dipakai mendefinisikan dan mengukur ”kesalehan” diri setiap Muslim dalam beragama. Atas pemahaman dan sikap demikian, ulama yang bersangkutan lantas mengambil jarak bahkan menilai negatif terhadap isi dan bentuk ”peradabanperadaban” modern (bandingkan dengan teori Clifford Geertz mengenai peran ulama sebagai cultural broker). Tetapi sebagian ulama yang lain, justru mengambil posisi di depan untuk menseleksi dan mengakomodasi peradaban-peradaban modern tersebut agar umat bisa adaptif terhadap perubahan-perubahan sosial tanpa kehilangan identitas keagamaannya (Thohir, 2006: 43-44). Pandangan dan sikap ulama yang berbeda seperti itu, dalam satu sisi berfungsi saling melengkapi sesuai dengan peran yang harus dijalankan menurut lingkungan sosial dan tantangan yang dihadapi, tetapi dalam sisi yang lain, perbedaan-perbedaan itu justru melahirkan kecurigaan di antara mereka sendiri. Yang pertama, mudah terjadi di daerah-daerah di mana gerakan keagamaan (dari agama yang lain) maupun faham-faham lain (dari agama yang sama) masuk dan mulai diperkenalkan kepada masyarakat yang selama ini mereka ”kuasai”, sedang yang kedua, mudah terjadi ketika ada peluang-peluang bagi para ulama itu sendiri untuk mengambil manfaat atau keuntungan yang lebih menjanjikan. Kedua fenomena tersebut bisa terjadi dan berjalan setiap saat dan pada setiap daerah, khususnya daerah Jawa Pesisir (Thohir, 2006: 44). Pada dimensi yang lain, ulama atau kyai mempunyai otoritas sendiri dalam mengelola umatnya melalui forum-forum kajian keagamaan atau model-model sederhana yang sering di lihat di masyarakat semisal acara yasinan, tahlilan atau halaqahQijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
49
Abdullah Arief Cholil
halaqah bahtsul masa’il. Dari 32 nara sumber yang menjadi obyek penelitian dalam tulisan ini, ketika kepada mereka ditanyakan tentang harta bersama atau gono gini, semua menjawab ”tahu” jumlahnya ada 32 atau 100 %; dan tidak ada yang menjawab ”tidak tahu”. Sebagaimana tergambar pada tabel berikut : TABEL 1 DATA TAHU GONO GINI No. Tahu Gono Gini Jumlah Persentase 1. Tahu 32 100 % 2. Tidak Tahu 0 0% Total 32 100 % Pemahaman Kompilasi Hukum Islam tentang Gono Gini
Kyai pesantren Demak ternyata telah banyak yang mengerti Kompilasi Hukum Islam. Data di lapangan menyatakan bahwa dari 32 nara sumber, 27 orang atau 84 % mengerti tentang Kompilasi Hukum Islam dan 5 orang atau 16 % menjawab ”tidak mengerti”. Hal tersebut dapat dicermati dari tabel 2 berikut : No. 1. 2.
TABEL 2 DATA PEMAHAMAN KHI TENTANG GONO GINI Pemahaman KHI
Mengerti
Tidak Mengerti Total
Jumlah
Persentase
27
84 %
5
32
16 %
100 %
Persetujuan tentang Kompilasi Hukum Islam
Dari 32 nara sumber kyai pesantren Demak, 25 orang atau 78 % menyatakan setuju tentang Kompilasi Hukum Islam dan 7 orang atau 22 % menyatakan tidak setuju, sebagaimana tercermin pada tabel di bawah ini. 50
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
No. 1. 2.
