PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP NASABAH PENGGUNA KARTU ATM DALAM SISTEM PERBANKAN NASIONAL Oleh : Imas Rosidawati wiradirja
Abstrak
Inovasi perbankan yang berbasis tehnologi informasi di industry perbankan dewasa ini memberikan dampak efisiensi dan efektivitas yang luar biasa. Produk-produk electronic banking seperti ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit, internet Banking, SMS/Mobile Banking, Phone banking telah mendorong layanan perbankan menjadi relative tidak terbatas, baik dari sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis. Dalam menjaga kelangsungan roda perekonomian, konsumen menduduki posisi cukup penting, namun ironisnya sebagai salah satu pelaku ekonomi, kedudukan konsumen sangat lemah dalam hal perlindungan hukumnya, termasuk dalam menggunakan kartu ATM. Sering kali hak-hak nasabah selaku konsumen tidak terlaksana dengan baik, yang menyebabkan nasabah menderita kerugian. Pertanggungjawaban Bank atas kerugian yang diderita nasabah dalam penggunaan kartu ATM adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan.
Kata Kunci : Nasabah, ATM, Perbankan.
A. Pendahuluan Keberadaan lembaga perbankan sebagai salah satu pelaku usaha, memiliki kontribusi yang cukup dominan dalam menjaga keberlangsungan roda perekonomian. Dalam memajukan usaha perbankan peranan nasabah selaku konsumen produk dan jasa bank sangat besar, karena dengan semakin banyaknya nasabah yang percaya kepada sebuah bank, maka semakin banyak dana dapat dihimpun dari masyarakat. Berbagai modifikasi diramu kalangan perbankan untuk menghimpun dana pihak ketiga sebanyak-banyaknya. Persaingan perbankan yang semakin kompetitif pada era Otonomi Daerah dan globalisasi, menuntut setiap Bank untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah antara lain dengan membangun Teknonologi Sistem Informasi secara On Line. Dalam era globalisasi tersebut, perlu segera disiapkan perangkat hukum yang mengaturnya. Kegiatan bisnis perusahaan di berbagai negara telah diantisipasi dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang pada umumnya ditujukan pada pengaturan masalah perilaku bisnis. Kebijakan ini dimaksud untuk menjaga, agar persaingan antara kalangan usaha termasuk usaha perbankan dilakukan secara jujur (fair competition) dengan syarat-syarat yang diperlukan agar perilaku bisnis tidak merugikan konsumen serta ketentuan-ketentuan tentang perlindungan konsumen dapat ditaati oleh pihak-pihak terkait.
2
Dalam menjaga kelangsungan roda perekonomian, konsumen menduduki posisi cukup penting, namun ironisnya sebagai salah satu pelaku ekonomi, kedudukan konsumen sangat lemah dalam hal perlindungan hukum (Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani: 2000). Di Indonesia, konsumen yang selama ini berada pada posisi lemah terkesan hanya menjadi objek pelaku usaha melalui kiat promosi, maupun cara penjualan yang sangat ekspansif. Lemahnya posisi konsumen disebabkan antara lain masih rendahnya kesadaran konsumen di Indonesia (A.Z. Nasution : 1994) . Lemahnya posisi konsumen menyebabkan posisi hukum konsumen ikut menjadi lemah. Sebelum diterbitkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, penegakan hukum untuk mengawasi produsen sangat sulit dilakukan, terutama dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan atas kerugian yang diderita oleh konsumen. Kesulitan-kesulitan dalam melakukan gugatan terhadap pelaku usaha yang telah merugikan konsumen adalah dimana setiap penggugat haruslah dapat membuktikan, bahwa pihak pelaku usaha sebagai tergugat telah melakukan kesalahan. Dengan demikian setiap pihak yang mendalilkan adanya suatu kesalahan, maka pihak yang mendalilkan tersebut haruslah dapat membuktikan kesalahan pihak yang digugat. Hal ini tentu menyulitkan konsumen untuk membuktikan kesalahan pihak bank sebagai pihak yang bertindak selaku pelaku usaha. Inovasi perbankan yang berbasis tehnologi informasi di industry perbankan dewasa ini memberikan dampak efisiensi dan efektivitas yang luar biasa. Sebagai contoh adanya produkproduk electronic banking seperti ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit, internet Banking, SMS/Mobile Banking, Phone banking, dll telah mendorong layanan perbankan menjadi relative tidak terbatas, baik dari sisi waktu maupun dari sisi jangkauan geografis.( Agus Santoso : 2008) Implementasi ATM (Anjungan Tunai Mandiri) atau Authomatic Teller Machine sebagai fasilitas untuk memudahkan nasabah bertransaksi melakukan penarikan tunai dengan bank, mengubah proses transaksi perbankan yang dulunya bersifat konvensional menjadi bersifat maya dimana para pihak tidak bertemu secara langsung tetapi cukup melalui media elektronik. Elemenelemen pasar tradisional seperti orang, barang dan uang dalam masyarakat informasi global menjadi tidak terlihat. ATM yang merupakan suatu fenomena baru, jika dilihat dari kacamata hukum tidak kalah pentingnya dengan aspek-aspek dibidang ekonomi. Aspek-aspek hukum dalam kartu ATM antara lain: peralihan hak milik, perjanjian, tanggung jawab pelaku usaha dan perlindungan bagi nasabah selaku konsumen. Dengan memasukkan kartu ATM kedalam mesin ATM kemudian menekan digit-digit angka yang sesuai dengan nomor PIN (Personal Identification Number) maka kita dapat melakukan transaksi-transaksi perbankan melalui ATM, antara lain: Mengecek informasi saldo; Melakukan penarikan tunai; Melakukan pemindahbukuan; Melakukan pembayaran; dan Melakukan registrasi Penggunaan ATM
