PERSENTASE DAN IDENTIFIKASI CACING NEMATODA PADA KEONG MAS (Pomacea canaliculata) DI SEKITAR KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA
SHERLY NOVIARIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi berjudul Persentase dan Identifikasi Cacing Nematoda pada Keong Mas (Pomacea canaliculata) di Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga adalah benar karya penulis dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini penulis melimpahkan hak cipta dari karya tulis penulis kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Sherly Noviaria NIM B04110062
ABSTRAK SHERLY NOVIARIA. Persentase dan Identifikasi Cacing Nematoda pada Keong Mas (Pomacea canaliculata) di Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dibimbing oleh RISA TIURIA dan BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO. Pomacea canaliculata yang dikenal dengan nama keong mas adalah salah satu dari keong air tawar yang menjadi inang antara bagi cacing nematoda. Cacing nematoda merupakan salah satu cacing parasitik yang dapat menyebabkan zoonosis. Manusia terinfeksi cacing nematoda dari keong mas yang dikonsumsi secara mentah atau setengah matang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persentase dan mengidentifikasi cacing nematoda pada keong mas. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional secara purposif. Sebanyak 150 keong mas dikumpulkan dari lima kecamatan di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dari hasil penelitian diperoleh persentase larva nematoda sebesar 20% (Ciampea), 16% (Dramaga), 6% (Ciomas), 3% (Taman Sari) dan 0% (Tenjolaya). Rataan persentase larva nematoda yang diperoleh sebesar 9%. Salah satu cacing nematoda yang teridentifikasi adalah Angiostrongylus cantonensis. Berdasarkan penelitian ini disimpulkan bahwa P. canaliculata menjadi inang antara bagi cacing A. cantonensis yang bersifat zoonotik, oleh karena itu hal tersebut harus menjadi perhatian dari sisi kesehatan masyarakat veteriner. Kata kunci: Angiostrongylus cantonensis, keong mas, nematoda, zoonosis
ABSTRACT SHERLY NOVIARIA. Percentage and Identification of Nematodes on Keong Mas (Pomacea canaliculata) surrounding Bogor Agricultural University. Supervised by RISA TIURIA and BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO. Pomacea canaliculata known as keong mas in Indonesia is one of the freshwater snails and has a role as intermediate host for nematodes. Nematodes are parasitic worm that some of them can cause zoonosis. Humans became infected with nematodes of snails due to consumed raw or undercooked snail. This study aimed to elaborate the percentage and identify the nematodes. The study was designed using a cross-sectional purposively. A total of 150 snails were collected from five subdistricts around Bogor Agricultural University Campus. The result showed that percentage of nematodes larvae were 20% (Ciampea), 16% (Dramaga), 6% (Ciomas), 3% (Taman Sari), and 0% (Tenjolaya). The mean percentage of nematodes larvae was 9%. One of the nematodes identified is Angiostrongylus cantonensis. Based on all mentioned above, we concluded that P. canaliculata is an intermediate host of a zoonotic worm A. cantonensis, therefore we have to pay attention especially in veterinary public health issue. Keywords: Angiostrongylus cantonensis, nematodes, snails, zoonosis
PERSENTASE DAN IDENTIFIKASI CACING NEMATODA PADA KEONG MAS (Pomacea canaliculata) DI SEKITAR KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA
SHERLY NOVIARIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Persentase dan Identifikasi Cacing Nematoda pada Keong Mas (Pomacea canaliculata) di Sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun dalam rangka memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Drh Risa Tiuria, MS Ph.D dan Bapak Prof Drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS Ph.D APVet selaku komisi pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dan perbaikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Ayah dan Ibu tercinta, Abang Torus, Abang Preddy, dan Adik Daniel atas segala doa dan kasih sayang serta semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Teman tim penelitian yakni Gina dan Dendi atas bantuan selama proses penelitian. 4. Sahabat penulis yaitu Geffary, Risyad, Ardi, Ida, Fitriatus, Made, Linda, dan Rianti yang memberikan semangat hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik. Teman-teman Ganglion 48 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 5. Sahabat dan teman satu rumah yang memberikan masukan dan dukungan selama penulis menyusun skripsi yaitu Desi, Petriana, Nika, May, Mirfa, Silpa, dan Arini. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.