TABEL 3 DATA SETUJU DENGAN KHI
Setuju dengan KHI Setuju Tidak Setuju Total
Jumlah 25 7 32
Persentase 78 % 22 % 100 %
Dari tabel ini dapat diketahui bahwa 25 kyai pesantren atau 78 % menyatakan ”setuju” pada Kompilasi Hukum Islam khususnya yang terkait dengan pembagian gono gini. Mereka beralasan bahwa rata-rata suami isteri sama-sama bekerja mencari nafkah sehingga apabila terjadi cerai mati maka yang hidup lebih lama berhak separuh dari harta bersama atau harta gono gini, sebagaimana ditentukan dalam pasal 96 (1) Kompilasi Hukum Islam. Demikian juga janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama atau harta gono gini sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sebagaimana tertuang dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam. Mereka yang setuju mengemukakan berbagai alasan dan argumentasi yang beragam, yang dapat disarikan sebagai berikut : 1. Antara suami dan isteri sudah hidup bersama, saling menghormati, saling menyayangi, bekerja bersama mencari nafkah. Sehingga pembagian menurut Kompilasi Hukum Islam merupakan bentuk penghargaan kepada suami dan isteri. Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam tercipta kepastian hukum karena berlaku umum. 2. Karena seorang isteri punya andil besar dalam keberhasilan suami, maka pantas isteri mendapat bagian separo. Suami ataupun isteri adalah penyokong terbesar terwujudnya harta bersama atau harta gono gini dan mereka adalah penerus cita-cita keluarga. Meski demikian, ahli waris harus diberi tahu hak-hak mereka dalam faraidz. 3. Suami ataupun isteri berperan besar dalam mengembangkan harta bersama atau gono gini baik secara langsung maupun Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
51
Abdullah Arief Cholil
tidak, isteri sering berperan melebihi kewajibannya tanpa mendapat upah. 4. Untuk kemaslahatan dalam keluarga sebab wanita di Indonesia banyak yang membantu pekerjaan suaminya bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Pada dasarnya tujuan rumah tangga adalah kesejahteraan, kebahagiaan lahir batin. Sehingga kekayaan yang dihasilkan merupakan jerih payah bersama yang logis kalau sebelum diwaris harus dipisahkan terlebih dahulu. Sementara itu yang menyatakan ”tidak setuju” ada 5 orang atau 22 %, yang pada intinya ketidak setujuan mereka adalah : 5. Karena bertentangan dengan prinsip pembagian harta warisan sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat alNisa ayat 11 dan 12 yang dijabarkan dalam ilmu faraidl. 6. Karena dengan mengikuti faraidz keberkahan akan menyertai. 7. Karena hukum waris itu dijelaskan paling lengkap dalam alQur’an bahwa laki-laki dua bagian sedangkan perempuan satu bagian. Demikianlah gambaran pandangan nara sumber terkait ”setuju” atau ”tidak setuju” terhadap Kompilasi Hukum Islam. Masing-masing berpendapat sesuai dengan pandangan dan visi mereka.
E. Penggunaan Hukum Waris Melihat data persetujuan kyai pesantren Demak pada Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan bahwa 78 % menyatakan persetujuannya (sebagaimana tabel 3 di atas), tetapi dalam hal pembagian waris ternyata 69 % atau 22 nara sumber menggunakan Faraidl. Selebihnya 5 orang atau 16 % menggunakan hukum adat dan 5 orang atau 16 % menggunakan Kompilasi Hukum Islam. Hal ini sungguh menarik karena ternyata kyai pesantren walau setuju dengan Kompilasi Hukum Islam tetapi dalam praktik pembagian waris mereka lebih banyak menggunakan faraidl. Sebagaimana
52
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
terungkap dalam tabel 4 berikut : No. 1. 2. 3.
TABEL 4 DATA PEMBAGIAN WARIS Pembagian Waris Jumlah Persentase Faraidl 22 69 % Hukum Adat 5 16 % KHI 5 16 % Total 32 100 % Pandangan tentang Pembagian Waris Gono Gini
Kyai pesantren Demak ternyata memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain jika berbicara tentang pembagian waris gono gini. Dari penelusuran penulis tentang jawaban 32 nara sumber, dapat diungkapkan beberapa pandangan sebagai berikut : 1. Kebanyakan kyai pesantren dalam hal pembagian waris, masih berpegang teguh pada faraidl, belum banyak yang menggunakan Kompilasi Hukum Islam. 2. Pembagian waris yang menggunakan Kompilasi Hukum Islam di kalangan masyarakat karena memang kenyataannya wanita banyak membantu pekerjaan suami bahkan ada yang menjadi tulang punggung keluarga. 3. Sebagai masyarakat yang hidup di negara di mana para wanitanya mayoritas ikut berperan dalam menopang ekonomi keluarga, maka pembagian waris gono gini bisa berlaku, karena walaupun di dalam faraidl hal seperti itu tidak ada tetapi syara’ (agama) memperbolehkan kalau semua ahli waris mengijinkannya. 4. Ada kecenderungan sebagian masyarakat mempraktekkan hukum adat dalam membagi waris gono gini, meskipun mereka beragama Islam dan bagian dari masyarakat pesantren. 5. Pada awalnya ada yang menggunakan faraidl namun yang terjadi ada ahli waris yang tidak terima dengan berbagai alasan dan pada akhirnya menggunakan Kompilasi Hukum Islam, bahkan ada yang menggunakan hukum adat.