memberikan berbagai kemudahan bagi nasabah, transaksi
3
perbankan menjadi lebih sederhana, lebih cepat dan lebih murah. Tetapi ternyata penggunaan ATM
dapat menimbulkan masalah bagi pemakainya, misalnya dalam melakukan transaksi
penarikan, dana yang diterima nasabah tidak sesuai dengan dana yang didebet dari rekeningnya. Masalah-masalah lain seperti penipuan, penggunaan data oleh pihak lain yang tidak berhak , tindakan curang melalui penggunaan kartu pembayaran milik orang lain (carding) dan kerusakan atau sistem yang digunakan pada mesin ATM. (Ahmad M. Ramli : 2004). Pada umumnya nasabah hanya mengetahui manfaatnya dari pada risiko-risiko yang ditimbulkannya. Karena bank belum menjelaskan secara berimbang antara manfaat dan risiko yang melekat pada kartu ATM. Hak dan kewajiban para pihak dalam transaksi menggunakan kartu ATM, sudah disepakati pada saat nasabah mengajukan dan menandatangani aplikasi permohonan ATM kepada bank yang berbentuk perjanjian baku. Namun pada kenyataannya dalam transaksi menggunakan kartu ATM sering kali hak-hak nasabah selaku konsumen tidak terlaksana dengan baik, yang menyebabkan nasabah menderita kerugian. Kerugian tersebut disebabkan karena : Uang yang tersedia dalam mesin ATM habis; Ada pengalihan fiktif, yaitu berupa pengambilan dana oleh pihak lain; Mesin ATM TIDAK B eroperasi
karena rusak; Uang tidak keluar dari mesin ATM, atau uang yang keluar dari
mesin ATM hanya sebagian; Uang tidak diperoleh tetapi rekening terdebet ; Transaksi satu kali tetapi rekening terdebet dua kali; Uang yang keluar sobek. Kasus-kasus yang merugikan nasabah pengguna kartu ATM bukan hanya terjadi di bank kecil saja, namun juga di bank-bank besar. Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Konsumen pada tahun 2006, dari 56 kasus pengaduan yang masuk 27 kasus merupakan kasus jasa perbankan, dan kasus yang terbanyak adalah saldo di rekening berkurang tanpa nasabah mengambilnya. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar besarnya oleh pelaku usah dalam hal ini bank melalui kiat promosi, cara penjualan, s erta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.( Andrian Sutedi : 2004). Pengaduan nasabah diabaikan dan kasus-kasus seperti itu berlalu begitu saja tanpa ada penyelesaian yang jelas, sudah cukup banyak nasabah yang dirugikan, tetapi sedikit sekali yang bisa diselesaikan, karena bank selalu bersikap minimalis ketika harus mempertanggung jawabkan kerugian nasabah. Bank selaku pelaku usaha dalam menjalankan usahanya berkewajiban menjamin akan mutu jasanya hal ini sesuai dengan pasal 7 huruf d Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi: (Sentosa Sembiring : 2007) "Kewajiban pelaku usaha dalam menjalankan usahanya adalah menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku".
4
Jika bank tidak menjamin mutu jasa pelayanannya, maka ia dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi, hal ini sesuai dengan pasal 7 huruf f jo. Huruf g Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi: "Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan".
Pasal 7 hurup g undang-undang perlindungan konsumen, yang berbunyi: "Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian". Namun pada kenyataannya, meskipun Undang-undang Perlindungan Konsumen sudah diberlakukan, tetapi kasus-kasus ATM ini masih sering terjadi, keluhan-keluhan nasabah masih banyak yang belum ditanggapi secara optimal dan ketika nasabah mengajukan klaim, nasabah masih saja dipingpong. Meskipun ATM menjadi selling point Bank, ternyata dalam praktik, kepentingan nasabah belum dapat perlindungan memadai. Kepentingan Bank selaku penerbit ATM lebih dominan dibandingkan kepentingan nasabah. Kemajuan teknologi perbankan sepintas hanya memberikan keamanan pada pihak Bank saja tidak demikian halnya bagi konsumen. Sehingga ide peningkatan pelayanan terhadap konsumen melalui tekhnologi perbankan hanya menjadi semacam lip service saja (Yusuf Shofie : 2003). Konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada persoalan lemahnya kesadaran dan ketidak mengertian mereka terhadap hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan usaha (Happy Susanto : 2008 ). Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak sedikit pula konsumen yang enggan memperkarakan apa yang mereka alami sekalipun mereka dirugikan, dengan alasan butuh banyak waktu, tenaga juga biaya tak sedikit. Enggannya para konsumen memperkarakan dan membawa kasusnya ke pengadilan diperparah dengan pelayanan lembaga Negara serta keberpihakkan lembaga Negara yang seharusnya berpihak kepada konsumen tetapi justru berpihak kepada pengusaha. Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalahnya sebagai berikut : Bagaimana pertanggungjawaban bank atas kerugian yang diderita nasabah dalam penggunaan kartu ATM? Dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan nasabah dalam pengajuan klaim atas penggunaan kartu ATM?