Bogor, September 2015 Sherly Noviaria
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Pomacea canaliculata
2
Nematoda
4
Kasus Kecacingan
5
METODE
6
Waktu dan Tempat
6
Bahan
6
Alat
6
Desain Penelitian
6
Prosedur Penelitian
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Persentase Larva Nematoda pada P. canaliculata
7
Identifikasi Nematoda
8
P. canaliculata sebagai Inang antara A. cantonensis SIMPULAN DAN SARAN
11 11
Simpulan
11
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
12
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL 1 Persentase larva nematoda pada P. canaliculata
8
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Morfologi P. canaliculata Telur P. canaliculata Morfologi Nematoda Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian anterior yang ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur 5 Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian posterior yang ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur
3 4 5 9 10
PENDAHULUAN
Latar Belakang Keong mas (Pomacea canaliculata) merupakan hama penting pada tanaman padi saat persemaian yang berasal dari Amerika Selatan. Pada tahun 1981, keong mas dikenal di Indonesia sebagai hewan hias, pembersih akuarium, penghasil protein hewani, dan komoditas eksport, karena harganya yang tinggi pada waktu itu (Min dan Yan 2006). Namun pada tahun 1990, sebagian keong mas lepas dari kolam tertutup melalui saluran pembuangan atau tempat-tempat genangan air menuju ke sawah dan merusak tanaman padi. Penyebaran keong mas yang sangat luas disebabkan oleh pergerakan aktif maupun sifatnya yang tahan kekeringan dan mudah beradaptasi. Adanya irigasi dan transportasi air yang membawa keong mas melalui aliran air memungkinkan perpindahan dan penyebaran keong mas secara pasif (Yunidawati 2012). Keong mas merusak tanaman padi dengan cara memarut dan memakan jaringannya. Hal tersebut yang menyebabkan adanya bibit yang hilang setelah ditanam. Bekas potongan daun dan batang yang terserang keong mas terlihat mengambang di genangan air sawah (Syam dan Wurjandari 2005). Intensitas kerusakan yang ditimbulkan oleh keong mas mencapai 13.2–96.5% (Pitojo 1996). Keberadaan keong mas di Indonesia yang dianggap sebagai hama dan ancaman kini dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi masyarakat. Kandungan protein yang cukup tinggi menjadikan keong mas sebagai bahan pangan yang layak dikonsumsi. Namun kewaspadaan perlu diberikan pada masyarakat yang sering mengonsumsi hewan ini. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa parasit yang menjadikan keong mas sebagai inang antara. Salah satu golongan parasit yang menjadi perhatian karena termasuk zoonosis adalah cacing nematoda. Menurut Onggowaluyo (2001), cacing nematoda yang disebut juga cacing gilig (round worm) merupakan cacing berbentuk bulat panjang, bilateral simetris, tidak bersegmen, meruncing di kedua ujung, dan tubuhnya dilapisi oleh kutikula. Siklus hidup nematoda dibagi menjadi dua, yaitu siklus hidup langsung dan siklus hidup tidak langsung. Siklus hidup langsung tidak membutuhkan inang antara dan infeksi dapat terjadi ketika inang definitif menelan larva infektif (larva fase ketiga). Siklus hidup tidak langsung membutuhkan inang antara dan inang definitif. Inang definitif terinfeksi cacing nematoda karena menelan larva infektif dan mengeluarkan feses bersamaan dengan larva fase pertama yang kemudian tertelan oleh inang antara. Larva fase pertama berkembang di dalam tubuh inang antara dan menjadi larva yang siap menginfeksi inang definitif ketika inang antara dimakan oleh inang definitif. Pada siklus hidup nematoda tidak langsung, keong mas berperan sebagai inang antara dan tikus sebagai inang definitif. Manusia sebagai inang accidental terinfeksi oleh larva infektif akibat mengonsumsi keong mas yang mengandung larva infektif secara mentah atau setengah matang. Cacing nematoda menginfeksi manusia dalam bentuk stadium larva fase ketiga yang siklusnya tidak dapat menjadi dewasa (Cowie 2011).
2 Pada tahun 1997 sampai 2008 terjadi outbreak di China akibat kasus kecacingan yang mengonsumsi keong mas setengah matang (Yang et al. 2013). Infeksi salah satu cacing nematoda yaitu Angiostrongylus cantonensis dapat menyebabkan eosinophilic meningitis pada manusia. Infeksi dari cacing nematoda ini disebut angiostrongyliasis. Eosinophilic meningitis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel eosinofil akibat infeksi cacing (Lv et al. 2009). Gejala klinis dari angiostrongyliasis yaitu sakit kepala yang parah disertai dengan muntah, kekakuan leher, dan paralisis wajah. Manusia merasakan sakit kepala yang parah disebabkan oleh adanya saluran-saluran yang dibuat oleh larva selama proses migrasi di sistem saraf pusat (Alto 2001). Sampai saat ini, di Indonesia belum dilakukan penelitian tentang kasus kecacingan yang melibatkan keong mas sebagai inang antara.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase kecacingan dan mengidentifikasi jenis cacing nematoda pada keong mas (Pomacea canaliculata) di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait adanya cacing nematoda pada keong mas. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai acuan program pencegahan dan pengendalian kasus penyakit yang disebabkan oleh cacing nematoda yang bersifat zoonotik.