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
53
Abdullah Arief Cholil
6. Bagi yang berpegang teguh terhadap nash al-Qur’an mereka menggunakan faraidl. Namun jika ahli waris sudah menyebut gono gini maka mereka lebih cenderung menggunakan Kompilasi Hukum Islam. 7. Pembagian waris khususnya gono gini pada saat ini masih banyak yang memakai kesepakatan dan kekeluargaan. Demikianlah ragam pendapat dari para nara sumber mengenai pembagian waris gono gini saat ini, yang tentu satu dengan yang lain berbeda sudut pandangnya. Tetapi setidaknya inilah jawaban mereka atas pertanyaan sebagaimana diungkapkan di atas.
F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pandangan Kyai Pesantren Pandangan kyai pesantren Demak tentang pembagian harta gono gini dipengaruhi oleh latar belakang yang berbedabeda, ada yang dari pesantren murni, alumni pesantren kemudian meneruskan ke perguruan tinggi dan ada yang berlatar belakang pesantren al-Qur’an yang lebih fokus ke persoalan-persoalan tahfidz al-Qur’an. Bahkan ada yang dari pesantren lalu ke perguruan tinggi dan kemudian studi ke luar negeri. Mereka mempunyai pandangan dan paradigma berpikir yang berbeda-beda dalam memahami fakta dan rujukan kitab, sesuai dengan latar belakang pendidikan yang sangat mempengaruhi proses berpikir, idealisme yang dibangun dan bangunan masyarakat yang ingin diwujudkan. Keragaman latar belakang inilah yang menghasilkan pandangan-pandangan yang kaya perspektif. Meskipun kitab yang dijadikan rujukan bisa sama, tetapi pemahaman terhadap kitab tersebut bisa berbeda-beda. Hal ini tidak lepas dari perspektif yang mereka serap dalam kitab-kitab dan bacaan-bacaan yang ada. Ada kelompok yang berkeyakinan bahwa teks yang ada dalam kitab kuning kebenarannya absolut, final dan tidak bisa diubah. Mayoritas kyai pesantren adalah mereka yang berpegang teguh terhadap pendapat para ulama yang termaktub dalam kitab kuning yang dipahami secara tekstual. Mereka mewarisi 54
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
dari guru-guru mereka yang setia mendalami kitab kuning dan menjadikannya sebagai sumber pengetahuan, nilai dan standar moral dalam kehidupan sehari-hari. Kitab fiqh menjadi kajian utama kyai pesantren, seperti I’anah al-Thalibin, Bajuri, Syarqawi, Tuhfah al-Muhtaj, Ihya’ Ulumiddin, dan lain-lain. Di hadapan kitab kuning ini, para ulama memosisikan sebagai naqil (pengutip) pendapat, sehingga mereka tidak berani keluar dari teks tersebut (Muhammad, t.t.: 6). Tetapi ada juga kelompok kyai yang pemahamannya lebih longgar dan mencoba menganalisis sesuai kebutuhan zaman. Mereka memahami teks fiqh secara kontekstual dengan melihat tantangan global yang tentunya berbeda dengan zaman kitab tersebut ditulis. Mereka menggunakan kaidah fiqhiyyah dan ushuliyyah untuk menjembatani kesenjangan teks klasik dengan tantangan dunia modern. Tidak itu saja, muncul juga kelompok yang lebih berani, dengan menyatakan bahwa banyak teks kitab kuning yang sudah tidak relevan dengan tantangan zaman, sehingga harus diubah agar sesuai dengan dinamika zaman. Bahkan mereka pernah melontarkan pentingnya metode hermeneutika untuk memahami sebuah dalil. Paradigma pemikiran kelompok-kelompok tersebut tentu mewarnai pandangan terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pandangan kyai pesantren Demak tentang pembagian harta gono gini dan terjadinya ambivalensi ketaatan hukum. Dalam konteks ini, penulis mencoba menganalisis dengan merujuk data-data sebagaimana dikemukakan dalam paragraf terdahulu. 1. Tahu, Mengerti dan Setuju Kompilasi Hukum Islam Kyai pesantren dalam penelitian ini adalah para pengasuh pondok pesantren yang tersebar di 14 kecamatan kabupaten Demak. Data yang dihimpun tahun 2014, di Demak ada 308 pesantren, yang artinya ada 308 pengasuh pondok pesantren. Dalam penelitian ini tidak semua pengasuh pondok pesantren menjadi nara sumber tetapi hanya kurang lebih Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