5
B. Tinjauan Teori Pasal 1 angka (2) UUPK memberikan definisi konsumen, yakni Konsumen adalah setiap orang yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan. Perlindungan hukum terhadap nasabah tidak lain adalah merupakan suatu perlindungan terhadap hak-hak nasabah selaku konsumen. Bagi konsumen, adanya UUPK adalah sebagai bentuk pengakuan bahwa konsumen mempunyai harkat dan martabat. Dalam relasi dengan pelaku usaha, konsumen adalah subjek yang mempunyai hak-hak yang harus dihormati oleh pelaku usaha (Agustinus Edy Kristianto dan A.Patra M.Zen : 2009), terdapat dalam pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi : Hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Konsumen mengkonsumsi produk yang dihasilkan oleh produsen atau pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha menurut pasal 1 angka (3), berbunyi: "Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi". Dalam kaitannya dengan kartu ATM, maka pelaku usaha adalah bank dan konsumennya adalah nasabah. Pengertian bank menurut pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan), yaitu: "Bank
6
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak". Sedangkan pengertian nasabah menurut pasal 1 huruf p Undang-undang Perbankan, adalah: "Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank". Bank dalam kedudukannya sebagai pelaku usaha dalam bidang jasa pelayanan perbankan dituntut untuk bertanggung jawab atas jasa yang dihasilkannya, karena bank mempunyai tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan perjanjian pemberian jasa terhadap costumer, karena itu gugatan dapat diajukan atas dasar wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Pengaturan mengenai pembatasan tanggung jawab penting agar jelas bagi para pihak batasbatas dari tanggung jawab masing-masing pihak dan untuk menentukan batas jumlah ganti kerugian yang harus dibayar oleh pihak yang satu kepada pihak yang lainnya apabila timbul sengketa (Mariam Darus Badrulzaman : 2001). Pengoperasian kartu ATM yang bersifat elektronik rawan terhadap munculnya resiko akan adanya kerugian yang diderita nasabah. Oleh karena itu Bank harus menyediakan sistem pengamanan yang dapat memberikan perlindungan terhadap pengubahan, penambahan atau perusakan data dan informasi dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan secara tidak sah dengan memanfaatkan kelemahan pada sistem ATM. Dalam pasal 1 kode etik Bankir Indonesia disebutkan bahwa:” Seorang Bankir patuh dan taat pada ketentuan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Jadi Bankir sebagai pengelola dari Bank bertindak sebagai pelaku usaha, oleh karenanya ia harus tunduk pada ketentuan kewajiban pelaku usaha yang diatur pada pasal 7 Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi: "Kewajiban pelaku usaha adalah: a. Beritikad baik dalam menjalankan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. Memperlakukan konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. Menjamin mutu barang dan atau/jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang beriaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabtla barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
7
Perjanjian antara bank dengan nasabah adalah suatu keharusan dalam terjadinya transaksi menggunakan kartu ATM, karena tidaklah sah suatu perjanjian apabila tidak terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Sebagaimana diketahui syarat -syarat adanya sahnya suatu perjanjian adalah adanya kata sepakat, kecakapan para pihak, obyek tertentu dan kausa yang halal.( Sudikno Mertokusumo : 2001). Pada prakteknya perjanjian yang terjadi dalam penggunaan kartu ATM ini adalah perjanjian Standar (Standard Contract), yaitu suatu perjanjian dimana setiap aturan dan syaratsyaratnya telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak dalam hal ini pelaku usaha dan lazimnya hanya memberikan pilihan menyetujui atau menolaknya. (Imas Rosidawati Wr : 2007). Meskipun demikian, kewajiban dan seluruh proses pengalihan hak milik hukumnya adalah sah. Sedangkan sifat perjanjiannya tetap mengikat sesuai dengan ketentuan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang berbunyi: "Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal". Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan tidaklah melanggar hu kum azas kebebasan berkontrak sebagaimana tertulis dalam Pasal 1320 jo 1338 KUH Perdata. Artinya bagaimanapun pihak konsumen/nasabah masih diberikan hak untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave it) sehingga perjanjian standar ini juga dikenal dengan nama take it or leave it contra (Suharnoko : 2008). Bentuk perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh bank dapat dilihat dari salah satu klausul aplikasi permohonan penggunaan ATM yang berbunyi: “ Bank atas kebijakannya sendiri tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Pemegang Kartu, dapat menghentikan setiap saat fasilitas penggunaan Kartu ATM dan mengadakan perubahan-perubahan atas ketentuan-ketentuan ini.” “Bank tidak bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang timbul akibat digunakannya BNI Card oleh bukan pemegang kartu”. Dengan menandatangani aplikasi tersebut nasabah sepakat dengan isi perjanjian yang terdapat dalam permohonan aplikasi tersebut. Karena dengan menandatangani merupakan bukti sepakat dari nasabah atas jasa ATM yang diberikan oleh bank. Apabila konsumen setuju dengan perjanjian yang terdapat dalam aplikasi permohonan penggunaan ATM, maka harus tunduk pada ketentuan tersebut dengan segala resikonya. Dari hal diatas dapat dilihat bahwa bank selaku pelaku usaha mempunyai kedudukan
8
yang lebih tinggi dari pada nasabah selaku konsumen akan membuat peraturan yang tentu saja akan menguntungkannya. Ketentuan dalam buku III KUH Perdata yang mengatur diperbolehkannya terjadinya perikatan dalam kartu ATM adalah pasal 1338 ayat (I) yang menyatakan bahwa: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata ini merupakan tiangnya hukum perdata berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak yaitu : Bebas membuat jenis perjanjian apapun; Bebas mengatur isinya; Bebas mengatur bentuknya; Akan tetapi sebenarnya dalam penerapan pasal 1338 (1) KUHPerdata tersebut, semua persyaratan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Mengingat agar terciptanya keseimbangan dalam perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha, salah satu caranya adalah dengan membatasi pihak pelaku usaha dalam membuat klausula yang sifatnya menguntungkan pelaku usaha (klausula eksonerasi). Salah satu campur tangan pemerintah dalam pembatasan tersebut adalah dikeluarkannya Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan adanya UUPK, diharapkan terciptanya keseimbangan dalam posisi tawar menawar sehingga posisi konsumen yang lemah dapat terlindungi secara hukum.