TINJAUAN PUSTAKA Pomacea canaliculata Taksonomi Keong mas (P. canaliculata) termasuk famili Ampullaridae dan genus Pomacea. Penentuan spesies dari famili Ampullariidae adalah berdasarkan bentuk mulut, warna, dan operkulum cangkang. Taksonomi keong mas menurut Isnaningsih dan Marwoto (2011) adalah sebagai berikut. Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: : : : : :
Molluska Gastropoda Mesogastropoda Ampullaridae Pomacea Pomacea canaliculata (Lamarck 1822)
3 Morfologi Cangkang keong mas berbentuk bulat dan arah putaran ke kanan (Gambar 1). Jumlah putaran seluk yang dimiliki keong mas adalah sebanyak 4–5 buah dan terdapat celah antar putaran seluk yang dalam. Mulut cangkang keong mas berbentuk oval, pusar besar, dan dalam. Puncak cangkang keong mas sering mengalami erosi sehingga tumpul. Warna cangkangnya kuning kehijauan, terkadang ada pola garis melingkar. Penutup cangkang (operkulum) yang dimiliki keong mas berasal dari khitin dan cukup tebal, berbentuk tipe konsentris dengan inti terdapat di tengah sisi kiri, dan berwarna coklat (Isnaningsih dan Marwoto 2011).
Gambar 1 Morfologi P. canaliculata Habitat Keong mas hidup pada perairan air tawar, seperti kolam, rawa, dan sawah yang memiliki irigasi. Keong mas memiliki kemampuan beradaptasi dengan cepat. Selama musim kering, keong mas mampu bertahan hidup hingga enam bulan dengan membenam diri pada tanah lembab untuk mengurangi metabolisme dan memasuki masa diapause. Ketika tanah tempat hidupnya tergenang air, keong mas menjadi aktif kembali. Hewan ini mempunyai insang dan organ menyerupai paruparu untuk beradaptasi di dalam air maupun darat. Organ paru-paru keong mas selain berfungsi untuk pernapasan juga mengatur pengapungan, sehingga dapat bertahan pada perairan tercemar dan rendah kandungan oksigen (Riyani 2014). Siklus hidup Perkembangbiakkan terjadi saat keong jantan dan betina dewasa bertemu dan melakukan kopulasi. Keong mas jantan membuahi sel telur yang berada di dalam tubuh keong mas betina. Telur yang sudah dibuahi diletakkan induk betina beberapa cm di atas permukaan air pematang sawah atau tempat lainnya secara berkelompok sekitar 132–1287 butir (Diratmaja dan Permadi 2004). Menurut Lukito dan Prayugo (2007), keong mas disebut juga keong murbai karena telurnya yang berkelompok dan berwarna merah muda seperti buah murbei (Gambar 2). Telur akan mengeras dan merekat pada substratnya, kemudian selama 7–14 hari menetas menjadi keong mas muda yang berukuran 2.2–3.5 mm. Keong mas muda meninggalkan cangkang telur dan masuk ke dalam air. Cangkang keong mas akan mengeras setelah 15–25 hari. Alga dan bagian tanaman yang lunak menjadi
4 makanan keong mas. Keong mas yang berumur 45–59 hari akan mengalami dewasa kelamin dengan periode reproduksi 2–36 bulan. Kemudian keong mas jantan dan betina akan saling mencari dan melakukan kopulasi lagi (Suharto 2007).
Gambar 2 Telur P. canalilucata
Nematoda Morfologi Natadisastra dan Agoes (2009) menjelaskan bahwa cacing nematoda memiliki kepala, ekor, dinding, sistem digesti, sistem saraf, sistem ekskresi, sistem reproduksi yang terpisah, dan rongga badan yang disebut pseudoselom, namun tidak memiliki sistem sirkulasi (Gambar 3). Sistem digesti berbentuk tubular dengan mulut yang umumnya dikelilingi oleh tiga bibir dan terhubung langsung oleh esofagus. Esofagus memiliki bentuk yang bervariasi dan berfungsi untuk meneruskan makanan ke usus. Selain itu esofagus menjadi titik kunci untuk membedakan tiap spesies. Usus memiliki bentuk seperti tabung yang dindingnya dilapisi oleh lapisan snycytium yang tipis. Sistem reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium, oviduk, uterus, vagina, dan vulva. Sistem reproduksi jantan terdiri atas testis, vas deverens, dan saluran ejakulatori di kloaka. Organ tambahan yang dimiliki cacing jantan yaitu spikulum dan gubernakulum. Spikulum berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan gubernakulum berfungsi untuk mengarahkan spikulum.