55
Abdullah Arief Cholil
10 % yang dijadikan nara sumber, tepatnya ada 32 pengasuh pondok pesantren yang dijadikan obyek penelitian. Dari 32 nara sumber tersebut, ketika mereka ditanya tentang harta gono gini, semuanya menjawab ”tahu” jumlahnya ada 32 atau 100 % dan tidak ada yang menjawab ”tidak tahu” (lihat Tabel 1). Di samping mereka menyatakan ”tahu” tentang harta gono gini, 27 orang atau 84 % juga menyatakan ”mengerti” tentang Kompilasi Hukum Islam, hanya 5 orang atau 16 % yang menyatakan ”tidak mengerti” tentang Kompilasi Hukum Islam (lihat tabel 2). Dari ”tahu” dan ”mengerti” ini, sebanyak 25 orang atau 78 % menyatakan ”setuju” terhadap Kompilasi Hukum Islam dan 7 orang atau 22 % menyatakan ”tidak setuju” terhadap Kompilasi Hukum Islam, khususnya yang terkait dengan masalah harta gono gini (lihat tabel 3). Mereka yang ”setuju” terhadap Kompilasi Hukum Islam, khususnya yang terkait dengan masalah harta gono gini beralasan bahwa rata-rata suami isteri sama-sama bekerja mencari nafkah sehingga apabila terjadi cerai mati maka yang hidup lebih lama berhak separuh dari harta bersama atau harta gono gini tersebut, sebagaimana ditentukan dalam pasal 96 (1) Kompilasi Hukum Islam. Demikian juga janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama atau harta gono gini sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, sebagaimana tertuang dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
2. Penggunaan Hukum Waris Data persetujuan kyai pesantren Demak terhadap Kompilasi Hukum Islam ada 78 % (lihat tabel 3), tetapi dalam hal pembagian waris ternyata 69 % atau 22 dari 32 nara sumber menggunakan faraidl (lihat tabel 4). Selebihnya 5 orang atau 16 % menggunakan hukum adat dan 5 orang yang lain (16 %) menggunakan Kompilasi Hukum Islam. Kenyataan ini sungguh menarik untuk dikaji karena ternyata kyai
56
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
pesantren walaupun setuju dengan Kompilasi Hukum Islam tetapi dalam praktik pembagian waris mereka lebih banyak menggunakan faraidl. Sikap yang setuju terhadap Kompilasi Hukum Islam tidak serta merta menjadikan mereka tunduk dan patuh melaksanakannya; angka 69 % yang menggunakan faraidl cukup menjadi bukti bahwa kyai pesantren meskipun ”tahu”, ”mengerti” dan ”setuju” terhadap Kompilasi Hukum Islam, pada kenyataannya dalam pelaksanaan pembagian waris mereka kebanyakan menggunakan faraidl. Dalam merespon persoalan pembagian harta gono gini, kyai pesantren tidak mungkin dapat lepas dari konsep utama pemikirannya, yaitu kitab kuning atau yang sering dikenal dengan fiqh mu’tabar. Kitab kuning inilah yang menjadi referensi utama dalam merespon segala persoalan, termasuk ketika mengkaji persoalan harta gono gini. Kitab kuning adalah kitab-kitab agama yang berbahasa Arab atau berhuruf Arab yang mengandung produk pemikiran ulama masa lalu (alsalaf) yang ditulis dalam format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an. Secara detail, ciri kitab kuning adalah sebagai berikut : Pertama, ditulis oleh ulama asing, tapi menjadi rujukan dan pedoman ulama-ulama Indonesia secara turuntemurun. Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya yang independen. Ketiga, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau sebagai sebuah terjemahan dari kitab karya ulama asing (Mas’udi dalam Affandi Mochtar, 2008: 32-33, Lihat : Ma’mur: 2013: 7-9). Kitab kuning di Timur Tengah dikenal dengan nama ”al-Kutub al-Qadimah” sebagai bandingan dari ”al-Kutub al-Asriyah” (Yafi, 1989: 4). Al-Kutub al-Qadimah adalah kitab-kitab yang mengandung pemikiran-pemikiran ulama klasik, sedangkan al-Kutub al-’Asriyah adalah kitab-kitab yang mengandung pemikiran-pemikiran modern. Dahulu pengajaran kitab-kitab klasik, khususnya karya ulama madzhab Syafi’iyyah menjadi satu-satunya pengajaran formal di pesantren untuk mendidik kader ulama (Dhofir, 1994: 50).