Pembahasan : 1. Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Pengguna Kartu ATM Bagian Operasional sebagai pengelola ATM harus profesional untuk mencapai performance dan layanan ATM, untuk itu Bank harus meningkatkan profesionalisme kerjanya, antara lain dengan meningkatkan sistem pengamanan semaksimal mungkin terhadap produk jasa yang berbasis tekhnologi informasi (ATM) yang rentan terhadap adanya gangguan yang dapat menimbulkan adanya kerugian bagi nasabah selaku konsumen. Pengamanan yang telah diberikan oleh Bank untuk melindungi nasabah, adalah sebagai berikut: a. Pengamanan Internal Pengamanan ini hanya melibatkan pihak Bank sendiri tanpa melibatkan nasabah untuk berperan aktif. Pengamanan ini menurut Asep Mulyana (2003) meliputi pemantauan terhadap sistem yang digunakan pada mesin ATM, yang meliputi : 1) Pemantauan seluruh transaksi secara Online oleh Bagian Opearasional TSI, 2) Pengawasan terhadap fimgsi dari perangkat keras (Hardware) secara online, 3) Pengawasan terhadap sistem (Software) yang digunakan untuk pengoperasian mesin ATM secara online, 4) Pengawasan terhadap jaringan (Network) yang digunakan dalam transaksi ATM secara online, 5) Pengawasan terhadap jumlah uang dalam mesin ATM secara online,
9
6) Pengawasan terhadap kertas pencatat transaksi (Journal Roll) secara online. Dengan pemanfaatan sistem secara online, maka jika terjadi gangguan atau kerusakan pada sistem ATM, pihak ATMRC akan mengetahuinya dan segera memperbaiki kerusakan pada sistem ATM tersebut. Bank tidak menyediakan secara khusus petugas untuk mengawasi lokasi ATM dan tidak semua ruang ATM tersedia kamera untuk merekam siapa saja yang bertransaksi melalui ATM. Hal ini dikarenakan biaya yang dibutuhkan cukup besar sedangkan alokasi dananya belum tersedia. b. Pengamanan Eksternal Pengamanan ini melibatkan nasabah untuk turut serta secara aktif menjaga keamanan tersebut. Bentuk pengamanan eksternal mengenai perlindungan teknis yang diberikan oleh Bank yaitu berupa: 1) Pemberian nomor PIN kepada nasabah pengguna kartu ATM yang dapat segera diganti nomornya sesuai kehendak pemegang kartu; 2) Apabila pemegang kartu salah memasukan nomor PIN sebanyak tiga kali maka secara otomatis kartu ATM akan terblokir; Perlindungan hukum terhadap nasabah dalam penggunaan kartu ATM juga sangat diperlukan, hal ini berkaitan dengan sering terjadinya permasalahan hukum dalam penggunaan kartu ATM Nasabah sering kali merasa dirugikan oleh Bank berkaitan dengan transaksi yang dilakukannya serta sulitnya nasabah dalam menuntut hak-haknya. Hal ini tentu saja memerlukan adanya suatu pemecahan masalah yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna kartu ATM. Beberapa kasus dalam penggunaan kartu ATM dapat dijadikan gambaran betapa minimnya Perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna kartu ATM, yaitu kasus terdapatnya uang palsu dalam ATM yang mengakibatkan nasabah mengalami kerugian karena tidak dapat menuntut haknya kepada Bank adalah merupakan suatu contoh nyata betapa Perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna kartu ATM masih sangat minim. Kasus lain adalah pengambilan uang melalui ATM yang tidak keluar atau keluar hanya sebagian, kasus ini tentu saja sangat merugikan nasabah karena uang yang seharusnya adalah miliknya ternyata menjadi milik orang lain. Kasus ini pun sulit meminta pertanggungjawaban Bank. Kurangnya perlindungan hukum terhadap nasabah adalah dibuktikan dengan kurang atau tidak adanya alat bukti yang dimiliki oleh nasabah sehingga nasabah merasa kesulitan dalam melakukan pembuktian. Undang-undang memberikan perlindungan hukum bagi orang yang dirugikan dengan menuntut pihak yang menyebabkan kerugian tersebut untuk memberikan ganti rugi atas apa yang telah diperbuatnya. Dengan demikian Bank harus memberikan ganti rugi kepada
10
nasabah pengguna kartu ATM yang Merasa dirugikan tersebut. Bank sebagai pihak yang menerbitkan kartu ATM wajib memberikan perlindungan hukum dan memberikan kepercayaan atas jasa pelayanan yang diberikan. Perlindungan terhadap nasabah Bank di Indonesia tidak sebaik di Negara maju. Karena tidak adanya peraturan yang secara eksplisit mnengatur penggunaan kartu ATM secara spesifik. Tidak banyak pasal-pasal dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang secara langsung mengatur perlindungan nasabah, sebagian besar pasal-pasal dalam Undangundang perbankan hanya mengatur rambu-rambu yang harus ditaati oleh Bank dalam rangka pelaksanaan prinsip kehati-hatian, walaupun pada akhirnya tujuan yang hendak dicapai adalah untuk melindungi nasabah penyimpan dana di Bank. Melihat begitu besarnya resiko yang dapat terjadi apabila kepercayaan terhadap perbankan merosot, maka tidak berlebihan apabtla usaha perlindungan konsumen jasa perbankan mendapat perhatian khusus. Dalam rangka usaha