5
Gambar 3 Morfologi nematoda (Dixon 2012).
Siklus hidup Menurut Hendrix dan Robinson (1998), cacing nematoda betina dewasa memproduksi telur yang akan berkembang menjadi fase morula. Fase morula berkembang menjadi fase berudu dengan bentuk larva fase pertama yang dilengkapi oleh cangkang telur. Larva fase pertama yang menetas, keluar dari cangkang telur kemudian berganti kulit atau melepaskan kutikula ektsternalnya. Saat berganti kulit, larva fase pertama akan berkembang menjadi larva fase kedua. Larva fase kedua berganti kulit lagi menjadi larva fase ketiga. Larva fase pertama sampai ketiga dapat berkembang di lingkungan luar atau di dalam inang antara. Larva fase ketiga dapat menginfeksi inang dengan penetrasi langsung atau intervensi inang antara, sehingga disebut larva infektif. Saat larva infektif berada di dalam tubuh inang definitif, larva ketiga akan berganti kulit menjadi larva fase keempat, kemudian berganti kulit lagi menjadi larva fase kelima. Larva fase kelima akan bermigrasi ke suatu organ untuk berkembang menjadi fase yang dewasa kelamin. Jika cacing nematoda jantan dan betina dewasa melakukan kopulasi kembali, maka siklus baru dimulai lagi setelah cacing betina dewasa bertelur (Muryani 2008).
Kasus Kecacingan Keong mas menjadi inang antara penting bagi cacing nematoda, salah satunya adalah A. cantonensis. Cacing nematoda ini ditemukan pertama kali pada arteri pulmonari dari rodensia sehingga disebut juga rat lungworm. Keong mas yang dikonsumsi dalam kondisi mentah (raw) atau dimasak setengah matang (undercooked) dapat mengandung larva fase ketiga dari A. cantonensis. Eosinophilic meningitis yang disebabkan oleh cacing nematoda ini merupakan penyakit fatal secara potensial, sehingga dapat dikategorikan sebagai emerging disease (Zhang et al. 2009). Dari 32 spesies moluska di China yang telah diteliti, hasil yang diperoleh sebesar 69.4% A. cantonensis menginfeksi keong mas (Wang et al. 2008).
6
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2014 hingga bulan Maret 2015 yang berlokasi di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan yang digunakan untuk identifikasi cacing nematoda adalah sampel keong mas sebanyak 150, NaCl fisiologis, alkohol 70%, alkohol 85%, alkohol 95%, alkohol absolut, KOH 10%, Entelan®, dan minyak cengkeh. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, mortar, jarum pengait, keramik hitam, akuarium, plastik, refrigerator, pinset anatomis, gunting anatomis, gloves, dan mikroskop.
Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional secara purposif dilakukan di area pedesaan sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga. Pemilihan tersebut berdasarkan pertimbangan kemudahan dalam melakukan penelitian dan keterbatasan waktu penelitian.
Prosedur Penelitian Pengambilan sampel Pengambilan sampel keong mas berasal dari Kecamatan Dramaga Desa Cangkurawok, Kecamatan Ciampea Desa Cihideung Hilir, Kecamatan Tenjolaya Desa Cinangneng, Kecamatan Taman Sari Desa Suka Makmur, Kecamatan Ciomas Desa Ciapus. Sampel diambil dari persemaian tanaman padi dan sawah setelah panen yang masih ada genangan air, kemudian dimasukkan ke dalam plastik dan langsung disimpan di dalam akuarium agar pemeriksaan keong mas masih dalam keadaan hidup. Pemeriksaan sampel keong mas Pemeriksaan sampel keong mas dilakukan untuk menghitung jumlah cacing nematoda dalam tubuh keong mas. Pemeriksaan dilakukan dengan membuka cangkang keong mas dengan mortar, kemudian tubuh keong mas dikeluarkan
7 dengan pinset anatomis dan diletakkan pada cawan petri. Air dituangkan sedikit pada cawan petri, kemudian tubuh keong mas dipotong kecil-kecil dengan gunting anatomis. Cawan petri diletakkan di atas keramik hitam untuk memudahkan pemeriksaan adanya cacing nematoda yang berwarna putih. Tubuh keong mas dikoyak dengan jarum pengait supaya cacing nematoda dapat keluar dari organ tubuh keong mas. Jika terdapat cacing nematoda maka dipisahkan dari organ tubuh keong mas lalu diletakkan ke cawan petri yang sudah dituangkan sedikit NaCl fisiologis. Setelah itu cawan petri disimpan dalam refrigerator selama 2–3 hari untuk merelaksasi tubuh cacing parasitik agar dapat diwarnai. Pewarnaan spesimen Pewarnaan cacing nematoda menggunakan teknik pewarnaan semi permanen. Tahapan pewarnaannya adalah penipisan dan penghilangan lapisan kutikula cacing nematoda yang dilakukan dengan cara spesimen direndam dalam KOH 10% selama 1–3 menit sampai lapisan kutikula