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
57
Abdullah Arief Cholil
58
Maka sangatlah wajar jika kitab-kitab klasik ini dipertahankan dan dijadikan basis argumentasi dalam merespon segala persoalan, termasuk dalam masalah harta gono gini. Kitab-kitab yang selalu menjadi rujukan kyai pesantren dalam bidang hukum di antaranya adalah Matn al-Ghayah wa al-Taqrib karya Imam Abu Suja’, Hasyiyah al-Bajuri karya Imam Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin karya Imam Abu Bakar Syata. Kifayat al-Akhyar karya Imam Taqiy al-Din Abu Bakar al-Dimasyqiy, Iqna’ karya Imam Muhammad al-Syarbini, Fath al-Wahab karya Imam Zakaria al-Anshari, al-Muhadzdzab karya Imam Abu Ishak Ibrahim al-Syairazi, Syarqawi karya Imam Syarqawi, dan lain-lain. Kitab-kitab ini adalah kitab fiqh (hukum praktis) yang menjadi pegangan utama di kalangan ulama-ulama pesantren (Bruinessen, 2012: 119). Loyalitas ulama-ulama pesantren terhadap pemikiran klasik yang ada dalam kitab-kitab kuning sangatlah besar sehingga mereka dikenal juga dengan sebutan ”komunitas tradisional”. Dalam penelitian Ahmad Arifi, mayoritas kyai pesantren masih tidak berani melakukan taqlid manhaji, apalagi ijtihad. Mayoritas mereka memilih taqlid qauli. Inilah yang disebut Arifi dengan nalar fiqh formalistik tekstual yang ideologis. Ciri nalar fiqh ini adalah mencari jawaban persoalan yang aktual dengan teks yang ada dalam kitab kuning yang di akui kebenarannya (al-Kutub al-Mu’tabarah). Mereka mengutip apa adanya teks-teks tersebut dan menghubungkan dengan persoalan yang dikaji. Argumen kelompok ini adalah bahwa pemikiran ulama masa lalu masih relevan dengan konteks dunia modern saat ini. Berpegang pada madzhab adalah jalan terbaik dan selamat, karena kredibilitasnya tidak diragukan dan validitas pemikiran dan argumentasinya sudah teruji (Arifi, 2010: 268). Menurut pengamatan penulis bahwa pesantrenpesantren di daerah Demak, yang di samping telah mengembangkan pendidikan formal, seperti TPQ, Madin, SDIT, Mts dan SMK, tetapi ciri khas pesantren salaf -yang tetap Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
mengkaji kitab kuning- masih tetap kokoh dikembangkan dalam pengajaran di lembaga tersebut. Inilah makanya ketika ditanyakan kepada mereka tentang kitab rujukan dalam menyelesaikan hukum, khususnya dalam menyelesaikan pembagian waris, 94 % menyatakan bahwa fiqh mu’tabar tetap menjadi pijakan dan rujukan mereka.