melindungi konsumen sekarang ini telah ada Undang-undangnya yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut diatas, maka UUPK terutama pasal 4 tentang hakhak nasabah sebagai konsumen haras benar-benar dilaksanakan agar kepentingannya benarbenar terlindungi dan merasa terjamin kepastian hukum dalam melakukan transaksi. UUPK tidak memberikan perlindungan hukum secara tegas kepada nasabah tetapi perlindungan tersebut telah diatur oleh Peratuan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Pasal 1 ayat (4) menyebutkan bahwa Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan nasabah yang disebabkan oleh adanya potensi kerugian finansial pada nasabah yang diduga karena kesalahan atau kelalaian Bank. Menurut pasal 2 yaitu: (1) Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan Nasabah dan/atau Perwakilan Nasabah. (2) Untuk menyelesaikan Pengaduan, Bank wajib menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis yang meliputi: a. Penerimaan pengaduan; b. Penanganan dan penyelesaian pengaduan; dan c. Pemantauan penanganan dan penyelesaian Pengaduan Pasal 10 ayat (1), menyatakan bahwa Bank wajib menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 had kerja setelah penerimaan pengaduan tertulis.Jika Bank tidak menyelesaikan klaim yang diajukan nasabah maka bank akan
sanksi yang tercantum dalam pasal 17 PBI nomor
7/7/PB1/2005, yaitu: 1. Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
11
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 dikenakan sanksi administiatif sesuai Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 benipa teguran tertulis. 2. Pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan tingkat kesehatan Bank.
penilaian
Perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna kartu ATM dapat pula dilakukan dengan mencantumkan secara tegas hak dan kewajiban para pihak serta mengatur secara jelas mengenai
pertanggungjawaban
Bank
apabila
terjadi
kerugian
pada
nasabah.
Tidak
dicantumkannya secara tegas mengenai pengaturan tanggung jawab Bank dalam Kartu ATM mengakibatkan kurang terjaminnya periindungan hukum terhadap nasabah pengguna kartu ATM, periindungan hukum bagi nasabah dalam rangka menjamin kepastian hukum, pada dasarnya menguntungkan pihak Bank juga. Dengan diberikan periindungan hukum terhadap nasabah, maka reputasi dan nama baik Bank akan terjaga serta dapat memperluas pangsa pasar. Penerapan periindungan hukum terhadap nasabah pengguna kartu ATM haruslah didasarkan pada itikad baik dari pihak Bank untuk memberikan periindungan dan kepastian hukum nasabah dalam bertransaksi menggunakan kartu ATM.
2. Pertanggungjawaban Pihak Bank atas Kerugian yang Diderita Nasabah selaku konsumen dalam Penggunaan Kartu ATM Prinsip tentang tanggung jawab merupakan prihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehatihatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak terkait. Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar dilapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pambatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh pelanggar hak konsumen. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: A. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum beriaku dalan hukum pidana dan perdata. Dalam KUH Perdata, khususnya pasal 1365, 1366 dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
12
Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu: 1) 2) 3) 4)
Adanya perbuatan; Adanya unsur kesalahan; Adanya kerugian yang diderita; Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Secara akal sehat, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Mengenai beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan pasal 163 FUR atau pasal 238 RBG juncto pasal 1865 KUH Perdata, yang menyatakan barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probation). B. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab (presumtion of liability principle), sampai dapat ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada sitergugat. Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip ini. Dasar pemikiran dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Penerapan prinsip ini dalam kasus konsumen cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi
konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat
balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.
C. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab Prinsip ini kebalikan dari Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab. Prinsip praduga untuk tidak selaJu bertanggung jawab (presumtion of nonliability principle) hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. D. Prinsip Tanggung Jawab Multak
Prinsip Tanggung Jawab Multak (strict liability) sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang yang membedakan kedua terminologi diatas.