terlihat tembus pandang. Kemudian spesimen dipindahkan ke dalam minyak cengkeh selama 30–60 detik sampai organ-organ tubuh terlihat jelas. Setelah itu cacing dimasukkan ke dalam alkohol bertingkat (70%, 85%, 95%, absolut) masing-masing selama 15–30 detik. Selanjutnya dilakukan proses mounting dengan Entelan® sebagai bahan perekat (Khairunnisa 2007). Identifikasi nematoda Identifikasi nematoda dilakukan hanya pada sampel nematoda dari Kecamatan Dramaga, sedangkan empat kecamatan lain tidak masuk dalam skripsi ini. Nematoda diidentifikasi menggunakan mikroskop dengan acuan Medical and Economic Malacalogy (Malek dan Cheng 1974) dan Biology A. cantonensis (Cowie 2011). Persentase Perhitungan persentase dilakukan untuk mengetahui persentase jumlah keong mas yang terinfeksi nematoda dari total keong mas yang diperiksa. Persentase =
HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Larva Nematoda pada P. canaliculata Dari lima kecamatan di sekitar Kampus IPB Dramaga, Kecamatan Ciampea memiliki persentase paling tinggi yaitu sebesar 20% diikuti oleh Kecamatan Dramaga (16%), Kecamatan Ciomas (6%), dan Kecamatan Taman Sari (3%). Di
8 Kecamatan Tenjolaya tidak ditemukan adanya infeksi nematoda pada keong mas (Tabel 1). Rataan persentase keong mas yang terinfeksi nematoda adalah sebesar 9%. Tabel 1 Persentase larva nematoda pada P. canaliculata No
Kecamatan
Jumlah yang diperiksa (ekor)
Jumlah yang terinfeksi (ekor)
Persentase (%)
1 2 3 4 5
Dramaga Ciampea Taman Sari Ciomas Tenjolaya
30 30 30 30 30
5 6 1 2 0
16 20 3 6 0
150
14
45
Total Rata-rata
9
Tingginya persentase di Kecamatan Ciampea dan Dramaga diduga dipengaruhi oleh lokasi pengambilan sampel. Lokasi pengambilan sampel di Kecamatan Ciampea dan Dramaga berada di sawah yang berdekatan dengan selokan yang berisi tumpukan sampah dan pemukiman penduduk. Rendahnya persentase di Kecamatan Taman Sari dan Ciomas disebabkan oleh lokasi pengambilan sampel yang tidak berdekatan dari pemukiman namun masih ditemukan sampah sisa makanan yang menumpuk di area genangan air sawah. Tidak ditemukannya infeksi nematoda pada keong mas di Kecamatan Tenjolaya, karena lokasi pengambilan sampel berada jauh dari pemukiman dan lingkungannya relatif tidak banyak sampah. Cheng et al. (2011) menyatakan bahwa kontaminasi lingkungan memiliki peran penting dalam infeksi nematoda pada keong mas. Persentase paling tinggi dari nematoda disebabkan oleh lokasi sawah yang berdekatan dengan tumpukan sampah dari pemukiman penduduk yang terhubung dengan dapur rumah tangga. Hal tersebut memungkinkan hewan vertebrata sebagai inang definitif untuk mencari makan di tumpukan sampah dan pemukiman penduduk lalu mengeluarkan feses di area genangan air sawah. Infeksi nematoda berhubungan dengan faktor lingkungan makro dan mikro (macro-micro environment). Faktor lingkungan makro yang dapat mempengaruhi infeksi nematoda seperti kondisi geografis, ketinggian, tumbuhan, dan satwa liar. Sedangkan faktor lingkungan mikro yaitu habitat keong mas itu sendiri. Habitat alam dari nematoda tergantung pada spesies, populasi, distribusi dari keong mas sebagai inang antara dan hewan vertebrata sebagai inang definitif (Cheng et al. 2011). Identifikasi Nematoda Dari hasil penelitian yang dilakukan pada keong mas diketahui bahwa terdapat cacing nematoda. Hasil identifikasi nematoda yang ditemukan pada penelitian ini digolongkan dalam kelompok superfamili Metastrongyloidea, famili Angiostrongylidae, dan genus Angiostrongylus (Chen 1935). Ubelaker (1986)
9 mengelompokkan Angiostrongylidae menjadi enam genus berdasarkan karakteristik morfologi dari bursa kopulatoris jantan dan spesifitas grup inang. Pada inang tikus telah dilaporkan sebanyak 14 spesies dari genus Angiostrongylus. Malek dan Cheng (1974) melaporkan bahwa di negara Asia Timur dan Australia ditemukan tiga spesies Angiostrongylus yaitu A. cantonensis (Chen 1935), A. mackerrasae (Bhaibulaya 1968), dan A. malaysiensis (Bhaibulaya dan Cross 1971). NR
KT RS RS
EP E
(A) Gambar 4
(B)
(C)
Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian anterior yang ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur. Keterangan gambar: KT (struktur bentuk T atau seperti kenop); RS (struktur bentuk batang); NR (nervus ring); EP (lubang ekskretori); E (esofagus); (A) Sumber: Maldonado et al. (2012); (B) Gambar cacing nematoda yang diperoleh dari keong mas asal Kecamatan Dramaga dengan pembesaran 10x; (C) Sumber: Cowie (2011).