E. Faraidl atau Kompilasi Hukum Islam Kalangan kyai pesantren Demak memberikan jawaban yang beragam atas pilihan antara mengikuti faraidl atau Kompilasi Hukum Islam. Ragam pendapat tersebut dapat disarikan sebagai berikut : 1. Faraidl bersumber dari Allah dan Rasulullah melalui kajian para imam madzhab yang mu’tabar, maka keberadaannya sebagai sumber hukum Islam tidak boleh ditinggalkan. Namun demikian, setelah ahli waris mengetahui hakhaknya menurut faraidl, dengan berbagai pertimbangan dan latar belakang terwujudnya gono gini, kita bisa menawarkan dan menerapkan Kompilasi Hukum Islam. 2. Berpegang pada faraidl bagi umat Islam adalah wajib karena sudah ditentukan oleh al-Qur’an, al-Sunnah dan dijabarkan dalam kitab-kitab fiqh, namun dalam praktik di lapangan banyak yang kurang sadar dan tidak mau menerimanya. Oleh karena itu para ulama dan tokoh masyarakat harus bijak dalam menyelesaikannya. Kompilasi Hukum Islam bisa dijadikan alternatif dan rujukan apabila masyarakat tidak menerima faraidl. 3. Sebaiknya mengikuti faraidl kecuali ada sebab seperti suami isteri sama-sama bekerja dalam hal mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga, yang hasilnya disebut gono gini, maka dalam hal ini bisa menggunakan Kompilasi Hukum Islam. 4. Sebaiknya mengikuti faraidl, alasannya : 1. Faraidl itu langsung dari Allah. 2. Faraidl adalah hukum yang paling terperinci di dalam al-Qur’an. 3. Termasuk qath’i al-tsubut
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
59
Abdullah Arief Cholil
wa qath’i al-dalalah. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam: 1. Hasil ijtihad yang memungkinkan salah. 2. Tidak mustahil ada muatan politik. 3. Ada penyesuaian dengan hukum positif. 4. Mungkin termasuk dhanni al-tsubut wa dhanni al-dalalah. 5. Faraidl tentu didahulukan, tetapi jika ada ahli waris yang tidak rela maka harus menggunakan Kompilasi Hukum Islam. Hal ini untuk menjaga kerukunan dalam keluarga dan demi kebikan bersama. 6. Pada masa lalu tidak ada aturan hukum formal yang mengatur gono gini, semua bertumpu pada suami sebagai kepala rumah tangga. Tetapi sekarang isteri ikut andil dan berperan dalam menopang ekonomi keluarga bahkan terdapat rumah tangga yang ekonominya ditopang lebih dominan pada isteri. Oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam merupakan jawaban yang tepat. 7. Dalam masalah gono gini, sebaiknya sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam, sebab lebih adil dan menghargai kedua belah pihak antara suami dan isteri. Dengan berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam, suami atau isteri tetap tegar dan bersemangat karena mendapatkan bagian 50 % dari harta bersama tersebut. 8. Sebaiknya mengikuti Fiqh Indonesia (Kompilasi Hukum Islam) dengan tanpa mengabaikan faraidl. Karena fiqh merupakan produk pemahaman para ahli hukum Islam terhadap sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan alSunnah yang tentunya sesuai dengan kondisi dan situasi kedaerahan seperti yang pernah dilakukan oleh tokoh reformis Islam sahabat Umar ibn al-Khaththab. Dari beberapa uraian pandangan kyai pesantren Demak sebagaimana dikemukakan di atas, dapatlah kiranya dipilah dalam dua bagian : Pertama, bahwa ada kecenderungan kyai pesantren Demak masih menginginkan penggunaan faraidl dalam pembagian harta gono gini. Hal tersebut tergambar dari bagaimana pendapat dan pandangan yang mengemuka dengan
60
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
berbagai fariasi argumentasinya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa berpegang pada faraidl bagi umat Islam adalah wajib karena sudah ditentukan oleh al-Qur’an, al-Sunnah dan dijabarkan dalam kitab-kitab fiqh. Kedua, bahwa kyai pesantren Demak yang diteliti menyodorkan Kompilasi Hukum Islam sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan persoalan-persoalan pembagian harta gono gini. Hal ini tidak saja Kompilasi Hukum Islam lebih adil tetapi juga menghargai kedua belah pihak antara suami dan isteri. Dengan berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam, suami atau isteri tetap tegar dan bersemangat karena mendapatkan bagian 50 % dari harta gono gini tersebut. Tidak itu saja, kelompok kedua ini juga beralasan bahwa pada masa lalu tidak ada aturan hukum formal yang mengatur harta bersama, semua bertumpu pada suami sebagai kepala rumah tangga. Tetapi sekarang isteri ikut andil dan berperan dalam menopang ekonomi keluarga bahkan terdapat rumah tangga yang ekonominya ditopang lebih dominan pada isteri, oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam merupakan jawaban yang tepat. Ketika berbicara faraidl tentu berbicara fiqh mawaris dan jika fiqh dipahami sebagai produk pemikiran hukum Islam, pada kenyataannya tidak hanya terbatas pada buku-buku teks atau kitab-kitab fiqh yang berjilid-jilid, tetapi juga meliputi keputusan hakim (fiqh al-qada’), fatwa ulama (fiqh al-Fatawa) baik perseorangan atau kelembagaan, dan perundang-undangan (fiqh al-qanun). Masing-masing produk formulasi hukum tersebut, memang memiliki karakteristik sendiri-sendiri, baik persamaan maupun perbedaanya. Namun yang jelas kesemuanya itu merupakan produk kerja intelektual dalam upaya menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul di dalam masyarakat. Kendatipun konsern dan nilai dinamika di dalamnya cenderung berbeda. Memang harus diakui, sebagaimana dikemukakan Ahmad Rofiq, bahwa persepsi sebagian ”besar” masyarakat Muslim tidak jarang menyamakan fiqh dengan syari’ah. Kenyataan ini, memiliki keterkaitan sejarah pembinaan intelektual, terutama di pesantren-pesantren khususnya dalam bidang hukum Islam dan Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
61
Abdullah Arief Cholil
metodologinya yang cenderung monoton dalam bingkai intelektual Syafi’iyah (Rofiq, 2000: 98-115).