13
Ada pendapat mengatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip tanggungjawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability hubungan itu harus ada., sementara absolute liability hubungan tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability dapat saja sitergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut. Menurut R. C. Hoeber et al., biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompelks; a) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya; b) Asas ini dapat memaksa produsen untuk lebih berhati-hati. Pendapat lain mengatakan tanggung jawab mutlak adalah suatu tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum tanpa melihat apakah yang bersangkutan dalam melakukan perbuatannya itu mempunyai unsure kesalahan ataupun tidak, dalam hal ini pelakunya dapat dimintakan tanggung jawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsure kelalaian, kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan.( Munir Fuady : 2003) Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk "menjerat" pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab ini dikenal dengan Product Liability. (Ferial Afdal : 2008). Tanggung jawab produk (Product Liability) sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen, yang dalam bahasa Jerman disebut produzenten-haftung. Agnes M.Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tanggung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Tanggung jawab itu dapat bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdasarkan undang-undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum), namun dalam tanggung jawab produk, penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liabilty). E. Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan {limitation of liability principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan adalah prinsip yang
14
membatasi tanggung jawab dalam memberikan ganti kerugian, penegasan pembatasan tanggung jawabnya biasanya dicantumkan dalam naskah perjanjian. Dalam kartu ATM bank mencantumkan batasan tanggung jawabnya secara tegas pada aplikasi permohonan penggunaan ATM yang diselenggarakannya. Berkaitan dengan tanggung jawab yang terbatas pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak, maka tanggung jawab ini berkaitan dengan tanggung jawab profesi (profesionel liability) karena berhubungan dengan jasa. Menurut Komar Kantaatmadja, tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Keterkaiatan antara prinsip tanggung jawab dengan pembatasan dengan Profesional Liability tersirat dari sumber persoalan tanggung jawab hukum para profesional timbul karena tidak memenuhi perjanjian yang mereka disepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad dalam bahasa Belanda atau Tort dalam Bahasa Inggris). ATM
Bank SumselBabel
berusaha meningkatkan performed
dalam rangka
mengoptimalkan kepuasan nasabah, daya saing, brend image, pangsa pasar serta profitabilitas untuk menunjang pengembangan bisnis ritel Bank Bank SumselBabel. Untuk mewujudkan semua itu haras memberikan kepuasan pada nasabah. Salah satu kepuasan nasabah yang terpenting adalah dengan melihat bagaimana pertanggungjawaban Bank terhadap
kerugian yang
diderita oleh nasabah. Kerugian ini timbul dalam kaitannya dengan penggunaan jasa yang diselenggarakan oleh Bank khususnya Kartu ATM. Sejak Bank menyerahkan kartu ATM disertai dengan PIN yang bersifat rahasia kepada nasabah, maka saat itu pula tanggung jawab penggunaan kartu ATM sepenuhnya berada ditangan nasabah. Dalam praktek transaksi penggunaan kartu ATM, nasabah yang menganggap dirinya telah dirugikan menginginkan Bank membayar sejumlah ganti rugi. Dalam KUH Perdata hanya dapat dimintakan jika dalam pelaksanaan perjanjian terjadi wanprestasi atau merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum. Oleh karana itu, jika saat pelaksanaan perjanjian tidak ada unsurunsur tersebut maka nasabah tidak dapat meminta ganti rugi. Berdasarkan pengalaman Bank, kasus-kasus yang terjadi disebabkan oleh: 1. Adanya gangguan pada mesin ATM; 2. Kelalaian atau kesalahan dari nasabah itu sendiri. Pada dasarnya Bank telah memberikan hak untuk mengajukan klaim pada nasabahnya apabila dalam penggunaan kartu ATMnya menimbulkan kerugian. Pemberian hak klaim ini, sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 huruf d UUPK yang
15
menyatakan bahwa: "Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan" Untuk menampung dan melayani klaim dari nasabah, Bank SumselBAbel telah membentuk suatu bagian yang disebut bagian Operasional TSI. Bagian ini dapat dikatakan sebagai lembaga Advokasi nasabah dalam hal adanya karugian yang timbul akibat bertransaksi menggunakan Kartu ATM. Pengaduan dapat dilakukan dengan datang langsung ke Bagian Operaional TSI atau ke cabang/capem Bank SumselBabel
terdekat dan/atau melalui layanan
Telepon 24 jam. Bagian Operasional TSI akan menerima pengaduan tersebut kemudian melakukan investigasi terhadap klaim yang diajukan oleh nasabah kepada Bank. Investigasi ini akan menyelidiki sebab-sebab terjadinya hal-hal yang diklaim oleh nasabah. Dari hasil investigasi Bagian Operasional TSI ada dua kemungkinan tindakan yang dilakukan oleh Bank, yaitu : a. Bank akan menanggung dan mengganti kerugian yang diderita nasabah; b. Bank tidak akan bertanggung jawab sama sekali terhadap kerugian yang diderita nasabah. Bentuk pertanggungjawaban Bank terhadap kerugian yang timbul diwujudkan dengan dikreditkan kembali kedalam rekening nasabah sejumlah uang besarnya sama dengan kerugian tersebut. Hal ini dilakukan Bank jika hasil investigasi yang dilakukan oleh Bagian Operaional TSI menunjukkan bahwa gugatan kerugian yang diajukan oleh nasabah disebabkan karena adanya gangguan pada sistem ATM, yang dibuktikan dengan Jurnal Roll yang ada pada mesin ATM. Seperti dalam hal, uang tidak keluar maka bisa dibuktikan dengan nomor record pada jurnal roll loncat. Dan jika uang hanya keluar sebagian maka pada jurnal roll akan ada bahasa mesin seperti *6041*l*E*500030000, M-00,R-10000 PRESENTER ERROR. Hal itu menunjukkan bahwa Bank telah memenuhi kewajibannya sebagai pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi. Maka bank telah melakukan kewajibannyayang tercantum dalam pasal 7 huruf f UUPK yang menyatakan: "Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguanaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan" Jo. Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilakan atau diperdagangkan" Dengan dipenuhinya kewajiban pelaku usaha untuk mengganti kerugian oleh Bank secara otomatis terpenuhi juga hak konsumen untuk mendapatakan ganti rugi, sebagaimana ketentuan pasal 4 huruf h, yaitu: "Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana mestinya"