Nematoda pada keong mas yang diidentifikasi adalah larva fase ketiga Angiostrongylus. Hasil tersebut memiliki kesamaan morfologi dengan penemuan larva fase ketiga dari Spratt (2015). Larva yang ditemukan memiliki bentuk tubuh silindris memanjang. Pada bagian anterior nematoda larva fase ketiga memiliki struktur bentuk T, struktur seperti batang, dan esofagus (Gambar 4). Hasil pengukuran panjang dan lebar larva fase ketiga adalah 498 μm dan 80 μm. Maldonado et al. (2012) menyatakan bahwa kesamaan dari ciri khusus morfologi yang sesuai dapat dijadikan dasar untuk menggolongkan larva fase ketiga Angiostrongylus. Ciri khusus morfologi yang diperoleh sesuai dengan ciri spesies yang ditemukan oleh Cowie (2011) yaitu A. cantonensis. Struktur khusus bagian anterior yang dimiliki A. cantonensis adalah struktur bentuk T atau seperti kenop, struktur bentuk batang, nervus ring, esofagus, dan lubang ekskretori. Menurut Malek dan Cheng (1974), bagian posterior cacing betina Angiostrongylus menjadi kunci morfologi untuk menggolongkan spesies. Morfologi A. cantonensis memiliki kesamaan bentuk dengan A. mackerrasae dan A. malaysiensis. Cacing betina A. cantonensis tidak memiliki penonjolan di ujung ekor, sedangkan A. mackerrasae dan A. malayensis memiliki penonjolan di ujung
10 ekor. A. malayensis memiliki penonjolan yang lebih pendek jika dibandingkan dengan A. mackerrasae. Hasil identifikasi bagian posterior yang diperoleh tidak memiliki penonjolan, sehingga hasil identifikasi menunjukkan bahwa ditemukan larva fase ketiga betina dari jenis A. cantonensis (Gambar 5).
TPT
(A)
(B)
(C) Gambar 5
Perbandingan morfologi cacing A. cantonensis bagian posterior yang ditemukan pada sampel keong mas dengan literatur. Keterangan gambar: TPT (ekor yang menajam ke ujung); (A) Gambar cacing nematoda yang diperoleh dari keong mas asal Kecamatan Dramaga dengan pembesaran 20x; (B) Sumber: Maldonado et al. (2015); (C) Sumber: Malek dan Cheng (1974).
A. cantonensis pertama kali dilaporkan berasal dari tikus di China (Chen 1935). Yokogawa (1937) melaporkan spesies yang sama sebagai Haemostrongylus ratti. Kemudian terjadi perubahan nomenklatur, genus Haemostrongylus dirubah dengan nama Angiostrongylus, dan spesies ratti dirubah dengan nama cantonensis. Perubahan tersebut diterima secara luas, sehingga nama yang paling umum digunakan untuk spesies ini adalah A. cantonensis (Cowie 2011).