H. SIMPULAN, Masyarakat Demak dalam khazanah antropologi dikenal sebagai masyarakat tradisional, bagian dari masyarakat Jawa yang tinggal di pesisir utara Jawa; mereka juga dikenal sebagai masyarakat pesisir yang bersifat egaliter dibanding dengan masyarakat Jawa diwilayah pedalaman yang dikenal sebagai masyarakat yang mempunyai subkultur negari gung. Secara umum masyarakat Demak dikenal sebagai masyarakat yang warganya memiliki ketaatan dalam menjalankan syar’at Islam. Sebagaimana umumnya masyarakat Islam Indonesia, masyarakat Demak, termasuk kyai-kyai pesantren yang ada, memandang fiqh identik dengan hukum Islam dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Sebagai akibatnya, maka fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. Dengan cara pandang demikian maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa diubah, maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan tetapi adalah sebagai buku agama itu sendiri. Sebagai akibatnya sering terjadi gesekan ketika seseorang secara fanatik memegangi dan mempertahankan apa yang ada dalam kitab fiqh, sementara yang lain menghendaki adanya perubahan pemahaman, di lain pihak ada aturan-aturan yang mengikat secara formal, maka yang terjadi adalah ambivalensi pemikiran dan pelaksanaan. Dalam teori ushul fiqh dinyatakan bahwa adat yang berkembang di suatu tempat dijadikan sebagai sumber hukum (al-adah muhakkamah), sepanjang tidak bertentangan dengan alQur’an dan al-Sunnah. Adat yang benar diteruskan dalam Islam, sedangkan adat yang rusak dihilangkan atau diubah dengan nilainilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Gono gini sebagai sebuah sistem yang berkembang di masyakat dalam membagi harta waris adalah adat. Jika gono gini sesuai dengan syari’at Islam, maka dapat 62
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
diteruskan. Namun jika bertentangan, maka harus diluruskan agar sesuai dengan syari’at Islam. Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono gini. Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah : Pembagian harta gono gini tergantung kepada kesepakatan suami dan isteri. Kesepakatan ini di dalam al-Qur’an disebut dengan ”al-Shul’hu” yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami isteri) kalau mereka berselisih. Dan sesuai dengan hasil wawancara dengan para kyai, mereka menyelesaikan pembagian harta waris -khususnya harta gono gini- lebih dahulu diselesaikan secara mesyawarah dan mufakat. Jika tidak ada masalah yang tajam dan meruncing, maka tidak dibawa ke Pengadilan Agama.
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
63
Abdullah Arief Cholil
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an, 1424 H., Damaskus: Daar al-Ma’arif.
Anshari, Abdul Ghafur, 2011, Hukum Perkawinan Islam, Perspektif Fikih dan Hukum Positif, Yogyakarta: UII Press.
Arifi, Ahmad, 2010, Pergulatan Pemikiran Fiqih Tradisi Pola Mazhab, Yogyakarta: ELSAQPRESS, Cet. Ke-2.