16
Sedangkan pihak Bank tidak akan bertanggung jawab sama sekali jika hasil dari investigasi yang dilakukan oleh Bagian Operasional TSI menunjukkan bahwa kerugian tersebut diakibatkan karena kesalahan dan/atau kelalaian nasabah. Hal mi sesuai dengan ketentuan pasal 19 ayat (5) UUPK, yaitu: "Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalah konsumen" Serta sesuai dengan salah satu klausula yang tercantum dalam Aplikasi Permohonan Penggunaan ATM pasal Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan: "Bank tidak bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang timbul akibat digunakannya Bank SumselBAbel Card oleh bukan pemegang kartu" Vonis yang dijatuhkan pihak Bank bahwa nasabah melakukan kesalahan dan/atau kelalaian didasaii oleh hasil investigasi menunjukan bahwa sistem mesin ATM dalam keadaan normal. Kesalahan dan/atau kalalaian nasabah biasanya berupa memperlihatkan, memberitahukan nomor PIN pada orang lain, mencatat nomor PIN pada kertas, atau menggunakan identitas diri sehinggga dapat memudahkan diketahuinya nomor PIN sama orang lain. Jadi prinsip tanggung jawab yang dianut oleh Bank dalam memberikan ganti rugi adalah prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle), karena berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas tanggung jawab baru muncul jika kesalahan ada pada pihak Bank berupa terganggunya sistem pada mesin ATM. Pembatasan tanggung jawab dengan pembatasan mi, dapat dilihat dengan adanya pencantuman klausula baku yang secara tegas dicantumkan oleh Bank dalam pasal 2 ayat (2) aplikasi perjanjian penggunaan ATM. Digunakannya prinsip tanggung jawab dengan pembatasan adalah untuk menghindari itikad buruk dan nasabah ataupun pihak lain terhadap Bank, karena Bank merupakan lembaga yang dipercayai masyarakat untuk menyimpan dan mengelola uangnya, yang harus senantiasa menjaga prinsip kehati-hatian.
3. Upaya Hukum Nasabah dalam Pengajuan Klaim atas Penggunaan Kartu ATM Pada saat nasabah menandatangani perjanjian penggunaan ATM, maka pada saat itu pula telah terjadi suatu perjanjian yang sah antara para pihak. Akibat hukum dari suatu perjanjian yang sah adalah timbulnya hubungan hukum antara para pihak yaitu nasabah selaku konsumen dan Bank selaku pelaku usaha. Upaya hukum yang dapat dilakukan nasabah dalam pengajuan klaim atas penggunaan kartu ATM, upaya pertama yang ditempuh adalah penyelesaian sengketa secara damai, maksud
17
penyelesaian sengketa secara damai adalah penyelesaian sengketa antara para pihak, dengan atau tanpa kuasa atau pendamping bagi masing-masing pihak. Dengan cara: nasabah melakukan pengajuan klaim melalui Card Center atau ke kantor cabang Bank SumselBAbel terdekat, untuk menyelesaikan pengaduan, Bank wajib menentukan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis (Pasal 2 ayat (2) PBI No. 7/7/PBI/2005) dan proses penyelesaiannya diserahkan kepada pihak Bank. Penyelesaian sengketa secara damai dapat ditempuh untuk mengadakan penyelesaian sengketa yang mudah, murah dan lebih cepat. Tahap pertama, bank wajib menyelesaikan terlebih dahulu sengketa dengan nasabahnya sesuai PBI No.7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (Budi Mulya : 2007 ). Selanjutnya, apabila sengketa belum dapat diselesaikan dengan baik, nasabah bank dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui mediasi yang difasilitasi oleh BI sesuai PBI No.8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. Jika upaya damai gagal, menurut pasal 23 UUPK, konsumen berhak untuk menuntut pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memenuhi ganti rugi, baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun mengajukan gugatan ke Badan Peradilan ditempat kedudukan konsumen. Jika dalam pelaksanaan penggunaan kartu ATM terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang atau melanggar hak nasabah dan kewajiban Bank sehingga menimbulkan kerugian pada nasabah maka nasabah tersebut dapat menggugat Bank melalui lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan, berdasarkan sukarela para pihak yang bersengketa. 1. Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali dan/atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh oleh nasabah (Pasal 47 UUPK). Ini merupakan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang khusus dibentuk oleh Undang-undang yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). BPSK merupakan badan yang bertugas dan berwenang untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi, atau arbitrase atau konsoliasi (Pasal 52 huruf a UUPK). Putusan yang dijatuhkan majelis BPSK bersifat final dan mengikat. BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 hari sejak gugatan diterima {Pasal 55 UUPK). Putusan majlis tersebut kemudian dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri ditempat konsumen yang dirugikan. Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 hari setelah
18
putusan diterimanya (pasal 56 ayat (1) UUPK), atau apabila ia keberatan dapat mengajukannya ke Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan (Pasal 56 ayat (2) UUPK). Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha harus memutuskan perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari setelah diterimanya keberatan tersebut (Pasal 58 ayat (1) UUPK). Kasasi pada putusan Pengadilan Negeri ini diberikan waktu 14 hari untuk mengajukan Kasasi pada Mahkamah Agung (Pasal 58 ayat (2) UUPK). Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan Kasasi (Pasal 58 ayat (3) UUPK). 2. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dipilih jika upaya damai dan upaya penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dinyatakan tidak dapat berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku (Pasal 46 UUPK).