11 P. canaliculata sebagai Inang antara A. cantonensis Golongan Molluska yaitu keong darat dan air tawar berperan sebagai inang antara A. cantonensis (Yang et al. 2013). Keong mas (P. canaliculata) menjadi salah satu keong air tawar yang berperan penting dalam epidemiologi angiostrongyliasis. Manusia secara tidak sengaja terinfeksi karena mengonsumsi keong mas yang mengandung larva fase ketiga dalam kondisi mentah (raw) atau dimasak setengah matang (undercooked). Perkembangan larva fase ketiga sejalan dengan siklus hidupnya pada tikus sebagai inang definitif, namun hanya sampai pada stadium sub-adult di otak manusia. Umumnya larva stadium sub-adult tidak mampu untuk masuk ke sistem sirkulatori dan setelah bergerak di sekitar jaringan otak, kemudian larva akan mati. Hal tersebut juga berhubungan dengan sifat neurotropik yang dimiliki A. cantonensis pada manusia. Kerusakan neurologis yaitu eosinophilic meningitis ditandai dengan adanya inflamasi akibat pergerakan larva hidup dan keberadaan larva stadium sub-adult yang telah mati di selaput otak (Alto 2001). Hasil identifikasi A. cantonensis yang ditemukan di Kecamatan Dramaga sebesar 20% (1 nematoda teridentifikasi dari total 5 nematoda). Lv et al. (2008) melaporkan bahwa P. canaliculata menjadi inang antara A. cantonensis yang cukup banyak ditemukan (69.4%), karena memiliki suseptibilitas dan toleransi lingkungan yang tinggi pada parasit tersebut. P. canaliculata merupakan sajian makanan di restoran di China yang distribusinya tidak hanya di satu daerah melainkan meliputi beberapa daerah, akibatnya penyebaran A. cantonensis juga semakin luas (Yang et al. 2013). Penyebaran yang cepat dan distribusi yang luas dari P. canaliculata menyebabkan peningkatan persentase dan intensitas dari infeksi A. cantonensis.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. 2. 3.
Terdapat infeksi nematoda pada keong mas di empat kecamatan di sekitar Kampus IPB Dramaga. Persentase yang diperoleh bervariasi mulai dari 0–20% dengan rataan 9%. Satu nematoda yang teridentifikasi adalah Angiostrongylus cantonensis yang bersifat zoonotik.
Saran Dari hasil penelitian ini disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan dengan menambah jumlah dan lokasi pengambilan sampel. Adanya pembuatan preparat histopatologi pada keong mas yang positif terinfeksi cacing nematoda perlu dilakukan untuk mengetahui lesio patologinya. Keong mas sebaiknya tidak dikonsumsi dalam kondisi mentah (raw) atau dimasak setengah matang (undercooked) untuk mencegah dan mengurangi zoonosis.
12
DAFTAR PUSTAKA Alto W. 2001. Human infections with Angiostrongylus cantonensis. Pacific Hlth Dialog. (8):176-182. Bhaibulaya M dan Cross JH. 1971. Angiostrongylus malaysiensis (nematoda: Metastrongylidae), a new species of rat lung-worm from Malaysia. Trop Med Pub Hlth. 2:527-533. Bhaibulaya M. 1968. A new species of Angiostrongylus in an Australian rat, Rattus fuscipes. Parasitol. 58:789-799. Chen HT. 1935. Un nouveau nématode pulmonaire, Pulmonema cantonensis n.g., n.sp., des rats de Canton. Ann Parasit Hum Comp. 13:312-370. Cheng YZ, Hou J, He XH, Hong ZK, Li LS, Lin GH, Chen MX, Chen SH. 2011. Prevalence of Paragonimus and Angiostrongylus cantonensis infections in snails in Southeastern China. J Animal Vet Adv. 10(19):2599-2602. Cowie RH. 2011. Biology: Taxonomy, Identification, and Life Cycle of Angiostrongylus cantonensis. Hawaii (US): Pacific Biosciences Research Center University of Hawaii. Diratmaja, Permadi K. 2004. Tingkat serangan keong mas (Pomacea canaliculata) pada padi sawah . J Agrivigor. 4(1):35-39. Dixon J. 2012. Nematode Roundworms. [Internet]. [diunduh 2014 Sep 29]. Tersedia pada: http://sharonapbio-taxonomy.wikispaces.com/file/view /nematode.jpg/50864359/nematode.jpg Harahap IS, Tjahjono B. 2003. Pengendalian Hama dan Penyakit Padi. Bogor (ID): Penebar Swadaya. Hendrix CM dan Robinson E. 1998. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. St. Louis (US): Mosby. Isnaningsih NR dan Marwoto RM. 2011. Keong hama Pomacea di Indonesia: karakter morfologi dan sebarannya (Mollusca, Gastropoda: Ampullariidae). Berita Biologi. 10(4):441-447. Khairunnisa. 2007. Minyak cengkeh (Eugenia aromatica) dan kalium hidroksida 10% sebagai bahan pewarna semi permanen pada cacing nematoda dan Acatocephala ikan air laut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lukito A dan Prayugo S. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Lv S, Zhang Y, Liu HX, Zhang CW, Steinmann P, Zhou XN, Utzinger J. 2009. Angiostrongylus cantonensis: morphological and behavioral investigation within the freshwater snail Pomacea canaliculata. Parasitol Res. 104: 1351-1359. Lv S, Zhang Y, Steinmann P, Zhou XN. 2008. Emerging angiostrongyliasis in mainland China. Emerg Infect Dis. 14(1):161-164. Maldonado AJ, Simões R, Thiengo S. 2012. Angiostrongyliasis in the Americas, Zoonosis. Rio de Janeiro (BR): InTech. Malek EA, Cheng TC. 1974. Medical and Economic Malacology. London (UK): Academic Pr. Martin AA, Abreu YE, Feliu C, Mas CS, Bargues MD, Valladares B, et al. 2015. Intermediate hosts of Angiostrongylus cantonensis in Tenerife, Spain. PLoS One [Internet]. [diunduh 2015 Juni 10]; 10(3):1-10. Tersedia
13 pada:http://journals.plos.org/plosone/article?id=10.1371/journal.pone.0120 686. Min W, Yan X. 2006. The golden apple snail (Pomacea canaliculata) in China. Phil Rice. 2006: 285-289. Muryani A. 2008. Kecacingan pada tinja badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di taman nasional way kambas Lampung (semi insitu) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Natadisastra D, Agoes R.2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta (ID): EGC. Onggowaluyo J. 2001. Parasitologi Medik I (Helmintologi). Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Pitojo S. 1996. Petunjuk Pengendalian dan Pemanfaatan Keong Mas. Jakarta (ID): Trubus Agriwidya. Riyani S. 2014. Mortalitas keong mas (Pomacea canaliculata) setelah pemberian testa jambu mete (Anacardium occidentale) [skripsi]. Yogyakarta (ID): UIN Sunan Kalijaga. Spratt DM. 2015. Species of Angiostrongylus (Nematoda: Metastrongyloidea) in wildlife: A review. J Parasitol [Internet]. [diunduh 2015 Juni 10]; 4:178189. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25853051. Sugeng H. 2001. Bercocok Tanam Padi. Semarang (ID): Aneka Ilmu. Suharto H, Kurniawati H. 2009. Keong mas, dari hewan peliharaan menjadi hama utama padi sawah [Internet]. [diunduh 2014 Sep 29]. Tersedia pada: http://www.litbang.deptan.go.id/special/padi/bbpadi_2009_itp_14.pdf. Syam M, Wurjandari D. Masalah Lapang Hama Penyakit Hara. 2003. Yogyakarta (ID): IRRI. Ubelaker JE. 1986. Systematics of species referred to the genus Angiostrongylus. J Parasitol. 72:237-244. Wang QP, Lai DH, Zhu XQ, Chen XG, Lun ZR. 2008. Human angiostrongyliasis. Lancet Infect Dis. 2008(8):621-630. Widiastuti D. 2011. Angiostrongylus cantonensis. BALABA [Internet]. [diunduh 2014 Sep 29]; 7(1):25-26. Tersedia pada: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/blb/article/view/1198/3247. Yang BT, Wu ZD, Lun ZR. 2013. The apple snail Pomacea canaliculata, a novel vector of the rat lungworm, Angiostrongylus cantonensis its introduction, spread, and control in China. Hawai’i J Med Pub Hlth [Internet]. [diunduh 2014 Sep 29]; 72(6):23-25. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3689487. Yokogawa S. 1937. A new species of nematode found in the lungs of rats. Haemostrongylus ratti n. sp. Trans Nat Hist Soc Formosa. 27:247-250. Yunidawati W. 2012. Pengendalian hama keong mas (Pomacea canaliculata Lamarck) dengan ektstrak biji pinang pada tanaman padi [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Zhang Y, Lv S, Yang K, et al. 2009. The first national survey on natural of Angiostrongylus cantonensis in China. Chin J Parasitol Dis. 227(6):508512.
14
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 29 Maret 1993 dari pasangan Bapak Mangido Sabam Samosir Pakpahan dan Ibu Lamria Sitohang. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Penulis memiliki tiga orang saudara laki-laki yaitu Torus Frans Pardomuan Pakpahan, Preddy Ray Satrio Pakpahan, dan Daniel Christ Parsaulian Pakpahan. Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari tahun 1997 pada tingkat TK Masehi Kudus selama dua tahun, kemudian pada tahun 2000 melanjutkan pendidikan dasar di SD Masehi Kudus, kemudian menempuh pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 1 Kudus dan lulus pada tahun 2008. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kudus pada tahun 2011. Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) pada tahun 2011 melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan. Selama menempuh pendidikan di FKH IPB, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Profesi (HIMPRO) Ruminansia. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Anatomi Veteriner I pada tahun 2013.