Arifin, Busthanul, 2001, Transformasi Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional, Jakarta: Yayasan Al-Hikmah. Bahari, Adib, 2012, Prosedur Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono Gini dan Hak Asuh Anak, Yogyakarta: Yudistira. BaPeda Demak, 2002, Masterplan dan Penataan Lingkungan Wisata Relegius Masjid Agung - Tembiring Kabupaten Demak, Demak: Laporan Akhir Sementara. -------------, 2011, Demak dalam Angka, Demak: BaPeda.
Bruinessen, Martin Van, 2012, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Yogyakarta: Gading Published.
Coulson, Noel J, 1969, Conflict and Tensions in Islamic Jurisprudence, London: The University of Chicago Press.
Damanhuri, A, 2012, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Bandung: Mandar Maju. Daud, Sunan Abu, t.t., Sunan Abu Daud, Mesir: Mathba’ah Taziyah.
Departemen Agama RI, 1971, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Bumi Restu. Dzofier, Zamakhsyari, 2011, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES. 64
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 2000, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Depag .
Effendi M. Zein, Satria, 2010, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer : Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Cet. 3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Jafizham, T. 1977, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Medan: Mustika.
Ma’mur, Jamal, 2013, PERGUMULAN PEMIKIRAN NAHDLATUL ULAMA TENTANG GENDER (Studi Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28 (1989) sampai Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 (2010), Disertasi di PPS IAIN Walisongo Semarang. Maktabah al-Syamilah
Manan, Abdul, 1997, Masalah tentang Harta Bersama, Mimbar Hukum, No. 33 Th. VIII. Madjid, Nurcholis, 1977, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina. Martin, James A., 1980, Perspectives on Conflict of Laws : Chois of Laws, Boston: Litle Brown and Company.
Mochtar, Affandi, 2009, Kitab Kuning & Tradisi Akademik Pesantren, Bekasi: Pustaka Asfahan.
Mudzhar, M. Atho, 1998, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberalisasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Parlin, 2000, Tradisi Rutual Grebeg Besar, Suatu Media Sosial dari Anyaman Makna, dalam Profetika, Surakarta: PMSI UMS, Vol. 2. Ramulyo, Mohamad Idris, 1999, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
65
Abdullah Arief Cholil
Bumi Aksara.
------------, 2006, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika. Rofiq, Ahmad, 2002, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-----------, 2001, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media. -----------, 2000, Kritik Metodologi Formulasi Fiqh Indonesia, dalam Epistemologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan Walisongo Press.
Rohidi, Tjetjep Rohendi, 28 April 2001, Revolusi Budaya Belajar pada Masyarakat Demak –Mengubah Cara Belajar Warga Masyarakat Demak Menuju Manusia Indonesia yang Berkualitas-, Makalah Seminar Membudayakan Belajar di Lingkungan Masyarakat Demak, di Demak. Rusyd, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Azzam.
Satrio, J., 1991, Hukum Harta Perkawinan, Bandung: Citra Aditya Bakti. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
------------, 1999, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers. Soemiyati, 2004, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Yogyakarta: Liberti.
Soemitro, Ronni Hanitijo, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia. -------------, 1985, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
66
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
Persepsi Kyai Pesantren Tentang Konsep pembagian Harta......
Subekti, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa.
Susanto, Dedi, 2011, Kupas Tuntas Harta Gono Gini, Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Syah, Ismail Muhammad, 1965, PENCAHARIAN BERSAMA SUAMI ISTERI (Adat Gono Gini Ditinjau dari Sudut Hukum Islam), Jakarta: Bulan Bintang.
Syarifuddin, Amir, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, cet. 3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Thalib, Sajuti, 1982, Receptio A Contrario, Jakarta: Academika.
--------, 2000, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. --------, 2001, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: Persada.
Thohir, Mudjahirin, 2006, Orang Islam Jawa Pesisiran, Semarang: Fasindo.
Umbara, Citra, 2007, UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, Bandung: CU.
Wahid, Marzuki & Rumadi, 2001, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKIS. Yafi, Ali, 1989, Kitab Kuning, Produk Peradaban Islam, dalam Pesantren No. 1/Vol. VI.
Yunanto, 2009, Hukum Keluarga dan Harta Kekayaan Perkawinan, Semarang: Program Magister Kenotariatan UNDIP.
Zein, Satria Effendi M., 2014, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Jakarta: UIN Jakarta dan Balitbang Depag RI.
Qijis, Volume 4, Issue 1, February 2016
67