Kesimpulan 1. Dengan adanya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan mengenai penerapan prinsip kehati-hatian, Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terutama pasal 4 tentang hak -hak konsumen dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tantang Penyelesaian Pengaduan Nasabah. Ketiga peraturan
perundang-undangan
tersebut
harus
kepentingan nasabah benar-benar terlindungi serta
benar-benar
dilaksanakan
agar
merasa terjamin kepastian hukum dan
dapat melindungi nasabah Pengguna kartu ATM dalam melakukan transaksi perbankan. Perlindungan hukum terhadap nasabah pengguna kartu ATM dapat pula dilakukan dengan mencantumkan secara tegas hak dan kewajiban para pihak serta mengatur secara jelas mengenai pertanggungjawaban Bank. 2. Pertanggungjawaban Bank atas kerugian yang diderita nasabah dalam penggunaan kartu ATM adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab dengan pembatasan. Karena Bank hanya akan bertanggung jawab jika hasil dari investigasi yang dilakukan Bagian Operaional TSI menunjukkan bahwa kerugian yang diderita nasabah disebabkan karena kerusakan, kesalahan sistem atau adanya gangguan pada mesin ATM yang dibuktikan dengan jurnal roll, sedangkan Bank tidak akan bertanggungjawab sama sekali jika kerugian tersebut disebabkan karena kesalahan dan/atau kelalaian dari nasabah itu sendiri sesuai dengan klausula pada Aplikasi Permohonan Penggunaan ATM. 3. Upaya hukum yang dapat dilakukan nasabah dalam pengajuan klaim atas penggunaan kartu
19
ATM adalah dengan mengupayakan penyelesaian sengketa secara damai. Jika upaya ini gagal maka nasabah dapat menggugat Bank melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun ke badan Peradilan yang telah disepakati dalam aplikasi perjanjian penggunaan ATM antara Bank dengan nasabah.
B. REKOMENDASI 1.
Nasabah pengguna kartu ATM hendaknya memahami secara betul ketentuan mengenai penggunaan kartu ATM dan harus senantiasa berhati-hati dalam setiap melakukan transaksi menggunakan kartu ATM, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan. Nasabah tidak mudah mempercayai lingkungannya seperti saudara, teman dekat dan Iain-lain terutama dalam menjaga kerahasiaan PIN agar tidak terjadi penyalahgunaan kartu ATM oleh pihak ketiga. Dan nasabah jangan segan-segan untuk mengajukankan klaim apabila mengalami kegagalan dalam melakukan transaksi dan mengalami kerugian karena nasabah dilindungi oleh hukum.
2. Pihak Bank selalu tetap menjaga, memelihara dan meningkatkan keamanan mesin ATM, agar tidak mudah disalahgunakan oleh orang yang beritikad tidak baik, dan Bank harus senantiasa beritikad baik dalam mempertanggungjawabkan kerugiart nasabah. 3. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan timbulnya permasalahan hokum dalam penerapan sistem ATM maka perlu adanya suatu peraturan perundang-undangan yang secata eksplisit mengatur sistem transaksi perbankan secara elektronik dalam tercapainya kepastian hukum. DAFTAR PUSTAKA A.Z. Nasution, Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman R.I, Jakarta, 1993-1994 Agus Santoso, Jurnal Legislasi Indonesia Vol.5 No.4, Desember 2008 Agustinus Edy Kristianto dan A.Patra M.Zen, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta, 2009 Ahmad M. Ramli , Cyber Law Dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2004 Andrian Sutedi, Tanggung JAwab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, tahun 2008 Asep Mulyana, Perlindungan Konsumen Dalam Sistem E-Banking Dihubungkan dengan Undang-'undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Konsumen UN1SBA, 2003 Buku Pedoman Perusahaan tentang Pedoman Operasional Layanan Produk ATM, Maret 2003 Budi Mulya, Peningkatan fungsi dan peran Mediasi Perbankan, Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Bali, 2007 Direktorat Perlindungan Konsumen-Direktorat Jenderal Perdagangan DAlam NegeriDepartemen Perdagangan Ferial Afdal, Hukum Perdata, Product Liability, Indoskripsi, 2008 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000
20
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika dirugikan, Visi Media,Jakarta,2008. Imas Rosidawati, Standar Kontrak Dalam Perbankan kaitannya dengan Penyalahgunaan Keadaan ( Misbruik Van Omstandigheden), Wawasan tridharma Majalah Ilmiah Kopetis Wilayah IV Jawa barat, Nomor 4 Tahun XXI November 2008 Mariam Darus Badrulzaman, et.al. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005 Progres, Media Komunikasi Asbanda, Asbanda dan Gagah Communications, Edisi No.12/Tahun II/April 2009, hlm.12 R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana, 2008 Sentosa Sembiring, Himpunan Undang-undang Perlindungan Konsumen, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, 2007 Yusuf Shofie,”Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya”, Citra Aditya Bakti, 2003 KUH Perdata UU Nomor 10 /1998 Tentang Perbankan UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Riwayat Penulis : Dr. Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH. Doktor dalam bidang Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Tenaga pengajar Kopertis Wilayah IV Jawa Barat – Banten dpk Universitas Islam Nusantara. Sekretaris Program Pascasarjana Program studi Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Nusantara.
21